Vous êtes sur la page 1sur 22

TUGAS

FARMASI SOSIAL Aspek Perilaku Masyarakat Terhadap Penggunaan Obat

OLEH : KELOMPOK 2

Gabriel Nelwan Muh. Farid Akbar Awaluddin Istianah Purnamasari Jayadi

Asril Burhan Zulham A. Ulfah Magefirah Rasyid Zahira Amody Nurhilal

PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2014

BAB I PENDAHULUAN Pengertian sakit berkaitan dengan gangguan psikososial yang dirasakan seseorang, sedangkan penyakit berkaitan dengan gangguan yang terjadi pada organ tubuh berdasarkan diagnosis profesi kesehatan. Sakit (illness) merupakan keluhan yang belum tentu karena penyakit (disease), tetapi selalu mempunyai relevansi psikososial. (Rosenstock, 1974). Perilaku sakit adalah setiap kegiatan yang dilakukan orang sakit untuk menjelaskan keadaan kesehatannya dan mendapatkan pengobatan yang sesuai (Kasl, 1966). Studi mengenai pengambilan keputusan untuk pencarian

pengobatan sakit umumnya menyangkut tiga pertanyaan pokok, yaitu sumber pengobatan apa yang menurut anggota masyarakat mampu mengobati sakitnya, kriteria apa yang dipakai untuk memilih salah satu dari beberapa sumber pengobatan yang ada, dan bagaimana proses pengambilan keputusan untuk memilih sumber pengobatan tersebut (Young, 1980). Sumber pengobatan di Indonesia menurut Kalangie (1984), mencakup tiga sektor yang saling berhubungan, yaitu pengobatan rumah tangga/pengobatan sendiri, pengobatan tradisional, dan pengobatan medis profesional. Dalam pengobatan sakit, seseorang dapat memilih satu sampai lima sumber pengobatan, tetapi tindakan pertama yang paling banyak dilakukan adalah pengobatan sendiri. Kriteria yang dipakai untuk memilih sumber pengobatan menurut Young (1980) adalah pengetahuan tentang sakit dan pengobatannya, keyakinan terhadap obat/ pengobatan, keparahan sakit, dan

keterjangkauan biaya, dan jarak ke sumber pengobatan. Dari empat kriteria tersebut, keparahan sakit merupakan faktor yang dominan. Proses pengambilan keputusan untuk memilih sumber pengobatan

dimulai dengan menerima informasi, memproses berbagai kemungkinan dan dampaknya, kemudian mengambil keputusan dari berbagai

alternative yang ada. Interpretasi seseorang terhadap sakit dapat berbeda sehingga mempengaruhi keputusan yang diambil. Misalnya, lesu ketika bangun tidur dapat diinterpretasikan kelelahan oleh orang yang usai bekerja keras, atau gejala flu pada cuaca mendung, atau sakit bertambah parah oleh penderita penyakit kronis. Interpretasi yang berbeda terhadap sakit dapat mengakibatkan pemilihan sumber pengobatan yang berbeda (Dolinsky, 1989).

BAB II ISI II.1. Obat Dalam pengertian umum, obat adalah substansi apapun yang efek kimianya dapat mengubah fungsi biologis. Pada umumnya, molekul obat berinteraksi dengan molekul khusus dalam sistem biologik, yang berperan sebagai regulator, disebut reseptor. Dalam beberapa kasus tertentu obat yang dikenal sebagai antagonis kimia dapat berinteraksi langsung dengan obat-obat lain, sedangkan beberapa obat hampir selalu berinteraksi dengan molekul air. Obat dapat disintesis dalam tubuh (misalnya, hormon) atau sebagai zat kimia yang tidak disintesis dalam tubuh, disebut xenobiotik. Racun pun termasuk obat namun mempunyai efek yang berbahaya. Paracelsus membuat pernyataan yang terkenal yaitu dosislah yang membuat racun, artinya semua zat dapat menjadi berbahaya, bila diberikan dengan dosis yang salah. Kerasionalan penggunaan obat menurut Cipolle dkk., terdiri dari beberapa aspek, di antaranya: ketepatan indikasi, kesesuaian dosis, ada tidaknya efek samping dan interaksi dengan obat dan makanan, serta ada tidaknya polifarmasi (penggunaan lebih dari dua obat untuk indikasi penyakit yang sama). Pemakaian obat yang tidak rasional merupakan masalah serius dalam pelayanan kesehatan oleh karena kemungkinan dampak negatif yang terjadi. Di banyak negara, pada berbagai tingkat pelayanan kesehatan, berbagai studi dan temuan telah menunjukkan bahwa pemakaian obat jauh dari keadaan optimal dan rasional. Tujuan pengobatan secara umum adalah untuk mengobati tanpa meninggalkan efek samping atau dengan efek samping seminimal mungkin, juga dengan harga obat yang terjangkau dan mudah didapat masyarakat. Dalam praktek sehari-hari yang dipengaruhi oleh banyak

faktor, tujuan pengobatan tersebut sering tidak tercapai. Faktor-faktor yang berpengaruh dalam pemberian obat kurang rasional antara lain: Kurangnya pengetahuan dari tenaga kesehatan dalam ilmu obatobatan. Adanya kebiasaan dokter meresepkan jenis atau merk obat tertentu. Kepercayaan masyarakat terhadap jenis atau merk obat tertentu. Keinginan pasien yang cenderung ingin menggunakan obat tertentu, dengan sugesti menjadi lebih cepat sembuh. Adanya sponsor dari industri farmasi tertentu. Pemberian obat berdasarkan adanya hubungan baik perorangan dengan pihak dari industri farmasi. Adanya keharusan dari atasan dalam suatu instansi atau lembaga kesehatan untuk meresepkan jenis obat tertentu. Informasi yang tidak tepat atau bias, sehingga pemakaian obat menjadi tidak tepat. Beban pekerjaan yang terlalu berat sehingga tenaga kesehatan menjadi tidak sempat untuk berpikir mengenai rasionalitas pemakaian obat. Adanya keterbatasan penyediaan jenis obat di suatu instansi atau lembaga kesehatan tertentu, sehingga jenis obat yang diperlukan untuk suatu penyakit justru tidak tersedia, sehingga memakai obat yang lain. Adanya berbagai efek dari tiap jenis obat dapat menimbulkan efek interaksi obat di dalam tubuh yang dapat merugikan ataupun

membahayakan apabila pemakaian obat diberikan dalam jumlah jenis yang melebihi batas. Adanya berbagai media informasi (media cetak, televisi, radio, internet, dst) juga memberikan efek kurang baik yang menyebabkan masyarakat menggampangkan memakai obat seperti obat pengurang nyeri atau penurun panas yang tidak tepat indikasi pemakaiannya. Seperti karena adanya beban pekerjaan, maka seseorang dengan gampang menggunakan obat pengurang nyeri karena merasa

sedikit nyeri kepala. Begitupun bagi para ibu rumah tangga yang cepat merasa khawatir apabila ada anaknya yang demam, maka dengan cepat mereka diberikan obat penurun panas. Pada beberapa kasus, perusahaan farmasi yang menjadi sponsor penyelenggaraan kegiatan ilmiah, kadang dianggap berhubungan dengan kebijakan pelayanan kesehatan yang menjadi terikat pada hubungan tenaga kesehatan dengan perusahaan farmasi tersebut. Keengganan menuliskan resep obat generik oleh kebanyakan dokter karena intervensi perusahaan farmasi seperti inilah yang membuat masyarakat kelas menengah ke bawah menjadi kadang harus membayar lebih mahal untuk obat yang seharus dapat dibeli dengan murah. Di puskesmas daerah yang sangat terpencil & sangat sulit dijangkau karena medan yang sulit ditempuh oleh pegawai dinas kesehatan, kadang pasokan obat-obatan tidak terjamin dengan lancar, karenanya pegawai puskesmas hanya memberikan obat-obatan yang hanya tersedia kepada pasien yang berobat, walaupun indikasi

pemakaiannya tidak tepat. II.2. Perilaku Manusia Perilaku adalah respon individu terhadap suatu stimulus atau tindakan yang dapat diamati dan mempunyai frekuensi spesifik, durasi dan tujuan yang baik yang disadari maupun yang tidak disadari. Perilaku merupakan kumpulan berbagai faktor yang saling berinteraksi, sehingga menimbulkan interaksi yang kompleks yang membuat manusia tidak sempat memikirkan penyebab dalam penerapan perilaku tertentu. Dari aspek biologis, perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme atau makhluk hidup yang bersangkutan. Perilaku itu

bergantung pada lingkungan dan organisme yang bersangkutan sehingga terjadi hubungan antar organisme dan lingkungan. Perilaku manusia merupakan hasil dari segala macam pengalaman serta interaksi manusia dengan lingkungan yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap, dan tindakan. Dengan kata lain, perilaku merupakan

respon atau reaksi individu terhadap stimulus yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya. Perilaku adalah semua kegiatan atau aktivitas, baik yang dapat diamati langsung, maupun tidak dapat diamati oleh pihak luar. Perilaku dibedakan menjadi perilaku alami dan perilaku operant. Perilaku alami yaitu perilaku yang dibawa sejak organisme dilahirkan, yaitu berupa reflek dan insting, sedangkan perilaku operant yaitu perilaku yang dibentuk melalui proses belajar. Cara pembentukan perilaku ada 3 yaitu cara pembentukan perilaku dengan kebiasaan, pembentukan perilaku dengan pengertian,

pembentukan perilaku dengan menggunakan model. Pembentukan perilaku dengan kebiasaan dengan cara membiasakan diri berperilaku seperti yang diharapkan, sehingga terbentuk perilaku tersebut. Kemudian pembentukan perilaku dengan pengertian. Perilaku juga dapat diartikan suatu respons organisme atau seseorang terhadap rangsangan (stimulus) dari luar subjek. Respons ini berbentuk dua macam, yaitu bentuk pasif dan bentuk aktif. Bentuk pasif (covert behaviour) adalah respon internal yaitu yang terjadi di dalam diri manusia dan tidak secara langsung dapat terlihat oleh orang lain. Bentuk aktif (overt behaviour) yaitu apabila perilaku ini jelas dapat diobservasikan secara langsung. Pengetahuan dan sikap merupakan respon seseorang terhadap stimulus atau rangsangan yang masih bersifat terselubung (covert behaviour). Tindakan nyata seseorang sebagai respon seseorang terhadap stimulus (practice) merupakan overt behaviour. Faktor-faktor perilaku yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yaitu karakteristik orang yang bersangkutan, yaitu bersifat bawaan, misalnya tingkat kecerdasan, tingkat emosional, jenis kelamin, dan sebagainya. Faktor eksternal yaitu lingkungan, baik lingkungan fisik, sosial, budaya, dan sebagainya. Faktor lingkungan ini merupakan faktor yang dominan yang mempengaruhi perilaku seseorang.

Teori Lawrence Green mengatakan kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh dua faktor pokok yaitu faktor perilaku dan di luar perilaku. Selanjutnya perilaku itu sendiri dipengaruhi oleh 3 faktor yaitu faktor predisposisi, faktor pendukung, dan faktor pendorong. Faktor predisposisi mencakup pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan lain sebagainya. Faktor pendukung adalah sarana pelayanan kesehatan dan kemudahan untuk mencapainya, keterampilan adanya referensi. Sedangkan faktor pendorong terwujud dalam bentuk dukungan keluarga, tetangga, dan tokoh masyarakat. Pendidikan kesehatan mempunyai peranan penting dalam mengubah dan

menguatkan ketiga kelompok faktor tersebut agar searah dengan tujuan kegiatan sehingga menimbulkan perilaku positif dari masyarakat terhadap program tersebut dan terhadap kesehatan pada umumnya. Perubahan perilaku adalah suatu proses yang kompleks dan memerlukan waktu yang relatif lama. Perubahan perilaku melalui 3 tahapan, yaitu pengetahuan, sikap, dan tindakan. Pengetahuan merupakan hasil dari perlakuan penginderaan terhadap suatu objek tertentu dalam bentuk tindakan seseorang. Perilaku didasari oleh pengetahuan akan baik daripada perilaku yang tidak disadari oleh pengetahuan. Tingkatan perilaku yaitu awarness, interest, evaluation, trial, dan adoption. Awarness atau kesadaran yakni seseorang menyadari dalam arti mengetahui stimulus (objek) terdahulu. Interest yakni seseorang mulai tertarik kepada stimulus. Evaluation atau menimbang-nimbang baik dan tidaknya stimulus terhadap dirinya tersebut. Trial yakni orang tersebut mulai mencoba perilaku baru, dan adoption yaitu subjek tersebut telah berperilaku sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus. Tingkat pengetahuan terdapat enam tingkatan, yaitu tahu ( know) diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari suatu

sebelumnya,

memahami

(comprehension)

yaitu

memahami

kemampuan untuk menjelaskan secara benar objek yang diketahui dan dapat mengintepretasikan materi tersebut secara benar; aplikasi

(aplication) diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi; analisis (analysis) adalah kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek; sintesis (synthesis) menunjukkan suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru; dan evaluasi (evaluation) berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap suatu materi atau objek. Perubahan perilaku dipengaruhi oleh yaitu persepsi, motivasi, dan emosi. Persepsi adalah pengamatan yang merupakan kombinasi dari penglihatan, pendengaran, penciuman, pengalaman masa lalu. Motivasi adalah dorongan bertindak untuk memuaskan suatu kebutuhan. Dorongan dapat diwujudkan dalam bentuk tindakan atau perilaku. Motivasi timbul karena adanya kebutuhan atau keinginan yang harus dipenuhi. Keinginan itu akan mendorong individu untuk melakukan suatu tindakan agar tujuannya tercapai. Namun setelah satu tujuan tercapai, maka timbul keinginan atau kebutuhan lain sehingga menimbulkan motivasi baru. Selain itu, perilaku dipengaruhi oleh emosi atau perasaan indivisu. Emosi berkaitan dengan kepribadian individu. II.3. Teori Konsumsi Pengeluaran konsumsi terdiri dari konsumsi pemerintah

(government consumption) dan konsumsi rumah tangga (household consumption/private consumption). Faktor- faktor yang mempengaruhi besarnya pengeluaran konsumsi, antara lain: 1. Faktor Ekonomi Empat faktor yang menentukan tingkat konsumsi, yaitu : a. Pendapatan (Income) Pendapatan amat besar pengaruhnya terhadap tingkat konsumsi. Biasanya makin baik tingkat pendapatan, tongkat konsumsi makin tinggi. Karena ketika tingkat pendapatan

meningkat, kemampuan untuk membeli aneka kebutuhan konsumsi menjadi semakin besar atau mungkin juga pola hidup menjadi semakin konsumtif, setidak-tidaknya semakin menuntut kualitas yang baik. b. Kekayaan (Wealth) Tercakup dalam pengertian kekayaaan adalah kekayaan rill (rumah, tanah, dan mobil) dan financial (deposito berjangka, saham, dan surat-surat berharga). Kekayaan tersebut dapat meningkatkan disposable. c. Tingkat Bunga (Interest Rate) Tingkat bunga yang tinggi dapat mengurangi keinginan konsumsi. Dengan tingkat bunga yang tinggi, maka biaya ekonomi (opportunity cost) dari kegiatan konsumsi akan semakin mahal. Bagi mereka yang ingin mengonsumsi dengan berutang dahulu, misalnya dengan meminjam dari bank atau menggunakan kartu kredit, biaya bunga semakin mahal, sehingga lebih baik konsumsi, karena menambah pendapatan

menunda/mengurangi konsumsi. d. Perkiraan Tentang Masa Depan (Expectation About The Future) Faktor-faktor internal yang dipergunakan untuk

memperkirakan prospek masa depan antara lain pekerjaan, karier dan gaji yang menjanjikan, banyak anggota keluarga yang telah bekerja. Sedangkan faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi antara lain kondisi perekonomian domestik dan internasional, jenisjenis dan arah kebijakan ekonomi yang dijalankan pemerintah. 2. Faktor Demografi a. Jumlah Penduduk Jumlah penduduk yang banyak akan memperbesar

pengeluaran konsumsi secara menyeluruh, walaupun pengeluaran rata-rata per orang atau per keluarga relative rendah. Pengeluaran

konsumsi suatu negara akan sangat besar, bila jumlah penduduk sangat banyak dan pendapatan per kapita sangat tinggi. b. Komposisi Penduduk Pengaruh komposisi penduduk terhadap tingkat konsumsi, antara lain : a. Makin banyak penduduk yang berusia kerja atau produktif (1564 tahun), makin besar tingkat konsumsi. Sebab makin banyak penduduk yang bekerja, penghasilan juga makin besar. ii. Makin tinggi tingkat pendidikan masyarakat, tingkat

konsumsinya juga makin tinggi, sebab pada saat seseorang atau suatu keluarga makin berpendidikan tinggi maka

kebutuhan hidupnya makin banyak. iii. Makin banyak penduduk yang tinggal di wilayah perkotaan (urban), pengeluaran konsumsi juga semakin tinggi. Sebab umumnya pola hidup masyarakat perkotaan lebih konsumtif dibanding masyarakat pedesaan. 3. Faktor-faktor Non Ekonomi Faktor-faktor non-ekonomi yang paling berpengaruh terhadap

besarnya konsumsi adalah faktor sosial budaya masyarakat. Misalnya saja, berubahnya pola kebiasaan makan, perubahan etika dan tata nilai karena ingin meniru kelompok masyarakat lain yang dianggap lebih hebat/ideal. Obat-obatan termasuk salah satu barang yang dikonsumsi manusia dan termasuk barang yang bisa dikomersialkan. Karena itu dalam mengamati perilaku manusia dalam menggunakan obat-obatan, kita bisa menggunakan Teori Konsumsi. Berdasarkan Teori Konsumsi didapatkan analisa dengan teoriteori psikologi dan sosial lainnya yang mempengaruhi faktor-faktor penggunaan obat yaitu : a) Faktor Ekonomi.

Salah satu faktor yang mempengaruhi penggunaan suatu obatobatan, baik itu obat tradisional maupun obat modern atau sintetik, adalah faktor ekonomi. Diantaranya adalah: 1. Harga Obat. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan masyarakat beranggapan bahwa lebih murah untuk menggunakan obat tradisional daripada obat sintetik. Hal ini disebabkan obat sintetik adalah obat yang sudah melalui uji klinis, berbeda dengan obat tradisional. Sehingga dalam hal ini terdapat beban biaya penelitian yang dimasukkan ke dalam biaya sintetik. Selain itu, obat sintetik juga didapatkan dari pengolahan kimiawi yang juga membutuhkan biaya yang tidak sedikit, berbeda dengan obat tradisional yang umumnya pengolahannya masih sederhana atau sedikit modern. 2. Penghasilan dan kekayaan masyarakat. Hal ini sangat mempengaruhi keputusan masyarakat dalam memilih obat sintetik atau obat tradisional. b) Faktor Demografi Jumlah penduduk yang banyak akan memperbesar pengeluaran konsumsi secara menyeluruh, walaupun pengeluaran rata - rata per orang atau per keluarga relatif rendah. Artinya daya beli masyarakat dengan jumlah penduduk yang banyak cenderung rendah sehingga daya beli terhadap obat-obatan juga ikut rendah. Pada umumnya masyarakat dengan daya beli rendah jika sedang ditimpa penyakit akan mengobati penyakitnya sendiri tanpa membeli obat sintetik atau obat tradisional yang dijual pasaran, tapi mengobatinya dengan obat tradisional yang langsung diperoleh sendiri dari alam. c) Faktor Non Ekonomi 1. Khasiat dan Kepercayaan. Obat sintetik umumnya lebih dipercaya daripada obat tradisional. Hal ini disebabkan karena sudah banyak pembuktian ilmiah tentang khasiat obat sintetik daripada khasiat obat tradisional. Hal ini terjadi

untuk kasus penyakit yang non kronis. Adapun untuk penyakit kronis, umumnya masyarakat memilih obat sintetik. Sebenarnya, pada umumnya masyarakat lebih menganjurkan untuk menggunakan obat tradisional karena efek sampingnya yang relatif lebih sedikit (menurut pengetahuan yang ada), namun dalam kenyataannya masyakarat ingin supaya penyakitnya cepat sembuh dan merasa aman dalam mengkonsumsi obat sehingga menggunakan obat farmasi sintetik. Menurut teori Abraham kebutuhan H. Maslow (teori kebutuhan), juga selain memiliki

mementingkan

fisiologis,

masyarakat

kebutuhan akan rasa aman. Sehingga masyarakat lebih cenderung memilih obat yang sudah terjamin khasiat dan efek sampingnya tidak terlalu membahayakan. 2. Kepercayaan tradisional. Ada sebagian masyarakat yang percaya dengan obat tradisional karena motivasinya yang kuat terhadap agama dan kepercayaannya. Hal ini disebabkan karena manusia hidup dikuasai oleh alam bawah sadarnya yang sangat mempengaruhi tingkah laku mereka. Hal ini dijelaskan di dalam teori Psikoanalisa Sigmund Freud. 3. Kebudayaan dan persepsi masyarakat. Masing-masing kebudayaan memiliki berbagai pengobatan untuk penyembuhan anggota masyarakatnya yang sakit. Berbeda dengan ilmu kedokteran yang menganggap bahwa penyebab penyakit adalah kuman, kemudian diberi obat antibiotika dan obat tersebut dapat mematikan kuman penyebab penyakit. Pada masyarakat tradisional, tidak semua penyakit itu disebabkan oleh penyebab biologis. Kadangkala mereka menghubung-hubungkan dengan sesuatu yang gaib, sihir, roh jahat atau iblis yang mengganggu manusia dan menyebabkan sakit. Banyak suku di Indonesia menganggap bahwa penyakit itu timbul akibat guna-guna. Orang yang terkena guna-guna akan mendatangi dukun untuk meminta pertolongan. Masing-masing suku di Indonesia

memiliki dukun atau tetua adat sebagai penyembuh orang yang terkena guna-guna tersebut. Cara yang digunakan juga berbeda-beda masing-masing suku. Begitu pula suku-suku di dunia, mereka menggunakan pengobatan tradisional masing-masing untuk

menyembuhkan anggota sukunya yang sakit. Suku Azande di Afrika Tengah mempunyai kepercayaan bahwa jika anggota sukunya jari kakinya tertusuk sewaktu sedang berjalan melalui jalan biasa dan dia terkena penyakit tuberkulosis maka dia dianggap terkena serangan sihir. Penyakit itu disebabkan oleh serangan tukang sihir dan korban tidak akan sembuh sampai serangan itu berhenti. Orang Kwakuit di bagian barat Kanada percaya bahwa penyakit dapat disebabkan oleh dimasukkannya benda asing ke dalam tubuh dan yang terkena dapat mencari pertolongan ke dukun. Dukun itu biasa disebut Shaman. Dengan suatu upacara penyembuhan maka Shaman akan mengeluarkan benda asing itu dari tubuh pasien. Persepsi masyarakat mengenai terjadinya penyakit berbeda antara daerah yang satu dengan daerah yang lain, karena tergantung dari kebudayaan yang ada dan berkembang dalam masyarakat tersebut. Persepsi kejadian penyakit yang berlainan dengan ilmu kesehatan sampai saat ini masih ada di masyarakat; dapat turun dari satu generasi ke generasi berikutnya dan bahkan dapat berkembang luas. Berikut ini contoh persepsi masyarakat tentang penyakit malaria, yang saat ini masih ada di beberapa daerah pedesaan di Papua (Irian Jaya). Makanan pokok penduduk Papua adalah sagu yang tumbuh di daerah rawa -rawa. Selain rawa-rawa, tidak jauh dari mereka tinggal terdapat hutan lebat. Penduduk desa tersebut beranggapan bahwa hutan itu milik penguasa gaib yang dapat menghukum setiap orang yang melanggar ketentuannya. Pelanggaran dapat berupa menebang, membabat hutan untuk tanah pertanian, dan lain-lain akan diganjar hukuman berupa penyakit

dengan gejala demam tinggi, menggigil, dan muntah. Penyakit tersebut dapat sembuh dengan cara minta ampun kepada penguasa hutan, kemudian memetik daun dari pohon tertentu, dibuat ramuan untuk di minum dan dioleskan ke seluruh tubuh penderita. Dalam beberapa hari penderita akan sembuh. Persepsi masyarakat mengenai penyakit diperoleh dan ditentukan dari penuturan sederhana dan mudah secara turun temurun. Misalnya penyakit akibat kutukan Allah, makhluk gaib, roh-roh jahat, udara busuk, tanaman berbisa, binatang, dan sebagainya. Pada sebagian penduduk Pulau Jawa, dulu penderita demam sangat tinggi diobati dengan cara menyiram air di malam hari. Air yang telah diberi ramuan dan jampi-jampi oleh dukun dan pemuka masyarakat yang disegani digunakan sebagai obat malaria. 4. Keluarga. Keluarga, terutama saran dari orang yang lebih tua sangat

menentukan keputusan seseorang memilih obat-obatan. 5. Kepraktisan. Umumnya masyarakat beranggapan bahwa obat sintetik lebih praktis daripada obat tradisional. Karena obat sintetik umumnya sudah dikemas sedemikian rupa sehingga bisa langsung dikonsumsi. Berbeda dengan sebagian obat tradisional yang harus melalui proses pengolahan terlebih dahulu (karena banyak obat tradisional yang masih mentah belum diolah) atau harus dikonsumsi dengan prosedur tertentu. Tapi umumnya obat tradisional yang berada di pasaran sudah dikemas dengan baik walaupun terkadang masih sulit untuk

dikonsumsi. 6. Efek samping. Pada umumnya, masyarakat berpendapat bahwa obat sintetik memiliki efek samping yang lebih besar dibandingkan obat tradisional. Namun, para ahli farmasi berpendapat tidak membenarkan hal ini. Menurut mereka, persepsi ini disebabkan karena publikasi tentang khasiat dan

efek

samping

obat-obatan

sintetik

sudah

tersebar

ke

dalam

masyarakat. Obat-obatan sintetik memang sudah melalui uji coba klinis. Berbeda dengan kebanyakan obat tradisional yang masih jarang diteliti oleh para ahli farmasi sehingga kurang banyak diketahui khasiat dan efek sampingnya. 7. Pendidikan. Pada era sekarang, pendidikan sudah lebih maju dari era sebelumnya sehingga masyarakat lebih percaya kepada obat yang sudah teruji secara klinis (izin Departemen Kesehatan). 8. Asal daerah. Daerah perkotaan cenderung memilih obat sintetik sementara daerah pedesaaan (ataupun yang masih terdapat hutan) cenderung memilih obat tradisional. 9. Modernisasi teknologi. Sebagian besar masyarakat menggunakan obat farmasi, namun hanya sebagian saja yang menggunakan obat tradisional. Hal ini disebabkan sudah menjadi hal yang umum di masyarakat untuk menggunakan obat sintetik untuk mengobati penyakit. Ide menggunakan obat sintetik sudah menjamur di dalam masyarakat karena pengaruh kuatnya pengetahuan ilmiah tentang obat sintetik dan masyarakat sudah mulai meyakini ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga lebih percaya perkataan para ahli yang sudah melakukan penelitian sebelumnya. Hal ini sebagaimana dijelaskan pada teori difusi inovasi dan evolusionisme. 10. Pengaruh budaya asing. Menurut teori difusi, antar suku bangsa saling mempengaruhi dalam pengembangan teknologi dan budaya obat-obatan, misalnya obatobatan dari cina dan arab masuk ke Indonesia.

II.4 Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Mengobati Mayoritas masyarakat dengan pengetahuan kurang dan sedang (78%), sikap yang sedang (8%) cenderung akan berobat ke puskesmas jika mereka telah menderita atau merasakan sakit seperti gatal, mata merah, belekan, jika telah mengalami kebutaan, bila sudah tidak dapat bekerja , tidak dapat mengenali seseorang dalam jarak dekat maupun jauh, dan tidak bisa berjalan dengan baik. Mereka biasanya akan mengeluh sakit sehingga mereka baru memeriksakan sakitnya ke puskesmas. Berdasarkan teori perilaku pencarian pelayanan kesehatan disebutkan bahwa perilaku orang yang sakit untuk memperoleh penyembuhan mencakup tindakantindakan seperti perilaku

pencarian dan penggunaan fasilitas/tempat pelayanan kesehatan (baik tradisional maupun modern). Tindakan ini dimulai dari mengobati sendiri sampai mencari pengobatan di luar negeri. Masyarakat jika menderita sakit cenderung mengobati sendiri terlebih dahulu dengan membeli obat di warung atau apotik tanpa resep dari dokter, mereka hanya menanyakan kepada penjaga apotik obat mana yang biasa digunakan untuk mata merah, padahal dengan mereka membeli obat tanpa resep dokter belum tentu itu baik buat kesehatan mata, dan belum tentu obat tersebut tidak menimbulkan efek samping jika mengabaikan aturan pemakaian.Dan ada juga yang mengobati secara tradisional. Di sisi lain masyarakat dengan pengetahuan baik (22%) dan bersikap baik (92%) berperilaku langsung mengobati ke puskesmas atau rumah sakit. Hal ini dikarenakan mereka mengetahui apa yang akan terjadi jika terlambat dalam melakukan pengobatan, dan juga mereka memiliki dasar pengetahuan yang baik tentang kesehatan. Sehingga jika mengalami gangguan pada kesehatan mereka langsung mengobati dengan rasional.

a. Hubungan antara pengetahuan dan sikap dengan perilaku mengobati Hasil analisis korelasi Spearman menunjukkan hubungan yang tidak signifikan ( p > 0.05) antara pengetahuan dengan perilaku. Berdasarkan tidak penelitian tersebut tampak dengan bahwa perilaku

pengetahuan

selalu

berhubungan

seseorang. Dalam teori WHO, dijelaskan bahwa pengetahuan dipengaruhi oleh pengalaman seseorang, faktor-faktor di luar orang tersebut (lingkungan), baik fisik maupun non fisik dan sosial budaya yang kemudian pengalaman tersebut diketahui,

dipersepsikan, diyakini sehingga menimbulkan motivasi, niat untuk bertindak dan akhirnya menjadi perilaku4. Hal ini berlawanan dengan penelitian. Dharmasari (2003) yang menyatakan bahwa pengetahuan berhubungan dengan perilaku mengobati8. Hasil analisis korelasi Spearman menunjukkan hubungan yang signifikan (p<0.05) antara sikap dengan perilaku mengobati, artinya peningkatan sikap seseorang akan diikuti dengan peningkatan perilaku walaupun tidak berpengaruh besar terhadap perilaku. Dijelaskan juga oleh Green bahwa mewujudkan sikap menjadi perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau kondisi yang memungkinkan. Faktor yang mendukung adalah : 1) faktor predisposisi

(pengetahuan, sikap, keyakinan persepsi), (2) faktor pendukung ( akses pada pelayanan kesehatan, keterampilan dan adanya referensi), (3) faktor pendorong terwujud dalam bentuk dukungan dari keluarga, tetangga dan tokoh masyarakat. Hal ini diperkuat oleh penelitian Dharmasari (2003) yang menyatakan bahwa sikap berhubungan dengan perilaku

mengobati8. Dan juga penelitian yang dilakukan oleh Farida Sirlan (2005) yang menyatakan bahwa sikap seseorang berhubungan dengan perilakunya. Penelitian tersebut tampak bahwa sikap

selalu

berhubungan

secara

bermakna

dengan

perilaku

seseorang1. Hal ini bisa terjadi karena sikap responden yang sudah baik untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. b. Hubungan antara Pendidikan dan Pendapatan dengan

Perilaku Mengobati Hasil analisis korelasi Spearman menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan dengan perilaku mengobati. Hal yang berlawanan dikemukakan oleh hasil penelitian Dharmasari (2003) yang menyatakan bahwa tingkat pendidikan mempengaruhi pengobatan yang aman, tepat dan rasional, semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin berhati-hati dalam melakukan pengobatan. Hasil analisis korelasi Spearman menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara tingkat pendapatan dengan perilaku mengobati. Hal ini biasa terjadi karena tingkat

pendapatan rata-rata penduduk lebih kecil dari Upah Minimum Regional, sehingga perbedaan tingkat pendapatan tidak

mempunyai pengaruh besar dengan perilaku mengobati. Berdasarkan hasil wawancara selama penelitian, ditemukan bahwa masyarakat berpendapatan tinggi lebih percaya berobat ke dokter atau puskesmas karena memiliki dana yang cukup untuk melakukan pengobatan meskipun untuk penyakit, Sebaliknya masyarakat yang berpendapatan rendah cenderung

memanfaatkan obat-obat yang dijual di warung, dan jika sakit mereka cenderung mempergunakan asuransi kesehatan (askin) sebagai sumber dana untuk biaya berobat. Hal ini diperkuat oleh penelitian Darubekti (2001) menyatakan bahwa masyarakat desa lebih mendahulukan obat tradisional untuk mengobati keluhankeluhan ringan, karena obat modern sulit dijangkau dan keterbatasan pendapatan masyarakat.

c. Hubungan asuransi/ sumber biaya kesehatan dengan perilaku mengobati. Sekitar 64% masyarakat menggunakan asuransi kesehatan (askin, askes, jamkesmas, jamsostek dan asuransi dari kantor/ swasta) untuk membayar RS. Ini berarti masyarakat telah memahami dan mempergunakan asuransi dalam pembiayaan perawatan rumah sakit. Sesuai dengan pernyataan bahwa seseorang yang memiliki asuransi kesehatan lebih sering memeriksakan kesehatan dirinya ke dokter karena telah dijamin sepenuhnya oleh pihak asuransi. Sebagian besar masyarakat berpendapatan rendah sangat memanfaatkan dengan baik asuransi kesehatan sebagai sumber biaya berobat. Di sisi lain ada yang memang mereka memiliki asuransi tetapi mereka tidak pernah menggunakan asuransi tersebut, disebabkan prosedur dalam menggunakan asuransi yang terlalu rumit dan mereka lebih memilih berobat dengan dana pribadi. Dan hanya sekitar 36 % tidak menggunakan asuransi ini dikarenakan mereka tidak terdata oleh pihak asuransi. Responden yang tidak terdata dalam asuransi kesehatan dikarenakan responden bertempat tinggal di daerah terpencil sehingga sulit terjangkau, atau adanya kerjasama antar pihak asuransi, pihak kelurahan, kecamatan, RT/RW yang berusaha menguntungkan pihak-pihak tertentu sehingga pihak yang benar-benar

membutuhkan tidak mendapatkan asuransi tersebut. Sebagian kecil responden bekerja di sektor informal yang tidak dijamin oleh asuransi dan tidak memiliki pekerjaan (pengangguran).

Banyak dokter praktek swasta sekarang yang merangkap menjadi pemasar dari perusahaan farmasi tertentu atau mengikuti keanggotaan Multi Level Marketing (MLM) kesehatan. Umumnya, produk yang dijual adalah suplemen makanan (food supplement) atau multivitamin.

Pemakaian suplemen makanan ataupun multivitamin ini menjadi tidak rasional ketika pemberian tidak berdasarkan indikasi, atau karena harga yang dikenakan cukup mahal, kadangkala malah jauh lebih mahal daripada obat yang justru penting diberikan untuk penyakitnya.

DAFTAR PUSTAKA Sudibyo Supardi dan Mulyono Notosiswoyo. 2005. Pengobatan sendiri sakit kepala, Demam, batuk dan pilek pada Masyarakat di desa ciwalen, Kecamatan warungkondang, Kabupaten cianjur, jawa barat . Majalah Ilmu Kefarmasian, Vol. II, No.3, Agustus 2005, 134 144. Ayu purnamaningrum. 2010. Faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan mata. Program pendidikan sarjana kedokteran fakultas kedokteran universitas diponegoro. Samuel octovianus dimara, 2012. Dampak iklan obat terhadap perilaku konsumsi obat. Program pendidikan sarjana kedokteran fakultas kedokteran universitas diponegoro Susi ari kristina, dkk. 2007. Perilaku pengobatan sendiri yang rasional pada masyarakat. Berita kedokteran masyarakat, vol. 23, no. 4

Vous aimerez peut-être aussi