Vous êtes sur la page 1sur 5

THE SNOWMELT AND HEAT BALANCE IN SNOW-COVERED FORESTED AREAS

Rangkuman

Untuk Memenuhi Tugas Meteorologi Lingkungan Mata Kuliah Meteorologi Lingkungan

oleh Aristyo Rahadian Wijaya (12811006)

PROGAM STUDI METEOROLOGI INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG

2014

The Snowmelt and Heat Balance in Snow-covered Forested Areas (Pencairan Salju dan Kesetimbangan Panas di Area Hutan Yang Tertutup Salju)
Oleh Takeshi Yamazaki dan Junsei Kondo Geophysical Institute, Tohoku University, Sendai Japan (Manuskrip diterima 27 Desember 1991 dan dalam bentuk akhir 16 April 1992)

Dalam makalah yang berjudul Pencairan Salju dan Kesetimbangan Panas di Area Hutan Yang Tertutup Salju, penulis Yamazaki dan Kondo berusaha menunjukan kebergantungan pencairan salju terhadap kesetimbangan panas di atas dan di dalam sebuah hutan terhadap kondisi meteorologi, albedo salju dan densitas hutan dengan mengunakan model kanopi (Yamazaki et al. 1992) dikombinasikan dengan model pencairan salju (Kondo dan Yamazaki 1990). Pencairan salju di area hutan berbeda dengan yang area terbuka tanpa hutan. Pertukaran energy antara atmosfer dan permukaan tanah hutan yang tertutup salju bergantung kepada densitas hutan,. Namun, terdapat beberapa model yang dibuat memperhitungkan pengaruh dari keberadaan hutan pada pencairan salju. Otterman et al.(1998) telah menginvestigasi kebergantunagn albedo, tingkat kekasaran (roughness length) dan absorpsi raadiasi matahari pada tutupan salju sepanjang struktur hutan. Koike et al.(1985) mengestimasi besarnya

pencairan salju dalam kasus bila rasio terpaparnya radiasi matahari terhadap sebuah hutan diketahui. Serta Ohta et al. (1990) menunjukan bahwa radiasi matahari dan kecepatan angin merupakan komponen meteorology yang terubah oleh hutan dan mengontrol pencairan salju pada di area hutan. Berdasarkan model yang telah dihasilan, diketahui untuk kasus standard, ketika densitas kanopi bertambah, pencairan salju berkura kecuali untuk kasus salju yang albedonya besar. Dalam kasus kanopi tipis, ketika temperature udara sekitar rendah, pencairan salju dikontrol oleh albedo dan radiasi matahari. Sedangkan, untuk yang berkanopi lebih tebal, pencairan salju tidak

bergantung kepada albedo salju, karena hanya sedikit radiasi matahari yang mampu menembus hingga mencapai permukaan salju. Dalam kasus tersebut salju mencair akibat dari emisi infra merah yang dipancarkan oleh elemen kanopi. Patut dicatat bahwa albedo salju bergantung kepada kepada luas permukaan spesifik untuk tiap partikel salju (berhubungan dengan densitas salju), konten dari cairan air, dan ketidakmurnian, serta perubahan tiap waktu. Sehingga, dihasilkan bahwa albedo akan diparameterisasi dan ini akan termasuk dalam parameterisasi dalam model pencairan salju. Dalam model tersebut, juga tealh banyak diambil berberapa macam kasus, seperti pengaruh kelembahan relatif, kecepatan angin, tutupan awan dan lain sebagainya. Menurut penulis juga, kalor sensible dan laten juga memiliki pengaruh yang sangat besar ketika suhu udara sekitar tinggi. Hal tersebut telah banyak dibuktikan oleh penulis dalam makalah ilmiahnya. Ia juga menyebutkan bahwa nilai pencairan salju sangat besar ketika kanopi lebih tebal dalam kasus albedo salju yang besar. Hal dikarenakan, ketika kanopi tipis absopsi dari radiasi matahari (berikut kalor sensible dan laten)- bernilai kecil untuk kondisi albedo tinggi dan angin yang lemah. Sedangkan, untuk kanopi tebal, elemen kanopi terpanaskan, menyebabkan salju mencair secara efektif akibat dari radiasi infra merah yang terpancarkan oleh elemen kanopi. Hutan mengubah radiasi matahari menjadi radiasi infra merah, yang sebagai dampaknya dapat diserap oleh salju. Hasil kedepan diharapkan mengindikasikan bahwa hutan berkemungkinan

mempengaruhi iklim selama Masa Pencairan Salju. Serta, dibutuhkan juga untuk memngobservasi pencairan salju dan kesetimbangan panas di daerah hutan mempertimbangkan densitas hutan. dengan

Vous aimerez peut-être aussi