Vous êtes sur la page 1sur 17

1

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkawinan adalah sunatullah, atau hukum alam di dunia yang
dilakukan oleh setiap mahluk yang Allah jadikan secara berpasang-pasanga,
sebagaimana firman Allah dalam surat Yasin ayat 36.
=}E:c Og~-.- 4-UE
E4^e- E_^U Og`
e)l4> OO- ;}g`4
)_O^ Og`4 4pOU;4C
^@g
Artinya: Maha Suci Tuhan yang Telah menciptakan pasangan-
pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri
mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.
Sedangkan dalam undang-undang no 1 tahun 1974 Perkawinan ialah
ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami
isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Menuasia adalah makhluk yang Allah ciptakan lebuh mulia dari
makhluk yang lainnya sehingga karenanya Allah telah menetapkan adanya aturan
dan tata cara secara khusus sebagai landasan untuk mempertahakan kelebihan
derajat yang namanya makhluk menuasia disbanding dengan jenis makhluk
lainnya, kodrat manusia yang diciptakan oleh Allah SWT yaitu berpasang-
pasangan
2

Oleh karena perkawinan mempunyai maksud agar suami dan isteri
dapat membentuk keluarga yang kekal maka suatu tindakan yang mengakibatkan
putusnya suatu perkawinan harus benar-benar dapat dipertimbangkan dan
dipikirkan masak-masak. Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah tindakan
kawin-cerai berulang kali, sehingga suami maupun isteri benar-benar saling
menghargai satu sama lain.
Hukum Perkawinan dalam agama Islam mempunyai kedudukan yang
sangat penting, oleh karena itu peraturan-peraturan tentang perkawinan ini diatur
dan diterangkan dengan jelas dan terperinci. Hukum Perkawinan Islam pada
dasarnya tidak hanya mengatur tatacara pelaksanaan perkawinan saja, melainkan
juga segala persoalan yang erat hubungannya dengan perkawinan, misalnya: hak-
hak dan kewajiban suami istri, pengaturan harta kekayaan dalam perkawinan,
cara-cara untuk memutuskan perkawinan, biaya hidup yang harus diadakan
sesudah putusnya perkwinan, Pemeliharaan anak, nafkah anak, pembegian harta
perkawinan dan lain-lain.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka dapat dirumuskan
beberapa permasalahan sebagai berikut?.
A. Bagaimana Sejarah dan Kedudukan Hukum Perkawinan Islam di
Indonesia?.
B. Bagaimana Proses dan Latar Belakang Sekiranya UU No. 1 Tahun
1974.?
C. Bagaimana Pentingnya perkawinan bagi kehidupan manusia, khusus
bagi orang Islam?.
D. Bagaimana prinsip-prinsip atau asas-asas perkawinan menurut Undang-
undang Perkawinan?.

3

BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah dan Kedudukan Hukum Perkawinan Islam di Indonesia.
Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, maka teori resepsi seperti yang diajarkan di Zaman Hindia Belanda
menjadi hapus dengan sendirinya.
Teori resepsi adalah teori yang menyatakan bahwa Hukum Islam baru
berlaku di Indonesia untuk penganut agama Islam apabila sesuatu Hukum Islam
telah nyata-nyata diresapi oleh dan Hukum adat, maka dengan pasal-pasal
tertentu dalam Undang-Undang Perkawinan ini tidak ada keragua-raguan untuk
menerima dalil bahwa Hukum Islam telah langsung menjadi sumber hukum
tanpa memerlukan bantuan atau peraturan Hukum Adat.
Disamping pendapat tersebut diatas, ada juga pendapat yang
dikemukakan bahwa sebetulnya teori resepsi itu baik sebagai teori maupun
sebagai ketetapan dalam pasal 134 ayat 2 Indisce Staatsregeling telah terhapus
dengan berlakunya Undang-Undang Dasar 1945.
Hal ini bisa kita lihat dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 19 ayat
2 yang memuat ketentuan Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk
untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamnya
dan kepercayaannya. Dari ketentuan pasal 29 ayat 2 tersebut diatas. Maka
pemerintah berhak untuk mengatur persoalan-persoalan tertentu berdasarkan
Hukum Islam, sejauh mana peraturan-peraturan itu diperuntukan bagi warga
negara yang beragama Islam. Jadi berlakunya Hukum Islam bagi warga negara
4

Indonesia yang beragam Islam tidak usah melihat apakah hukum Islam telah
menjadi hukum adat atau belum
Mengenai berlakunya Hukum Islam di Indonesia dengan berlakunya
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan
Pemerintah nomor 9 tahun 1975 sebagai peraturan pelaksanaanya, apabila
ditinjau secara sepintas dapat dianggap tidak berlaku lagi, karena dengan
berlakuknya peraturan perundang-undangan tersebut diatas, maka sejak 1
Oktober tahun 1975 hanya ada satu peraturan perkawinan yang berlaku untuk
seluruh wargan negara Indonesia tanpa melihat golongannya masing-masing.
Hal ini dengan tegas disebut dalam pasal 66 Undang-Undang
perkawinan yang menentukan bahwa dengan berlakunya Undang-undang ini
maka ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Perdata
(Burgerlijk Wetbook), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijk
Ordonantie Christen Indonesier Stb. 1933 Nopember. 74), Peraturan Ordonantie
Campuran, Gereling op Desember Gemengde Huwelijk Stb. 1898 Nopember.
158, dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah
diatur dalam Undang-Undang ini, dinyatakan tidak berlaku lagi.
Anggapan yang menyatakan bahwa dengan berlakunya Undang-
Undang Perkawinan ini, hukum perkawinan Islam tidak berlku lagi adalah tidak
tepat, sebab menurut ketentuan dalal pasal 66 tersebut diatas yang dianggap tidak
berlaku bukanlah peraturan-peraturan tersebut diatas secara keseluruhan
melainkan hanyalah hal-hal yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah
diatur dalam Undang-Undang Perkawinan ini, dalam hal-hal yang belum atau
tidak diatur dalam Undang-undang Perkawinan ini masih tetap berlaku.
Disamping ketentuan tersebut diatas tentang masih tetap berlakunya
hukum Perkawinan Islam bagi mereka yang beragama Islam, secara tegas
5

disebutkan dalam pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan yang menentukan
bahwa perkawinan adalah sah pabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya. Dengan demikian maka hal-hal yang belum
diatur dan tidak bertentangan dengan Undang-undang Perkawinan ini. tetap
berlaku menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya, maka
bagi warga negara Indonesia yang beragam Islam yang hendak melakukan
perkawinan supaya sah harus dilaksanakan menurut ketentuan hukum
perkawinan Islam.
Dengan demikian maka maka pasal 2 ayat 1 Undang-undang
Perkawinan ini dapat dipakai sebagai dasar hukum berlakuknya hukum
perkawinan Islam di Indonesia sebagai peraturan-peraturan khusus disamping
peraturan-peraturan umum yang telah diatur dalam Undang-Undang Perkawinan,
untuk wargan negara Indonesia yang beragama Islam.
Hukum Perkawinan di Indonesia
Di Indonesia sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang perkawinan, telah berlaku berbagai hukum perkawinan bagi berbagai
golongan warga negara dan berbagai daerah yaitu :
1. Bagi orang-orang Indonesia Asli yang beragama Islam berlaku Hukum Agama
Islam yang telah diresiplir dalam Hukum Adat
2. Bagi orang-orang Indonesia Asli lainnya berlaku Hukum Adat
3. Bagi orang-orang Indonesia Asli yang beragama Kristen berlaku Huwelijks
Ordonantie Cristen Indonesia (Stb. 1933 No. 74)
4. Bagi orang Timur Asing Cina dan WNI keturunan Cina berlaku ketentuan
ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Perdata dengan sedikit perubahan.
5. Bagi orang Timur Asing lainnya dengan WNI Keturunan Timur Asing lainnya
tersebut berlaku Hukum Adat
6. Bagi orang Eropa dan WNI keturunan Eropa dan yang disamakan berlaku
kitab Undang-undang Hukum Perdata.
6

Adanya hukum perkawinan yang berbeda-beda dan bersifat pluralistik tersebut
disebabkan adanya pembagian rakyat Indonesia menjadi berbagai golongan
penduduk berdasarkan IS Pasal 131 dan 163 yang berlangsung sejak masa
penjajahan
Setelah diberlakukannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 secara efektif
tanggal 1 Oktober 1975, ketentuan-ketentuan tentang perkawinan yang diatur
dalam kitab Undang-undang Hukum Perdata, Ordonasi Perkawinan Indonesia
Kristen (HOCI), Peraturan Perkawinan Campuran (Stb. 1998 No. 158) dan
peraturan-peraturan lain sepanjang telah diatur dalam Undang-undang
Perkawinan dinyatakan tidak berlaku (Psl. 66 UUP)
Sebagai Unifikasi hukum, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 ini
menghormati secara penuh adanya variasi berdasarkan agama dan kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa (Psl. 1 dan 2 ayat (1) UUP).
B. Proses dan Latar Belakang Sekiranya UU No. 1 Tahun 1974
Sebagaimana dikemukakan, berbagai hukum tertulis tentang perkawinan bagi
berbagai golongan telah berlaku di Indonesia sebelum adanya hukum perkawinan
secara nasional.
Bagi golongan bumiputera yang beragama Islam, tuntutan untuk memiliki hukum
tertulis tentang perkawinan telah menjadi persoalan sejak masa penjajahan, sebab
S. 1895 No. 198 bukanlah peraturan tentang pencatatan perkawinan saja, seperti
halnya UU No. 22 Tahun 1946 jo UU No. 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan
Nikah, Talak dan Rujuk.
Usaha pemerintah untuk memiliki Undang-undang Perkawinan tersendiri telah
dirintis sejak tahun 1950 melalui pembentukan Panitia Penyelidik Peraturan
Hukum Perkawinan, Talak dan Rujuk oleh Menteri Agama dengan SP Nomor
B/2/4299 tanggal 1-10-1950, diketahui oleh Mr. Teuku Moh. Hasan.
Akhir tahun 1952, panitia yang sempat mengalami perubahan dan tambahan
melalui SK Menteri Agama Nomor B/2/8315 tanggal 1-4-1951 ini telah berhasil
menyusun Rancangan Undang-undang (RUU) Perkawinan (Umum). RUU
7

tersebut oleh golongan-golongan agama ditanggapi sebagai UU yang bersifat
umum, dan dikehendaki RUU Perkawinan menurut masing-masing agama, maka
disepakati adanya :
a. RUU Perkawinan menurut Agama Islam
b. RUU Perkawinan menurut Agama Kristen
c. RUU Perkawinan menurut Agama Katolik
d. RUU Perkawinan menurut golongan lainnya
Pada bulan Maret 1954, RUU Perkawinan Umat Islam telah selesai
disusun dan tanggal 19 Juni 1958 RUU Perkawinan tersebut diajukan ke DPR
sebagai usulan inisiatif pemerintah. Namun bersamaan dengan itu, muncul RUU
Perkawinan (Umum) atas usul inisiatif Ny. Sumari (PNI). Kedua RUU itu
bertolak belakang, satu berdasarkan agama, dan yang lainnya berdasarkan faham
sekuler. Akan tetapi kedua RUU Perkawinan tersebut tak sempat menjadi UU
Tahun 1967 pemerintah mengajukan lagi dua buah RUU Perkawinan kepada
DPRGR :
a. RUU tentang Pernikahan Umat Islam, diajukan oleh Menteri Agama bulan
Mei 1967
b. RUU tentang Ketentuan Pokok Perkawinan, diajukan oleh Menteri Kehakiman
bulan September 1967
Sebelum RUU tersebut diajukan, tercatat ada beberapa pertemuan yang
mendesak segera diungkapkannya UUP, antara lain :
a. Musyawarah Nasional Kesejahteraan Keluarga tahun 1962 oleh Departemen
Sosial
b. Konperensi I tahun 1962 oleh Badan Penasehat Perkawinan dan Penyelesaian
Perceraian (BP4) Pusat (Departemen Agama).
c. Seminar Hukum Nasional tahun 1963 oleh Lembaga Pembinaan Hukum
Nasional (LPHN) bersama Persatuan Sarjana Hukum Indonesia (Persahi).
d. Tap MPRS No. XXVIII/MPRS/1966 tentang perlunya segera diadakan UU
tentang Perkawinan
8

Tahun 1968, kedua RUU tersebut dibicarakan DPRGR, akan tetapi tidak
mendapat persetujuan DPRGR. Pemerintah pun menarik kembali kedua RUU
tersebut. Tidak disetujuinya kedua RUU tersebut, ditanggapi dengan saran dan
pendapat oleh beberapa Organisasi :
a. Ikatan Sarjana Wanita Indonesia (ISWI) melalui simposiumnya, tanggal 29-1-
1972
b. Badan Musyawarah Organisasi Islam Wanita Indonesia melalui Sidangnya
tanggal 22-2-1972
c. BP4 melalui seminar tentang Pengaruh UU terhadap Kemantapan Perkawinan,
tahun 1973
Karena tidak mendapat persetujuan DPRGR, pemerintah menyiapkan RUU
Perkawinan yang baru, dan pada tanggal 31-7-1973 RUU Perkawinan yang
terdiri 15 bab dan 75 pasal diajukan kepada DPR hasil Pemilu 1971.
RUU Perkawinan ini mendapatkan reaksi dari kalangan umat Islam, karena
beberapa pasa yang bertentangan dengan hukum Islam, antara lain :
a. Perkawinan adalah sah apabila dilakukan dihadapan pegawai pencatat
perkawinan, dicatat dalam daftar pencatatan perkawinan oleh pegawai
tersebut dan dilangsungkan menurut ketentuan Undang-undang ini dan atau
atas ketentuan hukum perkawinan pihak-pihak yang melaksanakan
perkawinan, sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang ini (psl. 2
ayat 1)
b. Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, selanjutnya dalam Undang-
undang ini disebut Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami
untuk beristeri lebih dari seorang, apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang
bersangkutan (psl. 3 ayat (2))
c. Perbedaan karena kebangsaan, suku bangsa, negara asal, tempat asal,
agama/kepercayaan dna keturunan tidak merupakan penghalang perkawinan
(psl. 11 ayat (2))
9

d. Bagi janda wanita ditetapkan jangka waktu tunggu 306 hari, kecuali kalau
ternyata dia sedang mengandung, dalam hal mana waktu tunggu ditetapkan
sampai 40 hari sesudah lahirnya anak (psl. 12 ayat 1)
e. Suami isteri bersama-sama dapat mengangkat seorang anak atau lebih (psl. 62
ayat (1))
Tanggal 27-9-1973 Pemerintah dan DPR mengadakan musyawarah mencari
kesepakatan untuk menyempurnakan RUU Perkawinan tersebut.
Setelah melalui perdebatan yang hangat di DPR dan tanggapan yang panas dari
masyarakat Islam terhadap RUU Perkawinan yang bersifat sekuler itu, akhirnya
Fraksi ABRI dan Fraksi Persatuan Pembangunan dalam pertemuannya telah
membentuk konsensus, antara lain :
a. Hukum agama Islam dalam perkawinan tidak akan dikurangi ataupun dirubah
b. Sebagai Konsekwensi dari punt 1, maka alat-alat pelaksanaannya tidak akan
dikurangi atau dirubah, tegasnya Undang-undang Nomor 22 tahun 1946 dan
Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 dijamin kelangsungannya.
c. Hal-hal yang bertentangan dengan agama Islam dan tidak mungkin disesuaikan
dalam Undang-undang ini dihilangkan (didrop)
Tanggal 22 Desember 1973, setelah mengalami perubahan dan
amandemen, RUU Perkawinan disahkan oleh DPR menjadi UU, dan selanjutnya
tanggal 2 Januari 1974 diundangkan oleh Presiden menjadi Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 (LNRI 1974 Nomor 1).
Berdasarkan pasal 67 ayat (1) Undang undang Nomor 1 Tahun 1974,
dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yang merupakan
pelaksanaan secara efektif Undang-undang Perkawinan dan berlaku tanggal 1
Oktober 1975 (psl. 49 Peraturan Pemerintah 9/1975).
UU Perkawinan ini berlaku untuk semua golongan penduduk dan
warga negara. Jika dipelajari dengan seksama, tidak ada yang bertentangan
dengan hukum perkawinan Islam. Oleh karena itu, ada yang berpendapat bahwa
UU Perkawinan itu hasil ijtihad baru muslim Indonesia.
10

Dengan lahirnya UU Nomor 1 Tahun 1974, dimana Pasal 2 ayat (1)
menyatakan Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-
masing agama dan kepercayaan itu, teori resepsi atas teori iblis (menurut istilah
Prof. Dr. Hazairin) tumbang dan menemui ajalnya. Dengan UU Perkawinan itu,
hukum agama, dalam hal ini hukum perkawinan Islam kedudukannya menjadi
sederajat dengan hukum perkawinan adat dan hukum barat di negeri Republik
Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Pemahaman Terhadap Undang-undang Perkawinan
Undang undang Perkawinan (UUP) harus dipahami sebagai Undang-
undang (UU) Nasional yang keseluruhannya merupakan satu kesatuan yang
bulat. UUP merupakan satu kesatuan UU dan satu kesatuan sistem hukum yang
bab-bab, pasal-pasal dan ayat-ayatnya tidak boleh ditafsirkan bertentangan satu
sama lain.
Sesuai dengan sejarahnya, pemahaman dan penafsiran UUP tidak
boleh dipertentangkan dengan hukum agama, khususnya hukum Islam. Bahkan
mempelajari UUP harus mempunyai latar belakang dan dasar pemahaman
terhadap hukum Islam, sebab dalam banyak ketentuannya adalah ajaran/hukum
Islam.
Memahami UUP dan penafsirannya harus bertumpu pada pandangan
wawasan nusantara, artinya UUP sebagai hukum nasional hendaknya dipahami
dan dilaksanakan di seluruh wilayah Republik Indonesia yang merupakan satu
kesatuan wilayah hukum.
UUP adalah mewujudkan hukum nasional yang baru berdasarkan
Pancasila, yang merupakan norma-norma hukum yang berwawasan nusantara,
karena itu, dalam pemahaman bab-bab, pasal-pasal dan ayat-ayatnya harus
disesuaikan dengan semangat menggantikan ketentuan-ketentuan hukum yang
diskriminatif yang diciptakan oleh Pemerintah Belanda.
11

UUP adalah merupakan norma hukum nasional di dalam peningkatan
pergaulan hidup internasional bangsa dan negara Indonesia. Karenanya, di
dalamnya diatur perkawinan di luar dan perkawinan Campuran.
Disadari bahwa sesuai dengan asas Bhinneka Tunggal Ika, maka ada perbedaan
fundamental antara warga negara Indonesia di dalam hukum. UUP adalah hukum
nasional Indonesia di dalam pergaulan Internasional. Yang bertatanan hukum
internasional. Karena dalam UUP ada beberapa pasal yang berhubungan dan
berkaitan dengan hukum perdata internasional maka harus dipahami dalam
konteks hukum internasional privat (Hukum Perdata Internasional).
Dasar Perkawinan
Dasar perkawinan menurut UUP adalah sila pertama Pancasila, yaitu ketuhanan
Yang Maha Esa. (Pasal 1) Artinya, norma hukum agama harus menjiwai dan
tercermin dalam semua peraturan perundang-undangan tentang perkawinan
Peranan Agama dalam Undang-undang Perkawinan
Sesuai dengan historis lahirnya UUP Falsafah Pancasila yang menjadi
landasan ideal bangsa Indonesia, UUP menempatkan hukum agama memegang
peranan utama dalam menentukan hukum setiap terjadi peristiwa perkawinan.
Peranan tersebut tercermin pada pasal-pasal yang tertuang dalam UUP, yaitu :
1. Pasal 1 yang berbunyi :
Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
2. Pasal 2 ayat (1) yang berbunyi :
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu. Sesuai dengan bunyi pasal 2 ayat (1) ini,
maka tata hukum Indonesia di bidang hukum perkawinan bukan unifikasi
hukum tetapi diferensiasi.
3. Pasal 6 ayat (6) yang berbunyi :
12

Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku
sepanjang hukum masing-masing agamnya dan kepercayaannya itu dari
yang bersangkutan tidak menentukan lain.
4. Pasal 8 huruf f yang berbunyi :
Mempunyai hubungan yang oleh agamnya atau peraturan lain yang berlaku
dilarang kawin.
5. Pasal 10 yang berbunnyi :
Apabila suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain
dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka diantara mereka tidak boleh
dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.
6. Pasal 29 Ayat (2) yang berbunyi :
Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas
hukum, agama dan kesusilaan.
7. Pasal 51 ayat (3) yang berbunyi :
Wali wajib mengurus anak yang di bawah penguasaannya dan harta
bendanya sebaik-baiknya, dengan menghormati agama dan kepercayaan
anak itu.
C. Pentingnya perkawinan bagi kehidupan manusia, khusus bagi orang
Islam adalah sebagai berikut:
a. Dengan melakukan perkawinan yang sah dan dapat terlaksana pergaulan
hidup manusia baik secara individual maupun kelompok antara pria dan
wanita secara terhormat dan halal, sesuai dengan kedudukan manusia sebagai
makhluk yang terhormat diantara makhluk-makhluk Tuhan yang lain.
b. Dengan melaksanakan perkawinan dapat terbentuk suatu rumah tangga
dimana dalam kehidupan rumah tangga dapat terlaksana secara damai dan
tentram suami istri.
13

c. Dengan melaksanakan perkawinan yang sah, dapat diharapkan memperoleh
keturunan yang sah dalam masyarakat sehingga kelangsungan hidup dalam
keluarga dan keturunannya dapat berlangsung terus jelas dan bersih.
d. Dengan terjadimnya perkawinan, maka timbulah sebuah keluarga yang
merupakan inti dari pada hiduip bermasyarakat, sehingga dapat diharapkan
timbul suatu kehidupan masyarakat yang teratur dan berada dalam suasana
damai.
e. Melaksanakan perkawinan dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah
diatur dalam Al-Quran dan Sunnah Rasul, adalah merupakan salah satu
ibadah bagi umat Islam.
D. Adapaun prinsip-prinsip atau asas-asas perkawinan menurut Undang-
undang Perkawinan, disebutkan didalam penjelasan umumnya sebagai
berikut:
a. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan
kekal. Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi agar
masing-masing dapat mengembangkan pribadinya, membantu dalam
mencapai kesejahteraan spiritual dan material.
b. Dalam Undang-Udang ini dinyatakan bahwa suatu perkawinan adalah
sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu, dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus
dicatat menurut perturan perundang-undangan yang belaku, pencatatan
tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya denagn pencatatan peristiwa-
peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran,
kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akte
resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.
c. Undang-undang ini menganut asas monogami, hanya apabila
dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari
yang bersangkutan mengijinkannya, seorang suami dapat beristri lebih
dari seorang. Namun demikian perkawinan seorang suami dengan lebih
14

dari seorang istri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang
bersangkutan hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai
persyaratan tertentu dan diputuskan oleh Pengadilan Agama.
d. Undang-Udang ini mengatur prinsip, bahwa calon sumai istri itu harus
masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar
supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir
dengan perceraian, dan mendapat keturunan yantg baik dan sehat, untuk
itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami istri yang masih
dibawah umur, karena perkawinan itu mempunyai hubungan dengan
masalah kependudukan, maka untuk mengerem lajunya kelahiran yang
lebih tinggi, harus dicegah terjadinya perkawinan antara calon suami
istri yang masih dibawah umur. Sebab batas umur yang lebuh rendah
bagi seorang wanita untuk kawin, mengakibatkan laju kelahiran yang
lebih tinggi, jika dibandingkan dengan batas umur yang lebih tinggi,
berhubungan dengan itu, maka Undang-Udang Perkawinan ini
menentukan batas umur untuk kawin baik bagi pria maupun bagi wanita,
ialah 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita.
e. Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang
bahagia dan kekal dan sejahtera, maka Undang-Undang ini menganut
prinsip untuk mempersukar tejadinya perceraian. Untuk memungkin
perceraian harus ada alasan-alasan tertentu (pasal 19 Peraturan
Pemerintah N. 9 tahun 1975) serta harus dilakukan di depan sidang
Pengadilan Agama bagi orang Islam dan Pengadilan Negeri bagi
golongan luar Islam.
f. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan
suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan
bermasyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam
keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama suami istri.
15

Kalau kita bandingkan prinsip-prinsip dalam perkawinan menurut
Hukum Islam dan menurut Undang-Udang Perkawinan, maka dapat dikatakan
sejalan dan tidak ada perbedaan yang prinsipil atau mendasar.
Demikianlah tulisan singkat ini yamg tentunya disana sini banyak
kekurangannya, bila dalam tulisan ini ada kebaikannya hal tersebut tentunya
merupakan sesatu hal yang datanggnya dari Allah Swt. dan hal tidak baiknya itu
merupakan kekeliruan dari penulis, karena itu mohon maaf yang sebesar-
besarnya, mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat bagi kita semua. Amin ya robal
alamin.











16

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Perkawinan adalah sunatullah, atau hukum alam di dunia yang
dilakukan oleh setiap mahluk yang Allah jadikan secara berpasang-
pasanga, sebagaimana firman Allah dalam surat Yasin ayat 36.
Sedangkan dalam undang-undang no 1 tahun 1974 Perkawinan ialah
ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
2. Prinsip-prinsip dalam perkawinan menurut Hukum Islam dan menurut
Undang-Udang Perkawinan, maka dapat dikatakan sejalan dan tidak
ada perbedaan yang prinsipil atau mendasar.
3. Dengan demikian maka maka pasal 2 ayat 1 Undang-undang
Perkawinan ini dapat dipakai sebagai dasar hukum berlakuknya
hukum perkawinan Islam di Indonesia sebagai peraturan-peraturan
khusus disamping peraturan-peraturan umum yang telah diatur dalam
Undang-Undang Perkawinan, untuk wargan negara Indonesia yang
beragama Islam.
B. Saran-saran
1. Penulis mengharapkan agar karya tulis ini dapat menjadi rujukan bagi
mahasiswa STAIN Watampone Khususnya dan Kampus lain
Umumnya.
2. Penulis mengharapkan makalah ini dapat memperkaya perbendaharaan
karya tulis ilmiah di Kabupaten Bone ini.

17

DAFTAR PUSTAKA
www.LBH Jakarta.co.id.
Undang-undang No 1 tahun 1974

Vous aimerez peut-être aussi

  • Bab 1 Acc
    Bab 1 Acc
    Document19 pages
    Bab 1 Acc
    Ali Said
    Pas encore d'évaluation
  • Konsumsi
    Konsumsi
    Document4 pages
    Konsumsi
    Ali Said
    Pas encore d'évaluation
  • Kepenghuluan KLP 2 New-1
    Kepenghuluan KLP 2 New-1
    Document12 pages
    Kepenghuluan KLP 2 New-1
    Ali Said
    Pas encore d'évaluation
  • Proposal Skripsi
    Proposal Skripsi
    Document23 pages
    Proposal Skripsi
    Ali Said
    Pas encore d'évaluation
  • Kepenghuluan Zahran Ramadhan - Salin
    Kepenghuluan Zahran Ramadhan - Salin
    Document9 pages
    Kepenghuluan Zahran Ramadhan - Salin
    Ali Said
    Pas encore d'évaluation
  • Perbankan
    Perbankan
    Document29 pages
    Perbankan
    Ali Said
    Pas encore d'évaluation
  • Bab Ii
    Bab Ii
    Document9 pages
    Bab Ii
    Ali Said
    Pas encore d'évaluation
  • Makalah Perceraian klp11
    Makalah Perceraian klp11
    Document27 pages
    Makalah Perceraian klp11
    Ali Said
    Pas encore d'évaluation
  • Hukum Perwakafan Di Indonesia PDF
    Hukum Perwakafan Di Indonesia PDF
    Document205 pages
    Hukum Perwakafan Di Indonesia PDF
    Prince Ariez Saputra
    Pas encore d'évaluation
  • Bab Iv
    Bab Iv
    Document2 pages
    Bab Iv
    Ali Said
    Pas encore d'évaluation
  • Kelompok 10
    Kelompok 10
    Document18 pages
    Kelompok 10
    Ali Said
    Pas encore d'évaluation
  • Filsafat Ibadah
    Filsafat Ibadah
    Document11 pages
    Filsafat Ibadah
    Ali Said
    Pas encore d'évaluation
  • Bab I-1
    Bab I-1
    Document24 pages
    Bab I-1
    Ali Said
    Pas encore d'évaluation
  • Bab II Kajian Pustaka
    Bab II Kajian Pustaka
    Document28 pages
    Bab II Kajian Pustaka
    Ali Said
    Pas encore d'évaluation
  • Bab Iv
    Bab Iv
    Document99 pages
    Bab Iv
    Ali Said
    100% (1)
  • Bab V Penutup
    Bab V Penutup
    Document2 pages
    Bab V Penutup
    Ali Said
    Pas encore d'évaluation
  • Bab III Metode Penelitian
    Bab III Metode Penelitian
    Document7 pages
    Bab III Metode Penelitian
    Ali Said
    Pas encore d'évaluation
  • Bab IV Hasil Penelitian Dan Pembahasan
    Bab IV Hasil Penelitian Dan Pembahasan
    Document24 pages
    Bab IV Hasil Penelitian Dan Pembahasan
    Ali Said
    Pas encore d'évaluation
  • Chapter II
    Chapter II
    Document20 pages
    Chapter II
    Ali Said
    Pas encore d'évaluation
  • Bab I Pendahuluan
    Bab I Pendahuluan
    Document10 pages
    Bab I Pendahuluan
    Ali Said
    Pas encore d'évaluation
  • Sampul
    Sampul
    Document1 page
    Sampul
    Ali Said
    Pas encore d'évaluation
  • Waris Menurut Islam
    Waris Menurut Islam
    Document115 pages
    Waris Menurut Islam
    Sangpencinta Queen
    Pas encore d'évaluation
  • Bab I
    Bab I
    Document23 pages
    Bab I
    Ali Said
    Pas encore d'évaluation
  • Chapter II
    Chapter II
    Document20 pages
    Chapter II
    Ali Said
    Pas encore d'évaluation
  • Brunei Makalah
    Brunei Makalah
    Document18 pages
    Brunei Makalah
    Ali Said
    Pas encore d'évaluation
  • Bab I2
    Bab I2
    Document2 pages
    Bab I2
    Ali Said
    Pas encore d'évaluation
  • BAB I Nila
    BAB I Nila
    Document26 pages
    BAB I Nila
    Ali Said
    Pas encore d'évaluation
  • Draft Skripsi
    Draft Skripsi
    Document22 pages
    Draft Skripsi
    Ali Said
    Pas encore d'évaluation
  • BAB I Sam
    BAB I Sam
    Document20 pages
    BAB I Sam
    Ali Said
    Pas encore d'évaluation
  • Brunei Makalah
    Brunei Makalah
    Document5 pages
    Brunei Makalah
    Ali Said
    Pas encore d'évaluation