Vous êtes sur la page 1sur 8

Filsafat IPA

Scientific Attitude

Dosen: Prof. Dr. Suyono, M.Pd

Nama kelompok: 1. Khimayaturrosyida arfi 2. Fenty wiyana puspita 3. Firdas aviantri 12030234003 / kimia A 2012 12030234207 / kimia A 2012 12030234213 / kimia A 2012

Universitas Negeri Surabaya Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Jurusan Kimia 2014

KATA PENGANTAR

Rasa syukur yang dalam kami sampaikan ke hadiran Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat-Nya makalah ini dapat kami selesaikan sesuai yang diharapkan. Dalam makalah ini kami membahas Sikap Ilmiah, sikap ilmiah ialah merupakan suatu pandangan seseorang terhadap cara berpikir yang sesuai dengan metode keilmuan. Makalah ini dibuat untuk suatu ilmu pengetahuan yang cermat, tidak hanya menggunakan salah satu metode saja. Ilmu pengetahuan lainnya seperti fisika dan kimia menitikberatkan pada eksperimen. Sehingga timbullah kecenderungan untuk menerima ataupun menolak terhadap cara berpikir yang sesuai keilmuan tersebut. Demikian makalah ini saya buat semoga bermanfaat,

Surabaya, 12 Februari 2014 Penyusun

SIKAP ILMIAH A. Sikap Ilmiah Yang dimaksud dengan sikap ilmiah ialah, merupakan suatu pandangan seseorang terhadap cara berpikir yang sesuai dengan metode keilmuan, sehingga timbullah kecenderungan untuk menerima ataupun menolak terhadap cara berpikir yang sesuai dengan keilmuan tersebut. Seorang ilmuwan harus memiliki sikap yang positif , atau kecenderungan untuk menerima cara berpikir yang sesuai dengan metode keilmuan, yang dimanifestasikan di dalam kognisinya, emosi atau perasaannya, serta di dalam perilakunya. Ada beberapa sikap ilmiah yang perlu dimiliki oleh seorang ilmuwan seperti yang dikemukakan oleh Prof. Drs. Harsojo sebagai berikut : 1) Obyektivitas 2) Sikap serba relatif 3) Sikap skeptif 4) Kesabaran intelektual 5) Kesederhanaan 6) Sikap tidak memihak kepada etik 1). Obyektivitas Seorang ilmuwan harus memiliki sikap obyektif, artinya bahwa ia berpikir harus sesuai dengan obyeknya, dengan peristiwa, atau benda-benda yang memang ia pelajari, yang ia selidiki. Tidak keluar dari apa yang ada pada obyek yang ia pelajari. Seorang ilmuwan berpikir obyektif, akan menjauhkan penilaian yang subyektif yang dipengaruhi nilai-nilai kedirian, keinginan, harapan-harapan, serta dorongandorongan pribadinya. Begitu juga suatu kesimpulan hasil penelitian akan bersifat obyektif, apabila hasil-hasil penelitian tersebut, tidak dipengaruhi oleh : pandangan hidup, ras, agama, kebudayaan, faktor-faktor politik. Sikap obyektif dalam ilmu-ilmu sosial akan lebih sulit dibandingkan dengan ilmu-ilmu kealaman. Ilmu-ilmu sosial yang menjadi lapangan penelitiannya adalah manusia, yang menyangkut obyek-obyek, peristiwa-peristiwa, serta masalah-masalah sosial lainnya yang banyak menyangkut masalah pribadi, masalah status, masalah kelangsungan hidup, keselamatan hidup pribadi dan lain sebagainya. Karena itu penguasaan emosi merupakan faktor utama dalam penelitian ilmu-ilmu sosial.

2). Sikap Relatif Lawan dari relatif adalah mutlak dan abadi. Sikap relatif merupakan suatu keharusan dalam ilmu, karena ilmu hanya berhubungan dengan dunia fenomena yang penuh dengan perubahan, selalu mengalami perkembangan. Ilmu tidak mencoba mencari sesuatu yang mutlak. Yang mutlak bukan lapangan ilmu, itu dipelajari pada filsafat yang pada akhirnya akan bermuara kepada agama. Hal ini tidak berarti bahwa ilmu harus dipisahkan dari filsafat apalagi dari agama. Dalam ilmu tidak mengenal kemutlakan, dalam arti apa yang dihasilkan ilmu sekarang, dapat digugurkan oleh hasil penemuan-penemuan barunya. Apalagi dalam ilmu-ilmu sosial sangat rawan kalau kita sampai kepada pengertian mutlak. Suatu hasil penelitian dapat diterapkan di Jawa Barat, namun belum tentu dapat diterapkan di Sulawesi, apalagi di luar Indonesia.

3). Sikap Skeptif Sikap skeptif, artinya memiliki pandangan yang ragu-ragu terhadap suatu ide. Menurut Rene Descartes keraguan itu tidak hanya kepada masalah-masalah yang belum cukup kuat dasar pembuktiannya, bahkan kepada ide yang telah kita miliki pun harus ragu-ragu. Maka karena itu seorang ilmuwan berhubungan dengan sikap skeptif ini, dia harus hat-hati dan teliti dalam mengambil suatu keputusan akhir, dalam memberikan pernyataan dan penilaian ilmiah. Dengan keraguan ini biasanya seorang ilmuwan akan lebih bersikap kritis terhadap sesuatu atau peristiwa, tidak akan mudah untuk mengikatkan dengan suatu paham atau politik tertentu.

4). Kesabaran Intelektual Suatu penelitian ilmiah mmerlukan kesabaran untuk mengumumkan hasinya tidak tergesa-gesa. Bekerja dalam ilmu harus sistematis, teliti dan tekun. Hal ini jangan ada suatu kesimpulan yang kontroversi sebagai contoh misalnya, para ahli lemari es dengan hasil eksperimennya yang begitu lama dan teliti, menghasilkan tabung yang berisi freon yang menurut sifatnya refrigeran freon yang beredar di pasaran (dalam lemari es) tdak beracun, tidak korosif, tidak iritasi, dan tidak tebakar dalam semua keadaan penggunaan.

5). Kesederhanaan Kesederhanaan merupakan sikap ilmiah, artinya sederhana dalam cara berpikir, dalam cara menyatakan, dalam cara membuktikan. Bahasa yang dipergunakan harus jernih, jelas dan terang, tidak menggambarkan emosional peneliti yang akhirnya dapat mengaburkan hasil penelitiannya sendiri.

6). Tidak Memihak Kepada Etik Ilmu tidak mengadakan penilaian tentang baik dan buruknya sesuatu yang diteliti. Ilmu hanya mengajukan deskripsi benar atau salah secara relatif. Misalnya seorang ahli fisika nuklir, sewaktu membuat bom nuklir tidak dipengaruhi oleh nilai etika tertentu, semata-mata dibina oleh kaidah-kaidah teknis akademis, dalam hal ini dibina oleh pengetahuan teknis dalam ilmu fisika. Dia tidak akan berhasil membuat bom atom seandainya dia memperhitungkan nilai-nilai politik, nilai religi, perhitungan psikologis, sosiologis, dan sebagainya. Namun pada akhirnya kalau ditanyakan bagaimana penggunaan bom itu, ia diharuskan mengambil sikap yang mengandung penilaian etik atau religi. (Drs. Burhanuddin salam,2005, hlm. 38)

B. Sikap ilmiah yang Harus Dimiliki Ilmuwan Ilmu bukanlah merupakan pengetahuan yang datang demikian saja sebagai barang yang sudah jadi dan datang dari dunia khayal. Aakan tetapi, ilmu merupakan suatu cara berpikir tentang sesuatu objek yang khas dengan pendekatan yang khas pula sehingga menghasilkan suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan yang ilmiah. Ilmiah dalam arti bahwa sistem dan struktur ilmu dapat

dipertanggungjwabkan secara terbuka. Oleh karena itu, ia rebuka untuk diuji oleh siapa pun. Pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang di dalam dirinya memiliki karakteristik kritis, rasional, logis, objektif, dan terbuka. Hal ini merupakan suatu keharusan bagi seorang ilmuwan untuk melakukannya. Nmun, juga menjadi masalah dasar yang dihadapi ilmuwan setelah ia membangun suatu yang kokoh dan kuat, yakni masaah kegunaan ilmu bagi kehidupan manusia. Memang tidak dapat disangkal bahwa ilmu telah membawa manusia ke arah perubahan yang cukup besar. Akan tetapi, dapatkah ilmu yang kokoh, kuat dan mendasar itu menjadi penyelamat

manusia bukan sebaliknya. Disinilah letak tanggung jawab seorang ilmuwan, masalah moral dan akhlak amat diperlukan. Manusia sebagai makhluk Tuhan bersama-sama dengan alam dan berada di dalam alam itu. Manusia akan menemukan pribadi dan membudayakan dirinya bilamana manusia hidup dalam hubungan dengan alamnya. Manusia yang merupakan bagian alam tidak hanya bagian yang terlepas darinya. Manusia senantiasa berintegrasi dengan alamnya. Sesuai dengan maratabatnya, manusia yang merupakan bagian alam harus senantiasa menjadi pusat dari alam itu. Dengan demikian, tampaklah bahwa diantara manusia dengan alam ada hubungan yang bersifat keharusan dan mutlak. Oleh sebab itu, manusia harus senantiasa menjaga kelestarian alam dalam keseimbangannya yang bersifat mutlak pula. Kewajiban ini merupakan kewajiban moral tidak saja sebagai manusia biasa lebih-lebih seorang ilmuwan dengan senantiasa menjaga kelestarian dan keseimbangan alam yang juga bersifat mutlak. Para ilmuwan sebagai otrang yang profesional dalam bidang keilmuwan tentu perlu memiliki visi moral khusus sebagai ilmuwan. Moral inilah di dalam filsafat ilmu disebut sikap ilmiah. (Abbas Hamami M.,dala Tim Dosen Filsafat Ilmu Fak. Filsafat UGM, 1996) Sikap ilmiah harus dimiliki oleh setiap ilmuwan. Karena sikap ilmiah adalah suatu sikap yang diarahkan untuk mencapai pengetahuan ilmiah yang bersifat objektif. Sikap ilmiah yang perlu dimiliki para ilmuwan menurut Abbas Hamami M., (1996) sedikitnya ada enam, yaitu sebagai berikut : 1). Tidak ada rasa pamrih (disinterastedness), artinya suatu sikap yang diarahkan untuk mencapai pengetahuan ilmiah yang objektif dengan menghilangkan pamrih atau kesenangan pribadi. 2). Bersikap selektif, yaitu suatu sikap yang bertujuan agar para ilmuwan mampu mengadakan penilihan terhadap berbagai hal yang dihadapi. Misalnya hipotesis yang beragam, metodologi yang menunjukkan kekuatannya masing-masing, atau cara penyimpulan yang satu cukup berbeda walaupun masing-masing menunjukkan akurasinya. 3). Adanya rasa percaya yang layak baik terhadap kenyataan maupun terhadap alatalat indra serta budi (mind).

4). Adanya sikap yang berdasar pada suatu kepercayaan (belief) dan dengan merasa pasti (conviction) bahwa setiap pendapat atau teori yang terdahulu telah mencapai kepastian. 5). Adanya suatu kegiatan rutin bahwa seorang ilmuwan harus selalu tidak puas terhadap penelitian yang telah dilakukan sehingga selalu ada dorongan untuk

riset dan riset sebagai aktivitas yang menonjol dalam hidupnya. 6). Seorang ilmuwan harus memiliki sikap etis (akhlak) yang selalu berkehendak untuk mengembangkan ilmu untuk kebahagiaan manusia, lebih khusus untuk pembangunan bangsa dan negara. (Drs. Surajiyo, 2005, hlm.85) Norma-norma umum bagi etika keilmuwan sebagaimana yang dipaparkan secara normatif tersebut berlaku bagi semua ilmuwan. Hal ini karena pada dasarnya seorang ilmuwan tidak boleh terpengaruh oleh sistem budaya, sistem politik, sistem tradisi, atau apa saja yang hendak menyimpangkan tujuan ilmu. Tujuan ilmu yang dimaksud adalah objektivitas yang berlaku secara universal dan komunal. Disamping sikap imiah berlaku secara umum tersebut, pada kenyataannya masih ada etika keilmuan yang secara spesifik berlaku bagi kelompok ilmuwan tertentu. Misalnya, etika kedokteran, etika bisnis, etika politis, serta etika-etika profesi lainnya yang secara normatif berlaku dan dipatuhi oleh kelompoknya itu. Taat asas dan patuh terhadap norma etis yang berlaku bagi para ilmuwan diharapkan akan menghilangkan kegelisahan serta ketakutan manusia terhadap perkembangan ilmu dan teknologi. Bahkan diharapkan manusia akan semakin percaya pada ilmu yang membawanya pada suatu keadaan yang mebahagiakan dirinya sebagai manusia. Hal ini sudah tentu jika pada diri para ilmuwan tidak ada sikap lain kecuali pencapaian objektivitas demi kemjuan ilmu untuk kemanusiaan.

Daftar pustaka

Bertens, K, DR dan Nugroho A.A, Drs. 1985. Susunan Ilmu Prngetahuan, Sebuah Pengantar Filsafat Ilmu. Jakarta: Gramedia.

Burhanuddin Salam, Drs. 2005. Pengantar Filsafat. Cetakan keenam. Jakarta: PT. Bumi Aksara.

Surajiyo, Drs.2005. Ilmu Filsafat, Suatu Pengantar. Cetakan pertama. Jakarta: PT. bumi Aksara.

Syafiie, Inu kencana. 2004. Pengantar Filsafat . Bandung : PT. Refika Aditama.

Vous aimerez peut-être aussi