Vous êtes sur la page 1sur 6

PENGGUNAAN LENSA KONTAK PADA REHABILITASI PASCA PERFORASI KORNEA Jeewan S Titiyal, Rajesh Sinha, Namrata Sharma, V Sreenivas

and Rasik B Vajpayee

ABSTRAK Latar Belakang Visus pada pasien perforasi kornea post trauma tidak dapat optimal diakibatkan astigmatisma keratometric ireguler. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi dan membandingkan kontak lensa rigid gas permeabel (RGP) dan kacamata dalam perbaikan visus setelah trauma perforasi kornea. Metode Mata yang mengalami perforasi kornea dengan / tanpa aspirasi lensa diberikan lensa kontak RGP. Pola pemasangan dan perbaikan visus dengan lensa kontak / kacamata dicatat. Hasil 40 Mata dari 40 pasien yang telah menjalani operasi perbaikan post trauma perforasi kornea dipasang lensa kontak untuk perbaikan visus. 24 mata (60%) membutuhkan lensa kontak afakic. Koreksi visus terbaik (BCVA) dengan hasil >= 6/18 menggunakan optotype snellen didapatkan sebanyak 10 mata pada pasien yang menggunakan kacamata, dan pasien yang menggunakan kontak lensa sebanyak 37 (92,5%) (p < 0,001). Koreksi terbaik menggunakan kacamata sebanyak 0,20 +/- 0,13 sementara dengan kontak lensa 0,58 +/- 0,26. Semua pasien yang menggunakan kontak lensa memberikan peningkatan >= 2 baris pada pemeriksaan visus menggunakan optotye snellen dibandingkan dengan menggunakan kacamata. Kesimpulan Penggunaan lensa kontak RGP lebih baik dalam rehabilitasi pada mata yang memiliki iregularitas kornea akibat jaringan parut yang disebabkan trauma perforasi kornea.

LATAR BELAKANG Sikatriks kornea yang disebabkan karena trauma perforasi kornea menyebabkan penurunan visus yang signifikan, terutama disebabkan ketidakmampuan sinar menembus opasitas sikatriks dan juga karena astigmatisma kornea ireguler akibat sikatriks. Kebanyakan pasien ini membutuhkan keratoplasty untuk mendapatkan visus yang optimal. Lensa kontak RGP yang bisa memperbaiki astigmatisma ireguler dapat mengkoreksi visus pada beberapa pasien. Kenyataannya di negara berkembang dengan jumlah donor kornea yang terbatas, lensa kontak menjadi pilihan pertama rehabilitasi optik dengan sikatriks kornea akibat perforasi kornea. Tujuan dari penelitian ini untuk mengevaluasi fungsi RPG dibandingkan kacamata pada sikatrik kornea yang disebabkan oleh trauma perforasi kornea. Metode Pasien dengan sikatriks kornea yang disebabkan oleh trauma perforasi kornea yang datang ke Rajendra Prasad Center untuk penelitian dijadikan sample penelitian setelah mendapat persetujuan dari komite etik. Semua pasien mendapat informed consent. Perbaikan laserasi kornea dilakukan di awal di pusat kami atau pasien merupakan rujukan dari beberapa pusat lain setelah perbaikan. Beberapa pasien tidak membaik secara signifikan dengan koreksi kacamata dan dirujuk untuk transplantasi kornea. Pemeriksaan detail dilakukan di tempat kami,meliputi ketajaman visus yang tidak dapat dikoreksi (UCVA), ketajaman visus terbaik yang dapat dikoreksi dengan kacamata (BSCVA), lampu celah biomicroscopy, kondisi jahitan, integritas struktur segmen anterior, status mata adalah phakic, aphakic atau pseudophakic. Oftalmoskopi (Langsung & Tidak Langsung) dilakukan untuk menyingkirkan adanya kelainan fundus. Semua jahitan yang ada disingkirkan dan pasien tersebut dianjurkan kontrol 2 minggu setelah pengangkatan jahitan untuk pemasangan lensa kontak. Keratometry dan videokeratography dilakukan untuk spesifikasi lensa kontak. Lensa kontak RGP dengan nilai DK yang tinggi (Fluoroperm 92) dipasang di semua mata dengan metode trial and error. Lensa dipasang sedikit datar dari biasanya dan lensa kontak dengan diameter 9,5 mm sampaii 10,5 mm dipilih untuk mendapatkan ketepatan yang tinggi. Pemakaian lensa kontak berdasarkan nilai-nilai refraksi dan keratometric.

Untuk memulainya nilai keratometric paling datar diambil sebagai kelengkungan dasar awal dari lensa kontak. Jika sinar tampak menyimpang secara nyata pada keratometry maka nilai K topografi kornea pada zona 3 mm dipertimbangkan. Pemasangan dievaluasi dengan melihat parameter centrasi, gerakan dan pola fluorescein di bawah lensa untuk mendapatkan posisi yang terbaik. Refraksi dilakukan untuk mencapai kekuatan akhir dari lensa kontak. Ketajaman visus (BCLCVA) terbaik dengan lensa kontak dicatat. Pada kunjungan berikutnya setelah peresepan lensa kontak, ketepatan dievaluasi, ketajaman visus terbaik dengan lensa kontak dicatat dan komplikasi terkait lensa kontak dikesampingkan. Para pasien ditindaklanjuti selama 6 bulan. Lensa kontak yang tepat dianggap berhasil jika ada perbaikan ketajaman visus dibandingkan kacamata, dan pasien bisa memakai lensa kontak selama minimal 8 jam sehari. Tidak ada pasien yang dilaporkan memiliki komplikasi terkait lensa selama tindak lanjut. Data dianalisis secara statistik dan analisis komparatif dari hasil visus dilakukan berdasarkan lokasi opacity (Central, paracentral & Peripheral) dan status lensa (Phakic, aphakic & pseudophakic).

Analisis Statistik Statistik deskriptif yaitu mean, standar deviasi dan distribusi frekuensi dihitung untuk semua variabel dalam penelitian ini. Suatu perbandingan dari hasil visus yang diperoleh dengan lensa kontak dan kacamata di semua 40 mata dilakukan dengan uji T

berpasangan . Untuk melihat perbedaan yang signifikan dalam hasil antara letak sikatriks yang berbeda dan status lensa, analisis digunakan varian (ANOVA). Nilai P kurang dari 0,05 dianggap signifikan secara statistik. Semua perhitungan dilakukan dengan menggunakan Stata 8.0 software statistik.

Hasil Empat puluh mata 40 pasien yang telah menjalani operasi setelah trauma perforasi kornea untuk diberikan lensa kontak RGP dengan nilai DK yang tinggi untuk rehabilitasi visus. Usia rata-rata pasien adalah 16,40 9,04 tahun dan 28 ( 70 % ) pasien adalah laki-laki . Letak sikatriks ada di sentral ( 1 ) sebanyak 18 ( 45 % ) mata , paracentral ( 2 ) sebanyak 18 ( 45 % ) mata dan perifer ( 3 ) sebanyak 4 ( 10 % ) mata (

Tabel 1 ) . Dua puluh empat mata ( 60 % ) memerlukan lensa kontak aphakic ( Tabel 1 ). Rata-rata astigmatisma keratometric pada saat pemasangan lensa kontak adalah 4,58 2.45D pada mata dengan sikatriks sentral ( n = 18 ) , 2,79 1.18D pada mata dengan sikatriks paracentral ( n = 18 ) dan 1,87 0.92D pada mata dengan sikatriks perifer dan limbus. Perbedaan jumlah astigmatisma antara sikatriks sentral, ( 1 ) paracentral ( 2 ) & perifer ( 3 ) signifikan secara statistik ( 1 vs 2 : p = 0,007 ; 1 vs 3 : p = 0,012 ) . Koreksi ketajaman visus terbaik 18/6 pada pemeriksaan snellen terlihat pada 10 mata ( 25 % ) dengan koreksi kacamata . Namun, BCVA dari 18/6 ditemukan pada 37 mata (92,5%) dengan lensa kontak. Perbedaan ini signifikan secara statistik (p <0,001). Koreksi ketajaman visus terbaik dengan kacamata sebesar 0,20 0,13 sedangkan pada lensa kontak pada hari 1 sebesar 0,58 0,26. Analisis komparatif untuk menilai peningkatan ketajaman visus dengan lensa kontak dibandingkan kacamata ditemukan signifikan secara statistik (p <0,001). Analisis komparatif hasil visus dilakukan dalam subkelompok berdasarkan jenis sikatriks kornea dan status lensa. Didapatkan peningkatan ketajaman visus dengan lensa kontak dibandingkan koreksi kacamata pada seluruh sub-kelompok secara signifikan (Tabel 1). Semua kecuali satu mata menunjukkan peningkatan BCVA 2 baris pada lensa kontak dibandingkan kacamata pada pemeriksaan snellen. Satu pasien (2,5%) dihentikan penggunaan lensa kontaknya karena intoleransi.

Diskusi Keadaaan astigmatisma iregular pada mata dengan perforasi kornea menyebabkan tidak optimalnya peningkatan ketajaman visus dengan koreksi kacamata. Hamburan cahaya dan refraksi iregular akibat adanya sikatriks menyebabkan peningkatan sensitivitas cahaya, penurunan sensitivitas kontras dan penglihatan Mesopic selain penurunan variabel dalam ketajaman visus. Lensa kontak RGP meningkatkan ketajaman visus dengan menghilangkan astigmatisma iregular akibat sikatriks sehingga permukaan refraksi menjadi rata. Lapisan air mata di bawah lensa kontak menetralisir iregularitas permukaan. Studi telah menunjukkan bahwa lensa kontak RGP memberi peningkatan yang signifikan dalam ketajaman visus pada pasien dengan kekeruhan nebula dan nebulo-makular kornea. Dilaporkan bahwa peningkatan fungsi penglihatan secara langsung berkaitan dengan peningkatan ketajaman visus. Namun, penelitian lain

menunjukkan bahwa terdapat peningkatan ketajaman visus dengan lensa kontak RGP dibandingkan ketajaman cahaya, sensitivitas kontras dan penglihatan Mesopic. Tidak ada penelitian yang menunjukkan lensa kontak RGP dalam penurunan sensitivitas kontras menurun meskipun diameter terkecil dari lensa ini dan kemungkinan efek tepi dapat menyebabkan sensitivitas cahaya. Tidak seperti lensa RGP, penggunaan jangka panjang lensa kontak lunak mempengaruhi fungsi penglihatan. Dalam penelitian ini, kami menemukan bahwa peningkatan BCVA jauh lebih baik dengan lensa kontak dibanding kacamata pada seluruh tipe sikatriks kornea (pusat / paracentral / perifer). BCVA 18/6 terlihat lebih tinggi secara signifikan pada pasien dengan lensa kontak. Dalam studi ini, astigmatisma kornea pada saat pemasangan lensa kontak lebih banyak pada mata yang memiliki sikatriks sentral. Oleh karena itu, mata ini memiliki setidaknya UCVA dan BCVA dengan kacamata sama baiknya dengam pemakaian lensa kontak. Hal ini dapat dimengerti karena sikatriks sentral sejajar dengan sumbu visual dan menyebabkan obstruksi langsung sinar yang meghasilkan hamburan cahaya. Namun, peningkatan ketajaman visus dengan lensa kontak RGP dibanding kacamata pada mata ini juga sangat signifikan. Hal ini mungkin karena permukaan lensa kontak anterior bertindak sebagai permukaan refraksi mayor. Dalam aphakic, peningkatan visus dengan kacamata dan lensa kontak tidak sebaik mata phakic dan pseudophakic. Hal ini dikarenakan tingkat keparahan trauma pada mata ini lebih besar. Namun, perbaikan dengan lensa kontak pada mata ini secara signifikan lebih besar dibandingkan koreksi kacamata. Untuk aphakic, keuntungan tambahan adalah pembesaran unilateral yang diinduksi oleh lensa kontak lebih sedikit dibandingkan dengan kacamata. Peran lensa kontak untuk mengobati aphakia sudah diketahui. Pasien-pasien ini mungkin mentolerir lensa kontak lebih baik dibandingkan pasien aphakic lain karena mereka biasanya lebih muda. Penerimaan lensa kontak sangat tinggi dan hanya 1 pasien yang intoleransi terhadap lensa kontak. Kami lebih memilih ketepatan pemakaian lensa pada pasien ini dengan hati hati melalui proses trial lense fittings. Selain itu terkadang palbebra superior dapat mengenai lensa kontak pada saat berkedip tapi masih dapat ditoleransi. Bagaimanapun faktor stabilitas dari lensa kontak harus menjadi pertimbangan. Kami memilih waktu pemasangan lensa kontak setelah pengangkatan seluruh jahitan karena

adanya jahitan dapat menyebabkan lensa tidak stabil, yang akhirnya menyebabkan peningkatan keratitis bakterialis.

Kesimpulan Penelitian ini membuktikan bahwa lensa kontak RDP merupakan cara yang efektif untuk rehabilitasi visus sikatriks kornea yang disebabkan trauma perforasi kornea dan sebaiknya diutamakan dibanding koreksi kacamata.

Vous aimerez peut-être aussi