EKSTRAKSI DAN PENGUJIAN AKTIVITAS ANTIBAKTERI SENYAWA
TANIN PADA DAUN BELIMBING WULUH (Averrhoa bilimbi L.)
(Kajian Variasi Pelarut)
SKRIPSI
Oleh : MASITHAH KHAIRUL UMMAH NIM: 05530001
JURUSAN KIMIA FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG 2010
EKTRAKSI DAN PENGUJIAN AKTIVITAS ANTIBAKTERI SENYAWA TANIN PADA DAUN BELIMBING WULUH (Averrhoa bilimbi L.) (Kajian Variasi Pelarut)
SKRIPSI
Diajukan Kepada: Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Sains (S. Si)
Oleh: Masithah Khairul Ummah NIM: 05530001
JURUSAN KIMIA FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG 2010
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
Saya yang bertanda tangan dibawah ini: Nama : Masithah Khairul Ummah NIM : 0553001 Jurusan : Kimia Fakultas : Sains dan Teknologi Menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan data, tulisan atau pikiran orang lain yang saya akui sebagai hasil tulisan atau pikiran saya sendiri. Apabila di kemudian hari terbukti terdapat unsur-unsur jiplakan, maka saya bersedia untuk mempertanggung jawabkan, serta diproses sesuai paraturan yang berlaku.
Malang, 26 Januari 2010 Yang membuat pernyataan
Masithah Khairul Ummah NIM. 05530001
EKSTRAKSI DAN PENGUJIAN AKTIVITAS ANTIBAKTERI SENYAWA TANIN PADA DAUN BELIMBING WULUH (Averrhoa bilimbi L.) (Kajian Variasi Pelarut)
SKRIPSI
Oleh: Masithah Khairul Ummah NIM: 05530001
Telah Dipertahankan di Depan Dewan Penguji Skripsi dan Dinyatakan Diterima Sebagai Salah Satu Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains (S. Si)
PERSEMBAHAN Alhamdulillaahirabbil'aalamiin Dengan senantiasa memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT, ku persembahkan buah karya ini untuk: Ayah dan Ibunda tercinta, Maswar, S.Pd dan Mastutik engkaulah guru pertama dalam hidupku yang telah mengasuhku dan banyak memberikan kasih sayang dengan jutaan kasih sesejuk embun pagi dan sesuci doa di malam hari, ananda haturkan terima kasih atas semuanya. Adikku tersayang Nasrul Haq Al-masbi terima kasih atas dukungan dan doa nya, sehingga kakak bisa terus berpacu dan termotivasi untuk mewujudkan cita-cita,belajarlah yang rajin Teruslah menjadi kebanggaan orang tua dan teruntuk Pendamping hidupku KELAK calon suamiku, imam dan ayah bagi putra-putriku.........
Puji syukur Alhamdulillah ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat, hidayah dan kemudahan yang selalu diberikan kepada hamba-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul Ekstraksi dan Pengujian Aktivitas Antibakteri Senyawa Tanin Pada Daun Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi L.) Dengan Variasi Pelarut sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Sains. Penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini, terutama kepada: 1. Prof. Dr. H. Imam Suprayogo selaku Rektor UIN Malang beserta stafnya, terima kasih atas fasilitas yang diberikan selama kuliah di UIN Malang. 2. Prof. Drs. Sutiman Bambang Sumitro, SU., D.Sc selaku Dekan Fakultas Sains dan Teknologi UIN Malang. 3. Diana Candra Dewi, M.Si selaku Ketua Jurusan Kimia Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri (UIN) Malang. 4. Elok Kamilah Hayati, M.Si Akyunul Jannah, S.Si, MP, Anton Prasetyo M.Si selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan dalam penyusunan skripsi ini. 5. Rini Nafsiati Astuti selaku penguji utama dan Eny Yulianti, M.Si selaku ketua penguji 6. Bapak dan Ibu Dosen Jurusan Kimia Fakultas Sains dan Teknologi yang telah banyak memberikan ilmunya. 7. Moh. Taufik, S.Si , M Kholid Al-Ayubi, Zulkarnain, S.Si selaku Laboran Kimia UIN Maliki Malang. 8. Bapak dan ibuku yang dengan penuh kasih sayang dan keikhlasan telah mengasuh, membesarkan dan membiayai baik materil maupun spirituil serta
mengalirkan doa-doanya untuk kebahagiaan putri tercintanya baik di dunia maupun di akhirat 9. Adikku tersayang dan Seseorang yang istimewa dihati yang telah banyak dan selalu memberikan bantuan, dukungan, semangat dan doanya. 10. Sheva, Erna, Lalu, Afifa dan Keluarga besar Simpang Gajayana 611 J yang telah memberikan bantuan, semangat dan keceriaan setiap waktu. 11. Teman-temanku chemistry 05 (Aisy, Lailis, Warda, Halim, U_mi, Nur RA, Fajar, Ieza, Naily, Asri, Helmi) yang telah memberikan arahan, bantuan serta ilmunya dalam penelitian. 12. Kakak-kakak dan adik-adik keluarga besar kimia terus semangat dan lanjutkan perjuangan. 13. Semua pihak yang telah banyak membantu penulis demi terselesainya skripsi ini. Akhir kata dengan jujur penulis mengakui bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu saran dan kritik yang bersifat membangun sangat penulis harapkan demi lebih sempurnanya skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis pada khususnya dan pembaca pada umumnya dan semoga penulisan skripsi ini mendapatkan ridho dari Allah SWT. Amiin.
Malang, Januari 2010
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................ i DAFTAR ISI ..................................................................................... iii DAFTAR TABEL ............................................................................. vi DAFTAR GAMBAR......................................................................... vii DAFTAR LAMPIRAN...................................................................... vii ABSTRAK........................................................................................ ix
BAB I PENDAHULUAN................................................................... 1 1.1 Latar Belakang.............................................................................. 1 1.2 Rumusan Masalah......................................................................... 6 1.3 Tujuan........................................................................................... 6 1.4 Batasan Masalah ........................................................................... 6 1.5 Manfaat Penelitian ........................................................................ 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA......................................................... 8 2.1 Tanaman Belimbing Wuluh Perspektif Islam................................ 9 2.2 Sejarah Penggunaan Tumbuhan Sebagai Obat .............................. 11 2.3 Tanaman Belimbing Wuluh Perspektif Ilmu Pengetahuan............ 14 2.3.1 Kandungan Kimia Daun Belimbing Wuluh ............................... 16 2.3.2 Manfaat Belimbing Wuluh........................................................ 17 2.4 Senyawa Metabolit Primer dan Sekunder .................................... 17 2.5 Senyawa Tanin............................................................................. 18 2.6 Pemisahan Senyawa Tanin........................................................... 21 2.6.1 Ekstraksi Senyawa Tanin .......................................................... 21 2.6.1.1 Ekstraksi Tanin dengan Metode Maserasi............................... 23 2.6.2 Identifikasi Senyawa Tanin ....................................................... 25 2.6.2.1 Uji Fitokimia.......................................................................... 25 2.6.2.2 Identifikasi dengan Kromatografi ........................................... 26 2.6.3 Penentuan Kadar Tanin ............................................................. 27
2.6.3.1 Penentuan Kadar Tanin dengan Metode Lowenthah-Procter... 27 2.6.3.2 Penentuan Kadar Tanin dengan Metode Spektrofometer........ 28 2.6.3.3 Penentuan Kadar Tanin dengan Metode Stiansy Test.............. 29 2.7 Antibakteri ................................................................................... 30 2.7.1 Tanin Sebagai Antibakteri ......................................................... 33 2.7.2 Mekanisme Penghambatan Antibakteri ..................................... 37
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ........................................... 39 3.1 Pelaksanaan Penelitian................................................................. 39 3.2 Alat dan Bahan ............................................................................ 39 3.2.1 Alat ........................................................................................... 39 3.2.2 Bahan........................................................................................ 39 3.3 Rancangan Penelitian................................................................... 40 3.4 Tahapan Penelitian....................................................................... 40 3.5 Pelaksanaan Penelitian................................................................. 41 3.5.1 Preparasi Sampel....................................................................... 41 3.5.2 Ekstraksi Tanin dengan Metode Maserasi.................................. 41 3.5.3 Uji Tanin................................................................................... 41 3.5.4 Uji Kadar Tanin Metode Lowenthal-Procter.............................. 42 3.5.5 Uji Antibakteri .......................................................................... 43 3.5.5.1 Sterilisasi Alat ........................................................................ 43 3.5.5.2 Pembuatan Media................................................................... 43 3.5.5.3 Peremajaan Biakan Murni ...................................................... 44 3.5.5.4 Pembuatan Biakan Aktif......................................................... 44 3.5.5.5 Uji Antibakteri ....................................................................... 44 3.6 Analisis Data................................................................................ 45
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN............................................ 46 4.1 Preparasi Sampel Daun Belimbing Wuluh.................................... 46 4.2 Ekstraksi Senyawa Tanin ............................................................. 47 4.3 Uji Fitokimia Senyawa Tanin....................................................... 50
4.3.1 Uji Fitokimia Senyawa Tanin dengan Menggunakan FeCl 3 ........... 51 4.3.2 Uji Fitokimia Senyawa Tanin dengan Menggunakan Larutan Gelatin ...................................................................................... 52 4.3.3 Uji Fitokimia Senyawa Tanin dengan Menggunakan Formalin : HCl .......................................................................... 54 4.4 Uji Kuantitatif Senyawa Tanin dengan Metode Lowenthal-procter 56 4.5 Uji Aktivitas Antibakteri Senyawa Tanin Berdasarkan Pelarut Terbaik ........................................................................................ 59 4.7 Hasil Penelitian tentang Pemanfaatan Tanin dalam Daun Belimbing Wuluh dalam Prespektif Islam........................................................ 67
BAB V KESIMPULAN DAN SARA................................................ 70 5.1 Kesimpulan.................................................................................. 70 5.2 Saran............................................................................................ 70
DAFTAR PUSTAKA........................................................................ 71 LAMPIRAN-LAMPIRAN................................................................. 76
DAFTAR TABEL
2.1 Tetapan dielektrikum pelarut .................................................... 25 2.2 Nilai Rf dari Beberapa ekstrak daun jambu biji........................ 27 2.3 Perbedaan susunan dinding sel bakteri Gram positif dan negatif.33 2.4 Aktivitas Antibakteri Senyawa Tanin ........................................ 36 4.1 Warna filtrat dari masing-masing pelarut.................................. 48 4.2 Warna fase air dari masing-masing Pelarut ............................... 49 4.3 Hasil uji fitokimia ekstrak tanin menggunakan FeCl 3 ............... 52 4.4 Hasil uji fitokimia ekstrak tanin menggunakan larutan gelatin.. 54 4.5 Hasil uji fitokimia ekstrak tanin menggunakan Formalin : HCl. 55 4.6 Hasil uji kuantitatif senyawa tanin dengan metode Lowenthal Procter..................................................................................... 58 4.7 Data zona hambat senyawa tanin ekstrak daun belimbing wuluh sebagai antibakteri S. aureus .................................................... 62 4.8 Data zona hambat senyawa tanin ekstrak daun belimbing wuluh sebagai antibakteri E. coli...................................................... 62
DAFTAR GAMBAR
2.1 Daun Muda Belimbing Wuluh..................................................... 15 2.2 Struktur Senyawa Tanin .............................................................. 18 4.1 Reaksi dugaan antra gugus fenol pada tanin dengan FeCl 3 ........... 51 4.2 Reaksi dugaaan antara gugus fenol pada tanin dengan gugus protein pada gelatin.................................................................... 53 4.3 Reaksi dugaaan terjadinya ikatan hidrogen gugus fenol pada tanin dengan protein............................................................................. 64
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Skema Kerja ................................................................... 76 Lampiran 2. Perhitungan, Pembuatan Reagen dan Larutan.................. 81 Lampiran 3. Perhitungan Kekuatan Cakram........................................ 81 Lampiran 4. Ukuran Daerah dan Interpretasinya untuk Kemoterapeutik yang sering Digunakan .................................................... 84 Lampiran 5. Perhitungan Kadar Tanin Metode Lowenthal Procter...... 85 Lampiran 6. Hasil Uji Antibakteri Ekstrak Daun Belimbing Wuluh dengan Pelarut Terbaik..................................................... 87 Lampiran 7. Uji Statistik...................................................................... 89 Lampiran 8. Dokumentasi Penelitian.................................................... 93
ABSTRAK
Ummah, M.K. 2010. Ekstraksi dan Pengujian Aktivitas Antibakteri Senyawa Tanin dari Daun Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi. L) KajianVariasi Pelarut. Pembimbing :Elok Kamilah Hayati, M.Si . Pembimbing Pendamping : Anton Prasetyo, M.Si
Kata Kunci : Daun Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi. L), Tanin, Antibakteri
Penggunaan antibakteri sintetik atau pengawet sintetik pada makanan seperti penambahan formalin jika dikonsumsi secara terus menerus akan menyebabkan penyakit, adanya fenomena di atas mendorong manusia untuk mencari solusi yang terbaik bagi kesehatan. Solusi yang dilakukan adalah mencari alternatif pengganti antibakteri sintetis dengan menggunakan antibakteri alami yang dapat diperoleh dari tanaman. Penelitian ini bertujuan untuk memanfaatkan bahan alam sebagai antibakteri alami. Penelitian ini ingin mengetahui bahwa senyawa tanin yang diduga terdapat dalam daun belimbing wuluh dapat menghambat bakteri S. aureus dan E. coli. Penelitian ini meliputi ekstraksi yang dilakukan dengan metode maserasi menggunakan 4 jenis pelarut yang berbeda yaitu air hangat, metanol, etanol, dan Aseton:air (7:3). Penentuan pelarut terbaik hasil ekstraksi adalah dengan menggunakan metode Lowenthal-Procter Uji efektifitas antibakteri dilakukan terhadap bakteri S. aureus dan E. coli menggunakan metode difusi cakram dengan konsentrasi ekstrak 50, 100, 150, 200, 250, 300, 350, dan 400 mg/mL. Hasil penelitiaan menunjukkan bahwa berdasarkan uji fitokimia daun belimbing wuluh mengandung senyawa tanin. Pelarut terbaik yang dapat mengekstrak tanin dengan kadar tertinggi adalah Aseton:air (7:3). Hasil perhitungan zona hambat ekstrak tanin dari pelarut terbaik terhadap bakteri S. aureus pada konsentrasi 50 mg/ml:6,1 mm, 100 mg/ml:6,3mm, 150 mg/ml:7,1mm, 200 mg/ml:10,67 mm, 250 mg/ml:11,6 mm, 300 mg/ml:13,5 mm, 350 mg/ml:14,16 mm, dan 400 mg/ml:15,1 mm. Nilai zona hambat untuk E. coli pada konsentrasi 50 mg/ml:7,4 mm, 100 mg/ml:9,7 mm, 150 mg/ml:11,2 mm, 200 mg/ml:12,6 mm, 250 mg/ml:13 mm, 300 mg/ml:13,9 mm, 350 mg/ml:14,2, dan 400 mg/ml:15,27 mm. Konsentrasi terbaik untuk kedua bakteri adalah 400 mg/ml, dan berdasarkan hasil zona hambat yang terbentuk bahwa senyawa tanin bersifat resisiten terhadap kedua bakteri uji.
ABSTRACT
Ummah, M.K. 2010 The Extraction and Antibacterial Activity Examination of Tannin compound at Averrhoa bilimbi L. Leaves (Solvent Variation Study)
Key words: Averrhoa bilimbi . L leaves, Tannin, Antibacterial
The usage of synthetic antibacterial or preservative synthetic food likes formaline addition, if it is consumed continually, it will cause diseases, the phenomenon above make the people it finding the best solution for health. The solution done is finding the substitution alternative of synthetic antibacterial by using of antibacterial of plant. This research intents to utilize the natural material as the natural antibacterial. The objective of this research is to know that tannin compound which is probably available in averrhoa bilimbi L leaves constrain bacteria S. aureus and E. coli . This research cover the extraction done by maceration method using different 4 dissolving types which are water, methanol, ethanol, and aceton :water (7:3 ). The best dissolving determination of the extraction result is by using of Lowenthal Procter method. The antibacterial activity test is done to bacteria S. aureus and E. coli using the disk diffusion method by concentration extract 50, 100, 150, 200, 250, 300, 350, and 400 mg / mL. The result of experiment based on the fitokimia test of averrhoa bilimbi L leaves contain of tannin compound. The best dissolving that can extract tannin by extract aceton :water (7:3 ) as highest concentration. The result showed that all concentration of averrhoa bilimbi L extract with acetone : water (7:3) influenced the zone of inhibition. The Zone of inhibition result constrain the tannin extract of the best dissolving to bacteria S. aureus on concentration 50 mg / ml:6,1 mm, 100 mg / ml:6,3mm, 150 mg / ml:7,1mm, 200 mg / ml:10,67 mm, 250 mg / ml:11,6 mm, 300 mg / ml:13,5 mm, 350 mg / ml:14,16 mm, and 400 mg / ml:15,1 mm. Zone of inhibition constrains to E. coli on concentration 50 mg / ml:7,4 mm, 100 mg / ml:9,7 mm, 150 mg / ml:11,2 mm, 200 mg / ml:12,6 mm, 250 mg / ml:13 mm, 300 mg / ml:13,9 mm, 350 mg / ml:14,2, and 400 mg / ml:15,27 mm. The best concentration for both bacteria is 400 mg / ml, and bases on zone of inhibition result that was formed can be stated that tannin compound gets resistance to bacteria S. aureus and E. coli
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penemuan berbagai senyawa obat baru dari bahan alam semakin memperjelas peran penting metabolit sekunder tanaman sebagai sumber bahan baku obat. Metabolit sekunder adalah senyawa hasil biogenesis dari metabolit primer. Umumnya dihasilkan oleh tumbuhan tingkat tinggi, yang bukan merupakan senyawa penentu kelangsungan hidup secara langsung, tetapi lebih sebagai hasil mekanisme pertahanan diri organisma. Kandungan senyawa metabolit sekunder telah terbukti bekerja sebagai derivat antikanker, antibakteri dan antioksidan, antara lain adalah golongan alkaloid, tanin, golongan polifenol dan turunanya. Indonesia yang beriklim tropis memiliki aneka ragam tumbuhan, dan beberapa tumbuhan dapat digunakan sebagai bahan obat tradisional. Senyawa metabolit sekunder yang terdapat pada tumbuhan selain sebagai obat tradisional juga dapat digunakan sebagai antibakteri dan pengawet alami. Penggunaan antibakteri sintetik atau pengawet sintetik pada makanan seperti penambahan formalin jika dikonsumsi secara terus menerus akan menyebabkan penyakit. Adanya fenomena di atas mendorong manusia untuk mencari solusi yang terbaik bagi kesehatan. Solusi yang dilakukan adalah mencari alternatif pengganti antibakteri sintetis dengan menggunakan antibakteri alami yang dapat diperoleh dari tanaman.
Keanekaragaman tumbuhan yang dimiliki Indonesia merupakan salah satu nikmat yang diberikan oleh Allah kepada kita, sehingga kita patut bersyukur dan memanfaatkanya dengan baik, didalam firmannya Allah telah menjelaskan dalam surat Al-anam ayat 99 %! !.9 ! !>>! , ,!, . `: !>>! .> _ !',> !,2. 9 !-=L % > ,!s .9 !9 !,.:` s ,:.` `L <| . | . - | 39 )9 `` Dan dialah yang menurunkan air hujan dari langit, lalu kami tumbuhkan dengan air itu segala macam tumbuh-tumbuhan Maka kami keluarkan dari tumbuh-tumbuhan itu tanaman yang menghijau. kami keluarkan dari tanaman yang menghijau itu butir yang banyak; dan dari mayang kurma mengurai tangkai-tangkai yang menjulai, dan kebun-kebun anggur, dan (Kami keluarkan pula) zaitun dan delima yang serupa dan yang tidak serupa. perhatikanlah buahnya di waktu pohonnya berbuah dan (perhatikan pulalah) kematangannya. Sesungguhnya pada yang demikian itu ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang beriman.
Ayat diatas menjelaskan bagaimana buah diciptakan dan berkembang pada fase yang berbeda-beda sehingga sampai pada fase kematangan secara sempurna, dan berbagai unsur yang beraneka ragam didalamnya yang salah satunya dapat kita manfaatkan sebagai obat tradisional dan senyawa antibakteri, dalam Q.S Asyuara ayat 7 Allah berfirman: 9 <| _{ /. !., ! . _ . Dan apakah mereka tidak memperhatikan bumi, berapakah banyaknya kami tumbuhkan di bumi itu pelbagai macam tumbuh-tumbuhan yang baik?
Shihab (2002) menjelaskan bahwa Allah menembuhkan dari berbagai macam tumbuhan yang baik, yaitu subur dan bermanfaat seperti halnya daun belimbing wuluh yang dapat digunakan sebagai peneurun panas, serta antibakteri karena memliki kandungan senyawa tanin. Ayat diatas juga menjelaskan bahwasanya Allah menciptakan berbagai jenis tumbuhan dibumi ini, dan semua itu tiada yang sia-sia, oleh sebab itu manusia yang telah dibekali akal oleh Allah mempunyai kewajiban untuk memikirkan, mengkaji serta meneliti apa-apa yang telah Allah berikan untuk kita. Banyak hasil penelitian yang menyebutkan potensi suatu tanaman dalam mengobati penyakit tertentu ataupun sebagai antibakteri dan salah satu bahan alam yang dapat digunakan untuk pengobatan tradisional adalah belimbing wuluh (Averhoa bilimbi L). Belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L) merupakan salah satu jenis tanaman yang sering digunakan sebagai obat tradisional. Tanaman ini banyak dimanfaatkan mengatasi berbagai penyakit seperti batuk, diabetes, rematik, gondongan, sariawan, sakit gigi, gusi berdarah, jerawat, diare sampai tekanan darah tinggi (Wijayakusuma, 2006) bagian tanaman yang sering digunakan sebagai obat adalah buah dan daunnya. Kandungan senyawa aktif dalam daun belimbing wuluh adalah tanin, sulfur, asam format, dan flavonoid (Wijayakusuma, 2006). Senyawa metabolit sekunder pada tumbuhan misalkan flavonoid, tanin dan saponin berdasarkan beberapa hasil penelitian diduga mempunyai kemampuan untuk menghambat pertumbuhan bakteri, di dalam daun belimbing wuluh mengandung senyawa metabolit sekunder yaitu flavonoid dan tanin sehingga dapat diduga senyawa aktif
tersebut dapat digunakan sebagai antibakteri. Penggunaan daun belimbing wuluh sebagai antibakteri misalnya sebagai pengawet alami sangat efisien karena jumlahnya melimpah, tanaman ini juga sangat mudah didapatkan . Tanin dapat digunakan sebagai antibakteri karena mempunyai gugus fenol, sehingga tanin mempunyai sifat-sifat seperti alkohol yaitu bersifat antiseptik yang dapat digunakan sebagai komponen antimikroba. Abiyasa (2008) menyebutkan kemampuan senyawa tanin yang terkandung dalam rebusan daun jambu biji dapat menghambat pertumbuhan bakteri Escherichia coli (E. coli) dan Staphylococcus aureus (S. aureus). Konsentrasi ekstrak 2% pada daun jambu biji 2% dapat menghambat pertumbuhan S. aureus, sedangkan pada konsentrasi ekstrak 10% dapat menghambat pertumbuhan E. coli dan hasil penelitian Min (2008) menunjukkan bahwa ekstrak tanin pada tanaman Sericea lespedeza dapat menghambat bakteri S. aureus dan E. coli pada konsentrasi minimum 50 mg/ml. Tanin merupakan senyawa yang dapat mengikat dan mengendapkan protein berlebih dalam tubuh. Pada bidang pengobatan tanin digunakan sebagai obat diare, hemostatik (menghentikan pendarahan), dan wasir (Naim, 2004). Siswantoro (2006) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa tanin yang terdapat dalam tanaman dapat digunakan untuk membunuh bakteri baik pada Streptococcus pyogenes maupun Pasteurella multocida secara in vitro. Tanin merupakan zat kimia yang terdapat dalam tanaman yang memiliki kemampuan menghambat sintesis dinding sel bakteri dan sintesis protein sel kuman gram positif maupun gram negatif.
Efektivitas antibakteri senyawa tanin yang terdapat dalam tumbuhan misalnya daun jambu biji salah satunya dipengaruhi oleh konsentrasi tanin. Semakin tinggi kadar tanin aktivitas antibakteri akan meningkat. Berdasarkan hasil penelitiaan Zulaekah (2005) menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi tanin pada ekstrak daun teh yang digunakan pada pembuatan telur asinan menghasilkan telur asin rebus dengan jumlah total bakteri paling sedikit. Hasil penelitian Faharani (2008) menunjukkan bahwa ekstrak air daun belimbing wuluh memliki aktivitas sebagai antibakteri terhadap S. aereus pada konsenrasi 40%, sedangkan pada E. coli hasil ekstrak tidak menunjukkan aktivitas penghambat pada konsentrasi 40% dan senyawa aktif yang diduga memiliki aktivitas antibakteri adalah flavonoid, tanin dan saponin, dan belum ada penelitian tentang apakah senyawa tanin pada daun belimbing wuluh dapat digunakan sebagai antibakteri. Daun belimbing wuluh yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun yang masih muda karena dimungkinkan senyawa tanin banyak terdapat dalam daun muda. Menurut Harborne (1987) daun muda lebih rentang dari hama daripada daun tua karena kandungan senyawa tanin pada daun muda lebih banyak dari pada daun tua, hal ini dikarenakan pada daun tua sebagian telah mengalami oksidasi sehingga dalam penelitian ini digunakan daun belimbing wuluh yang masih muda. Pada penelitian ini akan ditekankan untuk mengetahui potensi senyawa tanin yang terdapat dalam daun belimbing wuluh yang diduga mempunyai kemampuan sebagai antibakteri. Pemisahan senyawa tanin salah satunya dipengaruhi oleh pelarut, sehingga dalam penelitiaan ini digunakan variasi pelarut
dan pelarut yang digunakan adalah pelarut yang bersifat polar kerena tanin merupkan senyawa polar. Pemilihan metode aktivitas tanin yang diekstrak dengan pelarut yang berbeda adalah untuk mengetahui pelarut yang dapat mengekstrak tanin dengan kadar tertinggi yang selanjutnya diuji aktivitas antibakterinya terhadap S. aureus dan E. coli.
1.1 Rumusan Masalah 1. Pelarut apa yang terbaik untuk memperoleh ekstrak dengan kadar tanin tertinggi pada daun belimbing wuluh ? 2. Berapa nilai konsentrasi penghambatan optimum senyawa tanin sebagai senyawa antibakteri dengan pelarut terbaik ?
1.2 Tujuan 1. Mengetahui pelarut terbaik untuk memperoleh ekstrak tanin dengan kadar tertinggi pada daun belimbing wuluh. 2. Mengetahui nilai konsentrasi optimum penghambatannya sebagai senyawa antibakteri dengan pelarut terpilih.
1.4 Batasan Masalah 1. Daun belimbing wuluh yang digunakan dalam penelitiaan ini adalah daun yang masih muda yang diperoleh dari daerah paiton probolinggo
2. Uji antibakteri dilakukan secara in vitro terhadap bakteri S. aureus dan E. coli yang diperoleh dari laboratorium Mikrobiologi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. 3. Penentuan kadar tanin dengan menggunakan metode Lowenthal-Procter.
1.5 Manfaat Penelitiaan Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah kepada masyarakat yang petama adalah memberikan informasi tentang pemisahan senyawa tanin dengan ekstraksi maserasi dan pelarut yang digunakan untuk menghasilkan ekstrak tanin dengan kadar tertinggi. Manfaat yang kedua adalah mengenai pemanfaatan senyawa tanin pada daun belimbing wuluh sebagai antibakteri sehingga dapat digunakan sebagai alternatif untuk pengobatan dan pengawet alami.
BAB II TINJAUN PUSTAKA
2.1 Tanaman Belimbing Wuluh dalam Perspektif Islam Banyak jenis tumbuhan yang mampu tumbuh di bumi dengan adanya air hujan, yang tergolong dalam tumbuhan tingkat rendah yaitu tumbuhan yang tidak jelas bagian akar, batang dan daunnya. Golongan selanjutnya lebih mengalami perkembangan adalah tumbuhan tingkat tinggi yaitu tumbuhan yang bisa dibedakan secara jelas bagian daun, batang dan akarnya (Savitri, 2008). Hal ini telah dijelaskan dalam firman Allah dalam QS Thaha : 53 %! -> `39 _{ 7= 39 ! , !.9 ! !>>! , l> ,!, .: Yang telah menjadikan bagimu bumi sebagai hamparan dan yang Telah menjadikan bagimu di bumi itu jalan-ja]an, dan menurunkan dari langit air hujan. Maka kami tumbuhkan dengan air hujan itu berjenis-jenis dari tumbuh- tumbuhan yang bermacam-macam.
Tanaman belimbing wuluh merupakan tumbuhan yang dengan nyata memperlihatkan differensiasi dalam tiga bagian pokok yaitu: akar, batang dan daun. Bagian tanaman ini yang dapat dimanfaatkan sebagai obat adalah bagian daun, buah, akar dan batangnya, tercantum dalam QS. As-Syuara : 7 9 <| _{ /. !., ! . _ . Dan apakah mereka tidak memperhatikan bumi, berapakah banyaknya kami tumbuhkan di bumi itu pelbagai macam tumbuh-tumbuhan yang baik?
8
Tumbuhan yang baik dalam hal ini adalah tumbuhan yang bermanfaat bagi makhluk hidup, termasuk tumbuhan yang dapat digunakan sebagai pengobatan. Tumbuhan yang bermacam-macam jenisnya dapat digunakan sebagai obat berbagai penyakit, dan hal ini merupakan anugerah Allah swt yang harus dipelajari dan harus dimanfaatkan seperti disebutkan dalam dalam QS. Al- Qashash : 57 9!% | _,. ; 7- #L. !. 9 3 `9 !> ! ,> 9| ,. . `: !% !$! 39 .2 =- Dan mereka berkata: "Jika kami mengikuti petunjuk bersama kamu, niscaya kami akan diusir dari negeri kami". dan apakah kami tidak meneguhkan kedudukan mereka dalam daerah Haram (tanah suci) yang aman, yang didatangkan ke tempat itu buah-buahan dari segala macam (tumbuh- tumbuhan) untuk menjadi rizki (bagimu) dari sisi Kami?. tetapi kebanyakan mereka tidak Mengetahui.
Ayat tersebut mengisyaratkan agar kita mencari dan mempelajari berbagai tumbuhan yang menjadi rizki yaitu dapat memberikan manfaat bagi kehidupan manusia. Tumbuhan menjadi rizki bagi makhluk hidup karena merupakan bahan pangan dan bahan obat-obatan (Savitri, 2008). Dunia tumbuh-tumbuhan ciptaan Tuhan tidak hanya penuh dengan buah- buahan dan hasil panenan lainnya, tetapi juga menjaga keseimbangan dan pola yang tetap. Terdapat aneka ragam buah-buahan, bunga-bungaan, dan hasil panen, akan tetapi tetap berada di dalam susunan aturan yang ketat dari Allah (Rahman, 2000).
Tumbuhan mengandung banyak vitamin dan mineral serta unsur-unsur alami lainnya yang memungkinkan bagi tubuh untuk menyerapnya. Tumbuhan juga mengandung sejumlah unsur non-mineral atau semi-mineral, misalnya oksigen, sulfat (garam asam belerang), yodium, nitrogen, arsenic (racun pembunuh serangga), fosfor, selenium, karbon, di samping sejumlah bahan mineral penting lain seperti kalsium, sodium, magnesium, besi dan cobalt (Rahman, 2000). Daun belimbing wuluh mengandung senyawa tanin, saponin dan flavonoid yang dapat digunakan sebagai antibakteri, penurun panas dan obat batuk. Al- Quran banyak menyebutkan tentang tumbuh-tumbuhan untuk dimanfaatkan oleh manusia. Sebagaimana Firman Allah dalam Q.S. Al-An'am ayat 141: %! !: > :- s :'- 9 _9 !=. ` .9 !9 !,:.` s ,:.` =2 . | . . )> !.> . | > .9 "Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon kurma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa dan tidak sama. Makanlah dari buahnya bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya; dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih- lebihan" (Q.S. Al-Anam:141).
2.2 Sejarah Penggunaan Tumbuhan Sebagai Obat Pengobatan dari Nabi SAW memang berbeda dengan ilmu medis para dokter pada umumnya. Pengobatan Nabi bersifat pasti dan absolut serta bernilai kedokteran Ilahi, berasal dari wahyu dari lentera kenabian serta kesempurnaan
intelegensi. Rasulullah SAW pernah menyebutkan bahwa tumbuhan herbal baik untuk digunakan sebagai obat . Tumbuhan herbal merupakan tumbuhan obat yang memang sangat berguna untuk membuang lemak dan racun-racun dalam tubuh manusia. Produk tumbuhan herbal banyak digunakan oleh kedokteran untuk mengurangi lemak berlebih penyebab obesitas dan menyembuhkan berbagai penyakit (Barazing, 2007). Beberapa tumbuhan herba yang sering digunakan oleh Rasulullah SAW untuk menyembuhkan beberapa penyakit antara lain madu, jintan hitam, air mawar, cuka buah, kurma, delima, bawang putih dan berbagai jenis makanan lainnya.
a) Ajwa (Kurma Ajwa) Kurma adalah buah, makanan, obat, minuman sekaligus gula-gula. Kurma dapat menguatkan lever, melunakkan buang air besar, menyembuhkan radang tenggorokan, dan menambah stamina bila dicampur dengan kayu cemara, dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim diriwayatkan hadist Saad bin Abi Waqqash, dari Nabi SAW bersabda : Q- -~- _-~- ;=- ,-- , ,=~ V ;~ ;-- 4- -,~- ;- . Barang siapa mengkonsumsi tujuh butir kurma ajwa pada pagi hari, maka pada hari itu ia tidak akan terkena racun ataupun sihir.
Sunan An-Nasai dan Ibnu Majah dari hadist Jabir dan Abu Said, bahwa Nabi SAW bersabda : ;=- -=-'-- , ;~- Q- '-~ . Q-- Q- '--- , Q--- '-~ ''- .
Kurma ajwa itu berasal dari surga. Ia adalah obat dari racun, seperti jamur truffle, airnya adalah obat penyakit mata.
Hadist di atas menjelaskan bahwa kurma ajwa al-madinah dikenal sebagai kurma hijaz terbaik secara mutlak. Bentuknya amat baik, padat, agak keras dan kuat, namun termasuk kurma yang paling lezat, paling harum dan paling empuk. Kurma ajwa berkasiat untuk menolak racun dan sihir (Al-Jauziyah, I.Q., 2007).
b) Habbatus Sauda (Jinten Hitam) Diriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim dari hadist Abu Salamah, dari Abu Hurairah, bahwa Rasullulah SAW bersabda : ;---- ;~- -=- --)- , J Q- '-~ ')-- '- , '~- V . hendaknya kalian mengkonsumsi jinten hitam. Karena jinten hitam mengandung obat untuk segala penyakit, kecuali as-saam.
Arti sabda Nabi SAW obat dari segala jenis penyakit, seperti firman Allah, menghacurkan segala sesuatu dengan perintah Rabb-nya yaitui segala sesuatu yang bisa hancur. Jinten hitam memang berkasiat mengobati segala penyakit panas. Syuwainiz berkasiat menghilangkan gas, mengatasi kebotakan, mengobati kusta, demam yang disertai batuk berdahak, mengeringkan lambung yang basah dan lembab, menghancurkan batu ginjal, memperlancar air seni, haid dan ASI bila diminum tiap hari, mengeluarkan cacing, dan membunuh bakteri dan lain-lain (Al-Jauziyah, I.Q., 2007).
c) Rumman (Delima) Allah SWT berfirman dalam surat Ar-Rahman ayat 68:
! 3 !' Di dalam keduanya ada (macam-macam) buah-buahan dan kurma serta delima.
Delima yang manis amat baik untuk lambung, mengobati sakit tenggorokan, batuk, dada dan paru-paru. Biji delima yang dicampur madu, amat berguna mengobati penyakit agnail dan koreng atau eksim basah, bahkan bisa menyembuhkan luka yang berdarah. Sebagian kalangan medis menyatakan, barang siapa mengkonsumsi tiga putik delima setiap tahun, ia akan selamat dari penyakit mata dalam satu tahun penuh. (Al-Jauziyah, I.Q., 2007). Banyak dari contoh-contoh tumbuhan yang sejak zaman nabi sudah dipakai untuk mengobati beberapa penyakit. Surat Al-Rad ayat 4, yang berbunyi: _{ _L% ,>. > s _ . s . +`. !, > `. !.-, ?s _-, 2{ | 9 )9 =)- Dan di bumi Ini terdapat bagian-bagian yang berdampingan, dan kebun-kebun anggur, tanaman-tanaman dan pohon korma yang bercabang dan yang tidak bercabang, disirami dengan air yang sama. kami melebihkan sebahagian tanam- tanaman itu atas sebahagian yang lain tentang rasanya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir (Qs. Ar-Rad :4)
Berdasarkan ayat di atas Allah SWT mencontohkan tanaman anggur dan kurma meskipun berada di tempat dan diberi air yang sama, Allah SWT melebihkan dengan rasanya. Kedua tanaman tersebut dilebihkan rasanya dan sekaligus kandungan senyawa aktifnya, misalnya pohon kurma mengandung senyawa aktif 60% pengganti gula, protein, pektin, tanin, tajin dan lemak.
Manfaat kurma sebagai penawar racun, menyuburkan kandungan dan lain-lain, sedangkan anggur manfaatnya adalah memudahkan buang air besar, menggemukkan badan dan bergizi (Farooqi, M.I.H., 2005).
2.3 Tanaman Belimbing Wuluh dalam Perspektif Ilmu Pengetahuan Belimbing wuluh pohonnya tergolong kecil, tinggi mencapai 10 m dengan batang tidak begitu besar, kasar berbenjol-benjol, dan mempunyai garis tengah hanya sekitar 30 cm. Percabangan sedikit, arahnya condong ke atas, cabang muda berambut halus seperti beludru berwarna coklat muda. Bentuk daun menyirip ganjil dengan 21-45 pasang anak daun. Bunga berukuran kecil dan berbentuk menyerupai bintang, warnanya ungu kemerahan. (Wijayakusuma, 2006).
Gambar 2.1 Daun Belimbing Wuluh (Dok Pribadi, 2009
Belimbing wuluh dapat tumbuh baik di tempat-tempat terbuka yang mempunyai ketinggian kurang dari 500 meter di atas permukaan laut. Tanaman ini tumbuh baik di daerah tropis dan di Indonesia banyak dipelihara di pekarangan atau kadang tumbuh liar di ladang atau tepi hutan. Tumbuhan belimbing wuluh
menghasilkan buah berwarna hijau dan kuning muda atau sering juga disebut berwarna putih (Thomas, 1992). Belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L) atau sering disebut belimbing asam merupakan salah satu tanaman yang tumbuh subur di seluruh daerah di Indonesia khususnya di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Tanaman ini termasuk salah satu jenis tanaman tropis yang mempunyai kelebihan yaitu dapat berbuah sepanjang tahun (Amnur, 2008). Klasifikasi ilmiah tanaman belimbing wuluh adalah (Dasuki, 1991) Kingdom : Plantae (tumbuhan) Subkingdom : Tracheobionta (berpembuluh) Superdivisio : Spermatophyta (menghasilkan biji) Divisio : Magnoliophyta (berbunga) Kelas : Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil) Sub-kelas : Rosidae Ordo : Geraniales Familia : Oxalidaceae (suku belimbing-belimbingan) Genus : Averrhoa Spesies : Averrhoa bilimbi L
2.3.1 Kandungan Kimia Daun Belimbing Wuluh batang belimbing wuluh mengandung senyawa saponin, tanin, glukosida, kalsium oksalat, sulfur, asam format. Daun belimbing wuluh mengandung tanin, sulfur, asam format, dan kalium sitrat Wijayakusuma (2006). Daun belimbing
mengandung tanin sedangkan batangnya mengandung alkaloid dan polifenol (Anonimouse, 2008). Penelitian Fahrani (2009) menunjukkan bahwa ekstrak daun belimbing wuluh mengandung flavonoid, saponin dan tanin. Dalimartha (2000) menjelaskan bahwa di dalam daun belimbing wuluh selain tanin juga mengandung sulfur, asam format , kalsium oksalat dan kalium sitrat. Bahan aktif pada daun belimbing wuluh yang dapat dimanfaatkan sebagai obat adalah tanin. Tanin ini juga digunakan sebagai astringent baik untuk saluran pencernaan maupun kulit dan juga dapat digunakan sebagai obat diare (Pansera, 2004). Daun belimbing wuluh juga mengandung senyawa peroksida yang dapat berpengaruh terhadap antipiretik, peroksida merupakan senyawa pengoksidasi dan kerjanya tergantung pada kemampuan pelepasan oksigen aktif dan reaksi ini mampu membunuh banyak mikroorganisme (Soekardjo, 1995).
2.3.2 Manfaat Belimbing Wuluh Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi L.) banyak ditanam sebagai pohon buah. Rasa buahnya asam digunakan sebagai sirup dan bahan penyedap masakan. Selain itu juga berguna untuk membersihkan noda pada kain, mengilapkan barang-barang yang terbuat dari kuningan dan sebagai obat tradisional (Wijayakusuma, 2006). Daun belimbing wuluh berkhasiat untuk mengurangi rasa sakit atau nyeri dan pembunuh kuman serta dapat menurunkan kadar gula darah, bunganya juga dapat digunakan sebagai obat batuk dan perasan air buah sangat baik untuk
asupan vitamin C dan di samping itu perasan buah juga dapat dipakai untuk keramas sebagai penghilang antiketombe, atau digosokkan sebagai penghilang panu (Arland, 2006). Rasa asam dan sejuk pada buah belimbing wuluh dapat menghilangkan sakit, memperbanyak pengeluaran empedu, antiradang, peluruh kencing (Wijayakusuma, 2006)
2.4 Senyawa Metabolit Primer dan Sekunder Kimia bahan alam merupakan hasil perkembangan ilmu kimia organik yang mempelajari senyawa-senyawa kimia yang tergolong metabolit sekunder. Senyawa-senyawa tersebut banyak ditemukan pada sumber alam, baik berupa tumbuhan, hewan yang masih hidup maupun yang sudah mati. Senyawa-senyawa bahan alam ini digolongkan berdasarkan empat kriteria yang berbeda yaitu: struktur kimia, keaktifan fisiologis, taksonomi dan biogenesis (Harborne, 1987). Senyawa metabolit adalah senyawa yang digolongkan berdasarkan biogenesisnya, artinya berdasarkan sumber bahan baku dan jalur biosintesisnya. Terdapat 2 jenis metabolit yaitu metabolit primer dan sekunder. Metabolit primer (polisakarida, protein, lemak dan asam nukleat) merupakan penyusun utama makhluk hidup, sedangkan metabolit sekunder meski tidak sangat penting bagi eksistensi suatu makhluk hidup tetapi sering berperan menghadapi spesies-spesies lain, misalnya zat kimia untuk pertahanan, penarik seks, feromon. Contoh dari senyawa metabolit sekunder adalah alkaloid, saponin, triterpen dan tanin (Rustaman, 2000).
2.5 Senyawa Tanin Tanin terdapat luas dalam tumbuhan berpembuluh, tanin dapat bereaksi dengan protein membentuk polimer yang tidak larut dalam air. Tanin merupakan senyawa metabolit sekunder yang berasal dari tumbuhan yang terpisah dari protein dan enzim sitoplasma. Senyawa tanin tidak larut dalam pelarut non polar, seperti eter, kloroform dan benzena tetapi mudah larut dalam air, dioksan, aseton, dan alkohol serta sedikit larut dalam etil asetat (Harborne, 1987).
O OH OH
Gambar 2.2 Struktur inti tanin (Harborne, 1987)
Tanin adalah suatu nama deskriptif umum untuk satu kelompok subtansi fenolik polimer yang mampu menyamak kulit atau mempresipitasi gelatin dari cairan, suatu sifat yang dikenal dengan astringent. Tanin terbentuk dari senyawa fenol yang berikatan atau bergabung dengan senyawa fenol-fenol yang lain sehingga membentuk polifenol dan pada akhirnya membentuk senyawa tanin (Pansera, 2004). Monomer tanin adalah digallic acid dan D-glukosa, ekstrak tanin terdiri dari campuran senyawa polifenol yang sangat komplek dan biasanya bergabung dengan karbohidrat, dengan adanya gugus fenol maka tanin akan dapat berkondensasi dengan formaldehid (Linggawati, 2002).
Tanin merupakan himpunan polihidroksi fenol yang dapat dibedakan dari fenol-fenol lain karena kemampuannya untuk mengendapkan protein. Tanin mempunyai aktivitas antioksidan, menghambat pertumbuhan tumor. Tumbuhan yang mengandung tanin banyak jenisnya diantaranya adalah daun teh, daun jambu biji, dan daun belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L.). Bahan aktif pada daun belimbing wuluh yang dapat digunakan sebagai anti diare dan antipiretik salah satunya adalah tanin. Tanin pada saat ini sudah banyak diisolasi dari tanaman dan dapat dijumpai di pasaran berupa bubuk atau serbuk putih kekuningan, amorf, beraroma khas. Tanin atau asam tannat biasanya mengandung H 2 O 10 % (Pansera dkk, 2004). Senyawa tanin yang menimbulkan rasa sepat pada jambu biji dapat dimanfaatkan untuk memperlancar saluran pencernaan dan sirkulasi darah serta dapat menyerang virus (Savitri, 2008). Tanin merupakan salah satu tipe dari senyawa metabolit sekunder yang mempunyai karakteristik sebagai berikut (Giner, 2001): 1. Merupakan senyawa oligomer dengan satuan struktur yang bermacam- macam dengan gugus fenol bebas 2. Berat molekul antara 100 sampai 20.000 3. Larut dalam air 4. Mampu berikatan dengan protein dan terbentuk kompleks tanin-protein Tanin merupakan astringent yang mengikat dan mengendapkan protein berlebih dalam tubuh. Senyawa tanin dalam bidang pengobatan digunakan untuk mengobati diare, hemostatik (menghentikan pendarahan), dan wasir. Kemampuan sarang semut secara empiris untuk pengobatan, misalnya untuk pengobatan
ambeien (wasir) dan mimisan diduga kuat berkaitan dengan kandungan senyawa tanin yang terdapat dalam sarang semut (Subroto, 2008). Tanin tumbuhan dibagi menjadi dua golongan yaitu tanin terkondensasi (tanin katekin) dan tanin terhidrolisiskan (tanin galat). Tanin terhidrolisis mengandung ikatan ester yang dapat terhidrolisis jika di didihkan dalam asam klorida encer. Bagian alkohol dari ester ini biasanya berupa gula yaitu glukosa. Tanin terhidrolisis biasanya berupa senyawa amorf, higroskopis, berwarna coklat kuning yang larut dalam air membentuk larutan koloid, tanin mudah diperoleh dalam bentuk kristal. Tanin terhidrolisis juga larut dalam pelarut organik yang polar tetapi tidak larut dalam pelarut organik non polar misalnya kloroform dan benzena (Robinson,1995). Tanin terhidrolisis merupakan molekul dengan poliol (umumnya dalam glukosa) sebagai pusatnya. Gugus hidroksi pada karbohidrat sebagian atau semuanya teresterifikasi dengan gugus karboksil pada asam gallat (gallotanin) atau asam gallat (ellagitanin), tanin terhidrolisis sedikit dalam tanaman (Giner- Chivez, 2001). Tanin terkondensasi banyak terdapat dalam paku-pakuan dan angiospermae terutama pada jenis tumbuhan berkayu. Tanin terkondensasi atau flavolan secara biosintesis terbentuk dengan cara kondensasi katekin tunggal (galokatekin) yang membentuk senyawa dimer dan kemudiaan oligomer yang lebih tinggi. Nama lain untuk tanin terkondensasi adalah protoantosianidin karena bila direaksikan dengan asam panas beberapa ikatan karbon-karbon penghubung satuan terputus dan dibebaskanlah monomer antosianidin (Harborne, 1984). Tanin
terkondensasi sangat reaktif terhadap formaldehid dan mampu membentuk produk kondensasi yang berguna untuk bahan perekat termosetting yang tahan air dan panas (Linggawati, 2002).
2.6 Pemisahan Senyawa Tanin 2.6.1 Ekstraksi Senyawa Tanin Ekstraksi adalah proses penarikan komponen atau zat aktif dengan menggunakan pelarut tertentu. Pemilihan metode ekstraksi senyawa dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu sifat jaringan tanaman, sifat kandungan, zat aktif serta kelarutan dalam pelarut yang digunakan. Prinsip ekstraksi adalah melarutkan senyawa polar dalam pelarut polar dan senyawa non polar dalam pelarut non polar (Guenter, 1997). Pemilihan metode ekstraksi bergantung pada tekstur dan kandungan air bahan tumbuhan yang diekstraksi dan pada jenis senyawa yang akan diisolasi. Prosedur untuk memperoleh kandungan senyawa organik dari jaringan tumbuhan kering (buah, biji dan daun) ialah dengan ekstraksi sinambung serbuk bahan dengan menggunakan alat soxhlet dengan pelarut tertentu (Harborne, 1984). Tanin merupakan senyawa polar dengan gugus hidroksi, sehingga untuk mengekstraksinya diperlukan senyawa-senyawa polar seperti air, etanol dan aseton. Senyawa non polar yang tidak dapat melarutkannya adalah karbon tetraklorida dan dietil eter sehingga dapat digunakan untuk melarutkan pengotor dan diperoleh tanin yang lebih murni. Pengekstraksi tanin yang baik adalah campuran air dengan pelarut organik misalnya metanol , etanol dan aseton berair
(7:3) yang mengandung asam askorbat 0,1%. Penambahan asam askorbat dalam pelarut aseton adalah untuk meminimumkan oksidasi tanin selama ekstraksi. Hal ini disebabkan oksidator akan bereaksi terlebih dahulu dengan asam askorbat yang lebih mudah teroksidasi (Abdurrohman, 1998). Deny (2007) dalam penelitianya menjelaskan bahwa tanin dapat diekstrak dari bagian-bagian tumbuhan tertentu dengan menggunakan pelarut. Pelarut yang umum adalah aseton, etanol, maupun metanol dan secara komersial tanin dapat diekstraksi dengan menggunakan pelarut air tetapi yang paling efektif untuk mengekstrak tanin dari kulit kayu dapat digunakan larutan air dengan etanol atau aseton dengan perbandingan 1:1. Cara tradisional untuk isolasi senyawa tanin tumbuhan adalah dengan menggunakan cara ekstraksi dengan air panas, penggaraman dengan natrium klorida, pengekstrasian kembali endapan dengan aseton, dan penghilangan lipid dari bahan yang larut dalam aseton dengan eter. Tanin dengan natrium klorida sedikit demi sedikit dapat terjadi pengendapan. Timbel atau seng asetat (10%) sering digunakan untuk mengendapkan tanin yang dapat dihilangkan dari endapan dengan cara penguraian memakai pereaksi hidrogen sulfida. Gelatin membentuk endapan juga dengan larutan tanin. Pengendapan dengan cara menambahkan larutan kalium asetat dalam alkohol kedalam larutan tanin dalam alkohol sering mempunyai nilai preparatif pada isolasi tanin (Robinson, 1995). Hagerman (1998) mengekstraksi tanin dari daun sorghum dengan metanol yang mengandung 10 mM asam askorbat, penambahan asam askorbat berfungsi sebagai antioksidan setiap ekstraksinya. Kemudiaan diekstrak dengan etil asetat
dan lapisan air (bawah) yang digunakan. Subiyakto dan Bambang (2003) untuk memperoleh ekstrak tanin dari kayu akasia, sampel diekstraksi dengan air panas (100C) selama 1 jam dengan perbandingan bahan dan pelarut 1 : 20. Larutan ekstrak diuapkan dengan menggunakan oven pada suhu 60C sehingga didapatkan ekstrak tanin. Di samping ekstraksi dengan air panas, dilakukan ekstraksi tanin dengan larutan NaOH 0,3% dengan prosedur yang sama.
2.6.1.1 Ekstraksi Tanin dengan Metode Maserasi Maserasi merupakan metode ekstraksi dingin yaitu proses pengekstrakan simplisia dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan, sehingga zat-zat yang terkandung di dalam simplisia relatif lebih aman jika dibandingkan dengan penggunaan ekstraksi panas (Cristina, 2008). Maserasi merupakan cara ekstraksi yang sederhana. Maserasi dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam pelarut. Pelarut akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif sehingga zat aktif akan larut, karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel, maka larutan yang terpekat didesak keluar. Pelarut yang digunakan dapat berupa air, etanol, air-etanol, atau pelarut lain. Keuntungan cara ekstraksi ini, adalah cara pengerjaan dan peralatan yang digunakan sederhana dan mudah diusahakan. Kerugian penggunaan metode ini adalah waktu pengerjaannya lama (Ahmad, 2006). Jaringan tumbuhan yang mengandung tanin dapat diekstrak dengan menggunakan metanol 50-80%. Ekstraksi dengan menggunakan metanol ini
hanya dapat mengekstrak tanin sebagian saja, karena bagian tanin yang lainnya akan terikat pada polimer lain di dalam sel (Harborne, 1984). Pemilihan pelarut untuk ekstraksi harus mempertimbangkan banyak faktor. Pelarut harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: murah dan mudah diperoleh, bereaksi netral, tidak mudah menguap dan tidak mudah terbakar, selektif dan tidak mempengaruhi zat berkhasiat (Ahmad, 2006). Pada penelitian ini digunakan beberapa pelarut berdasarkan tingkat kepolarannya, yaitu aquades, metanol, etanol dan aseton. Tingkat polaritas ini secara fisika dapat ditunjukkan dengan lebih pasti melalui pengukuran konstanta dielektrikum suatu bahan pelarut. Konstanta dielektrikum ini secara matematis ditunjukkan dalam rumus: D = 2 ' r f e e (2.1) dimana D adalah Konstanta Dielektrikum, f gaya tolak menolak dua partikel bermuatan listrik e dan e, sedang r adalah jarak antara partikel e dan e. Semakin besar Konstanta Dielektrikum suatu bahan pelarut disebut semakin polar (Sudarmdji dkk, 2007). Tabel berikut ini menunjukkan titik didih dan angka konstanta dielektrikum pelarut.
Tabel 2.1 Tetapan Dielektrikum Pelarut Pelarut Titik Didih o C Tetapan Dielektrikum (D) 2 Berat Jenis (g/cm 3 ) Air 100 80,37 1,00 Metanol 64,6 33,62 0,81 Etanol 78,5 24,30 0,791 Aseton 56,5 20,7 0,792 Klorofom 61,2 4,81 1,489 Etil Asetat 77 6,02 0,9 Sumber: Sudarmadji, 2003.
2.6.2 Identifikasi Senyawa Tanin 2.6.2.1 Uji Fitokimia Uji tanin yang paling dikenal adalah pengendapan gelatinnya. Larutan tanin ditambahkan kedalam larutan gelatin 0,5% yang volumenya sama. Semua tanin menimbulkan endapan sedikit atau banyak. Soebagio (2007) menguji tanin dari Ekstrak umbi bawang merah dengan melarutkan sedikit aquades kemudian dipanaskan di atas pemanas air lalu diteteskan dengan larutan gelatin 1% (1:1). Hasil positifnya yaitu terbentuknya endapan putih. Reaksi endapan lain untuk menguji adanya senyawa tanin adalah dengan amina atau ion logam. Seperti senyawa fenol lainnya dengan besi III klorida menghasilkan warna violet sampai biru (Robinson, 1995). Protoantosianidin dapat di deteksi langsung dalam jaringan tumbuhan hijau dengan mencelupkan kedalam HCl 2M mendidih selama setengah jam. Bila terbentuk warna merah yang dapat diekstraksi dengan amil atau butil alkohol maka ini merupakan bukti adanya senyawa tersebut (Harborne,1987). Tanin terhidrolisis dan terkondensasi menunjukkan reaksi yang berbeda dalam larutan garam Fe III, tanin terkondensasi meghasilkan warna hijau kehitaman sedangkan tanin terhidrolisis menghasilkan warna biru kehitaman. (Widowati, 2006).
2.6.2.2 Identifikasi dengan Kromatografi KLT dapat digunakan untuk uji identifikasi senyawa baku. Parameter pada KLT yang digunakan untuk identifikasi adalah nilai Rf. Dua senyawa dikatakan
identik jika mempunyai nilai Rf yang sama jika diukur pada kondisi yang sama (Rohman, 2007). Olivia, (2005) mengidentifikasi senyawa tanin dari kulit batang daun salam dilakukan dengan kromatografi kertas Whatman No.1 pengembang yang digunakan adalah n-butanol-asam asetat-air (4:1:5). Pola kromatogram menunjukkan 2 bercak berwarna merah muda dan jingga pada Rf 0,39 dan 0,53. Isolasi larutan merah tua dilakukan pada kromatografi kertas Whatman No.3 dan pengembang n-butanol-asam asetat-air (4:1:5). Isolat zat warna coklat dari kulit batang salam mengandung prodelfinidin (tanin terkondensasi) dan antosianidin. Yuliani (2003 ) dalam penelitiannya mengidentifikasi dan menganalisa ekstrak tanin dari daun jambu biji secara visual dan kromatografi lapis tipis. Untuk mengetahui karakteristik ekstrak, maka identifikasi dilakukan dengan cara pengamatan secara visual meliputi bentuk, warna, aroma dan rasa ekstrak, juga terhadap kadar airnya. Sedangkan analisa ekstrak secara KLT dilakukan menurut metode Harborne yang telah dimodifikasi, dengan meggunakan eluen toluen : etil asetat (3:1) dengan media silika gel 60 GF 254 dan untuk pendeteksi menggunakan ferri Sulfat, dari hasil pengamatan terhadap hasil KLT dari ekstrak jambu biji diketahui bahwa ketiga tipe daun jambu biji mempunyai jumlah bercak yang berbeda.
Tabel 2.2 Nilai Rf dari beberapa ekstrak daun jambu biji Ekstrak dari ketiga daun jambu biji Jumlah bercak Nilai Rf 1 9 bercak 0,23 0,94 2 9 bercak 0,13 0,94 3 5 bercak 0,16 0,59
Identifikasi senyawa tanin juga dapat dilakukan dengan menggunakan metode HPLC untuk deteksi tanin terkondensasi yaitu dengan menggunakan kolom Li Chrosorb RP-8 yang dielusi dengan campuran air-metanol (Harborne, 1987), dalam penelitiaan Lidyawati (2007), hasil analisa kromatogram KCKT fraksi ekstrak metanol dari daun belimbing wuluh menunjukkan terdapatnya glikosida vanilat pada puncak 2, sedangkan puncak 5 yang dominan diduga sebagai senyawa tanin.
2.6.3 Penentuan Kadar Tanin 2.6.3.1 Penentuan Kadar Tanin dengan Metode Lowenthal-Procter Prinsip penentuan kadar tanin dengan metode Lowenthal-Procter berdasarkan jumlah gugus fenol pada tanin. Tanin termasuk golongan senyawa yang memiliki gugus fenol, sehingga jumlah gugus fenol ini diasumsikan mewakili jumlah tanin secara keseluruhan. Titrasi dengan larutan kalium permanganat, gugus fenol pada tanin akan teroksidasi. Jumlah gugus fenol berbanding lurus dengan jumlah kalium permanganat yang diperlukan untuk titrasi. Sebagai indikator redoks digunakan larutan indigokarmin dan warna yang dihasilkan adalah kuning emas. Penentuan kadar tanin dengan menggunakan persamaan berikut (Sudarmadji, 1997). Perhitungan : 1 ml KMnO 4 0,1 N = 0,00416 g tanin Kadar tanin = (50 A 50 B) x 0,00416 x 100 % S
(A-B) : Banyaknya KMnO 4 yang diperlukan untuk titrasi (A merupakan senyawa tanin dan B merupakan senyawa non tanin) S : Berat sampel
2.6.3.2 Penentuan Kadar Tanin dengan Spektrofotometer UV-Vis Penetapan kadar tanin dengan metode spektofotometri dilakukan oleh Price dan Butler untuk daun sorgum, metode ini didasarkan atas reaksi pembentukan warna yaitu reduksi ion ferri menjadi ion ferro oleh senyawa tanin dan polifenolik lainnya, diikuti oleh pembentukan kompleks ferrisianida dan ion fero. Warna yang terbentuk diukur absorbansinya dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 720 nm (Muhtady, 1999). Dianty (2008) menentukan kadar tanin pada daun dan kulit batang buah rambutan (Nephelium Lappaceum) menggunakan spektrofotometer UV-Vis dengan metode biru prusi pada sistem kompleks K 3 [Fe(CN) 6 ]. Metode tersebut digunakan untuk analisis kualitatif dengan intensitas warna yang dibentuk oleh senyawa kompleks K 3 [Fe(CN) 6 ], yaitu kuning, hijau dan biru. Prinsip penentuan kadar tanin secara kuantitatif adalah kurva standar konsentrasi fero dan asam galat pada panjang gelombang 690,0 nm, dalam analisis kuantitatif tanin digunakan variasi suhu, waktu pengocokan dan pelarut. Kadar tanin dalam larutan sampel dihitung dengan Ekuivalen Asam Galat (EAG). Sumartha (2000) mengukur kadar tanin pada buah salak dengan spektrofotometer yaitu pada air ditambahkan sodium tungstat, dan asam posfomolibdat dan asam posforat. Campuran di reflux selama 2 jam dan
dinginkan sampai 25 o C dan larutkan sampai 1L dengan air. Air ditambahkan sodium karbonat anhidrous, dilarutkan pada suhu 70-80 o C dan dinginkan satu malam. Larutan standart dibuat dengan melarutkan asam tanat dalam air. Persiapkan larutan baru untuk setiap determinasi (1 mL = 0.1 mg asam tanat). Larutan ditambahkan reagen Folin-Denis dan larutan Na 2 CO 3 dan setelah 30 menit diukur pada panjang gelombang 760 nm terhadap blank yang disesuaikan pada absorbansi 0.
Penentuan kadar tanin yaitu dengan kalkulasi sebagai berikut:
2.6.3.3 Penentuan Kadar Tanin dengan Metode Stiansy Test Metode kuantitatif untuk tanin salah satu nya adalah stiansy test. Reaksi yang terjadi didasarkan pada kereaktifan struktur flavonoid dari tanin terkondensasi terhadap formaldehid. Hasil reaksi ini akan membentuk endapan sehingga secara kuantitatif dapat diketahui adanya tanin terkondensasi (Giner, 1997). Linggawati (2002) dalam penelitianya menentukan kadar tanin dengan metode stiansy test yaitu sebanyak 0,5 gram contoh tanin dilarutkan dalam 175 ml aquades, ditambahkan 28,5 ml HCl 0,28 N dan 1 ml formaldehid 37%. Larutan diaduk selama 5 menit dan disimpan selama 5 jam. Endapan yang terbentuk dibilas dengan aquades, endapan dikeringkan dalam oven dan didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang. Kadar tanin terkondensasi dihitung berdasarkan gravimetri. mg asam tanat x pelarutan x 100 mL sampel yang diukur x Berat sampel x 1000 Tanin sebagai Asam tanat (%) =
2.7 Antibakteri Antibakteri adalah senyawa yang dapat menghambat pertumbuhan atau mematikan bakteri. Antibakteri dalam definisi yang luas adalah suatu zat yang mencegah terjadinya pertumbuhan dan reproduksi bakteri. Antibiotik maupun antibakteri sama-sama menyerang bakteri, kedua istilah ini telah mengalami pergeseran makna selama bertahun-tahun sehingga memiliki arti yang berbeda. Antibakteri biasanya dijabarkan sebagai suatu zat yang digunakan untuk membersihkan permukaan dan menghilangkan bakteri yang berpotensi membahayakan (Volk and Wheeler, 1993). Bakteri yang digunakan untuk uji antibakteri dalam penelitiaan ini adalah S. aureus dan E. coli. S. aureus adalah bakteri gram positif dan E. coli adalah gram negatif, perbedaan dari kedua bakteri dapat dilihat pada tabel 2.3.
Tabel 2.3 Perbedaan susunan dinding sel bakteri Gram positif dan Gram negatif No Gram positf Gram negatif 1. Komponen terbesar terdiri dari mukopeptida Terdiri dari tiga lapisa : a. Lapisan dalam adalah mukopeptida b. Lapisan bagian luar terdiri dua lapisan yaitu lipopolisakarida dan lipoprotein 2 Pada beberapa bakteri terdapat asam teikhoik Tidak ada asam teikhoik 3 Mukopeptida mengalami lisis oleh lisozim Lisozim melunakkan dinding sel dan merusak lapisan lipida 4 Dinding sel tebal 25-30 nm Dinding sel tipis 10-15 nm Sumber: Irianto (2006)
Antibakteri adalah jenis bahan tambahan yang digunakan dengan tujuan untuk mencegah kebusukan atau keracunan oleh mikroorganisme pada bahan pangan. Beberapa jenis senyawa yang mempunyai aktivitas antibakteri adalah sodium benzoat, senyawa fenol, asam-asam organik, asam lemak rantai medium dan esternya, sulfur dioksida dan sulfit, nitrit, senyawa kolagen dan surfaktan, dimetil karbonat dan metil askorbat. Antibakteri alami baik dari produk hewani, tanaman maupun mikroorganisme misalnya bakteriosin (Luthana, 2008). Zat antibakteri dapat bersifat bakterisidal (membunuh bakteri), baktei static (menghambat pertumbuhan bakteri), dan germisidal (menghambat germinasi spora bakteri). Kemampuan suatu zat antimikrobia dalam menghambat pertumbuhan bakteri dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya : 1) konsentrasi zat pengawet, 2) jenis, jumlah ,umur, dan keadaan mikrobia, 3) suhu, 4) waktu, dan 5) sifat-sifat kimia dan fisik makanan termasuk kadar air, pH, jenis dan jumlah komponen di dalamnya (Luthana, 2008).
2.7.1 Pengujian Aktivitas Antibakteri Pengujian aktivitas antibakteri adalah teknik untuk mengukur seberapa besar potensi atau konsentrasi suatu senyawa dapat memberikan efek bagi mikoorganisme (Dart, 1996). Senyawa antibakteri dapat bersifat menghambat pertumbuhan bakteri atau disebut bakteriostatik dan ada yang bersifat membunuh bakteri atau disebut bakterisidal (Ganiswarna, 1995). Metode pengujian aktivitas antibakteri secara garis besar terdiri dari dua macam yaitu metode difusi dan dilusi. Metode difusi yang sering digunakan salah
satunya adalah metode disc diffusion (test Kirby dan Bauer), pada metode ini piringan atau kertas cakram yang berisi agen antimikroba diletakkan pada media Agar yang telah ditanami mikroorganisme yang akan berdifusi pada media agar tersebut. Area jernih mengindikasikan adanya hambatan pertumbuhan miukroorganisme pada permukaan media agar (Pratiwi, 2008). Diameter zona hambatan yang terbentuk diukur menggunakan penggaris dengan cara mengurangi diameter keseluruhan (cakram + zona hambatan) dengan diameter cakram (Volk and Wheeler, 1993). Proses pegujian aktivitas antibakteri harus mempertimbangkan banyak faktor agar hasil yang diperoleh lebih relevan. Faktor-faktor yang sangat mempengaruhi pada pengujian aktivitas antimikroba adalah sebagai berikut (Irianto, 2006): 1. pH lingkugan Beberapa macam obat lebih aktif pada pH asam dan pada pH alkalis 2. Komponen-komponen medium 3. Stabilitas obat 4. Takaran inokulum Umumnya semakin besar inokulum bakteri, maka kesensitifan organisme akan semakin rendah. Populasi bakteri yang besar dapat menghambat tumbuhnya bakteri lebih kurang cepat daripada populasi yang lebih kecil dan terjadinya mutan resisten lebih besar 5. Lama inkubasi
Semakin lama waktu inkubasi semakin besar kemungkinan timbulnya mutan yang resisten. 6. Aktivitas metabolisme mikroorganisme
2.7.2 Tanin Sebagai Antibakteri Tanin diduga berperan sebagai antibakteri karena memiliki kemampuan membentuk senyawa kompleks dengan protein melalui ikatan hidrogen, jika terbentuk ikatan hidrogen antara tanin dengan protein kemungkinan protein akan terdenaturasi sehingga metabolisme bakteri menjadi terganggu (Makkar, 1991). Tanin merupakan growth inhibitor sehingga banyak mikroorganisme yang dapat dihambat pertumbuhannya oleh tanin. Buah-buahan yang telah matang umumnya lebih peka terhadap serangan mikroba daripada yang masih muda, hal ini kemungkinan disebabkan menurunnya kandungan tanin dalam buah tersebut. Enzim yang dikeluarkan oleh mikroba adalah protein dan protein akan mengendap oleh tanin sehingga enzim tersebut tidak akan aktif (Winarno, 1981). Tanaman diduga memproduksi tanin sebagai upaya pertahanan melawan jamur dan bakteri pathogenik serta melawan pemakannya seperti serangga dan herbivora. Tanin juga banyak digunakan dalam industri kulit untuk mencegah pembusukan, terdapat beberapa peneliti berpendapat mengenai mekanisme antimikroba senyawa tanin. Vargaz (2002) menyebutkan bahwa aktivitas antimikroba tanin kemungkinan berhubungan dengan penghambatan enzim antimikroba seperti celulase pektinase dan xylonase selain itu tanin juga dapat meracuni membran sel. Senyawa tanin dapat menghambat dan membunuh
pertumbuhan bakteri dengan cara bereaksi dengan membran sel, inaktivasi enzim- enzim esensial dan destruksi atau inaktivasi fungsi dan materi genetik. Tanin berperan sebagai antibakteri karena dapat membentuk komplek dengan protein dan interaksi hidrofobik, jika terbentuk ikatan hidrogen antara tanin dengan protein enzim yang terdapat pada bakteri maka kemungkinan akan terdenaturasi sehingga metabolisme bakteri terganggu, selain itu dengan adanya tanin (asam tanat) maka akan terjadi penghambatan metabolisme sel, mengganggu sintesa dinding sel, dan protein dengan mengganggu aktivitas enzim. Tanin dapat dibentuk dengan kondensasi derivatif flavon yang ditransportasikan ke jaringan kayu dari tanaman. Tanin juga dapat dibentuk dengan polimerisasi unit quinon. Konsumsi minuman yang mengandung tanin, terutama teh hijau dan anggur merah dapat mengobati atau mencegah sejumlah penyakit. Banyak aktivitas fisiologik manusia, seperti stimulasi sel-sel fagositik, host-mediated tumor activity, dan sejumlah aktivitas anti-infektif telah ditetapkan untuk tanin. kemampuan molekul tanin adalah membentuk kompleks dengan protein melalui kekuatan non-spesifik seperti ikatan hidrogen dan efek hidrofobik sebagaimana pembentukan ikatan kovalen. Cara kerja aksi antimikroba tanin dapat terjadi karena berhubungan dengan kemampuannya untuk menginaktivasi adhesin mikroba, enzim, protein transport cell envelope (Naim, 2005). Tanin yang terdapat dalam daun teh dapat digunakan sebgai pengawet misalnya pengawet untuk telur asin, berdasarkan penelitian Zulaekah (2005). Hasil perhitungan jumlah total bakteri, menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi ekstrak daun teh yang digunakan pada pembuatan telur asinan
menghasilkan telur asin rebus dengan jumlah total bakteri paling sedikit. Ekstrak daun teh merupakan larutan yang mengandung tanin, sedang larutan tanin dari bahan nabati digunakan untuk menyamak kulit telur. Semakin tinggi konsentrasi ekstrak daun teh pada proses pembuatan telur asin rebus maka semakin tinggi pula kadar tanin yang berfungsi sebagai bahan penyamak kulit telur. Keadaan ini menyebabkan mikroorganisme yang ada diluar telur akan lebih sulit masuk dalam telur sehingga jumlahnya akan lebih sedikit. Schamderl (1970) menyebutkan bahwa tanin adalah suatu senyawa fenolaktif pada penyamakan kulit dan penyebab rasa sepat. Maryati (2009) dalam penelitianya menunjukkan bahwa kandungan kimia daun jambu biji berupa tanin dapat mengawetkan telur ayam ras. Tanin akan bereaksi dengan protein yang terdapat dalam kulit telur yang mempunyai sifat menyerupai kolagen kulit hewan sehingga terjadi proses penyamakan kulit berupa endapan berwarna coklat yang dapat menutup pori-pori kulit telur dan kulit telur tersebut menjadi impermeable (tidak dapat tembus) terhadap gas dan udara dan pengawetan telur ayam ras dengan memanfaatkan daun jambu (Psidium guajava L.) mempunyai biaya pengolahan yang murah dan mutu telur ayam ras bertahan selama kurang lebih satu bulan. Harborne (1987) mengatakan bahwa tanin yang terkandung dalam ekstrak akan mengganggu sel pada bakteri patogen dalam penyerapan protein oleh cairan sel, hal ini dapat terjadi karena tanin dapat menghambat proteolitik yang berperan menguraikan protein menjadi asam amino. Secara medis, tanin umum digunakan sebagai komponen antidiare, hemostatic dan antihermorrhoidal. Tanin juga
bersifat toksik bagi mikroba dalam tiga mekanisme yaitu penghambatan enzim dan substrat oleh mikroba, menganggu membran dan menghambat penggunaan ion logam oleh mikroba (Shahidi, 2007). Senyawa aktif dalam tanaman obat tertentu kemungkinan berupa tanin beberapa penelitian membuktikan bahwa tanin mempunyai aktifitas antibakteri dan antimikrobial seperti tercantum dalam tabel 2.4
Tabel 2.3 Aktivitas antibakteri senyawa tanin Aktivitas anti microbial Hasil penelitian Asam tanat melawan Meulius Lacrymans dan jenis penicilium Menghambat pertumbuhan pada 10-20 gram/l
Tanin terkondensasi melawan Botrytis Cinerea
Menghambat
Tanin
Bakteriostatik/bakterisidal melawan S aerus dan streptococus pneumoniae, bacillus antracis Tanin yang dimurnikan melawan bakteri karsinogenik Streptococus mutan dan S sabrinus dihambat oleh tanin terkondensasi
Masduki (1996) dalam Ajizah (2004) menyatakan bahwa tanin juga mempunyai daya antibakteri dengan cara mempresipitasi protein, karena diduga tanin mempunyai efek yang sama dengan senyawa fenolik. Efek antibakteri tanin antara lain melalui: reaksi dengan membran sel, inaktivasi enzim, dan destruksi atau inaktivasi fungsi materi genetic, karena tanin pada daun jambu biji cukup banyak, penghambatan pertumbuhan bakteri Salmonella typhimurium diduga juga disebabkan oleh mekanisme ini.
2.7.3 Mekanisme Penghambatan Antibakteri Menurut Mc Kane dan Kendali (1986) struktur sel Staphylococus aereus adalah gram positif. Bakteri yang termasuk gram positif sangat sensitif terhadap antimikroba yang mempunyai target menghambat sintesis dinding sel. Sedangkan bakteri gram negatif lebih tahan terhadap antimikroba jenis ini. Pada bakteri gram positif dinding selnya tebal dan homogen (10-80 nm), komposisi kimianya terdiri dari peptidoglikan (utama), asam teikoat, polisakarida. Dinding sel bakteri gram negatif terdiri dari lapisan dalam 2-3 nm, lapisan luar 7-8 nm dengan komposisi kimia lipopolisakarida (utama), peptidoglikan, fosfolipid, lipoprotein dan protein. Antibakteri dapat bekerja menghambat atau membunuh sel bakteri dengan cara sebagi berikut : 1. Mempengaruhi metabolisme sel mikroba Bakteri patogen memerlukan asam folat untuk kelangsungan hidupnya, bakteri patogen mensintesis asam folat dari amino benzoat (paba) untuk kebutuhan hidupnya, jika anti bakteri dapat bersaing dengan paba untuk ikut serta dalam pembentukan asam folat, maka akan terbentuk asam folat yang analog non fungsional (Ganiswarna 1995). 2. Mengganggu sintesis dinding sel Dinding sel bakteri tersusun dari peptidoglikan yaitu suatu polimer mikopeptida (glikopeptida). Penghambatan pertumbuhan bakteri melalui mekanisme penghambatan sintesis dinding sel melibatkan gangguan pada sintesis peptidoglikan, padahal peptidoglikan merupakan komponen utama dinding sel bakteri gram positif.
3. Mempengaruhi permeabilitas membran Senyawa antibakteri yang dapat berikatan dengan gugus fosfat pada fosfolipid membran sel bakteri dapat mengubah permeabilitas permukaan. Kerusakan membran sel ini dapat menyebabkan keluarnya berbagai komponen penting dari dalam sel antara lain protein asam nukleat, sehingga dapat mengganggu kelangsungan hidup sel bakteri. 4. Menghambat sintesis protein 5. Mengganggu sintesis asam nukleat 6. Mengganggu aktifitas enzim Senyawa antibakteri yang berupa asam misalnya asam benzoat dapat menghambat beberapa enzim yang terlibat dalam siklus asam sitrat antara lain a-ketoglurat dan asam suksinat dehidrogenase
BAB III METODOLOGI
3.1 Pelaksanaan Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September sampai November 2009 di Laboratorium Kimia Organik dan Laboratorium Mikrobiologi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
3.2 Alat dan Bahan 3.2.1 Alat Alat yang digunakan untuk proses ekstraksi dan penentuan kadar tanin dalam penelitian ini adalah kertas saring, neraca analitik, seperangkat alat gelas, corong pisah, rotary evaporator dan buret. Alat yang digunakan untuk uji antibakteri adalah cawan petri, tabung reaksi, kertas, kapas, botol media, jarum ose, pinset, inkubator, kompor listrik, autoklaf, bunsen, pipet mikro dan penggaris.
3.2.2 Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun belimbing wuluh yang masih muda. Bahan-bahan kimia yang digunakan dalam penelitiaan ini adalah metanol p.a, aseton p.a, etanol p.a, kloroform p.a, etil asetat p.a, FeCl 3 1 %, formalin, HCl, larutan gelatin, indikator indigokarmin, KMnO 4 , Na-oksalat dan Asam askorbat. 39
Bahan yang digunakan untuk uji antibakteri adalah nutrien agar, alkohol 90%, kertas wathman, aquades steril, wrap serta biakan bakteri S. aureus dan E. coli yang diperoleh dari laboratorium mikrobilogi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.
3.3 Rancangan Penelitian Penelitian ini dilaksanakan secara eksperimental di laboratorium, sampel daun belimbing wuluh yang masih muda dikeringkan kemudian dihaluskan dan diekstraksi. Proses ekstraksi dilakukan dengan 4 variasi pelarut, yaitu air hangat, metanol, etanol, aseton : air (7:3). Masing-masing ekstrak diuji kuantitatif kadar tanin dengan metode Lowenthal-Protecter untuk mengetahui ekstrak terbaik yaitu pelarut yang dapat mengekstrak tanin dengan kadar tertinggi, ekstrak terbaik yang diperoleh diuji aktivitas antibakteri terhadap bakteri Staphylococcus aureus dan Echercia coli dilakukan secara in vitro dengan variasi konsentrasi ekstrak tanin dari pelarut terpilih (50, 100, 150, 200, 250, 300, 350, 400 mg/ml) menggunakan metode difusi cakram (test Kirby dan Bauer).
3.4 Tahapan Penelitian 1. Preparasi sampel 2. Ekstraksi senyawa tanin dengan metode maserasi dengan variasi pelarut 3. Uji kadar tanin hasil ekstraksi dengan metode Lowenthal-Procter 4. Uji aktivitas antibakteri dari hasil ekstrak terbaik 5. Analisis data
3.5 Pelaksanaan Penelitian 3.5. 1 Preparasi Sampel Sampel daun belimbing yang masih muda dicuci dengan air kemudiaaan dipotong kecil-kecil dan dikeringkan didalam oven pada suhu 60C selama 5 jam, selanjutnya didinginkan dan dihaluskan sampai menjadi bubuk.
3.5.2 Ekstraksi Tanin dengan Metode Maserasi Sampel sebanyak 50 gram direndam menggunakan 400 ml pelarut metanol p.a dan ditambah 10 ml asam askorbat, didiamkan selama 2 x 24 jam dengan beberapakali pengocokan yang dibantu dengan menggunakan shaker, kemudiaan disaring, ekstrak yang diperoleh dipekatkan dengan menggunakan rotary evaporator, kemudiaan ekstrak pekat diekstraksi kembali dengan 25 ml kloroform menggunakan corong pisah sehingga terbentuk dua lapisan dan dilakukan pengulangan 4 kali. Lapisan bawah (kloroform) dipisahkan dan lapisan air diekstraksi dengan etil asetat 25 ml sehingga terbentuk dua lapisan. Lapisan etil asetat (atas) dipisahkan dan lapisan air (bawah) dan dipekatkan kembali dengan menggunakan rotary evaporator, sehingga diperoleh ekstrak tanin (Nuraini, 2002). Perlakuan di atas diulang untuk pelarut air hangat (aquades yang dipanaskan pada suhu pemanasan 50 C), etanol p.a dan aseton : air (7:3).
3.5.3 Uji Tanin Ekstrak daun belimbing wuluh dari masing-masing pelarut diambil sebanyak 3 ml dan dimasukkan ke dalam 3 tabung reaksi. Ekstrak pada tabung
pertama direaksikan dengan 3 tetes larutan FeCl 3 1%. Jika larutan mengandung senyawa tanin akan menghasilkan warna hijau kehitaman atau biru tua. Pada tabung kedua ditambahkan dengan larutan gelatin jika terbentuk endapan putih senyawa positif mengandung tanin. Pada tabung ketiga digunakan untuk membedakan tanin katekol dan galat dengan cara menambahkan ekstrak dengan formadehid 3% : asam klorida (2:1) dan dipanaskan dalam air panas dengan suhu 90C jika terbentuk endapan merah muda merupakan tanin katekol. Filtrat dipisahkan dengan disaring dan dijenuhkan dengan Na-Asetat dan ditambahkan FeCl 3 1% adanya tanin galat ditunjukkan dengan terbentuknya warna biru tinta atau hitam. Uji tanin dilakukan pada setiap ekstrak yang diperoleh dalam setiap tahapan ekstraksi (Widowati, 2006).
3.5.4 Uji Kadar Tanin Metode Lowenthal Procter (Sudarmadji, 1997) Sebanyak 1 gram ekstrak ditambah 100 ml aquades, kemudiaan diambil 50 ml ditambah dengan 2 ml larutan indigokarmin kemudian dititrasi dengan larutan KMnO 4 0,1 N sampai warna kuning emas (A ml). Selanjutnya diambil 50 ml ditambah berturut-turut 10 ml larutan gelatin, 20 ml larutan NaCl jenuh, 2 gram serbuk kaolin kemudian digojok kuat-kuat selama beberapa menit dan disaring . Filtrat dicampur dengan larutan indigokarmin sebanyak 2 ml dan selanjutnya titrasi dengan larutan KMnO 4 0,1 N (\ B ml). Standarisasi larutan KMnO 4 dengan Na - Oksalat.
Perhitungan : 1 ml KMnO 4 0,1 N = 0,00416 g tanin Kadar tanin = (50 A 50 B) x 0,00416 x 100 % Berat sampel (A-B) : Banyaknya KMnO 4 yang diperlukan untuk titrasi. A : Senyawa Tanin B : Senyawa Non Tanin
3.5.5 Uji Antibakteri 3.5.5.1 Sterilisasi Alat Sterilisasi alat dilakukan sebelum semua peralatan digunakan, yaitu dengan cara semua alat dibungkus menggunakan kertas dan disterilkan dalam autoklaf pada 121 o C dengan tekanan 15 psi (per square inci) selama 15 menit. Alat yang tidak tahan terhadap panas tinggi disterilkan dengan alkohol 90 %.
3.5.5.2 Pembuatan Media Padat Pembuatan media dilakukan dengan cara 2 g nutrien agar dilarutkan dalam 100 ml aquades. Suspensi yang dihasilkan dipanaskan sampai mendidih, kemudian dimasukkan dalam beberapa tabung reaksi masing-masing sebanyak 10 ml dan 5 ml kemudian ditutup dengan kapas. Proses ini dilakukan di dekat nyala api. Tabung-tabung tersebut kemudian disterilkan dalam autoklaf pada 121 o C dengan tekanan 15 psi selama 15 menit kemudian tabung reaksi yang berisi 5 ml NA diletakkan dalam posisi miring sampai padat pada suhu ruang (Volk and Wheeler, 1993).
3.5.5.3. Peremajaan Biakan Murni Biakan murni bakteri diremajakan pada media Nutrien Agar yang diletakkan dalam posisi miring dengan cara menggoreskan jarum ose yang mengandung bakteri S. aureus dan bakteri E. coli secara aseptis yaitu dengan mendekatkan mulut tabung pada nyala api saat menggoreskan jarum ose. Kemudian tabung reaksi ditutup kembali dengan kapas dan diinkubasi selama 48 jam pada suhu 37 o C dalam inkubator.
3.5.5.4 Pembuatan Biakan Aktif Satu ose hasil peremajaan biakan murni bakteri dibiakkan dalam 10 mL Nutrient Broth dihomogenkan dan diinkubasi selama 24 jam. Larutan ini berfungsi sebagai biakan aktif.
3.5.5.5 Uji Antibakteri Media padat yang telah dipanaskan hingga mencair, didinginkan sampai suhu 40 o C, dan dituang dalam cawan petri steril yang telah ditambahkan 0,1 mL larutan biakan aktif bakteri, dihomogenkan dan dibiarkan hingga memadat. Kertas cakram (diameter 5 mm) diresapkan dalam ekstrak dan kontrol. Proses peresapan dilakukan dengan cara meneteskan 20 L kontrol positif (penisilin dan streptomisin), kontrol negatif (pelarut) dan ekstrak tanin dari pelarut terbaik (Zakaria et al., 2007). Selanjutnya diinkubasi pada suhu 37 o C selama 18-24 jam. Pembacaan awal dapat dilakukan setelah 6-8 jam. Diameter zona hambatan yang terbentuk diukur menggunakan penggaris (Volk and Wheeler, 1993). Uji
antibakteri dilakukan dengan menggunakan ekstrak terbaik ekstrak tersebut diuji untuk mengetahui efektifitas senyawa antibakteri pada daun belimbing wuluh (kosentrasi ekstrak 50, 100, 150, 200, 250, 300, 350 dan 400 mg/mL) dan zona hambatan diukur dengan cara mengurangi diameter keseluruhan (cakram + zona hambatan) dengan diameter cakram. Sehingga dapat diketahui nilai konsentrasi dari tanin yang dapat menghambat bakteri. Pada penelitian ini kontrol positif penisilin (konsentrasi 25 mg/mL) digunakan untuk bakteri S. aureus dan kontrol positif streptomisin (konsentrasi 6,25 mg/mL) untuk bakteri E. coli (Soetan et al., 2006), dan kontrol negatif adalah pelarut yaitu dengan mresapakn 20l pelarut kedalam cakram.
3.6 Analisis Data Analisis Data pada penelitian ini dilakukan dengan cara mendeskripsikan data-data yang diperoleh dalam bentuk tabel untuk mengetahui nilai konsentrasi tanin dari masing-masing pelarut dan untuk mengetahui aktivitas antibakteri dari pelarut terpilih digunakan uji statistik dengan uji BNT 1 %.
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Preparasi Sampel Daun Belimbing Wuluh Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L.) yang masih muda dan telah dikeringkan. Pemilihan daun belimbing wuluh yang masih muda karena senyawa tanin yang terkandung lebih banyak, hal ini juga didukung oleh Harborne (1987) yang menyatakan daun muda lebih tahan terhadap hama daripada daun tua karena kandungan senyawa tanin pada daun muda lebih banyak daripada daun tua, dikarenakan tanin pada daun tua sebagian telah mengalami oksidasi sehingga dalam penelitian ini digunakan daun belimbing wuluh yang masih muda. Pengeringan dilakukan untuk mengurangi kadar air dalam daun belimbing wuluh sehingga diharapkan proses ekstraksi berlangsung lebih cepat. Proses pengeringan juga dilakukan terkait dengan sifat daun belimbing wuluh yang mudah busuk, dan dengan pengeringan diharapkan daun belimbing wuluh akan lebih awet dan tahan terhadap mikroba. Proses pengeringan terhadap daun belimbing wuluh dilakukan dengan menimbang sebanyak 500 gram daun segar dan dicuci dengan air bersih. Daun belimbing wuluh yang telah bersih diiris tipis kemudian dioven selama 5 jam pada suhu 60 o C. Daun belimbing wuluh yang telah kering dihaluskan untuk memperoleh sampel berupa serbuk. Proses ini bertujuan untuk memperluas permukaan sampel sehingga kontak antara sampel dan pelarut semakin mudah sehingga proses ekstraksi berlangsung lebih mudah. 46
4.2 Ekstraksi Senyawa Tanin Ekstraksi merupakan salah satu cara pemisahan satu atau lebih komponen yang terdapat dalam suatu bahan menggunakan pelarut yang sesuai. Proses ekstraksi senyawa tanin daun belimbing wuluh dalam penelitian ini menggunakan metode maserasi. Pemilihan metode maserasi pada penelitian ini dikarenakan senyawa tanin mudah teroksidasi pada suhu yang tinggi yaitu 98,89 - 101,67 o C (Risnasari, 2002) sehingga kurang tepat menggunakan metode soxhlet. Proses ekstraksi senyawa tanin dalam penelitian ini menggunakan variasi pelarut yaitu air hangat, etanol, metanol dan aseton : air (7:3). Pemilihan pelarut tersebut dikarenakan senyawa tanin merupakan senyawa yang bersifat polar. Struktur senyawa tanin memiliki gugus hidroksi lebih dari satu yang menyebabkan tanin cenderung bersifat polar, oleh karena itu pemilihan pelarut menggunakan pelarut polar untuk dapat mengekstraksi senyawa tanin. Robinson (2005) menyatakan semakin banyak gugus hidroksil suatu senyawa fenol memiliki tingkat kelarutan dalam air dan pelarut polar semakin besar. Sampel ditimbang masing-masing 50 g kemudian direndam dalam 400 mL pelarut yang mengandung asam askorbat 0,1 M selama 2 X 24 jam karena proses ekstraksi akan berlangsung optimal dengan tersedianya waktu kontak yang cukup antara pelarut dan sampel. Penambahan asam askorbat ke dalam masing-masing pelarut adalah sebagai antioksidan untuk mencegah adanya oksidasi senyawa tanin pada saat proses ekstraksi, sehingga apabila terjadi suatu proses oksidasi selama proses ekstraksi dimungkinkan yang teroksidasi adalah asam askorbat, selama proses perendaman dilakukan beberapa kali pengocokan untuk
menyempurnakan kontak antara pelarut dan sampel, dalam penelitian ini proses pengocokan dibantu dengan menggunakan shaker untuk mengoptimalkan proses ekstraksi. Larutan hasil ekstraksi (pelarut air hangat, etanol, metanol dan aseton : air (7:3) kemudian disaring dan filtrat yang diperoleh dari hasil penyaringan dipekatkan dengan rotary evaporator). Hukmah (2007) dalam penelitian nya menyebutkan jika pelarut tersebut tidak dipekatkan terlebih dahulu tidak akan terbentuk dua lapisan setelah diekstraksi dengan kloroform, karena jumlah pelarut masih terlalu banyak sehingga terbentuknya dua fase tidak terlihat. Filtrat yang diperoleh dari masing-masing pelarut memiliki warna yang berbeda Tabel 4.1
Tabel 4.1 Warna filtrat dari masing-masing pelarut Pelarut Warna filtrat Air hangat (50 o C) Coklat tua Aseton : air (7:3) Hijau kecoklatan Metanol Hijau kehitaman Etanol Hijau kehitaman
Warna filtrat dari pelarut air berwarna coklat tua berbeda dengan pelarut yang lain, hal ini disebabkan karena air tidak dapat melarutkan klorofil. Soekartono (1988) menyebutkan bahwa klorofil tidak larut dalam air melainkan larut dalam etanol, metanol, kloroform dan aseton. Warna filtrat dari pelarut aseton, metanol dan etanol berwarna hijau karena dimungkinkan senyawa klorofil yang terdapat dalam daun belimbing wuluh ikut terekstrak.
Filtrat hasil penyaringan kemudiaan dilakukan proses fraksinasi dengan cara ekstraksi cair-cair dengan menggunakan corong pisah, masing-masing filtrat ditambahkan kloroform untuk menghilangkan senyawa-senyawa yang bersifat nonpolar, diantaranya lemak, klorofil, triterpen dan lain-lain. Penambahan kloroform sebanyak 25 ml diulang 4 kali untuk memaksimalkan proses pengambilan senyawa yang bersifat non polar. Penambahan kloroform menyebabkan terbentuknya dua fase yaitu fase air dan fase kloroform karena keduanya memiliki berat jenis dan tingkat kepolaran yang berbeda. Warna dari fase kloroform dari masing-masing pelarut adalah sama yaitu berwarna hijau sedangkan fase air berwarna coklat. Fase kloroform ditampung dan fase air diambil untuk dilakukan tahap fraksinasi selanjutnya menggunakan etil asetat. Penambahan etil asetat berfungsi untuk mengambil senyawa flavonoid atau polifenol lainnya selain tanin karena tanin sangat sedikit bahkan tidak larut dalam etil asetat. Penambahan etil asetat diulang untuk memaksimalkan pengambilan senyawa lain yang larut dalam etil asetat. Langkah selanjutnya fase etil asetat ditampung dan diambil fase air dari masing-masing sampel dengan warna fase pada Tabel 4.2. Warna filtrat dari masing-masing pelarut didominasi oleh warna coklat terutama pada pelarut air dan aseton : air (7:3) hal ini dimungkinkan adanya senyawa tanin. Robinson (1995) yang menyatakan bahwa tanin dapat larut dalam air dan pelarut yang bersifat polar dan menghasilkan warna coklat.
Tabel 4.2 Warna fase air dari masing-masing pelarut Pelarut Warna filtrat Air Coklat tua Aseton : air (7:3) Coklat Metanol Coklat kemerahan Etanol Kuning kecoklatan
Fase air dari masing-masing ekstrak dipekatkan dengan rotary evaporator sehingga diperoleh ekstrak pekat. Proses evaporasi ini dilakukan untuk menghilangkan pelarutnya. Ekstrak pekat dari masing-masing sampel kemudian diuji fitokimia dengan menggunakan reagen untuk mengetahui adanya senyawa tanin.
4.3 Uji Fitokimia Senyawa Tanin Uji fitokimia dilakukan untuk mengetahui adanya senyawa tanin pada ekstrak daun belimbing wuluh. Uji fitokimia senyawa tanin dalam penelitian ini yaitu dengan menambahkan ekstrak dengan larutan FeCl 3 hasil positifnya akan terbentuk warna hijau kehitaman dan yang kedua adalah dengan menggunakan gelatin jika terbentuk endapan putih pada ekstrak maka senyawa tersebut mengandung tanin. Uji reagen yang terakhir adalah untuk mengetahui adanya tanin katekol dan galat menggunakan formalin dan HCl, larutan akan terbentuk endapan berwarna merah jika dalam ekstrak mengandung tanin katekol, dan filtrat hasil penyaringan akan berwarna hitam atau biru tinta setelah direaksikan dengan FeCl 3 apabila didalam sampel mengandung tanin galat.
4.3.1 Uji Fitokimia Senyawa Tanin dengan Menggunakan FeCl 3
Uji fitokimia dengan menggunakan FeCl 3 digunakan untuk menentukan apakah suatu bahan atau sampel mengandung gugus fenol. Dugaan adanya gugus fenol ditunjukkan dengan warna hijau kehitaman atau biru tinta, sehingga apabila uji fitokimia dengan FeCl 3 memberikan hasil positif dimungkinkan dalam suatu sampel terdapat suatu senyawa fenol dan dimungkinkan salah satunya adalah tanin karena tanin merupakan senyawa polifenol. Terbentuknya warna hijau kehitaman atau biru tinta pada ekstrak setelah ditambahkan dengan FeCl 3 karena tanin akan membentuk senyawa komplek dengan FeCl 3 .
Hijau kebiruan Gambar 4.8 Reaksi dugaan antara senyawaan tanin dengan FeCl 3
Kecenderungan Fe
dalam pembentukan senyawa kompleks dapat mengikat 6 pasang elektron bebas. Ion Fe 3+ dalam pembentukan senyawa kompleks akan terhibridisasi membentuk hibridisasi d 2 sp 3 , sehingga akan terisi oleh 6 pasang elektron bebas atom O pada tanin. Kestabilan dapat tercapai jika tolakan antara ligan pada 3 tanin minimal. Hal ini terjadi jika 3 tanin tersebut posisinya dijauhkan (Effendy, 2007). Berdasarkan hasil uji fitokimia dengan FeCl 3 dari semua pelarut menunjukkan hasil positif. Berdasarkan hal tersebut dapat diduga didalam masing-masing ekstrak mengandung senyawa polifenol yang diduga adalah senyawa tanin. Hasil uji fitokimia dari masing-masing ekstrak dapat dilihat dalam Tabel 4.3
Tabel 4.3 Hasil uji fitokimia ekstrak tanin menggunakan FeCl 3 Pelarut Hasil uji dengan FeCl 3
Air + Aseton : air (7:3) + Metanol + Etanol + Keterangan : Tanda + : terkandung senyawa Tanda : tidak terkandung senyawa
4.3.2 Uji Fitokimia Senyawa Tanin dengan Menggunakan Larutan Gelatin Uji fitokimia dengan menggunakan larutan gelatin adalah untuk memperkuat dugaan adanya senyawa tanin dalam ekstrak daun belimbing wuluh. Harborne (1987) menyebutkan bahwa semua tanin menimbulkan endapan sedikit atau banyak jika ditambahkan dengan gelatin. Soebagio (2007) menguji tanin dari ekstrak umbi bawang merah dengan melarutkan sedikit aquades kemudian
dipanaskan di atas pemanas air lalu diteteskan dengan larutan gelatin 1% (1:1). Hasil positifnya yaitu terbentuknya endapan putih. Gelatin merupakan protein alami yang memberikan sifat penstabil dan pengental bagi media yang berbasiskan air, mengandung asam amino yaitu dengan kandungan glisin (27%), prolin (16% dan hidroxiprolin (14%). Tanin merupakan himpunan polihidroksi fenol yang dapat dibedakan dari fenol-fenol lain karena kemampuannya untuk mengendapkan protein, sehingga apabila tanin direasikan dengan gelatin maka yang terbentuk adalah endapan putih, karena gelatin merupakan salah satu jenis protein yang mampu diendapkan oleh tanin (Savitri, 2007). O OH OH OH + NH H C CH 3 C O H N H C H N C O H N H C CH 2 CH 2 NH C NH 2 NH 2 C O H N CH H C C O O H N H C CH 2 CH 2 C O O C O N C O H N CH H C O N CH O Tanin Gelatin NH H C CH 3 C O N H C H N C O H N H C CH 2 CH 2 NH C NH 2 NH 2 C O N CH H C C O O H N H C CH 2 CH 2 C O O C O N C O H N CH H C O N CH O O OH OH O OH OH OH H OH O OH OH OH H O OH OH OH
Gambar 4.2 Reaksi dugaan antara gugus fenol pada tanin dengan gugus protein pada gelatin (Leemensand, 1991)
Gugus protein pada gelatin akan beraksi dengan tanin dengan membentuk ikatan hidrogen. Maryati (2009) dalam penelitianya menyebutkan jika tanin direaksikan dengan protein. Tanin akan bereaksi dengan protein yang terdapat dalam suatu sampel tanin mempunyai sifat menyerupai kolagen kulit hewan sehingga terjadi proses penyamakan berupa endapan. Hasil penelitian menunjukkan ekstrak daun belimbig wuluh dari pelarut air, aston:air, metanol dan etanol menunjukkan uji positif. Ekstrak dari masing- masing pelarut terbentuk endapan putih dalam ekstrak ketika ditambahkan dengan larutan gelatin dan hasilnya dapat dilihat dalam tabel 4.4. Ekstrak air dan aseton : air menunjukkan jumlah endapan lebih banyak, diasumsikan kandungan tanin lebih banyak pada kedua pelarut tersebut.
Tabel 4.4 Hasil uji fitokimia ekstrak tanin menggunakan larutan gelatin Pelarut Hasil uji dengan larutan gelatin Air ++ Aseton : air (7:3) ++ Metanol + Etanol + Keterangan : Tanda ++ : endapan yang terbentuk banyak + : endapan yang terbentuk sedikit -: tidak terbentuk endapan
4.3.3 Uji Fitokimia Senyawa Tanin dengan Menggunakan Formalin : HCl Uji fitokimia dengan menggunakan Formalin : HCl adalah untuk membedakan adanya senyawa tanin katekol dan galat dalam suatu sampel dengan cara menambahkan ekstrak dengan formalin 3% : asam klorida (2:1) dan dipanaskan dalam air panas dengan suhu 90 C jika terbentuk endapan merah
muda merupakan tanin katekol. Tanin merupakan senyawa fenol sehingga dapat berkondensasi dengan formaldehid dan jika ditambahkan dengan asam panas dalam hal ini adalah asam klorida (HCl) beberapa ikatan karbon-karbon penghubung satuan terputus dan akan dibebaskan monomer antosianidin. Harborne (1987) menyebutkan jika dalam suatu sampel mengandung senyawa protoantosianidin atau tanin katekol akan terbentuk warna merah jika direaksikan dengan HCl, sehingga apabila ekstrak mengandung senyawa tanin katekol akan terbentuk endapan merah apabila direaksikan dengan Formalin : HCl dengan perbandingan 2:1. Filtrat dipisahkan jika didalam sampel setelah diuji dengan Formalin : HCl terbentuk endapan merah dengan disaring dan dijenuhkan dengan Na-Asetat dan ditambahkan FeCl 3 1 % adanya tanin galat ditunjukkan dengan terbentuknya warna biru tinta atau hitam. Hasil uji fitokimia dari masing-masing ekstrak dapat dilihat dalam tabel 4.5. Berdasarkan hasil penelitian endapan merah yang terbentuk pada pelarut air dan aseton : air lebih banyak, dimungkinkan kedua pelarut tersebut dapat mengekstrak tanin lebih banyak dari pelarut yang lain.
Tabel 4.5 Hasil uji fitokimia ekstrak tanin menggunakan Formalin : HCl Pelarut Uji tanin katekol Uji tanin galat Air ++ + Aseton : Air (7:3) ++ + Metanol + + Etanol + + Keterangan : Tanda + : terkandung senyawa : tidak terkandung senyawa
Hasil uji fitokimia dari masing-masing pelarut menunjukkan bahwa di dalam daun belimbing wuluh diduga mengandung senyawa tanin katekol dan galat. Hasil ini merupakan identifikasi awal adanya kedua jenis tanin dalam daun belimbing wuluh, karena untuk menentukan jenis dan struktur dari suatu senyawa diperlukan metode analisis lebih lanjut.
4.4 Uji Kuantitatif Senyawa Tanin dengan Metode Lowenthal-procter Uji kuantitatif senyawa tanin dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui pelarut yang dapat mengekstrak senyawa tanin dengan kadar tertinggi. Metode yang digunakan untuk uji kuantitatif senyawa tanin adalah metode Lowenthal- procter. Metode ini menggunakan metode titrasi oksidasi yaitu dengan menggunakan senyawa pengoksidasi kalium permanganat. Penentuan kadar tanin dalam metode ini adalah berdasarkan jumlah gugus pada senyawa tanin. Titrasi dengan larutan kalium permanganat, gugus fenol pada tanin akan teroksidasi. Jumlah gugus fenol berbanding lurus dengan jumlah kalium permanganat yang diperlukan untuk titrasi. Ekstrak dari masing-masing pelarut yaitu air hangat, aseton : air (7:3), metanol dan etanol diambil sebanyak 1 gram dan dilarutkan dalam aquades. Senyawa tanin bersifat polar sehingga setiap ekstrak sangat mudah larut dalam air. Masing-masing diambil 50 ml dan ditambahkan indikator redoks yaitu menggunakan indikator indigokarmin. Warna dari masing-masing ekstrak akan berubah dari warna kuning kecoklatan menjadi warna biru, kemudian dititrasi dengan kalium permanganat sampai warna kuning keemasan kemudiaan dicatat
banyaknya KMnO 4 yang dibutuhkan. Hasil dari masing-masing ekstrak dapat dilihat pada lampiran 5. Pada proses ini adalah menentukan adanya gugus fenol yang teroksidasi. Proses selanjutnya adalah menentukan senyawa fenol selain tanin, 1 gram ekstrak yang telah dilarutkan dalam air diambil 50 ml dan ditambahkan larutan gelatin, NaCl dan serbuk kaolin. Penambahan tersebut adalah untuk mengendapkan senyawa tanin yang terdapat dalam ekstrak, dengan larutan gelatin senyawa tanin akan mengendap menghasilkan endapan putih karena gelatin merupakan salah satu jenis protein, senyawa tanin akan bereaksi dengan protein yang terdapat dalam suatu sampel, tanin mempunyai sifat menyerupai kolagen kulit hewan jika direaksikan dengan protein sehingga terjadi proses penyamakan berupa endapan. Penambahan garam pada suasana asam adalah untuk mengendapkan tanin terkondensasi, karena apabila tanin terkondensasi direaksikan dengan asam pada kondisi panas beberapa ikatan karbon-karbon penghubung satuan terputus dan dibebaskanlah monomer antosianin dan menurut Robinson (1995) senyawa tanin jika dilakukan dengan pengaraman menggunakan NaCl akan terbentuk endapan dan endapan akan larut kembali jika ditambahkan dengan aseton sehingga endapan akan terbentuk yang warnanya sedikit kecoklatan . Proses selanjutnya sampel yang telah dicampur dengan larutan gelatin, NaCl dan serbuk kaolin dikocok, warna ekstrak berubah menjadi putih dan terbentuk endapan sedikit kecoklatan. Adanya endapan menunjukkan adanya senyawa tanin di dalam ekstrak. Larutan disaring kemudiaan filtrat ditambahkan
dengan indikator indigokarmin. Warna ekstrak berubah dari bening dan sedikit kekuningan menjadi biru, dan dititrasi dengan KMnO 4 sampai berwarna kuning emas. Banyaknya KMnO 4 yang dibutuhkan untuk titrasi merupakan banyaknya gugus fenol selain tanin misalkan flavonoid yang masih terdapat dalam sampel. Hasil dari masing-masing pelarut dapat dilihat pada tabel 4.6.
Tabel 4.6 Hasil uji kuantitatif ekstrak tanin menggunakan metode Lowenthal- Procter Pelarut Kadar tanin (%) Aseton : Air (7:3) 10,92 Air Hangat 8,19 Etanol 7,86 Metanol 4,70 Hasil perhitungan kadar tanin dengan menggunakan metode Lowenthal Procter diperoleh kadar tanin dari masing-masing pelarut untuk pelarut aseton : air 10,92%, air hangat 8,19%, Etanol 7,86 % dan metanol 4,70%. Daun belimbing wuluh yang diekstrak dengan menggunakan pelarut aseton : air (7:3) memiliki persentase tertinggi daripada pelarut yang lain, hal ini dimungkinkan karena aseton dapat menghambat interaksi tanin-protein. Cannas (2001) menyebutkan bahwa tanin dapat diekstrak dengan aseton 70%. Pelarut aseton dimungkinkan lebih efektif daripada pelarut alkohol karena aseton menghambat interaksi tanin dengan protein sehingga tidak terbentuk endapan, menurut (Cannas, 2001) ekstraksi dengan aseton 70% lebih efektif karena interaksi tanin dan protein tidak terjadi, pada banyak tumbuhan yang memiliki kandungan tanin yang besar pada saat proses ekstraksi terdapat tanin yang tidak dapat diekstraksi hal ini karena adanya efek nutrisi yaitu tanin berikatan dengan protein.
Ekstrak air memberikan nilai tertinggi setelah aseton, hal ini disebabkan karena tanin merupakan senyawa fenol yang mudah larut dalam air. Pernyataan ini diperkuat oleh Harborne (1996) yang menyatakan bahwa senyawa fenol cenderung mudah larut dalam air karena umumnya senyawa fenol berikatan dengan gula sebagai glikosida yang terdapat dalam vakuola sel tumbuhan. Tanin terhidrolisis atau galotanin didalam strukturnya mengandung senyawa poliester dan glikosida sehingga senyawa tanin dapat larut dalam air tetapi air tidak dapat mencegah adanya interaksi tanin dengan protein dalam tumbuhan.
4.5 Uji Aktivitas Antibakteri Senyawa Tanin Berdasarkan Pelarut Terbaik Pemilihan pelarut terbaik dalam penelitian ini adalah berdasarkan hasil uji kadar tanin dengan metode Lowenthal Procter. Pelarut terbaik yang dapat mengekstrak tanin dengan kadar tertinggi adalah Aseton : air (7:3) dengan nilai kadar tanin 10,92% pemilihan pelarut terbaik didasarkan dari ekstrak yang memilki nilai kadar tanin tertinggi, sehingga dapat memberikan daya hambat antibakteri yang besar pula. Pernyataan ini ditegaskan oleh Zulaekah (2005) berdasarkan hasil penelitiannya menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi atau kadar tanin pada ekstrak daun teh yang digunakan pada pembuatan telur asinan menghasilkan telur asin rebus dengan jumlah total bakteri paling sedikit, hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi kadar tanin dalam suatu sampel dimungkinkan akan lebih efektif dalam membunuh atau menghambat pertumbuhan bakteri.
Uji aktivitas antibakteri dalam penelitian ini menggunakan ekstrak kasar dari ekstrak tanin daun belimbing wuluh karena belum dilakukan proses pemisahan atau fraksinasi menggunakan metode KLTA ataupun KLTP, tetapi berdasarkan uji fitokimia dan penentuan kadar tanin dengan mengunakan metode lowenthal procter sudah cukup menunjukkan bahwa di dalam ekstrak mengandung senyawa tanin. Pengujian aktivitas antibakteri dalam penelitian ini menggunakan bakteri gram positif dan negatif yaitu S. aureus dan E. coli, hal ini dilakukan untuk mengetahui apakah ekstrak tanin dari daun belimbing wuluh dapat menghambat terhadap dua jenis bakteri gram positif dan negatif karena ada kemungkinan tanin yang merupakan zat kimia yang sebagian besar tersebar dalam tanaman ini mampu menghambat sintesis dinding sel bakteri maupun merusak membran plasma sel kuman gram positif maupun gram negatif, sehingga perlu diteliti aktifitas senyawa tanin terhadap bakteri gram positif (S. aureus) maupun gram negatif (E. coli), sebagai pembanding digunakan antibakteri sintetik penisilin dan streptomosin untuk mengetahui perbedaan daya hambat terhadap ekstrak tanin. Penisilin dan streptomosin merupakan salah satu antibiotik bersifat menghambat sintesis dinding sel mikroba, yang sensitif terhadap kedua bakteri uji. Konsentrasi ekstrak yang digunakan yaitu 50, 100, 150, 200, 250, 300, 350, dan 400 mg/mL sebagai rentang konsentrasi yang dianggap mewakili. Pemilihan daerah konsentrasi dari 50 mg/ml karena berdasarkan hasil penelitian Min (2008) menunjukkan bahwa ekstrak tanin pada tanaman Sericea lespedeza dapat menghambat bakteri S. aureus dan E. coli pada konsentrasi minimum 50
mg/ml, sehingga untuk mengetahui aktivitas antibakteri senyawa tanin dari daun belimbing wuluh digunakan konsentrasi dari 50 sampai 400 mg/ml. Uji aktivitas senyawa tanin sebagai antibakteri dilakukan dengan mengukur zona hambatan yang terbentuk di sekitar cakram cara ini dikenal dengan sebutan test Kirby dan Bauer, dan jumlah sel dalam inokulum dihitung berdasarkan tingkat kekeruhannya yaitu menggunakan OD (Optical Density) jumlah sel bakteri dari kedua bakteri dengan masa inkubasi 24 jam adalah 6x10 21
sel/ml, akan tetapi dalam penelitian ini pegukuran jumlah sel bakteri adalah pada masa inkubasi 8 jam, hasil penelitian menunjukkan bahwa pada waktu inkubasi 8 jam adalah 6x10 7 sehingga diasumsikan pada waktu 24 jam jumlah sel bakteri bartambah 3 kali lipat yaitu sebesar 6x10 21 . Pengukuran banyaknya sel dalam inokulum dimaksudkan karena takaran inokulum merupakan salah satu faktor yang sangat mempengaruhi pada perhitungan aktivitas antibakteri. Populasi bakteri yang besar dapat menghambat tumbuhnya bakteri lebih kurang cepat dari pada yang lebih kecil (Irianto, 2002). Hasil uji aktivitas antibakteri dengan variasi konsentrasi dan tiga kali ulangan terhadap bakteri S. aureus dan E. coli adalah sebagai berikut:
Hasil penelitiaan Tabel 4.7 dan 4.8 bahwa dengan meningkatnya konsentrasi ekstrak yang berarti semakin besar kadar bahan aktif yang berfungsi sebagai antibakteri, sehingga kemampuannya dalam menghambat pertumbuhan bakteri E. coli dan S. aureus juga semakin besar. Hasil ini didukung dengan hasil perhitungan analisis ragam pada Lampiran 6 yang menunjukkan pemberian ekstrak dengan konsentrasi yang berbeda berpengaruh sangat nyata (p < 0,01)
pada pertumbuhan bakteri S. aureus dan E. coli. Berdasarkan hasil Uji BNT (Lampiran 6) diketahui konsentrasi ekstrak 200, 250, 300, 350, dan 400 mg/ml pada bakteri S. aureus berpengaruh sangat nyata (p < 0,01) di antara konsentrasi yang lain, dan untuk bakteri E. coli diketahui konsentrasi ekstrak 150, 200, 250, 300, 350, dan 400 mg/ml berpengaruh sangat nyata (p < 0,01) di antara konsentrasi yang lain, sehingga berdasarkan uji BNT dapat diketahui bahwa pemberian ekstrak dengan konsentrasi yang berbeda berpengaruh terhadap aktivitas antibakteri, semakin tinggi konsentrasi ekstrak tanin, semakin besar pula diameter zona hambatnya. Aktivitas penghambatan senyawa tanin pada kedua bakteri berbeda-beda, hal ini disebabkan karena kedua jenis bakteri tersebut berbeda sehingga komponen penyusun dinding selnya juga tidak sama. Dinding sel bakteri gram positif mengandung mukopeptida atau peptidoglikan 90 % dan dinding selnya memiliki ketebalan 25-30 nm, sedangkan dinding sel gram positif lebih tipis yaitu memiliki ketebalan 10-15 nm dan terdiri dari tiga lapisan. Lapisan dalam adalah mukopeptida, lapisan bagian luar terdiri dua lapisan yaitu lipopolisakarida dan lipoprotein. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada bakteri E. coli nilai zona hambat lebih besar dibandingkan dengan S. aureus pada berbagai variasi konsentrasi, hal ini dapat terjadi karena dinding sel bakteri E. coli lebih tipis dari pada S. aureus sehingga tanin lebih mudah menyerang protein yang terdapat pada dinding sel bakteri E. coli. Protein pada bakteri merupakan salah satu komponen penyusun dinding sel dan membran plasma, apabila protein pada dinding sel rusak
atau terdenaturasi maka dinding sel bakteri akan mudah dimasuki oleh bahan- bahan kimia yang menyebabkan metabolisme bakteri terganggu.
Gambar 4.2 Reaksi dugaaan antara tanin dengan gugus protein (Leemensand,1991)
Tanin dapat membentuk ikatan hidrogen dengan protein yang terdapat dalam sel bakteri, jika terbentuk ikatan hidrogen antara tanin dengan protein kemungkinan protein akan terdenaturasi sehingga metabolisme bakteri menjadi terganggu (Makkar, 1991). Reaksi tanin dengan protein membentuk ikatan tanin- protein. Bagian protein yang reaktif dan mempunyai kemampuan berikatan dengan senyawa tanin adalah ikatan peptida, group hidroksi dan amida. Ikatan yang dominan adalah ikatan hidrogen yang terjadi antara gugus karboksil dari ikatan peptida dengan gugus hidroksi dari tanin. Terbentuknya ikatan hidrogen antara tanin dengan protein menyebabkan berubahnya konformasi molekul protein sehingga aktivitas biokimiawinya menjadi berkurang. Perubahan konformasi ini
disebut dengan denaturasi protein, penggumpalan protein biasanya didahului oleh denaturasi yang berlangsung dengan baik pada titik isolistriknya, sehingga protein akan mengalami koagulasi. Diduga berdasarkan reaksi ini tanin dapat menghambat pertumbuhan bakteri S. aureus dan E. coli. Senyawa tanin juga dapat menghambat dan membunuh pertumbuhan bakteri dengan cara bereaksi dengan membran sel. Senyawa tanin termasuk senyawa polifenol, senyawa ini dapat menghambat bakteri dengan cara merusak membran plasma bakteri yang tersusun oleh 60% protein dan 40% lipid yang umumnya berupa fosfolipid, didalam membran sel tanin akan beraksi dengan protein membentuk ikatan hidrogen sehingga protein akan terdenaturasi, selain itu tanin juga dapat beraksi dengan fosfolipid yang terdapat dalam membran sel, akibatnya senyawa tanin akan merusak membran sel, yang menyebabkan bocornya metabolit penting yang menginaktifkan sistem enzim bakteri. Kerusakan pada membran sel dapat mencegah masuknya bahan-bahan makanan atau nutrisi yang diperlukan bakteri untuk menghasilkan energi akibatnya bakteri akan mengalami hambatan pertumbuhan dan bahkan kematian (Volk and Wheller, 1988). Penghambatan pertumbuhan bakteri S. aureus dan E. coli dari ekstrak tanin dari daun belimbing wuluh diduga juga disebabkan oleh mekanisme ini. Kontrol positif yang digunakan dalam penelitian ini adalah streptomisin untuk E. coli dan penisilin untuk S. aureus . Diameter zona hambat penisilin dengan konsentrasi 25 mg/mL (kekuatan cakram 500g) sebesar 19 mm dan diameter zona hambat streptomisin 6,25 mg/mL (kekuatan cakram 125g) adalah sebesar 17 mm. Apabila diameter zona hambat ini disesuaikan dengan rujukan
pada lampiran 4, maka bakteri uji S. aureus dan E. coli termasuk bersifat resisten terhadap penisilin dan streptomisin. Diameter zona hambat yang diperoleh dari penelitian ini (Tabel 4.7 dan 4.8) juga lebih kecil dibandingkan dengan zona hambat kontrol positif dengan kekuatan cakram 10 g sesuai rujukan ukuran daerah zona hambat untuk kemoterapeutik yang sering digunakan (Lampiran 4). Hal ini menunjukkan bahwa bakteri S. aureus dan E. coli termasuk kategori resisten terhadap ekstrak kasar daun belimbing wuluh. Kontrol negatif digunakan untuk mengetahui apakah pelarut yang digunakan juga memiliki potensi menghambat bakteri. Kontrol negatif yang digunakan adalah air dan berdasarkan hasil penelitiaan ini air tidak memiliki sifat menghambat kedua bakteri uji karena tidak terbentuk zona bening disekitar cakram, sehingga zona hambat yang terbentuk dari masing-masing konsentrasi murni dari ekastrak tanin, tidak ada pengaruh dari pelarut. Hasil penelitian penentuan diameter zona hambat kedua bakteri uji menunjukkan bahwa ekstrak tanin dari daun belimbing wuluh dapat menghambat bakteri gram positif dan negatif. Tabel 4.7 dan 4.8 menunjukkan bahwa pada konsentrasi ekstrak 400 mg/ml dengan kekuatan cakram 8000 g diameter zona hambat untuk S. aureus adalah 15,1 mm dan E. coli adalah 15,27 mm. Berdasarkan rujukan pada lampiran 4 menunjukkan bahwa ekstrak tanin resisten terhadap bakteri uji S. aureus dan E. coli.
4.6 Hasil Penelitian tentang Pemanfaatan Tanin dalam Daun Belimbing Wuluh dalam Prespektif Islam Allah menciptakan sesuatu dimuka bumi ini pasti dengan maksud dan hikmah dibaliknya. Demikian pula Allah menciptakan manusia dengan berbagai kelebihan dibandingkan dengan makhluk yang lain. Manusia diberi akal dan pikiran dengan tujuan untuk memikirkan dan menggali rahasia suci yang telah Allah sebarkan didunia ini. Orang yang berilmu akan mengetahui sebab akibat skenario yang telah Allah semaikan dimuka bumi ini, seperti hal nya tumbuh- tumbuhan yang diciptakan oleh Allah. Banyak penelitian menyebutkan bahwa senyawa aktif yang terdapat dalam jenis tanaman tertentu dapat digunakan sebagai obat ataupun antibakteri, sebagimana yang tercantum dalam surat As-Syuara:7 9 <| _{ /. !., ! . _ . Dan apakah mereka tidak memperhatikan bumi, berapakah banyaknya kami tumbuhkan di bumi itu pelbagai macam tumbuh-tumbuhan yang baik?
Shihab (2002) menjelaskan bahwa Allah menumbuhkan dari berbagai macam tumbuhan yang baik, yaitu subur dan bermanfaat seperti halnya tanaman belimbing wuluh khusunya bagian daun. Daun belimbing wuluh selama ini belum banyak dimanfaatkan sebagai obat ataupun yang lainnya oleh masyarakat. Kandungan kimia daun belimbing wuluh adalah flavonoid, asam format dan tanin. Penelitiaan bertujuan untuk mengetahui nilai kadar tanin dalam daun belimbing wuluh dengan variasi pelarut. Hasil penelitiaan menunujukaan bahwa di dalam daun belimbing wuluh mengandung senyawa tanin dengan kadar tertinggi adalah 10,92%. Tanin dapat digunakan sebagai antibakteri baik sebagai obat maupun
pengawet alami . Hal ini didukung hasil perhitungan zona hambat dari kedua bakteri uji yang menunjukkan bahwa tanin bersifat resisten terhadap kedua bakteri uji.. Belimbing wuluh termasuk tumbuhan herbal yang dimanfaatkan sebagai obat untuk menyembuhkan penyakit tertentu seperti habbatus sauda yang sejak zaman Rosulullah SAW sudah dimanfaatkan untuk pengobatan. Sepeti ajwa dan rumman, dan hasil penelitian ini sesuai dengan surat Al-Rad ayat 4 _{ _L% ,>. > s _ . s . +`. !, > `. !.-, ?s _-, 2{ | 9 )9 =)- Dan di bumi Ini terdapat bagian-bagian yang berdampingan, dan kebun-kebun anggur, tanaman-tanaman dan pohon korma yang bercabang dan yang tidak bercabang, disirami dengan air yang sama. kami melebihkan sebahagian tanam- tanaman itu atas sebahagian yang lain tentang rasanya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir.
Berdasarkan ayat tersebut Allah SWT mencontohkan tanaman anggur dan kurma meskipun berada di tempat dan diberi air yang sama, Allah SWT melebihkan dengan rasanya. Tanaman tersebut dilebihkan rasanya dan sekaligus manfaatnya. (Farooqi, M.I.H., 2005). Begitu pula dengan daun belimbing wuluh yang mengandung senyawa tanin yang berfungsi sebagai antibakteri penyebab diare dan pengawet alami. Hal ini merupakan tanda-tanda kekuasaan Allah SWT bagi orang-orang yang mau berpikir tentang kebesaran Allah SWT dalam makhluk ciptaan-Nya Penggunaan antibakteri sintetik atau pengawet sintetik pada makanan seperti penambahan formalin jika dikonsumsi secara terus menerus akan
menyebabkan penyakit. Adanya fenomena di atas mendorong manusia untuk mencari solusi yang terbaik bagi kesehatan. Solusi yang dilakukan adalah mencari alternatif pengganti antibakteri sintetis dengan menggunakan antibakteri alami yang dapat diperoleh dari tanaman salah satunya adalah daun belimbing wuluh, hal ini menunjukkan bahwa segala apa yang tercipta ada manfaatnya dan itu semua merupakan tanda-tanda kekuasaan Allah. Sebagaimana pada ayat-ayat Allah Q.S Adz-Dzariyaat [51] ayat 20-21:
_{ %>9 /3. .,.
Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin. Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka Apakah kamu tidak memperhatikan?
Daun belimbing wuluh selain dapat digunakan sebagai pengawet dan obat diare juga dapat digunakan sebagai obat penurun panas atau antipiretik. Penggunaan obat sintetik saat ini tidak efisien karena dapat menyebabkan ketergantungan jika digunakan terus menerus. Para peneliti muslim masa kini meneliti berbagai obat yang berasal dari alam karena banyaknya permasalahan yang terkait dengan penkonsumsian obat sintetik, hal ini memicu maraknya penelitiaan untuk tanaman obat salah satunya adalah daun belimbing wuluh.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan 1. Pelarut terbaik untuk memperoleh ekstrak senyawa tanin pada daun belimbing wuluh adalah aseton : air (7:3). Hal ini didukung oleh perhitungan kadar tanin pada masing-masing ekstrak, kadar tanin pada ekstrak aseton : air (7:3) adalah 10,92% 2. Hasil uji aktifitas antibakteri dengan pelarut terbaik terhadap bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli menunjukkan bahwa pada konsentrasi 50 mg/ml sampai 400 mg/ml senyawa tanin memiliki aktivitas antibakteri untuk kedua bakteri uji, berdasarkan uji BNT 1 % untuk bakteri S.aureus diketahui konsentrasi ekstrak 150, 250, 300, 350, dan 400 mg/mL berpengaruh sangat nyata (p < 0,01) di antara konsentrasi lain sedangkan untuk E. coli diketahui konsentrasi ekstrak 100, 150, 250, 300, 350, dan 400 mg/mL berpengaruh sangat nyata (p < 0,01).
5.2 Saran 1. Perlu dilakukan penelitiaan lebih lanjut tentang efektifitas ekstrak kasar senyawa tanin dari daun belimbing wuluh dengan menggunakan variasi konsentrasi yang lebih luas untuk mengetahui konsentrasi optimum senyawa tanin sebagai senyawa antibakteri dengan pelarut terbaik 2. Perlu adanya penelitiaan lebih lanjut tentang jenis senyawa tanin dalam daun belimbing wuluh menggunakan metode instrumentasi misalkan dengan menggunakan GC-MS atau NMR
DAFTAR PUSTAKA
Abyasa S. 2008. Daun Muda dan Buah Muda Jambu Biji (psidium guajava), (http://abyasa-abyasa.blogspot.com/2008/01/obat-tradisional-untuk- sembuhkan-diare). Diakses 4 April 2009
Abdurrohman, D. 1998. Isolasi Tanin Dari Daun Kaliandra. Laporan PKL. Jurusan Kimia. Institut Pertanian Nogor
Ahmad, M.M., 2006, Anti Inflammatory Activities of Nigella sativa Linn (Kalongi, black seed), (http://lailanurhayati.multiply.com/journal, diakses 13 April 2009.
Ajizah, A. 2004. Sensitivitas Salmonella Typhimurium Terhadap Ekstrak Daun Psidium Guajava. Jurnal Bioscientiae Vol 1. Program Studi Pendidikan Biologi FKIP Universitas Lambung Mangkurat. Al-Jauziyah, I.Q. 2007. Metode Pengobatan Nabi SAW. Jakarta : Griya Ilmu
Amnur. 2008. Cikal Bakal Averhoa Bilimbi. (http://Averhoabilimi.blogspot.com) Diakses 4 April 2009
Barazing, H. 2007, Pengobatan Aman Cara Nabi: Herba Sebagai Pengobatan Modern Alternatif, Tinjauan Medis Dan Syariat Islam. (http:// hohanb. webs.com/). Diakses tanggal 03 Maret 2009
Cannas, A. 2001. Tannins:Chemical Animal Science Webmaster CU
Chung and wong CI, 1998. Tannins and healt critical. Review infood science and nutritionoba
Cristina. 2008. Formulasi Gel Antioksidan Ekstrak Buah Buncis (Phaseolus Vulgaris l.) Dengan Menggunakan Basis Aqupec 505 hv. Pustaka Unpad.
Dasuki, U. 1991. Siitematika Tumbuhan Tinggi. Pusat Universitas Ilmu Hayati ITB. Bandung 71
Dart. 1996. Microbiologi of the Analitical Chemist. The royal society of chemistry London
Deny. 2007. Pemanfaatan Tannin Sebagai Perekat. Jurnal Penelitian Fakultas Teknologi Pertanian Bogor.
Dianty, P. 2008. Penentuan Kadar Tanin Pada Kulit Batang Dan Daun Rambutan (Nephelium Lappaceum) Dengan Menggunakan Spektrofotometer Uv-Vis. Jakarta: FMIPA UII - Jurusan Kimia.
Faharani, G. 2008. Uji Aktifitas Antibakteri Daun Belimbing wuluh Terhadap Bakteri Streptocoocus Aureus dan Echercia Coli Secara Bioautografi. Jakarta :FMIPA UI
Fardiaz. 1992. Aktifitas antibakteri Daun Beluntas, Malang : Seminar Nasional PATPI
Farooqi. M.I.H. 2005. Terapi Herbal Cara Islam Manfaat Tumbuhan Menurut Al- Quran Dan Sunnah Nabi. Jakarta : Mizan Publika
Febriany, S. 2004. Pengaruh Beberapa Ekstrak Tunggal Bangel dan Gabungannya yang Berpotensi Meningkatkan Aktifitas Enzim Lipase Secara In Vitro. Tesis di Terbitkan. Bogor: Jur Kimia IPB
Ganiswarna. 1995. Farmakologi Dan Terapi Edisi IV. Jakarta : Farmakogi Fakultas Kedoktran Universitas Indonesia
Giner. Tannin Chemical Structural The Structur Of Hydrolisable Tannin. (http://www.ansci.cornel.edc.) Diakses 27 Maret 2009.
Guether, E.. 1987. Minyak Atsiri. Jakarta :Universitas Jakarta.
Hagerman, A.E, M.E. Rice and N.T. Richard. 1998. Mechanisms Of Protein Precipitation For Two Tannins, Pentagalloyl Glucose And Apicatechin 16 (4-8) Catechin (Procyanidin). Journal Of Agri.Food Chem.. Vol 46
Harborne J.B. 1987. Metode Fitokimia Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan. Bandung :Penerbit ITB.
Irianto, K. 2002. Mikrobiologi Menguak Dunia Mikroorganisme. Jakarta : Irama Widya
Leemensand, 1991. Plant Resourees of South East Asia 3 Dye and Tanin Production Plant. Netherland : Pudoc Wagengan.
Luthana K. 2009, Prosedur Ekstraksi Senyawa Fenol Dan Antibakteri Dari Tanaman Gambir Yang Disertai Metode Analisisnya, (http://yongkikastanyaluthana.wordpress.com) Diakses 27 Maret 2009 . Lidyawati, 2006, Karekterisasi Simplisia Daun Belimbimg Wuluh, Bandung : Sekolah Farmasi ITB, (http://bahan-alam.fa.itb.ac.id ). Diakses 27 Maret 2009
Linggawati, A. 2002. Pemanfaatan Tanin. Pekanbaru: Riau. . Makkar H.P.S. 2003. Effects and fate of tannins in ruminant animals, adaptation to tannins, and strategies to overcome detrimental effects of feeding tannin-rich feeds, Animal Production and Health Section, Joint FAO/IAEA Division. International Atomic Energy Agency. Vienna, Austria.
Maryati, 2009. Pemanfaatan Daun Jambu Biji Sebagai Lternatif Pengawet Telur Ayam Ras. FMIPA. UNM, Jurnal Nalar Vol 1.
Masduki, I. 1996. Efek Antibakteri Ekstrak Biji Pinang (Areca catechu) Terhadap S.aureus dan E.coli in vitro. Yogyakarta: Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedkteran, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
Min, BR. 2003. Tannins for suppression of internal parasites. Langston: University of Langston
Muhtady. 1999. Penetapan Kadar Tanin dengan Spektrofotometri. Bandung: ITB.
Naim, R. 2004. Senyawa Antimikroba Dari Tanaman. IPB. (http://kompas.com). Diakses 16 April 2009.
Nuraini, F. 2002. Isolasi Dan Identifikasi Tanin Dari Daun Gamal. Skripsi Jurusan Kimia. Malang: Universitas Brawijaya.
Pansera, M.R. 2004. Extraction Of Tannin By Acacia Mearnshin With Supercrutical Fluid. Brazilian Archip.
Pratiwi, S. T. 2002. Mikrobiologi farmasi. Jakarta : Erlangga
Rahman, A. 2000. Al-Quran Sumber Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta.
Robinson, T. 1995. Kandungan Senyawa Organik Tumbuhan Tinggi. Diterjemahkan oleh Prof. Dr. Kosasih Padmawinata, Bandung: ITB.
Rustaman. 2000. Analisis Fitokimia Tumbuhan Di Kawasan Gunung Simpang Sebagai Penelaahan Keanekaragaman Hayati. Universitas Padjajaran. FMIPA.
Savitry, E. 2008. Khasiat Tanaman Obat Dalam Prespektif Islam. Malang: UIN Press.
Siswantoro, D. 2006. Kajian Aktivitas Tanin Dengan Penisilin Terhadap Bakteri Streptococcus Pyogenes dan Pasteurela Multocida Secara In Vitro. library@unair.ac.id Post Graduate Airlangga University.
Soekardjo, S. 1995. Kimia Medicinal. Surabaya :Airlangga.
Subiyakto. 2003. Pemanfaatan Langsung Serbuk Kulit Kayu Akasia Sebagai Perekat Papan Partikel. Jurnal Ilmu Dan Teknologi Kayu Lapis vol 1.
Subroto, A. 2008. Gempur Penyakit dengan Sarang Semut. (http://www.souvenirpapua.com) Diakses 27 Maret 2009.
Sudarmadji, S., B. Haryono dan Suhardi. 2007. Prosedur Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Yogyakarta: Liberty.
Sumartha. 2000. Pengaruh Ethanol Terhadap Kesepatan Buah Salak. Jurusan Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana.
Thomas, ANS. 1992. Tanaman Obat Tradisional 2. Jakarta: Kanisius.
Volk.W.A and M.F Wheeler. 1993. Mikrobiologi Dasar. Alih Bahasa: Markham. Jakarta: PT. Gelora Aksara Pratama.
Widowati, E. 2006. Pengaruh Lama Perendaman Dengan Larutan Kapur Tohor Ca (Oh)2 Pada Kulit Buah Manggis Terhadap Kualitas Kembang Gula Jelly. Skripsi Fakultas Teknik. Universitas Negeri Semarang.
Wijayakusuma, H. 2006. Ramuan Tradisional Untuk Pebgobatan Darah Tinggi. Jakarta: Penebar Swadaya.
Winarno dan Aman. 1994. Fisiologi Lepas Panen. Bogor: IPB.
Yuliani. 2008. Kadar Tanin Dan Querestin Tiga Tipe daun Jambu Biji (Psidium Guajava). Balai Penelitian Tanaman Rempah Dan Obat, (http:www.balitro.go.id ) Diakses 27 Maret 2009.
Zakaria, Z.A. Zaiton, H., Henie, E.F.P., Jais, A. M.M., and Zainuddin, E.N.H., 2007, In Vitro Antibacterial Activity of Averrhoa bilimbi L. Leaves and Fruits Extracts, International Journal of Tropical Medicine, (Online), 2(3):96-100, (http://www.medwelljournals.com). Diakses 27 Maret 2009.
Zulaekah, S. 2005. Pengaruh Konsentrasi Ekstrak Daun Teh Pada Pembuatan Telur Asin Rebus Terhadap Jumlah Bakteri dan Daya Terimanya. Jurnal Penelitian Sains Dan Teknologi. vol. 6. no. 1. Program Study Gizi Fakultas Ilmu Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
LAMPIRAN
Lampiran 1. Skema Kerja
1. Diagram Alir Penelitian
- preparasi sampel Sampel Ekstrak Air hangat Ekstrak etanol Ekstrak metanol
Ekstrak Aseton : air - Ditimbang - Uji tanin - Penentuan kadar tanin Daun belimbing wuluh - ekstraksi dengan cara maserasi masing-masing dengan pelarut air hangat, metanol, etanol, dan aseton : air (7 : 3) Hasil terbaik - uji antibakteri
Hasil 77
2. Preparasi Sampel
3. Ekstraksi daun Belimbing Wuluh dengan Metode Maserasi
- diekstraksi dengan kloroform
- diekstraksi dengan etil asetat
- dipekatkan dengan Rotary evaporator
Catatan : pelarut yang digunakan adalah metanol, etanol, air hangat dan aseton : air Daun belimbing wuluh - dicuci bersih dan diiris tipis - dikeringkan dalam oven pada suhu 60 o C selama 5 jam dan dijemur sampai diperoleh berat konstan - dihaluskan Sampel Residu Filtrat Ekstrak pekat - dipekatkan dengan rotary evaporator 50 g sampel - direndam dalam 200 mL pelarut selama 2 X 24 jam dan dikocok dengan bantuan shaker - larutan disaring Lapisan kloroform Lapisan air Lapisan etil asetat Lapisan air Hasil
4. Uji tanin
- diambil masing 3 ml - dimasukkan dalam tabung reaksi
- ditambahkan - ditambahkan - ditambahkan formaldehid : asam FeCl 3 klorida (2 : 1) - dipanaskan dalam air panas
- disaring dan dijenuhkan dengan Na- asetat
- ditambahkan FeCl 3
5. Pengukuran kadar tanin dengan metode Lowenthal-Protecter
- ditambahkan 100 ml larutan aquades - diambil 50 ml ditambah dengan 2 ml indigokarmin - dititrasi dengan KMnO4
Ekstrak pekat Tabung 1 Tabung 2 Tabung 3 Endapan merah residu filtrat Hasil Hasil Hasil 1 gram Ekstrak Hasil
- ditambahkan berturut-turut 10 ml larutan gelatin dan garam asam - ditambahkan 2 gram serbuk kaolin - dikocok selama 5 menit dan disaring
- Filtrat dicampur dengan larutan indigokarmin - dititrasi dengan KMnO 4
6. Penyediaan Media
7. Peremajaan Biakan Murni
2 g Nutrient agar Media agar padat miring - dilarutkan dalam 100 mL akuades - dipanaskan sampai mendidih selama - dimasukkan dalam beberapa tabung reaksi (tiap tabung 10 mL) dan ditutup dengan kapas - disterilkan dalam otoklaf pada suhu 121 o C (15 psi) selama 15 menit - diletakkan dalam posisi miring selama 24 jam pada suhu ruang Biakan murni bakteri Larutan biakan murni - digoreskan pada media padat agar miring secara aseptis - tabung reaksi ditutup dengan kapas - diinkubasi selama 48 jam pada suhu 37 o C
50 ml filtrat Hasil
8. Pembuatan biakan aktif
- dibiakkan dalam 10 mL Nutrient Broth - dihomogenkan dan di inkubasi selama 24 jam
9. Uji Antibakteri
Media agar padat Hasil - dipanaskan hingga mencair - didinginkan sampai suhu 40 o C - ditambahkan 0,1 mL larutan biakan aktif dan dihomogenkan - dibiarkan hingga memadat
- dipasangi kertas cakram yang telah diresapkan dalam kontrol dan ekstrak - diinkubasi pada suhu 37 o C selama 18-24 jam - diamati pertumbuhan bakteri dan diukur diameter zona hambatannya (pembacaan awal dapat dilakukan setelah 6-8 jam)
Media bakteri Hasil peremajaan Hasil
Lampiran 2 Perhitungan, Pembuatan Reagen dan Larutan
1. Pembuatan FeCl 3 1 % 1 % = (1 gram / gram total ) x 100 % Gram total = 100 %. 1 gr / 1 % = 100 gram Gram total = gram terlarut + gram pelarut Gram pelarut = 100 gram 1 gram = 99 gram V air = gram pelarut / Bj air Volume Air yang diambil adalah 99 ml untuk membuat FeCl 3 1 % dari 1 gram FeCl 3 padatan
2. Pembuatan Larutan Gelatin Serbuk gelatin 2,5 gram NaCl jenuh 50 ml Cara pembuatnnya adalah 2,5 gram serbuk gelatin dicampur dengan 50 ml larutan garam NaCl jenuh, kemudiaan dipanaskan sampai gelatin larut seluruhnya. Setelah dingin ditambahkan larutan gram NaCl jenuh dalam labu ukur 100 ml sampai tanda batas dan dikocok hingga homogen
3. Pembuatan larutan Formalin 3 %
M 1 x V 1 = M 2 x V 2
40 % x V 1 = 3 % x 100 ml V 1 = 7,5 ml Cara pembuatannya adalah dipipet larutan formalin 40% sebanyak 7,5 ml dimasukkan kedalam labu ukur 100 ml dan ditambahkan dengan aquades sampai tanda batas
4. Pembuatan Larutan Indikator Indigokarmin
Sebanyak 6 gram Na-indigotindisulfonat dilarutkan dalam 500 ml aquades dan dipanaskan setelah dingin ditambahkan 50 ml asam sulfat dan ditambah dengan aquades sampai 1L dan disaring.
Lampiran 3. Perhitungan Kekuatan Cakram
Pada penelitian ini 1 cakram ditetesi dengan 10 L ekstrak dan kontrol, maka kekuatan cakramnya adalah:
1. Ekstrak Tanin
50 mg/mL = 50 g/L Sehingga 50 g/L x 20 L = 1000 g
Cara pembuatan dengan mengambil 0,05 gram ekstrak pekat dan dilarutkan dalam 1 ml pelarut 100 mg/mL = 100 g/L Sehingga 100 g/L x 20 L = 2000 g Cara pembuatan dengan mengambil 0,1 gram ekstrak pekat dan dilarutkan dalam 1 ml pelarut 150 mg/mL = 150 g/L Sehingga 150 g/L x 20 L = 3000 g Cara pembuatan dengan mengambil 0,15 gram ekstrak pekat dan dilarutkan dalam 1 ml pelarut 200 mg/mL = 200 g/L Sehingga 200 g/L x 20 L = 4000 g Cara pembuatan dengan mengambil 0,2 gram ekstrak pekat dan dilarutkan dalam 1 ml pelarut 250 mg/mL = 250 g/L Sehingga 250 g/L x 20 L = 4000 g Cara pembuatan dengan mengambil 0,25 gram ekstrak pekat dan dilarutkan dalam 1 ml pelarut 300 mg/mL = 300 g/L Sehingga 300 g/L x 20 L = 6000 g Cara pembuatan dengan mengambil 0,3 gram ekstrak pekat dan dilarutkan dalam 1 ml pelarut 350 mg/mL = 350 g/L Sehingga 350 g/L x 20 L = 7000 g Cara pembuatan dengan mengambil 0,35 gram ekstrak pekat dan dilarutkan dalam 1 ml pelarut 400 mg/mL = 400 g/L Sehingga 400 g/L x 20 L = 8000 g Cara pembuatan dengan mengambil 0,4 gram ekstrak pekat dan dilarutkan dalam 1 ml pelarut
1. Kontrol Positif Kontrol Positif S. Aureus Besarnya kadar penisilin pada 1 cakram Cara pembuatan penisilin 25 mg/mL adalah dengan menimbang Penisilin sebanyak 25 mg dan ditambah dengan 1 ml aquades. Jika penisilin diencerkan dengan 100 ml aquades maka : 2500 mg/100 ml = 2500000 g/10000 L = 25 g/L Sehingga 25 g/L x 20 L = 500 g
Kontrol positif E. Coli Besarnya kadar streptomycin pada 1 cakram Cara pembuatan streptomycin 6,25 mg/mL adalah dengan menimbang streptomycin sebanyak 6, 25 mg dan ditambah dengan 1 ml aquades. Jika streptomycin diencerkan dengan 100 ml aquades maka : 625 mg/100 ml = 625000 g/10000 L = 6,25 g/L Sehingga 6,25 g/L x 20 L = 13,5 g Kontrol Negatif Kontrol negatif adalah pelarut yang digunakan untuk mealarutkan ekstrak yaitu aquades. Aquades sebanyak 20 L diresapkan dalam kertas cakram.
Lampiran 4 Ukuran Daerah dan Interpretasinya untuk Kemoterapeutik yang sering Digunakan
Diameter daerah penghambatan sampai milimeter terdekat Antibiotik atau agen kemoterapeutik Potensi lempengan Resisten Pertengahan Peka Ampisilin S. aureus Semua organisme lain Basitrasin Sefalotin Kloramfenikol Kolistin Eritromisin Kanamisin Linkomisin * Metisilin Asam Nalidiksat Neomisin Novobiosin Oleandomisin Penisilin-G Polimisin-B Streptomisin Sulfonamida Tetrasiklin Vankomisin
10 g 10 g 10 units 30 g 30 g 10 g 15 g 30 g 2 g 5 g 30 g 30 g 30 g 15 g 10 g 300 units 10 g 300 g 30 g 30 g
20 atau kurang 11 atau kurang 8 atau kurang 14 atau kurang 12 atau kurang 8 atau kurang 13 atau kurang 13 atau kurang
9 atau kurang 13 atau kurang 12 atau kurang 17 atau kurang 11 atau kurang 20 atau kurang 8 atau kurang 11 atau kurang 12 atau kurang 14 atau kurang 9 atau kurang
29 atau lebih 14 atau lebih 13 atau lebih 18 atau lebih 18 atau lebih 11 atau lebih 18 atau lebih 18 atau lebih 17 atau lebih 14 atau lebih 19 atau lebih 17 atau lebih 22 atau lebih 17 atau lebih 29 atau lebih 12 atau lebih 15 atau lebih 17 atau lebih 19 atau lebih 12 atau lebih * Standar tentatif Standar berlaku untuk infeksi saluran urine saja Ukuran daerah tidak berlaku apabila daerah ditambahkan pada medium Lempengan sulfonamida 300 atau 250 g mana saja yang diperoleh di pasaran mungkin digunakan dengan standar penafsiran zona yang sama Sumber: Volk and Wheeler (1993).
Lampiran 5. Perhitungan Nilai Rendemen dan Kadar Tanin Metode Lowenthal Procter 1. Perhitungan Nilai Rendemen a. Pelarut Air Rendemen = awal sampel bobot ing sampel bobot ker x 100 % = g g 50 53 , 8 x 100 % = 17,01% b. Pelarut Aseton : Air (7:3) Rendemen = awal sampel bobot ing sampel bobot ker x 100 % = g g 50 051 , 5 x 100 % = 10,102% c. Pelarut Metanol Rendemen = awal sampel bobot ing sampel bobot ker x 100 % = g g 50 314 , 3 x 100 % = 6,63% d. Pelarut Etanol Rendemen = awal sampel bobot ing sampel bobot ker x 100 % = g g 50 52 , 3 x 100 % = 7,04%
2. Perhitungan Kadar Tanin Metode Lowenthal Procter
Hasil titrasi senyawa tanin dengan KMnO 4 0,1 N (A ml) Volume KMnO 4 yang dibutuhkan Pelarut Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata Air 0,5 0,55 0,525 Aseton : Air (7:3) 0,6 0,6 0,6 Metanol 0,5 0,55 0,525 Etanol 0,55 0,6 0,575
Hasil titrasi senyawa non tanin dengan KMnO 4 0,1 N
Kadar tanin = (50 A 50 B) x N/0,1 x 0,00416 x 100 % Berat sampel (A-B) : banyaknya KMnO 4 yang diperlukan untuk titrasi. A : Senyawa Tanin B : Senyawa Non Tanin a. Pelarut Air Kadar Tanin = % 100 1 00416 , 0 1 , 0 / 105 , 0 ) 125 , 0 ( 50 ) 5 , 0 ( 50 ( x x x
= 8,19% b. Pelarut Aseton : Air (7:3) Kadar Tanin = % 100 1 00416 , 0 1 , 0 / 105 , 0 ) 15 , 0 ( 50 ) 6 , 0 ( 50 x x x
= 10,92% c. Pelarut Metanol Kadar Tanin = % 100 1 00416 , 0 1 , 0 / 105 , 0 ) 3 , 0 ( 50 ) 525 , 0 ( 50 x x x
= 4,70%
d. Pelarut Etanol Kadar Tanin = % 100 1 00416 , 0 1 , 0 / 105 , 0 ) 2 , 0 ( 50 ) 575 , 0 ( 50 x x x
= 7,86%
Hasil Perhitungan kadar Tanin dari Masing-masing Pelarut Pelarut Kadar tanin (%) Aseton : Air (3:1) 10,92 Air Hangat 8,19 Etanol 7,86 Metanol 4,70
Lampiran 6. Hasil Uji Antibakteri Ekstrak Daun Belimbing Wuluh dengan Pelarut Terbaik
a. Perhitungan Zona Hambat Zona hambat (mm) = Diamter zona bening yang terbentuk diameter kerta cakram
Zona Bening Kertas Cakram
Media yang ditumbuhi bakteri
Gambar : Pengukuran zona hambat
b. Data zona hambat senyawa tanin ekstrak daun belimbing wuluh sebagai antibakteri S. Aureus Diameter zona hambat (mm) No. Konsentrasi (mg/ml) 1 2 3 Rata-rata zona hambat (mm) 1. 50 7 5,8 5,5 6,1 2. 100 6 6 6,8 6,3 3. 150 7 7,5 7 7,1 4. 200 10,7 10,5 10,8 10,67 5. 250 10 12,5 12,3 11,6 6. 300 12 14 14,5 13,5 7. 350 14 14,2 14,3 14,16 8. 400 15,2 15 15,1 15,1
c. Data zona hambat senyawa tanin ekstrak daun belimbing wuluh sebagai antibakteri E. coli Diameter zona hambat (mm) No. Konsentrasi (mg/ml) 1 2 3 Rata-rata zona hambat (mm) 1. 50 8,8 7 6,5 7,4 2. 100 9,5 10 9,5 9,7 3. 150 12,5 11 10,2 11,2 4. 200 12,6 13,2 12 12,6 5. 250 13 13,5 12,5 13 6. 300 13 13,7 15 13,9 7. 350 13,2 15 14,5 14,2 8. 400 13,8 16,5 15,5 15,27
Lampiran 6. Uji Statistik Data pemberian ekstrak dengan konsentrasi yang berbeda terhadap pertumbuhan bakteri.
1. Bakteri S. aureus Tabel Hasil Uji Antibakteri pada S. aureus Diameter zona hambat (mm) Konsentrasi (mg/mL) Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 Total Rata-rata 50 100 150 200 250 300 350 400 7 6 7 10,7 10 12 14 15,2 5,8 6 7,5 10,5 12,5 14 14,2 15
i j Y 2 - FK = 7 2 + 6 2 + ..... + 15,1 2 2681,82 = 288,91
JK Perlakuan =
i j ij Y ( ) 2 / r - FK = 18,3 2 + 18,8 2 + .... + 45,3 2 / 3 2681,82 = 279,583
JK Ulangan =
j i ij Y ) ( 2 / p - FK = 81,9 2 + 85,5 2 + 86,3 2 / 8 2681,82 = 1,373
JK Galat = JK Total - JK Perlakuan - JK Ulangan
= 288,91 279,583 1,373 = 7,954 Tabel Analisis Ragam Satu Arah F SK db JK KT Hitung Tabel 1 % Perlakuan Ulangan Galat percobaan 7 2 14 279,58 1,373 7,954 39,94 0,6865 0,568 70,3
4,28
Total 23 288,89
Berdasarkan analisis ragam di atas F hitung > F tabel (7,14) maka dapat disimpulkan bahwa pemberian ekstrak dengan konsentrasi yang berbeda berpengaruh sangat nyata (p < 0,01) pada pertumbuhan bakteri S. aureus, sehingga dilakukan pengujian lebih lanjut dengan uji BNT untuk mengetahui perlakuan mana yang berpengaruh.
BNT = ) 2 / 01 , 0 ( tabel t (14) n KTG/ 2 = 2,977 x 3 / ) 568 , 0 2 ( x = 1,83
Tabel Hasil Uji BNT Perlakuan dan nilai tengahnya Perlakuan dan nilai tengahnya (1) 6,1
Keterangan : *) = berbeda sangat nyata pada taraf 0,01 Jadi konsentrasi ekstrak 200, 250, 300, 350, dan 400 mg/mL berpengaruh sangat nyata (p < 0,01) pada pertumbuhan bakteri S. aureus di antara konsentrasi lain.
2. Bakteri E. coli
Tabel Hasil Uji Antibakteri pada E. colis Diameter zona hambat (mm) Konsentrasi (mg/mL) Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 Total Rata-rata 50 100 150 200 250 300 350 400
i j Y 2 - FK = 8,8 2 + 9,5 2 + ...+ 15,5 2 3552,667 = 156,43
JK Perlakuan =
i j ij Y ( ) 2 / r - FK = 22,3 2 + 29 2 + ..... + 45,8 2 / 3 3552,667 = 141,80
JK Ulangan =
j i ij Y ) ( 2 / p - FK = 96,4 2 + 99,9 2 + 95,7 2 / 8 3552,667 = 1,266
JK Galat = JK Total - JK Perlakuan - JK Ulangan
= 156,43 141,80 1,266 = 13,364
Tabel Analisis Ragam Satu Arah F SK db JK KT Hitung Tabel 1 % Perlakuan Ulangan Galat percobaan 7 2 14 141,80 1,266 13,364 20,25 0,633 0,954 7,15 4,28
Total 23 271,83
Berdasarkan analisis ragam di atas F hitung > F tabel (7,14) maka dapat disimpulkan bahwa pemberian ekstrak dengan konsentrasi yang berbeda berpengaruh sangat nyata (p < 0,01) pada pertumbuhan bakteri E. coli, sehingga dilakukan pengujian lebih lanjut dengan uji BNT untuk mengetahui perlakuan mana yang berpengaruh.
BNT = ) 2 / 01 , 0 ( tabel t (14) n KTG/ 2 = 2,977 x 3 / ) 954 , 0 2 ( x = 2,37
Tabel Hasil Uji BNT Perlakuan dan nilai tengahnya Perlakuan dan nilai tengahnya (1) 7,4
Keterangan : *) = berbeda sangat nyata pada taraf 0,01
Jadi konsentrasi ekstrak 150, 200, 250, 300, 350, dan 400 mg/mL berpengaruh sangat nyata (p < 0,01) pada pertumbuhan bakteri S. aureus di antara konsentrasi lain.
Lampiran 7. Dokumentasi Hasil Penelitiaan 1. Preparasi Sampel
2. Ekstraksi Sampel
Gambar 3. Maserasi sampel
Gambar 4.Penyaringan hasil ekstraksi
a b c d Gambar 5. Fase Kloroform-air dari masing-masing pelarut ((a)Air , (b) Aseton : Air, (c) Metanol dan (d) Etanol )
Gambar 1.Daun Belimbing Wuluh muda
Gambar 2. Serbuk daun Belimbing Wuluh
a b c d Gambar 6. Fase Etil Asetat-air dari masing-masing pelarut ((a). Air ,(b). Aseton : Air (7:3), (c). Metanol dan (d). Etanol )
3. Hasil Uji Reagen Ekstrak Tanin
Gambar 7. Ekstrak dengan FeCl 3 1%
Gambar 8. Ekstrak dengan larutan Gelatin
Gambar 9. Ekstrak ditambahkan dengan Formalin + HCl
Gambar 10. Endapan Merah hasil penyaringan dari gambar 9.
4. Hasil Uji Aktifitas Antibakteri dengan Pelarut Terbaik - S. Aureus