Vous êtes sur la page 1sur 10

BAB I PENDAHULUAN

Infeksi HIV pada bayi dan anak merupakan masalah kesehatan masyarakat yang sangat serius karena jumlah penderita yang banyak dan selalu meningkat sebagai akibat jumlah ibu usia subur yang menderita penyakit HIV bertambah. (Setiawan, 2009) Infeksi oleh virus penyebab defisiensi imun ini merupakan masalah yang relatif baru, terutama pada anak. Masalah ini pertama kali dilaporkan di Amerika pada tahun 1982 sebagai suatu sindrom defisiensi imun makin meningkat secara relatif cepat disertai angka kematian yang mencemaskan, maka dilakukanlah pengamatan dan penelitian yang intensif sehingga akhirnya penyebab defisiensi imun ini ditemukan. Penyebab defisiensi imun ini adalah suatu virus yang kemudian dikenal dengan nama human immunodeficiency virus tipe-1 (HIV-1), pada tahun 1985. (Soedarmo,2008) Pada pengamatan selanjutnya, ternyata bahwa infeksi HIV-1 ini dapat menimbulkan rentangan gejala yang sangat luas, yaitu dari tanpa gejala hingga gejala yang sangat berat dan progresif, dan umumnya berakhir dengan kematian. Dengan meningkat dan menyebarnya kasus defisiensi imun oleh virus ini pada orang dewasa secara cepat di seluruh dunia, apabila kasus tersebut tidak mendapat perhatian dan penanganan yang memadai, dalam waktu dekat diperkirakan jumlah kasus defisiensi imun pada anak juga akan meningkat. (Soedarmo,2008). Antara waktu pertama AIDS dilaporkan pada 1981 sampai tes HIV tersedia tahun 1985, sebagian dapat melawan peningkatan infeksi HIV pediatrik. Baik angka infeksi melalui transfusi maupun infeksi yang didapat dari ibu ke anak dapat dilawan secara efektif bahkan ketika status karier dari penjamu masih misteri. Dengan perkembangan dari tes infeksi HIV, penyakit melaui transfusi hampir secara lengkap dapat diberantas sehingga transmisi ibu ke anak tetap menjadi cara utama dari didapatnya infeksi HIV pada pediatrik. (Minkoff,2001) Sebagian besar HIV pada anak (90%) diperoleh melalui transmisi vertikal yaitu penularan dari ibu ke bayi yang dikandungnya (mother to child transmission/MTCT). Proses transmisi dapat terjadi pada saat kehamilan ( 5-10%), proses persalinan (10-20%), dan sesudah kelahiran melalui ASI (5-20%). (IDAI,2010). Angka transmisi ini akan menurun sampai kurang dari 2% bila pasangan ibu dan anak menjalani program pencegahan/prevention of mother to child transmission (PMTCT) sejak saat kehamilan dengan penggunaan obat anti retroviral untuk ibu sampai dengan penanganan setelah kelahiran. (IDAI,2010). WHO memperkirakan bahwa resiko transmisi hiv berkisar 15

hingga 30% pada populasi yang tidak menerima ASI dan 20 hingga 45% pada populasi yang menerima ASI. Pada tahun 2005, secara global terdapat 700.000 penderita terinfeksi HIV setiap hari dan 200.000 di antaranya adalah anak yang berusia usia kurang dari 15 tahun dengan angka kematian terbanyak adalah mereka yang berusia usia kurang dari 1 tahun. Kebanyakan anakanak ini mendapat infeksi pada saat perinatal. (ginsburg,2006). Di ASIA diperkirakan jumlah anak yang terinfeksi HIV pada kelompok umur di bawah 15 tahun meningkat dari 140.000 pada tahun 2005 menjadi 160.000 pada tahun 2009. (UNAIDS,2010). Sedangkan di Indonesia sendiri tercatat sebanyak 15.589 laporan kasus HIV pada tahun 2011 (Januari sampai September). Dilaporkan jumlah kasus hiv pada kelompok umur <4 tahun meningkat dari 390 kasus pada tahun 2010 menjadi 420 kasus pada tahun 2011. Dan jumlah kasus HIV di provinsi Sumatera Utara dilaporkan sebanyak 919 kasus. (KPAN,2011) Berbagai penelitian menunjukkan bahwa kehamilan dapat memperberat kondisi klinik wanita dengan infeksi HIV. Penelitian di Amerika Serikat dan Eropa menunjukkan bahwa risiko transmisi perinatal pada ibu hamil adalah 20 40%. Transmisi dapat terjadi melalui plasenta, perlukaan dalam proses persalinan atau melalui ASI. (Wiknjosastro,2006). faktor resiko terjadinya transmisi adalah jumlah virus, kadar CD4, adanya infeksi lain (hepatitis, sitomegalovirus), ketuban pecah dini, kelahiran spontan/melalui vagina, prematuritas, dan pemberian ASI atau mixed feeding (pemberian ASI dan susu formula bersama-sama). (IDAI,2010)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi HIV Human Immunodeficiency Virus adalah sejenis Retrovirus RNA. Dalam bentuknya yang asli merupakan partikel yang inert, tidak dapat berkembang atau melukai sampai ia masuk ke sel target. Sel target virus ini terutama sel Lymfosit T, karena ia mempunyai reseptor untuk virus HIV yang disebut CD-4.

2.2

Virologi dan Patogenesis HIV adalah jenis virus RNA rantai tunggal dari keluarga lentivirus. Karakteristik dari

virus ini adalah panjangnya periode inkubasi yang diikuti dengan panjangnya durasi penyakit. HIV tipe1 lebih kuat, mematikan dan mudah bertransmisi daripada HIV tipe2. HIV masuk ke dalam makrofag dan sel T CD4+ melalui glikoprotein pada permukaan sel menuju reseptor pada sel target. Keadaan ini diikuti oleh penggabungan viral envelope dengan membran sel dan pelepasan capsid HIV ke sel. Virus ini menggunakan virallyencoded enzyme reverse transcriptase untuk membentuk salinan DNA yang akan disisipkan ke dalam DNA sel host dan direkam, menyebabkan lepasnya virus baru dan penghancuran limfosit CD4. Proses reverse transcription ini mudah tejadi kesalahan, mutasi dapat terjadi dan mengarah pada resistensi obat. HIV mempunyai kemampuan khusus untuk menginfeksi sel imun dan menyebabkan penurunan jumlah sel T CD4+ melalui 3 mekanisme yaitu (1) membunuh virus langsung dari sel yang terinfeksi, (2) meningkatkan apoptosis sel yang terinfeksi, dan (3) membunuh sel T CD4+ oleh limfosit CD8 sitotoksik. Apabila sel T CD4+ berada dibawah level kritis, tubuh lebih mudah terserang penyakit oportunistik, mengarah ke diagnosis AIDS.

2.3

Faktor Risiko Penularan Dari Ibu Ke Bayi Tingginya angka penularan vertikal sangat dipengaruhi oleh adanya faktor risiko pada

ibu hamil yang terinfeksi HIV. Oleh karena itu untuk menurunkan angka penularan vertikal, maka pengenalan faktor risiko pada ibu secara dini sangat penting. Ada banyak faktor risiko penularan vertikal dari ibu ke bayi di antaranya, beratnya infeksi HIV/AIDS yang diderita

ibu, cara melahirkan bayi dan proses persalinan bayi, adanya penyakit infeksi lain pada genitalia ibu, kebiasaan ibu, dan pemberian ASI kepada bayi sesudah lahir. Beratnya keadaan infeksi HIV pada ibu merupakan faktor risiko utama terjadinya penularan perinatal. Berdasarkan hasil studi ternyata angka penularan vertikal lebih tinggi pada ibu terinfeksi HIV dengan gejala yang sangat berat dibanding ibu terinfeksi HIV tanpa gejala. Beratnya keadaan penyakit ibu ditentukan dengan menggunakan kriteria klinis dan jumlah partikel virus yang terdapat dalam plasma, serta keadaan imunitas ibu. Ibu dengan gejala klinis penyakit AIDS yang sangat jelas (dengan gejala berbagai penyakit oportunistik), jumlah muatan virus di dalam tubuh >1000/mL, dan jumlah limfosit <200-350/mL dianggap menderita penyakit AIDS sangat berat dan harus mendapat pengobatan antiretrovirus. Cara persalinan bayi sangat menentukan terjadinya penularan vertikal. Bayi yang dilahirkan per vaginam mempunyai risiko penularan vertikal lebih tinggi dibandingkan bayi yang lahir dengan bedah saesar. Bayi yang lahir pervaginam dengan tindakan invasif seperti tindakan forsep, vakum, dan episiotomi, mempunyai risiko lebih tinggi untuk tertular HIV-1. Proses persalinan bayi juga menentukan terjadinya risiko penularan vertikal. Risiko penularan dalam proses persalinan ditentukan oleh keutuhan plasenta dan membran janin, lamanya pecah ketuban, dan adanya komplikasi persalinan (seperti infeksi dan perdarahan pada ibu). Bila dalam proses persalinan ditemukan adanya plasenta yang tidak utuh, membran janin yang robek, ketuban pecah dini, dan adanya komplikasi persalinan, maka bayi akan mem-punyai risiko lebih tinggi untuk tertular infeksi HIV-1. Ibu yang menderita penyakit infeksi lain pada genitalia juga mempunyai risiko tinggi untuk menularkan HIV-1 kepada bayinya. Misalnya, ibu yang menderita penyakit sifilis atau penyakit genitalia ulseratif yang lain (seperti Herpes Simplex, infeksi Cytomegalovirus (CMV), infeksi bakteri pada genitalia), juga mempunyai risiko penularan vertikal lebih tinggi. Faktor risiko lainnya adalah cara pemberian minum bayi pada saat perinatal. Bayi yang menetek mempunyai risiko lebih tinggi daripada bayi yang diberi susu formula. Risiko akan lebih tinggi lagi bila tetek ibu terinfeksi atau lecet (mastitis yang tampak secara klinis ataupun subklinis). Di negara berkembang penularan melalui air susu ibu (ASI) cukup memegang peranan penting. Ibu yang mempunyai kebiasaan yang tidak baik mempunyai risiko tinggi untuk menularkan infeksi HIV-1 kepada bayinya. Merokok adalah salah satu kebiasaan ibu yang buruk. Berdasarkan hasil penelitian, para ibu yang merokok mempunyai risiko untuk menularkan HIV-1.

Penularan vertikal juga sering terjadi pada ibu pengguna obat terlarang. Demikian juga, ibu yang melakukan hubungan seksual tanpa alat pelindung, terutama dengan pasangan yang berganti-ganti, juga mempunyai risiko tinggi dalam penularan vertikal.

2.4

Manifestasi Klinis

Infeksi HIV dibagi menjadi 4 fase. Fase awal atau masa inkubasi terjadi 2-4 minggu pertama setelah terinfeksi, tidak ada gejala yang terjadi. Beberapa minggu kemudian, pasien masuk ke fase infeksi akut yang ditandai oleh gejala mirip flu, termasuk fatigue, demam, sakit kepala, limfadenopati. Karakteristik dari fase ini adalah viral load tinggi, berlangsung selama 28 hari sampai beberapa minggu. Fase ini diikuti oleh fase laten panjang yaitu 5 sampai 10 tahun, gejala hampir tidak ada tetapi virus tetap aktif berkembang dan menghancurkan sistem imun tubuh. Seiring dengan menurunnya jumlah CD4, penurunan imun juga terjadi dan AIDS terdiagnosis saat CD4 <200/ml. Pasien akan menghadapi ancaman hidup dari infeksi oportunistik, seperti Pneumocystis Carinii pneumonia (PCP), Micobacterium avium complex (MAC), tuberkulosis pulmonari, toksoplasmosis, kandidiasis, dan infeksi cytomegalovirus (CMV) atau keganasan seperti sarkoma Kaposi dan limfoma non-Hodgkin. Hampir 90% kasus infeksi HIV pada anak disebabkan oleh transmisi perinatal. Transmisi perinatal bisa terjadi akibat penyebaran hematogen. Beberapa penelitian melaporkan tingginya kasus terjadi akibat terpaparnya intrapartum terhadap darah maternal seperti pada kasus episiotomi, laserasi vagina atau persalinan dengan forsep, sekresi genital yang terinfeksi dan ASI. Frekuensi rata-rata transmisi vertikal dari ibu ke anak dengan infeksi HIV mencapai 25-30%.2,3 Faktor lain yang meningkatkan resiko transmisi ini, antara lain jenis HIV tipe 1, riwayat anak sebelumnya dengan infeksi HIV, ibu dengan AIDS, lahir prematur, jumlah CD4 maternal rendah, viral load maternal tinggi, anak pertama lahir kembar, korioamnionitis, persalinan pervaginam dan pasien HIV dengan koinfeksi. Interpretasi kasus sering menjadi kendala karena pasien yang terinfeksi HIV adalah karier asimptomatik dan mempunyai kondisi yang memingkinkan untuk memperburuk kehamilannya. Kondisi tersebut termasuk ketergantungan obat, nutrisi buruk, akses terbatas untuk perawatan prenatal, kemiskinan dan adanya penyakit menular seksual. Komplikasi yang mungkin terjadi adalah bayi lahir prematur, premature rupture of membran (PROM), berat bayi lahir rendah, anemia, restriksi pertumbuhan intrauterus, kematian perinatal dan endometritis pospartum.

2.5

Diagnosis

Diagnosis infeksi HIV bayi baru lahir perlu ditegakkan secepat mungkin sehingga pemberian ARV dan terapi tambahan dapat dimulai. Oleh sebab itu perlu dilakukan pemeriksaan untuk mengetahui apakah bayi sudah terinfeksi HIV atau tidak. Sebelum 1994 dilakukan pemeriksaan untuk mendeteksi IgG spsesifik terhadap HIV menggunakan tes enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) dan tes Western blot. Dengan teknik ini ternyata diagnosis pasti diperoleh sangat lambat, dan pada bayi yang masih muda, dapat terjadi hasil positif palsu, karena antibodi IgG yang terdapat di dalam tubuh bayi sebagian besar adalah antibodi maternal yang menyeberang dari ibu melalui plasenta, dan dapat dideteksi sampai bayi berusia 18 bulan. Agar infeksi HIV pada bayi dapat didiagnosis lebih dini, maka harus dilakukan tes langsung terhadap virus menggunakan tes PCR DNA HIV, biakan virus HIV, pemeriksaan kadar antigen core p24, atau pemeriksaan kadar RNA HIV. Pemeriksaan laboratorium yang disarankan untuk penapisan pertama pada bayi yang lahir dari ibu terinfeksi HIV adalah tes PCR DNA HIV. Tes ini mempunyai sensitivitas 93,2% dan spesifisitas 94,9%. Tetapi tes ini kurang akurat untuk pemeriksaan neonatus. Pada bayi dengan risiko penularan rendah, nilai prediktif positif tes PCR DNA HIV pada bulan pertama lahir adalah 55,8%, sedangkan sesudah periode tersebut menjadi 83,2%.4 Walaupun demikian, tes pertama sebaiknya dilakukan dalam 48 jam pertama sesudah lahir. Tes harus diulang pada saat bayi berusia 1-2 bulan dan kemudian pada saat berusia 4-6 bulan. Piakan virus HIV sama sensitifnya dengan tes PCR DNA HIV, tetapi biayanya mahal dan memerlukan waktu cukup lama, yaitu lebih dari 2 minggu. Pemeriksaan antigen p24 kurang sensitif dan mempunyai angka positif palsu sangat tinggi. Pemeriksaan kadar RNA virus HIV dapat digunakan untuk mengetahui perkembangan penyakit. Tetapi pemeriksaan kadar RNA virus HIV tidak disarankan sebagai tes penapisan infeksi HIV pada bayi, karena mempunyai sensitivitas dan spesifisitas lebih rendah dibandingkan dengan tes DNA HIV. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, pemeriksaan PCR DNA HIV-1 sebaiknya dilakukan pada saat bayi berusia 14 sampai 21 hari. Beberapa ahli menyarankan dilakukan sebelum bayi berusia 48 jam agar segera dapat dideteksi infeksi HIV yang terjadi intrauterin. Namun, bila hasil tes RNA atau DNA negatif pada saat bayi berusia 48 jam maka tes sebaiknya diulang pada bayi berusia 14 sampai 21 hari, karena sensitivitas pemeriksaan ini akan meningkat 2 minggu sesudah lahir, dan kebanyakan bayi mendapat infeksi pada saat

persalinan. Sampel tes PCR pertama tidak boleh menggunakan darah tali pusat, karena dapat memberikan hasil positif palsu. Bila hasil tes pertama negatif, maka pemeriksaan dilanjutkan pada saat bayi berusia 1 sampai 2 bulan, kemudian pada usia 4 sampai 6 bulan. Bila tiga sampel darah (saat lahir, usia satu bulan, dan usia empat bulan) diperiksa dengan tes virologi memberi hasil negatif, maka sekitar 95% bayi dianggap tidak terinfeksi HIV. Diagnosis infeksi HIV secara pasti dapat ditegakkan bila dua sampel darah yang terpisah dites dengan pemeriksaan virologi memberikan hasil positif. Tes serologis yang dilakukan pada bayi sesudah usia 12 bulan dapat digunakan untuk memastikan apakah antibodi HIV dari ibu yang menyeberang plasenta sudah tidak ada lagi. Jika bayi pada usia 12 bulan masih menunjukkan antibodi IgG positif dengan tes ELISA, maka tes harus diulang pada usia 18 bulan. Bila hasil tes antibodi bayi pada usia ini negatif, dan sebelumnya hasil tes PCR DNA HIV-1 dua sampel yang terpisah juga negatif, maka dapat dipastikan bahwa bayi tidak terinfeksi HIV. Seandainya semua tes HIV-1 menunjukkan hasil negatif tetapi gejala klinis sangat jelas maka patut dicurigai adanya infeksi HIV-1 subtipe lain seperti subtipe B, C, D, dan E, atau infeksi HIV-2. Semua subtipe virus ini tidak akan terdeteksi bila menggunakan antigen atau antibodi atau primer HIV-1. Untuk mendeteksi virus ini diperlukan antigen, antibodi, atau primer yang spesifik. 2.6 ASI dengan ibu HIV positif. Ibu dengan HIV yang sudah dalam terapi ARV memiliki kadar HIV sangat rendah, sehingga aman untuk menyusui bayinya. Dalam Pedoman HIV dan Infant Feeding (2010), World Health Organization (WHO) merekomendasikan pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan untuk bayi lahir dari ibu yang HIV dan sudah dalam terapi ARV untuk kelangsungan hidup anak (HIV-free and child survival). Pada dasarnya pemberian ASI pada ibu HIV positif adalah meningkatkan kelangsungan hidup anak dengan mempromosikan ASI, akan tetapi juga harus mengurangi sekecil mungkin risiko penularan HIV/AIDS melalui menyusui. WHO merekomendasikan untuk bayi dengan ibu HIV diberikan ASI eksklusif 0 6 bulan, diberikan MPASI mulai usia bayi 6 bulan dan ASI diteruskan sampai usia 1 tahun. Risiko penularan tergantung pada lama menyusui dan pemberian makanan campuran. Pada keluarga miskin, pilihan pertama tetap diberikan ASI eksklusif, dengan pertimbangan risiko penularan lebih rendah dibanding bila

diberi susu formula yang tidak memenuhi syarat. Apabila terpaksa menggunakan susu formula perlu 5 syarat yang harus dipenuhi kelima-limanya, yakni 1. Acceptable : tidak ada hambatan sosial budaya apabila ibu memberikan susu formula. 2. Feasible : orang tua/keluarga mempunyai pengetahuan dan keterampilan memadai untuk menyiapkan dan memberikan susu formula. 3. Affordable : orang tua/keluarga mampu membeli susu formula. 4. Sustainable : menjamin ketersediaan susu formula untuk diberikan sampai usia bayi 12 bulan. 5. Safe : susu disimpan dengan benar, disiapkan dan diminumkan dengan higienis.

Semua ibu yang terinfeksi HIV harus mendapat konseling termasuk informasi umum tentang bagaimana memenuhi kebutuhan gizinya sendiri, risiko dan manfaat beberapa jenis makanan bayi, serta bimbingan khusus untuk memilih makanan bayi yang sesuai untuk kondisi ibu. Informasi mengenai berbagai manfaat ASI harus dijelaskan kepada ibu HIV positif, meskipun terdapat risiko penularan virus HIV melalui pemberian ASI. Bahaya dari kebiasaan ibu memberikan makanan campuran (mixed feeding atau pemberian ASI dan susu lainnya) juga harus dijelaskan pada ibu dengan HIV positif. Bayi yang mendapatkan hanya ASI mempunyai risiko yang lebih kecil dari bayi yang mendapatkan makanan campuran. Untuk negara dengan keadaan sosial ekonomi dan keadaan lingkungan yang belum baik, risiko penularan atau terinfeksi HIV/AIDS dari ibu kepada bayi lebih kecil bila disusui eksklusif selama 6 bulan daripada bayi diberi susu formula atau campuran susu formula dan ASI. Semua ibu menyusui dengan HIV/AIDS harus dibantu untuk menyusui selama 6 bulan (ASI eksklusif). Apabila ibu memilih untuk tidak menyusui, harus dibantu bagaimana memberikan susu formula yang benar dan aman. Selain untuk membantu ibu memutuskan pilihan yang paling tepat sesuai kondisinya, tujuan konseling bagi ibu dengan HIV positif juga untuk mencegah pemberian makanan campuran. Beberapa studi menunjukkan pemberian susu formula memiliki risiko minimal untuk penularan HIV dari ibu ke bayi, sehingga susu formula diyakini sebagai cara pemberian makanan yang paling aman. Namun, penyediaan dan pemberian susu formula memerlukan akses ketersediaan air bersih dan botol susu yang bersih, yang di banyak negara berkembang dan beberapa daerah di Indonesia persyaratan tersebut sulit dijalankan. Selain itu,

keterbatasan kemampuan keluarga di Indonesia untuk membeli susu formula dan adanya norma sosial tertentu di masyarakat mengharuskan ibu menyusui bayinya. Sangat tidak dianjurkan menyusui campur (mixed feeding, artinya diberikan ASI dan PASI bergantian). Pemberian susu formula yang bagi dinding usus bayi merupakan benda asing dapat menimbulkan perubahan mukosa dinding usus, sehingga mempermudah masuknya HIV yang ada di dalam ASI ke peredaran darah.

BAB III DAFTAR PUSTAKA 1. Kementerian Kesehatan RI . Pedoman nasional pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak. Edisi ke 2. Jakarta. 2012 2. I Made Setiawan. The Prevention Management of HIV Vertical Transmission from Infected Mothers to Their Child. Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof DR. Sulianti Saroso. Majalah Kedokteran Indonesia, Volume: 59, Nomor: 10, Oktober 2009. Jakarta. 3. Kementerian Kesehatan RI . Strategi Peningkatan Makanan Bayi Dan Anak (PMBA). Jakarta. 2010

Vous aimerez peut-être aussi