Vous êtes sur la page 1sur 36

Ketangguhan Bangsa Dal am Menghadapi Bencana

GEMA BNPB
MEI 2012 VOL.3 NO.1
ISSN 2088-6527
Koordinasi,
Tantangan dalam
Penanggulangan Bencana
DARI REDAKSI
GEMA BNPB - Mei 2012 3
paya penanggulangan bencana
memerlukan kerjasama dan
partisipasi aktif dari semua
pihak, baik pemerintah,
masyarakat, maupun dunia usaha. Media
sebagai bagian dari dunia usaha memiliki
peran strategis, khususnya diseminasi
informasi penanggulangan bencana. Perlu
disadari, informasi ataupun berita yang
terkait pengurangan risiko bencana di
media masih sangat kurang. Pemerintah
sangat mendorong wartawan selaku
pelaku media dalam menjalankan peran
tersebut. Dalam hal ini, peningkatan
kapasitas penanggulangan bencana sangat
dibutuhkan oleh para wartawan. Pada edisi
ini, majalah Gema BNPB memuat beberapa
tema utama terkait pelatihan manajemen
penanggulangan bencana, rehabilitasi dan
rekonstruksi didaerah terkena bencana.
U
Laporan utama mengangkat tema
Pelatihan Peningkatan Kapasitas Wartawan
Kebencanaan. Fokus berita mengemukakan
Sinergitas dan Peningkatan Kapasitas
Relawan berbasis lembaga usaha.
Akhir kata, semoga majalah Gema
BNPB ini dapat menambah pengetahuan
dan informasi perkembangan kebencanaan
serta menjadi referensi kebencanaan.
Terima kasih kepada semua pihak yang
telah berkontribusi dalam penulisan
artikel ini.
Kepala Pusat Data, Informasi, dan
Hubungan Masyarakat
Dr. Sutopo Purwo Nugroho
PELINDUNG Kepala BNPB PENASIHAT Sekretaris Utama PENANGGUNG JAWAB Kepala Pusat Data,
Informasi, dan Humas REDAKTUR Hartje R. Winerungan, Neulis Zuliasri, Agus Wibowo, Harun Sunarso,
I Gusti Ayu Arlita NK EDITOR Ario Akbar Lomban, Theophilus Yanuarto, Rusnadi Suyatman Putra,
Giri Trigondo, Suprapto, Slamet Riyadi, Ratih Nurmasari, Andika Tutun Widiatmoko FOTOGRAFER
Andri Cipto Utomo DESAIN GRAFIS Ignatius Toto Satrio SEKRETARIAT Sulistyowati, Audrey Ulina
Magdalena, Ulfah Sari Febriani, Murliana ALAMAT REDAKSI Badan Nasional Penanggulangan
Bencana, Pusat Data, Informasi dan Humas, Jl. Ir. H. Juanda No. 36 Jakarta Pusat Telp : 021-3458400
Fax : 021-3458500 email : majalahgema@bnpb.go.id
Daftar Isi
Volume 3 No.1
Mei 2012
Pengantar Redaksi
3 Dari Redaksi
Laporan Utama
4 Rapat Koordinasi Nasional Penanggulangan
Bencana se Indonesia
14 Pelatihan Peningkatan Kapasitas
Wartawan Kebencanaan
Bincang-bincang
11 Ledia Hanifa Amaliah, SSi., MPsi. T
Fokus Berita
18 Kunjungan Utusan Khusus Sekjen PBB ke
Katulampa
20 Rapat Koordinasi BPBD Provinsi Sulawesi Utara
24 Menuju Desa/Kelurahan Tangguh Bencana
28 Sinergitas dan Peningkatan Kapasitas
Relawan Berbasis Lembaga Usaha
32 Pelatihan Teknis Lapangan di Bogor
36 BNPB Raih Elshinta Award 2011
37 Pelatihan Teknis Lapangan BNPB di Gorontalo
Liputan Khusus
40 Membangun Kembali Kepulauan Mentawai
44 Pulihnya 100% Aktivitas Masyarakat Sekitar
Merapi
48 Pasca Gempa Bumi 8,5 SR Mengguncang Aceh
Profl
53 Ir. Sugeng Triutomo, DESS
Teropong
60 Upaya Pemberdayaan Masyarakat dalam
Penanggulangan Bencana : Sebuah Pemikiran
65 Sosialisasi Kewajiban Perpajakan Bagi
Pegawai di Lingkungan BNPB
67 Dokumentasi BNPB
Ketangguhan Bangsa Dal am Menghadapi Bencana
GEMA BNPB
MEI 2012 VOL.3 NO.1 ISSN 2088-6527
Koordinasi,
Tantangan dalam
Penanggulangan Bencana
4
18
40
53
11
60
Penanggulangan Bencana
SeINDONESIA
Rapat Koordinasi Nasional
LAPORAN UTAMA
enanggulangan bencana semakin
mendapat perhatian yang sangat
serius dari pemerintah daerah di
Indonesia. Ini terbukti dengan
dibentuknya Badan Penanggulangan Bencana
Daerah (BPBD) di 33 provinsi serta 497 BPBD
di tingkat kabupaten/kota. Memang ini
sesuai dengan apa yang diamanatkan dalam
Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007
tentang Penanggulangan Bencana. Pasal 18
4 GEMA BNPB - Mei 2012 GEMA BNPB - Mei 2012 5
undang-undang tersebut menyebutkan bahwa
pemerintah daerah wajib untuk membentuk
BPBD di wilayahnya. Namun harus diakui
dengan dibentuknya BPBD, tidak serta merta
penanggulangan bencana dinilai handal.
Peningkatan kapasitas baik pengetahuan dan
keterampilan terkait kebencanaan masih harus
terus dilakukan.
Disadari bahwa kecenderungan kejadian
P
personel, maupun logistik dan peralatan.
Sementara itu dukungan dari pusat, khususnya
BNPB, merupakan wujud konkret komitmen
dalam penanggulangan bencana di Indonesia
serta pencapaian visi Menuju Ketangguhan
Bangsa dalam Menghadapi Bencana.
BNPB sebagai lembaga baru telah menunjukkan
prestasi yang dapat dibanggakan; dan
beberapa pencapaian menghantarkan BNPB
untuk mendapatkan penganugerahan Global
Champion for Disaster Risk Reduction dari
Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Pengakuan
PBB kepada upaya kerja keras Indonesia,
dalam hal ini BNPB sebagai focal point, telah
menunjukkan keseriusan Pemerintah Indonesia
dalam penanggulangan bencana. Tidak
terlepas dari peran BNPB sebagai focal point,
Indonesia juga ditunjuk sebagai host untuk
penyelenggaraan Asian Ministerial Conference
Disaster Risk Reduction (AMCDRR) ke-5.
Namun demikian peningkatkan kinerja dan
koordinasi di antara BNPB dan BPBD di tingkat
provinsi/kabupaten/kota tetap harus dilakukan
serta pemahaman bersama mengenai sistem
penanggulangan bencana Indonesia sangat
penting. Dalam kerangka tersebut, Badan
Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)
menyelenggarakan Rapat Koordinasi dan
Pelatihan Penanggulangan Bencana tingkat
nasional pada 1 3 Februari 2012 di Hotel Mercure
Ancol, Jakarta Utara. Penyelenggaraan acara
ini sekaligus merayakan Hari Ulang Tahun BNPB
ke-4. BNPB yang dibentuk sejak 2008 lalu telah
memberikan kontribusi bagi bangsa dan negara
dalam penyelenggaraan penanggulangan
bencana di Indonesia. Rapat koordinasi (rakor)
dan pelatihan yang mengangkat tema Menuju
Indonesia Tangguh ini melibatkan seluruh
BPBD provinsi dan sejumlah BPBD kabupaten/
kota di Indonesia.
Mengawali rangkaian kegiatan, Kepala BNPB, Dr.
Syamsul Maarif, M.Si. mengatakan bahwa BNPB
telah melaksanakan pengabdiannya selama
4 tahun dan saat ini telah banyak pengakuan
baik dalam negeri maupun komunitas
internasional. Harus diingat bahwa BNPB dan
BPBD bergerak dalam lingkup kemanusiaan,
yang di dalam kegiatannya selalu terpacu dan
berkesinambungan, baik dari segi komponen
bencana di Indonesia setiap tahun meningkat.
Pencegahan dan kesiapsiagaan di tingkat
lokal yang dekat dengan potensi bencana
sangat penting. Pemerintah daerah
yang belum mengenal betul mengenai
sistem penanggulangan bencana sangat
mengharapkan pendampingan dari BNPB.
Namun tidak menutup kemungkinan,
pemerintah daerah lain di sekitarnya dapat juga
memberikan dukungan, baik itu pemikiran,
Sebagai aparat
penanggulangan bencana,
kita harus selalu siap,
dimana pun,
kapan pun untuk
melaksanakan
tugas kemanusiaan
menanggulangi
bencana

pemerintahan, masyarakat, dan dunia usaha.


Pelaksanaan harus dilakukan secara terencana,
dari bawah hingga pengambilan keputusan.
Saya berharap dalam pelaksanaan tugas, BNPB
maupun BPBD selalu tampil di depan untuk
melakukan kegiatan kemanusiaan melalui
kegiatan kesiapsiagaan, tanggap darurat,
maupun rehabilitasi dan rekonstruksi, tambah
Syamsul Maarif. Hal yang perlu ditingkatkan
bahwa mainstreaming pengurangan resiko
bencana sangat penting juga dilakukan di
daerah-daerah. Investasi dalam PRB akan
menyelamatkan lebih banyak nyawa manusia
dan mengurangi beban kerugian pasca bencana.
Di samping itu, bekerja untuk penanggulangan
bencana berarti mengutamakan prinsip-
prinsip kerja kemanusiaan. Sebagai aparat
penanggulangan bencana, kita harus selalu siap,
dimana pun, kapan pun untuk melaksanakan
tugas kemanusiaan menanggulangi bencana,
tambah beliau.
Sehubungan dengan penyelenggaraan rapat
koordinasi ini, Kepala BNPB mengungkapkan
bahwa tujuan pelaksanaan ini adalah 1.
Sebagai langkah awal pelaksanaan kegiatan
penanggulangan bencana 2012; 2.
Menyamakan persepsi pemahamaan dalam PB;
3. Persiapan penyusunan rencana kebijakan
2013; dan 4. Meningkatkan kemampuan
kapasitas manajerial penanggulangan bencana.
Di sisi lain, Syamsul Maarif berharap bahwa
dari kegiatan ini tumbuh peningkatan kinerja
penanggulangan bencana yang menjadi
momen penyelenggaraan penanggulangan
bencana yang terkoordinasikan, terpadu,
dan menyeluruh yang melibatkan pemangku
kepentingan, seperti pemerintah, pemerintah
daerah, masyarakat, dan dunia usaha. Serta
terbangunnya keselarasan penyelenggaraan
PB di pusat dan daerah, mengingat kejadian
bencana tidak mengenal batas wilayah,
administrasi, dan dapat terjadi kapan saja dan di
mana saja.
Rapat koordinasi (rakor) dibuka oleh
Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan
Rakyat, Dr. Agung Laksono, yang kemudian
memberikan keynote speech di hadapan para
tamu undangan dan peserta rakor. Kepala BNPB
yang didampingi para pejabat eselon beserta
menteri dan kepala badan dari beberapa
kementerian/lembaga hadir pada pembukaan
rakor tersebut. Pada kesempatan ini juga
dilakukan penandatanganan MoU antara
BNPB dengan kementerian/lembaga, institusi
pendidikan dan lembaga usaha diantaranya
Kemenko Kesra, Kementrian Pertanian, dan
BMKG. Penandatanganan MoU tersebut
merupakan keseriusan BNPB dalam menjalin
kemitraan dan kerjasama dalam rangka
pelayanan bagi masyarakat, khususnya dalam
penanggulangan bencana di Indonesia.
Dalam keynote speech-nya, Agung
Laksono mengatakan bahwa pengalaman
6 GEMA BNPB - Mei 2012 GEMA BNPB - Mei 2012 7
penting dalam mengurangi korban jiwa
akibat bencana. Hal tersebut seiring
dengan meningkatkanya intensitas dan
frekuensi potensi bencana alam secara
global.
Rakor ini merupakan kesempatan
yang baik dalam menyamakan
pandangan dalam mencapai visi
BNPB Ketangguhan Bangsa dalam
Menghadapi Bencana. Sehubungan
dengan hal tersebut, manajemen
penanggulangan bencana yang meliputi
tahap pra bencana, saat bencana,
dan pasca bencana sudah sepatutnya
terintegrasi dalam setiap langkah para
pelaku atau actor penanggulangan
bencana. Bagi BPBD kabupaten/kota
yang baru terbentuk ini merupakan
kesempatan dalam mempelajari baik
pengetahuan, manajemen, serta
sistem penanggulangan bencana
Indonesia. Keseriusan BNPB dalam
penanggulangan bencana dilakukan
secara konkret melalui manajemen
pengembangan sumber daya manusia.
Hal ini ditunjukkan pada saat Kepala
BNPB menyematkan brevet perak dan
perunggu kepada peserta rakor dari
BPBD provinsi dan kabupaten/kota
yang telah menyelesaikan pelatihan
manajemen penanggulangan bencana.
Sementara itu, juga diselenggarakan
penyerahan simbolis logistik dan
peralatan penanggulangan bencana
serta peralatan pusdalops secara
resmi dari Kepala BNPB. Dukungan
tersebut diharapkan mampu
meningkatkan kinerja BPBD provinsi
serta kabupaten/kota menjadi lebih
baik. Menutup rangkaian acara ini,
BNPB memberikan apresiasi kepada
BPBD provinsi/kabupaten/kota dalam
penyelenggaraan penanggulangan
bencana di wilayahnya. Penghargaan ini
meliputi beberapa kategori,
1. Pra Bencana, 2. Tanggap Darurat,
3. Pasca Bencana, 4. Logistik dan
Peralatan, 5. Akuntabilitas, dan
6. Perencanaan, Keuangan, dan
Kelembagaan.
8 GEMA BNPB - Mei 2012 GEMA BNPB - Mei 2012 9
memperlihatkan bahwa kejadian-kejadian
bencana selama ini telah banyak menimbulkan
kerugian dan berdampak pada kesejahteraan
kepada masyarakat. Sehubungan dengan
ini pemerintah telah menetapkan kebijakan
penanggulangan bencana menghindari atau
meminimalkan korban jiwa, meminimalkan
kerugian harta benda dan materi lainnya,
meminimalkan kerusakan lingkungan,
mempercepat pemulihan dampak bencana
dan pemulihan lebih baik dari sebelumnya, dan
membangun lebih baik untuk menghindari
bencana. Kesiapsiagaan antara lain kesedian
logisitk dan peralatan, shelter, tenda, dapur
umum, transportasi, aparat pemerintah
daerah, kelompok masyarakat dan rencana
kontijensi, sistem peringatan dini, dan termasuk
engagement dari TNI/Polri, jelas Agung Laksono.
Beliau menambahkan juga bahwa kesiapsiagaan
dan antisipasi serta respon dini menjadi kunci
osok santun melekat pada
perempuan yang bernama lengkap
Ledia Hanifa Amaliah ketika ditemui
tim humas BNPB di ruang kerja
beberapa waktu lalu. Ledia, panggilan akrabnya,
saat ini menjabat sebagai anggota Komisi VIII
DPR RI periode 2009 2014. Ibu Ledia yang
lahir 43 tahun lalu di Jakarta dikaruniai 4 orang
ini sangat hangat di mata keluarga. Meskipun
memiliki segudang kesibukan, ibu yang
bersuamikan Drs. Bachtiar Sunasto, MS ini tetap
mengutamakan keluarga.
Perempuan yang bergelut di dunia politik
bincang-bincang
ini memperoleh gelar sarjana dari Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
(FMIPA), Universitas Indonesia pada tahun
1993. Sementara itu, pendidikan pascasarjana
diselesaikan juga di universitas yang sama
dengan minat utama Psikologi Terapan
Peminatan Intervensi Sosial, Fakultas Psikologi
pada tahun 2002. Di samping pendidikan formal,
beliau telah mengikuti pelatihan dan kunjungan
kerja, baik di dalam dan luar negeri.
Ketertarikan berorganisasi ditunjukkan pada
saat beliau masih duduk di bangku SMP dengan
mengikuti kegiatan pramuka dan berlanjut
Harapan besar
terhadap BNPB untuk selalu
mengedepankan
pengurangan risiko bencana
dengan lebih
menghidupkan masyarakat,
lewat organisasi-organisasi
masyarakat
BPBD Provinsi Terbaik 2011
No Kategori Juara I Juara II Juara III
1 Pra bencana Sumatera Selatan NTT Jawa Barat
2 Tanggap darurat Sulawesi Utara Jawa Tengah Sumatera Selatan
3 Pasca bencana Kalimantan Barat Jawa Tengah Jambi
4 Logistik dan peralatan Jawa Barat Sumatera Selatan NTB
5 Akuntabilitas Jawa Timur Sumatera Barat Sulawesi Selatan
6 Perencanaan, keuangan, dan kelembagaan Jambi Sulawesi Utara Kalimantan Bar
BPBD Kabupaten/Kota Terbaik 2011
No Kategori Juara I Juara II Juara III
1 Pra bencana Aceh Barat Bojonegoro Minahasa Utara
2 Tanggap darurat Cilacap Aceh Barat Bone Bolango
3 Pasca bencana Kapuas Hulu Aceh Besar Pacitan
4 Logistik dan peralatan Banjar Cilacap Pontianak
5 Akuntabilitas Pati Sleman Banda Aceh
6 Perencanaan, keuangan, dan kelembagaan Aceh Barat Kapuas Hulu Pacitan
10 GEMA BNPB - Mei 2012 GEMA BNPB - Mei 2012 11
Kesiapsiagaan antara lain kesedian logistik dan
peralatan, shelter, tenda, dapur umum, transportasi,
aparat pemerintah daerah, kelompok masyarakat dan
rencana kontijensi, sistem peringatan dini,
dan termasuk engagement dari TNI/Polri

Ledia Hanifa Amaliah, SSi., MPsi.T


Koordinasi,
Tantangan dalam
Penanggulangan
Bencana

s
BPBD Provinsi dan Kabupaten/Kota penerima penghargaan
diperhatikan adalah terbangunnya koordinasi
dengan Kementerian Dalam Negeri. Hal ini
menyangkut Permendagri Nomor 32 Tahun
2011 Tentang Pedoman Pemberian Hibah dan
Bantuan Sosial yang Bersumber dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Problemnya adalah tidak dimungkinkan
BPBD mengeluarkan dana langsung ketika
ada bencana, kalau di pusat ada dana on call,
ujar Ibu Ledia. Beliau mencontohkan dengan
kejadian bencana di Garut, justru BPBD lebih
lambat daripada BNPB.
Penanggulangan bencana selalu menyangkut
pembahasan mengenai tahapan pra bencana,
pada saat bencana, dan pasca bencana.
Dalam konteks tersebut, pengarusutamaan
pengurangan risiko bencana (PRB) harus
menjadi prioritas sebagai upaya meminimalkan
jatuhnya korban jiwa an kerugian harta benda
yang lebih besar. Di sisi lain, masyarakat sebagai
frst respondent sudah selayaknya paham akan
ancaman dan risiko yang ada di sekitar tempat
tinggalnya. Harapan besar terhadap BNPB
untuk selalu mengedepankan pengurangan
risiko bencana dengan lebih menghidupkan
masyarakat, lewat organisasi-organisasi
masyarakat, ungkap Ibu Ledia yang juga aktif
sebagai daiyah, trainer, dosen, dan pekerja sosial
ini. Beliau mencontohkan seperti pelatihan dan
penyiapan Desa Siaga Bencana dapat dikelola
oleh masyarakat. Ketika ini sudah berjalan,
beban BNPB dapat berkurang dan terfokus
pada penanganan darurat, sementara PRB oleh
masyarakat sehingga mereka merasa terlibat,
tambah Ibu Ledia.
Bercermin pada Ibu Ledia
Pencapaian selama ini merupakan proses
panjang yang dijalani Ibu Ledia. Tentunya
proses tersebut membutuhkan kerja keras yang
tinggi. Melihat perjalanan Ibu Ledia, tampak
benang merah sebagai pesan keberhasilan
dalam hidup, baik itu karir dan keluarga. Pesan
itu menggarisbawahi tentang keberanian akan
perubahan dalam diri sendiri. Berikut cuplikan
apa yang menjadi pandangan Ibu Ledia: Tidak
selamanya perubahan itu mendatangkan
keburukan. Perubahan adalah sebuah proses.
Ada yang berjalan dengan cepat, ada yang
lambat. Rasa takut terhadap perubahan
seringkali membuat orang terbelenggu. Tidak
memiliki keberanian untuk melakukan
pengembangan diri yang bisa jadi membawa
perubahan dalam hidupnya. Tentu perubahan
yang dimaksud disini adalah perubahan menuju
pada kondisi yang lebih baik.
tangga. Keputusan untuk bergabung dengan
partai politik dilakukan melalui diskusi yang
panjang dengan suami dan anak-anak.
Perspektif Penanggulangan Bencana
Bekerja dengan isu-isu sosial, seperti kesehatan
reproduksi, gender, pemberdayaan perempuan,
ketenagakerjaan, tidak menyulitkan untuk
memahami kompleksitas penanggulangan
bencana. Bersinggungan dengan kebencanaan
dialami Ibu Ledia pasca gempa dan tsunami
Aceh tahun 2004 dan gempa Yogyakarta
2006. Melalui latar belakang pendidikan dan
kepedulian, beliau membantu korban bencana
saat itu.
Menurut beliau, BNPB sebagai badan yang
relatif baru sudah sangat tertata manajemennya.
Salah satu catatan penting bahwa manajemen
di lapangan perlu mendapatkan perhatian
karena pada saat bencana ada banyak
pemain sehingga perlu koordinasi yang
baik. Sementara itu koordinasi merupakan
kata kunci dalam penanggulangan bencana,
khususnya bagaimana membangun komunikasi
antar kementerian/lembaga terkait sehingga
terbangun koordinasi yang baik. Secara yuridis
telah tertuang bahwa Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana yang menyebutkan BNPB mempunyai
fungsi antara lain pengoordinasian pelaksanaan
kegiatan penanggulangan bencana secara
terencana, terpadu, dan menyeluruh.
Diharapkan melalui koordinasi yang baik,
BNPB bersama kementerian/lembaga dan
mitra yang lain dapat bekerja secara maksimal
dalam penanggulangan bencana. Di sisi
lain, BNPB melalui Unsur Pelaksana memiliki
fungsi komando dalam penyelenggaraan
penanggulangan bencana. Dalam setiap
kejadian bencana, pengambilan keputusan
untuk kepentingan korban dan masyarakat
terdampak harus cepat dan tepat. Oleh karena
itu pengambilan keputusan menjadi hal yang
penting. Pengambilan keputusan ini juga
harus ada kesepakatan, tambah beliau. Hal ini
mengingat BNPB tidak bekerja sendiri ketika
melakukan penanggulangan bencana.
Sementara itu pada konteks pada saat
terjadi bencana, tahapan berikut yang perlu
hingga bergabung dengan senat mahasiswa.
Meskipun lulus dengan latar belakang ilmu
kimia, ini tidak menghalangi niat untuk
berorganisasi. Justru melalui organisasi ini, Ibu
Ledia belajar dan tumbuh kepedulian pada isu-
isu sosial, khususnya gender dan pemberdayaan
perempuan. Ini ditunjukkan dengan menjadi
pembicara di beberapa seminar dan konferensi di
tingkat nasional maupun internasional. Terakhir
kali beliau menjadi salah satu pembicara untuk
memenuhi undangan Parliamentary Workshop
on Advancing Maternal and Reproductive Health
and Gender Equality in Member Countries of The
Organization of Islamic Cooperation di Tunisia
pada 8 11 Maret 2012.

Keseriusan di Panggung Organisasi
Pengalaman berorganisasi dimulai saat beliau
bergabung dengan Retas Leadership Center pada
tahun 1996. Baru 2 tahun kemudian Ibu Ledia
terjun di panggung politik dengan menjadi
staf pada unit Kewanitaan DPW Partai Keadilan
DKI Jakarta. Karir pun merangkak naik hingga
pada periode 2005 2010 menjadi Ketua DPP
Partai Keadilan Sejahtera Bidang Kewanitaan. Di
samping terlibat di dalam partai politik, beliau
juga pernah tergabung di beberapa organisasi.
Menjadi ketua dewan pengurus Yayasan Uswah
Ummahat dijabat selama periode 2003 2006.
Beliau juga pernah menjadi Ketua Divisi Diklat
Kaukus Perempuan Politik Indonesia selama 2
tahun.
Ketertarikan dalam berorganisasi, khususnya
dalam partai politik, memposisikan diri untuk
melakukan banyak hal bagi masyarakat. Salah
satunya dicontohkan dengan pembuatan
produk kebijakan yang berpihak pada rakyat.
Beliau meyakini bahwa dengan terjun ke
panggung politik dapat lebih luas untuk
mengabdikan dirinya untuk masyarakat. Ibu
Ledia membuktikan dengan giat menyuarakan
pentingnya perlindungan perempuan,
seperti penurunan angka kematian ibu dan
perlindungan tenaga kerja perempuan di luar
negeri.
Satu hal yang menarik dan dapat dipetik dari
Ibu Ledia bahwa dia tidak lantas meninggalkan
keluarga karena keseriusan di panggung politik.
Beliau selalu memberikan ruang dan waktu
bagi keluarga dan perannya sebagai ibu rumah
12 GEMA BNPB - Mei 2012 GEMA BNPB - Mei 2012 13
14 GEMA BNPB - Mei 2012 GEMA BNPB - Mei 2012 15
erahu karet ini hanya digunakan
untuk misi evakuasi korban di
medan banjir atau permukaan
air yang tenang, ucap fasilitator
pelatihan. Penjelasan itu diberikan pada
saat berlangsungnya pelatihan dengan
tema Peningkatan Kapasitas Wartawan
dalam Penanggulangan Bencana yang
diselenggarakan selama 3 (tiga) hari pada 13
15 Maret 2012 di Hotel Lido Lakes, Resort &
Conference - Bogor. 141 wartawan dari 86 media
massa internasional dan nasional mengikuti
pelatihan ini dengan sangat antusias.
Badan Nasional Penangulangan Bencana (BNPB)
menyelenggarakan pelatihan khusus bagi pelaku
media atau wartawan dari perwakilan tv, radio,
majalah, koran, tabloid dan online. Kegiatan
tersebut didasari bahwa penanggulangan
bencana di Indonesia melibatkan 3 elemen, yaitu
pemerintah, masyarakat sipil, dan dunia usaha.
Sesuai pasal 28 Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana
disebutkan bahwa dunia usaha atau lembaga
usaha mendapatkan kesempatan dalam
penyelenggaraan penanggulangan bencana
P
baik secara tersendiri maupun secara bersama
dengan pihak lain. Pada konteks itu, peran serta
media dapat dilihat sebagai elemen dari dunia
usaha. Di sisi lain, pelibatan elemen tersebut
ditunjukkan pada logo segitiga biru yang berarti
bahwa elemen penanggulangan bencana
terdiri atas 3 (tiga) elemen atau pilar utama yaitu
pemerintah (government), masyarakat (civil
society), dan swasta (private sectors).

Pelaku media dalam hal ini wartawan berperan
dalam diseminasi berita kebencanaan untuk
dimuat, baik itu media cetak, elektronik,
maupun online. Berita kebencanaan tidak
harus mengenai kejadian bencana atau pada
saat situasi pasca bencana, tetapi berita terkait
langkah-langkah pengurangan resiko bencana
(PRB) sangat penting. Sehingga ada suatu
proses edukasi yang dilakukan oleh media
terhadap masyarakat, khususnya mereka yang
berada di wilayah rawan bencana. Kehadiran
United Nations International Strategy for
Disaster Reduction (UNISDR) di Lido Resort
melihat kolaborasi sebagai langkah penting
dalam aktualisasi pembangunan ketangguhan
masyarakat dalam menghadapi bencana,
LAPORAN UTAMA
Pelatihan
Peningkatan Kapasitas
Wartawan
Kebencanaan
khususnya dengan media. Pada posisi ini, media
diharapkan mampu untuk memahami bahwa
masyarakat sangat perlu diedukasi. Media
merupakan pihak yang memiliki akses luas
dalam memberikan informasi, pengetahuan,
atau pun berita kebencanaan. Diharapkan
bekal pengetahuan tentang kebencanaan
yang dimiliki oleh para wartawan yang akan
meliput berita terkait penanggulangan bencana
menjadi penting ketika mereka harus berada di
lapangan. Pelaku media dapat juga bergabung
dalam cluster media yang sewaktu-waktu
dapat diaktifkan ketika terjadi bencana. Cluster
ini nantinya bertujuan untuk memperkuat
secara keseluruhan respon kapasitas dan juga
efektivitas sesuai dengan keahliannya, dalam
hal ini jurnalistik.
Kepala BNPB, Dr. Syamsul Maarif membuka
secara resmi pelatihan ini menyambut baik
inisiatif pelatihan yang dikhususkan bagi
para wartawan. Kepala BNPB berpendapat
bahwa pemberitaan bencana diceritakan apa
adanya. Pemberitaan bencana hendaknya
tidak didramatisir, untuk sekedar mengejar
Berita kebencanaan terkait
langkah-langkah pengurangan
resiko bencana (PRB) sangat
penting sebagai proses edukasi
yang dilakukan oleh media
terhadap masyarakat, khususnya
mereka yang berada di wilayah
rawan bencana.

GEMA BNPB - Mei 2012 17 16 GEMA BNPB - Mei 2012


Logistik dan Peralatan, dan 6. Sistem Informasi
dan Data Kebencanaan.
Selain materi kelas, peserta juga memperoleh
materi outdoor yang memberikan pengetahuan
teknis lapangan pada saat bencana. Materi itu
antara lain pengetahuan dan keterampilan
tentang: 1. Pendirian tenda lapangan, 2. Dapur
umum, 3. Water treatment, 4. Pengoperasian
perahu karet dan SAR, 5. Pertolongan pertama
dan trauma healing, 6. Pengoperasian mobil
komunikasi.
Peserta tidak hanya diberikan pengetahuan
tetapi juga dilatih untuk berperan aktif dalam
setiap tahapan. Pada materi pendirian tenda,
peserta yang telah dibagi dalam kelompok-
kelompok diberikan instruksi untuk menyiapkan
tenda, mengenali materi dan alat-alat dasar,
mendirikan tenda dan melipat tenda. Ternyata
tidak mudah untuk mendirikan tenda secara
kolektif, peserta menyadari bahwa sulit untuk
mendirikan tenda yang berukuran besar.
Kemudian pada saat peserta berada di mobil
dapur umum, fasilitator memberikan penjelasan
bagaimana menyiapkan makanan dalam jumlah
besar yang nantinya diperuntukkan bagi para
pengungsi. Bahan baku makanan berupa
potongan ayam, kacang panjang, bumbu-
bumbu, tempe, dan beras disiapkan. Lalu
peserta pun mulai mengikuti instruksi untuk
memasak menu makan siang. Ini merupakan
pengalaman baru bagi wartawan dan banyak
yang mengatakan bahwa ternyata tidak mudah
menyiapkan makan untuk para pengungsi. Pada
saat pelatihan tersebut, takaran bahan masakan
telah disiapkan terlebih dahulu kemudian
peserta melanjutkan untuk mengolah dan
memasak. Diperlukan keahlian khusus dalam
membuat takaran yang pas antara bahan
masakan dengan jumlah orang atau pengungsi
yang akan dilayani. Setelah masakan telah
matang, mereka pun membungkus hasil
masakan yang akhirnya menjadi menu makan
siang bersama di kamp pelatihan.
Salah seorang peserta dari Radio Sonora
mengatakan bahwa dia mendapatkan
pengetahuan selama mengikuti pelatihan
ini. Wartawan tidak hanya mendapatkan
pengetahuan dan keterampilan selama
pelatihan ini tetapi juga pengalaman baru
sehingga mereka mengetahui bagaimana
mereka berada pada posisi para pelaku
penanggulangan bencana. Sementara itu,
peserta lain mengungkapkan bahwa pelatihan
ini sangat bagus sekali terutama materi
pertolongan pertama dan perlu juga dimasukkan
kurikulum bagaimana meliput bencana dengan
tidak membahayakan diri sendiri/meliput
dengan aman. Selain itu, menurut para peserta
bahwa pelatihan ke depan perlu dimasukkan
cara membaca peta, kompas, serta alat Global
Positioning System (GPS).
Pelatihan ini akan dijadikan sebagai model
untuk pelatihan peningkatan kapasitas
wartawan di wilayah-wilayah seluruh Indonesia.
Di samping pelatihan, perlu adanya diskusi
bersama antara pelaku media atau wartawan
mengenai beberapa isu terkait kebencanaan,
seperti mainstreaming pengurangan resiko
bencana, inisiatif pembentukan cluster media,
atau pun penyusunan kode etik jurnalistik dalam
kebencanaan.
rating, jelas Syamsul Maarif. Dengan hadirnya
141 wartawan mengikuti acara "Peningkatan
Kapasitas Wartawan Dalam Penanggulangan
Bencana" tidak hanya teori yang diperoleh
tetapi ada praktek tentang kebencanaan
sehingga pemerintah dapat menggandeng
wartawan sebagai mitra utamanya. Kepala
BNPB menyambut baik kemitraan wartawan
dengan pihak BNPB karena mereka merupakan
referensi informasi bagi masyarakat yang ingin
mengetahui berita tentang bencana yang akhir-
akhir ini bencana semakin sering terjadi. Pada
akhir sambutan, Kepala BNPB mengingatkan
bahwa BNPB selalu menerima kritik, apabila
ada kekurangan pada pelayanan masyarakat.
BNPB tentu akan memperbaiki apa yang dikritik
oleh media. Dengan adanya masukan yang
membangun tentu akan sangat berguna bagi
perkembangan BNPB yang semakin cepat,
tangkas dan tangguh dalam penanganan
bencana, papar Syamsul Maarif.
Pelatihan yang diselenggarakan oleh Pusat Data,
Informasi, dan Hubungan Masyarakat BNPB
ini didukung oleh Fasilitator dari BNPB, Tagana
dan PMI Bogor. Para wartawan tidak hanya
mengikuti proses pelatihan dengan antusias
tetapi juga meliput kegiatan untuk dijadikan
berita. Materi kelas yang diberikan antara lain:
1. Konsepsi dan Karakteristik Bencana, 2. Prinsip
Dasar Penanggulangan Bencana, 3. Tanggap
Darurat, 4. Rehabilitasi dan Rekonstruksi, 5.
irigasi persawahan dan pertanian di sekitar
pemukiman wilayah Bogor dan informasi dari
para petugas pintu air juga turut membantu
penyediaan informasi untuk BNPB dalam
pencegahan dan mitigasi bencana banjir,
khususnya di Provinsi DKI Jakarta.
Wahlstrom berpesan, Pemerintah Anda sudah
baik dalam menanggulangi bencana banjir.
Namun harus lebih ditingkatkan kewaspadaan
terhadap tinggi air dan prioritaskan keselamatan
masyarakat ucapnya di sela-sela kunjungan.
Sembilan Jam
Perlu Anda ketahui, perjalanan air dari Pintu
Air Katulampa, Bogor, aliran airnya
melewati Depok, kemudian Manggarai
dan seterusnya mengalir ke Banjir Kanal
Barat dan Kali Ciliwung. Perjalanan
air dari Katulampa hingga ke pintu
air Manggarai memerlukan waktu
sekitar sembilan jam jika ketinggian
air di atas normal yang menyebabkan
banjir kiriman, sehingga warga
Jakarta mempunyai waktu untuk
mengantisipasi banjir yang bermukim
di daerah rawan banjir.
Beberapa daerah di DKI Jakarta yang berpotensi
terkena dampak banjir kiriman adalah kawasan
Rawa Jati, kalibata, Pengadegan, Gang Arus
Cawang, Bukit Duri, Kampung Baru, Bidara Cina
dan Kampung Melayu.
Puas
Tim dari utusan PBB merasa puas atas segala
penjelasan dan pelayanan yang disampaikan
oleh tim dari BNPB, setelah mengunjungi
empat lokasi Pos Monitor Banjir, di Katulampa
(Bogor), Pintu Air Cipinang, Pintu Air Bukit Duri
dan kunjungan berakhir di Pintu Air Manggarai.
Semoga Jakarta tidak banjir.
Kunjungan
Utusan Khusus
Sekjen PBB ke Katulampa
i bulan Januari tahun 2012, Badan
Nasional Penanggulangan Bencana
(BNPB), menerima kunjungan kerja
tidak resmi, Margareta Wahlstrom
selaku Utusan Khusus Sekretaris Jenderal
Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengurangan
Risiko Bencana, Minggu (29/1). Kunjungan
tersebut dimaksudkan untuk mengetahui
kesiapan pemerintah khususnya Pemerintah
Provinsi DKI Jakarta dalam penanggulangan
banjir.
Rombongan dari Jakarta langsung menuju Pos
Monitor Banjir Katulampa di Bogor, Jawa Barat.
Beberapa pejabat dari BNPB, Direktorat SDA
Kementerian PU, BBWS Cisadane/Ciliwung, BPBD
DKI Jakarta, Direktorat SDA Kementrian PU, Ir.
Edy Suwandi dan BPLHD DKI Jakarta menerima
dan menyambut rombongan setibanya di lokasi
pintu air Katulampa.
Sementara itu, rombongan dari Utusan Khusus
Sekjen PBB Margareta Wahlstrom, didampingi
oleh beberapa pejabat PBB, antara lain Kepala
Kantor OCHA Asia Pasifk, Ignatio Leon Gracia,
dan Programme Ofcer Regional Bangkok,
Pham Thi Thanh Hang dan Perwakilan OCHA
Indonesia, Victor Lambert.
Beberapa hal yang disampaikan pada Utusan
Khusus Sekjen PBB tersebut, oleh Deputi Bidang
Penanganan Darurat BNPB Ir. Dody Ruswandi,
MSCE, BBWS, PU, BPLHD dan BPBD DKI Jakarta
adalah penjelasan tentang pentingnya fungsi 4
(empat) pintu air dalam penanganan banjir di
Jakarta dan sekitarnya, yaitu Pintu Air Katulampa
(Bogor), Pintu Air Cipinang, Pintu Air Bukit Duri
dan Pintu Air Manggarai
Selain berfungsi untuk penanganan banjir, pintu
air Katulampa juga turut menciptakan sistem
d
FOKUS BERITA
18 GEMA BNPB - Mei 2012 GEMA BNPB - Mei 2012 19
FOKUS BERITA
20 GEMA BNPB - Mei 2012 GEMA BNPB - Mei 2012 21
SULAWESI UTARA
RAPAT KOORDINASI
Kondisi Provinsi Sulawesi Utara termasuk
wilayah rawan bencana baik secara geografs,
geologis, hidrologis dan demografs, adanya
pertemuan beberapa lempeng tektonik bumi,
dikelilingi beberapa gunung berapi, daerah
kepulauan, degradasi lingkungan yang tinggi
dan penduduk yang berlatar belakang dari
banyak suku dan etnis. Hampir sebagian besar
potensi ancaman bencana berada di wilayah
Sulawesi Utara dan sekitarnya seperti Tsunami,
banjir, tanah longsor/gerakan tanah, gunung
api, gelombang pasang air laut, kebakaran,
konfik sosial dan teror.

Salah satu amanat Undang-Undang No. 24 Tahun
2007 adalah pembentukan kelembagaan Badan
Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)
yang ditetapkan dengan Peraturan Presiden
No. 8 Tahun 2008 pada tanggal 26 Januari 2008.
Badan ini memiliki fungsi koordinasi, komando
dan pelaksana khususnya pada saat tanggap
darurat.

Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya
BNPB didukung oleh kementerian/lembaga
serta organisasi terkait sesuai dengan tugas dan
fungsinya masing-masing. Sedangkan ditingkat
daerah dibentuk Badan Penanggulangan
Bencana Daerah (BPBD), yang merupakan
satuan kerja perangkat daerah.

Maksud dan tujuan diselenggarakannya Rapat
Koordinasi BPPD se-Provinsi Sulawesi Utara:
a. Untuk menyatukan persepsi dan
sinkronisasi program dan kegiatan
penyelenggaraan penanggulangan bencana
Se- Provinsi Sulawesi Utara.
b. Meningkatkan koordinasi penyelenggaraan
penanggulangan bencana secara terencana,
terpadu, menyeluruh, lebih efektif, efsien,
BPBD PROVINSI
epala BNPB menghadiri Rapat
Koordinasi BPBD Provinsi Sulawesi
Utara (26-28/3) bertempat di Kantor
Gubernur Sulawesi Utara, Ruang
Mapalus. Saat ini paradigma paling baru dalam
penanggulangan bencana yang dianut oleh
Indonesia adalah paradigma Pengurangan
Risiko Bencana yang implementasinya dipandu
dengan deklarasi Hyogo Framework for Action
2009-2015.

Terdapat lima prioritas aksi yang terdapat dalam
deklarasi tersebut yaitu:
1. Memastikan bahwa pengurangan risiko
bencana merupakan sebuah prioritas nasional
dan lokal dengan dasar kelembagaan yang
kuat untuk pelaksanaannya,
2. Mengidentifkasi, mengkaji dan memonitor
risiko-risiko bencana,
3. Meningkatkan peringatan dini,
4. Menggunakan pengetahuan, inovasi dan
pendidikan untuk membangun sebuah
budaya keselamatan dan ketangguhan di
semua tingkatan,
5. Mengurangi faktor-faktor risiko yang
mendasar dan memperkuat kesiap-siagaan
terhadap bencana untuk respons yang
efektif.

Begitu rentannya negara kita dari bencana
menuntut seluruh komponen masyarakat
untuk selalu waspada. Hal ini harus didukung
oleh pemerintah sebagai unsur pengayom bagi
masyarakat tersebut. Pemerintah Indonesia
melalui Badan Nasional Penanggulangan
Bencana telah melakukan penanggulangan
bencana atau Disaster Management berbasis
pada pengelolaan bencana secara komprehensif
mulai dari penetapan kebijakan, prabencana,
pada saat bencana dan pascabencana.

K
22 GEMA BNPB - Mei 2012 GEMA BNPB - Mei 2012 23
nasional dan internasional menunjukkan bahwa
penanggulangan bencana di Provinsi ini telah
didukung sepenuhnya oleh pemerintah dan
masyarakat.

Pada Rakorda ini, Kepala BNPB menganugerah-
kan Penghargaan Bidang Penanggulangan
Bencana kepada Gubernur Sulawesi Utara,
DR. Sinyo Harry Sarundajang, SH atas upaya
dan kerja kerasnya dalam mensejahterakan
masyarakatnya, khususnya melalui dukungan
dalam upaya penanggulangan bencana. Acara
ini dihadiri oleh Gubernur Sulawesi Utara,
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Provinsi Sulut, Pejabat Eselon I dan II BNPB,
Kepala BPBD provinsi dan Kab/Kota dan Pejabat
Militer dan Kepolisian.

Di harapkan dengan adanya Rakorda BPBD Se-
Sulawesi Utara dapat meningkatkan koordinasi,
perencanaan secara terpadu, memperkuat
kerjasama antar instansi pendukung
penanganan bencana dan masyarakat
mendapatkan informasi penanganan
kebencanaan secara jelas sehingga dapat
tercipta kinerja penanggulangan bencana yang
lebih baik dan transparan.
cepat, dan tepat, berkeadilan dan akuntabel.
c. Terlaksananya kerjasama dan ketangguhan
penanggulangan bencana antar pemangku
kepentingan Pemerintah, swasta dan
masyarakat.
Dalam sambutannya, Kepala BNPB
mengemukakan, sebagai perpanjangan tangan
BNPB di daerah, BPBD memegang peranan
penting dalam hal pengelolaan bencana di
daerah, baik dalam hal persiapan menghadapi
bencana, penanganan bencana saat tanggap
darurat, pengelolaan logistik dan peralatan bagi
pengungsi maupun masyarakat terdampak
bencana, maupun pembangunan kembali
infrastruktur yang rusak akibat bencana.
Dari 14 Kabupaten/Kota baru 10 kabupaten
yang memperoleh mobil rescue, 4 kabupaten
mendapatkan mobil dapur lapangan. Hal ini
menunjukkan bahwa dengan adanya lembaga
BPBD akan mempercepat dan memperlancar
upaya penanggulangan bencana di Provinsi
Sulawesi Utara.

Prestasi BPBD Provinsi Sulawesi Utara sebagai
daerah yang paling aktif memfasilitasi kegiatan
penanggulangan bencana baik skala lokal,
Program Pengembangan Desa/Kelurahan
Tangguh Bencana memiliki tujuan agar
mendorong terwujudnya masyarakat Desa/
Kelurahan Tangguh dalam menghadapi
bencana yang lebih terarah, terencana, terpadu,
dan terkoordinasi. Juga untuk mendorong
sinergi untuk saling melengkapi dengan seluruh
program yang ada di desa/kelurahan yang
dilaksanakan oleh kementerian/lembaga atau
organisasi non-pemerintah lainnya, termasuk
sektor swasta.
Sasaran yang ingin dicapai dari pengembangan
Desa/Kelurahan Tangguh Bencana ini
adalah masyarakat memiliki kesiapan untuk
menghadapi bencana dan kemampuan untuk
mengurangi risiko, serta memiliki ketahanan
dan kekuatan untuk membangun kembali
kehidupannya setelah terkena dampak bencana.
Pada tahap awal program ini, prioritas sasaran
ialah desa/kelurahan yang sudah difasilitasi
oleh kementerian/lembaga pemerintah atau
organisasi lain, dan yang sudah mencapai
kemajuan dalam kesiapsiagaan menghadapi
bencana, tetapi masih perlu peningkatan dan
pemantapan.
Dalam melaksanakan program pengembangan
desa/kelurahan tangguh bencana ini, ada 9
indikator yang ditentukan sebagai pilihan
upaya pengembangan desa/kelurahan
tangguh bencana. Sembilan indikator tersebut
merupakan bagian dari pemenuhan komponen-
komponen sistem nasional penanggulangan
bencana.
Dalam pelaksanaan program ini, BPBD Provinsi
dan BPBD Kabupaten/Kota menyiapkan
penyelesaian 9 indikator secara bertahap,
berdasarkan kebutuhan dan prioritas
masyarakat, sebagai target keberhasilan
program di tingkat Desa/Kelurahan. Sembilan
indikator yang dimaksud ialah:
1. Peta ancaman bencana.
Peta ini dibuat berdasarkan peta administrasi
desa/kelurahan, pengalaman dampak
bencana pada tahun-tahun yang telah lalu,
data instansi pemerintah tentang potensi
ancaman, dan juga data hasil penelitian
tentang ancaman bencana. Dalam hal ini,
BPBD kabupaten/kota harus memiliki peta
daerah terdampak yang memperlihatkan
zona aman dan zona bahaya, yang kemudian
dijadikan dasar untuk melihat peta ancaman
di wilayah desa/kelurahan.
2. Peta dan analisis kerentanan
masyarakat terhadap dampak
bencana.
Analisis ini meliputi 4 aspek utama, yaitu
aspek fsik (jarak lokasi perumahan dengan
Tangguh Bencana
adan Nasional Penanggulangan
Bencana (BNPB) telah mem-
programkan penyelenggaraan
kegiatan Fasilitasi Pemberdayaan
Masyarakat Menuju Desa/Kelurahan Tangguh
Bencana di 42 desa/kelurahan. Desa/kelurahan
tersebut berada pada 21 provinsi yang rawan
ancaman tsunami. Indikator yang juga sekaligus
kunci keberhasilan program pemberdayaan ini
apabila terjadi sinergi antar program-program
yang sudah ada di desa/kelurahan. Oleh karena
itu, kegiatan desa/kelurahan tangguh bencana
terfokus pada desa/kelurahan di provinsi-
provinsi yang mempunyai ancaman tsunami.
Desa/kelurahan merupakan pemerintah di
tingkat paling bawah, dan masyarakatnya
sebagai penerima dampak langsung dari
bencana, dan sekaligus sebagai pelaku
langsung yang akan merespon bencana di
sekitarnya. Banyak pengetahuan yang dimiliki
oleh masyarakat. Banyak juga pihak lain yang
bekerja bersama masyarakat. Oleh karena itu,
dengan memanfaatkan semua yang dimiliki,
masyarakat desa/kelurahan perlu menciptakan
sikap dan perilaku tangguh terhadap dampak
bencana, sehingga risiko korban jiwa, kerugian
harta, dan lain lain akan dapat diperkecil dan
bahkan dihindari.
Sementara itu, masyarakat yang tangguh
bencana atau disaster resilient community
mengacu pada masyarakat yang mampu
mengantisipasi dan meminimalisasi kekuatan
yang merusak, melalui adaptasi. Mereka juga
mampu mengelola dan menjaga stuktur dan
fungsi dasar tertentu ketika terjadi bencana. Dan
kalau terkena dampak bencana, mereka akan
dengan cepat bisa membangun kehidupannya
menjadi normal kembali (John Twigg, 2009).
Pelaksanaan program ini tidak berdiri
sendiri, melainkan merupakan penguatan
dan pengembangan dari program-program
pemberdayaan di desa/kelurahan yang sudah
dilaksanakan oleh kementerian/lembaga,
organisasi internasional, dan organisasi nasional.
Program ini adalah bagian dari pengembangan
kapasitas (salah satu elemen dalam sistem
nasional penanggulangan bencana) untuk
masyarakat di desa/kelurahan.
FOKUS BERITA
Menuju Desa/Kelurahan
B
24 GEMA BNPB - Mei 2012 GEMA BNPB - Mei 2012 25
7. Sistem peringatan dini berbasis
masyarakat.
Memiliki sistem peringatan dini yang
terhubung dengan sistem di pemerintah
kabupaten/kota, provinsi, dan pusat.
Sistem ini terkait dengan (1) pengetahuan
tentang risiko, (2) pemantauan, analisis,
dan perkiraan ancaman bencana, (3)
mekanisme penyampaian peringatan dari
pusat, provinsi dan kabupaten/kota kepada
seluruh masyarakat desa/kelurahan, dan
(4) kapasitas respon terhadap peringatan
seperti aksi penyelamatan diri dan evakuasi.
8. Rencana kontinjensi (termasuk
evakuasi).
Rencana kontinjensi ialah rencana yang
dibuat untuk antisipasi terjadinya satu
jenis ancaman bencana tertentu.Rencana
kontinjensi di desa/kelurahan merupakan
rincian dan pelaksanaan dari rencana
kontinjensi yang sudah ada di kabupaten/
kota. Rencana ini mencakup (1) penilaian
risiko, (2) penentuan kejadian dan
pengembangan skenario, (3) perencanaan
sektoral yang meliputi manajemen dan
koordinasi, evakuasi, pangan dan non-
pangan, kesehatan, transportasi, sarana/
prasarana, dan (4) pemantauan dan rencana
tindak lanjut.
9. Pola Ketahanan ekonomi.
Untuk masyarakat yang memiliki sumber
utama ekonomi yang terancam dampak
bencana, misalnya lahan sawah di pinggir
sungai muara dan tambak ikan di pinggir
laut atau nelayan, perlu melakukan upaya-
upaya untuk mengurangi risiko kerugian.
Memperbanyak sumber pendapatan juga
menjadi salah satu cara untuk mengurangi
risiko kerugian dan kehilangan mata
pencaharian. Disamping itu, ketahanan
ekonomi juga dilihat dari pengumpulan dan
alokasi dana untuk pemeliharaan sistem
kesiapsiagaan, termasuk dana cadangan
untuk tanggap darurat, yang ada di
masyarakat.
Desa yang menjadi prioritas lokasi program
memilki kritieria pemilihan, antara lain desa
tersebut pernah mengalami dampak bencana
yang menimbulkan kerusakan dan kerugian
di masyarakat atau memiliki potensi tinggi
terkena dampak bencana; desa/kelurahan
tersebut menjadi lokasi dari program-program
kementerian/lembaga lainnya atau program-
program pengurangan risiko bencana yang
dilaksanakan oleh lembaga internasional dan
nasional yang ada di tingkat desa/kelurahan,
seperti program desa pesisir tangguh, desa
siaga, kampung siaga bencana, desa mandiri
pangan dan lain-lain; serta desa/keluarahan
tersebut masih memiliki kekurangan dalam
memenuhi 9 indikator program.
Harapan dari program ini agar terdapat
sinkronisasi dan integrasi program-program
di desa dari semua pihak/stakeholder dalam
mengurangi risiko bencana dan meningkatkan
ketahanan ekonomi masyarakat desa.
lokasi ancaman, kedekatan dengan sungai,
pantai, gunung api, bukit, dll.), ekonomi
(sumber pendapatan di sekitar lokasi
ancaman seperti tambak, nelayan laut,
pertanian pesisir, dll), sosial (kelompok
rentan, pelayanan kesehatan), dan
lingkungan (kondisi hutan bakau, sungai,
pantai, tebing/lereng).
3. Peta dan penilaian kapasitas dan
potensi sumber daya.
Kapasitas dan sumber daya yang dimaksud
di sini ialah sumber daya manusia (relawan
terlatih, petugas kesehatan dll), keuangan
(misalnya dana siaga bencana), fsik (seperti
kendaraan, peralatan, tanggul pantai dan
sungai, pemecah gelombang, drainase
yang baik, sistem peringatan dini, tempat
evakuasi dll), alam (seperti hutan bakau),
dan kelompok-kelompok sosial masyarakat
dan pemerintah.
4. Rancangan Rencana Penanggulangan
Bencana.
Rencana penanggulangan bencana (RPB)
merupakan rencana 5 tahun yang nantinya
akan disahkan oleh peraturan desa atau
peraturan sejenis di kelurahan. Rencana
ini mencakup (1) penilaian risiko bencana
di desa/kelurahan, (2) pilihan tindakan
penanggulangan bencana yang meliputi
pencegahan dan mitigasi, kesiapsiagaan (pra
bencana), tanggap darurat (saat bencana),
dan pemulihan (paska bencana), dan (3)
alokasi dan peran pelaku penanggulangan
bencana.
5. Rancangan Rencana Aksi Komunitas
(RAK) untuk Pengurangan Risiko
Bencana.
Rencana untuk pengurangan risiko
bencana, yang disusun oleh seluruh elemen
masyarakat, berdasarkan hasil analisa risiko
(ancaman, kerentanan, dan kapasitas).
Rencana ini merupakan rencana kerja 2-3
tahun yang berisi berbagai kegiatan yang
disepakati dan akan dilaksanakan oleh para
pelaku di desa/kelurahan. RAK mencakup (1)
kegiatan pra bencana (pencegahan dan
mitigasi serta kesiapsiagaan), (2) pelaksanaan
rencana meliputi strategi dan kebijakan,
kelembagaan, dan pendanaan, dan (3)
pemantauan dan evaluasi.
6. Relawan penanggulangan bencana
(termasuk forum pengurangan risiko
bencana).
Minimal ada 30 warga yang menjadi
relawan yang berasal dari berbagai elemen
di masyarakat desa/kelurahan. Relawan ini
mendapatkan materi dasar dan keahlian
tehnis untuk relawan penanggulangan
bencana. Kemudian dibentuk forum yang
mewadahi relawan, kelompok masyarakat,
dan pemerintah desa/kelurahan, yang
selanjutnya akan menjadi media komunikasi
dan koordinasi dalam melaksanakan RPB
dan RAK.
26 GEMA BNPB - Mei 2012 GEMA BNPB - Mei 2012 27
SINERGITAS DAN PENINGKATAN
KAPASITAS RELAWAN
BERBASIS LEMBAGA USAHA
embaga usaha merupakan pilar
utama yang dapat memainkan
peranan sentral dan signifkan dalam
penanggulangan bencana. Hal ini
terangkum dalam setiap prioritas aksi Kerangka
Aksi Hyogo (Hyogo Framework for Action). Selain
itu, lembaga usaha mendapatkan kesempatan
dalam penyelenggaraan penanggulangan
bencana, baik secara tersendiri maupun secara
bersama dengan pihak lain. Hal ini sesuai dengan
pasal 28 pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2007 tentang Penanggulangan Bencana.
Peran lembaga usaha dalam penanggulangan
bencana merupakan potensi untuk membantu
dua komunitas bisnis, yaitu dalam perlindungan
dirinya sendiri dan masyarakat luas serta sebagai
bentuk investasi yang saling menguntungkan.
Dewasa ini, masih banyak perusahaan
melakukan upaya bantuan dan penanganan
bencana yang masih tergolong konvensional,
misalnya membantu dengan tenaga relawan
seadanya, tidak terlatih, tidak terkoordinir, tidak
terpadu dalam kendali pemerintah, dan juga
banyak perusahaan beramai-ramai membuka
dompet bencana untuk menyalurkan bantuan.
Inisiatif kegiatan kemanusiaan dan upaya
bantuan semacam ini tidak cukup.
Banyak hal yang dapat dilakukan lembaga usaha
dalam penanggulangan bencana. Misalnya,
melalui pembuatan Business Continuity Plan.
Dokumen ini akan bermanfaat ketika terjadi
bencana besar di sekitar lingkungan usaha
ataupun di dalam lingkungan usaha tersebut
hancur akibat terkena dampak bencana.
Ini disadari akan bermanfaat terhadap
perusahaan tersebut. Demikian pula melalui
program Corporate Social Responsibility (CSR),
lembaga usaha dapat menjalankan kegiatan-
kegiatan penanggulangan bencana dalam hal
pengurangan risiko bencana dan kesiapsiagaan
menghadapi bencana, kegiatan pada saat
tanggap darurat, serta kegiatan pada saat pasca
bencana.
Kegiatan yang berkaitan dengan pengurangan
risiko bencana dan kesiapsiagaan menghadapi
bencana, dapat direalisasikan oleh lembaga
usaha dengan membuat kesiapsiagaan
internal lembaga usaha, seperti membantu
kesiapsiagaan masyarakat, melakukan upaya
pencegahan bencana seperti konservasi tanah,
melakukan upaya mitigasi struktural bersama
pemerintah dan masyarakat, melakukan
pendidikan, pelatihan dan penyuluhan untuk
upaya pengurangan risiko bencana, serta
bekerjasama dengan pemerintah mewujudkan
masyarakat tangguh bencana.
Lembaga usaha juga dapat berperan dalam
kegiatan pada saat tanggap darurat dan pasca
bencana, yaitu dengan melakukan respon
tanggap darurat di bidang keahliannya,
membantu mengerahkan relawan dan kapasitas
yang dimilikinya, terlibat dalam pembuatan
rencana aksi rehabilitasi dan rekonstruksi,
serta membantu pelaksanaan rehabilitasi-
rekonstruksi sesuai dengan kapasitasnya.
Kaitannya dalam meningkatkan pengetahuan
dan kapasitas lembaga usaha dan relawannya,
Badan Nasional Penanggulangan Bencana
(BNPB) telah menyelenggarakan kegiatan
dengan tema Fasilitasi dan Pengembangan
Relawan Berbasis Lembaga Usaha yang
memiliki tujuan untuk membentuk forum
FOKUS BERITA
28 GEMA BNPB - Mei 2012 GEMA BNPB - Mei 2012 29
L
sinergisitas antar lembaga usaha dan
pemerintah dalam penanggulangan bencana,
serta meningkatkan kapasitas/lembaga usaha
dalam penanggulangan bencana. Kegiatan
yang pertama dilaksanakan pada tanggal 14
17 Maret 2012, bertempat di Hotel Perdana
Wisata, Bandung.
Direktur Pemberdayaan Masyarakat, Drs.
Muhtaruddin, M.Si, dalam sambutannya,
Menyadari bahwa kita hidup dan tinggal di
daerah yang rawan bencana, sudah seharusnya
kita tangguh menghadapi semua ancaman
bencana. Tangguh merupakan kesadaran dari
sebuah komunitas, sehingga menghasilkan
kesiapsiagaan dan kapasitas masyarakat dan
lembaga usaha yang tinggi dalam menghadapi
bencana. Strategi Menuju Indonesia Tangguh
mengusung visi mewujudkan masyarakat
dan bangsa Indonesia yang memiliki: daya
antisipasi, kemampuan menghindar atau
menolak, kemampuan daya adaptasi dengan
lingkungannya, dan daya melenting.
Sebanyak 55 peserta hadir untuk mengikuti
kegiatan ini, yang berasal dari 32 lembaga
usaha berskala nasional di antaranya dari
perusahaan PT. Total Bangun Persada, PT ASTRA
Internasional, PT. Rolimex Kimia Nusamas, DMC
RS Islam Jakarta Pondok Kopi, Rajawali Nusindo,
Asuransi Maipark, Eka Hospitasl, Sinar Mas, PT.
Dian Taruna Guna, PT. Daya Tani Kalbar Sinar Mas
Forestry, PT. Telkom Indonesia, Bina Sinar Amity,
PT. Arara Abadi, Parahita DC, PT. Satria Perkasa
Agung, PT. Jasa Marga, Dayah Baro (Koperasi),
Yayasan Budha Tzu Chi Indonesia, PT. Maligi
Permata Industrial Estate, PT Lontar Papyrus
Pulp & Paper, Asuransi Jiwa Sinar Mas, Nindya
Karya, PT. Pindo Deli Karawang, PT. Pellindo II,
PT. Pasifk Satelit Nusantara , PT. Jasa Raharja, PT.
Bakri Artha Reksa Sejahtera, PT. IKPP, PT. PLN, PT.
Krama Yudha Tiga Berlian Motors, PT. Amec Berca
Indonesia, PT. Pelni. Turut hadir pula peserta dari
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)
Provinsi Aceh, BPBD Provinsi Riau, BPBD Provinsi
Kepulauan Riau, BPBD Provinsi Bengkulu,
BPBD Provinsi Sumatera Selatan, BPBD Provinsi
Kepulauan Bangka Belitung, BPBD Provinsi Jawa
Timur, BPBD Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Materi yang menjadi bahan ajar unggulan
adalah materi dukungan program corporate
social responsibility dalam penanggulangan
bencana, gender dan kelompok rentan dalam
penanggulangan bencana, akuntabilitas
keuangan pada saat tanggap darurat, serta
kemitraaan sumber daya dalam situasi bencana.
Berbeda dengan kegiatan yang sebelumnya,
kegiatan kali kedua ini diperuntukan bagi
lembaga usaha ataupun peserta yang belum
pernah mengikuti kegiatan ini. Kegiatan
dilaksanakan pada tanggal 28 31 Maret 2012,
bertempat di Hotel Perdana Wisata, Bandung.
Sebanyak 59 peserta hadir untuk mengikuti
kegiatan ini, yang berasal dari 17 lembaga usaha
berskala nasional di antaranya dari perusahaan
PT. Telkom Indonesia, PT Jasa Marga, Perum
Pegadaian, Bank DKI, PT Krakatau Steel, RCTI,
MNC TV, Global TV, PT. Bank Sinarmas, PT. KBRU,
PT. Indah Kiat Pulp & Paper, PT. IKPP Serang, PT.
KICC Karawang, PT. Sinar Mas Forestry Regional
Kaltim, PT. Pindo Deli Karawang, PT. Asuransi
Jiwa Sinarmas, PT. Kreasi Mas Indah. Turut hadir
pula peserta dari BPBD Provinsi Maluku, BPBD
Provinsi Maluku Utara, BPBD Provinsi Papua,
BPBD Provinsi Sulawesi Barat.
Output dari kegiatan ini, adanya sinergitas
antar lembaga usaha, masyarakat dan
pemerintah dalam penanggulangan bencana,
meningkatnya kapasitas relawan lembaga usaha
dalam penanggulangan bencana, serta adanya
evaluasi dan solusi dari persoalan lembaga
usaha terkait penanggulangan bencana.
Dari kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan
oleh Direktorat Pemberdayaan Masyarakat,
jumlah relawan penanggulangan bencana yang
telah tersertifkasi sebanyak 24.727 orang, dari
unsur masyarakat, organisasi sosial masyarakat,
dan lembaga usaha.
30 GEMA BNPB - Mei 2012 GEMA BNPB - Mei 2012 31
Di harapkan dengan mengikuti Pelatihan Teknis Lapangan
dapat membekali peserta dan meningkatkan
sumber daya manusia dalam Penanganan Bencana dan
memahami bagaimana menangani bencana
yang cepat dan efektif serta dapat membagi pengalamannya
pada unit tempat kerja dan masyarakat.
FOKUS BERITA
Pelatihan
Teknis Lapangan
di BOGOR
erdasarkan Undang-Undang No.
24 Tahun 2007 dalam rangka
membangun sistem nasional
penanggulangan bencana,
Pusat Pendidikan dan Pelatihan BNPB
menyelenggarakan Pelatihan Teknis Lapangan
Penanggulangan Bencana pada 21-25 Februari
2012 bertempat di Hotel Taman Cibinong II dan
Situ Cikaret, Bogor, Provinsi Jawa Barat. Peserta
berjumlah 48 orang yang berasal dari BNPB
dan BPBD. Kepala Bidang Kurikulum BNPB, Drs.
Hermana didampingi Kepala Pelaksana BPBD
Bogor membuka secara resmi pelatihan ini.
Narasumber acara ini berasal dari Kedeputian
BNPB, BPBD Bogor dan PMI. Pelatihan ini
bertujuan untuk membekali dan meningkatkan
sumber daya manusia dalam Penanganan
Bencana. Dengan mengikuti Pelatihan
ini diharapkan peserta dapat memahami
bagaimana menangani bencana yang cepat dan
efektif serta dapat membagi pengalamannya
pada unit tempat kerja dan masyarakat.

Pada tahap prabencana, penyelenggaraan
penanggulangan bencana meliputi antara lain
mitigasi, pencegahan, pengurangan resiko
bencana (PRB), dan apabila terjadi bencana,
langkah penanganan darurat menjadi fokus.
Strategi penanggulangan bencana (PB) sesuai
dengan Undang-Undang No. 24 Tahun 2007
tentang Penanggulangan Bencana meliputi
prabencana, saat terjadi bencana, dan pasca
bencana. Serta rehabilitasi dan rekonstruksi
bagi masyarakat dan wilayah terdampak
merupakan langkah selanjutnya setelah
terjadi bencana. Kegiatan ini bertujuan untuk
meningkatkan kemampuan dan ketrampilan
tentang persiapan pertolongan pertama pada
kecelakaan (P3K), penggunaan dapur umum,
pembangunan tenda kompi dan perahu karet
beserta kelengkapannya, serta pengetahuan
dasar pemberian pertolongan kepada korban
didalam air.

Pelatihan Teknis Lapangan ini dilaksanakan
oleh BPNB bekerja sama dengan BPBD dan PMI.
Dalam teknis pelaksanaannya, seluruh peserta
dibagi dalam beberapa kelompok. Peserta
pelatihan ini merupakan BNPB dan BPBD yang
berasal dari Jawa Barat yang berjumlah 48
orang. Setiap kelompok terdiri dari 10 orang
peserta. Materi yang diberikan pada tanggal 21
-23 Februari 2012 berlangsung dalam ruangan.
Materi yang diberikan berupa:
Karakteristik Bencana, yang bertujuan
untuk menjelaskan beberapa peristiwa atau
kedaruratan di tanah air dan akibat yang
ditimbulkannya dan menganalisis mengapa
bencana tersebut terjadi, akar persoalan
dan juga hal-hal yang dapat mengurangi risiko
bencana (pelajaran yang dapat dipetik).
Konsepsi Bencana, menjelaskan pengertian
B
32 GEMA BNPB - Mei 2012 GEMA BNPB - Mei 2012 33

bencana, jenis-jenis bencana, ancaman,


kerentanan dan risiko, pandangan tentang
Penanggulangan Bencana, Profl bencana yang
meliputi beberapa bencana yang sama terjadi
di tanah air, akibat (kerusakan dan kerugian),
karakteristik setiap bencana, analisa penyebab
dan akar masalah, dan hal-hal yang dapat
dilakukan untuk mengurangi bencana.

Kedaruratan Medis, mengetahui prinsip dasar
Bantuan Hidup Dasar (BHD), menerangkan
pentingnya hubungan Rantai Penyelamatan
dalam bantuan resusitasi melakukan BHD
(Resusitasi Jantung Paru & Bantuan Napas)
dengan benar, saat diperlukan dan melakukan
pertolongan pertama pada penanganan korban
kecelakaan dan saki.
Manajemen Penanganan Darurat, untuk
menjamin keselarasan,
efektivitas dan efsiensi
perlu kesepakatan
berdasarkan prinsip-
prinsip kesetaraan
dalam bermitra dan
berkoordinasi, komando
BNPB dan koordinasi
BPBD dengan azas
akuntabilitas dan
tranparansi, komunikasi
yang efektif, tata cara
pemberian bantuan dan
pendistribusian, menunjuk
lembaga di indonesia
yang mewakili, sesuai
dengan hukum nasional
dan hukum internasional,
me mp e r t i mb a n g k a n
perbedaan kebutuhan antara
laki-laki dan perempuan
dalam budaya setempat,
sesuai dengan kebutuhan.
Mitigasi dan Pencegahan,
pengenalan dan
pemantauan risiko bencana,
perencanaan partisipatif
penanggulangan bencana,
pengembangan budaya
sadar bencana, peningkatan
komitmen terhadap pelaku
penanggulangan bencana
dan penerapan upaya fsik,
nonfsik, dan pengaturan penanggulangan
bencana.
Prinsip Dasar Penanggulangan Bencana,
menjelaskan pentingnya perubahan paradigma
penanggulangan bencana dari tanggap
darurat ke pengurangan risiko bencana,
mampu menjelaskan siklus penanggulangan
bencana dan menjelaskan prinsip-prinsip
penanggulangan bencana.
Rehabilitasi dan Rekonstruksi, bagaimana
prosedur dalam memperbaiki dan memulihkan
semua layanan publik bagi masyarakat, hingga
tingkat geografs wilayah pasca bencana. Pada
Pasca bencana pembangunan kembali semua
prasarana dan sarana, institusi dalam geografs
daerah pasca bencana, baik pada tingkat
pemerintah dan masyarakat.
Sistem Nasional, memahami sistem, kebijakan,
mekanisme Penanggulangan Bencana,
tahap dan kegiatan dalam penyelenggaraan
penanggulangan bencana.
Navigasi (GPS), memahami cara penggunaan
alat GPS, survei dan pemetaan, koordinat atau
posisi atau letak suatu titik dapat dinyatakan
dalam 2-D (dimensi) atau 3-D, yaitu dengan men-
spesifkasikan 3 parameter titik nol (origin) dari
sistem koordinat, orientasi dari sumbu-sumbu
koordinat, besaran yang digunakan untuk
mendefnisikan posisi dalam sistem koordinat.
Pertolongan dan Evakuasi, usaha dalam
memindahkan korban dari tempat yang bahaya
ke aman, agar nyaman dan menyelamatkan
jiwa, mencegah cacat, membantu proses
p e n y e m b u h a n ,
memindahkan dari tempat
bahaya ke tempat yang
mempunyai fasilitas
memadai.
Dapur Umum dan
Shelter, memahami prinsip
dasar memenuhi syarat/
Standard Minimum atau
Sphere Standard yang
disesuaikan dengan kondisi
Indonesia, pengelolaan,
pembangunan dan
p e n e m p a t a n n y a
menganut pendekatan
pada faktor-faktor
kemudahan Geografs/
Medan, kemampuan
Dapur Umum/Kapasitas
memasak, kemudahan
dalam mengendalikan/
menjaga kebersihan dari
limbah-limbah akibat
penampungan atau
shelter itu dan Hygienisitas
Hunian.
Tenda Peleton,
mengetahui dan
mempraktekkan cara
mendirikan tenda,
merubuhkan tenda dan
penyimpanan perkakas tenda.
Perahu Karet, cara menyiapkan dan
menyimpan, cara menggunakan perahu karet,
teknis penggunaan motor tempel, penggunaan
perahu karet dengan motor tempel, teknik
memberikan bantuan tanpa dan dengan alat
bantu dan teknik mendayung. Setelah pelatihan
ini diharapkan pengetahuan yang telah didapat
oleh peserta pelatihan dapat diterapkan
didaerah masing-masing.
Di harapkan dengan mengikuti Pelatihan
Teknis Lapangan dapat membekali peserta
dan meningkatkan sumber daya manusia
dalam Penanganan Bencana dan memahami
bagaimana menangani bencana yang cepat dan
efektif serta dapat membagi pengalamannya
pada unit tempat kerja dan masyarakat.
34 GEMA BNPB - Mei 2012 GEMA BNPB - Mei 2012 35
a d i o
El s hi nt a
memberi-
k a n
p e n g h a r g a a n
Elshinta Award
2011 kepada Kepala Pusat Data, Informasi
dan Humas BNPB, DR. Sutopo Purwo Nugroho
sebagai narasumber yang terbanyak, proaktif
dan kooperatif dalam menginformasikan
bencana di seluruh Indonesia kepada insan
pers. Penghargaan diberikan dalam rangka
HUT Radio Elshinta ke 12 di Hotel Sahid, Jakarta
pada, Selasa (14/2). Informasi bencana yang
terus menerus diberikan oleh Kepala Pusat Data,
Informasi dan Humas BNPB kepada media massa,
termasuk Radio Elshinta sangat bermanfaat
untuk masyarakat, dan membuat Radio Elshinta
juga menjadi media penyampai informasi yang
akurat dan tercepat dalam menyiarkan bencana.

Pandangan BNPB terhadap peran media
massa sangat penting dalam penanggulangan
bencana. Berdasarkan penelitian dari Badan
Strategi Internasional Pengurangan Risiko
Bencana, PBB (2011), media massa penting
dalam penanggulangan bencana karena mampu
mempengaruhi keputusan politik, mengubah
perilaku, dan menyelamatkan nyawa manusia.
Selain itu, komunikasi merupakan inti untuk
sukses dalam mitigasi, kesiapsiagaan, respon
dan rehabilitasi bencana. Disamping itu, media
berperan dalam membangun pemahaman
untuk menghadapi ancaman atau situasi saat
terjadinya bencana. Hal itulah yang mendasari
humas BNPB terus menerus bekerjasama
dengan media massa.
Kecenderungan media yang melaporkan bad
news is good news, diharapkan dapat berubah
menjadi good news is good news too. Kapasitas
sumber daya manusia dan pengetahuan
kehumasan di BNPB maupun di BPBD juga masih
terus ditingkatkan. Begitu pula kapasitas jurnalis
dalam memberitahukan bencana juga perlu
ditingkatkan. Hal ini telah menjadi salah satu
kebijakan BNPB untuk bersama-sama media
massa bekerjasama, tentu saja hal tersebut perlu
kerja keras dan sinergi bersama antara semua
pihak dalam penanggulangan bencana.
BNPB Raih
Elshinta Award 2011
Pelatihan Teknis Lapangan BNPB
di GORONTALO
usat Pendidikan dan Pelatihan
(pusdiklat) BNPB bekerja sama
dengan BPBD Provinsi Gorontalo,
pada tanggal 17 hingga 21 April
2012 menyelenggarakan kegiatan pelatihan
teknis lapangan di Gorontalo. Pelatihan yang
diikuti para pegawai BPBD provinsi, kota, dan
kabupaten di Gorontalo ini dilaksanakan di Hotel
Mega Zanur yang berada di Jalan Samratulangi
No. 1 Kota Gorontalo. Hadir pada kegiatan
tersebut, beberapa narasumber dari sejumlah
instansi yang terkait dengan penanggulangan
bencana, seperti BASARNAS, Tagana, PMI, Badan
Diklat, Dinas Kesehatan Gorontalo serta BNPB
dan BPBD itu sendiri. Pelatihan tersebut dibuka
secara resmi oleh Sekretaris Daerah, Prof. Dr. Ir.
Hj. Winarni Manoarfa, MS.
Dalam sambutan, Winarni Manoarfa
menyampaikan bahwa dibalik keindahan dan
kekayaan alam nusantara tersimpan potensi
bencana yang besar. Gempa bumi, tsunami,
letusan gunung api, angin puting beliung, banjir,
longsor, dan hujan badai sewaktu-waktu dapat
mengancam kehidupan kita, termasuk wilayah
Gorontalo. Sebagaimana yang dikemukakan
Presiden Bambang Susilo Yudhoyono dalam
pidato penganugerahan penghargaan Global
Champion on Disaster Risk Reduction di Jenewa
Swiss, peran pemerintah Indonesia dalam
penanggulangan bencana adalah, pertama,
mengubah paradigma penanggulangan bencana
dari reaktif ke proaktif, dari tanggap darurat ke
pengurangan risiko, dan dari pemerintah ke
masyarakat sipil. Kedua, menciptakan upaya
penanggulangan yang komprehensif dan
mencakup semua aspek pembangunan nasional.
Ketiga, menanamkan budaya keselamatan
nasional karena pencegahan dan kesiapsiagaan
jauh lebih baik daripada bereaksi kemudian hanya
muncl perasaan prihatin dalam benak rakyat.
Keempat, meningkatkan upaya penanggulangan
berbasis masyarakat karena pemerintah tidak
bisa melakukan penanggulangan bencana tanpa
melibatkan masyarakat. Kelima, menggiatkan
kepemimpinan dearah karena selama bencana
faktor komunikasi dan logistik merupakan faktor
yang sangat vital. Di samping itu keberadaan
kearifan lokal di daerah semestinya diketahui
oleh pemerintah daerah setempat.
Pelatihan yang mengupas beberapa materi
tersebut diikuti peserta dengan penuh
antusias dan interaktif melalui tanya jawab,
p
36 GEMA BNPB - Mei 2012 GEMA BNPB - Mei 2012 37
FOKUS BERITA
R
FOKUS BERITA
simulasi, hingga studi kasus. Dikemukakan
oleh Eko Budiman dalam materi tangap
darurat bahwa tangung jawab penanganan
bencana bukan hanya pada pemerintah pusat
melainkan ditekankan pada pemerintah daerah
bersangkutan agar tanggap darurat bisa lebih
cepat dilakukan. Pemerintah pusat mengambil
peran besar manakala luas wilayah yang
berpotensi atau yang terkena bencana meliputi
dua provinsi atau lebih. Dengan batasan ini,
seperti banjir bandang di Wasior sebetulnya
merupakan tanggung jawab pemerintah lokal.
Sebaliknya, tsunami di Banda Aceh menjadi
tanggung jawab pemerintah pusat karena
magnitude kehancurannya begitu dahsyat.
Sementara itu, munculnya kesenjangan
sumberdaya, teknologi, dan informasi antara
pusat dan daerah mengakibatkan lemahnya
proses tanggap darurat. Kesenjangan seperti
itulah yang perlu segera diatasi, salah satunya
dengan menghimpun semua potensi lokal yang
bisa dikerahkan, termasuk melalui pelatihan
teknis lapangan tersebut. Lebih-lebih BNPB telah
memberikan bantuan logistik dan peralatan ke
berbagai BPBD. Diharapkan bantuan tersebut
dapat digunakan semaksimal mungkin untuk
kebutuhan pra dan pasca bencana. Akan sangat
disayangkan apabila kelengkapan peralatan
tersebut tidak ditunjang dengan keahlian
sumberdaya manusianya.
Salah satu materi yang menarik adalah
water rescue oleh BASARNAS. Pada dasarnya
penyelamatan di air memiliki langkah-langkah
dasar, antara lain, kemampuan penolong
untuk menentukan kemampuan berdasar
keterampilan yang dimiliki serta metode
yang harus dilakukan. Penolong juga perlu
memikirkan bahaya-bahaya yang ada di air
serta kesiapan fsik untuk mengaplikasikan
pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki
pada waktu korban membutuhkan pertolongan.
Peserta memdapatkan pengetahuan mengenai
perlengkapan water rescue seperti perahu,
carabiner, dayung, helm, jaket pelampung, dan
lain sebagainya. Peserta juga mendapatkan
pengetahuan mengenai jenis-jenis perahu
yang digunakan, cara masuk ke air berdasarkan
kondisi perairan, penyelamatan dengan
berenang mendekati korban, dan menolong
korban di tengah kepungan air.
Tidak kalah menariknya, materi water treatment
oleh Joko dan Dadi yang mengusung aplikasi
teknologi Water Treatment Portable. Alat ini
menguji kejernihan air minum menggunakan
teknologi TDS3. Pada kesempatan itu
narasumber memamerkan proses pengubahan
air kotor yang berasal dari mobil pemadam
kebakaran menjadi air yang siap diminum.
Disusul para peserta yang mencoba
mengunakan peralatan tersebut.
Semua teknik-teknik dalam pelatihan tersebut
disimak para peserta dengan semangat.
Bahkan, menurut mereka materi-materi yang
sudah diberikan ini jangan menjadi sia-sia.
Hal ini disebabkan mungkin faktor proses
mutasi yang diterapkan oleh pemerintah
daerah setempat. Ini senada dengan apa
yang diungkapkan oleh salah satu peserta
bahwa terjadinya mutasi ke instansi yang
tidak ada kaitannya dengan penanggulangan
bencana akan memperlemah kekuatan
penanggulangan bencana di wilayah setempat.
Pelatihan teknis lapangan ini ditutup oleh
Kepala BPBD Provinsi Gorontalo, Dr. Ir. Nurdin
Jusuf, M. Si. pada tanggal 21 April 2012.
38 GEMA BNPB - Mei 2012 GEMA BNPB - Mei 2012 39
Rumah Penduduk
No Kecamatan Fasilitas Tempat Jembatan
RB RR
1 Sipora Selatan 278 40 - 4 4

2 Pagai Selatan 367 50 3 - -
3 Pagai Utara 218 114 3 3 3

4 Sikakap 16 - - - -
TOTAL 879 204 6 7 7
40 GEMA BNPB - Mei 2012 GEMA BNPB - Mei 2012 41
Membangun Kembali
Kepulauan MENTAWAI
empa yang berkekuatan 7.7 SR
terjadi pada 25 Oktober 2010
melanda 4 (empat) kecamatan di
Kabupaten Kepulauan Mentawai,
Provinsi Sumatera Barat. Gempa yang
terjadi pada pukul 09.42 waktu setempat ini
memporakporandakan keempat kecamatan,
antara lain Sipora Selatan, Pagai Selatan, Pagai
Utara, dan Sikakap. Korban meninggal paling
banyak melanda warga di Kecamatan Pagai
Utara dengan jumlah 292 orang. Sementara
itu Pagai Selatan 184, Sipora Selatan 23, dan
Sikakap 10. Warga yang harus mengungsi untuk
meninggalkan tempat tinggal mereka mencapai
11.425 orang; sedangkan data terakhir beberapa
kerusakan berdasarkan Surat Keputusan Bupati
Kepulauan Mentawai No. 188.45 288 sebagai
berikut:
Tabel 1. Kerusakan fsik di kepulauan Mentawai
Keterangan: RB = Rusak Berat, RR = Rusak Ringan
LIPUTAN KHUSUS
G
Hampir dua tahun pasca bencana gempa
bumi dan tsunami yang menerjang Kepulauan
Mentawai, proses rehabilitasi dan rekonstruksi
sangat diharapkan untuk membangun kembali
Kepulauan Mentawai menjadi lebih baik.
Apa itu membangun lebih baik atau building
back better? Belajar dari proses rehabilitasi dan
rekonstruksi negara-negara Asia pasca tsunami
tahun 2004 di Samudra India, ada beberapa
usulan untuk mendukung terbangunnya
harapan membangun lebih baik. Pemerintah
dan komunitas menjadi komponen penting
dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi.
Pemerintah setempat harus mendorong
keluarga dan komunitas yang terdampak
untuk menentukan proses pemulihan. Hal ini
berarti merekalah yang memiliki inisiatif untuk
hidup lebih aman. Di samping itu, pemerintah
diharapkan untuk meningkatkan kesiapsiagaan
terhadap bencana yang mungkin terjadi di
masa yang akan datang. Di sisi lain, komunitas
yang terdampak mampu untuk menjadikan
komunitasnya lebih aman dengan melakukan
strategi-strategi pengurangan resiko dan
membangun ketangguhan dalam menghadapi
bencana.
Sekilas Kepulauan Mentawai
Kepulauan Mentawai yang terbentuk secara
administrasi pada tahun 1999 terletak pada
posisi 0

5500 - 3

2100 Lintang Selatan dan


98

3500 - 100

3200 Bujur Timur. Kepulauan


ini mencakup 4 pulau besar dan 98 pulau
berukuran kecil. Keempat pulau besar tersebut
antara lain Pulau Siberut, Sipora, Pagai Utara,
dan Pagai Selatan. Sementara itu kepulauan ini
memiliki kumulatif luas wilayah 6.011,35 km

dengan garis pantai sepanjang 1.402,66 km.


Secara geografs terpisah dari Provinsi Sumatera
Barat oleh Laut, dengan batas wilayah Utara
Selat Siberut, Selatan Samudra Hindia, Timur
Selat Mentawai, dan Barat Samudra Hindia.
Kepulauan ini masih didominasi oleh kawasan
hutan yang mencapai 85,19% dari luas wilayah
sekitar 512.044 hektar. Dilihat dari kategori
hutan sebagai berikut 456.956 hektar hutan
lebat (76,02 %), 12.348 hektar hutan sejenis (2,05
%), dan 42.740 hektar semak belukar (7,11 %).
Dilihat dari kondisi demograf, penduduk
Kepulauan Mentawai memiliki karakteristik
yang cenderung tinggal mengelompok pada
area tertentu untuk masing-masing dusun.
Penduduk antara satu dusun dengan dusun lain
cenderung terpisah meskipun dusun-dusun
tersebut berada dalam satu wilayah administrasi
desa. Pada tahun 2010 jumlah penduduk
Kepulauan Mentawai mencapai 76.421 jiwa.
Kepadatan penduduk per 1 km dihuni oleh
rata-rata sekitar 12 atau 13 jiwa. Kabupaten
yang terbagi atas 10 kecamatan dan 43 desa
memiliki komoditi unggulan di sektor pertanian,
perkebunan, dan jasa. Komoditi unggulan pada
sektor pertanian meliputi jagung dan ubi kayu,
sedangkan sub-sektor perkebunan, komoditi
yang diunggulkan berupa kakao, karet, lada,
nilam, kelapa dan cengkeh.
Persiapan Rehabilitasi dan Rekonstruksi
Kepulauan Mentawai
Data Badan Penanggulangan Bencana Daerah
(BPBD) Kabupaten Kepulauan Mentawai
menunjukkan keluarga yang terkena dampak
gempa bumi dan tsunami berjumlah 1.726 KK.
Sementara itu, masyarakat yang akan direlokasi
untuk hunian sementara (huntara) sebanyak
2.072 KK. Di samping huntara, dibutuhkan
area untuk lokasi pembangunan hunian tetap
(huntap) serta fasilitas umum dan fasilitas sosial
di Kecamatan Sipora Selatan, Pagai Utara, dan
Pagai Selatan sebagai berikut.
Lokasi huntap diupayakan berada dekat dengan
lokasi huntara dengan beberapa kriteria, antara
lain (1) Daerah berada pada zona aman dengan
ketinggian lebih dari 25 meter di atas permukaan
laut, (2) Lokasi ladang yang telah digarap
Lahan Fasilitas Jumlah
PULAU/ Jumlah Huntap Fasum Fasos
No Pertanian Pendidikan Kebutuhan
KECAMATAN KK (Ha) (Ha) (Ha)
(Ha) (Ha) (Ha)
1. Pagai Selatan 936 101.088 2.808 1.579,50 49,75 36 4.574,34
2. Pagai Utara 523 56.484 1.569 1.320 11,75 34 2.991
3. Sipora Selatan 613 66.204 1.839 1.569 13,25 25 3.512
TOTAL 2.072 11.077,34
42 GEMA BNPB - Mei 2012 GEMA BNPB - Mei 2012 43
masyarakat tetap dapat dimanfaatkan dan tidak
jauh dari tempat tinggal, (3) Pengelompokan
penduduk harus mempertimbangkan aspek
dusun yang telah ada sehingga tidak merusak
tatanan pemerintahan di tengah masyarakat
seperti nama desa/dusun, agar tidak
menghilangkan nama dusun sebelumnya, (4)
Tersedia akses terhadap lokasi lokasi lama
sehingga mata pencaharian masyarakat di lokasi
hunian tersedia dengan baik.
Sampai dengan pertengahan Maret 2012,
perkembangan proses rehabilitasi dan
rekonstruksi mencakup hunian sementara di
Pagai Utara terealisasi 408 unit dari rencana 625
unit, sementara di Pagai Selatan terealisasi 89
unit dari 408 unit yang telah direncanakan, dan
Sipora Selatan telah terealisasi semua sebanyak
613 unit. Selain sektor perumahan, rehabilitasi
dan rekonstruksi mencakup sektor ekonomi
(pertanian, perkebunan, perikanan, dan lain-
lain), kesehatan, pendidikan, lingkungan hidup,
dan sosial budaya.
Kebutuhan lahan merupakan isu yang masih
dalam proses persetujuan antara Kementerian
Kehutanan dan pemerintah daerah setempat.
BPBD Kabupaten Kepulauan Mentawai telah
mengajukan usulan perubahan fungsi kawasan
Hutan Produksi Tetap (HP) menjadi Hutan
Produksi yang dapat dikonversi (HPK), yang
nantinya dapat dimanfaatkan untuk relokasi
korban bencana gempa bumi dan tsunami
Mentawai. Total kebutuhan lahan atau areal
sejumlah 30.443 ha yang berlokasi di tiga
kecamatan dengan rincian di Kecamatan Pagai
Selatan 12.241 ha, Pagai Utara 6.505 ha, dan
Sipora Selatan 11.623 ha. Selain itu, saat ini
sarana transportasi dalam pelayanan akses
antara Mentawai dan Padang yang masih
sangat terbatas dan sebaran lokasi pelaksanaan
rehabilitasi dan rekonstruksi yang berjauhan.
Salah satu sektor yang mencerminkan upaya
untuk membangun lebih baik yaitu dengan
beberapa kegiatan dalam pengurangan
resiko bencana (PRB). Beberapa program yang
akan diselenggarakan antara lain pelatihan
pencegahan dan pengurangan resiko bencana
yang melibatkan guru, siswa dan masyarakat
di Kabupaten Kepulauan Mentawai, penguatan
dan pengembangan INA-TEWS, pembentukan
forum PRB, sosialiasi dan diseminasi informasi
terkait PRB, pendirian Pos Bencana Desa,
pembentukan Kelompok Siaga Bencana Dusun
(KSBD), serta penyusunan dan pengelolaan
basis data kebencanaan,
Kunjungan Kepala BNPB dan Gubernur
Sumatera Barat di Mentawai
Kepala Badan Nasional Penanggulangan
Bencana (BNPB), Dr. Syamsul Maarif, M.Si.,
didampingi oleh Gubernur Sumatera Barat
Iwan Prayitno, Deputi Rehabilitasi dan
Rekonstruksi, Deputi Penanganan Darurat, dan
Sekretaris Utama BNPB dengan menggunakan
helikopter jenis Bell, melakukan kunjungan
kerja di Pagai Utara Selatan, Sikakap, Kabupaten
Kepulauan Mentawai, pada pertengahan
Maret 2012. Kunjungan ini dalam rangka
persiapan pelaksanaan proses rehabilitasi
dan rekonstruksi untuk Kabupaten Kepulauan
Mentawai.Kunjungan ini disambut meriah oleh
aparat pemerintah daerah dan masyarakat di
Pagai Utara.
Gubernur Sumatera Barat sangat mendukung
proses pemulihan ini karena langkah ini
Tabel 2. Kebutuhan area lahan untuk rehabilitasi dan rekonstruksi
Keterangan: KK = Kepala Keluarga, Huntap = Hunian tetap, Fasum=Fasilitas umum, Fasos=Fasilitas sosial
merupakan kesempatan untuk membangun
Mentawai seperti kabupaten atau kota lain di
Provinsi Sumatera Barat. Mohon Bupati untuk
mengkomunikasikan dan kerjasama secara baik
karena program rehabilitasi dan rekonstruksi
ini cukup besar. Sehingga nantinya proses ini
dapat berhasil dan masyarakat ini menjadi
sejahtera, ujar Bapak Gubernur. Sementara itu
Kepala BNPB berpesan kepada jajaran SKPD
terkait untuk serius menggarap pembangunan
Mentawai menjadi lebih maju. DPRD beserta
rakyat juga turut memantau keberlangsungan
pembangunan tersebut.
Kunjungan ini dilanjutkan dengan meninjau
hunian sementara (huntara) di Km 37. Di
huntara tersebut, Kepala BNPB juga meninjau
lokasi yang akan menjadi hunian tetap (huntap).
Saat ini lokasi tersebut masih dalam koordinasi
dengan Kementerian Kehutanan, karena
lokasi huntap terletak di area hutan lindung,
yang masih dalam proses izin penggunaan
lahannya.
44 GEMA BNPB - Mei 2012 GEMA BNPB - Mei 2012 45
eringat kejadian letusan Merapi
pada 2010 silam, siapapun pasti
tidak ingin mengalaminya kembali.
Darso (46) warga Desa Srowol,
menceritakan kejadian runtuhnya Jembatan
Srowol yang menjadi penghubung masyarakat
sekitar melakukan aktivitas sehari-hari. Tepatnya
Jumat, 1 Desember 2010, bada Dzuhur cuaca
cerah dan arus sungai masih normal, namun
menjelang Ashar, arus banjir mulai naik dan
membesar di atas normal membawa matrial
bebatuan besar ucapnya. Sekitar waktu Ashar,
hujan mulai turun dan tanah mulai longsor lalu
menyebabkan jembatan mulai miring ke arah
hulu tambahnya.
Saat itulah kondisi Jembatan Srowol mulai tidak
kondusif, dan Jumat, 8 Desember 2010 pukul
19.00 WIB menjelang Isya, dalam keadaan hujan
arus Sungai Pabelan mulai naik diatas ambang
normal dan membawa material batu besar dari
hulu. Sekitar pukul 20.00 WIB, Jembatan mulai
runtuh dan hanyut terbawa arus banjir sungai.
Hanyutnya Jembatan Srowol melumpuhkan
aktivitas penduduk yang bermukim di daerah
Kecamatan Mungkid dan Kecamatan Muntilan,
Kabupaten Magelang, yang merupakan
prasarana transportasi darat untuk angkutan
barang dan jasa.
Putus dan hanyutnya jembatan Srowol
sepanjang 80 m akibat tergerus banjir lahar
dingin, dan talud pelindung abutmen juga
tergerus banjir. Kementerian PU bekerjasama
dengan BNPB melakukan penggantian dengan
Pulihnya 100%
Aktivitas Masyarakat
Sekitar MERAPI
T
menggunakan jembatan gantung sepanjang
120 m, lebar 3,5 m, rangka baja, serta pondasi
jembatan dari batukali dan beton. Tidak hanya
perbaikan jembatan, pekerjaan lainnya di lokasi
jembatan Gantung Srowol juga dilakukan,
antara lain pekerjaan tanah, pekerjaan
pengaspalan, lapis pondasi agregat kelas A dan
B, serta pekerjaan struktur.
Jembatan ini dirancang untuk tahan terhadap
terjangan lahar dingin Merapi, seperti
pondasinya yang dibuat agak menjauh dari
sisi sungai, untuk manghindari longsor dan
jembatan yang tinggi dari permukaan air sungai
jika terjadi luapan air sungai.
Manfaat pembangunan jembatan ini bagi
masyarakat antara lain menghubungkan dusun
dengan pusat kecamatan yang sempat terputus,
untuk jalur evakuasi apabila bencana Gunung
Merapi kembali meletus atau banjir lahar
dingin. Sebagai prasarana perekonomian dan
pendidikan masyarakat, dengan dibangunnya
kembali jembatan mempersingkat perjalanan
anak-anak ke sekolah dan jalur transportasi
pedagang ke pusat kota.
Jembatan Permanen yang dibangun paling
besar adalah Jembatan Kali Putih, di Kabupaten
Magelang yang dibangun di atas ruas Jalan
Nasional Magelang-Yogyakarta, dengan panjang
2 x 60 m, lebar 7m. Bagian dari rencana pelurusan
Sungai Pabelan di Dusun Jumoyo, Kecamatan
Salam, Kabupaten Magelang yang alur sungai-
nya berbelok tajam saat ini sudah dibangun di
atas alur sungai baru yang merupakan pelurusan
alur sungai lama. Selain mengembalikan fungsi
aliran sungai sebagaimana mestinya, juga untuk
mengantisipasi adanya lahar dingin yang akan
terjadi dalam 5 (lima) tahun mendatang dan
mengurangi risiko sekecil mungkin.
Tak hanya Jembatan Srowol yang telah
dibangun, Senin (26/3) juga telah diresmikan
jembatan lainnya oleh BNPB dan Kementrian
PU, diantaranya adalah ;
Pembangunan Jembatan Bailey dan
Gantung, Kabupaten Sleman dan Bantul :
1. Jembatan Kliwang, di Dusun Kliwang,
Sleman, dengan panjang 54 m dan lebar
4 m yang merupakan jembatan tengah
penghubung Dusun Kliwan, Argomulyo
Cangkringan dengan kantor Kecamatan
Cangkringan, di atas Sungai Opak Hulu,
dengan jenis jembatan Bailey.
2. Jembatan Sutan, di Desa Sutan, Sleman,
dengan panjang 39 m dan lebar 4 m, yang
merupakan jembatan penghubung Desa
Sutan, Selomartani, Kalasan dengan Dusun
Ndalem Tamanmartai, Kalasan, di atas Sungai
Opak Tengah (Gendol & Opak) dengan jenis
jembatan Bailey.
3. Jembatan Ngentak, di Desa Ngentak,
Sleman, dengan panjang 48 m dan lebar
4 m yang merupakan penghubung Desa
Ngentak, Bimomartani dengan Desa Ngerdi,
LIPUTAN KHUSUS
46 GEMA BNPB - Mei 2012 GEMA BNPB - Mei 2012 47
Sindumartani, Kecamatan Ngemplak, di atas
Sungai Opak Tengah dengan jenis jembatan
Bailey.
4. Jembatan Nambangan, di Dusun
Nambangan, Bantul, dengan panjang 45 m
dan lebar 1,5 m, yang merupakan jembatan
penghubung Dusun Nambangan Pundong
dengan Seloharjo Pundong, di atas Sungai
Opak Besar dengan jenis jembatan Gantung.
5. Jembatan Pentingsari, di Dusun Pentingsari,
Sleman, dengan panjang 51 m dan lebar 4 m,
dibangun sebagai jembatan penghubung
Dusun Pentingsari, Umbulharjo, Kecamatan
Cangkringan dengan Harjobinganun,
Kecamatan Pakem, di atas Sungai Kali
Kuning, dengan jenis jembatan Bailey.
6. Jembatan Padasan, di Dusun Padasan,
Sleman, dengan panjang 36 m dan lebar
4 m, jembatan penghubung Kelurahan
Pakembinangun, Kecamatan Pakem
dengan Kelurahan Wukirsari, Kecamatan
Cangkringan, di atas Sungai Kali Kuning,
dengan jenis jembatan Bailey.
7. Jembatan Banjarsari, di Glagaharjo,
Cangkringan, Sleman, dengan panjang 21
m dan lebar 4 m, yang menghubungkan
Glagaharjo, Cangkringan, Sleman dengan
Klaten, Jawa Tengah, di atas Sungai Anak Kali
Gendol, dengan jenis jembatan Bailey.
Selama masa Tanggap Darurat bencana
Merapi telah dibangun jembatan Bailey, guna
membangkitkan kembali
aktivitas ekonomi masyarakat
yang terganggu sebelum
dibangunnya jembatan
permanen, yaitu :
1. Jembatan Teplok
2. Jembatan Krajan I
3. Jembatan Krajan II
Selain telah dibangun Jembatan
Gantung, guna memulihkan
kembali ruas jalan yang
terputus akibat lahar dingin
Gunung Merapi, yaitu :
1. Jembatan Pager
Jurang
2. Jembatan Boyong
3. Jembatan Kajor
4. Jembatan Sepi
5. Jembatan Ladon
6. Jembatan Tlatar
7. Jembatan Ngepos
8. Jembatan Bendosari
9. Jembatan Sidosari
10. Jembatan Srowol
Perbaikan Aliran dari Hulu ke Hilir
Pebaikan aliran sungai yang dilakukan antara lain
adalah pembuatan alur sungai baru, pembuatan
bronjong, perkuatan tebing, pembangunan
dan rehabilitasi sabo untuk menahan material
batuan yang dibawa oleh lahar dingin dan
sebagainya :
Pemasangan Bronjong Hulu di Kabupaten
Magelang meliputi:
1. Lokasi Kali putih Ngaglik Desa Srumbung,
Kecamatan Srumbung, Kabupaten
Magelang. Berfungsi untuk melindungi
pemukiman penduduk dan melindungi
lahan pertanian 20 Ha.
2. Lokasi Kali Pabelan, Desa Adikarto,
Kecamatan Muntilan, Kabupaten Magelang.
Berfungsi untuk melindungi pemukiman
200 KK dan mengarahkan aliran ke tengah
sungai.
3. Lokasi Kali Pabelan, Gunung Lemah,
Kecamatan Muntilan, Kabupaten Magelang,
berfungsi untuk melindungi rumah
penduduk.
Perkuatan Tebing Sungai dan Tanggul dengan
Bronjong Kabupaten Sleman :
1. Lokasi Kali Opak (Hulu Jembatan Bailey,
Dusun Geblog), Dusun Geblog, Desa
Wukirsari, Kecamatan Cangkringan, Sleman,
berfungsi untuk mengamankan jembatan
Bailey dan melindungi permukiman
penduduk dengan panjang 120 m.
2. Lokasi Kali Opak Prambanan, Desa Bokoharjo,
Kecamatan Prambanan, berfungsi
melindungi cagar budaya (Candi Prambanan)
Sleman dengan panjang 96 m.
3. Lokasi Kali Kuning (Umbul Lanang & Umbul
Wadon) Dusun Pangukrejo, Desa Umbulharjo,
Kecamatan Cangkringan, berfungsi
melindungi sumber mata air Umbul Lanang
dan Umbul Wadon, melindungi jaringan air
baku, melindungi 1 buah bangunan sabo
dam.
Normalisasi jalan penghubung antar desa,
Kabupaten Magelang :
1. Lokasi Desa Sucen, Kecamatan Salam,
Kabupaten Magelang, sebagai akses
jembatan penghubung agar dapat dilewati,
mengairi sawah seluas 10 Ha, gorong-
gorong air menjadi terbuka.
2. Lokasi Desa Cabe, Kecamatan Srumbung,
Kabupaten Magelang.
Normalisasi Alur Sungai Kabupaten Sleman :
1. Lokasi Kali Gendol, Desa Argomulyo,
Kecamatan Cangkringan, Kabupaten
Sleman. Tujuannya melancarkan aliran
sungai, mengembalikan alur
sungai serta mengembalikan
fungsi bangunan sabo dam.
2. Lokasi Kali Opak (Dusun
Teplok Dusun Kliwang)
Desa Argomulyo, Kecamatan
Cangkringan, Kabupaten
Sleman, berfungsi
melindungi pemukiman
penduduk.
Normalisasi Alur Sungai
Kabupaten Magelang :
1. Lokasi Kali Bebeng, BE-C7,
Desa Kamongan,
Nganggrung, Kecamatan
Srumbung, Kabupaten
Magelang. Untuk
melancarkan aliran sungai,
dan mengembalikan arus
sungai kembali ke tengah.
2. Lokasi Kali Krasak KR-C6 Desa Pondokrejo,
Kecamatan Tempel, Kabupaten Magelang.
Untuk melancarkan aliran sungai,
mengembalikan alur sungai, mengembalikan
fungsi bangunan sabo dam.
3. Lokasi Kali Putih, Desa Srumbung, Kecamatan
Srumbung, Kabupaten Magelang, untuk
melancarkan aliran sungai, mengembalikan
alur sungai, mengembalikan fungsi
bangunan sabo dam.
Revitalisasi Air Bersih
Sumber yang paling vital seperti air bersih
juga menjadi perhatian BNPB dan PU. Pada
masa tanggap darurat ketersediaan air baku
sangat terbatas akibat rusaknya SPAM, sehingga
masyarakat harus mengambil dari sumber air
yang berjarak relatif jauh sehingga pelayanan
air minum kepada pengungsi kurang optimal,
maka dibangunlah SPAM yang baru dengan
menggunakan dana siap pakai BNPB, yang
pengerjaannya dilaksanakan oleh PU seperti
pembangunan Sistem Pelayanan Air Minum
(SPAM) di Desa Sidorejo, Desa Wonokerto,
Desa Nepen, Desa Sumberturim Desa Banteng.
Pembangunan SPAM Hargobinangun,
Kabupaten Sleman, pada kawasan pelayanan
Pakem, Ngemplak, Sleman Kota, Condongcatur
dan Kalasan. Serta Pembangunan SPAM
Umbulharjo, Kota Yogyakarta untuk melayani air
minum 30.000 jiwa.

48 GEMA BNPB - Mei 2012 GEMA BNPB - Mei 2012 49
Pasca Gempa Bumi 8,5 SR
Mengguncang ACEH
olong kami pak, segera dibuatkan
tangga yang bagus dan pondok
untuk berteduh agar anak-anak kami
tidak kehujanan saat mengungsi,
saya rela tanah kebun saya digunakan untuk
evakuasi. Kalau bisa secepat mungkin pak, kami
takut jika tsunami terjadi lagi kata-kata itulah
yang terlontar oleh ibu Lela, salah satu dari
warga Lhoknga ketika rombongan kami tiba di
bukit tempat berkumpulnya masyarakat.
Berdasarkan pengalaman ketika gempa 8,5 SR
mengguncang Aceh, 11 April 2012 lalu, diikuti
peringatan tsunami, warga di beberapa desa
di sekitar kecamatan tersebut berlarian ke atas
gunung. Namun, karena jalur evakuasi di daerah
tersebut belum ada, sehingga menyebabkan
kecelakaan bagi warga yang menyelamatkan
diri.
Kunjungan ini merupakan tindak lanjut dari
rencana penyusunan Masterplan Pengurangan
Risiko Bencana Tsunami, yang merupakan
instruksi Presiden RI kepada Kepala BNPB agar
menyiapkan masterplan tersebut. Sekretaris
Utama Badan Nasional Penanggulangan
Bencana (Sestama BNPB), Ir. Fatchul Hadi, Dipl.,
HE melakukan tinjauan lapangan ke beberapa
tempat di Aceh, yang berpotensi terkena tsunami
(29/04). Kunjungan tersebut menelusuri tempat
kejadian yang terkena dampak tsunami hebat
pada tahun 2004 silam, dan terkena gempa 8,5
SR yang terjadi 11 April lalu.
Kejadian gempa 8,5 SR tersebut memang tidak
menimbulkan tsunami yang berarti, namun
hal ini menjadi petanda bahwa kesiapsiagaan
masyarakat terhadap kejadian tsunami mutlak
menjadi prioritas. Wilayah sepanjang pesisir
pantai merupakan salah satu wilayah di Indonesia
yang menjadi rawan ancaman gempabumi dan
tsunami. Presiden menginstruksikan kepada
Kepala BNPB dan BMKG untuk menyusun
masterplan antisipasi bencana gempabumi
LIPUTAN KHUSUS
T
dan tsunami. Persiapan dan rancangannya
Shelter Evakuasi dan peralatan Early Warning
System harus selesai tahun 2012 ini dan mulai
dilaksanakan pembangunan fsiknya pada 2013
dan 2014.
Gampong Lambung
Kunjungan pertama ke escape building di
Gampong Lambung, yang merupakan tempat
pengungsian warga sekitar, jika terjadi tsunami.
Bangunan 5 lantai tersebut, dilengkapi helipad
di lantai teratasnya. Sestama menyarankan,
jumlah tangga diperbanyak di berbagai sisi,
agar tidak terjadi kepanikan berarti saat
orang-orang menyelamatkan diri ke tempat
lebih tinggi, serta peran Pemda setempat
agar mendorong masyarakat memanfaatkan/
memfungsikan escape building yang telah
dibangun dan diharapkan seluruh escape
bulding yang telah dibangun dapat dilengkapi
dengan bahanbahan sosialisasi sebagai bahan
pembelajaran kepada masyarakat. Gedung yang
berjarak 1 km dari pantai ini, berada diantara
permukiman masyarakat dan dibangun pada
saat pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi
pascabencana tahun 2004.
Kemudian, rombongan beranjak ke kuburan
massal di Ulee Lheu dan berdoa sejenak di
tempat tersebut. Lalu menuju ke gedung
Tsunami and Disaster Mitigation Research Center
(TDMRC) Syiah Kuala University yang terletak
di Jalan Tengku Abdul Rahman, Gampong Pie,
Kecamatan Meuraxa, Kota Banda Aceh. Pada
saat yang bersamaan, Sestama mendapatkan
paparan dari SKPD Aceh atau disingkat SKPA,
tentang kesiapsiagaan pemerintah Aceh
menghadapi gempabumi dan tsunami. Antara
lain tsunami drill yang lebih sering (minimal 3x
dalam setahun), persiapan peralatan deteksi
bencana di sepanjang pantai, melengkapi peta
dan jalur evakuasi, CCTV dan sarana komunikasi,
dan sebagainya. Gedung tersebut juga berfungsi
sebagai shelter atau escape building, dibangun
4 lantai dengan ramp yang memudahkan
evakuasi ke lantai atas, berjarak 1 km dari pantai
dan dilengkapi dengan bahan-bahan sosialisasi
kebencanaan.
Selanjutnya rombongan menyambangi
masyarakat secara langsung di Lhoknga,
Kabupaten Aceh Besar bersama Bupati, Sestama
melakukan dialog. Masyarakat meminta bukit di
daerah mereka dibuatkan jalan/tangga evakuasi
ke atas, agar memudahkan evakuasi masyarakat
ke atas bukit. Selain itu, di atas bukit tersebut
dibuatkan semacam pendopo atau rumah, agar
mereka dapat berteduh dan anak-anak mereka
tidak kehujanan. Identifkasi awal dibutuhkan 11
lokasi evakuasi di sepanjang pantai Lhoknga.
Malamnya diadakan dialog meredam
isu bencana, di Pendopo Rumah
Dinas Gubernur Aceh bersama SKPA
dan BPBD. Akibat isu beredarnya sms
gempa 12 SR di masyarakat, cukup
meresahkan dan membuat sebagian
masyarakat mengungsi. Namun hal
tersebut sudah diantisipasi oleh Badan
Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA),
agar tidak usah resah atau panik
akibat sms dari pihak yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Keganjilan tersebut terdapat isi sms yang
tertulis 12 Skala Richter (SR), seharusnya
ditulis 12 MW untuk gempa di atas
10 SR. Masyarakat diharapkan tidak
menanggapi sms tersebut, karena sampai
saat ini menurut ilmuwan gempabumi
tidak dapat diprediksi waktunya, dan
bencana terhebat selama ini belum
pernah terjadi di atas 10 SR, terbesar di
Chile dengan 9,5 SR pada tahun 1960.
Koordinasi dengan Pemerintah Daerah
Sestama BNPB didampingi oleh Direktur
Bantuan Darurat Ir. Harmensyah, Dipl.
SE., M.M, Unsur Pengarah Dr. Sugimin
Pranoto, Ketua Forum BPBD Se-
Indonesia Drs. Udjwalaprana Sigit, MM,
M.Si, sedangkan pihak pemerintah
daerah dihadiri oleh Deputi Bidang
Kawasan Khusus KPDT, Kepala BPBA Prov.
NAD, Kepala BPBD Aceh Besar, Tokoh
Masyarakat Prof. Yusni Sabi, PJ Bupati
Aceh Besar, Mantan Walikota Sabang,
BPBD kabupaten/kota pantai barat NAD,
Direktur TDMRC Unsyah.
Koordinasi dan kunjungan lapangan
di Provinsi NAD sebagai masukan bagi
kajian awal dalam rangka penyusunan
Masterplan antisipasi bencana
gempabumi dan tsunami yang akan
dilaporkan Kepala BNPB kepada
Presiden RI ucap Ir. Fatchul Hadi dalam
sambutannya.

Konsep penyusunan masterplan
diarahkan memberikan perlindungan
dan memberikan rasa aman kepada
masyarakat serta mendekatkan
masyarakat kepada tempat-tempat
evakuasi, termasuk mengakomodasi
aspirasi masyarakat. Pemanfaatan teknologi
intermediate sebagai Early Warning System
(EWS) berupa pembangunan sirine bekerja
sama dengan BMKG dan LIPI.

Pemda yang memiliki dana rehabilitasi dan
rekonstruksi didorong untuk membangun
juga Tempat Evakuasi Sementara (shelter, jalur
evakuasi, timbunan tanah/tanggul, papan
peringatan). Serta evaluasi pemanfaatan
escape building yang telah dibangun pada saat
rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana
tahun 2004 dan inventarisasi kebutuhan terkait
dengan kesiapsiagaan dalam menghadapi
bencana.

Dengan kapasitas yang telah dibangun sejak
pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi
pascabencana tahun 2004 maka upaya yang
50 GEMA BNPB - Mei 2012 GEMA BNPB - Mei 2012 51
PROFIL
52 GEMA BNPB - Mei 2012 GEMA BNPB - Mei 2012 53
building tambahan pada kawasan-kawasan padat
penduduk;
14. Mendorong pembangunan jalan lingkar yang
terdapat pada masterplan 2004 sebagai daerah
penyangga;
15. Banda Aceh telah mengusulkan 3 bangunan
jaring evakuasi di 3 persimpangan (fy over).
16. Kecenderungan saat ini adalah masyarakat adalah
menjauh dari laut bukan mencari tempat tinggi;
17. Masyarakat harus diberi pemahaman lebih
lanjut melalui dialog dan sosialisasi;
18. Perlu juga dipikirkan alternatif terkait dengan
kebiasaan masyarakat menghindari ancaman
masyarakat.
19. Mendukung penanggulangan bencana di pusat
dan daerah;
20. Perlunya secara berkala memberi pembelajaran
kepada masyarakat tentang kesiapan menghadapi
bencana;
21. Mendorong keterlibatan organisasi masyarakat
untuk mengajak masyarakat membangun
infrastruktur pendukung kesiapsiagaan;
22. Membangun kerjasama antar pemangku
kepentingan sesuai kewenangan, peran, serta
tanggungjawab.
23. Pelibatan swasta telekomunikasi dalam
memberikan informasi kepada masyarakat;
24. Perlu adanya desain infrastruktur dengan
spesifkasi yang tinggi sebagai antisipasi trafc
komunikasi selular;
25. Menyediakan telepon satelit untuk kesiapsiagaan
dan penanganan darurat;
perlu dilakukan dalam rangka penyusunan
masterplan adalah:
1. Quick assessment identifkasi gap yang perlu
dipenuhi (apakah shelter, jalur evakuasi,
penimbunan dll);
2. Menyusun prioritas aksi berdasarkan kebutuhan
untuk 1-2 tahun kedepan termasuk pembagian
kewenangan dan tanggung jawab;
3. Menyiapkan regulasi pendukung dalam konteks
apa yang telah dibangun sehingga bermanfaat
dimasa yang akan datang;
4. Peningkatan kapasitas kesiapsiagaan pemerintah
daerah dan masyarakat.
5. Upaya kesiapsiagaan yang diantaranya pantai
telah ditinggikan, namun belum optimal, untuk
itu perlu mangrove;
6. Masyarakat masih percaya dengan masjid sebagai
escape building, untuk itu perlu penguatan fungsi
masjid dan perencanaan pembangunan masjid
yang multifungsi;
7. Membangun escape building dipinggir jalan
besar dengan kemudahan akses yang jelas.
8. Usulan masyarakat membangun jalur evakuasi
ke dataran tinggi (bukit dan gunung), penanaman
mangrove ditepi pantai, serta pembangunan
tanggul-tanggul pantai.
9. Perlunya dukungan alat komunikasi non jaringan
(HT) untuk koordinasi evakuasi bencana kepada
BPBD dan komunitas siaga bencana (masyarakat).
10. Infrastruktur mitigasi bencana sudah tersedia,
yang diperlukan adalah penguatan fungsi-fungsi
infrastruktur tersebut agar dapat dimanfaatkan
masyarakat apabila
tidak ada kejadian
bencana.
11. Masalah utama adalah
kemacetan akibat
respon masyarakat
dalam menyelamatkan
diri terutama di
k a wa s a n - k a wa s a n
persimpangan dan
jembatan yang luasnya
relatif kecil untuk dilalui;
12. Persimpangan telah
ditunjuk dari TNI/polri/
masyarakat sebagai
penanggung- j awab
pengaturan evakuasi
yang diatur melalui
peraturan walikota;
13. Usulan pembangunan
escape hill dan escape
31 Tahun
Menangani
Bencana
Ir. Sugeng Triutomo, DESS
Deputi I
54 GEMA BNPB - Mei 2012 GEMA BNPB - Mei 2012 55
enempati ruang kerja yang
dipenuhi buku-buku, Deputi Bidang
Pecegahan dan Kesiapsiagaan, Ir.
Sugeng Triutomo, DESS, tampak
berpakaian dinas rapi lengkap dengan atribut
brevet emas manajemen bencana dan wings.
Brevet emas merupakan brevet tertinggi bagi
individu yang memiliki kewenangan dalam
mengambil keputusan dalam manajemen
bencana. Sementara itu, wings dengan grafr
Be-200 merupakan bukti keterlibatan aktif
beliau sebagai Pelaksana Operasi dalam
penanggulangan kebakaran hutan dan lahan
di wilayah Kalimantan pada tahun 2006. Be-200
merupakan jenis pesawat water bombing Rusia
yang disewa untuk pemadaman kebakaran
hutan dan lahan di Sumatera dan Kalimantan.
Pekerjaan dan Karir
Perjalanan panjang hingga menjabat
sebagai seorang deputi di Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB) dirintis
dengan upaya keras dan sikap disiplin tinggi.
Sugeng Triutomo menamatkan pendidikan
sarjana pada jurusan Ilmu Tanah, Fakultas
Pertanian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Hingga lulus pada tahun 1978, beliau pernah
menjadi asisten tidak tetap dialmamaternya.
Sugeng, panggilan akrabnya, kemudian
memulai karier dengan bekerja sebagai
Konsultan di PT ISUDA Consulting Engineer pada
tahun 1979 - 1981.
Kemudian, beliau beralih keinginan untuk
mengabdi pada negara sebagai pegawai negeri
sipil (PNS). Karir sebagai PNS dimulai dengan
bekerja pada Badan Pengkajian dan Penerapan
Teknologi (BPPT) pada tahun 1981. Pria
kelahiran Banyuwangi, Jawa Timur, 59 tahun lalu
meneruskan pendidikan S2 bidang Pengelolaan
Sumber Daya Alam di Universitas Paul Sabatier
(Toulouse III) Perancis dan lulus pada tahun
1985.
Sekembalinya ke tanah air, Sugeng Triutomo
aktif kembali dengan kegiatan penelitian di BPPT.
Pengembangan wilayah berdasarkan sumber
daya alam menjadi fokus pekerjaan selama di
BPPT. Sebagai contoh pengembangan lahan
gambut di Kalimantan dan juga pengembangan
wilayah pesisir, yang pada saat itu beliau sempat
menjadi Pemimpin Proyek Pengembangan
Wilayah dan Sumber Daya Alam pada tahun
1990 hingga 1992.
Beliau mengisahkan pengalaman masa lalunya,
ketika terlibat dalam kebijakan Pemerintah
membentuk Dewan Pengembangan Kawasan
M
Timur Indonesia (DPKTI) pada
tahun 1993. Saat itu Sugeng
merasa sangat terhormat
karena dipercaya sebagai
Kepala Pelaksana Harian
Sekretariat DPKTI. Di samping
jabatan sebagai Kepala Sub-
Direktorat Pengembangan
Sumber Daya Lahan di BPPT
juga diembannya dari tahun
1992 hingga 1997. Seharusnya
yang menjabat sebagai Kepala
Sekretariat adalah Kepala Biro
Regional II, Bappenas yang
pada waktu itu sangat sibuk
dengan pekerjaan struktural internal.
DPKTI ini merupakan dewan yang dibentuk oleh
Presiden RI beranggotakan para menteri dan
diketuai oleh Menristek B.J. Habibie. Tugasnya
sebagai Kepala Sekretariat, beliau harus
menyiapkan bahan pertemuan dan persiapan
koordinasi di tingkat Menteri dan Gubernur,
khususnya 13 provinsi Kawasan Timur Indonesia.
Tidak hanya itu, beliau juga yang menyusun
konsep Keputusan Presiden tentang Kawasan
Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET).
Kawasan tersebut merupakan wilayah yang
diberi fasilitas khusus guna menjaring investasi
dan pengembangan ekonomi di daerah.
Pengalamanan Kebencanaan
Pengalaman di bidang kebencanaan telah
dilakoni sejak memasuki karir di BPPT tahun
1981. Beliau menjelaskan bahwa diskursus
sumber daya alam (SDA) memiliki dua sisi,
pertama, sisi yang dikembangkan itu terkait
dengan pemanfaatan sumber daya alam.
Sementara sisi yang dikonservasi akan terkait
dengan perlindungan sumber daya. Sugeng
menambahkan bahwa di BPPT saat itu sudah
ada kelompok untuk mitigasi bencana dan dia
belajar banyak dari Profesor M.T. Zen, Guru Besar
ITB, yang saat itu sebagai Deputi Pengembangan
Kekayaan Alam BPPT dan sekaligus mentor.
Pada tahun 2000 Sugeng Triutomo ditugaskan
sebagai Asisten Deputi V Menko Bidang
Penanggulangan Bencana di Kementerian
Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat
(Kemenkokesra), yang juga sebagai Sekretariat
Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan
Bencana dan Penanganan Pengungsi (Bakornas
PBP) karena pada saat itu Ketua Bakornas PBP
adalah Menkokesra. Kemudian pada tahun 2002,
setelah Sekretariat Bakornas PBP dipisahkan dari
Kemenkokesra beliau ditunjuk sebagai Kepala
Biro Mitigasi, Bakornas PBP.
Menjadi bagian dari sejarah terbentuknya BNPB,
pria yang memiliki dua anak ini menceritakan
bahwa waktu itu Sekretariat Bakornas PBP
hanya memiliki dana sangat kecil. Di satu sisi,
dana digunakan untuk kepentingan kegiatan
rutin dan operasional. Di pihak lain, pekerjaan
terkait mitigasi membutuhkan dana. Inisiatif
pun datang melalui Sang Kepala Biro Mitigasi
dengan tidak berdiam diri, menjalin kemitraan
dengan organisasi/lembaga internasional pun
dilakukannya. Pada akhirnya dana dukungan
dari organisasi internasional dapat dimanfaatkan
untuk menyelenggarakan kegiatan mitigasi
bencana.
Debutnya menangani bencana dimulai setelah
referendum dan meletusnya konfik di Timor
Timur tahun 1999 dimana Bakornas PBP
disibukkan dengan ribuan pengungsi dari
wilayah tersebut. Permasalahan bencana
dengan latar belakang konfik mendominasi
situasi di tanah air akibat krisis multi dimensi.
Di samping bencana sosial, keterlibatan dalam
penanggulangan bencana alam dialaminya
ketika gempa bumi 7,3 SR yang melanda
Bengkulu pada Juni 2000 dan disusul banjir
Jakarta pada 2002.
Kemudian pada saat bencana dahsyat gempa
bumi dan tsunami Aceh terjadi pada tahun
56 GEMA BNPB - Mei 2012 GEMA BNPB - Mei 2012 57
2004. Pemerintah pusat mengirim tim Bakornas
PBP, di bawah komando Ketua Bakornas PBP,
Wakil Presiden Jusuf Kalla, untuk penyelesaian
penanggulangan bencana maupun
penanganan pengungsi. Wakil Presiden
(Wapres) menginstruksikan untuk pendirian
Pos Komando di Banda Aceh, di Medan, dan
juga di Jakarta. Nah, yang menunggu posko
di Jakarta itu saya, jelas Sugeng Triutomo.
Saya meng-handle posko untuk menghadapi
wartawan-wartawan dari luar negeri. Kemudian
oleh Wapres, karena poskonya jauh dari kantor
Wapres maka Posko Juanda dipindah ke kantor
Wapres, tambah beliau. Peran Pak Sugeng sangat
strategis ketika menjadi Bidang Perencanaan
di Komando Nasional di Kantor Wapres. Saya
tahu apa yang terjadi di lapangan dan langkah-
langkah pengambilan kebijakannya, karena
semua dikendalikan dari Posko Nasional di
kantor Wapres, ungkap Sugeng Triutomo.
Refeksi Pengalaman Kebencanaan
Bencana gempa bumi dan tsunami Aceh 2004
memunculkan perhatian serius Pemerintah
Indonesia dan diskursus kebencanaan di
tingkat internasional. Pada 11 Januari 2005
World Conference for Disaster Reduction (WCDR)
diselenggarakan di Kobe, Jepang. Konferensi itu
pada akhirnya menghasilkan Hyogo Framework
for Action (HFA). Sugeng Triutomo sebagai
anggota delegasi dari Pemerintah Indonesia
hadir pada konferensi itu. Dia tidak hanya hadir
tetapi juga memberikan presentasi mengenai
kejadian gempa dan tsunami Aceh dalam
konferensi. Keseriusan terhadap permasalahan
kebencanaan dibuktikannya dengan selalu
mengikuti apa yang dihasilkan dalam pertemuan
serupa di tingkat Asia sejak tahun 2002.
Waktu itu yang harusnya berangkat Sekretaris
Bakornas yang juga Sekretaris Wakil Presiden,
Priyono Cipto Heryanto, tapi karena situasi
darurat beliau harus stay di Jakarta. Akhirnya
saya yang menggantikan beliau, dan waktu itu
berbagi tugas dengan Kepala Biro Kerjasama,
Adik Bantarso, yang memfokuskan untuk
membahas substansi konferensi, ingat Sugeng
Triutomo.
Belajar banyak dari rangkaian pertemuan
internasional dan konferensi dunia tersebut,
muncul pemikiran tentang bagaimana
mengimplementasikan HFA di Indonesia.
Inisiatif ini kemudian memotivasi Sugeng
Triutomo menggalang organisasi/lembaga
yang bergerak di bidang pengurangan resiko
bencana untuk menyusun rencana aksi. Hasilnya
pada tahun 2006, beliau beserta tim Bappenas
menyusun Rencana Aksi Nasional Pengurangan
Resiko Bencana. (RAN PRB 2006-2009).
Gagasan lain yang dilontarkan bagaimana
membangun landasan hukum terkait dengan
kebencanaan. Bersama dengan Masyarakat
Penanggulangan Bencana Indonesia (MPBI),
gagasan tersebut dilontarkan ke DPR. Kapasitas
saya sebagai bagian dari organisasi MPBI dan
mengadvokasi DPR untuk membuat undang-
undang Kebencanaan, jelas beliau yang pernah
menjabat Ketua Presidium MPBI selama dua
periode, 2003 2006 dan 2006 2009. Kemudian
undang-undang kebencanaan dibahas dan
pada akhirnya lahir Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana.
Banyak yang bergeser dari idealismenya. Ada
klausul yang tidak termuat di situ, misalnya
peran masyarakat dalam penanggulangan
bencana, kata Sugeng. Menanggapi peran
masyarakat tersebut, Deputi menjelaskan
bahwa seharusnya ada PP tersendiri. Beliau juga
menambahkan tentang bagaimana keterlibatan
kementerian dan lembaga. Beberapa hal di atas
58 GEMA BNPB - Mei 2012 GEMA BNPB - Mei 2012 59
merupakan kekurangan yang ada di Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2007.
Sugeng Triutomo ingat betul mengenai
perjalanan panjang BNPB. Dari Sekretariat
Bakornas PBP mengalami beberapa kali
reorganisasi yang akhirnya terbentuklah
Pelaksana Harian Bakornas. Bakornas PBP
itu adalah dewan yang beranggotakan
para menteri, sedangkan Sekretariat hanya
bersifat administrasi dan pendukung saja.
Tapi sebetulnya perlu ada pengetahuan teknis
bagi unsur pelaksana di Sekretariat. Maka
kemudian dalam Perpres No. 83 Tahun 2005
ada Bakornas sebagai pengambil kebijakan dan
Lakhar Bakornas sebagai unsur pelaksana, jelas
Sugeng Triutomo. Dan pada tahun 2006 beliau
diangkat sebagai Plt Deputi Bidang Pencegahan
dan Kesiapsiagaan, Lakhar Bakornas PBP.
Pengalaman dan pemikiran dia selama ini turut
membantu untuk membesarkan BNPB sebagai
lembaga yang baru berdiri sejak 4 tahun lalu.
PRB dalam Perspektif
Pengurangan Risiko Bencana (PRB) tidak hanya
sekedar istilah yang mengganti kata mitigasi.
Konsep PRB adalah kerangka pikir yang sudah
dibuat oleh United Nations International
Strategy for Disaster Reduction (UNISDR) pada
2002 dan dikuatkan di HFA pada 2004. PRB
mengacu pada upaya-upaya untuk mengurangi
kerentanan dan risiko bencana. HFA sendiri
menghasilkan lima prioritas aksi dan Indonesia
telah berupaya untuk mencapai parameter yang
ditetapkan dalam HFA. Pencapaian Indonesia
dapat ditinjau pada governance yang meliputi
kebijakan nasional, legislasi, perencanaan,
dan budgeting. Kedua, terkait dengan risk
assessment dan peringatan dini. Ketiga,
kesadaran masyarakat dan pemberdayaan
masyarakat. Keempat, bagaimana implementasi
PRB dalam pembangunan. Kelima, PRB dalam
aspek kesiapsiagaan, seperti pusdalops, rencana
kontijensi, dan gladi, dan ini kita laksanakan,
jelas Sugeng Triutomo. Perserikatan Bangsa-
Bangsa (PBB) menggunakan parameter HFA
dan itu digunakan untuk menilai pencapaian
yang dilakukan oleh Indonesia. Oleh karena
itu Indonesia dibawah Pemerintahan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono mendapatkan
Global Champion for Disaster Risk Reduction
dari PBB.
Lalu, apakah Indonesia memiliki grand
design penanggulangan bencana? Pak
Deputi menjelaskan bahwa apa yang disebut
dengan grand design itu adalah rencana
penanggulangan bencana atau RPB. RPB ini
sebenarnya telah diamanatkan di UU No. 24
Tahun 2007 dalam pasal 36. Sementara itu, RPB
yang telah dibuat dengan nama lain Rencana
Nasional Penanggulangan Bencana, telah ada
namun sifatnya global atau garis besar. Ini
merupakan pekerjaan yang sangat panjang,
jelas Pak Deputi. Grand design atau master plan
harus di-break down untuk masing-masing jenis
bencana. Dalam menyusun RPB dibutuhkan
sumber daya manusia yang kreatif, baik itu di
tingkat BNPB dan BPBD. Sehubungan dengan
konteks tersebut, penguatan kelembagaan yang
negeri, harus ada orang BNPB yang mampu
menjadi pembicara berbagi pengalaman dan
pengetahuan pada seminar internasional,
harapan Pak Deputi.
Sugeng Triutomo merupakan sosok pribadi
yang penuh disiplin. Pribadi yang tidak ingin
menyia-yiakan waktu ini memulai bekerja pada
pukul 6 pagi hingga 7 malam. Bagi beliau waktu
sangat berharga untuk memperkaya diri dengan
pengetahuan, baik itu diperoleh dari buku-
buku maupun dunia maya. Gunakan waktu
untuk menambah pengetahuan, khususnya
yang terkait dengan pekerjaan. Curiosity atau
keingintahuan harus dibangkitkan, ungkap
Sugeng terkait dengan motto hidup. Di
samping itu, beliau juga sangat berharap dapat
membagikan pengalaman dan pengetahuan
kebencanaan kepada semua orang. Karena
menurut beliau bahwa tantangan bagi mereka
yang bekerja di BNPB/BPBD tidak hanya
melakukan tugas birokrasi biasa, tapi ada tugas
yang harus didukung latar belakang knowledge
atau pengetahuan.
Pengabdian beliau selama ini telah mendapatkan
apresiasi dari BPPT dan Presiden RI. Piagam
Satya Karya 10 Tahun dari Menristek/Kepala
BPPT diperolehnya pada tahun 1991. Sementara
itu, penghargaan dari Presiden RI berupa Satya
Lancana Karya Satya 10 tahun dan 20 tahun dan
juga Satya Lancana Wira Karya juga dari Presiden
RI pada tahun 1999.
telah diprogramkan oleh Kedeputian Bidang
Pencegahan dan Kesiapsiagaan sebenarnya
lebih mengarah pada sumber daya manusia
kreatif yang ingin diharapkan.
Dedikasi dan Penghargaan
Penanggulangan bencana selalu terkait dengan
langkah-langkah terintegrasi pada pra bencana,
saat tanggap darurat, dan pasca bencana.
Pencegahan, mitigasi, dan kesiapsiagaan
sebagai bagian dari tahap pra bencana yang
merupakan tugas yang harus diemban oleh
Sugeng Triutomo sebagai Deputi Bidang
Pencegahan dan Kesiapsiagaan.
Sementara itu tantangan yang dihadapi
oleh BNPB saat ini bahwa pertama, dunia
internasional telah melihat Indonesia sebagai
negara yang berhasil dalam PRB. Namun pada
tingkat lokal, refeksi pencapaian ini harus
dilihat secara proposional ke bawah dalam
hal ini pemerintah daerah. Beliau berharap
adanya peningkatan kualitas untuk sumber
daya di tingkat provinsi dan kabupaten. Kedua
tantangan dari dunia internasional. Dunia
internasional memiliki anggapan bahwa
Indonesia sebagai leading dalam kebencanaan.
Oleh sebab itu Indonesia selalu diundang
untuk berbicara dan membagikan pengalaman
di dunia internasional. Oleh karena itu, BNPB
harus memiliki individu yang berkemampuan
dan berkualitas untuk berbicara di forum-forum
internasional. Kalau ada undangan ke luar
60 GEMA BNPB - Mei 2012 GEMA BNPB - Mei 2012 61
Pendahuluan
Konsep pembangunan perlu mengaitkan upaya
peningkatan atau pengembangan masyarakat
menuju ke arah yang positif. Upaya tersebut
menjadi alat untuk menjadikan masyarakat
yang makin kuat. Perubahan masyarakat yang
kuat ini merupakan dampak adanya upaya yang
dilaksanakan oleh masyarakat lokal secara terus
menerus dengan peningkatan collective power
yang diterima hingga terjadi perubahan pada
masyarakat tersebut. Ini berarti langkah pertama
adalah melakukan upaya pemberdayaan
masyarakat dalam keterlibatannya dalam
pembangunan.
Upaya Pemberdayaan Masyarakat
dalam Penanggulangan Bencana:
Sebuah Pemikiran
Giarci (2001) memberi pandangan bahwa
pemberdayaan masyarakat menjadi pusat
perhatian dalam membantu masyarakat untuk
bertumbuh dan berkembang melalui berbagai
fasilitasi dan dukungan yang diperoleh sehingga
masyarakat tersebut mampu memutuskan,
merencanakan, dan mengambil tindakan
untuk mengelola dan mengembangkan
lingkungan fsiknya serta kesejahteraan
sosialnya. Pandangan di atas menyebutkan
bahwa masyarakat menjadi obyek dalam
pembangunan namun perlu mendapat fasilitasi
dari berbagai pihak terutama pemerintah.
TEROPONG
Pemerintah dan pemerintah daerah harus
mendorong masyarakat agar mampu mandiri
dalam keikutsertaannya dalam pembangunan.
Pemberdayaan masyarakat dalam
penanggulangan bencana di Indonesia juga
mendapat tempat. Dalam Undang-Undang
No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana jelas menjamin hak dan kewajiban
masyarakat dalam penanggulangan bencana.
Dalam Pasal 26 UU menyebutkan bahwa
masyarakat berhak antara lain melakukan
perencanaan, pengoperasian, pengambilan
keputusan dan pengawasan berkaitan dengan
pelaksanaan penanggulangan bencana.
Sedangkan dalam Pasal 27 mengamanatkan
berbagai kewajiban masyarakat dalam
penanggulangan bencana antara lain ikut
memelihara keseimbangan, keserasian,
keselarasan dan kelestarian lingkuangan serta
mendapat memperoleh informasi yang benar
tentang penanggulangan bencana.
Dalam Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2008
tentang Penyelenggaraan Penanggulangan
Bencana, peran masyarakat dalam
penanggulangan bencana semakin diperjelas
dalam setiap tahap siklus penanggulangan
bencana. Namun sayangnya peran masyarakat
pada pra bencana dan pasca bencana masih
terbatas. Padahal peran masyarakat dalam
penanggulangan bencana diperlukan pada
setiap tahapan penanggulangan bencana
secara terstruktur dan memadai.
Peran Penting Pemerintah dalam
Peningkatan Pemberdayaan Masyarakat
Masyarakat harus mampu menempatkan
dirinya secara proporsional dalam masalah yang
dihadapinya. Hal ini perlu dipahami mengingat
masih adanya keterbatasan kapasitas yang
dimiliki oleh masyarakat. Pemerintah harus
bisa memetakan kapasitas masyarakat baik
62 GEMA BNPB - Mei 2012 GEMA BNPB - Mei 2012 63
jenis, kualitas dan keterjangkauan masyarakat
dalam penanggulangan masyarakat. Pemetaan
kapasitas ini penting menjadi acuan pemerintah
untuk mengetahui kapasitas masyarakat yang
berbeda-beda. Dalam pengertian yang lebih
luas, pemberdayaan masyarakat merupakan
proses untuk memfasilitasi dan mendorong
masyarakat agar mampu menempatkan diri
secara proporsional dan menjadi pelaku utama
dalam memanfaatkan lingkungan strategisnya
untuk mencapai suatu keberlanjutan dalam
jangka panjang.
Pemberdayaan masyarakat memiliki keterkaitan
erat dengan pembangunan berkelanjutan
dimana pemberdayaan masyarakat merupakan
suatu prasyarat utama serta dapat diibaratkan
sebagai gerbong yang akan membawa
masyarakat menuju suatu keberlanjutan
secara ekonomi, sosial dan ekologi yang
dinamis. Lingkungan strategis yang dimiliki
oleh masyarakat lokal antara lain mencakup
lingkungan produksi, ekonomi, sosial dan
ekologi. Melalui upaya pemberdayaan, warga
masyarakat didorong agar memiliki kemampuan
untuk memanfaatkan sumberdaya yang
dimilikinya secara optimal serta terlibat secara
penuh dalam mekanisme produksi, ekonomi,
sosial dan ekologi-nya.
Pemberdayaan masyarakat terkait erat dengan
faktor internal dan eksternal dimana kedua
faktor tersebut saling mempengaruhi secara
sinergis dan dinamis. Faktor internal di dalam
masyarakat seperti kearifan lokal dapat
mencegah berbagai hal buruk yang akan terjadi.
Sebagai contoh, pada waktu guncangan gempa
dengan kekuatan 8,7 skala Richter, tidak ada
bangunan yang roboh di Desa Bawomataluo,
Kecamatan Teluk Dalam, Kabupaten Nias
Selatan. Dari ibu kota kabupaten, desa itu sekitar
10 km ke timur. Di wilayah tersebut ada 600-an
rumah adat yang lazim disebut omohada (rumah
kecil). Hanya rumah adat omosebua (rumah adat
besar) yang sedikit miring. Namun sekilas kalau
kita lihat dari jauh, kemiringannya tidak begitu
terlihat.
Namun demikian pembangunan omohada
dan omosebua saat ini hampir tidak ada lagi.
Biaya pembangunan dan pemeliharaan yang
cukup besar serta sulitnya mendapatkan
bahan material kayu spesial menjadi alasan
utamanya. Sementara kepedulian pemerintah
menganggarkan dana untuk pemugaran
atau rehabiltasi rumah adat yang tersisa juga
hampir tidak ada. Faktor eksternal ini dapat
menyebabkan cepat lambat hilangnya kearifan
lokal ini yang tentunya sangat berkaitan
dengan pemberdayaan masyarakat terhadap
pencegahan kerusakan rumah/bangunan akibat
gempa bumi.
Deliveri (2004) mengusulkan dalam proses
pemberdayaan masyarakat mestinya
didampingi oleh suatu tim fasilitator yang
bersifat multidisplin. Tim pendamping ini
merupakan salah satu faktor eksternal dalam
pemberdayaan masyarakat. Tim akan berperan
dalam melakukan konsolidasi kemampuan
masyarakat dengan masalah kebencanaan
yang dihadapi. Selanjutnya tim ini dapat
melakukan pendekatan-pendekatan kultural
kepada masyarakat sehingga budaya atau
kearifan lokal yang ada dapat dibangkitkan
atau direvitalisasikan sampai masyarakat
sudah mampu melanjutkan kegiatannya secara
mandiri.
Dari penjelasan singkat di atas dapat
disimpulkan bahwa program pemberdayaan
masyarakat sebagai salah satu tema sentral
dalam pembangunan masyarakat seharusnya
diletakkan dan diorientasikan searah dan
selangkah dengan paradigma baru pendekatan
pembangunan. Down-top planning dalam
pembangunan masyarakat menjadi hal penting
untuk menangkap semua aspirasi masyarakat
dan dituangkan dalam perencanaan yang
sistemik. Dalam era desentralisasi saat ini
TEROPONG
64 GEMA BNPB - Mei 2012 GEMA BNPB - Mei 2012 65
kewenangan desa menangani urusan yang
secara asli menjadi kewenangannya dalam
bingkai negara kesatuan. Namun demikian
masih rendahnya Pemda menggunakan
wadah Musyawarah Rembug Desa untuk
dapat memperoleh aspirasi masyarakat dalam
penanggulangan bencana.
Selain itu Pemerintah telah mengalokasikan
kegiatan dan dana yang dapat digunakan
oleh masyarakat desa melalui PNPM Mandiri
Pedesaan. PNPM Mandiri digagas untuk
menjadi payung (koordinasi) dari puluhan
program penanggulangan kemiskinan yang ada
dengan menggunakan konsep pemberdayaan
masyarakat (community development) sebagai
pendekatan operasionalnya. Pemda perlu
didorong untuk memanfaatkan program ini
untuk melakukan penanggulangan bencana.
Hal ini akan berdampak juga terhadap
perekonomian dan keamanan masyarakat.
BNPB sebagai alat pemerintah pusat dalam
melakukan fungsi pengkoordinasian
penanggulangan bencana perlu mendorong
Pemda dalam melakukan berbagai pendekatan
kultural dalam pemberdayaan masyarakat.
Berbagai lokakarya yang dapat mengidentifkasi
kearifan lokal perlu dilakukan hingga di tingkat
Kab/Kota. Pedoman dan petunjuk teknis perlu
dibuat sebagai acuan Pemda dalam melalukan
revitalisasi tersebut. Selain itu, Pemda juga dapat
memanfaatkan jasa dari petugas atau lembaga
masyarakat desa yang sudah ada. Pembekalan
petugas tersebut tentang penanggulangan
bencana menjadi penting sehingga mereka
dapat menyampaikan pesan penanggulangan
bencana kepada masyarakat secara langsung.
Pemanfaatan berbagai program
pemerintah perlu didorong untuk kegiatan
penanggulangan bencana. BNPB dan BPBD
perlu melakukan berbagai pendekatan agar
dapat mendompleng pada program yang
sudah ada semisal PNPM Mandiri. Masyarakat
perlu dilibatkan dalam perencanaan dalam
melakukan pencegahan, pengurangan risiko
bencana, kesiapsiagaan, penanganan darurat
hingga rekonstruksi apabila terjadi bencana di
tengah masyarakat.
Namun yang tidak kalah pentingnya dan yang
paling utama adalah Pemerntah perlu membuat
suatu peratutan yang jelas dalam pemberdayaan
masyarakat dalam penanggulangan bencana.
BNPB perlu melakukan revisi Peraturan
Pemerintah No. 21 Tahun 2008 dengan lebih
memperhatikan pemberdayaan masyarakat
sejak sebelum terjadi bencana dengan program
pengurangan risiko bencana, kesiapsiagaan,
dan siaga bencana. Sehingga BNPB dapat
melakukan berbagai program pemberdayaan
masyarakat yang lebih operasional lagi
dengan memperhatikan ancaman yang ada
di masyarakat. BNPB juga perlu melakukan
pendekatan pemberdayaan masyarakat
terkait ancaman yang ada dibandingkan
dengan melalui pendekatan potensial pelaku
pemberdayaan masyarakat. Misalnya: program
pemberdayaan masyarakat daerah aliran sungai
untuk bahaya banjir. Kebijakan dan pendekatan
yang dilakukan tentu akan lebih operasional
bila program yang dilakukan sesuai dengan
ancaman yang ada dibandingkan dengan
pendekatan melalui potensial pelaku seperti
dunia usaha.
Kesimpulan
Aspek penting dalam suatu program
pemberdayaan masyarakat adalah program
dalam penanggulangan bencana yang disusun
dan dilaksanakan sendiri oleh masyarakat.
Pemanfaatan budaya lokal dan program yang
sudah ada di masyarakat menjadi penting
guna membangun kemampuan lokal, sensitif
terhadap ancaman yang ada memperhatikan
dampak lingkungan, dan tidak menciptakan
ketergantungan, berbagai pihak terkait terlibat.
BNPB perlu melakukan berbagai terobosan
dengan pendekatan budaya dan ancaman yang
ada di masyarakat untuk membuat kebijakan
yang diperlukan. Selain itu revisi terhadap PP No.
21 tahun 2008 diperlukan guna memaksimalkan
peran masyarakat dalam penanggulangan
bencana terutama dalam pengurangan risiko
bencana, kesiapsiagaan dan siaga darurat,
tanpa melupakan masa tanggap darurat dan
rehabilitasi dan rekronstruksi.
Berton Suar Panjaitan, SKM, MHM
(Kepala Bagian Kerjasama Internasional BNPB)
NPB bekerja sama dengan Kantor
Pelayanan Pajak (KPP) Pratama
Gambir Empat Jakarta menggelar
sosialisasi Pengisian SPT Tahunan
PPh orang Pribadi tahun 2011, bertempat di
Ruang Rapat Besar lantai V Gedung ITC - Jl.
Abdul Muis nomor 08 Jakarta Pusat, Kamis 8
Maret. Acara tersebut diikuti oleh pegawai BNPB
mulai dari pejabat struktural Eselon I,II, III dan IV
serta pegawai lainnya.

Kegiatan sosialisasi bertujuan untuk mendorong
peningkatan kepatuhan dalam pemenuhan
kewajiban perpajakan dan pemahaman
pengisian SPT Tahunan PPh orang Pribadi bagi
pegawai BNPB. Deputi Bidang Rehabilitasi dan
Rekonstruksi, Bambang Sulistiyanto dalam
sambutan pembukaan mengharapkan agar
seluruh pegawai BNPB untuk mentaati dan
memenuhi kewajiban perpajakan, mengisi
SPT dan melaporkannya ke KPP atau melalui
dropbox. Kepada seluruh pegawai diharapkan
dapat memanfaatkan kesempatan langka
ini dengan sebaik-baiknya untuk mendapat
penjelasan secara lengkap tentang pengisian
SPT Tahunan serta bertanya tentang kewajiban
perpajakan pegawai. Selanjutnya Neilma Idrin
Noor, Kepala KPP Pratama Jakarta Gambir
Empat, berterima kasih dengan jajaran BNPB
bahwa di tengah kesibukan yang begitu
padat dalam penanggulangan bencana dapat
meluangkan waktu mengikuti sosialisasi
pengisian SPT Tahunan bagi pegawai sekaligus
menyampaikan SPT pada kegiatan sosialisasi.
Neilma menambahkan bahwa peranan pajak
dalam penerimaan negara sangat besar dan
terus meningkat setiap tahunnya. Rencana
penerimaan pajak pada tahun 2011 sebesar
70% dari APBN. Oleh karena itu pegawai
negeri yang menerima penghasilan dari APBN
Bagi Pegawai
di Lingkungan BNPB
Sosialisasi
Kewajiban Perpajakan
B
Kepala BNPB didampingi Sekretaris Utama dan Kapusdiklat
mengadakan dialog dengan Duta Besar Australia.
Kapusdatimas menjelaskan peta 3 dimensi pada tamu dari Laos.
Wakil Menteri Vietnam meninjau Pusdalops BNPB. Wakil Kepala Staf AD berkunjung ke kantor BNPB.
BNPB mengadakan MoU dengan Pacifc Disaster Center.
Kunjungan Uni Eropa ke Kantor BNPB.
66 GEMA BNPB - Mei 2012 GEMA BNPB - Mei 2012 67
sudah sewajarnya memberikan teladan bagi
masyarakat secara luas dalam hal kepatuhan
terhadap ketentuan peraturan perundang-
undangan termasuk peraturan perundang-
undangan perpajakan.

Selesai sosialisasi dilanjutkan dengan
penyampaian SPT Tahunan secara simbolis
oleh auditor BNPB kepada petugas pajak
yang diikuti oleh pegawai lainnya. Jumlah SPT
tahunan yang disampaikan sebanyak 50 buah
dan diharapkan bagi pegawai yang belum
dapat mengirimkannya ke dropbox atau ke KPP
terdekat, sebelum batas akhir penyampaian
yaitu pada tanggal 31 Maret.

Kemudian pada kesempatan lain dalam
rangka meningkatkan pemenuhan kewajiban
perpajakan bagi Bendahara Pemerintah
sebagai Pemotong/Pemungut Pajak agar lebih
memahami ketentuan dan tatacara kewajiban
pemotongan/pemungutan, penyetoran dan
pelaporan pajak yang timbul dari berbagai
transaksi pengeluaran yang terjadi di masing
masing unit kerja telah dilakukan sosialisasi
pemotongan dan pemungutan pajak di
Dokumentasi BNPB
lingkungan BNPB yang diikuti oleh Bendahara
Pengeluaran, para BPP, pejabat struktural
eselon III pada unit kerja yang bertindak sebagai
Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan mewakili
PPK, pengelola keuangan dan pegawai lainnya.
Dengan sosialisasi ini diharapkan BP dan
para BPP, pelaksana kegiatan dan pengelola
keuangan dapat melaksanakan seluruh
kewajiban perpajakannya dengan benar
sehingga dapat membantu pemerintah dalam
mengamankan penerimaan negara.

Untuk diketahui bahwa kewajiban bendahara
pemerintah (BP termasuk BPP) sehubungan
dengan Pajak Penghasilan dan Pajak
Pertambahan Nilai antara lain Pemotongan dan/
atau pemungutan PPh Pasal 21/26 ,PPh pasal
22, PPh Pasal 23, PPh Pasal 4 ayat (2) dan PPN.
Dengan demikian setiap bendahara pemerintah
yang mengelola dana yang bersumber dari
APBN/APBD wajib untuk mendaftarkan diri
untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak
(NPWP) yang merupakan identitas sebagai
wajib pajak dalam melaksanakan pemotongan/
pemungutan, penyetoran dan pelaporan PPh
dan atau PPN.
ISSN 2088-6527
Diterbitkan oleh:
BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN BENCANA
Jl. Ir. H. Juanda No. 36 Jakarta Pusat 10120
Telp. 021-3458400 Fax. 021-3458500
www.bnpb.go.id
Email : contact@bnpb.go.id
Facebook : www.facebook.com/infobnpb
Twitter : @BNPB_Indonesia
http://twitter.com/BNPB_Indonesia
Youtube : BNPBIndonesia
http://www.youtube.com/user/BNPBIndonesia
Hampir setiap musim penghujan, bencana banjir melanda Indonesia.
Disamping curah hujan yang tinggi, pasang naik air laut, ulah manusia
turut pula menjadi penyebab terjadinya bencana ini.
Agar dampak bencana banjir bisa dikurangi,
ada beberapa hal yang dapat dilakukan seperti:
penataan daerah aliran sungai sesuai fungsinya,
tidak membangun permukiman di daerah bantaran sungai,
tidak membuang sampah ke sungai, mengadakan program pengerukan sungai,
program penghijauan di hulu sungai, dan lain-lainnya.

Vous aimerez peut-être aussi