Vous êtes sur la page 1sur 11

LAPORAN PENDAHULUAN STASE KEPERAWATAN DASAR MANUSIA KETIDAKNYAMANAN: NYERI

Disusun oleh: KIKI RIZKI MULYANI 20080320164

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2012

PENDAHULUAN 1. Definisi Nyeri Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang aktual atau potensial (Smeltzer & Bare, 2002). Menurut Potter dan Perry (2006) nyeri merupakan suatu kondisi yang lebih dari sekedar sensasi tunggal yang disebabkan oleh stimulus tertentu. Nyeri sangat bersifat subjektif dan sangat bersifat individual. Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa nyeri merupakan kondisi yang tidak menyenangkan yang dialami oleh seseorang sebagai akibat dari kerusakan jaringan aktual maupun potensial, yang bersifat subjektif dan individual. Rasa nyeri merupakan mekanisme perlindungan. Rasa nyeri timbul bila ada kerusakan jaringan, dan hal ini akan menyebabkan individu bereaksi dengan cara memindahkan stimulus nyeri (Guyton & Hall, 2007).

2. Jenis-jenis Nyeri a. Nyeri Akut Nyeri akut biasanya awitannya tiba-tiba dan umumnya berkaitan dengan cidera spesifik. Nyeri akut mengindikasikan bahwa kerusakan atau cidera telah terjadi. Nyeri akut umumnya terjadi kurang dari enam bulan dan biasanya kurang dari satu bulan. Cidera atau penyakit yang menyebabkan nyeri akut dapat sembuh secara spontan atau dapat memerlukan pengobatan (Smeltzer & Bare, 2002). b. Nyeri Kronik Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap sepanjang suatu periode waktu. Nyeri ini berlangsung diluar waktu penyembuhan yang diperkirakan dan sering tidak dapat dikaitkan dengan penyebab atau cidera spesifik. Nyeri kronis tidak mempunyai awitan yang dapat ditetapkan dengan tepat dan sering sulit untuk diobati karena biasanya

nyeri ini tidak memberikan respons terhadap pengobatan yang diarahkan pada penyebabnya. Nyeri kronis sering didefinisikan sebagai nyeri yang berlangsung selama enam bulan atau lebih (Smeltzer & Bare, 2002). Nyeri kronis yang terjadi setelah suatu cidera atau proses penyakit diduga terjadi karena ujung-ujung saraf yang normalnya hanya mentransmisikan stimulus yang sangat nyeri, mentransmisikan stimulus yang sebelumnya tidak nyeri sebagai stimulus yang sangat nyeri.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Respons Nyeri a. Pengalaman Masa Lalu dengan Nyeri Seseorang yang mempunyai pengalaman multipel dan berkepanjangan dengan nyeri akan lebih sedikit gelisah dan lebih toleran terhadap nyeri dibanding orang yang hanya mengalami sedikit nyeri. b. Ansietas dan Nyeri Ansietas yang relevan atau berhubungan dengan nyeri dapat

meningkatkan persepsi pasien terhadap nyeri. c. Budaya dan Nyeri Budaya dan etniksitas mempunyai pengaruh pada bagaimana seseorang berespons terhadap nyeri. Namun budaya dan etnik tidak mempengaruhi persepsi nyeri. Sebagai contoh anak anak yang sejak kecil diajarkan bahwa cidera akibat olahraga tidak terlalu menyakitkan dibandingkan dengan cidera akibat kecelakaan bermotor. Maka mereka memiliki persepsi bahwa cidera bermotor akan lebih menyakitkan daripada cidera olahraga. d. Usia dan Nyeri Lansia memiliki cara berespon yang berbeda terhadap nyeri dibandingkan dengan orang yang berusia lebih muda. Nyeri pada lansia mungkin dialihkan jauh dari tempat cidera atau penyakit. Persepsi nyeri pada lansia mungkin berkurang sebagai akibat dari perubahan patologis berkaitan dengan beberapa penyakit (misalnya diabetes), tetapi pada individu lansia yang sehat, persepsi

nyeri

mungkin

tidak

berubah.

Karena

individu

lansia

mempunyai

metabolisme yang lebih lambat dan rasio lemak tubuh terhadap massa otot lebih besar disbanding individu berusia lebih muda, sehingga analgesik dosis kecil mungkin cukup untuk menghilangkan nyeri.

e. Efek Plasebo Efek plasebo terjadi ketika seseorang berespons terhadap pengobatan atau tindakan lain karena suatu harapan bahwa pengobatan atau tindakan tersebut akan memberikan hasil bukan karena tindakan tersebut benar-benar bekerja, namun karena menerima pengobatan atau tindakan saja sudah memberikan efek positif bagi mereka.

4. Fisiologi Nyeri a. Masuknya aktivitas saraf aferen dimodulasi oleh mekanisme pembukaan / penutupan gerbang (gating mechanism) di dalam tanduk dorsal korda spinalis dan batang otak. Gerbang ini merupakan inhibitor atau fasilitator bagi aktivitas sel Transmisi (T) yang membawa aktivitas lebih jauh sepanjang jalur saraf. b. Gerbang dipengaruhi oleh derajat relatif dari aktivitas serabut beta A dengan diameter besar, serabut delta A diameter kecil serta serabut C. Serabut beta A diameter besar diaktifkan oleh stimuli tidak berbahaya dan pada aktifitas serabut aferen besar cenderung menutup gerbang sedangkan aktifitas serabut kecil cenderung membukanya. c. Mekanisme kontrol serabut saraf desendens dari tingkatan yang lebih tinggi di
susunan saraf pusat dipengaruhi oleh proses kognitif, motivasional dan afektif Derajat mekanisme yang lebih tinggi ini juga memodulasi gerbang. Aktivitas di dalam serabut aferen besar tidak hanya cenderung menutup gerbang secara langsung tetapi juga mengaktifkan mekanisme kontrol pusat yang menutup gerbang.

d. Saat gerbang terbuka dan aktivitas di dalam aferen yang baru masuk cukup untuk mengaktifkan sistem transmisi, dua jalur asendens utama diaktifkan. Yang pertama adalah jalur sensoris-diskriminatif, yang bersambung dengan korteks somatosensoris serebri melalui thalamus ventroposterior. Jalur ini memungkinkan penentuan tempat nyeri. Kedua, jalur asendens yang melibatkan informasi retikuler melalui sistem thalamus dan limbus medial. Jalur ini berurusan dengan rasa tidak enak, penolakan (aversif) dan aspek emosional dari nyeri. Jalur desendens, selain berpengaruh pada gerbang tanduk dorsal, dapat juga berinteraksi dengan kedua sistem asendens ini.

5. Penilaian Nyeri Penilaian nyeri merupakan elemen yang penting untuk menentukan terapi nyeri paska pembedahan yang efektif. Skala penilaian nyeri dan keterangan pasien digunakan untuk menilai derajat nyeri. Intensitas nyeri harus dinilai sedini mungkin selama pasien dapat berkomunikasi dan menunjukkan ekspresi nyeri yang dirasakan. Ada beberapa skala penilaian nyeri pada pasien sekarang: a. Wong-Baker Faces Pain Rating Scale Skala dengan enam gambar wajah dengan ekspresi yang berbeda, dimulai dari senyuman sampai menangis karena kesakitan. Skala ini berguna pada pasien dengan gangguan komunikasi, seperti anak-anak, orang tua, pasien yang kebingungan atau pada pasien yang tidak mengerti dengan bahasa lokal setempat.

b. Verbal Rating Scale (VRS) Pasien ditanyakan tentang derajat nyeri yang dirasakan berdasarkan skala lima poin ; tidak nyeri, ringan, sedang, berat dan sangat berat.

c. Numerical Rating Scale (NRS) Pertama sekali dikemukakan oleh Downie dkk pada tahun 1978, dimana pasien ditanyakan tentang derajat nyeri yang dirasakan dengan menunjukkan angka 0 5 atau 0 10, dimana angka 0 menunjukkan tidak ada nyeri dan angka 5 atau 10 menunjukkan nyeri yang hebat.

d. Visual Analogue Scale (VAS) Skala yang pertama sekali dikemukakan oleh Keele pada tahun 1948 yang merupakan skala dengan garis lurus 10 cm, dimana awal garis (0) penanda tidak ada nyeri dan akhir garis (10) menandakan nyeri hebat. Pasien diminta untuk membuat tanda digaris tersebut untuk mengekspresikan nyeri yang dirasakan. Penggunaan skala VAS lebih gampang, efisien dan lebih mudah dipahami oleh penderita dibandingkan dengan skala lainnya. Penggunaan VAS telah direkomendasikan oleh Coll dkk karena selain telah digunakan secara luas, VAS juga secara metodologis kualitasnya lebih baik, dimana juga penggunaannya realtif mudah, hanya dengan menggunakan beberapa kata

sehingga kosa kata tidak menjadi permasalahan. Willianson dkk juga melakukan kajian pustaka atas tiga skala ukur nyeri dan menarik kesimpulan bahwa VAS secara statistik paling kuat rasionya karena dapat menyajikan data dalam bentuk rasio. Nilai VAS antara 0 4 cm dianggap sebagai tingkat nyeri yang rendah dan digunakan sebagai target untuk tatalaksana analgesia. Nilai VAS > 4 dianggap nyeri sedang menuju berat sehingga pasien merasa tidak nyaman sehingga perlu diberikan obat analgesik penyelamat (rescue analgetic).

6. Penatalaksanaan Nyeri a. Terapi non-Farmakologis Ada beberapa metode metode non-farmakologi yang digunakan untuk membantu penanganan nyeri paska pembedahan, seperti menggunakan terapi fisik (dingin, panas) yang dapat mengurangi spasme otot, akupunktur untuk nyeri kronik (gangguan muskuloskletal, nyeri kepala), terapi psikologis (musik, hipnosis, terapi kognitif, terapi tingkah laku) dan rangsangan elektrik pada sistem saraf (TENS, Spinal Cord Stimulation, Intracerebral Stimulation)

b. Terapi Farmakologis Modalitas analgetik paska pembedahan termasuk didalamnya analgesik oral parenteral, blok saraf perifer, blok neuroaksial dengan anestesi lokal dan opioid intraspinal. Pemilihan teknik analgesia secara umum berdasarkan tiga hal yaitu pasien, prosedur dan pelaksanaannya. Ada empat grup utama dari obat-obatan analgetik yang digunakan untuk penanganan nyeri paska pembedahan. Obat farmakologis untuk penanganan nyeri

7. Asuhan Keperawatan No Data Masalah Etiologi Diagnosa Keperawatan

1.

DO 1. Ekspresi tampak nyeri DS 1. Klien mengatakan nyeri punggung 2. Klien mengeluh diarea wajah menahan

Nyeri

Agen cidera biologi

Nyeri berhubungan dengan agen cidera biologi ditandai dengan ekspresi wajah

tampak menahan nyeri, klien mengatakan nyeri diarea

punggungdan klien mengeluh sakit perut sebelah kiridan menjalar kebelakang

sakit perut sebelah kiridan menjalar

kebelakang

NOC: Pain Control Setelah diberikan intervensi keperawatan selama 1 x 24 jam diharapkan pasien dapat: (1) Mengenal gejala nyeri (4) (2) Melaporkan nyeri yang dirasakan (5) (3) Mengenali faktor penyebab nyeri (4) (4) Menggunakan terapi non-analgesik untuk mengurangi nyeri (4)

NIC: Pain Management (1) Observasi ketidaknyamanan pasien secara nonverbal, khususnya komunikasi yang tidak efektif (2) Eksplorasi pasien faktor-faktor yang dapat memperberat dan meringankan nyeri (3) Ajarkan prinsip-prinsip manajemen nyeri (4) Sediakan informasi tentang nyeri, seperti penyebab nyeri, berapa lama nyeri akan berakhir dan tindakan yang dapat dilakukan untuk mengatasi ketidaknyamanan (5) Kolaborasi pemberian analgesik dengan dokter

DAFTAR PUSTAKA Dochterman, J.M.C., & Bulechek, G.M. (2004). Nursing intervention classification (4th ed.). Missouri: Mosby. Guyton, A.C., & Hall, J.E. (2007). Buku ajar fisiologi kedokteran (11th ed.). Jakarta: EGC. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/24986/3/Chapter%20II.pdf http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31992/4/Chapter%20II.pdf Johnson, M., Maas, M., & Moorhead, S. (2004). Nursing outcomes classification (2nd ed.). Missouri: Mosby. Mansjoer, A., Triyanti, K., Savitri, R., Wardhani, W.I., & Setiowulan, W. (Eds.). (2009). Kapita selekta kedokteran (3rd ed. 1st vol). Jakarta: Media Aesculapius. Potter, P.A., & Perry, A.G. (2006). Buku ajar fundamental keperawatan konsep, proses, dan praktik. (4th ed. 2nd vol). Jakarta: EGC Santosa, B. (2005). Panduan diagnosa keperawatan NANDA. Jakarta: Prima Medika. Smeltzer, S., & Bare, B. (2002). Buku ajar keperawatan medikal bedah brunner & suddarth (8th ed. 2nd vol). Jakarta: EGC.

Vous aimerez peut-être aussi