Vous êtes sur la page 1sur 55

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Malaria dalam kehamilan adalah salah satu penyebab utama morbiditas pada ibu hamil di seluruh dunia, yang mengacu pada luaran persalinan yang buruk. Terdapat interaksi yang kompleks antara kehamilan dan parasit malaria, dimana semuanya menguntungkan parasit malaria tetapi merugikan wanita hamil tersebut. Wanita dengan dengan imunitas sebagian (semi-imun) akan kehilangan sebagian besar imunitasnya dan timbul malaria plasenta tanpa ditemukannya parasit pada darah tepi. Sedangkan wanita non-imun dan janinnya berada dalam risiko yang sangat serius akibat malaria falciparum.

Malaria dalam kehamilan seringkali dipandang ringan baik sebagai masalah kesehatan masyarakat maupun oleh klinisi yang menangani kasus-kasus indivudual. Seorang wanita hamil secara bermakna berada dalam risiko terjangkit malaria yang lebih besar dibandingkan wanita yang tidak hamil. Wanita non-imun berada dalam risiko komplikasi malaria yang serius dan kehilangan bayinya. Wanita dengan imunitas rata-rata akan kehilangan sebagian dari kekebalnnya akibat kehamilannya, khususnya pada kehamilan pertama, yang mengakibatkan mortalitas yang cukup tinggi. Abortus, kematian janin dalam rahim, IUGR, dan persalinan prematur adalah hal sering terjadi akibat malaria dalam kehamilan, selain tingginya kejadian anemia pada ibu akibat malaria. Kebanyakan dari kematian maternal dan perinatal tersebut dapat dicegah, tetapi infeksi malaria sampai saat ini masih merupakan problem klinik di negara-negara berkembang

terutama negara yang beriklim tropik, termasuk Indonesia. Di Indonesia penyakit malaria masih merupakan penyakit infeksi utama di kawasan Timur. Kejadian infeksi malaria di daerah Sulawesi Utara sampai saat ini masih cukup tinggi, sekitar 9% kasus rawat inap di Rumah Sakit. Berdasarkan hal-hal tersebut maka perlu dimengerti bahwa wanita hamil memerlukan perhatian yang ketat apabila terjadi infeksi malaria selama dalam kehamilannya.

B. Tujuan Adapun tujuan pembuatan makalah ini adalah : 1. Mengetahui definisi kehamilan dengan malaria 2. Mengetahui jenis-jenis malaria 3. Mengetahui diagnosis kehamilan dengan malaria 4. Mengetahui penatalaksanaan kehamilan dengan malaria 5. Mengetahui farmakologi obat-obatan malaria dalam kehamilan 6. Mengetahui pencegahan kehamilan dengan malaria

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Malaria adalah penyakit infeksi parasit yang disebabkan oleh Plasmodium yang menyerang eritrosit dan ditandai dengan ditemukannya bentuk aseksual di dalam darah. Infeksi malaria memberikan gejala berupa demam, menggigil, anemia dan hepatosplenomegali yang dapat berlangsung akut maupun kronik. Infeksi malaria dapat berlangsung tanpa komplikasi ataupun mengalami komplikasi sistemik yang dikenal sebagai malaria berat. (2)

B. Epidemiologi Penyakit malaria masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di banyak Negara di dunia terutama Afrika, Amerika Latin dan Asia. Setiap tahun kira-kira 300 juta sampai 500 juta orang di dunia terinfeksi malaria dan antara 750.000 sampai 2 juta jiwa meninggal dunia setiap tahun akibat malaria (WHO, 2004). Kini malaria terutama dijumpai di Meksiko, sebagian Karibia, Amerika Tengah dan Selatan, Afrika Sub-Sahara, Timur Tengah, India, Asia Selatan, Indo Cina, dan pulau-pulau di Pasifik Selatan. Diperkirakan prevalensi malaria di seluruh dunia berkisar antara 160-400 kasus. Plasmodium vivax mempunyai distribusi geografis yang paling luas, mulai dari daerah yang beriklim dingin, subtropik sampai ke daerah tropis, kadang-kadang dijumpai di Pasifik Barat. Plasmodium falciparum terutama menyebabkan malaria di Afrika dan daerah-daerah tropis lainnya. (3)

Di Indonesia malaria tersebar di seluruh pulau dengan derajat endemisitas yang berbeda-beda dan dapat berjangkit di daerah dengan ketinggian sampai 1800 meter di atas permukaan laut. Angka Annual Parasite Incidence (API) malaria di

pulau Jawa dan Bali pada tahun 1997 adalah 0,120 per 1000 penduduk, sedangkan di luar pulau Jawa angka Parasite Rate (PR) tetap tinggi yaitu 4,78% pada tahun 1997, tidak banyak berbeda dengan angka PR tahun 1990 (4,84%). Spesies yang terbanyak dijumpai adalah Plasmodium falciparum dan Plasmodium vivax. Plasmodium malariae dijumpai di Indonesia bagian timur, Plasmodium ovale pernah ditemukan di Irian Jaya dan Nisa Tenggara Timur. Angka kesakitan malaria untuk Jawa Bali diukur dengan API dan untuk luar Jawa Bali diukur dengan PR. Insiden kejadia malaria tersebut meningkat 3-4 kali lipat pada trimester II, III dan dua bulan post partum. Air tergenang dan udara panas masing-masing diperlukan untuk pembiakan nyamuk menunjang endemisitas penyakit malaria. Pada dua puluh lima tahun terakhir ini dijumpai adanya resistensi Plasmodium falciparum terhadap klorokuin telah menyebar ke berbagai negara endemis malaria termasuk Indonesia. Resistensi ini mungkin karena munculnya gen yang telah mengalami mutasi. Akhir-akhir ini juga dijumpai resistensi Plasmodium falciparum terhadap pirimetamin-sulfadoksin meningkat di negara-negara Asia Tenggara, Amerika Selatan dan Afrika SubSahara. (4)

Gambar 1. Peta penyebaran infeksi malaria di Indonesia http://www.depkes.go.id/downloads/whd_08/chart/Peta_Malaria.jpg

C. ETIOLOGI Infeksi malaria dapat disebabkan oleh semua spesies Plasmodium penyebab malaria, yaitu : 1. Plasmodium falciparum 2. Plasmodium vivax 3. Plajmodium ovale 4. Plasmodium malariae

Dari keempat spesies tersebut, Plasmodium falciparum dan Plasmodium vivax merupakan penyebab tersering malaria. Insidens malaria tergantung dari

frekuensi relatif dari perbedaan spesies malaria, di negara Afrika, Plasmodium falciparum merupakan penyebab paling sering namun di negara di luar Afrika 5

penyebab paling sering adalah Plasmodium vivax. Sedangkan jenis paling sering penyebab malaria di Indonesia adalah Plasmodium falciparum dan Plasmodium vivax. Sedangkan Plasmodium malariae hanya ditemukan di Nusa Tenggara Timur dan Plasmodium ovale ditemukan di Papua. 2

D. Daur Hidup Plasmodium Pada tahun 1898 Ronald Ross membuktikan keberadaan Plasmodium pada dinding perut tengah dan kelenjar liur nyamuk Culex. Atas penemuan ini ia memenangkan Hadiah Nobel Kedokteran pada tahun 1902, meskipun sebenarnya penghargaan itu perlu diberikan kepada profesor Italia Giovanni Battista Grassi, yang membuktikan bahwa malaria manusia hanya bisa disebarkan oleh nyamuk Anopheles. (5)

Siklus hidup Plasmodium amat rumit. Sporozoit dari liur nyamuk betina yang mengigit disebarkan ke darah atau sistem limfa penerima. Penting disadari bahwa bagi sebagian spesies vektornya mungkin bukan nyamuk. (5)

Nyamuk dalam genus Culex, Anopheles, Culiceta, Mansonia dan Aedes mungkin bertindak sebagai vektor. Vektor yang diketahui kini bagi malaria manusia (>100 spesies) semuanya tergolong dalam genus Anopheles. Malaria burung biasanya dibawa oleh spesies genus Culex. Siklus hidup Plasmodium diketahui oleh Ross yang menyelidiki spesies dari genus Culex. (5)

Dalam daur hidup Plasmodium mempunyai 2 hospes, yaitu vertebrata dan nyamuk. Siklus aseksual dalam proses hospes vertebrata dikenal sebagai skizogoni, sedangkan siklus seksual yang membentuk sporozoit di dalam nyamuk sebagai sporogoni. Sporozoit yang aktif dapat ditularkan ke dalam tubuh manusia melalui ludah nyamuk, kemudian menempati jaringan parenkim hati dan tumbuh sebagai skizon (stadium eko-eritrositer atau stadium pra-eritrositer). Sebagian sporozoit tidak tumbuh dan tetap tidur (dormant) yang disebut hipnozoit. Plasmodium falciparum hanya terjadi satu kali stadium pra-eritrositer sedangkan spesies lain

mempunyai hipnozoit bertahun-tahun sehingga pada suatu saat dapat aktif dan terjadilah relaps. Sel hati yang berisi parasit akan pecah dan terjadilah merozoit. Merozoit akan masuk ke dalam eritrosit (stadium eritrositer), tampak sebagai kromatin kecil dikelilingi oleh sedikit sitoplasma yang mempunyai bentuk cincin, disebut tropozoit. Tropozoit membentuk skizon muda dan setelah matang, membelah menjadi merozoit. Setelah pembelahan eritrosit akan hancur; merozoit, pigmen dan sel sisa akan keluar dan berada di dalam plasma. Parasit akan difagositosia oleh RES. Plasmodium yang dapat menghindar akan masuk kembali ke dalam eritrosit lain untuk mengulangi stadium skizogoni. Beberapa merozoit tidak membentuk skizon tetapi memulai dengan bagian gametogoni yaitu membentuk mikro dan makro gametosit (stadium seksual). Siklus tersebut disebut masa tunas intrinsik.(4) Dalam tubuh nyamuk, parasit parasit berkembang secara seksual (sporogoni). Sporogoni memerlukan waktu 8-12 hari. Dalam lambung nyamuk, makro dan mikrogametosit berkembang menjadi makro dan mikrogamet yang akan membentuk zigot yang disebut ookista, yang selanjutnya menembus dinding lambung nyamuk membentuk ookista yang membentuk banyak sporozoit. Kemudian sporozoit akan dilepaskan dan masuk kedalam kelenjar liur nyamuk. Siklus tersebut disebut masa tunas ekstrinsik. Secara umum, pada dasarnya semua orang dapat terkena malaria; walaupun terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi, yaitu: (4) 1. Ras atau suku bangsa. Di Afrika, apabila prevalensi hemoglobin S (HbS) cukup tinggi, penduduknya lebih tahan terhadap infeski P. Falciparum. Penyelidikan terakhir menunjukkan bahwa HbS menghambat perkembangan P. Falciparum baik sewaktu invasi maupun sewaktu berkembang biak. (4) 2. Kurangnya suatu enzim tertentu. Kurangnya enzim G6PD (glucosa 6-phosphat dehydrogenase) memberikan perlindungan terdapat infeksi P. falaciparum yang berat. Walaupun demikian, sulfonamid dan primakuin oleh karena dapat terjadi hemolisis darah. Definisi enzim G6PD ini merupakan penyakit genetik dengan

manifestasi utama pada perempuan. (4) 3. Kekebalan pada malaria terjadi apabila tubuh mampu menghancurkan Plasmodium yang masuk atau menghalangi perkembangbiakannya. (4)

Gambar 2. Daur hidup plasmodium

D. Transmisi Malaria dapat ditularkan melalui dua cara alamiah dan bukan alamiah. 1. Penularan secara alamiah), melalui gigitan nyamuk Anopheles. (3) 2. Penularan bukan alamiah, dapat dibagi menurut cara penularannya, yaitu: a. Malaria bawaan (kongenital), disebabkan adanya kelainan pada sawar plasenta sehingga tidak ada penghalang infeksi dari ibu kepada bayi yang dikandungnya. Selain melalui plasenta penularan dari ibu kepada bayi melalui tali pusat. (3) b. Penularan secara mekanik terjadi melalui transfusi darah atau jarum suntik. Penularan melalui jarum suntik banyak terjadi pada para pecandu obat bius yang menggunakan jarum suntik yang tidak steril. Infeksi malaria melalui transfusi hanya menghasilkan siklus eritrositer karena tidak melalui sporozoit yang memerlukan siklus hati sehingga dapat diobati dengan mudah. (3) c. Penularan secara oral, pernah dibuktikan pada ayam (Plasmodium gallinasium), burung dara (Plasmodium relection) dan monyet (Plasmodium knowlesi). (3) Pada umumnya sumber infeksi malaria pada manusia adalah manusia lain yang sakit malaria, baik dengan gejala maupun tanpa gejala klinis. (3)

E. Patogenesis dan Patologi Selama skizogoni sirkulasi perifer menerima pigmen malaria dan produk samping parasit, seperti membran dan isi sel-sel eritrosit. Pigmen malaria tidak toksik, tetapi menyebabkan tubuh mengeluarkan produk-produk asing dan respon fagosit yang intensif. Makrofag dalam sistem retikuloendotelial dan dalam sirkulasi menangkap pigmen dan menyebabkan warna agak kelabu pada sebagian besar jaringan dan organ tubuh. Pirogen dan racun lain yang masuk ke sirkulasi saat skizogoni, diduga bertanggung jawab mengaktifkan kinin vasoaktif dan kaskade pembekuan darah. (6) Mengenai patogenesis malaria lebih ditekankan pada terjadinya peningkatan permeabilitas pembuluh darah daripada koagulasi intravaskular. Oleh karena skizogoni menyebabkan kerusakan eritrosit maka akan terjadi anemia. Beratnya anemia yang tidak sebanding dengan parasitemia menunjukkan adanya kelainan

eritrosit selain yang mengandung parasit, pada percobaan binatang dibuktikan adanya gangguan transportasi natrium sehingga keluar dari eritrosit yang mengandung parasit dan tanpa parasit malaria. Diduga terdapat toksin malaria yang menyebabkan gangguan fungsi eritrosit dan sebagian eritrosit pecah saat melalui limpa dan keluarlah parasit. Faktor lain yang menyebabkan terjadinya anemia mungkin karena terbentuknya antibodi terhadap eritrosit. Suatu bentuk khusus anemia hemolitik pada malaria adalah black water fever, yaitu bentuk malaria berat yang disebabkan oleh Plasmodium falciparum, ditandai oleh hemolosis intravaskular berat, hemoglobinuria, kegagalan ginjal akut akibat nekrosis tubulus, disertai angka kematian yang tinggi. Telah lama dicurigai bahwa kini dapat memprovokasi terjadinya black water fever. Sebagai tambahan, kasus meninggal yang disebabkan malaria selalu menunjukkan adanya perubahan yang menonjol dari sistem retikuloendotelial dan mungkin juga melibatkan berbagai sistem organ.
(6)

Pada infeksi malaria, limpa akan membesar, mengalami pembendungan dan pigmentasi sehingga mudah pecah. Dalam limpa dijumpai banyak parasit dalam makrofag dan sering terjadi fagisitosis dari eritrosit yang terinfeksi maupun yang tidak terinfeksi. Pada malaria kronis terjadi hiperplasi dari retikulum disertai peningkatan makrofag. Pada sindrom pembesaran limpa di daerah tropis atau penyakit pembesaran limpa pada malaria kronis biasanya dijumpai bersama dengan peningkatan kadar IgM. Peningkatan antibodi terhadap malaria ini mungkin menimbulkan respons imunologis yang tidak lazim pada malaria kronis. (6) Pada malaria juga terjadi pembesaran hepar, sel Kupffer seperti sel dalam sistem retikuloendotelial terlibat dalam respon fagositosis. Sebagai akibatnya hati menjadi berwarna kecoklatan agak kelabu atau kehitaman. Pada malaria kronis terjadi infiltrasi difus oleh sel mononukleus pada periportal yang meningkat sejalan dengan berulangnya serangan malaria. Hepatomegali dengan infiltrasi sel mononukleus merupakan bagian dari sindrom pembesaran hati di daerah tropis. Nekrosis sentrilobulus terjadi pada syok. (6)

10

Organ lain yang sering diserang oleh malaria adalah otak dan ginjal. Pada malaria serebral, otak berwarna kelabu akibat pigmen malaria, sering disertai edema dan hiperemis. Perdarahan berbentuk petekie tersebar pada substansi putih otak dan dapat menyebar sampai ke sumsum tulang belakang. Pada pemeriksaan mikroskopik, sebagian besar dari pembuluh darah kecil dan menengah dapat terisi eritrosit yang telah mengandung parasit dan dapat dijumpai bekuan fibrin, dan terdapat reaksi selular pada ruang perivaskular yang luas. Terserangnya pembuluh darah oleh malaria tidak saja terbatas pada otak tetapi juga dapat dijumpai pada jantung atau saluran cerna atau di tempat lain dari tubuh, yang berakibat pada berbagai manifestasi klinik. (6)

Pada ginjal selain terjadi pewarnaan oleh pigmen malaria juga dijumpai salah satu atau dua proses patologis yaitu nekrosis tubulus akut dan atau

membranoproliverative glomerulonephritis. Nekrosis tubulus akut dapat terjadi bersama dengan hemolisis masif dan hemoglobinuria pada black water fever tetapi dapat juga tanpa hemolisis, akibat berkurangnya aliran darah karena hipovolemia dan hiperviskositas darah Plasmodium falciparum menyebabkan nefritis sedangkan Plasmodium malariae menyebabkan glomerulonefritis kronik dan sindrom nefrotik.
(6)

F. Patofisiologi Gejala malaria tumbul saat pecahnya eritrosit yang mengandung parasit. Gejala yang paling mencolok adalah demam yang diduga disebabkan oleh pirogen endogen, yaitu TNF dan interleukin-1. Akibat demam terjadi vasodilatasi perifer yang mungkin disebabkan oleh bahan vasoaktif yang diproduksi oleh parasit. Pembesaran limpa disebabkan oleh terjadinya peningkatan jumlah eritrosit yang terinfeksi parasit, teraktivasinya sistem retikuloendotelial untuk memfagositosis eritrosit yang terinfeksi parasit dan sisa eritrosit akibat hemolisis. Juga terjadi penurunan jumlah trombosit dan leukosit neurtofit. Terjadinya kongesti pada organ

11

lain meningkatkan resiko terjadinya ruptur limpa. (6)

Anemia terutama disebabkan oleh pecahnya eritrosit dan difagositosis oleh sistem retikuloendotelial. Hebatnya hemolisis tergantung pada jenis Plasmodium dan status imunitas pejamu. Anemia juga disebabkan oleh hemolisis autoimun, sekuestrasi oleh limpa pada eritrosit yang terinfeksi maupun yang normal, dan gangguan eritropoiesis. Pada hemolisis berat dapat terjadi hemoglobinuria dan hemoglobinemia. Hiperkalemia dan hiperbilirubinemia juga sering ditemukan. (6)

Kelainan patologik pembuluh darah kapiler pada malaria tropika, disebabkan karena sel darah merah yang terineksi menjadi kaku dan lengket, sehingga perjalanannya dalam kapiler teganggu dan mudah melekat pada endotel kapiler karena adanya penonjolan membran eritrosit. Setelah terjadi penumpukan sel dan bahan pecahan sel, maka aliran kapiler terhambat dan timbul hipoksia jaringan, terjadi gangguan pada integritas kapiler dan dapat terjadi perembesan cairan bahkan pendarahan ke jaringan sekitarnya. Rangkaian kelainan patologis ini dapat menimbulkan manifestasi klinis sebagai malaria serebral, edema paru, gagal ginjal dan malabsorpsi usus. (6)

Pertahanan tubuh individu terhadap malaria dapat berupa faktor yang diturunkan maupun yang didapat. Pertahanan terhadap malaria yang diturunkan terutama penting untuk melindungi anak kecil/bayi karena sifat khusus eritrosit yang relatif resisten terhadap masuk dan berkembang-biaknya parasit malaria. Masuknya parasit tergantung pada interaksi antara organel spesifik pada merozoit dan struktur khusus pada permukaan eritrosit. Sebagai contoh eritrosit yang mengandung glikoprotein A penting untuk masuknya Plasmodium falciparum. Individu yang tidak mempunyai determinan golongan darah Duffy (termasuk kebanyakan negro Afrika) mempunyai resistensi alamiah terhadap Plasmodium vivax; spesies ini mungkin memerlukan protein pada permukaan sel yang spesifik untuk dapat masuk ke dalam eritrosit. Resistensi relatif yang diturunkan pada individu dengan HbS

12

terhadap malaria telah lama diketahui dan pada kenyataannya terbatas pada daerah endemis malaria. Seleksi yang sama juga dijumpai pada hemoglobinopati tipe lain, kelainan genetik tertentu dari eritrosit, thalasemia, difisiensi enzim G-6-PD dan difisiensi pirufatkinase. Masing-masing kelainan ini menyebabkan resistensi membran eritrosit atau keadaan sitoplasma yang menghambat pertumbuhan parasit.
(6)

Imunitas humoral dan seluler terhadap malaria didapat sejalan dengan infeksi ulangan. Namun imunitas ini tidak mutlak dapat mengurangi gambaran klinis infeksi ataupun dapat menyebabkan asimptomatik dalam periode panjang. Pada individu dengan malaria dapat dijumpai hipergamaglobulinemia poloklonal, yang merupakan suatu antibodi spesifik yang diproduksi untuk melengkapi beberapa aktivitas opsonin terhadap eritrosit yang terinfeksi, tetapi proteksi ini tidak lengkap dan hanya bersifat sementara bilamana tanpa disertai infeksi ulangan. Tendensi malaria untuk menginduksi imunosupresi, dapat diterangkan sebagian oleh tidak adekuatnya respon ini. Antigen yang heterogen terhadap Plasmodium mungkin juga merupakan salah satu faktor. Monosit/makrofag merupakan partisipan seluler yang terpenting dalam fagositosis eritrosit yang terinfeksi. (3)

G. Manifestasi Klinis Secara klinis, gejala malaria tunggal pada pasien non-imun terdiri atas beberapa serangan demam dengan interval tertentu (paroksisme), yang diselingi oleh suatu periode (periode laten) bebas demam. Sebelum demam pasien biasanya merasa lemah, nyeri kepala, tidak ada nafsu makan, mual atau muntah. Pada pasien dengan infeksi majemuk/campuran (lebih dari satu jenis Plasmodium atau satu jenis Plasmodium tetapi infeksi berulang dalam waktu berbeda), maka serangan demam terus menerus (tanpa interval), sedangkan pada pejamu yang imun gejala klinisnya minimal. (3)

Periode paroksisme biasanya terdiri dari tiga stadium yang berurutan yakni stadium

13

dingin (cold stage), stadium demam (hot stage) dan stadium berkeringat (sweating stage). Paroksisme ini biasanya jelas terlihat pada orang dewasa namun jarang dijumpai pada usia muda. Pada anak di bawah umur lima tahun, stadium dingin sering kali bermanifestasi sebagai kejang. Serangan demam yang pertama didahului oleh masa inkubasi (intrinsik). Masa inkubasi bervariasi antara 9-30 hari tergantung pada spesies parasit, paling pendek pada Plasmodium falciparum dan paling panjang pada Plasmodium malariae. Masa inkubasi ini juga tergantung pada intensitas infeksi, pengobatan yang pernah didapat sebelumnya, dan derajat imunitas pejamu. Pada malaria akibat transfusi darah, masa inkubasi Plasmodium faliciparum adalah 10 hari, Plasmodium vivax 16 hari dan Plasmodium malariae 40 hari atau lebih setelah transfusi. Masa inkubasi pada penularan secara alamiah bagi masing-masing spesies parasit, untuk Plasmodium falaciparum 12 hari, Plasmodium vivax dan Plasmodium ovale 13-17 hari dan Plasmodium malariae 2830 hari. Setelah lewat masa inkubasi, pada anak besar dan orang dewasa timbul gejala demam yang terbagi dalam tiga stadium yaitu: Stadium dingin Stadium ini diawali dengan gejala menggigil atau perasaan yang sangat dingin. Gigi gemeretak dan pasien biasanya menutupi tubuhnya dengan segala macam pakaian dan selimut yang tersedia. Nadi cepat lemah, bibir dan jari-jari pucat atau sianosis, kulit kering dan pucat, pasien mungkin muntah dan pada anak-anak sering terjadi kejang. Stadium ini berlangsung antara 15 menit sampai 1 jam. (3) Stadium demam Setelah merasa kedinginan, pada stadium ini pasien merasa kepanasan. Muka merah, kulit kering dan terasa sangat panas seperti terbakar, nyeri kepala, seringkali terjadi mual dan muntah, nadi menjadi kuat lagi. Biasanya pasien menjadi sangat haus dan suhu badan dapat meningkat sampai 41oC atau lebih. Stadium ini berlangsung antara 2-12 jam. Demam disebabkan oleh karena pecahnya skizon dalam sel darah merah yang telah matang dan masuknya merozoit darah ke dalam

14

aliran darah. Pada Plasmodium vivax dan Plasmodium ovale, skizon dari tiap generasi menjadi setiap 48 jam sekali, sehingga timbul demam setiap hari ketiga terhitung dari serangan demam sebelumnya. Pada Plasmodium malariae, demam terjadi pada 72 jam (setiap hari keempat), sehingga disebut malaria kuartana. Pada Plasmodium falciparum, setiap 24-48 jam. (3) Stadium berkeringat Pada stadium ini pasien berkeringat banyak sekali, tempat tidurnya basah, kemudian suhu badan menurun dengan cepat, kadang-kadang sampai dibawah normal. (3) Gejala tersebut di atas tidak selalu sama pada setap pasien, tergantung pada spesies parasit, berat infeksi dan usia pasien. Gejala klinis yang berat biasanya terjadi pada malaria tropika yang disebabkan oleh adanya kecenderungan parasit (bentuk tropozoit dan skizon) untuk berkumpul pada pembuluh darah organ-organ tubuh tersebut. Gejala mungkin berupa koma, kejang sampai gangguan fungsi ginjal. Kematian paling banyak disebabkan oleh malaria jenis ini. Black water fever yang merupakan komplikasi berat, adalah munculnya hemoglobin pada urin sehingga menyebabkan warna urin berwarna tua atau hitam. Gejala lain dari black water fever adalah ikterus dan muntah berwarna seperti empedu. Black water fever biasanya dijumpai pada mereka yang menderita infeksi Plasmodium falciparum berulang dengan infeksi yang cukup berat. (3)

H. IMUNOPATOLOGI Secara umum kekebalan terhadap parasit malaria dibagi dalam 2 golongan yaitu kekebalan alamiah yang sudah ada sejak lahir dan terjadi tanpa kontak dengan parasit malaria sebelumnya dan kekebalan didapat yang diperoleh setelah kontak dengan parasit malaria, yang bersifat humoral ataupun seluler. Kekebalan seluler dihasilkan oleh limfosit T yang cara kerjanya sebagi helper sel limfosit B dalam memproduksi zat anti atau melalui makrofag yang dapat membunuh parasit malaria dalam sel darah. 15

1. Respon imun terhadap infeksi malaria selama kehamilan Respon imun spesifik terdiri dari imunitas seluler yang dilaksanakan oleh limfosit T dan imunitas humoral yang dilaksanakan oleh limfosit B. Limfosit T dibedakan menjadi limfosit T helper (CD4+) dan sitotoksik (CD8+) sedangkan berdasarkan sitokin yang dihasilkannya dibedakan menjadi subset Th-1 ( menghasilkan IFN- dan TNF-) dan subset Th-2 ( menghasilkan, IL-5, IL-6, IL-10). Sitokin tersebut berperan mengaktifkan imunitas humoral.

CD4+ berfungsi sebagai regulator dengan membantu produksi antibody dan aktifasi fagosit-fagosit lain sedangkan CD8+ berperan sebagai efektor langsung untuk fagositosis parasit dan menghambat perkembangan parasit dengan menghasilkan IFN-. Epitop-epitop antigen parasit akan berikatan dengan reseptor limfosit B yang berperan sebagai sel penyaji antigen kepada sel limfosit T dalam hal ini CD4+. Selanjutnya sel T akan berdiferensiasi menjadi Th-1 dan Th-2. sel Th-2 akan menghasilkan IL-4 dan IL-5 yang mengacu pembentukan Imunoglobulin oleh limfosit B. imunoglobulin tersebut juga meningkatkan kemampuan fagositosis makrofag. Sel Th-1 menghasilkan IFN- dan TNF- yang mengaktifkan komponen imunitas seluler seperti makrofag dan monosit serta sel Natural Killer. Wanita hamil memiliki kemungkinan terserang malaria falciparum lebih sering dan lebih berat dibandingkan wanita tidak hamil. Konsentrasi eritrosit yang terinfeksi parasit banyak ditemukan di plasenta sehingga diduga respon imun terhadap parasit di bagian tersebut mangalami supresi. Hal tersebut berhubungan dengan supresi system imun baik humoral maupun seluler selama kehamilan sehubungan dengan keberadaan fetus sebagai benda asing di dalam tubuh ibu. Supresi sitem imun selama kehamilan berhubungan dengan keadaan hormonal. Konsentrasi hormone progesterone yang meningkat selmaa kehmailan berefek menghambat aktifasi limfosit T terhadap stimulasi antigen. Selain itu efek imunosupresi kortisol juga berperan dalam menghambat respon imun.

16

Namun sebenarnya efek klinik malaria pada ibu hamil lebih tergantung pada tingkat kekebalan ibu hamil terhadap penyakit itu. Kekebalan terhadap malaria lebih banyak ditentukan dari tingkat transmisi malaria tempat wanita hamil tinggal / berasal, yang dibagi menjadi 2 golongan besar : a. Transmisi stabil / endemik - Orang-orang di daerah ini terus menerus terpapar malaria, sering menerima gigitan nyamuk infektif setiap bulannya. - Kekebalan terhadap malaria terbentuk secara signifikan - Kelompok terbanyak yang berisiko rendah terhadap malaria di daerah seperti ini adalah ibu hamil ( dimana kekebalan mereka berkurang menjadi semi imun) dan anak-anak kurang dari 5 tahun (mereka hanya mempunyai kekebalan yang didapat / acquired immunity terhadap malaria). b. Transmisi tidak stabil, epidemik atau non-endemik - Orang-orang di daerah ini jarang terpapar malaria, menerima rata-rata <1 gigitan nyamuk infektif / tahun. - Kekebalan terhadap malaria tidak terbantuk secara signifikan pada orang dewasa (mereka non-imun) - Semua populasi penduduk berisiko terhadap malaria, termasuk malaria berat - Wanita hamil lebih besar resikonya daripada dewasa lainnya

2. Peranan sitokin pada infeksi malaria Peranan sitokin selain pada mekanisme patologi malaria juga berperan menyababkan gangguan dalam kehamilan. Pada wanita hamil yang menderita malaria terdapat kenaikan TNF-, IL-1, dan IL-8 yang sangat nyata pada jaringan plasenta dibandingkan wanita hamil yang tidak menderita malaria. Sitokin-sitokin tersebut terutama dihasilkan oleh makrofag hamozoin yang terdapat di plasenta. Telah dijelaskan bahwa kadar TNF- yang sangat tinggi dapat meningkatkan sitoadheren eritrosit yang terinfeksi parasit terhadap sel-sel endothel kapiler. Kadar TNF- plasenta yang tinggi akan memacu proses penempelan eritrosit berparasit 17

pada kapiler plasenta dan kahirnya gangguan nutrisi janin. Bila proses berlanjut dapat menyebabkan hambatan pertumbuhan janin sehingga bayi yang dilahirkan memiliki berat badan rendah. Selain itu peningkatan sintesis prostaglandin seiring dengan peningkatan konsentrasi TNF- plasenta diduga dapat menyebabkan kelahiran prematur.

Plasenta mempunyai fungsi sebagai barier proteksit dari berbagai kalinan yang terdapat dalam darah ibu sehingga bila terinfeksi maka parasit malaria akan ditemukan di plasenta bagian maternal dan hanya dapat masuk ke sirkulasi janin bila terdapat kerusakan plasenta misalnya pada persalinan sehingga terjadi malaria kongenital.

Prevalensi malaria plasenta biasanya ditemukan lebih tinggi daripada malaria pada sediaan darah tepi wanita hamil, hal ini mungkin terjadi karena plasenta merupakan tempat parasit bermultiplikasi. Diagnosis malaria plasenta ditegakkan dengan menemukan parasit malaria dalam sel darah merah atau pigmen malaria dalam monosit pada sediaan darah yang diambil dari plasenta bagian maternal atau darah tali pusat. Infeksi P. falciparum sering mengakibatkan anemia maternal, abortus, lahir mati, partus prematur, berat lahir rendah, serta kematian maternal.

Malaria ringan / tanpa komplikasi Anamnesis : Harus dicurigai malaria pada seseorang yang berasal dari daerah endemis malaria dengan demam akut dalam segal bentuk, dengan / tanpa gejalagejala lain. Adanya riwayat perjalanan ke daerah endemis malaria dalam 2 minggu terakhir Riwayat tinggal di daerah malaria Riwayat pernah mendapat pengobatan malaria

18

Pemeriksaan fisik : Suhu badan > 37,50 C Dapat ditemukan pembesaran limpa Dapat ditemukan anemia

Gejala klinis pada umumnya : Gejala klasik, ditemukan pada penderita yang berasal dari daerah endemis malaria atau yang belum mempunyai kekebalan atau yang baru menderita malaria. Gejala fisik yang khas ini terdiri dari 3 stadium yang berurutan, yaitu : a. b. c. Menggigil (15-60 menit) Demam (2-6 jam) Berkeringat (2-4 jam)

Di daerah endemis malaria dimana penderita telah mempunyai imunitas terhadap malaria, gejala klasik diatas tidak timbul beruruttan, bahkan tidak semua gejala tersebut ditemukan. Selain gejala klasik tersebut, dapat juga disertai gejala lain, seperti : lemas, sakit kepala, myalgia, sakit perut, mual dan muntah, diare.

Malaria berat Malaria berat / severe malaria / complicated malaria adalah bentuk malaria falciparum yang serius dan berbahaya, yang memerlukan penenganan segera dan intensif. Oleh karena itu pengenalan tanda dan gejala malaria berat sangat penting diketahui bagi unit pelayanan kesehatan untuk menurunkan mortalitas malaria. Kemungkinan penderita untuk mengalami infeksi malaria berat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti faktor parasit (intensitas transmisi, densitas parasit, virulensi parasit) dan faktor host (endemisitas, genetik, umur, status nutrisi dan imunologi) WHO mendefinisikan malaria berat sebagai infeksi P.falciparum stadium aseksual dengan satu atau lebih komplikasi sebagai berikut :

19

1. Malaria serebral ditandai dengan koma yang tidak bisa dibangunkan, derajat penurunan kesadaran berdasarkan GCS, atau koma > 30 menit setelah serangan kejang yang tidak disebabkan penyakit lain. 2. Anemia berat (Hb < 5 g/dl atau hematokrit < 15%) pada keadaan hitung parasit > 10.000/ul. Anemia jenis hipokromik dan/atau mikrositik dengan mengesampingkan adanya anemia defisiensi besi, thalassemia atau

hemoglobinopati lainnya. 3. Gagal ginjal akut (urin < 400 ml/24 jam setelah dilakukan rehidrasi disertai kreatinin > 3 mg/dl) 4. Edema paru / ARDS (Acute Respiratory distress Syndrome) 5. Hipoglikemia dimana gula darah < 40 mg/dl 6. Ikterus (Bilirubin > 3 mg%) 7. gagal sirkulasi atau syok dengan tekanan sistolik < 70 mmHg disertai keringat dingin atau perbedaan temperatur kulit-mukosa > 10 C 8. perdarahan spontan dari hidung, gusi, saluran cerna dan/atau disertai kelainan leboratorik adanya ganguan koagulasi intravaskuler. 9. Kejang berulang lebih dari 2 x 24 jam setelah pendinginan pada hipotermia 10. Asidemia (pH < 7,25) atau asdosis (plasma bikarbonat < 15 mmol/L) 11. Kelemahan otot yang berat (severe prostration) tanpa kelainan neurologis 12. Hiperparasitemia > 5% pada daerah hipoendemik 13. Hiperpireksia (suhu > 400 C) 14. Makroskpik hemoglobinuria karena infeksi malaria akut (bukan karena obat anti malaria pada G6PD) 15. Diagnosis postmortem dengan ditemukannya parasit yang padat pada pembuluh kapiler jaringan otak.

I.

Diagnosis malaria dalam kehamilan Diagnosis malaria sering memerlukan anamnesa yang tepat dari penderita tentang asal penderita apakah dari daerah endemic malaria, riwayat bepergian ke daerah malaria, riawayat pengobatan kuratip maupun preventip.

20

Anamnesis Pada anamnesis sangat penting diperhatikan : Keluhan utama; Riwayat berkunjung dan bermalam 1-4 minggu yang lalu ke daerah endemik malaria; Riwayat tinggal di daerah endemik malaria; Riwayat sakit malaria; Riwayat minum obat malaria satu bulan terakhir; Riwayat mendapat transfusi darah. Pemeriksaan Fisik Demam (perabaan atau pengukuran dengan termometer); Pucat pada conjungtiva palpebrae atau telapak tangan; Pembesaran limpa (Splenomegali); Pembesaran hepar (Hepatomegali). Pada malaria berat dapat ditemukan satu atau lebih tanda klinis

berikut : Temperatur aksila 40C; Tekanan darah sistolik <70 mmHg pada dewasa dan pada anak- anak <50 mmHg; Nadi cepat dan lemah/kecil; Frekuensi nafas >35 x per menit pada orang dewasa atau >40x per menit pada balita, anak di bawah 1 tahun >50 x per menit.

a. Pemeriksaan tetes darah untuk malaria Pemeriksaan mikroskopik darah tepi untuk menemukan adanya parasit malaria sangat penting untuk menegakkan diagnosa. Pemeriksaan satu kali dengan hasil negative tidak mengenyampingkan diagnosa malaria.

Pemeriksaan darah tepi tiga kali dan hasil negative maka diagnosa malaria

21

dapat dikesampingkan. Adapun pemeriksaan darah tepi dapat dilakukan melalui : 1) Tetesan preparat darah tebal. Merupakan cara terbaik untuk menemukan parasit malaria karena tetesan darah cukup banyak dibandingkan preparat darah tipis. Sediaan mudah dibuat khususnya untuk studi di lapangan. Ketebalan dalam membuat sediaan perlu untuk memudahkan identifikasi parasit. Pemeriksaan parasit dilakukan selama 5 menit (diperkirakan 100 lapang pandangan dengan pembesaran kuat). Preparat dinyatakan negative bila setelah diperiksa 200 lapang pandangan dengan pembesaran 700-1000 kali tidak ditemukan parasit. Hitung parasit dapat dilakukan pada tetes tebal dengan menghitung jumlah parasit per 200 leukosit. Bila leukosit 10.000/ul maka hitung parasitnya ialah jumlah parasit dikalikan 50 merupakan jumlah parasit per mikro-liter darah. 2) Tetesan preparat darah tipis. Digunakan untuk identifikasi jenis plasmodium, bila dengan preparat darah tebal sulit ditentukan. Kepadatan parasit dinyatakan sebagai hitung parasit (parasite count), dapat dilakukan berdasar jumlah eritrosit yang mengandung parasit per 1000 sel darah merah. Bila jumlah parasit > 100.000/ul darah menandakan infeksi yang berat. Hitung parasit penting untuk menentukan prognosa penderita malaria. Pengecatan dilakukan dengan pewarnaan Giemsa, atau Leishmans, atau Fields dan juga Romanowsky. Pengecatan Giemsa yang umum dipakai pada beberapa laboratorium dan merupakan pengecatan yang mudah dengan hasil yang cukup baik. b. Tes Antigen : p-f test Yaitu mendeteksi antigen dari P.falciparum (Histidine Rich Protein II). Deteksi sangat cepat hanya 3-5 menit, tidak memerlukan latihan khusus, sensitivitasnya baik, tidak memerlukan alat khusus. Deteksi untuk antigen vivaks sudah beredar dipasaran yaitu dengan metode ICT. Tes sejenis dengan

22

mendeteksi laktat dehidrogenase dari plasmodium (pLDH) dengan cara immunochromatographic telah dipasarkan dengan nama tes OPTIMAL. Optimal dapat mendeteksi dari 0-200 parasit/ul darah dan dapat membedakan apakah infeksi P.falciparum atau P.vivax. Sensitivitas sampai 95 % dan hasil positif salah lebih rendah dari tes deteksi HRP-2. Tes ini sekarang dikenal sebagai tes cepat (Rapid test). c. Tes Serologi Tes serologi mulai diperkenalkan sejak tahun 1962 dengan memakai tekhnik indirect fluorescent antibody test. Tes ini berguna mendeteksi adanya antibody specific terhadap malaria atau pada keadaan dimana parasit sangat minimal. Tes ini kurang bermanfaat sebagai alat diagnostic sebab antibody baru terjadi setelah beberapa hari parasitemia. Manfaat tes serologi terutama untuk penelitian epidemiologi atau alat uji saring donor darah. Titer > 1:200 dianggap sebagai infeksi baru ; dan test > 1:20 dinyatakan positif . Metodemetode tes serologi antara lain indirect haemagglutination test,

immunoprecipitation techniques, ELISA test, radio-immunoassay. d. Pemeriksaan PCR (Polymerase Chain Reaction) Pemeriksaan ini dianggap sangat peka dengan tekhnologi amplifikasi DNA, waktu dipakai cukup cepat dan sensitivitas maupun spesifitasnya tinggi. Keunggulan tes ini walaupun jumlah parasit sangat sedikit dapat memberikan hasil positif. Tes ini baru dipakai sebagai sarana penelitian dan belum untuk pemeriksaan rutin.

J.

Patogenesis Transmisi Malaria Intrauterin Setelah 5-7 hari sejak masuknya sporozoid ke dalam tubuh manusia, maka parasit akan berkembang biak di dalam sel-sel hati kemudian memasuki sel-sel darah merah. Pada ibu hamil, eritrosit berparasit terjadi pada sisi maternal dari sirkulasi dan pada intervili plasenta terdapat banyak eritrosit berisi parasit dan monosit. Perubahan-perubahan pada plasenta akibat infeksi parasit dapat berupa deposit makrofag intervili, deposit fibrin perivili yang disertai dengan pigmen malaria;

23

sekuestrasi parasit yang disertai nekrosis fokal trofoblast, kerusakan mikrovili serta penebalan membran basalis trofoblas.4,5,6 Dahulu diduga bahwa kerusakan barier plasenta merupakan syarat mutlak untuk terjadinya transmisi parasit namun ternyata malaria kongenital dapat terjadi akibat transfusi maternal-fetal yang terjadi selama trimester ketiga kehamilan ataupun selarna persalinan tanpa adanya kerusakan plasenta.10 Beberapa mekanisme yang diduga merupakan mekanisme transmisi parasit dari ibu ke bayi pada malaria kongenital, yaitu:12
Penetrasi langsung parasit melalui vili korionik. Pelepasan plasenta yang lebih dini. Transfusi fisiologis eritrosit ibu pada sirkulasi janin intrauterin Janin saat

persalinan. Dengan memakai teknik antibodi fluoresens dapat dideteksi adanya ring falciparum pada 2 kasus dari 105 bayi (1,9%), dan hal ini menunjukkan adanya transfer materno-fetal eritrosit. Selain itu eritrosit ibu dapat berpindah ke janin saat terjadi pelepasan plasenta13

Perpindahan sel-sel dapat terjadi selama kehamilan, meningkat dengan bertambahnya usia kehamilan dan hal ini mungkin merupakan akibat dar i kerusakan signifikan.3 progresif lapisan trofoblas dimana transmisinya sangat

faktor yang lain berhubungan dengan aliran darah menuju plasenta yang mengalami kebocoran. Hal ini tergantung dari besarnya perbedaan tekanan antara aliran darah janin dan ibu. Pada penelitian wanita hamil dan bayi yang dilahirkan, ditemukan sel eritrosit ibu pada darah janin 3,6% sebaliknya pada saat yang sama sel eritrosit janin dapat ditemukan dalam darah ibu sebesar 41,5%. Transmisi plasmodium transplasenta sangat tergantung transfer pasif dari eritrosit yang terinfeksi. 13

24

Patofisiologi malaria plasenta didasarkan pada kemampuan P.falciparum untuk berikatan dengan ligan yang spesifik pada plasenta, khususnya chondroitin sulphate A (CSA), meskipun hal ini bukan satu-satunya mekanisme. Infeksi plasenta dapat dijumpai pada ibu yang menderia malaria, namun hanya sekitar 1 - 4 % saja yang menyebabkan terjadinya malaria kongenital pada bayi. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi perbedaan insidens malaria pada ibu dan pada anak yang dilahirkan.14
lmunitas dari ibu

Imunitas humoral berperan penting pada pertahanan untuk melawan malaria dan kekambuhan infeksi selama kehamilan disebabkan karena kurangnya produksi antibodi, khususnya immunoglobulin G. Studi di Gambia pada wanita hamil Gambia mendapatkan kadar IgG dan IgA signifikan rendah, IgM dibandingkan kelompok kontrol wanita yang tidak hamil. wanita hamil akan menurun secara bertahap dan mencapai terendah pada usia 10 minggu kehamilan. Juga terjadi penurunan signifikan antibodi fluoresens indirek (antibodi anti malaria yang spesifik) pada trimester ketiga kehamilan. Ibu yang di daerah endemis memiliki imunitas yang lebih bak yang

berasal dari daerah non endemis. imunitas pada kehamilan kedua dan selanjutnya juga lebih baik dari pada kehamilan pertama.14

Antibodi antimalaria (Imunoglobulin G) dapat ditransfer secara pasif dari ibu ke janin baik prenatal maupun melalui ASI, menyebabkan manifestasi klinis tidak timbul segera setelah lahir. Kadar antibodi ini akan menurun setelah bayi dilahirkan darah mencapai kadar minimal pada usia 6 bulan. Pada keadaan dimana terjadi infeksi plasenta yang berat, terdapat penurunan kadar artibodi yang ditransfer dari ibu ke janin. 14
Barier plasenta

Plasenta merupakan suatu barier protektif yang mencegah

25

terjadinya transport parasit malaria dari ibu ke bayi. 2 Miller B, dkk menggambarkan fotomikrograf dari plasenta yang terinfeksi oleh parasit malaria dan menunjukkan bahwa florid parasitemiae ditemukan pada rongga plasenta ibu namun tidak ditemukan adanya parasit pada vili janin. 11 Lanen RB mengatakan bahwa kadang-kadang terdapat adanya kebocoran plasenta yang menyebabkan transmisi parasit dari ibu ke janin.1
Hemoglobin janin

Komposisi hemoglobin F dan rendahnya tekanan oksigen menyebabkan eritiosit resisten terhadap enzim hemoglobinase yang dikeluarkan oleh parasit malaria.12

Baru-baru ini efek malaria pada plasenta telah dipelajari secara invivo dengan menggunakan Doppler ultrasound. Hubungan antara malaria plasenta dan gambaran puncak-puncak Doppler arteri uterina bilateral menunjang bukti dampak yang buruk terhadap sirkulasi uteroplasenta. Gambaran histologik infeksi aktif berupa plasenta yang berwarna hitam / abuabu, sinusoid padat dengan eritrosit terinfeksi, eritrosit terinfeksi pada sisi maternal dan tidak pada sisi fetal kecuali pada beberapa penyakit plasenta. Tampak pigmen hemozoit dalam ruang intervili dan makrofag disertai infiltrasi sel radang. Dapat terjadi simpul sinsitial disertai nekrosis fibrinosis dan kerusakan serta penebalan membrana basalis trofoblas.

Sepsis puerperal dan perdarahan postpartum Sepsis puerperal adalah infeksi bakteri dalam darah pada waktu melahirkan, lebih sering fatal pada wanita hamil dengan anemia berat dan malaria. Komplikasi ini sering merupakan penyebab nortalitas di negara berkembang.

K. Komplikasi pada kehamilan

26

Komplikasi pada Ibu 1. Anemia Infeksi malaria akan menyebabkan lisis sel darah merah yang mengandung parasit sehingga akan menyebabkan anemia pada ibu. Jenis anemia yang ditemukan adalah hemolitik normokrom, dari anemia ringan (Hb 10-12 g/dl), sedang (Hb 7-10 g/dl), berat (Hb < 7 g/dl) dan sangat berat (Hb < 4 g/dl). Pada infeksi P.falciparum dapat terjadi anemia berat karena semua umur eritrosit dapat diserang. Eritrosit berparasit maupun tidak berparasit mengalami hemolisis karena fragilitas osmotik meningkat. Selain itu juga dapat disebabkan peningkatan autohemolisis baik pada eritrosit berparasit maupun tidak berparasit sehingga waktu hidup eritrosit menjadi lebih singkat dan anemia lebih cepat terjadi. Pada infeksi P.vivax tidak terjadi destruksi darah yang berat karena hanya retikulisit yang diserang. Anemia berat pada infeksi P.vivax kronik menunjukkan adanya suatu sebab imunopatologik.

Malaria pada kehamilan dapat menyebabkan anemia berat terutama di daerah endemis dan merupakan penyebab penting dari mortalitas. Anemia hemolitik dan megaloblastik pada kehamilan mungkin karena sebab nutrisional atau parasit terutama sekali pada wanita primipara. Akibat anemia berat apda kehamilan (pada semua tingkat transmisi) dapat terjadi gagal jantung segera setelah melahirkan, terutama pada Hb < 4 g/dl dan dapat dipercepat oleh pemberian transfusi darah yang terburu-buru / cepat. Akibat lainnya adalah syok hipovolemia akibat lehilangan darah sewaktu melahirkan dan meningkatnya kerentanan terhadap infeksi

puerperalis/pneumonia Staphylococcus. Diagnosis dan manajemen anemia dan malaria pada wanita hamil yang semiimun seringkali tidak jelas. Malaria plasenta dapat menimbulkan anemia berat tanpa gejala klinis yang nyata dengan hasil laboratorium yang tidak mengarah. Seorang wanita yang afebril dangan hapusan darah tepi tidak ditemukan

27

adanya parasit malaria masih menyimpan kemungkinan adanya malaria sebagai faktor penyerta atau penyebab tunggal dari anemianya. Malaria adalah penyakit yang umum di daerah miskin dengan sumber daya yang buruk sehingga risikonya bertumpang tindih dengan penyakit parasit lainnya ( seperti cacing tambang) dan kekurangan gizi. Gambaran hapusan darah tepi dengan mikrositik, makrositik, dan campuran, terutama bila disertai dengan kondisi defisiensi folat pada seorang wanita yang semi-imun maka diagnosis malaria tidak boleh dikesampingkan, maka pengobatan antimalaria harus diberikan pada semua kasus dengan anemia berat meskipun telah dibuktikan penyebabnya selain malaria.

2. Malaria serebral Malaria serebral merupakan ensefalopati simetrik pada infeksi P.falciparum dan memeiliki mortalitas 20-50%. Serangan sangat mendadak walaupun biasanya didahului oleh episode demam malaria. Kematian dapat terjadi dalam beberapa jam. Akan tetapi banyak dari mereka yang selamat mengalami penyembuhan sempurna dalam beberapa hari. Mekanisme patofisiologi pada kasus ini antara lain adalah obstruksi mekanis pembuluh darah otak akibat kemampuan deformabilitas eritrosit berparasit berkurang atau akibat adhesi eritrosit berparasit pada endothel vaskuler yang akan melepaskan faktor-faktor toksik dan akhirnya menyebabkan permeabilitas vaskuler meningkat, sawar darah otak rusak edema serebral dan menginduksi respon radang pada dan disekitar pembuluh darah serebral. Kejadian malaria serebral di RSUP Prof Dr RD Kandou Manado 50%.

Sindroma klinik malaria serebral merupakan suatu keadaan gawat darurat yang memerlukan penanganan lebih lanjut, ditandai adanya

hiperbilirubinemia, kreatinemia, dan hipoglikemia, sindroma neurologi berupa ensefalopati difus reversibel dan kehilangan kesadaran yang cepat. Penurunan tingkat kesadaran dari apati, somnolen, delirium, konfusi sampai koma dapat

28

terjadi. Gangguan kesadaran ini dinilai dari skor koma Glasgow (GCS). Penelitian Richie dkk di Minahasa yang meliputi 52 kasus malaria serebral ditemukan 25 penderita (48%) dengan GCS 9-14 memiliki mortalitas 28% sedangkan 27 penderita (52%) dengan GCS 3-8 memiliki mortalitas 67%. Penderita tersebut cenderung mengalami takipnea ( respirasi > 35 x/mnt), leukositosis dan gagal ginjal. Bila disertai kejang angka prognosis lebih buruk.

3. Hipoglikemia Pada wanita hamil umumnya terjadi perubahan metabolisme karbohidrat yang menyebabkan kecenderungan terjadinya hipoglikemia terutama pada trimester terakhir kehamilan. Selain itu, sel darah merah yang terinfeksi memerlukan glukosa 75 kali lebih banyak daripada sel darah normal. Disamping ke 2 faktor tersebut, hipoglikemia dapat juga terjadi pada penderita malaria yang diberi kina intravena.

Hipoglikemia

karena

kebutuhan

metabolik

parasit

yang

meningkat

menyebabkan habisnya cadangan glikogen hati. Hipoglikemia sering terjadi pada wanita hamil khususnya pda primipara. Gejala hipoglikemia juga dapat terjadi karena sekresi adrenalin yang berlebihan dan disfungsi susunan saraf pusat. Mortalitas hipoglikemia pada malaria berat di Minahasa adalah 45%, lebih baik daripada Papua sebesar 75%.

4. Edema paru Pada infeksi P.falciparum, pneumonia merupakan komplikasi yang familiar dan umumnya ditimbulkan oleh aspirasi atau bakteriemia yang menyebar dari tempat infeksi lain. Gangguan perfusi oragan menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler sehingga terjadi edema interstitial. Hal ini akan menyebabkan disfungsi mikrosirkulasi paru.

29

Gambaran makroskopik paru berupa danya reaksi edematik, berwarna merah tua dan konsistensi keras dengan bercak perdarahan. Gambaran mikroskopik tergantung derajat parasitemia pada saat meninggal. Terdapat gambaran hemozoit dalam makrofag pada septa alveoli. Alveoli menunjukkan gambaran hemoragik disertai penebalan septa alveoli dan penekanan dinding alveoli serta infiltrasi sel radang. Edema paru dapat terjadi karena beberapa sebab yaitu peningkatan permeabilitas vaskuler sekunder terhadap emboli dan DIC, disfungsi berat mikrosirkulasi, fenomena alergi, terapi cairan yang berlebihan bersamaan dengan gangguan fungsi kapiler alveoli, kehamilan, malaria serebral, tingkat parasitemia yang tinggi, hipotensi, asidosis dan uremia. 5. Ginjal Kerusakan ginjal dapat terjadi sebagai akibat keterlibatan dengan hemolisis intervaskuler dan atau parasitemia berat. Banyak faktor penyebab yang berperan antara lain berkurangnya volume darah, hiperviskositas darah, koagulasi intravaskuler, iskemi ginjal yang diinduksi oleh katekolamin, hemolisis dan ikterus.

6. Infeksi plasenta Efek merugikan malaria dalam kehamilan terutama disebabkan karena malaria plasenta. Hal ini khususnya pada wanita semi-imun, dimana parasit malaria seringkali ditemukan dalam jumlah besar terkumpul pada plasenta sedangkan tidak satupun ditemukan dalam darah. Suatu penelitian tentang sensitivitas diagnosis malaria didapatkan 47% untuk parasit dalam darah tepi, 63% pada slide yang ditempelkan pada plasenta, dan 91% pada histologi plasenta. Hal ini menunjukkan bahwa hapusan darah tepi yang negatif untuk parasit malaria tidak mengesampingkan diagnosis malaria pada seorang wanita hamil yang semi-imun. Infeksi plasenta dengan parasit melaria lebih sering pada daerah endemik tinggi daripada daerah non-endemik, dan lebih sering pada primigravida semi-

30

imun daripada multigravida semi-imun. Wanita semi-imun (yang tinggal didaerah endemik) sering mermpunyai pola parasitemia perifer rendah dan infeksi berat plasenta, sedangkan wanita non-imun ( di daerah non-endemik) sering mempunyai pola kebalikannya. Infeksi plasenta menurunkan

persediaan oksigen dan glukosa untuk perkembangan janin melalui mekanisme pemblokiran penebalan membran basal trofoblast, konsumsi nutrien dan O2 oleh parasit di plasenta dan pemindahan O2 yang rendah oleh eritrosit yang terinfeksi parasit di plasenta kepada janin.

Komplikasi pada janin : 1. Abortus Abortus pada usia kehamilan trimester I lebih sering terjadi karena hiperpiraksia maupun karena anemia berat. 2. Kematian janin dalam kandungan Kematian janin intrauterin dapat terjadi sebagai akibat hiperpireksia, anemia berat, penimbunan parasit di dalam plasenta yang menyebabkan gangguan sirkulasi ataupun akibat terjadinya infeksi transplasental. 3. Berat badan lahir rendah Penderita malaria biasanya menderita anemia dan hipoglikemia sehingga akan menyebabkan gangguan sirkulasi nutrisi pada janin dan berakibat

terhambatnya pertumbuhan dan perkembangan janin dalam kandungan. 4. Prematuritas Persalinan prematur umumnya terjadi sewaktu atau tidak lama setelah serangan malaria. Beberapa hal yang menyebabkan persalinan prematur adalah febris, dehidrasi, asidosis atau infeksi plasenta 5. Malaria kongenital Diagnosis malaria kongenital ditegakkan dengan ditemukannya parasit malaria (Plasmodium) pada darah bayi hingga usia 7 hari.7.14

31

Kecurigaan terhadap malaria kongenital bila bayi menderita panas dan ibu berasal dari daerah endemis ataupun pemah bepergian ke daerah endemis ataupun menerima transfusi darah selama kehamilan.3

Malaria kongenital dapat terjadi tanpa adanya manifestasi klinis malaria pada ibu. Pemeriksaan mikroskopis sediaan darah perifer yang negatif tidak dapat menyingkirkan adanya malaria. Pada kasus yang dilaporkan di Amerika Serikat, tidak ditemukan adanya parasit pada sediaan darah perifer. Di Zaire, 17% kasus malaria kongenital tidak dijumpai malaria pada sediaan tetes tebal dan biopsi plasenta. Pemeriksaan hapusan darah yang dilakukan salama 2 hari berturut-turut negatif pada 42% kasus malaria kongenital. Sedangkan pada pemeriksaan darah tali pusat negatif pada 30% kasus. Pada keadaan demikian sangat dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan PCR untuk mendiagnosis dini malaria kongenital.s

Di daerah endemis kadang sukar membedakan infeksi malaria yang terjadi kongenital atau di dapat setelah lahir disebabkar, merozoit dapat dijumpai di darah setelah 9 hingga 16 hari tergigit oleh nyamuk. Sehingga untuk daerah endemis, malaria kongenital hanya dapat ditegakkan bila dijumpai adanya parasit malaria dalam minggu pertama kehidupan.

Malaria kongenital dapat dikelompokkan menjadi 2 yaitu : 1. True congenital malaria Yaltu malaria kongenital yang didapat selama kehamilan. Umumnya akibat adanya kerusakan plasenta yang terjadi sebelum bayi dilahirkan. Parasit dapat dijumpai pada darah perifer bayi dalam 48 jam setelah lahir serta gejala-gejala dapat muncul pada saat lahir atau 1 - 2 hari setelah lahir. Jenis malaria ini sangat jarang ditemukan. 2. "False congenital malaria"

32

Merupakan malaria kongenital yang didapat selama persalinan. Terjadi selama pelepasan plasenta yang terlalu cepat atau pada persalinan lama. Transmisi parasit malaria terjadi setelah pelepasan plasenta yaitu bercampurnya darah ibu dan janin pada saat terjadi pelepasan plasenta.10,11

3.

Fetal anemia Kondisi anemia pada janin ditemukan bervariasi di daerah endemik malaria, ditentukan dari kadar hemoglobin tali pusat pada waktu kelahiran, berhubungan dengan anemia maternal dan kemungkinan disebabkan karena malaria plasenta.

Primigravida pada daerah endemik

Semua paritas pada daerah non-endemik

Efek maternal:

Demam tinggi Malaria berat : Anemia berat Malaria serebral Hipoglikemia Edema paru Gagal ginjal akut

+++

+++ + +++ ++

+++ ++ ++ ++ ++ + ++

Infeksi plasenta Sepsis puerperalis

Efek janin :

33

BBLR Abortus, IUFD Malaria kongenital Fetal anemia

+++ -

+++ ++ + +

L. Penatalaksanaan Malaria Dalam Kehamilan Ada 4 aspek yang sama pentingnya untuk menangani malaria dalam kehamilan, yaitu: - Pencegahan transmisi - Pengobatan malaria - Pengobatan komplikasi - Penangan proses persalinan

1. Pencegahan transmisi terdapat upaya yang dapat dilakukan untuk pencegahan transmisi selama kehamilan, yaitu: 2. Pemberian obat malaria profilaksis Pemberian obat profilaksis selama kehamilan dianjurkan untuk mengurangi resiko transmisi diantaranya dengan pemberian klorokuin basa 5mg/kgBB (2 tablet) sekali seminggu, tetapi untuk daerah yang resisten, klorokuin tidak dianjurkan pada kehamilan dini, tetapi setelah itu dapat diganti dengan meflokuin. Obat lain yang sering digunakan untuk profilaksis adalah kombinasi sulfadoksin-pirimetamin dengan dosis 1 tablet per minggu, tetapi tidak dianjurkan untuk trimester pertama karena pirimetamin dapat menyebabkan teratogenik. Pemberian profilaksis pada ibu hamil di atas 20 minggu dapat mengurangi malaria falsiparum sampai 85% dan malaria vivaks sampai 100%. Profilaksis klorokuin menurunkan infeksi plasenta yang asimptomatik menjadi 4% bila dibandingkan tanpa profilaksis sebanyak 19%. 34

3. Pemakaian kelambu Pemakaian kelambu dinilai efektif untuk menurunkan jumlah kasus malaria dan tingkat kematian akibat malaria pada ibu hamil dan neonates. Penelitian di Afrika memperlihatkan bahwa pemakaian kelambu setiap malam menurunkan kejadian berat badan lahir rendah atau bayi premature sebanyak 25%. Kelambu sangat disarankan terutama pada kehamilan dini dan bila memungkinkan selama kehamilan.

4. Terapi malaria Obat-obat antimalarial yang sering digunakan tidak merupakan kontraindikasi bagi perempuan hamil. Beberapa obat yang lebih baru memiliki aktivitas antifolat sehingga secara teoritis dapat berperan menyebabkan anemia megaloblastik dan kecacatan pada kehamilan dini. Akan tetapi, perlu difikirkan pada daerah dengan resisten klorokuin, kesehatan ibu adalah yang utama sehingga pemakaian obat yang efektif membunuh parasit tetap dianjurkan bila kondisis ibu memburuk. Malaria dapat menimbulkan yang fatal bagi ibu hamil dan janinnya. Oleh karena itu, setiap ibu hamil yang tinggal di daerah endemis malaria selama masa kehamilannya harus dilindungi dengan kemoprofilaksis terhadap malaria. Hal ini merupakan bagian penting dari perawatan antenatal di daerah yang tinggi penyebaran malarianya. Obat antimalarial dalam kehamilan: Semua trimester: kuinin, kuinidin, proguanil, atovakuon. Trimester dua: meflokuin, pirimetamin/sulfadoksin Trimester tiga: sama dengan trimester dua Kontraindikasi: primakuin, tetrasiklin, doksisiklin, halofantrin.

5. Terapi pada komplikasi malaria Malaria serebral Didefinisikan sebagai unrousable koma pada malaria falsiparum, suatu perubahan sensorium yaitu manifestasi tingkah laku abnormal pada seseorang penderita dari yang paling ringan sampai koma yang dalam. Berbagai tingkatan penurunan kesadaran berupa delirium, mengantuk spoor, dan berkurangnya rangsang terhadap

35

sakit terjadi pada keadaan ini. Gejala lain dapat berupa kejang, plantar ekstensi/fleksi, pandangan divergen, kekauan leher, dan lain-lain. Pasien dengan koma membutuhkan penanganan yang komprehensif dan keahlian khusus. Akan tetapi, prinsip utamanya sama pada malaria lainnya yaitu pemeberian antimalaria, sedangkan kondisi tidak sadar membutuhkan perawatan khusus. Edem Paru Akut Dilakukan pemberian cairan yang dimonitor dengan ketat, tidur dengan posisi tengah duduk, pemberian oksigen, diuretic, dan pemasangan ventilator bila diperlakukan. Hipoglikemia Pemberian dekstrosa 25-50%, 50-100cc I.V., dilanjutkan infus dekstrosa 10% Glukosa darah harus dimonitor setiap 4-6 jam untuk mencegah rekurensi hipoglikemia.

Anemia harus diberi transfuse bila kadar hemoglobin <5gr%

Gagal ginjal Gagal ginjal dapat terjadi prereal karena dehidrasi yang tidak terdeteksi atau renal karena parasitemia berat. Penanganan merliputi pemberian cairan yang seksama, diuretic dana dialysis bila diperlukan.

Syok septicemia, Hipotensi, Algid Malaria infeksi bacterial sekunder, seperti infeksi saluran kemih dan pneumonia, sering menyertai kehamilan dengan malaria. Sebagian dari pasien-pasien tersebut dapat mengalami syok septicemia, yang disebut algid malaria. Penanganannya adalah dengan pemberian sefalosporin generasi ketiga, pemberian cairan, monitoring tanda-tanda vital, dan keluar masuknya cairan.

36

Koagulopati Perdarahan dan koagulopati jarang ditemukan di daerah endemis pada Negaranegara tropis. Sering terjadi pada penderita yang non-imun terhadap malaria. Biasanya terjadi akibat trombositopenia berat ditandai dengan manifestasi perdarahan pada kulit berupa petekie, purpura, hematoma, perdarahan gusi dan hidung, serta saluran pencernaan. Pemberian vitamin K 10mg intravena bila waktu protombin atau waktu romboplastin parsial memanjang. Hindarkan pemberian kortikosteroid untuk trombositopenia, perbaikan gizi penderita.

Ikterus Manifestasi icterus pada malaria berat sering dijumpai di Asia dan Indonesia yang mempunyai prognosis buruk. Tindakan: Tidak ada terapi spesifik untuk icterus. Bila ditemukan hemolysis berat dan Hb sangat rendah, beri transfuse darah.

Transfusi ganti transufsi ganti diindkasikan pada kasus malaria falsiparum berat untuk menurunkan jumlah parasite. Darah pasien dikeluarkan dan diganti dengan packed sel. Tindakan ini terutama bermanfaat pada kasus parasitemia yang sangat berat (membantu membersihkan) dan impending edema paru (membantu menurunkan jumlah cairan).

6. Penanganan saat persalinan Anemia, hipoglikemia, edema paru, dan infeksi sekunder akibat malaria pada kehamilan aterm dapat menimbulkan masalah baik bagi ibu maupun janin. Malaria falsiparum berat pada kehamilan aterm menimbulkan resiko mortalitas yang tinggi. Distres maternal dan fetal dapat terjadi tanpa terdeteksi. Oleh karena itu, perlu dilakukan monitoring yang baik, bahkan untuk perempuan hamil dengan malaria berat sebaiknya dirawat di unit perawatan intensif.

37

Malaria falsiparum merangsang kontraksi uterus yang menyebabkan persalinan premature. Frekuensi dan intensitas kontraksi tampaknya berhubungan dengan tingginya demam. Gawat janin sering terjadi dan seringkali tidak terdeteksi. Oleh karena itu, perlu dilakukan monitoring terhadap kontraksi uterus dan denyut jantung janin untuk menilai adanya ancaman persalinan premature dan takikardia, serta bradikardia atau deselerasi lambat pada janin yang berhubungan dengan uterus karena hal ini menunjukkan adanya gawat janin. Harus diupayakan segala cara untuk menurunkan suhu tubuh dengan cepat, bai dengan kompres dingin maupun permberian antipiretika seperti parasetamol. Pemberian cairan dengan seksama juga merupakan hal penting. Hal ini disebabkan baik dehidrasi maupun overhidrasi harus dicegah dengan karena kedua keadaan tadi dapat membahayakan baik bagi ibu maupun janin. Pada kasus parasitemia berat, harus dipertimbangkan tindakan transfuse ganti. Bila diperlukan, dapat dipertimbangkan untuk melakukan induksi persalinan. Kala II harus dipercepat dengan persalinan buatan bila terdapat indikasi pada ibu atau janin. Seksio sesarea dilakukan berdasarkan indikasi obstetrik.

N. Pengobatan Malaria Pada Kehamilan Kehamilan mengubah imunitas wanita terhadap malaria menjadi lebih rentan. Malaria dalam kehamilan terkait dengan berat badan lahir rendah, anemia, peningkatan risiko komplikasi, meningkatkan resiko abortus dan kematian. Malaria ringan biasanya tanpa gejala atau dengan gejala yang tidak spesifik.7,9 Pengobatan malaria untuk semua fase kehamilan yaitu klorokuin sebagai obat pilihan. Jika parasit nya sensitif dan jika sesuai dengan jenisnya dan beratnya infeksi malaria. Jika resistensi klorokuin parasit kemungkinan atau telah dibuktikan, obat lain harus digunakan untuk profilaksis dan pengobatan malaria.9

38

Organogenesis terjadi terutama pada trimester pertama, oleh karena itu menjadi perhatian terbesar, meskipun perkembangan sistem saraf berlanjut

sepanjang kehamilan. Meskipun data dari studi prospektif terbatas, obat-obatan antimalaria dianggap aman pada trimester pertama kehamilan adalah

kina, klorokuin, klindamisin dan proguanil. Ibu hamil pada trimester pertama dengan malaria falciparum tanpa komplikasi yang harus ia diobati dengan kina ditambah klindamisin selama tujuh hari.7,9,13

1. Pengobatan Trimester Pertama Pada Malaria Falciparum Tanpa Komplikasi Pada Kehamilan Turunan artemisinin dapat digunakan sebagai monoterapi atau sebagai ACT (misalnya artesunat ditambah sulphadoxine / pirimetamin, artesunat

ditambah mefloquine) pada trimester kedua dan ketiga kehamilan untuk pengobatan resistan terhadap malaria falciparum. Selama trimester pertama, artemisinin derivat hanya boleh digunakan jika tidak ada alternatif yang aman dan efektif. Untuk mengevaluasi perkembangan morfologi janin, pemeriksaan USG rinci dapat dipertimbangkan setelah trimester pertama paparan turunan artemisinin.9,13 2. Pengobatan Kedua dan Trimester Ketiga Pada Malaria Falciparum Tanpa Komplikasi Pada Kehamilan Tabel 1. Pengobatan dosis terapeutik OAM dalam kehamilan Obat Anti Malaria Klorokuin 25 Dosis Oral Mg base/kg selama 3 hari (10 mg/kg hari I-II, 5 mg/kg hari III) Amodiakuin 25 Mg base/kg selama 3 hari Tidak direkomendasi untuk trimester I Sulfadoksinpirimetamin Meflokuin 15-20 Sulfadoksin: 25 mg/kg Pirimetamin: 1 mg/kg mg base/kg (dosis Tidak direkomendasi untuk trimester I Tidak direkomendasi Keamanan Aman untuk semua trimester

39

tunggal) Kinin 10 mg garam/kg tiap 8 jam selama 5 7 hari Artesunat Atau: Artemether 10-12 mg/kg per hari selama 2-3 hari

untuk trimester I Aman untuk semua Trimester

Tidak direkomendasi untuk trimester I

Catatan : 1. Pemilihan obat seimbang antara efek samping untuk ibu & janin, biaya pengobatan, efikasi obat termasuk resistensi, dan kemungkinan kepatuhan pada pengobatan. 2. Kinin dapat dikombinasikan dengan antibiotik di daerah resisten kinin 3. Kebijakan pengobatan malaria di Indonesia hanya menganjurkan pemakaian klorokuin untuk pengobatan dosis terapeutik dalam kehamilan, sedang kinin untuk pengobatan malaria berat14 N. Farmakologi AntiMalaria Kemoterapi malaria malaria merupakan penyakit infeksi akut yg disebabkan oleh 4 spesies protozoa genus plasmodium. parasite ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk anopheles betina, yang hidup di daerah rawa basah. plasmodium falciparum merupakan spesies paling bahaya yang menyebabkan penyakit akut, hebat dengan tanda-tanda panas tinggi kontinu, hipotensi ortostatik dan eritrositosis massif (anggota gerak bengkak dan kemerahan). jika pengobatan tidak segera dilakukan, infeksi Plasmodium falciparum dapat menimbulkan obstruksi kapiler dan kematian. plasmodium vivax menyebabkan penyakit yang lebih ringan. P. malariae sering terdapat di daerah tropis tetapi plasmodium ovale jarang ditemukan. resistensi nyamuk terhadap insektisida

40

dan parasite terhadap obat menyebabkan tantangan baru dalam terapi terutama pengobatan P.falciparum. 8 A. Siklus hidup parasite malaria jika nyamuk yang terinfeksi menggigit, nyamuk memasukkan sporozoit Plasmodium ke dalam aliran darah. sporozoit bergerak ke dalam darah ke hati membentuk struktur seperti kista yang mengandung ribuan merozoit (diagnosis tergantung pada identifikasi laboratorium adanya parasite dalam sel darah merah pada preparat apus darah perifer). setelah lepas, tiap merozoit menyerang sel darah merah, menggunakan hemoglobin sebagai makanan. akhirnya, sel yang terinfeksi pecah, melepaskan hem dan merozoit dan dapat memasuki eritrosit lain. Efektivitas obat ini terkait pada spesies plasmodium yang menyerang dan tingkat siklus hidup. 8 B. Skizontisid jaringan: Primakuin primakuin adalah 8-aminokuinolin yang memusnahkan bentuk eritrosit primer P.Falciparum dan P. Vivax dan bentuk eksoeritrosit sekunder dari malaria berulang (P.vivax dan P.Ovale). selain itu, bentuk seksual (gametosit keempat plasmodium dihancurkan dalam darah atau tidak sampai berkembang dalam nyamuk. karena aktivitasnya berkurang terhadap skizontisid eritrosit, primakuin sering digunakan dalam hubungannya dengan skizontisid. 8 1. cara kerja: hal ini belum diketahui. intermediet dianggap bekerja sebagai oksidan yang bertanggung jawab untuk kerja skizontisidal serta untuk hemolysis dan methemoglobinemia ditemukan sebagai toksisitas. 8 2. spectrum antimikroba: merkipun terdapat kesamaan struktur 4aminokuin (missal: klorokuin) 8-aminokuin hanya efektif untuk fase eksoeritrositer jaringan dan tidak untuk tahaperitrositik malaria. obat ini satu-satunya yang dapat menyebabkan penyembuhan radikal malaria P.Vivax dan P.Ovale yang dapat menetap di dalam hati setelah bentuk

41

eritrositik penyakit dihapuskan. karena primakuin juga dapat membunuh gamet keempat spesies plasmodia, penularan penyakit dihalangi. 8 3. farmakokinetik: primakuin mudah diabsorpsi per oral dan tidak ditimbun dalam jaringan. obat ini secara cepat dioksidasi menjadi banyak senyawa,yang utama adalah obat mengalami deaminasi.belum dikertahui senyawa mana yang bersifat skizontosid. metabolit dikeluarkan dalam urine.
8

4. efek samping: efek samping primakuin kecil kecuali anemia hemolitik akibat obat pada pasien dengan kadar enzim G-6-PD (Glukosa-6-Fosfat dehydrogenase) rendah secara genetik. bentuk toksik lain terjadi setelah penggunaan dosis besar seperti nyeri lambung, terutama kombinasi dengan klorokuin (yang dapat mempengaruhi kepatuhan pasien), dan kadang-kadang metheglobinemia, granulositopenia, hemoglobinopati dan agranulositosis jarang terjadi kecuali pada pasien lupus atau atritis dan pada wanita hamil fetusnya dapat menyebabkan G-6-PD sehingga beresiko hemolisis. 8 C. Skizontisid darah: Klorokuin klorokuin adalah 4-aminokuinolin sintetik yang merupakan obat utama anti malaria sampai munculnya strain resiten dari P. Falciparum. 8 1. cara kerja: beberapa organisme telah diketahui klorokuin membunuh organisme setelah menumpuk dalam organisme. 8 a. kerusakan yang disebabkan penumpukan hem: klorokuin masuk sel darah merah dan mengganggu enzim khusus yang penting untuk kehidupan parasite dalam sel darah merah, parasite memakan hemoglobin dari sel pejamu untuk mendapatkan asam amino sesnsial dan besi. Namun, proses ini juga melepaskan sejumlah besar hem yang larut dan toksik untuk parasite. untuk melindungi dirinya. parasite biasanya, mengadakan polimerisasi hem menjadi hemozoin (suatu pigmen) yang pecah dalam vakuola makanan parasite. klorokuin menghambat polymerase dan hem yang larut, membunuh organisme dengan menghambat proteinase dalam vakuola makanan.

42

klorokuin juga terikat pada ferriprotoporfirin IX, yang dibentuk dari pemecahan hemoglobin dalam eritrosit infeksi. kompleks yang terjadi akan merusak membrane dan akhirnya menghancurkan parasite dalam sel darah merah. 8 b. Alkalinasi vakuol makanan: klorokuin masuk vakuol makanan parasite dengan sistem transport aktif, di dalam vakuola makanan yang asam ini, obat yang sangat basa bersatu dengan protein dan terperangkap menyebabkan alkalinasi oraganel ini. keadaan ini menyebabkan parasite tidak mampu melakukan digesti hemoglobin. 8 c. penurunan sintesis DNA: obat ini dapat juga mengurangi sintesi DNA dalam parasite dengan merusak struktur tersier asam nukleat. 8 2. Resistensi: resistensi plasmodia terhadap obat-obat yang beredar telah menjadi masalah kesehatan yang serius di Asia dan beberapa Negara di Amaerika Tengah dan Selatan. P.falciparum yang resisten terhadap klorokuin mengandung P-glikoproteinparum yang resisten yang berhubungan dengan membrane dan mengeluarkan obat dari organisme. 8

3. Spectrum antimikroba: klorokuin merupakan obat pilihan untuk pengobatan malaria falsiparum erositik, kecuali pada strain yang resisten. klorokuin kurang efektif terhadap P.vivax sangat spesifik untuk bentuk aseksual dari P.vivax dan P.falciparum. obat ini juga efektif dalam pengobatan amebiasis ekstraintestinal. sifat anti-inflamasi klorokuin kadangkadang digunakan untuk pada artritis rheumatoid dan discoid lupus eritematous. 8

4. Farmakokinetik a. pemberian dan distribusi: klorokuin diabsorpsi sempurna dengan cepat setelah pemberian oral. Biasanya empat hari pengobatan sudah cukup untuk mengobati penyakit tersebut. Obat ditimbun dalam eritrosit, hepar, lien, renal, paru-paru dan jaringan yang mengandung melanin serta leukosit. Jadi,

43

obat ini mempunyai volume distribusi yang amat besar. Dapat menetap dalam eritrosit. Obat ini juga masuk SSP dan melewati plasenta. 8 Klorokuin mengalami dealkilasi oleh enzim hepatic mixed function disease, tetapi produk metabolit tetap aktif sebagai antimalaria. Obat asli dan metabolit dikeluarkan terutama dalam urine. Ekskresi mengingkat dalam urine yang asam. 8

5. Efek samping: efek samping pada dosis yang rendah digunakan untuk kemosupresi malaria. Pada dosis tinggi, bahaya efek toksisk terjadi seperti gangguan pencernaan, gatal-gatal, sakit kepala dan gangguan penglihatan. Perubahan warna bantalan kuku dan membrane mukosa dapat terjadi pada penggunaan jangka panjang. Penggunaan pada penderita penyakit hati harus berhati-hati. demikian pula masalah pencernaan yang berat, penyakit neurologi atau darah. Klorokuin dapat menyebabkan perubahan

elektrokardiografi, karena efeknya seperti kuinidin. obat ini juga mengeksaserbasi dermatitis yang disebabkan oleh emas atau fenilbutason. Pasien dengan psoriasis atau profiria kontraindikasi dengan klorokuin. 8 D. Skizontisi darah: Kuinin Kuinin sekarang digunakan untuk jenis malaria yang resisten dengan obat lain. obat ini mempengaruhi sintesis DNA. 1. Farmakokinetik: jika organisme resisten klorokuin ditemukan, terapi biasanya terdiri atas kombinasi kuinin, pirimetamin dan sulfonamide. Semua diberikan peroral agar mudah didistribusikan ke seluruh tubuh dan dapat mencapat fetus melewati plasenta. Alkalinisasi urine akan menurunkan ekskresi. 8 2. Efek samping: kinkonisme, suatu sindrom yang menyebabkan mual, muntah, tinnitus dan vertigo. Efek ini reversible dan tidak dianggap sebagai alas an menghentikkan terapi. Namun kuinin dhentikan jika terdapat tes 44

Coombs positif untuk anemia hemolitik. Diantara interaksi obat 1) retardasi absorpsi jika kuinin diberikan bersama antasida yang mengandung aluminium. 2) potensiasi penghambatan neuromuscular dan 3) peningkatan kadar digoksin jika diminum secara bersamaan. Kuinin bersifat fetotoksik. 8 E. Skizontisid darah: meflokuin Meflokuin memberikan harapan untuk digunakan sebagai obat tunggal yang efektif menekan bentuk P.falciparum yang multiresisten. Mekanisme kerja yang pasti belum jelas, tetapi mungkin merusak membrane parasite seperti kuinin. Jenis yang resisten telah ditemukan. Meflokuin diabsorpsi dengan baik setelah pemberian oral dan ditimbun dalam hati dan paru. Waktu paruh panjang (17hari) karena konsentrasi diberbagai jaringan dank arena sirkulasinya yang harus terus menerus melalui sistem enterohepatik dan enterogastritik. Obat mengalami mengalami metabolism yang luas. Ekskresi terutama dalam feses. Reaksi nonklinik pada dosis tinggi antara lain mulai dari mual, muntah dan pusing sampai disorientasi, halusinasi dan depresi. Kelainan elektrokardigrafi dan penghentian jantung terjadi jika meflokuin diminum bersama kuinin atau kuinidin atau beta blocker. Obat ini tidak dianjurkan untuk wanita hamil karena berefek teratogenik pada trimester pertama. 8 F. Skizontisid darah dan sporontosid: Pirimetamin Obat antifolat, pirimetamin, sering diberikan sebagai skizontisid darah untuk mendapatkan penyembuhan radikal. Obat ini juga bekerja sebagai sporotosid kuat dalam usus nyamuk jika nyamuk tersebut menghisap darah penjamu yang mengandung obat tersebut. Pirimetamin menghambat dihidrofolat reduktase plasmodium pada konsentrasi yang lebih rendah dari

penghambatan enzim yang sama pada mamalia. Penghambatan ini menyebabkan protozoa kekurangan tetrahidrofolat, suatu kofaktor yang diperlukan dalam biosintesis purin dan pirimidin, interversi asam amino tertentu. Pirimetamin sendiri efektif terhadap P.falciparum jika diberikan 45

pada P.malariae dan toxoplasma gondii. Jika terjadi anemia megaloblastik, dapat ditolong dengan leukovorin. 8

O. Anti malaria lain 1. Proguanil atau kloroguanid ialah turunan biguanid yang berefek skizontisid melalui mekanisme antifolat. Obat ini mudah penggunaannya dan hamper tanpa efek samping. Dahulu digunakan terutama untuk terapi profilaksis dan supresi jangka panjang terhadap malaria tropika. Proguanil mudah resisten, sehingga kegunaan proguanil telah tergeser sebagai antifolat yang lebih efektif. Untuk profilaksis, proguanid dapat dikombinasikan dengan klorokuin sebagai alternatif meflokuin. Proguanil tersedia sebagai kombinasi tetap 100mg dengan atovakuon 250mg yang efektif untuk profilaksis malaria, terutama falciparum. Selain itu, kombinasi ini juga dicadangkan untuk mengobati serangan klinis malaria palcifarum. Efek samping berupa gangguan neuropsikiatrik. Proguanil aman digunakan untuk ibu hamil. Demikian juga penggunaannya bersama dengan klorokuin dan atovakuon. 8

2. Halofantrin Halofantrin adalah fenantrena methanol yang secara struktur mirip dengan kina. Digunakan sebagai pilihan selain kina dan meflokuin untuk mengobati serangan akut malaria yang resisten terhadap klorokuin dan falsiparum yang resisten terhadap berbagai obat. Halofantrin mempunyai efektivitas yang tinggi sebagai skizontisid darah, tetapi tidak untuk fase eksoeritrosit dan gametosit. Penggunaan halofantrin terbatas, karena absorpsinya yang ireguler dan potensinya menimbulkan aritmia jantung. Halofantrin tidak digunakan untuk profilaksis. Setelah pemberian oral, kadar puncak plasma dicapai dalam 4-8jam, waktu paruhnya berkisar antara 10-90 jam. Pada manusia halofantrin diubah menjadi N-desbutil halofantrin suatu metabolit utama yang memiliki efek antimalaria. Efek sampingnya antara lain mual,

46

muntah, nyeri abdomen, diare, pruritus dan ras. Halofantrin tidak dianjurkan diberikan pada wanita hamil dan menyusui, pasien dengan gangguan konduksi jantung serta pasien yang menggunakan meflokuin. Pada dosis yang tinggi halofantrin dapat menimbulkan aritmia ventricular, bahkan kematian. Untuk pengobatan malaria palsifarum diberikan 3 kali 500mg per oral setiap 6 jam, dan pemberian dosis diulang lagi setelah 7 hari. Lumefantrin adalah suatu arialkohol halofantrin yang tersedia dalam bentuk kombinasi tetap dengan aretemeter. Kombinasi ini sangat efektif mengobati malaria falsiparum dan belum ada laporan tentang adanya efek kardiotoksik.
8

3. Tetrasiklin Doksisiklin digunakan untuk profilaksis bagi daerah-daerah yang endemic terjangkit P. Falciparum yang resisten dengan berbagai obat. Dosis dewasa adalah 100mg oral per hari, diberikan 2 hari sebelum masuk daerah endemic sampai 4 minggu setelah meninggalkan daerah endemik. Pemberian dianjurkan tidak lebih dari 4 bulan. Dosis anak usia lebih dari 8 tahun ialah 2mg/kgBB peroral selama 7 hari. Doksisiklin tidak dianjurkan diberikan pada anak usia kurang 8 tahun, wanita hamil dan mereka yang hipersensitif terhadap tetrasiklin. 8

4. Kombinasi sulfadoksin-Pirimetamin Obat ini sangat efektif untuk mengobati parasite malaria falsiparum yang resisten terhadap klorokuin. Namun penggunaan rutin untuk keperluan kemoprofilaksis malaria tidak dianjurkan sebab obat ini relatif toksik. Obat ini bekerja dengan cara mencegah pembentukkan asam folinat (asam tetrahidrofolat) dari PABA pada plasmodia. Pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal maupun hati.juga bila ada diskrasia darah, sebaiknya tidak digunakan obat ini untuk keperluan kemoprofilaksis malaria, relatif toksik. Sulfadoksin pirimetamin dibuat dalam bentuk tablet yang kombinasi tetap 500mg sulfadoksin dan 25mg pirimetamin. 8

47

a. Indikasi: terapi malaria falsiparum yang resisten terhadap klorokuin obat ini diberikan dalam dosis tunggal, yaitu: 3 tablet untuk dewasa atau anakBB>45kg Obat ini juga digunakan sebagai terapi tambahan untuk kina dalam mengatasi serangan akut malaria tanpa implikasi oleh p.falsiparum yang resisten klorokuin dapat diberikan sulfadoksin-pirimetamin 3 tablet sekali setelah pemberian kina 3 x 650mg perhari selama 3-7hari. 8

Terapi persumptif untuk malaria falsiparum. Obat ini digunakan untuk mengatasi demam yang diduga serangan akut malaria falsiparum. Pengobatan ini dilakukan di daerah endemic malaria, dimana pasien tidak mau memperoleh pelayanan medic yang layak. Dianjurkan setelah pemakaian obat tersebut, pasien secepat mungkin memeriksakan dirinya pada fasilitas medik yang lengkap untuk memperoleh diagnose yang pasti dan pengobatan yang tepat. 8

Sulfadoksin-pirimetamin dikontraindikasikan bagi ibu menyusui, anak usia < 2 bulan, dan pasien yang punya riwayat reaksi buruk dengan sulfonamide. Penggunaan kombinasi sulfadoksin-pirimetamin jangka lama sebagai profilaksis malaria tidak dianjurkan, sebab sekitar 1:5000 pasien akan mengealami reaksi kulit yang hebat bahkan mematikan seperti eritema multiforme, sindroma steven jhonson atau nekrolisis epidermal toksik. Obat ini dikontraindikasikan bagi pasien yang sebelumnya memperlihatkan reaksi buruk terhadap sulfonamide, ibu menyusui dan bayi berumur kurang dari dua bulan. 8

5. Artemisin dan derivatnya. Obat ini merupakan senyawa trioksan yang di ekstrak dari tanamanobat, penggunaannya pada malaria telah lama di uji di Cina dan akhir-akhir ini juga di Birma, Gambia, Vietnam, dan Nigeria. Tanaman ini terdapat juga dibeberapa daerah di Indonesia. Senyawa ini

48

menunjukkan sifat skizontosid daerah yang cepat in vitro maupun in vivo sehingga digunakan untuk malaria yang berat. Agaknya ikatan

endoperoksida dalam senyawa ini berperan dalam penghambatan sintesis protein yang di duga merupakan mekanisme kerja antiparasit ini. Artesunat adalah garam suksinil natrium artemisinin yang larut baik dalam air tetapi tidak stabil dalam larutan. Sedangkan artemeter adalah metil eter artemsin yang larut dalam lemak. 8

Dari beberapa uji klinikterlihat bahwa artemeter cepat sekali mengatasi parasitemia pada malaria yang ringan maupun berat. Artemeter oral segera diserap dan mencapai kadar puncak dalam 4-9 hari. Obat ini mengalami demetilisasi di hati menjadi dihidro artemisin. Waktu paruh eliminasi artemetersekitar 4 jam, sedangkan dihidroartemisinin sekitar 10 jam. Ikatan protein plasma beragamantar spesies, pada manusia sekitar 77% terikat pada protein. Kadar plasma artemeter pada penelitian dengan zat radioaktif sama dengan dalam eritrosit, menunjukkan bahwa distribusi ke eritrsit baik. Artemisin adalah obat yang paling efetif, aman, dan kerjanya cepat malaria yang disebabkan oleh p.falciparum yang resisten terhadap klorokuin dan obat-obat yang lainnya, serta efektif terhadap malaria serebral. Relaps seringkali terjadi pada pemberian jangka pendek bahkan bila terapi selama 5-7 hari sehingga atemisin dan derivatnya sebaiknya diberikan bersama dengan obat lain untuk mencegah relaps misalnya meflokuin atau doksisiklin. Karena masa paruhnya pendek artemisin tidak bermanfaat untuk profilaksis. Efek samping yang paling sering dilaporkan adalah mual, muntah, dan diare. Artemisin tidak dianjurkan pada wanita hamil trimester pertama kaarena embriotoksik. 8

6. Atovakuon Atovakuon adalah hidroksi naflo kuinon. Obat ini hanya diberikan secara oral. Bioavaibilitasnya rendah dan tidak menentu, tetapi abdorpsinya dapat

49

ditingkatkan oleh makanan berlemak. Sebagian besar obat terikat dengan protein plasma memiliki waktu paruh 2-3 hari. Sebagian besar obat dieliminasi dalam bentuk utuh ke dalam feses. Mekanisme kerja adalah dengan menghambat transport electron pada membrane mitokondria plasmodium. 8 Penggunaan awal atovakuon untuk terapi malaria, hasilnya mengecewakan. Kegagalan ini rupanya berkaitan dengan resistensi parasit. Kombinasi tetap atovakuon 250mg dengan proguanil 100mg per oral, menunjukkan hasil yang sangat efektif untuk pengobatan malaria fasiparum ringan/sedang yang resisten terhadap klorokuin atau oba-obat lainnya.8

P. Pencegahan Malaria 1. Insecticide-treated nets (ITNs) Dari semua metode mencegah gigitan nyamuk, tidur dengan ITN kemungkinan adalah yang paling efektif karena nyamuk menggigit malam hari saat wanita tersebut tertidur. ITNs menurunkan kontak manusia dengan nyamuk dengan cara membunuh nyamuk bila hinggap atau dengan mengusir nyamuk tersebut. Meskipun kelambu bisa juga dapat memberikan proteksi terhadap nyamuk, kelambu tersebut kurang efektif dibandingkan ITNs. Perbandingan kelambu biasa dengan ITNs. Kelambu Biasa Memberikan sedikit ITNs proteksi Memberikan proteksi tinggi

terhadap malaria -

terhadap malaria Membunuh atau mengusir nyamuk

Tidak membunuh atau mengusir -

nyamuk yang menyentuh kelambu Tidak mengurangi jumlah nyamuk

yang menyentuh kelambu Mengurangi jumlah nyamuk di

Tidak membunuh serangga lain dalam dan luar kelambu Membunuh serangga lain seperti

seperti kutu, dan kecoa

50

Aman

digunakan

bagi

wanita kutu, dan kecoa Aman digunakan bagi wanita

hamil, anak-anak, dan bayi

hamil, anak-anak, dan bayi 2. Intermitten Preventive Treatment (IPT) Intermitten preventive treatment (IPT) malaria dalam kehamilan adalah

berdasarkan asumsi bahwa setiap wanita hamil yang tinggal di daerah dengan transmisi malaria yang tinggi memiliki parasit malaria di dalam darah atau plasentanya, baik wanita tersebut memiliki atau tidak memiliki gejala malaria. Penelitian menunjukkan bahwa IPT adalah strategi yang efektif dan dapat diterapkan untuk menurunkan resiko anemia berat pada primigravida yang tinggal di area malaria. Bahkan wanita yang baru mendapat dosis satu kali oleh karena terlambat memeriksakan kehamilannya, secara signifikan mendapat manfaat dari intervensi ini. Oleh karena itu WHO merekomendasi bahwa semua wanita hamil sebaiknya diberikan tiga dosis sulfadoksin-pirimetamin (SP) setelah

gejala quickening (terasanya gerakan bayi pertama kali) dan paling sedikit 1 bulan berikutnya. Mencegah parasit menyerang plasenta membantu fetus untuk berkembang secara normal dan mencegah berat lahir rendah.

IPT sebaiknya diberikan pada semua wanita hamil, baik yang memiliki gejalagejala malaria maupun tidak, namun terutama sangat penting bagi wanita yang memenuhi kondisi seperti berikut: Hamil yang pertama atau kedua HIV positif Usia antara 10-24 tahun Memiliki anemia yang tidak dapat dijelaskan selama kehamilan Tinggal di daerah dengan transmisi malaria rendah Pindah dari daerah dengan transmisi malaria rendah

Dosis dan waktu pemberian klorokuin (untuk pasien dengan alergi SP)

51

Nomor dosis 1

Jumlah

tablet

klorokuin

(150 mg setiap tablet) 4

Saat pemberian klorokuin Kunjungan pertama setelah usia

kehamilan 16 minggu 2 3 Tiap minggu 4 2 2 Hari kedua setelah dosis pertama Hari ketiga setelah dosis pertama Tiap minggu untuk sampai melahirkan

3. Cara lain mencegah malaria Wanita hamil memiliki resiko 2 kali lebih tinggi untuk digigit nyamuk disbanding wanita tidak hamil kemungkinan oleh karena kulit wanita hamil lebih hangat dibanding wanita tidak hamil. Tutup pintu dan jendela dengan kawat nyamuk untuk mencegah nyamuk

masuk ke rumah o o o Menghindari keluarnya rumah malah hari. Bila akan keluar: Gunakan pakaian yang menutupi seluruh lengan dan tungkai. Gunakan repelen nyamuk berupa krim pada daerah kulit yang terekspos Gunakan obat nyamuk bakar (terutama bila duduk di luar rumah) yang

mengeluarkan asap. Asap tersebut mengusir nyamuk atau membunuhnya sewaktu terbang melewatinya. Semprot kamar-kamar dengan insektisida sebelum tidur setiap malam. Oleh

karena semprotan tersebut hanya efektif untuk beberapa jam, metode ini hanya digunakan sebagai kombinasi tindakan lain seperti pintu dan jendela yang berkawat nyamuk. Secara langsung bunuh nyamuk dalam rumah dengan memukulnya.

52

BAB III PENUTUP

1. Kesimpulan Adapun kesimpulan pembuatan makalah ini adalah : 1. Malaria adalah penyakit infeksi parasit yang disebabkan oleh Plasmodium yang menyerang eritrosit dan ditandai dengan ditemukannya bentuk aseksual di dalam darah. Infeksi malaria memberikan gejala berupa demam, menggigil, anemia dan hepatosplenomegali yang dapat berlangsung akut maupun kronik 2. Infeksi malaria dapat disebabkan oleh semua spesies Plasmodium penyebab malaria, yaitu : Plasmodium falciparum, Plasmodium vivax, Plasmodium ovale, Plasmodium malariae. 3. Diagnosis kehamilan dengan malaria ditegakkan mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan apus darah tepi, serologi dll. 4. Penatalaksanaan kehamilan dengan malaria : Pencegahan transmisi,

Pengobatan malaria, Pengobatan komplikasi, Penangan proses persalinan. 5. Farmakologi obat-obatan malaria dalam kehamilan. Terapi klorokuin tetap menjadi lini pertama jika belum resisten. Alternatif dari klorokuin adalah kuinin, kuinidin, dan proguanil bisa untuk semua trimester.

Artesunat/artemeter, meflokuin, sulfadoksin hanya bisa trimester kedua dan ketiga. Kontraindikasi pada malaria dalam kehamilan adalah golongan primakuin, tetrasiklin, doksisiklin, dan halo fantrin.

6. Pencegahan kehamilan dengan malaria dapat menggunakan kelambu berinsektisida (ITN) dan IPT

53

DAFTAR PUSTAKA

1. Review : Malaria in pregnancy. BJOG : International Journal of Obstetrics and Gynaecology. Blackwell publishing. September 2005, Vol 112, 1189-95. 2. Stray-Pederson. Parasitic Infection. In: Cohn WR, eds. Cherry-Merkatz's Complication of Pregnancy. 5 th ed. Philladelphia : Lippincott Williams and Wilkins 2000: 699-724. 3. Warouw NN. Malaria dalam Kehamilan. Dalam: Tarjoto EH, Kosim Muetiana P,eds. Naskah Lengkap Kongres Nasional VII Perhimpunan, Perinatologi Indonesia dan Simposium lnternasional. Semarang; 2000:24154. 4. Mustadjab I. Malaria kongenital. Bagian ilmu kesehatan anak

FKUNSRAT Prof. Dr.RD Kandou, Manado. 5. Kothare SO, Kaliapur, 56, Bram SF, ed. Congenital Malaria. J Clin Med 1987; 33 : 158 - 61. 6. Viraraghavan, Jantausch B. Congenital Malaria : diagnosis and therapy. J Pediatric Therapy(1) : 66 - 61. 7 . Hewson MP, Simmer K, Blackmore I. Kongenital malaria intra uterine. J. Pediatr. Intl. 1997 : 28-33. 8. Sardjono, U.S., Handoko, T., Zubaidi, J., Sunaryo, Sukarban, S. 2007. Farmakologi dan Terapi Edis 5 Bagian farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Gaya Baru : Jakarta. 9. WHO. Severe falciparum maiaria. Transactions of the Royal Society ed Tropical Medicine and Hygiene 2000;V,4:S1 ~12 10. Kampenplan TH, Dianto. Congenital falciparum malaria with chloroquine resistance type II. Paediatrica Indonesiana 4 - 2 0 . 1 1 . Starr SR, Wheeler US. Index of Suspicious Case of Congenital Malaria. Pediatr. Rev 1990; 19 (10) : 3 3 8 - 6 0 .

54

12. Rampengan. Malaria. Dalam . Soemarno FS, Garnadi, Hadinegoro S, eds. Buku ajar ilmu kesehatan anak : infeksi dan penyakit tropik.Edisi pertama Jakarta : Balai penerbit FKUI Vol I : 44~9. 13. Singh N, Saxena N. Placental Plasmodium Vivax Infection. Congenital Malaria in Central India. Ann Trop J ed. Parasitol. 2003; 7 (10) : 875 - 78. 14. Nugroho A, Harijanto PN, Datau EA. Imunologi pada Malaria. Dalam : Harijanto PN, eds. Malaria : Epidemiologi, P atogenesis, Manifestasi Klinis dan Penanganan. Edisi I. Jakarta : EGC 2000 : 129 -47. 15. Shah I. Congenital malaria with aparasitemia on peripheral smear. JAMA 2002; 2007: 1520 - 21. 16. Ndyomugyeny: R, Magnussen P. Cloroquine prophylaxis, iron/folic-acid supplementation or case management of malaria attack in primigravidae in westem Uganda : effect on congenital malaria and infant haemoglobin concentrations. Ann Trop Med Parasitol. 2004, 94 (18) : 759 - 68. 17. Naing T, Win H, New YY. Falciparum Malaria and Pr egnancy : Relationship and Treatment Response. Southeast Asian J Trop Med. Vol 19 No.2 June 1988. 18. Haider M, Arishi A, Ibrahim S. Chloroquine resistant plasmodium falciparum malaria in an extremely premature infant. Annals of Study medicine 1999; 19 : 215 - 7. 19. Quin JC, Bolinger RC. Parasitic diseases during pregnancy. In: Sciarra JJ. Maternal Fet al Medicine. Vol 3. 1997.

55

Vous aimerez peut-être aussi