Vous êtes sur la page 1sur 35

1

BAB I
PENDAHULUAN

I. Latar Belakang
Prolapsus alat-alat genitalia dapat disamakan dengan suatu hernia, di mana
suatu organ genitalia turun ke dalam vagina, bahkan bila mungkin ke luar dari liang
vagina. Keadaan ini sebagian besar dikarenakan kelemahan dari otot-otot, fascia dan
ligamentum-ligamnetum penyokongnya. Prolapsus genitalia ini secara umum dapat
berupa prolapsus vagina dan atau prolapsus uteri.
1,2
Prolapsus genitalia yang sering ditemukan adalah Pelvic Organ Prolapse
(POP) yaitu prolapsus uteri, uterosistokel, sistokel, atau rektokel. Uretrokel saja
jarang terjadi, sedangkan enterokel lebih sering ditemukan terutama pada pasien-
pasien pasca tindakan histerektomi. Kasus ini sering terdapat pada wanita dengan
paritas yang tinggi dan 40% dari mereka membutuhkan tindakan pengobatan dan
kasus ini jarang sekali ditemukan pada seorang wanita nullipara.
1,4,5

Diperkirakan 50% dari wanita yang telah melahirkan akan menderita
prolapsus genitalia dan hampir 20% kasus ginekologi yang menjalani operasi adalah
akibat kasus prolapsus genitalia. Angka ini akan terus meningkat jumlahnya akibat
usia harapan hidup wanita Indonesia yang terus meningkat.
1

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Losif dan Bekazzy (1984)
ditemukan hampir 50% wanita terutama wanita pasca menopause yang mengalami
prolapsus genitalia mempunyai masalah urogenital akibat keadaan tersebut, akan
tetapi prevalensinya secara pasti sangat sulit ditentukan dengan tepat. Hal ini
disebabkan banyak wanita tersebutyang tidak mau atau merasa malu, takut ataupun
enggan untuk membicarakan masalahmasalah yang dialaminya, bahkan tabu, baik
pada teman, keluarga, tenaga kesehatan, maupun dokter.Oleh karena itu,
pengetahuan dan pemahaman tentang prolapsus urogenital cukup penting sehingga
setiap wanita yang mengalaminya dapat hidup dengan layak tanpa memberikan
beban yang berat pada keluarga maupun pada masyarakat apabila ditatalaksana
dengan tepat dan benar sejak dini.
5

2

Di sisi lain perlu untuk diketahui dan dipahami bahwa prolapsus alat genitalia
dapat diatasi dengan tindakan preventif, kuratif, atau rehabilitatif, dan jika memang
dibutuhkan terapi dapat dilakukan secara konservatif ataupun operatif. Oleh karena
itu pengetahuan tentang prolapsus genitalia ini termasuk penatalaksanaannya
sangatlah penting untuk diketahui sehingga menjadi alasan yang kuat untuk membuat
tulisan ini.


















3

BAB II
ANATOMI PANGGUL

II. ANATOMI PELVIS
Pelvis dibentuk oleh 4 buah tulang, yaitu:
2

Dua buah ossae coxae yang membentuk dinding anterior dan lateral.
os sacrum dan os coccygis (bagian dari columna vertebralis) membentuk
dinding dorsal pelvis.
Panggul dibagi oleh apertura pelvis superior (pintu atas panggul) yang
dibentuk oleh promontorium sacralis di sebelah dorsal, linea iliopectinea
yaitu:
6
linea terminalis dengan pecten ossis pubis di sebelah lateral, dan
symphysis os pubis di sebelah anterior, menjadi:
Pelvis spurium (pelvis major), yaitu bagian di atas apertura tersebut,
merupakan bagian bawah rongga abdomen
Pelvis verum (pelvis minor), yaitu rongga di bawah apertura pelvis
superior tersebut.

Pelvis spurium ( Pelvic Major )
Merupakan bagian yang terdapat di depan vertebrae lumbalis sebagai batas
dorsal; fossa iliaca dengan m. iliacus berada di sebelah lateral dan dinding
abdomen bagian bawah di sebelah ventral. Pelvis spurium ini juga merupakan
bagian rongga perut.Fungsinya menahan alat-alat rongga perut dan menahan
uterus yang berisi fetus pada wanita hamil sejak bulan ketiga.


4


Gambar 1. Anatomi Panggul

Pelvis verum (Pelvic Minor)
a) Mempunyai pintu masuk panggul; apertura pelvis superior dan pintu keluar;
apertura pelvis inferior yang berupa 2 buah segitiga yang bersekutu pada alasnya
(yakni garis yang menghubungkan kedua tuber ischiadica).
Segitiga bagian dorsal trigonum anale dibentuk oleh kedua lig.sacrotuberosa
dan puncaknya terletak pada os coccygis.
Segitiga bagian ventral trigonum urogenitale dibentuk oleh ramus inferior
ossis pubis dan ramus inferior ossis ischii sebelah kiri dan kanan, dan puncaknya
terletak pada symphysis ossium pubis (yang diperkuat oleh lig. arcuatum pubis).
b) Cavum pelvis (rongga panggul) terletak di antara pintu masuk dan pintu keluar
panggul, berupa saluran pendek yang melengkung dengan bagian cekung ke
depan.

5


Gambar 2. Pembagian Pelvic
Dasar panggul
2
Karena manusia berdiri tegak lurus, maka dasar panggul perlu mempunyai
kekuatan untuk menahan semua beban yang diletakan padanya, khususnya isi rongga
perut dan tekanan intaabdominal.Beban ini ditahan oleh lapisan otot-otot dan fasia
yang apabila mengalami tekanan dan dorongan berlebihan atau terus-menerusdapat
timbul prolapsus genitalis.
Pintu bawah panggul terdiri atas diafragma pelvis, diafragma urogenital,
dan lapisan-lapisan otot yang berada diluar(penutup genitalia eksterna).
Diafragma pelvis merupakan penutup bagian bawah dari rongga perut, dan
terbentuk oleh muskulus levator ani dan muskulus koksigeus yang menyerupai
sebuah mangkok serta fasia endopelvik.
Muskulus levator ani ini terbagi menjadi iliokoksigeus, pubokoksigeus, dan
puborektalis, walaupun jauh subdivisinya disebut pubouretralis, dan pubovaginalis
dimana serabut-serabut levator ani berinsersi dalam fasia yang menutupi uretra,
Otot pubokoksigeus berjalan dari permukaan dalam tulang pubis bagian
anterior dan median membentang ke belakang menuju bagian belakang rectum,
setelah mengelilingi rectum dan vagina kembali ke tulang pubis di sisi lain.
Bagian lateral dari otot tersebut disebut iliokoksigeus yang membentang dari
spina ischiadika dan arkus tendius yang menutup otot obturatorius interna terus
kebelakang dan berinsersi di pinggir lateral tulang koksigeus dan sacrum bagian
bawah.
Otot levator ani kanan-kiri membentuk levator plate yang kuat sekali dan
terbentang dari titik penggabungannya di belakang hiatus levator dan terus ke
6

belakang dan berinsersi di tulang koksigeus, central perineal body, dan pada ligament
anokoksigeus.
Di bawah otot levator ani terdapat diafragma urogenital yang menutup hiatus
genitalis, dibentuk oleh aponeurosis muskulus transversus perinei profundus dan
muskulus transversus superfisialisberjalan antara arkus pubis kanan-kiri. Di dalam
sarung aponeurosis itu terdapat muskulus rhabdosfingter urethrae.
Lapisan paling luar (distal) dibentuk oleh muskulus bulbokavernosus yang
melingkari genital eksterna, muskulus perinei transversus superfisialis, muskulus
iskhiokavernosus dan muskulus sfingter ani eksternus.

Gambar 3. Pelvic floor
Semua otot dibawah pengaruh saraf motorik dan dapat berkontraksi aktif.
Fungsi otot-otot tersebut diatas adalah sebagai berikut:
Muskulus levator ani berfungsi mengerutkan lumen rectum, vagina, uretra
dengan cara menariknya ke arah dinding tulang pubis, sehingga organ-organ
pelvis di atasnya tidak dapat turun (prolaps), mengimbagkan tekanan
intraabdominal dan tekanan atmosfer, sehingga ligament-ligamen tidah perlu
bekerja mempertahankan letak organ-organ pelvic di atasnya, sebagai
sandaran uterus, vagina bagian atas, rectum dan kantung kemih. Bila otot
levator rusak atau mengalami defek maka ligament seperti ligament
kardinale, sakro uterine mempunyai kerja yang berat.
7

Diafragma urgenital berfungsi memberi bantuan pada otot levator ani
menahan organ-organ pelvis
Muskulus sfingter ani eksternus diperkuat oleh muskulus levator ani menutup
anus,
Muskulus bulbokavernosus mengecilkan introitus vagina di samping
meperkuat fungsi muskulus sfingter vesisae internus yang terdiri atas otot
polos.


Gambar 4. Otot dan Ligament Pelvic
Pada introitus vaginae ditemukan juga bulbus vestibuli yang terdiri atas
jaringan yang mengandung banyak pembuluh darah sehingga dapat membesar jika
pembuluh darah terisi.




8

III.

Jaringan Penunjang Dasar Panggul
Uterus berada di rongga panggul dalam ateversiofleksio sedemikian rupa
sehingga bagian depannya setinggi simfisis pubis dan bagian belakang setinggi
artikulasio sakrokoksigea.
Jaringan ikat di parametrium, dan ligamentum-ligamentum membentuk suatu
sistem penunjang uterus, sehingga uterus terfiksasi relatif cukup baik.
Jaringan-jaringan itu ialah:
1. Ligamentum kardinale sinistrum dan dekstrum (Mackenrodt) merupakan
ligamentum yang terpenting untuk mencegah agar uterus tidak turun.
Ligamentum ini terdiri atas jaringan ikat tebal, dan berjalan dari serviks dan
puncak vagina ke arah lateral ke dinding pelvis. Didalamnya ditemukan banyak
pembuluh darah, antara lain vena dan arteri uterina.
2. Ligamentum sakrouterinum sinistrum dan dekstrum, yakni ligamentum yang
juga menahan uterus supaya tidak banyak bergerak, berjalan, melengkung dari
bagian belakang serviks kiri dan kanan melalui dinding rektum ke arah os
sakrum kiri dan kanan.
3. Ligamentum rotundum sinistrum dan dekstrum, yakni ligamentum yang
menahan uterus dalam antefleksi, dan berjalan dari sudut fundus uteri kiri dan
kanan ke daerah inguinal kiri dan kanan.
4. Ligamentum puboservikale sinistrum dan dekstrum, berjalan dari os pubis
melalui kandung kencing, dan seterusnya sebagai ligamentum vesikouterinum
sinistrum dan dekstrum ke serviks.
5. Ligamentum latum sinistrum dan dekstrum, yakni ligamentum yang berjalan
dari uterus ke arah lateral, dan tidak banyak mengandung jaringan ikat.
Sebetulnya ligamentum ini adalah bagian peritoneum viserale yang meliputi
uterus dan kedua tuba, dan berbentuk lipatan. Di bagian lateral dan belakang
ligamentum ini ditemukan indung telur (ovarium sinistrum dan dekstrum).
Untuk memfiksasi uterus ligamentum ini tidak banyak artinya.
6. Ligamentum infundibulopelvikum, yakni ligamentum yang menahan tuba
Falopii, berjalan dari arah infundibulum ke dinding pelvis. Di dalamnya
ditemukan urat saraf, saluran-saluran limfe, arteria dan vena ovarika. Sebagai
alat penunjang ligamentum ini tidak banyak artinya.
9

7. Ligamentum ovarii propium sinistrum dan dektrum, yakni ligamentum yang
menahan tuba Falopii, berjalan dari sudut kiri dan kanan belakang fundus uteri
ke ovarium.
Ligamentum-ligamentum dan jaringan-jaringan di parametrium tidak
semuanya berfungsi sebagai penunjang uterus. Terdapat ligamentum-ligamentum
yang mudah sekali dikendorkan, sehingga alat-alat genital mudah berganti posisi.
Ligamentum latum sebenarnya hanya satu lipatam peritoneum yang menutupi uterus
dan kedua tuba, dan terdiri atas mesosalpink, mesovariun, dan mesometrium. Di
lipatam tersebut ditemukan jaringan ikat yang letaknya disebut intraligamenter (di
dalam ruangan ligamentum latum). Ruangan tersebut berhubungan pula dengan
ruangan retroperitoneal yang terdapat di atas otot-otot dasar panggul dan di daerah
ginjal.

Gambar 5. Organ-Organ dalam panggul

Sistem uropoetik di rongga panggul
2
Ureter yang di abdomen letaknya retroperitoneal masuk ke pelvis minor
melewati arteria iliaka interna dan melintasi arteri uterina dekat pada serviks hampir
tegak lurus, dan akhirnya bermuara di kandung kencing sisi belakang di trigonum
Lieutaudi.
Vesika urinaria (kandung kencing) umumnya mudah menampung 350 ml,
akan tetapi dapat pula terisi cairan 600 ml atau lebih. Bagian kandung kencing yang
mudah berkembang adalah bagian yang diliputi oleh peritoneum viserale. Pada dasar
kandung kencing terdapat trigonum Lieutaudi, yang bersamaan dengan uretra,
10

dihubungkan oleh septum vesiko-uretro-veginale dengan dinding depan vagina. Di
trigonum Lieutaudi bermuara kedua (atau lebih) ureter. Dasar kandung kencing ini
terfiksasi, tidak bergerak atau tidak mengembang seperti bagian atas yang diliputi
oleh serosa. Di septum septum vesiko-uretro-vaginale terdapat fasia yang dikenal
sebagian fasia Halban,
Dinding kandung kencing mempunyai lapisan otot polos yang kuat,
beranyaman seperti anyaman tikar. Selaput kandung kencing di daerah kandung
kencing di daerah trigonum Lieutaudi licin dan melekat pada dasarnya. Pada daerah
kandung kencing dan bagian atas uretra terdapat muskulus lissosfingter, terdiri atas
otot polos, dan berfungsi menutup jalan urine setempat.
Uretra panjangnya 3,5-5 cm berjalan dari kandung kencing kedepan di bawah
dan belakang simfisis, dan bermuara di vulva. Pada wanita yang berbaring arahnya
kurang lebih horisontal. Di sepanjang uretra terdapat muskulus sfingter. Yang terkuat
adalah muskulus lissosfingter dan muskulus rhabdosfingter. Yang terakhir ini adalah
bagian dari diafragma urogenitale.

















11

BAB III
PROLAPSUS GENITALIA

III. Prolapsus Genitalia
Pada Dasarnya prolapsus genitalia dibagi menjadi dua golongan yaitu
inversio vagina atas dan eversio vagina bawah. Inversio dan eversio ini dapat terjadi
bersama-sama atau berbeda waku, akan tetapi faktor penyebabnya cukup berbeda.
Inversio vagina atas primer disebabkan oleh adanya paksaan dan kerusakan dari otot
penyokong vagina atas (ligamen) terutama karena persalinan atau karena tekanan
intra abdomen yang tinggi dan kronis, atau karena kelemahan jaringan penyokong
tersebut sejak dari bawaan.
1

Eversio vagina terjadi karena hilangnya penyokong atau lemahnya otot
vagina bawah, terutama kerusakan diagfragma pelvis dan urogenital, biasanya
kerusakan ini akibat trauma persalinan, atau karena atrofi jaringan-jaringan
penyokong pelvis pasca menopause, dimana hormon estrogen sudah berkurang.
1

III.I. Prolapsus Vagina
Bentuk prolapsus vagina
- Sistokel : turunya kandung kemih melalui fasia pubeservikalis, sehingga
dinding vagina depan menjadi tipis dan disertai pwnonjolan ke dalam lumen
vagina. Pada sistokel yang besar akan menarik utero verica junction dan
ujung ureter kebawah dan keluar vagina, sehingga kadang-kadang dapat
menyebabkan penyumbatan dan, kerusakan ureter bila tidak dikenal.
- Uretrokel : hilangnya penyokong dari fasia pubo cervicalis dan fasia
pubouretralis.
- Enterokel : enterokel biasanya berisi usus halus atau omentum dan mungkin
dapat
- Retrokel : kelamahan dari dinding vagina belakang yang menyebabkan
penonjolan dari rektum ke dalam vagina. Rektum turun melalui septum
rektovaginal dan menyebabkan dinding vagina menonjol ke depan.
12

- Korpokel pasca hysterektomia. Penurunan vagina pasca histerektomia.
- Prolapsus uteri : terjadi karena kelemahan dinding endopelvik terutama
ligamentum transferal.
III. II. Prolapsus Uteri
Prolapsus uteri adalah suatu keadaan pergeseran letak uterus ke bawah
sehingga serviks atau seluruh uterus berada di dalam orificium vagina, atau keluar
hingga melewati vagina.
1
Turunnya uterus melalui dasar panggul atau hiatus
genitalis disebabkan karena kelemahan otot-otot, fascia, ligamentum-ligamentum
yang menyokongnya.
2
Angka Kejadian
Frekuensi prolapsus genitalia di beberapa negara berbeda, seperti dilaporkan
di klinik d`Gynocologie et Obstetrique Geneva insidensnya 5,7% dan pada periode
yang sama di Hamburg 5,4%, Roma 6,4%. Dilaporkan di Mesir, India, dan Jepang
kejadiannya lebih tinggi, sedangkan pada orang Negro Amerika, Indonesia lebih
kecil angka kejadian pada kasus ini. Pada suku Bantu di Afrika Selatan jarang sekali
terjadi.
5

Telah banyak diketahui bahwa faktor predisposisi untuk terjadinya prolapsus
genitalia terutama adalah persalinan pervaginam lebih dari satu kali dan pekerjaan
yang menyebabkan tekanan intra abdominal meningkat serta kelemahan dari
ligamentum-ligamentum karena hormonal pada usia lanjut. Trauma persalinan,
beratnya uterus pada trauma persalinan, beratnya uterus pada masa involusi uterus,
mungkin juga sebagai penyebab.
2,3,5

Di Indonesia prolapsus genitalis lebih sering dijumpai pada wanita yang telah
melahirkan, wanita tua yang menopause dan wanita dengan pekerjaan yang cukup
berat. Di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta dari tahun 1995-2000 telah
dirawat 240 kasus prolapsus genitalia yang mempunyai keluhan dan memerlukan
penanganan terbanyak dari penderita pada usia 60-70 tahun dengan paritas lebih dari
tiga.
1



Etiologi Dan Faktor Predisposisi
Penyebab prolapsus alat genitalia adalah multifaktorial dan semakin
berkembang dari tahun ke tahun. Namun pada dasarnya disebabkan oleh kelemahan
13

pelvic floor yang terdiri dari otot-otot, fascia endopelvik, dan ligamentum-
ligamentum yang menyokong organ-organ genitalia tersebut.
1,2

Gambar 7. Pelvic Organ Prolapse

Faktor resikonya :
1. Multiparitas
Persalinan yang sering merupakan faktor resiko terbanyak. Sampai saat ini
belum ada penjelasan mengenai apakah karena kehamilan atau nifas itu sendiri
yang menjadi faktor resiko dari prolapsus uteri. Persalinan pervaginam merupakan
faktor risiko yang paling sering dikutip. Tidak ada kesepakatan apakah kehamilan
atau nifas itu sendiri yang merupakan predisposisi untuk disfungsi dasar panggul.
Namun banyak penelitian statistik jelas menunjukkan bahwa persalinan
pervaginam ini meningkatkan kecenderungan seorang wanita untuk mengalami
Pelvic Organ Prolapse (POP). Sebagai contoh, dalam Dukungan Pelvic Organ
Study (POSST), peningkatan paritas dikaitkan dengan peningkatan resiko
prolapsus. Selain itu, risiko POP meningkat 1,2 kali dengan setiap pengiriman
vagina. Studi Kohort Keluarga Berencana Oxford dari 17.000 wanita,
menunjukkan bahwa dibandingkan dengan wanita nullipara, mereka dengan dua
kali persalinan mengalami peningkatan resiko delapan kali lipat di rumah sakit
untuk POP.
3,4
Faktor penyebab lainnya :
Makrosomia, kala dua memanjang akibat peregangan otot-otot jalan lahir yang
terlalu lama bisa menjadi factor resiko yang dapat menyebabkan POP. Selain itu
beberapa ahli ginekologi menganggap trauma jalan lahir akibat episiotomi,
laserasi sfingter anal, penggunaan forceps, stimulasi oksitosin berulang, riwayat
14

operasi pelvis terutama histerektomi juga dapat meningkatkan resiko terjadinya
POP dikemudian hari walaupun hal ini masih menjadi pertimbangan. Asites dan
tumor-tumor di daerah pelvis akan mempermudah terjadinya prolapsus genitalia.
Bila prolapsus uteri dijumpai pada nullipara, faktor penyebab biasanya disebabkan
oleh adanya kelainan bawaan berupa kelemahan jaringan penunjang uterus.
1-4
Faktor resiko yang disebutkan di atas tidak secara pasti dapat dibuktikan.
Hal yang masih menjadi kontroversial adalah penanganan kelahiran menggunakan
forceps ntuk mempersingkat kala kedua dan episiotomy. Beberapa ahli
menyatakan penggunaan forceps dan episiotomy tidak dianjurkan karena terbukti
kurang bermanfaat dan berpotensi untuk membahayakan ibu dan janin. Pertama,
penggunaan forceps dapat menyebabkan cedera panggul dengan laserasi sfingter
anal.Kedua, Forcep tidak terbukti dalam memperpendek kala dua. Karena alasan
inilah, pengguanaan forceps tidak dianjurkan. Demikian juga, episiotomi tidak
terbukti bermanfaat tetapi dapat menyebabkan laserasi sfingter anal, inkontinensia
urin dan alvi, konstipasi postpartum,dan nyeri postpartum.
4.5.6

2. Umur
Usia lanjut juga juga merupakan faktor resiko prolapsus uteri. Pada wanita yang
telah menopause, di samping akibat kurangnya hormon estrogen
(hipoestrogenism) yang dihasilkan oleh ovarium serta karena faktor umur
menyebabkan otot-otot dasar panggul seperti diafragma pelvis, diafragma
urogenital dan ligamentum serta fasia akan mengalami atrofi dan melemah, serta
terjadi atrofi vagina. Keadaan ini akan menyebabkan otot-otot dan fascia tidak
dapat melaksanakan fungsinya dengan baik sebagai alat penyokong organ
sehingga menyebabkan terjadinya prolapsus genitalia.
2,4

3. Penyakit atau kelainan pada jaringan ikat.
Wanita dengan gangguan jaringan ikat mungkin akan lebih beresiko untuk
terjadinya prolapsus uteri.
4. Ras
Telah dibuktikan dalam beberapa penelitian bahwa wanita berkulit hitam, dan
wanita Asia menunjukkan risiko terendah, sedangkan wanita ras hispanik
tampaknya memiliki risiko tertinggi. Meskipun perbedaan dalam komponen
kolagen telah dibuktikan antara ras, namun perbedaan tulang panggul dalam
15

settiap ras mungkin juga berperan. Misalnya, perempuan kulit hitam, umumnya
arcus pubis < 90 derajat dan umumnya Bentuk panggulnya adalah android atau
antropoid. Bentuk panggul ini mengurangi resiko untuk terjadinya prolapsus uteri
dibandingkan dengan ras Barat dimana rata-rata bentuk panggulnya ginekoid.
5. Peningkatan Tekanan Intraabdominal
Peningkatan tekanan intra-abdominal yang berlangssung lama diyakini
mempunyai peranan dalam patogenesis Prolapsus uteri. Contohnya dalam kasus
ini adalah pasien yang obesitas, konstipasi yang lama, sering mengangkat berat,
batuk kronis, dan berulang. Selain itu, merokok dan penyakit paru obstruktif
kronik (PPOK) juga telah terlibat dalam pengembangan PP, meskipun sedikit data
mendukung hal tersebut. Demikian pula, meskipun hasil batuk kronis berulang
dalam peningkatan tekanan intra-abdomen, ada mekanisme yang jelas telah
ditunjukkan.


Gambar 8. Peningkatan Tekanan Intrabdominal Sebagai Faktor Resiko POP

Klasifikasi Prolapsus Uteri
Mengenai istilah dan klasifikasi prolapsus uteri terdapat perbedaan pendapat
antara para ahli ginekologi. Friedman dan Little (1961) mengemukakan beberapa
macam klasifikasi yang dikenal yaitu:
1
1. Prolapsus uteri tingkat I, di mana serviks uteri turun sampai introitus vagina;
2. prolapsus uteri tingkat II, di mana serviks menonjol ke luar dari introitus vagina;
3. prolapsus uteri tingkat III, seluruh uterus ke luar dari vagina, prolapsus ini sering
juga dinamakan prosidensia uteri.

16


Gambar 9. Derajat Prolapsus Uteri

Selain itu dikenal juga pembagian prolapsus uteri menurut Baden-Walker,
metode
pemeriksaannya menggunakan pemeriksaan Baden-Walker. Pembagiannya adalah :
1. Stage 0 = Tidak ada prolaps
2. Stage I = Ujung prolaps turun sampai setengah dari introitus
3. Stage II = Ujung prolaps turun sampai introitus
4. Stage III = Ujung prolaps sampai setengahnya diluar vagina
5. Stage IV = Ujung prolaps sampai lebih dari setengahnya ada di luar vagina.

Gambar 10. Derajat Prolapsus Uteri Baden-Walker
Pemeriksaan Prolapsus Uterus juga mengenal pembagian berdasarkan system POPQ
( Pelvic Organ Prolapse Quantification) yang dicetuskan oleh Baden-Walker.
17


Gambar 11. Pembagian Klasifikasi Prolapsus Uteri Menurut Sistem POPQ


Tabel 1. Deskripsi dan stadium Prolapsus dengan system POPQ

Patofisiologi
Prolapsus uteri terdapat dalam berbagai tingkatan, dari yang paling ringan
sampai prolapsus uteri totalis. Terutama akibat persalinan, khususnya persalinan
18

pervaginam yang susah dan terdapatnya kelemahan-kelemahan ligamentum-
ligamentum yang tergolong dalam fascia endopelvis dan otot-otot serta fascia-fascia
dasar panggul. Juga dalam keadaan tekanan intraabdominal yang meningkat dan
kronis akan memudahkan terjadinya penurunan uterus, terutama apabila tonus otot-
otot mengurang seperti pada penderita dalam menopause.
2,3

Serviks uteri terletak di luar vagina, akan tergeser oleh pakaian wanita tersebut
dan lambat laun akan menimbulkan ulkus yang disebut dengan ulkus dekubitus. Jika
fascia di bagian depan dinding vagina kendor biasanya akibat trauma obstetrik maka
akan terdorong oleh kandungan kencing sehingga menyebabkan penonjolan dinding
depan vagina ke belakang yang di namakan sistokel. Sistokel yang pada mulanya
hanya ringan saja, dapat menjadi besar karena persalinan berikutnya yang kurang
lancar sehingga akan menyebabkan terjadinya uretrokel. Uretrokel harus dibedakan
dari divertikulum uretra.Pada divertikulum keadaan uretra dan kandung kencing
normal, hanya di belakang uretra ada lubang yang membuat kantong antara uretra
dan vagina.
6,7

Kekendoran fascia di bagian belakang dinding vagina oleh trauma obstetrik atau
sebab-sebab lain dapat menyebabkan turunnya rectum ke depan dan menyebabkan
dinding belakang vagina menonjol ke lumen vagina yang dinamakan rektokel.
Enterokel adalah hernia dari kavum Douglasi. Dinding vagina atas bagian belakang
turun dan menonjol ke depan. Kantong hernia ini dapat berisi usus dan omentum.
4


Gejala Klinis
Gejala-gejala prolapsus genitalia sangat berbeda dan bersifat individual.
Kadangkala penderita yang satu berbeda dengan yang lainnya dan prolapsus genitalia
yang cukup berat dapat tidak mempunyai keluhan apapun, sebaliknya penderita lain
dengan prolapsus yang ringan saja telah mempunyai banyak keluhan. Keluhan-
keluhan yang hampir selalu dijumpai:
1,2

1. Perasaan adanya suatu benda yang mengganjal atau menonjol di genitalia
eksterna.
2. Rasa sakit di panggul dan pinggang (backache). Biasanya jika penderita
berbaring, keluhan menghilang atau menjadi kurang.
3. Sistokel yang dapat menyebabkan gejala-gejala:
19

a. Miksi yang lebih sering dan sedikit-sedikit mula-mula pada siang hari,
kemudian bila lebih berat juga pada malam hari.
b. Perasaan seperti kandung kencing tidak dapat di kosongkan seluruhnya.
c. Stress inkontinensia, yaitu tidak dapat menahan kencing jika batuk,
mengejan. Kadang-kadang dapat terjadi retensio urin pada sistokel yang
besar sekali.
4. Rektokel dapat menjadi gangguan pada defekasi:
a. Obstipasi karena feses berkumpul dalam rongga rektokel.
b. Baru dapat defekasi, setelah diadakan tekanan pada rektokel dari vagina.
5. Prolapsus uteri dapat menyebabkan gejala sebagai berikut:
a. Pengeluaran serviks uteri dari vulva mengganggu penderita waktu berjalan
dan bekerja. Gesekan porsio uteri oleh celana akan menimbulkan lecet
sampai luka dan ulkus dekubitus pada porsio uteri.
b. Leukorea karena kongesti pembuluh darah di daerah serviks dan karena
infeksi serta luka pada porsio uteri.
6. Enterokel dapat menyebabkan perasaan berat di rongga panggul dan rasa
penuh di vagina.

Diagnosis
Berdasarkan keluhan-keluhan pada penderita dan pemeriksaan ginekologik
umumnya dengan mudah dapat menegakkan diagnosis prolapsus genitalia. Dari
anamnesis ditanyakan mengenai adanya benda asing yang keluar dai kemaluan,
apakah terasa mengganjal di sekitar kemaluanya, apakah seperti ada suatu ruangan
antara anus dan vagina, apakah menggunakan laxatives secara rutin, apakah ada low
back pain, adakah dispareunia, ataupun inkontenensia dan konstipasi.
Friedman dan Little (1991) menganjurkan cara pemeriksaan sebagai berikut:
Penderita dalam posisi jongkok lalu disuruh mengejan dan ditentukan dengan
pemeriksaan dengan jari, apakah porsio uteri pada posisi normal atau porsio sampai
pada introitus vagina atau apakah serviks uteri sudah keluar dari vagina. Selanjutnya
dengan penderita berbaring dalam posisi litotomi lalu ditentukan pula panjangnya
serviks uteri. Serviks uteri yang lebih panjang dari biasanya dinamakan elongasio
kolli.
2
20

Pada sistokel dijumpai pada dinding vagina depan berupa benjolan kistik,
lembek dan tidak nyeri tekan. Benjolan ini bertambah besar jika penderita di suruh
mengejan.Jika dimasukkan ke dalam kandung kencing kateter logam, lalu kateter itu
diarahkan ke dalam sistokel dapat diraba kateter tersebut dekat sekali pada dinding
vagina. Uretrokel letaknya lebih ke bawah dari sistokel, yaitu dekat pada orifisium
uretra eksternum.
2,3
Menegakkan diagnosis retrokel sangatlah mudah yaitu ditandainya dengan
menonjolnya rektum ke lumen vagina sepertiga bagian bawah. Penonjolan ini
berbentuk lonjong, memanjang dari proksimal ke distal, kistik dan tidak nyeri.Untuk
memastikan diagnosis jari dimasukkan ke dalam rektum dan selanjutnya dapat diraba
dinding rektokel yang menonjol ke lumen vagina.Enterokel menonjol ke lumen
vagina lebih atas dari rektokel. Pada pemeriksaan rektal dinding rektum lurus dan
terdapat benjolan ke arah vagina di atas rektum.
2,4

Gambar 13. Cara pemeriksaan Pelvic Organ Prolapse

a. Anamnesis
Gejala diperberat saat berdiri atau berjalan dalam waktu lama dan pulih saat
berbaring. Pasien merasa lebih nyaman saat pagi hari, dan gejala memberat saat
siang hari. Gejala-gejala tersebut antara lain:
1,5,6

- Pelvis terasa berat dan nyeri pelvis
- Protrusi atau penonjolan jaringan
- Disfungsi seksual seperti dispareunia, penurunan libido, dan kesulitan
orgasme
- Nyeri punggung bawah
21

- Konstipasi
- Kesulitan berjalan
- Kesulitan berkemih
- Peningkatan frekuensi, urgensi, dan inkontinensia dalam berkemih
- Nausea
- Discharge purulen
- Perdarahan
- Ulserasi

b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan pelvis lengkap, termasuk
pemeriksaan rektovaginal untuk menilai tonus sfingter. Alat yang digunakan adalah
spekulum Sims atau spekulum standar tanpa bilah anterior. Penemuan fisik dapat
lebih diperjelas dengan meminta pasien meneran atau berdiri dan berjalan sebelum
pemeriksaan. Hasil pemeriksaan fisik pada posisi pasien berdiri dan kandung kemih
kosong dibandingkan dengan posisi supinasi dan kandung kemih penuh dapat
berbeda 1-2 derajat prolaps. Prolaps uteri ringan dapat dideteksi hanya jika pasien
meneran pada pemeriksaan bimanual. Evaluasi status estrogen semua pasien. Tanda-
tanda menurunnya estrogen:
o Berkurangnya rugae mukosa vagina
o Sekresi berkurang
o Kulit perineum tipis
o Perineum mudah robek
Pemeriksaan fisik juga harus dapat menyingkirkan adanya kondisi serius
yang mungkin berhubungan dengan prolaps uteri, seperti infeksi, strangulasi dengan
iskemia uteri, obstruksi saluran kemih dengan gagal ginjal, dan perdarahan. Jika
terdapat obstruksi saluran kemih, terdapat nyeri suprapubik atau kandung kemih
timpani. Jika terdapat infeksi, dapat ditemukan discharge serviks purulen.
1,5,6


c. Laboratorium


Pemeriksaan ditujukan untuk mengidentifikasi komplikasi yang serius
(infeksi, obstruksi saluran kemih, perdarahan, strangulasi), dan tidak diperlukan
22

untuk kasus tanpa komplikasi. Urinalisis dapat dilakukan untuk mengetahui infeksi
saluran kemih. Kultur getah serviks diindikasikan untuk kasus yang disertai ulserasi
atau discharge purulen. Pap smear atau biopsi mungkin diperlukan bila diduga
terdapat keganasan. Jika terdapat gejala atau tanda obstruksi saluran kemih,
pemeriksaan BUN dan kadar kreatinin serum dilakukan untuk menilai fungsi ginjal.
6


d. Radiologi
USG pelvis dapat berguna untuk memastikan prolaps ketika anamnesis dan
pemeriksaan fisik meragukan. USG juga dapat mengeksklusi hidronefrosis. MRI
dapat digunakan untuk menentukan derajat prolaps namun tidak rutin dilakukan.
6


Komplikasi
Komplikasi yang dapat menyertai prolapsus genitalia adalah:

1. Keratinisasi mukosa vagina dan porsio uteri. Prosidensia uteri disertai dengan
keluarnya dinding vagina (inversio), karena itu mukosa vagina dan serviks uteri
menjadi tebal serta berkerut dan berwarna keputih-putihan.
2. Dekubitus. Jika serviks uteri terus ke luar dari vagina maka ujungnya bergeser
dengan paha pada pakaian dalam, sehingga hal ini dapat menyebabkan luka dan
radang yang lambat laun dapat menjadi ulkus yang disebut ulkus dekubitus.
Dalam keadaan demikian perlu dipikirkan kemungkinan suatu keganasan, lebih-
lebih pada penderita yang berusia lanjut. Pemeriksaan sitologi biopsi perlu
dilakuakan untuk mendapatkan kepastian akan adanya proses keganasan tersebut.
3. Hipertrofi serviks uteri dan elongasio kolli. Jika serviks uteri turun ke dalam
vagina sedangkan jaringan penahan dan penyokong uterus masih kuat maka
akibat tarikan ke bawah di bagian uterus yang turun serta karena pembendungan
pembuluh darah, maka serviks uteri mengalami hipertrofi dan menjadi panjang
pula. Hal yang terakhir ini dinamakan elongasio kolli. Hipertrofi ditentukan
dengan pemeriksaan pandang dan perabaan. Pada elongasio kolli serviks uteri
pada perabaan lebih panjang dari biasanya.
4. Gangguan miksi dan stress inkontinensia. Pada sistokel berat, miksi kadang-
kadang terhalang sehingga kandung kencing tidak dapat dikosongkan
sepenuhnya. Turunnya uterus bisa juga menyempitkan ureter sehingga bisa
23

menyebabkan hidroureter dan hidronefrosis. Adanya sistokel dapat pula
mengubah bentuk sudut antara kandung kencing dan uretra sehingga dapat
menyebabkan stress inkontinensia.
5. Infeksi saluran kencing. Adanya retensi air kencing akan mudah menimbulkan
infeksi. Sistitis yang terjadi dapat meluas ke atas dan dapat menyebabkan pielitis
dan pielonefritis yang akhirnya keadaan tersebut dapat menyebabkan gagal
ginjal.
6. Kemandulan, karena serviks uteri turun sampai dekat pada introitus vagina atau
sama sekali ke luar dari vagina sehingga tidak akan mudah terjadi kehamilan.
7. Kesulitan pada waktu persalinan. Jika wanita dengan prolapsus uteri hamil maka
pada waktu persalinan dapat menimbulkan kesulitan dikala pembukaaan
sehingga kemajuan persalinan jadi terhalang.
8. Hemoroid. Varises yang terkumpul dalam rektokel akan memudahkan terjadinya
obstipasi sehingga lambat laun akan menimbulkan hemoroid.
9. Inkarserasi usus halus. Usus halus yang masuk ke dalam enterokel dapat terjepit
sehingga kemungkinan tidak dapat direposisi lagi. Dalam hal ini perlu dilakukan
laparotomi untuk membebaskan usus yang terjepit tersebut.

Pencegahan
Pemendekan waktu persalinan terutama pada saat kala dua dengan
memperbaiki power yaitu memimpin persalinan dengan baik agar penderita dihindari
untuk mengejan sebelum pembukaan lengkap adalah tindakan yang benar,
episiotomy yang benar dipertimbangkan, memperbaiki dan mereparasi luka atau
kerusakan jalan lahir dengan baik, , menghindari paksaan dalam pengeluaran
plasenta (perasat Crede), mengawasi involusi uterus paska persalinan yang tetap baik
dan cepat, serta mencegah atau mengobati hal-hal yang dapat meningkatkan tekanan
intraabdominal seperti batuk-batuk yang kronis. Menghindari mengangkat benda-
benda yang berat dan menganjurkan para wanita jangan terlalu banyak punya anak
atau terlalu sering melahirkan.
2,4


24

Penatalaksanaan
Penatalaksanan pada prolapsus genitalia bersifat individual, terutama pada
mereka yang telah memiliki keluhan dan komplikasi, namun secara umum
penatalaksanan dengan kasus ini terdiri dari dua cara yakni konservatif dan
operatif.
2,4,
Pengobatan Konservatif
Pengobatan cara ini tidak seberapa memuaskan tetapi cukup membantu para
penderita dengan prolapsus uteri. Cara ini biasanya diberikan pada penderita
prolapsus ringan tanpa keluhan atau pada penderita yang masih ingin mendapatkan
anak lagi atau penderita yang menolak untuk melakukan tindakan operasi atau pada
kondisi yang tidak memungkinkan untuk dilakukan tindakan operasi.
Tindakan yang dapat diberikan pada penderita antara lain:
4,5
a. Latihan-latihan otot dasar panggul. Latihan ini sangat berguna pada penderita
prolapsus uteri ringan terutama yang terjadi pada penderita pasca persalinan yang
belum lewat enam bulan. Tujuannya untuk menguatkan otot-otot dasar panggul
dan otot-otot yang mempengaruhi miksi. Latihan ini dilakukan selama beberapa
bulan. Caranya adalah di mana penderita disuruh menguncupkan anus dan
jaringan dasar panggul seperti biasanya setelah buang air besar atau penderita
disuruh membayangkan seolah-olah sedang mengeluarkan air kencing dan tiba-
tiba menghentikannya.
b. Stimulasi otot-otot dengan alat listrik. Kontraksi otot-otot dasar panggul dapat
pula ditimbulkan dengan alat listrik, elektrodenya dapat dipasang di dalam
pessarium yang dimasukkan ke dalam liang vagina.
c. Pengobatan dengan pessarium. Pengoabatan dengan pessarium sebetulnya hanya
bersifat paliatif saja, yakni menahan uterus ditempatnya selama alat tersebut
digunakan. Oleh karena itu jika pessarium diangkat maka timbul prolapsus
kembali. Prinsip pemakaian pessarium ialah bahwa alat tersebut mengadakan
tekanan pada dinding vagina bagian atas sehingga bagian dari vagina tersebut
beserta uterus tidak dapat turun dan melewati vagina bagian bawah. Jika
pessarium terlalu kecil atau dasar panggulnya terlalu lemah maka pessarium akan
jatuh dan prolapsus uteri akan timbul kembali. Pessarium yang paling baik untuk
prolapsus genitalia ialah pessarium cicic yang terbuat dari plastik. Jika dasar
25

panggul terlalu lemah dapat digunakan pessarium Napier. Pessarium ini terdiri
atas suatu gagang (stem) dengan dengan ujung atas suatu mangkok (cup) dengan
beberapa lobang dan diujung bawah terdapat 4 tali. Mangkok ditempatkan di
bawah serviks dan tali-tali dihubungkan dengan sabuk pinggang untuk
memberikan sokongan pada pessarium. Sebagai pedoman untuk mencari ukuran
yang cocok maka diukur dengan jari berupa jarak antara fornik vagina dengan
pinggir atas introitus vagina, kemudian ukuran tersebut dikurangi dengan 1 cm
untuk mendapatkan diameter dari pessarium yang akan digunakan. Pessarium
diberi zat pelicin dan dimasukkan miring sedikit ke dalam vagina. Setelah bagian
atas masuk ke dalam vagina maka bagian tersebut ditempatkan ke forniks vagina
posterior. Kadang-kadang pemasangan pessarium dari plastik mengalami
kesukaran, akan tetapi kesukaran ini biasanya dapat diatasi oleh penderita.
Apabila pessarium tidak dapat dimasukkan sebaiknya digunakan pessarium dari
karet dengan per di dalammnya. Pessarium ini dapat dikecilkan dengan menjepit
pinggir kanan dan kiri antara 2 jari dan dengan demikian lebih mudah
dimasukkan ke dalam vagina. Untuk mengetahui setelah dipasang apakah
ukurannya cocok maka penderita disuruh batuk atau mengejan. Jika pessarium
tidak keluar lalu penderita disuruh berjalan-jalan dan apabila ia tidak merasa
nyeri maka pessarium dapat digunakan terus.
Pessarium dapat dipakai selama beberapa tahun, asalkan penderita diawasi
dan diperiksa secara teratur.Pemeriksaan ulang sebaiknya dilakukan 2-3 bulan
sekali.Vagina diperiksa secara inspekulo untuk menentukan ada tidaknya
perlukaan, pessarium lalu dibersihkan dan disterilkan lalu kemudian dipasang
kembali. Pada kehamilan, reposisi prolapsus uteri dengan memasang pessarium
berbentuk cincin dan kalau perlu ditambah tampon kassa serta penderita disuruh
tidur mungkin sudah dapat membantu penderita.Apabila pessarium dibiarkan di
dalam vagina tanpa pengawasan yang teratur, maka dapat menimbulkan
komplikasi-komplikasi seperti ulserasi, terpendamnya sebagian dari pessarium ke
dalam dinding vagina, bahkan dapat terjadi fistula vesikovaginalis atau fistula
rektovaginalis.Kontraindikasi terhadap pemakaian pesarium ialah adanya radang
pelvis akut atau subakut serta adanya keganasan. Sedangkan indikasi penggunaan
pessarium antara lain kehamilan, hingga penderita belum siap untuk dilakukan
26

tindakan operasi, sebagai terapi tes untuk menyatakan bahwa operasi harus
dilakukan, penderita yang menolak untuk dilakukan tindakan operasi dan lebih
suka memilih terapi konservatif serta untuk menghilangkan keluhan yang ada
sambil menunggu suatu operasi dapat dilakukan.


Gambar 14. Jenis-jenis Pessarium
Pengobatan Operatif
Prolapsus uteri biasanya disertai dengan adanya prolapsus vagina, sehingga
jika dilakukan pembedahan untuk prolapsus uteri maka prolapsus vagina perlu
ditangani pula secara bersamaan.Ada kemungkinan terdapat prolapsus vagina yang
membutuhkan pembedahan, padahal tidak ada prolapsus uteri atau prolapsus uteri
yang ada belum perlu dilakukan tindakan operasi. Indikasi untuk melakukan operasi
pada prolapsus vagina ialah jika didapatkan adanya keluhan pada penderita.
2,7
Di bawah ini akan dibicarakan terapi pembedahan pada jenis-jenis prolapsus
genitalis.
2,6
a. Sistokel
Operasi yang lazim dilakukan ialah kolporafi anterior.
Setelah diadakan sayatan pada dinding vagina depan lalu dilepaskan dari
kandung kencing dan uretra, lalu kandung kencing didorong ke atas dan fascia
puboservikalis sebelah kiri dan kanan dijahit di garis tengah. Sesudah dinding vagina
yang berlebihan dibuang maka dinding vagina yang terbuka ditutup kembali.
27

Kolporafi anterior dilakukan pula pada uretrokel. Kadang-kadang tindakan operasi
ini tidak mencukupi pada sistokel dengan stress inkontinensia yang berat.
b. Rektokel
Pada kaus ini operasi yang dilakukan disebut dengan kolpoperineoplastik. Di
mana mukosa dinding belakang vagina disayat dan dibuang berbentuk segitiga
dengan dasarnya batas antara vagina dan perineum dan dengan ujungnya pada batas
atas rektokel.Sekarang fascia rektovaginalis dijahit di garis tengah dan kemudian
muskulus levator ani kiri dan kanan didekatkan di garis tengah. Luka pada dinding
vagina dijahit, demikian pula otot-otot perineum superfisialis sebelah kanan dan kiri,
lalu dihubungkan di garis tengah dan akhirnya luka pada kulit perineum dijahit.
c. Enterokel
Sayatan pada dinding belakang vagina diteruskan ke atas sampai ke serviks
uteri. Setelah hernia enterokel yang terdiri atas peritoneum dilepaskan dari dinding
vagina lalu peritoneum ditutup dengan jahitan setinggi mungkin. Sisanya dibuang
dan di bawah jahitan itu ligamentum sakrouterina kiri dan kanan serta fascia
endopelvik dijahit di garis tengah.
d. Prolapsus uteri
Seperti telah diterangkan di atas bahwa indikasi untuk melakukan operasi
pada prolapsus uteri tergantung dari beberapa faktor, seperti umur penderita,
kemungkinannya untuk masih mendapatkan anak lagi atau untuk mempertahankan
uterus, tingkatan prolapsus uteri dan adanya keluhan yang ditemukan pada penderita.

Macam-macam Operasi Prolapsus Uteri
a) Ventrofiksasi
Pada wanita yang masih tergolong muda dan masih ingin menginginkan anak
lagi, maka dilakukan tindakan operasi untuk membuat uterus ventrofiksasi dengan
cara memendekkan ligamentum rotundum atau mengikatkan ligamentum rotundum
ke dinding perut.
b) Operasi Manchester
Pada tindakan operasi ini biasanya dilakukan amputasi serviks uteri dan
dilakukan penjahitan ligamentum kardinale yang telah dipotong di muka serviks lalu
28

dilakukan pula kolporafi anterior dan kolpoperineoplastik.Amputasi serviks
dilakukan untuk memendekkan servik yang memanjang (elongasio kolli).




Gambar 15. Teknik opersi Manchester pada kasus prolapsus uteri dan sistokel
Tindakan ini dapat menyebabkan infertilitas, abortus, partus prematurus dan
distosia servikalis pada saat persalinan berlangsung. Bagian yang paling penting pada
tindakan operasi ini adalah penjahitan ligamentum kardinale di depan serviks karena
dengan tindakan ini ligamentum kardinale diperpendek sehingga uterus akan terletak
dalam posisi anteversiofleksi dan turunnya uterus dapat dicegah.

c) Histerektomi pervaginam
Operasi ini tepat untuk dilakukan pada prolapsus uteri dalam tingkatan yang
lebih lanjut dan pada wanita yang telah menopause.Setelah uterus diangkat, puncak
vagina digantungkan pada ligamentum rotundum kanan dan kiri, bagian atas pada
ligamentum infundebulopelvikum, kemudian tindakan operasi dilanjutkan dengan
29

melakukan kolporafi anterior dan kolpoperineorafi untuk mencegah terjadinya
prolapsus vagina dikemudian hari.
d) Kolpoklesis
Pada waktu obat-obat serta pemberian anestesi dan perawatan pra dan pasca
tindakan operasi belum baik untuk perempuan tua yang seksual tidak aktif lagi dapat
dilakukan operasi sederhana dengan menjahitkan dinding vagina depan dengan
dinding bagian belakang, sehingga lumen vagina tertutup dan uterus terletak di atas
vagina. Akan tetapi tindakan operasi jenis ini tidak akan memperbaiki sistokel atau
rektokel sehingga akan dapat menimbulkan inkotinensia urin. Obstipasi serta keluhan
pada prolapsus uteri lainnya juga tidak akan hilang pada tindakan ini.
e) Purandare
Purandare adalah operasi yang ditujukan bagi nulipara yang mengalami
prolaps uteri. Yang mempunyai dinding abdomen yang baik. Pada operasi ini, uterus
digantungkan dari ligamentum latum ke fascia muskulus rektus abdominis
menggunakan pita mersilene. Operasi efektif selama dinding abdomen masih kuat.
Ketika dinding abdomen tidak kuat, prolaps uterus dapat terjadi kembali.

PROGNOSIS
Bila prolaps uteri tidak ditatalaksana, maka secara bertahap akan memberat.
Prognosis akan baik pada pasien usia muda, dalam kondisi kesehatan optimal (tidak
disertai penyakit lainnya), dan Indeks Masa Tubuh ( IMT ) dalam batas normal.
Prognosis buruk pada pasien usia tua, kondisi kesehatan buruk, mempunyai
gangguan sistem respirasi (asma, PPOK), serta IMT diatas batas normal. Rekurensi
prolaps uteri setelah tindakan operasi sebanyak 16%.
5








30

BAB IV
EPISIOTOMI


IV. 1. Definisi
Episiotomi adalah suatu tindakan operatif berupa sayatan pada perineum
meliputi selaput lendir vagina, cincin selaput dara, jaringan pada septum
rektovaginal, otot-otot dan fascia perineum dan kulit depan perineum.
8

IV. 2. Indikasi
Indikasi episiotomi dapat berasal dari faktor ibu maupun faktor janin.
8,9

Indikasi ibu antara lain adalah:
a. Primigravida umumnya
b. Perineum kaku dan riwayat robekan perineum pada persalinan yang lalu
c. Apabila terjadi peregangan perineum yang berlebihan misalnya pada
persalinan sungsang, persalinan dengan cunam, ekstraksi vakum dan anak
besar
d. Arkus pubis yang sempit
Indikasi janin antara lain adalah:
a. Sewaktu melahirkan janin prematur. Tujuannya untuk mencegah terjadinya
trauma yang berlebihan pada kepala janin.
b. Sewaktu melahirkan janin letak sungsang, letak defleksi, janin besar.
c. Pada keadaan dimana ada indikasi untuk mempersingkat kala II seperti
pada gawat janin, tali pusat menumbung.

IV. 3. Kontraindikasi
Kontra indikasi episiotomi antara lain adalah:
a. Bila persalinan tidak berlangsung pervaginam
b. Bila terdapat kondisi untuk terjadinya perdarahan yang banyak seperti
penyakit kelainan darah maupun terdapatnya varises yang luas pada vulva
dan vagina.
31

IV. 4. Jenis Episiotomi
Sayatan episiotomi umumnya menggunakan gunting khusus, tetapi dapat
juga sayatan dilakukan dengan pisau. Berdasarkan lokasi sayatan maka dikenal 4
jenis episiotomi yaitu:
10,11

a. Episiotomi medialis.
Sayatan dimulai pada garis tengah komissura posterior lurus ke bawah
tetapi tidak sampai mengenai serabut sfingter ani.
Keuntungan dari episiotomi medialis ini adalah:
Perdarahan yang timbul dari luka episiotomi lebih sedikit oleh karena
merupakan daerah yang relatif sedikit mengandung pembuluh darah.
Sayatan bersifat simetris dan anatomis sehingga penjahitan kembali
lebih mudah dan penyembuhan lebih memuaskan.
Kerugiannya adalah dapat terjadi ruptur perinei tingkat III inkomplet
(laserasi m.sfingter ani) atau komplet (laserasi dinding rektum).

b. Episiotomi mediolateralis
Sayatan disini dimulai dari bagian belakang introitus vagina menuju ke
arah belakang dan samping. Arah sayatan dapat dilakukan ke arah kanan
ataupun kiri, tergantung pada kebiasaan orang yang melakukannya. Panjang
sayatan kira-kira 4 cm.
Sayatan disini sengaja dilakukan menjauhi otot sfingter ani untuk
mencegah ruptura perinei tingkat III. Perdarahan luka lebih banyak oleh
karena melibatkan daerah yang banyak pembuluh darahnya. Otot-otot
perineum terpotong sehingga penjahitan luka lebih sukar. Penjahitan
dilakukan sedemikian rupa sehingga setelah penjahitan selesai hasilnya harus
simetris.

c. Episiotomi lateralis
Sayatan disini dilakukan ke arah lateral mulai dari kira-kira jam 3 atau 9
menurut arah jarum jam. Jenis episiotomi ini sekarang tidak dilakukan lagi,
oleh karena banyak menimbulkan komplikasi. Luka sayatan dapat melebar ke
arah dimana terdapat pembuluh darah pudendal interna, sehingga dapat
32

menimbulkan perdarahan yang banyak. Selain itu parut yang terjadi dapat
menimbulkan rasa nyeri yang mengganggu penderita.

d. Insisi Schuchardt.
Jenis ini merupakan variasi dari episiotomi mediolateralis, tetapi
sayatannya melengkung ke arah bawah lateral, melingkari rektum, serta
sayatannya lebih lebar.

Gambar 16. Jenis episiotomi
10


I. Saat Melakukan Episiotomi
Bila episiotomi dilakukan terlalu cepat, maka perdarahan yang timbul dari
luka episiotomi bisa terlalu banyak, sedangkan bila episiotomi dilakukan terlalu
lambat maka otot-otot dasar panggul sudah sangat teregang sehingga salah satu
tujuan episiotomi itu sendiri tidak akan tercapai.
12

Berdasarkan hal-hal tersebut diatas banyak penulis menganjurkan
episiotomi dilakukan pada saat kepala janin sudah terlihat dengan diameter 3 - 4
cm pada waktu his.
13

Pada penggunaan cunam beberapa penulis melakukan episiotomi setelah
cunam terpasang tetapi sebelum traksi dilakukan, dengan alasan bahwa bila
dilakukan sebelum pemasangan, akan memperbanyak perdarahan serta
33

memperbesar resiko perluasan luka episiotomi yang tidak terkontrol selama
pemasangan cunam.
12,13

Pada persalinan letak sungsang, episiotomi sebaiknya dilakukan sebelum
bokong lahir, dengan demikian luasnya episiotomi dapat disesuaikan dengan
kebutuhan.
12,13,14


II. Penjahitan/Repair Luka Episiotomi
Teknik penjahitan luka episiotomi sangat menentukan hasil penyembuhan
luka episiotomi, bahkan lebih penting dari jenis episiotomi itu sendiri. Penjahitan
biasanya dilakukan setelah plasenta lahir, kecuali bila timbul perdarahan yang
banyak dari luka episiotomi maka dilakukan dahulu hemostasis dengan
mengklem atau mengikat pembuluh darah yang terbuka.
Beberapa prinsip dalam penjahitan luka episiotomi yang harus
diperhatikan adalah sebgai berikut:
11

1. Penyingkapan luka episiotomi yang adekwat dengan penerangan yang
baik, sehingga restorasi anatomi luka dapat dilakukan dengan baik.
2. Hemostasis yang baik dan mencegah dead space.
3. Penggunaan benang jahitan yang mudah diabsorbsi.
4.Pencegahan penembusan kulit oleh jahitan dan mencegah tegangan yang
berlebihan.
5. Jumlah jahitan dan simpul jahitan diusahakan seminimal mungkin.
6. Hati-hati agar jahitan tidak menembus rektum.
7. Untuk mencegah kerusakan jaringan, sebaiknya dipakai jarum atraumatik.







34

BAB IV
KESIMPULAN


1. Angka kejadian prolapsus alat genitalia cenderung meningkat seiring dengan
bertambahnya usia harapan hidup penduduk di Indonesia.
2. Penyebab prolapsus genitalia multifaktorial dan semakin berkembang dari tahun
ke tahun namun pada dasarnya disebabkan oleh kelemahan pelvic floor yang
terdiri dari otot-otot, fascia endopelvik dan ligamentum-ligamentum yang
menyokong organ-organ genitalia. Penyebab yang paling sering adalah karena
multiparitas.
3. Gejala klinik dari prolapsus itu sendiri berbeda-beda dan berifat individual.
Bisanya gejala yang dirasakan penderita adalah adanya suatu benda yang
menonjol atau mengganjal di genitali eksterna, rasa sakit di pinggang, miksi yang
sedikit tapi sering.
4. Penatalaksanan pada prolapsus genitalis pada umumnya adalah konservatif,
sedangkan tindakan operatif baru dilakukan jika secara konservatif tidak berhasil
dan jika tidak ada kontraindikasi.













35

DAFTAR PUSTAKA

1. Junizaf. Prolapsus alat genitalia. Dalam: Buku ajar: Uroginekologi. Jakarta
Subbagian uroginokologi rekonstruksi Bagian Obstetri dan Ginekologi
FKUI/RSUPN-CM, 2002; 70-76
2. Wiknjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadhi T. Ilmu Kandungan. Jakarta:
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2007: 103-131, 421-446
3. Decherrney AH, Goodwin, TM, et al. Current Diagnosis and Treatment. New
York: The McGraw hill, 2007:720-734
4. Schorge J et al. Williams Gynecology. United States: The McGraw hill, 2008:
chapter 24.
5. Fortnes K et al. The Johns Hopkins Manual of Gynecology and Obstetrics.
Baltimore. Lippincott Williams & Wilkins, 2007.
6. Thomson JD. Surgical techniques for pelvic organ prolapse. In: Bent AE,
Ostergard DR, Cundiff GW, et al, eds. Ostergards urogynecology and pelvic
floor dysfunction. 5
th
ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins,2003.
7. Wong Eric. Patophysiology of menopause organ changes. 2011. Available from :
http://www.pathophys.org/menopause/ Diunduh tanggal 7 Mei 2014.
8. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Yayasan
Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta, 2001; 455458 .
9. Albar, E. Perawatan Luka Jalan Lahir, Ilmu Bedah Kebidanan, Edit. H.
Wiknjosastro, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta, 2000; 170-
187.
10. Benson RC, Pernoll ML. Hand book of Obstetric & Gynaecology , Mc Graw-
Hill, Inc, 9th ed, 1994;362-372.
11. Cunningham FG, Mac Donald PC, Gan NF et al. Williams Obstetrics, 20 th ed.
Appleton and Lange, 1997; 342-345
12. Craigo S.D, Kapernick P.S , Current Obstetric and Gynaecology Diagnosis and
Treatment 8
th
ed.Prentice Hall International Inc.1994;222-223.
13. Dutta DC,Text Book of Obstetric.4
th
Ed.New Central Book Agency (P)
Ltd.,Calcutta.India.1998;605-608.

Vous aimerez peut-être aussi