Vous êtes sur la page 1sur 29

BAB I

PENDAHULUAN

Syok merupakan kegagalan sirkulasi tepi menyeluruh yang mengakibatkan hipotensi
jaringan.Kematian karena syok terjadi bila kejadian ini menyebabkan gangguan nutrisi dan
metabolisme sel. Terapi syok bertujuan memperbaiki gangguan fisiologik dan menghilangkan
faktor penyebab.Ditandai oleh perfusi jaringan yang tidak adekuat.
Klasifikasi syok menurut etiologi :
1. Syok hipovolemik: dehidrasi, kehilangan darah, luka bakar.
2. Syok distributif: kehilangan tonus vascular (anafilaktik, septik, syok toksik).
3. Syok kardiogenik: kegagalan pompa jantung.
4. Syok obstruktif: hambatan terhadap sirkulasi olehobstruksi instrinsik atau ekstrinsik.
Emboli paru,robekan aneurisma dan tamponade perikard.

Syok hemoragik adalah syok hipovolemik yang disebabkan kehilangan darah yang
banyak akibat perdarahan. Perdarahan yang terjadi dapat terbuka atau tersembunyi dalam
organ tubuh, seperti perdarahan yang terjadi pada pasien dengan aneurisma aorta
abdominalis. Syok hipovolemik yang akan dibahas dalam makalah ini adalah syok
hipovolemik hemoragik perioperatif pada pasien aneurisma aorta abdominalis yang akan
dilakukan bypass aorta abdominalis.
Operasi pembuluh darah merupakan operasi yang perlu perhatian khusus, mengingat
fungsi dari pembuluh darah yang sangat penting dalam hemodinamik dan juga perfusi
Oksigen serta nutrisi ke jaringan. Oleh karena itu, operasi bedah vaskular terutama operasi
pembuluh darah besar seperti aorta abdominalis, rentan kehilangan volume darah dalam
jumlah yang cukup banyak durante operasi.
Pasien yang kehilangan darah akan mengalami masa hipotensi sampai akhirnya
pemberian infus cairan tidak dapat menyelamatkan nyawa pasien tersebut. Hal ini disebut
sebagai syok ireversibel. Sebagian klinisi percaya bahwa pasien syok dapat diresusitasi
dengan pemberian cairan, koreksi hipotermia dan pemberian obat inotropik. Tapi tetap saja
masih banyak pasien yang meninggal tidak hanya karena efek akut dari syok ireversibel tapi
juga dari efek syok berat yang lama.
Pada makalah ini dibahas mengenai evaluasi dan penatalaksanaan awal kehilangan
darah akut dengan resusitasi cairan, transfusi darah, dan penghentian perdarahan yang masih
berlangsung
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA


I. Aneurisma Aorta

I.1 Pengertian
Aneurisma adalah suatu dilatasi dinding arteri yang terlokalisasi.Aneurisma dapat
terjadi dimana-mana dalam aorta atau pembuluh darah perifer.
I.2 Klasifikasi
Aneurisma diklasifikasikan berdasarkan lokasi menjadi abdominalis, toraks, atau
torakoabdominalis.Jenis dari aneurisma dibagi menjadi aneurisma sejati dan aneurisma palsu.
Aneurisma sejati timbul akibat atrofi tunika media arteri.Dinding arteri berdilatasi
tetapi tetap utuh walaupun mengalami distorsi.Aneurisma sejati ada yang berbentuk
fusiformis atau sakular.Aneurisma fusiformis aterosklerotik yaitu bentuk dilatasi
sirkumferensial uniformis yang lebih sering ditemukan.
Aneurisma palsu atau pseudoaneurisma adalah akumulasi darah ekstravaskular
disertai erupsi ketiga lapisan pembuluh darah; dinding aneurisma palsu adalah trombus dan
jaringan yang berdekatan.Pseudoaneurisma paling sering disebabkan oleh cedera, infeksi atau
komplikasi dari prosedur vaskular yang invasif, seperti angioplasti atau bedah vaskular.

I.3 Etiologi dan Lokasi tersering
Tempat yang paling sering adalah aorta abdominalis.Biasanya mulai dari bawah
arteru renalis dan meluas ke bifurcasio aorta, kadang-kadang melibatkan arteri iliaka.Arteri
ini jarang melibatkan arteri renalis. Sebagian besar aneurisma abdominalis berasal dari proses
aterosklerosis.
Aneurisma torasika dapat menyerang aorta torsika desendens di luar atrei subklavia
kiri, aorta asendens di atas katup aorta dan arkus aorta.Aorta desendens lebih sering
terkna.Penyebab yang paling sering adalah aterosklerosis dan trauma.Trauma dada biasanya
pada kenadaraan bermotor, yang menyebabkan tunika intima dan media aorta ruptur.Selain
itu, penyakit pada arkus aorta biasanya disebabkan oleh aterosklerotik.Nekrosis media kistik
seperti sindroma Marfa, paling berat pada aorta desendens.
Aneurisma majemuk sering terjadi dan dapat menyerang arteri perifer maupun
viseral.Arteri poplitea merupakan areteri perifer yang paling sering diserang dan jarang
terjadi anuerisma viseral. Kebanyakan aneurisma perifer dan viseral berasal dari
aterosklerotik tetapi trauma dan infeksi juga merupakan faktor etiologi.

I.4 Patofisiologi
Pembentukan aneurisma timbul akibat degenerasi dan melemahnya tunika media
arteri.Degenerasi media dapat terjadi karena keadaan-keadaan kongenital atau didapat seperti
aterosklerosis atau sindrom Marfan.Dilatasi dapat juga disebabkan sebagai efek semprotan
aliran darah melalui suatu plak vaskular yang menyumbat, menimbulkan aliran turbulen di
distal lesi.
Aneuruisma biasanya membentuk lapisan bekuan darah disepanjang dinding akibat
aliran yang melambat.Trombi mural merupakan sumber emboli dan trombosis aneurisma
spontan yang potensial.
Predisposisi pembentukan anerurisma pada dinding arteri bisa disebabkan oleh faktor
lain. Aliran turbulen pada bifurkasio ikut meningkatkan insiden aneurisma di tempat-tempat
tertentu.Suplai darah melalui vasa vasorum diduga dapat terganggu diusia lanjut, hal ini
memperlemah tunika media.
Apapun penyebabnya, aneurisma akan semakin besar menurut hukum Laplace.
Tegangan atau tekanan pada dinding berkaitan langsung dengan radius pembuluh darah dan
tekanan intraarteri. Dengan bertambahnya lebar dan radius arteri maka tekanan akan semakin
meningkat sehigga menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Sehingga angka kejadian ruptur
akan meningkat seiring bertambahnya ukuran aneurisma. Selain itu, pada penderita
mempunyai penyakit hipertensi yang menambah tekanan dinding dan pembesaran aneurisma.

I.5 Gambaran Klinis
Aneurisma seringkali asimtomatik.Tanda awal penyakit ini dapat berupa komplikasi
kegawatan yang mengancam jiwa, seperti ruptur, trombosis akut, atau embolisasi. Aneurisma
mungkin terdeteksi saat pemeriksaan abdomen sebagai suatu massa yang biasanya berlokasi
diregio umbilikalis sebelah kiri dari garis tengah.
Gejala-gejala yang terlihat biasanya buruk, menandakan adanya perluasan aneurisma,
perdarahan retoperitoneal kronik atau ancaman ruptur.Dapat juga ditemukan nyeri punggung
atau abdomen yang berat.Obstrusi duodenum akibat aneurisma yang besar dapat dirasakan
sebagai rasa yang tidak nyaman diperut atau ada gangguan pencernaan.Dapat juga terdengar
bunyi bising namun nilai diagnostiknya kecil.Pada beberapa pasien, denyut nadi arteri
femoralis menghilang.
Pada aneurisma torasika baru menimbulkan gejala bila sudah besar, akibatnya baru
ditemukan pada saat pemeriksaan radiogram dada.Gejala timbul jika sudah terdapat
perluasaan aneurisma yang menekan ke struktur jaringan yang berdekatan.Kompresi pada
esofagus dapat menyebabkan disfagia; kompresi pada saraf laringeus rekuren menyebabkan
suara serak; distensi vena dileher dan edema kepala dan lengan dapat menunjukkan kompresi
pada saraf spinal.
Pada pemeriksaan teraba massa abdomen yang berpulsasi tetapi bila aneurisma ruptur
mungkin denyut tidak teraba lagi. Secara khas ruptur akan disertai rasa nyeri akut abdomen
atau punggung yang timbulnya berkaitan dengan tanda-tanda renjatan karena perdarahan.

I.6 Pengobatan
Aneurisma abdominalis yang simtomatik yang kecil tidak harus diintervensi bedah
segera.Ukuran aneurisma dipantau secara cermat dan berkala dengan palpasi, radiografi
abdomen, ultrasonografi, dan CT-scan.Pembesaran anerisma sampai 6 cm dianggap sebagai
indikasi untuk reseksi aneurisma elektif.
Teknik dan tipe cangkok yang dipakai untuk koreksi tergantung luasnya pembuluh
darah yang terserang.Jika aneurisma terletak dibawah arteri renalis dan diatas bifurcatio
aorta, dipakai cangkok berbentuk tabung.Aneurisma direseksi, tunika luar dipertahankan,
kemudian cangkok berbentuk tabung dianastomosis ke aorta.Jika aliran darah kolateral ke
arteri mesenterika inferior tidak cukup maka arteri tersebut ditanamkan pada bagian dari
cangkok berbentuk tabung dianastomosis ke aorta.Kulit aneurisma kemudian diselubungi
pada cangkok guna mengurangi kehilangan darah.Jika naeurisma meluas sampai kebawah
bifurkasio.Cangkok bifurkasio dari sebelah distal.
Perkembangan dan peningkatan teknik baru-baru ini, mempergnakan stent
endovaskular yntuk mengkoreksi aneurisma abdominalis dan aortoiliaka.Stent buatan
dimasukkan kedalam arteri femoralis melalui arteri iliaka yang menuju aorta dan
menyangkutkan kaitannya ke permukaan proksimal dan distal daerah
aneurisma.Pengembangan balon stent pada tunika intima aorta normal mencegah masuknya
aneurisma ke dalam sirkulasi.Pendekatan intervensi untuk mengoreksi aneurisma ini,
mencegah risiko dan komplikasi bedah abdominal mayor, dan untuk mengembalikan dan
menurunkan kehilangan darah.Namun, teknik ini dibatasi karena keefektifannya
kurang.Komplikasi pendekatan ini adalah kegagalan cangkok, kebocoran disekitar stent, dan
migrasi cangkok.Akhir-akhir ini pemeriksaan lanjutan yang teratur dengan CT-scan setiap 6
bulan.

I.7 Prognosis
Ruptur aneurisma sangat berbahaya dan memiliki prognosis yang buruk. Ruptur ke
rongga peritoneum menyebabkan perdarahan; tetapi biasanya ruptur akan masuk ruang
retroperitoneal dan akan menimbulkan efek temponade pada struktur-struktur yang
berdekatan. Perlu dilakukan reseksi bedah.

II. Syok Hipovolemik

II.1 Cairan Tubuh dan Kehilangan Darah
Terdapat cairan sedikitnya setengah dari berat badan pada orang dewasa yang sehat. Volume
total cairan (dalam liter) sebanding dengan 60% berat badan (dalam kilogram) pada pria, dan
50% pada wanita. Jumlah cairan dan perkiraan volume darah berdasarkan berat badan
ditunjukkan pada tabel 1.

Tabel 1. Cairan Tubuh dan Volume Darah
Cairan Pria Wanita
Total cairan tubuh 600 mL/kg 500 mL/kg
Whole blood 66 mL/kg 60 mL/kg
Plasma 40 mL/kg 36 mL/kg
Eritrosit 26 mL/kg 24 mL/kg

Respons Kompensasi
Hilangnya darah memicu respons kompensasi tertentu yang membantu untuk
mempertahankan volume darah dan perfusi jaringan. Respons yang paling awal meliputi
perpindahan cairan interstisial ke dalam kapiler. Pengisian transkapiler ini dapat
menggantikan sekitar 15% dari volume darah, namun hal ini menyebabkan terjadinya
kekurangan cairan interstisial.
Kehilangan darah yang akut juga memicu aktivasisistem renin-angiotensin-aldosteron
oleh ginjal, untuk mempertahankan kadar natrium.Natrium yang dipertahankan berdistribusi
dalam cairan ekstraseluler. Karena cairan interstisial menyusun sekitar
2
/
3
cairan
ekstraseluler, natrium yang dipertahankan akan membantu menggantikan kekurangan cairan
interstisial yang diakibatkan oleh pengisian transkapiler. Kemampuan natrium untuk
menggantikan kekurangan cairan interstisial, bukan volume darah interstisial, merupakan
alasan bahwa cairan kristaloid yang mengandung natrium klorida (cairan salin) lebih disukai
sebagai cairan resusitasi untuk perdarahan akut.
Dalam beberapa jam setelah onset perdarahan, sumsum tulang mulai meningkatkan
produksi sel darah merah. Respons ini terbentuk secara perlahan-lahan, dan penggantian
sepenuhnya eritrosit yang hilang dapat dicapai dalam 2 bulan.
Respons kompensasi ini dapat mempertahankan volume darah yang adekuat pada
kasus perdarahan sedang (misalnya kehilangan < 15% volume darah). Saat darah yang hilang
melebihi 15% volume darah, umumnya diperlukan penggantian volume darah.

Perdarahan Progresif
Perdarahan Kelas I (kehilangan 0-15%)
1. Bila tidak ada komplikasi, hanya terlihat takikardiaminimal.
2. Biasanya tidak ada perubahan dalam TD, tekanan nadi,atau frekuensi napas.
3. Keterlambatan pengisian kembali kapiler lebih dari 3detik sebanding dengan
kehilangan volume 10%.

Perdarahan kelas II (kehilangan 15-30%)
1. Gejala klinik mencakup takikardia ( >100 detak permenit), takipnea, penurunan
tekanan nadi, kulit dingin dan lembab, pengisian kapiler terlambat dan sedikit cemas.
2. Penurunan tekanan nadi adalah hasil dari peningkatan kadar katekolamin yang
menyebabkanpeningkatan tahanan pembuluh darah tepi yang disusul
denganpeningkatan TD diastolik.

Perdarahan Kelas III (kehilangan 30-40%)
1. Pada titik ini, biasanya pasien sudah takipnea dantakikardia mencolok, TO sistolik
turun, oliguria, perubahan status mental bermakna, misal bingung atau gaduh gelisah.
2. Pada pasien tanpa cedera lain atau tanpa kehilangan cairan, 30-40% adalah jumlah
terkecil dari kehilangandarah yang selalu menyebabkan penurunan TD sistolik.
3. Sebagian besar dari pasien ini membutuhkan transfusi darah, namun keputusan
memberikan darah harus didasarkan atas respons awal terhadap pemberiancairan.

Perdarahan Kelas IV (kehilangan >40%)
1. Gejala-gejala mencakup: takikardia dan penurunan TDsistolik mencolok, tekanan
nadi mengecil (atau tekanan diastofik tidak terukur), jumlah urin sedikit atau tidak
ada, status mental depresi (atau kehilangankesadaran), kulit dingin dan pucat.
2. Jumlah perdarahan ini mengancam jiwa.
3. Pada pasien trauma, perdarahan biasanya dianggap sebagai penyebab syok.
Walaupun demikian, ini harus dibedakan dari sebab-sebab syok lainnya, antara
lain:tamponade jantung ( bunyi jantung halus, vena leher distensi), tension
pneumothorax (deviasi trakea, bunyi napas berkurang pada satu sisi), dan trauma
medulla spinalis (kulit hangat, takikardia tidak sebesaryang diduga, defisit
neurologis).

II.2 Evaluasi Klinis
Evaluasi klinis pada pasien-pasien yang mengalami perdarahan bertujuan untuk menentukan
seberapa besar kekurangan volume darah dan pengaruhnya terhadap aliran sirkulasi dan
fungsi organ.

Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Anamnesis pada pasien dengan syok hemoragik dilakukan untuk mengetahui sebab dan
jumlah darah yang keluar akibat terjadinya perdarahan seperti mekanisme trauma, lama
perdarahan, dan kelainan yang terdapat pada pasien. Selain itu, perlu ditanyakan penanganan
pre rumah sakit terutama pemberian cairan, perubahan tanda vital, dan lama penanganan yang
diberikan.
Pemeriksaan fisik yang dilakukan meliputi:
1. Kepala, telinga, mata, hidung, dan tenggorokan
a. Sumber perdarahan biasanya terlihat
b. Aliran darah kulit kepala banyak dan dapat menghasilkan perdarahan yang signifikan
c. Perdarahan intrakranial terutama pada usia muda
2. Dada
a. Perdarahan rongga toraks dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik
b. Hemotoraks dapat meliputi distres pernapasan, penurunan bunyi napas, dan perkusi
pekak
c. Tension hemothorax
3. Abdomen
a. Perlukaan terhadap hati atau limpa adalah penyebab umum syok perdarahan. Ruptur
spontan aneurisma aorta abdominal dapat juga menyebabkan perdarahan
intraabdominal berat dan syok
b. Darah dapat mengiritasi rongga peritoneal dan dapat menimbulkan nyeri tekan dan
peritonitis
c. Distensi abdominal progresif pada syok perdarahan menjadi temuan pada perdarahan
intraabdominal
4. Pelvis
a. Fraktur dapat menyebabkan perdarahan masif
b. Ekimosis pada panggul belakang dapat mengindikasikan perdarahan retroperitoneal
5. Ekstremitas
a. Perdarahan ekstremitas dapat terlihat atau tersembunyi
b. Fraktur femur dapat menyebabkan kehilangan darah signifikan
6. Sistem Saraf
a. Agitasi dapat dilihat pada tahap awal syok perdarahan
b. Penurunan kesadaran dapat timbul apabila terjadi hipoperfusi serebral

Tanda Vital
Takikardi (denyut nadi > 90 kali per menit) sering diasumsikan sebagai hal yang umum
ditemukan pada pasien hipovolemik, namun pada posisi terlentang tidak dtemukan takikardi
pada mayoritas pasien dengan perdarahan sedang hingga berat. Kenyataannya, dapat lebih
sering ditemukan bradikardi pada perdarahan akut. Hipotensi (tekanan darah sistolik < 90
mmHg) pada posisi terlentang juga merupakan penanda perdarahan akut yang tidak sensitif.
Hipotensi umumnya timbul pada hipovolemia tahap lanjut, saat kehilangan darah melebihi
30% dari volume darah total. Metode yang digunakan untuk mengukur tekanan darah
merupakan pertimbangan yang penting pada pasien yang mengalami perdarahan, karena pada
tahap aliran rendah, pengukuran noninvasif sering memberikan nilai rendah yang palsu.
Untuk mendapatkan hasil yang sebenarnya, direkomendasikan pemeriksaan intraarterial
langsung untuk memonitor tekanan darah pada pasien yang mengalami perdarahan.

Hematokrit
Penggunaan hematokrit (dan konsentrasi hemoglobin dalam darah) untuk menentukan
luasnya perdarahan akut cukup sering dilakukan meskipun tidak pada tempatnya. Perubahan
kadar hematokrit tidak terlalu berkorelasi dengan kurangnya volume darah dan eritrosit pada
perdarahan akut. Perdarahan akut meliputi kehilangan whole blood, dengan penurunan yang
proporsional pada volume plasma dan eritrosit. Akibatnya, hematokrit tidak akan berubah
secara signifikan pada periode awal setelah darah hilang. Bila resusitasi volume tidak
dilakukan, pada akhirnya hematokrit akan menurun karena hipovolemia mengaktivasi sistem
renin-angiotensin-aldosteron, sehingga memicu ginjal untuk mempertahankan natrium dan air
dan menambah volume plasma. Proses ini dimulai pada 8 hingga 12 jam setelah perdarahan
akut dan diperlukan beberapa hari untuk benar-benar terbentuk.

II.3 Penatalaksanaan Syok Hemorargik
Penatalaksanaan pasien dengan syok hemoragik adalah resusitasi cairan. Selain itu dicari
sumber perdarahan dan dilakukan usaha menghentikan perdarahan yang terjadi. Seperti
halnya resusitasi kasus lain, jalan napas dan pernapasan (airway dan breathing) tetap
diperhatikan.Kombinasi dari syok dan gagal napas mengakibatkan mortalitas yang sangat
tinggi. Dengan demikian setiap pasien syok harus diberikan oksigen tinggi menggunakan
masker. Bila pernapasan tidak adekuat, intubasi secepatnya dilakukan.
Perdarahan luar yang terlihat segera dikontrol dengan penekanan lokal. Bila usaha
resusitasi menunjukkan kemungkinan perdarahan intraabdominal atau perdarahan intratorakal
yang sedang berlangsung. Pemeriksaan yang rumit seminimal mungkin dilakukan dan usaha
operasi definitif secepatnya dilakukan.

II.4 Dasar Resusitasi Cairan
Keberhasilan dalam penanganan pasien dengan hipovolemi ditentukan oleh penggantian
cairan dengan cepat, di mana angka kematian akibat syok hipovolemik secara langsung
berhubungan dengan derajat dan durasi hipoperfusi organ. Di bawah ini dibahas mengenai
resusitasi cairan dan hal-hal yang berhubungan.


Kanulasi Vena
Hal yang perlu dipikirkan dalam resusitasi cairan adalah akses pemberian cairan. Pada pasien
dengan trauma multipel berat syok hemoragik, akses vena diperlukan untuk mengembalikan
cairan yang hilang. Faktor yang mempengaruhi akses vena adalah letak anatomis vena,
beratnya cedera pada tubuh serta kemampuan dan pengalaman dokter yang menolong. Akses
vena tidak boleh diberikan pada ekstremitas yang terluka. Jika terdapat cedera pada tubuh
dibawah difragma, akses vena setidaknya pada vena yang berhulu pada vena kave superior.
Pada pasien dengan trauma dada dan abdomen, akses vena diberikan pada satu vena di atas
dan satu vena di bawah diafragma. Kateter yang digunakan sebaiknya yang pendek dengan
diameter yang besar. Terdapat kecenderungan untuk melakukan kanulasi vena sentral untuk
resusitasi karena vena yang lebih besar memungkinkan jumlah cairan masuk lebih banyak.
Walaupun begitu laju volume infus tidak bergantung pada besar vena melainkan pada
panjang kateter vena. Kateter yang digunakan pada kanulasi vena sentral panjangnya bisa
mencapai 15-20 cm sementara kateter vena perifer hanya 5 cm saja.Dengan begitu untuk
resusitasi cairan pada hipovolemi, kanulasi vena perifer pendek lebih dipilih dibanding
kanulasi vena sentral yang panjang.
Diameter kateter yang besar akan menghasilkan laju yang lebih cepat. Laju yang
sangat cepat dapat dicapai dengan penggunaan kateter introducer. Panjang kateter ini adalah
12,5-15 cm dengan diameter 2,7-3 mm. Kateter introducer umumnya digunakan pada
pemasangan kateter vena sentral tapi alat ini dapat digunakan bila diinginkan laju infus yang
cepat. Dengan gaya gravitasi, laju cairan viskositas rendah bebas sel lewat kateter ini
mencapai 15 ml/detik, sedikit lebih rendah dari kateter vena biasa dengan diameter 3 mm
yaitu 18 ml/detik.
Menurut acuan dari ATLS, pada kasus syok hemoragik, akses vena yang disarankan
adalah dua infus vena dengan diameter besar. Pilihan pertama adalah infus perifer seperti
vena pergelangan tangan dan punggung tangan, pada fosa antekubiti dan vena savena.
Tempat lain yang jarang dipilih adalah vena femoralis dan jugularis. Vena subklavia dan
jugular interna sebaiknya tidak secara rutin diberikan pada syok hipovolemik. Komplikasinya
tinggi dan keberhasilannya rendah karena vena sering kolaps. Akses cairan melalui vena
perifer dapat menjadi sulit pada pasien syok hipovolemik dengan vena yang sudah kolaps,
edema, kegemukan, jaringan parut, riwayat penggunaan obat intravena dan luka bakar. Pada
keadaan tertentu akses vena sentral dengan kateter diameter besar dapat dicoba pada vena
femoral secara perkutan atau vena seksi. Akses vena subklavia menyediakan akses cepat dan
aman di tangan ahli. Komplikasi tersering adalah pneumotoraks. Pneumotoraks terjadi pada
paru kiri karena secara anatomis pleura pada paru kiri lebih tinggi. Komplikasi lainnya seperti
perforasi vena atau arteri atau emboli udara vena. Pada pasien trauma, akses vena jugular
jarang digunakan karena kecurigaan trauma servikal.




Aliran Cairan Resusitasi
Terdapat tiga jenis cairan resusitasi, yaitu:
1. Cairan yang mengandung sel darah merah (whole blood dan konsentrat eritrosit/
packed cells)
2. Cairan yang mengandung molekul-molekul besar yang kemampuan terbatas untuk
keluar dari pembuluh darah (cairan koloid)
3. Cairan yang hanya mengandung elektrolit (natrium dan klorida) dan molekul-molekul
kecil yang dapat keluar masuk pembuluh darah secara bebas (cairan kristaloid)
Laju aliran ketiga jenis cairan resusitasi ini bergantung pada viskositasnya. Cairan yang
mengandung sel darah merah adalah satu-satunya cairan resusitasi yang memiliki viskositas
lebih tinggi dari air. Viskositas yang tinggi ini adalah akibat dari kepadatan eritrosit atau
hematokrit. Dengan demikian laju aliran whole blood lebih rendah dari air dan albumin 5%
sementara aliran packedRBCs adalah yang paling lambat. Aliran yang lambat ini dapat
ditingkatkan dengan pemberian tekanan pada kolf darah menggunakan manset. Dapat juga
ditambahkan cairan garam faal pada infus yang dapat menurunkan viskositas darah.
Kesalahpahaman yang sering terjadi adalah pernyataan bahwa laju aliran koloid lebih rendah
dibanding laju aliran cairan kristaloid atau air. Viskositas adalah fungsi dari densitas sel
sehingga laju aliran cairan tanpa sel sama dengan laju aliran air.

II.5 Strategi Resusitasi
Resusitasi yang dilakukan dalam mengatasi syok hemorargik terdrir atas dua tahap yaitu
resusitasi dini (early resuscitation) dan resusitasi lambat (late resuscitation). Pembagian
kedua tahapan ini dikarenakan adanya suatu siklus yang menyebabkan resusitasi tidak dapat
dilakukan hanya di awal saja. Ketika terjadi syok hemorargik dan dilakukan resusitasi cairan,
akan terjadi dilusi dari sel darah merah yang akan mengurangi pengantaran oksigen. Hal
tersebut akan menyebabkan hipotermia dan koagulopati. Selain itu, cairantubuh yang
meningkat akan meningkatkan tekanan darah, dan karena adanya efek reversal dari
vasokonstriksi pembuluh darah akan menyebabkan perdarahan yang semakin banyak
sehingga membutuhkan lebih banyak cairan resusitasi. Pada akhirnya, siklus kenaikan
tekanan darah dalam waktu singkat, perdarahan yang makin banyak, dan kembali ke
hipotensi akan terjadi terus menerus bila resusitasi tidak dilakukan dalam dua tahap.
Resusitasi dini dilakukan ketika perdarahan aktif masih berlangsung pada pasien.
Resusitasi lambat dilakukan setelah seluruh perdarahan dapat dikontrol. Karena dilakukan
pada kondisi yang berbeda, maka tujuan dari kedua resusitasi ini berbeda.
Tujuan dari resusitasi dini adalah:
- Mempertahankan tekanan darah sistolik pada level 80-100 mmHg.
- Mempertahankan hematokrit 25-30%.
- Mempertahankan PT dan PTT pada kisaran normal.
- Mempertahankan trombosit > 50.000.
- Mempertahankan kalsium terionisasi serum dalam batas normal.
- Mempertahankan suhu > 35C.
- Mempertahankan fungsi oksimetri denyut.
- Mencegah peningkatan serum laktat.
- Mencegah perburukan asidosis.
Setelah perdarahan terkontrol, resusitasi akan memasuki fase selanjutnya yaitu fase lambat.
Tujuan dari resusitasi fase lambat adalah:
6

- Mempertahankan tekanan darah sistolik di atas 100 mmHg.
- Mempertahankan hematokrit di atas batas transfusi individu.
- Normalisasi status koagulasi.
- Normalisasi keseimbangan elektrolit.
- Normalisasi temperatur tubuh.
- Mengembalikan output urin ke batas normal.
- Maksimalisasi curah jantung dengan metode invasif maupun non invasif.
- Memperbaiki asidosis sistemik.
- Menurunkan laktat ke batas normal.
Pada saat resusitasi fase lambat ini dilakukan, pemberian cairan tetap dilakukan sampai
diyakini sudah terjadi perfusi sistemik yang adekuat.
Tujuan utama penggantian cairan pada kehilangan darah akut adalah mempertahankan
ambilan oksigen (VO
2
) oleh jaringan dan mempertahankan kelangsungan metabolisme
aerobik.
4
Cairan pengganti logikanya sesuai dengan cairan yang keluar atau yang mendekati.
Kontroversi masih terjadi seputar penggunaan cairan kristaloid maupun koloid sebagai
pengembang plasma. Pendukung koloid berpendapat bahwa resusitasi menggunakan koloid
lebih cepat dan aman bagi paru-paru. Sementara pengguna kristaloid berpendapat bahwa
kristaloid lebih tepat menangani syok karena menggantikan cairan intravaskular dan
ekstravaskular (karena pada syok terjadi pengecilan volume cairan ekstraselular). Kristaloid
lebih murah walaupun dibutuhkan volume yang lebih besar (dibutuhkan 2-4 kali cairan
kristaloid agar efek resusitasinya sama dengan koloid). Cairan koloid memiliki efek alergi
lebih sedikit. Walaupun begitu tidak terdapat bukti yang mengharuskan seseorang
menggunakan salah satu cairan. Penggunaan kedua cairan bersama-sama sering digunakan
dalam klinis sehari-hari.
Kehilangan darah akut mempengaruhi dua komponen yaitu curah jantung dan konsentrasi
hemoglobin dalam darah. Dengan begitu resusitasi mencakup bagaimana cara meningkatkan
curah jantung dan mengoreksi kekurangan hemoglobin.

Meningkatkan Curah J antung
Konsekuensi dari curah jantung yang menurun jauh lebih membahayakan dari konsekuensi
anemia, jadi prioritas pertama dalam penatalaksanaan pasien dengan perdarahan adalah
meningkatkan curah jantung.
Cairan resusitasi dan curah jantung
Kemampuan setiap jenis cairan untuk meningkatkan curah jantung dinilai dengan mengukur
dan membandingkan infus whole blood (1 unit = 450 ml), packed cells (2 unit = 500 ml),
dextran-40 (500 ml). Didapatkan efek infus ketiga cairan ini selama satu jam dalam
meningkatkan curah jantung adalah sama. Sedangkan kemampuan cairan Ringer laktat (1 L)
adalah dua kali cairan lainnya. Bila dibandingkan volume per volume maka cairan koloid
adalah yang paling efektif. Koloid dua kali lebih efektif dibanding whole blood, enam kali
lebih efektif dari packed cells dan delapan kali lebih efektif dibanding cairan kristaloid (RL).
Kemampuan darah yang terbatas untuk meningkatkan curah jantung adalah karena efek
viskositas darah. Jika peningkatan curah jantung adalah prioritas pertama dalam
penatalaksanaan perdarahan akut maka darah bukanlah cairan yang dipilih sebagai terapi
awal resusitasi cairan.
Cairan koloid dan kristaloid
Kedua jenis cairan ini memiliki viskositas mendekati air karena keduanya tidak mengandung
sel. Perbedaan keduanya adalah pada distribusi volume cairannya. Cairan kristaloid tersusun
atas natrium yang terdistribusi merata pada cairan ekstraselular. Plasma darah mewakili 20%
cairan ekstraselular sehingga cairan kristaloid yang mengisi pembuluh darah hanya 20%
cairan yang masuk. Delapan puluh persen sisanya akan keluar ke cairan interstisial. Cairan
koloid di lain pihak akan menambah volume plasma karena molekul koloid yang besar tidak
dengan mudah keluar pembuluh darah. Sekitar 75 atau 80% cairan infus koloid akan tetap
berada di ruang vaskular dan menambah volume plasma paling tidak pada jam-jam awal
infus. Peningkatan curah jantung adalah efek dari peningkatan preload (peningkatan volume
darah) dan efek penurunan afterload (efek dilusi dari viskositas darah). Berikut poin penting
dalam resusitasi cairan:
Cairan koloid lebih efektif dari whole blood, packed cells dan cairan kristaloid untuk
meningkatkan curah jantung
Konsentrat eritrosit relatif tidak efektif untuk meningkatkan curah jantung sehingga
sebaiknya tidak digunakan sendirian pada resusitasi
Cairan koloid menambah volume plasma sementara cairan kristaloid menambah
volume interstisial
Untuk mendapatkan efek yang sama pada curah jantung, volume infus cairan
kristaloid setidaknya tiga kali lebih banyak dari volume infus cairan koloid

Memperkirakan volume cairan total
Pendekatan yang digunakan adalah sebagai berikut:
Memperkirakan jumlah volume darah normal. Caranya adalah dengan menghitung berat
badan dikali 66 ml (laki-laki) atau 60 ml (perempuan).
Memperkirakan jumlah darah yang keluar. Kelas I bila kehilangan darah < 15% volume
darah, kelas II bila kehilangan darah 15-30% volume darah, kelas III bila kehilangan
darah 30-40% dan kelas IV bila kehilangan darah lebih dari 40% volume darah.
Menghitung defisit volume dengan mengkalikan volume darah normal dikali %
kehilangan darah
Menghitung jumlah cairan untuk masing-masing jenis cairan yang dibutuhkan dengan
anggapan bahwa peningkatan volume darah adalah 100% volume infus whole blood, 50-
75% volume infus cairan koloid dan 20-25% volume infus cairan kristaloid. Volume
resusitasi setiap cairan dihitung dari defisit volume dibagi persen retensi cairan. Sebagai
contoh jika defisit volume 2 L dan cairan resusitasi yang digunakan adalah koloid (50-
75% tertahan di intra vaskular) maka volume resusitasi adalah 2/0,75 = 3 L hingga 2/0,5
= 4 L cairan koloid.






Tabel 4. Estimasi Volume Resusitasi
Tahapan Determinasi Jumlah Volume
1. Estimasi volume darah normal (BV) BV 70 ml/KgBB

2. Estimasi % volume darah yang hilang Kelas I: < 15%
Kelas II: 15-30%
Kelas III: 30-40%
Kelas IV: > 40%
3. Kalkulasi defisit volume (VD) VD = BV x % BV yang hilang
4. Determinasi volume resusitasi (RV) RV = VD x 1 (koloid)
= VD x 3 (kristaloid)

Setelah volume penggantian total dihitung, kecepatan penggantian cairan dihitung
berdasarkan kondisi klinis pasien.

Pemantauan Resusitasi
Selama resusitasi perlu dipantau laju jantung, tekanan darah, frekuensi napas, urin yang
keluar, status mental dan suhu tubuh. Vena sentral dapat digunakan untuk memantau preload
pada ventrikel kanan. Pemeriksaan laboratorium rutin termasuk diantaranya gas darah,
elektrolit dan keseimbangan asam basa, fungsi hati dan ginjal, gula darah, hematologi dan
koagulasi rutin. Kadar laktat cukup sering digunakan untuk mengetahui efektivitas dukungan
kardiovaskular.

II.6. Transfusi Darah
Tujuan dasar pemberian transfusi darah adalah oksigenasi jairngan tubuh. Dengan
meningkatkan nilai Hb maka kapasitas pengangkutan oksigen ikut meningkat. Keadaan itu
menjamin suplai oksigen ke jaringan yang mengalami hipoksia.

Rekomendasi transfusi sel darah merah
1. Transfusi sel darah merah hampir selalu diindikasikan pada kadar Hb <7g/dl,
terutama pada anemia akut. Transfusi dapat ditunda jika pasien asimtomatik dan/atau
penyakitnya memiliki terapi spesifik lain, maka batas kadar Hb yang lebih rendah
dapat diterima. (Rekomendasi A)
2. Transfusi sel darah merah dapat dilakukan pada kadar Hb 7-10 g/dl apabila ditemukan
hipoksia atau hipoksemia yang bermakna secara klinis dan laboratorium.
(Rekomendasi C)
3. Transfusi tidak dilakukan bila kadar Hb 10 g/dl, kecuali bila ada indikasi tertentu,
misalnya penyakit yang membutuhkan kapasitas transpor oksigen lebih tinggi
(contoh: penyakit paru obstruktif kronik berat dan penyakit jantung iskemik berat).
(Rekomendasi A)
4. Transfusi pada neonatus dengan gejala hipoksia dilakukan pada kadar Hb 11 g/dl;
bila tidak ada gejala batas ini dapat diturunkan hingga 7 g/dl (seperti pada anemia
bayi prematur). Jika terdapat penyakit jantung atau paru atau yang sedang
membutuhkan suplementasi oksigen batas untuk memberi transfusi adalah Hb 13
g/dl. (Rekomendasi C)

Rekomendasi transfusi trombosit
1. Mengatasi perdarahan pada pasien dengan trombositopenia bila hitung trombosit
<50.000/l, bila terdapat perdarahan mikrovaskular difus batasnya menjadi
<100.000/l. Pada kasus DHF dan DIC supaya merujuk pada penatalaksanaan
masing-masing. (Rekomendasi C)
2. Profilaksis dilakukan bila hitung trombosit <50.000/lpada pasien yang akan
menjalani operasi, prosedur invasif lainnya atau sesudah transfusi masif.
(Rekomendasi C)
3. Pasien dengan kelainan fungsi trombosit yang mengalami perdarahan. (Rekomendasi
C)

Rekomendasi transfusi plasma beku segar (fresh frozen plasma)
1. Mengganti defisiensi faktor IX (hemofilia B) dan faktor inhibisi koagulasi baik yang
didapat atau bawaan bila tidak tersedia konsentrat faktor spesifik atau kombinasi.
(Rekomendasi C)
2. Netralisasi hemostasis setelah terapi warfarin bila terdapat perdarahan yang
mengancam nyawa. (Rekomendasi C)
3. Adanya perdarahan dengan parameter koagulasi yang abnormal setelah transfuse
masif atau operasi pintasan jantung atau pada pasien dengan penyakit hati.
(Rekomendasi C)

Rekomendasi transfusi kriopresipitat
1. Profilaksis pada pasien dengan defisiensi fibrinogen yang akan menjalani prosedur
invasif dan terapi pada pasien yang mengalami perdarahan. (Rekomendasi C)
2. Pasien dengan hemofilia A dan penyakit von Willebrand yang mengalami perdarahan
atau yang tidak responsif terhadap pemberian desmopresin asetat atau akan menjalani
operasi. (Rekomendasi C)

Algoritma Transfusi Darah Preoperatif
1. Evaluasi preoperatif
Evaluasi preoperatif menilai riwayat kesehatan/penyakit sebelumnya, melakukan
pemeriksaan fisik dan menanyakan faktor risiko pasien, misalnya penyakit kardiorespirasi
atau koagulopati. Pada koagulopati, pemakaian warfarin, clopidogrel, dan aspirin dapat
mempengaruhi komponen darah transfusi. Selain itu, evalusai preoperatif juga perlu
menilai adanya penyakit darah kongenital atau didapat, penggunaan vitamin atau
suplemen herbal yang dapat mengganggu koagulasi, serta pemakaian obat seperti
aprotinin yang dapat menimbulkan reaksi alergi. Pasien perlu diberi tahu (informed
consent) terhadap segala risiko atau komplikasi yang timbul akibat reaksi transfusi.
a. Anamnesis
Mengkaji riwayat kesehatan/penyakit pasien
Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Kondisi pasien
b. Tes laboratorium
Hb atau Ht
Profil koagulasi
2. Persiapan preoperatif
a. Langkah-langkah untuk mencegah perdarahan
Menghentikan antikoagulasi
Menunda operasi sampai efek obat yang sebelumnya diminum (warfarin,
clopidrogel, aspirin) menurun
b. Mencegah/mengurangi jumlah darah transfusi allogenik
Obat untuk mencegah anemia perioperatif (eritropoietin dan vitamin K)
Mempersiapkan darah autolog
Obat untuk merangsang koagulasi dan meminimalkan perdarahan (aprotinin, -
asam aminokaproat, asam traneksamat)
3. Intervensi intraoperatif dan postoperatif
a. Transfusi sel darah merah
Memantau perfusi dan oksigenasi (tekanan darah, frekuensi nadi, suhu, dan
saturasi oksigen). Echokardiografi bila memungkinkan.
Memantau indikasi transfusi (apakah ada iskemia jantung, Hb, Ht, profil
koagulasi)
Transfusi dilakukan bila Hb <6 g/dl. Tidak diberikan bila Hb masih >10 g/dl. Bila
Hb antara 6-10 g/dl, menentukan perlu tidaknya transfusi adalah dengan melihat
apakah ada organ iskemia, potensi perdarahan berlanjut, status volume
intravaskular pasien, dan faktor risiko komplikasi terhadap oksigenasi inadekuat.
Transfusi eritrosit allogenik
Transfusi darah autolog
b. Tatalaksana koagulopati
Menilai lapangan pembedahan dan monitoring laboratorium terhadap tanda
koagulopati. Lapangan pembedahan perlu dinilai bersamaan antara dokter bedah dan
anestesiologis, apakah terjadi perdarahan mikrovaskular yang masif. Penilaian
perdarahan masif perlu juga dinilai dari darah suction, spons, dan drainase.
Laboratorium: trombosit, PT dan APTT. Tes lain adalah kadar fibrinogen, fungsi
trombosit, tromboelastogram, D-dimer, dan thrombin time.
Transfusi trombosit
Transfusi trombosit jarang diindikasikan bila trombosit >100 x 10
9
/l dan baru
diberikan bila <50 x 10
9
/l. Indikasi lain adalah bila didapatkan disfungsi
trombosit. Pada kasus trombositopenia yang terjadi karena dekstruksi trombosit
seperti heparin-induced thrombocytopenia, idiopathic thrombocytopenic purpura,
thrombotic thrombocytopenic purpura, transfusi trombosit profilaksis tidak
efektif.
Transfusi FFP
Bila mungkin, uji koagulasi (PT dan APTT) dilakukan sebelum memberikan FFP.
Transfusi FFP tidak diberikan bila PT dan APTT normal serta tidak diindikasikan
untuk meningkatkan volume plasma. Indikasi FFP adalah (1) perdarahan
mikrovaskular masif (koagulopati) dengan PT >1,5 kali, INR >2 kali, atau APTT
>2 kali dari normal; (2) perdarahan mikrovaskular masif akibat sekunder dari
defisiensi faktor koagulasi atau ketika PT/APTT tidak dapat diperiksa pada saat
itu; (3) penghentian tiba-tiba terapi warfarin; (4) diketahuinya faktor koagulasi
yang mengalami defisiensi tetapi komponen transfusi tersebut tidak tersedia; (5)
resistensi heparin (defisiensi antitrombin III) pada pasien yang memerlukan
heparin.
Transfusi kriopresipitat
Sebelum memberikan kriopresipitat, kadar fibrinogen perlu diperiksa. Transfusi
kriopresipitat jarang diindikasikan bila kadar fibrinogen >150 mg/dl. Indikasi (1)
kadar fibrinogen <80-100 mg/dl dengan perdarahan mikrovaskular masif, (2)
defisiensi fibrinogen kongenital. Satu unit kriopresipitat mengandung 150-250 mg
fibrinogen. Satu unit FFP mengandung 2-4 mg fibrinogen/ml. Oleh karena itu,
satu unit FFP memberikan jumlah fibrinogen yang sama dengan 2 unit
kriopresipitat.
Obat untuk mengurangi perdarahan masif (desmopresin, atau hemostatik topikal
seperti lem fibrin, gel trombin)


















BAB III
ILUSTRASI KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama/Nomor RM : Tn. AH/00253570
Usia : 63 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Jl. Radio Dalam 002/02
Agama : Islam
Suku : Jawa
Pekerjaan : Pegawai Swasta

II. PREOPERATIF
Pasien dengan aneurisma aorta abdominalis akan dilakukan bypass aorta bifemoral
dibawa ke ruang OK elektif pada tanggal 26 Maret 2014 dari ruang teratai lantai IV utara,
sebelumnya pasien dirawat di IGD pada 20 Maret 2014 dan dirawat di Rawat inap pada 21
Maret 2014.

ANAMNESIS
Keluhan Utama:
Pasien mengeluh terdapat benjolan yang berdenyut sejak 3 bulan SMRS.
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien mengeluhkan terdapat benjolan yang berdenyut sejak 3 bulan SMRS.Sejak 1
tahun lalu, pasien merasa di perut kiri bagian atas terdapat denyutan.Denyutan dirasakan
makin lama terasa semakin keras.Tidak ada keluhan nyeri perut.Saat 3 bulan ini, denyutan
semakin terasa keras dan semakin meluas.BAB dan BAK normal, tidak ada darah.Berat
badan dirasakan menurun.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Riwayat sakit maag, hipertensi, asma, DM, sakit jantung, dan stroke disangkal.Pasien
belum pernah menjalani operasi sebelumnya.Pasien belum pernah dirawat di rumah sakit
sebelumnya.
Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat DM, hipertensi, sakit jantung, stroke, asma, dan keganasan pada keluarga
disangkal.


Riwayat Kebiasaan Sosial
Pasien mengaku merokok + 10 batang sehari.Riwayat konsumsi alkohol dan penggunaan
narkoba disangkal.

PEMERIKSAAN FISIK
Umum
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan darah : 120/70 mmHg
Nadi : 88 X/menit, regular
Pernapasan : 20 X/menit
Status generalis
Mata
Konjungtiva anemis +/+, sklera ikterik -/-, pupil bulat isokor +/+, refleks cahaya
langsung/refleks cahaya tak langsung ++/++
Leher
Trakea lurus di tengah, pembesaran tiroid -, JVP 5+2 cm H2O, pembesaran KGB -
Thoraks
a. Jantung :
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis di ICS 5 midclavicula line sinistra
Perkusi : batas kanan jantung di ICS 5 midklavikula line dekstra, batas kiri
jantung di 1 ICS 5 midklavikula line sinistra, pinggang jantungdi ICS 3 linea
parasternalis sinistra.
Auskultasi : S1S2 reguler, Murmur (-), Gallop (-)
b. Paru depan
Inspeksi : Pergerakan dada statis dinamis simetris, tidak ada penggunaan otot
bantu napas
Palpasi : Ekspansi dada simetris, vokal fremitus simetris.
Perkusi : Sonor pada semua lapang paru
Auskultasi : Vesikuler pada kedua lapang paru, ronkhi -/- pada kedua
lapang paru. Wheezing -/-pada kedua lapang paru.
c. Paru belakang (toraks)
Inspeksi : Pergerakan dada simetris statis dinamis, tidak ada penggunaan
otot bantu napas
Palpasi : Ekspansi dada simetris, vokal fremitus simetris.
Perkusi : Sonor pada semua lapang paru
Auskultasi : Vesikuler pada kedua lapang paru, ronkhi -/- pada kedua
lapang paru. Wheezing -/-pada kedua lapang paru.
Abdomen
Inspeksi : Datar
Auskultasi : Bising usus + normal
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), hepatosplenomegali , terdapat
denyutan di regio kiri atas dan kiri bawah
Perkusi : Timpani
Ekstremitas : Akral hangat +/+, CT < 2 detik

HASIL LABORATORIUM
26 Maret 2014
Pemeriksaan Hasil Nilai rujukan
Hematologi
- Hemoglobin
- Hematokrit
- Leukosit
- Trombosit
- Eritrosit
VER/HER/KHER/RDW
- VER
- HER
- AHER
- RDW
- Masa perdarahan
- Masa pembekuan
Hemostasis

7.3
23
5.500
100.000
2.76

82.5
26.3
31.9
17.2
?
?


- 11.7-15.5 g/dl
- 33 45 %
- 5-10 ribu/ul
- 150-440 ribu/ul
- 3.8-5.2 juta/ul

- 80-100 fl
- 26-34 pg
- 32-36 gr/dL
- 11.5-14.5 %
- 1.0 3.0 menit
- 2.0 6.0 menit


































- APTT
- PT
- Fibrinogen
- D-dimer

Kimia klinik
Fungsi hati
- SGOT
- SGPT
- Protein total
- Albumin
- Globulin
Fungsi ginjal
- Ureum darah
- Creatinin
Diabetes
Glukosa sewaktu
- Glukosa darah sewaktu
Gas darah
- pH
- PCO
2

- PO
2

- Suhu
- FIO
2

- BP
- HCO3
- O2 Sturasi
- BE
- Total CO2
Elektrolit
- Na
- K
- Cl
?
?
?
?


25
17
3.4
1.8
1.6
0.6


202

7.465

7,352
37.4
158.7
750 mmHg
18
751
20.3
99
-4.7
21.4
138

3.53
109

- 29.0 40.2 detik
- 10.4 12.6 detik
- 200 400 mg/ml
- < 200 mg/ml


- 0-34 Ul
- 0-40 U/l
- 6-8 g/dl
- 3,40 4,86 g/dl
- 2,50 3,00 g.dl

- 20 40 mg/dl
- 0,6 1,5 mg/dl


- 70 140

- 4,8 7,4
- 35 45
- 75 100
-
-
-
- 24 - 28
- 75 - 100
- -2,5 2,5
- 19.0 24.0 mmol
- 135-147 mmol/l

- 3.1-5.1
- 95-108 mmol/l

III. RIWAYAT MASUK OK
Pasien pra-bedah didiagnosis aneurisma aorta abdominalis. Di Ruangan sudah
mendapatkan transfusi PRC 300 cc. Rencana operasi bypass.
PEMERIKSAAN FISIK
Umum
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 78 X/menit, reguler
Pernapasan : 16 X/menit
Suhu : Afebris

Status generalis
Mata : konjungtiva anemis +/+, sklera ikterik -/-
Jantung : bunyi jantung I-II normal, murmur (-), gallop (-)
Paru : vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-
Abdomen : membuncit sesuai kehamilan
Ekstremitas : akral hangat +/+

Pasien dikategorikan ke dalam ASA 2 dengan aneurisma aorta abdominalis akan
dilakukan bypass aorta bifemoral. Pasien dilakukan general anestesia (GA).

PENANGANAN ANEMIA PRE OPERATIF
Pada pasien ini didapatkan Hb 7.3 yang menandakan bahwa pada pasien ini
mengalami anemia dan karena kondisi klinis sudah menunjukkan anemia seperti konjungtiva
anemis, dan muka pasien yang pucat maka diputuskan diberikan transfuse PRC 250 cc
sebelum operasi. Pada pasien ini, diberikan transfusi darah berupa PRC.Pemberian darah
dilakukan untuk meningkatkan kapasitas pengangkutan oksigen, terutama ke daerah yang
mengalami hipoksia.Transfusi yang dilakukan menggunakan PRC daripada whole blood
mengingat sifatnya yang lebih aman.
Pasien dipasang kanul vena pada kedua tangannya dengan tujuan mencegah terjadinya
kekurangan cairan,mengingat operasi bypass aorta abdominalis sangat beresiko terjadinya
perdarahan.

TINDAKAN ANESTESI DAN MONITORING INTRAOPERATIF

Operasi ini menggunakan anastesi tipe general anastesi. Dengan premedikasi
diberikan obat intra vena fentanyl 100 mcg dan midazolam dengan 2 mg. Dan untuk induksi
diberikan secara intravena propofol 200 mcg dan rocuronium 50 mg. Setelah itu dilakukan
intubasi melalui oral dengan ETT ukuran 7.5 cuff + dengan stilet sesudah pasien tidur. Pada
pasien dilakukan preoksigenasi, dan mudah masuk ventilasi.
Untuk maintenance digunakan rocuronium 10 mg intra vena setiap 30 menit, fentanil
50 mcg intravena setiap 45 menit selama operasi berlangsung. Serta pemberian O
2
: Air
50:50 ( 2 liter : 2 liter) dan gas isoflurence 1%
Untuk ventilasi pasien menggunakan ventilator dengan kendali volume tidal 500 ml
dan frekuensinya 12x/min.Selain itu, untuk mencegah hilangnya cairan lebih lanjut, juga
diperlukan penghentian perdarahan.Pemberian cairan pada pasien dapat berupa kristaloid atau
koloid.

Kebutuhan cairan perioperative

Pada saat pasien akan melakukan pembedahan, maka pasien akan melewati tiga
periode yaitu prabedah, selama pembedahan dan pasca bedah dimana dari ketiga periode
tersebut memiliki beberapa permasalahan salah satunya adalah terapi cairan.
Terapi cairan adalah tindakan untuk memelihara atau mengganti cairan yang telah
hilang baik dengan cairan kristaloid maupun koloid.Terapi cairan perioperatif meliputi:
penggantian cairan yang sudah hilang sebelumnya seperti pada pasien yang sebelumnya
puasa, kebutuhan maintenance, dan cairan yang hilang akibat operasi termasuk di dalamnya
perdarahan.Sehingga sebelum tindakan operasi sebaiknya kita hitung kebutuhan cairan pasien
Hitung cairan yang dibutuhkan :
BB : 70 kg
Puasa : 8 jam
Jenis operasi :Berat (8)

Maintenance (M) : 4 x 10: 40
2 x 10: 20
1 x 50: 50 +
110 ml / jam

Pada pasien ini karena operasi yang dijalani merupakan jenis operasi besar, maka
Operasi (O) : 8 x 70 = 560 ml.
Puasa (P) : Puasa x M : 8 x 110 : 880 ml
Kemudian untuk menghitung jumlah cairan yang semestinya masuk kita gunakan rumus di
bawah dengan menjumlahkan maintenance (M), kebutuhan cairan berdasarkan jenis operasi
(O) dan puasa (P).

Pemberian jam I : M + O + P = 110 + 560 + 440 : 1110 ml
Pemberian jam II : M + O + P = 110 + 560 + 220 : 890 ml
Pemberian jam III : M + O + P = 110 + 560 + 220 : 890 ml
Pemberian jam IV, dst : M + O = 110 + 560 : 670 ml

Operasi berlangsung selama 7 jam , cairan yang dibutuhkan kurang lebih 5000 mL. Selain
memanage cairan pada saat operasi lebih baik di hitung juga estimasi perdarahan yang akan
terjadi pada pasien ini untuk mengetahui apakah perdarahannya masih bisa di toleransi atau
tidak. Pada pasien ini, hematokrit awal tidak mencapai 30% (asumsi volume darah normal
termaintain).Jadi perhitungan perdarahan yang diizinkan (allowable blood loss) tidak dapat
dihitung.
1. Estimasi volume darah pada pasien ini adalah 70x70=4900 ml
2. Estimasi volume sel darah merah (RBCV) adalah 4900x29%= 1421 ml
3. Estimasi volume sel darah merah dengan hematocrit 30% adalah 4500x30%=1350
ml
4. Allowed Blood Loss
Htseharusnya Htpasien x EBV
Htseharusnya
30 23 x 4900 = 34.300 : 30 = 1.143 ml
Perdarahan pada Tn.AH = 3000 ml
Pada pasien dengan hematokrit normal, baru diindikasikan transfusi jika kehilangan darah
lebih dari 10-20%.Jika masih < 10-20% bisa diberikan dengan kristaloid sebanyak 2-3x dari
jumlah perdarahan atau koloid yang jumlahnya sama dengan perdarahan atau campuran
kristaloid dan koloid. Pada pasien ini di katakan kehilangan cairan >50%, sehingga
dibutuhkan pemberian transfusi darah. Pemberian transfusi bertujuan untuk meningkatkan
kapasitas transport O
2
dan volum intravaskular .tetapi untuk meningkatkan volume
intravaskular bisa diberikan cairan kristaloid atau koloid. Pada pasien ini mendapatkan cairan
sebagai berikut :

Berdasarkan pemberian cairan pada pasien di atas sudah sesuai untuk mengatasi syok dan
kebutuhan cairan selama operasi. karena berdasarkan perhitungan cairan yang di atas pasien
membutuhkan cairan untuk Maintenance durante operasi sebesar 5000 ml, tetapi karena
adanya kondisi Hb dan Ht pasien yang kurang dari normal, maka ditambahkan transfusi darah
sebesar 250 cc. Lalu, kondisi syok yang sempat dialami pasien kurang lebih 3000 ml
Perdarahan 1500 cc, Tek.darah stabil, denyut nadi baik
Loading Cairan kristaloid RL 500 cc x 3 calf = 1500 cc;
Loading Cairan koloid berupa Gelofusin 500 cc x 1 calf = 500 cc
1 unit PRC 250 cc( karena Hb 7,3 gr/dl )
Perdarahan 2000 cc, tek.darah menurun, denyut nadi mulai meningkat
Cairan koloid berupa gelofusin 500 cc x 2 calf = 1000 cc
Cairan kristaloid berupa NaCl 500 cc x 1 calf = 500 cc
2 unit PRC 250 cc = 500 cc
Dalam satu jam, perdarahan murni pada Tn.AH sejumlah 2700 ml
disertai hipotensi ( 80/60 mmHg), takikardia (120x/mnt)
Cairan kristaloid NaCl 500 cc x 2 calf = 1000 cc
3 Unit PRC 250 cc = 750 cc
1 Unit Fresh Frozen Plasma 500 cc
Total Pemberian Cairan Durante Operasi
3000 ml cairan Ringer Laktat
1500 ml cairan kristaloid
1500 ml cairan koloid
1500 ml PRC
500 ml FFP



perdarahan ( > 50% EBV), sudah diberikan 1500 PRC serta 500 cc FFP. Meskipun hal ini
kurang mencukupi untuk menggantikan darah yang keluar, tetapi jumlah darah ditambah
cairan yang ditambahkan kepada pasien melalui kanulasi vena perifer dan sentral ini, bisa
menaikkan dan menstabilkan kerja jantung dan menjaga Hb pasien yang rendah yaitu 7,3
gr/dl dengan Ht 23 % untuk terus mendistribusi kan O2 ke jaringan serta menjaga
hemodinamik pasien selama operasi.

KEADAAN POST OPERASI
Tekanan darah : 167/87 mmHg
Nadi : 75 X/menit, reguler
Saturasi O2 : 100%
Refleks : (-)/(-)
Muntah : (-)
Pasien diantar ke ICU
Pasien masuk ruang pulih dengan kesadaran apatis, jalan nafas tidak ada masalah,
pernapasan spontan tetapi belum adekuat. Lalu pasien dikirim ke ICU


























DAFTAR PUSTAKA

1. Secher NH, Pawelczyk, Ludbrook J, editors. Blood loss and shock. London: Edward
Arnold; 1994. p: 165-82.
2. Marino PL. The ICU book. 3rd edition. Philadelphia: Lippincott williams&wilkins; 2007.
p: 211-29.
3. Corwin HL, Hebert PC. Physiology of anemia and red blood cell transfusion. Dalam:
Spiess BD, Spence RK, Shander A. Perioperative Transfusion Medicine, ed 2. USA:
Lippincott Williams & Wilkins. 2006. hal 67-75.
4. Miller RD. Transfusion therapy. Dalam: Miller RD. Millers Anesthesia, ed 6. USA:
Elsevier Churchill Livingstone. 2005. hal 1799-830.
5. Transfusi darah. Departemen Kesehatan RI.
6. American Society of Anesthesiologists Task Force on Perioperative Blood Transfusion
and Adjuvant Therapies. Practice guidelines for perioperative blood transfusion and
adjuvant therapies. Anesthesiology 2006;105:198-208.
7. Hallett JW, Mills JL, Earnshaw JJ, Reekers JA, Rooke TW, editor.Comprehensive
vascular and endovascular surgery. 2nd ed. Philadelphia:Mosby, Inc.;2009.
8. Weintraub NL. Understanding Abdominal Aortic Aneurysm. N Engl J
Med.2009;361(11):11146.
9. Ernst CB. Abdominal Aortic Aneurysm. N Engl J Med. 1993;328(16):116772.

Vous aimerez peut-être aussi