Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
A. Pendahuluan: Diaspora
diri pada institusi perpustakaan dan pustakawan dari sederatan faktor lain yang
memepengaruhinya, terlebih alliteret dan illiteret adalah sebuah tradisi yang masih
mengakar pada bangsa Indonesia.
B. Refleksi Diaspora
C. Hukum Kausalitas
Dalam hukum kausalitas, ada sebab tentu saja ada akibat, begitu pula yang
dialami dengan perpustakaan di negriku. Ada bebarapa faktor-faktor yang
menyebabkan perpustakaan di negriku mengalami fase diaspora. Faktor-faktor
tersebut merupakan faktor internal dan eksetrnal. Dalam faktor internal adalah unsur
penggerak yang ada didalamnya, terutama pustakawan sebagai komunitas yang
berperan aktif dalam kedinamisan sebuah aktivitas perpustakaan. Seringkali seorang
pustakawan hanya terjebak dalam rutinitas pekerjaan sehari-hari yang bersifat teknis
tanpa ada keinginan mengevaluasi dari setiap profesi yang digelutinya. Karenanya
kecendrungan institusi perpustakaan sebagai “second institution,’ seharusnya menjadi
celah bagimana pustakawan harus menunjukan profesinya secara profesional 3 ,
bukannya pekerjaan rutinitas yang dilakukan sehari-hari tanpa sebuah standarisasi.
oleh sebab itu, pustakawan yang baik adalah pustakawan yang menggunakan
kemampuan intelektualnya dalam pekerjaan rutinitasnya. Ini artinya pola pikir
seorang pustakawan harus berjiwa kreatif, inovatif, dan dinamis bukannya melakukan
pekerjaan yang hanya berpijak pada metode ‘gugur kewajiban’ tanpa berorientasi
pada hasil nyata. Hal ini tentu saja akan berdampak pada image perpustakaan yang
tetap dipandang sebagai institusi pasif dan termarjinalkan.
2
Deskripsi fenomena perpustakaan di Indonesia lebih detail tercantum dalam Naskah Akademis
Rancangan Undang-Undang Perpustakaan (RUU Perpustakaan)
3
Sulistiyo Basuki dalam tulisannya yang berjudul “Pustakwan Sebagai Profesional Informasi
Modern: Tantangan dan Peluang, ” bahwa intisari dari profesionalisme adalah pelaksanaan tugas dan
kewajiban untuk memenuhi klien / nasabah, meliputi pengambilan keputusan yang mungkin
berdampak luas terhadap masyarakat.
4
Sedangkan pada faktor eksternal, ada tiga pokok utama yang menyebabkan
terjadinya diaspora pada perpustakaan di negriku. Pertama, terlepas dari perpustakaan
non pemerintah, aspek politis pemerintah pusat dan daerah (politicaal will) yang
masih kurang serius untuk memberikan jalan pengembangan pada perpustakaan di
negriku. Indikator tersebut dapat dilihat dari besarnya alokasi dana untuk program
pengembangan baik dukungan infrasrtuktur perpustakaan maupun untuk para
penggeraknya. Karena institusi perpustakaan merupakan institusi non profit, maka
pengalokasian dana yang besar untuk realisasi kegiatan dianggap suatu pemborosan.
Hal ini tentu saja karena adanya diskriminatif dari pemerintah pusat maupun daerah
yang hanya lebih terfokus pada pembangunan infrastruktur lainya dibandingkan
dengan pembangunan yang berkaitan dengan kemajuan perpustakaan. Akibatnya
permasalahan terbenturnya dana menjadi alasan yang klasik untuk
mendinamisatorkan perpustakaan. Ketika acara Rapat Kerja Pusat ke-11 dan Seminar
Ilmiah Ikatan Pustakawan Indonesia di Gedung Perpustakaan Nasional yang dihadiri
oleh sekitar 182 pustakawan dari berbagai daerah di Indonesia, para pustakawan
mengeluh soal anggaran pengelolaan yang minim, baik dari APBN maupun APBD.
Hal ini dikatakan pula oleh Syamsul Murquote Arif yang menjadi pembicara dalam
Rapat Kerja Pusat ke-11 dan Seminar Ilmiah Ikatan Pustakawan Indonesia tersebut.
Mentri Negara Komunikasi dan Informasi di era Presiden Mega ini, menyatakan
bahwa persoalan anggaran masih menjadi permasalahan serius. Kasus lain apa yang
pernah dinyatakan oleh Gubernur Jawa Barat, Danny Setiawan, bahwa di Propinsi
Jawa Barat masih banyak pemerintah kabupaten/kota yang belum memberikan
apresiasi positif terhadap perpustakaan daerah. Hal tersebut merupakan wakil potret
buram perpustakaan di negriku bahwa institusi perpustakaan dalam hal pengalokasian
anggaran masih minim adanya. Disisi lain, kurang cepatnya proses legitimasi payung
hukum yang sedang diajukan akan menjadikan institusi perpustakaan semakin mudah
diombang-ambingkan, terlebih eksistensi bagi perpustakaan non pemerintah yang
mempunyai sedikit anggaran. Kemudian paradigma pemerintah yang cenderung
mengharapkan hasil pembangunan secara instan dan kasat mata, maka semakin
mengerucutlah permasalahan perpustakaan menjadi institusi yang selalu
termarjinalkan. Asumsi filosofisnya, membangun mental manusia adalah abstrak dan
jauh lebih lama dibandingkan membangun pagar untuk gedung DPR yang terlihat
megah dan prosesnya cepat walaupun urgensi pembangunan tersebut tidaklah ada
implikasinya terhadap proses kualitas generasi anak bangsa
Kedua, aspek budaya (sosio kultural) yaitu masih rendahnya minat dan budaya
baca. Terkait hal itu, Putut Widjarnako mengutip makalahnya Taufik Abdulah
berjudul Dari Tradisi Lisan ke Lesserovulation dan Kembali, mengatakan saluran
utama tradisi budaya lokal kita adalah lisan, bukannya “kata yang tertulis.” Terlebih
menurut UNESCO dari jumlah penduduk Indonesia yang berjumlah 220 juta ada
sekitar 34,5% belum bisa baca atau illiterate, alliterete 65 %, dan literete 10 %
(Kompas, 18/5/2006). Inilah yang menyebabkan perpustakaan di negeriku terjadi fase
diaspora karena masyarakat Indonesia untuk menjadi masyarakat literet masih jauh
dari harapan. Akibatnya institusi perpustakaan sebagai institusi fasilitator menuju
masyarakat literet terjadilah perbenturan budaya dengan kurangnya kegemaran
membaca pada masyarakat Indonesia yang pada akhirnya sampailah pada satu titik
simpul bahwa perpustakaan merasa tak berarti untuk masyarakat Indonesia.
Dan terakhir, aspek sosial yaitu bagaimana memposisikan perpustakaan
menjadi sangat vital yang dimulai dari lingkungan terkecil seperti keluarga, sekolah,
maupun masyarakat. Selama ini entitas keluarga sebagai subbagian terkecil dari
sebuah masyarakat, masih beranggapan perpustakaan hanyalah sebuah institusi yang
5
E. Penutup
Secara esensial tulisan ini hanya bersifat hipotesis belaka, akan tetapi dengan
tetap merujuk pada data – data dan fakta yang masih relevan. Untuk itu melalui
tulisan ini seyogiyanya pemerintah, masyarakat, dan pihak yang terkait harus
berkontemplasi sejenak tentang institusi perpustakaan yang termarjinalkan. Karena
tanpa dukungan dari ketiga elemen penting ini, bukan tidak mungkin perpustakaan
hanyalah tetap menjadi sebuah institusi yang mengalami diaspora tanpa akhir.
Sebaliknya, mempertahankan perpustakaan di negriku tetap dalam kondisi status quo,
maka siap-siaplah Indonesia yang notabene sebagai bangsa besar, akan tetap
memperoleh predikat sebagai bangsa pheriperie (pinggiran) yang akan tertinggal jauh
dari bangsa lain. Namun, ada yang lebih para lagi dari kondisi tersebut, yaitu sebuah
peradaban 4 (civilazation) akan hilang hanya karena sebuah bangsa yang
menggelapkan matanya terhadap ‘ institusi mediasi masa depan’ yaitu salah satunya
perpustakaan. Karenanya pertanyaan yang tepat adalah kapankah perpustakaan di
negriku mengakhiri fase diaspora?Wallahua’lam.
4
Dalam pandangan Koentjaraningrat (1974), peradaban atau yang disejajarkan dengan kata asing
civilization, bahwa istilah tersebut bisanya dipakai untuk bagian-bagian dan unsur-unsur dari
kebudayaan yang halus dan indah, seperti: kesenian, ilmu pengetahuan, serta sopan santun dan sistem
pergaulan yang komplek dalam suatu masyarakat dengan struktur yang komplek. Namun, menurutnya
istilah peradaban dipakai juga untuk menyebut suatu kebudayaan yang mempunyai sistem teknologi,
seni bangunan, seni rupa, sistem kenegaraan, dan ilmu pengetahuan yang maju dan komplek.
7
Daftar Pustaka