Vous êtes sur la page 1sur 10

PROSES PENENTUAN COLLECTIVE CHOICE MELALUI VOTING

Pemilu dan Pembangunan Ekonomi Indonesia




Disusun Untuk Memenuhi Ujian Akhir Semester (UAS) Mata Kuliah
Ekonomi Politik





Kelompok 5 Kelas AA







JURUSAN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
MEI 2013
KELOMPOK 5
PROSES PENENTUAN COLLECTIVE CHOICE MELALUI VOTING


Pemilu dan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Daftar Judul:

1. Sistem Pemilu Sebelum Era Reformasi dan Dampaknya Terhadap
Perekonomian Indonesia (Rio Dwi S.)
2. Perubahan Sistem Pemilu Pasca Reformasi: Pengaruhnya
Terhadap APBN (Febrian D.P.)
3. Pengaruh Perubahan Politik Terhadap Pengaturan Dana
Kampanye (Wahyu Ardi)
4. Keterkaitan Pemilu Dengan Public Choice Theory (Bimo Adi S.)
5. Analisis Pengaruh Fenomena Rent-Seeking Terhadap
Implementasi Kebijakan Anggaran di Indonesia (A. Mujahidul
Furqon)
6. Analisis Collective Action Dari Integritas Kepala Daerah Dalam
Mengupayakan Kesejahteraan Rakyat (Nica Dhamma Yanti G.)
7. Pemilu dan Pembangunan Ekonomi: Dampak dan Solusi (Fauza
Dwi Annisa)






Analisis Collective Action Dari Integritas Kepala Daerah
Dalam Mengupayakan Kesejahteraan Rakyat

Oleh : Nica Dhamma Yanti Gotami (105020103111012)


Abstrak
Teori Olson tentang logika tindakan kolektif menekankan bahwa individu-individu
secara rasional tidak memiliki insentif untuk bergabung dengan tindakan kolektif
demi kepentingan bersama. Maka dibutuhkan suatu dorongan hingga individu-
individu tersebut dapat bekerja dalam tindakan kolektif untuk menciptakan suatu
barang publik. Sebagai contoh Kepala Daerah sebagai individu rasional yang masuk
ke suatu tindakan kolektif, memunculkan sifat-sifat rasionalitas mereka untuk
setiap pengambilan keputusan. Dalam paper ini akan diuraikan dampak dari logika
tindakan kolektif setiap Kepala Daerah terhadap kesejahteraan rakyat di
wilayahnya.
Kata Kunci: The Logic of Collective Action, Votting, Otonomi Daerah, Redistributive
Combines, Kesejahteraan Rakyat


A. Pendahuluan
Sistem multi partai sejak pemilu tahun 2009 telah menciptakan begitu
banyak partai yang terdaftar di KPU, dari partai yang telah muncul di Pemilu
tahun 2004 serta partai-partai yang baru muncul pada perhelatan tahun 2009.
Dilihat dari sisi munculnya partai-partai politik baru ini dapat diindikasikan
bahwa demokrasi yang berjalan di Indonesia menunjukkan perkembangan
yang positif, karena masyarakat mulai sadar terhadap hak aspirasi yang
dimiliki. Namun dibalik sisi positif tersebut menimbulkan permasalahan lain
dari sistem birokrasi pada institusi-institusi Pemerintah. Seperti praktik voting
yang digunakan pada setiap pengambilan keputusan terhadap kebijakan
publik, selalu dibayangi oleh kegiatan koalisi partai-partai politik.
Teori Mancur Olson yaitu The Logic of Collective Action menekankan
bahwa berorganisasi itu ada biayanya , sedangkan hasilnya akan dinikmati oleh
semua orang, baik ia ikut ambil bagian dalam tindakan kolektif itu atau tidak
(Deliarnov, ). Dari pendapat Olson ini dapat dibenarkan untuk kasus Indonesia
yang dalam setiap tindakan birokrasinya dibawah pengaruh koalisi partai
politik. Dengan kata lain koalisi partai politik merupakan kelompok
kepentingan yang melakukan tindakan kolektif untuk menyediakan barang
publik berupa kebijakan Pemerintah.
Selanjutnya penyediaan barang publik yang dilakukan oleh pejabat Negara
menjadi ajang perburuan rente (rent seeking) oleh oknum-oknum tidak
bertanggung jawab. Erani (2009) menyebutkan bahwa terdapat organisasi
yang memanfaatkan hukum untuk kepentingan kelompoknya demi
memperoleh pendapatan cuma-cuma dari uang Negara, kelompok ini
dinamakan redistributive combines. Kegiatan kelompok kepentingan ini
adalah menguasai distribusi sumber-sumber ekonomi, aset produktif dan
modal secara terbatas di antara anggota kelompok. Dimana dalam prakteknya
di Indonesia, seperti dalam kasus yang baru-baru ini menjadi sorotan publik
yaitu mengenai impor daging sapi yang menjadi masalah bagi pejabat yang
berwenang karena telah mengeluarkan kebijakan yang berdampak pada
melambungnya harga daging sapi.
Berbagai permasalahan yang timbul dalam Pemerintahan Indonesia seperti
diuraikan sebelumnya dapat berupa dampak dari adanya tindakan kolektif.
Dalam sistem Pemilu di Indonesia digunakan aturan mayoritas untuk
menentukan pemenang dari pemilihan langsung melalui voting. Dari banyak
studi, sistem aturan mayoritas tidak menjamin tercapainya pareto optimum,
yaitu tercapainya perbaikan kesejahteraan bagi semua kelompok masyarakat
tanpa ada kelompok yang dirugikan. Maka dengan sistem pemilu multi partai
dan adanya tindakan kolektif sudah tentu masyarakat tidak akan mencapai
pareto optimum dari kebijakan yang diambil pejabat publik.
Dalam paper ini selanjutnya akan dibahas mengenai praktik tindakan
kolektif dari Kepala Daerah yang mengatur sendiri otonomi daerahnya.
Pembahasan berfokus pada praktik-praktik collective action dari kepala daerah
dengan institusi terkait dalam menjalankan tugas masing-masing.


B. Pembahasan
Partai politik merupakan media atau sarana partisipasi warga negara dalam
proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan publik dan dalam penentuan
siapa yang menjadi penyelenggara negara pada berbagai lembaga negara di
pusat dan daerah. Sejauh mana mutu kelembagaan negara tersebut sangat
tergantung dari proses rekruitmen kader yang nantinya akan diusulkan oleh
partai politik sebagai calon pemimpin dan anggota lembaga-lembaga negara
tersebut. Partai politik sebagai wahana demokrasi memang tidak bisa
diabaikan eksistensinya, karena rekruitmen kepemimpinan dan anggota
lembaga kenegaraan nasional dan lokal di bidang eksekutif dan legislatif
dilakukan melalui partai politik (Wibawanti, 2009).
Sistem kepartaian yang menganut multi partai telah memicu tumbuhnya
partai politik baru. Dengan mendasarkan diri pada ketentuan dalam Pasal 28
UUD 1945 mengenai kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan
pikiran dengan lisan dan tulisan, orang berbondong-bondong mendirikan
partai politik baru. Kebebasan untuk mendirikan partai politik dengan berdasar
pada ketentuan Pasal 28 UUD 1945 dan mudahnya persyaratan yang
ditentukan dalam UU No. 2 Tahun 2008 tersebut menyebabkan tumbuhnya
partai-partai baru yang ikut menyemarakkan Pemilu Tahun 2009.
Meskipun multi partai ada sisi positifnya, yaitu menunjukkan berjalannya
demokrasi dan adanya banyak pilihan bagi masyarakat untuk memilih partai
yang sesuai dengan ideologinya, akan tetapi pada kenyataannya terlalu banyak
partai juga banyak sisi negatifnya, terlebih untuk Indonesia yang menganut
sistem presidensial. Banyaknya partai yang ada di parlemen akan berakibat
presiden akan mengalami kesulitan untuk memperoleh dukungan yang stabil
dari legislatif, yang akibatnya upaya untuk membuat kebijakan akan
mengalami kesulitan. Partai-partai yang mendapat kursi DPR terpecah-pecah
oleh kepentingannya sendiri-sendiri.
Multi partai dalam sistem presidensial juga berdampak pada
ketidakberdayaan presiden untuk secara tegas mengambil kebijakan termasuk
dalam penentuan kabinetnya. Presiden yang dalam sistem presidensial
mempunyai wewenang penuh atas jalannya pemerintahan termasuk
menentukan Menteri-menteri dalam kabinetnya, ternyata tidak dapat berjalan
dengan baik. Penentuan Menteri harus melakukan kompromi dengan para
parpol guna memperoleh dukungan terutama dalam menghadapi partai
oposisi di parlemen. Inilah yang disebut collective action seperti dijelaskan
model Olson, sifat penyediaan pejabat publik yang sama dengan barang publik
menyebabkan prosesnya dibayangi kelompok kepentingan.
Kelompok kepentingan ini disebut koalisi partai politik, di Indonesia sistem
multi partai memang berjalan tetapi diiringi dengan koalisi. Partai-partai kecil
atau disebut partai gurem tidak memiliki basis pendukung yang tetap di suatu
Daerah/Provinsi, partai-partai ini hanya sebagai pelengkap demokrasi multi
partai. Sementara partai besar dengan pendukung yang mencakup satu
Daerah/Provinsi adalah motor penggerak arus politik yang menyediakan
pejabat eksekutif dan legislatif. Partai besar ini tidak berdiri sendiri, mereka
membentuk koalisi dengan partai gurem dan partai besar lainnya. Fungsi
koalisi di Parlemen maupun Pemerintahan adalah sama yaitu untuk
memperkuat posisi dan mendapat suara terbanyak.
Menurut Ufen (2006) koalisi umumnya tidak didasarkan pada kontrak yang
jelas menguraikan tujuan pemerintah dan kepentingan khusus dari partai
politik sebagai anggota koalisi ini. Kerjasama antar pihak adalah mengalir dan
sangat tergantung pada hasil perebutan kekuasaan dalam partai tersebut.
Maka dari itu koalisi menggambarkan bagaimana alur kelompok-kelompok
kepentingan politik terakumulasi. Serta menunjukkan partai mana yang
menjadi oposisi di Pemerintahan.

1. Interaksi Politik Dalam Penyusunan Peraturan Daerah (Perda)

Implikasi dari ditetapkannya Undang-undang otonomi daerah dan sistem
demokrasi dalam pemilihan Presiden, menimbulkan gejolak di daerah untuk
memilih langsung kepala daerah dan wakilnya. Maka dibuatlah UU Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan mulai bulan Juni 2005 terdapat
sekurang-kurangnya 226 daerah baik di tingkat Propinsi maupun tingkat
Kabupaten/Kota di Indonesia akan digelar pemilihan kepala daerah dan wakil
kepala daerah secara langsung (pilkada).
Out put dari pilkada langsung harusnya menghasilkan kepala daerah yang
mampu dalam mengelola organisasi Pemerintah Daerah, segenap sumberdaya
manusia (PNS) dan aset-aset daerah untuk mensejahterakan rakyat. Karena
pilkada langsung adalah arena sah secara politik dan hukum untuk memilih
aktor politik terbaik di daerah dengan sejumlah kriteria menurut selera dan
aspirasi rakyat tanpa ada intervensi politik apapun dan dari manapun. Berbeda
dengan pilkada versi perwakilan rakyat (DPRD), dimana aneka intervensi,
intrik, klik dan konsesi politik lebih mendominasi.
Pilkada dilaksanakan untuk mencari pejabat eksekutif dan legislatif secara
langsung berdasarkan pilihan rakyat. Pejabat eksekutif atau Kepala Daerah
memiliki tanggung jawab untuk menjalankan otonomi daerahnya. Sementara
Pejabat legislatif atau DPRD menjalankan fungsinya untuk menyusun dan
mengesahkan Peraturan Daerah (Perda). Namun sesuai dengan uraian
sebelumnya mengenai partai politik dan koalisi, Kepala Daerah dan DPRD
berasal dari kader-kader partai politik. Artinya kedua lembaga ini juga
dibayangi oleh tindakan kolektif dari masing-masing partai terutama partai
pemenang pilkada.
Pembahasan interaksi politik antara kedua lembaga didasarkan pada studi
Ibrahim (2008) yang mencermati proses pembentukan peraturan daerah di
Jawa Timur. Fakta normatif menggariskan bahwa pelaksanaan fungsi legislasi
dijalankan secara bersama-sama oleh DPRD dengan kepala daerah. Dengan
demikian, yang memiliki tugas dan wewenang untuk membentuk Perda adalah
DPRD yang dilakukan bersama-sama dengan kepala daerah dalam rangka
untuk memperoleh persetujuan bersama. Tanpa dicapainya persetujuan
bersama tersebut, pastilah sebuah Raperda tidak akan bisa terwujud menjadi
Perda.
Pada posisi untuk memperoleh persetujuan bersama itulah, interaksi
politik dalam pembentukan Perda sangat nyata terlihat. Tolak-tarik,
negotiable, subjective and policy dependent as politics antar elite daerah
(DPRD dan kepala daerah) tersebut diduga tampak nyata pada proses tersebut.
Sebenarnya interaksi politik tidak saja terjadi pada saat Raperda diproses
untuk memperoleh persetujuan bersama (pada saat pembahasan bersama
Raperda antara DPRD dengan kepala daerah). Pada tahap perencanaan pun
sangat mungkin terjadi interaksi tersebut. Namun pada saat pembahasan
Raperda itulah interaksi politik benar-benar nyata wujudnya. Saat itulah yang
akan menentukan perjalanan lebih lanjut sebuah Raperda: apakah akan
disetujui menjadi Perda, ditunda pembahasannya, ataukah tidak diperoleh
persetujuan bersama sama sekali untuk menjadi Perda.


2. Kesejahteraan Rakyat

Dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dalam
pembuatan kebijakan publik, termasuk pembentukan Perda, berdasarkan pada
semangat untuk mensejahterakan masyarakat dengan selalu memperhatikan
kebutuhan, kepentingan, dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat. Dengan
demikian semangat keterbukaan yang ditandai dengan pempublikasian
Raperda dan penjaringan aspirasi merupakan keniscayaan dalam legislasi
Perda. Namun berdasarkan studi Ibrahim (2008), ternyata di lokasi penelitian
ditemukan data bahwa pada umumnya legislasi Perda kurang memperhatikan
hal tersebut. Hal ini terlihat dari jawaban eksekutif daerah dan telaah atas
laporan Pansus DPRD bahwa tidak semua Raperda yang disiapkan maupun
yang tengah dibahas di DPRD dipublikasikan ke masyarakat.
Menurut de Soto, pengambil kebijakan publik lebih memberi tekanan
kepada kegiatan menyaring dan memilah-milah kelompok-kelompok
kepentingan khusus yang mereka anggap tepat dan mengalihkan sumber daya
kepada kelompok tersebut melalui saluran hukum. Bisa jadi apa yang terlihat
pada penelitian Ibrahim di Jatim bahwa Raperda yang tidak dipublikasikan ke
masyarakat, merupakan suatu tameng untuk menutupi kelompok-kelompok
kepentingan yang menerima manfaat dari kebijakan publik. Disinilah praktik
redistribitive combines dijalankan, dimana kelompok pemanfaat hukum
memperoleh pendapatan dengan cuma-cuma yang disalurkan melalui
kebijakan publik dan untuk melindungi diri aturan yang dapat mengancam
kepentingan mereka.
Raperda yang tidak transparan tersebut dapat berupa kebijakan publik
tentang peraturan ekonomi, seperti yang disimpulkan Erani (2009) bahwa
masalah peraturan ekonomi adalah bagian dari proses politik dan fenomena
ekonomi. Pola redistributive combines terjadi akibat sistem politik yang
tertutup karena dilindungi sistem hukum yang kabur dan ketiadaan rule of law
di bidang ekonomi. Dengan demikinan, sistem ekonomi bersedia mengabdi
pada sistem politik dengan pola redistributive combines tersebut. Implikasinya
terhadap kesejahteraan rakyat adalah ketidakadilan yang diperoleh
masyarakat kecil sehingga ketimpangan dalam masyarakat menjadi semakin
jauh.


C. Kesimpulan
Pada dasarnya untuk membangun daerah dalam rangka mencapai
kesejahteraan masyarakat setempat diperlukan suasana kehidupan politik
yang stabil dan kondusif untuk mengembangkan berbagai prakarsa dan
inovasi. Tanpa dipenuhinya hal tersebut, niscaya pembangunan tidak akan
berjalan secara lancar dan kesejahteraan tidak dapat dicapai. Oleh karenanya
hubungan yang harmonis antara DPRD dan Kepala Daerah merupakan salah
satu prasyarat bagi kelancaran pembangunan daerah. Jadi, meski lembaga
legislatif daerah memiliki hak kontrol, namun antara keduanya tidak harus
selalu berada pada posisi yang berseberangan dan saling bersitegang.
Rakyat sangat membutuhkan kepala daerah yang berkualitas tinggi, bervisi
strategik dan mampu berpikir strategik, serta memiliki moral yang baik
sehingga dapat mengelola pembangunan daerah dengan baik. Partisipasi aktif
dari semua elemen yang ada di daerah sangat dibutuhkan agar perencanaan
pembangunan daerah benar-benar mencerminkan kebutuhan daerah dan
berkaitan langsung dengan permasalahan yang dihadapi daerah. Persoalannya
adalah ada kecenderungan kepala daerah yang dipilih langsung rakyat ini
kehilangan konsentrasi menjalankan programnya. Hal ini dikarenakan iklim
politik yang dibawa setiap kepala daerah berdasarkan partai pengusungnya.
Banyak faktor yang menghambat para kepala daerah dalam menjalankan
tugasnya dan penyebabnya berasal dari konstitusi yang ambigu untuk
diartikan. Salah satu contohnya adalah pesyaratan bagi calon kepala daerah
yang harus berasal dari salah satu parpol menimbulkan konsesi ekonomi politik
antara kepala daerah dengan parpolnya. Karena itu kinerja kepala daerah
terpilih, energi dan pikirannya terkonsentrasi atau setidaknya terbagi untuk
dapat memberi fasilitas khusus pada parpol pengusung, orang-orang dekat
parpol dan sejumlah pihak yang berjasa dalam pilkada.

Vous aimerez peut-être aussi