Vous êtes sur la page 1sur 15

Menua (menjadi tua) adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri

dan mempertahankan struktur dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang terjadi (Boedi, 2006) Pemberian obat atau terapi untuk kaum lansia, memang banyak masalahnya, karena beberapa obat sering beinteraksi. Kondisi patologi pada golongan usia lanjut, cenderung membuat lansia mengkonsumsi lebih banyak obat dibandingkan dengan pasien yang lebih muda sehingga memiliki risiko lebih besar untuk mengalami efek samping dan interaksi obat yang merugikan (Anonim, 2004). Penyakit pada usia lanjut sering terjadi pada banyak organ sehingga pemberian obat sering terjadi polifarmasi. Polifarmasi berarti pemakaian banyak obat sekaligus pada seorang pasien, lebih dari yang dibutuhkan secara logis-rasional dihubungkan dengan diagnosis yang diperkirakan. Diantara demikian banyak obat yang ditelan pasti terjadi interaksi obat yang sebagian dapat bersifat serius dan sering menyebabkan hospitalisasi atau kematian. Kejadian ini lebih sering terjadi pada pasien yang sudah berusia lanjut yang biasanya menderita lebih dari satu penyakit. Penyakit utama yang menyerang lansia ialah hipertensi, gagal jantung dan infark serta gangguan ritme jantung, diabetes mellitus, gangguan fungsi ginjal dan hati. Selain itu, juga terjadi keadaan yang sering mengganggu lansia seperti gangguan fungsi kognitif, keseimbangan badan, penglihatan dan pendengaran. Semua keadaan ini menyebabkan lansia memperoleh pengobatan yang banyak jenisnya(Darmansjah, 1994). KONSEP DASAR PEMAKAIAN OBAT Ada tiga faktor yang menjadi acuan dasar dalam pembuatan atau peresepan obat Diagnosis dan patofisiologi penyakit Kondisi organ tubuh Farmakologi klinik obat (Boedi, 2006) Setelah dokter mendiagnosis penyakit pasien, maka sebelum penentuan obat yang dibeikan perlu dipertimbangkan kondisi organ tubuh serta farmakologi dari obat yang akan diresepkan. Pada usia lanjut banyak hal-hal yang lainnya yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan obat, karena pada golongan lansia berbagai perubahan fisiologik pada organ dan sistema tubuh akan mempengaruhi tanggapan tubuh terhadap obat. Adapun prinsip umum penggunaan obat pada usia lanjut : 1. Berikan obat hanya yang betul-betul diperlukan artinya hanya bila ada indikasi yang tepat. Bila diperlukan efek plasebo berikan plasebo yang sesungguhnya 2. Pilihlah obat yang memberikan rasio manfaat yang paling menguntungkandan tidak berinteraksi dengan obat yang lain atau penyakit lainnya

3. Mulai pengobatan dengan dosis separuh lebih sedikit dari dosis yang biasa diberikan pada orang dewasa yang masih muda. 4. Sesuaikan dosis obat berdasarkan dosis klinik pasien, dan bila perlu dengan memonitor kadar plasma pasien. Dosis penuNjang yang tepat umumnya lebih rendah. 5. Berikan regimen dosis yang sederhana dan sediaan obat yang mudah ditelan untuk memelihara kepatuhan pasien 6. Periksa secara berkala semua obat yang dimakan pasien, dan hentikan obat yang tidak diperlukan lagi (Manjoer, 2004) FARMAKOKINETIK Pada usia lanjut perubahan terjadi pada saluran cerna yang diduga mengubah absorbsi obat, misalnya meningkatnya pH lambung, menurunnya aliran darah ke usus akibat penurunan curah jantung dan perubahan waktu pengosongan lambung dan gerak saluran cerna. Oleh karena itu, kecepatan dan tingkat absorbsi obat tidak berubah pada usia lanjut, kecuali pada beberapa obat seperti fenotain, barbiturat, dan prozasin (Bustami, 2001). Pada distribusi obat terdapat hubungan antara penyebaran obat dalam cairan tubuh dan ikatannya dengan protein plasma (biasanya dengan albumin, tetapi pada beberapa obat dengan protein lain seperti asam alfa 1 protein), dengan sel darah merah dan jaringan tubuh termasuk organ target. Pada usia lanjut terdapat penurunan yang berarti pada massa tubuh tanpa lemak dan cairan tubuh total, penambahan lemak tubuh dan penurunan albumin plasma. Penurunan albumin sedikit sekali terjadi pada lansia yang sehat dapat lebih menjadi berarti bila terjadi pada lansia yang sakit, bergizi buruk atau sangat lemah. Selain itu juga dapat menyebabkan meningkatnya fraksi obat bebas dan aktif pada beberapa obat dan kadang-kadang membuat efek obat lebih nyata tetapi eliminasi lebih cepat. Munculnya efek obat sangat ditentukan oleh kecapatan penyerapan dan cara penyebarannya. Durasi (lama berlangsungnya efek) lebih banyak dipengaruhi oleh kecepatan ekskresi obat terutama oleh penguraian di hati yang biasanya membuat obat menjadi lebih larut dalam air dan menjadi metabolit yang kurang aktif atau dengan ekskresi metabolitnya oleh ginjal. Sejumlah obat sangat mudah diekskresi oleh hati, antara lain melalui ambilan (uptake) oleh reseptor dihati dan melalui metabolisme sehingga bersihannya tergantung pada kecepatan pengiriman ke hati oleh darah. Pada usia lanjut, penurunan aliran darah ke hati dan juga kemungkinan pengurangan ekskresi obat yang tinggi terjadi pada labetolol, lidokain, dan propanolol. Efek usia pada ginjal berpengaruh besar pada ekskresi beberapa obat. Umumnya obat diekskresi melalui filtrasi glomerolus yang sederhana dan kecepatan ekskresinya berkaitan dengan kecepatan filtrasi glomerolus (oleh karena itu berhubungan juga dengan bersihan kreatinin). Misalnya digoksin dan antibiotik golongan aminoglikosida. Pada usia lanjut, fungsi ginjal berkurang, begitu juga dengan aliran darah ke ginjal sehingga kecepatan filtrasi glomerolus berkurang sekitar 30 % dibandingkan pada orang yang lebih muda. Akan tetapi,

kisarannya cukup lebar dan banyak lansia yang fungsi glomerolusnya tetap normal. Fungsi tubulus juga memburuk akibat bertambahnya usia dan obat semacam penicilin dan litium, yang secara aktif disekresi oleh tubulus ginjal, mengalami penurunan faali glomerolus dan tubulus (Bustami, 2001). INTERAKSI FARMAKOKINETIK 1. Fungsi Ginjal Perubahan paling berarti saat memasuki usia lanjut ialah berkurangnya fungsi ginjal dan menurunnya creatinine clearance, walaupun tidak terdapat penyakit ginjal atau kadar kreatininnya normal. Hal ini menyebabkan ekskresi obat sering berkurang, sehingga memperpanjang intensitas kerjanya. Obat yang mempunyai half-life panjang perlu diberi dalam dosis lebih kecil bila efek sampingnya berbahaya. Dua obat yang sering diberikan kepada lansia ialah glibenklamid dan digoksin. Glibenklamid, obat diabetes dengan masa kerja panjang (tergantung besarnya dosis) misalnya, perlu diberikan dengan dosis terbagi yang lebih kecil ketimbang dosis tunggal besar yang dianjurkan produsen. Digoksin juga mempunyai waktu-paruh panjang dan merupakan obat lansia yang menimbulkan efek samping terbanyak di Jerman karena dokter Jerman memakainya berlebihan, walaupun sekarang digoksin sudah digantikan dengan furosemid untuk mengobati payah jantung sebagai first-line drug (Darmansjah, 1994). Karena kreatinin tidak bisa dipakai sebagai kriteria fungsi ginjal, maka harus digunakan nilai creatinine-clearance untuk memperkirakan dosis obat yang renal-toxic, misalnya aminoglikoside seperti gentamisin. Penyakit akut seperti infark miokard dan pielonefritis akut juga sering menyebabkan penurunan fungsi ginjal dan ekskresi obat. Dosis yang lebih kecil diberikan bila terjadi penurunan fungsi ginjal, khususnya bila memberi obat yang mempunyai batas keamanan yang sempit. Alopurinol dan petidin, dua obat yang sering digunakan pada lansia dapat memproduksi metabolit aktif, sehingga kedua obat ini juga perlu diberi dalam dosis lebih kecil pada lansia. 2. Fungsi Hati Hati memiliki kapasitas yang lebih besar daripada ginjal, sehingga penurunan fungsinya tidak begitu berpengaruh. Ini tentu terjadi hingga suatu batas. Batas ini lebih sulit ditentukan karena peninggian nilai ALT tidak seperti penurunan creatinine-clearance. ALT tidak mencerminkan fungsi tetapi lebih merupakan marker kerusakan sel hati dan karena kapasitas hati sangat besar, kerusakan sebagian sel dapat diambil alih oleh sel-sel hati yang sehat. ALT juga tidak bisa dipakai sebagai parameter kapan perlu membatasi obat tertentu. Hanya anjuran umum bisa diberlakukan bila ALT melebihi 2-3 kali nilai normal sebaiknya mengganti obat dengan yang tidak dimetabolisme oleh hati. Misalnya pemakaian methylprednisolon, prednison dimetabolisme menjadi prednisolon oleh hati. Hal ini tidak begitu perlu untuk dilakukan bila dosis prednison normal atau bila hati berfungsi normal. Kejenuhan metabolisme oleh hati bisa terjadi bila diperlukan bantuan hati untuk metabolisme dengan obat-obat tertentu.

First-pass effect dan pengikatan obat oleh protein (protein-binding) berpengaruh penting secara farmakokinetik. Obat yang diberikan oral diserap oleh usus dan sebagian terbesar akan melalui Vena porta dan langsung masuk ke hati sebelum memasuki sirkulasi umum. Hati akan melakukan metabolisme obat yang disebut first-pass effect dan mekanisme ini dapat mengurangi kadar plasma hingga 30% atau lebih. Kadar yang kemudian ditemukan dalam plasma merupakan bioavailability suatu produk yang dinyatakan dalam prosentase dari dosis yang ditelan. Obat yang diberikan secara intra-vena tidak akan melalui hati dahulu tapi langsung masuk dalam sirkulasi umum. Karena itu untuk obat-obat tertentu yang mengalami first-pass effect dosis IV sering jauh lebih kecil daripada dosis oral. Protein-binding juga dapat menimbulkan efek samping serius. Obat yang diikat banyak oleh protein dapat digeser oleh obat lain yang berkompetisi untuk ikatan dengan protein seperti aspirin, sehingga kadar aktif obat pertama meninggi sekali dalam darah dan menimbulkan efek samping. Warfarin, misalnya, diikat oleh protein (albumin) sebanyak 99% dan hanya 1% merupakan bagian yang bebas dan aktif. Proses redistribusi menyebabkan 1% ini dipertahankan selama obat bekerja. Bila kemudian diberi aspirin yang 80-90% diikat oleh protein, aspirin menggeser ikatan warfarin kepada protein sehingga kadar warfarin-bebas naik mendadak, yang akhirnya menimbulkan efek samping perdarahan spontan. Aspirin sebagai antiplatelet juga akan menambah intensitas perdarahan. Hal ini juga dapat terjadi pada aspirin yang mempunyai waktu-paruh plasma hanya 15 menit. Sebagian besar mungkin tidak berpengaruh secara klinis, tetapi untuk obat yang batas keamanannya sempit dapat membahayakan penderita (Boestami, 2001) FARMAKODINAMIK Farmakodinamik adalah pengaruh obat terhadap tubuh. Respon seluler pada lansia secara keseluruhan akan menurun. Penurunan ini sangat menonjol pada respon homeostatik yang berlangsung secara fisiologis. Pada umumnya obat-obat yang cara kerjanya merangsang proses biokimia selular, intensitas pengaruhnya akan menurun misalnya agonis untuk terapi asma bronkial diperlukan dosis yang lebih besar, padahal jika dosisnya besar maka efek sampingnya akan besar juga sehingga index terapi obat menurun. Sedangkan obat-obat yang kerjanya menghambat proses biokimia seluler, pengaruhnya akan terlihat bila mekanisme regulasi homeostatis melemah (Boedi, 2006) INTERAKSI FARMAKODINAMIK Interkasi farmakodinamik pada usia lanjut dapat menyebabkan respons reseptor obat dan target organ berubah, sehingga sensitivitas terhadap efek obat menjadi lain. Ini menyebabkan kadang dosis harus disesuaikan dan sering harus dikurangi. Misalnya opiod dan benzodiazepin menimbulkan efek yang sangat nyata terhadap susunan saraf pusat. Benzodiazepin dalam dosis normal dapat menimbulkan rasa ngantuk dan tidur berkepanjangan. Antihistamin sedatif seperti klorfeniramin (CTM) juga perlu diberi dalam dosis lebih kecil (tablet 4 mg memang terlalu besar) pada lansia. Mekanisme terhadap baroreseptor biasanya kurang sempurna pada usia lanjut, sehingga obat antihipertensi seperti prazosin, suatu 1 adrenergic blocker, dapat menimbulkan hipotensi

ortostatik; antihipertensi lain, diuretik furosemide dan antidepresan trisiklik dapat juga menyebabkannya (Darmansjah, 1994) DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2006, Terapi pada Usia Lanjut http://pojokapoteker.blogspot.com/2008/12/terapi-pada-usia-lanjut-geriatri.html ,diakses 14 Maret 2009 Anonim, 2004, Bagi Kaum Lansia Obat tidak Selalu Menjadi Sahabat http://www.pikiranrakyat.com/cetak/0804/01/index.htm.. Diakses tanggal 14 Maret 2009 Bustami,Z.S. 2001. Obat Untuk Kaum Lansia. Edisi kedua. Penerbit ITB. Bandung Darmojo-Boedi, Martono Hadi (editor). 2006. Buku Ajar Geriatri. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran UI. Jakarta Darmansjah, Iwan, Prof. 1994. Jurnal Ilmiah : Polifarmasi pada Usia Lanjut. Diakses tanggal 14 Maret 2009 Manjoer, Arif M, 2000, Kapita Selekta Kedokteran, 12, Media Aesculapius, Jakarta. (Geriatri),

. Sayangnya, pengelompokan dosis obat hanya sebatas usia dewasa saja. Ada satu kelompok yang terlupakan, yaitu lansia. Usia lanjut merupakan kelompok yang mesti mendapatkan perhatian khusus dalam berbagai hal, termasuk soal kesehatan. Populasi mereka yang berusia lebih dari 65 tahun sekitar 75%. Sekitar 25% diantaranya, sudah mengalami penurunan kualitas dalam aktvitas yang sifatnya instrumental seperti bertransportasi, belanja, memasak, memakai telepon, meminum obat sendiri dan sebagainya. Selain itu, terdapat juga penurunan kualitas dalam aktivitas seharihari seperti mandi, memakai baju, makan, buang air. Keluhan kesehatan pada lansia seringkali atipikal sehingga sulit dimengerti. Kelainan pada satu sistem organ bisa jadi sebenarnya akibat kelainan pada sistem organ yang lain. Tak heran bila pelayanan kesehatan pada lansia membutuhkan perubahan yang signifikan dalam pendekatan medis dibandingkan pasien usia muda. Penyakit-penyakit pada lansia umumnya merupakan stadium awal yang sangat mudah menimbulkan gejala akibat mekanisme homeostatik tubuh yang sudah terganggu. Berbagai penyakit yang umum terjadi pada lansia antara lain demensia, kepribadian dependent, imobilitas, depresi, hipertensi, stroke, kanker, osteoporosis, inkontinensia urin, penurunan berat badan dan malnutrisi, gangguan pendengaran dan penglihatan dan sebagainya. Jadi, wajar pasien lansia sangat membutuhkan pendekatan khusus dan perhatian lebih matang terutama saat merencanakan terapi farmakologis. Memahami tujuan pasien berobat akan membantu dokter agar fokus pada inti permasalahan dan tujuan terapi pada pasien lansia.

Perubahan Farmakokinetik dan Farmakodinamik


Pengetahuan yang mesti diketahui dalam memberikan pengobatan ialah pengetahuan mengenai farmakokinetik dan farmakodinamik obat dalam tubuh. Hal tersebut biasanya berkaitan dengan usia pasien yang dikelompokkan menjadi bayi, balita, anak-anak dan remaja/dewasa. Pengelompokkan itu bertujuan untuk mempermudah dokter dalam mengukur tingkat farmakokinetik dan farmakodinamik obat dalam tubuh seseorang sehingga obat yang diberikan pada pasien menjadi efektif untuk penyembuhan dan tidak memiliki efek samping/ toksisitas. Biasanya dalam kemasan obat yang beredar di pasaran saat ini, sudah dicantumkan dosis pemberian normal. Akan tetapi, sayangnya dalam kemasan obat tersebut baik di Indonesia maupun di negara lain, pengelompokkan dosis hanya sebatas hingga usia dewasa saja, melupakan satu kelompok terakhir yakni lansia. Akibatnya pasien lansia ini walaupun diberikan obat dalam dosis normal seperti dosis orang dewasa malah dapat berefek toksisitas. Oleh karena itu, dalam artikel ini topik yang akan dibahas ialah peresepan pada pasien lansia.

Bertambahnya usia akan menyebabkan perubahan-perubahan farmakokinetik dan farmakodinamik. Perubahan ini akan menyebabkan gangguan pada metabolisme obat terutama akibat penurunan fungsi ginjal (filtrasi glomerulus dan sekresi tubuli) dan penurunan bersihan hepatik. Penurunan filtrasi glomerulus sekitar 30% pada usia 65 tahun. Perubahan farmakokinetik lainnya adalah penurunan aktivitas enzim mikrosom, berkurangnya kadar albumin plasma (sehingga dapat meningkatkan kadar obat bebas), pengurangan berat badan dan cairan tubuh serta penambahan lemak tubuh (sehingga dapat mengubah distribusi obat), berkurangnya perfusi hepatik karena penuaan, dan berkurangnya absorpsi aktif. Hasil dari semua perubahan ini adalah kadar obat yang lebih tinggi dan bertahan lebih lama dalam darah dan jaringan. Waktu paruh obat dapat meningkat sampai 50%. Perubahan faktor-faktor farmakodinamik yakni peningkatan sensitivitas reseptor, terutama reseptor di otak (terhadap obat-obat yang bekerja sentral) dan penurunan mekanisme homeostatik, misalnya homeostatik kardiovaskular (terhadap obat-obat antihipertensi). Selain faktor perubahan-perubahan farmakokinetik dan farmakodinamik, adanya berbagai penyakit pada usia lanjut juga dapat berpengaruh pada konsumsi obat tertentu. Pasien lansia dengan kondisi kronis multiple seringkali mendapatkan banyak obat termasuk obat yang tidak diresepkan (seperti vitamin, dan obat jual bebas lainnya). Pemakaian banyak obat tersebut dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya interaksi obat. Akibatnya seringkali terjadi respon yang berlebihan atau efek toksik serta berbagai efek samping. Prinsip umum peresepan obat pada lansia, yaitu: pertama, obat hanya diberikan apabila ada indikasi yang tepat. Bila diperlukan efek plasebo, berikan plasebo sesungguhnya (yang tidak mengandung bahan aktif). Kedua, pilih obat yang memberikan rasio manfaat-risiko paling menguntungkan bagi pasien lansia (misalnya bila diperlukan hipnotik, jangan digunakan barbiturate) dan tidak berinteraksi dengan obat lain atau penyakit lain pada pasien yang bersangkutan. Ketiga, mulailah dengan dosis separuh lebih sedikit dari dosis yang biasa diberikan kepada pasien dewasa muda. Selanjutnya dosis obat disesuaikan berdasarkan respon klinik pasien dan bila perlu dengan memonitor kadar obat dalam plasma pasien. Dosis penunjang yang tepat pada umumnya lebih rendah daripada dosis untuk pasien dewasa muda. Keempat, berikan regimen dosis yang sederhana (yang ideal 1x sehari) dan sediaan obat yang mudah ditelan (sebaiknya sirop atau tablet yang dilarutkan dalam air) untuk memelihara kepatuhan pasien. Kelima, periksa secara berkala semua obat yang dimakan pasien dan hentikan obat yang tidak diperlukan lagi. Besarnya dosis dapat diperkirakan dari berat badan pasien, indeks terapi obat dan cara eliminasi obat. Untuk obat-obat yang eliminasi utamanya melalui ekskresi ginjal (misalnya digoksin, aminoglikosida dan klorpropamid) besarnya penurunan dosis dapat diperhitungkan berdasarkan

besarnya penurunan bersihan kreatinin pasien. Sedangkan untuk obat-obat lain, besarnya penurunan dosis hanya dikira-kira saja berdasarkan educated guess.

Beberapa contoh obat yang mesti diperhatikan


Digoksin. Obat ini dapat menyebabkan respon intoksikasi akibat filtrasi glomerulus yang berkurang, penurunan berat badan (indeks massa tubuh) terhadap distribusi obat, adanya gangguan elektrolit pada lansia dan penyakit kardiovaskular yang lanjut. Antihipertensi (terutama penghambat adrenergik). Efek toksisitas obat ini dapat mengakibatkan sinkope akibat hipotensi postural dan insufisiensi koroner karena penurunan mekanisme homeostatik kardiovaskular pada lansia. Diuretik (tiazid, furosemid). Efek toksisitas pada obat ini dapat mengakibatkan hipotensi, hipokalemia, hipovolemia, hiperglikemia dan hiperurikemia. Efek tersebut berkaitan dengan berat badan pada pasien lansia yang sudah sangat berkurang, penurunan fungsi ginjal dan penurunan mekanisme homeostatik kardiovaskular. Obat-obat glaukoma seperti beta bloker topikal dan asetazolamid dapat mengakibatkan efek samping sistemik seperti bradikardi, asma dan gagal jantung. Sementara anti emetik seperti metoklopramid dan proklorperazin dapat mengakibatkan drug-induced parkinsonism. Antikoagulan. Efek toksisitas obat ini dapat menyebabkan perdarahan akibat penurunan respon homeostatik vaskular pada pasien lansia. Barbiturat dapat menyebabkan kebingungan mental (gelisah sampai psikosis). Diazepam, nitrazepam dan flurazepam dapat meningkatkan depresi pada Susunan Saraf Pusat (SSP). Fenotiazin dapat menyebabkan hipotensi postural, hipotermia dan reaksi koreiform. Triheksifenidil dapat menyebabkan kebingungan mental, halusinasi, konstipasi dan retensi urin. Respon berlebihan pada obat ini terjadi akibat peningkatan sensitivitas otak terhadap obat-obat tersebut, penurunan metabolisme obat-obat tersebut di hepar serta penurunan eliminasi obat. Isoniazid juga termasuk obat yang dimetabolisme di hati. Oleh karena itu harus diwaspadai pula sebab dapat mengakibatkan hepatotoksisitas. Obat lainnya yang harus diperhatikan antara lain antibiotik seperti penisilin dalam dosis besar, aminoglikosida, streptomisin dan tetrasiklin, klorpropamid serta simetidin . Streptomisin yang berlebihan dalam tubuh akan memberikan respon berupa ototoksisitas, sementara klorpropamid akan mengakibatkan hipoglikemia. Semua obat ini dikaitkan dengan penurunan fungsi ginjal pada lansia sehingga sulit diekskresi melalui ginjal. (Tiar)
http://www.majalah-farmacia.com/rubrik/one_news.asp?IDNews=1056

POLIFARMASI PADA LANSIA


24 May 2011 Leave a Comment by Lydentlya in Uncategorized Peresepan obat pada lanjut usia (lansia) merupakan salah satu masalah yang penting, karena dengan bertambahnya usia akan menyebabkan perubahan-perubahan farmakokinetik dan farmakodinamik. Pemakaian obat yang banyak (polifarmasi), lebih sering terjadi efek samping, interaksi, toksisitas obat, dan penyakit iatrogenik, lebih sering terjadi peresepan obat yang tidak sesuai dengan diagnosis penyakit dan berlebihan, serta ketidakpatuhan menggunakan obat sesuai dengan aturan pemakaiannya (inadherence). Dari data yang diperoleh, peresepan obat pada lansia berkisar sepertiga dari semua peresepan dan separuh dari obat yang dibeli tanpa resep digunakan oleh lansia. Secara keseluruhan, 80 % dari lansia setiap hari menggunakan paling sedikit satu jenis obat. Dengan semakin meningkatnya jumlah lansia maka masalah peresepan obat pada lansia akan menjadi masalah yang sangat perlu diperhatikan atau perlu mendapat perhatian khusus. Peresepan Obat Yang Rasional Menurut World Health Organization (1985) bahwa yang termasuk dalam peresepkan obat yang rasional adalah jika penderita yang mendapat obat-obatan sesuai dengan diagnosis penyakitnya, dosis dan lama pemakaian obat yang sesuai dengan kebutuhan pasien, serta biaya yang serendah mungkin yang dikeluarkan pasien maupun masyarakat untuk memperoleh obat. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka di dalam meningkatkan mutu pengobatan terhadap pasien perlulah diperhatikan hal-hal yang dapat menimbulkan peresepan obat yang tidak rasional pada lansia. Di bawah ini diuraikan beberapa bentuk peresepan obat yang tidak rasional pada lansia, yaitu : 1. Meresepkan obat dengan boros (extravagantly drug prescribing) : hal ini terjadi karena meresepkan obat yang mahal, sedangkan masih ada obat pilihan lain yang lebih murah dengan manfaat dan keamanan yang sama atau hampir sama. Termasuk juga disini berupa pemberian obat-obat yang hanya mengurangi gejala-gejala dan tanda-tanda tanpa memperhatikan penyebab penyakit yang lebih penting. 2. Meresepkan obat secara berlebihan (over drug prescribing) : hal ini terjadi jika dosis, lama pemberian, jumlah/jenis obat yang diresepkan melebihi dari yang diperlukan, termasuk juga disini meresepkan obat-obat yang sebenarnya tidak diperlukan untuk pengobatan penyakitnya. 3. Meresepkan obat yang salah (incorrect drug prescribing) : hal ini terjadi akibat menggunakan obat untuk hal-hal yang tidak merupakan indikasi, pemakaian obat tanpa memperhitungkan keadaan lain yang diderita pasien secara bersamaan.

4. Meresepkan obat lebih dari satu jenis (multiple drugs prescribing/polypharmacy): hal ini dapat terjadi pada pemberian dua jenis atau lebih kombinasi obat, sedangkan sebenarnya cukup hanya diperlukan satu jenis obat saja, termasuk pula disini berupa pemberian obat terhadap segala gejala dan tanda-tanda yang timbul, tanpa memberikan obat yang dapat mengatasi penyebab utamanya. 5. Meresepkan obat yang kurang (under drug prescribing) : hal ini dapat terjadi jika obat yang seharusnya diperlukan tidak diberikan, dosis obat yang diberikan tidak mencukupi maupun lama pemberian terlalu singkat dibandingkan dengan yang sebenarnya diperlukan. Masalah Dalam Peresepan Obat Beberapa masalah yang sering timbul dalam peresepan obat pada lansia adalah sebagai berikut : I. Farmakokinetik, Yang meliputi penyerapan, distribusi, metabolisme dan pengeluaran obat. * Penyerapan obat : beberapa hal yang menghambat penyerapan obat pada lansia adalah berkurangnya permukaan lapisan atas usus, berkurangnya gerakan dan aliran darah saluran cerna, berkurangnya keasaman lambung, dan penyakit-penyakit tertentu. Sebaliknya, akibat berkurangnya gerakan saluran cerna menyebabkan lebih lama obat didapati saluran cerna sehingga absorpsinya lebih banyak. Akibat hal-hal tersebut di atas ma ka penyerapan obat hanya sedikit terganggu. * Distribusi obat : dipengaruhi oleh jumlah darah yang dipompakan jantung keseluruh tubuh per menit (curah jantung), kelarutan obat dalam air atau lemak dan keterikatan obat dengan protein. Akibat bertambahnya usia, curah jantung berkurang yang menyebabkan berkurangnya obat yang terikat dengan reseptor yang terdapat di dalam sel. Demikian juga terjadi perubahan komposisi tubuh (berkurangnya cairan dan bertambahnya lemak tubuh) serta berkurangnya massa otot. Mengenai kelarutan obat, ada yang larut dalam air dan ada yang larut dalam lemak. Akibat kurangnya cairan tubuh maka obat yang larut dalam air mempunyai volume distribusi yang lebih sedikit, sehingga kadarnya dalam serum meningkat dan takarannya perlu dikurangi. Sebaliknya, obat yang larut dalam lemak, akibat pertambahan lemak tubuh menyebabkan volume distribusi meningkat, sehingga memperpanjang lamanya obat dalam tubuh. Kadar protein (albumin) yang berkurang pada lansia menyebabkan bertambah sedikit obat yang terikat dengan albumin dan bertambah banyak obat dalam bentuk bebas di dalam serum sehingga efek obat meningkat. *Metabolisme : berkurangnya kecepatan metabolisme pada lansia karena berkurangnya aliran darah ke hati dan fungsi hepatosit serta enzim hati cytochrome P 450. *Pengeluaran: berkurangnya fungsi ginjal untuk mengeluarkan obat dari tubuh pada lansia disebabkan berkurangnya fungsi glomerulus dan tubulus. Sebagai akibatnya, obat -obat

mempunyai durasi yang lebih lama dan kadarnya lebih tinggi di dalam tubuh, sehingga mudah terjadi efek samping dan toksisitas obat. II. Farmakodinamik Perubahan ini berupa gangguan kepekaan target organ terhadap obat yang dikonsumsi pada lansia yang menyebabkan meningkatnya atau berkurangnya efek obat tersebut dibandingkan dengan pada usia yang lebih muda. Hal ini disebabkan gangguan pengikatan obat dengan reseptor dan berkurangnya jumlah reseptor. III. Masalah-masalah khusus. Beberapa masalah khusus perlu diperhatikan di dalam meresepkan obat pada lansia, yaitu : 1. Polifarmasi: lansia cenderung mengalami polifarmasi karena penyakitnya yang lebih dari satu jenis (multipatologi), dan diagnosis tidak jelas. Polifarmasi adalah peresepan 5 jenis atau lebih obat, baik obat makan, salep, injeksi, yang digunakan untuk jangka waktu yang lama (480 hari atau lebih dalam 2 tahun). Adapun lansia yang berisiko tinggi menderita penyakit atau masalah kesehatan sebagai akibat penggunaan obat, yaitu : berusia lebih dari 85 tahun, mendapat 9 jenis atau lebih obat atau lebih 12 dosis obat per hari, menderita 6 jenis atau lebih penyakit kronik yang sedang aktif, terutama gangguan fungsi ginjal. Oleh karena itu, sedapat mungkin hindarilah polifarmasi, khususnya pada yang berisiko tinggi. 2. Takaran obat : akibat perubahan farmakokinetik dan farmakodinamik pada lansia maka takaran obat perlu diberikan serendah mungkin yang masih mempunyai efek untuk menyembuhkan (S!- takaran dewasa yang dianjurkan) dan titrasi secara perlahanlahan setiap 714 hari sampai tercapai efek penyembuhan yang optimal (start low, go slow, but use enough ). Jika ingin mengganti atau mengkombinasi dengan obat lain hendaknya dosis maksimal tercapai dulu dan kurangi jenis obat. 3. Efek samping, interaksi, toksisitas obat dan penyakit iatrogenik (penyakit yang disebabkan obat yang digunakan) didapati hubungan positif antara jumlah obat yang digunakan dan usia dengan risiko terjadinya efek samping, interaksi, toksisitas obat dan penyakit iatrogenik. 4. Ketidakpatuhan menggunakan obat menurut aturan pemakaian, memegang peranan untuk timbulnya efek samping obat. Dalam hal ini, sebaiknya digunakan obat dengan satu kali pemberian per hari. Jika terjadi efek samping obat, sebaiknya obat yang menimbulkan efek samping tadi dihentikan dan jangan ditambahkan obat lain untuk mengatasi efek samping tersebut. Ketidakpatuhan menggunakan obat menurut aturan pemakaian menjadi meningkat dengan bertambah banyaknya jenis obat dan kepikunan. Peresepan Obat Yang Dianjurkan Sehubungan dengan berbagai masalah yang telah diuraikan di atas, untuk mengurangi kejadian terhadap masalah-masalah tersebut maka peresepan obat yang dianjurkan adalah sebagai berikut

: * Gunakan obat seminimal mungkin dan regimen dosis sesederhana mungkin. * Start low, go slow, but use enough. * Gunakan obat yang mempunyai efek samping minimal. * Pengobatan sesuai diagnosis dan hindari pengobatan berdasarkan gejala dan tanda, serta evaluasi kembali obat-obat yang telah diberikan secara berkala. * Jangan tambahkan obat untuk mengatasi efek samping obat lain yang digunakan. * Jika ingin mengganti atau mengkombinasi obat untuk suatu diagnosis, hendaknya dosis maksimal tercapai dulu dan kurangi jumlah obat. * Bentuk sediaan obat yang digunakan yang tepat. * Etiket/label yang digunakan pada obat yang tepat. * Keluarga dan pengasuh perlu dilibatkan dalam pemberian obat. * Biaya obat yang terjangkau, dengan mutu dan keamanan yang terjamin.

Istilah polifarmasi termasuk istilah di bidang kedokteran yang cukup sering didengungkan beberapa tahun belakangan ini, khususnya di Indonesia. Polifarmasi berarti pemakaian banyak obat sekaligus pada seorang pasien, lebih dari yang dibutuhkan secara logis-rasional dihubungkan dengan diagnosis yang diperkirakan. Istilah ini kerap dinilai memiliki makna berlebihan, tidak diperlukan dan sebenarnya sebagian besar dapat dihilangkan tanpa mempengaruhi kondisi pasien dalam hasil pengobatannya. Polifarmasi juga dinilai sebagai salah satu hal yang mubazir karena dinilai berdampak pada membengkaknya biaya pengobatan sang pasien. Namun, dari semua penilaian negatif tentang polifarmasi, alasan kesehatan dan keamanan mengkonsumsi beberapa obat tersebut tetap menjadi hal krusial bagi konsumen, khususnya pasien. Dengan mengkonsumsi beberapa obat, interaksi antarobat akan terjadi dan tidak dapat dipastikan apakah hal tersebut berdampak baik bagi penyembuhan pasien atau justru memperburuk kondisi pasien.

Polifarmasi di Indonesia umumnya terjadi pada pasien berusia lanjut dan pasien anak-anak. Sudah menjadi rahasia umum bahwa orang yang sudah berusia lanjut sangat rentan terhadap komplikasi penyakit seperti jantung, hipertensi, diabetes mellitus, gangguan ginjal dan hati, gangguan pengindraan (penglihatan maupun pendengaran), gangguan fungsi kognitif, dan beberapa penyakit lainnya. Dengan beberapa penyakit yang sering menyerang para lansia, sudah tentu pasien lansia ini mendapatkan pengobatan yang lebih kompleks dan banyak jenisnya. Dalam kondisi itulah polifarmasi mungkin terjadi. Namun, jika semua obat yang dikonsumsi pasien lansia tersebut berdampak positif terhadap penyembuhan penyakitnya, maka istilah polifarmasi tidak berlaku. Beberapa interaksi obat yang penting ialah: cerivastatin dengan gemfibrozil (rhabdomyolisis, kreatin-kinase meningkat), azathioprin dengan alopurinol (sifat sitotoksik azathioprin meningkat 3-4 kali), grapefruit juice (menghambat absorbsi karbamazepin, felodipin, dan simvastatin), St Johns wort merangsang metabolisme warfarin, indinavir, dan cyclosporin; cisapride dengan makrolid, ketokonazol, kinidin, atau grapefruit juice (torsade de pointes dan kematian mendadak), coumarin dengan antiplatelet (perdarahan), dsb. Dengan kondisi demikian, seringkali para konsumen atau pasien dibuat bingung dalam hal mengklasifikasikan apakah keadaan tersebut tergolong polifarmasi atau tidak. Bila ditanyakan jumlah berapa yang dapat dianggap sebagai polifarmasi, sulit dinyatakan dengan angka. Oleh karena itu, pengertian umum sedikit ambigu karena tidak membedakan penggunaan lebih dari satu obat yang memang ditopang dengan bukti penelitian (hipertensi, diabetes, payah jantung) dan tidak dianggap redundant, walaupun interaksi dan efek samping masih merupakan issue. Sehingga dalam arti asalnya terdapat unsur mubazir (tidak perlu dan merugikan) yang memang

merupakan masalah yang ada, karena dalam keadaan multipatologis perlu dipakai lebih banyak obat (diperlukan dan ditopang dengan bukti-bukti). Menurut Pillans dalam tulisannya What is Polypharmacy , risiko merugikan bisa jadi tidak terdeteksi karena berhadapan dengan keadaan lansia yang biasanya pelupa dan lemah. Reaksi merugikan juga bisa diinterpretasikan sebagai kondisi medis sehingga diberikan resep obat lagi. Lain halnya dengan polifarmasi yang terjadi pada pasien anak-anak. tentu kita masih ingat kasus yang marak sekitar bulan Februari 2009 lalu tentang polemik seputar puyer. Di Indonesia, puyer termasuk bentuk obat yang popular, terutama bagi anak-anak yang sulit menelan pil, kaplet atau bentuk obat lainnya. Dengan menghancurkan pil, kaplet, atau tablet tersebut sehingga menjadi bubuk halus, maka pasien bayi, balita maupun anak-anak akan lebih mudah untuk mengkonsumsi obatnya. Namun, polemik terjadi ketika kehigienisan pembuatan puyer tersebut dipertanyakan. Tim liputan RCTI kala itu secara eksklusif menayangkan bagaimana apoteker mencampur atau menumbuk obat di wadah yang masih berisi sisa tumbukan obat lain. bahkan, kesemua peralatan yang digunakan dalam mencampur obat dapat dikatakan tidak higienis. Permasalahan kemudian merembet hingga menyentuk hal yang lebih substansial yaitu masalah keamanan puyer bagi pasien bayi, balita, dan anak-anak serta rasional tidaknya pengaturan resep pada puyer tersebut karena mayoritas puyer adalah campuran banyak jenis obat. Dari sinilah isu

polifarmasi kembali berhembus. dr Purnawari S Pujiarto, SpAK mengungkapkan betapa praktik peresepan polifarmasi banyak diberikan untuk pasien anak-anak dengan sakit yang umum, seperti diare, panas, batuk-pilek, dan masalah infeksi saluran pernapasan. Kebetulan polifarmasi itu diberikan dalam bentuk puyer. Bahkan ia mengungkapkan fakta mengejutkan di mana ada anak usia belasan bulan dengan demam karena flu diberi resep campuran sampai 12 jenis obat, termasuk antibiotik dan obat penenang. Padahal, menurut Purnamawati, 95 persen anak dengan sakit yang umum cukup diberi satu-dua macam obat saja. Polifarmasi bukan saja merupakan pemborosan biaya kesehatan, juga dapat menimbulkan efek samping yang dapat berbahaya bagi bayi atau anak-anak. Kendati polifarmasi masih sering terjadi dan kita tidak dapat mengetahui secara pasti apakah polifarmasi tersebut terjadi atau tidak, yang penting untuk kita perhatikan adalah bagaimana mengelola pengobatan yang kita lakukan. Menurut Pillans, ada beberapa langkah yang dapat diterapkan untuk memanajemen polifarmasi, antara lain : Pencegahan

Hanya mengkonsumsi obat jika ada bukti yang kuat bahwa pasien benar-benar dalam keadaan membutuhkan pengobatan. Hindari mengkonsumsi obat untuk keadaan yang bisa disembuhkan tanpa obat Review pengobatan secara rutin Me-review catatan penggunaan obat sangat penting bagi pasien untuk menjalani beberapa pengobatan. Review tersebut meliputi terapi yang sedang dijalani maupun yang akan dijalani, efek samping, interaksi, dosis, formulasi obat, dan berapa lama akan dilakukan. Pendekatan non-farmasi Gunakan gaya hidup sehat untuk mengukur kapan perlunya tindakan pengobatan Komunikasi Komunikasi dengan tenaga kesehatan penting bagi pasien, terutama mengenai ekspektasi, kesulitan dalam pengobatan dan kemampuan pasien untuk memenuhi aturan pengobatan. Sederhanakan Pertimbangkan kemungkinan sekecil apapun untuk dosis yang paling kecil, interval dan pengurangan dosis sepanjang itu tepat.

Dengan menerapkan langkah-langkah tersebut, diharapkan dampak dari polifarmasi yang merugikan pasien dapat diminimalisasi.

Vous aimerez peut-être aussi