Vous êtes sur la page 1sur 23

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penuaan merupakan hal yang umum dialami oleh makhluk hidup. Penuaan sendiri terjadi akhibat adanya kelemahan dan kegagalan fisik maupun mental yang disebabkan oleh disfungsi fisiologik. Penuaan sendiri mengakhibatkan kemunduran dari beberapa organ tubuh termasuk juga pada persarafan. Sistem saraf merupakan sistem organ pada makhluk hidup yang terdiri atas serabut saraf yang tersusun atas sel-sel saraf yang saling terhubung dan esensial untuk persepsi sensoris indrawi, aktivitas motorik volunter dan involunter organ atau jaringan tubuh, dan homeostasis berbagai proses fisiologis tubuh. Sistem saraf merupakan jaringan paling rumit dan paling penting karena terdiri dari jutaan sel saraf (neuron) yang saling terhubung dan vital untuk perkembangan bahasa, pikiran dan ingatan. Sistem saraf atau nervous system memiliki peran yang sangat penting di dalam tubuh manusia, seperti untuk mengendalikan gerakan tubuh, menunjang perkembangan bahasa, ingatan dan pikiran. Dengan sistem saraf yang sehat setiap manusia bisa melakukan kegiatan setiap hari dengan baik. Sesuai fungsinya sel saraf pada sistem saraf manusia dibedakan menjadi empat macam, yang antara lain saraf sensorik yang berfungsi mengirim pesan (impuls) dari reseptor menuju sistem saraf pusat, saraf motorik yang berfungsi mengirim impuls dari sistem saraf pusat ke otot, saraf penghubung (asosiasi) fungsinya menghubungkan sel saraf motorik dengan sel saraf sensorik atau dengan sel saraf lainnya yang terdapat didalam sistem saraf pusat dan saraf adjustor yang berfungsi menghubungkan saraf sensorik dengan saraf motorik di sumsum tulang belakang dan otak. Seiring terjadinya penuaan banyak kemunduran yang timbul dari system saraf. Salah satu penyakit yang ditimbulkan dari kemunduran pada system saraf ini adalah penyakit Alzhiemer yang merupakan sejenis penyakit penurunan fungsi saraf otak yang kompleks dan progresif.

Penyakit Alzheimer

merupakan gangguan fungsi kognitif yang

onsetnya lambat dan gradual, degenerative, sifatnya progresif dan permanen. Awalnya pasien akan mengalami gangguan fungsi kognitif dan secara perlahan-lahan akan mengalami gangguan fungsi mental yang berat. Penyakit ini memperlihatkan keadaan dimana daya ingatan seseorang merosot dengan parahnya sehingga pengidapnya tidak mampu mengurus diri sendiri Penyakit Alzheimer pertama kali ditemukan pada tahun 1907 oleh ahli Psikiatri Jerman yaitu Alois Alzheimer. Dia menemukan penyakit ini setelah mengobservasi seorang wanita yang bernama Auguste D (51 tahun) dari tahun 1901 sampai wanita ini meninggal pada tahun 1906. Wanita tersebut mengalami gangguan intelektual dan memori tetapi tidak mengalami gangguan anggota gerak, koordinasi dan reflek. Untuk itu kami membahas tentang hubungan antara gangguan pada sistem persarafan yang termasuk didalamnya adalah penyakit Alzheimer dengan terjadinya penuaan pada lansia.

1.2 Tujuan Penulisan Tujuan Umum Tujuan umum dari penilisan makalah ini adalah untuk membahas tentang konsep dan asuhan keperawatan pada lansia dengan gangguan system persarafan umumnya dan penyakit Alzheimer khususnya. Tujuan Khusus Adapun tujuan khusus dari penulisan makalah ini adalah : Mengetahui konsep gangguan system persarafan pada lansia Mengetahui konsep penyakit Alzheimer pada lansia Mengetahui Penanganan Penyakit Alzheimer Pada Lansia Mengetahui Asuhan Keperawatan yang diberikan pada Lansia yang mengalami gangguan persarafan.

BAB II LANDASAN TEORITIS

a.1 Anatomi Fisiolgi Sistem Saraf Pada Lansia Sistem persarafan pada manusia yang normal, maupun pada lansia yang telah mengalami perubahan adalah sebagai berikut : a. Otak Perbandingan pada otak yang normal dan otak otak pada lansia yang telah mengalami perubahan fungsi adalah sebagai berikut : Otak Normal terletak di dalam rongga kepala, yang pada orang dewasa sudah tidak dapat lagi membesar, sehingga bila terjadi penambahan komponen rongga kepala sehingga dapat meningkatkan TIK. Berat otak 350 gram pada saat kelahiran, kemudian meningkat menjadi 1,375 gram pada usia 20 tahun,berat otak mulai menurun pada usia 45-50 tahun penurunan ini kurang lebih 11% dari berat maksimal. Berat dan volume otak berkurang rata-rata 5-10% selama umur 20-90 tahun. Otak mengandung 100 million sel termasuk diantaranya sel neuron yang berfungsi menyalurkan impuls listrik dari susunan saraf pusat. Sedangkan pada lansia, Penuaan otak kehilangan 100.000 neuron / tahun. Neuron dapat mengirimkan signal kepada beribu-ribu sel lain dengan kecepatan 200 mil/jam. Terjadi penebalan atropi cerebral (berat otak menurun 10%) antar usia 30-70 tahun. Secara berangsur angsur tonjolan dendrite dineuron hilang disusul

membengkaknya batang dendrit dan batang sel. Secara progresif terjadi fragmentasi dan kematian sel. Pada semua sel terdapat deposit lipofusin (pigment wear and tear) yang terbentuk di sitoplasma, kemungkinan berasal dari lisosom atau mitokondria. RNA, Mitokondria dan enzyme sitoplasma menghilang, inklusi dialin eosinofil dan badan levy, neurofibriler menjadi kurus dan degenerasi granulovakuole.

Berbagai perubahan degenerative ini meningkat pada individu lebih dari 60 tahun dan menyebabkan gangguan persepsi, analisis dan integrita, input sensorik menurun menyebabkan gangguan kesadaran sensorik (nyeri sentuh, panas, dingin, posisi sendi). Tampilan sesori motorik untuk menghasilkan ketepatan melambat. b. Saraf otonom Perbandingan pada saraf otonom yang normal dan saraf otonom pada lansia yang telah mengalami perubahan/penurunan fungsi adalah sebagai berikut : Normal Saraf simpatis Bekerja untuk meningkatkan denyut jantung dan pernafasan serta menurunkan aktifitas saluran cerna. Saraf Parasimpatis Bekerjanya berlawanan dari saraf simpatis. Lansia Pusat penegndalian saraf otonom adalah hipotalamus. Beberapa hal yang dikatakan sebagai penyebab terjadinya gangguan otonom pada usia lanjut adalah penurunan asetolikolin, atekolamin, dopamine, noradrenalin. Perubahan pada neurotransmisi pada ganglion otonom yang berupa penurunan pembentukan asetil-kolin yang disebabkan terutama oleh penurunan enzim utama kolin-asetilase.Terdapat perubahan morfologis yang mengakibatkan pengurangan jumlah reseptor kolin. Hal ini menyebabkan predisposisi terjadinya hipotensi postural, regulasi suhu sebagai tanggapan atas panas atau dingin terganggu, otoregulasi disirkulasi serebral rusak sehingga mudah terjatuh. c. Sistem Saraf Perifer Perbandingan pada sistem saraf perifer yang normal dan sistem saraf perifer pada lansia yang telah mengalami perubahan/penurunan fungsi adalah sebagai berikut: Normal

Saraf Aferen Berfungsi membawa informasi sensorik baik disadari maupun tidak, dari kepala, pembuluh darah dan ekstermitas. Saraf eferen menyampaikan rangsangan dari luar ke pusat

Saraf Eferen Berfungsi sebagai pembawa informasi sensorik dari otak menuju ke luar dari susunan saraf pusat ke berbagai sasaran (sel otot/kelenjar).

Lansia Saraf Aferen Lansia terjadi penurunan fungsi dari saraf aferen, sehingga terjadi penurunan penyampaian informasi sensorik dari organ luar yang terkena ransangan. Saraf Eferen Lansia sering mengalami gangguan persepsi sensorik, hal tersebut dikarenakan terjadinya penurunan fungsi saraf eferen pada sistem saraf perifer. d. Medulla Spinalis Perbandingan pada sistem saraf perifer yang normal dan sistem saraf perifer pada lansia yang telah mengalami perubahan/penurunan fungsi adalah sebagai berikut: normal Fungsinya : Pusat gerakan otot tubuh terbesar yaitu, Cornu motorik/ cornu ventralis. Mengurus kegiatan refleks spinalis dan refleks lutut. Menghantarkan rangsangan koordinasi otot dan sendi menuju cerebellum. Mengadakan komun ikasi antara otak dan semua bagian tubuh.

Lansia Medulla spinalis pada lansia terjadi penurunan fungsi, sehingga mempengaruhi pergerakan otot dan sendi di mana lansia menjadi sulit untuk menggerakkan otot dan sendinya secara maksimal.

a.2 Defenisi Lansia adalah tahap akhir siklus hidup manusia, merupakan bagian dari proses kehidupan yang tak dapat dihindarkan dan akan dialami oleh setiap individu. Pada tahap ini individu mengalami banyak perubahan baik secara fisik maupun mental, khususnya kemunduran dalam berbagai fungsi dan kemampuan yang pernah dimilikinya. Sistem saraf merupakan sistem organ pada makhluk hidup yang terdiri atas serabut saraf yang tersusun atas sel-sel saraf yang saling terhubung dan esensial untuk persepsi sensoris indrawi, aktivitas motorik volunter dan involunter organ atau jaringan tubuh, dan homeostasis berbagai proses fisiologis tubuh. Sistem saraf merupakan jaringan paling rumit dan paling penting karena terdiri dari jutaan sel saraf (neuron) yang saling terhubung dan vital untuk perkembangan bahasa, pikiran dan ingatan. Sistem saraf atau nervous system memiliki peran yang sangat penting di dalam tubuh manusia, seperti untuk mengendalikan gerakan tubuh, menunjang perkembangan bahasa, ingatan dan pikiran. Dengan sistem saraf yang sehat setiap manusia bisa melakukan kegiatan setiap hari dengan baik. Sesuai fungsinya sel saraf pada sistem saraf manusia dibedakan menjadi empat macam, yang antara lain saraf sensorik yang berfungsi mengirim pesan (impuls) dari reseptor menuju sistem saraf pusat, saraf motorik yang berfungsi mengirim impuls dari sistem saraf pusat ke otot, saraf penghubung (asosiasi) fungsinya menghubungkan sel saraf motorik dengan sel saraf sensorik atau dengan sel saraf lainnya yang terdapat didalam sistem saraf pusat dan saraf adjustor yang berfungsi menghubungkan saraf sensorik dengan saraf motorik di sumsum tulang belakang dan otak.
Alzheimer atau kepikunan merupakan sejenis penyakit penurunan fungsi saraf otak yang kompleks dan progresif yang disebabkan karena berkurangnya gizi diotak. Alzheimer digolongkan kedalam salah satu dari jenis dementia yang

dicirikan dengan melemahnya percakapan, kewarasan, ingatan, pertimbangan, perubahan kepribadian dan tingkah laku yang tidak terkendali.

Alzheimer merupakan penyakit kronik, progresif, dan merupakan gangguan degeneratif otak dan diketahui mempengaruhi memori, kognitif dan kemampuan untuk merawat diri. (Brunner &,Suddart, 2002 ). Alzheimer merupakan penyakit degeneratif yang ditandai dengan penurunan daya ingat, intelektual, dan kepribadian. Tidak dapat disembuhkan, pengobatan ditujukan untuk menghentikan progresivitas penyakit dan meningkatkan kemandirian penderita. (Dr. Sofi Kumala Dewi, dkk, 2008) Alzheimer adalah penyakit yang merusak dan menimbulkan kelumpuhan, yang terutama menyerang orang berusia 65 tahun keatas (patofisiologi : konsep klinis proses- proses penyakit, juga merupakan penyakit dengan gangguan degeneratif yang mengenai sel-sel otak dan menyebabkan gangguan fungsi intelektual, penyakit ini timbul pada pria dan wanita dan menurut dokumen terjadi pada orang tertentu pada usia 40 tahun. (Perawatan Medikal Bedah : jilid 1 hal 1003)

a.3

Etiologi Belum ada penyebab yang pasti mengenai penyakit ini, namun terdapat beberapa faktor presdisposisi diantaranya : Faktor genetik Usia Infeksi virus lambat Lingkungan Imunologi Trauma

a.4

Patofisiologi Terdapat beberapa perubahan khas biokimia dan neuropatologi yang dijumpai pada penyakit Alzheimer, antara lain: serabut neuron yang kusut (masa kusut neuron yang tidak berfungsi) dan plak seni atau neuritis (deposit protein beta-amiloid, bagian dari suatu protein besar, protein prukesor

amiloid (APP). Kerusakan neuron tersebut terjadi secara primer pada korteks serebri dan mengakibatkan rusaknya ukuran otak. Secara maskroskopik, perubahan otak pada Alzheimer melibatkan kerusakan berat neuron korteks dan hippocampus, serta penimbunan amiloid dalam pembuluh darah intracranial. Secara mikroskopik, terdapat perubahan morfologik (structural) dan biokimia pada neuron neuron. Perubahan morfologis terdiri dari 2 ciri khas lesi yang pada akhirnya berkembang menjadi degenarasi soma dan atau akson dan atau dendrit. Satu tanda lesi pada AD adalah kekusutan neurofibrilaris yaitu struktur intraselular yang berisi serat kusut dan sebagian besar terdiri dari protein tau. Dalam SSP, protein tau sebagian besar sebagai penghambat pembentuk structural yang terikat dan menstabilkan mikrotubulus dan merupakan komponen penting dari sitokleton sel neuron. Pada neuron AD terjadi fosforilasi abnormal dari protein tau, secara kimia menyebabkan perubahan pada tau sehingga tidak dapat terikat pada mikrotubulus secara bersama sama. Tau yang abnormal terpuntir masuk ke filament heliks ganda yang sekelilingnya masing masing terluka. Dengan kolapsnya system transport internal, hubungan interseluler adalah yang pertama kali tidak berfungsi dan akhirnya diikuti kematian sel. Pembentukan neuron yang kusut dan berkembangnya neuron yang rusak menyebabkan Alzheimer. Lesi khas lain adalah plak senilis, terutama terdiri dari beta amiloid (A-beta) yang terbentuk dalam cairan jaringan di sekeliling neuron bukan dalam sel neuronal. A-beta adalah fragmen protein prekusor amiloid (APP) yang pada keadaan normal melekat pada membrane neuronal yang berperan dalam pertumbuhan dan pertahanan neuron. APP terbagi menjadi fragmen fragmen oleh protease, salah satunya A-beta, fragmen lengket yang berkembang menjadi gumpalan yang bisa larut. Gumpalan tersebut akhirnya bercampur dengan sel sel glia yang akhirnya membentuk fibril fibril plak yang membeku, padat, matang, tidak dapat larut, dan diyakini beracun bagi neuron yang utuh. Kemungkinan lain adalah A-beta menghasilkan radikal bebas sehingga mengganggu hubungan intraseluler dan menurunkan respon pembuluh darah sehingga mengakibatkan makin rentannya neuron terhadap

stressor. Selain karena lesi, perubahan biokimia dalam SSP juga berpengaruh pada AD. Secara neurokimia kelainan pada otak.

a.5

Manifestasi klinis Manifestasi/ gejala klinis yang muncul pada pasien dengan penyakit Alzheimer diantaranya : Kehilangan daya ingat/memori Kesulitan melakukan aktivitas rutin yang biasa Kesulitan berbahasa. Kesulitan tidur Disorientasi waktu dan tempat Penurunan kemampuan dalam memutuskan sesuatu Emosi labil Apatis Tonus otot / kekakuan otot Ketidakmampuan mendeteksi bahaya

a.6

Komplikasi Komplikasi yang mungkin muncul pada pasien dengan penyakit Alzheimer diantaranya : Infeksi Malnutrisi Kematian

a.7

Penatalaksanaan medis Pengobatan penyakit Alzheimer masih sangat terbatas oleh karena penyebab dan patofisiologis masih belum jelas. Pengobatan simptomatik dan suportif seakan hanya memberikan rasa puas pada penderita dan keluarga. Pengobatan simptomatik: a. Inhibitor kolinesterase Tujuan: Untuk mencegah penurunan kadar asetilkolin dapat digunakan anti kolinesterase yang bekerja secara sentral

Contoh: fisostigmin, THA (tetrahydroaminoacridine), donepezil (Aricept), galantamin (Razadyne), & rivastigmin Pemberian obat ini dikatakan dapat memperbaiki memori dan apraksia selama pemberian berlangsung ESO: memperburuk penampilan intelektual pada orang normal dan penderita Alzheimer, mual & muntah, bradikardi, HCl, dan nafsu makan. b. Thiamin Pada penderita alzheimer didapatkan penurunan thiamin

pyrophosphatase dependent enzym yaitu 2 ketoglutarate (75%) dan transketolase (45%), hal ini disebabkan kerusakan neuronal pada nukleus basalis. Contoh: thiamin hydrochloride : Dosis 3 gr/hari selama 3 bulan peroral Tujuan: perbaikan bermakna terhadap fungsi kognisi dibandingkan placebo selama periode yang sama. c. Nootropik Nootropik merupakan obat psikotropik Tujuan: memperbaiki fungsi kognisi dan proses belajar. Tetapi pemberian 4000 mg pada penderita alzheimer tidak menunjukkan perbaikan klinis yang bermakna. d. Klonidin Gangguan fungsi intelektual pada penderita alzheimer dapat disebabkan kerusakan noradrenergik kortikal. Contoh: klonidin (catapres) yang merupakan noradrenergik alfa 2 reseptor agonis Dosis : maksimal 1,2 mg peroral selama 4 minggu Tujuan: kurang memuaskan untuk memperbaiki fungsi kognitif e. Haloperiodol Pada penderita alzheimer, sering kali terjadi :

Gangguan psikosis (delusi, halusinasi) dan tingkah laku: Pemberian oral Haloperiodol 1-5 mg/hari selama 4 minggu akan memperbaiki gejala tersebut. Bila penderita Alzheimer menderita depresi berikan tricyclic anti depresant (amitryptiline 25-100 mg/hari) f. Acetyl L-Carnitine (ALC) Merupakan suatu substrat endogen yang disintesa didalam

mitokondria dengan bantuan enzyme ALC transferase. Tujuan : meningkatkan aktivitas asetil kolinesterase, kolin

asetiltransferase. Dosis:1-2 gr/hari/peroral selama 1 tahun dalam pengobatan Efek: memperbaiki atau menghambat progresifitas kerusakan fungsi kognitif (Yulfran, 2000)

2.8

Pemeriksaan Diganostik Untuk kepastian diagnosisnya, maka diperlukan tes diagnostik sebagai berikut : a. Neuropatologi Diagnosa definitif tidak dapat ditegakkan tanpa adanya konfirmasi neuropatologi. Secara umum didapatkan : atropi yang bilateral, simetris lebih menonjol pada lobus temporoparietal, anterior frontal, sedangkan korteks oksipital, korteks motorik primer, sistem somatosensorik tetap utuh berat otaknya berkisar 1000 gr (850-1250gr).

Kelainan-kelainan neuropatologi pada penyakit alzheimer terdiri dari : Neurofibrillary tangles (NFT) Merupakan sitoplasma neuronal yang terbuat dari filamenfilamen abnormal yang berisi protein neurofilamen, ubiquine, epitoque. demensia. Senile plaque (SP) Densitas NFT berkolerasi dengan beratnya

Merupakan struktur kompleks yang terjadi akibat degenerasi nerve ending yang berisi filamen-filamen abnormal, serat amiloid ektraseluler, astrosit, mikroglia. Amiloid prekusor protein yang terdapat pada SP sangat berhubungan dengan kromosom 21. Senile plaque ini terutama terdapat pada neokorteks, amygdala, hipokampus, korteks piriformis, dan sedikit didapatkan pada korteks motorik primer, korteks somatosensorik, korteks visual, dan auditorik. Senile plaque ini juga terdapat pada jaringan perifer. densitas Senile plaque berhubungan dengan penurunan kolinergik. Kedua gambaran histopatologi (NFT dan senile plaque) merupakan gambaran karakteristik untuk penderita penyakit alzheimer. Degenerasi neuron
Pada pemeriksaan mikroskopik perubahan dan kematian neuron pada penyakit alzheimer sangat selektif. Kematian neuron pada neokorteks terutama didapatkan pada neuron piramidal lobus temporal dan frontalis. Juga ditemukan pada hipokampus, amigdala, nukleus batang otak termasuk lokus serulues, raphe nukleus dan substanasia nigra. Kematian sel neuron kolinergik terutama pada nukleus basalis dari meynert, dan sel noradrenergik terutama pada lokusseruleus serta sel serotogenik pada nukleus raphe dorsalis, nukleus tegmentum dorsalis. Telah ditemukan faktor pertumbuhan saraf pada neuron kolinergik yang berdegenerasi pada lesi merupakan harapan dalam pengobatan penyakit alzheimer.

Perubahan vakuoler Merupakan suatu neuronal sitoplasma yang berbentuk oval dan dapat menggeser nukleus. Jumlah vakuoler ini berhubungan secara bermakna dengan jumlah NFT dan SP , perubahan ini sering didapatkan pada korteks temporomedial, amygdala dan insula. Tidak pernah ditemukan pada korteks frontalis, parietal, oksipital, hipokampus, serebelum dan batang otak Lewy body

Merupakan bagian sitoplasma intraneuronal yang banyak terdapat pada enterhinal, gyrus cingulate, korteks insula, dan amygdala. Sejumlah kecil pada korteks frontalis, temporal, parietalis, oksipital. Lewy body kortikal ini sama dengan immunoreaktivitas yang terjadi pada lewy body batang otak pada gambaran histopatologi penyakit parkinson. Hansen et al menyatakan lewy body merupakan variant dari penyakit alzheimer. b. Pemeriksaan Neuropsikologik Fungsi pemeriksaan neuropsikologik ini untuk menentukan ada atau tidak adanya gangguan fungsi kognitif umum dan mengetahui secara rinci pola defisit yang terjadi. Test psikologis ini juga bertujuan

untuk menilai fungsi yang ditampilkan oleh beberapa bagian otak yang berbeda-beda seperti gangguan memori, kehilangan ekspresi, kalkulasi, perhatian dan pengertian berbahasa Evaluasi neuropsikologis yang sistematik mempunyai fungsi

diagnostik yang penting karena : 1. Adanya defisit kognisi: berhubungan dgn demensia awal yang dapat diketahui bila terjadi perubahan ringan yang terjadi akibat penuaan yang normal. 2. Pemeriksaan neuropsikologik secara komprehensif : untuk membedakan kelainan kognitif pada global demensia dengan deficit selektif yang diakibatkan oleh disfungsi fokal, faktor metabolik, dan gangguan psikiatri 3. Mengidentifikasi gambaran kelainan neuropsikologik yang diakibatkan oleh demensia karena berbagai penyebab. c. CT Scan dan MRI Merupakan metode non invasif yang beresolusi tinggi untuk melihat kwantifikasi perubahan volume jaringan otak pada penderita Alzheimer antemortem. CT Scan :

Menyingkirkan kemungkinan adanya penyebab demensia lainnya selain alzheimer seperti multiinfark dan tumor serebri. Atropi kortikal menyeluruh dan pembesaran ventrikel keduanya merupakan gambaran marker dominan yang sangat spesifik pada penyakit ini Penipisan substansia alba serebri dan pembesaran ventrikel berkorelasi dengan beratnya gejala klinik dan hasil pemeriksaan status mini mental MRI : peningkatan intensitas pada daerah kortikal dan periventrikuler (Capping anterior horn pada ventrikel lateral). Capping ini merupakan predileksi untuk demensia awal. Selain didapatkan kelainan di kortikal, gambaran atropi juga terlihat pada daerah subkortikal seperti adanya atropi hipokampus, amigdala, serta pembesaran sisterna basalis dan fissura sylvii. MRI lebih sensitif untuk membedakan demensia dari penyakit alzheimer dengan penyebab lain, dengan memperhatikan ukuran (atropi) dari hipokampus. EEG Berguna untuk mengidentifikasi aktifitas bangkitan yang suklinis. Sedang pada penyakit alzheimer didapatka perubahan gelombang lambat pada lobus frontalis yang non spesifik PET (Positron Emission Tomography) Pada penderita alzheimer, hasil PET ditemukan : penurunan aliran darah metabolisme O2 glukosa didaerah serebral SPECT (Single Photon Emission Computed Tomography) Kelainan ini berkolerasi dengan tingkat kerusakan fungsional dan defisit kogitif. Kedua pemeriksaan ini (SPECT dan PET) tidak digunakan secara rutin

Laboratorium darah Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik pada penderita alzheimer. Pemeriksaan laboratorium ini hanya untuk menyingkirkan penyebab penyakit demensia lainnya seperti

pemeriksaan darah rutin, B12, Calsium, Posfor, fungsi renal dan hepar, tiroid, asam folat, serologi sifilis, skrining antibody yang dilakukan secara selektif. (Yulfran, 2009)

BAB III ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian Adapun pengkajian yang dilakukan pada pasien dengan penyakit Alzheimer diantaranya : 1. Identitas klien Meliputi nama, umur, jenis kelamin, alamat, agama, suku bangsa, status perkawinan, golongan darah, dan hubungan pasien dengan penanggung jawab. 2. Riwayat kesehatan Riwayat penyakit dahulu yaitu penyakit apa saja yang pernah diderita pasien, baik penyakit yang dapat menjadi faktor pendukung terjadinya penyakit Alzheimer, maupun yang tidak. Riwayat penyakit sekarang yaitu penyakit yang diderita pasien saat ini, dalam kasus ini penyakit Alzheimer. Riwayat penyakit keluarga yaitu penyakit yang pernah diderita anggota keluarga yang lain, baik yang dapat menjadi faktor pendukung terjadinya penyakit Alzheimer maupun yang tidak. 3. Pengkajian PsikoSosial Spiritual Adanya perubahan hubungan dan peran karena pasien menglami kesulitan untuk berkomunikasi akibat gangguan bicara. Pola persepsi dan konsep diri didapatkan pasien merasa tidak berdaya, tidak ada harapan mudah marah, dan tidak kooperatif. Perubahan yang terpenting pada pasien dengan penyakit Alzheimer adalah penurunan kognitif dan memori (ingatan). 4. Aktifitas istirahat Gejala: Merasa lelah. Tanda: Siang/malam gelisah, tidak berdaya, gangguan pola tidur Letargi: penurunan minat atau perhatian pada aktivitas yang biasa, hobi, ketidakmampuan untuk menyebutkan kembali apa yang dibaca/ mengikuti acara program televisi.

Gangguan keterampilan motorik, ketidakmampuan untuk melakukan hal yang telah biasa yang dilakukannya, gerakan yang sangat bermanfaat. 5. Sirkulasi Gejala: Riwayat penyakit vaskuler serebral/sistemik. hipertensi, episode emboli (merupakan factor predisposisi). 6. Integritas ego Gejala : Curiga atau takut terhadap situasi/orang khayalan, kesalahan persepsi terhadap lingkungan, kesalahan identifikasi terhadap objek dan orang, penimbunan objek : meyakini bahwa objek yang salah penempatannya telah dicuri. kehilangan multiple, perubahan citra tubuh dan harga diri yang dirasakan. Tanda : Menyembunyikan ketidakmampuan ( banyak alasan tidak mampu untuk melakukan kewajiban, mungkin juga tangan membuka buku namun tanpa membacanya) , duduk dan menonton yang lain, aktivitas pertama mungkin menumpuk benda tidak bergerak dan emosi stabil, gerakan berulang ( melipat membuka lipatan melipat kembali kain ), menyembunyikan barang, atau berjalanjalan. 7. Eliminasi Gejala: Dorongan berkemih Tanda: Inkontinensia urine/feaces, cenderung konstipasi/ imfaksi dengan diare. 8. Makanan/cairan Gejala: Riwayat episode hipoglikemia (merupakan factor predisposisi) perubahan dalam pengecapan, nafsu makan, kehilangan berat badan, mengingkari terhadap rasa lapar/ kebutuhan untuk makan. Tanda: Kehilangan kemampuan untuk mengunyah, menghindari/menolak makan (mungkin mencoba untuk menyembunyikan keterampilan). dan tampak semakin kurus (tahap lanjut). 9. Hiygene Gejala : Perlu bantuan /tergantung orang lain Tanda : tidak mampu mempertahankan penampilan, kebiasaan personal yang kurang, kebiasaan pembersihan buruk, lupa untuk pergi kekamar mandi, lupa

langkah-langkah untuk buang air, tidak dapat menemukan kamar mandi dan kurang berminat pada atau lupa pada waktu makan: tergantung pada orang lain untuk memasak makanan dan menyiapkannya dimeja, makan, menggunakan alat makan. 10. Neurosensori Gejala : Pengingkaran terhadap gejala yang ada terutama perubahan kognitif, dan atau gambaran yang kabur, keluhan hipokondria tentang kelelahan, pusing atau kadang-kadang sakit kepala. adanya keluhan dalam kemampuan kognitif, mengambil keputusan, mengingat yang berlalu, penurunan tingkah laku ( diobservasi oleh orang terdekat). Kehilangan sensasi propriosepsi ( posisi tubuh atau bagian tubuh dalam ruang tertentu ). dan adanya riwayat penyakit serebral vaskuler/sistemik, emboli atau hipoksia yang berlangsung secara periodik ( sebagai faktor predisposisi ) serta aktifitas kejang ( merupakan akibat sekunder pada kerusakan otak ). Tanda : Kerusakan komunikasi : afasia dan disfasia; kesulitan dalam menemukan kata- kata yang benar ( terutama kata benda ); bertanya berulangulang atau percakapan dengan substansi kata yang tidak memiliki arti; terpenggalpenggal, atau bicaranya tidak terdengar. Kehilangan kemampuan untuk membaca dan menulis bertahap ( kehilangan keterampilan motorik halus ). 11. Kenyamanan Gejala : Adanya riwayat trauma kepala yang serius ( mungkin menjadi faktor predisposisi atau faktor akselerasinya), trauma kecelakaan ( jatuh, luka bakar dan sebagainya). Tanda : Ekimosis, laserasi dan rasa bermusuhan/menyerang orang lain 12. Interaksi sosial Gejala : Merasa kehilangan kekuatan. faktor psikososial sebelumnya; pengaruh personal dan individu yang muncul mengubah pola tingkah laku yang muncul. Tanda : Kehilangan kontrol sosial,perilaku tidak tepat. 13. Pemeriksaan Fisik

Keadaan umum: Klien dengan penyakit Alzheimer umumnya mengalami penurunan kesadaran sesuai dengan degenerasi neuron kolinergik dan proses senilisme. Adanya perubahan pada tanda-tanda vital, meliputi bradikardi, hipotensi, dan penurunan frekuensi pernafasan. Pengkajian Saraf kranial. Pengkajian saraf ini meliputi pengkajian saraf kranial I-XII : a. Saraf I. Biasanya pada klien penyakit alzherimer tidak ada kelaianan fungsi penciuman b. Saraf II. Tes ketajaman penglihatan mengalami perubahan, yaitu sesuai dengan keadaan usia lanjut biasanya klien dengan alzheimer mengalami keturunan ketajaman penglihatan c. Saraf III, IV dan VI. Biasanya tidak ditemukan adanya kelainan pada saraf ini d. Saraf V. Wajah simetris dan tidak ada kelainan pada saraf ini. e. Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal f. Saraf VIII. Adanya tuli konduktif dan tuli persepsi berhubungan proses senilis serta penurunan aliran darah regional g. Saraf IX dan X. Kesulitan dalam menelan makanan yang berhubungan dengan perubahan status kognitif h. Saraf XI. Tidak atrofi otot strenokleidomastoideus dan trapezius. i. Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada vasikulasi dan indera pengecapan normal

B. Masalah-masalah Akibat Perubahan Sistem Persarafan Pada Lansia Menua (menjadi tua) adalah suatu proses menghilangnya secara perlahanlahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki dari atau mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang di derita Proses menua merupakan proses yang terus menerus (berlanjut) secara ilmiah. Dimulai sejak lahir dan umumnya dialami pada semua makhluk hidup. Proses menua setiap individu pada organ tubuh juga tidak sama cepatnya. Adakalanya orang belum tergolong lanjut usia (masih muda) tetapi kekurangan

kekurangannya

yang

menyolok

(deskripansi).

Adapun

masalah-masalah

perubahan sistem persarafan pada lansia adalah sebagai berikut, yaitu : 1. Gangguan pola istirahat tidur Seringkali lansia mengalami perubahan pola tidur atau

perbandiangan bangun dan pengaturan suhu pada lansia. Keluhan utama pada lansia sebenarnya adalah lebih banyak terbangun pada dini hari dibandingkan dengan gangguan dalam tidur. Gangguan pola tidur dan pengaturan suhu terjadi akibat adanya penurunan pada hypothalamus pada lansia. 2. Gangguan gerak langkah (GAIT) Pada usia lanjut secara fisiologik terdapat perubahan gerak langkah menjadi lebih pendek dengan jarak kedua kaki lebih lebar, rotasi pinggul menurun dan gerak lebih lambat (Hadi Martono, 1992). Keadaan ini sering diperberat oleh gangguan mekanik akibat penyakit yang menyertai, antara lain adanya arthritis, deformasi sendi, kelemahan fokal atau menyeluruh, neuropati, gangguan visual atau vestibuler atau gangguan integrasi di SSP (Friedman, 1995). 3. Gangguan persepsi sensori Perubahan sensorik terjadi pada jalur sistem sensori dimulai dari reseptor hingga ke korteks sensori, merubah transmisi atau informasi sensori. Pada korteks lobus parietal sangat penting dalam interpretasi sensori dengan pengendaian penglihatan, pendengaran, rasa dan regulasi suhu. Hilang atau menurunnya sensori rasa nyeri, temperature dan rabaan dapat menimbulkan masalah pada lansia. 4. Gangguan eliminasi BAB dan BAK Perubahan sistem saraf pada lansia juga sering terjadi pada sistem pencernaan maupun pada sistem urinari. Hal ini disebabkan karena pada lansia terjadi penurunan sistem saraf perifer, dimana lansia menjadi tidak mampu untuk mengontrol pengeluaran BAB maupun BAK, sehingga bisa menimbulkan beberapa masalah, seperti konstipasi, obstipasi,

inkontinensia urin, dll. 5. Kerusakan komunikasi verba

Pada lansia sering terjadi kerusakan komunikasi verbal, hal ini disebabkan karena terjadi penurunan atau ketidakmampuan untuk menerima, memproses, mentransmisikan dan menggunakan sistem simbol. Adapun yang menjadi penyebab lain masalah tersebut dikarenakan terjadinya perubahan pada persarafan di sekitar wajah. seperti mandi, berpakaian, toileting, berpindah, kontinen, dan makan (Kart, 1963).

Pengukuran pada kondisi ini meliputi Indeks Katz 1 Mandi Dapat mengerjakan sendiri 2 Berpakaian Seluruhnya tanpa bantuan 3 Pergi toilet ke Dapat mengerjakan sendiri 4 Berpindah (berjalan) 5 BAB BAK dan Dapat mengontrol Kadang-kadang ngompol / defekasi di tempat tidur 6 Makan Tanpa bantuan Dapat makan sendiri Seluruhnya dibantu Tanpa bantuan Dengan bantuan Tidak melakukan Dibantu seluruhnya dapat Sebagian/ pada bagian Seluruhnya tertentu dibantu Memerlukan bantuan bantuan Tidak dapat pergi ke WC dengan Sebagaian/pada tertentu dibantu bagian Sebagian besar/

seluruhnya dibantu

kecuali hal-hal tertentu

Klasifikasi: A : Mandiri, untuk 6 fungsi B : Mandiri, untuk 5 fungsi C : Mandiri, kecuali untuk mandi dan 1 fungsi lain. D : Mandiri, kecuali untuk mandi, bepakaian dan 1 fungsi lain

E : Mandiri, kecuali untuk mandi, bepakaian, pergi ke toilet dan 1 fungsi lain F : Mandiri, kecuali untuk mandi, bepakaian, pergi ke toilet dan 1 fungsi lain G : Tergantung untuk 6 fungsi. Keterangan: Mandiri: berarti tanpa pengawasan, pengarahan, atau bantuan aktif dari orang lain. Seseorang yang menolak melakukan suatu fungsi dianggap tidak melakukan fungsi, meskipun dianggap mampu.

Pengkajian status kognitif/afektif (status mental) Pemeriksaan status mental memberikan sampel perilaku dan kemampuan mental dalam fungsi intelektual. Pemeriksaan singkat terstandarisasi digunakan untuk mendeteksi gangguan kognitif sehingga fungsi intelektual dapat di uji melalui satu/dua pertanyaan untuk masing-masing area. Saat instrumen skrining mendeteksi terjadinya gangguan, pemeriksaan lebih lanjut kemudian akan dilakukan.

Short portable mental status questionnaire (SPMSQ) Digunakan untuk mendeteksi adanya tingkat kerusakan intelektual. Pengujian terdiri dari 10 pertanyaan yang berkenaan dengan orientasi, riwayat pribadi, memori dalam hubungannya dengan kemampuan perawatan diri, memori jauh, dan kemampuan matematis atau perhitungan (Pfeiffer, 1975).

Dengan memandang proses penuaan dari perspective yang luas dapat membimbing kearah strategi yang lebih kreatif untuk melakukan intervensi terhadap lansia. Perubahan structural yang paling terlihat terjadi pada otak itu sendiri, walaupun bagian lain dari system saraf pusat juga terpengaruh. Perubahan ukuran otak yang di akibatkan oleh atropi girus dan dilatasi sulkus dan ventrikel

otak. Korteks serebral adalah daerah otak yang paling besar dipengaruhi oleh kehilangan neuron. Penurunan aliran darah serebral dan penggunaan oksigen juga telah diketahui akan terjadi selama proses penuaan. Perubahan dalam system neurologis dapat termasuk kehilangan dan penyusutan neuron, dengan potensial 10% kehilangan yang diketahui pada usia 80 tahun. Penurunan dopamine dan beberapa enzim dalam otak pada lansia berperan terhadap terjadinya perubahan neurologis fungsional. Secara fungsional, mungkin terdapat suatu perlambatan reflek tendon profunda. Terdapat kecendrungan kearah tremor dan langkah yang pendek-pendek atau gaya berjalan dengan langkah kaki melebar disertai dengan berkurangnya gerakan yang sesuai. Fungsi system saraf otonom dan simpatis mungkin mengalami enurunan secara keseluruhan.

Vous aimerez peut-être aussi