Vous êtes sur la page 1sur 16

TUGAS PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

AKHLAQ DAN TASAWUF





DISUSUN OLEH:
1.ASWANTO
2.ELA DANA PITA
3.IMAM SAFIE ALFARIS
4.KURNIA LILA
5.NELIE
6.NURRASTI DEVIANI
7.RENI HARDIYANTI
8. SRI SYAFARIANI

PENDIDIKAN FISIKA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2014

AKHLAQ DAN TASAWUF
1.Pengertian dan Ruang Lingkup Akhlaq
Kata akhlaq berasal dari kata khalaqa dengan akar kata khuluqan (Bahasa
Arab), yang berarti: pengarai, tabiat, dan adat; atau dari kata khalqun (Bahasa
Arab), yang berarti: kejadian, buatan, atau ciptaan. Jadi secara etimologis akhlaq
berarti perangai, adat, tabiat, atau sistem perilaku yang dibuat.
Dengan demikian, secara kebahasaan akhlaq bisa baik dan bisa buruk,
tergantung kepada tata nilai yang dijadikan landasan atau tolak ukur. Di
indonesia, kata akhlaq selalu berkonotasi positif. Orang yang baik seringkali
disebut orang berakhlak, sementara orang yang tidak berbuat baik seringkali
disebut orang yang tidak berakhlak.
Adapun secara istilah, akhlaq adalah sistem nilai yang mengatur pola sikap
dan tindakan manusia di atas bumi. Sistem nilai yang dimaksud adalah ajaran
Islam, dengan Al-Quran dan Sunnah Rasul sebagai sumber nilai serta ijtihad
sebagai metode berpikir Islami. Pola sikap dan tindakan yang dimaksud
mencakup pola-pola hubungan dengan Allah, sesama manusia (termasuk dirinya
sendiri), dan dengan alam.
Dengan demikian, ruang lingkup akhlaq mencakup hal-hal sebagai berikut:
1. Pola hubungan manusia dengan Allah, seperti mentauhidkan Allah dan
menghindari syirik, bertaqwa kepada-Nya, memohon pertolongan kepada-
Nya melalui berdoa. Berdzikir di waktu siang dan malam, baik dalam
dalam keadaan berdiri, duduk, ataupun berbaring, dan bertawakal kepada-
Nya.
Ayat-ayat Al-Quran yang berhubungan dengan pola-pola ini diantaranya:
Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa, Allah adalah Tuhan
yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu, Dia tiada beranak dan tidak
pula diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia."
(QS Al-Ikhlash, 1-4)

Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah
menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan
isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki
dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan
(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan
(peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga
dan mengawasi kamu. (QS An-Nisa, 1)



Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan,
dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) Sesungguhnya
mereka akan kembali kepada Tuhan mereka. (QS Al-Muminun, 60)

Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya aku ingat (pula)
kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari
(nikmat)-Ku. (QS Al-Baqarah, 152)

(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi
tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati
Allah-lah hati menjadi tenteram. (QS Ar-Rad, 28)

Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut
terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar,
tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah
mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan
mereka dalam urusan itu. kemudian apabila kamu telah membulatkan
tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. (QS Ali Imran, 159)

2. Pola hubungan manusia dengan Rasulullah saw, yaitu menegakkan sunnah
Rasul, menziarahi kuburannya di Madinah, dan membacakan shalawat.
3. Pola hubungan manusia dengan dirinya sendiri, seperti menjaga kesucian diri
dari sifat rakus, dan mengumbar nafsu, mengembangkan keberanian (syajaah)
dalam menyampaikan yang hak, menyampaikan kebenaran, dan memberantas
kedzaliman, mengembangkan kebijaksanaan dalam memberantas kebodohan
dan jumud, bersabar tatkala mendapat musibah dan dalam kesulitan, bersyukur
atas nikmat yang diberikan Allah, rendah hati atau tawadhu dan tidak
sombong, menahan diri dari melakukan larangan-larangan Allah atau iffah,
menahan diri dari marah walaupun hati tetap dalam keadaan marah atau
hilmun, memaafkan orang, jujur atau amanah, dan merasa cukup dengan apa-
apa yang telah diperoleh dengan susah payah atau qanaah.
Ayat-ayat Al-Quran yang berhubungan dengan pola ini diantaranya:

Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka
menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu
adalah lebih suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa
yang mereka perbuat". Katakanlah kepada wanita yang beriman:
"Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan
janganlah mereka Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa)
nampak dari padanya........ (QS An-Nuur, 30-31)

Bermegah-megahan telah melalaikan kamu. sampai kamu masuk ke
dalam kubur, janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat
perbuatanmu itu), dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui,
janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin,
niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahiim, dan Sesungguhnya
kamu benar-benar akan melihatnya dengan 'ainul yaqin, kemudian kamu pasti
akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan
di dunia itu). (QS At-Takaatsur,1-8)

Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-
orang yang khusyu' dalam sembahyangnya, dan orang-orang yang
menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, dan
orang-orang yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang menjaga
kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka
miliki[994]; Maka Sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa,
Barangsiapa mencari yang di balik itu[995] Maka mereka Itulah orang-orang
yang melampaui batas, dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat
(yang dipikulnya) dan janjinya, dan orang-orang yang memelihara
sembahyangnya, mereka Itulah orang-orang yang akan mewarisi, (yakni) yang
akan mewarisi syurga Firdaus. mereka kekal di dalamnya. (QS Al-Muminun,
1-11)

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu
membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu,
dan Barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, Maka
Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. yang demikian itu adalah
mudah bagi Allah. (QS An-Nisa, 29-30)

Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu:
"Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan
memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu",
Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman
di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.
dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS Al-Mujadalah, 11)


Dan Sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman, Yaitu:
"Bersyukurlah kepada Allah. dan Barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah),
Maka Sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan Barangsiapa
yang tidak bersyukur, Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha
Terpuji". .............................Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah
(manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang
mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya
yang demikian itu Termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). dan
janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan
janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. dan
sederhanalah kamu dalam berjalandan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya
seburuk-buruk suara ialah suara keledai. (QS Luqman, 12, 17-19).

4. Pola hubungan dengan keluarga, seperti: berbakti pada orang tua, atau birrul
walidain, baik dalam tutur kata, pemberian nafkah, ataupun doa, memberi
bantuan material maupun moral kepada karib kerabat atau aati dzal qurba,
(suami) memberikan nafkah kepada istri, anak, dan anggota keluarga lain,
(suami) mendidik istri dan anak agar terhindar dari api neraka, dan (istri)
mentaati suami.
Ayat ayat Al-Quran yang berhubungan dengan pola ini di antaranya:
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari
api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu;... (QS At-
Tahrim, 6)

Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai
wanita dengan jalan paksa[278] dan janganlah kamu menyusahkan
mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah
kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji
yang nyata[279]. dan bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian
bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin
kamu tidak menyukai sesuatu, Padahal Allah menjadikan padanya
kebaikan yang banyak. (QS An-Nisa, 19).

5. Pola hubungan dengan masyarakat. Dalam konteks kepemimpinan, pola-pola
hubungan yang perlu dikembangkan adalah: menegakkan keadilan, berbuat
ihsan, menjunjung tinggi musyawarah, memandang kesederajatan manusia, dan
membela orang-orang lemah (seperti orang miskin, orang yang tersiksa, dan
orang yang tidak berpendidikan), mentaati pemimpin, dan berperan serta dalam
kegiatan kepemimpinan.
Sementara sebagai anggota masyarakat perlu menjunjung tinggi ukhuwah
dalam seiman dan ukhuwah kemanusiaan, saling tolong-menolong, pemurah,
dan penyantun, menepati janji, saling wasiat dalam kebenaran dan ketakwaan.

2. Akhlaq, Moral, dan Etika

Dalam sistem moralitas, baik dan buruk dijabarkan secara kronologis mulai
yang paling abstrak hingga yang lebih operasional. Nilai merupakan perangkat
moralitas yang paling abstrak. Nilai adalah suatu perangkat keyakinan ataupun
perasaan yang diyakini sebagai suatu identitas yang memberikan corak khusus
kepada pola pemikiran, perasaan, keterikatan, dan perilaku. Contoh nilai adalah
Ketuhanan, kemanusiaan, dan keadilan. Moral merupakan penjabaran dari nilai,
tapi tidak seoperasional etika. Misalnya saja ke-36 butir P-4 disebut sebagai Moral
Pancasila karena merupakan penjabaran dari nilai Pancasila. Adapun etika
merupakan penjabaran dari moral dalam bentuk formula, peraturan, atau
ketentuan pelaksanaan. Misalnya saja etika belajar, etika mengajar, dan etika
doktor.
Dilihat dari sumber, baik nilai maupun moral dapat diambil dari wahyu ilahi
taupun dari budaya. Sementara etika lebih merupakan kesepakatan masyarakat
pada suatu waktu dan ditempat tertentu. Bila suatu masyarakat bercorak religius,
maka etika yangdikembangkan pada masyarakat demikian tentu akan bercorak
religius juga. Akan tetapi bila suatu masyarakat bercorak sekuler, maka etika yang
dikembangkannya tentu saja merupakan konkritisasi dari jiwa sekuler.
Dengan demikian, moral dan etika dapat saja sama dengan akhlaq manakala
sumber ataupun produk budaya sesuai dengan prinsip-prinsip akhlak. Akan tetapi
moral dan etika bisa juga bertentangan dengan akhlak manakala produk budaya
itu menyimpang dari fitnah agama yang suci, Islam.

2.1 Kriteria Moral
Apakah prinsip-prinsip moral memiliki kriteria mendasar dan pasti? Atau
apakah prinsip-prinsip itu hanya sebagai tirai untuk melindungi tujuan pribadi dan
kelas sekelompok orang atau individu tertentu?
Apakah kelompok-kelompok yang kaya dan berkuasa denga tujuan untuk
memeras rakyat, mengangkat masalah-masalah seperti kesabaran, kepuasan hati
rakyat, menghormati hak orang lain, toleransi dan sebagainya. Sehingga mereka
memanfaatkan rakyat kelas bawah untuk tujuan mereka sendiri, memaksanya
untuk tunduk total, dan menumpal mulut mereka atas nama kepatuhan terhadap
prinsip-prinsip moral?
Apakah rakyat yang tertindas menciptakan konsepsi-konsepsi moral seperti
cinta, murah hati, adil, sederhana, dan lain-lain hanya untuk mencari kesenangan
dari pihak penguasa? Atau apakah prinsip-prinsip moral telah memiliki landasan
dan infra struktural yang kuat ?
Tidak diragukan lagi bahwa sebagian ajaran moral telah dan masih terus
disalahgunakan dalam berbagai bentuk dan cara. Mereka yang telah dirasuki
ketamakan, terutama apabila mempunyai kekuatan kekuatan dan pengaruh, tidak
akan ragu-ragu memakai segala cara untuk mencapai tujuannya. Penelitiaan
ilmiah, terlepas dari kebenaran landasanny, terkadang dipergunakan untuk
melakukan penindasan, tirani, menyiksa kelas buruh. Demikian pula dengan
penyalahgunaan konsep-konsep moral. Seringkali kemerdekaan ditindas atas
nama kemerdekaan, dan ketidakadilan diterapkan atas nama keadilan dan
persamaan. Setiap hal yang baik dan bermanfaat bisa disalahgunakan. Meskipun
demikian, bagaimanapun nama keadilan itu disalahgunakan tidak akan sama
halnya dengan ketidakadilan itu sendiri. Keduanya tetap berbeda. Demikian juga,
bagaimanapun nama kemerdekaan disalahterapkan, tetapi kemerdekaan sejati
tidak akan sama dengan perbudakan.
Jadi tidak diragukan bahwa ajaran Islam telah diekploitasi untuk tujuan
pribadi dan kelompok tertentu. Tetapi tidak berarti bahwa ajaran-ajaran tersebut
palsu atau rancu. Sebaliknya, keadaan tersebut menuntut kewaspadaan sebagian
masyarakat agar ajaran tersebut tidak rusak, dan nilai-nilainya tidak
disalahgunakan.
Sesungguhnya nilai-nilai moral telah berakar dalam sifat manusia itu
sendiri. Meskipun ada kecendrungan hewaniyahnya, manusia karena sifatnya
ingin memiliki kualitas-kualitas tertentu untuk memelihara martabat
kemanusiaannya. Seluruh eksponen prinsip-prinsip moral seperti yang sudah
dirancangkan oleh para Rasul dan ahli-ahli filsafat, semuanya hanya untuk
menyelematkan seluruh manusia bukan untuk keuntungan kelompok tertentu dan
rusaknya kelompok lainnya.
Mereka berpendapat bahwa prinsip-prinsip moral hanya bersifat
konvensional sambil menunjuk pada banyaknya perbedaan pendapat yang
berkaitan dengan itu, akan bertanya jika memang prinsip-prinsip moral itu telah
memiliki landasan yang tegar mengapa harus terjadi berbagai perbedaan
pandangan tentang itu.
Dalam kaitan ini perbedaan pendapat tidak berarti membuktikan bahwa
prinsip moral tidak memiliki landasan yang kukuh. Kita bisa melihat bahwa
perbedaan pendapat selalu ada dalam sebagian besar masalah. Perbedaan
pandangan sudah merupakan sifat kehidupan dan eksistensi manusia. Dan dalam
kasus-kasus diatas, perbedaan pendapat sudah berlangsung selama berabad-abad.
Tetapi tidak berarti bahwa dalam kasus-kasus tersebut tidak terdapat
infrastruktural yang benar.




Dalam fenomena fisik dan medis sendiri yang notabenenya bila dipersepsikan,
diamati dan dieksprimenkan, selalu ada perbedaan pandangan yang melebar
selama bertahun-tahun, maskipun masalah fenomena fisik dan medis sudah diatur
oleh prinsip yang pasti daan tidak dapat diubah.
Lebih jauh lagi, perbedaan antara moral dan aturan pelaksanaannya jangan
diabaikan. Moral berkaitan dengan dengan disiplin dan kemajuan kualitas
perasaan, emosi dan kecendrungan manusia;sedangkan aturan pelaksanaannya
merupakan aturan praktis tingkah laku yang tunduk pada sejumlah pertimbangan
dan konvensi lainnya, meskipun kadang-kadang sesuai dengan kriteria moral.
Sebagai contoh, harga diri (self-resfect), ketekunan, keberanian, kesalehan, dan
sejenisnya merupakan kualitas-kualitas moral. Sejak ribuan tahun yang lalu
sampai sekarang sifat tersebut tetap merupakan kualitas manusia manusia yang
baik. Sebaliknya, aturan konvensional tentang bagaimana makan dan berpakaian
sebagian bersifat lokal dan relatif, dan tidak berkaitan dengan sistem spiritual dan
moral.
Jadi, dengan demikian, berbagai kesalahan panggilan atas ajaran-ajaran
moral dan berbagai pendapat yang berkaitan dengan itu tidak harus dikembangkan
sebagai argumen untuk membuktikan bahwa prinsip moral tidak memiliki
landasan yang kukuh. Demikian juga halnya dengan perbedaan tradisi dan aturan
yang ada pada berbagai kelompok manusia.
Meskipun prinsip-prinsip moral sifatnya universal dan stabil, tetapi selalu
ada fleksibilitas dalam aplikasinya. Sebagai contoh, keterusterangan dalam prinsip
moral Islam yang tidak bisa dipertengkarkan lagi. Tetapi jika pada kasus tertentu
keterusterangan ini bisa membahayakan kehidupan, hak milik, dan posisi
seseorang, maka prinsip itu bisa diabaikan. Meskipun ada kasus-kasus
kekecualian dimana seseorang menghadapi dilema moral, tidak akan
menghilangkan nilai prinsip tersebut. Secara menyeluruh, berterusterang adalah
kualitas moral dan spiritual yang mulia. Umumnya seseorang tidak harus
menyimpang dari aturan untuk berterus terang jika tidak ada prinsip moral lain
yang berlaku dalam suatu kelompok. Kita semua mengetahui bahwa shalat adalah
wajib bagi kita semua. Tetapi bentuknya masih bisa dikurangi atau
disederhanakan, misalnya dalam kasus ketika sedang melakukan perjalanan.
Demikian juga dengan ibadah puasa. Ada situasi tertentu yang memberikan
kelonggaran untuk tidak berpuasa.
Jika dalam kasus-kasus seperti ini diartikan bahwa ada relatifitas dalam
prinsip moral, maka bisa dikatakan bahwa ajaran moral Islam juga bersifat
realatif. Tetapi, tetap tidak berarti bahwa prinsip-prinsip moral tidak memiliki
landasan yang kukuh atau hanya bersifat konvensional belaka. Nilai-nilai moral
diartikan sebagai berfikir, berkata dan bertindak baik. Apakah definisi tersebut
cukup memadai ?



Dari suatu pandangan ajaran tertentu, banyak tindakan yang dianggap
bermoral dan sesuai dengan apa yang diinginkan. Tetapi menurut ajaran lain
justru tidak bermoral dan dibenci. Sebagai contoh ada ajaran moral yang
menganjurkan orang untuk tunduk pada kekuatan orang lain, dan menganggapnya
sebagai tugas moral.
Jadi, jika ada orang yang menampar pipi kananmu, berikan pipi kirimu
untuk digilir. Tetapi ada ajaran lain yang mengatakan sebaliknya. Jika ada orang
yang menyakitimu, periksa dulu kesalahanmu dan balaslah jik perlu. Kedua
tindakan tersebut masing-masing ajaran dianggap baik. Karena itu, jika tindakan
moral diartikan sebagai tindakan yang baik, maka definisi tersebut dengan
sendirinya tidak akan jelas.
Terkadang ada yang menyatakan bahwa kesempurnaan manusia tergantung
pada kualitas moral. Tetapi tetap akan timbul pertanyaan, bagaimana manusia
yang sempurna itu ?
Bisakah manusia yang telah mendapatkan kekayaan dan kesenangan materi
tersebut sempurna? Apakah disebut sempurna jika ia telah mendapatkan kekuatan
fisik, pengetahuan, posisi sosial, atau dengan menjamin kesenangan pribadi, atau
melakukan pengabdian sosial? Apakah dengan telah mendapatkan semua hal
tersebut ia bisa disebut telah sempurna? Atau apakah kesempurnaan mengandung
pengertian lain? Karena itulah hal terpenting yang ditelaah oleh berbagai etika
adalah menentukan kriteria dan infra-struktural moral yang benar.

2.2 Bagaimana Kriteria moral yang benar itu ?
Menurut pandangan Islam kriteria moral yang benar adalah yang (1) Memandang
martabat manusia, dan (2) mendekatkan manusia dengan Allah.

Martabat Manusia

Rasulullah Saw. telah mengatakan bahwa ia diutus untuk menyempurnakan
martabat manusia, dan derajat manusia.
Orang yang menceritakan tradisi tersebut bertanya kepada Sayidina Alik.w.
tentang sifat-sifat tersebut. Sayidina Ali menjawab alim, bersuka hati, toleran,
tahu berterima kasih, sabar, murah hati, berani, mempunyai rasa harga diri,
bermoral, berterus terang, dan jujur.
Memiliki rasa harga diri (self-resfect) artinya kapan saja dia bekerja untuk
kepentingannya dan untuk memenuhi kebutuhannya, dia harus memperhitungkan
segala sesuatu yang sekiranya bisa memalukan dan merendahkan posisinya,
seperti tidak konsisten dengan martabatnya sebagai manusia; dan
mempertimbangkan segala tindakan yang akan bisa mengembangkan kematangan
spiritualnya dan mengangkat posisinya agar bisa dibanggakan.

Sebagai contoh, setiap orang sadar bahwa sifat cemburu dan iri hati hanya
akan menghina dan memalukan dirinya sendiri. Orang yang mempunyai sifat iri
hati tidak tahan terhadap kemajuan dan prospek orang lain. Dia tidak senang
dengan prestasi-prestasi mereka. Reaksi satu-satunya adalah bagaimana caranya
bisa menimbulkan bencana bagi orang lain dan mengganggu rencana-rencana
mereka.
Dia tidak akan merasa puas jika orang lain tidak kehilangan nasib baiknya,
dan tidak seperti dia. Setiap orang sadar akan memiliki sifat seperti itu hanya
merupakan cerminan kepicikan belaka. Seseorang yang tidak menghargai
keberhasilan orang lain adalah manusia yang tak berharga dan tak berkepribadian.
Sama halnya dengan sifat iri hati. Orang iri hati adalah orang begitu
terpesona dengan kekayaannya sehingga dia enggan untuk menyisihkan atau
membelanjakannya, bahkan bukan untuk kepentingan sendiri dan keluarganya.
Dia tidak mau mendermakan kekayaan yang dimilikinya. Nampaknya orang
semacam itu menjadi tawanan dari kekayaannya sendiri. Dia merendahkan
martabatnya di depan matanya sendiri.
Dengan demikian kita mengetahui bahwa rasa harga diri adalah perasaan
sejati manusia. Kita merasa senang jika kita memberi amal, bertindak toleran,
sederhana dan bekerja tekun, dan sebagainya. Sedangkan sifat munafik, menjilat,
cemburu dan sombong akan menghina diri sendiri bila kita melakukannya.
Semuanya merupakan perasaan batin kita sendiri, tanpa terikat pada ajaran atau
kebiasaan dan tradisi yang ada pada masyarakat tertentu. Islam mengutuk keras
sifat-sifat jelek seperti itu, dan melarang keras mengembangkannya.
Beberapa sifat tertentu seperti toleran dan pengorbanan diri adalah masalah
penghargaan diri dan tanda keterbukaan hati dan kebesaran jiwa. Orang yang
selalu siap berkorban dan melatih kendali dirinya, dan ditandai dengan
kepribadian yang baik seperti itu sehingga dia menjalani kepentingannya demi
untuk kebaikan orang lain dan untuk mempertahankan tujuan yang diharapkan.
Merendahkan diri dalam pengertian menghormati orang lain dan mengakui
prestasi mereka dan bukan dalam pengertian memalukan diri sendiri untuk tunduk
pada kekuatan, juga merupakan sifat yang mulia dan sesuai dengan martabat
manusia. Kualitas seperti ini dipunyai oleh mereka yang selalu bisa
mengendalikan diri dan tidak egois (self-centered), dan dengan realistis mengakui
hal-hal baik dalam diri orang lain dan menghormatinya.
Sifat-sifat mulia tersebut yang membentuk landasan karakter yang mulia,
adalah bagian dari nilai-nilai moral islam yang tinggi. Kita mempunyai contoh-
contoh yang tak terhitung mengenai sifat-sifat seperti itu, dan semua masalah
etika mungkin diperhitungkan berkaitan dengan martabat manusia. Karena itu
Nabi Besar Umat Islam dalam menyimpulkan pesan etikanya, menggambarkan
sifat-sifat itu sebagai karakter manusia yang sempurna dan mulia.


Mendekatkan Manusia dengan Allah

Hanya sifat-sifat mulia yang telah disebutkan diatas yang akan mendekatkan
manusia dengan Allah. Dengan demikian manusia manusia harus memiliki dan
mengembangkan sifat-sifat tersebut apabila kita akan membahas sifat-sifat Allah,
dan sebaliknya. Dia Maha Mengetahui, Maha Kuasa, dan Maha Kompeten.
Semua tindakan-Nya telah diperhitungkan baik-baik. Dia Maha Adil, Maha
Pengasih, dan Penyayang. Semua merasakan karunia-Nya. Dia menyukai
kebenaran dan membenci keburukan. Dan selanjutnya dan seterusnya. Manusia
dekat dengan Allah sesuai dengan kualitas-kualitas yang dia miliki. Jika sifat-sifat
tersebut mendarah daging dalam dirinya dan menjadi pelengkapnya, bisa
dikatakan bahwa dia telah mendapatkan nilai-nilai moral Islam. Rasulullah Saw.
bersabda: Binalah diri sendiri sesuai dengan sifat-sifat Allah.
Manusia Islam, terlepas dari keuntungan dan kerugian yang didapatkan dari
tindakan dan kebiasaannya, selalu mampu untuk mengetahui apakah tindakan atau
sifat tertentu akan menjaga martabat kemanusiaannya, dan apakah akan
membantunya dalam perjalanan mendekatkan diri kepada Allah. Dia menganggap
bahwa yang diinginkan adalah segala tindakan yang akan mengangkat martabat
manusia mendekatkan dirinya dengan Allah. Demikian pula dia akan enggan dan
menghindarkan diri dari segala tindakan yang akan merusak martabat manusia
dan memperlemah hubungan dengan Allah. Dia menyadari bahwa perhatiannya
terhadap kedua kriteria tersebut secara otomatis akan membangkitkan gairah dan
berantusias untuk berkarya dengan sadar untuk kepentingannya dan kepentingan
kemanusiaan secara luas.

3. Tasawuf

3.1 Asal Usul Tasawuf

Sekurang-kurangnya ada dua situasi yang sering disebut-sebut sebagai
faktor pendorong sekelompok umat Islam memasuki dunia tasawuf, yaitu gaya
hidup mewah di kalangan para pemangku jabatan pasca Nabi dan Khulafaur
Rasyidin di satu pihak dan sebagai reaksi atas faham Khawarij dan pertentangan-
pertentangan politik yang ditimbulkannya dari pihak lain.
Fazlur Rahman (1984) mengungkapkan apa yang secara umum ditanamkan
oleh Islam kepada para pengikut awal, dalam tingkatan yang berbeda-beda, adalah
menanamkan perasaan bertanggung jawab di hadapan pengadilan Allah. Nabi
Saw. mengangkat perilaku mereka dari alam duniawi dan kepatuhan yang
mekanisme terhadap hukum kepada alam kegiatan moral. Kunci dari kesalehan ini
adalah takut kepada Allah. Diantara para sahabat ada yang sangat menonjol
tanggungjawab cita moralnya.
Ini dicontohkan oleh orang-orang seperti Abu Dzar Al-Ghiffari, yang merupakan
inti kesalehan Madinah Pasca Nabi Saw. Kesalehan ini menjadi menjadi fondasi
tasawuf yang berkembang dengan cepat selama akhir abad ke-7 dan 8 Masehi atau
1 dan 2 Hijriyah.
Fazlur Rahman mengungkapkan lebih lanjut, bahwa kesalehan asketis ini
atau hidup sebagai sufi selanjutnya memperoleh dorongan yang kuat dari dua
arah: Pertama, lingkungan yang mewah dan kenikmatan duniawi yang pada
umumnya merata di kalangan masyarakat Islam pasca Nabi dan Khulafaur
Rasyidin, yaitu bersamaan dengan kemantapan dan konsolidasi kerajaan baru
Daulat Umaiyah yang luas. Sikap hidup sekuler dan sama sekali tidak saleh dari
para penguasa baru di istana merupakan faktor khusus munculnya gerakan
sufisme. Akan tetapi pada tahap ini protes dari kelompok inti masyarakat yang
saleh, yang kelak dikenal sebagai sufi, masih dalam satu corak. Baik ulama
ataupun kelompok sufi adalah orang-orang sama dan identik, dengan variasi
tingkatan dan penekanan pada kesalehan pribadi. Protes ini terutama mendesak
agar para penguasa menerima, mentaati, dan memberlakukan syariah, bukannya
malah menjadikan kehendak dan rancangan mereka sendiri sebagai hukum
negara. Kaum sufi awal berharap, bahwa bila protes mereka diterima maka ruh
Islam yang asli akan hidup dengan sebenar-benarnya. Kedua, sikap dan tindakan
kaum Khawarij yang secara terang-terangan menyerang siapa saja penguasa
politik yang tidak sepaham dengan mereka. Akibat tindakan mereka bukan hanya
para penguasa yang tidak saleh saja yang mereka serang dan bunuh, malah banyak
umat Islam yang saleh yang menjadi sasaran penyerangan dan pembunuhan.
Contoh yang paling baik adalah syahidnya Sayidina Ali k.w. saat mengimami
shalat Shubuh di kota Kufah oleh sebilah pedang kaum Khawarij. Sebagai reaksi
atas kaum Khawarij ini bermunculanlah khutbah-khutbah dan pengajaran yang
mengajak orang untuk berlepas tangan bukan hanya dari masalah politik, bahkan
juga dari administrasi pemerintahan dan masalah-masalah umum kemasyarakatan.
Lebih jauhnya lagi banyak hadist yang menganjurkan orang untuk menyepi ke
dalam gua dan meninggalkan masyarakat luas.
Hampir senada dengan Fazlur Rahman, Harun Nasution (1973)
mengungkapkan, bahwa aliran Zuhd (tasawuf) merupakan orang-orang yang tidak
mau turut dalam hidup kemewahan dan ingin mempertahankan hidup
kesederhanaan di zaman Rasul dan Sahabat-sahabatnya yang menjauhkan diri dari
dunia kemewahan itu. Aliran Zuhd ini mulai nyata kelihatan di Kufah dan Basrah
(Irak). Para Zahid Kufahlah yang pertama kali memakai wol kasar, sebagai reaksi
terhadap pakaian sutra yang dipakai golongan Bani Umaiyah. Di Basrah, sebagai
kota yang tenggelam dalam kemewahan, aliran Zuhd mengambil corak yang lebih
ekstrim sehingga meningkat menjadi ajaran mistik. Dari kedua kota inilah aliran
Zuhd menyebar ke kota-kota lain.


3.2 Tasawuf dalam Al-Quran

Zuhd, Marifah, dan Mahabbah sebagai Maqam Utama

Maqam adalah tingkatan-tingkatan yang harus dilalui oleh calon sufi. Zuhd
merupakan maqam utama dalam dunia tasawuf. Demikian pula marifah dan
mahabbah, kadang-kadang disebut hal, merupakan maqam yang setarap dengan
Zuhd. Marifah adakalanya disebut sebagai kembar dengan mahabbah, adakalanya
sebagai maqam yang terlebih dahulu, dan adakalanya juga sebagai maqam yang
lebih belakangan ketimbang mahabbah.
Zuhd adalah keadaan meninggalkan dunia dan kehidupan material. Sebelum
menjadi sufi seorang calon terlebih dahulu harus menjadi zahid (asketis). Dengan
demikin, setiap sufi adalah zahid tetapi tidak setiap zahid adalah sufi.

3.3 Maqam-maqam ( Tangga-Tangga) Menuju Allah

Maqam-maqam atau tangga-tangga lain adalah: taubat, wara, faqir, sabar,
tawakal, dan ridha.
Taubat yang dimaksud oleh tasawuf adalah sebenar-benarnya taubat, yaitu
taubat yang tidak akan membawa kepada dosa lagi. Seorang calon sufi yang
berada di maqam ini menyesali segala perbuatan dosa yang pernah dilakukannya,
kemudian bertaubat dan berjanji tidak akan mengulang kembali perbuatan
dosanya.
Wara adalah menjauhi segala perbuatan yang dilarang oleh syara,
termasuk juga menjauhi segala hal termasuk subhat (meragukan halal-haramnya).
Faqir adalah keadaan tidak meminta lebih daripada apa-apa yang telah ada
pada dirinya. Tidak meminta rizki kecuali hanya untuk dapat menjalankan
perintah-perintah Allah. Malah tidak meminta sungguh pun tidak ada pada
dirinya. Akan tetapi bila diberi diterimanya. Tidak meminta dan tidak juga
menolak pemberian.
Sabar yang dimaksud dalam taswuf adalah sabar dalam menjalankan segala
perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya, juga sabar dalam menerima
segala cobaan yang menimpa dirinya.
Tawakal adalah kepada qadha dan keputusan Allah, berawal karena Allah,
bersyukur atas pemberian dari Allah, bersabar jika tidak mendapat apa-apa, dan
menyerah kepada qadha dan qadar Allah. Seseorang yang bertawakal tidak
memikirkan hari rizki untuk hari esok, ia mencukupkan diri dengan apa yang ada
untuk hari ini. Tidak mau makan bila ada orang lain yang lebih berhajat kepada
makanannya.


Ridha adalah keadaan real dalam berbagai situasi: baik ataupun buruk, dan
menyenangkan ataupun menyusahkan. Semuanya diterima dengan penuh
kerelaan. Malah orang yang sudah mencapai maqam ridha tidak meminta surga
dari Allah dan juga tidak meminta supaya dijauhkan dari api neraka.

3.4 Thareqat

Thareqat berarti jalan atau meroda, sedangkan menurut istilah tashawuf
berarti jalan atau petunjuk atau perbuatan dalam melaksanakan suatu ibadat sesuai
dengan ajaran yang dicontohkan oleh Rasul saw, sahabat, para tabiin, turun
temurun sampai pada guru-guru, ulama-ulama yang bersambung dan berantai
sampai kini.
Di kalangan umat Islam banyak sekali jenis, macam atau aliran thareqat
yang masing-masing memiliki sejarah dan cara sendiri-sendiri. Tiap-tiap aliran
thareqat memiliki riwayat atau mata rantai ajaran yang dibawa oleh guru pertama.
Kejelasan mata rantai (sanad) guru-guru thareqat sangat menentukan keabsahan
dari suatu thareqat. Thareqat yang sah dari segi riwayatnya ini disebut thareqat
mutabarah.
Thareqat menurut para ahli tashawuf bertujuan untuk mencari keridlaan
Allah Swt. Melalui latihan jiwa (riyadlah) dan berjuang melawan hawa nafsu
(mujahadah) dan membersihkan diri dari sifat yang tercela.
Dalam ajaran thareqat peranan guru sangat besar dan dominan, karena tidak
dibolehkan mengamalkan thareqat tanpa bimbingan guru.
Guru yang dalam lingkup tashawuf dan thareqat disebut mursyid berperan
dalam menentukan seorang murid untuk benar dan tidaknya dia mengamalkan
thareqatnya. Pentingnya bimbingan dan tuntutan guru, sehingga seorang yang
hendak mengamalkan thareqat diwajibkan terlebih dahulu untuk baiit dan talqin.
Baiat adalah perjanjian bahwa ia akan menaati pemimpin (guru) mengamalkan
dan mengikuti perintahnya. Sedangkan talqin adalah tuntunan guru menjalankan
thareqatnya dengan bacaan-bacaan dan dzikir-dzikir tertentu sesuai dengan ajaran
thareqat yang diikutinya.
Pentingnya guru dalam pengamalan thareqat disamping segi tanggung
jawab keabsahan thareqat yang dijalaninya, juga karena thareqat lebih banyak
olah batin, sehingga para murid biasanya mendapatkan pengalaman-pengalaman
ruhaniah yang memerlukan interpretasi dan bimbingan gurunya, sehingga tidak
terjadi penyimpangan. Fenomena ini oleh pengamat agama, terutama kaum
orientalis Barat sering dilihat sebagai mistik, sehingga mereka menyebut thareqat
atau tashawuf pada umumnya sebagai mistisisme dalam Islam.
Para pengikut (murid-murid) thareqat biasanya memperbanyak bacaan
dzikir dengan cara-cara yang telah diatur secara khas oleh guru-guru mursyid
masing-masing thareqat, seperti dzikir dengan suara yang keras (dzikir jahri) dan
suara yang lembut (dzikir khofi)
Sebagai suatu metode atau proses pembinaan kualitas diri, terutama dalam
mengendalikan hawa nafsu, thareqat banyak sekali ragamnya. Di Indonesia
sendiri tercatat sebanyak 14 jenis thareqat yang dinilai mutabarah. Ini pun
thareqat yang resmi dan bersifat terbuka.
Perbedaan dari berbagai thareqat itu di samping membedakan nama para
perintisnya, juga praktek-praktek yang mereka lakukan juga memilki perbedaan,
sehingga hampir setiap aliran thareqat memiliki ciri khasnya masing-masing, baik
dalam bacaan maupun gerakan, tetapi semuanya ditujukan bagi tercapainya
keridlaan Allah.
Tanggapan terhadap para pengamal thareqat dari orang-orang yang tidak
mengamalkannya pada umumnya adalah cara-cara yang khas yang mereka
lakukan dalam berzkir, bersalawat maupun dalam dalam pergaulan pada
umumnya. Baik berupa gerakan-gerakan anggota badan dan sebagainya. Kendati
pun demikian selama thareqat diberi arti sebagai suatu metode yang dilakukan
dalam rangka pelaksanaan syariat Islam, menuju keridlaan Allah dan perwujudan
pribadi muslim yang berakhlak mulia, maka thareqat tidak dapat disebut sebagai
suatu penyimpangan.
Thareqat-thareqat yang dinyatakan menyimpang umumnya terjadi, karena
adanya, bahwa guru tidak pernah salah, bersih, suci. Menyalahkan atau
mengkafirkan pihak lain diluar jamaahnya, serta melakukan praktek-praktek yang
secara halus menyimpang dari syariat, oleh karena itu bagi umat yang hendak
mendalami thareqat seyogyanya dimulai dari penguatan dan pengokohan Aqidah,
pendalaman dan pelaksanaan syariat secara konsekuen dan konsisten. Karena
sering ditemukan penyimpangan dalam thareqat sebagai akibat lemahnya
pemahaman tentang aqidah dan syariat.
Sebagai metode, thareqat tidak mungkin sesuai untuk semu orang. Ia hanya
akan sesuai dengan sebagian orang, karena itu tidak layak orang yang berthareqat
dengan sesuatu ajaran mengkafirkan pihak lain atau menyalahkan pihak lainnya.

Vous aimerez peut-être aussi