Vous êtes sur la page 1sur 10

PENGEMBANGAN HUTAN RAKYAT AGROFORESTRI NYAMPLUNG SEBAGAI SUMBER BAHAN BAKU BIOFUEL Oleh: Devy P.

Kuswantoro, Tati Rostiwati, dan Rachman Effendi Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan ABSTRAK Tanaman Nyamplung ditawarkan menjadi salah satu sumber bahan baku pembuatan biofuel. Kelebihan Nyamplung diantara sumber bahan baku biofuel lainnya adalah tidak berkompetisi dengan pangan, merupakan pohon serbaguna, dan dapat digunakan dalam rehabilitasi pantai. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kelayakan pengembangan Nyamplung di hutan rakyat. Lokasi penelitian adalah di wilayah Priangan Timur dan Cilacap. Hasil analisis kelayakan finansial pengembangan hutan rakyat Nyamplung seluas satu hektar dengan suku bunga 15% dalam bentuk hutan rakyat monokultur adalah NPV sebesar Rp. 17.633.536,- dengan IRR sebesar 24,74% dan BCR sebesar 2,103. Pengembangan Nyamplung dalam pola agroforestri dengan tanaman pilihan petani yaitu dengan Sengon, Kelapa, dan Pisang diperoleh NPV sebesar Rp. 40.242.571,- dengan IRR sebesar 39,86% dan BCR sebesar 2,213. Nilai NPV positif dan IRR yang melebihi dari suku bunga ini menggambarkan bahwa pengembangan Nyamplung di hutan rakyat layak secara finansial dan mempunyai prospek yang positif untuk menjadi alternatif pemilihan jenis tanaman bagi petani. Meskipun demikian, saat ini pengembangan Nyamplung masih belum diminati oleh petani karena belum adanya kejelasan keuntungan dan manfaat yang langsung diterima petani sebagaimana hasil tanaman yang sudah umum dibudidayakan. Kata kunci: Nyamplung, biofuel, kelayakan finansial, hutan rakyat, agroforestri I. PENDAHULUAN Konsumsi bahan bakar minyak (BBM) cenderung semakin meningkat dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Pada tahun 2010 menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral/ESDM (2011), konsumsi BBM mencapai 61.730 ribu kilo liter (+388.241 Ribu Setara Barel Minyak). Sementara itu, cadangan minyak bumi semakin menurun dan di tahun 2010 tinggal 7,76 milyar barel. Oleh karena itu, pencarian dan pengembangan energi baru dan energi terbarukan menjadi agenda utama bidang energi di Indonesia untuk mencapai kedaulatan energi. Pengembangan dan pemanfaatan biofuel menjadi salah satu upaya yang dilakukan. Kebijakan Energi Nasional ditetapkan pemerintah dengan salah satu sasarannya adalah menetapkan penggunaan biofuel menjadi lebih dari 5% terhadap konsumsi energi nasional pada tahun 2025 atau ekivalen dengan 4,7 juta kilo liter.

Indonesia dengan kekayaan sumber daya alamnya berpotensi menjadi lumbung biofuel dunia. Tidak kurang dari 50 jenis tanaman yang potensial untuk menghasilkan bahan baku biofuel dapat tumbuh dan berkembang di Indonesia Salah satunya adalah tanaman Nyamplung (Callophylum inophyllum L). Secara alami tanaman Nyamplung di Indonesia dijumpai di hampir seluruh daerah terutama wilayah pesisir pantai baik di kawasan konservasi maupun di luar kawasan seperti di Taman Nasional (TN) Alas Purwo, TN Kepulauan Seribu, TN Baluran, TN Ujung Kulon, TN Berbak, kawasan Pantai Pangandaran dan Batukaras di Ciamis, Pantai Carita Banten, wilayah Papua, dan Maluku Utara (Bustomi et al., 2008). Tanaman Nyamplung ditawarkan menjadi bahan baku biofuel dengan beberapa kelebihan dibandingkan dengan sumber biofuel lainnya. Kelebihan pertama penggunaan Nyamplung adalah tidak berkompetisi dengan pangan. Hal ini penting mengingat hampir seluruh produksi biofuel di dunia menggunakan tanaman pangan seperti jagung dan kedelai di Amerika Serikat, flaxseed di Eropa, tebu di Brasil, dan minyak sawit yang banyak diproduksi di Asia Tenggara. Kerawanan pangan masih menjadi isu strategis di Indonesia sehingga kurang etis untuk memanfaatkan bahan pangan menjadi sumber energi. Perubahan iklim pun membawa isu deforestasi dan perubahan penggunaan lahan yang perlu dipertimbangkan dalam pengembangan biofuel yang berkelanjutan di Indonesia. Kusdiana (2011) menekankan bahwa meskipun pemanfaatan biofuel lebih ramah lingkungan daripada fosil, isu emisi CO2 pada saat budidaya harus dipertimbangkan dengan serius dengan tidak merusak hutan tropis tetapi mengoptimalkan penggunaan lahan tidur. Disinilah letak kelebihan tanaman Nyamplung yang kedua karena merupakan pohon serbaguna dan dapat digunakan dalam rehabilitasi pantai serta hanya akan diambil buahnya saja sebagai hasil hutan bukan kayu (HHBK) sehingga tidak akan menambah emisi CO2. Biodiesel hasil pengolahan Nyamplung pun telah diuji sifat fisiko-kimianya dan memenuhi standar SNI No. 04-7182-2006 untuk biodiesel serta telah diuji kelayakan kinerja permesinan untuk kendaraan bermotor sebesar 100% tanpa campuran solar (Departemen Kehutanan, 2008). Kementerian Kehutanan dalam memperkenalkan penggunaan Nyamplung sebagai bahan baku biofuel membuat demplot Desa Mandiri Energi (DME) berbasis Nyamplung yang bekerja sama dengan Kementerian ESDM. Demplot DME berlokasi di Kabupaten Kebumen, Purworejo, dan Banyuwangi. Sumber bahan baku pengolahan minyak Nyamplung di Kebumen berasal dari hutan rakyat setempat, sedangkan lokasi Purworejo dan Banyuwangi bahan bakunya berasal dari tanaman Nyamplung di areal Perum Perhutani. Kedepan, dengan adanya prospek yang menjanjikan, diharapkan peluang usaha budidaya Nyamplung dapat ditangkap oleh masyarakat sebagai salah satu usaha hutan rakyat untuk menambah pendapatan. Dengan demikian masyarakat dapat berperan aktif untuk menyediakan bahan baku dan bahkan mampu mengolah biji Nyamplung menjadi biofuel. Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengetahui kelayakan finansial pengembangan budidaya tanaman Nyamplung di hutan rakyat.

2. Menginventarisasi hasil-hasil iptek yang mendukung pengembangan budidaya tanaman Nyamplung di hutan rakyat. 3. Mengetahui respon masyarakat dalam pengembangan tanaman Nyamplung sebagai sumber bahan baku biofuel. II. METODA Lokasi pengambilan data dipilih secara terarah di wilayah Priangan Timur yaitu di Kabupaten Tasikmalaya dan Ciamis. Pemilihan lokasi ini dimaksudkan untuk memulai pengembangan Nyamplung di Jawa Barat. Lokasi penelitian di Kabupaten Tasikmalaya yaitu di Desa Sindangkerta dan Desa Cikawungading yang termasuk dalam wilayah Kecamatan Cipatujah. Lokasi penelitian di Kabupaten Ciamis di Desa Kertamukti, Kecamatan Cimerak dan Desa Batukaras, Kecamatan Cijulang. Adapun lokasi penelitian di Kabupaten Cilacap berada di Desa Widarapayung Kulon dan Desa Pagubugan di Kecamatan Binangun. Lokasi dipilih karena mempunyai kemiripan biofisik seperti di Jawa Barat dan sudah ada kegiatan pengumpulan Nyamplung untuk bahan baku biofuel sehingga dapat memperkaya informasi penelitian. Penelitian dilakukan dengan metode survai dan studi literatur. Metode survai dilakukan untuk mendapatkan data mengenai tanaman Nyamplung, usaha hutan rakyat yang dilakukan oleh responden petani serta pengetahuan dan persepsi petani terhadap Nyamplung. Adapun studi literatur dilakukan untuk menginventarisasi hasil-hasil iptek mengenai Nyamplung serta untuk mendapatkan asumsi-asumsi dalam perhitungan kelayakan finansial. Data biaya dan pendapatan dalam skenario pengembangan hutan rakyat Nyamplung dilakukan analisis kelayakan finansial dengan menghitung nilai-nilai Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), BenefitCost Ratio (BCR), dan sensitivitas usaha dengan rumusan Gray et al. (2007). Investasi dinyatakan layak apabila nilai NPV positif, IRR lebih besar dari suku bunga yang ditetapkan, dan BCR lebih dari 1. Adapun data respon masyarakat berupa pengetahuan dan persepsi responden petani terhadap Nyamplung dianalisis secara deskriptif. III. HASIL A. Kelayakan Finansial Usaha Tani Hutan Rakyat Nyamplung Tanaman Nyamplung di lokasi penelitian Jawa Barat tumbuh sebagai tegakan alami maupun tanaman hasil program rehabilitasi pantai pasca tsunami tahun 2006. Tegakan alami Nyamplung ditemui di Pantai Cikawungading dan Batukaras. Tanaman Nyamplung sangat jarang ditemui di kebun milik masyarakat. keadaan ini berbeda dengan tanaman Nyamplung di lokasi Kabupaten Cilacap yang dengan mudah dapat ditemui di kebun dan pekarangan petani bahkan menjadi salah satu jenis penyusun hutan rakyat. Skenario pengembangan hutan rakyat Nyamplung dibuat dengan mempertimbangkan asumsi-asumsi baik dari literatur yang dipakai oleh Bustomi et al. (2008) maupun data primer dari hasil wawancara sebagai berikut:

1. Lahan yang digunakan adalah lahan milik masyarakat maupun lahan sewa harim laut, sehingga tidak ada pembelian lahan dan yang ada adalah pajak tanah. Daur yang dipakai untuk Nyamplung adalah 50 tahun dalam luasan 1 hektar. 2. Pola tanam Nyamplung dengan jarak tanam 5m x 5m atau sebanyak 400 pohon per hektar secara monokultur. Harga bibit tanaman nyamplung adalah Rp 1.000,- per tanaman dengan persen tumbuh sebesar 75%. 3. Nyamplung mulai berbuah mulai umur 7 tahun dengan produksi buah diasumsikan sebanyak 25 kg/pohon/tahun mulai umur 7-10 tahun, 50 kg/pohon/tahun mulai umur 11-45 tahun, dan 75 kg/pohon/tahun mulai umur 46-50 tahun. Oleh karena itu akan diperoleh jumlah produksi per tahun 7,5 ton/tahun mulai umur 7-10 tahun, 15 ton/tahun mulai umur 11-45 tahun, 22,5 ton/tahun mulai umur 45-50 tahun. 4. Ongkos tenaga kerja sesuai dengan upah buruh di lokasi penelitian Jawa Barat yaitu Rp. 30.000,-/HOK. Harga-harga lain mengacu pada harga di Jawa Barat tahun 2010. 5. Pemungutan buah yang sudah masak/tua dilakukan oleh petani dan dijual dalam bentuk masih bertempurung. Harga biji nyamplung adalah Rp. 700,00,-/kg di tingkat petani sampai tahun ke-10 dan kemudian baru meningkat Rp. 1.100,-/kg setelah tahun ke-11. Ongkos angkut Rp. 100,-/kg. Harga buah Nyamplung diterima di pabrik seharga Rp. 600,-/kg ini sesuai dengan harga beli produsen minyak di Unit Pengolahan Biofuel Koperasi Jarak Lestari Kecamatan Kroya, Kabupaten Cilacap tahun 2010. Adapun harga buah Nyamplung Rp. 1.000,-/kg adalah keinginan responden petani tahun 2010. 6. Tingkat suku bunga yang dipakai adalah 15% sesuai dengan suku bunga kredit investasi di Jawa Barat sesuai laporan Bank Indonesia Jawa Barat Tahun 2010. Rekapitulasi biaya dan pendapatan pengembangan hutan rakyat Nyamplung pola monokultur dapat dilihat pada Tabel 1. Adapun hasil perhitungan kelayakan finansial hutan rakyat Nyamplung monokultur disajikan pada Tabel 2. Tabel 1. Rekapitulasi biaya dan pendapatan budidaya hutan rakyat Nyamplung monokultur No Perihal Nilai (Rp) 1 Biaya Investasi - penyiapan lahan 2.000.000 - pengadaan bibit Nyamplung 440.000 - pengadaan bronjong 2.000.000 - penanaman 600.000 - pengadaan pupuk 2.848.000 - pengadaan peralatan 1.500.000

Lanjutan Tabel 1. No Perihal 2 Biaya Pengelolaan - pajak - biaya pemupukan dan pemeliharaan - biaya pengunduhan - biaya pengangkutan buah 3 Pendapatan - penjualan buah Nyamplung 4 Keuntungan total selama daur (3 2 1) 5 Rata-rata keuntungan/tahun 6 Tahun pengembalian modal Sumber: data primer (diolah)

Nilai (Rp) 12.250.000 1.200.000 50.062.500 66.750.000 722.250.000 582.599.500 11.651.990 Tahun ke-10

Tabel 2. Analisis finansial budidaya hutan rakyat Nyamplung monokultur No Perihal NPV (Rp) IRR BCR Keterangan 1 Tanpa perubahan 17.633.536 24,74% 2,103 Layak 2 Apabila biaya-biaya 14.436.214 22,32% 1,753 Layak naik 20% dari semula 3 Apabila pendapatan 10.909.507 21,78% 1,682 Layak turun 20% dari semula Sumber: data primer (diolah) Hasil analisis kelayakan finansial memberikan gambaran bahwa hutan rakyat Nyamplung secara monokultur dengan luasan lahan 1 hektar layak untuk diusahakan karena memberikan nilai NPV yang positif. Apabila suku bunga kredit naik sampai dengan 24,74% pun, usaha hutan rakyat Nyamplung secara monokultur masih layak untuk diusahakan. Setiap Rp.1,biaya yang dikeluarkan akan mendapatkan manfaat sebesar Rp. 2,103,-. Apabila ternyata biaya-biaya secara total naik sampai 20% dari semula, usaha inipun masih dapat dijalankan. Demikian juga apabila pendapatan turun sampai 20% dari semula, budidaya Nyamplung masih layak dilaksanakan. Modal usaha hutan rakyat ini dapat impas dengan pendapatan yang didapat setelah tahun ke-10. Pembuatan hutan rakyat Nyamplung secara monokultur ini cocok dilakukan di lahan pantai yang merupakan tanah kas desa maupun tanah negara bebas (tanah harim laut). Oleh karena itu, dalam penanaman Nyamplung dipasang bronjong sebagai pelindung tanaman dari terpaan angin laut yang kencang. Dengan demikian tanaman terhindar dari kerusakan seperti patah dan kematian akibat angin berkadar garam tinggi maupun panas. Gambaran usaha hutan rakyat secara monokultur biasanya merupakan penggambaran untuk memudahkan pemahaman kelayakan investasi. Akan tetapi, kenyataan di lapangan tidaklah demikian gambaran mengenai hutan rakyat. Hutan rakyat dikembangkan petani dengan menanam berbagai macam jenis tanaman yaitu tanaman pertanian/semusim, tanaman perkebunan, dan tanaman kehutanan. Tujuan mereka adalah mendapatkan penghasilan setiap periode waktu baik harian, bulanan, triwulanan, maupun tahunan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, seperti 5

kebutuhan untuk kehidupan sehari-hari, membayar pajak, anak sekolah, pembangunan rumah, hajatan, dll. Pola tanam agroforestri dapat memberikan pendapatan pada berbagai periode waktu sehingga apabila petani memerlukan dana untuk kebutuhan mendesaknya, terdapat hasil tanaman dari hutan rakyat yang dapat dipanen dan dijual. Adapun jenis-jenis tanaman di hutan rakyat yang diusahakan petani hutan rakyat di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Jenis-jenis tanaman pada hutan rakyat yang dimiliki responden No Lokasi Jenis tanaman 1 Desa Sindangkerta Sengon, Mahoni, Formis, Kelapa, Cengkeh, Pandan 2 Desa Sengon Mahoni, Formis, Jati, Kelapa, Pisang, Cikawungading Durian 3 Desa Batukaras Sengon, Jati, Mahoni, Bayur, Kelapa, Petai, Pisang, Durian, Ketela pohon, Kacang tanah 4 Desa Kertamukti Sengon, Jati, Mahoni, Bayur, Kelapa, Mangga, Pisang, Durian, Ketela pohon, Kacang tanah 5 Desa Pagubugan Sengon, Nyamplung, Mahoni, Akasia, Kelapa, Pisang, Pepaya, Petai, Nangka, Salam, Ganitri, Ketapang, Bambu 6 Desa Widarapayung Sengon, Nyamplung, Mahoni, Kelapa, Pisang Kulon Sumber: data primer (diolah) Hutan rakyat didominasi oleh jenis Sengon yang merupakan primadona kayu rakyat. Pohon Sengon tumbuh baik dan tidak terserang karat tumor. Hal ini kemungkinan dipengaruhi oleh iklim daerah pesisir yang panas tidak seperti di dataran tinggi yang membuat penyebaran penyakit karat tumor lebih cepat. Disamping jenis Sengon, tanaman yang umum terdapat di daerah pesisir dan menjadi ciri khas adalah Kelapa. Pengunduhan buah Kelapa memberikan hasil yang kontinyu setiap bulan bagi petani baik apabila dipanen buahnya maupun diambil niranya untuk pembuatan gula kelapa. Pengelolaan hutan rakyat oleh responden masih sangat sederhana tanpa tambahan input teknologi yang berarti. Hutan rakyat Nyamplung pola agroforestri dilakukan dengan menanam Nyamplung diantara Sengon, Kelapa, dan Pisang. Pemilihan jenis penyusun hutan rakyat disesuaikan dengan jenis tanaman yang paling banyak dibudidayakan oleh petani. Adapun jumlah tanaman Nyamplung yang ditanam sebanyak 300 batang, Kelapa sebanyak 100 batang, dan Sengon 200 batang, sementara bibit Pisang ditanam di sela-selanya sebanyak 700 batang. Sengon dipanen pada umur 5 tahun dengan harga Rp. 200.000/m3. Kelapa dipanen buahnya pada umur 8 tahun sebanyak 40 butir/pohon dengan harga jual Rp. 500,-/butir. Rekapitulasi biaya dan pendapatan pengembangan hutan rakyat Nyamplung pola monokultur dapat dilihat pada Tabel 4. Adapun hasil perhitungan kelayakan finansial hutan rakyat Nyamplung monokultur disajikan pada Tabel 5.

Tabel 4. Rekapitulasi biaya dan pendapatan budidaya hutan rakyat Nyamplung agroforestri No Perihal Nilai (Rp) 1 Biaya Investasi - penyiapan lahan untuk Nyamplung, Sengon, Kelapa, dan Pisang 4.600.000 - pengadaan bibit Nyamplung 330.000 - pengadaan ajir 150.000 - penanaman 600.000 - pengadaan pupuk 2.848.000 - pengadaan peralatan 1.500.000 2 Biaya Pengelolaan - pajak 12.250.000 - biaya pemupukan dan pemeliharaan Nyamplung 1.200.000 - biaya pengunduhan Nyamplung 37.125.000 - biaya pengangkutan buah Nyamplung 50.062.500 3 Biaya budidaya Sengon 3.480.000 4 Biaya budidaya Kelapa 6.852.000 5 Biaya budidaya Pisang 25.465.000 6 Pendapatan - penjualan buah Nyamplung 541.687.500 - penjualan kayu Sengon 12.000.000 - penjualan buah Kelapa 86.000.000 - penjualan buah Pisang 89.600.000 7 Keuntungan total selama daur (6 5 4 3 2 1) 582.825.000 8 Rata-rata keuntungan/tahun 11.656.500 9 Tahun pengembalian modal Tahun ke-6 Sumber: data primer (diolah) Tabel 5. Analisis finansial budidaya hutan rakyat Nyamplung agroforestri No Perihal NPV (Rp) IRR BCR Keterangan 1 Tanpa perubahan 40.242.571 39,86% 2,213 Layak 2 Apabila biaya-biaya 33.609.986 32,88% 1,845 Layak naik 20% dari semula 3 Apabila pendapatan 25.561.472 31,43% 1,771 Layak turun 20% dari semula Sumber: data primer (diolah) Hasil analisis kelayakan finansial memberikan gambaran bahwa hutan rakyat agroforestri Nyamplung layak untuk diusahakan karena memberikan nilai NPV yang positif. Apabila suku bunga kredit naik sampai dengan 39,86% pun, usaha hutan rakyat agroforestri Nyamplung masih layak untuk diusahakan. Setiap Rp.1,- biaya yang dikeluarkan akan mendapatkan manfaat sebesar Rp. 2,213,-. Apabila ternyata biaya-biaya secara total naik sampai 20% dari semula, usaha inipun masih dapat dijalankan. Demikian juga apabila pendapatan turun sampai 20% dari semula, budidaya Nyamplung masih layak dilaksanakan. Modal usaha hutan rakyat ini dapat impas dengan pendapatan yang didapat setelah tahun ke-6.

B. Iptek Pendukung Budidaya Nyamplung Hasil-hasil penelitian untuk mendukung keberhasilan budidaya Nyamplung telah dilakukan baik oleh lembaga penelitian maupun perguruan tinggi. Beberapa hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan mengenai Nyamplung dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Iptek pendukung budidaya Nyamplung No Jenis Iptek 1 Iptek perbenihan Teknik penyimpanan benih Nyamplung Teknik penanggulangan hama benih Nyamplung di persemaian dengan insektisida nabati dan kimiawi Teknik penanganan benih Nyamplung untuk meningkatkan vigoritas Identifikasi hama dan penyakit benih Nyamplung pasca panen dan saat perkecambahan Pengetahuan fenologi Nyamplung Teknik pembibitan Nyamplung secara generatif dan vegetatif Identifikasi hama dan penyakit bibit Nyamplung 2 Iptek teknik budidaya Teknik penanaman Nyamplung di lahan pantai Teknik pemeliharaan tanaman Nyamplung 3 Iptek penanganan hama dan penyakit Identifikasi hama dan penyakit tanaman Nyamplung Teknik pencegahan serangan hama dan penyakit Nyamplung Sumber: Rostiwati (2010) Hasil-hasil iptek yang dilakukan diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran ilmiah dalam mendukung pengembangan hutan rakyat Nyamplung sebagai bahan baku biofuel. Terkait dengan pengurusan Nyamplung sebagai salah satu HHBK yang diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.35/Menhut-II/2007 tanggal 28 Agustus 2007 tentang Hasil Hutan Bukan Kayu, Badan Litbang Kehutanan telah menetapkan penelitian Nyamplung sebagai penelitian unggulan yang aan terus dikaji sebelum nantinya hasilhasil secara lengkap disampaikan kepada masyarakat. Dengan demikian, inovasi teknologi dalam pengembangan Nyamplung benar-benar dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. C. Respon Masyarakat dalam Pengembangan Tanaman Nyamplung Responden petani di lokasi Jawa Barat sebagian besar tidak mengetahui manfaat Nyamplung untuk biofuel. Responden lebih mengetahui manfaat tanaman Nyamplung bagi konservasi kawasan pantai mengingat kejadian tsunami tahun 2006. Responden menyadari pentingnya perlindungan pantai ini dan tanaman Nyamplung dirasa cocok sebagai salah satu jenis tanaman pelindung. Adapun responden petani di Cilacap sudah lebih akrab dengan Nyamplung dan mengetahui manfaat Nyamplung sebagai kayu bangunan dan kayu bakar, kulit dan buah Nyamplung sebagai bahan bakar, dan manfaat biji Nyamplung sebagai sumber biofuel setelah

buahnya laku dijual ke pabrik pengolahan minyak Nyamplung. Masyarakat juga mengetahui manfaat konservasi Nyamplung bagi perlindungan pantai. Adanya akses informasi, kedekatan dengan obyek penelitian, dan pasar membuat petani di Cilacap lebih mudah menerima gagasan pengembangan hutan rakyat Nyamplung untuk bahan baku biofuel. Respon petani terhadap budidaya hutan rakyat Nyamplung masih belum menunjukkan respon positif. Responden petani menyatakan kesediaannya asalkan usaha hutan rakyat berbasis Nyamplung untuk bahan baku biofuel ini mudah pemasarannya dan dapat bersaing dengan komoditi hutan rakyat yang selama ini diusahakan oleh petani. Persepsi responden di enam desa tersebut mengarah pada pendapat yang sama yaitu mau mengembangkan hutan rakyat Nyamplung sebagai bahan baku biofuel asalkan jelas keuntungannya. Ini menggambarkan bahwa usaha hutan rakyat saat ini benar-benar berkontribusi dalam pendapatan petani dan peningkatan kesejahteraanya. Hal-hal yang baru dan belum memperlihatkan kejelasan seperti Nyamplung kecil kemungkinan mendapatkan tempat. Pengembangan budidaya Nyamplung untuk sumber biofuel tidak sepenuhnya ditolak oleh masyarakat. Hanya saja masyarakat menginginkan kejelasan usaha dan hasil yang akan diperoleh. Oleh karena itu, untuk mendorong pengembangan budidaya Nyamplung perlu sosialisasi, pendampingan, dan mekanisme insentif untuk menarik keterlibatan dan pemberdayaan masyarakat dalam usaha menuju kemandirian energi masyarakat. Insentif dapat berupa bantuan pemodalan, kebijakan subsidi, penguatan kelembagaan, dan lain-lain. Kerjasama dari pihak swasta dalam bentuk corporate social responsibility maupun pemanfaatan skema perdagangan karbon dalam perubahan iklim dapat dilakukan untuk pengembangan budidaya Nyamplung baik di hutan rakyat maupun dalam rangka rehabilitasi pantai. Apalagi Indonesia telah mencanangkan target pengurangan emisi CO2 sebesar 26% pada tahun 2020 dari skenario business as usual sesuai yang diungkapkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada pertemuan G20 di Pittsburgh, Amerika Serikat pada bulan September 2009 yang lalu. IV. KESIMPULAN Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Hutan rakyat Nyamplung sebagai sumber bahan baku biofuel layak secara finansial untuk dikembangkan sebagai salah satu model budidaya tanaman kehutanan dan optimalisasi pemanfaatan lahan di daerah pesisir baik secara monokultur maupun pola tanam agroforestri. Pada luasan satu hektar dengan suku bunga 15% dalam bentuk hutan rakyat monokultur didapat nilai NPV sebesar Rp.17.633.536,- dengan IRR sebesar 24,74% dan BCR sebesar 2,103. Pengembangan Nyamplung dalam pola agroforestri dengan tanaman pilihan petani yaitu dengan Sengon, Kelapa, dan Pisang diperoleh NPV sebesar Rp. 40.242.571,- dengan IRR sebesar 39,86% dan BCR sebesar 2,213.

2. Tanaman Nyamplung telah diteliti dan ditemukan paket iptek budidaya dan pengolahannya menjadi biofuel. Iptek yang ditemukan meliputi iptek bidang perbenihan, teknik silvikultur dan pengendalian hama penyakit. 3. Petani secara umum mengenal dan mengetahui tanaman Nyamplung dan kegunaan kayunya sebagai kayu perkakas, akan tetapi pengetahuan tentang penggunaan Nyamplung sebagai biofuel masih minim. Saat ini pengembangan Nyamplung masih belum diminati oleh petani karena belum adanya kejelasan keuntungan dan manfaat yang langsung diterima petani sebagaimana hasil tanaman yang sudah umum dibudidayakan di lahan petani.

DAFTAR PUSTAKA Rostiwati, T., Nurhasybi, A.A. Pramono, L. Baskorowati, Y. Mile, dan B. Achmad (eds.). 2010. Prosiding Seminar Peningkatan Produktivitas Hutan Rakyat untuk Kesejahteraan Masyarakat tanggal 20 Oktober 2010 di Bandung. Puslitbang Peningkatan Produktivitas Hutan. Bogor. Bustomi, S., T. Rostiwati, R. Sudradjat, B. Leksono, A.S. Kosasih, I. Anggraeni, D. Syamsuwida, Y. Lisnawati, Y. Mile, D. Djaenudin, Mahfudz, dan E. Rachman. 2008. Nyamplung, Sumber Energi Biofuel yang Potensial. Badan Litbang Kehutanan. Jakarta. Departemen Kehutanan. 2008. Litbang Kehutanan Temukan Sumber Energi Biofuel dari Biji Nyamplung. Siaran Pers No. S. 578/PIK-1/2008 tanggal 24 November 2008. Gray, C., P. Simanjuntak, L.K. Sabur, P.F.L. Maspaitella, dan R.C.G. Varley. 2007. Pengantar Evaluasi Proyek Edisi Kedua. Gramedia. Jakarta. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. 2011. Statistik Minyak Bumi. Website: http://prokum.esdm.go.id/Publikasi/Statistik/Statistik Minyak Bumi.pdf. Diakses tanggal 1 Agustus 2011. Kusdiana, D. 2011. Aspek Keberlanjutan Bioenergi. Makalah disampaikan pada Seminar dan Eksibisi Indo-Bioenergy 2011 tanggal 24 Mei 2011 di Jakarta.

10

Vous aimerez peut-être aussi