Vous êtes sur la page 1sur 11

BAB I PENDAHULUAN

Stres tidak bisa dipisahkan lagi dalam setiap aspek kehidupan. Stres ini bisa dialami oleh siapa saja stres memiliki implikasi negatif jika berakumulasi, stres ini akibat dari ketidakmampuan seseorang mengatasi dan mengendalikan stresnya (Safaria, 2007). Stres yang tidak mampu dikendalikan dan diatasi oleh individu akan memunculkan dampak negatif seperti dapat kita kaitkan dengan masalah kesehatan yang buruk pada seseorang (Safaria, 2007). Stres secara psikologis telah dikaitkan dengan masalah kesehatan yang buruk pada setiap individu di seluruh rentang kehidupan di banyak Negara (Margaret dkk, 2010). Sebagai contoh sangat besar stres telah banyak dikaitkan dengan peningkatan resiko terjadinya penyakit kardiovaskular, autoimun,

penyakit menular dan gangguan mental ( McEwan, 1998). Hubungan ini sangat kuat dan telah diamati diseluruh rentang kehidupan mulai dari anak-anak hingga dewasa (Margaret dkk, 2010). Salah satu mekanisme yang menghubungkan stres psikologis dengan terjadinya penyakit adalah tanggapan biologi terhadap stres, dimana terjadinya stres akut akan menunjukkan aktivasi yang tinggi dari sistem biologi tertentu, yang disebut sebagai fight or flight (Margaret dkk, 2010). Dimana sistem biologi tersebut melibatkan respon aktivasi mekanisme saraf, neuroendokrin, dan kekebalan yang mempersiapkan tubuh untuk mengatasi atau menghindari bahaya, maka seiring waktu dengan terjadinya aktivasi berulang sistem ini dapat menyebabkan kehausan pada tubuh dan keadaan ini yang disebut beban allostatik (mcEwan, 1998). Akirnya akan menyebabkan kesehatan yang buruk dan jatuh kedalam tahap depresif, namun dari beberapa penelitian yang telah ada dikatakan bahwa stress tidak memiliki efek biologi yang sama pada setiap orang (Margaret dkk, 2010). Akibat dari stres yang tidak kunjung reda dan cenderung berkorelasi dengan kejadian dramatis yang baru saja terjadi timbul depresi yang merupakan gangguan mental yang sering terjadi di setiap kalangan (Reni, 2010). Depresi dapat mempengaruhi semua aspek kehidupan seseorang. Hal ini dapat merusak kemampuan untuk tidur, makan, bekerja, dan bergaul dengan orang lain. Selain

itu juga dapat merusak harga diri, kepercayaan diri, dan kemampuan untuk menyelesaikan tugas seharihari. Orang depresi melakukan tugas sehari-hari bagaikan orang yang signifikan. Mudah lelah, namun tidak bisa mendapatkan tidur malam yang baik, tidak memiliki motivasi, dan kehilangan minat dalam kegiatan-kegiatan yang menyenangkan (Reni, 2010). Hasil survey yang dilakukan di America serikat oleh The national Comorbidity survey Replication menyatakan bahwa 16,2 persen penduduk America pernah mengalami depresi selama hidup mereka, dan lebih dari 6,6 persen dari populasi tersebut mengalami depresi selama 12 bulan terakir. Wanita menpunyai peningkatan resiko 1,7-2,7 kali lebih besar mengalami depresi dari pada laki-laki. Walaupun depresi dapat terjadi pada berbagai usia, namun angka kejadian depresi tertinggi adalah usia 25-44 tahun (Reni, 2010). Meningkatnya angka kejadian depresi yang terjadi mengingatkan kita akan dampak-dampak negatif yang akan ditimbulkan dikemudian hari seperti resiko bunuh diri, insomnia atau hiperinsomnia, gangguan pola makan, gangguan dalam hubungan sosial keluarga maupun masyarakat. Maka depresi sebagai suatu gangguan yang dapat diobati sebaiknya ditangani dengan segera (Reni, 2010).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Stres 2.1.1 Definisi Stress adalah keadaan internal yang dapat diakibatkan oleh tuntutan fisik dari tubuh (kondisi penyakit, latihan, dll) atau oleh kondisi lingkungan dan sosial yang dinilai potensial membahayakan, tidak terkendali atau melebehi kemampuan individu untuk melakukan coping (Kemala, 2007). Menurut Selye stress diawali dengan reaksi waspada (alaram reaction) terhadap adanya ancaman, yang ditandai oleh proses tubuh secara otomatis, seperti peningkatan denyut jantung, yang kemudian diikuti dengan reaksi penolakan terhadap stressor yang kemudian mencapai tahap kehabisan tenaga (exhaustion) jika individu merasa tidak mampu untuk terus bertahan (kemala, 2007). Rice (1978) menyatakan bahwa stress adalah suatu kejadian atau stimulasi lingkungan yang menyebabkan individu merasa tegang. Stress mengacu pada peristiwa yang dirasakan membahayakan kesejahteraan fisik dan psikologis seseorang. Situasi ini disebut sebagai penyebab stress dan reaksi individu terhadap situasi stress ini disebut respon stress. Stress adalah suatu keadaan tertekan baik secara fisik maupun psikologis (Thomas, 2009). Lazarus (1984) menjelaskan bahwa stress juga dapat diartikan dalam beberapa bentuk pertama, stimulus, yaitu stress merupakan kondisi kejadian tertentu yang menimbulkan stress atau disebut juga dengan stressor. Kedua, respon, yaitu yang merupakan suatu respon atau reaksi individu yang muncul karena adanya situasi tertentu karena menimbulkan stress. Reakasi yang muncul dapat secara fisiologi seperti ; takut, cemas, sulit konsentrasi, dan mudah terganggu. Ketiga proses, yaitu stress digambarkan sebagai suatu proses dimana individu secara aktif dapat mempengaruhi dampak stress melalui reaksi tingkah laku, koognisi maupun afeksi (Kemala, 2007).

2.1.2 klasifikasi stres Selye (dalam Kemala, 2007) menggolongkan stress menjadi dua golongan, penggolongan ini didasarkan atas persepsi individu terhadap stress yang dialaminya. Pertama distress (stress negative), stress yang merusak atau bersifat tidak menyeangkan. Stress dirasakan sebagai suatu keadaan dimana individu mengalami rasa cemas, ketakutan, kawatir atau gelisah. Sehingga individu mengalami keadaan psikologis yang negative, menyakitkan, dan timbul keinginan untuk menghindarinya. Kedua eustres (stress positif) bersifat menyenangkan dan merupakan pengalaman yang memuaskan.Eustres dapat meningkat kesiagaan mental, kewaspadaan, koognisi, dan performansi individu.Eustres juga dapat meningkatkan motivasi individu untuk menciptakan sesuatu, misalnya

menciptakan karya seni.

2.1.3 Stressor Kondisi fisik, lingkungan, dan sosial merupakan penyebab dari kondisi stress yang disebut dengan stressor. Istilah stressor diperkenalkan pertama kali oleh Selye (Rice, 1992). Situasi , kejadian atau objek apapun yang menimbulkan tuntutan dalam tubuh dan penyebab reaksi psikologis ini disebut stressor. Stressor dapat berwujud atau berbentuk fisik, seperti populasi udara dan juga dapat berkaitan dengan lingkungan soaial seperti interaksi soaial. Perasaan ataupun pikiran individu sendiri yang dianggap sebagai satu ancaman baik yang nyata maupun imajinasi dapat juga menjadi stressor (Kemala, 2007). Lazarus dan Kohen menklasifikasikan stressor dalam tiga katagori. Pertama cataclusmic events, fenomena besar atau tiba tiba terjadi keadaan keadaan penting yang mempengaruhi banyak orang seperti bencana alam. Kedua personal stressor, kejadian kejadian penting mempengaruhi sedikit orang atau sejumlah orang tertentu, seperti krisis keluarga. Ketiga background stressor, pertikaian atau permasalahan yang biasa terjadi setiap hari, seperti masalah dalam pekerjaan dan rutinitas pekerjaan (Kemala, 2007).

Ada beberapa jenis stressor psikologi menurut (Folkman, 1984; Coleman dkk, 1984; Rice, 1982). 1. Tekanan Tekanan, terjadi karena adanya suatu tuntutan untuk mencapai sasaran atau tujuan tertentu maupun tuntutan tingkah laku tertentu. Secara umum tekanan mendorong seseorang untuk meningkat performa, mengintensifkan usaha atau mengubah sasaran tingkah laku. Tekanan sering ditemukan dalam kehidupan sehari hari dan memiliki bentuk yang berbeda beda pada setiap individu. Tekana dalam beberapa kasus tertentu dapat menghabiskan sumber sumber daya yang dimiliki dalam proses mencapai sasarannya, bahkan bila berlebihan dapat mengarah pada perilaku maladaptive. Tekanan dapat berasal dari sumber internal atau eksternal atau kombinasi keduanya. Tekanan internal misalnya adalah system nilai, self esteem, konsep diri dan komitmen personal. Tekanan eksternal misalnya berupa tekanan waktu atau peran yang harus dijalani seseorang atau juga dapat berupa kompetisi dalam kehidupan sehari hari dimasyarakat antara lain dalam pekerjaan, sekolah, dll. 2. Frustasi Frustasi dapat terjadi apabila usaha individu untuk mencapai sasaran tertentu mendapat hambatan atau hilangnya kesempatan dalam mendapatkan hasil yang diinginkan. Frustasi juga dapat diartikan sebagai efek psikologis terhadap situasi yang mengancam seperti marah, penolakan sampai depresi. 3. Konflik Konflik terjadi ketika individu berada dalam tekanan dan merespon lansung terhadap dua atau lebih dorongan, juga munculnya dua kebutuhan maupun motif yang berbeda dalam waktu yang sama.

2.2 Depresi 2.2.1 Definisi Depresi adalah suatu keadaa mental mood yang menurun yang ditandai dengan kesedihan, perasaan putus asa, dan tidak bersemangat (Dorland, 2002). Depresi merupakan suatu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan dengan alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk perubahan pada pola tidur dan nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, anhedonia, kelelahan, rasa putus asa, tidak berdaya, dan keinginan untuk bunuh diri (Kaplan, 2010). Menurut Kaplan (2010), depresi merupakan salah satu gangguan mood yang ditandai oleh hilangnya perasaan kendali dan pengalaman subjektif adanya penderitaan berat. Mood adalah keadaan emosional internal yang meresap dari seseorang dan bukan afek, yaitu ekspresi dari isi emosional saat itu (Kaplan, 2010).

2.2.2 etiologi ada beberapa teori yang dapat menjelaskan timbulnya gangguan depersi, antara lain. Teori psikoanalisis, pendekatan psikoanalisis menyebutkan bahwa depresi disebabkan oleh kebutuhan oral pada masa anak-anak yang kurang terpuaskan atau sebaliknya terpuaskan secara berlebihan. Akibatnya anak akan mengembangkan ketergantungan yang berlebihan terhadap harga diri, sehingga apabila tiba-tiba kehilangan seseorang yang sangat berarti, akan muncul reaksi yang kompleks, seperti rasa sedih dan berkabung yang berlarut-larut, perasaan marah, dendam, membenci diri sendiri, serta ingin menghukum atau menyalahkan diri dan merasa tertekan atau depresi (Lubis, 2009). Perspektif psikodinamika mengatakan bahwa, depresi bukan suatu simtom disfungsi organis, namun pertahanan dari ego untuk mengatasi konflik intrapsikis. Dasar dari atas teori ini termasuk : 1. Depresi berakar dari gangguan di masa-masa awal perkembangan manusia, misalnya kehilangan orang tua. 2. Luka lama yang diaktifkan kembali oleh peristiwa tertentu misalnya perceraian atau kehilangan pekerjaan. 3. Konsekuensi utama dari depresi adalah ketidakberdayaan dan tiada harapan.

4. Keadaan ambivalen terhadap objek yang disukai adalah fondasi masalah emosional. 5. Kehilangan kepercayaan diri (self-esteem) adalah fitur yang penting dari depresi (Lubis, 2009). Kaplan (2010), menyatakan bahwa faktor penyebab depresi bisa oleh faktor biologi, genetik, dan faktor psikososial. Seperti pada faktor genetik, penelitian genetik dan keluarga menunjukkan bahwa angka resiko diantara anggota keluarga tingkat pertama dari individu yang menderita depresi berat (unipolar) diperkirakan dua sampai tiga kali dibandingkan dengan populasi umum. Angka keselarasan sekitar 11% pada kembar dzigot dan 40 % pada kembar monozigot (Reni, 2010). Pengaruh genetik terhadap depresi tidak disebutkan secara kusus, hanya disebutkan bahwa terdapat penurunan dalam ketahanan dan kemampuan dalam menanggapi stress (Reni, 2010). Menurut Freud dalam teori psikodinamika, penyebab depresi adalah kehilangan objek yang dicintai (Kaplan, 2010). Ada sejumlah faktor psikososial yang diprediksikan sebagai penyebab gangguan mental pada lanjut usia yang pada umumnya berhubungan dengan kehilangan. Faktor psikososial tersebut adalah hilangnya peranan sosial, hilangnya otonomi, kematian teman atau sanak saudara, penurunan kesehatan, peningkatan isolasi diri, keterbatasan finansial, dan penurunan fungsi koognitif (Kaplan, 2010). Faktor psikososial yang mempengaruhi depresi juga termasuk Peristiwa kehidupan dan stresor lingkungan. Peristiwa kehidupan yang menyebabkan stres, lebih sering mendahului episode pertama gangguan mood dari episode selanjutnya. Para klinisi mempercayai bahwa peristiwa kehidupan memegang peranan utama dalam depresi, klinisi lain menyatakan bahwa peristiwa kehidupan hanya memiliki peranan terbatas dalam onset depresi. Stressor lingkungan yang paling berhubungan dengan onset suatu episode depresi adalah kehilangan pasangan (Kaplan, 2010). Stressor psikososial yang bersifat akut, seperti kehilangan orang yang dicintai, atau stressor kronis misalnya kekurangan finansial yang berlangsung lama, kesulitan hubungan interpersonal, ancaman keamanan dapat menimbulkan depresi (Kaplan, 2010).

Faktor kepribadian juga merupakan salah satu faktor psikososial yang mempengaruhi depresi. Beberapa ciri kepribadian tertentu yang terdapat pada individu, seperti kepribadian dependen, narsisitik, histrionik, diduga mempunyai resiko tinggi untuk terjadinya depresi. Sedangkan kepribadian antisosial dan paranoid (kepribadian yang memakai proyeksi sebagai mekanisme defensif) mempunyai resiko yang rendah (Kaplan, 2010).

2.2.4. patofisisologi depresi terhadap peningkatan allostatik Faktor-faktor yang memegang peranan penting dalam menimbulkan penyakit depresi adalah fungsi otak yang terganggu dan gangguan hormonal. Aktivitas yang berlebihan pada amigdala yang berintregrasi dengan hipokampus sering disebutkan sebagai penyebab terjadinya kerusakan pada hypothalamicpituitary-adrenal axis (HPA) yang menimbulkan gangguan depresi. Aktivitas berlebihan tersebut mengakibatkan pengeluaran CRH (Corticotropin Realising Hormone) yang merangsang sekresi ACTH (Adreno Corticotropic Hormon) dan glucocorticoids yang berlebih. Gangguan regulasi feed back secara fisiologi ini berakibat terhadap terjadi penurunan sensitivitas pada reseptor glucocorticoid pada hippokampus dan hipothalamus, sehingga menimbulkan depresi (Ellison, 2009). Disisi lain gangguan mood dapat mempengaruhi gangguan regulasi yang berdampak terhadap koordinasi neuroendocrine. Gangguan ini menimbulkan pengeluaran CRH, ACTH dan glucocorticoids. Selain itu pada gangguan depresi juga terjadi kerusakan regulasi feedback pada transmisi dopamine, serotonin, dan norepineprin (Ellison, 2009). Mediator fisiologi seperti adrenalin, glukokortikoid, dan sitokin juga ikut bertindak atas reseptor dalam berbagai jaringan dan organ untuk menghasilkan efek yang adaptif, namun seiring waktu dengan terjadinya aktivasi berulang dari sistem ini dapat menyebabkan kehausan pada tubuh dan keadaan ini yang disebut beban allostatik. Beban allostatik jika meningkat terlalu lama maka akan berdampak pada kelainan tubuh (McEwen, 1998). Jenis beban allostatik meliputi aktivasi berulang dari system allostatik, kegagalan untuk mematikan aktivasi allostatik setelah stres, dan respon yang tidak memadai dari system allostatik yang akan menyebabkan peningkatan beban allostatik. Peningkatan tersebut sangat

berpengaruh terhadap gangguan neuroendokrin dan system imun (McEwen, 2003).

2.2.5 Diagnosis dan gejala klinis Gangguan depresi berpedoman pada PPDGJ III (pedoman penggolongan diagnostik gangguan jiwa III) yang merujuk pada ICD 10 (International ClassificationDiagnostic 10). Gangguan depresi dibedakan dalam depresi berat, sedang, dan ringan sesuai dengan beratnya gejala serta dampaknya terhadap fungsi kehidupan seseorang (Reni, 2010). Gejala utama yaitu; afek depresif, kehilangan minat dan kegembiraan, berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah (rasa lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja) dan menurunnya aktifitas (Maslim, 2001). Gejala lainnya; konsentrasi dan perhatian berkurang, harga diri dan kepercayaan diri berkurang, gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna, pandangan masa depan yang suram, gagasan atau perbuatan yang membahayakan diri, tidur terganggu dan nafsu makan berkurang (Maslim, 2001). Untuk episode depresif dari ketiga tingkat keparahan tersebut diperlukan masa sekurang-kurangnya dua minggu untuk penegakan diagnosis, akan tetapi periode lebih pendek dapat dibenarkan apabila gejala luar biasa beratnya dan berlangsung cepat (Maslim, 2001).

Tingkat Depresi Ringan Sedang Berat

Gejala Utama 2 2 3

Gejala lain 2 3-4 >4

Fungsi Baik Terganggu Sangat Terganggu

Keterangan Nampak distress Sangat distress

BAB III KESIMPULAN

stress adalah suatu kejadian atau stimulasi lingkungan yang menyebabkan individu merasa tegang. Stress mengacu pada peristiwa yang dirasakan membahayakan kesejahteraan fisik dan psikologis seseorang. Situasi ini disebut sebagai penyebab stress dan reaksi individu terhadap situasi stress ini disebut respon stress. Stress adalah suatu keadaan tertekan baik secara fisik maupun psikologi. Kemudian akan adanya proses perubahan tubuh secara otomatis seperti, peningkatan denyut jantung yang kemudian diikuti oleh proses aktivasi penolakan terhadap stressor dan akan mencapai tahap kehabisan tenaga (exhaustion). Apabila proses aktivasi itu berlangsung beransur-ansur maka akan timbul kehausan tubuh yang disebut beban allostatik, ini merupakan tahap perjalanan akan jatuhnya pada depresi.

10

DAFTAR PUSTAKA

1. Kaplan, H.I., Sadock, B.J. and Grebb, J.A., 2010. Sinopsis Psikiatri : Ilmu

Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis. Jilid Satu. Editor : Dr. I. Made Wiguna S. Jakarta : Bina Rupa Aksara : 113-129, 149-183 Kessler RC, P. Berglund, O. Demler, R. Jin, KR. Merikangas, EE. Walters. 2005. Lifetime Prevalence and Age-of-Onset Distributions of DSM-IV Disorders in the National Comorbidity Survey Replication. Arch Gen Psychiatry 62:593-602. 2. Kemala. 2007. Stres pada remaja. Fakultas psikologi universitas Sumatera utara. Medan. 3. Lubis N.L. Depresi Tinjauan Psikologis. Ed 1. Kencana Prenada Media Group: Jakarta; 2009. 4. Margaret D; Hanson; Edith Chen. 2010. Daily stress, cortisol and sleep: the moderating role of childhood psychosocial environments. Health

psychology. Vol. 29 No. 4 : 394-402. 5. Maslim R. 2001. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-III. Cetakan I. FK Unika Atma Jaya. Jakarta. 6. McEwen BS. 2003. Mood Disorders and Allostatic Load. Biol Psychiatry. 54: 200-207. 7. Reni NL. 2010. Pola Pengobatan Pasien Depresi dari RSJ Daerah Dr. RM. Soedjarwadi Jawa Tengah. Universitas Surakarta. 8. Safaria T. 2007. Stres ditinjau dari aktif coping, avoidance coping, dan negative coping. Konferensi nasional stress management dalam beberapa setting kehidupan. Universitas Ahmad dahlan. Bandung. 9. Thomas G; Gullams; Lena E. 2010. Chronic stress and the HPA Axis: Clinical Assessment and Therapeutic considerations. J. The standard Psycholology. Vol. 9 No. 22.

11

Vous aimerez peut-être aussi