Vous êtes sur la page 1sur 111

EKSTRAKSI DAN PENGUJIAN AKTIVITAS ANTIBAKTERI SENYAWA

TANIN PADA DAUN BELIMBING WULUH (Averrhoa bilimbi L.)


(Kajian Variasi Pelarut)



SKRIPSI


Oleh :
MASITHAH KHAIRUL UMMAH
NIM: 05530001













JURUSAN KIMIA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
2010

EKTRAKSI DAN PENGUJIAN AKTIVITAS ANTIBAKTERI SENYAWA
TANIN PADA DAUN BELIMBING WULUH (Averrhoa bilimbi L.)
(Kajian Variasi Pelarut)




SKRIPSI




Diajukan Kepada:
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Dalam
Memperoleh Gelar Sarjana Sains (S. Si)





Oleh:
Masithah Khairul Ummah
NIM: 05530001









JURUSAN KIMIA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
2010


PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN


Saya yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama : Masithah Khairul Ummah
NIM : 0553001
Jurusan : Kimia
Fakultas : Sains dan Teknologi
Menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi yang saya tulis ini
benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan
pengambilalihan data, tulisan atau pikiran orang lain yang saya akui sebagai hasil
tulisan atau pikiran saya sendiri.
Apabila di kemudian hari terbukti terdapat unsur-unsur jiplakan, maka
saya bersedia untuk mempertanggung jawabkan, serta diproses sesuai paraturan
yang berlaku.


Malang, 26 Januari 2010
Yang membuat pernyataan



Masithah Khairul Ummah
NIM. 05530001











EKSTRAKSI DAN PENGUJIAN AKTIVITAS ANTIBAKTERI SENYAWA
TANIN PADA DAUN BELIMBING WULUH (Averrhoa bilimbi L.)
(Kajian Variasi Pelarut)




SKRIPSI


Oleh:
Masithah Khairul Ummah
NIM: 05530001

Telah Dipertahankan di Depan Dewan Penguji Skripsi
dan Dinyatakan Diterima Sebagai Salah Satu
Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains (S. Si)

Tanggal 2010

Susunan Dewan Penguji : Tanda Tangan

1. Penguji Utama : Rini Nafsiati Astuti, M.Pd
NIP. 19750531 200312 2 003
( ................................. )


2. Ketua Penguji : Eny Yulianti, M.Si
NIP. 19760611 200501 2 006

( ................................. )
3. Sekr. Penguji : Elok Kamilah Hayati, M.Si
NIP. 19790620 200604 2 002

( ................................. )
4. Anggota Penguji : Anton Prasetyo, M.Si
NIP. 19770925 200604 1 003
( ................................. )

Mengetahui dan Mengesahkan
Ketua Jurusan Kimia




Diana Candra Dewi, M.Si
NIP. 19770720 200312 2 001

PERSEMBAHAN
Alhamdulillaahirabbil'aalamiin
Dengan senantiasa memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT,
ku persembahkan buah karya ini untuk:
Ayah dan Ibunda tercinta, Maswar, S.Pd dan Mastutik engkaulah guru pertama dalam
hidupku yang telah mengasuhku dan banyak memberikan kasih sayang dengan jutaan kasih
sesejuk embun pagi dan sesuci doa di malam hari, ananda haturkan terima kasih atas
semuanya.
Adikku tersayang Nasrul Haq Al-masbi terima kasih atas dukungan dan doa nya, sehingga
kakak bisa terus berpacu dan termotivasi untuk mewujudkan cita-cita,belajarlah yang rajin
Teruslah menjadi kebanggaan orang tua dan teruntuk Pendamping hidupku KELAK calon
suamiku, imam dan ayah bagi putra-putriku.........



















KATA PENGANTAR
` `` `. .. . , ,, , < << < - -- - 9 99 9 > >> > 9 99 9

Puji syukur Alhamdulillah ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat,
hidayah dan kemudahan yang selalu diberikan kepada hamba-Nya, sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul Ekstraksi dan Pengujian
Aktivitas Antibakteri Senyawa Tanin Pada Daun Belimbing Wuluh
(Averrhoa bilimbi L.) Dengan Variasi Pelarut sebagai salah satu syarat untuk
mencapai gelar Sarjana Sains.
Penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada semua pihak
yang telah membantu dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini, terutama
kepada:
1. Prof. Dr. H. Imam Suprayogo selaku Rektor UIN Malang beserta stafnya,
terima kasih atas fasilitas yang diberikan selama kuliah di UIN Malang.
2. Prof. Drs. Sutiman Bambang Sumitro, SU., D.Sc selaku Dekan Fakultas Sains
dan Teknologi UIN Malang.
3. Diana Candra Dewi, M.Si selaku Ketua Jurusan Kimia Fakultas Sains dan
Teknologi Universitas Islam Negeri (UIN) Malang.
4. Elok Kamilah Hayati, M.Si Akyunul Jannah, S.Si, MP, Anton Prasetyo M.Si
selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan dan
arahan dalam penyusunan skripsi ini.
5. Rini Nafsiati Astuti selaku penguji utama dan Eny Yulianti, M.Si selaku ketua
penguji
6. Bapak dan Ibu Dosen Jurusan Kimia Fakultas Sains dan Teknologi yang telah
banyak memberikan ilmunya.
7. Moh. Taufik, S.Si , M Kholid Al-Ayubi, Zulkarnain, S.Si selaku Laboran
Kimia UIN Maliki Malang.
8. Bapak dan ibuku yang dengan penuh kasih sayang dan keikhlasan telah
mengasuh, membesarkan dan membiayai baik materil maupun spirituil serta

mengalirkan doa-doanya untuk kebahagiaan putri tercintanya baik di dunia
maupun di akhirat
9. Adikku tersayang dan Seseorang yang istimewa dihati yang telah banyak dan
selalu memberikan bantuan, dukungan, semangat dan doanya.
10. Sheva, Erna, Lalu, Afifa dan Keluarga besar Simpang Gajayana 611 J yang
telah memberikan bantuan, semangat dan keceriaan setiap waktu.
11. Teman-temanku chemistry 05 (Aisy, Lailis, Warda, Halim, U_mi, Nur RA,
Fajar, Ieza, Naily, Asri, Helmi) yang telah memberikan arahan, bantuan serta
ilmunya dalam penelitian.
12. Kakak-kakak dan adik-adik keluarga besar kimia terus semangat dan lanjutkan
perjuangan.
13. Semua pihak yang telah banyak membantu penulis demi terselesainya skripsi
ini.
Akhir kata dengan jujur penulis mengakui bahwa skripsi ini masih jauh
dari sempurna, oleh karena itu saran dan kritik yang bersifat membangun sangat
penulis harapkan demi lebih sempurnanya skripsi ini. Penulis berharap semoga
skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis pada khususnya dan pembaca
pada umumnya dan semoga penulisan skripsi ini mendapatkan ridho dari Allah
SWT. Amiin.

Malang, Januari 2010

Penulis









DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................ i
DAFTAR ISI ..................................................................................... iii
DAFTAR TABEL ............................................................................. vi
DAFTAR GAMBAR......................................................................... vii
DAFTAR LAMPIRAN...................................................................... vii
ABSTRAK........................................................................................ ix

BAB I PENDAHULUAN................................................................... 1
1.1 Latar Belakang.............................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah......................................................................... 6
1.3 Tujuan........................................................................................... 6
1.4 Batasan Masalah ........................................................................... 6
1.5 Manfaat Penelitian ........................................................................ 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA......................................................... 8
2.1 Tanaman Belimbing Wuluh Perspektif Islam................................ 9
2.2 Sejarah Penggunaan Tumbuhan Sebagai Obat .............................. 11
2.3 Tanaman Belimbing Wuluh Perspektif Ilmu Pengetahuan............ 14
2.3.1 Kandungan Kimia Daun Belimbing Wuluh ............................... 16
2.3.2 Manfaat Belimbing Wuluh........................................................ 17
2.4 Senyawa Metabolit Primer dan Sekunder .................................... 17
2.5 Senyawa Tanin............................................................................. 18
2.6 Pemisahan Senyawa Tanin........................................................... 21
2.6.1 Ekstraksi Senyawa Tanin .......................................................... 21
2.6.1.1 Ekstraksi Tanin dengan Metode Maserasi............................... 23
2.6.2 Identifikasi Senyawa Tanin ....................................................... 25
2.6.2.1 Uji Fitokimia.......................................................................... 25
2.6.2.2 Identifikasi dengan Kromatografi ........................................... 26
2.6.3 Penentuan Kadar Tanin ............................................................. 27

2.6.3.1 Penentuan Kadar Tanin dengan Metode Lowenthah-Procter... 27
2.6.3.2 Penentuan Kadar Tanin dengan Metode Spektrofometer........ 28
2.6.3.3 Penentuan Kadar Tanin dengan Metode Stiansy Test.............. 29
2.7 Antibakteri ................................................................................... 30
2.7.1 Tanin Sebagai Antibakteri ......................................................... 33
2.7.2 Mekanisme Penghambatan Antibakteri ..................................... 37

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ........................................... 39
3.1 Pelaksanaan Penelitian................................................................. 39
3.2 Alat dan Bahan ............................................................................ 39
3.2.1 Alat ........................................................................................... 39
3.2.2 Bahan........................................................................................ 39
3.3 Rancangan Penelitian................................................................... 40
3.4 Tahapan Penelitian....................................................................... 40
3.5 Pelaksanaan Penelitian................................................................. 41
3.5.1 Preparasi Sampel....................................................................... 41
3.5.2 Ekstraksi Tanin dengan Metode Maserasi.................................. 41
3.5.3 Uji Tanin................................................................................... 41
3.5.4 Uji Kadar Tanin Metode Lowenthal-Procter.............................. 42
3.5.5 Uji Antibakteri .......................................................................... 43
3.5.5.1 Sterilisasi Alat ........................................................................ 43
3.5.5.2 Pembuatan Media................................................................... 43
3.5.5.3 Peremajaan Biakan Murni ...................................................... 44
3.5.5.4 Pembuatan Biakan Aktif......................................................... 44
3.5.5.5 Uji Antibakteri ....................................................................... 44
3.6 Analisis Data................................................................................ 45

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN............................................ 46
4.1 Preparasi Sampel Daun Belimbing Wuluh.................................... 46
4.2 Ekstraksi Senyawa Tanin ............................................................. 47
4.3 Uji Fitokimia Senyawa Tanin....................................................... 50

4.3.1 Uji Fitokimia Senyawa Tanin dengan Menggunakan FeCl
3 ...........
51
4.3.2 Uji Fitokimia Senyawa Tanin dengan Menggunakan Larutan
Gelatin ...................................................................................... 52
4.3.3 Uji Fitokimia Senyawa Tanin dengan Menggunakan
Formalin : HCl .......................................................................... 54
4.4 Uji Kuantitatif Senyawa Tanin dengan Metode Lowenthal-procter 56
4.5 Uji Aktivitas Antibakteri Senyawa Tanin Berdasarkan Pelarut
Terbaik ........................................................................................ 59
4.7 Hasil Penelitian tentang Pemanfaatan Tanin dalam Daun Belimbing
Wuluh dalam Prespektif Islam........................................................ 67

BAB V KESIMPULAN DAN SARA................................................ 70
5.1 Kesimpulan.................................................................................. 70
5.2 Saran............................................................................................ 70

DAFTAR PUSTAKA........................................................................ 71
LAMPIRAN-LAMPIRAN................................................................. 76














DAFTAR TABEL


2.1 Tetapan dielektrikum pelarut .................................................... 25
2.2 Nilai Rf dari Beberapa ekstrak daun jambu biji........................ 27
2.3 Perbedaan susunan dinding sel bakteri Gram positif dan negatif.33
2.4 Aktivitas Antibakteri Senyawa Tanin ........................................ 36
4.1 Warna filtrat dari masing-masing pelarut.................................. 48
4.2 Warna fase air dari masing-masing Pelarut ............................... 49
4.3 Hasil uji fitokimia ekstrak tanin menggunakan FeCl
3
............... 52
4.4 Hasil uji fitokimia ekstrak tanin menggunakan larutan gelatin.. 54
4.5 Hasil uji fitokimia ekstrak tanin menggunakan Formalin : HCl. 55
4.6 Hasil uji kuantitatif senyawa tanin dengan metode Lowenthal
Procter..................................................................................... 58
4.7 Data zona hambat senyawa tanin ekstrak daun belimbing wuluh
sebagai antibakteri S. aureus .................................................... 62
4.8 Data zona hambat senyawa tanin ekstrak daun belimbing wuluh
sebagai antibakteri E. coli...................................................... 62














DAFTAR GAMBAR



2.1 Daun Muda Belimbing Wuluh..................................................... 15
2.2 Struktur Senyawa Tanin .............................................................. 18
4.1 Reaksi dugaan antra gugus fenol pada tanin dengan FeCl
3
........... 51
4.2 Reaksi dugaaan antara gugus fenol pada tanin dengan gugus
protein pada gelatin.................................................................... 53
4.3 Reaksi dugaaan terjadinya ikatan hidrogen gugus fenol pada tanin
dengan protein............................................................................. 64





















DAFTAR LAMPIRAN


Lampiran 1. Skema Kerja ................................................................... 76
Lampiran 2. Perhitungan, Pembuatan Reagen dan Larutan.................. 81
Lampiran 3. Perhitungan Kekuatan Cakram........................................ 81
Lampiran 4. Ukuran Daerah dan Interpretasinya untuk Kemoterapeutik
yang sering Digunakan .................................................... 84
Lampiran 5. Perhitungan Kadar Tanin Metode Lowenthal Procter...... 85
Lampiran 6. Hasil Uji Antibakteri Ekstrak Daun Belimbing Wuluh
dengan Pelarut Terbaik..................................................... 87
Lampiran 7. Uji Statistik...................................................................... 89
Lampiran 8. Dokumentasi Penelitian.................................................... 93



















ABSTRAK

Ummah, M.K. 2010. Ekstraksi dan Pengujian Aktivitas Antibakteri Senyawa
Tanin dari Daun Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi. L)
KajianVariasi Pelarut. Pembimbing :Elok Kamilah Hayati, M.Si .
Pembimbing Pendamping : Anton Prasetyo, M.Si

Kata Kunci : Daun Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi. L), Tanin, Antibakteri

Penggunaan antibakteri sintetik atau pengawet sintetik pada makanan
seperti penambahan formalin jika dikonsumsi secara terus menerus akan
menyebabkan penyakit, adanya fenomena di atas mendorong manusia untuk
mencari solusi yang terbaik bagi kesehatan. Solusi yang dilakukan adalah mencari
alternatif pengganti antibakteri sintetis dengan menggunakan antibakteri alami
yang dapat diperoleh dari tanaman. Penelitian ini bertujuan untuk memanfaatkan
bahan alam sebagai antibakteri alami. Penelitian ini ingin mengetahui bahwa
senyawa tanin yang diduga terdapat dalam daun belimbing wuluh dapat
menghambat bakteri S. aureus dan E. coli.
Penelitian ini meliputi ekstraksi yang dilakukan dengan metode maserasi
menggunakan 4 jenis pelarut yang berbeda yaitu air hangat, metanol, etanol, dan
Aseton:air (7:3). Penentuan pelarut terbaik hasil ekstraksi adalah dengan
menggunakan metode Lowenthal-Procter Uji efektifitas antibakteri dilakukan
terhadap bakteri S. aureus dan E. coli menggunakan metode difusi cakram dengan
konsentrasi ekstrak 50, 100, 150, 200, 250, 300, 350, dan 400 mg/mL.
Hasil penelitiaan menunjukkan bahwa berdasarkan uji fitokimia daun
belimbing wuluh mengandung senyawa tanin. Pelarut terbaik yang dapat
mengekstrak tanin dengan kadar tertinggi adalah Aseton:air (7:3). Hasil
perhitungan zona hambat ekstrak tanin dari pelarut terbaik terhadap bakteri S.
aureus pada konsentrasi 50 mg/ml:6,1 mm, 100 mg/ml:6,3mm, 150
mg/ml:7,1mm, 200 mg/ml:10,67 mm, 250 mg/ml:11,6 mm, 300 mg/ml:13,5 mm,
350 mg/ml:14,16 mm, dan 400 mg/ml:15,1 mm. Nilai zona hambat untuk E. coli
pada konsentrasi 50 mg/ml:7,4 mm, 100 mg/ml:9,7 mm, 150 mg/ml:11,2 mm, 200
mg/ml:12,6 mm, 250 mg/ml:13 mm, 300 mg/ml:13,9 mm, 350 mg/ml:14,2, dan
400 mg/ml:15,27 mm. Konsentrasi terbaik untuk kedua bakteri adalah 400 mg/ml,
dan berdasarkan hasil zona hambat yang terbentuk bahwa senyawa tanin bersifat
resisiten terhadap kedua bakteri uji.








ABSTRACT

Ummah, M.K. 2010 The Extraction and Antibacterial Activity Examination of
Tannin compound at Averrhoa bilimbi L. Leaves (Solvent Variation
Study)

Key words: Averrhoa bilimbi . L leaves, Tannin, Antibacterial

The usage of synthetic antibacterial or preservative synthetic food likes
formaline addition, if it is consumed continually, it will cause diseases, the
phenomenon above make the people it finding the best solution for health. The
solution done is finding the substitution alternative of synthetic antibacterial by
using of antibacterial of plant. This research intents to utilize the natural material
as the natural antibacterial. The objective of this research is to know that tannin
compound which is probably available in averrhoa bilimbi L leaves constrain
bacteria S. aureus and E. coli .
This research cover the extraction done by maceration method using
different 4 dissolving types which are water, methanol, ethanol, and aceton :water
(7:3 ). The best dissolving determination of the extraction result is by using of
Lowenthal Procter method. The antibacterial activity test is done to bacteria S.
aureus and E. coli using the disk diffusion method by concentration extract 50,
100, 150, 200, 250, 300, 350, and 400 mg / mL.
The result of experiment based on the fitokimia test of averrhoa bilimbi
L leaves contain of tannin compound. The best dissolving that can extract tannin
by extract aceton :water (7:3 ) as highest concentration. The result showed that all
concentration of averrhoa bilimbi L extract with acetone : water (7:3) influenced
the zone of inhibition. The Zone of inhibition result constrain the tannin extract of
the best dissolving to bacteria S. aureus on concentration 50 mg / ml:6,1 mm,
100 mg / ml:6,3mm, 150 mg / ml:7,1mm, 200 mg / ml:10,67 mm, 250 mg /
ml:11,6 mm, 300 mg / ml:13,5 mm, 350 mg / ml:14,16 mm, and 400 mg / ml:15,1
mm. Zone of inhibition constrains to E. coli on concentration 50 mg / ml:7,4
mm, 100 mg / ml:9,7 mm, 150 mg / ml:11,2 mm, 200 mg / ml:12,6 mm, 250 mg /
ml:13 mm, 300 mg / ml:13,9 mm, 350 mg / ml:14,2, and 400 mg / ml:15,27 mm.
The best concentration for both bacteria is 400 mg / ml, and bases on zone of
inhibition result that was formed can be stated that tannin compound gets
resistance to bacteria S. aureus and E. coli








BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Penemuan berbagai senyawa obat baru dari bahan alam semakin
memperjelas peran penting metabolit sekunder tanaman sebagai sumber bahan
baku obat. Metabolit sekunder adalah senyawa hasil biogenesis dari metabolit
primer. Umumnya dihasilkan oleh tumbuhan tingkat tinggi, yang bukan
merupakan senyawa penentu kelangsungan hidup secara langsung, tetapi lebih
sebagai hasil mekanisme pertahanan diri organisma. Kandungan senyawa
metabolit sekunder telah terbukti bekerja sebagai derivat antikanker, antibakteri
dan antioksidan, antara lain adalah golongan alkaloid, tanin, golongan polifenol
dan turunanya.
Indonesia yang beriklim tropis memiliki aneka ragam tumbuhan, dan
beberapa tumbuhan dapat digunakan sebagai bahan obat tradisional. Senyawa
metabolit sekunder yang terdapat pada tumbuhan selain sebagai obat tradisional
juga dapat digunakan sebagai antibakteri dan pengawet alami. Penggunaan
antibakteri sintetik atau pengawet sintetik pada makanan seperti penambahan
formalin jika dikonsumsi secara terus menerus akan menyebabkan penyakit.
Adanya fenomena di atas mendorong manusia untuk mencari solusi yang terbaik
bagi kesehatan. Solusi yang dilakukan adalah mencari alternatif pengganti
antibakteri sintetis dengan menggunakan antibakteri alami yang dapat diperoleh
dari tanaman.

Keanekaragaman tumbuhan yang dimiliki Indonesia merupakan salah satu
nikmat yang diberikan oleh Allah kepada kita, sehingga kita patut bersyukur dan
memanfaatkanya dengan baik, didalam firmannya Allah telah menjelaskan dalam
surat Al-anam ayat 99
%! !.9 ! !>>! , ,!, . `: !>>!
.> _ !',> !,2. 9 !-=L % >
,!s .9 !9 !,.:` s ,:.` `L <| . | . -
| 39 )9 ``
Dan dialah yang menurunkan air hujan dari langit, lalu kami tumbuhkan
dengan air itu segala macam tumbuh-tumbuhan Maka kami keluarkan dari
tumbuh-tumbuhan itu tanaman yang menghijau. kami keluarkan dari tanaman
yang menghijau itu butir yang banyak; dan dari mayang kurma mengurai
tangkai-tangkai yang menjulai, dan kebun-kebun anggur, dan (Kami keluarkan
pula) zaitun dan delima yang serupa dan yang tidak serupa. perhatikanlah
buahnya di waktu pohonnya berbuah dan (perhatikan pulalah) kematangannya.
Sesungguhnya pada yang demikian itu ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi
orang-orang yang beriman.

Ayat diatas menjelaskan bagaimana buah diciptakan dan berkembang pada fase
yang berbeda-beda sehingga sampai pada fase kematangan secara sempurna, dan
berbagai unsur yang beraneka ragam didalamnya yang salah satunya dapat kita
manfaatkan sebagai obat tradisional dan senyawa antibakteri, dalam Q.S Asyuara
ayat 7 Allah berfirman:
9 <| _{ /. !., ! . _ .
Dan apakah mereka tidak memperhatikan bumi, berapakah banyaknya kami
tumbuhkan di bumi itu pelbagai macam tumbuh-tumbuhan yang baik?


Shihab (2002) menjelaskan bahwa Allah menembuhkan dari berbagai
macam tumbuhan yang baik, yaitu subur dan bermanfaat seperti halnya daun
belimbing wuluh yang dapat digunakan sebagai peneurun panas, serta antibakteri
karena memliki kandungan senyawa tanin. Ayat diatas juga menjelaskan
bahwasanya Allah menciptakan berbagai jenis tumbuhan dibumi ini, dan semua
itu tiada yang sia-sia, oleh sebab itu manusia yang telah dibekali akal oleh Allah
mempunyai kewajiban untuk memikirkan, mengkaji serta meneliti apa-apa yang
telah Allah berikan untuk kita. Banyak hasil penelitian yang menyebutkan potensi
suatu tanaman dalam mengobati penyakit tertentu ataupun sebagai antibakteri dan
salah satu bahan alam yang dapat digunakan untuk pengobatan tradisional adalah
belimbing wuluh (Averhoa bilimbi L).
Belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L) merupakan salah satu jenis
tanaman yang sering digunakan sebagai obat tradisional. Tanaman ini banyak
dimanfaatkan mengatasi berbagai penyakit seperti batuk, diabetes, rematik,
gondongan, sariawan, sakit gigi, gusi berdarah, jerawat, diare sampai tekanan
darah tinggi (Wijayakusuma, 2006) bagian tanaman yang sering digunakan
sebagai obat adalah buah dan daunnya.
Kandungan senyawa aktif dalam daun belimbing wuluh adalah tanin,
sulfur, asam format, dan flavonoid (Wijayakusuma, 2006). Senyawa metabolit
sekunder pada tumbuhan misalkan flavonoid, tanin dan saponin berdasarkan
beberapa hasil penelitian diduga mempunyai kemampuan untuk menghambat
pertumbuhan bakteri, di dalam daun belimbing wuluh mengandung senyawa
metabolit sekunder yaitu flavonoid dan tanin sehingga dapat diduga senyawa aktif

tersebut dapat digunakan sebagai antibakteri. Penggunaan daun belimbing wuluh
sebagai antibakteri misalnya sebagai pengawet alami sangat efisien karena
jumlahnya melimpah, tanaman ini juga sangat mudah didapatkan .
Tanin dapat digunakan sebagai antibakteri karena mempunyai gugus fenol,
sehingga tanin mempunyai sifat-sifat seperti alkohol yaitu bersifat antiseptik yang
dapat digunakan sebagai komponen antimikroba. Abiyasa (2008) menyebutkan
kemampuan senyawa tanin yang terkandung dalam rebusan daun jambu biji dapat
menghambat pertumbuhan bakteri Escherichia coli (E. coli) dan Staphylococcus
aureus (S. aureus). Konsentrasi ekstrak 2% pada daun jambu biji 2% dapat
menghambat pertumbuhan S. aureus, sedangkan pada konsentrasi ekstrak 10%
dapat menghambat pertumbuhan E. coli dan hasil penelitian Min (2008)
menunjukkan bahwa ekstrak tanin pada tanaman Sericea lespedeza dapat
menghambat bakteri S. aureus dan E. coli pada konsentrasi minimum 50 mg/ml.
Tanin merupakan senyawa yang dapat mengikat dan mengendapkan
protein berlebih dalam tubuh. Pada bidang pengobatan tanin digunakan sebagai
obat diare, hemostatik (menghentikan pendarahan), dan wasir (Naim, 2004).
Siswantoro (2006) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa tanin yang terdapat
dalam tanaman dapat digunakan untuk membunuh bakteri baik pada
Streptococcus pyogenes maupun Pasteurella multocida secara in vitro. Tanin
merupakan zat kimia yang terdapat dalam tanaman yang memiliki kemampuan
menghambat sintesis dinding sel bakteri dan sintesis protein sel kuman gram
positif maupun gram negatif.

Efektivitas antibakteri senyawa tanin yang terdapat dalam tumbuhan
misalnya daun jambu biji salah satunya dipengaruhi oleh konsentrasi tanin.
Semakin tinggi kadar tanin aktivitas antibakteri akan meningkat. Berdasarkan
hasil penelitiaan Zulaekah (2005) menunjukkan bahwa semakin tinggi
konsentrasi tanin pada ekstrak daun teh yang digunakan pada pembuatan telur
asinan menghasilkan telur asin rebus dengan jumlah total bakteri paling sedikit.
Hasil penelitian Faharani (2008) menunjukkan bahwa ekstrak air daun
belimbing wuluh memliki aktivitas sebagai antibakteri terhadap S. aereus pada
konsenrasi 40%, sedangkan pada E. coli hasil ekstrak tidak menunjukkan aktivitas
penghambat pada konsentrasi 40% dan senyawa aktif yang diduga memiliki
aktivitas antibakteri adalah flavonoid, tanin dan saponin, dan belum ada penelitian
tentang apakah senyawa tanin pada daun belimbing wuluh dapat digunakan
sebagai antibakteri. Daun belimbing wuluh yang digunakan dalam penelitian ini
adalah daun yang masih muda karena dimungkinkan senyawa tanin banyak
terdapat dalam daun muda. Menurut Harborne (1987) daun muda lebih rentang
dari hama daripada daun tua karena kandungan senyawa tanin pada daun muda
lebih banyak dari pada daun tua, hal ini dikarenakan pada daun tua sebagian telah
mengalami oksidasi sehingga dalam penelitian ini digunakan daun belimbing
wuluh yang masih muda.
Pada penelitian ini akan ditekankan untuk mengetahui potensi senyawa
tanin yang terdapat dalam daun belimbing wuluh yang diduga mempunyai
kemampuan sebagai antibakteri. Pemisahan senyawa tanin salah satunya
dipengaruhi oleh pelarut, sehingga dalam penelitiaan ini digunakan variasi pelarut

dan pelarut yang digunakan adalah pelarut yang bersifat polar kerena tanin
merupkan senyawa polar. Pemilihan metode aktivitas tanin yang diekstrak dengan
pelarut yang berbeda adalah untuk mengetahui pelarut yang dapat mengekstrak
tanin dengan kadar tertinggi yang selanjutnya diuji aktivitas antibakterinya
terhadap S. aureus dan E. coli.

1.1 Rumusan Masalah
1. Pelarut apa yang terbaik untuk memperoleh ekstrak dengan kadar tanin
tertinggi pada daun belimbing wuluh ?
2. Berapa nilai konsentrasi penghambatan optimum senyawa tanin sebagai
senyawa antibakteri dengan pelarut terbaik ?

1.2 Tujuan
1. Mengetahui pelarut terbaik untuk memperoleh ekstrak tanin dengan kadar
tertinggi pada daun belimbing wuluh.
2. Mengetahui nilai konsentrasi optimum penghambatannya sebagai senyawa
antibakteri dengan pelarut terpilih.

1.4 Batasan Masalah
1. Daun belimbing wuluh yang digunakan dalam penelitiaan ini adalah daun
yang masih muda yang diperoleh dari daerah paiton probolinggo

2. Uji antibakteri dilakukan secara in vitro terhadap bakteri S. aureus dan E. coli
yang diperoleh dari laboratorium Mikrobiologi UIN Maulana Malik Ibrahim
Malang.
3. Penentuan kadar tanin dengan menggunakan metode Lowenthal-Procter.

1.5 Manfaat Penelitiaan
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah kepada
masyarakat yang petama adalah memberikan informasi tentang pemisahan
senyawa tanin dengan ekstraksi maserasi dan pelarut yang digunakan untuk
menghasilkan ekstrak tanin dengan kadar tertinggi. Manfaat yang kedua adalah
mengenai pemanfaatan senyawa tanin pada daun belimbing wuluh sebagai
antibakteri sehingga dapat digunakan sebagai alternatif untuk pengobatan dan
pengawet alami.



















BAB II
TINJAUN PUSTAKA

2.1 Tanaman Belimbing Wuluh dalam Perspektif Islam
Banyak jenis tumbuhan yang mampu tumbuh di bumi dengan adanya air
hujan, yang tergolong dalam tumbuhan tingkat rendah yaitu tumbuhan yang tidak
jelas bagian akar, batang dan daunnya. Golongan selanjutnya lebih mengalami
perkembangan adalah tumbuhan tingkat tinggi yaitu tumbuhan yang bisa
dibedakan secara jelas bagian daun, batang dan akarnya (Savitri, 2008). Hal ini
telah dijelaskan dalam firman Allah dalam QS Thaha : 53
%! -> `39 _{ 7= 39 ! , !.9 !
!>>! , l> ,!, .:
Yang telah menjadikan bagimu bumi sebagai hamparan dan yang Telah
menjadikan bagimu di bumi itu jalan-ja]an, dan menurunkan dari langit air
hujan. Maka kami tumbuhkan dengan air hujan itu berjenis-jenis dari tumbuh-
tumbuhan yang bermacam-macam.

Tanaman belimbing wuluh merupakan tumbuhan yang dengan nyata
memperlihatkan differensiasi dalam tiga bagian pokok yaitu: akar, batang dan
daun. Bagian tanaman ini yang dapat dimanfaatkan sebagai obat adalah bagian
daun, buah, akar dan batangnya, tercantum dalam QS. As-Syuara : 7
9 <| _{ /. !., ! . _ .
Dan apakah mereka tidak memperhatikan bumi, berapakah banyaknya kami
tumbuhkan di bumi itu pelbagai macam tumbuh-tumbuhan yang baik?

8

Tumbuhan yang baik dalam hal ini adalah tumbuhan yang bermanfaat bagi
makhluk hidup, termasuk tumbuhan yang dapat digunakan sebagai pengobatan.
Tumbuhan yang bermacam-macam jenisnya dapat digunakan sebagai obat
berbagai penyakit, dan hal ini merupakan anugerah Allah swt yang harus
dipelajari dan harus dimanfaatkan seperti disebutkan dalam dalam QS. Al-
Qashash : 57
9!% | _,. ; 7- #L. !. 9 3 `9 !> !
,> 9| ,. . `: !% !$! 39 .2 =-
Dan mereka berkata: "Jika kami mengikuti petunjuk bersama kamu, niscaya
kami akan diusir dari negeri kami". dan apakah kami tidak meneguhkan
kedudukan mereka dalam daerah Haram (tanah suci) yang aman, yang
didatangkan ke tempat itu buah-buahan dari segala macam (tumbuh- tumbuhan)
untuk menjadi rizki (bagimu) dari sisi Kami?. tetapi kebanyakan mereka tidak
Mengetahui.

Ayat tersebut mengisyaratkan agar kita mencari dan mempelajari berbagai
tumbuhan yang menjadi rizki yaitu dapat memberikan manfaat bagi kehidupan
manusia. Tumbuhan menjadi rizki bagi makhluk hidup karena merupakan bahan
pangan dan bahan obat-obatan (Savitri, 2008).
Dunia tumbuh-tumbuhan ciptaan Tuhan tidak hanya penuh dengan buah-
buahan dan hasil panenan lainnya, tetapi juga menjaga keseimbangan dan pola
yang tetap. Terdapat aneka ragam buah-buahan, bunga-bungaan, dan hasil panen,
akan tetapi tetap berada di dalam susunan aturan yang ketat dari Allah (Rahman,
2000).



Tumbuhan mengandung banyak vitamin dan mineral serta unsur-unsur
alami lainnya yang memungkinkan bagi tubuh untuk menyerapnya. Tumbuhan
juga mengandung sejumlah unsur non-mineral atau semi-mineral, misalnya
oksigen, sulfat (garam asam belerang), yodium, nitrogen, arsenic (racun
pembunuh serangga), fosfor, selenium, karbon, di samping sejumlah bahan
mineral penting lain seperti kalsium, sodium, magnesium, besi dan cobalt
(Rahman, 2000).
Daun belimbing wuluh mengandung senyawa tanin, saponin dan flavonoid
yang dapat digunakan sebagai antibakteri, penurun panas dan obat batuk. Al-
Quran banyak menyebutkan tentang tumbuh-tumbuhan untuk dimanfaatkan oleh
manusia. Sebagaimana Firman Allah dalam Q.S. Al-An'am ayat 141:
%! !: > :- s :'- 9 _9 !=.
`&#2 .9 !9 !,:.` s ,:.` =2 . | .
. )> !.> . | > .9
"Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak
berjunjung, pohon kurma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya,
zaitun dan delima yang serupa dan tidak sama. Makanlah dari buahnya bila dia
berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya; dan janganlah kamu
berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-
lebihan" (Q.S. Al-Anam:141).


2.2 Sejarah Penggunaan Tumbuhan Sebagai Obat
Pengobatan dari Nabi SAW memang berbeda dengan ilmu medis para
dokter pada umumnya. Pengobatan Nabi bersifat pasti dan absolut serta bernilai
kedokteran Ilahi, berasal dari wahyu dari lentera kenabian serta kesempurnaan

intelegensi. Rasulullah SAW pernah menyebutkan bahwa tumbuhan herbal baik
untuk digunakan sebagai obat . Tumbuhan herbal merupakan tumbuhan obat yang
memang sangat berguna untuk membuang lemak dan racun-racun dalam tubuh
manusia. Produk tumbuhan herbal banyak digunakan oleh kedokteran untuk
mengurangi lemak berlebih penyebab obesitas dan menyembuhkan berbagai
penyakit (Barazing, 2007).
Beberapa tumbuhan herba yang sering digunakan oleh Rasulullah SAW
untuk menyembuhkan beberapa penyakit antara lain madu, jintan hitam, air
mawar, cuka buah, kurma, delima, bawang putih dan berbagai jenis makanan
lainnya.

a) Ajwa (Kurma Ajwa)
Kurma adalah buah, makanan, obat, minuman sekaligus gula-gula. Kurma
dapat menguatkan lever, melunakkan buang air besar, menyembuhkan radang
tenggorokan, dan menambah stamina bila dicampur dengan kayu cemara, dalam
Shahih Al-Bukhari dan Muslim diriwayatkan hadist Saad bin Abi Waqqash, dari
Nabi SAW bersabda :
Q- -~- _-~- ;=- ,-- , ,=~ V ;~ ;-- 4- -,~- ;- .
Barang siapa mengkonsumsi tujuh butir kurma ajwa pada pagi hari, maka pada
hari itu ia tidak akan terkena racun ataupun sihir.

Sunan An-Nasai dan Ibnu Majah dari hadist Jabir dan Abu Said, bahwa
Nabi SAW bersabda :
;=- -=-'-- , ;~- Q- '-~ . Q-- Q- '--- , Q--- '-~ ''- .

Kurma ajwa itu berasal dari surga. Ia adalah obat dari racun, seperti jamur
truffle, airnya adalah obat penyakit mata.

Hadist di atas menjelaskan bahwa kurma ajwa al-madinah dikenal sebagai
kurma hijaz terbaik secara mutlak. Bentuknya amat baik, padat, agak keras dan
kuat, namun termasuk kurma yang paling lezat, paling harum dan paling empuk.
Kurma ajwa berkasiat untuk menolak racun dan sihir (Al-Jauziyah, I.Q., 2007).

b) Habbatus Sauda (Jinten Hitam)
Diriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim dari hadist Abu
Salamah, dari Abu Hurairah, bahwa Rasullulah SAW bersabda :
;---- ;~- -=- --)- , J Q- '-~ ')-- '- , '~- V .
hendaknya kalian mengkonsumsi jinten hitam. Karena jinten hitam mengandung
obat untuk segala penyakit, kecuali as-saam.

Arti sabda Nabi SAW obat dari segala jenis penyakit, seperti firman
Allah, menghacurkan segala sesuatu dengan perintah Rabb-nya yaitui segala
sesuatu yang bisa hancur. Jinten hitam memang berkasiat mengobati segala
penyakit panas. Syuwainiz berkasiat menghilangkan gas, mengatasi kebotakan,
mengobati kusta, demam yang disertai batuk berdahak, mengeringkan lambung
yang basah dan lembab, menghancurkan batu ginjal, memperlancar air seni, haid
dan ASI bila diminum tiap hari, mengeluarkan cacing, dan membunuh bakteri dan
lain-lain (Al-Jauziyah, I.Q., 2007).

c) Rumman (Delima)
Allah SWT berfirman dalam surat Ar-Rahman ayat 68:

! 3 !'
Di dalam keduanya ada (macam-macam) buah-buahan dan kurma serta
delima.

Delima yang manis amat baik untuk lambung, mengobati sakit
tenggorokan, batuk, dada dan paru-paru. Biji delima yang dicampur madu, amat
berguna mengobati penyakit agnail dan koreng atau eksim basah, bahkan bisa
menyembuhkan luka yang berdarah. Sebagian kalangan medis menyatakan,
barang siapa mengkonsumsi tiga putik delima setiap tahun, ia akan selamat dari
penyakit mata dalam satu tahun penuh. (Al-Jauziyah, I.Q., 2007).
Banyak dari contoh-contoh tumbuhan yang sejak zaman nabi sudah
dipakai untuk mengobati beberapa penyakit. Surat Al-Rad ayat 4, yang berbunyi:
_{ _L% ,>. > s _ . s
. +`. !, > `. !.-, ?s _-, 2{ | 9
)9 =)-
Dan di bumi Ini terdapat bagian-bagian yang berdampingan, dan kebun-kebun
anggur, tanaman-tanaman dan pohon korma yang bercabang dan yang tidak
bercabang, disirami dengan air yang sama. kami melebihkan sebahagian tanam-
tanaman itu atas sebahagian yang lain tentang rasanya. Sesungguhnya pada yang
demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir
(Qs. Ar-Rad :4)

Berdasarkan ayat di atas Allah SWT mencontohkan tanaman anggur dan
kurma meskipun berada di tempat dan diberi air yang sama, Allah SWT
melebihkan dengan rasanya. Kedua tanaman tersebut dilebihkan rasanya dan
sekaligus kandungan senyawa aktifnya, misalnya pohon kurma mengandung
senyawa aktif 60% pengganti gula, protein, pektin, tanin, tajin dan lemak.

Manfaat kurma sebagai penawar racun, menyuburkan kandungan dan lain-lain,
sedangkan anggur manfaatnya adalah memudahkan buang air besar,
menggemukkan badan dan bergizi (Farooqi, M.I.H., 2005).

2.3 Tanaman Belimbing Wuluh dalam Perspektif Ilmu Pengetahuan
Belimbing wuluh pohonnya tergolong kecil, tinggi mencapai 10 m dengan
batang tidak begitu besar, kasar berbenjol-benjol, dan mempunyai garis tengah
hanya sekitar 30 cm. Percabangan sedikit, arahnya condong ke atas, cabang muda
berambut halus seperti beludru berwarna coklat muda. Bentuk daun menyirip
ganjil dengan 21-45 pasang anak daun. Bunga berukuran kecil dan berbentuk
menyerupai bintang, warnanya ungu kemerahan. (Wijayakusuma, 2006).



Gambar 2.1 Daun Belimbing Wuluh (Dok Pribadi, 2009



Belimbing wuluh dapat tumbuh baik di tempat-tempat terbuka yang
mempunyai ketinggian kurang dari 500 meter di atas permukaan laut. Tanaman
ini tumbuh baik di daerah tropis dan di Indonesia banyak dipelihara di pekarangan
atau kadang tumbuh liar di ladang atau tepi hutan. Tumbuhan belimbing wuluh

menghasilkan buah berwarna hijau dan kuning muda atau sering juga disebut
berwarna putih (Thomas, 1992).
Belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L) atau sering disebut belimbing asam
merupakan salah satu tanaman yang tumbuh subur di seluruh daerah di Indonesia
khususnya di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Tanaman ini termasuk salah
satu jenis tanaman tropis yang mempunyai kelebihan yaitu dapat berbuah
sepanjang tahun (Amnur, 2008).
Klasifikasi ilmiah tanaman belimbing wuluh adalah (Dasuki, 1991)
Kingdom : Plantae (tumbuhan)
Subkingdom : Tracheobionta (berpembuluh)
Superdivisio : Spermatophyta (menghasilkan biji)
Divisio : Magnoliophyta (berbunga)
Kelas : Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)
Sub-kelas : Rosidae
Ordo : Geraniales
Familia : Oxalidaceae (suku belimbing-belimbingan)
Genus : Averrhoa
Spesies : Averrhoa bilimbi L

2.3.1 Kandungan Kimia Daun Belimbing Wuluh
batang belimbing wuluh mengandung senyawa saponin, tanin, glukosida,
kalsium oksalat, sulfur, asam format. Daun belimbing wuluh mengandung tanin,
sulfur, asam format, dan kalium sitrat Wijayakusuma (2006). Daun belimbing

mengandung tanin sedangkan batangnya mengandung alkaloid dan polifenol
(Anonimouse, 2008).
Penelitian Fahrani (2009) menunjukkan bahwa ekstrak daun belimbing
wuluh mengandung flavonoid, saponin dan tanin. Dalimartha (2000) menjelaskan
bahwa di dalam daun belimbing wuluh selain tanin juga mengandung sulfur, asam
format , kalsium oksalat dan kalium sitrat. Bahan aktif pada daun belimbing
wuluh yang dapat dimanfaatkan sebagai obat adalah tanin. Tanin ini juga
digunakan sebagai astringent baik untuk saluran pencernaan maupun kulit dan
juga dapat digunakan sebagai obat diare (Pansera, 2004). Daun belimbing wuluh
juga mengandung senyawa peroksida yang dapat berpengaruh terhadap
antipiretik, peroksida merupakan senyawa pengoksidasi dan kerjanya tergantung
pada kemampuan pelepasan oksigen aktif dan reaksi ini mampu membunuh
banyak mikroorganisme (Soekardjo, 1995).

2.3.2 Manfaat Belimbing Wuluh
Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi L.) banyak ditanam sebagai pohon
buah. Rasa buahnya asam digunakan sebagai sirup dan bahan penyedap masakan.
Selain itu juga berguna untuk membersihkan noda pada kain, mengilapkan
barang-barang yang terbuat dari kuningan dan sebagai obat tradisional
(Wijayakusuma, 2006).
Daun belimbing wuluh berkhasiat untuk mengurangi rasa sakit atau nyeri
dan pembunuh kuman serta dapat menurunkan kadar gula darah, bunganya juga
dapat digunakan sebagai obat batuk dan perasan air buah sangat baik untuk

asupan vitamin C dan di samping itu perasan buah juga dapat dipakai untuk
keramas sebagai penghilang antiketombe, atau digosokkan sebagai penghilang
panu (Arland, 2006). Rasa asam dan sejuk pada buah belimbing wuluh dapat
menghilangkan sakit, memperbanyak pengeluaran empedu, antiradang, peluruh
kencing (Wijayakusuma, 2006)

2.4 Senyawa Metabolit Primer dan Sekunder
Kimia bahan alam merupakan hasil perkembangan ilmu kimia organik
yang mempelajari senyawa-senyawa kimia yang tergolong metabolit sekunder.
Senyawa-senyawa tersebut banyak ditemukan pada sumber alam, baik berupa
tumbuhan, hewan yang masih hidup maupun yang sudah mati. Senyawa-senyawa
bahan alam ini digolongkan berdasarkan empat kriteria yang berbeda yaitu:
struktur kimia, keaktifan fisiologis, taksonomi dan biogenesis (Harborne, 1987).
Senyawa metabolit adalah senyawa yang digolongkan berdasarkan
biogenesisnya, artinya berdasarkan sumber bahan baku dan jalur biosintesisnya.
Terdapat 2 jenis metabolit yaitu metabolit primer dan sekunder. Metabolit primer
(polisakarida, protein, lemak dan asam nukleat) merupakan penyusun utama
makhluk hidup, sedangkan metabolit sekunder meski tidak sangat penting bagi
eksistensi suatu makhluk hidup tetapi sering berperan menghadapi spesies-spesies
lain, misalnya zat kimia untuk pertahanan, penarik seks, feromon. Contoh dari
senyawa metabolit sekunder adalah alkaloid, saponin, triterpen dan tanin
(Rustaman, 2000).


2.5 Senyawa Tanin
Tanin terdapat luas dalam tumbuhan berpembuluh, tanin dapat bereaksi
dengan protein membentuk polimer yang tidak larut dalam air. Tanin merupakan
senyawa metabolit sekunder yang berasal dari tumbuhan yang terpisah dari
protein dan enzim sitoplasma. Senyawa tanin tidak larut dalam pelarut non polar,
seperti eter, kloroform dan benzena tetapi mudah larut dalam air, dioksan, aseton,
dan alkohol serta sedikit larut dalam etil asetat (Harborne, 1987).


O
OH
OH

Gambar 2.2 Struktur inti tanin (Harborne, 1987)



Tanin adalah suatu nama deskriptif umum untuk satu kelompok subtansi
fenolik polimer yang mampu menyamak kulit atau mempresipitasi gelatin dari
cairan, suatu sifat yang dikenal dengan astringent. Tanin terbentuk dari senyawa
fenol yang berikatan atau bergabung dengan senyawa fenol-fenol yang lain
sehingga membentuk polifenol dan pada akhirnya membentuk senyawa tanin
(Pansera, 2004). Monomer tanin adalah digallic acid dan D-glukosa, ekstrak tanin
terdiri dari campuran senyawa polifenol yang sangat komplek dan biasanya
bergabung dengan karbohidrat, dengan adanya gugus fenol maka tanin akan dapat
berkondensasi dengan formaldehid (Linggawati, 2002).

Tanin merupakan himpunan polihidroksi fenol yang dapat dibedakan dari
fenol-fenol lain karena kemampuannya untuk mengendapkan protein. Tanin
mempunyai aktivitas antioksidan, menghambat pertumbuhan tumor. Tumbuhan
yang mengandung tanin banyak jenisnya diantaranya adalah daun teh, daun jambu
biji, dan daun belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L.). Bahan aktif pada daun
belimbing wuluh yang dapat digunakan sebagai anti diare dan antipiretik salah
satunya adalah tanin. Tanin pada saat ini sudah banyak diisolasi dari tanaman dan
dapat dijumpai di pasaran berupa bubuk atau serbuk putih kekuningan, amorf,
beraroma khas. Tanin atau asam tannat biasanya mengandung H
2
O 10 % (Pansera
dkk, 2004). Senyawa tanin yang menimbulkan rasa sepat pada jambu biji dapat
dimanfaatkan untuk memperlancar saluran pencernaan dan sirkulasi darah serta
dapat menyerang virus (Savitri, 2008).
Tanin merupakan salah satu tipe dari senyawa metabolit sekunder yang
mempunyai karakteristik sebagai berikut (Giner, 2001):
1. Merupakan senyawa oligomer dengan satuan struktur yang bermacam-
macam dengan gugus fenol bebas
2. Berat molekul antara 100 sampai 20.000
3. Larut dalam air
4. Mampu berikatan dengan protein dan terbentuk kompleks tanin-protein
Tanin merupakan astringent yang mengikat dan mengendapkan protein
berlebih dalam tubuh. Senyawa tanin dalam bidang pengobatan digunakan untuk
mengobati diare, hemostatik (menghentikan pendarahan), dan wasir. Kemampuan
sarang semut secara empiris untuk pengobatan, misalnya untuk pengobatan

ambeien (wasir) dan mimisan diduga kuat berkaitan dengan kandungan senyawa
tanin yang terdapat dalam sarang semut (Subroto, 2008).
Tanin tumbuhan dibagi menjadi dua golongan yaitu tanin terkondensasi
(tanin katekin) dan tanin terhidrolisiskan (tanin galat). Tanin terhidrolisis
mengandung ikatan ester yang dapat terhidrolisis jika di didihkan dalam asam
klorida encer. Bagian alkohol dari ester ini biasanya berupa gula yaitu glukosa.
Tanin terhidrolisis biasanya berupa senyawa amorf, higroskopis, berwarna coklat
kuning yang larut dalam air membentuk larutan koloid, tanin mudah diperoleh
dalam bentuk kristal. Tanin terhidrolisis juga larut dalam pelarut organik yang
polar tetapi tidak larut dalam pelarut organik non polar misalnya kloroform dan
benzena (Robinson,1995).
Tanin terhidrolisis merupakan molekul dengan poliol (umumnya dalam
glukosa) sebagai pusatnya. Gugus hidroksi pada karbohidrat sebagian atau
semuanya teresterifikasi dengan gugus karboksil pada asam gallat (gallotanin)
atau asam gallat (ellagitanin), tanin terhidrolisis sedikit dalam tanaman (Giner-
Chivez, 2001).
Tanin terkondensasi banyak terdapat dalam paku-pakuan dan
angiospermae terutama pada jenis tumbuhan berkayu. Tanin terkondensasi atau
flavolan secara biosintesis terbentuk dengan cara kondensasi katekin tunggal
(galokatekin) yang membentuk senyawa dimer dan kemudiaan oligomer yang
lebih tinggi. Nama lain untuk tanin terkondensasi adalah protoantosianidin karena
bila direaksikan dengan asam panas beberapa ikatan karbon-karbon penghubung
satuan terputus dan dibebaskanlah monomer antosianidin (Harborne, 1984). Tanin

terkondensasi sangat reaktif terhadap formaldehid dan mampu membentuk produk
kondensasi yang berguna untuk bahan perekat termosetting yang tahan air dan
panas (Linggawati, 2002).

2.6 Pemisahan Senyawa Tanin
2.6.1 Ekstraksi Senyawa Tanin
Ekstraksi adalah proses penarikan komponen atau zat aktif dengan
menggunakan pelarut tertentu. Pemilihan metode ekstraksi senyawa dipengaruhi
oleh beberapa faktor, yaitu sifat jaringan tanaman, sifat kandungan, zat aktif serta
kelarutan dalam pelarut yang digunakan. Prinsip ekstraksi adalah melarutkan
senyawa polar dalam pelarut polar dan senyawa non polar dalam pelarut non polar
(Guenter, 1997).
Pemilihan metode ekstraksi bergantung pada tekstur dan kandungan air
bahan tumbuhan yang diekstraksi dan pada jenis senyawa yang akan diisolasi.
Prosedur untuk memperoleh kandungan senyawa organik dari jaringan tumbuhan
kering (buah, biji dan daun) ialah dengan ekstraksi sinambung serbuk bahan
dengan menggunakan alat soxhlet dengan pelarut tertentu (Harborne, 1984).
Tanin merupakan senyawa polar dengan gugus hidroksi, sehingga untuk
mengekstraksinya diperlukan senyawa-senyawa polar seperti air, etanol dan
aseton. Senyawa non polar yang tidak dapat melarutkannya adalah karbon
tetraklorida dan dietil eter sehingga dapat digunakan untuk melarutkan pengotor
dan diperoleh tanin yang lebih murni. Pengekstraksi tanin yang baik adalah
campuran air dengan pelarut organik misalnya metanol , etanol dan aseton berair

(7:3) yang mengandung asam askorbat 0,1%. Penambahan asam askorbat dalam
pelarut aseton adalah untuk meminimumkan oksidasi tanin selama ekstraksi. Hal
ini disebabkan oksidator akan bereaksi terlebih dahulu dengan asam askorbat yang
lebih mudah teroksidasi (Abdurrohman, 1998).
Deny (2007) dalam penelitianya menjelaskan bahwa tanin dapat diekstrak
dari bagian-bagian tumbuhan tertentu dengan menggunakan pelarut. Pelarut yang
umum adalah aseton, etanol, maupun metanol dan secara komersial tanin dapat
diekstraksi dengan menggunakan pelarut air tetapi yang paling efektif untuk
mengekstrak tanin dari kulit kayu dapat digunakan larutan air dengan etanol atau
aseton dengan perbandingan 1:1.
Cara tradisional untuk isolasi senyawa tanin tumbuhan adalah dengan
menggunakan cara ekstraksi dengan air panas, penggaraman dengan natrium
klorida, pengekstrasian kembali endapan dengan aseton, dan penghilangan lipid
dari bahan yang larut dalam aseton dengan eter. Tanin dengan natrium klorida
sedikit demi sedikit dapat terjadi pengendapan. Timbel atau seng asetat (10%)
sering digunakan untuk mengendapkan tanin yang dapat dihilangkan dari endapan
dengan cara penguraian memakai pereaksi hidrogen sulfida. Gelatin membentuk
endapan juga dengan larutan tanin. Pengendapan dengan cara menambahkan
larutan kalium asetat dalam alkohol kedalam larutan tanin dalam alkohol sering
mempunyai nilai preparatif pada isolasi tanin (Robinson, 1995).
Hagerman (1998) mengekstraksi tanin dari daun sorghum dengan metanol
yang mengandung 10 mM asam askorbat, penambahan asam askorbat berfungsi
sebagai antioksidan setiap ekstraksinya. Kemudiaan diekstrak dengan etil asetat

dan lapisan air (bawah) yang digunakan. Subiyakto dan Bambang (2003) untuk
memperoleh ekstrak tanin dari kayu akasia, sampel diekstraksi dengan air panas
(100C) selama 1 jam dengan perbandingan bahan dan pelarut 1 : 20. Larutan
ekstrak diuapkan dengan menggunakan oven pada suhu 60C sehingga didapatkan
ekstrak tanin. Di samping ekstraksi dengan air panas, dilakukan ekstraksi tanin
dengan larutan NaOH 0,3% dengan prosedur yang sama.

2.6.1.1 Ekstraksi Tanin dengan Metode Maserasi
Maserasi merupakan metode ekstraksi dingin yaitu proses pengekstrakan
simplisia dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur
ruangan, sehingga zat-zat yang terkandung di dalam simplisia relatif lebih aman
jika dibandingkan dengan penggunaan ekstraksi panas (Cristina, 2008).
Maserasi merupakan cara ekstraksi yang sederhana. Maserasi dilakukan
dengan cara merendam serbuk simplisia dalam pelarut. Pelarut akan menembus
dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif sehingga
zat aktif akan larut, karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif
di dalam sel, maka larutan yang terpekat didesak keluar. Pelarut yang digunakan
dapat berupa air, etanol, air-etanol, atau pelarut lain. Keuntungan cara ekstraksi
ini, adalah cara pengerjaan dan peralatan yang digunakan sederhana dan mudah
diusahakan. Kerugian penggunaan metode ini adalah waktu pengerjaannya lama
(Ahmad, 2006).
Jaringan tumbuhan yang mengandung tanin dapat diekstrak dengan
menggunakan metanol 50-80%. Ekstraksi dengan menggunakan metanol ini

hanya dapat mengekstrak tanin sebagian saja, karena bagian tanin yang lainnya
akan terikat pada polimer lain di dalam sel (Harborne, 1984).
Pemilihan pelarut untuk ekstraksi harus mempertimbangkan banyak
faktor. Pelarut harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: murah dan mudah
diperoleh, bereaksi netral, tidak mudah menguap dan tidak mudah terbakar,
selektif dan tidak mempengaruhi zat berkhasiat (Ahmad, 2006). Pada penelitian
ini digunakan beberapa pelarut berdasarkan tingkat kepolarannya, yaitu aquades,
metanol, etanol dan aseton. Tingkat polaritas ini secara fisika dapat ditunjukkan
dengan lebih pasti melalui pengukuran konstanta dielektrikum suatu bahan
pelarut. Konstanta dielektrikum ini secara matematis ditunjukkan dalam rumus:
D =
2
'
r f
e e
(2.1)
dimana D adalah Konstanta Dielektrikum, f gaya tolak menolak dua partikel
bermuatan listrik e dan e, sedang r adalah jarak antara partikel e dan e. Semakin
besar Konstanta Dielektrikum suatu bahan pelarut disebut semakin polar
(Sudarmdji dkk, 2007). Tabel berikut ini menunjukkan titik didih dan angka
konstanta dielektrikum pelarut.


Tabel 2.1 Tetapan Dielektrikum Pelarut
Pelarut Titik Didih
o
C Tetapan Dielektrikum (D)
2
Berat Jenis (g/cm
3
)
Air 100 80,37 1,00
Metanol 64,6 33,62 0,81
Etanol 78,5 24,30 0,791
Aseton 56,5 20,7 0,792
Klorofom 61,2 4,81 1,489
Etil Asetat 77 6,02 0,9
Sumber: Sudarmadji, 2003.


2.6.2 Identifikasi Senyawa Tanin
2.6.2.1 Uji Fitokimia
Uji tanin yang paling dikenal adalah pengendapan gelatinnya. Larutan
tanin ditambahkan kedalam larutan gelatin 0,5% yang volumenya sama. Semua
tanin menimbulkan endapan sedikit atau banyak. Soebagio (2007) menguji tanin
dari Ekstrak umbi bawang merah dengan melarutkan sedikit aquades kemudian
dipanaskan di atas pemanas air lalu diteteskan dengan larutan gelatin 1% (1:1).
Hasil positifnya yaitu terbentuknya endapan putih.
Reaksi endapan lain untuk menguji adanya senyawa tanin adalah dengan
amina atau ion logam. Seperti senyawa fenol lainnya dengan besi III klorida
menghasilkan warna violet sampai biru (Robinson, 1995).
Protoantosianidin dapat di deteksi langsung dalam jaringan tumbuhan
hijau dengan mencelupkan kedalam HCl 2M mendidih selama setengah jam. Bila
terbentuk warna merah yang dapat diekstraksi dengan amil atau butil alkohol
maka ini merupakan bukti adanya senyawa tersebut (Harborne,1987).
Tanin terhidrolisis dan terkondensasi menunjukkan reaksi yang berbeda
dalam larutan garam Fe III, tanin terkondensasi meghasilkan warna hijau
kehitaman sedangkan tanin terhidrolisis menghasilkan warna biru kehitaman.
(Widowati, 2006).

2.6.2.2 Identifikasi dengan Kromatografi
KLT dapat digunakan untuk uji identifikasi senyawa baku. Parameter pada
KLT yang digunakan untuk identifikasi adalah nilai Rf. Dua senyawa dikatakan

identik jika mempunyai nilai Rf yang sama jika diukur pada kondisi yang sama
(Rohman, 2007). Olivia, (2005) mengidentifikasi senyawa tanin dari kulit batang
daun salam dilakukan dengan kromatografi kertas Whatman No.1 pengembang
yang digunakan adalah n-butanol-asam asetat-air (4:1:5). Pola kromatogram
menunjukkan 2 bercak berwarna merah muda dan jingga pada Rf 0,39 dan 0,53.
Isolasi larutan merah tua dilakukan pada kromatografi kertas Whatman No.3 dan
pengembang n-butanol-asam asetat-air (4:1:5). Isolat zat warna coklat dari kulit
batang salam mengandung prodelfinidin (tanin terkondensasi) dan antosianidin.
Yuliani (2003 ) dalam penelitiannya mengidentifikasi dan menganalisa
ekstrak tanin dari daun jambu biji secara visual dan kromatografi lapis tipis.
Untuk mengetahui karakteristik ekstrak, maka identifikasi dilakukan dengan cara
pengamatan secara visual meliputi bentuk, warna, aroma dan rasa ekstrak, juga
terhadap kadar airnya. Sedangkan analisa ekstrak secara KLT dilakukan menurut
metode Harborne yang telah dimodifikasi, dengan meggunakan eluen toluen : etil
asetat (3:1) dengan media silika gel 60 GF 254 dan untuk pendeteksi
menggunakan ferri Sulfat, dari hasil pengamatan terhadap hasil KLT dari ekstrak
jambu biji diketahui bahwa ketiga tipe daun jambu biji mempunyai jumlah bercak
yang berbeda.


Tabel 2.2 Nilai Rf dari beberapa ekstrak daun jambu biji
Ekstrak dari ketiga daun
jambu biji
Jumlah
bercak
Nilai Rf
1 9 bercak 0,23 0,94
2 9 bercak 0,13 0,94
3 5 bercak 0,16 0,59


Identifikasi senyawa tanin juga dapat dilakukan dengan menggunakan
metode HPLC untuk deteksi tanin terkondensasi yaitu dengan menggunakan
kolom Li Chrosorb RP-8 yang dielusi dengan campuran air-metanol (Harborne,
1987), dalam penelitiaan Lidyawati (2007), hasil analisa kromatogram KCKT
fraksi ekstrak metanol dari daun belimbing wuluh menunjukkan terdapatnya
glikosida vanilat pada puncak 2, sedangkan puncak 5 yang dominan diduga
sebagai senyawa tanin.

2.6.3 Penentuan Kadar Tanin
2.6.3.1 Penentuan Kadar Tanin dengan Metode Lowenthal-Procter
Prinsip penentuan kadar tanin dengan metode Lowenthal-Procter
berdasarkan jumlah gugus fenol pada tanin. Tanin termasuk golongan senyawa
yang memiliki gugus fenol, sehingga jumlah gugus fenol ini diasumsikan
mewakili jumlah tanin secara keseluruhan. Titrasi dengan larutan kalium
permanganat, gugus fenol pada tanin akan teroksidasi. Jumlah gugus fenol
berbanding lurus dengan jumlah kalium permanganat yang diperlukan untuk
titrasi. Sebagai indikator redoks digunakan larutan indigokarmin dan warna yang
dihasilkan adalah kuning emas. Penentuan kadar tanin dengan menggunakan
persamaan berikut (Sudarmadji, 1997).
Perhitungan : 1 ml KMnO
4
0,1 N = 0,00416 g tanin
Kadar tanin = (50 A 50 B) x 0,00416 x 100 %
S

(A-B) : Banyaknya KMnO
4
yang diperlukan untuk titrasi (A merupakan
senyawa tanin dan B merupakan senyawa non tanin)
S : Berat sampel

2.6.3.2 Penentuan Kadar Tanin dengan Spektrofotometer UV-Vis
Penetapan kadar tanin dengan metode spektofotometri dilakukan oleh
Price dan Butler untuk daun sorgum, metode ini didasarkan atas reaksi
pembentukan warna yaitu reduksi ion ferri menjadi ion ferro oleh senyawa tanin
dan polifenolik lainnya, diikuti oleh pembentukan kompleks ferrisianida dan ion
fero. Warna yang terbentuk diukur absorbansinya dengan menggunakan
spektrofotometer pada panjang gelombang 720 nm (Muhtady, 1999).
Dianty (2008) menentukan kadar tanin pada daun dan kulit batang buah
rambutan (Nephelium Lappaceum) menggunakan spektrofotometer UV-Vis
dengan metode biru prusi pada sistem kompleks K
3
[Fe(CN)
6
]. Metode tersebut
digunakan untuk analisis kualitatif dengan intensitas warna yang dibentuk oleh
senyawa kompleks K
3
[Fe(CN)
6
], yaitu kuning, hijau dan biru. Prinsip penentuan
kadar tanin secara kuantitatif adalah kurva standar konsentrasi fero dan asam galat
pada panjang gelombang 690,0 nm, dalam analisis kuantitatif tanin digunakan
variasi suhu, waktu pengocokan dan pelarut. Kadar tanin dalam larutan sampel
dihitung dengan Ekuivalen Asam Galat (EAG).
Sumartha (2000) mengukur kadar tanin pada buah salak dengan
spektrofotometer yaitu pada air ditambahkan sodium tungstat, dan asam
posfomolibdat dan asam posforat. Campuran di reflux selama 2 jam dan

dinginkan sampai 25
o
C dan larutkan sampai 1L dengan air. Air ditambahkan
sodium karbonat anhidrous, dilarutkan pada suhu 70-80
o
C dan dinginkan satu
malam. Larutan standart dibuat dengan melarutkan asam tanat dalam air.
Persiapkan larutan baru untuk setiap determinasi (1 mL = 0.1 mg asam tanat).
Larutan ditambahkan reagen Folin-Denis dan larutan Na
2
CO
3
dan setelah 30
menit diukur pada panjang gelombang 760 nm terhadap blank yang disesuaikan
pada absorbansi 0.

Penentuan kadar tanin yaitu dengan kalkulasi sebagai berikut:



2.6.3.3 Penentuan Kadar Tanin dengan Metode Stiansy Test
Metode kuantitatif untuk tanin salah satu nya adalah stiansy test. Reaksi
yang terjadi didasarkan pada kereaktifan struktur flavonoid dari tanin
terkondensasi terhadap formaldehid. Hasil reaksi ini akan membentuk endapan
sehingga secara kuantitatif dapat diketahui adanya tanin terkondensasi (Giner,
1997). Linggawati (2002) dalam penelitianya menentukan kadar tanin dengan
metode stiansy test yaitu sebanyak 0,5 gram contoh tanin dilarutkan dalam 175
ml aquades, ditambahkan 28,5 ml HCl 0,28 N dan 1 ml formaldehid 37%. Larutan
diaduk selama 5 menit dan disimpan selama 5 jam. Endapan yang terbentuk
dibilas dengan aquades, endapan dikeringkan dalam oven dan didinginkan dalam
desikator kemudian ditimbang. Kadar tanin terkondensasi dihitung berdasarkan
gravimetri.
mg asam tanat x pelarutan x 100
mL sampel yang diukur x Berat sampel x 1000
Tanin sebagai
Asam tanat (%)
=

2.7 Antibakteri
Antibakteri adalah senyawa yang dapat menghambat pertumbuhan atau
mematikan bakteri. Antibakteri dalam definisi yang luas adalah suatu zat yang
mencegah terjadinya pertumbuhan dan reproduksi bakteri. Antibiotik maupun
antibakteri sama-sama menyerang bakteri, kedua istilah ini telah mengalami
pergeseran makna selama bertahun-tahun sehingga memiliki arti yang berbeda.
Antibakteri biasanya dijabarkan sebagai suatu zat yang digunakan untuk
membersihkan permukaan dan menghilangkan bakteri yang berpotensi
membahayakan (Volk and Wheeler, 1993).
Bakteri yang digunakan untuk uji antibakteri dalam penelitiaan ini adalah
S. aureus dan E. coli. S. aureus adalah bakteri gram positif dan E. coli adalah
gram negatif, perbedaan dari kedua bakteri dapat dilihat pada tabel 2.3.



Tabel 2.3 Perbedaan susunan dinding sel bakteri Gram positif dan Gram negatif
No Gram positf Gram negatif
1. Komponen terbesar terdiri dari
mukopeptida
Terdiri dari tiga lapisa :
a. Lapisan dalam adalah
mukopeptida
b. Lapisan bagian luar terdiri dua
lapisan yaitu lipopolisakarida dan
lipoprotein
2 Pada beberapa bakteri terdapat
asam teikhoik
Tidak ada asam teikhoik
3 Mukopeptida mengalami lisis
oleh lisozim
Lisozim melunakkan dinding sel dan
merusak lapisan lipida
4 Dinding sel tebal 25-30 nm Dinding sel tipis 10-15 nm
Sumber: Irianto (2006)



Antibakteri adalah jenis bahan tambahan yang digunakan dengan tujuan
untuk mencegah kebusukan atau keracunan oleh mikroorganisme pada bahan
pangan. Beberapa jenis senyawa yang mempunyai aktivitas antibakteri adalah
sodium benzoat, senyawa fenol, asam-asam organik, asam lemak rantai medium
dan esternya, sulfur dioksida dan sulfit, nitrit, senyawa kolagen dan surfaktan,
dimetil karbonat dan metil askorbat. Antibakteri alami baik dari produk hewani,
tanaman maupun mikroorganisme misalnya bakteriosin (Luthana, 2008).
Zat antibakteri dapat bersifat bakterisidal (membunuh bakteri), baktei
static (menghambat pertumbuhan bakteri), dan germisidal (menghambat
germinasi spora bakteri). Kemampuan suatu zat antimikrobia dalam menghambat
pertumbuhan bakteri dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya : 1)
konsentrasi zat pengawet, 2) jenis, jumlah ,umur, dan keadaan mikrobia, 3) suhu,
4) waktu, dan 5) sifat-sifat kimia dan fisik makanan termasuk kadar air, pH, jenis
dan jumlah komponen di dalamnya (Luthana, 2008).

2.7.1 Pengujian Aktivitas Antibakteri
Pengujian aktivitas antibakteri adalah teknik untuk mengukur seberapa besar
potensi atau konsentrasi suatu senyawa dapat memberikan efek bagi
mikoorganisme (Dart, 1996). Senyawa antibakteri dapat bersifat menghambat
pertumbuhan bakteri atau disebut bakteriostatik dan ada yang bersifat membunuh
bakteri atau disebut bakterisidal (Ganiswarna, 1995).
Metode pengujian aktivitas antibakteri secara garis besar terdiri dari dua
macam yaitu metode difusi dan dilusi. Metode difusi yang sering digunakan salah

satunya adalah metode disc diffusion (test Kirby dan Bauer), pada metode ini
piringan atau kertas cakram yang berisi agen antimikroba diletakkan pada media
Agar yang telah ditanami mikroorganisme yang akan berdifusi pada media agar
tersebut. Area jernih mengindikasikan adanya hambatan pertumbuhan
miukroorganisme pada permukaan media agar (Pratiwi, 2008). Diameter zona
hambatan yang terbentuk diukur menggunakan penggaris dengan cara mengurangi
diameter keseluruhan (cakram + zona hambatan) dengan diameter cakram (Volk
and Wheeler, 1993).
Proses pegujian aktivitas antibakteri harus mempertimbangkan banyak
faktor agar hasil yang diperoleh lebih relevan. Faktor-faktor yang sangat
mempengaruhi pada pengujian aktivitas antimikroba adalah sebagai berikut
(Irianto, 2006):
1. pH lingkugan
Beberapa macam obat lebih aktif pada pH asam dan pada pH alkalis
2. Komponen-komponen medium
3. Stabilitas obat
4. Takaran inokulum
Umumnya semakin besar inokulum bakteri, maka kesensitifan organisme
akan semakin rendah. Populasi bakteri yang besar dapat menghambat
tumbuhnya bakteri lebih kurang cepat daripada populasi yang lebih kecil
dan terjadinya mutan resisten lebih besar
5. Lama inkubasi

Semakin lama waktu inkubasi semakin besar kemungkinan timbulnya
mutan yang resisten.
6. Aktivitas metabolisme mikroorganisme

2.7.2 Tanin Sebagai Antibakteri
Tanin diduga berperan sebagai antibakteri karena memiliki kemampuan
membentuk senyawa kompleks dengan protein melalui ikatan hidrogen, jika
terbentuk ikatan hidrogen antara tanin dengan protein kemungkinan protein akan
terdenaturasi sehingga metabolisme bakteri menjadi terganggu (Makkar, 1991).
Tanin merupakan growth inhibitor sehingga banyak mikroorganisme yang
dapat dihambat pertumbuhannya oleh tanin. Buah-buahan yang telah matang
umumnya lebih peka terhadap serangan mikroba daripada yang masih muda, hal
ini kemungkinan disebabkan menurunnya kandungan tanin dalam buah tersebut.
Enzim yang dikeluarkan oleh mikroba adalah protein dan protein akan mengendap
oleh tanin sehingga enzim tersebut tidak akan aktif (Winarno, 1981).
Tanaman diduga memproduksi tanin sebagai upaya pertahanan melawan
jamur dan bakteri pathogenik serta melawan pemakannya seperti serangga dan
herbivora. Tanin juga banyak digunakan dalam industri kulit untuk mencegah
pembusukan, terdapat beberapa peneliti berpendapat mengenai mekanisme
antimikroba senyawa tanin. Vargaz (2002) menyebutkan bahwa aktivitas
antimikroba tanin kemungkinan berhubungan dengan penghambatan enzim
antimikroba seperti celulase pektinase dan xylonase selain itu tanin juga dapat
meracuni membran sel. Senyawa tanin dapat menghambat dan membunuh

pertumbuhan bakteri dengan cara bereaksi dengan membran sel, inaktivasi enzim-
enzim esensial dan destruksi atau inaktivasi fungsi dan materi genetik. Tanin
berperan sebagai antibakteri karena dapat membentuk komplek dengan protein
dan interaksi hidrofobik, jika terbentuk ikatan hidrogen antara tanin dengan
protein enzim yang terdapat pada bakteri maka kemungkinan akan terdenaturasi
sehingga metabolisme bakteri terganggu, selain itu dengan adanya tanin (asam
tanat) maka akan terjadi penghambatan metabolisme sel, mengganggu sintesa
dinding sel, dan protein dengan mengganggu aktivitas enzim.
Tanin dapat dibentuk dengan kondensasi derivatif flavon yang
ditransportasikan ke jaringan kayu dari tanaman. Tanin juga dapat dibentuk
dengan polimerisasi unit quinon. Konsumsi minuman yang mengandung tanin,
terutama teh hijau dan anggur merah dapat mengobati atau mencegah sejumlah
penyakit. Banyak aktivitas fisiologik manusia, seperti stimulasi sel-sel fagositik,
host-mediated tumor activity, dan sejumlah aktivitas anti-infektif telah ditetapkan
untuk tanin. kemampuan molekul tanin adalah membentuk kompleks dengan
protein melalui kekuatan non-spesifik seperti ikatan hidrogen dan efek hidrofobik
sebagaimana pembentukan ikatan kovalen. Cara kerja aksi antimikroba tanin
dapat terjadi karena berhubungan dengan kemampuannya untuk menginaktivasi
adhesin mikroba, enzim, protein transport cell envelope (Naim, 2005).
Tanin yang terdapat dalam daun teh dapat digunakan sebgai pengawet
misalnya pengawet untuk telur asin, berdasarkan penelitian Zulaekah (2005).
Hasil perhitungan jumlah total bakteri, menunjukkan bahwa semakin tinggi
konsentrasi ekstrak daun teh yang digunakan pada pembuatan telur asinan

menghasilkan telur asin rebus dengan jumlah total bakteri paling sedikit. Ekstrak
daun teh merupakan larutan yang mengandung tanin, sedang larutan tanin dari
bahan nabati digunakan untuk menyamak kulit telur. Semakin tinggi konsentrasi
ekstrak daun teh pada proses pembuatan telur asin rebus maka semakin tinggi pula
kadar tanin yang berfungsi sebagai bahan penyamak kulit telur. Keadaan ini
menyebabkan mikroorganisme yang ada diluar telur akan lebih sulit masuk dalam
telur sehingga jumlahnya akan lebih sedikit. Schamderl (1970) menyebutkan
bahwa tanin adalah suatu senyawa fenolaktif pada penyamakan kulit dan
penyebab rasa sepat.
Maryati (2009) dalam penelitianya menunjukkan bahwa kandungan kimia
daun jambu biji berupa tanin dapat mengawetkan telur ayam ras. Tanin akan
bereaksi dengan protein yang terdapat dalam kulit telur yang mempunyai sifat
menyerupai kolagen kulit hewan sehingga terjadi proses penyamakan kulit berupa
endapan berwarna coklat yang dapat menutup pori-pori kulit telur dan kulit telur
tersebut menjadi impermeable (tidak dapat tembus) terhadap gas dan udara dan
pengawetan telur ayam ras dengan memanfaatkan daun jambu (Psidium guajava
L.) mempunyai biaya pengolahan yang murah dan mutu telur ayam ras bertahan
selama kurang lebih satu bulan.
Harborne (1987) mengatakan bahwa tanin yang terkandung dalam ekstrak
akan mengganggu sel pada bakteri patogen dalam penyerapan protein oleh cairan
sel, hal ini dapat terjadi karena tanin dapat menghambat proteolitik yang berperan
menguraikan protein menjadi asam amino. Secara medis, tanin umum digunakan
sebagai komponen antidiare, hemostatic dan antihermorrhoidal. Tanin juga

bersifat toksik bagi mikroba dalam tiga mekanisme yaitu penghambatan enzim
dan substrat oleh mikroba, menganggu membran dan menghambat penggunaan
ion logam oleh mikroba (Shahidi, 2007).
Senyawa aktif dalam tanaman obat tertentu kemungkinan berupa tanin
beberapa penelitian membuktikan bahwa tanin mempunyai aktifitas antibakteri
dan antimikrobial seperti tercantum dalam tabel 2.4


Tabel 2.3 Aktivitas antibakteri senyawa tanin
Aktivitas anti microbial Hasil penelitian
Asam tanat melawan Meulius
Lacrymans dan jenis penicilium
Menghambat pertumbuhan pada 10-20
gram/l

Tanin terkondensasi melawan Botrytis
Cinerea

Menghambat

Tanin

Bakteriostatik/bakterisidal melawan S
aerus dan streptococus pneumoniae,
bacillus antracis
Tanin yang dimurnikan melawan
bakteri karsinogenik
Streptococus mutan dan S sabrinus
dihambat oleh tanin terkondensasi



Masduki (1996) dalam Ajizah (2004) menyatakan bahwa tanin juga
mempunyai daya antibakteri dengan cara mempresipitasi protein, karena diduga
tanin mempunyai efek yang sama dengan senyawa fenolik. Efek antibakteri tanin
antara lain melalui: reaksi dengan membran sel, inaktivasi enzim, dan destruksi
atau inaktivasi fungsi materi genetic, karena tanin pada daun jambu biji cukup
banyak, penghambatan pertumbuhan bakteri Salmonella typhimurium diduga juga
disebabkan oleh mekanisme ini.


2.7.3 Mekanisme Penghambatan Antibakteri
Menurut Mc Kane dan Kendali (1986) struktur sel Staphylococus aereus
adalah gram positif. Bakteri yang termasuk gram positif sangat sensitif terhadap
antimikroba yang mempunyai target menghambat sintesis dinding sel. Sedangkan
bakteri gram negatif lebih tahan terhadap antimikroba jenis ini. Pada bakteri gram
positif dinding selnya tebal dan homogen (10-80 nm), komposisi kimianya terdiri
dari peptidoglikan (utama), asam teikoat, polisakarida. Dinding sel bakteri gram
negatif terdiri dari lapisan dalam 2-3 nm, lapisan luar 7-8 nm dengan komposisi
kimia lipopolisakarida (utama), peptidoglikan, fosfolipid, lipoprotein dan protein.
Antibakteri dapat bekerja menghambat atau membunuh sel bakteri dengan
cara sebagi berikut :
1. Mempengaruhi metabolisme sel mikroba Bakteri patogen memerlukan
asam folat untuk kelangsungan hidupnya, bakteri patogen mensintesis
asam folat dari amino benzoat (paba) untuk kebutuhan hidupnya, jika anti
bakteri dapat bersaing dengan paba untuk ikut serta dalam pembentukan
asam folat, maka akan terbentuk asam folat yang analog non fungsional
(Ganiswarna 1995).
2. Mengganggu sintesis dinding sel
Dinding sel bakteri tersusun dari peptidoglikan yaitu suatu polimer
mikopeptida (glikopeptida). Penghambatan pertumbuhan bakteri melalui
mekanisme penghambatan sintesis dinding sel melibatkan gangguan pada
sintesis peptidoglikan, padahal peptidoglikan merupakan komponen utama
dinding sel bakteri gram positif.

3. Mempengaruhi permeabilitas membran
Senyawa antibakteri yang dapat berikatan dengan gugus fosfat pada
fosfolipid membran sel bakteri dapat mengubah permeabilitas permukaan.
Kerusakan membran sel ini dapat menyebabkan keluarnya berbagai
komponen penting dari dalam sel antara lain protein asam nukleat,
sehingga dapat mengganggu kelangsungan hidup sel bakteri.
4. Menghambat sintesis protein
5. Mengganggu sintesis asam nukleat
6. Mengganggu aktifitas enzim
Senyawa antibakteri yang berupa asam misalnya asam benzoat dapat
menghambat beberapa enzim yang terlibat dalam siklus asam sitrat antara
lain a-ketoglurat dan asam suksinat dehidrogenase












BAB III
METODOLOGI

3.1 Pelaksanaan Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September sampai November 2009
di Laboratorium Kimia Organik dan Laboratorium Mikrobiologi UIN Maulana
Malik Ibrahim Malang

3.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Alat
Alat yang digunakan untuk proses ekstraksi dan penentuan kadar tanin
dalam penelitian ini adalah kertas saring, neraca analitik, seperangkat alat gelas,
corong pisah, rotary evaporator dan buret.
Alat yang digunakan untuk uji antibakteri adalah cawan petri, tabung
reaksi, kertas, kapas, botol media, jarum ose, pinset, inkubator, kompor listrik,
autoklaf, bunsen, pipet mikro dan penggaris.

3.2.2 Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun belimbing wuluh
yang masih muda. Bahan-bahan kimia yang digunakan dalam penelitiaan ini
adalah metanol p.a, aseton p.a, etanol p.a, kloroform p.a, etil asetat p.a, FeCl
3
1
%, formalin, HCl, larutan gelatin, indikator indigokarmin, KMnO
4
, Na-oksalat
dan Asam askorbat.
39

Bahan yang digunakan untuk uji antibakteri adalah nutrien agar, alkohol
90%, kertas wathman, aquades steril, wrap serta biakan bakteri S. aureus dan E.
coli yang diperoleh dari laboratorium mikrobilogi UIN Maulana Malik Ibrahim
Malang.

3.3 Rancangan Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan secara eksperimental di laboratorium, sampel
daun belimbing wuluh yang masih muda dikeringkan kemudian dihaluskan dan
diekstraksi. Proses ekstraksi dilakukan dengan 4 variasi pelarut, yaitu air hangat,
metanol, etanol, aseton : air (7:3). Masing-masing ekstrak diuji kuantitatif kadar
tanin dengan metode Lowenthal-Protecter untuk mengetahui ekstrak terbaik yaitu
pelarut yang dapat mengekstrak tanin dengan kadar tertinggi, ekstrak terbaik yang
diperoleh diuji aktivitas antibakteri terhadap bakteri Staphylococcus aureus dan
Echercia coli dilakukan secara in vitro dengan variasi konsentrasi ekstrak tanin
dari pelarut terpilih (50, 100, 150, 200, 250, 300, 350, 400 mg/ml) menggunakan
metode difusi cakram (test Kirby dan Bauer).

3.4 Tahapan Penelitian
1. Preparasi sampel
2. Ekstraksi senyawa tanin dengan metode maserasi dengan variasi pelarut
3. Uji kadar tanin hasil ekstraksi dengan metode Lowenthal-Procter
4. Uji aktivitas antibakteri dari hasil ekstrak terbaik
5. Analisis data

3.5 Pelaksanaan Penelitian
3.5. 1 Preparasi Sampel
Sampel daun belimbing yang masih muda dicuci dengan air kemudiaaan
dipotong kecil-kecil dan dikeringkan didalam oven pada suhu 60C selama 5 jam,
selanjutnya didinginkan dan dihaluskan sampai menjadi bubuk.

3.5.2 Ekstraksi Tanin dengan Metode Maserasi
Sampel sebanyak 50 gram direndam menggunakan 400 ml pelarut metanol
p.a dan ditambah 10 ml asam askorbat, didiamkan selama 2 x 24 jam dengan
beberapakali pengocokan yang dibantu dengan menggunakan shaker, kemudiaan
disaring, ekstrak yang diperoleh dipekatkan dengan menggunakan rotary
evaporator, kemudiaan ekstrak pekat diekstraksi kembali dengan 25 ml kloroform
menggunakan corong pisah sehingga terbentuk dua lapisan dan dilakukan
pengulangan 4 kali. Lapisan bawah (kloroform) dipisahkan dan lapisan air
diekstraksi dengan etil asetat 25 ml sehingga terbentuk dua lapisan. Lapisan etil
asetat (atas) dipisahkan dan lapisan air (bawah) dan dipekatkan kembali dengan
menggunakan rotary evaporator, sehingga diperoleh ekstrak tanin (Nuraini, 2002).
Perlakuan di atas diulang untuk pelarut air hangat (aquades yang dipanaskan pada
suhu pemanasan 50 C), etanol p.a dan aseton : air (7:3).

3.5.3 Uji Tanin
Ekstrak daun belimbing wuluh dari masing-masing pelarut diambil
sebanyak 3 ml dan dimasukkan ke dalam 3 tabung reaksi. Ekstrak pada tabung

pertama direaksikan dengan 3 tetes larutan FeCl
3
1%. Jika larutan mengandung
senyawa tanin akan menghasilkan warna hijau kehitaman atau biru tua. Pada
tabung kedua ditambahkan dengan larutan gelatin jika terbentuk endapan putih
senyawa positif mengandung tanin. Pada tabung ketiga digunakan untuk
membedakan tanin katekol dan galat dengan cara menambahkan ekstrak dengan
formadehid 3% : asam klorida (2:1) dan dipanaskan dalam air panas dengan suhu
90C jika terbentuk endapan merah muda merupakan tanin katekol. Filtrat
dipisahkan dengan disaring dan dijenuhkan dengan Na-Asetat dan ditambahkan
FeCl
3
1% adanya tanin galat ditunjukkan dengan terbentuknya warna biru tinta
atau hitam. Uji tanin dilakukan pada setiap ekstrak yang diperoleh dalam setiap
tahapan ekstraksi (Widowati, 2006).

3.5.4 Uji Kadar Tanin Metode Lowenthal Procter (Sudarmadji, 1997)
Sebanyak 1 gram ekstrak ditambah 100 ml aquades, kemudiaan diambil 50
ml ditambah dengan 2 ml larutan indigokarmin kemudian dititrasi dengan larutan
KMnO
4
0,1 N sampai warna kuning emas (A ml). Selanjutnya diambil 50 ml
ditambah berturut-turut 10 ml larutan gelatin, 20 ml larutan NaCl jenuh, 2 gram
serbuk kaolin kemudian digojok kuat-kuat selama beberapa menit dan disaring .
Filtrat dicampur dengan larutan indigokarmin sebanyak 2 ml dan selanjutnya
titrasi dengan larutan KMnO
4
0,1 N (\ B ml). Standarisasi larutan KMnO
4
dengan
Na - Oksalat.



Perhitungan : 1 ml KMnO
4
0,1 N = 0,00416 g tanin
Kadar tanin = (50 A 50 B) x 0,00416 x 100 %
Berat sampel
(A-B) : Banyaknya KMnO
4
yang diperlukan untuk titrasi.
A : Senyawa Tanin
B : Senyawa Non Tanin

3.5.5 Uji Antibakteri
3.5.5.1 Sterilisasi Alat
Sterilisasi alat dilakukan sebelum semua peralatan digunakan, yaitu
dengan cara semua alat dibungkus menggunakan kertas dan disterilkan dalam
autoklaf pada 121
o
C dengan tekanan 15 psi (per square inci) selama 15 menit.
Alat yang tidak tahan terhadap panas tinggi disterilkan dengan alkohol 90 %.

3.5.5.2 Pembuatan Media Padat
Pembuatan media dilakukan dengan cara 2 g nutrien agar dilarutkan dalam
100 ml aquades. Suspensi yang dihasilkan dipanaskan sampai mendidih,
kemudian dimasukkan dalam beberapa tabung reaksi masing-masing sebanyak 10
ml dan 5 ml kemudian ditutup dengan kapas. Proses ini dilakukan di dekat nyala
api. Tabung-tabung tersebut kemudian disterilkan dalam autoklaf pada 121
o
C
dengan tekanan 15 psi selama 15 menit kemudian tabung reaksi yang berisi 5 ml
NA diletakkan dalam posisi miring sampai padat pada suhu ruang (Volk and
Wheeler, 1993).

3.5.5.3. Peremajaan Biakan Murni
Biakan murni bakteri diremajakan pada media Nutrien Agar yang
diletakkan dalam posisi miring dengan cara menggoreskan jarum ose yang
mengandung bakteri S. aureus dan bakteri E. coli secara aseptis yaitu dengan
mendekatkan mulut tabung pada nyala api saat menggoreskan jarum ose.
Kemudian tabung reaksi ditutup kembali dengan kapas dan diinkubasi selama 48
jam pada suhu 37
o
C dalam inkubator.

3.5.5.4 Pembuatan Biakan Aktif
Satu ose hasil peremajaan biakan murni bakteri dibiakkan dalam 10 mL
Nutrient Broth dihomogenkan dan diinkubasi selama 24 jam. Larutan ini
berfungsi sebagai biakan aktif.

3.5.5.5 Uji Antibakteri
Media padat yang telah dipanaskan hingga mencair, didinginkan sampai
suhu 40
o
C, dan dituang dalam cawan petri steril yang telah ditambahkan 0,1
mL larutan biakan aktif bakteri, dihomogenkan dan dibiarkan hingga memadat.
Kertas cakram (diameter 5 mm) diresapkan dalam ekstrak dan kontrol. Proses
peresapan dilakukan dengan cara meneteskan 20 L kontrol positif (penisilin dan
streptomisin), kontrol negatif (pelarut) dan ekstrak tanin dari pelarut terbaik
(Zakaria et al., 2007). Selanjutnya diinkubasi pada suhu 37
o
C selama 18-24 jam.
Pembacaan awal dapat dilakukan setelah 6-8 jam. Diameter zona hambatan yang
terbentuk diukur menggunakan penggaris (Volk and Wheeler, 1993). Uji

antibakteri dilakukan dengan menggunakan ekstrak terbaik ekstrak tersebut diuji
untuk mengetahui efektifitas senyawa antibakteri pada daun belimbing wuluh
(kosentrasi ekstrak 50, 100, 150, 200, 250, 300, 350 dan 400 mg/mL) dan zona
hambatan diukur dengan cara mengurangi diameter keseluruhan (cakram + zona
hambatan) dengan diameter cakram. Sehingga dapat diketahui nilai konsentrasi
dari tanin yang dapat menghambat bakteri.
Pada penelitian ini kontrol positif penisilin (konsentrasi 25 mg/mL)
digunakan untuk bakteri S. aureus dan kontrol positif streptomisin (konsentrasi
6,25 mg/mL) untuk bakteri E. coli (Soetan et al., 2006), dan kontrol negatif adalah
pelarut yaitu dengan mresapakn 20l pelarut kedalam cakram.

3.6 Analisis Data
Analisis Data pada penelitian ini dilakukan dengan cara mendeskripsikan
data-data yang diperoleh dalam bentuk tabel untuk mengetahui nilai konsentrasi
tanin dari masing-masing pelarut dan untuk mengetahui aktivitas antibakteri dari
pelarut terpilih digunakan uji statistik dengan uji BNT 1 %.








BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Preparasi Sampel Daun Belimbing Wuluh
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun belimbing wuluh
(Averrhoa bilimbi L.) yang masih muda dan telah dikeringkan. Pemilihan daun
belimbing wuluh yang masih muda karena senyawa tanin yang terkandung lebih
banyak, hal ini juga didukung oleh Harborne (1987) yang menyatakan daun
muda lebih tahan terhadap hama daripada daun tua karena kandungan senyawa
tanin pada daun muda lebih banyak daripada daun tua, dikarenakan tanin pada
daun tua sebagian telah mengalami oksidasi sehingga dalam penelitian ini
digunakan daun belimbing wuluh yang masih muda.
Pengeringan dilakukan untuk mengurangi kadar air dalam daun belimbing
wuluh sehingga diharapkan proses ekstraksi berlangsung lebih cepat. Proses
pengeringan juga dilakukan terkait dengan sifat daun belimbing wuluh yang
mudah busuk, dan dengan pengeringan diharapkan daun belimbing wuluh akan
lebih awet dan tahan terhadap mikroba. Proses pengeringan terhadap daun
belimbing wuluh dilakukan dengan menimbang sebanyak 500 gram daun segar
dan dicuci dengan air bersih. Daun belimbing wuluh yang telah bersih diiris tipis
kemudian dioven selama 5 jam pada suhu 60
o
C. Daun belimbing wuluh yang
telah kering dihaluskan untuk memperoleh sampel berupa serbuk. Proses ini
bertujuan untuk memperluas permukaan sampel sehingga kontak antara sampel
dan pelarut semakin mudah sehingga proses ekstraksi berlangsung lebih mudah.
46

4.2 Ekstraksi Senyawa Tanin
Ekstraksi merupakan salah satu cara pemisahan satu atau lebih komponen
yang terdapat dalam suatu bahan menggunakan pelarut yang sesuai. Proses
ekstraksi senyawa tanin daun belimbing wuluh dalam penelitian ini menggunakan
metode maserasi. Pemilihan metode maserasi pada penelitian ini dikarenakan
senyawa tanin mudah teroksidasi pada suhu yang tinggi yaitu 98,89 - 101,67
o
C
(Risnasari, 2002) sehingga kurang tepat menggunakan metode soxhlet.
Proses ekstraksi senyawa tanin dalam penelitian ini menggunakan variasi
pelarut yaitu air hangat, etanol, metanol dan aseton : air (7:3). Pemilihan pelarut
tersebut dikarenakan senyawa tanin merupakan senyawa yang bersifat polar.
Struktur senyawa tanin memiliki gugus hidroksi lebih dari satu yang
menyebabkan tanin cenderung bersifat polar, oleh karena itu pemilihan pelarut
menggunakan pelarut polar untuk dapat mengekstraksi senyawa tanin. Robinson
(2005) menyatakan semakin banyak gugus hidroksil suatu senyawa fenol
memiliki tingkat kelarutan dalam air dan pelarut polar semakin besar.
Sampel ditimbang masing-masing 50 g kemudian direndam dalam 400 mL
pelarut yang mengandung asam askorbat 0,1 M selama 2 X 24 jam karena proses
ekstraksi akan berlangsung optimal dengan tersedianya waktu kontak yang cukup
antara pelarut dan sampel. Penambahan asam askorbat ke dalam masing-masing
pelarut adalah sebagai antioksidan untuk mencegah adanya oksidasi senyawa
tanin pada saat proses ekstraksi, sehingga apabila terjadi suatu proses oksidasi
selama proses ekstraksi dimungkinkan yang teroksidasi adalah asam askorbat,
selama proses perendaman dilakukan beberapa kali pengocokan untuk

menyempurnakan kontak antara pelarut dan sampel, dalam penelitian ini proses
pengocokan dibantu dengan menggunakan shaker untuk mengoptimalkan proses
ekstraksi.
Larutan hasil ekstraksi (pelarut air hangat, etanol, metanol dan aseton : air
(7:3) kemudian disaring dan filtrat yang diperoleh dari hasil penyaringan
dipekatkan dengan rotary evaporator). Hukmah (2007) dalam penelitian nya
menyebutkan jika pelarut tersebut tidak dipekatkan terlebih dahulu tidak akan
terbentuk dua lapisan setelah diekstraksi dengan kloroform, karena jumlah pelarut
masih terlalu banyak sehingga terbentuknya dua fase tidak terlihat. Filtrat yang
diperoleh dari masing-masing pelarut memiliki warna yang berbeda Tabel 4.1

Tabel 4.1 Warna filtrat dari masing-masing pelarut
Pelarut Warna filtrat
Air hangat (50
o
C) Coklat tua
Aseton : air (7:3) Hijau kecoklatan
Metanol Hijau kehitaman
Etanol Hijau kehitaman




Warna filtrat dari pelarut air berwarna coklat tua berbeda dengan pelarut
yang lain, hal ini disebabkan karena air tidak dapat melarutkan klorofil.
Soekartono (1988) menyebutkan bahwa klorofil tidak larut dalam air melainkan
larut dalam etanol, metanol, kloroform dan aseton. Warna filtrat dari pelarut
aseton, metanol dan etanol berwarna hijau karena dimungkinkan senyawa klorofil
yang terdapat dalam daun belimbing wuluh ikut terekstrak.

Filtrat hasil penyaringan kemudiaan dilakukan proses fraksinasi dengan
cara ekstraksi cair-cair dengan menggunakan corong pisah, masing-masing filtrat
ditambahkan kloroform untuk menghilangkan senyawa-senyawa yang bersifat
nonpolar, diantaranya lemak, klorofil, triterpen dan lain-lain. Penambahan
kloroform sebanyak 25 ml diulang 4 kali untuk memaksimalkan proses
pengambilan senyawa yang bersifat non polar. Penambahan kloroform
menyebabkan terbentuknya dua fase yaitu fase air dan fase kloroform karena
keduanya memiliki berat jenis dan tingkat kepolaran yang berbeda. Warna dari
fase kloroform dari masing-masing pelarut adalah sama yaitu berwarna hijau
sedangkan fase air berwarna coklat.
Fase kloroform ditampung dan fase air diambil untuk dilakukan tahap
fraksinasi selanjutnya menggunakan etil asetat. Penambahan etil asetat berfungsi
untuk mengambil senyawa flavonoid atau polifenol lainnya selain tanin karena
tanin sangat sedikit bahkan tidak larut dalam etil asetat. Penambahan etil asetat
diulang untuk memaksimalkan pengambilan senyawa lain yang larut dalam etil
asetat. Langkah selanjutnya fase etil asetat ditampung dan diambil fase air dari
masing-masing sampel dengan warna fase pada Tabel 4.2. Warna filtrat dari
masing-masing pelarut didominasi oleh warna coklat terutama pada pelarut air
dan aseton : air (7:3) hal ini dimungkinkan adanya senyawa tanin. Robinson
(1995) yang menyatakan bahwa tanin dapat larut dalam air dan pelarut yang
bersifat polar dan menghasilkan warna coklat.





Tabel 4.2 Warna fase air dari masing-masing pelarut
Pelarut Warna filtrat
Air Coklat tua
Aseton : air (7:3) Coklat
Metanol Coklat kemerahan
Etanol Kuning kecoklatan



Fase air dari masing-masing ekstrak dipekatkan dengan rotary evaporator
sehingga diperoleh ekstrak pekat. Proses evaporasi ini dilakukan untuk
menghilangkan pelarutnya. Ekstrak pekat dari masing-masing sampel kemudian
diuji fitokimia dengan menggunakan reagen untuk mengetahui adanya senyawa
tanin.

4.3 Uji Fitokimia Senyawa Tanin
Uji fitokimia dilakukan untuk mengetahui adanya senyawa tanin pada
ekstrak daun belimbing wuluh. Uji fitokimia senyawa tanin dalam penelitian ini
yaitu dengan menambahkan ekstrak dengan larutan FeCl
3
hasil positifnya akan
terbentuk warna hijau kehitaman dan yang kedua adalah dengan menggunakan
gelatin jika terbentuk endapan putih pada ekstrak maka senyawa tersebut
mengandung tanin. Uji reagen yang terakhir adalah untuk mengetahui adanya
tanin katekol dan galat menggunakan formalin dan HCl, larutan akan terbentuk
endapan berwarna merah jika dalam ekstrak mengandung tanin katekol, dan filtrat
hasil penyaringan akan berwarna hitam atau biru tinta setelah direaksikan dengan
FeCl
3
apabila didalam sampel mengandung tanin galat.



4.3.1 Uji Fitokimia Senyawa Tanin dengan Menggunakan FeCl
3

Uji fitokimia dengan menggunakan FeCl
3
digunakan untuk menentukan
apakah suatu bahan atau sampel mengandung gugus fenol. Dugaan adanya gugus
fenol ditunjukkan dengan warna hijau kehitaman atau biru tinta, sehingga apabila
uji fitokimia dengan FeCl
3
memberikan hasil positif dimungkinkan dalam suatu
sampel terdapat suatu senyawa fenol dan dimungkinkan salah satunya adalah
tanin karena tanin merupakan senyawa polifenol. Terbentuknya warna hijau
kehitaman atau biru tinta pada ekstrak setelah ditambahkan dengan FeCl
3
karena
tanin akan membentuk senyawa komplek dengan FeCl
3
.


3+
FeCl
3
+ 3
Senyawaan Tanin
O OH
OH
OH
OH
+ 3 Cl
-

Hijau kebiruan
Gambar 4.8 Reaksi dugaan antara senyawaan tanin dengan FeCl
3


Kecenderungan Fe

dalam pembentukan senyawa kompleks dapat mengikat
6 pasang elektron bebas. Ion Fe
3+
dalam pembentukan senyawa kompleks akan
terhibridisasi membentuk hibridisasi d
2
sp
3
, sehingga akan terisi oleh 6 pasang
elektron bebas atom O pada tanin. Kestabilan dapat tercapai jika tolakan antara
ligan pada 3 tanin minimal. Hal ini terjadi jika 3 tanin tersebut posisinya
dijauhkan (Effendy, 2007).
Berdasarkan hasil uji fitokimia dengan FeCl
3
dari semua pelarut
menunjukkan hasil positif. Berdasarkan hal tersebut dapat diduga didalam
masing-masing ekstrak mengandung senyawa polifenol yang diduga adalah
senyawa tanin. Hasil uji fitokimia dari masing-masing ekstrak dapat dilihat dalam
Tabel 4.3


Tabel 4.3 Hasil uji fitokimia ekstrak tanin menggunakan FeCl
3
Pelarut Hasil uji dengan FeCl
3

Air +
Aseton : air (7:3) +
Metanol +
Etanol +
Keterangan : Tanda + : terkandung senyawa
Tanda : tidak terkandung senyawa



4.3.2 Uji Fitokimia Senyawa Tanin dengan Menggunakan Larutan Gelatin
Uji fitokimia dengan menggunakan larutan gelatin adalah untuk
memperkuat dugaan adanya senyawa tanin dalam ekstrak daun belimbing wuluh.
Harborne (1987) menyebutkan bahwa semua tanin menimbulkan endapan sedikit
atau banyak jika ditambahkan dengan gelatin. Soebagio (2007) menguji tanin dari
ekstrak umbi bawang merah dengan melarutkan sedikit aquades kemudian

dipanaskan di atas pemanas air lalu diteteskan dengan larutan gelatin 1% (1:1).
Hasil positifnya yaitu terbentuknya endapan putih. Gelatin merupakan protein
alami yang memberikan sifat penstabil dan pengental bagi media yang
berbasiskan air, mengandung asam amino yaitu dengan kandungan glisin (27%),
prolin (16% dan hidroxiprolin (14%). Tanin merupakan himpunan polihidroksi
fenol yang dapat dibedakan dari fenol-fenol lain karena kemampuannya untuk
mengendapkan protein, sehingga apabila tanin direasikan dengan gelatin maka
yang terbentuk adalah endapan putih, karena gelatin merupakan salah satu jenis
protein yang mampu diendapkan oleh tanin (Savitri, 2007).
O
OH
OH
OH
+
NH
H
C
CH
3
C
O
H
N
H
C
H
N
C
O
H
N
H
C
CH
2
CH
2
NH
C NH
2
NH
2
C
O
H
N CH
H
C
C
O
O
H
N
H
C
CH
2
CH
2
C O
O
C
O
N
C
O
H
N CH
H
C
O
N
CH
O
Tanin
Gelatin
NH
H
C
CH
3
C
O
N
H
C
H
N
C
O
H
N
H
C
CH
2
CH
2
NH
C NH
2
NH
2
C
O
N CH
H
C
C
O
O
H
N
H
C
CH
2
CH
2
C O
O
C
O
N
C
O
H
N CH
H
C
O
N
CH
O
O
OH
OH
O
OH
OH
OH
H
OH
O
OH
OH OH
H
O
OH
OH OH

Gambar 4.2 Reaksi dugaan antara gugus fenol pada tanin dengan gugus protein
pada gelatin (Leemensand, 1991)




Gugus protein pada gelatin akan beraksi dengan tanin dengan membentuk
ikatan hidrogen. Maryati (2009) dalam penelitianya menyebutkan jika tanin
direaksikan dengan protein. Tanin akan bereaksi dengan protein yang terdapat
dalam suatu sampel tanin mempunyai sifat menyerupai kolagen kulit hewan
sehingga terjadi proses penyamakan berupa endapan.
Hasil penelitian menunjukkan ekstrak daun belimbig wuluh dari pelarut
air, aston:air, metanol dan etanol menunjukkan uji positif. Ekstrak dari masing-
masing pelarut terbentuk endapan putih dalam ekstrak ketika ditambahkan dengan
larutan gelatin dan hasilnya dapat dilihat dalam tabel 4.4. Ekstrak air dan aseton :
air menunjukkan jumlah endapan lebih banyak, diasumsikan kandungan tanin
lebih banyak pada kedua pelarut tersebut.



Tabel 4.4 Hasil uji fitokimia ekstrak tanin menggunakan larutan gelatin
Pelarut Hasil uji dengan larutan gelatin
Air ++
Aseton : air (7:3) ++
Metanol +
Etanol +
Keterangan : Tanda ++ : endapan yang terbentuk banyak
+ : endapan yang terbentuk sedikit
-: tidak terbentuk endapan


4.3.3 Uji Fitokimia Senyawa Tanin dengan Menggunakan Formalin : HCl
Uji fitokimia dengan menggunakan Formalin : HCl adalah untuk
membedakan adanya senyawa tanin katekol dan galat dalam suatu sampel dengan
cara menambahkan ekstrak dengan formalin 3% : asam klorida (2:1) dan
dipanaskan dalam air panas dengan suhu 90 C jika terbentuk endapan merah

muda merupakan tanin katekol. Tanin merupakan senyawa fenol sehingga dapat
berkondensasi dengan formaldehid dan jika ditambahkan dengan asam panas
dalam hal ini adalah asam klorida (HCl) beberapa ikatan karbon-karbon
penghubung satuan terputus dan akan dibebaskan monomer antosianidin.
Harborne (1987) menyebutkan jika dalam suatu sampel mengandung senyawa
protoantosianidin atau tanin katekol akan terbentuk warna merah jika direaksikan
dengan HCl, sehingga apabila ekstrak mengandung senyawa tanin katekol akan
terbentuk endapan merah apabila direaksikan dengan Formalin : HCl dengan
perbandingan 2:1.
Filtrat dipisahkan jika didalam sampel setelah diuji dengan Formalin : HCl
terbentuk endapan merah dengan disaring dan dijenuhkan dengan Na-Asetat dan
ditambahkan FeCl
3
1 % adanya tanin galat ditunjukkan dengan terbentuknya
warna biru tinta atau hitam. Hasil uji fitokimia dari masing-masing ekstrak dapat
dilihat dalam tabel 4.5. Berdasarkan hasil penelitian endapan merah yang
terbentuk pada pelarut air dan aseton : air lebih banyak, dimungkinkan kedua
pelarut tersebut dapat mengekstrak tanin lebih banyak dari pelarut yang lain.

Tabel 4.5 Hasil uji fitokimia ekstrak tanin menggunakan Formalin : HCl
Pelarut Uji tanin katekol Uji tanin galat
Air ++ +
Aseton : Air (7:3) ++ +
Metanol + +
Etanol + +
Keterangan : Tanda + : terkandung senyawa
: tidak terkandung senyawa





Hasil uji fitokimia dari masing-masing pelarut menunjukkan bahwa di
dalam daun belimbing wuluh diduga mengandung senyawa tanin katekol dan
galat. Hasil ini merupakan identifikasi awal adanya kedua jenis tanin dalam daun
belimbing wuluh, karena untuk menentukan jenis dan struktur dari suatu senyawa
diperlukan metode analisis lebih lanjut.

4.4 Uji Kuantitatif Senyawa Tanin dengan Metode Lowenthal-procter
Uji kuantitatif senyawa tanin dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui
pelarut yang dapat mengekstrak senyawa tanin dengan kadar tertinggi. Metode
yang digunakan untuk uji kuantitatif senyawa tanin adalah metode Lowenthal-
procter. Metode ini menggunakan metode titrasi oksidasi yaitu dengan
menggunakan senyawa pengoksidasi kalium permanganat. Penentuan kadar tanin
dalam metode ini adalah berdasarkan jumlah gugus pada senyawa tanin. Titrasi
dengan larutan kalium permanganat, gugus fenol pada tanin akan teroksidasi.
Jumlah gugus fenol berbanding lurus dengan jumlah kalium permanganat yang
diperlukan untuk titrasi.
Ekstrak dari masing-masing pelarut yaitu air hangat, aseton : air (7:3),
metanol dan etanol diambil sebanyak 1 gram dan dilarutkan dalam aquades.
Senyawa tanin bersifat polar sehingga setiap ekstrak sangat mudah larut dalam air.
Masing-masing diambil 50 ml dan ditambahkan indikator redoks yaitu
menggunakan indikator indigokarmin. Warna dari masing-masing ekstrak akan
berubah dari warna kuning kecoklatan menjadi warna biru, kemudian dititrasi
dengan kalium permanganat sampai warna kuning keemasan kemudiaan dicatat

banyaknya KMnO
4
yang dibutuhkan. Hasil dari masing-masing ekstrak dapat
dilihat pada lampiran 5. Pada proses ini adalah menentukan adanya gugus fenol
yang teroksidasi.
Proses selanjutnya adalah menentukan senyawa fenol selain tanin, 1 gram
ekstrak yang telah dilarutkan dalam air diambil 50 ml dan ditambahkan larutan
gelatin, NaCl dan serbuk kaolin. Penambahan tersebut adalah untuk
mengendapkan senyawa tanin yang terdapat dalam ekstrak, dengan larutan gelatin
senyawa tanin akan mengendap menghasilkan endapan putih karena gelatin
merupakan salah satu jenis protein, senyawa tanin akan bereaksi dengan protein
yang terdapat dalam suatu sampel, tanin mempunyai sifat menyerupai kolagen
kulit hewan jika direaksikan dengan protein sehingga terjadi proses penyamakan
berupa endapan.
Penambahan garam pada suasana asam adalah untuk mengendapkan tanin
terkondensasi, karena apabila tanin terkondensasi direaksikan dengan asam pada
kondisi panas beberapa ikatan karbon-karbon penghubung satuan terputus dan
dibebaskanlah monomer antosianin dan menurut Robinson (1995) senyawa tanin
jika dilakukan dengan pengaraman menggunakan NaCl akan terbentuk endapan
dan endapan akan larut kembali jika ditambahkan dengan aseton sehingga
endapan akan terbentuk yang warnanya sedikit kecoklatan .
Proses selanjutnya sampel yang telah dicampur dengan larutan gelatin,
NaCl dan serbuk kaolin dikocok, warna ekstrak berubah menjadi putih dan
terbentuk endapan sedikit kecoklatan. Adanya endapan menunjukkan adanya
senyawa tanin di dalam ekstrak. Larutan disaring kemudiaan filtrat ditambahkan

dengan indikator indigokarmin. Warna ekstrak berubah dari bening dan sedikit
kekuningan menjadi biru, dan dititrasi dengan KMnO
4
sampai berwarna kuning
emas. Banyaknya KMnO
4
yang dibutuhkan untuk titrasi merupakan banyaknya
gugus fenol selain tanin misalkan flavonoid yang masih terdapat dalam sampel.
Hasil dari masing-masing pelarut dapat dilihat pada tabel 4.6.

Tabel 4.6 Hasil uji kuantitatif ekstrak tanin menggunakan metode Lowenthal-
Procter
Pelarut Kadar tanin (%)
Aseton : Air (7:3) 10,92
Air Hangat 8,19
Etanol 7,86
Metanol 4,70
Hasil perhitungan kadar tanin dengan menggunakan metode Lowenthal
Procter diperoleh kadar tanin dari masing-masing pelarut untuk pelarut aseton :
air 10,92%, air hangat 8,19%, Etanol 7,86 % dan metanol 4,70%. Daun belimbing
wuluh yang diekstrak dengan menggunakan pelarut aseton : air (7:3) memiliki
persentase tertinggi daripada pelarut yang lain, hal ini dimungkinkan karena
aseton dapat menghambat interaksi tanin-protein. Cannas (2001) menyebutkan
bahwa tanin dapat diekstrak dengan aseton 70%.
Pelarut aseton dimungkinkan lebih efektif daripada pelarut alkohol karena
aseton menghambat interaksi tanin dengan protein sehingga tidak terbentuk
endapan, menurut (Cannas, 2001) ekstraksi dengan aseton 70% lebih efektif
karena interaksi tanin dan protein tidak terjadi, pada banyak tumbuhan yang
memiliki kandungan tanin yang besar pada saat proses ekstraksi terdapat tanin
yang tidak dapat diekstraksi hal ini karena adanya efek nutrisi yaitu tanin
berikatan dengan protein.

Ekstrak air memberikan nilai tertinggi setelah aseton, hal ini disebabkan
karena tanin merupakan senyawa fenol yang mudah larut dalam air. Pernyataan
ini diperkuat oleh Harborne (1996) yang menyatakan bahwa senyawa fenol
cenderung mudah larut dalam air karena umumnya senyawa fenol berikatan
dengan gula sebagai glikosida yang terdapat dalam vakuola sel tumbuhan. Tanin
terhidrolisis atau galotanin didalam strukturnya mengandung senyawa poliester
dan glikosida sehingga senyawa tanin dapat larut dalam air tetapi air tidak dapat
mencegah adanya interaksi tanin dengan protein dalam tumbuhan.

4.5 Uji Aktivitas Antibakteri Senyawa Tanin Berdasarkan Pelarut Terbaik
Pemilihan pelarut terbaik dalam penelitian ini adalah berdasarkan hasil uji
kadar tanin dengan metode Lowenthal Procter. Pelarut terbaik yang dapat
mengekstrak tanin dengan kadar tertinggi adalah Aseton : air (7:3) dengan nilai
kadar tanin 10,92% pemilihan pelarut terbaik didasarkan dari ekstrak yang
memilki nilai kadar tanin tertinggi, sehingga dapat memberikan daya hambat
antibakteri yang besar pula. Pernyataan ini ditegaskan oleh Zulaekah (2005)
berdasarkan hasil penelitiannya menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi
atau kadar tanin pada ekstrak daun teh yang digunakan pada pembuatan telur
asinan menghasilkan telur asin rebus dengan jumlah total bakteri paling sedikit,
hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi kadar tanin dalam suatu sampel
dimungkinkan akan lebih efektif dalam membunuh atau menghambat
pertumbuhan bakteri.

Uji aktivitas antibakteri dalam penelitian ini menggunakan ekstrak kasar
dari ekstrak tanin daun belimbing wuluh karena belum dilakukan proses
pemisahan atau fraksinasi menggunakan metode KLTA ataupun KLTP, tetapi
berdasarkan uji fitokimia dan penentuan kadar tanin dengan mengunakan metode
lowenthal procter sudah cukup menunjukkan bahwa di dalam ekstrak
mengandung senyawa tanin.
Pengujian aktivitas antibakteri dalam penelitian ini menggunakan bakteri
gram positif dan negatif yaitu S. aureus dan E. coli, hal ini dilakukan untuk
mengetahui apakah ekstrak tanin dari daun belimbing wuluh dapat menghambat
terhadap dua jenis bakteri gram positif dan negatif karena ada kemungkinan tanin
yang merupakan zat kimia yang sebagian besar tersebar dalam tanaman ini
mampu menghambat sintesis dinding sel bakteri maupun merusak membran
plasma sel kuman gram positif maupun gram negatif, sehingga perlu diteliti
aktifitas senyawa tanin terhadap bakteri gram positif (S. aureus) maupun gram
negatif (E. coli), sebagai pembanding digunakan antibakteri sintetik penisilin dan
streptomosin untuk mengetahui perbedaan daya hambat terhadap ekstrak tanin.
Penisilin dan streptomosin merupakan salah satu antibiotik bersifat menghambat
sintesis dinding sel mikroba, yang sensitif terhadap kedua bakteri uji.
Konsentrasi ekstrak yang digunakan yaitu 50, 100, 150, 200, 250, 300,
350, dan 400 mg/mL sebagai rentang konsentrasi yang dianggap mewakili.
Pemilihan daerah konsentrasi dari 50 mg/ml karena berdasarkan hasil penelitian
Min (2008) menunjukkan bahwa ekstrak tanin pada tanaman Sericea lespedeza
dapat menghambat bakteri S. aureus dan E. coli pada konsentrasi minimum 50

mg/ml, sehingga untuk mengetahui aktivitas antibakteri senyawa tanin dari daun
belimbing wuluh digunakan konsentrasi dari 50 sampai 400 mg/ml.
Uji aktivitas senyawa tanin sebagai antibakteri dilakukan dengan
mengukur zona hambatan yang terbentuk di sekitar cakram cara ini dikenal
dengan sebutan test Kirby dan Bauer, dan jumlah sel dalam inokulum dihitung
berdasarkan tingkat kekeruhannya yaitu menggunakan OD (Optical Density)
jumlah sel bakteri dari kedua bakteri dengan masa inkubasi 24 jam adalah 6x10
21

sel/ml, akan tetapi dalam penelitian ini pegukuran jumlah sel bakteri adalah pada
masa inkubasi 8 jam, hasil penelitian menunjukkan bahwa pada waktu inkubasi 8
jam adalah 6x10
7
sehingga diasumsikan pada waktu 24 jam jumlah sel bakteri
bartambah 3 kali lipat yaitu sebesar 6x10
21
. Pengukuran banyaknya sel dalam
inokulum dimaksudkan karena takaran inokulum merupakan salah satu faktor
yang sangat mempengaruhi pada perhitungan aktivitas antibakteri. Populasi
bakteri yang besar dapat menghambat tumbuhnya bakteri lebih kurang cepat dari
pada yang lebih kecil (Irianto, 2002). Hasil uji aktivitas antibakteri dengan variasi
konsentrasi dan tiga kali ulangan terhadap bakteri S. aureus dan E. coli adalah
sebagai berikut:













Tabel 4.7 Data zona hambat senyawa tanin ekstrak daun belimbing wuluh sebagai
antibakteri S. aureus
Diameter zona hambat (mm)
No. Konsentrasi (mg/ml)
1 2 3
Rata-rata zona
hambat (mm)
1. 50 7 5,8 5,5 6,1
2. 100 6 6 6,8 6,3
3. 150 7 7,5 7 7,1
4. 200 10,7 10,5 10,8 10,67
5. 250 10 12,5 12,3 11,6
6. 300 12 14 14,5 13,5
7. 350 14 14,2 14,3 14,16
8. 400 15,2 15 15,1 15,1
9 Kontrol positif 19,3 18,8 18,9 19
10 Kontrol negatif 0,0 0,0 0,0 0,0


Tabel 4.8 Data zona hambat senyawa tanin ekstrak daun belimbing wuluh sebagai
antibakteri E. coli
Diameter zona hambat (mm)
No. Konsentrasi (mg/ml)
1 2 3
Rata-rata zona
hambat (mm)
1. 50 8,8 7 6,5 7,4
2. 100 9,5 10 9,5 9,7
3. 150 12,5 11 10,2 11,2
4. 200 12,6 13,2 12 12,6
5. 250 13 13,5 12,5 13
6. 300 13 13,7 15 13,9
7. 350 13,2 15 14,5 14,2
8. 400 13,8 16,5 15,5 15,27
9 Kontrol positif 16,9 17 17,1 17,0
10 Kontrol negatif 0,0 0,0 0,0 0,0



Hasil penelitiaan Tabel 4.7 dan 4.8 bahwa dengan meningkatnya
konsentrasi ekstrak yang berarti semakin besar kadar bahan aktif yang berfungsi
sebagai antibakteri, sehingga kemampuannya dalam menghambat pertumbuhan
bakteri E. coli dan S. aureus juga semakin besar. Hasil ini didukung dengan hasil
perhitungan analisis ragam pada Lampiran 6 yang menunjukkan pemberian
ekstrak dengan konsentrasi yang berbeda berpengaruh sangat nyata (p < 0,01)

pada pertumbuhan bakteri S. aureus dan E. coli. Berdasarkan hasil Uji BNT
(Lampiran 6) diketahui konsentrasi ekstrak 200, 250, 300, 350, dan 400 mg/ml
pada bakteri S. aureus berpengaruh sangat nyata (p < 0,01) di antara konsentrasi
yang lain, dan untuk bakteri E. coli diketahui konsentrasi ekstrak 150, 200, 250,
300, 350, dan 400 mg/ml berpengaruh sangat nyata (p < 0,01) di antara
konsentrasi yang lain, sehingga berdasarkan uji BNT dapat diketahui bahwa
pemberian ekstrak dengan konsentrasi yang berbeda berpengaruh terhadap
aktivitas antibakteri, semakin tinggi konsentrasi ekstrak tanin, semakin besar pula
diameter zona hambatnya.
Aktivitas penghambatan senyawa tanin pada kedua bakteri berbeda-beda,
hal ini disebabkan karena kedua jenis bakteri tersebut berbeda sehingga
komponen penyusun dinding selnya juga tidak sama. Dinding sel bakteri gram
positif mengandung mukopeptida atau peptidoglikan 90 % dan dinding selnya
memiliki ketebalan 25-30 nm, sedangkan dinding sel gram positif lebih tipis yaitu
memiliki ketebalan 10-15 nm dan terdiri dari tiga lapisan. Lapisan dalam adalah
mukopeptida, lapisan bagian luar terdiri dua lapisan yaitu lipopolisakarida dan
lipoprotein. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada bakteri E. coli nilai zona
hambat lebih besar dibandingkan dengan S. aureus pada berbagai variasi
konsentrasi, hal ini dapat terjadi karena dinding sel bakteri E. coli lebih tipis dari
pada S. aureus sehingga tanin lebih mudah menyerang protein yang terdapat pada
dinding sel bakteri E. coli. Protein pada bakteri merupakan salah satu komponen
penyusun dinding sel dan membran plasma, apabila protein pada dinding sel rusak

atau terdenaturasi maka dinding sel bakteri akan mudah dimasuki oleh bahan-
bahan kimia yang menyebabkan metabolisme bakteri terganggu.





Gambar 4.2 Reaksi dugaaan antara tanin dengan gugus protein
(Leemensand,1991)



Tanin dapat membentuk ikatan hidrogen dengan protein yang terdapat
dalam sel bakteri, jika terbentuk ikatan hidrogen antara tanin dengan protein
kemungkinan protein akan terdenaturasi sehingga metabolisme bakteri menjadi
terganggu (Makkar, 1991). Reaksi tanin dengan protein membentuk ikatan tanin-
protein. Bagian protein yang reaktif dan mempunyai kemampuan berikatan
dengan senyawa tanin adalah ikatan peptida, group hidroksi dan amida. Ikatan
yang dominan adalah ikatan hidrogen yang terjadi antara gugus karboksil dari
ikatan peptida dengan gugus hidroksi dari tanin. Terbentuknya ikatan hidrogen
antara tanin dengan protein menyebabkan berubahnya konformasi molekul protein
sehingga aktivitas biokimiawinya menjadi berkurang. Perubahan konformasi ini

disebut dengan denaturasi protein, penggumpalan protein biasanya didahului oleh
denaturasi yang berlangsung dengan baik pada titik isolistriknya, sehingga protein
akan mengalami koagulasi. Diduga berdasarkan reaksi ini tanin dapat
menghambat pertumbuhan bakteri S. aureus dan E. coli.
Senyawa tanin juga dapat menghambat dan membunuh pertumbuhan
bakteri dengan cara bereaksi dengan membran sel. Senyawa tanin termasuk
senyawa polifenol, senyawa ini dapat menghambat bakteri dengan cara merusak
membran plasma bakteri yang tersusun oleh 60% protein dan 40% lipid yang
umumnya berupa fosfolipid, didalam membran sel tanin akan beraksi dengan
protein membentuk ikatan hidrogen sehingga protein akan terdenaturasi, selain itu
tanin juga dapat beraksi dengan fosfolipid yang terdapat dalam membran sel,
akibatnya senyawa tanin akan merusak membran sel, yang menyebabkan
bocornya metabolit penting yang menginaktifkan sistem enzim bakteri. Kerusakan
pada membran sel dapat mencegah masuknya bahan-bahan makanan atau nutrisi
yang diperlukan bakteri untuk menghasilkan energi akibatnya bakteri akan
mengalami hambatan pertumbuhan dan bahkan kematian (Volk and Wheller,
1988). Penghambatan pertumbuhan bakteri S. aureus dan E. coli dari ekstrak tanin
dari daun belimbing wuluh diduga juga disebabkan oleh mekanisme ini.
Kontrol positif yang digunakan dalam penelitian ini adalah streptomisin
untuk E. coli dan penisilin untuk S. aureus . Diameter zona hambat penisilin
dengan konsentrasi 25 mg/mL (kekuatan cakram 500g) sebesar 19 mm dan
diameter zona hambat streptomisin 6,25 mg/mL (kekuatan cakram 125g) adalah
sebesar 17 mm. Apabila diameter zona hambat ini disesuaikan dengan rujukan

pada lampiran 4, maka bakteri uji S. aureus dan E. coli termasuk bersifat resisten
terhadap penisilin dan streptomisin. Diameter zona hambat yang diperoleh dari
penelitian ini (Tabel 4.7 dan 4.8) juga lebih kecil dibandingkan dengan zona
hambat kontrol positif dengan kekuatan cakram 10 g sesuai rujukan ukuran
daerah zona hambat untuk kemoterapeutik yang sering digunakan (Lampiran 4).
Hal ini menunjukkan bahwa bakteri S. aureus dan E. coli termasuk kategori
resisten terhadap ekstrak kasar daun belimbing wuluh.
Kontrol negatif digunakan untuk mengetahui apakah pelarut yang
digunakan juga memiliki potensi menghambat bakteri. Kontrol negatif yang
digunakan adalah air dan berdasarkan hasil penelitiaan ini air tidak memiliki sifat
menghambat kedua bakteri uji karena tidak terbentuk zona bening disekitar
cakram, sehingga zona hambat yang terbentuk dari masing-masing konsentrasi
murni dari ekastrak tanin, tidak ada pengaruh dari pelarut.
Hasil penelitian penentuan diameter zona hambat kedua bakteri uji
menunjukkan bahwa ekstrak tanin dari daun belimbing wuluh dapat menghambat
bakteri gram positif dan negatif. Tabel 4.7 dan 4.8 menunjukkan bahwa pada
konsentrasi ekstrak 400 mg/ml dengan kekuatan cakram 8000 g diameter zona
hambat untuk S. aureus adalah 15,1 mm dan E. coli adalah 15,27 mm.
Berdasarkan rujukan pada lampiran 4 menunjukkan bahwa ekstrak tanin resisten
terhadap bakteri uji S. aureus dan E. coli.



4.6 Hasil Penelitian tentang Pemanfaatan Tanin dalam Daun Belimbing
Wuluh dalam Prespektif Islam
Allah menciptakan sesuatu dimuka bumi ini pasti dengan maksud dan
hikmah dibaliknya. Demikian pula Allah menciptakan manusia dengan berbagai
kelebihan dibandingkan dengan makhluk yang lain. Manusia diberi akal dan
pikiran dengan tujuan untuk memikirkan dan menggali rahasia suci yang telah
Allah sebarkan didunia ini. Orang yang berilmu akan mengetahui sebab akibat
skenario yang telah Allah semaikan dimuka bumi ini, seperti hal nya tumbuh-
tumbuhan yang diciptakan oleh Allah. Banyak penelitian menyebutkan bahwa
senyawa aktif yang terdapat dalam jenis tanaman tertentu dapat digunakan sebagai
obat ataupun antibakteri, sebagimana yang tercantum dalam surat As-Syuara:7
9 <| _{ /. !., ! . _ .
Dan apakah mereka tidak memperhatikan bumi, berapakah banyaknya kami
tumbuhkan di bumi itu pelbagai macam tumbuh-tumbuhan yang baik?

Shihab (2002) menjelaskan bahwa Allah menumbuhkan dari berbagai
macam tumbuhan yang baik, yaitu subur dan bermanfaat seperti halnya tanaman
belimbing wuluh khusunya bagian daun. Daun belimbing wuluh selama ini belum
banyak dimanfaatkan sebagai obat ataupun yang lainnya oleh masyarakat.
Kandungan kimia daun belimbing wuluh adalah flavonoid, asam format dan tanin.
Penelitiaan bertujuan untuk mengetahui nilai kadar tanin dalam daun belimbing
wuluh dengan variasi pelarut. Hasil penelitiaan menunujukaan bahwa di dalam
daun belimbing wuluh mengandung senyawa tanin dengan kadar tertinggi adalah
10,92%. Tanin dapat digunakan sebagai antibakteri baik sebagai obat maupun

pengawet alami . Hal ini didukung hasil perhitungan zona hambat dari kedua
bakteri uji yang menunjukkan bahwa tanin bersifat resisten terhadap kedua bakteri
uji.. Belimbing wuluh termasuk tumbuhan herbal yang dimanfaatkan sebagai obat
untuk menyembuhkan penyakit tertentu seperti habbatus sauda yang sejak zaman
Rosulullah SAW sudah dimanfaatkan untuk pengobatan. Sepeti ajwa dan
rumman, dan hasil penelitian ini sesuai dengan surat Al-Rad ayat 4
_{ _L% ,>. > s _ . s
. +`. !, > `. !.-, ?s _-, 2{ | 9
)9 =)-
Dan di bumi Ini terdapat bagian-bagian yang berdampingan, dan kebun-kebun
anggur, tanaman-tanaman dan pohon korma yang bercabang dan yang tidak
bercabang, disirami dengan air yang sama. kami melebihkan sebahagian tanam-
tanaman itu atas sebahagian yang lain tentang rasanya. Sesungguhnya pada yang
demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir.

Berdasarkan ayat tersebut Allah SWT mencontohkan tanaman anggur dan
kurma meskipun berada di tempat dan diberi air yang sama, Allah SWT
melebihkan dengan rasanya. Tanaman tersebut dilebihkan rasanya dan sekaligus
manfaatnya. (Farooqi, M.I.H., 2005). Begitu pula dengan daun belimbing wuluh
yang mengandung senyawa tanin yang berfungsi sebagai antibakteri penyebab
diare dan pengawet alami. Hal ini merupakan tanda-tanda kekuasaan Allah SWT
bagi orang-orang yang mau berpikir tentang kebesaran Allah SWT dalam
makhluk ciptaan-Nya
Penggunaan antibakteri sintetik atau pengawet sintetik pada makanan
seperti penambahan formalin jika dikonsumsi secara terus menerus akan

menyebabkan penyakit. Adanya fenomena di atas mendorong manusia untuk
mencari solusi yang terbaik bagi kesehatan. Solusi yang dilakukan adalah
mencari alternatif pengganti antibakteri sintetis dengan menggunakan antibakteri
alami yang dapat diperoleh dari tanaman salah satunya adalah daun belimbing
wuluh, hal ini menunjukkan bahwa segala apa yang tercipta ada manfaatnya dan
itu semua merupakan tanda-tanda kekuasaan Allah. Sebagaimana pada ayat-ayat
Allah Q.S Adz-Dzariyaat [51] ayat 20-21:

_{ %>9 /3. .,.


Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang
yakin. Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka Apakah kamu tidak memperhatikan?

Daun belimbing wuluh selain dapat digunakan sebagai pengawet dan obat
diare juga dapat digunakan sebagai obat penurun panas atau antipiretik.
Penggunaan obat sintetik saat ini tidak efisien karena dapat menyebabkan
ketergantungan jika digunakan terus menerus. Para peneliti muslim masa kini
meneliti berbagai obat yang berasal dari alam karena banyaknya permasalahan
yang terkait dengan penkonsumsian obat sintetik, hal ini memicu maraknya
penelitiaan untuk tanaman obat salah satunya adalah daun belimbing wuluh.






BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
1. Pelarut terbaik untuk memperoleh ekstrak senyawa tanin pada daun belimbing
wuluh adalah aseton : air (7:3). Hal ini didukung oleh perhitungan kadar tanin
pada masing-masing ekstrak, kadar tanin pada ekstrak aseton : air (7:3) adalah
10,92%
2. Hasil uji aktifitas antibakteri dengan pelarut terbaik terhadap bakteri
Staphylococcus aureus dan Escherichia coli menunjukkan bahwa pada
konsentrasi 50 mg/ml sampai 400 mg/ml senyawa tanin memiliki aktivitas
antibakteri untuk kedua bakteri uji, berdasarkan uji BNT 1 % untuk bakteri
S.aureus diketahui konsentrasi ekstrak 150, 250, 300, 350, dan 400 mg/mL
berpengaruh sangat nyata (p < 0,01) di antara konsentrasi lain sedangkan
untuk E. coli diketahui konsentrasi ekstrak 100, 150, 250, 300, 350, dan 400
mg/mL berpengaruh sangat nyata (p < 0,01).

5.2 Saran
1. Perlu dilakukan penelitiaan lebih lanjut tentang efektifitas ekstrak kasar
senyawa tanin dari daun belimbing wuluh dengan menggunakan variasi
konsentrasi yang lebih luas untuk mengetahui konsentrasi optimum senyawa
tanin sebagai senyawa antibakteri dengan pelarut terbaik
2. Perlu adanya penelitiaan lebih lanjut tentang jenis senyawa tanin dalam daun
belimbing wuluh menggunakan metode instrumentasi misalkan dengan
menggunakan GC-MS atau NMR





DAFTAR PUSTAKA


Abyasa S. 2008. Daun Muda dan Buah Muda Jambu Biji (psidium guajava),
(http://abyasa-abyasa.blogspot.com/2008/01/obat-tradisional-untuk-
sembuhkan-diare). Diakses 4 April 2009

Abdurrohman, D. 1998. Isolasi Tanin Dari Daun Kaliandra. Laporan PKL.
Jurusan Kimia. Institut Pertanian Nogor

Ahmad, M.M., 2006, Anti Inflammatory Activities of Nigella sativa Linn (Kalongi,
black seed), (http://lailanurhayati.multiply.com/journal, diakses 13
April 2009.

Ajizah, A. 2004. Sensitivitas Salmonella Typhimurium Terhadap Ekstrak Daun
Psidium Guajava. Jurnal Bioscientiae Vol 1. Program Studi
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Lambung Mangkurat.
Al-Jauziyah, I.Q. 2007. Metode Pengobatan Nabi SAW. Jakarta : Griya Ilmu

Amnur. 2008. Cikal Bakal Averhoa Bilimbi. (http://Averhoabilimi.blogspot.com)
Diakses 4 April 2009

Anonymous. 2007. Vegetation: Belimbing Wuluh, (http://blog.360.
yahoo.com/blog-jlVAipcycqhja6.QsE5bEBdhcQ--?cq=1&p=190)
diakses 17 Mei 2009.

Arland. 2006. Belimbing wuluh. Jakarta: BPPT.

Barazing, H. 2007, Pengobatan Aman Cara Nabi: Herba Sebagai Pengobatan
Modern Alternatif, Tinjauan Medis Dan Syariat Islam. (http://
hohanb. webs.com/). Diakses tanggal 03 Maret 2009

Cannas, A. 2001. Tannins:Chemical Animal Science Webmaster CU


Chung and wong CI, 1998. Tannins and healt critical. Review infood science and
nutritionoba

Cristina. 2008. Formulasi Gel Antioksidan Ekstrak Buah Buncis (Phaseolus
Vulgaris l.) Dengan Menggunakan Basis Aqupec 505 hv. Pustaka
Unpad.

Dasuki, U. 1991. Siitematika Tumbuhan Tinggi. Pusat Universitas Ilmu Hayati
ITB. Bandung
71


Dart. 1996. Microbiologi of the Analitical Chemist. The royal society of chemistry
London

Deny. 2007. Pemanfaatan Tannin Sebagai Perekat. Jurnal Penelitian Fakultas
Teknologi Pertanian Bogor.

Dianty, P. 2008. Penentuan Kadar Tanin Pada Kulit Batang Dan Daun Rambutan
(Nephelium Lappaceum) Dengan Menggunakan Spektrofotometer
Uv-Vis. Jakarta: FMIPA UII - Jurusan Kimia.

Faharani, G. 2008. Uji Aktifitas Antibakteri Daun Belimbing wuluh Terhadap
Bakteri Streptocoocus Aureus dan Echercia Coli Secara
Bioautografi. Jakarta :FMIPA UI

Fardiaz. 1992. Aktifitas antibakteri Daun Beluntas, Malang : Seminar Nasional
PATPI

Farooqi. M.I.H. 2005. Terapi Herbal Cara Islam Manfaat Tumbuhan Menurut Al-
Quran Dan Sunnah Nabi. Jakarta : Mizan Publika

Febriany, S. 2004. Pengaruh Beberapa Ekstrak Tunggal Bangel dan
Gabungannya yang Berpotensi Meningkatkan Aktifitas Enzim Lipase
Secara In Vitro. Tesis di Terbitkan. Bogor: Jur Kimia IPB

Ganiswarna. 1995. Farmakologi Dan Terapi Edisi IV. Jakarta : Farmakogi
Fakultas Kedoktran Universitas Indonesia

Giner. Tannin Chemical Structural The Structur Of Hydrolisable Tannin.
(http://www.ansci.cornel.edc.) Diakses 27 Maret 2009.

Guether, E.. 1987. Minyak Atsiri. Jakarta :Universitas Jakarta.

Hagerman, A.E, M.E. Rice and N.T. Richard. 1998. Mechanisms Of Protein
Precipitation For Two Tannins, Pentagalloyl Glucose And
Apicatechin
16
(4-8) Catechin (Procyanidin). Journal Of Agri.Food
Chem.. Vol 46

Harborne J.B. 1987. Metode Fitokimia Penuntun Cara Modern Menganalisis
Tumbuhan. Bandung :Penerbit ITB.

Irianto, K. 2002. Mikrobiologi Menguak Dunia Mikroorganisme. Jakarta : Irama
Widya

Leemensand, 1991. Plant Resourees of South East Asia 3 Dye and Tanin
Production Plant. Netherland : Pudoc Wagengan.

Luthana K. 2009, Prosedur Ekstraksi Senyawa Fenol Dan Antibakteri Dari
Tanaman Gambir Yang Disertai Metode Analisisnya,
(http://yongkikastanyaluthana.wordpress.com) Diakses 27 Maret
2009
.
Lidyawati, 2006, Karekterisasi Simplisia Daun Belimbimg Wuluh, Bandung :
Sekolah Farmasi ITB, (http://bahan-alam.fa.itb.ac.id ). Diakses 27
Maret 2009

Linggawati, A. 2002. Pemanfaatan Tanin. Pekanbaru: Riau.
.
Makkar H.P.S. 2003. Effects and fate of tannins in ruminant animals, adaptation
to tannins, and strategies to overcome detrimental effects of feeding
tannin-rich feeds, Animal Production and Health Section, Joint
FAO/IAEA Division. International Atomic Energy Agency. Vienna,
Austria.

Maryati, 2009. Pemanfaatan Daun Jambu Biji Sebagai Lternatif Pengawet Telur
Ayam Ras. FMIPA. UNM, Jurnal Nalar Vol 1.

Masduki, I. 1996. Efek Antibakteri Ekstrak Biji Pinang (Areca catechu) Terhadap
S.aureus dan E.coli in vitro. Yogyakarta: Laboratorium Mikrobiologi
Fakultas Kedkteran, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.

Min, BR. 2003. Tannins for suppression of internal parasites. Langston:
University of Langston

Muhtady. 1999. Penetapan Kadar Tanin dengan Spektrofotometri. Bandung: ITB.

Naim, R. 2004. Senyawa Antimikroba Dari Tanaman. IPB. (http://kompas.com).
Diakses 16 April 2009.

Nuraini, F. 2002. Isolasi Dan Identifikasi Tanin Dari Daun Gamal. Skripsi
Jurusan Kimia. Malang: Universitas Brawijaya.

Pansera, M.R. 2004. Extraction Of Tannin By Acacia Mearnshin With
Supercrutical Fluid. Brazilian Archip.

Pelczar, M.J. dan Chan, E.C.S. 1986. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Jakarta: UI
Press.

Pratiwi, S. T. 2002. Mikrobiologi farmasi. Jakarta : Erlangga

Rahman, A. 2000. Al-Quran Sumber Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Penerbit Rineka
Cipta.


Robinson, T. 1995. Kandungan Senyawa Organik Tumbuhan Tinggi.
Diterjemahkan oleh Prof. Dr. Kosasih Padmawinata, Bandung: ITB.

Rustaman. 2000. Analisis Fitokimia Tumbuhan Di Kawasan Gunung Simpang
Sebagai Penelaahan Keanekaragaman Hayati. Universitas
Padjajaran. FMIPA.

Savitry, E. 2008. Khasiat Tanaman Obat Dalam Prespektif Islam. Malang: UIN
Press.

Siswantoro, D. 2006. Kajian Aktivitas Tanin Dengan Penisilin Terhadap Bakteri
Streptococcus Pyogenes dan Pasteurela Multocida Secara In Vitro.
library@unair.ac.id Post Graduate Airlangga University.

Soekardjo, S. 1995. Kimia Medicinal. Surabaya :Airlangga.

Subiyakto. 2003. Pemanfaatan Langsung Serbuk Kulit Kayu Akasia Sebagai
Perekat Papan Partikel. Jurnal Ilmu Dan Teknologi Kayu Lapis vol
1.

Subroto, A. 2008. Gempur Penyakit dengan Sarang Semut.
(http://www.souvenirpapua.com) Diakses 27 Maret 2009.

Sudarmadji, S., B. Haryono dan Suhardi. 2007. Prosedur Analisa Bahan Makanan
dan Pertanian. Yogyakarta: Liberty.

Sumartha. 2000. Pengaruh Ethanol Terhadap Kesepatan Buah Salak. Jurusan
Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian Universitas
Udayana.

Thomas, ANS. 1992. Tanaman Obat Tradisional 2. Jakarta: Kanisius.

Volk.W.A and M.F Wheeler. 1993. Mikrobiologi Dasar. Alih Bahasa: Markham.
Jakarta: PT. Gelora Aksara Pratama.

Widowati, E. 2006. Pengaruh Lama Perendaman Dengan Larutan Kapur Tohor
Ca (Oh)2 Pada Kulit Buah Manggis Terhadap Kualitas Kembang
Gula Jelly. Skripsi Fakultas Teknik. Universitas Negeri Semarang.

Wijayakusuma, H. 2006. Ramuan Tradisional Untuk Pebgobatan Darah Tinggi.
Jakarta: Penebar Swadaya.

Winarno dan Aman. 1994. Fisiologi Lepas Panen. Bogor: IPB.


Yuliani. 2008. Kadar Tanin Dan Querestin Tiga Tipe daun Jambu Biji (Psidium
Guajava). Balai Penelitian Tanaman Rempah Dan Obat,
(http:www.balitro.go.id ) Diakses 27 Maret 2009.

Zakaria, Z.A. Zaiton, H., Henie, E.F.P., Jais, A. M.M., and Zainuddin, E.N.H.,
2007, In Vitro Antibacterial Activity of Averrhoa bilimbi L. Leaves
and Fruits Extracts, International Journal of Tropical Medicine,
(Online), 2(3):96-100, (http://www.medwelljournals.com). Diakses
27 Maret 2009.

Zulaekah, S. 2005. Pengaruh Konsentrasi Ekstrak Daun Teh Pada Pembuatan
Telur Asin Rebus Terhadap Jumlah Bakteri dan Daya Terimanya.
Jurnal Penelitian Sains Dan Teknologi. vol. 6. no. 1. Program Study
Gizi Fakultas Ilmu Kedokteran Universitas Muhammadiyah
Surakarta



















LAMPIRAN


Lampiran 1. Skema Kerja

1. Diagram Alir Penelitian








































- preparasi sampel
Sampel
Ekstrak
Air hangat
Ekstrak
etanol
Ekstrak
metanol

Ekstrak
Aseton : air
- Ditimbang
- Uji tanin
- Penentuan kadar tanin
Daun belimbing wuluh
- ekstraksi dengan cara maserasi masing-masing
dengan pelarut air hangat, metanol, etanol, dan
aseton : air (7 : 3)
Hasil terbaik
- uji antibakteri

Hasil
77

2. Preparasi Sampel











3. Ekstraksi daun Belimbing Wuluh dengan Metode Maserasi















- diekstraksi dengan kloroform




- diekstraksi dengan etil
asetat




- dipekatkan dengan
Rotary evaporator



Catatan : pelarut yang digunakan adalah metanol, etanol, air hangat dan aseton :
air
Daun belimbing wuluh
- dicuci bersih dan diiris tipis
- dikeringkan dalam oven pada suhu 60
o
C selama 5 jam dan
dijemur sampai diperoleh berat konstan
- dihaluskan
Sampel
Residu Filtrat
Ekstrak pekat
- dipekatkan dengan rotary evaporator
50 g sampel
- direndam dalam 200 mL pelarut selama 2 X 24
jam dan dikocok dengan bantuan shaker
- larutan disaring
Lapisan kloroform Lapisan air
Lapisan etil asetat Lapisan air
Hasil

4. Uji tanin



- diambil masing 3 ml
- dimasukkan dalam tabung reaksi




- ditambahkan - ditambahkan - ditambahkan formaldehid : asam
FeCl
3
klorida (2 : 1)
- dipanaskan dalam air panas



- disaring dan dijenuhkan dengan
Na- asetat




- ditambahkan
FeCl
3



5. Pengukuran kadar tanin dengan metode Lowenthal-Protecter



- ditambahkan 100 ml larutan aquades
- diambil 50 ml ditambah dengan 2 ml indigokarmin
- dititrasi dengan KMnO4












Ekstrak pekat
Tabung 1
Tabung 2 Tabung 3
Endapan merah
residu filtrat
Hasil Hasil
Hasil
1 gram Ekstrak
Hasil



- ditambahkan berturut-turut 10 ml larutan gelatin dan
garam asam
- ditambahkan 2 gram serbuk kaolin
- dikocok selama 5 menit dan disaring

- Filtrat dicampur dengan larutan indigokarmin
- dititrasi dengan KMnO
4







6. Penyediaan Media














7. Peremajaan Biakan Murni











2 g Nutrient agar
Media agar padat miring
- dilarutkan dalam 100 mL akuades
- dipanaskan sampai mendidih selama
- dimasukkan dalam beberapa tabung reaksi (tiap tabung 10 mL) dan
ditutup dengan kapas
- disterilkan dalam otoklaf pada suhu 121
o
C (15 psi) selama 15 menit
- diletakkan dalam posisi miring selama 24 jam pada suhu ruang
Biakan murni bakteri
Larutan biakan murni
- digoreskan pada media padat agar miring secara aseptis
- tabung reaksi ditutup dengan kapas
- diinkubasi selama 48 jam pada suhu 37
o
C

50 ml filtrat
Hasil

8. Pembuatan biakan aktif




- dibiakkan dalam 10 mL Nutrient Broth
- dihomogenkan dan di inkubasi selama 24 jam




9. Uji Antibakteri


































Media agar padat
Hasil
- dipanaskan hingga mencair
- didinginkan sampai suhu 40
o
C
- ditambahkan 0,1 mL larutan biakan aktif dan dihomogenkan
- dibiarkan hingga memadat

- dipasangi kertas cakram yang telah diresapkan dalam kontrol dan
ekstrak
- diinkubasi pada suhu 37
o
C selama 18-24 jam
- diamati pertumbuhan bakteri dan diukur diameter zona
hambatannya (pembacaan awal dapat dilakukan setelah 6-8 jam)

Media bakteri
Hasil peremajaan
Hasil

Lampiran 2 Perhitungan, Pembuatan Reagen dan Larutan

1. Pembuatan FeCl
3
1 %
1 % = (1 gram / gram total ) x 100 %
Gram total = 100 %. 1 gr / 1 % = 100 gram
Gram total = gram terlarut + gram pelarut
Gram pelarut = 100 gram 1 gram
= 99 gram
V air = gram pelarut / Bj air
Volume Air yang diambil adalah 99 ml untuk membuat FeCl
3
1 % dari 1
gram FeCl
3
padatan

2. Pembuatan Larutan Gelatin
Serbuk gelatin 2,5 gram
NaCl jenuh 50 ml
Cara pembuatnnya adalah 2,5 gram serbuk gelatin dicampur dengan 50 ml
larutan garam NaCl jenuh, kemudiaan dipanaskan sampai gelatin larut
seluruhnya. Setelah dingin ditambahkan larutan gram NaCl jenuh dalam labu
ukur 100 ml sampai tanda batas dan dikocok hingga homogen

3. Pembuatan larutan Formalin 3 %

M
1
x V
1
= M
2
x V
2

40 % x V
1
= 3 % x 100 ml
V
1
= 7,5 ml
Cara pembuatannya adalah dipipet larutan formalin 40% sebanyak 7,5 ml
dimasukkan kedalam labu ukur 100 ml dan ditambahkan dengan aquades
sampai tanda batas


4. Pembuatan Larutan Indikator Indigokarmin

Sebanyak 6 gram Na-indigotindisulfonat dilarutkan dalam 500 ml aquades dan
dipanaskan setelah dingin ditambahkan 50 ml asam sulfat dan ditambah
dengan aquades sampai 1L dan disaring.


Lampiran 3. Perhitungan Kekuatan Cakram

Pada penelitian ini 1 cakram ditetesi dengan 10 L ekstrak dan kontrol,
maka kekuatan cakramnya adalah:

1. Ekstrak Tanin

50 mg/mL = 50 g/L
Sehingga 50 g/L x 20 L = 1000 g

Cara pembuatan dengan mengambil 0,05 gram ekstrak pekat dan
dilarutkan dalam 1 ml pelarut
100 mg/mL = 100 g/L
Sehingga 100 g/L x 20 L = 2000 g
Cara pembuatan dengan mengambil 0,1 gram ekstrak pekat dan
dilarutkan dalam 1 ml pelarut
150 mg/mL = 150 g/L
Sehingga 150 g/L x 20 L = 3000 g
Cara pembuatan dengan mengambil 0,15 gram ekstrak pekat dan
dilarutkan dalam 1 ml pelarut
200 mg/mL = 200 g/L
Sehingga 200 g/L x 20 L = 4000 g
Cara pembuatan dengan mengambil 0,2 gram ekstrak pekat dan
dilarutkan dalam 1 ml pelarut
250 mg/mL = 250 g/L
Sehingga 250 g/L x 20 L = 4000 g
Cara pembuatan dengan mengambil 0,25 gram ekstrak pekat dan
dilarutkan dalam 1 ml pelarut
300 mg/mL = 300 g/L
Sehingga 300 g/L x 20 L = 6000 g
Cara pembuatan dengan mengambil 0,3 gram ekstrak pekat dan
dilarutkan dalam 1 ml pelarut
350 mg/mL = 350 g/L
Sehingga 350 g/L x 20 L = 7000 g
Cara pembuatan dengan mengambil 0,35 gram ekstrak pekat dan
dilarutkan dalam 1 ml pelarut
400 mg/mL = 400 g/L
Sehingga 400 g/L x 20 L = 8000 g
Cara pembuatan dengan mengambil 0,4 gram ekstrak pekat dan
dilarutkan dalam 1 ml pelarut


1. Kontrol Positif
Kontrol Positif S. Aureus
Besarnya kadar penisilin pada 1 cakram
Cara pembuatan penisilin 25 mg/mL adalah dengan menimbang
Penisilin sebanyak 25 mg dan ditambah dengan 1 ml aquades. Jika
penisilin diencerkan dengan 100 ml aquades maka :
2500 mg/100 ml = 2500000 g/10000 L = 25 g/L
Sehingga 25 g/L x 20 L = 500 g

Kontrol positif E. Coli
Besarnya kadar streptomycin pada 1 cakram
Cara pembuatan streptomycin 6,25 mg/mL adalah dengan menimbang
streptomycin sebanyak 6, 25 mg dan ditambah dengan 1 ml aquades.
Jika streptomycin diencerkan dengan 100 ml aquades maka :
625 mg/100 ml = 625000 g/10000 L = 6,25 g/L
Sehingga 6,25 g/L x 20 L = 13,5 g
Kontrol Negatif
Kontrol negatif adalah pelarut yang digunakan untuk mealarutkan
ekstrak yaitu aquades. Aquades sebanyak 20 L diresapkan dalam
kertas cakram.












Lampiran 4 Ukuran Daerah dan Interpretasinya untuk Kemoterapeutik
yang sering Digunakan


Diameter daerah penghambatan sampai milimeter
terdekat Antibiotik atau agen
kemoterapeutik
Potensi
lempengan
Resisten Pertengahan Peka
Ampisilin
S. aureus
Semua organisme lain
Basitrasin
Sefalotin
Kloramfenikol
Kolistin
Eritromisin
Kanamisin
Linkomisin
*
Metisilin
Asam Nalidiksat
Neomisin
Novobiosin
Oleandomisin
Penisilin-G
Polimisin-B
Streptomisin
Sulfonamida
Tetrasiklin
Vankomisin

10 g
10 g
10 units
30 g
30 g
10 g
15 g
30 g
2 g
5 g
30 g
30 g
30 g
15 g
10 g
300 units
10 g
300 g
30 g
30 g

20 atau kurang
11 atau kurang
8 atau kurang
14 atau kurang
12 atau kurang
8 atau kurang
13 atau kurang
13 atau kurang

9 atau kurang
13 atau kurang
12 atau kurang
17 atau kurang
11 atau kurang
20 atau kurang
8 atau kurang
11 atau kurang
12 atau kurang
14 atau kurang
9 atau kurang

21-28
12-13
9-12
15-17
13-17
9-10
14-17
14-17

10-13
14-18
13-16
18-21
12-16
21-28
9-11
12-14
13-16
15-18
10-11

29 atau lebih
14 atau lebih
13 atau lebih
18 atau lebih
18 atau lebih
11 atau lebih
18 atau lebih
18 atau lebih
17 atau lebih
14 atau lebih
19 atau lebih
17 atau lebih
22 atau lebih
17 atau lebih
29 atau lebih
12 atau lebih
15 atau lebih
17 atau lebih
19 atau lebih
12 atau lebih
*
Standar tentatif
Standar berlaku untuk infeksi saluran urine saja
Ukuran daerah tidak berlaku apabila daerah ditambahkan pada medium
Lempengan sulfonamida 300 atau 250 g mana saja yang diperoleh di pasaran mungkin
digunakan dengan standar penafsiran zona yang sama
Sumber: Volk and Wheeler (1993).









Lampiran 5. Perhitungan Nilai Rendemen dan Kadar Tanin Metode
Lowenthal Procter
1. Perhitungan Nilai Rendemen
a. Pelarut Air
Rendemen =
awal sampel bobot
ing sampel bobot ker
x 100 %
=
g
g
50
53 , 8
x 100 %
= 17,01%
b. Pelarut Aseton : Air (7:3)
Rendemen =
awal sampel bobot
ing sampel bobot ker
x 100 %
=
g
g
50
051 , 5
x 100 %
= 10,102%
c. Pelarut Metanol
Rendemen =
awal sampel bobot
ing sampel bobot ker
x 100 %
=
g
g
50
314 , 3
x 100 %
= 6,63%
d. Pelarut Etanol
Rendemen =
awal sampel bobot
ing sampel bobot ker
x 100 %
=
g
g
50
52 , 3
x 100 %
= 7,04%








2. Perhitungan Kadar Tanin Metode Lowenthal Procter

Hasil titrasi senyawa tanin dengan KMnO
4
0,1 N (A ml)
Volume KMnO
4
yang dibutuhkan Pelarut
Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata
Air 0,5 0,55 0,525
Aseton : Air (7:3) 0,6 0,6 0,6
Metanol 0,5 0,55 0,525
Etanol 0,55 0,6 0,575



Hasil titrasi senyawa non tanin dengan KMnO
4
0,1 N

(B ml)
Volume KMnO
4
yang dibutuhkan Pelarut
Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata
Air 0,1 0,15 0,125
Aseton : Air (7:3) 0,1 0,1 0,1
Metanol 0,3 0,3 0,3
Etanol 0,2 0,2 0,2



Kadar tanin = (50 A 50 B) x N/0,1 x 0,00416 x 100 %
Berat sampel
(A-B) : banyaknya KMnO
4
yang diperlukan untuk titrasi.
A : Senyawa Tanin
B : Senyawa Non Tanin
a. Pelarut Air
Kadar Tanin = % 100
1
00416 , 0 1 , 0 / 105 , 0 ) 125 , 0 ( 50 ) 5 , 0 ( 50 (
x
x x

= 8,19%
b. Pelarut Aseton : Air (7:3)
Kadar Tanin = % 100
1
00416 , 0 1 , 0 / 105 , 0 ) 15 , 0 ( 50 ) 6 , 0 ( 50
x
x x

= 10,92%
c. Pelarut Metanol
Kadar Tanin = % 100
1
00416 , 0 1 , 0 / 105 , 0 ) 3 , 0 ( 50 ) 525 , 0 ( 50
x
x x


= 4,70%

d. Pelarut Etanol
Kadar Tanin = % 100
1
00416 , 0 1 , 0 / 105 , 0 ) 2 , 0 ( 50 ) 575 , 0 ( 50
x
x x

= 7,86%

Hasil Perhitungan kadar Tanin dari Masing-masing Pelarut
Pelarut Kadar tanin (%)
Aseton : Air (3:1) 10,92
Air Hangat 8,19
Etanol 7,86
Metanol 4,70


Lampiran 6. Hasil Uji Antibakteri Ekstrak Daun Belimbing Wuluh dengan
Pelarut Terbaik

a. Perhitungan Zona Hambat
Zona hambat (mm) = Diamter zona bening yang terbentuk diameter kerta
cakram








Zona Bening
Kertas Cakram

Media yang
ditumbuhi bakteri





Gambar : Pengukuran zona hambat

b. Data zona hambat senyawa tanin ekstrak daun belimbing wuluh sebagai
antibakteri S. Aureus
Diameter zona hambat (mm)
No. Konsentrasi (mg/ml)
1 2 3
Rata-rata zona
hambat (mm)
1. 50 7 5,8 5,5 6,1
2. 100 6 6 6,8 6,3
3. 150 7 7,5 7 7,1
4. 200 10,7 10,5 10,8 10,67
5. 250 10 12,5 12,3 11,6
6. 300 12 14 14,5 13,5
7. 350 14 14,2 14,3 14,16
8. 400 15,2 15 15,1 15,1


c. Data zona hambat senyawa tanin ekstrak daun belimbing wuluh sebagai
antibakteri E. coli
Diameter zona hambat (mm)
No. Konsentrasi (mg/ml)
1 2 3
Rata-rata zona
hambat (mm)
1. 50 8,8 7 6,5 7,4
2. 100 9,5 10 9,5 9,7
3. 150 12,5 11 10,2 11,2
4. 200 12,6 13,2 12 12,6
5. 250 13 13,5 12,5 13
6. 300 13 13,7 15 13,9
7. 350 13,2 15 14,5 14,2
8. 400 13,8 16,5 15,5 15,27














Lampiran 6. Uji Statistik
Data pemberian ekstrak dengan konsentrasi yang berbeda terhadap
pertumbuhan bakteri.

1. Bakteri S. aureus
Tabel Hasil Uji Antibakteri pada S. aureus
Diameter zona hambat (mm) Konsentrasi
(mg/mL) Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3
Total Rata-rata
50
100
150
200
250
300
350
400
7
6
7
10,7
10
12
14
15,2
5,8
6
7,5
10,5
12,5
14
14,2
15

5,5
6,8
7
10,8
12,3
14,5
14,3
15,1
18,3
18,8
21,5
32
34,8
40,5
42,5
45,3
6,1
6,3
7,1
10,67
11,6
13,5
14,16
15,1
Total 81,9 85,5 86,3 253,7


FK = Y
2
/ rp
= (253,7)
2
/ 3 x 8
= 2681,82

JK
Total
=

i j
Y
2
- FK
= 7
2
+ 6
2
+ ..... + 15,1
2
2681,82
= 288,91

JK
Perlakuan
=

i j
ij
Y ( )
2
/ r - FK
= 18,3
2
+ 18,8
2
+ .... + 45,3
2
/ 3 2681,82
= 279,583

JK
Ulangan
=

j i
ij
Y ) (
2
/ p - FK
= 81,9
2
+ 85,5
2
+ 86,3
2
/ 8 2681,82
= 1,373


JK
Galat
= JK
Total
- JK
Perlakuan
- JK
Ulangan

= 288,91 279,583 1,373
= 7,954
Tabel Analisis Ragam Satu Arah
F
SK db JK KT
Hitung Tabel 1 %
Perlakuan
Ulangan
Galat percobaan
7
2
14
279,58
1,373
7,954
39,94
0,6865
0,568
70,3

4,28

Total 23 288,89

Berdasarkan analisis ragam di atas F
hitung
> F
tabel
(7,14) maka dapat
disimpulkan bahwa pemberian ekstrak dengan konsentrasi yang berbeda
berpengaruh sangat nyata (p < 0,01) pada pertumbuhan bakteri S. aureus,
sehingga dilakukan pengujian lebih lanjut dengan uji BNT untuk mengetahui
perlakuan mana yang berpengaruh.

BNT =
) 2 / 01 , 0 (
tabel
t (14) n KTG/ 2
= 2,977 x 3 / ) 568 , 0 2 ( x
= 1,83

Tabel Hasil Uji BNT
Perlakuan dan nilai tengahnya
Perlakuan
dan nilai
tengahnya
(1)
6,1

(2)
6,3

(3)
7,1

(4)
10,67

(5)
11,6

(6)
13,5

(7)
14,16

(8)
15,1
(1) 6,1
(2) 6,3
(3) 7,1
(4) 10,67
(5) 11,6
(6) 13,5
(7) 14,16
(8) 15,1
-
-
-
-
-
-
-
-
0,2
-
-
-
-
-
-
-

1
0,8
-
-
-
-
-
-
4,57
*
4,37*
3,57*
-
-
-
-
-
5,5*
5,3*
4,5*
0,93
-
-
-
-
7,4*
7,2*
6,4*
2,83*
1,9*
-
-
-

8,06*
7,86*
7,1*
3,49*
2,56*
0,66
-
-

9*
8,8*
8*
4,43*
3,5*
1,6
0,94

Keterangan : *) = berbeda sangat nyata pada taraf 0,01
Jadi konsentrasi ekstrak 200, 250, 300, 350, dan 400 mg/mL berpengaruh
sangat nyata (p < 0,01) pada pertumbuhan bakteri S. aureus di antara konsentrasi
lain.

2. Bakteri E. coli


Tabel Hasil Uji Antibakteri pada E. colis
Diameter zona hambat (mm)
Konsentrasi
(mg/mL)
Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3
Total Rata-rata
50
100
150
200
250
300
350
400

8,8
9,5
12,5
12,6
13
13
13,2
13,8
7
10
11
13,2
13,5
13,7
15
16,5
6,5
9,5
10,2
12
12,5
15
14,5
15,5
22,3
29
33,7
37,8
39
41,7
42,7
45,8
7,4
9,7
11,2
12,6
13
13,9
14,2
15,27
Total 96,4 99,9 95,7 292

FK = Y
2
/ rp
= (292)
2
/ 3 x 8
= 3552,667

JK
Total
=

i j
Y
2
- FK
= 8,8
2
+ 9,5
2
+ ...+ 15,5
2
3552,667
= 156,43

JK
Perlakuan
=

i j
ij
Y ( )
2
/ r - FK
= 22,3
2
+ 29
2
+ ..... + 45,8
2
/ 3 3552,667
= 141,80

JK
Ulangan
=

j i
ij
Y ) (
2
/ p - FK
= 96,4
2
+ 99,9
2
+ 95,7
2
/ 8 3552,667
= 1,266



JK
Galat
= JK
Total
- JK
Perlakuan
- JK
Ulangan

= 156,43 141,80 1,266
= 13,364



Tabel Analisis Ragam Satu Arah
F
SK db JK KT
Hitung Tabel 1 %
Perlakuan
Ulangan
Galat percobaan
7
2
14
141,80
1,266
13,364
20,25
0,633
0,954
7,15 4,28

Total 23 271,83

Berdasarkan analisis ragam di atas F
hitung
> F
tabel
(7,14) maka dapat
disimpulkan bahwa pemberian ekstrak dengan konsentrasi yang berbeda
berpengaruh sangat nyata (p < 0,01) pada pertumbuhan bakteri E. coli, sehingga
dilakukan pengujian lebih lanjut dengan uji BNT untuk mengetahui perlakuan
mana yang berpengaruh.

BNT =
) 2 / 01 , 0 (
tabel
t (14) n KTG/ 2
= 2,977 x 3 / ) 954 , 0 2 ( x
= 2,37

Tabel Hasil Uji BNT
Perlakuan dan nilai tengahnya
Perlakuan
dan nilai
tengahnya
(1)
7,4

(2)
9,7

(3)
11,2

(4)
12,6

(5)
13

(6)
13,9

(7)
14,2

(8)
15,27
(1) 7,4
(2) 9,7
(3) 11,2
(4) 12,6
(5) 13
(6) 13,9
(7) 14,2
(8) 15,27
-
-
-
-
-
-
-
-
2,3
-
-
-
-
-
-
-
3,8*
1,5
-
-
-
-
-
-
5,2*
2,9*
1,4
-
-
-
-
-
5,6*
3,3*
1,8
0,4
-
-
-
-
6,5*
4,2*
2,7*
1,3
0,9
-
-
-
6,8*
4,5*
3*
1,6
1,2
0,3
-
-
7,87*
5,57*
4,07*
2,67*
2,27
2137
1,07
-

Keterangan : *) = berbeda sangat nyata pada taraf 0,01

Jadi konsentrasi ekstrak 150, 200, 250, 300, 350, dan 400 mg/mL
berpengaruh sangat nyata (p < 0,01) pada pertumbuhan bakteri S. aureus di
antara konsentrasi lain.

Lampiran 7. Dokumentasi Hasil Penelitiaan
1. Preparasi Sampel


2. Ekstraksi Sampel


Gambar 3. Maserasi sampel

Gambar 4.Penyaringan hasil
ekstraksi

a b c d
Gambar 5. Fase Kloroform-air dari masing-masing pelarut
((a)Air , (b) Aseton : Air, (c) Metanol dan (d) Etanol )




Gambar 1.Daun Belimbing Wuluh
muda

Gambar 2. Serbuk daun Belimbing Wuluh



a b c d
Gambar 6. Fase Etil Asetat-air dari masing-masing pelarut
((a). Air ,(b). Aseton : Air (7:3), (c). Metanol dan (d). Etanol )

3. Hasil Uji Reagen Ekstrak Tanin


Gambar 7. Ekstrak dengan
FeCl
3
1%

Gambar 8. Ekstrak dengan larutan
Gelatin

Gambar 9. Ekstrak ditambahkan
dengan Formalin + HCl

Gambar 10. Endapan Merah hasil
penyaringan dari gambar 9.







4. Hasil Uji Aktifitas Antibakteri dengan Pelarut Terbaik
- S. Aureus

Konsentrasi 50 mg/ml

Konsentrasi 100 mg/ml

Konsentrasi 150 mg/ml

Konsentrasi 200 mg/ml

Konsentrasi 250 mg/ml

Konsentrasi 300 mg/ml

Konsentrasi 350 mg/ml


Konsentrasi 400 mg/ml





Konsentrasi 50 mg/ml

Konsentrasi 100 mg/ml


Konsentrasi 150 mg/ml

Konsentrasi 200 mg/ml


Konsentrasi 250 mg/ml


Konsentrasi 300 mg/ml


Konsentrasi 350 mg/ml


Konsentrasi 400 mg/ml

Vous aimerez peut-être aussi