Vous êtes sur la page 1sur 16

BAB II PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Skizofrenia merupakan suatu sindroma klinis dari berbagai keadaan psikopatologis yang sangat mengganggu yang melibatkan proses pikir, emosi, persepsi dan tingkah laku. Skizofrenia merupakan golongan psikosa yang ditandai dengan tidak adanya pemahaman diri (insight) dan ketidakmampuan menilai realitas (RTA).1 Terdapat lima subtipe skizofrenia, yaitu skizofrenia paranoid, disorganized schizophrenia, catatonic

schizophrenia, undifferentiated schizophrenia, dan residual schizophrenia.2 Skizofrenia paranoid terjadi karena melemahnya neurologis dan kognitif tetapi individu tersebut mempunyai prognosis yang baik. Skizofrenia paranoid adalah tipe yang paling sering terjadi. Gejala-gejala yang mencolok ialah waham primer, disertai dengan waham sekunder dan halusinasi. Pasien skizofrenia datang ke rumah sakit karena adanya gejala waham, halusinasi dan gejala-gejala yang tidak bisa ditoleransi oleh masyarakat. Halusinasi dapat mempengaruhi kehidupan seseorang. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa gejala halusinasi yang paling sering adalah halusinasi pendengaran yaitu sebesar 70%.3 Setelah dilakukan pemeriksaan yang teliti ternyata didapatkan adanya gangguan proses berfikir, gangguan afek, emosi dan kemauan. Studi Bank Dunia pada tahun 1995 di beberapa Negara menunjukkan bahwa hari-hari produktif yang hilang atau Dissabiliiy Adjusted Life Years (DALY's) sebesar 8.1% dari Global Burden of Disease, disebabkan oleh masalah kesehatan jiwa. Status jiwa yang buruk akan menurunkan produktifitas sehingga menurunkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM).4 Perilaku kekerasan atau agresif merupakan suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai seseorang secara fisik maupun psikologis. (Berkowitz, 1993). Berdasarkan definisi ini maka perilaku kekerasan dapat dibagi menjadi dua yaitu perilaku kekerasan secara verbal dan fisik. (Keltner et al, 1995). Sedangkan marah tidak harus memiliki tujuan khusus. Marah lebih menunjuak kepada suatu perangkat perasaan-perasaan tertentu dengan perasaan marah. (Berkowitz, 1993).

B. TUJUAN Adapun tujuan dari dilaksanakannya case conference ini terbagi atas: 1. Tujuan Umum Mampu meningkatkan pelayanan perawatan kesehatan jiwa yang optimal 2. Tujuan Khusus a. mampu menemukan permasalahan dalam kesehatan jiwa saudara M b. mampu menganalisa permasalahan kesehatan jiwa saudara M c. mampu memberikan rekomendasi solusi pemberian pelayanan kesehatan jiwa saudara M

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Skizofrenia Paranoid 1. Pengertian Skizofrenia Paranoid Skizofrenia adalah gangguan yang benar-benar membingungkan dan

menyimpan banyak tanda tanya (teka-teki). Kadangkala skizofrenia dapat berpikir dan berkomunikasi dengan jelas, memiliki pandangan yang tepat dan berfungsi secara baik dalam kehidupan sehari-hari. Namun pada saat yang lain, pemikiran dan kata-kata terbalik, mereka kehilangan sentuhan dan mereka tidak mampu memelihara diri mereka sendiri (Nolen, 2004). Skizofrenia merupakan sindrom klinis yang paling membingungkan dan melumpuhkan. Skizofrenia merupakan gangguan psikologis yang paling

berhubungan dengan pandangan populer tentang gila atau sakit mental. Hal ini sering menimbulkan rasa takut, kesalahpahaman, dan penghukuman, bukannya simpati dan perhatian. Skizofrenia menyerang jati diri seseorang, memutus hubungan yang erat antara pemikiran dan perasaan serta mengisinya dengan persepsi yang terganggu, ide yang salah, dan konsepsi yang tidak logis. Mereka mungkin berbicara dengan nada yang mendatar dan menunjukkan sedikit ekspresi (Greene, 2003). Menurut Tubagus, skizofrenia berasal dari bahasa Yunani yang berarti jiwa yang retak (skizos artinya retak dan freenas artinya jiwa). Jiwa manusia terdiri dari 3 unsur yaitu perasaan, kemauan dan perilaku (Erwin, 2002). Skizofrenia adalah sekelompok reaksi psikotik yang mempengaruhi berbagai fungsi individu, termasuk berpikir dan berkomunikasi, menerima dan menginterpretasikan realitas, merasakan dan menunjukkan emosi dan perilaku dengan sikap yang dapat diterima secara sosial (Isaac, 2005). 2. Gejala-Gejala Skizofrenia Paranoid Gejala-gejala skizofrenia dapat dibagi dalam dua kelompok yaitu: a. Gejala positif a) Delusi atau waham

Suatu keyakinan yang tidak rasional (tidak masuk akal). Meskipun telah dibuktikan secara objektif bahwa keyakinannya itu tidak rasional, namun penderita tetap meyakini kebenarannya. b) Halusinasi Pengalaman panca indera tanpa ada rangsangan (stimulus). Misalnya penderita mendengar suara-suara/ bisikan-bisikan di telinganya padahal tidak ada sumber dari suara/ bisikan itu. c) Kekacauan alam pikiran Dapat dilihat dari isi pembicaraannya. Misalnya bicaranya kacau, sehingga tidak dapat diikuti alur pikirannya. d) Gaduh, gelisah, tidak dapat diam, mondar-mandir, agresif, bicara dengan semangat dan gembira berlebihan. e) Merasa dirinya Orang Besar, merasa serba mampu dan sejenisnya. f) Pikirannya penuh dengan kecurigaan atau seakan-akan ada ancaman terhadap dirinya. g) Menyimpan rasa permusuhan.

b. Gejala negatif a) Alam perasaan (affect) tumpul dan mendatar Gambaran alam perasaan ini dapat terlihat dari wajahnya yang tidak menunjukkan ekspresi. b) Menarik diri atau mengasingkan diri, tidak mau bergaul atau kontak dengan orang lain dan suka melamun. c) Kontak emosional amat sedikit, sukar diajak bicara dan pendiam. d) Pasif dan apatis serta menarik diri dari pergaulan sosial. e) Sulit dalam berpikir nyata. f) Pola pikir steorotip. g) Tidak ada/ kehilangan dorongan kehendak dan tidak ada inisiatif.

c. Faktor Resiko Skizofrenia Paranoid Faktor resiko skizofrenia adalah sebagai berikut: 1. Riwayat skizofrenia dalam keluarga 2. Kembar identik Kembar identik memiliki risiko skizofrenia 50%, walaupun gen mereka identik 100% (Videbeck, 2008). 3. Struktur otak abnormal 4. Dengan perkembangan teknik pencitraan teknik noninvasif, seperti CT scan, Magnetic Resonance Imaging (MRI), dan Positron Emission Tomography (PET) dalam 25 tahun terakhir, para ilmuwan meneliti struktur otak dan aktivitas otak individu penderita skizofrenia. Penelitian menunjukkan bahwa individu penderita skizofrenia memiliki jaringan otak yang relatif lebih sedikit (Carpenter, 2000). 5. Sosiokultural Lingkungan sosial individu dengan skizofrenia di negara-negara berkembang mungkin menfasilitasi dan memulihkan (recovery) dengan lebih baik daripada di negara maju (Jenkins, 2003). Di negara berkembang, terdapat jaringan keluarga yang lebih luas dan lebih dekat disekeliling orang-orang dengan skizofrenia dan menyediakan lebih banyak kepedulian terhadap penderita. Keluarga-keluarga di beberapa negara berkembang lebih sedikit melakukan tindakan permusuhan, mengkritik, dan sangat terlibat jika dibandingkan dengan keluarga-keluarga di beberapa negara-negara maju. Hal ini mungkin membantu jumlah atau tingkat kekambuhan dari anggotaanggota keluarga penderita skizofrenia. 6. Tampilan emosi Sejumlah penelitian menunjukkan orang-orang dengan skizofrenia yang keluarganya tinggi dalam mengekspresikan emosi, lebih besar

kemungkinannya untuk menderita kekambuhan psikosis daripada mereka yang keluarganya sedikit atau kurang mengekspresikan emosi (Hooley, 2000).

D. Terapi Skizofrenia Paranoid 1. Terapi Somatik (Medikamentosa) ---- Obat-obatan yang digunakan untuk mengobati Skizofrenia disebut antipsikotik. Antipsikotik bekerja mengontrol halusinasi, delusi dan perubahan pola fikir yang terjadi pada Skizofrenia. Pasien mungkin dapat mencoba beberapa jenis antipsikotik sebelum mendapatkan obat atau kombinasi obat antipsikotik yang benar-benar cocok bagi pasien. Antipsikotik pertama diperkenalkan 50 tahun yang lalu dan merupakan terapi obat-obatan pertama yang efekitif untuk mngobati Skizofrenia. Terdapat 3 kategori obat antipsikotik yang dikenal saat ini, yaitu antipsikotik konvensional, newer atypical antipsycotics, dan Clozaril (Clozapine). a. Antipsikotik Konvensional3 ----Obat antipsikotik yang paling lama penggunannya disebut antipsikotik konvensional. Walaupun sangat efektif, antipsikotik konvensional sering menimbulkan efek samping yang serius. Contoh obat antipsikotik konvensional antara lain : 1. Haldol (haloperidol) 2. Mellaril (thioridazine) 3. Navane (thiothixene) 4. Prolixin (fluphenazine) ----Akibat berbagai efek samping yang dapat ditimbulkan oleh antipsikotik konvensional, banyak ahli lebih merekomendasikan penggunaan newer atypical antipsycotic. Ada 2 pengecualian (harus dengan antipsikotok konvensional). Pertama, pada pasien yang sudah mengalami perbaikan (kemajuan) yang pesat menggunakan antipsikotik konvensional tanpa efek samping yang berarti. Biasanya para ahli merekomendasikan untuk meneruskan pemakaian antipskotik konvensional. Kedua, bila pasien mengalami kesulitan minum pil secara reguler. Prolixin dan Haldol dapat diberikan dalam jangka waktu yang lama (long acting) dengan interval 2-4 minggu (disebut juga depot formulations). Dengan depot formulation, obat dapat disimpan terlebih dahulu di dalam tubuh lalu dilepaskan secara perlahan-lahan. Sistem depot formulation ini tidak dapat digunakan pada newer atypic antipsycotic. b. Newer Atypcal Antipsycotic 5. Stelazine ( trifluoperazine) 6. Thorazine ( chlorpromazine) 7. Trilafon (perphenazine)

----Obat-obat yang tergolong kelompok ini disebut atipikal karena prinsip kerjanya berbda, serta sedikit menimbulkan efek samping bila dibandingkan dengan antipsikotik konvensional. Beberapa contoh newer atypical antipsycotic yang tersedia, antara lain : Risperdal (risperidone) Seroquel (quetiapine) Zyprexa (olanzopine) Para ahli banyak merekomendasikan obat-obat ini untuk menangani pasien-pasien dengan Skizofrenia. c. Clozaril ----Clozaril mulai diperkenalkan tahun 1990, merupakan antipsikotik atipikal yang pertama. Clozaril dapat membantu 25-50% pasien yang tidak merespon (berhasil) dengan antipsikotik konvensional. Sangat disayangkan, Clozaril memiliki efek samping yang jarang tapi sangat serius dimana pada kasus-kasus yang jarang (1%), Clozaril dapat menurunkan jumlah sel darah putih yang berguna untuk melawan infeksi. Ini artinya, pasien yang mendapat Clozaril harus memeriksakan kadar sel darah putihnya secara reguler. Para ahli merekomendaskan penggunaan Clozaril bila paling sedikit 2 dari obat antipsikotik yang lebih aman tidak berhasil. Sediaan Obat Anti Psikosis dan Dosis Anjuran : No 1 Nama generik Klorpromazin Sediaan Tablet Dosis 25 dan 100 mg,injeksi 25 mg/ml 150 600 mg/hari 2 Haloperidol Tablet 0,5 mg, 1,5 mg, 5 mg, Injeksi 5 mg/ml, 5 - 15 mg/hari 3 4 5 6 7 8 9 Perfenazin Flufenazin Flufenazin Levomeprazin Trifluperazin Tioridazin Sulpirid Tablet Tablet Tablet Tablet Tablet Tablet 2, 4, 8 mg 12 - 24 mg/hari 2,5 mg, 5 mg 10 - 15 mg/hari dekanoat Inj 25 mg/ml 25 mg/2-4 minggu 25 mg Injeksi 25 mg/ml 25 - 50 mg/hari 1 mg dan 5 mg 10 - 15 mg/hari 50 dan 100 mg 150 - 600 mg/hari 200 mg 300 - 600 mg/hari 1 - 4 mg/hari Injeksi 50 mg/ml 10 Pimozid Tablet 1 dan 4 mg 1 - 4 mg/hari

11

Risperidon

Tablet

1, 2, 3 mg 2 - 6 mg/hari

Cara penggunaan Pada dasarnya semua obat anti psikosis mempunyai efek primer (efek klnis) yang sama pada dosis ekivalen, perbedaan terutama pada efek samping sekunder. Pemilihan jenis obat anti psikosis mempertimbangkan gejala psikosis yang dominan dan efek samping obat. Pergantian obat disesuaikan dengan dosis ekivalen. Apabila obat anti psikosis tertentu tidak memberikan respon klinis dalam dosis yang sudah optimal setelah jangka waktu yang memadai, dapat diganti dengan obat psikosis lain (sebaiknya dari golongan yang tidak sama), dengan dosis ekivalennya dimana profil efek samping belum tentu sama. Apabila dalam riwayat penggunaan obat anti psikosis sebelumnya jenis obat antipsikosis tertentu yang sudah terbukti efektif dan ditolerir dengan baik efek sampingnya, dapat dipilih kembali untuk pemakaian sekarang Dalam pengaturan dosis perlu mempertimbangkan: Onset efek primer (efek klinis) : sekitar 2-4 minggu Onset efek sekunder (efek samping) : sekitar 2-6 jam Waktu paruh 12-24 jam (pemberian 1-2 kali perhari) Dosis pagi dan malam dapat berbeda untuk mengurangi dampak efek samping (dosis pagi kecil, dosis malam lebih besar) sehingga tidak begitu mengganggu kualitas hidup pasien

Mulai dosis awal dengan dosis anjuran dinaikkan setiap 2-3 hari sampai mencapai dosis efektif (mulai peredaan sindroma psikosis) dievaluasi setiap 2 minggu dan bila perlu dinaikkan dosis optimal dipertahankan sekitar 8-12 minggu (stabilisasi) diturunkan setiap 2 minggu dosis maintanance dipertahankan 6 bulan sampai 2 tahun (diselingi drug holiday 1-2 hari/mingu) tapering off (dosis diturunkan tiap 2-4 minggu)

Untuk pasien dengan serangan sndroma psikosis multi episode terapi pemeliharaan dapat dibarikan palong sedikit selama 5 tahun. Efek obat psikosis secara relatif berlangsung lama, sampai beberapa hari setelah dosis terakhir yang masih mempunyai efek klinis.

Pada umumnya pemberian oabt psikosis sebaiknya dipertahankan selama 3 bulan sampai 1 tahun setelah semua gejala psikosis mereda sama sekali. Untuk psikosis reaktif singkat penuruna obat secara bertahap setelah hilangnya gejala dalam kueun waktu 2 minggu 2 bulan.

Oabt antipsikosis tidak menimbulkan gejala lepas obat yang hebat walaupun diberikan dalam jangka waktu yang lama, sehingga potensi ketergantungan obat kecil sekali. Pada penghentian yang mendadak dapat timbul gejala Cholinergic rebound yaitu: gangguan lambung, mual muntah, diare, pusing, gemetar dan lain-lain. Keadaan ini akan mereda dengan pemberian anticholinergic agent (injeksi sulfas atrofin 0,25 mg IM dan tablet trihexypenidil 3x2 mg/hari)

Obat anti pikosis long acting (perenteral) sangat berguna untuk pasien yang tidak mau atau sulit teratur makan obat ataupun yang tidak efektif terhadap medikasi oral. Dosis dimulai dengan 0,5 cc setiap 2 minggu pada bulan pertama baru ditingkatkan menjadi 1 cc setap bulan. Pambarian anti psikosis long acting hanya untuk terapi stabilisasi dan pemeliharaan terhadap kasus skizpfrenia. Penggunaan CPZ injeksi sering menimbulkan hipotensi ortostatik pada waktu peubahan posisi tubuh (efek alpha adrenergik blokade). Tindakan mengatasinya dengan injeksi nor adrenalin (effortil IM). Haloperidol sering menimbulkan sindroma parkinson. Mengatasinya dengan tablet trihexyphenidyl 3-4x2 mg/hari, SA 0,5-0,75 mg/hari

Pemilihan Obat untuk keadaan relaps (kambuh) Biasanya timbul bila pendrita berhenti minum obat, untuk itu, sangat penting untuk mengetahui alasan mengapa penderita berhenti minum obat. Terkadang penderita berhenti minum obat karena efek samping yang ditimbulkan oleh obat tersebut. Apabila hal ini terjadi, dokter dapat menurunkan dosis menambah obat untuk efek sampingnya, atau mengganti dengan obat lain yang efek sampingnya lebih rendah. Apabila penderita berhenti minum obat karena alasan lain, dokter dapat mengganti obat oral dengan injeksi yang bersifat long acting, diberikan tiap 2- 4 minggu. Pemberian obat dengan injeksi lebih simpel dalam penerapannya.-Terkadang pasien dapat kambuh walaupun sudah mengkonsumsi obat sesuai anjuran. Hal ini merupakan alasan yang tepat untuk menggantinya dengan obat obatan yang lain, misalnya

antipsikotik konvensonal dapat diganti dengan newer atipycal antipsycotic atau newer atipycal antipsycotic diganti dengan antipsikotik atipikal lainnya. Clozapine dapat menjadi cadangan yang dapat bekerja bila terapi dengan obat-obatan diatas gagal. 3. Electro Convulsive Therapy (ECT) Electro Convulsive Therapy (ECT) diberikan pada penderita skizofrenia kronik. Tujuannya adalah memperpendek serangan skizofrenia, mempermudah kontak dengan penderita, namun tidak dapat mencegah serangan ulang. 4. Psikoterapi Psikoterapi pada penderita skizofrenia baru dapat diberikan apabila penderita dengan terapi psikofarmaka diatas sudah mencapai tahapan dimana kemampuan menilai realitas sudah kembali pulih dan pemahaman diri sudah baik. Psikoterapi diberikan dengan catatan bahwa penderita masih tetap mendapat terapi psikofarmaka. Psikoterapi ini banyak macam ragamnya tergantung dari kebutuhan dan latar belakang penderita sebelum sakit. Contohnya adalah: psikoterapi suportif dimaksudkan untuk memberikan dorongan, semangat dan motivasi agar penderita tidak merasa putus asa. Psikoterapi suportif dimaksudkan untuk memberikan pendidikan ulang yang mekasudnya memperbaiki kesalahan pendidikan di waktu yang lalu. Psikoterapi rekonstruktif dimaksudkan untuk memperbaiki kembali kepribadian yang telah mengalami keretakan menjadi kepribadian yang utuh seperti semula sebelum sakit. Psikoterapi kognitif diamksudkan untuk memulihkan kembali fungsi kognitif rasional sehingga penderita mampu membedakan nilai nilai moral etika mana yang baik dan buruk, mana yang boleh dan tidak dan sebagainya. Psikoterapi perilaku dimaksudkan untuk memulihkan gangguan perilaku yang terganggu menjadi perilaku yang mampu menyesuaikan diri. Psikoterapi keluarga dimaksudkan untuk memulihkan penderita dan keluarganya. 5. Psikososial Dengan terapi psikososial dimaksudkan agar penderita mampu kembali beradaptasi dengan lingkungan sosial sekitarnya dan mampu merawat diri, mampu mandiri tidak tergantung pada orang lain. Selama menjalani terapi psikososial penderita hendaknya masih menkonsumsi obat psikofarmaka. Penderita diusahakan untuk tidak menyendiri, tidak melamun, banyak kegiatan dan kesibukan, dan banyak bergaul.

6. Psikoreligius Dari penelitian yang dilakukan, secara umum memang menunjukkan bahwa komitmen agama berhubungan dengan manfaatnya di bidang klinik (religius commitment is assosiated with clinical benefit). Dari hasil penelitian Larson, dkk (1982) didapatkan bahwa terapi keagamaan mempercepat penyembuhan. Terapi keagamaan yang dimaksudkan dalam penelitian tersebut berupa kegiatan ritual keagamaan seperti sembahyang, berdoa, memanjatkan puji-pujian kepada Tuhan, ceramah keagamaan dan kajian kitab suci.1 7. Rehabilitasi Program rehabilitasi penting dilakukan sebagai persiapan penempatan kembali penderita ke keluarga dan masyarakat. Program ini biasanya dilakukan di lembaga (institusi) rehabilitasi misalnya di rumah sakit jiwa. Dalam program rehabilitasi dilakukan berbagai kegiatan antara lain: terapi kelompok, menjalankan ibadah keagamaan bersama, kegiatan kesenian, terapi fisik seperti olah raga, keterampilan khusus/kursus, bercocok tanam, rekreasi dan lain lain. Pada umumnya program rehabilitasi ini berlangsung 3-6 bulan. Secara berkala dilakukan evaluasi paling sedikit dua kali yaitu sebelum dan sesudah program rehabilitasi atau sebelum penderita dikembalikan ke keluarga dan masyarakat.

PERILAKU KEKERASAN

1. Definisi Perilaku Kekerasan

Perilaku kekerasan atau agresif merupakan suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai seseorang secara fisik maupun psikologis. (Berkowitz, 1993). Berdasarkan definisi ini maka perilaku kekerasan dapat dibagi menjadi dua yaitu perilaku kekerasan secara verbal dan fisik. (Keltner et al, 1995). Sedangkan marah tidak harus memiliki tujuan khusus. Marah lebih menunjuak kepada suatu perangkat perasaan-perasaan tertentu dengan perasaan marah. (Berkowitz, 1993).

2. Penyebab Perilaku Kekerasan Menurut Stearan , kemarahan adalah kombinasi dari segala sesuatu yang tidak enak, cemas, tegang, demam, sakit hati, dan frustasi. Beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya kemarahan yaitu frustasi, hilangnya harga diri, kebutuhan akan status, dan prestise yang tidak terpenuhi. a. Frustasi : seseorang yang mengalami hambatan dalam mencapai tujuan / keinginan yang diharapkannya menyebabkan ia menjadi frustasi. Ia merasa terancam dan cemas. Jika tidak mampu menghadapi rasa frustasi itu dengan cara lain tanpa mengendalikan orang lain dan keadaan sekitarnya misalnya dengan kekerasan. b. Hilangnya harga diri : pada dasarnya manusia itu mempunyai kebutuhan yang sama untuk dihargai. Jika kebutuhan ini tidak terpenuhi akibatnya individu tersebut mungkin akan merasa rendah diri, tidak berani bertindak, gampang tersinggung, gampang marah, dan sebagainya. c. Kebutuhan akan status dan pretise ; manusia pada umumnya mempunyai keinginan untuk mengaktualisasikan dirinya, ingin dihargai dan diakui statusnya.

3.Rentang Respon Marah Respon kemarahan dapat di fluktuasi dalam rentang adaptif mal adaptif. Rentang respon kemarahan dapat digambarkan sebagai berikut ; (Keliat, 1997, hlm 6) a. Assertif adalah mengungkapkan marah tanpa menyakiti, melukai perasaan orang lain, atau tanpa merendahkan harga diri orang lain. b. Frustasi adalah respon yang timbul akibat gagal mencapai tujuan atau keinginan. Frustasi dapat dialami sebagai suatu ancaman dan kecemasan. Akibat dari ancaman tersebut dapat menimbulkan kemarahan.

c. Pasif adalah respon dimana individu tidak mampu mengungkapkan perasaan yang dialami. d. Agresif merupakan perilaku yang menyertai marah namun masih dapat dikontrol oleh individu. Orang agresif bisaanya tidak mau mengetahui hak orang lain. Dia berpendapat bahwa setiap orang harus bertarung untuk mendapatkan kepentingan sendiri dan mengharapkan perlakuan yang sama dari orang lain. e. Mengamuk adalah rasa marah dan bermusuhan yang kuat disertai kehilangan control diri. Pada keadaan ini individu dapat merusak dirinya sendiri maupun terhadap orang lain.

4. Proses Marah Strees, cemas, marah merupakan bagian kehidupan sehari-hari yang harus dihadapi oleh setiap individu. Strees dapat menyebabkan peningkatan rasa marah.

5. Gejala Marah Kemarahan dinyatakan dalam berbagai bentuk, ada yang menimbulkan pengrusakan, tetapi ada juga yang hanya diam seribu bahasa. Gejala-gejala atau perubahan-perubahan yang timbul pada klien dalam keadaan marah diantaranya sebagai berikut : a. Perubahan Fisioligik : tekanan darah meningkat, denyut nadi dan pernapasan meningkat, pupil dilatasi, tonus otot meningkat, mual, frekuensi buang air besar meningkat, kadangkadang konstipasi, refleks tendon tinggi. b. Perubahan Emosional : mudah tersinggung, tidak sabar, frustasi, ekspresi wajah tampak tegang, bila mengamuk kehilangan control diri. c. Perubahan Perilaku : agresif pasif, menarik diri, bermusuhan, sinis, curiga, mengamuk, nada suara keras dan kasar.

6. Perilaku Marah Perilaku yang berkaitan dengan perilaku kekerasan antara lain : a. Menyerang atau menghindar (fight of flight) Pada keadaan ini respon fisiologis timbul karena system syaraf otonom bereaksi terhadap sekresi

b. Menyatakan secara asertif (assertiveness) Perilaku yang sering ditampilkan individu dalam mengekspresikan kemarahannya yaitu dengan perilaku pasif, agresif, dan asesif. Perilaku asertif adalah cara yang terbaik untuk mengekspresikan marah karena individu dapat mengekspresikan rasa marahnya tanpa menyakiti orang lain secara fisik maupun psikologis. Di samping itu perilaku ini dapat juga untuk mengembangkan diri klien. c. Memberontak (acting out) Perilaku yang muncul basanya disertai akibat konflik perilaku acting out untuk menarik perhatian orang lain. d. Perilaku kekerasan Tindakan kekerasan atau amuk yang ditujukan kepada diri sendiri, orang lain, maupun lingkungan.

7.Mekanisme Koping Mekanisme koping adalah tiap upaya yang diarahkan pada penatalaksanaan strees, termasuk upaya penyelesaian masalah langsung dan mekanisme pertahanan yang digunakan untuk melindungi diri. (Stuart dan Sundeen, 1998, hlm 33) Kemarahan merupakan ekspresi dari rasa cemas yang timbul karena adanya ancaman. Beberapa mekanisme koping yang dipakai pada klien marah untuk melindungi diri antara lain ( Maramis, 1998, hlm 83 ) : a. Sublimasi : menerima suatu pengganti yang mulia artinya dimata masyarakat untuk suatu dorongan yang mengalami hambatan penyaluran secara normal. Misalnya seseorang yang sedang marah melampiaskan kemarahannya pada obyek lain seperti meremas adonan kue, meninju tembok, dan sebagainya, tujuannya adalah untuk mengurangi ketagangan akibat rasa marah. b. Proyeksi : menyalahkan orang lain mengenai kesukarannya atau keinginannya yang tidak baik. Misalnya seseorang wanita muda yang menyangkal bahwa ia mempunyai perasaan seksual terhadap rekan sekerjanya, berbalik menuduh bahwa temannya tersebut mencoba merayu, mencumbunya. c. Resepsi : mencegah pikiran yang menyakitkan atau membahayakan masuk kealam sadar. Misalnya : seseorang anak yang sangat benci pada orang tuanya yang tidak disukainya.

Akan tetapi menurut ajaran atau didikan yang diterimanya sejak kecil bahwa membenci orang tua merupakan hal yang tidak baik dan dikutuk oleh Tuhan, sehingga perasaan benci itu ditekannya dan akhirnya ia dapat melupakannya. d. Reaksi formasi : mencegah keinginan yang berbahaya bila diekspresikan, dengan melebih-lebihkan sikap dan perilaku yang berlawanan dan menggunakannya sebagai rintangan. Misalnya seseorang yang tertarik pada teman suaminya, akan memperlakukan orang tersebut dengan kasar. e. Displacement : melepaskan perasaan yang tertekan bisaanya bermusuhan, pada obyek yang tidak begitu berbahaya seperti yang pada mulanya membangkitkan emosi itu. Misalnya Timmy berusia 4 tahun marah karena ia baru saja mendapat hukuman dari ibunya karena menggambar di dinding kamarnya. Dia mulai bermain perang-perangan dengan temannya.

DAFTAR PUSTAKA

Keliat, B.A. (2006). Model Keperawatan Profesional Jiwa. Jakarta: EGC. Maramis.(2005). Kedokteran Jiwa. Jakarta: EGC.

Towsend C.M. (1998). Diagnosa Keperawatan Psikiatrio. Jakarta: EGC.

Vous aimerez peut-être aussi