Vous êtes sur la page 1sur 22

Seminar Nasional

PENINGKATAN DAYA SAING AGRIBISNIS BERORIENTASI


KESEJAHTERAAN PETANI
Bogor, 14 Oktober 2009













Strategi Peningkatan Daya Saing Agribisnis Kopi
Robusta dengan Model Daya Saing Tree Five
oleh
Soetriono



















PUSAT ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN
DEPARTEMEN PERTANIAN
2009

1
STRATEGI PENINGKATAN DAYA SAING AGRIBISNIS KOPI ROBUSTA
DENGAN MODEL DAYA SAING TREE FIVE

Competitiveness Acceleration Strategy on Robusta Coffee Bean Agribusiness with
Competitiveness Tree Five Model

Soetriono

Program Studi Agribinsis Pasca Sarjana Universitas Jember

ABSTRACT

The research aimed to study, to predict, and to formulate the competitiveness of
Robusta coffee bean commodity for harmonization of the effort to overcome problems
related to various gaps such as production aspects, input-output demand, agro-industry,
and government policies. The samples of research were taken from East J ava Province
(Kabupaten Malang and J ember) and Lampung Province (Kabupaten Tanggamus). The
methods of data analysis used Risk Analysis, Supply and Demand, Policy Analysis Matrix
(PAM), Tree Five Competitiveness, and policy simulation. The results of the research
showed that: from the side of supply, the production of Robusta coffee bean should
consider some factors, such as the number of coffee bean production in Indonesia, the
price of fertilizer in the country, the government policy of protection that were less support
to the competitiveness acceleration; from the demand perspective, there is a significant
opportunity in coffee post harvest processing (i.e. coffee powder) demand in the domestic
and world market; from the environment and farming business perspective, it is
considered as monoculture and has not yet applied suggested technical culture, the
awareness of smallholders about genuine seed variety is low, most of coffee tree is very
old/damage and infected by plant diseases. Also, coffee commodity is just processed in the
primary level (i.e. dry coffee bean) meanwhile downstream product processing has not yet
been conducted significantly; from the policy perspective, it is concluded that the
government support in the domestic policy is lacking (shown by the coefficient of DRC is
better than PCR, the coefficient of NPCO and SRP is not supporting the competitiveness
acceleration if they are compared to the world price). But, the coefficient of NPCI of the
government policy has contributed a significant support for the competitiveness
acceleration and; from the social perspective, it is shown that the smallholders is
dominantly risk neutral or safety first.

Key words : policies and competitiveness

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari, meramalkan dan merumuskan daya
saing komoditas kopi robusta sehingga diharapkan akan memperoleh keselarasan langkah
sebagai upaya mengatasi masalah-masalah yang berkaitan dengan berbagai kesenjangan,
baik dari aspek produksi, permintaan input output, agroindustri dan kebijakan pemerintah.
Lokasi penelitian di J awa Timur (Kabupaten Malang dan J ember) dan Propinsi
Lampung Kabupaten Tanggamus, dengan menggunakan analisis Risiko, Permintaan dan
Penawaran, Policy Analysis Matrix (PAM), Daya Saing Tree Five, dan simulasi kebijakan.
Hasil penelitian menunjukkan dari sisi penawaran, produksi kopi robusta sejogjanya
memperhatikan factor jumlah produksi kopi Indonesia, harga pupuk didalam negeri,

2
kebijakan protektif pemerintah yang kurang mendukung percepatan daya saing; sisi
permintaan, adanya peluang yang sangat besar terhadap permintaan kopi di pasar
domestik dan dunia; sisi lingkungan dan peluang usahatani, sebagaian besar diusahakan
secara monokultur dan belum menerapkan kultur teknis yang sesuai dengan anjuran,
kesadaran petani akan benih unggul bermutu masih rendah, sebagian tanaman kopi sudah
tua/rusak, terserangnya hanya penyakit. Selain itu produk kopi baru diolah pada tingkat
primer yaitu berbentuk biji kopi kering, sedangkan pengolahan produk hilirnya belum
banyak dilakukan. Sisi kebijakan domestik, kurang dukungan dari pihak pemerintah dilihat
dari koefisien DRC lebih baik dari PCR, koefisien NPCO dan SRP kurang mendukung
percepatan daya saing apabila dibandingkan dengan harga yang sesungguhnya, namun dari
koefisien NPCI kebijakan pemerintah memberikan dukungan yang berarti demi percepatan
daya saing dan; dari sisi social dapat di lihat dari perilaku petani netral risiko atau safety
first

Kata kunci : kebijakan dan daya saing


PENDAHULUAN

Kopi merupakan salah satu komoditas andalan perkebunan yang mempunyai
kontribusi cukup nyata dalam perekonomian Indonesia, yaitu sebagai penghasil devisa,
sumber pendapatan petani, penghasil bahan baku industri, penciptaan lapangan kerja dan
pengembangan wilayah (Dirjen Perkebunan, 2006). Pada tahun 2005 Indonesia
mengekspor kopi robusta sebesar 4.847 ribu karung atau 17,25% dari ekspor kopi robusta
dunia. Namun beberapa tahun terakhir telah tergeser oleh Vietnam, yang pada tahun 2005
pangsa pasar kopi robustanya telah mencapai lebih dari 50% dari perdagangan kopi
robusta dunia sebesar 14.642 ribu karung, sehingga Indonesia tergeser pada posisi ke
empat setelah Brazil, Vietnam dan Columbia.
Tingkat produktivitas di Indonesia saat ini mencapai rata-rata sebesar 700 kg biji
kering per hektar per tahun, baru mencapai 60% dari potensi produkstivitas yang
dimilikinya. Tingkat produktivitas tanaman kopi Indonesia juga lebih rendah jika
dibandingkan dengan Negara produsen utama kopi dunia lainnya, seperti Vietnam (1.540
kg/ha/th), Columbia (1.220 kg/ha/thn) dan Brazil (1.000 kg/ha/th). Apabila ditinjau dari
arah kebijakan umum pengembangan kopi tidak terlepas dari kebijakan umum
pembangunan perkebunan, yaitu memberdayakan di hulu dan memperkuat di hilir guna
menciptakan peningkatan nilai tambah dan daya saing komoditi kopi, dengan memberikan
intensif, penciptaan iklim usaha yang kondusif dan peningkatan partisipasi seluruh
stakeholder serta penerepan organisasi modern yang berlandaskan pada penerapan IPTEK
(Dirjen Perkebunan, 2006). Selanjutnya Suryana (2006) mengatakan bahwa arah
penelitian dan pengembangan perkopian ditujukan kepada pekebun miskin dimana
terbangunnya landasan penelitian dan pengembangan perkopian yang berbasis kepada
masyarakat kebun (individu atau kelompok) itu sendiri dengan menawarkan teknologi,
produktivitas, peningkatan daya saing dan agribisnis terpadu yang dapat memperbaiki
kesejahteraan keluarga pekebun.
Guna mendorong keberlanjutan perkopian nasional yang tangguh di masa
mendatang maka diperlukan kegiatan penelitian dan pengembangan yang dapat
menghasilkan strategi pencapaian daya saing agribisnis kopi dipasar domestik dan dunia.
Daya saing tersebut tidak hanya mengandalkan aspek-aspek keunggulan komparatif yang
inklusif terdapat dalam komoditas tersebut namun harus dipandang secara holistik
keunggulan komparatif, keunggulan kompetitif dan kebijakan pemerintah dalam
pengusahaan agibisnis kopi robusta dengan penerapan daya saing tree five.
Konsep daya saing tree five (Soetriono, 2004), akan digunakan dalam kajian ini,
dimana tree five merupakan penyempurnaan dan kombinasi dari beberapa teori daya saing
terdahulu, diantaranya dari Teori Pra Klasik (Merkantilisme), Teori Klasik Adam Smith
dan David Ricardo, Teori Modern Hecksher-Ohlin, Alternative Teori oleh M. Porter
(Competitive Advantage) dan R.D Aveni (Hyper Competitive). Daya saing tree five dapat
dlilustrasikan pada Gambar 1.
















DAYA
SAING
Lingkungan
Permintaan Usahatani
Kebijakan Domestik Ekonomi
Sosial Peluang Pasar
Kebijakan Internasional
Gambar 1. Bagan Daya Saing Three Five (Soetriono, 2004)


Gambar 1 memberikan ilustrasi bahwa, persoalan daya saing kopi robusta bukan
saja di sebabkan oleh faktor internal tetapi juga faktor eksternal, dimana faktor internal
tersebut, antara lain: 1). Usahatani yang terdiri dari share holder tenaga kerja, bibit,
pupuk, obat-obatan, modal, risiko, pesaing dalam mengusahakan komoditas kopi,
sumberdaya alam dan teknologi yang digunakan. 2) Permintaan konsumen langsung dan
agroindustri yang dapat memberikan nilai tambah dan keunggulan komparatif
berkelanjutan (SCA) seperti yang diutarakan oleh DAveni, 1992. 3) Lingkungan
agroekologi, sarana prasarana, transportasi dan jenis pasar yang dihadapi. Sedangkan
faktor eksternal yang dapat menyebabkan daya saing komoditas kopi antara lain : 1)

3

4
kebijakan internasional yang terdiri dari kondisi perekonomian, pasar kopi internasional,
kesepakatan internasional dan politik perdagangan negara pemasok. 2) kondisi sosial
ekonomi masyarakat petani kopi dalam negeri dan internasional. 3) peluang pasar
domestik dan internasional, dan 4) kebijakan domestik (politik, keberadaan ekonomi
negara dan keperpihakan terhadap petani dan pengrajin agroindustri kopi), dan 5) kondisi
perekonomian domestik.
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari, meramalkan dan merumuskan daya saing
komoditas kopi robusta sehingga dapat memperoleh model percepatan daya saing, baik
ditinjau dari aspek produksi, permintaan input output, agroindustri, permitaan dan
penawaran di tingkat domestik maupun pasar internasional dan kebijakan pemerintah di
masa akan datang.

METODOLOGI

Daerah penelitian ditentukan dengan (purposive) (Nasir, 1989) berdasarkan
pertimbangan bahwa wilayah terpilih merupakan sentra produksi dan lokasi eksportir
terbesar, yaitu Lampung dengan kontribusi total produksi nasional 22,28%, luas 169.138
Ha, produksi 148.390 ton, dan J awa Timur dengan luas 44.150 Ha, produksi 18.994 ton,
kontribusi 2,85%. (Statistik Perkebunan Indonesia, 2006)
Penelitian ini terdiri dari atas beberapa analisis yaitu: analisis kelayakan usaha,
analisis risiko berdasarkan fungsi utilitas melalui pendekatan Certainty Equivalent
(Soetriono, 2004), Policy Analisis Matrix (PAM) (Monke dan Pearson, 1989), Matrik
Kebijakan di jelaskan pada Tabel 1.
Tabel 1. Matriks Analisis Kebijakan
B i a y a
U r a i a n
Revenue
Input
Tradeable
Input non
Tradeable
Profit
Harga Pasar A B C D
1

Harga Sosial E F G H
2


Pengaruh Divergensi dan
Kebijakan Efisien
I
3
J
4
K
5
L
6

PAM dapat memberikan informasi tentang profitabilitas, daya saing (keunggulan
komparatif dan keunggulan kompetitif) suatu komoditas serta dampak kebijakan
pemerintah terhadap sistem komoditas kopi robusta. Dari informasi tabel PAM di dapat
berbagai indikator analisis sebagai berikut:
1. Keuntungan Privat (D) =(A) -(B) -(C)
2. Keuntungan Sosial (SP)=(E) - (F) -(G)
3. Transfer Output (OT) =(A) - (E)

5
4. Transfer Input (IT)=(B)- (F)
5. Transfer Faktor (FT) =(C) - (G)
6. Transfer Bersih (NT) = (D) - (H)
7. Rasio Biaya Privat (PCR) atau KBSD
aktual
=C/ A -B
8. Rasio Biaya Sumberdaya Domestik atau KBSD
sosial
=G/ E-F
9. Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO) =A / E
10.Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI) =B / F
11.Koefisien Proteksi Efektif (EPC)=A-B / E-F
12. Koefisien Keuntungan (PC)=D/H
13. Ratio Subsidi bagi Produsen (SRP)=L/ E

Sedangkan untuk analisis simulasi daya saing dalam analisis PAM yang digunakan
untuk mengetahui seberapa jauh perubahan harga output, harga input (harga pupuk, harga
obat-obatan dan upah tenaga kerja), Swadoh Exhange Rate (SER), Nilai Tukar Rupiah (NTR),
tingkat produktivitas dan bea masuk (protektif) yang dapat mempengaruhi daya saing
komoditas kopi robusta. Selain analisis diatas masih menggunakan analisis permintaan dan
penawaran pasar kopi Indonesia menggunakan model ekonometrika dengan membangun
sistem persamaan simultan yang terdiri dari 14 persamaan struktural, 3 persamaan
identitas dan simulasi, dapat diformulasikan sebagai berikut.
a. Areal perkebunan kopi di Indonesia
API =a
0
+a
1
PPID +a
2
APIl +a
3
WD +a
4
IRI +a
5
T
keterangan:
API =Luas areal kopi
PPID =Harga kopi
APIL =Areal perkebunan kopi pada tahun sebelumnya
WD =Upah tenaga kerja
IRI =Nilai Tambah
T =periode waktu; 1 =1970,........35 =2005

b. Produktivitas kopi Indonesia
YPI =b
0
+b
1
KTD +b
2
IRI +b
3
CONPIINA
keterangan :
YPI =Produktivitas kopi
KTD =Kredit investasi
IRI =Nilai tambah kopi
CONPIINA =Konsumsi makanan

c. Ekspor Kopi
XPIINA =c
0
+c
1
PWPID +c
2
QPIINA +c
3
QXWPI +c
4
QMWPI
keterangan :
XPIINA =Ekspor kopi Indonesia
PWPID =Harga dunia
QPIINA =J umlah produksi kopi di Indonesia
QXWPI =J umlah ekspor dunia
QMWPI =J umlah impor dunia

6
d. Impor Kopi
QMPIINA =d
0
+d
1
PWPID +d
2
QXWPI +d
3
QMWPI +d
4
YPI +d
5
PFD +
d
6
PPID +d
7
IRI +d
8
POPINA +d
9
PGULD
keterangan :
QMPIINA =J umlah impor kopi Indonesia
PWPID =Harga Dunia
QXWPI =J umlah ekspor kopi dunia
QMWPI = J umlah impor kopi dunia
YPI =Produktivitas
PFD =Harga Pupuk
PPID =Harga Dunia
IRI =Nilai Tambah
POPINA =J umlah penduduk Indonesia
PGULD =Harga gula

e. Permintaan Kopi
DPI =(QPIINA +QMPIINA - XPIINA - STPIINA)
keterangan :
DPI =Permintaan kopi
QPIINA =J umlah poduksi kopi
QMPIINA =J umlah impor kopi
XPIINA =J umlah ekspor
STPIINA =Stock kopi

f. Harga Dunia
PWPID =f
0
+f
1
PWPIDL +f
2
REKSIMP
keterangan :
PWPID =Harga dunia
PWPIDL =Harga unia pada tahuns sebelumnya
REKSIMP =Rasio ekspor-impor

g. Penerimaan Kopi
NTKOPI = (QPPI-XPIINA)PPID +QMPIINA(PPI-PMPIINA.EFIINA) +
XPIINA.PXPIINA.EFIINA
keterangan :
NTKOPI =Penerimaan kopi
QPPI =J umlah produksi
XPIINA =ekspor kopi Indonesia
PPID =Harga kopi
QMPIINA =J umlah impor kopi
PPI =Harga kopi
PMPIINA =Harga impor
EFIINA =Nilai tukar
XPIINA =Ekspor kopi Indonesia

7
PXPIINA =Harga ekspor kopi Indonesia
EFIINA =Nilai tukar Indonesia

h. Penawaran Kopi
SDPIINA =n
0
+n
1
QPIINA +n
2
PPID +n
3
YPI +n
4
PFD +n
5
IRI
keterangan :
SDPIINA =Penawaran kopi Indonesia
QPIINA =J umlah produksi kopi
PPID =Harga kopi
YPI =Produktivitas
PFD =Harga pupuk
IRI =Nilai tambah

Simulasi model dilakukan dengan simulasi peramalan untuk periode 1970-2005 (historical
simulation). Simulasi bertujuan untuk mengevaluasi kebijakan masa lampau membuat
peramalan historis mengenai alternatif-alternatif kebijakan dengan harga pupuk 10%, 25%
dan penghapusan subsidi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil analisis, bahwa usahatani kopi robusta yang dilakukan petani di
tiga wilayah (Tanggamus, Malang dan J ember) layak secara finansial dan ekonomi untuk
diusahakan (lampiran 1), walau sudah dilaksanakan dalam kurun waktu 25 tahun, baik
secara monokultur maupun diversifikasi. Kreteria yang digunakan untuk kelayakan
investasi adalah NPV, B/C , Gross B/C, IRR dan PP, kelima kreteria serempak
menyatakan layak, namun masing-masing wilayah berbeda tingkat kelayakannya. Selain
itu masih adanya nilai divergensi antara kelayakan finansial dan ekonomi yang bernilai
positif dan/atau negatif, hal ini menunjukkan bahwa masih terdapatnya kebijakan
pemerintah yang dapat dan atau menghambat terjadinya percepatan daya saing ditinjau
dari analisis kelayakan finansial dan ekonomi. Hal ini senada dengan ilustrasi
perkembangan harga kopi dunia di dua daerah (Malang dan J ember) yang mempunyai
harga di tingkat dunia lebih tinggi dibandingkan dengan harga domestik, sehingga petani
mempunyai pasar potensial ke pasar dunia. Sedangkan harga dipasar Lampung
mempunyai nilai penjualan lebih tinggi dibandingkan dengan harga dipasar dunia dari
tahun 1985 sampai dengan 2005. Analisis risiko usahatani petani menyatakan tidak berani
menanggung risiko, hal ini terbukti dengan curahan modal yang diberikan pada usahatani
terutama modal untuk biaya pemupukan sebagain besar petani tidak berani menanggung
risiko dalam berusahatani, sehingga dalam perolehan output yang dihasilkan (hasil kopi
ose) juga tidak menggembirakan apabila dibandingkan dengan tingkat produktivitas
potensial yang ada.

8
Analisis matrik kebijakan digunakan untuk mengukur daya saing, dampak
kebijakan pemerintah pada profitabilitas sistem produksi pertanian dan efisiensi
penggunaan sumberdaya. Berdasarkan Tabel 1 dan Lampiran 2, menunjukkan bahwa
sitem agribisnis kopi robusta di tiga wilayah mempunyai daya saing (keunggulan
kompetititf dan keunggulan komparatif), hal ini ditunjukan oleh koefisien PCR dan DRC,
dimana nilai PCR J ember =0,297, Malang =0,458 dan Lampung =0,498. Di wilayah
J ember memiliki PCR 0,297 yang berarti bahwa untuk menghasilkan satu-satuan nilai
tambah output pada harga privat diperlukan korbanan faktor sumberdaya domestik sebesar
0,703 satuan di J ember, bila disetarakan dengan nilai tukar resmi rupiah yang berlaku saat
itu terjadi penghematan devisa sebesar Rp. 6.424,41. Sedangkan untuk kabupaten Malang
memiliki nilai PCR 0,458 yang berarti bahwa untuk menghasilkan satu-satuan nilai
tambah output pada harga privat diperlukan korbanan faktor sumberdaya domestik sebesar
0,458 satuan atau Rp. 4.955,62, dan untuk Lampung = 0,498 berarti bahwa untuk
menghasilkan satu-satuan nilai tambah output pada harga privat diperlukan korbanan
faktor sumberdaya domestik sebesar 0,502 satuan atau sebesar Rp. 4.589,07 di Lampung.
Berdasarkan hasil analisa PCR, dapat jelaskan bahwa usahatani kopi robusta di wilayah
J ember menghasilkan produk kopi dengan kemampuan kompetisi yang lebih baik
dibanding dua wilayah lainnya. Hal tersebut dapat terjadi karena usahatani kopi robusta di
J ember dinilai lebih memiliki kesesuaian dengan lahan dan sumberdaya domestic sehingga
lebih efisien dalam pembiayaan usahatani.
Tabel 1. Nilai Koefisien Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Usahatani Kopi
Robusta di J ember, Malang dan Lampung Tahun 2007
PAM Ratio PCR DRC NPCO NPCI EPC PC SRP
J ember 0,297 0,217 0,824 0,702 0,835 0,749 -0,180
Malang 0,458 0,318 0,784 0,752 0,787 0,625 -0,237
Lampung 0,498 0,317 0,768 0,964 0,751 0,552 -0,282
Sumber: Data Primer diolah Tahun 2007

Dilihat dari sisi tradable input, usahatani kopi robusta di J ember, memiliki nilai
tradable input yang lebih besar dari kedua wilayah lainnya, namun hal ini tertutupi dengan
penerimaan (output) kopi robusta per hektar, yaitu sebesar Rp. 13.745.694. Tingginya
penerimaan petani dikarenakan oleh produktivitas cukup tinggi, yaitu berada pada kisaran
1,19 Ton per hektar. Sedangkan wilayah Malang, pembiayaan faktor domestik berupa
tenaga kerja tinggi, hal ini dikarenakan biaya tenaga kerja untuk pemeliharaan lahan cukup
tinggi. Kegiatan tersebut tercermin dari nilai faktor domestik tenaga kerja sebesar Rp.
3.199.312. Usahatani kopi di wilayah ini diusahakan di lereng-lereng gunung, sehingga
membutuhkan pemeliharan lahan yang intensif seperti rorak, terasering dan pembuatan
gandungan. Untuk lampung memiliki total faktor domestik terkecil dari kedua wilayah
lainnya, namun keunggulan kompetitifnya paling kecil. Kondisi ini diakibatkan oleh

9
penerimaan kopi yang rendah. Usahatani kopi robusta di wilayah Lampung menghasilkan
penerimaan/output sebesar Rp. 9.097.565, nilai tersebut adalah terkecil dibanding kedua
wilayah yang lain. Bila dikaitkan dengan nilai penggunaan faktor domestik tenaga kerja,
kondisi tersebut diakibatkan oleh kurang intensifnya pemeliharaan lahan. Kegiatan
pemeliharaan yang banyak dilakukan hanya penyiangan lahan. Hal ini dikarenakan
terbatasnya modal yang dimiliki petani. Kegiatan pemeliharaan seperti pemupukan dan
penyemprotan juga jarang dilakukan karena membutuhkan modal yang besar.
Tingkat efisiensi ekonomi yang dapat merefleksikan dengan keunggulan
komparatif kopi robusta ditunjukkan dengan koefisien DRC (Domestic Resource Cost),
dimana secara ekonomi memproduksi kopi dalam negeri lebih efisien dan menguntungkan
daripada melakukan impor. Hal ini ditunjukan oleh koefisien DRC di tiga wilayah lebih
kecil dari satu yaitu J ember 0,217, Malang 0,318, Lampung 0,317, koefisen ini
mengindikasikan usahatani kopi robusta di tiga wilayah tersebut dari segi ekonomi efisien
dalam menggunakan sumberdaya domestik (mempunyai keunggulan komparatif), sebab
untuk menghasilkan sebesar devisa satu-satuan hanya dibutuhkan biaya faktor domestik
0,217 satuan untuk J ember, 0,318 satuan untuk Malang dan 0,317 satuan untuk Lampung.
Nilai DRC ini juga menunjukkan presentase biaya produksi kopi dari biaya impor.
Sehingga jika pemenuhan permintaan kopi robusta itu dilakukan dari produksi di J ember
akan mampu menghemat devisa sebesar 78,3%, Malang 68,2% dan Lampung 68,3% dari
besarnya biaya impor yang di perlukan. Apabila nilai tersebut disetarakan dengan nilai
tukar bayangan (SER) sebesar Rp. 9.253,75., maka didapatkan penghematan sebesar Rp.
7244,01. untuk J ember, Rp. 6314,64 untuk Malang dan Rp. 6324,38 untuk Lampung.
Nilai keunggulan komparatif pada kisaran 0,217-0,317 yang menurut beberapa
ahli tergolong cukup tinggi. Hal ini dikarenakan harga dan produksi pada wilayah tersebut
cukup bagus. Terutama untuk wilayah jember yang memiliki produktivitas rara-rata per
hektar 1,190 Ton. Tingginya produktivitas kopi robusta, dikarenakan oleh pengelolaan
yang intensif, seperti pemupukan dan penyiangan. Pemberian pupuk yang lengkap, yaitu
Urea, TSP/SP-36, KCL dan ZA. Keempat pupuk ini dapat memberikan kualitas yang
bagus untuk tanaman kopi. Kegiatan usahatani kopi robusta yang dilakukan para petani
di tiga wilayah menyatakan adanya daya saing ditinjau dari nisbah sumberdaya domestik
maupun nisbah biaya privat. Dengan demikian campur tangan pemerintah pada usahatani
kopi robusta memberikan keunggulan kompetitif dan tanpa adanya kebijakan pemerintah
akan memberikan keunggulan komparatif. Apabila dibandingkan antara keduanya maka,
keunggulan komparatif lebih tinggi dibandingkan dengan keunggulan kompetitif, sehingga
mengisyaratkan nilai keuntungan sosial produsen kopi robusta lebih bagus bekerja pada
sistem pasar yang relatif bersaing dibandingkan dengan adanya kebijakan pemerintah.
Kebijakan pemerintah yang lain dapat dilihat dari NPCI yang menunjukkan bahwa,
produsen kopi menikmati proteksi untuk input tradble dari pemerintah berupa harga

10
pembelian input pupuk dan obat-obatan lebih rendah dari harga yang sebenarnya. Lain
halnya dengan input non tradable yang menyatakan bahwa tidak ada kebijakan pemerintah
yang mendukungnya, yaitu tidak ada divergensi untuk input pupuk kandang, sulaman dan
tenaga kerja. Dengan demikian peran pemerintah dirasakan oleh petani dalam pembelian
harga pupuk dan obat-obatan lebih rendah berkisar 8 persen sampai 27 persen. Namun
apabila dilihat dari kebijakan pemerintah yang menetapkan adanya subsidi pupuk sebesar
40% bagi petani dan pekebun rakyat, maka hal ini boleh dikatakan kurang efektifnya
kebijakan pemerintah tersebut, dikarenakan masih adanya divergensi antara kebijakan
yang ditelurkan dengan kondisi riil ekonomi yang ada.
Nominal proteksi coeffisen output diperoleh nilai yang tidak diinginkan oleh para
petani, dikarenakan harga output dalam negeri lebih rendah dibandingkan dengan harga
output dipasar internasional yaitu berkisar antara 17,6 persen sampai 23,5 persen lebih
rendah. Hal ini tidak sejalan dengan harga input tradable yang diperoleh oleh petani yang
lebih murah, akan tetapi harga outputnya juga lebih rendah dari harga yang sesungguhnya,
sehingga dapat dililustrasiikan kebijakan input tradable tidak berarti bagi petani karena,
harga output yang didapat petani lebih rendah berkisar 6,6 persen dari harga yang
sesungguhnya.
Pernyataan di atas didukung oleh kebijakan pemerintah terhadap input dan output
secara bersama yang ditunjukkan oleh nilai Profitability Coefisien (PC) berkisar 16,5
persen sampai dengan 34,9 persen lebih rendah dibandingkan dengan harga
susungguhnya, dengan kata lain bahwa kebijakan pemerintah menghambat nilai tambah
yang diperoleh oleh petani. Hal ini seirama dengan nilai profitabilitas koeffisien yang
mengindikasikan bahwa, kebijakan pemerintah secara menyeluruh belum atau bahkan
tidak memberikan dorongan terhadap perkembangan usahatani kopi robusta yang
diusahakan rakyat, yang ditunjukan oleh keuntungan privat lebih rendah dibandingan
dengan keuntungan sosialnya berkisar antara 25 persen sampai 44,8 persen. Hal ini
didukung oleh nilai subsidy ratio to producer yang menyatakan dengan adanya proteksi
pemerintah justru meningkatkan biaya produksi berkisar antara 18 persen sampai dengan
28,2 persen lebih mahal.
Analisis sensitivitas dilakukan untuk melihat seberapa besar sensitivnya biaya
produksi apabila ada kenaikan. Dari hasil analisis diperoleh dengan sensitivitas biaya
produksi upah tenaga kerja naik sampai dengan 60 persen, produktivitas kopi turun 5
persen, harga pupuk dan pestisida naik 25 persen, diperoleh nilai dari masing-masing
kebijakan tidak mempengaruhi secara signifikan keunggulan kompetitif, keunggulan
komparatif, proteksi pemerintah baik input dan output serta kebijakan secara menyeluruh
tetap pada kondisi semula yaitu, kebijakan pemerintah belum atau bahkan menghambat
perkembangan percepatan daya saing kopi robusta yang di usahakan oleh petani pekebun.

11
Analisis untuk mendukung percepatan daya saing yang terakhir adalah permintaan
dan penawaran dengan persamaan struktural yang menunjukan bahwa untuk persamaan
areal tanaman kopi dipengaruhi secara signifikan oleh areal tanaman kopi pada tahun
sebelumnya, produkstivitas dipengaruhi oleh kredit investasi secara negatif dan konsumsi
makanan secara positif (lampiran 3). Hasil persamaan ekspor kopi indonesia dipengaruhi
secara nyata oleh harga kopi dunia, hal ini sejalan dengan hasil analisis dari PAM, yang
menyatakan harga dunia (harga social) lebih mahal dibandingkan dengan harga domestik,
namun kebijakan pemerintah belum dapat memberikan stimulan terhadap percepatan ke
arah ekspor, hal ini ditunjukan oleh nilai keunggulan komparatif lebih tinggi dibandingkan
dengan keunggulan kompetitif, selain itu didukung oleh nilai NPCO dan SRP yang lebih
rendah dari nilai yang seharusnya. Pernyataan tersebut sejalan dengan keberadaan impor
kopi yang dilakukan oleh Indonesia dimana impor kopi dipengaruhi secara nyata oleh
harga kopi dunia dan harga pupuk. Sedangkan harga kopi dipengaruhi oleh harga kopi
pada tahun sebelumnya dan rasio ekspor-impor. Untuk ekspor kopi Brazil dipengaruhi
oleh ekspor Brazil dan jumlah produksi kopi Brazil pada tahun sebelumnya.
Penawaran kopi merupakan salah satu faktor penting dalam keragaan kopi yang
ada di pasar dunia. Penawaran kopi Indonesia dipengarhui oleh jumlah produksi kopi
Indonesia dan harga pupuk didalam negeri. Hal ini sejalan dengan kebijakan pemerintah
bahwa harga pupuk anorganik dalam negeri lebih rendah dibandingkan dengan harga
pupuk yang ada dipasar dunia, namun kebijakan tersebut belum efektif, dikarenakan masih
adanya divergensi yang nyata antara kebijakan yang ditelurkan dengan kondisi yang
sebenarnya, selain itu petani menggunakan pupuk organik yang belum tersentuh oleh
kebijakan pemerintah. Selain analisis di atas dilakukan simulasi dengan kenaikan harga
pupuk sebesar 10 persen dan 25 persen dengan hasil mempengaruhi penurunan luas areal,
peningkatan jumlah produktivitas tetapi terjadi penurunan produksi dikarenakan
penambahan produktivitas tidak sebanding dengan pengurangan areal tanaman kopi.
Sedangkan simulasi penghapusan subsidi pupuk sebesar 40 persen mempengaruhi
penawaran kopi Indonesia hanya dalam jumlah sedikit saja, hal ini sejalan dengan hasil
analisis sensitivitas pada PAM bahwa, kebijakan penghapusan subsidi pupuk tidak
berpengaruh secara nyata terhadap peningkatan pendapatan petani bahwa dengan adanya
proteksi pemerintah justru meningkatkan biaya produksi berkisar antara 18 persen sampai
dengan 28,2 persen lebih mahal.
Dari keragaan tersebut, sebaiknya pemerintah memberikan iklim yang lebih baik
untuk mendorong bergairahnya kegiatan agribisnis kopi robusta yang diusahakan oleh
rakyat, misalnya dengan melonggarkan akses keterbukaan wilayah serta peningkatan
ketrampilan teknis tenaga kerja di sektor produsen usahatani, sehingga pengeluaran untuk
upah sebanding dengan produktivitas marjinalnya. Secara makro, dorongan kearah
efisiensi ekonomi seharusnya terus menerus diberikan agar insentif kepada produsen

12
menjadi lebih terealisasikan sehingga pada gilirannya akan mendorong laju tumbuhnya
kegiatan kesubsistem hilir
Hasil analisis menunjukan bahwa daya saing dan efisiensi ekonomi untuk
usahatani kopi robusta di tiga wilayah (Tanggamus, Malang dan J ember) tidak terlalu peka
terhadap perubahan harga obat-obatan walau naik sampai dengan 25 persen, productivitas
turun sampai lima persen dan harga tenaga kerja naik sampai dengan 60 persen. Dengan
demikian dapat diperoleh kesimpulan bahwa persoalan investasi dan permodalan menjadi
faktor kunci untuk mendorong tumbuh berkembangnya kegiatan agribisnis kopi. Melihat
hasil analisis di atas memberikan gambaran bahwa usahatani kopi robusta yang dilakukan
petani masih mempunyai peluang dan menjajikan cukup besar untuk dikembangkan. Hal
ini dibuktikan dengan kondisi komoditas kopi robusta yang dihasilkan oleh petani masih
mempunyai daya saing. Selain itu pasar domestik masih cukup besar, lahan yang bisa
untuk budidaya kopi masih sangat luas terutama di luar J awa. Industri pengolahan kopi
berkembang hingga ke tingkat desa, serta ketersediaan benih dengan varietas yang punya
potensi genetika masih cukup baik.
Namun demikian, apabila dilihat dari sisi lemahnya dalam memacu peningkatan
produksi kopi dan productivitas masih belum bisa dilaksanakan dengan baik, lebih-lebih
dalam hal pemasaran masih melalui beberapa chanel yaitu pengumpul pertama,
pengumpul kedua, pengumpul ketiga dan eksportir. Berdasarkan hasil kajian dengan
menelusuri saluran pemasaran kopi ditiga wilayah menunjukkan terbentuk lima saluran
pemasaran dari total panen petani. Alur pemasaran pertama bergerak dari petani yang
menjual hasil panennya yaitu 22,15 persen ke pedagang pengumpul pertama, kemudian ke
pedagang pengumpul kedua, dilanjutkan ke pedagang pengumpul ketiga, dan terakhir ke
eksportir. Alur pemasaran kedua bergerak dari petani ke pedagang pengumpul kedua
yaitu sebesar 31,18% , dari pedagang pengumpul kedua kopi langsung dijual ke pedagang
pengumpul ketiga, dan terakhir ke eksportir. Pada alur pemasaran ketiga bergerak kopi
dari petani sebagai produsen yang menjual hasil panennya sebesar 43,89% langsung ke
pedagang pengumpul ketiga tanpa melalui pedagang pengumpul pertama dan kedua, yang
kemudian terakhir di teruskan ke eksportir. Saluran pemasaran yang kelima yaitu kopi
dari petani langsung mengalir ke pengolah hasil yaitu sebesar 2,77% dari total panen
petani responden.
Pada pedagang pengumpul kedua terbentuk dua aliran masuk yaitu yang berasal
langsung dari petani yaitu sebesar 33,18% dan dari pedagang pengumpul pertama yaitu
sebesar 5,08%, sehingga total pembelian pedagang pengumpul kedua yaitu sebesar
36,28% dari total hasil panen kopi petani. Kopi di tangan pedagang pengumpul kedua
kemudian dijual semua ke pedagang pengumpul ketiga, selain itu pedagang pengumpul
ketiga juga menerima pembelian kopi langsung dari petani yaitu sebesar 46,89% dan
sebesar 15,05% dari pedagang pengumpul pertama. Sehingga pada akhirnya bila
dijumlahkan maka pedagang pengumpul ketiga menerima 97,21% kopi hasil panen petani.
Dari pedagang pengumpul ketiga kopi dijual semua ke eksportir yang kemudian akan
diekspor ke mancanegara.
Pada saluran pemasaran kelima kopi petani mengalir langsung ke pengolah hasil
yaitu sebesar 1,78% dari kopi hasil panen petani responden. Kopi ini kemudian diolah
menjadi kopi bubuk yang kemudian akan dipasarkan secara lokal. Kecilnya bagian
produksi petani yang mengalir ke pengolah hasil dikarenakan masih rendahnya kapasitas
produksi pengolah lokal. Adapun saluran pemasaran kopi di tiga wilayah lebih jelasnya
dapat dilihat pada Gambar 2.

II I
Petani kopi Pedagang
pengumpul pertama

13












Gambar 2. Alur pemasaran kopi di di Tiga Wilayah Penelitian

Melihat dari sisi lemahnya tersebut, maka pemerintah diharapkan adanya suatu
kebijakan untuk ekspor yang notabene memiliki modal untuk berpartisipasi dalam
pengembangan komoditas kopi robusta yang terkait dengan agroindustri. Di sisi lain,
dibutuhkan dukungan kebijakan makro yang kondusif untuk memberikan perlindungan
kepada petani. Harus disadari meski pasar bebas dikembangkan dan segala proteksi
diminta untuk dihapuskan tetapi kenyataannya negara-negara lain bahkan negara
pengekspor tertinggi (Brazil, Vietnam dan Guatemala) sekalipun melakukan proteksi
terhadap petaninya dengan memakai berbagai label. Hal ini tergantung pada political will
para pengambil kebijakan, apakah benar-benar konsisten menjadikan pertanian khususnya
komoditas kopi robusta yang diusahakan oleh rakyat sebagai komoditas yang dapat
mengangkat harkat dan martabat petani domestik.
I
III
IV
V
Pedagang
pengumpul kedua
Pedagang
pengumpul ketiga
Eksportir
22,15%
%
5,08%
31,18%
15,05%
1,78%
36,28%
43,89%
97,21%
Pengolah hasil

14
KESIMPULAN

Bebarapa hal yang perlu dicermati dalam Strategi Peningkatan Daya Saing
Agribisnis Kopi Robusta dengan Model Daya Saing Tree Five antara lain:
a. Dari sisi usahatani atau penawaran produksi kopi robusta sejogjanya memperhatikan
factor jumlah produksi kopi Indonesia, harga pupuk didalam negeri, kebijakan
protektif pemerintah yang kurang mendukung percepatan daya saing, terbukti dengan
NPCO dan SRP yang mempunyai nilai lebih rendah dari nilai yang seharusnya, dan
juga didukung oleh nilai keunggulan komparatif lebih tinggi dari keunggulan
kompetitif.
b. Dari sisi permintaan, adanya peluang yang sangat besar terhadap permintaan kopi di
pasar domestik untuk proses lebih lanjut berupa kopi bubuk, namun kelembagaan
pasar yang ada kurang mendukung. Hal ini bisa di kuatkan dari sistem pemasaran
yang dilalui oleh petani masih perlu adanya pembenahan saluran pemasaran dan
hanya sekitar 1,78 persen yang diolah menjadi bahan siap saji. Permintaan dunia
masih terbuka lebar bagi kopi Indosensia terbukti dengan kebutuhan pasar dunia
semakin bertambah.
c. Dari sisi lingkungan dan peluang usahatani kopi robusta yang diusahakan oleh petani
sebagaian besar diusahakan secara monokultur dan belum menerapkan kultur teknis
yang sesuai dengan anjuran dari Pusat Penelitian kopi dan kakao, kesadaran petani
akan benih unggul bermutu masih rendah, sebagian tanaman kopi sudah tua/rusak,
terserangnya hanya penyakit. Selain itu produk kopi baru diolah pada tingkat primer
yaitu berbentuk biji kopi kering, sedangkan pengolahan produk hilirnya belum
banyak dilakukan. Padahal produk olahan tersebut memberikan nilai tambah yang
cukup tinggi dan menciptakan lapangan kerja. Disamping itu tanaman naungan yang
mempunyai nilai ekonomi belum banyak dilakukan oleh petani.
d. Dari sisi kebijakan internasional dan kebijakan domestik dapat disimpulkan bahwa
kebijakan domestik kurang adanya dukungan dari pihak pemerintah dilihat dari
koefisien DRC lebih baik dari PCR, koefisien NPCO dan SRP kurang mendukung
percepatan daya saing apabila dibandingkan dengan harga yang sesungguhnya,
namun dari koefisien NPCI kebijakan pemerintah memberikan dukungan yang berarti
demi percepatan daya saing.
e. Dari sisi sosial dapat di lihat dari perilaku petani netral risiko mendominasi di tiga
wilayah penelitian, hal ini mengisyaratkan bahwa petani kopi secara moral masih
berpola pikir safety first sehingga menjadikannya terlalu berhati-hati sehingga
productivitas juga belum mencapai optimal. Penelitian ini mengungkapkan hasil yang
tidak berbeda dengan Dillon dan Scandizo (1978) bahwa sebagian besar petani
cenderung netral risko untuk menghadapi situasi.

15
DAMPAK HASIL PENELITIAN KE DEPAN

1. Dari hasil kajian ini mengungkapkan bahwa adanya pengaruh positif perilaku petani
dengan tingkat efisiensi ekonomis. Untuk itu usaha peningkatan efisiensi dapat
dilakukan dengan meningkatkan perilaku petani agar dapat memperkirakan risiko yang
akan terjadi, untuk itu kebijakan dalam pemberian kompensasi terhadap perilaku
petani yang berani berisiko sangat dibutuhkan. Hal ini dapat diwujudkan melalui
tingkat adopsi inovasi secara keseluruhan dan penyediaan sarana prasarana produksi
yang murah dan tepat waktu.
2. Peningkatan produktivitas dengan memperhatikan faktor risiko, merupakan tindakan
yang perlu diperhatikan dalam jangka pendek dan terus diupayakan peningkatan
stabilitas hasil, penekanan kesenjangan hasil dan kehilangan saat panen.
3. Pelaksanaan pasar bebas (penghapusan subsidi dan proteksi) akan berdampak positif
terhadap konsumen, tetapi merupakan dis-insentif bagi produsen, dan impor kopi akan
meningkat secara nyata. Kebijakan penghapusan subsidi sarana produksi (pupuk dan
pestisida) dapat dipandang sebagai keputusan yang rasional secara teknis maupun
ekonomis, namun tetap harus diimbangi dengan kebijakan proteksi harga output atau
dan input sebesar 28,2% sampai 40 % yang dapat digunakan untuk mendorong adopsi
teknologi dan peningkatan produksi.
4. Guna mempercepat daya saing dapat dilakukan dengan perluasan areal kopi,
pemanfaatan bursa berjangka komoditas sesuai dengan UU No.32 tahun1997, industri
pengolahan kopi hulu dan hilir yang dapat menghasilkan produk sesuai permintaan
kopi dunia seperti Intstan Coffe dan Liquid coffe, serta peningkatan konsumsi dalam
negeri.

DAFTAR PUSTAKA
Dirjen Perkebunan, Deptan RI, 2006, Arah Kebijakan Pengembangan Kpi di Indonesia,
Simposium Kopi, Surabaya
Balassa, B, 1977, Revealed Comapartibe Advantage Revisited, p327 Manchester Scholl of
Economic and Sicial Studies
Cho, Dong Sung, 1994, From Adam smith to Michael Porter (Evolusi Teori Daya Saing),
Salemba Empat, J akarta
DAveni, Richard A, 1992, Hyper Competition: Managing The Dynaimics of Strategic
Maneuvening. New York, The Free Press
Direktorat J endral Perkebunan, Deptan RI, 2006, Arah Kebijakan Pengembangan Kopi di
Indonesia, Simposium Kopi, Surabaya
Dillon, J .L dan Scandizzo, P.L, 1976, Risk Attitudes of Subsistence in Northeast Brazil :
Sampling Approch. American J ournal of Agricultural Economics, Vol 60.

16
M. Nasir, 1989, Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, J akarta
Monke, Eric A dan Scott R Person, 1989, The Policy Analisys Matrix. A manual for
Practitioner, Office of Policy Development and Program Review Burau for
Program and Policy Coordination U.S Agency for International Development.
Washington DC
Monke, Eric A dan Scott R Person, 1989, The Policy Analisys Matrix for Agricultural
Development, Cornel University Press.
Moon, H, Chang, Alan M. Rugman dan Alain Verbeke, 1998, A Generalized Doble
Diamond Approach to the lobal Competitiveness of Korea and Singapure.
International Business Review, 7 : 135-150
Suryana, Acmad, 2006, Arah Penelitian dan Pengembangan Pertanian Dalam Mendorong
Perkopian nasional yang Tangguh, Simposium Kopi, Surabaya.
Soetriono, 2001, Studi Kebijakan Pertanian Terhadap Komoditas Tebu Guna Mendukung
Agribisnis, J urnal Agribisnis, Volume IV, No 2 dan Volume V, No 1, J UBC,
J ember
Soetriono, 2005, Daya Saing Pertanian Tinjauan Analisis, Bayu Media, Malang
Soetriono, 2006, Daya Saing Agrobisnis Tinjauan Makro Mikro Ekonomi Pertanian,
Pidato Pengukuhan Guru Besar, 31 Mei 2006, Universitas J ember, J ember
Soetriono dkk, 2007, Dampak Kebijakan Pemerintah dan Strategi Percepatan Daya Saing
Agribisnis Kopi Robusta, Lembaga Penelitian Universitas Jember, Sekertarian
Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanian


























17
Lampiran 1.

Tabel : Simpangan (Divergensi) Analisa Kelayakan Financial Dengan Kelayakan
Ekonomi Agribisbis Perkebunan Kopi Robusta.
Wilayah Uraian analisa financial analisa ekonomi divergensi
Lampung
Sukubunga 11,80% 24,49% -12,69%
Penerimaan 68.994.461 28.817.469 40.176.992
Investasi 8.697.589 5.454.772 3.242.816
B. Penggantian 4.176.725 2.136.247 2.040.478
B. Operasional 21.464.992 8.426.666 13.038.327
Pajak 230.592 0 230.592
Kriteria Investasi
NPV 40.612.524 16.095.104 24.517.420
Net B/C 3,63 2,42 1,21
Gross B/C 2,05 1,81 0,24
IRR 32,77% 42,48% -10%
PP 3,93 3,4 0,57
Malang
Sukubunga 15,7% 18,22% -2,25%
Penerimaan 17.118.254 19.644.127 -2.525.873
Investasi 3.584.211 3.011.912 572.300
B. Penggantian 345.403 290.501 54.902
B. Operasional 5.714.219 7.525.257 -1.811.038
Pajak 89.841 0 89.841
Kriteria Investasi
NPV 4.005.956 9.083.712 -5.077.756-
Net B/C 1,78 2,61 -0,83-
Gross B/C 1,25 1,64 -0,39
IRR 20,93% 33,61% -12,68%
PP 9,81 4,81 5,00
Jember
Sukubunga 15,7% 19,07% -3,37%
Penerimaan 17.597.169 19.290.224 -1.693.055
Investasi 2.960.375 2.352.596 607.779
B. Penggantian 22.287 17.596 4.691
B. Operasional 7.779.555 8.654.361 -874.806
Pajak 51.731 0 51.731
Kriteria Investasi
NPV 4.402.512 5.455.124 -1.052.612
Net B/C 1,90 1,91 -0,01
Gross B/C 1,28 1,61 -0,33
IRR 20,81% 31,52% -11%
PP 11,59 5,0 6,64
Sumber: Data Primer diolah, 2007



18
Lampiran 2
Tabel : Matrik Analisis Kebijakan Usahatani Kopi Robusta untuk Keunggulan Kompetitif
di J ember, Malang dan Lampung Tahun 2007 (Rp/Ha)

Tradables Domestic Factors
Non-
Tradable


Output Inputs
Inputs
Land Labor Capital Others Total
Profits
Jember


Private 13.745.694 945.637 519.031 18.126 2.306.803 637.447,1 322.602 3.804.009 8.996.049
Social 16.683.751 1.346.531 519.031 18.126 1.834.571 636.628,3 322.602 3.330.958 12.006.262
Divergences -2.938.057 -400.894 0 0 472.232 819 0 473.050 -3.010.213

PCR =
0,297
DRC =
0,217
Malang
Private 12.725.406 884.578 697.864 40.711 3.199.312 844.099 639.564 5.421.550 6.419.278
Social 16.225.083 1.176.059 697.864 40.711 2.558.617 843.015 639.564 4.779.771 10.269.253
Divergences -3.499.677 -291.481 0 0 640.695 1.084 0 641.779 -3.849.975
PCR = 0,458 DRC = 0,318
Lampung
Private 9.097.565 920.726 440.669 32.441 2.151.909 662.907 783.885 4.071.811 4.105.028
Social 11.843.503 955.406 440.669 32.441 1.882.921 662.055 428.659 3.446.745 7.441.352
Divergences -2.745.938 -34.680 0 0 268.989 852 355.226 625.066 -3.336.324
PCR = 0,498 DRC = 0,317

Sumber: Data diolah Tahun 2007


















19
LAMPIRAN 3.
1. Persamaan regresi areal lahan kopi

API =31184.60 +0.744459PPID +0.815605APIL*

+336.7808WD

-13.9212 IRI
b +3784.879T

keterangan :
API = Areal Tanaman Kopi (ha)
PPID

= Harga Kopi di Indonesia (Rp/Kg)
APIL = Areal Tanaman Kopi pada Tahun Sebelumnya (ha)
WD =Upah Tenaga Kerja (HKP)
IRI =Nilai Tambah Komoditas Kopi
T = Periode waktu

2. Persamaan hasil analisis regresi pada parameter estimate untuk produktivitas kopi

YPI =5516.533 -2.55433KTD* +11.63600IRI* +0.001647CONPIINA*

keterangan :
YPI =Produktivitas Kopi
KTD =Kredit Investasi
IRI =Nilai Tambah
CONPIINA =Konsumsi Makanan

3. Persamaan hasil analisis regresi pada parameter estimate untuk ekspor Indonesia

XPIINA =-457331 +1515.953PWPID* +0.044974QPIINA +0.010738QXWPI
+0.142164QMWPI

keterangan :
XPIINA =Ekspor Kopi Indonesia
PWPID =Harga kopi dunia
QPIINA =J umlah Produksi Kopi Indonesia
QXWPI =Kuantitas Ekspor Kopi Indonesia
QMWPI =Kuantitas Impor Kopi Indonesia

4. Persamaan hasil analisis regresi parameter estimate untuk kuantitas impor Indonesia

QMPIINA = -13794.8 +83.60034PWPID* +0.005487QXWPI -
0.00024QMWPI -0.84561YPI +0.444963 PFD* -0.02283PPID -
26.2890IRI -0.01957POPINA -0.11986PGULD

keterangan :
QMPIINA =Kuantitas Impor Indonesia
PWPID

=Harga kopi dunia
QXWPI =Kuantitas Ekspor Dunia
QMWPI =Kuantitas Impor Dunia
YPI =Produktivitas
PFD =Harga Pupuk

20
PPID =Harga Kopi
IRI =Nilai Tambah
POPINA =J umlah Penduduk Indonesia
PGULD =Harga Gula

5. Persamaan hasil analisis regresi pada parameter estimate untuk harga kopi

PPID = 3288.352 +0.224882PKAOD* -0.02359QPIINA +0.612251PPIDL* +
438.8107T

keterangan :
PPID =Harga Kopi yang Berlaku di Indonesia
PKAOD =Harga Kakao
QPIINA =J umlah Produksi Kopi Indonesia
PPIDL =Harga Kopi pada Tahun Sebelumnya
T =Tahun

6. Persamaan hasil analisis regresi pada parameter estimate harga kopi dunia

PWPID =-179.196 +0.704680PWPIDL* +190.3546REKSIMP*

keterangan :
PWPID =Harga Kopi Dunia
PWPIDL =Harga Kopi Dunia pada Tahun Sebelumnya
REKSIMP =Rasio ekspor-impor

7. Persamaan hasil analisis regresi pada parameter estimate untuk persamaan ekspor
Guatemala
XPIGUA =81408.38 -25.2938XPIGUAL* +11457.97EFIGUA +0.314023PWPID


keterangan :
XPIGUA =Ekspor Guatemala
XPIGUAL =Ekspor Guatemala pada Tahun Sebelumnya
EFIGUA =Nilai Tukar Guatemala
PWPID =Harga Kopi Dunia yang Berlaku

8. Persamaan hasil analisis regresi pada parameter estimate untuk persamaan ekspor
Vietnam
XPINAM =-4067.33 +0.987326QPINAM* +11.13081PWPID

keterangan :
XPINAM =Ekspor Vietnam
QPINAM =J umlah Produksi Kopi Vietnam
PWPID

=Harga kopi dunia yang Berlaku

9. Persamaan hasil analisis regresi pada parameter estimate tersebut adalah :

MPIJ ER =1181916 -166101EFIJ ER* -4873.70PWPID*




21
Pupuk
keterangan :
MPIJ ER =Impor J erman
EFIJ ER =Nilai Tukar J erman
PWPID =Harga Kopi Dunia yang Berlaku

10. Persamaan impor Italia dipengaruhi oleh produk domestik bruto Untuk impor Perancis
dengan persamaan sebagai berikut:

MPICIS = 89290.71 -5791.88EFICIS* -0.02234GDPICIS-248.499PWPID

+
0.916040MPICISL*


keterangan :
MPICIS =Impor Prancis
EFICIS =Nilai Tukar Prancis
GDPICIS =Produk Domestik Bruto Prancis
PWPID =Harga Kopi Dunia yang Berlaku
MPICISL =Impor Prancis pada Tahun Sebelumnya

11. Hasil regresi persamaan penawaran kopi Indonesia

SDPIINA = -552689 + 0.657224QPIINA* + 0.036580PPID + 52.24678YPI +
30.04224PFD* -69.5575IRI


keterangan :
SDPIINA =Penawaran Kopi
QPIINA =J umlah Produksi Kopi Indonesia
PPID =Harga Kopi
YPI =Produktivitas
PFD

=Harga
IRI =Nilai Tambah

Vous aimerez peut-être aussi