Vous êtes sur la page 1sur 13

ASEAN DALAM KISRUH LAUT CHINA SELATAN

Disusun oleh : Mustika Jati (151110048) Ardig Qoniah (151110049) Nike Yayuk K. (151110060)

JURUSAN HUBUNGAN INTERNASIONAL UPN VETERAN YOGYAKARTA TAHUN AJARAN 2012/2013

I.

STUDI PUSTAKA

Peran ASEAN sebagai peredam konflik sangat tergantung pada komitmen bersama anggotanya dengan tidak mengingkari kesepakatan secara regional. Sebagaimana kita ketahui bahwa sejak asosiasi regional ini berdiri, praktis tidak pernah terjadi konflik terbuka di antara negara-negara yang bertetangga dengan ASEAN. Berbeda dengan situasi sebelum ASEAN terbentuk, berbagai ketegangan, konflik maupun konfrontasi mewarnai kawasan ini. Dalam hal ini ASEAN mempunyai pengalaman dalam menata hubungan bertetangga baik di antara sesama anggotanya. Akan tetapi, berakhirnya Perang Dingin dan berkurangnya peranan kekuatan militer asing di wilayah ini mempengaruhi hubungan di antara sesama anggota ASEAN. Berkurangnya jaminan keamanan negara-negara besar di kawasan telah mendorong negara-negara ASEAN untuk meningkatkan pertahanannya masing-masing. Apabila negara-negara besar yang terlibat dalam Perang Dingin kini mengurangi pembelanjaan senjata secara besar-besaran, namun situasi yang terjadi di Asia Pasifik, terutama negara-negara dunia ketiga, seperti negara-negara yang tergabung dalam ASEAN, justru sebaliknya. Peningkatan kemampuan pembelanjaan senjata demi pertahanan masing-masing negara ASEAN, apabila tetap dalam kerangka kerja sama regional, tentu akan mempunyai pengaruh yang positif bagi pertahanan regional secara keseluruhan. Akan tetapi jika sebaliknya, masingmasing negara anggota ASEAN meningkatkan sistem pertahanan secara sendiri-sendiri tanpa melakukan konsultasi di antara sesama negara anggota, maka justru akan memicu adanya perlombaan senjata. Hal ini jelas sangat mengancam stabilitas dan kondisi keamanan regional pada masa-masa mendatang. Dalam situasi demikian, apakah ASEAN dapat berperan sebagai peredam konflik bagi anggotanya dan kawasan Asia Pasifik? Peran ASEAN sebagai peredam konflik akan menjadi semakin penting ketika para anggota ASEAN saling mengingatkan bahwa komitmen terhadap Treaty of Amity in Southeast Asia (TAC) yang telah dicanangkan bersama beberapa tahun lalu tetap menjadi langkah bagi penyelesaian konflik secara damai. Tujuannya agar mampu memanfaatkan peluang yang muncul dari isu yang berkaitan dengan masalah keamanan dengan mengartikulasikan kepentingan-kepentingan politik di kawasan. Dalam hal ini ASEAN harus

tetap menjalankan diplomasi pencegahan (preventive diplomacy) dalam lingkungannya sendiri untuk mencegah konflik yang akan muncul ke permukaan. Selain itu, fungsi ASEAN dalam membangun saling percaya (confidence building measures) yang mempertemukan kepentingankepentingan keamanan di kawasan juga perlu ditingkatkan terus agar tercipta perimbangan kepentingan di antara anggotanya. Perkembangan lainnya, disepakatinya antara ASEAN dengan negara mitra dialog untuk menjadikan ASEAN-PMC sebagai forum dialog mengenai masalah keamanan regional. Selama ini ASEAN-PMC merupakan wadah untuk membicarakan kerja sama ekonomi, teknologi dan sosial budaya antara negara ASEAN dengan mitra dialognya. Pada KTT ASEAN ke-4 di Singapura, Januari 1992 akhirnya dicapai keputusan untuk menggunakan forum ASEAN-PMC sebagai sarana membicarakan masalah-masalah politik dan keamanan. Di samping itu, dalam pertemuan AMM di Singapura Juli 1993 juga telah diputuskan untuk membentuk ASEAN Regional Forum (ARF). Dibentuknya ARF menunjukkan tiga hal penting: Pertama, selama ini masalah keamanan dalam lingkup ASEAN lebih terpusat pada dinamika hubungan bilateral di antara sesama negara anggotanya. ASEAN merasa enggan untuk membicarakan masalah-masalah keamanan secara multilateral. Namun demikian, perkembangan sekarang ini menghadapkan ASEAN pada masalah keamanan regional yang semakin kompleks dan cakupannya yang semakin luas sehingga bagi ASEAN pendekatan bilateral kini dirasa tidak cukup. Kedua, keikutsertaan negara-negara besar, seperti AS, Rusia, Cina, Jepang, Australia, Kanada, Uni Eropa di lingkungan Asia Pasifik, menunjukkan bahwa stabilitas dan keamanan wilayah ini sangat tergantung pada kebijakan negara-negara besar tersebut. Ketiga, dibentuknya ARF menunjukkan pengakuan bahwa masalah politik dan keamanan kawasan Asia Tenggara tidak dapat dipisahkan dengan situasi politik dan keamanan Asia Pasifik secara keseluruhan. Sulit bagi ASEAN untuk meraih suatu separate peace hanya di lingkungannya sendiri apabila negara-negara besar di kawasan tidak mendukungnya. Tantangan bagi kerja sama politik dan keamanan ASEAN mendatang adalah bagaimana ASEAN mampu menciptakan suatu tatanan regional yang memenuhi kebutuhan keamanan setiap

anggotanya tanpa harus mengabaikan kepentingan-kepentingan negara-negara besar. Di samping itu fungsi ASEAN sebagai peredam konflik saja dirasakan tidak cukup. Akan tetapi bagaimana ASEAN mampu berperan sebagai conflict solver dalam menghadapi tantangan yang semakin kompleks ini. Ketidakmampuan ASEAN tampil sebagai conflict solver tampaknya bersumber pada ketidakmampuan untuk mengaktifkan provisi tentang peaceful settlement of disputes. Terutama adanya ketentuan bahwa High Council hanya dapat berfungsi apabila semua negara anggota ASEAN menyetujui. Tugas ASEAN di masa mendatang adalah mengaktifkan provisi ini dan dengan demikian mendorong negara-negara anggota untuk memulai memanfaatkan High Council. Pemanfaat ini diharapkan dapat mengatasi berbagai potensi konflik yang sewaktu-waktu muncul ke permukaan dan menyelesaikan persoalan secara tuntas. Tanpa kemampuan menyelesaikan konflik internal secara menyeluruh, sulit bagi ASEAN untuk menciptakan suatu komunitas keamanan (security community). Di samping itu peran ASEAN sebagai peredam konflik sangat tergantung pada iktikad baik dan komitmen bersama anggotanya dengan tidak mengingkari kesepakatan secara regional. Dalam menghadapi masalah klaim di Laut Cina Selatan misalnya, ASEAN harus tampil sebagai "an honest broker" peredam konflik. Keterlibatan beberapa negara ASEAN dalam sengketa Laut Cina Selatan, menjadi semakin penting dilakukannya perundingan damai secara terus-menerus. Terutama ketika harus berhadapan dengan Cina yang mengklaim seluruh wilayah di Laut Cina Selatan. Secara demikian, usaha kerja sama akan menciptakan hubungan baik dan mengurangi rasa curiga di antara negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Usaha-usaha kerja sama untuk menyelesaikan sengketa akan dapat menurunkan tingkat potensi konflik menuju identifikasi dan usaha pemanfaatan peluang-peluang kerja sama dalam menciptakan keamanan, stabilitas dan perdamaian di kawasan. Selain itu, mekanisme upaya lokakarya tentang Laut Cina Selatan yang selama ini berlangsung dapat menjadi sarana untuk meningkatkan saling percaya dan proses untuk meluaskan common ground beberapa isu politik dan keamanan di Laut Cina Selatan. Sehingga pada akhirnya ikut memperkuat peran ASEAN sebagai peredam konflik pada masa mendatang.

II.

PEMBAHASAN

I.I. Persengketaan Laut China Selatan Istilah Konflik Laut Cina Selatan merujuk kepada gugusan kepulauan Paracels dan Spratly yang masih dipersengketakan oleh penuntutnya, Cina, Vietnam, dan Taiwan. Menurut Heinzig, beberapa gugusan kepulauan di atas terdiri dari sekitar 170 pulau-pulau kecil, pulau karang, dan banks. Pulau Pratas yang luasnya 12 km2 merupakan pulau terbesar, sedangkan pulau terbesar di Paracel adalah Woody (1,85 km2) dan yang terbesar di Spratly adalah Itu Aba (0,4 km2). Masing masing kepulauan itu dikelilingi oleh batu karang yang berbentuk oval atau bundar. Karena gugus-gugus kepulauan itu terletak di wilayah Laut Cina Selatan yang luas, jarak antara satu gugus dengan gugus yang lain sangat lebar, yang kadang-kadang melampaui jarak 1.000 km.1 Seperti yang dikemukakan sebelumnya, dari keempat gugus pulau yang dipersengketakan, kepulauan Spratly merupakan titik api yang cukup potensial untuk berkembang menjadi wilayah konflik-konflik militer di masa mendatang, tidak saja karena adanya tuntutan yang tumpang tindih yang melibatkan keenam penuntutnya (Cina, Taiwan, Vietnam, Malaysia, Filipina, dan Brunei), tetapi juga karena kepentingan negara-negara besar (Jepang, Amerika Serikat, Rusia) di perairan Laut Cina Selatan yang dikhawatirkan akan menjadi konflik terbuka di masa depan. I.II. Peran ASEAN Perhimpunan negara-negara Asia Tenggara, ASEAN sudah berhasil menandatangani code of conduct atau kode perilaku dengan Cina tahun 2002. Berdasarkan perjanjian itu, negaranegara yang mengklaim sepakat "menyelesaikan sengketa teritorial dan yurisdiksi dengan cara damai tanpa penggunaan kekerasan, dan melalui perundingan".Tetapi kejadian akhir-akhir ini menunjukkan Vietnam dan Cina tidak mematuhi semangat kesepakatan itu.

Lihat Dieter Heinzig, Disputed Islands in The South China Sea (Wiesbaden: Otto Harrassowitz, 1976), 13.

Dan para menteri luar negeri ASEAN Kamis (21/07) di Bali menyepakati kerangka acuan untuk penulisan kode perilaku dalam penyelesaian konflik ini. Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa yang bertindak sebagai tuan rumah forum ini, mengatakan kerangka acuan ini akan sangat membantu upaya Asean menempuh solusi damai dalam sengketa ini.Marty mengatakan negara-negara ASEAN akan terus membicarakan langkah penyelesaian damai.2

I.II.I. Babak Baru Perang Laut China Selatan Selain Republik Rakyat China dan Taiwan, empat negara ASEAN turut memperebutkan wilayah laut china selatan, yaitu Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Fokus sengketa adalah Kepulauan Paracel dan Spratly. Sejarah membuktikan, sengketa Laut China Selatan berpotensi menjadi perang. Tahun 1974, China dan Vietnam berkonflik di Paracel, padahal sebelumnya mereka tenang menduduki bagian masing-masing di kepulauan itu. Menurut BBC, konflik itu menewaskan lebih dari 70 tentara Vietnam dan 18 tentara China. Setelah perang itu, China menguasai Paracel. Juni lalu China membangun kota Sansha di Provinsi Hainan dan memasukkan Paracel sebagai bagian kota tersebut. Pada tahun 1988 kedua negara itu berkonflik lagi, kali ini di Kepulauan Spratly, tepatnya di Karang Johnson. China memenangi konflik ini dan 60 orang tewas di pihak Vietnam. Bila dibandingkan dengan kedua konflik ini, perselisihan antara Filipina, baik dengan China, Vietnam, maupun Malaysia, tergolong minor. I.II.II. Saling Klaim China mendeklarasikan memiliki bagian terbesar teritori Laut China Selatan, mencakup ratusan kilometer di selatan dan timur Hainan, provinsi paling selatan negara itu. China mengklaim berhak berdasarkan sejarah berusia dua ribu tahun yang menyatakan Paracel dan
2

Sengketa kepemilikan Laut Cina Selatan http://www.bbc.co.uk/indonesia/laporan_khusus/2011/07/110719_spratlyconflict.shtml

Spratly sebagai bagian integral bangsa China. Pada tahun 1947 China menerbitkan sebuah peta yang memerinci klaim wilayahnya, tentu saja menyertakan kedua kepulauan tersebut. Taiwan, yang memiliki nama resmi Republik China, juga mengklaim Paracel dan Spratly sebagai bagian teritorinya dengan alasan historis yang sama. Vietnam jelas menentang klaim peta China tersebut. Vietnam berpendapat China tidak pernah menyatakan kedaulatannya di kedua kepulauan tersebut sebelum tahun 1940-an. Sama seperti China dan Taiwan, Vietnam bersikeras Paracel dan Spratly ada di teritorinya. Vietnam menyatakan memiliki dokumen-dokumen yang membuktikan telah berkuasa di Paracel dan Spratly sejak abad ke-17. Sedangkan Filipina hanya menginginkan Spratly. Yang kerap menjadi sengketa adalah Beting Scarborough, berjarak 160 km dari pulau terluar Filipina dan sekitar 800 km dari daratan terdekat China. Filipina bersenjatakan Konvensi PBB tentang Hukum Laut yang menetapkan zona ekonomi eksklusif tidak boleh melebihi 200 mil laut (sekitar 321 km) dari garis pangkal pengukuran lebar laut teritorial. Sama-sama memakai senjata Konvensi PBB tersebut, Malaysia dan Brunei Darussalam mengklaim memiliki beberapa pulau kecil di gugus Spratly. Militer Malaysia telah menduduki tiga pulau kecil di gugus kepulauan tersebut, sedangkan Brunei menyatakan memiliki bagian terselatan Spratly. I.II.III. Sumber Daya Alam Alasan utama sengketa perebutan wilayah Laut China Selatan adalah kandungan gas alam dan minyak buminya. China menerbitkan estimasi tertinggi, menyatakan Paracel dan Spratly mungkin mengandung 213 miliar barel minyak bumi. Angka ini sekitar tujuh kali lipat perkiraan para peneliti Amerika Serikat. Gas alamnya pun melimpah. Menurut Administrasi Informasi

Energi Amerika Serikat, Laut China Selatan memiliki sekitar 25 triliun meter kubik gas alam, sama besar dengan cadangan gas alam Qatar. Belum lagi kekayaan ekosistem perairannya. Selain itu, lebih dari 50 persen perdagangan dunia melewati Laut China Selatan. Lokasinya pun strategis untuk pos pertahanan militer. Akhir Februari lalu Filipina mengundang perusahaan-perusahaan asing untuk berinvestasi melalui eksplorasi minyak bumi di lepas pantai Laut China Selatan. Izin eksplorasi direncanakan diberikan kepada 15 blok, tiga di antaranya ada di wilayah sengketa. China menyatakan tindakan Filipina tersebut ilegal karena tanpa izin mereka. Urusan tuduh-menuduh bukan hal baru dalam sejarah sengketa Laut China Selatan. Tahun lalu Filipina menuduh China masuk tanpa izin ke wilayah perairannya dan mencoba mengganggu sebuah eksplorasi minyak bumi lepas pantai di dekat Pulau Palawan. Filipina juga menuduh China mencoba membangun pertahanan militer di Spratly. Vietnam juga pernah menuduh China mencoba menyabotase dua operasi eksplorasi Vietnam. Tuduhan ini memicu protes anti-China di jalan-jalan di Hanoi dan Ho Chi Minh. Sebaliknya, China menuduh Vietnam memprovokasinya karena pernah melakukan latihan menembak di salah satu pesisirnya. I.III. ASEAN Terbelah Digoyang Sengketa Laut China Selatan Kegagalan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN di Kamboja bulan Juli 2012 yang lalu untuk menentukan komunike bersama terhadap China terkait dengan sengketa wilayah Laut China Selatan memperlihatkan persoalan kian memanas. Penyelesaian ke tataran diplomasi masih belum menunjukkan titik terang. Sengketa tersebut bahkan telah membelah sikap negaranegara ASEAN. Kegagalan menghasilkan komunike bersama merupakan peristiwa pertama kalinya dalam 45 tahun keberadaan perhimpunan Asia Tenggara itu. Hal itu menunjukkan betapa China sudah demikian besar memainkan pengaruh mereka kepada sejumlah anggota ASEAN yang tidak

terlibat sengketa. Sebaliknya, negara yang bersengketa dengan ChinaFilipina, Vietnam, Malaysia, dan Bruneimerasa ditinggalkan sesama anggota ASEAN. Padahal, keempat negara itu berharap ada sikap tegas dan kecaman ASEAN terhadap sikap agresif China di wilayah sengketa. Kamboja yang menjadi tuan rumah bersikap jauh dari harapan. Phnom Penh justru menolak tindakan-tindakan yang dinilai dapat memicu kemarahan China. Tidak mengherankan bila Filipina langsung menuding Kamboja yang kukuh menentang setiap pernyataan keras itu sebagai biang kegagalan tersebut. Sebaliknya, Menteri Luar Negeri Kamboja Hor Namhong menyangkal tudingan itu. Dia menyatakan kegagalan tersebut adalah kegagalan bersama ASEAN. Sekretaris Jenderal ASEAN Surin Pitsuwan tidak bisa menyembunyikan kekecewaan yang mendalam terhadap kegagalan itu. Kami membutuhkan waktu untuk pulih, ungkapnya. ASEAN harus belajar untuk mengonsolidasi dan mengoordinasikan sikap jika ingin terlibat dalam komunitas global.4 Kekecewaan serupa ditunjukkan Menlu RI Marty Natalegawa. Dia bahkan sempat mengatakan kegagalan itu sangat tidak bertanggung jawab setelah KTT berakhir, Jumat (13/7/12). Namun, dia kemudian menyangkal telah terjadi perpecahan di antara anggota. Menurut Marty, pertemuan itu telah menginspirasinya untuk terus mendorong pemberlakuan ASEAN Code of Conduct (CoC) mengenai sengketa Laut China Selatan. Ini akan membuat saya semakin bertekad untuk mendorong CoC sehingga semua menjadi semakin kontekstual, ungkapnya. Sekalipun ada insiden ini, kita harus tetap memiliki tujuan. Kita harus terus maju dan bukan terpinggirkan oleh insiden ini, tegas Marty. Kawasan Laut China Selatan yang disengketakan diperkirakan memiliki cadangan kandungan minyak sebanyak 30 miliar metrik ton dan 16 triliun meter kubik gas. Menurut kantor berita China Xinhua, jumlah itu sama dengan sepertiga cadangan gas dan minyak China. Karena

itu, tidak berlebihan bila Negeri Tirai Bambu yang dikenal haus akan energi itu berkeras mengklaim hampir seluruh kawasan Laut China Selatan. Klaim China termasuk perairan yang berada di dekat negara-negara tetangga mereka. Di sisi lain, Filipina mengatakan wilayah yang disengketakan berada dalam zona eksklusif ekonomi mereka, yang berjarak 200 mil laut dari bibir pantai. Filipina bersama Vietnam menolak peta wilayah perairan yang dikeluarkan China sebagai basis bagi pengembangan bersama kawasan itu. Mereka gencar mencari penyelesaian masalah itu di tingkat regional, terutama dengan dukungan Amerika Serikat (AS), sekutu Filipina yang juga memiliki kepentingan besar di wilayah tersebut. Menlu AS Hillary Clinton mendesak setiap negara untuk membuat klaim wilayah mereka berdasarkan Hukum Laut PBB. Namun, China menolak usulan itu karena bisa dipastikan mereka bakal kehilangan banyak klaim wilayah. I.IV. Campur Tangan Internasional China berusaha bernegosiasi dengan negara-negara lain yang menginginkan kedaulatan di Laut China Selatan. Namun China cenderung ingin bersepakat di belakang layar, yang kemudian ditentang pihak seberang meja dengan membawa isu ini ke mediasi internasional. Salah satu hasil mediasi internasional adalah Konvensi PBB tahun 1982 yang mencantumkan kesepakatan berisi kerangka solusi. Saat dipraktikkan, konvensi itu malah memicu salip-menyalip pengakuan kedaulatan. Konvensi itu juga tidak berpengaruh apa-apa terhadap klaim historis China dan Vietnam atas Paracel dan Spratly. Pada 4 November 2002, ASEAN dan China juga mendeklarasikan kesepakatan kode etik, salah satunya menyelesaikan sengketa tanpa ancaman atau penggunaan senjata. Filipina dan Vietnam juga telah mempunyai perjanjian bilateral dengan China, namun perjanjian itu hampir tidak berpengaruh dalam menyelesaikan sengketa di Laut China Selatan.

Selain keenam negara yang bersengketa, Amerika Serikat juga punya kepentingan di laut tersebut. Kepentingan ini berhubungan dengan fakta Laut China Selatan merupakan jalur pelayaran lebih dari setengah perdagangan dunia. Ada pula kepentingan militer, sehingga tak heran Amerika Serikat menempatkan pos militernya di sana. Walau menyatakan akan bersikap netral, ternyata Paman Sam memberikan bantuan militer kepada sekutu lamanya, Filipina. Bagi AS sendiri persoalannya bukan sekadar China dikhawatirkan akan bisa menguasai wilayah tersebut. Yang lebih ditakutkan AS akan pengaruh China yang akan semakin menguat dan secara perlahan akan menggeser dominasi AS sebagai penguasa dunia. Untuk itulah AS mencoba turut campur dalam penyelesaian sengketa yang terjadi di kawasan Laut China Selatan. AS bukan hanya ingin mengirimkan pesan bahwa mereka masih hadir di kawasan itu, tetapi sekaligus menekan China agar tidak berbuat macam-macam. Upaya untuk mengimbangi pengaruh China memang menjadi strategi global AS. Langkah itu tidak hanya dilakukan melalui jalur diplomasi, tetapi juga dengan menggunakan kekuatan militer. AS terus memperkuat keberadaan militer mereka di kawasan Asia Pasifik. Salah satu yang menjadi bagian dari strategi global mereka adalah penempatan pasukan marinir di Darwin, Australia. Keberadaan pasukan khusus Angkatan Laut AS di utara Australia bukan untuk mengancam Indonesia, tetapi untuk memberikan pesan kepada China bahwa mereka masih menguasai kawasan Asia Pasifik.

III.

PENUTUP KESIMPULAN

Solusi Menurut Hasyim (Anggota Dewan Maritim Nasional), terdapat tiga sasaran penyelesaian konflik perbatasan, yaitu : pertama, belajar untuk bekerja sama; kedua, mendorong terjadinya dialog antara pihak untuk menyelesaikan perbedaan; ketiga, mengembangkan rasa saling percaya yang diciptakan melalui atmosfir kerjasama.3 ASEAN sebagai organisasi kerjasama regional telah berusaha menciptakan komunitas keamanan dengan menjadwalkan pertemuan rutin dari ADMM (ASEAN Defence Ministers Meeting) dan memperkuat kerjasama dalam ARF (ASEAN Regional Forum) untuk mewujudkan stabilitas keamanan di kawasan Asia Tenggara, di antaranya menangani masalah-masalah perbatasan termasuk konflik yang timbul dari wilayah Laut China Selatan. Namun, pada kenyataannya ARF masih sangat jauh dari penyelesaian konflik walaupun ARF memiliki peluang sebagai wadah mendiskusikan isu keamanan dan kolaborasi antara negara Asia Tenggara. Terdapat beberapa kelemahan ARF berhubungan dengan penyelesaian masalah Laut China Selatan. Di mana, ASEAN sendiri belum mampu menciptakan balance of power untuk menyokong kekuatan China, adanya sindrom lowest-common-denominator (kelemahan dalam setiap kebijakan menghadapi kelompok kepentingan yang sedang berkonflik) dan kegagalan membentuk common-front seperti China.4

Anon. 2011. Komitmen RI dalam Diplomasi Perbatasan Tidak Pernah Kendur, [online] tersedia dalam http://www.hukumkita.com [diakses pada 5 november 2012] 4 Akpan Rita. 2003. China, The Spratly Islands Territorial Dispute and Multilateral Cooperation- An Exercise in Realist Rhetoric or Mere Diplomatic Posturing? A Critical Review.

IV.

REFERENSI

Akpan Rita. 2003. China, The Spratly Islands Territorial Dispute and Multilateral Cooperation- An Exercise in Realist Rhetoric or Mere Diplomatic Posturing? A Critical Review. Dieter Heinzig, Disputed Islands in The South China Sea (Wiesbaden: Otto Harrassowitz, 1976), 13.

Website : ASEAN Cari Solusi Soal Laut China Selatan http://www.suarapembaruan.com/home/asean-cari-solusi-sengketa-laut-cinaselatan/22572

ASEAN sebagai Peredam Konflik. http://www.csis.or.id/Publications-OpinionsDetail.php?id=93

Vous aimerez peut-être aussi