Vous êtes sur la page 1sur 17

IMMUNE SYSTEM AND DISORDERS

Stevens Johnson Syndrome

KELOMPOK A9
1. I Gede Mahardika 2. I Dewa Ayu Novi Adi Purnamayanti 3. Krisnhaliani Wetarini 4. N.W. Cahya Rustina 5. Indriana Triastuti 6. Wiwik Wika Widiarti 7. I Komang Aditya Arya Prayoga 8. Putu Cyntia Ratnadi 9. Ni Putu Akopita Devi 10. Putu Bagus Redika Janasuta 11. Rode Heretringgi (1202005179) (1202005197) (1202005019) (1202005034) (1202005062) (1202005088) (1202005104) (1202005105) (1202005129) (1202005146) (1202005205)

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA 2013

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya Student Project dengan judul Stevens Johnson Syndromedapat terselesaikan tepat pada waktunya. Student Project ini disusun dalam rangka menyelesaikan tugas pada Block Immune System and Disorders. Dalam penyusunan Student Project ini, berbagai bantuan, petunjuk, serta saran dan masukan penulis dapatkan dari banyak pihak. Untuk itu, dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Ketua dan dosen-dosen pengajar pada Block Immune System and Disorders, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana atas bantuan moral yang diberikan. 2. dr. Komang Suryawati, Sp.KK. selaku penilai dalam penyusunan Student Project ini. 3. Orang tua, rekan-rekan mahasiswa yang penulis banggakan, dan pihak-pihak yang turut mendukung baik secara moral maupun material, yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu. Kami menyadari bahwa karya tulis ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan dalam rangka penyempurnaan. Akhir kata, semoga karya tulis ini dapat memberikan manfaat bagi perkembangan dunia pendidikan dan pengetahuan secara luas.

Denpasar, November 2013 Penulis

ii

DAFTAR ISI

HALAMAN MUKA KATA PENGANTAR DAFTAR ISI PENDAHULUAN ISI Definisi Patofisiologi Etiologi Manifestasi Klinis Diagnosis Diagnosis Banding Penatalaksanaan Prognosis KESIMPULAN DAFTAR PUSTAKA

i ii iii 1 2 2 2 3 5 5 8 10 11 12

iii

BAB I PENDAHULUAN

Stevens Johnson Syndrome (SJS) merupakan suatu sindroma atau kumpulan gejala yang mengenai kulit, selaput lendir, dan mata dengan keadaan umum yang bervariasi dari ringan sampai berat. Penyakit ini bersifat akut dan pada bentuk yang berat dapat menyebabkan kematian, oleh karena itu penyakit ini merupakan salah satu kegawatdaruratan penyakit kulit.1 Stevens Johnson Syndrome pertama diketahui pada tahun 1922 oleh dua dokter, dr. Stevens dan dr. Johnson, pada dua pasien anak laki-laki. Namun dokter tersebut tidak dapat menentukan penyebabnya.2 Ada berbagai sinonim yang digunakan untuk penyakit ini, diantaranya Ektoderma Erosive Pluriorifisialis, Sindroma Mukokutanea-Okuler, Eritema Multiformis tipe Hebra, Eritema Mulitiforme Exudatorum dan Eritema Bulosa Maligna. Meskipun demikian yang umum digunakan ialah Sindroma Stevens Johnson.1 Kejadian SJS di dunia cenderung meningkat. Penyebabnya belum diketahui dan diperkirakan dapat terjadi secara multifaktorial. Salah satu penyebab yang dianggap sering ialah alergi sistemik terhadap obat. Di negara barat, beberapa obat yang ditemukan sering menjadi penyebab terjadinya sindroma ini adalah obat-obatan golongan Non Steroidal Anti-Inflammatory Drugs (NSAID) dan sulfonamid. Sedangkan di negara timur, obat yang lebih sering menginduksi terjadinya SJS adalah golongan karbamazepin.3 Selain itu, obat alopurinol juga diketahui merupakan penyebab

tersering terjadinya SJS di negara-negara Asia Tenggara, termasuk Malaysia, Singapura, Taiwan, dan Hongkong.4 Di Indonesia sendiri tidak terdapat data pasti mengenai morbiditas terjadinya Stevens Johnson Syndrome. Namun, berdasarkan data oleh Djuanda beberapa obat yang sering menyebabkan SJS di Indonesia adalah obat golongan analgetik/antipiretik (45%), karbamazepin (20%), jamu (13.3%) dan sisanya merupakan golongan obat lain seperti amoksisilin, kotrimoksasol, dilantin, klorokuin, dan seftriakson.5

Karena menimbulkan gejala yang serius secara akut, Stevens Johnson Syndrome seringkali dianggap sebagai suatu tindakan malpraktik medis oleh dokter kepada pasiennya. Padahal sesungguhnya SJS merupakan sindroma yang bisa terjadi kapan saja kepada pasien. Oleh karena itu, sangat penting untuk mengetahui lebih lanjut mengenai Stevens Johnson Syndrome dan bagaimana penanganan yang tepat apabila sindroma ini terjadi pada pasien. Hal tersebutlah yang akan kami bahas pada Student Project ini.

BAB II ISI

2.1. Definisi Stevens Johnson Syndrome adalah kumpulan gejala klinis yang ditandai oleh trias kelianan kulit, mukosa orifisium serta mata disertai dengan gejala umum berat. Sindroma ini merupakan salah satu contoh immune-complex-mediated hypersensitivity, atau yang juga disebut reaksi hipersensitivitas tipe III. Gejala prodromal dari SJS dapat berupa batuk yang produktif dan terdapat sputum purulen, sakit kepala, malaise, dan arthralgia. Pasien mungkin mengeluhkan ruam pembakaran yang dimulai secara simetris pada wajah dan bagian atas dari torso tubuh. Selain itu, ada beberapa tanda dari keterlibatan kulit dalam SJS, antara lain: a. Eritema b. Edema c. Sloughing d. Blister atau vesikel e. Ulserasi f. Nekrosis.4 2.2. Patofisiologi Patofisiologi SJS sampai saat ini belum jelas walaupun sering dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe III (reaksi kompleks imun) yang disebabkan oleh kompleks soluble dari antigen atau metaboliknya dengan antibody IgM dan IgG, serta reaksi hipersensitivitas lambat (delayed-type hypersensitivity reactions atau reaksi

hipersensitivitas tipe IV) yang merupakan reaksi yang dimediasi oleh limfosit T yang spesifik.6 Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang membentuk mikropresipitasi sehingga terjadi aktivasi sistem komplemen. Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil yang kemudian melepaskan lisosim dan menyebabkan kerusakan jaringan pada organ sasaran (target organ). Reaksi tipe IV terjadi akibat

limposit T yang tersensitisasi berkontak kembali dengan antigen yang sama, kemudian limfokin dilepaskan sehingga terjadi reaksi radang.1 Pada beberapa kasus yang dilakukan biopsi kulit dapat ditemukan endapan IgM, IgA, C3, dan fibrin, serta kompleks imun beredar dalam sirkulasi. Antigen penyebab berupa hapten akan berikatan dengan karier yang dapat merangsang respons imun spesifik sehingga terbentuk kompleks imun beredar. Hapten atau karier tersebut dapat berupa faktor penyebab (misalnya virus, partikel obat atau metabolitnya) atau produk yang timbul akibat aktivitas faktor penyebab tersebut (struktur sel atau jaringan sel yang rusak dan terbebas akibat infeksi, inflamasi, atau proses metabolik). Kompleks imun beredar dapat mengendap di daerah kulit dan mukosa, serta menimbulkan kerusakan jaringan akibat aktivasi komplemen dan reaksi inflamasi yang terjadi. Kerusakan jaringan dapat pula terjadi akibat aktivitas sel T serta mediator yang dihasilkannya. Kerusakan jaringan yang terlihat sebagai kelainan klinis lokal di kulit dan mukosa dapat pula disertai gejala sistemik akibat aktivitas mediator serta produk inflamasi lainnya. Adanya reaksi imun sitotoksik juga mengakibatkan apoptosis keratinosit yang akhirnya menyebabkan kerusakan epidermis.7 Oleh karena proses hipersensitivitas, maka terjadi kerusakan kulit sehingga terjadi seperti kegagalan fungsi kulit yang menyebabkan kehilangan cairan, stress hormonal diikuti peningkatan resistensi terhadap insulin, hiperglikemia dan glukosuria, kegagalan termoregulasi, kegagalan fungsi imun, dan infeksi.8

2.3. Etiologi Penyebab pasti dari SJS ini idiopatik atau belum diketahui. Namun penyebab yang paling sering terjadi ialah alergi sistemik terhadap obat yaitu reaksi berlebihan dari tubuh untuk menolak obat-obatan yang masuk ke dalam tubuh. Ada pula yang beranggapan bahwa sindrom ini merupakan Eritema Multiforme yang berat dan disebut Eritema Multiforme Mayor, sehingga dikatakan mempunyai penyebab yang sama.1 Diperkirakan sekitar 75% kasus SJS disebabkan oleh obat-obatan dan 25% karena infeksi dan penyebab lainnya.9 Paparan obat dan reaksi hipersensitivitas yang dihasilkan adalah penyebab mayoritas yangsangat besar dari kasus SJS. Dalam angka absolut kasus, alopurinol adalah penyebab paling umum dari SJS di Eropa dan Israel, dan 4

sebagian besar pada pasien yang menerima dosis harian setidaknya 200 mg.10 Sindrom ini juga dikatakan multifaktorial. Berikut merupakan beberapa faktor yang dapat menyebabkan timbulnya SJS antara lain: 1. Obat-obatan Alergi obat tersering adalah golongan obat analgetik (pereda nyeri) dan antipiretik (penurun demam). Berbagai obat yang diduga dapat menyebabkan SJS antara lain: Penisilin dan derivatnya, (misalnya Streptomysin, Derivat Sulfonamide, Pirazolon, Tetrasiklin, Metamizol,

Analgetik/antipiretik

Salisilat,

Metampiron dan Paracetamol), Digitalis, Hidralazin, Barbiturat (Fenobarbital), Kinin Antipirin, Chlorpromazin, Karbamazepin dan jamu-jamuan.1 2. Infeksi a. Virus, antara lain Herpes Simplex Virus, virus Epstein-Barr, enterovirus, HIV, Coxsackievirus, influenza, hepatitis, gondok, lymphogranuloma venereum, rickettsia dan variola. b. Bakteri, antara lain Grup A beta-hemolitik streptokokus, difteri, brucellosis, mikobakteri, Mycoplasma pneumoniae, tularaemia dan tifus. c. Jamur, meliputi coccidioidomycosis, dermatofitosis dan histoplasmosis. d. Protozoa, meliputi malaria dan trikomoniasis.9 3. Imunisasi Terkait dengan imunisasi - misalnya, campak, hepatitis B.9 4. Penyebab lain : a. Zat tambahan pada makanan (Food Additive) dan zat warna b. Faktor Fisik: Sinar X, sinar matahari, cuaca dan lain- lain c. Penyakit penyakit Kolagen Vaskuler d. Penyakit-penyakit keganasan: karsinoma penyakit Hodgkins, Limfoma, Myeloma, dan Polisitemia e. Kehamilan dan Menstruasi f. Neoplasma g. Radioterapi.1

2.4. Manifestasi Klinis Stevens Johnson Syndrome memiliki fase perjalanan penyakit yang sangat akut. Gejala awal yang muncul dapat berupa demam tinggi, nyeri kepala, batuk berdahak, pilek, nyeri tenggorokan, dan nyeri sendi yang dapat berlangsung selama 1-14 hari.1 Muntah dan diare juga dapat muncul sebagai gejala awal.4 Gejala awal tersebut dapat berkembang menjadi gejala yang lebih berat, yang ditandai dengan peningkatan kecepatan denyut nadi dan laju pernapasan, rasa lemah, serta penurunan kesadaran.1 Adapun 3 kelainan utama yang muncul pada SJS, antara lain: a. Kelainan pada kulit Kelainan yang dapat terjadi pada kulit penderita sindrom Stevens-Johnson, antara lain timbulnya ruam yang berkembang menjadi eritema, papula, vesikel, dan bula.1 Sedangkan tanda patognomonik yang muncul adalah adanya lesi target atau targetoid lesions. Berbeda dengan lesi target pada eritema multiforme, lesi target pada sindrom Stevens-Johnson merupakan lesi atipikal datar yang hanya memiliki 2 zona warna dengan batasan yang buruk. Selain itu, makula purpura yang banyak dan luas juga ditemukan pada bagian tubuh penderita sindrom Stevens-Johnson.11 Lesi yang muncul dapat pecah dan meninggalkan kulit yang terbuka. Hal tersebut menyebabkan tubuh rentan terhadap infeksi sekunder.4 Pengelupasan kulit umum terjadi pada sindrom ini, ditandai dengan tanda Nikolsky positif. Pengelupasan paling banyak terjadi pada area tubuh yang tertekan seperti pada bagian punggung dan bokong. Apabila pengelupasan menyebar kurang dari 10% area tubuh, maka termasuk sindrom Stevens-Johnson. Jika 10-30% disebut Stevens Johnson Syndrome Toxic Epidermal Necrolysis (SJS-TEN). Serta jika lebih dari 30% area tubuh, maka disebut Toxic Epidermal Necrolysis (TEN).11,12 b. Kelainan pada mukosa Kelainan pada mukosa sebagian besar melibatkan mukosa mulut dan esofageal, namun dapat pula melibatkan mukosa pada paru-paru dan bagian genital.13 Adanya kelainan pada mukosa dapat menyebabkan eritema, edema, pengelupasan, pelepuhan, ulserasi, dan nekrosis.4

Pada mukosa mulut, kelainan dapat berupa stomatitis pada bibir, lidah, dan mukosa bukal mulut. Stomatitis tersebut diperparah dengan timbulnya bula yang dapat pecah sewaktu-waktu. Bula yang pecah dapat menimbulkan krusta atau kerak kehitaman terutama pada bibir penderita.1 Selain itu, lesi juga dapat timbul pada mukosa orofaring, percabangan bronkitrakeal, dan esofagus, sehingga

menyebabkan penderita sulit untuk bernapas dan mencerna makanan. Serta pada saluran genitalurinaria sehingga menyulitkan proses mikturia atau buang air kecil.12 c. Kelainan pada mata Kelainan pada mata yang terjadi dapat berupa hiperemia konjungtiva. Kelopak mata dapat melekat dan apabila dipaksakan untuk lepas, maka dapat merobek epidermis. Erosi pseudomembran pada konjungtiva juga dapat menyebabkan sinekia atau pelekatan antara konjungtiva dan kelopak mata. Seringkali dapat pula terjadi peradangan atau keratitis pada kornea mata.4,13

2.5. Diagnosis Dokter sering dapat mengidentifikasi sindrom Stevens-Johnson berdasarkan riwayat kesehatan, pemeriksaan fisik dan tanda-tanda khas gangguan dan gejala. Untuk mengkonfirmasi diagnosis, dokter akan mengambil sampel jaringan kulit pasien (biopsi) untuk diperiksa di bawah mikroskop.14 Infiltras sel dermal inflamasi yang minim dan nekrosis sel yang tebal juga luas di epidermis merupakan temuan histopatologis yang khas yang dapat ditemui pada pasien dengan Steven Johnson Syndrome. Pemeriksaan histopatologis lain dari kulit yang juga dapat ditemukan antara lain: a. Perubahan pertemuan epidermal-dermal mulai dari perubahan vacuolar lecet subepidermal b. c. d. Infiltrasi dermal: superfisial dan sebagian perivaskular Apoptosis keratinosit CD4+ T limfosit mendominasi dalam dermis, CD8 + T limfosit mendominasi di epidermis; persimpangan dermoepidermal dan epidermis sebagian besar disusupi oleh CD8+ T limfosit.4

Pemeriksaan mata dapat menunjukkan sebagai berikut: a. Biopsi konjungtiva dari pasien dengan penyakit mata aktif menunjukkan sel-sel plasma dan infiltrasi limfosit subepitel, limfosit juga hadir di sekitar dinding pembuluh, sedangkan limfosit infiltrasi dominan adalah sel T Helper b. Immunohistology konjungtiva mengungkapkan banyak sel HLA-DR-positif dalam substantia propria, dinding pembuluh, dan epitel.4

2.6. Diagnosis Banding Beberapa penyakit yang merupakan diagnosa banding SJS: 1. Eritema multiformis (EM) Bagian tubuh yang terkena EM ialah kulit dan kadang-kadang selaput lendir. Penyebabnya belum diketahui secara pasti. Yang dapat membedakan EM dengan SJS ialah luas permukaan tubuh yang terkena. Pada EM ialah <10% sedangkan pada SJS ialag >30%. 2. Nekrolisis Epidermal Toksik (NET) Penyakit ini sangat mirip dengan Sindrom Stevens- Johnson. Pada NET terdapat Epidemolisis (Epidermis terlepas dari dasarnya) yang menyeluruh dan keadaan umum penderita biasanya lebih buruk/berat. 3. Eritroderma dan erupsi obat eritematosa Eritema makulopapular yang umum dan simetris dari erupsi obat dapat meniru awal SJS/NET. Namun, pada erupsi obat eritematosa keterlibatan mukosa kurang tapi nyeri kulit pada TEN menonjol. 4. Erupsi Pustural Obat Reaksi obat pustular, termasuk acute generalized exanthematous pustulosis (AGEP), juga bisa menjadi berat dan mirip dengan gejala awal SJS/NET. AGEP merupakan erupsi yang terdiri dari non-follicularly centered pustules yang sering dimulai di leher dan daerah intertriginosa. 5. Erupsi Fototoksik Erupsi fototoksik disebabkan oleh interaksi langsung bahan kimia dengan sinar matahari yang dapat menjadi racun untuk kulit. Reaksi fototoksik paling umum yang dibingungkan dengan SJS/NET adalah reaksi fototoksik yang terjadi akibat pemakaian oral. Sebagai contoh, fluoroquinolones dapat menghasilkan reaksi

fototoksik, yang dapat menyebabkan pengelupasan epidermis luas. 6. Toxic shock syndrome Toxic shock syndrome (TSS) yang klasik disebabkan oleh Staphylococcus aureus, meskipun gangguan yang sama dapat disebabkan oleh racun rantai elaborasi dari Grup A streptokokus. Dibandingkan dengan SJS/NET, TSS hadiah dengan keterlibatan lebih menonjol dari beberapa sistem organ. 7. Staphylococcal scalded skin syndrome SSSS dibedakan secara klinis dari SJS/NET terutama oleh epidemiologi dan dari selaput lendir. Diagnosis didukung oleh pemeriksaan histologis, yang mengungkapkan peluruhan hanya lapisan atas epidermis.15

2.7. Penatalaksanaan Pasien harus ditangani dengan perhatian khusus pada jalan nafas dan stabilitas hemodinamik, status cairan, luka/perawatan luka bakar, dan kontrol nyeri. Menghentikan penggunaan obat-obatan yang mungkin menyebabkan hal itu adalah hal yang paling penting dalam mengobati SJS. Karena sulit untuk menentukan mana obat yang dapat menyebabkan masalah tersebut.4 Perawatan suportif Saat ini tidak ada rekomendasi standar untuk mengobati SJS. Perawatan suportif mungkin dapat di terima saat dirawat di rumah sakit meliputi: a. Pengganti cairan dan nutrisi. Karena kehilangan kulit dapat mengakibatkan kerugian yang signifikan cairan dari tubuh, menggantikan cairan merupakan bagian penting dari pengobatan. b. Perawatan luka, kompres basah akan membantu menenangkan lecet saat mereka sembuh. Tim medis akan mengeliminasi kulit mati, dan kemudian menempatkan krim dengan anestesi topikal di atas area yang terkena, jika diperlukan. c. Perawatan mata, karena risiko kerusakan mata, pengobatan harus mencakup konsultasi dengan seorang spesialis mata (ophthalmologist).4 Obat-obatan yang biasa digunakan dalam pengobatan SJS meliputi: a. b. c. Obat nyeri untuk mengurangi ketidaknyamanan Antihistamin untuk meredakan gatal Antibiotik untuk mengendalikan infeksi, bila diperlukan

d.

Steroid topikal untuk mengurangi peradangan kulit.4

Selain itu, salah satu dari jenis berikut obat yang saat ini sedang dipelajari dalam pengobatan SJS: a. Kortikosteroid intravena Untuk orang dewasa, obat ini dapat mengurangi keparahan gejala dan mempersingkat waktu pemulihan jika dimulai dalam satu atau dua hari ketika gejala muncul pertama kali. Untuk anak-anak, mereka dapat meningkatkan risiko komplikasi. b. Imunoglobulin intravena (IVIG) Obat ini mengandung antibodi yang dapat membantu sistem kekebalan tubuh Anda menghentikan proses SJS. c. Pencangkokan kulit Jika area besar tubuh Anda terpengaruh, pencangkokan kulit, yaitu menghilangkan kulit dari satu area tubuh dan melampirkan ke lain atau menggunakan pengganti kulit sintetis mungkin diperlukan untuk membantu penyembuhan. Perawatan ini jarang diperlukan. Jika penyebab SJS dapat dihilangkan dan reaksi kulit berhenti, kulit Anda mungkin mulai tumbuh lagi dalam beberapa hari. Dalam kasus yang parah, pemulihan penuh mungkin memakan waktu beberapa bulan.4

2.8. Prognosis Pada kasus SJS kematian dilihat dari tingkat pengelupasan kulit. Ketika permukaan tubuh mengelupas kurang dari 10% itu menandakan presentase tingkat kematianya adalah sekitar 1-5%. Namun ketika pengelupasan kulit lebih dari 30% maka tingkat presentase kematiannya adalah sekitar 25-35% bahkan bisa mencapai 50%. Selain pengelupasan di kulit pada kasus SJS ini bisa dilihat juga dari variabel yang berhubungan dengan usia penderita, keganasan penyakit tersebut, denyut jantung, kadar glukosa, kadar BUN dan tingkat bikarbonat. Untuk usia penderita biasanya lebih dari 40 tahun selain itu bisa juga dilihat dari keganasan yang ditimbulkan, denyut jantung >120, kadar glukosa >14 mmol / L, kadar BUN >10 mmol / L, dan tingkat bikarbonatnya < 20 mmol / L.

10

Di setiap variabel ini kita berikan nilai 1 point, dari variabel itu kita bisa melihat tingkat mortalitasnya adalah sebagai berikut: untuk skor 0-1 presentasenya adalah 3.2%, skor 2 presentasenya adalah 12.1% , skor 3 presentasenya adalah 35.3%, skor 4 presentasenya adalah 58.3%, skor 5 atau lebih presentasenya adalah 90%.4

11

BAB III SIMPULAN

Stevens Johnson Syndrome (SJS) merupakan suatu sindroma atau kumpulan gejala yang mengenai kulit, selaput lendir, dan mata dengan keadaan umum yang bervariasi dari ringan sampai berat. Adapun gejala dari SJS dapat berupa batuk yang produktif dan terdapat sputum purulen, sakit kepala, malaise, arthralgia, disertai dengan kelainan yang terjadi pada kulit, mukosa, dan mata. Penyakit ini bersifat akut dan pada bentuk yang berat dapat menyebabkan kematian, oleh karena itu penyakit ini merupakan salah satu kegawatdaruratan penyakit kulit. Sindroma ini merupakan salah satu contoh immune-complex-mediated hypersensitivity, atau yang juga disebut reaksi hipersensitivitas tipe III, di mana kejadiaannya dapat diinduksi oleh paparan obat, infeksi, imunisasi, maupun akibat paparan fisik lain kepada pasien. Karena berisiko menimbulkan kematian, perawatan dan pengobatan pasien SJS sangat membutuhkan penanganan yang tepat dan cepat. Adapun terapi yang bisa diberikan antara lain perawatan terhadap kulit dan penggantian cairan tubuh, perawatan terhadap luka, serta perawatan terhadap mata. Obat-obatan yang dapat diberikan antara lain, obat penghilang nyeri, antihistamin untuk meringankan reaksi hipersensitivitas, antibiotik apabila terjadi infeksi, dan steroid topikal untuk mengobati peradangan kulit. Kelangsungan hidup pasien Stevens Johnson Syndrome bergantung pada tingkat pengelupasan kulit, di mana apabila pengelupasan kulit semakin meluas, maka prognosisnya dapat menjadi semakin buruk. Selain itu, variabel lain seperti dengan usia penderita, keganasan penyakit tersebut, denyut jantung, kadar glukosa, kadar BUN dan tingkat bikarbonat juga dapat mempengaruhi kelangsungan hidup pasien.

12

DAFTAR PUSTAKA 1. Monica. Sindrom Stevens-Johnson. Didapat dari: http://elib.fk.uwks.ac.id/. Diakses pada: 5 November 2013. 2. Adithan C. Stevens-Johnson syndrome in drug alert. Department of

Pharmacology. JIPMER. 2006;2(1). Didapat dari: http//www.jipmer.edu. Diakses tanggal: 9 November 2013. 3. Fernando SL, Broadfoot AJ. Prevention of severe cutaneous adverse drug reactions: the emerging value of pharmacogenetic screening. CMAJ.

2010;182(5):476-80. 4. Foster CS. Stevens-Johnson syndrome. Medscape. 2013. Didapat dari: http://emedicine.medscape.com/. Diakses pada: 5 November 2013. 5. Djuanda A. Sindrom Stevens-Johnson. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin edisi 5. Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2007:163-5. 6. NN. Sindrom Steven Johnson. Didapat dari:

http://childrenallergyclinic.wordpress.com. Diakses pada: 9 November 2013. 7. NN. Sindrom Steven-Johnson, manifestasi klinis, dan penanganannya. Didapat dari: http://allergycliniconline.com. Diakses pada: 9 November 2013. 8. Majiid Sumardi. Steven Johnsons Syndrome. Didapat dari:

http://majiidsumardi.blogspot.com. Diakses pada: 9 November 2013. 9. Williams M. Stevens-Johnson Syndrome. Didapat dari: http://www.patient.co.uk. Diakses pada: 2 November 2013. 10. Halevy S, Ghislain PD, Mockenhaupt M, Fagot JP, Bouwes Bavinck JN, Sidoroff A, Naldi L, Dunant A, Viboud C, Roujeau JC: Allopurinol is the most common cause of Stevens-Johnson syndrome and toxic epidermal necrolysis in Europe and Israel. J Am Acad Dermatol 2008, 58:25-32. 11. Mockenhaupt M. The current understanding of Stevens-Johnson syndrome and toxic epidermal necrolysis. Expert Review Clinical Immunology. 2011;7(6):80315. 12. Klein PA. Dermatologic manifestation of Stevens-Johnson syndrome and toxic epidermal necrolysis. Medscape. 2013. Didapat dari:

http://emedicine.medscape.com/. Diakses pada: 5 November 2013. 13. Harr T, French LE. Toxic epidermal necrolysis and Stevens-Johnson syndrome. Orphanet Journal of Rare Disease. 2010;5:39. 14. NN. Stevens-Johnson syndrome. Mayo Clinic. Didapat dari:

http://mayoclinic.com. Diakses pada: 10 November 2013. 15. Nirken, M. H. dan High, W. A. Stevens-Johnson syndrome and toxic epidermal necrolysis: Clinical manifestations; pathogenesis; and diagnosis. Didapat dari http://nihlibrary.ors.nih.gov/. Diakses pada 10 November 2013.

Vous aimerez peut-être aussi