Vous êtes sur la page 1sur 7

Perpustakaan di Negeriku: Sebuah Refleksi “Diaspora”

Oleh: Murad Maulana ®

A. Pendahuluan: Diaspora

Perbincangan tentang definisi diaspora 1 maka, akan selalu kita temukan


diberbagai ensklopedi maupun kamus yang mengandung dua pengertian. Pertama,
diaspora berhubungan erat dengan “exile” atau pengasingan (Ensklopedi Americana:
68-69). Kedua, merujuk pada konsep political thelogiest, yang erat kaitannya dalam
hal penyebaran orang-orang Yahudi setelah diasingkannya mereka di Babel ketika di
invansi oleh Babilonia (586 – 538 SM). Sebagai sub-sub budaya diantara budaya-
budaya lain yang lebih besar, orang-orang Yahudi selalu berjuang untuk
mempertahankan identitas dan eksistensi keyahudiannya. Sehingga selama dua ribu
lima ratus tahun dan menjelang akhir pembuangan Babel, dengan usaha gerakan
Zionisme, mereka kembali ke Palestina dengan mendirikan negara Israel pada tahun
1947.
Berkaitan dengan hal itu, ada dua konsep dasar yang menjadi acuan mengapa
penulis menggunakan istilah diaspora walaupun pada awalnya istilah diaspora hanya
mengacu pada identitas bangsa Yahudi sebagai bangsa yang tidak memiliki tanah air
(homeland). Pertama, karena istilah diaspora banyak digunakan oleh para penggagas
culture studies dan hingga sekarang masih menjadi perdebatan yang panjang.
Disamping itu setelah banyaknya kasus yang sama ditemukan selain pada komunitas
Yahudi, maka istilah diaspora bukan hanya mengacu pada konsep lama teori political
theologiset akan tetapi, istilah diaspora mengalami perluasan makna. bahkan seperti
James Cllifford menyebutnya ‘a travelling term’ atau sebuah istilah yang masih
berjalan, belum final atau barangkali memang tak perlu final (Ekspresi, edisi
XIV/3/2002). Kedua, dalam Online Dictionary (www.education.yahoo.com), diaspora
mempunyai definisi sebagai berikut: “A dispersion of an originally homogeneous
entity, such as a language or culture: "the diaspora of English into several mutually
incomprehensible languages" (Randolph Quirk), maka dengan mensintesiskan
beberapa definisi dan argumen dari seorang teorisi culture studies diatas, menurut
hemat penulis konsepsi dasar diaspora secara filosofis merupakan sebuah proses yang
dalam realitasnya dialami pula dalam dunia perpustakaan, khususnya di Indonesia.
Karenanya suatu yang bukan berlebihan apabila dalam dunia perpustakaan di
Indonesia dari awal munculnya kegiatan tersebut hingga sekarang sedang menjajaki
fase diaspora dimana dengan bertitik tolak pada faktor budaya literet yang belum
mengakar dan politik pemerintah tentang perpustakaan yang masih kurang serius,
maka dunia perpustakaan di Indonesia merupakan sesuatu hal yang masih di pandang
sebelah mata (termarjinalkan). Lebih tepatnya kondisi perpustakaan di Indonesia yang
termarjinalkan adalah tak lain karena pengasingan dan adanya diskriminatif dari
pemerintah pusat maupun daerah sendiri dengan berlanjut ke paradigma masyarakat.
Oleh karenanya segala hal yang berkaitan dengan kegiatan dunia perpustakaan
khususnya unsur penggerak yang ada didalamnya maupun rutinitas kegiatan
pokoknya, adalah suatu kondite dimana hal tersebut tak terlazimi. Sehingga
menyebabkan kegiatan dalam dunia perpustakaan adalah kegiatan yang masih
diremehkan. Implikasinya terhadap kegiatan yang dimaksud menjadikan keterasingan
®
Penulis adalah pustakawan pada Kantor Arsip dan Perpustakaan Kabupaten Indramayu
1
Dalam Online Dictionary (www.education.yahoo.com), diaspora berasal dari bahasa Yunani, secara
etimology mengandung pengertian pembubaran, asal kata dari diaspeirien: dia- + speirein; menabur,
menyebar.
2

diri pada institusi perpustakaan dan pustakawan dari sederatan faktor lain yang
memepengaruhinya, terlebih alliteret dan illiteret adalah sebuah tradisi yang masih
mengakar pada bangsa Indonesia.

B. Refleksi Diaspora

Perpustakaan negeriku, itulah yang penulis pakai dalam menyebut seluruh


jenis perpustakaan yang ada di seluruh Indonesia. Baik untuk perpustakaan
pemerintah maupun swasta. Sepintas, Sulstiyo Basuki, Pakar perpustakaan ini
mendefinisikan bahwa istilah perpustakaan sendiri di Indonesia terkadang masih
mengacu pada sebuah ruangan yang digunakan untuk menyimpan kumpulan koleksi
dalam hal ini buku sebagai subjek utamanya. Seiring dengan kemajuan jaman
(penemuan teknologi) koleksi perpustakaanpun tidak serta merta hanya berkutat pada
kumpulan media berbentuk buku, melainkan lebih luas dalam bentuk media dengan
bantuan seperangkat teknologi. Hal ini menandakan perpustakaan secara langsung
mengalami fase perubahan yang mengikuti perkembangan jaman, yaitu globalisasi
utamanya.
Disisi lain perubahan pada perpustakaanpun terjadi pada tugas dan fungsi
pokoknya terhadap masyarakat. Perpustakaan tidak hanya memberikan sejenis
pelayanan rutinitas seperti pinjam-meminjam buku, akan tetapi menjadi lebih
kompleks dengan berbagai lingkup tujuan yang ingin dicapai. Menjadi tempat belajar
seumur hidup (long life education), transformasi sosio kultural, tempat rekrearif,
membentuk masyarakat pembaca (reading society), dan membudayakan budaya baca
merupakan sesuatu yang tidak asing lagi bagi perpustakaan dalam melakukan
aktivitas rutinnya kepada masyarakat. Sayangnya, seringkali perpustakaan hanya
terjebak pada hingar bingar sebuah visi dan misi yang mendukung tugas dan fungsi
pokoknya. Dalam kenyataannya, jelas tidak ada sinkronisasi dan hanya berjalan
ditempat bahkan kadangkala statis (tak berfungsi) untuk mendukung program-
program tersebut. Kondisi demikian salah satunya pernah dinyatakan oleh Wakil
Presiden, Yusuf Kalla, ketika hadir dalam peresmian perpustakaan keliling elektronik
di Gedung Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Beliau mengatakan bahwa
perpustakaan di Indonesia tidak memberi layanan yang menarik sehingga jarang
dikunjungi pembaca. Akibatnya budaya baca kurang berkembang (Media Indonesia
Online, 30/5/2007). Lebih lanjut beliau berujar agar perpustakaan dibuat semenarik
mungkin seperti mall sehingga banyak dikunjungi orang. Kendati demikian, menurut
hemat penulis pernyataan wakil presiden tersebut tak cukup beralasan karena hanya
melihat pada permasalahan horizontal. Akan lebih baik apabila melihat permasalahan
perpustakaan secara struktural dan holistik. Karena suatu hal yang mustahil,
perpustakaan dapat memberikan pelayanan yang memuaskan kepada pengguna jika
dari pemerintah sendiri tidak adanya daya dukung dari segala aspek (political will).
Data dari Perpustakaan Nasional RI pun menunjukan bahwa dari 70.000 desa dan
90.000 kecamatan yang ada di Indonesia, tak lebih dari ½ % sudah memiliki
perpustakaan standar. Adapun dari 316 kabupaten, baru 70% memiliki perpustakaan
standar. Dari sekitar 200.000 SD diperkirakan Cuma 1% saja yang memiliki
perpustakaan standar. Dari 70.000 unit SLTP hanya 36% yang memiliki perpustakaan
standar. Dari 14.000 unit SLTA hanya 54% yang memiliki perpustakaan standar. Dari
4.000 perguruan tinggi hanya 60% yang memiliki perpustakaan standar (Kompas,
18/5/2006), hal tersebut menandakan bahwa perpustakaan dengan segala bentuk
kegiatannya (kepustakawanan) hingga sekarang masih berada dibawah ambang batas
normal.
3

Di Indonesia, perpustakaan adalah sebuah institusi yang acap kali dipandang


sebelah mata (termarjinalkan). Stereotip institusi perpustakaan hanya sebagai institusi
parasit, tak bertuan uang, dan hanya sebagai tempat buangan para pegawai yang tidak
berprestasi atau bermasalah, agaknya sudah melekat pada masyarakat dan
pemerintah. Pengalokasian anggaran yang begitu besar untuk perpustakaan, dianggap
suatu pemborosan. Yang lebih memperihatinkan lagi, paradigma masyarakat maupun
pemerintah sendiri tentang perpustakaan layaknya orang beragama namun tidak
menjalankan intisari ajarannya. Agama hanya sebagai simbol yang dijunjung tinggi.
Dengan perpustakaanpun demikian, masyarakat dan pemerintah selalu memberikan
wacana bahwa peran strategis perpustakaan sangat vital terhadap arah masa depan
bangsa, namun dalam pelaksanaanya hanya sebatas retorika. Di samping itu tak jarang
pula perpustakaan hanya dijadikan sebuah persyaratan dan objek ganjalan terhadap
suatu undang-undang yang mengharuskan adanya perpustakaan dari sebuah institusi
yang menaunginya. Fenomena 2 inilah yang secara umum terjadi di Indonesia.
Oleh sebab itu, konsep dasar untuk memajukan perpustakaan lebih dominan
adalah ditangan pemerintah yang menciptakan kedinamisan sebuah perpustakaan
tersebut. Karenanya, jika dianalogikan perpustakaan adalah sebuah komunitas yang
bisa menjadi mayoritas, tidak terasing, dan dinamis dinegara-negara seperti Eropa dan
USA. Namun, akan menjadi minoritas, terasing, dan statis apabila di Indonesia. Atas
dasar itulah, penulis menganggap perpustakaan di negeriku adalah sebuah refleksi
diaspora yang tidak mempunyai pengakuan, terasingkan, dan termarjinalkan layaknya
komunitas Yahudi yang diasingkannya ke Babel sebagai komunitas yang tidak
mempunyai tanah air (homeland)

C. Hukum Kausalitas

Dalam hukum kausalitas, ada sebab tentu saja ada akibat, begitu pula yang
dialami dengan perpustakaan di negriku. Ada bebarapa faktor-faktor yang
menyebabkan perpustakaan di negriku mengalami fase diaspora. Faktor-faktor
tersebut merupakan faktor internal dan eksetrnal. Dalam faktor internal adalah unsur
penggerak yang ada didalamnya, terutama pustakawan sebagai komunitas yang
berperan aktif dalam kedinamisan sebuah aktivitas perpustakaan. Seringkali seorang
pustakawan hanya terjebak dalam rutinitas pekerjaan sehari-hari yang bersifat teknis
tanpa ada keinginan mengevaluasi dari setiap profesi yang digelutinya. Karenanya
kecendrungan institusi perpustakaan sebagai “second institution,’ seharusnya menjadi
celah bagimana pustakawan harus menunjukan profesinya secara profesional 3 ,
bukannya pekerjaan rutinitas yang dilakukan sehari-hari tanpa sebuah standarisasi.
oleh sebab itu, pustakawan yang baik adalah pustakawan yang menggunakan
kemampuan intelektualnya dalam pekerjaan rutinitasnya. Ini artinya pola pikir
seorang pustakawan harus berjiwa kreatif, inovatif, dan dinamis bukannya melakukan
pekerjaan yang hanya berpijak pada metode ‘gugur kewajiban’ tanpa berorientasi
pada hasil nyata. Hal ini tentu saja akan berdampak pada image perpustakaan yang
tetap dipandang sebagai institusi pasif dan termarjinalkan.

2
Deskripsi fenomena perpustakaan di Indonesia lebih detail tercantum dalam Naskah Akademis
Rancangan Undang-Undang Perpustakaan (RUU Perpustakaan)
3
Sulistiyo Basuki dalam tulisannya yang berjudul “Pustakwan Sebagai Profesional Informasi
Modern: Tantangan dan Peluang, ” bahwa intisari dari profesionalisme adalah pelaksanaan tugas dan
kewajiban untuk memenuhi klien / nasabah, meliputi pengambilan keputusan yang mungkin
berdampak luas terhadap masyarakat.
4

Sedangkan pada faktor eksternal, ada tiga pokok utama yang menyebabkan
terjadinya diaspora pada perpustakaan di negriku. Pertama, terlepas dari perpustakaan
non pemerintah, aspek politis pemerintah pusat dan daerah (politicaal will) yang
masih kurang serius untuk memberikan jalan pengembangan pada perpustakaan di
negriku. Indikator tersebut dapat dilihat dari besarnya alokasi dana untuk program
pengembangan baik dukungan infrasrtuktur perpustakaan maupun untuk para
penggeraknya. Karena institusi perpustakaan merupakan institusi non profit, maka
pengalokasian dana yang besar untuk realisasi kegiatan dianggap suatu pemborosan.
Hal ini tentu saja karena adanya diskriminatif dari pemerintah pusat maupun daerah
yang hanya lebih terfokus pada pembangunan infrastruktur lainya dibandingkan
dengan pembangunan yang berkaitan dengan kemajuan perpustakaan. Akibatnya
permasalahan terbenturnya dana menjadi alasan yang klasik untuk
mendinamisatorkan perpustakaan. Ketika acara Rapat Kerja Pusat ke-11 dan Seminar
Ilmiah Ikatan Pustakawan Indonesia di Gedung Perpustakaan Nasional yang dihadiri
oleh sekitar 182 pustakawan dari berbagai daerah di Indonesia, para pustakawan
mengeluh soal anggaran pengelolaan yang minim, baik dari APBN maupun APBD.
Hal ini dikatakan pula oleh Syamsul Murquote Arif yang menjadi pembicara dalam
Rapat Kerja Pusat ke-11 dan Seminar Ilmiah Ikatan Pustakawan Indonesia tersebut.
Mentri Negara Komunikasi dan Informasi di era Presiden Mega ini, menyatakan
bahwa persoalan anggaran masih menjadi permasalahan serius. Kasus lain apa yang
pernah dinyatakan oleh Gubernur Jawa Barat, Danny Setiawan, bahwa di Propinsi
Jawa Barat masih banyak pemerintah kabupaten/kota yang belum memberikan
apresiasi positif terhadap perpustakaan daerah. Hal tersebut merupakan wakil potret
buram perpustakaan di negriku bahwa institusi perpustakaan dalam hal pengalokasian
anggaran masih minim adanya. Disisi lain, kurang cepatnya proses legitimasi payung
hukum yang sedang diajukan akan menjadikan institusi perpustakaan semakin mudah
diombang-ambingkan, terlebih eksistensi bagi perpustakaan non pemerintah yang
mempunyai sedikit anggaran. Kemudian paradigma pemerintah yang cenderung
mengharapkan hasil pembangunan secara instan dan kasat mata, maka semakin
mengerucutlah permasalahan perpustakaan menjadi institusi yang selalu
termarjinalkan. Asumsi filosofisnya, membangun mental manusia adalah abstrak dan
jauh lebih lama dibandingkan membangun pagar untuk gedung DPR yang terlihat
megah dan prosesnya cepat walaupun urgensi pembangunan tersebut tidaklah ada
implikasinya terhadap proses kualitas generasi anak bangsa
Kedua, aspek budaya (sosio kultural) yaitu masih rendahnya minat dan budaya
baca. Terkait hal itu, Putut Widjarnako mengutip makalahnya Taufik Abdulah
berjudul Dari Tradisi Lisan ke Lesserovulation dan Kembali, mengatakan saluran
utama tradisi budaya lokal kita adalah lisan, bukannya “kata yang tertulis.” Terlebih
menurut UNESCO dari jumlah penduduk Indonesia yang berjumlah 220 juta ada
sekitar 34,5% belum bisa baca atau illiterate, alliterete 65 %, dan literete 10 %
(Kompas, 18/5/2006). Inilah yang menyebabkan perpustakaan di negeriku terjadi fase
diaspora karena masyarakat Indonesia untuk menjadi masyarakat literet masih jauh
dari harapan. Akibatnya institusi perpustakaan sebagai institusi fasilitator menuju
masyarakat literet terjadilah perbenturan budaya dengan kurangnya kegemaran
membaca pada masyarakat Indonesia yang pada akhirnya sampailah pada satu titik
simpul bahwa perpustakaan merasa tak berarti untuk masyarakat Indonesia.
Dan terakhir, aspek sosial yaitu bagaimana memposisikan perpustakaan
menjadi sangat vital yang dimulai dari lingkungan terkecil seperti keluarga, sekolah,
maupun masyarakat. Selama ini entitas keluarga sebagai subbagian terkecil dari
sebuah masyarakat, masih beranggapan perpustakaan hanyalah sebuah institusi yang
5

tidak begitu penting tanpa memikirkan fungsi filosofisnya. Dalam institusi


pendidikanpun, terkadang perpustakaan hanya menjadi fungsi cadangan. Utamanya
pola pendidikan yang cenderung satu arah hingga menyebabkan perpustakaan tak
berfungsi sepenuhnya. Prof. Dr. H.A.R. Tilaar, dalam hal ini pernah
menyinggungnya. Menurut beliau, seperti yang dikutip oleh Alfons Taryadi, dalam
tulisannya “Problema dan Prospek Dunia Penerbitan Buku di Indonesia,” bahwa
“sistem belajar kita sekarang ini masih didominasi oleh apa yang dalam istilah Paulo
Friere di sebut proses “sistem bank, ” yaitu proses mengajar murid dengan
memperlakukannya seolah-olah sebagai bank yang secara pasif menerima apa saja
yang dimasukan orang kedalamnya. Menggalakan gairah membaca berarti mengubah
proses belajar disekolah-sekolah kita, dari proses belajar satu arah menjadi proses
belajar dua arah atau mutiarah dengan menggunakan sumber-sumber bacaan sebagai
pengungkit dialog antara guru dan siswa. Maka dengan pengubahan budaya belajar
seperti itu, perpustakaan sekolah menjadi syarat yang mutlak, dan pemanfaatan
perpustakaan sekolah merupakan kegiatan inti didalam proses belajar. Pemanfaatan
perpustakaan sekolah mungkin akan merangsang hidupnya perpustakaan keluarga
karena anak-anak kita akan merasa memperoleh sumber-sumber informasi sendiri
sebagai suatu kebutuhan. Berkembangnya budaya membaca disekolah akan ikut
melahirkan pemanfaatan perpustakan desa dan seterusnya perpustakaan-perpustakaan
yang ada di masyarakat.“ Dengan demikian semakin perpustakaan dibutuhkan oleh
kalangan pelajar sebagai generasi tunas bangsa, maka masa depan perpustakaan tidak
lagi menjadi sebuah institusi yang merasa terbuang atau tidak lagi hanya menjadi
ganjalan sebagai persyaratan mutlak menjelang akreditasi. Perpustakaan tidak lagi
hanya menjadi sebuah retorika yang dengan gampangnya menggembor-gemborkan
bahwa “perpustakaan adalah penting”, tetapi realitasnya hanyalah mimpi.

D. Menuju Titik Penyempurnaan

Menjajaki fase diaspora adalah merupakan sesuatu pengalaman yang


seharusnya menjadi kematangan perpustakaan dalam kiprahnya kepada pembangunan
manusia seutuhnya terhadap bangsa Indonesia agar menjadi lebih baik. Sebagai
sebuah institusi yang sedang menginjak fase diaspora, sudah selayaknya masa depan
perpustakaan akan menjadi institusi yang membawa pencerahan dengan harapan
masyarakat maupun pemerintah tidak lagi berasumsi bahwa perpustakaan hanyalah
sebuah institusi parasit, tak bertuan uang, dan hanya sebagai tempat buangan para
pegawai yang tidak berprestasi atau bermasalah. Untuk itu, agar perpustakaan
mencapai titik kesempurnaan dalam menjalakan tugas dan fungsi pokonya terhadap
masyarakat, maka idealnya perpustakaan harus menjadi sebuah institusi yang sejajar
dengan institusi lain. Karena apabila kondisi perpustakaan sudah mendapatkan
legalitas dimata pemerintah dan masyarakat, maka perpustakaan sebagai tempat
belajar seumur hidup (long life education), transformasi sosio kultural, tempat
rekrearif, membentuk masyarakat pembaca (reading society), dan membudayakan
budaya baca serta cita-cita menjadi negara yang sejajar dengan negara maju lambat
laun akan bisa tercapai. Singkatnya sebuah negara bisa maju seperti USA, Inggris,
Jepang, Singapore, bahkan Malaysia adalah tak lain karena persepsi tentang usaha
pencarian pengetahuan sebagai suatu yang mahapenting. Carannya adalah dengan
mensetarakan dan memakmurkan institusi perpustakaan dengan institusi lain.
Oleh sebab itu, menjadi penting bagi bangsa Indonesia agar melakukan
beberapa upaya –upaya untuk menjadikan perpustakaan sebagai bagian institusi yang
berperan aktif sebagaimana mestinya. Menurut hemat penulis, ada tiga hal yang perlu
6

dilakukan agar pengalaman diaspora bagi perpustakaan di negriku bisa berakhir.


Upaya-upaya yang harus dilakukan itu diantaranya rekognisi, reorientasi, dan
reorganisasi.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka cetakan ketiga
rekognisi mengandung pengertian yaitu hal atau keadaan yang diakui; pengakuan;
pengenalan; penghargaan. Ini artinya pemerintah dalam hal ini selaku penyelenggara
kenegaraaan harus melakukan rekognisi perpustakaan di negriku terhadap masyarakat.
Bagaimana tugas pemerintah harus mengupayakan perpustakaan mendapatkan tempat
dimasyarakat sebagai sebuah institusi yang urgen dan inheren dengan kemajuan
bangsa. Memang untuk sekarang adanya pengajuan rancangan undang undang
perpustakaan merupakan pembawa angin segar terhadap dinamisator perpustakan di
negriku. Paling tidak ini adalah sebuah payung hukum untuk awal kemajuan sebuah
perpustakaan agar tidak termarjinalkan dari institusi lain. Tahap selanjutnya adalah
melakukan reorganisasi yaitu penyusunan kembali; perbaikan aturan (susunan)
internal perpustakaan. Mengaplikasikan reorganisasi perpustakaan mencakup
integritas, tujuan dan fungsi organisasi serta profesionalisme kerja. Perpustakaan
harus memperhatikan kondisi masyarakat dengan seksama. Faktor sosio kultural
adalah upaya pendekatan yang mudah dilakukan untuk melakukan reorganisasi
perpustakaan. Aplikasi berikutnya adalah reorientasi perpustakaan yaitu peninjauan
kembali untuk menentukan suatu sikap. Untuk itu, perpustakaan harus menerapkan
konsep: an idealism, bussiness, independency, creativity, education, entertaiment, and
interactive communication. Dengan bertitik tolak pada kondisi pasar, bagaimana
institusi perpustakaan memposisikan dari sisi nilai jual dengan tetap memagang
prinsip idealisme, kebebasan, kreativitas, hiburan, dan berinteraksi dengan segala
perkembangan yang ada dimasyarakat.

E. Penutup

Secara esensial tulisan ini hanya bersifat hipotesis belaka, akan tetapi dengan
tetap merujuk pada data – data dan fakta yang masih relevan. Untuk itu melalui
tulisan ini seyogiyanya pemerintah, masyarakat, dan pihak yang terkait harus
berkontemplasi sejenak tentang institusi perpustakaan yang termarjinalkan. Karena
tanpa dukungan dari ketiga elemen penting ini, bukan tidak mungkin perpustakaan
hanyalah tetap menjadi sebuah institusi yang mengalami diaspora tanpa akhir.
Sebaliknya, mempertahankan perpustakaan di negriku tetap dalam kondisi status quo,
maka siap-siaplah Indonesia yang notabene sebagai bangsa besar, akan tetap
memperoleh predikat sebagai bangsa pheriperie (pinggiran) yang akan tertinggal jauh
dari bangsa lain. Namun, ada yang lebih para lagi dari kondisi tersebut, yaitu sebuah
peradaban 4 (civilazation) akan hilang hanya karena sebuah bangsa yang
menggelapkan matanya terhadap ‘ institusi mediasi masa depan’ yaitu salah satunya
perpustakaan. Karenanya pertanyaan yang tepat adalah kapankah perpustakaan di
negriku mengakhiri fase diaspora?Wallahua’lam.

4
Dalam pandangan Koentjaraningrat (1974), peradaban atau yang disejajarkan dengan kata asing
civilization, bahwa istilah tersebut bisanya dipakai untuk bagian-bagian dan unsur-unsur dari
kebudayaan yang halus dan indah, seperti: kesenian, ilmu pengetahuan, serta sopan santun dan sistem
pergaulan yang komplek dalam suatu masyarakat dengan struktur yang komplek. Namun, menurutnya
istilah peradaban dipakai juga untuk menyebut suatu kebudayaan yang mempunyai sistem teknologi,
seni bangunan, seni rupa, sistem kenegaraan, dan ilmu pengetahuan yang maju dan komplek.
7

Daftar Pustaka

Basuki, Sulistiyo.1992. Periodisasi Perpustakaan Indonesia. Bandung. Remaja


Rosda Karya: Bandung.
Coward, Harold. 1989. Pluralisme Tantangan Bagi Agama-Agama.
Kanisius:Yogyakarta.
Daldjoeni, N. 1991. Ras-Ras Umat Manusia: Biogegrafis, Kulturhistoris,
Sosiopolitis.Citra Aditya Bakti: Salatiga.
Ekspresi, Majalah Mahasiswa UNY, Edisi XIV Maret 2002
Encyclopedia Americana.Vol 9 Tahun 1980. American Corporation in Canada,
Grolier Limited.
Koentjaraningrat. 1974. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Gramedia
Pustaka Utama: Jakarta.
Kompas. “ Budaya Baca Pengaruhi Produktivitas Buku.”18 Mei 2006
Kompas. “ Tumbuhkan Minat Baca Masyarakat.”18 Mei 2006
Koswara, dkk. 1998. Dinamika Informasi Dalam Era Global.Remaja Rosda
Karya: Bandung.
Perpustakaan Nasional RI. Naskah Akademis Rancangan Undang-Undang
Perpustakaan (RUU). 2006. Perpustakaan Nasional RI: Jakarta.
Suseno, Frans Magnis, dkk. 1997. Buku Membangun Kualitas Bangsa: Bunga
Rampai Sekitar Perbukuan di Indonesia. Kanisius: Yogyakarta.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Kamus
Besar Bahasa Indonesia. Cet.3. 1990. Balai Pustaka: Jakarta.
Widjanarko, Putut. 2000. Eligi Gutenberg: Memposisikan Buku di Era
Cyberspace. Mizan: Bandung.
www.findarticles.com
www.pikiran-rakyat.com
www.education.yahoo.com
www.mediaindonesiaonline.com

Vous aimerez peut-être aussi