Vous êtes sur la page 1sur 13

KAJIAN IMPLIKATUR DALAM KEHIDUPAN BERBAHASA

(Makalah disusun untuk memenuhi tugas matakuliah Semantik)

Dosen Pengampu: Dr. Marjoko Idris, MA

Oleh: Nur Nissa Nettiyawati 1320410213

KONSENTRASI PENDIDIKAN BAHASA ARAB PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ISLAM PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA 2013

A. PENDAHULUAN Seorang manusia hidup secara sosial, mereka tidak hidup secara mandiri. Setiap ada manusia satu di suatu wilayah atau tempat, pasti terdapat manusia yang lainnya. Keadaan ini yang mengharuskan manusia untuk saling berhubungan antara satu dengan yang lainnya. Hubungan manusia dengan yang lainnya menyangkut banyak persoalan, semisal; perdagangan, penawaran jasa, bisnis, bahkan percakapan yang dianggap sepeleh. Dengan begitu manusia tidak dapat dihindarkan dari yang namanya bahasa. Bahasa telah ada jauh sejak manusia dilahirkan. Karena dalam sebuah komunitas atau populasi, bahasa menjadi hal yang urgen sebagai alat penyampai maksud, tujuan dan keinginan seseorang kepada orang yang lain. Percakapan antara manusia satu dengan yang lain sangat intens dilakukan. Hampir dalam setiap aktivitas kehidupan manusia selalu memerlukan orang lain sebagai lawan berkomunikasi. Berbicara perihal bahasa sebagai alat penyampai maksud, tujuan dan keinginan seseorang kepada orang lain. Banyak sekali kajiankajian yang membahas segala sesuatu yang berhubungan dengan bahasa. Semisal: semantik; kajian bahasa yang membahas mengenai makna, morfologi; kajian bahasa yang mempelajari mengenai kosakata bahasa, fonologi; kajian yang mengkaji tentang pengucapan suatu lafal bahasa, dan masih banyak yang lainnya. Bahasa merupakan alat pertukaran informasi. Namun, kadang-kadang informasi yang dituturkan oleh komunikator memiliki maksud terselubung. Oleh karena itu, karena itulah setiap manusia harus memahami maksud dan makna tuturan yang diucapkan oleh lawan tuturnya. Bukan hanya memehami kalimat yang diungkapkan tetapi juga memahami konteks dalam penuturannya. Persoalan seperti ini dikaji dengan menggunakan pragmatik. Salah satu kajian keilmuan bahasa. Pragmatik lebih memfokuskan pembahasannya mengenai fungsi ujaran atau bahasa. Dalam pragmatik dikenal dengan istilah implikatur. Implikatur ialah ujaran atau ugkapan yang menyiratkan sesuatu yang berbeda dengan yang sebenarnya diucapkan. Kajian implikatur dianggap penting karena terikat konteks untuk menjelaskan maksud implisit dari tindak tutur penuturnya. Dengan demikian praanggapan lawan tutur bermacam-macam bergantung pada referensi

dan pemahaman konteks yang dimilikinya untuk membuat inferensi terhadap implikatur dari seorang penutur. Pada suatu tindak percakapan, setiap bentuk tuturan (ulterance) pada dasarnya mengimplikasikan sesuatu. Implikasi tersebut adalah maksud atau proposisi yang biasanya tersembunyi di balik tuturan yang diucapkan dan bukan merupakan bagian langsung dari tuturan tersebut1. Pada gejala demikian, apa yang dituturkan berbeda dengan apa yang diimplikasikan.

B. PEMBAHASAN 1. Pengertian Implikatur Implikatur merupakan salah satu bagian dalam pragmatik. Menurut Brown dan Yule istilah implikatur dipakai untuk menerangkan apa yang mungkin diartikan, disarankan, atau dimaksudkan oleh penutur yang berbeda dengan apa yang sebenarnya yang dikatakan oleh penutur2. Pendapat seperti itu memilki arti bahwa suatu makna yang berbeda dengan makna tuturan secara harfiah. Grice, H. P., berpendapat bahwa sebuah implikatur merupakan sebuah proposisi yang diimplikasikan melalui ujaran dari sebuah kalimat dalam suatu konteks, sekalipun proposisi itu sendiri bukan suatu bagian dari hal yang dinyatakan sebelumnya3. Hampir sama dengan pendapat Brown dan Yule, tetapi Grice mencoba mengaitkan suatu konteks yang melingkupi suatu tuturan yang turut member makna. Ia juga mengatkan implikatur percakapan sebagai salah satu aspek kajian pragmatik yang perhatian utamanya adalah mempelajari maksud suatu ucapan sesuai dengan konteksnya4.

1 2

Wijana, I Dewa Putu. 1996. Dasar-dasar Pragmatik. Yogyakarta: Andi Offset. Hal 37. Brown, Gillian dan George Yule. 1996. Analisis Wacana. Diterjemahkan oleh I. Soetikno. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Hal 31. 3 Gerald Gazdar. 1979. Pragmatics, Implicature, Presuppasition, and Logical Form . England: Academic Press. Hal 38. 4 Suyono. 1990. Pragmatik Dasar-dasar dan pengajaran. Malang: Yayasan Asih Asah Asuh. Hal. 13.

Menurut Gumpers5, inferensi (implikatur) adalah proses interpretasi yang ditentukan oleh situasi dan konteks. Selalu benar apa yang dimaksud oleh si pembicara tidak sama dengan apa yang ditanggap oleh si pendengar sehingga terkadang jawaban si pendengar tidak dapat atau sering juga terjadi si pembicara mengulangi kembali ucapannya mungkin dengan cara atau kalimat yang lain supaya dapat ditanggapi oleh si pendengar. Sesuatu yang memungkinkan berlangsungnya percakapan dikuasai oleh satu hokum atau kaidah pragmatic umum yang menurut Grice disebut kaidah penggunaan bahasa. Kaidah tersebut mencakup tentang peraturan tentang bagaimana percakapan dapat dilakukan secara efektif dan efisien. Kaidah ini terdiri dari 2 pokok, yaitu: 1. Prinsip koperatif yang menyatakan katakana apa yang diperlukan pada saat terjadinya percakapan itu dengan memegang tujuan dari percakapan itu, 2. Empat maksim percakapan yang terdiri dari maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi, dan maksim pelaksanaan. Maksim kualitas mewajibkan setiap peserta percakapan mengatakan hal yang sebenarnya. Kontribusi peserta percakapan hendaknya didasarkan pada bukti-bukti yang memadai. Misalnya seseorang harus mengatakan bahwa Indonesia adalah ibukota Jakarta, bukan kota-kota yang lain kecuali kalau benar-benar tidak tahu. Sedangkan maksim kuantitas menghendaki setiap peserta pertuturan memberikan kontribusi yang secukupnya atau sebanyak yang dibutuhkan oleh lawan bicaranya. Contoh: Tetangga saya hamil Tetangga saya yang perempuan hamil

Ujaran pada contoh pertama di atas lebih ringkas, juga tidak menyimpan nilai kebenaran (truth value). Setiap orang tentu mengetahui bahwa wanitalah
5

Lubis, Hamid Hasan., H., 1991. Analisis Wacana Pragmatik. Bandung: Angkasa. Hal 68.

yang mungkin hamil. Dengan demikian, elemen yang perempuan dalam contoh kedua sifatnya berlebihan. Kata hamil pada contoh pertama sudah menyarankan tuturan itu. Kehadiran yang perempuan dalam contoh kedua justru menerangkan hal-hal yang sudah jelas. Hal ini bertentangan dengan maksim kuantitas. Maksim relevansi mengharuskan setiap peserta percakapan memberikan kontribusi yang relevansi dengan masalah pembicara. Seperti missal: Ibu: Ani, Ada telepon untuk kamu. Ani: Saya lagi di belakang, Bu!

Jawaban Ani pada contoh di atas sepintas tidak terhubung, tetapi apabila diamati, hubungan implikasionalnya dapat diterangkan. Jawaban Ani mengimplikasikan bahwa saat itu ia tidak dapat menerima telepon itu. Fenomena seperti ini, mengisyaratkan bahwa fenomena relevansi tindak ucap peserta kontribusinya tisak selalu terletak pada makna ujarannya, tetapi memungkinkan pula pada apa yang diimplikasikan ujaran itu. Maksim pelaksanaan mengharuskan setiap peserta percakapan berbicara secara langsung, tidak takabur, tidak taksa, dan tidak berlebihan serta runtut. Salah satu pegangan atau kaidah percakapan adalah bahwa pendengarnya menganggap bahwa pembicaranya mengikuti dasar-dasar atau maksim di atas. Contoh: nasinya sudah masak. Implikasinya adalah silahlkan makan. Saya punya sepeda. Implikasinya adalah sepeda saya boleh anda pakai. 2. Ciri-ciri Implikatur Kami akan memaparkan beberapa cirri-ciri implikatur menurut beberapa ahli. Menurut Nababan terdapat 4 ciri implikatur6:

Nababan, P.W.J. 1987. Ilmu Pragmatik (Teori dan Penerapannya). Jakarta: Depdikbud Dirjen Pendidikan Tinggi Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan. Hal. 39.

a. Sesuatu implikatur percakapan dapat dibatalkan dalam hal tertentu, umpamanya dengan menambahkan klausa yang mengatakan bahwa seseorang tidak mau memakai implikatur percakapan itu, atau memberikan suatu konteks untuk membatalkan implikatur itu. b. Biasanya tidak ada cara lain untuk mengatakan apa yang dikatakan dan masih mempertahankan implikatur yang bersangkutan. c. Implikatur percakapan mempersyaratkan pengetahuan terlebih dahulu arti konvensional dari kalimat yang dipakai. Oleh karena itu, isi implikatur percakapan tidak termasuk dalam arti kalimat yang dipakai. d. Kebenaran isi dari suatu implikatur percakapan bukan tergantung pada kebenaran yang dikatakan. Oleh karena itu, implikatur tidak didasarkan atas apa yang dikatakan, tetapi atas tindakan yang mengatakan hal itu. Selain Suyono, Grice juga mengemukakan cirri-ciri implikatur. Terdapat 5 ciri implikatur yang diungkapkan Grice7: a. Dalam keadaan tertentu, implikatur percakapan dapat dibatalkan baik dengan cara eksplisit ataupun dengan cara kontekstual (cancellable). b. Ketidak terpisahkan implikatur percakapan dengan cara menyatakan sesuatu. Biasanya tidak ada cara lain yang lebih tepat untuk mengatakan sesuatu itu, sehingga orang memakai tuturan bermuatan implikatur untuk menyampaikannya (nondetachable). c. Implikatur percakapan mempersyaratkan makna konvensional dari kalimat yang dipakai, tetapi isi implikatur tidak masuk dalam makna konvensional kalimat itu (nonconventional). d. Kebenaran isi implikatur tudak tergantung pada apa yang dikatakan, tetapi dapat diperhitungkan dari bagaimana tindakan mengatakan apa yang dikatakan (calcutable). e. Implikatur percakapan tidak dapat diberi penjelasan spesifik yang pasti sifatnya (indeterminate).
7

Mujiyono Wiryationo. 1996. Implikatur Percakapan Anak Usia Sekolah Dasar. Malang: IKIP Malang. Hal. 40.

Sedangkan menurut Levinson, C. Stephen terdapat 4 ciri utama dari suatu implikatur percakapan8, yaitu: a. Cancellability, maksudnya sebuah kesimpulan yang tidak mungkin bisa ditarik jika ada kemungkinan untuk menggagalkannya dengan cara menambahkan beberapa premis/alasan tambahan pada premis-premis asli. b. Non-detachability, adalah implikatur dilekatkan pada isi semantik dari apa yang dituturkan, tidak pada bentuk linguistik, maka implikatur tidak dapat dipisahkan dari suatu tuturan. c. Calculability, dimaksudkan untuk setiap implikatur yang diduga harus memungkinkan untuk menyusun suatu argument yang menunjukkan bahwa makna harfiah suatu tuturan dipadu dengan prinsip kerja sama dan maksim-mmaksimnya. d. Non-conventionality, artinya untuk mengetahui makna harfiah, dapat diduga implikaturnya dalam suatu konteks, implikatur tidak dapat sebagai bagian dari makna itu. Menilik dari ketiga tokoh yang masing-masing memaparkan ciri-ciri implikatur, dapat ditarik kesimpulan bahwa cirri-ciri implikatur adalah sebagai berikut: 1. Sesuatu implikatur percakapan dapat dibatalkan dalam hal tertentu (cancellability), 2. Biasanya tidak ada cara lain untuk mengatakan apa yang dikatakan dan masih mempertahankan implikatur yang bersangkutan (nondetachable), 3. Implikatur percakapan mempersyaratkan pengetahuan terlebih dahulu arti konvensional dari kalimat yang dipakai (nonconventional) dan, 4. Kebenaran isi dari suatu implikatur percakapan bukan tergantung pada kebenaran yang dikatakan (calcutable). 3. Jenis Implikatur Implikatur terdiri dari dua jenis, yaitu convensional implicature (implikatur konvensional) dan conversational implicature (implikatur

Levinson, C. Stephen. 1997. Pragmatics. Great Britain: Cambridge University Press. Hal. 119.

percakapan)9. Perbedaan antara keduanya dijelaskan dengan tegas oleh Lyons, sebagai berikut: The difference between them is that the former depend on something othe than what is truth-conditional in the conventional use, ora meaning, of particular form a set more general principles which regulate the proper conduct of conversation10. Implikatur konvensional dikaitkan dengan pemakaian dan pemaknaan umum, sementara implikatur percakapan merujuk pada prinsip-prinsip dalam pertuturan secara tepat. Pemilihan kedua jenis implikatur tetrsebut selengkapnya diuraikan sebagai berikut. a. Implikatur Konvensional Implikatur konvensional ialah implikasi atau pengertian yang bersifat umum dan konvensional. Semua orang pada umumnya sudah mengetahui dan memahami maksud atau implikasi suatu hal tertentu. Pemahaman terhadap implikasi yang bersifat konvensional mengandaikan kepada

pendengar/pembaca memiliki pengalaman dan pengetahuan umum. Samsuri memaparkan contohnya sebagai berikut11: Ahmad orang Aceh, karena itu, dia berani dan konsekuen. Siti putri Solo, sebab itu, dia halus dan luwes.

Makna konvensi semacam di atas masih dapat diperdebatkan, namun diharapkan pendengar/pembaca dapat memahami dan memaklumi sifat konvensionalnya12. Implikatur konvensional bersifat non-temporer, artinya makna itu lebih tahan lama. Suatu leksem tertentu yang terdapat dalam suatu
9

Grice, H.Paul. 1975. Logic and Conversation, dalam Cole and JL Morgan, Syntax and Semantics Vol. 3: Speech Act. New York: Academy Press. Hal 44. 10 Lyons, John. 1993. Linguistics Semantics dan Introduction. Cambridge: CUP. Hal 272. 11 Samsuri. 1987. Analisis Wacana. Malang: Penyelenggaraan PPS IKIP Malang. Hal 3. 12 Brown, Gillian dan George Yule. 1983. Discourse Analysis. Cambridge: Cambridge University Press. Hal 31.

bentuk ujaran, dapat dikenali implikasinya karena maknanya yang lama dan sudah diketahui secara umum. Perhatikan wacana berikut: Yayuk Basuki berhasil menggondol kejuaraan di Perancis Terbuka.

Dari wacana di atas yang perlu diperhatikan adalah implikasi kata menggondol dan kejuaraan. Leksem-leksem itu maksudnya ialah meraih (karena kalimat menggondol itu dilakukan oleh binatang) dan kejuaraan olah raga tenis. Arti dan informasi itu dapat dipastikan tepat dan benar, karena secara umum orang mengetahui bahwa Yayuk Basuki adalah atlet olah raga tenis, bukan olah raga yang lainnya. Implikasi konvensional tidak banyak dikaji oleh para ahli pragmatik, karena dianggap tidak begitu menarik13. Jenis implikatur yang dianggap lebih menarik dan sangat penting dalam kajian pragmatik ialah implikatur percakapan. b. Implikatur Percakapan Implikatur percakapan muncul dalam suatu tindak percakapan. Oleh karena itu sifatnya temporer (terjadi saat berlangsungnya tindak percakapan), dan non-konvensional (sesuatu yang diimplikasikan tidak mempunyai relasi langsung dengan tuturan yang diucapkan)14. Menurut Grice, ada seperangkat asumsi yang melingkupi dan mengatur kegiatan percakapan sebagai suatu tindak berbahasa (speech act). Menurut analisisnya, perangkat asumsi yang memandu tindakan orang dalam percakapan itu adalah prinsip kerja sama (cooperative principle). Dalam melaksanakan kerja sama tindak percakapan itu, setiap penutur harus mematuhi empat maksim percakapan (maxim of conversation), yaitu: 1. Maksim Kuantitas (maxims of quantity), 2. Maksim kualiatas (maxims of

13 14

Levinson, Stephen C. 1991. Pragmatics. Cambridge: CUP. Hal 128. Ibid hal 117.

quality), 3. Maksim relevansi (maxims of relevance), dan 4. Maksim cara (maxims of manner)15. Prinsip kerja sama yang terjabar dalam empar maksim itu, bersifat mengatur (regulative). Oleh karena itu, secara normatif setiap percakapan harus mematuhinya. Secara ringkas, prinsip kerja sama tindak percakapan itu dirumuskan oleh Nababan, sebagai berikut16: Buatlah sumbangan percakapan pada anda tingkat sedemikian percakapan rupa yang

sebagaimana

diharapkan,

bersangkutan, oleh tujuan percakapan yang diketahui atau oleh arah percakapan yang sedang anda ikuti. Namun terkadang prinsip itu tidak selamanya dipatuhi. Sehingga dalam suatu percakapan banyak ditemukan pelanggaran terhadap aturan/prinsip kerja sama tersebut. Pelanggaran terhadap prinsip itu tidak berarti kerusakan atau kegagalan dalam percakapan (komunikasi). Pelanggaran itu, barangkali justru disengaja oleh penutur untuk memperoleh efek implikatur dalam tuturan yang diucapkannya, misalnya untuk berbohong, melucu atau bergurau. Bandingkan ketiga dialok berikut. A: (Saya mau ke belakang) Ada kamar kecil di sini? B: Ada, di rumah. A: (Saya agak pusing) Ada Decolgen? B: Ada, di rumah. A: (Saya agak pusing) Ada Decolgen? B: Ada, di laci meja saya. Prinsip kerja sama dalam percakapan itu dilanggar pada contoh pertama dan kedua, tetapi tidak dilanggar pada contoh yang ke tiga. Kadar pelanggaran pada contoh kedua masih dapat diterima. Karena jawaban si B pada si A dapat
15

Grice, H.Paul. 1975. Logic and Conversation, dalam Cole and JL Morgan, Syntax and Semantics Vol. 3: Speech Act. New York: Academy Press. Hal 45-47. 16 Nababan, PWJ. 1987. Ilmu Pragmatik (Teori dan Penerapannya). Jakarta: Depdikbud. Hal 31.

10

ditafsirkan sebagai tindakan mengajak bergurau si A. dengan perkataan lain keterkaitan diantara kalimat si B dan kalimat si A pada contoh kedua masih dapat direka-reka adanya. Sedangkan pada dialog pertama, upaya untuk mengaitkan A dan B masih lebih sulit dilakukan. Di samping implikatur percakapan, Gazdar, mengembangkan jenis implikatur lain, yaitu particularized implicature dan generalized (standard) implicature. Implikatur yang terakhir ini masih dapat dibagi menjadi dua, yaitu: scalar implicature dan clausal implicature17. C. PENUTUP Implikatur merupakan salah satu bagian dalam pragmatik. Menurut Brown dan Yule istilah implikatur dipakai untuk menerangkan apa yang mungkin diartikan, disarankan, atau dimaksudkan oleh penutur yang berbeda dengan apa yang sebenarnya yang dikatakan oleh penutur18. Pendapat seperti itu memilki arti bahwa suatu makna yang berbeda dengan makna tuturan secara harfiah. Grice, H. P., berpendapat bahwa sebuah implikatur merupakan sebuah proposisi yang diimplikasikan melalui ujaran dari sebuah kalimat dalam suatu konteks, sekalipun proposisi itu sendiri bukan suatu bagian dari hal yang dinyatakan sebelumnya19. Grice mencoba mengaitkan suatu konteks yang melingkupi suatu tuturan yang turut member makna. Ia juga mengatkan implikatur percakapan sebagai salah satu aspek kajian pragmatik yang perhatian utamanya adalah mempelajari maksud suatu ucapan sesuai dengan konteksnya20. Adapun mengenai ciri-ciri implikatur adalah sebagai berikut: 1. Sesuatu implikatur percakapan dapat dibatalkan dalam hal tertentu (cancellability), 2. Biasanya tidak ada cara lain untuk mengatakan apa yang dikatakan dan masih
17 18

Levinson, Stephen C. 1991. Pragmatics. Cambridge: CUP. Hal 132. Brown, Gillian dan George Yule. 1996. Analisis Wacana. Diterjemahkan oleh I. Soetikno. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Hal 31. 19 Gerald Gazdar. 1979. Pragmatics, Implicature, Presuppasition, and Logical Form. England: Academic Press. Hal 38. 20 Suyono. 1990. Pragmatik Dasar-dasar dan pengajaran. Malang: Yayasan Asih Asah Asuh. Hal. 13.

11

mempertahankan implikatur yang bersangkutan (nondetachable), 3. Implikatur percakapan mempersyaratkan pengetahuan terlebih dahulu arti konvensional dari kalimat yang dipakai (nonconventional) dan, 4. Kebenaran isi dari suatu implikatur percakapan bukan tergantung pada kebenaran yang dikatakan (calcutable). Mengenai jenis Implikatur itu sendiri terdiri dari dua jenis, yaitu convensional implicature (implikatur konvensional) dan conversational implicature (implikatur percakapan)21. Perbedaan antara keduanya dijelaskan dengan tegas oleh Lyons, sebagai berikut: The difference between them is that the former depend on something othe than what is truth-conditional in the conventional use, ora meaning, of particular form a set more general principles which regulate the proper conduct of conversation22. Implikatur konvensional dikaitkan dengan pemakaian dan pemaknaan umum, sementara implikatur percakapan merujuk pada prinsip-prinsip dalam pertuturan secara tepat.

21

Grice, H.Paul. 1975. Logic and Conversation, dalam Cole and JL Morgan, Syntax and Semantics Vol. 3: Speech Act. New York: Academy Press. Hal 44. 22 Lyons, John. 1993. Linguistics Semantics dan Introduction. Cambridge: CUP. Hal 272.

12

Daftar Pustaka

Brown, Gillian dan George Yule. 1996. Analisis Wacana. Diterjemahkan oleh I. Soetikno. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Gerald Gazdar. 1979. Pragmatics, Implicature, Presuppasition, and Logical Form. England: Academic Press. Grice, H.Paul. 1975. Logic and Conversation, dalam Cole and JL Morgan, Syntax and Semantics Vol. 3: Speech Act. New York: Academy Press. Levinson, C. Stephen. 1997. Pragmatics. Great Britain: Cambridge University Press. _________ 1991. Pragmatics. Cambridge: CUP. Lyons, John. 1993. Linguistics Semantics dan Introduction. Cambridge: CUP. Mujiyono Wiryationo. 1996. Implikatur Percakapan Anak Usia Sekolah Dasar. Malang: IKIP Malang. Nababan, P.W.J. 1987. Ilmu Pragmatik (Teori dan Penerapannya). Jakarta: Depdikbud Dirjen Pendidikan Tinggi Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan. Suyono. 1990. Pragmatik Dasar-dasar dan pengajaran. Malang: Yayasan Asih Asah Asuh. Samsuri. 1987. Analisis Wacana. Malang: Penyelenggaraan PPS IKIP Malang. Wijana, I Dewa Putu. 1996. Dasar-dasar Pragmatik. Yogyakarta: Andi Offset.

13

Vous aimerez peut-être aussi