Boerhan Hidajat, Roedi Irawan, Nurul Hidayati Divisi Nutrisi dan Metabolik Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNAIR/ RSUD Dr Soetomo Surabaya
ABSTRACT The effects of food on behavior were championed not only by medical practitioners, but also by their patients. Diet was believed to determine physical and mental health, spiritualy, intelligence, and sexual power. It has been hypothesized that changes in nutrient availability modify neurotransmitter synthesis and activity in the CNS. These modifications could have important consequences for behavior. The idea that foods can alter neurotransmitter production, and thus act in some ways like psychoactive drugs, also has implications for the treatment of neurological and psychological disorders. Nutrients could act as therapeutic agents for these conditions. Nutrients could also interact with drugs in ways that are either clinically beneficial or countertherapeutic. Deficiencies of several vitamins are known to be associated with irritability. These include niacin, panthothenic acid, thiamine, vitamin B6. Evidence is now emerging that iron deficiency may be an important contributor to the aggressive behavioral syndrome. There is considerable evidence that pharmacologic doses of litihum, can reduce abnormal aggressive behaviors. In human magnesium deficiency, which enhance cathecolamine secretion and sensitivity to stress, may promote aggressive behavior. Massive exposure of manganese may produce manganese madness Brain damage due to toxic metal exposure may promote aggressive, antisocial and violent behaviors. Tryptophan, an essential amino acid, is the dietary precursor of serotonin, and several lines of evidence have suggested that the amount of tryptophan in the diet relates closely to aggressive behavior.
Key word : Nutrition, behavior
ABSTRAK Pengaruh makanan pada perilaku sebenarnya sudah banyak dikenal, tidak hanya oleh para dokter tetapi juga oleh para penderita sendiri; bahwasanya makanan berpengaruh terhadap kesehatan fisik, mental, kepandaian bahkan kemampuan seksuel Telah diketahui bahwa makanan mempengaruhi sintesa maupun aktifitas dari neurotransmiter di otak, sehingga juga berpengaruh terhadap perilaku seseorang. Pengaruh makanan terhadap neurotransmiter, tidak jauh berbeda dengan pengaruh berbagai obat psikoaktif terhadap otak. Bahkan makanan juga dapat mempengaruhi obat-obat yang bekerja di otak. Defisiensi berbagai vitamin dapat menyebabkan perilaku yang cengeng,termasuk kekurangan terhadap niacin, asam panthothenat, thiamin, serta vitamin B6. Telah pula banyak dibuktikan kekurangan Fe, dapat menyebabkan perilaku yang agresif. Sedangkan Lithium dapat mengurangi agresivitas. Kekurangan magnesium dapat meningkatkan sekresi katekolamin serta dapat mendorong terjadinya perilaku yang agresif. Pemberian mangan (keracunan) dapat menyebabkan perilaku seperti orang gila. Kerusakan otak akibat keracunan logam berat dapat menyebabkan perilaku agresif, antisosial, serta tindak kekerasan. Triptopan sebagai asam amino esensiel merupakan prekursor serotonin, sehingga jumlah yang berlebihan dapat mendorong terjadinya perilaku yang agresif.
Pendahuluan Anggapan bahwa makanan sangat mempengaruhi perilaku seseorang sebenarnya sudah lama dikenal. Perilaku suatu bangsa atau ras sering dikaitkan dengan kebiasaan makannya. Pengertian bahwa pemakan daging sering berdarah panas, daging kambing sering meningkatkan perilaku seks seseorang, pemakan sayur sering bersifat lebih kalem, merupakan beberapa contoh anggapan masyarakat kita tentang pengaruh makanan terhadap perilaku seseorang. J ean Anthelme Brillat-Savarin seorang filosof dari Perancis, sekitar 160 tahun yang lalu telah menulis : The Physiology of Taste, Tell me what you eat, and I will tell you what you are. Para sarjana Mesir kunopun telah menuliskan bahwa makanan dapat secara integral merupakan obat, baik bagi penyakit fisik ataupun psikologisnya. Sebenarnya kisah Nabi Adam dan Hawapun yang telah ditulis dalam kitab suci, tentang larangan Tuhan untuk memakan suatu buah, telah pula menggambarkan bahwa kita tidak boleh makan makanan sembarangan , karena hal demikian dapat menimbulkan penyakit fisik maupun mental (penyimpangan perilaku). Berbagai penyakit metabolik terutama yang bersifat turunan (inborn error), menunjukkan betapa besar pengaruh makanan terhadap pertumbuhan fisik maupun mental seseorang. 1 Dr.Peter J .DAdamo dalam bukunyaEat Right For Your Type telah menuliskan berbagai jenis makanan yang cocok untuk berbagai jenis golongan darah. Misalnya kelompok golongan darah O dianjurkan untuk banyak makan daging (tinggi protein dan rendah karbohidrat), kelompok golongan darah A sebaiknya vegetarian (tinggi karbohidrat dan rendah lemak), kelompok golongan darah B sebaiknya makanannya bervariasi, sedangkan untuk golongan darah AB yang baik untuk golongan darah A dan B pada umumnya juga baik untuk mereka, tetapi yang tidak baik untuk golongan darah A dan B juga tidak baik untuk mereka. 2 Penelitian terhadap hubungan nutrisi dan perilaku tidaklah mudah dilakukan; pada umumnya dilakukan dengan memakai metoda korelasi, namun dapat pula dengan melalui penelitian eksperimental (Dietary replacement studies atau Dietary Challenge studies). Nutrisi mempengaruhi perilaku seseorang karena dapat menyebabkan penyimpangan pada otak baik anatomis maupun fungsionalnya, diantaranya dengan mempengaruhi: 3 J umlah, besar dan posisi sel neuron 2 Pertumbuhan dendrit dan axon Pertumbuhan synaps Produksi neurotransmiter Perkembangan sel glia Myelinisasi dari axon
Perubahan dalam keseimbangan neurotransmiter merupakan keadaan yang sangat penting sebagai penyebab perubahan perilaku. Makanan (asam amino) dapat secara langsung berpengaruh terhadap produksi neurotransmiter, yang pada akhirnya dapat menyebabkan terjadinya penyimpangan perilaku. Neurotransmiter pada binatang mamalia dikenal sebanyak 30-40 bahan, mereka dibagi dalam 3 kelompok kimia: Kelompok asam amino: Glycine, glutamine, dan aspartat Kelompok peptida: endorphine, cholecystokinine, dan thyrotropin-releasing hormone Kelompok monoamine: acetylcholine, dopamine, norepinephrine dan serotonine Sedangkan makanan, menyebabkan perubahan pada otak, bisa oleh karena bahan makanan itu sendiri ataupun karena terkontaminasi dengan bahan toksik yang berasal dari lingkungan seperti logam-logam berat (merkuri, aluminium, tembaga), serta bahan-bahan toksik lain. Makanan yang kita makan atau kita berikan pada anak kita harus benar-benar tepat, tepat jenis, tepat jumlah (sesuai kebutuhan), tepat kombinasi, tepat waktu; serta harus senantiasa dimonitor atas kemungkinan terdapatnya efek samping; kadang-kadang makanan yang baik untuk seseorang anak, belum tentu baik pula untuk anak yang lain. Sebenarnya istilah terapi nutrisi sudah lama dikenal, sehingga makanan tidak semata-mata dianggap sebagai komponen penting dalam tumbuh kembang, tetapi dianggap sebagai bagian integral dalam pengobatan, fungsi kekebalan dari makananpun sudah banyak dituliskan di berbagai publikasi ilmiah
Pengaruh Defisiensi Protein Enersi (DPE) Otak sebagai organ penentu perilaku seseorang, dibentuk sejak dalam masa kandungan trimester I, yang bertumbuh secara cepat sampai masa kelahiran dan terus bertumbuh secara cepat sampai pada 6 bulan pertama, kemudian pertumbuhannya melambat dan pada umur 2-3 tahun tidak tumbuh lagi. Kalau pada masa-masa pertumbuhan otak ini, anak mengalami defisiensi protein-enersi yang sangat dibutuhkan oleh otak yang sedang tumbuh, maka dapatlah dimengerti 3 bahwa pertumbuhan otak akan sangat terganggu baik secara anatomis, maupun fungsionil; hal ini tentunya akan sangat berpengaruh pada perilaku anak tersebut. Demikian pula berbagai defisiensi vitamin dan mineral yang sering menyertai kondisi DPE, dapat mengganggu baik pembentukan sel neuron, proses myelinisasi, serta pembentukan neurotransmiter. Penderita Marasmik disamping perkembangan motoriknya yang lambat, sering disertai dengan perilaku cengeng (irritable), bahkan kadang-kadang apatis. Kwashiorkor sering mempunyai perilaku apatis, kadang-kadang cengeng. 4 Telah terbukti pula bahwa kekurangan nutrisi yang terjadi dalam waktu pendekpun (menghilangkan sarapan) dapat mempengaruhi perilaku, termasuk nilai pelajaran disekolah.
Pengaruh Vitamin Vitamin berfungsi sangat penting dalam proses metabolisme, sebagai katalisator dan koenzim dalam berbagai kegiatan enzim metabolisme, sehingga sangat mempengaruhi tumbuh kembang dan perilaku seseorang. Kondisi defisiensi vitamin sering terjadi akibat asupan yang kurang, tetapi kadang-kadang karena kebutuhan yang meningkat. Berbagai vitamin seperti thiamin, niacin, pyridoxine, cobalamin dan asam folat, dikenal sangat mempengaruhi fungsi otak, sehingga juga sangat berpengaruh pada perilaku dan tumbuh kembang anak. Deficiensi terhadap vitamin-vitamin tersebut, sering diikuti dengan perubahan perilaku gampang tersinggung dan pemarah. Telah banyak dilaporkan bahwa penyimpangan perilaku demikian akan menghilang setelah pemberian vitamin vitamin tersebut. 5,6,7 Thiamin adalah bagian dari koenzim thiamin pyrophosphate (TPP), yang befungsi sangat penting dalam metabolisme karbohidrat. Ternyata thiamin juga berfungsi dalam sintesa dan pelepasan neurotransmiter sistem syaraf. 8,9 Pemberian niacin pada schizophrenia, dapat meringankan penyakitnya, karena dapat sebagai akseptor methyl sehingga dapat menurunkan hallusinigen yang endogen. Pada umumnya dikatakan pemberian megavitamin pada penderita schizophren dianggap bermanfaat. 10,11,12,13,14
Mineral Fungsi mineral dalam proses kehidupan sangatlah penting, terutama dalam pembuatan berbagai enzim, misalnya Zat besi (Fe) un tuk katalase cytochrom, iodium untuk pembuatan hormon thyroxin, cobalt untuk pembuatan vitamin B 12 , Sebagai katalisator atau kofaktor dalam berbagai fungsi biologis, mineral penting dalam proses absorpsi maupun masuknya berbagai nutrien kedalam sel termasuk sel otak. 4 Fe, I dan Zn sangat penting dalam pengaturan fungsi otak, sehingga sangat berpengaruh terhadap berbagai penyimpangan perilaku 7,8,9,10
Dopamin sebagai neurotransmiter yag penting di otak dalam metabolismenya sangat membutuhkan Fe, Fe bekerja sebagai ko-faktor enzim metabolik untuk dopamin, bahkan juga untuk serotonin dan epinephrin; kekurangan Fe berarti menurunnya jumlah dopamin yang dapat mengganggu kemampuan belajar, bahkan dapat terjadi gangguan perilaku. Telah banyak penelitian membuktikan bahwa defisiensi zat besi pada anak remaja dapat memacu terjadinya gangguan perilaku berpa sindroma perilaku agresif 11,12,13 Lithium pada dosis farmakologik (sekitar 900 g/hari) ternyata dapat mengurangi terjadinya perilaku agresif. Pada studi epidemiologi, telah terbukti bahwa di negara yang air minumnya mengandung lithium cukup, angka kelainan perilaku penduduknya yang berupa kemauan bunuh diri, pemerkosa, pelaku perampokan, serta pemakai obat terlarang, secara bermakna lebih rendah dibandingkan dengan negara yang air minumnya mengandung lithium lebih rendah. Namun demikian karena dosis toksik dari lithium berada hanya sedikit diatas dosis farmakologiknya, maka pemberian lithium harus dalam pengamatan yang ketat. Pada umumnya dosis farmakologik dari lithium 150 g/hari, sedangkan kadar lithium dalam air minum berkisar antara 8-70-170 /L 15,16,17,18 Defisiensi magnesium, dapat meningkatkan sekresi dari catecholamin, serta sensitip terhadap stres. Peningkatan catecholamin dapat meningkatkan pengeluaran magnesium dari dalam sel, serta pengeluarannya lewat air seni. Perilaku berupa stres yang kronik, agresif, kemauan bunuh diri, serta kekerasan, sering dihubungkan dengan rendahnya kadar magnesium dalam cairan serebro-spinal. 19,20,21 Mangan merupakan mineral sekelumit (trace mineral) yang esensiel. Pemberian yang berlebihan (intoksikasi) yang terbukti dengan terdapatnya penigkatan kadarnya dalam akar rambut, dapat menyebabkan manganese madness dengan perilaku kekerasan, perbuatan kriminal, yang akhirnya muncul sebagai gejala penyakit Parkinson. Pada anak sering muncul sebagai gejala hiperaktif. 22
Logam berat Otak yang mengalami keracunan logam berat, sering memunculkan perilaku yang agresif, antisosial, serta berbagai tindakan kekerasan. Hal ini banyak dilaporkan pada intoksikasi tembaga, cadmium, aluminium serta merkuri. 23,24,25,26,27,28,29,30
5 Asam amino Tryptophan adalah asam amino esensiel yang merupakan prekursor dari serotonin. Pemberian trytophan yang berlebihan dapat menyebabkan munculnya perilaku yang agresif, impulsif, kekerasan, sampai pada kemauan bunuh diri. Efek dari tryptophan ini juga tergantung pada rasio dari asam amino netral lain karena masuknya kedalam otak, melalui sawar otak secara kompetitip. 37 Kondisi hipoglikemi Kondisi hipoglikemi ternyata dapat menyebabkan perilaku yang agresif, berupa kekerasan dengan berbagai macam tindakan kriminal. Pemberian gula sering pula menyebabkan terjadinya reactive hypoglycaemia, akibat terjadinya rangsangan terhadap pembentukan insulin 35,36
Kondisi sensitiv terhadap makanan Dengan cara penelitian eliminasi-tantangan, ternyata banyak dari kelainan perilaku yang terbukti timbul akibat mengkonsumsi makanan yang sensitiv. Kelainan perilaku yang hilang pada saat dilakukan eliminasi ternyata dapat muncul kembali setelah diberi tantangan. Dikatakan bahwa hal ini terutama akibat adanya berbagai bahan aditif. Dari kenyataan-kenyatan diatas nampaknya peranan berbagai makanan sangat penting sebagai pencetus sekaligus upaya pengobatan pada terjadinya berbagai penyimpangan perilaku. Masalahnya sering kita mengalami kesukaran dalam mencari kepastiannya, keadaan ini sekaligus merupakan penyebab rendahnya kepatuhan untuk membatasi atau menghindari makanan yang bersangkutan 35,36
ASPEK GIZI PADA AUTISME Autisme dikenal sebagai suatu sindroma penyimpangan perilaku pada anak yang melibatkan sistem sensoris, kemampuan komunikasi, serta kemampuan sosialisasi di masyarakat.. Autisme bukan suatu kelainan mental. Sampai saat ini upaya-upaya penyembuhannya masih bersifat simtomatis, suportif serta rehabilitatip, belum dapat dianggap sebagai tindakan kuratif. Hal ini karena selain penyebab pastinya yang belum diketahui, juga karena terdapatnya banyak variasi yang didapat pada penderita, baik pada gejalanya yang nampak, sampai pada kelainan laboratorium yang didapat serta respon terhadap upaya pengobatannya. Namun pada dasarnya disepakati bahwa penyimpangan metabolisme hampir senantiasa terdapat pada anak dengan autisme. Bahan metabolit yang terjadi sebagai hasil-antara pada proses metabolisme (sering berupa asam organik) merupakan bahan yang dapat mengganggu fungsi otak yang akhirnya 6 diperkirakan sebagai penyebab terjadinya gejala seperti diatas, Keadaan ini sering pula didahului dengan gangguan pencernaan yang dianggap sebagai penyebab utama terjadinya penyimpangan metabolisme. 38 J alur penyebab terjadinya penyimpangan metabolisme sering melalui proses alergi, infeksi, gangguan imunologi, infeksi, serta terjadinya perubahan flora bakteri, yang ditandai dengan perkembangan dari berbagai jamur seperti candida, yang dapat menyebabkan terjadinya ganggua pencernan yang akhirnya berlanjut mejadi penyebab terjadinya gangguan fungsi dari otak. Dikatakan bahwa sekitar 50% penyandang autisme mengalami gangguan pencernaan (Shaw W, 1998). Dari penelitian lebih jauh ternyata bahwa pemberian secretin sebagai upaya memperbaiki pencernaan, mempunyai tingkat kegagalan yang masih tinggi (sampai 40%) Penegakan diagnosa pasti dari autisme tidaklah mudah karena banyak diantara mereka yang mempunyai penampilan normal, gejalanya sangat bervariasi dari yang sangat ringan sampai yang berat, bahkan sebenarnya banyak penyakit-penyakit lain yang memberikan gejala mirip dengan autis, seperti : Attention Deficit Disorder (ADD), Pervasive Developmental Disorder (PDD). Diagnosanya sering hanya didasarkan atas keluhan dari orang tua dan gejala yang nampak, walaupun sebenarnya diagnosa yang lebih tepat dapat dilakukan dengan pemeriksaan laboratorium terhadap berbagai kandungan asam organik baik dari darah maupun air seni. Pada umumnya gejala autis baru nampak jelas pada anak yang telah berumur 11/2-3 tahun. Menurut laporan dari Cathy Pratt direktur Indiana Resource Center for Autism, angka kejadian Autisme di Amerika 10 tahun yang lalu berkisar antara 5-15 /10.000 penduduk, sekarang dilaporkan 7-48 /10.000. Edelson S.M. dari Center for the Study of Autism, Salem, Oregon, mengatakan bahwa prevalensi autisme di Amerika dan di Inggris berkisar sekitar 4,5 pada setiap 10.000 kelahiran hidup. Pada laporannya yang terakhir dikatakan bahwa prevalensi autisme berkisar 1/4%-1/2% dari penduduk. 39
Penyebab autisme Walaupun sampai saat ini belum diketahui penyebab pasti dari autisme tetapi beberapa keadaan dianggap dapat menjadi penyebabnya, diantaranya: 40,41,42 Genetik, hal ini terbukti dengan lebih banyaknya kejadian autisme pada saudara kembar satu zigot, daripada mereka yang dua zigot. Bahkan terakhir telah diketemukan lokasi gen-autis; namun kemudian beberapa peneliti lain mengatakan bahwa gen itu adalah gen kelemahan sistem kekebalan, sehingga akhirnya diduga terjadinya autisme melalui proses infeksi. 7 Virus, terutama virus rubella, cytomegalo, yang menginfeksi ibu hamil pada trimester pertama, sering memberikan resiko kejadian autisme yang tinggi. Bahkan dilaporkan adanya kasus autis setelah pemberian vaksinasi MMR yang diduga karena komponen campaknya, DTP karena komponen pertusisnya. Toksin dan polutan, dianggap pula sebagai penyebab terjadinya autisme. Hal ini terbukti dari perbandingan angka kejadian autis diberbagai daerah. Gangguan fungsi sistem imun, dikatakan bahwa semua keadaan yang mempengaruhi sistem imun mulai dari kejadian infeksi, tingginya polusi, sampai pada faktor genetik dapat menimbulkan autisme. Karena ternyata pada banyak penderita terdapat penurunan dari sel T-helper. Saat ini sedang dikembangkan teori bahwa terdapatnya gangguan pada sistem gastrointestinal (pencernaan) merupakan penyebab penting terjadinya autisme, hal ini karena terbukti pada banyak penderita autis, terdapat perkembang biakan jamur Candida albicans yang berlebihan, serta terdapat rendahnya kadar phenyl sulfur transferase, dan sering diketemukannya virus campak dalam sistem gastro-intestinal. Laporan tentang kasus Parker Beck yang dinyatakan sembuh dari autisnya setelah mendapat terapi hormon secretin yang berfumgsi memperbaiki pencernaan, memperkuat teori ini. Pada penelitian lebih lanjut banyak pula didapatkan kegagalan dalam upaya penyembuhan autisme dengan pemberian secretin, walau kenyataannya sekitar 50% penderita autisme mempunyai gangguan pencernaan. J amur serta bakteri yang resisten terhadap antibiotika yang mengalami pertumbuhan berlebihan karena berbagai sebab dapat mengeluarkan bahan kimia (asam organik) yang sering disebut sebagai gliotoxin yang berpengaruh terhadap fungsi otak. Demikian pula jamur serta kuman tersebut yang menempel pada dinding usus dapat mengeluarkan enzim yang dapat merusak epitel usus dan dapat menyebabkan kebocoran leaky gut syndrome. Keadaan ini akan sangat mengganggu produksi enzim pencernaan yang dapat mengakibatkan tidak sempurnanya proses pencernaan. Banyak dari protein yang tidak tercerna secara sempurna akan menjadi peptida yang terserap kedalam darah dan dapat meracuni otak karena dapat berfungsi sebagai transmitter palsu, mereka dapat ditangkap oleh reseptor opioid sehingga dapat berfungsi sebagai opium atau morfin. Melimpahnya bahan-bahan yang bekerja sebagai opium kedalam otak menyebabkan terganggunya fungsi otak, dapat mengganggu bidang persepsi, kognisi, emosi serta perilaku. Kekurangan enzim pencernaan juga dapat terjadi akibat faktor genetik. 8 Protein yang sulit dicerna dan sering diserap sebagai peptida adalah casein (protein yang berasal dari susu sapi atau domba) dan gluten, protein gandum (wheat, oats, rye, barley). Peptida dari casein bila diserap kedalam otak berubah menjadi casomorphin, sedangkan dari gluten berubah menjadi gliadinomorphin atau gluteomorphin
Dalam mencari penyebabnya dalam otak, ternyata beberapa peneliti memang mendapatkan kelainan otak pada penderita autisme, tetapi mereka tidak dapat menerangkan hubungan kelainan otak yang ada dengan gejala yang nampak. Akhirnya mereka menyimpulkan bahwa pada autisme perubahan otak dapat terjadi berupa perubahan struktural maupun fungsionil yang terbukti dengan adanya penyimpangan biokimia. Drs. Bauman dan Kemper telah melakukan penelitian post-mortem pada penderita autisme, ternyata beliau mendapatkan adanya dua kelainan didaerah sistem limbik: amigdala, dan hipokampus. Daerah ini memang dikenal sebagai pengatur emosi, agresivitas, masukan sensori, serta proses belajar. Peneliti ini juga mendapatkan adanya defisiensi sel Purkinye dalam serebellum. Dr. Courchesne dengan memakai Magnetic Resonance Imaging (MRI), menemukan kelainan di dua tempat di serebellum, di lobulus vermal VI dan VII, yang ternyata ukurannya lebih kecil pada penderita autisme dibandingkan dengan anak yang normal. Daerah ini dikenal sebagai pusat untuk pemusatan perhatian. 43 Pada pemeriksaan biokimia penderita autis didapatkan peningkatan kadar serotonin baik di dalam darahnya maupun dari cairan serebro-spinal, sedangkan pada kelainan-kelainan lain seperti pada Down Syndrome, ADD didapatkan penurunan. Demikian pula terbukti bahwa pada penderita autisme terdapat peningkatan kadar beta-endorphins dan endogenous opiate-like substance, hal ini diperkirakan sebagai penyebab terdapatnya ketahanan terhadap rasa sakit yang tinggi. Pada pemeriksaan urine sering didapatkan peptida-peptida asing, yang sebenarnya sebagai hasil sampingan metabolisme protein yang tidak sempurna.
Intervensi gizi pada autisme Anak autis dengan berbagai macam kesukarannya harus diupayakan untuk tetap dapat bertumbuh dan berkembang secara optimal serta dapat menjadi manusia yang berguna. Diantara mereka ada yang dilaporkan sembuh serta ada pula yang sampai lulus perguruan tinggi dan menikah. Walaupun pada umumnya mereka susah untuk mencari pekerjaan karena sering gagal pada saat wawancara. Dengan diketemukannya teori bahwa salah satu penyebab dari autisme 9 adalah gangguan pencernaan dan penyimpangan metabolisme, maka peranan makanan bagi penderita autis sangatlah penting, karena disamping sebagai modal untuk tumbuh kembang juga untuk menghindari timbulnya penyimpangan metabolisme yang kalau perlu dilakukan dengan suatu intervensi. 44 Pemberian makanan pada bayi dan anak harus bertujuan untuk menumbuhkembangkan bayi dan anak secara optimal sehingga mereka dapat menjadi manusia yang berkualitas. Pemberian makanan yang benar dan baik akan membawanya menjadi manusia yang bergizi baik, sehingga memberikan kemungkinan yang besar bagi dirinya untuk mengembangkan seluruh potensi genetiknya secara optimal. Khusus pada anak, yang sedang bertumbuh dan berkembang, pemberian makanan yang benar sangatlah penting artinya karena pemberian makan yang salah akan sangat mengganggu tumbuh kembangnya, yang tentunya akan sangat berpengaruh terhadap kemampuannya di kemudian hari. Organ-organ penentu kualitas manusia seperti otak, jantung, ginjal, paru, mata, tulang serta berbagai organ endokrin, pertumbuhannya sangat dipengaruhi kondisi gizi pada masa anak- anak. Sel-sel otak terbentuk sejak trimester pertama kelahiran. Pertumbuhan ini berkembang pesat selama masa prenatal dan diteruskan beberapa waktu sesudah bayi dilahirkan (postnatal), sampai bayi berumur 2-3 tahun; dengan periode tercepat pada 6 bulan pertama, sesudah itu praktis tak ada pertumbuhan lagi, kecuali pembentukan sel-sel neuron baru untuk mengganti sel- sel yang mati. Dengan demikian diferensiasi dan pertumbuhan otak berlangsung hanya sampai 3 tahun pertama kehidupan. Kekurangan gizi pada masa kehamilan akan menghambat multiplikasi sel-sel janin, sehingga jumlah sel-sel neuron di otakpun dapat pula berkurang secara permanen. Sedangkan kekurangan gizi pada masa postnatal, akan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan sel-sel glia dan proses mielinisasi. Karenanya setiap gangguan gizi akibat pemberian makanan yang salah pada ibu hamil maupun anak yang berumur dibawah 2-3 tahun akan sangat mempengaruhi kualitas otaknya. Dikatakan bahwa gizi kurang yang terjadi pada anak dibawah umur 2 tahun akan menyebabkan jumlah sel otaknya berkurang sampai 15-20%, sehingga anak yang demikian kelak kemudian hari akan menjadi manusia dengan kualitas otak sekitar 80-85%. Anak yang demikian kalau disuruh bersaing dengan mereka yang berkualitas otak 100% tentunya akan menemui banyak kesukaran. 45 Sejak bertahun-tahun diusahakan pengobatan terhadap autisme baik secara tradisional maupun non-tradisional untuk mengurangi perilaku yang autistik. Sudah banyak pula obat yang telah dicobakan namun ternyata tidak satupun obat yang dapat memberikan manfaat yang konsisten. Saat ini obat yang masih banyak dipakai untuk penderita autis adalah Ritalin, suatu stimulan untuk mengobati Attention Deficit/Hyperactivity Disorder. 10 Pemberian suplemen vit.B6, dengan magnesium, sering memperbaiki keadaan umum penderita autisme serta dapat meningkatkan kesadaran serta perhatian mereka. Suplemen lain yang dilaporkan memberikan efek baik terutama dalam kemampuan berkomunikasi adalah Di- methylglycine (DMG). Pengaturan diet yang bebas protein casein dan gluten, dilaporkan sering memberikan hasil yang sangat menggembirakan pada penderita autisme. Hal ini karena pada penderita autisme sering terdapat intoleransi pada kedua jenis protein yang menyebabkan metabolismenya berjalan tidak sempurna sehingga terjadi peptida-peptida yang juga dapat mempengaruhi fungsi otak. Oleh karenanya pada penderita autis sebaiknya tidak diberikan susu sapi dan segala produknya (mentega, keju), serta tepung gandum (terigu, roti, biskuit dsb). Sumber protein bisa didapatkan dari bahan makanan lain seperti kedele (susu kedele, tempe, tahu), daging sapi, ayam, ikan segar, ikan laut. Penderita sebaiknya juga tidak terlalu sering diberi makanan/kue yang manis-manis, karena makanan demikian juga akan menambah suburnya perkembangan jamur dan mikroba usus. Diet yang diberikan pada anak autis harus mampu menumbuhkembangkan anak secara normal. Substitusi terhadap berbagai nutrisi yang dieliminir harus diberikan. Pemberian multivitamin, kalsium serta minyak ikan juga dianjurkan. Pada setiap tindakan pembatasan diet, harus dilakukan dengan monitoring yang ketat, dengan berbagai pemeriksaan laboratorium yang dapat memantau gangguan metabolisme yang terjadi. Pemberian diet pada penderita autis tidaklah menyembuhkan keseluruhan gejalanya, tetapi sering dilaporkan terjadinya berbagai kemajuan pada sifat-sifat penderita. 46 Adanya kenyataan sering terdapatnya pertumbuhan jamur Candida albicans yang berlebihan dalam sistem gastrointestinal penderita autisme yang dapat mengeluarkan bahan toksin yang bisa mempengaruhi fungsi otak, dianggap pula sebagai suatu penyebab yang tidak boleh dilupakan dalam pengobatan penderita autisme. Hal ini sering terjadi pada penderita infeksi telinga yang sering mendapatkan obat antibiotika berlebihan. Obat anti jamur seperti Nystatin dapat diberikan dengan dosis yang dinaikkan secara bertahap. Disamping berbagai pengobatan diatas pada penderita autis sering dianjurkan berbagai fisio terapi yang menyangkut perbaikan sifat/perilaku (behavior) serta latihan integritas pancaindera.
TERAPI DIET Terapi diet pada berbagai kelainan perilaku memang harus dilakukan baik dalam upaya pengobatan, maupun pencegahan; lebih-lebih bagi mereka yang diketahui banyak
mengkonsumsi bahan yang diperkirakan berhubungan dengan kelainan perilakunya, seperti bahan aditif 11 (pengawet, pewarna, aroma/perasa buatan), salisilat, serta berbagai makanan yang kemungkinan terkontaminasi dengan logam berat. Dalam terapi diet dikandung pengertian pengaturan baik terhadap jenis makanan, jumlah makanan maupun frekuensi pemberiannya. Terapi diet ini dipelopori oleh Feingold (1970), yang telah membuktikan keberhasilannya mengobati anak dengan berbagai kelainan perilaku dengan menghindari makanan yang mengandung bahan aditif dan salisilat. 47,48 Berbagai makanan tersebut dapat berpengaruh langsung terhadap neurotransmiter yang sangat menentukan fungsi otak, dengan melalui: 1. Mengganggu/menghambat aktivitas neurtransmiter 2. Mengacaukan produksi dan sekresi neurotransmiter 3. Mengubah struktur neurotransmiter 4. Mengganggu enzim pengendali keseimbangan neurotransmiter
Makanan yang mengandung gula dan zat aditif dapat menyebabkan peningkatan kadar gula secara cepat yang sekaligus dapat memicu pelepasan insulin. Hal ini dapat menimbulkan reactive hypoglycaemia, sehingga kadar gula dapat turun naik tanpa terkendali, kondisi ini sering disertai penurunan serotonin, yang dapat mengacaukan proses berpikir. Keadaan sering pula diperberat karena akibat kadar gula yang mendadak tinggi menyebabkan kemampuan tubuh untuk mempertahankan mineral tembaga (Cu) dan kromium (Cr) rendah, sehingga kemampuan unuk menstabilkan kadar gula pun jadi melemah. Penurunan kadar gula secara cepat dapat pula memicu pengeluaran adrenalin yang mengakibatkan munculnya perilaku hiperkinetik, berupa bingung, cemas gelisah dan kasar. Dengan sekelumit gambaran diatas, nyatalah bahwa terapi diet pada anak dengan berbagai gangguan perilaku sangat penting.
Daftar berbagai makanan yang dikenal mengandung salisilat: 46,47,48 Buah/Sayur: o Anggur o Appel o Apprikot o Ceri o J eruk o Lemon o Murbei o Mangga muda Nektarin 12 o Plum o Persik o Prem o Strawberry o Tomat o Mentimun o Terung ungu o Kentang Kopi, teh, coklat Gandum dan olahannya J agung dan olahannya Kacang almond Cengkeh Daftar makanan yang mengandung bahan aditif: o Mie instant o Susu dalam kemasan siap minum o Daging dan ikan yang diawetkan o Buah dalam kaleng o Sayur dalam kaleng o Permen dengan rasa dan warna buatan o Minuman dalam kemasan siap minum o Selai dalam kemasan o Bumbu penyedap buatan o Camilan dengan aroma, rasa dan warna buatan.
13
Kesimpulan dan saran
1. Makanan sangat berpengaruh pada perkembangan perilaku anak 2. Penyimpangan perilaku dapat terjadi akibat kelainan anatomis maupun fungsionil otak 3. Kelainan fungsionil otak terutama akibat pengaruh makanan pada neurotransmiter otak 4. Autisme adalah suatu kelainan yang sangat kompleks, berbasis penyimpangan metabolisme yang mengganggu fungsi otak. Oleh karenanya pengobatannya pun sering harus dilakukan secara kompleks. 5. Terdapatnya intoleransi terhadap protein casein dari susu, serta gluten dari gandum sering merupakan penyebab yang harus diantisipasi pada pengobatan diet penderita autis 6. Pertumbuhan yang berlebihan dari jamur serta mikroba usus sering pula dianggap sebagai penyebab dari autisme. 7. Kelainan genetik yang ada sering terkait dengan kondisi status defisiensi sistem imun. 8. Pengobatan diet khusus pada penderita autis ataupun kelainan perilaku pada anak sering diperlukan, tetapi tidak boleh sampai mengganggu tumbuh kembang mereka. 9. Perlu senantiasa melakukan monitoring tumbuh kembang, agar setiap adanya penyimpangan baik fisik maupun mental segera dapat diantisipasi.
14
KEPUSTAKAAN
1. Werbach MR, 1995. Nutritional influences on Aggressive Behavior. J Orthomol M 7:1-8 2. Barclay, L. L., G. E. Gibson, and J . P. Blass. 1981. The string test: An early behavioral change in thiamine deficiency. Pharmacology, Biochemistry and Behavior 14:153-157. 3. Adamo P J .D.2001. Your blood type health. In Eat Right For Your Type ed 1 pp. 223-370. Century London. 4. Haas, R. H. 1988. Thiamin and the brain. Annual Review of Nutrition 8:483-515. 5. Albin, R. L., J . W. Albers, H. S. Greenberg, J . B. Townsend, R. B. Lynn, J . M. Burke, and A. G. Alessi. 1987. Acute sensory neuropathy-neuronopathy from pyridoxine overdose. Neurology 37:1729-1732. 6. Arnold, L. E., J. Christopher, R. D. Huestis, and D. J . Smeltzer. 1978. Megavitamins for minimal brain dysfunction. Journal of the American Medical AssociationI 240:2642-2643. 7. Ashby, W. R., G. H. Collings, and M. Bassett. 1960. The effects of nicotinamide and placebo on the chronic schizophrenic. Journal of Mental Science 106:1555-1559. 8. Ban, T. A. 1981. Megavitamin therapy in schizophrenia. In Nutrition and Behavior, ed. S. A. Miller, pp. 247- 253. Philadelphia: Franklin Institute. 9. Benton, D. and G. Roberts. 1988. Effect of vitamin and mineral supplementation on intelligence of a sample of schoolchildren. Lancet 1:140-143. 10. Haslam, R. H. A., J . T. Dalby, and A. W. Rademaker. 1984. Effects of megavitamin therapy on children with attention deficit disorders. Pediatrics 74:103-111. 11. Hoffer, A., H. Osmond, M. J . Callbeck, and I. Kahan. 1957. Treatment of schizophrenia with nicotinic acid and nicotinamide. Journal of Clinical and Experimental Psychopathology 18:131-158. 12. Lipton, M. A., R. B. Mailman, and C. B. Nemeroff. 1979. Vitamins, megavitamin therapy, and the nervous system. In Nutrition and the Brain, vol. 3, ed. R. J . Wurtman and J . J . Wurtman, pp. 183-264. New York: Raven Press. 13. Lindenbaum, J . E., B. Healton, D. G. Savage, J .C. M. Brust, T. J . Garrett, E. R. Podell, P. S. Marcell, S. P. Stabler, and R. H. Allen. 1988. Neuropsychiatric disorders caused by cobalamin deficiency in the absence of anemia or macrocytosis. New England Journal of Medicine 318:1720-1728. 14. Lipton, M. A., R. B. Mailman, and C. B. Nemeroff. 1979. Vitamins, megavitamin therapy, and the nervous system. In Nutrition and the Brain, vol. 3, edited by R. J . Wurtman and J . J . Wurtman, pp. 183-264. New York: Raven Press. 15. Youdim, M. B. H., S. Yehuda, D. Ben-Shachar, and R. Ashkenazi. 1982. Behavioral and brain biochemical changes in iron-deficient rats: The involvement of iron in dopamine receptor function. In Iron Deficiency: Brain Biochemistry and Behavior, ed. E. Pollitt and R. L. Leibel, pp. 39-56. New York:Raven Press. 16. Dreosti, I. E. 1984. Zinc in the central nervous system: The emerging interactions. In The Neurobiology of Zinc: Physiochemistry, Anatomy and Techniques, ed. C. J . Fredrickson, G. A. Howell, and E. J . Kasarskis, pp. 1-26. New York: Alan R. Liss. 17. Dvergsten, C. L., G. J . Fosmire, D. A. Ollerich, and H. H. Sandstead. 1983. Alterations in the postnatal development of the cerebellar cortex due to zinc deficiency. I: Impaired acquisition of granule cells. Brain Research 271:217-226. 18. Halas, E. S. 1983. Behavioral changes accompanying zinc deficiency in animals. In Neurobiology of the Trace Elements, vol. 1, ed. I. E. Dreosti and R. M. Smith, pp. 213-243. Clifton, N. J .: Humana Press. 19. Hetzel, B. S., J . Chavedej, and B. J. Potter. 1988. The brain in iodine deficiency. Neuropathology and Applied Neurobiology 14:93-104. 20. Pollitt, E. and E. Metallinos-Katsaras, 1990. Iron deficiency and behavior. Constructs, methods and validity of the findings. In Nutrition and the Brain, vol. 8, ed. R. J . Wurtman and J . J . Wurtman, pp. 101-146, New York: Raven Press. 21. Pollitt, E., F. Viteri, C. Saco-Pollitt, and R. L. Leibel. 1982. Behavioral effects of iron-deficiency anemia in children. In Iron Deficiency: Brain Biochemistry and Behavior, ed. E. Pollitt and R. L. Leibel, pp. 195-208. New York: Raven Press. 22. Zametkin, A. J . 1989. The neurobiology of attention-deficit hyperactivity disorder: a synopsis. Psychiatric Annals 19:584-586. 23. Amin-Zaki, L. 1982. Mercury in food. In Adverse Effects of Foods, ed. E. F. P. J elliffe and D. B. Jelliffe, pp. 149-159. New York: Plenum. 24. Aschner, M. and J . L. Aschner. 1990. Mercury neurotoxicity: Mechanisms of blood-brain barrier transport. Neuroscience and Biobehavioral Reviews 14:169-176. 25. Avridson, B. 1983. Cadmium toxicity and neural cell damage. In Neurobiology of the Trace Elements: Neurotoxicology and Neuropharmacology, vol. 2, ed. I. E. Dreosti and R. M. Smith, pp. 51-78. Clifton, NJ : Humana Press. 26. Banks, W. A. and Kastin, A. J . 1989. Aluminum-induced neurotoxicity: Alterations in membrane function at the blood-brain barrier. Neuroscience and Biobehavioral Reviews 13:47-53. 15 27. Bergomi, M., Borella, P., Fantuzzi, G., Vivoli, G., Sturloni, N., Cavazzuti, G., Tampieri, A., and Tartoni, P. L. 1989. Relationship between lead exposure indicators and neuropsychological performance in children. Developmental Medicine and Child Neurology 31:181-190. 28. Boegman, R. J . and Bates, L. A. 1984. Neurotoxicity of aluminum. Canadian Journal of Psysiology and Pharmacology 62:1010-1014. 29. Burbacher, T. M., P. M. Rodier, and B. Weiss. 1990. Methylmercury developmental neurotoxicity: a comparison of effects in humans and animals. Neurotoxicology and Teratology 12:191-202. 30. Choi, B. H. 1989. The effects of methylmercury on the developing brain. Progress in Neurobiology 32:447- 470. 31. Clarkson, T. W. 1988. Mercury toxicity. In Essential and Toxic Trace Elements in Human Health and Disease, ed. A. S. Prasad, pp. 631-643. New York: Alan R. Liss. 32. Crapper-McLachlan, D. R., and DeBoni, U. 1980. Aluminum in human brain disease: An overview. Neurotoxicology 1:3-16. 33. Davis, J . M., D. A. Otto, D. E. Weil, and L. D. Grant. 1990. The comparative developmental neurotoxicity of lead in humans and animals. Neurotoxicology and Teratology 12:215-229. 34. Harada, M. 1982. Minamata disease: Organic mercury poisoning caused by ingestion of contaminated fish. In Adverse Effects of Foods, ed. E. F. P. J elliffe and D. B. J elliffe, pp. 135-148. New York: Plenum. 35. Inskip, M. J. and Piotrowski, J . T. 1985. Review of the health effects of methylmercury. Journal of Applied Toxicology 5:113-123. 36. Lindsay, D. G. and Sherlock, J . C. 1982. Environmental contaminants. In Adverse Effects of Foods, ed. E. F. P. J elliffe and D. B. Jelliffe, pp. 85-110. New York: Plenum. 37. McConnell, P. 1983. Neurotoxic effects of lead. In Neurobiology of the Trace Elements: Neurotoxicology and Neuropharmacology, vol. 2, ed. I. E. Dreosti and R. M. Smith, pp. 141-166. Clifton, NJ : Humana Press. 38. Balch J F, Balch PA: Priscription for Nutritiona Healing. 2 nd Ed.Avery Publishing Group, Garden City Park, Newyork. J an. 2000. 39. Siegel B. Understanding and Treating Autisme.Spectrum Disorder. In : The world of the Autistic Child. New York Oxford University Press 9, 1996 : 316-317 40. Greenspan SI, Sharkar SG. Differences In Affecting : A Window for the identification of risk patterns for autism spectrumdisorders in the first year of life. J. Dev.Learning Disorders vol. 6, 2002 : 23-30 41. D'Eufemia, Cecill M.Finocchiaro R. Abnormal intestinal permeability in children with autism. Acta Pediatr 85, 1996:1076-9 42. Horvalh K. Papadimitriou J C. Rabsztyn A. Gastrointestinal abnormalities in children with autistic disorder. J.Pediatr 135, 1999 : 559-63 43. Sandra L. Harris. Your Cnild Development, in Children with Autism. A parents Guide Ed. Michael. D.Powers.Woodbine house Inc. 1989 : 141-167. 44. Akshoomoff N. Pierce K, Courchesne E. The neurobiological basis of autism from a developmental perspective. Development and Ptychopathology 14, 2002: 613-34 45. Bock SA. Lee W. Remigio L. et al: Studies of hypersensitivity reactions to food in infants and children. J Allergy Clin. Immunol 71,1983 : 473-480 46. Sogn DD. Medications and their use in the treatment of adverse reactions to food. J Allergy immunology 78, 1986: 238-243 47. Burks Wesley A. Childhood food allergy. Immunol and Allergy Clin North Amer 19 :1999: 397-407 48. Greenspan.SI : Monitoring Development, Prevention and Early Intervention. 0n Clinical Practice Guide 2000, ICDL : 45-53.