Vous êtes sur la page 1sur 45

LAPORAN STUDI KASUS STASE ANAK RUMAH SAKIT ISLAM UNISMA

UPAYA PENDEKATAN KEDOKTERAN KELUARGA TERHADAP An.L DALAM MENANGANI PERMASALAHAN PENYAKIT DIFTERIA

Disusun untuk Memenuhi Tugas Clerkship

Oleh: M. Fathan Rasyid Al-Faruqi (209.121.0025)

Pembimbing: dr. Dina Mariyati

KEPANITERAAN KLINIK MADYA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM MALANG 2014

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah, serta inayah-Nya kepada penyusun sehingga Laporan Studi Kasus Stase Anak yang berjudul Upaya Pendekatan Kedokteran Keluarga terhadap An.L dalam Menangani Permasalahan Penyakit Difteria ini dapat diselesaikan sesuai dengan rencana yang diharapkan. Tujuan penyusunan laporan ini adalah sebagai ujian kasus guna memenuhi tugas Clerkship serta melatih keterampilan klinis dan komunikasi dalam menangani kasus kedokteran keluarga secara holistik dan komprehensif. Penyusun menyadari bahwa laporan makalah ini belumlah sempurna. Untuk itu, saran dan kritik dari para dosen dan pembaca sangat diharapkan demi perbaikan laporan ini. Atas saran dan kritik dosen dan pembaca, penyusun ucapkan terima kasih. Semoga Laporan Studi Kasus ini bermanfaat bagi dosen, penyusun, pembaca serta rekan-rekan lain yang membutuhkan demi kemajuan ilmu pengetahuan khususnya di bidang kedokteran.

Penyusun

M. Fathan Rasyid Al-Faruqi

DAFTAR ISI 1. 2. 3. 4. Judul Kata Pengantar ................................................................................................. i Daftar Isi ......................................................................................................... ii BAB I : Pendahuluan Latar Belakang ...........................................................................................1 Tujuan ........................................................................................................1 Manfaat ......................................................................................................1 5. BAB II : Status Penderita Identitas Penderita ......................................................................................2 Anamnesa ...................................................................................................2 Anamnesa Sistem .......................................................................................5 Pemeriksaan Fisik ......................................................................................6 Pemeriksaan Penunjang .............................................................................8 Resume .......................................................................................................9 Diagnosis Holistik ......................................................................................9 Penatalaksanaan Holistik .........................................................................10 Follow Up dan Flow Sheet.......................................................................14 6. BAB III : Identifikasi Keluarga .....................................................................14 7. BAB IV : Tinjauan Pustaka Difteria .....................................................................................................16 Profil Keluarga .........................................................................................12 Identifikasi Fungsi-Fungsi dalam Keluarga .............................................15 8. BAB V : Pembahasan Dasar Penegakan Diagnosa ......................................................................24 Dasar Rencana Penatlaksanaan ................................................................31 9. BAB VI : Penutup Kesimpulan Holistik ................................................................................44 Saran ........................................................................................................44 10. Daftar Pustaka .................................................................................................45

ii

LAPORAN STUDI KASUS STASE ANAK

BAB I
PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Difteri merupakan penyakit menular yang sangat berbahaya. Penyakit ini mudah menular dan menyerang terutama daerah saluran pernafasan bagian atas. Penularan biasanya terjadi melalui percikan ludah dari orang yang membawa kuman ke orang lain yang sehat dan bisa juga ditularkan melalui benda atau makanan yang terkontaminasi. Difteri tersebar di seluruh dunia, tetapi insiden penyakit ini menurun secara drastis setelah penggunaan vaksin difteri secara meluas. Insiden tergantung kekebalan individu, lingkungan, dan akses pelayanan kesehatan. Serangan difteri sering terjadi dikalangan penduduk miskin yang tinggal di tempat berdesakan, memperoleh fasilitas pelayanan kesehatan terbatas, dan mempunyai pengetahuan serta pendidikan rendah. Kematian umumnya terjadi pada individu yang belum mendapat imunisasi.1,2 Obstruksi saluran nafas atas karena difteri adalah suatu keadaan darurat yang harus segera diatasi untuk mencegah kematian. Gejala obstruksi jalan nafas yang tampak adalah sesak nafas, disfoni sampai afoni, stridor inspirasi, retraksi otot di suprasternal, supraklavikula, epigastrial, dan interkostal, dan apabila tidak mendapat terapi yang adekuat pasien akan gelisah dan sianosis karena hipoksia.3 Pada 1400 kasus difteri di Kalifornia, fokus infeksi primer sekitar 94% adalah tonsil atau faring, sedangkan hidung dan laring merupakan dua tempat berikutnya yang angka kejadiannya lebih jarang daripada tonsil dan faring. Penyumbatan mekanik karena difteri laring atau difteri Bullneck dan miokarditis menyebabkan kematian paling besar. Angka kematian kasus difteri saluran nafas hampir 10%.4 1.2 TUJUAN Tujuan penyusunan laporan ini adalah untuk melatih keterampilan klinis dan komunikasi dalam menangani kasus pada anak, khususnya Difteria yang terjadi pada An.L, dengan upaya pendekatan kedokteran keluarga yang bersifat holistik dan komprehensif. 1.3 MANFAAT Manfaat penyusunan laporan ini adalah sebagai media pembelajaran dan evaluasi terhadap aspek kedokteran keluarga dalam penanganan serta pencegahan kasus infeksi khususnya kasus difteria.

LAPORAN STUDI KASUS STASE ANAK

BAB II
IDENTITAS PENDERITA Nama Umur Jenis Kelamin Alamat Pekerjaan Pendidikan Agama Suku Tanggal Periksa : An.L : 3 tahun 8 bulan : Laki-laki : Jl. Mayjend Panjaitan VIII B/ 58 Malang : Siswa PAUD : PAUD : Islam : Jawa : 21 - 01 - 2014

Nomor Rekam Medis : Orang Tua Nama Ayah Umur Ayah : Tn.W : 28 tahun

Pendidikan Terakhir : SMA Pekerjaan Ayah Nama Ibu Umur Ibu : Cleaning Service : Ny.R : 30 tahun

Pendidikan Terakhir : SMK Pekerjaan Ibu Suku Agama Alamat : IRT : Jawa : Islam : Jl. Mayjend Panjaitan VIII B/ 58 Malang

Penghasilan perbulan : Rp.,Anak ke-/jumlah saudara : 1 / 1 ANAMNESIS (Alloanamnesa) 1. Keluhan utama Harapan Kekhawatiran : Batuk : Segera sembuh dan tidak kambuh : batuk tidak sembuh-sembuh dan merupakan penyakit yang parah

2. 3.

Keluhan Penyerta: demam dan flu Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien An.L datang ke RS diantar oleh orang tua. Ibu mengeluh bahwa An.L batuk disertai demam dan flu sejak 8 hari yang lalu. Ibu sempat memberikan obat pasaran dengan merek konidin junior kid satu kali dengan harapan batuknya segera membaik. Namun batuk tidak kunjung membaik. Ibu kemudian membawa An.L ke tempat dokter praktek swasta di sekitar rumahnya 1 hari sejak munculnya batuk dan demam. Dokter tersebut meresepkan obat untuk An. L. Setelah pemberian obat, demam dan flu berangsur-angsur membaik, namun batuk masih tetap ada. Batuk muncul sedikit pada pagi hari sedangkan pada malam hari batuk mulai ngiklik-ngiklik sehingga berakibat An.L tidak bisa tidur dengan nyenyak. Batuk tidak berdahak. 5 hari setelah ke dokter praktek, pasien kontrol kembali ke dokter tersebut karena batuk tidak kunjung membaik. Kemudian dokter merujuk ke RSI Unisma. Hasil pemeriksaan swab tenggorokan pada hari pertama menunjukkan hasil yang negatif difteri. Kemudian hasil kultur pada hari kedua menunjukkan hasil yang positif difteri.

4. Riwayat Penyakit Dahulu : Riwayat mondok Riwayat hipertensi Riwayat DM Riwayat gout Riwayat penyakit jantung ::::: Riwayat demam kejang Riwayat morbili Riwayat difteri Riwayat pertusis Riwayat parotitis Riwayat varicela Riwayat tetanus Riwayat malaria Riwayat asma :::::::::-

Riwayat alergi obat/makanan : Riwayat dengue fever :-

Riwayat radang tenggorokan : Riwayat demam tifoid :-

Keterangan: Pasien pernah masuk RS sebanyak 2x karena. 5. Riwayat Penyakit Keluarga : Riwayat keluarga dengan penyakit serupa : Tidak ada Riwayat Hipertensi Riwayat DM : (-) : (-)

Riwayat penyakit lain : ibu pernah abortus 1x sebelum hamil An.L, didiagnosa jantung bocor sejak SD Riwayat tetangga dengan penyakit serupa : ada 3

6. Riwayat Kehamilan Ibu Keluhan Usia ibu hamil Kontrol : Ibu mengalami gangguan saat hamil yaitu jantung bocor. : 26 tahun : Rutin

Kelainan kehamilan : disangkal 7. Riwayat Kelahiran Persalinan BB PB lahir : pervaginam dengan penyulit dibantu dengan vacum oleh dokter : 3100 gram 48 cm

Usia kehamilan : 9 bulan 7 hari

Kondisi lahir : cacat (-), anus (+), ketuban jernih, Lahir dengan bantuan vacum, Langsung menangis Kelainan kelahiran: disangkal 8. Riwayat Imunisasi Ibu Anak : TT (+) : DTP (+) BCG (+) Campak (+) Hepatitis B (+) Polio (+) 9. Riwayat Gizi ASI: An. L mengkonsumsi ASI sampai usia 2 tahun. Makanan sehari-hari: Selama sakit, nafsu makan An.L tetap baik. Sebelum sakit, biasanya An.N makan 3 kali sehari, nafsu makan baik, suka konsumsi buah dan sayur, kadang-kadang minum susu kedelai. 10. Riwayat pertumbuhan dan perkembangan : Pertumbuhan: Normal Tumbuh gigi mulai usia 4 bulan Pertumbuhan BB Usia 1 tahun 6 tahun 3 tahun BB 10 kg 12 kg 15 kg jumlah: 4 kali jumlah: 1 kali jumlah: 1 kali jumlah: 3 kali jumlah: 5 kali usia: 2, 4, 6 bulan dan 2 tahun usia: 2 bulan usia: 9 bulan usia: 0, 1, 6 bulan usia: 0, 2, 4, 6 bulan dan 3 tahun

Perkembangan: Motorik Kasar Tengkurap (3,5 bulan), Merangkak (7 bulan), Berjalan (14 bulan)

Motorik Halus Menggambar bentuk (3 tahun), Menulis (3,5 tahun) Bahasa Bicara awal (10 bulan), bicara lancar tidak cadel (14 bulan) Sosial Bermain bersama (1 tahun)

Perkembangan normal 11. Riwayat Kebiasaan Pasien dan Keluarga: Riwayat Merokok : Ayah pasien merokok, tapi tidak saat sedang bersama anak-anaknya Riwayat Minum Alkohol Riwayat Pengisisan Waktu Luang : (-) : An.L bermain diluar rumah

12. Riwayat Sosial Ekonomi : An.L setiap hari bertemu kedua orang tuanya. Setiap waktu libur, Orang tua pasien menyempatkan untuk berkunjung ke tempat wisata. Review of Sistem 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Kulit Kepala Mata Hidung Telinga Mulut : kulit gatal (-), bintik merah di kulit (-) : sakit kepala (-), rambut rontok (-), luka (-), benjolan (-) : merah (-/-) : tersumbat (-/-), mimisan (-/-), sekret/rhinorrea (-/-) : cairan (-/-), nyeri (-/-) : Sariawan (-), mulut hiperemis (-)

Tenggorokan: Sakit menelan (-), serak (-), ada rasa tersendat (-) Pernafasan : Sesak nafas (-), batuk (+), mengi (-) Kardiovaskuler : Berdebar-debar (-), nyeri dada (-)

10. Gastrointestinal : Mual (-), muntah (-), diare (-), nafsu makan baik, nyeri perut (-) 11. Genitourinaria 12. Neurologic : BAK normal : Kejang (-), lumpuh (-), kaki kesemutan (-)

13. Muskuluskeletal : Kaku sendi (-), nyeri sendi (-), nyeri otot (-) 14. Ekstremitas : a. Atas kanan : bengkak (-), sakit (-), hangat (+), pucat (-), luka (-) b. Atas kiri : bengkak (-), sakit (-), hangat (+), pucat (-), luka (-) 5

c. Bawah kanan : bengkak (-), sakit (-), hangat (+), pucat (-), luka (-) d. Bawah kiri : bengkak (-), sakit (-), hangat (+), pucat (-), luka (-)

2.3 PEMERIKSAAN FISIK 1. Keadaan umum : tampak lemas dan sakit sedang, kesadaran composmentis (GCS E4V5M6) 2. Atropometri BB TB : 15 kg : 100 cm

Status gizi kesan: cukup 3. Tanda Vital TD Nadi : 110/70 mmHg : 96 x/menit

Suhu : 36oC RR : 20x/menit : distribusi pertumbuhan rambut rata dan lebat, warna rambut hitam

4. Rambut

5. Kepala dan wajah : wajah simetris, luka (-), kelainan mimik wajah/bells palsy (-), warna kulit cokelat, turgor baik, sianosis (-), pucat (+), papul (-), nodul (-), makula (-), pustul (-) 6. Mata : conjungtiva anemis (+/+), radang (-/-), eksoftalmus (-), strabismus (-), mata cowong (-) 7. Hidung : nafas cuping hidung (-/-), sekret/rhinorrhea (-/-), epistaksis (-/-), deformitas hidung (-/-) 8. Mulut : mukosa bibir pucat (-/-), sianosis bibir (-/-), bibir kering (-/-), tepi lidah hiperemis (-), karies dentis (-), lidah kotor (-) 9. Telinga : otorrhea (-/-), kedua cuping telinga normal

10. Tenggorokan : membran tonsil keabu-abuan (+/-), pharing hiperemis (-) 11. Leher 12. Thorax : lesi kulit (-), pembesaran kelenjar tiroid (-), pembesaran KGB (-) : normochest, simetris : ictus cordis tidak tampak

Cor : Inspeksi Palpasi Perkusi

: ictus cordis kuat angkat : batas kiri atas Batas kanan atas : SIC II LPSS : SIC II LPSD 6

Batas kiri bawah

: SIC V 1 cm lateral LMCS

Batas kanan bawah : SIC IV LPSD Batas jantung kesan tidak melebar Auskultasi : bunyi jantung I-II intensitas normal, regular Pulmo : Inspeksi : pengembangan dada kanan sama dengan dada kiri Palpasi : fremitus taktil kiri sama dengan kanan Perkusi : sonor di seluruh lapang paru Auskultasi : + + wheezing ronkhi basah & kering - - -

suara dasar vesikuler + + + 13. Abdomen : Inspeksi Palpasi Perkusi : sejajar dinding dada : supel, nyeri tekan (-)

: timpani di seluruh lapangan abdomen

Auskultasi : bising usus (+) Normal 14. Sistem Collumna Vertebralis : Inspeksi : skoliosis (-), kifosis (-), lordosis (-)

15. Ekstremitas : palmar eritem (-) Akral hangat + + + + Oedem -

16. Pemeriksaan neurologik : Kesadaran Fungsi sensorik : GCS 456 composmentis N N Fungsi motorik 5 5 5 5 N N

N N

N N

N N

N N

Kekuatan

Tonus

Ref.Fisiologis

Ref.Patologis

2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG Tabel 1. Pemeriksaan Darah Lengkap (tanggal 28 dan 29 September 2013)
Pemeriksaan Hematologi Hb HCT Leukosit Trombosit Eritrosit PDW RDW-CV MPV PCT Index MCV MCH MCHC Differential Basofil Eosinofil Limfosit Monosit Netrofil Large imm.cell Atyp.Limpho LED Hasil 21 Januari 2014 11,8 37,2 4,04 311 5,34 14,8 14,7 8,58 0,3 69,7 22,0 31,0 0,4 7,5 63,5 16,8 11,8 4,7 0,7 20 g/dl % Ribu/ul Ribu/ul Juta/ul 11,5-13,5 34-40 5,0-14,5 150-440 3,95-5,26 Unit Nilai Normal

Fl Pg % % % % % %

75-87 24-30 31-37 0-1 1-6 30-45 2-8 50-70

Keterangan: darah lengkap (DL) Pemeriksaan Swab 21 Januari 2014 1. Sediaan langsung: a. Gram :-

b. Neisser : tidak ditemukan morfologi khas C.diphteriae c. Tahan asam : 2. Pembenihan/kultur : C.diphteriae (+) secara morfologis Usulan Pemeriksaan: swab seluruh anggota keluarga 2.5 RESUME a) Anamnesis : Batuk disertai demam dan flu sejak 8 hari yang lalu. Demam dan flu membaik sejak minum obat dari dokter namun tidak dengan batuknya

Riwayat tetangganya ada yang positif difteri dan sudah MRS di RSI Unisma juga

b) Pemeriksaan Fisik : Conjunctiva anemis (+), membrane tonsil keabu-abuan (+).

c) Pemeriksaan Penunjang : Darah lengkap : leucopenia, peningkatan eosinofil, limfosit, dan monosit serta penurunan neutrofil Swab tenggorokan : pembenihan/kultur didapatkan C.diphteria (+) secara morfologis

2.6. DIAGNOSA HOLISTIK 1. Diagnosis dari segi biologis : Working diagnostic : Difteria

Differential diagnostic:

2. Diagnosis dari segi psikologis : Hubungan An.L dengan anggota keluarga sangat baik, karena ayah, ibu dan kakak An.L selalu bertemu setiap hari dan juga bila ada waktu libur, keluarga sering berwisata bersama-sama sehingga komunikasi dalam keluarga berjalan sangat efektif. 3. Diagnosis dari segi sosial dan ekonomi : Hubungan dengan tetangga dan teman-teman An.L berjalan lancar karena jaraknya yang dekat. Dalam mengisi waktu luang, An.L lebih sering bermain dengan temannya. Dalam segi ekonomi, keluarga Tn.W tergolong menengah ke bawah.

2.7 PENATALAKSANAAN HOLISTIK Non Farmakoterapi: KIE (Komunikasi, Informasi, Edukasi):

Farmakoterapi: R/ Erysanbe 3x 200 mg po R/ Aradex 3/10 R/ Ka EN 3B infuse 12tpm Indikasi: Larutan rumatan nasional untuk memenuhi kebutuhan harian air dan elektrolit dengan kandungan kalium cukup untuk mengganti ekskresi harian, pada keadaan asupan oral terbatas Rumatan untuk kasus pasca operasi (> 24-48 jam) Mensuplai kalium sebesar 20 mEq/L untuk KA-EN 3B Tiap liter isi mengandung: - sodium klorida 1,75g,c - potasium klorida 1,5g, - sodium laktat 2,24g, - anhydrous dekstros 27g. - Elektrolit (mEq/L) : a. Na+ 50, b. K+ 20, c. Cl- 50, d. laktat- 20, e. glukosa 27 g/L. f. kcal/L. 108 Rumus dosis maintenance cairan: Berat badan anak dibagi menjadi tiga bagian : 10 Kg I = 100 10 Kg II = 50 10 Kg III (Sisa KgBB) = 20 Terapi An.A: 10 x 100 = 1000 cc 5 x 50 = 250 cc Total Kebutuhan Cairan = 1250 cc (1250 cc x 20 tetes) / 1440 menit = 17 tetes/menit

R/ Ceftriaxon inj 2x400 mg.iv 10

R/ ADS 20.000 iu dalam 100 cc NS

FOLLOW UP DAN FLOW SHEET Nama Diagnosis : An.L : Difteri

Tabel 5. Flow Sheet No Tanggal S


1. 2. 3.

11

LAPORAN STUDI KASUS STASE ANAK

BAB III PENDEKATAN KEDOKTERAN KELUARGA

3.1

Identifikasi Keluarga A. Karakteristik Demografi a. Nama Kepala Keluarga : Tn. W b. Nama Pasien c. Alamat d. Bentuk Keluarga : An.L (3 tahun 8 bulan) : Jl. Mayjen Panjaitan VIII B/ 58 Malang : Extended Family

Tabel 3.1 Daftar anggota keluarga yang tinggal dalam satu rumah Pasien klinik Ya -

No

Nama Tn. W

Kedudukan

L/P Umur

Pendidikan

Pekerjaan Cleaning Service IRT Pelajar PRT bangunan IRT Pelajar

Ket.

1 2 3 4 5 6 7. 8.

Ayah Ibu Anak Nenek Paman Bibi Paman Bibi

L P L P L P L P

28 30 3,8 55 33 25 24 16

SMA SMK PAUD SD SMP SMK SMP SMP

Difteri -

Ny. R An. L Ny. R Tn. S Ny. I Tn. I Nn. U

Sumber: data primer, 14 Januari 2014 Kesimpulan: An. L tinggal di malang bersama orangtua, nenek, 2 paman, dan 2 bibinya.

12

B. Genogram Keluarga Alamat lengkap : Jl. Mayjen Panjaitan VIII B/ 58 Malang Bentuk keluarga : Extended family

Keterangan: : meninggal dunia : laki-laki : perempuan : tinggal dalam satu rumah : pasien

C. Fungsi Keluarga 1. Fungsi Biologis

2. Fungsi Psikologis

3. Fungsi Sosial . Kesimpulan : Berdasarkan data pada fungsi-fungsi diatas, pasien memiliki masalah pada fungsi biologis D. Fungsi Fisiologis dengan APGAR Score Untuk menilai fungsi fisiologis digunakan APGAR score. APGAR score adalah skor yang digunakan untuk menilai fungsi keluarga ditinjau dari sudut pandang setiap anggota keluarga terhadap hubungan dengan anggota keluarga yang lain. APGAR score meliputi: Adaptation

13

Kemampuan anggota keluarga tersebut beradaptasi dengan anggota keluarga yang lain, serta penerimaan, dukungan dan saran dari anggota keluarga yang lain.

Partnership Menggambarkan komunikasi, saling membagi, saling mengisi antara anggota keluarga dalam segala masalah yang dialami oleh keluarga tersebut

Growth Menggambarkan dukungan keluarga terhadap hal-hal baru yang dilakukan anggota keluarga tersebut

Affection Menggambarkan hubungan ksih saying dan interaksi antar anggota keluarga Resolve Menggambarkan kepuasan anggota keluarga tentang kebersamaan dan waktu yang dihabiskan bersama anggota keluarga yang lain.

APGAR A Saya puas bahwa saya dapat kembali ke keluarga saya bila saya menghadapi masalah P Saya puas dengan cara keluarga saya membahas dan membagi masalah dengan saya G Saya puas dengan cara keluarga saya menerima dan mendukung keinginan saya untuk melakukan kegiatan baru atau arah hidup yang baru A Saya puas dengan cara keluarga saya mengekspresikan kasih sayangnya dan merespon emosi saya seperti kemarahan, perhatian dll R Saya puas dengan cara keluarga saya dan saya membagi waktu bersama-sama Kesimpulan: total 10 (APGAR baik)

Sering /selalu

Kadang -kadang

Jarang/ Tidak

14

E. Fungsi Patolosis dengan SCREEM Score Tabel 3.3 SCREEM keluarga penderita SUMBER Social Hubungan dengan teman-teman sebaya An.L berjalan lancer, tidak ada hambatan yang berarti. Begitu juga keluarga Tn.W dengan tetangga Menggunakan adat-istiadat Jawa, bahasa Jawa serta bahasa Indonesia secara sopan dengan sesama anggota keluarga dan orang lain dikehidupan sehari-hari Keluarga Tn.W memiliki agama yang kuat Penghasilan keluarga relatif rendah karena hanya cleaning service dan pembantu rumah tangga Tingkat pendidikan keluarga kurang, pendidikan terakhir orang tua An. L adalah SMA. Oleh karena itu keluarga tidak begitu mengetahui penyakit yang dialami anaknya. Keluarga biasanya langsung membawa ke dokter praktek yang ada di dekat rumahnya jika ada permasalahan kesehatan. Namun penghasilan yang rendah terkadang membuat keluarga bingung dalam membiayai pelayanan kesehatan PATOLOGI S -

Culture

Religious Economic

Educational

Medical

Kesimpulan: Keluarga An. L memiliki fungsi patologis dalam bidang edukasi, ekonomi, dan medical

Pola Interaksi Keluarga


Tn. A

Ny. S

Ny. H

Ny. M

Ny. S

An. U

15

Keterangan: : hubungan baik : hubungan kurang baik : laki-laki : perempuan : pasien

3.2

Identifikasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesehatan Diagram faktor perilaku dan non perilaku
Pengetahuan

Pengetahuan keluarga dalam membantu Nn.S menangani penyakitnya masih kurang. Tampak dari pemahaman tentang pentingnya untuk keteraturan minum obat..

Lingkungan Luar Rumah Jarak antar rumah satu dengan yang lainnya cukup berdekatan. Rumah tidak memiliki halaman

Sikap Sikap keluarga ini cukup peduli terhadap kesehatan penderita. Dimana keluarga langsung memeriksakan pasien ke dokter atau pelayanan kesehatan lainnya ketika pasien menderita nyeri ulu hati. Walaupun terkadang dalam keadaan tertentu dalam mendapatkan pelayanan kesehatan pergi ke pengobatan alternative.
Tindakan Keluarga terkadang pergi ke pengobatan alternative untuk mendapatkan pelayanan kesehatan

Keluarga Nn. S

Lingkungan Dalam Rumah Rumah sudah terbuat dari tembok/batu bata, lantai sudah dari keramik, pencahayaan dalam rumah cukup

16

3.3.

Daftar Masalah Medis atau Non Medis A. Masalah Medis Nyeri ulu hati sejak 1 hari yang lalu Mual dan sakit kepala

B. Masalah Non Medis Sering terlambat makan karena sibuk sebagai mahasiswa

C. Diagram Permasalahan Keluarga


Masalah Medis Masalah Non Medis

Sering terlambat makan karena Nyeri ulu hati sejak 1 hari yang lalu Mual dan sakit kepala
Masalah Kesehatan pada Nn.S

sibuk sebagai mahasiswa

17

LAPORAN STUDI KASUS STASE ANAK

BAB IV PEMBAHASAN

4.1 DASAR PENEGAKAN DIAGNOSA TYPHOID FEVER A. Metode Diagnostik Penegakan diagnosis demam tifoid didasarkan pada manifestasi klinis yang diperkuat oleh pemeriksaan laboratorium penunjang. Sampai saat ini masih dilakukan berbagai penelitian yang menggunakan berbagai metode diagnostik untuk mendapatkan metode terbaik dalam usaha penatalaksanaan penderita demam tifoid secara menyeluruh. 1. Manifestasi Klinis Manifestasi klinis demam tifoid pada anak seringkali tidak khas dan sangat bervariasi yang sesuai dengan patogenesis demam tifoid. Spektrum klinis demam tifoid tidak khas dan sangat lebar, dari asimtomatik atau yang ringan berupa panas disertai diare atau konstipasi yang mudah disembuhkan sampai dengan bentuk klinis yang berat baik berupa gejala sistemik panas tinggi, gejala septik lain, ensefalopati atau timbul komplikasi gastrointestinal berupa perforasi usus atau perdarahan. Hal ini mempersulit penegakan diagnosis berdasarkan gambaran klinisnya saja. Demam merupakan keluhan dan gejala klinis terpenting yang timbul pada semua penderita demam tifoid. Demam dapat muncul secara tiba-tiba, dalam 1-2 hari menjadi parah dengan gejala yang menyerupai septisemia oleh karena Streptococcus atau Pneumococcus daripada S. typhi. Menggigil tidak biasa didapatkan pada demam tifoid tetapi pada penderita yang hidup di daerah endemis malaria, menggigil lebih mungkin disebabkan oleh malaria. Namun demikian demam tifoid dan malaria dapat timbul bersamaan pada satu penderita. Sakit kepala hebat yang menyertai demam tinggi dapat menyerupai gejala meningitis, di sisi lain S. typhi juga dapat menembus sawar darah otak dan menyebabkan meningitis. Manifestasi gejala mental kadang mendominasi gambaran klinis, yaitu konfusi, stupor, psikotik atau koma. Nyeri perut kadang tak dapat dibedakan dengan apendisitis. Pada tahap lanjut dapat muncul gambaran peritonitis akibat perforasi usus. Pengamatan selama 6 tahun (1987-1992) di Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK Unair/RSU Dr.Soetomo Surabaya terhadap 434 anak berumur 1-12 tahun dengan diagnosis demam tifoid atas dasar ditemukannya S.typhi dalam darah dan 85% telah 18

mendapatkan

terapi

antibiotika

sebelum

masuk

rumah

sakit

serta

tanpa

memperhitungkan dimensi waktu sakit penderita, didapatkan keluhan dan gejala klinis pada penderita sebagai berikut : panas (100%), anoreksia (88%), nyeri perut (49%), muntah (46%), obstipasi (43%) dan diare (31%). Dari pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran delirium (16%), somnolen (5%) dan sopor (1%) serta lidah kotor (54%), meteorismus (66%), hepatomegali (67%) dan splenomegali (7%). Hal ini sesuai dengan penelitian di RS Karantina Jakarta dengan diare (39,47%), sembelit (15,79%), sakit kepala (76,32%), nyeri perut (60,5%), muntah (26,32%), mual (42,11%), gangguan kesadaran (34,21%), apatis (31,58%) dan delirium (2,63%).9 Sedangkan tanda klinis yang lebih jarang dijumpai adalah disorientasi, bradikardi relatif, ronki, sangat toksik, kaku kuduk, penurunan pendengaran, stupor dan kelainan neurologis fokal.3 Angka kejadian komplikasi adalah kejang (0.3%), ensefalopati (11%), syok (10%), karditis(0.2%), pneumonia (12%), ileus (3%), melena (0.7%), ikterus (0.7%).10

2. Pemeriksaan Laboratorium Penunjang Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi dalam empat kelompok, yaitu : (1) pemeriksaan darah tepi; (2) pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman; (3) uji serologis; dan (4) pemeriksaan kuman secara molekuler. Pemeriksaan Darah Tepi Pada penderita demam tifoid bisa didapatkan anemia, jumlah leukosit normal, bisa menurun atau meningkat, mungkin didapatkan trombositopenia dan hitung jenis biasanya normal atau sedikit bergeser ke kiri, mungkin didapatkan aneosinofilia dan limfositosis relatif, terutama pada fase lanjut.11 Penelitian oleh beberapa ilmuwan mendapatkan bahwa hitung jumlah dan jenis leukosit serta laju endap darah tidak mempunyai nilai sensitivitas, spesifisitas dan nilai ramal yang cukup tinggi untuk dipakai dalam membedakan antara penderita demam tifoid atau bukan, tetapi adanya leukopenia dan limfositosis relatif menjadi dugaan kuat diagnosis demam tifoid. Penelitian oleh Darmowandowo (1998) di RSU Dr.Soetomo Surabaya mendapatkan hasil pemeriksaan darah penderita demam tifoid berupa anemia (31%), leukositosis (12.5%) dan leukosit normal (65.9%). Identifikasi Kuman Melalui Isolasi / Biakan Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S. typhi dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum atau dari rose 19

spots. Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan feses. Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil; (2) perbandingan volume darah dari media empedu; dan (3) waktu pengambilan darah. Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar, sedangkan pada anak kecil dibutuhkan 2-4 mL. Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 0.5-1 mL. Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri dalam darah. Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya. Media pembiakan yang

direkomendasikan untuk S.typhi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S. typhi dan S. paratyphi yang dapat tumbuh pada media tersebut. Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan penyakit. Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80% atau 70-90% dari penderita pada minggu pertama sakit dan positif 10-50% pada akhir minggu ketiga. Sensitivitasnya akan menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai. Bakteri dalam feses ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15%) hingga minggu ketiga (75%) dan turun secara perlahan. Biakan urine positif setelah minggu pertama. Biakan sumsum tulang merupakan metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada 80-95% kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase penyembuhan. Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya. Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga tidak dipakai dalam praktek sehari-hari. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak. Salah satu penelitian 20

pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum hampir sama dengan kultur sumsum tulang. Kegagalan dalam isolasi/biakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang digunakan, adanya penggunaan antibiotika, jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah, volume spesimen yang tidak mencukupi, dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat. Walaupun spesifisitasnya tinggi, pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita. Identifikasi Kuman Melalui Uji Serologis Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S. typhi maupun mendeteksi antigen itu sendiri. Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan.4 Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi : (1) uji Widal; (2) tes TUBEX; (3) metode enzyme immunoassay (EIA); (4) metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA); dan (5) pemeriksaan dipstik. Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting dalam proses diagnostik demam tifoid. Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S. typhi oleh karena tergantung pada jenis antigen, jenis spesimen yang diperiksa, teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut, jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit). Uji Widal Uji Widal merupakan suatu metode serologi baku dan rutin digunakan sejak tahun 1896. Prinsip uji Widal adalah memeriksa reaksi antara antibodi aglutinin dalam serum penderita yang telah mengalami pengenceran berbeda-beda terhadap antigen somatik (O) dan flagela (H) yang ditambahkan dalam jumlah yang sama sehingga terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum. Teknik aglutinasi ini dapat dilakukan dengan menggunakan uji hapusan (slide test) atau uji tabung (tube test). Uji hapusan dapat dilakukan secara cepat dan 21

digunakan dalam prosedur penapisan sedangkan uji tabung membutuhkan teknik yang lebih rumit tetapi dapat digunakan untuk konfirmasi hasil dari uji hapusan. Penelitian pada anak oleh Choo dkk (1990) mendapatkan sensitivitas dan spesifisitas masing-masing sebesar 89% pada titer O atau H >1/40 dengan nilai prediksi positif sebesar 34.2% dan nilai prediksi negatif sebesar 99.2%. Beberapa penelitian pada kasus demam tifoid anak dengan hasil biakan positif, ternyata hanya didapatkan sensitivitas uji Widal sebesar 64-74% dan spesifisitas sebesar 76-83%. Interpretasi dari uji Widal ini harus memperhatikan beberapa faktor antara lain sensitivitas, spesifisitas, stadium penyakit; faktor penderita seperti status imunitas dan status gizi yang dapat mempengaruhi pembentukan antibodi; gambaran imunologis dari masyarakat setempat (daerah endemis atau non-endemis); faktor antigen; teknik serta reagen yang digunakan. Kelemahan uji Widal yaitu rendahnya sensitivitas dan spesifisitas serta sulitnya melakukan interpretasi hasil membatasi penggunaannya dalam penatalaksanaan penderita demam tifoid akan tetapi hasil uji Widal yang positif akan memperkuat dugaan pada tersangka penderita demam tifoid (penanda infeksi). Saat ini walaupun telah digunakan secara luas di seluruh dunia, manfaatnya masih diperdebatkan dan sulit dijadikan pegangan karena belum ada kesepakatan akan nilai standar aglutinasi (cut-off point). Untuk mencari standar titer uji Widal seharusnya ditentukan titer dasar (baseline titer) pada anak sehat di populasi dimana pada daerah endemis seperti Indonesia akan didapatkan peningkatan titer antibodi O dan H pada anak-anak sehat. Penelitian oleh Darmowandowo di RSU Dr.Soetomo Surabaya (1998) mendapatkan hasil uji Widal dengan titer >1/200 pada 89% penderita. Tes Tubex Tes TUBEX merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam waktu beberapa menit. Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEX ini, beberapa penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik daripada uji Widal. Penelitian oleh Lim dkk (2002) 22

mendapatkan hasil sensitivitas 100% dan spesifisitas 100%.1Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78% dan spesifisitas sebesar 89%. Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal, dapat digunakan untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat, mudah dan sederhana, terutama di negara berkembang.

Metode Enzyme Immunoassay (Eia) Dot Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM

dan IgG terhadap antigen OMP 50 kD S. typhi. Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid pada fase pertengahan infeksi. Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat membedakan antara kasus akut, konvalesen dan reinfeksi. Pada metode Typhidot-M yang merupakan modifikasi dari metode Typhidot telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M spesifik. Penelitian oleh Purwaningsih dkk (2001) terhadap 207 kasus demam tifoid bahwa spesifisitas uji ini sebesar 76.74% dengan sensitivitas sebesar 93.16%, nilai prediksi positif sebesar 85.06% dan nilai prediksi negatif sebesar 91.66%. Sedangkan penelitian oleh Gopalakhrisnan dkk (2002) pada 144 kasus demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 98%, spesifisitas sebesar 76.6% dan efisiensi uji sebesar 84%. Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 79% dan spesifisitas sebesar 89%. Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan salmonellosis non-tifoid bila dibandingkan dengan Widal. Dengan demikian bila dibandingkan dengan uji Widal, sensitivitas uji dot EIA lebih tinggi oleh karena kultur positif yang bermakna tidak selalu diikuti dengan uji Widal positif. Dikatakan bahwa Typhidot-M ini dapat menggantikan uji Widal bila digunakan bersama dengan kultur untuk mendapatkan diagnosis demam tifoid akut yang cepat dan akurat. Beberapa keuntungan metode ini adalah memberikan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi dengan kecil kemungkinan untuk terjadinya reaksi silang dengan penyakit demam lain, murah (karena menggunakan antigen dan membran nitroselulosa sedikit), tidak menggunakan alat yang khusus sehingga dapat digunakan secara luas di tempat yang hanya mempunyai fasilitas kesehatan sederhana dan belum tersedia sarana 23

biakan kuman. Keuntungan lain adalah bahwa antigen pada membran lempengan nitroselulosa yang belum ditandai dan diblok dapat tetap stabil selama 6 bulan bila disimpan pada suhu 4C dan bila hasil didapatkan dalam waktu 3 jam setelah penerimaan serum pasien.

Metode Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (Elisa) Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak

antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9, antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi S. typhi. Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya antigen S. typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA. Chaicumpa dkk (1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95% pada sampel darah, 73% pada sampel feses dan 40% pada sampel sumsum tulang. Pada penderita yang didapatkan S. typhi pada darahnya, uji ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65% pada satu kali pemeriksaan dan 95% pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 100%. Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100% pada deteksi antigen Vi serta masing-masing 44% pada deteksi antigen O9 dan antigen Hd. Pemeriksaan terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya cukup menjanjikan, terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul, namun juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis. Pemeriksaan Dipstik Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S. typhi dengan menggunakan membran nitroselulosa yang mengandung antigen S. typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-human immobilized sebagai reagen kontrol. Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang sudah distabilkan, tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap. 4,20 Penelitian oleh Gasem dkk (2002) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 69.8% bila dibandingkan dengan kultur sumsum tulang dan 86.5% bila dibandingkan dengan kultur darah dengan spesifisitas sebesar 88.9% dan nilai prediksi positif sebesar 94.6%.20 Penelitian lain oleh Ismail dkk (2002) terhadap 30 penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 90% dan spesifisitas sebesar 96%.21 24

Penelitian oleh Hatta dkk (2002) mendapatkan rerata sensitivitas sebesar 65.3% yang makin meningkat pada pemeriksaan serial yang menunjukkan adanya serokonversi pada penderita demam tifoid.22 Uji ini terbukti mudah dilakukan, hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat pemeriksaan kultur secara luas.21,22 Identifikasi Kuman Secara Molekuler Metode lain untuk identifikasi bakteri S. typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri S. typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi yang spesifik untuk S. typhi. Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100% dengan sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi 1-5 bakteri/mL darah. Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas sebesar 63% bila dibandingkan dengan kultur darah (13.7%) dan uji Widal (35.6%). Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak dilakukan secara cermat, adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam spesimen feses), biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit. Usaha untuk melacak DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian.

1. DASAR RENCANA PENATALAKSANAAN Sampai saat ini masih digunakan trilogi penatalaksanaan demam tifoid, yaitu : 5 1. Pemberian antibiotik untuk menghentikan dan memusnahkan penyebaran kuman. Antibiotik yang dapat digunakan : a. Kloramfenikol. Dosis hari pertama 4 x 250 mg, hari kedua 4 x 500 mg diberikan selama demam dilanjutkan sampai 2 hari bebas demam, kemudian dosis diturunkan menjadi 4 x 25 mg selama 5 hari kemudian. b. Ampisilin/Amoksisilin. Dosis 50 150 mg/kg BB, diberikan selama 2 minggu. 25

c. Kotrimoksazol, 2x 2 tablet (1 tablet mengandung 400 mg sulfametoksazol dan 80 mg trimetoprim) diberikan selama 2 minggu. d. Sefalosporin generasi II dan III. Di subbagian Penyakit Tropis dan Infeksi, pemberian sefalosporin berhasil mengatasi demam tifoid dengan baik. Demam pada umumnya mereda pada hari ke-3 atau menjelang hari ke-4. Regimen yang dipakai adalah: a. Ceftriaxone 4 gr / hari selama 3 hari b. Norfloxacin 2 x 400 mg/hari selama 14 hari. c. Ciprofloxacin 2 x 500 mg/hari selama 6 hari d. Ofloxacin 600 mg/hari selama 7 hari e. Pefloxacin 400 mg/hari selama 7 hari f. Fleroxacin 400 mg/hari selama 7 hari 2. Istirahat dan perawatan profesional, bertujuan mencegah komplikasi dan mempercepat penyembuhan. Pasien harus tirah baring absolut sampai minimal 7 hari bebas demam atau kurang lebih selama 14 hari. Mobilisasi dilakukan bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien. Dalam perawatan perlu sekali dijaga higiene perseorangan, kebersihan tempat tidur, pakaian dan peralatan yang dipakai oleh pasien. Paien dengan kesadaran menurun, posisinya perlu diubah-ubah untuk mencegah dekubitus dan pneumonia hipostatik. Defekasi dan buang air kecil perlu diperhatikan, karena kadang-kadang terjadi obstipasi dan retensi urin. 3. Diet dan terapi penunjang (simtomatis dan suportif). Pertama pasien diberi diet bubur saring, kemudian bubur kasar, dan akhirnya nasi sesuai tingkat kesembuhan pasien. Namun beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemberian makanan padat dini, yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa (pantang sayuran dan serat kasar) dapat diberikan dengan aman. Juga diperlukan pemberian vitamin dan mineral yang cukup untuk mendukung keadaan umum pasien. Diharapkan dengan menjaga keseimbangan dan homeostasis, sistem imun akan tetap berfungsi dengan optimal. 4. Pada kasus perforasi dan renjatan septik diperlukan perawatan intensif dan nutrisi parenteral total. Spektrum antibiotik maupun kombinasi beberapa obat yang bekerja secara sinergis dapat dipertimbangkan. Kortikosteroid selalu perlu diberikan pada renjatan septik. Prognosis tidak begitu baik pada kedua keadaan di atas.

26

4.2 DASAR PENEGAKAN DIAGNOSA BRONCHOPNEUMONIA Kriteria diagnose pada kasus bronchopneumonia adalah bila ditemukan tiga dari 5 gejala berikut: a. Sesak nafas yang disertai dengan pernafasan cuping hidung dan tarikan dinding dada atau retraksi intercostae. b. Demam c. Pada pemeriksaan auskultasi didapatkan rhonki basah halus hingga sedang atau crackles d. Pada pemeriksaan penunjang foto thorax menunjukkan hasil adanya gambaran infiltrate yang difuse e. Pada pemeriksaan darah lengkap terdapat leukositosis. Pada infeksi yang dikarenakan oleh virus leukosit tidak melebih 20.000/mm3 dengan limfosit predominan, dan jika dikarenakan infeksi bakteri maka leukosit berkisar 15.000-40.000/mm3 dengan neutrofil yang lebih predominan. Dasar Pemberian Terapi Penetalaksanaan bronkopneumonia pada anak terdiri dari dua macam, yaitu penatalaksanaan umum dan khusus. Penatalaksanaan umum terdiri dari : a. Pemberian oksigen 2-4 L/menit, dilakukan hingga sesak nafas hilang atau PaO2 normal. b. Pemasangan infuse untuk rehidrasi dan koreksi elektrolit c. Jika terjadi asidosis maka diatasi dengan pemberian bikarbonat intravena. Untuk penetalaksanaan khusus terdiri dari: a. Obat penurun panas diberikan hanya pada penderita dengan suhu tinggi, takikardi, atau penderita dengan kelainan jantung. b. Pemberian antibiotik berdasarka mikroorganisme penyebab dan manifestasi klinis. Bronkopneumonia ringan dapat diberikan amoksisilin 10-25 mg/KgBB. Untuk wilayah dengan angka resistensi penisilin yang tinggi dosis dapat dinaikkan menjadi 80-90 mg/KgBB/hari. Pemilihan antibiotic dalam penanganan bronkopneumonia pada anak harus dipertimbangkan berdasarkan pengalaman empiris, yaitu bila tidak ada kuman yag dicurigai maka diberikan antibiotic awal (21-72 jam pertama) menurut kelompok usia. 27

Neonatus dan bayi (<2 bulan ) a. Ampicilin + aminoglikosida b. Amoksisilin + asam klavulanat c. Amoksisilin + aminoglikosida d. Sefalosporin generasi 3 Bayi dan anak usia pra sekolah (2 bln 5 tahun) a. Beta laktam amoksisilin b. Amoksisilin-asam klavulanat c. Golongan sefalosporin d. Kotrimoksasol e. Makrolit Anak usia sekolah (>5 tahun) a. Amoksisilin/makrolid azitromisin) b. Tetrasiklin (pada anak usia > 8 tahun) (erytromisin, klaritromisin,

28

LAPORAN STUDI KASUS STASE ANAK

BAB V PEMBAHASAN ASPEK KEDOKTERAN KELUARGA


5.1 IDENTIFIKASI KELUARGA 5.1.1 Profil Keluarga Karakteristik Demografi Keluarga Tanggal kunjungan pertama kali Nama kepala keluarga Alamat Bentuk Keluarga Struktur Komposisi Keluarga : Tabel 6. Daftar anggota keluarga No Nama 1 Tn. W Kedudukan L/P Umur Kepala keluarga Ibu L Pendidikan S1 Diploma SD SD Pekerjaan Supir Wiraswasta Pasien Ket. klinik Tidak Tidak Tidak Ya Typhoid Fever : : Tn. W : Jln. Candi Telagawangi nomor 4A Malang : nuclear family

35 tahun 2 Ny. S P 34 tahun 3 An. S Anak P 11 tahun 4 An. N Anak P 7 tahun Sumber: data primer, 14 Januari 2014

Kesimpulan : Keluarga Tn.W adalah nuclear family yang terdiri atas 4 orang dan tinggal dalam satu rumah. Terdapat satu orang yang sakit yaitu An.N usia 7 tahun dengan diagnosa awal observasi febris e.c demam tifoid dan bronkopneumonia. Setelah menjalani beberapa pemeriksaan penunjang, An.N didiagnosis menderita suspect penyakit demam tifoid dan bronkopneumonia. Dalam hal ini, pembiayaan kesehatan An.N bersifat mandiri tanpa jaminan kesehatan atau asuransi. A. Penilaian Status Sosial dan Kesejahteraan Hidup a. Lingkungan tempat tinggal Tabel 7. Lingkungan tempat tinggal
Status kepemilikan rumah : menumpang/kontrak/hibah/milik sendiri Daerah perumahan : kumuh/padat bersih/berjauhan/mewah Karakteristik Rumah dan Lingkungan Kesimpulan

29

Luas tanah : 10 x 8 m2, luas bangunan: 10 x 8 m2 Jumlah penghuni dalam satu rumah : 4 orang Jarak antar rumah : 9m (depan), 3m (samping), 2m (belakang) Tidak bertingkat Lantai rumah: berubin Dinding rumah: tembok bata, tinggi, dicat Jamban keluarga : ada (WC) Kamar mandi : ada, sebanyak 2, layak Dapur : bersih, tapi terlalu dekat dengan kamar mandi (jarak 1,5 meter) Tempat bermain : ada (teras depan rumah) Penerangan listrik : lampu @ 25 watt x 5 buah lampu = 125 watt Pencahayaan cukup (tiap ruangan terdapat 2 jendela kaca yang dapat dibuka, dan terdapat lubang angin-angin di tembok atas) Ketersediaan air bersih : PDAM (untuk keperluan mandi, masak, dan mencuci) Kondisi umum rumah : kondisi rumah Tn.M bersih dan sehat. Di bagian depan rumah terdapat jalan raya, sehingga mempersulit An.N dan orang tuanya untuk berinteraksi dengan tetangganya. Jarak antara dapur dengan kamar mandi juga terlalu dekat dan berpotensi terhadap kontaminasi kuman pada makanan. Tempat pembuangan sampah : ada, di belakang dan depan rumah

Pasien tinggal di rumah milik sendiri yang cukup dari standar rumah sehat, tetapi jarak antara dapur dan kamar mandi masih terlalu dekat.

b. Denah rumah keluarga Tn.W :


8m Halaman depan & taman Teras

Keterangan: = tempat pembuangan sampah = pintu

Kamar tidur 1 10 m

Ruang tamu

= jendela KM = Kamar Mandi

Kamar tidur 2

Ruang keluarga

Dapur 1,5 m

KM 2 KM 1

30

c. Kepemilikan barang-barang berharga : - Dua buah motor - Satu buah sepeda - Tiga buah telepon seluler - Dua buah laptop - Satu buah tablet - Enam buah kursi tamu dan satu meja tamu - Satu buah televisi - Satu buah kompor gas - Dua buah tempat tidur B. Penilaian Perilaku Kesehatan Keluarga Jenis tempat berobat : RSI UM Asuransi / jaminan kesehatan : tidak menggunakan, secara mandiri (out of pocket) Jarak layanan kesehatan tempet berobat : dekat C. Sarana Pelayanan Kesehatan Tabel 8. Pelayanan kesehatan
Faktor Cara mencapai pusat pelayanan kesehatan Keterangan Kesimpulan Jalan kaki Jarak cukup dekat, pasien Angkot merasa puas dengan pelayanan klinik Kendaraan pribadi Tarif pelayanan kesehatan Sangat mahal Pasien jarang periksa dan Mahal tanpa asuransi Terjangkau Murah Gratis Kualitas pelayanan kesehatan Sangat Memuaskan Memuaskan Cukup Memuaskan Tidak memuaskan

D. Pola Konsumsi Makanan Keluarga a. Kebiasaan makan: Selama sakit, nafsu makan An.N tetap baik. Sebelum sakit, biasanya An.N makan 3 kali sehari, nafsu makan baik, suka konsumsi buah dan sayur. Tetapi An.N suka makanan atau jajanan luar disekolahnya. Ketika dilakukan penggalian informasi, An.N mengaku sempat mengkonsumsi makanan yang dibeli di sekolahnya sehari sebelum keluhan datang. b. Penerapan pola gizi seimbang: keluarga Tn.W makan tiga kali sehari dengan porsi sedang. Menu makan pasien dan keluarga sering dengan nasi, sayur, tahu tempe, ayam, daging, sayur dan buah. Ny. S selalu memasak sendiri untuk keperluan 31

makan anggota keluarganya sehari-hari. Ny.S juga mengerti dengan pola makan gizi seimbang sehingga menerapkannya sehari-hari. E. Pola Dukungan Keluarga a. Faktor pendukung terselesaikannya masalah dalam keluarga: Orang tua An.N termasuk dalam keluarga yang berpendidikan cukup dan dengan tingkat ekonomi yang cukup. Sehingga dalam menyelesaikan masalah ekonomi dan kebutuhan sehari-hari serta pelayanan kesehatan masih mudah untuk dijangkau. b. Faktor penghambat terselesaikannya masalah dalam keluarga: Menurut penulis untuk saat ini tidak ada penghambat dalam menyelesaikan masalah dalam keluarga.

5.1.2 Identifikasi Fungsi-Fungsi dalam Keluarga A. 1. Fungsi Holistik Fungsi biologis Keluarga ini terdiri dari 4 orang anggota keluarga. An.N adalah anak kedua dar dua bersaudara. An.N menderita demam sejak 4 hari yang lalu dan tak kunjung sembuh. An.A juga terlihat lemas, batuk, mual, serta muntah, sehingga ibunya khawatir dan segera memeriksakan An.N ke rumah sakit. 2. Fungsi Psikologis Hubungan An.N dengan anggota sangat baik, karena ayah dan ibu An.N selalu bertemu setiap hari dan menyempatkan untuk berwisata bersama sehingga memiliki waktu luang untuk anaknya dan komunikasi dalam keluarga berjalan efektif. 3. Fungsi Sosial dan Ekonomi Keluarga ini tidak mempunyai kedudukan sosial di masyarakat. Hubungan dengan tetangga dan teman-teman An.N baik. Dalam segi ekonomi, keluarga Tn.W tergolong cukup mampu. Meskipun demikian, Tn.W dan Ny.S tetap mengikuti perkumpulan. Dalam mengisi waktu luang, An.N lebih sering bermain dengan temannya. B. Fungsi Fisiologis dengan APGAR Score Adaptation : kemampuan anggota keluarga tersebut beradaptasi dengan anggota keluarga yang lain, serta penerimaan, dukungan, dan saran dari anggota keluarga yang lain. Partnership : menggambarkan komunikasi, saling membagi, saling mengisi antara anggota keluarga dalam segala masalah yang dialami oleh keluarga tersebut

32

Growth : menggambarkan dukungan keluarga terhadap hal-hal baru yang dilakukan anggota keluarga tersebut Affection : menggambarkan hubungan kasih sayang dan interaksi antar anggota keluarga Resolve : menggambarkan kepuasan anggota keluarga tentang kebersamaan dan waktu yang dihabiskan bersama anggota keluarga yang lain. Penilaian : o Hampir selalu o Kadang kadang o Hampir tak pernah : 2 poin : 1 poin : 0 poin

Penyimpulan : o Nilai rata-rata < 5 o Nilai rata-rata 6-7 o Nilai rata-rata 8-10 : kurang : cukup/sedang : baik

Tabel 9. APGAR score Tn.W (35 tahun)


APGAR Tn. W terhadap keluarga A P G A R Saya puas bahwa saya dapat kembali ke keluarga bila menghadapi masalah Saya puas dengan cara keluarga saya membahas dan membagi masalah dengan saya Saya puas dengan cara keluarga saya menerima dan mendukung keinginan saya untuk melakukan kegiatan baru atau arah hidup yang baru 2 1 0

Saya puas dengan cara keluarga saya mengekspresikan kasih sayangnya dan merespon emosi saya seperti kemarahan, perhatian dll Saya puas dengan cara keluarga saya dan saya membagi waktu bersama-sama

Untuk Tn.W APGAR score dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Adaptation : Tn.W puas terhadap dukungan dan saran yang diberikan keluarganya jika menghadapi masalah 2. Partnership : komunikasi Tn.W dengan keluarganya berjalan baik, ada waktu untuk saling berbagi dan bertukar pikiran antara anggota keluarga dalam segala masalah yang dialami 3. Growth : keluarga Tn.W, khususnya istri, tidak terlalu memberi batasan terhadap segala aktifitas Tn.W baik pekerjaan atau kegiatan-kegiatan 4. Affection : Tn.W puas dengan kasih sayang dan perhatian yang diberikan keluarganya

33

5. Resolve

: Tn.W merasa kurang puas dengan waktu luang yang diberikan anggota keluarganya untuk bisa berkumpul dan berbagi waktu bersama

Total APGAR score Tn. W = 10

Tabel 10. APGAR score Ny.S (34 tahun)


APGAR Ny. S terhadap keluarga A P G A R Saya puas bahwa saya dapat kembali ke keluarga bila menghadapi masalah Saya puas dengan cara keluarga saya membahas dan membagi masalah dengan saya 2 1 0

Saya puas dengan cara keluarga saya menerima dan mendukung keinginan saya untuk melakukan kegiatan baru atau arah hidup yang baru Saya puas dengan cara keluarga saya mengekspresikan kasih sayangnya dan merespon emosi saya seperti kemarahan, perhatian dll Saya puas dengan cara keluarga saya dan saya membagi waktu bersama-sama

Untuk Ny.S APGAR score dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Adaptation : Ny.S puas terhadap dukungan dan saran suaminya jika menghadapi masalah 2. Partnership : komunikasi Ny.S dengan keluarganya berjalan baik, ada waktu untuk saling berbagi dan bertukar pikiran antara anggota keluarga dalam segala masalah yang dialami 3. Growth : keluarga Ny.S, khususnya suami, tidak terlalu memberi batasan terhadap segala aktifitas Ny.S baik pekerjaan atau kegiatan-kegiatan 4. Affection : Ny.S puas dengan kasih sayang dan perhatian yang diberikan keluarganya 5. Resolve : Ny.S merasa puas dengan waktu luang yang diberikan anggota keluarganya untuk bisa berkumpul dan berbagi waktu bersama Total APGAR score Ny.S = 10 Total APGAR score keluarga Tn.W = (10+10) : 2 = 10 Kesimpulan : Fungsi fisiologis keluarga Ny.S baik C. Fungsi Patologis dengan Alat SCREEM Score Fungsi patologis keluarga An.A dinilai menggunakan alat S.C.R.E.E.M sebagai berikut: Tabel 11. SCREEM keluarga An.N
Sumber Social Hubungan dengan tetangga dan teman-teman An.N berjalan lancar. Tn.W dan Ny.S tetap mengikuti perkumpulan. Dalam mengisi waktu luang, An.N lebih sering bermain dengan temannya. Menggunakan adat-istiadat Jawa, bahasa Jawa, serta bahasa Indonesia secara sopan dengan sesama anggota keluarga dan orang lain dikehidupan sehari-hari. Anggota keluarga juga telah mengikuti perubahan zaman dan Patologis -

Culture

34

tergolong modern. Religious Economic Educational Medical Anggota keluarga menjalankan sholat 5 waktu di rumah dan sering mengikuti pengajian. Penghasilan keluarga yang relatif cukup dan tergolong menengah ke atas. Tingkat pendidikan keluarga cukup, pendidikan terakhir orang tua An.N adalah SMA. An.N juga masih menjalani pendidikan SD. Dalam mencari pelayanan kesehatan, keluarga An.N pergi ke RSI UM dan hanya pada saat tidak bisa menangani permasalahan kesehatan sendiri. Orang tua An.N termasuk keluarga dengan tingkat ekonomi yang cukup, sehingga dalam membiayai pelayanan kesehatan masih mudah untuk dijangkau dan bisa dibayar secara mandiri. -

Kesimpulan : Keluarga An. A tidak mempunyai fungsi patologis pada semua bidang.

D. Genogram dalam Keluarga

Tn.W

Ny.S

An.S

An.N

Keterangan: = laki-laki = perempuan = tinggal dalam satu rumah

= meninggal dunia

Kesimpulan : Ayah Tn. N sudah meninggal tetapi bukan karena sakit. Semua kakak dan adik dari Tn. W dan Ny. S masih hidup hingga sekarang. E. Informasi Pola Interaksi Keluarga
Tn.M Ny. K

An. S

An. N

Keterangan: : hubungan baik : perempuan Kesimpulan : Hubungan antara An.N dengan keluarganya berjalan baik. : laki-laki

35

5.2 IDENTIFIKASI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KESEHATAN 5.2.1 Identifikasi Faktor Perilaku dan Non Perilaku Keluarga 5.2.1.1 Faktor Perilaku Keluarga a. Pengetahuan Keluarga memiliki pengetahuan cukup tentang kesehatan karena memiliki tingkat pendidikan yang tinggi. Menurut pendapat semua anggota keluarga, yang dimaksud kondisi sehat dimana seseorang tidak menderita penyakit sehingga bisa melakukan aktivitas dengan baik. Tapi, keluarga kurang mengetahui tentang penyakit demam tifoid, sehingga ibu tidak segera membawa An.N ke rumah sakit. Ibu An.N menangani sendiri keluhan An.N, baru setelah 4 hari keluhan An.N kemudian diperiksakan ke rumah sakit. b. Sikap Keluarga cukup peduli terhadap kesehatan An.N maupun anggota keluarga yang lain. Selain itu, karena kurangnya pemahaman dan pengetahuan orang tua, An.N tidak segera diperiksakan ke rumah sakit. c. Tindakan Keluarga An.N kurang mengetahui tentang penyakit demam tifoid, sehingga ibu An.N tidak segera membawa ke rumah sakit. Ibu An.N menangani sendiri keluhan pasien, baru setelah 4 hari keluhan diperiksakan ke rumah sakit. 5.2.1.2 Faktor Non Perilaku a. Lingkungan lingkungan tempat tinggal yang padat penduduk memudahkan An.N terkena suatu penyakit. Jarak antara kamar mandi dan dapur di rumah An.N terlalu dekat. Banyaknya penjual makanan di sekitar lingkungan sekolah An.N memungkinkan untuk mengkonsumsinya. b. Pelayanan kesehatan Dalam mencari pelayanan kesehatan, keluarga An.N pergi ke RSI UM dan hanya pada saat tidak bisa menangani permasalahan kesehatan sendiri. Orang tua An.N termasuk keluarga dengan tingkat ekonomi yang cukup, sehingga dalam membiayai pelayanan kesehatan masih mudah untuk dijangkau dan bisa dibayar secara mandiri. c. Keturunan, Jenis Kelamin, dan Usia An.N, usia 7 tahun, merupakan kelompok gender dan usia risiko tinggi terhadap terjangkitnya penyakit demam tifoid (typhoid fever ) dan bronkopneumonia.

36

5.2.1.3 Diagram Faktor Perilaku dan Non Perilaku


Faktor Perilaku Pengetahuan: keluarga An.N kurang mengetahui tentang penyakit demam tifoid, sehingga ibu An.N tidak segera ke rumah sakit. Ibu An.A menangani sendiri keluhan An.A, baru setelah 4 hari keluhan diperiksakan ke rumah sakit. Faktor Non-Perilaku Lingkungan: tempat tinggal padat penduduk, jarak antara kamar mandi & dapur terlalu dekat. Banyaknya penjual makanan di sekitar lingkungan sekolah An.N memungkinkan untuk mengkonsumsinya.

Sikap: Keluarga cukup peduli terhadap kesehatan An.N maupun anggota keluarga yang lain.

An.N dan Keluarga

Tindakan: Keluarga An.N krg mengetahui ttg penyakit demam tifoid, sehingga ibu An.N tidak segera membawa ke rumah sakit. Ibu An.N menangani sendiri keluhan , baru setelah 5 hari keluhan diperiksakan ke rumah sakit.

Pelayanan kesehatan: Pasien periksa RSI UM, tetapi hanya saat tdk bisa menangani permasalahan kesehatan sendiri. Orang tua An.N termasuk keluarga dg tingkat ekonomi yg cukup, shg dlm membiayai pelayanan kesehatan masih mudah untuk dijangkau .secara mandiri Keturunan: An.N, usia 7 tahun kelompok gender & usia risiko tinggi demam tifoid.

5.3 DAFTAR MASALAH 5.3.1 Masalah Medis 1. An.N didiagnosis dengan penyakit suspect Typhoid Fever dan Bronchopneumonia 5.3.2 Masalah Non Medis 1. Tempat tinggal merupakan daerah padat penduduk 2. Jarak antara kamar mandi dan dapur di rumah An.N terlalu dekat 3. Banyaknya penjual makanan di sekitar lingkungan sekolah An.N memungkinkan untuk mengkonsumsinya. 4. Meskipun tingkat pendidikan orang tua An.N baik, namun orang tua An.N kurang mengetahui tentang penyakit demam tifoid, sehingga ibu An.N tidak segera membawa ke rumah sakit. 5.3.3 Diagram Permasalahan Keluarga
1. Tempat tinggal merupakan daerah padat penduduk 3. Banyaknya penjual makanan di sekitar lingkungan sekolah An.N memungkinkan untuk mengkonsumsinya.

2. Jarak antara kamar mandi dan dapur di rumah An.A terlalu dekat

An.N usia 7 tahun, dengan Typhoid Fever & Bronchopneumonia

4. Meskipun tingkat pendidikan orang tua An.N baik, namun orang tua An.N kurang mengetahui tentang penyakit demam tifoid, sehingga ibu An.N tidak segera membawa ke rumah sakit.

37

5.3.4 Matrikulasi Masalah Prioritas masalah ini ditentukan melalui teknik kriteria matriks. (Azrul, 1996)
No. 1. 2. Daftar Masalah Tempat tinggal penduduk padat P 5 5 I S 5 4 T SB 4 3 2 2 Mn 4 4 R Mo 4 4 Jumlah IxTxR 2.500 2.400

Ma 1 2

Jarak antara kamar mandi dan dapur di rumah An.N terlalu dekat Banyaknya penjual makanan di sekitar lingkungan sekolah An.N memungkinkan untuk mengkonsumsinya. Orang tua An.N kurang memahami tentang penyakit demam tifoid, sehingga An.N tidak segera dibawa ke rumah sakit.

3.

3.000

4.

2.700

Keterangan : I : Importancy (pentingnya masalah) T : Technology (teknologi yang tersedia) R : Resources (sumber daya yang tersedia) P : Prevalence (besarnya masalah) S : Severity (akibat yang ditimbulkan oleh masalah) SB : Social Benefit (keuntungan sosial karena selesainya masalah) Mn : Man (tenaga yang tersedia) Mo : Money (biaya yang tersedia) Ma : Material (sarana yang tersedia) Kriteria penilaian : 1 2 3 4 5 : tidak penting : agak penting : cukup penting : penting : sangat penting

Berdasarkan kriteria matriks diatas, maka urutan prioritas masalah keluarga An.A adalah: 1. Banyaknya penjual makanan di sekitar lingkungan sekolah An.N memungkinkan untuk mengkonsumsinya. 2. Meskipun tingkat pendidikan orang tua An.N baik, namun orang tua An.N kurang mengetahui tentang penyakit demam tifoid, sehingga ibu An.N tidak segera membawa ke rumah sakit. 3. An.A berpotensi terkena berbagai penyakit karena tinggal di lingkungan yang padat penduduk. 38

4. Jarak antara kamar mandi dan dapur di rumah An.N terlalu dekat.

39

LAPORAN STUDI KASUS STASE ANAK

BAB VI PENUTUP
A. KESIMPULAN HOLISTIK - Diagnosis dari segi biologis: Working diagnostic Differential diagnostic : Suspect Typhoid fever dan Bronchopneumonia : Dengue Fever Dengue Hemoragic Fever Malaria ISPA Pneumonia Bronchiolitis TBC - Diagnosis dari segi psikologis: Hubungan An.N dengan anggota keluarga sangat baik, karena ayah, ibu dan kakak An.N selalu bertemu setiap hari dan juga bila ada waktu libur, keluarga sering berwisata bersama-sama sehingga komunikasi dalam keluarga berjalan sangat efektif. - Diagnosis dari segi sosial dan ekonomi : Hubungan dengan tetangga dan teman-teman An.N berjalan lancar karena jaraknya yang dekat. Dalam mengisi waktu luang, An.N lebih sering bermain dengan temannya. Dalam segi ekonomi, keluarga Tn.W tergolong cukup mampu.

B. SARAN KOMPREHENSIF a. Menjaga kebersihan serta kesehatan diri dan lingkungan, khusunya menjaga kebersihan kamar mandi rumah An.N yang posisinya dekat dengan dapur. b. Menjaga higienitas makanan dan asupan cairan dan nutrisi yang sehat dan cukup. c. Memberikan informasi dan pemahaman kepada orang tua An.N, mengenai demam tifoid dan bronkopneumonia (pencegahan, pengenalan tanda dan gejala klinis, kondisi kegawatan, penanganan dini atau rujukan, dan komplikasi). d. Istirahat dan perawatan yang intensif untuk mempercepat pemulihan dan mencegah komplikasi.

40

DAFTAR PUSTAKA

1. 2.

N Cammie F. Lesser, Samuel I. Miller, 2005. Salmonellosis. Harrisons Principles of Internal Medicine (16th ed), 897-900. Gassem MH, 2001. Typoid fever, clinical and epidemiological studies in Indonesia. Thesis Nijmegen University, Netherland. Diponegoro University Press, Semarang, Indonesia. Brusch, J.L., 2010, Typhoid Fever. http://emedicine.medscape.com/article/231135overview. Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2008, Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis (2nd ed), Badan Penerbit IDAI, Jakarta. Setiabudy R & Gan VHS. (2007). Farmakologi dan Terapi. Antimikroba. Edisi 5. Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal: 573-659 Widodo D. Demam Tifoid. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, et al.,editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV. Jakarta: PusatPenerbitan IPD Universitas Indonesia; 2007. p. 1752. Jawetz, Melnick, Adelberg. Edisi 20. Mikrobiologi Kedokteran. Kelompok Salmonella Arizona. Penekbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta. hal: 243-247. Scanlon, Valerie C.Essentials of anatomy and physiology/Valerie C. Scanlon, Tina Sanders. 5th ed. ISBN13: 978-0-8036-1546-5 ISBN10: 0-8036-1546-9: 2006. Guyton, Arthur C. Textbook of medical physiology / Arthur C. Guyton, John E. Hall. 11th ed. ISBN 0-7216-0240-1: 2006.

3. 4. 5.

6.

7. 8. 9.

10. Mandal, B.K. (1995). Problem Gastroenterologi Daerah Tropis. Salmonella typhi dan Salmonella lainnya. Editor: Salim IN. Penerbit Buku Kedokteran ECG. Jakarta. Hal : 62 11. Christie AB. Typhoid and Paratyphoid Fevers in : Infectious Disease Vol. 1, 4th ed. Churchill Livingstone : Medical Division of Longman Group UK Limited, 1987 : 100. 12. Hoffman S. : Typhoid fever in Warren KS dan Mahmpud AAF (eds) : Tropical and Geographical. Edisi ke 2, New York, Mc Graw-Hill Information Services Co. (1990). 13. Pang T, Koh KL, Puthucheary SD (eds) : Typhoid fever : Strategies for the 90s, Singapore, World Scientific, (1992). 14. Krugman S, Katz SL, Gershon AA, Wilfred CM (eds) Infectious disease in children, ed ke 9, St. Louis, Mosby Yerabook Inc. (1992). 15. Cleary Th G. Salmonella species in longess, Pickerling LK, Praber CG. Principles and Practice of Pediatric Infectious Disease Churchill Livingstone, New York 1nd ed, 2003 : hal. 830. 41

16. Rahajoe N, Supriyatno B, Setyanto DB. Pedoman Nasional Pneumonia Anak. UKK Pulmonologi : PP IDAI, 2004 17. Bradley JS, Byington CL, Shah SS, et all. The management of community-acquired pneumonia in infants and children older than 3 month of age: clinical practice guidelines by the pediatric infectious diseases society and the infectious diseases society of america. Clin Infect Dis. Oct 2011;53(7);e25-76

42

Vous aimerez peut-être aussi