Vous êtes sur la page 1sur 10

Vol 6 no 2 Th 2010

Faktor-faktor yang berhubungan

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN DERMATITIS KONTAK PEKERJA INDUSTRI TEKSTIL X DI JEPARA Ari Suwondo1, Siswi Jayanti2, Daru Lestantyo3
1,2,3

Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro

Abstract Background: The background of this research is the fact that workers in the textile industry largely does not use personal protective equipment, during working hours but they are always exposed to dyestuffs and color placard substances known that these substances can dissolve the fat under the skin surface so the skin becomes dry, cracked and could even occur vesicles. If the exposure occurred in a long time, the skin may occur thickening (lichenification) or substances can follow the path into the lymph vessels throughout the body and can cause disturbances in systim hormonal and genetic defects resulting in sterility. The purpose of this research is to obtain the relationship between age, years of working period and the use of PPE on the incidence of contact dermatitis in the textile industry in Jepara Troso. Method: It was an observational research using cross sectional design. The subjects were selected using purposive sampling. The collected data was analyzed using Spearman Rank test. Result: This research showed that there was highly significant relationship between the duration of work with contact dermatitis incidence (p = 0.038) and there is also a highly significant relationship between age of workers with contact dermatitis incidence (p = 0.025), whereas for longer exposure there was no significant correlation with the number of contact dermatitis incidence (p = 0.476). Conclusion: The duration of working likely had a strong association with the incidence of contact dermatitis. So, it was suggested to all workers for washing hands and feet carefully, especially in the folds of the hands and feet for the remaining dyes or substances, in other that contact dermatitis cases can be prevented. Keywords: dye, contact dermatitis, Troso textile industry.

http://jurnal.unimus.ac.id

89

Ari Suwondo, Siswi Jayanti

J Kesehat Masy Indones

PENDAHULUAN Industri dan produknya baik formal maupun informal mempunyai dampak positif dan negatif kepada manusia, di satu pihak akan memberikan keuntungan, tetapi di pihak lain dapat menimbulkan dampak negatif karena paparan zat yang terjadi pada proses kerja maupun pada hasil kerja. Beberapa faktor yang dapat menimbulkan dampak negatif adalah faktor bahaya yang ada di tempat kerja yang meliputi faktor fisik, biologis, kimia, mental psikologis, hubungan antar manusia dan mesin maupun lingkungan kerja yang kurang ergonomis, gizi kerja yang kurang memadai dan faktor lain penyebab timbulnya penyakit akibat kerja dan kecelakaan kerja.1) Industri tekstil baik yang beroperasi secara tradisional maupun moderen memiliki berbagai faktor risiko potensi bahaya. Salah satunya berasal dari zat kimia yang digunakan sebagai pewarna bahan. Bahan kimia yang mampu mengganggu kulit diperkenalkan setiap tahun, baik bahan kimia berupa organik maupun anorganik yang digunakan dalam industri termasuk produk natural, menyebabkan daftar bahan kimia berbahaya tidak akan berakhir. Kontak tubuh dengan bahan kimia dapat terjadi pada berbagai tahapan proses kerja penggunaan bahan kimia, mulai dari proses awal sampai pada pengepakan. Proses produksi pada pabrik tekstil Troso dimulai dari mendesain, mengikat benang sesuai dengan desain, mewarnai/ cucuk, mencelup, mencatri, malet dan akhirnya menenun. Bahan pewarna yang sering digunakan adalah zat warna Naftol dan zat warna reaktif yang termasuk dalam golongan senyawa Azo. Senyawa azo merupakan bahan kimia yang berbahaya apabila masuk ke dalam tubuh dan terakumulasi. Senyawa Azo mampu mereduksi amina aromatik yang menghasilkan arylamines yang dapat menimbulkan alergi pada kulit. Selain itu, bahan penyempurna pewarnaan yang digunakan untuk kedua zat warna tersebut adalah sama yaitu zat warna Naftol memerlukan bahan berupa garam diazium dan natrium hidroksida sebagai pelekatan zat warna ke dalam kain, sedangkan zat warna reaktif memerlukan natrium hidroksida dan alkali untuk proses pelekatannya.2,3)

http://jurnal.unimus.ac.id

90

Vol 6 no 2 Th 2010

Faktor-faktor yang berhubungan

Zat warna termasuk golongan pelarut organik, sehingga zat warna merupakan zat yang larut lemak. Akibatnya zat warna dapat menghilangkan lapisan lemak pelindung pada kulit dan diabsorbsi tubuh. Besarnya efek zat kimia yang masuk kedalam tubuh tergantung konsentrasi ( dosis ) dan lamanya waktu paparan zat tersebut. Walaupun dalam dosis kecil, apabila berlangsung terusmenerus maka dapat menimbulkan efek kronis pada tubuh. Efek akut dapat berupa gejala-gejala gatal, kulit kering, kemerah-merahan, dan pecah-pecah, sedangkan efek kronis dapat berupa gangguan pada respon imunologis dan bahkan dapat terjadi kerusakan Genetik sehingga menyebabkan gangguan hormonal maupun kemandulan pada orang yang terpapar.3,4) Tenaga kerja seharusnya bekerja dengan nyaman dan aman supaya tercapai produktivitas yang tinggi. Berdasarkan studi pendahuluan di industri tekstil Semarang didapatkan 60% pekerja positif terdiagnosis Dermatitis Kontak iritan (DKI) setelah kontak dengan bahan pewarna tekstil. Diketahui bahwa bahan pewarna tekstil mengandung pelarut organik yang dapat memicu terjadinya DKI. Penggunaan APD yang tidak maksimal merupakan salah satu faktor resiko kejadian DKI pada industri tekstil ini. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan karakteristik pekerja yang meliputi umur, masa kerja, lama kerja perharinya dan penggunaan APD serta menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian dermatitis kontak pekerja tekstil Troso di Jepara.

MATERI DAN METODE Jenis penelitian ini adalah survey observasi dengan desain cross sectional ( belah lintang). Populasi dari penelitian adalah seluruh pekerja tekstil Industri X di pabrik tekstil Troso Jepara yang berjumlah 50 orang. Sampel : dipilih secara purposif dengan kriteria inklusi: 1) bekerja sebagai karyawan tetap di industri tekstil X, 2) berusia minimal 18 tahun, 3) masa Kerja minimal 2 (dua) tahun, 4) tidak memiliki riwayat alergi. Jumlah sampel terpilih sebanyak 41 orang. Data primer meliputi identitas pekerja, usia, jenis kelamin, masa kerja dan lama paparan dalam 8 jam diperoleh melalui tanya jawab dengan kuesioner. Pemeriksaan kulit dilakukan dengan observasi Ujud Kelainan Kulit (UKK). Data

http://jurnal.unimus.ac.id

91

Ari Suwondo, Siswi Jayanti

J Kesehat Masy Indones

dianalisis menggunakan tabulasi meliputi usia, masa kerja, lama paparan, APD, seta uji hipotesis menggunanuji statistik rank spearman.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah pekerja pria 43,9% (18 responden) dan wanita 56,1% (23 responden). Jenis kelamin dari pekerja di pabrik textil ini kebanyakan berjenis kelamin Wanita, dikarenakan memang dibutuhkan ketelitian. Aktivitas bagian pengikatan dari desain/ corak dan pewarnaan cucuk dilakukan oleh wanita, sedangkan pewarnaan celup dilakukan oleh laki-laki. Data yang diperoleh menunjukkan sebaran usia dari pekerja sebagai berikut yaitu : usia dewasa 17,1% (7 responden), usia muda 17,1% (7 responden), dan usia tua 65,9% (27 responden). Berkaitan dengan perilaku keselamatan dan kesehatan kerja, usia tua lebih memilih bekerja dengan aman. Usia tua juga semakin berpengalaman dalam melaksanakan tugas, sehingga lebih hati-hati dalam penggunaan bahan kimia. Dari data yang diperoleh menunjukkan bahwa pekerja dengan lama paparan normal (8 jam/hari) adalah sebanyak 73.2% (30 Responden), sedangkan pekerja dengan lama paparan kurang dari 8 jam/hari sebanyak 2,4% (1 responden). Sebagian besar pekerja bekerja sesuai dengan jam kerja per harinya yaitu 8 jam dengan istirahat 1 jam. Para pekerja dari pabrik tekstil ini hampir semuanya tidak menggunakan APD, hanya terdapat 2 pekerja ( 4,87 % ) saja yang menggunakan APD yaitu sarung tangan karet dan sepatu boot. Mereka yang menggunakan adalah yang bekerja di bagian pencelupan oleh karena bagian ini memang menggunakan air panas dan pewarna naftol, sehingga tenaga kerja terpaksa harus menggunakan APD. Kejadian dermatitis kontak pada pabrik tekstil Troso X di Jepara terdeksi terdapat 12 resp ( 29,27 % ) dari 41 responden. Hasil uji statistik dengan menggunakan Rank Spearman di dapatkan hasil sebagai berikut : Tabel 1. Hasil analisis variabel bebas dengan dermatitis kontak Hubungan antar variabel p-value

http://jurnal.unimus.ac.id

92

Vol 6 no 2 Th 2010

Faktor-faktor yang berhubungan

Masa kerja Dermatitis kontak Umur pekerja Dermatitis kontak Lama paparan Dermatitis kontak

0,038 0,025 0,476

Hasil uji statistik hubungan umur dengan kejadian dermatitis kontak diperoleh nilai p= 0,025 yang berarti bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara umur dengan kejadian dermatitis. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Cohen yang menyatakan bahwa kulit manusia mengalami degenerasi seiring bertambahnya usia, sehingga menyebabkan penipisan pada lapisan lemak dibawah kulit akibatnya kulit menjadi lebih kering dan mudah teriritasi menjadi dermatitis kontak.5) Buxton juga mengatakan bahwa dengan bertambahnya umur, kulit manusia akan mengalami degenerasi menjadi rentan terhadap kontak bahan kimia sehingga memudahkan timbulnya dermatitis kontak.5) Hasil uji statistik hubungan antara masa kerja dengan kejadian dermatitis kontak diperoleh nilai p= 0,038, berarti terdapat hubungan yang bermakna antara masa kerja dengan dermatitis kontak. Dermatitis kontak akan muncul apabila pekerja terpapar oleh zat kimia dengan konsentrasi dan lama pemajanan yang cukup. Zat warna ditambah dengan zat penguat/pelekat warna dapat berperan sebagai pelarut organik yang dapat mengakibatkan penipisan lapisan lemak di bawah kulit, sehingga zat warna tersebut dapat lebih mudah masuk ke dalam tubuh dan menimbulkan efek baik akut maupun kronik. Sebagai efek akut yang sering timbul adalah perubahan warna kulit menjadi kemerahan, timbul bintik berair maupun bergelembung dan bila terjadi dalam waktu yang lama akan terjadi likenifikasi (penebalan kulit dan berwarna hitam). Efek kronis yang dapat timbul adalah adanya gangguan hormone metabolisme maupun perubahan/kerusakan genetik yang dapat menimbulkan bayi lahir cacat ataupun kemandulan pada pekerja.5,6,7) Uji statistik antara lama kerja dengan dermatitis kontak diperoleh nilai p = 0,476 yang berarti tidak ada hubungan antara lama kerja pekerja pabrik tekstil Troso X di Jepara dengan kejadian dermatitis kontak. Pekerja di bagian pewarnaan di pabrik tekstil Troso, rata-rata bekerja selama 7 jam sehari dari jam

http://jurnal.unimus.ac.id

93

Ari Suwondo, Siswi Jayanti

J Kesehat Masy Indones

08.00 s/d jam 16.00 dengan waktu istirahat selama 1 jam. Lama waktu terpajan bahan kimia satu harinya merupakan salah satu faktor risiko untuk terjadinya dermatitis kontak. Hal tersebut terjadi karena timbunan zat warna maupun zat pelekat warna terutama pada kuku-kuku jari maupun lipatan kulit dapat mengiritasi kulit daerah tersebut sehingga terjadilah dermatitis kontak.2,4) Tidak adanya hubungan antara lama paparan dengan kejadian dermatitis kontak disebabkan karena semua pekerja yang kontak dengan zat warna dan zat pelekat warna bekerja lebih dari 5 jam perharinya walaupun ada perbedaan lama paparan. Secara teoritis pemakaian alat pelindung diri (APD) dapat menurunkan risiko kejadian dermatitis kontak, namun dalam penelitian ini terjadi kondisi yang bebeda. Hasil uji statistik tidak dapat dilakukan karena hampir semua karyawan tidak menggunakan alat pelindung diri, hanya 2 orang ( 4,87 % ) saja yang menggunakan. APD yang digunakan di pabrik tekstil ini adalah sarung tangan dan sepatu boot. Pada proses pewarnaan dengan cara pencelupan, para pekerja seharusnya menggunakan APD baik sarung tangan maupun sepatu boot. Hal ini dikarenakan mereka bekerja menggunakan air panas. Perlu mendapat perhatian bagi pengguna sarung tangan karet dan sepatu boot, harus juga diingatkan untuk selalu menjaga kebersihan APD tersebut oleh karena apabila tidak, justru APD tersebut dapat menjadi factor pemudah timbulnya dermatitis kontak yang disebabkan adanya zat warna atau zat pelekat warna yang terpercik masuk. Pada proses pewarnaan dengan cara cucuk, hasil observasi menunjukkan bahwa mereka tidak menggunakan APD sama sekali, dengan alasan tidak dapat bekerja pada pekerjaan yg kecil-kecil dan butuh ketelitian. Menurut Adhi Juanda, kejadian dermatitis kontak iritan maupun alrgik, paling sering terjadi di daerah tangan.6,7,8) Dermatitis kontak adalah peradangan yang terjadi oleh karena kontak antara kulit dengan bahan yang datang dari luar dan bersifat toksik maupun alergik atau keduanya yang terjadi akibat seseorang melakukan pekerjaan. Sedang dermatitis kontak iritan adalah dermatitis yang disebabkan oleh zat yang merusak kulit dengan cara mengurangi kandungan air, sehingga kulit menjadi kering,

http://jurnal.unimus.ac.id

94

Vol 6 no 2 Th 2010

Faktor-faktor yang berhubungan

mudah retak dan mudah kontak dengan bahan berbahaya lainnya. Dermatitis kontak iritan merupakan inflamasi pada kulit dengan manifestasi eritema, edema ringan dan pecah-pecah.2,4,5) Mekanisme terjadinya dermatitis kontak iritan hanya sedikit diketahui, tetapi sudah jelas terjadi kerusakan pada membran lipid keratisonit. Dalam beberapa menit atau beberapa jam bahan iritan tersebut akan berdifusi melalui membran untuk merusak lisosom, mitochondria dan komponen inti sel. Dengan rusaknya membran lipid, maka enzym fosfolipase akan diaktifkan dan membebaskan asam arakidonat yang selanjutnya berfungsi membebaskan prostaglandin dan leukotrin sehingga terjadi delatasi pembuluh darah dan transudasi. Kerusakan membran sel juga akan menarik neutrofil dan limfosit serta mengaktifkan sel Mast yang selanjutnya akan membebaskan histamin, prostaglandin dan leukotrin sehingga terjadi aktifasi platelets sehingga terjadi jendalan yang akan menutup kerusakan dan terhadap vaskuler terjadi vasodelatasi.5,9) Pada dermatitis kontak iritan terjadi kerusakan keratisonit dan keluarnya mediator-mediator tanpa melalui proses sensitisasi. Dermatitis kontak alergen adalah dermatitis akibat mekanisme

hipersensitivitas kulit yaitu reaksi imunologik yang spesifik yang dapat bersifat akut atau kronik. Secara statistik insiden dermatitis kontak alergen lebih sedikit dibanding dermatitis kontak iritan yaitu 20:80. Dermatitis yang timbul dipengaruhi oleh potensi sensitisasi alergen, derajat pajanan dan luasnya penetrasi di kulit. Ada dua fase terjadinya respon imun tipe IV yang menyebabkan timbulnya lesi dermatitis kontak alergi yaitu : 1) Fase Sensitisasi Fase sensitisasi disebut juga fase induksi atau fase eferen. Pada fase ini terjadi sensitisasi terhadap individu yang semula belum peka, oleh bahan kontaktan yang disebut alergen kontak atau pemeka. Hal ini terjadi bila hapten menempel pada kulit selama 18-24 jam kemudian hapten diproses dengan jalan pinositosis atau endositosis oleh sel LE (Langerhans Epidermal) untuk mengadakan ikatan kovalen dengan protein karier yang ada di epidermis menjadi komplek hapten protein. Protein ini terletak pada membran sel Langerhans dan berhubungan

http://jurnal.unimus.ac.id

95

Ari Suwondo, Siswi Jayanti

J Kesehat Masy Indones

dengan produk gen HLA-DR (Human Leukocyte Antigen- DR ). Sel LE kemudian menuju duktus limfatikus dan menuju ke parakortek Limfonodus regional dan terjadilah proses penyajian antigen pada molekul CD4+ ( cluster of diferentiation 4+ ) dan molekul CD 3. CD 4+ berfungsi sebagai pengenal komplek HLA-DR dari sel Langerhans, sedangkan molekul CD3 merupakan pengenal antigen yang lebih spesifik, misal untuk ion chrom saja. Kedua reseptor antigen tersebut terdapat pada permukaan sel T. Pada saat ini telah terjadi pengenalan sel antigen. Selanjutnya sel Langerhans dirangsang untuk mengeluarkan IL-1 yang akan merangsang sel T untuk mengeluarkan IL-2. Kemudian IL-2 merangsang terjadinya proliferasi sel T sehingga terbentuk primed memory T cell, yang akan bersirkulasi ke seluruh tubuh meninggalkan limfonodi dan akan memasuki fase elisitasi bila kontak dengan alergen yang sama. Proses ini berlangsung pada manusia selama 14-21 hari, dan belum terjadi ruam pada kulit. Pada saat ini individu telah tersensitisasi yang berarti mempunyai risiko untuk mengalami dermatitis kontak alergi.5,9) 2) Fase Elisitasi Fase elisitasi atau fase eferen terjadi bila timbul pajanan kedua dari antigen yang sama dan sel yang telah tersensitisasi telah tersedia di dalam kompartemen dermis. Sel Langerhans akan mengsekresi IL-1 yang akan merangsang sel T untuk mensekresi IL-2. Selanjutnya IL-2 akan merangsang INF ( interferon ) gamma. IL-1 dan INF gamma akan merangsang keratinosit memproduksi ICAM-1 (Intercelluler adhesion molecul-1) yang langsung beraksi dengan limfosit T dan Lekosit serta sekresi eikosanoid. Eikosanoid akan mengaktifkan sel Mast dan makrofag untuk melepaskan histamin sehingga terjadi vasodelatasi dan permeabilitas yang meningkat. Akibatnya timbul berbagai macam kelainan kulit seperti ertema, edema dan vesikula yang nampak sebagai dermatitis.5,9)

SIMPULAN 1. Sebagian besar pekerja pabrik tekstil Troso adalah wanita (56,1%), usia terbanyak adalah usia tua (65,9%), lama paparan normal (8 jam/ hari) adalah

http://jurnal.unimus.ac.id

96

Vol 6 no 2 Th 2010

Faktor-faktor yang berhubungan

sebanyak 73.2%, hanya terdapat 2 pekerja ( 4,87 % ) saja yang menggunakan APD. 2. Terdapat hubungan yang bermakna antara umur dengan kejadian dermatitis kontak dengan nilai p = 0,025. 3. Terdapat hubungan yang bermakna antara masa kerja dengan kejadian dermatitis kontak dengan nilai p = 0,038. 4. Tidak ada hubungan antara lama kerja pekerja pabrik tekstil Troso X di Jepara dengan kejadian dermatitis kontak dengan nilai p = 0,476.

SARAN Kepada seluruh pekerja pabrik tekstil Troso disarankan untuk menggunakan alat pelindung diri (APD) untuk mengurangi risiko kejadian dermatitis kontak. Pimpinan perusahaan agar menyediakan alat pelindung diri yang dibutuhkan karyawan serta melakukan pengawasan penggunaannya secara intensif.

DAFTAR PUSTAKA 1. Budiono, Sugeng. Jusuf, RMS, Pusparini Adriana. Bunga Rampai dan Keselamatan Kerja , Badan penerbit Universitas Diponegoro, 2003. 2. Firdaus U. Dermatitis Kontak Akibat Kerja . Penyakit Kulit Akibat kerja Terbanyak Di Indonesia. Majalah kesehatan Masyarakat Vol II No 5 th 2002.16-18. 3. Harrington, JM dan F S Gill. Buku Saku Kesehatan Kerja. Terjemahan Bahasa Indonesia.Edisi 3. Penerbit EGC . Jakarta 2005. 4. Lestari, Fatma dan Hari Suryo Utomo. Faktor-faktor Yang berhubungan Dengan Dermatitis Kontak Pada PT IPP Jakarta. Makara Kesehatan, Vol 11 No 2.Desember 2007.halaman 61-68. 5. Mc.Cunney, Robert J, Paul P. Rountree. Occupational And Environmental Medicine. Self-Assesment Review. Lippincott-Raven Publisher 1998. 6. Putro HH. Penatalaksanaan Dermatitis Kontak. Majalah Dokter Keluarga, Vol 5 No 1.Desember 1985.

http://jurnal.unimus.ac.id

97

Ari Suwondo, Siswi Jayanti

J Kesehat Masy Indones

7. Sumamur, Higene Perusahaan dan Kesehatan Kerja, Haji Mas Agung Jakarta, 1991 8. Suripto. Higiene Industri. Penerbit FKUI.2008 9. Talbott, O. Evelyn & Craun F. Gunther. Introduction to Environmental Epidemiology, Lewis Publisher, 1995

http://jurnal.unimus.ac.id

98

Vous aimerez peut-être aussi