Vous êtes sur la page 1sur 10

ANALISIS STUDI KASUS AHMADIYAH JAWA BARAT

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Pancasila Kewarganegaraan


Dosen: Haru Permadi, SH.MH





Oleh:

Erna Siti Rochanah (125060700111101)


JURUSAN TEKNIK INDUSTRI
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2014
Studi Kasus
Intoleransi di Jawa Barat
Hiruk-pikuk Pilkada Jawa Barat telah selesai. Rapat Pleno KPU Jabar menetapkan
Gubernur Ahmad Heryawan dan pasangannya Deddy Mizwar akan memimpin kembali Jawa
Barat untuk lima tahun ke depan. Di periode yang ke-2 ini tantangannya tidaklah mudah.
Menjadi Gubernur di daerah dengan tingkat intoleransi tertinggi di tanah air adalah sebuah
tantangan berat. Akankah lima tahun ke depan Jawa Barat mampu melepaskan diri dari predikat
buruk ini, atau justru kita tetap akan disuguhi kasus-kasus intoleransi yang semakin
mengkhawatirkan ?
Yang ditunggu masyarakat sekarang adalah kerja nyata sang Gubernur. Sekadar
flashback lima tahun ke belakang, kasus intoleransi tumbuh subur di Jawa Barat. Selain kasus
Ahmadiyah, kasus-kasus seperti penyegelan Gereja di Taman Yasmin, Bogor, dan umat Jemaat
HKBP Filadelfia yang dipersulit untuk beribadah adalah sekian dari kasus-kasus yang menonjol.
Untuk Kasus Ahmadiyah, di Provinsi inilah perskusi terhadap mereka para ahmadi masih
berlangsung sampai detik ini. Di daerah seperti Kuningan, Tasikmalaya, Sukabumi, Cianjur dan
paling anyar adalah di Bekasi kasus intoleransi terhadap Ahmadiyah terus berulang. Bahkan, di
kota Bandung, Ibu Kota Provinsi praktek-praktek intoleransi tengah dipertontonkan. Pada malam
menjelang perayaan Iedul Qurban, 25 Oktober 2012 lalu, sejumlah oknum ormas radikal
merusak fasilitas Mesjid An-Nashir, mesjid yang telah berdiri semenjak 1948. Jika
di kota Bandung saja mereka semakin berani, apalagi di pelosok-pelosok yang kurang terpantau
aparat.
Alih-alih menyelesaikan masalah sampai ke akarnya, Gubernur Ahmad Heryawan malah
mengeluarkan Pergub Nomor 12 Tahun 2011 lalu. Isi pergub tentang pelarangan aktivitas
Ahmadiyah di Jawa Barat sesungguhnya salah sasaran. Bukannya mereduksi kasus-kasus
intoleransi, justru Pergub ini menjadi alat justifikasi bagi para pelaku kekerasan untuk
melakukan persekusi terhadap Ahmadiyah. Tercatat selama 2012 terjadi 224 kasus intoleransi di
tanah air, Jawa Barat menempati peringkat tertinggi sekitar 80-90 kasus. Dan Ahmadiyah adalah
salah satu kelompok yang paling sering mendapat tindakan intoleransi (sumber :Setara Institute).
Dengan kata lain, kehadiran Pergub ini telah mengorbankan Ahmadiyah yang selama ini sudah
menjadi korban (Victimizing the Victim).

Ahmadiyah sudah mengklarifikasi
Bukan satu atau dua kali Ahmadiyah menjelaskan posisinya. Agama mereka Islam,
dan mereka memegang erat keyakinan itu sampai kapanpun. Syahadat merekaadalah, Ash hadu
an la iilaha ilallah, wa ash hadu anna Muhammad-ur-Rasuulullaah. Junjungan mereka, adalah
Nabi Besar Muhammad Mustafa SAW. Dan kitab suci mereka, adalah Al-Quranul Karim.
Ringkasnya, mereka mengimani Rukun Iman dan Rukun Islam seperti saudara-saudara muslim
lainnya. Untuk lebih memperjelas pondasi keimanan mereka, maka saya kutipkan sebagian
perkataan dari Pendiri Jemaat Ahmadiyah, Tidak ada kitab kami selain Quran Syarif. Dan
tidak ada Rasul kami kecuali Muhammad Mustafa Saw. Dan tidak ada agama kami kecuali Islam.
Dan kita mengimani bahwa Nabi kita (Nabi Muhammad Saw) adalah Khaatamul Anbiya, dan
Quran Syarif adalah Khaatamul Kutub. (Maktubat-e-Ahmadiya, jld 5.no.4).
Dalam bukunya yang lain, pendiri Jemaat Ahmadiyah mengungkapkan kedudukan Al-
Quran dan kecintaannya kepada Rasulullah Saw, Bagi umat manusia di atas permukaan bumi,
kini tidak ada kitab lain kecuali Al-quran dan bagi seluruh Bani Adam, kini tidak ada seorang
Rasul, juru syafaat, selain Muhammad Mustafa Saw. Maka berusahalah untuk menaruh
kecintaan setulus-tulusnya kepada Nabi Agung itu, dan janganlah meninggikan seseorang selain
Beliau dalam segi apapun(Bahtera Nuh, hal.21).
Dari literatur-literatur yang ditulis baik oleh pendiri Ahmadiyah langsung lebih dari 100
tahun yang lalu, dan literatur yang dihasilkan para sarjana Ahmadi belakangan, sebenarnya dapat
diketahui di mana posisi Ahmadiyah, apakah masih berada di lingkungan Islam atau sudah di
luar Islam. Namun perlu digaris bawahi, tak satu manusia pun bahkan Nabi yang memiliki
wewenang sejauh itu. Kewenangan untuk menilai keimanan seseorang adalah Hak Prerogatif
Tuhan semata. Konsekuensinya, lembaga apapun atau negara tidak berhak menghakimi
keyakinan seseorang.

Belajar dari Founding Fathers
Sayangnya, para pemimpin kita saat ini tidak mau belajar dari para pendahulu mereka,
para Founding Fathers. Tokoh sekaliber Cokroaminoto, Agus Salim, bahkan Bung Karno sendiri
banyak belajar dan mendapat pengaruh dari Ahmadiyah. Coba tengok tulisan Bung Karno
bertajuk Memudakan Pengertian Islam di sini BK menulis,..Ahmadiyah adalah salah satu
faktor penting di dalam pembaharuan pengertian Islam di India, dan satu faktor penting di
dalam propaganda di benua Eropa khususnya, di kalangan intelektuil seluruh dunia umumnya.
Buat jasa ini, cacat-cacatnya saya tidak bicarakan di sini, Ia pantas menerima salut
penghormatan dan pantas menerima terima kasih. Salut penghormatan dan terima kasih itu,
marilah kita ucapkan kepadanya disini dengan cara yang tulus dan ikhlas (Di Bawah Bendera
Revolusi, 389).
Kembali ke Jawa Barat. Kasus-kasus intoleransi bukannya tidak bisa direduksi atau bahkan
dihilangkan. Perlu komitmen yang kuat dari Jawa Barat Satu, dalam hal ini Ahmad Heryawan
untuk melihat persoalan ini dengan jernih dan berprinsip keadilan. Siapa yang sesungguhnya di
sasar, pihak Ahmadiyah yang selalu mengedepankan motto, Love For All, Hatred For
None atau justru kelompok-kelompok yang selama ini selalu mengedepankan kekerasan dalam
setiap aksi-aksinya?
1











1
Akhmad Reza, Intoleransi di Jawa Barat : Sebuah PR Besar, Politik, diakses dari
http://politik.kompasiana.com/2013/06/10/intoleransi-di-jawa-barat-sebuah-pr-besar-
567534.html, pada tanggal 28 Juni 2014 pada pukul 13.04

Analisis Studi kasus
Intoleransi di Jawa Barat
Sebagai negara yang menjunjung tinggi adanya perbedaan dalam berbagai hal harusnya
itulah dasar yang dipakai rakyat Indonesia dalam menjalankan kehidupannya dalam
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sesuai dengan semboyan negara Indonesia Bhineka
Tunggal Ika. Akan tetapi, hal tersebut sedikit terpatahkan dengan adanya peritiwa kasus yang
terjadi di Cikeusik, Jawa Barat ini merupakan salah satu yang menyangkut dengan masalah
agama, hak yang paling dasar mengenai kepercayaan yang dianut oleh setiap individu, dan
pastinya menyebabkan sikap sensitif apabila berbicara mengenai masalah tersebut.
Penjelasan tersebut mengartikan jika tidak terdapat alasan bagi tiap individu maupun
pemerintah sekalipun dalam melakukan pembatasan kebebasan seseorang dalam menjalankan
agama kepercayaan yang diyakininya. Hal tersebut juga didukung dengan UUD 1945 pasal 29
ayat 2 yang menyatakan sebagai berikut Negara menjamin kemerdekaan tiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya
itu. Akan tetapi, di Indonesia hanya terdapat pembatasan 6 agama saja, sehingga ini yang
menjadikan adanya gesekan. Pembuatan Keputusan ini bukanlah tanpa alasan karena tiap undang
atau aturan yang dibuat harus diuji terlebih dahulu dengan aturan yang berada diatasnya.
Terkait dengan masalah penyerangan yang dilakukan oleh oknum atau kelompok tertentu,
dimana hal tersebut telah dilakukan berulang kali merupakan bukti nyata tentang tidak adanya
perlindungan pemerintah terhadap kelompok minoritas sebagai warga negara. Walaupun seperti
itu, yang paling terpenting bahwa semua warga negara dianggap sama di mata hukum serta
memiliki hak dan kewajiban yang masing-masing.
Penyerangan yang dilakukan oleh kelompok atau ormas tertentu jika tetap dilanjutkan maka
dimungkinkan adanya dampak berkelanjutan di berbagai daerah jika terjadi gesekan masalah
berkepanjangan antara satu agama dengan agama lain. Dalam UUD 1945, sudah menjamin setiap
warga negaranya dalam kebebasan untuk beragama dan memeluk kepercayaan sesuai
keyakinannya masing-masing serta menegaskan tidak adanya pemaksaan serta penekanan yang
dapat dilakukan oleh kelompok tertentu atau negara dalam memeluk serta mempercayai
agamanya masing-masing.
Pernyataan mengenai kedudukan warga negara yang sama dimata hukum sudah diatur oleh
Pancasila sebagai dasar negara , UUD 1945 serta Bhineka Tinggal Ika sebagai lambang negara
merupakan bukti pembangunan dari jerih payah perjuangan yang telah dilakukan para pejuang
dengan tidak memperhatikan apakah itu kelompok minoritas maupun mayoritas. Namun hal itu
akhirnya terjadi peristiwa yang sangat bertentangan dengan adanya konflik sara terhadap
minoritas dengan kekerasan, pengerusakan maupun tindakan yang lainnya.
Untuk mengantisipasi kegiatan-kegiatan yang memiliki maksud terselubung yang akan bisa
merugikan bangsa ini, maka sebagai negara yang beragama Indonesia harus mempertebal rasa
persatuan dan persatuan. Pada peristiwa kali ini jelas terlihat kurangya kontrol dari pemerintah
dalam menjamin hak maupun perlindungan terhadap warga negaranya sehingga konflik yang
terjadi menyebabkan adanya jatuh korban disemua pihak yang berselisih dalam kasus
Ahmadiyah kali ini.
Negara sebagai pengayom warga negaranya harusnya bertanggung jawab, bukan hanya
dengan mendiskriminasi minoritas dengan mengeluarkan SKB 3 Menteri. Akan tetapi hal
tersebut telah dipertimbangkan dengan menelaah pasal-pasal terkait dimana yang mengarah
kepada penistaan yang dilakukan salah satu agama dengan agama karena dianggap terdapat
ajaran-ajaran yang sangat jauh dengan ajaran sebenarnya.
Pada permasalahan mengenai pembentukan agama sendiri, sebagai kontrol negara sudah
memberikan kewenangan kepada lembaga yang sudah mumpuni atau ahli dalam bidangnya,
sehingga dapat melakukan pemeriksaan mengenai kasus penyimpangan yang dilakukan agama
Ahmadiyah. Dengan dasaran yang ada bukan berarti mengintimidasi ahmadiyah sehingga
seolah-olah menjadi satu-satunya korban yang teraniaya karena merasa didiskriminasi karena
masalah tersebut.
Dengan meggunakan dasaran yang jelas telah disetujui untuk mengeluarkan SKB 3 Menteri
tersebut. Diharapkan untuk warga dapat menerima keputusan tersebut karena dalam pengambilan
keputusan tidak mungkin para pemegang kewenangan hanya berpihak kepada satu kelompok
tertentu saja tetapi juga mempertimbangkan hal-hal lain sehingga dapat memperkuat alasan
dalam pengeluaran SKB 3 Menteri.
Pada pandangan diri pribadi, warga penganut agama Ahmadiyah dapat menjalankan
keputusan yang telah dibuat dengan mendirikan agama tersendiri dimana kepengurusannya
sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Di lain sisi juga untuk melakukan antisipasi
terhadap tindakan tidak diinginkan selanjutnya, yang mungkin akan dilakukan oleh sekelompok
yang tidak menyukai Ahmadiyah dan hal tersebut akan membahayakan keselamatan dari warga
Ahmadiyah itu sendiri.
Perjalanan pada proses hukum terhadap kasus kekerasan yang dilakukan kelompok yang
mengatasnamakan agama selama ini tidak dapat memberikan efek jera bagi para pelaku
kejahatan tersebut. Hal tersebut diakibatkan dikarenakan kurangnya pemahaman dari para
penegak hukum itu sendiri dalam memberikan penilaian kejahatan yang mempunyai maksud
yang buruk pada kelompok tertentu. Dan pada hal ini terlihat para penegak hukum lebih
cenderung untuk mengadili korban dengan memberikan putusan yang berat dibandingkan dengan
pelaku yang mempunyai motif kebencian terhadap warga Ahmadiyah.
Kurangnya hukuman akan berdampak kepada para pelaku yang akan tidak merasa jika diri
telah melakukan sebuah kesalahan bahkan tidak menyesalinya, sehingga hal tersebut dapat
memunculkan potensi terjadi kasus yang serupa diberbagai tempat dengan konteks yang sama.
Sebagai pembela hak asasi, pengadilan seharusnya dapat memberikan hukuman yang sesuai
dengan tindakan yang dilakukan kepada korbannya.
Apabila didalam penuntutannya rendah, Majelis Hakim bisa saja memberikan hukuman
yang lebih tinggi kepada pelaku karena telah melakukan pengrusakan dan kekerasan. Keputusan
Hakim yang memberi hukuman minimal sebenarnya adalah efek dari proses keseluruhan yang
menggap kejahatan tersebut sebagai murni kriminal, dalam artian keputusan tersebut tidak hanya
dari pendapat Pengadilan tetapi juga dari kepolisian juga.
Para penegak hukum tidak menganggap itu sebagai tindakan yang serius, dan
mengakibatkan kepada sedikitnya upaya dalam pengungkapan fakta di persidangan. Hal inilah
yang menyebabkan Pengadilan tidak bisa menjawab soal tersebut dan menghukum pelaku
dengan vonis yang sangat rendah. Hal ini diperparah dengan ketidakadaan kompensasi yang
diberikan kepada para korban dalam kasus tersebut menambah catatan buruk para penegak
hukum dan HAM Indonesia.
Jaminan akan perlindungan dan penghormatan HAM tidak mungkin untuk tumbuh dan
berjalan secara wajar tanpa terdapat demokrasi dan berjalannya prinsip-prinsip negara
berdasarkan hukum. Salah satu aspek dalam pembangunan suatu negara berdasarkan hukum
adalah pemberdayaan sistem penegakan hukum itu sendiri. Proses penegakan untuk para pelaku
kekerasan yang dilakukan dengan mengatasnamakan agama tertentu selama ini tidak terlihat
menjadi lebih baik, akan tetapi justru semakin melihatkan ketidakmampuan dari para penegak
hukum dalam memberikan keadilan bagi para korban yang telah mengalami kekerasan itu sendiri.
Kurangnya pemberian hukuman atau kurang seriusnya para penegak hukum dalam
menanganani kasus kekerasan dan penyerangan yang berdasarkan kebencian terhadap kelompok
agama tertentu sangatlah tidak masuk akal. Hal tersebut dikarenakan secara nyata dan telah
menjadi pengetahuan bagi kalangan umum bahwa kejadian-kejadian tersebut bukanlah peristiwa
kejahatan biasa, akan tetapi sudah masuk dalam kejahatan serius yang mempunyai nilai
kejahatan yang tinggi, bahkan terdpat korban yang tewas dari korbannya.
Pada perjalanan kasus yang dihadapi Pengadilan hanya dapat berhasil menemukan pelaku-
pelaku di lapangan saja yang bertanggungjawab atas peristiwa yang terjadi, tetapi tidak pada
pelaku utama yang mengarahkan adanya peristiwa tersebut. Oleh karena itu,sangat wajar jika
putusan yang diberikan kepada pelaku tidak memberikan efek jera terhadap kasus kekerasan dan
penyerangan yang berdasarkan kebencian terhadap suatu kelompok aga tertentu seperti yang
banyak terjadi di berbagai daerah.
Sebagai harapan terakhir dalam penuntutan keadilan, Pengadilan tidak memiliki kemampuan
untuk menegakkan hukun setrta hak asasi manusia dalam kerumunan massa yang sangat anarkis
tersebut. Idealnya, melalui para aparat yang menegakkan hukumbaik itu, Polisi, Jaksa, maupun
pengadilan sendiri, negara dapat menguak dan membongkat pelaku utama dan yang bertanggung
jawab atas terjadiya peristiwa kekerasan dan pengrusakan, serta pihak-pihak yang dianggap
selalu memberikan dukungan atas terjadinya peristiwa kekerasan dan pengrusakan tersebut
Setelah melihat kecenderungan yang disebutkan diatas, Pengadilan sepertinya tidak lagi
bisa digunakan sebagai salah satu sarana dalam menghalangi adanya peristiwa kekerasan yang
mengatasnamakan agama tertentu dan mengembangkan kehidupan yang pluralisme di Indonesia.
Apalagi dalam melindungi hak-hak dasar warga negara Indonesia, khususnya dalam hal
beribadah sesuai dengan agama dan keyakinannya masing-masing, dimana hak tersebut tidak
bisa dikurangi walau dalam kondisi apapun.
Keadaan ketidakmampuan Pengadilan tersebut dalam menghukum dan mengngkapkaan
pelaku utama dibalik aksi-aksi tersebut bukanlah tidak mungkin malah akan mendorong dan
memberikan pembetulan secara sembunyi-sembunyi dari berbagai kelompok untuk melakukan
kekerasan, pengrusakan, dan tindakan sepihak kepada kelompok-kelompok yang rentan, dimana
saat ini sedang bermunculan aksi serupa yang dilakukan terhadap agama minoritas.
Dalam pengaplikasiaannya diharapkan masing-masing warga negara dapat menjalankan arti
dari Bhineka Tunggal Ika itu sendiri, sehingga selalu menghargai dan menghormati kelompok
tertentu apabila melakukan ibadah sesuai dengan kepercayaan dan keyakinan masing-msing yag
dianutnya. Jika terdapat ketidaksesuaian dalam suatu ajaran yang disebarkan oleh suau kelompok
tertentu dapat dilakukan perundingan atau musyawarah terlebih dahulu.
Apabila belum menemukan jalan dapat melakukan perundingan dengan lembaga
pemerintahan sesuai dengan bidang yang sedang diperselisihkan tersebut dan harus selalu dalam
kondisi kepala dingin dan tidak gampang tersulut emosi yang nantinya akan dimanfaatkan oleh
beberapa kelompok dengan maksud tidak baik.
Begitu juga pengadilan sebagai lembaga yang menjunjung tinggi keadilan, serta dimana
setiap rakyat Indonesia mempunyai hak sama didepan hukum. Sehingga apabila terdapat
kesalahan misalkan dari dua kelompok yang berselisih, maka pengadilan harus memberikan
putusan hukuman yang seadil-adilnya.
Berikut ini merupakan peraturan yang menjadi dasaran analisa studi kasus Ahmadiyah yang
terjadi di Cikeusik, Jawa Barat:
1. UUD 1945 pasal 29 ayat 2 menyatakan dengan tegas bahwa Negara menjamin
kemerdekaan tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat
menurut agama dan kepercayaannya itu.
2. UUD 1945 Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945, yang berbunyi:
Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak
beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum,
dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia
yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun
3. Pasal 4 UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM juga menyatakan bahwa Hak Beragama
merupakan hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
4. Berada dalam lampiran

Vous aimerez peut-être aussi