PEMETAAN KERENTANAN AIRTANAH DI KECAMATAN GAMPING, KABUPATEN SLEMAN, PROPINSI DAERAH
ISTIMEWA YOGYAKARTA 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Daerah penelitian terletak pada Cekungan Air Tanah Yogyakarta (MacDonald & Partners, 1984). Secara geografis Cekungan Airtanah Yogyakarta- Sleman dibatasi Sungai Progo di sebelah timur, Sungai Opak di sebelah barat, Gunung Merapi disebelah utara dan Samudera Hindia di sebelah selatan. Cekungan Airtanah Yogyakarta-Sleman berada di sisi selatan Gunung Merapi dan menerus hingga ke pantai selatan. Bukit-bukit yang mengelilingi Cekungan Airtanah Yogyakarta-Sleman tersusun atas batuan sedimen baik batugamping maupun batuan vulkanik yang sangat tebal menjadi basement akuifer utama pada Cekungan Airtanah Yogyakarta-Sleman (Putra, 2007). Secara fisiografi daerah penelitian termasuk ke dalam Zona Depresi Tengah dan Zona Pegunungan Kulon Progo (Van Bemmelen,1949) dan secara geologi termasuk ke dalam Cekungan Yogyakarta yang diwakili oleh Formasi Yogyakarta (Putra,2007) dan Cekungan Kulon Progo yang diwakili oleh Formasi Sentolo (Akmaluddin dan Sasongko, 2012). Pembahasan mengenai geologi regional, geomorfologi regional, struktur geologi regional dan hidrogeologi regional dapat dilihat pada pembahasan sub bab berikut ini.
II.1. Geomorfologi Regional Secara fisiografis Daerah penelitian termasuk ke dalam Zona Depresi Tengah dan Zona Pegunungan Kulon Progo (Van Bemmelen, 1949). Berdasarkan Hendrayama (1993) maka daerah penelitian terdiri dari 3 satuan geomorfologi. Peta geomorfologi regional daerah penelitian dapat dilihat pada Gambar II.1. Penjelasan mengenai satuan - satuan geomorfologi yang terdapat di daerah penelitian dapat dilihat pada pembahasan dibawah ini :
Satuan Perbukitan Struktural Denudasional Satuan ini terletak pada ketinggian antara 50 150 m di atas permukaan laut dengan sudut elevasi sekitar 17-30%. Satuan ini terletak pada daerah Kecamatan
Bab II Tinjauan Pustaka
PEMETAAN KERENTANAN AIRTANAH DI KECAMATAN GAMPING, KABUPATEN SLEMAN, PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA 9
Gambar II.1. Peta geomorfologi regional daerah penelitian (Hendrayana, 1993 dengan modifikasi).
Bab II Tinjauan Pustaka
PEMETAAN KERENTANAN AIRTANAH DI KECAMATAN GAMPING, KABUPATEN SLEMAN, PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA 10
Gamping, Pengasih, Seyegan, Minggir dan Sentolo. Satuan ini dibagi menjadi dua bagian oleh Sungai Progo yang memotong satuan ini. Litologi di satuan ini terdiri dari Formasi Nanggulan, Formasi Kebobutak dan Formasi Sentolo (Pembahasan tentang ketiga Formasi ini dapat dilihat pada sub bab II.2.). Pola penyaluran pada satuan ini berupa sub trellis. Satuan ini dikontrol oleh struktur berupa perlapisan batuan dari 3 ketiga Formasi diatas. Satuan ini telah mengalami proses denudasional yaitu proses penelanjangan permukaaan bumi sehingga batuan yang dulunya berada dibawah permukaan tanah tersingkap ke permukaan karena lapisan penutup (material hasil lapukan batuan) telah terbawa agen erosi seperti air dan angin.
Satuan Dataran Fluvio-vulkanik Satuan ini terletak dibawah Satuan Kaki Gunung Merapi. Satuan Dataran Fluvio-vulkanik memiliki kelerengan <10%. Satuan ini dipengaruhi proses deposisi material vulkanik hasil erupsi Gunung Merapi oleh sungai di bagian hilir lereng Gunung Merapi Selatan. Satuan ini memanjang dari utara ke selatan melalui Kabupaten Sleman bagian selatan, Kodya Yogyakarta hingga Kabupaten Bantul. Tata guna lahan pada satuan ini berupa kawasan perkotaan, pemukiman dan perindustrian serta pertanian. Pola penyaluran pada satuan ini adalah dendritik. Litologi pada satuan ini berupa endapan gunungapi merapi muda (Rahardjo, et al., 1995). Fluvio vulkanik adalah suatu proses fluviatil yang terjadi pada suatu daerah yang memiliki litologi material piroklastik hasil erupsi gunung berapi. Proses fluviatil adalah semua proses yang terjadi di alam baik fisika maupun kimia yang mengakibatkan adanya perubahan bentuk permukaan bumi yang disebabkan oleh aksi air permukaan.
Satuan Dataran Kaki Gunung Api Satuan ini terbentang hingga dataran Yogyakarta ke arah selatan dengan kemiringan kurang dari 15 %. Di daerah dengan ketinggian kurang dari 25 meter memiliki bentuk lembah yang menyerupai V dengan permukaan air sungainya relatif jauh di dasar lembah. Pola pengaliran yang berlaku di daerah ini berupa sub- dendritik yang mengalir pada satuan vulkanik G. Merapi Muda. Litologi pada
Bab II Tinjauan Pustaka
PEMETAAN KERENTANAN AIRTANAH DI KECAMATAN GAMPING, KABUPATEN SLEMAN, PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA 11
satuan ini berupa endapan gunungapi merapi muda (Rahardjo, et al., 1995). Pada daerah ini terdapat penyebaran bahan letusan yang diangkut oleh air hujan. Di daerah ini memiliki sungai-sungai yang pada umumnya sudah berair dan sebagai jalur yang mengangkut bahan hasil letusan. Adapun sungai-sungai tersebut adalah: 1. Sungai-sungai yang berada di bagian lereng utara yaitu sungai Apu dan sungai Trising. 2. Sungai-sungai yang berada di bagian lereng barat daya yaitu sungai Senowo, sungai Pabelan, sungai Blongkeng, sungai Putih, sungai Batang, sungai Krasak dan sungai Bebeng. 3. Sungai-sungai yang berada di bagian lereng selatan yaitu sungai Boyong, sungai Kuning, sungai Gendol dan sungai Woro. 4. Sungai-sungai yang berada di bagian timur, yaitu sungai Gawe, sungai Dengkeng dan sungai Gandul. Tata guna lahan pada daerah ini merupakan daerah perkotaan dan perkampungan penduduk. Dari segi hidrogeologi, satuan morfologi ini merupakan daerah perlepasan air tanah (discharge area) yang berasal dari puncak dan lereng Gunung Merapi.
Satuan Perbukitan Intrusi Satuan ini terletak disebelah barat daerah penelitian tepatnya di Kecamatan Seyegan dan Kecamatan Godean. Satuan Perbukitan intrusi memiliki kelerengan 30-45%. Pola penyaluran pada satuan ini adalah radial. Litologi pada satuan ini berupa diorit dan andesit (Rahardjo, et al., 1995). Satuan ini terbentuk dipengaruhi oleh proses vulkanisme di Yogyakarta pada Miosen Awal Miosen Tengah (Rahardjo,et al.,1995). Tata guna lahan pada satuan ini berupa wilayah perkebunan.
II.2. Stratigrafi Regional Daerah penelitian terletak di dalam cekungan Kulon Progo (Akmaluddin dan Sasongko, 2012) dan Cekungan Yogyakarta (Putra, 2007). Peta geologi regional daerah penelitian dapat dilihat pada Gambar II.2. Penjelasan mengenai Formasi Formasi geologi dari paling tua menuju muda yang terdapat di daerah penelitian dapat dilihat pada pembahasan sebagai berikut :
Bab II Tinjauan Pustaka
PEMETAAN KERENTANAN AIRTANAH DI KECAMATAN GAMPING, KABUPATEN SLEMAN, PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA 12
Gambar II.2. Peta geologi regional daerah penelitian (Rahardjo, et al., 1995).
Bab II Tinjauan Pustaka
PEMETAAN KERENTANAN AIRTANAH DI KECAMATAN GAMPING, KABUPATEN SLEMAN, PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA 13
Formasi Nanggulan (Teon) Formasi Nanggulan merupakan formasi yang paling tua di Cekungan Kulon Progo - Yogyakarta. Formasi ini berumur Eosen Tengah Oligosen Awal (Rahardjo, et al., 1995). Formasi ini berada pada daerah dengan morfologi perbukitan bergelombang rendah hingga menengah sehingga tersebar merata di daerah Nanggulan. Mempunyai penyusun berupa batu pasir, napal pasiran sisipan lignit, dan batu lempungan dengan konkresi limonit, batu gamping dan tuf, kaya akan fosil foraminifera dan moluska dengan ketebalan 300 m. Secara lokal Formasi ini juga dijumpai di daerah Sermo, Gandul dan Kokap. Formasi Nanggulan mempunyai tipe lokasi di daerah Kalisongo, Nanggulan. Formasi ini tersingkap di bagian timur Kulon Progo, di daerah Sungai Progo dan Sungai Puru. Formasi Nanggulan dapa dibagi menjadi 3, yaitu: a. Axinea Beds, merupakan anggota yang terletak paling bawah dengan ketebalan 40 meter, merupakan tipe endapan laut dangkal yang terdiri dari batuserpih dengan perselingan napal dan lignit yang semuanya berfasies litoral. Ada juga batupasir yang banyak mengandung fosil Pelcypoda, dengan Axinea dunkeri yang dominan. b. Yogyakarta Beds, merupakan anggota yang dicirikan oleh keberadaan fosil Nummulites djokjakartae, foraminifera besar dan gastropoda. Formasi ini terendapkan secara selaras di atas Axinea Beds dengan ketebalan 60 meter. Terdiri dari napal pasiran berselang seling dengan batupasir dan batulempung. c. Discocyclina Beds, merupakan anggota yang dicirikan oleh kehadiran fosil Discocyciina omphalus. Formasi ini diendapkan secara selaras di atas Yogyakarta Beds dengan ketebalan 200 meter. Tersusun atas napal dan batugamping berselingan dengan batupasir dan serpih. Semakin ke atas bagian ini berkembang kandungan foraminifera planktonik yang melimpah.
Formasi Kebobotak (Tmok) Formasi Kebobutak diendapkan secara selaras diatas Formasi Nanggulan. Formasi ini terdiri dari breksi andesit, tuf, tuf lapilli, aglomerat dan sisipan aliran
Bab II Tinjauan Pustaka
PEMETAAN KERENTANAN AIRTANAH DI KECAMATAN GAMPING, KABUPATEN SLEMAN, PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA 14
lava andesit. Formasi ini berumur Oligosen Akhir Miosen Awal (Rahardjo, et al., 1995).
Batuan Beku Intrusi (a dan dr) Batuan beku intrusi terdiri dari andesit yang berumur Miosen Awal dan diorit yang berumur Miosen Tengah (Rahardjo, et al., 1995). Bakuan beku intrusi ini mengintrusi Formasi Nanggulan, Formasi Kebobutak dan Formasi Sentolo. Batuan beku intrusi memiliki hubungan tidak selaras dengan Formasi yang telah diendapkan sebelum batuan beku intrusi terbentuk.
Formasi Sentolo (Tmps) Formasi ini diendapkan di dalam Cekungan Kulon Progo (Akmaluddin dan Sasongko, 2012). Formasi Sentolo diendapakan secara tidak selaras diatas Formasi Andesit Tua dan memiliki hubungan menjari dengan Formasi Jonggrangan. Formasi Sentolo terdiri dari batu gamping dan batu pasir napalan. Batu gamping, berwarna putih keabuan, berlapis, padu, terdapat nodul-nodul kalsit. Batu pasir napalan, berwarna abu-abu kecoklatan, berlapis, berbutir sedang-kasar. Formasi ini di permukaan didominasi oleh batu gamping dengan kekerasan sedang. Tanah pelapukan berupa lempung, coklat kehitaman, lunak, plastisitas tinggi. Umur formasi ini adalah Miosen Tengah (Rahardjo, et al., 1995). Penyebaran Formasi Sentolo terletak di bagian tenggara Pegunungan Kulonprogo (Akmaluddin dan Sasongko, 2012).
Endapan Gunungapi Merapi Muda (Qmi) Litologi Endapan Gunungapi Merapi Muda merupakan material piroklastik hasil erupsi Gunung Merapi yang terdiri dari tuf, abu, breksi, aglomerat dan leleran lava tak terpisahkan. Endapan Gunungapi Merapi Muda berumur Kuarter (Rahardjo, et al., 1995). Endapan Gunungapi Merapi Muda memiliki pelamparan yang sangat luas dari tubuh gunung merapi hingga daerah Bantul di selatan Kota Yogyakarta. Menurut MacDonald & Partners (1984) Endapan Gunungapi Merapi Muda dapat dibedakan menjadi Formasi Yogyakarta dan Formasi Sleman. Formasi Yogyakarta merupakan anggota bagian atas Endapan Gunungapi Merapi Muda dan
Bab II Tinjauan Pustaka
PEMETAAN KERENTANAN AIRTANAH DI KECAMATAN GAMPING, KABUPATEN SLEMAN, PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA 15
Formasi Sleman merupakan anggota bagian bawah Endapan Gunungapi Merapi Muda (Putra, 2007). Formasi Yogyakarta mempunyai penyebaran dibagian timur Pegunungan Kulonprogo dan di selatan Gunung Merapi yang memanjang dari utara hingga di dekat pantai selatan Yogyakarta. Formasi Yogyakarta tersingkap di permukaan sedangkan Formasi Sleman tidak tersingkap di permukaan. Formasi Sleman tersusun atas endapan pasir, kerikil dan bongkah hasil letusan gunungapi dan Formasi Yogyakarta tersusun atas endapan lempung, lanau, pasir dan kerikil (MacDonald & Partners, 1984). Menurut Putra (2007) Formasi Sleman terdiri dari endapan pasir vulcanoclastic dan kerikil sedangkan Formasi Yogyakarta terdiri dari endapan pasir vulcanoclastic, lanau dan kerikil.
II.3. Struktur Geologi Regional Pada wilayah Yogyakarta struktur geologi yang terbentuk berupa sesar. Kota Yogyakarta merupakan sebuah graben yang terbentuk dari hasil 2 sesar turun di sebelah barat dan di sebelah timur Kota Yogyakarta (Mac Donald and Partners, 1984). Selain itu terdapat sesar yang berarah relatif selatan-timur laut yang berada sepanjang Kali Opak dimana sesar ini masih aktif sampai sekarang.
II.4. Hidrogeologi Regional Berdasarkan peta hidrogeologi regional daerah penelitian yang merupakan hasil modifikasi dari peta hidrogeologi regional lembar IX Yogyakarta skala 1:250.000 (Djaeni, 1982) yang dapat dilihat pada Gambar II.3 maka daerah penelitian berada pada daerah litologi penyusun mayoritas berupa endapan volkanik tak teruraikan yang terdiri atas campuran bahan-bahan gunungapi lepas dan padu yang memiliki kelulusan sedang sampai rendah dan batugamping berlapis dan setempat-setempat batugamping terumbu dengan tingkat pembentukan karst yang beragam yang memiliki tingkat kelulusan rendah sampai tinggi. Menurut Djaeni (1982) secara umum akuifer yang terdapat pada daerah penelitian terbagi menjadi dua tipe akuifer dan daerah airtanah langka, yaitu : A. Akuifer dengan produktivitas tinggi dan memiliki penyebaran yang luas (pada peta berwarna biru tua). Akuifer dengan Akuifer dengan tingkat keterusan sedang sampai tinggi dengan tinggi bidang pisometri airtanah di
Bab II Tinjauan Pustaka
PEMETAAN KERENTANAN AIRTANAH DI KECAMATAN GAMPING, KABUPATEN SLEMAN, PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA 16
Gambar II.3. Peta hidrogeologi regional daerah penelitian. (Djaeni, 1982)
Bab II Tinjauan Pustaka
PEMETAAN KERENTANAN AIRTANAH DI KECAMATAN GAMPING, KABUPATEN SLEMAN, PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA 17
atas atau dekat di bawah muka tanah. Debit sumur umumnya lebih dari 10 liter/detik. B. Akuifer produktif dengan penyebaran luas (pada peta berwarna biru muda). Akuifer dengan keterusan sedang dan tinggi bidang pisometri airtanah berada di atas atau dekat di bawah muka tanah. Debit sumur umumnya 5 10 liter/detik. C. Daerah airtanah langka (pada peta berwarna coklat). Litologi penyusun daerah airtanah langka adalah Formasi Sentolo sedangkan litologi penyusun daerah akuifer produktif dan daerah akuifer dengan produktivitas tinggi adalah Formasi Yogyakarta dan Formasi Sleman. Sifat batuan masing-masing Formasi terhadap airtanah dapat dilihat pada Tabel II.1.
Tabel II.1. Sifat Formasi terhadap airtanah (Putra, 2007 dengan modifikasi)
Formasi Yogyakarta dan Formasi Sleman membentuk suatu sistem akuifer yang disebut dengan Sistem Akuifer Merapi (Putra, 2007). Sistem Akuifer Merapi merupakan akuifer utama dari Cekungan Airtanah Yogyakarta-Sleman. Cekungan Airtanah Yogyakarta-Sleman Sleman merupakan cekungan yang berbentuk graben dan terbentuk karena adanya sesar turun yang saling berhadapan. Conseptual section Cekungan Airtanah Yogyakarta-Sleman dapat dilihat pada Gambar II.4.
Formasi Sifat batuan terhadap airtanah Yogyakarta Akuifer Sleman Akuifer Sentolo Akuitar Akuiklud
Bab II Tinjauan Pustaka
PEMETAAN KERENTANAN AIRTANAH DI KECAMATAN GAMPING, KABUPATEN SLEMAN, PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA 18
Gambar II.4. Conceptual section akuifer Merapi (MacDonald & partners, 1984).
Menurut McDonald & Partners (1984) Sistem Akuifer Merapi dibagi menjadi dua akuifer utama. Formasi Yogyakarta sebagai akuifer atas dan Formasi Sleman sebagai akuifer bawah. Formasi Yogyakarta merupakan akuifer berlapis banyak sedangkan Formasi Sleman merupakan akuifer bocor dimana dijumpai akuifer tertekan di lereng Gunung Merapi bagian selatan. Pasir dan kerikil penyusun akuifer atas memiliki ketebalan secara umum 10 sampai 25 meter dari permukaan tanah (MacDonald & Partners, 1984). Akan tetapi secara regional akuifer bawah tersusun atas material sedimen yang berukuran lebih kasar daripada akuifer atas (Putra, 2007). Ketebalan akuifer secara umum berkurang ke selatan dari 80 meter disekitar Yogyakarta menjadi kurang dari 50 meter di daerah Bantul (MacDonald & Partners, 1984). Ketebalan Sistem Akuifer Merapi didistribusikan berbeda-beda tergantung pada kondisi geologi. Secara regional ketebalan akuifer meningkat dari batas utara Sistem Akuifer Merapi menuju bagian tengah Kota Yogyakarta dan menipis ketika melalui graben Yogyakarta (Putra, 2007). Kedalaman airtanah di daerah penelitian menurut MacDonald & Partners, (1984) bervariasi mulai dari 1-5 meter dibawah permukaan dan bertambah sampai 10 meter dibawah permukaan jika terletak di bawah singkapan batuan atau terletak di dekat sungai stadia muda yang memiliki tingkat erosi vertikal yang sangat kuat. Menurut Putra (2007) kedalaman muka airtanah di daerah penelitian berkisar antara
Bab II Tinjauan Pustaka
PEMETAAN KERENTANAN AIRTANAH DI KECAMATAN GAMPING, KABUPATEN SLEMAN, PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA 19
3-10 meter dibawah permukaan (pada saat musim hujan) dan bertambah rata-rata 1,7 meter pada saat musim kering. Arah aliran air tanah di dalam Cekungan Airtanah Yogyakarta-Sleman secara regional menurut MacDonald & Partners, (1984) adalah dari utara menuju ke selatan. Menurut Putra (200&) arah aliran airtanah di sekitar daerah penelitian adalah ada aliran menuju ke barat laut (Kecamatan Seyegan dengan kedalaman muka air tanah kurang dari 4 meter) dan ke arah tenggara (Kecamatan Kasihan dengan kedalaman muka air tanah kurang dari 4 meter). Analisa laboratorium mengenai kualitas airtanah di daerah Cekungan Airtanah Yogyakarta-Sleman telah dilakukan oleh MacDonald & Partners, (1984) dan Putra (2007). Hasil analisa airtanah yang telah dilakukan oleh MacDonald & Partners, (1984) dapat dilihat pada Tabel II.2. Berdasarkan Tabel II.2 diketahui kualitas airtanah di Cekungan Airtanah Yogyakarta-Sleman secara garis besar memiliki kualitas yang bagus dan dapat digunakan untuk irigasi, air minum dan kepentingan industri (MacDonald & Partners, 1984). Akan tetapi di beberapa tempat terjadi anomali seperti di beberapa tempat memiliki nilai total ion Fe lebih dari 1 mg/l (batas maksimal kandungan Fe menurut WHO dan Kemenkes RI adalah 1 mg/l). Menurut MacDonald & Partners, (1984) mengkonsumsi air dengan nilai Fe diatas ambang batas tidak berpengaruh pada kesehatan akan tetapi menyebabkan air berbau dan memiliki rasa yang tidak enak serta menyebabkan pakaian bernoda dan bahkan menguning bila saat mencuci pakaian tersebut menggunakan air yang memiliki kandungan Fe diatas ambang batas. Selain itu di beberapa tempat memiliki kandungan silika yang cukup tinggi yang mencapai 50 mg/l (MacDonald & Partners, 1984). Kandungan Fe dan silika yang cukup tinggi di beberapa tempat disebabkan oleh adanya presipitasi Fe(OH)3 akibat bertemunya air permukaan dengan airtanah yang mengandung oksida besi sedangkan kandungan silika yang tinggi berasal dari mineral silika besi yang diperkirakan merupakan mineral fayalit (MacDonald & Partners, 1984). Hal ini tidak menimbulkan ancaman bagi kesehatan, tetapi menimbulkan masalah bagi air di dalam pipa yang digunakan untuk kepentingan industri. Pencemaran airtanah oleh kontaminasi biologi merupakan pencemaran airtanah yang paling sering terjadi di Cekungan Airtanah Yogyakarta-Sleman yang
Bab II Tinjauan Pustaka
PEMETAAN KERENTANAN AIRTANAH DI KECAMATAN GAMPING, KABUPATEN SLEMAN, PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA 20
menyebabkan timbulnya berbagai macam penyakit. Sumber kontaminan ini adalah limbah kotoran manusia.
Tabel II.2. Hasil analisa laboratorium kualitas airtanah pada sampel air sumur di Cekungan Airtanah Yogyakarta-Sleman (MacDonald & Partners, 1984 dengan modifikasi)
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Putra (2007) menyebutkan bahwa telah terjadi penurunan kualitas airtanah di Kota Yogyakarta dan sekitarnya dari hasil penelitian MacDonald & Partners (1984) terutama di bagian tengah Kota Yogyakarta. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Putra (2007) diketahui bahwa kandungan nitrat di daerah penelitian berkisar antara 0-50 mg/L. Kandungan nitrat ini berasal dari kotoran manusia. Kandungan coliform di daerah penelitian berkisar antara 1000 hingga >2000 MPN/100ml. Hal ini menunjukkan di sekitar daerah penelitian terjadi pencemaran airtanah oleh kotoran manusia. Kandungan logam berat (berupa timbal) di daerah penelitian tidak begitu tinggi < 0,001 mg/L. Secara regional water balance di Cekungan Airtanah Yogyakarta-Sleman dapat dilihat pada Tabel II.3. Data suhu dan curah hujan selama 6 tahun terakhir di Kecamatan Gamping dapat dilihat pada Tabel II.4 dan Tabel II.5.
Parameter Satuan Pengambilan Sampel Nov '82 (Nilai rata-rata) Feb '83 (Nilai rata-rata) EC S/cm 334 394 pH 7.1 7.4 TDS mg/l 247 291 Kesadahan (CaCO3) mg/l 181 221 Ca mg/l 32 34 Mg mg/l 25 33 K mg/l 2.3 4.5 Na mg/l 8 12 Fe (Total) mg/l 0,22 0,27 Cl mg/l 4 22 SO4 mg/l 12 9 HCO3 mg/l 167 173 NO3 mg/l 0,33 1,27
Bab II Tinjauan Pustaka
PEMETAAN KERENTANAN AIRTANAH DI KECAMATAN GAMPING, KABUPATEN SLEMAN, PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA 21
Tabel II.3. Water balance Cekungan Airtanah Yogyakarta-Sleman dari beberapa peneliti
Tabel II.4. Curah hujan di Kecamatan Gamping selama 7 tahun terakhir (dalam mm) (BMKG Yogyakarta) No Bulan Tahun 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 1 Januari 431,5 92,7 254 263,1 227 357,7 295,9 2 Februari 168 298,7 257,3 326,3 173,9 404,5 388,2 3 Maret 121,1 286,7 470,7 130,7 259,3 233,9 320,5 4 April 0,0 421,4 362,6 228,6 150,7 274,3 246,5 5 Mei 149,1 59,6 15,5 132,4 208,1 184,2 63,1 6 Juni 0,0 52,2 18 49,1 80,9 4,5 4,2 7 Juli 6,8 4,5 0,0 21,3 99,8 0,0 0,3 8 Agustus 0,0 0,4 0,0 0,8 107,1 0,0 0,0 9 September 0,0 1,8 3 0,0 396,2 0,0 0,0 10 Oktober 1,2 80,9 71,7 100 321,9 25,6 66,8 11 November 9 231,2 667,2 101,6 342,4 241,1 222,3 12 Desember 466,1 685,8 301,1 226,7 374,2 310,3 406,7 Keterangan : 0,0 berarti ada hujan tetapi tidak terukur atau TTU hujan kurang dari 0,1 mm.
Sumber Interval pengambilan data Komponen water balance Curah hujan (mm/tahun) Suhu (C) Evapo transpirasi (mm/tahun) Run off (mm/tahun) Imbuhan airtanah (mm/tahun) MacDonald & Partners (1984) Jangka panjang 2110 a 26 1290 422 398 Soekardi et.al. (1971) 1879-1970 2153 Alpinconsul t (1988) 1979-1988 2000 26 1300 Alpinconsul t (1989) Jangka panjang 2135 b 1210 330 595 Djaeni (1982) Jangka panjang 2000 EES et al. (1990) Jangka panjang 2035 26,5 407 c
Suharyadi (1989) Jangka panjang 2000 d 1250 344 Hendrayana (1993) Jangka panjang 2117 e 26 1289,5 407 420,5 Putra (2007) e
1991 2000 2048 22-28
1275 540 426 Keterangan: a) Bagian selatan Sistem Akuifer Merapi (elevasi 25 m -125 m) b) Wilayah Bedog (133 km 2 ) c) 20% dari presipitasi d) Daerah Sungai Opak e) Kota Yogyakarta dan sekitarnya
Bab II Tinjauan Pustaka
PEMETAAN KERENTANAN AIRTANAH DI KECAMATAN GAMPING, KABUPATEN SLEMAN, PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA 22
Tabel II.5. Suhu di Kecamatan Gamping selama 7 tahun terakhir (dalam C) (BMKG Yogyakarta) No Bulan Tahun 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 1 Januari 25,7 22,4 27,2 26,2 26,3 25,7 26 2 Februari 26,2 22,7 25,1 25,6 26,5 26 26 3 Maret 25.8 22.5 25.5 26.4 26.8 25.8 25.2 4 April 26.3 22.9 26 26.6 26.9 25,9 - 5 Mei 25,8 22,7 25,7 26,3 26,8 26,1 - 6 Juni 24,5 21,3 24,9 26,1 26,4 25,5 - 7 Juli - 20,2 24 24,9 25,9 25 - 8 Agustus 24,1 19 25,1 24,8 26,3 25,7 - 9 September 24,6 19,7 26,1 26,1 26,2 26,2 - 10 Oktober 26,4 22,7 27 26,8 26,1 27,1 - 11 November 27,8 - 25,6 26,9 26,4 26,4 26,9 12 Desember 26,7 - 25,6 26,7 25,7 26,3 26,6 Keterangan : - berarti alat rusak.
II.5. Tata Guna Lahan Regional Peta tata guna lahan dapat dilihat pada gambar II.5. Berdasarkan peta tersebut diketahui bahwa pada daerah penelitian tata guna lahan pemukiman (pada peta berwarna coklat) tersebar dari utara hingga selatan dan memiliki kepadatan penduduk yang sangat tinggi di daerah tengah wilayah penelitian. Sawah (pada peta berwarna biru) juga tersebar dari utara hingga ke selatan. Pada perbukitan di selatan daerah penelitian memiliki tata guna lahan tegalan, kebun dan permukiman. Daerah pemukiman ini akan memiliki potensi pencemaran airtanah yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan tata guna lahan yang lain.
Bab II Tinjauan Pustaka
PEMETAAN KERENTANAN AIRTANAH DI KECAMATAN GAMPING, KABUPATEN SLEMAN, PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA 23
Gambar II.5. Peta tata guna lahan regional daerah penelitian (BAKOSURTANAL, 2001).