Vous êtes sur la page 1sur 4

TUGAS AIK

DEVINISI POLITIK : Pengertian Politik yang Benar (Sesuai Dengan Syara) Politik, realitanya pasti berhubungan dengan masalah mengatur urusan rakyat baik oleh negara maupun rakyat. Sehingga definisi dasar menurut realita dasar ini adalah netral. Hanya saja tiap ideologi (kapitalisme, sosialisme, dan Islam) punya pandangan tersendiri tentang aturan dan hukum mengatur sistem politik mereka. Dari sinilah muncul pengertian politik yang mengandung pandangan hidup tertentu dan tidak lagi netral. Adapun definisi politik dari sudut pandang Islam adalah pengaturan urusan-urusan (kepentingan) umat baik dalam negeri maupun luar negeri berdasarkan hukum-hukum Islam. Pelakunya bisa negara (khalifah) maupun kelompok atau individu rakyat. Denisi politik menurut islam : As-Siayasah(politik) dialah hakikat Islam, karena makna siyasah sendiri adalah mengatur kemaslahatan umat dengan hal-hal yang tidak bertentangan dengan kitabullah dan Sunnah rasulNya.. Dalam merealisasikannya dibutuhkan suatu manhaj, ilmu ataupun orang-orang yang faham kemaslahatan umat. Adapun siyasah syariyyah akan selalu di bawah pimpinan seorang alim yang rabbani , Allah berfirman: Tetapi jadilah kalian ulama yang Rabbanai dengan apa-apa yang kalian ajarkan dari alkitab dan dengan apa-apa yang kalian pelajari. Hubungan Muhammadiyah dan Parpol Untuk memahami bagaimana sebenarnya hubungan Muhammadiyah dan Partai Politik, kita tidak bisa hanya sekedar mengatakan bahwa Muhammmadiyah adalah sebuah ormas sosial keagamaan yang tidak ada hubungan sama sekali dengan parpol. Hal tersebut merupakan statemen yang amat sederhana dan terlalu lugu. Untuk memahami bagaimana sebenarnya sikap Muhammadiyah mengenai hubungan dirinya dengan partai politik dan politik, kita perlu melakukan telaah historis-empiris sepanjang perjalanan organisasi ini sejak berdirinya tahun

1912 hingga sekarang. Dalam kurun waktu tersebut, setidak-tidaknya terdapat empat masa dengan situasi politik yang berbeda, yakni masa Demokrasi Liberal, masa Demokrasi Terpimpin, Masa Orde Baru, dan Masa Reformasi. Pada masa Demokrasi Liberal yang berlangsung antara tahun 1945 hingga 1959, hubungan Muhammadiyah dengan Partai Politik serasa amat dekat. Ketika pemerintah mengumumkan berdirinya partai-partai politik pada 3 Nopember 1945, Muhammadiyah ikut mendirikan Masyumi melalui Muktamar Islam Indonesia, 7-8 Nopember 1945, di mana Muhammadiyah menjadi anggota istimewa partai politik ummat Islam pertama tersebut. Selama waktu tahun 1945 hingga 1959, kita melihat50% keanggotaan Masyumi adalah kader-kader Muhammadiyah. Dan selama waktu itu pula, kader-kader Muhammadiyah banyak ditempatkan di kabinet Hatta, Sahrir, Wilopo, Sukiman, Amir Syarifuddin, Burhanuddin Harahap, Ali I, Juanda, hingga Ali II. Tarik ulur kepentingan Sejarah panjang Muhammadiyah dalam kehidupan bangsa dan negara ini juga dapat dilihat dari sumbangsih tokoh-tokohnya. Ada Ki Bagus Hadikusuma yang juga berkecimpung di dunia politik saat persiapan kemerdekaan Indonesia. Atau Jendral Soedirman yang di usianya yang ke 29 memimpin dengan tangguh perang gerilya melawan penjajah Belanda. Kontribusi tersebut, masih menurut Dr. Haedar Nashir, karena Muhammadiyah senantiasa menganjurkan anggotanya untuk selalu bergerak aktif dan nyata dalam sebuah pergerakan. Pengajian yang dimulai pada pukul satu siang tersebut akhirnya diakhiri saat menjelang adzan Ashar setelah sebelumnya terjadi dialog interaktif antara peserta dengan Dr. Haedar Nashir di Aula Mu`allimin pada hari Selasa, 12 Muharram 1434 H bertepatan tanggal 26 November 2012..

Muhammadiyah dalam Masyumi memang sedikit mengalami dinamika, misalnya dengan persoalan posisi status keanggotaan Muhammadiyah di Masyumi. Hal ini sempat dibicarakan pada sidang Tanwir Muhammadiyah 1956 di Yogyakarta yang merekomendasikan peninjauan ulang status keanggotaan Muhammadiyah di Masyumi. Hal serupa terulang pada Sidang Tanwir Muhammadiyah 1957, dengan rekomendasi yang lebih jelas, agar Muhammadiyah keluar dari anggota istimewa Masyumi. Namun melaksanakan keputusan ini tidaklah mudah di lapangan. Pada sidang Tanwir tahun 1958, persoalan ini mengambang kembali, dan justru Sidang menyerahkan kepada PP Muhammadiyah. Sekali lagi, Pada Sidang Tanwir tahun 1959 di Jakarta, persoalan ini muncul lagi dan sempat diadakan voting. Hasilnya 13 orang menyatakan Muhammadiyah harus keluar dari keanggotaan Masyumi, 18 menolak, dan 3 orang abstain. Persoalan ini baru tuntas ketika PP Muhammadiyah menyelenggarakan Pleno tahun 1959, yang memutuskan Muhammadiyah keluar dari keanggotaan Masyumi. Pada masa Demokrasi Terpimpin 1959 hingga 1966, tidak banyak peristiwa yang bisa kita telaah. Hal ini terjadi karena iklim demokrasi yang kurang kondusif. Kepemimpinan nasional terpusat pada presiden. Jika ada MPRS, DPRS, dan DPAS, hanya merupakan boneka yang dibuat sedemikian rupa hingga amat tergantung dari presiden. Dari sisi politik, Muhammadiyah, sebagaimana para politisi muslim idealis tidak banyak diuntungkan dalam kondisi seperti ini. Pada paruh pertama masa Demokrasi terpimpin ini, arus besar pandangan masyarakat (dimobilisasi untuk) mendukung kepemimpinan nasional, dengan munculnya berbagai gelar untuk Soekarno, seperti Pemimpin Besar Revolusi, yang diikuti oleh faham Soekarnoisme. Hingga kini, sisa-sisa kultur politik ini masih nampak dalam berbagai atribut partai Politik beserta jargon-jargonnya. Namun alhamdulillah, Muhammadiyah tidak sampai turut dalam aksi dukung-mendukung terhadap kepemimpinan nasional waktu itu, yang ternyata banyak

melakukan penyimpangan dan terkoreksi pada masa sesudahnya. Pada paruh kedua masa Demokrasi Terpimpin, arus balik terjadi, di mana hujatan pada sistem dan kepemimpinan nasional semakin seru, yang berujung pada lengsernya Bung Karno tahun 1965 setelah peristiwa G.30/S/PKI.

Vous aimerez peut-être aussi