Vous êtes sur la page 1sur 644

ii - Semnaskan _UGM / Dewan Redaksi

Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
PROSIDING
SEMINAR NASIONAL TAHUNAN VIII
HASIL PENELITIAN PERIKANAN DAN KELAUTAN TAHUN 2011
JILID II: MANAJEMEN SUMBERDAYA PERIKANAN
DEWAN REDAKSI
Diterbitkan oleh : Jurusan Perikanan dan Kelautan - Fakultas Pertanian UGM
Penanggungjawab : Ketua Jurusan Perikanan dan Kelautan-Fakultas Pertanian UGM
Penyunting : Alim Isnansetyo, Dr.
Djumanto, Dr.
Suadi, Dr.
Redaksi Pelaksana : Prihati Sih Nugraheni, MP.
Indah Istiqomah, M.Si.
Fuad Nursef Ghozali, M.Eng.
Alamat Redaksi : Jurusan Perikanan dan Kelautan, Fakultas Pertanian UGM
Jl. Flora, Bulaksumur, Yogyakarta 55281, Telp/Fax. 0274-551218
Semnaskan _UGM / ISBN - iii
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Perpustakaan Nasional RI : Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan (2011:
Yogyakarta)
Prosiding Seminar Nasional Tahunan VII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan Tahun
2011 Jilid II : Manajemen Sumberdaya Perikanan
Penyunting Isnansetyo, A. (et al.) Yogyakarta
Jurusan Perikanan dan Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada,
2011
ISBN: 978-602-9221-06-0
1.
Isnansetyo, A.
@ Hak Cipta dilindungi Undang-undang
All rights reserved
Penyunting: Isnansetyo, A dkk.
Diterbitkan oleh:
Jurusan Perikanan dan Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta, 2011
Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa ijin dari penerbit
Semnaskan _UGM / Kata Pengantar-iv
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya
SEMINAR NASIONAL TAHUNAN VIII HASIL PENELITIAN PERIKANAN DAN
KELAUTAN TAHUN 2011 di Jurusan Perikanan dan Kelautan Fakultas Pertanian
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Pengembangan IPTEK yang bersifat dasar, strategis,
terapan dan adaptif dalam bidang perikanan dan kelautan serta dukungan kelembagaan
yang kuat sangat diperlukan untuk menunjang pembangunan bangsa. Oleh karena itu,
kegiatan seminar nasional tahunan hasil penelitian perikanan dan kelautan dilaksanakan
dalam rangka inventarisasi penelitian-penelitian yang telah dilakukan dan mengetahui
teknologi yang telah dihasilkan.
Makalah yang dipresentasikan pada seminar ini berjumlah kurang lebih 350
makalah dari berbagai instansi pemerintah, lembaga penelitian dan pengembangan
baik pemerintah maupun swasta. Makalah yang dipresentasikan sebagian diterbitkan
dalam Jurnal Perikanan yang dikelola oleh Jurusan Perikanan dan Kelautan Fakultas
Pertanian UGM serta Jurnal Pascapanen dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan
sesuai dengan kriteria yang ditetapkan. Makalah-makalah yang diterbitkan dalam
prosiding ini sudah melalui penyuntingan.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada:
1. Rektor Universitas Gadjah Mada
2. Dekan Fakultas Pertanian UGM
3. Ketua Jurusan Perikanan dan Kelautan UGM
4. Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan,
Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan
5. Pemakalah dan peserta dalam seminar ini
6. Semua pihak yang turut serta dalam mensukseskan seminar dan membantu
penerbitan prosiding ini.
Akhirnya, kami mohon maaf apabila ada kekurangan dalam penyelenggaraan
seminar maupun penyajian prosiding ini. Harapan kami, semoga prosiding ini dapat
bermanfaat.
Yogyakarta, Agustus 2011
Tim Penyunting
Semnaskan _UGM / Daftar Isi - v
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
DAFTAR ISI
Halaman judul ........................................................................................................... i
Dewan redaksi........................................................................................................... ii
ISBN........................................................................................................................... iii
Kata Pengantar ......................................................................................................... iv
Daftar Isi .................................................................................................................... v
BIDANG BIOLOGI PERIKANAN KODE HAL
ASPEK BIOLOGI REPRODUKSI KERANG TOTOK (Polymesoda erosa) DARI PULAU
GOMBOL SEGARA ANAKAN : PERBANDINGAN HASIL PENELITIAN TAHUN 2003
DAN 2010
Bonifacius Arbanto, Ita Widowati
BP 01
PERTUMBUHAN, MORTALITAS DAN PREFERENSI MAKANAN IKAN NILA
(Oreochromis niloticus) DI WADUK MALAHAYU
Kunto Purnomo
BP - 02
SEBARAN TEMPORAL KONDISI KEPITING BAKAU (Scylla serrata FORSSKAL) DI
PANTAI MAYANGAN, KABUPATEN SUBANG, JAWA BARAT
Agus Arifin Sentosa dan Amran Ronny Syam
BP - 03
KEBIASAAN MAKAN IKAN BAGRIDAE DI WADUK CIRATA, JAWA BARAT
Masayu Rahmia Anwar Putri dan Didik Wahju Hendro Tjahjo
BP 04
STRUKTUR KOMUNITAS DAN BESARAN STOK IKAN DI DANAU SEMBULUH DAN
PEPUDAK, KALIMANTAN TENGAH
Endi Setiadi Kartamihardja, Kunto Purnomo dan Zulkarnaen Fahmi
BP 05
BIODIVERSITAS DAN PRODUKTIVITAS PRIMER KAWASAN TERUMBU KARANG NON
PRODUKTIF PADA ZONASI YANG BERBEDA PRA RESTOCKING ANEMON LAUT
M. Ahsin Rifai
BP 06
ASPEK BIOLOGI IKAN LAIS TAPA (Kryptopterus Impok) DI PERAIRAN SEKITAR
DESA MUARA RAWAS KABUPATEN MUSI RAWAS
Makri
BP 07
PERTUMBUHAN DAN KUALITAS PERAIRAN HABITAT IKAN SUMPIT (Toxotes
microlepis) DI SUNGAI MUSI BAGIAN HILIR
Herlan dan Aroef Hukmanan Rais
BP 08
PENDUGAAN MIGRASI LOKAL IKAN TEMBANG (Sardinella fimbriata) DI BAGIAN
TENGAH SELAT MADURA JAWA TIMUR
Gatut Bintoro, Fedi Sondita, Daniel Monintja, John Haluan, dan Ari Purbayanto
BP 09
BEBERAPA ASPEK BIOLOGI IKAN PAYANGKA (Ophiocara porocephala) DI DANAU
LIMBOTO, GORONTALO
Astri Suryandari dan Krismono
BP 10
vi - Semnaskan _UGM / Daftar Isi
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
PEMANGSAAN IKAN MADIDIHANG (Thunnus albacares Bonnatere 1788) DI
PERAIRAN TELUK TOMINI DAN SELATAN JAWA
Karsono Wagiyo
BP - 11
PANJANG BOBOT, KEBIASAAN MAKAN DAN FAKTOR KONDISI IKAN BAUNG
(Mystus nemurus) DI SUNGAI BATANGHARI JAMBI
Siti Nurul Aida
BP 12
HUBUNGAN PERTUMBUHAN TUBUH DAN KOMPONEN MATA IKAN KEMBUNG
PEREMPUAN (Rastrelliger brachysoma)
Abdul Razak
BP 13
ASPEK BIOLOGI IKAN PARI MARGA HIMANTURA DI DAREAH ALIRAN SUNGAI MUSI
BAGIAN HILIR PROVINSI SUMATERA SELATAN
Makri dan Siswanta Kaban
BP - 14
PENDUGAAN STOK IKAN MEGGUNAKAN METODE HIDROAKUSTIK SECARA
HORIZONTAL DI PERAIRAN SUNGAI BATANGHARI JAMBI
Freddy Supriyadi, Zulkaranaen Fahmi, Wijopriono dan Taufiq Hidayah
BP - 15
ANALISIS MORFOLOGI SIDAT BICOLOR (Anguilla bicolor bicolor) CITANDUI CILACAP
DAN WAY SEMANGKA LAMPUNG
Marlina Ummas Genisa, Trijoko, Niken Satuti Nur Handayani
BP - 16
BIDANG MANAJEMEN SUMBERDAYA PERIKANAN KODE HAL
STUDI FLUKTUASI KUALITAS AIR DAN KOMUNITAS PLANKTON DI PERAIIRAN
TELUK PEGAMETAN, BALI
Bejo Slamet
MS - 01
PENENTUAN LEBAR JALUR HIJAU MANGROVE SECARA AKTUAL BERDASARKAN
KEMIRINGAN PANTAI DAN LEBAR PENANAMAN REHABILITASI DI PANTAI UTARA
JAWA TENGAH
Erny Poedjirahajoe
MS 02
KAJIAN KUALITAS AIR DI WADUK MALAHAYU, KABUPATEN BREBES JAWA
TENGAH BERDASARKAN PARAMETER FISIKA KIMIA
Andri Warsa
MS 03
NISBAH KELAMIN, FEKUNDITAS DAN DIAMETER TELUR IKAN BETE (Leiognathus
equulus FORSSKAL, 1775) DI PERAIRAN DANAU TEMPE, KABUPATEN WAJO,
PROPINSI SULAWESI SELATAN
Syarifuddin Kune, Sharifuddin Bin Andy Omar, dan Yenda Hirasti Yusuf
MS 04
KONDISI DAN KERAPATAN PADANG LAMUN DI PERAIRAN PANCURAN BELAKANG,
KARIMUNJAWA TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA JEPARA
Suryanti dan Ruswahyuni
MS 05
Semnaskan _UGM / Daftar Isi - vii
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
MAKROZOOBENTOS OLIGOCHAETA, TEKSTUR DAN BAHAN ORGANIK SEDIMEN DI
SUNGAI SIAK BAGIAN HILIR
Siswanta Kaban dan Makri
MS - 06
DISTRIBUSI KANDUNGAN LOGAM BERAT (Pb, Cu, Zn, Sn, Cd) DI PERAIRAN KOTA
PEKALONGAN, JAWA TENGAH
Petrus R. Pong-Masak, A. Indra Jaya Asaad, Ahmad Mustafa, dan Rachman Syah
MS 07
POTENSI EKOSISTEM PESISIR DI KAWASAN INTERTIDAL TELUK TERIMA, DESA
SUMBER KLAMPOK, TAMAN NASIONAL BALI BARAT
Anargha Setiadi dan Mulyani
MS 08
DEGRADASI MANGROVE, EKO-EFISIENSI ALIH FUNGSI LAHAN DAN PERUBAHAN
POLA PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN DI TELUK YOUTEFA KOTA
JAYAPURA PROVINSI PAPUA
Nurhani Widiastuti
MS 09
KAJIAN PRODUKTIVITAS PRIMER PERAIRAN UNTUK PENGEMBANGAN
SILVOFISHERY DI KAWASAN REHABILITASI MANGROVE PANTAI UTARA REMBANG
Erny Poedjirahajoe
MS 10
STATUS TROFIK SITU BEKAS GALIAN PASIR DI DESA CIKAHURIPAN KABUPATEN
CIANJUR
Pelita Octorina, Niken T.M.Pratiwi , dan Enan M. Adiwilaga
MS 11
NISBAH KELAMIN DAN UKURAN PERTAMA KALI MATANG GONAD IKAN ENDEMIK
BONTI-BONTI (Paratherina striata AURICH, 1935) DI DANAU TOWUTI, SULAWESI
SELATAN
Sharifuddin Bin Andy Omar, Raodah Salam, dan Syarifuddin Kune
MS 12
STUDI KLASIFIKASI SUNGAI MENGGUNAKAN KOMUNITAS MAKROINVERTEBRATA
BENTIK DI SUNGAI JANGKOK, MATARAM NTB
Nanda Diniarti, Dewi Nuraeni Setyowati dan Alis Mukhlis
MS 13
IDENTIFIKASI FAKTOR-FAKTOR YANG BERPERAN DALAM PENGELOLAAN
SUMBERDAYA KERANG TOTOK (Polymesoda erosa) DI KAWASAN SEGARA
ANAKAN KABUPATEN CILACAP PROVINSI JAWA TENGAH
Bonifacius Arbanto, Jusup Suprijanto, dan Sutrisno Anggoro
MS 14
KARAKTERISTIK ESTUARI SUNGAI MUSI DITINJAU DARI SIFAT FISIKA KIMIA DAN
BEBERAPA BIOLOGI PERAIRAN
Siswanta Kaban
MS 15
PENDUGAAN DISTRIBUSI KELIMPAHAN IKAN DI ZONA LITORAL WADUK IR. H
DJUANDA DENGAN PENDEKATAN HIDROAKUSTIK
Chairulwan Umar dan Zulkarnaen Fahmi
MS 16
viii - Semnaskan _UGM / Daftar Isi
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
KELIMPAHAN MAKROZOOBENTOS DI WADUK GAJAH MUNGKUR, WONOGIRI,
JAWA TENGAH
Danu Wijaya dan Agus Djoko Utomo
MS 17
BIDANG PENANGKAPAN KODE HAL
PERTUMBUHAN, MORTALITAS DAN LAJU EKSPLOITASI IKAN SEPAT SIAM
(Trichogaster pectoralis) DI DANAU TEMPE SULAWESI SELATAN
Samuel
PK 01
KOMPOSISI DAN KERAGAMAN IKAN HASIL TANGKAPAN GILL NET DI SITU
PANJALU, KABUPATEN CIAMIS JAWA BARAT
Andri Warsa
PK 02
RESPONS PENGLIHATAN IKAN BERONANG DAN KAKAP MERAH TERHADAP
PERBEDAAN WARNA JARING (SKALA LABORATORIUM)
Aristi Dian Purnama Fitri dan Asriyanto
PK 03
KOMPOSISI DAN DISTRIBUSI HASIL TANGKAPAN EXPERIMENTAL GILLNET DI
WADUK IR.H.DJUANDA
Masayu Rahmia Anwar Putri dan Sri Endah Purnamaningtyas
PK 04
KOMPOSISI JENIS DAN BIOMASA IKAN DAN UDANG HASIL TANGKAPAN
PERCOBAAN DI PERAIRAN ESTUARI SELAT PANJANG RIAU
Rupawan
PK 05
MATERIAL-RANCANG BAGUN, METODA PENANGKAPAN DAN HASIL TANGKAPAN
BUBU BIDANG (BARRIER TRAPS) DI RAWA BANJIRAN DANAU LINDUNG
EMPANGAU KABUPATEN KAPUAS HULU KALIMANTAN BARAT
Rupawan
PK 06
HUBUNGAN JARAK DAN TINGKAH LAKU POLA GERAK IKAN KARANG SEBAGAI
PENENTU ZONA PENGARUH ALAT TANGKAP BUBU YANG DIOPERASIKAN
BERSAMA RUMPON
Fonny J.L Risamasu
PK 07
HASIL TANGKAP DAN AKTIVITAS PENANGKAPAN IKAN RINGO (Datnioides
microlepis) DI BEBERAPA PERAIRAN DAS KAPUAS BAGIAN TENGAH DAN HULU
KALIMANTAN BARAT
Emmy Dharyati dan Niam Muflikhah
PK 08
ANALISIS INTRINSIC RATE SEBAGAI INDIKATOR UNTUK MENDUGA BENTUK
EKSPLOITASI SEBUAH PERIKANAN TROPIS YANG BERSIFAT MULTI-SPECIES DAN
MULTI-GEAR: STUDI KASUS DI DANAU MWERU, AFRIKA
Ledhyane Ika Harlyan
PK 09
ANALISIS BENTUK LAYAR UNTUK APLIKASI KAPAL DENGAN KONSEP HEMAT
ENERGI DAN RAMAH LINGKUNGAN
Ahmad Nasirudin, Achmad Zubaydi, Murdijanto, Muhammad Nurul Misbah,
Setijoprajudo
PK 10
Semnaskan _UGM / Daftar Isi - ix
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
BIDANG SOSIAL EKONOMI PERIKANAN KODE HAL
VALUASI EKONOMI HUTAN MANGROVE DI BALIKPAPAN
Suradi WijayaSaputra
SE - 01
ANALISIS PERAN WANITA PESISIR DALAM MENINGKATKAN PENDAPATAN
KELUARGA PADA USAHA KERANG KEPAH (Polymesodaerosa) DAN TINGKAT
KESEJAHTERAANNYA DI DESA PENITI LUAR KABUPATEN PONTIANAK KALIMANTAN
BARAT
Deliana R. Pridaningsih, AzisNurBambang, Asriyanto
SE - 02
DESTINASI PENGEMBANGAN POTENSI WISATA BAHARI DI TELUK PANGEMPANG
DITINJAU DARI ASPEK PERSEPSI MASYARAKAT SETEMPAT
Eko Sugiharto
SE - 03
ANALISIS BIO-EKONOMI UDANG LOBSTER DI KABUPATEN GUNUNG KIDUL
Rendy Herdian, Supardjo S.D. danDjumanto
SE - 04
KAJIAN GAMBARAN PERBANDINGAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT PERAIRAN
RAWA DAN DANAU: Kasus Di DesaBerkat, Bangkau Dan Bambaler
Sastrawidjaja, ZahriNasution
SE - 05
KAJIAN NILAI TUKAR PELAKU USAHA SEKTOR KELAUTAN DAN PERIKANAN
Sonny Koeshendrajanadan SubechanisSaptanto
SE - 06
ANALISIS EFISIENSI EKONOMI DENGAN METODE DATA ENVELOPMENT ANALYSIS
PADA PENDEDERAN GURAME DI KEC. SINGAPARNA, TASIKMALAYA
Ine Maulina
SE 07
PARTISIPASI MASYARAKAT DI DALAM KEBERHASILAN REHABILITASI MANGROVE
DI DESA KALIWLINGI, BREBES, JAWA TENGAH
Aini ChairunnisaAmalia, Muhammad Zainuri dan Rudhi Pribadi
SE 08
KAJIAN POTENSI HABITAT PENELURAN PENYU PANTAI SAMAS, BANTUL
YOGYAKARTA UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BERBASIS PENYU
Intan Rahmawati, Agus Hartoko dan Baskoro Rochadi
SE - 09
ANALISIS PERUBAHAN NILAI EKONOMI SUMBER DAYA MANGROVE DI KAWASAN
SEGARA ANAKAN KABUPATEN CILACAP JAWA TENGAH
Rheza Mahardika, Johannes Hutabarat, Jusup Suprijanto
SE - 10
FAKTOR DETERMINAN YANG BERPENGARUH TERHADAP MEKANISME DISEMINASI
KINERJA IPTEKMAS PENGOLAHAN PRODUK PERIKANAN DI DAERAH ISTIMEWA
YOGYAKARTA
Mei Dwi Erlinadan Nensyana Shafitri
SE 11
PERUBAHAN SOSIAL PETAMBAK DI KELURAHAN KARANGANYAR KECAMATAN
TUGU KOTA SEMARANG
Tika Wulandari
SE 12
x - Semnaskan _UGM / Daftar Isi
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
PARTISIPASI PEREMPUAN DALAM KONSERVASI MANGROVE DI DESA PASAR
BANGGI KABUPATEN REMBANG
Cahyani Pratisti, Hery Saksono, Suadi
SE 13
PERANAN KELEMBAGAAN NELAYAN DALAM MELESTARIKAN SUMBERDAYA IKAN
DI TELUK JAKARTA (Studi Kasus di Kelurahan Muara Kamal, Jakarta Utara)
Hendra Saepulloh, Amula Nurfiarini, dan Adriani Sri Nastiti
SE 14
STRATEGI AKSELERASI DISEMINASI TEKNOLOGI PENGOLAHAN PRODUK
PERIKANAN MELALUI KINERJA IPTEKMAS DI DIY YOGYAKARTA
Mei Dwi Erlina dan Manadiyanto
SE 15
BIDANG KELAUTAN KODE HAL
SEBARAN DAN KERAGAMAN IKAN KARANG DI PULAU BARRANGLOMPO:
KAITANNYA DENGAN KONDISI DAN KOMPLEKSITAS HABITAT
Chair Rani, A. Iqbal Burhanuddin dan Andi Arham Atjo
KL 01
KEANEKARAGAMAN JENIS-JENIS BIOTA PENEMPEL DI LOKASI TERUMBU KARANG
BUATAN DI TELUK SALEH, NUSA TENGGARA BARAT
Mujiyanto dan Hendra Satria
KL 02
DISTRIBUSI LARVA IKAN SECARA SPASIAL DI PANTAI MAYANGAN SUBANG JAWA
BARAT
Arip Rahman dan Amran Ronny Syam
KL 03
STRUKTUR KOMUNITAS ALGA PERIPHYTON PADA DAUN LAMUN (Cymodocea
rotundata dan Thalassia hemprichii) DI PESISIR KECAMATAN BRONDONG
KABUPATEN LAMONGAN JAWA TIMUR
Endang Yuli H.
KL 04
STUDI KONDISI TERUMBU KARANG KAWASAN PULAU-PULAU SEMBILAN
KABUPATEN SINJAI, SULAWESI SELATAN
Lodewyk S. Tandipayuk
KL 05
SEBARAN KELIMPAHAN PLANKTON DI LOKASI TERUMBU BUATAN DI PULAU RAKIT
DAN PULAU GANTENG, NTB
Mujiyanto dan Hendra Satria
KL 06
SEBARAN DAN POTENSI JENIS RUMPUT LAUT DI PERAIRAN PULAU NUSALAUT
MALUKU TENGAH
Saleh Papalia
KL 07
VARIASI DAN SEBARAN KUALITAS AIR DI PERAIRAN SEGARA ANAKAN, KABUPATEN
CILACAP
Riswanto dan Didik Wahju Hendro Tjahjo
KL 08
Semnaskan _UGM / Daftar Isi - xi
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
STUDI PENDAHULUAN TENTANG KELIMPAHAN IKAN HIAS ANGEL NAPOLEON
Pomacanthus xanthometapon DI PERAIRAN KABUPATEN PANGKEP, SULAWESI
SELATAN
Mauli Kasmi, M. Natsir Nessa, Jamaluddin Jompa, dan Budimawan
KL - 09
Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-01) - 1
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
ASPEK BIOLOGI REPRODUKSI KERANG TOTOK (Polymesoda erosa)
DARI PULAU GOMBOL SEGARA ANAKAN : PERBANDINGAN HASIL
PENELITIAN TAHUN 2003 DAN 2010
Bonifacius Arbanto
1)
, Ita Widowati
2)
e-mail : bonifacius.arbanto@yahoo.fr
1)
ita_jusup@yahoo.co.id
2)
1)
Mahasiswa Beasiswa Unggulan DD Magister Manajemen Sumber Daya Pantai, Konsentrasi Perencanaan
dan Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Universitas Diponegoro Semarang
2)
Staff Pengajar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan dan Staff pengajar Beasiswa Unggulan DD Magister
Manajemen Sumber Daya Pantai Semarang
Abstrak
Segara Anakan adalah sebuah delta dengan potensi sumberdaya lingkungan dan ekonomi yang
tinggi. Dalam kurun waktu tahun 2003 sampai 2010, Segara Anakan banyak mengalami tekanan
lingkungan dan Kerang Totok (Polymesoda erosa) yang hidup disana harus beradaptasi dengan
kondisi tersebut. Tujuan penelitian ini membandingkan hasil penelitian penulis tahun 2003 dengan
2010 pada beberapa aspek biologi reproduksi sebagai berikut 1. Diameter dan jumlah oosit tiap
tingkat kematangan gonad (TKG), 2. Deskripsi morfologi oosit, 3. korelasi antara diameter oosit
dengan TKG, jumlah oosit dengan TKG, panjang cangkang dengan berat daging basah, panjang
cangkang dengan inflasi dan jumlah oosit dengan diameter oosit. Penelitian ini dilaksanakan pada
November-Desember 2010. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif dengan
pendekatan studi kasus. Metode pengambilan sampel purposive randome sampling dan analisis
data menggunakan alat bantu statistik. Hasil penelitian menunjukan peningkatan diameter dan
jumlah oosit sejalan dengan peningkatan TKG. Ukuran diameter oosit sampel segar tahun 2010
lebih kecil dibanding 2003. Jumlah oosit per ml pada tiap TKG tahun 2010 lebih banyak dibanding
2003. Morfologi oosit P.erosa secara umum antara penelitian tahun 2010 dan tahun 2003 adalah
sama dimana dapat dideskripsikan berwarna coklat-coklat tua; berbentuk seperti buah pir, bulat
atau elips; memiliki nukleus berwarna putih keruh dengan diameter 30-40 m. Korelasi antara
panjang cangkang dengan berat daging basah dan inflasi cangkang pada tahun 2003 dan 2010
menunjukan hasil yang sama yaitu memiliki derajat asosiasi tinggi. Sedangkan korelasi antara TKG
dengan jumlah dan diameter oosit serta jumlah oosit dengan diameter menunjukan hasil yang
berbeda.
Kata kunci : Polymesoda erosa; diameter oosit; jumlah oosist; morfologi oosit
Pengantar
Delta merupakan sebuah kawasan yang memiliki potensi sumberdaya lingkungan yang
sangat kaya dan memiliki potensi ekonomi yang tinggi (Sopaheluwakan, 2010). Salah satu delta di
Pulau Jawa yang menjadi pusat perhatian oleh para peneliti dan pemerhati lingkungan adalah
Segara Anakan. Delta yang terletak di Cilacap, Jawa Tengah ini merupakan sebuah ekosistem
estuari yang mendapat suplai air asin dari Samudra Indonesia melalui dua buah kanal yaitu kanal
barat dan kanal timur. Sedangkan suplai air tawar berasal dari beberapa sungai besar yang
bermuara di Segara Anakan seperti Citanduy, Cibeureum dan Ci Meneng, Ujungalang, Sapuregel
dan Donan. Keberadaan banyak aliran sungai yang bermuara di Segara Anakan membawa
banyak unsur hara yang berguna bagi mahluk hidup di didalamnya.
Unsur hara yang melimpah sangat mendukung untuk tumbuhnya Mangrove di kawasan ini.
Tercatat 27 spesies tumbuhan mangrove terdiri dari 13 spesies mayor, 8 spesies minor dan 6
spesies tumbuhan asosiasi (setyawan et all, 2002). Pemda Cilacap (2003) mengungkapkan
mengenai perubahan luasan hutan mangrove dari waktu kewaktu, pada tahun 1997 luasan hutan
mangrove hanya sebesar 8.958 ha selang 2 tahun pada tahun 1999 luasan hutan mangrove
Segara anakan mengalami peningkatan 39% atau setara dengan 12.451 ha. Peningkatan luasan
hutan mangrove terhenti dan secara bertahap mengalami penurunan sejak tahun 2000 hingga
tinggal 12.343 hektar. Tahun 2003 dengan menggunakan citra satelit Landsat 7 ETM+ kondisi
hutan mangrove Segara anakan terhitung hanya sebesar 9.211 ha (Hudaya, 2004) dan hasil
penelitian Wicaksono pada tahun 2008, daerah Segara Anakan memiliki total area mangrove
seluas 8.244 ha, yang terbagi menjadi kategori jarang seluas 1.843 ha, kategori sedang seluas
BP-01
2 - Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan
3.495 ha dan kategori rapat seluas 2.906 ha. Terhitung mulai tahun 1999 sampai dengan tahun
2008 telah terjadi penurunan luas hutan mangrove sebesar 34% atau setara dengan 4207 ha.
Salah satu fungsi hutan mangrove yaitu tempat hidup dan berkem
mahluk hidup. Salah satu sumber daya hayati
Segara Anakan adalah Polymesoda erosa
Pemanfaatan Kerang Totok sebagai sumber pangan banyak
Asia, khususnya pada negara-negara tempat habitat kerang tersebut ditemukan (Poutiers, 1998)
Masyarakat yang tinggal di sekitar daerah Segara Anakan, Cilacap, Jawa Tengah juga
memanfaatkan Kerang Totok sebagai sumber pan
Segara Anakan, kerang ini juga diperdagangkan sampai ke Jakarta. Permintaan akan Kerang
Totok cukup tinggi bahkan kadang
permintaan para pembeli. Saat dila
sekitar Segara Anakan seharga Rp
cangkang.
Dalam kurun waktu 2003 sampai 2010 di Segara Anakan telah mengalami banyak tekanan
lingkungan. Tekanan lingkungan yang disebabkan oleh manusia dan alam memperburuk kondisi
Segara Anakan. Tekanan alam terutama disebakan oleh
diperparah lagi dengan adanya pemanasan global yang mengakibatkan naiknya suhu lingkungan.
Kenaikan suhu lingkungan menyebabkan terjadinya peningkatan evaporasi dan pada akhirnya
akan meningkatan pembentukan awan yang memungkinkan untuk turunnya curah hujan. Curah
hujan yang tinggi menyebabkan terjadinya erosi sehingga partikel
dari hulu sungai dan terbawa sampai hilir. Setiap tahun sungai Citanduy dan Ci Meneng/ CI Konde
masing-masing-masing mengangkut 5 juta m
260.000 m
3
diantaranya diendapkan disegara anakan (ECI,
menjoroknya daratan antara 17-
dalam jangka panjang ekosistem hutan mangrove akan berubah menjadi ekosistem daratan,
dengan jenis komponen biotik (flora dan faun
Winarno et all, 2003).
Keterangan :
1. Gonad
5. Insang
Gambar 1.
Tekanan lingkungan yang terjadi dapat menyebabkan terjadinya gangguan pada proses
reproduksi. Gonad merupakan
erosa. Perkembangan gonad terjadi secara bertahap sampai menghasilkan
dipijahkan. Perkembangan gonad dapat dilihat secara visual dari perubahan ukuran dan warna.
Oosit yang terdapat didalam gonad merupakan sel gamet betina yang memegang peranan penting
dalam proses reproduksi.
Tujuan dari penelitian ini ada
pada Polymesoda erosa hasil penelitian tahun 2003 dengan tahun 2010, 2)
jumlah oosit dari masing-masing TKG pada
Biologi Perikanan (BP-01)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16
3.495 ha dan kategori rapat seluas 2.906 ha. Terhitung mulai tahun 1999 sampai dengan tahun
2008 telah terjadi penurunan luas hutan mangrove sebesar 34% atau setara dengan 4207 ha.
Salah satu fungsi hutan mangrove yaitu tempat hidup dan berkembang biak bagi berbagai
umber daya hayati kekerangan yang hidup di kawasan mangrove
Polymesoda erosa atau masyarakat lokal menyebutnya Kerang Totok.
Pemanfaatan Kerang Totok sebagai sumber pangan banyak dilakukan oleh masyarakat di benua
negara tempat habitat kerang tersebut ditemukan (Poutiers, 1998)
Masyarakat yang tinggal di sekitar daerah Segara Anakan, Cilacap, Jawa Tengah juga
memanfaatkan Kerang Totok sebagai sumber pangan. Selain dikonsumsi oleh masyarakat sekitar
Segara Anakan, kerang ini juga diperdagangkan sampai ke Jakarta. Permintaan akan Kerang
Totok cukup tinggi bahkan kadang-kadang para pencari Kerang Totok tidak dapat memenuhi
permintaan para pembeli. Saat dilakukan penelitian ini (2010) harga kerang Totok yang dijual di
sekitar Segara Anakan seharga Rp 10.000,00 /kg tanpa cangkang dan Rp 5.000,00/ember dengan
Dalam kurun waktu 2003 sampai 2010 di Segara Anakan telah mengalami banyak tekanan
n. Tekanan lingkungan yang disebabkan oleh manusia dan alam memperburuk kondisi
Tekanan alam terutama disebakan oleh meningkatnya laju sedimentasi dan
diperparah lagi dengan adanya pemanasan global yang mengakibatkan naiknya suhu lingkungan.
Kenaikan suhu lingkungan menyebabkan terjadinya peningkatan evaporasi dan pada akhirnya
akan meningkatan pembentukan awan yang memungkinkan untuk turunnya curah hujan. Curah
hujan yang tinggi menyebabkan terjadinya erosi sehingga partikel-partikel sedimen
dari hulu sungai dan terbawa sampai hilir. Setiap tahun sungai Citanduy dan Ci Meneng/ CI Konde
masing mengangkut 5 juta m
3
dan 770.000 m
3
sedimen, dimana 740.000 m
diantaranya diendapkan disegara anakan (ECI, 1994). Perlumpuran ini menyebabkan
-30 m per tahun. Tanpa upaya yang berarti untuk mengatasinya,
dalam jangka panjang ekosistem hutan mangrove akan berubah menjadi ekosistem daratan,
dengan jenis komponen biotik (flora dan fauna) yang berbeda (Tjitrosoepomo, 1981
2. Kaki 3. Cangkang 4. Mantel
6. Otot Aduktor 7. Jaringan Pencernaan
. Anatomi Polymesoda erosa (Arbanto, 2003)
Tekanan lingkungan yang terjadi dapat menyebabkan terjadinya gangguan pada proses
organ tubuh yang paling berperan dalam proses
. Perkembangan gonad terjadi secara bertahap sampai menghasilkan
dipijahkan. Perkembangan gonad dapat dilihat secara visual dari perubahan ukuran dan warna.
Oosit yang terdapat didalam gonad merupakan sel gamet betina yang memegang peranan penting
Tujuan dari penelitian ini adalah 1) Membandingkan diameter oosit dari masing
hasil penelitian tahun 2003 dengan tahun 2010, 2)
masing TKG pada Polymesoda erosa hasil penelitian tahun 2003 dengan
16 Juli 2011
3.495 ha dan kategori rapat seluas 2.906 ha. Terhitung mulai tahun 1999 sampai dengan tahun
2008 telah terjadi penurunan luas hutan mangrove sebesar 34% atau setara dengan 4207 ha.
bang biak bagi berbagai
hidup di kawasan mangrove
atau masyarakat lokal menyebutnya Kerang Totok.
dilakukan oleh masyarakat di benua
negara tempat habitat kerang tersebut ditemukan (Poutiers, 1998).
Masyarakat yang tinggal di sekitar daerah Segara Anakan, Cilacap, Jawa Tengah juga
gan. Selain dikonsumsi oleh masyarakat sekitar
Segara Anakan, kerang ini juga diperdagangkan sampai ke Jakarta. Permintaan akan Kerang
kadang para pencari Kerang Totok tidak dapat memenuhi
) harga kerang Totok yang dijual di
dan Rp 5.000,00/ember dengan
Dalam kurun waktu 2003 sampai 2010 di Segara Anakan telah mengalami banyak tekanan
n. Tekanan lingkungan yang disebabkan oleh manusia dan alam memperburuk kondisi
meningkatnya laju sedimentasi dan
diperparah lagi dengan adanya pemanasan global yang mengakibatkan naiknya suhu lingkungan.
Kenaikan suhu lingkungan menyebabkan terjadinya peningkatan evaporasi dan pada akhirnya
akan meningkatan pembentukan awan yang memungkinkan untuk turunnya curah hujan. Curah
partikel sedimen terlarut mulai
dari hulu sungai dan terbawa sampai hilir. Setiap tahun sungai Citanduy dan Ci Meneng/ CI Konde
sedimen, dimana 740.000 m
3
dan
1994). Perlumpuran ini menyebabkan
30 m per tahun. Tanpa upaya yang berarti untuk mengatasinya,
dalam jangka panjang ekosistem hutan mangrove akan berubah menjadi ekosistem daratan,
a) yang berbeda (Tjitrosoepomo, 1981 dalam
Tekanan lingkungan yang terjadi dapat menyebabkan terjadinya gangguan pada proses
organ tubuh yang paling berperan dalam proses reproduksi P.
gamet yang siap
dipijahkan. Perkembangan gonad dapat dilihat secara visual dari perubahan ukuran dan warna.
Oosit yang terdapat didalam gonad merupakan sel gamet betina yang memegang peranan penting
diameter oosit dari masing-masing TKG
hasil penelitian tahun 2003 dengan tahun 2010, 2) Membandingkan
hasil penelitian tahun 2003 dengan
Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-01) - 3
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
tahun 2010, 3) Membandingkan deskripsi morfologi oosit Polymesoda erosa hasil penelitian tahun
2003 dengan tahun 2010, 4) Membandingkan korelasi antara diameter oosit dengan tingkat
kematangan gonad (TKG), jumlah oosit dengan TKG, Panjang cangkang dengan berat daging
basah, panjang cangkang dengan inflasi, jumlah oosit dengan diameter oosit dari hasil penelitian
tahun 2003 dengan tahun 2010.
Bahan dan Metode
Penelitian dilaksanakan pada bulan November-Desember 2010 di Pulau Gombol, Segara
Anakan, Cilacap Jawa Tengah. Lokasi pengambilan sampel di Pulau Gombol yang terletak 108
0
50
493

BT dan 07
0
40 614

LS. Analisa morfometri, penimbangan, pengamatan oosit, pengukuran


oosit, dan analisa sedimen dilakukan di laboratorium Ekologi Laut Marine Station Jurusan Ilmu
Kelautan UNDIP Teluk Awur, Jepara.
Metode pengumpulan sampel dilakukan dengan metode survei yaitu metode pengumpulan
data dengan mencatat sebagian kecil populasi, namun hasilnya diharapkan dapat menggambarkan
sifat populasinya secara keseluruhan. Pada proses pengambilan kerang Polymesoda erosa yang
bersembunyi di dalam substrat dilakukan dengan secara manual menggunakan tangan. Kerang
yang sudah diambil dikumpulkan di kantung plastik yang diberi sedikit air laut. Hal ini dilakukan
untuk menjaga agar suhu di dalam kantung plastik tidak terlalu panas. Semua sampel kerang yang
telah diambil kemudian dibawa ke laboratorium Ekologi Marine Center Jurusan Ilmu Kelautan,
Teluk Awur UNDIP untuk dilakukan pengukuran.
Pengukuran Morfometri dan Penimbangan Sampel
Pengukuran morfometri pada kerang Polymesoda erosa dengan jumlah sampel sebanyak
270 individu dilakukan dengan cara mengukur panjang, tinggi, inflasi cangkang tiap individu
dengan menggunakan jangka sorong (Poutiers, 1998). Pengukuran panjang cangkang dilakukan
dengan cara mengukur mulai dari sisi posterior sampai dengan sisi anterior. Pengukuran Tinggi
dilakukan dengan cara mengukur mulai dari sisi dorsal sampai dengan sisi ventral, sedangkan
pengukuran inflasi dilakukan dengan cara mengukur mulai dari sisi terluar cangkang kiri sampai
dengan sisi terluar cangkang kanan (Gambar 2).
Gambar 2. Cara Pengukuran Panjang, Tinggi dan Inflasi Cangkang (Sumber: Poutiers ,1998
dimodifikasi Arbanto,2010)
2
1
Keterangan Gambar :
1. Panjang Cangkang 2. Tinggi Cangkang 3. Pengukuran Inflasi / Tebal Cangkang
3
4 - Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-01)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Berat total dari individu kerang Polymesoda erosa diperoleh dengan melakukan
penimbangan terhadap berat cangkang dan jaringan lunaknya. Berat total adalah gabungan dari
berat seluruh jaringan lunak ditambah dengan berat cangkangnya (Imai, 1971). Setelah
penimbangan berat total kemudian dilakukan pengeluaran dan pemisahan jaringan lunak dari
cangkang. Jaringan lunak yang sudah dipisahkan kemudian diletakkan diatas aluminium foil (berat
aluminium foil telah diketahui) kemudian ditimbang. Selisih antara berat jaringan lunak diatas
aluminium foil dikurangi berat aluminium foil maka ditemukan berat daging basah.
Proses selanjutnya adalah pengeringan jaringan lunak dengan sampel sebanyak 270
individu. Dalam proses ini jaringan lunak yang diletakkan di atas aluminium foil dimasukkan ke
dalam oven dengan suhu 100
0
C sampai mencapai berat konstan selama kurang lebih 24 jam,
kemudian ditimbang. Berat hasil timbangan dikurangi dengan berat aluminium foil maka diperoleh
berat kering. Guna mengetahui berat cangkang dilakukan proses penimbangan pada cangkang
yang telah dikeringkan sebelumnya.
Penentuan Tingkat Kematangan Gonad dan Pengukuran diameter Oosit
Dalam penentuan tingkat kematangan gonad dilakukan dengan cara pengamatan secara
makroskopis yaitu pengamatan dengan cara visual berdasarkan ciri-ciri tingkat kematangan gonad
dan penentuan jenis kelaminnya dibantu dengan menggunakan mikroskop. Jumlah sampel yang
diamati sebanyak 270 individu Polymesoda erosa.
Pengamatan oosit dilakukan dengan melakukan pengambilan sampel sejumlah 9 individu
betina. Pengamatan dan pengukuran yang dilakukan menghitung jumlah oosit, diameter, diamati
morfologi oositnya, pengukuran diameter dan perhitungan jumlah oosit.
Metode pengukuran diameter oosit dan penghitungan jumlah oosit mengacu pada metode
kuantitasi sel (Sardjono, 1988) yang telah dimodifikasi oleh Arbanto (2003). Metode tersebut
dilakukan dengan cara mengeluarkan oosit dari dalam gonad dan meletakkannya di atas cawan
petri. Oosit yang berada di atas cawan petri diambil 0,1 ml dengan bantuan pipet dan gelas ukur.
Oosit 0,1 ml yang terdapat di dalam gelas ukur kemudian diencerkan menjadi 10 ml dengan
menambahkan cairan yang terdapat didalam cangkang dengan tujuan agar oosit tidak mengalami
perubahan kondisi salinitas yang dapat mempengaruhi diameter oosit. Oosit yang sudah
mengalami pengenceran kemudian diambil 1 ml dan diletakkan pada sedgwik rafter yang
kemudian dihitung jumlah, diukur diameter dan diamati bentuk morfologinya. Sebelum proses
pengambilan larutan yang berisi oosit, larutan tersebut diaduk terlebih dahulu agar oosit yang ada
di dalamnya dapat tercampur rata.
Langkah berikutnya oosit yang terdapat dalam sedgwick rafter dihitung jumlah seluruhnya.
Kemudian untuk pengukuran diameter oosit hanya diambil 30 sampel oosit secara acak dari
semua oosit yang terdapat di dalam sedgwik rafter. Pengukuran diameter pada sebuah oosit
dilakukan dengan cara mengukur diameter terpanjang dari sebuah oosit dengan bantuan
micrometer yang dipasang pada lensa okuler pembesaran 10:100. Apabila oosit tidak persis bulat,
diameter oosit dihitung berdasarkan rumus Pangni et al., (2008) sebagai berikut:
D =
2
D D
2 1

Keterangan :
D = Diameter oosit
D
1
= Diameter terpanjang
D
2
= Diameter terpendek
Proses berikutnya adalah pengamatan morfologi oosit yang dilakukan dengan cara
deskriptif melihat bentuk oosit yang dominan dan keberadaan nukleusnya.
Penghitungan Nilai Indeks Kondisi
Dalam proses penghitungan nilai indeks kondisi dilakukan pada masing-masing individu
dengan cara membagi antara berat kering dengan berat cangkang dikalikan seratus. Hasil indeks
kondisi yang diperoleh kemudian diklasifikasikan termasuk dalam kategori kurus, sedang dan
gemuk (Davenport dan Chen,1987). Berdasarkan hasil klasifikasi indeks kondisi yang ada pada
masing-masing individu maka dapat dilihat kategori indeks kondisi yang dominan.
Pengukuran Parameter Lingkungan
Parameter lingkungan yang diukur adalah suhu, ukuran butir dan kandungan bahan
organik. Hal ini dilakukan untuk mengetahui secara umum kondisi lingkungan habitat dari kerang
Totok (Polymesoda erosa). Analisa butir sedimen dan bahan organik dilakukan dengan mengambil
Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-01) - 5
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
masing-masing 100 gr sedimen pada setiap stasiun kemudian dilakukan proses pengeringan
dilanjutkan dengan analisa. Data parameter lingkungan yang diukur akan didukung oleh data
sekunder mengenai pasang surut dan curah hujan yang diperoleh dari PMO SACDP dan BMG
Cilacap.
Hasil dan Pembahasan
Pada tiap sampel Kerang Totok dilakukan pengukuran Morfometri yang terdiri dari
panjang, tebal, inflasi, berat total, berat daging basah dan berat daging kering. Rata-rata hasil
pengukuran Morfometri Kerang Totok pada tiap Stasiun pengambilan sampel ditampilkan pada
Tabel 1.
Tabel 1. Ukuran Rata-rata Morfometri Polymesoda erosa Tahun 2010
Ulangan
Panjang
(cm)
Tinggi
(cm)
Inflasi
(cm)
Berat Total
(gr)
Berat
Daging
Basah
(gr)
Berat
Cangkang
(gr)
Berat
Daging
Kering (gr) N
1 64.3+7.9 60.0+7.7 33.7+4.5 70.72+23.52 9.66+3.33 34.98+11.94 1.37+0.45 90
2 63.6+5.2 59.9+4.9 34.5+3.3 73.03+16.54 9.84+2.38 35.40+8.51 1.23+0.27 90
3 63.3+5.7 59.2+5.2 33.8+3.5 68.54+16.90 9.86+2.59 33.85+8.55 1.24+0.30 90
Keterangan : + Standar Deviasi (SD) N = Jumlah Sampel
Berdasarkan hasil pengukuran Morfometri panjang maksimum yang ditemukan adalah
78,1 mm dan panjang cangkang minimum 37,4 mm. Tinggi maksimum adalah 74,5 mm dan tinggi
minimum34,7 mm sedangkan inflasi tertinggi adalah 43,9 mm dan inflasi terkecil adalah 18,5 mm.
Berat total terberat sebesar 132,30 gr dan teringan 11,40 gr. Berat cangkang terberat ditemukan
adalah 7,22 gr dan teringan 3,22 gr. Berat kering jaringan lunak terberat sebesar 2,40 gr dan paling
ringan 0,20 gr.
Tingkat Kematangan Gonad Berdasarkan Pengamatan Makroskopis
Pembagian TKG pada Kerang Totok merupakan modifikasi dari pembagian TKG menurut
Mason (1983) dan telah digunakan oleh beberapa pengeliti Arbanto (2003), Widowati et al (2003),
Hartati et al., (2005) dan Suryanti (2010). Dalam penentuan TKG pada sampel Kerang Totok
dilakukan dengan cara pengamatan makroskopis. Berdasarkan hasil pengamatan makroskopis
akan diketahui tingkatan kematangan gonad yaitu UND (belum bisa dibedakan antara jantan dan
betina), TKG 1, TKG 2 dan TKG 3 dapat dilihat pada Gambar 3 dan 4.
Gambar 3. Grafik Distribusi Individu Pada TKG Berbeda Penelitian 2003 (Arbanto, 2003)
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3
B1
B2
B3
J1
J2
J3
UND
6 - Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-01)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Gambar 4. Grafik Distribusi Individu Pada TKG Berbeda Penelitian 2010
Keterangan :
B1 = Betina TKG 1 B2 = Betina TKG2 B3 = Betina TKG 3 J1 = Jantan TKG 1
J2 = Jantan TKG 2 J3 = Jantan TKG 3 UND = Jenis Kelamin Belum Diketahui
Morfologi Oosit Polymesoda erosa
Berdasarkan hasil pengamatan morfologi oosit Polymesoda erosa menggunakan
mikroskop pembesaran 10x10 (Gambar 5 ) dan bantuan micrometer untuk melakukan pengukuran
oosit maka dapat dapat diketahui morfologi oosit Polymesoda erosa yang dideskripsikan pada
Tabel 2.
Tabel 2. Deskripsi Morfologi Oosit Polymesoda erosa
No Keterangan 2003 2010
1 Warna Coklat Coklat - Coklat tua
2 Bentuk Seperti buah pir, bulat atau elips. Seperti pir, bulat atau elips
3 Diameter oosit Berkisar antara 45 130 m. Berkisar 65 130 m
4
Diameter Membran
vitelin yang
mengelilingi oosit
Bening dan memiliki ukuran
berkisar antara 110 360 m.
Bening dan memiliki ukuran
berkisar antara 120 300 m.
5 Nukleus
Terdapat Nukleus pada oosit
yang sudah matang berwarna
putih transparan dengan
diameter 30 40 m.
Terdapat Nukleus pada oosit
yang sudah matang berwarna
putih transparan dengan
diameter 30 40 m.
6 Lain-lain
Pada masing-masing TKG
ditemukan oosit dengan
berbagai macam ukuran
Pada masing-masing TKG
ditemukan oosit dengan
berbagai macam ukuran
Gambar 5. Oosit Polymesoda erosa
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3
B1
B2
B3
J1
J2
J3
UND
Oosit
Membran
Nukleus
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan
Diameter Oosit Polymesoda erosa
Proses pengukuran diameter oosit Kerang Totok (
menggunakan sampel. Dengan Sampel 30 oosit pada masing
Berdasarkan hasil pengukuran diameter oosit Kerang Totok sampel segar (Gambar
diketahui bahwa rata-rata diameter oosit betina TKG 3 (B3) selalu
diameter oosit betina TKG 2 (B2
Gambar 6. Grafik
Pada Betina TKG 1
Gambar 7. Grafik D
Pada Betina TKG 1
Jumlah Oosit Polymesoda erosa
Sampel yang digunakan untuk menghitung jumlah Oosit adalah sampel segar yang
diambil 3 biota untuk masing-
erosa dari TKG B1 sampai dengan B3 (Gambar
Polymesoda erosa per-ml pada TKG 3 B3 selalu lebih banyak dibandingkan TKG 1 (B1) dan TKG
2 (B2).
75
80
85
90
95
100
Ulangan 1
D
i
a
m
e
t
e
r
O
o
s
i
t
(
m
m
)
75
80
85
90
95
100
Ulangan 1
D
i
a
m
e
t
e
r
O
o
s
i
t
(
m
m
)
Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan
Polymesoda erosa
Proses pengukuran diameter oosit Kerang Totok (Polymesoda erosa
. Dengan Sampel 30 oosit pada masing-masing TKG.
Berdasarkan hasil pengukuran diameter oosit Kerang Totok sampel segar (Gambar
diameter oosit betina TKG 3 (B3) selalu lebih besar d
diameter oosit betina TKG 2 (B2) dan betina TKG 1 (B1).
Grafik Distribusi Rata-rata Diameter Oosit Sampel Segar
Pada Betina TKG 1-3 (B1 B3) Tahun 2003 (Arbanto, 2003)
Grafik Distribusi Rata-rata Diameter Oosit Sampel Segar
Pada Betina TKG 1-3 (B1 B3) Tahun 2010
Polymesoda erosa
Sampel yang digunakan untuk menghitung jumlah Oosit adalah sampel segar yang
-masing TKG. Hasil penghitungan rata-rata jumlah oosit
dari TKG B1 sampai dengan B3 (Gambar 9.). Secara umum dapat dilihat bahwa jumlah oosit
ml pada TKG 3 B3 selalu lebih banyak dibandingkan TKG 1 (B1) dan TKG
Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3
Periode Pengambilan Sampel
Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3
Periode Pengambilan Sampel
Biologi Perikanan (BP-01) - 7
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Polymesoda erosa) dilakukan dengan
Berdasarkan hasil pengukuran diameter oosit Kerang Totok sampel segar (Gambar 7)
lebih besar diikuti dengan
rata Diameter Oosit Sampel Segar
Tahun 2003 (Arbanto, 2003)
rata Diameter Oosit Sampel Segar
Sampel yang digunakan untuk menghitung jumlah Oosit adalah sampel segar yang
rata jumlah oosit Polymesoda
Secara umum dapat dilihat bahwa jumlah oosit
ml pada TKG 3 B3 selalu lebih banyak dibandingkan TKG 1 (B1) dan TKG
B1
B2
B3
B1
B2
B3
8 - Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan
Gambar 8. Grafik Distribusi Rata
Gambar 9. Grafik Distribusi
Indeks Kondisi
Berdasarkan hasil penimbangan b
kondisi Polymesoda erosa (Tabel
pengambilan sampel berkisaran 3.73+0.64
klasifikasi indeks kondisi yang diperoleh termasuk dalama kategori sedang (2,5
Tabel 3. Rata-rata Indeks Kondisi
Ulangan 1
3.52 + 0.85
Keterangan :
Tabel 4. Rata-rata Indeks Kondisi
Ulangan 1
3.98+0.66
Keterangan :
Hasil Pengukuran Parameter Lingkungan
Pengukuran parameter lingkungan daerah penelitian dilakukan dengan mengukur 1 titik
lokasi dengan ulangan 3 kali. Parameter lingkungan yang diukur adalah suhu
organik dan subtrat (Tabel 6).
0
20000
40000
60000
80000
100000
120000
140000
160000
Ulangan 1
0
20000
40000
60000
80000
100000
120000
140000
160000
Ulangan 1
Biologi Perikanan (BP-01)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16
Grafik Distribusi Rata-rata Jumlah Oosit Per-ml Pada Betina TKG 1
Tahun 2003 (Arbanto, 2003)
Rata-rata Jumlah Oosit Per-ml Pada Betina TKG 1
Tahun 2010
Berdasarkan hasil penimbangan berat cangkang, berat kering dan penghitungan Indeks
(Tabel 4) diketahui bahwa rata-rata indeks kondisi pada saat
pengambilan sampel berkisaran 3.73+0.64 3.98+0.66. Menurut Davenport dan Chen (1987),
klasifikasi indeks kondisi yang diperoleh termasuk dalama kategori sedang (2,5
rata Indeks Kondisi Polymesoda erosa Tahun 2003 (Arbanto, 2003)
Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3
0.85 5.04 + 1.15 4.43 + 0.58
Keterangan : + Standar Deviasi (SD), N=90 individu/sampling
rata Indeks Kondisi Polymesoda erosa Tahun 2010
Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3
0.66 3.81+3.28 3.73+0.64
Keterangan : + Standar Deviasi (SD), N=90 individu/sampling
Hasil Pengukuran Parameter Lingkungan
Pengukuran parameter lingkungan daerah penelitian dilakukan dengan mengukur 1 titik
lokasi dengan ulangan 3 kali. Parameter lingkungan yang diukur adalah suhu ,kandungan bahan
Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3
Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3
16 Juli 2011
ml Pada Betina TKG 1-3 (B1 B3)
ml Pada Betina TKG 1-3 (B1 B3)
erat cangkang, berat kering dan penghitungan Indeks
rata indeks kondisi pada saat
0.66. Menurut Davenport dan Chen (1987),
4,5 ).
Tahun 2003 (Arbanto, 2003)
Pengukuran parameter lingkungan daerah penelitian dilakukan dengan mengukur 1 titik
kandungan bahan
B1
B2
B3
B1
B2
B3
Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-01) - 9
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Tabel 5. Parameter Lingkungan Lokasi Penelitian Tahun 2003 (Arbanto, 2003)
Ulangan Suhu
(
0
C)
Kandungan Bahan
Organik (%)
Jenis Substrat
1 28,2 33.18 Lanau
2 28,3 35.33 Lanau
3 28,0 35.23 Lanau
Tabel 6. Parameter Lingkungan Lokasi Penelitian Tahun 2010
Ulangan Suhu
(
0
C)
Kandungan Bahan
Organik (%)
Jenis Substrat
1 29.6 37.43 Lanau
2 30.2 36.71 Lanau
3 30.0 37.02 Lanau
Korelasi
Berdasarkan dari data-data pengukuran yang diperoleh dapat dibuat korelasi antar
parameter-parameter yang diukur (Tabel 9). Berdasarkan nilai koefisien korelasi (r) yang diperoleh
dapat diketahui hubungan antara kedua parameter yang diukur.
Tabel 8. Korelasi (r) dan Interpretasi Koefisien Korelasi (Young, 1982) Tahun 2003 (Arbanto, 2003)
No. Hubungan Korelasi Nilai r Interpretasi Nilai r
Parameter 1 Parameter 2
1 Panjang Cangkang Berat Daging basah 0.8868 Derajat Asosiasi Tinggi (r = + 0,7 1)
2 Panjang Cangkang Inflasi cangkang 0.9604 Derajat Asosiasi Tinggi (r = + 0,7 1)
3 TKG Jumlah Oosit 0.6553
Hubungan Substansial (r = + 0,4 0,7)
4 TKG Diameter Oosit 0.5037
Hubungan Substansial (r = + 0,4 0,7)
5 Jumlah Oosit Diameter Oosit 0.5869
Hubungan Substansial (r = + 0,4 0,7)
Tabel 9. Korelasi (r) dan Interpretasi Koefisien Korelasi (Young, 1982) Tahun 2010
No. Hubungan Korelasi Nilai r Interpretasi Nilai r
Parameter 1 Parameter 2
1 Panjang Cangkang Berat Daging basah 0.8585 Derajat Asosiasi Tinggi (r = + 0,7 1)
2 Panjang Cangkang Inflasi cangkang 0.9349 Derajat Asosiasi Tinggi (r = + 0,7 1)
3 TKG Jumlah Oosit 0.9961
Derajat Asosiasi Tinggi (r = + 0,7 1)
4 TKG Diameter Oosit 0.9953
Derajat Asosiasi Tinggi (r = + 0,7 1)
5 Jumlah Oosit Diameter Oosit 0.9954 Derajat Asosiasi Tinggi (r = + 0,7 1)
Pembahasan
Berdasarkan hasil pengukuran dan analisa Morfometri terhadap 270 individu Polyemesoda
erosa diketahui panjang cangkang berkisar antara 37,4 mm 78,1 mm. Jika dibandingkan dengan
hasil penelitian oleh penulis dilokasi yang sama tahun 2003 diperoleh kisaran panjang 32,20 mm
86,15 mm maka ukuran panjang cangkang yang diperoleh tahun 2010 memiliki kisaran lebih kecil
dibanding tahun 2003. Hasil penelitian 2010 menunjukan bahwa P. erosa berukuran kurang dari
37,4 mm tidak ditemukan. Hal ini diduga karena ada beberapa hal antara lain : 1) Tingkat
kecepatan pertumbuhan dari kerang yang relatif cepat 2) Metode mengambilan sampel
menggunakan tangan tanpa melakukan pengayakan sedimen 3) Ketidakmampuan biota
berukuran kecil dalam beradaptasi terhadap ekosistem mangrove (Kresnasari, 2010). Ukuran
panjang cangkang terpanjang hasil penelitian 2010 lebih pendek dibandingkan tahun 2003. Hal ini
dimungkinkan karena 1) Kerang-kerang ukuran besar telah diambil oleh para nelayan pencari
kerang 2) Mortalitas akibat predasi alami seperti kepiting (Morton, 1988) 3) Menurut Widowati et
al., (2005), kerang dengan kelas ukuran cangkang 65 - 75 mm mempunyai daya tahan hidup yang
lebih tinggi.
Koefisien korelasi antara panjang cangkang dengan berat daging basah dan panjang
cangkang dengan inflasi cangkang hasil penelitian 2010 sama dengan hasil penelitian penulis
10 - Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-01)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
tahun 2010 yang menunjukan adanya derajat asosiasi yang tinggi antara masing-masing variabel.
Hal ini diduga karena kandungan bahan organik sebagai bahan pangan yang sangat tinggi dan
kondisi lingkungan yang mendukung sehingga menyebabkan masing-masing variabel berkembang
secara normal.
Berdasarkan hasil pengamatan tingkat kematangan gonad secara makroskopis diketahui
bahwa rasio perbandingan antara betina dibanding jantan adalah 1 : 0,73 atau dengan kata lain
jumlah kerang betina yang dijumpai lebih banyak dibandingkan jumlah kerang jantan. Jika ditinjau
dari tingkat kematangan gonad (TKG) maka diketahui betina TKG 3 (B3) paling banyak ditemukan
diikuti oleh Jantan TKG 2 (J2).
Arbanto (2003) mengungkapkan kerang jantan Polymesoda erosa mengalami pematangan
gonad lebih cepat dari pada kerang betina. Hal ini disebabkan karena ukuran gamet betina lebih
besar dari pada gamet jantan sehingga dalam proses pembentukan gamet betina memerlukan
energi yang lebih banyak.
Dalam penelitian tahun 2003 dan 2010 stadia UND jarang ditemukan, hal ini
dimungkinkan karena kerang yang berukuran kecil (< 35 mm) sulit ditemukan pada waktu proses
pengambilan kerang. Dimana menurut penelitian Morton (1984) di Hongkong bahwa individu
dewasa Polymesoda erosa yang siap bereproduksi memiliki panjang kurang lebih 35 mm dan akan
bereproduksi sekali dalam satu tahun, akhir siklus reproduksi pada musim panas.
Morfologi oosit Polymesoda erosa yang dapat diamati hasil penelitian tahun 2010 secara
umum sama dengan penelitian penulis tahun 2003 dimana dapat dideskripsikan berwarna coklat
coklat tua; berbentuk seperti buah pir, bulat atau elips ; memiliki nukleus berwarna putih keruh
dengan diameter 30-40 m dan masing-masing TKG ditemukan oosit dengan berbagai macam
ukuran.
Terdapat perbedaan diameter oosit dan diameter membrane vitelin yang mengelilingi oosit
hasil penelitian tahun 2010 dengan penelitian penulis tahun 2003. Ukuran diameter oosit terkecil
tahun 2010 lebih besar dibanding dengan tahun 2003 dengan selisih 20 m, hal ini disebabkan
individu yang diambil sampelnya tahun 2010 lebih didominan dalam tahap perkembangan.
Membran vitelin hasil penelitian 2010 juga memiliki kisaran diameter yang lebih pendek yaitu 120
300 m sedangkan hasil penelitian penulis tahun 2003 memiliki diameter 110 360 m. Hal ini
sejalan dengan ukuran diameter oosit yang memiliki kisaran diameter yang lebih pendek. Fungsi
membran vitelin adalah melindungi oosit dari kerusakan mekanik dan melindungi dari fertilisasi
eksternal pada beberapa spesies (Fretter & Graham, 1964). Mackie (1984) dan Fretter & Graham
(1964) menyatakan bahwa membran vitelin sengaja dibentuk oleh oosit itu sendiri pada saat masih
berada di ovarium dan pada Ostrea, Mytilus, Dreissena membran vitelin akan hilang ketika oosit
masuk kedalam air pada waktu dipijahkan.
Rata-rata bivalvia yang termasuk kategori memiliki diameter oosit yang kecil (< 150 m)
dimana pada umumnya memiliki rata-rata diameter oosit + 50 m (Mackie, 1984). Arbanto (2003)
mengungkapkan Polymesoda erosa termasuk spesies yang memiliki rata-rata ukuran diameter
oosit yang kecil yaitu 90.31 m (<150 m). Hasil penelitian 2010 juga menunjukan rata-rata
diameter oosit termasuk dalam kategori kecil yaitu 87,22 m. Perbedaan diameter oosit antara
spesies dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal yang terjadi selama proses gametogenesis
sampai dengan pemijahan (Mackie, 1984)
Hasil pengukuran diameter oosit tahun 2010 menunjukan ukuran diameter oosit dari
sampel segar berkisar antara 65130 m dengan kisaran pada Betina TKG 1 adalah antara 6590
m; 80-100 m (Betina TKG 2) dan 80-130 m (Betina TKG 3) dengan kata lain bahwa
peningkatan diameter oosit sejalan dengan peningkatan TKG. Hal ini sama dengan penelitian
penulis tahun 2003 dimana diameter oosit juga meningkat sejalan dengan peningaktan TKG. Pada
penelitian 2003 diperoleh pada TKG 1 berkisar antara 45 100 m dengan rata-rata 83,02 m,
TKG B2 berkisar antara 70 120 m dengan rata-rata 88,40 m dan TKG B3 berkisar antara 70
130 m dengan rata-rata 94,60 m. Hasil penelitian tahun 2010 sejalan dengan apa yang
diungkapkan Mason (1983) pada Pecten maximus menunjukan bahwa peningkatan TKG diikuti
oleh peningkatan diameter oosit. Selain itu didukung pula dengan hasil pengujian korelasi antara
TKG dengan diameter oosit dimana nilai koefisien korelasi (r) menunjukan angka 0,9953 atau
dengan kata lain memiliki derajat asosiasi tinggi (Young, 1982). Jika dibandingkan antara
pengukuran diameter oosit tahun 2003 dengan tahun 2010 dimana hasil penelitian tahun 2003
menggunakan uji One Sampel T-test maka dapat diketahui diameter oosit tahun 2010 berbeda
dengan rata-rata diameter oosit tahun 2003. Diamete Oosit hasil penelitian tahun 2010 lebih kecil
dari pada rata-rata ukuran diameter oosit tahun 2003.
Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-01) - 11
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Hasil penghitungan tahun 2010 terhadap jumlah oosit Polymesoda erosa menunjukan
jumlah oosit meningkat sejalan dengan meningkatnya TKG. Hal ini didukung dari uji korelasi antara
pada Tabel 12 yang menunjukan nilai koefisien korelasi (r) yaitu 0,9961 atau dapat dintepretasikan
memiliki derajat asosiasi tinggi (r = + 0,7 1). Dengan kata lain antara TKG dan diameter oosit
memiliki hubungan yang erat. Hal ini dikarenakan semakin tinggi TKG pada Polymesoda erosa
akan menghasilkan jumlah oosit yang lebih banyak. Berdasarkan uji T-test dari hasil penelitian
tahun 2010 dibandingkan dengan rata-rata jumlah oosit tahun 2003 diketahui tidak berbeda.
Proses reproduksi dan perkembangan gamet dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal
(Mackie, 1984). Suhu dan lintang merupakan salah satu faktor yang penting yang mempengaruhi
strategi kerang dalam memijah. Pada daerah 4 musim kebanyakan kerang memijah 2 kali dalam
satu tahun dan pada daerah 2 musim jenis kerang tertentu dapat memijah sepanjang tahun
(Mackie, 1984). Pada beberapa species pemijahan dapat terjadi pada temperatur kritis contoh : 10
12
0
C untuk Mythilus edulis dan Mya arenaria; 15-16
0
C untuk Ostrea edulis, Ostrea lurida, Pecten
irradians dan Teredo navalis; 20
0
C untuk Crassostrea virginica, 24-25
0
C untuk Venus mercenaria
dan Mytilus recurvus (Mackie, 1984). Hasil penelitian ini menunjukan pada saat pengambilan
sampel 29.93
0
C. Menurut Kastoro (1988) menyatakan bahwa kisaran suhu normal untuk kerang
daerah tropis agar dapat hidup dengan baik adalah 20-35
0
C. Jadi kondisi perairan Pulau Gombol
termasuk dalam kategori memiliki suhu yang baik untuk hidup Kerang Totok (Polymesoda erosa).
Kesimpulan dan Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan , maka dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut :
1. Ukuran diameter oosit dari sampel segar berkisar antara 65130 m dengan kisaran pada
Betina TKG 1 adalah antara 6590 m; 80-100 m (Betina TKG 2) dan 80-130 m (Betina
TKG 3). Peningkatan diameter oosit sejalan dengan peningkatan TKG. Jika dibandingkan
dengan hasil penelitian penulis tahun 2003 diameter oosit tahun 2010 memiliki kisaran ukuran
lebih pendek selain itu diameter oosit tahun 2010 lebih pendek dari rata-rata diameter oosit
tahun 2003.
2. Rata-rata jumlah oosit sampel segar pada Betina TKG 1 adalah 35.957 per ml; 82.110 per ml
(betina TKG 1) dan 126.385 per mil (Betina TKG 3). Peningkatan jumalh oosit sejalan dengan
peningkatan TKG. Jika dibandingkan dengan hasil penelitian penulis tahun 2003 maka jumlah
oosit per ml pada tiap TKG tahun 2010 lebih banyak.
3. Morfologi oosit Kerang Totok (Polymesoda erosa) secara umum antara penelitian tahun 2010
dan tahun 2003 adalah sama dimana dapat dideskripsikan berwarna coklat-coklat tua;
berbentuk seperti buah pir, bulat atau elips ; memiliki nukleus berwarna putih keruh dengan
diameter 30-40 m.
4. Korelasi antara panjang cangkang dengan berat daging basah dan inflasi cangkang pada
tahun 2003 dan 2010 menunjukan hasil yang sama yaitu memiliki derajat asosiasi tinggi
(hubungan sangat erat). Sedangkan korelasi antara TKG dengan jumlah dan diameter oosit
serta jumlah oosit dengan diameter menunjukan hasil yang berbeda antara tahun 2003 dengan
2010.
Saran dari penelitian ini adalah perlu dilakukan penelitian yang lebih mendalam lagi
menganai penyebab perbedaan-perbedaan yang terjadi antara penelitian tahun 2003 dengan saat
ini. Terutama terkait dengan perubahan kondisi lingkungan dan pengaruh perubahan iklim.
Ucapan Terima Kasih
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Biro Perencanaan dan Kerja sama Luar
Negeri, Sekretariat Jenderal Kementerian Pendidikan Nasional di Jakarta atas bantuan penelitian
P3SWOT Tahun 2010.
12 - Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-01)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Daftar Pustaka
Arbanto, B. 2003. Aspek Biologi Reproduksi Kerang Totok (Polymesoda erosa) dari Pulau Gombol
Segara Anakan, Cilacap Jawa Tengah. Skripsi. Jurusan Ilmu Kelautan. Fakultas Perikanan
dan Kelautan. Universitas Diponegoro. Semarang. 78p.
BCEOM. 2003. The Ecology of Mangroves and of The Common Asiatic Clam (Polymesoda erosa)
in Segara Anakan. PT. Ardes Perdana dan PT. Bhawana Prasasta.Republic of Indonesia
Ministry of Home Affairs. Directorate General of Regional Development 39. 37 hlm.
Davenport, J and Chen, X. 1987. A Comparison of Methods for The Assesment of Condition in The
Muscel (Mytilus edulis L). J.Moll.Stud. pp 293-297.
Dwiono, S.A.P. 2003. Pengenalan Kerang Mangrove, Geloina erosa dan Geloina expansa.
Balitbang Sumberdaya Laut, Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI, Jakarta. Oceana, Vol.
XXVIII (2) : 31-38. ISSN 0216-1877.
ECI, 1994. Segara Anakan Conservation and Development Project. Jakarta: ASIAN Development
Bank
Fretter, V and Graham, A. 1964. Reproduction. In : Eilbur, KM & Yonge, L.M ,Physiology of
Mollusc, Academic press inc, London. pp 127 157.
Freeport. 2007. Kajian Dampak Tailing PT. Freeport Terhadap Perairan Muara Ajkwa dan
Sekitarnya. PT. Ecostar Engineering. 500 hlm.
Hadi, S. 1989. Metodologi Riset. Fakultas Psikologi UGM. Yogyakarta. Hlm 37 50.
Hartati, R,; Widowati, I dan Wibowo, N.A. 2003. Studi Indeks Kondisi Kerang Totok (Polymesoda
erosa) dari Pulau Gombol Segara Anakan, Cilacap Jawa Tengah.(Inpress) .
Hartati, R., I. Widowati dan R. Yoki. 2005. Histologi Gonad Kerang Totok Polymesoda erosa
(Bivalvia: Corbiculidae) dari Laguna Segara Anakan Cilacap. Jurnal Ilmu Kelautan UNDIP.
1(3): 119-125.
Hudaya, A. 2004. Pemanfaatan Citra Landsat 7 ETM+ Untuk Pemetaan Hutan Mangrove di
Kawasan Hutan Segara Anakan Kabupaten Cilacap. Skripsi Fakultas Geografi. Universitas
Gajah Mada. Yogyakarta. (Tidak dipublikasikan). 110 hlm.
Imai, T. 1971. Aquaculture in Shallow Seas, Oxford and IBH Publ. Co. New Delhi, pp 25 27.
Kastoro, W. 1988. Beberapa Asapek Biologi Kerang Hijau Perna viridis di Perairan Binaria, Ancol,
Teluk jakarta. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. Vol. 45 L: 21-32.
Kresnasari, Dewi. 2010. interaksi parameter biologi kerang totok (P. erosa) dengan kondisi
lingkungannya di segara anakan, cilacap. SEMNASKAN HASIL-HASIL PERIKANAN UGM.
Lakitan, B. 1997. Dasar-Dasar Klimatologi. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Hlm 128-134.
Mackie, G.L.1984. Bivalves. In : Wilbur,K.M et al (Eds.), The Mollusca Volume 7 : Reproduction,
Academic press, Inc.pp 351-418.
Mason, J. 1983. Scallop and Queen Fisheries in The British Isles. Fishing News Books Ltd.143 pp.
Morton, B. 1984. A Review of Polymesoda (Geloina) Gray 1842 (Bivalvia :Corbiculacea) from Indo-
Pacific mangroves. Asian Marine Biology. pp 77-86.
Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-01) - 13
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Morton, B. 1988. The Population Structure and Age of Polymesoda (Geloina) erosa (Bivalvia:
Corbiculacea) from A Hongkong Mangrove. Asian Marine Biology 5. pp 107 113.
Pangni, K., B.C. Atse. Dan N. G. J. Kouassi. 2008. Influence of Brodstock Age on Reproductive
Success in the African Catfish Chrysichthys nigrodigitatus (Claroteidae Lacepede,1803).
Research Journal of Animal Sciences. Medwell Journals. 2 (5): 139-143.
Pemda Cilacap. 2003. Usaha dan Kendala Penyelamatan Degradasi Lingkungan Segara Anakan.
Makalah Lokakarya : Status, Problem dan Potensi Suberdaya Perairan dengan Acuan
Segara Anakan dan DAS Serayu. Lustrum VII Universitas Jenderal Sudirman dan Dies
Natalis ke-1 Program Sarjana Perikanan dan Kelautan. Purwokerto. (Tidak
dipublikasikan).
Poutiers, J.M. 1998.Bivalves. in Carpenter, K.E and Niem, Volker H (Eds), The Living Marine
Resources Of the Western Central Pacific. FAO UN, Rome.pp 124-328.
Sardjono, B. 1988. Biakan Sel Hewan. Pusat Antar Universitas Biotek UGM., Jogjakarta. hlm 47
59.
Setyawan, A.D, A. Susilowati dan Wiryanto. 2002. Habitat reliks vegetasi mangrove di pantai
selatan jawa. Biodiversitas 3 (2) : 242-256
Sopaheluwakan, Jan, Delta issues and Adaptation : Framing the Integrated Solution, Indonesian
delta forum, 2010, 13.
Suryanti, Ani. 2010. Bioakumulasi Logam Berat Pb Dan Cd Serta Reproduksi KerangTotok
(Polymesoda Erosa) Di Segara Anakan Cilacap Tesis. Magister Manajemen Sumber Daya
Pantai. Universitas Diponegoro. Semarang. 166 hlm
Wicaksono, G. 2009. Analisa Kerapatan Kanopi dan Luas Area Mangrove Menggunakan Metode
NDVI Data Citra Satelit SPOT-5 di Daerah Tritih dan Segara Anakan, Kabupaten Cilacap,
Jawa Tengah. Skripsi. FPIK.UNDIP. 109 hlm.
Widowati, I; Hartati, R; dan Ristiadi, Y. 2003. Studi Histologi Tingkat Kematangan Gonad Kerang
Totok (Polymesoda erosa) Di Pulau Gombol, Segara Anakan, Cilacap (Inpress).
__________.; Suprijanto, J.; Dwiono, S.A.P.; dan Hartati, R. 2005. Hubungan., J. Suprijanto dan R.
Pribadi. 2007. Kajian dampak tailing PT. Freeport terhadap Perairan Muara Ajkwa dan
Sekitarnya. PT. Ecostar Engenering.
Winarno, K dan Ahmad D.S. 2003. Penyudetan Sungai Citanduy, Buah Simalakama Konservasi
Ekosistem hutan mangrove Segar Anakan. BIODIVERSITAS Volume 4, Nomor 1.
Halaman : 63 -72
Tanya Jawab
Penanya : Krismono
Pertanyaan : Data kondisi mangrove, kenapa bisa naik dan turun?
Jawaban : Perubahan disebabkan:
- Mangrove tidak terkena air laut
- Beberapa hal yang harus dilakukan
a. Peyudetan
b. Melarang nelayan menebang pohon mangrove
14 - Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-01)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-02) - 1
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
PERTUMBUHAN, MORTALITAS DAN PREFERENSI MAKANAN IKAN NILA
(Oreochromis niloticus) DI WADUK MALAHAYU
Kunto Purnomo
Balai Riset Pemulihan Sumberdaya Ikan,
Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan, KKP
Jalan Cilalawi No. 1, Jatiluhur, Purwakarta-41125
E-mail: kuntopurnomo@yahoo.com
Abstrak
Waduk Malahayu secara administratif termasuk wilayah Kabupaten Brebes, Provinsi Jawa Tengah.
Waduk yang dibangun oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1930 tersebut fungsi
utamanya adalah untuk mengairi irigasi pertanian di daerah pantai utara (pantura). Tujuan
penelitian adalah untuk mengetahui pola pertumbuhan, tingkat eksploitasi sumberdaya dan
preferensi makanan ikan nila (Oreochromis niloticus). Penelitian dilakukan antara bulan Agustus
2009 sampai Agustus 2010 menggunakan metoda survei. Contoh ikan diperoleh dari hasil
percobaan penangkapan ikan memakai gillnet eksperimental berukuran mata jaring antara antara
0,5 - 3,5 inci. Populasi ikan nila di waduk ini didominasi oleh ukuran panjang individu antara 11,0 -
23,0 cm (90,3%). Pola pertumbuhannya isometrik (y = 0.018x
3.023
). Hasil analisis parameter
populasi ikan nila memakai paket program FiSAT menunjukkan bahwa panjang asimtotik (L

)
mencapai 38,9 cm dan koefisien pertumbuhan k = 1,7 per tahun. Laju mortalitas karena
penangkapan (F) sebesar 2,37 per tahun dan mortalitas total (Z) sebesar 4,80 per tahun (kisaran:
2,60 - 7,01) sehingga tingkat eksploitasi (E) diperkirakan sebesar 0,49. Makanan ikan nila di
Waduk Malahayu ialah berupa fitoplankton (74,1 - 79,6%), detritus (12,2 - 21,3%), tumbuhan (2,1 -
11,1%) dan zooplankton (0,7 - 2,7%). Berdasarkan jenis makanan yang dikonsumsi maka ikan nila
di waduk ini tergolong bersifat ikan omnivora.
Kata kunci: Malahayu, nila, isometrik, pertumbuhan, mortalitas, omnivora
Pengantar
Waduk Malahayu luasnya kini tinggal 620 ha (awalnya mencapai sekitar 750 ha) dan
kedalaman rata-rata sekitar 10 m. Secara administratif waduk ini termasuk wilayah Kabupaten
Brebes, Provinsi Jawa Tengah. Waduk yang dibangun oleh pemerintah kolonial Belanda pada
tahun 1930 pada awalnya adalah sebagai penyedia air untuk keperluan irigasi pertanian di daerah
pantai utara (Pantura). Kini fungsi tersebut telah bertambah selain untuk pariwisata, juga untuk
pengembangan kegiatan perikanan tangkap berbasis budidaya (culture-based fisheries), artinya
pengembangan kegiatan perikanan tangkap yang mengandalkan input benih hasil dari instalasi
perbenihan (restoking) (De Silva, 2001; De Silva & Funge-Smith, 2005; De Silva et al., 2006).
Intensitas penangkapan ikan di waduk ini sudah cukup tinggi sehingga hampir setiap tahun di
waduk yang tidak terlalu luas ini selalu dilakukan restoking, terutama ikan nila (Oreochromis
niloticus), yang jumlahnya mencapai ratusan ribu setiap tahunnya.
Ikan nila (famili Cichlidae) adalah sejenis ikan konsumsi air tawar.yang sangat populer saat
ini, diintroduksikan pertama kali dari Afrika oleh Balai Penelitian Perikanan Air Tawar, Departemen
Pertanian pada tahun 1969. Beberapa ciri umum yang mudah dikenal/dilihat antara lain:
panjangnya bisa mencapai 30 cm; sirip punggung (dorsal) memiliki 16-17 duri (tajam), 11-15 jari-
jari (duri lunak), sirip dubur (anal) dengan 3 duri dan 8-11 jari-jari; tubuh berwarna kehitaman atau
keabuan, dengan beberapa pita gelap melintang (belang) yang makin mengabur pada ikan
dewasa; ekor bergaris-garis tegak, 7-12 buah; tenggorokan, sirip dada, sirip perut, sirip ekor dan
ujung sirip punggung dengan warna merah atau kemerahan (atau kekuningan) ketika musim
berbiak (Gambar 1).
BP-02
2 - Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-02)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Gambar 1. Ikan nila (Oreochromis niloticus).
Tujuan penelitian adalah ingin mengetahui pola pertumbuhan, tingkat eksploitasi
sumberdaya dan preferensi makanan ikan nila di Waduk Malahayu. Diharapkan hasil penelitian
bermanfaat sebagai bahan pertimbangan bagi para pembuat kebijakan di daerah maupun di pusat
dalam menyusun rencana pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan, khususnya ikan nila.
Bahan dan Metode
Penelitian dilakukan di Waduk Malahayu (Gambar 1) menggunakan metoda survei yang
dilakukan dari bulan Agustus 2009 sampai Agustus 2010. Sampel ikan nila yang dipakai dalam
penelitian ini adalah berasal dari hasil tangkapan nelayan maupun dari hasil percobaan
penangkapan ikan memakai gillnet eksperimental (experimental gillnet) berukuran mata jaring
antara 0,5 - 3,5 inci. Lokasi pengambilan sampel tersebut maupun pemasangan gillnet
eksperimental adalah di beberapa desa yang merupakan daerah konsentrasi nelayan di waduk
tersebut, yaitu Desa Karacak, Malahayu, Cawiri dan Pananggapan (Gambar 2).
Tiap individu ikan nila yang diperoleh setelah dicatat ukuran panjang (cm) dan beratnya
(gram), kemudian perutnya dibedah dan diambil saluran pencernakannya. Sampel inii dimasukkan
ke dalam kantung plastik dan diawetkan memakai larutan formalin 4%, lalu dibawa ke
Laboratorium Biologi Balai Riset Pemulihan Sumberdaya Ikan untuk dianalisis lebih lanjut. Analisis
sampel di laboratorium mencakup pengamatan organisme jenis makanan secara mikroskopis dan
identifikasi memakai buku-buku dari Needham & Needham (1963), Edmonson (1978), Quigley
(1972) dan Sachlan (1982).
Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-02) - 3
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Gambar 2. Lokasi daerah penelitian di Waduk Malahayu.
Data hasil pengukuran panjang dan berat ikan dianalisis untuk mengetahui sifat
pertumbuhan ikan, apakah isometrik (b = 3) atau alometrik (b 3), yaitu dihitung menggunakan
rumus hubungan antara panjang dan berat ikan (Pauly, 1983; Pauly, 1984) sebagai berikut:
W = a * L
b
dimana: W adalah berat ikan (gram); L adalah panjang total (cm); a dan b adalah konstanta.
Nilai konstanta b yang diperoleh dari persamaan tersebut diatas selanjutnya diuji ketepatannya
terhadap nilai b = 3 menggunakan uji t.
Model pertumbuhan ikan nila dinyatakan memakai model pertumbuhan dari von Bertalanffy
(Sparre & Venema, 1999) sebagai berikut:
L
t =
L

{1 e
(K (t-to))
}
dimana: L
t
= prediksi panjang pada umur t; L

= panjang asimptotik; K = konstanta pertumbuhan;


t
o
= umur ikan pada panjang nol
Penghitungan parameter pertumbuhan dari von Bertalanffy tersebut, yaitu panjang asimtotik (L

)
dan koefisien pertumbuhan (k) dilakukan dengan bantuan program ELEFAN I yang sudah
terintegrasi di dalam paket program komputer FISAT (Gayanillo et al., 2005)
Laju mortalitas alami (M) diduga memakai model empiris dari Pauly (1983) sebagai berikut:
log
10
M = -0.0066-0.279 log
10
L

+ 0.6543 log
10
K + 0.4634 log
10
T
dimana: T = rataan suhu lingkungan perairan Waduk Wonogiri, yaitu 28
0
C
Pendugaan parameter t
0
(umur teoritis) yaitu umur ketika panjang ikan = 0 dilakukan
menggunakan rumus empiris dari Pauly (1983) sebagai berikut:
log
10
(-t
o
) = -0.3922 -0.2752 log
10
L

-1.038 log
10
K
Koefisien mortalitas total (Z) diperoleh dari kurva hasil tangkapan berdasarkan panjang
(length-converted catch curve) (Pauly, 1983; Pauly 1983a) yang penghitungannya dilakukan
secara komputerisasi memakai paket program FiSAT (Gayanilo et al., 2005). Koefisien mortalitas
penangkapan (F) dihitung dari persamaan F = Z M. Laju eksploitasi (E) dihitung menggunakan
persamaan E = F/Z (Pauly, 1983; Pauly, 1984).
4 - Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan
Analisis data untuk mengetahui preferensi dan kebiasaan makanan ikan dilakukan
menggunakan metode indek bagian terbesar (
dalam Effendie (1979) sebagai berikut:
dimana: I
i
= indeks prepoderan jenis makanan ke
persentase kejadian pakan ke
Hasil dan Pembahasan
Dari 1.140 ekor ikan nila yang
didominasi oleh individu-individu yang berukuran relatif kecil, yaitu antara 11,0
3). Ukuran tersebut sulit sekali diduga, apakah berasal dari hasil rekrutmen secara alami atau dari
hasil restoking dalam rangka program pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya. Bila
dikaitkan dengan lingkungannya, tampaknya perkembangan ikan ini di waduk Malahayu cukup
baik. Secara umum pola pertumbuhannya bersifat isometrik (Gambar 4) dimana ni
3,023 (kisaran: 2,991 - 3,056), artinya pertumbuhan panjang badan sebanding/seimbang dengan
beratnya.
Gambar 3. Distribusi ukuran panjang ikan nila di Waduk Malahayu.
Gambar 4. Hubungan panjang
0
10
20
30
40
50
7
-
1
1
F
r
e
k
u
e
n
s
i
(
p
e
r
s
e
n
)
0.0
50.0
100.0
150.0
200.0
250.0
300.0
350.0
400.0
450.0
500.0
0.0 5.0
B
e
r
a
t
(
g
r
a
m
)
Biologi Perikanan (BP-02)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16
Analisis data untuk mengetahui preferensi dan kebiasaan makanan ikan dilakukan
menggunakan metode indek bagian terbesar (index of preponderance) dari Natarajan & Jhingran
fendie (1979) sebagai berikut:
I
i
= {(V
i
* O
i
) / (V
i
* O
i
)} * 100%
= indeks prepoderan jenis makanan ke i, V
i
= persentase volume pakan ke
persentase kejadian pakan ke i.
Dari 1.140 ekor ikan nila yang diperoleh selama penelitian ternyata populasinya lebih
individu yang berukuran relatif kecil, yaitu antara 11,0 -
3). Ukuran tersebut sulit sekali diduga, apakah berasal dari hasil rekrutmen secara alami atau dari
asil restoking dalam rangka program pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya. Bila
dikaitkan dengan lingkungannya, tampaknya perkembangan ikan ini di waduk Malahayu cukup
baik. Secara umum pola pertumbuhannya bersifat isometrik (Gambar 4) dimana ni
3,056), artinya pertumbuhan panjang badan sebanding/seimbang dengan
Gambar 3. Distribusi ukuran panjang ikan nila di Waduk Malahayu.
Gambar 4. Hubungan panjang - berat ikan nila di Waduk Malahayu.
7
-
1
1
1
1
-
1
5
1
5
-
1
9
1
9
-
2
3
2
3
-
2
7
2
7
-
3
1
3
1
-
3
5
3
5
-
3
9
Kelas ukuran panjang total (cm)
y = 0.018x
3.023
R = 0.966
10.0 15.0 20.0 25.0
Panjang (cm)
16 Juli 2011
Analisis data untuk mengetahui preferensi dan kebiasaan makanan ikan dilakukan
) dari Natarajan & Jhingran
= persentase volume pakan ke i dan O
i
=
diperoleh selama penelitian ternyata populasinya lebih
23,0 cm (Gambar
3). Ukuran tersebut sulit sekali diduga, apakah berasal dari hasil rekrutmen secara alami atau dari
asil restoking dalam rangka program pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya. Bila
dikaitkan dengan lingkungannya, tampaknya perkembangan ikan ini di waduk Malahayu cukup
baik. Secara umum pola pertumbuhannya bersifat isometrik (Gambar 4) dimana nilai konstanta b =
3,056), artinya pertumbuhan panjang badan sebanding/seimbang dengan
Gambar 3. Distribusi ukuran panjang ikan nila di Waduk Malahayu.
berat ikan nila di Waduk Malahayu.
30.0
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan
Hasil analisis terhadap sebaran frekuensi hasil tangkapan bulanan memakai paket program
FiSAT (Gambar 5) memperlihatkan bahwa model pertumbuhan ikan nila di Waduk Malahayu
mengikuti persamaan von Bertalaffy sebagai berikut:
waduk ini mampu tumbuh (L

per tahun. Nilai K merupakan suatu kurvatur yang menggambarkan seberapa cepat suatu jenis ikan
tumbuh hingga mencapai panjang infi
1999).
Gambar 5. Kurva pertumbuhan ikan nila di Waduk Malahayu.
Berdasarkan model pertumbuhan tadi maka diperoleh nilai konstanta mortalitas alami, (M)
sebesar 2,43 per tahun, konstanta mortalitas penangkapan (F) sebesar 2,37 per tahun dan laju
eksploitasi stok (E) ikan nila sebesar 0.49. Bila diasumsikan
dieksploitasi (F
opt
) adalah sebanding dengan mortalitas alaminya (M) maka
optimum (E
opt
) yang diharapkan adalah
Gulland tersebut berarti sebenarnya laju eksploitasi
mencapai batas optimum, artinya harus ada upaya pengurangan jumlah nelayan atau jumlah unit
alat tangkap yang boleh beroperasi. Sebenarnya besaran laju eksploitasi stok ikan nila tidak terlalu
menjadi masalah untuk kasus seperti di Waduk Malahayu. Populasi jenis ikan ini cukup melimpah,
setiap tahun selalu dilakukan penebaran benih ikan, terurutama nila (lainnya ialah sedikit ikan mas
dan tawes). Data Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Brebes menyebutkan bahwa ant
tahun 2001 - 2009 jumlah benih ikan nila yang ditebarkan baik oleh Pemerintah maupun
masyarakat yang tergabung dalam Kelompok Nelayan NILA JAYA adalah sekitar 150.000
325.000 ekor per tahunnya (Kustanto, 2008). Nila Jaya adalah kelompok nelayan yang
cukup mapan dalam hal pengelolaan anggotanya dan dalam hal penegakkan peraturan (
enforcement), dan karena kondisi keuangannya sudah cukup kuat maka setiap tahunnya sesuai
dengan tuntutan anggota-anggotanya pasti melakukan penebaran (restoking) ik
benih yang ditebarkan pun selalu lebih tinggi dari kemampuan anggaran pemerintah. Oleh karena
itu maka tidak mustahil kalau produksi tangkapan ikan di waduk ini terus meningkat dari 348 ton
pada tahun 2003 menjadi 1.025 ton pada tahun 2007
tidak perlu selalu ditebari ikan nila secara rutin setiap tahunnya, sebab potensi sumberdaya
perairannya masih mampu mendukung rekrutmen secara alami (sumberdaya makanan alami
berupa plankton cukup melimpah) sehingga i
mengkawatirkan (Purnomo, 2010; Purnomo
Hasil analisis program FiSAT lebih lanjut untuk mengetahui pola
seperti tersaji dalam Gambar 6. Gambar i
memijah dua kali dalam setahun. Puncak
Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan
Hasil analisis terhadap sebaran frekuensi hasil tangkapan bulanan memakai paket program
FiSAT (Gambar 5) memperlihatkan bahwa model pertumbuhan ikan nila di Waduk Malahayu
mengikuti persamaan von Bertalaffy sebagai berikut: L
t
= 38,9 ( 1 - e
-1,7 (t to)

) hingga mencapai 38,9 cm dengan laju pertumbuhan (K) sebesar 1,7


per tahun. Nilai K merupakan suatu kurvatur yang menggambarkan seberapa cepat suatu jenis ikan
tumbuh hingga mencapai panjang infinitinya (length infinity, L

) (Pauly, 1983; Sparre & Venema,


Gambar 5. Kurva pertumbuhan ikan nila di Waduk Malahayu.
Berdasarkan model pertumbuhan tadi maka diperoleh nilai konstanta mortalitas alami, (M)
sebesar 2,43 per tahun, konstanta mortalitas penangkapan (F) sebesar 2,37 per tahun dan laju
eksploitasi stok (E) ikan nila sebesar 0.49. Bila diasumsikan nilai optimum F dari stok ikan yang
) adalah sebanding dengan mortalitas alaminya (M) maka
) yang diharapkan adalah sebesar 0.5 (Gulland, 1983). Bertolak dari pendapat
Gulland tersebut berarti sebenarnya laju eksploitasi stok ikan nila di Waduk Malahayu telah
mencapai batas optimum, artinya harus ada upaya pengurangan jumlah nelayan atau jumlah unit
alat tangkap yang boleh beroperasi. Sebenarnya besaran laju eksploitasi stok ikan nila tidak terlalu
asus seperti di Waduk Malahayu. Populasi jenis ikan ini cukup melimpah,
setiap tahun selalu dilakukan penebaran benih ikan, terurutama nila (lainnya ialah sedikit ikan mas
dan tawes). Data Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Brebes menyebutkan bahwa ant
2009 jumlah benih ikan nila yang ditebarkan baik oleh Pemerintah maupun
masyarakat yang tergabung dalam Kelompok Nelayan NILA JAYA adalah sekitar 150.000
325.000 ekor per tahunnya (Kustanto, 2008). Nila Jaya adalah kelompok nelayan yang
cukup mapan dalam hal pengelolaan anggotanya dan dalam hal penegakkan peraturan (
), dan karena kondisi keuangannya sudah cukup kuat maka setiap tahunnya sesuai
anggotanya pasti melakukan penebaran (restoking) ik
benih yang ditebarkan pun selalu lebih tinggi dari kemampuan anggaran pemerintah. Oleh karena
itu maka tidak mustahil kalau produksi tangkapan ikan di waduk ini terus meningkat dari 348 ton
pada tahun 2003 menjadi 1.025 ton pada tahun 2007 (Purnomo, 2010). Sebenarnya waduk ini
tidak perlu selalu ditebari ikan nila secara rutin setiap tahunnya, sebab potensi sumberdaya
perairannya masih mampu mendukung rekrutmen secara alami (sumberdaya makanan alami
berupa plankton cukup melimpah) sehingga intensitas penangkapan saat ini belum terlalu
mengkawatirkan (Purnomo, 2010; Purnomo et al., 2009; Sugianti & Purnomo, 2009).
Hasil analisis program FiSAT lebih lanjut untuk mengetahui pola rekrutmen ikan nila adalah
seperti tersaji dalam Gambar 6. Gambar ini mengindikasikan bahwa ikan nila di Waduk Malahayu
memijah dua kali dalam setahun. Puncak-puncak pemijahan tersebut tidak terlalu jelas, kemungkinan
Biologi Perikanan (BP-02) - 5
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Hasil analisis terhadap sebaran frekuensi hasil tangkapan bulanan memakai paket program
FiSAT (Gambar 5) memperlihatkan bahwa model pertumbuhan ikan nila di Waduk Malahayu
to)
). Artinya ikan nila di
) hingga mencapai 38,9 cm dengan laju pertumbuhan (K) sebesar 1,7
per tahun. Nilai K merupakan suatu kurvatur yang menggambarkan seberapa cepat suatu jenis ikan
) (Pauly, 1983; Sparre & Venema,
Gambar 5. Kurva pertumbuhan ikan nila di Waduk Malahayu.
Berdasarkan model pertumbuhan tadi maka diperoleh nilai konstanta mortalitas alami, (M)
sebesar 2,43 per tahun, konstanta mortalitas penangkapan (F) sebesar 2,37 per tahun dan laju
F dari stok ikan yang
) adalah sebanding dengan mortalitas alaminya (M) maka laju eksploitasi
Bertolak dari pendapat
stok ikan nila di Waduk Malahayu telah
mencapai batas optimum, artinya harus ada upaya pengurangan jumlah nelayan atau jumlah unit
alat tangkap yang boleh beroperasi. Sebenarnya besaran laju eksploitasi stok ikan nila tidak terlalu
asus seperti di Waduk Malahayu. Populasi jenis ikan ini cukup melimpah,
setiap tahun selalu dilakukan penebaran benih ikan, terurutama nila (lainnya ialah sedikit ikan mas
dan tawes). Data Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Brebes menyebutkan bahwa antara
2009 jumlah benih ikan nila yang ditebarkan baik oleh Pemerintah maupun
masyarakat yang tergabung dalam Kelompok Nelayan NILA JAYA adalah sekitar 150.000 -
325.000 ekor per tahunnya (Kustanto, 2008). Nila Jaya adalah kelompok nelayan yang sudah
cukup mapan dalam hal pengelolaan anggotanya dan dalam hal penegakkan peraturan (law
), dan karena kondisi keuangannya sudah cukup kuat maka setiap tahunnya sesuai
anggotanya pasti melakukan penebaran (restoking) ikan nila. Jumlah
benih yang ditebarkan pun selalu lebih tinggi dari kemampuan anggaran pemerintah. Oleh karena
itu maka tidak mustahil kalau produksi tangkapan ikan di waduk ini terus meningkat dari 348 ton
(Purnomo, 2010). Sebenarnya waduk ini
tidak perlu selalu ditebari ikan nila secara rutin setiap tahunnya, sebab potensi sumberdaya
perairannya masih mampu mendukung rekrutmen secara alami (sumberdaya makanan alami
ntensitas penangkapan saat ini belum terlalu
., 2009; Sugianti & Purnomo, 2009).
rekrutmen ikan nila adalah
ni mengindikasikan bahwa ikan nila di Waduk Malahayu
puncak pemijahan tersebut tidak terlalu jelas, kemungkinan
6 - Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan
pemijahannya di alam tidak dilakukan sekali secara serentak, melainkan beberapa kali oleh
induk/individu ikan yang lainnya dan pada waktu yang berbeda juga. Artinya setiap periode waktu
tertentu selalu ada saja induk ikan nila yang memijah. Pola pemijahan tersebut agaknya mirip dengan
pola pemijahan ikan bilih (Mystacoleucus padangensis
(Purnomo & Sunarno, 2010).
Gambar 6. Pola rekrutmen ikan nila di Waduk Malahayu.
Selama penelitian berlangsung, secara sampling telah dipilih 54 ekor ikan nila dari berbagai
ukuran panjang untuk dibedah. Hasil analisis isi perut ikan
Gambar 7. Dari Gambar 7 tampak bahwa ikan nila lebih banyak memanfaatkan fitoplankton
sebagai makanan utamanya (76,51%), makanan tambahannya berupa detritus (17,71%)
sedangkan makanan pelengkapnya ialah berupa tumbuhan
Analisis lebih lanjut juga menunjukkan bahwa fitoplankton yang paling banyak dikonsumsi oleh
ikan nila ialah dari Kelas Dinophyceae (25,42%) dan Bacillariophyceae (21,77%) (Gambar 8).
Bertolak dari komposisi dan prefer
digolongkan sebagai ikan omnivora.
0
2
4
6
8
10
12
14
16
1 2 3
R
e
k
r
u
t
m
e
n
(
p
e
r
s
e
n
)
Biologi Perikanan (BP-02)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16
pemijahannya di alam tidak dilakukan sekali secara serentak, melainkan beberapa kali oleh
ikan yang lainnya dan pada waktu yang berbeda juga. Artinya setiap periode waktu
tertentu selalu ada saja induk ikan nila yang memijah. Pola pemijahan tersebut agaknya mirip dengan
Mystacoleucus padangensis) di Danau Singkarak, S
Gambar 6. Pola rekrutmen ikan nila di Waduk Malahayu.
Selama penelitian berlangsung, secara sampling telah dipilih 54 ekor ikan nila dari berbagai
ukuran panjang untuk dibedah. Hasil analisis isi perut ikan tersebut adalah seperti tersaji dalam
Gambar 7. Dari Gambar 7 tampak bahwa ikan nila lebih banyak memanfaatkan fitoplankton
sebagai makanan utamanya (76,51%), makanan tambahannya berupa detritus (17,71%)
sedangkan makanan pelengkapnya ialah berupa tumbuhan air (4,40%) dan zooplankton (1,38%).
Analisis lebih lanjut juga menunjukkan bahwa fitoplankton yang paling banyak dikonsumsi oleh
ikan nila ialah dari Kelas Dinophyceae (25,42%) dan Bacillariophyceae (21,77%) (Gambar 8).
Bertolak dari komposisi dan preferensi makanannya maka ikan nila secara umum dapat
digolongkan sebagai ikan omnivora.
3 4 5 6 7 8 9 10 11
Bulan ke
16 Juli 2011
pemijahannya di alam tidak dilakukan sekali secara serentak, melainkan beberapa kali oleh
ikan yang lainnya dan pada waktu yang berbeda juga. Artinya setiap periode waktu
tertentu selalu ada saja induk ikan nila yang memijah. Pola pemijahan tersebut agaknya mirip dengan
) di Danau Singkarak, Sumatera Barat
Selama penelitian berlangsung, secara sampling telah dipilih 54 ekor ikan nila dari berbagai
tersebut adalah seperti tersaji dalam
Gambar 7. Dari Gambar 7 tampak bahwa ikan nila lebih banyak memanfaatkan fitoplankton
sebagai makanan utamanya (76,51%), makanan tambahannya berupa detritus (17,71%)
air (4,40%) dan zooplankton (1,38%).
Analisis lebih lanjut juga menunjukkan bahwa fitoplankton yang paling banyak dikonsumsi oleh
ikan nila ialah dari Kelas Dinophyceae (25,42%) dan Bacillariophyceae (21,77%) (Gambar 8).
ensi makanannya maka ikan nila secara umum dapat
12
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan
Gambar 7. Komposisi makanan ikan nila (%) di Waduk Malahayu.
Gambar 8. Komposisi fitoplankton yang dikonsumsi ikan nila di Waduk Malahayu.
Kesimpulan
Ikan nila di Waduk Malahayu dapat tumbuh hingga mencapai panjang 38,9 cm dengan
laju pertumbuhan 1,7 per tahun. Tingkat eksploitasi stok saat ini (E = 0,49) sudah mendekati
batas optimum sehingga perlu ada pengendalian upaya penangkapan, misalnya dengan
mengendalikan penerbitan surat ijin penangkapan ikan secara selektif. Ikan nila di Waduk
Malahayu bersifat omnivora, makanannya berupa fitoplankton (terutama dari kelas
Dinophyceae dan Bacillariophyceae), detritus dan sediit tumbuhan air.
Persantunan
Makalah ini merupakan bagian dari hasil kegiatan penelitian yang dilakukan oleh Balai Riset
Pemulihan Sumberdaya Ikan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan
Fitoplankton,
76.51
Zooplankton,
1.39
0
5
10
15
20
25
30
I
n
d
e
k
p
r
e
p
o
n
d
e
r
a
n
(
%
)
Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan
Gambar 7. Komposisi makanan ikan nila (%) di Waduk Malahayu.
Gambar 8. Komposisi fitoplankton yang dikonsumsi ikan nila di Waduk Malahayu.
Waduk Malahayu dapat tumbuh hingga mencapai panjang 38,9 cm dengan
laju pertumbuhan 1,7 per tahun. Tingkat eksploitasi stok saat ini (E = 0,49) sudah mendekati
batas optimum sehingga perlu ada pengendalian upaya penangkapan, misalnya dengan
enerbitan surat ijin penangkapan ikan secara selektif. Ikan nila di Waduk
Malahayu bersifat omnivora, makanannya berupa fitoplankton (terutama dari kelas
Dinophyceae dan Bacillariophyceae), detritus dan sediit tumbuhan air.
kan bagian dari hasil kegiatan penelitian yang dilakukan oleh Balai Riset
Pemulihan Sumberdaya Ikan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan
Zooplankton,
Tumbuhan,
4.40
Kelas Fitoplankton
Biologi Perikanan (BP-02) - 7
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Gambar 7. Komposisi makanan ikan nila (%) di Waduk Malahayu.
Gambar 8. Komposisi fitoplankton yang dikonsumsi ikan nila di Waduk Malahayu.
Waduk Malahayu dapat tumbuh hingga mencapai panjang 38,9 cm dengan
laju pertumbuhan 1,7 per tahun. Tingkat eksploitasi stok saat ini (E = 0,49) sudah mendekati
batas optimum sehingga perlu ada pengendalian upaya penangkapan, misalnya dengan
enerbitan surat ijin penangkapan ikan secara selektif. Ikan nila di Waduk
Malahayu bersifat omnivora, makanannya berupa fitoplankton (terutama dari kelas
kan bagian dari hasil kegiatan penelitian yang dilakukan oleh Balai Riset
Pemulihan Sumberdaya Ikan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan -
Detritus ,
17.71
8 - Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-02)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
KKP pada tahun anggaran 2009 dan 2010 yang berjudul "Penelitian Perikanan Berbasis Budidaya
(Culture-Based Fisheries. CBF) di Waduk Malahayu (Kabupaten Brebes) dan Situ Panjalu
(Kabupaten Ciamis)". Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak Kepala Balai atas
perhatian dan dukungan alokasi dana yang cukup sehingga penelitian tersebut bisa berlangsung
dengan lancar.
Daftar Pustaka
De Silva,S.S. 2001. Reservoir and culture-based fisheries: biology and management. Proceedings
of an International Workshop held in Bangkok, Thailand from 1518 February 2000. ACIAR
Proceedings No. 98. 384pp
De Silva, S.S. & S.J. Funge-Smith. 2005. A review of stock enhancement practices in the inland
water fisheries of Asia. Asia-Pacific Fishery Commission, Bangkok, Thailand. RAP
Publication No. 2005/12, 93 p.
De Silva, S.S., U.S. Amarasinghe & T.T.T. Nguyen (eds), 2006. Better-practice approaches for
culture-based fisheries development in Asia. ACIAR Monograph No. 120, 96p.
Edmonson, W.T. 1978. Freshwater Biology.second edition. University of Washington. Seattle
Gayanilo, F. C. Jr., P. Sparre & D. Pauly. 2005. FAO-ICLARM Stock Assessment Tools II (FiSAT
II). Revised version. User's guide. FAO Computerized Information Series (Fisheries). No. 8,
Revised version. FAO Rome. 168p.
Gulland, J.A. 1983. Fish stock assessment: a manual of basic methods. Chichester, U.K., Wiley
Interscience, FAO/Wiley series on food and agriculture, Vol. 1:223 pp.
Effendie, M.I. 1979. Metoda Biologi Perikanan. Cetakan pertama . Yayasan Dewi Sri. Bogor.
Kustanto. H. 2008. Sukses story pemacuan sumberdaya ikan di Waduk Malahayu. Kabupaten
Brebes. Dinas Kelautan dan Perikanan. Kabupaten Brebes. Disampaikan pada Lokakarya
Pemacuan sumber daya Ikan di Perairan Umum. Dit. SDI. DJPT-KKP. Hotel Saphir
Yogyakarta 4 7 November 2008.
Lorenzen, K., Amarasinghe, U.S., Bartley, D.M., Bell, J.D., Bilio, M., de Silva, S.S., Garaway, C.J.,
Hartmann, W.D., Kapetsky, J.M., Laleye, P., Moreau, J., Sugunan, V.V. & Swar, D.B. 2001.
Strategic Review of enhancements and culture-based fisheries. In R.P. Subasinghe, P.
Bueno, M.J. Phillips, C. Hough, & S.E. McGladdery (Eds). Aquaculture in the Third
Millennium. Technical Proceedings of the Conference on Aquaculture in the Third
Millennium, Bangkok, Thailand, 20-25 February 2000. pp.221-237.
Needham. J. G. & P. R. Needham. 1962. A guide to the study of freshwater biology. Constable &
Co. Ltd.. London
Pauly, D. 1983. Some Simple Methods for the Assessment of Tropical Fish Stocks. FAO Fisheries
Technical Paper (254): 52p.
Pauly, D. 1983a. Length-converted catch curves: a powerful tool for fisheries research in the
tropics (Part I). ICLARM Fishbyte 2, 9-13.
Pauly, D., 1984. Some simple methods for the assessment of tropical fish stocks. FAO Fish. Tech.
Pap. (234): 52 p.
Purnomo, K. 2010. Potensi sumberdaya ikan Waduk Malahayu (Jawa Tengah) dan Situ Lengkong
(Jawa Barat). Prosiding Seminar Nasional Perikanan 2010. 2-3 Desember 2010. Sekolah
Tinggi Perikanan. Jakarta.
Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-02) - 9
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Purnomo, K., E.S. Kartamihardja & A. Suryandari. 2009. Struktur komunitas ikan dan implikasinya
untuk pengembangan perikanan berbasis budidaya (culture-based fisheries) di Jawa barat
dan Jawa Tengah. Prosiding Forum Nasional Pemacuan Sumberdaya Ikan II, Purwakarta 24
Oktober 2009. Pusat Riset Perikanan Tangkap, Badan Riset Kelautan dan Perikanan - KKP.
Purnomo, K. & M.T.D. Sunarno. 2009. Beberapa aspek biologi ikan bilih (Mystacoleucus
padangensis) di Danau Singkarak. Bawal. Widya Riset Perikanan Tangkap. Vol. 2 No. 6.
Quigley. M. 1977. Invertebrates of Stream and Rivers . A key to identification
Sachlan. M. 1982. Planktonologi. Fakultas Peternakan dan Perikanan Universitas Diponegoro
Semarang. 156 pp.
Sparre, P. & S.C. Venema. 1999. Introduksi pengkajian stok ikan tropis. Buku i. Manual, Pusat
Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Jakarta. 438 p.
Sugianti, Y & K. Purnomo. 2009. Inventarisasi jenis plankton di Waduk Malahayu, Jawa Tengah.
Prosiding Seminar Nasional Tahunan VI Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan Tahun
2009. Jurusan Perikanan dan Kelautan, Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada.
Tanya Jawab
Penanya : Siti Nurul Aida
Pertanyaan : Apakah karena berkompetisi sehingga ikan nila ( pada relung yang sama )
bisa survive?
Jawaban : Perbedaan makanan jauh, yaitu plankton. Meskipun makanannya sama tidak
mungkin terbunuh. Ibaratnya sama-sama mahasiswa ada S1 dan S2 berbeda
materinya
Penanya : Charles
Pertanyaan : Apakah keberadaan ikan-ikan ( Oscar, dll) memengaruhi pada pertumbuhan
ikan nila?
Jawaban : Kompetisi harus dilihat seca luas, tidak hanya bergantung pada makanan
10 - Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-02)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-03) - 1
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
SEBARAN TEMPORAL KONDISI KEPITING BAKAU (Scylla serrata) DI
PERAIRAN PANTAI MAYANGAN, KABUPATEN SUBANG, JAWA BARAT
Agus Arifin Sentosa dan Amran Ronny Syam
Staf peneliti pada Balai Riset Pemulihan Sumberdaya Ikan, Jatiluhur
Abstrak
Scylla serrata merupakan salah satu jenis kepiting bakau yang dominan tertangkap di perairan
Pantai Mayangan, Subang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sebaran temporal kondisi
kepiting bakau (S. serrata) di perairan Pantai Mayangan, Subang ditinjau dari hubungan lebar
karapas-berat dan faktor kondisinya. Survei lapang dilakukan pada bulan April, Juni, Agustus dan
November 2009. Data lebar karapas dan berat kepiting bakau dikumpulkan melalui enumerator
sejak Januari hingga November 2009. Hasil menunjukkan persamaan hubungan lebar karapas-
berat antara kepiting jantan dan betina berbeda nyata (P<0,05). Kepiting jantan dan betina memiliki
pola pertumbuhan allometrik negatif dengan nilai b kepiting jantan cenderung lebih besar
dibandingkan betina. Kisaran nilai K dan Kn kepiting jantan lebih lebar dibandingkan betina
sehingga kepiting jantan cenderung lebih gemuk. Sebaran temporal faktor kondisi kepiting bakau
diduga terkait dengan siklus reproduksinya. Nilai faktor kondisi meningkat sejak bulan Juni hingga
puncaknya pada bulan Oktober yang diduga pada saat tersebut merupakan puncak musim
pemijahan kepiting bakau di perairan Pantai Mayangan.
Kata kunci: faktor kondisi, Pantai Mayangan, Scylla serrata, sebaran temporal
Pengantar
Perairan pantai Mayangan yang terletak di Desa Mayangan, Kabupaten Subang merupakan
salah satu kawasan mangrove di bagian utara Jawa Barat yang kondisinya masih relatif cukup baik
dengan jenis vegetasi mangrove yang dominan adalah bakau (Rhizopora sp.) dan api-api
(Avicennia sp.) (Satria & Priatna, 2009). Satria & Syam (2009) menyebutkan bahwa luas wilayah
mangrove di Desa Mayangan sekitar 196,5 ha. Kawasan tersebut telah dimanfaatkan masyarakat
setempat untuk pengembangan perikanan. Dua pertiga hutan mangrove di Mayangan diusahakan
sebagai tambak tumpang sari (sylvofishery) (Rahardjo, 2008). Kegiatan penangkapan di daerah
mangrove oleh nelayan setempat juga telah berlangsung sejak dahulu.
Kepiting bakau merupakan salah satu komoditas perikanan yang banyak tertangkap di
perairan mangrove Mayangan. Kepiting bakau yang terdapat di Mayangan terdiri dari empat jenis,
yaitu Scylla serrata, S. olivacea, S. tranquebarica dan S. paramamosain (Rugaya, 2006). Menurut
Syam & Purnamaningtyas (2010), Scylla serrata (Forskl,1775) merupakan jenis kepiting bakau
yang mendominasi hasil tangkapan kepiting di Mayangan (sekitar 61%). Scylla serrata memiliki ciri
berupa adanya cheliped dan kaki-kaki dengan pola poligon untuk kedua jenis kelamin dan pada
abdomen betina. Warna tubuh bervariasi dari ungu kehijauan hingga hitam kecoklatan. Duri pada
rostrum tinggi, rata dan agak tumpul dengan tepian yang cenderung cekung dan membulat. Duri
pada bagian luar cheliped berupa dua duri tajam pada propodus dan sepasang duri tajam pada
carpus (Keenan et al., 1998).
Cholik (1999) menyatakan bahwa kepiting bakau telah menjadi komoditas perikanan yang
penting dan memiliki nilai ekonomi yang tinggi di Indonesia sejak tahun 1980. Produksi kepiting
bakau sebagian besar masih berasal dari sektor penangkapan. Permintaan kepiting bakau di dunia
internasional cenderung meningkat sehingga berdampak pada tingginya aktivitas penangkapan
kepiting di alam. Ekspor kepiting bakau dari Indonesia pada tahun 2000 mencapai 12.381 ton dan
pada tahun 2007 meningkat menjadi 22.726 ton (KOMPAS, 2008). Syam et al. (2009) menyatakan
fenomena serupa juga terjadi di daerah Mayangan dan sekitarnya, produksi kepiting bakau hasil
tangkapan nelayan meningkat dari 20 ton/tahun (2007) menjadi 28 ton/tahun (2008).
Degradasi ekosistem mangrove dan eksploitasi berlebihan yang banyak terjadi di perairan
Indonesia telah mengakibatkan penurunan pada populasi kepiting bakau (Scylla sp.). Upaya
penangkapan kepiting bakau dapat dioptimalkan melalui pemacuan stok yang meliputi perbaikan
habitat dan restoking (Cholik, 1999). Data biologi kepiting bakau sebagai data dasar diperlukan
dalam rangka manajemen dan konservasi kepiting bakau di perairan Pantai Mayangan. Salah satu
data biologi tersebut adalah data mengenai hubungan lebar karapas-berat dan faktor kondisi
BP-03
2 - Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-03)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
kepiting bakau. Sebaran temporal faktor kondisi kepiting bakau diharapkan dapat menggambarkan
variasi musiman kondisi populasi S. serrata di perairan Pantai Mayangan. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui sebaran temporal kondisi kepiting bakau (S. serrata) di perairan Pantai
Mayangan, Subang ditinjau dari hubungan lebar karapas-berat dan faktor kondisinya.
Bahan dan Metode
Penelitian dilakukan di sekitar perairan Pantai Mayangan di Desa Mayangan, Kecamatan
Legon Kulon, Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat (Gambar 1). Survei lapang dilakukan pada
bulan April, Juni, Agustus dan November 2009.
Gambar 1. Lokasi penelitian di perairan Pantai Mayangan, Subang (Sjafei & Liana, 2005)
Identifikasi kepiting bakau dilakukan berdasarkan Keenan et al. (1998). Sampel kepiting
bakau (Scylla serrata) diperoleh dengan melakukan penangkapan sendiri menggunakan badong
(bubu lipat). Sampel yang diperoleh diukur lebar karapas (cm) dan berat (gram) menggunakan
calliper (jangka sorong) dan timbangan. Data lebar karapas dan berat kepiting bakau juga
diperoleh dari hasil tangkapan nelayan setempat menggunakan bantuan enumerator selama
periode Januari hingga November 2009.
Rasio kelamin dianalisis menggunakan uji chi square (
2
) untuk melihat keseimbangan rasio
jantan dan betina. Hubungan lebar karapas dan berat tubuh kepiting bakau dianalisis dengan
memisahkan antara jenis kelamin jantan dan betina menggunakan persamaan Le Cren (1951)
sebagai berikut:
W = aL
b
dengan W adalah berat tubuh kepiting dalam gram, L adalah lebar karapas kepiting dalam cm, a
dan b adalah konstanta (Effendie, 2002; King, 1995). Pendugaan nilai a dan b dilakukan
menggunakan bantuan program Microsoft Excel 2007.
Faktor kondisi dianalisis menggunakan faktor kondisi Fulton (K) dan faktor kondisi relatif
(Bagenal & Tesch, 1978; Le Cren, 1951; Effendie, 2002). Persamaan faktor kondisi Fulton adalah
sebagai berikut:
K =
3
100W
L
dimana K adalah faktor kondisi, W adalah berat tubuh (gram) dan L adalah lebar karapas (cm).
Persamaan faktor kondisi relatif (Kn) adalah sebagai berikut:
Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-03) - 3
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Kn =
'
W
W
dimana Kn adalah faktor kondisi relatif, W adalah berat tubuh yang diobservasi dan W adalah
berat tubuh yang diprediksi melalui persamaan hubungan panjang berat: W = aL
b
(Bagenal &
Tesch, 1978; King, 1995).
Hasil dan Pembahasan
Jumlah sampel Scylla serrata yang diperoleh selama periode Januari hingga November
2009 adalah sebanyak 4494 ekor, terdiri atas 3436 jantan (76,46%) dan 1058 betina (23,54%)
dengan nisbah kelamin jantan dengan betina secara keseluruhan adalah 3 : 1. Distribusi jenis
kelamin kepiting bakau secara temporal juga menunjukkan rasio jantan lebih besar dibandingkan
betina (Gambar 2). Berdasarkan uji chi square (
2
), diketahui bahwa rasio jantan dan betina
kepiting bakau berbeda nyata terhadap 1 : 1 (P<0,05). Hal tersebut menunjukkan populasi kepiting
bakau di Mayangan didominasi oleh jenis kelamin jantan.
Banyaknya kepiting jantan yang tertangkap di perairan Mayangan diduga terkait dengan
pola migrasi kepiting bakau. S. serrata yang melakukan perkawinan di perairan mangrove dan
secara berangsur-angsur sesuai dengan perkembangan telurnya, kepiting betina akan beruaya ke
laut dan memijah, sedangkan kepiting jantan tetap di perairan hutan bakau atau muara sungai (Hill,
1975). Kepiting jantan yang banyak tertangkap dibandingkan betina diduga juga dipengaruhi oleh
sifat agresif S. serrata jantan dalam mencari makan (Wijaya et al., 2010) sehingga kepiting jantan
banyak yang lebih sering tertangkap dengan bubu lipat.
Kondisi populasi Scylla serrata yang umumnya didominasi oleh jenis kelamin jantan juga
terdapat di lokasi lain. Wijaya et al. (2010) menyebutkan nisbah kelamin S. serrata di kawasan
mangrove Taman Nasional Kutai, Kalimantan Timur secara umum juga didominasi oleh kepiting
jantan. Kondisi yang sama juga penah dilaporkan di perairan mangrove Sundarbans, Bangladesh
(Ali et al., 2004), di Kosrae, Micronesia (Bonine et al., 2008), dan di Kenya (Fondo et al., 2010).
Gambar 2. Sebaran temporal nisbah kelamin S. serrata di Mayangan
Persamaan hubungan lebar karapas dan berat tubuh kepiting bakau yang tertangkap di
Mayangan disajikan dalam Tabel 1. Nilai korelasi persamaan tersebut yang berkisar antara 0,778
0,992 menunjukkan hubungan yang cukup erat. Nilai koefisien determinasi berkisar antara 0,605
0,984 yang menunjukkan variabel lebar karapas memiliki pengaruh terhadap variabel berat
kepiting bakau.
0.0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
1.0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
%
i
n
d
i
v
i
d
u
Bulan 2009
Betina
Jantan
4 - Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-03)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Tabel 1. Hubungan lebar karapas (L) dengan berat (W) S. serrata di perairan Pantai Mayangan
Bulan
Jenis
Kelamin
Jumlah
Sampel
W = aL
b
r R
2
Januari 2009 Jantan 485 W = 0,865 L
2,400
0,984 0,9674
Betina 130 W = 5,299 L
1,584
0,936 0,8768
Februari 2009 Jantan 314 W = 0,933 L
2,364
0,986 0,9721
Betina 83 W = 9,716 L
1,305
0,933 0,8702
Maret 2009 Jantan 375 W = 0,913 L
2,372
0,985 0,9699
Betina 123 W = 10,582 L
1,264
0,933 0,8703
April 2009 Jantan 400 W = 0,619 L
2,545
0,965 0,9312
Betina 114 W = 1,741 L
2,082
0,929 0,8639
Mei 2009 Jantan 359 W = 0,918 L
2,364
0,992 0,9842
Betina 124 W = 3,515 L
1,757
0,948 0,8985
Juni 2009 Jantan 456 W = 0,503 L
2,609
0,956 0,9147
Betina 142 W = 1,674 L
2,091
0,957 0,9151
Juli 2009 Jantan 206 W = 0,980 L
2,339
0,979 0,9594
Betina 79 W = 0,964 L
2,352
0,963 0,9270
Agustus 2009 Jantan 211 W = 1,278 L
2,219
0,973 0,9463
Betina 69 W = 3,475 L
1,779
0,879 0,7731
September 2009 Jantan 200 W = 0,547 L
2,698
0,875 0,7661
Betina 53 W = 9,663 L
1,305
0,778 0,6054
Oktober 2009 Jantan 74 W = 0,444 L
2,835
0,920 0,8456
Betina 24 W = 2,907 L
1,987
0,799 0,6387
November 2009 Jantan 356 W = 0,800 L
2,422
0,950 0,9029
Betina 117 W = 2,976 L
1,826
0,867 0,7515
Keterangan: W = berat tubuh (gram), L = lebar karapas (cm), a dan b = koefisien regresi
r = koefisien korelasi, R
2
= koefisien determinasi
Nilai b untuk S. serrata jantan berkisar antara 2,219 2,835 dengan kisaran nilai a antara
0,444 1,278 dan S. serrata betina antara 1,264 2,352 dengan kisaran nilai a antara 0,964
10,582 (Tabel 1). Perbedaan koefisien a dan b diduga dipengaruhi oleh jenis kelamin, tingkat
kematangan gonad, musim dan ketersediaan makanan. Nilai b cenderung bersifat tetap selama
satu tahun atau satu periode pada lingkungan yang berbeda, sedangkan nilai a cenderung
berubah secara musiman, antara waktu dan habitat. Perubahan nilai b dapat terjadi pada saat
metamorfosis, moulting (ganti kulit), pertama kali matang gonad dan perubahan kondisi lingkungan
(Bagenal & Tesch, 1978).
Berdasarkan Tabel 1 diketahui pula bahwa nilai b untuk S. serrata jantan secara umum
cenderung lebih besar daripada nilai b betina (kecuali bulan Juli 2009). Hal tersebut menunjukkan
pertumbuhan kepiting jantan cenderung lebih cepat dibandingkan betina. Hasil analisis ANOVA
menunjukkan bahwa nilai b kepiting bakau jantan dengan betina berbeda nyata (P<0,05) sehingga
analisis hubungan lebar karapas dan berat harus dipisahkan berdasarkan jenis kelaminnya.
Menurut Wijaya et al. (2010), kepiting bakau jantan cenderung bersifat agresif dalam
mencari makan sehingga energi yang diperoleh untuk pertumbuhan akan menjadi lebih tinggi. Nilai
b kepiting bakau jantan yang lebih besar dibandingkan betina juga pernah dilaporkan ditemukan di
perairan laguna Chilika di India (Mohapatra et al., 2010), dan perairan mangrove Sundarbans,
Bangladesh (Ali et al., 2004). Miyasaka et al. (2007) menyatakan bahwa nilai b kepiting jantan
yang lebih tinggi dibandingkan betina juga teramati pada spesies Brachyura (kepiting-kepitingan)
lainnya.
Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-03) - 5
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Berdasarkan nilai b secara umum, kepiting bakau yang tertangkap di Mayangan, baik jantan
maupun betina memiliki pola pertumbuhan yang bersifat allometrik negatif. Pola pertumbuhan
tersebut menunjukkan pertumbuhan panjang atau lebar karapas kepiting bakau cenderung lebih
cepat dari pertumbuhan beratnya (Effendie, 2002).
Persamaan hubungan lebar karapas-berat dapat digunakan untuk konversi nilai lebar
karapas ke berat, menduga rerata berat biomass dari rerata panjang/lebarnya dan mengetahui
kondisi baik kepiting bakau melalui perhitungan faktor kondisi (Le Cren, 1951). Faktor kondisi
(indeks ponderal) merupakan indeks yang dapat digunakan untuk menunjukkan kondisi atau
keadaan baik organisme ditinjau dari segi kapasitas fisik untuk survival dan reproduksi (Effendie,
2002). Faktor kondisi Fulton umum digunakan untuk membandingkan kondisi organisme akuatik
berdasarkan perbedaan jenis kelamin, musim dan lokasi habitat (Bagenal & Tesch, 1978).
Variasi faktor kondisi Fulton (K) dan faktor kondisi relatif (Kn) berdasarkan sebaran kelas
ukuran lebar karapas kepiting bakau yang tertangkap di perairan Mayangan disajikan dalam
Gambar 3 dan 4. Rerata nilai K kepiting bakau jantan berkisar antara 21,390 2,117 hingga
39,877 1,381; sedangkan untuk kepiting betina antara 16,581 1,098 hingga 40,000 0,000.
Nilai rerata Kn kepiting bakau jantan berkisar antara 0,878 0,137 hingga 1,259 0,000;
sedangkan untuk kepiting betina antara 0,855 0,048 hingga 1,100 0,179. Secara keseluruhan,
nilai K dan Kn kepiting jantan cenderung lebih lebar dibandingkan betina sehingga kepiting jantan
cenderung lebih gemuk. Hal tersebut sama dengan yang pernah dilaporkan Mohapatra et al.
(2010) mengenai faktor kondisi S. serrata di perairan laguna Chilika, India.
Gambar 3. Sebaran faktor kondisi (K) S.serrata di Mayangan
berdasarkan kelas ukuran lebar karapas (cm)
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
F
a
k
t
o
r
K
o
n
d
i
s
i
(
K
)
Kelas Ukuran Lebar Karapas (cm)
Jantan
Betina
6 - Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-03)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Gambar 4. Sebaran faktor kondisi relatif (Kn) S.serrata di Mayangan
berdasarkan kelas ukuran lebar karapas (cm)
Nilai faktor kondisi Fulton pada Gambar 3 terlihat cenderung menurun pada kelas ukuran
lebar karapas yang lebih tinggi (Gambar 3). Nilai K tersebut tidak dapat dibandingkan antarkelas
ukuran mengingat faktor kondisi Fulton memiliki permasalahan dimana nilainya dapat berbeda
pada organisme dengan ukuran yang sama akibat nilai b yang berbeda (Anderson & Neumann,
1996). Untuk membandingkan antarkelas ukuran, Bagenal & Tesch (1978) menyarankan untuk
menggunakan faktor kondisi relatif (Kn) jika kisaran panjang cukup lebar. Hasil analisis ANOVA
menunjukkan nilai Kn kepiting bakau di Mayangan antarkelas ukuran lebar karapas tidak berbeda
nyata (P>0,05).
Faktor kondisi yang dihitung dari sampel yang diperoleh secara bulanan dapat digunakan
untuk mengetahui variasi musiman atau sebaran temporal kondisi organisme akuatik yang diduga
dipengaruhi oleh kelimpahan pakan alami dan tingkat kematangan reproduksinya (King,1995).
Sebaran temporal kondisi S. serrata di perairan Pantai Mayangan disajikan pada Gambar 5 dan 6.
Gambar 5. Sebaran temporal faktor kondisi (K) S.serrata di Mayangan
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
1.2
1.4
1.6
F
a
k
t
o
r
K
o
n
d
i
s
i
R
e
l
a
t
i
f
(
K
n
)
Kelas Ukuran Lebar Karapas (cm)
Jantan
Betina
Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-03) - 7
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Gambar 6. Sebaran temporal faktor kondisi relatif (Kn) S.serrata di Mayangan
Sebaran temporal faktor kondisi kepiting bakau diduga terkait dengan siklus reproduksi dan
ketersediaan pakan alaminya (King, 1995). Sebaran temporal kondisi kepiting bakau di Mayangan
berdasarkan nilai K menunjukkan pola sinusoida (gelombang) dengan satu puncak dan satu
lembah (Gambar 5). Peningkatan nilai K tersebut mulai terjadi pada bulan Juni dan mencapai
puncaknya pada bulan Oktober. Periode puncak tersebut merupakan puncak kondisi baik kepiting
bakau dengan kondisi makanan yang melimpah dan diduga merupakan musim pemijahannya di
perairan Pantai Mayangan.
Mohapatra et al. (2010) menyatakan bahwa S. serrata melakukan pemijahan sepanjang
tahun. Hal tersebut dijelaskan pada Gambar 6 yang menunjukkan sebaran temporal nilai Kn
kepiting bakau yang relatif stabil atau tidak berfluktuasi. Gambar 6 juga menunjukkan bahwa
kondisi kepiting berdasarkan nilai Kn juga relatif stabil sepanjang tahun. Hal tersebut diduga oleh
kondisi perairan yang masih mendukung terhadap kehidupan S. serrata di perairan Pantai
Mayangan (Purnamaningtyas & Syam, 2010).
Informasi mengenai sebaran temporal kondisi kepiting bakau bermanfaat bagi pengelolaan
populasi kepiting bakau di Mayangan. Berdasarkan data sebaran temporal dapat diketahui kapan
waktu musim puncak pemijahan sehingga demi keberlangsungan populasi kepiting bakau dapat
dilakukan penutupan musim penangkapan pada saat musim pemijahan.
Kesimpulan
Nilai K dan Kn kepiting bakau jantan di Mayangan lebih besar dibandingkan betina
sehingga kepiting jantan cenderung lebih gemuk. Peningkatan nilai K kepiting bakau di Mayangan
mulai terjadi pada bulan Juni dan mencapai puncaknya pada bulan Oktober yang diduga
merupakan puncak musim pemijahan. Sebaran temporal kondisi kepiting bakau di perairan Pantai
Mayangan berdasarkan nilai Kn menunjukkan kondisi baik kepiting bakau cenderung stabil
sepanjang tahun.
Ucapan Terima Kasih
Tulisan ini merupakan bagian dari kegiatan penelitian Pemacuan stok kepiting bakau
(Scylla spp) di Pantai Mayangan, Kabupaten Subang, Jawa Barat Tahun Anggaran 2009 di Balai
Riset Pemulihan Sumber Daya Ikan, Jatiluhur-Purwakarta.
8 - Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-03)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Daftar Pustaka
Ali, M.Y., D. Kamal, S.M.M. Hossain, M.A. Azam, W. Sabbir, A. Murshida, B. Ahmed and K. Azam.
2004. Biological studies of the mud crab, Scylla serrata (Forskal) of the Sundarbans
mangrove ecosystem in Khulna Region of Bangladesh. Pakistan Journal of Biological
Sciences 7 (11): 1981 1987.
Anderson, R.O. and R.M. Neumann. 1996. Length, weight, and associated structural indices. In
Fisheries Techniques Second Edition, Murphy, B.R. and D.W. Willis. (eds.), American
Fisheries Society, Bethesda, Maryland USA. 447 482p.
Bagenal, T.B. and F.W. Tesch 1978. Age and growth. In Methods for Assessment of Fish
Production in Fresh Waters. Third Edition. International. Biological Programme Handbooks
No. 3. Blackwell Scientific Publications, Oxford. 101 136.
Bonine, K.M., E.P. Bjorkstedt, K.C. Ewel, and M. Palik. 2008. Population Characteristics of the
Mangrove Crab Scylla serrata (Decapoda: Portunidae) in Kosrae, Federated States of
Micronesia: Effects of Harvest and Implications for Management. Pacic Science (2008),
Vol. 62 (I):1 19.
Cholik F. 1999. Review of mud crab culture research in Indonesia. Proceeding of Mud Crab
Aquaculture and Biology. Australian Centre for International Agricultural Research, (ACIAR),
Canberra, (78):14-20.
Effendie, M.I. 2002. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama, Yogyakarta. 163p.
Fondo, E.N., E. N. Kimani and D. O. Odongo. 2010. The status of mangrove mud crab fishery in
Kenya, East Africa. International Journal of Fisheries and Aquaculture Vol. 2 (3): 79 86.
Hill, B.J. 1975. Abundance, breeding and growth of the crab Scylla serrata in two South African
estuaries. Marine Biology 32: 119126.
Keenan, C.P., P.J.F. Davie and D.L. Mann. 1998. A revision of the genus Scylla De HAAN, 1833
(Crustacea: Decapoda: Brachyura: Portunidae). The Raffles Bulletin of Zoology, National
University of Singapore, 46 (1): 217-245.
King, M. 1995. Fisheries biology: assessment and management. Fishing News Books, Blackwell
Science Ltd. Oxford. 341p.
KOMPAS. 2008. Eksploitasi bakau picu penurunan populasi kepiting. <http://kesehatan.kompas.
com/read/2008/02/12/13314651/eksploitasi.bakau.picu.penurunan.populasi.kepiting>.
Diakses tanggal 12 April 2011.
Le Cren C.D. 1951. The length-weight relationship seasonal cycle in gonadal weight and condition
in the perch (Perca fluviatilis). Journal of Animal Ecology 20: 201 219.
Miyasaka H, M. Genkai-Kato, Y. Goda and K. Omori. 2007. Length-weight relationships of two
varunid crab species, Helice tridens and Chasmagnathus convexus, in Japan. Limnology (8):
81-83.
Mohapatra, A., R.K. Mohanty, S.K. Mohanty and S.K. Dey. 2010. Carapace width and weight
relationships, condition factor, relative condition factor and gonado-somatic index (GSI) of
mud crabs (Scylla spp.) from Chilika Lagoon, India. Indian Journal of Marine Sciences Vol.
39 (1) March 2010: 120-127.
Purnamaningtyas, S.E. dan A. R. Syam. 2010. Kajian kualitas air dalam mendukung pemacuan
stok kepiting bakau di Mayangan Subang, Jawa Barat. LIMNOTEK Vol. 17 (1): 85 93.
Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-03) - 9
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Rahardjo, M.F. 2008. Perubahan makanan ikan blama, Nibea soldado (Lac.) terkait dengan ukuran
tubuh dan waktu di perairan Pantai Mayangan, Jawa Barat. Prosiding Seminar Nasional
Tahunan V Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan Tahun 2008. Jurusan Perikanan dan
Kelautan UGM dan Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan
Perikanan: BI-08 (1 7).
Rugaya H. S.S. 2006. Karakter morfometrik kepiting bakau (Scylla serrata, Scylla paramamosain
dan Scylla olivacea) di Perairan Pantai Desa Mayangan, Kab. Subang, Jawa Barat. Jurnal
Ilmiah Sorihi, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Khairun Ternate. Vol 1, No.
5: 26 42.
Satria, H. dan A. Priatna. 2009. Kerapatan hutan bakau sebagai data dasar dalam rehabilitasi
kepiting bakau (Scylla spp) di Perairan Mangrove Mayangan, Subang Jawa Barat.
Prosiding Seminar Nasional Perikanan 2009. Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
Sekolah Tinggi Perikanan, Jakarta: 174 180.
Satria, H. dan A. R. Syam. 2009. Migrasi Pemijahan Kepiting Bakau (Scylla serrata) ke Arah Laut
dari Perairan Mangrove Mayangan, Subang. Prosiding Forum Nasional Pemacuan
Sumberdaya Ikan II. Pusat Riset Perikanan Tangkap: KR-08 (1 9).
Sjafei, D.S. dan V. Liana. 2005. Beberapa aspek reproduksi ikan tigawaja, Otolithes rubber, Bock &
Schneider (Sciaenidae) dari Perairan Pantai Mayangan, Subang, Jawa Barat. Seminar
Nasional Tahunan Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan. Jurusan Perikanan dan
Kelautan, Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada: MSP-182 (1 7).
Syam, A.R., Sulistiono, E.S. Kartamihardja, S.E. Purnamaningtyas, P. Rahmadi, S. Romdhon, U.
Sukandi, H. Satria, A. Nurfiarini, dan Kosasih. 2009. Pemacuan stok kepiting bakau (Scylla
spp) di Pantai Utara Jawa. Loka Riset Pemacuan Stok Ikan. Laporan Akhir. 55p. Tidak
Dipublikasikan.
Syam, A.R. dan S.E. Purnamaningtyas. 2010. Dugaan Populasi Kepiting Bakau (Scylla serrata) di
Perairan Mangrove Mayangan - Subang Jawa Barat. Prosiding Seminar Nasional
Perikanan 2010. Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Sekolah Tinggi Perikanan,
Jakarta: 325 330.
Wijaya, N.I., F. Yulianda, M. Boer dan S. Juwana. 2010. Biologi populasi kepiting bakau (Scylla
serrata F.) di habitat mangrove Taman Nasional Kutai Kabupaten Kutai Timur. Oseanologi
dan Limnologi di Indonesia (2010) 36(3): 439 456.
Tanya Jawab
Penanya : Gatut Bintoro
Pertanyaan : Mengapa lebih banyak kepiting betina yang disukai pesanan?
Jawaban : Kepiting betina memang lebih banyak disukai di pasaran. Terutama yang
mengandung telur. Namun karena tidak diamati telurnya setiap bulan
sehingga tidak bisa diamati fekunditas per bulan. Namun lebih baik jika
fekunditas teramati.
10 - Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-03)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-04) - 1
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
KEBIASAAN MAKAN IKAN BAGRIDAE DI WADUK CIRATA, JAWA BARAT
Masayu Rahmia Anwar Putri, Didik Wahju Hendro Tjahjo
Balai Riset Pemulihan Sumberdaya Ikan Jatiluhur
Email : sweety_palembang@yahoo.com
Abstrak
Penelitian tentang kebiasaan makanan dari ikan Bagridae telah dilakukan di Waduk Cirata, Jawa
Barat pada tahun 2008. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kebiasaan makan dari
ikan Bagridae di Waduk Cirata dengan melakukan pengamatan pada komposisi makanannya.
Analisis kebiasaan makan ikan ditentukan dengan menggunakan index preponderance. Jenis ikan
bagridae yang ditemukan pada penelitian ini adalah ikan tagih (Hemibagrus nemurus) dan
kebogerang (Mystus nigriceps). Total ikan tagih yang tertangkap berjumlah 15 ekor dan ikan
kebogerang sebanyak 33 ekor. Tagih merupakan ikan karnivor dan kebogerang adalah ikan
omnivore. Komposisi makanan yang ditemukan dari kedua jenis ikan ini berubah tergantung pada
ukurannya, dimana semakin besar panjang dan beratnya, ikan tagih lebih cenderung memakan
ikan sebagai makanan utama dan dan kebogerang lebih cenderung memakan serangga
Kata kunci : Kebiasaan makan, ikan Bagridae, Waduk Cirata
Pengantar
Waduk Cirata merupakan salah satu dari beberapa waduk yang terletak di propinsi Jawa
Barat. Waduk ini berfungsi sebagai PLTA terbesar di Pulau Jawa dengan kemampuan 1,008 MW
(8 126 MW) listrik. Luas total sekitar 6200 hektar, membuat keberadaan waduk ini sangat penting
untuk menjaga pasokan listrik untuk Jawa-Bali.
Menurut Kottelat et al. (1993), ikan Bagridae merupakan jenis ikan lele air tawar yang
ditemukan di daerah tropis Afrika, Southwest, Asia Selatan dan Timur. Sisik ikan ini sangat jarang
ditemukan dimana sungut pada rahang atas biasanya sangat panjang. Beberapa ikan dari jenis ini
memiliki pola yang sangat khas berupa bercak lateral dan bergaris. Kebanyakan ikan ini aktif di
malam hari, tetapi ikan ini juga bisa aktif saat siang hari saat berada di air yang keruh. Beberapa
jenis dari ikan ini membuat suara parau ketika tertangkap dan merupakan ikan yang tinggal di
dasar perairan dengan jenis makanan yang bervariasi.
Penelitian tentang kebiasaan makan ikan Bagrid pernah dilakukan sebelumnya oleh Tjahjo
dan Purnamaningtyas (2008), Purnamaningtyas dan Tjahjo (2008), Kartamihardja dan Umar
(2006) dan juga Hardjamulia et al (1987).
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan kebiasaan makan ikan Bagridae di
Waduk Cirata dengan mengamati komposisi makanan ikan di Waduk Cirata. Makanan merupakan
sumber energy utama dan mempunyai peran penting dalam menentukan tingkat populasi, tingkat
pertumbuhan dan kondisi dari ikan (Begum et al, 2008). Kebiasaan makan merupakan salah satu
aspek biologi dalam perikanan yang penting untuk diamati. Dengan mengetahui kebiasaan makan
ikan, kita bisa mengetahui hubungan antar organisme dalam ekologi perairan.
Bahan dan Metode
Penelitian ini telah dilakukan di Waduk Cirata, Jawa Barat pada tahun 2008. Sampel ikan
dikumpulkan dari nelayan Waduk Cirata. Identifikasi jenis ikan berdasarkan Kottelat et al. (1993).
Sampel ikan yang didapatkan diukur panjang dan beratnya. Untuk mengetahui kebiasaan
makannya, isi perut ikan diambil dan diawetkan dalam formalin 5%. Kemudian lambungnya diamati
di Laboratorium Biologi Ikan, Balai Riset Pemulihan Sumberdaya Ikan, Jatiluhur untuk
mengidentifikasi jenis-jenis makanan dari ikan Baridae. Gambar 1 menampilkan peta Waduk
Cirata.
BP-04
2 - Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-04)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Gambar 1. Peta Waduk Cirata
Kebiasaan makan ikan ditentukan dari data jenis-jenis makanan yang ditemukan dalam isi
lambung ikan, kemudian dianalisa dengan menggunakan rumus Indeks bagain terbesar (Index of
Preponderance) (Natarajan & Jhingran, 1961) :
100
) (
x
xO V
xO V
I
i i
i i
i

Where:
Ii : Index of preponderance
Vi : presentase volume makanan ke-i
Oi : presentase frekuensi kejadian makanan ke-i
Hasil dan Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian ditemukan dua jenis ikan Bagridae di Waduk Cirata yaitu ikan
tagih (Hemibagrus nemurus) dan kebogerang (Mystus nigriceps).
Tagih (Hemibagrus nemurus)
Selain Hemibagrus nemurus, ikan tagih (Gamabr 2) juga memiliki nama ilmiah lainnya
yaitu Mystus nemurus. Menurut Anonim (2009), ikan ini ditemukan dalam berbagai tipe habitat
tetapi lebih sering ditemukan di sungai berlumpur dengan arus rendah dan dasar perairan yang
lembut.
Gambar 2. Tagih (Hemibagrus nemurus)
Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-04) - 3
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Ikan tagih merupakan ikan nocturnal yang artingya setiap aktivitas dari hidupnya lebih
banyak dilakukan saat malam hari termasuk mencari makan. Sebagai tambahan, ikan ini juga
senang bersembunyi di lubang yang terdapat di tepian sungai. Ikan ini juga diketahui mempunyai
kandungan protein yang tinggi, tetapi rendah lemak. Rasanya enak dan gurih, sehingga tidak
mengejutkan jika harga jual ikan ini selalu mahal dan didukung dengan rendahnya suplai ikan ini
(Anonim, 2010).
Dari hasil penelitian, hanya ditemukan 15 ekor ikan tagih dengan kisaran ukuran panjang
antara 20-36 cm dan berat 77-89 gram. Tabel 1 memperlihatkan komposisi makanan dari ikan
tagih yang ditemukan di Waduk Cirata.
Tabel 1. Komposisi makanan dari ikan tagih
Bulan
Panjang
(cm)
Berat
(gr)
Index of Preponderance (%)
Tumbuhan air Cacing Ikan Serangga Kepiting
April
20-28.5 77-275
0.69 0.34 92.10 6.87
Juni
24-32 126-269
1.47 94.12 4.41
Oktober 25-36 160-489 100.00
Tabel 1 memperlihatkan bahwa ikan tagih di Waduk Cirata lebih banyak mengkonsumsi
ikan (92.10 100%). Selain itu juga diketahui,ketika ukuran dari ikan tagih membesar baik dari
berat dan panjangnya, ikan ini hanya mengkonsumsi ikan sebagai makanannya. Menurut Nikolsky
(1963), makanan utama dari tagih adalah ikan dengan Index of Preponderance (%) lebih besar
dari 25% (Hariyadi, 1983 dalam Tjahjo, 1987).
Berdasarkan hasil tersebut bisa dikatakan bahwa ikan ini merupakan ikan karnivor, dimana
komposisi makanan ikan dewasa dan juvenilnya berbeda. Walaupun Djajadiredja (1977) dalam
Anonim (2008), menemukan bahwa ikan tagih adalah ikan omnivore, tetapi kebanyakan penelitian
menunjukkan bahwa ikan ini merupakan karnivor predator. Salah satu penelitian yang
menunjukkan hasil yang sama adalah hasil penelitian yang dilakukan oleh Hardjamulia et al.
(1987) di Waduk Ir.H.Djuanda.
Kebogerang (Mystus nigriceps)
Biasanya habitat dari ikan kebogerang (Gambar 3) ditemukan di sungai yang luas, berarus
rendah dengan air yang keruh dan substrat berlumpur (Ng, 2002).
Gambar 3. Kebogerang (Mystus nigriceps)
Hasil pengamatan isi lambung ikan kebogerang ditunjukkan pada Tabel 2. Komposisi
makanan dari ikan kebogerang berbeda setiap bulannya dan diduga dipengaruhi oleh ukuran
(panjang dan beratnya). Ketika panjang ikan berkisar antara 13 25 cm dan beratnya 24-112
gram, selain ditemukan serangga (dewasa dan larvae) yang mendominasi isi lambungnya, juga
ditemukan phytoplankton, zooplankton, tumbuhan air, siput, ikan dan detritus. Ketika panjang ikan
kebogerang berkisar antara 21-25 cm dan beratnya berksiar antara 75- 110 gram, ikan ini
memakan tumbuhan air, serangga dan ikan. Sedangkan pada bulan Juni kebogerang hanya
memakan ikan ketika beratnya lebih besar dibandingkan pada bulan-bulan lainnya (67-154 gram)
4 - Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-04)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Tabel 2. Komposisi makanan ikan kebogerang
Bulan
Panjang
(cm)
Berat
(gr)
Index of preponderance (%)
Phytoplankton Zooplankton
Tumbuhan
air
Siput Serangga Ikan Detritus
April 21-25
75-
110 54.55 30.30 15.15
Juni 20-21
67-
154 100
Oktober 13-25
24-
112 1.49 1.17 3.14 0.50 73.32 20.08 0.31
Jika Index of preponderance disesuaikan dengan Hariyadi (1983) dalam Tjahjo (1987),
maka pada bulan April, makanan utama dari ikan kebogerang adalah tumbuhan air dan serangga
dengan Index of preponderance lebih besar dari 25% dan makanan pelengkapnya ( indeks antara
4 25%) adalah ikan dengan nilai 15.15%. Pada bulan Juni, makanan utama adalah ikan dengan
Index of preponderance 100%. Pada bulan oktober, makanan tambahan (indeks kurang dari 4%)
adalah plankton, detritus, tumbuhan air dan siput dengan makanan pelengkap adalah ikan
(20,08%) dan makanan utama adalah serangga (73,32%).
Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa ikan kebogerang merupakan omnivor. Penelitian
tentang kebiasaan makan ikan kebogerang pernah dilakukan oleh Purnamaningtyas dan Tjahjo
(2008) Waduk Ir.H.Djuanda dimana hasilnya menunjukkan bahwa ikan ini merupakan ikan
omnivor.
Semakin sedikitnya hasil tangkapan ikan tagih dan kebogerang yang ditemukan di Waduk
Cirata dipengaruhi oleh rendahnya tingkat kualitas air waduk dan Sungai Citarum yang juga terus
menurun seiring dengan meningkatnya bahan organic dari sisa-sisa pakan budidaya ikan di KJA.
Sebagai ikan yang habitat utamanya adalah sungai, maka kondisi ini sangat mempengaruhi
keberadaan dari ikan-ikan ini serta makanan alaminya. Tekanan lingkungan yang semakin tinggi
akan mempengaruhi ketersediaan makanan alami dari ikan-ikan ini. Bukan tidak mungkin,
beberapa tahun kedepan ikan ini akan menjadi ikan langka yang ditemukan di Waduk Cirata
karena hilangnya sumber makanan. Oleh karena itu, pengelolaan perikanan yang tepat sangat
diperlukan di Waduk Cirata bukan hanya untuk jenis ikan Bagridae, tetapi semua biota air yang
memiliki keterkaitan antara satu dan lainnya.
Kesimpulan
Hanya ditemukan dua jenis ikan Bagridae di Waduk Cirata yaitu tagih Hemibagrus nemurus
dan kebogerang Mystus nigriceps. Tagih merupakan ikan karnivor dan kebogerang adalah ikan
omnivore. Komposisi makanan yang ditemukan dari kedua jenis ikan ini berubah tergantung pada
ukurannya, dimana semakin besar panjang dan beratnya, ikan tagih lebih cenderung memakan
ikan sebagai makanan utama dan dan kebogerang lebih cenderung memakan serangga
Daftar Pustaka
Anonim. 2008. Bab II : Mengenal Ikan Baung. http://hobiikan.blogspot.com/2008/09/bab-ii-
mengenal-ikan-baung.html 14 March 2010.
Anonim. 2009. Klasifikasi Ikan Baung.
http://hobiikan.blogspot.com/search/label/IKAN%20AIR%20TAWAR 14 march 2010.
Anonim. 2010. Hemibagrus nemurus (Valenciennes, 1840) Asian redtail catfish.
http://www.fishbase.org/Summary/speciesSummary.php?ID=5427&genusname=Hemibagrus
&speciesname=nemurus&lang=English 12 March 2010
Hardjamulia et al. 1987. Some Biological Aspects Of The Predominant Fish Species In The
Jatiluhur Reservoir, West Java, Indonesia. Reservoir Fishery Managemenr and Development
in Asia : Proceedings of a workshop held in kathmandu, Nepal, 23 -28 November 1987. P
98-104.
Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-04) - 5
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Kottelat, M. Anthony, J. W. Sri, N. K and Soetikno, W. 1993. Freshwater Fishes of Western
Indonesia and Sulawesi (Ikan Air Tawar Indonesia Bagian Barat dan Sulawesi). Java Books.
Jakarta.
Natarajan, A.V. & A.G. Jhingran. 1961. lndex of preponderance- a method ofgrading the food
elements in the stomach analysis of fishes. IndianJ. Fish.8 (1)
Ng, H.H. 2002. The Identity of Mystus Nigriceps (Valenciennes In Cuvier & Valenciennes, 1840),
With The Description Of A New Bagrid Catfish (Teleostei: Siluriformes) From Southeast
Asia. The Raffels of Zoology 2002 50 (1) : 161168.
Purnamaningtyas, S.E and DWH. Tjahjo. 2008. Kebiasaan makan ikan di waduk Ir.H.Djuanda.
Purwakarta Jawa Barat. Prosiding Forum Nasional Pemacuan Sumberdaya Ikan I Tahun
2008. Hal 51 62.
Tjahjo, D.W.H. 1987. Kebiasaan Pakan Komunitas Ikan Di Waduk Bening, Jawa Timur. Bulletin
Penelitian Perikanan Darat Volume 6 No.1 Juni 1987. P 59 64
Tjahjo, D.W.H. and S.E. Purnamaningtyas. 2008. Kajian Kebiasaan Makan, Luas Relung dan
Interaksi Antar Jenis Ikan Di Waduk Cirata, Jawa Barat. Jurnal Ikhtiologi Indonesia Volume 8
No. 2 Hal : 59 -65
Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-05) - 1
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
STRUKTUR KOMUNITAS DAN BESARAN STOK IKAN
DI DANAU SEMBULUH DAN PAPUDAK KALIMANTAN TENGAH
Endi Setiadi Kartamihardja
1)
, Kunto Purnomo
2)
dan Zulkarnaen Fahmi
1)
1)
Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan
2)
Balai Riset Pemulihan Sumberdaya Ikan
Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan
E-mail: endi_prpt@indo.net.id
Abstrak
Danau Sembuluh (luas 9.612 ha) dan Papudak (luas 247 ha) adalah danau banjiran (flood lake)
yang terletak di bagian tengah DAS Seruyan, Kalimantan Tengah merupakan sentra penangkapan
ikan. Penelitian ini ditujukan untuk mendeskripsikan struktur komunitas dan besaran stok ikan serta
karakteristik perikanan tangkap di kedua danau tersebut. Penelitian dilakukan dengan metode
survey, pengambilan sampel ikan dengan menggunakan gill net percobaan dan pencatatan data
hasil tangkapan ikan harian oleh enumerator. Besaran stok ikan dianalisis menggunakan metode
akustik dengan alat Echo sounder portable EY-60, transducer model ES120-7 dengan frekuensi
120 Khz dan alat dioperasikan pada pulsa durasi 0,512 ms. Komposisi jenis ikan yang tertangkap
di Danau Sembuluh dan Papudak terdiri dari 29 jenis yang didominasi oleh jenis ikan dari famili
Cyprinidae. Beberapa jenis ikan yang populasinya menurun dan jarang tertangkap adalah ikan
jelawat (Leptobarbus hoevenii), patin (Pangasius spp), baung (Mystus nemurus) dan pipih
(Notopterus spp). Besaran stok ikan berkisar antara 64-1.628 kg/ha dengan rata-rata 461,8 kg/ha
atau total biomasa stok ikan 4.552,4 ton. Hasil tangkapan ikan berkisar antara 10.212 79.649
kg/bl dengan rata-rata 39.608 kg/bl, sedangkan rata-rata hasil tangkapan udang galah 1.046 kg/bl.
Hasil tangkapan ikan dan udang galah berfluktuasi menurut musim dan fluktuasi permukaan air
danau. Produksi ikan di Danau Sembuluh masih dapat ditingkatkan melalui penebaran ikan asli
(restocking) yang populasinya sudah menurun sedangkan Danau Papudak sangat potensial untuk
dijadikan kawasan suaka produksi ikan.
Kata kunci: ikan, struktur komunitas, besaran stok, perikanan tangkap, danau banjiran
Pengantar
Danau Sembuluh dengan luas 9.612 ha merupakan danau terbesar yang berada di
Daerah Aliran Sungai (DAS) Seruyan, Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah. DAS Seruyan
dikelilingi oleh anak-anak sungai, hutan rawang, dataran banjiran dan beberapa danau tapal kuda
(oxbow lakes). Danau Sembuluh merupakan sentra usaha perikanan tangkap di Kabupaten
Seruyan yang telah berjalan sejak dahulu kala. Danau Papudak dengan luas 247 ha merupakan
danau banjiran yang terletak berdampingan dengan Danau Sembuluh. Pada waktu permukaan air
tinggi, Danau Papudak dan Sembuluh bersatu sehingga sumberdaya ikan di ke dua danau ini
terdistribusi di perairan yang terbentuk. Danau Sembuluh dan Papudak sebagai danau banjiran
juga merupakan tempat konsentrasi jenis-jenis ikan rawa (black fishes) pada waktu permukaan air
surut sehingga ke danau tersebut merupakan daerah penyangga stok ikan dan umumnya layak
dijadikan sebagai daerah suaka perikanan (Kartamihardja et al., 2000; Hartoto et al., 2000).
Dewasa ini, hasil tangkapan ikan di perairan umum Kalimantan Tengah cenderung
menurun dan terdapat beberapa jenis ikan ekonomis penting seperti jelawat (Leptobarbus
hoeveni), tangkalasa atau arwana (Sclerophages formosus), dan pipih/belida (Notopterus chitala)
yang sudah mulai langka. Penurunan hasil tersebut selain disebabkan penangkapan yang intensif
juga disebabkan oleh pembangunan di luar sektor perikanan (pertambangan, kehutanan, reklamasi
lahan gambut dsb) yang menyebabkan degradasi lingkungan perairan. Sebagai contoh, penurunan
hasil tangkapan ikan yang sangat drastis terjadi di perairan umum sekitar Proyek Pembukaan
Lahan Gambut (PLG) sejuta hektar di Kabupaten Kapuas. Hasil tangkapan pada usaha perikanan
beje yang merupakan usaha perikanan tangkap yang utama menurun drastis dari kisaran 500-
1500 kg/beje/th sebelum proyek PLG dilaksanakan menjadi 50-150 kg/beje/th setelah 4 tahun
proyek PLG dilaksanakan (Kartamihardja, 2002).
Data dan informasi mengenai struktur komunitas dan besaran stok ikan di suatu badan air
sangat penting dalam rangka optimasi pemanfaatan dan pengelolaan perikanan. Penelitian ini
BP-05
2 - Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-05)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
ditujukan untuk mendeskripsikan struktur komunitas, besaran stok ikan dan karakteristik perikanan
tangkap di Danau Sembuluh dan Papudak.
Bahan dan Metode
Penelitian stusktur komunitas dan potensi produksi ikan dilakukan di Danau Sembuluh
dan Papudak, DAS Seruyan, Kalimantan Tengah. Danau Sembuluh terletak pada koordinat
02
o
38'30.1" LS dan 112
o
12'52.4" BT, sedangkan Danau Papudak terletak pada koordinat
02
o
48'54.1" LS dan 112
o
15'34.6" BT dengan elevasi 20 m diatas permukaan laut (Gambar 1).
Data dikumpulkan melalui metoda survei (stratified sampling method) (Nielsen and
Johnson, 1985) wawancara (Participatory Rural Appraisal dan atau Rapid Rural Apraisal) dengan
nelayan, dan analisis di laboratorium. Kunjungan lapangan ditentukan berdasarkan pertimbangan
musim, yaitu musim hujan, peralihan antara musim hujan-kemarau, musim kemarau, dan peralihan
antara musim kemarau-hujan.
Data komposisi jenis ikan, frekuensi panjang-berat diperoleh dari hasil percobaan
penangkapan ikan memakai jaring insang berbagai ukuran mata jaring (dari ukuran mata 1 inci
sampai dengan 4 inci dan selang ukuran mata jaring 0,5 inci) dan alat tangkap ikan yang
digunakan nelayan, yaitu jaring rempa (encircling net), bubu, dan pancing rawei. Mofometri ikan
yang meliputi panjang diukur dengan papan ukur dan berat dengan timbangan. Data morfometri
ikan juga diukur dari ikan sampel yang diperoleh dari hasil tangkapan nelayan.
Gambar 1. Peta Daerah Penelitian Danau Sembuluh dan Papudak
Identifikasi jenis ikan menggunakan buku identifikasi Kottelat et al. (1993). Analisis
makanan dan kebiasaan makan ikan menggunakan metode Hyslop (1980) Total hasil tangkapan
ikan diestimasi berdasarkan data komposisi jenis, hasil tangkapan ikan dan hasil tangkapan per
upaya (CPUE) yang dikumpulkan oleh enumerator.
Pengkajian stok ikan dilakukan dengan metode Hydroacoustics menggunakan Echo
Sounder portable EY-60, Transducer model ES120-7 dengan frekuensi 120 kHz dan Alat
dioperasikan pada pulsa durasi 0,512 ms.
Kegiatan utama di laboratorium adalah analisis citra satelit secara digital dengan peralatan
komputer dan ditunjang analisis data secara visual. Analisis visual dimaksudkan untuk mengetahui
kondisi fisik dan lingkungan wilayah kajian secara umum. Analisis digital dimaksudkan untuk
mendapatkan informasi kondisi fisik alami tipe ekosistem perairan umum daratan DAS Seruyan
yang mencakup kondisi drainase genangan untuk menentukan karakteristik geomorfologi (luasan,
panjang dan kedalaman) perairan.
Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-05) - 3
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Hasil dan Pembahasan
Struktur Komunitas Ikan
Jenis ikan yang dominan tertangkap dan kelimpahan relatifnya di perairan DAS Seruyan
terdiri dari 28 jenis ikan dan 1 jenis udang galah (Tabel 1). Secara umum, jenis-jenis ikan yang
tertangkap didominasi oleh jenis ikan yang termasuk ke dalam famili Cyprinidae.
Diantara 29 jenis ikan tersebut, hanya 3 jenis ikan, yaitu ikan biis, betutung dan benangin
yang paling dominan tertangkap. Populasi ketiga jenis ikan tersebut, nampaknya masih cukup
tinggi. Populasi ikan ekonomis penting seperti jelawat, pipih, dan bakut sudah menunjukkan
penurunan.
Tabel 1. Jenis-jenis ikan yang ditemukan di Danau Sembuluh dan Papudak
No Nama Lokal Nama Ilmiah Famili
1. Adungan Hampala macrolepidota Cyprinidae
2. Jelawat Leptobarbus hoevenii Cyprinidae
3. Kepras Cyclocheilichthys apogon Cyprinidae
4. Kelabau Osteochilus melanopleura Cyprinidae
5. Bantak Osteochilus waandersii Cyprinidae
6. Sanggang Barbodes schwanenfeldii Cyprinidae
7. Ketutung Puntioplites wandeersi Cyprinidae
8. Parang-parang Macrochirichthys macrochirus Cyprinidae
9. Benangin Thynnichthys thynnoides Cyprinidae
10. Biis Thynnichthys polylepis Cyprinidae
11. Papunti Botia macracantha Cyprinidae
12. Seluang Rasbora borneensis Cyprinidae
13. Aruan Channa striata Channidae
14. Toman Channa micropeltes Channidae
15. Kerandang Channa pleurophthalmus Channidae
16. Kemacung Channa melasoma Channidae
17. Bakut Oxyeleotris marmorata Oxyeleotridae
18. Baung Mystus nemurus Bagridae
19. Senggiringan Mystus nigriceps Bagridae
20. Biawan Helestoma temminckii Anabantidae
21. Tapah Wallago leeri Siluridae
22. Lais bamban Kryptopterus apogon Siluridea
23. Lais bulu Kryptopterus lais Siluridea
24. Tabiring Belodontichthys dinema Siluridea
25. Lawang Pangasius nasutus Pangasidae
26. Sepatung Pristolepis fasciatus Nandidae
27. Tilan Mastacembelus erythrotaenia Mastacembelidae
28. Baga-baga Parambasis macrolepis Chandidae
29. Baga-baga laut Parambasis wolffii Chandidae
30. Udang galah Macrobrachium rosernbergii Crustacea
Berdasarkan makanan dan kebiasaan makannya, jenis-jenis ikan yang ditemukan di
Danau Sembuluh dan Papudak didominasi oleh ikan karnivora dan omnivora serta beberapa jenis
ikan termasuk ikan planktivora dan detritrivora. Beberapa jenis ikan karnivora adalah aruan, toman,
kemacung, kerandang, parang-parang, senggiringan, baung, lais, dan bakut, sedangkan ikan
omnivora antara lain ikan betutung, buhing, kumkum, daun jinggah, bantak, sanggang, kelabau
dan jelawat.
Besaran Stok Ikan
Hasil kajian stok ikan dengan menggunakan akustik menunjukkan bahwa distribusi
biomasa ikan di Danau Sembuluh dan Papudak berkisar antara 64-1.628 Kg/Ha dengan rata-rata
461.76 Kg/Ha (Gambar 2). Berdasarkan luas permukaan air Danau Sembuluh sebesar 9.612 Ha
dan danau Papudak 247 Ha, maka total biomasa ikan di kedua danau ini adalah 4.552,4 Ton.
Danau Papudak yang merupakan bagian dari Danau Sembuluh mempunyai biomassa ikan yang
tinggi yaitu 1.628 Kg/Ha.
4 - Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-05)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Gambar 2. Distribusi Biomassa Ikan di Danau Sembuluh dan Papudak
Potensi produksi ikan di beberapa perairan danau di belahan Asia berkisar antara 15.937
Kg/Ha/Th dengan rata-rata 573,1 Kg/Ha, sedangkan apabila danau tersebut ditebari ikan dengan
jenis yang sesuai maka potensi produksinya akan meningkat berkisar antara 61.625 Kg/Ha/Th
dengan rata-rata 365 Kg/Ha/Th (Welcomme, 2001). Dengan demikian potensi biomasa ikan di
Danau Sembuluh dan Papudak termasuk perairan danau dengan potensi biomasa ikan yang tinggi
diatas rata-rata potensi biomassa ikan perairan danau di Asia. Potensi produksi ikan di Danau
Sembuluh diharapkan akan meningkat jika danau tersebut ditebari dengan jenis ikan asli
(restocking) yang populasinya sudah mulai menurun, seperti ikan jelawat, baung, dan udang galah.
Danau Papudak dengan potensi biomassa ikan yang tinggi dan keanekaragaman jenis ikannya
dapat dijadikan kawasan suaka perikanan. Di Danau Sembuluh suaka perikanan dapat ditetapkan
di daerah teluk Lampasa, Batu Berjanggut dan Bejakau yang mempunyai biomassa ikan tinggi
(Gambar 2).
Karakteristik Perikanan Tangkap
Komposisi jenis ikan yang tertangkap nelayan di Danau Sembuluh didominasi oleh ikan
Biis, yang kemudian disusul oleh ikan Baung, Sanggang, Betutung, Tabiring dan Benangin
(Gambar 3).
Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-05) - 5
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Gambar 3. Komposisi Berat Hasil Tangkapan Ikan di Danau Sembuluh
Hasil tangkapan ikan yang dicatat oleh enumerator di Danau Sembuluh selama periode
Januari sampai dengan Desember sangat berfluktuasi dan berkisar antara 10.21279.649 Kg/bl
dengan rata-rata 39.608 Kg/bl (Gambar 4). Hasil tangkapan tertinggi terjadi pada bulan Juli,
Agustus dan September, sedangkan hasil tangkapan terrendah terjadi bulan Februari, Maret dan
April. Kondisi seperti ini berkaitan erat dengan fluktuasi permukaan air danau, dimana tangkapan
tertinggi terjadi pada waktu permukaan air rendah dan sebaliknya hasil tangkapan terrendah terjadi
pada waktu permukaan air tinggi. Dari Gambar 4 juga terlihat bahwa rata-rata hasil tangkapan
nelayan berkisar antara 2,5 19,5 Kg/Nelayan dengan rata-rata 9,6 Kg/Nelayan.
Gambar 4. Fluktuasi Hasil Tangkapan Ikan di Danau Sembuluh 2005
Selama periode Januari sampai dengan Desember 2005, hasil tangkapan udang galah di
Danau Sembuluh berkisar antara 3811.972 Kg dengan rata-rata 1.046 Kg (Gambar 5). Seperti
halnya ikan, fluktuasi hasil tangkapan udang galah juga sangat berkaitan erat dengan fluktuasi
permukaan air danau. Ukuran rata-rata udang galah yang tertangkap berkisar antara 5368 g per
ekor dengan rata-rata 58 gram/ekor. Ukuran udang galah yang tertangkap ini berkaitan erat
dengan pola migrasi udang galah untuk melakukan pemijahannya di muara Sungai Seruyan. Pada
periode migrasi pemijahan, ukuran rata-rata udang galah yang tertangkap akan menurun karena
udang dewasa yang berukuran besar akan meninggalkan danau masuk ke sungai untuk kemudian
melakukan pemijahan di muara.
6 - Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-05)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Gambar 5. Hasil tangkapan Udang Galah di Danau Sembuluh 2005
Berbagai jenis alat tangkap ikan yang digunakan oleh nelayan di Danau Sembuluh dan
Papudak adalah alat tangkap gillnet, pancing rawei dan banjur serta bubu. Untuk menangkap
udang galah, sebagian besar nelayan menggunakan tamba (trap) yang diberi umpan berupa
potongan daging kelapa.
Jumlah Rumah Tangga (RTP) Nelayan di Danau Sembuluh adalah sebesar 226 RTP
dengan rata-rata nelayan yang beroperasi selama periode Januari sampai dengan Desember 2005
adalah 138 RTP. Jumlah nelayan yang khusus menangkap udang galah berkisar antara 2556
orang dengan rata-rata jumlah nelayan yang beroperasi selama tahun 2005 adalah sebanyak 41
orang.
Kesimpulan
Struktur komunitas ikan di Danau Sembuluh dan Papudak tersusun atas 29 jenis ikan yang
didominasi oleh jenis-jenis yang termasuk famili Cyprinidae dan udang galah serta empat jenis ikan
ekonomis penting, yaitu ikan jelawat, pipih, tapah dan bakut sudah jarang tertangkap sehingga
perlu upaya pelestariannya. Potensi biomasa ikan di Danau Sembuluh dan Papudak termasuk
tinggi dengan hasil tangkapan aktualnya berfluktuasi menurut fluktuasi tinggi muka air. Hasil
tangkapan tertinggi terjadi pada waktu permukaan air rendah dan hasil tangkapan terrendah terjadi
pada waktu permukaan air tinggi. Pelestarian sumberdaya ikan dapat dilakukan dengan
menetapkan Danau Papudak dan beberapa teluk di Danau Sembuluh sebagai kawasan suaka
perikanan.
Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-05) - 7
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Daftar Pustaka
Hartoto, D.I., A.S. Sarnita, D.S. Sjafei, A. Satya, Y. Syawal, Sulastri, M.M. Kamal dan Y. Siddik.
2000. Kriteria Evaluasi Suaka Perikanan Perairan Darat. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Limnologi, LIPI.
Hyslop, E.J. 1980. Stomach content analysis: a review of methods and theirs application. Journal
of Fish Biology, 17: 411-429.
Kartamihardja, E.S. 2000. Identifikasi dan karakterisasi sumberdaya perikanan perairan umum di
sekitar lahan rawa bukaan, Kecamatan Kapuas Murung, Kalimantan Tengah untuk
pengembangan beje dan suaka produksi ikan. Pros. Seminar Hasil Penel. Perikanan
1999/2000. Puslitbang Eksplorasi Laut dan Perikanan, SekJen DKP. Jakarta.
Kartamihardja, E.S. 2002. Pengaruh reklamasi lahan rawa terhadap penurunan produksi dan
perubahan komposisi jenis ikan pada usaha perikanan beje di Kabupaten Kapuas,
Kalimantan Tengah. JPPI, Vol.8 No.4.
Kottelat, M, A.J. Whitten, S.R. Kartikasari and S. Wirjoatmojo. 1993. Freshwater Fishes Of Western
Indonesia And Sulawesi, Ikan Air Tawar Indonesia Bagian Barat Dan Sulawesi.
Periplus edition (HK) Ltd. 293 hal + 84 plate.
Nielsen, L.A. and D.L. Johnson.1985. Fisheries Techniques. American Fisheries Society,
Bethesda, Maryland. 468 p.
Welcomme, R.L. 2001. Inland Fisheries: Ecology and Management. FAO. Blackwell Sci., Fishing
News Books. 358 p.
Tanya Jawab
Penanya : Nita
Pertanyaan : Bagaimana hubungan stock tidak mencapai potensi?
Jawaban : Komposisi stock tidak seimbang karena ada beberapa faktor.
Penanya : (tidak menyebutkan namanya)
Pertanyaan : Adakah contoh yang sesuai teori, kontribus nyata untuk ikan-ikan di danau
papudak?
Jawaban : Sudah diterapkan pengkoreksian
8 - Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-05)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-06) - 1
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
BIODIVERSITAS DAN PRODUKTIVITAS PRIMER KAWASAN TERUMBU
KARANG NON PRODUKTIF PADA ZONASI YANG BERBEDA
PRA RESTOCKING ANEMON LAUT
M. Ahsin Rifai
1)
dan Hadiratul Kudsiah
2)
1) Prodi Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan & Ilmu Kelautan UNLAM
2) Prodi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Ilmu Kelautan & Perikanan UNHAS
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keragaman-kelimpahan ikan-ikan karang dan
produktifitas primer pada zonasi yang berbeda pada perairan kawasan terumbu karang non
produktif pra restocking anemon laut. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Mei Oktober 2010 di
kawasan terumbu karang Desa Angsana Kalimantan Selatan. Riset biodiversitas dan produktivitas
primer dilakukan pada empat lokasi penelitian, yaitu kawasan terumbu karang tipe fringing reefs
(karang tepi) dan tipe patch reefs (karang gosong). Selanjutnya di setiap lokasi akan dilaksanakan
pula di dua tempat (site) yaitu rataan terumbu (reef flat) dan lereng terumbu (reef slope). Hasil
penelitian menunjukkan kondisi terumbu karang pada semua lokasi penelitian berada pada
katagori rusak hingga rusak parah. Ditemukan kelimpahan-keragaman ikan-ikan karang dan
produktivitas perairan rendah di semua lokasi penelitian. Lokasi penelitian yang berada di daerah
karang gosong (patch reefs) memiliki kualitas terumbu karang, kelimpahan-keanekaragaman ikan-
ikan karang, dan produktivitas primer perairan lebih baik dibandingkan daerah karang tepi (fringing
reefs). Lokasi penelitian yang berada di daerah slope karang (reef slope) memiliki kualitas terumbu
karang, kelimpahan-keanekaragaman ikan-ikan karang, dan produktivitas primer perairan lebih
baik dibandingkan daerah rataan terumbu karang (reef slope).
Kata kunci: anemon laut, restocking, pra dan pasca, terumbu karang
Pengantar
Perkembangan jumlah penduduk yang sangat cepat serta berkembangnya ilmu
pengetahuan dan teknologi, pemanfaatan terumbu karang dan berbagai biota yang bernilai
ekonomis penting terus meningkat. Akibatnya kawasan-kawasan terumbu karang telah mengalami
kerusakan yang sangat intensip. Beberapa kawasan di Asia Pasifik telah dapat dikatagorikan
sebagai kawasan terumbu karang yang telah rusak, bahkan ada diantaranya yang sudah
mencapai keadaan kritis. Di Indonesia sendiri saat ini hanya 6,2% terumbu karang yang
dikategorikan masih sangat baik, sisanya 23,7% dikategorikan baik, 28,3% dikategorikan sedang,
dan 41,8%.% telah dikategorikan rusak (Sukarno, 1995; Anonim, 2007). Akibat kerusakan ini telah
dihasilkan kawasan-kawasan non produktif potensial dengan karaktersitik habitat karang mati dan
karang hancur, miskin produksi dan perputaran energi, miskin ikan-ikan karang dan biota-biota
lainnya yang selama ini bersimbiosis dengan terumbu karang (Rifai, 1998).
Terbentuknya kawasan-kawasan tersebut telah memberikan dampak yang signifikan
terhadap penurunan kondisi ekologis perairan pesisir dan laut dangkal. Padahal daerah ini
merupakan spawning ground, nursery ground, dan feeding ground utama ikan-ikan komersial yang
ditangkap oleh nelayan Indonesia. Oleh karana itu upaya perbaikan ekosistem terumbu karang
merupakan satu-satunya alternatif yang harus dilakukan agar kondisi ekologisnya kembali normal
dan populasi ikan-ikan karang serta biota lainnya akan melimpah kembali. Namun upaya tersebut
sangat sulit diwujudkan dalam waktu yang relatif cepat mengingat pertumbuhan terumbu karang
sangat lambat. Pertumbuhan tiggi tipe karang Acropora genus Folliaceous (karang daun) adalah 2
- 5 cm/tahun. Sedangkan untuk tipe karang masif (karang otak) jenis Monstastrea annularis hanya
0,25 - 0,75 cm/tahun (Nybakken, 1992). Dengan demikian untuk mengembalikan ekosistem
terumbu karang ke kondisi semula membutuhkan waktu paling cepat 30 50 tahun bahkan
ratusan tahun. Jika alternatif ini yang kita tempuh maka kawasan-kawasan terumbu karang non
produktif akan menjadi perairan marginal potensial dalam waktu yang relatif lama dan tidak mampu
memberikan sumbangan yang berarti bagi kehidupan masyarakat pesisir yang selama ini
menggantungkan hajat hidupnya disana.
BP-06
2 - Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-06)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Berdasarkan permasalahan tersebut, dibutuhkan suatu langkah emergensi yang tepat dan
strategis sambil menunggu upaya replanting hewan karang itu sendiri dengan melakukan
restocking organisme lain yang sesuai selain karang. Organisme yang dimaksud adalah anemon
laut. Organisme ini merupakan salah satu organisme yang selama masa hidupnya selalu menetap
dan mencari makan di kawasan terumbu karang. Di alam, anemon laut umumnya dijumpai pada
daerah terumbu karang yang kurang subur menempel pada benda keras, karang mati, karang
hancur dan pasir (Dunn, 1981, Fautin & Allen, 1997). Namun dewasa ini, populasi anemon laut
pun juga mengalami degradasi akibat adanya eksploitasi intensif untuk memenuhi permintaan
pasar anemon ornamen domestik dan ekspor. Oleh karena itu upaya restocking anemon ini sendiri
menjadi sangat penting untuk meningkatkan kembali populasinya di alam sekaligus melakukan
percepatan perbaikan ekosistem terumbu karang.
Upaya restocking tentunya membutuhkan benih dalam jumlah besar dan berkualitas yang
diharapkan berasal dari teknologi hasil pembenihan dan bukan dari hasil penangkapan di alam.
Teknologi pembenihan anemon laut secara aseksual dengan teknik fragmentasi telah berhasil
dilakukan terhadap anemon jenis Stichodactyla gigantea (Rifai et al., 2005, 2006; Rifai & Kudsiah,
2007). Teknologi ini tentunya membutuhkan kajian lebih lanjut terutama aspek-aspek
bioekologinya sehingga didapatkan benih yang siap diaplikasikan untuk kepentingan restocking
dan budidaya komersial.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan keragaman-kelimpahan ikan-ikan
karang dan peningkatan produktifitas primer perairan pra dan pasca restocking anemon laut pada
perairan kawasan terumbu karang non produktif. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi
informasi ilmiah dasar bagi upaya percepatan perbaikan ekosistem terumbu karang dan penelitian
aplikasi terutama marikultur anemon laut berbasis konservasi dan agribisnis di kawasan terumbu
karang non produktif.
Bahan dan Metode
Tempat dan waktu penelitian
Penelitian dilaksanakan di dua lokasi yang berbeda yaitu kawasan terumbu karang tipe
patch reefs (karang gosong) dan tipe fringing reefs (karang tepi). Selanjutnya di setiap lokasi
dilaksanakan di dua tempat (site) yaitu rataan terumbu (reef flat) dan lereng terumbu (reef slope).
Dengan demikian penelitian ini akan dapat menggambarkan secara komprehensif kawasan
terumbu karang yang berbeda-beda tipe dan karaktersitiknya. Rangkaian penelitian telah
dilaksanakan di kawasan terumbu karang Desa Angsana Kabupaten Tanah Bumbu Propinsi
Kalimantan Selatan. Penelitian lapangan dilaksanakan mulai bulan Mei Oktober 2010.
Koleksi dan pemeliharaan induk anemon
Induk anemon yang digunakan dalam penelitian ini adalah anemon laut Stichodactyla
gigantea (Fosskal, 1775) (Gambar 1) yang dikumpulkan selama bulan Januari April 2010 di
sekitar kawasan terumbu karang Desa Angsana Kalimantan Selatan. Induk anemon dibawa ke
mini hetchary untuk diaklimatisasi dalam akuarium-akuarium kaca berkapasitas 500 liter air selama
1 minggu sebelum dilakukan proses reproduksi aseksual. Selama proses aklimatisasi ini air
akuarium diberi aerase dan anemon diberi pakan tambahan berupa naupli artemia dan tetraselmis
sp.
Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-06) - 3
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Gambar 1. Anemon laut Stichodactyla gigantea (Forsskal, 1775)
Fragmentasi tubuh anemon dan restocking anemon
Setelah anemon tampak sehat maka dilakukan proses reproduksi aseksual dengan teknik
fragmentasi. Teknik fragmentasi tubuh dilakukan dengan membelah tubuh anemon uji secara
longitudinal menjadi 2, 3, dan 4 fragmen (Gambar 2).
a
b
c d
f e
Gambar 2. (a-c) Teknik fragmentasi secara longitudinal; (d-f) Benih hasil fragmentasi: 2, 3, dan 4
fragment (Sumber: Rifai et al., 2005, 2006; Rifai & Kudsiah, 2007, Rifai et al., 2008, 2009)
Fragmen-fragmen tubuh tersebut, kemudian ditempatkan pada area berukuran 30 x 35 m atau
seluas 1050 m
2
dengan desain seperti Gambar 3.
4 - Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-06)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Gambar 3. Area riset biodiversitas dan produktifitas primer perairan pra dan pasca restocking.
A. Area penempatan anemon. B. Batas area pengamatan
B.
Parameter penelitian
Parameter penelitian ini meliputi biodiversitas ikan-ikan karang dan produktivitas primer
perairan dilakukan pra (2010) dan pasca (2011) restocking anemone laut. Untuk melihat
keanekaragaman jenis ikan-ikan karang digunakan rumus Shannon Weaner (Krebs, 1972 & Odum,
1971). Untuk mengetahui kelimpahan relatif dihitung dalam persentase jumlah (numerik). Untuk
mengetahui produktivitas primer perairan pada kawasan terumbu karang non produktif ini juga
dilakukan dua kali yaitu pra dan pasca restocking anemon laut. Pada riset ini ditetapkan tiga
selang waktu inkubasi yaitu I (09:00-14:00), II (10:00-15:00), dan III (11:00-16:00) dengan
memperbandingkan nilai kandungan produktifitas primer fitoplankton masing-masing. Pengulangan
dilakukan 3 kali berdasarkan hari. Pada pengukuran produktivitas primer fitoplankton dilakukan
dengan cara mengukur kandungan oksigen dalam botol terang-gelap setelah diinkubasi.
Pengambilan contoh air dilakukan pada tiap kedalaman, kemudian dimasukkan ke dalam botol-
botol. Selanjutnya dilakukan pengukuran oksigen awal pada botol initial dari contoh air yang
terambil, selanjutnya botol lainnya (2 botol terang dan 1 botol gelap) diinkubasi sesuai dengan
selang waktu inkubasi pada tiap kedalaman. Untuk mengetahui adanya perbedaan biodiversitas
ikan-ikan karang dan biota lainnya serta produktivitas primer perairan antara fringing reefs dan
patch reefs di tahun yang sama akan digunakan Uji Kruskal-Wallis menggunakan bantuan
Software SPSS 17.
Hasil dan Pembahasan
Riset Biodiversitas Pra Restocking Anemon laut
Kondisi karang hidup lokasi penelitian
Hasil perhitungan persentase komponen karang batu (hard Corals) di 4 lokasi penelitian
disajikan pada Tabel 1. Komponen karang batu (hard corals) merupakan unsur utama penyusun
ekosistem terumbu karang (Sukarno, 1995). Karena itu, komponen ini dapat dijadikan dasar untuk
menilai kondisi atau tingkat kerusakan ekosistem terumbu karang di suatu kawasan. Penggunaan
komponen karang batu ini juga telah dilakukan oleh Lang (1973), Sheppard (1979), Gomez et al.
(1981).
Tabel 1 Persentase komponen karang batu (hard corals) di tiap lokasi penelitian
Komponen
Karang batu
Lokasi Penelitan
Rerata
(%)
Fringing Reefs Patch Reefs
Reef flat
(%)
Reef slope
(%)
Reef flat
(%)
Reef slope
(%)
1. Acropora
2. Non-Acropora
6,37
9,45
14,36
08,28
10,41
15,34
17,37
15,01
12,13
12,02
Jumlah 15,82 24,64 25,75 32,38 24,15
Sumber : Data primer diolah
10
m
10
m
10
m
10
m
10
m
1
0
mA
B
B B
B
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan
Menurut kriteria atau katagori yang dibuat oleh Gomez
(1986) tingkat kondisi atau kerusakan terumbu karang adalah
karang batunya (persentase penutupan) 0
dan sehat sekali apabila 71 -
karang batu (hard corals) adalah 24,15%, berarti berada pada katagori 0
demikian, dapat disimpulkan bahwa kondisi terumbu karang di Perairan Desa angsana masih
dalam kondisi rusak berat. Meskipun secara kasuistik daerah lereng terumbu (reef slope) pada
stasiun karang gosong (patch reefs) kondisi karangnya lebih baik dan berada pada katagori 26
50%, namun masih berada dalam katagori
Berdasarkan hasil perhitungan kondisi tutupan karang hidup (
lokasi penelitian menunjukkan bahwa lokasi terpilih untuk pelaksanaan penelitian ini berada pada
kawasan terumbu karang yang mengalami kerusakan yang sangat berat yang selanjutnya
diistilahkan sebagai kawasan terumbu karang non produktif. Kondisi terumbu karang pada
kawasan ini didominasi terumbu karang mati dan hancur yang secara visual terindikasi akibat
penggunaan bom dan racun saat nelayan menangkap ikan di masa lalu. Terumbu k
mati tersebut kemudian ditumbuhi makro alga. Kawasan
karaktersitik habitat karang mati dan karang hancur, miskin produksi dan perputaran energi, miskin
ikan-ikan karang dan biota
Terbentuknya kawasan-kawasan tersebut telah memberikan dampak yang signifikan terhadap
penurunan kondisi ekologis perairan pesisir dan laut dangkal. Padahal daerah ini merupakan
spawning ground, nursery ground,
oleh nelayan Indonesia. Oleh karana itu upaya perbaikan ekosistem terumbu karang merupakan
satu-satunya alternatif yang harus dilakukan agar kondisi ekologisnya kembali normal dan populasi
ikan-ikan karang serta biota lainnya akan melimpah kembali.
Kelimpahan dan Keanekaragaman jenis ikan
a. Jumlah spesies
Jumlah nama-nama spesies yang ditemukan (terkoleksi) selama penelitian sebanyak 8
spesies yang mewakili 5 genus dan 3 famili. Dari jumlah
genus ditemukan (terkoleksi) pada rataan terumbu karang (
4 spesies yang mewakili 2 genus ditemukan (terkoleksi) pada slope terumbu karang (
karang tepi (fringing reefs), 4 spesies yang mewakili 2 genus ditemukan (terkoleksi) pada rataan
terumbu karang (reef flat) di karang gosong (
(terkoleksi) pada slope terumbu karang (
Gambar 4. Histogram jumlah spesies yang ditemukan (terkoleksi)
0
1
2
3
4
5
6
7
3
J
u
m
l
a
h
S
p
e
s
i
e
s
Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan
Menurut kriteria atau katagori yang dibuat oleh Gomez et al. (1981) dan Sukarno
(1986) tingkat kondisi atau kerusakan terumbu karang adalah rusak berat
karang batunya (persentase penutupan) 0 - 25%, rusak apabila 26 - 50%, sehat
- 100%. Berdasarkan Tabel 1 di atas, diketahui rata
karang batu (hard corals) adalah 24,15%, berarti berada pada katagori 0
demikian, dapat disimpulkan bahwa kondisi terumbu karang di Perairan Desa angsana masih
. Meskipun secara kasuistik daerah lereng terumbu (reef slope) pada
stasiun karang gosong (patch reefs) kondisi karangnya lebih baik dan berada pada katagori 26
50%, namun masih berada dalam katagori rusak.
l perhitungan kondisi tutupan karang hidup (lifeform coral reefs
lokasi penelitian menunjukkan bahwa lokasi terpilih untuk pelaksanaan penelitian ini berada pada
kawasan terumbu karang yang mengalami kerusakan yang sangat berat yang selanjutnya
iistilahkan sebagai kawasan terumbu karang non produktif. Kondisi terumbu karang pada
kawasan ini didominasi terumbu karang mati dan hancur yang secara visual terindikasi akibat
penggunaan bom dan racun saat nelayan menangkap ikan di masa lalu. Terumbu k
mati tersebut kemudian ditumbuhi makro alga. Kawasan-kawasan non produktif ini memiliki
karaktersitik habitat karang mati dan karang hancur, miskin produksi dan perputaran energi, miskin
ikan karang dan biota-biota lainnya yang selama ini bersimbiosis dengan terumbu.
kawasan tersebut telah memberikan dampak yang signifikan terhadap
penurunan kondisi ekologis perairan pesisir dan laut dangkal. Padahal daerah ini merupakan
spawning ground, nursery ground, dan feeding ground utama ikan-ikan komersial yang ditangkap
oleh nelayan Indonesia. Oleh karana itu upaya perbaikan ekosistem terumbu karang merupakan
satunya alternatif yang harus dilakukan agar kondisi ekologisnya kembali normal dan populasi
ta biota lainnya akan melimpah kembali.
Kelimpahan dan Keanekaragaman jenis ikan-ikan karang
nama spesies yang ditemukan (terkoleksi) selama penelitian sebanyak 8
spesies yang mewakili 5 genus dan 3 famili. Dari jumlah tersebut, 3 spesies yang mewakili 2
genus ditemukan (terkoleksi) pada rataan terumbu karang (reef flat) di karang tepi (
4 spesies yang mewakili 2 genus ditemukan (terkoleksi) pada slope terumbu karang (
), 4 spesies yang mewakili 2 genus ditemukan (terkoleksi) pada rataan
) di karang gosong (patch reefs), dan 6 spesies yang mewakili 4 genus
(terkoleksi) pada slope terumbu karang (reef slope) di karang gosong (patch reefs
Gambar 4. Histogram jumlah spesies yang ditemukan (terkoleksi)
di setiap lokasi penelitian
Fringing Reefs Patch Reefs
3
5
4
Lokasi Penelitian
Reef flat Reef slope
Biologi Perikanan (BP-06) - 5
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
(1981) dan Sukarno et al.
rusak berat apabila persentase
sehat apabila 51 - 71%,
100%. Berdasarkan Tabel 1 di atas, diketahui rata-rata penutupan
karang batu (hard corals) adalah 24,15%, berarti berada pada katagori 0 - 25%. Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa kondisi terumbu karang di Perairan Desa angsana masih
. Meskipun secara kasuistik daerah lereng terumbu (reef slope) pada
stasiun karang gosong (patch reefs) kondisi karangnya lebih baik dan berada pada katagori 26
lifeform coral reefs) di semua
lokasi penelitian menunjukkan bahwa lokasi terpilih untuk pelaksanaan penelitian ini berada pada
kawasan terumbu karang yang mengalami kerusakan yang sangat berat yang selanjutnya
iistilahkan sebagai kawasan terumbu karang non produktif. Kondisi terumbu karang pada
kawasan ini didominasi terumbu karang mati dan hancur yang secara visual terindikasi akibat
penggunaan bom dan racun saat nelayan menangkap ikan di masa lalu. Terumbu karang yang
kawasan non produktif ini memiliki
karaktersitik habitat karang mati dan karang hancur, miskin produksi dan perputaran energi, miskin
bersimbiosis dengan terumbu.
kawasan tersebut telah memberikan dampak yang signifikan terhadap
penurunan kondisi ekologis perairan pesisir dan laut dangkal. Padahal daerah ini merupakan
ikan komersial yang ditangkap
oleh nelayan Indonesia. Oleh karana itu upaya perbaikan ekosistem terumbu karang merupakan
satunya alternatif yang harus dilakukan agar kondisi ekologisnya kembali normal dan populasi
nama spesies yang ditemukan (terkoleksi) selama penelitian sebanyak 8
tersebut, 3 spesies yang mewakili 2
) di karang tepi (fringing reefs),
4 spesies yang mewakili 2 genus ditemukan (terkoleksi) pada slope terumbu karang (reef slope) di
), 4 spesies yang mewakili 2 genus ditemukan (terkoleksi) pada rataan
), dan 6 spesies yang mewakili 4 genus
patch reefs) (Gambar 4.)
Gambar 4. Histogram jumlah spesies yang ditemukan (terkoleksi)
Patch Reefs
7
6 - Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-06)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Berdasarkan Gambar 4 dapat dilihat bahwa lokasi penelitian terumbu karang gosong (patch
reefs) memiliki jumlah spesies yang lebih tinggi dibandingkan dengan lokasi penelitian terumbu
karang tepi (fringing reefs). Selanjutnya slope terumbu karang (reef slope) memiliki jumlah spesies
lebih tinggi dibandingkan dengan rataan terumbu karang (reef flat) di kedua lokasi penelitian.
Tingginya jumlah spesies ikan ditemukan pada lokasi terumbu karang gosong (patch reefs)
disebabkan oleh kondisi lingkungan perairan pada daerah ini lebih baik dibandingkan pada lokasi
karang tepi (fringing reefs). Hal ini disebabkan karang gosong berada jauh dari tepi pantai
sehingga memiliki kesempatan mendapatkan unsur-unsur hara yang dibawa oleh arus dan
gelombang, serta kurangnya kecepatan tingkat pengendapan, sesuai dengan pendapat Nybakken
(1992), yang menyatakan bahwa terumbu karang lebih berkembang pada daerah-daerah yang
mengalami gelombang besar, karena gelombang-gelombang tersebut dapat memberikan sumber
air yang segar, memberi oksigen dalam air laut, dan menghalangi pengendapan pada koloni, dan
memberi plankton baru untuk makanan koloni karang. Sebaliknya pada lokasi penelitian terumbu
karang tepi (fringing reefs), lokasi ini dekat dengan daratan sehingga memiliki tingkat sedimentasi
yang yang tinggi. Menurut Romimohtarto (1991), terumbu karang umumnya tidak dapat tahan
terhadap sedimen, karenanya sedimen merupakan faktor pembatas yang potensial bagi
pertumbuhan karang.
Uji chi-kuadrat terhadap jumlah spesies tiap-tiap stasiun menunjukkan X hitung lebih kecil
dari X tabel baik pada 0.01 maupun 0.05, berarti terdapat perbedaan yang sangat nyata.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa jumlah spesies yang ditemukan selama penelitian
memiliki perbedaan sangat nyata antara keempat lokasi penelitian yaitu reef flat - fringing reefs
(rataan terumbu karang pada karang tepi), reef slope fringing reefs (slope terumbu karang pada
karang tepi), reef flat patch reefs (rataan terumbu karang pada karang gosong), dan reef slope
patch reefs (slope terumbu karang pada karang gosong). Data jumlah spesies yang ditemukan
dalam penelitian ini sangat penting sebagai data dasar untuk membandingkan kehadiran spesies
ikan pra dan pasca restocking anemon laut yang akan dilakukan setahun kemudian (2011).
b. Jumlah individu dan kelimpahan relatif ikan karang
Jumlah individu yang ditemukan selama penelitian di keempat lokasi penelitian stasiun
sebanyak 44 individu, yang terdiri 7 individu di reef flat - fringing reefs (rataan terumbu karang pada
karang tepi), 9 reef flat patch reefs (rataan terumbu karang pada karang gosong), 13 reef flat
patch reefs (rataan terumbu karang pada karang gosong), dan 15 reef slope patch reefs (slope
terumbu karang pada karang gosong). Kelimpahan ikan-ikan karang yang ditemukan di lokasi
penelitian ini tergolong sangat rendah.
Berdasarkan jumlah individu yang ditemukan dapat pula diketahui kelimpahan relatif tiap-tiap
stasiun, seperti pada Tabel 2.
Tabel 2. Jumlah individu dan kelimpahan relatif tiap-tiap lokasi penelitian
Lokasi Penelitian Jumlah Individu Kelimpahan Relatif (%)
Reef Flat Fringing Reefs 7 15,91
Reef Slope Fringing Reefs 9 20,45
Reef Flat Patch Reefs 13 29,54
Reef Slope Patch Reefs 15 34,09
Jumlah 44 100,00
Sumber : Data primer diolah.
Berdasarkan Tabel 2 tersebut dapat dilihat bahwa kelimpahan relatif tertinggi ditemukan
pada reef slope patch reefs (slope terumbu karang pada karang gosong), disusul pada reef flat
patch reefs (rataan terumbu karang pada karang gosong), reef flat patch reefs (rataan terumbu
karang pada karang gosong), dan paling rendah reef flat - fringing reefs (rataan terumbu karang
pada karang tepi). Dengan demikian, jumlah individu dan kelimpahan relatif pada tiap-tiap
stasiun berbanding lurus dengan jumlah spesies. Artinya, semakin tinggi jumlah spesies semakin
tinggi pula jumlah individu dan kelimpahan relatifnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Kreb (1978),
yaitu kelimpahan sangat dipengaruhi jumlah spesies/genera yang ditemukan pada komunitas
perairan.
Uji chi-kuadrat terhadap kelimpahan relatif tiap-tiap stasiun menunjukkan X hitung lebih
besar dari X tabel pada 0.01 namun lebih kecil pada 0.05, berarti terdapat perbedaan yang
nyata. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kelimpahan relatif yang ditemukan selama
penelitian memiliki perbedaan nyata antara lokasi reef flat - fringing reefs (rataan terumbu karang
pada karang tepi), reef slope fringing reefs (slope terumbu karang pada karang tepi), reef flat
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan
patch reefs (rataan terumbu karang pa
terumbu karang pada karang gosong).
c. Indeks keanekaragaman ikan
Nilai rata-rata Indeks keanekaragaman Shannon pada lokasi
terumbu karang pada karang tepi) yaitu 0,89, lokasi
karang pada karang tepi) yaitu 1,15, lokasi
karang gosong) yaitu 1,45 dan
gosong), yaitu 1,57 (Gambar 5).
Gambar 5. Histogram indeks keanekaragaman ikan
Berdasarkan Gambar 5, diketahui bahwa lokasi
karang pada karang gosong) memiliki nilai indeks keanekaragaman tertinggi, kemudian disusul
lokasi reef flat patch reefs
fringing reefs (slope terumbu karang pada karang tepi), dan terendah adalah lokasi reef
fringing reefs (rataan terumbu karang pada karang tepi). Hal ini menunjukkan adanya perbedaan
keanekaragaman jenis terumbu karang pada tiap
karang pada kawasan karang gosong (
(fringing reefs) baik pada rataan terumbu karang (
(reef slope). Tampak pula indeks keanekaragaman ikan karang lebih tinggi pada slope terumbu
karang (reef slope) dibandingkan rat
Menurut Krebs (1978), semakin banyak jenis anggota individu akan memperbesar nilai
keanekaragaman, dengan kata lain nilai indeks keanekaragaman sangat dipengaruhi oleh jumlah
spesies pada komunitas perairan yang bersangkutan. Indeks keanekaragaman biasanya
dipergunakan untuk mengevaluasi tingkat pencemaran di suatu perairan. Semakin besar nilai
indeks keanekaragaman maka perairan itu dapat dikatagorikan stabil. Lee
menyatakan nilai indeks keanekaragaman 1,0
keanekaragaman 1,6 - 2,0 termasuk katagori tercemar ringan, bila indeks keanekaragaman lebih
kecil dari 1 maka termasuk dalam katagori tercemar berat. Dengan demikian nilai i
keanekaragaman sebagian besar berada kriteria tercemar sedang hingga tercemar berat. Nilai ini
sesuai dengan lokasi penelitian yang memiliki kondisi terumbu karang yang termasuk kategori
rusak hingga rusak berat. Kawasan terumbu karang sangat misk
asosiasi termasuk ikan-ikan karang.
Riset Produktivitas Primer dan Kualitas Air Pra Restocking Anemon
Produktivitas Primer
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
1.6
0.89
I
n
d
e
k
s
K
e
a
n
e
k
a
r
a
g
a
m
a
n
Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan
(rataan terumbu karang pada karang gosong), dan reef slope
terumbu karang pada karang gosong).
c. Indeks keanekaragaman ikan-ikan karang
rata Indeks keanekaragaman Shannon pada lokasi reef flat -
terumbu karang pada karang tepi) yaitu 0,89, lokasi reef slope fringing reefs
karang pada karang tepi) yaitu 1,15, lokasi reef flat patch reefs (rataan terumbu karang pada
karang gosong) yaitu 1,45 dan reef slope patch reefs (slope terumbu karang pada karang
gosong), yaitu 1,57 (Gambar 5).
Gambar 5. Histogram indeks keanekaragaman ikan-ikan karang pada lokasi penelitian
Berdasarkan Gambar 5, diketahui bahwa lokasi reef slope patch reefs
gosong) memiliki nilai indeks keanekaragaman tertinggi, kemudian disusul
patch reefs (rataan terumbu karang pada karang gosong), lokasi
(slope terumbu karang pada karang tepi), dan terendah adalah lokasi reef
fringing reefs (rataan terumbu karang pada karang tepi). Hal ini menunjukkan adanya perbedaan
keanekaragaman jenis terumbu karang pada tiap-tiap lokasi penelitian. Keanekaragaman ikan
karang pada kawasan karang gosong (patch reefs) lebih tinggi dibandingkan kawasan karang tepi
) baik pada rataan terumbu karang (reef flat) maupun pada slope terumbu karang
). Tampak pula indeks keanekaragaman ikan karang lebih tinggi pada slope terumbu
) dibandingkan rataan terumbu karang (reef flat) di kedua lokasi penelitian.
Menurut Krebs (1978), semakin banyak jenis anggota individu akan memperbesar nilai
keanekaragaman, dengan kata lain nilai indeks keanekaragaman sangat dipengaruhi oleh jumlah
as perairan yang bersangkutan. Indeks keanekaragaman biasanya
dipergunakan untuk mengevaluasi tingkat pencemaran di suatu perairan. Semakin besar nilai
indeks keanekaragaman maka perairan itu dapat dikatagorikan stabil. Lee
lai indeks keanekaragaman 1,0 - 1,5 termasuk katagori tercemar sedang dan indeks
2,0 termasuk katagori tercemar ringan, bila indeks keanekaragaman lebih
kecil dari 1 maka termasuk dalam katagori tercemar berat. Dengan demikian nilai i
keanekaragaman sebagian besar berada kriteria tercemar sedang hingga tercemar berat. Nilai ini
sesuai dengan lokasi penelitian yang memiliki kondisi terumbu karang yang termasuk kategori
rusak hingga rusak berat. Kawasan terumbu karang sangat miskin unsur hara dan berbagai biota
ikan karang.
Riset Produktivitas Primer dan Kualitas Air Pra Restocking Anemon
Fringing Reefs Patch Reefs
0.89
1.45
1.15
1.57
Lokasi Penelitian
Reef flat Reef slope
Biologi Perikanan (BP-06) - 7
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
reef slope patch reefs (slope
fringing reefs (rataan
fringing reefs (slope terumbu
(rataan terumbu karang pada
slope terumbu karang pada karang
ikan karang pada lokasi penelitian
patch reefs (slope terumbu
gosong) memiliki nilai indeks keanekaragaman tertinggi, kemudian disusul
(rataan terumbu karang pada karang gosong), lokasi reef slope
(slope terumbu karang pada karang tepi), dan terendah adalah lokasi reef flat -
fringing reefs (rataan terumbu karang pada karang tepi). Hal ini menunjukkan adanya perbedaan
tiap lokasi penelitian. Keanekaragaman ikan
dibandingkan kawasan karang tepi
) maupun pada slope terumbu karang
). Tampak pula indeks keanekaragaman ikan karang lebih tinggi pada slope terumbu
) di kedua lokasi penelitian.
Menurut Krebs (1978), semakin banyak jenis anggota individu akan memperbesar nilai
keanekaragaman, dengan kata lain nilai indeks keanekaragaman sangat dipengaruhi oleh jumlah
as perairan yang bersangkutan. Indeks keanekaragaman biasanya
dipergunakan untuk mengevaluasi tingkat pencemaran di suatu perairan. Semakin besar nilai
indeks keanekaragaman maka perairan itu dapat dikatagorikan stabil. Lee et al., (1978),
1,5 termasuk katagori tercemar sedang dan indeks
2,0 termasuk katagori tercemar ringan, bila indeks keanekaragaman lebih
kecil dari 1 maka termasuk dalam katagori tercemar berat. Dengan demikian nilai indeks
keanekaragaman sebagian besar berada kriteria tercemar sedang hingga tercemar berat. Nilai ini
sesuai dengan lokasi penelitian yang memiliki kondisi terumbu karang yang termasuk kategori
in unsur hara dan berbagai biota
Patch Reefs
1.57
8 - Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-06)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Kandungan Produktivitas primer yang ditemukan selama penelitian berlangsung berkisar
13,42 17,78 mg/mm
3
. Kandungan produktivitas primer berada di bawah hasil pengamatan oleh
Tambaru (2003) di lokasi yang sama yaitu pada selang waktu inkubasi I didapatkan kisaran 15.63-
28.98 mg C/m
3
/jam, selang waktu inkubasi II dengan kisaran 24.14-48.91 mg C/m
3
/jam, dan selang
waktu inkubasi III dengan kisaran 21.53-46.30 mg C/m
3
/jam. Produktifitas primer fitoplankton
merupakan jumlah kandungan zat-zat organik yang dihasilkan oleh fitoplankton melalui proses
fotosintesis (Parsons et al.,1984 dan Nybakken, 1992). Besarnya produktivitas primer fitoplankton
merupakan ukuran kualitas suatu perairan. Semakin tinggi produktivitas primer fitoplankton suatu
perairan semakin besar pula daya dukungnya bagi kehidupan komunitas penghuninya, sebaliknya
produktivitas primer fitoplankton yang rendah menunjukkan daya dukung yang rendah pula
(Tambaru, 2003).
Parameter Kualitas Air
Salinitas perairan yang ditemukan selama penelitian berlangsung berkisar 32,9 34,7 ppt.
Kisaran ini masih berada pada kisaran normal bagi kehidupan anemon. Karang dan anemon tropis
dapat eksis pada kisaran salinitas 32 40 ppt (Hoegh-Guldberg, 1999), namun dapat toleran
pada salinitas rendah hingga berfluktuasi. Penurunan salinitas yang cepat dapat terjadi melalui
run off air tawar, hujan lebat, atau banjir yang dalam jangka pendek dapat mempengaruhi tingkat
mortalitas dan respirasi, sedangkan dalam jangka panjang dapat menghilangkan klorofil-a dan
pengeluaran alga yang pada akhirnya dapat menimbulkan kematian (Hoegh-Guldberg and Smith,
1989a). Selanjutnya fluktuasi salinitas memainkan peranan penting dalam membatasi distribusi
reef building corals pada daerah pantai karena berdekatan dengan sungai (Hoegh-Guldberg,
1999). Suhu perairan yang ditemukan selama penelitian berlangsung berkisar 27,7 32,5
0
C.
Kisaran ini masih berada pada kisaran normal bagi kehidupan anemon. Suhu juga merupakan
parameter lingkungan yang sangat penting bagi simbiosis antara alga dan cnidarian (Muscatine et
al., 1991; Hoegh-Guldberg, 1999). Respon fotosintesis cnidarian terhadap suhu menunjukkan
lingkungan panas yang sangat kuat memiliki dampak terhadap apparatus fotosintetik (Davison,
1991). Hal ini disebabkan tingkat fotosintesis dan respirasi sangat tergantung suhu. Peningkatan
dan penurunan suhu permukaan laut dapat menyebabkan peningkatan dan penurunan tingkat
fotosintesis dan respirasi (Howe & Marshall, 2001 dan Nakamura et al., 2003). Temperatur yang
tinggi dapat mengakibatkan terurainya aliran enzimatik dalam aktifitas fotosintesis yang
menyebabkan disfungsi biokimia dan metabolik. Level stress ini tergantung pada lamanya
terpapar dan aksi sinergisme berbagai variabel lingkungan (seperti cahaya dan salinitas) (Cossins
and Bowler, 1987 dalam Fitt and Cook, 2001). Selama penelitian berlangsung fluktuasi suhu
sangat stabil sehingga aktifitas fotosintesis dan respirasi dapat berjalan normal dan kondusif bagi
kehidupan anemon. Kecerahan perairan yang ditemukan selama penelitian berlangsung berkisar
0,75 2,0 m. Tingkat kecerahan ini berada pada kisaran normal bagi kehidupan anemon.
Kecerahan merupakan salah satu sifat optik perairan terhadap penetrasi cahaya. Cahaya
matahari merupakan salah satu parameter utama dalam kehidupan anemon laut dan karang.
Peneterasi cahaya matahari dapat merangsang terjadinya proses fotosintesis oleh alga
zooxanthellae pada jaringan karang dan anemon laut. Penetrasi cahaya sering dibatasi oleh
bahan-bahan mengapung yang membatasi daerah fotosintesis (Odum, 1971). Nilai kecerahan
yang diungkap sangat dibatasi keadaan cuaca, waktu pengukuran, kekeruhan dan padatan
tersunspensi (Effendi, 2003). Oksigen terlarut yang ditemukan selama penelitian berlangsung
berkisar 5,1 6,0
0
C. Kisaran ini masih berada pada kisaran normal bagi kehidupan anemon.
Munurut Soeseno (1974), perairan yang mengandung 5 mg/l oksigen terlarut pada suhu 20 30
0
C
cukup baik untuk mendukung kehidupan ikan. Oksigen terlarut dalam air sangat penting untuk
menunjang kehidupan organisme air. Tinggi rendahnya kadar oksigen di perairan sangat
tergantung pada arus dan gelombang, suhu, salinitas, kedalaman, serta potensi biotik perairan
(Odum, 1971). Kecepatan arus yang ditemukan selama penelitian berlangsung berkisar 0,175
0,183 m/detik. Arus ini sangat diperlukan dalam proses pertumbuhan karang dan anemon. Arus
dapat mensupplai makanan berupa mikroplankton. Arus juga berperan dalam proses pembersihan
dari endapan-endapan material dan mensupplai oksigen yang berasal dari laut lepas. Oleh karena
itu, sirkulasi arus sangat berperan penting dalam proses transfer energi. Kandungan NO
3
yang
ditemukan selama penelitian berlangsung berkisar 0,74 1,83 ppm. Sedangkan kandungan
Ortofosfat berkisar 0,76 1,03 ppm. Kandungan nitrat dan fosfat masih sesuai bagi kehidupan
fitoplankton termasuk anemon. Menurut Mackenthum (1969), pertumbuhan optimal fitoplankton
membutuhkan kandungan nitrat dan ortofosfat masing-masing berkisar 0,9 -3,5 mg/l dan 0,09
1,80 mg/l. Kandungan Silikat yang ditemukan selama penelitian berlangsung berkisar 0,044
Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-06) - 9
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
0,067 ppm. Kandungan silikat ini kurang mendukung untuk pertumbuhan fitoplankton secara
optimal. Menurut Turner (1980 dalam Widjaja, et al., 1994), bila kandungan silikat < 0.5 ppm,
maka fitoplankton khususnya diatom tidak dapat berkembang dengan baik, namun masih dapat
digunakan dalam perkembangannya.
Kesimpulan dan Saran
Kondisi terumbu karang pada semua lokasi penelitian berada pada katagori rusak hingga
rusak parah. Ditemukan kelimpahan-keragaman ikan-ikan karang dan produktivitas perairan
rendah di semua lokasi penelitian. Lokasi penelitian yang berada di daerah karang gosong (patch
reefs) memiliki kualitas terumbu karang, kelimpahan-keanekaragaman ikan-ikan karang, dan
produktivitas primer perairan lebih baik dibandingkan daerah karang tepi (fringing reefs). Lokasi
penelitian yang berada di daerah slope karang (reef slope) memiliki kualitas terumbu karang,
kelimpahan-keanekaragaman ikan-ikan karang, dan produktivitas primer perairan lebih baik
dibandingkan daerah rataan terumbu karang (reef slope). Perlu upaya monitoring dan evaluasi
secara berkala kondisi ekosistem terumbu karang di semua lokasi penelitian pasca restocking
anemon laut
Ucapan Terima Kasih
Ucapan terima kasih disampaikan kepada pihak DP2M DIKTI Kemdiknas atas bantuan dana
penelitian melalui Hibah Penelitian Fundamental Tahun Anggaran 2010.
Daftar Pustaka
Anonim. 2007. Laut Nusantara: Sebuah Kolam Megabiodiversity untuk Misi Penyelamatan Bumi.
Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. http://www.dkp.go.
id/catagory.php?c=34. Diakses: 2 Januari 2008.
Davison, I.R. 1991. Environmental Effects on Algal Photosynthesis: Temperature. Journal of
Phycology, 27: 2 8
Dunn, D. F. 1981. The clownfish sea anemones: Stichodactylidae (Coelenterata: Actiniaria) and
other sea anemones symbiotic with pomacentrid fishes. Transactions of the American
Philosophical Society 71(1): 1-115.
Effendi, H. 2003. Telah Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan.
Kanisius. Jakarta.
Fautin, D.G. and Allen. 1997. Field Guide to Anemone Fishes and Their Host Sea Anemones.
2
nd
ed. Western Australian Museum, Perth Australia. 160 pp. http://www.nhm.ku.edu.
[Diakses : 31 Oktober 2006]
Fitt W.K., and C.B. Cook. 2001. The Effects of Feeding or Addition of Dissolved Inorganic
Nutrients in Maintaining the Symbiosis between Dinoflagellates and a Tropical Marine
Cnidarian. Marine Biology, 139: 507-17
Gomez, E.D., A.C. Alcala and A.C. San Diego. 1981. Status of Philippines Coral Reefs. Proc,
Fourth Intern. Coral Reef Symp., Manila. Vol.1:275 - 282.
Hoegh-Guldberg O., and G. J. Smith. 1989a. The Effect of Sudden Changes in Temperature, Light
and Salinity on the Population Density and Export of Zooxanthellae from the Reef Corals
Stylophora pistillata Esper and Seriatopora hystrix Dana. Journal of Experimental Marine
Biology and Ecology 129: 279 - 303
10 - Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-06)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Hoegh-Guldberg, O. 1999. Climate Change Coral Bleaching and the Future of the Worlds Coral
Reefs. Marine and Freshwater Research, 50: 839 866
Howe, S.A., and A.T. Marshall. 2001. Thermal Compensation of Metabolism in the Temperate
Coral Plesiastrea versipora (Lamarck, 1816). Journal of Experimental Marine Biology and
Ecology, 259: 231 248
Krebs, T. 1978. Ecology, the Experimentals Analysis of Distribution and Abundance. 2nd. Ed.
Harper and Row Publication, New York. 417 - 439 p.
Lang, J. 1973. Interspecific Aggression by Scleractinian Corals 2. Why the Race in not only to the
swift. Bull. Mar. Sci. 23 : 260 - 279.
Mackenthum, K. M. 1969. The Practice of Water Pollution Biology. United States Department of
Interior, Federal Water Pollution Control Administration, Division of Technical Support.
Muscatine L., D. Grossman, and J. Doino. 1991. Release of Symbiotic Algae by Tropical Sea
Anemones and Corals after Cold Shock, Marine Ecology Progress Series, 77 : 233 243
Nakamura E., Y. Yokohama, and J. Tanaka. 2003. Photosynthetic Activity of a Temperate Coral
Acropora pruinosa (Scleractinia, Anthozoa) with Symbiotic Algae in Japan. Phycological
Research, 51: 38 44
Nybakken, J.W. 1992. Biologi Laut, Suatu Pendekatan Ekologis. Gramedia. Jakarta.
Odum, E.P. 1971. Fundamental of Ecology. W.B. Saunders Books Company, Tokyo: 346 pp.
Rifa,i, M.A. 1998. Reproduksi Vegetatif Anemon Laut Stichodactyla gigantea (FORSSKAL, 1775)
dan Upaya Rehabilitasi pada Berbagai Habitat Terumbu Karang Non Produktif. Tesis
Pascasarjana Universitas Hasanuddin Ujung Pandang.
Rifa,i, M.A., P. Ansyari, H. Kudsiah. 2005. Rekayasa Teknologi Fragmentasi Secara Longitudinal
Anemon Laut Jenis Stichodactyla Gigantea (Forsskal, 1775). J. Ecosystem., 5(2): 147
156.
Rifa,i, M.A., P. Ansyari, dan H. Kudsiah. 2006. Sintasan Benih Anemon Laut Stichodactyla
Gigantea (Forsskal, 1775) Hasil Reproduksi Aseksual berdasarkan Waktu Pemindahan ke
Perairan Alami Pasca Fragmentasi Longitudinal. J. Ecosystem, 6(2): 206 214.
Rifai. M.A.. dan H. Kudsiah. 2007. Reproduksi Aseksual Anemon Laut Stichodactyla gigantea
(Forsskal. 1775) dengan Teknik Fragmentasi dan Habitat Penumbuhan Berbeda. J. Sains &
Teknologi. Vol. 7. No. 2. Agustus 2007: 65 76.
Rifai. M.A., P. Ansyari, dan A. Niartiningsih. 2008. Biodiversitas dan Indeks Mitotik Anemon Hasil
Rekayasa Reproduksi Aseksual. Laporan Penelitian Program Insentif Riset Dasar- RISTEK.
Lembaga Penelitian Unlam Banjarmasin.
Rifa,i, M.A., dan A. Niartiningsih. 2009. Kontribusi Harian Karbon Alga Zooxanthellae terhadap
Anemon Laut Stichodactyla Gigantea (Forsskal, 1775) Alam dan Hasil Reproduksi Aseksual.
Prosiding Seminar Penelitian Kegiatan Penyuluhan Budaya Kelautan. ISBN: 978-602-
196129-0-5: 12 -23. Diselenggarakan oleh Fakultas Perikanan Unlam Banjarbaru.
Romimohtarto, K. 1991. Ekosistem Laut dan Pantai. Bahan Kuliah untuk Mahasiswa Tingkat
Sarjana (S1). Jakarta.
Sheppard, C.R.C. 1979. Instorspecific Aggression between Reef Corals with Reference to this
distribution. Mar. Ecol. Prog. Ser, 1:237 - 247.
Sukarno, R. 1995. Ekosistem Terumbu Karang dan Masalah Pengelolaannya.
Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-06) - 11
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Dalam : Anonim. 1995. Materi Pendidikan dan Pelatihan Metodologi Penelitian Penentuan
Kondisi Terumbu Karang. Puslitbang Oseonologi (P
3
O) -LIPI bekerjasama dengan
Universitas Diponegoro. Semarang. Hal 1 - 10.
Tambaru, R. 2003. Selang Waktu Inkubasi Yang Terbaik Dalam Pengukuran Produktivitas Primer
Fitoplankton Di Perairan Laut. Makalah Falsafaf Sain IPB Bogor.
Widjaja, F., S. Suwignyo, S. Yulianda, dan H. Effendi. 1994. Komposisi Jenis, Kelimpahan dan
Penyebaran Plankton Laut di Teluk Pelabuhan Ratu, Jawa Barat. Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan, IPB Bogor.
Tanya Jawab
Penanya : Karsono
Pertanyaan : a. Apa medianya? Mengapa tidak terbawa arus?
b. Kalau disekitar anemone jarang ada ikan. Apa monitor yang dipakai?
Jawaban : Pada substrat keras, ex: karang mati. sebelum ditempatkan, kita tanam di
batu. Lokasi penempatan di karang mati 10 m x 10 m. diharapkan anemone
sebagai pioneer, mengundang ikan simbiosis.
Semnaskan _UGM / Penangkapan Ikan dan Kelautan (BP-07) - 1
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
ASPEK BIOLOGI IKAN LAIS TAPA (Kryptopterus Impok) DI
PERAIRAN SEKITAR DESA MUARA RAWAS KABUPATEN MUSI RAWAS
Makri
Peneliti pada Balai Riset Perikanan Perairan Umum, Palembang
Abstrak
Ikan Lais Tapa (Kryptopterus Impok) merupakan salah satu potensi sumberdaya perikanan di
perairan sekitar Desa Muara Rawas yang tergolong ekonomis penting, dan dapat diolah menjadi
ikan salai (asap). Informasi mengenai ikan lais tapa ini sangat kurang baik data biologi dan
kelimpahan. Penelitian tetang biologi reproduksi ikan lais tapa hasil tangkapan nelayan dari
perairan sekitar Desa Muara Rawas belum pernah dilakukan. Penelitian dilakukan pada bulan
April, Juli 2007 dan Januari 2008 di perairan sekitar Desa Muara Rawas. Ikan contoh dikumpulkan
dari hasil tangkapan nelayan enumerator dengan menggunakan alat tangkap jaring ingsang
(Gillnet) dan pancing. Ikan contoh dianalisis di Laboraturium koleksi Ikan Balai Riset Perikanan
Perairan Umum Palembang. Jumlah ikan lais tapa yang diamati selama penelitian adalah 453
ekor, terdiri dari 246 ikan Lais Tapa betina dan 207 ekor ikan jantan. Menurut hasil perhitungan
nisbah kelamin, perbandingan ikan lais tapa jantan dan betina dalam keadaan tidak seimbang, dan
didapatkan betina lebih banyak dibandingkan ikan lais tapa jantan. Kisaran ukuran panjang ikan
lais tapa yang dihasilkan oleh nelayan 10,8 cm sampai dengan 26,7 cm. Hubungan panjang bobot
ikan lais tapa bersifat allometrik negatif, dengan demikian pertambahan panjang lebih dominan dari
pada pertamhan bobot. Komposisi ikan lais tapa selama penelitian didominasi oleh ikan dengan
tingkat kematangan gonad III dan IV yaitu lebih dari 50 % setiap pengamatan.
Kata kunci : Biologi reproduksi, Ikan Lais Tapa, Desa Muara Rawas
Pengantar
Ikan lais tapa (Cryptopterus Impok) adalah salah satu ikan air tawar yang telah lama
dimanfaatkan oleh masyarakat yang tinggal ditepian Sungai Musi, karena selain rasanya yang
khas, ikan ini merupakan komoditi perikanan yang tergolong ekonomis penting. Kottelat et al.. 1993
mengatakan Ikan lais tapa termasuk kedalam famili siluridae, dimana ikan ini merupakan ikan air
tawar yang hibitatnya di danau, rawa-rawa dan anak sungai.
Permintaan ikan lais tapa dipasaran saat ini cukup tinggi baik dalam bentuk segar maupun
bentuk olahan (asap). Jenis ikan ini sudah dikenal oleh sebagian masyarakat terutama sekali yang
berada di kawasan Sunda-flat, akan tetapi nama yang diberikan terhadap ikan lais tapa ini sesuai
dengan daerah asal dimana ikan ini didapat (Pulungan, 1985). Sampai saat ini penelitian yang
berkaitan dengan biologi ikan lais tapa masih jarang dilakukan.
Berdasarkan identifikasi buku (Kottelat et al.. 1993) ciri-ciri ikan lais tapa adalah sirip
punggung tereduksi, sungut rahang bawah hampir mencapai sirip dada, sungut rahang atas
hampir mencapai sirip dubur, propil punggung mencembung seperti propil tengkuknya, daerah
penyebaranya di Sumatera, Malaysia dan indocina.
Penelitian ini bertujuan mengetahui biologi reproduksi ikan lais tapa (Kryptopterus Impok).
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu masukan dalam pengelolaan untuk
budidaya maupun perikanan tangkap yang optimal dan lestari di Perairan sekitar Desa Muara
Rawas.
Bahan dan Metode
Penelitian telah dilakukan pada tahun 2007 sampai dengan 2008 di Perairan Sekitar Desa
Muara Rawas (Gambar 1). Ikan contoh dikumpulkan dari hasil tangkapan nelayan dengan
menggunakan alat tangkap, jaring ingsang ukuran mata jaring 1.5 - 3 inchi dan pancing nomor 12
benang pancing nomor 6 mm. .
Data yang dikumpulkan meliputi data frekuensi panjang bobot dan parameter reproduksi.
Identifikasi ikan menggunakan buku (Kottelat et al.. 1993). Parameter biologi yang diukur adalah
panjang tubuh (cm), bobot tubuh (gram), tingkat kematangan gonad ditentukan secara visual. Ikan
BP-07
2 - Semnaskan _UGM / Penangkapan Ikan dan Kelautan (BP-07)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
jantan dan betina dibedakan dengan membandingkan warna gonad. Tiap-tiap jenis kelamin ikan
dilihat tingkat kematangan gonad dengan berpedoman pada kriteria penentuan tingkat
kematangan gonad menurut Efendie. 2002. Gonad dipisahkan dari organ-organ dalam lainnya
kemudian diawetkan dengan larutan formalin 4 %. Analisis terhadap ikan contoh dilakukan di
Koleksi Ikan, Balai Riset Perikanan Perairan Umum Palembang.
Gambar 1. Daerah Lokasi Penelitian Sungai Musi Desa Muara Rawas
Hubungan Panjang Berat
Hubungan panjang bobot dihitung dengan menggunakan hubungan W = aL
b
. W adalah
bobot ikan (gram), L adalah panjang ikan (cm), a dan b adalah konstanta. Uji t (p < 0,05)
digunakan untuk menguji apakah nilai b = 3 atau tidak. Bila nilai b = 3 bearti ikan mempunyai pola
pertumbuhan isometrik, sebaliknya bila b 3 pola pertumbuhan ikan bersifat allometrik.(Hile, 1963
in Effendie, 2002)
W = aL
b
Keterangan :
W = Berat tubuh ikan (gram)
L = Panjang tubuh ikan
a dan b = Konstanta
Kebiasaan Makan
Pengamatan food habit (kebiasaan makan) ditujukan pada jenis ikan lais tapa
(Kryptopterus Impok) yang biasa hidup di perairan Sekitar Desa Muara Rawas. Sampel diambil
dari hasil pembedahan ikan lais yang berupa isi usus dan lambung ikan, ikan tersebut diatas
berjumlah 453 ekor, lais jantan 207 ekor dan lais betina 246 ekor. Selanjutnya diamati dengan
menggunakan metode indek bagian terbesar. Data yang didapat ditabulasikan dalam tabel index of
preponderence. Kebiasaan makan dihitung berdasarkan index propenderan dengan formulasi
(Effendie, 2002) :
100
) (
x
VixOi
VixOi
IP

Keterangan :
Vi = Presentase volume satu macam makanan
Stasiun Muara Rawas
Semnaskan _UGM / Penangkapan Ikan dan Kelautan (BP-07) - 3
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Oi = Presentase frekuensi kejadian satu macam makanan
VixOi
= Jumlah Vi x Oi dari semua macam makanan
Faktor kondisi
Faktor kondisi dihitung berdasarkan tingkat kematangan gonad masing-masing untuk
jantan dan betina, pada bulan April, Juli 2007 dan Januari 2008.
dengan menggunakan rumus (Effendie, 1979)
K =
b
aL
w
Keterangan :
K = Faktor kondisi
W = Bobot tubuh ikan (gram)
L = Panjang tubuh ikan (mm)
a dan b = Konstanta yang diproleh dari regresi
Penentuan Jenis Kelamin Dan Tingkat Kematangan Gonad (TKG)
Tebel 1. Jenis kelamin dan TKG ikan ditentukan secara morfologi menggunakan metode
(Effendie, 1979)
TKG Jantan Betina
I (Ikan
muda)
Gonad (testis) keci,
memanjang, warna jernih.
Gonad (ovarium) masih kecil dan halus
seperti benang, warna ovarium merah
muda, memanjang di rongga perut.
II (Ikan
Masa
Perkembangan)
Testis berwarna putih
susu, ukuran testis jauh
lebih besar dan panjang
bentuk lebih jelas.
Ukuran ovarium bertambah besar, warna
ovarium bertambah menjadi coklat muda,
butiran telur belum kelihatan.
III (Ikan
Dewasa)
Permukaan testis bagian
ventral tampak berlekuk,
warna semakin putih dan
ukuran semakin besar
Ukuran ovarium relatif besar dan mengisi
hamper 1/3 rongga perut. Butir-butir telur
terlihat jelas dan berwarna kuning muda.
VI (Ikan
Matang)
Testis makin besar dan
pejal, berwarna putih
susu.
Gonad mengisi penuh rongga perut,
semakin pejal dan warna butiran telur
kuning tua. Butiran telur besarnya hampir
sama dan mudah dipisahkan, kantong
tubelus seminbifer agak lunak.
Nisbah Kelamin
Nikolsky. 1969 berpendapat bahwa perbandingan kelamin dapat berubah menjelang dan
selama musim pemijahan, dalam ruaya ikan untuk memijah ikan jantan lebih banyak mengalami
perubahan nisbah kelamin secara teratur, pada awalnya ikan jantan lebih banyak dari pada ikan
betina, kemudian nisba kelamin berubah menjadi 1:1 diikuti dengan dominasi ikan betina. Namun
pada kenyataannya di alam perbandingan nisbah kelamin tidaklah mutlak, dipengaruhi oleh pola
distribusi yang disebabkan oleh ketersediaan makanan, kepadatan populasi dan keseimbangan
rantai makanan ( Effendie, 2002).
Nisbah Kelamin dihitung dengan rumus :
F
M
NisbahKela min
Keterangan :
M = jumlah ikan jantan (ekor)
F = jumlah ikan betina (ekor)
4 - Semnaskan _UGM / Penangkapan Ikan dan Kelautan (BP-07)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
y = 0.0011x
2.9233
R
2
= 0.8032
n = 453 ekor
0
20
40
60
80
100
120
0 5 10 15 20 25 30
Hasil dan Pembahasan
Ukuran Ikan Lais Tapa yang tertangkap
Ukuran maksimum ikan lais tapa yang tertangkap selama penelitian panjang total 26,7 cm.
Kisaran ukuran panjang ikan lais tapa selama penelitian 10,8 sampai dengan 26,7 cm dengan
modus terendah 14,5 cm pada bulan Januari 2008 dan modus tertinggi yaitu pada bulan April 19,5
cm terlihat pada tabel 2.
Tabel 2. Kisaran panjang total ikan lais tapa (Kryptopterus Impok) di Perairan sekitar
Desa Muara Rawas
April. 2007 Juli 2007 Januari 2008
Kisaran Panjang (cm) 10,8-25,4 12,0-24,7 13,0-26,7
Rata-rata (cm) 17,3 20,2 16,34
Modus (cm) 19,5 16,0 14,5
n (ekor) 20 24 409
Setelah dilakukan analisis hubungan panjang bobot, diproleh model hubungan panjang
bobot ikan lais tapa adalah Y = 0,0011X
2,9233
dengan nilai R
2
= 0,8032 dengan nilai b < 3 yaitu
2,9233 Gambar 2. Dari hasil analisis hubungan panjang bobot diproleh nilai koofisien korelasi (r)
0,8032,. Walpole (1995) mengatakan apa bila nilai koofisien korelasi mendekati 1 maka
menunjukkan hubungan yang sangat erat antara kedua peubah, artinya semakin besar nilai
panjang total tubuh ikan maka semakin besar pula nilai bobot total tubuh ikan lais tapa tersebut.
Gambar 2. Hubungan Panjang Berat Ikan Lais Tapa (Kryptopterus Impok)
Berdasarkan analisis uji t terhapat nilai b ikan Lais Tapa (Kryptopterus Impok) diproleh T-
hitung < T-tabel, sehingga pola pertumbuhan ikan Lais Tapa bersifat allometrik negatif, Artinya
pertumbuhan panjang lebih dominan dibandingkan dengan pertumbuhan bobot.
Kebiasaan makan
Hasil analisa isi alat pencernaan ikan Lais Tapa dengan menggunakan metode frekuensi
kejadian diperoleh macam organisme yang dimakan. Frekuensi kejadian yang tertinggi ditemukan
Ikan Lais Tapa betina adalah jenis Udang (81.60 %), Ikan (4.80 %), Organisme tercerna (13.60 %)
Sedangkan ikan lais jantan udang (57 %), ikan (28 %), Cacing (2. %), Serasa (3 %) dan
Organisme tercerna (10 %). (Gambar 3).
Semnaskan _UGM / Penangkapan Ikan dan Kelautan (BP-07) - 5
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Jantan
Udang
57%
Ikan
28%
Organisme
tercerna
10%
Serasa
3%
Cacing
2%
Betina
Udang,
81.60%
Organisme
tercerna,
13.60%
Ikan,
4.80%
0.99
0.99
1.00
1.00
1.01
1.01
1.02
1.02
1.03
1.03
1.04
April. 2007 Juli 2007 Januari 2008
BULAN
F
A
K
T
O
R
K
O
N
D
I
S
I
Jantan
Betina
Gambar 3. Kebiasaan Makan Ikan Lais Tapa (Kryptopterus Impok) di Perairan Sungai Musi Desa
Muara Rawas
Pada Gambar 3 diatas dapat ditelaah secara keseluruhan makanan ikan Lais Tapa adalah
Udang dan Ikan sedangkan makanan tambahannya Cacing dan serasa. Menurut Utomo (1990)
bahwa ikan lais merupakan jenis ikan carnivora, jenis makananya ikan kecil, serangga air, udang,
molusca dan organisme kecil lainnya. Selanjutnya Nikolsky (1963) menyatakan urutan kebiasaan
makanan ikan dibedakan ke dalam empat kategori berdasarkan persentase indeks bagian
terbesar, yaitu makanan utama, makanan pelengkap, makanan tambahan, dan makanan
pengganti. Makanan utama adalah makanan yang dimakan ikan dalam jumlah yang besar.
Makanan pelengkap adalah makanan yang ditemukan dalam saluran pencernaan ikan dalam
jumlah yang lebih sedikit. Makanan tambahan adalah makanan yang terdapat dalam saluran
pencernaan ikan dalam jumlah yang sangat sedikit. Makanan pengganti adalah makanan yang
hanya dimakan jika makanan utama tidak tersedia.
Faktor Kondisi Ikan Lais Tapa (Kryptopterus Impok)
Berdasarkan hubungan panjang dan berat tubuh ikan Lais Tapa dapat ditentukan faktor
kondisi ikan tersebut sesuai dengan pola pertumbuhannya. Faktor kondisi ikan Lais Tapa jantan
dan betina bervariasi setiap bulan (Gambar 4). Faktor kondisi ikan Lais Tapa jantan mempunyai
kisaran antara 1,0 1,03 dan ikan Lais Tapa betina berkisar antara 1,01 1,02. faktor kondisi
tertinggi ikan Lais Tapa jantan maupun betina terjadi pada bulan Juli. Couprof dan Benson in
Yuniarti (2004) faktor kondisi dapat menggambarkan kecocokan terhadap lingkungan dan musim
menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi faktor kondisi. Diduga perbedaan faktor kondisi ikan
Lais Tapa (Kryptopterus Impok) dipengaruhi oleh musim dan ketersediaan makanan.
Gambar 4. Rata-rata Faktor Kondisi Ikan Lais Tapa (Kryptopterus Impok) Jantan dan Betina di
perairan sekitar desa Muara Rawas
Pada bulan April dan Januari faktor kondisi ikan Lais Tapa jantan maupun betina cendrung
menurun, diduga ikan Lais Tapa ini beradaptasi dengan lingkungan. Hal ini sesuai dengan
pendapat Effendie (1979) bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi faktor kondisi adalah
makanan.
6 - Semnaskan _UGM / Penangkapan Ikan dan Kelautan (BP-07)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Betina
0%
20%
40%
60%
80%
100%
April. 2007 Juli 2007 Januari 2008
BULAN
T
K
G
(
%
)
IV
III
II
I
Jantan
0
50
100
150
200
250
April. 2007 Juli 2007 Januari 2008
BULAN
T
K
G
(
%
)
IV
III
II
I
Tingkat kematangan gonad Ikan Lais Tapa (Kryptopterus Impok)
Berdasarkan bulan pengambilan ikan contoh diperoleh bahwa ikan lais tapa betina lebih
berkembang dibandingkan dengan ikan jantan selama tiga bulan pengambilan contoh ikan di
perairan sekitar Desa Mura Rawas. Lagler et al. (1984) in Saepudin (1999) mengatakan salah satu
faktor yang mempengaruhi TKG adalah jenis kelamin yang berbeda. Faktor lain yang
mempengaruhi yaitu umur, ukuran, sifat fisikologis, suhu lingkungan, arus, dan tempat yang
memijah yang sesuai. Frekuensi tertinggi ikan lais tapa betina ditemukan pada bulan April 2007
yaitu TKG II 15 ekor, begitupun ikan jantan 5 ekor sedangkan pada bulan Januari 2008 didominasi
ikan lais tapa betina dengan Tingkat kematangan gonad IV (Gambar 5).
Gambar 5. Tingkat kematangan gonad ikan lais tapa jantan dan betina (Kryptopterus Impok)
Jantan dan Betina di perairan sekitar desa Muara Rawas
Nisbah kelamin
Definisi dari nisbah kelamin adalah suatu angka yang menunjukkan perbandingan jumlah
individu jantan dengan betina dalam suatu popolasi secara alamiah, Bal dan Rao (1984),
mengatakan di suatu perairan yang normal diperkirakan perbandingan jantan : betina adalah 1:1.
Dari pengamatan terhadap Ikan Lais Tapa (Kryptopterus Impok) yang diperoleh selama penelitian
berjumlah 453 ekor, terdiri dari 246 ikan Lais Tapa betina dan 207 ekor ikan jantan. Sebaran
perbandingan jumlah ikan lais tapa yang berkelamin betina dan jantan setiap kali surve dapat
dilihat pada tabel 3 dan Gambar 6
Tabel 3. Nisbah kelamin ikan lais tapa (Kryptopterus Impok) di Perairan sekitar desa
Muara Rawas
Bulan April. 2007 Juli 2007 Januari 2008 Total
Seks Ratio Jantan:betina 1,0:0,5 1,0:0,5 1,0:0,9 1,0:1,0
n(ekor) 20 24 409 453
Apabila dilihat secara bulanan April 2007 sampai Januari 2008 dilokasi penelitian terlihat
perbandingan ikan lais tapa jantan dan betina berpariasi pada bulan April betina lebih banyak
dibandingkan pada bulan Juli 2007 dan Januari 2008. Bal dan Rao (1984) mengatakan
perbandingan yang tidak seimbang antara jantan dan betina erat hubungan dengan tabiat makan,
memijah, atau migrasi. Wahyuono et al dalam Rohy (2001) mengatakan apabila jantan dan betina
seimbang atau betina lebih banyak dapat diartikan bahwa populasi tersebut ideal untuk
pempertahankan kelestarian sebaliknya apabila jantan lebih banyak dari betina dapat diartikan
bahwa populasi tersebut tidak ideal untuk mempertahankan kelestarian atau cenderung punah.
Dilihat dari Gambar 6. Kesinambungan populasi ikan lais tapa di Perairan sekitar Desa Muara
Rawas masih dalam kondisi baik betina lebih banyak dibandingkan ikan jantan.
Semnaskan _UGM / Penangkapan Ikan dan Kelautan (BP-07) - 7
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
0
50
100
150
200
250
April. 2007 Juli 2007 Januari 2008
BULAN
F
r
e
k
u
e
n
s
i
Jantan
Betina
Gambar 6. Komposisi jumlah Ikan Lais Tapa (Kryptopterus Impok), jantan dan betina di Perairan
sekitar Desa Muara Rawas.
Fekunditas Ikan Lais Tapa (Kryptopterus Impok)
Fekunditas ikan Lais Tapa diperoleh berdasarka analisis 12 sampel gonad yang sudah
masak, TKG III (4 gonad) dan TKG IV (8 gonad). Jumlah telur yang didapatkan setelah dilakukan
pengamatan berkisar antara 104-1227 butir telur. Jumlah telur ikan dengan frekuensi terendah
ditemukan pada ikan dengan panjang tubuh total 10,8 cm sebanyak 104 butir telur (TKG IV),
sedangkan jumlah telur dengan frekuensi tertinggi ditemukan pada ikan Lais Tapa dengan panjang
tubuh total 25,4 cm sebanyak 1227 butir telur pada TKG yang sama. Berdasarkan hasil regresi
fekunditas dengan panjang tubuh (Gambar 7) diproleh koefisien determinasi sebssar 0,3945, nilai
ini menunjukkan bahwa 3,945 % dari keragaman nilai fekunditas ikan Lais Tapa dapat dijelaskan
oleh panjang tubuh total, dan didapat nilai koefisien koreksi (r) sebesar 0,62, nilai tersebut
termasuk rendah, sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang kurang erat antara
fikunditas dengan panjang tubuh.
y = 0.2624x
2.4456
R
2
= 0.3945
r=0,62
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
0 5 10 15 20 25 30
Panjang tubuh (cm)
F
i
k
u
n
d
i
t
a
s
Gambar 7. Hubungan Panjang total Ikan Lais Tapa (Kryptopterus Impok) Dengan Fekunditas
(TKG III dan TKG IV)
Efendie (2002) mengatakan bahwa fekunditas suatu jenis ikan berhubungan erat dengan
lingkungannya, dalam hal ini fekunditas dari suatu spesies ikan akan berubah bila keadaan
lingkungannya berubah. Hal ini berkaitan dengan kelimpahan makanan yang tersedia dalam
lingkungan tersebut. Sehingga fekunditas lebih sering dihungkan dengan panjang dari pada berat,
kerena panjang penyusutannya lebih kecil dibandingkan dengan berat yang dapat dengan mudah
berkurang apabila terjadi perubahab lingkungan dan fisiologis pada ikan.
Kesimpulan
Uraian diatas memberikan beberapa kesimpulan yaitu ikan lais tapa didapatkan dari
perairan sekitar Muara Rawas kabupaten MURA. Menurut hasil penghitungan nisbah kelamin ikan
lais tapa betina dan jantan berada dalam keadaan tidak seimbang dan didapatkan ikan lais tapa
8 - Semnaskan _UGM / Penangkapan Ikan dan Kelautan (BP-07)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
betina lebih banyak. Dengan demikian diduga kesinambungan populasi ikan lais tapa di perairan
sekitar Muara Rawas terjamin dengan baik. Kisaran panjang ikan lais tapa hasil tangkapan nelayan
di perairan sekitar desa Muara Rawas 10,8 cm sampai dengan 25,4 cm. Hubungan panjang bobot
ikan lais tapa bersifat allometrik negatif, dengan demikian pertambahan panjang lebih dominan
dibandingkan dengan pertambahan bobot. Komposisi ikan lais tapa selama penelitian didominasi
oleh ikan lais tapa dengan tingkat kematangan gonad III dan IV, yaitu lebih dari 50 % jumlah
disetiap bulan pengamatan.
Ucapan terimakasih
Penulis banyak mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Husnah, M.Phil yang telah
banyak membantu sehingga terbitnya karya ilmia ini.
Daftar Pustaka
Bal, D. V. & Rao K. 1984. Marine fisheries. Tata Mc. Graw-Hill Publishing Company Limited. New
Delhi. P 5-24.
Efendie, M. I. 1979. Metode Biologi Perikanan Bogor. Yayasan Dewi Sri. 111 hal.
Effendie, M. I. 2002. Biologi Perikanan Yayasan Pustaka Nusantara. Yogyakarta. 163 hal.
Kotelat. M. A. J. Whitten. S. N. Kartikasari. & S. Wirjoatmodjo. 1993. Freshwater Fishes of Westem
Indonesia and Sulawesi (Ikan air tawar Indonesia bagian barat dan Sulawesi). Pariplus
Edition Proyek EMDI. Jakarta.
KOTTELA. M : ANTHONY, J. W : SRI .N.K. dan SOETIKNO. W., 1993 Freshwater Fishes of
wenstern Indonesia and Sulawesi Priplus Editions (HK) Ltd, Proyek IMDI Menteri Negara
KLH, RI, 291 hal.
Moyle, P. B. Dan J. J Cech. 1988. Fishes An Introduction to Ichthyology. Second Edition.
Departemen of Wildlife and Fisheris Biology University of California, Davis.
Nikolsky, G. V. 1963. The Ecology of fishes. Academic Press. New York. 352 p
Nikolsky, G. V. 1969. The Theory of Fish Population Dynamics As The Biological Background for
Rational Exploitation And Management of Fish Fishery Resources. Oliver and Boyd
Publisher United Kingdom. London. 322 p.
Noviantriana, R. 2004. Aspek Biologi Reproduksi Ikan Petek (leioghnathus equulus)
Di perairan Pantai Mayangan, Subag, Jawa Barat. Skripsi. Manajemen Sumberdaya
Perairan. Fakultas Perikanan Ilmu Kelautan. IPB. 71 p.
Pulungan. C.P. 1985 Morphometrik Ikan Selais dari Perairan Kecamatan Kampar Kiri Kabupaten
Kampar Riau Pusat Penelitian Universitas Riau, 54 hal.
Rohy, I. C. 2001. Studi tenteng aspek biologi dan aspek perikanan ikan cucut yang didaratkan di
Pelabuhan Perikanan Pantai Prigi, Jawa Timur, Karya Ilmia Praktek Akhir. Program
Diploma 4 Sekolah Tinggi Perikanan Jakarta 63 hal.
Utomo, A. D. Asyari dan S. Adjie. 1990. Aspek Biologi Ikan Lais (Kryptopterus Impok) di Perairan
Lubuk Lampam, Sumatera Selatan. Buletin Penelitian Perikanan Darat Vol 9. No. 2
Desember 1990. Palembang.
Walpole, R.E. 1995. Pengantar Statistika edisi Ke-3 alihBahasaoleh Sumantri, B. PT Gramedia
Pustaka utama. Jakarta. 515 hal.
Semnaskan _UGM / Penangkapan Ikan dan Kelautan (BP-07) - 9
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Yuniarti, I. 2004. Aspek Reproduksi Ikan Baji-baji (Grammoplites scaber) (Linnaeus, 1758) di
Perairan pesisir Mayangan, Subag, Jawa Barat. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 76 hal. Tidak dipublikasikan.
Tanya Jawab
Penanya : Eko
Pertanyaan : a. Pada grafik distribusi ikan, seharusnya prosentase maks. 100, tp kenapa
bisa sampai 200?
b. kenapa ada dua spesies yang dibahas?
Jawaban : a dan b salah ketik
Penanya : Charles
Pertanyaan : Nama ilmiah ikan lais tapa tidak tepat.
Jawaban : terimakasih atas koreksinya
Penanya : Prawira
Pertanyaan : Mengapa betina lebih banyak?
Jawaban : 1 ekor jantan = bisa membuahi 6 betina sehingga bila jumlahnya sedikit
masih bisa berkembang biak.
Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-08) - 1
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
PERTUMBUHAN DAN KUALITAS PERAIRAN HABITAT
IKAN SUMPIT (Toxotes microlepis) DI SUNGAI MUSI BAGIAN HILIR
Herlan dan Aroef Hukmanan Rais
Balai Riset Perikanan Perairan Umum, Mariana Palembang
Email: herlanh5@gmail.com
Abstrak
Ikan Sumpit (Toxotes microlepis) adalah ikan hias yang hidup di perairan estruari hingga wilayah
rawa banjiran. Penelitian tetang pertumbuhan ikan sumpit di Sungai Musi dilakukan dengan
sampling secara series di daerah Sungai Musi bagian hilir. Pengamatan dilakukan pada jenis
kelamin, panjang-berat ikan dan kualitas perairan habitat ikan sumpit. Hasil pengamatan
menunjukan nisbah kelamin jantan dan betina ikan sumpit yang tertangkap adalah 1:1,45. Panjang
total ikan sumpit jantan dan betina adalah 6,9219,2 dan 4,2619 cm. Berat ikan sumpit jantan dan
betina adalah 7,3155 dan 1,58138 gram. Dari grafik hubungan panjang berat didapat
pertumbuhan ikan sumpit adalah memiliki pertumbuhan yang alometrik. Modus nilai panjang total
pada setiap bulan pengamatan adalah 12-12,9 cm. Faktor kondisi ikan sumpit jantan lebih besar
dari pada ikan betina. Kondisi habitat berdasarkan kualitas perairan Sungai Musi menunjukan
kondisi yang masih cukup baik untuk hidup biota perikanan khususnya bagi ikan sumpit.
Kata Kunci: Pertumbuhan, Habitat dan Ikan Sumpit.
Pengantar
Sungai Musi merupakan sungai utama di Provinsi Sumatera Selatan dengan panjang
hingga 700 km dengan anak sungai dan paparan banjiran yang memiliki karakteristik habitat
tersendiri (Samuel et al,2003). Perairan tersebut memiliki lebih dari 130 jenis ikan yang terdiri atas
ikan konsumsi dan ikan hias (Utomo et al, 2007). Dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan
Sungai Musi terutama untuk ikan hias tergolong belum optimal, hal ini dikarenakan masih
terbatasnya informasi dan teknologi budidaya bagi pengembangan ikan-ikan Sungai Musi yang
memiliki potensi sebagai ikan hias. Salah satu ikan di Sungai Musi yang memiliki potensi sebagai
ikan hias adalah ikan Sumpit (Toxotes microlepis).
Ikan sumpit (Toxotes microlepis) merupakan ikan yang hidup di perairan estuari (bagian
hilir) hingga ke rawa banjiran (bagian tengah) (Allen, 1978). Ikan sumpit tersebar di beberapa
kawasan mulai dari India Timur sampai dengan Filipina, bagian selatan Indonesia, Vanuatu, Pulau
Salamons, Papua New Guine, dan Australia bagian utara. Ikan sumpit atau dikenal juga dengan
sebutan Archerfish, di Indonesia banyak tersebar di wilayah Sumatera, Jawa, Sumbawa, Sulawesi
dan Kalimantan. Komoditi ikan hias ini tergolong unik, hal ini dikarenakan kebiasan makan ikan ini
adalah dengan melompat dan menembakan sejumlah air pada mangsanya (Kottelat, et.al, 1993).
Penelitian mengenai ikan sumpit di Sungai Musi belum banyak dilakukan. Dalam penelitian
ini ditujukan untuk mendapatkan informasi tentang pertumbuhan dan kondisi lingkungan habitat
ikan sumpit di Sungai Musi, Provinsi Sumatera Selatan.
Bahan dan Metode
Pengambilan Sampel
Penelitian mengenai pertumbuhan dan habitat ikan sumpit ini dilakukan di Sungai Musi
bagian hilir (Gambar1), pada bulan Juli hingga Desember 2010, yang secara ideal mencakup
musim penghujan dan musim kemarau. Sampel ikan Sumpit di dapatkan dari hasil tangkapan
nelayan menggunakan dua alat tangkap yaitu belad dan jaring pendam. Sampel diambil secara
random pada nelayan yang ditunjuk sebagai enumerator penangkapan. Ikan sumpit hasil
tangkapan diambil dan diukur panjang beratnya, dibedah untuk mengetahui jenis kelaminnya.
BP-08
2 - Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-08)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Gambar 1. Lokasi pengambilan sampel ikan dan air dalam penelitian.
Data kualitas air diambil sebanyak tiga kali, yaitu pada bulan Agustus, November, dan
Desember. Parameter fisika dan kimia perairan yang dianalisis adalah Turbidity, Conductivity, Total
Dissolved Solid, Total Phospat, Total Nitrogen, Suhu air dan pH berdasarkan APHA (2005) dan
analisis dilakukam di Laboratorium Kimia Perairan Balai Riset Perikanan Perairan Umum yang
tertera pada tabel 1.
Tabel 1. Metode yang digunakan untuk pengamatan parameter kualitas air.
Parameter Kualitas Air Metode
Turbidity
pH
Total Dissolved Solid
Conductivity
Suhu Air
Oksigen Terlarut
Karbondioksida
Total Alkalinitas
Hardness
Total Phospat
Total Nitrogen
Turbidy meter
pH meter
TDS meter
SCT- meter
Termometer
Titimetric
Titimetrik
Titimetrik
Titimetrik
Spectrofotometrik
Spectrofotometrik
Analisis Data
Data panjang berat ikan sumpit dibedakan sesuai dengan jenis kelaminya, pada satu bulan
tertentu. Dari data panjang berat dapat digunakan untuk melihat hubungan panjang berat ikan
sumpit, selang kelas pertumbuhan ikan setiap bulannya, dan faktor kondisi dari ikan sumpit. Data
dianalisis menggunakan software Excel 2007, dan ditampilkan dalam bentuk tabel dan grafik.
Hubungan panjang berat mengacu pada rumus (Effendie, 1979) :
W = a L
b
Dimana :
W = berat (gram)
L = panjang (mm)
a, b = konstanta
Faktor kondisi relatif mengacu pada rumus (Effendie, 1997) :
Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-08) - 3
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Kn =
Dimana :
Kn = Faktor kondisi relatif
W = berat (gram)
L = panjang (mm)
a,b = konstanta
Hasil dan Pembahasan
Pertumbuhan Ikan Sumpit
Jumlah seluruh ikan sumpit yang didapat dan dianalisis nisbah kelaminya selama
penelitian mencapai jumlah 249 ekor, dengan proporsi total ikan sumpit jantan sebanyak 120 ekor
dan ikan sumpit betina mencapai 174 ekor (Tabel. 2). Dari hasil pembagian didapatkan nilai nisbah
kelamin ikan sumpit jantan dan betina adalah 1 : 1,45. Nilai ini menunjukan bahwa rasio kelamin
ikan gabus masi termasuk dalam kategori seimbang. Menurut Effendie (1997), bahwa kenyataan
dalam perbandingan rasio kelamin jantan dan betina tidaklah mutlak. Keadaan ini dipengaruhi oleh
ketersediaan makanan, kepadatan populasi dan juga keseimbangan rantai makanan.
Tabel 2. Jumlah dan presentase sampel ikan sumpit (Toxotes microlepis) berdasarkan jenis
kelamin.
Bulan (N)
Jantan Betina
(%) (%)
Juni 42 40.48 59.52
Juli 48 45.83 54.17
Agustus 44 43.18 56.82
Oktober 48 33.33 66.67
Nopember 37 43.24 56.76
Desember 75 40.00 60.00
Jumlah 294 40.82 59.18
Nilai panjang total dan berat dari ikan sumpit yang tertangkap ditunjukan pada (Tabel. 3).
Panjang total ikan sumpit jantan dan betina adalah 6,92 19,2 cm dan 4,26 19,0 cm dengan
rata-rata seluruh ikan sumpit jantan dan betina 11,9 2,48 cm dan 12,1 2,76. Sedangkan berat
ikan sumpit jantan dan betina adalah 7,3 155 gram dan 1,58 138 gram dengan berat rata-rata
berat keseluruhan adalah 41,9 29,73 dan 42,4 27,01 gram. Dalam Effendie (1997),
pertumbuhan ikan dipengaruhi oleh adanya dua faktor. Faktor dari dalam yaitu berupa faktor
keturunan, sex, umur, parsit dan penyakit. Sedangkan faktor dari luar adalah makanan dan kondisi
habitat perairan.
Tabel 3 . Panjang total (cm) dan berat (gram) dari ikan jantan dan betina selama penelitian.
Jenis
N Minimal Maksimal Rata-rata
Kelamin
Panjang (cm) Jantan 120 6,92 19,2 11,9 2,48
Betina 174 4,26 19 12,1 2,76
Berat (g) Jantan 120 7,3 155 41,9 29,73
Betina 174 1,58 138 42,4 27,01
Hubungan panjang berat dari ikan sumpit jantan dan betina dari bulan Juni sampai dengan
Desember ditampilkan pada (Gambar. 2). Analisa persamaan garis eksponensial yang didapat
4 - Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-08)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
membentuk grafik hubungan panjang berat didapatkan nilai b3, yaitu menunjukan hubungan yang
Alometrik. Pada hubungan panjang berat ikan sumpit jantan menunjukan nilai b = 3,034 yang
berarti nilai b>3, sedangkan pada ikan sumpit betina menujukan nilai b = 2,977 atau nilai b<3.
Menurut Effendie (1979), bahwa nilai b>3 maka menyatakan pertumbuhan berat lebih cepat dari
pada pertumbuhan panjangnya, sedangkan nilai b <3 menyatakan pertumbuhan berat tidak lebih
cepat dari laju pertumbuhan panjang. Selain itu dari grafik hubungan panjang berat didapatkan nilai
korelasi 0,953 dan 0,972, yang menyatakan bahwa ada korelasi antara pertambahan panjang dan
pertambahan berat, memiliki korelasi nilai yang tinggi.
Gambar 2. Grafik hubungan panjang berat ikan sumpit jantan dan betina selama penelitian.
Apabila dilihat dari ukuran panjang tubuh ikan sumpit yang tertangkap setiap bulannya,
terlihat adanya pergeseran modus panjang total, dimana ini menunjukan adanya pertumbuhan
tubuh ikan yang tertangkap pada bulan Juni sampai dengan Desember, akan tetapi tidak pada
bulan September dikarenakan ketidak tersediaan sampel pada bulan ini. Nilai perubahan modus
dari panjang total ikan sumpit ditapilkan pada (Gambar. 3).
y = 0.019x
3.034
R = 0.953
0
50
100
150
200
- 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00
B
e
r
a
t
(
g
r
)
Panjang (cm)
Grafik Hubungan Panjang - Berat
Ikan Sumpit Jantan
y = 0.022x
2.977
R = 0.972
0
50
100
150
- 5.00 10.00 15.00 20.00
B
e
r
a
t
(
g
r
)
Panjang (cm)
Hubungan Panjang - Berat
Ikan Sumpit Betina
0
5
10
15
20
25
Bulan Juni
0
5
10
15
20
25
Bulan Juli
0
5
10
15
20
25
Bulan Agustus
Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-08) - 5
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Gambar 3. Distribusi frekuensi panjang total ikan sumpit (Toxotes microlepis).
Berdasarkan Gambar 3 terlihat bahwa ikan sumpit yang tertangkap dengan alat tangkap
belad dan jaring pendam terlihat setiap bulanya memiliki modus panjang total yang berbeda. Pada
bulan Juni terdapat dua kohort yaitu pada panjang 9 cm dan 11 cm. Pada bulan Juli terdapat
modus pada nilai panjang 10 dan 12 cm. Pada bulan Agustus terdapat satu modus panjang pada
nilai 13 cm. Bulan Oktober terdapat nilai modus panjang 12 dan 15 cm. Bulan November masih
terdapat nilai yang hampir sama dengan bulan sebelumnya yaitu pada panjang 12, 15, dan 18 cm.
Dan pada bulan Desember terlihat puncak kohort pada nilai panjang 12 cm.
Salah satu nilai penting dalam pertumbuhan ialah faktor kondisis dimana faktor ini
menunjukan keadaan baik dari segi kapasitas fisik untuk survival dan reproduksi (Effendie, 1997).
Dari hasil penelitian didapatkan gambaran faktor kondisi relatif antara ikan sumpit jantan dan
betina pada gambar berikut (Gambar. 4).
Gambar 4. Grafik faktor kondisi ikan sumpit jantan dan betina dalam penelitian.
0
5
10
15
20
25
Bulan Oktober
0
5
10
15
20
25
Bulan November
0
10
20
30
4 - 4.95 - 5.96 - 6.97 - 7.9 8 - 8.99 - 9.910 - 10.9 11 - 11.9 12 - 12.9 13 -13.9 14 - 14.9 15 - 15.9 16 - 16.9 17 - 17.9 18 - 18.9 19 - 19.9 20 - 20.9 21 - 21.9
Bulan Desember
0.900
0.950
1.000
1.050
1.100
1.150
F
a
k
t
o
r
K
o
n
d
i
s
i
(
K
n
)
Grafik Faktor Kondisi Ikan Sumpit
Jantan
Betina
6 - Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-08)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Hasil perhitungan faktor kondisi ikan sumpit jantan dan betina pada tiap bulannya,
menggambarkan kapasitas fisik (kegemukan) ikan sumpit. Dari gambar tersebut diatas terlihat
bahwa nilai faktor kondisi yang lebih besar pada ikan sumpit jantan dibandingkan ikan sumpit
betina. Nilai faktor kondisi ikan sumpit betina lebih besar pada bulan Desember. Hal ini dapat
menunjukan nilai kegemukan ikan sumpit jantan lebih besar dari pada ikan betina pada tiap
bulannya.
Kualitas Perairan
Penilaian kondisi perairan habitat ikan sumpit dilakukan sebanyak tiga kali, yaitu bulan
Agustus, November dan Desember, pada tiga lokasi penangkapan yang berbeda. Hasil
pengukuran nilai kualitas perairan ditampilkan pada (Tabel.4) dibawah ini
Tabel 4. Hasil Analisis pengamatan kualitas perairan habitat ikan Sumpit di Sungai Musi bagian hilir.
Parameter Satuan
Pulau Burung Muara Upang SP3
Range RataSD Range RataSD Range RataSD
O2 mg/L 3,15 - 3,95 3,470,423
3,23 -
4,2 3,710,485
3,47 -
3,56 3,510,06
CO2 mg/L 0,44 - 0,88 0,7330,254
0,88 -
1,32 1,0260,254 0,88 0,88
T.
Alkalinitas mg/L 4 - 11,5 7,53,774
4,5 -
10,5 73,122 2 - 11,5 6,756,71
Hardness mg/L 0 - 15,1 5,338,392 0 - 15,5 5,178,94 0 - 1 0,50,707
Suhu air Celcius 28 - 29 28,50,707 28 - 31 29,52,121 28 28
pH 5,7 - 6 5,90,173 6 -7 6,50,5 6 - 7 6,50,707
Turbidity NTU 28,3 - 64,9 51,920,47
25,4 -
65,4 51,1622,35
24,9 -
51,5 38,218,8
Conductivity (chos/cm) 50 - 70 56,711,547 50 - 80 6017,32 50 50
TDS mg/L 20 - 40 3010 20 -30 26,75,77 20 - 30 257,07
Total
Phospat mg/L
0,0016 -
0,08 0,0290,0436
0,00025
- 0,016 0,00780,0078
0,0016 -
0,02 0,0110,012
Total
Nitrogen mg/L
0,0097 -
0,021 0,0150,0056
0,0098 -
0,075 0,0330,036
0,0195 -
0,0198 0,0190,0002
Analisis pengamatan kualitas perairan di gunakan 11 parameter, baik fisika dan kimia
perairan. Menurut Kaban (2007), Ikan sumpit diketahui habitatnya di wilayah estuari, akan tetapi
sebaran ikan sumpit masih dijumpai di daerah tengah Musi daerah Beningan dengan pH 6,5 7,5
dan salinitas rendah nol (0
o
/
oo
) hingga salinitas lima (5
o
/
oo
) dengan beberapa vegetasi tumbuhan
air di pinggiran sungai sehingga cocok untuk serta estuari merupakan habitat yang paling sesuai
untuk ikan sumpit. Dari hasil pengamatan kualitas perairan, nilai yang didapat menunjukan bahwa
keadaan perairan Sungai Musi pada umumnya masih cukup baik guna kehidupan ikan, meskipun
mulai timbul tekanan terhadap habitat berupa aktivitas manusia baik transportasi, industri dan
perniagaan. Air merupakan medium bagi kehidupan organisme perairan, oleh karena itu kualitas
air ini akan mempengaruhi dan menentukan kemampuan hidup organisme perairan tersebut
(Kartamihardja dkk., 1987).
Kesimpulan
Ikan Sumpit yang banyak diketemukan di perairan Sungai Musi, adalah spesies Toxotes
microlepis. Selama penelitian didapatkan nilai nisbah kelami ikan sumpit adalah 1 : 1,45. Panjang
total ikan sumpit jantan dan betina adalah 6,92 19,2 cm dan 4,26 19,0 cm dengan rata-rata
seluruh ikan sumpit jantan dan betina 11,9 2,48 cm dan 12,1 2,76. Sedangkan berat ikan
sumpit jantan dan betina adalah 7,3 155 gram dan 1,58 138 gram dengan berat rata-rata berat
keseluruhan adalah 41,9 29,73 dan 42,4 27,01 gram. Nilai koefisien korelasi pertumbuhan ikan
sumpit jantan dan betina menunjukan pertumbuhan yang Alometrik. Nilai modus panjang ikan yang
paling sering muncul adalah 12 12,9 cm. Faktor kondisi ikan sumpit jantan memiliki nilai lebih
Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-08) - 7
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
besar dari ikan sumpit betina. Sedangkan kualitas perairan sungai Musi masih tergolong layak
digunakan sebagai habitat ikan khususnya bagi Ikan Sumpit.
Daftar Pustaka
Allen, G.R. 1978. A review of the archer fishes (family Toxotidae). Rec. West. Aust. Mus. 6(4): 355-
378.
Effendie, M.I. 1997. Biologi perikanan. Yayasan Nusatama. Yogyakarta. 163 hal.
Effendie, M.I. 1979. Metoda biologi perikanan. Yayasan Dewi Sri. Bogor. 112 hal.
Kaban, Siswanta. 2007. Beberapa karakteristik biologi dan habitat ikan sumpit (Toxotes microlepis)
di DAS Sungai Musi Sumatera Selatan.
Kartamihardja, E.S., A.S. Nastiti., Krismono., K. Purnomo., dan A. Hardjamulia. 1987. Penelitian
limno-iiologis Waduk Saguling pada tahap pra-industri. Bull. Penel. Perikanan Darat Vol. 6
No. 3 : 1-27.
Kottelat, M., Anthony, J.W., Sri, N.K, Soetikno, W. 1993. Freshwater fishes of Western Indonesia
and Sulawesi (Ikan Air Tawar Indonesia Bagian Barat dan Sulawesi). Java Books. Jakarta.
P 58.
Samuel, Adjie S dan Subagja. 2003. Inventarisasi dan distribusi biota serta karakteristik habitat
perairan Sungai Musi. Di dalam Indrajaya et al. (editor). Prosiding Hasil-Hasil Riset . Pusat
Riset Perikanan Tangkap - Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan
dan Perikanan. Hal. 89-108.
Utomo AD, Muflikhah N, Nurdawati S, Rahardjo MF dan Makmur S. 2007. Ichtiofauna Sungai Musi
Sumatera Selatan di dalam Kertamihardja ES dan Hartoto DI (editor). Badan Riset
Kelautan dan Perikanan. Pusat Riset Perikanan Tangkap Balai Riset Perikanan Perairan
Umum. 285 halaman.
Tanya Jawab
Penanya : (tidak menyebutkan nama)
Pertanyaan : a. Belum dijelaskan sebab-sebabnya?
b. Bagaimana kurva pertumbuhan umur?
Jawaban : a. Lihat di slide
b. Pertumbuhan dipengaruhi dua faktor: dalam (seks, genetik) dan luar
(makanan)
8 - Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-08)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-09) - 1
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
PENDUGAAN MIGRASI LOKAL IKAN TEMBANG (Sardinella fimbriata) DI
AREA TENGAH SELAT MADURA JAWA TIMUR
Oleh Gatut Bintoro*, Fedi Sondita**, Daniel Monintja**, John Haluan**, dan Ari Purbayanto**
*Universitas Brawijaya Malang
** Institut Pertanian Bogor
Abstrak
Migrasi adalah pergerakan hewan dari satu tempat ke tempat lainnya. Hewan melakukan migrasi
dipicu oleh adanya kompetisi (intra dan inter spesies), untuk mengoptimalkan penggunaan sumber
daya, peningkatan daya tahan, dan seleksi alamiah. Penelitian ini dilaksanakan di perairan Selat
Madura Jawa Timur. Sampel ikan tembang didapatkan dari nelayan yang mendaratkan ikan hasil
tangkapan di Kabupaten Sampang, Pamekasan, Sumenep, Pasuruan, Probolinggo, Kota
Pasuruan dan Kota Probolinggo. Jumlah total sampel ikan tembang adalah 6.693 ikan. Identifikasi
kelompok daerah penangkapan dilakukan dengan cara wawancara tentang daerah penangkapan
tradisional mereka yang sudah sejak lama melakukan aktivitas penangkapan ikan tembang. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa daerah penangkapan (DP) ikan tembang di area tengah Selat
Madura dibagi menjadi delapan DP yaitu DP 1 sampai DP 8. Berdasarkan analisis penentuan
jumlah kelompok umur ikan menggunakan metode Bhattacharya mengidikasikan bahwa
gerombolan ikan di area tengah adalah terdiri dari dua kelompok umur yang berbeda. Gerombolan
ikan di area tengah tersebut mempunyai perbedaan pola pergerakan yang cukup signifikan
walaupun pada bulan-bulan tertentu mereka dapat mendiami satu daerah penangkapan yang
sama. Pergerakan gerombolan ikan kelompok pertama searea besar berkisar di DP 1, DP 2, DP 3,
dan DP 4. Namun pada saat tertentu mereka bergerak ke DP 5 dan DP 7. Sebaliknya gerombolan
ikan kelompok ke dua umumnya terpusat di DP 5, DP 6, DP 7, dan DP 8. Pada saat tertentu
mereka juga melakukan pergerakan ke DP tradisional kelompok pertama, yaitu DP 3 dan DP 4.
Kata kunci: Tembang, migrasi lokal, Selat Madura.
Pengantar
Ikan tembang yang tertangkap di Selat Madura sebagian besar didaratkan di daerah
Sampang, Pamekasan, Sumenep, Pasuruan, dan Probolinggo. Alat tangkap yang dominan
menangkap ikan tembang adalah purse seine. Di samping itu empat alat tangkap lain yang juga
mampu menangkap ikan tembang di Selat Madura adalah payang, jaring insang hanyut, jaring
insang tetap, dan dogol. Penangkapan ikan tembang di perairan Selat Madura dengan
menggunakan kelima alat tangkap tersebut di atas (kecuali purse seine) umumnya masih tergolong
kegiatan perikanan tradisional. Perikanan ini dicirikan oleh sedikitnya modal yang digunakan,
menggunakan teknologi penangkapan yang sederhana, daerah penangkapannya di sekitar pantai,
dan trip operasinya bersifat harian (Anonim, 2003).
Selat Madura mempunyai peran penting bagi masyarakat nelayan di Jawa Timur karena
nelayan yang menggantungkan hidup di wilayah ini cukup signifikan, yaitu 30,4% dari total nelayan
Jawa Timur yang berjumlah 214.785 orang. Mereka yang berada di Selat Madura (65.321 orang)
tersebar di 10 daerah kabupaten/kota yaitu Bangkalan (863), Sampang (6.621), Pamekasan
(6.967), Sumenep (6.278), Sidoarjo (1.043), Pasuruan (12.306), Probolinggo (8.765), Kota
Pasuruan (1.380), Kota Probolinggo (8.765), dan Situbondo (17.332) (Anonim, 2003). Secara
geografis posisi Selat Madura adalah perairan semi tertutup yaitu diapit oleh Pulau Madura dan
Pulau Jawa, memanjang dari barat ke timur, dengan luas sekitar 2.700 km
2
. Perairan tersebut
sempit di sebelah barat dan melebar di sebelah timur yang kedua ujungnya berhubungan dengan
Laut Jawa (Lelono, 1997).
Migrasi adalah pergerakan hewan dalam waktu tertentu dari satu tempat ke tempat lain
yang melibatkan proporsi populasi yang cukup besar dan menghasilkan pemisahan dua habitat
atau lebih (Northcote, 1978; 1984; dan Wootton, 1990). Penyebab hewan melakukan migrasi
adalah karena adanya kompetisi (intra dan inter spesies), untuk mengoptimalkan penggunaan
sumber daya, peningkatan daya tahan, dan seleksi alamiah. Dengan melakukan migrasi hewan
tersebut akan mengalami peningkatan rasio mortalitas, penyerapan energi, dan pengurangan daya
reproduksi dan pertumbuhan (Cowx, 1994). Migrasi yang terjadi pada ikan adalah migrasi jarak
BP-09
2 - Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-09)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
jauh, musiman, dan jangka pendek dengan arah horisontal dan vertikal (Laevastu & Hayes, 1981;
Wootton, 1990). Selain migrasi vertikal, jenis ikan pelagis kecil seperti ikan tembang (S. fimbriata)
diduga migrasinya hanya bersifat musiman dan dalam jangka pendek.
Informasi tentang pergerakan ikan tembang di Selat Madura sampai saat ini belum
tersedia sehingga hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan untuk penelitian berikutnya.
Materi penelitian tentang migrasi ikan ini adalah merupakan mapping dan elaborasi dari penelitian
sebelumnya tentang data biologi ikan khususnya tentang perkembangan TKG III dan IV
(selanjutnya disebut matang gonad) ikan tembang tiap bulan masing-masing kelompok area dan
daerah penangkapan. Materi yang dibahas adalah identifikasi gerombolan, kelompok umur, habitat
ikan, dan dugaan pola pergerakan ikan.
Ikan tembang di Selat Madura dikategorikan lebih tangkap rekruitmen yaitu banyaknya ikan
yang tertangkap dalam kondisi belum dewasa. Beberapa peneliti melaporkan bahwa ikan tembang
tersebut banyak yang tertangkap dengan ukuran di bawah ukuran pertama kali matang gonad dan
atau di bawah ukuran dewasa (Pet et al., 1997; dan Lelono et al., 1998). Pola pergerakan
horisontal (migrasi) ikan tembang juga belum diketahui secara jelas. Sampai sekarang, belum ada
laporan dan atau penelitian yang dengan jelas menggambarkan pola pergerakan horisontal ikan
tembang di Selat Madura.
Penelitian ini bertujuan untuk memberikan ilustrasi proporsi matang gonad dan prediksi
pergerakan bulanan gerombolan ikan tembang di area tengah Selat Madura.
Bahan dan Metode
Bahan
Sumber informasi pada penelitian ini adalah data tentang biologi ikan, khususnya
perkembangan matang gonad ikan tembang tiap bulan dari masing-masing kelompok area dan
daerah penangkapan. Jumlah total sampel ikan tembang adalah 6.693 ikan. Sampel tersebut
ditabulasi tiap bulan di tujuh kabupaten/kota dilakukan berdasarkan: (1) lokasi dimana mereka
tertangkap, dan (2) tingkat kematangan gonad tiap daerah penangkapan.
Metode
Penentuan gerombolan ikan didasarkan pada prediksi matang gonad ikan tembang yang
tertangkap. Penggambaran pola pergerakan ikan hanya menggunakan asumsi dari Wotton (1990)
tentang pola umum pergerakan gerombolan ikan terjadi pada tiga tempat yang berbeda yaitu
tempat bermain, memijah, dan mencari makan. Marking dan tagging untuk melihat secara pasti
pergerakan ikan tidak dilakukan pada penelitian ini karena keterbatasan tenaga, biaya, dan waktu.
Identifikasi kelompok daerah penangkapan dilakukan dengan cara wawancara kepada
nelayan di tujuh kabupaten/kota di sekitar Selat Madura tentang daerah penangkapan tradisional
mereka yang sudah sejak lama melakukan aktivitas penangkapan ikan tembang. Identifikasi
kelompok daerah penangkapan ini perlu dilakukan untuk melihat kecenderungan gerombolan ikan
dalam melakukan migrasi lokal secara horizontal. Untuk keperluan validasi kelompok gerombolan
ikan, data hasil tangkapan dipisahkan masing-masing area penangkapan tiap bulan berdasarkan
proporsi ikan yang matang gonad agar ada tidaknya perbedaan waktu terjadinya puncak matang
gonad dari masing-masing gerombolan ikan dapat dilihat.
Tahap berikutnya adalah identifikasi jumlah kelompok umur yang ada dalam satu
gerombolan ikan. Diasumsikan bahwa dalam kelompok umur tertentu, ikan mempunyai ukuran
panjang yang tidak jauh berbeda. Hal ini dilakukan karena adanya kecenderungan bahwa
gerombolan ikan melakukan ruaya bersama dengan ukuran panjang yang relatif sama (Wootton,
1990). Ikan berukuran besar akan beruaya dengan gerombolan ikan yang berukuran besar,
demikian juga terhadap ikan berukuran kecil akan bermigrasi dengan kelompok ikan berukuran
kecil pula. Metode yang digunakan dalam pemisahan kelompok umur ikan ini menggunakan
metode Bhattacharya dalam program FISAT. Metode tersebut mengemukakan bahwa jika nilai
indeks pemisahan lebih besar dari 2 dan jumlah populasi dalam satu kelompok umur lebih dari 10,
maka gerombolan ikan tersebut secara teori merupakan kelompok umur yang berbeda dari
populasi ikan sebelumnya.
Setelah identifikasi kelompok gerombolan ikan dan kelompok umur ikan dalam satu
gerombolan dapat dilakukan, selanjutnya identifikasi pola pergerakan tiap kelompok umur ikan
dapat dipetakan melalui identifikasi tingkat kematangan gonad ikan tiap daerah penangkapan tiap
bulan. Penggunaan persentase tingkat kematangan gonad ikan sebagai alat untuk identifikasi
Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-09) - 3
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
kelompok gerombolan ikan dan pendugaan arah pergerakan ikan adalah merupakan bentuk lain
dari identifikasi ikan berdasarkan kelompok panjang atau umur ikan.
Dengan mengetahui ketiga hal tersebut di atas, prediksi pola pergerakan ikan dari satu
daerah penangkapan ke daerah penangkapan lainnya dapat digambarkan. Demikian juga pola
umum migrasi ikan yang dikembangkan Wootton (1990) dapat pula dipetakan.
Hasil dan Pembahasan
Hasil
Total sampel yang terkumpul pada penelitian ini adalah 6693 ekor ikan tembang. Alat
tangkap yang paling dominan menangkap ikan tembang adalah purse seine yang diikuti di tempat
kedua dan ketiga berturut-turut yaitu payang dan jaring insang hanyut. Alat tangkap lain yang juga
mampu menangkap ikan tembang adalah jaring insang tetap dan dogol(Tabel 1). Sedangkan untuk
keberadaan ikan bulanan tiap daerah penangkapan dipresentasikan oleh data hasil tangkapan tiap
bulan di masing-masing daerah penangkapan (Tabel 2).
Tabel 1. Distribusi sampel ikan tembang (S fimbriata) tiap daerah penangkapan berdasarkan alat
tangkap
Daerah
Penangkapan
Purse
seine
Payang Jaring insang Dogol Jumlah
hanyut tetap
1 192 176 0 124 96 588
2 397 0 383 122 0 902
3 0 706 0 0 0 706
4 724 422 0 0 0 1146
5 157 0 0 0 0 157
6 162 0 0 120 0 282
7 598 0 127 160 548 1433
8 990 0 167 322 0 1479
Jumlah 3220 1304 677 848 644 6693
Proporsi 48,11 19,48 10,12 12,67 9,62 100
Tabel 2. Distribusi sampel ikan tembang (S fimbriata) tiap daerah penangkapan berdasarkan data
hasil tangkapan tiap bulan.
DP 1 2 3 4 5 6 7 8 Jumlah
Sep 64 190 72 0 0 30 94 83 533
Okt 60 132 97 55 86 49 93 100 672
Nov 0 64 0 0 203 221 87 575
Des 0 119 0 380 0 0 110 132 741
Jan 0 58 102 116 71 0 0 0 347
Feb 0 132 0 0 0 0 0 0 132
M ar 0 207 329 0 0 0 0 0 536
Apr 107 0 106 107 0 0 260 0 580
Mei 357 0 0 233 0 0 0 168 758
Jun 0 0 0 134 0 0 280 178 592
Jul 0 0 0 121 0 0 163 495 779
Ags 0 0 0 0 0 0 212 236 448
Jumlah 588 902 706 1.146 157 282 1.433 1.479 6693
Secara tradisional, daerah penangkapan ikan tembang di Selat Madura adalah terdiri dari
dua area yaitu tengah dan utara. Area tengah adalah daerah penangkapan yang sudah sejak lama
dieksploitasi oleh para nelayan yang berpangkalan di wilayah Selat Madura seperti nelayan
Kabupaten Sampang, Pamekasan, Pasuruan, Probolinggo, dan Kota Pasuruan dan Probolinggo.
4 - Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-09)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Daerah Penangkapan (DP) tersebut adalah Sumur Lecen (1), Karang Koko (2), Janggan (3),
Karang Cengkeh (4), Tlanakan (5), Karang Katon (6), Karang Cino (7), Paiton (8) (Gambar 1).
Khusus nelayan dari Kabupaten Sumenep, daerah penangkapan 1-8 jaraknya terlalu jauh
sehingga hampir tidak pernah bagi mereka melakukan penangkapan ikan di area tersebut karena
tidak efisien dan perlu biaya tinggi untuk bahan bakarnya. Area kedua di Selat Madura yang hanya
dieksploitasi oleh nelayan pantai Selatan Madura, khususnya mereka yang berpangkalan di
wilayah Sampang dan Pamekasan, adalah area utara yaitu daerah penangkapan di sepanjang
pantai selatan Pulau Madura. Pada bulan-bulan tertentu daerah ini juga diekspoitasi oleh nelayan
dari Pasuruan dan Probolinggo yang menggunakan alat tangkap purse seine, payang, dan dogol.
Gambar 1. Daerah penangkapan ikan tembang (S fimbriata) di area tengah Selat Madura.
Identifikasi kelompok umur
Analisis penentuan jumlah kelompok umur ikan menggunakan metode Bhattacharya
mengindikasikan bahwa gerombolan ikan di area tengah adalah terdiri dari dua kelompok umur
yang berbeda. Fakta ini ditunjukkan oleh data yang ditampilkan pada Tabel 3 di mana dari 12
bulan data populasi ikan, 2/3 (66,67%) adalah terdiri dari dua kelompok umur yang berbeda.
Tabel 4 memperjelas prediksi bahwa ikan tembang di area tengah terdiri dari dua
kelompok. Pada bulan September 2002 sampai Desember 2002 dan bulan April 2003 sampai Juli
2003 tingkat kematangan gonad ikan tembang di kelompok pertama (A) yaitu DP 1, 2, dan 3
dengan kelompok kedua (B) yaitu DP 6, 7, dan 8 sangat berbeda. Pada bulan September-
Desember 2002 TKG di kelompok A cenderung fluktuatif yang mana ini adalah berbeda dengan
kelompok B yang justru TKG-nya mengalami kenaikan. Demikian juga untuk bulan April-Juli 2003,
kelompok A berada di DP 1 sampai 4 dan kelompok B di DP 5 sampai 8. Adapun pada bulan
Januari sampai Maret 2003 diduga mereka bertemu di DP 4 dan 5 dan pada bulan Agustus 2003
diduga kelompok A bermain sampai ke DP 7 dan 8 yang merupakan area kelompok B.
Tabel 3. Validasi jumlah kelompok umur ikan dalam satu populasi di area tengah menggunakan
metode Bhattacharya.
Bulan
Kelompok
Umur ke
Nilai Tengah
(cm)
Jumlah Populasi
Tiap Kelompok
Separation Index
September 1 15,53 479 -
Oktober 1 15,76 659 -
2 18,73 12 4,68
November 1 14,73 89 -
2 16,95 474 3,23
Desember 1 15,22 566 -
2 18,68 40 4,75
Januari 1 15,60 336 -
Februari 1 14,53 131 -
Maret 1 14,42 481 -
Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-09) - 5
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
2 16,30 61 2,72
April 1 13,33 371 -
2 15,55 200 2,39
Mei 1 14,08 648 -
2 16,51 80 3,20
Juni 1 14,18 469 -
2 16,18 123 3,11
Juli 1 14,65 706 -
2 17,17 65 4,22
Agustus 1 14,62 404 -
Tabel 4. Proporsi bulanan (%) perkembangan matang gonad ikan tembang (S fimbriata) di
masing-masing daerah penangkapan di Selat Madura.
DP 1 2 3 4 5 6 7 8
Sept 57,81 67,89 56,94 26,67 39,36 56,63
Okt 65,00 53,79 61,86 54,55 30,23 48,98 53,76 55
Nov 70,31 52,22 59,28 74,71
Des 45,38 68,95 55,45 70,45
Jan 68,97 50 71,55 80,28
Feb 56,82
Maret 38,16 50,76
April 78,50 38,68 40,19 25
Mei 44,54 43,78 32,14
Juni 55,97 46,79 62,36
Juli 83,47 63,80 55,96
Agustus 73,58 62,71
Identifikasi habitat ikan
Tiga jenis habitat ikan sesuai dengan yang dikemukakan oleh Wottoon (1990) adalah: (1)
tempat tinggal (refuge); (2) tempat makan (feeding); dan (3) tempat bertelur (spawning). Habitat
pertama dihuni oleh kelompok ikan dengan proporsi matang gonad antara 50% sampai 69,9%,
kedua oleh kelompok ikan dengan proporsi matang gonad dibawah 50%, dan ketiga oleh
kelompok ikan dengan proporsi matang gonad di atas 70%. Secara garis besar ilustrasi
keberadaan dan alur migrasi populasi ikan tembang tiap bulan di Selat Madura berdasarkan
dataTabel 4 tersaji pada Gambar 2.
Gambar 2. Keberadaan dan alur migrasi populasi ikan tembang (S. fimbriata) tiap bulan di
area tengah Selat Madura
6 - Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-09)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Hasil penelitian menunjukkan hampir semua DP pernah menjadi tempat tinggal ikan
tembang kecuali DP 5, Pada bulan September sampai Desember adalah saat yang paling banyak
DP sebagai tempat tinggal seperti misalnya DP 1, 2, 3, 4, 6, 7, dan 8 Di samping itu pada bulan
Januari sampai Maret, dan Mei sampai Agustus ada juga beberapa DP yang dihuni kelompok ikan
sebagai tempat tinggal misalnya Januari (DP 2), Februari (2), Maret (DP 3), Juni (DP 4 dan 8), Juli
(DP 7 dan 8), dan Agustus (DP 8). Tempat makan hanya terjadi pada bulan September, Oktober,
Desember, dan Maret sampai Juni di beberapa DP. Pada bulan September yang berfungsi sebagai
tempat makan adalah DP 6, 7, dan 15 dan pada bulan Oktober adalah DP 5 dan 6. Pada bulan
Desember dan Maret hanya DP 2 saja yang berfungsi sebagai tempat makan. Tiga bulan lainnya
adalah bulan April (DP 3, 4, dan 7), Mei (DP 4 dan 8), dan Juni (DP 7). Tempat bertelur yaitu
dengan proporsi matang gonad diatas 70%, terjadi pada bulan-bulan November sampai April dan
Juni sampai Agustus dengan perincian November (DP 2 dan 8), Desember (DP 8), Januari (DP 4
dan 5), April (DP 1), Juli (DP 4), dan Agustus (DP 7) (Tabel 5).
Tabel 5. Dugaan habitat ikan tembang (S. fimbriata) tiap bulan di Selat Madura.
Bulan Daerah Penangkapan
Tempat Tinggal Tempat Makan Tempat Bertelur
September 1, 2, 3, dan 8 6 dan 7 -
Oktober 1, 2, 3, 4, 7, dan 8 5 dan 6 -
November 6 dan 7 - 2 dan 8
Desember 4 dan 7 2 8
Januari 2 dan 3 - 4 dan 5
Februari 2 - -
Maret 3 2 -
April - 3, 4, dan 7 1
Mei - 1, 4, dan 8 -
Juni 4 dan8 7
Juli 7 dan 8 - 4
Agustus 8 - 7
Dugaan pola pergerakan gerombolan ikan
Gerombolan ikan di area tengah yang terdiri dari dua kelompok umur yang berbeda, pola
pergerakannya mempunyai perbedaan yang cukup signifikan walaupun pada bulan-bulan tertentu
mereka dapat mendiami satu daerah penangkapan yang sama.
Kelompok A, yang pada bulan September berada di DP 1, 2, dan 3, pada bulan Oktober
searea besar dari mereka masih tetap tinggal di area tersebut dan searea kecil, terutama yang
muda, mulai bergerak ke DP 4. Karena turunnya persentase matang gonad ikan di DP 1, 2, dan 3,
pada bulan Oktober yaitu menjadi 58,82%, diduga disebabkan oleh adanya adanya aktivitas
penangkapan di area tersebut. Pada bulan November mereka menjadi terkonsentrasi di daerah
penangkapan 2 di mana pada saat tersebut mereka mencapai puncak matang gonad dengan
persentase sebesar 70,31% (Tabel 4).
Menginjak bulan Desember, searea dari mereka mungkin sudah bergerak ke daerah
penangkapan 4 dan searea lagi masih tinggal di area semula, terutama mereka yang masih muda
atau yang baru lahir. Dari DP 4, pada bulan Januari mereka ada yang bergerak ke DP 5 dan
searea lagi tetap tinggal di area mereka. Pada bulan Februari arah pergerakan mereka tidak
terdeteksi karena di daerah asal mereka dan sekitarnya seperti DP 3, 7, dan 8 tidak ada ikan yang
tertangkap. Kelompok ikan yang ada di DP 2, pada bulan Februari masih tetap tinggal di area
tersebut, baru pada bulan Maret searea dari mereka tetap tinggal di tempat dan baru bermigrasi ke
DP 1 pada bulan April hingga Mei, namun searea dari mereka mencoba bergerak ke DP 3. Dari
area ini, pada bulan April mereka ada yang tetap tinggal dan searea ada yang melakukan ruaya
ke DP 4 dan tetap tinggal di area tersebut sampai bulan Juli. Pada bulan Agustus mungkin mereka
mencoba bergerak ke DP 7 dan bertemu dengan kelompok B namun pada bulan September
kemungkinan besar mereka bergerak kembali ke area tradisional mereka yaitu DP 1, 2, dan 3
(Gambar 2).
Kelompok B, yaitu gerombolan ikan yang pada bulan September berada di DP 6, 7, dan 8,
pada bulan Oktober hanya searea kecil, terutama yang masih muda, yang mencoba bergerak ke
DP 5. Namun searea besar dari mereka tetap tinggal di area semula sampai bulan November.
Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-09) - 7
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Baru pada bulan Desember mereka menjadi terkonsentrtasi di DP 7 dan 8. Menginjak bulan
Januari, diduga mereka semua bermigrasi ke DP 4 dan 5 bahkan mungkin ada yang sampai di DP
3 untuk bergabung dengan ikan kelompok A. Selanjutnya mereka bergerak mengikuti pola
pergerakan ikan kelompok A hingga pada bulan Maret. Pada bulan April ada sekelompok ikan dari
DP 3 yang mulai bergerak ke DP 7 melalui DP 4 terutama kelompok ikan yang masih muda.
Selanjutnya pada bulan Mei mereka bergerak ke DP 8 dan pada bulan Juni hingga Agustus
mereka kembali ke area tradisional leluhurnya yaitu DP 7 dan 8 (Gambar 2).
Pembahasan
Sejak bulan September 2002, gerombolan ikan di DP 1 sampai 8 dapat diprediksi terdiri
dari dua kelompok yang berbeda yaitu kelompok A di DP 1, 2, dan 3, dan kelompok B di DP 6, 7,
dan 8 walaupun metode Bhattacharya menyebutkan bahwa pada bulan tersebut hanya terdiri satu
kelompok umur. Prediksi tersebut diperkuat oleh adanya fakta bahwa proporsi TKG secara
kelompok angkanya cukup jauh berbeda dan kedekatan area bermain masing-masing kelompok
yaitu DP 1 sampai 4 untuk kelompok A dan DP 5 sampai 8 untuk kelompok B. Di samping itu,
proporsi TKG secara kelompok angkanya cukup jauh berbeda, dimana ikan yang tertangkap di DP
1, 2, dan 3, proporsi TKGnya mencapai 63,5% dan hanya mencapai 44,44% di DP 6, 7, dan 8,
walaupun secara individu, persentase matang gonad kelompok ikan di DP 8 mencapai 56,63%
(Tabel 4).
Habitat ikan sebagai tempat di mana mereka berdiam diri, secara umum ada tiga macam
yaitu (1) tempat tinggal, (2) tempat makan, dan (3) tempat bertelur. Masing-masing habitat
mempunyai karakteristik yang berbeda sehingga gerombolan ikan yang berdiam diri pada masing-
masing habitat mempunyai kelompok umur yang berbeda. Tempat tinggal adalah habitat yang
cocok untuk bermain, biasanya dihuni oleh kelompok ikan yang berusia muda hingga dewasa.
Tempat makan adalah habitat yang sesuai untuk tumbuh dan berkembang biak karena daerah ini
kaya akan sumber makanan. Tipikal daerah seperti ini sangat disukai oleh kelompok ikan yang
masih muda yang memerlukan banyak makanan untuk pertumbuhan mereka. Tempat bertelur
adalah habitat yang disukai oleh kelompok ikan dewasa yang sudah matang gonad (TKG III dan
IV) karena habitat ini cocok untuk reproduksi (Wootton, 1990).
Karakteristik tiap-tiap daerah penangkapan di Selat Madura pada umumnya tidak jauh
berbeda. Mereka dapat digunakan kelompok ikan untuk tempat tinggal, makan, maupun bertelur.
Namun dalam bulan-bulan tertentu beberapa daerah penangkapan hanya cocok untuk tempat
bertelur seperti misalnya DP 2 pada bulan November, DP 7 pada bulan Agustus, DP 8 pada bulan
November dan Desember, DP 4 pada bulan Januari dan Juli, 5 pada bulan Januari (Tabel 5).
Dalam melakukan aktivitas kehidupan, tiga macam habitat tersebut di atas merupakan
acuan bagi ikan tembang di Selat Madura baik secara kelompok maupun individu untuk melakukan
pergerakan atau ruaya guna mensiasati faktor-faktor lingkungan yang kurang sesuai. Tiga hal
yang merupakan pendorong ikan, individu maupun kelompok, untuk melakukan ruaya guna
mempertahankan hidupnya adalah faktor makanan, kondisi lingkungan, dan penghindaran
terhadap predator.
Pendugaan pola pergerakan ikan tembang di Selat Madura hanya didasarkan pada
perkembangan TKG di DP-DP masing-masing area. Hal ini sesuai dengan pola migrasi ikan yang
digambarkan oleh Wootton (1990) dimana diilustrasikan bahwa tiga pola migrasi ikan adalah: (1)
kelompok ikan yang menghuni habitat tempat tinggal akan melakukan migrasi ke habitat tempat
bertelur bagi mereka yang sudah tinggi TKG-nya (di atas 70%) dan ke habitat tempat makan bagi
mereka yang keburu terlahir di habitat tersebut untuk berkembang; (2) kelompok ikan di habitat
tempat makan akan bermigrasi ke habitat tempat bertelur bagi mereka yang sudah tinggi TKG-nya
(di atas 70%) dan ke habitat tempat tinggal bagi mereka yang belum cukup tinggi TKG-nya; dan (3)
kelompok ikan di habitat tempat bertelur akan bergerak ke habitat tempat makan bagi mereka yang
baru menetas atau juvenil dan bermigrasi ke habitat tempat tinggal bagi mereka yang keburu besar
di tempat asalnya tersebut (habitat tempat bertelur).
8 - Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-09)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan
1. Ikan tembang di area tengah terdiri dari dua kelompok umur yang berbeda.
2. Masing-masing kelompok umur ikang tembang di area tengah melakukan migrasi lokal dengan
pola yang berbeda.
3. Aktivitas migrasi lokal gerombolan ikan tembang tersebut dipengaruhi oleh upaya untuk
mencari tempat makan dan bertelur .
4. Daerah penangkapan yang diduga sebagai tempat bertelur adalah DP 2 (November), DP 8
(November dan Desember), 4 dan 5 (Januari ), 1 (April), 4 (Juli), dan 7 (Agustus).
5. Daerah penangkapan yang diduga sebagai tempat mencari makan adalah DP 7 (September),
DP 6 (September dan Oktober), DP 5 (Oktober), DP 1 (Maret), DP 3 dan 7 (April), DP 4 (April
dan Mei), DP 1 dan 8 (Mei), dan DP 7 (Juni).
Saran
Disarankan untuk mengadakan penelitian lanjutan tentang pergerakan musiman ikan
tembang di Selat Madura. Hubungan antara populasi ikan tembang di Selat Madura dengan
populasi ikan tembang di Laut Jawa dan Selat Bali juga perlu diteliti lebih lanjut.
Daftar Pustaka
Anonim. 2003. Statistik perikanan Jawa Timur. Dinas Perikanan Tingkat I Propinsi Jawa Timur.
Surabaya.
Cowx, I.G., 1994. Fisheries resources management lecture notes. The University of Hull. Hull
England UK. Unpublished. 44 p.
Jones, H.F.R., 1968. Fish migration. Edeward Arnold. London. 325 p.
Laevastu, T., and M.L. Hayes, 1981. Fisheries oceanography and ecology. Fishing News Books
Ltd. Surrey England. 199 p.
Lelono, T.J., 1997. Dinamika populasi ikan tembang (Sardinella fimbriata Valenciennes, 1847) dan
alternatif pengelolaan pada alat tangkap purse seine di perairan Selat Madura.
Yogyakarta. [Tesis]. Program Pascasarjana, Universitas Gajah Mada.
Lelono, T.D., A. Effani, A. Jauhari, A. Tumulyadi, dan A.R. Fakih, 1998. Pendugaan pertumbuhan
dan pola penambahan baru ikan tembang (Sardinlla fimbriata) di Selat Madura.
Laporan Penelitian. Malang: Fakultas Perikanan Universitas Brawijaya.
Pet, J.S., W.L.T. van Densen, M.A.M. Machiels, M. Sukkel, D. Setyohadi, A. Tumuljadi, 1997.
Length based analysis of population dynamics and stock identification in the sardin
fisheries around East Java, Indonesia. Fisheries Research 31: 107-120.
Wootton, R.J., 1990. Ecology of teleost fishes. Chapman and Hall. London. 404 p
Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-09) - 9
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Tanya Jawab
Penanya : Eko
Pertanyaan : Berapa range migrasi?
Jawaban : Rangenya disekitar laut Madura. Panjangnya lupa.
Penanya : M. Ahsin
Pertanyaan : Bagaimana teknik mencari?
Jawaban : Contoh: pada bulan 9-10 ada, November tidak ada. Diprediksi bergerak dari
nomor satu kenomor lain (pergerakan musiman). Ditunjang dengan geografik
lautnya, maka diperkirakan migrasi lokal.
Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-10) - 1
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
BEBERAPA ASPEK BIOLOGI IKAN PAYANGKA (Ophiocara
porocephala)
DI DANAU LIMBOTO, GORONTALO
Astri Suryandari dan Krismono
Balai Riset Pemulihan Sumberdaya Ikan
Jl. Cilalawi No. 1Jatiluhur,Purwakarta
astrisuryandari@yahoo.com
Abstrak
Ikan payangka (Ophiocara porocephala) merupakan salah satu jenis ikan ekonomis di Danau
Limboto. Kedua jenis ikan ini juga memiliki nilai ekonomis penting. Pengetahuan mengenai aspek
biologi seperti reproduksi dan kebiasaan makanannya merupakan informasi penting untuk
mendukung kelestarian ikan tersebut. Tujuan dari penelitian ini untuk untuk mengetahui beberapa
aspek biologi ikan payangka meliputi kebiasaan makan, fekunditas, indeks kematangan gonad,
tingkat kematangan gonad dan diameter telur. Penelitian ini dilakukan di danau Limboto pada
bulan Maret-November 2007. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis pakan yang dimakan ikan
payangka di danau Limboto adalah udang, ikan,gastropoda dan serangga. Ikan payangka memiliki
fekunditas 5.846-56.502 butir telur sedangkan Indeks Kematangan Gonad (IKG) ikan payangka
berkisar antara 1,1-7,94% dan diameter telur berkisar antara 0,16-0,39 mm
Kata kunci: Payangka, kebiasaan makanan,fekunditas, IKG,diameter telur.
Pengantar
Ikan Payangka (Ophiocara porocephala) merupakan salah satu jenis ikan yang terdapat di
Danau Limboto. Ikan yang termasuk famili Eleotridae ini merupakan ikan ekonomis penting di
Danau Limboto. Preferensi masyarakat terhadap ikan tersebut cukup tinggi bahkan untuk ikan
yang masih kecil. Alat tangkap yang biasa dipergunakan untuk menangkap ikan tersebut adalah
jaring insang (gillnet), bunggo (trap) dan dudayahu (push net) dengan ukuran mata jaring kurang
dari 1 inchi.
Tingginya permintaan terhadap jenis ikan tersebut, menjadi ancaman bagi kelestariannya.
Hal ini diperburuk pula oleh penggunaan alat tangkap tidak selektif seperti dudayahu. Hasil
tangkapan dengan alat tangkap dudayahu didominasi oleh ikan payangka yang masih juvenil.
Apabila upaya penangkapan terhadap juvenil ikan tersebut semakin meningkat hingga melebihi
kemampuan rekrutmennya maka akan terjadi penurunan stok ikan yang pada akhirnya
mengancam kelestarian ikan tersebut. Diperlukan suatu upaya untuk menjaga keberlanjutan stok
ikan tersebut di perairan danau Limboto seperti domestikasi dan budidaya atau pun pengaturan
penangkapan sesuai dengan daya pulihnya.
Untuk menjaga keberlanjutan populasi dan produksi ikan payangka diperlukan data dan
informasi biologi ikan tersebut seperti kebiasaan makanan dan karakteristik reproduksi meliputi
tingkat kematangan gonad, fekunditas dan diameter telur. Pengetahuan mengenai aspek biologi
sangat penting sebagai dasar untuk pengelolaan dan pelestariannya. Mengingat pentingnya
informasi mengenai aspek biologi tersebut maka diperlukan penelitian untuk mengkaji aspek
biologi ikan payangka.
Gambar 1. Ikan Payangka (Ophiocara porocephala) di Danau Limboto
BP-10
2 - Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-10)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Gambar 2. Alat tangkap dudayahu dan hasil tangkapannya
Bahan dan Metode
Penelitian dilakukan di perairan Danau Limboto pada bulan Maret, Mei, September dan
November 2006. Danau Limboto merupakan muara DAS Limboto dimana sekitar 20 anak sungai
yang diantaranya 4 buah sungai besar yaitu Sungai Bionga, Sungai Molalahu, Sungai Pohu dan
Sungai Meluopa yang seluruhnya bermuara kedalam Danau Limboto,sedangkan outlet danau
tersebut ke arah pesisir berjarak 15 km, tepatnya di perairan Teluk Tomini. Luas danau kurang
lebih 3.000 ha dengan kedalaman maksimum 2,5 m (Anonim, 2005).
Stasiun pengambilan sampel sebanyak 7 titik dengan deskripsi masing-masing lokasi
tertera pada table 1 di bawah ini.
Tabel 1. Karakteristik stasiun pengambilan sampel
No. Lokasi Karakteristik Lokasi
1. Dembe Merupakan perairan tenang dan berteluk-teluk kecil.
Banyak terdapat aktifitas penangkapan dengan
menggunakan alat tangkap bibilo (semacam rumpon).
Daerah tepi dipenuhi oleh tanaman jenis rumput.
Perairan ini tidak digunakan sebagai jalur
pelayaran/transportasi.
2. Iluta Perairan pesisir yang landai namun padat dengan
aktifitas keramba jaring apung dan sedikit aktifitas
penangkapan dengan menggunakan alat tangkap bibilo.
Pada saat ini jumlah unit KJA yang dikembangkan
3.103 unit.
3. Tabumela Merupakan daerah outlet , warna air keruh kecoklatan,
banyak ditemukan tanaman air jenis eceng gondok,
kangkung air. Perairan ini merupakan daerah
penangkapan dengan alat tangkap sero
4. Bagian tengah Perairan yang luas, terletak pada bagian tengah danau
dengan kedalaman pada musim kemarau 2 meter,
tidak terdapat tanaman air, merupakan daerah
penangkapan dengan alat tangkap bunggo (semacam
bubu).
5. Perairan desa
Bupalo
Merupakan daerah inlet, warna air kecoklatan membawa
sedimen tanah, terdapat tanaman air jenis eceng
gondok, kangkung air dan rumput serta tidak terdapat
aktivitas penangkapan.
6. Hunggaluwo Merupakan daerah inlet, warna air coklat, ditemukan
tanaman air jenis eceng gondok, kangkung air, talas air
dan tidak terdapat aktivitas penangkapan. Jika musim
kemarau daerah tersebut menjadi lahan pertanian
Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-10) - 3
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
tanaman jagung dan padi
7. Payunga Perairan yang landai dengan kedalaman tidak sampai 1
meter, merupakan daerah penangkapan dengan alat
tangkap jaring insang (gillnet) dan strum. Jika musim
kemarau daerah tersebut menjadi lahan pertanian
tanaman jagung dan padi
Gambar 3. Lokasi pengambilan sampel
Metode penelitian adalah dengan metode survey. Sampel ikan diperoleh dari hasil
tangkapan sendiri dengan menggunakan jaring insang (gillnet) dengan ukuran mata jaring 1; 1,5;
2; 2,5; 3; inchi serta alat tangkap lain yang disesuaikan dengan kebiasaan nelayan seperti
bunggo. Sampel ikan yang didapatkan diukur panjang dan bobot, sementara isi perut dan
gonad diawetkan dengan formalin 10% dan selanjutnya diamati di laboratorium biologi ikan Loka
Riset Pemacuan Stok Ikan. Parameter yang diamati meliputi, panjang bobot, penentuan tingkat
kematangan gonad, diameter telur, fekunditas dan jenis makanan.
Perhitungan fekunditas dilakukan dengan metode subcontoh dan gravimetri (Nikolsky,
1963) menggunakan rumus sebagai berikut:
F : t = B : b
Keterangan:
F = fekunditas total (butir telur)
t = jumlah telur sampel gonad
sedangkan indeks kematangan gonad dihitung dengan pendekatan :
keterangan :
Bg = bobot total gonad (gram)
Bt = bobot total ikan (gram
Sementara untuk mengetahui kebiasaan digunakan metode yang dikemukanan oleh
Natarajan dan Jhingran (1961) dalam Effendi,1979 :
I
IV
V
II
III
VI
VII
4 - Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-10)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Keterangan :
Ii : Indeks bagian terbesar (Index of preponderance)
Vi : Persentase volume satu macam makanan
Oi : Persentase frekuensi satu macam makanan
Analisis hubungan panjang berat ikan payagka menggunakan rumus :
W = a L
b
Keterangan :
W : bobot ikan (gram)
L : panjang total (mm)
a & b : parameter yang dicari
Hasil dan Pembahasan
Deskripsi umum ikan payangka
Ikan payangka memiliki bentuk tubuh silinder, dengan tipe letak mulut superior. Sirip
punggung (dorsal) terdiri dari 7 duri tajam (spine) dan 8-9 duri lunak (soft ray) sedangkan sirip
dubur (anal) terdiri dari 1 duri tajam dan 7 buah duri lunak Bagian kepala dan badan berwana
gelap, terdapat bintik hitam pada sirip punggung kedua dan pangkal sirip ekor (Hoese, 1986).
Menurut Kottelat (1993) ikan ini dapat mencapai panjang 34,0 cm. Ikan payangka merupakan ikan
demersal, dengan habitat air tawar, sungai ataupun estuari dan pada umumnya menyukai perairan
yang berlumpur dengan sedikit bebatuan (Allen et al.,1991). Berbeda dengan ikan lainya yang
biasanya senang bekelompok, ikan ini cenderung bersifat soliter. Pada saat memijah, ikan
payangka akan mencari perairan yang memiliki bebatuan, dimana induk ikan dapat menempelkan
telur-telurnya.
Hubungan Panjang Bobot Ikan
Hubungan panjang dan bobot ikan payangka mengikuti persamaan W=0,009L
2,968
(Gambar 1). Berdasarkan uji t terhadap nilai b, diperoleh bahwa nilai b=3 artinya bahwa pola
pertumbuhan ikan Payangka pada penelitian ini bersifat isometrik. Pola pertumbuhan isometric
artinya bahwa pertambahan panjang tubuh ikan sebanding dengan pertambahan bobotnya.
Makanan Ikan Payangka
Hasil analisis isi perut ikan payangka perairan danau Limboto menunjukkan bahwa jenis
makanan ikan tersebut terdiri dari udang, ikan, gastropoda dan serangga dengan komposisi jenis
pakan yang dominan adalah ikan dan udang. Jenis udang yang ditemukan pada alat pencernan
ikan payangka adalah Caridina sp, sedangkan larva serangga adalah Chironomus. Komposisi jenis
pakan ikan payangka tertera pada gambar 3 di bawah ini.
Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-10) - 5
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Gambar 3. Komposisi jenis makanan ikan payangka di Danau Limboto
Karakteristik reproduksi ikan payangka
Tingkat kematangan gonad ikan payangka diamati langsung di lapangan pada saat kondisi
ikan masih dalam keadaan segar. Hasil pengamatan selama survey menunjukkan bahwa TKG I, II,
III ada pada setiap bulan pengamatan. TKG IV ditemukan pada bulan Maret-September dengan
prosentase yag lebih banyak adalah pada bulan September.
Gambar 4. Tingkat kematangan gonad selama bulan pengamatan
Indeks kematangan gonad (IKG) merupakan suatu nilai dalam persen sebagai hasil
perbandingan bobot gonad dengan bobot ikan termasuk gonad di dalamnya dikalikan 100%. Nilai
indeks kematangan gonad ikan payangka bervariasi antara 1,1-7,94%. Indeks kematangan gonad
meningkat seiring dengan naiknya tahapan TKG. Perkembangan nilai IKG pada ikan payangka
selama waktu pengamatan tertera pada gambar 5 di bawah ini.
6 - Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-10)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Gambar 5. Nilai IKG ikan payangka selama bulan pengamatan
Fekunditas ikan payangka berkisar antara 5.846 56.502 butir telur/ekor pada kisaran
panjang total ikan rata-rata 10,05 cm dan berat rata-rata 15,45 gram. Menurut Nikolsky (1969)
dalam Effendie (2002) fekunditas juga dipengaruhi oleh makanan dan kondisi lingkungan.
Ketersediaan sumber makanan bagi ikan manggabai di danau Limboto diduga mendukung bagi
pembentukan gonad dan fekunditas ikan.
Diameter telur ikan payangka untuk ukuran panjang tubuh 7,7 15,3 cm berkisar antara
0,16-0,39 mm. Telur yang terbanyak (49,27%) berkisar antara 0,24-0,29 (49,27%). Dilihat dari nilai
fekunditas dan diameter telur, diduga bahwa ikan payangka melepaskan telur pada waktu yang
tidak bersamaan. Ikan dengan fekunditas kecil diduga ikan yang baru selesai memijah sedangkan
ikan dengan fekunditas besar dengan diameter telur lebih dari 0,3 mm adalah induk yang akan
segera memijah.Menurut Satria (1996) pada penelitian sebelumnya, diameter telur ikan payangka
berkisar antara 0,275-0,375 mm sedangkan diameter telur matang yang siap dipijahkan antara
0,32-0,37 mm dengan prosentase siap pijah adalah 90 % dan fekunditas antara 8.016-22.272 butir
telur dengan potensi reproduksi 12.172 butir. Bila dibandingkan maka, kisaran diameter telur yang
siap pijah tidak mengalami perubahan sedangkan untuk untuk fekunditas telur megalami kenaikan.
Gambar 6. Sebaran diameter telur ikan payangka
Komposisi Hasil Tangkapan Ikan di Danau Limboto
Hasil percobaan penangkapan yang dilakukan di beberapa stasiun pengamatan
menunjukkan bahwa hasil tangkapan didominasioleh ikan manggabai dan payangka dengan
kisaran panjang dan berat tubuh masing-masing 5,2-18,2 cm 3,1-63,1 gram untuk payangka dan
4,9-28,5 cm ; 0,9-178,1 gram untuk ikan manggabai.
Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-10) - 7
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
0
20
40
60
80
100
120
140
160
180
M
A
N
G
G
A
B
A
I
P
A
Y
A
N
G
K
A
S
A
R
I
B
U
M
U
J
A
I
R
N
I
L
A
T
A
W
E
S
G
A
B
U
S
D
U
M
B
A
Y
A
L
E
L
E
B
U
L
A
L
A
O
p
e
r
s
e
n
t
a
s
e
(
%
)
Gambar 5. Komposisi Hasil Tangkapan Ikan di danau Limboto
Jenis payangka dan manggabai merupakan jenis ikan dengan jumlah produksi cukup
tinggi, dimana puncak produksi tertinggi dicapai pada bulan Januari-Juni. Khusus untuk jenis
manggabai merupakan jenis ikan yang bernilai ekonomis tinggi. Harga ikan tersebut mencapai Rp
10.000/ekor (ukuran 200-250 gram/ekor) atau Rp. 40.000/kg, sedangkan ikan payangka berkisar
6500/kg.
Jenis dan Karakteristik alat tangkap ikan Payangka di danau Limboto
Nelayan di danau Limboto umumnya menggunakan alat tangkap jaring insang (gillnet)
dan dudayahu untuk mendapatkan kedua jenis ikan tersebut. Jaring insang yang digunakan
memiliki ukuran mata jaring sebesar 1-2 inchi. Dudayahu merupakan alat tangkap berupa jaring
halus dengan ukuran mata jaring kurang dari 1 inchi dengan bagian tepi berupa bambu,
dioperasikan dengan cara dibentangkan di air. Oleh sebab itu ukuran ikan yang tertangkap
dudayahu sangat kecil, rata-rata berukuran panjang 1-3 cm.
Strategi Pelestarian Ikan Payangka (Ophiocara porocephala) di Danau Limboto Gorontalo
Kepunahan jenis ikan di suatu perairan merupakan bentuk kerugian yang sangat besar
bagi keanekaragaman sumberdaya ikan, keseimbangan ekosistem dan produksi tangkapan ikan
diperairan tersebut. Sebagai ikan asli yang bernilai ekonomi penting di danau Limboto, ikan
payangka dan manggabai perlu dikelola dengan baik. Pendangkalan dan penyusutan danau serta
tekanan penangkapan merupakan faktor utama yang sangat berpengaruh terhadap keberadaan
kedua jenis ikan tersebut. Sehingga upaya pelestarian menjadi hal penting untuk segera dilakukan.
Berdasarkan pertimbangan kondisi tersebut, maka beberapa alternatif strategi pengelolaan ikan di
Danau Limboto adalah :
Pengaturan penangkapan yang meliputi pengaturan penggunaan alat tangkap dan waktu
penangkapan.
Alat tangkap dudayahu yang memiliki ukuran jaring kurang dari 1 inchi sebaiknya tidak
dipergunakan. Alat tangkap ini cenderung menangkap anak-anak atau benih ikan yang masih
sangat kecil. Ukuran jaring yang dipergunakan sebaiknya berukuran lebih dari 2 inchi sehingga
memberi kesempatan ikan-ikan kecil tumbuh dan berkembang. Penangkapan pada waktu
pemijahan sebaiknya tidak dilakukan. Kedua jenis ikan tersebut diduga memijah pada bulan maret
sehingga pada bulan tersebut sebaiknya tidak dilakukan penangkapan.
Perlindungan habitat
Strategi perlindungan habitat ikan melalui pembentukan suaka perikanan. Suaka
perikanan di danau Limboto merupakan habitat yang mampu menghasilkan rekruitmen benih ikan.
Usaha domestikasi dan pembenihan
Domestikasi dan pemebenihan dapat dijadikan salah satu alternatif pelestarian. Selama ini
kedua jenis ikan tersebut belum dibudidayakan, sehingga untuk ketersediaan benih pun terbatas
hanya di alam saja. Melalui usaha domestikasi dan pembenihan, ketersediaan kedua jenis ikan
tersebut di alam dapat terjaga.
8 - Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-10)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Kesimpulan
Ikan payangka yag ditemukan selama penelitian memiliki kisaran panjang 5,2 18,2 cm
dengan berat 3,1 63,1 gram. Jenis makanan ikan tersebut berupa ikan, udang, gastropoda dan
serangga dengan komposisi jenis pakan yang paling banyak adalah ikan dan udang. Diameter
telur ikan payangka berkisar antara 0,16-0,39 mm. Fekunditas total berkisar 5.846 56.502 butir
telur/ekor. Alternatif strategi pengelolaan ikan di Danau Limboto adalah : Pengaturan penangkapan
yang meliputi pengaturan penggunaan alat tangkap dan waktu penangkapan; Perlindungan habitat
melalui pembentukan suaka perikanan; Usaha domestikasi dan pembenihan
Daftar Pustaka
Allen G. R, 1991. Field Guide to the Freshwater Fishes of New Guinea. Christensen Reasearch
Institute. Madaiy.Papua New Guinea.
Anonim. 2005 Database Danau Indonesia. Kementrian Negara Lingkungan Hidup. Jakarta.
Eccles.D.H.,1992. FAO Species Identification Sheet for Fishery Purposes. Field guide to the
Freshwater fishes of Tanzania. Prepared and Publishedd With the Support of The United
Nations Development Programme . FAO. Rome.145 p.
Effendi, M.I. 1979. Metode biologi perikanan. Yayasan Dewi Sri, Bogor. 122p.
Hoose,D.K., 1986. Eleotridae.p.807.811 in M.M. Smith and PC Heenstra (eds) Smiths Sea Fishes.
Springer-Verlag, Berlin.
Ismail, G. 2005. Masterplan Penyelamatan danau Limboto. Pemprov Gorontalo.
Kottelat, M., A.J. Whitten, S.N. Kartikasari and S. Wiroatmodjo. 1993. Freshwater fishes of
Western Indonesia and Sulawesi (Ikan air tawar Indonesia Bagian Barat dan Sulawesi).
Periplus Editions Ltd. Indonesia.
Niloksky G.V. 1963. The ecology of fishes. Academic Press. New York. 325p.
Satria, H & Kartamihardja, E. S.1996. Beberapa Aspek Biologi Reproduksi Ikan Payangka
(Ophiocara Porocephala) Dan Manggabai (Glossgobius Giurus) Di Danau Limboto
Sulawesi Utara. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. Vol. II No. 3 Tahun 1996 (hal. 72-
79).
Tanya Jawab
Penanya : Gatut
Pertanyaan : Sampai berapa angka dibelakang koma itu dibulatkan padahal b=3?
Jawaban : 2,89 menggunakan uji t. seperti yang diulas ibu Siti Nurul Aida.
Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-10) - 9
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-11) - 1
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
PEMANGSAAN IKAN MADIDIHANG (Thunnus albacares
Bonnatere 1788) DI PERAIRAN TELUK TOMINI DAN SELATAN JAWA
Karsono Wagiyo
Balai Riset Perikanan Laut
E-mail: k_giyo@yahoo.co.id
Abstrak
Hasil penangkapan ikan madidihang di Perairan Teluk Tomini dan Selatan Jawa Terus menurun.
Faktor penentu kehidupan ikan madidihang adalah kemampuan adaptasi pemangsaan terhadap
berbagai jenis mangsa. Pada penelitian ini adaptasi pemangsaan ikan madidihang didasarkan
pada pengamatan jenis mangsa yang terdapat didalam lambung. Lambung ikan yang diamati
berasal dari perairan Teluk Tomini dan Selatan Jawa. Pengambilan sampel dengan pertimbangan
variasi musimm dan ukuran. Isi lambung ikan madidihang mempunyai mangsa yang bervariatif
baik ukuran maupun jenis mangsa. Melalui pengamatan ini didapatkan isi lambung ikan
madidihang di Perairan Teluk Tomini dan Selatan Jawa mempunyai dominasi mangsa yang
berbeda . di Teluk Tomini mangsa ikan madidihang didominasi oleh ikan selar dan tongkol,
sedangkan di selatan Jawa didominasi oleh ikan layang dan myctopidae. Ukuran ikan tidak
menunjukan ukuran mangsa tetapi menunjukan jenis mangsa berbeda. Isi lambung ikan
menunjukan preferensi jenis yang berbeda.antar musim dan habitat.
Kata kunci: Madidihang , pemangsaan, adaptasi, Teluk Tomini dan Selatan Jawa
Pengantar
Pemanfaatan Madidihang di Teluk Tomini dilakukan secara intensif, pada tahun 2007
telah mencapai fully exploited (Nurhakim et al. 2007). Pemanfaatan madidihang di Selatan Jawa
(Samudera Hindia) menunjukan indeks kelimpahan menurun (Mertha, 2003). Ikan madidihang
merupakan top predator yang bersifat highly migratory, kelimpahan dan distribusinya sangat
tergantung pada kelimpahan mangsa.
Pengaturan pemanfaatan madidihang, selain ditujukan pada ikannya juga harus dilakukan
pada mangsanya. Adaptasi pemangsaan madidihang telah di teliti melalui analisis isi lambung oleh
berbgai peneliti. Menard et al. (2000) meniliti isi lambung madidihang di pasifik mendapatkan ikan
Photichthydae dominan pada ikan berukuran kurang dari 90 cm dan scrombidae dominan pada
ikan berukuran lebih dari 90 cm Gardief (2003) dan Mc. Lean (2005) mengemukakan isi lambung..
madidihang yang tertangkap di Hawaii didominasi oleh Megalop. Kaymaram et al. (2003) isi
lambung madidihang di Laut Oman didominasi oleh cumi. Suwarso et al. (2005) dan Mardlijah
(2008) mendapatkan isi lambung ikan madidihang di Teluk Tomini didominasi oleh ikan layang.
Studi secara intensif oleh Mardlijah (2008) dalam thesisnya menyimpulkan ukurang ikan.
pemangsa tidak berhubungan dengan ukuran mangsa, tetapi berhubungan dengan jenis mangsa.
Ikan madidihang merupakan ikan tuna yang paling banyak di ekploitasi. Hook rate makin
rendah Ikan madidihang merupakan top predator yang bersifat highly migratory, kelimpahan dan
distribusinya sangat tergantung pada kelimpahan mangsa.
Mengetahui jenis-jenis mangsa ikan madidihang (Thunnus albacares). Mengetahui
kebiasaan/adaptasi pemangsaan ikan madidihang dari berbagai ukuran terhadap perbedaan
musim dan lokasi. Berdasarkan adapatasi pemangsaan madidihang dapat ditentukan wilayah dan
jangka waktu pemanfaatan
Kelimpahan madidihang sangat tergantung pada kelimpahan mangsa dan mempunyai
toleransi tinggi terhadap berbagai jenis mangsa.
Bahan dan metode
Teknik sampling secara cluster stratified random sampling. Jumlah sampel diambil secara
proposional. Sampel isi perut diambil dari ikan madidihang yang di daratkan di Marisa-Gorontalo
(ikan yang berasal dari Teluk Tomini) dan yang di daratkan di Sendang Biru-Malang (ikan yang
berasal dari Selatan Jawa). Jumlah ikan yang diamati 92 ekor.
BP-11
2 - Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-11)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Identifikasi jenis tuna mengacu pada Collete & Nauen (1983) dan Itano (2004). Pertelaan
jenis mangsa dengan mengacu pada buku-buku identifikasi standar (Tarp & Kailola, 1984).
Adaptasi pemangsaan disintesa dari data dominasi jenis-jenis mangsa. Penyajian analisis secara
grafikal.
Hasil dan pembahasan
Kebiasaan makan madidihang
Komposisi mangsa
Ikan madidihang yang masih muda (juvenil) dengan ukuran 0-50 cm pada umumnya
memakan ikan yang mempunyai daya escape rendah dan pada perairan yang relatif dangkal
seperti; Monacanthidae, Tetraodontidae, udang dan ikan selar (Grafik1).Di Perairan Teluk Tomini
ikan madidihang lebih banyak memakan ikan selar (88,77 %) dan di Perairan Selatan Jawa lebih
banyak memakan ikan dari familia Monachantidae (97,91%).
Grafik 1. Komposisi jenis mangsa pada ikan madidihang ukuran <50 cm; a Perairan Teluk
Tomini, b. Perairan Selatan Jawa
Ikan madidihang yuwana dengan ukuran 50-<100 cm mangsa lebih beragam dan mulai
memangsa ikan yang lebih oseanik dan lebih dalam serta mempunyai gerak yang lebih cepat,
seperti ; layang, myctopidae dan cumi-cumi (Grafik 2). Di Perairan Teluk Tomini ikan madidihang
lebih banyak memakan ikan selar dan cumi-cumi. Di Perairan Selatan Jawa mangsa ikan
madidihang didominasi oleh ikan layang dan mycthopidae.
Grafik 2. Komposisi jenis mangsa pada ikan madidihang ukuran 50-<100 cm; a Perairan Teluk
Tomini, b. Perairan Selatan Jawa
88.77
11.23
0
20
40
60
80
100
Carangoides
gymnostethus
Arotron
Jenis mangsa
p
e
r
s
e
n
t
a
s
e
0.05 0.76
97.91
0.00 1.28
0
20
40
60
80
100
U
d
a
n
g
n
o
n
P
e
n
a
i
d
C
r
u
s
t
a
c
e
a
e
n
o
n
u
d
a
n
g
M
o
n
a
c
a
n
t
h
i
d
a
e
M
y
c
t
o
p
i
d
a
e
U
d
a
n
g
P
e
n
a
i
d
Jenis mangsa
P
e
r
s
e
n
t
a
s
e
a
b
0
20
40
60
80
100
S
e
l
a
r
U
d
a
n
g
P
e
n
a
i
d
U
d
a
n
g
n
o
n
P
e
n
a
i
d
U
d
a
n
g
h
a
n
c
u
r
K
e
p
i
t
i
n
g
h
a
n
c
u
r
C
u
m
i
-
c
u
m
i
h
a
n
c
u
r
H
a
n
c
u
r
a
n
i
k
a
n
C
u
m
i
-
c
u
m
i
C
u
m
i
u
m
p
a
n
S
e
l
a
r
u
m
p
a
n
C
a
k
a
l
a
n
g
M
o
n
a
c
h
a
n
t
i
d
a
e
G
e
m
p
il
id
a
e
T
e
r
i
K
a
y
u
Jenis mangsa
P
e
r
s
e
n
t
a
s
e
2.49
0.51
7.67
17.29
45.86
0.52
19.68
5.96
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
U
d
a
n
g
n
o
n
P
e
n
a
id
U
d
a
n
g
P
e
n
a
i
d
C
u
m
i
-
c
u
m
i
I
k
a
n
h
a
n
c
u
r
L
a
y
a
n
g
M
o
n
a
c
a
n
t
h
id
a
e
M
y
c
t
o
p
id
a
e
U
m
p
a
n
t
o
n
g
k
o
l
Jenis mangsa
P
e
r
s
e
n
t
a
s
e
a
b
Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-11) - 3
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Mangsa ikan Madidihang dewasa muda dengan ukuran 100- <150 cm lebih didominasi
oleh ikan-ikan oseanik dengan gerak yang lebih cepat seperti cakalang(Grafik 3), tetapi beberapa
jenis mangsanya masih yang berada di daerah neritik seperti tembang dan selar. Ikan madidihang
dewasa mempunyai mangsa yang beragam dan tidak selektif terbukti dengan adanya plastik
didalam lambungnya.
Grafik 3. Komposisi jenis mangsa ikan madidihang dewasa muda; a. Perairan Teluk Tomini, b.
Perairan Selatan Jawa
Ikan madidihang yang sudah dewasa (>150 cm) lebih dominan memangsa ikan yang
bergerak cepat dan lebih oseanik seperti; ikan cakalang (Grafik4). Pada lambung ikan madidihang
dewasa tua tidak dijumpai mangsa yang berasal dari daerah neretik seperti monachantid dan
udang
Grafik 4.Komposisi mangsa ikan madidihang >150 cm
Secara keseluruhan tanpa membedakan ukuran ikan madidihang di Perairan Selatan Jawa
lebih banyak memangsa ikan layang, monachantidae dan myctopidae Grafik 5.
0
20
40
60
80
100
S
e
l
a
r
M
y
c
t
o
p
id
a
e
U
d
a
n
g
p
e
n
a
id
I
k
a
n
h
a
n
c
u
r
C
u
m
i
-
c
u
m
i
K
e
p
it
i n
g
k
e
c
il
C
u
m
i
-c
u
m
i
u
m
p
a
n
C
a
k
a
la
n
g
u
m
p
a
n
C
a
k
a
la
n
g
T
e
m
b
a
n
g
M
o
n
a
c
h
a
n
t
id
a
e
G
e
m
p
il id
a
e
T
e
r
i
P
l a
s
t
i k
Jenis mangsa
P
e
r
s
e
n
t
a
s
e
0.08 0.79
80.65
0.30
6.33
11.86
0
20
40
60
80
100
U
d
a
n
g
n
o
n
p
e
n
a
i
d
I
k
a
n
h
a
n
c
u
r
L
a
y
a
n
g
M
o
n
a
c
a
n
t
h
id
a
e
P
e
c
a
h
a
n
ik
a
n
U
m
p
a
n
T
o
n
g
k
o
l
Jenis mangsa
P
e
r
s
e
n
t
a
s
e
0
20
40
60
80
100
S
e
l
a
r
C
u
m
i
-
c
u
m
i
C
u
m
i
u
m
p
a
n
I
k
a
n
u
m
p
a
n
C
a
k
a
l
a
n
g
G
e
m
p
il
i
d
a
e
Jenis mangsa
P
e
r
s
e
n
t
a
s
e
b
a
4 - Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-11)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Grafik 5. Komposisi mangsa ikan madidihang Selatan Jawa
Di Perairan Teluk Tomini ikan madidihang lebih banyak memangsa ikan selar, cumi-cumi
dan cakalang(Grafik 6).
Grafik 6. Komposisi mangsa ikan madidihang di Teluk Tomini
Secara musiman ikan madidhang di perairan Teluk Tomini memakan mangsa yang
berbeda. Penelitian pada tahun 2007 , ikan madidihang lebih banyak memakan layang (Suwarso,
2008). Mardlijah pada tahun 2008 mendapatkan ikan madidihang asal Teluk Tomini lebih banyak
memakan ikan buntal.. Pada penelitian ini mangsa ikan madidihang yang dominan adalah ikan
selar. Perbedaan komposisi mangsa disebabkan perbedaan komposisi kelimpahan ikan mangsa
(Grafik7 ). Pada tahun 2008 kelimpahan ikan mangsa di Teluk Tomini di dominasi oleh ikan dari
kelompok ikan rucah/teletabis. Pada tahun 2009 ddidominasi oleh ikan selar.
0
20
40
60
80
100
U
d
a
n
g
n
o
n
p
e
n
a
i
d
C
r
u
s
t
a
c
e
a
e
C
u
m
i
-
c
u
m
i
L
a
y
a
n
g
M
o
n
a
c
a
n
t
h
i
d
M
y
c
t
o
p
i
d
a
e
I
k
a
n
h
a
n
c
u
r
U
d
a
n
g
P
e
n
a
i
d
T
o
n
g
k
o
l
u
m
p
a
n
Jenis mangsa
P
e
r
s
e
n
t
a
s
e
0 5 10 15 20 25 30 35
Selar
Myctopidae
Arotron
Udang penaid
Udang non penaid
Hancuran Udang
Kepiting hancur
Cumi hancur
Ikan hancur
Cumi-cumi
Kepiting kecil
Cumi umpan
Selar umpan
Cakalang umpan
Cakalang
Tembang
Monachantid
Gempilidae
Teri
Kayu
Plastik
J
e
n
i
s
m
a
n
g
s
a
Persentase
Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-11) - 5
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Grafik 7. Komposisi hasil tangkapan ikan mangsa di Teluk Tomini
Status pemangsaan
Pengamatan terhadap pengisian lambung ikan madidihang dengan membedakan ukuran
didapatkan pada ikan juvenil, lebih banyak didapat kosong dibandingkan dengan yang lebih besar
(Grafik 8a.). Persentase isi lambung kosong lebih besar pada ikan madidihang yang berasal dari
Teluk Tomini dibandingkan dari perairan Selatan Jawa (Grafik 8b). Berdasarkan sex, ikan
madidihang jantan mempunyai persentase pengisian lambung lebih tinggi dibandingkan yang
betina (Grafik 8c ).
Grafik 8. Status pemangsaan ikan madidihang; a. berdasarkan ukuran, b. berdasarkan lokasi dan
c. berdasarkan seks.
Ukuran Mangsa
Ikan madidihang lebih banyak memangsa organisme yang mempunyai bobot 110-500 gr
(Grafik 9) .
0%
20%
40%
60%
80%
100%
2008 2009
Layang
Campuran
Tuna kecil
Alus
Teletabis
Cakalang
Selar
0
20
40
60
80
100
120
0-<50 50-<100 100-<150 > 150
Ukuran ikan (cm)
P
e
r
s
e
n
t
a
s
e
0
20
40
60
80
100
Betina Jantan
P
e
r
s
e
n
t
a
s
e
Kosong Isi
Marisa
Malang
Kosong
Isi
0
20
40
60
80
100
P
e
r
s
e
n
t
a
s
e
b a
c
6 - Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-11)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Grafik.9. Komposisi ukuran mangsa ikan madidihang
Hubungan kelimpahan madidihang dan mangsa
Musim penangkapan madidihang
Musim penangkapan madidihang di perairan Teluk Tomini dan Selatan Jawa menunjukan
pola yang hampir sama puncaknya pada bulan september. Perbedaan pola musim penangkapan
pada musim timur (juni, juli dan agustus) disebabkan perbedaan kondisi oseanografi yang
berkaitan dengan kelayakan penangkapan. Di perairan Teluk Tomini pada musim timur merupakan
musim paceklik ikan madidihang (Grafik 10a), sedangkan di Perairan Selatan Jawa saat
dimulainya puncak musim (Grafik 10b). Catcth rate yang tinggi pada musim timur di perairan Teluk
Tomini membuktikan bahwa rendahnya produksi karena tidak layaknya kondisi oseanografi untuk
operasional penangkapan.
Grafik 10. Musim penangkapan madidihang a. Perairan Teluk Tomini dan b. Perairan selatan
Jawa
Hubungan produksi madidihang dengan ikan mangsa
Asosiasi madidihang dengan mangsa digambarkan dengan produksi tahunan dari jenis
ikan yang berpotensi sebagai mangsa tuna (ikan pelagis) dan komposisi hasil tangkapan pure
seine. Patern produksi ikan madidihang dengan ikan mangsa di Perairan Teluk Tomini tidak
menunjukan adanya hubungan. Keadaan ini menunjukan di teluk tomini ikan mangsa sudah
tersedia terlebih dahulu daripada recruitment ikan madidihang. Kelimpahan (ruaya) ikan
madidihang di Perairan Teluk Tomini tidak tergantung pada ikan mangsa. Di Perairan Selatan
Jawa menunjukan patern produksi sama antara ikan madidihang dan ikan mangsa. Di Perairan
Selatan Jawa ruaya dan recruitment ikan madidihang dan ikan mangsa berlangsung bersamaan.
0
10
20
30
40
50
60
<10 11-100 110-500 500<
Ukuran mangsa (gr)
P
e
r
s
e
n
t
a
s
e
(
%
)
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
A
g
u
s
t
u
s
S
e
p
t
e
m
b
e
r
O
k
t
o
b
e
r
N
o
p
e
m
b
e
r
D
e
s
e
m
b
e
r
J
a
n
u
a
r
i
F
e
b
r
u
a
r
i
M
a
r
e
t
A
p
r
i
l
M
e
i
J
u
n
i
J
u
l
i
A
g
u
s
t
u
s
S
e
p
t
e
m
b
e
r
O
k
t
o
b
e
r
2008 2009
kg
Total (x 100 kg) Catct rate per unit hand line
-
100
200
300
400
500
600
J
a
n
u
a
r
i
M
a
r
e
t
M
a
y
J
u
l
i
S
e
p
t
e
m
b
e
r
N
o
p
e
m
b
e
r
P
r
o
d
u
k
s
i
(
K
g
X
1
0
0
0
)
2009
2008
2007
2006
2005
2004
b
b
aa
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan
Grafik 11. Hubungan produksi madidihang dan mangsa; a. Teluk Tomini, b. Selatan Jawa
3. Zonasi daerah pemangsaan ( feeding ground)
Berdasarkan komposisi jenis mangsa pada lambung; daerah pemangsaan madidihang
dapat dibedakan menjadi dua yaitu; feeding ground di daerah neritik dan feeding ground daerah
oseanik (Gambar 12 ). Pada tingkat post larva sampai dengan yuwana mempunyai feeding
di daerah neritik pada lapisan masa air mix layer. Mangsa dominan pada umumnya organisme
dengan mobilitas rendah berupa; crustaceae, Monacanthidae, Balistidae bahkan ikan
berasosiasi dengan karang. Pada tingkat dewasa, feeding ground yell
Didaerah oseanik mangsa dibedakan mangsa yang berada di atas lapisan termoklin yaitu ikan
layang dan mangsa yang berada di sekitar termoklin, yang dominan ikan Gemphelidae. Ikan
dewasa muda yang akan matang gonad mempunyai feeding
neritik dan oseanik dengan mangsa utama loligonidae dan selar.
Gambar 12. Zonasi feeding ground madidihang
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
2003 2004 2005 2006
Tahun
P
r
o
d
u
k
s
i
(
T
o
n
)
a
Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan
Grafik 11. Hubungan produksi madidihang dan mangsa; a. Teluk Tomini, b. Selatan Jawa
3. Zonasi daerah pemangsaan ( feeding ground)
Berdasarkan komposisi jenis mangsa pada lambung; daerah pemangsaan madidihang
dapat dibedakan menjadi dua yaitu; feeding ground di daerah neritik dan feeding ground daerah
oseanik (Gambar 12 ). Pada tingkat post larva sampai dengan yuwana mempunyai feeding
di daerah neritik pada lapisan masa air mix layer. Mangsa dominan pada umumnya organisme
dengan mobilitas rendah berupa; crustaceae, Monacanthidae, Balistidae bahkan ikan
berasosiasi dengan karang. Pada tingkat dewasa, feeding ground yellowfin di daerah oseanik.
Didaerah oseanik mangsa dibedakan mangsa yang berada di atas lapisan termoklin yaitu ikan
layang dan mangsa yang berada di sekitar termoklin, yang dominan ikan Gemphelidae. Ikan
dewasa muda yang akan matang gonad mempunyai feeding ground didaerah peralihan antara
neritik dan oseanik dengan mangsa utama loligonidae dan selar.
Gambar 12. Zonasi feeding ground madidihang
2006 2007
Layang
Kuwe
Selar
Tembang
Tongkol
Teri
Tuna
0
1000
2000
3000
4000
5000
6000
7000
2004 2005
P
r
o
d
u
k
s
i
(
X
1
0
0
0
K
g
)
Layang Cakalag
b
Biologi Perikanan (BP-11) - 7
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Grafik 11. Hubungan produksi madidihang dan mangsa; a. Teluk Tomini, b. Selatan Jawa
Berdasarkan komposisi jenis mangsa pada lambung; daerah pemangsaan madidihang
dapat dibedakan menjadi dua yaitu; feeding ground di daerah neritik dan feeding ground daerah
oseanik (Gambar 12 ). Pada tingkat post larva sampai dengan yuwana mempunyai feeding ground
di daerah neritik pada lapisan masa air mix layer. Mangsa dominan pada umumnya organisme
dengan mobilitas rendah berupa; crustaceae, Monacanthidae, Balistidae bahkan ikan-ikan yang
owfin di daerah oseanik.
Didaerah oseanik mangsa dibedakan mangsa yang berada di atas lapisan termoklin yaitu ikan
layang dan mangsa yang berada di sekitar termoklin, yang dominan ikan Gemphelidae. Ikan
ground didaerah peralihan antara
2006 2007 2008
Cakalag Tuna
8 - Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-11)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Kesimpulan dan saran
Kesimpulan
Komposisi jenis mangsa ikan madidihang berbeda sesuai dengan ukuran ikan, ikan
madidihang dewasa memangsa lebih beragam dan tidak selektif, makin besar ukuran ikan
komposisi masing lebih banyak ikan oseanik, komposisi jenis mangsa ikan madidihang sesuai
dengan komposisi ketersediaan mangsa, sehingga berbeda antara musim dan lokasi, di Teluk
Tomini Recruitment/ketersediaan ikan mangsa terjadi lebih dulu dibandingkan ikan madidihang dan
di Selatan Jawa recruitment ikan mangsa dan madidihang terjadi bersamaan, karena mempunyai
pola ruaya yang sama.
Saran
Pemanfaatan dari hasil penelitian ini dapat digunakan untuk menentukan cara pengelolaan
ikan madidihang secara waktu dan ruang terutama hubungannya dengan konservasi tuna dan
mangsanya. Dengan diketahuinya preferensi jenis pakan dapat diterapkan untuk pemilihan jenis
umpan dalam penangkapan, jenis dan cara pemberian pakan di tempat budidaya
Daftar pustaka
Bayce, D.G., D.P. Tittensor and B.Worm. 2008. Effects of temperature on global patterns of tuna
and billfish richness. Marine Ecology Progress Series. Vol. 355: 267-276.
Block, B.A., J.F.Keen, B. Castillo, H.Dewar,E.V. Freund, D.J. Marcinek, R.W. Brill, C. Farwell. 1977.
Enviromental preferences of yellow fin tuna (Thunnus albacares) of the Northern extent of
Elsrange. Marine Biology (1977) 130: 119-132.
Collette, B.B. & Nauen, C.E. 1983. FAO Species Catalogue, Vol. 2. Scombridae of the world, an
annotated and ilustrated catalogue of tunas, mackerels, bonitos and related species known
to date. United Nation Development Programme, Food and Agriculture Organization of
The United Nations, Rome: vii + 137 hlm.
Effendie, M.I. 1979. Metode biologi perikanan. Yayasan Dewi Sri, Bogor: viii+112 hlm.
Itano, D.G. 2004. Buku Panduan untuk Identifikasi Ikan Madidihang dan Tuna Matabesar dalam
Keadaan Segar. Pelagic Fisheries Research Program University of Hawaii, JIMAR.
Honolulu, Hawai, USA. 28 hlm.
Schaefer, M. B. & C. J. Orange. 1956. Studies on sexual development and spawning of yellowfin
tuna (Neothunnus macropterus) and skipjack (Katsuwonus pelamis) in three areas of the
Eastern Pacific Ocean by axamination of gonads. Bull.I-ATTC 1 (6): 282-349.
Tarp, T.G. & J. Kailola. 1984. Trawled Fishes of Southern Indonesia and Northwestern Australia.
The Australian Development Assistence Bureau (ADAB), Australia: xvi + 406 hlm.
Vaske, T.J., C.M. Voorm and R.P.Lessa.2003. Feeding Strategy of Yellowfin Tuna (Thunnus
albacares) and Wahoo (Acanthocybium solandri) in the Saint Peter and Saint Paul
Archipelago, Brazil. B.Inst. Pesca, Sao Paolo, 29 (1): 173-18, 2003.
Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-11) - 9
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Tanya Jawab
Penanya : M. Ahsin
Pertanyaan : Apakah ada komposisi yang ideal di alam, yang menandatakan ekosistem
terjamin?
Jawaban : kemungkinan jantan mendapat pakan lebih banyak. Restonya berbeda - beda
Penanya : Eko
Pertanyaan : Berapa range kedalaman menangkap tuna?
Besar kecil kapal berpengaruh tidak? Berapa trip untuk 1 hari?
Jawaban : Yang terpenting kedalaman, pancing bisa masuk.
Besar Kecil kapal hanya untuk kelayakan
Hanya one day fishing.
Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-12) - 1
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
PANJANG BOBOT, KEBIASAAN MAKAN DAN FAKTOR KONDISI
IKAN BAUNG (Mystus nemurus) DI SUNGAI BATANGHARI JAMBI
Siti Nurul Aida
Balai Riset Perikanan Perairan Umum, Palembang
e-mail: idabrppu@yahoo.com : sitinurul_brppu@yahoo.com
Abstrak
Salah satu jenis ikan yang bernilai ekonomis penting yang termasuk dominan di sungai Batanghari
Jambi adalah ikan Baung (Mystus nemurus). Untuk mempertahankan keberadaannya tersebut
perlu diketahui aspek biologinya. Penelitian ini dilakukan dengan metoda survey pada bulan
Maret, April, dan Juli, 2010 bertujuan untuk mengetahui pertumbuhan dan beberapa aspek biologi
ikan Baung di sungai Batanghari Jambi. Hasil pengamatan terhadap ikan contoh menunjukkan
bahwa ikan Baung mempunyai pola pertumbuhan isometrik mengikuti persamaan W= 0,007L
3,021
,
berdasarkan metode Indeks Bagian Terbesar (Indeks of preponderance), maka pakan alami ikan
Baung terdiri dari ikan sebagai pakan utama dengan indeks preponderance 75 %, udang kecil
sebagai pakan pelengkap 16.27 %, serangga air, 2,50 %, detritus 3 % dan pakan tambahan
lainnya yang tercerna dan tidak teridentifikasi 3,23 %. Ikan Baung digolongkan ke dalam ikan
karnifor dengan faktor kondisi 1,5, dan 8 interval kelas panjang.
Key words: Mystus nemurus, isometric,carnivore, sungai Batanghari.
Pengantar
Pertumbuhan dan Faktor Kondisi
Panjang dan berat ikan untuk mendapatkan keterangan tentang ikan mengenai
pertumbuhan, kemontokan, dan perubahan dari lingkungan. Hal ini disertai dengan anggapan
bahwa bentuk dan berat ikan tersebut tetap selama hidupnya. Namun pada kenyataannya
hubungan yang terdapat pada ikan tidak demikian karena bentuk dan panjang ikan berbeda-beda.
Analisa terhadap hubungan panjang berat ikan menunjukkan pola pertumbuhan ikan tersebut
bersifat isometrik (perubahan terus-menerus yang bersifat seimbang di dalam tubuh ikan dimana
pertumbuhan panjang sama dengan pertumbuhan beratnya), dan allometrik (perubahan yang tidak
seimbang di dalam tubuh ikan dan dapat bersifat sementara, pertumbuhan panjang dapat lebih
dominan daripada pertumbuhan berat ataupun sebaliknya). Effendie (2002).
Pertumbuhan dipengaruhi oleh beberapa faktor yang dapat digolongkan menjadi dua yaitu
faktor dalam yang umumnya sulit dikontrol antara lain, yaitu keturunan, sex, umur, parasit, dan
penyakit, dan faktor luar yang utama yang mempengaruhi pertumbuhan ialah makanan dan suhu
perairan (Effendi, 1997). Pertumbuhan pada tingkat individu didefinisikan sebagai pertumbuhan
ukuran panjang atau berat dalam suatu waktu (Aziz, 1989). Pola pertumbuhan ikan dapat diketahui
dengan melakukan analisis hubungan panjang berat ikan tersebut. Hubungan ini juga dapat
menerangkan pertumbuhan ikan, kemontokan dan perubahan lingkungan (Effendie, 1979).
Faktor kondisi didefinisikan sebagai keadaan atau kemontokkan ikan yang dinyatakan
dalam angka-angka berdasarkan pada data panjang dan berat. Faktor kondisi menunjukkan
keadaan ikan, baik dilihat dari segi kapasitas fisik untuk bertahan hidup dan reproduksi. Faktor
kondisi dalam siklus hidup ikan mengalami peningkatan dan penurunan. Beberapa faktor yang
mempengaruhi faktor kondisi, yaitu makanan, umur, jenis kelamin, dan tingkat kematangan gonad
(Effendi, 1997 dan 2002).
Kebiasaan Makanan
Kebiasaan makanan ikan adalah tentang jenis, kualitas dan kuantitas makanan yang
dimakan oleh ikan, dan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain habitat hidupnya, selera
terhadap jenis makanan tertentu, musim, ukuran dan umur ikan. Effendie (1979). Keberadaan
makanan alami di alam sangat tergantung dari perubahan lingkungan, seperti kandungan bahan
organik, fluktuasi suhu, itensitas cahaya matahari, ruang dan luas makanan, sehingga ikan dengan
spesies sama dan hidup di habitat yang berbeda, dapat mempunyai kebiasaan makanan yang
tidak sama Effendie (1979).
BP-12
2 - Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-12)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Nikolsky (1963) menyatakan bahwa urutan kebiasaan makan ikan terdiri atas: (1) makanan
utama, yaitu makanan yang biasa dimakan dalam jumlah yang banyak; (2) makanan pelengkap,
yaitu makanan yang biasa dimakan dan ditemukan dalam jumlah yang lebih sedikit; (3) makanan
tambahan, yaitu makanan yang terdapat pada saluran pencernaan dengan jumlah yang sangat
sedikit; serta (4) makanan pengganti, yaitu makanan yang hanya dikonsumsi jika makanan utama
tidak tersedia.
Berdasarkan makanannya, ikan dapat digolongkan menjadi ikan herbivora, karnivora, dan
omnivora. Sedangkan, berdasarkan jumlah variasi dari macam-macam makanan, maka ikan dapat
dibagi menjadi euryphagic yaitu pemakan bermacam makanan, stenophagic yaitu ikan pemakan
makanan yang macamnya sedikit atau sempit, dan monophagic yaitu ikan yang makanannya
terdiri dari satu macam makanan saja. Panjang usus ikan dapat menggambarkan spesialisasi
penyesuaian di dalam kebiasaan makan (Effendie, 1997).
Habitat
Sungai Batanghari Jambi termasuk salah satu sungai besar di pulau Sumatera,
mempunyai produktivitas dan jenis ikan yang cukup tinggi terutama di daerah bagian tengah
hingga hilir. Beberapa jenis ikan yang termasuk ekonomis penting hasil tangkapan nelayan di
sungai Batanghari adalah belida, betutu, patin, lais, tapah, baung, toman, jalai, gabus, dan
seluang, dan yang sudah sangat jarang didapatkan jelawat dan botia.
Gambar 1. Salah satu sisi perairan sungai Batanghari, Jambi.
Ikan Baung (Mystus nemurus).
Salah satu jenis ikan konsumsi yang bernilai ekonomis penting yang masih termasuk
dominan di sungai Batanghari Jambi adalah ikan Baung (Mystus nemurus) nama lainnya adalah
Macrones nemurus C.V. Tergolong dalam kelas Pisces, falimi Bagridae, ordo Siluriformes, genus
Mystus, species nemurus. Ciri khusus mempunyai sungut panjang, mencapai mata dan sirip dubur
Bentuk mulut terminal, rahang bergerigi, sirip ekor membulat, gurat sisi (LL) lengkap dan tidak
terputus. DXI-XIV,12-14 A X-XI,20-23, Bentuk tubuh membulat, tegak, tidak bersisik. Pada sirip
dada terdapat tulang yang tajam dan bersengat, Sirip lemak yang panjang. Ikan Baung dapat
ditemukan di perairan umum di pulau Sumatera, Kalimantan, dan Jawa (Kottelat et al., 1993).
Tujuan penelitian adalah untuk mendapatkan informasi biologi dan pola pertumbuhan ikan
baung di sungai Batanghari, provinsi Jambi.
Bahan dan Metode
Penelitian ini dilakukan dengan metode survey, pengambilan sampel dilakukan secara
purposive di perairan sungai Batanghari, Jambi. Contoh ikan didapat dari hasil tangkapan nelayan
pada bulan Maret dan April, Juli 2010. Parameter yang diamati meliputi isi usus, ukuran panjang
(cm) dan berat (gram) ikan serta beberapa parameter kualitas air yang diukur sesuai prosedur
yang sudah baku (APHA, 1980).
Pertumbuhan Individu Ikan
Data hasil pengukuran panjang dan berat ikan tersebut dianalisis untuk mengetahui pola
pertumbuhan ikan menggunakan rumus (Hile, 1963 dalam Effendie, 1997):
b
aL W
Di mana :
W : Berat ikan (gram)
L : Panjang total ikan (cm)
Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-12) - 3
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
a dan b : Konstanta regresi
Nilai b yang diperoleh digunakan untuk menduga kedua parameter yang dianalisis, jika
dalam persamaan tersebut didapatkan nilai b = 3 berarti pertumbuhan ikan seimbang antara
pertumbuhan panjang dengan pertumbuhan beratnya (isometrik). Tetapi jika nilai b < 3 berarti
pertambahan panjangnya lebih dominan dari pada pertambahan beratnya (alometrik negatif) dan
jika b > 3 maka pertambahan beratnya lebih dominan dari pertambahan panjangnya (alometrik
positif).
Faktor Kondisi
Rumusan dalam analisa faktor kondisi ditentukan setelah pola pertumbuhan panjang
diketahui. Bila nilai b 3, maka K dihitung dengan rumus (Effendie, 1997) :
K =
b
aL
W
Keterangan : K = Faktor kondisi
W = Berat ikan (gram)
L = Panjang total ikan(cm)
a dan b = konstanta
Jika nilai b = 3, maka K dihitung dengan rumus :
K =
3
5
10
L
W
Kebiasaan makan
Sampel ikan yang didapat dari tangkapan nelayan diawetkan dengan formalin 10 % dan isi
usus dengan formalin 4 %. Kebiasaan makan ikan gurame diketahui dengan cara menganalisa isi
usus yang dihitung dengan metode indeks preponderan atau indeks bagian terbesar sebagai
gabungan dari metode frekuensi dan volumetrik (Natarajan dan Jhingran (1961) dalam effendie
(1997), yaitu :
IP(%) =
100
) (
1

n
i
VixOi
VixOi
Keterangan :
IP : Indeks bagian terbesar (Index of propenderance)
Vi : Persentase volume makanan ikan jenis ke-i
Oi : Persentase frekuensi kejadian makanan jenis ke-i
n : Jumlah organisma makanan ikan (i = 1,2,3,...n)
Organisma yang ditemukan dalam usus diidentifikasikan dengan petunjuk Pennak (1978), Nedham
dan Nedham (1964) dan Quigley (1980). Batasan keriteria persentase makanan (Nikolsky, 1963)
sebagai berikut:
IP > 40 % : Makanan utama
4 % IP 40 % : Makanan pelengkap
IP < 4 % : Makanan tambahan
Hasil dan Pembahasan
Sebaran panjang
Ikan contoh yang digunakan untuk analisis isi usus sebanyak 117 ekor. Dari contoh
tersebut didapatkan sebaran panjang dan berat total 8,5 52,3 cm dan 6 - 1300 gram.
Berdasarkan analisis panjang diperoleh 8 kelas ukuran dengan lebar kelas 7,0 cm dan 161,75
gram (Gambar 2 ). Dari sampel yang didapatkan sebaran panjang total menunjukkan
kecendrungan kelas ukuran kecil mempunyai frekuensi terendah. Pada kelas 8,5 13,9 cm
sebanyak 2 ekor dan tertinggi 25,0 - 30,40 gram sebanyak 38 ekor, terlihat pada gambar 2. Bila
4 - Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-12)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
dilihat dari sebaran ukuran dengan frekuensi yang semakin kecil pada ukuran yang semakin kecil
menunjukkan bahwa pertumbuhan ikan ini tergolong cepat. ikan baung termasuk mempunyai
habitat yang sama pada setiap ukuran, mulai dari anak-anak ikan hingga ikan dewasa. Ikan baung
dapat juga beruaya lebih jauh ke badan sungai lainnya untuk mencari makan dan tempat hidup
yang lebih sesuai. Jika pergerakan menyebar hanya dalam satu habitat/zona disebut menyebar
lateral lateral migrations (Welcomme, 1985).
Gambar 2. Sebaran panjang dan berat ikan contoh
Hubungan panjang-berat
Hasil analisis hubungan panjang-berat ikan baung (Mystus nemurus) didapatkan
persamaan W = 0.007L
3,021
dengan nilai b sebesar 3,021 . Hal ini memperlihatkan bahwa ikan
baung mempunyai pola pertumbuhan allometri positif dengan nilai b > 3, yaitu pertumbuhan
panjang lebih lambat daripada pertumbuhan berat, dapat diartikan Ikan baung secara alami
mempunyai bentuk tubuh tergolong gemuk. Nilai koefisien determinasi (R
2
) adalah 0,951, dan r
adalah 0,97 atau mendekati 1 yang menjelaskan hubungan panjang-berat yang sangat erat. Berat
ikan dipengaruhi oleh nilai panjangnya sebesar 95 %. Pola pertumbuhan ikan baung yang bersifat
allometrik positif menunjukkan bahwa pakan alami mempengaruhi berat dari ikan tersebut.
Gambar 4. Hubungan panjang berat ikan Baung (Mystus nemurus)
Faktor kondisi
Faktor kondisi menunjukkan keadaan ikan dilihat dari kapasitas fisik untuk survival dan
reproduksi. Faktor kondisi dapat pula didefinisikan sebagai keadaan atau kemontokkan ikan yang
dinyatakan dalam angka-angka berdasarkan pada data berat dan panjang (Effendie, 1997). Nilai
faktor kondisi ikan gurame 1,5. Hubungan pertumbuhan dan faktor kondisi memiliki hubungan
sebab akibat dengan komposisi makanan dari suatu jenis ikan. Analisis hubungan panjang berat
dan faktor kondisi memiliki peranan penting dalam pengelolaan perikanan karena bermanfaat
untuk memprediksi pola pertumbuhan ikan dan bermanfaat bagi status ikan.
Meningkatnya nilai faktor kondisi dapat pula terjadi seiring dengan meningkatnya
pertumbuhan gonad dan akan mencapai puncaknya sebelum terjadi pemijahan. Semakin tinggi
nilai faktor kondisi menunjukkan adanya kecocokan antara ikan dengan kondisi lingkungannya
yang tergantung pada banyak hal antara lain jumlah organisme yang ada, kondisi organisme,
ketersediaan makanan, dan kondisi lingkungan perairan.
Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-12) - 5
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Kebiasaan makan
Ikan baung digolongkan stenophagic karena jenis pakan alami yang didapatkan beberapa
macam, yaitu fragmen-fragmen organisma hewani berupa ikan kecil, udang kecil, crustacea kecil,
annelida kecil, seresah dan plankton, dan lain-lain yang tercerna tetapi tidak terdeteksi lagi.
berdasarkan metode Indeks Bagian Terbesar (Indeks of preponderance), maka pakan alami ikan
Baung terdiri dari ikan sebagai pakan utama dengan indeks preponderance 75 %, udang kecil
sebagai pakan pelengkap 16.27 %, serangga air, 2,50 %, detritus 3 % dan pakan tambahan
lainnya yang tercerna dan tidak teridentifikasi 3,23 % (Gambar 3). Nilai indeks tersebut
menunjukkan bahwa ikan baung tergolong karnivora. Hal ini sesuai dengan ciri-ciri ikan kelompok
karnivora, mulut terminal, bergigi halus, bukaan mulut sedang besar, esophagus yang besar
dengan usus pendek. Memiliki badan gilik membulat panjang (bentuk simetris), berenang
cendrung di dasar perairan. Mempunyai mata sedang (Lagler et al, 1962 dan Kottelat et al., 1993).
Pola makan suatu jenis ikan dipengaruhi perubahan lingkungan hidupnya, tipe makanan, dan
kebutuhan akan protein yang semakin meningkat (Djarijah, 1995).
Gambar 3. Komposisi pakan alami (IP) ikan baung (Mystus nemurus)
Kualitas air
Kualitas perairan sungai dipengaruhi aktivitas di perairan sendiri dan sekitarnya, baik dari
bagian hulu hingga bagian hilir, serta sepanjang kiri kanan sungai, rivarian (Wellcome,1985).
Perairan sungai Batanghari berwarna kehijauan hingga keruh kecoklatan, mempunyai kisaran suhu
rata-rata 27,5 - 29
o
C, kisaran kecepatan arus rata-rata 1,8 mi, kedalaman 6-8 m, kecerahan 40-60
cm, oksigen terlarut 7,6 ppm dan pH 6,5 Perairan yang berkualitas penting sebagai tempat
pemijahan (spawning ground), tempat mencari pakan (feeding ground), dan tempat asuhan
(shcooling ground). Dari beberapa rata-rata data tersebut dan dihubungkan dengan masih
ditemukannya berbagai jenis ikan bernilai ekonomis menunjukkan bahwa perairan sungai
Batanghari masih termasuk kriteria layak untuk kehidupan ikan termasuk ikan baung (Boyd, 1990).
Kesimpulan
1. Indeks kepenuhan lambung 6-67-15,06. Indeks preponderance dengan pakan alami
berasal dari fragmen tumbuhan sebagai pakan utama dengan indeks preponderance 68
%, fragmen crustacea 1%, insecta 4,41%, annelida 2,26%, ikan 2,27% sebagai pakan
pelengkap, dan pakan tambahan lainnya yang tercerna dan tidak teridentifikasi 12 %,
seresah 11,55 %.
2. Terdapat 8 interval kelas panjang dan berat, pola pertumbuhan ikan gurame
(Osphronemus gouramy) adalah allometrik positif, cendrung gemuk terlihat dari
persamaan hubungan panjang-berat W = 0,0091 x
3,2796
, nilai b = 3,2796, koefisien
determinasi (R
2
) mendekati 1 yaitu 0,939, mempunyai hubungan yang sangat erat,
panjang total dapat menduga berat total, dengan faktor kondisi 1,37.
6 - Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-12)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Daftar pustaka
APHA, AWWA & WPCD. 1980. Standard Methods for the Examination of Water and
Wastewater. Fifth ed. Washington: 1134p
Asyarah, D.Q. 2006. Studi Makanan Ikan Beunteur (Puntius binotatus) di Bagian Hulu DAS
Ciliwung, Jabar. Skripsi. Departemen MSP. Fakultas Perikanan, Ilmu Pertanian. IPB. Tidak
Dipublikasikan.
Bagenall, T.B. & F.W. Tesch. 1978. Age and growth. In: Methods fo assessment of fish production
in freshwaters. IBP Handbook Unwin Bros, Ltd., Survey 3. 365pp.
Barnes, R.S.K., J. Green. 1971. the Estuarine Environment.Applied Science Publishers. London.
Effendi, M. I. 1997. Metoda Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara. Bogor. 157 hal.
__________ 2002. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara. Bogor. 163 hal.
Kottelat,M., J.A. Whitten. N. Kartikasari, dan S. Wiryatmojo. 1993. Freshwater Fishes of Western
Indonesia and Sulawesi, Periplus Ed. And EMDI Project Indonesia. 221 p.
Lagler, K.F., Bardach, J.E., Miller, R.R. 1962. Ichtyology. Topan Company Ltd. Tokyo. Japan: 545
p. Biology. Fith
Nedham, J.G. dan D.R. Nedham. 1964. A Guide to Study of Freshwater Biology. Fifth Ed.
HoldenDay Inc. Sanfransisco.
Nikolsky,G.V. 1963. The Ecology of Fishes. Academic Press. New York. 315p.
Samuel, S adjie dan Subagdja. 2002. Inventarisasi dan Distribusi Biota Serta Karakteristik Habitat
Sungai Musi. Laptek. BRPPU Palembang. 32 hal.
Pennak, W.R. 1978. Freshwater Invertebrata of the United State The Ronald. Tast co. New York:
750p
Quigley, M. 1980. Invertebrate of Stream and River, A. Key Identification. Ne College.
Northampton. Edward Arnold: 84 hal.
Wecomme, R.L. 1985. River Fisheries. FAO. Fisheries Technical Paper no.262. Rome. 330p.
Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-12) - 7
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-13) - 1
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
HUBUNGAN PERTUMBUHAN TUBUH DAN KOMPONEN MATA
IKAN KEMBUNG PEREMPUAN (Rastrelliger brachysoma)
Dr. Abdul Razak
Staf Pengajar Jurusan Biologi FMIPA UNP.
Jl.Prof.Hamka Air Tawar Padang, (081314015320, email : abdulrzk393@gmail.com )
Abstrak
Penelitian tentang hubungan pertumbuhan tubuh dan komponen mata ikan kembung perempuan
(Rastrelliger brachysoma) telah dilakukan mulai bulan Oktober 2007 sampai bulan Januari 2008.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan pertumbuhan tubuh dengan komponen
mata (kornea, iris, dan lensa). Populasi penelitian ini adalah seluruh ikan kembung perempuan di
perairan laut sekitar kota Padang. Sampel diambil pada daerah Gaung kota Padang dengan
jumlah 60 ekor yang dipilih secara acak dengan ukuran yang bervariasi mulai ukuran tubuh terkecil
dan ukuran tubuh terbesar pada saat pengambilan. Pengukuran dan pengamatan pola
pertumbuhan komponen mata (kornea, iris, dan lensa) ikan kembung perempuan dilakukan di
laboratorium Ekologi Jurusan Biologi FMIPA Universitas Negeri Padang. Hasil penelitian
mengungkapkan bahwa terdapat hubungan yang linier antara pertumbuhan tubuh dengan
komponen mata (kornea, iris, dan lensa) ikan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma).
Pertumbuhan tubuh akan selalu bertambah tetapi diameter komponen mata (kornea, iris, dan
lensa) akan mencapai titik maksimum dan setelah itu pertumbuhannya akan terhenti. Pertumbuhan
diameter kornea mata maksimum pada ukuran 21,7 mm; diameter iris mata maksimum pada
ukuran 11,75 mm; dan diameter lensa mata maksimum pada ukuran 6,75 mm.
Kata kunci : pertumbuhan tubuh, lensa, kornea dan iris mata ikan.
Pengantar
Salah satu sumber daya hayati laut yang melimpah dan bernilai ekonomis adalah ikan.
Ikan merupakan kelompok biota laut yang memiliki jumlah spesies terbanyak kedua setelah
moluska. Lebih dari 2000 spesies ikan ditemukan di lautan Indonesia. Beberapa spesies
mempunyai nilai ekonomi penting terutama dari kelompok ikan pelagis kecil. Ikan pelagis kecil ini
diperkirakan meliputi lebih dari 1200 spesies, seperti ikan Kembung (Rastrelliger spp), ikan Layang
(Decapterus spp), ikan Selar (Selaroides spp), ikan Lemuru (Sardinella spp), dan ikan Teri
(Stolephorus spp). Potensi sumberdaya ikan pelagis kecil ini mencapai 3.605,66 x 10
3
ton/tahun
(Dahuri, 2003).
Sebagai bagian wilayah perairan Indonesia, perairan Sumatera Barat juga kaya akan
sumber daya ikan. Potensi utamanya adalah sumber daya ikan pelagis besar seperti tuna,
cakalang; ikan pelagis kecil seperti kembung, teri, dan selar; ikan karang, udang dan lain lain
(Kamal, 2002). Pada tahun 2002 produksi perikanan Sumatera Barat sebesar 85.745 ton
(Marahuddin, 2003). Pada tahun 2005 produksi perikanan Sumatera Barat meningkat sampai
108.915,1 ton. Produksi ini menunjukkan bahwa perairan laut Sumbar mempunyai potensi cukup
besar untuk pengembangan usaha perikanan laut, terutama kelompok ikan pelagis besar dan kecil
(BPS Sumbar, 2006).
Salah satu ikan pelagis kecil yang berpotensi cukup besar adalah ikan kembung
(Rastrelliger spp) (Kamal, 2002: 3). Menurut data dari BPS Sumatera Barat (2006) pada tahun
2006 produksi ikan kembung mencapai 6244,80 ton. Ini mengalami peningkatan dari tahun 2005
dimana produksinya hanya 4978,40 ton. Produksi ikan dipengaruhi oleh faktor lingkungan perairan.
Kehidupan ikan di perairan juga tergantung pada lingkungan sekitarnya.
Untuk berinteraksi dengan lingkungan perairan, kehidupan ikan sangat tergantung pada
mata sebagai organ penglihatan (Razak et al., 2005). Sebagian besar jenis ikan menggunakan
mata dalam aktifitas hidupnya, seperti memijah, mencari makan, menghindari serangan ikan besar
atau binatang pemangsa lainnya. Mata bagi ikan juga berperan penting dalam menentukan daerah
teritorialnya, mencari pasangannya dan mencari tempat pengasuhan bagi anak anaknya (Razak et
al., 2005; Wiyono, 2006). Sensitivitas dan ketajaman mata ikan bervariasi tergantung spesiesnya.
Sensitivitas dan ketajaman mata ikan dipengaruhi oleh pencapaian bayangan pada retina.
Disamping itu lensa berperan dalam memfokuskan cahaya dan lensa memberikan seluruh
BP-13
2 - Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-13)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
kekuatan pembiasan cahaya dalam air. Selain bentuk lensa yang bulat, pemfokusan cahaya juga
dapat dilakukan dengan pergerakan lensa mata (Razak et al., 2005).
Mata sebagai organ penglihatan mempunyai hubungan dengan ukuran tubuhnya. Hasil
penelitian Razak (2005) menemukan hubungan antara panjang tubuh standar dengan diameter
lensa mata pada ikan kepe kepe (Chaetodon sp) dan ikan bendera (Zanclus sp). Pertambahan
panjang tubuh terjadi sampai ukuran tertentu diikuti oleh meningkatnya diameter lensa mata.
Pertumbuhan komponen mata ikan ini penting untuk diketahui dan bermanfaat bagi teknologi
penangkapan ikan yang ramah lingkungan.
Pengetahuan tentang pertumbuhan komponen mata ikan ini masih sangat minim di
Indonesia (Razak et al., 2005; Anonim, 2005
a
). Hal ini disebabkan karena sumberdaya manusia
yang menguasai informasi ilmu dan pengalaman serta literatur yang mendukung masih sangat
kurang. Padahal penelitian tentang hal ini sangat penting dalam pengembangan dan penguasaan
teknologi penangkapan yang ramah lingkungan. Sebagai contoh, jika ingin menangkap ikan
dengan ukuran standar dalam arti sesuai dengan permintaan pasar, alat tangkap yang digunakan
harus efektif. Maksudnya alat tangkap bisa dimanipulasi untuk mengatasi ketajaman mata ikan
pada ukuran yang sesuai dengan permintaan.
Bahan dan Metode
Penelitian ini bersifat deskriptif dengan pengolahan data dari parameter penelitian,
sehingga didapatkan data tentang pola pertumbuhan komponen mata (kornea, iris, dan lensa) ikan
Kembung Perempuan (Rastrelliger brachysoma). Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober 2007
sampai bulan Januari 2008. Tempat penelitian adalah di laboratorium Ekologi Jurusan Biologi
FMIPA Universitas Negeri Padang.
Bahan dan Alat
Peralatan yang digunakan selama penelitian ini adalah: mistar ukur dengan ketelitian 1
mm; timbangan Ohaus dengan ketelitian 0,1 g; jangka sorong dengan ketelitian 0,05 mm;
seperangkat alat bedah; kertas label; kertas milimeter blok; botol film; tissu gulung; alat-alat
tulis.Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah ikan kembung perempuan
(Rastrelliger brachysoma). Bahan lain yang digunakan adalah Alkohol 70 %, Formalin 4 %.
Metode Penelitian
Metode penelitian ini adalah penelitian survey dari sampel ikan Kembung Perempuan di
daerah Gaung Kota Padang yang mewakili populasi ikan kembung perempuan di laut sekitar Kota
Padang.
Pengambilan Sampel
Penelitian ini dilakukan dengan mengambil ikan contoh terlebih dahulu dengan ukuran yang
bervariasi di daerah Gaung Kota Padang. Kemudian ikan di masukkan ke dalam wadah dan
dibawa ke Laboratorium Ekologi Jurusan Biologi FMIPA Universitas Negeri Padang untuk diambil
datanya lebih lanjut.
Pengukuran
Untuk menentukan panjang tubuh total dan panjang tubuh standar, ikan diletakkan di atas kertas
milimeter blok. Kemudian ditandai panjang tubuh standar dan panjang tubuh total dengan cara
membuat garis lurus menggunakan spidol. Garis lurus inilah yang akan diukur nantinya dengan
menggunakan mistar. Setelah panjang tubuh diukur lalu diukur berat tubuh ikan dengan
menggunakan neraca Ohaus. Untuk mengetahui diameter kornea dan diameter iris mata dilakukan
dengan menggunakan jangka sorong. Setelah itu mata ikan dibedah untuk mendapatkan lensanya,
baik yang kiri maupun yang kanan. Lensa mata ini diukur diameternya dengan menggunakan
jangka sorong.
Parameter Pengamatan
Parameter pada pengamatan ini adalah panjang tubuh standar, panjang tubuh total, berat tubuh,
diameter kornea mata, diameter iris mata, dan diameter lensa mata.
Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-13) - 3
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
1. Panjang Standar
Panjang tubuh standar adalah panjang ikan yang diukur mulai dari ujung terdepan bagian
kepala sampai ujung terakhir bagian badannya. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan
mistar.
2. Panjang Tubuh Total
Panjang tubuh total adalah panjang ikan yang diukur mulai dari ujung terdepan bagian
kepalasampai ujung terakhir bagian ekornya. Pengukuran panjang tubuh total dilakukan dengan
menggunakan mistar.
3. Berat Tubuh
Berat yang ditimbang adalah berat tubuh ikan mulai dari ujung kepala sampai ujung ekor.
Pengukuran berat tubuh ikan dilakukan dengan menggunakan timbangan Ohaus.
4. Diameter Kornea Mata
Kornea mata ikan berbentuk bulat. Diameter kornea mata adalah panjang garis tengah kornea
mata ikan yaitu bagian permukaan mata yang tampak berwarna putih. Pengukuran dilakukan
dengan menggunakan jangka sorong.
5. Diameter Iris Mata
Iris mata ikan berbentuk bulat seperti lingkaran. Diameter iris mata adalah panjang garis
tengah iris mata ikan yaitu bagian permukaan mata yang tampak berwarna hitam. Pengukuran
dilakukan dengan menggunakan jangka sorong.
6. Diameter Lensa Mata
Lensa mata ikan berbentuk bulat seperti lingkaran. Diameter lensa mata ikan adalah panjang
garis tengah dari lensa mata ikan yang diukur dengan jangka sorong.Data yang diperoleh
adalah hasil penimbangan dan pengukuran beberapa variabel yakni panjang tubuh total/TL
(mm), panjang tubuh standar/SL (mm), berat tubuh (g), diameter kornea (mm), diameter iris
(mm) dan diameter lensa mata(mm). Data ukuran tubuh yang diperoleh akan dihubungkan
dengan data hasil pengukuran diameter komponen mata. Data tersebut dianalisis dengan
menggunakan analisis regresi sederhana sehingga didapatkan hasil akhirnya berupa grafik.
Hasil dan Pembahasan
Hubungan Panjang Tubuh Standar dengan Berat Tubuh
Ikan kembung perempuan yang diamati berjumlah 60 ekor. Hasil pengukuran berat tubuh dan
panjang tubuh standar pada ikan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma) diperoleh seperti
terlihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Hubungan panjang tubuh standar dengan berat tubuh pada ikan kembung perempuan
(Rastrelliger brachysoma).
No Sampel ke SL (mm) Berat (g) No Sampel ke SL (mm) Berat (g)
1 13 104 22.2 31 8 144 73.7
2 37 105 25.7 32 50 144 74.8
3 27 108 27.2 33 18 145 75.2
4 22 108 27.6 34 2 148 77.1
5 7 113 30.9 35 24 147 77.2
6 3 113 31.9 36 21 145 78.2
7 35 116 32.9 37 1 145 78.9
8 48 112 33.5 38 43 146 81.8
9 14 114 34.7 39 17 148 82.1
10 41 120 36.1 40 44 148 83.9
11 36 122 41.6 41 12 149 85.0
12 45 121 41.6 42 16 146 85.0
13 6 124 42.6 43 47 147 87.4
4 - Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-13)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
14 34 127 43.2 44 10 151 90.7
15 30 124 43.5 45 20 151 92.0
16 29 123 43.7 46 9 152 93.6
17 42 123 43.9 47 38 152 94.3
18 39 124 44.7 48 25 155 95.4
19 40 121 44.9 49 15 158 107.6
20 32 123 45.4 50 52 164 111.1
21 19 125 45.6 51 59 168 117.6
22 26 126 46.9 52 56 179 143.1
23 4 126 47.2 53 58 181 151.6
24 11 127 48.7 54 57 182 155.3
25 31 128 49.3 55 5 193 197.6
26 33 130 50.6 56 55 196 207.8
27 23 126 50.8 57 60 198 195.5
28 46 135 51.3 58 53 199 200.7
29 28 133 55.4 59 51 201 220.2
30 49 134 61.7 60 54 205 211.2
Panjang tubuh standar (SL) yang didapatkan berkisar antara 104 mm sampai 205 mm dan
berat tubuh berkisar dari 22,2 g sampai 220,2 g. Dari hasil pengukuran panjang tubuh standar
(standar length/SL) dan dihubungkan dengan hasil pengukuran berat tubuh pada ikan kembung
perempuan (Rastrelliger brachysoma) terlihat pada Gambar 1.
Ket: garis regresi penyebaran data
Gambar 1. Hubungan panjang tubuh standar dengan berat tubuh pada ikan kembung perempuan
(Rastrelliger brachysoma).
Grafik pada Gambar 1 memperlihatkan hubungan yang linier antara panjang tubuh standar
dan berat tubuh. Pertambahan berat tubuh diikuti oleh pertambahan panjang tubuh standar.
Panjang tubuh standar maksimal yang didapatkan adalah 205 mm pada berat tubuh 211,2 g.
Deswira (1996) menyimpulkan bahwa hubungan panjang tubuh dan berat tubuh pada ikan
kembung perempuan bersifat allometrik negatif yaitu pertumbuhan panjang tubuh lebih cepat dari
pertumbuhan berat tubuh. Banyak faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ikan dian taranya
kualitas dan kuantitas makanan yang tersedia, umur ikan, tingkat kematangan gonad serta faktor
lingkungan lainnya (Effendi, 1997).
Hubungan Panjang Tubuh Standar dengan Diameter Kornea Mata
Hasil pengukuran panjang tubuh standar dan diameter kornea mata pada ikan kembung
perempuan (Rastrelliger brachysoma) diperoleh seperti yang terlihat pada Tabel 2.
0
50
100
150
200
250
0 50 100 150 200 250
Panjang tubuh standar (mm)
B
e
r
a
t
t
u
b
u
h
(
g
)
Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-13) - 5
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Tabel 2. Hubungan panjang tubuh standar dengan diameter kornea mata pada ikan kembung
perempuan (Rastrelliger brachysoma).
No Sampel ke SL (mm) Kornea (mm) No Sampel ke SL (mm) Kornea (mm)
1 13 104 7.6 31 8 144 11.7
2 37 105 8.25 32 50 144 12.7
3 27 108 8.2 33 18 145 12.8
4 22 108 8.4 34 2 148 12.9
5 7 113 8.5 35 24 147 12.05
6 3 113 8.3 36 21 145 11.9
7 35 116 8.65 37 1 145 11.75
8 48 112 8.3 38 43 146 11.6
9 14 114 8.5 39 17 148 11.7
10 41 120 8.65 40 44 148 11.9
11 36 122 9.2 41 12 149 12
12 45 121 9.1 42 16 146 12.3
13 6 124 9.55 43 47 147 12.15
14 34 127 9.5 44 10 151 12.2
15 30 124 9.6 45 20 151 13.1
16 29 123 9.3 46 9 152 12.9
17 42 123 9.25 47 38 152 13.05
18 39 124 9.4 48 25 155 13.3
19 40 121 9.55 49 15 158 13.05
20 32 123 9.4 50 52 164 15.65
21 19 125 9.6 51 59 168 15.8
22 26 126 9.3 52 56 179 18.95
23 4 126 9.5 53 58 181 16.6
24 11 127 10.15 54 57 182 18
25 31 128 10.15 55 5 193 18.55
26 33 130 10 56 55 196 21.7
27 23 126 9.6 57 60 198 19.85
28 46 135 10 58 53 199 21.5
29 28 133 10.6 59 51 201 20.4
30 49 134 10.65 60 54 205 19.9
Panjang tubuh standar yang didapatkan berkisar antara 104 mm sampai 205 mm dan
diameter kornea mata berkisar antara 7,6 mm sampai 21,7 mm. Dari hasil pengukuran panjang
tubuh standar (standar length; SL) dan dihubungkan dengan hasil pengukuran diameter kornea
mata pada ikan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma) terlihat pada Gambar 2.
Ket: garis regresi penyebaran data
Gambar 2. Hubungan panjang tubuh standar dengan diameter kornea mata pada ikan kembung
perempuan (Rastrelliger brachysoma).
0
5
10
15
20
25
0 50 100 150 200 250
Panjang tubuh standar (mm)
D
i
a
m
e
t
e
r
k
o
r
n
e
a
m
a
t
a
(
m
m
)
6 - Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-13)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Dari Gambar 2 terlihat hubungan yang linier antara panjang tubuh standar dengan
diameter kornea mata. Pertambahan panjang tubuh standar diikuti oleh pertambahan diameter
kornea mata. Pertumbuhan diameter kornea mata mencapai ukuran maksimum yaitu 21,70 mm
pada panjang tubuh standar 196 mm. Pertumbuhan diameter kornea ini akan berhenti pada ukuran
21,70 mm sedangkan pertumbuhan panjang tubuh akan tetap berlangsung. Kornea mata ikan
berfungsi mengurangi jumlah cahaya gelombang pendek yang tersebar sehingga mengurangi
kandungan informasi bayangan, sehingga terjadi penguatan ketajaman mata ikan (Fujaya, 2002).
Hubungan Panjang Tubuh Standar dengan Diameter Iris Mata
Hasil pengukuran panjang tubuh standar dan diameter iris mata pada ikan kembung
perempuan (Rastrelliger brachysoma) diperoleh seperti yang terlihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Hubungan panjang tubuh standar dengan diameter iris mata pada ikan kembung
perempuan (Rastrelliger brachysoma).
No Sampel ke SL (mm) Iris (mm) No Sampel ke SL (mm) Iris (mm)
1 13 104 4.15 31 8 144 6.3
2 37 105 4.3 32 50 144 6.5
3 27 108 4.65 33 18 145 6.7
4 22 108 4.6 34 2 148 6.55
5 7 113 4.8 35 24 147 6.85
6 3 113 4.7 36 21 145 6.5
7 35 116 4.25 37 1 145 6.55
8 48 112 4.4 38 43 146 6.9
9 14 114 4.5 39 17 148 6.45
10 41 120 4.65 40 44 148 6.6
11 36 122 5.05 41 12 149 6.5
12 45 121 4.9 42 16 146 6.45
13 6 124 5.05 43 47 147 6.05
14 34 127 5 44 10 151 6.25
15 30 124 5.2 45 20 151 6.7
16 29 123 4.75 46 9 152 6.8
17 42 123 4.8 47 38 152 6.75
18 39 124 5.45 48 25 155 7.35
19 40 121 5.4 49 15 158 7.5
20 32 123 5.2 50 52 164 9.25
21 19 125 5.6 51 59 168 8.55
22 26 126 5.3 52 56 179 9.8
23 4 126 5.2 53 58 181 9.15
24 11 127 5.4 54 57 182 8.7
25 31 128 5.7 55 5 193 9.65
26 33 130 5.65 56 55 196 10
27 23 126 5.25 57 60 198 10.15
28 46 135 5.6 58 53 199 11.75
29 28 133 5.3 59 51 201 10.15
30 49 134 5.5 60 54 205 11.2
Panjang tubuh standar yang didapatkan berkisar antara 104 mm sampai 205 mm dan
diameter iris mata berkisar antara 4,15 mm sampai 11,75 mm. Dari hasil pengukuran panjang
tubuh standar (standar length/SL) dan dihubungkan dengan hasil pengukuran diameter iris mata
pada ikan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma) terlihat pada Gambar 3.
Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-13) - 7
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Ket: garis regresi penyebaran data
Gambar 3. Hubungan panjang tubuh standar dengan diameter iris mata pada ikan kembung
perempuan (Rastrelliger brachysoma).
Gambar 3 menunjukkan hubungan yang linier antara panjang tubuh standar dengan
diameter iris mata. Pertambahan panjang tubuh standar diikuti oleh pertambahan diameter iris
mata. Pada grafik terlihat diameter iris mata mencapai ukuran maksimum yaitu 21,7 mm pada
panjang standar 196 mm. Pertumbuhan diameter iris mata ini akan berhenti pada ukuran ini
sedangkan pertumbuhan panjang tubuh tetap berlangsung. Thomas dan Kastelein (1990) dalam
Razak et al. (2005: 22) menyatakan bahwa iris mata ikan membantu mengatur kuat lemahnya
gelombang cahaya yang diperlukan oleh lensa mata agar mampu melihat objek dengan baik.
Hubungan Panjang Tubuh Standar dengan Diameter Lensa Mata
Hasil pengukuran panjang tubuh standar dan diameter lensa mata pada ikan kembung
perempuan (Rastrelliger brachysoma) diperoleh seperti yang terlihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Hubungan panjang tubuh standar dengan diameter lensa mata pada ikan kembung
perempuan (Rastrelliger brachysoma).
No Sampel ke SL (mm) Lensa (mm) No Sampel ke SL (mm) Lensa (mm)
1 13 104 2.05 31 8 144 3.8
2 37 105 2.15 32 50 144 3.9
3 27 108 2.15 33 18 145 3.7
4 22 108 2.05 34 2 148 3.65
5 7 113 2.2 35 24 147 3.6
6 3 113 2.25 36 21 145 3.6
7 35 116 2.2 37 1 145 4.05
8 48 112 2.25 38 43 146 3.95
9 14 114 2.15 39 17 148 4.25
10 41 120 2.25 40 44 148 4.3
11 36 122 2.3 41 12 149 4.2
12 45 121 2.5 42 16 146 4.6
13 6 124 2.3 43 47 147 4.6
14 34 127 2.4 44 10 151 4.7
15 30 124 2.6 45 20 151 4.6
16 29 123 2.3 46 9 152 4.55
17 42 123 2.55 47 38 152 4.85
18 39 124 2.5 48 25 155 4.6
19 40 121 2.6 49 15 158 4.9
0
2
4
6
8
10
12
14
0 50 100 150 200 250
Panjang tubuh standar (mm)
D
i
a
m
e
t
e
r
i
r
i
s
m
a
t
a
(
m
m
)
8 - Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-13)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
20 32 123 2.6 50 52 164 4.65
21 19 125 2.5 51 59 168 4.95
22 26 126 2.65 52 56 179 4.85
23 4 126 2.5 53 58 181 5.1
24 11 127 2.75 54 57 182 5.0
25 31 128 2.4 55 5 193 6.75
26 33 130 2.45 56 55 196 6.1
27 23 126 2.7 57 60 198 6.5
28 46 135 2.7 58 53 199 5.8
29 28 133 3.2 59 51 201 6.7
30 49 134 3.3 60 54 205 6.3
Panjang tubuh standar yang didapatkan berkisar antara 104 mm sampai 205 mm dan
diameter lensa mata berkisar antara 2,05 mm sampai 6,75 mm. Dari hasil pengukuran panjang
tubuh standar (standar length/SL) dan dihubungkan dengan hasil pengukuran diameter lensa mata
pada ikan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma) terlihat pada Gambar 4. Pengukuran
diameter lensa mata dilakukan pada mata sebelah kiri dan sebelah kanan. Ternyata diameter
lensa mata sebelah kiri dan kanan mempunyai ukuran yang sama.
Ket: Garis regresi penyebaran data
Gambar 4. Hubungan panjang tubuh standar dengan diameter lensa mata pada ikan kembung
perempuan (Rastrelliger brachysoma).
Gambar 4 menunjukkan hubungan yang linier antara diameter lensa mata dan panjang
tubuh standar. Pertambahan panjang tubuh meningkat sampai ukuran tertentu diikuti oleh
meningkatnya diameter lensa mata. Pada grafik terlihat pertumbuhan diameter lensa mata
mencapai ukuran maksimum yaitu 6,75 mm pada panjang tubuh standar 193 mm. Hal ini sesuai
dengan pendapat Purbayanto (1999) dan Razak (2005) bahwa diameter lensa mata meningkat
seiring dengan pertambahan panjang tubuh. Tetapi pertumbuhan diameter lensa mata akan
terhenti pada titik tertentu sedangkan pertumbuhan panjang tubuh akan tetap berlangsung.
Gamaa (1981) dalam Razak (2005) menyatakan bahwa diameter lensa yang meningkat berakibat
bertambah baiknya ketajaman mata ikan.
0
1
2
3
4
5
6
7
8
0 50 100 150 200 250
Panjang tubuh standar (mm)
D
i
a
m
e
t
e
r
l
e
n
s
a
m
a
t
a
(
m
m
)
Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-13) - 9
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Hubungan Panjang Tubuh Total dengan Berat Tubuh
Dari hasil pengukuran terhadap 60 ekor ikan sampel didapatkan data tentang panjang
tubuh total dan berat tubuh ikan seperti terlihat pada Gambar 5 dan Tabel 5.
Ket: garis regresi penyebaran data
Gambar 5. Hubungan panjang tubuh total dengan berat tubuh pada ikan kembung perempuan
(Rastrelliger brachysoma)
Gambar 5 menunjukkan adanya peningkatan panjang tubuh total diikuti oleh peningkatan
berat tubuh pada ikan kembung perempuan. Dari sampel yang diamati panjang tubuh total
mencapai ukuran maksimum 257 mm pada berat tubuh 211,2 g. Putri (2004) melaporkan
hubungan panjang total dan berat tubuh ikan kembung perempuan bersifat allometrik negatif yaitu
pertumbuhan panjang lebih cepat dari pertumbuhan berat tubuh. Menurut Effendi (1997)
pertumbuhan panjang dan berat tubuh ikan dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti makanan,
suhu, oksigen terlarut, dan kualitas air.
Tabel 5. Hubungan panjang tubuh total dengan berat tubuh pada ikan kembung perempuan
(Rastrelliger brachysoma).
No
Sampel
ke
TL
(mm)
Berat (g) No
Sampel
ke
TL (mm)
Berat (g)
1 13 127 22.2 31 8 178 73.7
2 37 137 25.7 32 50 180 74.8
3 27 134 27.2 33 18 182 75.2
4 22 134 27.6 34 2 185 77.1
5 7 139 30.9 35 24 188 77.2
6 3 139 31.9 36 21 189 78.2
7 35 143 32.9 37 1 184 78.9
8 48 139 33.5 38 43 186 81.8
9 14 145 34.7 39 17 184 82.1
10 41 148 36.1 40 44 186 83.9
11 36 151 41.6 41 12 184 85.0
12 45 156 41.6 42 16 184 85.0
13 6 154 42.6 43 47 185 87.4
14 34 159 43.2 44 10 190 90.7
15 30 155 43.5 45 20 191 92.0
16 29 155 43.7 46 9 191 93.6
17 42 155 43.9 47 38 191 94.3
18 39 156 44.7 48 25 189 95.4
0
50
100
150
200
250
0 50 100 150 200 250 300
panjang tubuh total (mm)
B
e
r
a
t
t
u
b
u
h
(
g
)
10 - Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-13)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
19 40 151 44.9 49 15 198 107.6
20 32 152 45.4 50 52 207 111.1
21 19 160 45.6 51 59 212 117.6
22 26 159 46.9 52 56 226 143.1
23 4 155 47.2 53 58 232 151.6
24 11 158 48.7 54 57 234 155.3
25 31 159 49.3 55 5 246 197.6
26 33 163 50.6 56 55 248 207.8
27 23 157 50.8 57 60 252 195.5
28 46 156 51.3 58 53 251 200.7
29 28 157 55.4 59 51 253 220.2
30 49 167 61.7 60 54 257 211.2
Data pada Tabel 5 menunjukkan bahwa hubungan panjang total tubuh dan berat. Panjang total
lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan berat.
Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan
Dari penelitian yang dilakukan, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Pertumbuhan tubuh dan komponen mata (kornea, iris, dan lensa) ikan kembung perempuan
menunjukkan hubungan yang linier.
2. Pertambahan ukuran tubuh akan terus berlangsung sedangkan pertumbuhan diameter
komponen mata (kornea, iris, lensa) pada titik tertentu mencapai ukuran maksimum dan
pertumbuhannya akan terhenti. Pertumbuhan diameter kornea mata maksimum pada ukuran
21,7 mm; diameter iris mata maksimum pada ukuran 11,75 mm; dan diameter lensa mata
maksimum pada ukuran 6,75 mm.
Saran
Untuk penelitian selanjutnya, sebaiknya sampel ikan segar dan utuh secara morfologis. Hal
ini penting untuk pengukuran dan penimbangan.
Daftar Pustaka
Anonim. 2002. Rastrelliger brachysoma. Artikel dari http:// www. fishbase.org./ summary/ spesies
summary. Diakses pada tanggal 24 April 2007.
Anonim. 2005
a
. Berburu Yen dari Ikan Tuna. Artikel dari http:// www. Bexi.co. id. Diakses pada
tanggal 23 Februari 2007.
Anonim. 2005
b
. Rastrelliger brachysoma. Artikel dari http:// www. fishbase.org./ summary/ spesies
summary. Diakses pada tanggal 24 April 2007.
Badan Pusat Statistik Sumatera Barat. 2006. Sumatera Barat dalam Angka. Padang: BPS.
Dahuri, Rokhmin. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut: Aset Pembangunan Berkelanjutan
Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Deswira, R. 1996. Dinamika populasi ikan kembung perempuan dan penggelolaannya di perairan
tiku kecamatan tanjung Mutiara kabupaten Agam Sumatra Barat. Padang: Skripsi
Fakultas Perikanan Universitas Bung Hatta.
Effendi, M.I. 1997. Metode Biologi Perikanan. Bogor: Yayasan Dewi Sri.
Fujaya, Yushinta. 2004. Fisiologi Ikan: Dasar Pengembangan Teknik Perikanan. Jakarta: Rineka
Cipta.
Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-13) - 11
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Haryono. 2001. Variasi Morfologi dan Morfometri Ikan Dokus (Puntius slateristriga) di Sumatera.
Jurnal Biota Vol. VI (3): 109-116.
Kamal, Eni dkk. 2002. Penggelolaan Ekosistem Pesisir dan Lautan Provinsi Sumatera Barat.
Jurnal Manggrove dan Pesisir Volume II No. 2 / 2002. Padang: Pusat Kajian Mangrove
dan Kawasan Pesisir Universitas Bung Hatta.
Marahudin, F. 2003. Peran Pemerintah dalam Pengembangan Kelautan dan Perikanan di Era
Otonomi Daerah. Makalah dalam Seminar dan Kongres Nasional VII HIMAPIKANI di
Universitas Bung Hatta. Padang.
Purbayanto A. 1999. Behavioural Studies for Improving Survival of Fish inMesh Selectivity of
Sweeping Trammed Net. Tesis Program Pasca Sarjana. Tokyo: Graduate School of
Fisheries, Tokyo University of Fisheries.
Putri, Wisna Trias. 2004. Aspek Reproduksi Ikan Kembung (Rastrelliger sp) Yang Didaratkan Di
TPI Gaung Kota Padang. Padang: Skripsi Fakultas Perikanan Universitas Negeri
Padang.
Razak, Abdul et al.. 2005. Fisiologi Mata Ikan. Bogor: Departemen Pemanfaatan Sumberdaya
Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor.
Razak, Abdul. 2005. Adaptasi Ekologi Mata Ikan Kepe Kepe (Chaetodontidae) dan Responnya
Terhadap Racun Potas (KCN). Disertasi Program Pasca Sarjana. Bogor: Institut
Pertanian Bogor.
Wiyono, Eko Sri. 2006. Menangkap Ikan Menggunakan Cahaya. Artikel dari http:// www. berita
iptek. com. Diakses pada tanggal 15 Pebruari 2007.
12 - Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-13)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-14) - 1
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
ASPEK BIOLOGI IKAN PARI MARGA HIMANTURA DI SUNGAI MUSI BAGIAN
HILIR PROVINSI SUMATERA SELATAN
Makri
1)
Siswanta Kaban
2)
Peneliti pada Balai Riset Perikanan Perairan Umum Palembang
Abstrak
Ikan pari merupakan komuditi perikanan yang tergolong ekomis penting, selain sebagai komuditi
ekspor juga untuk memenuhi permintaan pasar, namun data dan informasi mengenai ikan pari
sungai tersebut sangat kurang, baik data statistik, maupun data biologi. Penelitian tentang aspek
biologi ikan pari hasil tangkapan nelayan dengan menggunakan alat tangkap jaring hanyut (Drift
Gillnet), panjang 100 meter, lebar 8 meter dan ukuran mata jaring 9 inchi. Penelitian di lakukan di
perairan sungai musi bagian hilir yang bermuara di Sungai Ogan dan sekitarnya. Hasil analisis
panjang standar 120 150 cm dan berat 50 120 kg, jenis kelamin 1 : 1 identifikasi ikan pari
tersebut Menurut Nelson (1976) merupakan jenis suku Himantura., Filum, Choedata, Kelas :
Chondrichthyes, Subkelas : Elasmobranchii, Superordo: Batoidea, Ordo: Rajiformes, Tingkat
kematangan gonad IV.
Kata kunci: ikan pari (dasyatidae), panjang, bobot, jenis kelamin, sungai musi
Pengantar
Ikan pari merupakan ikan bertulang rawan yang termasuk kedalam kelas Chondricththyes.
Ikan pari (Himantura) adalah ikan yang bertulang belakang, dengan adanya gromerulus didalam
buah pinggangnya, menunjukkan bahwa ikan pari tersebut asalnya dari air tawar (Marshall & Smith
1930). Habitat yang disenangi ikan pari adalah dasar perairan pantai yang dangkal substrat pasir
dan Lumpur, dekat rataan terumbuh karang, teluk, muara sungai dan air tawar. White at al. ( 2006
), mengatakan Indonesia tercatat sebagai salah satu negara yang memanfaatkan sumber daya
ikan bertulang rawan (hiu dan pari) terbesar didunia. Ikan Pari merupakan komoditi perikanan yang
tergolong ekonomis penting. Di Indonesia dikenal beberapa jenis ikan pari, diantaranya adalah Pari
Burung (Rhinoptera javanica), Pari Kelapa (Trygon sephen), Pari Kembang (Amphostistius kuhlii),
Pari Kampret (Gymnura micrura), Pari Totol (Himantura varnak), Pari Kekeh (Rhinobatus
djiddensis), dan Pari Ayam (Dasyatis sephen) (http://myaluzz.wordpress.com/2010/05/29/ikan-pari-
pari-manta/)
Di perairan laut, ikan pari mempunyai peran ekologis yang sangat penting, terutama
sebagai predator bentos. Namun beberapa aspek biologi (misalnya: reproduksi, diet dan fisiologi)
ikan pari belum dikaji secara menyeluruh (http://myaluzz.wordpress.com/2010/05/29/ikan-pari-pari-
manta/) .
Pengetahuan dan informasi mengenai aspek biologi ikan pari tersebut sangat dibutuhkan,
untuk mengetahui perikehidupan dan tingkah laku serta sifat-sifat dari sesuatu unit populasi/stock
maupun komoditi yang merupakan suatu komunitas didalam sumberdaya perikanan.
Bahan dan Metode
Penelitian dilaksanakan di Sungai Musi bagian hilir berlokasi di Pabrik karet Gandus
hingga Muara Sungai Ogan pada tahun 2008 sampai dengan 2011 (Gambar 1). Data aspek biologi
Ikan pari marga himantura dikumpulkan dari hasil tangkapan nelayan enumerator sampingan
dengan menggunakan alat tangkap jaring hanyut (Drift gillnet) panjang 100 meter, lebar 8 meter
dan ukuran mata jaring 9 inchi. Analisa contoh dilakukan di Koleksi Ikan Balai Riset Perikanan
Perairan Umum Palembang. Identifikasi menurut Nelson (1976). Jumlah ikan pari yang dikoleksi
berjumlah 4 ekor, 2 ekor ikan pari jantan dan 2 ekor. betina. Untuk menganalisa tingkat
kematangan gonad dilakukan secara morfologis (Visual). Adapun alat yang digunakan selama
penelitian dapat dilihat pada tabel 1.
BP-14
2 - Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-14)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Tabel 1. Alat yang digunakan selama penelitian.
No. Nama alat Spesifikasi Ketelitian Jumlah Kegunaan
1 Timbangan - 0,1 gram 1 Menimbang berat
ikan
2 Kamera Kamera
digital
- 1 Dokumentasi
3 Alat tulis Buku &
bollpoint
- 1 set Mencatat data
4 Dessecting set Gunting &
pisau bedah
- 1 set Membeda perut
ikan
5 Meteran 1 meter 1 mm 1 Mengukur panjang
ikan
6 Buku kunci
Identifikasi ikan
- - 1 Mengindentifikasi
ikan pari
Hasil dan Pembahasan
Aspek Biologi Ikan Pari Marga Himantura
Ikan pari merupakan spesies dari marga himantura (Gambar 2) dari hasil pengamatan
bahwa ikan pari mempunyai cici-ciri morfologi yaitu bentuk lempengan tubuhnya agak bulat telur,
ekor panjang seperti cambuk, duri-duri diekor sangat panjang, hampir setangah diameter mata
Tabel 2 dan Gambar 2.
Sistim klasifikasi
Menurut Nelson (1976), Ikan pari termasuk dalam
Filum : Choedata
Kelas : Chondrichthyes
Subkelas : Elasmobranchii
Superordo : Batoidea
Ordo : Rajiformes,
Mempunyai delapan suku, salah satunya yaitu Suku : Dasyatidae dan Himantura
Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-14) - 3
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Gambar 1. Peta Lokasi Pengambilan Sampel Ikan Pari Marga Himantura di Perairan Sungai Musi
Bagian Hilir
Tabel 2 . Beberapa karakteristik morfologi ikan pari marga himantura di perairan Sungai Musi
Bagian Hilir Tahun 2011
Karakteristik Ukuran
With of disc (cm) 116,7
Length of disc (cm) 126
Panjang sirip pelvic bagian kanan (cm) 18
Panjang mata (cm) 2
Lebar mata (cm) 1
Panjang sungut (dari pinggiran mata hingga ke ujung moncong) (cm) 40,3
Lebar mulut (cm) 1,5
Panjang mulut (cm) 10
Lebar nasal (cm) 1,7
Panjang nasal (cm) 4,2
Jumlah insang (pasang) 5
Panjang anus (cm) 5,5
Panjang clasper bagian kiri (cm) 17
Panjang clasper bagian kanan (cm) 17
Lebar hati/limfa (cm) 36,7
Panjang hati/limfa (cm) 41
4 - Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-14)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Gambar 2. Ikan Pari Marga Himantura di perairan Sungai Musi Bagian Hilir Tahun 2011
Karakterisasi
Hasil analisis pengukuran 4 ekor Ikan Pari Marga Himantura diperoleh data-data
karakteristik morfologi sebagai berikut (Tabel 3). Ikan pari yang diperoleh di perairan sungai musi
bagian hilir ini masih belum banyak dikenal, karena berdasarkan wawancara dengan nelayan
tetempat ikan pari yang berukuran besar jarang ditemukan.
Tabel 3. Karakteristik morfologi ikan pari marga himantura di perairan Sungai Musi Bagian Hilir.
Karakteristik
Contoh 1
(Jantan)
Contoh 2
(Betina)
Contoh 3
(Jantan) Contoh 4 (Betina)
Berat total (kg) 120 60 80 50
Panjang Standar (cm) 147 126 150 120
Panjang ekor (cm) 200 185 200 175
Lebar badan (cm) 137 123 133 117
Tebal daging (cm) 20 16 18 16
Berat hati (kg) 7 4,5 6.5 3,4
Berat gonad (kg) 6,04 4,30 5,10 3,90
Berat limpa (gram) 140 100 100 100
Berat usus (gram) 1720 900 1600 880
TKG IV IV IV IV
Perbandingan jenis kelamin
Hasil perbandingan ikan pari jantan dan betina selama penelitian diperoleh ikan pari jantan
2 ekor dan ikan betina 2 ekor, dari hasil pengamtan yang dilakukan terhadap 4 ekor ikan pari
marga himantura yang tertangkap dengan alat tangkap jaring ingsang hanyut (Drift Gillnet) di
perairan sungai musi bagian hilir. Perbandingan antara jenis kelamin jantan dan betina 1 : 1
Gambar 3 dan Gambar 4
Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-14) - 5
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Gambar 3. Ikan pari jantan marga himantura di perairan sungai musi Bagian Hilir Tahun 2010
Gambar 4 Ikan pari betina marga himantura di perairan sungai musi Bagian Hilir Tahun 2011
Tingkat Kematangan Gonad (TKG)
Tingkat kematangan gonad adalah fase dimana gonad berada pada tahap tertentu pada
kondisi sebelum dan sesudah memijah (Effendie 1979). Penentuan tingkat kematangan gonad
sangat penting dilakukan, dimana perbandingan antara gonad yang masak dengan stock yang ada
di perairan, musim memijah, ukuran memijah, dan lamanya pemijahan dalam satu siklus hidup ikan
untuk memijah (Sukimin et al 2002).
Hasil pengamatan secara morfologis (Visual) hanya diperoleh satu tingkat kematangan
gonad yaitu untuk Ikan pari marga himantura jantan dan betina seluruhnya berada pada fase
tingkat kematangan gonadnya IV. Ikan pari marga himantura ini ditangkap pada bulan Januari
2011, hal ini menunjukkan bahwa pada bulan tersebut ikan pari sudah matang gonad. Dengan
melihat hal ini tentu diharapkan mendapat perhatian dari nelayan setempat agar pada bulan
Januari tidak melakukan penangkapan khususnya ikan pari.
Taksonomi dan morfologi ikan pari
Ikan pari merupakan salah satu jenis ikan yang termasuk kelas Elasmobranchii. Ikan ini
dikenal sebagai ikan batoid, yaitu sekelompok ikan bertulang rawan yang mempunyai ekor seperti
cambuk. Ikan pari memiliki celah insang yang terletak disisi ventral kepala. Sirip dada ikan ini
melebar menyerupai sayap, dengan sisi bagian depan bergabung dengan kepala. Bagian tubuh
sangat pipih sehingga memungkinkan untuk hidup di dasar sungai dan laut. Bentuk ekor seperti
6 - Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-14)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
cambuk pada beberapa spesies dengan sebuah atau lebih duritajam dibagian ventral dan dorsal
(http://myaluzz.wordpress.com/2010/05/29/ikan-pari-pari-manta/).
Sebaran dan kemelimpahan ikan pari
Ikan pari (famili Dasyatidae) mempunyai variasi habitat yang sangat luas dengan pola
sebaran yang unik. Daerah sebaran ikan pari adalah perairan pantai dan kadang masuk ke daerah
pasang surut. Ikan pari biasa ditemukan di perairan laut tropis. Di perairan tropis Asia Tenggara
(Thailand; Indonesia; Papua Nugini) dan Amerika Selatan (Sungai Amazon), sejumlah spesies ikan
pari bermigrasi dari perairanlaut ke perairan tawar (http://myaluzz.wordpress.com/2010/05/29/ikan-
pari-pari-manta/).
Aspek penangkapan
Nelayan enumerator menggunakan perahu kecil dan jaring ingsang hanyut (Drift Gillnet)
dan daerah operasi antara Gandus sampai Muara Sungai Ogan, disaat pasang tenang. Musim
penangkapan di sungai musi pada saat musim kemarau atau air mulai surut. Jaring ingsang hanyut
diperairan sungai musi bagian hilir paling dominan dioperasikan menggunakan perahu kecil
dengan mesin 3,5 sampai dengan 5,8 PK.
Kesimpulan
Ikan pari marga himantura yang diamati ternyata ditemukan 2 ikan pari jantan 2 ikan pari
betina, diduga ikan pari marga himantura mempunyai tingkah lakunya berpasang-pasangan.
Ucapan Terimakasih
Penulis banyak mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Husnah, M.Phil, Melfa Marini,
S.Pi, Budi Irawan dan Dodi Hasan Nasution, S.St.Pi yang telah banyak membantu sehingga
terbitnya karya ilmiah ini.
Daftar Pustaka
A. Priyo 2008. Jenis-jenis ikan pari dari marga himantura Oceana, Vol. XXII, No. 4. 2008 ; 1 7
hal.
Anonim. http://myaluzz.wordpress.com/2010/05/29/ikan-pari-pari-manta.
Effendie. M.I 1979. Metoda Biologi Perikanan. Yayasan Dewi Sri. Bogor. 112 hal.
Fahmi 2003. Beberapa Aspek biologi ikan cucut. Oceana, Vol, XXVIII, No. 2. 2003 ; 21 29 hal.
Nelson, J.S. 1976. Fishes of the World. Jhon Wiley & Sons. Inc. Canada : 416 pp.
Marshall. E.K. and EW. Smith. 1930. The glomerular development of the vertebrate kidney in
relation to habitat. Biol. Butt. 59 : 135 153 p.
Sukimin. S, Isdrajat. S dan Yon Vitner 2002. Petunjuk pratikum biologi perikanan. Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
White, W.T; P.R. Last; J.D. Stevens; G.K. Yearsley; Fahmi dan Dharmadi 2006. Economically
Important shark & rays Indonesia. Australian Centre for International Agriculture Research,
2006. GPO Box. 1951, Canberra, Australia : 329 pp.
Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-14) - 7
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-15) - 1
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
PENDUGAAN STOK IKAN MEGGUNAKAN METODE HIDROAKUSTIK
SECARA HORIZONTAL DI PERAIRAN SUNGAI BATANGHARI JAMBI
Freddy Supriyadi
1),
Zulkarnaen Fahmi
2)
, Wijopriono
2),
Taufiq Hidayah
1)
1)
Peneliti Pada Balai Riset Perikanan Perairan Umum, Jl. Beringin No.08, Mariana, Banyuasin 1, Palembang
30763
2)
Peneliti Pada Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan, Jakarta
Email : freddy_supri@yahoo.com
Abstrak
Penelitian survei akustik di Sungai Batanghari telah dilakukan untuk memperoleh data dan
informasi tentang status saat ini stok sumber daya ikan di sungai. Metode pengumpulan data
menggunakan splitbeam 120 kHz dengan metode horizontal. Hasil penelitian telah mendapatkan
data jumlah ikan yang terdeteksi, target strength, kepadatan volume dan kepadatan area. Rata-
rata kepadatan ikan per volume di sungai Batanghari, Jambi sebesar 3.4 ind/m
3
dengan nilai
densitas volume ikan terkecil sebesar 0.44 ind/m
3
dan nilai densitas volume ikan tertinggi sebesar
17.19 ind/m
3
Kata kunci: akustik, horizontal, ikan, Batanghari
Pengantar
Perkembangan teknologi hidro-akustik dalam dua dekade terakhir telah membantu peneliti
perikanan, terutama di pedalaman perairan untuk mendapatkan kuantitatif tentang dinamika biota
perairan. Penerapan teknologi hidroakustik untuk penilaian persediaan ikan, akan menyediakan
data dalam bentuk sifat akustik seperti kekuatan target, hamburan balik volume, dan kepadatan.
Sifat hamburan balik fisik ikan di habitat mereka, seperti kekuatan target mereka atau respon
spektral, berhubungan dengan spesies mereka (Scalabrin, 1996; Simmonds et al, 1996; Zakharia
et al, 1996..). Parameter tersebut akan memberikan beberapa karakteristik dari masing-masing
jenis badan air di air pedalaman.
Masalah utama untuk survei hidroakustik di perairan dangkal adalah keterbatasan fisik
lingkungan untuk mencapai jangkauan maksimum karena batas sungai. Kebanyakan penelitian air
dangkal telah meningkatkan metode survei akustik dengan teknik horizontal untuk menyediakan
data dengan bias minimal yang dapat berkontribusi seperti dari gerak kapal, menghindari ikan dan
variabilitas sifat akustik (Drastik dan Kubecka, 2005;. Boswell et al, 2003).
Kekuatan target (TS) ikan sangat bervariasi. Bahkan untuk ikan yang sama, nilai-nilai yang
tidak mungkin konstan karena perubahan faktor perilaku, morfologi, ontogenetik dan fisiologis
(Simmonds dan MacLennan, 2005). Swimbladders Airfilled adalah reflektor utama (hingga 90%)
dari energi akustik. Selain itu, kondisi, panjang, miring dan kedalaman mempengaruhi bentuk atau
orientasi gelembung renang dan TS (Gautama dan Rose, 2002; Kubecka, 1994). Diantara faktor-
faktor biologis dianggap memainkan peran penting dalam merubah kekuatan sasaran (Hazen dan
Horne, 2003; McQuinn dan Winger, 2003; Frouzova dkk, 2005.). Makalah ini akan menjelaskan
tentang hasil survei akustik di sungai batanghari dengan metode horisontal. Tujuan penelitian ini
untuk data dan informasi tentang kepadatan dan biomasa ikan di sungai Batanghari untuk
penilaian peningkatan akurasi biomassa ikan di perairan umum daratan Indonesia.
Bahan dan Metode
Penelitian ini dilakukan pada bulan mei 2010 Sungai Batanghari, Jambi. Sarana penelitian
yang digunakan adalah kapal nelayan ukuran 3 GT dilengkapi beberapa echosounder scientific
SIMRAD EY-60 yang dipasang side mounted di badan kapal.
Untuk keperluan pengolahan data digunakan peralatan sebagai berikut desktop komputer,
perangkat lunak antara lain Sonar 4 , Office, Arc GIS 9.3.
Desain survey yang digunakan disesuaikan mengikuti topografi sungai (Simmond and
MacLennan, 2005)
BP-15
2 - Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-15)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Gambar 1. Peta Lokasi Survei Akustik di Sungai Batanghari, Jambi
Pengambilan Data
Pengambilan data akustik dilakukan dengan menggunakan SIMRAD EY-60 split beam
echosounder dengan frekuensi 120 kHz. Pengambilan data dilakukan pada siang hari dengan
kecepatan 4 knot. Data disimpan setiap 5 kilometer. Data yang tersimpan dalam bentuk raw, bot
dan idx yang memuat data posisi dan threshold. Metode akuisisi data akustik dengan metode
horizontal mobile survey untuk memperoleh cakupan luasan yang lebih luas.
Pengolahan dan Analisa Data
Data akustik dari SIMRAD kemudian dikonvert dengan bantuan dongle agar dapat
dianalisa lebih lanjut dengan software Sonar 4. Data yang diambil dianalisis dengan paramater
sebagai berikut :
TVG : 20 log R
Threshold : -100 dB
Class TS : -80 sampai -56 dB dengan interval -3 dB
Target Strength (TS)
Target strenght dapat didefinisikan sebagai jumlah backscattering cross section dari target
yang mengembalikan sinyal, sedangkan menurut Burczynski (1979), target strength mempunyai
hubungan erat dengan backscattering cross section.
Nilai target strength tidak merupakan suatu nilai yang konstan, sehingga nilai ini harus
senantiasa ditentukan untuk setiap pelaksanaan survei akustik. Formula untuk menghitung rata-
rata target strength pada setiap interval kelas yaitu :
TS = 10 x log { / 4 },
= backscattering cross section.
Hasil dan Pembahasan
Jumlah ikan yang terdeteksi
Jumlah target ikan yang terdeteksi di pada saat pengambilan data sebanyak 24.500 ekor
yang dibagi ke dalam 8 kelas interval target strength. Jumlah tertinggi pada kisaran -80 s.d -77 dB
dengan jumlah 6.250 ekor dan jumlah terendah 573 ekor pada kisaran -59 s.d -56 dB. Jumlah
individu interval kelas -80 sampai -68 masing masing 25.53%, 21.90%, 17.30%, dan 13.17%
sedangkan jumlah individu interval kelas -65 sampai -56 dB di bawah 10 % untuk setiap kelas
intervalnya dengan persentase total sebesar 22.09% (Gambar 2).
Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-15) - 3
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Gambar 2. Distribusi frekuensi target strength ikan tiap inverval kelas
Hasil analisis spasial jumlah ikan yang terdeteksi dalam setiap interval kelas target
strength di Sungai Batanghari, Jambi yang meliputi 31 transek (ESDU) yang dibagi dalam 3 sub
area (mersam-napalsisik, napalsisik-jambi, jambikota-tanjung) diperoleh sebaran horizontal jumlah
ikan yang terdeteksi berkisar antara 150 - 3.000 ekor. Jumlah ikan yang terdeteksi di sub area
mersam-napalsisik sebesar 6.100 ekor dengan jumlah tertinggi terdeteksi sebesar 1.500 ekor dan
jumlah ikan yang paling sedikit terdeteksi sebesar 150 ekor. Jumlah ikan yang terdeteksi di sub
area napalsisik-jambi terdeteksi sebesar 10.800 ekor dengan jumlah ikan yang paling tinggi
terdeteksi sebesar 3.000 ekor dan jumlah ikan yang paling sedikit terdeteksi sebesar 200 ekor.
Sedangkan untuk sub area jambikota-tanjung, jumlah ikan yang terdeteksi sebesar 7.600 ekor
dengan jumlah ikan paling tinggi yang terdeteksi sebesar 1.700 ekor dan jumlah ikan yang paling
sedikit terdeteksi sebesar 2.100 ekor. Secara umum dapat diduga bahwa jumlah ikan pada sub
area mersam-napalsisik dan sub area jambikota-tanjung memiliki jumlah ikan yang relatif sama
(Gambar 3).
Gambar 3. Distribusi Spasial Ikan yang terdeteksi di Sungai Batanghari, Jambi
Target Strength
Hasil analisis dari 31 transek survey akustik di sungai Batanghari, Jambi diperoleh nilai
rataan target strength ikan berkisar antara -67 dB sampai -73 dB. Nilai rataan target strength ikan
pada sub area mersam-napalsisik berkisar antara -72.64 dB sampai -68.30 dB. Nilai rataan target
strength ikan tertinggi diperoleh pada ESDU 4 sedangkan nilai rataan target strength ikan terendah
terdeteksi pada ESDU 1. Adapun nilai rataan target strength ikan pada sub area mersam-
napalsisik sebesar -69.95 dB.
Nilai rataan target strength ikan pada sub area napalsisik-jambi diperoleh nilai rataan
sebesar -70.14 dB. Nilai rataan target strength ikan yang tertinggi pada sub area ini terdeteksi
4 - Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-15)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
pada ESDU 18 sebesar -67.69 dB, sedangkan nilai rataan target strength ikan yang terendah pada
sub area napalsisik-jambi terdeteksi pada ESDU 17 sebesar -72.91 dB.
Nilai rataan target strength ikan pada sub area jambikota-tanjung diperoleh nilai rataan
sebesar -69.04 dB. Nilai rataan target strength ikan yang tertinggi pada sub area ini terdeteksi
pada ESDU 30 sebesar -67.40 dB, sedangkan nilai rataan target strength ikan yang terendah pada
sub area jambikota-tanjung terdeteksi pada ESDU 24 sebesar -70.27 dB. Secara keseluruhan dari
31 transek survey akustik yang dilakukan di Sungai Batanghari, nilai rataan target strength ikan
pada setiap transeknya (ESDU) tidak memiliki perbedaan yang signifikan dengan nilai rataan target
strength secara keseluruhan sebesar -69.71 dB (Gambar 4).
Gambar 4. Nilai rataan target strength ikan yang terdeteksi di Sungai Batanghari, Jambi
Densitas Area
Sebaran spasial densitas area secara horizontal di Sungai Batanghari diperoleh hasil
sebagai berikut : pada sub area mersam-napalsisik yang mencakup transek 1 9 diperoleh nilai
rataan densitas area ikan sebesar 6.11 ekor/m
2
. Densitas area ikan yang tinggi terdapat pada
ESDU 2 dan 3 dengan nilai densitas sebesar 12.01 dan 13.36 ekor/m
2
. Selanjutnya pada ESDU 5
dan 7 terdeteksi densitas area ikan sebesar 7.83 dan 9.40 ekor/m
2
. Sedangkan pada ESDU
lainnya pada sub area mersam-napalsisik densitas area ikan berkisar antara 1 3 ekor/m
2
.
Densitas tertinggi terdapat pada ESDU 3 sebesar 13.36 ekor/m
2
dan densitas terendah terdapat
pada ESDU 1 sebesar 1.55 ekor/m
2
.
Densitas area pada sub area napalsisik-jambi yang meliputi transek 10 - 18 diperoleh nilai
rataan densitas area ikan sebesar 7.15 ekor/m
2
. Densitas area ikan yang tinggi terdapat pada
ESDU 11 sampai 14 dengan nilai densitas masing-masing sebesar 12.76 ekor/m
2
, 10.52 ekor/m
2
,
10.32 ekor/m
2
dan 17.59 ekor/m
2
. Sedangkan pada ESDU lainnya pada sub area napalsisik-jambi
densitas area ikan berkisar antara 1 5 ekor/m
2
. Densitas tertinggi terdapat pada ESDU 14
sebesar 17.59 ekor/m
2
dan densitas terendah terdapat pada ESDU 18 sebesar 0.70 ekor/m
2
.
Densitas area pada sub area jambikota-tanjung yang meliputi transek 19 - 31 diperoleh
nilai rataan densitas area ikan sebesar 1.36 ekor/m
2
. Densitas tertinggi terdapat pada ESDU 31
sebesar 7.72 ekor/m
2
dan densitas terendah terdapat pada ESDU 23-24 sebesar 0.18 ekor/m
2
.
Densitas pada sub area jambikota-tanjung diperoleh nilai densitas yang sangat rendah bila
dibandingkan dengan densitas pada sub area lainnya (mersam-napalsisik dan napalisisik-jambi).
Densitas area pada sub area napalsisik-jambi memiliki nilai densitas yang paling tinggi bila
dibandingkan dengan densitas area ikan pada 2 sub area lainnya (mersam-napalsisik dan
jambikota-tanjung).
Secara keseluruhan dari 31 transek survey akustik yang dilakukan di Sungai Batanghari,
Jambi sejauh 170 km di bagian DAS Batanghari yang meliputi 3 wilayah administratif yaitu
Kabupaten Batanghari, Kota Jambi, dan Kabupaten Muaro Jambi diperoleh nilai rataan densitas
area ikan sebesar 4.9 ekor/m
2
(Gambar 5).
Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-15) - 5
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Gambar 5. Densitas Area (ind/m
2
) ikan di Sungai Batanghari, Jambi
Densitas Volume
Sebaran spasial densitas volume secara horizontal di Sungai Batanghari diperoleh hasil
sebagai berikut : pada sub area mersam-napalsisik yang mencakup transek 1 9 diperoleh nilai
rataan densitas volume ikan sebesar 5.57 ind/m
3
. Densitas volume ikan yang tinggi terdapat pada
ESDU 2 dan 5 dengan nilai densitas sebesar 17.19 ind/m
3
dan 12.11 ind/m
3
. Selanjutnya pada
ESDU 3 terdeteksi densitas volume ikan sebesar 6.32 ind/m
3
. Sedangkan pada ESDU lainnya
pada sub area mersam-napalsisik densitas volume ikan berkisar antara 2 4 ind/m
3
. Densitas
tertinggi terdapat pada ESDU 2 sebesar 17.19 ind/m3 dan densitas terendah terdapat pada ESDU
9 sebesar 1.74 ind/m
3
.
Densitas volume pada sub area napalsisik-jambi yang meliputi transek 10 - 18 diperoleh
nilai rataan densitas volume ikan sebesar 3.36 ind/m
3
. Densitas volume ikan yang tinggi terdapat
pada ESDU 14 dengan nilai densitas sebesar 12.43 ind/m
3
. Sedangkan pada ESDU lainnya pada
sub area napalsisik-jambi densitas volume ikan berkisar antara 1 5 ind/m
3
. Densitas tertinggi
terdapat pada ESDU 14 sebesar 12.43 ind/m3 dan densitas terendah terdapat pada ESDU 17
sebesar 1.31 ind/m
3
.
Densitas volume pada sub area jambikota-tanjung yang meliputi transek 19 - 31 diperoleh
nilai rataan densitas volume ikan sebesar 1.28 ind/m
3
. Densitas tertinggi terdapat pada ESDU 31
sebesar 4.77 ind/m
3
dan densitas terendah terdapat pada ESDU 29 sebesar 0.44 ind/m
3
. Densitas
volume ikan pada sub area jambikota-tanjung diperoleh nilai densitas yang sangat rendah bila
dibandingkan dengan densitas pada sub area lainnya (mersam-napalsisik dan napalisisik-jambi).
Densitas volume pada sub area mersam-napalsisik memiliki nilai densitas yang paling tinggi bila
dibandingkan dengan densitas area ikan pada 2 sub area lainnya (napalsisik-jambi dan jambikota-
tanjung).
Secara keseluruhan dari 31 transek survey akustik yang dilakukan di Sungai Batanghari,
Jambi sejauh 170 km di bagian DAS Batanghari yang meliputi 3 wilayah administratif yaitu
Kabupaten Batanghari, Kota Jambi, dan Kabupaten Muaro Jambi diperoleh nilai rataan densitas
volume ikan sebesar 3.4 ind/m
3
(Gambar 6).
6 - Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-15)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Gambar 6. Densitas Volume (ind/m
3
) ikan di Sungai Batanghari, Jambi
Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan
1. Jumlah ikan yang terdeteksi di Sungai Batanghari, Jambi sebesar 24.500 ekor dengan nilai
rata-rata jumlah ikan yang terdeteksi pada jarak 5 km sebesar 790 ekor/ESDU.
2. Rata-rata kepadatan ikan per area di sungai Batanghari, Jambi sebesar 4.9 ind/m
2
dengan
nilai densitas area ikan terkecil sebesar 0.18 ind/m
2
dan nilai densitas area ikan tertinggi
sebesar 13.36 ind/m
2
.
3. Rata-rata kepadatan ikan per volume di sungai Batanghari, Jambi sebesar 3.4 ind/m
3
dengan
nilai densitas area ikan terkecil sebesar 0.44 ind/m
3
dan nilai densitas area ikan tertinggi
sebesar 17.19 ind/m
3
.
Saran
Diperlukan data tambahan berupa percobaan pengukuran secara kuantitatif nilai target
strength ikan secara horizontal (side looking aspect) untuk memperoleh persamaan konversi nilai
target strength ke dalam satuan biomass ikan (kg/g).
Ucapan Terimakasih
Tulisan ini merupakan bagian dari hasil penelitian Balai Riset Perikanan Perairan Umum di
Sungai Batangahari Jambi dan anggaran yang didanai melalui DIPA 2010.
Daftar Pustaka
Balk, H. dan T. Lindem. 2001. Prosiding I. Hydroacoustic menghitung ikan di sungai dan perairan
dangkal, dengan fokus pada masalah yang berkaitan dengan pelacakan di sonar scanning
horisontal's. Proc. 21'th Skandinavia gejala. Phys Acoust, 1998 (04):. 21-22.
Burwen, D.L., Fleischmann, S.J., 1998. Evaluasi kekuatan sasaran samping aspek dan lebar pulsa
sebagai diskriminator hydroacoustic potensi jenis ikan di sungai. Bisa. J. Ikan. Aquat. Sci.
55, 2492-2502.
Burwen, DL, Fleischmann, SJ, Miller, JD, Jensen, ME, 2003. Berdasarkan waktu sinyal
karakteristik sebagai prediktor ukuran ikan dan spesies untuk aplikasi hydroacoustic sisi-
mencari di sungai. ICES J. Maret Sci. 60, 662-668.
Drastik, V., Kubecka, J., 2005. Ikan menghindari kapal survei akustik di perairan dangkal. Ikan.
Res. 72, 219-228.
Frouzova, J., Kubecka, J., Balk, H., Frouz, J., 2005. Target kekuatan beberapa spesies ikan Eropa
dan ketergantungan pada parameter tubuh ikan. Ikan. Res. 75, 86-96.
Gautama, S., Rose, S.A., 2002. Sebuah hipotesis hydrostasis endogen dalam redfish Atlantik
(Sebastes spp.). Ikan. Res. 58, 227-230.
Knudsen, F.R., Sgrov, H., 2002. Manfaat dari horisontal berseri-seri selama survei akustik:
aplikasi untuk tiga danau Norwegia. Ikan. Res. 56, 205-211.
Kubecka, J., Duncan, A., Duncan, WM, Sinclair, D., Butterworth, AJ, 1994. Browntrout populasi
dari tiga danau Skotlandia diperkirakan oleh sonar horisontal dan jaring insang multimesh.
Ikan. Res. 20, 29-48.
Scalabrin, C., (1996) L'identifikasi acoustique des espces en Marin lingkungan, Oceanis, 22 (1):
51-70 hlm
Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-15) - 7
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Simmonds, E.J. dan D. N. MacLennan. 2005. Akustik Perikanan: Teori dan Praktik 2nd ed.
Blackwell Science Ltd 437 p.
Simmonds, EJ, Armstrong, F., Copland, PJ (1996) identifikasi spesies menggunakan backscatter
pita lebar dengan jaringan neural dan analisis diskriminan. . ICES J. Mar Sci, 53 (2):. 189-
196 hal
Zakharia, ME, Magand, F., Hetroit, F., Diner, N. (1996) Wideband lebih sehat untuk identifikasi
spesies ikan di laut. . ICES J. Mar Sci, 53 (2):. 203-208 hal
Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-16) - 1
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
ANALISIS MORFOLOGI SIDAT BICOLOR (Anguilla bicolor bicolor)
SUNGAI CITANDUI CILACAP DAN WAY SEMANGKA LAMPUNG
Marlina Ummas Genisa, *Trijoko, *Niken Satuti Nur Handayani
*Fakultas Biologi UGM
email: linagenisa@yahoo.com
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan karakter morfologi sidat bicolor pada lokasi yang
berbeda. Sepuluh individu sidat bicolor diambil dari cuplikan populasi Sungai Citandui Cilacap dan
Way Semangka Lampung untuk dianalisis karakter morfologinya. Analisis karakter morfologi
meliputi; pengamatan pigmentasi (warna tubuh), pengukuran data panjang (tubuh, predorsal,
preanal, anodorsal, kepala), dan pengukuran berat tubuh. Pengamatan Warna tubuh sidat bicolor
cuplikan populasi Sungai Citandui, dibagian punggungnya berwarna hitam kecokelatan, sedangkan
bagian perutnya berwarna putih, sedangkan warna tubuh sidat bicolor cuplikan populasi Way
Semangka Lampung, dibagian punggungnya berwarna hitam kekuningan, dan bagian perut putih
kekuningan. Hasil pengukuran morfometri rata-rata berat cuplikan populasi Sungai Citandui
Cilacap dan Way Semangka Lampung adalah 46,10 gr dan 33,35 gr, data ukuran rata-rata
panjang total (TL) 46,10 cm dan 33.35 cm, rata-rata panjang predorsal 19,12 cm dan 13,60 cm,
rata-rata panjang preanal 20,50 cm dan 14,70 cm, rata-rata panjang anodorsal (AD) 1,38 cm dan
1,10 cm, rata-rata panjang kepala 6,47 cm dan 4,75 cm. Perbandingan antara panjang anodorsal
dan panjang total (AD/TL) sidat bicolor pada kedua cuplikan populasi memiliki persentase di bawah
5% (3% dan 3.36 %).
Kata kunci : karakter morfologi, Anguilla bicolor bicolor, Sungai Citandui Cilacap, Way Semangka
Lampung
Pengantar
Indonesia dikenal sebagai negara maritim dengan luas wilayah lautnya mencapai dua per
tiga dari seluruh luas wilayah Indonesia, dengan panjang garis pantai mencapai 80.791 km, dan
memiliki sumberdaya hayati laut yang beranekaragam, termasuk di dalamnya sumber daya ikan
(Dahuri et al., 2001). Salah satu sumber daya ikan bernilai ekonomi tinggi yang telah lama dikenal
dan dipelihara, terutama di negara yang perikanannya sudah maju, adalah sidat (Anguilla spp.).
Sidat memiliki karakter unik yaitu mampu mendiami beberapa kondisi perairan, termasuk perairan
tawar, estuari, dan laut (Tesch, 1977). Aoyama et al. (2000) menjelaskan bahwa sidat merupakan
ikan yang bersifat katadromous, yaitu bermigrasi dari perairan tawar ke laut untuk memijah dan
bersifat nokturnal. Pada siklus hidupnya, sidat mengalami metamorfosis dari larva ke elver, dan
selama perkembangannya melalui tahapan dari larva sidat leptocephalus, glass eel, elver, sidat
kuning (yellow eel) dan sidat perak (silver eel). Tahapan ini berlangsung selama bertahun-tahun
dan dilalui dalam kondisi lingkungan fisik dan kimiawi perairan yang sangat fluktuatif (Arai et al.,
1999).
Menurut Watanabe et al. (2005) bahwa Anguilla bicolor mempunyai distribusi geografis
yang luas dibanding dengan kebanyakan 18 spesies dan sub spesies dari Genus Anguilla. Khusus
Anguilla bicolor bicolor, kisaran distribusinya meliputi pantai Afrika, India, Srilanka, Bangladesh,
Myanmar, barat laut Australia, Pulau Jawa dan di sekitar Kepulauan Mentawai Sumatera Barat.
Perairan sebelah barat Pulau Sumatera dan sebelah selatan Pulau Jawa, merupakan areal migrasi
dari siklus hidup sidat, terbukti banyak terdapat sidat pada stadium elver maupun dewasa
(Setiawan et al., 2003). Jespersen (1942) melaporkan bahwa terdapat dua perbedaan daerah
pemijahan Anguilla bicolor bicolor, yaitu di bagian timur dan barat Samudera Hindia. Studi pada
sidat glass eel menunjukkan adanya perbedaan dalam rata-rata ukuran dan umur antara bagian
timur dan barat Samudera Hindia (Budimawan 1997, Arai et al., 2001, Marui et al., 2001, Robinet
et al., 2003 dalam Watanabe, 2005). Kemungkinan pada bagian barat dan timur Samudera Hindia
mempunyai karakteristik ekologis yang berbeda. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
perbandingan karakter morfologi sidat bicolor yang diambil dari cuplikan populasi Sungai Citandui
Cilacap dan Way Semangka Lampung.
BP-16
2 - Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-16)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Bahan dan Metode
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sidat bicolor (Anguilla bicolor bicolor)
yang diambil dari Sungai Citandui Cilacap Jawa Tengah dan Way Semangka Lampung. Tiap lokasi
diambil sepuluh ekor untuk dianalisis karakter morfologinya. Pengamatan dan pengukuran
morfologi sidat bicolor meliputi: pengamatan pigmentasi (warna tubuh), pengukuran panjang (total,
kepala, preanal, predorsal, anodorsal) mengacu pada Tesch (2003), dan pengukuran berat tubuh.
Cara pengukuran panjang Sidat disajikan pada gambar 1.
Keterangan: a-d panjang total, a-b panjang predorsal, a-c panjang preanal
a-e panjang kepala, b-c panjang anodorsal
Gambar 1. Pengukuran panjang sidat (Tesch, 2003)
Hasil dan Pembahasan
Analisis karakter morfologi terdiri dari pengukuran tubuh dan pengamatan warna tubuh.
Pengukuran tubuh meliputi pengukuran panjang total, panjang predorsal, panjang preanal, panjang
kepala, panjang anodorsal, dan berat tubuh. Perbedaan ukuran panjang tubuh dan berat tubuh
ditampilkan pada Gambar 2 dan 3.
Gambar 2. Perbedaan rata-rata ukuran panjang tubuh sidat bicolor cuplikan populasi Sungai
Citandui Cilacap dan Way Semangka Lampung.
Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-16) - 3
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Gambar 3. Perbedaan rata-rata berat tubuh sidat bicolor cuplikan populasi Sungai Citandui Cilacap
dan Way Semangka Lampung.
Berdasarkan Gambar 2, sidat bicolor cuplikan populasi Citandui Cilacap yang tertangkap,
mempunyai ukuran panjang tubuh (total, predorsal, preanal, anodorsal, kepala) dan berat tubuh
yang lebih besar dibanding dengan populasi Way Semangka Lampung. Namun demikian,
keduanya memiliki bentuk kepala yang sama-sama tumpul (Gambar 4 dan 5). Perbandingan
antara panjang anodorsal dan panjang total (AD/TL) sidat bicolor pada kedua cuplikan populasi
memiliki persentase di bawah 5% (3% dan 3.36 %) (Gambar 3).
Gambar 3. Perbandingan rata-rata panjang anodorsal dan panjang total (AD/TL) sidat bicolor
cuplikan populasi Sungai Citandui Cilacap dan Way Semangka Lampung.
Menurut Tesch (2003), perbandingan antara panjang anodorsal dan panjang total
merupakan karakteristik utama yang digunakan untuk melakukan pengelompokkan sidat.
Selanjutnya dijelaskan bahwa sidat yang memiliki perbandingan AD/TL di bawah 5%, termasuk ke
dalam sidat bersirip dorsal pendek (dorsal fin short), dan jika nilai AD/TL di atas 5%, sidat tersebut
digolongkan sidat bersirip dorsal panjang (dorsal fin long). Hasil pengukuran perbandingan AD/TL
sidat bicolor kedua populasi menunjukkan bahwa Anguilla bicolor bicolor termasuk ke dalam sidat
bersirip dorsal pendek (dorsal fin short) (AD/TL di bawah 5%). Tesch (2003) juga mengelompokkan
Anguilla bicolor bicolor ke dalam sidat bersirip dorsal pendek.
Terdapat perbedaan warna tubuh antara sidat bicolor cuplikan populasi Citandui Cilacap
dengan sidat bicolor cuplikan populasi Way Semangka Lampung. Warna tubuh sidat bicolor
cuplikan populasi Sungai Citandui, di bagian punggungnya berwarna hitam kecokelatan,
sedangkan bagian perutnya berwarna putih (Gambar 4).
4 - Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-16)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Gambar 4. Warna tubuh Anguilla bicolor bicolor Cuplikan populasi Sungai Citandui Cilacap Jawa
Tengah. Bar 1 cm.
Berbeda dengan warna tubuh sidat bicolor cuplikan populasi Way Semangka Lampung,
dibagian punggungnya berwarna hitam kekuningan, dan bagian perut putih kekuningan (Gambar
5).
Gambar 5. Warna tubuh Anguilla bicolor bicolor cuplikan populasi Way Semangka Lampung. Bar
1 cm.
Perbedaan warna dapat disebabkan karena proses adaptasi terhadap perbedaan kondisi
lingkungan perairan terutama substrat dasar perairan. Menurut Ludwig (1985) dalam Satino
(2005), Geomorfologi DAS Citandui sekitar 30% berupa tanah datar dengan tekstur tanah halus
dan substrat dasar perairan umumnya terdiri dari lumpur. Berbeda dengan substrat dasar perairan
Way Semangka Lampung sebagaimana dilaporkan oleh Wiryawan et al. (1999) yang memiliki
karakteristik substrat dasar perairan pasir berlumpur. Oleh karena sidat hidup meliang di dasar
perairan (Rovara et al., 2007), maka adanya perbedaan karakteristik substrat dasar perairan
tersebut diduga menjadi salah satu faktor penyebab kenampakan warna tubuh sidat bicolor
antara dua populasi tersebut berbeda, sekaligus sebagai adaptasi perlindungan diri terhadap
predator. Tesch (2003) menyatakan bahwa rona warna sidat juga berhubungan dengan substrat
sebagai habitatnya melalui adaptasi dalam waktu yang lama, meskipun yang sangat berperan
adalah proses hormonal (pigmen internal) yang terjadi di dalam tubuh.
Namun demikian, terhadap dua cuplikan populasi sidat yang diteliti perbedaan warna
tubuh tidak menunjukkan adanya spesies yang berbeda, karena keduanya masih dikategorikan
sebagai sidat yang memiliki warna tubuh polos. Menurut Jamandre et al. (2007), Anguilla bicolor
bicolor memiliki warna tubuh yang polos (plain), sedangkan menurut Sarwono, (2003); Suitha &
Ahmad Sueri (2008), Anguilla bicolor bicolor memiliki warna tubuh hitam pada bagian punggung,
berwarna putih kekuningan di bagian perut, dan memiliki bentuk kepala yang tumpul. Beberapa
karakter morfologi untuk membedakan antar spesies Genus Anguilla, yaitu rasio jarak awal sirip
dorsal sampai anus (anodorsal) dengan panjang total, bentuk kepala (tumpul, meruncing, lebar,
datar), dan warna tubuh (polos, bercorak) (Tesch, 1977 dalam Rovara et al., 2007; Tesch, 2003 ).
Berpedoman pada ciri-ciri morfologi Anguilla bicolor bicolor yang dikemukakan oleh beberapa
peneliti, sidat bicolor kedua populasi yang diteliti termasuk jenis Anguilla bicolor bicolor.
Kesimpulan
Terdapat perbedaan karakter morfologi antara cuplikan populasi sidat bicolor Citandui
Cilacap dengan sidat bicolor cuplikan populasi Way Semangka Lampung.
Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-16) - 5
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Daftar Pustaka
Aoyama J., Watanabe S., Ishikawa S., Nishida, and Tsukamoto K. 2000. Discrimination of
Catadromous Eel of Genus Anguilla Using PCR-RFLP Analysis of the Mitochondrial 16S
Ribosomal RNA Domain. Trans. Amer. Fish. Soc. (129): 873-878.
Arai, T., J Aoyama., D. Limbong., and K. Tsukamoto. 1999. Metamorphosis and Inshore Migration
of Tropical Eels Anguilla spp. In the Indo-Pacific. Mar. Ecol. Prog. Ser. (182): 283-203.
Dahuri, R., Rais J., Ginting SP., Sitepu J. 2001. Pengolahan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan
Lautan Secara Terpadu. Edisi Kedua. PT. Pradnya Paramita, Jakarta.
Jamandre B.W.D., K. Ning Shen, A.V. Yambot, and W. Nian Tzeng, 2007. Molecular Phylogeny of
Philippine Freshwater Eels Anguilla spp. (Actinoptergy: Anguilliformes: Anguillidae)
Inferred from Mitochondrial DNA. Academia Sinica and National University of Singapore.
The Raffles Bulletin of Zoologi (14): 51-59.
Jespersen P. 1942. Indo-Pasific leptocephali of the genus Anguilla. Dana Rep. (22): 1- 28.
Rovara O., Iwan E.S., dan Husni A. 2007. Mengenal Sumberdaya Ikan Sidat. BPPT-HSF. Jakarta.
99 hal.
Sarwono, B. 2003. Budidaya Belut dan sidat. Cetakan XXII. Edisi Revisi. Penebar Swadaya.
Jakarta. 96 hal.
Satino, 2005. Komunitas plankton pada ekosistem perairan Segara Anakan Cilacap Jawa Tengah.
Tesis S2 Pascasarjana Fakultas Biologi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 64 hal.
Setiawan, I. E., Husni., Odilia, R., Dedy, Y., Mochioka, N., dan Osame, T. 2003. Leptocephali
Sidat dari perairan Samudera Hindia. Prosiding Seminar Riptek Kelautan Nasional. UPT
Baruna Jaya, BPPT. Hal. 204-209.
Suitha I M., Akhmad Suhari. 2008. Budidaya Sidat. PT Agromedia Pustaka, Jakarta. 44 hal.
Tesch FW. 1977. The Eel. Biology and management of anguillids eels. Chapman and Hall,
London. 435 pp.
Tesch FW. 2003. The Eel. Third Edition. Blackwell Publishing Company. 399 pp.
Watanabe, S., Aoyama, J., Nishida, M., and Tsukamoto, K. 2005. Evaluation of the population
structure of Anguilla bicolor bicolor using total number of vertebrae and the mtDNA control
region. Coastal Marine Science (29): 165-169.
Wiryawan, B., B. Marsden, H.A. Susanto, A.K. Mahi, M. Ahmad, dan H. Poespitasari (Tim Editor),
1999. Atlas Sumberdaya Wilayah Pesisir Lampung. Kerjasama Pemerintah Daerah
Propinsi Lampung dengan Proyek Pesisir Lampung. Bandar Lampung.
6 - Semnaskan _UGM / Biologi Perikanan (BP-16)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-01) - 1
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
STUDI FLUKTUASI KUALITAS AIR DAN KOMUNITAS PLANKTON
DI PERAIIRAN TELUK PEGAMETAN, BALI
Bejo Slamet
Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut - Gondol
Kotak Pos 140 Singaraja, Bali, Tlp. 081338716601. bedjoselamet@yahoo.co.id
Abstrak
Teluk Pegametan merupakan area pengembangan budidaya perikanan laut di Bali. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui fluktuasi kualitas air dan komunitas plankton hubungannya
dengan pemanfaatan untuk budidaya perikanan laut. Penelitian dilakukan dengan analisa kualitas
air dan komunitas plankton pada setiap minngu dari bulan Agustus sampai Nopember 2009.
Parameter kualitas air yang diamati berupa kecerahan, temperatur, salinitas, pH, kandungan
oksigen terlarut, amoniak, nitrit, nitrat, phospat, C-Organik dan TOM; serta analisa planktonnya
yang meliputi jenis, kemelimpahan dan keragamannya. Hasil penelitian ditemukan dua kualitas air
yaitu kandungan nitrat dan phospat dalam air sudah melebihi standar baku mutu air laut untuk
biota laut, walaupun nilainya sangat kecil, sedangkan parameter kualitas air lainnya yaitu suhu,
TSS, Kecerahan, pH, DO, Salinitas, NH
3
, NO
2
, C-Organik dan total bahan organik (TOM) masih
dalam batas standar baku mutu menurut kantor KLH (2004). Hasil penelitian komunitas plankton
ditemukan sebanyak 35 genus dan 7 kelompok plankton dari 10 phyllum dengan kemelimpahan
berkisar 99-22.017 ind./L, serta indeks keanekaragaman berkisar 1,03-2,57; indeks keseragaman
0,26-0,65 dan indeks dominansi 0,13-0,51, yang mengindikasikan sebagian besar perairan relatif
masih cukup baik. Secara keseluruhan kondisi kualitas air di perairan Teluk Pegametan masih
cukup baik serta layak untuk budidaya perikanan laut. Untuk kesinambungan budiaya perikanan
laut di perairan ini, diperlukan upaya pelestarian lingkungan perairan secara terpadu dan
berkelanjutan.
Kata kunci : Kualitas air, plankton, Teluk Pegametan.
Pengantar
Konsep dasar pemikiran pembangunan perikanan budidaya adalah konsep pembangunan
berkelanjutan nasional Indonesia, termasuk di dalamnya perlindungan sumberdaya alam dan
kualitas lingkungannya (Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 51 tahun 2004). Hal ini
dimaksudkan agar pengelolaan penggunaan sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan manusia
tanpa merusak sumberdaya alam tersebut. Permasalahan yang perlu diantisipasi dalam kegiatan
budidaya perikanan di lahan pesisir adalah berkenaan dengan degradasi lingkungan dimana dalam
kegiatan budidaya terdapat dua hal yang saling antagonik yaitu membutuhkan lingkungan yang
cocok atau bersih namun kegiatan ini juga menghasilkan limbah yang berdampak negatif; sehinga
kegiatan budidaya perikanan di pesisir yang lestari sangat diperlukan pengeloaan dan pemahaman
budidaya yang tepat, teruji dan baik. Menurut Wedenmeyer (1996) dalam Sulistyowati (2001),
perairan sebagai lingkungan hidup organisme (biologi), dipengaruhi oleh faktor kimia dan fisika
lingkungan perairan. Komponen biologi yang umum dijadikan indikator kesuburan perairan di
antaranya adalah plankton. Kemelimpahan plankton sangat berhubungan dengan kondisi
kesuburan atau kandungan zat hara di perairan tersebut (Nybakken, 1992).
Teluk Pegametan merupakan area perairan untuk pengembangan budidaya laut di Bali.
Kegiatan budidaya laut di Teluk Pegametan saat ini telah berkembang, yang meliputi keramba
jaring apung (KJA), budidaya jaring tancap (penculture), budidaya mutiara, budidaya rumput laut
dan transplantasi terumbu karang. Dampak negatif yang dapat timbul yaitu degradasi lingkungan
pantai sebagai akibat dari padatnya kegiatan budidaya pantai yang melebihi kapasitas daya
dukung lingkungan. Kegiatan budidaya laut tersebut dapat mengakibatkan penurunan kualitas
perairannya antara lain kondisi fisik dan kimia serta kemelimpahan plankton pada perairan
tersebut. Untuk mengantisipasi dampak aktifitas budibaya laut terhadap penurunan kualitas
lingkungan perairan Teluk Pegametan, perlu dilakukan studi kualitas air dan komunitas plankton.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui fluktuasi kualitas air dan komunitas plankton
hubungannya dengan pemanfaatan untuk budidaya perikanan laut.
MS-01
2 - Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-01)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Bahan dan Metode
Dalam penelitian ini pengambilan sampel air dan plankton dilakukan dari bulan Agustus
sampai Oktober 2009. Peta lokasi pengambilan sampel air dan plankton dapat diihat pada
Gambar 1.
Gambar 1. Peta Lokasi Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel air dilakukan dengan sistem komposit di mana diambil 1 sampel air
yang berasal dari 5 titik pengambilan sampel. Pengambilan sampel air menggunakan alat
Kemmerer Water Sampler dan untuk sampel plankton digunakan planktonet ukuran mata (mesh
size) 25 m (standar mikroplankton). Pengamatan kualitas air berupa kecerahan, temperatur,
salinitas, pH, DO dan amoniak dilakukan semingggu sekali; sedangkan untuk pengamatan kualitas
air berupa kandungan nitrit, nitrat, phospat, C-organik, Total bahan organik (TOM) dilakukan 2 kali
yaitu pada bulan Agustus dan Oktober 2009. Pengambilan sampel plankton untuk analisa
komunitasnya yang meliputi jenis, kemelimpahan serta indeks diversitas, similaritas dan
dominansinya dilakukan seminggu sekali.
Parameter fisika-kimia air, seperti suhu, salinitas, kecerahan, pH dan oksigen terlarut
dilakukan di lapangan. Untuk parameter yang lain seperti TSS, kandungan Phospat, Nitrit, Nitrat,
Amonia C-organik dan Total bahan organik (TOM) dalam air dilakukan di laboratorium Balai Besar
Riset Perikanan Budidaya Laut, Gondol. Pengambilan sampel plankton dilakukan bersamaan
dengan pengambilan sampel air, dengan cara menyaring 25 liter air laut menggunakan planktonet
ukuran mata jaring 25 m, sampai volume air sampel plankton menjadi 25 ml dimasukan dalam
botol sampel dan diberi pengawet formalin 4% (Wiadnyana & Wagey, 2004). Pengamatan plankton
meliputi identifikasi sampai tingkat genus (Yamaji, 1973) dan jumlah individu tiap setiap jenis.
Untuk mengetahui keanekaragaman (diversitas) plankton dihitung berdasarkan rumus Shannon-
Wiener dan untuk indeks keseragaman (similaritas) jenis menggunakan rumus keseragaman jenis
Simpson, serta untuk dominansinya digunakan indek dominansi Simpson (Odum, 1996).
Hasil dan Pembahasan
Kualitas Fisik Air Laut
Hasil pengukuran kualitas fisik dan kimia air laut dapat dilihat pada Tabel 1.
Teluk Pegametan
Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-01) - 3
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Tabel 1. Kualitas fisik dan Kimia Air Sampling Tanggal 20 Agustus 2009 dan 8 Oktober 2009.
Pengamatan
Tanggal 20-8-2009
Pengamatan
Tanggal 20-8-009 Rataan
1 Kedalaman (m) 18,1 16,5 17,3
2 TSS (ppm) 0,017 0,016 0,0165
3 NO
2
(ppm) 0,027 0,042 0,0345
4 NO
3
(ppm) 0,022 0,074 0,048
5 PO
4
(ppm) 0,020 0,026 0,023
6 C-Organik (ppm) 0,632 0,696 0,664
7 TOM (ppm) 1,089 1,389 1,239
Tabel 2. Kualitas Air Pengamatan Tiap Seminggu di Teluk Pegametan
Tanggal
Waktu
(pukul)
Kece-
rahan
(m)
Suhu
(C)
Salinitas
(ppt)
DO
(ppm)
pH NH
3
(ppm)
20-8-09 09.15 9,0 28,8 34,3 5,87 8,64 0,042
27-8-09 09.30 9,2 28,1 34,5 5,80 8,42 0,054
04-9-09 09.30 10,5 27,8 34,5 5,89 8,42 0,045
10-9-09 09.30 11,0 28,0 35,0 6,27 8,51 0,01
17-9-09 8.30 12,5 28,3 35,0 6,21 8,45 0,01
24-9-09 8.45 9,5 27,8 35,0 6,42 8,46 0,032
02-10-09 8.55 11,5 27,7 35,5 6,46 8,58 0,01
08-10-09 08.45 9,0 28,2 35,3 6,34 8,57 0,012
15-10-09 09.00 11,0 28,4 35,5 6,24 8,53 0,014
22-10-09 09.00 10,5 28,3 35,5 6,19 8,52 0,034
Kisaran
Minm 9,0 27,7 34,3 5,8 8,42 0,01
Maks 12,5 28,8 35,5 6,46 8,64 0,054
Rataan 10,37 28,14 35,01 35,01 8,51 0,0245
Kedalaman perairan
Perairan Teluk Pegametan mempunyai kedalaman perairan berkisar antara 16,5-18,1 m
(Tabel 1) Kondisi kedalaman ini relatif baik untuk lokasi budidaya KJA ikan laut dan kerang
mutiara.
Kecerahan dan total padatan tersuspensi (TSS)
Hasil pengukuran kecerahan perairan pada setiap seminggu sekali didapatkan berkisar
9,0-12,5 m (Tabel 2 dan ; Gambar 3). Hasil ini memperlihatkan bahwa kecerahan air cenderung
turun naik yang tidak mengikuti fase bulanan (tidak beraturan). Nilai kecerahan perairan Teluk
Pegametan masih dalam kriteria yang cukup baik, di mana menurut standar baku mutu Peraturan
Gubernur Bali No. 8 Tahun 2007 dan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 51 tahun 2004
bahwa standar baku mutu air laut untuk biota laut (budidaya perikanan) untuk kecerahan adalah
lebih dari 3 m.
Total padatan tersuspensi atau total suspended solid (TSS) di daerah penelitian adalah
relatif sangat kecil dimana pada pengamatan tanggal 20 Agustus 2009 adalah 0,017 ppm,
sedangkan pada pengamatan tanggal 8 Oktober 2009 adalah 0,016 ppm (Tabel 1). Nilai ini masih
sangat rendah atau kondisi sangat jernih/ baik untuk perairan pantai; di mana menurut standar
baku mutu Peraturan Gubernur Bali No. 8 Tahun 2007 dan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup
Nomor 51 tahun 2004 bahwa standar baku mutu air laut untuk biota laut (budidaya perikanan)
untuk total padatan tersuspensi yaitu < 80 ppm.
4 - Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-01)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Menurut Manik (2003), bahwa kecerahan suatu perairan berbanding terbalik dengan
kekeruhan, kekeruhan yang tinggi akan menyebabkan perairan mempunyai kecerahan yang
rendah. Besarnya padatan tersuspensi dalam suatu perairan akan menurunkan penetrasi cahaya,
sehingga akan dapat menurunkan aktifitas fotosintesis fitoplankton dan alga. Padatan tersuspensi
merupakan penyebab kekeruhan air, tidak larut dan tidak dapat mengendap langsung (Fardiaz,
1992). Bahan tersuspensi dan terlarut pada perairan alami tidak bersifat toksik, tetapi jika
berlebihan (terutama TSS) dapat meningkatkan nilai kekeruhan yang selanjutnya akan
menghambat penetrasi cahaya matahari ke kolom air dan berpengaruh pada proses fotosintesis di
perairan (Effendi, 2003). Hasil pengamatan terhadap TSS di perairan Pulau Muna, Sulawesi
Selatan didapatkan TSS rata-rata 76,5 ppm (Masarabesy et al., 2003), di perairan Selatan Bali
didapatkan TSS rata-rata 5,86 ppm (Arthana, 2006) dan di Teluk Terima Bali barat didapatkan nilai
TSS berkisar antara 3,33-400 ppm sedangkan nilai kecerahannya berkisar antara 2,35-4,0 m
(Wahyuni, 2003)
Suhu Air
Hasil pengukuran suhu air pada setiap minggu dari bulan Agustus sampai Oktober 2009
(Tabel 2 dan Gambar 3) memperlihatkan bahwa suhu air berkisar antara 27,7-28,8
o
C. Dari hasil
tersebut dapat dilihat bahwa suhu air cenderung berfluktuasi mengikuti fase bulanan. Effendi
(2003) menyebutkan bahwa suhu suatu badan air dipengaruhi banyak faktor seperti musim,
koordinat pada bumi, ketinggian dari permukaan air laut, waktu, sirkulasi udara, penutupan awan
serta kedalaman air. Menurut Perkin (1974), bahwa suhu suatu perairan dipengaruhi oleh
komposisi substrat, kekeruhan, air hujan, luas permukaan yang langsung mendapat sinar matahari
dan air limpasan.
Kualitas kimia air
pH air
Hasil pengamatan nilai pH perairan pada tiap seminggu sekali (Tabel 2 dan Gambar 4)
berkisar 8,42-8,64. Pada gambar 4 dapat dilihat bahwa fluktuasi nilai pH air cenderung tidak
mengikuti fase bulanan (tidak beraturan). Nilai pH di daerah penelitian masih dalam batas standar
baku mutu menurut Peraturan Gubernur Bali No. 8 Tahun 2007 dan Keputusan Menteri
Lingkungan Hidup Nomor 51 tahun 2004 bahwa standar baku mutu air laut untuk biota laut
(budidaya perikanan) untuk pH adalah 7-8,5.
Nilai pH dalam suatu perairan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain kegiatan
fotosintesis, suhu dan terdapatnya anion dan kation (Supriharyono, 1978). Derajat keasaman (pH)
mempunyai pengaruh besar terhadap kehidupan organisme akuatik, sehingga seringkali pH suatu
perairan di pakai sebagai petunjuk baik buruknya kualitas perairan (Wardhana, 2004). Menurut
Kusnoputranto (1997) organisme perairan membutuhkan kondisi air dengan tingkat keasaman
tertentu, air dengan pH yang terlalu tinggi atau terlampau rendah dapat mematikan organisme,
demikian pula halnya dengan perubahannya; umumnya organisme perairan dapat hidup pada
0
2
4
6
8
10
12
14
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Waktu sampling (minggu)
K
e
c
e
r
a
h
a
n
(
m
)
27
27.2
27.4
27.6
27.8
28
28.2
28.4
28.6
28.8
29
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Waktu Sampling (minggu)
S
u
h
u
(
o
C
)
Gambar 2. Kecerahan di T. Pegametan pada
pengamatan seminggu sekali
Gambar 3. Suhu di T. Pegametan pada
pengamatan seminggu sekali
Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-01) - 5
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Gambar 4. pH di T. Pegametan pada
pengamatan seminggu sekali
kisaran pH antara 6,7 sampai 8,5. Sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH
dan menyukai nilai pH sekitar 78,5. Nilai pH sangat mempengaruhi proses biokimiawi perairan,
misalnya proses nitrifikasi akan berakhir jika pH rendah, toksisitas logam memperlihatkan
peningkatan pada pH rendah. Menurut Nybakken (1992), bahwa di perairan pesisir atau laut pH
relatif lebih stabil dan berada dalam kisaran yang sempit, biasanya berkisar antara 7,78,4.
Hasil pengamatan terhadap nilai pH di perairan Sumatera Barat yaitu di Pulau Sipora
didapatkan nilai rata-rata pH 8,1 dan Siberut 8,0 (Edward, et al., 2004), di Teluk Terima Bali Barat
didapatkan nilai pH berkisar antara 7,3-8,0 (Wahyuni, 2003), serta di perairan Teluk Jakarta
didapatkan kisaran pH 7,36-7,87 (Sidabutar, 2006).
Kadar garam (salinitas)
Hasil pengamatan nilai salinitas perairan Teluk Pegametan pada tiap seminggu sekali
(Tabel 2 dan Gambar 5) dapat dilihat bahwa salinitas berkisar 34,3-35,5 ppt dan air cenderung
naik. Hal ini dimungkinkan karena saat pelaksanaan sampling adalah musim kemarau.
Nilai salinitas di daerah penelitian sudah sedikit melebihi batas standar baku mutu
menurut Peraturan Gubernur Bali No. 8 Tahun 2007 dan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup
Nomor 51 tahun 2004 bahwa standar baku mutu air laut untuk biota laut (budidaya perikanan)
untuk salinitas adalah 33-34 ppt (alami).
Menurut Stewart (2006) bahwa salinitas air laut relatif stabil, yaitu berkisar 34,6 sampai
34,8 ppt, salinitas ini akan berubah bila terjadi pengaruh dari perubahan suhu, penguapan,
masukan air tawar dari daratan dan juga pembekuan atau pelelehan yang terjadi di kutub. Salinitas
di daerah perairan pesisir cenderung berfluktuasi dan dipengaruhi oleh topografi, pasang surut,
serta jumlah air tawar yang masuk. Pasang surut dapat menyebabkan terjadinya perubahan
salinitas. Perubahan salinitas dapat mempengaruhi organisme yang terdapat di zona intertidal.
Salinitas air laut dapat mempengaruhi tingkat kejenuhan oksigen terlarut perairan tersebut; dimana
semakin tinggi salinitas kapasitas kejenuhan oksigen di air semakin menurun (Saeni, 1999).
Hasil pengamatan terhadap nilai salinitas di perairan Sumatera Barat yaitu di Pulau Sipora
didapatkan nilai rata-rata salinitas 34,18 ppt dan Siberut 33,22 ppt (Edward, et al., 2004), di
perairan Pulau Muna, Sulawesi Selatan didapatkan salinitas rata-rata 31,75 ppt (Masarabesy et al.,
2003), di Teluk Terima Bali Barat didapatkan nilai salinitas berkisar antara 32,7-33,3 ppt (Wahyuni,
2003), di perairan Halmahera didapatkan nilai salinitas berkisar antara 33,7-34,5 ppt (Nurhayati,
2006), serta di perairan Teluk Jakarta didapatkan rata-rata salinitas 32 ppt (Sidabutar, 2006).
Kadar Oksigen Terlarut (DO)
Hasil pengamatan nilai oksigen terlarut perairan Teluk Pegametan pada tiap seminggu
sekali (Tabel 2 dan Gambar 6) dapat dilihat berkisar 5,8-6,46 ppm dan nilai oksigen terlarut
cenderung naik. Hal ini dimungkinkan karena saat pelaksanaan sampling adalah musim kemarau,
yang cuacanya semakin panas dan intensitas cahaya matahari semakin banyak, yang memacu
pertumbuhan plankton dan fotosintesa/ pembentukan oksigen di air laut.
Nilai DO di daerah penelitian masih dalam batas standar baku mutu menurut Peraturan
Gubernur Bali No. 8 Tahun 2007 dan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 51 tahun 2004
bahwa standar baku mutu air laut untuk biota laut (budidaya perikanan) untuk DO adalah > 5 ppm.
Menurut klasifikasi Lee et al. (1978) nilai DO di daerah penelitian termasuk kriteria yang tidak
tercemar (sebagian besar >6,5 ppm), apabila nilai DO berkisar antara 2,0-4,4 ppm perairan
8.3
8.35
8.4
8.45
8.5
8.55
8.6
8.65
8.7
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Waktu Sampling (minggu)
p
H
33.5
34
34.5
35
35.5
36
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Waktu Sampling (minggu)
S
a
l
i
n
i
t
a
s
(
p
p
t
)
Gambar 5. Salinitas di T. Pegametan pada
pengamatan seminggu sekali
6 - Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-01)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
tergolong tercemar ringan dan bila DO <2 ppm maka perairan tergolong tercemar parah. Makin
rendah DO menunjukkan semakin tinggi tingkat pencemaran suatu pencemaran (Manik, 2003).
Kandungan oksigen terlarut sangat berhubungan dengan tingkat pencemaran suatu perairan, jenis
limbah dan banyaknya bahan organik di suatu perairan. Kandungan oksigen terlarut akan menurun
dengan masuknya bahan organik ke perairan, karena dimanfaatkan oleh organisme untuk
menguraikan zat-zat organik tersebut. Banyaknya kandungan bahan organik dan tingginya
populasi bakteri dalam substrat menyebabkan peningkatan kebutuhan oksigen di perairan
(Nybakken, 1992). Kemampuan air untuk membersihkan pencemaran secara alamiah (Self
purification) tergantung pada kadar oksigen terlarut dan banyaknya organisme pengurai (Alaerts &
Santika, 1987). Menurut Manik (2003) bahwa oksigen terlarut dapat berasal dari proses
fotosintesis tumbuhan air dan dari udara yang masuk ke dalam air. Selain akibat proses respirasi
tumbuhan dan hewan, hilangnya oksigen di perairan juga terjadi karena oksigen dimanfaatkan oleh
mikroba untuk oksidasi bahan organik. Oksidasi bahan organik di perairan tersebut dipengaruhi
oleh beberapa faktor antara lain suhu, pH, pasokan oksigen, jenis bahan organik, serta rasio
karbon dan nitrogen.
Hasil pengamatan terhadap nilai DO di perairan Sumatera Barat yaitu di Pulau Sipora
didapatkan nilai rata-rata DO 6,74 ppm dan Siberut 6,69 ppm (Edward, et al., 2004), di perairan
Pulau Muna, Sulawesi Selatan didapatkan DO rata-rata 4,08 ppm (Masarabesy et al.. 2003), di
Teluk Terima Bali Barat didapatkan nilai DO berkisar antara ppm 7,3-9,8 ppm (Wahyuni, 2003).
Kandungan Amonia (NH
3
)
Hasil pengamatan nilai Amonia terlarut perairan setiap seminggu sekali pada Tabel 2 dan
Gambar 7 dapat dilihat bahwa Amonia terlarut relatif berfluktuasi, berkisar 0,01-0,054 ppm dengan
rataan 0,0245 ppm.
Nilai kadar amonia di daerah penelitian masih di bawah ambang batas standar baku mutu
menurut Peraturan Gubernur Bali No. 8 Tahun 2007 dan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup
Nomor 51 tahun 2004 bahwa standar baku mutu air laut untuk biota laut (budidaya perikanan)
untuk amonia adalah 0,3 ppm. Hasil pengamatan di Teluk Terima Bali Barat didapatkan nilai
amonia berkisar antara 0-0,0092 ppm (Wahyuni, 2003).
Amonia ( NH
3
) merupakan salah satu bentuk nitrogen yang mudah larut dalam air dan
sering menjadi indikator kualitas perairan. Sumber amonia alami pada perairan adalah pemecahan
nitrogen organik (protein dan urea) dan nitrogen anorganik yang terdapat didalam tanah dan air
yang berasal dari dekomposisi bahan organik (tumbuhan dan biota yang telah mati). Amonia bebas
yang tidak terionisasi bersifat toksik terhadap biota dan toksisitas tersebut akan meningkat jika
terjadi penurunan kadar oksigen terlarut, pH dan suhu. Biota laut khususnya ikan tidak dapat
bertoleransi terhadap kadar amonia bebas yang terlalu tinggi karena dapat mengganggu proses
pengikatan oksigen oleh darah dan pada akhirnya dapat menyebabkan sufokasi (kematian secara
perlahan karena lemas) (Effendi, 2003).
Kadar Nitrit (NO
2
)
Nilai kadar nitrit terlarut air pada hasil sampling tanggal 20 Agustus 2009 adalah 0,027
ppm yang relatif lebih kecil dibanding pada hasil sampling tanggal 8 Oktober 2009 yaitu 0,042
5.4
5.6
5.8
6
6.2
6.4
6.6
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Waktu Sampling (minggu)
O
K
s
i
g
e
n
T
e
r
l
a
r
u
t
(
p
p
m
)
0
0.01
0.02
0.03
0.04
0.05
0.06
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Waktu Sampling (minggu)
K
a
d
a
r
A
m
o
n
i
a
(
p
p
m
)
Gambar 6. Oksigen terlarut di T. Pegametan
pada pengamatan seminggu
sekali
Gambar 7. Kadar Amonia di T. Pegametan
pada pengamatan seminggu sekali
Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-01) - 7
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
ppm (Table 1). Hasil pengamatan di Teluk Terima Bali Barat didapatkan nilai nitrit 0-0,0066 ppm
(Wahyuni, 2003). Nitrogen anorganik dalam air adalah dalam bentuk ion amonia (NH
4
+
), nitrat
(NO
3
-
) dan nitrit (NO
2
-
). Umumnya nitrogen total dalam air dapat terikat sebagai nitrogen organik,
yaitu bahan-bahan yang mengandung protein. Input pakan dalam budidaya ikan laut intensif
merupakan pemasok utama nitrogen ke lingkungan perairan (Barg, 1992). Buschmann et al.
(1996) melaporkan bahwa untuk memproduksi 100 ton ikan salmon akan dihasilkan sebanyak
7.800 kg Nitrogen (N) dan 950 kg P per hari yang terbuang ke lingkungan perairan, tergantung
pada manajemen pakan dan kualitas pakan yang digunakan.
Nitrit dalam air bersifat racun dan dapat membahayakan kesehatan, akan tetapi
keberadaanya dalam air tidak bertahan lama karena akan segera teroksidasi menjadi nitrat
(Alaerts & Santika, 1987). Kadar nitrit yang melebihi 0,05 mg/l dapat bersifat toksik bagi biota laut,
dan nitrit bersifat lebih toksik daripada nitrat bagi manusia dan hewan (Effendi, 2003).
Kadar Nitrat (NO
3
)
Nilai kadar nitrat terlarut relatif berbeda dengan perbedaan waktu sampling, dimana nilai
kadar nitrat terlarut air pada hasil sampling tanggal 20 Agustus 2009 adalah 0,022 ppm; relatif lebih
kecil dibanding pada hasil sampling tanggal 8 Oktober 2009 dengan nilai 0,074 ppm (Tabel 1).
Nilai kadar nitrat dalam air sudah melebihi standar baku mutu menurut Peraturan Gubernur Bali
No. 8 Tahun 2007 dan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 51 tahun 2004 bahwa standar
baku mutu air laut untuk biota laut (budidaya perikanan) untuk untuk nitrat adalah 0,008 ppm. Hasil
pengamatan di Teluk Terima Bali Barat didapatkan nilai nitrat berkisar antara 5,12-7,37 ppm
(Wahyuni, 2003), di Pulau Sipora didapatkan nilai rata-rata nitrat 4,31 ppm dan Siberut 4,58 ppm
(Edward, et al., 2004), di perairan Pulau Muna, Sulawesi Selatan didapatkan nitrat rata-rata 0,53
ppm (Masarabesy et al., 2003), serta di perairan Teluk Jakarta didapatkan rata-rata nitrat 0,01
ppm (Sidabutar, 2006).
Nitrat adalah senyawa nitrogen yang stabil yang merupakan salah satu senyawa dalam
sintesa protein hewani dan tumbuhan. Konsentrasi nitrat yang tinggi di perairan dapat
menstimulasi pertumbuhan tumbuhan air (ganggang) apabila didukung oleh nutrien yang lainnya
(Alaerts & Santika, 1987). Kandungan nitrat dapat dipergunakan untuk mengetahui polusi air. Jika
konsetrasi nitrat lebih dari 5 mg/liter merupakan indikasi pencemaran yang berasal dari limbah
domestik (Chapman,1996).
Kandungan Phospat (PO
4
)
Nilai kadar phospat terlarut air pada hasil sampling tanggal 20 Agustus 2009 yaitu 0,02
ppm, relatif lebih kecil dibanding pada hasil sampling tanggal 8 Oktober 2009 dengan nilai 0,026
ppm. Hasil nilai kadar phospat ini adalah cukup rendah dan masih merupakan kadar yang baik,
jika dibandingkan dengan baku mutu yang berlaku NTAC tahun 1968 adalah 0,2-6 mg/L; namun
bila dibandingkan dengan Peraturan Gubernur Bali No. 8 Tahun 2007 dan Keputusan Menteri
Lingkungan Hidup Nomor 51 tahun 2004 sudah melebihi standar baku mutu air laut untuk biota laut
yaitu 0,015 ppm. Kadar phospat dalam air laut yang terlalu rendah juga tidak baik untuk lingkungan
air laut, karena phospat merupakan elemen penting yang dibutuhkan dalam menopang kehidupan
ekosistem perairan (Canter & Hill, 1979). Namun phospat tidak merupakan faktor pembatas dalam
produktifitas air laut; karena unsur ini mudah diperoleh dari mitakat tembus cahaya (Romimohtarto
& Juwana, 2001). Keberadaan senyawa fosfor seperti fosfat pada kawasan pemanfaatan untuk
budidaya sebagian besar berasal dari sisa pakan (66-85%) yang tidak dimakan oleh organisme
yang dibudidayakan maupun organisme alami yang ada disekitar lingkungan tersebut. Phospat
dalam suatu perairan bersumber dari limbah industri, limbah domestik dan pertanian, hancuran
bahan organik, dan mineral-mineral fosfat (Manik, 2003). Peningkatan konsentrasi fosfat dalam
suatu perairan menunjukkan adanya bahan pencemar berupa senyawa-senyawa phospat dalam
bentuk organofosfat atau poliphospat. Kandungan phospat yang tinggi pada suatu perairan yang
melebihi kebutuhan normal organisme dapat terjadi eutrofikasi, sehingga akan meningkatkan
pertumbuhan fitoplankton dalam waktu singkat. (Wardoyo, 1975).
Wahyuni (2003), mendapatkan nilai phospat di Teluk Terima Bali Barat berkisar antara 0,04-
0,54 ppm. Hasil pengamatan terhadap nilai phospat di perairan Sumatera Barat yaitu di Pulau
Sipora didapatkan nilai phospat 3,61 ppm dan Siberut 3,33 ppm (Edward, et al., 2004), di
perairan Pulau Muna, Sulawesi Selatan didapatkan phospat rata-rata 0,53 ppm (Masarabesy et al.,
8 - Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-01)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
2003), di perairan Selatan Bali didapatkan phospat rata-rata 0,158 ppm (Arthana, 2006), serta di
perairan Teluk Jakarta didapatkan rata-rata phospat 0,24 ppm (Sidabutar, 2006).
Kadar C-Organik dan Total Bahan Organik (TOM)
Nilai kadar C-organik dalam air pada hasil sampling tanggal 20 Agustus 2009 adalah
0,632 ppm; relatif sama dibanding pada hasil sampling tanggal 8 Oktober 2009 yaitu 0,696 ppm.
Nilai total bahan organik dalam air pada hasil sampling tanggal 20 Agustus 2009 adalah 1,095
ppm; relatif sama dibanding pada hasil sampling tanggal 8 Oktober 2009 yaitu 1,165 ppm. Kadar
total bahan organik dan C-organik berhubungan dengan nilai BOD
5
nya, semakin besar
kandungan bahan organik di perairan akan menunjukkan semakin besar nilai BOD
5
di perairan
tersebut. Peningkatan nilai BOD
5
merupakan petunjuk adanya penurunan kandungan oksigen
terlarut yang disebabkan oleh peningkatan jumlah populasi organisme pengurai dan meningkatnya
laju pengurai (Boyd, 1988).
Plankton
Komposisi dan kemelimpahan plankton
Selama penelitian di perairan Teluk Pegametan ditemukan 35genus dan 7 kelompok
plankton (Tabel 3) yang dapat dikelompokan menjadi 10 phyllum (Tabel 4) yaitu Bacillarophyta,
Cyanophyta, Chlorophyta, Protozoa, Coelenterata, Chaetognatha, Annelida, Arthopoda, Molusca
dan Protocordata. Phylum yang dominan adalah Protozoa, Bacillarophyta, Chlorophyta dan
Arthopoda. Hasil sampling kemelimpahan plankton tiap seminggu sekali berkisar 99-6259 ind/L
(Tabel 3), yang tergolong pada kemelimpahan rendah sampai tinggi. Menurut Sulistyowati (2001),
bahwa kelimpahan plankton tergolong rendah apabila nilai kelimpahannya lebih kecil dari 2.000
individu atau sel per liter. Pada Tabel 3 memperlihatkan bahwa fluktuasi kemelimpahan plankton
cukup tinggi dan ada kecenderungan ada hubungannya dengan fase bulan/pasang surut. Hasil
penelitian Aty dan Kepel (2006), di P Bonerate dan P Kalalo mempunyai kemelimpahan
fitoplankton 14.259-303.106 individu per m
3
dan didominansi oleh kelompok Diatom (64,77%) dan
Cyanophyta (23,85%). Hasil penelitian Suarna et al.. (2007), di perairan Pemaron, Bali,
mempunyai kemelimpahan 1.125-1.323 individu per m
3
, sedangkan hasil penelitian Adnan &
Sugestiningsih (2006), di Teluk Klabat, Bangka-Belitung, mempunyai kemelimpahan fitoplankton
rata-rata 1.267 individu per m
3
dan didominansi oleh kelompok Diatom.
Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-01) - 9
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Tabel 3. Kemelimpahan plankton di Teluk Pegametan pada sampling tiap seminggu sekali
No
Jenis
Tanggal sampling
20/8 27/8 4/9 10/9 17/9 24/9 2/10 8/10 15/10 22/10
1 Melosira sp 2
2 Coscinodiscus sp - 5 2 4 4 1 1 2
3 Chaetoceros sp 4 23 12 82 1200 12 15000 2600 2800 352
4 Bacteriastrum sp2 1
5 Rhizosolenia sp - 2 1 2 4 7 1 1 2
6 Biddulphia sp 3 5 2 1 2 3 6 3 3 1
7 Nitzchia spp 1 5 2 2
8 Skeletonema sp 2 20 15 350 10 4500 1500 1800 215
9 Guinodia sp 1 3 1 11 18 1 15 6 6 11
10 Hemidiscus sp 1
11 Fragillaria sp 4 2 1 2 2 2 1 1 2
12 Asterionella sp 40 8 2 2 8
13 Hemiaulus sp 1 1 1
14 Climodocium sp 1
15 Thalassiothrix sp 34
16 Thalassionema sp 6 3 15 155 7 1500 450 1450 115
17 Rhapdonema sp 1
18 Climacosphenia 4 3 44 2 2 3 44
19 Trichodesmium sp 2 4 2 3 5 2
20 Spirogyra sp 75 12 8 95 25 45 25 25 38
21 Noctiluca sp 1 1 1 1
22 Gymnodinium sp 12 4 2 3 4 12 45 5 15 33
23 Peridinium sp 16 3 2 4 12 25 250 8 58 94
24 Ceratium sp 1 2 15 8 8
25 Triceratium sp 1 3 1
25 Mesodinium sp 6 3 5 8 35 600 25 59 35
27 Xystonella sp 2 2 1 2 1 2 1
28 Obelia sp 1 1
29 Sagitta sp 1 1 1
30 Larva polycaeta 2 3 2 1 1 1 1 1
31 Calanus sp 2 1 1 1 1 1 1 2 2 1
32 Acartia sp 4 1 3 8 5 1 1 3 3 8
33 Oithona sp 1 1 2 2 2 2
34 Oncaea sp 1
35 Microstela sp 1 2 2 1
36 Nauplii kopepoda 3 7 10 8 24 3 5 5 6 16
37 Telur kopepoda 1 10 2 3 1 1 3 3 2
38 Zoea 1 1
39 Mysis 1 1
40 Larva Gastropoda 1 1 2 1 2 2 1
41 Larva kerang 1 1 1 1 1
42 Oikopleura sp 2 1 1 1 1 1
99 153 147 232 1902 145 22017 4657 6259 989
10 - Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-01)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Tabel 4. Komposisi plankton sesuai phyllum yang ditemukan di Teluk Pegametan pada
pengamatan tiap seminggu sekali
Phyllum 20/8 27/8 4/9 10/9 17/9 24/9 2/10 8/10 15/10 22/10 Jumlah (%)
Bacillarophyta
52
45 88 182 1737 39
21044 4565 6065
752
34569 94,2
Cyanophyta
2
4 2
3 5
2
11 0,03
Chlorophyta
75 12 8 95 25
45 25 25
38
348 0,95
Protozoa
29
16 10 14 31 73
912 47 141
164
1437 3,92
Coelenterata
1 1
2 0,005
Chaetognatha
1
1
1 3 0,006
Annelida
2
3 2 1 1
1 1
1
12 0,03
Arthopoda
10
10 26 22 33 6
9 17 18
30
181 0,49
Molusca
1
1 1 3
2 3 3
1
15 0,04
Protocordata
2
1 1
1
1 1
7 0,02
Jumlah 99 150 145 229 1902 144 22017 4658 6254 987 36585 100
Indeks diversitas, similaritas dan dominansi plankton
Hasil pengamatan indeks diversitas (keragaman) pada sampling setiap minggu di Teluk
Pegametan termasuk sedang sampai tinggi yaitu berkisar 1,03-2,57 dengan rataan 1,795 (Tabel
5). Lee et al., (1978) menggolongkan diversitas (H) rendah bila 0<H<1, sedang bila 1<H<2 dan
tinggi bila H>2. Indeks similaritas (keseragaman) di Teluk Pegametan termasuk rendah sampai
tinggi yaitu berkisar 0,26-0,65 dengan rataan 0.458 (Tabel 5). Lee et al., (1978) menggolongkan
derajat keseragaman rendah bila nilai Keseragaman < 0,4, sedang bila berkisar antara 0,4-0,6 dan
tinggi bila > 0,6. Hasil pengamatan indeks dominansi didapatkan berkisar 0,13-0,51 dengan
rataan 0.297 (Tabel 5). Kriteria dominansi parsial tinggi bila mempunyai indeks dominansi >0,4
(Lee et al., 1978). Indeks dominansi jenis dapat digunakan untuk melihat ada atau tidaknya
spesies tertentu yang mendominansi suatu komunitas pada perairan tersebut.
Tabel 5. Indeks Diversitas, similaritas dan dominansi plankton di Teluk Pegametan pada sampling
tiap seminggu sekali dari bulan Agustus sampai Oktober 2009.
Tanggal
Sampling
Indeks
Diversitas
(H)
Indeks
Similraritas
(E)
Indeks
Dominansi
(C)
20-8-09 2,26 0,57 0,18
27-8-09 1,96 0,49 0,28
04-9-09 2,57 0,65 0,13
10-9-09 2,29 0,58 0,18
17-9-09 1,25 0,31 0,44
24-9-09 2,31 0,58 0,14
02-10-09 1,03 0,26 0,51
08-10-09 1,06
0,27
0,43
15-10-09 1,23 0,37 0,34
22-10-09 1,98 0,50 0,29
Kisaran 1,03-2,57 0,26-0,65 0,13-0,51
Rataan
1,795 0,458 0,297
Untuk mengetahui tingkat pencemaran suatu perairan, secara biologis dapat dlihat
berdasarkan indeks diversitas spesiesnya yaitu merupakan angka numerik dari kemelimpahan
spesies dalam suatu komunitas terhadap jumlah total semua spesies yang diperoleh (Chapman,
1996). Menurut Odum (1996), indeks keragaman jenis (H') menggambarkan keadaan populasi
organisme secara matematis, untuk mempermudah dalam menganalisa informasi-informasi jumlah
Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-01) - 11
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
individu masing-masing jenis dalam suatu komunitas. Suatu komunitas dikatakan mempunyai
keragaman jenis tinggi, jika kelimpahan masing-masing jenis tinggi dan sebaliknya keragaman
jenis rendah jika hanya terdapat beberapa jenis yang melimpah. Menurut Tanjung (1999), indeks
diversitas dapat digunakan untuk mengukur stres dalam lingkungan. Lingkungan yang tidak
tercemar ditandai dengan sejumlah besar spesies, tanpa ada spesies yang mendominansi dalam
komunitas. Lingkungan yang tercemar/stres, ditandai dengan tereliminasinya spesies yang
sensitif sehingga indeks diversitas spesies akan berkurang dan terdapat spesies yang
mendominansi dalam komunitas. Hasil penelitian Suarna et al., (2007), di perairan Pemaron, Bali,
untuk plankton didapatkan nilai indeks diversitas 4,47-4,75; indeks keseragaman 0,98-0,99 dan
indeks dominansi 0,038-0,045.
Kesimpulan dan Saran
1. Kondisi fisik, kimia dan biologi perairan Teluk Pegametan berfluktuasi dari waktu ke waktu.
2. Kualitas air laut yaitu nitrat (NO
3
) dan phospat (PO
4
) pada beberapa waktu pengamatan sudah
melebihi standar baku mutu air laut untuk biota laut (budidaya perikanan) yaitu 0,008 ppm
untuk nitrat dan 0,015 ppm untuk phospat.
3. Ditemukan sebanyak 35 genus dan 7 kelompok plankton dari 10 phyllum dengan
kemelimpahan berkisar 99-6259 ind./L.
4. Indeks diversitas plankton berkisar 1,03-2,57 (rataan 1,795); indeks similaritas 0,26-0,65
(rataan 0,458) dan indeks dominansi 0,13-0,51 (rataan 0, 297), yang mengindikasikan
sebagian besar perairan relatif masih cukup baik.
5. Disarankan untuk segera dilakukan penertiban perizinan dan penataan tata letak dan sistem
pengelolaan limbah, sehingga aktifitas hatchery dan budidaya laut yang dilakukan di kawasan
ini tidak menimbulkan penurunan kualitas lingkungannya.
Daftar Pustaka
Adnan, Q. dan Sugestiningsih. 2006. Kondisi ekologik fitoplankton di perairan Teluk Klabat,
Bangka-Belitung, Juni 2003. J. Teknik Lingkungan Edisi Khusus : 215-222.
Alaerts. G. dan S. Santika. 1987. Metode penelitian air. Usaha Nasional, Surabaya.
Arthana, I W. 2006. Monitoring kualitas air laut di Pantai Selatan Bali. Jurnal Teknik Lingkungan
Edisi Khusus : 317-324.
Aty, R.N.A. dan T. Kepel. 2006. Hubungan struktur komunitas fitoplankton dengan parameter
kualitas air di perairan pesisir P Bonerate dan P Kalalo bagian Timur. J. Segara, Vol.2
No.1. :196-204.
Barg, U.C. 1992. Guidelines for the promotion of environmental management of coastal
aquacultute development. FAO Fisheries Technical Paper 328. FAO, Rome. 122pp.
Boyd, C.E. 1988. Water quality in warm water fish pond. Fourth Printing Auburn University
Agriculture Experiment Station. Alabama, USA. 359p.
Buschmann, A.H., D.A. Lopez and A. Mediana. 1996. A review of the environmental effect and
alternatife production strategies of marine aquaculture in Chile. Aquaculture Enginering,
15(6): 397-421.
Canter, W.L. and L.G. Hill. 1979. Handbooks of variable or environmental impact assesment. Ann
Arbor Sci. Pub. Inc. USA.
Chapman D. l996. Water quality assesments. E & FN Spon. London. 324p.
12 - Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-01)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Edward, Muhajir, F. Ahmad dan Rozak. 2004. Pengamatan beberapa sifat kimia dan fisika air laut
di ekositem terumbu karang Pulau Sipora dan Siberut, Kepulauan Mentawai, Sumatera
Barat. Jurnal Ilmiah Sorihi Vol.3 No.1: 38-60.
Effendi, H. 2003. Telaah kualitas air bagi pengelolaan sumber daya dan lingkungan perairan.
Kanisius. Yogyakarta. 189p.
Fardiaz, S. 1992. Polusi air dan udara. Kerjasama Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi Institut
Pertanian Bogor. Penerbit Kanisius. 286p.
Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 51 tahun 2004. Tentang baku mutu air laut. Kantor
Menteri Negara Lingkungan Hidup. Jakarta: 32 hal.
Kusnoputranto, H. 1997. Air limbah dan ekskreta manusia. Direktorat Pembinaan Penelitian dan
Pengabdian Masyarakat Jakarta. 268p.
Lee, R.F., S.S. Wang, and Huo. 1978. Bentic macroinvertebrate fish as biological indicator of
water quality with refference to community diversity index. Modern Biology Series. 398p.
Manik, K.E.S. 2003. Pengelolaan lingkungan hidup. Djambatan Jakarta. 289p.
Masarabessy, M.D., Edward dan H. Prayitno. 2003. Rona lingkungan perairan Raha, Pulau Muna,
Sulawesi Tenggara. Prossiding Seminar Nasional Perikanan Indonesia, Volume II: 104-
120.
Nurhayati. 2006. Karakteristik suhu, salinitas dan lapisan thermochline di perairan Halmahera,
Maluku Utara. Jurnal Teknik Lingkungan, Edisi Khusus: 415-422.
Nybakken, J.W. 1992. Biologi laut suatu pendekatan ekologis. Penerbit PT. Gramedia. Jakarta.
Penerjemah Eidman dkk. 286p.
Odum, E.P. 1996. Dasar-dasar ekologi. Gajah Mada University Press. 609p.
Peraturan Gubernur Bali Nomor 8 Tahun 2007. Tentang baku mutu lingkungan hidup dan kriteria
baku kerusakan lingkungan hidup.
Perkins. E.J . 1974. The biology of estuaries and coastal waters. Academic Press Co. New York.
398p.
Romimohtarto, K. dan S. Juwana. 2001. Biologi laut: Ilmu pengetahuan tentang biota laut. Penerbit
Djambatan. 540 p.
Saeni. M.S. 1999. Kimia lingkungan. PAU IPB Bogor. 298p.
Sidabutar, 2006. Kasus kematian massal ikan-ikan dan biota lainnya di perairan Ancol Teluk
Jakarta. Jurnal Teknik Lingkungan, Edisi Khusus: 191-203.
Stewart, Robert H. 2006. Introduction to physical oceanography. Department of Oceanography,
Texas A&M University. 344 p
Suarna, I W., I W. Restu dan I M.S. Wijana. 2007. Studi biota air laut di perairan Pemaron
Singaraja Bali. J. Bumi Lestari, Vol.7 No.1 : 24-30.
Sulistyowati, E. 2001. Pengaruh kegiatan budidaya ikan sistem keramba jaring dan warung apung
terhadap indeks diversitas ikan dan plankton (tesis). Surakarta: Universitas Sebelas Maret.
298p.
Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-01) - 13
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Supriharyono. 1978, Pelestarian dan pengelolaan sumberdaya alam di wilayah pesisir tropis,
Gramedia. Jakarta.
Tanjung, 1999. Amdal dan audit lingkungan. Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret.
Surakarta. 387p.
Wahyuni, M. 2003. Studi kualitas lingkungan perairan Teluk Terima. (tesis). Denpasar:
Universitas Udayana. 238p.
Wardhana, W.A. 2004. Dampak pencemaran lingkungan; Edisi Revisi. Andi. Yogyakarta. 289p.
Wardoyo, S.T.H . 1975. Pengelolaan kualitas air. Bogor: Institut Pertanian Bogor. 288p.
Wiadnyana dan Wagey, 2004. Plankton, produktifitas dan ekosistem perairan. Kerjasama Pusris
Perikanan Tangkap dan Puslit Oceanologi LIPI. Jakarta. 256p.
Yamaji, I. 1973. Illustration of marine plankton. Hoikusha Publishing Co. Ltd. Osaka. Japan, 198p.
14 - Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-01)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-02) - 1
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
PENENTUAN LEBAR JALUR HIJAU MANGROVE SECARA AKTUAL
BERDASARKAN KEMIRINGAN PANTAI DAN LEBAR PENANAMAN
REHABILITASI DI PANTAI UTARA JAWA TENGAH
Erny Poedjirahajoe
Fakultas Kehutanan UGM
email : er_pjr@yahoo.com
Abstrak
Lebar jalur hijau merupakan faktor penting dalam rehabilitasi mangrove. Lebar jalur hijau
menunjukkan batas ekologis kawasan yang mestinya harus dipenuhi guna mencapai fungsi
ekosistem yang optimal. Selama ini lebar jalur hijau hanya didasarkan pada formulasi yang terkait
dengan rata-rata tinggi air pasang dan surut, dan sekarang ini sudah tidak sesuai lagi dengan
keadaan aktual di lapangan. Penelitian ini mencoba membuat keterkaitan antara lebar jalur hijau
dengan kemiringan pantai, dengan harapan bahwa kedepan penelitian ini mampu membuat
pertumbuhan mangrove yang maksimal, sehingga kegiatan rehabilitasi dapat lebih efektif dan
efisien karena kebutuhan bibit nantinya dapat diprediksi dengan baik.
Penelitian dilakukan dengan cara menentukan kawasan yang mempunyai kemiringan pantai yang
berbeda secara signifikan (Poedjirahajoe, 2005). Kemudian dilakukan pengukuran terhadap lebar
jalur hijau secara aktual, yaitu mengukur di lapangan jarak antara air pasang dengan air surut, dan
diulangi beberapa kali. Setelah itu dilakukan pula pengukuran terhadap lebar areal penanaman ke
arah darat secara maksimal yang mampu ditumbuhi oleh tanaman mangrove serta ketebalan
lumpur akibat adanya kemiringan yang berbeda. Penelitian terhadap kualitas habitat dimaksudkan
sebagai data pendukung guna membantu menganalisis data yang sudah dicapai. Analisis varian
digunakan utuk mengetahui signifikansi dari faktor-faktor fisik pada setiap lokasi penelitian. Untuk
mengetahui hubungan antara kemiringan pantai dengan lebar jalur hijau digunakan analisis
korelasi regresi dengan menampilkan persamaan garis regresinya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor kemiringan pantai, lebar jalur hijau, ketebalan lumpur
dan lebar penanaman rehabilitasi menunjukkan angka yang signifikan di setiap lokasi penelitian.
Ada hubungan yang erat dan sifatnya berlawanan antara kemiringan pantai dengan lebar jalur
hijau. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa kenaikan kemiringan rata-rata 0,81%, menyebabkan
pengurangan lebar jalur hijau sepanjang rata-rata 108,95 meter. Angka lebih dari 100 meter ini
sangat signifikan dengan pertumbuhan mangrove, karena di wilayah Kabupaten Rembang, rata-
rata tebal tanaman hanya sekitar 80 meter sudah mampu menghadirkan komponen ekosistemnya,
meskipun belum lengkap, misalnya hadirnya kembali jenis nekton ikan blodok (Periopthalmus, sp),
kepiting (Cylla serata) dan Uca,sp. serta meningkatnya kerapatan tanaman rehabilitasi.
Kata kunci : lebar jalur hijau mangrove, kemiringan pantai, lebar penanaman
Pengantar
Rehabilitasi kawasan mangrove yang sudah dilakukan selama 20 tahun terakhir telah
mengalami banyak kendala. Di beberapa kawasan Pantai Utara Jawa Tengah, pertumbuhan
tanaman rehabilitasi kurang maksimal. Kendala utama adalah faktor habitat yang terdiri dari
ekologis dan fisik. Secara ekologis, pantai utara Jawa Tengah memiliki kualitas lahan pertumbuhan
mangrove yang variatif. Ada 32 variasi habitat (kualitas lahan) yang berpengaruh besar pada
pertumbuhan mangrove. Variasi lahan tersebut dapat diklasifikasikan menjadi 4 kelompok besar
yang didominasi oleh beberapa faktor lingkungan yang spesifik (Poedjirahajoe, 2006). Akan tetapi
kendala fisik, antara lain luas areal yang mampu ditanami dengan pertumbuhan tanaman yang
maksimal (lebar jalur hijau) belum pernah diungkap secara detail. Departemen Kehutanan melalui
Litbanghut hanya memberikan rumusan lebar jalur hijau adalah 130x rata-rata tinggi air pasang-air
surut (m) pada waktu bulan purnama. Seringkali hal ini tidak sesuai diterapkan di lapangan, karena
rumusan tersebut tidak didasarkan pada penelitian, sehingga adakalanya persen tumbuh tanaman
menjadi kecil karena habitat yang kurang sesuai, atau kurangnya persediaan bibit karena lahan
cukup luas. Padahal biasanya pada kegiatan rehabilitasi, ketersediaan bibit seragam dari Pusat
(Departemen), baik jumlah maupun jenisnya. Oleh karena itu diperlukan metode yang lebih jelas
MS-02
2 - Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-02)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
dan mudah, diantaranya adalah mengukur lebar jalur hijau secara aktual di lapangan dengan
berdasarkan kemiringan lereng pantai dan areal tumbuh tanaman rehabilitasi.
Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian terpadu (route map) dengan tujuan akhir
(goal action) adalah Pengelolaan Mangrove di Pantai Utara Jawa Tengah. Beberapa penelitian
menyangkut faktor-faktor ekologis mangrove sudah dilakukan. Penelitian ini merupakan salah satu
aspek fisik yang nantinya akan dipadukan dengan aspek ekologis, sehingga mampu mengungkap
kendala khususnya faktor habitat.
Untuk mencapai suatu keberlanjutan dari penelitian ini, maka perlu ditindak lanjuti dengan
penanaman. Uji coba akan semakin menguatkan hasil penelitian bahwa dengan kemiringan lereng
tertentu, maka dapat ditentukan lebar jalur hijau untuk penanaman. Hasilnya dapat menjamin
keberhasilan rehabilitasi yang diperlihatkan dengan persen tumbuh tanaman yang tinggi.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengertian yang lebih mendalam akan arti
pentingnya lebar jalur hijau sebagai areal pertumbuhan tanaman yang efektif dan effisien.
Rumusan yang selama ini digunakan diharapkan bisa lebih disederhanakan melalui hasil penelitian
ini. Dengan mengetahui kemiringan lereng pantai, maka lebar jalur hijau yang merupakan areal
pertumbuhan tanaman dapat ditentukan, dan keberhasilan rehabilitasi mangrove dapat
ditingkatkan sampai mencapai pertumbuhan yang maksimal. Pertumbuhan mangrove yang
maksimal secara ekologis tentu akan meningkatkan fungsi perlindungannya sebagai pencegah
abrasi dan gelombang tinggi.
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mengetahui signifikansi kemiringan pantai, lebar jalur hijau, tebal tanaman dan ketebalan
lumpur di kawasan rehabilitasi mangrove Pantai Utara Brebes, Pemalang, Demak dan
Rembang.
2. Mengetahui hubungan antara lebar jalur hijau mangrove dengan kemiringan pantai.
Bahan dan Metode
Penelitian dilakukan di kawasan rehabilitasi mangrove Pantai Utara Jawa Tengah,
khususnya Bagian Barat dan Bagian Timur. Penunjukkan beberapa lokasi didasarkan pada
kemiringan pantai yang berbeda (Poedjirahajoe, 2006). Termasuk daerah ini adalah wilayah
administrasi Kabupaten Brebes, Pemalang, Demak dan Rembang. Kawasan ini sejak tahun 1987
hampir setiap tahunnya melakukan kegiatan rehabilitasi mangrove, sehingga perkembangan
ekosistemnya dapat diteliti setiap tahun. Jika dilihat dari ketebalan mangrove, maka terjadi variasi
di beberapa lokasi. Oleh karena itu kawasan ini sangat tepat digunakan sebagai lokasi penelitian
tentang lebar jalur hijau mangrove.
Cara Penelitian sebagai berikut :
1. Observasi kawasan untuk mengukur kemiringan pantai, agar dapat ditentukan lokasi-lokasi
penelitian yang mempunyai kemiringan pantai yang berbeda.
2. Mengukur lebar jalur hijau, dengan cara meletakkan tonggak pada waktu air pasang
maksimal, dan meletakkan tonggak pada waktu air surut. Dengan demikian selisih antara air
pasang dan air surut dapat diukur. Melakukan ulangan sampai 30 kali (1 bulan) dengan cara
mengukur selisih air pasang dan surut pada tempat-tempat di sekitarnya yang mempunyai
kemiringan sama. Diukur pula lebar areal tumbuh tanaman dengan tahun tanam yang acak.
3. Mengukur lebar tanaman rehabilitasi yang sudah ada.
4. Pada masing-masing lokasi yang mempunyai kemiringan berbeda diukur ketebalan
lumpurnya dengan menggunakan galah berskala, diulangi sebanyak 30 kali pada lokasi
disekitarnya.
5. Diukur pula salinitasnya dengan menggunakan salinometer.
Analisis Hasil
Analisis hasil dilakukan cara mengkaitkan (hubungan) antara kemiringan pantai dengan
lebar jalur hijau melalui persamaan garis regresi sederhana. Analisis selanjutnya adalah
analisis varian untuk melihat beda nyata (signifikansi) dari 2 sifat beda, yaitu terhadap
ketebalan lumpur pada kemiringan. Dalam analisis ini faktor yang seragam adalah tahun
tanam mangrove, yaitu pada tahun tanam mangrove 2002. Uji beda nyata dilakukan di setiap
lokasi penelitian.
Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-02) - 3
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Hasil dan Pembahasan
Hasil penelitian terhadap 4 faktor utama yang diukur di kawasan Panta Utara Kabupaten
Brebes, Pemalang, Demak dan Rembang menunjukkan angka yang sangat variatif. Hasil
selengkapnya dapat diperiksa pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil Pengukuran Faktor Fisik di Wilayah Mangrove Pantura Jawa Tengah.
Faktor yg diukur Ulangan Wilayah Pantai Utara Jawa Tengah
Brebes Pemalang Demak Rembang
Kemiringan Pantai 1. 1,7 2,2 3,2 4,4
(%) 2. 1,2 2,4 3,0 4,5
3. 1,9 2,2 2,4 3,8
4. 1,4 2,5 2,4 4,2
5. 1,2 3,0 3,0 4,0
6. 1,6 2,4 3,2 2,1
7. 1,2 2,2 4,2 4,1
8. 1,4 2,8 3,6 4,6
9. 2,0 2,6 2,5 4,5
10. 1,4 2,5 3,5 3,8
11. 1,4 3,2 3,1 3,8
12. 1,6 2,7 3,2 4,2
13. 1,5 2,5 2,8 3,4
14. 1,4 2,4 4,2 4,1
15. 1,2 3,5 4,2 5,4
16. 1,5 2,8 3,4 4,4
17. 1,5 3,4 3,3 4,3
18. 2,1 2,9 3,3 2,2
19. 2,2 2,8 4,1 4,4
20. 1,6 3,6 3,2 3,6
Rata-rata 1,55 2,73 3,29 3,99
Lebar Jalur Hijau 1. 700 634 434 402
(m) 2. 705 630 400 448
3. 743 644 456 442
4. 680 589 568 400
5. 820 560 584 452
6. 745 675 530 410
7. 788 640 520 384
8. 790 425 566 312
9. 810 655 460 486
10. 824 642 572 458
11. 766 734 645 405
12. 805 740 532 472
13. 800 680 540 420
14. 782 642 462 400
15. 715 602 475 388
16. 775 610 440 376
17. 821 628 432 384
18. 698 640 460 328
19. 608 452 472 417
20. 655 633 436 400
Rata-rata 715,75 602,65 475,45 388,89
Lebar/Tebal tanaman (m) 1. 220 108 140 80
2. 244 124 120 76
3. 136 122 114 88
4. 110 105 97 64
5. 210 110 80 88
6. 225 98 112 90
7. 212 94 120 110
8. 200 121 132 115
9. 245 132 120 84
10. 232 122 120 88
11. 245 104 110 98
4 - Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-02)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
12. 186 110 118 90
13. 154 112 112 90
14. 156 130 120 68
15. 220 124 120 75
16. 224 120 90 82
17. 256 110 96 70
18. 218 116 90 90
19 200 110 80 110
20. 184 115 90 120
Rata-rata 203,85 114,35 109,05 88,8
Ketebalan Lumpur 1. 40,5 32,8 56,2 17,8
(cm) 2. 54,2 35,6 65,1 24,4
3. 64,2 37,6 72,4 30,5
4. 45,1 55,4 20,2 20,7
5. 68,7 51,4 26,8 42,6
6. 62,4 70,6 18,8 31,2
7. 80,6 64,0 37,6 53,8
8. 38,2 72,0 30,4 60,2
9. 35,1 75,0 42,6 58,6
10. 80,8 60,0 52,0 24,6
11. 54,6 65,2 44,0 40,0
12. 60,0 66,4 48,0 20,5
Tabel 1. Lanjutan......
13. 80,6 60,8 42,6 32,5
14. 50,0 43,2 38,7 30,0
15. 55,2 40,0 30,0 20,0
16. 60,5 30,6 40,0 30,5
17. 80,2 40,0 45,0 36,0
18. 80,0 42,4 55,0 42,0
19. 42,0 68,0 50,0 18,0
20. 45,0 70,0 52,0 20,0
Rata-rata 58,89 54,05 43,37 32,74
Hasil penelitian pada Tabel 1 menunjukkan bahwa rata-rata kemiringan pantai hanya
terpaut kecil antara lokasi satu dengan lainnya (antara 1% - 4%). Meskipun perbedaan kemiringan
kecil akan tetapi ternyata mempunyai pengaruh yang besar terhadap habitat mangrove terutama
lebar jalur hijau, yang pada akhirnya berpengaruh pula terhadap pertumbuhan tanaman mangrove.
Pada peningkatan rata-rata kemiringan dari 1,55% menjadi 2,73%, lebar jalur hijau menurun dari
715,75 meter menjadi 602,65 meter. Terjadi penurunan lebar 113,10 meter. Dari 2,73% naik ke
3,29%, maka lebar jalur hijau turun dari 602,65 m menjadi 475,45 m. Terjadi penurunan lebar
127,20 meter. Kemudian dari 3,29% naik menjadi 3,99%, maka lebar jalur hijau semakin mengecil,
yaitu dari 475,75 m menjadi 388,89 m. Jika dihitung-hitung, apabila terjadi kenaikan kemiringan
rata-rata 0,81%, maka terjadi pengurangan lebar jalur hijau sepanjang rata-rata 108,95 meter.
Angka lebih dari 100 meter ini sangat signifikan dengan pertumbuhan mangrove, karena fakta
dilapangan di wilayah Kabupaten Rembang, tanaman ditanam dengan tebal hanya sekitar 80
meter sudah mendatangkan komponen ekosistem meskipun belum lengkap, misalnya hadirnya
kembali jenis nekton ikan blodok (Periopthalmus, sp), kepiting (Cylla serata) dan Uca,sp. serta
meningkatnya kerapatan tanaman rehabilitasi. Dengan hasil perhitungan secara sederhana
tersebut, maka dapat disimpulkan betapa kurangnya tebal penanaman mangrove disetiap wilayah
penelitian, ambil contoh penanaman rehabilitasi mangrove di wilayah Pantura Kabupaten
Rembang diatas. Untuk melihat apakah angka yang kecil dari kemiringan cukup menunjukkan
signifikansi (perbedaan secara nyata) antar lokasi penelitian, maka dilakukan uji varian. Hasil
analisis varian terhadap kemiringan pantai di 4 lokasi penelitian ditunjukkan pada Tabel 2.
Tabel 2. Anava Kemiringan Pantai di Empat Lokasi Penelitian
Sumber Var Db Total Kuadrat Rata-rata kuadrat F hit Pr>F
Wilayah 3 63,82 21,27 73,07* 0,0001
Error 76 22,12 0,29
Total koreksi 79 85,95
* nyata pada taraf uji 5%
Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-02) - 5
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Tabel 2 menunjukkan hasil bahwa kemiringan pantai di empat lokasi penelitian, signifikan
pada taraf uji 5%. Signifikansi ini menunjukkan bahwa meskipun angka kemiringan terpaut selisih
yang kecil pada setiap lokasi penelitian, akan tetapi menunjukkan perbedaan yang nyata
pengaruhnya terhadap faktor habitat/fisik lain yang terukur. Pengaruh kemiringan pantai terhadap
faktor habitat lain seperti lebar jalur hijau, tebal tanaman, dan ketebalan lumpur, sangat tinggi.
Perubahan angka sedikit saja pada kemiringan pantai akan diikuti dengan perubahan faktor fisik
lain. Analisis anava di atas mempunyai koeffisien determinasi sebesar 74,25%, artinya bahwa nilai
ini cukup tinggi untuk menunjukkan bahwa setiap lokasi penelitian mempunyai perbedaan
kemiringan pantai yang nyata, sedangkan sisanya (35,75%) kemungkinan signifikansi dipengaruhi
oleh faktor lain. Faktor fisik yang dipengaruhi kemiringan pantai dan berpengaruh terhadap
pertumbuhan tanaman mangrove secara nyata adalah lebar jalur hijau.
Di empat lokasi penelitian (Brebes, Pemalang, Demak dan Rembang), lebar jalur hijau
menunjukkan angka yang bervariasi antara 388,89 meter sampai 715,75 meter. Untuk mengetahui
apakah lebar jalur hijau di setiap wilayah penelitian menunjukkan perbedaan yang nyata dan
merupakan angka yang signifikan terhadap faktor lain yang diukur, maka dilakukan uji anava. Hasil
analisis varian tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Anava Lebar Jalur Hijau di Empat Lokasi Penelitian
Sumber Var Db Total Kuadrat Rata-rata
kuadrat
F hit Pr>F
Wilayah 3 1331846,73 443948,91 113,19* 0,0001
Error 76 298087,15 3922,19
Total koreksi 79 1629933,88
* taraf uji 5%
Tabel 3 menunjukkan bahwa lebar jalur hijau berbeda nyata di masing-masing lokasi
penelitian, dengan koeffisien determinasi = 81%. Penurunan lebar rata-rata sebesar 108,95 meter
ternyata signifikan pengaruhnya terhadap faktor lain yang terukur. Melihat betapa sempitnya lebar
jalur hijau yang merupakan areal pertumbuhan tanaman mangrove, mestinya lebar jalur hijau
sepenuhnya tetap dipertahankan untuk pertumbuhan mangrove. Bukan hanya sebagian kecil
wilayahnya yang digunakan untuk penanaman, sedangkan sisanya (sebagian besar) untuk
membuat tambak yang pada akhirnya mengeksploitasi mangrove yang sempit tersebut. Hal ini
mengingat bahwa lebar jalur hijau merupakan salah satu persyaratan ekologis pertumbuhan
mangrove, sehingga keberadaannya harus diupayakan semaksimal mungkin di lapangan. Fakta di
lapangan sering menunjukkan bahwa tanaman rehabilitasi tidak mengikuti lebar jalur hijau yang
ada. Keadaan ini disebabkan karena pengaturan/pengeloaan wilayah pantai tidak menggunakan
kaidah ekologis, akan tetapi seringkali menggunakan kaidah ekonomis, sehingga manfaat pantai
diarahkan untuk kegiatan ekonomis setinggi-tingginya, misalnya penggunaan lahan mangrove
untuk tambak dan seringkali mangrove hanya disisakan sedikit supaya terlihat memenuhi syarat
adanya penanaman dan konservasi pantai.
Dengan demikian tebal tanaman mangrove yang ada sekarang ini khususnya di Pantai
Utara Jawa Tengah tidak dapat dijadikan ukuran atau acuan pengaruhnya terhadap faktor lain,
karena tebal mangrove merupakan penanaman yang sudah direncanakan oleh penanam, kecuali
pada hutan mangrove alam. Pada hutan alam mangrove, lebar tanaman merupakan lebar
sesungguhnya dari lebar jalur hijau. Dengan demikian pada hutan alam tidak ada penambahan
ataupun pengurangan terhadap tebal tanaman. Kondisi seperti ini membuat ekosistem menjadi
stabil, sehingga semua fungsi yang melekat padanya dapat berjalan dengan baik, termasuk fungsi
mencegah abrasi, gelombang tinggi dan tsunami. Gangguan terhadap hutan mangrove alam pada
umumnya tidak pengaruh terhadap ekosistemnya karena stability system yang ada telah mampu
mengatasi setiap gangguan yang tentu saja sesuai dengan carrying capacitynya. Lain halnya
dengan hutan tanaman hasil rehabilitasi. Biasanya hutan tanaman masih kurang rentan terhadap
gangguan, karena pada mangrove seringkali hanya didominasi oleh jenis mangrove sejati (mayor)
yang hanya sekitar 2-4 jenis. Dengan keanekaragaman jenis yang rendah, maka stabilitas kurang
begitu tinggi. Dalam hal tebal penanaman, maka Kabupaten Brebes yang sampai sekarang ini
tergolong paling tebal diantara lokasi lain di Pantura Jawa Tengah. Di Kabupaten brebes, tanaman
hasil rehabilitasi mangrove mempunyai tebal rata-rata 203 meter. Angka ini paling tebal dibanding
tiga wilayah Kabupaten lainnya. Angka tebal tanaman terendah adalah wilayah Kabupaten
Rembang, dengan hanya setebal 88 meter.
Kalau dilihat dari angka ketebalan tanaman, maka tebal 203 meter dari 715,75 meter lebar
jalur hijau yang seharusnya merupakan kawasan mangrove, merupakan kawasan/tanaman yang
6 - Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-02)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
masih kurang untuk memenuhi syarat fungsi mangrove sebagai penahan gelombang abrasi, intrusi
apalagi tsunami meskipun ukuran baku tebal mangrove untuk menanggulangi bencana belum
pernah ada, khususnya dalam rangka konservasi kawasan dan mengembalikan fungsi
ekosistemnya. Akan tetapi angka-angka rata-rata dari tebal tanaman di wilayah penelitian memang
kurang memenuhi syarat. Di wilayah Kabupaten Brebes paling tidak, tebal tanaman baru sepertiga
dari lebar jalur hijau. Seharusnya menurut pendapat penulis, paling tidak tebal tanaman adalah
separo atau lebih dari lebar jalur hijau jika memang benar-benar ingin mengembalikan fungsi fisik
mangrove, meskipun belum ada penelitian yang mampu menyebutkan angka yang pasti. Kendala
yang ada menunjukkan bahwa adanya intervensi kawasan untuk pemanfaatan tambak sangat
marak di wilayah penelitian. Akibatnya pada beberapa bulan yang lalu terjadi gelombang tinggi di
wilayah Kabupaten Rembang, maka selain terjadi kerusakan pada mangrove juga kerusakan pada
pemukiman penduduk khususnya pemukiman nelayan yang dekat dengan pantai. Semua itu
diperkirakan karena tebal tanaman rehabilitasi mangrove yang kurang memenuhi aspek ekologis
atau paling tidak mendekati lebar jalur hijau secara aktual. Penanaman tanpa memperhatikan
faktor ekologis, lebih-lebih setelah diimplementasikannya Undang-undang No. 22 Tahun 2002
tentang otonomi daerah, yang memberikan keleluasaan kepada Pemerintah Daerah untuk
mengatur daerahnya termasuk pemanfaatan sumberdaya alam. Pada akhirnya di kawasan
mangrove yang terjadi adalah pelebaran tambak yang diyakini dapat mendatangkan nilai ekonomi
lebih besar dari sekedar menanam mangrove. Pola pikir sesaat ini baru dipahami setelah wilayah
pantainya terkena gelombang tinggi, abrasi atau bahkan tsunami. Upaya mencari penyelesaian
dari masalah ini adalah pengembangan silvofishery yang sekarang ini sudah mulai dengan model
empang parit. Upaya pengembangan silvofishery terus dilakukan dengan cara pengembangan
inovasi-inovasi yang berdasarkan prinsip effisiensi serta biaya rendah.
Faktor habitat lain yang menentukan pertumbuhan dan dipengaruhi oleh lebar jalur hijau
adalah ketebalan lumpur. Lumpur merupakan substrat atau media pertumbuhan tanaman
mangrove yang sangat efektif, karena lumpur banyak mengandung bahan organik ataupun unsur
hara. Ketebalan lumpur sangat dipengaruhi oleh kemiringan pantai (Poedjirahajoe, 2005). Pantai
yang agak curam mempunyai lumpur yang lebih tipis dibanding kawasan yang landai, sehingga
terjadi kaitan yang erat pada faktor-faktor yang dikaji untuk penelitian ini. Hal ini terjadi karena
pada pantai yang agak curam, kecepatan arus pasang surut semakin meningkat, sehingga lumpur
yang terakumulasi lebih banyak yang terbawa kembali oleh arus surut dibanding jika kemiringan
pantai mendekati datar (landai). Faktor kemiringan dapat berpengaruh terhadap lebar jalur hijau
dan ketebalan lumpur, meskipun ketebalan lumpur juga dipengaruhi oleh tahun tanam mangrove
karena adanya akumulasi substrat lumpur. Akan tetapi akumulasi substrat lumpur sendiri juga tidak
terlepas dari kecepatan arus surut (arus balik) yang dipengaruhi oleh kemiringan pantai. Rata-rata
ketebalan lumpur di kawasan Kabupaten Brebes dengan Kabupaten Rembang terpaut 26,15 cm.
Perbedaan ketebalan lumpur ini selain membedakan kerapatan mangrove pada tahun tanam yang
berbeda (Poedjirahajoe, 2006) juga dipengaruhi oleh kemiringan pantai. Untuk melihat perbedaan
nyata (signifikansi) ketebalan lumpur pada masing-masing lokasi penelitian, maka dilakukan uji
varian yang hasilnya dapat diperiksa pada Tabel 4.
Tabel 4. Anava Ketebalan Lumpur di Empat Lokasi Penelitian
Sumber Var Db Total Kuadrat Rata-rata
kuadrat
F hit Pr>F
Wilayah 3 8174,96 2724,98 13,11 *) 0,0001
Error 76 15797,21 207,85
Total koreksi 79 23972,17
* taraf uji 5%
Tabel 4 menunjukkan bahwa ketebalan lumpur berbeda pada masing-masing lokasi
penelitian. Akan tetapi jika melihat koeffisien determinasi yang hanya 34%, maka perbedaan
ketebalan lumpur sebenarnya sangat kecil sekali, artinya jika range angka ketebalan lumpur kecil,
maka mungkin tidak signifikan. Akan tetapi mungkin tidak ada pengaruhnya terhadap faktor lain,
misalnya kemiringan, lebar jalur hijau dan sebagainya. Ketebalan lumpur sangat diperlukan untuk
peningkatan pertumbuhan mangrove. Beberapa unsur yang diperlukan oleh mangrove meskipun
tidak besar jumlahnya tetapi harus dipenuhi, yaitu ketersediaan bahan organik, unsur N, P dan K.
Unsur-unsur tersebut secara langsung berpengaruh pada produktivitas primer perairan, yaitu
fitoplankton yang menjadi sumber energi bagi ekosistem mangrove secara keseluruhan.
Tebal tanaman mangrove hasil rehabilitasi bisa jadi tidak dapat dikaitkan dengan labar jalur
hijau, kemiringan ataupun ketebalan lumpur, karena tebal tanaman tergantung pada luasan yang
Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-02) - 7
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
telah ditentukan oleh penanam (pemerintah Daerah ataupun lembaga lain). Biasanya penanaman
mangrove terlaksana karena adanya proyek yang didanai dari berbagai sumber. Dengan demikian
luas penanaman akan disesuaikan dengan dana yang ada, dan pada umumnya tidak akan pernah
sampai menjangkau lebar jalur hijau. Biasanya penanam menggunakan ukuran luas adalah
panjang pantai, sehingga mangrove yang ditanam biasanya memanjang dengan ketebalan (lebar)
penanaman yang rendah. Apabila dijumpai tebal tanaman mangrove yang tinggi dari batas normal
penanaman (sekitar 200 meter), maka dapat diprediksi bahwa tanaman tersebut merupakan
pertumbuhan berupa anakan. Selain itu faktor jenis yang ditanam seringkali menjadi kendala
keberhasilan rehabilitasi mangrove. Hasil analisis varian terhadap perbedaan tebal tanaman pada
setiap lokasi penelitian dapat diperiksa pada tabel berikut :
Tabel 5. Anava Tebal Tanaman Mangrove di Empat Lokasi Penelitian
Sumber Var Db Total Kuadrat Rata-rata
kuadrat
F hit Pr>F
Wilayah 3 156623,73 52207,91 96,71 *) 0,0001
Error 76 41027,25 539,83
Total koreksi 79 197650,98
* taraf uji 5%
Tabel 5 menunjukkan bahwa tebal tanaman di empat lokasi penelitian ternyata berbeda
nyata. Perbedaan tebal tanaman besar kemungkinan dipengaruhi oleh kondisi substrat tumbuh
(habitat). Berdasarkan data di Kabupaten Brebes, Pemalang, Demak dan Rembang, rata-rata
penanaman mangrove setebal 200 250 meter (Anonim, 2004). Apabila mencermati hasil
pengukuran lapangan, maka tebal tanaman berada pada rata-rata 88 203 meter. Hal ini
menunjukkan bahwa ada pengurangan tebal tanaman. Kematian tanaman dapat disebabkan oleh
berbagai faktor, antara lain seperti hama kepinding, arus air laut yang tinggi, over salinitas atau
sebaliknya dan karena terjadi penurunan kualitas habitat. Hama kepinding tidak menyerang
seefektif pada saat tanaman masih muda, sedangkan arus pasang yang tinggi bisa jadi
berpengaruh karena pada bulan Maret Mei 2007 kawasan Pantura terkena bencana gelombang
tinggi, sehingga faktor ini dapat juga sebagai penentu terjadinya pengurangan tanaman. Akan
tetapi prediksi ini menjadi kurang tepat manakala dampak dari gelombang tinggi tidak hanya
mengurangi tanaman akan tetapi merusak semua tanaman. Terjadinya over salinitas (salinitas
tinggi) kemungkinan terjadi karena berkurangnya aliran sungai yang bermuara ke laut. Faktor yang
dianggap memungkinkan terjadinya pengurangan tanaman adalah kualitas habitat atau jenis yang
pertumbuhannya kurang sesuai dengan habitat. Data kualitas habitat yang terukur dari 4 lokasi
penelitian adalah sebagai berikut :
Tabel 6. Kualitas Habitat mangrove Rata-rata di 4 Lokasi Penelitian
Parameter yg diukur Brebes Pemalang Demak Rembang
Bahan organik (%) 1,64 0,87 3,89 3,10
N total (%) 0,44 21,3 5,20 4,73
P tersedia (ppm) 13,72 17,48 20,62 26,1
K tersedia (ppm) 3,77 0.82 2,1 1,7
Salinitas () 24,50 18,4 21,2 19,9
Kepadatan plankton (n/lt) 92.870 72.800 17.624 10.525
Dari data Tabel 6 dapat dilihat bahwa terdapat berbedaan yang besar dari beberapa faktor
habitat pertumbuhan yang terukur di empat lokasi penelitian. Plankton yang merupakan faktor
penentu pertumbuhan mangrove (Poedjirahajoe, 2006) mempunyai kepadatan yang bervariasi di
empat lokasi penelitian. Di Pantura Kabupaten Brebes mempunyai densitas plankton tertinggi
(92.870 individu/liter), kemudian wilayah Kabupaten Pemalang (72.800 individu/liter, dan yang
paling rendah adalah wilayah Kabupaten Rembang (10.525 individu/liter). Kondisi faktor
lingkungan ini juga diikuti dengan tebal tanaman, meskipun pada ulasan diatas disebutkan bahwa
tebal tanaman dibuat sesuai dengan keinginan lebar penanaman mangrove, akan tetapi tebal/lebar
tanaman rehabilitasi dapat bertambah karena adanya pertumbuhan kembali/ anakan yang muncul
sehingga kerapatan menjadi lebh tinggi.
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa lebar jalur hijau pada umumnya sangat lebar antara
388 715 meter, akan tetapi ternyata tidak diikuti dengan lebar/tebal penanaman mangrovenya.
Secara ekologis, kondisi ini kurang memenuhi persyaratan terhadap fungsi fisik maupun biologik
mangrove. Sebagai kawasan lindung, mangrove seharusnya berfungsi melindungi plasma nutfah
8 - Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-02)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
yang ada di dalamnya. Dengan demikian untuk waktu mendatang disarankan agar penanaman
mangrove supaya memenuhi atau paling tidak mampu mengemban fungsinya sebagai kawasan
lindung. Oleh karena itu perlu penelitian terutama tentang kekuatan gelombang setelah melalui
hamparan mangrove dengan ketebalan bertahap.
Hasil analisis regresi antara lebar jalur hujau dengan kemiringan menunjukkan bahwa
kemiringan berbanding negatif dengan lebar jalur hijau. Persamaan garis regresi adalah sebagai
berikut :
Y = -108,35 X
Dari persamaan tersebut dapat dibaca bahwa semakin tinggi kemiringan pantai (X), maka
semakin sempit lebar jalur hijau (Y), dan sebaliknya. Dengan demikian untuk setiap kegiatan
penanaman mangrove sekarang cukup dengan melihat persamaan tersebut, maka lebar jalur hijau
dapat ditentukan. Hasil ini sekaligus dapat dijadikan acuan untuk penanaman mangrove di lokasi
lain. Rumusan yang diberikan Pemerintah bahwa lebar jalur hijau = 130 x (selisih tinggi air pasang-
air surut) perlu dikaji kembali, karena jika tinggi air pasang secara umum di Pantura Jawa rata-rata
3 meter, sedangkan tinggi surut 1 meter, maka lebar jalur hijau hanya sekitar 260 meter. Lebar
sebesar itu pada kenyataannya kurang memenuhi syarat ekologis, terutama fungsi mangrove
sebagai kawasan lindung.
Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan
Dari hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Terdapat hasil yang signifikan terhadap kemiringan pantai, lebar jalur hijau, lebar/tebal
tanaman dan ketebalan lumpur di kawasan rehabilitasi mangrove Pantai Utara Kabupaten
Brebes, Pemalang, Demak dan Rembang.
2. Hasil analisis korelasi regresi menunjukkan bahwa semakin tinggi kemiringan pantai (X),
maka semakin sempit lebar jalur hijau (Y), demikian sebaliknya. Hubungan tersebut
ditunjukkan pada persamaan garis Y = 108,35 X
Saran
1. Hasil penelitian perlu ditindaklanjuti dengan penetapan nilai baku lebar jalur hijau, guna
sebagai acuan penanaman mangrove.
2. Rumusan lebar jalur hijau menurut SK Menhut no. 32/KPTS/MENHUT RI/1999 perlu
ditinjau kembali karena tidak sesuai dengan fakta di lapangan.
Daftar Pustaka
Anonim. 1982. Hasil Rumusan Tim Teknis Evaluasi Survey Hutan Bakau. Jakarta 1-3 Juni 1982.
Ongkosongo, OSR. 1986. Pengelolaan DAS Rokan-Hutan Mangrove Kabupaten Bengkalis dan
Kemunduran Perikanan di Bagan Sapi-api dan Sekitarnya. Seminar II Ekosistem
Mangrove. Baturraden 3-5 Agustus 1986.
Poedjirahajoe. E. 2004. Pengaruh Kemiringan Pantai terhadap Pertumbuhan tanaman Rehabilitasi
Mangrove Pantai Utara Jawa Tengah Bagian Barat dan Timur. DPP Fakultas
Kehutanan UGM.
___________. 2005. Optimalisasi Silvofishery melalui Pendekatan Ekosistem dan Pengelolaan
DAS di Kawasan Rehabilitasi Mangrove Pantai Utara Kabupaten Pemalang.
Penelitian didanai oleh Program Hibah Kompetisi (PHK A2) Jurusan Konservasi
Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan UGM.
___________. 2006. Klasifikasi Lahan Potensial untuk Rehabilitasi Mangrove di Pantai Utara Jawa
Tengah. Disertasi S3. Sekolah Pasca Sarjana UGM.
Suwelo S; S. Manan. 1986. Jalur Hijau Mangrove sebagai Wilayah Konservasi Daerah Pantai.
Diskusi Panel Daya Guna dan Batas Lebar Jalur Hijau Hutan Mangrove. Ciloto, 27
Februari 1 Maret 1986.
Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-02) - 9
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Soemodihardjo, S; OSR. Ongkosongo; A. Abdullah. 1986. Pemikiran Awal Kriteria Penentuan Jalur
Hijau Hutan Mangrove. Diskusi Panel Daya Guna Dan Batas Lebar Jalur Hijau
Mangrove. Ciloto 27 Februari 1 Maret 1986.
Soerianegara, I. 1993. Masalah Penentuan Batas Lebar Jalur Hijau Mangrove. Prosiding Seminar
III Ekosistem Mangrove. Denpasar Bali. 5-8 Agustus 1993.
Wartaputra, S. 1990. Kebijaksanaan Pengelolaan Hutan Mangrove : Ditinjau dari sudut Konservasi.
Seminar IV Ekosistem Mangrove. Bandar Lampung 7-9 Agustus 1990.
Tanya Jawab
Pertanyaan : Adakah pengaruh jenis tanaman terhadap jalur hijau yang diusulkan selain
pengaruh kemiringan?
Jawaban : ada, jenis tanaman berpengaruh terhadap habitat asli tanaman tersebut.
Pengaruh kemiringan akan berpengaruh pada luas jalur hijau, semakin miring
makan luas jalur hijau semakin sedikit.
Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-03) - 1
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Kajian Kualitas Air berdasarkan Parameter Fisika Kimia di Waduk Malahayu,
Kabupaten Brebes Jawa Tengah
Andri Warsa
Balai Riset Pemulihan sumberdaya ikan
Jalan Cilalawi No 1 Jatiluhur, Purwakarta
Abstrak
Waduk Malahayu merupakan waduk yang dibangun pada tahun 1930 dengan luas 620 ha dan
kedalaman berkisar 8 16 m dengan fungsi utama sebagi sumber air untuk irigasi dan air minum.
Penelitian ini dilakukan di Waduk Malahay pada Bulan Mei, Juni dan Agustus 2010 dengan metode
Survey berstrata. Pengambilan sampel di lakukan pada permukaan dan dasar perairan pada 4
stasiun pengamatan yaitu Penanggapan, DAM, KJA dan Keracak. Tujuan penelitian adalah untuk
mengetahui kondisi periaran Waduk Malahayu. Nilai kecerahan di Waduk Malahayu berkisar 0,8
1,8 m dengan rata rata 1,5 m. Konsentrasi oksigen terlarut pada permukaan berkisar 3,8 7,7
mg/L dengan rata rata 5,1 mg/L dan pada dasar perairan 1,2 5,2 mg/L dengan rata rata 3,5
mg/L. Konsentrasi N-NO
3
pada permukaan berkisar 0,04 1,360 mg/L dengan rata rata 0,234
mg/L dan di dasar perairan berkisar 0,033 0,460 mg/L dengan rata rata 0,174 mg/L.
Konsentrasi N-NH
4
pada permukaan berkisar 0,233 3,279 mg/L dengan rata rata 0,740 mg/L
dan di dasar perairan berkisar 0,261 2,860 mg/L dengan rata rata 0,731 mg/L. Konsentrasi P-
PO4 pada permukaan berkisar 0,021 0,095 mg/L dengan rata rata 0,046 mg/L sedangkan di
dasar perairan berkisar 0,009 0,069 mg/L dengan rata rata 0,038 mg/L. Konsetrasi klorofil-a
pada permukaan berkisar 0,2 25,9 mg/m
3
dengan rata-rata 8,2 mg/m
3
dan didasar perairan
berkisar 3,7 mg/m
3
dengan rata rata 9,4 mg/m
3
. Berdasarkan konsentrasi Nutrien N dan P,
Kecerahan serta klorofil-a Waduk Malahayu merupakan badan air yang subur (meso-eutrofik).
Kata kunci: Kualitas air, nutrien N dan P, Waduk Malahayu
Pendahuluan
Waduk Malahayu merupakan waduk yang dibangun pada tahun 1930 dengan luas 620 ha
dan kedalaman berkisar 8 16 m. Waduk ini mempunyai fungsi utama sebagi sumber air untuk
irigasi dan air minum serta merupakan sumber mata pencaharian masyarakat sekitar yang
berprofesi sebagai nelayan.
Kualitas air pada suatu ekosistem akuatik ditentukan oleh faktor biologi, fisika dan kimia
yang berpengaruh pada penggunaan air tersebut (Boelee et al., 2010). Penurunan kualitas air
biasnya disebabkan oleh masukkan nutrien yang berlebihan (eutrofikasi) (Bacerzak, 2006),
asidifikasi, kontaminasi logam berat dan praktek perikanan yang tidak ramah lingkungan. Aktivitas
manusia disekitar badan air terlihat dari perubahan konsentrai, nitrat, fosfat dan sulfat (Mustapha,
2008). Parameter fisika-kimia perairan merupakan salah satu cara yang digunakan untuk mengkaji
kualitas air pada suatu waduk. Perubahan karaketristik fisika seperti suhu air, kecerahan serta
elemen kimia seperti oksigen terlarut, kebutuhan oksigen kimia, nitrat dan fosfat merupakan
informasi yang berharga mengenai kualitas air (Djukic et al., 1994). Tujuan penelitian adalah untuk
mengetahui kondisi periaran Waduk Malahayu.
Bahan dan Metode
Penelitian dilakukan di Waduk Malahayu pada Bulan Mei, Juli, Agustus dan Oktober 2010.
Pengambilan sampel air di lakukan dengan menggunakan kemmerer water sampler dengan
volume 5 liter secara vertikal pada kedalaman (permukaan) dan dasar perairan serta secara
horizontal pada empat stasiun pengamatan yaitu KJA, DAM, Keracak dan Penanggapan (Gambar
1) dengan metode Survey berstrata (Nielson & Johnson, 1985). Sampel air yang diperoleh pada
kedalaman tersebut dimasukkan kedalam botol sampel dan di Analisa di laboratorium kimia air
Balai Riset Pemulihan Sumberdaya Ikan, Jatiluhur berdasarkan APHA, 2005. Parameter kualitas
air dan Metode/alat yang digunakan disajikan pada tabel 1.
MS-03
2 - Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-03)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Gambar 1. Lokasi Penelitian
Tabel 1. Parameter kualitas air dan metode analisa/alat yang digunakan
Parameter Satuan Metode/alat
Insitu
Suhu
o
C Termometer
pH pH indikator
Kecerahan Cm Sechi disk
Oksigen terlarut mg/L Titrasi winkler
Eksitu
P-PO4 mg/L Ammonium molibdat
Klorofil a mg/m
3
Tricometrik
Analisa data
Beberapa parameter kualitas air seperti orthofosfat, klorofil-a dan kecerahan dianalisa
secara deskriptif dengan membandingkan nilai parameter tersebut dengan nilai yang terdapat pada
tabel 2 untuk kriteria status trofik suatu badan air.
Tabel 2. Kriteria Status trofik
Parameter Status trofik Sumber
Oligotrofik Mesotrofik Eutrofik Hipertrofik
Kecerahan (m) 6 4 1 < 0,5 Wetzel (2001)
N-NO3 (mg/L) <0,1 0,1-0,2 >0,2 Golman & Horne,
1983
P-PO
4
(mg/L) 0,003-0,01 0,011-0,03 0,031-0,1 Vollenweider
dalam Effendi (2003)
Klorofil a (mg/m
3
) 0,3-3 2-15 10-500 Likens, 1975 dalam
Jorgensen (1980)
Untuk mengetahui hubungan antar parameter kualitas di Waduk Malahayu digunakan
analisa komponen utama (PCA, Principal component analysis) dengan bantuan software X-STAT
dari microsof exel. Anaisa ANOVA dan Clustering digunakan untuk mengetahui perbedaan
konsentrasi nutrien pada setiap bulan pengamatan, lokasi dan lapisan kedalaman di Waduk
Malahayu.
Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-03) - 3
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Hasil dan Pembahasan
Hasil analisa beberapa parameter kualitas air di Waduk Malahayu di sajikan pada tabel 3 dan 4.
Tabel 3. Nilai parameter kualitas air di Waduk Malahayu pada permukaan
Keracak Keramba Penanggapan DAM
Kecerahan (m) 1,2 1,8 (1,5) 1,4 1,8 (1,6) 0,8 1,8 (1,3) 1,0 1,5 (1,3)
Suhu air (
o
C) 28,6-31,5 (29,9) 28,8 - 32,0 (29,8) 28,5 - 29,7 (29,1) 28,8 - 32,5 (30,1)
Oksigen terlrut
(mg/L) 3,8 - 6,1 (4,9) 4,3 -6 ,5 (5,1) 4,2 -6,3 (5,0) 4,2 - 7,7 (5,4)
CO
2
bebas
(mg/L) 0,0 - 0,3 (0,1) 0 0 0
Alkalinitas (mg/L) 60,1 - 91,4 (76,4) 58,2 - 75,9 (65,1) 27,8 - 71,0 (49,4) 48,8 - 75,2 (67,2)
pH 7,0 - 8,0 (7,5) 7,0 - 8,0 (7,5) 7,0 - 7,5 (7,0) 7,0 - 8,0 (7,5)
N-NO
3
(mg/L)
0,042 - 0,211
(0,135)
0,040 - 1,366
(0,435)
0,068 - 0,389
(0,211)
0,099 - 0,288
(0,156)
N-NH
4
(mg/L) 0,247 - 1,269 (0,60)
0,233 - 1,453
(0,630)
0,247 - 1,453
(0,631)
0,247 - 3,279
(1,1)
P-PO
4
(mg/L0
0,021 - 0,095
(0,051)
0,024 - 0,083
(0,041)
0,024 - 0,059
(0,040)
0,023 - 0,086
(0,052)
Chl-a (mg/L) 1,8 - 25,9 (10,5) 2,9 - 11,8 (7,4) 0,2 - 12,1 (5,5) 4,5 - 12,1 (9,3)
Tabel 3. Nilai parameter kualitas air di Waduk Malahayu pada dasar
Keracak Keramba Penanggapan DAM
Suhu air (
o
C) 28,5 - 30,0 (29,2) 28,4 - 30,5 (29,1) 28,0 - 29,2 (28,6) 28,4 - 30,0 (29,1)
Oksigen terlrut
(mg/L) 3,4 - 4,0 (3,8) 1,2 - 2,7 (2,0) 3,8 - 5,2 (4,7) 2,0 - 4,9 (3,4)
CO
2
bebas
(mg/L) 0,0-4,7 (1,5) 1,0 - 2,7 (1,6) 0,0 - 2,0 (0,5) 0,0 - 3,4 (1,0)
Alkalinitas (mg/L) 60,1 - 71,0 (66,0) 53,7 - 98,7 (74,5) 30,9 - 72,5 (56,9) 67,9 - 96,7 (80,0)
pH 7,0 - 7,5 (7,0) 7,0 - 7,5 (7,0) 7,0 - 7,5 (7,0) 7,0 - 7,5 (7,0)
N-NO
3
(mg/L)
0,033 - 0,11
(0,078)
0,062 - 0,460
(0,196)
0,102 - 0,319
(0,230)
0,088 - 0,426
(0,191)
N-NH
4
(mg/L)
0,261 - 2,158
(0,830)
0,268 - 0,576
(0,432)
0,275 - 1,756
(0,735)
0,261 - 2,186
(0,938)
P-PO
4
(mg/L0
0,009 - 0,065
(0,040)
0,017 - 0,064
(0,032)
0,016 - 0,064
(0,032)
0,019 - 0,069
(0,048)
Chl-a (mg/L) 3,7 - 14,9 (10,2) 7,3 - 17,1 (11,0) 3,7 - 20,4 (9,6) 4,6 - 9,8 (7,2)
Nilai kecerahan di Waduk Malahayu berkisar 0,8 1,8 m dengan rata rata 1,5 m.
Berdarakan nilai kecerahannya, Waduk Malahayu merupakan badan air dengan tingkat kesuburan
mesotrofik. Nilai Kecerahan di Waduk Malahayu lebih rendah jika dibandingkan dengan kecerahan
di Waduk Riam Kanan, Kalimantan Selatan dengan nilai berkisar 1,3 2,65 m (Umar &
Kartamihardja, 2009). Nilai kecerahan yang tinggi tersebut menggambarkn rendahnya partikel
terlarut di perairan Waduk Malahayu. Kecerahan di Situ Panjalu berkisar antara 80 90 cm.
Menurut Siagian (2004) menyatakan bahwa kecerahan yang produktif berkisar 20 60 cm dimana
proses fotosintesis dapat berlangsung dengan baik. Kisaran suhu air di Waduk Malahayu pada
permukaan berkisar 28,5 32
o
C dengan rata rata 28,7
o
C dan didasar perairan berkisar 28 30
o
C dengan rata rata 28,5
o
C. Fitoplankton dapat tumbuh optimal pada kisaran suhu air antara 28
32
o
C (Ray dan Rao dalam Pratiwi et al, 2000), sehingga suhu air di Situ Panjalu dapat
mendukung kehidupan fitoplankton. Di daerah perairan yang hangat laju fotosintesis umunya
cukup tinggi (Widodo & Suadi, 2006). Kecepatan oksidasi amonium pada suatu badan air
4 - Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-03)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
bergantung kondisi lingkungan salah satunya adalah suhu air. Kisaran suhu optimal untuk proses
nitrifikasi adalah 20 40 oC, suhu air diatas atau dibawah kisaan tersebut akan menghambat atau
menurunkan proses oksidasi (Allen, 2009).
Oksigen terlarut merupakan suatu indikator kualitas air, kondisi ekologi, produktivitas dan
kesehatan suatu waduk. Hal ini disebabkan karena oksigen terlarut digunakan dalam reaksi kimia
dan biologi pada suatu ekosistem. Konsentrasi oksigen terlarut di Waduk Malahayu pada
permukaan berkisar 3,8 7,7 mg/L dengan rata rata 5,1 mg/L dan pada dasar perairan 1,2 5,2
mg/L dengan rata rata 3,5 mg/L. Berdasarkan parameter oksigen terlarut merupakan badan
dengan tingkat pencemaran yag ringan (Salmin, 2005). Konsentrasi oksigen terlarut secara umum
rendah didasar perairan yang kemungkinan disebabkan oleh penggunaanya oleh mikroorganisme
untuk mendekomposisi bahan organik. Selain itu juga di dasar perairan fotosintensis tidak berjalan
dengan baik karena terbatasnya energi cahaya matahari yang mencapai dasar perairan (Wetzel,
2001).
Ammonium adalah sumber nitrogen yang paling disukai oleh fitoplankton. Hal ini
dikarenakan untuk amonium dapat langsung digunakan secara langsung sebagai sumber N
sedangkan untuk N-NO
2
dan N-NO
3
perlu direduksi terlebih dahulu dengan bantuan reduktase
nitrat dan nitrit (Ji, 2008).Status trofik Waduk Malahayu berdasarkan konsentrasi nitrat adalah
meso-eutrofik. Konsentrasi N-NO
3
di Waduk Malahyu pada permukaan berkisar 0,04 1,360 mg/L
dengan rata rata 0,234 mg/L dan di dasar perairan berkisar 0,033 0,460 mg/L dengan rata
rata 0,174 mg/L. Konsnetrasi N-NO
3
di Waduk Malahayu tertinggi terdapat di permukaan pada
bulan Juni di Stasiun Keramba dan terendah terdapat pada dasar perairan pada Bulan Mei
distasiun Karacak. Konsentrasi N-NH
4
di Waduk Malahyu pada permukaan berkisar 0,233
3,279 mg/L dengan rata rata 0,740 mg/L dan di dasar perairan berkisar 0,261 2,860 mg/L
dengan rata rata 0,731 mg/L. Konsentrasi N-NH
4
tertinggi terdapat di stasiun DAM pada bulan
Juni dan terendah pada Bulan Mei di stasiun Keramba. Konsentrasi N-NO3 di Waduk Malahayu
lebih tinggi jika di bandingkan dengan Danau Napalsisik, Jambi dengan konsnetrasi berkisar 0,101
0,416 mg/L (Krismono & Warsa, 2006). Sedangkan konsentrasi N-NH4 di Waduk Malahayu lebih
tinggi jika di badningkan dengan Waduk Ir H Djuanda pada tahun 2005 yaitu berkisar 0,005
4,039 mg/L (Warsa et al., 2009). Dampak utama dari polusi nitrogen dilingkungan adalah
pertumbuhan fitoplankton yang berlebih dan penurunan konsetrasi oksigen terlarut (Allen, 2009).
Proses nitrifikasi berlangsung hingga konsentrasi oksigen 0,05 mg/L (Abeliovich, 1987).
Fosfor merupakan nutrien penting untuk pertumbuhan alga dan berperan untuk mengubah
cahaya matahari menjadi energi dalam bentuk yang dapat digunakan. Konsentrasi fosfor yang
berlebih dapat menyebabkan masalah eutrofikasi dan pertumbuhan alga yang tidak terkendali
(Blooming) (Ji, 2008). Konsentrasi P-PO4 di Waduk Malahayu pada permukaan berkisar 0,021
0,095 mg/L dengan rata rata 0,046 mg/L sedangkan di dasar perairan berkisar 0,009 0,069
mg/L dengan rata rata 0,038 mg/L. Berdasarkan konsentrasi P-PO4 status trofiknya adalah
eutrofik. Konsentrasi P-PO4 pada umumnya rendah pada dasar perairan. konsetrasi terendah
terdapat pada stasiun Karacak pada Bulan Mei dan tertinggi pada bulan Mei pada stasiun
pengamatan yang sama. Konsentrasi P-PO4 di Waduk Malahayu lebih rendah jika dibandingkan
dengan Waduk Jatiluhur dari tahun 2004 2006 yaitu berkisar 0,045 1,044 mg/L (Tjahjo &
Purnamaningtyas, 2008). Konsentrasi fosfor dipermukaan suatu badan air dengan kosnetrasi
okasigen terlarut yang tinggi akan berbeda dengan dasar perairan dengan konsentrasi oksigen
terlarut yang lebih rendah (Schlesinger, 1997).
Klorofil-a merupakan gambaran produktivitas primer pada suatu badan air dan merupakan
pigmen yang umum dimiliki oleh fitoplankton (Griffin et al., 2004). Konsetrasi klorofil-a di Waduk
Malahyu pada permukaan berkisar 0,2 25,9 mg/m
3
dengan rata-rata 8,2 mg/m
3
dan didasar
perairan berkisar 3,7 mg/m
3
dengan rata rata 9,4 mg/m
3
. Berdasarkan klorofil-a adalah meso-
eutrofik. Eutrofikasi dapat mempengaruhi kualitas air suatu waduk dengan memberikan rasa dan
bau yang tidak sedap, air menjadi berwarna dan mempengaruhi kelarutan oksigen terlarut sebagi
akibat dari blooming alga. Eutrofikasi berdampak pada penurunan produksi ikan pada suatu waduk
sebagi akibat dari kerusakan jejaring makanan (Gliwicz & Warsaw, 1992), penurunan keragaman
hewan dengan trofik level tinggi (Hanson & Butler, 1994).
Analisa dengan menggunakan ANOVA memperlihatkan bahwa kualitas air pada
permukaan dan dasar perairan berbeda nyata (p>0,05). Parameter yang umumnya sama baik
pada permukaan dan dasar perairan antara lain pH, Suhu dan alkalinitas sedangkan parameter
yang menujukkan perbedaan adalah nutrien N-NO3, N-NH4, P-PO4 dan Klorofil-a. Nutrien N dan P
umumnya tinggi pada permukaan perairan sedangkan klorofil-a rendah di dasar perairan. Klorofil-a
merupakan gambaran biomassa dari fitoplankton yang merupakan biota yang mampu
Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-03) - 5
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
memamfaatkan nutrien-nutrien tersebut (Ji, 2008). Parameter yang sangat berperan dalam
menentukan kualitas air di Waduk Malahayu adalah suhu air (Gambar 2). Peningkatan suhu air
sebanyak 10
o
C akan meningkatakan kecepatan metabolisme organisme akuatik sebesar 2 - 3 kali
(Effendi, 2003). Kesetimbangan N-NH
4
, N-NO
2
dan N-NO
3
pada suatu badan air juga ditentukan
oleh suhu air pada ekosistem tersebut (Wright & Anderson , 2001). Kelimpahan fitoplankton selain
ditentukan oleh nutrien dan intensitas cahaya matahari juga ditentukan oleh suhu perairan (Wetzel,
2001). Konsentrasi P-PO4 di Waduk Malahayu di tentukan oleh konsentrasi oksigen terlarut.
Adanya oksigen terlarut atau kondisi aerob, fosfat terlarut akan akan berikatan dengan partikel
tersuspensi. Partikel partikel tersebut akan mengendap kedasar sedimen (Stumm and Morgan,
1981).
4 3 2 1 0 -1 -2
2
1
0
-1
-2
0.402
0
.
2
2
0
DAM Dsr Agst
DAM PermAgst
Pngp Dsr Agst
Pngp PermAgst
Krmb Dsr Agst
Krmb PermAgst
Krc Dsr Agst
Krc PermAgst
Pngp Dsr Jul
Pngp PermJul
DAM Dsr Jul
DAM PermJul
Krmb Dsr Jul
Krmb PermJul
Krc Dsr Jul
Krc PermJul
DAM Dsr Mei
DAM PermMei
Pngp Dsr Mei
Pngp PermMei
Krmb Dsr Mei
Krmb PermMei
Krc Dsr Mei
Krc PermMei
ScorePlot of SuhuA; ...; Chl-a
4 3 2 1 0 -1 -2
2
1
0
-1
-2
0.402
0
.
2
2
0
0
0
Chl-a
PO4
NH4
NO3
DO
SuhuA
Biplot of SuhuA; ...; Chl-a
Gambar 2. Hasil analisa komponen utama antara kelimpahan fitoplankton dan parameter kualitas
air
Berdasarkan bulan pengamatanya kualitas air di Waduk Malahyu dapat dibedakan menjadi
2 kelompok yaitu pada bulan Kelompok I (Mei) dan Kelompok II (Juni & Agustus) (Gambar 3).
Perbedaan tersebut terdapat pada parameter suhu air, konsentrasi oksigen terlarut dan korofil-a
dimana ketiga parameter tersebut umumnya tinggi pada buan Mei. sedangkan konsentrasi nutrien
N dan P tinggi pada bulan Juni.
A g u s tu s J u n i M e i
9 6 . 2 0
9 7 . 4 7
9 8 . 7 3
1 0 0 . 0 0
B u l a n P e n g a m a t a n
S
i
m
i
l
a
r
i
t
y
D e n d r o g r a m
S i n g l e L i n k a g e ; C o r r e l a ti o n C o e f f i c i e n t D i s t a n c e
Gambar 3. Dendogram kelimpahan fitoplankton dan parameter kualitas air
Kesimpulan
Berdasarkan konsentrasi Nutrien N dan P, kecerahan serta klorofil-a Waduk Malahayu
merupakan badan air yang subur (meso-eutrofik). Konsentrasi nutrien N-NO
3
, N-NH
4
, P-PO
4
dan
Klorofil-a umunya tinggi pada permukaan.
6 - Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-03)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Daftar Pustaka
Abeliovich. A, 1987. Nitrifying bacteria i wastewater reservoirs. Applied environmental microbilogy
53. 754 760p
Allen, J. 2009. Ammoia oxidation potential and microbialdiversity in sediments from experimental
bench-scale oxygen-activated nitrification wetland. Disertasi. 40p
American Public Health Association (APHA). 2005. Standard Methods for The Examination of
Water and Waste Water Including Bottom Sediment and Sludges. 12-th ed Amer. Publ.
Health Association Inc, New York.
Balcerzak, W. 2006. The protection of reservoir water against the eutrophication process. Polish J.
of Environ. Stud 15(6). 837 844p
Boelee, E., L. Rodrigues., A. Senzanje., H. Laamrani & P. Cecchi., 2010, Tageted water quality
assessment in small reservoirs in Brazil, Zimbabwe, Morocco and Burkina Faso.
Geophysical Research Abstracts (12).
Djukic, N., Maletin, S., Pujin, V., Ivanc, A. and Milajonovic, B. 1994. Ecological assessment of
water quality of Tisze by physico-chemical and biological parameters. Tisca Szeged, 28(1):
37-40p
Gliwicz, M.J. and Warsaw, A.J. 1992. Diel migrations of juvenile fish: a ghost of predation past or
present. Arch. Hydrobiol., 124(4): 385-410.
Griffin, J.J., T. G Ranney & D. M Pharr. 2004. Photosynthesis, clorophyll fluorescence, and
carbohydrate content of Illicium taxa grown under varied irradiance. J. Amer. Soc. Hort. Sci
129 (1). 46 53p
Hanson, M.A. and Buttler, M.G. 1994. Responses to foodweb manipulation in shallow waterfowl
lake. Hydrobiologia, 280: 457-466.
Ji, Zhen-Gang. 2008. Hydrodynamics and water quality: Modeling rivers, lakes and estuaries. John
Willey & sons. New Jersey. 676
Jorgensen, SE. 1980. Lake management : Water devolopment, supplay and management volume
14. Pergamon Press. 167
Krismono A. S. N & A. Warsa. 2006. Karakteristik kualitas air di Danau Teluk, Mahligai dan
Napalsisik, Jambi. Prosiding semonar limnologi. 171 192hal
Mustapha, M. K. 2008. Assessmnet of the water quality of Oyun Reservoir, Offa, Nigeria, Using
Selected Physyco-Chemical Parameters. Turkish Jounal of Fisheries and Aquatic Science
8. 309-329p
Pratiwi, N.T.M, K. Praptokardiyo dan N. Indrayani. 2000. Tingkat kesuburan Perairan Situ Ciguded,
Kabupaten Bogor Jawa Barat. Prosiding Semiloka Nasional Pengelolaan dan
Pemanfaatan Danau dan Waduk. Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian Universitas
Padjajaran, Bandung.
Siagian. M ,2004. Diktat kuliah ekologi perairan. Fakultas perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas
Riau, Pekabaru. (tidak diterbitkan). 50
Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-03) - 7
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Schlesinger, W.H. 1997. Biogeochemistry: an analysisi of global change. 2nd edition. Academic
press. California. 1-9p
Tjahjo, D. W. H & S.E Purnamaningtyas. 2008. Kajian kualitas air dalam evaluasi pengembangan
perikanan di Waduk Ir. Djuanda, Jawa Barat. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia 14 (1).
15 29hal
Umar C & E. S Kartamihardja. 2009. Struktur Komunitas dan kelimpahan fitolankton di Waduk
Riam Kanan, Kalimantan Selatan. Bawal 2(5). 203 208hal
Warsa, A., D. W. H. Tjahjo & L.P Astuti. 2009. Nitrogen anorganik terlarut (DIN) di Waduk Ir. H.
Djuanda, Jawa Barat. Prosising Seminar Nasional VI. Hasil Penelitian Perikanan dan
Kelautan Jilid II Manajemen Sumberdaya Perairan. 1- 7 hal.
Wetzel, R.G. 2001. Limnology: Lake and river ecosystems. third edition. Academic Press. 1006
Widodo J dan Suadi, 2006, Pengelolaan sumbedaya perikanan laut. Gadjah Mada University
Press. 252
Wright & Anderson , 2001. Nitrogen Excretion. Academic Press. United States of America
Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-04) - 1
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
NISBAH KELAMIN, FEKUNDITAS DAN DIAMETER TELUR
IKAN BETE (Leiognathus equulus FORSSKAL, 1775)
DI PERAIRAN DANAU TEMPE, KABUPATEN WAJO,
PROPINSI SULAWESI SELATAN
Syarifuddin Kune
1
, Sharifuddin Bin Andy Omar
2
, dan Yenda Hirasti Yusuf
3
1.
Jurusan Budidaya Perikanan, Fakultas Pertanian, Universitas Muhammadiyah, Makassar
Jalan Sultan Alauddin No. 259, Makassar, Telp. (0411) 860 837, syarifuddinkune.ppkhb@yahoo.com
2.
Laboratorium Biologi Perikanan, Universitas Hasanuddin, Makassar
3.
Alumni Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Jurusan Perikanan, Universitas
Hasanuddin, Makassar
Abstrak
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari hingga Maret 2010 di Danau Tempe, Kabupaten
Wajo, bertujuan untuk mengetahui nisbah kelamin, fekunditas dan diameter telur ikan bete
(Leiognathus equulus). Hasil penelitian menunjukkan secara keseluruhan, jumlah ikan bete jantan
dan betina yang diperoleh adalah 170 ekor. Nisbah kelamin ikan jantan dan betina 1,00 : 1,27.
Fekunditas ikan bete berkisar 11.522 140.812 butir telur pada kisaran panjang tubuh 148 250
mm, bobot tubuh 62,40 269,84 g, dan bobot gonad 0,71 11,52 g. Hasil analisis regresi
hubungan antara fekunditas dan panjang tubuh memenuhi persamaan F = 99.644 In L 46 841
dan nilai koefisien korelasi adalah 0.3016, persamaan hubungan regresi antara fekunditas dan
bobot tubuh adalah F = 26.702 e
0,004 W
dan nilai koefisien korelasi adalah 0.2966, sedangkan hasil
analisis regresi hubungan antara fekunditas dan bobot gonad adalah F = 12.645 G 4900 dan nilai
koefisien korelasi adalah 0.9879. Melihat hubungan dari ketiga hasil analisis regresi maka yang
paling cocok digunakan untuk menduga fekunditas ikan bete adalah bobot gonad. Diameter telur
ikan bete yang terdapat di perairan D. Tempe bervariasi dan berkisar antara 0,0910 0,4074 mm.
Grafik diameter telur pada TKG III dan IV, baik pada bagian depan, tengah, maupun belakang,
menunjukkan pola yang sama. Pola tersebut mengindikasikan bahwa ikan bete melepaskan
telurnya secara bertahap atau partial spawner.
Kata kunci: nisbah kelamin, fekunditas, Leiognathus equulus
Pengantar
Danau Tempe sejak dulu terkenal sebagai salah satu perairan umum daratan yang
merupakan penghasil ikan air tawar terbesar di Sulawesi Selatan dan menjadi sumber
penghidupan bagi masyarakat di sekitarnya. Luas D. Tempe 13.000 Ha, namun pada saat Musim
Penghujan, danau ini bersama-sama dengan D. Sidenreng (luasnya 3.000 Ha) dan D. Buaya
(luasnya 300 Ha) menyatu dengan luas yang dapat mencapai 35.000 Ha pada ketinggian air 7,8 m
di atas permukaan laut (Kusmini & Hadie, 2000).
Menurut Kusmini & Hadie (2000), D. Tempe merupakan daerah pasang surut dan luas
daerah pasang surut ini dapat mencapai 18.000 Ha. Pada saat air pasang, aktivitas masyarakat
dalam usaha perikanan sangat tinggi. Sebaliknya, pada saat air surut, sebagian besar lahan kering
di daerah ini digunakan oleh masyarakat sekitar sebagai areal untuk bertanam palawija. Ciri khas
lainnya adalah D. Tempe bersifat landai, dangkal, dan banyak ditumbuhi oleh tanaman air.
Produksi ikan D. Tempe yang tertinggi dicapai pada tahun 1948, yaitu sekitar 58.400 ton.
Selanjutnya, terjadi penurunan produksi yaitu 48.000 ton pada tahun 1950, bahkan yang terendah
pernah mencapai 5.233 ton pada tahun 1980 (Kusmini & Hadie, 2000). Pada tahun 1981 dan 1992
dilakukan penebaran ikan dan hal ini meningkatkan produksi sehingga saat ini produksi tahunan D.
Tempe mencapai kisaran 5.000 10.000 ton (Tamsil, 2003).
Menurut Wargasasmita (1976, 2000), dari 15 jenis ikan yang ditemukan di Danau Tempe,
8 jenis di antaranya termasuk ikan air tawar sekunder dan 7 jenis merupakan ikan air tawar primer.
Namun demikian, ikan air tawar primer ini juga sebagian besar merupakan ikan introduksi. Bale
MS-04
2 - Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-04)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
biawang atau ikan tambakan (Helostoma temmincki Cuvier, 1829) diintroduksi pada tahun 1925,
bale janggo atau ikan sepat siam (Trichogaster pectoralis (Regan, 1910)) dan bale kandea atau
ikan tawes (Barbonymus gonionotus (Bleeker, 1850)) pada tahun 1937, bale ceppi atau ikan lele
(Clarias batrachus (Linnaeus, 1758)) pada tahun 1946, serta bale ulaweng atau ikan mas
(Cyprinus carpio Linnaeus, 1758) pada tahun 1948. Ikan lainnya yang diduga hasil introduksi di D.
Tempe adalah ikan betok (Anabas testudineus (Bloch, 1792)) atau bale oseng dan ikan gabus
(Channa striata (Bloch, 1793)) atau bale bolong/bale salo (Wargasasmita, 2000) serta ikan nilem
(Osteochilus vittatus (Valenciennes, 1842)) atau bale calabai (Kottelat et al., 1993). Sebaran ikan
air tawar primer dan sekunder ini mendukung teori yang mengemukakan bahwa tidak ada daratan
yang pernah menghubungkan Pulau Sulawesi dengan daratan Benua Asia pada era
Caenozoicum. Jenis-jenis ikan di danau-danau di Sulawesi merupakan jenis-jenis ikan peripheral,
yaitu ikan yang asal-usulnya berasal dari laut.
Ikan dominan hasil sampling yang dilakukan oleh Kusmini & Hadie (2000) adalah ikan
betok dan yang langka adalah ikan bungo (Glossogobius giuris (Hamilton, 1822)). Jenis ikan
lainnya yang ditemukan adalah ikan gabus, ikan sepat siam dan ikan tawes. Lebih lanjut, Kusmini
& Hadie (2000) menemukan ikan hasil tangkapan nelayan terdiri atas ikan gabus, ikan tambakan,
ikan tawes, ikan lele, ikan nila (Oreochromis niloticus niloticus (Linnaeus, 1758)) dan ikan betutu
(Oxyeleotris marmorata (Bleeker, 1852)).
Baik Wargasasmita (1976, 2000) maupun Kusmini & Hadie (2000), tidak menyebutkan
adanya ikan papetek (Leiognathus equulus Forsskal, 1775) atau bale bete di dalam publikasi
mereka. Hal ini menunjukkan bahwa ikan tersebut sangat jarang ditemukan. Sampai saat ini belum
pernah dilakukan penelitian ilmiah yang berkaitan dengan ikan bete, termasuk informasi musim
pemijahan ikan tersebut belum ada. Berdasarkan hal tersebut maka perlu dilakukan penelitian
untuk mengetahui tentang nisbah kelamin, fekunditas dan diameter telur ikan bete yang terdapat di
D. Tempe.
Bahan dan Metode
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei hingga Agustus 2010 di D. Tempe, Kabupaten
Wajo. Analisis sampel dilakukan di Laboratorium Biologi Perikanan, Jurusan Perikanan,
Universitas Hasanuddin, Makassar. Sampel ikan bete (L. equulus) diperoleh dari hasil tangkapan
nelayan dengan menggunakan jaring insang permukaan dan didaratkan di Tempat Pelelangan
Ikan (TPI) 45 di Kelurahan Lailo, Lingkungan Barorai, Sengkang, Kabupaten Wajo. Pengambilan
sampel ikan dilakukan setiap minggu selama tujuh minggu.
Penentuan jenis kelamin dilakukan dengan membedah ikan contoh dan tingkat
kematangan gonad mengacu pada Novitriana et al. (2004). Penimbangan bobot gonad
menggunakan timbangan elektrik dengan ketelitian 0,001 g.
Penentuan fekunditas dilakukan dengan cara mengambil ovari ikan betina yang matang
(TKG III dan IV). Fekunditas total dihitung dengan menggunakan metode gravimetrik (Andy Omar,
2007). Sampel gonad ikan diambil dan ditimbang dengan menggunakan timbangan elektrik,
kemudian bagian depan, tengah, dan belakang gonad diambil sebagai sub-contoh untuk ditimbang
kembali. Sub-contoh gonad tersebut kemudian direndam ke dalam larutan gilson selama 24 jam.
Larutan gilson ini dapat melarutkan jaringan-jaringan pembungkus telur sehingga memudahkan
dalam perhitungan butir-butir telur. Setelah dinding gonad larut dan butiran telur sudah terlepas
antara satu dan lainnya, telur ikan bete kemudian dihitung jumlahnya di bawah mikroskop.
Perhitungan fekunditas diulangi sebanyak tiga kali (depan, tengah dan belakang) pada masing-
masing gonad.
Diameter telur diukur dengan menggunakan mikroskop yang dilengkapi dengan
mikrometer okuler dan telah ditera sebelumnya. Pada masing-masing gonad diambil 1000 butir
telur untuk diukur diameter telurnya. Berdasarkan analisis diameter telur ditentukan frekuensi
pemijahan.
Untuk melihat nisbah kelamin yang didasarkan pada jumlah sampel ikan bete jantan dan
betina, digunakan rumus sebagai berikut (Mattjik & Sumertajaya, 2002):
Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-04) - 3
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
B
J
NK

dimana: NK = nisbah kelamin, J = jumlah ikan bete jantan (ekor), B = jumlah ikan bete betina
(ekor).
Selanjutnya, diuji untuk mengetahui apakah nisbah kelamin sama dengan 1 : 1 atau tidak,
digunakan analisis chi-kuadrat (Sudjana, 1992) :

n
oj
n
io
n
ij
E

dimana: E
ij
= frekuensi teoritik yang diharapkan terjadi, n
io
= jumlah baris ke-i, n
oj
= jumlah kolom
ke-j, n = jumlah frekuensi dari nilai pengamatan.

k
i
Ei
Ei Oi
X
1
2
Dimana: Oi = Nilai yang nampak sebagai hasil pengamatan ikan jantan dan betina; Ei = Nilai yang
diharapkan terjadi pada ikan jantan dan betina.
Fekunditas total dihitung dengan menggunakan metode gravimetrik, (Andy Omar, 2007)
dengan rumus :
Fs
Bs
Bg
F
Dimana, F = jumlah seluruh telur atau fekunditas (butir), Fs = Jumlah telur pada sebagian gonad
(butir), Bg = Bobot seluruh gonad (g), Bs = Bobot sebagian kecil gonad (g).
Selanjutnya, fekunditas total (F) dihubungkan dengan panjang total (L), bobot tubuh ikan (W) dan
bobot gonad (G) (Andy Omar, 2002).
Diameter telur dapat dihitung dengan menggunakan rumus (Rodriguez at al., 1995):
dv Dh Ds
Dimana: Ds = Diameter telur yang sebenarnya (mm), D = Diameter telur secara horizontal (mm), d
= Diameter telur telur secara vertikal (mm).
Hasil dan Pembahasan
Pengetahuan tentang biologi reproduksi ikan merupakan hal yang fundamental, tidak saja
bagi keperluan budidaya tetapi juga bagi keperluan pengelolaan ikan tersebut. Hal-hal yang
berkaitan dengan biologi reproduksi, termasuk nisbah kelamin, fekunditas, dan pemijahan,
merupakan aspek-aspek biologi perikanan yang perlu diketahui, baik untuk mengetahui potensi
populasi tersebut maupun untuk meningkatkan eksploitasi.
Nisbah Kelamin
Seksualitas ikan perlu diketahui karena dapat dijadikan untuk membedakan antara ikan
jantan dan ikan betina. Ikan jantan adalah ikan yang menghasilkan spermatozoa, sedangkan ikan
betina adalah ikan yang dapat menghasilkan sel telur atau ovari. Apabila spermatozoa dan sel telur
dihasilkan oleh individu yang berbeda, maka ikan tersebut bersifat heteroseksual, sebaliknya jika
spermatozoa dan sel telur ditemukan dalam tubuh satu individu maka ikan tersebut bersifat
hermafrodit (Effendie, 1997).
Nisbah kelamin merupakan perbandingan antara jumlah ikan jantan dan jumlah ikan betina
yang menyusun suatu populasi. Di alam, nisbah kelamin ikan jantan dan ikan betina diperkirakan
mendekati 1,00 : 1,00, berarti jumlah ikan jantan yang tertangkap relatif hampir sama banyaknya
dengan jumlah ikan betina yang tertangkap (Andy Omar, 2007).
Jumlah ikan bete (Leiognathus equulus) yang tertangkap di D. Tempe selama penelitian
yaitu sebanyak 170 ekor yang terdiri dari 75 ekor jantan dan 95 ekor betina. Dengan demikian,
4 - Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-04)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
nisbah kelamin ikan bete jantan dan betina adalah 75 : 95 atau 1,00 : 1,27. Berdasarkan hasil uji
chi-square diperoleh X
2
hitung sebesar 48,75 dan X
2
tabel sebesar 11,07. Ini berarti bahwa nisbah
kelamin ikan bete jantan dan betina di perairan D. Tempe bukan 1,00 : 1,00.
Sjafei & Saadah (2001) memperoleh ikan petek (Leiognathus splendens) di perairan Teluk
Labuan, Banten, sebanyak 747 ekor yang terdiri atas 539 ekor ikan jantan dan 208 ekor ikan
betina. Novitriana et al. (2004) memperoleh ikan petek (Leiognathus equulus) di Mayangan,
Subang, Jawa Barat, sebanyak 970 ekor terdiri atas 528 ekor (59,32%) ikan jantan dan 362 ekor
(40,67%) ikan betina, serta 80 ekor sisanya merupakan ikan yang jenis kelaminnya sulit ditentukan
karena tidak terlihatnya gonad. Di Selat Makassar, Sulawesi Selatan, Sitepu (1981) memperoleh
ikan pepetek sebanyak 101 ekor yang terdiri atas 52 ekor ikan jantan dan 49 ekor ikan betina.
Ketiga penelitian tersebut di atas menunjukkan jumlah ikan jantan yang relatif lebih banyak
dibandingkan dengan jumlah ikan betina. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian yang ditemukan
di perairan D. Tempe.
Agar populasi ikan dapat dipertahankan kelestariannya, sebaiknya perbandingan ikan
jantan dan betina seimbang, bahkan lebih baik lagi jika jumlah ikan betina lebih banyak (Purwanto
et al., 1986). Menurut Nikolsky (1963), nisbah kelamin ikan seringkali berfluktuasi akibat adanya
aktivitas selama masa pemijahan. Di dalam ruaya menuju daerah pemijahan, pada awalnya jumlah
ikan jantan lebih banyak daripada ikan betina, kemudian jumlah kedua jenis kelamin ini seimbang,
dan akhirnya jumlah ikan betina lebih banyak daripada ikan jantan.
Fekunditas
Menurut Roy & Hossain (2006), pengetahuan tentang fekunditas seekor ikan sangat
penting diketahui untuk mengevaluasi potensi stok, siklus hidup, budidaya, dan pengelolaan
spesies tersebut. Fekunditas sering didefinisikan sebagai jumlah telur yang terdapat di dalam ovari,
dan jumlahnya bervariasi di dalam suatu kisaran tertentu serta bersifat species specific (Akter et
al., 2007). Variasi fekunditas sangat umum terjadi pada ikan dan jumlah telur yang dihasilkan oleh
seekor induk tergantung kepada banyak faktor, termasuk umur, ukuran, spesies, dan kondisi
(ketersediaan makanan, suhu air, musim)(Lagler et al., 1977). Fekunditas terkadang juga
berhubungan dengan densitas karena jika densitas populasi menurun maka pertumbuhan
meningkat dan fekunditas kemungkinan ikut meningkat pula (Schueller et al., 2005).
Fekunditas ikan bete berkisar 11.522 140.812 butir telur pada kisaran panjang tubuh 148
250 mm, bobot tubuh 62,40 269,84 g, dan bobot gonad 0,71 11,52 g. Sjafei & Saadah
(2001) memperoleh fekunditas ikan petek 9.899 180.553 butir telur di perairan Teluk Labuan,
Banten, pada kisaran panjang 114 145 mm dan bobot tubuh berkisar 20,65 57,88 g.
Fekunditas ikan petek di Mayangan, Subang, Jawa Barat, berkisar 1.496 157.845 butir telur,
pada kisaran panjang 106 195 mm (Novitriana et al., 2004). Sitepu (1981) memperoleh
fekunditas ikan pepetek berkisar 9250 116.668 butir telur di perairan Selat Makassar, Sulawesi
Selatan, pada kisaran panjang ikan 40 220 mm. Tampak jelas bahwa fekunditas ikan bete yang
tertangkap di perairan D. Tempe berada di dalam kisaran yang tidak jauh berbeda dengan ikan
petek dari perairan lainnya.
Hasil analisis regresi hubungan antara fekunditas dan panjang tubuh bersifat linier dengan
persamaan F = 99.644 In L 46.841 dan nilai koefisien korelasi (r) adalah 0.3016, persamaan
hubungan regresi antara fekunditas dan bobot tubuh adalah F = 26.702 e
0,004 W
dan nilai koefisien
korelasi (r) adalah 0.2966, sedangkan hasil analisis regresi hubungan antara fekunditas dan bobot
gonad adalah F = 12.645 G 4900 dengan nilai koefisien korelasi (r) sebesar 0.9879 (Gambar 1).
Berdasarkan nilai koefisien korelasi ketiga persamaan regresi yang diperoleh di atas
tampak bahwa hubungan antara fekunditas dan panjang tubuh serta antara fekunditas dan bobot
tubuh sangat lemah, yaitu masing-masing 0,3016 dan 0,2966. Hal ini menunjukkan bahwa model-
model yang digunakan tidak sesuai untuk menyatakan hubungan antara fekunditas dan panjang
tubuh serta hubungan antara fekunditas dan bobot tubuh ikan bete. Diduga hal ini berkaitan erat
dengan bentuk tubuh ikan bete yang pipih. Berbeda dengan kedua variabel di atas (panjang tubuh
dan bobot tubuh), bobot gonad dapat digunakan untuk menduga fekunditas ikan bete tersebut. Hal
ini terlihat dari nilai koefisien korelasi yang sangat kuat antara fekunditas dan bobot gonad (r =
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan
0,9879). Novitriana et al. (2004) juga memperoleh hubungan yang sangat kuat antara fekunditas
dan bobot gonad, yaitu F = 28.425 G
Ikan yang mempunyai bobot tubuh maksimal tidak mutlak memiliki fekunditas yang b
Diduga bahwa bobot tubuh yang meningkat disebabkan oleh bobot lambung yang besar
bobot gonad kecil, sehingga fekunditas
yang lambungnya penuh berisi makanan. Selain berhubungan dengan ukuran panjang tubuh
bobot tubuh, fekunditas juga berkaitan erat dengan cara penjagaan (
diameter telur (Syandri, 1996)
100000
120000
140000
160000
F
e
k
u
n
d
i
t
a
s
20000
40000
60000
80000
100000
120000
140000
160000
F
e
k
u
n
d
i
t
a
s
(
b
u
t
i
r
)
20000
40000
60000
80000
100000
120000
140000
160000
F
e
k
u
n
d
i
t
a
s
(
b
u
t
i
r
)
Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan
. (2004) juga memperoleh hubungan yang sangat kuat antara fekunditas
dan bobot gonad, yaitu F = 28.425 G 3609,2 dengan koefisien korelasi sebesar 0,9104.
Ikan yang mempunyai bobot tubuh maksimal tidak mutlak memiliki fekunditas yang b
obot tubuh yang meningkat disebabkan oleh bobot lambung yang besar
kecil, sehingga fekunditas rendah. Hal ini terjadi misalnya pada ikan
yang lambungnya penuh berisi makanan. Selain berhubungan dengan ukuran panjang tubuh
bobot tubuh, fekunditas juga berkaitan erat dengan cara penjagaan (parental care
diameter telur (Syandri, 1996).
F= 99644ln(L) - 46841
r = 0,3016
N = 56
0
20000
40000
60000
80000
100000
120000
140000
160000
0 100 200 300
Panjang tubuh (mm)
F
e
k
u
n
d
i
t
a
s
(
b
u
t
i
r
)
F = 26702e
0,004
W
r = 0,2966
N = 56
0
20000
40000
60000
80000
100000
120000
140000
160000
0.00 50.00 100.00 150.00 200.00 250.00 300.00
Bobot tubuh (g)
F = 12645G - 4900
r = 0,9879
N = 56
0
20000
40000
60000
80000
100000
120000
140000
160000
0.00 5.00 10.00 15.00
Bobot gonad
(g)
Perikanan (MS-04) - 5
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
. (2004) juga memperoleh hubungan yang sangat kuat antara fekunditas
3609,2 dengan koefisien korelasi sebesar 0,9104.
Ikan yang mempunyai bobot tubuh maksimal tidak mutlak memiliki fekunditas yang besar.
obot tubuh yang meningkat disebabkan oleh bobot lambung yang besar tetapi
misalnya pada ikan-ikan tertangkap
yang lambungnya penuh berisi makanan. Selain berhubungan dengan ukuran panjang tubuh dan
parental care) dan ukuran
300
6 - Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-04)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Gambar 1. Hubungan antara fekunditas dan panjang tubuh (atas), antara fekunditas dan bobot
tubuh (tengah), serta antara fekunditas dan bobot gonad (bawah) ikan bete (Leiognathus
equulus Forsskal, 1775) di perairan Danau Tempe, Kabupaten Wajo
Diameter Telur
Grafik penyebaran diameter telur yang sudah matang dapat digunakan untuk menduga
frekuensi pemijahan, yaitu dengan melihat modus yang terbentuk (Prabhu, 1956 dalam Satria,
1991). Berdasarkan ukuran diameter telur ikan tersebut maka lama pemijahan juga dapat ditaksir
(Hoar, 1957). Jika ikan tersebut memiliki waktu pemijahan yang pendek, maka semua telur
yang masak di dalam ovarium cenderung akan memiliki ukuran yang sama. Akan tetapi jika waktu
pemijahan ikan tersebut lama atau terus menerus pada kisaran waktu yang lama, maka telur yang
berada di dalam ovarium memiliki ukuran yang berbeda-beda.
Diameter telur ikan bete yang terdapat di perairan D. Tempe bervariasi dan berkisar antara
0,0910 0,4074 mm. Grafik diameter telur pada TKG III dan IV menunjukkan pola yang sama,
yaitu masing-masing memiliki dua puncak (Gambar 2). Kehadiran dua buah modus diameter telur
menunjukkan perkembangan telur group synchronous (Selman dan Wallace, 1989). Modus yang
pertama pada kisaran 0,1754 0,2175 mm menunjukkan telur cadangan yang akan dikeluarkan
pada periode reproduksi berikutnya, sedangkan modus yang kedua pada kisaran 0,2598 0,3019
mm menunjukkan telur yang mengandung kuning telur dan dikeluarkan pada saat pemijahan. Pola
tersebut mengindikasikan bahwa ikan bete melepaskan telurnya secara bertahap atau partial
spawner. Hasil penelitian yang ditemukan pada ikan bete di perairan D. Tempe ini serupa dengan
temuan Sjafei & Saadah (2001) yang melakukan penelitian di perairan Teluk Labuan, Banten.
0
500
1000
1500
2000
2500
3000
3500
4000
4500
5000
F
e
k
u
n
d
i
t
a
s
(
b
u
t
i
r
)
Diameter telur (mm)
Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-04) - 7
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Gambar 2. Grafik diameter telur ikan bete (Leiognathus equulus Forsskal, 1775) pada Tingkat
Kematangan Gonad III (atas) dan pada Tingkat Kematangan Gonad IV (bawah)
Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dari beberapa aspek biologi ikan bete (Leiognathus equulus) di
perairan Danau Tempe, Kabupaten Wajo, maka dapat disimpulkan bahwa nisbah kelamin ikan
jantan dan betina tidak seimbang. Fekunditas ikan bete berkisar 11.522 140.812 butir telur.
Berdasarkan analisis regresi antara fekunditas dan panjang tubuh, antara fekunditas dan bobot
tubuh, serta antara fekunditas dan bobot gonad maka hubungan antara fekunditas dan bobot
gonad yang paling cocok untuk digunakan sebagai penduga fekunditas ikan bete. Ikan bete di
perairan Danau Tempe memijah secara bertahap (partial spawner).
Daftar Pustaka
Akter, M.A., M.D. Hossain, M.K. Hossain, R. Afza & A.S. Bhuyian. 2007. The fecundity of Hilsa
ilisha from the river Padma near Gogagari of Rajshahi district. Unv. j. Zool. Rajshahi Univ.
26: 41-44.
Andy Omar, S. Bin. 2002. Biologi Reproduksi Cumi-cumi (Sepioteuthis lessoniana Lesson, 1830).
Disertasi. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
_______. 2007. Modul Praktikum Biologi Perikanan. Jurusan Perikanan, Fakultas Ilmu Kelautan
dan Perikanan, Universitas Hasanuddin. Makassar. 168 p.
Hoar, W.S. 1957. Reproduction, pp. 287-317. In W.S. Hoar and T.J. Randall (eds.) The Physiology
of Fishes. Volume 1. Academic Press, Inc., Publ., New York.
Kottelat, M., A.J. Whitten, S.N. Kartikasari & S. Wirjoatmodjo. 1993. Freshwater Fishes of Western
Indonesia and Sulawesi. Periplus edition (HK) Ltd in collaboration with the Environmental
Manage-ment Development in Indonesia (EMDI) Project, Ministry of State for Population
and Environment, Republic of Indonesia. 221 p.
0
500
1000
1500
2000
2500
3000
3500
4000
4500
5000
F
e
k
u
n
d
i
t
a
s
(
b
u
t
i
r
)
Diameter telur (mm)
8 - Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-04)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Kusmini, I.I. dan L.E. Hadie. 2000. Status keanekaragaman ikan di Danau Tempe. Prosiding
Seminar Nasional Keanekaragaman Hayati Ikan di Bogor tanggal 6 Juni 2000: 49-53.
Lagler, K.F., J.E. Bardach, R.R. Miller and D.R.M. Passino. 1977. Ichthyology. Second edition.
John Wiley & Sons. New York. 506 p.
Mattjik, A.A. dan I.M. Sumertajaya. 2002. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan
Minitab. Jilid I. Edisi Kedua. IPB Press. Bogor. 281 p.
Nikolsky, G.V. 1963. The Ecology of Fishes. Academic Press. London. 352 p.
Novitriana, R., Y. Ernawati, dan M.F. Rahardjo. 2004. Aspek pemijahan ikan petek (Leiognathus
equulus) Forsskal, 1775 (Fam. Leiognathidae) di pesisir Mayangan Subang. Jawa Barat.
Jurnal Ikhtiologi Indonesia 4(1): 7-13.
Purwanto, G., W.M. Bob, dan Sj. Bustaman. 1986. Studi pendahuluan keadaan reproduksi dan
perbandingan kelamin ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) di perairan sekitar Teluk Piru
dan Elpaputih, Seram. Jurnal Penelitian Perikanan Laut 34: 67-78.
Rodriguez. N. J., Z. J. Oteme and S. Hem, 1995. Comparative study of vitellogenesis of two African
catfish species Chrysichthys nitrodigitatus (Claroteidae) and Heterobranchus longifilis
(Clariidae). Aquatic Living Resources 8: 291-296.
Roy, P.K. and M.A. Hossain. 2006. The fecundity and sex ratio of Mystus cavasius (Hamilton)
(Cypriniformes: Bagridae). J. Life. Earth Sci. 1(2): 65-66.
Satria, H. 1991. Potensi reproduksi ikan hampal (Hampala macrolepidota) di Waduk Saguling,
Jawa Barat. Buletin Penelitian Perikanan Darat 10(1): 10-16.
Schueller, A.M., M.J. Hansen, S.P. Newman and C.J. Edwards. 2005. Density dependence of
walleye maturity and fecundity in Big Crooked Lake, Wisconsin, 1997-2003. North
American Journal of Fisheries Management 25: 841-847.
Selman, K. and R.A. Wallace. 1989. Cellular aspects of oocyte growth in Teleosts. Zoological
Science 6: 211-231.
Sitepu, F.G. 1981. Komposisi Jenis, Kebiasaan Makanan dan Fekunditas Ikan Pepetek
(Leiognathidae) di Perairan Selat Makassar, Sulawesi Selatan. Tesis. Fakultas ilmu-ilmu
Pertanian, Universitas Hasanuddin. Ujung Pandang.
Sjafei. D.S. dan Saadah. 2001. Beberapa aspek biologi ikan petek Leiognathus splendens Cuvier
di perairan Teluk Labuan, Banten. Jurnal Ikhtiologi Indonesia 1(1): 13-17.
Sudjana. 1992. Metoda Statistika. Edisi Kelima. Penerbit Tarsito. Bandung. 108 p.
Syandri, H. 1996. Aspek Reproduksi Ikan Bilih, Mystacoleucus padangensis Blkr dan Kemungkinan
Pembenihannya di Danau Singkarak. Disertasi. Program Pascasarjana. Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
Taslim. R. S. 2003. Danau Tempe tatkala "Mangkuk Ikan" mengering. http://www. kompas.com/
kompas. cetak/03/04/07 teropong/187153.htm. Diakses tanggal 26 April 2010
Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-04) - 9
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Wargasasmita, S. 1976. Ikan-ikan Danau Tempe. Laporan Survai Biologi Danau Tempe No.
Biotrop/TP/77/256.
_______. 2000. Keanekaragaman jenis ikan dalam ekosistem danau dan situ di Indonesia.
Prosiding Seminar Nasional Keanekaragaman Hayati Ikan di Bogor tanggal 6 Juni 2000:
39-47.
Tanya Jawab
Pertanyaan :
1. Berapa jumlah sampel yang diambil untuk dianalisis? Dari mana sampel didapat?
2. Berapa salinitas di perairan tersebut? kenapa ikan bisa berada di Danau Tempe?
Jawaban :
1. 170 ekor, didapat dari tempat pelelangan ikan (TPI) Danau Bete, Kelurahan Laiho. Sampel
diambil seminggu sekali.
2. Salinitas di danau tersebut tidak nol namun nol koma. Blum ada sejarah atau literatur yang
mengatakan bagaimana ikan tersebut bisa naik ke perairan tawar tepatnya di danau
tempe. Yang ada hanyalah teori-teori pendugaan bagaimana ikan tersebut ada di perairan
tawar.
Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-05) - 1
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
KONDISI DAN KERAPATAN PADANG LAMUN
DI PERAIRAN PANCURAN BELAKANG, KARIMUNJAWA
TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA JEPARA
Dr. Ir. Suryanti, MPi dan Ir.Ruswahyuni, MSc
Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan,
Jurusan Perikanan FPIK UNDIP
Jl. Prof Soedarto, SH. Gd D Kampus UNDIP Tembalang Semarang
Telp/Fax. 024.76480685 Hp. 08122619868
Email : suryanti_mail@yahoo.co.id
ABSTRAK
Padang lamun merupakan salah satu ekosistem laut dangkal yang mempunyai peranan penting
dalam kehidupan berbagai biota laut serta merupakan salah satu ekosistem bahari yang produktif.
Tujuan Penelitian untuk mengetahui kondisi padang lamun dan faktor-faktor penyebabnya di
Pancuran Belakang, Taman Nasional Karimunjawa. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan
informasi dan pengetahuan tentang kondisi padang lamun dalam usaha pemanfaatan dan
pengelolaan sumberdaya perairan yang optimal dan berkesinambungan. Metode yang digunakan
pada penelitian ini adalah metode deskriptif. Sedangkan pengambilan sampel dilakukan dengan
metode pemetaan sebaran lamun. Kondisi padang lamun di perairan Pancuran Belakang
Karimunjawa pada ketiga stasiun memiliki indeks keanekaragaman (H) kurang dari 2. Pada
stasiun 1 (jarang) dan 2 (sedang) indeks keseragamannya (e) berada di atas 0,6 yang berarti
kedelapan jenis lamun dapat hidup bersamaan tanpa ada yang mendominasi. Pada stasiun 3
(rapat) spesies lamun yang mendominasi perairan tersebut yaitu jenis Halophila ovalis. Parameter
lingkungan perairan seperti kecepatan arus, DO, pasang surut berpengaruh terhadap kondisi
padang lamun, terutama pada saat surut terendah yang menyebabkan beberapa tumbuhan lamun
tidak terendam air laut.
Kata Kunci : Kerapatan, Padang Lamun
PENGANTAR
Kepulauan Karimunjawa merupakan suatu perairan yang kaya akan potensi sumberdaya
laut. Salah satu sumberdaya alam laut yang terdapat di perairan Karimunjawa adalah lamun atau
seagrass. Tumbuhan ini merupakan sumber makanan bagi ikan-ikan kecil dan avertebrata serta
tempat pembesaran dan berlindung beberapa biota lainnya.
Padang lamun merupakan hamparan tumbuhan seperti rumput atau alang-alang yang
terbenam di dalam laut yang dangkal, tenang, berpasir atau berlumpur. Tumbuhan lamun terdiri
dari rhizoma, daun dan akar. Rhizoma adalah batang yang terbenam dan mendatar diatas
permukaan dasar laut (Motik, 2007), selanjutnya Fahrudin (2002) menyatakan bahwa ekosistem
padang lamun mempunyai peranan penting dalam menunjang kehidupan dan perkembangan
jasad hidup di perairan laut dangkal. antara lain sebagai : produsen primer, habitat biota,
perangkap sedimen dan sebagai pendaur zat hara
Penutupan lamun di lokasi Pancuran Belakang, Karimunjawa berdasarkan hasil monitoring
yang dilakukan oleh Sabarini dan Kartawijaya. (2006) juga BTNKJ, (2007) diketahui prosentase
penutupan lamun sebesar 82,72%. Hal tersebut menandakan adanya penurunan prosentase
penutupan lamun, karena pada tahun 2005 penutupan lamun pada lokasi tersebut adalah sebesar
83,33%. Menurut Lasmana, (2006) Perhatian terhadap ekosistem padang lamun masih sangat
minim. Hingga kini belum ada penetapan ukuran baku ambang kerusakan ekosistem lamun,
sedangkan untuk bakau dan terumbu karang sudah ada. Peneliti yang menaruh perhatian pada
ekosistem lamun juga masih dapat dihitung dengan jari
Masyarakat ternyata belum banyak yang mengenal lamun (sea grass), sehingga tak
banyak yang bisa dilakukan ketika ekosistem lamun mengalami kerusakan. Perlu diketahui bahwa
tumbuhan yang biasa hidup di daerah pesisir laut dangkal dan berkadar garam tinggi ini memiliki
manfaat penting bagi ekosistem laut diantaranya sebagai penyaring, karena padang lamun dapat
MS-05
2 - Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-05)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
menyaring zat-zat kimia berbahaya sebelum terbawa ke bagian laut lainnya, selain itu juga
mencegah pelumpuran atau terjadinya endapan lumpur yang berlebihan.
Penelitian mengenai kondisi dan kerapatan padang lamun di Taman Nasional
Karimunjawa ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai kondisi padang lamun saat ini
di Pancuran, Pulau Karimunjawa yang merupakan ekosistem penting di perairan pantai.
Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi padang lamun dan faktor-faktor yang
mempengaruhi kondisi padang lamun di Pancuran Belakang, Desa Kapuran, Taman Nasional
Karimunjawa
Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai bahan informasi dan pengetahuan
tentang kondisi padang lamun di perairan Taman Nasional Karimunjawa. Selain itu sebagai bahan
informasi dalam usaha pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya perairan yang optimal dan
berkesinambungan bagi praktisi dibidang perikanan sehingga bermanfaat khususnya bagi
masyarakat Karimunjawa dan masyarakat Indonesia pada umumnya.
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus sampai dengan Desember 2009 di Pancuran
Belakang Pulau Karimunjawa, Taman Nasional Karimunjawa, Kabupaten Jepara. Pengambilan
sampel dilakukan di Pancuran, Desa Kapuran, Taman Nasional Karimunjawa.
BAHAN DAN METODE
Bahan Penelitian
Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah padang lamun (sea grass) Pancuran
Belakang di Pulau Karimunjawa. Adapun peralatan yang digunakan dalam penelitian tercantum
dalam tabel 1.
Tabel 1. Alat dan Bahan yang Digunakan dalam Penelitian
Alat dan bahan Ketelitian dan satuan Kegunaan
Masker dan snorkel - Pengamatan di lapangan
Kuadran transek 11 m Batas pengamatan
Tiang pancang - Tanda garis transek
Tali rafia 100 m Garis transek
Bola arus - Pengukuran arus
DO Meter mg/l Pengukuran DO
Thermometer raksa 0,5
o
C Pengukuran temperatur
Refraktometer 0,5 ppm Pengukuran salinitas
pH paper 1-14 Pengukuran pH
Sechii disc Diameter 20 cm Pengukuran kecerahan
Tongkat berskala 1 cm Pengukuran kedalaman
Papan dan Kertas Data - Tempat pencatatan data
Kamera Bawah Air - Dokumentasi
GPS - Menentukan titik sampling
Metode Penelitian
Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode deskriptif. Penelitian deskriptif
dapat dikatakan sebagai penelitian yang hanya menggambarkan apa adanya tentang suatu
variabel, gejala, atau keadaan, tanpa adanya maksud menguji hipotesa seperti pada penelitian
eksperimental (Supriharyono, 2006). Metode sampling yang digunakan adalah metode pemetaan
Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-05) - 3
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
sebaran lamun. Pengambilan sampel dilakukan dengan berjalan kaki pada waktu air surut.
Kemudian dibuat sketsa atau peta dasar sebaran lamun di lokasi tersebut (Fachrul, 2007).
Lokasi sampling dilakukan di pantai Pancuran Belakang, Karimunjawa. Pemetaan
kerapatan lamun seluas 100 m (kearah laut) x 200 m (sejajar garis pantai). Daerah padang lamun
tersebut dibagi menjadi tiga stasiun dengan luasan yang sama (10m x 10 m). Sampling dilakukan
pada 3 stasiun, yaitu di padang lamun dengan kerapatan jarang, sedang, dan padat. Menurut
Asrian (2006), pembagian stasiun jarang,sedang, dan rapat dapat dsiasumsikan sebagai berikut:
a. Stasiun I : Kerapatan padat (diatas 301 tegakan/m
2
)
b. Stasiun II : Kerapatan sedang (151 300 tegakan/m
2
)
c. Stasiun III : Kerapatan jarang (dibawah 150 tegakan/m
2
)
Analisa Data
Analisis Data Sebaran Lamun
Menurut Fachrul (2007), untuk mengetahui sebaran lamun atau struktur komunitas lamun
perlu dilakukan pengolahan data, analisis yang dilakukan dapat dihitung dengan rumus sebagai
berikut:
a. Indeks Keanekaragaman (H)
H = ln atau H = ln
dengan: ni = Jumlah individu dalam spesies
N = Jumlah total individu
Pi = ni/N
(Shanon dan Weaver, 1949 dalam Odum 1971)
b. Indeks Keseragaman (e)
e = dengan e = Indeks keseragaman
H = Indeks keanekaragaman
S = Jumlah spesies
c. Indeks dominasi (C)
C = ( ) dengan C = Indeks dominasi
ni = Jumlah individu dalam spesies
N = Jumlah total individu
(Simson 1949 dalam Setiadi dan Tjondronegoro 1989)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Taman Nasional Karimunjawa secara geografis terletak pada 5
0
40 5
0
57 LS dan 110
0
04 - 110
0
40 BT. Kepulauan Karimunjawa masih termasuk ke dalam wilayah kabupaten Jepara
dan berada 45 mil laut kearah barat laut dari kota Jepara. Pantai Pancuran Belakang terdapat di
bagian sebelah timur dalam pulau Karimunjawa. Lokasi ini bernama Pancuran Belakang karena
terdapat mata air yang berada tidak jauh dari pantai. Air yang keluar dari mata air tersebut
merupakan air tawar yang terus mengalir sepanjang hari.
4 - Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-05)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Hasil
Kerapatan Lamun di Pancuran Belakang, Karimunjawa
Dari hasil penelitian ditemukan delapan jenis lamun yang tumbuh di perairan pantai
Pancuran Belakang, Desa Kapuran, Taman Nasional Karimunjawa. Jenis lamun yang ditemukan
diantaranya Cymodocea rotundata, Cymodocea serulata, Halophila ovalis, Halodule uninervis,
Thalassia hemprichii, Enhalus acoroides, Syringodium isoetifolium, dan Thalassodendron ciliatum.
Dari delapan jenis lamun tersebut yang paling banyak dijumpai adalah jenis Cymodocea rotundata
dan Thalassia hemprichii. Sedangkan Thalassodendron ciliatum merupakan jenis yang paling
sedikit ditemui dalam perairan ini.
Adapun data jumlah tegakan lamun pada lokasi penelitian tersaji pada tabel 2.
Tabel 2. Data Jenis lamun dalam Setiap Stasiun
Jenis Lamun
Stasiun I
(Padat)
Stasiun II
(Sedang)
Stasiun III
(Jarang)
ni
Penutupan
(%)
ni
Penutupan
(%)
ni
Penutupan
(%)
Cymodocea rotundata 19525 40,82 6292 27,93 92 0,84
Cymodocea serulata 4173 7,69 1473 7,62 0 0
Halophila ovalis 1759 3,61 3362 15,86 7260 68,23
Halodule uninervis 1286 2,04 1896 7,56 421 3,86
Thalassia hemprichii 18449 37,71 5290 23,48 2071 18,57
Enhalus acoroides 430 1,10 267 1,58 528 4,87
Syringodium isoetifolium 2816 6,76 2429 13,94 0 0
Thalassodendron ciliatum 120 0,25 413 2,03 400 3,61
Jumlah Spesies (s) 8 8 6
Jumlah individu (N)/ 100 m
2
48558 21422 10772
Indeks Keanekaragaman (H') 1,38311 1,77216 1,02044
Indeks Keseragaman (e) 0,6651 0,8522 0,5695
Menurut Lee et al. (1978) dalam Anggoro (1988), kriteria tingkat kondisi perairan dapat
digolongkan sebagai berikut:
a. H < 1,0 : kondisi perairan sangat buruk dan kesuburan sulit dimanfaatkan untuk
budidaya.
b. H 1 1,5 : kondisi perairan buruk dan kesuburan sulit dimanfaatkan untuk budidaya.
c. H 1,5 2 : kondisi perairan kurang baik dan kesuburan dapat dimanfaatkan untuk
budidaya.
d. H > 2,0 : kondisi perairan baik dan kesuburan dapat dimanfaatkan untuk budidaya.
Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-05) - 5
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Gambar 1. Grafik tegakan lamun
Parameter Perairan Lokasi Penelitian
Parameter lingkungan yang diamati pada penelitian ini meliputi suhu air, pH, salinitas,
kedalaman, kecerahan, kecepatan arus, dan oksigen terlarut (DO). Parameter perairan lokasi
sampling dapat dilihat pada tabel 3 berikut.
Tabel 3. Parameter Lingkungan Perairan pada Lokasi Sampling
Parameter Satuan
Nilai Hasil Pengamatan Nilai
Optimum
Pustaka
ST I ST II ST III
Suhu Air
0
C 30 31 30 31 30 31 25 35
Supriharyono
(2007)
pH - 7 8 7 8 7 8 8 Alongi (1998)
Salinitas
0
/
00
29 30 29 30 29 30 25 35
Supriharyono
(2007)
Kedalaman cm 35 80 45 110 40 90 <200 Alongi (1998)
Kecerahan m Dasar Dasar Dasar -
Kec. Arus cm/dt 0,48 0,7 0,51 1,03 0,3 0,5 0,25 0,64
Supriharyono
(2007)
DO mg/l 3,22 3,81 3,42 3,8 3,35 3,8 3,5 4,0 Hutabarat (2000)
Berdasarkan hasil pengamatan parameter lingkungan pada kondisi perairan Pancuran
Belakang Karimunjawa, suhu air berada pada kisaran yang ideal yaitu 30 31
0
C dengan pH yang
normal yaitu 7 8. Menurut Supriharyono (2007), lamun mempunyai suhu optimum untuk
fotosintesis sekitar 25 35
0
C. Hasil pengukuran salinitas di perairan tersebut adalah 29 30
0
/
00
.
Menurut Zieman (1975) dalam Supriharyono (2007), secara umum salinitas yang optimum untuk
pertumbuhan lamun adalah berkisar antara 25 35
0
/
00
.
Kecepatan arus di perairan tersebut berkisar antara 0,3 1,03 cm/dt. Menurut
Supriharyono (2007), puncak laju fotosintesa lamun terjadi pada kecepatan arus 0,25 0,64cm/dt.
Apabila pergerakan air mempengaruhi pertumbuhan lamun, sebaliknya keberadaan lamun juga
bisa mempengaruhi hidrodinamika air laut. Tumbuhan lamun diketahui dapat memodifikasi arus
dan gelombang, sehingga secara tidak langsung juga berpengaruh terhadap ekosistem padang
lamun.
6 - Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-05)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Pembahasan
Kerapatan Lamun di Pancuran Belakang, Karimunjawa
Kerapatan lamun pada penelitian ini dibagi menjadi tiga stasiun yaitu kerapatan padat,
sedang, dan jarang. Dengan perbedaan kerapatan tersebut menyebabkan nilai indeks
keanekaragaman maupun keseragamannya berbeda sehingga dengan nilai-nilai tersebut dapat
diketahui kondisi padang lamun pada lokasi penelitian.
Stasiun 1 (Kerapatan Lamun Padat)
Nilai indeks keanekaragaman (H) pada stasiun 1 (padat) adalah 1,38311. Berdasarkan
nilai H tersebut menandakan bahwa kondisi perairan tersebut kurang baik karena nilai H < 2.
Sementara itu indeks keseragaman (e) pada stasiun ini adalah 0,6651. Indeks keseragaman
tersebut lebih besar 0,6, hal tersebut menandakan bahwa pada stasiun ini tidak ada jenis lamun
yang mendominasi, artinya seluruh spesies lamun dapat hidup baik secara seragam atau
bersamaan.
Paramater lingkungan seperti suhu air, pH air, salinitas, kedalaman dan kecerahan
perairan berada dalam kondisi optimum. Oksigen terlarut (DO) perairan tersebut ada yang kurang
optimum yaitu sebesar 3,22 mg/l sedangkan kisaran optimum menurut Hutabarat (2000) adalah
3,5 4,0 mg/l. Hal ini dikerenakan kepadatan lamun yang menyebabkan penetrasi cahaya
berkurang meskipun cahaya matahari mencapai dasar perairan.
Kecepatan arus pada stasiun ini berada di atas kisaran optimum yaitu 0,7 cm/dt.
Kecepatan arus tersebut melebihi kisaran optimum, karena menurut Supriharyono (2007)
kecepatan arus yang optimum untuk lamun adalah 0,25 0,64 cm/dt. Hal ini menyebabkan jenis
Cymodocea rotundata dan Thalassia hemprichii melimpah, karena jenis tersebut memiliki
perakaran yang kuat.
Stasiun 2 (Kerapatan Lamun Sedang)
Nilai indeks keanekaragaman (H) pada stasiun 2 (sedang) adalah 1,77216. Berdasarkan
nilai H tersebut menandakan bahwa kondisi perairan tersebut kurang baik karena nilai H < 2.
Sementara itu indeks keseragaman (e) pada stasiun ini adalah 0,8522., Seperti pada stasiun 1,
tidak ada jenis lamun yang mendominasi pada kerapatan lamun yang sedang artinya seluruh
spesies lamun dapat hidup baik secara seragam atau bersamaan.
Parameter lingkungan seperti suhu air, pH, salinitas, kedalaman, kecerahan, dan
kecepatan arus berada dalam kisaran optimum. Nilai oksigen terlarut (DO) stasiun ini ada yang
kurang optimum yaitu sebesar 3,42 mg/l. Hal ini dikerenakan kepadatan lamun yang
menyebabkan penetrasi cahaya berkurang meskipun cahaya matahari mencapai dasar perairan.
Stasiun 3 (Kerapatan Lamun Jarang)
Nilai indeks keanekaragaman (H) pada stasiun 3 (jarang) merupakan yang terkecil
diantara stasiun yang lain yaitu sebesar 1,02044. Berdasarkan nilai H tersebut menandakan
bahwa kondisi perairan tersebut kurang baik karena nilai H < 2. Berbeda dengan stasiun yang lain,
pada stasiun ini indeks keseragamannya lebih kecil dari 0,6 yaitu sebesar 0,56. Nilai tersebut
menandakan bahwa pada stasiun ini ada spesies lamun tertentu yang mendominasi.
Nilai indeks dominasi (d) pada stasiun dengan kerapatan jarang (stasiun 3) dapat dilihat
pada tabel 4 berikut ini:
Tabel 4. Indeks Dominasi pada Stasiun 3 (Jarang)
Jenis Lamun ni Dominasi (C)
Cymodocea rotundata 92
7,294 x 10
-5
Cymodocea serulata 0
0
Halophila ovalis 7260
0,454234955
Halodule uninervis 421
0,001527466
Thalassia hemprichii 2071
0,036963025
Enhalus acoroides 528
0,002402565
Syringodium isoetifolium 0
0
Thalassodendron ciliatum 400
0,001378883
Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-05) - 7
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Jumlah individu (N) 10772
Berdasarkan tabel 4, dapat dilihat bahwa jenis Halophila ovalis mempunyai nilai dominasi
tertinggi dibanding jenis yang lainnya. Hal ini menandakan bahwa jenis Halophila ovalis
mendominasi pada stasiun tersebut.
Parameter lingkungan pada stasiun ini berada dalam kisaran optimum. Dengan kecepatan
arus yang optimum yaitu 0,3 0,5 cm/dt memungkinkan lamun jenis Halophila ovalis ini dapat
melimpah. Sesuai dengan karakteristik Halophila ovalis yang mempunyai akar berbentuk rambut
dengan diameter kecil dan rapuh.
Kondisi Padang Lamun di Pancuran Belakang, Karimunjawa
Gelombang dan arus juga berpengaruh terhadap kondisi dan pertumbuhan lamun di
Pancuran Belakang. Terutama jika musim angin timur tiba, banyak lamun yang rusak karena
terjangan ombak. Hal ini terjadi karena letak geografis dari Pantai Pancuran Belakang berada di
bagian timur Pulau Karimunjawa sehingga ombak yang datang dari arah timur dapat
mempengaruhi kondisi padang lamun. Menurut Fachrul (2007), gelombang, sedimentasi,
pergantian pasang surut, dan curah hujan dapat mempengaruhi kondisi padang lamun.
Berdasarkan pengamatan di lapangan lamun dilokasi sampling banyak sekali yang
berwarna kemerahan. Hal ini disebabkan karena lamun tersebut yang mengalami dehidrasi atau
kekurangan air, karena didapati pada waktu air surut ada beberapa kumpulan lamun yang tidak
terkena/terendam air laut sehingga lamun tersebut langsung terkena cahaya matahari. Jenis lamun
tersebut adalah C.rotundata dan T.hemprichii. Menurut Tomascik et al (1997), C.rotundata
merupakan tumbuhan air laut yang sangat tahan terhadap paparan sinar matahari langsung.
Merupakan spesies pioneer yang melimpah pada daerah yang cenderung terpapar sinar matahari.
Sedangkan T.hemprichii relatif tahan terhadap sinar matahari langsung, tetapi lebih melimpah
pada daerah yang tidak terpapar. Hal ini yang menyebabkan C.rotudata banyak ditemukan di
pinggir pantai.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat di ambil dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Kondisi padang lamun di perairan Pancuran Belakang Karimunjawa pada ketiga stasiun
memiliki indeks keanekaragaman (H) kurang dari 2.
Pada stasiun 1 dan 2 indeks keseragamannya (e) berada di atas 0,6 yang berarti semua
jenis lamun dapat hidup bersamaan tanpa ada yang mendominasi.
Pada stasiun 3 ada spesies lamun yang mendominasi perairan tersebut yaitu jenis
Halophila ovalis.
2. Parameter lingkungan perairan seperti kecepatan arus, DO, pasang surut berpengaruh
terhadap kondisi padang lamun, terutama pada saat surut terendah yang menyebabkan
beberapa tumbuhan lamun tidak terendam air laut.
Saran
Saran yang dapat diberikan pada penelitian ini adalah perlu adanya sosialisasi kepada
masyarakat mengenai arti pentingnya peranan padang lamun dalam perairan sehingga kelestarian
padang lamun dapat terjaga dengan baik mengingat padang lamun merupakan sumberdaya
pesisir yang perlu dijaga kelestariannya.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada Kepala BTNKJ atas ijin dan bantuan
fasilitas peralatan sampling selama penelitian ini, dan Kepada Arif Indrawan SPi, yang telah
membantu dalam pelaksanaan sampling dan pengolahan data.
8 - Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-05)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
DAFTAR PUSTAKA
Alongi, D.M. 1998. Coastal Ecosystem Process. CRC. Press. New York.
Anggoro, S. 1988. Analisis Tropik-Saprobik (Trosap) Untuk Menilai Kelayakan Lokasi Budidaya
Laut. Laboratorium Pengembangan Wilayah Pantai. Universitas diponegoro. Jepara.
Sabarini E. K.dan T. Kartawijaya. 2006. Laporan Teknis. Survei Ekosistem Lamun dan Komposisi
Ikan di Taman Nasional Karimunjawa Tahun 2005. Wiildlife Conservation Society -
Marine Program Indonesia. Bogor, Indonesia
BTNKJ. 2007. Monitoring Lamun di Taman Nasional Karimunjawa. Balai Taman Nasional
Karimunjawa. Jepara. (Kerjasama Dinas Kehutanan Jawa Tengah dengan BTNKJ)
Fachrul, M. F. 2007. Metode Sampling Bioekologi. PT. Bumi Aksara. Jakarta.
Fahrudin. 2002. Pemanfaatan, Ancaman, dan Isu-Isu Pengelolaan Ekosistem Padang Lamun.
(http://rudyct.tripod.com/sem2_012/fahruddin.htm Diakses tanggal 15 Januari 2010)
Hutabarat, S. 2000. Peran Kondisi Oseanografis Terhadap Perubahan Iklim, Produktivitas,dan
Distribusi Biota Laut. Universitas Diponegoro. Semarang.34 hlm.
Lasmana, A. H. 2006. Mengenal Padang lamun (Sea Grass): Ekosistem Pesisir yang Tersisihkan
dan Belum Banyak Dikenal. Banten. Jawa Barat. (www.dkp-banten.go.id Diakses
tanggal 4 Januari 2010 )
Lee, F., L.A. Roc e and P. Guellermo. 1978. Water Quality Criteria for Estuary and Open Water.
Joernal WPCF, 4 (11): 182 198.
Motik, C., S Iskandar., H.S Tomo., P.K Synthesa. dan Imeida L Muaja. 2007. Mengenal Negara
Kepulauan. Sekretariat Dewan Maritim Indonesia Departemen Kelautan dan Perikanan.
Jakarta. (http://www.dekin.dkp.go.id Diakses tanggal 25 Januari 2010 )
Odum. 1971. Fundamentals of Ecology. WB Sounders. Toronto. 547pp.
Putra, A.S. 2006. Hubungan antara Kelimpahan Meiofauna dengan Tingkatan kerapatan Lamun
yang Berbeda di Pantai Pulau Panjang Jepara. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Universitas Diponegoro. Semarang.
Setiadi, D., dan P.D. Tjondronegoro. 1989. Dasar-Dasar Ekologi. Departemen Pendidikan dan
kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat.
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Supriharyono, 2006. Intisari Materi Kuliah Metodologi Penelitian. Program Pascasarjana Teknik
Sipil universitas Diponegoro. Semarang.
___________, 2007. Konservasi Ekosistem Sumber Daya Hayati di Wilayah Pesisir dan Laut
Tropis. Cetakan Pertama. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Tomascik, T., A.M. Mah, A Nontji, and M.K. Moosa. 1997. The ecology of the Indonesian seas.
Part II. Periplus edition. Singapore. pp: 829 863.
Zieman, J.C. 1975. Seasonal variation of turtle grass, Thalassia testuadinum Kinig, with reference
with temperature and salinity effect. Aquat. Bot. , 1(2): 107 124.
Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-06) - 1
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
MAKROZOOBENTOS OLIGOCHAETA, TEKSTUR DAN BAHAN
ORGANIK SEDIMEN DI SUNGAI SIAK BAGIAN HILIR
Siswanta Kaban dan Makri
Balai Riset Perikanan Perairan Umum, Palembang
Email : wanta_kaban@yahoo.com
Abstrak
Penelitian mengenai makrozoobentos jenis oligochaeta di sungai siak bagian hilir dilakukan pada
bulan Februari dan Mei pada tahun 2009 dan ditentukan 15 lokasi samping secara random method
sampling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebaran jenis oligochaeta mendominasi di sungai
siak bagian hilir. Makrozoobentos diambil dengan Peterson Grab, dari hasil identifikasi komposisi
oligochaeta didominasi oleh genus Imature tubificids dari famili tubificidae dengan Kelimpahan 2,5
4007,5 ind/L. Sebagian besar genus yang ditemukan pada famili tubificidae seperti Aulodrilus,
Limnodrilus dan Branchiura sworbyii tergolong makrozoobenthos yang sangat toleran dengan
polutan. Oligochaeta tersebar mulai dari bagian hulu hingga hilir, dan kompisisi oligochaeta mulai
berkurang kearah bagian hilir yang di pengaruhi oleh massa air laut. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa tipe sedimen di Sungai Siak bagian hilir yaitu bersifat lempung berpasir dan rata-rata bahan
organik sedimen sebesar 3,35 %, hal ini mendukung terhadap habitat oligochaeta.
Kata kunci : Makrozoobentos Oligochaeta, tekstur sedimen, bahan organik, polutan, Sungai Siak
Pendahuluan
Hewan yang hidup di dasar perairan adalah makrozoobentos. Makrozoobentos merupakan
salah satu kelompok terpenting dalam ekosistem perairan sehubungan dengan peranannya
sebagai organisme kunci dalam jaring makanan. Selain itu tingkat keanekaragaman yang terdapat
di lingkungan perairan dapat digunakan sebagai indikator pencemaran. Dengan adanya kelompok
bentos yang hidup menetap (sesile) dan daya adaptasi bervariasi terhadap kondisi lingkungan,
membuat hewan bentos seringkali digunakan sebagai petunjuk bagi penilaian kualitas air. Jika
ditemukan limpet air tawar, kijing, kerang, cacing pipih siput memiliki operkulum dan siput tidak
beroperkulum yang hidup di perairan tersebut maka dapat digolongkan kedalam perairan yang
berkualitas sedang (Pratiwi dkk, 2004).
Makrobentos memiliki peranan ekologis dan struktur spesifik dihubungkan dengan
makrofita air yang merupakan materi autochthon. Karakteristik dari masing-masing bagian
makrofita akuatik ini bervariasi, sehingga membentuk substratum dinamis yang komplek yang
membantu pembentukan interaksi-interaksi makroinvertebrata terhadap kepadatan dan
keragamannya sebagai sumber energi rantai makanan pada perairan akuatik. Menurut Welch
(1980), kecepatan arus akan mempengaruhi tipe substratum, yang selanjutnya akan berpengaruh
terhadap kepadatan dan keanekaragaman makrobentos.
Sebagaimana kehidupan biota lainnya, penyebaran jenis dan populasi komunitas bentos
ditentukan oleh sifat fisika, kimia dan biologi perairan. Sifat fisik perairan seperti pasang surut,
kedalaman, kecepatan arus, warna, kekeruhan atau kecerahan dan suhu air. Sifat kimia perairan
antara lain, kandungan gas terlarut, bahan organik, pH, kandungan hara dan faktor biologi yang
berpengaruh adalah komposisi jenis hewan dalam perairan diantaranya adalah produsen yang
merupakan sumber makanan bagi hewan bentos dan hewan predator yang akan mempengaruhi
kelimpahan bentos (Setyobudiandi, 1997).
MS-06
2 - Semnaskan _UGM / Manajemen
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan
Metodologi Penelitian
Penelitian dilakukan di
sebanyak 2 kali setahun pada bulan Februari
15 titik (Gambar 1).
Gambar 1. Lokasi pengambilan contoh (lingkaran putih) di Sungai Siak
Sampel makrozoobenthos akan diambil pada sepuluh titik pada masing
stasiun(masing-masing 5 titik pada
kemudian digabungkan (dikomposit) kemudian diawetkan dengan formalin 10% dan dianalisa
dilaboratorium untuk analisa keanekaragaman dan kelimpahannya. Masing
keragaman dan kelimpahan diuraikan dibawah ini.
KR = ni x 100 %
N
KR = Kelimpahan Relatif
ni = Jumlah individu dari jenis ke
N = Jumlah individu total
Untuk indeks keanekaragaman digunakan indeks Shannon
s
H = - pi ln pi
n=1
H = Indeks keseragaman
S = Jumlah makrozoobenthos
ni = Jumlah individu dari jenis ke
N = Jumlah individu total
Contoh sedimen akan diambil dengan menggunakan
sebanyak 1 kg pada masing-masing stasiun. Contoh sedimen dimasukkan ke dalam plastik dan
disimpan pada kondisi gelap. Contoh kemudian dibiarkan kering angin kemudian dianalisa lebih
lanjut untuk parameter tekstur dan Bahan organik.
Hasil dan Pembahasan
Makrozoobenthos merupakan satu dari beberapa organisma air yang dapat digunakan
sebagai indikator dari tingkat pencemaran suatu perairan. Keberadaan makrozoobenthos erat
Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-06)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16
Sungai Siak bagian hilir pada tahun 2009, sampling dil
pada bulan Februari dan Mei dengan jumlah stasiun sampling sebanyak
Gambar 1. Lokasi pengambilan contoh (lingkaran putih) di Sungai Siak
Sampel makrozoobenthos akan diambil pada sepuluh titik pada masing
masing 5 titik pada masing-masing tepian sungai). Contoh benthos tersebut
kemudian digabungkan (dikomposit) kemudian diawetkan dengan formalin 10% dan dianalisa
dilaboratorium untuk analisa keanekaragaman dan kelimpahannya. Masing-masing formula indeks
n diuraikan dibawah ini.
= Kelimpahan Relatif
= Jumlah individu dari jenis ke-i
= Jumlah individu total
Untuk indeks keanekaragaman digunakan indeks Shannon-Wiener dengan formula :
pi = ni
N
H = Indeks keseragaman
S = Jumlah makrozoobenthos
ni = Jumlah individu dari jenis ke-i
N = Jumlah individu total
Contoh sedimen akan diambil dengan menggunakan ekman dredge berukuran 400 cm
masing stasiun. Contoh sedimen dimasukkan ke dalam plastik dan
disimpan pada kondisi gelap. Contoh kemudian dibiarkan kering angin kemudian dianalisa lebih
lanjut untuk parameter tekstur dan Bahan organik.
Makrozoobenthos merupakan satu dari beberapa organisma air yang dapat digunakan
sebagai indikator dari tingkat pencemaran suatu perairan. Keberadaan makrozoobenthos erat
16 Juli 2011
bagian hilir pada tahun 2009, sampling dilakukan
dengan jumlah stasiun sampling sebanyak
Gambar 1. Lokasi pengambilan contoh (lingkaran putih) di Sungai Siak
Sampel makrozoobenthos akan diambil pada sepuluh titik pada masing-masing
masing tepian sungai). Contoh benthos tersebut
kemudian digabungkan (dikomposit) kemudian diawetkan dengan formalin 10% dan dianalisa
masing formula indeks
Wiener dengan formula :
berukuran 400 cm
2
masing stasiun. Contoh sedimen dimasukkan ke dalam plastik dan
disimpan pada kondisi gelap. Contoh kemudian dibiarkan kering angin kemudian dianalisa lebih
Makrozoobenthos merupakan satu dari beberapa organisma air yang dapat digunakan
sebagai indikator dari tingkat pencemaran suatu perairan. Keberadaan makrozoobenthos erat
Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-06) - 3
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
kaitannya dengan jumlah bahan organik pada sedimen. Menurut Husnah, et.al, 2008 dari 20
stasiun pengamatan di Sungai Siak yang dimulai dari Tapung Kanan , Tapung Kiri hingga Muara
Sungai Mandau, jumlah jenis makrozoobenthos yang ditemukan sebanyak 16 yang berasal dari 4
famili yaitu Tibificidae, Chironomidae, Elmidae dan Pomaceae. Kelimpahan total macrozoobenthos
cenderung meningkat khususnya dari stasiun Referensi Tampan hingga stasiun referensi Gasip,
dimana kelimpahan tertinggi ditemukan pada stasiun Indah Kiat. Tingginya kelimpahan total
makrozoobenthos pada stasiun ini berkaitan tingginya konsentrasi bahan organik baik pada air
maupun sedimen. Dari hasil penelitian yang dilakukan pada tahun 2009 pada 15 stasiun
pengamatan di Sungai Siak yang dimulai dari Buatan sampai blading, jumlah jenis
makrozoobenthos yang ditemukan sebanyak 13 genera yang berasal dari 3 famili yaitu Tibificidae,
Chironomidae, dan Elmidae. Kelimpahan total macrozoobenthos cenderung meningkat khususnya
dari stasiun Referensi Tampan hingga stasiun referensi Gasip. Kelimpahan tertinggi ditemukan di
stasiun buatan pada bulan Februari (Gambar 2).
Gambar 2.. Kelimpahan makrozoobenthos di perairan Sungai Siak pada tahun 2009
Keterangan
Bila dikaitkan dengan kelimpahan relatif, famili makrozoobenthos yang mendominasi pada
stasiun tersebut adalah Tubicidae yang didominasi oleh genus Imature tubificids, kepadatan jenis
ini menunjukkan bawa perairan tersebut mengalami pencemaran bahan organik yang tinggi (Tabel
1).
Tabel 1. Distribusi spesies oligochaeta di Sungai Siak Tahun 2009
Spesies
Oligochaeta 1 2 3 4 5 6 7 8 9 11 12 13 10 14 15
Aulodrilus 4 9 1 1 2 - - 1 2 2 - - -
Limnodrilus 86 27 6 23 22 13 7 20 32 2 2 - - -
Branchiura
sworbyii - 12 11 12 - - - - - - - - - -
Bothrioneurum
vejdovskyanum - - - 2 - - - 1 - - - - - -
Imature tubificids 190 29 - 15 21 19 19 9 47 8 - - - -
Unidentification 7 3 - - - - - 5 5 2 1 - - -
0
1000
2000
3000
4000
5000
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
K
e
l
i
m
p
a
h
a
n
(
I
n
d
/
m
2
)
Station
Feb
Mei
1 :
Ds. Buatan
9 :
Sei Pinang
2 :
Pabrik RAPP
10 :
Kota Ringin
3 :
Kebun Karet
11 :
Ds. Dosan
4 :
Marempan
12 :
Ds. Pusaka
5 :
Ref. MArempan
13 :
Sei Buluh
6 :
Rawang Air Putih
14 :
Kaltex
7 :
Siak Indrapura
15 :
Ds. Blading
8 :
Mura Sungai Mempora Besar
4 - Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-06)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Sebagian besar genus yang ditemukan pada famili Tubificidae seperti Aulodrilus pluriseta,
Aulodrilus paucichaeta, dan Bothrioneurum vejdovskyanum tergolong makrozoobenthos yang
sangat toleran dengan polutan. Sebagaimana kehidupan biota lainnya, penyebaran jenis dan
populasi komunitas bentos ditentukan oleh sifat fisik, kimia dan biologi perairan (Tabel 2). Sifat fisik
perairan seperti pasang surut, kedalaman, kecepatan arus, kekeruhan atau kecerahan, substrat
dasar dan suhu air. Sifat kimia antara lain kandungan oksigen dan karbondioksida terlarut, pH,
bahan organik, dan kandungan hara berpengaruh terhadap hewan bentos. Sifat-sifat fisika-kimia
air berpengaruh langsung maupun tidak langsung bagi kehidupan bentos.
Tabel 2. Kualitas Perairan dan Sedimen di Sungai Siak bagian Hilir
Lokasi pH DO (mg/l) COD (mg/l) Kec (cm) BO Tanah (%) Tekstur Sedimen (%)
Pasir debu Liat
1 5.5 1.31 19.01 18 4.25 22.9 67.82 9.28
2 5.4 1.33 24.20 17 5.29 25.43 67.39 7.18
3 5.3 1.21 18.14 22 5.25 24.75 68 7.25
4 5.4 1.34 16.30 25 2.96 27.92 64.94 7.14
5 5.3 1.18 16.73 18 4.25 28.2 62.4 9.4
6 5.4 1.44 17.06 22 0.89 25.43 67.39 7.18
7 5.0 1.22 18.65 24 2.44 36.2 56.68 7.12
8 4.6 1.03 18.82 20 5.55 20.57 68.05 11.38
9 4.9 1.12 17.06 16 2.7 31.79 61.05 7.16
10 5.0 1.22 16.09 25 0.79 23.58 69.25 7.17
11 5.0 1.36 17.20 16 2.96 19.5 73.33 7.17
12 5.0 1.34 16.96 13 3.36 27.26 65.54 7.2
13 5.4 1.37 20.27 8 0.86 33.61 59.21 7.18
14 5.8 1.66 18.43 12 4.13 30.45 49.8 19.75
15 6.3 2.18 19.26 18 4.65 27.78 52.31 19.91
Hasil pengukuran beberapa parameter fisik dan kimia air pada 15 stasiun di Sungai Siak
Bagian Hilir (Tabel 2) menunjukkan bahwa nilai oksigen yang sangat rendah serta rata-rata derajat
keasaman menunjukkan dibawah 6 dan nilai COD diatas 16.3 mg/l. Nilai tersebut menggambarkan
bahwa menggambarkan adanya hubungan timbal balik yang mencemari perairan di sungai siak
bagian hilir.
Pengaruh sinergis tersebut ditemukan untuk nilai pH, COD, oksigen terlarut. Oligocaeta
jenis limnodrilus dan immature tubificids didominasi desa buatan dan pabrik RAPP, yang
kemungkinan limbah bahan organik dalam hal ini buangan hasil pencucian dalam bentuk black
liquor yang mencemari perairan. Fenomena ini diperkirakan lebih banyak berkaitan dengan
konsumsi oksigen oleh mikroorganisme atau disebabkan proses kimiawi dari aplikasi bahan kimia
yang digunakan dalam pemakain oksigen sehingga pH dan oksigen terlarut relatif rendah. Jika
ditinjau dari tempat hidupnya dalam sedimen, bahwa kompoisi oligocaeta di dominasi pada tipe
sedimen lempung berpasir.
Kesimpulan dan Saran
1. Spesies oligochaeta di sungai siak bagian hilir di dominasi oleh famili Tubificidae seperti
Aulodrilus pluriseta, Aulodrilus paucichaeta, dan Bothrioneurum vejdovskyanum .
2. Jenis oligolcheta yang ditemukan pada habitat lempung berpasir dan merupakan jenis
yang tahan terhadap lingkungan yang ekstrim dan toleran terhadap polutan khususnya
bahan organik
Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-06) - 5
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Daftar Pustaka
APHA, 1980, Standard method for the examination of water and wastewater, Fifth Edition,
Washington, 1134 p
Lammert, M. and J.D. Allan. 1999. Assessing Biotic Integrity of Streams: Effects of Scale in
Measuring the Influence of Land Use/Cover and Habitat Structure on Fish and
Macroinvertebrates Environmental Management Vol. 23, No. 2, pp. 25727
Pennak, R. W. 1978. Fresh Water Invertebrates of The United Stated. A Wiley Interscience
Publication. 438 p.
Pratiwi, N, Krisanti, Nursiyamah, I. Maryanto, R. Ubaidillah, & W. A. Noerdjito. 2004. Panduan
Pengukuran Kualitas Air Sungai. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Setyobudiandi, I. 1997. Makrozoobentos. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Welch, S. 1952. Limnology. New York: Mc Graw Hill Book Company.
Saran : Saran : penyajian data pakai grafik batang saja agar lebih mudah dibaca.
Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-07) - 1
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
DISTRIBUSI KANDUNGAN LOGAM BERAT (Pb, Cu, Zn, Sn, Cd)
DI PERAIRAN KOTA PEKALONGAN, JAWA TENGAH
Petrus Rani Pong-Masak, A. Indra Jaya Asaad, Ahmad Mustafa, dan Rachmansyah
Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau
e-mail : litkanta@indosat.net.id
Abstrak
Riset ini telah dilakukan di wilayah perairan sungai, tambak, dan pantai Kota Pekalongan, Jawa
Tengah pada bulan Oktober 2009. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data dan informasi
terkini tentang distribusi kandungan logam berat dalam perairan di Kota Pekalongan, Propinsi
Jawa Tengah serta tindak lanjut pengelolaannya. Metode survey yang dipadukan dengan Sistem
Informasi Geografi digunakan dalam studi ini untuk menentukan titik-titik pengamatan. Sampel
yang diambil, meliputi : 1). Sedimen sungai, tambak, dan pantai; 2). Air sungai, tambak, dan laut;
3). Biota ikan dan rumput laut. Semua sampel dipreservasi dan dibawah ke Laboratorium untuk
dianalisis. Peubah kualitas lingkungan perairan juga ditera sebagai data dukung penelitian. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa kandungan logam berat Pb, Cu, Zn, Sn, dan Cd dalam air dan
sedimen dasar sungai, tambak, dan pantai telah berada di atas ambang batas bagi peruntukan
lingkungan perikanan budidaya. Kandungan residu yang terakumulasi dalam sampel biota
menunjukkan bahwa Pb yang telah melampaui ambang batas yang diperbolehkan berada dalam
produk ikan dan hasil olahannya. Melihat kondisi demikian, maka disarankan agar pengelolaan
limbah rumah tangga, limbah perkotaan, dan limbah industri di Kota Pekalongan harus diupayakan
mereduksi bahan-bahan toksik melalui treatment pengelolaan limbah serta tidak dibuang langsung
ke sungai, untuk meminimasi dampak pencemaran lingkungan perikanan budidaya maupun
lingkungan secara luas.
Kata kunci : logam berat, sedimen, air, biota, Kota Pekalongan
Pengantar
Wilayah pesisir merupakan daerah pertemuan antara daratan dan lautan, dimana laut
mempengaruhi daratan dan sebaliknya (Sorensen dan McCreary, 1990; ADB, 1991; Cicin-Sain
dan Kencht, 1998; Ketchum dalam Kay dan Alder, 1999). Faktor-faktor yang mempengaruhi
daratan dan lautan saling berinteraksi menghasilkan sistem secara geomorphologi dan ekologi
yang unik (ADB, 1991) dan berperan penting dalam menghubungkan lingkungan daratan dan
lautan (Scura et al., 1992). Batasan ke arah darat direpresentasikan oleh keberadaan pengaruh
lautan sementara batasan kearah laut dibatasi oleh keberadaan pengaruh daratan. Transport
massa air sungai ke dalam laut yang membawa sedimen, sampah rumah tangga dan sampah
perkotaan, limbah industri, pertanian, penambangan dari wilayah hulu (upland) yang bermuara di
estuaria sehingga dapat menyebabkan penurunan salinitas, pengkayaan nutrient, pencemaran,
dan sedimentasi di wilayah pesisir. Aktifitas yang terjadi baik di daerah hulu maupun hilir serta di
laut akan saling terkait dan pengaruhnya saling berinteraksi dan akan berdampak pada
karakteristik wilayah pesisir.
Salah satu masalah lingkungan wilayah pesisir yang akhir-akhir ini mendapat perhatian
serius adalah pencemaran logam berat. Pencemaran logam berat akan merusak lingkungan
perairan dalam hal stabilitas, keanekaragaman dan kedewasaan ekosistem (Heat, 1987).
Berdasarkan aspek ekologis, kerusakan ekosistem perairan akibat pencemaran logam berat
ditentukan oleh faktor kadar dan kesinambungan polutan yang masuk ke dalam perairan, sifat
toksisitas, bioakumulasi dan persistensinya baik terhadap proses fisika, kimia, maupun biologi.
Pencemaran logam berat akan menyebabkan perubahan struktur komunitas perairan, jaring
makanan, tingkah laku, efek fisiologi, genetik dan resistensi (Moriarty, 1987). Selain berpengaruh
terhadap kehidupan organisme akuatik dan kerusakan lingkungan hidup perikanan, pencemaran
logam berat juga membawa dampak negatif terhadap kesehatan manusia akibat mengkonsumsi
hasil laut yang terkontaminasi logam berat. Demikian juga dengan pemberlakuan zero tolerance
berbagai bahan toksik berbahaya dalam perdagangan global, maka pencemaran logam berat di
wilayah pesisir merupakan ancaman serius bagi perdagangan produk perikanan jika tidak terjadi
pengendalian.
MS-07
2 - Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-07)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Oleh karena wilayah pesisir memiliki peran ekonomi dan lingkungan yang potensial,
khususnya bagi perikanan budidaya, namun memiliki tingkat ancaman lingkungan yang cukup
besar (Scialabba, 1998), maka pencemaran logam berat perlu menjadi perhatian sebagai acuan di
dalam proses perencanaan dan pengelolaan serta pemanfaatan wilayah pesisir yang
berkelanjutan. Demikian juga dengan Kota Pekalongan di Jawa Tengah yang memiliki pantai
cukup luas dengan luasan kawasan pantai sejauh 4 mil dari bibir pantai, yaitu wilayah perairan laut
seluas 38,4 km
2
. Buangan limbah dari daratan sangat jelas terlihat dengan terjadinya perubahan
warna dan bau air yang sangat pekat, hitam dan bau pengat. Buangan limbah tersebut umumnya
melalui beberapa sungai/kali yang ada, yaitu : Kali Bremi yang bermuara ke Sungai Meduri, Sungai
Pencongan sebagai muaranya Sungai Meduri, Sungai Loji muaranya sebagai Pelabuhan Ikan
Nusantara, Sudetan Kali Banger, Kali Susukan, Kali Gabus yang berfungsi sebagai pembatas
wilayah dengan Kabupaten Batang di sebelah utara, Kali Sikenteng, Kali Sibulanan.
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data dan informasi terkini tentang distribusi
kandungan logam berat dalam perairan di Kota Pekalongan, Propinsi Jawa Tengah serta tindak
lanjut pengelolaannya. Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi acuan bagi perencanaan dan
pengelolaan serta pemanfaatan wilayah perairan Kota Pekalongan secara terpadu dengan
aktivitas kegiatan lainnya.
Bahan dan Metode
Riset ini telah dilakukan di perairan sungai, wilayah tambak, dan pantai di Kota
Pekalongan, Jawa Tengah sejak tanggal 16 s/d 20 Oktober 2009. Metode survey yang dipadukan
dengan Sistem Informasi Geografi digunakan dalam studi ini untuk menentukan titik-titik
pengamatan, pengukuran dan pengambilan sampel. Titik-titik sampling (Gambar 1) secara
langsung di lapangan maupun pengambilan sampel yang meliputi : (1) sedimen sungai, tambak air
payau, dan pantai, (2) air sungai, tambak, dan pantai, dan (3) biota ikan, udang, dan rumput laut.
Gambar 1. Peta lokasi dan titik pengamatan serta pengambilan sampel sedimen, air, dan biota
akuatik untuk analisis residu logam berat serta analisis kualitas air di perairan Kota
Pekalongan, Jawa Tengah.
Sample yang diambil dipreservasi dalam cool box dan dibawa ke laboratorium untuk
analisis konsentrasi kandungan logam berat menggunakan Spektrofotometer Serapan Atom
Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-07) - 3
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
(AAS). Sampel dipreparasi, dipisahkan dan dianalisis berdasarkan dengan pedoman Khopkar
(1990). Untuk menentukan konsentrasi setiap parameter logam berat yang dianalisis dalam setiap
sampel digunakan rumus, sebagai berikut :
C = V x c / a
dengan : C= konsentrasi parameter logam berat dalam setiap unit sampel (mg/g)
V = volume penepatan (ml)
c = konsentrasi larutan contoh (mg/g)
a = berat/volume sampel (g)
Analisis kualitas air sebagai data dukung yang meliputi : suhu, pH, salinitas, dan oksigen
terlarut (pengamatan insitu) serta pengambilan sampel air untuk analisis exitu di Laboratorium,
meliputi bahan organic total (BOT), sulfat (SO
4
), Nitrat (NO
3
-N), Nitrit (NO
2
-N), Amonia (NH
4
-N),
Posfat (PO
4
-P), dan besi (Fe) dengan menggunakan alat spektrofotometer UV-VIS merk
Shimadzu. Peubah kualitas lingkungan perairan yang diukur secara in-situ dengan cara
pengukuran langsung contoh air pada setiap titik pengamatan dan pengambilan sampel.
Pengambilan sampel dengan menggunakan water sampler dan dimasukkan ke dalam botol
sampel poliethylen sebanyak 500 ml. Contoh air dipreservasi dalam cool box dengan suhu dingin
menggunakan es batu dan dibawah ke laboratorium BRPBAP di Maros untuk dianalisis. Data yang
diperoleh dianalisis secara statistik (Mattjik dan Sumertajaya, 2000) untuk mengetahui distribusi
kandungan logam berat dalam air, sedimen dasar (tanah) dan biota perairan tambak di perairan
Kota Pekalongan, Jawa Tengah.
Hasil dan Pembahasan
Hasil analisis kandungan residu logam berat Pb, Cd, Sn dalam perairan sungai, tambak
dan pantai Kota Pekalongan (Gambar 2) dan logam berat Cu dan Zn (Gambar 3) menunjukkan
bahwa kandungan logam berat dalam lingkungan perairan Kota Pekalongan berada pada kisaran,
sbb. : Pb (0,056 0,122 ppm); Sn (0,029 0,089 ppm); Cd (0,02 0,048 ppm); Cu (0,59 1,07
ppm); Zn (0,15 0,42). Berdasarkan kisaran nilai tersebut, dimana nilai terendah untuk setiap
parameter yang diukur sudah berada diatas ambang batas, sebagai kenyataan bahwa kandungan
residu logam berat yang terdapat dalam perairan Kota Pekalongan sudah melampaui batas
maksimum berdasarkan kriteria kualitas air untuk Perikanan dan peternakan (Peraturan
Pemerintah No. 20 tahun 1990). Tingkat kandungan logam berat yang tinggi dalam air pada
lingkungan perairan Kota Pekalongan tersebut didukung oleh pernyataan Bryan (1976 dalam
Hawker, 1995), bahwa terdapat 18 unsur logam yang dipertimbangkan ada kaitannya dengan
masalah pencemaran air, meskipun di antara unsur-unsur logam tersebut merupakan unsur yang
esensial bagi kehidupan organisme (Tabel 1).
0
0.02
0.04
0.06
0.08
0.1
0.12
0.14
K
a
n
d
u
n
g
a
n
L
o
g
a
m
B
e
r
a
t
(
p
p
m
)
Stasiun Pengamatan
Pb Maks Pb
Sn Maks Sn
Cd Maks Cd
4 - Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-07)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Gambar 2. Kandungan logam berat (Pb, Cd, Sn) dalam perairan sungai, pantai, dan tambak Kota
Pekalongan, Jawa Tengah
Gambar 3. Kandungan logam berat (Cu dan Zn) dalam perairan sungai, pantai, dan tambak Kota
Pekalongan, Jawa Tengah
Kandungan logam berat yang tinggi dalam air dimungkinkan oleh adanya buangan
limbah perkotaan, limbah rumah tangga, limbah home industry, maupun limbah industri-industri
yang lebih besar yang melepaskan buangan limbahnya secara langsung ke dalam sungai dan
selanjutnya terdistribusi dan terakumulasi dalam lingkungan perairan. Hal tersebut sangat jelas
terlihat selama pengamatan bahwa buangan limbah dari beberapa outlet buangan industri secara
langsung masuk ke dalam sungai dan mengalir ke daerah hilir. Hal tersebut menyebabkan warna
air yang semakin hitam pekat,licin, dan berbau sangat menyengat selama melakukan survey
melalui alur sungai.
Tabel 1. Jenis-jenis logam berat dan rata-rata konsentrasinya (ppb) yang terkandung di air sungai
dan laut.
Jenis logam Sungai Laut Jenis logam Sungai Laut
Ag
Al
As
Cd
Co
Cr
Cu
Fe
Hg
0,3
400
1
0,03
0,2
1
5
670
0,07
0,1
5
2,3
0,05
0,02
0,6
3
3
0,05
Mn
Mo
Ni
Pb
Sb
Se
Sn
V
Zn
5
1
0,3
3
1
0,2
0,04
1
10
2
10
2
0,03
0,2
0,45
0,01
1,5
1
Sumber: Bryan (1976 dalam Hawker, 1995)
Hasil analisis kandungan logam berat Pb, Zn, dan Cu dalam sedimen dasar (tanah)
sungai, tambak dan pantai Kota Pekalongan (Gambar 4) dan logam berat Cd dan Sn (Gambar 5)
menunjukkan bahwa kandungan logam berat dalam tanah di perairan Kota Pekalongan
menunjukkan kandungan yang cukup tinggi jika dibandingkan dengan kandungan logam berat
hasil kajian di beberapa lokasi (Tabel 2). Tingkat kandungan logam berat dalam sedimen dasar
perairan di Kota Pekalongan sangat dimungkinkan oleh terjadinya endapan logam berat yang
terbawa oleh aliran air sungai dari perkotaan, dimana logam berat dalam air yang cukup tinggi
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
K
a
n
d
u
n
g
a
n
C
u
&
Z
n
Stasiun Pengamatan
Cu
Maks Cu &
Zn
Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-07) - 5
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
akan jatuh ke dasar perairan secara kontinyu sehingga diperoleh bahwa kandungan logam dalam
tanah jauh lebih tinggi dibandingkan kandungan dalam air.
Gambar 4. Kandungan logam berat Pb, Zn, dan Cu dalam tanah (sedimen dasar) sungai, pantai,
dan tambak Kota Pekalongan, Jawa Tengah
Gambar 5. Kandungan logam berat dalam tanah (sedimen dasar) sungai, pantai, dan tambak Kota
Pekalongan, Jawa Tengah
Tabel 2. Kandungan logam berat (ppm) dalam sedimen di beberapa lokasi perairan pesisir di
Indonesia
Lokasi Cu Cr Zn Hg Pb Ni Cd Referensi
0
20
40
60
80
100
120
140
160
180
S
t
-
1
S
t
-
2
S
t
-
4
S
t
-
7
S
t
-
8
S
t
-
1
1
S
t
-
1
2
S
t
-
1
4
S
t
-
1
5
S
t
-
1
6
S
t
-
1
9
S
t
-
2
0
S
t
-
2
4
K
a
n
d
u
n
g
a
n
L
o
g
a
m
B
e
r
a
t
(
p
p
m
)
Stasiun Pengamatan
Pb
Zn
Cu
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
S
t
-
1
S
t
-
2
S
t
-
4
S
t
-
7
S
t
-
8
S
t
-
1
1
S
t
-
1
2
S
t
-
1
4
S
t
-
1
5
S
t
-
1
6
S
t
-
1
9
S
t
-
2
0
S
t
-
2
4
K
a
n
d
u
n
g
a
n
C
d
&
S
n
(
p
p
m
)
Stasiun Pengamatan
Cd Sn
6 - Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan
M. Sungai
Tondano
65,6-
70,0
0,49-
4,17
Pelabuhan
Lembar
0,011 -
Kolam
Pelabuhan
Tg. Priok
34,2-
111,7
17,2-
33,4
M. Kali
Banjir Kanal
Timur
Semarang
30,80
-
66,09
tt -
2,773
Teluk Pare-
pare
- -
Teluk Pare-
pare
0,06-
0,43
-
M Sungai
Wonokromo
38,7-
49,4
-
Keterangan: - : tidak ada data
Tt : tidak terdeteksi
Hasil analisis akumulasi logam berat dalam jaringan biota yang diperoleh dari perairan
tambak pesisir Kota Pekalongan (Gambar 6) menunjukkan bahwa kandungan logam berat Pb telah
melampaui batas maksimum yang diperbolehkan dalam komoditi ikan dan hasil ol
berdasarkan Kep. DirJen Pengawasan Obat dan Makanan No. 03725/B/SK/VII/89 tentang Batas
Maksimum Cemaran Logam dalam Makanan.
Gambar 6. Kandungan logam berat dalam biota akuatik di tambak kota pekalongan, Jawa tengah
Logam Pb dapat masuk
saluran pernafasan. Pb yang diabsorbsi melalui saluran pencernaan didistribusikan ke dalam
jaringan lain melalui darah. Logam ini dapat dideteksi dalam tiga jaringan utama.
dalam darah Pb terikat dalam sel darah merah (eritrosit) dan mempunyai waktu paruh sekitar 25
30 hari. Kedua di dalam jaringan lunak (hati dan ginjal), mempunyai waktu paruh sekitar beberapa
bulan dan didepositkan ke dalam kompartemen.
tulang rawan. Hampir sekitar 90-
dapat mencapai 30-40 tahun.
Pb diekskresikan melalui air seni, tinja (fases), keringat, air susu ibu serta didepositkan
dalam rambut dan kuku, dan biasanya ekskresi Pb dari tubuh sangat kecil sehingga dapat
menaikkan kandungan Pb dalam tubuh. Gejala khas keracunan Pb pada anak
0
2
4
6
8
10
Pb
K
a
n
d
u
n
g
a
n
l
o
g
a
m
b
e
r
a
t
(
p
p
m
)
Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-07)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16
64,3-
74,9
- 18,0-
51,8
57,4-
80,4
-
0,095 0,0000
5
- - 0,001
- 0,087-
1,702
101,4-
177,5
- 0,72-
2,75
75,66-
95,86
- 1,02-
8,48
- 1,21-
2,74
0,23-
0,46
- 6,0-
32,0
- -
- - 0,07-
0,46
- -
- - 70,2-
140,3
- 3,2-
4,8
tidak ada data
: tidak terdeteksi
Hasil analisis akumulasi logam berat dalam jaringan biota yang diperoleh dari perairan
tambak pesisir Kota Pekalongan (Gambar 6) menunjukkan bahwa kandungan logam berat Pb telah
melampaui batas maksimum yang diperbolehkan dalam komoditi ikan dan hasil ol
berdasarkan Kep. DirJen Pengawasan Obat dan Makanan No. 03725/B/SK/VII/89 tentang Batas
Maksimum Cemaran Logam dalam Makanan.
Gambar 6. Kandungan logam berat dalam biota akuatik di tambak kota pekalongan, Jawa tengah
Logam Pb dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui saluran pencernaan dan
saluran pernafasan. Pb yang diabsorbsi melalui saluran pencernaan didistribusikan ke dalam
jaringan lain melalui darah. Logam ini dapat dideteksi dalam tiga jaringan utama.
dalam darah Pb terikat dalam sel darah merah (eritrosit) dan mempunyai waktu paruh sekitar 25
di dalam jaringan lunak (hati dan ginjal), mempunyai waktu paruh sekitar beberapa
bulan dan didepositkan ke dalam kompartemen. Ketiga, tulang dan jaringan keras seperti gigi, dan
-95% Pb dalam tubuh terdapat dalam tulang, yang waktu paruhnya
Pb diekskresikan melalui air seni, tinja (fases), keringat, air susu ibu serta didepositkan
rambut dan kuku, dan biasanya ekskresi Pb dari tubuh sangat kecil sehingga dapat
menaikkan kandungan Pb dalam tubuh. Gejala khas keracunan Pb pada anak-
Cu Zn Sn Cd
Jenis Logam berat
Batas
maks
Udang
Mujair
16 Juli 2011
Deu et al.
(1994)
Syahruddin et
al. (1994)
Hutagalung
(1994)
Sunoko et al.
(1994)
Rachmansyah
et al. (1991)
Tarunamulia
et al. (2001)
Prawita et al.
(1994)
Hasil analisis akumulasi logam berat dalam jaringan biota yang diperoleh dari perairan
tambak pesisir Kota Pekalongan (Gambar 6) menunjukkan bahwa kandungan logam berat Pb telah
melampaui batas maksimum yang diperbolehkan dalam komoditi ikan dan hasil olahannya
berdasarkan Kep. DirJen Pengawasan Obat dan Makanan No. 03725/B/SK/VII/89 tentang Batas
Gambar 6. Kandungan logam berat dalam biota akuatik di tambak kota pekalongan, Jawa tengah
ke dalam tubuh manusia melalui saluran pencernaan dan
saluran pernafasan. Pb yang diabsorbsi melalui saluran pencernaan didistribusikan ke dalam
jaringan lain melalui darah. Logam ini dapat dideteksi dalam tiga jaringan utama. Pertama, di
dalam darah Pb terikat dalam sel darah merah (eritrosit) dan mempunyai waktu paruh sekitar 25-
di dalam jaringan lunak (hati dan ginjal), mempunyai waktu paruh sekitar beberapa
dan jaringan keras seperti gigi, dan
95% Pb dalam tubuh terdapat dalam tulang, yang waktu paruhnya
Pb diekskresikan melalui air seni, tinja (fases), keringat, air susu ibu serta didepositkan
rambut dan kuku, dan biasanya ekskresi Pb dari tubuh sangat kecil sehingga dapat
-anak ialah: nafsu
Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-07) - 7
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
makan berkurang, sakit perut dan muntah, bergerak terasa kaku, kelemahan, tidak ingin bermain,
peka terhadap rangsangan, sempoyongan bila bergerak, sulit berbicara, hasil tes psikologik terlihat
sangat rendah, gangguan pertumbuhan otak (ensefalopati), dan koma. Toksisitas Pb pada anak-
anak dalam dosis yang kecil dan berlangsung terus menerus dapat menyebabkan neurotoksik
(racun saraf) dan kelainan tingkah laku.
Pada orang dewasa, gejala keracunan Pb bervariasi di antaranya ialah sakit perut,
gangguan saluran pencernaan (mual, diare, konstipasi), neuropati saraf perifer, kelemahan otot
terutama tangan dan kaki, lesu dan lemah, sakit kepala, nafsu makan hilang dan berat badan
menurun, anemia, hiperiritasi, gangguan tidur, depresi, pengurangan daya ingat, kurang
konsentrasi, sulit berbicara, gangguan penglihatan, dan psikomotor (grak).
Kesimpulan dan Saran
Berdasarkan hasil analisis kandungan logam berat dalam perairan Kota Pekalongan bulan
Oktober 2009, maka dapat disimpulkan, sebagai berikut :
1. Kandungan logam berat dalam air dan sedimen dasar (tanah) sudah melampaui batas
maksimum untuk pemanfaatan sebagai sumber air bagi perikanan budidaya.
2. Kandungan logam berat Pb dalam jaringan biota perairan tambak, yaitu : udang, ikan
mujair, ikan bandeng, dan rumput laut telah melampaui batas maksimum yang
diperbolehkan dalam ikan dan hasilolahannya.
3. Disarankan kebijakan pengelolaan limbah kegiatan industry dan perkotaan sebelum di
buang ke dalam lingkungan perairan.
Ucapan Terima Kasih
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Teknisi dan Litkayasa Balai Riset Perikanan
Budidaya Air Payau (BRPBAP) Maros, khususnya kepada : Mat Fahrur, dan Ilham, A. Sahrijannah,
Kurnia, St. Rohani, Sutrisyani yang telah membantu survey dan analisis kualitas air dilaboratorium,
kepada Ibu Rosiana Sabang yang membantu menganalisis kualitas sedimen/tanah, dan kepada
Ibu Reni Yulianingsih yang membantu dalam analisis kandungan logam berat. Juga ucapan terima
kasih yang sama disampaikan kepada Bapak Kepala Dinas beserta seluruh staf Kelautan dan
Perikanan Kota Pekalongan yang telah banyak membantu selama survey penelitian ini
dilaksanakan. Penelitian ini didukung sepenuhnya oleh dana APBN TA. 2009 lingkup BRKP,
Kementerian Kelautan dan Perikanan.
.
Daftar Pustaka
Asian Development Bank (ADB). 1991. Environmental Evaluation of Coastal Zone Projects:
Methods and Approaches. ADB Environment Paper No.8. 72p.
Cicin-Sain, B. and R.W. Knecht. 1998. Integrated Coastal and Ocean Management: concepts and
practices. Island Press, Washington DC. 518p.
Deu, K., S. Londong, F. Inkiriwang, dan H.P. Hutagalung. 1994. Kandungan logam berat dalam
sedimen di muara Sungai Tondano, Manado. Prosiding Seminar Pemantauan
Pencemaran Laut, Jakarta, 7-9 Februari 1994. P3O-LIPI, Jakarta. p:1-4.
Hawker, D.W., 1995. Bioakumulasi zat yang mengandung logam dan senyawa organologam. p:
198-219. Dalam Connell, D.W. (ed.). Bioakumulasi Senyawa Xenobiotik. Penerjemah
Y.R.H. Koestoer. Penerbit UI-Press, Jakarta.
Heath, A.G. 1987. Water Pollution and Fish Physiology. CRC Press, Inc., Boca Raton, Ann Arbor,
Boston. 245p.
Hutagalung, H.P., 1994. Kandungan logam berat dalam sedimen di kolam pelabuhan Tanjung
Priok, Jakarta. Prosiding Seminar Pemantauan Pencemaran Laut, Jakarta, 7-9 Februari
1994. P3O-LIPI, Jakarta. p:9-14.
8 - Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-07)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Kay, R. and J. Alder. 1999. Coastal Planing and Management. E & FN Spon An imprint of
Routledge, London and New York. 375 p.
Menteri Negara Lingkungan Hidup (MENLH). 1996. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor: KEP-51/MENLH/10/1995 tentang Baku Mutu Limbah Cair bagi Kegiatan Industri.
BAPEDAL, Jakarta.64p.
Moriarty, P., 1987. Ecotoxicology. Second Edition. Academic Press, Harcout Jovanovich
Publisher, London.
Prawita, A., Sugianto, H. Suwito, dan H.P. Hutagalung. 1994. Pemantauan kandungan logam berat
di muara kali Wonokromo, Surabaya. Prosiding Seminar Pemantauan Pencemaran Laut,
Jakarta, 7-9 Februari 1994. P3O-LIPI, Jakarta. p:23-27.
Rachmansyah, Sulaeman, I. Rusdi, Suwidah, dan F. Cholik. 1991. Upaya mereduksi
pembangunan sektoral terhadap ekologi pantai Teluk Pare-pare Sulawesi Selatan.
Prosiding Puslitbangkan No.20/TKI.PLHP/91: 57-69.
Scialabba, Nadia (ed.). 1998. Integrated Coastal Area Management and Agriculture, Forestry and
Fisheries. FAO Guidelines. Environment and Natural Resources Service, FAO, Rome.
256p.
Scura, L.F., T-E. Chua, M.D. Pido and J.N. Paw. 1992. Lessons for integrated coastal zone
management: the ASEAN experince, p:1-70 In Chua T-E, C. and L.F. Scura (eds).
Integrative Framework and Methods for Coastal Area Management. ICLARM Conf. Proc.
37, 169 p.
Supriharyono, 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Wilayah Pesisisr Tropis.
PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 246p.
Sunoko, H.R., I. Sumantri, dan Budiono. 1994. Kadar logam berat di perairan muara Banjir Kanal
Timur Kotamadya Semarang. Prosiding Seminar Pemantauan Pencemaran Laut, Jakarta,
7-9 Februari 1994. P3O-LIPI, Jakarta. p:15-21
Syarifuddin, A.R., Wildan, dan A. Rochyadi. 1994. Kadar logam berat dalam air laut dan sedimen di
perairan pantai Lombok Barat. Prosiding Seminar Pemantauan Pencemaran Laut, Jakarta,
7-9 Februari 1994. P3O-LIPI, Jakarta. p:5-8
Tarunamulia, A. Mustafa, dan A. Hanafi. 2001. Penentuan lokasi budidaya keramba jaring apung
dengan aplikasi penginderaan jauh dan sistem informasi geografis (Studi kasus di Teluk
Pare-pare Sulawesi Sleatan), p:43-56. Dalam Sudradjat, A. et al., (eds.). Teknologi
Budidaya Laut dan Pengembangan Sea Farming di Indonesia. Departemen Kelautan dan
Perikanan, Japan International Cooperation Agency (JICA), Jakarta.
Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-08) - 1
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
POTENSI EKOSISTEM PESISIR DI KAWASAN INTERTIDAL TELUK
TERIMA, DESA SUMBER KLAMPOK, TAMAN NASIONAL BALI BARAT
Anargha Setiadi & Mulyani, 2011.
Special Interest Group in Marine Biology (SIGMA-B UI)
Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia
Email: sigmab_ui@yahoo.com
Abstrak
Penelitian bertujuan untuk mengidentifikasi berbagai potensi pemanfaatan biota pada ekosistem
lamun, mangrove dan terumbu karang di daerah Teluk Terima, Taman Nasional Bali Barat. Daerah
Bali Barat merupakan bagian dari daerah keanekaragaman hayati Segitiga Karang (WWF, 2011);
hal tersebut menjadikan daerah tersebut suatu prioritas dalam bidang penelitian potensi dan
konservasi hayati lautan. Data penelitian didapatkan pada periode 26 Juli hingga 1 Agustus 2010.
Pengukuran ekologis dilakukan dengan menggunakan metode LIT (line intercept transect) dan
transek belt untuk ekosistem terumbu karang; metode transek lamun yang dibakukan oleh
lembaga Seagrass Watch untuk mengukur persentase tutupan lamun; dan metode transek kuadrat
untuk ekosistem mangrove. Keanekaragaman benthos pada ekosistem terumbu dikalkulasi
dengan indeks keragaman Shannon-Wiener dan Simpson. Pengukuran tersebut dilakukan di
dalam tiga stasiun untuk masing-masing ekosistem. Dilakukan pula inventarisasi spesies dalam
ketiga ekosistem tersebut. Data kuesioner mengenai kepedulian dan pemanfaatan didapatkan dari
20 responden dari 25 kepala keluarga di Banjar Teluk Terima, Desa Sumber Klampok. Pengukuran
ekologis pada ketiga ekosistem menunjukkan pengaruh proksimitas lokasi dengan aktivitas
antropogenik, yang direfleksikan melalui perubahan persentase tutupan karang keras, lamun dan
mangrove, serta keanekaragaman benthos seiring berubahnya lokasi sampling. Telah didapatkan
pula inventarisasi potensi ekosistem pesisir daerah intertidal Teluk Terima dari 78 spesies
makrobentos terumbu karang, 14 spesies flora mangrove, dan 11 spesies lamun. Potensi tersebut
dapat dimanfaatkan oleh masyarakat pesisir Desa Teluk Terima, Desa Sumber Klampok, TNBB.
Didapatkan pola keterkaitan antara budaya masyarakat setempat dengan kondisi potensi SDL
yang ada, yaitu masyarakat cukup tahu dan peduli terhadap kelestarian ekosistem pesisir Teluk
Terima, Desa Sumber Klampok, TNBB.
Kata kunci: Taman Nasional Bali Barat, potensi, ekosistem pesisir, mangrove, terumbu karang,
lamun
Pengantar
Indonesia merupakan negara kepulauan yang terbesar di dunia dan memiliki panjang
pantai lebih dari 81.000 km. Wilayah Indonesia seluas 7,1 juta km
2
berupa lautan. Hal tersebut
menjadikan laut dan wilayah pesisir merupakan lingkungan fisik yang mendominasi kepulauan
Indonesia. Maka dari itu, Indonesia memiliki berbagai potensi sumber daya laut yang melimpah.
Sumber daya laut tersebut berupa sumber daya alam hayati maupun sumberdaya non hayati.
Taman Nasional Bali Barat (TNBB) secara geografis terletak dalam dua kabupaten, yaitu
Kabupaten Jembrana dan Kabupaten Buleleng, Propinsi Bali. Letak geografis TNBB antara
114
o
2500BB114
o
5630BT dan 8
o
0525LU--8
o
1525LS. Berdasarkan SK Menteri Kehutanan
Nomor 493/Kpts-II/1995, luas TNBB adalah 19.002,89 Ha, yang terdiri dari 15.000 Ha daratan dan
3.500 Ha perairan.
Keadaan perairan TNBB secara umum dapat dikatakan jernih, tutupan karang hidup masih
cukup baik, keragaman jenis terumbu karang, ikan, molluska dan biota laut lain masih cukup tinggi.
Sebagian dari masyarakat setempat adalah masyarakat pendatang yang berasal dari Madura, dan
bekerja sebagai buruh, petani, dan peternak; sebagian lainnya adalah masyarakat Bali yang
mengungsi ke lokasi setelah letusan Gunung Agung pada tahun 1963. Keberadaan masyarakat
nelayan, pesisir Teluk Terima, Zona pemanfaatan TNBB sebesar 59 % untuk bidang kelautan,
tetapi pemanfaatan potensi laut hanya sekedar ikan untuk konsumsi. Oleh karena itu, perlu
diketahui bagaimana tingkat pengetahuan masyarakat pesisir Desa Teluk Terima terhadap potensi
dan pemanfaatan hasil-hasil kelautan.
MS-08
2 - Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-08)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Melalui informasi tersebut maka peneliti merasa perlu untuk menganalisa potensi sumber
daya alam laut tersebut. Hal tersebut dapat dijadikan referensi untuk pengkajian ekologi sumber
daya laut tersebut untuk mencegah kemungkinan eksploitasi berlebih oleh masyarakat setempat
dalam zona pemanfaatan TNBB.
Penelitian bertujuan untuk memahami metode ethnomarine-biology, mengumpulkan data
dan informasi mengenaipotensi dan ekologi sumberdaya laut di daerah tersebut untuk pengelolaan
konservasi perairan di Taman Nasional Bali Barat.
Ruang lingkup penelitian meliputi valuasi potensidan keanekaragaman jenis biota laut,
kondisi persentase tutupan terumbu karang, mangrove, dan lamun, serta menganalisa
pengetahuan masyarakat Teluk Terima Desa Sumber Klampok dalam pemanfaatan potensi
tersebut.
Bahan dan Metode
Lokasi dan Waktu
Penelitian dilakukan terhadap tiga stasiun penelitian berlokasi di TelukTerima, Desa Sumber
Klampok, Taman Nasional Bali Barat tanggal 28 Juli s/d 1 Agustus 2010.Lokasi Inventarisasi Biota
Laut.Pemilihan lokasi Inventarisasi didasarkan pada kondisi terumbu karang yang mewakili daerah
terlindung angin (leeward reef front) dan daerah pemanfaatan di mana terdapat aktivitas penduduk
dan pemukiman masyarakat pesisir (nelayan).
Kawasan yang dipilih adalah Zona Pemanfaatan TNBB, yaitu Labuhan Lalang, Desa
TelukTerima. Kawasan tersebut merupakan kawasan penyebrangan ke Pulau Menjangan dan
tempat mencari ikan oleh nelayan setempat.
Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang dibutuhkan terdiri dari GPS, peralatan pengukuran faktor fisik,
peralatan Snorkeling (masker, snorkel, dan fin), peralatan dokumentasi bawah air (kamera digital
kedap air), peralatan tulis (kertas kedap air dan pensil); dan rollmeter (100m).
Metode Kerja
Metode yang digunakan dibagi menjadi dua klaster, yaitu klaster biota dan klaster kuesioner.
Klaster Biota menggunakan metode field-purposive sampling, modifikasi Line Intercept Transect
(LIT) dan Belt Video Transect-purposive sampling untuk komunitas terumbu karang, serta line
transect dan quadrat transect untuk komunitas mangrove dan lamun. Klaster kusioner
menggunakan metode wawancara terhadap 20 respondent dari 25 Kepala keluarga Nelayan yang
tinggal di Dusun Teluk Terima, Desa Sumber Klampok.
Metode Field-purpossive Sampling pada Komunitas Terumbu Karang
Line Intercept Transect (LIT) digunakan dalam menginventarisasi makrobentos dan persen
tutupan terumbu karang.Transek dibentangkan dengan metode pada tiga stasiun. Panjang transek
adalah 50 meter, terletak pada tiga titik.
Data diambil dengan pengulangan sebanyak tiga kali yang berjarak 4 meter per titik.Garis
transek dibentangkan sejajar dengan garis pantai, dengan bidang pengamatan sekitar 1 meter kiri
Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-08) - 3
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
dan kanan,sehingga objek yang dihitung terdapat pada kedalaman yang sama. Garis transek
selalu dibentangkan di atas rataan terumbu yang tumbuh di dasar perairan.
Metode Video BELT Transect menggunakan video untuk merekam sepanjang transek dan
luasan yang dilalui (lebar satu meter). Hasil rekaman diputar ulang untuk interpretasi (pencatatan
dan identifikasi) jenis karang. Hal tersebut dilakukan untuk mendapatkan persentase karang hidup
dan data inventaris.
Metode Field-purposive Sampling pada Komunitas Lamun dan Mangrove
Metode quadrat transect, yang dimodifikasi oleh P3O LIPI (English dkk. 1994). Peralatan
yang digunakan adalah kuadrat 0,5 m x 0,5 m (untuk lamundanmakrobenthos mangrove), kuadrat
10 m x 10 m (untuk flora mangrove), roll meter sepanjang 50 meter untuktransek garis, peralatan
menulis, dan kamera digital untuk mempermudah perekaman data. Metode menghasilkan data
inventarisasi dan persentase tutupan lamun dan mangrove.
Pengambilan data mangrove dilakukan dengan membentang transek 50 meter pada tiga
stasiun secara tegak lurus ke arah daratan pantai. Data diambil dengan pengulangan sebanyak
dua kali yang berjarak 10 meter per transek. Kuadrat berukuran 10 m x 10 m diletakkan di dalam
transek dengan jeda 10 m tiap kuadrat untuk inventarisasi flora. Selain itu, dalam transek kuadrat
(50 m x 50 m) diletakkan kuadrat berukuran 0,5 m x 0,5 m untuk inventaris makrobentos
permukaan area mangrove secara acak (purposive sampling) pada 6 titik.
Pengambilan data lamun dilakukan dengan membentangkan transek 100 meter, terletak
pada tiga stasiun, dengan orientasi transek tegak lurus garis pantai. Data diambil dengan
pengulangan sebanyak tiga kali yang berjarak 10 meter per transek. Garis transek dibentangkan
dari garis panta imenuju laut. Kuadrat berukuran 0,5 m x 0,5 m diletakkan secara acak (purposive
sampling) pada 10 titik dalam transek.
Hasil dan Pembahasan
Hasil survei terhadap pengetahuan masyarakat setempat, sebagai berikut:
Diagram 1. Tingkat Kepedulian Masyarakat Teluk Terima terhadap Potensi SDL setempat
75%
10%
5%
5%
5% Sangat Perduli
Perduli
Cukup Perduli
Tidak Perduli
4 - Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-08)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Diagram 2. Pemanfaatan Hasil SDL oleh Masyarakat Teluk Terima
Diagram menunjukkan bahwa sumberdaya hayati laut yang dimanfaatkan oleh masyarakat
nelayan Teluk Terima terkonsentrasi terhadap kelompok ikan pelagis seperti barakuda (Sphyraena
spp.), ikan tongkol (Auxis thazard), kacangan (Strongylura incisa), dan sejumlah spesies demersal
seperti ikan teribang (Lates calcarifer) dan kerapu (Subfam. Epinephelinae). Sebagian besar ikan-
ikan terumbu yang terlihat di area Teluk Terima seperti kambing-kambing (Fam. Pomacanthidae),
ikan lepu (Fam. Scorpaenidae) dan ikan betok (Family Pomacentridae) tidak dimanfaatkan secara
tradisional untuk ikan konsumsi maupun sebagai bahan farmasetik. Hanya sebagian kecil
invertebrata dari total spesies lokal yang berada di Teluk Terima yang seperti kepiting (Fam.
Portunidae) dan udang (Fam. Penaeidae) yang dimanfaatkan sebagai bahan pangan, sedangkan
kerang mutiara (Pinctada spp.) dimanfaatkan sebagai bahan baku perhiasan (mutiara). Menurut
sejumlah narasumber, sebagian besar ikan-ikan yang berasosiasi dengan terumbu karang
ditangkap sebagai ikan hias oleh nelayan asing.
Grafik 1. Aspek kognitif masyarakat Teluk Terima terhadap potensi SDL setempat
Potensi Terumbu Karang di Kawasan Intertidal Teluk Terima, Desa Sumber Klampok
Hasil studi lapangan terhadap makrobentos terumbu karang, sebagai berikut:
Tabel 1. Potensi Makrofauna pada Terumbu Karang Teluk Terima
Nama spesies Habitat Potensi
Phylum Porifera
Phyllospongia lammellosa Coral Reef Farmakologis
Haliclona sp. Coral Reef Farmakologis
Jaspis sp. Coral Reef Farmakologis
21%
18%
13%
5%
2%
5%
5%
3%
3%
16%
3% 3%
3%
Ikan
Gongga
Ikan Teri
Ikan kerapu
Ikan
tongkol
0
2
4
6
8
10
12
14
16
Sangat
tahu
Tahu Cukup
tahu
Tidak Tahu Tidak Tahu
sama
sekali
Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-08) - 5
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Phylum Cnidaria
Acropora spp. Coral Reef Farmakologis
Pocillopora damicornis Coral Reef Farmakologis
Pocillopora eydouxi Coral Reef Farmakologis
Seriatopora hystrix Coral Reef Farmakologis
Anacropora cf. forbesi Coral Reef Farmakologis
Porites lobata Coral Reef Farmakologis
Porites spp. Coral Reef Farmakologis
Fungia spp. Coral Reef Farmakologis
Sarcophyton spp. Coral Reef Farmakologis
Sinularia spp. Coral Reef Farmakologis
Stichodactyla sp. Coral Reef Farmakologis
Platygyra sp. Coral Reef Farmakologis
Favia sp. Coral Reef Farmakologis
Hydnophora grandis Coral Reef Farmakologis
Pavonia clavus Coral Reef Farmakologis
Phylum Annelida
Spirobranchus giganteus Coral Reef Farmakologis
Phylum Arthropoda
Panulirus sp. Coral Reef Konsumsi
Periclimenes soror Coral Reef Belum diketahui
Cardisoma sp. Sandy Beach Konsumsi
Portunus sp. Seagrass, Sand Konsumsi
Sesarma sp. Mangrove Konsumsi
Diogenid 1 Coral Reef Belum diketahui
Diogenid 2 Mangrove Belum diketahui
Phylum Mollusca
Littoria conica Mangrove Konsumsi
Cerithid Coral Reef Konsumsi
Tridacna crocea Coral Reef Konsumsi, Aquarium Trade
Tridacna squamosa Coral Reef Konsumsi, Aquarium Trade
Lopha cf. cristagalli Coral Reef Konsumsi
Ostreid Mangrove Konsumsi
Trochus sp. Coral Reef Konsumsi
Pinctada margaritifera Coral Reef Perhiasan, Konsumsi
Phyllidia varicosa Coral Reef Aquarium Trade
Phyllidia sp. Coral Reef Aquarium Trade
Serpulorbis sp. Coral Reef Konsumsi, Aquarium Trade
Phylum Echinodermata
Linckia laevigata Coral Reef Farmakologis
Protoreaster nodosus Seagrass, Sand Farmakologis
Protoreaster linckii Coral Reef Farmakologis
Echinaster luzonicus Coral Reef Farmakologis
Echinometra mathaei Coral Reef Konsumsi
Diadema setosum Coral Reef Konsumsi
Echinothrix sp. Coral Reef Konsumsi
Ophiothrix sp. Coral Reef Farmakologis
6 - Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-08)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Ophiomastix sp. Coral Reef Farmakologis
Toxopneustes pileolus Coral Reef Farmakologis
Tripneustes gratilla Coral Reef Farmakologis
Lamprometra sp. Coral Reef Farmakologis
Colobometra sp. Coral Reef Farmakologis
Holothuria atra Coral Reef Konsumsi, Farmakologis
Synapta maculata Coral Reef Farmakologis
Stichopus horrens Coral Reef Farmakologis
Phylum Chordata
Platax teira Coral Reef Konsumsi, Aquarium Trade
Pterois volitans Coral Reef Konsumsi, Aquarium Trade, Farmakologi
Pterois antennata Coral Reef Konsumsi, Aquarium Trade, Farmakologi
Dendrochirus zebra Coral Reef Konsumsi, Aquarium Trade, Farmakologi
Chaetodon baronessa Coral Reef Aquarium Trade
Chaetodon trifasciatus Coral Reef Aquarium Trade
Acanthurus sp. Coral Reef Aquarium Trade
Heniochus sp. Coral Reef Aquarium Trade
Zanclus cornutus Coral Reef Aquarium Trade
Abudefduf saxatilis Coral Reef Aquarium Trade
Amphiprion sp. Coral Reef Aquarium Trade
Pomacentrus coelestis Coral Reef Aquarium Trade
Dascyllus aruanus Coral Reef Aquarium Trade
Rhinecanthus sp. Coral Reef Konsumsi, Aquarium Trade
Paracirrhites sp. Coral Reef Aquarium Trade
Siganus vulpinus Coral Reef Aquarium Trade
Corythoichthys intestinalis Coral Reef Aquarium Trade
Labroides dimidiatus Coral Reef Aquarium Trade
Thalassoma lunare Coral Reef Aquarium Trade
Scarus sp. Coral Reef Konsumsi, Aquarium Trade
Balistoides sp. Coral Reef Konsumsi, Aquarium Trade
Cymbocephalus sp. Coral Reef Konsumsi, Aquarium Trade
Tabel 2. Kondisi Ekologis Makrobentos pada Terumbu Karang Teluk Terima
Tabel 2.1. Persentase Tutupan Terumbu Karang
Lokasi
Persentase
HC LC CB CF CM CSM CMR CE DCA CT R/S
C1A 0.384 0.384 0.192 0.192 99.616
C1B 1.622 1.712 0.026 0.184 0.262 1.15 0.09 98.288
C1C 5.526 5.604 0.79 0.478 1.138 1.23 0.97 0.078 0.694 94.396
C2A 3.32 4.52 0.66 0.64 0.14 1.96 0.7 95.48
C2B 6.989 7.289 2.785 0.59 3.534 0.34 92.711
C2C 6.95 8.963 1.703 2.27 0.54 2.515 2.013 91.037
C3A 7.04 7.22 0.56 5.84 0.32 0.32 0.08 92.78
C3B 4.795 5.705 1.8 2.615 1.15 94.295
Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-08) - 7
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
C3C 10.32 11.71 5.42 0.1 3.98 0.32 0.2 1.39 88.29
Notasi C1A menandakan Stasiun 1, titik I; C1B adalah Stasiun 1, titik 2; dan seterusnya.
Metode yang digunakan adalah LIT (Line Intercept Transect) yang dimodifikasi dengan garis
transek sepanjang 50 m. Keseluruhan kawasan menunjukkan persentase tutupan karang yang
rendah pada rentang kedalaman 1 m hingga 3m. Transek yang menunjukkan persentase tutupan
karang keras (HC) tertinggi adalah titik 3 stasiun 3 (C3C), sedangkan persentase HC terrendah
dimiliki oleh titik 1 stasiun 1 (C1A). Persentase karang tertinggi dimiliki oleh life-form massive coral
(CM) pada lokasi C3A. Persentase tutupan karang keras hidup yang cukup rendah untuk seluruh
lokasi dan ukuran rata-rata koloni yang relatif kecil untuk kesembilan transek menandakan tingkat
disturbansi yang cukup tinggi pada lokasi-lokasi tersebut. Persentase tutupan hidup (living cover)
menunjukkan peningkatan seiring transek menjauhi dermaga dan kedalaman meningkat.
Lokasi Stasiun 1 yang relatif dekat dengan dermaga Labuhan Lalang berkorelasi dengan
tutupan karang yang rendah untuk ketiga transek, terutama apabila dibandingkan dengan dua
stasiun lainnya. Aktivitas manusia yang tinggi pada lokasi-lokasi tersebut dapat mencegah
recruitment atau pertumbuhan baru koloni karang dan meningkatkan insidensi kerusakan fisik.
Stasiun 2 dan Stasiun 3 terletak menjauh dari dermaga, dengan stasiun 3 sebagai lokasi terjauh,
sehingga persentase tutupan karang untuk masing-masing lifeform relatif tinggi dibandingkan
dengan stasiun lainnya, disebabkan oleh alasan yang sama. Menurut sejumlah penduduk
setempat, nelayan lokal hampir tidak pernah mengeksploitasi tutupan karang dengan menambang
(mining) untuk bahan fondasi bangunan ataupun dengan pengeboman, suatu ancaman besar yang
dialami oleh kebanyakan pantai pulau Jawa dan Bali (Whitten et al., 1996).
Sejumlah faktor lainnya dapat menjelaskan persentase puing karang (rubble) yang
signifikan untuk seluruh stasiun. Presensi rubble menandakan adanya kerusakan pada terumbu
karang yang pernah menutupi kawasan transek. Dekatnya lokasi terumbu transek dengan
ekosistem mangrove yang menutupi sejumlah kawasan garis pantai dapat mengakibatkan
sedimentasi pada terumbu dan mematikan sejumlah besar koloni dengan menghalangi asupan
cahaya matahari. Sistem perakaran hutan mangrove dengan mudah mengakumulasikan sedimen
halus di perairan (Whitten et al., 1996).
Tabel 2.2. Hasil pendataan BELT Desa Teluk Labuhan Lalang
BELT I BELT II BELT III
SPOT III Population
Found
SPOT III Population
Found
SPOT I Population
Found
Linckia
laevigata
3 Diadema
setosum
3 Diadema
setosum
1
Diadema
setosum
2 Lopha
cristagalli
1 Tridacna
crocea
2
Tridacna
crocea
2 Tridacna
crocea
1 Diogenid 2
Lopha
cristagalli
1 Linckia
laevigata
1 Linckia
laevigata
2
SPOT II Serpulorbis
sp.
12 Spirobranchus
giganteus
2
Diadema
setosum
31 SPOT I SPOT II
Linckia
laevigata
1 Linckia
laevigata
2 Diadema
setosum
2
Lamprometra
sp.
1 Serpulorbis
sp.
1 Spirobranchus
giganteus
1
Tridacna
crocea
1 SPOT II Tridacna
crocea
1
Ophiuroid 1 Linckia
laevigata
4 Linckia
laevigata
1
Synapta cf.
maculata
1 Holothuria
atra
1 Phyllidia sp. 1
SPOT I SPOT III
8 - Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-08)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Synapta cf.
maculata
2 Diadema
setosum
11
Tridacna
crocea
2 Tridacna
crocea
1
Ophiuroid 1 Ophiomastix
sp.
1
Family
Cerithidae
1 Echinometra
mathaei
1
Linckia
laevigata
1
Echinothrix sp. 1
Tabel 2.3. Hasil kalkulasi data BELT menurut sejumlah indeks keragaman.
Lokasi
Index
SWDI SR TA SDI(D:) SDI(1-D:) SDI(1/D): E
C1A 1.3296614 4 6 0.2777778 0.7222222 3.6 0.95914793
C1B 0.6264744 6 36 0.7453704 0.25462964 1.341615 0.349642
C1C 1.3208884 4 8 0.28125 0.71875 3.555556 0.9528195
C2A 0.6365142 5 18 0.5555556 0.44444445 1.8 0.91829586
C2B 0.50040245 2 5 0.68 0.32 1.470588 0.7219281
C2C 1.0506653 2 3 0.4814815 0.5185185 2.076923 0.65281504
C3A 1.5810938 5 9 0.20987654 0.79012346 4.764706 0.65281504
C3B 1.5607104 5 6 0.22222222 0.7777778 4.5 0.91829586
C3C 1.1240357 6 16 0.4921875 0.5078125 2.031746 0.7219281
Spesies-spesies yang ditemukan pada transek BELT sebanyak 9 transek untuk setiap 3
stasiun (Tabel 2.2) konsisten dengan makrobenthos terumbu Indo-Pasifik (Nybakken 1997: 357).
Mayoritas kelompok yang ditemukan adalah hewan echinodermata seperti bintang laut biru
(Linckia laevigata), bulu babi hitam (Diadema setosum) dan teripang synaptid (Synapta maculata),
dan sejumlah moluska besar seperti kima (Tridacna spp.). Menurut Nybakken (1997), sebagian
besar fauna makrobenthos yang dapat ditemukan secara terpapar di terumbu pada siang hari
adalah hewan echinodermata dan moluska besar seperti kima (Tridacna spp.). Kelompok fauna
lainnya seperti crustacean dan cephalopoda tidak ditemukan dikarenakan sifatnya yang kriptik atau
penyembunyi. Hal tersebut dapat disebabkan oleh tekanan predasi yang tinggi di ekosistem
terumbu karang; hewan-hewan bertubuh lunak yang terpapar di permukaan terumbu akan dengan
cepat dikonsumsi oleh predator. Makrofauna echinodermata dan moluska besar cenderung
memiliki perlindungan dalam bentuk pelindung tubuh yang keras dan berduri ataupun metabolit
sekunder yang toksik terhadap predator (Yamaguchi, 1975).
Konsentrasi bulu babi hitam Diadema setosum yang tinggi pada sejumlah tempat
menandakan aktivitas bioerosi terhadap terumbu. Transek atau spot 2, Stasiun 1 memiliki
evenness terrendah akibat dominansi oleh spesies tersebut. Spesies grazer seperti bulu babi
berduri panjang Diadema setosum dibutuhkan untuk suatu terumbu karang agar tidak tertutupi oleh
algae kompetitor, namun jumlahnya yang terlalu banyak dapat mencegah recruitment koloni
karang baru karena sifatnya sebagai perumput (grazer) yang nonselektif (Nybakken, 1997).
Tabel 2.3 menunjukkan keragaman invertebrate benthos tertinggi menurut indeks
keragaman Shannon-Wiener pada lokasi C3A dengan nilai 1.581. Dibandingkan dengan transek-
transek seperti C1B dan C3C, transek C3A (Stasiun 3, transek/spot 1) memiliki species richness
(jumlah spesies) yang lebih rendah (5), namun memiliki nilai evenness yang tinggi. Hal tersebut
dikonfirmasikan oleh indeks keragaman Simpson (1-D) yang bernilai sekitar 0,79 untuk lokasi C3A,
yang merupakan nilai tertinggi untuk seluruh transek dan mendekati angka 1(nilai keragaman
tertinggi untuk indeks tersebut). Tidak ditemukan spesies kunci seperti Acanthaster planci dan
Charonia tritonis pada daerah transek manapun; presensi spesies koralivor seperti Acanthaster
dapat menandakan kerusakan akibat predasi; sedangkan keberadaan gastropod predator
Charonia tritonis mengendalikan Acanthaster ke tingkat populasi yang normal (Nybakken, 1997).
Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-08) - 9
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Potensi Mangrove di Kawasan Intertidal Teluk Terima, Desa Sumber Klampok
Hasil studi lapangan terhadap makrobentos dan flora mangrove, sebagai berikut:
Tabel 3. Potensi Makrobentos di habitat Mangrove
No Famili Individu Potensi
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3
1 Littorinidae 109 28 278 Konsumsi, bahan kerajinan
2 Diogenidae 2 0 0 Belum diketahui
3 Grapsidae 14 0 4 Konsumsi
4 Paguridae 47 5 31 Belum diketahui
5 Strombidae 1 0 0 Bahan kerajinan
6 Actinidae 2 0 0 Belum diketahui
7 Nerritidae 0 1 0 Bahan kerajinan
8 Coelentidae 0 0 1 Belum diketahui
9 Crustaceae 0 0 2 Konsumsi
10 Ophiuroidae 0 1 0 Belum diketahui
Berdasarkan tabel tersebut dapat dilihat bahwa sedikitnya, terdapat 10 famili makrobentos
yang hidup pada mangrove. Organisme yang ditemukan cenderung berada pada substrat keras
(kayu atau daun mangrove). Organisme yang paling banyak ditemukan yaitu di stasiun 1,
sedangkan sedikit ditemukan di stasiun 3 dan paling sedikit di stasiun 2.
Penyebaran jenis makrobentos terkait dengan jenis tumbuhan mangrove tertentu.
Penyebaran jenis tersebut membentuk zonasi. Zona paling luar berhadapan dengan laut
didominasi oleh Avicennia dan Sonneratia. Zona pertengahan antara laut dan darat didominasi
oleh Rhizophora. Zona terluar dekat daratan didominasi oleh Bruguiera (Darmadja & Kusdyana,
2009). Hal tersebut dapat dilihat pada bagan zonasi hasil penelitian pada stasiun 3. Sementara itu,
zonasi pada stasiun 1 dan 2 cenderung memperlihatkan anomali dari zonasi yang ideal.
Stasiun 1 terletak pada zona terlindungi oleh Pulau, sehingga ombak sangat kecil. Hal
tersebut ditandai dengan substrat lumpur pada wilayah tersebut. Substrat lumpur disebabkan oleh
partikel-partikel halus yang tidak terbawa ombak, kemudian mengendap dan membentuk substrat
lumpur serta serasah, yang tidak stabil (Nybakken, 1997). Kondisi tersebut menyebabkan hanya
tumbuhan mangrove yang memiliki perakaran tongkat atau lutut yang mampu berada di zona
terluar seperti Rhizophora dan Bruguiera (Castro & Huber, 2007).
Gambar 1. Zonasi Mangrove Gambar 2. Zonasi Mangrove
Gambar 3. Zonasi Mangrove
10 - Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-08)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Selain itu, keberadaan makrobentos yang hidup pada mangrove lebih banyak, karena
ketersediaan pakan dari serasah mangrove yang melimpah dalam substrat (Nontji, 1993). Hal
tersebut terjadi pada stasiun 1, di mana banyak terdapat Rhizophora pada bagian terluar, dengan
kepadatan makrobentos paling banyak (didominasi oleh Littoraria sp.).
Stasiun 2 memiliki substrat berupa pasir dan sedikit berbatu. Hal tersebut menyebabkan
sedikit sekali organisme yang dapat hidup karena ketersediaan oksigen sangat kecil. Selain itu,
porositas yang besar menyebabkan partikel-partikel mudah terbawa ombak, apalagi stasiun 2
berada langsung di depan laut terbuka, yaituzona terluar yang langsung berhadapan dengan laut
terbuka (Laut Jawa). Hal tersebut membuktikan bahwa zonasi tumbuhan mangrove yang mampu
bertahan adalah dari jenis Sonneratia dan Ceriops yang mampu bertahan pada substrat pasir
(WIIP, 2011). Selain itu, kondisi substrat pasir-berbatu yang miskin unsur hara menyebabkan
makrobentos yang terdapat pada stasiun 2 paling sedikit jumlah dan jenisnya.
Stasiun 3 memiliki substrat pasir-berlumpur, yang memiliki makrobentos sedang zonasi
cukup ideal dibandingkan kedua stasiun lain. Zona tersebut terlindungi dari laut terbuka karena
berhadapan langsung dengan Pulau, sehingga ombak relatif kecil. Hal tersebut menyebabkan
adanya lumpur pada substrat pasir yang berada di lokasi tersebut.
Hasil studi pada ketiga stasiun menunjukkan bahwa terdapat 14 spesies dari 14 genus
mangrove sejati yang terdapat di TNBB (Darmadja & Kusdyana, 2009), yang berpotensi sebagai
berikut.
Tabel 4. Potensi Flora Mangrove Teluk Terima
NO NAMA LOKAL NAMA ILMIAH POTENSI
1. Prapat Sonneratia alba Makanan, bahan baku kertas
2. Lindur Rhizophora apiculata Bahan baku kertas
3. Api-api Avicenia marina Bahan baku kertas, makanan ternak, arang
4. Buta-buta Exoecaria agallocha Racun, pestisida
5. Ceriop Ceriops tagal Kayubakar, arang
6. Nyirih Xylocarpus granatum Bahan kayu
7. Osbon Osbornia octodanta Makanan ternak
8. Tanjangputih Bruguiera cylindrica Bahan baku kertas, papan (plywood)
9. Bakaugandul Rhizophora mucronata Kayu bakar, arang
10. Kedukduk Lumnitzera racemosa Makanan ternak
11. Bakau Rhizophora stylosa Kayu bakar, arang
12. Bakau Rhizopora exlamarckii Kayu bakar, arang
13. Tanjang ,merah Bruguiera gymnorrhiza Bahan baku kertas, papan (plywood), kayu
bakar
14. Dungun Heritiera littoralis Papan (plywood)
Keseluruhan spesies yang dijumpai berada dalam zona pemanfaatan dan status tidak
dilindungi (Darmadja & Kusdyana, 2009).Namun, kearifan masyarakat lokal dan budaya setempat
menyebabkan keberadaan spesies-spesies tersebut tetap lestari. Meskipun begitu, masih ada
beberapa peternak yang memanfaatkan daun tumbuhan mangrove sebagai pakan ternak saat
musim kering (Putu, 2010). Kehidupan masyarakat nelayan sepenuhnya menggantungkan diri dari
hasil tangkapan ikan dan beternak. Hal tersebut menjadi alasan mengapa potensi mangrove tidak
dimanfaatkan oleh masyarakat.
Kawasan Teluk Terima merupakan kawasan mangrove terbesar kedua setelah Teluk
Gilimanuk di TNBB. Kawasan tersebut didominasi oleh Sonneratia alba dan Rhizophora apiculata
yang terlihat pada ketiga stasiun penelitian. Kedua spesies tersebut memiliki toleransi tinggi
terhadap salinitas (Darmadja & Kusdyana, 2009). Pengukuran terhadap salinitas berada pada
angka 36 per mil, merupakan salinitas tinggi pada perairan Teluk Terima.
Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-08) - 11
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Tabel 5. Kondisi Ekologis Komunitas Mangrove Pesisir Teluk Terima
Location Quadrat Species Ind
Code
Impact
Kind of
Impact
Zonasi
M1
M1A
Rhizophora stylosa 1 1 ER
21m Rhizophora exlamarckii 1 1 ER
Rhizhopora apiculata 1 1 ER/CO
M1B
Avicennia 3 0 6m
Sonneratia alba 2 0
19m
Bruguiera aquatica 3 1 ER
M1C
Ceriops tagal 3 1 ER
Xylocarpus granatum 2 1 CO 2m
Exoecaria agallocha 2 0 1m
Lumnitzera racemosa 2 0
2m
M2
M2A
Rhizophora stylosa 2 1 ER
Rhizophora exlamarckii 1 1 CO
21m Rhizophora apiculata 1 1 ER
M2B
Avicennia marina 2 0
Sonneratia alba 1 0 6m
Bruguiera marina 2 1 ER
19m
M2C
Ceriops tagal 1 1 ER
Xylocarpus granatum 3 1 ER
Exoecaria agallocha 1 0 2m
Lumnitzera racemosa 4 0 1m
M3
M3A
Sonneratia alba 36 0 35m
Avicennia marina 2 0 21m
M3B Ficus sp. 4 0
28m
M3C
Ficus sp. 2 0
Fam. Aceraceae 5 0
Fam. Euphorbiaceae 1 0
M4
M4A
Sonneratia alba 35 0
Bruguiera marina 2 0 3m
M4B Bruguiera marina 1 0 3m
M4C
Ceriops tagal 2 0 3m
Ficus sp. 4 0 3m
Bruguiera marina 2 0 2m
M5
M5A
Sonneratia alba 1 0 30m
Rhizophora apiculata 5 0 10m
M5B Sonneratia alba 1 0 10m
M5C
Hibiscus tiliaceus 1 0 10m
Hibiscus sp. 5 0
Ficus sp. 1 0
Fam. Leguminosae 2 0
Fam. Euphorbiaceae 1 0
Fam. Aceraceae 4 0
M6
M6A
Sonneratia alba 2 0 10m
Rhizophora stylosa 3 0 15m
M6B Sonneratia alba 1 0
M6C
Acacia auriculiformis 1 0 10m
Hibiscus sp. 3 0 10m
Fam. Aceraceae 3 0
Fam. Leguminosae 1 0
Keterangan:
Code impact
12 - Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-08)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
1 : slight impact; persen cover 7695%
0 : no impact; persen cover 96--100%
Kind of Impact
ER : erosian shown by uneven mud
CO : infrastructure including piggeries, garbages dumps
Hasil pengamatan ekologis menunjukkan bahwa kondisi mangrove pada kawasan tersebut
berada pada level persen cover rata-rata 76100%, artinya masih dalam keadaan baik. Hanya
saja, terlihat perbedaan kondisi yang cukup signifikan pada stasiun 1 dibandingkan stasiun 2 dan
3. Kondisi stasiun 1 berada dekat pemukiman masyarakat nelayan setempat, sehingga dampak
yang ditimbulkan terlihat adanya sampah anorganik di dasaran substrat dan erosi pada bagian
tepi, sehingga dibangun tanggul pada pinggiran pantai. Hal tersebut diperkuat dengan adanya
budidaya kerang mutiara di perairan yang berhadapan langsung dengan stasiun. Kondisi
pemanfaatan lahan tersebut menyebabkan adanya gangguan terhadap keberadaan mangrove di
stasiun tersebut.
Potensi Lamun di Kawasan Intertidal Teluk Terima, Desa Sumber Klampok
Hasil studi lapangan terhadap komunitas lamun, sebagai berikut:
Tabel 6. Potensi Komunitas Lamun Teluk Terima
NO NAMA ILMIAH POTENSI
1. Enhalus acoroides Pupuk tanaman
2. Halophila ovalis Makanan ternak
3. Halophila minor Makanan ternak
4. Halodule uninervis Makanan ternak
5. Halodule pinifolia Makanan
6. Cymodocea rotundata Makanan
7. Syringodium isoetifolium Makanan ternak dan manusia
8. Thalassia hemprichii Pupuk tanaman
9. Halophila complex Makanan ternak
10. Halophila spinulosa Makanan
11. Cymodocea serrulata Makanan
Tabel 7. Kondisi persen tutupan lamun per stasiun
Keterangan St. Th Hu Hp Ho Cr Hx Hy Hm Cs Si Ea
Sedimen:
pasir;
Lainnya: akar
mangrove,
softcoral, dan
makroalga
1 31,6 29,3 31,7 1,67 46,6 13,33 23,33 0 0 0 0
Sedimen:
pasir dan
pasir-
berlumpur;
Lainnya:
softcoral dan
makroalga
2 3,33 83,7 28,1 0 74 0 30 0 0 0 0
Sedimen:
pasir, pasir-
berlumpur,
pasir
berbatu;
Lainnya:
softcoral
3 54,4 6,67 10 41,2 0 0 0 2 26,6 67,5 20
Persen Cover rata-rata per stasiun : (1) 17,7%; (2)21,9%; dan (3)23%
Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-08) - 13
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Kondisi tutupan lamun pesisir Teluk Terima berada pada level sangat rendah, yaitu hanya
berkisar 1025 %.Analisa persen cover per stasiun menunjukkan bahwa stasiun 3 memiliki rata-
rata persen cover paling tinggi (23 %) dengan jumlah spesies paling banyak (8 spesies).
Stasiun 2 memiliki rata-rata persen cover sedang (21,9%) dengan jumlah spesies paling
sedikit (5 spesies).Hal tersebut diduga karena jenis substrat, lokasi stasiun, dan keberadaan
tumbuhan kompetisi (makroalga) yang berbeda.
Stasiun 3 memiliki substrat pasir, pasir berlumpur, dan pasir berbatu dengan ketiadaan
makroalga. Substrat tersebut memungkinkan lamun dapat tumbuh dengan baik karena kompetisi
inter-spesies tidak terjadi. Lokasi tersebut adalah dermaga perahu penyebrangan antar-pulau. Hal
tersebut diperkirakan terdapat buangan limbah organik (karbon) yang dapat ditolerir oleh lamun,
sehingga terlihat persen cover paling baik dan jumlah spesies paling banyak. Hal tersebut dapat
dijadikan bioindikator terhadap banyaknya kandungan karbon di lokasi tersebut (WIIP 2011).
Kedua stasiun lain memiliki substrat pasir dan pasir berlumpur dengan banyak makroalga
(Padina sp.). Hal tersebut menyebabkan kompetisi bagi lamun, sehingga hanya spesies yang ada
hanya sedikit.
Berdasarkan informasi PEH TNBB, terdapat 7 spesies lamun pada zona intertidal
pesisirTelukTerima, yang ditelititahun 2009. Penelitian oleh tim SIGMA-B UI menemukan 11
spesies pada daerah tersebut, yang dapat menambahkan data inventaris TNBB.Potensi lamun
untuk digunakan sebagai bahan makanan ternak dapat dijadikan alternatif bagi para peternak di
daerah tersebut.
Kesimpulan
Telah didapatkan inventarisasi potensi ekosistem pesisir daerah intertidal Teluk Terima
dari 78 spesies makrobentos terumbu karang, 14 spesies flora mangrove, dan 11 spesies lamun.
Potensi tersebut dapat dimanfaatkan oleh masyarakatpesisirDesaTelukTerima, Desa Sumber
Klampok, TNBB.
Didapatkan pola keterkaitan antara budaya masyarakat setempat dengan kondisi potensi
SDL yang ada, yaitu masyarakat cukup tahu dan peduli terhadap kelestarian ekosistem pesisir
Teluk Terima, Desa Sumber Klampok, TNBB.
Daftar Pustaka
Castro, P. & M.E. Huber. 2007. Marine biology. McGraw-Hill, New York: xix + 460 hlm.
English S., C. Wilkinson, & V. Baker. 1994. Survey Manual for Tropical Marine Resources.
Australian International Development Assistance Bureau (AIDAB). Australia: 368 hlm.
Nontji, A. 1993. Laut nusantara. Djambatan, Jakarta: 36 7 hlm.
Nybakken, J.W. 1997. Marine biology: An ecological approach. Addison-Wesley Educational
Publishers, Inc., Massachusetts: xiii + 481 hlm.
Whitten, T., R.E. Soeriaatmadja, & S.A. Afiff. 1996. The ecology of Java and Bali. Periplus Editions,
Hong Kong: 967 hlm
WIIP (Wetlands International Indonesia Programme). 2011. Indonesian mangrove. 51 hlm.
http://www.wetlands.or.id/mangrove/mangrove_species.php. Diakses tenggal 18 Juni 2011
Yamaguchi, M. 1975. Coral reef asteroids of Guam. Biotropica 1: 12 -- 23.
Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-09) - 1
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
DEGRADASI MANGROVE, EKO-EFISIENSI ALIH FUNGSI LAHAN
DAN PERUBAHAN POLA PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN
DI TELUK YOUTEFA KOTA JAYAPURA PROVINSI PAPUA
Nurhani Widiastut
,
S.Pi.
Jurusan Perikanan, Fakultas Peternakan Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Negeri Papua,
Manokwari. E-mail : n_widiast@yahoo.com
Abstrak
Degradasi mangrove di berbagai belahan dunia termasuk Indonesia sebagian besar dikarenakan
oleh aktivitas manusia (Yeqiao Wang et al. 2003., Ndongo Din et al , 2003., McLeod, 2006.,
Purwoko, 2007., Suwargana, 2008., Ardli dan Wolff, 2008., Hemeleers, 2009., dan Khan et al,
2009). Survey Bakosurtanal (2009) menunjukkan bahwa luasan mangrove Kota Jayapura adalah
288,061 Ha. Tutupan yang hanya 0.025% dari total luasan mangrove di Provinsi Papua ini
didominasi oleh mangrove di Teluk Youtefa, sehingga keberadaannya sangat penting
dipertahankan. Penelitian ini menggunakan pendekatan ekologi (Line Plot Transect) dan sosial
ekonomi (Contingent Valuation Method, CVM dan Traditional Ecological Knowledge, TEK).
Hasil penelitian pada Maret-April 2011 menunjukkan bahwa luasan mangrove di Teluk Youtefa
yang didominasi jenis Rhizopora mucronata, R. Stylosa dan Ceriops tagal, terus mengalami
penurunan. Upaya penanaman kembali tidak sebanding dengan laju kerusakan akibat alih fungsi.
Jenis Sonneratia sp., dan Exocaeria sp. semakin jarang ditemui. Meskipun demikian, jenis-jenis
lain yakni Bruguiera sp., dan Xylocarpus sp. masih sering ditemui, hal ini menunjukkan kekayaan
jenis tinggi. Sebagian besar mangrove mengalami kerusakan karena terhalangnya aliran air laut
akibat penimbunan dan menyebabkan salinitas turun hingga di bawah 1. Hasil CVM menunjukkan
bahwa untuk jenis alih fungsi, pembangunan jalan/jembatan memiliki eko-efisiensi yang paling
rendah (0,57) diikuti kawasan perdagangan (0,68) dan perumahan (0,89). Nilai eko-efisiensi lahan
yang baik diberikan pada alih fungsi untuk tambak (3,67). Alih fungsi mangrove di Teluk Youtefa
juga menyebabkan perubahan pola pemanfaatan sumberdaya perikanan. Khusus untuk jenis
kepiting dan kerang yang hidup di ekosistem mangrove, terjadi perubahan lokasi dan lama tangkap
serta ditemui penurunan jumlah dan ukuran tangkapan.
Kata kunci : mangrove, degradasi, alih fungsi lahan, eko-efisiensi dan sumberdaya perikanan.
Pengantar
Sumberdaya alam di wilayah pesisir dan lautan merupakan sumberdaya yang rentan
terhadap pengurasan (depletion) dan penurunan kualitas maupun kuantitas (degradation),
termasuk di antaranya sumberdaya alam mangrove. Berbagai aktivitas yang bersifat produksi dan
nonproduksi, baik yang dilakukan di wilayah pesisir sendiri maupun yang dilakukan di daratan turut
berimplikasi pada degradasi sumberdaya alam di wilayah ini (Fauzy dan Anna., 2005, Sunday and
Ajewole, 2006). Degradasi mangrove di berbagai belahan dunia sebagian besar dikarenakan oleh
aktivitas manusia (Din et al , 2003, Wang et al. 2003, McLeod and Salm, 2006, Hemeleers, 2009,
Khan and Kumar, 2009). Umumnya, pembangunan wilayah pesisir di Asia Pasifik menyebabkan
pemanfaatan berlebih (over-exploitation) sumberdaya perikanan, polusi dari pemukiman penduduk,
maupun aktivitas pariwisata dan industri serta menurunnya luasan hutan mangrove dan degradasi
ekosistem pesisir lainnya. Di satu sisi, ketergantungan masyarakat pesisir di Asia Pasifik terhadap
sumberdaya alam dan lingkungannya juga sangat tinggi (Chuenpagdee and Pauly, 2004). Studi-
studi mengenai degradasi mangrove di Indonesia juga menunjukkan keadaan yang sama, yakni
bahwa aktivitas manusia yang paling dominan dalam menyebabkan degradasi mangrove
(Purwoko, 2007, Suwargana, 2008, Ardli and Wolff, 2008).
Teluk Youtefa merupakan sebuah teluk kecil yang terletak di dalam Teluk Humboldt, Kota
Jayapura Provinsi Papua. Pada tahun 1978, melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian No.
372/Kptr/Um/1978 tertanggal 9 Juni 1978, Teluk Youtefa ditetapkan sebagai Taman Wisata Alam
oleh pemerintah. Sofjan (1963), Purnomo (2005), Zain dan Tebay (2006) menyebutkan bahwa
kondisi teluk yang kaya akan sumberdaya ikan menjadikan aktivitas utama masyarakat di sekitar
teluk ini adalah perikanan. Aktifitas pemanfaatan sumberdaya perikanan tidak semata-mata
ditemui pada sistem mata pencaharian tetapi meliputi sebagian besar sistem kebudayaan,
MS-09
2 - Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-09)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
diantaranya sistem kesenian dan sistem kepercayaan. Seiring dengan meningkatnya jumlah
penduduk dan arus modernisasi, penghormatan terhadap alam menurun dan manusia hidup dalam
nalar modernisasi melalui mekanisme pembangunan. Keyakinan bahwa kemajuan teknologi dapat
menaklukkan alam membuat manusia berhasil memajukan kebudayaannya, tetapi di satu sisi
merusak keseimbangan energi di alam. Pembangunan berlangsung, pusat-pusat perdagangan dan
pemukiman terus dibangun hingga mendesak keberadaan ekosistem alami, termasuk mangrove.
Survey sumberdaya mangrove oleh Bakosurtanal (2009) menunjukkan bahwa luasan
mangrove Kota Jayapura sangat rendah jika dibandingkan dengan sebaran mangrove di
Kabupaten/Kota lainnya di Provinsi Papua, yakni hanya seluas 288,061 Ha. Tutupan yang hanya
0.025% dari total luasan mangrove di Provinsi Papua ini didominasi oleh mangrove di Teluk
Youtefa. Sementara itu, hasil penelitian yang dilakukan oleh Tim Jurusan Perikanan Universitas
Negeri Papua, menyebutkan bahwa telah terjadi perubahan pada luasan tiap kelas kerapatan
mangrove di Teluk Youtefa pada kurun waktu 2001-2006 dan terdapat selisih sebesar 101,34 Ha
antara areal mangrove yang mengalami perubahan secara negatif dan yang stabil, sementara
areal yang mengalami perubahan positif hanya 10,98 Ha. Berkurangnya luasan mangrove ini tentu
berdampak pada biota di sekitarnya, karena mangrove merupakan komponen penting penyusun
rantai makanan pada ekosistem pesisir. Penelitian tersebut juga menemukan bahwa produksi hasil
perikanan baik ikan, moluska maupun krustasea mengalami penurunan, tetapi tidak secara spesifik
menyebutkan nilai penurunannya (Zain dan Tebay, 2006).
Kondisi berkurangnya luasan mangrove di Teluk Youtefa menunjukkan bahwa
pengelolaan yang optimal belum dilakukan. Padahal, selain sebagai daerah konservasi,
keseimbangan energi di teluk ini harus dijaga karena terkait erat dengan kehidupan sosial ekonomi
masyarakat yang hidup di dalamnya. Keberadaan mangrove di Teluk Youtefa juga penting dalam
mendukung keberlanjutan perikanan tradisional di Kota Jayapura. Oleh karena itu, perlu adanya
suatu kajian mengenai kontribusi setiap penggunaan lahan terhadap degradasi mangrove tersebut
dan bagaimana pengaruhnya terhadap aktivitas perikanan tradisional guna menyusun rencana
pengelolaan yang lebih adil dan bertanggung jawab.
Bahan dan Metode
Penelitian dilakukan di pesisir Teluk Youtefa Kota Jayapura. Penelitian ini menggunakan
pendekatan ekologi (Line Plot Transect) dan sosial ekonomi (Contingent Valuation Method - CVM,
dan Traditional Ecological Knowledge TEK). Untuk kebutuhan pengamatan struktur vegetasi,
ditentukan dua belas stasiun yang dianggap mewakili setiap wilayah, dengan masing-masing
stasiun terdiri dari tiga plot. CVM dan TEK dilakukan dengan melibatkan 30 responden terpilih
(purposive sampling) dengan ketentuan bahwa responden tersebut memiliki lama tinggal minimal
25 tahun dan sering melakukan aktivitas pemanfaatan sumberdaya perikanan di sekitar mangrove
Teluk Youtefa.
Hasil dan Pembahasan
Struktur Vegetasi dan Persepsi Keberadaan Mangrove
Inventarisasi jenis menunjukkan bahwa flora mangrove baik yang sejati maupun asosiasi
di sekitar Teluk Youtefa cukup beragam. Famili mangrove sejati yang ditemui antara lain
Acanthaceae (Acanthus ilicifolius), Pteridaceae (Acrostichum speciosum Willd., Acrostichum
aureum Linn.), Avicenniaceae (Avicennia alba Bl., Avicennia marina (Forsk.) Vierh.),
Rhizophoraceae (Bruguiera cylindrica (L.) Bl., Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk.), Ceriops tagal
(Perr.) C.B.Rob., Rhizophora apiculata Bl., Rhizophora mucronata Lmk., Rhizophora stylosa Griff.)
, Arecaceae (Nypa fruticans Wurmb.), Rubiaceae (Scyphiphora hydrophyllacea Gaertn., Morinda
citrifolia L.), Sonneratiaceae (Sonneratia alba J.E. Smith), Meliaceae (Xylocarpus granatum Koen.,
Xylocarpus moluccensis (Lamk) Roem., Xylocarpus rumphii (Kostel.) Mabb.), Lecythidaceae
(Barringtonia asiatica (L.) Kurz), Guttiferae (Calophyllum inophyllum L.), Malvaceae (Hibiscus
tiliaceus L.), Convolvulaceae (Ipomoea pes-caprae (L.) Sweet.), Pandanaceae (Pandanus
tectorius.), Euphorbiaceae (Excoecaria agallocha L., Ricinus communis Linn.), Goodeniaceae
(Scaevola taccada (Gaertn.) Roxb.), dan Combretaceae (Terminalia catappa L.). Selain jenis-jenis
tersebut, berdasarkan hasil penelusuran melalui TEK, diperoleh informasi bahwa jenis- jenis
Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-09) - 3
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Myrsinaceae (Aegiceras sp.) dan Combretaceae (Lumnitzera sp.) dulu sering ditemui namun
sekarang keberadaannya langka. Berkurangnya beberapa jenis mangrove selain karena kondisi
alamiah, diduga juga karena tingginya pemanfaatan dan kegiatan alih fungsi lahan mangrove yang
menghilangkan spesies-spesies yang menempati zonasi belakang.
Untuk keperluan analisa struktur vegetasi, pengamatan dibatasi hanya pada jenis
mangrove sejati kategori pohon. Berikut hasil perhitungan kerapatan jenis (Ki), kerapatan relatif
(Kr), frekuensi jenis (Fi), frekuensi relatif (Fr), dominansi jenis (Di), dominansi relatif (Dr) serta
indeks nilai penting.
Tabel 1. Kerapatan Jenis (Ki), Kerapatan Relatif (Kr), Frekuensi Jenis (Fi), Frekuensi Relatif (Fr),
Dominansi Jenis (Di), dan Dominansi Relatif (Dr)
No Jenis
Kerapatan
Jenis
Kerapatan
Relatif
Frekuensi
Jenis
Frekue
nsi
Relatif
Dominansi
Jenis
Dominansi
Relatif
1. Rm 2,98 43,38 0,27 25,00 1,39 49,53
2. Rs 1,31 19,07 0,25 23,15 0,60 21,41
3. Ra 0,22 3,20 0,08 7,41 0,08 2,80
4. Bc 0,32 4,66 0,08 7,41 0,09 3,30
5. Ct 1,22 17,76 0,16 14,81 0,29 10,44
6. Am 0,05 0,73 0,03 2,78 0,03 1,06
7. Aa 0,03 0,44 0,01 0,93 0,02 0,72
8. Sa 0,07 1,02 0,02 1,85 0,02 0,87
9. Sh 0,02 0,29 0,01 0,93 0,00 0,13
10 Xg 0,42 6,11 0,11 10,19 0,17 6,17
11 Xm 0,23 3,35 0,06 5,56 0,10 3,58
Total
6,87 100,00 1,08 100,00 2,80 100,00
Keterangan : Rm : Rhizopora mucronata Rs : R. stylosa Ra : R.apiculata Bc : Bruguiera cylindrical
Ct : Ceriops tagal Am :Avicennia marina Aa : Avicennia alba Sa : Sonneratia alba Sh :
Scyphiphora hydrophyllacea Xg : Xylocarpus granatum Xm : Xylocarpus mollucensis
Hasil perhitungan pada tabel diatas menunjukkan bahwa R. Mucronata memiliki nilai
kerapatan relatif (43,38%), frekuensi relatif (25,00%), maupun dominansi relatif (49,53%) yang
paling tinggi. Kondisi ini dimungkinkan karena kondisi perairan teluk yang terlindung, relatif tenang
dari pengaruh ombak serta pola arus yang lemah (Zain dan Tebay, 2006). Selain itu, pemanfaatan
yang rendah serta letak yang berada jauh dari daratan melindunginya dari aktivitas alih fungsi
lahan (penimbunan). Berbeda dengan jenis-jenis yang berasosiasi dengan vegetasi daratan,
mangrove pada zonasi belakang umumnya semakin sulit dijumpai karena aktivitas penimbunan
tersebut.
Gambar 1. Indeks Nilai Penting Spesies Mangrove di Teluk Youtefa
Berdasarkan gambar di atas, tampak bahwa kelompok Rhizoporaceae terutama
R.mucronata, R.stylosa dan C.tagal memiliki peranan yang sangat besar dalam menjaga
kestabilan ekosistem mangrove di Teluk Youtefa. Tingginya nilai penting dari kelompok Rhizopora
0
20
40
60
80
100
120
140
Rm Rs Ra Bc Ct Am Aa Sa Sh Xg Xm
Indeks Nilai Penting
NP
4 - Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan
sp. dimungkinkan karena kondisi teluk yan
terjadinya sedimentasi. Sedimentasi menyebabkan kondisi substrat berlumpur halus yang sesuai
dengan pertumbuhannya. Keberadaan kedua spesies ini juga memungkinkan kestabilan substrat
berlumpur karena kemampuan perakarannya menahan sedimen. Selain itu ukuran buah yang
relatif besar juga lebih memungkinkan perkembangbiakannya dibandingkan jenis lain.
Persepsi Keberadaan Mangrove dan Eko
Kajian sosial ekonomi yang dilakukan
bahwa seluruh responden (100%) setuju bahwa dibandingkan dengan dua puluh sampai tiga puluh
tahun lalu, yakni pada dekade 1980
mengalami penurunan, baik pada luasa
kondisi mangrove di Teluk Youtefa saat ini berbeda. Pada gambar berikut, disajikan persepsi
responden mengenai kondisi mangrove saat ini.
Gambar 2. Persepsi Kondisi Mangrove Saat Ini
Perbedaan persepsi tersebut diduga karena pengaruh usia dan ketergantungan terhadap
keberadaan ekosistem mangrove. Penduduk yang berusia di atas 50 tahun cenderung
menyatakan bahwa kondisi mangrove saat ini sangat buruk. Hal ini disebabkan karena pada era
1970an, keberadaan ekosistem mangrove di teluk ini masih sangat baik dan pelaksanaan pranata
adat dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan kelautan masih berlaku. Demikian pula penduduk
yang masih sangat bergantung pada ekosistem mangrove, yakni mereka yang melakukan
penangkapan/pengumpulan kerang dan kepiting bakau. Umumnya, responden meyakini bahwa
penyebab utama kerusakan mangrove di Teluk Youtefa adalah karena eksploitasi mangrove yang
tidak ramah lingkungan dan aktivitas alih fungsi lahan yakni penimbunan hutan mangr
pembangunan kawasan perdagangan, jalan/jembatan maupun perumahan.
Terkait dengan alih fungsi lahan, penilaian eko
memberi informasi bahwa nilai eko
pada tambak yaitu senilai 3,67. Adapun kegiatan alih fungsi yang memiliki nilai eko
terendah adalah alih fungsi untuk jalan dan jembatan. Secara lengkap, nilai eko
masing-masing alih fungsi lahan mangrove ditampilkan pada gambar
50
13.33
Per
Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-09)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16
p. dimungkinkan karena kondisi teluk yang terlindung dengan aliran lambat yang memungkinkan
terjadinya sedimentasi. Sedimentasi menyebabkan kondisi substrat berlumpur halus yang sesuai
dengan pertumbuhannya. Keberadaan kedua spesies ini juga memungkinkan kestabilan substrat
mpuan perakarannya menahan sedimen. Selain itu ukuran buah yang
relatif besar juga lebih memungkinkan perkembangbiakannya dibandingkan jenis lain.
Persepsi Keberadaan Mangrove dan Eko-Efisiensi Alih Fungsi Lahan
Kajian sosial ekonomi yang dilakukan dengan pendekatan CVM dan TEK menunjukkan
bahwa seluruh responden (100%) setuju bahwa dibandingkan dengan dua puluh sampai tiga puluh
tahun lalu, yakni pada dekade 1980-1990, kondisi mangrove saat ini secara keseluruhan
mengalami penurunan, baik pada luasan maupun tinggi tegakan. Meskipun demikian, penilaian
kondisi mangrove di Teluk Youtefa saat ini berbeda. Pada gambar berikut, disajikan persepsi
responden mengenai kondisi mangrove saat ini.
Gambar 2. Persepsi Kondisi Mangrove Saat Ini
sepsi tersebut diduga karena pengaruh usia dan ketergantungan terhadap
keberadaan ekosistem mangrove. Penduduk yang berusia di atas 50 tahun cenderung
menyatakan bahwa kondisi mangrove saat ini sangat buruk. Hal ini disebabkan karena pada era
adaan ekosistem mangrove di teluk ini masih sangat baik dan pelaksanaan pranata
adat dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan kelautan masih berlaku. Demikian pula penduduk
yang masih sangat bergantung pada ekosistem mangrove, yakni mereka yang melakukan
angkapan/pengumpulan kerang dan kepiting bakau. Umumnya, responden meyakini bahwa
penyebab utama kerusakan mangrove di Teluk Youtefa adalah karena eksploitasi mangrove yang
tidak ramah lingkungan dan aktivitas alih fungsi lahan yakni penimbunan hutan mangr
pembangunan kawasan perdagangan, jalan/jembatan maupun perumahan.
Terkait dengan alih fungsi lahan, penilaian eko-efisiensi dengan pendekatan rangking
memberi informasi bahwa nilai eko-efisiensi alih fungsi lahan mangrove yang terbaik diberikan
pada tambak yaitu senilai 3,67. Adapun kegiatan alih fungsi yang memiliki nilai eko
terendah adalah alih fungsi untuk jalan dan jembatan. Secara lengkap, nilai eko
masing alih fungsi lahan mangrove ditampilkan pada gambar 3.
36.67
50
13.33 0
Persepsi Kondisi Mangrove Saat Ini (%)
Sangat Buruk
Buruk
Baik
Sangat Baik
16 Juli 2011
g terlindung dengan aliran lambat yang memungkinkan
terjadinya sedimentasi. Sedimentasi menyebabkan kondisi substrat berlumpur halus yang sesuai
dengan pertumbuhannya. Keberadaan kedua spesies ini juga memungkinkan kestabilan substrat
mpuan perakarannya menahan sedimen. Selain itu ukuran buah yang
relatif besar juga lebih memungkinkan perkembangbiakannya dibandingkan jenis lain.
dengan pendekatan CVM dan TEK menunjukkan
bahwa seluruh responden (100%) setuju bahwa dibandingkan dengan dua puluh sampai tiga puluh
1990, kondisi mangrove saat ini secara keseluruhan
n maupun tinggi tegakan. Meskipun demikian, penilaian
kondisi mangrove di Teluk Youtefa saat ini berbeda. Pada gambar berikut, disajikan persepsi
sepsi tersebut diduga karena pengaruh usia dan ketergantungan terhadap
keberadaan ekosistem mangrove. Penduduk yang berusia di atas 50 tahun cenderung
menyatakan bahwa kondisi mangrove saat ini sangat buruk. Hal ini disebabkan karena pada era
adaan ekosistem mangrove di teluk ini masih sangat baik dan pelaksanaan pranata
adat dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan kelautan masih berlaku. Demikian pula penduduk
yang masih sangat bergantung pada ekosistem mangrove, yakni mereka yang melakukan
angkapan/pengumpulan kerang dan kepiting bakau. Umumnya, responden meyakini bahwa
penyebab utama kerusakan mangrove di Teluk Youtefa adalah karena eksploitasi mangrove yang
tidak ramah lingkungan dan aktivitas alih fungsi lahan yakni penimbunan hutan mangrove untuk
efisiensi dengan pendekatan rangking
efisiensi alih fungsi lahan mangrove yang terbaik diberikan
pada tambak yaitu senilai 3,67. Adapun kegiatan alih fungsi yang memiliki nilai eko-efisiensi
terendah adalah alih fungsi untuk jalan dan jembatan. Secara lengkap, nilai eko-efisiensi untuk
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan
Gambar 3. Penilaian Eko
Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa penimbunan hutan mangrove untuk
pembuatan jalan mengakibatkan kerusakan mangrove yang massif. Nilai eko
jalan/jembatan rendah karena tingginya nilai yang diberikan untuk dampak negatif yang mung
timbul. Penduduk di Teluk Youtefa umumnya mengkhawatirkan pembangunan jalan
mengakibatkan turunnya hasil tangkapan dan meningkatkan kriminalitas. Hasil pengukuran
kualitas air di sekitar wilayah mangrove yang rusak akibat penimbunan untu
bahwa salinitas di wilayah ini sangat rendah dan tidak memungkinkan bagi pertumbuhan
mangrove. Diduga bahwa penimbunan ini menghambat aliran air laut dan menyebabkan genangan
air hujan sehingga salinitas turun. Dibandingkan dengan salin
kisaran 2,59 ppm - 3,53 ppm dengan rata
ini memiliki kisaran salinitas 0,29 ppm
Berbeda dengan kerusakan mangrove di pesisir Pu
yang banyak disebabkan oleh pembukaan tambak (Purwoko,
2008., Ardli and Wolff, 2008), keberadaan tambak di Teluk Youtefa dianggap belum memberi
dampak negatif. Kerusakan mangrove di Telu
pembangunan yakni infrastruktur perkotaan. Hal ini seperti yang terjadi di Teluk Arab (Khan
Kumar, 2009). Terkait dengan keberadaan mangrove di masa depan, 54 % responden meyakini
bahwa mangrove yang ada di Teluk
kondisi mangrove Teluk Youtefa akan terus menurun.
Gambar 3. Persepsi Kondisi Mangrove Masa Depan
Responden yang meyakini bahwa mangrove di Teluk Youtefa akan tetap maupun
meningkat luasannya dikarenakan keyakinan bahwa secara alami mangrove akan terus
berkembang biak, serta ada upaya pelestarian. Hal ini didukung oleh pernyataan McLeod
Salm (2006), Brown (2007) dan Alongi (2008), bahwa mangrove memiliki kemampuan resiliansi.
Sementara alasan responden yang meyakini bahwa luasan mangrove akan terus menurun adalah
karena pertambahan penduduk dan tekanan pembangunan. Melana,
bahwa ada beberapa ancaman langsung terhadap mangrove. Beberapa ancaman tersebut antara
lain konversi mangrove menjadi tambak ikan dan tambak garam, reklamasi lahan mangrove untuk
berbagai jenis pembangunan, pencemaran dan pelumpuran (
dan struktur lain yang menghalangi aliran pasang surut, distribusi nutrien, salinitas dan gradient
0.00
0.50
1.00
1.50
2.00
2.50
3.00
3.50
4.00
Jln/Jmbtn
Nilai Eko
54%
Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan
Gambar 3. Penilaian Eko-efisiensi Alih Fungsi Lahan
Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa penimbunan hutan mangrove untuk
pembuatan jalan mengakibatkan kerusakan mangrove yang massif. Nilai eko
jalan/jembatan rendah karena tingginya nilai yang diberikan untuk dampak negatif yang mung
timbul. Penduduk di Teluk Youtefa umumnya mengkhawatirkan pembangunan jalan
mengakibatkan turunnya hasil tangkapan dan meningkatkan kriminalitas. Hasil pengukuran
kualitas air di sekitar wilayah mangrove yang rusak akibat penimbunan untu
bahwa salinitas di wilayah ini sangat rendah dan tidak memungkinkan bagi pertumbuhan
mangrove. Diduga bahwa penimbunan ini menghambat aliran air laut dan menyebabkan genangan
air hujan sehingga salinitas turun. Dibandingkan dengan salinitas di wilayah lain yang memiliki
3,53 ppm dengan rata-rata 3,26 ppm, salinitas perairan di wilayah yang rusak
ini memiliki kisaran salinitas 0,29 ppm 1,55 ppm dengan rata-rata 0,91 ppm.
Berbeda dengan kerusakan mangrove di pesisir Pulau Sumatera, Jawa dan Kalimantan
yang banyak disebabkan oleh pembukaan tambak (Purwoko, A., 2007., Sidiq
Wolff, 2008), keberadaan tambak di Teluk Youtefa dianggap belum memberi
dampak negatif. Kerusakan mangrove di Teluk Youtefa lebih disebabkan oleh tekanan
pembangunan yakni infrastruktur perkotaan. Hal ini seperti yang terjadi di Teluk Arab (Khan
Kumar, 2009). Terkait dengan keberadaan mangrove di masa depan, 54 % responden meyakini
bahwa mangrove yang ada di Teluk Youtefa akan meningkat, sedangkan 30 % meyakini bahwa
kondisi mangrove Teluk Youtefa akan terus menurun.
Gambar 3. Persepsi Kondisi Mangrove Masa Depan
Responden yang meyakini bahwa mangrove di Teluk Youtefa akan tetap maupun
arenakan keyakinan bahwa secara alami mangrove akan terus
berkembang biak, serta ada upaya pelestarian. Hal ini didukung oleh pernyataan McLeod
Salm (2006), Brown (2007) dan Alongi (2008), bahwa mangrove memiliki kemampuan resiliansi.
Sementara alasan responden yang meyakini bahwa luasan mangrove akan terus menurun adalah
karena pertambahan penduduk dan tekanan pembangunan. Melana, et al. (2000) m
bahwa ada beberapa ancaman langsung terhadap mangrove. Beberapa ancaman tersebut antara
konversi mangrove menjadi tambak ikan dan tambak garam, reklamasi lahan mangrove untuk
berbagai jenis pembangunan, pencemaran dan pelumpuran (siltasi), pembangunan tanggul atau
dan struktur lain yang menghalangi aliran pasang surut, distribusi nutrien, salinitas dan gradient
0.57
0.68
0.89
3.67
Jln/Jmbtn Kwsn
Dagang
Kwsn
Prmhn
Tambak
Nilai Eko-efisiensi Alih Fungsi Lahan Mangrove
Nilai Eko-
efisiensi
30%
13%
54%
3%
Persepsi Kondisi Mangrove di Masa Depan
meningkat
tetap
menurun
tidak tahu
Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-09) - 5
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa penimbunan hutan mangrove untuk
pembuatan jalan mengakibatkan kerusakan mangrove yang massif. Nilai eko-efisiensi bagi
jalan/jembatan rendah karena tingginya nilai yang diberikan untuk dampak negatif yang mungkin
timbul. Penduduk di Teluk Youtefa umumnya mengkhawatirkan pembangunan jalan ring-road akan
mengakibatkan turunnya hasil tangkapan dan meningkatkan kriminalitas. Hasil pengukuran
kualitas air di sekitar wilayah mangrove yang rusak akibat penimbunan untuk jalan menunjukkan
bahwa salinitas di wilayah ini sangat rendah dan tidak memungkinkan bagi pertumbuhan
mangrove. Diduga bahwa penimbunan ini menghambat aliran air laut dan menyebabkan genangan
itas di wilayah lain yang memiliki
rata 3,26 ppm, salinitas perairan di wilayah yang rusak
lau Sumatera, Jawa dan Kalimantan
2007., Sidiq, 2008., Suwargana,
Wolff, 2008), keberadaan tambak di Teluk Youtefa dianggap belum memberi
k Youtefa lebih disebabkan oleh tekanan
pembangunan yakni infrastruktur perkotaan. Hal ini seperti yang terjadi di Teluk Arab (Khan and
Kumar, 2009). Terkait dengan keberadaan mangrove di masa depan, 54 % responden meyakini
Youtefa akan meningkat, sedangkan 30 % meyakini bahwa
Responden yang meyakini bahwa mangrove di Teluk Youtefa akan tetap maupun
arenakan keyakinan bahwa secara alami mangrove akan terus
berkembang biak, serta ada upaya pelestarian. Hal ini didukung oleh pernyataan McLeod and
Salm (2006), Brown (2007) dan Alongi (2008), bahwa mangrove memiliki kemampuan resiliansi.
Sementara alasan responden yang meyakini bahwa luasan mangrove akan terus menurun adalah
. (2000) menyebutkan
bahwa ada beberapa ancaman langsung terhadap mangrove. Beberapa ancaman tersebut antara
konversi mangrove menjadi tambak ikan dan tambak garam, reklamasi lahan mangrove untuk
pembangunan tanggul atau
dan struktur lain yang menghalangi aliran pasang surut, distribusi nutrien, salinitas dan gradient
6 - Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-09)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
temperatur yang memicu akumulai biogas dan produk dekomposisi organik lain sehingga
menyebabkan kematian vegetasi mangrove, serta eksploitasi dan pemanfaatan berlebih. Di antara
ancaman tersebut, beberapa diantaranya diyakini akan terus berlangsung di Teluk Youtefa
sehingga luasan mangrove akan terus menurun.
Perubahan Pola Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
Penduduk asli Teluk Youtefa adalah penduduk yang kehidupan sehari-harinya sangat
bergantung pada kondisi lingkungan (Sofjan,1963). Hingga saat ini, mayoritas mereka menjadikan
kekayaan sumberdaya perikanan di Teluk Yotefa sebagai sumber penghidupan. Meskipun
berprofesi sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), TNI/POLRI maupun karyawan swasta, aktivitas
melaut masih sering dilakukan oleh kaum laki-laki. Adapun kaum perempuan masih sering
melakukan pengumpulan kerang, baik di sekitar ekosistem lamun maupun mangrove. Terkait
dengan degradasi mangrove di sekitar teluk tersebut, seluruh responden menyatakan bahwa telah
terjadi perubahan pola pemanfaatan sumberdaya perikanan.
Perubahan pola pemanfaatan tersebut tampak dari menurunnya jumlah tangkapan baik
dari jenis, jumlah/jenis maupun ukuran, serta berkurangnya areal tangkapan, terutama dalam
pemanfaatan sumberdaya ikan yang hidup di ekosistem mangrove. Hal ini sejalan dengan
penelitian yang mengungkapkan bahwa penggunaan lahan dan perubahan tutupan lahan
mangrove dapat mempengaruhi distribusi habitat (Ardli and Wolff, 2008). Selain berkurangnya
luasan mangrove yang mengakibatkan habitat hidup bagi beberapa jenis sumberdaya ikan
berkurang, meningkatnya buangan sampah ke perairan akibat pembangunan kawasan
perdagangan dan perumahan tanpa sistem kelola limbah yang baik turut mempengaruhi
pemanfaatan sumberdaya perikanan. Sampah dari kawasan tersebut masuk ke perairan teluk dan
terperangkap dalam ekosistem mangrove sehingga menyebabkan terganggunya keseimbangan
energi dalam ekosistem mangrove dan menghambat pengumpulan kerang-kerangan.
Kesimpulan dan Saran
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa keberadaan ekosistem
mangrove di Teluk Youtefa telah mengalami penurunan dan memiliki pengaruh yang erat terhadap
pemanfaatan sumberdaya perikanan di Teluk Youtefa. Aktivitas alih fungsi lahan yang telah
dilakukan belum memberi manfaat bagi masyarakat yang berdiam di Teluk Youtefa, justru memberi
dampak yang negatif. Oleh karena itu, perlu ada upaya pelestarian ekosistem mangrove dan
penanggulangan sampah. Melalui penelitian ini, dapat disimpulkan juga bahwa Traditional
Ecological Knowledge (TEK) dapat digunakan dalam mengetahui keberadaan suatu spesies.
Daftar Pustaka
Ardli, E.R., and M. Wolff., 2008. Land Use and Land Cover Change Affecting Habitat Distribution in
the Segara Anakan Lagoon, Java, Indonesia. Reg. Environ Change (2009) 9:235-243.
N.M., 1999, Social and Economic Value of Mangrove. A method for Estimation and an Example, p.
319-344. In: A. Yez-Arancibia y A. L. Lara-Domnguez (eds.). Ecosistemas de Manglar
en Amrica Tropical. Instituto de Ecologa A.C. Mxico, UICN/ORMA, Costa Rica,
NOAA/NMFS Silver Spring MD USA. 380 p
Arobaya, A.Y.S., dan F. Pattiselano, 2009, Kelestarian Mangrove Teluk Yotefa Terancam? , Warta
Konservasi Lahan basah, edisi April 2009. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan
Konservasi Alam (Ditjen.PHKA) dan Wetlands International-Indonesia Programme (WI-IP)
Alongi, D. M., 2008, Mangrove forests: Resilience, protection from tsunamis, and responses to
global climate change. Estuarine, Coastal and Shelf Science 76 (2008) 1-13.
ANTARA, 2009, Alih Fungsi Lahan Rusak Bakau Teluk Youtefa, Edisi Rabu, 25 Nopember 2009,
Diunduh dari http://www.koran-jakarta.com/berita-detail-terkini.php?id=21720
Bakosurtanal, 2009, Peta Mangrove Indonesia, Pusat Survei Sumberdaya Alam Laut Bakosurtanal,
Jakarta.
Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-09) - 7
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Brown, B., 2007, Resilience Thinking Applied to the Mangroves of Indonesia, IUCN & Mangrove
Action Project, Yogyakarta, Indonesia.
Chuenpagdee, R., and D. Pauly, 2004, Improving the State of Coastal Areas in The Asia Pacific
Regions, Coastal Management 32 : 3-15, 2004. Taylor & Francis. Inc.
Din, N., P. Saenger, P.R Jules, D.D Siegfried, and F.Basco., 2008, Logging Activities in Mangrove
Forests : A Case Study of Douala Cameroon. African Journal of Environmental Science
and technology Vol.2 (2) pp.022-030, February 2008.
Fauzy,A., dan S. Anna, 2005, Pemodelan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan untuk Analisa
Kebijakan, Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Hemeleers, L., 2009, Global Ecology of Mangroves : a Macroecological Survey Analysis of
Diversity, Functionality, Thesis for the degree of Master in Biology., ULB - Universit Libre
de Bruxelles.
Jayatissa, L.P., M.C. Guero, S. Hettiarachchi, and N. Koedam., 2001, Changes in Vegetation
Cover and Socio-Economic Transitions in a Coastal Lagoon (Kalametiya, Sri Lanka), as
Observed by Teledetection and Ground Truthing, Can be Attributed to An Upstream
Irrigation Scheme. Environment, Development and Sustainability 4: 167183, 2002.
2002 Kluwer Academic Publishers. Printed in the Netherlands.
Khan, M.A., and A. Kumar., 2009, Impact of Urban Development on Mangrove Forests along the
West Coast of the Arabian Gulf. E-Journal Earth Science India Vol .2 (III), July, 2009 pp
159 173.
Martinuzzi, S., W.A. Gould, A.E. Lugo, and E. Medina. Conversion and Recovery of Puerto Rican
Mangroves: 200 Years of Change. Forest Ecology and Management 257 (2009) 7584.
McLeod, E., and R.V. Salm, 2006, Managing Mangroves for Resilience to Climate Change, IUCN,
Gland, Switzerland. 64pp.
Melana, D.M., J. Atchue, C.E. Yao, R. Edwards, E.E. Melana, and H.I. Gonzales, 2000, Mangrove
Management Handbook, Department of Environment and Natural Resources, Manila,
Philippines through the Coastal Resource Management Project, Cebu City, Philippines.
Menteri Negara Lingkungan Hidup, 2004, Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor :
201 Tahun 2004 tentang Kriteria Baku dan Pedoman Penentuan Kerusakan Mangrove
Nagelkerken, I., S.J.M. Blaber, S. Bouillon, P. Green, M. Haywood, L.G. Kirton, J.-O. Meynecke,
J. Pawlik, H.M. Penrose, A. Sasekumar, and P.J. Somereld, 2008, The Habitat Function
Of Mangroves For Terrestrial And Marine Fauna: A Review, Aquatic Botany 89 (2008)
155185.
Pita, P., J. Freire, and A. Garcia-Allut., 2008, How to Assign a Catch Value to Fishing Ground
When Fisheries Statistics are not Spatially Explicit. Scientia Marina 72(4). December 2008,
693-699, Barcelona (Spain).
Pramono, D., 2005, Budaya Bahari, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Purwoko, A, 2007, AnalisisPerubahan Fungsi Lahan di Kawasan Pesisir dengan Menggunakan
Citra Satelit Berbasis Sistem Informasi Geografis (Studi Kasus di Kawasan Suaka
Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut). Wahana Hijau Jurnal Perencanaan
dan Pengembangan Wilayah Vol.4 No.3 April 2009.
Satria, A., 2009, Ekologi Politik Nelayan, Penerbit LkiS, Yogyakarta.
8 - Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-09)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Sidik, A. S., 2008, The Changes of Mangrove Ecosistem in Mahakam Delta, Indonesia: A
Complex Social-Environmental Pattern of Linkages in Resources Utilization, Paper
presented at The South China Sea Conference 2008. The South China Sea : Sustaining
Ocean Productivities, Maritime Communities and the Climate. Kuantan, Malaysia, 25-29
November 2008.
Sofjan, A., 1963, Penduduk Teluk Humboldt, Artikel dalam Penduduk Irian Barat, diedit oleh
Koentjaraningrat dan H.W. Bachtiar,. Proyek Penelitian Universitas Indonesia.. PT
Penerbitan Universitas. pp : 193-215.
Sunday, O.A., and A.I. Ajewole, 2006, Implications of the Changing Pattern of Landcover of the
Lagos Coastal Area of Nigeria, American-Eurasian Journal of Scientific Research 1 (1): 31-
37, 2006 ISSN 1818-6785 IDOSI Publications.
Suwargana, N., 2008, Analisis Perubahan Hutan Mangrove menggunakan Data Penginderaan jauh
di Pantai Bahagia, Muara Gembong, Bekasi. Jurnal Penginderaan jauh Vol.5, 2008 : 64-
74.
Zain M. dan S. Tebay, 2006, Potensi Sumberdaya Teluk Youtefa Berkelanjutan Berbasis
Masyarakat, Universitas Negeri Papua, Manokwari.
Walters, B.B., P.Ronnback, J.M. Kovacs, B.Crona, S.A. Hussain, R. Badola, J.H. Primavera, E.
Barbier, and F. Dahdouh-Guebas, 2008, Etnobiology, Socio-economics and Management
of Mangrove Forests : A Review. Article in Aquatic Botany 89 (2008) 220 236.
Wang, Y., G. Bonynge, J. Nugranad, M. Traber, A. Ngusaru, J. Tobey, L. Hale, R. Bowen, and V.
Makota, 2003, Remote Sensing of Mangrove Change along Tanzania Coast. Marine
Geodesy, 26 : 1 14, 2003.
Tanya Jawab
Pertanyaan : Luas persebaran mangrove yang menurun atau jenis mangrovenya yang
menurun? Apakah pembuatan tambak mempengaruhi penurunan persebaran
mangrove?
Jawaban : Dahulu pohon mangrove lebih tinggi mungkin juga dipengaruhi oleh kemampuan
mangrove untuk tumbuh. Tambak tidak banyak mempengaruhi penurunan
pertumbuhan mangrove namun lebih dipengaruhi oleh pembangunan jalan dan
perumahan.
Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-10) - 1
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
KAJIAN PRODUKTIVITAS PRIMER PERAIRAN UNTUK
PENGEMBANGAN SILVOFISHERY DI KAWASAN REHABILITASI
MANGROVE PANTAI UTARA REMBANG
Erny Poedjirahajoe
Fakultas Kehutanan UGM
Email : er_pjr@yahoo.com
Abstrak
Kajian produktivitas primer yang dimaksud merupakan suatu padanan dari hasil fotosintesis.
Pentingnya hasil penelitian ini adalah untuk menentukan kepadatan fitoplankton yang menjadi
sumber energi utama dari rantai makanan perairan, sehingga silvofishery yang termasuk dalam
group rantai makanan mangove akan mendapat suplai energi yang cukup besar dari perairan.
Dengan demikian produksi perikanan akan mengalami peningkatan.
Pengukuran hasil fotosintesis perairan dilakukan dengan menggunakan metode botol terang gelap,
yang diletakkan di berbagai kawasan mangrove pada tahun tanam 1972, 1988 dan 2000. 10 hari
pengamatan digunakan sebagai ulangan, dengan demikian terdapat 4x3x10 data. Analisis data
menggunakan model Varian Data untuk melihat signifikansi di berbagai tahun tanam.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa produksi oksigen pada tahun tanam 1972 rata-rata 1,20-1,56
mg/l, sedangkan tahun tanam 1988 rata-rata 1,80 2,60 mg/l, dan untuk tahun tanam 2000 rata-
rata 0,94 1,32 mg/l. Produksi oksigen di tempat terbuka sebagai kontrol rata-rata 3,12 3,54
mg/l. Zonasi tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dalam produksi oksigen, artinya pembuatan
silvofishery dapat dilakukan di zona mana saja. Akan tetapi zonasi signifikan dengan control,
artinya bahwa mangrove mempunyai peran besar terhadap produksi oksigen hasil fotosintesis
fitoplankton di perairan. Peran tersebut ditunjukkan dengan adanya regulasi oksigen terlarut dalam
ekosistem berupa pasokan oksigen terhadap siklus energi yang berlanjut pada siklus materi.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tahun tanam mangrove diatas 10 tahun telah siap
dimanfaatkan untuk pengembangan silvofishery, karena telah mampu meregulasi energi hasil
fotosintesis, sehingga membentuk ekosistem yang semakin stabil.
Kata kunci : Mangrove, tahun tanam, oksigen dan silvofishery
Pengantar
Rehabilitasi mangrove di Pantai Utara Kabupaten Rembang Jawa Tengah sudah dilakukan
sejak tahun 1996. Pemanfaatan yang paling dominan adalah untuk produksi perikanan tambak dari
pada untuk wisata, karena memang kawasan tersebut lebih produktif untuk perkembangan
perikanan tambak. Akan tetapi penggunaan lahan mangrove untuk tambak seringkali tidak
mengindahkan aspek kelestarian mangrove, sehingga yang terjadi adalah kerusakan mangrove.
Seperti kondisi lima tahun yang lalu sebelum rehabilitasi diintensifkan di kawasan mangrove
Kabupaten Rembang. Mangrove semakin lama semakin tipis dan hilang akibat perluasan tambak.
Disatu sisi memang hasil perikanan tambak lebih meningkat, akan tetapi tidak terduga pada bulan
September-Oktober 2007 wilayah ini terkena gelombang tinggi. Akibat dari bencana gelombang
tinggi adalah tenggelamnya tambak di beberapa tempat yang mangrovenya relatif tipis karena air
naik ke daratan sampai pada ketinggian 3 meter. Keadaan ini tentu sangat merugikan karena
gagal panen. Untuk menghentikan perikanan tambak nampaknya tidak mungkin, karena hasil
tambak merupakan sumber utama perekonomian petambak setempat. Oleh karena itu perlu solusi
yang tepat untuk mengatasi kerugian tambak dan hilangnya mangrove.
Silvofishery telah diterapkan di beberapa daerah Pantura beberapa tahun yang lalu.
Perkembangan silvofishery nampaknya kurang begitu pesat karena ada beberapa hal yang masih
menjadi keraguan petambak untuk menerima sistem silvofishery. Pertama adalah tambak harus
dibuat menyatu dengan mangrove, hal ini diasumsikan petambak bahwa luas tambak akan
berkurang karena harus berbagi luas dengan mangrove, yang kedua bahwa pada umumnya
petambak sudah mempunyai tambak luas berupa hamparan. Mereka sangat keberatan apabila
tambaknya harus ditanamai mangrove sehingga seolah bukan lagi berupa tambak (tambak hilang).
MS-10
2 - Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-10)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Akan tetapi setelah diyakinkan dengan penelitian-penelitian dan fakta langsung di
lapangan, akhirnya sedikit demi sedikit petambak beralih untuk menerapkan silvofishery.
Silvofishery pada kenyataannya merupakan metode yang lebih ekonomis dan ekologis.
Selanjutnya, untuk mencapai kestabilan produksi perikanan tambak maka perlu energi
dengan cara mengkaji ekosistem mangrove sebagai satu kesatuan dengan tambak. Kajian
ekosistem mangrove dititik beratkan pada produktivitas primernya. Produktivitas primer perairan
mangrove sebagai penunjang kelimpahan fitoplankton yang merupakan produsen primer perairan
mangrove dan pemasok energi utama bagi biota lainnya termasuk perikanan. Dengan demikian
apabila silvofishery diletakkan pada kawasan mangrove yang mempunyai produktivitas primer
tinggi, maka produksi perikanan tambak diharapkan dapat meningkat atau paling tidak menjadi
stabil. Produktivitas primer perairan mencakup beberapa aspek kajian, antara lain produksi oksigen
hasil fotosintesis, produksi karbon pada tanaman dan pada tanah/lumpur di hutan mangrove. Di
dalam penelitian ini, kajian masih dipusatkan seputar produksi oksigen hasil fotosintesis, karena
pengukuran terhadap karbon tanaman dan karbon tanah membutuhkan banyak biaya dan tenaga.
Akan tetapi meskipun kajian baru sebatas produksi oksigen, sebagai suatu kesatuan ekosistem,
maka kajian produksi karbon dalam tanaman dan dalam tanah juga akan diteliti kemudian.
Penelitian tentang produktivitas primer perairan mangrove ini dapat digunakan untuk
menjelaskan dinamika ekosistem mangrove yang selama ini belum banyak diteliti peranannya
khususnya bagi peningkatan produksi perikanan. Jika produksi perikanan meningkat, maka
masyarakat akan diuntungkan secara ekonomis, dan mangrove akan diuntungkan secara ekologis.
Dengan demikian konservasi mangrove akan berjalan dengan baik. Hal ini tentu akan membantu
pemerintah dalam menjaga kelestarian mangrove. Biaya rehabilitasi dan evaluasi dapat ditekan
seminimal mungkin, akan tetapi manfaat mangrove justru semakin meningkat.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui produksi oksigen terlarut hasil fotosintesis di
perairan pada berbagai tahun tanam mangrove untuk penentuan pemanfaatan silvofishery dan
mengetahui tahun tanam mangrove yang sudah bisa dimanfaatkan untuk silvofishery
Bahan dan Metode
Penelitian dilakukan di kawasan rehabilitasi mangrove Pantai Utara Kabupaten Rembang
Jawa Tengah. Dasar pemilihan lokasi penelitian ini, pertama adalah bahwa kawasan ini sejak
tahun 1987 hampir setiap tahunnya melakukan kegiatan rehabilitasi mangrove, sehingga
perkembangan ekosistemnya dapat diteliti setiap tahun. Kedua, lokasi penelitian ini mempunyai
akses dan sarana transportasi yang lebih mudah terjangkau, sehingga hasil penelitian nantinya
diharapkan efektif.
Waktu penelitian efektif dimulai pada awal bulan Juli 2008 sampai akhir bulan Oktober
2008, sedangkan pengambilan data fotosintesis dilakukan pada jam-jam efektif, yaitu antara jam
11.00-13.00 wib. Untuk melihat hasil fotosintesis perlu mengambil data pada waktu pagi (sebelum
waktu fotosintesis), yaitu antara jam 8.00-9.00 wib sebagai pembanding.
Alat dan Bahan Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah 20 pasang botol
terang-gelap, Light-meter, Termometer stik, dan pH meter, Salinometer, untuk mengukur salinitas
dan Thally sheet data penelitian. Cara Penelitian yang digunakan yaitu melalui observasi
ditentukan kawasan rehabilitasi mangrove tahun tanam 1972, 1988 dan 2000, meletakkan botol
terang dan botol gelap yang telah diisi air dari bawah tegakan mangrove pada masing-masing
tahun tanam, kemudian diukur kandungan oksigen terlarutnya sebelum dibiarkan terkena sinar
matahari, peletakan botol terang gelap memperhatikan zonasi, dan setiap tahun tanam diletakkan
sebanyak 5 pasang botol terang gelap secara sistematis, botol terang-gelap dibiarkan terkena
sinar matahari selama 1-2 jam, kemudian diukur kadar oksigen terlarutnya, oksigen hasil
fotosintesis adalah oksigen setelah terjadi fotosintesis dikurangi oksigen sebelum fotosintesis
(pada botol terang), pada botol gelap yang terjadi adalah respirasi, sehingga oksigen awal justru
akan berkurang konsentrasinya, ulangan dilakukan setiap hari sampai pada hari ke 10 dan
mentabulasi data dan menganalisis.
Analisis Data
Untuk melihat signifikansi kandungan oksigen terlarut perairan pada berbagai tahun
tanam, digunakan disain faktorial, dengan formulasi :
Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-10) - 3
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Yij = + Ai + Bj + ABij + ij
Ai : Oksigen terlarut pada tahun tanam ke- i
Bi : Oksigen terlarut pada zona j
Abij : interaksi antara zona-j dan tahun taman-i
ij : eror
Hasil dan Pembahasan
Hasil pengukuran oksigen dari metode botol terang-gelap menunjukkan adanya selisih dari
botol terang dan botol gelap tidak terlalu tinggi, sekitar 0,4 - 2,7 ppm. Hasil selengkapnya
pengukuran oksigen hasil fotosintesis dan respirasi pada setiap zona dapat diperiksa pada tabel
berikut :
Tabel 1. Hasil Pengukuran Oksigen Terlarut Menggunakan Botol Terang-Gelap di Bawah Tegakan
Mangrove Tahun Tanam 1972.
Zona PU Botol terang Botol gelap Salinitas
()
Suhu
(
o
C)
akhir awal Selisih
(I)
awal akhir Selisih
(II)
I 1 8,7 7,2 1,5 8,2 7,0 -1,2 11,6 28
2 9,5 7,6 1,9 8,9 7,2 -1,7 13,8 28,5
3 6,1 5,7 0,4 10,9 8,8 -2,1 10,5 28
4 7,8 6,2 1,6 9,1 7,4 -1,7 11,9 29
5 8,8 8,2 0,6 8,7 7,2 -1,5 12,5 28
Rata2 8,18 6,98 1,20 9,16 7,52 -1,64 12,06 28,25
II 1 9,2 8,0 1,2 8,7 8,0 -0,7 10,0 29
2 10,5 9,3 1,2 7,8 6,3 -1,5 11,9 30
3 9,9 7,2 2,7 8,5 7,1 -1,4 10,8 28,5
4 9,2 8,7 0,5 9,1 6,8 -2,3 12,5 28
5 9,5 7,3 2,2 8,2 8,0 -0,2 11,0 29
Rata2 9,66 8,10 1,56 8,46 7,24 -1,22 11,24 28,90
III 1 9,6 7,5 2,1 8,9 7,8 -1,1 8,6 29
2 8,3 7,4 0,9 8,3 5,9 -2,4 9,9 29
3 11,3 9,3 2,0 8,6 6,1 -2,5 7,8 29
4 9,9 7,8 2,1 9,2 6,8 -2,4 15,2 29
5 7,3 6,8 0,5 7,2 6,1 -1,1 9,5 29
Rata2 9,28 7,76 1,52 8,44 6,54 -1,90 10,20 29,00
Hasil penelitian yang tertera pada Tabel 1 menunjukkan bahwa pada umumnya pola
zonasi tidak memberi dampak besar terhadap produksi oksigen di botol terang ataupun gelap.
Angka rata-rata yang dihasilkan dari proses fotosintesis di botol terang tidak menunjukkan angka
yang terpaut jauh. Pembagian zonasi dimaksudkan untuk melihat pengaruh beberapa faktor,
seperti naungan yang tentu pada akhirnya berpengaruh terhadap intensitas cahaya matahari yang
masuk ke perairan. Pada zona depan yang didominasi oleh Avicennia,sp dan Sonerattia,sp
dengan bentuk daun dan perakaran yang lebih sederhana dibanding Rhizophora,sp diprediksi
menghasilkan oksigen terlarut dari hasil proses fotosintesis yang lebih tinggi dibandingkan dengan
naungan yang agak rapat seperti dibawah Rhizophora,sp yang dominan di zona tengah.
Perbedaan angka yang tidak besar tersebut dapat pula disebabkan karena untuk tahun
tanam 1972, tanaman sudah menunjukkan pertumbuhan stabil, meskipun jumlah anakan perlu
diperhatikan. Dengan demikian zonasi tidak membawa pengaruh yang besar, karena penutupan
tajuknya hampir sama. Pertumbuhan tanaman yang stabil biasanya kurang sensitif terhadap
perubahan faktor lingkungannya, apalagi hanya untuk waktu sesaat. Akan tetapi untuk memastikan
pengaruh zonasi tersebut signifikan atau tidak terhadap produksi oksigen terlarut hasil fotosintesis,
maka perlu dianalisis varian. Hasil analisis varian dapat diperiksa pada tabel berikut :
4 - Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-10)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Tabel 2. Hasil Analisis Varian Produksi Oksigen Hasil Fotosintesis dan Respirasi di Kawasan
Rehabilitasi Mangrove Kabupaten Rembang Tahun Tanam 1972.
Sumber var Jumlah
kuadrat
db Rata-rata
kuadrat
Nilai F Sig
Antar zona
Gabungan zona
Total
0,389
7,160
7,549
2
12
14
0,195
0,597
0,326 0,728
Hasil uji varian menunjukkan bahwa kandungan oksigen terlarut antar zonasi tidak ada
beda nyata (nilai Sig > 0,05). Dengan demikian melalui uji matematis dapat disimpulkan bahwa
zonasi tidak berbeda nyata dalam hal produksi oksigen terlarut.
Selanjutnya yang perlu dikaji adalah produksi oksigen terlarut hasil fotosintesis dan
respirasi pada tahun 1988. Dengan menggunakan metode yang sama dengan tahun tanam 1972,
hasil pengukuran dapat diperiksa pada tabel berikut :
Tabel 3. Hasil Pengukuran Oksigen Terlarut di Bawah Tegakan Mangrove Tahun Tanam 1988.
Zona PU Botol terang Botol gelap Salinitas
()
Suhu
(
o
C)
akhir awal Selisih
(I)
awal akhir Selisih
(II)
I 1 13,5 10,7 2,8 12,8 11,2 -1,6 14,6 28
2 13,3 11,8 1,5 13,5 12,7 -0,8 16,4 29
3 15,7 13,8 1,9 14,8 11,8 -3,0 14,9 28
4 13,1 12,2 0,9 13,7 11,0 -2,7 16,2 29
5 12,8 11,2 1,6 13,0 10,6 -2,4 16,2 29
Rata2 13,68 11,94 2,60 13,56 11,46 2,10 15,66 28,50
II 1 10,2 8,9 1,3 11,7 9,8 -1,9 14,9 29
2 12,6 11,0 1,6 12,0 10,2 -1,8 18,0 29
3 10,9 8,1 2,8 12,4 11,3 -1,1 16,0 29
4 13,2 12,3 0,9 9,8 10,9 +1,1 16,0 28,5
5 13,6 11,6 2,0 12,8 11,2 -1,6 16,0 28,5
Rata2 12,1 10,38 1,72 11,74 10,68 1,06 16,18 28,76
III 1 12,4 10,8 1,6 11,9 9,1 -2,8 17,8 28,5
2 13,4 12,1 1,3 13,1 10,3 -2,8 16,2 28
3 14,3 12,4 1,9 11,3 9,5 -1,8 14,1 29
4 13,6 12,8 0,8 13,2 10,2 -3,0 8,3 29,5
5 13,7 11,4 2,3 12,9 11,6 -1,3 14,1 28
Rata2 13,48 11,9 1,58 12,48 10,14 2,34 14,1 28,70
Untuk tahun tanam 1988, rata-rata produksi oksigen hasil fotosintesis menunjukkan angka
yang agak bertaut antar masing-masing zona, meskipun tidak terlalu jauh. Zona I (proksimal) rata-
rata lebih tinggi produksi oksigennya dibandingkan dengan zona II (medial) dan III (distal).
Tingginya produksi oksigen fotosintesis dipengaruhi langsung oleh populasi fitoplankton perairan.
Pada waktu air surut, zona yang selalu tergenang air adalah zona proksimal. Dengan demikian jika
teori ini benar, pada zona proksimal terdapat populasi fitoplankton tertinggi, maka produksi oksigen
fotosintesis juga akan tinggi, karena satu-satunya tumbuhan air mikroskopis yang melakukan
fotosintesis adalah fitoplankton, yaitu 95% dari tanaman air. Untuk melihat apakah oksigen terlarut
pada setiap zona berbeda nyata atau tidak, maka dilakukan uji varian yang hasilnya dapat
diperiksa pada tabel berikut :
Tabel 4. Hasil Analisis Varian Produksi Oksigen Hasil Fotosintesis dan Respirasi di Kawasan
Rehabilitasi Mangrove Kabupaten Rembang Tahun Tanam 1988
Sumber var Jumlah
kuadrat
db Rata-rata
kuadrat
Nilai F Sig
Antar zona
Gabungan zona
Total
0,0076
5,348
5,424
2
12
14
0,0038
0,446
0,85 0,919
Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-10) - 5
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Tabel 4 menunjukkan bahwa pada taraf uji stat 0,05 hubungan antar zona pada tahun
tanam 1988, produksi oksigen terlarut tidak berbeda nyata, artinya meskipun diduga ada
kelimpahan yang tinggi pada plankton di zona proksimal, akan tetapi tidak membawa perubahan
yang signifikan terhadap oksigen terlarutnya. Kemungkinan dalam umur mangrove 10 tahun sudah
terdapat kestabilan ekosistem, khususnya dalam memproduksi oksigen terlarut. Alokasi hasil
metabolisme diduga telah berjalan dengan lancar.
Tahun tanam 2000 merupakan tahun tanam yang relatif paling baru di kawasan rehabilitasi
mangrove Pantai Utara Rembang. Hasil pengukuran produksi oksigen terlarut dari botol-terang
gelap dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 5. Hasil Pengukuran Oksigen Terlarut Menggunakan Botol Terang-Gelap di Bawah Tegakan
Mangrove Tahun Tanam 2000.
Zona PU DO Botol terang ppm DOBotol gelap ppm Salinitas
()
pH
akhir awal Selisih
(I)
awal akhir Selisih
(II)
I 1 9,4 7,9 1,5 9,3 8,6 -0,7 12,8 29
2 9,1 8,1 1,0 9,7 8,3 -1,4 12,2 29,5
3 8,8 7,1 1,7 7,5 9,6 +2,1 11,5 29
4 8,3 7,1 1,2 8,0 7,3 -0,7 12,0 30
5 9,3 8,4 0,9 9,0 8,3 -0,7 11,9 30
Rata2 8,98 7,72 1,26 8,7 8,42 -1,4 12,08 29,6
II 1 9,2 8,4 0,8 9,1 7,8 -1,3 12,1 30
2 9,4 8,8 0,6 9,6 8,6 -1,0 10,8 30,5
3 9,5 8,1 1,4 10,0 8,1 -1,9 8,3 30
4 9,3 8,3 1,0 9,1 8,2 -0,9 9,6 29
5 9,5 8,6 0,9 8,2 7,6 -0,6 11,0 29
Rata2 9,38 8,44 0.94 9,2 8,06 1,14 10,36 29,3
III 1 9,2 8,6 0,6 8,0 7,6 -0,4 8,5 29
2 9,1 7,0 2,1 8,4 7,4 -1,0 9,9 29,5
3 9,2 8,0 1,2 7,8 6,0 -1,8 7,4 30
4 9,3 9,2 0,1 9,2 8,7 -0,5 8,0 29
5 9,2 8,6 0,6 8,3 6,2 -2,1 8,5 29
Rata2 9,2 8,28 1,32 8,34 7,18 -1,16 8,46 29,5
Sama halnya dengan tahun tanam 1972, rata-rata selisih produksi oksigen pada tiap zona
tidak menunjukkan angka yang terpaut jauh. Dari hasil anova menunjukkan bahwa angka
signifikansi (0,519) > dari taraf uji 5%, dengan demikian produksi oksigen terlarut di zona I, II dan
III pada mangrove tahun tanam 2000pun tidak berbeda nyata, sehingga dapat disimpulkan bahwa
nampaknya zonasi tidak membawa perbedaan yang nyata terhadap produksi oksigen terlarut di
perairan mangrove, khususnya di tahun tanam 1972, 1988 dan 2000. Sebagai pembanding hasil
ketiga tahun tanam di atas, maka dibawah ini ditampilkan hasil fotosintesis pada tempat terbuka
yang dianggap sebagai kontrol (tanpa naungan).
Tabel 6. Hasil Pengukuran Oksigen Terlarut Menggunakan Botol Terang-Gelap di Tempat Terbuka
sebagai Kontrol.
Zona PU Botol terang (ppm) Botol gelap (ppm) Salinitas
()
pH
akhir awal Selisih
(I)
awal akhir Selisih
(II)
I 1 18,0 12,7 5,3 14,0 13,5 0,5 11,5 8
2 13,6 12,4 1,2 13,2 13,1 0,1 12,0 8
3 16,7 12,7 4,0 13,2 12,7 0,5 10,2 8
4 18,9 13,5 5,4 13,5 12,1 1,4 11,5 8
5 16,3 14,5 1,8 14,1 11,4 2,7 12,0 8
Rata2 16,7 13,16 3,54 13,6 12,56 1,04 11,44 8
II 1 18,1 16,3 1,8 14,2 11,6 2,6 13,0 8
2 17,1 12,2 4,9 14,4 12,2 2,2 11,5 8
3 14,8 11,8 3,0 13,2 13,0 0,2 11,2 8
4 13,8 10,5 3,3 14,6 11,8 2,8 11,5 8
6 - Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-10)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
5 15,4 12,4 3,0 13,7 12,0 1,7 12,0 8
Rata2 15,84 12,64 3,2 14,02 12,12 1,9 11,84 8
III 1 16,2 14,0 2,2 14,8 12,4 2,4 12,1 8
2 15,8 12,0 3,8 13,7 12,7 1,0 11,5 8
3 18,1 13,1 5,0 16,1 15,9 0,2 13,0 8
4 14,1 12,3 1,8 14,5 11,9 2,6 11,2 8
5 15,3 12,5 2,8 14,7 12,2 2,5 10,9 8
Rata2 15,9 12,78 3,12 14,76 13,02 1,74 11,74 8
Hasil pengukuran produksi oksigen fotosintesis tanpa naungan juga menunjukkan hasil
yang tidak terpaut jauh antar zona, akan tetapi selisih angka rata-rata yang dihasilkan pada botol
terang cukup besar, yaitu berkisar 3 ppm, sedangkan di botol gelap sekitar 1 ppm. Di tempat
terbuka, plankton melakukan fotosintesis dengan energi matahari penuh yang langsung masuk ke
parairan tanpa terhalangi naungan. Hasil ini sekilas menunjukkan bahwa seolah lebih baik tanpa
naungan/mangrove daripada ada mangrove, karena produksi oksigen terlarutnya tinggi. Akan
tetapi jika ditinjau dari konsumsi oksigen itu sendiri, di tempat terbuka banyak biota yang tidak
mampu bertahan dengan panas langsung matahari, dia akan memilih ada naungan, sehingga
meskipun produksi oksigennya agak lebih rendah, oksigen di tempat naungan banyak dikonsumsi
oleh biota. Selanjutnya jika kita lihat fungsi mangrove dari berbagai sektor, maka nilai fungsi itu
jauh lebih besar dari tempat terbuka. Misalnya fungsi fisik, fungsi biologik dan fungsi kimia dan
fungsi lain yang tidak bisa tergantikan dengan ekosistem mananpun. Dengan demikian jika ada
selisih sedikit oksigen terlarut dalam fotosintesisnya, bisa dimengerti karena oksigen tersebut
digunakan dalam siklus energi ekosistemnya.
Namun demikian dari 3 tahun tanam yang diteliti perlu diketahui beda nyata masing-
masing terhadap produksi oksigen terlarutnya. Hasil analisis t-test selengkapnya dapat dilihat pada
tabel berikut :
Treatmen (antar
tahun tanam)
t df sig Keterangan
1972 - 1988 - 1,019 28 0,317 Non significant
1972 - 2000 1,604 28 0,120 Non significant
1972 kontrol -4,560 28 0,00 Significant
1988 - 2000 3,102 28 0,00 Significant
1988 - kontrol -4,064 28 0,00 significant
2000 - kontrol -5,856 28 0,00 significant
Hasil analisis antar tahun tanam menunjukkan bahwa produksi oksigen terlarut pada
semua tahun tanam yang diteliti menunjukkan angka yang signifikan dengan kontrol, artinya
memang mangrove mempunyai peran besar terhadap prduksi oksigen hasil fotosintesis
fitoplankton di perairan. Peran tersebut ditunjukkan dengan adanya regulasi oksigen terlarut dalam
ekosistem berupa pasokan oksigen terhadap siklus energi yang berlanjut pada siklus materi.
Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa pada umumnya tahun tanam mangrove yang
lebih dari 10 tahun mempunyai mekanisme regulasi dalam memanfaatkan oksigen terlarut hasil
fotosintesis fitoplankton di perairan. Jika kondisi ini berjalan normal tanpa ada gangguan maka
siklus materi dan energi ekosistem mangrove akan berjalan dengan lancar, sudah tentu hal
demikian akan membuat mangrove semakin menuju ke arah stabil.
Faktor lingkungan perairan menjadi sangat penting jika dikaitkan dengan proses
fotosintesis fitoplankton. Walsh (1982) mengatakan bahwa suhu perairan yang sebagian besar
berasal dari intensitas cahaya matahari dan hasil energi dari proses metabolisme, sangat
berpengaruh terhadap aktivitas fitoplankton. Fitoplankton tidak mampu beraktivitas maksimal pada
suhu yang ekstrim tinggi atau ekstrim rendah. Suhu optimal untuk fitoplankton dapat beraktivitas
dengan baik adalah antara 27-30 derajat Celcius. Sama halnya dengan salinitas, salinitas juga
berpengaruh besar terhadap aktivitas fitoplankton. Mann (1982) mengatakan bahwa salinitas yang
efektif untuk memacu aktivitas fitoplankton berkisar antara 8-15, diluar angka suhu dan salinitas
tersebut, maka metabolisme yang ada di dalam tubuh fitoplankton menjadi terganggu. Faktor
lingkungan lainnya sangat mungkin tergantung dari ke tiga faktor tersebut.
Kesimpulan dan Saran
Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-10) - 7
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Produksi oksigen terlarut hasil fotosintesis di perairan pada umumnya mengalami
penurunan sejalan dengan bertambahnya umur mangrove. Pada kondisi ekosistem yang semakin
membaik, oksigen terlarut banyak dikonsumsi oleh biota yang jumlahnya semakin meningkat.
Mangrove tahun tanam 2000 sudah dapat dimanfaatkan untuk pengembangan silvofishery.
Produktivitas Oksgen Terlarut berhubungan erat dengan populasi plankton sebagai unsur
produsen perairan, oleh karena itu penelitian tentang plankton secara lebih mendalam perlu
dilakukan dengan mengacu pada kesimpulan hasil penelitian ini, agar siklus energi dalam
ekosistem perairan semakin jelas.
Daftar Pustaka
Dawes, Clinton Jawes. 1998. Marine Botany. 2nd. John Wiley and Sons, INC.
Hogarth, Peter John. 1999. The Biology of Mangroves. Oxford University Press.
Nybakken James W. 1982. Ocean Biology : An Ecological Approach. John Wiley and Sons.
Kitamura S. Amayos C. Shigeyuki B. 1997. Handbook of Mangroves in Indonesia (Bali & Lombok.
The Development of Sustainable Mangrove Management Project. JICA-ISME
Mann, KH. 1982. Ecology of Coastal Waters. Blackwell Scientific Publications. Oxford London.
Mc.Lusky, D.S. 1981. Estuarine Ecosystem. Blackie & Sons Ltd, Glosgow.
Poedjirahajoe, Erny .2004. Pengaruh Kemiringan Pantai terhadap Pertumbuhan tanaman
Rehabilitasi Mangrove Pantai Utara Jawa Tengah Bagian Barat dan Timur. DPP Fakultas
Kehutanan UGM.
_______. 2005. Optimalisasi Silvofishery melalui Pendekatan Ekosistem dan Pengelolaan DAS di
Kawasan Rehabilitasi Mangrove Pantai Utara Kabupaten Pemalang. Penelitian didanai oleh
Program Hibah Kompetisi (PHK A2) Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas
Kehutanan UGM.
Suryowinoto, Moeso. 1980. The Cilacap Mangrove Ecosystem, Faculty of Biology. Gadjah Mada
University
Walsh. 1982. Plant Physiology. Blackwell Scientific Publications. Oxford London.
Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-11) - 1
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
STATUS TROFIK SITU BEKAS GALIAN PASIR DI DESA
CIKAHURIPAN KABUPATEN CIANJUR
Pelita Octorina
1)
, Niken T.M. Pratiwi
2)
, Enan M. Adiwilaga
2)
1) Program Studi MSP Universitas Muhammadiyah Sukabumi
2)Program Studi SDP Departemen MSP IPB
Abstrak
Situ bekas penggalian pasir merupakan situ buatan yang berukuran kecil dan terisi air karena
memotong saluran air tanah. Sebagai badan perairan baru situ tersebut berpotensi untuk
dimanfaatkan bagi kegiatan perikanan namun tanpa pengelolaan yang tepat fungsi dari situ
tersebut tidak akan bertahan lama karena proses eutrofikasi. Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk menganalisa status trofik situ bekas penggalian pasir di Desa Cikahuripan yaitu situ no 5.
Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah analisa deskriptif dengan pengambilan contoh
dilakukan pada bulan Mei-Juli 2010. Hasil perhitungan TRIX menunjukan bahwa situ bekas
penggalian pasir telah berstatus eutrofik yang menunjukan bahwa proses eutrofikasi telah
berlangsung sangat cepat. Hal ini didukung oleh parameter fisika, kimia dan biologi situ bekas
galian pasir yang menunjukan tingginyanya konsentrasi nutrient seiring berkurangnya tingkat
kecerahan. Meskipun situ bekas penggalian pasir tergolong situ yang masih muda namun status
tropiknya telah mengindikasikan bahwa proses eutrofikasi terjadi sangat cepat sebagai akibat dari
kegiatan antropogenik.
Kata Kunci: Eutrofikasin, Situgalian pasir, Status Trofik.
Pengantar
Situ bekas galian pasir merupakan badan perairan buatan dengan ukuran kecil yang terisi
air karena telah menembus saluran air bawah tanah (Grajner & Gladys 2009). Situ-situ bekas
galian di Desa Cikahuripan hingga saat ini masih merupakan lahan tidur yang belum dikelola
dengan baik sedangkan situ tersebut sebagai habitat air tergenang memiliki fungsi ekosistem dan
fungsi ekonomi yang cukup potensial (Kattner et al. 2000). Kebanyakan situ-situ bekas galian pasir
terbentuk di daerah yang dekat dengan pemukiman penduduk (Celik 2002), sehingga
kemungkinan mendapatkan beban masuk dari kegiatan manusia. Begitu pun situ yang terbentuk di
Desa Cikahuripan, beberapa dari situ tersebut digunakan sebagai tempat pembuangan limbah
rumah tangga atau tempat pencucian kendaraan sehingga situ tersebut telah mendapatkan
tekanan antropogenik.
Pada perairan yang mendapatkan tekanan dari kegiatan manusia proses eutrofikasi
berlangsung lebih cepat sebagai akibat dari peningkatan unsur hara yang memicu peledakan
produksi biomassa fitoplankton. Selama terdapat beban masukan, eutrofikasi berlanjut sampai
faktor intensitas sinar matahari menjadi pembatas. Indikasi terjadinya suatu eutrofikasi di
ekosistem perairan adalah deplesi oksigen terlarut pada lapisan hipolimnion dan peningkatan
produksi biomassa fitoplankton. Bila eutrofikasi dibiarkan tak terkendali maka umur guna perairan
akan semakin pendek.
Umumnya situ-situ galian pasir memiliki ukuran yang kecil dan umurnya masih relatif muda
dengan sumber air masuk dan air keluar yang tidak terlalu besar. Keadaan ini tentu akan
mempengaruhi ketersediaan unsur hara dan bahan organik disuatu badan perairan sebab
keduanya dipengaruhi jumlah yang masuk keperairan dan lamanya molekul tersebut berada dalam
badan perairan (Walker et al. 2007). Dengan kondisi perairan seperti itu muncul sebuah
pertanyaan bagaimanakah perubahan yang terjadi pada situ-situ galian pasir yang relatif masih
berumur muda. Berdasarkan hal tersebut maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis
status trofik situ bekas galian pasir yang terletak di Desa Kahuripan. Hasil dari penelitian ini
diharapkan dapat memberikan bentuk pengelolaan yang tepat bagi situ-situ bekas galian pasir
agar tetap dapat memberikan fungsinya secara optimal dan berkelanjutan.
MS-11
2 - Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-11)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Metode Penelitian
1. Waktu, Tempat Penelitian, Alat dan Bahan
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai Juli 2010 di lokasi penggalian pasir
Desa Cikahuripan Kab.Cianjur. Pengamatan dilakukan pada salah satu situ dari 6 situ yang
terdapat dilokasi penggalian pasir yaitu di Situ no 5. Kegiatan penelitian dibagi dalam dua tahap,
yaitu kegiatan di lapangan dan kegiatan di laboratorium. Kegiatan di lapangan meliputi
pengambilan sampel air yang dilakukan sebanyak 4 kali sampling dengan selang waktu 14 hari.
Penentuan pengambilan sampel didasarkan pada kedalaman perairan dengan mempertimbangkan
penetrasi cahaya pada lapisan perairan, yaitu pada permukaan, kedalaman Secchi, kedalaman
kompensasi, 7 meter, dan 16 meter.
2. Teknik Pengambilan Data
Contoh air dan fitoplankton diambil secara vertikal dengan menggunakan Kemerrer water
sampler dengan volume 4 liter. Parameter-parameter yang diukur meliputi parameter fisika berupa
suhu dan kedalaman; parameter kimia berupa pH, oksigen terlarut, oksigen saturasi, nitrat, nitrit,
amonia, total nitrogen, orthofosfat, dan total fosfat; sedangkan biomassa fitoplankton diukur dari
kelimpahan fitoplankton dan klorofil-a.
Pengukuran kelimpahan plankton dilakukan dengan pengambilan sampel air pada
berbagai strata kedalaman dengan menggunakan Kemmerer water sampler volume 2 liter. Sampel
air yang diambil sebanyak 20 liter, air tersebut kemudian disaring dengan menggunakan jaring
plankton ukuran mata jaring 35 m. Sampel plankton selanjutnya diamati di bawah mikroskop, dan
diidentifikasi dengan menggunakan buku petunjuk Prescott (1970). Perhitungan kelimpahan
plankton dilakukan dengan menggunakan metode Sedgwick Rafter Counting Cell dengan tiga kali
perulangan. Rumus perhitungan kelimpahan plankton sebagai berikut:
=
1
N adalah kelimpahan plankton (sel/l), n jumlah plankton yang tercacah (sel), a luas gelas
penutup (mm
2
), v volume air terkonsentrasi (ml), A luas satu lapangan pandang (mm
2
), vc volume
air dibawah gelas penutup (ml) dan V volume air yang disaring (l).
Biomassa fitoplankton dihitung berdasarkan prosedur analisis klorofil-a dengan metode
spektrofotometrik (Boyd 1988).
Khlorofil-a (mg/ m
3)
= 11,9 * (A665 A750) * V/L * 1000/S
A665 adalah absorban pada panjang gelombang 665 nm, A750 adalah absorban pada
panjang gelombang 750 nm, V adalah Volume ekstrasi aseton (ml), L adalah panjang lintasan
cahaya pada kuvet (cm), S adalah Volume contoh air yang disaring
3. Analisis Data
Analisis data yang digunakan untuk menganalisis status trofik adalah indeks TRIX (Trophic
Index) (Giovanardi and Vollenweider 2004) , persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut:
=

K adalah scaling factor (10), n jumlah parameter (4), M nilai rataan parameter, U batas
atas (rataan + 2 Sd) dan L batas bawah (rataan 2 Sd). Batas nilai indeks TRIX sebagai berikut:
TRIX < 2 adalah oligotrofik; 2 TRIX < 4 adalah mesotrofik ; 4 TRIX < 6 adalah eutrofik; dan
TRIX 6 hipereutrofik.
Hasil dan Pembahasan
1. Kondisi Lingkungan Perairan
Nilai rata-rata kualitas air (Tabel 1) di situ penelitian selama empat kali pengamatan relatif
berfluktuasi. Pada umumnya kondisi lingkungan perairan di kedua situ telah menunjukkan gejala
eutrofikasi.
Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-11) - 3
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Tabel 1. Nilai kisaran rata-rata kualitas air di kedua situ selama penelitian (mg/liter)
Stasiun
Kedalaman
(m)
Suhu pH DO NO2 NO3 Amonia TN PO4 TP
Chlo-a
(mg/m
3
)
Situ no
5
Permukaan 25 6-8 9,51 0,09 0,59 0,46 0,78 0,07 0,14 54,92
Secchi 25 6-9 8,49 0,08 0,60 0,50 0,81 0,12 0,16 51,35
Kompensasi 24 8 7,73 0,10 0,48 0,82 1,15 0,05 0,09 44,51
7 24 8 3,51 0,09 0,53 1,12 1,48 0,07 0,10 33,26
16 21 8 2,44 0,09 0,44 0,91 1,05 0,05 0,12 18,12
2. Kualitas Air
Oksigen Terlarut
Kandungan oksigen terlarut di lapisan epilimnion dan hypolimnion selama pengamatan
berkisar antara 1,93-10,95 mg/liter. Distribusi vertikal oksigen terlarut menunjukan semakin dalam
perairan maka kelarutan oksigen akan semakin berkurang (Tabel 1). Hal tersebut berkaitan
dengan semakin minimnya sumber oksigen yaitu hasil fotosintesis fitoplankton dan difusi dari
udara serta semakin besarnya kebutuhan oksigen untuk penguraian bahan organik.
Pada Situ no 5 terjadi penurunan yang drastis dari konsentrasi oksigen terlarut pada
kedalaman di bawah zona euphotik. Kondisi ini mencerminkan suatu perairan berada dalam
kondisi eutrofik, menurut Effendi (2003) pada bagian permukaan terjadi kegiatan fotosintesis
secara intensif yang menyebabkan kadar oksigen terlarut sangat tinggi, kemudian menurun drastis
karena digunakan untuk mendekomposisi alga yang telah mati dan bahan organik lainnya. Oksigen
terlarut sangat dipengaruhi oleh kandungan bahan organik suatu perairan sehingga jika kandungan
bahan organik cukup tinggi maka akan terjadi proses degradasi secara aerobik oleh bakteri
sehingga menyebabkan defisit oksigen terlarut (Wetzel 2001).
3. Unsur Hara
Nitrogen
Distribusi vertikal konsentrasi nitrit pada Situ no 5 berada pada kisaran antara tidak
terdeteksi-0,247 mg/liter. Pada perairan alami nitrit umumnya ditemukan dalam jumlah yang sangat
sedikit karena segera teroksidasi menjadi amonia atau nitrat. Rata-rata konsentrasi nitrit
menunjukan nilai yang cukup tinggi, hal tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, diduga salah
satunya adalah beban masukan limbah organik dari luar perairan yang cukup besar.
Hasil pengamatan selama penelitian mendapatkan konsentrasi nitrat pada Situ no 5
berkisar antara 0,12-1,1 mg/liter. Berdasarkan rata-rata distribusi vertikal terlihat penurunan
konsentrasi nitrat dengan bertambahnya kedalaman. Nitrat merupakan hasil proses oksidasi
sempurna senyawa nitrogen di perairan dengan demikian pada kolom perairan yang kaya akan
oksigen terlarut akan cenderung memiliki konsentrasi nitrat yang lebih tinggi.
Kegiatan pertanian dengan pemupukan unsur nitrogen di daerah sekitar situ galian pasir
dapat meningkatkan konsentrasi nitrat air tanah (Alaerets 1987 dalam Sitorus 2009) yang menjadi
sumber air situ galian pasir. Mackentum (1969) dalam Fachrul (1993) menyatakan bahwa kadar
nitrat yang optimal bagi pertumbuhan fitoplankton berkisar antara 0,003-0,015 mg/liter. Konsentrasi
yang melebihi 0,2 mg/liter di kedua situ mampu menstimulir pertumbuhan fitoplankton dengan
sangat cepat.
Amonia yang terukur di perairan adalah ammonia total yang terdiri dari amonia bebas
(NH
3
-N) dan amonium (NH
4
-N). Distribusi vertikal amonia total Situ no 5 berkisar antara 0,46-1,12
mg/liter dengan nilai tertinggi pada kedalaman 7 m dan terendah pada permukaan, pola distribusi
vertikal amonia menunjukan peningkatan seiring dengan bertambahnya kedalaman. Hal ini
berhubungan dengan kondisi perairan yang semakin dalam semakin turun konsentrasi oksigen
terlarut sehingga menghambat proses nitrifikasi yang mengakibatkan nitrogen terbanyak dalam
bentuk amonia.
4 - Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-11)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Fosfor
Distribusi kandungan fosfor di situ bekas galian pasir digambarkan oleh besarnya
konsentrasi orthofosfat dan total fosfor. Dari hasil penelitian diperoleh distribusi vertikal konsentrasi
orthofosfat di Situ no 5 berkisar antara 0,027-0,198 mg/liter, sedangkan konsentrasi total fosfor
bernilai antara 0,037-0,27 mg/liter, dimana konsentrasi orthofosfat tertinggi ditemukan pada
kedalaman secchi dan konsentrasi terendah pada kedalaman 16 m. Pada lapisan permukaan
fitoplankton yang melimpah memanfaatkan orthofosfat sehingga konsentrasinya kecil. Konsentrasi
orthofosfat yang lebih tinggi pada lapisan kedalaman secchi kemungkinan disebabkan oleh
kurangnya penggunaan oleh fitoplankton dan besarnya masukan orthofosfat dari kegiatan
antropogenik bukan dari pelepasan sedimen, dimana Situ no 5 merupakan lokasi pencucian
sehingga banyak menerima masukan detergen sebagai sumber fosfor. Konsentrasi fosfor
merupakan salah satu indikator kondisi eutrofikasi (Walker et al. 2007). Berdasarkan nilai
konsentrasi orthofosfat yang terukur selama pengamatan situ penelitian memiliki kriteria kesuburan
eutrofik karena rata-rata konsentrasi yang terukur melebihi nilai 0,051 mg/liter (Fachrul 1993).
4. Biomassa Fitoplankton
Kelimpahan Fitoplankton
Gambaran mengenai kelimpahan fitoplankton di situ bekas galian pasir dilakukan dengan
pencacahan dan penghitungan hingga tingkat genera. Pada Situ no 5 tercatat ditemukan empat
kelas yaitu Chlorophyceae (12 genera), Bacillariophyceae (3 genera), Cyanophyceae (5 genera)
dan Dinophyceae (3 genera). Distribusi vertikal rata-rata kelimpahan fitoplankton menunjukan
penurunan sesuai dengan kedalaman yang menggambarkan kelimpahan fitoplankton terkait
dengan cahaya matahari (Tabel 2 ).
Tabel 2 Kelimpahan Fitoplankton
Stasiun Kedalaman
Persentase (%) Kelimpahan Total
Kelimpahan
(Sel/liter)
Chloro
Phyceae
Baciloro
phyceae
Cyano
phyceae
Dino
phyceae
Situ no
5
0 m 10,38 14,62 74,6 0,39 604.302
secchi 3,67 11,5 83,9 0,36 522.852
Compensasi 27,5 41,18 30,17 1,07 455.689
7 m 21,98 13,43 62,52 2,06 176.022
16 m 18,25 14,11 67,64 0 29.304
Khlorofil-a
Khlorofil-a merupakan katalisator fotosintesis yang terdapat pada semua jaringan
tumbuhan dengan fungsi sebagai penyerap cahaya matahari. Sebaran tinggi rendahnya
konsentrasi khlorofil-a terkait dengan kondisi fisik-kimia perairan terutama intensitas cahaya dan
unsur hara. Konsentrasi khlorofil a pada Situ no 5 berkisar antara 2,38-81,396 mg/m
3
dan distribusi
vertikal nilai rata-rata khlorofil-a menunjukan penurunan sesuai dengan bertambahnya kedalaman
perairan. Hal tersebut menunjukan densitas fitoplankton akan berkurang dengan berkurangnya
intensitas cahaya seiring bertambahnya kedalaman. Penurunan produksi tersebut terjadi sebagai
akibat penaungan sendiri sehingga peningkatan produktivitas akan terhambat meskipun jumlah
unsur hara yang tersedia cukup (Wetzel 1975 dalam Basmi 1988). Khlorofil-a selain digunakan
untuk menduga biomassa algae juga dapat digunakan untuk menentukan tingkat kesuburan
perairan. Konsentrasi khlorofil-a yang tercatat selama empat periode pengamatan mengindikasikan
perairan tersebut memiliki tipe eutrofik.
5. Analisis Tingkat Kesuburan Perairan berdasarkan Indeks TRIX (Trophic Index)
Indeks TRIX merupakan salah satu indeks yang sering digunakan dalam menilai trofik level
suatu perairan dalam pemantauan kondisi eutrofikasi perairan. Komponen yang digunakan dalam
metode ini adalah parameter yang terkait dengan proses eutrofikasi yaitu total nitrogen (mg/m
3
),
total fosfor (mg/m
3
), oksigen saturasi (%), dan klorofil-a (mg/m
3
) (Giovanardi & Vollenweider.
2004). Hasil analisis tingkat kesuburan berdasarkan indeks TRIX disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Hasil analisis tingkat kesuburan perairan berdasarkan indeks TRIX
Stasiun Kedalaman Nilai Trix Status trofik
Situ no 5 Permukaan 4.621 Eutrofik
Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-11) - 5
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Secchi 4.670 Eutrofik
Kompensasi 4.932 Eutrofik
7 meter 5.687 Eutrofik
16 meter 5.090 Eutrofik
Hasil identifikasi situ galian pasir menggambarkan status trofik pada setiap kedalaman
telah eutrofik dicirikan dengan tingginya unsur hara dan produktivitas serta kurangnya tingkat
kecerahan (Tabel 4). Meskipun situ galian pasir yang diamati tergolong perairan yang masih baru,
namun berdasarkan status trofiknya menunjukan proses eutrofikasi telah berlangsung sangat
cepat.
Tabel 4 Status trofik Situ No 5 dibandingkan dengan kriteria Wetzel (2001)
Parameter
Situ No.5
Oligotrofik Mesotrofik Eutrofik
Hasil Status
Total Fosfor (mg/m
3
) 120,7 Eutrofik < 10 10-20 >20
Total Nitrogen (mg/m
3
) 1055,1 Eutrofik < 200 200-500 > 500
Chlorofil-a (mg/m
3
) 40,43 Eutrofik <4 4-10 >10
Kecerahan (m) 0,57 Eutrofik >4 2-4 <2
6. Pengelolaan
Sebagaimana situ-situ bekas galian pasir lainnya yang terdapat di Desa Cikahuripan, tidak
ada upaya pengelolaan dalam bentuk apapun untuk menjaga kualitas air pada perairan tersebut.
Cepatnya perubahan status trofik akibat cultural eutrophication bila dibiarkan lebih lanjut akan
menyebabkan krisis ekosistem yang mengakibatkan daya guna situ bekas galian pasir sebagai
ekosistem perairan akan cepat hilang. Perairan yang telah memiliki status eutrofik lebih sulit untuk
dikelola dari pada perairan oligotrofik. Lebih mudah dan murah mencegah eutrofikasi dibandingkan
dengan merestorasi perairan yang telah berstatus eutrofik sebagai akibat dari cultural eutrofication.
Unsur hara disebut sebagai elemen yang paling bertanggung jawab dalam proses
eutrofikasi, karena keberadaannya yang berlebihan akan menstimulan pertumbuhan fitoplankton.
Sperling et al. (2008) mengemukakan berberapa kesulitan dalam strategi pengelolaan perairan
eutrofik di daerah tropis terutama masalah blooming fitoplankton akibat tingginya suhu serta
masukan unsur hara yang konstan. Diperkirakan demikian pula yang akan dihadapi dalam
pengelolaan situ bekas galian pasir dimana beban masukan unsur hara sangat besar dan konstan
sedangkan suhu cukup ideal bagi perkembangan fitoplankton.
Pengurangan unsur P baik yang akan memasuki perairan atau yang telah berada dalam
perairan dianggap cara yang efektif dalam mengkontrol eutofikasi (Barbieri & Simona 2001).
Karena unsur ini yang menjadi faktor kunci pertumbuhan fitoplankton dan keberadaanya dalam
perairan bisa menumpuk sebab tidak mengalami proses seperti nitrifikasi. Selain itu pengurangan
unsur nitrogen dari perairan dianggap jauh lebih sulit.
Mengontrol point source merupakan salah satu tindakan yang dapat dilakukan di Situ no 5
dengan cara mengalihkan saluran pembuangan limbah rumah tangga untuk tidak berakhir di situ
ini. Mempertahankan kualitas air situ melalui pencegahan masukan unsur hara yang berlebihan
melalui non point source cukup sulit untuk dilakukan di lokasi penelitian. Kesulitan ini disebabkan
karena daerah tangkapan air di sekitar situ penelitian telah diperuntukkan bagi kegiatan pertanian
sebagai cara pihak perusahaan penambang pasir untuk mengganti lahan pertanian yang hilang
akibat penggalian. Unsur hara yang masuk melalui rembesan air tanah sulit untuk dikontrol dan
memberikan kontribusi yang cukup besar pada proses eutrofikasi bagi situ galian pasir (Kattner et
al. 2000).
Pemanfaatan Situ no 5 sebagai area karamba jaring apung belum dapat
direkomendasikan sebab morfologi situ tersebut dapat menyebabkan bahan organik sisa pakan
dan metabolisme terjebak dalam air lebih lama, sehingga cenderung meningkatkan unsur hara
yang memang sudah tinggi di perairan tersebut. Bila dipaksakan memasang karamba jaring apung
maka hanya akan memperburuk kualitas air dan menstimulan tumbuhnya fitoplankton yang tidak
dapat dimanfaatkan. Dengan buruknya kualitas air dapat menyebabkan ikan yang dipelihara stress
yang kemudian akan mempengaruhi produksi.
Pengendalian fitoplankton pada Situ no 5 dapat dilakukan dengan meningkatkan grazing
melalui pengayaan zooplankton herbivor. Selain pengayaan zooplankton introduksi ikan pemakan
fitoplankton dapat dilakukan untuk mengkontrol biomassa fitoplankton. Introduksi ikan tidak akan
6 - Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-11)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
membahayakan struktur komunitas ikan di situ tersebut sebab Situ no 5 adalah perairan buatan
yang tidak memiliki ikan endemik. Bahkan introduksi ikan yang bernilai ekonomis dapat bermanfaat
bagi penduduk kampung Awilarangan yang mengandalkan mata pencaharian melalui penggalian
pasir liar. Meskipun kecil peluang Situ no 5 untuk dimanfaatkan sebagai lokasi budidaya ikan, situ
ini tetap dapat dimanfaatkan untuk wisata pemancingan sebab lokasinya yang lebih mudah dicapai
jika dibandingkan situ yang lainnya
Pengurangan jumlah unsur hara pada situ dapat dilakukan dengan introduksi tanaman air.
Diharapkan tanaman air tersebut dapat memanfaatkan unsur hara dan mengikat partikel-partikel
tersuspensi juga mencegah sedimentasi. Sebagai pengontrol tumbuhan air, sebaiknya juga di
introduksikan ikan herbivor seperti ikan koan.
Kesimpulan dan Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat ditarik kesimpulan perairan situ
bekas galian pasir dilokasi penelitian telah memiliki status trofik eutrofik. Ciri-ciri dari tingkat trofik
Situ no 5 adalah tingginya konsentrasi unsur hara, tingginya biomassa fitoplankton dan rendahnya
kecerahan. Meskipun umur situ masih tergolong muda, namun proses eutrofikasi yang
berlangsung termasuk sangat cepat dan hal ini lebih disebabkan oleh cultural eutrophication.
Pengelolaan pada situ-situ bekas galian pasir hendaknya dititik beratkan pada
pengurangan beban masukan unsur hara dan pengendalian fitoplankton dengan cara introduksi
tanamanan air, pengayaan zooplankton herbivor dan introduksi ikan-ikan pemakan fitoplankton.
Daftar Pustaka
Barbieri A and M Simona. 2001. Trophic evolution of Lake Lugano related to external load
reduction: Changes in phosphorus and nitrogen as well as oxygen balance and biological
parameters. Lakes & Reservoirs: Research and Management 6: 37 - 47.
Basmi J. 1988. Perkembangan komunitas fitoplankton sebagai indikasi perubahan tingkat
kesuburan kualitas perairan. Program Pascasarjana IPB. Bogor. 62 hal.
Boyd CE. 1988. Water quality management for pond fish culture. Elsevier Science Publisher
Company Inc. New York. 318 p.
Celik K. 2002. Comunity structur of macrobenthos of Southeast Texas sand-pit lake related to
water temperatur, pH and disolve oksigen concentration. Turkey Journal Zoology 26 : 333-
339.
Effendi H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan.
Kanisius, Yogyakarta.
Fachrul MF. 1993. Studi kualitas air Waduk Setiabudi Jakarta ditinjau dari sifat fisika-kimia air,
struktur komunitas dan produktivitas primer fitoplankton [tesis]. Sekolah Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor. Bogor .116 hal.
Giovanardi F and RA Vollenweider. 2004. Trophic conditions of marine coastal waters :
experience in applying the trophic indeks TRIX to two areas of Adriatic and Tyrrhenian
Seas. Limnologyca 63 : 199-218
Grajner IB and A Gladysz. 2009. Planktonic rotifer in mining lakes in the Silesian upland :
relationshif to environmental parameters. Limnologyca inpress.
Kattner E, D Schwarz and G Maier. 2000. Eutrophication of Gravel Pit Lake which are Situated in
Close Vicinity to the River Donau: Water and Nutrient Transport. Limnologica 30: 261 -
270.
Prescott GW. 1970. How to know the fresh water algae. WM.C.Brown. Iowa
Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-11) - 7
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Sitorus M. 2009. Hubungan Nilai Produktivitas Primer Dengan Konsentrasi Klorofil a, Dan Faktor
Fisik Kimia Di Perairan Danau Toba, Balige, Sumatera Utara[tesis]. Pascasarjana USU ,
Universitas Sumatra Utara. Medan . 70 hal.
Sperling EV, AC da Silva Ferreira and LNL Gomes. 2008. Comparative eutrophycation
development in two Brazilian water supply reservoir with respect to nutrient concentration
and bacteria growth. Desalination 226 : 169-174.
Walker JL, T Younus and C Zipper. 2007. Nutrients in lakes and reservoir : Aliterature review for
use in nutrient criteria development. Virginia Polytechnic Institute and State University
Blacksburg. 40 p.
Wetzel RG. 2001. Lymnology lake and river ecosystem . W.B Saunders Co. Philadelphia. 1006 p.
Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-12) - 1
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
NISBAH KELAMIN DAN UKURAN PERTAMA KALI MATANG GONAD
IKAN ENDEMIK BONTI-BONTI (Paratherina striata AURICH, 1935)
DI DANAU TOWUTI, SULAWESI SELATAN
Sharifuddin Bin Andy Omar
1)
, Raodah Salam
2)
, dan Syarifuddin Kune
3)
Laboratorium Biologi Perikanan, Universitas Hasanuddin, Makassar
Jalan Perintis Kemerdekaan KM. 10, Makassar 90245, Telp. (0411) 586025,
email: sb_andyomar@yahoo.com
Badan Ketahanan Pangan, Kota Palopo, Sulawesi Selatan
Jurusan Budidaya Perikanan, Fakultas Pertanian, Universitas Muhammadiyah, Makassar
Abstrak
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui nisbah kelamin dan dugaan ukuran pertama kali matang
gonad ikan bonti-bonti (Paratherina striata Aurich, 1935), salah satu ikan endemik yang terdapat di
Danau Towuti. Pengambilan sampel dilakukan setiap dua minggu sekali, dari bulan Juli sampai
September 2007. Seluruh pengamatan sampel dilakukan di Laboratorium Biologi Perikanan,
Jurusan Perikanan, Universitas Hasanuddin, Makassar. Nisbah kelamin dianalisis menggunakan
uji chi-kuadrat, sedangkan ukuran rata-rata pertama kali matang gonad diduga dengan
menggunakan metode Spearman-Karber. Jumlah ikan yang diperoleh selama penelitian adalah
sebanyak 278 ekor, didominasi oleh ikan betina, dengan nisbah kelamin jantan : betina adalah
1,00 : 3,15. Ikan endemik bonti-bonti betina matang gonad pada ukuran lebih kecil dibandingkan
dengan ikan jantan.
Kata kunci: Ikan endemik, Paratherina striata, Danau Towuti
Pengantar
Danau Towuti adalah salah satu bagian dari lima danau yaitu Danau Matano, Mahalona,
Danau Lantoa dan Danau Masapi yang tergolong dalam kompleks danau Malili (Malili Lakes
Complex) yang terletak di Kabupaten Luwu Timur, Propinsi Sulawesi Selatan. Danau Towuti dan
D. Matano ditemukan pertama kali oleh Firtz dan Paul Sarasin pada bulan Februari 1896, D.
Lantoa dan D. Masapi ditemukan oleh E.C. Abendanon pada tahun 1909, sedangkan D. Mahalona
oleh van Ginkel pada tahun 1910. Ahli biologi pertama yang mengunjungi kelima danau tersebut
adalah Rudolf Woltereck pada saat melaksanakan Ekspedisi Wallacea, yang kemudian
melaporkan temuan dari spesimen yang berhasil dikumpulkannya pada tahun 1933. Pada tahun
1988 1989, Maurice Kottelat mengumpulkan koleksi ikan-ikan dari kelima danau tersebut, dan
menemukan satu genus baru (Tominanga) dan delapan spesies baru (Tominanga aurea, T.
sanguicauda, Telmatherina antoniae, T. obscura, T. opudi, T. prognatha, T. sarasinorum, dan T.
wahyui)(Hadiaty & Wirjoatmodjo, 2002).
Danau Towuti termasuk dalam kategori danau tektonik tipe oligotrof. Luas D. Towuti
adalah 560 km
2
dengan kedalaman maksimum 203 m. Ketinggian D. Towuti dari permukaan laut
mencapai 293 m dan transparansi sampai 22 m (Haffner et al., 2001). Danau Towuti ditetapkan
sebagai taman wisata berdasarkan keindahan pemandangan dan hutan di sekitarnya. Terkait
dengan sejarah geologis Sulawesi Selatan yang unik, danau tersebut juga memiliki kekhasan
tersendiri, seperti keanekaragaman hayati yang unik dengan spesies-spesies organismenya yang
bersifat endemik.
Danau Towuti termasuk dalam kompleks industri nikel (Perusahaan PT. INCO) sehingga
ikan endemik yang hidup di lingkungan tersebut akan terpengaruh oleh aktifitas industri. Selain itu,
aktifitas penangkapan terhadap ikan endemik di danau tersebut juga meningkat. Kedua hal
tersebut menyebabkan penurunan populasi beberapa jenis ikan secara maknawi. Ikan endemik di
danau tersebut merupakan kategori sumberdaya yang mempunyai resiko kepunahan yang tinggi,
sehingga perlu dikelola dengan baik agar tetap lestari. Akibat terjadinya perubahan dalam
ekosistem dan tekanan penangkapan, maka akan terjadi perubahan komposisi jenis, hambatan
proses reproduksi, rekruitmen secara alami mengecil, ukuran ikan makin kecil, dan pola
pertumbuhan, baik individu maupun populasi, mengalami perubahan serta menurunkan
keanekaragaman genetik dalam spesies.
MS-12
2 - Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-12)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Paratherina striata Aurich, 1935, termasuk jenis ikan endemik di D. Towuti dan D.
Mahalona yang status populasinya rawan punah (vulnerable species) (Kottelat et al., 1993). Ikan
ini berpotensi sebagai ikan hias yang bernilai ekonomis karena memiliki warna tubuh yang indah.
Oleh masyarakat lokal, ikan P. striata dikenal sebagai ikan bonti-bonti.
Paratherina merupakan salah satu genus eksklusif yang dijumpai di Pulau Sulawesi, selain
Telmatherina. Genus Paratherina pertama kali dideskripsi sebagai genus yang baru oleh Aurich
pada tahun 1935. Whitten et al. (1987) menyatakan bahwa terdapat 10 spesies endemik di D.
Towuti, yaitu: Glossogobius flavipinnnis Aurich, 1938; G. matanensis (Weber, 1913); Mugilogobius
latifrons (Boulenger, 1897); Nomorhamphus megarhamphus (Brembach, 1982); N. towoetii
Ladiges, 1972; Oryzias marmoratus (Aurich, 1935); Paratherina cyanea Aurich, 1935; P. striata
Aurich, 1935; Telmatherina bonti Weber & de Beaufort, 1922; dan T. celebensis Boulenger, 1897.
Selain sembilan spesies yang telah disebutkan oleh Whitten et al. (1987) di atas (kecuali M.
latifrons), Kottelat et al. (1993) menambahkan koleksi ikan yang ditemukan di perairan D. Towuti,
yaitu: Glossogobius intermedius Aurich (1938); Oryzias profundicola Kottelat, 1990; Paratherina
wolterecki Aurich, 1935; dan Tominanga sanguicauda Kottelat, 1990. Publikasi terakhir oleh
Wirjoatmodjo et al. (2003 dalam Nasution, 2009) menyebutkan bahwa di D. Towuti terdapat 29
spesies ikan dari 13 famili, termasuk 9 spesies yang bersifat endemik yaitu: O. marmoratus (ikan
padi), O. profundicola (ikan padi), P. cyanea (ikan bonti-bonti sitip merah), P. labiosa Aurich, 1935
(ikan bonti-bonti), P. striata (ikan bonti-bonti biru), P. wolterecki (ikan bonti-bonti), T. celebensis
(ikan pangkilang kuning), Tominanga aurea Kottelat, 1990 (ikan pangkilang merah), dan T.
sanguicauda (ikan pangkilang merah).
Bentuk-bentuk pengelolaan sumberdaya ikan-ikan endemik yang perlu dilakukan adalah
budidaya, restoking, konservasi dan pengaturan penangkapan. Dasar pertimbangan dalam
melaksanakan pengelolaan tersebut yang perlu diketahui adalah data dasar jumlah jenis dan
variasi genetik, strategi reproduksi serta kebiasaan makan ikan endemik suatu perairan. Sampai
saat ini, data biologi dan ekologi ikan di danau tersebut masih banyak yang belum diketahui. Di
dalam penelitian ini dikaji hal-hal yang berkaitan dengan biologi reproduksi ikan tersebut,
khususnya nisbah kelamin dan ukuran pertama kali matang gonad.
Bahan dan Metode
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai September 2007. Pengambilan
sampel dilakukan di D. Towuti, Kabupaten Luwu Timur. Analisis sampel dilakukan di
Laboratorium Biologi Perikanan, Jurusan Perikanan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan,
Universitas Hasanuddin Makassar.
Penelitian dilakukan dengan menentukan stasiun-stasiun yang dianggap mewakili D.
Towuti. Stasiun pengambilan sampel dibedakan atas tiga stasiun. Stasiun I terletak di daerah
yang terdapat tanaman air dengan kedalaman air 1 3 m (Tanjung Bakara dekat sawmill). Stasiun
II terletak di daerah yang terdapat tanaman air dan kedalaman air 1 5 m (inlet D. Towuti yang
berasal dari Sungai Tominanga). Stasiun III terletak di daerah yang tidak terdapat tanaman air dan
dalam dengan kedalaman air lebih dari 10 m (Pulau Loeha). Pengambilan sampel dilakukan
sebanyak enam kali di perairan D. Towuti, Kabupaten Luwu Timur (Gambar 1) dengan interval
waktu dua kali setiap bulan yaitu pada awal dan akhir bulan. Ikan yang diperoleh selanjutnya di
simpan dalam kotak pendingin (cool box) dengan tujuan agar struktur sel ikan tetap berada pada
kondisi yang normal.
Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-12) - 3
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Gambar 1. Lokasi pengambilan sampel ikan bonti-bonti (Paratherina striata Aurich, 1935)
di Danau Towuti, Kabupaten Luwu Timur
Penimbangan bobot tubuh dilakukan dengan menggunakan timbangan elektrik yang
berketelitian 0,01 g, dan pengukuran panjang total dengan menggunakan kaliper berketelitian 0,05
mm. Panjang total diukur mulai dari ujung moncong mulut sampai ujung ekor terluar. Ikan
kemudian dibedah untuk penentuan jenis kelamin dan pengambilan gonad. Warna dan bentuk
gonad diamati untuk ditentukan tingkat kematangan gonadnya.
Nisbah Kelamin
Nisbah kelamin yang didasarkan pada jumlah sampel ikan bonti-bonti jantan dan betina,
dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Mattjik & Sumertajaya, 2002):
B
J
NK

=
dimana: NK = nisbah kelamin, J = jumlah ikan bonti-bonti jantan (ekor), B = jumlah ikan bonti-
bonti betina (ekor).
Untuk mengetahui apakah nisbah kelamin antara ikan jantan dan betina yang tertangkap
sama dengan 1 : 1 atau tidak, digunakan analisis chi-kuadrat (Zar, 1999) :
( )
n
oj
n
io
n
ij
E

=
dimana: E
ij
= frekuensi teoritik yang diharapkan terjadi, n
io
= jumlah baris ke-i, n
oj
= jumlah kolom
ke-j, n = jumlah frekuensi dari nilai pengamatan.
( )

=
k
i
Ei
Ei Oi
X
1
2
Dimana: Oi = Nilai yang nampak sebagai hasil pengamatan ikan jantan dan betina; Ei = Nilai yang
diharapkan terjadi pada ikan jantan dan betina.
Ukuran Pertama Kali Matang Gonad
Ukuran pertama kali matang gonad pada ikan bonti-bonti diduga dengan menggunakan
metode Spearman-Karber seperti yang diusulkan oleh Udupa (1986) dengan rumus sebagai
berikut:
4 - Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-12)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
{ }

+ = pi X
X
k
x m
2
Jika : = 0,05 maka batas-batas kepercayaan 95% dari m adalah:
(
(

|
.
|

\
|


1
2
96 1
ni
qi pi
X , m log anti
Dimana: m = logaritma panjang ikan pada saat pertama kali matang gonad x
K
= logaritma nilai
tengah kelas panjang pada saat semua ikan (100%) sudah matang gonad, X = selisih logaritma
nilai tengah, pi = proporsi ikan matang gonad pada kelas ke-i (pi = ri/ni), ri = jumlah ikan matang
gonad pada kelas ke-i, ni = jumlah ikan pada kelas ke-i, qi = 1 pi.
Dengan demikian panjang ikan pada waktu mencapai kematangan gonad pertama kali
adalah : M = antilog m.
Hasil dan Pembahasan
Nisbah Kelamin
Pengetahuan tentang nisbah kelamin sangat diperlukan untuk mengetahui perbandingan
jenis kelamin sehingga dapat diduga keseimbangan populasi ikan jantan dan ikan betina. Ikan
bonti-bonti (P. striata) merupakan ikan yang bersifat heteroseksual karena spermatozoa dan sel
telur dihasilkan oleh individu yang berbeda. Spermatozoa dihasilkan oleh ikan jantan, sedangkan
sel telur dihasilkan oleh ikan betina. Jumlah ikan bonti-bonti jantan yang tertangkap di D. Towuti
selama penelitian adalah 67 ekor dan ikan betina 211 ekor. Nisbah kelamin ikan bonti-bonti jantan
dan betina yang tertangkap selama penelitian berdasarkan waktu pengambilan sampel di D.
Towuti dicantumkan pada Tabel 1, berdasarkan tingkat kematangan gonad (TKG) tertera pada
Tabel 2, dan berdasarkan lokasi pengambilan sampel ditunjukkan pada Tabel 3.
Tabel 1. Nisbah kelamin ikan bonti-bonti (Paratherina striata Aurich, 1935) jantan dan betina pada
setiap waktu pengambilan sampel di Danau Towuti, Kabupaten Luwu Timur
Waktu pengambilan sampel
Jumlah ikan (ekor) Nisbah kelamin
Jantan Betina Jantan Betina
14 Juli 2007 9 25 1,00 2,78
28 Juli 2007 15 53 1,00 3,53
11 Agustus 2007 9 48 1,00 5,33
25 Agustus 2007 11 50 1,00 4,55
08 September 2007 16 18 1,00 1,13
22 September 2007 7 17 1,00 2,43
Jumlah 67 211 1,00 3,15
Tabel 2. Nisbah kelamin ikan bonti-bonti (Paratherina striata Aurich, 1935) jantan dan betina pada
setiap tingkat kematangan gonad di Danau Towuti, Kabupaten Luwu Timur.
Tingkat kematangan gonad
Jumlah ikan (ekor) Nisbah kelamin
Jantan Betina Jantan Betina
I 28 29 1,00 1,04
II 26 70 1,00 2,69
III 13 72 1,00 5,54
IV 36
V 4
Jumlah 67 211 1,00 3,15
Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-12) - 5
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Tabel 3. Nisbah kelamin ikan bonti-bonti (Paratherina striata Aurich, 1935) jantan dan betina pada
setiap tempat pengambilan sampel di Danau Towuti, Kabupaten Luwu Timur.
Tempat pengambilan sampel
Jumlah ikan (ekor) Nisbah kelamin
Jantan Betina Jantan Betina
Stasiun I 3 19 1,00 6,33
Stasiun II 49 112 1,00 2,29
Stasiun III 15 80 1,00 5,33
Jumlah 67 211 1,00 3,15
Tabel 1 menunjukkan bahwa jumlah ikan jantan dan betina yang tertangkap selama
penelitian tidak seimbang pada setiap waktu pengambilan sampel di D. Towuti. Setiap waktu
pengambilan sampel menunjukkan jumlah ikan jantan lebih sedikit daripada ikan betina. Pada
Tabel 2 ditunjukkan bahwa jumlah ikan jantan dan ikan betina yang tertangkap di D. Towuti selama
penelitian tidak seimbang pada setiap TKG. Jumlah ikan jantan dan betina pada TKG I cenderung
seimbang, sedangkan pada TKG II dan III, jumlah ikan betina lebih banyak dari jumlah ikan jantan.
Ikan jantan TKG IV dan V tidak ditemukan karena kemungkinan adanya kesalahan saat identifikasi
atau kemungkinan ikan jantan TKG IV dan V tidak ada yang tertangkap pada saat pengambilan
sampel. Selanjutnya, Tabel 4 menunjukkan bahwa jumlah ikan jantan dan betina yang tertangkap
selama penelitian tidak seimbang pada setiap tempat pengambilan sampel di D. Towuti. Pada
setiap tempat pengambilan sampel, jumlah ikan jantan lebih sedikit daripada ikan betina.
Jumlah ikan jantan yang tertangkap selama penelitian di D. Towuti selalu lebih sedikit
daripada ikan betina pada setiap waktu pengambilan sampel, TKG, dan tempat pengambilan
sampel dengan nisbah kelamin ikan jantan dan betina secara keseluruhan mencapai 1,00 : 3,15.
Secara statistik, nisbah kelamin berdasarkan waktu pengambilan sampel berbeda dari 1,00 : 1,00
antara jantan dan betina ( = 0,05;
2
hitung
= 13,792;
2
tabel
= 11,070; db = 5). Demikian pula
berdasarkan tingkat kematangan gonad ( = 0,05;
2
hitung
= 36,264;
2
tabel
= 9,488; db = 4) dan
tempat pengambilan sampel ( = 0,05;
2
hitung
= 8,439;
2
tabel
= 9,210; db = 2).Diduga hal ini terjadi
karena adanya ruaya yang dilakukan oleh ikan-ikan betina, terutama pada saat matang gonad.
Ikan-ikan betina yang matang gonad beruaya ke daerah yang dangkal dimana banyak terdapat
tanaman air.
Nisbah kelamin ikan bonti-bonti (P. striata) ini berbeda dengan nisbah kelamin ikan
Telmatherina celebensis (ikan pangkilang kuning) yang juga termasuk dalam famili
Telmatherinidae. Nisbah kelamin ikan T. celebensis di D. Towuti adalah 1,00 : 1,00 (Nasution,
2004). Jenis ikan lain yang hidup di danau dengan nisbah kelamin yang mirip ikan bonti-bonti
tersebut di atas antara lain ditemukan pada ikan bilih di D. Singkarak, ikan depik yang hidup di D.
Laut Tawar dan ikan nilem yang terdapat di D. Sidenreng. Pada ikan bilih (Mytacoleucus
padangensis) di perairan D. Singkarak, Syandri (1996) menemukan nisbah kelamin ikan jantan dan
betina 1 : 3. Brojo et al. (2001) yang meneliti reproduksi ikan depik i(Rasbora tawarensis) yang
endemik di perairan D. Laut Tawar, Aceh, memperoleh nisbah kelamin jantan dan betina sebesar
1,00 : 4,72. Jumlah contoh ikan nilem Osteochilus hasseltii (Valenciennes, 1842) yang diperoleh
selama penelitian oleh Andy Omar (2010) di D. Sidenreng adalah sebanyak 692 ekor yang terdiri
dari 143 ekor jantan dan 549 ekor betina, sehingga nisbah kelamin ikan jantan dan betina adalah
1,00 : 3,84.
Pada tanggal 31 Mei 2009 dilakukan pengambilan sampel kembali untuk mengetahui
apakah nisbah kelamin ikan jantan dan ikan betina yang diperoleh sebelumnya sudah tepat atau
belum. Jumlah ikan jantan yang diperoleh adalah sebanyak 25 ekor dan ikan betina 78 ekor, atau
nisbah kelamin jantan dan betina 1,00 : 3,12 Hasil yang diperoleh ini tidak berbeda dengan hasil
penelitian pada bulan Juli September 2007.
Ikan endemik bonti-bonti jantan yang ditemukan lebih sedikit dan umumnya relatif lebih
besar, sebaliknya yang ukurannya relatif kecil dan jumlahnya lebih banyak adalah betina. Nisbah
kelamin ikan jantan dan ikan betina di alam diperkirakan mendekati 1 : 1, yang menunjukkan
jumlah ikan jantan dan betina yang tertangkap relatif hampir sama banyaknya (Ball & Rao, 1984).
Namun demikian, sering terjadi penyimpangan dari kondisi ideal tersebut karena adanya
perbedaan pola tingkah laku bergerombol antara ikan jantan dan betina, perbedaan laju mortalitas,
dan pertumbuhan.Menurut Nikolsky (1963), perbedaan ukuran dan jumlah salah satu jenis kelamin
dalam suatu populasi disebabkan adanya perbedaan pola pertumbuhan, umur, awal kematangan
dan adanya perubahan jenis ikan baru pada suatu populasi ikan yang sudah ada. Perbedaan laju
pertumbuhan antara jenis kelamin dapat menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan proporsi di
dalam populasi. Jenis kelamin yang memiliki laju pertumbuhan lebih cepat akan bertumbuh lebih
6 - Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-12)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
besar sehingga mengurangi predasi dan kejadian sebaliknya terjadi pada jenis kelamin yang
lambat bertumbuh sehingga akan menjadi santapan bagi predator (Vincentini & Araujo, 2003).
Tidak seimbangnya jumlah antara ikan jantan dan ikan betina dalam suatu populasi akan
berdampak terhadap penurunan populasi ikan di alam. Hal ini dapat terjadi karena adanya
kelebihan tangkap atau kegiatan penangkapan yang tidak terkendali. Perubahan nisbah kelamin
dapat disebabkan oleh intensitas penangkapan yang tinggi, faktor lingkungan serta selektivitas alat
tangkap (Suwarso et al. 1998 dalam Salam, 2009).
Ukuran Pertama Kali Matang Gonad
Ukuran pertama kali matang gonad merupakan variabel dari strategi reproduksi pada ikan,
selain nisbah kelamin, periode dan tipe pemijahan, perkembangan oosit dan fekunditas (Gomiero
et al., 2008). Ukuran pertama kali matang gonad ikan endemik bonti-bonti (P. striata) jantan dan
betina di Danau Towuti Kabupaten Luwu Timur berdasarkan hasil analisa metode Spearman-
Karber seperti yang diusulkan oleh Udupa (1986) dapat dilihat pada Lampiran 1 sampai 4.
Ikan endemik bonti-bonti jantan mencapai matang gonad pertama kali pada ukuran
panjang total 134,65 mm atau dalam kisaran ukuran panjang total 132,53 136,80 mm,
sedangkan ikan betina pada ukuran panjang total 108,49 mm atau berkisar 106,86 110,15 mm
(Lampiran 1 dan 2). Apabila menggunakan bobot tubuh sebagai patokan, maka ikan endemik
bonti-bonti jantan mencapai matang gonad pertama kali pada bobot tubuh 35,75 g atau berkisar
34,67 37,90 g, sedangkan ikan betina pada bobot 20,64 g atau berkisar 19,31 22,06 g
(Lampiran 3 dan 4).
Di dalam penelitian ini ditemukan secara umum ikan endemik bonti-bonti betina memiliki
ukuran panjang dan bobot tubuh yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan ikan jantan pada saat
pertama kali mencapai matang gonad. Temuan yang sama dilaporkan oleh Nasution et al. (2007),
dimana ikan betina pertama kali matang gonad pada ukuran panjang tubuh 146,1 mm dan ikan
jantan pada ukuran panjang tubuh 167,8 mm. Tampak jelas jika kedua data tersebut dikomparasi
maka terdapat kecenderungan bahwa ikan bonti-bonti matang gonad pada ukuran yang semakin
kecil. Hal ini diduga sebagai strategi reproduksi ikan betina untuk menjamin kelangsungan
populasinya. Dugaan ini juga dikemukakan oleh Nasution (2004) yang menyatakan bahwa ukuran
pertama kali matang gonad berhubungan dengan pertumbuhan, pengaruh lingkungan, dan strategi
reproduksi.
Tiap spesies ikan tidak sama ukuran dan umur pertama kali matang gonad, bahkan ikan-
ikan pada spesies yang sama juga akan berbeda bila berada pada kondisi dan letak geografis
yang berbeda. Umur pada awal reproduksi bervariasi terhadap jenis kelamin. Bagi ikan jantan
maupun betina, umur pertama kali memijah bergantung kepada kondisi lingkungan yang sesuai.
Pada lingkungan yang tidak sesuai untuk tumbuh dan mempertahankan sintasan, ikan-ikan
cenderung akan menurunkan tingkat pertumbuhan dan sintasan, sehingga reproduksi cenderung
akan berlangsung pada umur lebih muda.
Pengetahuan tentang ukuran pertama kali matang gonad sangat penting dalam
pengelolaan stok ikan karena dapat digunakan untuk menentukan ukuran mata jaring yang akan
digunakan untuk menangkap ikan tersebut. Ketersediaan makanan dapat mempengaruhi ukuran
panjang ikan pada saat pertama kali matang gonad (Gomiero dan Braga, 2007). Berdasarkan
rumus sebagai berikut (Novitriana et al., 2004):
gonad g tan ma kali pertama ukuran
total Panjang
badan Tinggi
jaring mata Ukuran =
maka ukuran mata jaring yang disarankan untuk menangkap ikan bonti-bonti betina adalah:
inci ,
mm ,
mm ,
mm ,
mm ,
24 1
5 31
5 108
5 15
5 4
=
=
=
Agar ikan bonti-bonti yang tertangkap telah mengalami matang gonad minimal satu kali sebelum
ditangkap, maka disarankan untuk menggunakan alat tangkap yang memiliki ukuran mata jaring
1,5 inci.
Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-12) - 7
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Kesimpulan
Nisbah kelamin ikan endemik bonti-bonti (P. striata) di D. Towuti antara jantan dan betina
adalah 1,00 : 3,15. Pada saat pertama kali mencapai matang gonad, ikan endemik bonti-bonti
betina memiliki ukuran panjang dan bobot tubuh yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan ikan
jantan.
Ucapan Terima Kasih
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Fadhilah Kasturi, S.Pi.
dan Zul Aziza, S.Pi., atas bantuan dan kerjasama yang diberikan selama pelaksanaan penelitian di
Danau Towuti dan di Laboratorium Biologi Perikanan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan,
Universitas Hasanuddin, Makassar. Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada Asri Yanthi Taswir
Chaniago, S.Pi. atas bantuan pengolahan data penelitian.
Daftar Pustaka
Andy Omar, S. Bin. 2010. Aspek reproduksi ikan nilem, Osteochilus hasseltii (Valenciennes, 1842)
di Danau Sidenreng, Sulawesi Selatan. Jurnal Iktiologi Indonesia 10(2)
Ball, D.V. and K.V. Rao. 1984. Marine Fisheries. Tata Mc.Graw-Hill Publishing Company, Limited
New Delhi. 521 p.
Brojo, M., S. Sukimin, dan I. Mutiarsih. 2001. Reproduksi ikan depik (Rasbora tawarensis) di
perairan Danau Laut Tawar, Aceh Tengah. Jurnal Iktiologi Indonesia 1(2): 19-23.
Gomiero, L.M. and F.M.S. Braga. 2007. Reproduction of pirapitinga do sul (Brycon opalinus Cuvier,
1819) in the Parque Estadual da Serra do Mar-Nucleo Santa Virginia, So Paulo, Brazil.
Brazil Journal of Biology 67(3): 541-549.
Gomiero, L.M., L. Garuana and F.M.S. Braga. 2008. Reproduction of Oligosarcus hepsetus
(Cuvier, 1819)(Characiformes) in the Serra do Mar State Park, So Paulo, Brazil. Brazil
Journal of Biology 68(1): 187-192.
Hadiaty, K.R. dan S. Wiryoatmodjo. 2002. Studi pendahuluan biodiversitas dan distribusi Ikan di
Danau Matano, Sulawesi Selatan. Jurnal Iktiologi Indonesia 2(2): 23-29.
Haffner, G.D., P.E. Hehanusa, and D.I. Hartoto. 2001. The Biology and Physical Processes of
Large Lakes of Indonesia : Lakes Matano and Towuti, pp. 183-192. In M. Munawar and
R.E. Hecky (eds.). The Great Lakes of the World (GLOW): Food-web, Health, and
Integrity, Netherlands.
Kottelat, M., A.J. Whitten, S.N. Kartikasari and S. Wirjoatmodjo. 1993. Freshwater Fishes of
Western Indonesia and Sulawesi. Periplus edition (HK) Ltd in collaboration with the
Environmental Manage-ment Development in Indonesia (EMDI) Project, Ministry of State
for Population and Environment, Republic of Indonesia. 221 p.
Mattjik, A.A. dan I.M. Sumertajaya. 2002. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan
Minitab. Jilid I. Edisi Kedua. IPB Press, Bogor. 281 p.
Nasution, S.H. 2004. Distribusi dan Perkembangan Gonad Ikan Endemik Rainbow Selebensis
(Telmatherina celebensis Boulenger) di Danau Towuti, Sulawesi Selatan. Tesis. Program
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. 88 hal.
Nasution, S.H. 2009. Perumusan Kriteria Zonasi Kawasan Konservasi Sumber Daya Ikan Endemik
di Danau Towuti, Sulawesi Selatan. Laporan Akhir Kegiatan Program Insentif bagi Peneliti
dan Perekayasa Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 86 hal.
8 - Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-12)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Nasution, S.H., Sulistiono, D. Soedharma, I. Muchsin, dan S. Wirjoatmodjo. 2007. Kajian aspek
reproduksi ikan endemik bonti-bonti (Paratherina striata) di Danau Towuti, Sulawesi
Selatan. Jurnal Biologi Indonesia 4(4): 225-237.
Nikolsky, G.V. 1963. The Ecology of Fishes. Academic Press.London. 352 p.
Novitriana, R., Y. Ernawati, dan M.F. Rahardjo. 2004. Aspek pemijahan ikan petek (Leiognathus
equulus) Forsskal, 1775 (Fam. Leiognathidae) di pesisir Mayangan Subang. Jawa Barat.
Jurnal Ikhtiologi Indonesia 4(1): 7-13.
Salam, R. 2009. Bioekologi Ikan Endemik Bonti-bonti (Paratherina striata Aurich, 1935) di Danau
Towuti, Kabupaten Luwu Timur. Tesis Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin,
Makassar.
Syandri, H. 1996. Aspek Reproduksi Ikan Bilih, Mystacoleucus padangensis Bleeker dan
Kemungkinan Pembenihannya di Danau Singkarak. Disertasi Program Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor.
Udupa, K. S. 1986. Statistical method of estimating the size at first maturity in fishes. Fishbyte. Vol
4(2): 8-10.
Vicentini, R.N. and F.G. Araujo. 2003. Sex ratio and size structure of Micropogonias furnieri
(Dermarest, 1823)(Cypriniformes, Sciaenidae). Brazil Journal of Biology 63(4): 559-566.
Whitten, A.J., M. Mustafa, dan G.S. Henderson. 1987. Ekologi Sulawesi. Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta. 844 hal.
Zar, J.H. 1999. Biostatistical Analysis. Fourth edition. Prentice Hall, New Jersey.
Lampiran 1. Distribusi frekuensi panjang total dan tingkat kematangan serta perhitungan pendugaan rata-
rata pertama kali matang gonad ikan endemik bonti-bonti (Paratherina striata Aurich, 1935)
jantan di Danau Towuti, Kabupaten Luwu Timur
Kelas
panjang
(mm)
Tengah
kelas
(mm)
Logaritma
tengah
kelas
(X
i
)
Jumlah
sampel
ikan
(n
i
)
Jumlah
ikan
belum
matang
Jumlah
ikan
matang
(r
i
)
Proporsi
ikan
matang
(p
i
)
X
i+1
X
i
= X
q
i
= 1
p
i 1
i
n
i
q
i
p

70,0
79,9
74,95 1,8748 2 2 0 0,0000 0,0544 1,0000 0,0000
80,0
89,9
84,95 1,9292 9 9 0 0,0000 0,0483 1,0000 0,0000
90,0
99,9
94,95 1,9775 6 6 0 0,0000 0,0483 1,0000 0,0000
100,0
109,9
104,95 2,0210 3 2 1 0,3333 0,0395 0,6667 0,0066
110,0
119,9
114,95 2,0605 7 5 2 0,2857 0,0362 0,7143 0,0017
120,0
129,9
124,95 2,0967 12 8 4 0,3333 0,0335 0,6667 0,0010
130,0
139,9
134,95 2,1302 12 6 6 0,5000 0,0310 0,5000 0,0014
140,0
149,9
144,95 2,1612 8 3 5 0,6250 0,0290 0,3750 0,0026
150,0
159,9
154,95 2,1902 6 2 4 0,6667 0,0272 0,3333 0,0036
160,0
169,9
164,95 2,2174 2 0 2 1,0000 0,0000 0,0000
Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-12) - 9
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Total 67 43 24 3,7440 0,0169
Lampiran 2. Distribusi frekuensi panjang total dan tingkat kematangan serta perhitungan pendugaan rata-
rata pertama kali matang gonad ikan endemik bonti-bonti (Paratherina striata Aurich, 1935)
betina di Danau Towuti, Kabupaten Luwu Timur
Kelas
panjang
(mm)
Tengah
kelas
(mm)
Logaritma
tengah
kelas
(X
i
)
Jumlah
sampel
ikan
(n
i
)
Jumlah
ikan
belum
matang
Jumlah
ikan
matang
(r
i
)
Proporsi
ikan
matang
(p
i
)
X
i+1
X
i
= X
q
i
= 1
p
i 1
i
n
i
q
i
p

60,0
69,9
64,95 1,8126
4 3 1 0,2500 0,0622 0,7500 0,0052
70,0
79,9
74,95 1,8748
9 7 2 0,2222 0,0544 0,7778 0,0015
80,0
89,9
84,95 1,9292
21 16 5 0,2381 0,0483 0,7619 0,0006
90,0
99,9
94,95 1,9775
59 34 25 0,4237 0,0435 0,5763 0,0003
100,0
109,9
104,95 2,0210
28 13 15 0,5357 0,0395 0,4643 0,0008
110,0
119,9
114,95 2,0605
31 13 18 0,5806 0,0362 0,4194 0,0007
120,0
129,9
124,95 2,0967
20 11 9 0,4500 0,0335 0,5500 0,0008
130,0
139,9
134,95 2,1302
14 2 12 0,8571 0,0310 0,1429 0,0020
140,0
149,9
144,95 2,1612
25 0 25 1,0000 0,0000 0,0000
Total 211 99 112 4.5575 0,0119
Lampiran 3. Distribusi frekuensi bobot tubuh dan tingkat kematangan serta perhitungan pendugaan rata-
rata pertama kali matang gonad ikan endemik bonti-bonti (Paratherina striata Aurich, 1935)
jantan di Danau Towuti, Kabupaten Luwu Timur
Kelas
panjang
(mm)
Tengah
kelas
(mm)
Logaritma
tengah
kelas
(X
i
)
Jumlah
sampel
ikan
(n
i
)
Jumlah
ikan
belum
matang
Jumlah
ikan
matang
(r
i
)
Proporsi
ikan
matang
(p
i
)
X
i+1
X
i
= X
q
i
= 1
p
i 1
i
n
i
q
i
p

3,0
9,9 6,45 0,8096 24 23 1 0,0417 0,3191 0,9583 0,0006
10,0
16,9 13,45 1,1287 7 6 1 0,1429 0,1820 0,8571 0,0043
17,0
23,9 20,45 1,3107 12 10 2 0,1667 0,1278 0,8333 0,0019
24,0
30,9 27,45 1,4385 9 6 3 0,3333 0,0987 0,6667 0,0041
31,0
37,9 34,45 1,5372 6 4 2 0,3333 0,0803 0,6667 0,0054
38,0
44,9 41,45 1,6175 7 4 3 0,4286 0,0678 0,5714 0,0048
45,0
51,9 48,45 1,6853 2 0 2 1,0000 0,0000 0,0000
Total 67 53 14 2,4464 0,0212
10 - Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-12)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Lampiran 4. Distribusi frekuensi bobot tubuh dan tingkat kematangan serta perhitungan pendugaan rata-
rata pertama kali matang gonad ikan endemik bonti-bonti (Paratherina striata Aurich, 1935)
betina di Danau Towuti, Kabupaten Luwu Timur
Kelas
panjang
(mm)
Tengah
kelas
(mm)
Logaritma
tengah
kelas
(X
i
)
Jumlah
sampel
ikan
(n
i
)
Jumlah
ikan
belum
matang
Jumlah
ikan
matang
(r
i
)
Proporsi
ikan
matang
(p
i
)
X
i+1
X
i
= X
q
i
= 1
p
i 1
i
n
i
q
i
p

1,0
10,9 5,95 0,7745 121 70 51 0,4215 0,4283 0,5785 0,0015
11,0
20,9 15,95 1,2028 51 27 24 0,4706 0,2113 0,5294 0,0020
21,0
30,9 25,95 1,4141 21 1 20 0,9524 0,1416 0,0476 0,0067
31,0
40,9 35,95 1,5557 12 1 11 0,9167 0,1066 0,0833 0,0089
41,0
50,9 45,95 1,6623 5 0 5 1,0000 0,0000 0,0000
Total 210 99 110 3,7611 0,0191
Tanya Jawab
Pertanyaan:
1. Bagaimana pola hubungan fekunditas relatif dengan panjang tubuh ikan?
2. Sampel diambil dimana? Ukuran bobot ditimbang sebelum atau sesudah dikeluarkan
telurnya?
Jawaban :
1. Belum pernah melakukan penelitian untuk mengaitkan fekunditas relatif dengan panjang
tubuh dan bobot tubuh. Mungkin ini akan menjadi ide untuk penelitian saya selanjutnya.
2. Ikan ditimbang total tanpa mengeluarkan gonad terlebih dahulu lalu gonad dikeluarkan
untuk langsung ditimbang agar masih segar dan tidak mengalami perubahan. Ikan yang
digunakan sebagai sampel didapat langsung dari nelayan sehingga masih segar.
Semnaskan _UGM / poster Menejemen Sumberdaya Perikanan (MS-13) - 1
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan 16 Juli 2011
STUDI KLASIFIKASI SUNGAI MENGGUNAKAN KOMUNITAS
MAKROINVERTEBRATA BENTIK DI SUNGAI JANGKOK, MATARAM NTB
Nanda Diniarti, S.Pi, M.Si.,
1
Dewi Nuraeni Setyowati, S. Pi., Alis Mukhlis, S.Pi.
Program studi Budidaya Perairan, Fakultas Pertanian Universitas Mataram
Abstrak
Sungai Jangkok merupakan salah satu sungai yang melintasi Kabupaten Lombok Barat dan Kota
Mataram. Penggunaan sepanjang daerah aliran sungai untuk aktifitas manusia menyebabkan
adanya perubahan terhadap ekosistem alami. Perubahan tersebut dapat pula mengakibatkan
perubahan komunitas makroinvertebrata bentik yang ada. Makroinvertebrata bentik merupakan
organisme yang hidup di dalam (infauna) atau di permukaan dasar perairan (epifauna). Disamping
memegang peranan penting dalam rantai makanan, makroinvertebrata bentik dapat juga
digunakan sebagai alat pengelolaan sungai misalnya untuk klasifikasi . Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui komunitas makroinvertebrata bentik dan mengklasifikasikan Sungai Jangkok
menggunakan makroinvertebrata bentik.
Lima stasiun pengamatan pada sungai Jangkok ini didasarkan komunitas makroinvertebrata bentik
dengan menggunakan program computer TWINSPAN dapat diklasifikasikan menjadi 5 site of
group (A, B, C, D, E). Site of group A dan B ditemukan makroinvertebrata bentik dari Famili
Ecdyonuridae, Leptoplebiidae dan Caenidae yang menyenangi dasar perairan berbatu dan berarus
cepat. Site of group C, D dan E mempunyai makroinvertebrata bentik dari famili Thiaridae, klas
hirudinea dan klas oligochaeta yang merupakan indikator perairan yang telah tercemar bahan
organik. Sedangkan status perairan sungai Jangkok yang ditentukan dengan menggunakan Indeks
BMWP pada penelitian ini adalah : Site of group A dan B berstatus perairan kotor sedang yang
nilai ASPTnya berkisar 5 7 serta Site of group C, D dan E memiliki status perairan kotor berat
dengan nilai ASPT berkisar 3 4.
Kata Kunci: Makroinvertebrata benthik, Sungai, Status Perairan
Pengantar
Sungai mempunyai peranan yang sangat besar bagi perkembangan peradaban manusia
dengan menyediakan daerah-daerah subur yang umumnya terletak di kawasan Daerah Aliran
Sungai (DAS) dari hulu sampai hilir dan sumber air sebagai sumber kehidupan yang paling utama
bagi kemanusiaan. Pemanfaatan daerah sungai semakin meningkat sejalan dengan peningkatan
jumlah penduduk sehingga pada akhirnya peranan dan fungsi sungai bertambah sebagai buangan
sisa aktifitas manusia.
Sungai Jangkok merupakan salah satu sungai yang melintasi dua kabupaten, yaitu
Kabupaten Lombok Barat dan Kota Mataram. Sungai ini mengalir sepanjang tahun. Seperti pada
umumnya debit air sungai tertinggi dijumpai pada musim hujan dan terendah pada musim
kemarau. Pada titik terendah ini aliran sungai kadang hampir tidak mengalir.
Hulu sungai Jangkok berada di wilayah Kecamatan Narmada Kabupaten Lombok Barat
pada kawasan Hutan Lindung Sesaot mengalir melewati lahan bududaya pertanian berupa sawah,
kebun campur, kemudian daerah pemukiman yang pada di Kota Mataram yang berpotensi
menghasilkan limbah domestik, pertanian, dan industri kecil seperti industri pengolahan tempe.
Selain aktifitas itu pada Kelurahan Pejeruk terdapat aktifitas penambangan pasir sungai yang
berpotensi mengubah substrat dasar sungai. Berkembangnya kegiatan penduduk yang mendiami
daerah aliran sungai (DAS) Jangkok, seperti bertambah padatnya pemukiman penduduk, kegiatan
industri rumah tangga, dan kegiatan pertanian, dapat berpengaruh terhadap kualitas airnya, karena
limbah yang dihasilkan oleh kegiatan penduduk itu dibuang langsung ke sungai.
Penggunaan sepanjang daerah aliran sungai untuk aktifitas manusia menyebabkan
adanya perubahan terhadap ekosistem alami. Perubahan tersebut dapat pula mengakibatkan
perubahan komunitas makroinvertebrata bentik yang ada. Makroinvertebrata bentik merupakan
organisme yanhg hidup di dalam (infauna) atau di permukaan dasar perairan (epifauna). Fauna
bentik dari air yang mengalir termasuk representative dari hampir semua taksa utama yang
diketahui dari air tawar. Komposisi dari satu tempat ke tempat yang lain dalam perairan
menunjukan perbedaan tergantung pada faktor pembatas (Sudaryanti, 1995). Selain itu kecepatan
MS-13
Semnaskan _UGM / poster Menejemen Sumberdaya Perikanan (MS-13) - 2
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan 16 Juli 2011
arus dan tipe substrat dasar juga mempengaruhi komunitas makroinvertebrata bentik. Disamping
memegang peranan penting dalam rantai makanan, makroinvertebrata bentik dapat juga
digunakan sebagai alat pengelolaan sungai misalnya untuk klasifikasi (Sudaryanti,1997).
Bahan dan Metode
Bahan yang dipergunakan dalam penelitian ini antara lain alcohol 70% dan bahan kimia
titran untuk pengukuran kualitas air. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
diskriptif. Pengamatan yang dilakukan terhadap makroinvertebrata bentik dan beberapa parameter
kulaitas air sepanjang Sungai Jangkok (lihat Tabel 1). Pengambilan contoh air dan pengamatan
terhadap parameter-parameter dilakukan pada beberapa lokasi berdasarkan guna lahan. Lokasi
tersebut adalah:
Stasiun I : Hutan lindung Sesaot, merupakan daerah sumber dari Sungai Jangkok
Stasiun II : Sayang-sayang, merupakan daerah persawahan.
Stasiun III : Dasan Agung, merupakan daerah pertanian dan pemukiman
Stasiun IV : Pejeruk, merupakan daerah yang mempunyai penambangan pasir sungai dan
industri tempe
Stasiun V : Muara Sungai Jangkok, merupakan daerah dermaga kapal nelayan.
Pengambilan Contoh dan Pengukuran Kualitas Air
Pengambilan contoh makroinvertebrata bentik untuk daearh yang mempunyai dasar
perairan berupa substrat yang keras menggunkan jaring benthos dengan ukuran 20 x 30 cm
(ukuran mata jaring 500m) dengan metode kicking selama 5 menit dan untuk daerah yang
substratnya lunak menggunakan ekman grab (15 x 15 x 20) 3 ulangan. Pengambilan contoh
kualitas air dilakukan bersamaan dengan lokasi pengambilan contoh makroinvertebrata bentik.
Tabel 1. Parameter dan metode pengukuran kualitas air
No Parameter Satuan Metode Tempat
1 Kecepatan Arus cm/det Pelampung/stopwatch Lapangan
2 Kedalaman air M Tongkat penduga Lapangan
3 Tipe substrat - Ukuran partikel Laboratorium
4 Suhu
O
C Thermometer Lapangan
5 pH - pH paper Lapangan
6 Oksigen terlarut (DO) Mg/l DO meter Lapangan
7 TOC Mg/l Spektrofotometrik Laboratorium
8 Ammonium (NH
4
+
) Mg/l Spektrofotometrik Laboratorium
9 Kesadahan Mg/l Titrimetrik laboratorium
Analisa Data
TWINSPAN
Untuk menentukan klasifikasi Sungai Jangkok pada penelitian ini digunakan klasifikasi
bertingkat, yaitu dengan menggunakan suatu program computer yang disebut Two-way Indicator
Species Analysis (TWINSPAN). Klasifikasi Sungai Jangkok ini dengan cara mendata komposisi
dan kelimpahan makroinvertebrata bentik pada masing-masing stasiun, kemudian data tersebut
diolah dengan menggunakan program computer TWINSPAN. Hasil yang didapat berupa
kelompok-kelompok stasiun yang mempunyai kesamaan berdasarkan komunitas
makroinvertebrata bentik yang dimaksud site of group. Adapun langkah-langkahnya adalah
sebagai berikut:
- mendata semua taxa makroinvertebrata bentik yang ada
Semnaskan _UGM / poster Menejemen Sumberdaya Perikanan (MS-13) - 3
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan 16 Juli 2011
- mencari klasifikasinya sampai tingkat genus atau species bila memungkinkan
- memberi kode pada setiap taxa yang ditemukan dengan maksimal 8 karakter
- memasukkan ke dalam program computer (Peeters dan Glystra, 1997).
Pada Sungai Jangkok terdiri dari 5 stasiun pengamatan yang dimulai dari daerah hulu di
sesaot hingga daerah muara. Pengamatan pada masing-masing stasiun dilakukan setiap minggu
selama 3 kali, sehingga semua terdiri 15 pengamatan.
Indeks BMWP
Untuk penentuan status perairan sungai Jangkok pada penelitian ini menggunakan Indeks
Biological Monitoring Working Party (BMWP). Indeks ini memerlukan semua data
makroinvertebrata bentik yang ada pada masing-masing stasiun untuk diidentifikasi sampai pada
tingkat famili, dimana masing-masing famili mempunyai skor tersendiri berdasarkan table indeks
BMWP. Selanjutnya dicari nilai rata-rata per-taxa (Average Score Per Taxon/ASPT) yaitu dengan
cara membagi jumlah total skor dengan jumlah total taxa yang ditemukan pada masing-masing
stasiun.
Adapun langkah-langkah dalam menggunakan Indeks Biological Working Party (BMWP)
adalah sebagai berikut:
- mendata semua taxa makroinvertebrata bentik yang ada
- mencari klasifikasinya sampai tingkat famili
- mencocokkan dengan tabel BMWP dan memberi score pada masing-masing tingkat famili
per stasiunnya
- skor yang diperoleh setiap famili makroinvertebrata bentik, kemudian dicari nilai Average
Score per Taxon (ASPT)-nya.
Nilai ASPT merupakan perbandingan antara jumlah skor dengan jumlah famili berskor
yang ditemukan. Dari nilai ASPT tersebut dapat ditentukan status perairannya. Untuk nilai ASPT
yang terdapat nilai pecahan dilakukan dengan pembulatan ke nilai terdekat, sedang apabila
terdapat nilai tengah maka dilakukan pembulatan nilai ke atas.
Hasil dan Pembahasan
Diskripsi Stasiun Penelitian
Sungai Jangkok adalah salah satu sungai besar yang ada di Pulau Lombok, Nusa
Tenggara Barat. Sungai Jangkok melintasi dua kabupaten kota yaitu Kabupaten Lombok Barat dan
Kota Mataram. Fungsi sungai yang utama adalah untuk sumber air minum dan fungsi lainnya
adalah sebagai sumber air irigasi, perikanan dan peternakan.
Stasiun 1
Letak stasiun pertama ada di dalam lingkungan hutan lindung di Dusun Aik Nyet. Sumber
air pertama dari Sungai jangkok sebenarnya ada di Desa Tana Beak namun karena medan yang
sulit ditempuh maka stasiun pertama di tetapkan pada Desa Aik Nyet. Dan mata air selanjutnya
ada disepanjang aliran sungai. Pada Desa Sesaot tiap batu besar biasanya terdapat mata air.
Hutan lindung yang ada dikawasan ini di mulai dari Desa Tana Beak sampai Desa Sesaot yang
termasuk kawasan hulu Sungai Jangkok. Hutan lindung ini dikelola oleh masyarakat dan Dinas
Kehutanan Kabupatan Lombok Barat. Namun kesalahan persepsi dalam pemanfaatan hutan
lindung oleh masyarakat menyebabkan tiap tahun debit air sungai terus menurun. Menurunnya
debit air sungai ini semakin memperburuk pencemaran yang terjadi di badan sungai. Substrat
dasarnya didominasi oleh kerikil dan batuan. Air sungai terlihat jernih namun bila dikacaukan
terlihat plum(keruh). Plum terjadi karena adanya air luruhan (run off), ini merupakan pertanda
bahwa tata guna lahan di bagian hulu menyalahi peruntukkannya. Selain itu telah mendapat
masukan limbah domestik dan pertanian. Kecepatan aliran rata-rata sungai 73 cm/det dengan
suhu sekitar 23 C dan arah aliran ke Selatan.
Stasiun 2
Stasiun 2 ini terletak di Desa Sayang-sayang. Air sungai dimanfaatkan untuk mengairi
sawah dan muara dari limbah kolam masyarakat, selain itu di beberapa titik terdapat penggalian
Semnaskan _UGM / poster Menejemen Sumberdaya Perikanan (MS-13) - 4
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan 16 Juli 2011
pasir sungai. Warna air sungai tampak agak keruh dengan substrat pasir, kerikil dan batu.
Kecepatan air 48 cm/det dan suhu air 26 C. Daerah sayang-sayang merupakan tengah aliran
Sungai Jangkok.
Stasiun 3
Stasiun 3 terletak di daerah persawahan tapi cukup dekat dengan permukiman penduduk
sehingga air sungai ini digunakan selain untuk mengairi sawah juga sarana MCK (Mandi, Cuci dan
Kakus). Air sungai yang keruh mempunyai suhu 27C dan kecepatan rata-rata 42 cm/det. Substrat
dasar perairan adalah pasir dan kerikil. Kumpulan sampah tampak hampir disepanjang sungai.
Stasiun 4
Pemukiman padat terbelah oleh aliran Sungai Jangkok sehingga stasiun 4 ditetapkan
ditempat ini. Aliran sungai digunakan untuk MCK, tempat bertanam kangkung air, penambangan
pasir sungai serta tempat pembuangan sampah penduduk. Berbagai fungsi di badan air ini
menyebabkan warna air sungai keruh dengan bau air tidak normal. Suhu air 27 C dan kecepatan
air 43 cm/det serta substrat pasir berlempung. Arah aliran sungai menuju barat.
Stasiun 5
Stasiun ini merupakan stasiun terakhir dan merupakan hilir Sungai Jangkok. Karena
terletak pada daerah muara maka banyak nelayan yang menambatkan perahu mereka di pinggir
sungai. Selain sebagai dermaga, stasiun ini mendapat limbah domestik dari pemukiman penduduk
serta pasar yang terletak di bantaran sungai. Air sungai sangat keruh dan terlihat tumpahan solar
dari perahu nelayan. Kecepatan air yang kecil yaitu 18 cm/det dengan suhu 27 C. Substrat
perairan terdiri dari pasir halus dan lumpur.
Klasifikasi Sungai Jangkok
Hasil identifikasi makroinvertebrata bentik yang ditemukan pada penelitian di Sungai
Jangkok didapatkan 43 taxa yang mewakili ordo Ephemeroptera, Diptera, Tricoptera, Odonata,
Coleoptera, Decapoda, Hemiptera, Prosobranchiata, Lamellibranchiata dan 2 klas (Hirudinea dan
Oligochaeta).
Analisa menggunakan TWINSPAN didapatkan hasil klasifikasi Sungai Jangkok dari 15
kode stasiun yang mempunyai kesamaan komunitas makroinvertebrata bentik menjadi 5 site of
group (A, B, C, D, E) pembagian group dapat dilihat pada Gambar 1. Masing-masing site of group
terdiri dari 2 sampai dengan 4 pengamatan.
Gambar 1. Klasifikasi Sungai Jangkok
Site of group A terdiri atas 2 pengamatan, yaitu kode stasiun 11 dan 31 yang sama-sama
berada di hulu Sungai Jangkok di dusun Aik Nyet. Makroinvertebrata bentik yang menyusun group
A antara lain; famili Leptophlebiidae, Thiaridae, Tipulidae, Elmidae, Baetidae, Gerridae dan
Caenidae. Makroinvertebrata yang melimpah (mempunyai nilai 5 dalam dendrogram) adalah
3 Pengamatan
(15,25,35)
D E
15 Pengamatan
6 Pengamatan
9 Pengamatan 6 Pengamatan
2 Pengamatan
(13,14)
4 Pengamatan
(23,24,33,34)
4 Pengamatan
(12,21,22,32)
2 Pengamatan
(11,31)
A B C
Semnaskan _UGM / poster Menejemen Sumberdaya Perikanan (MS-13) - 5
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan 16 Juli 2011
Elmidae, Baetis rhodani dan Tipulidae. Elmidae menyenangi sungai yang mempunyai arus cepat
dan bersubstrat batu. Hal ini sesuai dengan kecepatan arus yang diukur yaitu 69 cm/det. Famili
Baetidae, Famili Chironomidae dan Famili Tipulidae merupakan Famili yang kosmopolit atau
keberadaannya hampir di semua habitat perairan dan mempunyai alat adaptasi pada daerah
dengan arus cepat, misalnya Famili Baetidae dengan bentuk tubuh streamline dan Famili
Chironomidae dengan cara meliang di dalam substrat (burrowers)
Site of goup B tersusun atas 4 pengamatan yaitu kode stasium 12, 21, 22, 32 yang
merupakan stasiun 2 (12, 22, 32) dan stasiun (21). Genus yang melimpah adalah Ripalania.
Ripalania dalam keberadaanya membutuhkan kesadahan yang cukup tinggi, karena karbonat
digunakan untuk membentuk cangkang. Site ini mempunyai kesadahan yang lunak (55 mg/l)
namun Ripalania mampu hidup baik. Kesadahan ini dibutuhkan organisme yang membentuk
cangkang contohnya siput, kerang dan udang Gammarus pulex.
Site of group C terdiri dari 3 kode stasiun yaitu (15,25,35), ini merupakan stasiun
pengamatan terakhir yang berada di Muara. Nilai dendrogram yang tinggi di stasiun ini adalah dari
Famili Chironomidae dan Famili Tubificidae. Famili Chironomidae dapat hadir dalam semua
perairan tapi akan melimpah pada perairan yang mempunyai substrat lumpur organik dan sungai
tercemar, begitu pula pada Famili Tubificidae yang menyenangi substrat lumpur organik dan
merupakan indikator perairan yang telah tercemar.
Site of group D terdiri dari 2 kode pengamatan yaitu kode pengamatan 13 dan 14. Ini
adalah stasiun 3 pada pengamatan pertama dan stasiun 4 pengamatan minggu pertama. Kedua
stasiun ini memiliki nilai dendrogram yang tinggi pada famili Thiaridae yaitu 5 dan pada site ini
ditemukan famili Glossiphonidae dan Tubificidae yang juga memiliki kelimpahan tinggi. Tubificidae
menyenangi sungai yang tercemar bahan organik dan bersubstrat lumpur sedangkan
Glossiphonidae menyenangi sungai yang berarus lambat dan tipe sungai potamon.
Site of group E beranggotakan 4 kode pengamatan,antara lain 23, 24, 33 dan 34. stasiun 3
dan 4 yang menyusun site of group ini memiliki persamaan dalam kegunaan badan air yaitu
sebagai sarana MCK dan bak sampah bagi penduduk sekitar alirannya. Banyaknya bahan organik
yang masuk yang berasal dari limbah domestik, buangan sampah dan aktivitas lain seperti
penanaman kangkung air memberikan dampak yang tidak baik bagi perairan itu, ini ditunjukkan
dengan melimpahnya famili Thiaridae dan famili Glossiphonidae. Beberapa bagian badan sungai
tampak penumpukan sampah yang lambat laun akan membuat pendangkalan sungai sehingga
banjir tidak dapat dielakkan bila musin penghujan datang.
Status Pencemaran Sungai Jangkok
Berdasarkan nilai skor BMWP dan perhitungan nilai ASPT, didapatkan nilai ASPT dari skor
3 sampai dengan 7 yang berarti kondisi perairan sungai Jangkok berklasifikasi perairan yang kotor
berat sampai kotor sedang. Hal ini menunjukkan bahwa di semua badan air sungai Jangkok terlalu
banyak mengandung bahan organik. Nilai skor BMWP tiap famili memberikan gambaran kondisi
perairan Sungai Jangkok, yang mana bila skor tinggi merupakan famili yang tidak toleran dengan
kandungan bahan organik yang begitu tinggi begitu juga sebaliknya famili yang mempunyai nilai
skor yang rendah menunjukkan bahwa famili itu mempunyai toleran tinggi terhadap jumlah bahan
oranik yang tinggi dalam perairan. Hasil perhitungan skor indeks BMWP dan perhitungan nilai
ASPT pada setiap site of group terlampir pada lampiran 4.
Hasil perhitungan BMWP diketahui pada site of group A termasuk perairan dengan kondisi
perairan kotor sedang, ini terlihat pada nilai ASPT yang cukup tinggi yaitu 6,85 yang dibulatkan
menjadi 7. Walaupun mempunyai nilai ASPT yang cukup tinggi tetapi masih dalam kisaran
perairan kotor sedang karena belum mencapai skor 8. Site of group A merupakan site of group
yang tertinggi nilai ASPTnya bila dibandingkan dengan site of group yang lain. Tingginya nilai
ASPT group ini disumbangkan oleh famili Leptophlebiidae dan Ecdyonuridae yang mempunyai
skor 10 sehinga memperbesar nilai ASPT group ini. Kondisi ekologisnya mempunyai arus cepat
dan bersubstrat batu dan kerikil. Hal ini sesuai dengan kecepatan arus yang diukur yaitu 69
cm/det. Kadar oksigen terlarut pada site ini sangat tinggi yaitu 8,1 mg/l 9,01 mg/l.
Analisa pada site of group B memberikan hasil bahwa status perairan dari site group ini
termasuk dalam katagori perairan kotor sedang dengan nilai ASPT yang rendah yaitu 5,45
dibulatkan menjadi 5. Rendahnya nilai ASPT ini disebabkan oleh hadirnya famili chironomidae,
famili Glossiphonidae dan famili Hydraen yang masing-masing skor ASPTnya 2,3 dan 3. Nilai
Ammonia yang didapat adalah 0,178 ppm 0,337 ppm. Kadar ammonia ini belum mampu
mengganggu keberadaan organisme. Ini menandakan pula bahwa bahan organik pada site of
Semnaskan _UGM / poster Menejemen Sumberdaya Perikanan (MS-13) - 6
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan 16 Juli 2011
group ini masih dalam kapasitas biodedradasi hal ini didukung dengan kadar oksigen terlarut yang
cukup tinggi yaitu 8,25 ppm 9,01 ppm.
Site of group C status perairannya adalah kotor berat, yang ditunjukkan dengan nilai ASPT
yang rendah yaitu 3. Status perairan yang kotor ini dikarenakan minimnya organisme yang didapat
pada site of group C. Organisme itu adalah famili Tubificidae, klas Hirudinea dan famili Thiaridae.
Walaupun kadar oksigen terlarut pada permukaan perairan masih relatif besar (3,9 ppm) namun
diperkirakan kadar oksigen di dasar perairan sudah mencapai level kritis ditambah pula kadar
bahan organik sudah sangat melewati batas kapasitas bioremediasi. Kadar Ammonia berkisar dari
0,284 ppm 0,701 ppm.
Pada site of group D berklasifikasi perairan yang kotor berat. Nilai ASPTnya adalah 4.
Organisme yang ditemukan dalam site ini beberapa menyumbangkan nilai ASPT yang sangat
rendah seperti klas Oligochaeta, famili Thiaridae dan klas dekapoda. Organisme ini menyenangi
berada pada perairan yang mengandung bahan organik tinggi dan menurut (Quigley, 1977)
merupakan indikator perairan yang tercemar bahan organik.
Site of group terakhir (E) termasuk perairan kotor berat karena nilai ASPTnya 4.
Organisme yang ditemukan hampir sama dengan yang ditemukan pada site D. Site ini berada
pada pemukiman padat penduduk yang memanfaatkan perairan sungai Jangkok sebagai tempat
sampah mengalir padahal selain itu airnya juga digunakan pula sebagai sarana mandi cuci kakus
(MCK). Masukan bahan organik yang melebihi kapasitas bioremediasi perairan bisa menyebabkan
terbentuknya bahan-bahan atau senyawa antara yang biasanya berbahaya dengan jumlahnya
yang melimpah di perairan. Kadar Ammonia yang didapat 0,499 0,572 ppm.
Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan
Dari hasil analisa data yang diperoleh, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai
berikut:
Dari 5 stasiun pengamatan pada sungai Jangkok ini didasarkan komunitas
makroinvertebrata bentik dengan menggunakan program computer TWINSPAN dapat
diklasifikasikan menjadi 5 site of group (A, B, C, D, E).
Site of group A dan B ditemukan makroinvertebrata bentik dari Famili
Ecdyonuridae, Leptoplebiidae dan Caenidae yang menyenangi dasar perairan berbatu dan
berarus cepat.
Site of group C, D dan E mempunyai makroinvertebrata bentik dari famili
Thiaridae, klas hirudinea dan klas oligochaeta yang merupakan indikator perairan yang
telah tercemar bahan organik.
Status perairan sungai Jangkok yang ditentukan dengan menggunakan Indeks
BMWP pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
- Site of group A dan B berstatus perairan kotor sedang yang nilai ASPTnya berkisar
5 7.
- Site of group C, D dan E memiliki status perairan kotor berat dengan nilai ASPT
berkisar 3 4.
Saran
Dari hasil penelitian ini dapat disarankan hal-hal sebagai berikut:
- Menjadikan Sungai Jangkok pada bagian hulu sebagai daerah lindung yang
pemanfaatanya sangat terbatas sehingga masukan bahan organic hanya dari perairan itu
sendiri dan memperhatikan tata guna lahan yang sesuai dengan fungsinya sebagai daerah
tangkapan air hujan.
- Menjadikan sungai Jangkok pada bagian tengah (site of group B, D dan E)
sebagai daerah yang dikonservasi namun harus dijaga jangan sampai ada masukan
bahan organic yang melebihi batas kapasitas bioremediasi perairan itu.
- Melakukan rehabilitasi bagian hilir sungai Jangkok (site of group C) sehingga
penumpukkan bahan organic pada bagian akhir sungai ini tidak terus terjadi.
- Menerapkan secara tegas peraturan daerah untuk melindungi kelestarian badan
sungai.
Semnaskan _UGM / poster Menejemen Sumberdaya Perikanan (MS-13) - 7
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan 16 Juli 2011
Ucapan Terima Kasih
Terima kasih pada DIRJEN DIKTI Kementerian Pendidikan Nasional atas bantuan dana
penelitian melalui DIPA penelitian dosen muda tahun anggaran 2007.
Daftar Pustaka
Peeters, E.T.H.M and Glystra, R.1997. Manual on TWINSPAN. Departemen ogf Water Quality
Management and Aquatic Ecology. Agricultural University Wageningen, The Netherlands. 1-
37.
Sudaryanti, S. 1995a. Benthic Invertebrates. Workshop on Efforts Towards Increasing The self
Purification of Brantas River. Faculty of Fisheries Universitas Brawijaya. Malang. 1-13.
-------------. 1997. Prosiding Pelatihan Strategi Pemantauan Kualitas Air Sungai Secara Biologis.
Buku II. Fakultas Perikanan Universitas Brawijaya. Malang. 1-95.
Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-14) - 1
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
IDENTIFIKASI FAKTOR-FAKTOR YANG BERPERAN DALAM
PENGELOLAAN SUMBERDAYA KERANG TOTOK (Polymesoda erosa)
DI KAWASAN SEGARA ANAKAN KABUPATEN CILACAP
PROVINSI JAWA TENGAH
Bonifacius Arbanto
1)
, Jusup Suprijanto
2)
, Sutrisno Anggoro
2)
email : bonifacius.arbanto@yahoo.fratauboni_diver@yahoo.com
Magister Manajemen Sumber Daya Pantai, Fakultas Perikanan dan Ilmu kelautan, Universitas
Diponegoro
Abstrak
Segara Anakan merupakan sebuah laguna yang terletak disebelah utara Pulau Nusa Kambangan
dan merupakan kawasan hutan mangrove terluas di Pulau Jawa. Kawasan hutan mangrove
Segara Anakan merupakan tempat hidup berbagai biota dan salah satunya adalah Polymesoda
erosa atau masyarakat Cilacap menyebutnya dengan nama kerang totok.P.erosamerupakan salah
satu sumberdaya yang memiliki nilai ekonomis dan tingkat nutrisi yang tinggi. Jumlah dan ukuran
P.erosa semakin lama semakin turun akibat adanya tekanan lingkungan dan belum adanya
pengelolaan yang benar. Tujuan utamapenelitian ini adalah melakukan identifikasi faktor-faktor
internal dan eksternal yang berperan dalam pengelolaan sumberdaya P.erosadi Kawasan Segara
Anakan Kabupaten Cilacap Provinsi Jawa Tengah. Metode penelitian yang digunakan adalah
deskriptif. Metode pengambilan sampel purposive randome sampling dan dilakukan wawancara
dengan stakeholder yang terkait dengan pemanfaatan P.erosa yang terdiri dari nelayan pencari
kerang, pihak pemerintah, pedagang dan peneliti. Hasil penelitian menunjukan faktor-faktor yang
berperan dalam pengelolaan sumberdaya KerangTotok (P.erosa) adalah faktor intern - kekuatan :
kawasan mangrove di Kecamatan Kampung Laut merupakan habitat yang cocok untuk hidup dan
berkembang P.erosa, jumlah populasi P.erosa masih banyak, P.erosa telah diperdagangkan oleh
masyarakat sejak lama, P.erosa sudah diolah menjadi produk makanan dan sudah banyak
penelitian terkait dengan P.erosa.Faktor intern - kelemahan : Produksi masih mengandalkan
tangkapan alam, Belum adanya kelompok nelayan khusus pencari dan pengolah P.erosa, Belum
adanya regulasi pemerintah mengenai pengelolaan potensi P.erosa, Belum adanya kesepakatan
kuota pengambilan P.erosa dan belum adanya data-data resmi mengenai produksi P.erosa.Faktor
ekstern peluang : Pembuatan data base produksi P.erosa, Pembuatan peraturan daerah yang
mengatur pengelolaan P.erosa, Pembentukan kelompok nelayan khusus pencari dan pengolah
P.erosa, Pengembangan budidaya P.erosa dan Pengembangan pengolahan P.erosa. Faktor
ekstern ancaman : Tingkat sedimentasi yang tinggi, Tingkat pencemaran lingkungan, Eksploitasi
P.erosa yang tidak terkontrol, Kecenderungan perubahan fungsi lahan mangrove dan Kebijakan
pengelolaan yang tidak mendukung pengembangan P.erosa.
Kata kunci : Polymesoda erosa, pengelolaan, Segara Anakan
Pengantar
Segara Anakan merupakan sebuah laguna yang terletak disebelah utara Pulau Nusa
Kambangan, Cilacap, Provinsi Jawa Tengah. Segara Anakan sebagai sebuah ekosistem estuari
yang mendapat suplai air asin dari Samudra Indonesia melalui dua buah kanal yaitu kanal barat
dan kanal timur. Sedangkan suplai air tawar berasal dari beberapa sungai besar yang bermuara di
Segara Anakan seperti Citanduy, Cibeureum dan Ci Meneng, Ujungalang, Sapuregel dan Donan.
Keberadaan banyak aliran sungai yang bermuara di Segara Anakan membawa banyak unsur hara
yang berguna bagi mahluk hidup di didalamnya.
Tumbuhanmangrove yang ada di Segara Anakantercatat 27 spesies dimana terdiridari 13
spesies mayor, 8 spesiesminor dan 6 spesiestumbuhanasosiasi (Setyawanet.al, 2002). Salah satu
fungsi hutan mangrove yaitu tempat hidup dan berkembang biak bagi berbagai mahluk hidup.
Salah satu sumberdaya hayati kekerangan yang hidup di kawasan mangrove Segara Anakan
adalah Polymesoda erosaatau masyarakat lokal menyebutnya kerang totok. P.erosa termasuk
dalam famili Corbiculidae yangtidak hanya ditemukan di Segara Anakan saja,tetapi juga tersebar di
hutan mangrove Indo-Pasifik barat, mulai dari India sampai Vanuatu; sebelah utara sampai selatan
MS-14
2 - Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-14)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
dari kepulauan Jepang, dan sebelah selatan Queensland dan New Caledonia(Poutiers, 1998).
Untuk sebaran Polymesoda erosa di Indonesia selain Segara Anakan,jugaditemukan di Aceh,
Kalimantan, Irian dan Sulawesi (Kisto, 2009).
Pemanfaatan P.erosa sebagai sumber pangan banyak dilakukan oleh masyarakat di
benua Asia, khususnya pada negara-negara tempat habitat kerang tersebut ditemukan (Poutiers,
1998) termasukmasyarakat yang tinggal di sekitar daerah Segara Anakan, Cilacap, Jawa Tengah.
Selain dikonsumsi dan diperdagangkan oleh masyarakat sekitar Segara Anakan, kerang ini juga
dijual ke daerah Ciamis, Jawa Barat, Jakarta dan Jogjakarta. Menurut Salikun (Komunikasi pribadi,
2011) harga P.erosa yang dijual di sekitar Segara Anakan seharga Rp 10.000,00 /kg tanpa
cangkang dan Rp 5.000,00/ember dengan cangkang. Dalam satu hari (dari jam 06.00 15.00),
seorang nelayan pencari P.erosa di Segara Anakan dapat menangkap 200 kg P.erosa
(Kresnasari, 2010). Nama lokal dan harga jual P.erosa dibeberapa tempat di Indonesia berlainan
seperti kerang kepah di Kalimantan barat berkisar antara Rp 5.000,00 Rp 10.000,00 /kg (Kisto,
2009) dan kerang bulat di Bali dijual dengan harga Rp 11.500,00/kg, jika sudah diolah harganya
dapat mencapai Rp. 22.000,00 - Rp. 50.000,00/kg (Andamari, 2007 dalam Kisto, 2009)
Gambar 1.PemanfaatkerangP.erosaolehmasyarakatSegaraAnakan
Dalam kurun waktu 20 tahun terakhir di Segara Anakan telah mengalami banyak tekanan
lingkungan. Tekanan lingkungan yang disebabkan oleh manusia dan alam memperburuk kondisi
Segara Anakan.Pengelolaandaerahaliransungai (DAS) yang belumbaikdari mulai hulu sungai
sampai ke hilir menyebabkan terjadinya erosi pada badan sungai sehingga sedimen yang terbawa
oleh aliran sungai akan terendapkan di Segara Anakan dari waktu ke waktu.
Dampak tekanan lingkungan dan penangkapan P.erosa yang terus menerus tanpa adanya
pengaturan dapat menyebabkan penurun ukuran kerangyang ditangkap. Menurut Salikun
(Komunikasi pribadi, 2010) ukuran P.erosa yang ditangkap oleh nelayan secara umum mengalami
penurunan dari waktu ke waktu.P.erosa termasuk kerang dengan ukuran cukup besar dimana
kerang dewasa dapat mencapai panjang lebih dari 11 cm (Gimin et.al, 2004). Jika dilihat dari hasil
beberapa penelitian di Segara Anakan ukuran terpanjang P.erosa yang ditemukan relatif semakin
kecil dari waktu ke waktu. Hal itutampakpadabeberapapenelitiansebagaiberikut: 8,61 cm (Arbanto,
2003); 7,30 cm (Prasetya, 2007) dan 6,90 cm (Safmala, 2008). Penelitian Kresnasari (2010)
menunjukandari 3371 ekor P.erosa yang ditangkap di Segara Anakan hanya terdapat 17 ekor atau
0,5 % yang memiliki ukuran pada interval 8,14-8,37 cm sedangkan ukuran terbanyak diperoleh
pada ukuran5,74 6,33 cm. Bercermin dari hal itu perlu adanya suatu upaya pengelolaan terhadap
P.erosa.
Tujuan utama penelitian ini adalah melakukan identifikasi faktor-faktor internal dan
eksternal yang berperan dalam pengelolaan sumberdaya P.erosa di Kawasan Segara Anakan
Kabupaten Cilacap Provinsi Jawa Tengah.
Bahan dan Metode
Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-14) - 3
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Berdasarkan pada metode penelitian, kajian ini merupakan penelitian deskriptif. Arikunto
(2007) penelitian survey merupakan salah satu jenis dari penelitian deskriptif. Metode survei
sendiri merupakan suatu metode penelitian yang bertujuan mengamati secara sistematik objek
penelitian serta kejadian yang erat kaitannya dengan objek yang diteliti (Hadi, 1989). Beberapa ciri
lain dari penelitian survei adalah mencari keterangan secara factual, memperoleh fakta dari gejala
yang ada serta dilakukan terhadap sampel atau populasi.
Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret Mei 2011 di Kecamatan Kampung Laut
Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah. Kecamatan Kampung laut terdiri dari 4 Desa yaitu
Desa Klaces, Desa Ujung Alang, Desa Ujung Gagak dan Desa Panikel.
Penentuan sampel responden pada ke 4 desa dilakukan dengan cara purposive sampling
method yaitu metode yang didasarkan pada pertimbangan tertentu yang dipandang memiliki
hubungan dengan sifat populasi, sehingga diharapkan dapat mewakili daerah penelitian (Hadi,
2009). Selain itu menurut Arikunto (2007) menyebutkan bahwa purposive sampling method adalah
teknik yang digunakan oleh peneliti jika peneliti memiliki pertimbangan-pertimbangan tertentu
dalam pengambilan sampelnya.
Data responden dalam penelitian ini dikumpulkan dengan teknik wawancara dan angket.
Teknik wawancara adalah pengumpulan data dengan mengajukan pertanyaan secara langsung
oleh pewancara kepada responden dan jawaban-jawaban responden dicatatatau direkam
denganalat perekam (Soehartono, 2000).Sedangkan angket merupakan teknik pengumpulan data
dengan menyerahkan atau mengirim daftar pertanyaan untuk diisi sendiri oleh responden.
HasildanPembahasan
Berdasarkan hasil wawancara dan angket terhadap 100 responden dari 4 desa di
Kecamatan Kampung Laut maka diperoleh faktor intern dan ekstern terkait dengan pengelolaan
sumberdaya kerang totok (P.erosa) di Segara Anakan. Masyarakat Kecamatan kampong laut
memandang kekuatan dalam faktor-faktor intern yang berperan dalam pengelolaan sumberdaya
P.erosa yaitu pertama disebabkan oleh kawasan hutan mangrove disekitar Kecamatan Kampung
laut merupakan habitat yang cocok untuk hidup dan berkembangnya P.erosa. Menurut Kresnasari
(2010), terdapat korelasi yang kuat antara kerapatan mangrove dengan kepadatan P.erosa. Selain
itu wilayah Mangrove di Kecamatan Kampung Lautterutama di daerah Pulau Gombol memiliki
kisaran kualitas air yang sempit.Menurut Robertson (1988), tingginya fluktuasi suhu dan lama
penggenangan air di daerah pasang surut, dapat memicu rendahnya terbentuknya bakteri daun
sehingga laju dekomposisi akan rendah. Ditambahkan pula oleh Setyati (2000), bahwa bakteri dan
jamur akan bersama - sama mendokomposisi bahan organik. Proses dekomposisi tersebut diawali
dengan dekomposisi senyawa nitrogen, kemudian diikuti secara berturut turut oleh dekomposisi
senyawa sulfat dan senyawa karbon secara anaerob. Perbedaan komposisi kimia pada vegetasi
mangrove tidak merubah urutan reaksi tersebut, tetapi hanya mengakibatkan perbedaan
kecepatan dekomposisinya. Hal ini terkait dengan spesies mikroorganisme yang tumbuh aktif
dalam proses dekomposisi pada masing masing vegetasi mangrove. Dimana pada akhirnya
ketersediaan makanan bagi P.erosa ditempat tersebut sangat tercukupi. Faktor kekuatan kedua,
Jumlah populasi P.erosa masihbanyak. Hal ini terbukti berdasarkan hasil pengamatan dan
wawancara dengan para pencari P.erosa selalu membawa hasil tangkapan dalam jumlah banyak
setiap kali melakukan pencarian P.erosa. Sampai-sampai di kalangan pencari kerang di Desa
Ujung Alang terdapat mitos/kepercayaan bahwa setiap malam yang Maha Kuasa menanam
kerang-kerang tersebut sehingga tidak akan pernah habis walaupun diambil sebanyak apapun.
Hasil penelitian Kresnasari (2010) menunjukan ke padatan P.erosa di Pulau Gombol sebesar 47
individu/ 25 m
2
. Faktor kekuatan ketiga P.erosa telah diperdagangkan oleh masyarakat sejak lama.
Keberadaan P.erosa sudah dikonsumsi dan diperdagangkan oleh masyarakat lebih dari 10 tahun.
Sebagai suatu komoditi yang dikonsumsi dan diperdagangkan maka masyarakat yang terkait baik
langsung maupun tidak langsung dengan komoditi P.erosa jumlahnya banyak. Perdagangan
P.erosa dari Kawasan Segara Anakan tidak sebatas hanya di Cilacap saja tetapi sudah sampai ke
Ciamis, Jakarta dan Yogyakarta bahkan pernah dilakukan upaya ekspor ke luar negeri tapi belum
berjalan dengan baik karena terkendala masalah teknis. Faktor kekuatan keempat, P.erosa sudah
diolah menjadi produk makanan. Perdagangan dari P.erosa tidak terbatas pada penjualan kerang
beserta cangkang maupun kerang yang telah dikupas atau direbus saja melainkan sudah dalam
bentuk produk makanan yang diolah menjadi masakan yang diperjualbelikan dalam kehidupan
4 - Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-14)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
sehari-hari. Produko lahan berupa masakan berbentuk sate kerangtotok, Semur kerang totok,
kerang totok cabe hijau dll.
Faktor kekuatan kelima Sudah banyak penelitian terkait dengan P.erosa. Menurut Arbanto
(2010) sudah banyak peneliti yang telah mengkaji mengenai P.erosa di Segara Anakan yaitu
bidang ekologi (BCEOM, 2003), Pencemaran (Suryanti, 2010), bioekologi (Widowati et.al, 2005;
Irwani dan Suryono, 2006; Kresnasari, 2010), Fisiologi (Arbanto, 2003; Sutrisno, 2010; Maulana,
2010), Budidaya (Widowati et.al, 2006; Supriyantini et.al, 2007; Herawati, 2008). Berdasar hasil-
hasil penelitian yang ada maka dapat menjadi suatu acuan dan petunjuk bagaimana mengelola
Sumberdaya P.erosa di Segara Anakan.
Faktor-faktor yang termasuk kelemahan dalam pengelolaan sumberdaya P.erosayaitu
pertama produksi masih mengandalkan tangkapan alam. Sejauh wawancara dan pengamatan
yang dilakukan peneliti dapat dikatakan belum ada usaha budidaya dalam artian sebenarnya oleh
masyarakat Kecamatan Kampung Laut. Hanya ada satu orang responden dari Desa Klaces yang
melakukan tahap awal dari budidaya yaitu dengan menyebar kembali P.erosa yang ukurannya
terlalu kecil untuk dikonsumsi kedalam bekas kolam ikan disamping rumahnya. Setelah 2 bulan
P.erosa tersebut diambil kembali. Para nelayan pecari kerang saat ini masih merasa cukup hanya
dengan mengambil langsung di alam karena ketersediaannya yang masih mudah untuk
didapatkan. Secara tidak langsung dampak nyata yang mulai timbul dan dirasakan oleh
masyarakat yaitu ukuran kerang yang diperoleh tidak sebesar yang dulu walaupun jumlahnya
masih banyak. Faktor kelemahan kedua belum adanya kelompok nelayan khusus pencari dan
pengolah P.erosa. Dengan belum adanya kelompok nelayan yang khusus mencari kerang
menyebabkan masing-masing nelayan bekerja sendiri-sendiri dan menjualnya kepengepul atau
langsung ke masyarakat. Kondisi ini menyebabkan permasalahan-permasalahan yang ada
dikalangan nelayan pencari P.erosa tidak pernah tersampaikan dan mendapat perhatian dari
pemerintah daerah. Selain itu dengan tidak adanya kelompok nelayan pencari kerang ini,
menyebabkan tidak ada inovasi-inovasi dalam peningkatan produk olahan sehingga memiliki nilai
ekonomis yang lebih tinggi. Faktor kelemahan ketiga belum adanya regulasi pemerintah mengenai
pengelolaan potensi P.erosa. Akibat yang terjadi adalah masyarakat nelayan pencari kerang
P,erosa di Kecamatan Kampung Laut dirugikan karena banyak pencari kerang yang berasal dari
luar Segara Anakan terutama dari Jawa barat yang masuk dan melakukan eksploitasi secara
besar-besaran tanpa memperhatikan kelestarian mangrove yang ada. Selain itu harga masih
ditentukan oleh para pengepul sehingga harga jual kerang dari tingkat nelayan tidak dapat
ditingkatkan. Hal ini berdampak pada kesejahteraan nelayan pencari kerang ini. Faktor kelemahan
keempatadalah belum adanya kesepakatan kuota pengambilan P.erosa, kesepakatan kuota baik
dalam ukuran maupun jumlah. Dampak yang terjadi adalah kerang ukuran kecil panjang <3 cm
juga diambil terutama oleh nelayan pencari kerang di Desa Ujung Alang sedangkan nelayan di 3
desa lainnya sudah ada kesadaran untuk meninggalkan kerang yang memiliki ukuran kecil. Jika
kerang-kerang berukuran kecil yang masih dalam tahap pertumbuhan sudah dilakuan pengambilan
maka kelangsungan keberadaan kerang P.erosa lambat laun akan terancam. Faktor kelemahan
kelima belum adanya data-data resmi mengenai produksi P.erosa. Sampai saat ini belum ada
badan atau instansi baik pemerintah maupun swasta yang memiliki data resmi mengenai produksi
atau hasil tangkapan dari P.erosa. Meskipun P.erosasudah masuk sebagai sumber daya perikanan
yang tercantum pada buku profile kelautan dan perikanan Kabupaten Cilacap untuk wilayah
Kecamatan Kampung Laut (DKP Kab Cilacap, 2010) namun data mengenai jumlah tangkapan
P.erosa oleh nelayan tidak tercatat di DKP2KSA Kabupaten Cilacap. Menurut Riyanto, Kepala sub
bagian perencanaan DKP2KSA Kabupaten Cilacap (Komunikasi pribadi, 2010), belum ada
program khusus pengelolaan P.erosa oleh DKP2KSA Kabupaten Cilacap karenaP.erosa masih
dianggap sebagai usaha sampingan, penjualannya masih bersifat lokal belum di ekspor dan
P.erosa hanya menopang kehidupan sebagian nelayan saja.
Selain faktor intern terdapat juga faktor-faktor eksternyang berperan dalam pengelolaan
sumberdaya P.erosa. Faktor ektern yg terbagi menjadi 2 yaitu peluang dan ancaman. Peluang
dalam pengelolaan sumberdaya P.erosa yang pertama dan keduayaitupembuatan data base
produksi P.erosa dan pembuatan peraturan daerah yang mengatur pengelolaan P.erosa.
Pembuatan data base mempunyai nilai penting sebagai peluang yang harus dikembangkan karena
dengan data base yang ada maka DPRD Kabupaten Cilacap dibantu DKP2KSA Kabupaten
Cilacap dapat menghasilkan peraturan daerah yang mendukung pengelolaan P.erosasecara
berkelanjutan.Peluang ketiga pembentukan kelompok nelayan khusus pencari dan pengolah
P.erosa. Peran kelompok nelayan menjadi penting karena dengan adanya wadah khusus maka
segala permasalahan terkait dengan para nelayan P.erosa dan upaya peningkatan kesejahteraan
Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-14) - 5
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
anggotanya mendapatkan perhatian khusus. Peluang keempat pengembangan budidaya P.erosa,
suka atau tidak suka ketersediaan sumberdaya alam jika dimanfaatkan terus menerus tanpa
adanya suatu usaha pelestarian dalam hal ini dengan cara budidaya maka lama kelamaan
sumberdaya tersebut akan mencapai suatu titik over fishing. Oleh karena itu sedini mungkin perlu
adanya suatu usaha budidaya agar menjamin ketersediaan P.erosa dari generasi ke generasi.
Peluang kelima yaitu pengembangan pengolahan P.erosa. Pengolahan yang dimaksud adalah
pengolahan yang dapat meningkatkan nilai jual dari sekedar menjual P.erosa mentah atau direbus
seperti pembuatan nugget, keripik, bakso dan kerang P.erosadikemas dalam kaleng.
Faktor ekstern berupa ancaman,pertama yaitu tingkat sedimentasi yang tinggi.
Permasalahan pelik yang sudah berlangsung dari tahun-ketahun dan belum ada solusi nyata untuk
mengatasi sedimentasi di Segara Anakan termasuk kawasan mangrovedisekitar Kecamatan
Kampung laut menjadikan ancaman pula bagi kelangsungan hidup P.erosa. Ancaman nyata
perubahan dari sebuah ekosistem estuari yang mengalami pasang surut menjadi sebuah
ekosistem darat dapat mengakibatkan punahnya biota-biota yang hidup didalamnya termasuk
P.erosa. Walaupun P.erosa dapat hidup tanpa harus terendam air lebih dari 1 bulan, sangat
tidaklah mungkin jika P.erosa harus bertahan tanpa terendam air melebihi batas kemampuannya.
Pada saat terendam air P.erosa mencari makanan dan memenuhi kebutuhan nutrisi untuk proses-
proses yang menunjang kehidupannya. Selain itu pergerakan P.erosa yang sangat terbatas tidak
memungkinkan kerang ini bergerak mencari sumber air. Sehingga jika sedimentasi di Segara
Anakan tidak dapat dikendalikan sama hal dengan membiarkan P.erosa punah secara perlahan.
Ancaman kedua adalah tingkat pencemaran lingkungan. Hasil penelitian Suryanti (2010)
menyatakan bahwa kandungan logam berat Pb dalam jaringan lunak yang diambil berdasarkan
pada standar mutu kekerangan yang ditetapkan oleh DKP dan standar mutu kekerangan yang
ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Dirjen Pengawasan Obat Dan Makanan No.
03725/B/SK/VII/1989 tentang batas maksimum untuk cemaran logam dan makanan untuk ikan dan
olahannya maka hasil penelitian menunjukkan bahwa jaringan lunak P. erosa masih berada di
bawah baku mutu yang ditetapkan. Tapi jika menggunakan standar dari Badan Standarisasi
Nasional (BSN) sebagai Standar Nasional Indonesia (SNI 01-3460-1994) pada produk daging
kerang dengan kandungan Pb maksimal 0.5mg/kg maka kandungan Pb pada jaringan lunak
P.erosa sudah melebihi ambang batas. Guna mengatasi ancaman ini maka sebaiknya dilakukan
proses pembersihan terhadap logam yang terkandung dalam kerang, sehingga konsentrasi logam
dalam kerang mengalami penurunan dan pada akhirnya aman untuk dikonsumsi. Metode
penurunan kandungan logam berat dalam kerang yang dapat dilakukan adalah metode depurasi.
Depurasi merupakan suatu proses pencucian secara fisik terhadap jaringan yang telah
mengandung logam berat, metode ini dilakukan dengan memelihara kerang pada media air bersih
yang tidak terkontaminasi logam berat (Soemirat, 2003). Ancaman ketiga adalah eksploitasi
P.erosa yang tidak terkontrol, dahulu eksploitasi P.erosa didominasi oleh masyarakat Segara
Anakan sendiri tapi saat ini eksploitasi juga dilakukan oleh para nelayan dari tempat-tempat diluar
Segara Anakan bahkan nelayan yang berasal dari Jawa Barat berbondong-bondong melakukan
eksploitasi P.erosa di sekitar Kecamatan Kampung Laut. Jika hal ini tidak menjadi perhatian
pemerintah daerah maka sangat dimungkinkan untuk terancamnya keberadaan P.erosa. Ancaman
keempat adalah kecenderungan perubahan fungsi lahan mangrove, perubahan fungsi lahan
memang belum begitu besar tapi perubahan fungsi lahan mangrove menjadi tambak ikan dan
lahan untuk bercocok tanam jika tidak dikontrol dengan baik dapat menjadi suatu ancaman
terhandap habitat P.erosa. Ancaman kelima adalah kebijakan pengelolaan kawasan Segara
Anakan yang tidak mendukung pengembangan P.erosa. Kebijakan pengelolaan yang lebih
menekankan pada sumberdaya ikan dan udang dan kurang perhatian pada P.erosa menyebabkan
pengembangan P.erosa berjalan ditempat.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam upaya pengelolaan
sumberdaya kerang totok (P.erosa) yaitu :
1. Faktor intern - kekuatan : kawasan mangrove di Kecamatan Kampung Laut merupakan
habitat yang cocok untuk hidup dan berkembang P.erosa, jumlah populasi P.erosa masih
banyak, P.erosa telah diperdagangkan oleh masyarakat sejak lama, P.erosa sudah diolah
menjadi produk makanan dan Sudah banyak penelitian terkait dengan P.erosa.
6 - Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-14)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
2. Faktor intern - kelemahan : Produksi masih mengandalkan tangkapan alam, Belum adanya
kelompok nelayan khusus pencari dan pengolah P.erosa, Belum adanya regulasi pemerintah
mengenai pengelolaan potensi P.erosa, Belum adanya kesepakatan kuota pengambilan
P.erosa dan belum adanya data-data resmi mengenai produksi P.erosa.
3. Faktor ekstern peluang : Pembuatan data base produksi P.erosa, Pembuatan peraturan
daerah yang mengatur pengelolaan P.erosa, Pembentukan kelompok nelayan khusus pencari
dan pengolah P.erosa, Pengembangan budidaya P.erosa dan Pengembangan pengolahan
P.erosa.
4. Faktor ekstern ancaman : Tingkat sedimentasi yang tinggi, Tingkat pencemaran lingkungan,
Eksploitasi P.erosa yang tidak terkontrol, Kecenderungan perubahan fungsi lahan mangrove
dan Kebijakan pengelolaan yang tidak mendukung pengembangan P.erosa.
Ucapan Terima Kasih
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof.Dr.Ir. Sutrisno Anggoro, MS dan Dr. Jusup
Suprijanto, DEA selaku pembimbing Thesis dengan judul Strategi Pengelolaan Potensi
Sumberdaya Kerang Totok (Polymesoda erosa) Di Segara Anakan Kabupaten Cilacap Provinsi
Jawa Tengah. Makalah yang penulissampaikandiatasmerupakanbagiandari Thesis tersebut.
DaftarPustaka
Arbanto, B. 2003. Aspek Biologi Reproduksi Kerang Totok (Polymesoda erosa) dari Pulau Gombol
Segara Anakan, Cilacap Jawa Tengah. Skripsi. Jurusan Ilmu Kelautan. Fakultas Perikanan
dan Kelautan. Universitas Diponegoro. Semarang. 78p.
Arbanto, B. 2010.Aspek Biologi Reproduksi Kerang Totok ( Polymesoda Erosa) Dari Pulau Gombol
Segara Anakan : PerbandinganHasil penelitianTahun 2003 Dan Tahun 2010. Laporan
penelitian P3SWOT Program beasiswa unggulan BPKLN Kementerian pendidikan
nasional. 58 p
Arikunto, S. 2007. Manajemen Penelitian. Rineka Cipta. Jakarta. 516 p.
Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Cilacap. 2010. Profile Kelautan Dan Perikanan
Kabupaten Cilacap. Pemerintah Kabupaten Cilacap Dinas Kelautan Dan Perikanan. 48 p.
Gimin, R; R.Mohan; L.V.Thinh; and A.D.Griffiths. 2004. The Relationship of Dimension and Shell
Volume to Live Weight and Soft Tissue Weight in The Mangrove Clam, Polymesoda erosa
(Solander, 1786) From Notherm Australia. NAGA.Worldfish Centre Quarterly. 27 (3) : 32-
35.
Hadi, S. 1989. Metodologi Research untuk Penulisan Paper, Skripsi, Thesis dan Disertasi. Andi
Offset. Yogyakarta. 87 p.
Kisto. 2009. Potensi Kerang Bakau (Polymesoda erosa) dan Peluang Pengembangannya di
Perairan Bontang Kalimantan Timur. Tesis. Magister Manajemen Sumberdaya Pantai.
Universitas Diponengoro. Semarang. 189 p.
Kresnasari, D. 2010. Analisis Bioekologi : Sebaran Ukuran Kerang Totok (P.erosa) Di Segara
Anakan Cilacap. Tesis. Magister Manajemen Sumberdaya Pantai. Universitas
Diponengoro. Semarang. 183 p.
Prasetya, JD. 2007. Tingkat Bioakumulasi Logam Berat Pb (Timbal) Pada Jaringan Lunak Kerang
Totok (Polymesoda erosa). Skripsi. Jurusan Ilmu Kelautan. Fakultas Perikanan dan
Kelautan. Universitas Diponegoro. Semarang. 106p.
Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-14) - 7
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Poutiers, J.M. 1998. Bivalves. In : Carpenter, K.E. and Niem, V.H. 1988. The Living Marine
Resources of The Western Central Pacific. Vol I. Seaweed, Corals, Bivalves and
Gastropods, FAO The UN Roma. Pp : 123 358.
Robertson, A. I. 1989. Leaf-burying Crabs : Their Influence on Energy Flow and Export From Mixed
Mangrove Forest (Rhizophora spp.) in Northeastern Australia. J. Exp. Mar. Biol. Ecol.
Vol 102 : 237 -248
Suryanti, A. 2010. Bioakumulasi Logam Berat Pb Dan Cd Serta Reproduksi Kerang Totok
(Polymesoda Erosa) Di Segara Anakan Cilacap. Tesis. Magister Manajemen Sumber
Daya Pantai. Universitas Diponegoro. Semarang. 166 p.
Safmala, N. 2007. Bioakumulasi Logam Berat Timbal (Pb) pada Kerang Totok (Geloina sp.) dan
Ikan Belanak (Mugil sp.) di Segara Anakan Cilacap. Skripsi. 79p.
Setyawan, A.D, A. Susilowati dan Wiryanto. 2002. Habitat Reliks Vegetasi Mangrove di Pantai
Selatan Jawa. Biodiversitas 3 (2) : 242-256.
Setyati, W. A. 2000. Suksesi Populasi Mikroorganisme Selama Proses Dekomposisi Serasah Daun
Rhizophora stylosa dan Avicennia alba Dalam Lingkungan Mangrove di Desa Semat
Jepara. Majalah Ilmu Kelautan. Vol 19 (V) : 187 195
Soehartono, I. 2000. Metode Penelitian Sosial : Suatu Teknik Penelitian Bidang Kesejateraan
Sosial dan Ilmu Sosial lainnya. Remaja Rosda karya. Bandung 103 p.
Soemirat, J. 2003 ToksikilogiLingkungan. Gajah Mada University Press.Yogyakarta.
Poutiers, J.M. 1998. Bivalves. In : Carpenter, K.E. and Niem, V.H. 1988. The Living Marine
Resources of The Western Central Pacific. Vol I. Seaweed, Corals, Bivalves and
Gastropods, FAO The UN Roma. Pp : 123 358.
Prasetya, J.D., Widowati, I. Suprijanto, J., 2007. Tingkat Bioakumulasi Logam Berat Pb (Timbal)
pada Jaringan Lunak P. erosa. Prosiding Seminar Nasional Tahunan IV Hasil - Hasil
PenelitianPerikanandanKelautan.http://www.faperta.ugm.ac.id/semnaskanprosiding2007.p
hp. Diakses Tanggal 19 November 2009.
Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-15) - 1
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
KARAKTERISTIK ESTUARI SUNGAI MUSI
DITINJAU DARI BEBERAPA SIFAT FISIKA KIMIA DAN
BIOLOGI PERAIRAN
Siswanta Kaban
Balai Riset Perikanan Perairan Umum, Palembang
Email : wanta_kaban@yahoo.com
ABSTRAK
Penelitian mengenai karateristik estuari sungai musi dilakukan pada tahun tahun 2010, seperti
halnya sifat fisika-kimia dan beberapa biologi perairan digunakan sebagai indikator untuk
mengetahui karateristik estuari Sungai Musi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa estuari Sungai
Musi merupakan hal yang unik. Beberapa parameter fisika kimia yang penting diperhatikan adalah
temperatur, TSS, pH, Bahan Organik, dan Salinitas merupakan pendukung yang sangat baik untuk
melihat parameter untuk menjaga keunikan estuari sungai Musi. Estuari Sungai Musi masi
dikategorikan sebagai tempat yang baik untuk pengelolaan perikanan dengan melihat kondisi
perairan seperti halnya pH berkisar antara 6,0 7,5 dan oksigen berkisar antara 3,6 8,0 ppm dan
Kelimpahan fitoplankton yang cukup tinggi yang berkisar antara 1500 cell/l 55000 cell/l, hal ini
menunjukkan masih kaya akan nutrien yang baik untuk habitat beberapa jenis ikan.
Kata kunci : Estuari , kualitas air, biologi perairan, Sungai Musi
Pendahuluan
Pada dasarnya proses yang terjadi di muara merupakaan percampuran 2 sumber air yaitu
air tawar dan air laut. Percampuran yang terjadi akan berbeda kasusnya pada suatu lokasi dengan
lokasi yang lain, hal tersebut disebabkan: i) Lebar sempitnya sungai, ii) Kecepatan dan arah arus,
iii) Elevasi dan topografi dasar perairan, iv) Bentuk geografi pantai, v) Pendayagunaan sungai atau
pantai sekitar. Beberapa kriteria tersebut satu dengan yang lain akan ikut menentukan bentuk dan
pengaruh percampuran serta stratifikasi habitat muara yang nantinya akan ikut mempengaruhi
(Pringgosaputro, et al (2001). Sifat percampuran ini memberikan pengertian akan saling
berinteraksinya beberapa hidrolisis air tawar maupun laut, sehingga menyebabkan suatu sifat
khusus yang dimiliki lingkungan ini atau dikenal dengan daerah penjebak zat hara (nutrient trap).
Dari sudut pandang efek biotik, percampuran yang terjadi jelas akan menjadikannya sebagai suatu
lingkungan spesifik yang berbeda dengan lingkungan aslinya yaitu sungai dan laut. Dengan
fluktuasi yang demikian ini, selain berpengaruh pada kadar biota penyusunnya juga akan
menyebabkan kespesifikan biota penyusunnya.
Gambaran dominan lingkungan estuary ialah berfluktuasinya salinitas. Secara definitif,
suatu gradien salinitas akan tampak pada suatu saat tertentu, tetapi pola gradien bervariasi
tergantung pada musim, topografi estuary, pasang surut dan jumlah air tawar (Nybakken, 1992).
Kebanyakan estuary didominasi oleh substrat berlumpur, yang seringkali sangat lunak. Substrat
lumpur ini berasal dari sedimen yang dibawa ke dalam estuary baik oleh air laut maupun air tawar.
Ketika partikel tersuspensi ini mencapai dan bercampur dengan air laut di estuary, kehadiran
berbagai ion yang berasal dari air laut menyebabkan partikel lumpur menggumpal, membentuk
partikel yang lebih besar dan lebih berat serta mengendap membentuk dasar lumpur yang khas.
Air laut juga mengangkut cukup banyak materi tersuspensi. Ketika air laut ini masuk ke estuary
kondisi terlindung mengurangi gerakan air yang selama ini bertanggung jawab mempertahankan
berbagai partikel dalam suspensi. Akibatnya partikel mengendap dan berperan dalam
pembentukan substrat lumpur atau pasir.
Peran relatif partikel yang dibawa oleh air tawar atau air laut terhadap pembentukan
substrat lumpur tidaklah sama dari satu estuary ke estuary lainnya dan juga bergantung pada letak
geografisnya (Nybakken, 1992). Dalam hal ini dilakukan penelitian mengenai karakteristik estuari
berdasarkan sifat fisika kimia dan beberapa sifat biologi untuk kawasan estuari sungai musi
mengingat bahwa kawasan estuari sungai musi khususnya karena memiliki peranan yang sangat
besar bagi masyarakat pesisir Sumatera Selatan karena sebagai tempat mencari nafkah bagi
ratusan kepala keluarga nelayan.
MS-15
2 - Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-15)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Metodologi Penelitian
Penelitian di lakukan diestuari sungai musi pada tahun 2010 dilakukan dengan metode
observasi (survey lapangan) pada 7 stasiun pengambilan contoh yang mewakili perairan estuari di
Sungai Musi. Penentuan stasiun pengambilan contoh dilakukan dengan pendekatan tujuan tertentu
(purpossive sampling) yang berdasarkan adanya perbedaan mikro habitat (Gambar 1).
Gambar 1. Lokasi pengambilan sampel di estuari Sungai Musi
Pengambilan sampel air di diambil 1 meter diatas permukaan air dengan menggunakan
water kemmerer sampler, pada masing-masing stasiun akan dilakukan pengambilan contoh fisiko-
kimia dan biologi perairan dengan metode dan alat tertera pada Tabel 1.
Tabel 1. Parameter Kualitas Air dan Sedimen yang Diamati Selama Penelitian.
No. Parameter Peralatan Metode
Fisika
1. Suhu Termometer Visual
2. Salinitas Refraktometer Visual
3. Total suspended solids Gravimetrik
4. Kecerahan Secchi Disk Visual
Kimia
1. pH pH-meter Elektronik
2. Oksigen terlarut Elektronik
3. Alkalinitas Titrimetrik
4. Total dissolved solids Gravimetrik
5. Total fosfat Spektophotometer
7. Nitrat Spektophotometer
No. Parameter Peralatan Metode
Biologi
1. Plankton Plankton-net Mikroskopik
2. Bentos Ekman Grab Mikroskopik
Hasil dan Pembahasan
Suhu
Suhu yang diukur hanya dipermukaan perairan saja (+ 30 cm dari permukaan) dengan
menggunakan termometer. Kondisi suhu permukaan perairan bervariasi dari musim ke musim,
akan tetapi suhu tidak banyak berbeda menurut perubahan kedalaman. Kisaran suhu perairan di
Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-15) - 3
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
estuaria sungai Musi pasa`saat penelitian berkisar antara 27 -34.2 C. Pada saat bulan Februari,
suhu permukaan estuary sungai Musi berkisar 2729 C, pada bulan Juni suhu berkisar antara 29-
31.5C, sedangkan pada bulan Oktober suhu berkisar 29.1-34.2 C (Gambar 2).
Gambar 2. Kisaran suhu pada setiap lokasi penelitian
Kecerahan
Kecerahan dan kekeruhan merupakan parameter yang saling berkaitan. Parameter-
parameter ini merupakan indikator produktifitas perairan sehubungan dengan proses fotosintesis
dan proses respirasi biota perairan. Tingkat kecerahan dan kekeruhan di lokasi penelitian
bervariasi tergantung pada arus saat pasang surut dan jarak dari muara sungai. Saat arus pasang
surut kuat biasanya kekeruhan perairan akan semakin tinggi sedangkan pada saat arus melemah
biasanya kekeruhan akan berkurang. Di muara sungai kekeruhan akan semakin tinggi karena
terjadinya pertemuan arus yang menyebabkan substrat dasar akan naik keatas (turbulance).
Adanya turbulance ini menyebabkan kandungan padatang tersuspensi akan meningkat. Hasil
pengukuran kecerahan selama penelitian diperoleh nilai kecerahan berkisar 17-55 cm, dimana
stasiun yang memiliki kecerahan yang rendah adalah Tanjung Buyut dan tertinggi di Tanjung Api-
api
Total Suspended Solid (TSS)
Hasil pengukuran TSS di lokasi penelitian diperoleh nilai TSS pada bulan Februari berkisar
36-167 ppm, bulan Juni berkisar 32-122 ppm dan bulan Oktober berkisar 268 mg/l (Gambar 4).
Tingginya nilai TSS di sungai ini akibat banyak partikel tanah yang digelontorkan air dari wilayah
hulu sungai dan terjadi penumpukan dibagian hilir. Namun demikian nilai ini masih di bawah
ambang baku mutu untuk budidaya perikanan sekitar 400 ppm.
29
28 28
27.5
27
27.5
28
29
30
30.4
29.9
30.8
31.4
30.5
30 29.8
33.5
34.2
29.1
29.7
31.6
0
5
10
15
20
25
30
35
40
U
p
a
n
g
P
.
P
a
y
u
n
g
T
j.
B
u
y
u
t
T
j.
C
a
r
a
t
M
a
.
B
a
n
y
u
a
s
i
n
T
j.
A
p
i-
a
p
i
T
j.
S
e
r
e
h
Stasiun Penelitian
N
i
l
a
i
S
u
h
u
(
o
C
)
Februari
Juni
Oktober
4 - Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-15)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Gambar 4. Nilai TSS di stasiun penelitian
Salinitas
Pada bulan Februari nilai salinitas air lebih rendah dibandingkan dengan bulan Juni dan
Oktober (Gambar 8). Rendahnya nilai salinitas ini diduga karena pada bulan Februari merupakan
musim hujan sehingga ekosistem estuary lebih didominasi air tawar. Sedangkan pada bulan Juni
dan Oktober merupakan musim kemarau sehingga pengaruh air tawar sangat kecil. Hal ini dapat
kita lihat salinitas dapat mencapai 18 permil.
Gambar 5. Kisaran Salinitas di Estuary Sungai Musi
Derajat Keasaman (pH)
Nilai pH pada setiap stasiun pengamatan pada bulan Februari berkisar antara 6.8-7, pada
bulan Juni berikisar antara 6.5-7.5 dan bulan Oktober 7.1-8. Nilai pH pada setiap stasiun berada
pada kisaran netral hingga basa. Nilai pH yang relatif tinggi dijumpai pada bulan Oktober terutama
di Tanjung Buyut yang memiliki pH 8. Nilai pH yang relatif tinggi tersebut menunjukkan bahwa
kehadiran dari beberapa kation Ca
2+
, Mg
2+
, Na
+
, NH
4
+
dan Fe
2+
yang umumnya dapat bersenyawa
dengan anion bikarbonat. Hal ini disebabkan oleh pengaruh air laut yang memiliki pH dan
kapasitas penyangga (buffer capacity) nyang tinggi dan geologi tanah disekitarnya.
167
37
50
44
36
40
96
122
71
38
32
63
101
122
193
48
55
25
113
45
54
0
50
100
150
200
250
U
p
a
n
g
P
.
P
a
y
u
n
g
T
j.
B
u
y
u
t
T
j.
C
a
r
a
t
M
a
.
B
a
n
y
u
a
s
i
n
T
j.
A
p
i-
a
p
i
T
j.
S
e
r
e
h
Stasiun Penelitian
N
i
l
a
i
T
S
S
(
p
p
m
)
Februari
Juni
Oktober
0.3
1.2
0.4
0.0
1.2
0.2
0 0
2
3
18
11
5
0.5
2
10
15
10
7
18
0.0
2.0
4.0
6.0
8.0
10.0
12.0
14.0
16.0
18.0
20.0
U
p
a
n
g
P
.P
a
y
u
n
g
T
j.B
u
y
u
t
T
j.
C
a
r
a
t
M
a
.
B
a
n
y
u
a
s
in
T
j.
A
p
i-
a
p
i
T
j.
S
e
re
h
Stasiun Penelitian
S
a
l
i
n
i
t
a
s
(
p
e
r
m
i
l
)
Februari
Juni
Oktober
Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-15) - 5
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Gambar 6. Nilai pH masing-masing stasiun di estuaria sungai Musi.
Total Disolved Solid
Total disolved solid merupakan partikel-partikel bahan organik yang terlarut didalam
perairan dan ukurannya sangat kecil (mikroskopis). Hasil pengukuran nilai TDS dilokasi penelitian
berkisar antara 80-1.570 ppm. Nilai yang terendah ditemukan di pulau Payung dan tertinggi
ditemukan di Tanjung Carat. TDS didalam perairan sangat mempengaruhi kehidupan ikan didalam
perairan karena jika nilai TDS melebihi baku mutu lingkungan dapat mempengaruhi repirasi dan
pertumbuhan ikan didalam perairan.
Total Alkalinitas
Hasil pengukuran alkalinitas di estuaria sungai Musi sebesar 6-11.5 ppm, nilai ini sama
dengan nilai alkalinitas di perairan rawa banjiran DAS Musi yaitu sebesar 5-12 ppm. Berdasarkan
nilai ini maka estuaria sungai Musi memiliki kesuburan yang lebih baik jika dibandingkan dengan
daerah rawa banjiran Sungai Musi. Nilai alkalinitas ini mempunyai korelasi yang erat dengan
kesuburan perairan dan sumberdaya ikan di estuaria sungai Musi karena perairan ini memiliki
sumberdaya ikan yang cukup besar.
Oksigen Terlarut (DO)
Hasil pengukuran konsentrasi oksigen terlarut untuk masing-masing stasiun pada bulan
Februari berkisar antara 4.9-9.7 mg/l, pada bulan Juni berkisar 4.1-8.6 mg/l, sedangkan pada bulan
Oktober berkisar 6.2-8.8 mg/l. Jika dilihat dari nilai oksigen terlarut pada masing-masing lokasi,
rata-rata nilai oksigen terlarut berada < 4 mg/l. Nilai ini berada dibawah ambang baku mutu air laut
untuk budidaya perikanan yaitu > 4 mg/l.
Gambar 7. Oksigen terlarut pada masing-masing stasiun.
7
6.8
7 6.9 7
6.8 6.8
6.5 6.5
7
7.5 7.4
7 7.1
7.2
8
7.7
7.6
7.4
7.1
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
U
p
a
n
g
P
.P
a
y
u
n
g
T
j.
B
u
y
u
t
T
j.
C
a
r
a
t
M
a
.
B
a
n
y
u
a
s
i
n
T
j
.
A
p
i-
a
p
i
T
j.
S
e
r
e
h
Stasiun Penelitian
N
i
l
a
i
p
H
Februari
Juni
Oktober
4.9
5.1
7.4
9.7
8.2 8.1
6.5
8.6
6.8
8.1
4.1
7.4
6.2
6.4
8.8
6.16
7.12
6.8
7.13
6.3
7.1
0
2
4
6
8
10
12
U
p
a
n
g
P
.
P
a
y
u
n
g
T
j.
B
u
y
u
t
T
j.
C
a
r
a
t
M
a
.
B
a
n
y
u
a
s
in
T
j.
A
p
i
-
a
p
i
T
j
.
S
e
r
e
h
Stasiun Penelitian
O
k
s
i
g
e
n
(
p
p
m
)
Februari
Juni
Oktober
6 - Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-15)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Total Phosphat
Kandungan Total Phosphat didalam perairan 0.02-0.15 mg/l pada bulan Februari, 0.09-
0.32 mg/l pada bulan Juni dan 0.22-1.01 mg/l pada bulan Oktober. Secara keseluruhan rata-rata
kandungan posfat yang tertinggi dijumpai pada bulan Oktober dibandingkan bulan Februari dan
Juni. Kandungan total Phosphat yang tertinggi dijumpai pada bulan Oktober di stasiun Muara
Banyuasin (1.01 mg/l). Tingginya nilai total Posfat diduga berasal dari buangan penduduk dan
lahan perkebunan yang menggunakan pupuk. Pada Gambar 8 dapat dilihat nilai total Posfat
masing-masing stasiun penelitian berbeda-beda dan selalu mengalami perubahan setiap waktu.
Kadar fosfat lebih besar dari 0,201 ppm tergolong perairan yang memiliki tingkat kesuburan yang
sangat baik sedangkan perairan dengan kadar fosfat kurang dari 0,010 ppm tergolong perairan
dengan tingkat kesuburan rendah (Alaerts, 1984). Sedangkan menurut SEPA (1991) dalam
Sulastri (2004) untuk parameter TP > 0,05 mg/l termasuk kategori perairan yang sangat kaya
nutrien. Jika dilihat dari kadar fosfat pada setiap stasiun tergolong pada kategori perairan sedang
hingga subur.
Gambar 8. Nilai total posfat masing-masing stasiun di estuary sungai Musi
Total N
Nitrogen merupakan salah satu unsur penting bagi pertumbuhan organisme dan
pembentukan protein. Di perairan Nitrogen terdapat dalam bentuk gas N
2
, Nitrit (N-NO
2
-
), Nitrat (N-
NO
3
-
) dan amonia (N-NH
3
) (Adriman, 1995). Hasil pengukuran Total nitrat didalam perairan berisar
antara 0.17-0.39 mg/l pada bulan Februari, 0.36-0.63 mg/l pada bulan Juni dan 0.6-2.0 mg/l pada
bulan Oktober (Gambar 9).
Gambar 9. Total N pada masing-masing Stasiun.
0.15
0.11
0.07
0.06
0.02
0.04
0.09
0.17
0.09
0.21
0.32
0.25
0.28
0.21
0.42
0.71
0.81
0.32
1.01
0.51
0.22
0.00
0.20
0.40
0.60
0.80
1.00
1.20
U
p
a
n
g
P
.P
a
y
u
n
g
T
j.B
u
y
u
t
T
j.
C
a
r
a
t
M
a
.
B
a
n
y
u
a
s
in
T
j.
A
p
i-
a
p
i
T
j.
S
e
r
e
h
Stasiun Penelitian
N
i
l
a
i
P
o
s
f
a
t
(
p
p
m
)
Februari
Juni
Oktober
0.38
0.26
0.17
0.36
0.23
0.34
0.39
0.36
0.56
0.49
0.59
0.53
0.41
0.63
0.6
1.3
0.9
1.3 1.3
0.9
2.0
0.00
0.50
1.00
1.50
2.00
2.50
U
p
a
n
g
P
.
P
a
y
u
n
g
T
j.B
u
y
u
t
T
j.
C
a
r
a
t
M
a
.
B
a
n
y
u
a
s
i n
T
j.
A
p
i-
a
p
i
T
j.
S
e
r
e
h
Stasiun Penelitian
N
i
l
a
i
T
N
(
p
p
m
)
Februari
Juni
Oktober
Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-15) - 7
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Fitoplaknton
Hasil pengukuruan menunjukkan bahwa fitoplankton di estuari sungai musi di dominasi
dari kelompok Chlorophyceae (31%) dan Bacillariophyceae (69 %). Nilai kelimpahan total
fitoplankton pada masing-masing lokasi diperoleh nilai kelimpahan pada bulan Februari berkisar
antara 1500-23600 cell/l, bulan Juni berkisar antara 6300-55000 cell/l dan bulan Oktober berkisar
3900-39700 cell/l . Hasil pengkuruan menunjukkan bahwa kelimpahan tertinggi ditemukan pada
Muara Banyuasin.
Makrozoobentos
Benthos merupakan kelompok hewan yang hidup didasar perairan. Hewan benthos
mempunyai arti penting dalam rantai makanan di ekosistem perairan karena berperan sebagai
dekomposer dan konsumen pertama. Tingginya keragaman benthos dalam suatu peraian tidak
terlepas dari tingginya nutrien yang dihasilkan dari atau sekitar perairan tersebut. Dari hasil
pengukuran dan perhitungan Kelimpahan bentos, dimana kelimpahan yang dijumpai pada stasiun
Muara Banyuasin
Kesimpulan
1. Estuari Sungai Musi mempunyai karateristik yang unik, dengan tingkat salinitas yang relatif
rendah
2. Muara banyuasin dicirikan dengan salinitas yang tinggi dibandingkan dengan muara upang
dan muara sungsang
3. Kualitas Perairan masih cukup baik jika ditinjau dari beberapa parameter fisika kimia dan
biologi perairan.
Ucapan Terima Kasih
Ucapan terima kasih kepada Proyek SPICE di Instansi Balai Riset Perikanan Perairan
Umum Palembang serta anggota tim riset yang sangat membantu dalam pelaksanaan dan
pengumpulan data ini.
Daftar Pustaka
Alaerts, G dan S. S Santika. 1984. Metode Penelitian Air. Usaha Nasional. Surabaya.
APHA, AWWA & WE, 2005. Standar Methods for Examination of Water & Wastewater. 21
st
Edition,
American Public Health Associattion 800 I Steet, NW Washington DC, page :4-108 4-
149.
Boyd, C.E. 1979. Water Quality in Warmwater fishponds. Auburn University, Departement of
Fisheries and Alied Aquaculture. First Edition, Alabama, USA. 359 p.
Efenddi, MI. 1979. Metode Biologi Perikanan. Yayasan Dewi Sri, Bogor.
Gaffar, A. K. Rupawan, K. Fattah. M. Jahri dan B. Waro. 2006. Riset Perikanan Tangkap Di
Perairan Estuary yang Bermuara Di Selat Bangka. Laporan Teknis. Balai Riset Perikanan
Perairan Umum. Pusat Riset Perikanan Tangkapan. Departemen Kelautan dan Perikanan
RI.
Nybakken, J.W. 1992. Biologi Laut: suatu pendekatan ekologis. Alih bahasa H. Muh. Eidman dkk.
Penerbit Gramedia. Jakarta.
Sparre, P., S. C. Venema. 1999. Introduksi Pengkajian Stok Ikan Tropis. Buku 1 : Manual.
Diterbitkan Berdasarkan Kerjasama Dengan Organisasi Pangan dan Pertanian
Perserikatan Bangsa-Bangsa Oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta- Indonesia.
8 - Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-15)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Sulastri, 2004. Pengembangan Sistem Konservasi Biota Muara Untuk Pemanfaatan Secara Lestari
Sumberdaya Pesisir dan Laut. Pusat Penelitian Limnologi Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia. 70 hal.
Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-16) - 1
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
PENDUGAAN DISTRIBUSI KELIMPAHAN IKAN DI ZONA LITTORAL
WADUK IR. H DJUANDA DENGAN PENDEKATAN HIDROAKUSTIK
Chairulwan Umar
*)1
dan Zulkarnaen Fahmi
*)2
Puslit Pengembangan Pengelolaan dan Konservasi Sumberdaya Ikan (P4KSDI)
Badan Litbang Kementerian Kelautan dan Perikanan
Jl. Pasir Putih I, Ancol Timur Jakarta
Telp : 021-64711940
e-mail :iwan_prpt@indo.net.id
Abstrak
Karakteristik jenis ikan di perairan umum menyenangi perairan dangkal yang kaya unsur hara,
oksigen terlarut dan vegetasi perairan sebagai habitat perkembangbiakan ikan.Zona littoral di
waduk Ir. Djuanda tercatat memiliki keanekaragaman jenis ikan yang tinggi yang dimanfaatkan
oleh nelayan. Penelitian pendugaan stok ikan di zona littoral waduk Ir. Djuanda dilaksanakan pada
bulan maret 2011 menggunakan echosounder simrad 120 kHz dengan pulse duration 0.1 ms.
Analisis data dilakukan untuk memperoleh nilai rerata Sv (backscattering volume) ikan baik secara
vertikal maupun horizontal. Hasil yang diperoleh nilai Sv minimum ikan sebesar -76.02 dB dan nilai
Sv maksimum ikan sebesar -43.21 dB.Sedangkan nilai rerata Sv ikan di waduk Ir. Djuanda sebesar
-55.52 dB.Distribusi vertikal ikan banyak terdapat di kedalaman 5-10 meter dengan distribusi stok
ikan secara horizontal banyak terdapat di sekitar KJA yang menyediakan pakan yang disukai oleh
ikan yang hidup secara alami di waduk Ir. Djuanda.
Kata kunci : stok ikan, zona littoral, volume backscattering strength, hidroakustik
Pendahuluan
Ekosistem perairan umum daratan (inland water) secara umum terbagi atas 2 tipe perairan
yaitu perairan lentik (danau, waduk, dan kolam) dan perairan lotik (parit, kali, dan sungai).
Perairan lentik memiliki karakteristik yaitu kecepatan arus yang lambat serta terjadi akumulasi
massa air dalam periode waktu yang lama, sedangkan perairan lotik umunya mempunyai
kecepatan arus yang tinggi disertai perpindahan massa air yang berlangsung dengan cepat
(Barus, 2004).Perairan lentik berdasarkan karakteristik penetrasi cahaya matahari terbagi atas 3
zona yaitu zona littoral, limnetik dan profundal. Keanekaragaman biota akuatik seperti ikan dan
plankton banyak terdapat di zona littoral dan limnetik karena ketersediaan fitoplankton dan oksigen
terlarut sebagai indikator produktivitas suatu perairan (Nontji,2005).
Waduk Ir. H Djuanda memiliki tercatat memiliki luas maksimum 8.300 ha dengan luas zona
limnetik sekitar 56-86% dan sisanya zona littoral. Zona limnetik tersebut kaya akan plankton
namun miskin akan jenis ikan pemakan plankton (Kartamihardja, 2007). Jenis ikan dominan yang
terdapat di waduk Ir. D. Djuanda yaitu ikan bandeng (Chanos chanos), nila (Oreochromis niloticus),
oskar(Amphilophus citrinellus), dan kongo (Parachromis managuensis).Kajian mengenai
produktivitas ikan di zona littoral sangat sedikit dilakukan karena batas daerah antara zona limnetik
dan littoral sulit ditentukan yang dipengaruhi oleh variasi harian akibat pola musim dan penetrasi
cahaya matahari.
Karakteristik utama ikan perairan umum yaitu menyukai badan perairan yang memiliki
ketersediaan unsur hara dan oksigen terlarut yang tinggi.Pemanfaatan sumberdaya ikan di zona
littoral banyak dilakukan oleh nelayan setempat sebagai sumber mata pencaharian maupun
sebagai rekreasi / wisata air. Dalam upaya pengelolaan sumberdaya perikanan sebagai mana
diamanatkan dalam UU No 31 Tahun 2009 tentang Perikanan, maka diperlukan data dan informasi
tentang kondisi stok ikan di suatu perairan. Survey akustik menggunakan echosounder kuantitatif
telah umum digunakan untuk menduga kelimpahan dan biomass ikan untuk menyediakan data dan
informasi bagi pengelolaan sumberdaya perikanan (Simmonds dan MacLennan, 2005).Aplikasi
hidroakustik untuk menduga stok ikan dapat memberikan data dan informasi mengenai kepadatan
ikan, kedalaman dan topografi dasar perairan (Wijopriono et al., 2006).
Makalah ini akan menyajikan hasil penelitian pengkajian stok ikan di waduk Ir. H. Djuanda
menggunakan instrumen hidroakustik sehingga dapat memperoleh data dan informasi kuantitatif
MS-16
2 - Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian
mengenai kelimpahan stok ikan secara spasial, sehingga diharapkan akan bermanfaat dalam
perumusan kebijakan pengelolaan dan pelestarian sumberdaya ikan di perairan umum Indonesia.
Bahan dan Metode
Penentuan kondisi stok sumberdaya dilakukan dengan metode
menggunakan alat Scientific Echosounder Simrad EY
kHz dan durasi pulsa 0,128 ms . Data direkam dengan (TVG) 20 lo
ER-60 yang dijalankan pada komputer.
angle dipasang vertikal 0.75 m di bawah permukaan air.
Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan kapal nelayan dengan perangkat
akustik dipasang 'Temporary Hull Mounted System
jalur transek meliputi zona littoral waduk Ir. H. Djuanda
akustik terbagi atas 12 titik dengan jarak sekitar 0.25
Gambar 1. Desain dan Lokasi Penelitian
Data yang tersimpan dalam bentuk
Echoviewdengan metode echo integrasi
sebaran backscattering volume (Sv)
lanjut untuk memperoleh nilai densitas ikan secara spasial dan melihat sejauhmana korelasi antara
parameter yang didapat serta hubungannya dengan posisi ikan dalam kolo
Nilai backscattering volume (Sv)
menggunakan rumus:
Sv
TS

Sv =
TS =

sv
=
c =
=
R =jarak target ikan (m)
Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-16)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16
mengenai kelimpahan stok ikan secara spasial, sehingga diharapkan akan bermanfaat dalam
perumusan kebijakan pengelolaan dan pelestarian sumberdaya ikan di perairan umum Indonesia.
Penentuan kondisi stok sumberdaya dilakukan dengan metode longitudinal transek
menggunakan alat Scientific Echosounder Simrad EY-60 split beam beroperasi pada frekuensi 120
kHz dan durasi pulsa 0,128 ms . Data direkam dengan (TVG) 20 log R ke dalam perangkat lunak
60 yang dijalankan pada komputer. Tranduser model ES 120-7C yang memiliki
di bawah permukaan air.
Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan kapal nelayan dengan perangkat
Temporary Hull Mounted System', dengan kecepatan kapal 5
zona littoral waduk Ir. H. Djuanda. Luas daerah yang disurvey dengan alat
titik dengan jarak sekitar 0.25 0.50km untuk setiap leg (Gambar 1).
Gambar 1. Desain dan Lokasi Penelitian
Data yang tersimpan dalam bentuk echogramdianalisa dengan menggunakan
integrasi .Analisa data akustik yang dilakukan mencakup analisa
backscattering volume (Sv) dantarget strength (TS). Data yang diperoleh dianalisa lebih
lanjut untuk memperoleh nilai densitas ikan secara spasial dan melihat sejauhmana korelasi antara
parameter yang didapat serta hubungannya dengan posisi ikan dalam kolom air.
backscattering volume (Sv) dantarget strength (TS) yang diperoleh dihitung dengan
Sv = 10 log
sv
TS = Sv + 10 log (c/2) + 20 log R
= /
= backscattering volume (dB)
= target strength (dB)
= backscattering volume strength
= kec suara di kolom air (m/s)
=pulse duration (ms)
=jarak target ikan (m)
16 Juli 2011
mengenai kelimpahan stok ikan secara spasial, sehingga diharapkan akan bermanfaat dalam
perumusan kebijakan pengelolaan dan pelestarian sumberdaya ikan di perairan umum Indonesia.
longitudinal transek yang
60 split beam beroperasi pada frekuensi 120
g R ke dalam perangkat lunak
7C yang memiliki 7
0
beam
Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan kapal nelayan dengan perangkat
', dengan kecepatan kapal 5 - 6 knot dengan
. Luas daerah yang disurvey dengan alat
ntuk setiap leg (Gambar 1).
dengan menggunakan dongle
nalisa data akustik yang dilakukan mencakup analisa
Data yang diperoleh dianalisa lebih
lanjut untuk memperoleh nilai densitas ikan secara spasial dan melihat sejauhmana korelasi antara
yang diperoleh dihitung dengan
(1)
(2)
(3)
Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-16) - 3
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
= Nilai rerata backscattering volume (dB)
= Nilai rerata target strength (dB)
Hasil dan Pembahasan
Backscattering Volume (Sv)
Backscattering Volume didefinisikan sebagai rasio antara intensitas yang direfleksikan oleh
suatu grup target ikan tunggal dimana target berada pada volume air tertentu (m
3
). Jika kawanan
ikan dikenai pancaran beam gelombang akustik, nilai Svyang diperoleh akan menggambarkan
densitas dari suatu gerombolan (schooling) atau kawanan (shoaling) ikan yang sebenarnya (Kang,
2002).
Nilai Backscattering Volume di zona littoral waduk Ir. H. Djuanda diperoleh dengan hasil
ekstrasi setiap 1000 ping untuk melihat variasi nilai Sv baik secara vertikal maupun horizontal.Nilai
Sv ikan secara vertikal dari 1-5 meter pada posisi A berkisar antara -75.28 dB s.d -67.10 dB. Nilai
rerata Sv pada lokasi A adalah -70.59 dB. Nilai Sv pada posisi B diperoleh nilai rentang Sv antara -
75.10 dB s.d -62.53 dB dengan nilai rerata Sv sebesar -66.25 dB. Nilai Sv pada posisi C diperoleh
rerata sebesar -67.43 dB dengan rentang nilai Sv antara -75.52 dB s.d -62.65 dB. Pada posisi D, E
dan J nilai rerata Sv masing-masing sebesar -66.97 dB , -66.73 dB dan -69.74 dB dengan rentang
nilai Sv -75.38 dB s.d -61.96 dB.
Hasil yang berbeda diperoleh pada lokasi lainnya dimana pada posisi F nilai rerata Sv
diperoleh sebesar -48.82 dB dengan rentang nilai Sv -66.79 dB s.d -47.68 dB. Nilai Sv pada posisi
G diperoleh nilai rerata sebesar -56.49 dB dengan rentang nilai Sv sebesar -59.67 dB s.d -53.31
dB. Nilai Sv pada posisi H dan I memiliki nilai rerata Sv yang tidak berbeda secara signifikan yaitu
masing-masing sebesar -62.88 dB dan -63.28 dB dengan interval nilai Sv -69.91 dB s.d -53.31 dB.
Begitupula pada posisi K dan L memberikan nilai rerata Sv yang hampir sama sebesar -56.06 dB
dan -55.12 dB dengan nilai interval Sv -72.40 dB s.d -51.36 dB.Secara keseluruhan distribusi
normal nilai Sv ikan di zona littoral Waduk Ir. Djuanda memiliki nilai Sv minimum ikan sebesar -
76.02 dB dan nilai Sv maksimum ikan sebesar -43.21 dB. Sedangkan nilai rerata Sv ikan di waduk
Ir. Djuanda sebesar -55.52 dB (Gambar 2).
Gambar 2. Distribusi frekuensi nilai Sv di zona littoral Waduk Ir. H. Djuanda
Analisa secara spasial dilihat dari nilai rataan Sv pada setiap hasil integrasi yang diwakili
oleh 12 titik lokasi diperoleh nilai kesamaan bahwa di daerah zona littoral sebelah utara memiliki
nilai Sv yang lebih rendah dibandingkan dengan di bagian selatan kecuali di lokasi J. Hal ini dapat
dijelaskan bahwa pada lokasi J nilai Sv ikan rendah diduga karena banyak terdapat aktivitas
4 - Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-16)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
transportasi air (dermaga) sehingga ikan cenderung menghindari daerah yang banyak terdapat
aktivitas manusia. Nilai Sv tertinggi diperoleh pada lokasi F dengan topografi membentuk tanjung
kecil, hal ini diduga pola aliran air di daerah tersebut memberikan ketersediaan unsur hara
sebagai sumber pakan alami ikan selain ketersedian oksigen terlarut.
.
Target strength (TS)
Target strength adalah nisbah ration energi yang di pancarkan oleh instrumen hidroakustik
dengan energi yang dipantulkan oleh objek di kolom air.Target strength merupakan parameter
akustik yang penting dalam pendugaan biomass ikan di suatu perairan. Nilai target strength yang
diperoleh dapat diubah menjadi satuan kelimpahan ikan secara spasial melalui suatu hubungan
panjang berat ikan untuk menduga biomass sumberdaya ikan secara akurat.
Hasil analisis lanjutan nilai Sv, diperoleh nilai TS ikan tunggal yang terdapat di zona littoral
waduk Ir. H. Djuanda.Nilai TSdengan hasil ekstrasi yang samasetiap 1000 ping diperoleh nilai TS
ikan secara vertikal dari 1-5 meter pada posisi A berkisar antara -84.69 dB s.d -75.43 dB. Nilai
rerataTS pada lokasi Adiperoleh sebesar -79.37 dB. Nilai TS pada posisi B diperoleh nilai rentang
TS antara -87.53 dB s.d 67.95 dB dengan nilai rerata TS sebesar -73.87 dB. Nilai Sv pada posisi
C diperoleh rerata sebesar -72.93 dB dengan rentang nilai TS antara -87.95 dB s.d -66.64 dB.
Pada posisi D, E dan J nilai rerataTS masing-masing sebesar -72.47 dB , -72.35 dB dan 83.22 dB
dengan rentang nilai TS -88.46 dB s.d -60.66 dB.
Hasil yang berbeda diperoleh pada lokasi lainnya dimana pada posisi F nilai rerataTS
diperoleh sebesar -65.66 dB dengan rentang nilai TS -75.54 dB s.d -60.66 dB. Nilai TS pada posisi
G diperoleh nilai rerata sebesar -73.78 dB dengan rentang nilai TS sebesar -76.87 dB s.d -71.20
dB. Beda nilai target strength ikan sampai 3 dB menunjukkan perbedaan ukuran ikan secara
signifikan baik dalam satu kelompok umur maupun jenis ikan. Hal ini ditunjukkan hasil ekstrasi
nilai TS pada posisi H dan I memiliki nilai rerataTS yang berbeda secara signifikan ( 3 dB) yaitu
masing-masing sebesar -79.16 dB dan -76.88 dB dengan interval nilai TS88.46 dB s.d -74.11 dB.
Sedangkan pada posisi K dan L memberikan nilai rerataTS yang hampir sama sebesar -70.06 dB
dan -72.26 dB dengan nilai interval TS -76.39 dB s.d -67.71 dB. Secara keseluruhan distribusi
normal nilai TS ikan di zona littoral Waduk Ir. Djuanda memiliki nilai TS minimum ikan sebesar -
88.46 dB dan nilai TS maksimum ikan sebesar -60.66 dB. Sedangkan nilai rerata TS ikan di waduk
Ir. Djuanda sebesar -72.17 dB (Gambar 3).
Gambar 3. Distribusi frekuensi nilai TS di zona littoral Waduk Ir. H. Djuanda
Analisa secara spasial nilai TS yang diperoleh sebaran nilai TS pada zona littoral waduk Ir. H
Djuanda tidak menunjukkan perbedaan kuantitas yang nyata baik pada nilai TS maksimum dan
minimum. Menurut Frouzova et.al (2010) pola nilai target strength yang diperlihatkan seperti pada
Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-16) - 5
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Gambar 3 menunjukkan jenis ikan pada zona littoral waduk Ir. H. Djuanda didominasi oleh jenis
ikan yang memiliki gelembung renang dengan tipe 2 ruangan ( 2 chamber). Contoh ikan yang
memiliki tipe jenis gelembung renang seperti ini biasanya pada family Cyprinidae seperti ikan mas
(Cyprinus carpio).Nilai rerata TS pada setiap lokasi yang memiliki nilai TS < 60 dB menunjukkan
jenis ikan yang menghuni daerah littoral adalah kelompok ikan dengan ukuran panjang yang kecil
(ikan kecil/juvenile). Hal ini memperkuat asumsi bahwa ikan di perairan danau menjadikan zona
littoral sebagai daerah untuk berkembang biak (nursery ground) maupun mencari makan (feeding
ground).
Densitas ikan
Nilai densitas ikan menunjukkan kepadatan ikan dalam suatu satuan area maupun satuan
volume. Nilai densitas ikan yang diperoleh dalam penelitian ini disajikan dalam satuan kepadatan
ikan dalam satuan volume (ekor/m3). Densitas ikan pada zona littoral waduk Ir. H. Djuanda
berkisar antara 4 ekor/m3 s.d 9 ekor/m3 dengan nilai rerata densitas volume ikan sebesar 7.2
ekor/m3 (Gambar 4).
Gambar 3. Distribusi frekuensi nilai densitas volume ikan di zona littoral Waduk Ir. H. Djuanda
Analisa spasial densitas ikan pada 12 lokasi diperoleh nilai variasi densitas hanya terjadi
secara vertikal dimana densitas volume ikan yang tinggi terdapat pada kedalaman 5-10 meter.
Sedangkan pada kedalaman di atas 5 meter, densitas ikan cenderung tidak berbeda. Pengambilan
data yang dilakukan pada siang hari turut menentukan variasi nilai densitas ikan. Penetrasi sinar
matahari pada siang hari akan menentukan lapisan yang optimal terjadinya proses fotosintesis
fitoplankton di perairan yang merupakan sumber pakan ikan herbivora. Selain itu suhu air pada
siang hari menentukan pula tingkat oksigen terlarut, dimana ikan cenderung lebih berada di dasar
perairan karena suhu yang lebih rendah dibandingkan di permukaan. Variasi densitas ikan secara
horizontal tidak terlihat di zona littoral waduk Ir. H. Djuanda, hal ini dikarenakan kondisi cuaca yang
cerah sehingga ikan cenderung bergerak lebih menyebar (disperse), sehingga tidak terdeteksi ikan
dalam bentuk kawanan (shoaling).
Untuk penentuan seberapa besar nilai biomass pada suatu perairan terdapat beberapa
metode, yaitu (1) diperlukannya suatu nilai rujukan hubungan target strength yang terukur dengan
instrumen hidroakustik dengan data pengukuran panjang berat ikan di daerah tersebut. Bila tidak
tersedia data hubungan panjang berat, (2) maka dapat digunakan formula rumus konversi nilai
target strength ke dalam satuan biomass dengan menggunakan formula yang telah ada dengan
persyaratan menggunakan referensi penggunaan frekuensi yang sama dan jenis ikan yang
memiliki karakteristik yang mendekati (kesamaan genus, family, tipe gelembung renang dll).
Hasil penelitian ini tidak melakukan pendugaan kelimpahan ikan sampai dalam satuan
biomass karena jumlah sampel data dan daerah penelitian yang tidak mewakili seluruh waduk Ir.
6 - Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-16)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
H. Djuanda. Namun hasil penelitian ini dapat menjadi dasar untuk pengkajian secara mendalam
mengenai variasi migrasi vertikal maupun horizontal komunitas ikan di zona littoral dan limnetik.
Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan
Hasil penelitian mengenai kajian kelimpahan ikan berdasarkan pendekatan nilai hidroakustik di
zona littoral waduk Ir. H. Djuanda diperoleh nilai rerata Sv ikan sebesar -55.52 dB. Nilai target
strength ikan tunggal diperoleh nilai rerata sebesar -72.17 dB yang diduga didominasi oleh
kelompok ikan kecil/juvenile atau kelompok ikan yang memiliki gelembung renang tipe 2 ruangan
(2 chamber). Sedangkan nilai densitas volume ikan diperoleh nilai rerata sebesar 7.2 ekor/m3.
Saran
Hasil penelitian ini masih memerlukan tahapan penelitian selanjutnya mengenai
pengukuran parameter akustik untuk jenis-jenis ikan secara mendetail sehingga dapat memberikan
data dan informasi lebih mendalam dalam pengkajian stok di perairan umum Indonesia.
Daftar Pustaka
Barus, T.A, 2004. Pengantar Limnologi: Studi Tentang Ekosistem Air Daratan. USU Press, Medan.
Frouza, J.K, J. Kubecka, T. Mrkvicka. 2011. Differences In Acoustic Target Strength Pattern
Between Fish With One And Two Chambered Swimbladder During Rotation In The
Horizontal Plane. Fisheries Research. 109:114-118.
Kang, M. 2002. Effective and Accurate Use of Difference in Mean Volume Backscattering Strength
to Identify Fish and Plankton. ICES Journal of Marine Science, 59 : 794 804.
Kartamihardja, E.S. 2007.Spektra Ukuran Biomass Plankton dan Potensi Pemanfaatannya bagi
Komunitas Ikan di Zona Limnetik Waduk Ir. H. Djuanda, Jawa Barat. Makalah Disertasi.
Tidak Dipublikasikan. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Nontji, A. 2005. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan, Jakarta, 367 hal.
Simmonds, E.J. and D.N. MacLennan. 2005. Fisheries Acoustic : Theory and Practice 2
nd
ed.
Blackwell Science Ltd. 437 p.
Wijopriono, M. Natsir, A. Slotte and A. Priatna. 2006. Spatial Distribution and Shoaling Behaviour of
Fishery Resources in the waters off western coast of Aceh : preliminary results from the
post tsunami expedition 2005. Indonesian Fisheries Research Journal 12 : 15-25.
.
Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-17) - 1
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
KOMPOSISI DAN KELIMPAHAN ZOOPLANKTON
DI DANAU TOWUTI, SULAWESI SELATAN
Danu Wijaya
1
) dan Samuel
2
)
1
) Balai Riset Pemulihan Sumber Daya Ikan
Jl. Cilalawi No. 1, Jatiluhur, Purwakarta
e-mail : van_danoe@yahoo.com
2
) Balai Riset Perikanan Perairan Umum
Jl. Beringin No.8, Mariana, Palembang
Abstrak
Danau Towuti merupakan salah satu danau yang terdapat pada Kompleks Danau Malili yang
berada di Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Danau Towuti merupakan danau kedua
terluas di Indonesia setelah Danau Toba. Zooplankton yang bersifat herbivora akan memakan
fitoplankton secara langsung, sedangkan golongan karnivora akan memanfaatkannya secara tidak
langsung yaitu dengan memakan golongan herbivora atau karnivora lain. Ketergantungan
zooplankton pada fitoplankton dalam melengkapi bahan-bahan organik menunjukkan suatu
hubungan yang kompleks dimana dapat dibentuk sebuah rantai makanan atau yang lebih dikenal
sebagai foodweb. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui komposisi dan kelimpahan
zooplankton di Danau Towuti. Pengamatan dilakukan pada bulan Februari, Juni dan Agustus 2008.
Dalam peneitian ini ditentukan enam stasiun yang mewakili kondisi perairan Danau Towuti.
Pengambilan contoh dilakukan dengan menggunakan plankton net ukuran mesh No. 25. Dari hasil
pengamatan didapatkan 8 (delapan) kelas zooplankton yang terdiri dari 11 jenis zooplankton. Tiga
kelas memiliki 2 jenis zooplankton dan 5 kelas lainnya masing-masing hanya memiliki 1 jenis
zooplankton. Kelimpahan zooplankton pada lokasi penelitian di Danau Towuti berkisar antara 0-31
ind/L.
Kata kunci : komposisi, kelimpahan, zooplankton, Danau Towuti.
Pengantar
Pulau Sulawesi termasuk dalam kawasan Wallacea dimana merupakan daerah peralihan
antara zoogeografi Oriental dan Australia (Whitten et.al, 1987). Kondisi tersebut menjadikan
Sulawesi banyak terdapat jenis fauna yang endemik dan banyak menarik perhatian kalangan
peneliti biologi.
Danau Towuti merupakan salah satu danau yang terdapat pada Kompleks Danau Malili
yang berada di Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Danau Towuti merupakan danau kedua
terluas di Indonesia setelah Danau Toba dan danau terluas diantara kelima danau yang terdapat
di Kompleks Danau Malili (PRPT, 2005). Danau Towuti memliki luasan mencapai 560 km
2
,
kedalaman maksimum 203 m, ketinggian dari permukaan laut 293 m, dan transparansi sedalam
22 m (Fernando dalam Haffner et al., 2001).
Plankton, baik fitoplanton maupun zooplankton mempunyai peranan penting dalam dalam
suatu ekosistem. Zooplankton merupakan plankton yang bersifat hewani, sangat beraneka ragam
dan terdiri dari bermacam larva dan bentuk dewasa yang mewakili hampir seluruh filum hewan
(Nybakken, 1992). Nontji (2002) juga mengemukakan bahwa zooplankton terdiri dari sangat
banyak jenis hewan, ukurannya lebih besar dari fitoplankton. Meskipun jumlah jenis dan
kepadatan zooplankton lebih rendah daripada fitoplankton, zooplankton membentuk kelompok
lebih beraneka ragam. Setidak-tidaknya ada sembilan filum yang mewakili kelompok zooplankton
ini dan ukurannya sangat beragam. Sebagian hidup sebagai meroplankton dan sebagian lagi
sebagai holoplankton (Romimohtarto & Juwana, 2001).
Zooplankton yang bersifat herbivora akan memakan fitoplankton secara langsung,
sedangkan golongan karnivora akan memanfaatkannya secara tidak langsung yaitu dengan
memakan golongan herbivora atau karnivora lain. Ketergantungan zooplankton pada fitoplankton
dalam melengkapi bahan-bahan organik menunjukkan suatu hubungan yang kompleks dimana
dapat dibentuk sebuah rantai makanan atau yang lebih dikenal sebagai foodweb (Hutabarat,
2000).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui komposisi dan kelimpahan zooplankton serta
kualitas perairan di Danau Towuti.
MS-17
2 - Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-17)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Bahan dan Metode
Pengambilan sampel dilakukan pada bulan Februari, Juni dan Agustus 2009. Stasiun
pengambilan sampel ditentukan secara purposive dengan kriteria yang dapat mewakili lingkungan
perairan Danau Towuti. Stasiun yang ditentukan adalah outlet, beau, inlet, tanjung bakara,
lengkona dan pulau loeha (Gambar 1).
Gambar 1. Stasiun penelitian di Danau Towuti
Sampel plankton diambil dengan menggunakan water sampler dan disaring dengan
planktonnet No.25. Sampel yang tersaring diawetkan dengan lugol dan dianalisa di laboratorium
dengan menggunakan mikroskop dan Sedgewick rafter. Buku identifikasi menggunakan Mizuno
(1979). Analisa data plankton meliputi perhitungan kelimpahan individu (KI), keanekaragaman (H),
dan dominansi (D).
Data yang diperoleh selanjutnya dianalisa dengan menggunakan beberapa pendekatan
yaitu antara lain :
1. Kelimpahan plankton (Fachrul, 2007)
|
.
|

\
|

|
.
|

\
|
=
Vs Vo
Vr
n N
1
N : jumlah individu per liter
ns : jumlah individu plankton yang diamati
Vr : Volume air tersaring (ml)
Vo : volume air yang diamati (pada Sedgewick Rafter) (ml)
Vs : volume air yang disaring (L)
2. Indeks Keanekaragaman/Shannon (H)
Indeks keanekaragaman adalah indeks yang menunjukkan tingkat keanekaragaman jenis
organisme yang ada dalam suatu komunitas (Odum, 1998).

=
=
s
n
pi pi H
1
ln '
s = jumlah organisme
ni = jumlah individu dari jenis ke-i
N = jumlah total individu
Keterangan :
1. Outlet
2. Beau
4. Tanjung Bakara
5. Lengkona
6. Pulau Loeha
Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-17) - 3
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
pi =
N
ni
3. Indeks Dominansi (C) (Odum, 1998)
( )
2

=
N
ni
C
ni = jumlah individu dari jenis ke-i
N = jumlah total individu
Parameter kualitas air yang diamati meliputi temperatur air, kecerahan, pH, oksigen
terlarut (O
2
), karbondioksida bebas (CO
2
), nitrat (NO
3
) dan fosfat (PO
4
).
Hasil dan Pembahasan
Kondisi perairan di Danau Towuti selama penelitian masih tergolong baik bagi kehidupan
organisme. Parameter kualitas perairan pada Danau Towuti disajikan pada Tabel 1.Organisme
akuatik memiliki kisaran suhu tertentu (batas atas dan bawah) yang disukai bagi pertumbuhannya.
Pada keadaan iklim yang normal, variasi suhu permukaan tahunan dapat berkisar antara 26-31
0
C. Bila terjadi perubahan suhu secara tiba-tiba dapat menyebabkan kematian secara langsung
sebab plankton sangat dibatasi oleh daya gerak yang relatif sangat kecil (Wiadnyana & Wagey,
2004). Temperatur perairan yang didapatkan berkisar 27,12-30
0
C (Tabel 3.) dan kisaran suhu
tersebut masih dalam toleransi kehidupan organisme.
Fitoplankton tersedia cukup baik sebagai makanan zooplankton jika cahaya matahari
cukup untuk fotosintesa. Kecerahan di Danau Towuti berkisar 6-17 m. Hal ini menunjukkan
penetrasi cahaya matahari masih cukup baik. pH pada stasiun penelitian berkisar antara 6,97-8,44.
Sebagian besar organisme air sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH sekitar 7-8,5
(Effendi, 2003).
Oksigen merupakan parameter paling berpengaruh pada danau dan sungai disamping air
itu sendiri. Oksigen terlarut dalam air sangat penting untuk metabolisme semua organisme air
(Wetzel, 2001). Kadar oksigen terlarut pada lokasi penelitian berkisar 5,80-7,63 mg/L. Kadar
oksigen terlarut pada perairan alami biasanya kurang dari 10 mg/L (McNeely et al., 1979). Sumber
oksigen terlarut dapat berasal dari difusi oksigen yang terdapat di atmosfer (sekitar 35%) dan
aktivitas fotosintesis oleh tumbuhan air dan fitoplankton (Novotny & Olem, 1994).
Karbondioksida bebas pada lokasi penelitian berkisar 0-<1 mg/L (Tabel 3.). Kadar
karbondioksida bebas sebesar 10 mg/L masih dapat ditolerir oleh organisme air, asal disertai
dengan kadar oksigen yang cukup. Sebagian besar organisme akuatik masih dapat bertahan hidup
hingga kadar karbondioksida bebas mencapai sebesar 60 mg/L (Boyd, 1988).
Tabel 1. Kualitas perairan Danau Towuti
Parameter Stasiun
Juni 2008 1 2 3 4 5 6
Temperatur (
o
C) 29.5 29.6 29.2 30 29.77 29.97
Kecerahan (m) 13.5 14 14 9 17 14
pH 6.97 8.02 8.84 8.44 8.14 8.25
O
2
-terlarut (mg/L) 6.64 6.52 6.52 5.92 6.37 6.05
CO
2
-bebas (mg/L) 0 0 0 0 0 0
NO
3
(mg/L) 0.002 0.003 0.003 0.003 0.002 0.002
PO
4
(mg/L) 0.05 0.01 0.01 0.18 0.17 0.11
Juni 2008 1 2 3 4 5 6
Temperatur (
o
C) 28.67 28.65 27.49 28.27 28.12 27.95
Kecerahan (m) 12.5 17 6 10 19 11
pH 7.89 8 7.68 8.11 8.27 8.17
O
2
-terlarut (mg/L) 7.14 6.38 5.80 5.80 7.63 6.08
4 - Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-17)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
CO
2
-bebas (mg/L) 0 0 0 0 0 0
NO
3
(mg/L) 0.003 0.002 0.004 0.003 0.003 0.002
PO
4
(mg/L) 0.05 0.01 0.03 0.14 0.18 0.16
Agustus 2008 1 2 3 4 5 6
Temperatur (
o
C) 28.10 28.08 27.28 27.31 27.12 27.70
Kecerahan (m) 12.00 13.00 13.00 10.50 10.00 12.00
pH 7.38 7.35 7.15 7.45 7.33 7.25
O
2
-terlarut (mg/L) 6.74 6.64 7.53 6.48 7.58 6.30
CO
2
-bebas (mg/L) < 1.0 < 1.0 1.76 1.76 < 1.0 < 1.0
NO
3
(mg/L) 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01
PO
4
(mg/L) 0.05 0.01 0.04 0.03 0.08 0.06
Keterangan : 1. Outlet; 2. Beau; 3. Inlet; 4. Tanjung Bakara; 5. Lengkona; 6. Pulau Loeha
Kadar nitrat pada perairan alami hampir tidak pernah lebih dari 0,1 mg/L (Davis &
Cornwell, 1991). Nitrat tidak bersifat toksik terhadap organisme air (Davis & Cornwell, 1991;
Mason, 1993). Nitrat dapat digunakan untuk mengelompokkan tingkat kesuburan perairan.
Perairan oligotrofik memiliki kadar nitrat (NO
3
) antar 0 - 1 mg/L (Volenweider, 1969 dalam Wetzel,
2001). Kandungan nitrat (NO
3
) perairan Danau Towuti berkisar 0,002-0,01 mg/L dan menunjukkan
bahwa Danau Towuti tergolong perairan oligotrofik. Kadar fosfat (PO
4
) pada perairan alami jarang
melebihi 0,1 mg/L (Boyd, 1988). Berdasarkan kadar fosfat (PO
4
), perairan yang memiliki kadar
fosfat (PO
4
) 0,003 0,01 mg/L (Volenweider, 1969 dalam Wetzel, 2001). Kadar fosfat (PO
4
) pada
Danau Towuti berkisar 0,01-0,18 mg/L dan menunjukkan bahwa Danau Towuti tergolong perairan
oligotrofik.
Kelimpahan zooplankton pada bulan Februari berkisar antara 0 25 ind/L, Juni 3 25
ind/L dan pada bulan Agustus 0 31 ind/L. Kelimpahan zooplankton ini cukup merata pada setiap
ulangan. Kelimpahan zooplankton ini tergolong cukup rendah. Hal ini diduga karena tipe perairan
Danau Towuti tergolong dalam perairan yang oligotrofik. Menurut Welch (1952), suatu perairan
oligotrofik ditandai dengan kuantitas plankton yang rendah yaitu kurang dari 2000 sel/L dengan
jumlah jenis yang sedikit. Perairan oligotrofik (tak subur) merupakan perairan dengan produktivitas
primer dan biomassa yang rendah, namun cenderung jenuh dengan oksigen (Effendi, 2003).
Komposisi jenis zooplankton yang ditemukan di Danau Towuti selama penelitian dapat
dilihat pada Tabel 2. Zooplankton yang didapatkan terdiri dari 11 jenis dari 8 kelas. Kedelapan
kelas itu terdiri dari kelas Mastigophora (2 jenis), Sarcodina (1 jenis), Ciliata (1 jenis), Copepoda (1
jenis), Crustacea (2 jenis) dan Protozoa (2 jenis). Dari beberapa kelas tersebut nampak tidak
terjadi dominansi jumlah jenis pada kelas tertentu (Gambar 2.).
Tabel 2. Komposisi dan kelimpahan (ind/L) zooplankton di Danau Towuti
.
Organisme
Kelimpahan Individu per Stasiun (ind/L)
1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6
Februari 2008 Juni 2008 Agustus 2008
Mastigophora
Euglena sp. 3 - - - - - - 6 - - - - 3 - - - - -
Peridinium sp. 3 - 3 3 - 3 - - - - -
1
3 - - - - - -
Sarcodina
Actinophrys sp. 9 - 3 3 6 9 3 - - 3 - - - - - - - -
Ciliata
Oxytricha sp. - - - 3 - - - - - - - - - - - - - -
Copepoda
Cyclops sp. 6 - 3 3 - 6 6 1 - 3 - 3 - - 3 1 1 -
Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-17) - 5
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
3 1 3 6
Crustacea
Nauplius sp. 3 - - - 3 3 - 3 - - 6 - - - - - - 3
Notholca sp. - - 3 - - - - - - - - - - - - - - -
Protozoa
Difflugia sp. - - - - - - - - 3 - 3 3 - - - - - -
Phacus sp. - - - - - - - - - 3 - - - - - - - -
Rotifera
Synchaeta sp. - - - - - - - 3 - - - - - - - - - -
Trachelomonas
Trachelomonas
sp. - - - - - - - - - 6 9 - - - - - - -
Jumlah
2
5 0
1
3
1
3 9
2
2 9
2
5 3
1
6
1
9
1
9 3 0
3
1
1
3
1
6 3
Keterangan : 1. Outlet; 2. Beau; 3. Inlet; 4. Tanjung Bakara; 5. Lengkona; 6. Pulau Loeha
Dari sudut ekologi, hanya satu golongan zooplankton yang sangat penting artinya, yaitu
Copepoda. Copepoda ini sangat penting artinya bagi ekosistem karena merupakan herbivora
primer. Dengan demikian, Copepoda berperasn sebagai mata rantai yang sangat penting antara
produsen primer fitoplankton dengan para karnivora besar dan kecil (Nybakken, 1992). Dari data
penelitian menunjukkan bahwa Copepoda dibandingkan dengan yang lain merupakan golongan
zooplankton yang ditemukan pada paling banyak stasiun penelitian. Beberapa spesies dari
Copepoda bereproduksi sepanjang tahun, sebagian lainnya hanya pada waktu tertentu (Wetzel,
2001).
Pada lokasi penelitian ditemukan dua jenis protozoa. Protozoa merupakan organisme
aerobik, namun banyak protozoa yang dapat tumbuh dengan baik meskipun konsentrasi oksigen
rendah (Bragg, 1960). Ada empat jenis protozoa bercilia yang dapat terdistribusi secara berbeda
secara vertikal pada suatu Danau produktif (Finlay, 1990).
Rotifera merupakan kelas terbesar dari filum Aschelminthes dan jelas berasal dari air
tawar, hanya dua genera penting dan sedikit jenis hidup di laut. Sekitar tigaperempat rotifera
bersifat sesil dan terkait dengan substrat litoral. Sekitar 100 jenis sepenuhnya bersifat planktonik
namun membentuk komponen penting dari zooplankton. Rotifera memiliki berbagai macam variasi
morfologi dan adaptasi (Wetzel, 2001). Rotifera di lokasi penelitian hanya ditemukan satu jenis dan
jumlahnya pun sangat sedikit
.
Gambar 2. Persentase jumlah jenis zooplankton di Danau Towuti
Indeks Keanekaragaman (H) dan Indeks Dominansi (C) merupakan indeks yang biasa
digunakan untuk mengetahui kestabilan komunitas biota suatu perairan. Indeks Keanekaragaman
(H) dari seluruh stasiun pengamatan berkisar antara 0 1,45. Nilai tersebut menunjukkan bahwa
Mastigoph
ora
19%
Sarcodina
9%
Ciliata
9%
Copepoda
9%
Crustacea
18%
Protozoa
18%
Rotifera
9%
Trachelom
onas
9%
6 - Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-17)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
komunitas organisme dalam kondisi yang kurang beragam. Hal ini diduga karena volume air pada
Danau Towuti memiliki fluktuasi tergantung musim. Selain kurang beragam, jumlah individu per
jenisnya juga termasuk kecil. Pada stasiun yang memiliki nilai indeks keanekaragaman nol
menunjukkkan stasiun tersebut hanya ditemukan satu jenis zooplankton.
Menurut Fernando (1994), zooplankton pada perairan tawar beriklim tropis tidak memiliki
keanekaragaman yang lebih baik daripada zooplankton pada perairan beriklim sedang.Hal ini
diduga karena zooplankton tropis keberadaannya sangat tergantung dari sungai terpencil dan
habitat sementara. Meskipun pada danau yang berusia tua, keanekaragaman zooplankton yang
rendah kemungkinan telah diatur oleh predasi ikan yang efektif sepanjang tahun.
Tabel 3. Indeks keanekaragaman (H) dan dominansi (C).
Stasiun
H' C
Feb-08 Jun-08 Aug-08 Feb-08 Jun-08 Aug-08
1 1.45 0.62 0 0.25 0.60 1
2 - 1.21 - - 0.34 -
3 1.37 0 0 0.23 1 1
4 1.37 1.32 0 0.23 0.27 1
5 0.62 1.01 0 0.60 0.38 1
6 1.28 0.87 0 0.30 0.49 1
Keterangan : 1. Outlet; 2. Beau; 3. Inlet; 4. Tanjung Bakara; 5. Lengkona; 6. Pulau Loeha
Nilai indeks dominansi (C) pada lokasi penelitian berkisar antara 0,23 1. Nilai yang
cukup variatif ini disebabkan pada setiap stasiun penelitian komposisi dan jumlah jenis zooplankton
bervariasi. Pada stasiun yang indek dominansinya rendah, pada stasiun tersebut terdapat
beberapa jenis zooplankton dari beberapa klas. Namun pada stasiun yang nilai indeks
dominansinya tinggi, pada stasiun tersebut hanya terdapat satu jenis zooplankton. Hal ini
menunjukkan satu jenis zooplankton tersebut mendominasi pada stasiun tersebut.
Kesimpulan
Komposisi zoopankton yang ditemukan di Danau Towuti terdiri dari 8 kelas yaitu
Mastigophora (2 jenis), Sarcodina (1 jenis), Ciliata (1 jenis), Copepoda (1 jenis), Crustacea (2 jenis)
dan Protozoa (2 jenis).
Indeks Keanekaragaman (H) berkisar 0 1,45 menunjukkan bahwa komunitas
zooplankton pada Danau Towuti cukup bervariasi. Indeks dominansi (C) berkisar 0,23 1
menunjukkan setiap stasiun penelitian komposisi dan jumlah jenis zooplankton bervariasi, ada
stasiun yang didominasi jenis zooplankton tertentu dan ada stasiun yang tidak didominasi oleh
jenis zooplankton tertentu.
Kualitas perairan Danau Towuti masih cukup baik untuk kehidupan organisme perairan.
Daftar Pustaka
Boyd, C.E. 1988. Water Quality in Warmwater Fish Ponds. Fourth Printing. Auburn University
Agricultural Experiment Station. Alabama, USA. 359 p.
Bragg, A. N. 1960. An Ecological Study of The Protozoa of Crystal Lake, Norman, Oklahoma.
Wasmann J. Biol. 18:37 85.
Davis, M.L. and Cornwell, D.A. 1991. Introduction to Environmental Engineering. Second edition.
Mc-Graw-Hill, Inc., New York. 822 p.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan.
Penerbit Kanisius. Yogyakarta. 258 hlm.
Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (MS-17) - 7
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Fachrul, M.F. 2007. Metode Sampling Bioekologi. Bumi Aksara. Jakarta. 198 hlm.
Finlay, B. J. 1990. Pfysiological Ecology of Free-Living Protozoa. Adv. Microb. Ecol. 11:1 35.
Fernando, C. H. 1994. Zooplankton, Fish and Fisheries in Tropical Freshwaters (sic). Hidrobiologia
272:105 123.
Haffner, G.D. Hehanussa, P. and Hartoto, D. 2001. The biology and physical processes of large
lakes of Indonesia. In The Great Lakes of the World: Food web, health and integrity,
Munawar,M. Heckey,R.E. Eds. Backhuys Publishers: Leiden, 183-194.
Hutabarat, S. 2000. Produktivitas Perairan dan Plankton : Telaah terhadap Ilmu Perikanan dan
Kelautan. Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang. 60 hlm.
Mason, C.F. 1993. Biology of Freshwater Pollution. Second Edition. Longman Scientific and
Technical. New York. 351 p.
Mc Neely, R.N., Nelmanis, V.P. and Dwyer, L. 1979. Water Quality Source Book, A Guide to Water
Quality Parameter. Inland Waters Directorate, Water Quality Branch, Ottawa, Canada. 89
p.
Mizuno, T. 1970. Illustrations of The Freshwater Plankton of Japan. Hoikusha Publising Co.,
Ltd..Osaka. 351 p.
Novotny, V. and Olem, H. 1994. Water Quality, Prevention, Identification and Management of
Diffuse Pollution. Van Nostrans Reinhold. New York. 1054 p.
Nontji, A. 2002. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan. Jakarta. 366 hlm.
Nybakken, J.W. 1992. Biologi Laut : Suatu Pendekatan Ekologis. PT Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta. 459 hlm.
Odum, E.P. 1998. Dasar-dasar Ekologi. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. 697 hlm.
Pusat Riset Perikanan Tangkap. 2005. Laporan Teknis Riset Keanekaragaman Perairan
Pedalaman Kawasan Wallacea. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Jakarta
Romimohtarto, K. dan Juwana, S. 2001. Biologi Laut : Ilmu Pengetahuan tentang Biota Laut.
Penerbit Djambatan. Jakarta. 540 hlm.
Welch, P.S. 1952. Lymnological Metthods. Mc. Graw-Hill Book Company Ltd. New York. 381 pp.
Wetzel, R.G. 2001. Limnology Lake and River Ecosystems. Third Edition. Academic Press.
California. 1006 p.
Whitten, A.J., M. Mustafa dan G. S Henderson. 1987. Ekologi Sulawesi. Yogyakarta. Universitas
Gajah Mada. Hal 708-719.
Wiadnyana, N.N. dan Wagey, G.A. 2004. Plankton, Produktivitas dan Ekosistem Perairan. Pusat
Riset Perikanan Tangkap dan Pusat Penelitian Oseanografi. Jakarta. 116 hlm.
Semnaskan _UGM / Penangkapan (PK-01) - 1
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
PERTUMBUHAN, MORTALITAS DAN LAJU EKSPLOITASI
IKAN SEPAT SIAM (Trichogaster pectoralis)
DI DANAU TEMPE SULAWESI SELATAN
Samuel
BALAI RISET PERIKANAN PERAIRAN UMUM PALEMBANG
E-mail : sam_asr@yahoo.co.id
Abstrak
Danau Tempe merupakan tipe danau rawa banjiran yang dalam kondisi normal luasnya berkisar
15.000 - 20.000 hektar, terletak di Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan. Danau Tempe terkenal
sebagai penghasil ikan air tawar terbesar di Sulawesi Selatan dan pernah mencapai produksi
sebesar 25.000 ton/tahun. Dari berbagai jenis ikan air tawar, terdapat jenis ikan yang masih
dominan tetangkap yaitu ikan sepat siam (Trichogaster pectoralis). Ikan sepat siam merupakan
jenis ikan introduksi yang dapat hidup dan berkembang-biak di Danau Tempe. Penelitian tentang
pertumbuhan, mortalitas dan laju eksploitasi terhadap ikan sepat siam di Danau Tempe dari bulan
Februari sampai November tahun 2010, bertujuan untuk mendapatkan informasi dalam rangka
pengelolaan jenis ikan tersebut di Danau Tempe. Estimasi parameter pertumbuhan, mortalitas dan
laju eksploitasi dihitung menggunakan paket program FISAT. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
nilai parameter pertumbuhan Von Bertalanffy ikan sepat siam mempunyai panjang infinitif (L)=
19,60 cm dengan laju pertumbuhan 0,54 per tahun dan laju eksploitasi 0,412 masih dibawah nilai
tangkap optimum. Performa pertumbuhan ikan sepat siam di Danau Tempe tersebut berdasarkan
dari nilai parameter pertumbuhan termasuk rendah dibandingkan dengan pertumbuhan jenis ikan
sepat siam di rawa banjiran Lubuk Lampam, Sumatera Selatan dan perairan Sungai Barito,
Kalimantan Tengah dan Selatan .
Kata Kunci : Pertumbuhan, mortalitas, laju eksploitasi, ikan sepat siam, Danau Tempe
Pengantar
Danau Tempe terletak di bagian barat Kabupaten Wajo, tepatnya di Kecamatan Tempe,
sekitar 7 km dari Kota Sengkang menuju tepi Sungai Walanae. Berdasarkan administrasi
pemerintahan, Danau Tempe mencakup tiga kabupaten dan tujuh kecamatan. Bagian danau
terluas berada dalam Kabupaten Wajo yang terdiri dari empat kecamatan yaitu Kecamatan
Belawa, Tanasitolo, Tempe dan Sabbangparu. Kabupaten Soppeng terdiri dari dua kecamatan
yaitu Kecamatan Donri-donri dan Kecamatan Marioriawa. Bagian daerah yang tersempit adalah
Kabupaten Sidenreng Rappang (Sidrap) satu kecamatan yaitu Kecamatan Pancalautan. Luas
Danau Tempe dalam kondisi normal sekitar 15.000 20.000 ha dengan kedalaman maksimum 5,5
m dan dapat mencapai lebih dari 30.000 ha saat banjir dan pada saat musim kemarau luas
genangannya hanya mencapai 1.000 ha dengan kedalaman maksimum 1 m. Pada musim
kemarau daerah yang tidak digenangi air merupakan hamparan lahan yang subur, digunakan
sebagai lahan pertanian palawija, sedangakan areal yang digenangi air diperkirakan 45 %
permukaannya tertutupi oleh tumbuhan air, selebihnya merupakan areal penangkapan ikan dan
alur pelayaran.
Danau Tempe merupakan tipe danau rawa banjiran dan tempat bermuaranya 13 sungai
yang berasal dari berbagai daerah dan terdapat dua sungai yang besar yaitu Sungai Cenranae dan
Sungai Walanae. Sungai Walanae merupakan satu-satunya sungai sebagai pembuangan ke laut.
Jenis tumbuhan air yang ada di perairan danau, beberapa diantaranya dipelihara oleh para
nelayan sebagai bunka toddo, yaitu pulau tumbuhan air sebagai perlindungan/penjebakan ikan.
Jenis dominan yaitu eceng gondok (Eichhornia crassipes) , kiambang (Salvinia molesta) dan
Kangkung air (Ipomoea aquatica). Kegiatan perikanan yang dominan adalah kegiatan
penangkapan ikan. Kegiatan ini memperlihatkan puncaknya saat air rendah yang umumnya terjadi
pada bulan-bulan September-November. Produksi ikan dari perairan danau ini kini masih tergolong
tinggi. Jenis ikan yang ada di perairan Danau Tempe adalah gabus (Channa striata), betok
(Anabas Testudineus), sepat siam (Trichogaster pectoralis), sepat jawa (Trichogaster trichopterus),
lele (Clarias batrachus), mas (Cyprinus carpio), tawes (Barbodes gonionotus), nilem (Osteochilus
hasselti), mujair (Oreochromis mossambicus), nila (Oreochromis niloticus), bunaka (Bunaka
PK-01
2 - Semnaskan _UGM / Penangkapan (PK-01)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
gyrinoides), bungo (Glossogobius giuris), masapi (Anguillla marmorata), belut (Monopterus albus)
dan belanak (Mugil cephalus). Jenis ikan betok dan gabus termasuk jenis ikan buas. Jenis lainnya,
sepat siam, tawes, lele, tambakan dan mas, adalah ikan introduksi dari Jawa yang dilakukan
secara bertahap sejak tahun 1937. Introduksi nilem (Osteochilus hasselti) yang dilakukan tahun
1938 cukup berhasil karena indikasi masih tertangkapnya ikan ini oleh nelayan. Ikan sepat siam
yang sudah tersebar luas di perairan Indonesia, khususnya di perairan tipe rawa banjiran Sumatera
dan Kalimantan merupakan jenis ikan introduksi yang juga dominan tertangkap oleh nelayan di
perairan Danau Tempe sepanjang tahun. Untuk pengelolaan sumberdaya perikanan di Danau
Tempe kedepan, perlu mempertimbangkan pada jenis-jenis ikan yang masih dominan agar tetap
lestari karena kontribusi produksinya cukup mendukung bagi pendapatan nelayan yang
menangkap ikan di Danau Tempe.
Produksi ikan dari Danau Tempe tahun 1975 dilaporkan sebesar 4.000 ton/tahun atau
200 kg/ha/tahun dan berdasarkan data stastistik perikanan Sulawesi Selatan pada tahun 1974,
produksi perikanan dari Danau Tempe dan Sidenreng mencapai lebih kurang 4.500 ton, produksi
ini relatif datar sampai tahun 1977. Produksi tersebut cendrung menurun dibandingkan dengan
produksi ikan tahun 1955 yang tercatat 16.500 ton/tahun dan semakin menurun dibandingkan
dengan produksi ikan sebelum perang Dunia II, yang tercatat sebesar 25.000 ton/tahun.
Penurunan produksi ini menurut beberapa kalangan karena penangkapan berlebih (overfishing)
dan adanya pendangkalan perairan danau.
Bertolak dari permasalahan tersebut diatas, diadakan penelitian dengan tujuan untuk
mendapatkan data dan informasi tentang aspek pertumbuhan, mortalitas dan laju eksploitasi
terhadap jenis ikan yang masih dominan tertangkap yaitu sepat siam. Hasil penelitian ini
diharapkan dapat menjadi bahan masukan dalam penyusunan rencana pengelolaan sumberdaya
ikan, khususnya ikan sepat siam di Danau Tempe.
Bahan dan Metode
Penelitian dilakukan di Danau Tempe yang terletak dalam wilayah Kabupaten Wajo,
Propinsi Sulawesi Selatan (Gambar 1), mulai dari bulan Februari sampai dengan bulan November
2010. Data ukuran panjang total diukur dengan menggunakan papan ukur hingga skala terkecil 0,1
cm dan berat ditimbang dengan timbangan digital hingga ketelitian 0,1 gram tiap individu ikan
sepat siam. Teknis pengukuran panjang total ikan dilakukan oleh enumerator yang dipilih dari
nelayan setempat yang khusus untuk mencatat ukuran panjang total ikan pada setiap bulannya.
Ukuran ikan yang didata oleh enumerator berasal dari hasil tangkapan nelayan yang menggunakan
berbagai macam alat tangkap di perairan Danau Tempe pada tempat pendaratan ikan.
Data hasil pengukuran panjang dan berat ikan, untuk selanjutnya dianalisis untuk
mengetahui sifat pertumbuhan ikan, apakah isometrik (b=3) atau alometrik (b3), yaitu dihitung dari
hubungan antara panjang dan berat ikan dengan menggunakan persamaan regresi yaitu : Ln W=
Ln a + b Ln L (Effendie, 1979), dimana : W= berat ikan (gram), L= panjang total (cm), a dan b=
konstanta. Nilai konstanta b yang diperoleh dari persamaan regresi tersebut di atas selanjutnya
diuji ketepatannya terhadap nilai b=3 menggunakan uji-t pada taraf kepercayaan 95%.
Pendugaan parameter pertumbuhan dari Von Bertalanffy yaitu panjang total asimtotik (L)
dan koefisien pertumbuhan (k) dihitung menggunakan program Elefan I dalam paket program
komputer FISAT (Gayanillo et al., 1995). Pendugaan nilai t
0
berdasarkan persamaan Log (-t
0
)= -
0,3922 0,2752 Log (L) 1,038 Log (k) (Pauly, 1984). Indeks performansi pertumbuhan (, phi-
prime) dihitung menggunakan persamaan Pauly & Munro (1984) sebagai berikut : = Log
10
k + 2
Log
10
L .
Laju mortalitas alami (M) diduga memakai model empiris dari Pauly (1980) sebagai berikut
: Log (M)= -0,0066 0,279*Log (L) + 0,6543*Log (k) + 0,4634*Log (T) dimana L = panjang total
asimtotik, k = koefisien pertumbuhan dan T = rataan suhu lingkungan perairan Danau Tempe, yaitu
30,5
o
C. Koefisien mortalitas total (Z) diperoleh dari kurva hasil tangkapan berdasarkan panjang
(length converted catch curve) (Pauly, 1983) yang perhitungannya dilakukan secara komputerisasi
menggunakan paket program FISAT (Gayanilo et al., 1995). Koefisien mortalitas karena adanya
penangkapan (F) dihitung dari persamaan F = (ZM). Laju eksploitasi (E) dihitung menggunakan
persamaan E= F/Z (Pauly, 1980).
Semnaskan _UGM / Penangkapan (PK-01) - 3
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Gambar 1. Lokasi penelitian dinamika populasi ikan sepat siam
di Danau Tempe, Sulawesi Selatan
Hasil dan Pembahasan
Data frekuensi panjang total hasil monitoring terhadap tangkapan ikan sepat siam oleh
nelayan di Danau Tempe dari bulan Maret sampai bulan Oktober tahun 2010, diperoleh 1257 ekor
ikan sepat siam (Tabel 1). Panjang total ikan sepat siam yang dianalisis berada dalam kisaran
antara 8,00 17,50 cm. Hasil analisis hubungan antara panjang dan berat ikan sepat siam (Tabel
2), menunjukkan bahwa pertumbuhan ikan sepat siam di Danau Tempe mempunyai pola
pertumbuhan yang alometrik negatif pada selang kepercayaan 95%. Pola pertumbuhan alometrik
negatif (b3), berarti pertambahan panjang lebih cepat dibandingkan dengan pertambahan bobot
tubuh. Bila dilihat dari nilai indeks performansi pertumbuhan (, phi-prime) ikan sepat siam di
Danau Tempe sebesar 2,317 (Tabel 3) maka tercermin bahwa jenis ikan sepat siam di Danau
Tempe mempunyai pertumbuhan yang lebih lambat dibandingkan dengan ikan sepat siam yang
hidup di DAS Barito dengan indeks perpormansi pertumbuhan () sebesar 2,369 (Utomo &
Prasetyo, 2005) dan ikan sepat siam yang ada di rawa banjiran Lubuk Lampam dengan indeks
perpormansi pertumbuhan () sebesar 2,898 (Utomo & Ondara, 1987). Hasil analisis panjang total
ikan sepat siam dari tangkapan nelayan setiap bulan di Danau Tempe, diperoleh nilai panjang
infinitif (L)= 19,60 cm dan koefisien pertumbuhan (k)= 0,54 per tahun. Ini menunjukkan bahwa
ikan sepat siam di Danau Tempe diperkirakan mampu tumbuh hingga mencapai panjang total
19,60 cm dengan laju pertumbuhan sebesar 0,54 per tahun. Ukuran panjang total ikan sepat siam
di Danau Tempe tersebut lebih kecil dibandingkan dengan ukuran ikan sepat siam di DAS Barito
Kalimantan Tengah dan Selatan yaitu L=19,75 cm (Utomo & Prasetyo, 2005).
DANAU
4 - Semnaskan _UGM / Penangkapan (PK-01)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Tabel 1. Distribusi frekuensi panjang total ikan sepat siam (Trichogaster pectoralis), hasil
tangkapan nelayan di Danau Tempe, tahun 2010
No ML (cm) Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Jumlah
1 8 1 1
2 8.5 1 2 5 3 11
3 9 3 2 13 4 9 2 33
4 9.5 6 3 20 3 7 3 42
5 10 12 5 17 2 1 3 5 45
6 10.5 17 12 14 3 1 3 4 5 59
7 11 10 12 18 3 2 5 11 6 67
8 11.5 9 9 24 2 1 5 3 14 67
9 12 4 14 28 2 3 8 9 12 80
10 12.5 7 22 25 6 4 9 10 9 92
11 13 8 25 15 7 4 9 8 12 88
12 13.5 8 18 8 7 9 15 6 12 83
13 14 7 18 5 14 12 14 7 8 85
14 14.5 5 15 3 11 12 15 2 6 69
15 15 7 12 4 17 18 17 2 9 86
16 15.5 12 10 4 18 21 18 1 7 91
17 16 9 8 3 22 20 23 1 2 88
18 16.5 9 6 3 16 23 21 2 1 81
19 17 3 5 1 5 12 22 1 3 52
20 17.5 5 3 2 3 9 11 2 2 37
Jumlah 143 201 212 145 152 195 91 118 1257
Tabel 2. Persamaan hubungan panjang-berat dan pola pertumbuhan ikan sepat siam
Bulan n Jantan R
2
n Betina R
2
Pola
pertumbuhan
Februari 38 W=0,1218.L
2,1448
0,4898 48 W=0,0267.L
2,7615
0,8096 Alometrik
Mei 29 W=0,5014.L
1,6779
0,7021 32 W=0,0220.L
2,8249
0,8462 Alometrik
Agustus 31 W=0,1740.L
2,0035
0,6955 28 W=0,2080.L
1,9551
0,6643 Alometrik
November 38 W=0,0319.L
2,6859
0,7412 50 W=0,1366.L
2,0991
0,4368 Alometrik
Berdasarkan nilai mortalitas alami dari ikan sepat siam, M=1,396 per tahun dan mortalitas
penangkapan F=0,980 per tahun maka diperoleh nilai tingkat eksploitasi, E=0,412 (Tabel 3). Nilai E
tersebut mengindikasikan bahwa tingkat eksploitasi ikan sepat siam di Danau Tempe masih
dibawah nilai optimum (E=0,50). Ukuran ikan sepat siam yang banyak tertangkap berkisar antara
12-16,5 cm dengan perkiraan umur antara 1,5-2,5 tahun (Tabel 4, Gambar 2).
Tabel 3. Beberapa parameter populasi ikan sepat siam di Danau Tempe (Sulawesi Selatan, 2010),
DAS Barito (Kalimantan Tengah dan Selatan, 2005 dan Perairan Lubuk lampam, 1987)
Habitat Perairan L
(cm)
k
(yr
-1
)
' Z
(yr
-1
)
M
(yr
-1
)
F
(yr
-1
)
E Sumber
DanauTempe,
Sulawesi Selatan 19,60 0,54 2,317 2,376 1,396 0,980 0,412
Penelitian ini,
2010
DAS Barito,
Kalimantan Tengah 19,75 0,60 2,369 2,44 1,43 1,01 0,41
Utomo dan
Prasetyo, 2005
Rawa banjiran
Lubuk Lampam 21,70 1,68 2,898 -- -- -- --
Utomo dan
Ondara, 1987
Semnaskan _UGM / Penangkapan (PK-01) - 5
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Tabel 4. Pertumbuhan panjang ikan sepat siam (Trichogaster pectoralis) di Danau Tempe,
Sulawesi Selatan, tahun 2010
t (tahun) Lt (cm) t (tahun) Lt (cm) t (tahun) Lt (cm)
0.5 7.139 4.5 18.16 8.5 19.43
1 10.09 5 18.5 9 19.47
1.5 12.34 5.5 18.76 9.5 19.5
2 14.06 6 18.96 10 19.53
2.5 15.37 6.5 19.11 10.5 19.54
3 16.37 7 19.23 11 19.56
3.5 17.13 7.5 19.32 11.5 19.57
4 17.72 8 19.38 12 19.57
0
3
6
9
12
15
18
21
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Umur (tahun)
P
a
n
j
a
n
g
t
o
t
a
l
(
c
m
)
Gambar 2. Kurva pertumbuhan panjang ikan sepat siam di Danau Tempe
dengan persamaan Lt= 19,6*(1-exp(-0,54*(t+0,3388)))
Gambar 3. Distribusi frekuensi panjang dan kurva pertumbuhan
ikan sepat siam (Trichogaster pectoralis) di Danau Tempe
Berdasarkan data distribusi ukuran panjang total ikan sepat siam, diketahui bahwa ikan
sepat siam di Danau Tempe nampaknya mempunyai dua puncak rekruitmen dalam setahun
(Gambar 4). Hal ini mengindikaskan ikan sepat siam dapat memijah lebih dari satu kali dalam
6 - Semnaskan _UGM / Penangkapan (PK-01)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
setahun di Danau Tempe. Diduga pemijahan ikan sepat siam di Danau Tempe berkaitan erat
dengan pergerakan tinggi muka air danau, yaitu pada bulan-bulan ketika tinggi muka air danau
bergerak naik dan ketika tinggi muka air bergerak turun. Ikan sepat siam di Danau Tempe
diperkirakan memijah pada bulan Mei dan bulan September. Musim pemijahan ikan sepat siam
dapat dikatakan tidak berbeda jauh dengan musim pemijahan ikan tawes dan mujaer yang sama-
sama hidup dan berkembang-biak di perairan Danau Tempe (Samuel & Makmur, 2010).
0
2
4
6
8
10
12
14
R
e
k
r
u
i
t
m
e
n
(
%
)
J F M A M J J A S O N D
Bulan
Gambar 4. Pola rekruitmen ikan sepat siam (Trichogaster pectoralis)
di Danau Tempe, Propinsi Sulawesi Selatan
Kesimpulan
1. Pertumbuhan ikan sepat siam di Danau Tempe bersifat alometrik negatif (b<3), pertambahan
panjang lebih cepat dibandingkan dengan pertambahan berat.
2. Ikan sepat siam yang hidup di Danau Tempe dapat tumbuh hingga mencapai panjang 19,60
cm dengan laju pertumbuhan 0,54 per tahun. Laju eksploitasi stok ikan sepat siam ada
sebesar 0,412 masih dibawah nilai optimum sebesar 0,50.
3. Ikan sepat siam yang banyak tertangkap oleh nelayan di Danau Tempe berukuran antara 12,0
sampai 16,5 cm dengan perkiraan umur antara 1,5-2,5 tahun.
Daftar Pustaka
Effendie, M.I. 1979. Metoda biologi perikanan. Yayasan Dewi Sri. Bogor. 112 p.
Gayanilo Jr F.C., P. Sparre & D. Pauly. 1995. The FAO-ICLARM stock assessment tools (FISAT)
Users guide. FAO computerized information series fisheries. ICLARM Contribution 1048.
126 pp.
Pauly, D. 1980. A selection of simple methods for the assessment of tropical fish stocks. FAO Fish.
Circ. 729, 54 pp.
Pauly, D. 1983. Length-converted catch curves: a powerful tool for fisheries research in the tropics
(part l). ICLARM Fishbyte 2, 9-13.
Pauly, D. 1984. Some simple methods for the assessment of tropical fish stocks. FAO Fish. Tech.
Pap. (234) : 52 p.
Pauly, D. and J.L. Munro. 1984. Once more on the comparison of growth in fish and invertebrates.
ICLARM Fishbyte 2, 21.
Semnaskan _UGM / Penangkapan (PK-01) - 7
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Samuel & S. Makmur. 2010. Estimasi parameter pertumbuhan, mortalitas dan laju penangkapan
ikan tawes dan mujaer di Danau Tempe, Sulawesi Selatan. Laporan Teknis Balai Riset
Perikanan Perairan Umum Palembang. 49 hal.
Utomo, A.D. & D. Prasetyo. 2005. Evaluasi hasil tangkapan beberapa kegiatan penangkapan ikan
di Sungai Barito, Kalimantan Tengah dan Selatan. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia.
Vol.11 No.2. Hal. 9-27.
Utomo, A.D. & Ondara. 1987. Pendugaan parameter pertumbuhan ikan sepat siam (Trichogaster
pectoralis) di Rawa Banjiran Lubuk Lampam, Sumatera Selatan. Buletin Penelitian
Perikanan Darat. Vol.6 No.1, Juni 1987. Hal. 37-41.
Semnaskan _UGM / Penangkapan (PK-02) - 1
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
KOMPOSISI DAN KERAGAMAN IKAN HASIL TANGKAPAN GILL NET
DI SITU PANJALU, KABUPATEN CIAMIS JAWA BARAT
Andri Warsa
Balai Riset Pemulihan Sumberdaya Ikan
Jl Cilalawi No 1 Jatiluhur , Puurwakarta Jawa Barat
Abstrak
Situ Panjalu merupakan badan air yang secara administratif terdapat di Kabupaten Ciamis, Jawa
Barat. Situ ini memiliki luas 45 ha yang merupakan sumber mata pencaharian bagi penduduk
sekitar yang berprofesi sebagai nelayan. Penelitian ini dilakukan di Situ Panjalu pada Bulan Maret
dan Mei 2010 yang dilakukan pada empat lokasi penangkapan yaitu Cukang Padung, Banjar Waru,
Wisata dan Kampung Dukuh. Penangkapan di lakukan dengan pemasangan gill net eksperimental
dengan ukuran mata jaring 1; 1,25; 1,5; 1,75; 2; 2,25; 2,5; 2,75; dan 3 inci. Tujuan penelitian ini
adalah untuk mengetahui komposisi dan jenis jenis ikan yang tertangkap dengan alat tangkap gill
net di Situ Panjalu. Berdasarkan pegelompokan stasiun pengamatan di peroleh 2 kelompok stasiun
yaitu kelompok 1 yang terdiri dari Stasiun Cukang Padung dan Wisata sedangkan kelompok 2
terdiri stasiun Kampung Dukuh dan Banjar Waru. Beberapa jenis ikan terdapat di Situ Panjalu
antara lain Oskar (Amphilopus citrinellus), Keril (Aequidens rivulatus), Patin (Pangasiodon
hypophthalmus), Nila (Oreochromus niloticus), Betok (Anabas testudineus), Lele (Clarias
batrachus) dan Kongo (Parachromis managuensis) dengan jenis ikan yang dominan berdasarkan
jumlah individu adalah nila (10 %) dan oscar (70 %) Hasil yang sama juga diperoleh dengan
perhitungan menggunakan indeks relatif penting dimana ikan nila (29,82%) dan oskar (59,08%)
merupakan ikan yang dominan tertangkap. indeks keanekaragaman berdasarkan ikan hasil
tangkapan menggunakan gill net percobaan diperoleh nila berkisar 0,56 0,89.
Kata Kunci : Fauna ikan, keragaman, komposisi, Situ Panjalu
Pendahuluan
Situ Panjalu merupakan badan air yang secara administratif terdapat di Kabupaten Ciamis,
Jawa Barat. Situ ini memiliki luas 45 ha yang merupakan sumber mata pencaharian bagi penduduk
sekitar yang berprofesi sebagai nelayan. Upaya penebaran pernah dilakukan oleh Pemerintah
Daerah yang bertujuan untuk meningkatkan hasil tangkapan nelayan. Ikan adalah merupakan
salah satu sumber pemenuhan sumber gizi masyarakat dengan harga yang terjangkau. Menurut
Kubecka (1993) factor yang secara langsung mempengaruhi komposisi dan biomassa yaitu
interaksi yang kompleks antara faktor faktor biotik yang tedapat pada suatu ekosistem.
Analisis struktur komunitas merupakan gambaran dari biomassa dan komposisi spesies,
mungkin menggambarkan dampak aktivitas manusia pada suatu ekosistem seperti eutrofikasi,
introduksi spesies eksotik dan eksploitasi dari native spesies akan merubah kesetimbangan
ecosystem (Carpenter & Cottingham, 1997). Usaha awal yang dilakukan untuk menjelaskan
struktur kmunitas didasarkan pada model linier yang mana organism pada level trofik yang berbeda
dikaitkan dengan rantai makanan. Struktur komunitas berdasarkan pada gradient lingkungan
berusaha untuk kecendrungan komunitas hewan dan tumbuhan. Karakteristik komunitas terdiri dari
kelimpahan relatif dan keragaman spesies. Luas permukaan dan kedalaman rata rata danau
merupakan suatu prediktor terbaik dari sutu struktur komunitas hal ini sangat mungkin dihubungkan
dengan stratifikasi thermal yang terjadi pada badan air tersebut (Bader, 1999). Penurunan jumlah
spesies dan jumlah individu kemungkinan disebabkan oleh penurunan kualitas air dan beberapa
factor lingkungan yang berpengaruh tersebut antara lain suhu dan konsentrasi oksigen terlarut
(Araujo dan Williams, 2000). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui komposisi dan jenis
jenis ikan yang tertangkap dengan alat tangkap gill net di Situ Panjalu.
Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Situ Panjalu pada Bulan Maret dan Mei 2010 yang dilakukan
pada empat lokasi penangkapan yaitu Cukang Padung, Banjar Waru, Wisata dan Kampung Dukuh
PK-02
2 - Semnaskan _UGM / Penangkapan (PK-02)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
(Gambar 1). Penangkapan di lakukan dengan pemasangan Jaring Insang percobaan dengan
ukuran mata jaring 1; 1,25; 1,5; 1,75; 2; 2,25; 2,5; 2,75; dan 3 inchi.
Gambar 1. Lokasi pemasangan gill net eksperimental
Hasil tangkapan kemudian diukur berat dengan menggunakan timbangan digital ketelitian
0,1 gram dan pengukuran panjang total dilakukan dengan menggunakan papan ukur ketelitian 0,1
cm. Ikan hasil tangkapan yang diperoleh dimasukan kedalam plastik dan diawetkan dengan
menggunakan formalin yang diencerkan dengan konsentrasi 10 %. Ikan sampel kemudian di bawa
ke Laboratorium Balai Riset Pemulihan Sumberdaya Ikan dan di identifikasi berdasarkan buku
bergambar Kottelat et al., 1996.
Untuk pengumpulan data hasil tangakapan nelayan di Situ Panjalu dibantu oleh
enumerator yang berjumlah empat orang pada tiga lokasi yaitu Kampung Dukuh, Cakung Padung
dan Banjarwaru. Enumerator tersebut bertugas untuk mencatat jenis ikan yang tertangkap dan
jumlah hasil tangakapan (kg) oleh nelayan. Pencatan berlangsung selama 5 bulan dari Januari
Mei 2010.
Analisis Data
Indeks keanekaragaman (Diversity Index) Indeks keanekaragaman dihitung berdasarkan
rumus Shannon & Weaver :
H = -

s
i
Pi Pi
1
ln
Pi =
N
ni
Keterangan
Pi = Kelimpahan relatif dari jenis biota ke i yang besarnya antara 0,0 1,0
Ni = Jumlah individu suatu jenis
N = Jumlah individu dari seluruh jenis yang ada dalam contoh
Untuk mengetahui nilai relatif penting jenis ikan yang tertangkap di Situ Panjalu, hasil
tangakapan gill net eksperimental dihitung dengan persamaan Kolding dalam De Silva, 2001.
% IRI = 100* [(%Wi + % Ni)%Fi]/[((%Wj + %Nj)% Fj)]
dimana:
%W = persentase berat dari spesies ke i dalam total tangkapan
%N = persentase jumlah dari spesies ke i dalam total tangkapan
%F = frekwensi kedapatn spesies ke i dalam total tangkapan
Semnaskan _UGM / Penangkapan (PK-02) - 3
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Pengelompokan stasiun pengamatan berdasarkan jumlah individu dan spesies ikan yang
tertangkap di lakukan menggunakan metode Clustering Variabel dengan bantuan software minitab
13.
Hasil dan Pembahasan
Jenis ikan yang terdapat di Situ Panjalu berdasarkan data hasil tangkapan gill net
percobaan adalah 7 spesies (tabel 1). Ikan tersebut umumnya berukuran kecil dan beberapa
diantaranya merupakan jenis ikan introduksi misalnya nila, oscar, keril dan nilem. Berdasarkan
jumlah individu ikan yang tertangkap komposisi terbesar adalah jenis ikan oscar sebesar 75 % dan
nila sebesar 10%. Hasil yang sama juga diperoleh dengan perhitungan menggunakan indeks relatif
penting dimana ikan nila (29,82%) dan oskar (59,08%) merupakan ikan yang mempunyai nilai
tangkapan yang relatif penting berdasarkan jumlah individu, berat total individu dan frekuensi
tertangkapnya (Tabel 1). Ikan keril merupakan jenis ikan yang dominan tertangkap di Waduk
Jatiluhur selain ikan nila (Umar & Kartamihardja, 2006). Ikan ini juga dominan terdapat di Danau
Apoyo dan juga banyak ditemukan di danau danau lainya di Nicaragua, Managua, Masaya dan
Xiloa (Stolting, 2004).
Ikan Oscar merupakan jenis ikan yang masih diperbolehkan untuk ditebar namum dengan
pertimbangan dan data yang memerlukan informasi yang lebih mendalam untuk dapat
mengendalikan populasinya dialam (NRMMC, 2006). Kompetisi antara ikan introduksi dan spesies
asli perairan tersebut juga merupakan penyebab kehilangan kesetimbangan ekosistem. Kompetisi
mungkin terjadi terhadap pakan dan ruang (Kottelat & Whitten, 1996).
Tabel 1. Nilai Indeks relatif penting beberapa jenis ikan di Situ Panjalu
W N F %W %N %F IRI (%)
Nila 1472,4 29 2 33,11 20,57 22,22 29,82
Oscar 1764,5 94 2 39,68 66,67 22,22 59,08
Keril 75,9 1 1 1,71 0,71 11,11 0,67
Betok 318,0 8,0 1 7,15 5,67 11,11 3,56
Patin 723 6 1 16,26 4,26 11,11 5,70
Kongo 35 2 1 0,79 1,42 11,11 0,61
Lele 58 1 1 1,3043 0,7092 11,11 0,01
Jenis ikan oscar banyak terdapat di stasiun pengamatan Cukang Padung dan Wisata
sedangkan ikan nila banyak tertangkap di daerah Banjar Waru dan Kampung Dukuh. Stasiun
pengamatan Wisata dan Cukang Padung merupakan daerah yang banyak ditumbuhi oleh tanaman
air dan pada zona litoralnya banyak ditumbuhi oleh tanaman tingkat tinggi. Sedangkan di stasiun
pengamatan Banjar Waru dan Kampung Dukuh merupakan daerah yang relatif bersih dari
tanaman air.
Tabel 2. Ukuran beberapa jenis ikan hasil tangakapan gill net eksperimental di Situ Panjalu.
Jenis Maret Mei
Panjang (cm) Berat (gr) Panjang (cm) Berat (gr)
Nila 10,0 - 16,0 18,3 - 74,8 10,5 - 17,6 18,0 - 92,0
Oscar 12,0 - 13,5 32,0 - 42,6 6,0 - 17,0 6,0 - 76,0
Keril 7 5,9 - -
Betok 11,7 - 14,0 26,0 - 47,0
Patin 16,5 - 28,5 38,0 - 202
Kongo 8,2 - 10,5 13,0 - 22,0
Lele 18,5 58
4 - Semnaskan _UGM / Penangkapan (PK-02)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
A. B
Gambar 2. Komposisi hasil tangkapan gill net eksperimental di Situ Panjalu
A. jumlah individu dan B. Berat total
Ikan Nila merupakan jenis ikan intoduksi dimana ikan tersebut ditebar oleh Dinas
Kelautan dan Perikanan dalam rangka untuk meningkatkan hasil tangkapan nelayan di Situ
Panjalu. Penebaran tersebut dilakukan beberapa tahap, pada tahun 2005 pernah di tebar jenis
ikan nila dan nilem dengan jumlah benih masing masing adalah 100.000 dan 50.000 ekor dan
pada tahun 2009 juga pernah ditebar jenis ikan nilem dan tawes dengan jumlah benih 150.000
ekor (Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Ciamis, 2010).
Tabel 3. Hasil tangakapan nelayan di Situ Panajalu
Jenis Ikan Bulan (kg)
Januari Februari Maret April Mei
Nila 21,0 26,3 18,0 10,5 25,6
Oscar 13,9 12,8 7,9 8,9 10,3
Udang 3,2 5,3 4,6 4,0 4,3
Tawes - 2,3 - - -
Mas 0,2 3,8 - - 1,0
Lele 0,2 - - - -
Nilem - 1,9 - - -
Hasil tangkapan nelayan di Situ Panjalu berdasarkan data enumerator terdiri dari 6
spesies ikan dan satu jenis udang (Tabel 3). Ikan yang dominan tertangkap oleh nelayan sama
seperti hasil tangakapan gill net eksperimental yaitu nila dan oscar. Ikan nila juga merupakan jenis
ikan introduksi dan ikan dominan tertangkap di beberapa waduk di Cote d Ivoire dengan
persentase 26%, di Sri Lanka dan Philipina (de Morais, 2002, Da Costa et al., 2002). Hal yang
sama juga terjadi di Danau Victoria dimana ikan nila yang merupakan ikan introduksi menjadi ikan
yang dominan tertangkap dan menekan keberadaan ikan asli danau tersebut (Njiru et al., 2005).
12.5
0
12.5
12.5
12.5
12.5
37.5
0 0
5
10
15
20
25
30
35
40
1 1 1/4 1 1/2 1 3/4 2 2 1/2 2 1/4 3
%
K
u
m
u
l
a
t
i
f
Mata Jaring (Inchi)
Banjar Waru
0 0 0
50
25
0
25
0 0
10
20
30
40
50
60
1 1 1/4 1 1/2 1 3/4 2 2 1/2 2 1/4 3
%
K
u
m
u
l
a
t
i
f
Mata Jaring (inchi)
Kampung Dukuh
Semnaskan _UGM / Penangkapan (PK-02) - 5
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
10.3
18.6
29.9
18.6
13.4
5.2
4.1
0.0
5.0
10.0
15.0
20.0
25.0
30.0
35.0
1 1 1/4 1 1/2 1 3/4 2 2 1/4 2 1/2
%
K
u
m
u
l
a
t
i
f
MataJaring (inchi)
Cukang Padung
5.9
35.3
23.5
20.6
8.8
2.9
0.0
2.9
0
5
10
15
20
25
30
35
40
1 1 1/4 1 1/2 1 3/4 2 2 1/4 2 1/2 3
%
K
u
m
u
l
a
t
i
f
Mata Jaring (inchi)
Wisata
Gambar 3. Persentase jumlah ikan hasil tangkapan berdasarkan mesh size gill net percobaan
Berdasarkan data hasil tangkapan dengan menggunakan gill net percobaan, ukuran mata
jaring yang paling banyak menangkap ikan berdasarkan jumlah individu dan lokasi pemasangan
gill net percobaan adalah pada ukuran 1 , 1 , 1 dan 2 inchi. Jika dibedakan berdasrkan
jumlah jenis ikan yang tetangkap ukuran mata jaring yang paling banyak menangkap jenis ikan
adalah ukuran 1 , 1 dan 2 inci yaitu masing masing sebanyak 5 spesies, 8 spesies dan 7
spesies.
Gambar 3. Dendogram pengelompokan stasiun pemasangan gill net percobaan.
Jika stasiun pengamtan dikelompokan berdasarkan jenis ikan yangtertangkap maka
stasiun penamtan tersebut dapat dibedakan menjadi 2 kelompok besar yaitu kelompok 1 yang
terdiri dari Stasiun Cukang Padung dan Wisata sedangkan kelompok 2 terdiri stasiun Kampung
Dukuh dan Banjar Waru (Gambar 3). Hal ini terlihat bahwa kelompok 1 mempunyai 3 spesies yang
sama yaitu betok, nila serta keril dan didominasi oleh ikan keril sedangkan pada kelompok 2
terdapat 2 spesies yang sama yaitu nila dan oscar dan didominasi oleh jenis ikan nila.
6 - Semnaskan _UGM / Penangkapan (PK-02)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Gambar 4. Indeks keanekaragaman ikan di Situ Panjalu
Perhitungan indeks keanekaragaman berdasarkan ikan hasil tangkapan menggunakan gill
net percobaan diperoleh nila berkisar 0,56 0,89. Indeks kenekaragaman tertinggi terdapat di
stasiun pengamatan Cukang Padung dan terendah terdapat di Kampung Dukuh. Stasiun
pengamatan Wisata dan Cukang Padung memiliki nilai indeks keanekaragaman yang hampir sama
sedangkan Banjar waru dan Kampung Dukuh juga memiliki nila indeks keanekargaman yang tidak
jauh berbeda. Hal ini didukung oleh pengelompokan menggunakan dendogram dimana
menunjukkan hal yang sama. Lokasi pengamatan cukang padung merupakan lokasi yang memilki
jumlah spesies yang paling banyak tertangkap sedangkan kampung dukuh jumlah spesies ikan
yang tertangkap lebih rendah jika dibandinkan dengan 3 stasiun pengamatan lainnya. Berdasarkan
nilai indeks keanekaragaman menunjukkan adanya dominasi oleh salah satu spesies, di daerah
Banjar Waru dan Kampung dukuh di Dominasi oleh ikan Nila sedangkan dilokasi pengamatan
Cukang Padung dan Kampung dukuh didominasi oleh jenis ikan keril. Ikan Keril merupakan jenis
ikan hias yang di sukai oleh wisatawan yang datang berkunjung ke Situ Panjalu. Berdasarkan
informasi dari masyarkat sekitar keberadaan ikan keril telah menurunkan populasi spesies ikan asli
di Situ Panjalu seperti Ikan Corencang dan Udang. Adanya introduksi suatu jenis ikan pada suatu
ekosistem yang dilakukan dengan tidak benar akan berdampak negatif pada struktur komunitas
ikan pada ekosistem tersebut. Hal tersebut kemungkinan disebabkan oleh adanya predasi dan
kompetisi baik pakan maupun ruang (Welcomme & Vidthayanom, 2003).
Gambar 5. Grafik jumlah individu dan biomassa ikan di Situ Panjalu
Dari gambar 5, persentase kumulatif jumlah individu dan biomassa spesies ikan di Situ
Panjalu saling tumpang tindih. Hal ini menunjukkan bahwa komunitas ikan hanya sedikit
mengalami tekanan penagkapan (Yemane., et al. 2005). Berdasrkan pengamatan dilapangan
memang perikanan tangkap di Situ Panjalu belum berkembang dengan baik. Alat tangkap yang
Semnaskan _UGM / Penangkapan (PK-02) - 7
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
digunakan oleh nelayan yang beroperasi pada badan air tersebut antara lain gill net, pancing dan
jala. Hal ini memberi kesempatan bagi ikan untuk dapat berkembang dengan baik.
Kesimpulan
Berdasarkan pegelompokan stasiun pengamatan di peroleh 2 kelompok stasiun yaitu
kelompok 1 yang terdiri dari Stasiun Cukang Padung dan Wisata sedangkan kelompok 2 terdiri
stasiun Kampung Dukuh dan Banjar Waru. Beberapa jenis ikan terdapat di Situ Panjalu antara
lain Oskar (Amphilopus citrinellus), Keril (Aequidens rivulatus), Patin (Pangasiodon
hypophthalmus), Nila (Oreochromus niloticus), Betok (Anabas testudineus), Lele (Clarias
batrachus) dan Kongo dengan jenis ikan yang dominan adalah Nila dan oscar. indeks
keanekaragaman berdasarkan ikan hasil tangkapan menggunakan gill net percobaan diperoleh nila
berkisar 0,56 0,89.
Daftar Pustaka
Araujo FG & WP Williams. 2000. Fish Assemblages as Indicators of Water Quality Thames
Estuary, England (1980-1989). Estuari 23 (3).in
Bader, J. M. 1999. Experimental evaluation of community structure in aquatic ecosystems. Pages
207-222, in Tested studies for laboratory teaching, Volume 20 (S. J. Karcher, Editor).
Proceedings of the 20 Workshop/Conference of the Association for Biology Laboratory
Education (ABLE).
Carpenter. S. R. & K. L. Cottingham. 1997. Resilience and restoration of lakes. Conservation
Ecology [online], 1(1):2-17.
da Costa K.S, K Traore & W. Yte. 2002. Potential species for fishery enhancement in Lake Fae,
Cote d Ivore. Edite by Cowx I.G. Management and Ecology of lake and reservoir
fisheries. 344-366.
de Morais, L.T. 2002. Fish population structure and its relation to fisheries yiled in small reservoirs
in Cote d Ivoire. Edited by Cowx I.G. Management and Ecology of lake and reservoir
fisheries. 112-122.
Kolding, J. and Zwieten, P.A.M. van, 2006. Improving productivity in tropical lakes and reservoirs.
Challenge Program on Water and Food - Aquatic Ecosystems and Fisheries Review Series
1. Theme 3 of CPWF, C/o WorldFish Center, Cairo, Egypt. 139 pp.
Kottelat , M., & T. Whitten. 1996. Freshwater biodiversity in Asia with special reference to fish.
World Bank Technical Paper 343. The World Bank, Washington, D.C., USA. 59 p.
Njiru. M, E. Waithaka, M. Muchiri, M. van Knaap & I. G. Cowx. 2005. Exotic introductions to the
shery of Lake Victoria: What are the management options?. Lakes & Reservoirs:
Research and Management 10: 147155
NRMMC (Natural Resource Management Ministerial Council). 2006. A strategic approach to the
management of ornamental fish in Australia. Department of Agriculture, Fisheries and
Forestry.40p
Stolting, K. N. 2004. The midas cichlid species flock: Incipient sympartic speciation?. Thesis. 86p
Umar, C & E. S Kartamihardja. 2006. Kenaekaragaman jenis ikan dan produksi tangkapan di
perairan Waduk Ir H Djuanda, Jatiluhur. Prosiding Semanar Nasional Ikan IV. 77- 82 p
Welcomme, R. and Chavalit Vidthayanom. 2003. The impacts of introductions and stocking of
exotic species in the Mekong Basin and policies for their control. MRC Technical Paper No.
9, Mekong River Commission, Phnom Penh. 38 pp. ISSN: 1683-1489
Yemane, D., Field, J. G., & Leslie, R. W. 2005. Exploring the eects of shing on sh assemblages
using Abundance Biomass Comparison (ABC) curves. ICES Journal of Marine Science,
62: 374e379.
Semnaskan _UGM / Penangkapan (PK-03) - 1
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
RESPONS PENGLIHATAN IKAN BERONANG DAN KAKAP MERAH
TERHADAP PERBEDAAN WARNA JARING (SKALA LABORATORIUM)
Fitri, ADP
1)
dan Asriyanto
1)
1)
Jurusan Perikanan, FPIK-UNDIP
Kampus FPIK, Jl. Prof. Soedarto, SH, Tembalang-Semarang
Email: aristi_dian@undip.ac.id; asrining@yahoo.com
Abstrak
Ikan Beronang (Siganus javus) dan Kakap Merah (Lutjanus malabaricus) merupakan kelompok
ikan karang ekonomis penting yang umumnya ditangkap dengan menggunakan alat tangkap jaring
insang (gill net). Prinsip operasi penangkapan gill net adalah menghadang ruaya ikan-ikan yang
sedang melintas, tetapi tidak menutup kemungkinan masih adanya peluang ikan yang dapat
menghindari hadangan atau bahkan dapat menerobos jaring yang telah dipasang. Penyebabnya
adalah penggunaan bahan jaring yang mudah dilihat oleh ikan dan juga ikan mempunyai
kemampuan untuk melihat benda pada jarak tertentu. Akan tetapi, masih sedikit informasi atau
pengetahuan tentang tingkah laku ikan khususnya ikan Beronang dan Kakap Merah kaitannya
dengan organ penglihatan. Dengan mengetahui dan menganalisis respons penglihatan ikan
Beronang dan Kakap Merah terhadap perbedaan warna jaring, dapat memberikan informasi
terhadap pengembangan alat tangkap yang lebih efektif dan efisien, serta dapat memperbaiki alat
tangkap untuk menunjang keberhasilan operasi penangkapan. Warna jaring yang digunakan
adalah hijau, biru, orange, putih, dan transparan. Data yang dikumpulkan adalah jumlah ikan
Beronang dan ikan Kakap Merah yang menerobos jaring. Analisis data dengan menggunakan uji-t
(t-student). Ikan Beronang dan Kakap Merah mampu melihat dengan baik warna jaring biru, tetapi
tidak mampu melihat dengan baik warna jaring transparan. Hal tersebut berkaitan dengan
kemampuan kedua ikan tersebut untuk mampu membedakan kekontrasan antara warna jaring
dengan warna air sebagai latar belakangnya.
Kata kunci : Siganus javus dan Lutjanus malabaricus, Respons penglihatan, Warna jaring
Pengantar
Mata ikan telah melalui seleksi alamiah dan evolusi. Proses evolusi tersebut telah
memaksimalkan kemampuan fotoreseptor pada sistem penglihatan ikan, dimana mata ikan dapat
menyerap puncak panjang gelombang yang berbeda beda. Kondisi ini didukung oleh banyaknya
pigmen penglihatan pada retina dan kemampuan menyerap energi matahari. Penelitian fisiologi
dan histologi organ penglihatan terutama dari jumlah dan susunan sel reseptor kon (cone), rod,
dan diameter lensa ikan merupakan fenomena yang menarik untuk dikaji agar dapat mengetahui
pola tingkah lakunya, khususnya dalam hal ketajaman penglihatan dan pembedaan warna.
Menurut Gunarso dan Bahar (1991) bahwa bagaimanapun canggihnya suatu alat
penangkapan ikan, namun sebagian besar ikan ternyata masih berhasil meloloskan diri dari
cakupan alat penangkap. Salah satu penyebabnya bahwa sejauh ini kita lebih banyak
memaksakan kehendak kita sendiri tanpa menyadari dan memahami apa yang dikehendaki oleh
ikan itu sendiri. Oleh sebab itu, bila tingkah laku ikan serta berbagai faktor-faktor yang berkaitan
dengannya dapat diketahui dan dipahami, maka akan membuka jalan untuk mengetahui cara-cara
yang dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas suatu alat tangkap ikan, bahkan dapat memacu
untuk memodifikasi suatu jenis alat penangkap baru yang lebih sesuai.
Berbagai permasalahan sumberdaya maupun lingkungan yang sedang dihadapi saat ini
telah menjadi dasar dan alasan penting bahwa pengembangan teknologi penangkapan ikan di
masa mendatang lebih dititikberatkan pada kepentingan kelestarian sumberdaya dan perlindungan
lingkungan (Purbayanto dan Baskoro, 1999). Dalam hubungannya dengan teknologi penangkapan
ikan yang ramah lingkungan, konsep mengenai teknologi penangkapan ikan sekarang ini tidak
hanya menekankan pada peningkatan jumlah hasil tangkapan, tetapi juga harus memperhatikan
dampak terhadap lingkungan dan sumberdayanya. Penelitian ini ditekankan pada analisis terhadap
organ mata kelompok ikan yang dalam cara menangkapnya banyak menggunakan jaring yang
bersifat pasif (gill net, set net, dan trammel net). Ikan tersebut terdiri dari Beronang (Siganus
PK-03
2 - Semnaskan _UGM / Penangkapan (PK-03)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
canaliculatus), dan Kakap Merah (Lutjanus sebae) yang ditangkap diperairan laut Jepara dan
sekitarnya.
Tujuan penelitian adalah diketahuinya fisiologi dan histologi mata ikan Beronang (Siganus
canaliculatus), dan Kakap merah (Lutjanus sebae) yang meliputi: jumlah dan susunan sel reseptor
kon (cone) dan rod (rod), ketajaman penglihatan, jarak pandang maksimum, dan kemampuan
penglihatan dalam membedakan warna berkaitan dengan pola tingkah laku ikan saat melihat suatu
lembar jaring (webbing) dengan warna berbeda. Manfaat yang diambil adalah informasi dasar
untuk untuk mengetahui pola tingkah laku ikan berdasarkan fisiologi dan histologi penglihatan
dalam kaitannya untuk pengembangan alat tangkap agar efektif, efisien, dan ramah lingkungan.
Bahan dan Metode
Analisis histologi dan fisiologi mata ikan
Alat dan bahan yang digunakan untuk analisis histologi mata adalah sebagai tercantum dalam
Tabel 1 sebagai berikut:
Tabel 1. Alat dan bahan analisis histologi mata
No Alat dan Bahan Kegunaan
1 Disection kit Mengambil mata
2 Microtome Memotong bagian retina mata untuk
observasi mikroskopik
3 Ichtyometer Mengukur panjang dan diameter lensa mata
4 Botol sampel Menyimpan sampel mata ikan
5 Gelas ukur Mengukur volume larutan
6 Glass object Peletakan spesimen retina
7 Pink tissue dan casette
embedding
Tempat spesimen retina mata
8 Aquades Pelarut
9 Alkohol (75%, 80%, 85%, 95%,
100%)
Larutan dehidrasi
10 Haematoxylin Meyer, Eosin Pewarnaan spesimen
11 Arabic balsem Penutup obyek gelas
12 Xylene Larutan pembersih lipid
13 Paraffin Penanaman spesimen
14 Bouins solution Larutan fiksatif
Sampel ikan (ikan Beronang dan Kakap Merah), umumnya ditangkap dengan jaring
menetap pasif (set gill net, set trammel net, dan set net).Tiap jenis ikan sampel diperoleh dari
perairan sekitar Jepara, diambil sebanyak minimal 10 ekor yang mewakili tiap jenis ikan dengan
panjang total (total length) kurang lebih 15 cm.
Uji pengaruh warna terhadap respon ikan
Peralatan yang digunakan dalam uji respons warna jaring dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Peralatan penelitian respon warna jaring
Alat Kegunaan Satuan
Termometer Mengukur suhu air C
pH paper Untuk mengukur kadar pH air laut
Hand refraktometer Mengukur salinitas air laut
Konikel pemeliharaan Memelihara ikan percobaan 150cm
Konikel percobaan Tempat melakukan percobaan 145cm
Stopwatch Mengukur waktu perlakuan detik
Kamera digital Mengambil gambar pada saat perlakuan
Serok Mengambil ikan
Blower Untuk supply oksigen
Alat tulis Mencatat data
CCTV Merekam pada saat perlakuan
Semnaskan _UGM / Penangkapan (PK-03) - 3
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Meteran jahit Mengukur ukuran ikan
cm
Jaring yang digunakan terdiri dari 5 jaring dengan 5 warna yang berbeda yaitu biru, hijau,
merah, putih, transparan yang pada tiap jaring dipasang frame. Frame dibuat menggunakan kawat
berdiameter 0,18 cm yang diperkuat lagi menggunakan frame dari pipa pralon berdiameter 1,32
cm. Mesh size jaring yang digunakan sebesar 10 cm. Objek yang akan dilihat oleh ikan uji adalah
diameter simpul dan benang jaring. Ukuran diameter simpul dan benang jaring untuk benang
warna merah, biru, hijau, dan putih dengan ukuran diameter benang 0,35 mm dan untuk ukuran
simpulnya 1,6 mm. Sedangkan untuk diameter benang jaring transparan 0,3 mm dengan ukuran
diameter simpulnya 0,6 mm.
Satu bak percobaan berbentuk selinder berdiameter 145 cm dengan warna dinding biru
muda dari bahan fiberglass dengan kapasitas volume 1 ton (1 m
3
) digunakan sebagai wadah
percobaan. Bak percobaan tersebut terdapat lubang pengeluaran air dibagian dasar yang
dimodifikasi menjadi sumbu untuk patokan frame jaring saat melakukan gerakan pelingkaran
jaring. Pada bagian atas kanan frame jaring dibuat pegangan sebagai sumbu yang berfungsi untuk
memutar frame jaring saat percobaan dilakukan. Frame jaring bersifat tidak permanen, sehingga
saat perlakuan perbedaan warna jaring frame tersebut dapat dibongkar-pasang sesuai dengan
perlakuan.
Jaring diletakkan menghadang gerak ikan di bagian tengah konikel. Hal ini bertujuan agar
ikan uji tidak akan melihat hadangan jaring sehingga akan menerobos/melewati jaring. Desain bak
percobaan dan frame jaring dapat dilihat pada Gambar 1 di bawah ini.
Keterangan :
1. Frame jaring
2. Sumbu putar
3. Jaring yang digunakan sebagai perlakuan
4. Ikan uji
Metoda penelitian yang digunakan adalah metoda observasi dan eksperimen laboratoris.
Data yang didapatkan dengan metoda tersebut adalah data primer meliputi data organ penglihatan
ikan sampel segar yang baru ditangkap jaring dan data jumlah ikan yang lolos dari mata jaring
dengan berbagai warna jaring perlakuan dalam satuan waktu tertentu. Perlakuan terdiri dari 2
faktor, faktor pertama adalah 2 jenis ikan uji dan faktor kedua adalah perbedaan warna lembar
jaring jenis bahan benang monofilament biru, merah, hijau, putih dan transparan.
Keseluruh rangkaian penelitian dilakukan selama 10 (sepuluh) bulan dan dilaksanakan
dalam dua tahap, tahap pertama dengan prosedur penghitungan jumlah dan susunan sel reseptor
cone dan rod serta diameter lensa sebagai dasar penggunaan rumus dan analisis matematik untuk
145 cm
(1)
(2)
(3)
(4)
Gambar 2. Desain Bak Uji dan Frame Jaring Percobaan
4 - Semnaskan _UGM / Penangkapan (PK-03)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
mendapatkan data tentang ketajaman penglihatan, sumbu penglihatan, dan jarak pandang
maksimum. Tahap kedua melakukan suatu pembuktian antara data perhitungan organ penglihatan
dengan tingkah laku ikan saat melihat jaring dengan warna berbeda didalam bak air di dalam uji
laboratoris. Hal ini bertujuan untuk membuktikan dan menganalisis tingkah laku ikan saat melihat
jaring dari warna yang berbeda, sehingga dapat sebagai prediksi pola tingkah laku ikan saat
melihat warna jaring pada habitat aslinya.
Analisis data meliputi kebiasaan penglihatan (visual axis), ketajaman mata (visual acuity)
dan jarak pandang maksimum ikan (maximum sighting distance). Analisis data ketajaman
penglihatan (visual acuity) dihitung berdasarkan nilai kepadatan sel kon setiap 0,01 mm
2
luasan
pada masing-masing bagian dari retina dengan menggunakan rumus sudut pembeda terkecil
(minimum separable angle) yang diberikan oleh Tamura (1957) :
( )
(

+
n
x x
x
F
25 , 0 1 1 , 0 2 1
dimana, o
rad
: sudut pembeda terkecil (dalam radian)
F : jarak fokus (berdasarkan formula Matthienssons (F = 2,55.r)
0,25: nilai penyusutan spesimen mata akibat proses histologi
n : jumlah sel kon terpadat per luasan 0,01 mm
2
yang merupakan hasil pengamatan
di bawah mikroskop.
Ketajaman penglihatan (visual acuity = VA) merupakan kebalikan dari nilai sudut pembeda
terkecil yang dikonversi dengan rumus sebagai berikut (Shiobara et al., 1998):
o min = o (rad) x
t
180
x 60
VA =
min
1
o
Sumbu penglihatan diperoleh setelah nilai kepadatan sel kon tiap bagian dari retina mata
diketahui yaitu dengan cara menarik garis lurus dari bagian retina yang memiliki nilai kepadatan sel
kon tertinggi menuju titik pusat lensa mata (Tamura, 1957).
Analisis perhitungan jarak pandang maksimum (Maximum sighting distance) dapat
dilakukan dengan menggunakan rumus phytagoras dengan asumsi:
a) Kondisi perairan dalam keadaan jernih (clear water)
b) Ketajaman penglihatan (o) yang digunakan adalah dalam satuan sudut derajat (minimum
seperable angle degrees).
c) Obyek yang menjadi sasaran penglihatan merupakan diameter dari benda yang di lihat.
d) Obyek dianggap berbentuk titik (dot).
Perhitungan jarak pandang maksimum ( D )dengan menggunakan rumus phytagoras adalah
sebagai berikut :
( )
o ) 5 . 0 tan(
5 , 0 d
D =
Dimana: d = diameter obyek (mm)
o = sudut pembeda terkecil (menit)
Hasil dan Pembahasan
Analisis histologi retina mata ikan
Hasil analisis histologi dari retina mata masing-masing jenis ikan perlakuan menunjukkan
bahwa susunan sel reseptor terdiri atas sel kon tunggal (single cone) dan sel kon ganda (double
cone), sedangkan sel rod tidak ditemukan pada susunan tersebut. Sel kon membentuk susunan
o
rad
=
Semnaskan _UGM / Penangkapan (PK-03) - 5
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
mozaik dengan posisi satu sel kon tunggal dikelilingi oleh empat sel kon ganda. Sel fotoreseptor
membentuk mozaik dengan susunan satu sel kon tunggal dikelilingi oleh empat sel kon ganda.
Dengan adanya sel kon (kerucut) ganda ini, maka ikan mempunyai kemampuan dapat
membedakan warna. Hal ini disebabkan pada sebagian ikan karang memiliki pigmen visual lebih
dari satu. Tetapi jika hanya pigmen penglihatan tunggal, maka ikan tersebut hanya mampu melihat
cahaya putih (monochromatic vision). Ikan-ikan kelompok teleostei memiliki reseptor penglihatan
sel kon. Salah satu ciri ikan teleostei adalah memiliki sel kon tunggal dan ganda, yang akan
cenderung menggunakan penglihatannya untuk adaptasi terhadap cahaya pada waktu mencari
makan. Sel kon memiliki kemampuan dalam hal kepekaan terhadap cahaya dan ketajaman
penglihatan dan sel kon ganda mempunyai kemampuan yang lebih sensitif (peka) terhadap cahaya
dibandingkan dengan sel kon tunggal (Tamura, 1957 dan Razak et al., 2005). Susunan mozaik sel
reseptor ikan Beronang dan Kakap Merah dapat dilihat pada Gambar 3.
a. Ikan Beronang b. Ikan Kakap Merah
Dari hasil plot jumlah sel-sel kon pada masing-masing bagian retina mata ikan perlakuan
dapat digambarkan dalam Gambar 3 berikut.
Hasil pengukuran dan penghitungan pada mata ikan sebagaimana tercantum di Tabel 3.
Tabel 3. Hasil Pengukuran dan Penghitungan Variabel Mata Ikan Beronang dan Kakap Merah.
Gambar 4. Peta kontur kepada sel kon
a) Ikan Beronang; b) Ikan Kakap Merah
a
b
Gambar 3. Peta kontur kepada sel kon
6 - Semnaskan _UGM / Penangkapan (PK-03)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Variabel Jenis Ikan
Beronang Kakap Merah
Diameter Lensa (mm) 4 5,5
Kepadatan Sel Kon per 0.01 mm
2
99 80
Sudut Pembeda Terkecil rad (menit) 0,0049 0,0039
Ketajaman Penglihatan 0,06 0,07
Jarak Pandang Maksimum (m) terhadap benang jaring
warna
2,04 2,52
Keterangan :
benang jaring warna 0,35 mm n = kepadatan sel kon tiap 0.01mm
2
simpul jaring warna 1,6 mm r = jari-jari ( mm )
benang jaring transparan 0,3 mm F = jarak fokus lensa mata (mm)
simpul jaring trasnsparan 0,6 mm rad = sudut pembeda terkecil (menit)
pipa pralon 13,15 mm va = ketajaman penglihatan
kawat 1,8 mm D = jarak pandang maksimum (mm)
Ketajaman penglihatan ikan tergantung dari dua faktor yaitu diameter lensa dan kapadatan
sel kon pada retina. Diameter lensa mata ikan berbanding lurus dengan ukuran panjang tubuh ikan
yang artinya semakin panjang tubuh ikan maka diameter lensa mata ikan akan bertambah pula.
Hal ini terjadi karena diameter lensa mata ikan yang ikut bertambah mengakibatkan gambar suatu
objek yang melalui lensa mata menuju retina akan semakin cepat, karena nilai sudut pembeda
terkecil semakin kecil (Giovani, 2003).
Jarak pandang maksimum yang dimiliki ikan akan semakin meningkat dengan semakin
besarnya ukuran diameter objek benda yang dilihat dan semakin meningkatnya ukuran panjang
tubuh ikan. Artinya bahwa dengan ukuran panjang tubuh yang semakin besar maka kemampuan
ikan untuk dapat mendeteksi adanya benda dihadapannya akan semakin jauh.
Sumbu penglihatan dapat ditentukan setelah nilai kepadatan sel kon tiap bagian dari retina
mata ikan diketahui, yaitu dengan cara menarik garis lurus melalui lensa mata. Lensa mata ikan
mengikuti aturan dasar fisik pembengkokan cahaya sampai benda yang diketahuinya memberi
strategi untuk selanjutnya dianalisis. Bentuk lensa mata ikan bulat dan pergerakkannya mirip
dengan prinsip kerja dari lensa kamera (Razak et al., 2005).
Ikan Beronang dan Ikan Kakap merah memiliki sel fotoreseptor berupa sel kon tunggal
(single cone)dan sel kon ganda (double cone) yang membentuk mozaik dengan susunan satu sel
tunggal dikelilingi oleh empat sel kon ganda. Tabel 3 menunjukkan bahwa ikan Kakap merah
mempunyai diameter lensa lebih besar dibandingkan ikan Beronang, seperti telah dijelaskan
sebelumnya ukuran lensa mata ikan dan jumlah sel kon per luasan 0,01 mm
2
akan mempengaruhi
ketajaman penglihatan ikan. Semakin besar ukuran diameter lensa mata dan kepadatan sel kon
ikan, maka ketajaman penglihatan ikan akan semakin baik pula. Berbeda dengan ukuran diameter
lensa, nilai kepadatan sel kon akan semakin menurun jika ukuran panjang tubuh ikan bertambah,
hal ini terjadi karena sel kon tersebut mengalami perbesaran ukuran dengan semakin
bertambahnya ukuran tubuh ikan.
Dari data diameter lensa mata ikan dan kepadatan sel kon tertinggi pada retina mata ikan,
maka sudut pembeda terkecil dan ketajaman penglihatan dapat diketahui. Sudut pembeda terkecil
akan menurun dengan semakin bertambahnya ukuran panjang tubuh ikan, sebaliknya ketajaman
penglihatan ikan akan meningkat dengan bertambahnya ukuran panjang tubuhnya.
Sumbu penglihatan masing-masing jenis ikan dapat ditentukan setelah nilai kepadatan sel
kon tiap bagian dari retina mata ikan diketahui, yaitu dengan cara menarik garis lurus melalui lensa
mata. Sumbu penglihatan ikan menunjukkan pola makan dan pola hidup ikan dari ikan tersebut.
Dari hasil perhitungan kepadatan sel kon dan konfigurasi kontur pada peta kontur di atas diketahui
bahwa kontur kepadatan sel kon terletak pada daerah dorso-temporal untuk ikan Beronang dan
ikan Kakap ventro-temporal, sehingga arah pandang ikan menunjukkan perubahan diopter ke arah
depan turun untuk Beronang dan ke arah depan naik untuk ikan Kakap.
Semnaskan _UGM / Penangkapan (PK-03) - 7
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Jarak pandang maksimum ikan sebanding dengan ukuran benda yang diamati. Semakin besar
ukuran diameter benda maka jarak pandang maksimum ikan akan semakin jauh. Berdasarkan data
pada Tabel 3 diketahui bahwa jarak pandang ikan Beronang sebesar 2,04 m dan Kakap 2,52 m
untuk benda berdiameter 0,35 mm (benang jaring). Dapat disimpulkan bahwa ikan Kakap
mempunyai jarak pandang yang lebih jauh dibandingkan ikan Beronang.
Respon Ikan terhadap Perbedaan Warna Jaring
Warna yang dapat dilihat oleh ikan (karang) secara umum adalah warna biru dan cenderung
sensitif terhadap warna hijau (Razak et al., 2005), karena suatu objek dapat terlihat berwarna
karena sifat selektifnya terhadap penyerapan panjang gelombang tertentu dan merefleksikannya
pada kisaran optic tectum cahaya tampak (400-750). Kemampuan suatu benda dapat menyerap
panjang gelombang tertentu sebagai warna disebabkan adanya kromofor (Fujaya, 2002). Hasil
penelitian memperoleh data jumlah ikan Beronang dan Kakap Merah yang dapat menerobos jaring
disajikan pada Tabel 4 dan Tabel 5.
Tabel 4. Jumlah ikan Beronang yang menerobos jaring
Warna jaring
Jumlah ikan yang menerobos jaring
Jumlah
(ekor)
Ulangan
I II III
Merah 3 3 1 7
Hijau 4 4 3 11
Biru 1 1 0 2
Putih 3 6 6 15
Transparan 7 7 6 20
Tabel 5. Jumlah ikan Kakap Merah yang menerobos jarring
Warna jaring Jumlah ikan yang menerobos jaring Jumlah
(ekor) Ulangan
I II III
Merah 3 2 4 9
Hijau 8 4 5 17
Biru 1 1 0 2
Putih 6 7 6 19
Transparan 8 8 7 23
Pada Tabel 4 dan 5 menunjukkan bahwa ikan Beronang dan Kakap Merah memiliki respon
yang paling baik terhadap jaring transparan. Hal ini dibuktikan dari banyaknya ikan Beronang yang
menerobos jaring sebanyak 20 ekor. Hal ini mengindikasikan bahwa ikan Beronang tidak mampu
melihat jaring warna transparan. Adapun warna jaring biru merupakan warna yang paling mudah
dikenali oleh ikan Beronang, hal ini disebabkan karena kekontrasan antara warna jaring dengan
warna latar belakang perairan (background) yang diindikasikan dari warna bak konikel
pemeliharaan, artinya ikan Beronang dan kakap Merah mampu melihat warna jaring biru karena
ikan laut mampu mengabsorbsi pigmen warna terutama panjang gelombang cahaya biru sehingga
warna yang mampu dilihat ikan karang secara umum adalah warna biru., sebagaimana pendapat
dari Baskoro et al. (2005), dan Yushinta (2000).
Hasil penelitian ini juga diperkuat dengan analaisis statistik uji-t yang menunjukkann bahwa
adanya perbedaan yang sangat nyata diantara masing-masing perlakuan, yang artinya bahwa
terdapat perbedaan respon pada penggunaan warna jaring berbeda terhadap penglihatan ikan
Beronang dan Kakap merah.
Kesimpulan dan Saran
1. Ikan Beronang (Siganus canaliculatus), dan Ikan Kakap merah (Lutjanus sebae) hanya
memiliki sel fotoreseptor kon tunggal (single cone) dan sel kon ganda (double cone) dengan
susunan mosaik dan tidak ditemukannya sel rod.
2. Ketajaman penglihatan dan jarak pandang maksimum ikan Kakap merah (Lutjanus sebae)
lebih besar dibanding ikan Beronang (Siganus canaliculatus)
8 - Semnaskan _UGM / Penangkapan (PK-03)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
3. Ikan Beronang (Siganus canaliculatus), dan Ikan Kakap merah (Lutjanus sebae) memberi
respon, yakni tidak dapat merespon atau dapat menerobos jaring warna transparan, tetapi
mampu merespon dengan baik pada jaring berwarna biru.
Ucapan Terima Kasih
Penulis mengucapkan terima kasih kepada DP2M Dikti yang telah memberikan dana
dalam pelaksanaan penelitian H. Fundamental berdasarkan surat perjanjian No.
92A/J07.2/PG/2007 tanggal 29 MARET 2007; Kepala Laboratorium LPWP FPIK UNDIP yang telah
memberikan kesempatan untuk melaksanakan penelitian ditempat tersebut, Dr. Sri Hastuti, M.Si
yang telah membantu dalam melakukan analisis histologi retina mata ikan serta saudari Febriana
H, S.Pi yang telah membantu dalam pelaksanaan pengamatan tingkah laku ikan.
Daftar Pustaka
Fujaya, Y. 2002. Fisiologi ikan. Dasar Pengembangan Teknologi Perikanan. Fakultas Ilmu
Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin.
Giovani. 2003. Ketajaman mata Ikan Kakap Merah terhadap alat tangkap pancing. Fakultas
Perikanan. Institut Pertanian Bogor (Skripsi). Bogor.
Gunarso, W. dan D. Bahar. 1991. Diktat kuliah tingkah laku ikan. Proyek Peningkatan Perguruan
Tinggi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Purbayanto, A. dan M.S. Baskoro, 1999. Tinjauan singkat tentang pengembangan teknologi
penangkapan ikan ramah lingkungan. Mini Review on the Development of
Environmental Friendly Fishing Technology. Proceeding Agri-BioChE Symposium.
Tokyo.
Razak, A; K. Anwar, dan M.S. Baskoro. 2005. Fisiologi mata ikan. Departemen Pemanfaatan
Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian
Bogor.
Shiobara, Y., S. Akiyama, and T. Arimoto. 1998. Developmental changes in the visual acuity of Red
Sea Bream (Pagrus major). Journal Fisheries Science,(64)6:944-947. Department of
Marine Science and Technology, Tokyo University of Fisheries, Tokyo, Japan.
Tamura, T. 1957. A Study of visual perception in fish, especially on resolving power and
accommodation. Bulletin of The Japanese Society of Scientific Fisheries. (22)9:536-557.
Fisheries Institute, Faculty of Agriculture, Japan.
Semnaskan _UGM / Penangkapan (PK-04) - 1
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
KOMPOSISI DAN DISTRIBUSI HASIL TANGKAPAN IKAN
DI WADUK IR.H.DJUANDA
Masayu Rahmia Anwar Putri dan Sri Endah Purnamaningtyas
Balai Riset Pemulihan Sumberdaya Ikan Jatiluhur
Email : sweety_palembang@yahoo.com
Abstrak
Pengamatan tentang potensi perikanan di Waduk Ir.H.Djuanda telah lama dilakukan oleh Balai
Riset Pemulihan Sumberdaya Ikan Jatiluhur sejak tahun 1968. Tujuan dari penelitian ini untuk
mengetahui komposisi dan distribusi hasil tangkapan ikan di Waduk Ir.H.Djuanda berdasarkan
waktu dan lokasi pengamatan. Penelitian dilakukan dari bulan Januari hingga Oktober 2010 pada 7
lokasi pengamatan dengan menggunakan jaring gillnet ukuran 1; 1,5;2; 2,5;3;3,5 dan 4 inchi.
Berdasarkan hasil penelitian, beberapa jenis ikan asli seperti lempuk tertangkap kembali pada
tahun 2010. Komposisi ikan hasil tangkapan pun juga mengalami perubahan dimana, jumlah jenis
ikan yang ditemukan jauh berkurang dibandingkan tahun 1968 ketika waduk baru mulai beroperasi.
Ikan oskar, golsom serta bandeng merupakan ikan yang paling dominan tertangkap. Secara
temporal, hasil tangkapan ikan tertinggi (berdasarkan berat dan jumlahnya) ditemukan pada bulan
Maret, sedangkan secara spasial stasiun Jamaras, Dam dan Bojong merupakan stasiun dengan
hasil tangkapan tertinggi masing-masing 250 ekor, 223 ekor dan 179 ekor.
Kata Kunci : Komposisi, Distribusi, Waduk Ir.H.Djuanda
Pengantar
Penelitian tentang komposisi hasil tangkapan ikan di Waduk Ir. H.Djuanda telah dilakukan
sejak awal dibangunnya bendungan ini. Bahkan Balai Riset Pemuilhan Sumberdaya Ikan di bawah
Kementerian Kelautan Perikanan telah mengamati perkembangan komposisi sumberdaya ikan di
Waduk IR.H.Djuanda setiap tahunnya.
Perubahan komposisi ikan di Waduk Ir.H.Djuanda terlihat dari jenis-jenis ikan yang
mendominasi hasil tangkapan. Pada awal dibangunnya Waduk Ir.H.Djuanda, jenis ikan yang
mendominasi terdiri dari ikan asli Sungai Citarum seperti ikan hampal, tawes, lalawak, genggehek,
tagih, kebogerang, patin dan lais (Sarnita, 1982 dan Kartamihardja, 2008). Ikan-ikan ini merupakan
ikan predator (Sarnita, 1982 dan Harjamulia et al, 1987) yang populasinya cukup besar sehingga
perkembangan populasi ikan-ikan lainnya mulai terganggu. Seiring bertambahnya waktu, tekanan
lingkungan mempengaruhi keberadaan ikan-ikan asli Sungai Citarum baik dari kondisi kualitas
perairan yang terus menurun dan maraknya invasi ikan asing ke waduk ini. Masuknya ikan asing
baik yang sengaja ditebar ataupun tidak, memberikan pengaruh yang cukup besar di waduk ini.
Awalnya tujuan ditebarnya ikan-ikan ini untuk meningkatkan produksi perikanan di Waduk
Ir.H.Djuanda tetapi akhir-akhir ini penebaran ikan juga bertujuan untuk mengurangi kelimpahan
plankton yang semakin meningkat akibat pertumbuhan budidaya KJA.
Pada tahun 2009 ikan yang mendominasi di Waduk Ir.H.Djuanda adalah ikan oskar dan
golsom. Keberadaan ikan-ikan ini akhirnya mendesak populasi ikan asli Sungai Citarum yang
kebanyakan tidak bisa beradaptasi dengan perubahan lingkungan yang terjadi di Waduk
Ir.H.Djuanda (Tjahjo et al., 2010).
Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui komposisi hasil tangkapan ikan di Waduk
Ir.H.Djuanda dan distribusinya sebagai dasar informasi untuk pengelolaan perikanan dan dapat
dimanfaatkan oleh para pemangku kepentingan (stakeholders) yang terkait.
Bahan dan Metode
Penelitian dilakukan dari bulan Januari hingga Oktober 2010 di Waduk Ir.H.Djuanda. Ikan
ditangkap menggunakan jaring gillnet dengan ukuran mata jaring jaring 1; 1,5, 2; 2,5; 3; 3,5 dan 4
inchi. Ikan yang didapatkan dipisahkan berdasarkan ukuran mata jaring, kemudian setiap hasil
tangkapan ikan per ukuran mata jaring dipisahkan berdasarkan jenisnya. Sampel ikan kemudian
PK-04
2 - Semnaskan _UGM / Penangkapan (PK-04)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
diukur panjang total (cm) dan beratnya (gr). Total hasil tangkapan ikan berjumlah 1086 ekor ikan.
Sampel yang didapat kemudian diidentifikasi dengan menggunakan Kottelat et al. (1993).
Komposisi hasil tangkapan dianalisis menurut waktu penangkapan dan dievaluasi
berdasarkan jumlah individu ikan yang tertangkap (ekor) serta bobot tubuhnya (gram). Selain itu
juga dilihat perbedaan persentase jumlah tangkapan berdasarkan lokasi pengamatan dimulai dari
inlet Waduk Djuanda (stasiun Bojong) hingga ke DAM. Hasil tangkapan pada tahun 2010 kemudian
dibandingkan dengan tangkapan ikan pada tahun 2009. Gambar 1 menunjukkan 7 titik stasiun
penelitian yaitu (1). Bojong, (2) Jamaras, (3) Kerenceng, (4) KJA, (5) Baros barat , (6) DAM dan
(7) Cilalawi.
Gambar 1. Lokasi Penelitian (Tjahjo et al., 2010)
Hasil dan Pembahasan
Komposisi Hasil Tangkapan Ikan
Telah terjadi perubahan komposisi ikan hasil tangkapan di Waduk Ir.H.Djuanda pada tahun
2010 dibandingkan tahun 1968 ketika awal-awal dibangunnya waduk ini (Kartamihardja, 2008).
Pada tahun 1968 ditemukan 31 jenis ikan baik dari ikan introduksi ataupun ikan asli, sedangkan
pada tahun 2010 hanya ditemukan 19 jenis ikan.
Tabel 1 menunjukkan perbandingan komposisi hasil tangkapan ikan dengan menggunakan
gillnet percobaan pada tahun 2009 - 2010 di Waduk Ir.H.Djuanda. Berdasarkan tabel tersebut
diketahui bahwa beberapa ikan seperti lempuk (Callichrous bimaculatus) dan mujair (Oreochromis
Jatiluhur Reservoir
Dam
I
II
III
IV
V
VII
VI
Semnaskan _UGM / Penangkapan (PK-04) - 3
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
mosambicus) mulai tertangkap kembali pada tahun 2010. Ikan lempuk sebagai ikan asli Sungai
Citarum kembali ditemukan walaupun hanya 1 ekor selama tahun 2010 di stasiun Sungai Cilalawi.
Sedangkan ikan betok dan sapu-sapu masing-masing juga hanya ditemukan 1 ekor selama tahun
2010. Keberadaan ikan sapu-sapu dan betok kemungkinan merupakan ikan yang terlepas dari
KJA, karena ikan ini ditemukan di sekitar KJA Waduk Djuanda. Menurut Kartamihardja (2008),
kedua jenis ikan ini tidak pernah ditemukan mulai tahun 1968-2007, baik dari jenis ikan asli
ataupun sebagai ikan introduksi.
Tabel 1. Komposisi Hasil Tangkapan Ikan dengan Menggunakan Gillnet di Waduk Djuanda
No
Jenis Ikan Tahun
Nama Lokal Nama Latin 2009 2010
1
Nila Oreochromis niloticus + +
2
Mas Cyprinus carpio + +
3
Jambal/Patin Pangasius djambal + +
4
Hampal Hampala macrolepidota + +
5
Oskar Amphilopus citrinellus + +
6
Kebogerang Mystus nigriceps + +
7
Betutu Oxyeleotris marmorata + +
8
Bandeng Channos channos + +
9
Lalawak Barbonymus bramoides + +
10
Golsom Cichlasoma sp. + +
11
Kaca Chanda punctulata + +
12
Lempuk Callichrous bimaculatus - +
13
Beunteur Puntius binotatus + +
14
Kapiet Thynnichthys thynnoides + +
15
Mujair Oreochromis mosambicus - +
16
Nilem Osteochilus hasselti + +
17
Betok Anabas testudineus - +
18
Tawes Barbodes gonionotus - +
19
Sapu-sapu Hypostomus plecostomus - +
20
Seren Cyclocheilichtys enoplos + -
Keterangan + : ada, - : tidak ada
4 - Semnaskan _UGM / Penangkapan (PK-04)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Gambar 2. Hasil Tangkapan Ikan Berdasarkan Jumlah (ekor) di Waduk Ir.H.Djuanda
Gambar 3. Hasil Tangkapan Ikan Berdasarkan Berat (gram) di Waduk Ir.H.Djuanda
Gambar 2 dan 3 menampilkan grafik dari komposisi ikan berdasarkan jumlah dan berat dari
ikan yang tertangkap di Waduk Ir.H.Djuanda dengan menggunakan gillnet percobaan. Berdasarkan
0
50
100
150
200
250
300
350
J
U
m
l
a
h
(
e
k
o
r
)
0
5000
10000
15000
20000
25000
B
e
r
a
t
(
g
r
)
N = 1086
N = 64.432 gr
Semnaskan _UGM / Penangkapan (PK-04) - 5
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
grafik pertama, ikan oskar, golsom serta bandeng merupakan ikan yang paling dominan. Selama
tahun 2010, ikan oskar tertangkap sebanyak 301 ekor, ikan golsom 302 ekor dan bandeng 271
ekor (masing-masing 28%, 28% dan 23% dari total tangkapan). Sedangkan 21% dari 1086 ekor
ikan yang tertangkap kebanyakan adalah jenis ikan asli yang keberadaanya mulai hilang dari
Waduk Ir.H.Djuanda. Contoh dari ikan asli yang mulai jarang tertangkap adalah Lalawak, Beunteur,
Hampal, Jambal, Kebogerang, Lempuk dan Tawes. Ikan golsom, oskar dan bandeng semuanya
merupakan ikan eksotik dan bukan merupakan ikan asli Sungai Citarum. Ikan oskar dan golsom
merupakan ikan yang tidak sengaja ditebarkan ke Waduk Djuanda melainkan terbawa dengan
dengan benih ikan yang akan dipelihara. Sedangkan ikan bandeng memang sengaja diintroduksi
untuk mengurangi kelimpahan plankton yang mulai meningkat seiring dengan meningkatnya kadar
bahan organik di Waduk Djuanda (Anonim, 2008).
Berdasarkan beratnya, ikan bandeng mendominasi hasil tangkapan dengan persentase
sebesar 33% dari 64.432 gram ikan atau 22.122 gram, disusul dengan oskar (23% = 14.881 gram),
golsom (13% = 8173 gram), jambal (11% = 7099 gram) dan nila (9% = 5514 gram).
Gambar 4. Distribusi Temporal Hasil Tangkapan Ikan Tahun 2010
Berdasarkan waktu pengamatannya hasil tangkapan ikan di Waduk Ir.H.Djuanda
berfluktuasi setiap bulannya. Distribusi hasil tangkapan ikan secara temporal ditampilkan pada
Gambar 4. Pada bulan Januari, ikan yang tertangkap rata-rata ukurannya lebih besar dibandingkan
total ikan yang tertangkap pada bulan Februari karena dengan jumlah tangkapan sebesar 64 ekor
pada bulan Januari bobot ikannya 8496 gram sedangkan pada bulan Februari dengan bobot yang
hampir sama (8624 gram) jumlah ikan yang tertangkap mencapai 151 ekor. Salah satu ikan yang
mempengaruhi perbedaan yang cukup tajam ini adalah ikan oskar (pada bulan Januari 11 ekor =
1285 gram, pada bulan februari 48 ekor = 1940 gram).
Hasil tangkapan ikan tertinggi (berdasarkan berat dan jumlahnya) ditemukan pada bulan
Maret yang mencapai 200 ekor dengan bobot 12.363 gram, sedangkan yang terendah terjadi pada
bulan Juli dengan tangkapan hanya 42 ekor dengan bobot 2.534 gram. Tingginya hasil tangkapan
pada bulan Maret dipengaruhi oleh tangkapan ikan bandeng yang cukup melimpah yaitu sebanyak
94 ekor dari 200 ekor ikan yang tertangkap dan berat totalnya mencapai 7.494 gram.
0
50
100
150
200
250
J F MRT APR MEI JN JL AGT S O
J
u
m
l
a
h
T
a
n
g
k
a
p
a
n
(
e
k
o
r
)
0
2000
4000
6000
8000
10000
12000
14000
B
e
r
a
t
(
g
r
)
Total Tangkapan (ekor) Berat (gr)
6 - Semnaskan _UGM / Penangkapan (PK-04)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Gambar 5. Distribusi Spasial Hasil Tangkapan Ikan Tahun 2010
Gambar 5 menampilkan distribusi hasil tangkapan ikan di Waduk Ir.H.Djuanda selama tahun
2010. Berdasarkan grafik tersebut, stasiun Jamaras, Dam dan Bojong merupakan stasiun dengan
hasil tangkapan tertinggi masing-masing 250 ekor, 223 ekor dan 179 ekor. Hasil tangkapan ikan
yang cukup banyak di stasiun Dam diduga merupakan ikan-ikan yang terlepas dari lokasi budidaya
keramba jaring apung. Sedangkan stasiun Jamaras dan Bojong kemungkinan merupakan habitat
yang disukai oleh beberapa jenis ikan yang tertangkap. Salah satu jenis ikan yang paling banyak
tertangkap adalah ikan golsom. Ikan ini merupakan ikan omnivore cenderung karnivor yang biasa
memakan ikan-ikan kecil seperti ikan kaca ataupun invertebrate air lain. Ikan kaca adalah ikan
demersal yang makanannya biasanya adalah organisme dasar perairan (benthos) seperti
invertebrate air ataupun ikan-ikan kecil lainnya (Anonim, 2010). Pemasangan gillnet di Stasiun
Jamaras dan Bojong biasanya dekat dengan zona litoral atau tepian danau dengan air yang
dangkal dimana cahaya matahari masih bisa sampai di dasar perairan. Pada zona ini ditemukan
makanan dari ikan-ikan demersal seperti krustasea kecil, cacing pipih, larva serangga dan siput.
0
50
100
150
200
250
300
Kerenceng Jamaras Bojong Dam Baras barat KJA Cilalawi
J
u
m
l
a
h
T
a
n
g
k
a
p
a
n
(
e
k
o
r
)
0
2000
4000
6000
8000
10000
12000
14000
16000
B
e
r
a
t
(
g
r
)
Total Tangkapan (ekor) Berat (gr)
Semnaskan _UGM / Penangkapan (PK-04) - 7
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Gambar 6. Perbedaan Hasil Tangkapan Ikan Tahun 2009 dan 2010
Gambar 6 menunjukkan grafik hasil tangkapan ikan tahun 2009 dan 2010 di Waduk
Ir.H.Djuanda. Berdasarkan grafik diatas, telah terjadi penurunan hasil tangkapan ikan dengan
menggunakan gillnet baik dari segi jumlah ataupun bobotnya. Pada tahun 2009, jumlah tangkapan
ikan mencapai 1289 ekor sedangkan tahun 2010 menurun menjadi 1086 ekor. Berat total
tangkapan juga mengalami penurunan yaitu dari 74.079 gram menjadi 64.432 gram pada tahun
2010.
Kesimpulan
1. Komposisi ikan hasil tangkapan mengalami perubahan dimana, jumlah jenis ikan yang
ditemukan jauh berkurang dibandingkan tahun 1968 ketika waduk baru mulai beroperasi.
2. Ikan oskar, golsom serta bandeng merupakan ikan yang paling dominan tertangkap.
3. Secara temporal, hasil tangkapan ikan tertinggi (berdasarkan berat dan jumlahnya) ditemukan
pada bulan Maret, sedangkan secara spasial stasiun Jamaras, Dam dan Bojong merupakan
stasiun dengan hasil tangkapan tertinggi masing-masing 250 ekor, 223 ekor dan 179 ekor.
4. Telah terjadi penurunan hasil tangkapan ikan dari tahun 2009 dengan menggunakan gillnet
baik dari segi jumlah ataupun bobotnya. Pada tahun 2009, jumlah tangkapan ikan mencapai
1289 ekor sedangkan tahun 2010 menurun menjadi 1086 ekor. Berat total tangkapan juga
mengalami penurunan yaitu dari 74.079 gram menjadi 64.432 gram pada tahun 2010.
Daftar Pustaka
Anonim. 2008. Lebih Dari Dua Juta Ekor Benih Ikan Ditebar. http;//www.perikanan-
budidaya.dkp.go.id/detail_berita_fr.php?id. Diakses tanggal 7 Desember 2009.
Anonim, 2010. Parambassis siamensis (Fowler, 1937). http://fishbase.org/summary/Parambassis-
siamensis.html. Diakses tanggal 24 Juni 2011
Kartamihardja, E.S. 2008. Perubahan Komposisi Komunitas Ikan dan Faktor-faktor Penting yang
Memengaruhi Selama Empat Puluh Tahun Umur Waduk Djuanda. Iktiologi Indonesia, 8:2.
Kottelat, M. A, et al.. 1993. Freshwater Fishes of Western Indonesia and Sulawesi (Ikan Air Tawar
Indonesia Bagian Barat dan Sulawesi). Java Books. Jakarta. P 170.
Sarnita, A.S. 1982. Pengelolaan Perikanan Waduk Jatiluhur. Pros. No. 1/SPPU/1982 ISSN. 0216-
2415
0
10000
20000
30000
40000
50000
60000
70000
80000
2009 2010
B
e
r
a
t
T
o
t
a
l
(
g
r
)
0
250
500
750
1000
1250
1500
J
u
m
l
a
h
(
e
k
o
r
)
Berat Tangkapan (gr) Jumlah Tangkapan (ekor)
8 - Semnaskan _UGM / Penangkapan (PK-04)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Tjahjo, D.W.H et al . 2010. Laporan Tahunan Kegiatan Biolimnologi Waduk Kaskade Sungai
Citarum, Jawa Barat. Balai Riset Pemulihan Sumberdaya Ikan. Kementerian Kelautan dan
Perikanan.
Semnaskan _UGM / Penangkapan (PK-05) - 1
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
KOMPOSISI JENIS DAN BIOMASA HASIL TANGKAPAN PERCOBAAN
DI PERAIRAN ESTUARI SELAT PANJANG RIAU
Rupawan
Balai Riset Perikanan Perairan Umum
Jalan Beringin N0.308 Mariana (30763 ) Palembang
Email: rupawan55@gmail.com
Abstrak
Peran ekologis dan peran ekonomi penting perairan estuari antara lain sebagai penyedia habitat
tempat pemijahan, pengasuhan dan tempat mencari makan atau pembesaran, lahan usaha
perikanan tangkap, sumber pendapatan nelayan dan sumber protein hewani. Aktivitas
penangkapan sangat berkembang menggunakan jenis alat tangkap, metoda penangkapan dan
hasil tangkapan yang bervariasi dan lebih mengutamakan untuk mendapatkan jumlah dan nilai
hasil tangkapan utama yang sebanyak-banyaknya terutama kelompok udang Penaidae sebagai
spesies target. Kondisi ini akan mengarah pada pemanfaatan yang berlebih dan tidak ramah
lingkungan. Untuk mengatahui komposisi jenis dan biomasa ikan dan udang Penaidae di perairan
estuari selat Panjang telah dilakukan penelitian dengan metoda survei dan percobaan
penangkapan menggunakan jaring kantong (trap net) dengan nama lokal Gumbang yang ditarik
dengan kapal. Percobaan penangkapan dilakukan pada 8 lokasi sebagai stasiun pengamatan yang
ditentukan secara porposive dan masing-masing dilakukan pada bulan Pebruari, Mei, Agustus dan
Oktober tahun 2010. Hasil penelitian menunjukan bahwa Jumlah jenis hasil tangkapan pada
lapisan kedalaman 5 meter dari permukaan air yaitu 20 jenis terdiri dari 5 jenis kelompok udang
Penaidae dan 15 jenis kelompok ikan. Biomasa kelompok udang Penaidae mencapai 6.573 gr
(20,8%) yang didominasi udang udang Duri (Alphases, sp) dan biomasa kelompok ikan 24.393 gr
(79,2%) yang didominasi ikan Lomeh (Harpodon neherius) biomasa tertinggi pada bulan Mei dan
terendah pada bulan Oktober. Kisaran nilai salinitas lokasi penangkapan 12,028,0 ppt , hasil
tangkapan tergolong jenis estuarine obligate yaitu jenis penghuni tetap perairan estuari.
Kata kunci : jenis, biomassa, ikan-udang, estuari, selat Panjang.
Pengantar
Perairan estuari (muara sungai) merupakan zona peralihan dari ekosistem air tawar ke
ekosistem air payau (ekoton), kondisi lingkungan dan komunitas biota khas dan dinamis hanya
spesies yang memiliki kekhususan fisiologi yang mampu bertahan hidup di perairan estuari.
Arus air pasang dengan salinitas tinggi bertemu arus sungai yang berlawanan
menyebabkan suatu pengaruh yang kuat pada variasi salinitas, kekeruhan dan sedimentasi. Masa
air dari aliran sungai banyak membawa sedimen yang kaya unsur hara dan terperangkap (Nutrient
trapped) menjadikan perairan estuarine relatif lebih subur. Namun dibalik kesuburan tersebut,
sedimen yang terjebak juga mampu menyerap logam-logam berat maka tidak tertutup
kemungkinan di daerah estuari dan rawa pasang-surut juga berpeluang sebagai perangkap
bahan tercemar (pollutant trapped). (Efriyeldi.1999).
Secara umum perairan estuari mempunyai peran ekologis dan paran ekonomi penting,
peran ekologis antara lain sumber zat hara dan bahan organik yang diangkut oleh sirkulasi pasang
surut (tidal circulation), penyedia habitat bagi sejumlah spesies hewan yang bergantung pada
estuaria sebagai tempat pemijahan (spawning ground), tempat mencari makan (feeding ground)
dan tempat asuhan (nursery ground).
Perairan estuaria yang masih mempunyai peran ekologis tersebut selanjutnya berperan
sebagai penyangga dan penentu stok ikan di laut (Tiwow. 2003). Peran penting ekonomi antara
lain sebagai lahan usaha perikanan tangkap, sumber pendapatan nelayan dan sumber protein
hewani.
Tetapi pada akhir-akhir ini peran ekologis dan peran ekonomi penting tersebut terancam
akibat degradasi lingkungan perairan dan aktivitas pemanfaatan sumberdaya ikan yang tak
terkendali.
PK-05
2 - Semnaskan _UGM / Penangkapan (PK-05)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Dilaporkan sekitar 2 juta hektar lahan rawa pasang-surut disepanjang pantai timur
Sumatera (Riau, Jambi, Sumatera Selatan dan Lampung ) dan dibagian pesisir barat dan pesisir
selatan Kalimantan telah direklamasi untuk berbagai kepentingan. (Notohadiprawira. T, 1994).
Aktivitas penangkapan sangat berkembang menggunakan jenis alat tangkap, metoda
penangkapan dan hasil tangkapan yang bervariasi dan lebih mengutamakan untuk mendapatkan
jumlah dan nilai hasil tangkapan yang sebanyak-banyaknya terutama kelompok udang Penaidae
sebagai spesies target. Kondisi ini akan mengarah pada pemanfaatan yang berlebih dan tidak
ramah lingkungan.
Hasil kajian pemanfaatan sumberdaya ikan di perairan estuari selat Panjang, aktivitas
penangkapan menggunakan 5 jenis alat tangkap utama yang didominasi alat tangkap dengan
nama lokal gumbang (trap net). Jenis alat tangkap ini menangkap dengan cara menghadang dan
menyaring ikan dan udang pada arus air pasang atau surut, target tangkapan utama kelompok
udang Penaidae dan ikan Teri sebagai komoditas unggulan daerah setempat (Rupawan. 2010).
Bahan dan Metode
Penelitian dilakukan di perairan estuari selat Panjang Kabupaten Siak dan Kabupaten
Kepulauan Meranti Riau pada bulan Pebuari, Mei, Agustus dan Oktober tahun 2010. Dilakukan
dengan metoda survei, pengamatan lapangan dan percobaan penangkapan pada 8 lokasi sebagai
stasiun pengamatan yang ditentukan secara porposional dengan posisi geografis dan nama lokasi
seperti pada Tabel 1 dan Gambar 1.
No. Stasiun Nama Lokasi Posisi geografis
N E
1 Pulau Serapung 00.32.34.0 103.05.49.4
2 Pulau Tiga 00.39.18.2 102.58.08.0
3 Pulau Panjang 00.46.22.9 102.49.14.3
4 Tanjung Penakat 00.45.19.3 102.38.38.1
5 Parit Ambai 00.46.24.6 102.32.42.8
6 Tanjung Tanah 00.51.23.4 102.24.02.8
7 Lalang 01.02.27.5 102.13.03.0
8 Muara Siak 01.14.02.5 102.09.58.8
Semnaskan _UGM / Penangkapan (PK-05) - 3
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Percobaan penangkapan menggunakan unit jaring kantong( trapnet) dengan nama lokal
Gumbang yang ditarik dengan kapal tagboad. (Gambar. 2.a.b.c). Kecepatan tarikan
dipertahankan 48 meter/menit dengan lama waktu per tarikan 60 menit, posisi kedalaman unit
jaring dari permukaan air 5 meter. (Gambar 2, a,b, dan c).
Total hasil tangkapan percobaan per tarikan dipisahkan berdasarkan kelompok jenis
masing-masing kelompok di timbang dan dihitung jumlah ekor. Hasil tangkapan yang belum
diketahui jenisnya diawet dalam larutan formalin 10% untuk diidentifikasi di Laboratirium Balai Riset
Perikanan Perairan Umum berdasarkan buku Kottelat (1993). Weber, M and De Beufort 1916 (1-12
jilid), Peristiadi,(2006) dan FAO (1998).
Data dan informasi dianalisa secara deskriptip-kuantitatip disajikan dalam Tabel dan Grafik
sesuai dengan lokasi dan waktu pengamatan. Sebagai data dukung dilakukan pengamatan
beberapa parameter fisika- kimia air yang mencirikan hasil tangkapan diperoleh dari perairan
estuari yaitu; salinitas, kecerahan air, TDS, TSS, pH, oksigen dan karbondioksida berdasarkan
metoda APHA ( 1998).
Hasil dan Pembahasan
Biomasa hasil tangkapan
Rata-rata biomasa per jenis hasil tangkapan pada 8 stasiun dan bulan pengamatan
seperti disajikan pada Tabel 2 , Grafik.1 dan Grafik.2
Tabel.2. Rata-rata biomasa perjenis hasil tangkapan pada 8 stasiun dan 4 bulan
pengamatan .
No. Jenis hasil tangkapan
Rata-rata biomasa (gr) per jenis hasil tangkapan
berdasarkan bulan pengamatan
2 5 8 10 Jumlah %
1
Biang (Ilisha elongata)
600 850 530 374 2354 7.7
2
Bawal (Pumpus sp)
109 188 181 79 557 1.8
3
Bulu ayam (Coilia lindmoni)
490 731 894 748 2863 9.2
4
Gulamo (Otolithoides pama)
502 856 490 440 2288 7.5
5
Janggut (Polynemus
202 165 247 90 704 2.3
a
b
c
4 - Semnaskan _UGM / Penangkapan (PK-05)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
longipectoralis)
6 Kepiting (Charybdis annulata) 29 31 15 23 98 0.3
7
Kiper (Scatophagus argus)
125 45 57 51 278 0.9
8
Langgai (Muraenesox talaban)
504 414 352 441 1711 5.5
9
L ome (Harpodon nehereus)
2399 2070 2080 1802 8351 27
10 Lidah(Achiroides leocorhynchos) 53 16 50 59 178 0.6
11
Parang-parang (Chirocentrus
dorab) 76 268 268 366 978 3.2
12
Puput (ilisha elongata)
100 38 46 7.7 191.7 0,6
13
Sebelah (Synaptura panoides)
22 34 25 36 117 0.4
14
Tenggiri (Scomberonomos )
8 87 26 35 156 0.5
15
Teri (Stolephoros dubiosus)
616 758 547 498 2419 7.8
16
Ud.merah (P.monodon)
25 160 147 179 511 1.6
17
Udang pepeh (Metapenaues
ensis) 240 218 262 233 953 3.2
18
Udang putih (Penaeus
merquensis) 278 317 382 294 1271 4.2
19
Udang petak (Oratosquila oratoria)
55 62 55 55 227 0.7
20
Udang duri (Aphases sp)
1023 1358 1285 1095 4761 15.4
Jumlah 7456 8666 7939 6905.7 30966.7 99.8
Tabel 2. menunjukan bahwa menunjukkan bahwa jumlah jenis hasil tangkapan percobaan
pada lapisan kedalaman air 5 meter dari permukaan yaitu 20 jenis terdiri dari 5 jenis kelompok
udang Penaidae dan 15 jenis kelompok ikan. Biomasa kelompok udang Penaidae mencapai 6.573
gr , biomasa kelompok ikan 24.393 gr per 8 ulangan.
Jumlah jenis hasil tangkapan percobaan ini lebih kecil dibanding jumlah jenis hasil
tangkapan 5 jenis alat tangkap utama oleh nelayan yaitu 54 jenis terdiri 7 jenis udang Penaidae
dan 47 jenis kelompok ikan dengan volume produksi tahun 2009 mencapai 672 ton.
(Rupawan.2010).
Grafik.1 menunujukan bahwa jumlah biomasa hasil tangkapan percobaan (8 ulangan) tertinggi
pada bulan Mei (8.666 gr) dan terendah pada bulan Oktober ( 6,905 gr) .
Semnaskan _UGM / Penangkapan (PK-05) - 5
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Grafik. 2 Persentase jumlah kumulatif biomasa perjenis hasil
tangkapan percobaan. (n=30.966 gr/32 ulangan)
7.6
1.8
9.2
7.4
2.3
0.3
0.9
5.5
27
0.6
3.1
0.6
0.4
0.5
7.8
1.6
3
4.1
0.7
15.4
Biang (Ilisha elongata)
Bawal (Pumpus sp)
Bulu ayam(Coilia lindmoni)
Gulamo (Otolithoides pama)
Janggut (Polynemus longipectoralis)
Kepiting (Charybdis annulata)
Kiper (Scatophagus argus)
Langgai (Muraenesox talaban)
L ome (Harpodon nehereus)
Lidah(Achiroides leocorhynchos)
Parang-parang (Chirocentrus dorab)
Puput (ilisha elongata)
Sebelah (Synaptura panoides)
Tenggiri (Scomberonomos commersoni)
Teri (Stolephoros dubiosus)
Ud.merah (P.monodon)
Udang pepeh (Metapenaues ensis)
Udang putih (Penaeus merquensis)
Udang petak (Oratosquila oratoria)
Udang duri (Aphases sp)
Grafik.2 menunjukkan bahwa persentase jumlah kumulatif (berat) per jenis hasil tangkapan
kelompok udang Penaidae (20,8%) di di dominasi udang Duri (Alphases, sp) mencapai (15,4%)
dan biomasa kelompok ikan (79,2%) yang didominasi ikan Lomeh ( Harpodon neherius) mencapai
27%.
Parameter fisika-kimia air
Kisaran nilai hasil pengamatan beberapa parameter fisika-kimia air pada masing masing
lokasi pengamatan seperti disajikan pada Tabel. 3 dan Grafik 3.
Tabel 3.Kisaran nilai beberapa parameter fisikakimia air berdasarkan stasiun pengamatan
Parameter Satuan
Kisaran nilai/ Stasiun pengamatan
1 2 3 4 5 6 7 8
Salinitas ppt 22-28 22-28 23-27 20-24 21-25 21-25 20-26
12,0-
17,0
Kecerahan air cm 20-45 29-50 50-110 30-90 30-53 15-100 20-30 20-55
Kecepatan
arus m/detik
0.7-
0,75
0.65-
0,7 0.75-0.8
0,7-
0,75
0,7-
0,75
0,7-
0,75
0,68-
0,7 0,65-0,7
Suhu air o C 25-30 29-31 27-33 30-33 27-30 27-30 27-30 27-30
Kedalaman m 12,0-13 8,0-13 13-14 16-17 26-29 29-30 16-17 14-15
pH unit 7,0-7,5 8,0-13 7,0-7,5 7,0-7,5 7,0-7,5 7,0-7,5 7,0-7,5 6,5-7,0
Oksigen ppm 1,6-6,4
1,94-
5,1 1,9-5,6
1,62-
7,2 2,3-5,9 3,2-5,6 1,9-4,4 1,9-4,4
Karbondioksida ppm
0,88-
17,6
3,6-
14,2
1,14-
17,6
0,9-
14,0
2,6-
10,6
0,9-
10,6
1,3-
10,6
1,76-
24,6
TDS ppm >1990 >1990 >1990 >1990 >1990 >1990 >1990 >1990
Alkalinitas
(CaCo3) ppm 15-83 >20.000 10,0-78 25-78 13-79 >20.000 10,0-75 7,0-73
DHL mS >20.000 >20.000 >20.000 >20.000 >20.000 >20.000 >20.000 >20.000
Turbidity NTU 3,3-141 5,5-32 1,6-2,0 0,8-7,0 5,0-6,0 1,6-6,5 10,6-13 13-Dec
Tabel 3. Menunjukan bahwa berdasarkan parameter fisika-kimia air di perairan estuari
selat Panjang terutama parameter kunci yang menunjukan bahwa hasil tangkapan pada kisaran
nilai salinitas 12,028,0 ppt , tergolong jenis estuarine obligate yaitu jenis penghuni tetap perairan
estuarine.
6 - Semnaskan _UGM / Penangkapan (PK-05)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Kesimpulan
1. Jumlah jenis hasil tangkapan percobaan pada lapisan kedalaman 5 meter dari permukaan air
yaitu 20 jenis terdiri dari 5 jenis kelompok udang Penaidae dan 15 jenis kelompok ikan.
2. Biomasa kelompok udang Penaidae mencapai 6.573 gr, biomasa kelompok ikan 24.393 gr per 8
ulangan, biomasa tertinggi pada bulan Mei (8.666 gr) dan terendah pada bulan Oktober ( 6,905
gr) .
3. Persentase jumlah berat kumulatif per jenis hasil tangkapan kelompok udang Penaidae (20,8%)
di dominasi udang Duri (Alphases, sp) mencapai (15,4%) dan biomasa kelompok ikan (79,2%)
yang didominasi ikan Lomeh ( Harpodon neherius) mencapai 27%.
4. Kisaran nilai salinitas lokasi penangkapan 12,028,0 ppt, hasil tangkapan tergolong jenis
estuarine obligate yaitu jenis penghuni tetap perairan estuarine.
Daftar Pustaka
APHA. 1998. Standard method for the examination of water and wastewater. 15
Edition. American Public Health Assosiation. Washington.D.C. 1134 pp.
Anonimuos, 1998. Indentification guide for fishery purposes. FAO. 1998
Efriyeldi (1999). Sebaran spasial karakteristik sedimen dan kualitas air muara sungai
Bantan tengah Bengkalis, kaitannya dengan budidaya KJA. Jurnal Natur
Indonesia II (1) 1999.
Kottelat, M; A.J Whitten; S.N Kartikasari dan S. Wirjoatmodjo, 1993. Freshwater fishes of Western
Indonesia and Sulawesi (Ikan air tawar Indonesia bagian Barat dan Sulawesi). Periplus
Edition-Proyek EMDI. Jakarta.
Notohadiprawira. T (1994).Pengembangan lahan rawa pasang surut untuk tujuan
pertanian. Makalan Pertemuan Teknis Kegiatan Pengkajian Tahapan
Pengembangan Rawa pasang Surut. Badan Litbang PU. Bandung 1994.
Peristiwady. T, 2006. Ikan-ikan laut ekonomis penting di Indonesia. Petunjuk Identifikasi
LIPI Press. 2006.
Rupawan.2010. Pemanfaatan sumberdaya ikan di perairan Estuari Selat Panjang Riau.
Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tahunan VII. Universitas Gajahmada.
Tiwow. C. (2003). Kawasan pesisir penentu stok ikan di laut. Makalah Pengantar Sains Program
Pasca Sarjana IPB.
Weber, M and De Beufort, 1916. The fishes of the indo-australian arcohipelago. E.J. Brill ltd.
Leiden. Jilid 1 s/d 12.
Semnaskan _UGM / Penangkapan (PK-06) - 1
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
METODE PENANGKAPAN DAN HASIL TANGKAPAN BUBU BIDANG
(BARRIER TRAPS) DI PERAIRAN UMUM DARATAN
KALIMANTAN BARAT
Rupawan
Balai Riset Perikanan Perairan Umum
Email: rupawan55@gmail.com
Abstrak
Danau Empangan tipe perairan umum pedalaman (oxbow lake) di Kabupaten Kapuas Hulu
Kalimantan Barat, sebagian dari luasannya digunakan sebagai zona inti suaka perikanan terutama
untuk ikan Arwana atau Ikan Siluk jenis super red dan beberapa jenis ikan ekonomis penting
lainnya. Aktivitas penangkapan di luar zona inti sangat berkembang menggunakan jenis alat
tangkap, metoda penangkapan dan hasil tangkapan yang bervariasi. Alat tangkap sebagai
komponen utama dalam pemanfaatan sumberdaya ikan, produktivitasnya ditentukan antara lain
oleh jenis alat tangkap, metoda penangkapan dan kelimpahan stok ikan. Bubu bidang (barrier
traps) salah satu jenis alat tangkap dominan di danau Lindung Empangau. Untuk mengetahui
produktivitas alat tangkap bubu bidang telah dilakukan penelitian material dan rancang bangun,
metoda penangkapan dan hasil tangkapannya. . Penelitian dilakukan dengan metoda pengamatan
lapangan, wawancara dan nelayan enumerator pada bulan September, Oktober dan Nopember
tahun 2008. Hasil penelitian menunjukkan bahwa alat tangkap bubu bidang dibuat dari bahan net
waring mesh size 3 mm dan jaring wibing net pollyetheline meshsize inchi. Terdiri dari tiga
bagian utama yaitu; a) Sayap bubu berfungsi untuk menghadang (barrier) dan mengarahkan ikan
masuk dalam b) kurungan ikan (traps) yang dilengkapi injab (pintu jebakan) dan dihubungkan
dengan c) kantong hasil (bubu) berbentuk silinder dengan 2 buah injab. Alat tangkap pasif (pasang
dan tunggu) menangkap dengan cara menghadang dan menjebak ikan yang beruaya secara
lateral dari danau ke rawa banjiran pada saat rawa sekitar danau tergenang air (musim hujan).
Tahun 2008 jumlah upaya penangkapan (hari menangkap) per unit bubu bidang 52 hari dengan
rata-rata hasil tangkapan per unit upaya penangkapan 56,1521,42 kg/hari. Estimasi volume
produksi bubu bidang tahun 2008 mencapai 130 ton.
Kata kunci : Bubu bidang, metoda penangkapan , hasil tangkapan.
Pengantar
Danau Empangau berasal dari nama sebuah desa Empangau di pinggiran sungai
Kapuas Kabupaten Kapuas Hulu, terbentuk dari sebuah sungai mati (oxbow lake) berasal dari
proses morfologi anak sungai yang membesar dan dalam sehingga menjadi danau. (Hartoto,
2000).
Danau Empangau berbentuk tapal kuda atau hurup U dengan kedalaman antara 3,0 - 17,5
meter, luas 124 hektar sepertiga dari luasan tersebut ( 40 hektar) dijadikan sebagai zona inti
suaka perikanan yaitu kawasan yang dilindungai terutama untuk ikan Siluk atau ikan Arwana
(Sclerophages formasus) jenis super red.
Selain sebagai suaka ikan siluk danau ini juga berfungsi sebagai suaka produksi ikan-ikan
asli perairan umum yang bernilai ekonomi tinggi antara lain; Jelawat (Leptobarbus hoeveni),
Entukan (Thynnichthys thynnoides), Gabus (Channa striatus), Baung (Mystus nemurus), sehinga
menjadi salah sumber pendapatan dan sumber protein hewani bagi masyarakat setempat.
(Muflikhah. et al.2008). Kawasan sekitar danau merupakan dataran rawa banjiran yaitu tergenang
air pada musim hujan dan kering pada musim kemarau pada musim hujan aktivitas penangkapan
sangat berkembang .
Berdasarkan lama genangan dan tinggi air, lahan rawa banjiran atau rawa lebak dapat
dibedakan dalam 3 tipologi yaitu : 1) lebak dangkal, lama genangan < 3 bulan dengan tinggi air <
50 cm; 2) lebak tengahan, lama genangan 3 6 bulan dengan tinggi air 50 100 cm dan 3) lebak
dalam atau rawa monoton lama genangan >6 bulan dengan tinggi air > 100 cm (Ismail. I.G, et al.
1990).
Tata guna lahan sekitar danau selain sebagai area penangkapan pada musim hujan juga
sebagai lahan kebun karet rakyat, kebun rotan dan tumbuhan hutan lainnya. Tumbuhan hutan
PK-06
2 - Semnaskan _UGM / Penangkapan (PK-06)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
sekitar danau Empangan antara lain; Putat (Barringtonia acutangula), Melayak (Croton encifolius),
Tengelam (Eugenia sp), Timba tawang (Crudia teysmania), Duri angkut (Calamus. sp), Samak
(Eugenia sp), Mentagis (Ixora mentagis), Rengas (Gluta rengas) Cempedak air (Artocarpus
teysmani), Kawi (Shorea blangiran), Kemisak (Mesua, sp). (Asyari, 2007).
Hutan rawa sekitar danau Empangan terutama pada saat musim hujan berperan sebagai
tempat pemijahan, asuhan dan tempat ikan mencari makan. Hampir seluruh jenis-jenis ikan tropis
mengandalkan sumber pakan alami seperti dedaunan, buah-buahan hutan, serangga dan bahan
organik yang dihasilkan hutan perairan. (Hartoto .199
Alat tangkap merupakan instrumen utama dalam pemanfaatan sumberdaya ikan,
produktivitas masing-masing jenis alat tangkap (fishing succses) antara lain ditentukan oleh jenis
alat tangkap, metoda penangkapan (bagaimana, dimana dan kapan) serta kelimpahan stok ikan.
Sedangkan metoda penangkapan masing-masing jenis alat tangkap disesuaikan dengan
karakteristik habitat operasional alat dan tingkah laku ikan.
Ada jenis alat tangkap yang dapat menangkap baik jumlah, jenis dan ukuran tertentu
(selektif) dan ada jenis alat tangkap yang dapat menangkap jumlah banyak, macam jenis (multi
spesies) dan macam ukuran sehingga tergolong alat tangkap tidak selektif.
Di danau lindung Empangau dan rawa banjiran sekitarnya dioperasikan 8 jenis alat
tangkap utama yaitu; Jaring ingsang (gillnet), Pancing rawai (long line), Pancing tajur (stick
longline), Jala (cast net), Bubu (pot traps), Bubu bidang ( barrier traps), Serok (scoopnet ) dan
Tangkul (liff net).
Alat tangkap bubu bidang (barrier traps) salah satu jenis alat tangkap yang dominan
dioperasikan di rawa banjiran pada musim hujan. Bubu bidang sebagai pengganti bubu waring
yaitu bubu yang dibuat dari bahan net waring meshsize 3,0 mm dinilai tidak selektif karena selain
menangkap ikan ukuran besar juga ikut tertangkap ikan ukuran larva dan ukuran yuvenil dan
terbuang.
Berfdasarkan kelemahan tersebut sesuai anjuran Pemerintah Daerah serta kesadaran dan
kesepakatan masyarakat nelayan setempat maka pada tahun 2006 telah dicanangkan dan
dilakukan penghapusan secara simbolis dengan upacara pembakaran alat tangkap bubu waring
oleh Gubernur Kalimantan Barat di desa Pulau Majang (Lampiran Gambar. 1)
Sebagai gantinya dengan rancang bangun dan metoda penangkapan yang sama, bahan
net waring diganti dengan bahan wibing net meshsize in (20 mm) dan diberlakukan mulai awal
tahun 2007.
Alat tangkap sejenis bubu waring dengan material dan rancang bangun yang berbeda
tetapi metoda penangkapan yang sama yaitu nama dengan nama lokal Hampang tukung di
operasikan di rawa banjiran Sungai Barito Kalimantan Selatan. (Rupawan.2005) dan Empang
lulung yang di opersikan di perairan rawa banjiran sungai Penukal Kabupaten Muara Enim
Sumatera Selatan (Muslim. 2005 ).
Bahan dan Metode
Penelitian dilakukan di perairan rawa banjiran danau Lindung Empangau Kabupaten
Kapuas Hulu Kalimantan Barat pada musim hujan tahun 2008 yaitu bulan Oktober, September
dan Nopember. Dilakukan dengan metoda pengamatan lapangan yaitu mengikuti aktivitas
penangkapan nelayan bubu bidang, wawancara dan nelayan enumerator. Pengumpulan
data dan informasi meliput pengamatan material - rancang bangun alat, metoda penangkapan
(bagaimana, dimana dan kapan), jumlah upaya penangkapan dan hasil tangkapan per unit upaya
penangkapan serta estimasi volume produksi.
Hasil pengamatan material, rancang bangun dan metoda penangkapan di dijelaskan dan
digambarkan dalam sketsa dan photo. Jumlah upaya penangkapan dan hasil tangkapan per upaya
penangkapan sample nelayan enumerator dianalisa secara deskriptif kuantitatif dan disajikan
dalam Tabel. Estimasi volume produksi merupakan hasil perkalian total upaya penangkapan
pertahun di kali rata-rata jumlah berat hasil tangkapan per unit upaya penangkapan serta jumlah
unit alat tangkap bubu bidang yang operasional.
Semnaskan _UGM / Penangkapan (PK-06) - 3
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Hasil dan Pembahasan
Material dan rancang bangun
Alat tangkap bubu bidang tergolong alat tangkap menetap dan pasif (pasang dan tunggu),
dinamakan bubu bidang karena dibuat dari bahan jaring wibing net dengan nama lokal bidang.
Satu unit bubu bidang terdiri dari tiga bagian utama yaitu : a) sayap bubu yang dibuat dari bahan
jaring net waring dengan meshsize 3,0 mm dibentangkan permanen dengan bantuan patok kayu,
dipasang pada bagian kiri dan kanan dan dihubungkan dengan kurungan (rumah ikan). Panjang
per bagian sayap antara 3050 meter, tinggi 2 meter, berfungsi untuk menghadang (barrier) dan
mengarahkan ikan agar masuk dalam b) kurungan ikan (tempat ikan terkumpul dan terjebak),
berbentuk empat persegi panjang, bahan wibing net mesh size 20 mm, ukuran panjang 5,07,0
meter, lebar 2,0 3,0 meter, dilengkapi 1 buah injab (pintu perangkap ) sehingga ikan yang
masuk kurungan tidak bisa keluar. Bagian ketiga bubu (kantong hasil) berbentuk silinder, bingkai
rotan atau kawat, diameter 0,75 1,0 meter, panjang 5,07,0 meter bahan wibing net mesh zize 20
mm dilengkapi 2 buah injab, dapat diangkat dan dibuka pada waktu panen hasil (Lampiran
Gambar.2 ).
Metode penangkapan
Pemasangan bubu bidang dilakukan secara berkelompok, ujung sayap masing-masing
bubu menyatu tetapi dalam manajemen operasionalnya dilakukan secara perorangan, 1 orang
memiliki 1-3 unit bubu bidang.
Sebagaimana telah diketahui bahwa rawa banjiran pada umumnya pada saat tergenang
air berperan sebagai daerah pemijahan, daerah asuhan dan tempat ikan untuk mencari makan.
Untuk tujuan tersebut ikan besar dan kecil beruaya secara lateral dari danau, sungai dan genangan
air lainnya ke perairan rawa yang baru tergenang.
Alat tangkap bubu bidang menangkap dengan memanfaatkan kebiasaan ikan tersebut
yaitu dengan cara menghadang dan mengarahkan ikan (barrier) agar masuk dalam kurungan dan
bubu. Alat tangkap bubu bidang dipasang dibawah dan di antara tumbuhan hutan rawa, disiapkan
pada saat rawa belum atau menjelang tergenang air. Dioperasikan selama musim hujan yaitu saat
rawa mulai tergenang (awal musim hujan) sampai rawa menjelang kering (akhir musim hujan).
Berdasarkan lama genangan dan tinggi air pada tahun 2008, rawa banjiran danau
Empangau tergolong tipe rawa banjiran tengahan, lama genangan antara 3-6 bulan dengan
ketinggian air antara 50 100 cm.
Daerah penangkapan rawa banjiran danau Empangan termasuk dalam wilayah suaka
perikanan danau Lindung Empangau, sehubungan dengan itu seseuai peraturan yang dibuat dan
disepakati oleh masyarakat setempat, bubu bidang hanya boleh dipasang pada lokasi paling dekat
200 meter dari garis pinggir danau. Hal ini bertujuan agar ikan yang beruaya ke rawa ada sebagian
yang tidak tertangkap sebagai cadangan induk atau calon induk untuk tahun berikutnya.
Keberhasilan danau lindung Empangan terutama untuk melindungi ikan Siluk atau Arwana
super red telah terbukti memberikan manfaat ekonomi yang sangat berarti karena adanya peran
nyata swadaya masyarakat, ketaatan pada aturan dibuat dan disepakati bersama oleh masyarakat
setempat serta sanksi adat yang tegas terhadap pelanggaran .(Rupawan. 2010).
Upaya penangkapan, hasil tangkapan per unit upaya penangkapan dan estimasi volume produksi
bubu bidang
Dari data hasil tangkapan nelayan enumerator diketahui bahwa jumlah upaya
penangkapan (fishing effort) yaitu jumlah hari yang digunakan dalam penangkapan, hasil
tangkapan rata-rata per unit upaya penangkapan, jumlah unit alat tangkap bubu bidang
operasional dan estimasi volume produksi seperti disajikan pada Tabel. 1.
Tabel.1 Upaya penangkapan, hasil tangkapan per unit upaya penangkapan dan
estimasi volume produksi bubu bidang tahun 2008.
No
Upaya penangkapan Rata-rata hasil tangkapan per
unit upaya (kg)
Volume produksi
(45 unit/ bulan)
1 Bulan Sept. 11 hari 61,25 18,04 30.318,75 kg
2 Bulan Oktober 23 hari 56,39 17,61 58.363,65 kg
3 Bulan Nop. 18 hari. 50,83 28,61 41.172,75 kg
4 - Semnaskan _UGM / Penangkapan (PK-06)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
52 hari 56,15 21,42 129.855,15 kg
Tabel 1 menunjukkan bahwa jumlah upaya penangkapan 1 unit alay tangkap bubu bidang 52 hari,
dengan rata-rata hasil tangkapan per unit upaya penangkapan 56,15 kg (Lampiran Gambar.3).
Hasil inventarisasi jumlah unit alat bubu bidang operasional musim hujan tahun 2008 yaitu
45 unit, maka dapat di estimasi volume produksi bubu bidang tahun 2008 mencapai jumlah 130
ton.
Kesimpulan
Alat tangkap bubu bidang tergolong alat tangkap pasif (pasang dan tunggu), terdiri dari tiga
komponen utama yaitu; sayap bubu berfungsi untuk menghadang (barrier) dan mengarahkan
ikan masuk dalam kurungan. Komponen kedua kurungan (tempat ikan terkunpul dan terjebak)
dan komponen ketiga bubu (kantong hasil) tempat penen hasil tangkapan.
Jumlah upaya penangkapan 1 unit bubu bidang 52 hari (tahun 2008) dengan rata-rata
jumlah hasil tangkapan per unit upaya penangkapan 56,15kg. Berdasarkan jumlah unit bubu
bidang operasional 45 unit maka estimasi volume produksi bubu bidang tahun 2008 mencapai 130
ton.
Ucapan Terima Kasih
Ucapan terima kasih disampaikan kepada sdr. Abang Suhadi, nelayan bubu bidang Desa
Empangau Kecamatan Bunut Hilir Kabupaten Kapuas Hulu Provinsi Kalimantan Barat yang telah
membantu mencatat jumlah hari penangkapan dan hasil tangkapan harian bubu bidang.
Daftar Pustaka
Asyari, 2007. Jenis ikan, fungsi dan peraturan di Suaka (Danau Lindung ) Empangau Kabupaten
Kapuas Hulu Kalimantan Barat. Prosiding Seminar Nasional Tahunan IV. Hasil Penelitian
Perikanan dan Kelautan . Halaman 1 -9.
Hartoto, D.I., Awalina., Supranoto dan Nina.1997. Studi dasar limnologi untuk pengembangan
kawasan wisata konservasi suaka perikanan Teluk Pila di Danau Ranau Provinsi Sumatera
Selatan. Laporan Kegiatan lapangan. 31 p.
Hartoto. D.I. 2000. An overviewof some limnological parameters and manajement status of fishery
reserves in Central Kalimantan. Report of Suwa hydrobiological station shinshu Unversity.
No.12: 49-74 pp.
Muslim.2005. Jenis-jenis alat tangkap ikan tradisional di perairan Sungai Penukal Kabupaten
Muara Enim Sumatera Selatan. Prosiding Forum Perairan Umum Indinesia I. Pusat Riset
Perikanan Tangkap. Palembang 2005.
Muflikhah dan Utomo. 2008. Potret Danau Lindung Empangau di Kapuas Hulu Kalimantan Barat.
Balai Riset Perikanan Perairan Umum. 2008.
Ismail. I.G, I,Basa, Soetjipto, Suhud. T (1990). Tinjauan hasil penelitian usahatani lahan pasang
surut di Sumatera Selatan. Risalah Seminar hasil Penelitian Proyek Penelitian Pertanian
Lahan Pasang Surut dan Rawa. Swamps-II. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian Departemen Pertanian. Bogor 1990.
Rupawan. 2005. Keragaan alat tangkap hampang (Barrier trap) dan hasil tangkapannya di Sungai
Barito Kalimantan Selatan. Prosiding Forum Perairan Umum Indonesia I. Pusat Riset
Perikanan Tangkap. 2005.
Semnaskan _UGM / Penangkapan (PK-06) - 5
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Rupawan. 2009. Peran nyata dan manfaat ekonomi suaka perikanan Danau Lindung Empangau
Kabupaten Kapuas Hulu Kalimantan Barat. Prosiding Forum Nasional Pemacuan
Sumberdaya Ikan II. Pusat Riset Perikanan Tangkap. 2009.
6 - Semnaskan _UGM / Penangkapan (PK-06)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Lampiran
Gam
G
Gambar. 2
Gambar . 1
Gambar. 3
Semnaskan _UGM /Penangkapan (PK-07) - 1
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
HUBUNGAN JARAK DAN TINGKAH LAKU POLA GERAK IKAN KARANG
SEBAGAI PENENTU ZONA PENGARUH ALAT TANGKAP BUBU YANG
DIOPERASIKAN BERSAMA RUMPON
Fonny J.L Risamasu
Dosen Jurusan Perikanan dan Kelautan Faperta Undana, Jl. Adisucipto, Penfui, Kotak Pos 104, Kupang
85001-NTT; Telp/Fax . (0380-881560), Hp. 082144581773, e-mail risamasuf@yahoo.co.id
Abstrak
Makalah ini menyajikan tentang hubungan jarak dan tingkah laku pola gerak ikan karang sebagai
penentu zona pengaruh alat tangkap bubu yang dioperasikan bersama rumpon berdasarkan
pengamatan langsung di perairan Hansisi, Semau Kupang. Jumlah jenis ikan karang yang diamati
di rumpon mencapai 67 spesies, sedangkan di bubu 47 spesies. Jarak antara ikan karang
terhadap rumpon dan bubu umumnya antara 1 2 m, sedangkan pola gerak yang umum dilakukan
ikan karang adalah datang dari depan (37 spesies atau 79%), bergerak naik turun (24 spesies atau
50%), di atas bubu (21 spesies atau 45%) dan disamping bubu (30 spesies atau 64%).
Berdasarkan pola gerak ikan tersebut ditemukan zona pengaruh (zone of influence) alat tangkap
bubu ada pada empat posisi, yaitu ikan berada dekat permukaan, pertengahan, disamping dan di
dasar bubu dan rumpon. Sesuai pola gerak yang diperlihatkan masing-masing spesies ikan, maka
ada dua cara yang diusulkan untuk memasang bubu di perairan antara lain: (1) Bubu dapat
dipasang di dasar dan (2) Bubu dapat di pasang di pertengahan dan dekat permukaan perairan.
Posisi penempatan bubu di dasar perairan dapat dikombinasikan dengan rumpon dasar tetapi
tinggi rumpon dan bubu harus diperhatikan. Untuk posisi penempatan bubu di pertengahan dan
dekat permukaan dapat dikombinasikan dengan rumpon permukaan dan dipasang secara vertikal
dengan cara digantung.
Kata Kunci : tingkah laku, pola gerak, ikan karang, rumpon, bubu
Pengantar
Ikan karang termasuk salah satu penghuni terumbu karang, memiliki tingkah laku yang
berbeda-beda tergantung dari jenis ikan. Ikan karang akan mudah tertangkap, maka pengetahuan
tentang tingkah laku ikan karang perlu dipahami. Pengetahuan tentang alat tangkap dan tingkah
laku ikan menjadi sasaran tangkapan merupakan faktor penting dalam memahami proses
penangkapan dari suatu jenis alat tangkap. Selain itu, pengetahuan tersebut dapat pula digunakan
dalam meningkatkan hasil tangkapan (Fitri, 2002 diacu oleh Yustika, 2006).
Jenis alat tangkap yang banyak digunakan untuk menangkap ikan karang adalah bubu
(Purbayanto et al. 2006). Penggunaan bubu merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan
produksi ikan karang tanpa merusak lingkungan (Redjeki et al. 2005). Bubu termasuk dalam
kategori perangkap (jebakan), sifatnya pasif dan dapat terbuat dari anyaman bambu, rotan, dan
kawat (Hartati et al. 2004). Dalam proses penangkapan alat ini mempermudah ikan untuk masuk
namun sulit untuk keluar bubu. Untuk menarik ikan masuk ke bubu, biasanya nelayan memasang
umpan. Umpan digunakan sebagai alat pemikat agar ikan karang datang mendekati alat tangkap
bubu, masuk kedalam bubu dan akhirnya terperangkap. Untuk meningkatkan efisiensi
penangkapan, selain penggunaan umpan sebagai alat pengumpul ikan agar bisa mendekati alat
tangkap, perlu dipikirkan teknologi yang tepat agar ikan-ikan dapat mudah berkumpul dan akhirnya
terperangkap. Alat bantu penangkapan ikan yang digunakan dalam penelitian ini untuk
mengumpulkan ikan karang adalah rumpon.
Prinsip penangkapan ikan dengan alat bantu rumpon, disamping rumpon berfungsi untuk
mengumpulkan ikan, pada hakekatnya adalah agar kawanan (schooling) ikan tersebut mudah
ditangkap dengan alat tangkap yang dikehendaki. Diduga ikan yang tertarik dan berkumpul di
sekitar rumpon adalah karena rumpon berfungsi sebagai tempat berlindung dan mencari makan
(Subani, 1986 diacu oleh Baskoro dan Effendie, 2005). Adanya ikan-ikan di sekitar rumpon
menciptakan suatu arena makan dan dimakan, dimulai dengan tumbuhnya perfiton sejak rumpon
dipasang di perairan. Hewan-hewan kecil akan menarik ikan-ikan kecil dan kemudian selanjutnya
ikan-ikan kecil dimangsa oleh ikan besar, dan untuk menghindari pemangsaan ikan-ikan mendekati
bubu untuk berlindung, akhirnya masuk dan terperangkap.
PK-07
2 - Semnaskan _UGM / Penangkapan (PK-07)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Ikan karang mendekati alat tangkap bubu memperlihatkan tingkah laku yang berbeda-
beda, sangat tergantung dari jenis ikan. Tidak semua jenis ikan mempunyai tingkah laku di sekitar
bubu sama. Pada bubu tidak berumpan, ada perbedaan tingkah laku ikan memasuki bubu
dimana squerrelfish dan goatfish memasuki bubu dengan cara bergerombol, tetapi parrotfish,
bigeye memasuki bubu secara individual. Chaetodon sp dan Pseudopeneus sp akan berenang
berbalik arah dengan ketakutan bila ada ikan jenis lain yang tertangkap oleh bubu (Furevik (1994)
diacu oleh Ferno dan Olsen, 1994). Fenomena ketertarikan ikan karang pada alat tangkap bubu
merupakan bentuk tingkah laku ikan yang sangat penting harus diketahui sebagai salah satu
faktor kunci dalam mendukung keberhasilan usaha penangkapan ikan karang.
Tujuan penelitian adalah mengetahui hubungan antara jarak dan tingkah laku pola gerak
ikan karang dalam menentukan zona pengaruh (zone of influence) alat tangkap bubu yang
dioperasikan bersama rumpon.
Bahan dan Metode
Lokasi dan waktu
Penelitian dilaksanakan di perairan Hansisi, Kecamatan Semau, Kabupaten Kupang, NTT.
Penelitian dilaksanakan selama 8 (delapan) bulan dimulai dari persiapan sampai analisis data.
Waktu pelaksanaan penelitian lapangan dilakukan selama 4 (empat) bulan, terhitung dari bulan
April sampai dengan Juli 2006. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Lokasi penelitian bubu dan rumpon di perairan Hansisi, Semau, Kupang.
Bahan
Rumpon digunakan ada dua ukuran. Ukuran kecil panjang: 1.25 m, lebar: 1.0 m dan tinggi:
1.25 m, dan ukuran besar panjang: 1.75 m, lebar: 1.50 m dan tinggi: 1.75 m. Rumpon
menggunakan atraktor daun lontar (Borrasus flabellifer) dibuat sebanyak 12 unit dioperasikan
pada dua lokasi, masing-masing lokasi ditempatkan 6 unit (Gambar 2). Bubu digunakan
berukuran panjang: 1,2 m, lebar: 0,70 m dan tinggi: 0,60 m, dipasang diantara kelompok modul
rumpon. Jarak antara bubu dengan masing-masing modul rumpon pada setiap kelompok 5 m
(Gambar 3). Selain itu, dipasang juga bubu tanpa rumpon dengan jarak 25 m dari bubu yang
dipasang bersama rumpon.
Semnaskan _UGM /Penangkapan (PK-07) - 3
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Metode
Pengumpulan data menggunakan metode sensus visual. Sebelum rumpon dan bubu
dipasang di lokasi penelitian, terlebih dahulu di lakukan survei lokasi dengan cara menyelam
menggunakan SCUBA (self contain underwater breathing apparatus) mengitari areal terumbu
karang. Data survei ini dipakai untuk membuat peta lokasi penelitian dan penentuan posisi
penempatan rumpon dan bubu menggunakan GPS. Rumpon dan bubu di pasang di dasar perairan
bersubstrat karang keras (hard coral) sebagai lokasi I dan karang lunak ( soft coral) sebagai lokasi
II dengan kedalaman 10 m. Jarak antara kedua lokasi tersebut sekitar 100 m.
Pengamatan awal tingkah laku ikan karang di sekitar rumpon dan bubu dilakukan 30 menit
setelah rumpon dan bubu terpasang di perairan. Pengamatan berikutnya dilakukan setiap minggu
sekali selama sebulan pada jam 08.00, 12.00 dan 16.00 WITA. Pengamatan tingkah laku ikan
karang dilakukan oleh 3 (tiga) orang pengamat dengan lama waktu pengamatan 1 jam sesuai
periode waktu pengamatan. Data yang diamati meliputi jarak ikan terhadap rumpon danb bubu
serta pola gerak ikan karang di sekitar rumpon dan bubu. Pengamatan tingkah laku ikan karang
menggunakan SCUBA dan snorkel. Pengambilan data menggunakan perahu motor. Untuk
menentukan jenis-jenis ikan karang menggunakan gambar ikan yang sudah dilaminating dan
digunakan oleh setiap pengamat pada saat pengamatan. Jenis ikan karang yang belum
teridentifikasi langsung, maka ciri-ciri morfologinya dicatat, setelah itu baru dicocokan dengan buku
identifikasi. Penentuan jenis ikan yang hadir di sekitar rumpon dan alat tangkap bubu mengikuti
petunjuk Gloerfelt dan Kailola, 1984; Kuiter, 1992; dan Allen dan Steene, 2002.
Penyajian data jumlah ikan karang yang hadir, jarak (radius), dan pola gerak ikan karang
yang hadir di sekitar rumpon dan bubu dijelaskan secara deskriptif dalam betuk tabel dan
gambar. Penentuan proporsi terhadap jumlah ikan yang hadir, jarak (radius), setiap spesies ikan
karang terhadap rumpon dan bubu, dan pola gerak setiap spesies ikan karang yang hadir di
rumpon dan bubu. Proporsi pola gerak ditentukan berdasarkan 3 parameter gerakan (arah renang,
pola gerakan dan posisi ikan) yang diperlihatkan oleh ikan karang yang hadir di rumpon dan bubu.
Penentuan proporsi menggunakan rumus sebagai berikut :
Proporsi (P) =
N
ni
x 100 %
Dimana: P = Proporsi setiap jenis ikan karang
Ni = Jumlah jenis ke-i
N = Jumlah total seluruh spesies
Hasil dan Pembahasan
Sebaran jenis dan jumlah ikan karang di rumpon dan bubu
Jenis-jenis ikan karang yang hadir di rumpon kecil lontar dan rumpon besar lontar lokasi I
dan II diamati pada pagi, siang dan sore hari berjumlah 62 spesies, 42 genus dan 22 famili. Total
ikan karang yang hadir di rumpon kecil lontar dan rumpon besar lontar lokasi I dan II secara
keseluruhan berjumlah 1190 individu (Tabel 1).Total jumlah individu kelompok ikan karang yang
hadir di rumpon dalam jumlah terbanyak yakni kelompok famili utama (mayor) sebesar 925
individu (77,73 %) bila dibandingkan dengan kelompok ikan lainnya.
Gambar 3. Bubu yang digunakan
dalam penelitian.
Gambar 2. Rumpon yang digunakan
dalam penelitian.
4 - Semnaskan _UGM / Penangkapan (PK-07)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Tabel 1. Total jumlah individu setiap kelompok ikan karang yang hadir di rumpon.
Kelompok Ikan Lokasi Total Proporsi
(%) I II
RKL RBL RKL RBL
Famili utama (mayor) 182 320 121 302 925 77,73
Target 85 37 41 18 181 15,21
Indikator 11 21 4 47 83 6,97
Non ikan karang 1 0 0 0 1 0,08
Total 279 378 166 367 1190
Keterangan: RKL : Rumpon Kecil Lontar, RBL : Rumpon Besar Lontar
Jenis-jenis ikan karang yang hadir pada alat tangkap bubu dioperasikan bersama rumpon
dan tanpa rumpon lokasi I dan II diamati pada pagi, siang dan sore hari secara keseluruhan
berjumlah 47 spesies, 34 genus dan 20 famili. Total ikan karang yang hadir pada alat tangkap
bubu dioperasikan bersama rumpon dan tanpa rumpon di lokasi I dan II secara keseluruhan
berjumlah 1230 individu (Tabel 2). Total jumlah individu kelompok ikan karang yang hadir di bubu
dalam jumlah terbanyak yakni kelompok famili utama (mayor) sebesar 913 individu (74,23 %), bila
dibandingkan dengan kelompok ikan lainnya.
Tabel 2. Total jumlah individu setiap kelompok ikan karang yang hadir di bubu
Kelompok Ikan Lokasi Total Proporsi
(%) I II
BRK BRB BTR BRK BRB BTR
Famili utama (mayor) 127 217 229 164 91 85 913 74,23
Target 49 16 15 26 7 113 226 18,37
Indikator 8 9 22 20 14 16 89 7,24
Non ikan karang 0 0 1 0 0 1 2 0,16
Total 184 242 267 210 112 215 1230
Keterangan : BRK : Bubu Rumpon Kecil, BRB : Bubu Rumpon Besar, BTR : Bubu
Tanpa Rumpon
Jumlah individu setiap kelompok ikan karang yang hadir di sekitar rumpon dan bubu
berbeda-beda disebabkan ada beberapa spesies ikan dari kelompok famili utama (mayor)
terutama famili Pomacentridae biasanya hadir dalam jumlah banyak. Kelompok famili utama
(mayor) lebih banyak hadir di rumpon dan bubu karena kelompok ikan ini biasanya ditemukan
dalam jumlah banyak di terumbu karang seperti famili Caesionidae, Scaridae, Pomacentridae,
Apogonidae, dan lain-lain (Terangi, 2004).
Selain itu, karena berbeda pola distribusi harian ikan karang. Secara umum dikenal ada
dua pola distribusi harian ikan karang yakni ikan- ikan diurnal (ikan siang) dan ikan-ikan nokturnal
(ikan malam). Ikan diurnal merupakan kelompok terbesar di ekosistem terumbu karang. Termasuk
ikan diurnal adalah famili Pomacentridae, Labridae, Acanthuridae, Chaetodontidae, Serranidae,
Pomacanthidae, Lutjanidae, Balistidae,Cirrhitidae, Tetraodontidae, Bleniidae dan Gobiidae. Ikan-
ikan tersebut aktif mencari makan di siang hari. Termasuk ikan nokturnal adalah famili
Holocentridae, Apogonidae, Haemulidae, Muraenidae, Scorpaenidae, Serranidae dan Labridae.
Ikan-ikan ini aktif mencari makan di malam hari (Allen dan Steenes (1990); Syakur (2000) diacu
oleh Marschiavelli (2001).
Jarak (radius) ikan karang di sekitar rumpon dan bubu
Jarak setiap spesies ikan karang terhadap rumpon di lokasi L1 dan L2 berbeda-beda
menurut jenis ikan. Jumlah ikan karang yang hadir di sekitar rumpon kecil lontar lokasi L1
sebanyak 29 spesies. Dari total jumlah tersebut ada 19 spesies (66%) berada pada jarak 0 2 m
dengan rumpon. Pada rumpon besar lontar lokasi L1 jumlah ikan karang yang hadir sebanyak 27
spesies. Dari total jumlah tersebut ada 14 spesies (52%) berada pada jarak 0 2 m dengan
rumpon.
Selanjutnya jumlah ikan yang hadir di rumpon kecil lontar lokasi L2 sebanyak 15 spesies.
Dari total tersebut ada 11 spesies (73%) berada pada jarak 0 2 m dengan rumpon. Pada rumpon
besar lontar lokasi L2 jumlah ikan karang yang hadir sebanyak 24 spesies. Dari total jumlah
tersebut ada 18 spesies (75%) berada pada jarak 0 2 m dengan rumpon. Jarak ikan karang
terhadap rumpon disajikan pada Gambar 4.
Semnaskan _UGM /Penangkapan (PK-07) - 5
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Jarak ikan karang terhadap rumpon kecil lontar dan rumpon besar lontar di lokasi L1 dan
L2 umumnya berada antara 0 2 m dengan rumpon. Perbedaan ini karena setiap jenis ikan
karang menyebar pada lapisan ke dalaman (swimming layer) berbeda-beda ada di lapisan atas,
pertengahan dan di dasar perairan
Jarak setiap spesies ikan karang terhadap bubu di lokasi L1 dan L2 berbeda-beda menurut
jenis ikan. Jumlah ikan karang yang hadir di sekitar bubu rumpon kecil lokasi L1 sebanyak 13
spesies. Dari total jumlah tersebut ada 8 spesises (62%) berada pada jarak 0 2 m dengan bubu.
Pada bubu rumpon besar lokasi L1 jumlah ikan karang yang hadir sebanyak 16 spesies. Dari total
jumlah tersebut ada 10 spesies (63%) berada pada jarak 0 2 m dengan bubu. Selanjutnya
jumlah ikan yang hadir di bubu tanpa rumpon lokasi L1 sebanyak 11 spesies. Dari total spesies
tersebut ada 6 spesies (65%) berada pada jarak 0 2 m dengan bubu.
Selanjutnya jumlah ikan yang hadir di bubu rumpon kecil lokasi L2 sebanyak 12 spesies.
Dari total tersebut ada 9 spesies (75%) berada pada jarak 0 2 m dengan bubu. Pada bubu
rumpon besar lokasi L2 jumlah ikan karang yang hadir sebanyak 14 spesies. Dari total jumlah
tersebut ada 7 spesies (50%) berada pada jarak 0 2 m dengan bubu. Selanjutnya jumlah ikan
yang hadir di bubu tanpa rumpon lokasi L2 sebanyak 14 spesies. Dari total spesies tersebut ada 9
spesies (64%) berada pada jarak 0 2 m dengan bubu. Jarak ikan karang terhadap alat tangkap
bubu disajikan pada Gambar 5.
Jarak ikan karang terhadap bubu di lokasi L1 dan L2 umumnya berada antara 0 2 m
dengan bubu. Perbedaan ini karena setiap jenis ikan karang menyebar pada lapisan kedalaman
(swimming layer) berbeda-beda ada di lapisan atas, pertengahan dan di dasar perairan.
RKL1
RBL1
RKL2
RBL2
0 - 2
2 - 5
>5
Tot al jumlah spesies
0
5
10
15
20
25
30
T
o
t
a
l
j
u
m
l
a
h
s
p
e
s
i
e
s
Jenis rumpon
Jarak (m)
0 - 2
2 - 5
>5
Tot al jumlah
spesies
Gambar 4 Jarak ikan terhadap rumpon.
BRK1
BRB1
BTR1
BRK2
BRB2
BTR2
0 - 2
2 - 5
>5
To tal jumlah s pes ies
0
2
4
6
8
10
12
14
16
T
o
t
a
l
j
u
m
l
a
h
s
p
e
s
i
e
s
Jeni s bubu
J ara k ( m)
0 - 2
2 - 5
>5
Total jumlah
s pes ies
Gambar 5 Jarak ikan terhadap bubu.
6 - Semnaskan _UGM / Penangkapan (PK-07)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Pola gerak ikan karang di sekitar rumpon dan bubu
Pola gerak setiap spesies ikan karang di sekitar rumpon berbeda-beda menurut jenis ikan.
Pola gerak (PG) ikan karang di sekitar rumpon ditemukan ada 23 pola gerak (Gambar 8). Pola
gerak yang dilakukan ikan karang di sekitar rumpon umumnya datang dari depan sebanyak 56
jenis (90%), kemudian bergerak naik turun sebanyak 28 jenis (45%), berada diatas sebanyak 24
jenis (38%), dan disamping rumpon sebanyak 24 jenis (38%). Pola gerak ikan karang di sekitar
rumpon disajikan pada Gambar 6.
Pola gerak setiap spesies ikan karang di sekitar alat tangkap bubu berbeda-beda menurut
jenis ikan. Pola gerak (PG) ikan karang di sekitar alat tangkap bubu ditemukan ada 16 pola
gerak (Gambar 9). Pola gerak yang dilakukan ikan karang di sekitar alat tangkap bubu umumnya
datang dari depan sebanyak 37 jenis (79%), kemudian bergerak naik turun sebanyak 24 jenis
(50%), berada di atas sebanyak 21 jenis (45%) dan disamping bubu sebanyak 30 jenis (64%).
Pola gerak ikan di sekitar bubu disajikan pada Gambar 7.
Gambar 8 Pola gerak (PG) ikan karang di sekitar rumpon.
Gambar 9 Pola gerak (PG) ikan karang di sekitar bubu.
PG1 : Datang dari depan, di samping rumpon, PG2 : Datang dari depan, bergerak naik turun di atas rumpon, PG3: Datang dari depan, bergerak melingkari dinding rumpon searah jarum jam,
PG4 : Datang dari depan, bergerak melingkari dinding rumpon searah jarum jam, PG5 : Datang dari belakang, melawan arus, bergerak naik turun di atas rumpon, PG6: Datang dari depan, bergerak
naik turun di samping rumpon, PG7: Datang dari depan , bergerak bolak balik di atas rumpon, PG8: Datang dari depan, bergerak bolak balik dan melingkari dinding rumpon, PG9: Datang
dari depan, bergerak bolak balik di samping rumpon, PG10 : Datang dari depan, bergerak naik turun di atas dan di samping rumpon, PG11: Datang dari depan, bergerak naik turun, bolak
balik di atas rumpon, PG12: Datang dari depan, ke samping rumpon, singgah sebentar lalu pergi, PG13 Datang dari depan, langsung pergi, PG14: Datang dari depan, bergerak melingkar,
naik turun di atas rumpon, PG15: Datang dari depan, bergerak naik turun di samping dan masuk keluar rumpon, PG16: Datang dari belakang, bergerak naik turun di samping dan di dalam
rumpon, PG17: Datang dari depan, berada di atas rumpon, G18 : Datang dari depan, bergerak bolak balik masuk keluar rumpon, G19 : Datang dari depan, berada di atas dan masuk keluar
rumpon, PG20: Datang dari depan, bergerak bolak balik melingkari dinding rumpon, PG21: Datang dari depan, bergerak melingkar dan naik turun mengitari dinding rumpon, PG22:
Bergerak vertikal di atas rumpon, dan PG23: Datang dari depan, berada di pertengahan dan masuk keluar rumpon.
PG 11
PG 16
PG 7 PG 6
PG 9 PG 10 PG 8
P G 12
PG 13 PG 14
PG 15
P G 17 PG 20
PG 19
PG 21 PG 23
PG 22
PG 18
PG 5
PG 1
PG 4 PG 3
PG 2
3 2 8. Langsung pergi
3 2 7. Singgah sebentar lalu pergi
6 4 6. Masuk keluar rumpon
2 1 5. Dalam
2 1 4. Pertengahan
40 25 3. Samping
38 24 2. Atas
2 1 1. Vertikal
C.Posisi ikan terhadap rumpon
16 10 5. Bergerak melingkar searah
jarum jam
11 7 4. Bergerak melingkar
22 14 3. Bolak balik
46 29 2. . Naik turun
6 4 1. Melawan arus
B. Pola gerakan
8 5 2 Belakang
90 57 1. Depan
A. Arah renang
Proporsi (%) Jumlah
spesies
Parameter gerakan ikan
Gambar 6. Pola gerak (PG) ikan karang di sekitar rumpon.
PG1 : Datang dari depan, di samping rumpon, PG2 : Datang dari depan, bergerak naik turun di atas rumpon, PG3: Datang dari depan, bergerak melingkari dinding rumpon searah jarum jam,
PG4 : Datang dari depan, bergerak melingkari dinding rumpon searah jarum jam, PG5 : Datang dari belakang, melawan arus, bergerak naik turun di atas rumpon, PG6: Datang dari depan, bergerak
naik turun di samping rumpon, PG7: Datang dari depan , bergerak bolak balik di atas rumpon, PG8: Datang dari depan, bergerak bolak balik dan melingkari dinding rumpon, PG9: Datang
dari depan, bergerak bolak balik di samping rumpon, PG10 : Datang dari depan, bergerak naik turun di atas dan di samping rumpon, PG11: Datang dari depan, bergerak naik turun, bolak
balik di atas rumpon, PG12: Datang dari depan, ke samping rumpon, singgah sebentar lalu pergi, PG13 Datang dari depan, langsung pergi, PG14: Datang dari depan, bergerak melingkar,
naik turun di atas rumpon, PG15: Datang dari depan, bergerak naik turun di samping dan masuk keluar rumpon, PG16: Datang dari belakang, bergerak naik turun di samping dan di dalam
rumpon, PG17: Datang dari depan, berada di atas rumpon, G18 : Datang dari depan, bergerak bolak balik masuk keluar rumpon, G19 : Datang dari depan, berada di atas dan masuk keluar
rumpon, PG20: Datang dari depan, bergerak bolak balik melingkari dinding rumpon, PG21: Datang dari depan, bergerak melingkar dan naik turun mengitari dinding rumpon, PG22:
Bergerak vertikal di atas rumpon, dan PG23: Datang dari depan, berada di pertengahan dan masuk keluar rumpon.
PG 11
PG 16
PG 7 PG 6
PG 9 PG 10 PG 8
P G 12
PG 13 PG 14
PG 15
P G 17 PG 20
PG 19
PG 21 PG 23
PG 22
PG 18
PG 5
PG 1
PG 4 PG 3
PG 2
3 2 8. Langsung pergi
3 2 7. Singgah sebentar lalu pergi
6 4 6. Masuk keluar rumpon
2 1 5. Dalam
2 1 4. Pertengahan
40 25 3. Samping
38 24 2. Atas
2 1 1. Vertikal
C.Posisi ikan terhadap rumpon
16 10 5. Bergerak melingkar searah
jarum jam
11 7 4. Bergerak melingkar
22 14 3. Bolak balik
46 29 2. . Naik turun
6 4 1. Melawan arus
B. Pola gerakan
8 5 2 Belakang
90 57 1. Depan
A. Arah renang
Proporsi (%) Jumlah
spesies
Parameter gerakan ikan
PG1 : Datang dari depan, bergerak naik turun diatas bubu, PG2 : Datang dari belakang, melawan arus, bergerak naik turun diatas dan disamping bubu, PG3 :
Datang dari depan, bergerak naik turun diatas dan di samping bubu, PG4 : Datang dari depan, langsung pergi, PG5: Datang dari depan, bergerak bolak balik di
atas dan di samping bubu, PG6 : Datang dari depan, menyusuri dinding bubu, PG7 : Datang dari belakang, melawan arus, bergerak naik turun di atas bubu, PG8 :
Datang dari depan, menyusuri dinding bubu berada di samping bubu, PG9 : Datang dari depan, menyusuri dinding bubu searah jarum jam, PG10:Datang dari
depan, di samping bubu, PG11: Datang dari depan, disamping dan di dasar bubu, PG12: Datang dari depan, berada diatas bubu, PG13: Datang dari samping bubu,
dan bergerak naik turun, PG14: Datang dari depan, bergerak naik turun, bolak balik, diatas dan disamping bubu, PG15: Datang dari belakang di samping bubu,
dan PG16: Datang dari depan,di depan mulut bubu.
PG
13
PG 1
PG 5
PG
11
PG
12
PG
14 PG
15
PG
16
PG
10
PG 8 PG 7 PG 6
PG 2
PG 3 PG 4
PG 9
13 6 5. Langsung pergi
2 1 4. Dasar
2 1 3. Depan mulut bubu
64 30 2. Samping
45 21 1. Atas
C.Posisi ikan dengan bubu
4 2 5. Menyusuri dinding
bubu searah jarum jam
13 6 4. Menyusuri dinding
bubu
11 5 3. Bolak balik
50 24 2. Naik turun
19 9 1.Melawan arus
B. Pola gerak
21 10 3. Belakang
2 1 2. Samping
79 37 1. Depan
A. Arah renang
Proporsi (%) Jumlah
spesies
Parameter gerakan ikan
Gambar 7. Pola gerak (PG) ikan karang di sekitar bubu.
Semnaskan _UGM /Penangkapan (PK-07) - 7
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Pola gerak yang diperlihatkan ikan karang di sekitar rumpon dapat memberikan peluang
ikan lebih mudah menyebar mendekati dan masuk kedalam bubu pada pola gerak
1,3,4,6,8,9,12,13,15,16,17,18,20,21 dan 23, sedangkan pola gerak 2,5,7,10,11,14 dan 22 ikan
akan sulit menyebar mendekati bubu. Pola gerak yang diperlihatkan ikan karang di sekitar alat
tangkap bubu memberikan peluang ikan akan mudah masuk kedalam bubu pada pola gerak
4,6,8,9,10,11,13,15,dan 16, sedangkan pola gerak 1,2,3,5,7,12,dan 14 ikan akan sulit masuk
karena posisi bubu berada di dasar perairan. Oleh karena itu, dalam proses penangkapan ikan
karang dengan bubu, maka posisi penempatan bubu di perairan harus disesuaikan dengan pola
gerak ikan.
Sesuai pola gerak yang diperlihatkan masing-masing spesies ikan, maka ada dua cara
yang diusulkan untuk memasang bubu di perairan antara lain: (1) Bubu dapat dipasang di dasar
berdasarkan pola gerak 4,6,8,9,10,11,13,15,dan 16 , dan (2) Bubu dapat di pasang di pertengahan
dan dekat permukaan perairan berdasarkan pola gerak 1,2,3,5,7,12,dan 14. Sesuai pola gerak
yang diperlihatkan masing-masing spesies ikan, maka ada dua cara yang diusulkan untuk
memasang bubu di perairan antara lain: (1) Bubu dapat dipasang di dasar berdasarkan pola gerak
4,6,8,9,10,11,13,15, dan 16 , dan (2) Bubu dapat di pasang di pertengahan dan dekat permukaan
perairan berdasarkan pola gerak 1,2,3,5,7,12,dan 14. Posisi penempatan bubu di dasar perairan
dapat dikombinasikan dengan rumpon dasar tetapi tinggi rumpon dan bubu harus diperhatikan.
Untuk posisi penempatan bubu di pertengahan dan dekat permukaan dapat dikombinasikan
dengan rumpon permukaan dan dipasang secara vertikal dengan cara digantung.
Pola gerak ikan di sekitar rumpon dan bubu berbeda-beda menurut spesies ikan.
Perbedaan ini sangat tergantung dari sifat hidup ikan karang. Informasi tentang pola gerak ikan
karang di sekitar rumpon dan bubu masih sangat jarang. Menurut Baskoro dan Effendy (2005),
ikan Torsk biasanya bergerak diatas bubu, sedangkan catfish berada di dasar dekat bubu.
Selanjutnya menurut Reiliza (1997), pola gerak Chaetodon octofasciatus selalu berenang
berkelompok, datang ke bubu dari arah depan samping kanan atau kiri, tidak pernah datang lurus
di depan bubu, Heniochus acuminatus berenang berkelompok, dengan gerak naik turun, dan
Sargocentron violaceum bergerak lambat, masuk kedalam mulut bubu membuat gerak melingkar
dan arah putaran dipengaruhi arus.
Pola interaksi ikan karang terhadap zona pengaruh alat tangkap bubu
Pola interaksi yang diperlihatkan ikan karang merupakan suatu hal yang menarik dalam
menggambarkan bagaimana setiap spesies ikan karang terpengaruh atau tidak terhadap zona
pengaruh alat tangkap bubu. Mekanisme ikan karang terpengaruh pada zona pengaruh alat
tangkap bubu dapat dijelaskan pada Gambar 8.
Gambar 8. Zona pengaruh (zona of influence/field of influence) alat tangkap bubu yang
dioperasikan bersama rumpon.
Gambar di atas menjelaskan bahwa bila penempatan rumpon diperbanyak bersama bubu
dengan jaraknya diatur sedemikian rupa diharapkan zona pengaruh (zone of influence) alat
Keterangan : Jarak(radius) area pengaruh (zone of
influence) alat tangkap bubu
1. Zone of influence; 2. Zone of action;
3. Zone of retention
Keterangan : 1,2 : Zone of influence/ fiel d of inf luence, R1: jarak zona
pengaruh alat tangkap bubu, R2 : jarak zona pengaruh
alat t angkap bubu yang di perbesar dengan
menambahkan rumpon
3
zona of influence alat
t angkap bubu
2
1
R1
1a.
fi eld of influence alat
t angkap bubu
zona of influence alat tangkap
bubu
1
R1
R2
2
2a.
3
zona of influence alat
tangkap bubu
2
1
R1
1b.
field of influence alat
tangkap bubu
zona of influence alat tangkap
bubu
1 R1
R2
2
2b.
field of influence alat
tangkap bubu
zona of influence alat tangkap
bubu
1 R1
R2
2
2b.
field of influence alat
tangkap bubu
zona of influence alat tangkap
bubu
1 R1
R2
2
2b.
8 - Semnaskan _UGM / Penangkapan (PK-07)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
tangkap bubu akan semakin diperluas. Dengan demikian ikan-ikan yang hadir di sekitar bubu akan
semakin banyak dan peluang untuk ikan-ikan tertangkap akan semakin besar jumlahnya.
Penentuan ikan karang memasuki zona pengaruh (zone of influence) alat tangkap bubu
hanya dilakukan secara umum berdasarkan hubungan jarak (radius) ikan dengan pola gerak yang
diperlihatkan masing-masing spesies ikan pada setiap kelompok pola gerak. Dari data jarak
(radius) dan pola gerak dapat diklasifikasikan ada empat pola interaksi ikan karang terhadap zona
pengaruh alat tangkap bubu untuk posisi ikan (1) dekat permukaan perairan, (2) di atas, (3) di
samping, dan (4) di dasar bubu ( Gambar 9).
Gambar 9. Pola interaksi setiap spesies ikan karang terhadap zona pengaruh (zone of
influence) alat tangkap bubu.
Gambar di atas memperlihatkan bahwa ikan bisa saja tidak terpengaruh untuk mendekati
alat tangkap karena posisi ikan lebih jauh diatas bubu dan rumpon sehingga kemampuan untuk
melihat bubu dan rumpon terbatas. Hal ini bisa terjadi bila ada pengaruh lingkungan sekitar karena
dikejar predator atau perubahan sifat fisik perairan akan merubah arah renang ikan menuju bubu
dan rumpon. Gambar 2 memperlihatkan bahwa ikan akan terpengaruh untuk mendekati bubu dan
rumpon karena posisi tidak begitu jauh, namun pada beberapa spesies visitor bisa saja hanya
numpang lewat dan tidak terpengaruh mendekati bubu dan rumpon. Gambar (3) dan (4)
memperlihatkan bahwa ikan akan mudah terpengaruh karena jarak ikan dengan bubu lebih dekat.
Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan penelitian ini sebagai berikut :
1) Rumpon mampu berperan dalam mengumpulkan ikan karang. Hal ini dapat dilihat dari ikan
karang yang hadir di rumpon sebanyak 1190 individu, terdiri atas 62 spesies, 42 genus dan 22
famili, sedangkan di sekitar bubu sebanyak 1230 individu, terdiri atas 47 spesies, 34 genus
dan 20 famili. jenis di sekitar rumpon dan bubu
2) Setiap jenis ikan karang memiliki jarak (radius) terhadap alat tangkap bubu yang
dioperasikan bersama rumpon sangat bervariasi. Jarak (radius) ikan karang terhadap rumpon
dan bubu umumnya antara 0 2 m.
3) Ikan karang memiliki pola gerak untuk mendekati rumpon/bubu sangat bervaraisi, ada
yang bergerak dari arah depan rumpon/ depan mulut bubu, kemudian bergerak naik turun, dan
berada diatas dan disamping rumpon/bubu.
4) Berdasarkan jarak (radius) dan pola gerak yang diperlihatkan masing-masing jenis ikan
karang di sekitar alat tangkap bubu, maka ditemukan ada empat pola interaksi ikan karang
terhadap zona pengaruh alat tangkap bubu untuk posisi ikan (1) dekat permukaan perairan,
(2) di atas, (3) di samping, dan (4) di dasar bubu
Informasi hasil penelitian ini masih terbatas, maka disarankan untuk mengkaji lebih lanjut
tentang pola interaksi setiap spesies ikan karang terhadap zona pengaruh alat tangkap bubu yang
dioperasikan bersama rumpon. Selain itu, perlu dikaji juga tentang pengaruh pasang surut dan
arah arus terhadap posisi penempatan rumpon dan bubu dalam penangkapan ikan karang.
1.
Keter angan : R : Radius zone of influence
R 4.
2.
R
3. R
R
Semnaskan _UGM /Penangkapan (PK-07) - 9
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Daftar Pustaka
Allen GR and R Stenee. 2002. Indo-Pacific coral reef field guide, Tropical Reef Research.
Baskoro MS dan A Effendy. 2005. Tingkah laku ikan hubungannya dengan metode pengoperasian
alat tangkap ikan. Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan, IPB.
Ferno A and S Olsen. 1994. Marine fish behaviour in capture and abundance estimation . Fishing
News Book. Harnolls Ltd. Bodmin. Cornwall. Britain. 221 p.
Gloerfelt TT and PJ Kailola. 1984. Trawled fishes of Southern Indonesia and Northwestern
Australia. Published by Australian Development Assistance Bereau.Directorate General of
Fisheries, Indonesia. Gema Agency for Technical Cooperation.
Hartati ST, Awwaludin dan IS Wahyuni. Kelimpahan dan komposisi jenis hasil tangkapan bubu di
perairan Gugus Pulau Kelapa Kepulauan Seribu. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia,
2004, 10: 29-51.
Kuiter RH. 1992. Tropical reef fish of The Western Pasific Indoensia adjacent water. Gramedia,
Jakarta.
Marschiavelli MIC. 2001. Analisis struktur dan kondisi ikan karang pada ekosistem terumbu karang
di perairan pesisir Nusa Penida Bali [skripsi]. Bogor : Program Studi Ilmu Kelautan,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 70 hal.
Purbayanto A, RI Wahyu, dan S Tirtana, 2006. Selektivitas bubu yang dilengkapi dengan celah
pelolosan terhadap ikan Kakap (Lutjanus sp. Bleeker). Gakuryoku, 2006, XII : 92-98.
Reiliza F. 1997. Studi tingkah laku ikan hias terhadap alat tangkap bubu kawat tipe buton di
perairan Karang Pulau Sekepal, Lampung Selatan [skripsi]. Bogor : Program Studi Ilmu
Kelautan, Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor.
Redjeki S, Mayunar dan A Basyarie. Pengaruh musim gelap dan terang terhadap penggunaan
bubu di Teluk Lada, Citeureup Pandeglang. Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan
Indonesia, 2005, 12 : 69-72.
Terangi, 2004. Panduan dasar untuk pengenalan ikan karang secara visual Indonesia. Indonesian.
Coral Reef Foundation (TERANGI). http://terangi.or.id/publications/pdf/pandikan.pdf [Maret
2004].
Yustika Y. 2006. Tingkah laku ikan Kepe-Kepe (Cheilmon rostratus) terhadap variasi spektrum
cahaya [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
10 - Semnaskan _UGM / Penangkapan (PK-07)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Semnaskan _UGM / Penangkapan (PK-08) - 1
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
KEANEKARAGAMAN JENIS IKAN TERTANGKAP DAN KARAKTERISTIK
SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP DI SUNGAI LEMPUING
SUMATERA SELATAN
Emmy Dharyati
Balai Riset Perikanan Perairan Umum
Jl. Beringin No. 308 Telp. (0711) 537194 Mariana-Palembang
E-mail: perikanan@yahoo.co.id
Abstrak
Sumberdaya perairan sungai Lempuing merupakan daerah aliran sungai didefinisikan sebagai
daerah daratan dimana air permukaan mengalir menuju sistem perairan sungai. Tujuan penelitian
untuk mendapatkan gambaran karakteristik sumberdaya perikanan tangkap, keragaman jenis ikan
dan jenis alat tangkap sungai Lempuing. Metode penelitian dilakukan diperairan sungai Lempuing
Kabupaten OKI Sumatera Selatan. Pengamatan dilakukan 5 kali musim kemarau (Mei, Juli,
Agustus) dan musim hujan (Nopember 2004 dan Januari 2005). Lokasi penelitian pada Zona
Hulu,Tengah dan Hilir mewakili daerah penangkapan. Parameter meliputi keragaman jenis ikan
hasil tangkap, ikan yang dominan, jenis alat tangkap dan karakteristik habitat (kesuburan dan
kualitas air). Hasil penelitian dari 20 stasiun tertangkap 52 jenis ikan, jenis ikan yang dominan dari
zona hulu sampai hilir adalah ikan baung (Mystus nemurus), patin (Pangasius sp), udang galah
(Macrobracium rosembergii), lais (Cryptoterus micronema), gabus (Channa striata), lele (Clarias
sp), damaian (Thynnichthys polylepis), Lampam (Puntius schwanefeldi), palau (Osteocchilus
hasselti), sepat siam (Trichogaster pectoralis) tembakang (Helostoma temmincki) dan toman
(Ophiocephalus microptelesC.V), ditemui 15 jenis alat tangkap dan Karakteristik habitat zona hulu
kedalaman 70 cm-200 cm subtrat dasar sungai pasir berlumpur, arus deras dari 1,5-4,25 m/det.
Zona Tengah 5 stasiun kedalaman air 200-950cm dasar sungai liat berpasir, Lubuk Kemudi
kedalaman 950 cm, dasar sungai liat, kecepatan arus air sedang dari 0,125-0,476 m/det. Zona Hilir
kedalaman 70-806 cm ada 9 stasiun: Lebak Bengkuang dan lebak Gunung Isam 800-806 cm
(terdalam). Kelimpahan plankton dan zooplankton zona hilir berlimpah dari pada zona hulu dan
tengah berkisar 6,05-804,36 individu/liter, keanekaragaman jenis 3-1 jenis, zooplankton berkisar 1-
483,32 individu/liter.Kelimpahan plankton dan zooplankton bagian hilir lebih berlimpah dari pada
bagian hulu, Keragaman jenis ikan 1-4 jenis Perairan sungai Lempuing termasuk dalam kesuburan
sedang sampai tinggi (mesotrop-eutrop). Alat tangkap banyak yang tidak selektif dan tidak ramah
lingkungan seperti tuguk, lulung dan corong. Jenis ikan sudah sulit diketemukan belida (Notopterus
chitala), kalui (osphrnomeus), tapa (wallago leeri) dan tengkuleso (Scleropages formosus),
(Thynnichthys thynnoides) dan puntung hanyut (Belantiocheilus melanopterus). Adapun jenis ikan
ini ringo yang dulunya mendominasi pada zona hulu, tengah dan hilir merupakan ikan yang bernilai
ekonomi tinggi.
Kata kunci: sumber daya, keragaman jenis ikan, ikan dominan, jenis alat tangkap dan karakteristik
habitat.
Pengantar
Daerah aliran sungai (DAS) Lempuing merupakan bagian dari sumberdaya perairan umum
yang ada di Sumatera Selatan dan termasuk dalam bagian terkecil dari luasan sekitar 2,5 juta
hektar yang terdiri dari sungai, danau dan rawa (Zain, 1981). Sumberdaya perairan sungai
Lempuing merupakan daerah aliran sungai yang dapat didefinisikan sebagai daerah daratan
dimana air permukaan mengalir menuju sistem perairan sungai, termasuk didalamnya rawa
banjiran (flood plain). Daerah ini memiliki ekosistem dan karakteristik yang berbeda. Rawa banjiran
adalah sisi kanan atau sisi kiri sungai pada saat musim hujan atau ketika air tinggi bagian ini
tergenang oleh air. Daerah aliran sungai merupakan suatu ekosistem yang bersifat unik dan
tersendiri, karena dalam satu daerah aliran sungai memiliki berbagai ekosistem karakteristik yang
berbeda-beda. Perairan umum dengan ekosistem tersebut dapat dikatakan bersifat open access
dan perairan model ini mudah dikenal seperti daerah aliran sungai Lempuing. Sungai Lempuing
mempunyai luas daerah aliran sungai (DAS) 218.938,52 ha dengan panjang sungai 153,6 km
dan terdiri 38 badan air yang termasuk bagian yang dilelang. Daerah aliran sungai Lempuing yang
PK-08
2 - Semnaskan _UGM / Penangkapan (PK-08)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
sebagian besar merupakan rawa banjiran (flood plain), habitat seperti ini merupakan salah satu
daerah penangkapan ikan bagi nelayan disamping itu cocok untuk pemijahan beberapa jenis ikan
(Welcomme, 1979). Daerah aliran sungai Lempuing yang terletak di Kabupaten Ogan Komering Ilir
mempunyai type rawa banjiran lebak kumpe (rawa lebak) karena banyak terdapat tumbuhan
kumpe (Samuel et al., 2001; Utomo et al 1993). Daerah aliran sungai Lempuing adalah daerah
penangkapan ikan yang bernilai ekonomi tinggi sehingga berpotensi untuk dilelang setiap tahun
oleh pemerintah setempat. Berdasarkan data yang dikumpulkan menunjukkan harga lelang badan
perairan sungai Lempuing berkisar Rp.585.000 hingga Rp.102.010.000 dengan nilai total hasil
lelang mencapai Rp.578.995.000 pertahun, (Dinas Perikanan Kabupaten OKI 1997). Seiring
dengan bertambahnya penduduk meningkat pula kebutuhan masyarakat akan protein hewani
sehingga meningkat pula usaha penangkapan ikan pada suatu badan perairan. Meningkatnya
usaha penangkapan ikan mengakibatkan akan terjadi penurunan jumlah hasil tangkapan dan
populasi ikan dalam suatu badan perairan sumberdaya perikanan. Untuk mencegah terjadinya
penurunan jumlah populasi ikan salah satu cara dengan melakukan penebaran ikan kembali
sebagai mana yang telah didiskusikan dalam (Ondara, 1995). Daerah aliran sungai Lempuing
sebagai daerah penangkapan perlu diketahui data dan informasi terkini mengenai sumberdaya
perikanan yang meliputi hasil tangkap jenis jenis ikan, alat tangkap dan karakteristik habitat
termasuk kualitas air. Tujuan penelitian untuk mendapatkan gambaran karakteristik sumberdaya
perikanan tangkap, keragaman jenis ikan yang tertangkap dan jenis alat tangkap diperairan sungai
Lempuing. Berdasarkan penomena tersebut perlu melakukan penelitian mengenai sumberdaya
perikanan tangkap dan aspek perikanan lainnya sehingga pada ahirnya dapat memanfaatkan
daerah aliran sungai Lempuing secara maksimal dan terpola.
Bahan dan Metode
Penelitian dilakukan di perairan daerah aliran sungai Lempuing Kabupaten Ogan Komering
Ilir Sumatera Selatan. Pelaksanaan survei lapangan dilakukan 5 kali yang mewakili (musim
kemarau) pada Mei, Juli, Agustus dan (musim hujan) pada bulan Nopember 2004 dan Januari
2005. Stasiun penelitian ditetapkan dengan 3 zona perairan daerah aliran sungai Lempuing yaitu
(1) Zona Hulu, (2) Zona Tengah dan (3) Zona Hilir, dari ketiga zona ini akan ditentukan stasiun
penelitian yang mewakili daerah penangkapan berdasarkan penelitian terdahulu, informasi
masyarakat dan nelayan setempat. Parameter yang dikumpulkan meliputi hasil tangkap jenis jenis
ikan, ikan yng dominan, jenis alat tangkap dan karakteristik habitat (kesuburan dan kualitas air).
Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan berdasarkan data hasil tangkapan jenis jenis ikan yang dilakukan
sendiri dan hasil tangkap nelayan serta data dari enumerator yang dicatat pada blanko isian yang
telah dilatih sebelumnya cara mencatat data ikan. Pengamatan keragaman jenis ikan dengan
mengambil contoh jenis ikan hasil tangkapan nelayan, bila Ikan yang belum diketahui jenisnya di
masukan dalam plastik dan ditaruh dalam cool box diawetkan dengan formalin yang telah dicairkan
5-10% untuk diindentifikasi di laboratorium dengan panduan Kottelat (1993), (Weber, M dan De
Beaufort,1916). Jenis ikan yang telah diketahui langsung dikelompokan berdasarkan habitat
penangkapan. Mendata ikan yang dominan dari hasil tangkapan dan wawancara pada nelayan.
Data jenis alat tangkap dengan cara melihat pengoperasian alat tangkap dan wawancara. Data
dan informasi karakteristik habitat ikan dengan pengamatan (kesuburan dan kualitas air). Kualitas
air yang diukur pada Tabel 1 dengan menggunakan petunjuk dari APHA, (1971), Barnes and Mann
(1980), Boyd (1979) dan Odum (1971).
Parameter dan metode yang digunakan pada Tabel 1. Semua parameter yang diukur
selanjutnya dibandingkan dengan standar yang berlaku untuk menentukan status mutunya.
Tabel 1. Parameter Kualitas Air, Keragaman Jenis Ikan dan Plankton yang diukur.
Parameter Satuan Metode dan Alat
Fisika
0
C Termometer
Suhu Air
0
C Termometer
Kecerahan Cm Keping secchi
Kedalaman Cm Tali penduga
Kecepatan Arus meter/detik Stopwatch
Dasar Sungai meter/cm Pendulum
Semnaskan _UGM / Penangkapan (PK-08) - 3
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Kimia
pH Unit pH Indikator
Oksigen Ppm Titrasi
Karbondioksida Ppm Titrasi
Fauna
Ikan Jenis Ikan Alat tangkap
Plankton Individu/liter Plankton net no. 25
Vegetasi
Tumbuhan air dan daratan Jenis tumbuhan -
Data yang terkumpul dianalisa secara deskriftip dan dibuat tabulasi data sehingga akan
terlihat jenis jenis ikan tertangkap pada setiap zona.
Gambar 1. Lokasi Penelitian DAS Lempuing Kabupaten OKI
Hasil Dan Pembahasan
Lokasi penelitian
Berdasarkan luasan dan parameter kegiatan penelitian sumberdaya perikanan tangkap di
perairan DAS Lempuing perlu membagi 3 zona yaitu (1) Zona Hulu terdapat 6 stasiun penelitian
(Sungai Lempuing, sungai Macak, sungai Belitang, Way Itam, sungai Hijau, Bendungan Komering
IX dan sungai Hijau, (2) Zona Tengah terdapat 5 stasiun (Tebing Suluh, Lubuk Kemudi, Muara
Burnai, Grubing dan Rantau Durian) dan (3) Zona hilir terdapat 9 stasiun (Lebak Petai Besar,
Lebak Pedamaran, Lebung Bengkuang, Lebak Gunung Isam, Sukopurno, Lebung Proyek, Lebak
Air Hitam, Kapak Hulu dan Lebak Teluk Rasau). Dapat diketahui bahwa perairan (DAS) Lempuing
mempunyai luas mencapai 218.938,52 ha dan panjang sungai 153,6 km, selain itu sebagian
besar merupakan rawa banjiran (flood plain) dan habitat seperti ini merupakan daerah
penangkapan ikan bagi nelayan (Welcomme, 1979).
Dari ketiga zona yang ditentukan maka lokasi penelitian dapat ditetapkan 20 stasiun yang
mewakili daerah penangkapan berdasarkan penelitian terdahulu dan informasi nelayan/
masyarakat setempat dapat dilihat pada (Tabel 2). Kawasan tersebut dimulai dari sungai Macak
wilayah Kecamatan Belitang sampai ke Lebak Teluk Rasau wilayah Kecamatan Pedamaran dapat
dilihat pada Gambar 1.
4 - Semnaskan _UGM / Penangkapan (PK-08)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Tabel 2. Zona dan Stasiun Penelitian Daerah Aliran Sungai Lempuing Tahun 2005
Zona Hulu Zona Tengah Zona Hilir
N
o
Stasiun Wilayah Stasiun Wilayah Stasiun Wilayah
1 Sei Lempuing Belitang Tebing Suluh Tugumulyo Lebak Petai Besar Pedamaran
2 Sei Macak Belitang Lubuk.Kemudi Tugumulyo Lebak Pedamaran Pedamaran
3 Sei Belitang Belitang Muara Burnai Tugumulyo Lebung
Bengkuang
Lubuk Lampam
4 Way Hitam Belitang Grubing Tugumulyo Lebak Gunung
Isam
Lubuk Lampam
5 Sei BK.IX Belitang Rantau Durian Tugumulyo Sukopurno Lubuk Lampam
6 Sei Hijau Tugumulyo - - Lebung Proyek Lubuk ampam
7 - - - - Lebak Air Itam Pedamaran
8 - - - - Kapak Hulu Pedamaran
9 - - - - Lebak Teluk
Rasau
Pedamaran
Keragaman jenis ikan dari Hasil Tangkapan
Berdasarkan data hasil tangkapan jenis ikan dari 20 stasiun hanya tertangkap 52 jenis
(Tabel 3). Keanekaragaman ikan yang tertangkap relatif lebih sedikit bila dibandingkan dengan
keanekaragaman ikan disepanjang sungai Lempuing sekitar 10-12 tahun lalu terlihat adanya
penurunan jenis ikan mencapai 12 jenis. Menurut (Arifin, 1978) keanekaragaman jenis ikan
disepanjang sungai Lempuing dihuni lebih kurang 90 species. Sedangkan di Lubuk Lampam
dapat tertangkap mencapai 64 jenis ikan (Utomo et al, 1993). Terjadinya penurunan populasi ini
dapat dikarenakan tingginya tekanan ekologis di sepanjang sungai Lempuing dan penangkapan
ikan dengan menggunakan alat tangkap yang tidak selektif sehingga jenis ikan banyak berkurang
dan ada jenis ikan yang sudah sulit ditemukan lagi. Disamping terjadinya tekanan ekologis,
penggunaan alat tangkap tidak selektif dan karena terhambatnya ruaya beberapa jenis ikan dan
udang. Masalah ini terjadi karena tidak adanya penata dan mengatur penangkapan ikan sehingga
penurunan populasi ikan akan terjadi.
Tabel 3 Keragaman Jenis ikan dari Hasil tangkap berdasarkan zona diperairan sungai Lempuing
Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI)
No Nama Lokal
Nama Latin Zona
Hulu Tengah Hilir
1 Baung Mystus nemurus x x x x x x x
2 Berengit Mystus nigriceps x x
3 Belut Monopterus albus x x
4 Betok Anabastestudineus x x x x x
5 Betutu Oxyeleotris marmorata x x
6 Bujuk Channa lucius x x x
7 Buntal Tetraodon sp x x
8 Damaian Thynnichthys polylepis x x x x x
9 Gabus/delek/ruan Channa striata x x x x x x x
10 Juaro Pangasius polyurodon x x
11 Kalui Osphronemus goramy x
12 Keli Panjang Clarias nieuhofii x x x x x
13 Keli Pendek Clarias teysmanni x x x
14 Keperas Puntius sp x x
15 Lais Cryptopterus micronema x x x x x x
16 Lais Cryptopterus sp x x x x X
17 Lais Tapah Siluroides hasselti x
18 Lambak Muncung Labiobarbus sp x x x
19 Lambak Usang Labiobarbus ocellata x x
20 Lampam Barbodes schwanefeldi x x x
21 Lundu Macrones macracanthus x
22 Palau Osteochillus hasselti x x x x x
23 Patin Pangasius sp x x
Semnaskan _UGM / Penangkapan (PK-08) - 5
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
24 Putak Notopterus notopterus x x x
25 Puntung hanyut Balantiocheilos melanopterus x
26 Riu-riu Pseudeutropius brachypopterus x x x
27 Ringo Thynnichtys tynnoides x x x
28 Sapil Helostoma sp x x x
29 Sebarau Hampala macrolepidota x x x x
30 Sengarat Belondonticthys dinema x x x
31 Senggiringan Puntius fasciatus x x
32 Selincah Polycanthus hasselti x x
33 Selontok Clarias sp. x
34 Seluang Rasbora spp x x
35 Seluang Rasbora spp x x
36 Sepat Mato Merah Trichogaster trichopterus x x
37 Sepat Siam Trichogaster pectoralis x x x
38 Sepatung Pristolepis fasciata x
39 Sepengkah Ambassis wolffii x
40 Serandang Channa Pleurophthalmus x x
41 Serkoh Channa sp x
42 Setambun Pristolepis sp. x
43 Siamis Parachella oxygastroides x x x
44 Sihitam Labeo chrysopekhadion x
45 Siumbut Labiobarbus leptocheilus x
46 Tapah Wallago leeri x
47 Tembengalan Scleropages formosus x x
48 Tembakang Helostoma temminckii x x x x
49 Tilan Mastacembelus sp x
50 Toman Ophiocephalus micropeltes xx x
51 Udang galah Macrobrachium rosenbergii x x x x x
52 Udang sarap x
Jumlah jenis ikan tertangkap per zona 11 43 39
Keterangan hasil tangkap: xxx = (> dari 80 kg ) xx = (sedang 50-70 kg) x = (< dari 30 kg)
Gambar 2. Persentase jenis ikan tertangkap di DAS Lempuing Kabupaten OKI
Hasil tangkapan ikan pada (Tabel 3) sebanyak 52 jenis dari perairan sungai Lempuing,
pada zona hulu hanya sedikit sekitar 12% dari jenis ikan tertangkap 52 jenis, zona tengah
mencapai 46% dan zona hilir sekiar 42% pada (Gambar 4), dari jenis ikan tersebut dapat didata
dan dikelompokan jenis jenis ikan yang mendominasi pada daerah aliran sungai Lempuing dari
zona hulu sampai hilir. Jenis jenis ikan ada kemiripan habitat hidupnya karena itu ada beberapa
jenis ikan yang terdapat di zona hulu dan ada pula ditemui di zona hilir. Jenis ikan yang ada di
zona hulu lebih sedikit hanya (12%) dapat diakibatkan dari tekanan ekologis dan derasnya air dari
hulu menuju hilir sehingga jenis ikan yang ada dihilir dan tengah sangat sulit untuk bermigrasi
kehulu kecuali ada beberapa jenis ikan dan udang galah. Zona tengah Lempuing lebih banyak
jenis-jenis ikan mencapai (46%) tertangkap karena datangnya beberapa jenis ikan dari zona hulu
dan hilir disebabkan habitat zona tengah ada kemiripan tempat hidupnya dari beberapa jenis ikan
baik dari zona hulu dan hilir sehingga ikan tersebut dapat beradaptasi dizona tengah, sebaliknya
6 - Semnaskan _UGM / Penangkapan (PK-08)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
zona hilir terdapat banyak jenis ikan mencapai (42%) karena banyak jenis ikan yang masuk
kemuara sungai Lempuing dan adanya jenis ikan yang beruaya dari zona hulu dan tengah menuju
zona hilir yang termasuk rawa banjiran. Selain itu zona tengah dan hilir termasuk dalam kesuburan
sedang sampai tinggi (mesotrop-eutrop) sehingga jenis jenis ikan lebih banyak dikawasan ini
karena pakan alami yang banyak tersedia.
Jenis jenis Ikan yang Dominan
Jenis ikan yang dominan sebanyak 12 jenis dan 8 jenis ikan dari 12 jenis itu banyak
mendominasi pada zona hilir Lempuing dapat dilihat pada (Tabel 4).
Tabel 4 Jenis jenis ikan yang mendominasi Daerah Aliran Sungai Lempuing 2005
No Jenis ikan Zona Hulu Zona Tengah Zona Hilir
1 Baung (Mystus nemurus) x x x
2 Gabus (Channa striata) x x x
3 Toman (Ophiocephalus micropteles C.V.) x
4 Patin (Pangasius hypopthalamus x
5 Sepat siam (Trichogaster pectoralis) x
6 Tembakang (Helostoma temincki) x
7 Udang (Macrobracium rosenbergii), x x
8 Damaian (Thynnichtys thynnoides) x x
9 Lele (Clarias sp) x
10 Lampam (Puntius schwanefeldi), x
11 Palau (Osteochilus hasselti) x x
12 Lais (Kryptopterus sp) x
Keterangan: X jenis ikan yang mendominasi
Pada zona hulu perairan Lempuing hasil tangkap dan wawancara dengan nelayan yang
dikumpulkan terlihat perairan zona hulu didominasi beberapa jenis ikan pada (Tabel 4), antara lain
ikan baung (Mystus nemurus), patin (Pangasius hypopthalamus), udang galah (Macrobracium
rosembergii), lais (Cryptoterus micronema), lele (Clarias sp) dan gabus (Channa striata).
Sedangkan ikan yang sulit ditemukan lagi pada saat penelitian adalah ikan belida (Notopterus
chitala), kalui (osphronemeus), tapa (wallago leeri) dan tengkeleso (Scleropages formosus) dan
keempat jenis ikan ini dulunya mendominasi pada zona hulu dan merupakan ikan yang bernilai
ekonomi tinggi. Pada zona tengah sungai Lempuing dari hasil tangkapan ikan yang dikumpulkan
didominasi beberapa jenis ikan (Tabel 4) yaitu ikan damaian (Thynnichthys polylepis), baung
(Mystus nemurus), Lampam (Puntius schwanefeldi), palau (Osteochilus hasselti) dan gabus
(Channa striata). Pada zona hilir sungai Lempuing (Tabel 4), beberapa jenis ikan yang
mendominasi disini antara lain udang (Macrobracium rosenbergii), ikan baung (Mystus nemurus),
damaian (Thynnichthys polylepis), tembakang (Helostoma temmincki), sepat siam (Trichogaster
pectoralis), gabus (Channa striata), palau (Osteochilus hasselti) dan toman (Ophiocephalus
micropteles C.V). Jenis ikan yang mulai sulit didapat bahkan tidak pernah diketemukan lagi adalah
jenis ikan tengkeleso (Scleropages formosus), ikan tapa (Wallago leeri), ringo (Thynnichthys
thynnoides) dan puntung hanyut (Belantiocheilus melanopterus). Adapun jenis ikan terahir ini
dulunya sangat banyak ditemui pada zona hilir sungai Lempuing sebagian dari jenis jenis ikan
tersebut bernilai ekonomi tinggi. Akan tetapi dari keempat jenis ikan ini masih dapat ditemui pada
zona tengah sungai Lempuing walaupun tidak banyak lagi, hal ini dapat terjadi karena habitat
dizona tengah ada kemiripan dengan zona hilir sehingga ikan ikan tersebut dapat hidup. Pada
zona hilir sungai Lempuing umumnya dididominasi jenis ikan Sepat siam (Trichogaster pectoralis)
dan Damaian (Thynnichtys thynnoides) akan tetapi kedua jenis ikan ini dapat pula ditemui pada
zona tengah. Kondisi seperti ini dapat terjadi karena pada zona tengah bisa saja ditemui habitat
seperti lebak yang membuat jenis ikan sepat dan ikan damaian cocok untuk hidup pada habitat
yang menyerupai daerah lebak kumpai. Sebaliknya ada beberapa jenis ikan pada zona hilir sangat
mendominasi dan ditemui pula dizona hulu seperti ikan Tembakang (Helostoma temincki) dan
Udang (Macrobracium rosenbergii), akan tetapi populasinya dizona hulu saat ini sudah sangat
menurun sehingga sulit untuk mendapatkannya. Kondisi ini dimungkinkan karena ruaya ikan
disungai terhalang oleh alat tangkap yang terpasang memotong badan sungai dari hilir kehulu dan
sebaliknya.
Dikenal beberapa jenis ikan mendominasi pada 20 stasiun penelitian dari ketiga zona
perairan sungai Lempuing adalah pada saat musim tangkap, jenis jenis ikan tersebut yang banyak
Semnaskan _UGM / Penangkapan (PK-08) - 7
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
tertangkap dan pada saat bukan musim penangkapan jenis jenis ikan yang mendominasi tersebut
tetap ditemui atau tertangkap walaupun hasilnya tidak sebanyak pada musim tangkap. Data jenis
ikan hasil tangkapan yang dikumpulkan selama pelaksanaan penelitian dan data dari enumerator
serta hasil wawancara dengan nelayan ternyata jenis ikan yang mendominasi pada zona hulu,
tengah dan hilir sama dengan kebiasaan dan pengalaman nelayan selama bertahun tahun
menangkap ikan pada perairan sungai Lempuing.
Alat tangkap
Kegiatan penangkapan ikan pada perairan lebak dan sungai Lempuing yang
menggunakan berbagai macam cara dan alat tangkap sejak dulu telah disesuaikan dengan
keadaan lingkungan dan musim yang terdapat di daerah perairan aliran sungai. Alat tangkap yang
terdata dan beroperasi mencapai 15 jenis alat pada (Tabel 5). Jenis alat tangkap yang mempunyai
kekhasan tersendiri karena nelayan dapat menyesuaikan dan memilih alat yang akan dioperasikan
guna mengatur seperti penempatan pemasangan alat, jenis ikan dan kondisi tinggi air pada saat
musim tangkap atau musim hujan.
Tabel 5. Jenis Alat Tangkap yang ditemui di Daerah Aliran Sungai Lempuing
No Jenis Alat Tangkap Pemasangan/bahan Stasiun Ket :
1 Jala (Cast net) Pinggir sungai, di lebak. Bahan dari
benang nylon monofilamen dan
polifilamen
Semua stasiun Selektif
2 Empang (Barrier traps) Alur sungai, bahan bambu yang sudah
dirangkai
Semua stasiun Tidak
slektif
3 Roket (Gill nets) Lebak, bahan benang nylon dan ada dari
net waring
Semua stasiun Selektif
4 Lulung (stationary
Uncovered Pound
Nets)
Memanjang sungai. Bahan jaring dibantu
papan/kayu
Semua stasiun Tidak
slektif
5 Tuguk (Filtering net) Memotong sungai, bahan jaring/net
waring dengan bantuan pagar dari kayu
gelam besar dan dilapisi empang
Batanghari
Lempuing
Tidak
slektif
6 Langgian (Scoop net) Mencerok ikan Semua stasiun Selektif
7 Pengepuk Alat yang ditepukan keair untuk
menggiring ikan agar masuk dalam
perangkap
Semua stasiun Selektif
8 Kerakat (Seine) Jaring dengan kuran benang kasar
(No.14/15) ukuran mata 2,5-4 cm,
dilengkapai pemberat dari timah dan
pelampung. Diperlukan rumah ikan yang
digiring dari luar
Semua stasiun Selektif
9 Pengilar Kawat (Pot
trap)
Dipasang pinggir sungai dan lebak,
bahan kawat
Semua stasiun Selektif
10 Bengkirai bilah (Pot
trap)
Dipasang pinggir sungai dan lebak,
bahan bambu
Semua stasiun Selektif
11 Pancing (Hooks and
Lines)
Dipasang pinggir sungai / lebak 1 mata
pancing dan dapat berpindah tempat.
Semua stasiun Selektif
12 Tajur (Hooks and
Lines)
Dipasang pinggir sungai dan lebak/rawa,
1 mata pancing dipasang semalaman.
Semua stasiun Selektif
13 Rawai (Set longlines) Dipasang pinggir sungai dan tengah
lebak, serangkaian mata pancing.
Semua stasiun Selektif
14 Corong (Filtering
gears)
Memanjang sungai dibantu papan/ kayu
untuk dapat mengalirkan air sehingga
ikan terbawa arus air ketempat corong.
Semua stasiun Tidak
slektif
15 Tangkul (Lift net) Digunakan dipinggir sungai-lebak, bahan
dari nilon yang dibentuk empat persegi
pada setiap ujungnya diikat pada empat
ujung bila yang sudah melekat di tangkai
tangkul.
Semua stasiun Selektif
8 - Semnaskan _UGM / Penangkapan (PK-08)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Alat tangkap yang digunakan nelayan dapat dipilih dan disesuaikan dengan musim
tangkap ikan yang tergantung dengan keadaan tinggi air yang terjadi pada musim hujan dan
musim kemarau. Alat tangkap yang dioperasikan nelayan sekarang dapat diklasifikasikan
berdasarkan buku referensi menurut Brandt (1972); Welcome,1979 antara lain Tajur (Hooks and
Lines), Rawai (Set longlines), Jaring (Gill nets), Corong (Filtering gear), Bubu (Trap), Pengilar Pot
Trap), Jala (Cast net), Arat (Barrier traps), Empang (Barrier traps) dan lulung (stationary
Uncovered Pound Nets). Dari (Tabel 5) bahwa ada beberapa jenis alat tangkap yang digunakan
nelayan pada perairan Lempuing termasuk alat tangkap tidak selektif dan tidak ramah lingkungan
karena dapat menangkap ikan dengan semua ukuran dan semua jenis ikan, sebagaimana dilihat
pada waktu pengoperasiannya dan hasil tangkapan ikan dari ukuran kecil sampai ukuran besar
dan semua jenis ikan. Alat tangkap tuguk dapat dimasukan dalam klasifikasi filtering device (Gaffar
dan Utomo, 1989). Alat tangkap tuguk dapat menghalangi ruaya ikan dan udang untuk bermigrasi
kehulu ataupun kehilir, sehingga udang galah (Macrobracium rosenbergii) sulit dapat memijah,
akibatnya hambatan ruaya udang dan ikan dapat mengurangi populasi ikan.
Dengan kondisi perairan dan jenis alat tangkap yang tersedia sehingga tidak ada waktu
yang lowong bagi nelayan untuk menangkap ikan sepanjang tahun. Nelayan penangkap ikan
terdiri dari nelayan penuh (full time) ataupun nelayan komersil, nelayan sambilan (fart time) dan
nelayan subsisten yaitu nelayan hanya menangkap ikan untuk dikonsumsi setiap harinya. Akan
tetapi dampak dari kegiatan penangkapan yang tiada putusnya sepanjang tahun akan
menimbulkan masalah bisa negatatif seperti banyak populasi ikan yang berkurang dan hasil
tangkap berkurang. Dampak positifnya bagi nelayan yang berusaha menangkap ikan yaitu dapat
memenuhi kebutuhan hidup keluarganya demikian juga terhadap masyarakat setempat.
Karakteristik Habitat
Ekologi
Pengamatan ekologi tumbuhan bahwa karakteristik habitat pada daerah aliran sungai
Lempuing banyak berbeda berdasarkan hasil penelitian ditemui pada zona hulu dan tengah
berhabitat hutan sungai, dimana vegetasi yang mendominasi adalah pohon tegakkan seperti
rengas dan akasia. Sedangkan pada zona hilir didominasi oleh habitat hutan sungai dan lebak
kumpai. Hal ini dapat terjadi karena pada zona hulu dan tengah tidak terdapat daerah rawa
banjiran tetapi merupakan daratan sehingga pohon tegakkan cocok dan dapat hidup, seperti pada
bagian hilir yang terdapat rawa banjiran sehingga habitat yang cocok adalah vegetasi kumpai,
sesuai menurut (Utomo, et al. 1995).
Zona Hulu
Pada (Tabel 2) dapat dilihat daftar stasiun pada Zona Hulu daerah aliran sungai (DAS)
Lempuing terdiri dari 6 stasiun yaitu stasiun sungai Lempuing, sungai Macak, sungai Belitang,
sungai Way Itam, sungai Hijau dan Bendungan Komering IX. Dapat dijelaskan bahwa stasiun-
stasiun pada zona hulu ini merupakan suatu badan air yang terletak di badan sungai Lempuing.
Berdasarkan pengukuran fisika perairan pada (Gambar 5), bahwa dasar sungai Lempuing
mempunyai kedalaman 70 cm, sungai Macak kedalaman 160 cm, sungai Belitang kedalaman 200
cm sedangkan substrat dasar perairan dari ketiga sungai ini berbentuk liat berpasir, sungai Way
Hitam, sungai BK.IX dan sungai Hijau dengan kedalaman 120-150 cm dan dasar sungai masing
masing berlumpur, berpasir dan pasir. Pada umumnya pada bagian Hulu sungai Lempuing
mengalir air agak deras dari 1,5 4,25 m/det. Kondisi ini karena letak perairan bagian hulu sungai
yang lebih tinggi sehingga arus air lebih deras. Berdasarkan ekologinya perairan ini didominasi
oleh tumbuhan hutan sungai, dimana pada tepi-tepi sungai banyak ditumbuhi pohon tegak seperti
pohon rengas dan akasia. Hal ini dapat terjadi karena pada zona hulu dan tengah tidak terdapat
daerah rawa banjiran tetapi merupakan daratan sehingga pohon tegakkan dapat hidup dan cocok,
tidak seperti pada bagian hilir yang terdapat rawa banjiran sehingga habitat yang cocok adalah
vegetasi kumpai, sesuai menurut (Utomo, et al. 1995). Dari hasil tangkapan ikan dan wawancara
dengan nelayan bahwa perairan ini didominasi beberapa jenis ikan yaitu ikan baung, lele, gabus,
patin, udang galah dan lais. Ikan yang mulai langka jarang ditemukan lagi adalah ikan belida, kalui,
tapa dan tengkeleso dan jenis ikan yang mendominasi tersebut adalah ikan yang bernilai ekonomi
tinggi.
Semnaskan _UGM / Penangkapan (PK-08) - 9
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Zona Tengah
Zona Tengah pada (Gambar 6), daerah aliran sungai (DAS) Lempuing terdiri dari 5
stasiun yaitu Tebing Suluh, Lubuk Kemudi, Muara Burnai, Grubing dan Rantau Durian. Dapat
dijelaskan bahwa semua stasiun-stasiun pada zona tengah merupakan suatu perairan yang
terletak di badan sungai, seperti pada zona hulu. Berdasarkan pengukuran fisika perairan bahwa
dasar sungai pada stasiun Tebing Suluh mempunyai kedalaman air 600 cm dasar sungai liat
berpasir, Lubuk Kemudi kedalaman 950 cm (9,5 m) adalah stasiun yang paling dalam
dibandingkan lainnya dasar sungai liat, Muara Bernai kedalaman 295 cm dan stasiun Grubing
kedalaman 270 cm dasar sungai kedua stasiun ini adalah subtrat berlumpur, stasiun Rantau
Durian kedalaman 200 cm dasar sungai Lumpur berpasir. Pada umumnya pada zona Tengah
mengalir air kecepatan sedang berkisar dari 0,125-0,476 m/det dimana letak sungai yang tidak
terlalu tinggi menuju bagian hilir sungai Lempuing. Sedangkan ekologinya dibagian tepi didominasi
pohon tegakkan. Jenis ikan yang mendominasi pada zona tengah sungai Lempuing antara lain
jenis ikan damaian, baung, palau, Lampam dan gabus.
Zona Hilir
Pada (Gambar 7) dapat dilihat stasiun pada Zona Hilir (DAS) Lempuing terdiri dari 9
stasiun yaitu Lebak Petai Besar, Lebak Pedamaran, Lebak Teluk Rasau, Lebung Bengkuang,
Labak Gunung Isam, Sukopurno, Lebung Proyek, Kapak Ulu dan Lebak Air Hitam. Dari hasil
penelitian terlihat Kedalaman air dari stasiun Lebak Sukopurno berkisar 70 sampai 170 cm untuk 7
stasiun, sedangkan 2 stasiun lainnya Lebak Bengkuang 806 cm (terdalam) dan lebak Gunung Isam
kedalaman 800 cm. Badan-badan perairan pada 7 stasiun ini tempatnya ada yang di badan sungai
dan ada juga yang berada di daerah rawa banjiran. Sedangkan substrat dasar perairan hanya
stasiun Sukopurno yang bersruktur Lumpur bergambut, lainnya dasar sungai liat Lumpur. Bila
dilihat pada zona hilir dari 9 stasiun penelitian banyak terdapat tumbuhan air seperti kumpai
terutama pada lebak Pedamaran, lebak Petai, lebak Bengkuang dan habitat sungai lainnya seperti
Suku Purno, lebak gunung isam dan lebak-lebak lainnya banyak tumbuhan tegakan. Kondisi ini
sesuai yang diutarakan (Samuel et al, 2002), yaitu habitat bagian hilir bervariasi yaitu habitat hutan
sungai yang didominasi pohon tegakkan dan untuk daerah rawa banjiran dipenuhi lebak kumpai.
Beberapa jenis ikan yang mendominasi daerah aliran sungai Lempuing bagian hilir yaitu udang
(Macrobracium rosenbergii), ikan baung (Mystus nemurus), damaian (Thynnichthys polylepis),
tembakang (Helostoma temmincki), sepat siam (Trichogaster pectoralis), gabus (Channa striata),
palau (Osteocchilus hasselti) dan toman (Ophiocephalus micropteles C.V). Jenis ikan yang mulai
sulit didapat bahkan tidak pernah diketemukan lagi adalah jenis ikan tengkeleso, ikan tapa, ringo,
dan puntung hanyut dan jenis ikan ini sebagian termasuk ikan ikan yang bernilai ekonomi tinggi.
Kualitas Air (Kimia dan Fisika perairan)
Hasil pengamatan parameter kimia perairan dapat dilihat pada (Gambar 2,3 dan 4),
dimana Suhu air permukaan air pada zona hulu, tengah dan hilir tidak memperlihatkan perbedaan
yang nyata, yaitu berkisar 26
0
C-31
0
C kisaran suhu tersebut masih dalam batas yang wajar dan
tidak membahayakan ikan. Dalam penelitian tidak terjadi perubahan suhu secara mendadak
sebagaimana yang dihawatirkan dan berdasarkan kreteria yang dikemukakan oleh Pescod (1973)
dan NTAC (1968) suhu yang berkisar 24-30
0
C adalah dalam kondisi suhu air cukup baik untuk
mendukung kehidupan ikan dan organisme lainnya. Kadar O
2
, pada zona hulu berkisar 5,56-12,32
mg/l, zona tengah berkisar 5,6-9,92 mg/l dan zona hilir berkisar 2,4-16,88 mg/l. Menurut NTAC
(1968) dan Pescod (1973), pada suatu perairan jika tidak terdapat senyawa yang mengandung
racun (toxic) maka kandungan oksigen terlarut minimum sebesar 2 mg/l sudah cukup mendukung
kehidupan organisme perairan secara normal. Kalau dilihat data pada stasiun lebak Air Hitam
kadar O
2,
rendah berkisar 2,4 dengan kadar ini masih bisa mendukung kehidupan ikan dan biota
lainnya, ini terjadi karena lebak air hitam diduga banyak mengandung gambut sehingga
mengakibatkan wara air juga menjadi hitam namun ketebalan hitamnya belum diketahui.
Sedangkan kadar CO
2
bebas pada zona hulu berkisar 0,70-7,64 mg/l, zona tengah berkisar 0,65-
4,17 mg/l dan zona hilir berkisar 5,93-19,46 mg/l, bila dilihat besar kadar CO
2
bebas pada ketiga
zona ini masih layak untuk mendukung kehidupan ikan dan organisme yang ada diperairan sungai
Lempuing sehingga ikan ikan tetap bertahan dan berkembang. Karena pada suatu perairan
kandungan CO
2-
bebas dalam air bila telah melebihi 25 mg/l sudah membahayakan kehidupan ikan
dan biota lainnya (NTAC, 1968).
10 - Semnaskan _UGM / Penangkapan (PK-08)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Gambar 3. Grafik suhu, O
2
, CO
2
dan pH Zona Hulu Sungai Lempuing
Gambar 3. Grafik suhu, O
2
, CO
2
dan pH Zona Tengah Sungai Lempuing
Semnaskan _UGM / Penangkapan (PK-08) - 11
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Gambar 4. Grafik suhu, O
2
, CO
2
dan pH Zona Hilir Sungai Lempuing
Hasil pengamatan parameter fisika perairan dapat dilihat pada (Gambar 5,6 dan 7),
Kedalaman air pada zona hulu sungai Lempuing yang terdalam adalah sungai Belitang 200 cm dan
yang dangkal adalah sungai Lempuing 70 cm sedangkan kedalaman pada zona tengah berkisar
200-950 cm dan zona hilir 70-905 cm. Kecerahan pada zona hulu sungai Lempuing berkisar
antara 15-40 cm yaitu zona tengah berkisar 20-45 cm, zona hilir berkisar 20-90 cm. Sedangkan
pada zona hulu kecerahan sangat rendah, hal ini terjadi karena waktu penelitian dilakukan pada
zona hulu sedang dilaksanakan pembangunan irigasi sehingga terjadi kekeruhan pada badan air
sungai Lempuing. Hasil pengamatan subtrat dasar perairan sungai Lempuing ternyata bagian
dasar umumnya didominasi dengan Lumpur, hanya zona hulu saja terdapat liat berpasir karena
zona hulu berada pada daerah yang tinggi sehingga lumpur tidak bertahan dan mengalir ke zona
tengah dan hilir. Sebaliknya zona tengah terdapat lumpur berpasir dan pada zona hilir terdapat
lumpur liat, hal ini dapat terjadi karena pada zona hulu banyaknya lahan pertanian contohnya di
Belitang seperti sawah dan perkebunan disamping adanya irigasi pertanian sehingga banyak
buangan air masuk ke perairan Lempuing dan terbawa arus dan melewati zona tengah dan hilir.
Pada zona tengah dan hilir sendiri sudah banyak masuk lumpur dari rawa lebak dikiri dan kanan
sungai Lempuing, dimana saat musim hujan air melimpah dari badan sungai dan masuk kerawa
lebak yang ada dikiri kanan sungai dan pada saat air mulai turun membawa lumpur masuk
kebadan sungai hingga kehilir ini salah satu penyebabnya.
Gambar 5. Kedalaman Perairan Zona Hulu Sungai Lempuing
12 - Semnaskan _UGM / Penangkapan (PK-08)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Gambar 6. Kedalaman Perairan Zona Tengah Sungai Lempuing
Gambar 7. Kedalaman Perairan Zona Hilir Sungai Lempuing
Kelimpahan Plankton
Hasil pengamatan dari kelimpahan fitoplankton dapat dilihat pada (Gambar 8,9 dan 10).
Pada zona hulu sungai Lempuing dari 6 stasiun terdapat 49,78 individu/liter dengan jumlah jenis 4-
11 species. Pada zona tengah dari 5 stasiun berkisar 18,9-172, 68 individu/liter, dengan jumlah
jenis berkisar dengan jumlah species 4-0 species. Bila dilihat dari kesuburan dan kemelimpahan
plankton pada zona hulu hanya 49,78 individu/liter dan jumlah jenis hanya 4-11 species. Akan
tetapi kemelimpahan ini cukup baik untuk kehidupanan ikan Sebagai pakan alami dan tentunya
akan dicukupi lagi dari nutrien lain dari kiri kanan sungai. Bagian hilir dari 9 stasiun ditemui
plankton berkisar 6,05 sampai 804,36 individu/liter dengan jumlah jenis berkisar 3-11species.
Dari hasil pengamatan menunjukkan bahwa bagian hilir lebih berlimpah plankton baik
jumlah maupun jenisnya, dibandingkan bagian hulu dan tengah dikarenakan fitoplankton terbawa
dari hulu oleh arus dan berkumpul dizona hilir yang umumnya zona hilir arusnya tidak terlalu deras
bila dibandingkan dengan zona hulu dan zona tengah.
Gambar 8. Jumlah dan jenis jenis Fitoplankton Zona Hulu Sungai Lempuing
Semnaskan _UGM / Penangkapan (PK-08) - 13
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Gambar 9. Jumlah dan jenis jenis Fitoplankton Zona Tengah Sungai Lempuing
Gambar 10. Jumlah dan jenis jenis Fitoplankton Zona Hilir Sungai Lempuing
Hasil pengamatan dari kelimpahan fitoplankton pada (Tabel 6) pada zona hulu 6 stasiun
dimana zooplankton berkisar 9,96-266,2 individu/liter dengan jumlah jenis berkisar 1-2 species.
Pada zona tengah dari 5 stasiun terdapat zooplankton berkisar 9,31-12,72 individu/liter dengan
jumlah jenis berkisar 1-2 species. Pada zona hilir dengan 9 stasiun terdapat zooplankton 1-483,32
individu/liter dengan jumlah jenis berkisar 1-4 species.
Tabel 6. Zooplankton di Daerah Aliran Sungai Lempuing Tahun 2005
Zona/Stasiun Fitoplankton (individu/liter)
Rotifera Protozoa Cladocera Cylop Jumlah
Hulu
S.Lempuing 56,87 45,5 --- --- 102,37
S. Macak 9,96 --- --- --- 9,96
S. Belitang --- 23,8 --- --- 23,8
S. Way Hitam 6,6 259,6 --- --- 266,2
S. BK.IX --- --- --- --- ---
S. Hijau --- --- --- --- ---
Tengah
Tebing Suluh 6,37 6,37 --- --- 12,74
L. Kemudi 2,55 1,7 --- --- 4,25
Muara Burnai 5,4 10,8 --- --- 16,2
Grubing --- --- --- --- ---
Rantau Durian 9,39 --- --- --- 9,39
Hilir
L. Petai Besar 35,83 39,58 11,94 --- 87,35
L. Pedamaran 51,82 370,43 7,4 483,32
L. Bengkuang 1 --- --- --- 1
L. Gunung Isam 1,01 1,01 2,02
Suko Purno --- 46,08 --- --- 46,08
14 - Semnaskan _UGM / Penangkapan (PK-08)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
L. Proyek 7,8 2,6 --- --- 10,4
L. Air Itam 40,34 6,72 9,38 4,71 61,15
Kapak Hulu 5,74 15,8 --- --- 2,8
L.T. Rasau 520,2 43,79 --- --- 63,02
Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan
1. Hasil penelitian dari 20 stasiun yang mewakili daerah penangkapan tertangkap 52 jenis.
Jenis ikan yang mendominasi pada Zona Hulu:antara lain ikan baung (Mystus nemurus),
patin (Pangasius hypopthalamus), lele (Clarias sp) dan gabus (Channa striata), lais
(Cryptoterus micronema) dan udang galah (Macrobracium rosembergii). Zona Tengah
antara lain: ikan damaian (Thynnichthys polylepis), baung (Mystus nemurus), Lampam
(Puntius schwanefeldi), palau (Osteocchilus hasselti) dan gabus (Channa striata). Pada
Zona Hilir antara lain udang (Macrobracium rosenbergii), ikan baung (Mystus nemurus),
damaian (Thynnichthys polylepis), tembakang (Helostoma temmincki), sepat siam
(Trichogaster pectoralis), gabus (Channa striata), palau (Osteocchilus hasselti) dan toman
(Ophiocephalus micropteles C.V).
2. Alat tangkap 15 jenis antara lain Jala, roket, lulung, tuguk, pengilar kawat, bengkirai bilah,
pancing, rawai, corong, kerakat, langgian, pengepuk, tangkul, tajur dan empang.
3. Karakteristik habitat Zona hulu yaitu 6 stasiun (Sungai Lempuing, sungai Macak, sungai
Belitang, Way Itam, sungai Hijau dan Bendungan Komering IX). Mempunyai kedalaman
dari 70 cm-200 cm subtrat dasar sungai liat, lumpur, berpasir dan pasir dengan arus deras
dari 1,5-4,25 m/det. Zona tengah ada 5 stasiun (Tebing Suluh, Lubuk Kemudi, Muara
Burnai, Grubing dan Rantau Durian). Mempunyai kedalaman air 200-950 cm Lubuk
Kemudi yang terdalam 950 cm (9,5 m) dan terdangkal Rantau Durian dasar sungai liat
berpasir, kecepatan arus sedang berkisar dari 0,125 0,476 m/det. Zona tengah yang
karakteristik habitatnya sama dengan zona hulu. Zona hilir ada 9 stasiun (Lebak Petai
Besar, Lbk Pedamaran, Lbk Teluk Rasau, Lebung Bengkuang, Lbk Gunung Isam,
Sukopurno, Lebung Proyek, Kapak Ulu dan Lebak Air Hitam). Mempunyai kedalaman 70-
806 cm terdalam l Bengkuang dan Gunung Isam (800-806 cm) atau 8 m. Dasar sungai
bersruktur Lumpur bergambut dansungai liat Lumpur. Habitat hutan sungai yaitu dominasi
pohon tegakkan dan untuk daerah rawa banjiran berhabitat lebak kumpai.
4. Kualitas air zona hulu suhu 26
0
C-31
0
C, O
2
berkisar 5,56-12,32 (mg/l), CO
2
= 0,70-7,64
(mg/l), pH 6-7, kecerahan 15-40 cm, kedalaman 70-200 cm, zona tengah kisaran O
2
=5,6-
9,92 (mg/l), CO
2
0,65-4,17 (mg/l), pH 6,5-7, kecerahan 2545 cm, kedalaman 200-950 cm.
Karakteristik Zona hilir kisaran kualitas air O
2
2,4-16,8 (mg/l), CO
2
0-9,46 (mg/l), pH 6-
9,5, kecerahan 20-90 cm, kedalaman 70-806 cm.
5. Kelimpahan plankton dan zooplankton bagian hilir lebih berlimpah dari pada bagian hulu
dan tengah yaitu berkisar 6,05-804,36 individu/liter, keanekaragaman jenis 3-1 jenis,
zooplankton berkisar 1-483,32 individu/liter. Keragaman jenis ikan 4 jenis. Perairan
sungai Lempuing termasuk dalam kesuburan sedang sampai tinggi (mesotrop-eutrop).
6. Alat tangkap banyak yang tidak selektif dan tidak ramah lingkungan seperti tuguk, lulung,
corong. Jenis ikan sudah sulit diketemukan belida (Notopterus chitala), kalui
(osphrnomeus), tapa (wallago leeri) dan tengkuleso (Scleropages formosus), ringo
(Thynnichthys thynnoides) dan puntung hanyut (Belantiocheilus melanopterus). Adapun
jenis ikan ini yang dulunya mendominasi pada zona hulu, tengah dan hilir adalah termasuk
ikan yang bernilai ekonomi tinggi.
Saran
Perlu ada pengawasan pemerintah setempat penggunaan alat tangkap yang tidak selektif
dan tidak ramah lingkungan.
Semnaskan _UGM / Penangkapan (PK-08) - 15
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Ucapan Terima Kasih
Ucapan Terimaksih disampaikan kepada Teknisi Tim Lubuk Lampam Agus Sudrajat,
Almarhum Herman dan nelayan Lubuk lampam dalam membantu pengambilan data.
Daftar Pustaka
APHA, 1971, Standard Methods for the Examination of Water and Wasters. Fhirteen
Edition. American Public Healt Association. New York. 834 p.
Arifin, Z. 1978. Beberapa aspek penangkapan ikan diperairan Lubuk Lampam. Makalah pada
Simposium Moderenisasi Perikanan Rakyat. Jakarta, tanggal : 27-30 Juni 1978. LPPD
Palembang, 36 hal.
Barnes, R. S.K. and K.H Mann. 1980. Fundamentals of Aquatic Ecosystem. Blackwell
Scientific Publication , Oxford. 229 p.
Boyd, C.E., 1979. Water Quality in Warmwater Fishpond. Aubunrn University, Dept of
Fisheries and Aquacultures. Fish Edition, Alabama. USA. 359 p.
Brandt, A.V. 1972. Revised and enlarged fish catching methods of the world.
Fishing News (Books) Ltd. 23 Rosemount Avenue West By Fleet, London
EC4, 240 pp
Dinas Perikanan Kabupaten OKI, 1997. Laporan Intern Dinas Perikanan (Belum
dipublikasi) Kab. Ogan Komering Ilir.
Gaffar, A.K. dan A.D. Utomo, 1989. Efektivitas dan selektivitas alat penangkap ikan di Perairan
Lubuk Lampam. Bulletin Perikanan Darat, Bogor.
Husnah, Gautama, S, Nurdawati, S dan Dharyati, E. 2006. Jenis, Cara Operasi Dan
Penyebaran Beberapa Alat Tangkap Ikan di Perairan Sungai Musi Sumatera Selatan.
Pusat Riset Periakan Tangkap, BRKP.
Kottelat, M., J.A. Whitten, N. Kartika Sari and Wiriyo Admodjo. 1993. Fresh water fishes of western
Indonesia and Sulawesi periplus edition and EMDI project Indonesia. Hongkong. Jakarta.
NTAC. 1968. Water quality Criteria. FWPCA., Washington DC. 234 p.
Odum, E.P. 1971. Fundamentstals of Ecology. Thrid Edition. W.B Sounders Company,
Toronto. 574 p.
Ondara, 1995. Penebaran sebagai tindakan pengelolaan perikanan perairan umum. Kumpulan
Makalah Seminar Penyusunan Pengelolaan dan Evaluasi Hasil Penelitian Perikanan di
Perairan Umum. Palembang 27-28 Februari 1994. Sub Balai Penelitian Perikanan Air
Tawar Palembang. Deptan. P 12-9.
Pescod, M.B. 1973. Insvestigation of Rational Efflaent and Strem Standards for Countries, ATT,
Bangkok. 59 p.
Samuel, Susilo Adjie & Subagja, 2002. Inventarisasi dan distribusi biota serta karakteristik habitat
Sungai Musi. Laporan Teknis BRPPU Palembang. 32 hal.
Samuel, S. Adjie, & Subagja. 2001. Inventarisasi dan distribusi biota serta karakteristik habitat
Sungai
Musi. Laporan Teknis. Balai Riset Perikanan Perairan Umum Palembang.
16 - Semnaskan _UGM / Penangkapan (PK-08)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Utomo, Z. Nasution dan S. Adjie., 1993. Kondisi ekologis dan potensi sumberdaya perikanan
sungai dan rawa di Sumatera Selatan. Prosiding Temu Karya Ilmiah Perikanan Perairan
Umum Sumatera Bagian Selatan. Palembang, 12-13 Februari 1992. Pros Puslitbangkan.
Utomo. A.D, Z. Nasution. Dan S. Adjie, 1995. Pemanfaatan Berbagai Tipe Ekosistem DAS Sungai
Melalui Penerapan Teknologi Budidaya Ikan Tepat Guna. Kumpulan Makalah Seminar
Penyusunanan, Pengolahan dan Evalusai Hasil Penelitian Perikanan di Perairan Umum,
Palembang 27-28 Februari 1994. Sub Balai Penelitian Perikanan Air Tawar Palembang,
Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Badan Penelitian Pengembangan
Pertanian. P 227-233.
Utomo dan Z. Arifin 1991. Pengaruh Musim terhadap Kegiatan Penangkapan dan Hasil Tangkapan
di Perairan Lubuk Lampam Sumatera Selatan. Bull. Penel. Perik. Darat. Vol 10.
Weber, M and De Beaufort, 1916. The fishes of the Indo-Australian Archipelago.
E.J Brill Ltd. Leiden . 2 : 404 pp.
Welcomme, R.L.1979. Fisheries Ecology of Flood Plain Rivers. Longman, London and New York.
106-136
Zain, 1981. Status Perikanan Perairan Umm di Sumatera Selatan. Prosiding Seminar Perikanan
Perairan umum. Jakarta 21 Agustus 1981
Semnaskan _UGM / Penangkapan (PK-08) - 17
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Lampiran :
1. Hasil Pengamatan Parameter Kualitas Air Daerah Aliran Sungai Lempuing
Stasiun
Parameter
Suhu
air
(
o
C)
O
2
(mg/l)
Co
2
(mg/l)
pH Kedalama
n
(cm)
Kecera
han
(cm)
Dasar
sungai
Kecepatan
Arus
(m/det)
Hulu
S. Lempuing 28 9,76 3,47 7 70 25 Liat berpasir 14,25
S. Macak 30 8,14 3,47 7 160 15 Liat berpasir 7,05
S. Belitang 32 5,56 6,25 6,5 200 28,5 Liat berpasir 1,5
S. Way Hitam 27 8,8 7,64 6 120 40 Lumpur 3,5
S. BK.IX 28 12,32 7,64 7,5 150 40 Berpasir 1,025
S. Hijau 26 8,06 0,70 6 150 30 Pasir 5,5
Tengah
Tebing Suluh 29 9,92 3,47 7 600 20 Liat
berpaasir
0,125
L. Kemudi 30,5 5,6 4,17 6,5-7 950 40 Liat ---
Muara Burnai 30 5,92 0,65 7 295 45 Lumpur ---
Grubing 31 5,76 3,47 6,5 270 30 Lumpur ---
Rantau Durian 28 6,41 3,13 7 200 25 Lumpur
berpasir
0,476
Hilir
L. Petai Besar 33 5,12 6,95 6 100 90 Lumpur liat ---
L. Pedamaran 33 16,88 0 9,5 145 20 Lumpur liat ---
L. Bengkuang 30 4 5,93 7,5 806 25 Liat 0,140
L. Gunung Isam 31 4,48 9,03 7,5 800 25 Liat 0,66
Suko Purno 29 3,36 19,46 6 70 70 Lumpur
bergambut
---
L. Proyek 27 4,40 12,51 5,5 100 20 Lumpur ---
L. Air Itam 30,5 2,4 17,38 4 170 40 Liat berpasir 0,14
2. Plankton di Daerah Aliran Sungai Lempuing Tahun 2005
Zona/Stasiun
Fitoplankton (individu/liter)
Chloro
phyceae
Bacillario
phyceae
Chyanophyceae Euglenaceae Jumlah
Hulu
S.Lempuing 107,35 170,61 22,75 102,36 403,07
S. Macak 9,96 39,82 --- --- 49,78
S. Belitang 23,8 15,84 --- 11,94 51,48
S. Way Hitam 33 13,2 --- 23,8 66
S. BK.IX 116,6 116,6 --- 5,3 238,50
S. Hijau 127,2 167 --- 15,9 310,10
Tengah
Tebing Suluh 16,14 89,17 --- 11,14 116,45
L. Kemudi 5,1 10,18 5,09 --- 20,37
Muara Burnai 10,8 8,1 --- --- 18,9
Grubing 29,49 14,75 11,8 2,95 58,99
Rantau Durian 75,69 76,4 --- 20,59 172,68
Hilir
L. Petai Besar 282,59 --- --- --- 282,59
L. Pedamaran 599,92 102,39 --- 101,95 804,36
L. Bengkuang 4 7 --- --- 11
L. Gunung Isam 4,03 2,02 6,05
18 - Semnaskan _UGM / Penangkapan (PK-08)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
SukopPurno 23,06 --- --- 11,52 34,56
L. Proyek 29,15 10,6 --- 2,6 42,15
L. Air Itam 77,46 59,99 --- 8,10 145,56
Kapak Hulu 5,74 15,8 --- --- 21,54
L.T. Rasau 520,2 43,79 --- 7,94 631,64
Semnaskan _UGM / Penangkapan (PK-09) - 1
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Analisis Intrinsic Rate Sebagai Indikator untuk Menduga Bentuk Eksploitasi
Sebuah Perikanan Tropis yang Bersifat Multi-Species dan Multi-Gear:
Studi Kasus di Danau Mweru, Afrika
Ledhyane Ika Harlyan
Fak. Perikanan & Ilmu Kelautan, Univ.Brawijaya Malang
Abstrak
Danau Mweru merupakan danau yang memiliki sumberdaya perikanan yang jamak (multi-species)
dan dieksploitasi oleh beragam alat tangkap (multi-gear). Danau ini telah mengalami peningkatan
usaha penangkapan dan variabilitas stok selama puluhan tahun. Diasumsikan bahwa jika sebuah
perikanan dengan beragam alat tangkap dimana seluruh alat tangkap selektif dalam spesies dan
ukuran, maka perikanan tersebut akan mengeksploitasi seluruh species dalam komunitas ikan
hingga akan menghasilkan perikanan yang tidak selektif yang mampu mempertahankan struktur
relatif komunitas ikan.
Dalam studi ini, diduga bahwa perikanan tropis di danau Mweru akan menghasilkan tingkat
eksploitasi yang seluruhnya tidak selektif (overall non selective fishery). Intrinsic rate (R-max)
sebagai salah satu karakteristik hidup organisme (life history characteristic) digunakan sebagai
indikator untuk merefleksikan respon komunitas ikan terhadap tekanan penangkapan.
Melalui kegiatan experimental fishing, diperoleh data hasil tangkapan dari 13 jenis ukuran mata
jaring gillnet yang diambil dari dekade 1970 hingga dekade 1990 yang dikategorikan berdasarkan
data intrinsic rate. Rancangan Faktorial MANOVA digunakan untuk melihat perubahan
produktivitas komunitas ikan serta menampilkan efek dari tekanan penangkapan yang disajikan per
ukuran mata jaring gillnet.
Analisis intrinsic rate menunjukkan bahwa hasil tangkapan dan rata-rata panjang ikan meningkat
dari waktu ke waktu yang mengindikasikan adanya peningkatan produktivitas total seluruh species.
Sementara itu penurunan probabilitas hasil tangkapan species yang memiliki pertumbuhan lambat
(slow-growing species) menunjukkan bahwa adanya tekanan penangkapan yang intensif terhadap
jenis species ini. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa kondisi eksploitasi Danau Mweru tidak
akan mengarah pada overall non selective fishery dimana eksploitasi hanya terjadi pada individu-
individu yang memiliki pertumbuhan lambat (slow-growing species).
Kata kunci: intrinsic rate, multi-gear, multi-species, pola perikanan non-selektif, tekanan
penangkapan
Pengantar
Danau Mweru merupakan danau yang sangat produktif dimana memiliki tingkat variabilitas
stok species penting yang tinggi (Jul-Larsen et al., 2002b). Perubahan ini dapat dihubungkan
dengan perubahan produktifitas danau (Jul-Larsen et al., 2002a). Menurut Walker et al. (2004)
perubahan stok ikan dapat dijelaskan dengan konsep resilience (kemampuan pulih). Knapp et al.
(2001) menyatakan bahwa resilience adalah kondisi perubahan system karena perubahan
lingkungan. Sehubungan dengan komunitas ikan, resilience dari sebuah spesies terhadap
penangkapan didefinisikan sebagai kemampuan ikan untuk pulih setelah populasi ikan tersebut
mengalami tekanan penangkapan (fishing pressures) (Feitosa et al., 2008).
Menurut Jul-Larsen & Zwieten (2002), terdapat tiga faktor yang dipertimbangkan menjadi
penyebab perubahan stok ikan, yaitu: (1) Perubahan level air yang dihubungkan dengan
perubahan iklim; (2) Peningkatan upaya penangkapan; dan (3) Resilience dan susceptibility
(kerentanan) spesies. Penangkapan dapat meningkatkan variabilitas dalam eksploitasi sebuah
populasi dan dapat mengurangi kemampuan pulih (resilience) beberapa spesies. Hal itu akan
berdampak secara langsung pada kelimpahan spesies target, perusakan habitat serta
pengurangan panjang rata-rata ikan yang nantinya secara tidak langsung akan mengakibatkan
perubahan struktur komunitas ikan secara keseluruhan (Hsieh et al.,2006; Yemane et al., 2005).
Perubahan struktur komunitas sebagai efek dari eksploitasi sebuah ekosistem merupakan bukti
bahwa semua alat tangkap memiliki selektivitas terhadap jenis dan ukuran ikan tertentu (Jul-Larsen
et al., 2002a). Menurut Daan et al., (2005), eksploitasi yang menyebabkan perubahan terhadap
PK-09
2 - Semnaskan _UGM / Penangkapan (PK-09)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
spesies dan ukuran ikan akan mengakibatkan penurunan kelimpahan spesies ukuran besar dan
sebaliknya mengakibatkan peningkatan kelimpahan pada spesies ukuran kecil.
Selektivitas alat tangkap merupakan poin penting dalam manajemen penangkapan.
Namun, menurut pendekatan spesies tunggal (single-species approach) pengeksploitasian ikan
tanpa melibatkan unsur selektif (non-selective targeting fish) akan mengakibatkan perusakan
ekosistem dan munculnya growth-overfishing
1
. Namun selektivitas juga memunculkan masalah
pada perikanan skala besar (industri) sehubungan dengan hasil samping (discards) yang
tertangkap akibat penggunaan ukuran mata jaring yang tepat pada perikanan multi-species ( Jul-
Larsen et al., 2002a).
Sehubungan dengan selektivitas alat tangkap pada perikanan yang memiliki karakteristik
multi-species dan multi-gear, diasumsikan bahwa seluruh alat tangkap selektif dalam spesies dan
ukuran tertentu ( Jul-Larsen et al., 2002a) artinya sebuah alat tangkap akan menangkap secara
selektif spesies tertentu pada ukuran tertentu, sementara alat tangkap lain akan menangkap pula
secara selektif spesies lain pada ukuran lain. Jika keseluruhan alat tangkap tersebut dioperasikan
secara bersamaan pada keseluruhan komunitas ikan, akankah kita masih menyebutnya sebagai
perikanan yang selektif atau dapatkah kita menyebutnya sebagai perikanan yang non-selektif?
Berdasarkan pendekatan ekosistem terhadap manajemen perikanan tangkap (Ecosystem
Approach for Fisheries/ EAF), jika seluruh alat tangkap mengeksploitasi seluruh spesies pada
seluruh komunitas ikan pada level yang setara dengan pola kematian alaminya (natural mortality),
maka bentuk eksploitasi perikanan tersebut akan bersifat non-selektif. Pada perikanan tersebut
secara tidak langsung akan nampak upaya konservasi terhadap komunitas ikan karena struktur
komunitas akan relatif terjaga dan hanya sebagian kecil dari struktur tersebut akan tereksploitasi (
Jul-Larsen et al., 2002a). Gambar 1 merupakan deskripsi dari mekanisme eksploitasi yang bersifat
non-selektif.
Gambar 1. Mekanisme pola eksploitasi perikanan non-selektif
Untuk mengetahui apakah suatu perikanan memiliki pola selektif atau non-selektif maka
diperlukan klarifikasi tentang efek tekanan penangkapan terhadap komunitas ikan. Efek tersebut
dapat dijelaskan salah satunya lewat resilience dan susceptibility (kerentanan) spesies terhadap
tekanan penangkapan (Stevens et al., 2000; Jul-Larsen et al., 2002a). Penentuan kerentanan
komunitas ikan terhadap alat tangkap dilakukan melalui analisis terhadap karakteristik hidup dari
masing-masing spesies dalam komunitas ikan (Stotbutzki et al., 2001; OMalley, 2010) karena
untuk melakukan manajemen perikanan terhadap spesies yang berbeda-beda dibutuhkan
pengetahuan tentang karakteristik hidup untuk spesies yang berbeda-beda pula. Menurut
Fromentin & Fonteneau (2001); Winemiller & Rose (1992); King & McFarlane (2003), karakteristik
hidup spesies merupakan hal yang sangat penting untuk mengetahui respon dari komunitas ikan
terhadap tekanan penangkapan dan lingkungan, oleh karena itu keberadaannya diperlukan dalam
manajemen perikanan tangkap.
Dalam penelitian ini, untuk mengetahui bentuk eksploitasi yang dihasilkan dari variabilitas
stok dan total penangkapan pada Danau Mweru apakah mengarah ke pola perikanan yang
selektif atau non-selektif- maka dilakukan analisis intrinsic rate terhadap hasil tangkapan Danau
Mweru. Menurut Milton (2001); Patrick et al. (2009) intrinsic rate/ intrinsic population growth rate
atau laju pertumbuhan spesies (R-max) merupakan gambaran tentang produktivitas stok. Nilai R-
max mampu memberikan informasi tentang laju pertumbuhan suatu populasi yang tumbuh pada
kondisi ideal tanpa batasan. Oleh sebab itu, spesies yang memiliki nilai R-max yang besar akan
1
Growth-overfishing terjadi ketika ikan dieksploitasi pada ukuran panjang rata-rata yang lebih kecil
dibandingkan ukuran optimum(maximum yield per recruit).
Semnaskan _UGM / Penangkapan (PK-09) - 3
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
memiliki laju pertumbuhan yang cepat, sementara spesies dengan nilai R-max rendah akan
memiliki laju pertumbuhan yang lambat.
Analisis intrinsic rate (R-max analysis) digunakan untuk menganalisis respon setiap spesies yang
memiliki nilai R-max yang berbeda-beda terhadap tekanan penangkapan dengan menggunakan
data hasil tangkapan dan data rata-rata panjang ikan. Untuk mengetahui perubahan produktivitas
stok, data disajikan untuk dekade 1970-1990, sementara untuk menganalisis efek dari alat
tangkap, maka data disajikan pada ukuran mata jaring yang berbeda-beda. Oleh karena itu, tujuan
dari penelitian ini adalah untuk mengestimasi perubahan intrinsic rate suatu komunitas ikan
terhadap tekanan penangkapan.
Bahan dan Metode
Deskripsi area
Danau Mweru merupakan danau yang berada pada sisi terpanjang dari sungai terpanjang
kedua di Afrika, Sungai Congo. Kawasan ini berbatasan dengan bagian utara Zambia dan Bukit
Luapula di Republik Demokrasi Congo.
Danau Mweru tereksploitasi secara penuh oleh kegiatan penangkapan sejak tahun 1944.
Peningkatan jumlah pemilik alat tangkap adalah sebanyak 2.1 persen per tahun yang
menyebabkan terjadinya peningkatan upaya penangkapan dari tahun 1965 hingga tahun 1997.
Berbagai metode penangkapan yang merupakan modifikasi dari tiga alat tangkap dasar gillnet,
perangkap, dan jaring angkat- dioperasikan untuk mengeksploitasi komunitas ikan. Dalam kurun
waktu 1970an 1990an Danau Mweru didominasi gillnet. Dalam perkembangannya, terjadi
penurunan mata jaring gillnet dari waktu ke waktu dari 76-102 mm pada dekade 1970an hingga
hanya didominasi oleh 63 mm pada dekade 1990an. Perubahan ini nampak pada perubahan jenis
dan ukuran spesies serta biomas beberapa spesies penting pada komunitas ikan di Danau Mweru.
Data
Data diperoleh dari hasil survey kegiatan experimental fishing alat tangkap gillnet dengan
ukuran mata jaring dari 25mm 178 mm yang dilakukan pada dalam kurun waktu 1970-1972,
1982-1985 dan 1993-1999. Berikut adalah ukuran mata jaring yang digunakan dalam survey.
Tabel 1. Ukuran mata jaring yang digunakan dalam penelitian
Dekade Ukuran mata jaring yang digunakan
25 37 50 63 76 89 102 114 127 140 152 165 178
1970an (1970-
1972)
- - - - -
1980an (1982-
1983)

1990an (1993-
1999)

Untuk mempermudah analisis data, ketiga belas mata jaring tersebut dikategorikan dengan
menggunakan software PASGEAR. Mata jaring yang sering digunakan, yaitu 63, 76, 89, 102 dan
114 dikategorikan sebagai middle dimana 63 dan 76 didefinisikan sebagai middle-low (mid-low)
sementara 89, 102 dan 114 didefinisikan sebagai middle-up (mid-up).
Pengkategorian spesies
Pengkategorian spesies dilakukan untuk melihat perubahan komunitas ikan Danau Mweru
secara keseluruhan dimana 73 spesies dikelompokkan ke dalam 26 grup kategori spesies dengan
menggunakan software PASGEAR. Pengkategorian tersebut didasarkan pada level frekuensi
kemunculan spesies dan jumlah individu tiap spesies. Selanjutnya tiap kategori spesies
dikelompokkan kembali ke dalam kategori intrinsic rate (laju pertumbuhan)
2
, yaitu:
(1) grup spesies yang memiliki nilai R-max tinggi fast growing spesies
(2) grup spesies dengan nilai R-max medium
(3) grup spesies dengan nilai R-max rendah slow growing spesies
2
Nilai R-max diperoleh dari: www.fishbase.org
4 - Semnaskan _UGM / Penangkapan (PK-09)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Perhitungan probabilitas hasil tangkapan (the probability of catch)
Perhitungan ini digunakan untuk mengantisipasi masalah dalam analisis data perikanan
yang disebabkan karena banyaknya jumlah trip yang gagal menangkap ikan. Hal ini akan
menyebabkan tidak terpenuhinya asumsi analisis statistik meskipun telah dilakukan transformasi-
log terhadap data hasil tangkapan. Menurut ONeil & Faddy (2002); Grift (2001) penggunaan
perhitungan regresi log digunakan untuk menganalisis data-data hasil tangkapan yang memiliki
banyak zeroes
3
atau 50% dari total hasil tangkapan merupakan hasil tangkapan zero. Oleh karena
itu, dalam studi ini analisis zero-catches yang ditampilkan dalam analisis probabilitas hasil
tangkapan dimana menganalisis apakah ikan tertangkap atau tidak.
Perhitungan probabilitas hasil tangkap ditampilkan lewat regresi log,yaitu sebagai berikut:
p
i
= n
i
(non-zero) / (n
i
(zero) + n
i
(non-zero)).
dimana: p = variable respon (fraksi dari non-zero catches);
n= jumlah hasil tangkapan;
j= dekade (1970an, 1980an, 1990an); dan
i= kategori R-max
g(M)=ln (p
ij
/(1- p
ij
))
dimana g(M)=expected value of fraction of non-zero catches
M= overall mean
Model MANOVA dengan menggunakan software SAS untuk fraksi non-zero catches ditunjukkan
dengan formula:
g(M)=M+R-max
i
+ decade
j
+ Rmax
i
x decade
j
+
dimana R max
i
= efek dari kategori Rmax
Dekade
j
=efek dari j
th
dekade
Analisis kelimpahan dari non-zero catches (positive catches)
Efek dari kategori R-max dan dekade untuk data kelimpahan non-zero catches dihitung
dengan Faktorial MANOVA. Untuk memenuhi asumsi MANOVA (software SAS), data hasil
tangkapan dan data panjang rata-rata ditransformasikan ke normal logaritma, sehingga
perhitungannya ialah sebagai berikut:
C = ln (CPUE)
Dimana CPUE merupakan hasil tangkapan per unit upaya atau jumlah ikan yang didaratkan
dengan mengindahkan zero catches. Perhitungan model MANOVA untuk transformasi log
menggunakan formula:
C(M)
ijk
=M + R-max
i
+ decade
j
+ Rmax
i
x decade
j
+
Pengkategorian laju pertumbuhan/ intrinsic rate (R-max)
Untuk menyederhanakan analisis intrinsic rate dilakukan pengkategorian spesies
berdasarkan nilai R-max
4
dengan menggunakan analisis distribusi (rata-rata, standard baku,
standard eror, dan selang kepercayaan). Spesies yang memiliki pertumbuhan lambat (slow
growing species) memiliki R-max yang merupakan selisih antara rata-rata dan selang
kepercayaan, sementara nilai R-max untuk spesies yang memiliki pertumbuhan cepat (fast-growing
species) adalah jumlah dari rata-rata dan selang kepercayaan. Nilai antara slow dan fast-growing
dikategorikan sebagai medium spesies.
Analisis Data
Analisis Intrinsic rate terhadap dekade
Data ukuran panjang rata-rata dan data hasil tangkapan digunakan untuk memberikan
informasi bagaimana kondisi (baik dari segi ukuran dan jumlah hasil tangkapan) spesies yang
memiliki nilai intrinsic rate yang berbeda-beda dari waktu ke waktu.
Model MANOVA berikut digunakan untuk menganalisis ukuran panjang spesies dengan R-max
yang berbeda-beda di sepanjang dekade (1970an, 1980an dan 1990an):
10
log(L
ijk
) = + decade
i
+ rmax
j
+ (decade*rmax)
ijk
+
ijk,
dimana = rata-rata
3
Zero catches merupakan hasil tangkapan yang tidak tertangkap. Istilah ini dipakai sebagai kebalikan dari
non zero catches (positive catches) yang merupakan hasil tangkapan yang benar-benar tertangkap dan
tercatat. Perhitungan zero dan non-zero catches digunakan untuk perhitungan Probabilitas hasil tangkapan
(Probability of catch).
4
Nilai R-max diperoleh dari www.fishbase.org
Semnaskan _UGM / Penangkapan (PK-09) - 5
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
L
ij
= ukuran panjang ikan
decade
i
= efek yang timbul karena i faktor (dekade)
rmax
j
= efek yang timbul karena j faktor (R-max)
(dekade*rmax)
ijk
= efek yang terjadi karena adanya interaksi antara i faktor
(dekade) dan j faktor (R-max) serta k faktor (ulangan)
i = i dekade
j= derajat bebas yang digunakan di model ini
k=ulangan
Sedangkan untuk menganalisis apakah hasil tangkapan mengalami perbedaan dari decade ke
decade, maka digunakan model MANOVA sebagai berikut:
10
log (C
ijk
) = + dekade
i
+ rmax
j
+ (dekade*rmax)
ijk
+
ijk
dimana C
ijk
= CPUE (hasil tangkapan per unit upaya)
b. Analisis intrinsic rate terhadap grup mata jaring
Untuk menganalisis apakah ukuran panjang spesies berbeda untuk keempat grup mata jaring,
maka digunakan model sebagai berikut:
10
log(L
ijk
) = + mesh
i
+ rmax
j
+ (mesh*rmax)
ijk
+
ijk,
Dimana = rata-rata
L
ij
= ukuran panjang ikan
mesh
i
= efek yang timbul karena faktor i mata jaring
rmax
j
= efek yang timbul karena faktor j R-max
(mesh*rmax)
ijk
= efek yang terjadi karena adanya interaksi antara i faktor (mata jaring) dan j
faktor (R-max) serta k faktor (ulangan)
i = i dekade
j= derajat bebas yang digunakan di model ini
k=ulangan
Sedangkan untuk menganalisis apakah hasil tangkapan mengalami perbedaan terhadap
keempat grup mata jaring digunakan model MANOVA untuk ketiga grup spesies yang memiliki
nilai intrinsic rates yang berbeda-beda.
Hasil Dan Pembahasan
Perubahan intrinsic rates dari waktu ke waktu (analisis intrinsic rates terhadap dekade)
Perubahan respon intrinsic rates dari ketiga grup spesies dari waktu ke waktu dapat dilihat
lewat analisis probabilitas hasil tangkapan, analisis hasil tangkapan, dan ukuran panjang rata-rata
(Lampiran 1. Hasil analisis MANOVA intrinsic rates dari waktu ke waktu). Berikut ini adalah grafik-
grafik yang memperlihatkan ketiga analisis tersebut:
6 - Semnaskan _UGM / Penangkapan (PK-09)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Gambar 2. Perubahan respon intrinsic rates dari waktu ke waktu
Ketiga grafik di atas menunjukkan bahwa probabilitas hasil tangkapan spesies-spesies
yang memiliki pertumbuhan cepat tetap stabil dari waktu ke waktu, sementara dalam kurun waktu
yang sama jumlah hasil tangkapan/ biomas (kg) dan ukuran/ panjang rata-rata (cm) ikan-ikan jenis
tersebut meningkat secara signifikan. Hal ini mengindikasikan bahwa jumlah ikan-ikan yang
tertangkap untuk fast-growing species misalnya: Afromastacembelus, Alestidae, Barbus, Cichlidae,
Mormyridae, Cyprinidae dan beberapa spesies kecil lain tidak mengalami perubahan dari dekade
1970an hinggga 1990an. Namun dalam perkembangannya, spesies tersebut mengalami
peningkatan biomass dan ukuran panjang dalam kurun waktu tiga dekade tersebut.
Probabilitas hasil tangkapan spesies yang memiliki laju pertumbuhan medium (Alestes
macrophtalmus, Mochokidae, Tilapia dan beberapa jenis spesies benthopelagis) meningkat dari
waktu ke waktu. Hal tersebut diikuti dengan peningkatan jumlah hasil tangkapan/ biomass (kg) dan
ukuran/ panjang rata-rata (cm). Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa terjadi peningkatan
biomass dan ukuran medium spesies dalam kurun waktu tiga dekade.
Spesies-spesies yang memiliki pertumbuhan lambat (Claroteidae, Clarias gariepinus,
Clariidae, Heterobranchus, Hydrocynus vittatus, Labeo, Oreochromis macrochir, Schilbe,
Serranochromis, Tylochromis dan beberapa spesies demersal lainnya) memiliki penurunan
probabilitas hasil tangkapan dari waktu ke waktu. Namun, berdasarkan analisis jumlah hasil
tangkapan dan panjang rata-rata, dapat diindikasikan bahwa spesies-spesies tersebut mengalami
peningkatan biomas dan ukuran dalam kurun waktu yang sama.
Probabilitas hasil tangkapan dari spesies dengan nilai R-max rendah yang terus menurun
dari waktu ke waktu namun tidak dibarengi dengan penurunan pula untuk jumlah hasil tangkapan
dan ukuran panjang rata-rata dalam kurun waktu tiga dekade tersebut mengindikasikan bahwa hal
tersebut merupakan konsekuensi dari meningkatnya tekanan penangkapan (fishing pressures).
Jumlah individu slow-growing species yang tertangkap memang mengalami penurunan namun
dalam kurun tiga dekade spesies-spesies tersebut mengalami perkembangan. Hal ini sesuai
dengan Welcomme (1999), peningkatan panjang rata-rata merupakan indikator terpenting untuk
mengetahui kondisi suatu komunitas.
Analisis mata jaring (mesh size analysis)/ Intrinsic rate analysis pada mata jaring yang berbeda
Perubahan respon intrinsic rate dari ketiga grup spesies terhadap mata jaring yang
berbeda dapat dilihat lewat probabilitas hasil tangkapan, analisis hasil tangkapan dan ukuran
panjang rata-rata. Berikut ini adalah grafik-grafik yang menggambarkan ketiga analisis tersebut:
Semnaskan _UGM / Penangkapan (PK-09) - 7
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Gambar 3. Perubahan respon intrinsic rates pada grup mata jaring yang berbeda-beda
Berdasarkan ketiga grafik di atas, panjang rata-rata dan jumlah hasil tangkapan tampak
meningkat dengan bertambahnya ukuran mata jaring. Namun di sisi lain, probabilitas hasil
tangkapan menurun dengan bertambahnya ukuran mata jaring.
Mata jaring dengan ukuran yang relatif kecil mengeksploitasi seluruh spesies (baik low-
medium-fast growing) dengan probabilitas tangkapan, jumlah hasil tangkapan dan ukuran yang
sama. Sementara itu, mata jaring yang berukuran 63 & 76 mm memiliki kesamaan dengan mata
jaring yang berukuran 89,102 & 114 mm jika dilihat dari probabilitas hasil tangkapan, biomas/hasil
tangkapan, dan ukuran panjang rata-rata. Preferensi dari kedua mata jaring tersebut adalah
berturut-turut kelompok spesies yang memiliki pertumbuhan lambat, medium dan kelompok
spesies yang memiliki pertumbuhan cepat.
Mata jaring yang berukuran relatif besar (>127 mm) hanya mengeksploitasi spesies
medium dan spesies dengan nilai R-max rendah, dimana spesies yang dengan laju pertumbuhan
lambat tersebut merupakan spesies yang dominan dalam total hasil tangkapan.
Berdasarkan hasil dari analisis intrinsic rates, seluruh grup mata jaring tampak didominasi
oleh -secara berturut-turut- spesies yang memiliki nilai R-max rendah (individu berukuran relatif
besar) dan spesies dengan R-max medium. Hal ini merupakan indikasi terjadinya overlapping
(tumpang-tindih) dalam mengeksploitasi spesies dan ukuran untuk ukuran mata jaring yang
berbeda-beda. Mata jaring berukuran kecil -yang seharusnya- memiliki target tangkapan spesies
ikan yang berukuran kecil justru juga memiliki kesempatan untuk menangkap spesies yang
berukuran besar.Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa perubahan ukuran mata jaring baik itu
peningkatan atau penurunan ukuran mata jaring akan mempengaruhi tekanan penangkapan pada
komunitas ikan. Penurunan ukuran mata jaring dari waktu ke waktu di Danau Mweru, seperti yang
dicatat Jul-Larsen et al. (2002a), merupakan penyebab menurunnya probabilitas hasil tangkapan
dan ukuran panjang rata-rata spesies yang memiliki laju pertumbuhan lambat dalam kurun waktu
tiga dekade.
Kesimpulan
Diasumsikan bahwa adanya kemungkinan perubahan laju pertumbuhan pada suatu
komunitas ikan yang merupakan respon lingkungan terhadap tekanan penangkapan. Respon dari
8 - Semnaskan _UGM / Penangkapan (PK-09)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
laju pertumbuhan yang tampak pada analisis intrinsic rate merupakan gambaran dari bentuk
eksploitasi yang dihasilkan dari variabilitas stok dan total tangkapan pada Danau Mweru.
Berdasarkan analisis di atas tampak bahwa terjadi perubahan bentuk eksploitasi untuk masing-
masing jenis kelompok spesies fast-growing, medium dan slow-growing ialah sebagai berikut:
Tabel 2. Kesimpulan analisis intrinsic rate
Kategori R-max Probabilitas hasil
tangkapan
Jumlah
hasil
tangkapan
Panjang rata-
rata
Fast-growing
Medium
Slow-growing
Terjadi peningkatan seluruh produktivitas, baik untuk spesies dengan nilai R-max tinggi,
medium maupun rendah, yang diindikasikan lewat peningkatan jumlah hasil tangkapan dan
panjang rata-rata seluruh spesies. Tekanan penangkapan dominan terjadi pada slow-growing
species yang terlihat dari penurunan probabilitas hasil tangkapan.
Berdasarkan hasil analisis intrinsic rate yang menunjukkan bahwa terjadi dominansi eksploitasi
pada kelompok spesies slow-growing maka dapat disimpulkan bahwa bentuk eksploitasi
Danau Mweru dari 1970an hingga 1990an tidak akan mengarah ke overall non selective fishery.
Gambar 4. Bentuk eksploitasi pada Danau Mweru (partly-non selective)
Saran
Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi perubahan dari komunitas
ikan sebagai respon dari tekanan penangkapan. Salah satunya ialah menganalisis parameter
penting dalam karakteristik hidup suatu spesies, seperti halnya menganalisis laju pertumbuhan
lewat analisis intrinsic rate. Namun, ada beberapa karakteristik yang perlu dipertimbangkan pula,
misalnya: trophic level, age/length maturity (umur/panjang pada saat dewasa) dan strategi
reproduksi. Oleh karena itu, refleksi dari keseluruhan karakteristik hidup spesies-spesies dalam
suatu komunitas ikan sangat diperlukan untuk penelitian selanjutnya.
Daftar Pustaka
Daan, N., Gislason, H., G. Pope, J. and C. Rice, J. 2005. Changes in the North Sea fish
community: evidence of indirect effects of fishing? ICES Journal of Marine Science: Journal
du Conseil 62: 177-188.
Feitosa, C. V., Ferreira, B. P. and Elisabeth de Arajo, M. 2008. A rapid new method for
assessing sustainability of ornamental fish by-catch from coral reefs. Marine and
Freshwater Research 59, 1092-1100.
Meningkat Stabil Menurun
1970an
1980an
1990an
Semnaskan _UGM / Penangkapan (PK-09) - 9
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Fromentin, J.-M. and Fonteneau, A. 2001. Fishing effects and life history traits: a case study
comparing tropical versus temperate tunas. Fisheries Research 53, 133-150.
Grift, R. E. 2001. How fish benefit from floodplain restoration along the lower River Rhine. [S.l.:
s.n.].
Hsieh, C.-h., Reiss, C. S., Hunter, J. R., Beddington, J. R., May, R. M. and Sugihara, G. 2006.
Fishing elevates variability in the abundance of exploited species. Nature 443, 859-862.
Jul-Larsen, E., Kolding, J., Over, R., Nielsen, J. R. and Zwieten, P. A. M. v. 2002a. Management,
co-management or no-management? Major dilemmas in southern African freshwater
fisheries. Synthesis report. In FAO Fish. Tech.Pap. 426/1. Rome: FAO.
Jul-Larsen, E., Kolding, J., Over, R., Nielsen, J. R. and Zwieten, P. A. M. v. 2002b. Management,
comanagement or no management? Major dilemmas in southern African freshwater
fisheries. Case studies. In FAO Fish. Tech.Pap. 426/2. Rome: FAO.
Jul-Larsen, E. and Zwieten, P. A. M. v. 2002. African Freshwater Fisheries: What needs to be
managed? Naga, WorldFish Center Quarterly 25, 35-40.
King, J. R. and McFarlane, G. A. 2003. Marine fish life history strategies: applications to fishery
management. Fisheries Management & Ecology 10, 249-264.
Knapp, R. A., Matthews, K. R. and Sarnelle, O. 2001. Resistance and resilience of Alpine Lake
Fauna to fish introductions. Ecological Monographs 71 (3), 401-421.
Milton, D. A. 2001. Assessing the susceptibility to fishing of populations of rare trawl bycatch: sea
snakes caught by Australia's Northern Prawn Fishery. Biological Conservation 101, 281-
290.
O'Neill, M. F. and Faddy, M. J. 2002. Analysis of recretional fish catches-dealing with highly
skewed distributions with many zeros In 3
rd
World Recreational Fishing Conference.
Northern Territory, Australia.
OMalley, S. L. 2010. Predicting Vulnerability of Fishes. In Department of Ecology and Evolutionary
Biology, Vol. Master of science. Toronto: University of Toronto.
Patrick, W. S., Spencer, P., Ormseth, O., Cope, J., Field, J., Kobayashi, D., Gedamke, T., Corts,
E., Bigelow, K., Overholtz, W., Link, J. and Lawson, P. 2009. Use of Productivity and
Susceptibility Indices to Determine Stock Vulnerability, with Example Applications to Six
U.S. Fisheries. (Ed, Service, U. S. D. o. C. N. O. a. A. A. N. M. F.). Seattle: Alaska
Fisheries Science Center.
SAS.1990. SAS Technical report P-243, SAS/STAT Software: The GENMOD procedure Release
6.09. SAS Institute Inc., Cary, NC., 88.
Stevens, J. D., Bonfil, R., Dulvy, N. K. and Walker, P. A. 2000. The effects of fishing on sharks,
rays, and chimaeras (chondrichthyans), and the implications for marine ecosystems. ICES
Journal of Marine Science: Journal du Conseil 57, 476-494.
Stobutzki, I., Miller, M. and Brewer, D. 2001. Sustainability of fishery bycatch: a process for
assessing highly diverse and numerous bycatch. Environmental Conservation 28, 167-181.
Walker, B., C. S. , Holling, S. R., Carpenter and Kinzig, A. 2004. Resilience, adaptability and
transformability in social-ecological systems. In Ecology and Society 9(2): 5 . [online]
Welcomme, R. L. 1999. A review of a model for qualitative evaluation of exploitation levels in multi-
species fisheries. Fisheries Management and Ecology 6, 1-19.
10 - Semnaskan _UGM / Penangkapan (PK-09)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Winemiller, K. O. and Rose, K. A. 1992. Patterns of Life-History Diversification in North American
Fishes: implications for Population Regulation. Canadian Journal of Fisheries and Aquatic
Sciences 49, 2196-2218.
Yemane, D., Field, J. G. and Leslie, R. W. 2005. Exploring the effects of fishing on fish
assemblages using Abundance Biomass Comparison (ABC) curves. ICES Journal of
Marine Science: Journal du Conseil 62, 374-379.
Semnaskan _UGM / Penangkapan (PK-09) - 11
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Lampiran 1. Hasil analisis MANOVA intrinsic rates dari waktu ke waktu
a. Analysis of parameter estimates (R-max on probability of catch)
Parameter DF Estimate St.
Error
Likelihood CI Chi-square Pr>
ChiSq
Intercept 1 -1.7195 0.0298 -1.7782 -1.6615 3337.25 <.0001
Decade 70 1 0.3238 0.0417 0.2420 0.4056 60.17 <.0001
Decade 80 1 0.0624 0.0531 -0.0422 0.1661 1.38 0.2402
Decade 90 0 0.000 0.000 0.000 0.000
fast growing 1 -2.3935 0.0900 -2.5739 -2.2210 707.78 <.0001
slow growing 1 0.2602 0.0404 0.1811 0.3395 41.50 <.0001
Medium 1 0.2286 0.0406 0.1491 0.3082 31.73 <.0001
fast growing 70 1 -0.1657 0.1278 -0.4165 0.0850 1.68 0.1949
slow growing 70 1 0.3478 0.0559 0.2383 0.4573 38.74 <.0001
medium 70 1 -0.3102 0.0583 -0.4246 -0.1959 28.28 <.0001
Fast growing 80 1 -2.2549 0.3913 -3.1199 -1.5625 33.20 <.0001
slow growing 80 1 -0.1305 0.0731 -0.2738 0.0129 3.19 0.0743
Medium 80 1 -0.2170 0.0742 -0.3624 -0.0716 8.56 0.0034
Fast growing 90 0 0.0000 0.0000 . . .
Slow growing 90 0 0.0000 0.0000 . . .
Medium 90 0 0.0000 0.0000 . . .
b. Parameter estimation of catch rates for R-max category over decades
R-max
category Parameter Estimate Error t value Pr> t
Intercept 2.362447774 0.01793058 131.76 <.0001
Decade 70 0.282272567 0.02480339 11.38 <.0001
Decade 80 0.163042755 0.03189542 5.11 <.0001
Decade 90 0 . . .
Fast-growing -0.271556709 0.0579347 -4.69 <.0001
Medium 0.646545066 0.02423422 26.68 <.0001
Slow-growing 0.575768914 0.0240944 23.9 <.0001
Fast-growing
Decade 70 -0.697842445 0.08216467 -8.49 <.0001
Decade 80 -0.516445268 0.25531213 -2.02 0.0431
Decade 90 0 . . .
Medium
Decade 70 -0.499888845 0.03456482 -14.46 <.0001
Decade 80 -0.264269074 0.04440944 -5.95 <.0001
Decade 90 0 . . .
Slow-growing
Decade 70 -0.319080048 0.03256841 -9.8 <.0001
Decade 80 -0.410090992 0.04360113 -9.41 <.0001
Decade 90 0 . . .
c. Parameter estimation of average length for R-max categories over decades
R-max
category Parameter Estimate Error t value Pr> t
N.obs:
161709 Intercept 1.07039 0.0015 713.47 <.0001
Decade 70 0.066229 0.001867 35.47 <.0001
R-square:
0.185
Decade 80 0.013428 0.002126 6.32 <.0001
Decade 90 0 . . .
Fast-growing -0.18744 0.003349 -55.96 <.0001
Total SSQ:
3819.49
Medium 0.043762 0.001626 26.92 <.0001
Slow-growing 0.205641 0.002057 99.96 <.0001
Fast-
growing
Decade 70 -0.0369 0.004949 -7.46 <.0001
Explained
SSQ Decade 80 -0.02509 0.025578 -0.98 0.3266
12 - Semnaskan _UGM / Penangkapan (PK-09)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Decade 90 0 . . .
R-max: 295.7
Decade: 5.5
Interaction:66.6
Medium
Decade 70 -0.01372 0.002097 -6.54 <0.0001
Decade 80 -0.02846 0.002322 -12.25 <.0001
Decade 90 0 . . .
Slow-
growing
Decade 70 -0.12167 0.002504 -48.59 <0.0001
Decade 80 -0.05798 0.003378 -17.16 <.0001
Decade 90 0 . . .
Lampiran 2. Hasil analisis MANOVA intrinsic rates untuk 4 kelompok mata jaring yang
berbeda
a. Parameter estimation of probability to catch for R-max categories
Mesh
category Parameter Df Standard estimate Chi-square Pr>ChiSq
Intercept 1 0.2846 115.96 <.0001
Big 1 -1.392 496.3 <.0001
Midup 1 -0.7861 254.05 <.0001
Midlow 1 -0.0472 1.2 0.2727
Small 0 0 . .
Fast-growing 1 -2.2182 1277.51 <.0001
Medium 1 0.4442 153.05 <.0001
Slow-growing 1 -0.2157 31.66 <.0001
Small
Fast-growing 0 0 . .
Slow-growing 0 0 . .
Medium 0 0 . .
Midlow
Fast-growing 1 -2.5919 98.58 <.0001
Medium 1 -0.3082 26.88 <.0001
Slow-growing 1 0.3131 26.28 <.0001
Midup
Fast-growing 1 -3.514 36.36 <.0001
Medium 1 -0.0905 1.85 0.1741
Slow-growing 1 0.9497 206.1 <.0001
Big
Fast-growing 1 -21.0397 0 0.997
Medium 1 -0.1303 2.41 0.1207
Slow-growing 1 1.5211 377.79 <.0001
b. Parameter estimation of catch rate for R-max category over mesh size groups
Mesh category Parameter Estimate Error t value Pr> t
Intercept 2.12795525 0.009819 216.71 <.0001
mesh small 0 . . .
mesh midlow 0.18023291 0.016129 11.17 <.0001
mesh midup 0.29475986 0.021063 13.99 <.0001
mesh big 0.54782343 0.029517 18.56 <.0001
fast-growing -0.2632146 0.03134 -8.4 <0.0001
medium 0.46995132 0.012579 37.36 <.0001
slow-growing 0.18014085 0.014698 12.26 <.0001
mesh small
Fast-growing 0 . . .
Medium 0 . . .
Slow-growing 0 . . .
mesh midlow
Fast-growing -0.4613274 0.145749 -3.17 0.0016
Medium -0.4870252 0.021561 -22.59 <.0001
Slow-growing 0.14108407 0.022984 6.14 <.0001
Semnaskan _UGM / Penangkapan (PK-09) - 13
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
mesh midup
Fast-growing -1.2699061 0.329412 -3.86 0.0001
Medium -0.6667423 0.027376 -24.36 <.0001
Slow-growing
0.24284372
3
0.0270196
6 8.99 0.0001
mesh big
Medium -0.9104259 0.038719 -23.51 <0.0001
Slow-growing 0.2186823 0.034654 6.31 <.0001
c. Parameter estimation of average length for R-max category over mesh size groups
Mesh category Parameter Estimate Error t value Pr> t
Intercept 1.055652093 0.000795 1327.91 <.0001
mesh small 0 . . .
mesh midlow 0.137692869 0.001568 87.84 <.0001
mesh midup 0.209570629 0.003001 69.84 <.0001
mesh big 0.353809035 0.005159 68.58 <.0001
fast-growing -0.161043751 0.002105 -76.49 <.0001
medium 0.055796421 0.00087 64.14 <.0001
slow-growing 0.092588803 0.001095 84.58 <.0001
mesh small
Fast-growing
0 . . .
Medium
0 . . .
Slow-growing
0 . . .
mesh midlow
Fast-growing
-0.020440306 0.02543 -0.8 0.4215
Medium
-0.00116997 0.002093 -0.56 0.5761
Slow-growing
0.092574093 0.002299 40.27 <.0001
mesh midup
Fast-growing
-0.226987084 0.065439 -3.47
0.0005
Medium
-0.056677387 0.003726 -15.21 <.0001
Slow-growing
0.052900201 0.003668 14.42 <.0001
mesh big
Medium
-0.191929761 0.006528 -29.4
<.0001
Slow-growing
0.007899374 0.005744 1.38 <.0001
Semnaskan _UGM / Penangkapan (PK-10) - 1
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
ANALISIS BENTUK LAYAR UNTUK APLIKASI
KAPAL DENGAN KONSEP HEMAT ENERGI DAN RAMAH LINGKUNGAN
Ahmad Nasirudin, Achmad Zubaydi, Murdijanto, Muhammad Nurul Misbah, Setijoprajudo
Jurusan Teknik Perkapalan, Fakultas Teknologi Kelautan,
Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya
anasirudin@na.its.ac.id
Abstrak
Kapal dengan konsep hemat energi dan ramah lingkungan saat ini telah banyak dikembangkan,
salah satunya adalah kapal motor yang dipadukan dengan layar. Pada penelitianini dilakukan
analisis terhadap beberapa bentuk layar diantaranya yaitu bentuk segi empat, segi tiga, dan
trapesium. Analisis dilakukan denganmetode numerik menggunakan simulasi CFD (Computational
Fluid Dynamics). Hasil simulasi CFD menunjukkan bahwa layar dengan bentuk segi tiga
menghasilkan gaya dorong paling besar dibandingkan dengan bentuk segi empat dan trapesium.
Sehingga, layar dengan bentuk segi tiga akan lebih menghemat energi dan lebih ramah lingkungan
jika diaplikasikan di kapal.
Kata Kunci: hemat energi, ramah lingkungan, layar, computational fluid dynamics
Pengantar
Energi telah menjadi isu penting hingga saat ini. Puncaknya terjadi pada awal dekade
1980-an, dimana dunia mengalami krisis energi.Saat itu harga minyak dunia melonjak hingga
mencapai USD 103,76 per-barel dari harga normal USD 20 per-barel. Saat ini, kejadian tersebut
berulang dimana harga minyak pernah mencapai USD 102,45 per-barrel. Sebagai akibat dari krisis
tersebut saat ini negara-negara di dunia berlomba-lomba untuk menghemat cadangan minyaknya.
Selain isu krisis energi, ternyata akibat yang ditimbulkan oleh gas buang hasil pembakaran
minyak berdampak pada kelestarian lingkungan. Gas buang yang dihasilkan dari pemanfaatan
bahan bakar fosil (minyak) mengakibatkan pencemaran udara dan memicu terjadinya pemanasan
global.
Isu krisis energi dan isu pencemaran lingkungan telah menjadikan negara-negara di dunia
berlomba untuk mencari dan memanfaatkan sumber energi alternaif sebagai solusinya.
Indonesiatelah telah ikut aktif dalam mengantisipasi dampak krisis minyak dunia dan
menjaga kelestarian lingkungan yaitu dengan menerbitkan keputusan presiden RI No. 5 tahun
2006 tentang kebijakan energi nasional, dimana salah satunya yaitu penggunaan sumber energi
yang dapat diperbaharui seperti biofuel, energi matahari, energi angin, energi gelombang dan arus
samudra, dan geotermal.
Sebagai negara maritim, tentu Indonesia memiliki potensi yang begitu besar di bidang
kelautan. Salah satunya adalah penggunaan kapal-kapal untuk kegiatan transportasi barang,
penumpang, kendaraan, maupun kapal-kapal penangkap ikan. Saat ini telah banyak
dikembangkan kapal dengan konsep hemat energi dan ramah lingkungan dengan memanfaatkan
energi alternatif seperti angin dan surya meskipun masih belum dapat meninggalkan pemanfaatan
bahan bakar fosil. Sehingga muncul sebuah konsep kapal yang dinamakan KLM (Kapal Layar
Motor).
Kapal yang memanfaatkan energi angin (kapal layar) bukan hal yang baru lagi, namun
desain layar yang optimal yang menghasilkan gaya dorong yang maksimal sangat diperlukan untuk
menunjang penghematan bahan bakar dan mengurangi energi gas buang. Oleh karena itu, pada
penelitian ini dilakukan analisis terhadap bentuk layar yang mempengaruhi gaya dorong yang
dihasilkan.
Bahan dan Metode
Metode yang digunakan dalam melakukan analisis ini yaitu metode numerik dengan
menggunakan simulasi CFD (Computational Fluid Dynamics). CFD merupakan metode
pendekatan dalam melakukan analisa terhadap aliran fluida (angin, air, dan suhu) dengan
PK-10
2 - Semnaskan _UGM / Penangkapan (PK-10)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
menggunakan komputer. Metode ini dapat mewakili percobaan melalui eksperimen model fisik
yang tentu memerlukan biaya yang cukup tinggi.
Pemodelan
Tahap awal dalam melakukan simulasi CFD adalah tahap pemodelan layar. Layar yang
akan dianalisis ditentukan dimensinya dan kemudian dibuat dalam bentuk tiga dimensi dengan
menggunakan software CAD (Computer Aided Design). Bentuk layar ini kemudian dimasukkan
dalam software CFD.
Adapun layar yang dimodelkan adalah layar dengan dimensi seperti pada penelitian
sebelumnya (Nasirudin et al, 2010) dengan batasan luas 149 m
2
dan lebar 9,2 m. Berdasarakan
batasan luas dan lebar layar, maka dibentuk layar sejumlah 3 (tiga) variasi yaitu bentuk segi
empat, segi tiga, dan trapesium. Adapun ketiga bentuk layar tersebut seperti terlihat pada
Gambar 1.
Gambar 1. Bentuk layar
Grid Independence
Tahap berikutnya yaitu Grid Independence. Tahap ini merupakan tahap dimana ditentukan
jumlah elemen yang harus dipakai dalam pemodelan CFD untuk studi kasus layar ini, sehingga
didapatkan hasil yang dapat diterima.Grid independence dilakukan terhadap layar dengan bentuk
segi empat.
Simulasi
Pada tahap ini dilakukan simulasi terhadap hasil pemodelan yang telah dilakukan dengan
menggunakan jumlah elemen yang telah ditentukan pada tahap Grid Independence. Simulasi
dilakukan terhadap layar dengan posisi terhadap arah angin yang berbeda-beda. Adapun posisi
tersebut yaitu 30, 60, dan 90 dimana arah angin dari belakang layar. Adapun kecepatan angin
yang digunakan dalam simulasi ini sebesar 10 knot yang merupakan kecepatan angin rata-rata di
Indonesia.
Analisis
Analisis dilakukan terhadap besarnya gaya-gaya yang dihasilkan oleh simulasi CFD.
Analisis dilakukan terhadap besarnya gaya dorong dan gaya samping yang dihasilkan oleh layar
dengan variasi posisi layar terhadap arah angin yang berbeda-beda sebagaimana di sebutkan
pada tahap proses simulasi.
Hasil dan Pembahasan
Berdasarkan model layar di atas, maka dilakukan proses grid independence. Adapun hasil
dari proses grid independence sebagaimana tertera pada Tabel 1 dan Gambar 2.
Tabel 1. Grid Independence
Semnaskan _UGM / Penangkapan (PK-10) - 3
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Jumlah elemen (buah) Gaya Dorong (N)
0 0
526838 6810.9
1063357 6970.3
1484322 7168.6
Gambar 2. Grid Independence
Berdasarkan hasil di atas menunjukkan bahwa pemodelan akan memberikan hasil gaya
dorong yang tidak stabil (berubah) pada pemodelan dengan jumlah elemen di bawah 500.000 (lima
ratus ribu) buah. Hasil akan menunjukkan kestabilan pada saat jumlah elemen yang digunakan
lebih dari 500.000 buah. Oleh karena itu pemodelan untuk analisis layar dilakukan dengan
menggunakan elemen sebanyak lebih dari 500.000 buah.
Analisis dilakukan terhadap layar dengan jumlah elemen sebanyak 526.838 buah. Jumlah
ini mengacu kepada hasil grid indepence. Adapun hasil yang didapatkan terkait dengan gaya
dorong yang dihasilkan seperti tertera pada tabel di bawah.
Tabel 2. Gaya dorong (N)
Bentuk Layar
Sudut Layar ()
30 60 90
Segi Empat 1358 5327 7169
Segi Tiga 3361 7411 9507
Trapesium 3178 7182 9382
Tabel 3. Prosentase Gaya dorong layar
Bentuk Layar
Sudut Layar ()
30 60 90
Segi Empat 14% 56% 75%
Segi Tiga 35% 78% 100%
Trapesium 33% 76% 99%
Berdasarkan Tabel 2 dapat dilihat bahwa layar dengan bentuk segi tiga menghasilkan
gaya dorong paling besar yaitu maksimal sebesar 9507 N yang dihasilkan pada sudut 90 terhadap
arah angin. Sedangkan layar dengan bentuk segi empat menghasilkan gaya dorong maksimal
sebesar 7169 N dan layar trapesium menghasilkan gaya dorong maksimal sebesar 9382 N. Hal ini
juga dapat dilihat pada prosesntasi gaya dorong maksimal yang dihasilkan, dimana bentuk layar
4 - Semnaskan _UGM / Penangkapan (PK-10)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
segi tiga dianggap memiliki daya dorong maksimal 100%, maka layar segi empat dan trapesium
memiliki daya dorong 75% dan 99%.
Hal ini dapat dijelaskan bahwa layar dengan bentuk segi tiga memiliki ujung atas yang
lancip yang berarti bahwa pengaruh induce drag atau gaya yang melawan gaya dorong akan
semakin kecil, sehingga gaya dorong yang dihasilkan tidak banyak terpengaruh oleh pengurangan
induce drag. Adapun visualisasi hasil CFD dari ketiga bentuk layar tersebut sebagaimana
ditampilkan pada Gambar 3.
Gambar 2. Bentuk aliran udara di sekitar layar segi empat
Gambar 3. Bentuk aliran udara di sekitar layar segi tiga
Semnaskan _UGM / Penangkapan (PK-10) - 5
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Gambar 4. Bentuk aliran udara di sekitar layar trapezium
Kesimpulan
Berdasarkan hasil simulasi dengan menggunakan CFD terhadap layar dengan bentuk segi
empat, segi tiga, dan trapesium menunjukkan bahwa layar dengan bentuk segi tiga memiliki gaya
dorong paling besar. Layar trapesium memiliki gaya dorong yang mendekati layar segi tiga yaitu
sebesar 99%. Sedangkan layar berbentuk segi empat memiliki gaya dorong yang paling kecil yaitu
sebesar 75% dibandingkan dengan layar segi tiga.
Gaya dorong layar yang lebih besar akan mengurangi pemakaian motor di kapal, sehingga
dapat lebih menghemat bahan bakar dan mengurangi emisi gas buang.
Penghargaan
Hasil penelitian ini didanai dari Program Hibah Kompetisi Institusi (PHKI) tema C, Jurusan
Teknik Perkapalan, Fakultas Teknologi Kelautan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya.
Daftar Pustaka
Nasirudin, A., A. Zubaydi, Murdijanto, M.N. Misbah. 2010. Kapal Layar Motor Penyeberangan,
Sebuah Konsep Kapal Hemat Energi dan Ramah Lingkungan. Poster, Seminar Nasional
Tahunan VII Hasil Perikanan dan Kelautan, UGM, Yogyakarta, 24 Juli 2010.
Nasirudin, A., A. Zubaydi, Murdijanto, M.N. Misbah. 2009. Analisis Desain Kapal Ferry yang
Memiliki Keunggulan Kinerja, Hemat Bahan Bakar, dan Ramah Lingkungan sebagai
Sarana Angkutan Penumpang dan Barang Antar Pulau di Indonesia. Laporan Akhir
Penelitian.
Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-01) - 1
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan 16 Juli 2011
KONDISI DAN NILAI EKONOMI HUTAN MANGROVE DI KOTA BALIKPAPAN
KALIMANTAN TIMUR
Suradi Wijaya Saputra
Staf Pengajar pada PS. Manajemen Sumberdaya Perairan Jurusan Perikanan FPIK UNDIP
Email: suradiwsaputra@yahoo.co.id; suradiws@undip.ac.id
Abstrak
Hutan mangrove memiliki berbagai fungsi, antara lain sebagai habitat satwa langka, pelindung
terhadap bencana alam, rekreasi dan pariwisata, serta memelihara proses-proses dan sistem
alami. Hutan mangrove juga memiliki nilai ekonomi yang tinggi, baik dilihat dari manfaat langsung,
manfaat tidak langsung, manfaat pilihan maupun manfaat keberadaannya. Penelitian ini bertujuan
untuk mengkaji menghitung nilai ekonomi hutan mangrove di Kota Balikpapan. Penelitian dilakukan
pada bulan Agustus sampai dengan November 2007, menggunakan metode survei. Identifikasi
dan perhitungan luas dan distribusi hutan mangrove didasarkan atas data dan informasi sekunder.
Perhitungan nilai ekonomi menggunakan metode nilai total ekonomi, dengan menghitung nilai
manfaat langsung, nilai manfaat tidak langsung, nilai manfaat pilihan dan nilai manfaat
keberadaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa luas hutan mangrove di Kota Balikpapan adalah
seluas 2.240,5 ha, tersebar di empat lokasi, yaitu Desa Teritip, Manggar, DAS Sungai Somber dan
DAS Sungai Wain. Luas hutan mangrove mengalami pengurangan sebesar 3,73% pada periode
tahun 2005 sampai dengan 2007. Total nilai ekonomi sumberdaya mangrove di Kota Balikpapan
sebesar Rp. 33.401.425.578,28/tahun, dengan perincian: nilai manfaat langsung sebesar Rp.
19.473.803.575/tahun, nilai manfaat tidak langsung sebesar 1.466.747.519,06/tahun, nilai manfaat
pilihan sebesar Rp. 2.500.393.343/tahun dan nilai manfaat keberadaan berkisar antara Rp.
5.162.141.282/tahun.sampai dengan Rp. 14.758.821.000,00/tahun.
Kata kunci : hutan mangrove, nilai ekonomi, Balikpapan
Pengantar
Kawasan pesisir dan pulaupulau kecil di Kota Balikpapan memiliki keanekaragaman
hayati cukup tinggi, seperti terumbu karang, padang lamun (sea grass), rumput laut (sea weeds),
dan hutan bakau (mangrove). Kawasan pesisir dan laut memiliki berbagai fungsi ekonomi antara
lain dipergunakan untuk aktivitas perikanan, pertambangan, pertanian, rekreasi dan pariwisata,
kawasan industri, permukiman serta pelabuhan/ transportasi. Wilayah pesisir merupakan wilayah
yang mempunyai daya dukung yang sangat tinggi, sebagai akibatnya wilayah ini merupakan
tempat terkonsentrasinya berbagai kegiatan manusia. Akibat aktivitas manusia yang tinggi di
wilayah ini dan akibat posisi geografisnya, maka wilayah pesisir rentan terhadap kerusakan
lingkungan. Kerusakan wilayah pesisir akan berpengaruh besar bagi wilayah lainnya. Berbagai
permasalahan ditemukan di wilayah pesisir saat ini antara lain sebagai akibat terjadinya konversi
hutan bakau untuk pemanfaatan lainnya. Hilangnya hutan bakau di wilayah pesisir akan
menimbulkan hilangnya nilai ekonomi hutan mangrove dan timbulnya berbagai masalah di wilayah
pesisir. Hutan mangrove memiliki fungsi dan manfaat antara lain: sebagai habitat satwa langka,
pelindung terhadap bencana alam, pengendapan lumpur, penambah unsur hara, penambat racun,
sumber alam dalam kawasan (In-Situ) dan luar Kawasan (Ex-Situ), sumber plasma nutfah,
rekreasi dan pariwisata, sarana pendidikan dan penelitian, memelihara proses-proses dan sistem
alami, penyerapan karbon, memelihara iklim mikro, dan mencegah berkembangnya tanah sulfat
masam. Konversi hutan mangrove untuk tata guna lahan lainnya dalam jangka pendek nampak
memberikan keuntukngan ekonomi yang besar, tetapi dalam jangka panjang sesungguhnya
menimbulkan kerugian yang besar bagi masyarakat. Bertitik tolak pada hal tersebut di atas, maka
penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kondisi hutan mangrove dan menghitung nilai ekonomi
sumberdaya hutan bakau di Kota Balikpapan.
Bahan dan Metode
Penelitian ini dilakukan di pesisir Kota Balikpapan, pada bulan Juli sampai dengan Agustus
tahun 2007. Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: perahu untuk survei;
daftar isian lapangan (checklist) dan kuesioner.
2 - Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-01)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Pengumpulan dan Pengukuran Data
Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data
primer diperoleh melalui survei, observasi, pencatatan dan wawancara. Jenis data primer yang
dikumpulkan antara lain data jenis mangrove, posisi geografis hutan mangrove, dan persepsi
masyarakat terhadap keberadaan hutan mangrove. Pengumpulan data sekunder dilaksanakan
dengan mengkoleksi data dari lembaga penelitian, pemerintah daerah dan dinas yang terkait, data
dari internet, dan hasil penelitian terdahulu yang relevan. Jenis data sekunder yang dibutuhkan
antara lain luas dan sebaran hutan mangrove.
Analisis Data
Penilaian nilai ekonomi yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan melakukan
perhitungan nilai total ekonomi, karena tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengestimasi
nilai ekonomi total dari kawasan hutan mangrove, yang diharapkan akan dapat dianalisis dari sudut
pandang publik sebagai salah satu parameter penting dalam sebuah analisis ekonomi. Secara
matematis total nilai ekonomi hutan mangrove dapat dihitung menggunakan rumus sebagai
berikut:
TEV = UV + NUV = (DUV + IUV + OV) + EV
Keterangan:
TEV = Total Economic Value
UV = Use Value
NUV = Non Use Value
DUV = Direct Use Value
IUV = Indirect Use Value
OV = Option Value
EV = Existence Value
Perkiraan nilai ekonomi sumberdaya mangrove dilakukan berdasarkan nilai manfaat
langsung, manfaat tidak langsung, manfaat pilihan dan manfaat keberadaan. Manfaat langsung
hutan mangrove antara lain: sebagai sumber makanan dan sumber kayu (bangunan dan bakar).
Manfaat tidak langsung dari ekosistem hutan mangrove yang dapat diidentifikasi terutama adalah
1) Nilai manfaat pemanfaatan kepiting dan rajungan, 2) Pemanfatan penangkapan udang, 3)
Pemanfaatan penangkapan ikan; dan 4) Serasah daun mangrove. Nilai pilihan (option value) hutan
mangrove dihitung menggunakan nilai manfaat keanekaragaman hayati (biodiversity) yang
terdapat dalam kawasan hutan mangrove dan nilai pilihan yang ditimbulkan adanya potensi
farmasi dan obat-obatan serta nilai estetika. Nilai keberadaan (existence value) adalah nilai
manfaat yang diberikan untuk melestarikan sumberdaya mangrove dimasa akan datang, meskipun
tidak secara langsung memanfaatkan sumberdaya tersebut. Nilai tersebut dihitung dengan
wawancara terhadap responden terpilih, yang memahami nilai keberadaan suatu kawasan hutan
mangrove.
Hasil Dan Pembahasan
Luas dan Sebaran Hutan Mangrove di Kota Balikpapan
Vegetasi yang tumbuh dan ditemukan di wilayah pantai Kota Balikpapan, memiliki
keragaman jenis yang cukup tinggi, meskipun hanya pada bagian-bagian wilayah pantai tertentu.
Pada beberapa lokasi pantai yang memiliki tipe tanah pasir dan berlumpur masih ditumbuhi
dengan baik oleh vegetasi mangrove jenis bakau (Rhizophora), Api-api (Avicennia), dan Pedada
(Sonneratia). Sedangkan pada bagian lahan tipe tanah daratan banyak dijumpai jenis vegetasi
yang merupakan hasil penanaman masyarakat seperti ketapang, waru, cemara dan pohon kelapa.
Secara umum kondisi vegetasi di kawasan pantai Kota Balikpapan telah mengalami
perubahan secara nyata dari kondisi alaminya. Dari 18 marga mangrove yang terdapat di
Kalimantan, 7 marga (genera) terdapat di kawasan hutan mangrove Kota Balikpapan yaitu:
Avicennia, Xylocarpus, Bruguiera, Ceriops, Rhizophora, Sonneratia, Nypa (Boer dan Udayana,
1999). Menurut Pribadi dkk (2005) luas hutan mangrove di kawasan Kota Balikpapan adalah
2.327,2 hektar. Berdasarkan hasil identifikasi dan perhitungan yang didasarkan atas data foto citra
satelit IKONOS diketahui bahwa luas hutan mangrove di Kota Balikpapan adalah seluas 2.240,5
ha (Gambar 1).
Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-01) - 3
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan 16 Juli 2011
Gambar 1. Peta Hutan Mangrove Eksisting Kota Balikpapan Kalimantan Timur (Sumber Kantor
Kelautan dan Perikanan Kota Balikpapan)
Dibandingkan data sebelumnya (tahun 2005) sebagaimana dikemukakan Pribadi dkk,
(2005) terlihat bahwa luas mangrove di Kota Balikpapan berkurang seluas 88,7 hektar atau 3,73%
dari sebelumnya. Hutan mangrove tersebut terkonsentrasi di Desa Teritip, yang telah ditetapkan
sebagai Daerah Perlindungan Mangrove dan Laut (DPML), sempadan Sungai Manggar, DAS
Sungai Somber dan Sungai Kariangau serta kawasan DAS Sungai Wain.
Kawasan Hutan Mangrove DPML Teritip.
Luas hutan mangrove di kawasan DPML Teritip berdasarkan data dari KKP Kota
Balikpapan (2007) yang diidentifikasi berdasarkan Citra Satelit adalah 31,94 hektar. Jenis vegetasi
mangrove yang mendominasi di wilayah DPML Teritip adalah Sonneratia alba, baik untuk kategori
pohon, kategori semai maupun kategori anakan. Vegetasi mangrove lainnya yang cukup banyak
ditemukan adalah Avivennia alba. Jenis bakau (Rhizophora micronata) dijumpai terutama di
sempadan sungai, saluran tambak, tanggul tambak dan plataran tambak. Jenis Nypa sp juga
ditemukan dalam jumlah dan frekuensi yang lebih sedikit di saluran tambak dan tepi sungai.
Kondisi hutan mangrove di DPML Teritip sudah banyak dikonversi, antara lain menjadi lahan
pertambakan. Sebagian besar kondisi tambak saat penelitian dilakukan sudah tidak produktif dan
terbengkelai.
Luas hutan mangrove di Desa Teritip yang direncanakan menjadi kawasan DPML adalah
52, 2 hektar, yang didukung dengan luas perairan sekitar 24 hektar (KKP Kota Bontang 2007).
Luas perairan 24 hektar tersebut direncanakan untuk melestarikan terumbu karang. Hasil studi
AMN Kaltim (2005) di kawasan DPML Teritim didapatkan bahwa Sonneratia sp. untuk kategori
pohon dengan nilai penting (NP) 134,72%, diikuti Avivennia alba (NP=112,18%), Aegiceras
comiculatum, dan Avicennia marina. Nilai penting untuk kategori vegetasi anakan yang tertinggi
adalah Sonneratia sp. (NP=136,53%) diikuti Avicennia alba (NP=96,64%), Aegiceras comiculatum,
dan Avicennia marina.
Nilai penting untuk kategori semai tertinggi Sonneratia sp, (86,75%), diikuti oleh Avicennia
alba (NP=52,28%), Aegiceras comiculatum dan Avicennia marina (Tabel 1).
4 - Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-01)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Tabel 1. Frekuensi relatif (FR%), Kerapatan Relatif (KR%), Dominasi Relatif (DR%), Nilai Penting
(NP%) dan Kerapatan (batang/Ha) Vegetasi Mangrove di DPML Teritip Kota Balikpapan
NO JENIS VEGETASI
FR
(%)
KR
(%)
DR
(%)
NP
(%)
KERAPATA
N (btg/Ha)
KATEGORI POHON
1 Sonneratia sp 40 34,7
8
59,9
4
134,72 480
2 Avivennia alba 40 36,3
2
35,9
5
112,18 500
3 Aegiceras
comiculatum
10 8,70 4,11 22,81 120
4 Avivennia marina 10 20,2
9
19,8
1
0,10 280
KATEGORI SEMAI
1 Sonneratia sp 40 57,1
4
39,3
9
136,53 14.000
2 Avivennia alba 40 8,16 48,4
8
96,64 2.000
3 Aegiceras
comiculatum
10 30,6
1
6,06 46,67 7.500
4 Avivennia marina 10 4,08 6,06 20,14 1.000
KATEGORI ANAKAN
1 Sonneratia sp 25 30,2
3
31,5
2
86,75 520
2 Avivennia alba 30 1,63 20,6
5
52,28 400
3 Aegiceras
comiculatum
20 1,95 27,1
7
49,13 480
4 Avivennia marina 10 1,31 20,6
5
31,96 320
Sumber : AMN Kaltim, 2005.
Mangrove Sungai Manggar
Hutan mangove di kawasan Desa Manggar terkonsentrasi di sempadan Sungai Manggar,
dengan luas sekitar 33,51 hektar. Pada muara Sungai Manggar kondisinya sudah rusak dan
dikonversi menjadi pemukiman dan fasilitas perikanan. Pada sempadan sungai masih dapat
dijumpai vegetasi mangrove yang cukup baik, diantara sungai dan lahan pertambakan. Jenis
mangrove yang dominan adalah Sonneratia sp. diikuti oleh Avivennia alba. Pada beberapa lokasi
juga ditemukan jenis Rhizophora dan Nypa sp. dalam jumlah yang relatif sedikit.
Mangrove Kawasan Sungai Somber
Hutan mangrove pada muara Sungai Somber sudah banyak dikonversi untuk berbagai
peruntukan, seperti tambak, perumahan dan industri. Pada bagian sempadan sungai bagian hulu,
kondisinya masih relatif lebih baik dibanding bagian muara. Beberapa jenis primata dan mamalia
masih dapat dijumpai di kawasan hutan mangrove ini, seperti bekantan. Hewan ini bahkan sering
dijumpai di sekitar pemukiman penduduk, terutama pada waktu pagi hari. Menurut keterangan
penduduk, mereka lebih menyukai mencari makan di sekitar pemukiman. Berdasarkan identifikasi
citra satelit luas hutan mangrove di kawasan DAS Somber adalah 236,51 hektar. Kondisi hutan
mangrove di kawasan DAS Kariangau relatif sama dengan kawasan DAS Sungai Somber, yakni
banyak dikonversi untuk lahan pertambakan dan industri. Jenis mangrove yang dominan juga
relatif sama yakni Sonneratia sp., diikuti Avivennia alba.
Mangrove Kawasan DAS Sungai Wain
Kawasan DAS Sungai Wain merupakan kawasan Hutan Lindung Sungai Wain (HLSW).
Pada kawasan tersebut terdapat beberapa sungai yang bermuara ke Teluk Balikpapan, antara lain
Sungai Wain Besar, Sungai Wain Tengah dan Sungai Wain Kecil. Sebagai kawasan hutan lindung,
maka kondisi mangrove yang ada di kawasan HLSW masih sangat baik, terutama di Pulau
Benawa dan sekitarnya. Luas hutan mangrove di kawasan HLSW adalah sekitar 1.938,54 hektar
(KKP Kota Bontang, 2007).
Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-01) - 5
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan 16 Juli 2011
Berdasarkan hasil survei diketahui bahwa kondisi hutan mangrove di kawasan HLSW
masih sangat baik. Vegetasi mangrove yang dominan di daeran muara dan sempadan sungai
adalah jenis Rhizophora micronata. Sedangkan di bagian daratan didominasi oleh Sonneratia sp.
dan Avivennia alba. Meskipun demikian, tekanan terhadap kelestarian hutan mangrove di daerah
ini juga terus terjadi. Dari arah darat, telah terjadi pengkaplingan di wilayah konservasi mengrove di
sungai Wain Kecil, Selok Keminting. Pengkaplingan lahan tersebut dilakukan penduduk untuk
kepentingan budidaya tambak. Pengkaplingan kawasan mangrove terjadi pula di area Sungai
Berenga, Sungai Wain besar, DAS Sungai Somber, serta Pulau Balang. Pada DAS Sungai
Tengah, di daerah tepiannya sudah berubah menjadi lahan terbuka. Pada tepi Sungai Tengah,
Berenga, dan Tempadung juga ditemukan hutan telah dikapling-kapling. Pengaplingan dilakukan
dengan menancapkan papan bertuliskan nama "pemilik" sekaligus luas kapling.
Menurut Pribadi dkk (2005) pada kawasan hutan mangrove di kawasan Hutan Lindung
Sungai Wain masih menyimpan keanekaragaman hayati yang cukup tinggi. Pada kawasan ini
masih ditemui berbagai jenis primata dan mammalia yang langka, seperti Beruang madu,
Bekantan, Owa-owa, Macan Dahan, Rusa Sambar, Orang Utan yang diintroduksi, dan berbagai
jenis hewan langka lainnya. Disamping itu, di wilayah perairan Teluk Balikpapan juga masih
dijumpai ikan Duyung (Dugong dugon) yang merupakan hewan langka dan dilindungi, serta ikan
pesut teluk.
Nilai Ekonomi Hutan Mangrove
Kondisi mangrove di empat kawasan berbeda tingkat kepadatan dan keragaman hayati
yang dikandungnya. Berdasarkan observasi lapang, kondisi terbaik dan masih alami adalah
mangorve di Hutan Lindung Sungai Wain, disusul DAS Somber, Teritip dan Manggar. Oleh
karenanya penilaian ekonomi dikaji berdasarkan masing-masing kawasan.
Manfaat Langsung
Kawasan hutan mempunyai manfaat langsung, antara lain sebagai sumber makanan,
sumber kayu (bangunan dan bakar) dan sebagainya. Hasil analisis potensi kayu mangrove dan
nilai ekonominya disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Nilai ekonomi kayu bakar dari hutan mangrove di Kota Balikpapan
Lokasi
Luas
Area (ha)
Vol/ha
(m
3
)
Total
Volume (m
3
)
Nilai
Kayu/M
3
(Rp)
Nilai Total
(Rp)
DAS S.Wain 1.938,50 50 96.925,00 181.000 17.543.425.000,00
DAS S.
Somber
236,51 37,5 8.869,13 181.000 1.605.311.625,00
DAS S.
Manggar
33,51 25 837,75 181.000 151.632.750,00
DesaTeritip 31,94 30 958,20 181.000 173.434.200,00
Total 2.240,46 107.590,08 181.000 19.473.803.575,00
Supriyadi dan Wouthuyzen (2005) memperkirakan volume kayu pada hutan mangrove di
Kotania Maluku berkisar antara 46 64 ton/hektar, dengan harga per kubik Rp.181.000,-. Nilai
potensi kayu dari hutan mangrove di Kota Balikpapan yang dianalogkan sama dengan Kotania
adalah mangrove Sungai Wain, sedangkan mangrove Sungai Somber diprediksi hanya bernilai
75%-nya, mangrove Teritip sekitar 60%-nya dan mangrove di DAS Sungai Manggar hanya sekitar
50%-nya. Hal ini didasarkan atas kerapatan dan besarnya tegakan vegetasi mangrove
penyusunnya. Berdasarkan perhitungan nilai potensi kayu hutan mangrove Kota Balikpapan
adalah sebesar Rp. 19.473.803.575,00,- atau sekitar Rp 8,7 juta/ha.
Manfaat Tidak langsung
Manfaat tidak langsung dari ekosistem hutan mangrove yang dapat diidentifikasi terutama
adalah manfaat biologis sebagai tempat pemijahan (spawning ground), tempat perlindungan
(nursery ground) dan tempat penyediaan bahan pakan organik (feeding ground) bagi organisme air
yang hidup di kawasan hutan mangrove dan sekitarnya.
a) Nilai Manfaat Pemanfaatan Kepiting dan Rajungan
Nilai produksi kepiting dari suatu kawasan hutan mangrove merupakan salah satu manfaat
tidak langsung dari hutan mangrove (Mossa, et al., 1985). Ketiping bakau merupakan sumber daya
6 - Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-01)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
yang banyak ditangkap di lubang-lubang dan di perakaran bakau serta perairan sekitarnya,
sedangkan rajungan ditangkap di perairan pantai sekitar hutan mangrove. Alat tangkap kepiting
yang utama adalah bubu yang terbuat dari bambu.
Hasil penelitian Supriyadi dan Wouthuyzen (2005) di kawasan hutan mangrove Kotania
Maluku diperoleh kepadatan berkisar antara 13 33 ind/hektar atau kepadatan rata-rata kepiting
bakau sebanyak 25 ind/ha, dengan berat berkisar antara 0,250 0,599 kg/ind. Jika berat rata-rata
kepiting bakau adalah 0,250 kg (bobot terendah), maka produksi kepiting per hektar adalah 6,25
kg/tahun dengan harga Rp. 15.000,-/kg/tahun. Menganalogkan sama seperti di atas, maka nilai
produksi kepiting dari kawasan hutan mangrove Kota Balikpapan adalah sebesar Rp.
201.731.390,63 (Tabel 3).
Tabel 3. Nilai Potensi Produksi Kepiting dari Hutan Mangrove di Kota Balikpapan
Lokasi
Luas
Area (ha)
Prod/ha
(Kg)
Total Prod
(Kg)
Harga
Kepiting/Kg
(Rp)
Nilai Total
(Rp)
DAS S.Wain 1.938,50 6,25 12.115,63 15.000,00 181.734.375,00
DAS S.Somber 236,51 4,69 1.108,64 15.000,00 16.629.609,38
DAS S. Manggar 33,51 3,13 104,72 15.000,00 1.570.781,25
DesaTeritip 31,94 3,75 119,78 15.000,00 1.796.625,00
Total
2.240,46 13.448,76 15.000,00 201.731.390,63
Sedangkan hasil penelitian Alvian et al. (2004) nilai produksi rajungan sebesar
Rp.272.180/ha mangrove/tahun, sehingga perkiraan nilai produksi rajungan yang dihasilkan adalah
Rp. 521.123.287,27/tahun (Tabel 4). Berdasarkan Tabel 3 dan Tabel 4 tersebut maka potensi nilai
ekonomi kepiting dan rajungan dari mangrove di Kota Balikpapan adalah sebesar Rp.
722.854.677,90.
Tabel 4. Nilai Potensi Ekonomi Rajungan dari Mangrove Kota Balikpapan
Lokasi Luas (ha)
Nilai Prod
Rajungan/ha
(Kg)
Nilai Total
(Rp)
DAS S.Wain 1.938,50 242.180,00 469.465.930,00
DAS S.Somber 236,51 181.635,00 42.958.493,85
DAS S. Manggar 33,51 121.090,00 4.057.725,90
DesaTeritip 31,94 145.308,00 4.641.137,52
Total 2.240,46 521.123.287,27
b) Nilai pemanfatan penangkapan udang.
Pada perairan sekitar kawasan hutan mangrove biasanya banyak tertangkap udang
penaid, khususnya udang Jerbung (Penaeus merguiensis), udang Dogol (P. indicus), udang Windu
(P. monodon) dan udang kecil dari genus Metapenaeus, seperti M. affinis, M. ensis, M. dobsoni
dan sebagainya. Akan tetapi yang paling dominan secara ekonomi disumbang oleh P.
merguiensis. Effendi (2004 dalam AMN, 2005) mendapatkan nilai produksi udang putih di perairan
sekitar hutan mangrove di Kecamatan Tenanggea sebesar Rp.15.409/ha mangrove/tahun. Nilai
produksi udang penaeid lainnya diperkirakan juga menghasilkan sebesar Rp.15.409,- sehingga
total produksi udang dari kawasan mangrove sebesar Rp. 30.818,-. Berdasarkan analogi tersebut
maka perkiraan potensi nilai ekonomi produksi udang dari mangrove di Kota Balikpapan adalah
Rp. 66.314.218,63,-/tahun (Tabel 5).
Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-01) - 7
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan 16 Juli 2011
Tabel 5. Nilai Potensi Ekonomi Udang dari Mangrove Kota Balikpapan
Lokasi Luas (ha)
Produksi
udang/Ha/Th
(Rp)
Nilai Total Prod
Udang/Ha/Th.
DAS S.Wain 1.938,50 30.818,00 59.740.693,00
DAS S.Somber 236,51 23.113,50 5.466.573,89
DAS S. Manggar 33,51 15.409,00 516.355,59
DesaTeritip 31,94 18.490,80 590,596,15
Total 2.240,46 66.314.218,63
c) Nilai Pemanfaatan Penangkapan Ikan
Sumberdaya ikan banyak ditangkap di sekitar kawasan hutan mangrove. Effendi (2004)
menghitung nilai produksi ikan (pelagis dan demersal) di perairan sekitar kawasan hutan mangrove
Kecamatan Tenaggea diperoleh sebesar Rp. 264.895/ha/tahun. Berdasarkan asumsi produksi ikan
dari perairan sekitar hutan mangrove DAS Sungai Wain Kota Balikpapan sama dengan hasil
penelitian tersebut, maka dengan analogi yang sama, nilai produksi ikan dari hutan mangrove Kota
Balikpapan adalah sebesar Rp. 570.001.458,34 /tahun (Tabel 6).
Tabel 6. Nilai Potensi Ekonomi Ikan dari Mangrove Kota Balikpapan
Lokasi
Luas Area
(ha)
Produksi
Ikan/Ha/Th (Rp)
Nilai Total Prod Ikan
/Ha/Th.
(Kg)
DAS S.Wain 1.938,50 264.895,00 513.498.957,50
DAS S.Somber 236,51 198.671,25 46.987.737,34
DAS S. Manggar 33,51 132.447,50 4.438.315,73
DesaTeritip 31,94 158.937,00 5.076.447,78
Total 2240,46 570.001.458,34
d) Serasah Daun Mangrove
Serasah mangrove merupakan salah satu mata rantai makanan yang khas dan penting
dari jejaring pangan (foodweb) dalam ekosistem pantai. Ditinjau dari manfaat biologis tersebut,
hutan mangrove sangat strategis fungsinya, karena tanpa keberadaannya tersebut lahan pantai
akan menjadi lahan terbuka dan tidak produktif. Penaksiran nilai manfaat tidak langsung hutan
mangrove sebagai penyedia unsur hara dalam siklus makanan didekati dengan nilai unsur hara
dari serasah hutan mangrove, yang didasarkan hasil penelitian para peneliti terdahulu.
Hutan mangrove di Papua New Guinea (PNG) mempunyai produksi serasah sekitar 14,3
ton/ha/tahun (Leach and Burgin dalam Pramudji 1994). Produksi serasah jenis ini di wilayah pesisir
Teluk Kotania Maluku adalah 12,75 ton/ha/tahun (hasil modifikasi dari Pramudji 1994) relatif lebih
rendah dibandingkan dengan produksi di PNG-Irian Jaya, tetapi lebih tinggi dibandingkan produksi
serasah di Teluk Kayeli, Pulau Buru, Maluku Tengah, yakni sekitar 9 ton/ha/tahun (Pulumahuny
1997). Di Muara Sembilang, Sulsel produksi serasah daun mangrove mencapai 13,76 ton/ha/tahun
(Soeroyo 1999). Hasil penelitian Sukardjo (1995 dalam Soeroyo, 1999), di kawasan hutan
mangrove Muara Angke Jakarta menunjukkan bahwa setiap hektar hutan mangrove menghasilkan
serasah sebanyak 13,08 ton/tahun atau sekitar 4,85 ton berat kering. Perbedaan jumlah produksi
serasah tersebut sangat erat kaitannya dengan struktur komunitas dan luas mangrove di suatu
wilayah. Karena kontribusi serasah mangrove yang sangat tinggi bagi kesuburan perairan dan
kehidupan organisme, maka potensi sumberdaya pesisir yang juga sangat tinggi, seperti berbagai
jenis ikan, udang, kepiting, kerang-kerangan. Ini menunjukkan bahwa kontribusi serasah yang
berasal dari mangrove menjadi salah satu komponen ekonomi yang sangat signifikan.
Komponen ekonomi dari serasah mangrove sulit ditentukan nilainya karena tidak
ditemukan dalam harga pasar, sehingga untuk menilainya dapat menggunakan teknik dengan
mengkonversikannya ke dalam nilai "kompos" atau pupuk alami yang mempunyai harga pasar.
Hasil analisis Sukardjo (1995 dalam Soeroyo, 1999) terhadap kandungan serasah ternyata
mengandung nitrogen 10,5 kg/ha (setara dengan 23,33 kg pupuk urea) dan phosphor 4,72 kg/ha
(setara dengan 13,11 kg pupuk SP-36). Mengacu pada penelitian Sukardjo tersebut, jika harga
pupuk Urea adalah Rp. 1.300,00 dan SP-36 adalah Rp. 1.500,00, maka nilai manfaat tidak
langsung (manfaat menghasilkan serasah) sebagai penyedia unsur hara adalah Rp. 30.329,00
8 - Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-01)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
(pupuk urea) dan Rp. 19.665,00 (pupuk PS-36), sehingga jumlah nilai manfaat dari produksi
serasah adalah sebesar Rp.49.994,00/ha/tahun. Analogi yang sama sebagaimana perhitungan di
depan, maka nilai ekonomi hutan mangrove dari produksi serasah sebesar Rp. 107.577.164,19
(Tabel 7).
Tabel 7. Nilai Potensi Ekonomi Serasah dari Mangrove Kota Balikpapan
Lokasi
Luas Area
(ha)
Nilai Produksi
Serasah/Ha/Th (Rp)
Nilai Total Prod
Serasah/Ha/Th.
(Kg)
DAS S.Wain 1.938,5 49.994,00 96.913.369,00
DAS S.Somber 236,51 37.495,50 8.868.060,71
DAS S. Manggar 33,51 24.997,00 837.649,47
DesaTeritip 31,94 29.996,40 958.085,02
Total 2.240,46 107.577.164,19
Nilai Pilihan (Option Value)
Nilai pilihan merupakan manfaat tidak langsung di masa yang akan datang yang diperoleh
dari keberadaan sumberdaya mangrove. Manfaat pilihan (option value) hutan mangrove
diperhitungkan menggunakan nilai manfaat keanekaragaman hayati (biodiversity) yang terdapat
dalam kawasan hutan mangrove dan nilai guna lainnya, seperti nilai pilihan yang ditimbulkan
adanya potensi obat-obatan dan sebagainya. Nilai keanekaragaman hayati mengacu hasil
penelitian Ruitenbeek (1994) yang menyatakan bahwa nilai keanekaragaman hayati hutan
mangrove di Indonesia adalah US $ 15/ha/tahun. Apabila nilai tukar dolar Ameriak adalah Rp.
9.500,00, maka nilai manfaat keanekaragaman hayati hutan mangrove adalah sebesar Rp.
142.500,00/ha/tahun. Nilai tersebut bagi hutan mangrove yang masih alami, dengan keragaman
hayati yang masih tinggi, seperti di DAS Sungai Wain. Berdasarkan hal tersebut dan dengan
analogi yang sama seperti perhitungan di atas, maka nilai ekonomi keberadaan mangrove di Kota
Balikpapan adalah Rp. 333.830.475,00/tahun (Tabel 8). Di samping nilai biodiversiti, nilai pilihan
lain yang dapat diidentifikasi adalah nilai obat-obatan, estetika, konservasi dan lain-lain.
Berdasarkan Tabel 8 terlihat bahwa nilai ekonomi pilihan hutan mangrove di Kota Balikpapan
adalah sebesar Rp. 2.500.393.343,00 /tahun.
Nilai Keberadaan (Existence Value)
Nilai keberadaan adalah nilai manfaat yang diberikan untuk melestarikan sumberdaya
mangrove di masa akan datang meskipun tidak secara langsung memanfaatkan sumberdaya
tersebut. Nilai tersebut dihitung dengan wawancara terhadap responden terpilih, yang memahami
nilai keberadaan suatu kawasan hutan mangrove. Hasil penelitian Effendi (2004) di kawasan Hutan
Kecamatan Tinanggea Sulawesi Selatan, menggunakan metode Contingen Valuation Methods
(CVM) diperoleh nilai antara Rp.2.203.529,00/ha/tahun sampai dengan Rp. 6.300.000/ha/tahun.
Menganalogkan nilai tersebut maka nilai keberadaan hutan mangrove di Kota Balikpapan adalah
berkisar antara Rp. 5.162.141.282,43 sampai dengan Rp. 14.758.821.000,00.
Tabel 8. Nilai pilihan Hutan Mangrove di Kota Balikpapan
Option value
Luas Area
(ha)
Kesediaan
membayar
(Rp/ha)
Nilai Total
(Rp)*
1. Medicine
DAS S.Wain 1.938,50 112.500,00
218.081.250,00
DAS S.Somber 236,51 84.375,00 19.955.531,25
DAS S. Manggar 33,51 56.250,00 1.884.937,50
DesaTeritip 31,94 67.500,00
2.155.950,00
Jumlah 2.240,46
242.077.668,75
2. Farmacology
DAS S.Wain 1.938,50 457.000,00
885.894.500,00
Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-01) - 9
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan 16 Juli 2011
DAS S.Somber 236,51 342.750,00
81.063.802,50
DAS S. Manggar 33,51 228.500,00 7.657.035,00
DesaTeritip 31,94 274.200,00
8.757.948,00
Jumlah 2.240,46
983.373.285,50
3. Biodiversity
DAS S.Wain 1.938,50 142.500.00
276.236.250,00
DAS S.Somber 236,51 106.875.00
25.277.006,25
DAS S. Manggar 33,51 71.250.00
2.387.587,50
DesaTeritip 31,94 85.500.00
2.730.870,00
Jumlah 2.240,46
306.631.713,75
4. Estitika
DAS S.Wain 1.938,50 100.000.00
193.850.000,00
DAS S.Somber 236,51 75.000.00
17.738.250,00
DAS S. Manggar 33,51 50.000.00
1.675.500,00
DesaTeritip 31,94 60.000.00
1.916.400,00
Jumlah 2.240,46
215.180.150,00
5. Konservasi
DAS S.Wain 1.938,50 200.000.00
387.700.000,00
DAS S.Somber 236,51 150.000.00
35.476.500,00
DAS S. Manggar 33,51 100.000.00
3.351.000,00
DesaTeritip 31,94 120.000.00
3.832.800,00
Jumlah 2.240,46
430.360.300,00
6. Lain-lain
DAS S.Wain 1.938,50 150.000.00
290.775.000,00
DAS S.Somber 236,51 112.500.00
26.607.375,00
DAS S. Manggar 33,51 75.000.00
2.513.250,00
DesaTeritip 31,94 90.000.00
2.874.600,00
Jumlah 2.240,46
322.770.225,00
Total 2.500.393.343,00
Nilai Total ekonomi (Total Economy Value) Hutan Mangrove
Nilai ekonomi total sumberdaya mangrove yang mencakup nilai langsung, tidak langsung,
nilai pilihan dan nilai keberadaan adalah Rp 33,40 milyar/tahun (Tabel 9).
Tabel 9. Total Nilai Ekonomi Sumberdaya Mangrove di Kota Balikpapan.
Metode / Potensi Manfaat Nilai Ekonomi (Rp)
10 - Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-01)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
1. Nilai Langsung (Kayu) 19.473.803.575,00
2. Nilai Tidak Langsung 1.466.747.519,06
a. Kepiting dan rajungan 722.854.677,90
b. Udang 66.314.218,63
c. Ikan 570.001.458,34
d. Serasah 107.577.164,19
3. Nilai Pilihan 2.500.393.343,00
a. Medicine 242.077.668,75
b. Farmacology 983.373.285,50
c. Biodiversity 306.631.713,75
d. Estitika 215.180.150,00
e. Konservasi 430.360.300,00
f. Lain-lain 322.770.225,00
4. Nilai Keberadaan 9.960.481.141,22
Total Economic Value 33.401.425.578,28
Perhitungan nilai ekonomi sumberdaya mangrove ini belum mencakup seluruh komponen.
Masih banyak komponen ekonomi yang berpengaruh baik langsung maupun tidak langsung luput
dari penilaian ekonomi, karena belum mempunyai harga pasar. Misalnya, fungsi mangrove sebagai
pencegah erosi, gelombang, abrasi, kunjungan turis, wisatawan, fungsi sebagai lokasi pendidikan
dan penelitian, habitat bagi berbagai jenis fauna, seperti penyu, burung, reptil, mamalia,
sumbangan mangrove bagi perikanan pantai, dan lain sebagainya.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian di depan dapat disimpulkan bahwa:
1) Luas hutan mangrove di Kota Balikpapan adalah seluas 2.240,5 ha, tersebar di empat lokasi,
yaitu Desa Teritip, Manggar, DAS Sungai Somber dan DAS Sungai Wain.
2) Kondisi hutan mangrove di wilayah pesisir Kota Balikpapan terus mengalami pengurangan luas.
Pada periode tahun 2005 sampai dengan 2007 mengalami pengurangan luas sebesar 3,73%
dari luas sebelumnya.
3) Nilai ekonomi sumberdaya mangrove di Kota Balikpapan secara keseluruhan adalah sebesar
Rp. 33.401.425.578,28/tahun, dengan perincian: nilai manfaat langsung sebesar Rp.
19.473.803.575/tahun nilai manfaat tidak langusung sebesar 1.466.747.519,06/tahun, nilai
manfaat pilihan sebesar Rp. 2.500.393.343/tahun dan nilai manfaat keberadaan berkisar antara
Rp. 5.162.141.282/tahun.sampai dengan Rp. 14.758.821.000,00/tahun.
Daftar Pustaka
Aliansi Masyarakat Nelayan Kalimantan Timur (AMN Kaltim). 2005. Penguatan inisiatif masyarakat
nelayan dalam Pengelolaan Daerah Perlindungan Mangrove dan Laut Kelurahan Teritip Kota
Balikpapan. Laporran akhir. Tidak dipublikasikan.
Bengen, D.G. 2005. Perspektif Pengelolaan Pesisir Terpadu Berbasis Ekosistem dalam Pribadi,
S.I; D.E. Bengen; N. Makinuddin; A.Am Ibrahim; A. Widodo. 2005. Menunju keterpaduan
Teluk Balikpapan. Mitra Pesisir/CRMP II USIAD. Jakarta.
Pramudji 1994. Alir energi hutan mangrove di Teluk Kotania, Seram Barat. Dalam: D. Sapulete
(eds). Kemajuan triwulan IV tahun anggaran 1994/1995. Balitbang Sumberdaya Laut, P3O-
LIPI Ambon. (unpublished).
Pribadi, S.I; D.E. Bengen; N. Makinuddin; AA. Ibrahim; A. Widodo. 2005. Menuju keterpaduan
Teluk Balikpapan. Mitra Pesisir/CRMP II USIAD. Jakarta.
Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-01) - 11
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan 16 Juli 2011
Pulumahuny F. 1997. Studi komunitas mangrove di Teluk Kayeli, Pulau Buru. Kabupaten Maluku
Tengah. Tesis. Program Pascasarjana Universitas Hasanudin: 74 hal (tidak dipublikasikan).
Ruitenbeek, J.H 1994, Modelling economy-ecology linkages in mangroves: Economic evidence for
promoting conservation in Bintuni Bay, Indonesia. Ecological Economics 10:223-247.
Soeroyo 1999. Struktur, komposisi, zonasi dan produksi serasah mangrove. Dalam. K.
Romimohtarto, A. Djamali dan Soroyo (eds). Ekosistem perairan sungai Sembilang, Musi
Banyuasin, Sumatera Selatan. Pusat Penelitian Oseanologi, LIPI-Jakarta: 55-66.
Spaninks, F. and P. van Baukereing 1997. Economic valuation of mangrove ecosystems : Potential
and Limitation. CREED Working Paper No. 15 : 62 pp.
Sunaryo, IGN.1982. A Florintic study on mangrove forest in Segara Anakan. Proceeding of the
workshop on coastal resources management in the Cilacap region. Gadjah Mada Univ.
Yogyakarta 1980: 132-145.
Supriyadi, H.I. dan S.Wouthuyzen 2001. Pengelolaan Mangrove dan Kepiting bakau (Scylla
serrata) di pesisisr Teluk Kotania, Maluku Tengah. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia
33:41-62.
Purwanto. 2005. Upaya Multistakeholder dalam pembentukan Badan Pengelola Hutan Lindung
Sungai Wain (HLSW). Dalam Pribadi, S.I; D.E. Bengen; N. Makinuddin; A.Am Ibrahim; A.
Widodo. 2005. Menunju keterpaduan Teluk Balikpapan. Mitra Pesisir/CRMP II USIAD.
Jakarta.
Watson, D. 1994. Impacts of socioeconomic development on marine and coastal ecosystem in
Asean. In: D. Watson and K.S. Ong (eds). Contributions of the ASEAN-Canada Technical
Mission to the Coastal Zone Canada'94 Conference, Halifax, Canada 21-23 September
1994. EVS Environment Consultans, Vancouver and Department of Fisheries, Malaysia: 81
pp.
Wouthuyzen, S., H.I. Supriyadi, and F.S. Pulumahuny. 2002. Monitoring, evaluation and
management of mangrove resources in the coastal areas of the Kotania and Kayeli Bays
using multi-temporal Landsat Satellites Data. Proceeding of National Seminar on Limnology,
Bogor. p. 211-214.
Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-02) - 1
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan 16 Juli 2011
ANALISIS PERAN WANITA PESISIR DALAM MENINGKATKAN
PENDAPATAN KELUARGA PADA USAHA KERANG KEPAH
(Polymesoda erosa) DAN TINGKAT KESEJAHTERAANNYA
DI DESA PENITI LUAR KABUPATEN PONTIANAKKALIMANTAN BARAT
Deliana R. Pridaningsih
1)
, Azis Nur Bambang
2)
, Asriyanto
2)
1)
Mahasiswa Program Beasiswa Unggulan MSDP Konsentrasi Perencanaan dan Pengelolaan Sumberdaya
Kelautan Universitas Diponegoro Semarang,
2)
Staf Pengajar Program Studi Ilmu Kelautan, Program Studi
Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro Semarang
e-mail: deli_ratna@yahoo.com
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengkaji tingkat peran wanita pesisir, (2) faktor-faktor yang
mempengaruhi serta (3) mengkaji tingkat kesejahteraan keluarga wanita pesisir. Penelitian ini
dilaksanakan pada bulan Mei-Agustus 2010. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif
dengan pendekatan kuantitatif. Populasi didalam penelitian ini adalah wanita pesisir. Sampel
dipilih dengan metode cluster sampling yang dibagi berdasarkan kelompok wanita nelayan pencari
kerang kepah, kelompok pengumpul dan kelompok pengolah kerang kepah. Jumlah responden 49
responden dan teknik pengambilan sampel menggunakan total sampel/sensus.Hasil penelitian
menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan tingkat peran wanita dimana kelompok nelayan pencari
kerang kepah, kelompok pengumpul dan kelompok pengolah berperan tinggi. Hasil uji regresi
berganda menunjukkan bahwa secara simultan umur berpengaruh signifikan terhadap tingkat
peran wanita pesisir, Hasil uji regresi sederhana menunjukkan bahwa secara parsial modal dan
umur berpengaruh signifikan terhadap kelompok nelayan pencari kerang kepah. Modal, waktu
kerja dan umur berpengaruh signifikan terhadap kelompok pengumpul.Sedangkan kelompok
pengolah, tidak ada faktor yang berpengaruh signifikan.Hasil analisis tingkat kesejahteraan
keluarga wanita pesisir yang dianalisis dengan menggunakan 16 indikator kemiskinan gabungan
menunjukkan bahwa secara simultan keluarga wanita pesisir masih belum sejahtera.Secara parsial
tingkat kesejahteraan keluarga berbeda dimana keluarga kelompok pengumpul dan keluarga
kelompok pengolah sudah sejahtera.Sedangkan keluarga kelompok nelayan pencari kerang kepah
belum sejahtera.
Kata kunci: Peran wanita pesisir, Polymesoda erosa, Peniti
Pengantar
Kalimantan merupakan pulau terbesar ketiga di dunia dan berbatasan dengan Sarawak
(Malaysia) dan Brunei Darussalam. Propinsi Kalimantan Barat juga merupakan salah satu Propinsi
di Indonesia yang di lewati oleh garis khatulistiwa. Kabupaten Pontianak adalah salah satu
Kabupaten di Propinsi Kalimantan Barat yang terletak di daerah pesisir dengan panjang garis
pantai 86 km dan luas 1.276,90 km
2
. Produksi perikanan laut di Kabupaten Pontianak pada tahun
2009 adalah 6.724 ton (Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pontianak, 2010). Salah satu
komoditas perikanan yang belum tercakup ke dalam statistik perikanan tangkap adalah kerang
kepah (Polymesoda erosa). P. erosa atau biasanya lebih dikenal dengan nama kepah adalah
nama lokal di Kalimantan Barat sedangkan di Jawa Tengah lebih dikenal dengan nama kerang
totok. P. erosa termasuk salah satu jenis kerang yang hidup di dalam lumpur pada daerah
estuaria, di hutan mangrove air payau dan di sungai-sungai besar.
Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya, Kabupaten Pontianak memiliki potensi kerang
kepah (P. erosa) dengan kelimpahan populasi 1-3 ekor/10 m
2
, ukuran panjang cangkang 32,0
98,3 mm, dan berat berkisar antara 24 88,3 gram/ekor (Anwar, 2009). Akses pemasaran P.
erosa di Pontianak sudah berjalan secara kontinyu dari produsen ke konsumen akhir serta potensi
P. erosa prospektif untuk dikembangkan (Kisto, 2009).
Kerang kepah (P. erosa) merupakan salah satu sumberdaya perikanan yang menjadi ciri
khas Kabupaten Pontianak, khususnya Desa Peniti Luar. Wanita yang telah mengusahakan
kerang kepah yang terdiri dari wanita nelayan pencari kerang kepah, wanita pengumpul kerang
kepah dan wanita pengolah kerang kepah baik wanita yang mengolah daging maupun kulit kerang
kepah merupakan sumberdaya manusia yang tinggal di pesisir pantai Desa Peniti Luar dan
SE-02
2 - Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-02)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
memanfaatkan kerang kepah tersebut baik untuk konsumsi rumah tangga maupun dijual kembali.
Wanita-wanita tersebut, walaupun telah bekerja sebagai pemanfaat kerang kepah, secara
administrasi hanya diakui sebagai ibu rumah tangga sedangkan peran yang telah mereka lakukan
untuk meningkatkan pendapatan keluarga melalui sumberdaya kerang kepah hampir tidak tampak.
Peran wanita yang melakukan kegiatan perikanan, mulai dari penangkapan hingga penjualan
kerang kepah telah memberikan dampak yang positif bagi keluarganya berupa peningkatan
ekonomi. Hal ini perlu mendapat perhatian dan dukungan dari perangkat desa setempat serta
instansi terkait. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian lanjutan dari penelitian sebelumnya
yang telah meneliti tentang potensi kerang kepah di Desa Peniti Luar. Penelitian lanjutan ini
meneliti dan membahas tentang kerang kepah (P. erosa) khususnya peran wanita pesisir dalam
meningkatkan pendapatan keluarga pada usaha kerang kepah (P. erosa) yang ditinjau dari faktor-
faktor yang mempengaruhi serta tingkat kesejahteraan keluarganya.
Tujuan penelitian ini adalah:
1. Mengkaji tingkat peran wanita pesisir dalam meningkatkan pendapatan keluarga (Y) antara
nelayan pencari kerang kepah, pengumpul dan pengolah.
2. Mengkaji faktor modal (X1), waktu kerja (X2), pengalaman kerja (X3), jumlah tanggungan
keluarga (X4), dan umur (X5) yang mempengaruhi wanita pesisir untuk berperan dalam
meningkatkan pendapatan keluarga.
3. Mengkaji kesejahteraan keluarga nelayan pencari kerang kepah, pengumpul dan pengolah.
Bahan dan Metode
Berdasarkan tujuan dari penelitian ini, metode yang digunakan di dalam penelitian ini
adalah metode deskriptif dengan menggunakan metode pendekatan kuantitatif. Penelitian ini
termasuk penelitian deskriptif analisis karena hasil penelitian juga dilakukan dengan analisis
statistik sehingga dapat memberikan gambaran tentang seberapa besar tingkat peran wanita
pesisir yang terdiri dari nelayan pencari kerang kepah (P. erosa), pengumpul, dan pengolah (baik
pengolah daging maupun kulit kerang kepah) dalam meningkatkan pendapatan keluarga.
Variabel-variabel yang dianalisis dalam penelitian ini yaitu variabel bebas (modal, waktu
kerja, pengalaman kerja, jumlah tanggungan keluarga dan umur) dan variabel terikat (peran wanita
pesisir dalam meningkatkan pendapatan keluarga).Jumlah sampel yang diambil adalah sebanyak
49 responden yang diambil dengan cara sensus.
Data Primer
Data primer mengenai peran wanita pesisir (variabel dependen) diperoleh dengan
menggunakan kuesioner yang sudah diuji validitas dan reliabilitasnya. Kuesioner yang digunakan
adalah kuesioner tertutup yang sudah disediakan jawabannya sehingga responden tinggal
memilih, untuk menghindari jawaban yang kurang sesuai dengan keadaan yang sesungguhnya,
telah dilakukan cross-check ulang dengan cara menanyakan kepada responden secara langsung
(setelah responden menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ada di dalam kuesioner) dengan
pertanyaan yang sama, kemudian cross-check terakhir dilakukan selama peneliti melakukan
penelitian dengan cara mengikuti aktivitas responden (pengamatan langsung).
Data primer mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi peran wanita pesisir (variabel
independen) diperoleh dengan menggunakan kuesioner terbuka agar dapat memberikan
kesempatan kepada responden untuk menjawab dengan pemikirannya sendiri. Setelah itu, proses
selanjutnya adalah melakukan cross-check ulang seperti yang diterapkan pada variabel dependen.
Data primer mengenai indikator kemiskinan diperoleh dengan menggunakan kuesioner
tertutup yang sudah disediakan jawabannya dan menggunakan kusioner terbuka pada beberapa
item pertanyaan tertentu agar diperoleh penjelasan yang detail dari jawaban responden yang
sudah ada. Untuk menghindari jawaban yang kurang sesuai dengan keadaan yang
sesungguhnya, telah dilakukan cross-check ulang dengan cara mengikuti aktivitas responden
(pengamatan langsung).
Data Sekunder
Data sekunder diperoleh dari monografi Desa Peniti Luar berupa keadaan wilayah dan
kependudukan, data potensi perikanan dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pontianak,
serta data profil Kecamataan Siantan dari BAPPEDA Kabupaten Pontianak.
Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-02) - 3
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan 16 Juli 2011
Analisis Data
Pengujian persyaratan analisis perlu dilakukan sebelum data dianalisislebihlanjut. Uji
persyaratan analisis yang dilakukan adalah uji normalitas residual dan uji homogenitas. Uji
normalitas dilakukan untuk mengetahui normal tidaknyasebaran data yang akan dianalisis
sedangkan uji homogenitas untuk memastikankelompok data berasal dari populasi yang homogen.
Analisis Tingkat Peran Wanita Pesisir
Untuk mengetahui perbedaan tingkat peran wanita pesisir diukur dengan kriteria penerapan
dan Uji Krukal Wallis (Steel & Torrie, 1993).
Hipotesis:
Diduga ada perbedaan tingkat peran wanita pesisir dalam meningkatkan pendapatan keluarga
antara nelayan pencari kerang kepah (P. erosa), pengumpul dan wanita pengolah baik pengolah
daging maupun kulit kerang kepah dilihat dari modal, waktu kerja, pengalaman kerja, jumlah
tanggungan keluarga dan umur.
Langkah yang dilakukan untuk menganalisis tingkat peran wanita pesisir yaitu
menjumlahkan skor baik per variabel untuk setiap pertanyaan maupun secara keseluruhan.
Kemudian menentukan kriteria penerapan sebagai dasar untuk mengklasifikasikan hasil
perhitungan persentase penerapan dengan cara sebagai berikut:
a. Menentukan persentase terendah dan persentase tertinggi.
Menentukan persentase tertinggi:
dimana,
Menentukan persentase terendah:
dimana,
b. Menentukan interval kelas (p) (Sudjana, 2002)
Interval kelas (p) =
dimana, p
Penilaian kriteria peran wanita pesisir mengacu pada Tabel 1.
Tabel 1. Kriteria Penilaian Tingkat Peran Wanita Pesisir
Skor Kriteria Interval (%)
5
Sangat
tinggi
85 100
4 Tinggi 70 84
3 Cukup 55 69
2 Rendah 40 54
1
Sangat
rendah
25 39
Skala yang digunakan untuk mengukur sikap, pendapat dan persepsi seseorang tentang
fenomena sosial yaitu Skala Likert.
% 100


tertinggi nilai skor responden item
terendah nilai skor responden item
kelas banyak
rentang
% 25 % 100
4 49 8
1 49 8


% 15
5
% 25 % 100

% 100 % 100
4 49 8
4 49 8


% 100


tertinggi nilai skor responden item
tertinggi nilai skor responden item
4 - Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-02)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Peran Wanita Pesisir
Teknik analisis untuk faktor-faktor yang mempengaruhi peran wanita pesisir menggunakan
analisis PCA (Principal Component Analysis) dan regresi berganda yang kemudian dilanjutkan
dengan regresi sederhana secara parsial terhadap setiap faktor-faktor tersebut.
Analisis PCA merupakan analisis awal yang dilakukan sebelum melakukan analisis
selanjutnya untuk mencari faktor-faktor yang penting dan layak untuk dianalisis lebih lanjut.
Hipotesis:
Hipotesis umum yang digunakan dalam tes ini adalah diduga faktor modal, waktu kerja,
pengalaman kerja, jumlah tanggungan keluarga, dan umur merupakan komponen yang penting
dalam peran wanita pesisir.
Setelah diperoleh faktor-faktor yang penting, selanjutnya dilakukan analisis regresi linier
berganda untuk menguji pengaruh modal (X1), waktu kerja (X2), pengalaman kerja (X3), jumlah
tanggungan keluarga (X4), dan umur (X5) terhadap peran wanita pesisir dalam meningkatkan
pendapatan keluarga (Y). Analisis yang digunakan adalah analisis regresi karena penelitian ini
bertujuan untuk mencari hubungan sebab akibat, yaitu sejauh mana variabel independen mampu
memprediksi variabel dependen. Oleh karena di dalam penelitian ini terdapat lebih dari 2 variabel
independen dan 1 variabel dependen maka regresi yang digunakan adalah regresi
berganda.Setelah itu, dilakukan lagi analisis regresi sederhana dimana variabel dependen dipisah
menjadi 3, yaitu 1) nelayan pencari kerang kepah (Y1), 2) pengumpul (Y2), dan 3) pengolah (Y3).
Tujuan dilakukan analisis regresi sederhana secara parsial adalah untuk menguji pengaruh modal
(X1), waktu kerja (X2), pengalaman kerja (X3), jumlah tanggungan keluarga (X4), dan umur (X5)
terhadap nelayan pencari kerang kepah (Y1), pengumpul (Y2), pengolah (Y3).
Analisis Indikator Kemiskinan
a. Menentukan rentang (Sugiyono, 2007)
Rentang = (Data terbesar Data Terkecil) + 1
dimana, r =(3x16) (1x16) + 1
= 33
b. Menentukan panjang kelas (Sugiyono, 2007)
Panjang kelas =
Banyak kelas yang ditetapkan dalam menentukan indikator kemiskinan sebanyak 3 kelas
yang disesuaikan dengan kepentingan penelitian yaitu tidak miskin, miskin dan sangat miskin
seperti Tabel 2.
Tabel 2. Kriteria Penilaian Indikator Kemiskinan
Skor Kriteria Interval
3 Tidak Miskin 36 47
2 Miskin 24 - 35
1 Sangat Miskin 12 23
Terdapat beberapa indikator yang dijadikan landasan untuk menentukan nilai skor
kemiskinan. Indikator tersebut merupakan gabungan dari berbagai indikator kemiskinan, yaitu:
kelas jumlah
rentang
11
3
33

Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-02) - 5
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan 16 Juli 2011
1. Indikator kesejahteraan bidang perumahan menurut Badan Pusat statistik Kabupaten
Pontianak tahun 2009.
2. Indikator kemiskinan menurut Badan Pusat Statistik Pusat tahun 2007.
3. Indikator kemiskinan menurut Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri
Perdesaan Kecamatan Siantan Kabupaten Pontianak tahun 2009.
Hasil dan Pembahasan
Tingkat Peran Wanita Pesisir
Berdasarkan hasil uji beda penggunaan modal (X1) (Kruskal-Wallis)diperolehP<0,05, yang
berarti terdapat perbedaan peran wanita pesisir dalam meningkatkan pendapatan keluarga antara
3 kelompok yang diteliti. Begitu pula dengan waktu kerja (X2) dan pengalaman kerja (X3) juga
terdapat perbedaan peran wanita pesisir dalam meningkatkan pendapatan keluarganya.Dilihat dari
jumlah tanggungan keluarga (X4) dan umur (X5) diperoleh P>0,05 berarti tidak terdapat perbedaan
peran wanita pesisir antara 3 kelompok tersebut.
Berdasarkan jawaban responden yang telah diolah dengan cara tabulasi silang (crosstabs)
diperoleh tingkat peran wanita pesisir yang dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Tingkat Peran Wanita Pesisir
Sumber: Data Primer Diolah, 2010
Berdasarkan Tabel 3, hasil analisis menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan tingkat
peran wanita pesisir dalam meningkatkan pendapatan keluarga. Agar lebih jelas, tingkat peran
wanita pesisir yang dibagi berdasarkan kelompok nelayan pencari kerang kepah, pengumpul dan
pengolah dapat dijabarkan sebagai berikut:
Peran nelayan pencari kerang kepah
Setelah dianalisis, nelayan pencari kerang kepah berperan lebih tinggi (80,2%) dari
pengumpul (79,4%), dan pengumpul berperan lebih tinggi dari pengolah (77,3%). Diduga nelayan
pencari kerang kepah berperan lebih tinggi dari pengumpul dan pengolah karena nelayan pencari
kerang kepah berhubungan langsung dengan sumberdaya kerang kepah. Sumberdaya kerang
kepah merupakan satu-satunya matapencaharian nelayan pencari kerang kepah sehingga dalam
pemanfaatannya juga mereka ikut melestarikannya dengan cara hanya mengambil kerang kepah
yang berukuran besar (< 25 ekor/kg) dan melepaskan kembali ke alam yang berukuran kecil (> 25
ekor/kg).
Peran pengumpul
Pengumpul juga berperan lebih tinggi (79,4%) dari pengolah (77,3%) namun lebih rendah
dari nelayan pencari kerang kepah (80,2%). Diduga sumberdaya kepah juga merupakan satu-
satunya matapencaharian mereka dan terdapat keterkaitan yang erat antara nelayan pencari
kerang kepah dan pengumpul karena jika tidak ada nelayan pencari kerang kepah maka
pengumpul juga tidak ada. Demikian juga sebaliknya, jika pengumpul tidak membeli kerang kepah
dari nelayan pencari kerang kepah maka nelayan pencari kerang kepah juga akan kehilangan
pekerjaannya.
Kriteria Tingkat Peran Wanita (%)
No Kelompok Sangat Rendah Rendah Cukup Tinggi Sangat Tinggi Keterangan
(25-39) (40-54) (55-69) (70-84) (85-100)
1
Nelayan Pencari
Kerang Kepah
80,2 Tinggi
2 Pengumpul 79,4 Tinggi
3 Pengolah 77,3 Tinggi
6 - Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-02)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Peran pengolah
Sedangkan pengolah berperan tinggi (77,3%), namun lebih rendah dari nelayan pencari
kerang kepah (80,2%) dan pengumpul (79,4%). Diduga hal ini terjadi karena pengolah tidak
berhubungan langsung dengan sumberdaya kerang kepah. Jika tidak ada nelayan pencari kerang
kepah dan pengumpul pengolah masih bisa menjalankan usahanya. Pengolah daging kerang
kepah masih bisa menjalankan usahanya dengan cara mengganti bahan baku. Demikian juga
dengan pengolah kulit kerang kepah, jika tidak ada nelayan pencari kerang kepah dan pengumpul,
pengolah kulit kerang kepah juga masih bisa melakukan usaha yang lain karena sampai saat ini
masih belum ada saluran pemasaran untuk produk kerajinan tangan yang terbuat dari kulit kerang
kepah.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Peran wanita Pesisir
Analisis PCA
Berdasarkan hasil uji PCA maka diperoleh variabel/komponen penting dari nelayan pencari
kerang kepah, pengumpul dan pengolah. Ternyata variabel modal, waktu kerja, pengalaman kerja,
jumlah tanggungan keluarga dan umur masih termasuk ke dalam satu kesatuan yang tidak
terpisahkan. Hal ini menunjukkan bahwa peran wanita pesisir dalam meningkatkan pendapatan
keluarga berkaitan dengan modal, waktu kerja, pengalaman kerja, jumlah tanggungan keluarga
dan umur. Oleh karena itu semua variabel/komponen tersebut bisa dianalisis lebih lanjut dengan
analisis selanjutnya.
Analisis Regresi Berganda
Persamaan analisis regresi linier berganda untuk mengetahui pengaruh variabel
independen yang terdiri dari modal (X1), waktu kerja (X2), pengalaman kerja (X3), jumlah
tanggungan keluarga (X4) dan umur (X5) terhadap variabel dependenperan wanita pesisir (Y)
adalah:
Y = 12,124 + 0,433X
1
+ 0,711X
2
+ 0,103X
3
+ 0,425X
4
+ 4,580X
5
Hasil analisis regresi berganda menunjukkan bahwa variabel modal (X1), waktu kerja (X2),
pengalaman kerja (X3), dan jumlah tanggungan keluarga(X4) ternyata tidak memberikan pengaruh
yang signifikan terhadap peran wanita pesisir(P>0,05) sedangkan variabel umur (X5)
berpengaruh(P<0,05) terhadap peran wanita pesisir (Y). Agar diperoleh hasil yang lebih akurat,
maka akan dilakukan analisis lebih lanjut antara setiap variabel bebas (variabel modal, waktu kerja,
pengalaman kerja, jumlah tangungan keluarga dan umur) terhadap peran wanita pesisir yang
dibedakan menjadi peran nelayan pencari kerang kepah (Y1), peran pengumpul (Y2) dan peran
pengolah(Y3).
Analisis Regresi Sederhana
a. Faktor-faktor yang mempengaruhi peran nelayan pencari kerang kepah
Setelah dianalisis, faktor modal (X1) dan umur (X5) memberikan pengaruhterhadap
nelayan pencari kerang kepah untuk berperan dalam meningkatkan pendapatan keluarganya
(P<0,05), sedangkan waktu kerja (X2), pengalaman kerja (X3) dan jumlah tanggungan keluarga
(X4) tidak memberikan pengaruh terhadap peran nelayan pencari kerang kepah (P>0,05).
Apabila dikaji kembali, modal yang digunakan oleh nelayan pencari kerang kepah
tergolong paling kecil dibanding pengumpul dan pengolah, yaitu berkisar antara Rp. 25.000-
3.500.000. Namun kenyataan menunjukkan modal yang kecil tidak mengurangi perannya untuk
meningkatkan pendapatan keluarga. Justru semakin kecil modal maka semakin tinggi perannya.
Senada dengan Suparmoko (1988), modal adalah semua bentuk kekayaan yang dapat digunakan
langsung maupun tidak langsung dalam proses produksi untuk menambah output. Namun modal
bukan merupakan faktor satu-satunya yang dapat meningkatkan pendapatan.Demikian juga
dengan umur, oleh karena umur nelayan pencari kerang kepah rata-rata termasuk kedalam umur
produktif (15-64 tahun) maka peran nelayan pencari kerang kepah akan semakin meningkat.
Namun pada usia tertentu (semakin tidak produktif), perannya akan semakin berkurang karena
pekerjaan yang dilakukan oleh nelayan pencari kerang kepah membutuhkan energi yang cukup
besar dibanding pengumpul dan pengolah.
Walaupun secara teoritis waktu kerja, pengalaman kerja dan jumlah tanggungan keluarga
mempengaruhi peran nelayan pencari kerang kepah. Namun kenyataan menunjukkan bahwa
faktor-faktor tersebut tidak mempengaruhi nelayan pencari kerang kepah untuk meningkatkan
perannya.
Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-02) - 7
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan 16 Juli 2011
b. Faktor-faktor yang mempengaruhi peran pengumpul
Faktor-faktor yang memberikan pengaruh terhadap pengumpul untuk meningkatkan
perannya adalah modal (X1), waktu kerja (X2) dan umur (X5)(P<0,05) sedangkan pengalaman
kerja (X3) dan jumlah tanggungan keluarga (X4) tidak memberikan pengaruh yang signifikan
terhadap peran pengumpul (P>0,05).
Apabila dikaji kembali, modal yangdigunakan oleh pengumpul tergolong sedang, yaitu
berkisar antara Rp. 1.800.000-5.150.000. Modal yang mencukupi tersebut mendukung pengumpul
untuk meningkatkan perannya dalam meningkatkan pendapatan keluarga. Senada dengan
Suparmoko (1988), modal adalah semua bentuk kekayaan yang dapat digunakan langsung
maupun tidak langsung dalam proses produksi untuk menambah output. Oleh karena itu, jika
modal ditambahkan maka peran pengumpul juga akan semakin meningkat. Menurut Nurmanaf
(2006), Setiap jenis pekerjaan membutuhkan waktu kerja yang berbeda, tergantung pada jenis
pekerjaannya. Oleh karena pekerjaan yang dilakukan oleh pengumpul membutuhkan waktu kerja
yang cukup lama, berkisar antara 8-14 jam/hari maka penambahan waktu kerja akan
meningkatkan peran pengumpul dimana semakin banyak waktu kerja yang digunakan, peran
pengumpul juga akan semakin meningkat. Demikian juga dengan umur, oleh karena umur
pengumpul rata-rata termasuk kedalam umur produktif (15-64 tahun) maka peran pengumpul juga
akan semakin meningkat karena umur produktif mendukung pengumpul untuk meningkatkan
perannya. Namun pada umur tertentu (semakin tidak produktif), perannya akan semakin
berkurang. Oleh karena pekerjaan yang dilakukan oleh pengumpul tidak membutuhkan energi
yang cukup besar dibanding nelayan pencari kerang kepah maka penambahan umur (semakin
tidak produktif) tidak akan mengurangi perannya.
Walaupun secara teoritis pengalaman kerja dan jumlah tanggungan keluarga
mempengaruhi peran pengumpul. Namun kenyataan menunjukkan bahwa faktor-faktor tersebut
tidak mempengaruhi pengumpul untuk meningkatkan perannya. Kenyataan menunjukkan bahwa
penambahan pengalaman kerja dan jumlah tanggungan keluarga tidak meningkatkan perannya.
c. Faktor-faktor yang mempengaruhi peran pengolah
Setelah dianalisis ternyata modal (X1), waktu kerja (X2), pengalaman kerja (X3), jumlah
tanggungan keluarga (X4) dan umur (X5) tidak memberikan pengaruh terhadap pengolah untuk
meningkatkan perannya (P>0,05). Walaupun secara teoritis modal, waktu kerja, pengalaman kerja,
jumlah tanggungan keluarga dan umur mempengaruhi peran pengolah. Namun kenyataan
menunjukkan bahwa faktor-faktor tersebut tidak mempengaruhi pengolah untuk meningkatkan
perannya. Apabila dikaji kembali, pengolah terdiri dari pengolah kulit kerang kepah (kerajinan
tangan) yang berjumlah 9 responden dan pengolah daging kerang kepah yang berjumlah 2
responden. Modal yang digunakan oleh pengolah kulit kerang kepah berkisar antara Rp. 50.000-
200.000 sedangkan Modal yang digunakan oleh pengolah daging kerang kepah berkisar antara
Rp. 4.000.000-30.000.000. Waktu yang digunakan untuk bekerja berkisar antara 2-5 jam untuk
pengolah kulit kerang kepah dan 5-7 jam untuk pengolah daging kerang kepah. Pengalaman kerja
yang dimiliki oleh pengolah kulit kerang kepah 1-2 tahun sedangkan pengolah daging kerang
kepah selama 11-13 tahun. Jumlah tanggungan keluarga pengolah kulit kerang kepah 0-8 jiwa
sedangkan pengolah daging kerang kepah 1-5 jiwa. Umur pengolah kulit kerang kepah dan
pengolah daging kerang kepah masih termasuk ke dalam umur yang produktif. Tetapi kenyataan
menunjukkan bahwa penambahan modal, waktu kerja, pengalaman kerja, jumlah tanggungan
keluarga dan umur tidak meningkatkan peran pengolah kulit kerang kepah karena sampai saat ini
masih belum ada rantai pemasaran yang jelas untuk produk hasil kerajinan tangan. Demikian juga
dengan pengolah daging kerang kepah, penambahan modal, waktu kerja, pengalaman kerja,
jumlah tanggungan keluarga dan umur tidak meningkatkan perannya karena suplai bahan baku
yang tidak stabil. Apabila suplai bahan baku (kerang kepah) stabil maka penambahan modal,
waktu kerja, pengalaman kerja, jumlah tanggungan keluarga dan umur akan meningkatkan
perannya.
Indikator Kemiskinan
Berdasarkan jawaban responden yang telah diolah dengan cara tabulasi silang (crosstab)
diperoleh kriteria kemiskinan responden yang dapat dilihat pada Tabel 4.
8 - Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-02)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Tabel 4. Kriteria Kemiskinan Responden
Sumber: Data Primer Diolah, 2011
Berdasarkan Tabel 4, nelayan pencari kerang kepah termasuk kedalam kriteria
miskindengan total skor 32, sedangkan pengumpul dan pengolah tidak miskin dengan skor 36 dan
37.
Nelayan pencari kerang kepah berada di dalam kondisi miskin karena pendapatan harian
keluarga responden yang berkisar antara Rp.20.000-110.000 masih belum bisa memenuhi
kebutuhan harian keluarga. Hal ini terjadi karena rata-ratakepala keluarga dan anak serta anggota
keluarga lainnya bekerja pada perusahaan-perusahaan dimana pembayaran gaji dilakukan
sebulan sekali sedangkan kenutuhan harian keluarga harus dipenuhi setiap hari. Oleh karena itu
pengeluaran harian keluarga hanya mengandalkan pendapatan harian wanita nelayan pencari
kerang kepah.Pengumpul dan pengolah termasuk kedalam kriteria tidak miskin karena pendapatan
harian keluarga telah bisa memenuhi kebutuhan harian keluarga mereka karena umumnya kepala
keluarga bekerja sendiri sehingga pembayaran gaji ditentukan oleh mereka sendiri. Selain itu,
ternyata dari 16 indikator kemiskinan gabungan (Lampiran 1), sebanyak 5 indikator kemiskinan
yaitu indikator ke 1, 2, 7, 9, dan 11 menyatakan responden tidak miskin. Sebanyak 8 indikator
yaitu indikator ke 3, 4, 5, 6, 13, 14, 15, dan 16 menyatakan responden miskin. Sedangkan
sebanyak 3 indikator yaitu indikator ke 8,10 dan 12 menyatakan responden sangat miskin. Jika
dilihat kembali, indikator ke 8 menyatakan tentang sumber air minum, indikator ke 10 menyatakan
tentang konsumsi daging/ayam/susu per minggu, dan indikator ke 12 menyatakan tentang
frekuensi pembelian pakaian per tahun. Kenyataan menunjukkan bahwa ketiga indikator
kemiskinan tersebut tidak sesuai dengan kondisi sosial dan budaya masyarakat setempat. Oleh
karena itu ke 16 indikator kemiskinan gabungan tersebut sebaiknya dilihat dan dikaji satu per satu
sesuai dengan aspek sosial budaya masyarakat setempat.
Setelah 16 indikator kemiskinan gabungan yang berasal dari Badan Pusat Statistik pusat,
indikator kesejahteraan bidang perumahan dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Pontianak, dan
indikator kemiskinan menurut Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan
(PNPM) Kabupaten Pontianak (2009) dikaji ulang, maka telah diperoleh indikator kemiskinan yang
lebih sesuai untuk diterapkan di pesisir Kabupaten Pontianak khususnya Desa Peniti Luar yang
merupakan hasil modifikasi dari indikator kemiskinan gabungan yang dapat dilihat pada Lampiran
2.
Kesimpulan
Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah:
1. Secara simultan, tingkat peran wanita pesisir tinggi. Secara parsial nelayan pencari kerang
kepah berperan lebih tinggi dari pengumpul dan pengolah.
2. Secara simultan, faktor yang mempengaruhi peran wanita pesisir (nelayan pencari kerang
kepah, pengumpul dan pengolah) adalah umur. Sedangkan faktor modal, waktu kerja,
pengalaman kerja dan jumlah tanggungan keluarga tidak berpengaruh. Tetapi secara parsial
nelayan pencari kerang kepah dipengaruhi oleh modal dan umur, pengumpul dipengaruhi oleh
modal, waktu kerja dan umur, sedangkan pengolah tidak dipengaruhi oleh faktor modal, waktu
kerja, pengalaman kerja, jumlah tanggungan keluarga maupun umur.
3. Keluarga wanita yang bekerja sebagai nelayan pencari kerang kepah masih belum sejahtera.
Sedangkan pengumpul dan pengolah sudah sejahtera.
Kriteria Penilaian Indikator Kemiskinan
No Kelompok
Sangat
Miskin
Miskin
Tidak
Miskin
Keterangan
(12-23) (24-35) (36-47)
1 Nelayan Pencari Kerang Kepah 32 Miskin/belum sejahtera
2 Pengumpul 36 Tidak Miskin/sejahtera
3 Pengolah 37 Tidak Miskin/sejahtera
Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-02) - 9
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan 16 Juli 2011
Daftar Pustaka
Anwar Khairul. 2009. Studi Ekobiologi dan Pola Distribusi Kerang Kepah (Polymesoda erosa) di
Perairan Pantai Peniti Kabupaten Pontianak Kalimantan Barat sebagai Komoditas
Unggulan Masa depan. Magister Manajemen Sumberdaya Pantai. Tesis. Pasca Sarjana
Universitas Diponegoro. Semarang. (tidak dipublikasikan).
Dinas Kelautan dan Perikanan. 2010. Rekapitulasi Statistik Perikanan Tangkap Tahun 2009.
Mempawah.
Kisto. 2009. Potensi Kerang Bakau (Polymesoda erosa) dan Peluang Pengembangannya di
Perairan Bontang Kalimantan Timur.Magister Manajemen Sumberdaya Pantai. Tesis.
Pasca Sarjana Universitas Diponegoro. Semarang. (tidak dipublikasikan).
Nazir, M. 2005. Metode Penelitian. Cetakan Keenam. Ghalia Indonesia. Jakarta.
Steel, R. G. D. dan J. H. Torrie. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika, Suatu Pendekatan
Biometrik. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Sudjana. 2002. Metode Statistika. Tarsito. Bandung.
10 - Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-02)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Lampiran 1
Tabel 5. Indikator Kemiskinan Gabungan
No. Indikator
Kriteria Penilaian Indikator Kemiskinan
Sumber
Tidak Miskin (Skor 3) Miskin (Skor 2) Sangat Miskin (Skor 1)
1.
Status kepemilikan
rumah
Milik sendiri Sewa/kontrak
menumpang dengan
orangtua/pemda/rumah
tangga lain, dll
BPS Kab. Pontianak
2009
2. Luas lantai (m2/jiwa) > 6 5 6 <5
PNPM Kab. Pontianak
2009
3. Jenis lantai
Tembok lapis keramik/
tembok/papan kelas 1 &
2
Papan Kelas 3 Papan Simpiran
PNPM Kab. Pontianak
2009
4. Jenis dinding
Tembok lapis keramik/
tembok/papan kelas 1 &
2
Papan Kelas 3 Papan Simpiran
PNPM Kab. Pontianak
2009
5. Jenis atap Beton/genteng Seng Sirap/daun nipah/sagu
PNPM Kab. Pontianak
2009
6.
Fasilitas Buang air
Besar
milik sendiri dengan
septictank dan
permanen
Milik sendiri WC
non permanen
WC Cemplung/tidak ada
PNPM Kab. Pontianak
2009
7. Sumber penerangan PLN
Menggunakan
listrik
(menumpang)
Tidak Menggunakan
listrik (pelita/petromak)
BPS Kab. Pontianak
2009
8. Sumber air minum
Air
kemasan/PDAM/sumur/
mata air terlindung
Sumur/mata air
tidak terlindung
Air hujan/sungai BPS Pusat 2007
9.
Bahan bakar untuk
memasak
Gas Minyak tanah Kayu bakar/arang BPS Pusat 2007
10.
Konsumsi
daging/ayam/susu
per minggu
> 2 kali 2 kali <2 kali BPS Pusat 2007
11.
Frekuensi makan
per hari
> 2 kali 2 kali <2 kali
PNPM Kab. Pontianak
2009
12.
Frekuensi
pembelian pakaian
per tahun
> 2 stel 2 stel <2 stel
PNPM Kab. Pontianak
2009
13.
Tempat berobat jika
ada anggota
keluarga yang sakit
Rumah Sakit
Polindes/Puskesm
as
Dukun kampung
PNPM Kab. Pontianak
2009
14.
Pendapatan per
bulan
> Rp. 785.000
Rp. 500.000-
785.000
<Rp. 500.000
UMK Kab. Pontianak
2010
15. Pendidikan tertinggi
SMA/Akademi/
Perguruan Tinggi
(tamat/tidak)
SMP (tamat/tidak
tamat)
SD (tamat/tidak tamat)
PNPM Kab. Pontianak
2009
16.
Memiliki tabungan
atau barang yang
bisa dijual senilai
> Rp. 785.000
Rp. 500.000-
785.000
<Rp. 500.000
BPS Pusat 2007 dan
UMK Kab. Pontianak
2010
Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-02) - 11
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan 16 Juli 2011
Lampiran 2
Tabel 6. Indikator Kemiskinan Modifikasi
No
Indikator
Kemiskinan
Kriteria Kemiskinan
Tidak Miskin (Skor 3) Miskin (Skor 2) Sangat Miskin (Skor 1)
I BIDANG PERUMAHAN
1
Status kepemilikan
rumah
- Milik sendiri - Sewa/kontrak - Menumpang
2 Luas lantai rumah - > 6 m
2
- 5 - 6 m
2
- < 5 m
2
3
Jenis lantai
terbanyak
- Keramik - Papan non kelas - Papan simpiran
- Tembok
- Papan kelas 1, 2 dan 3
Catatan:
Jika lantai rumah responden menggunakan papan non kelas/simpiran tapi secara finansial responden
dinyatakan mampu mengganti bahan dasar untuk lantai dengan kualitas lebih baik, maka dinyatakan
tidak miskin
4
Jenis dinding
rumah terbanyak
- Tembok lapis keramik - Papan non kelas - Papan simpiran
- Tembok
- Papan kelas 1, 2 dan 3
Catatan:
Jika dinding rumah responden menggunakan papan non kelas/simpiran tapi secara finansial
responden dinyatakan mampu mengganti dinding rumah dengan kualitas lebih baik, maka dinyatakan
tidak miskin
5 Jenis atap rumah - Beton
Terbanyak - Genteng (jika ada) - sirap - Daun nipah/daun sagu
- Seng
Catatan:
Jika atap rumah responden menggunakan atap sirap/daun nipah/daun sagu tapi secara finansial
responden mampu membeli atap dengan kualitas lebih baik, maka dinyatakan tidak miskin
6
Fasilitas Buang Air
Besar
-
WC permanen milik sendiri
dengan tanki septic
WC non permanen
milik sendiri
WC cemplung
Catatan:
Jika menggunakan WC non permanen atau WC cemplung tapi secara finansial responden mampu
untuk membangun WC yang layak, maka dinyatakan tidak miskin
7
Sumber
penerangan
- PLN -
PLN tapi
menumpang
dengan rumah
tangga lain
- Pelita/petromak
Catatan:
Jika untuk sumber penerangan ternyata responden masih menumpang dengan rumah tangga lain atau
hanya menggunakan pelita/petromak tapi secara finansial responden mampu untuk mengajukan
pemasangan listrik, maka dinyatakan tidak miskin
8 Sumber air minum - Air dalam kemasan
- Air ledeng
-
Sumur/mata air
tidak terlindung
- Air sungai
- Air hujan
II BIDANG EKONOMI
9
Bahan bakar untuk
memasak
- Gas - Minyak tanah - kayu bakar/arang
Catatan: Catatan: Catatan:
12 - Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-02)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Jika responden masih menggunakan
bahan bakar minyak tanah, kayu
bakar atau arang karena khawatir
menggunakan bahan bakar gas atau
sebagai bahan bakar cadangan jika
gas habis, maka responden
dinyatakan tidak miskin
Jika responden
menggunakan minyak
tanah karena tidak
mampu membeli gas,
maka dinyatakan
miskin
Jika responden menggunakan
kayu bakar/arang karena tidak
mampu membeli gas atau minyak
tanah, maka dinyatakan sangat
miskin
10
Konsumsi lauk
pauk yang
mengandung
sumber protein
hewani dan nabati
sesuai dengan
kondisi geografis
> 2 kali/minggu - 2 kali/minggu - < 2 kali/minggu
Sumber protein hewani yang dimaksud adalah:
- Ikan segar
- Ikan kering (ikan asin, ikan teri dll)
- Kerang
- Telur
- Daging/ayam/susu
Sumber protein nabati yang dimaksud adalah:
- Tempe
- Tahu
11
Frekuensi
makan/hari
- > 2 kali/hari - 2 kali/hari - < 2 kali/hari
Catatan:
jika hanya makan sebanyak 2 kali atau < 2 kali/hari bukan karena tidak mampu, tapi karena sedang
melakukan diet khusus atau alasan lainnya, maka dinyatakan tidak miskin
12
Frekuensi
pembelian
pakaian/tahun
> 2 kali/tahun
-
2 kali/tahun - < 2 kali/tahun
Catatan:
Jika hanya membeli pakaian sebanyak 2 kali atau < 2 kali/tahun bukan karena tidak mampu, tapi
karena membeli pakaian baru bukanlah suatu keharusan dan secara finansial mampu, maka
dinyatakan tidak miskin
13 Pendapatan/bulan - > Rp. 785.000 -
Rp. 500.000-
785.000
- < Rp. 500.000
Catatan:
Pendapatan sebaiknya dikaitkan dengan jumlah tanggungan keluarga karena semakin banyak jumlah
tanggungan keluarga maka nilai uang menjadi semakin rendah/kecil
14
Memiliki
tabungan/barang
milik sendiri senilai
rencana masa
depan/pendapatan
selama 3
bulan/anggaran tak
terduga
Misalnya Rp. 5.000.000
Misalnya Rp.
1.000.000-
5.000.000
Misalnya < Rp. 1.000.000
III BIDANG PENDIDIKAN
15 Pendidikan tertinggi -
Anak dan anggota keluarga yang
tinggal dalam satu rumah yang
masih berusia sekolah
mendapatkan pendidikan sesuai
dengan usianya
-
Anak dan anggota
keluarga yang
tinggal dalam satu
rumah yang masih
berusia sekolah
ada yang
mendapatkan
pendidikan sesuai
dengan usianya
dan ada juga yang
tidak sekolah
karena tidak
memiliki
kemampuan
secara finansial
untuk
menyekolahkannya
-
Anak dan anggota keluarga yang
tinggal dalam satu rumah yang
masih berusia sekolah tidak
mendapatkan pendidikan sesuai
dengan usianya karena tidak
memiliki kemampuan secara
finansial untuk menyekolahkannya
-
Rencana pendidikan untuk anak
atau anggota keluarga yang
tinggal dalam satu rumah adalah
sampai perguruan tinggi
-
Rencana
pendidikan untuk
anak atau anggota
keluarga yang
-
Rencana pendidikan untuk anak
atau anggota keluarga yang tinggal
dalam satu rumah adalah sampai
SMP atau SD karena tidak
memiliki kemampuan secara
Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-02) - 13
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan 16 Juli 2011
tinggal dalam satu
rumah adalah
sampai SMA,
sesuai dengan
kemampuan
finansial
finansial untuk menyekolahkan
anak dan anggota keluarga lainnya
Catatan:
Jika terdapat anak atau anggota keluarga lain yang tidak sekolah/putus sekolah dan masih tinggal satu
rumah dengan responden karena pengaruh lingkungan atau karena anak tersebut tidak ingin sekolah,
sedangkan secara finansial responden mampu untuk menyekolahkannya ke tingkat yang lebih tinggi,
maka diinyatakan tidak miskin
Tanya Jawab
Sonny Koeshendrajana
Pertanyaan : Data statistik harus diteliti lebih awal dalam pengklasifikasian orang miskin. Saya
meragukan data kemiskinan anda, tolong dicek kembali jumlah sampel anda
Jawaban : Saya membatasi pembahasan, akan tetapi indikator kuantitatif sudah saya kaji.
Saya juga sudah mengkaji data dan survey sehingga tidak ada yang perlu
diragukan lagi. Umlah sampel yang digunakan adalah 49 orang.
Sastrawidjaja
Pertanyaan : Bagaimana dengan posisi wanita dalam pengambilan keputusan?
Jawaban : Peran wanita yang dikaji adalah pendapatan. Untuk pengambilan keputusan
suamilah yang lebih mendominasi
14 - Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-02)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-03) - 1
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan 16 Juli 2011
Destinasi Pengembangan Potensi Wisata Bahari di Teluk Pangempang
Ditinjau dari Aspek Persepsi Masyarakat Setempat (Kasus Dusun Pantai
Indah Desa Tanjung Limau Kecamatan Muara Badak Kabupaten Kutai Kartanegara)
Eko Sugiharto
Staf Dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Mulawarman
J l Gunung Tambur No 1 Kampus Gunung Kelua Samarinda Telp (0541) 749482,HP 08179001635, Email:
eksel_smd78@yahoo.co.id
Abstrak
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi karakteristik responden masyarakat setempat di
Dusun Pantai Indah, mengetahui potensi wisata bahari di Teluk Pangempang, mengetahui
persepsi responden masyarakat setempat terhadap pengembangan kawasan wisata bahari di
Teluk Pangempang, mengetahui peluang pengembangan potensi wisata bahari di Teluk
Pangempang Dusun Pantai Indah. Penelitian ini dilaksanakan selama tujuh bulan yakni bulan
Desember 2008 hingga Juni 2009 di Dusun Pantai Indah Desa Tanjung Limau Kecamatan Muara
Badak Kabupaten Kutai Kartanegara. Pengumpulan data primer menggunakan teknik wawancara
berpedoman pada kuisioner, sedangkan data sekunder menggunakan studi kepustakaan.
Pengambilan sampel dari masyarakat setempat berjumlah 25 kepala keluarga, menggunakan
metode pengambilan sampel secara sengaja (purposive sampling). Analisis data menggunakan
metode analisis deskriptif kualitatif model SWOT untuk mengidentifikasi berbagai faktor secara
sistematis dan merumuskan suatu strategi yang dapat memaksimalkan kekuatan (Strength) dan
peluang (Opportunity), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (Weakness)
dan ancaman (threat) terhadap pengembangan potensi wisata bahari di Teluk Pangempang. Hasil
penelitian ini menunjukkan karakteristik responden masyarakat Teluk Pangempang yaitu secara
keseluruhan beragama Islam dan suku yang dominan yakni Suku Bugis, dengan umur 30 40
tahun (44%), lulusan SMP/SLTP (36%), pekerjaan utama responden masyarakat setempat adalah
nelayan dan pendapatan rata-rata sebesar Rp. 580.000 per bulan. Potensi wisata bahari yang
terindentifikasi di Teluk Pangempang yaitu meliputi wisata pantai, wisata pancing, wisata hutan
mangrove, wisata pesta laut atau mappanre kampong dan syukuran kampung atau Makela-kela.
Persepsi responden masyarakat setempat sebanyak 96% menjawab setuju terhadap
pengembangan wisata bahari di Teluk Pangempang, sebanyak 88% responden menjawab
merasakan manfaat langsung, 88% responden ingin terlibat dalam proses pengembangan wisata
bahari, dan 60% memilih nama Wisata Bahari Pantai Indah. Kekuatan yang dimiliki adalah
teridentifikasinya obyek wisata di Teluk Pangempang, kelemahannya kurangnya infrastruktur
penunjang, sedangkan peluangnya adalah kemudahan mengakses Teluk Pangempang, aktivitas
memancing menjadi trend, dan ancamannya yakni maraknya aktivitas yang merusak lingkungan,
masuknya budaya negatif dari luar yang dapat mempengaruhi budaya masyarakat setempat.
Kata Kunci: Potensi Wisata Bahari, Persepsi Lokal
Pendahuluan
Pariwisata merupakan satu diantara industri terbesar di dunia. World travel Travel and
Tourism Council pada tahun 1998 menyebutkan bahwa sektor pariwisata memiliki pertumbuhan
yang cukup besar yaitu 4% per tahun dan menyumbang sekitar 11,6% pada gross domestic
product (GDP) dunia Lindberg dalam Hidayati (2003). Pada tahun yang sama, sektor pariwisata
telah mampu menyerap 9,4% dari total lapangan pekerjaan sektor ini atau sama dengan 230,8 juta
pekerjaan baru. Sedangkan untuk Indonesia, pada dasawarsa terakhir industri pariwisata telah
berkembang dengan pesat dan telah menjadi industri andalan bagi devisa negara terutama pada
masa krisis. Pada tahun 2000 sektor pariwisata telah menyumbang sebesar 9,27% dari gross
national product (GNP) Indonesia dan telah menyerap hampir 8% dari seluruh jumlah tenaga kerja
(Menprada dalam Hidayati, 2003).
Kabupaten Kutai Kartanegara merupakan salah satu dari beberapa kabupaten yang ada
di Kalimantan Timur dengan luas wilayah 27.263 km persegi, dan letak yang strategis dalam lajur
pariwisata. Hal ini disebabkan letak wilayah yang berdekatan dengan kota Samarinda yang
SE-03
2 - Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-03)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
merupakan Ibukota Propinsi Kalimantan Timur. Kekayaan sumberdaya alam yang dimiliki seperti
pertambangan, kehutanan, pertanian, perkebunan, perikanan dan lautan. Kabupaten tersebut juga
memiliki kekayan budaya, peninggalan sejarah dan keindahan panorama alam seperti rumah adat
Dayak, Museum Mulawarman, makam raja-raja Kutai, dan keindahan panorama pantai. Kekayaan
budaya dan keindahan alam ini sangat potensial untuk pengembangan pariwisata di Kutai
Kartanegara.
Teluk Pangempang yang terletak di Dusun Pantai Indah Desa Tanjung Limau Kecamatan
Muara Badak merupakan salah satu kawasan pesisir yang memiliki potensi wisata bahari dengan
nilai keindahannya yang kompetitif khususnya di Kabupaten Kutai Kartanegara. Selain itu
kawasan tersebut juga didukung oleh areal hutan mangrove dan perairan laut serta budaya
masyarakat pesisir yang masih tetap dipertahankan. Namun potensi yang dimiliki tersebut belum
dikembangkan menjadi obyek wisata yang dapat memberikan kontribusi besar bagi masyarakat
setempat. Oleh karena itu agar pariwisata bahari benar-benar menjadi salah satu penopang
perekonomian masyarakat setempat secara berkelanjutan. Pengembangan pariwisata bahari
harus di bangun dengan strategi yang terencana dan bervisi jangka panjang serta berdasarkan
kebutuhan masyarakat setempat. Untuk mendukung pengembangan pariwisata bahari dengan
strategi tersebut, dibutuhkan data tentang lokasi potensial untuk dikembangkan sebagai lokasi
wisata dan jenis wisata apa yang cocok di lokasi tersebut.
Metode Penelitian
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan selama tujuh bulan, yaitu pada bulan Desember 2008 hingga
bulan Juni 2009. Lokasi penelitian yaitu di Teluk Pangempang Dusun Pantai Mutiara Indah Desa
Tanjung Limau Kecamatan Muara Badak Kabupaten Kutai Kertanegara.
Metode Pengambilan Sampel
Populasi responden dalam penelitian ini yaitu masyarakat setempat di Dusun Pantai Indah,
Desa Tanjung Limau, Kecamatan Muara Badak, Kabupaten Kutai Kartanegara. Berdasarkan
survei awal, diketahui bahwa jumlah kepala keluarga secara keseluruahan sebanyak 245 kepela
keluarga. Menurut Achmad dalam Sujoko (2005), bahwa apabila populasi berjumlah >100 orang
maka sebaiknya menggunakan metode sampling untuk mengefisiensi waktu, biaya dan tenaga.
Pengambilan sampel dari masyarakat setempat mengacu kepada metode pengambilan
sampel secara sengaja (purposive sampling). Walaupun tidak ada ketentuan khusus mengenai
jumlah sampel namun jumlah sampel dalam purposive sampling biasanya berkisar 10% - 15%.
Adapun jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu sebesar 10% dari 245 kepala
keluarga yang ada di Dusun Pantai Indah sehingga diperoleh 25 kepala keluarga untuk dijadikan
sebagai reponden.
Metode Analisis Data
Analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif kualitatif model SWOT (Strength,
Weakness, Threat, Opportunity). Kuntjara dalam Utomo (2008), paradigma penelitian kualitatif
menyebutkan bahwa data dilihat bukan sebagai informasi mentah yang didapat dari lapangan
tetapi didapat dari hasil interaksi antara peneliti dan sumber data. Data analisa lebih bersifat
induktif, yaitu data dianalisa bukan dari teori dan hipotesis tetapi mulai dari informasi yang didapat.
Data juga bersifat generatif, yaitu mencoba menemukan suatu bentukan yang bisa mengarah ke
proposisi atau hipotesa dengan menggunakan data itu sendiri sebagai titik berangkat analisis.
Analisis juga bersifat konstruktif yang dibangun dari proses abstraksi tingkah laku bukan sekedar
data yang bersifat eksplisit. Hal lain adalah sifat yang subyektif, tujuannya yakni bagaimana peniliti
merekonstruksi apa yang didapat dari subyek penelitiannya dan mengonsepkan sesuai dengan
pengalaman dan pandangan hidup subyek. Analisis ini juga untuk menjabarkan kondisi aktual di
lapangan pada kawasan wisata di lokasi penelitian baik dari segi kualitas maupun kuantitas.
Semua data yang diperoleh melalui wawancara terstruktur dengan menggunakan kuisioner, studi
dokumentasi dan pengamatan langsung selama di lapangan diklasifikasikan dan dikaji untuk
dianalisis secara deskriptif kualitatif yang disajikan dalam bentuk tulisan dengan mengembangkan
berbagai pemikiran dan gagasan serta berpedoman pada teori dan literatur yang tersedia (Dinas
Pariwisata, 2007).
Analisis SWOT digunakan untuk mengidentifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk
merumuskan suatu strategi. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan
Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-03) - 3
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan 16 Juli 2011
kekuatan (Strength) dan peluang (Opportunity), namun secara bersamaan dapat meminimalkan
kelemahan (Weakness) dan ancaman (threat). Untuk mengetahui prospek pengembangan
kawasan wisata bahari, alat yang dipakai untuk menyusun faktor-faktor strategi adalah
menggunakan analisis deskriptif kualitatif model SWOT.
Hasil dan Pembahasan
Keadaan Umum Lokasi Penelitian
Teluk Pangempang secara administratif pemerintahan, terdiri dari 6 (enam) Rukun
Tetangga (RT), 3 (tiga) Kampung yang termasuk wilayah Dusun Pantai Indah Desa Tanjung
Limau Kecamatan Muara Badak. berdasarkan data yang diperoleh, administrasi pemerintahan
di Teluk Pangempang dapat dilihat pada Tabel 1. berikut.
Tabel 1. Wilayah Administrasi Teluk Pangempang
Penduduk yang mendominasi adalah penduduk yang berjenis kelamin laki-laki dengan
jumlah 455 jiwa atau 50,72 % dari total penduduk secara keseluruhan, sedangkan penduduk
dengan jenis kelamin perempuan hanya 442 jiwa atau 49,28 % saja. Selanjutnya jika dilihat dari
jumlah jiwa per rumah tangga yakni berkisar 3 4 jiwa per rumah tangga dan luas wilayah dengan
kepadatan penduduk yakni disetiap 4,45 ha terdapat satu jiwa artinya bahwa daerah tersebut tidak
padat penduduk.
Karakteristik Responden
Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa responden, diperoleh informasi umur
responden berkisar 30 73 tahun. Data yang diperoleh bahwa kelompok umur 30 40 tahun
memiliki persentase terbesar (44%) sedangkan kelompok umur 63 73 tahun merupakan
persentase terkecil (8%) dan merupakan umur nonproduktif (gambar 1).
Gambar 1. Karakteristik responden berdasarkan persentase umur
No. Kampung
Rukun Tetangga
(RT)
Keterangan
1. Sambera 1 RT. 2
2. Pangempang 3 RT. 5, RT. 7, RT. 8
3. Citra 2 RT. 14, RT. 15
Usia 30 40 tahun
Usia 41 51 tahun
Usia 52 62 tahun
Usia 63 73 tahun
30 40 Thn
44 %
41 51 Thn
32 %
63 73 Thn
8 %
52 62 Thn
16 %
4 - Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-03)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Sumberdaya manusia yang berkwalitas merupakan salah satu indikator keberhasilan
pembangunan suatu negara. Sehingga pemberian kesempatan bersekolah seluas-luasnya kepada
semua lapisan masyarakat, Tidak hanya itu tetapi juga harus didukung dengan peningkatan
kwalitas pendidikan sekolah tersebut, untuk memenuhi kwalitas sumberdaya manusianya. Namun
masih disayangkan karena ternyata masyaraakat Teluk Pangempang masih ada yang tidak
mendapatkan pendidikan. Sebanyak 8% responden yang tidak sekolah, responden dengan tingkat
pendidikan SMP/SLTP merupakan persentase terbesar yakni 36%, sedangkan persentase tingkat
pendidikan yang terkecil yaitu tingkat pendidikan Diploma dan Sarjana dengan persentase masing-
masing 4%. Untuk lebih jelasnya berikut tabel 2 tingkat pendidikan responden masyarakat Teluk
Pangempang.
Tabel 2. Tingkat pendidikan responden masyarakat Dusun Pantai Indah
No. Tingkat Pendidikan Responden Persentase (%)
1. Tidak Sekolah 2 8
2. SD 7 28
3. SMP/SLTP 9 36
4. SMU/SLTA 5 20
5. Diploma 1 4
6. Sarjana 1 4
Jumlah 25 100
Agama yang dianut oleh responden adalah Agama Islam dan sebagian besar bersuku
Bugis (Bugis Bone, Pasir, Wajo, Soppeng, Sidrap, Mandar dan Makassar), serta yang lainnya
suku Jawa, Kutai, Buton dan Tidung.
Responden masyarakat Dusun Pantai Indah memiliki pekerjan utama yakni sebagai
nelayan. Sedangkan yang lainnya bekerja sebagai pegawi negeri sipil, karyawan swasta,
pedagang dan operator jasa penyewaan kapal motor.
Tingkat pendapatan responden berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, diperoleh
informasi yakni berkisar antara Rp. 200.000 1.500.000. Dengan rata-rata pendapatan yakni
Rp. 580.000 per bulan.
Aspek Sosial Budaya
Kondisi sosial budaya masyarakat tidak dapat dilepaskan dari keragaman latar belakang
kelompok etnis dan agama. Etnis dan agama yang mendominasi masyarakat Teluk Pangempang
adalah etnis Bugis dan beragama Islam. Maka pola budaya yang berkembang merupakan
perwujudan budaya Bugis yang bernuansa Islami.
Struktur sosial masyarakat secara umum ditentukan oleh tingkat pendidikan dan tingkat
ekonomi rumah tangga anggota masyarakat. Kelompok masyarakat yang memiliki tingkat
pendidikan yang cukup tinggi dan tingkat perekonomian rumah tangga yang lebih sejahtera
menempati struktur sosial yang lebih tinggi pula. Akan tetapi untuk wilayah pedesaan seperti di
Teluk Pangempang, tokoh adat, tokoh agama dan tokoh masyarakat formal merupakan kelompok
masyarakat yang menempati struktur sosial yang tinggi. Keragaman latar belakang etnis tersebut
tidak menimbulkan persoalan sosial. Hal ini karena dalam sistem sosial tersebut telah berlangsung
proses asimilasi dan akulturasi. Menurut Piaget dalam Purwaningwulan (2002), asimilasi adalah
proses kognitif dimana individu mengintegrasikan pengalaman baru dengan skema yang telah ada.
Proses yang terus berlangsung karena individu senantiasa memperoses rangsangan yang datang
padanya. Menurut Piaget juga bahwa asimilasi adalah salah satu dari 4 (empat) proses
pembelajaran individu, proses yang lainnya adalah skema, akomodasi dan keseimbangan.
Sedangkan Akulturasi menurut Barnett dalam Nanlohy (2008), adalah perubahan kebudayaan
yang dimulai dengan berhubungannya dua sistem kebudayaan atau lebih yang masing-masing
otonom. Menurut Lauer dalam Nanlohy (2008), berpendapat bahwa akulturasi terjadi sebagai
akibat pengaruh kebudayaan yang kuat dan bergengsi atas kebudayaan yang lemah dan
terkebelakang. Akulturasi bukan hanya dihasilkan dari interaksi saja, tetapi dari rencana yang
disengaja oleh kebudayaan yang kuat.
Proses asimilasi terjadi karena beberapa faktor antara lain faktor kawin campur antar etnis.
Hasil kawin campur tersebut pada umumnya menyebabkan bercampurnya dua kebudayaan yang
berbeda. Sementara itu akulturasi terjadi karena masing-masing etnis dapat menghargai
keberadaan etnis lain. Akan tetapi umumnya nilai Budaya Bugis yang sangat memberikan corak
Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-03) - 5
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan 16 Juli 2011
dalam setiap acara kegiatan kemasyarakatan, sehingga memberikan corak yang dominan dalam
setiap acara perhelatan.
Semangat solidaritas sosial kemasyarakatan di Teluk Pangempang ini sangat tinggi,
karena antar individu yang satu dengan yang lain sebagian besar masih ada kedekatan hubungan
kekerabatan. Apabila ada salah seorang anggota keluarga mengalami musibah, mayarakat sangat
berperan aktif membantu keluarga tersebut. Dalam hal kegotong-royongan juga sangat tinggi, hal
ini dapat dilihat bahwa masyarakat sering melakukan gotong-royong membersihkan lingkungan
sekitar dan jalan-jalan apalagi saat akan menyambut hari-hari besar umat Islam. Setiap perigatan
hari besar keagamaan khususnya Islam sangat semarak. Semangat solidaritas sosial juga terlihat
apabila ada anggota masyarakat yang melakukan pelanggaran dan mengganggu ketentraman
serta keamanan, mereka akan marah dan memberikan hukuman berupa teguran sosial seperti
dijauhkan dari pergaulan masyarakat setempat.
Teluk Pangempang merupakan salah satu wilayah pesisir yang tentunya tidak jauh
berbeda dengan wilayah pesisir lainya begitu juga dengan matapencaharian masyarakat yang
mendiami wilayah tersebut yakni sebagai nelayan. Namun aktifitas masyarakat tersebut
mengalami perubahan terutama nelayan yang berada di wilayah Teluk Pangempang, dari nelayan
tangkap beralih matapencaharian menjadi pengantar penumpang kapal motor pemancingan di laut
dan ada juga menggunakan kapal motornya sebagai taksi kapal motor untuk mengantarkan
penumpang atau pengunjung menyeberang ke pulau pantai. Hal ini terjadi, ketika pengunjung
mulai ramai mendatangi Teluk Pangempang dengan tujuan rekreasi. Kegiatan yang menjadi daya
tarik dan bisa dinikmati pengunjung diantaranya menikmati panorama alam, memancing di laut
maupun disekitar pantai, dan berenang. Selain itu menurut Pak Haji Muhammad Didin (Kepala
Dusun Pantai Indah), juga pernah ada pengunjung yang melakukan aktifitas penyelaman.
Potensi Teluk Pangempang yang begitu besar ini belum manfaatkan secara maksimal,
karena sampai saat ini belum ada pengelolaan secara resmi oleh pihak manapun. Menurut
masyarakat setempat dan juga dibenarkan oleh Pak Haji Muhammad Didin bahwa, ada banyak
pihak swasta atau investor melakukan survei di Teluk Pangempang dengan rencana akan
mengelola wilayah tersebut sebagai kawasan wisata. Namun sampai saat ini, wilayah tersebut
belum ada pengelolanya secara resmi baik itu pihak swasta maupun pemerintah.
Kegiatan kebudayaan merupakan salah satu daya tarik tersendiri selain pemandangan
alam yang dimiliki Teluk Pangempang. Setiap tahunnya masyarakat bersama-sama dengan
lembaga adat setempat mengadakan acara kebudayaan diantaranya Mappanre Kappong (Pesta
Laut) dan Makela-kela (Syukuran Kampung). Acara kebudayaan tersebut menurut Pak Lattu
(Tetua Adat Teluk Pangempang), diselenggarakan pada bulan Oktober tahun Masehi untuk
Mappanre Kampong dan hari Rabu akhir di bulan Safar tahun Hijriah untuk Makela-kela. Mappanre
Kappong atau Pesta Laut biasanya sangat meriah, karena dihadiri oleh masyarakat diluar Teluk
Pangempang termasuk Pemeritah Kabupaten Kutai Kartanegara dan Pemerintah Propinsi
Kalimantan Timur. Sedangkan acara Makela-kela atau Syukuran Kampung ini, tidak seramai
dengan Mappanre Kampong. Hal ini dikarenakan Makela-kela sampai saat ini hanya diketahui dan
dihadiri oleh masyarakat sekitar Teluk Pangempang.
Aspek Sosial Ekonomi Masyarakat
Pariwisata merupakan suatu kegiatan yang secara langsung menyentuh dan melibatkan
masyarakat, sehingga membawa berbagai dampak terhadap masyarakat setempat. Bahkan
pariwisata dikatakan mempunyai energi dobrak yang luar biasa, yang mampu membuat
masyarakat setempat mengalami metamorfose dalam berbagai aspeknya. Menurut Cohen dalam
Pitana dan Gayatri (2005), bahwa dampak pariwisata terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat
lokal dapat di kategorikan menjadi delapan kelompok besar yaitu:
1. dampak terhadap penerimaan devisa,
2. dampak terhadap pendapatan masyarakat,
3. dampak terhadap kesempatan kerja,
4. dampak terhadap harga-harga,
5. dampak terhadap distribusi manfaat/keuntungan
6. dampak terhadap kepemilikan dan kontrol
7. dampak terhadap pembangunan pada umumnya, dan
8. dampak terhadap pendapatan pemerintah.
Masyarakat Teluk Pangempang secara umum perekonomiannya berbasiskan pada sektor
perikanan. Dapat dilihat dari sebagaian besar masyarakatnya bermatapencaharian sebagai
nelayan dan petambak. Jenis komoditi perikanan yang dominan diusahakan oleh masyarakat
6 - Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-03)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
adalah perikanan tangkap. Hal ini berhubungan dengan luasnya wilayah perairan dan tingginya
potensi perikanan yang akan dieksploitasi. Selain kegiatan perikanan, kegiatan pertanian dan
perkebunan merupakan matapencaharian yang cukup diminati di wilayah ini. Hal ini berhubungan
dengan keadaan cuaca yang sangat berpengaruh terhadap kegiatan penangkapan khususnya bagi
nelayan tangkap. Sehingga nelayan di waktu senggangnya atau pada musim angin kencang
disertai gelombang besar mereka beralih pada kegiatan pertanian dan perkebunan. Sementara
ada juga masyarakat yang bermatapencaharian sebagai karyawan perusahaan, warung toko,
bengkel dan pertukangan.
Kekayaan dan keindahan alam yang dimiliki Teluk Pangempang merupakan aset yang
potensial untuk pengembangan wisata bahari. Hal ini didukung dengan begitu besarnya animo
masyarakat terhadap petualangan wisata bahari, yang terbukti dengan semakin meningkatnya
pengunjung yang mendatangi Teluk Pangempang tersebut. Peningkatan pengunjung yang
mendatangi Teluk Pangempang untuk kebutuhan rekreasi, tentu akan sangat berpengaruh
terhadap perekonomian masyarakat sekitarnya. Diantara usaha masyarakat yang mengalami
pengaruh yakni usaha taksi kapal motor, dan usaha kapal motor pemancingan di laut. Biaya yang
dikeluarkan untuk menggunakan jasa tersebut yakni Rp. 7.500 (tujuh ribu rupah) pulang pergi
untuk jasa taksi kapal motor menyebrang ke pantai pulau sedangkan untuk jasa kapal motor
pemancingan dilaut sebesar Rp. 350.000 hingga Rp. 550.000 menggunakan kapal motor kecil dan
Rp. 600.000 hingga Rp. 800.000 menggunakan kapal motor besar per hari atau sekali rek.
Persepsi Masyarakat
Berdasarkan hasil wawancara dengan tokoh masyarakat dan anggota masyarakat di Teluk
Pangempang diperoleh informasi dan tanggapan tentang keberadaan potensi wisata bahari.
Sebanyak 25 responden yang diwawancarai di ketahui bahwa 96% responden menjawab setuju
dengan pengembangan Teluk Pangempang sebagai kawasan wisata bahari dan terdapat 4%
responden yang menjawab tidak setuju dengan adanya pengembangan kawasan Teluk
Pangempang sebagai kawasan wisata bahari. Persentase tersebut dapat dilihat pada Gambar 2
berikut.
Gambar 2. Respon masyarakat setempat terhadap pengembangan potensi wisata bahari di
Teluk Pangempang.
Responden yang menjawab setuju, dengan beberapa alasan diantaranya dapat
memberdayakan masyarakat setempat sebagai tenaga kerja, meningkatkan perekonomian
masyarakat salah satunya dengan bertambahnya pendapatan masyarakat sekitar, sarana
transportasi menjadi lebih baik (semenisasi jalan dan pembangunan pelabuhan kapal yang layak),
menjaga kelestarian dan keindahan Teluk Pangempang. Sedangkan responden yang menjawab
tidak setuju umumnya berpendapat, mereka khawatir dengan dampak negatif ditimbulkan oleh
pengembangan kawasan wisata bahari.
Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan di Teluk Pangempang, diperoleh informasi
bahwa fasilitas yang belum memadai merupakan salah satu kendala dalam pengembangan Teluk
Pangempang untuk dijadikan kawasan wisata bahari. Adapun fasilitas yang perlu dibenahi yakni
penginapan, transportasi, instalasi air dan listrik, warung makan atau restoran, MCK, jalan dan
jembatan serta pelabuhan. Begitu juga fasilitas untuk bersantai di pantai, sarana permainan dan
sarana untuk kenyamanan pengunjung. Manfaat dari keberadaan potensi wisata bahari tersebut,
88 % responden menjawab merasakan manfaat langsung seperti sumber pendapatan ekonomi
Setuju dengan
Pengembangan
Wisata bahari
Tidak Setuju dengan
Pengembangan
Wisata bahari
Tidak Setuju
4 %
Setuju
96 %
Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-03) - 7
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan 16 Juli 2011
utama bagi nelayan, meningkatnya omset penjualan di hari liburan, meningkatnya pendapatan
para operator jasa kapal motor misalnya taksi kapal motor penumpang dan kapal motor
pemancingan di laut. Sedangkan 12 % responden menjawab tidak mendapat manfaat langsung
dengan adanya potensi wisata bahari di Teluk Pangempang. Dengan alasan bahwa mereka
bermatapencaharian sebagai petani dan jarang bersentuhan dengan kehidupan laut. Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada Gambar 3 berikut ini.
Gambar 3. Respon masyarakat setempat terhadap manfaat keberadaan potensi wisata bahari di
Teluk Pangempang
Kesadaran masyarakat terhadap kelestarian lingkungan tercermin dengan menjaga dan
melarang penebangan pohon hutan mangrove, menanam pohon bakau, dan pada saat acara
Mappanre Kappong atau Pesta Laut ada larangan menangkap hewan, menebang pohon serta
aktifitas yang merusak lingkungan di sekitar Teluk Pangempang. Kebiasaan masyarakat tersebut,
mendapat dukungan dari berbagai kalangan diantaranya pemerintah setempat, organisasi
masyarakat, dan lembaga swadaya masyarakat. Selain itu menurut Pak Abdurrahman (Ketua RT.
05) bahwa ada beberapa dari kalangan mahasiswa Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Universitas Mulawarman yang sering mengadakan kegiatan penanaman pohon bakau di sekitar
wilayah tersebut.
Penyuluhan tentang Kepariwisataan diperlukan masyarakat setempat guna
mengembangkan wilayah tersebut sebagai salah satu tujuan wisata bagi masyarakat yang ada
diluar Teluk Pangempang. Karena Berdasarkan wawancara para tokoh masyarakat yang juga
dibenarkan oleh Pak Lattu (Tetua Adat) bahwa belum pernah dilakukan penyuluhan tentang
kepariwisataan. Penyuluhan yang pernah dilakukan yakni tentang Perikanan, Pertanian, dan
Pelestarian Lingkungan.
Ketelibatan masyarakat mulai dari proses perencanaan hingga pada tahap pengelolaan
merupakan salah satu kunci keberhasilan pembangunan. Demikian juga halnya keinginan
masyarakat Teluk Pangempang untuk dilibatkan pada proses pembangunan salah satunya
rencana pengembangan wisata bahari. Respon positif ini, merupakan angin segar bagi calon
pengelola pengembangan wisata bahari. Namun tidaklah semua masyarakat Teluk Pangempang
meliki keinginan yang sama untuk dilibatkan jika ada rencana pengembangan wisata bahari di
Teluk Pangempang. Berikut Gambar 4 persentase keterlibatan masyarakat pada rencana
pengembangan wisata bahari.
Memperoleh manfaat
langsung dengan
keberadaan potensi wisata
bahari
Tidak Memperoleh
manfaat langsung dengan
keberadaan potensi wisata
bahari
Tidak memperoleh
manfaat langsung
12 %
Memperoleh
manfaat langsung
88 %
8 - Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-03)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Gambar 4. Persentase keterlibatan masyarakat setempat terhadap pengembangan wisata bahari
di Teluk Pangempang.
.
Berdasarkan persentase tersebut bahwa 88 % masyarakat ingin terlibat dalam proses
pengembangan wisata bahari di Teluk Pangempang. Sedangkan 12 % masyarakat tidak ingin
terlibat pada proses pengembangan wisata bahari di Teluk Pangempang dengan alasan bahwa
mereka tidak pernah mengecap pendidikan atau buta aksara, dan telah memiliki pekerjaan tetap
dengan jam kerja tinggi sehingga tidak memiliki waktu yang cukup untuk terlibat secara langsung
dalam kegiatan tersebut.
Analisis Pengembangan Potensi Wisata
Analisis SWOT digunakan untuk mengidentifikasikan relasi-relasi sumberdaya wisata
bahari dengan sumberdaya yang lain, secara sistematis untuk merumuskan suatu strategi.
Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (Strength) dan peluang
(Opportunity), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (Weakness) dan
ancaman (threat).
Obyek yang teridentifikasi dibagi dua jenis potensi wisata yaitu potensi wisata alam dan
potensi wisata budaya. Potensi wisata alam berupa Pulau Pantai, Pantai Sambera, Hutan
Mangrove, dan Wisata Pancing. Sedangkan potensi wisata alam yakni Mappanre Kampong/Tasi
atau Pesta Laut, dan Makela-kela. Untuk mengetahui prospek pengembangan wisata di Teluk
Pangempang, metode yang digunakan dalam menyusun faktor-faktor strategi yaitu menggunakan
analisis deskriptif model SWOT.
Kekuatan (Strength)
Untuk memaksimalkan kekuatan, maka diperlukan identifikasi obyek yang pontesial
untuk dikembangkan menjadi wisata bahari andalan. Obyek wisata yang teridentifikasi
berbasis alam dapat diketahui potensi yang merupakan kekuatan bagi pengembangan wisata
bahari diantaranya yang berbasis Wisata Pancing yang memiliki potensi untuk dijadikan
petualangan berburu tangkapan ikan di perairan laut, potensi yang berbasis kawasan budi
daya masyarakat setempat sebagai mata pencaharian mereka seperti budidaya keramba,
kawasan pertambakan dan dapat di kembangkan menjadi obyek agro wisata. Potensi yang
berbasis hutan Mangrove dapat dijadikan kawasan konservasi dan wisata pendidikan sebagai
lokasi riset bagi peneliti atau akademisi, juga bagi siswa sekolah sekaligus dapat menikmati
flora dan fauna yang langka dan dilindungi. Potensi wisata pantai merupakan tempat bersantai,
berenang, berkemah dan melepas lelah sambil menikmati keindahan pantai. Potensi perairan
laut dan sungai merupakan areal penangkapan nelayan setempat di samping itu beberapa
bagian perairan juga dapat dijadikan sebagai lokasi konservasi dan riset khususnya untuk
perairan laut.
Ingin terlibat dalam proses
pengembangan wisata
bahari
Tidak ingin terlibat dalam
proses pengembangan
wisata bahari
Tidak ingin terlibat
12 %
Ingin terlibat
88 %
Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-03) - 9
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan 16 Juli 2011
Wisata yang teridentifikasi berbasis budaya, diantaranya Mappanre Kampong/Tasi
atau Pesta Laut dan Makela-kela. Budaya tersebut sebagai ajang silaturahmi sekaligus
menghidupkan budaya kaum nelayan yang mayoritas masyarakat Bugis di Teluk
Pangempang. Jadi boleh dibilang ini "Erau"-nya masyarakat Teluk Pangempang. Sejarah, pola
hidup, aktifitas, aturan adat (hanya sebagian yang masih berlaku), dan bangunan rumah
panggung khas suku Bugis merupakan potensi budaya yang menarik untuk diamati. Potensi
pendukung lainnya yakni kondisi lingkungan relatif masih alamiah, fasilitas pelabuhan atau
dermaga dan kapal motor, dan keramahtamahan masyarakat Bugis.
Kelemahan (Weakness)
Pengindentifikasian suatu obyek wisata bahari juga perlu mempertimbangkan faktor
yang dapat melemahkan dari obyek yang teridentifikasi tersebut. Sehingga perlu usaha yang
tepat untuk meminimalkan resiko yang akan menghambat pengembangan wisata tersebut.
Infrastruktur penunjang sangat penting untuk keperluan para pengunjung yang datang
di suatu lokasi wisata. Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan langsung di masing-
masing lokasi yang teridentifikasi sebagai lokasi yang potensial untuk pengembangan wisata,
masih kurang atau tidak ada infrastruktur yang menunjang kegiatan wisata. Infrastruktur
penunjang tersebut seperti bangunan tempat berteduh dan istirahat pengunjung, toilet, kamar
mandi, air bersih, sarana bermain, dan beberapa sarana penunjang lainnya. Hal ini yang
membuat pengunjung tidak nyaman dan betah ketika mendatangi Teluk pangempang.
Peluang (Opportunity)
Kemudahan untuk mengakses atau mengunjungi Teluk Pangempang tersebut, karena
beberapa hal yakni dapat di tempuh melalui jalan darat menggunakan kendaraan roda empat
dan roda dua, jarak Teluk Pangempang dengan Kota Samarinda + 85 km. dan dapat di
tempuh selama + 1,5 jam. Teluk Pangempang merupakan wilayah yang terdekat dengan Kota
Samarinda (Ibukota Propinsi) yang memiliki potensi wisata bahari yang menjanjikan.
Aktifitas pariwisata khususnya wisata pancing di daerah laut, menjadi tren atau salah
satu hobi baru masyarakat sekarang ini. Hal ini, merupakan dampak dari beberapa tayangan
telivisi yang disiarkan oleh stasiun televisi pemerintah maupun swasta. Teluk pangempang
sebagai wilayah yang berbatasan langsung dengan laut, merupakan salah satu lokasi yang
banyak didatangi para pehobi atau hanya sekedar rekreasi wisata pancing. Di samping itu
pemerintah Propinsi Kalimantan Timur menggalakkan kunjungan Wisata tahun 2009,
harapannya kunjungan wisata tersebut mampu meningkatkan pendapatan pemerintah daerah
tanpa melupakan kelestarian lingkungan dan kebudayaan daerah.
Mappanre Kampong/Tasi atau Pesta Laut yang diselenggarakan pada bulan Oktober
tahun 2008, mendapat tanggapan positif oleh Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara.
Menurut Pak Lattu (Ketua Adat Setempat) bahwa pelaksanaan Mappanre Kampong atau
Pesta Laut tersebut, banyak pejabat daerah yang hadir diantaranya dari Anggota DPRD
Propinsi, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Propinsi, dan Pejabat Kabupaten Kutai
Kartanegara. Peluang besar tersebut yang mendasari pengembangan Teluk Pangempang
menjadi kawasan wisata bahari.
Ancaman (threat)
Teluk Pangempang sebagai wilayah yang potensial untuk pengembangan wisata.
Namun tidak berarti bahwa wilayah ini, tidak mendapat ancaman dalam pengembangan
wisata. Diantara ancaman tersebut seperti maraknya aktifitas pertambangan migas dan batu
bara. Kondisi jalan yang buruk mengakibatkan para pehobi mancing, beralih ke Toko Lima
Muara Badak Ilir menyewa kapal motor. Belum ada upaya pengelolaan dari instansi terkait.
Kurangnya kepedulian perusahaan yang beroperasi di Teluk Pangempang terhadap
kelestarian lingkungan. Di samping itu kebakaran hutan dan perambahan kayu yang sudah
sangat parah akan berdampak kepada kelestarian dan keberlangsungan eko sistem.
Dampak modernisasi juga dikhawatirkan akan berpengaruh terhadap kelestarian
budaya yang ada. Hal ini apabila tidak segera diantisipasi dikhawatirkan akan berdampak
langsung terhadap keberadaan obyek wisata baik yang berbasis alam maupun budaya.
10 - Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-03)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Sehingga bagi para pelaku usaha di bidang wisata tersebut perlu memperhatikan dan
berusaha meminimalkan ancaman tersebut.
Aksesibilitas Wilayah
Lokasi pusat pemerintahan desa tidak jauh dengan pusat pemerintahan kecamatan Muara
Badak yaitu kurang lebih 10 km. dengan waktu tempuh + 10 menit hal ini dikarenakan, kondisi
jalan semenisasi dan aspal yang cukup baik. Sedangkan jarak ke Ibukota kabupaten kurang lebih
85 km. dengan waktu tempuh + 2 jam. Untuk menuju lokasi Teluk Pangempang dapat ditempuh
melalui beberapa alternatif antara lain melalui terminal Lempake Samarinda dengan jarak + 60 km.
dan waktu tempuh + 1,5 jam menggunakan mobil angkutan umum dan ojek. Sedangkan alternatif
lainnya melalui terminal Bontang dengan jarak + 130 km. dan waktu tempuh + 3 jam menggunakan
mobil angkutan umum dan ojek. kondisi jalan cukup baik, namun jalan antara Desa Tanjung Limau
dengan Teluk Pangempang masih kurang baik (tanah merah) dan pada saat hujan jalan sulit untuk
dilalui.
Strategi Pengembangan Potensi Wisata di Teluk Pangempang
Teluk Pangempang merupakan wilayah pesisir dengan potensi bahari yang relatif masih
alami. Menjadikan wilayah tersebut berpotensi untuk pengembangan wisata bahari. Selain itu,
potensi bahari ini juga didukung oleh atraksi budaya yang tiap tahun diselenggarakan. Potensi
wisata tersebut, terbagi dua yakni potensi wisata bahari dan wisata budaya. Potensi wisata bahari
diantaranya wisata pancing, wisata pantai, dan wisata hutan mangrove. Sedangkan potensi wisata
budaya yakni mappanre kampong/tasi atau pesta laut dan makela-kela atau syukuran kampong.
Dalam pengembangan wisata bahari tersebut, beberapa aspek yang perlu dipertimbangkan.
Pelibatan Masyarakat Setempat
Strategi yang dipilih untuk menyusun rencana pengembangan wisata bahari
seharusnya mampu menghasilkan model partisipasi masyarakat sejelas mungkin. Partisipasi
masyarakat setempat sejak awal perencanaan, penyusunan rencana itu sendiri, pelaksanaan,
pengelolaan dan pembagian hasilnya merupakan hal yang mutlak harus ditegaskan dalam draf
rencana. Partisipasi harus memberdayakan masyarakat untuk menjadi salah satu penentu
tahapan-tahapan program, namun sekaligus juga membelajarkan mereka untuk memiliki
tanggungjawab maupun komitmen dan hasil maupun resiko yang mungkin dicapai melalui
program tersebut. Karena itu bisa dimaklumi mengapa perencanaan partisipatif selalu
memakan waktu lama dan biaya yang besar. Untuk menumbuhkan partisipasi masyarakat
maka perlu diciptakan suasana yang kondusif yakni situasi yang mnggerakkan masyarakat
untuk menaruh perhatian dan kepedulian pada kegiatan wisata bahari dan kesedian untuk
bekerjasama secara aktif dan berkelanjutan. Berikut beberapa langkah dasar untuk
menfasilitasi partisipasi masyarakat.
a. Pemahaman tentang peran masyarakat, masyarakat harus melakukan pengawasan atas
perkembangan program.
b. Dorongan partisipasi mereka dalam program dengan mengajak pemimpin lokal, asosiasi
lokal, gagasan-gagasan dan harapan masyarakat setempat menjadi sentral dalam
penyusunan rencana program.
c. Membentuk kelompok pemangku kepentingan lokal yang akan terlibat intensif dalam
program.
d. Perpaduan manfaat keuntungan dengan kegiatan konservasi secara langsung,
keuntungan tersebut dapat dinikmati oleh masyarakat baik secara perorangan maupun
kolektif.
e. Pengawasan dan evaluasi yang berkelanjutan.
Pelestarian Alam
Aspek lingkungan perlu diperhatikan soal ketersedian air bersih dan sistem
pengolahan limbah, terkait dengan antisipasi pencemaran lingkungan akibat peningkatan
jumlah wisatawan. Sarana air bersih dan instalasi pengolahan limbah untuk daerah pantai,
merupakan prasyarat penting dalam kenyamanan dan kesehatan pada olah raga air, sekaligus
akan berfungsi untuk mengurangi pencemaran pantai dan perairan laut. Penebangan hutan
Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-03) - 11
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan 16 Juli 2011
yang menimbulkan erosi tidak bisa lagi dibiarkan berlangsung dan harus diawasi lebih ketat.
Hal ini juga perlu partisipasi masyarakat melalui lembaga ada setempat untuk tetap
menggunakan hukum-hukum kearifan lokal dan dukungan instansi pemerintah dan swasta.
Informasi dan Promosi Pariwisata
Ketersediaan informasi dan penjelasan secara utuh tentang pariwisata setempat,
terutama menyangkut potensi bahari, sosial, budaya dan lingkungan. Sehingga akan
berdampak positif bagi mutu pariwisata itu sendiri, biro perjalanan dan pemerintah dapat
menyosialisasikan informasi kepada pengunjung/wisatawan mengenai adat-istiadat, hukum
yang dipakai, dan pola kehidupan masyarakat setempat. Jadi disini lebih ditekankan bahwa
pengunjung yang harus lebih memahami pola kehidupan masyarakat setempat. Dengan cara
menawarkan kegiatan wisata pendidikan budaya.
Pengembangan Infrastruktur
Ketersediaan infrastruktur umum untuk memudahkan mengakses tempat-tempat
wisata tersebut. Di samping itu juga pengembangan infrastruktur penunjang kepariwisataan
untuk mendukung kenyamanan pengunjung ketika berwisata ke Teluk Pangempang. Berikut
infrastruktur yang harus di bangun diantaranya.
a. Perbaikan jalan menuju Teluk Pangempang (semenisasi jalan dilanjutkan).
b. Memperbaiki jembatan yang ada dengan jembatan yang permanen.
c. Mengembangkan transportasi reguler dari Kantor Kecamatan Muara Badak, untuk
memudahkan pengunjung yang tidak memiliki kendaraan pribadi.
d. Menyediakan dan mengatur sarana transportasi air (kapal motor) untuk melakukan
kegiatan wisata di perairan misalnya wisata pancing, menyebrang ke pulau pantai atau
wisata air lainnya.
e. Menyediakan tempat penyewaan pancing dan penjual umpan.
f. Menyediakan tempat penyewaan pelampung.
g. Merangsang tumbuhnya waru-warung makan yang bersih dan sehat yang di kelola oleh
masyarakat setempat.
h. Menyediakan kebutuhan air bersih (PDAM).
i. Menyediakan toilet dan kamar mandi
j. Menyediakan Musholla
k. Menyediakan rumah tinggal
l. Menyediakan pondok-pondok sebagai tempat duduk di tepi pantai bagi pengunjung
m. Menjaga kebersihan pantai dan lingkungan sekitar.
n. Mengembangkan dan membangun home industri serta pusat penjualan cendramata dan
hasil home industri.
o. Menyediakan regu pengaman dan P3K terhadap pengunjung jika terjadi kecelakaan.
p. Membangun fasilitas komunikasi dan instalasi listrik (PLN)
Tenaga Kerja
Tenaga kerja yang profesional, salah satu faktor pendukung kegiatan pariwisata.
Pelibatan masyarakat setempat juga salah satunya kesempatan kerja, walaupun kita ketahui
bahwa kwantitas sumberdaya manusia belumlah cukup tanpa kwalitas sumberdaya manusia
itu sendiri. Sebagai kawasan yang masih tertinggal, sumberdaya manusia Teluk Pangempang
perlu menjadi perhatian pemerintah. Karena berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa
tokoh masyarakat setempat ternyata masih banyak masyarakat yang tidak mampu untuk
melanjutkan sekolahnya ke jenjang lebih tinggi. Berdasarkan hasil wawancara juga diperoleh
informasi bahwa pendidikan terakhir masyarakat setempat hanya sampai Sekolah Lanjutan
Tingkat Pertama (SLTP) atau Sekolah Menengah Atas (SMA) dan masih sedikit yang
melanjutkan ke perguruan tinggi. Sehingga hal ini akan berimplikasi terhadap pengembangan
daerah tersebut.
Lembaga pendidikan yang sesuai dengan potensi wilayah yang dimiliki Teluk
Pangempang, perlu menjadi mitra guna pemenuhan kwalitas sumberdaya manusia. Sehingga
harapannya masyarakat setempat menjadi tuan rumah di daerahnya sendiri. Karena bukan lagi
tenaga kerja asing yang mengelola Teluk Pangempang tetapi masyarakat setempat. Di
12 - Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-03)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
samping itu pengembangan potensi wisata bahari tersebut, betul-betul untuk kepentingan
kesejahteraan masyarakat setempat.
Segmen Pasar dan Pemasaran
Segmen pasar yang akan menjadi target yakni masyarakat sekitar Kalimantan Timur
dan kalangan masyarakat ekonomi menengah ke bawah. Hal ini sangat berdasar, bahwa
masyarakat yang berada di sekitar Teluk Pangempang dan Kalimantan Timur Pada umumnya
haus akan kebutuhan hiburan dan tempat wisata bahari. Di samping itu juga aktifitas
kunjungan di Teluk Pangempang setiap pekannya, pengunjung mengalami peningkatan yang
cukup signifikan khusus yang berasal dari daerah ini (Kalimantan Timur).
Program pariwisata yang dipasarkan harus jelas, termasuk dalam hal ini adalah jadwal
kegiatan wisata yang tepat dan lengkap. Juga pengembangan wisata bahari yang lebih baik
lagi.
Pemerintah
Pemerintah menetapkan pariwisata salah satu prioritas guna memacu pembangunan.
Namun realitas di lapangan masih jauh dari harapan, kebijakan pemerintah Kabupaten Kutai
Kartaneraga masih terpusat di Kota Tenggarong sebagai Ibukota Kabupaten dalam
pengembangan pariwisata. Sehingga potensi wisata yang terdapat di beberapa kecamatan
terabaikan dan tidak dikelola. Demikian halnya di Teluk Pangempang, di samping potensi
bahari dan budaya juga tidak kalah penting yakni adanya pengunjung yang mendatangi
kawasan teluk tersebut baik hari biasa terlebih diakhir pekan untuk rekreasi. Namun hingga
saat ini, Teluk Pangempang belum banyak yang berubah dan potensi wisata yang ada juga
belum dikelola. Padahal beberapa investor yang berminat mengelola potensi wisata tersebut
tetapi pemeritah Kabupaten Kutai Kartanegara tidak memberikan izin pengelolaan.
Harapan masyarakat Teluk Pangempang bahwa Pemerintah Kabupaten dapat mengembangkan
potensi wisata tersebut, dengan tetap memberdayakan masyarakat setempat sebagai mitra dalam
pengelolaan. Karena yang merasakan langsung dampak dari pengembangan tersebut yakni
masyarakat setempat yang berada di sekitar kawasan wisata.
Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan
Berdasarkan dari hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut.
1. Responden masyarakat Teluk Pangempang sebagian besar berumur 30 40 tahun (44%),
tingkat pendidikan umumnya (36%), secara keseluruhan beragama Islam dan suku yang
dominan yakni Suku Bugis, sedangkan yang lainya suku Kutai, Jawa, Tidung dan Buton.
Pekerjaan utama sebagai nelayan dengan pendapatan rata-rata sebesar Rp. 580.000 per
bulan
2. Potensi wisata bahari yang terindentifikasi di Teluk Pangempang yakni Potensi wisata bahari
meliputi wisata pantai, wisata pancing, dan wisata hutan mangrove, wisata pesta laut atau
mappanre kampong/tasi dan syukuran kampung atau makela-kela.
3. Persepsi responden masyarakat Teluk Pangempang terhadap pengembangan wisata bahari di
Teluk Pangempang yaitu
a. Sebanyak 96% menjawab setuju dengan alasan dapat memberdayakan masyarakat
setempat sebagai mitra dalam pengelolaan, tenaga kerja, meningkatkan perekonomian
masyarakat, sarana transportasi menjadi lebih baik (semenisasi jalan dan pembangunan
pelabuhan kapal yang layak), menjaga kelestarian dan keindahan Teluk Pangempang.
b. Tentang keberadaan potensi bahari tersebut, 88% responden menjawab merasakan
manfaat langsung seperi sumber pendapatan ekonomi utama bagi nelayan setempat,
meningkatkan omset penjualan di hari liburan, meningkatkan pendapatan para operator
jasa kapal motor penyeberangan dan kapal motor pemancingan di laut.
c. Sebanyak 88 % masyarakat ingin terlibat dalam proses pengembangan wisata bahari di
Teluk Pangempang.
d. Beberapa nama yang ditawarkan oleh masyarakat Teluk Pangempang diantaranya Wisata
Bahari Pantai Indah, Wisata Bahari Teluk Pangempang, Wisata Bahari Pulau Pantai,
Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-03) - 13
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan 16 Juli 2011
Wisata Bahari Pantai Pangempang, dan Wisata Bahari Pantai Sambera. Sedangkan
persentase terbesar pilihan nama yakni 60% memilih nama Wisata Bahari Pantai Indah.
4. Hasil analisis SWOT terhadap keberadaan potensi wisata di Teluk Pangempang menunjukkan
kekuatan yang dimiliki adalah teridentifikasinya obyek wisata di Teluk Pangempang yang
berbasis alam dan budaya, kelemahannya kurangnya infrastruktur penunjang. Sedangkan
peluang yang dimiliki adalah kemudahaan mengakses Teluk Pangempang, aktivitas
memancing menjadi trend serta tanggapan positif Pemda terhadapa wisata budaya. adapun
ancamannya meliputi maraknya aktivitas yang merusak lingkungan, masuknya budaya negatif
dari luar yang dapat mempengaruhi budaya masyarakat setempat.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, maka peneliti mengusulkan beberapa saran,
sebagai berikut.
1. Perlu pelibatan dan partisipasi aktif masyarakat setempat dalam pembangunan termasuk
pengembangan dan pengelolaan potensi wisata bahari di Teluk Pangempang.
2. Perlu adanya pembangunan dan peningkatan infrastrukur umum maupun infrastruktur
penunjang pengembangan wisata bahari di Teluk Pangempang. Seperti jalan, jembatan,
dermaga, sarana kebersihan, transpotasi air dan darat, instalasi listrik dan air (PLN dan
PDAM), keamanan, kesehatan, akomodasi, warung makan dan restoran, tempat penyewaan
alat untuk kegiatan wisata, dan fasilitas penunjang lainnya yang tepat guna, berdasarkan
kebutuhan masyarakat setempat dan pengunjung.
3. Perlu diadakan pendidikan dan pelatihan tentang pengembangan dan pengelolaan wisata
bahari kepada masyarakat setempat di Teluk Pangempang
Daftar Pustaka
Badan Penelitian Pengembangan Pengelolan Sumberdaya Perairan dan Lautan, 2006. Laporan
Akhir Kajian Potensi Wisata Bahari di Pulau Bunguran Kabupaten Natuna.
http://www.google.com/search/kajian-potensi-wisata-bahari/secured.pdf (Juni 2008)
Damanik, J. dan Weber, F. H., 2006. Perencanaan Ekowisata dari Teori Ke Aplikasi. Andi
Yogyakarta. Yogyakarta. 140 hal.
Desa Tanjung Limau, 2006. Profil Desa dan Peta Kebutuhan Masyarakat Desa Tanjung Limau
Kecamatan Muara Badak. Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara. 35 hal.
Dikti, 2002. Lingkungan Pesisir. http://www.google.com/search/karateristik-pantai/ info/lingkungan-
pesisir-for-dikti.doc. (Maret 2008)
Dinas Pariwisata, 2007. Laporan Akhir Survay Destinasi Ekowisata Kutai Barat dan Kabupaten
Malinau. Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur. Samarinda. 125 hal.
Dusun Pantai Indah, 2009. Monografi Dusun Pantai Indah. Pemerintah Kabupaten Kutai
Kartanegara. 14 hal.
Hidayati, D. dkk., 2003. Ekowisata Pembelajaran dari Kalimantan Timur. Pustaka Sinar Harapan
bekerja sama dengan Pusat Penelitian Kependudukan. Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia. Jakarta. 120 hal.
Indriati, N., 2005. Analisis Permintaan Rekreasi Pantani dengan Menggunakan Metode Biaya
Perjalanan di Pantai Manggar Kota Balikpapan Kalimantan Timur. Skripsi Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Mulawarman. Samarinda. 107 hal. (tidak
dipublikasikan)
Muliana,. 2008. Analisis Konsumsi Masyarakat Nelayan Kampung Batu Putih Kecamatan Batu
Putih Kabupaten Berau. Skripsi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas
Mulawarman. Samarinda. 190 hal. (tidak dipublikasikan)
14 - Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-03)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Nanlohy, B., 2008. Wacana Perubahan Sosial. http://www.google.com/search/kajian -
akulturasi/akulturasi-dalam-gerakan-koreri.html. (Juni 2009)
Pitana, G. I. Dan Gayatri, G. P., 2005. Sosilogi Pariwisata. Andi Yogyakarta. Yogyakarta. 197 hal
Purwaningwulan, M., M., 2005. Teori Asimilasi Organisasi Suatu Aplikasi Teori Komunikasi
Organisasi Pada Proses Adaptasi Karyawan Baru di Perusahaan.
http://www.google.com/search/kajian -asimilasi/the-organizational-assimilation-
theory.pdf. (Juni 2009)
Sujoko,. 2005. Kajian Pengembangan Potensi Wisata Alam Pantai di Desa Pasir Mayang
Kecamatan Kuaro Kabupaten Pasir. Skripsi Fakultas Kehutanan. Universitas
Mulawarman. 79 hal. (tidak dipublikasikan)
Suryadi, M., 2008. Persepsi Masyarakat Pesisir terhadap Program Pembangunan Pemerintah
Daerah (Kasus Implementasi Program Gerbang Dayaku Periode 1999-2004 di Desa
Saliki Kecamatan Muara Badak Kabupaten Kutai Kartanegara). Skripsi Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Mulawarman. Samarinda. 98 hal. (tidak
dipublikasikan)
Suwantoro, G., 2004. Dasar-Dasar Pariwisata. Andi Yogyakarta. 108 hal.
Utomo, A. 2008. Kearifan Lokal Masyarakat Nelayan Suku Bugis Bajau di Desa Muara Pasir
Kecamatan Tanah Grogot. Skripsi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas
Mulawarman. Samarinda 74 hal (tidak dipublikasikan)
Yoeti, O. A. 2007. Perencanaan dan Pengembangan Pariwisata. P.T. Pradnya Paramita. Jakarta.
350 hal.
Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-04) - 1
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan 16 Juli 2011
ANALISIS BIO-EKONOMI UDANG LOBSTER DI KABUPATEN
GUNUNG KIDUL
Rendy Herdian, Supardjo S.D. dan Djumanto
Jurusan Perikanan, Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Abstrak
Sumberdaya udang lobster di Kabupaten Gunung Kidul merupakan komoditas perikanan komersial
penting yang bernilai ekonomis tinggi dan khas di Daerah Istimewa Yogyakarta. Penelitian ini
dilakukan untuk mengetahui potensi dan pemanfaatan udang lobster serta menganalisis aspek bio-
ekonomi pada usaha penangkapan udang lobster skala kecil di Kabupaten Gunung Kidul. Data
penelitian merupakan data primer dan sekunder yang diperoleh dengan metode survei. Dalam
perhitungan nilai hasil tangkapan maksimum lestari (MSY) dilakukan dengan menggunakan model
produksi surplus dari Schaefer, sedangkan kajian mengenai aspek bio-ekonomi dilakukan dengan
menggunakan model Gordon-Schaefer. Produksi udang lobster mengalami fluktuasi sepanjang
tahun, musim lobster umumnya terjadi dari bulan Oktober sampai Februari, dan produksi tertinggi
terjadi pada tahun 2007. Estimasi hasil tangkapan maksimum lestari (MSY) sebesar 34.373 kg per
tahun dengan jumlah upaya sebesar 23.476 trip per tahun. Hasil tangkapan rata-rata 23.140 kg per
tahun atau sekitar 67% nilai MSY. Dalam pengelolaan perikanan, CCRF memberikan rekomendasi
berupa jumlah tangkapan yang diperbolehkan sebesar 80% nilai MSY yaitu sebesar 27.498,4 kg
per tahun. Hasil tangkapan per satuan upaya menunjukkan kecenderungan yang menurun, dengan
rata-rata hasil tangkapan 2,2 kg/trip. Estimasi nilai Maximum Economic Yield (MEY) pada tingkat
33.350,5 kg per tahun dengan jumlah upaya optimum 19.365 trip per tahun sebesar Rp.
6.080.441.570,00 per tahun. Hasil maksimum ekonomi (MEY) sebenarnya masih dapat
ditingkatkan lagi namun cukup berbahaya bagi kelestarian sumberdaya udang lobster.
Kata kunci : Udang lobster, MSY, MEY, Gunung Kidul
Pengantar
Salah satu komoditas perikanan penting di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta adalah
udang lobster. Nilai ekonomi udang lobster di DIY telah menjadi salah satu penyumbang
pendapatan nelayan, pendapatan daerah, dan penyumbang devisa negara yang cukup besar.
Tercatat pada bulan Agustus 1998, harga lobster pernah mencapai Rp 248.000,00 per kilogram
(Anonim, 2000). Produksi perikanan lobster di DIY pada tahun 2008 adalah sebesar 19,0 ton atau
0,88% dari total produksi perikanan. Total nilai ekonomi lobster yang diperoleh adalah sebesar Rp.
2.369.600.000,00 atau sebesar 12,78% dari total nilai produksi perikanan laut (Anonim, 2009).
Meskipun produksinya hanya kurang dari satu persen dari total produksi perikanan laut, namun
udang lobster memiliki nilai ekonomi tinggi dibandingkan dengan komoditas laut lainnya.
Nilai ekonomi udang lobster yang tinggi cenderung menjadi penyebab nelayan melakukan
penangkapan secara berlebih tanpa memperhatikan aspek biologi udang lobster itu sendiri.
Sebagai contoh perubahan ukuran hasil tangkapan lobster yang cenderung semakin kecil
merupakan salah satu akibat dari aktivitas penangkapan lobster yang berlebih. Kondisi tersebut
oleh kebanyakan nelayan disadari namun tidak diperdulikan selama nelayan masih memperoleh
keuntungan dari tangkapannya. Kehidupan sosial ekonomi masyarakat nelayan yang rendah pada
umumnya menjadi pemicu terjadinya penangkapan udang lobster secara berlebih.
Udang lobster hidup di perairan laut berkarang. Baik karang hidup maupun yang sudah
mati dijadikan sebagai habitatnya. Luas terumbu karang di pantai selatan DIY adalah 142,5 km
dengan perkiraan potensi sumberdaya udang lobster sebesar 296,4 ton (Djumanto et al., 2007).
Penangkapan udang lobster di Pantai Selatan DIY pada umumnya menggunakan alat tangkap
krendet dan jaring insang dasar. Krendet dipasang pada mulut atau celah goa goa tempat udang
lobster bersembunyi. Alat tangkap tersebut umumnya dipasang pada sore hari dan diangkat pagi
harinya (Supardjo et al., 2010).
Udang lobster di Kabupaten Gunung Kidul tersebar sepanjang 77 km dari Pantai Sadeng
sampai Pantai Parangendog. Luas perairan karang yang terbentuk diperkirakan adalah sebesar
26,7 km dengan potensi berkelanjutan sebesar 26,5 ton per tahun (Sarjono & B. Setyono, 1996).
SE-04
2 - Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-04)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Produksi udang lobster di Kabupaten Gunung Kidul pada tahun 2007 telah mencapai 50,7 ton atau
telah mencapai 184% dari potensi berkelanjutan yang diperbolehkan yaitu sebesar 80% dari MSY
(Anonim, 2008). Semakin intensifnya tingkat penangkapan lobster dapat mengakibatkan kondisi
perikanan overfishing yang menunjukkan bahwa hasil tangkapan dibandingkan dengan upaya
sudah tidak mampu menghasilkan suatu kehidupan yang layak bagi nelayan.
Berdasarkan urairan di atas, penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui
potensi dan tingkat pemanfaatan udang lobster di Kabupaten Gunung Kidul, mengetahui
tangkapan maksimum yang diperbolehkan (TAC) dan tingkat penggunaan unit upaya
penangkapan udang lobster yang optimum untuk mencapai tingkat produksi maksimum (Maximum
Sustainable Yield atau MSY) dari usaha penangkapan udang lobster, serta untuk mengetahui
besarnya keuntungan ekonomi maksimum (MEY) dari tingkat upaya pemanfaatan udang lobster.
Bahan dan Metode
Lokasi dan waktu riset
Penelitian dilakukan terhadap analisis bio-ekonomi udang lobster di perairan Kabupaten
Gunung Kidul DIY. Penelitian ini dimulai pada bulan Februari 2011 sampai dengan bulan Maret
2011 di dua lokasi sampel yaitu TPI Baron dan Sub TPI Drini, Kabupaten Gunung Kidul,
Yogyakarta.
Kerangka pendekatan
Pemanfaatan Sumberdaya Udang Lobster
Penangkapan Udang Lobster
Data Primer :
1. Hasil Tangkapan
2. Jumlah Unit Tangkapan
3. Jumlah Trip Penangkapan
4. Biaya
5. Harga
Data Sekunder :
1. Data Time Series Upaya
(2000-2009)
2. Data Time Series Produksi
Udang Lobster (2000-2009)
Under Fishing
Overfishing
Sustainable
Estimasi MSY, MEY, dan OA Sumberdaya Udang Lobster
Usulan Upaya Pengelolaan Udang Lobster
Survei :
Observasi dan
Wawancara
Analisis Bio-ekonomi
Gordon-Schaefer
(Gordon, 1954)
Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-04) - 3
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan 16 Juli 2011
Jenis, sumber, dan cara pengambilan data
Penelitian mengggunakan dua jenis data, yaitu data primer dan data sekunder. Perolehan
data primer dilakukan dengan metode wawancara secara terstruktur dengan menggunakan daftar
kuisioner. Wawancara meliputi seluruh aspek kegiatan produksi, biaya operasional, mesin, bekal
awak kapal, alat tangkap dan bahan bakar. Data sekunder diperoleh dari pencatatan hasil
tangkapan udang lobster secara berkala dan data produksi ikan laut pada tingkat kabupaten dan
provinsi DIY serta upaya penangkapan udang lobster berupa trip alat tangkap selama 10 tahun
(2000 2009). Kedua alat tangkap dikonversikan terlebih dahulu menjadi satu alat tangkap
standar.
Teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah survei melalui wawancara terhadap
nelayan yang memiliki alat tangkap yang telah ditentukan. Subjek penelitian adalah responden
yang tepat terkait dengan topik penelitian (Arikunto, 2006). Langkah yang ditempuh untuk
memperoleh informasi yang dibutuhkan yaitu dengan berinteraksi langsung dengan responden,
mengamati serta mengenal lebih dalam tentang kegiatan usaha penangkapan udang lobster di
Kabupaten Gunung Kidul.
Analisis data
Model analisis data dengan menggunakan model Gordon-Schaefer. Model Gordon-
Schaefer merupakan gabungan antara model Gordon (1954) dengan model produksi surplus
Schaefer (1954). Hasil per satuan upaya atau CPUE (Y/f) sebagai fungsi dari upaya (f) dengan
menggunakan model linear yang disarankan oleh Schaefer (1954) dalam Clark (1985) :
Y(i) / f(i) = a + bf(i) jika f (i) -a/b
.............................................................................. (1)
Dimana :
Y (i) / f (i) = fungsi penangkapan
f (i) = upaya (effort)
a = intercept
b = slope
Berdasarkan persamaan tersebut, Schaefer menghubungkan tingkat produksi ikan (Q) dan
upaya penangkapan (E) :
Q = q. E
sehingga q = a b.E
....................................................................................................... (2)
= (a b.E).E
= a.E b.E
Hasil tersebut merupakan fungsi parabolik dari upaya oleh Schaefer, yang biasa dinyatakan
dalam :
Y = af - bf ..................................................................................................................
(3)
Dengan persamaan (3) tersebut, maka perhitungan nilai maksimum lestari MSY menurut
Schaefer dapat diformulasikan sebagai berikut :
dy/df = a 2bf = 0
f opt = a/2b ..................................................................................................
(4)
Ymax (MSY) = a.a/2b b.a/4b
Ymax (MSY) = a/4b ..................................................................................................
(5)
Komponen ekonomi oleh Gordon dimasukkan ke model Schaefer, sehingga keuntungan nelayan
menjadi :
4 - Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-04)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
= TR TC
= p (a.E b.E) c.E....
(6)
Dalam kondisi statik Gordon-Schaefer, keseimbangan MEY terjadi pada saat mencapai
maksimum (MR = MC atau d/dE = 0) dengan d/dE < 0, sehingga :
= TR TC = 0
= p. (a.f b.f) c.f
d/df = p (a 2b.f) c = 0 ..
(7)
Keuntungan maksimum dicapai pada d/df = 0, dengan syarat d/df < 0. Tingkat upaya
penangkapan dan produksi saat dicapai keuntungan maksimum (fMEY, YMEY) dapat
diformulasikan dengan persamaan :
d/df = p.(a 2b.f) c = 0
f MEY = a/2b c/2bp ....
(8)
Persamaan (8) kemudian disubstitusi ke dalam persamaan (1), sehingga diperoleh persamaan :
Y MEY = a/4b - c/4bp..............
(9)
Y MEY merupakan hasil ekonomi maksimum (MEY).
Hasil dan Pembahasan
Analisis Maximum Sustainable Yield (MSY) dan Effort Maximum Sustainable Yield (EMSY)
Hasil tangkapan udang lobster mengalami puncaknya tertinggi adalah 50.700 kg pada
tahun 2007. Dalam periode tahun yang diamati, produksi rata-ratanya adalah sebesar 23.140 kg
per tahun. Produksi tersebut diperoleh melalui upaya (f) sebesar 12.099 trip dengan hasil
tangkapan per satuan upaya (CPUE) 2,2 kg/trip. Fluktuasi hasil tangkapan udang lobster selang
waktu dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2009 tersaji pada gambar 1.
Gambar 1. Grafik produksi udang lobster per tahun di Kabupaten Gunung Kidul, 2000-2009
(Sumber : Analisis Data Sekunder 2011)
Produksi udang lobster dalam selang waktu yang diamati mengalami fluktuasi yang
cukup signifikan (Gambar 1). Produksi udang lobster tertinggi terjadi pada tahun 2007 yaitu
0
10
20
30
40
50
60
1998 2000 2002 2004 2006 2008 2010
P
r
o
d
u
k
s
i
(
t
o
n
)
Tahun
Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-04) - 5
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan 16 Juli 2011
sebesar 50,7 ton dan produksi terendah terjadi pada tahun 2002 yaitu 2,3 ton. Produksi tahun
2003 dan tahun 2007 merupakan tahun terjadinya kenaikan produksi udang lobster yang sangat
drastis yaitu 42,2 ton pada tahun 2003 dan 50,7 ton pada tahun 2007. Peningkatan produksi
yang semakin tinggi tanpa memperhatikan pengelolaan yang rasional dapat mengancam
kelestarian udang lobster. Produksi tahun 2003 dan 2007 yang tinggi tersebut diikuti dengan
semakin turunnya hasil tangkapan pada tahun berikutnya dan diduga pada tahun tersebut telah
terjadi overfishing.
Hasil tangkapan rata-rata bulanan yang diperoleh dari tahun 2000 2009 di perairan
Gunung Kidul menunjukkan fluktuasi (Gambar 2). Hasil tangkapan rata rata tertinggi diperoleh
pada bulan November yaitu sebesar 1609,6 kg atau 1,6 ton dan hasil tangkapan rata rata
terendah diperoleh pada bulan April yaitu sebesar 60,2 kg.
Gambar 2. Grafik fluktuasi hasil tangkapan rata rata bulanan tahun 2000 2009.
(Sumber : Analisis Data Sekunder 2011)
Udang lobster dapat diproduksi sepanjang tahun namun demikian keberadaannya tetap
sangat tergantung pada musim. Musim produktif udang lobster terjadi pada bulan bulan musim
penghujan. Berdasarkan Gambar 2, produksi udang lobster cenderung tinggi pada bulan Januari
hingga Februari. Bulan bulan paceklik terjadi pada bulan Maret hingga bulan Oktober yang
dilanjutkan dengan musim panen bulan November hingga Desember. Berdasarkan tabel curah
hujan rata rata di Gunung Kidul, musim penghujan terjadi pada bulan Januari Maret yang
dilanjutkan pada bulan Oktober Desember. Musim penghujan merupakan musim yang cocok
bagi spesies udang lobster dalam mencari pasangan untuk reproduksi (Phillips et al., 1980).
Musim penangkapan lobster di Sadeng Gunung Kidul adalah pada bulan September
sampai dengan bulan Januari, sedangkan di Cilacap Jawa Tengah pada bulan November
sampai dengan bulan Oktober (Djumanto et al., 2009). Komposisi hasil tangkapan udang lobster
jumlahnya berfluktuatif pada periode bulan dan jenisnya. Menurut Supardjo et al. (2010),
tangkapan udang lobster di DIY tertinggi terjadi pada bulan November yaitu udang pasir 7872,4
kg, udang mutiara yaitu 272,9, dan udang bambu yaitu 102,5 kg, selain itu pada bulan Desember
tangkapan tertinggi adalah udang batu yaitu 5422,8 kg dan udang batik 929,1 kg.
Hasil tangkapan per satuan upaya (CPUE) menunjukkan hubungan antara hasil
tangkapan dengan upaya penangkapannya. Nilai CPUE tahunan pada udang lobster secara
umum menunjukkan kecenderungan yang menurun. Penurunan nilai CPUE tahunan
menunjukkan kelimpahan udang lobster juga mengalami penurunan. Nilai CPUE tahunan udang
lobster di perairan Kabupaten Gunung Kidul tersaji pada Gambar 3.
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
1600
1800
P
r
o
d
u
k
s
i
(
K
g
)
6 - Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-04)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Gambar 3. Grafik CPUE tahunan
(Sumber : Analisis Data Sekunder 2011)
Berdasarkan grafik di atas, stok lobster secara umum mengalami penurunan bila dilihat
dari hasil tangkapan yaitu dengan melihat perbandingan produksi tangkapan dengan upaya
(effort) selama 10 tahun (2000 2009). Menurunnya nilai CPUE dapat disebabkan oleh
besarnya tekanan penangkapan yang terjadi pada sumberdaya udang lobster di Kabupaten
Gunung Kidul. Semakin besar upaya yang diberikan untuk menangkap sumberdaya udang
lobster, maka hasil tangkapan tersebut akan semakin menurun. Menurut Gulland (1983), CPUE
merupakan fungsi dari variabel q di setiap daerah penangkapan dalam kurun waktu tertentu
yang cenderung akan mengurangi hasil tangkapan ikan serta dapat mengalahkan tingkat
pertumbuhan alami ikan tersebut.
.
Gambar 4. Hubungan antara Catch Per Unit Effort (CPUE) dengan Effort
(Sumber : Analisis Data Sekunder 2011)
Hubungan antara Catch Per Unit Effort (CPUE) dan effort (trip) (Gambar 4) adalah
bahwa semakin besar effort maka CPUE akan semakin berkurang sehingga produksi juga
semakin berkurang. Hal tersebut berarti bahwa Catch Per Unit Effort (CPUE) berbanding lurus
dengan effort dimana dengan setiap penambahan effort maka semakin rendah hasil tangkapan
per satuan upaya (CPUE). Analisis koefisien determinasi menerangkan bahwa R sebesar 0,227.
Nilai R menunjukkan bahwa 22,7% CPUE dipengaruhi oleh trip penangkapan, sementara 77,3%
lain dipengaruhi oleh faktor lain.
Berdasarkan hasil perhitungan produksi surplus dengan menggunakan model Schaefer,
maka diperoleh persamaan sebagai berikut :
0.000
0.500
1.000
1.500
2.000
2.500
3.000
3.500
4.000
1998 2000 2002 2004 2006 2008 2010
C
P
U
E
Tahun
y = -6E-05x + 2.928
R = 0.227
0.000
0.500
1.000
1.500
2.000
2.500
3.000
3.500
4.000
0 5000 10000 15000 20000 25000
C
P
U
E
(
k
g
/
t
r
i
p
)
Effort (trip)
Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-04) - 7
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan 16 Juli 2011
Y/f = 2,928 0,00006237f dan
Y = 2,928f 0,00006237f
Sesuai dengan persamaan di atas, maka dapat dijelaskan bahwa setiap penambahan
penangkapan sebesar 1 satuan upaya (trip) maka akan terjadi pengurangan CPUE udang
lobster sebesar 0,00006237 satuan CPUE (kg/trip). Penurunan hasil tangkapan tersebut terjadi
dengan nilai penurunan (slope) yang relatif kecil. Penurunan hasil tangkapan disebabkan oleh
semakin intensifnya tingkat pemanfaatan sumberdaya udang lobster. Menurut Supardjo et al.
(2010), penurunan hasil tangkapan udang lobster di perairan DIY diantaranya disebabkan oleh
tingkat pemanfaatan sumberdaya yang intensif yang masih terbatas pada perairan pantai dan
belum sampai pada perairan laut dalam. Meningkatnya jumlah upaya dapat menjadi salah satu
penyebab turunnya hasil tangkapan sumberdaya ikan di perairan (Dradjat, 2004).
Hasil perhitungan produksi surplus dengan model Schaefer menghasilkan beberapa
parameter yang dapat digunakan untuk melihat kelimpahan stok udang lobster di perairan
Kabupaten Gunung Kidul. Parameter tersebut diantaranya adalah intercept, slope, correlation,
tangkapan maksimum lestari (MSY), dan upaya penangkapan pada tingkat produksi maksimum
(fMSY). Masing masing nilai parameter tersaji pada Tabel 1.
Tabel 1. Parameter dalam perhitungan produksi surplus model Schaefer.
Parameter Nilai
a (Intercept) 2,938
b (Slope) 0,00006237
r (correlation) 0,227
MSY (Kg) 34.373,33
FMSY (trip) 23.475,54
Sumber : Analisis Data Sekunder (2011)
Berdasarkan hasil persamaan linear yang disarankan oleh Schaefer, selanjutnya
dihubungkan dengan tingkat produksi udang lobster dan upaya penangkapannya sehingga
diperoleh persamaan berupa fungsi parabolik dari upaya penangkapannya. Fungsi parabolik
model Schaefer tersaji pada Gambar 5.
Gambar 5. Kurva MSY udang lobster di Kabupaten Gunung Kidul
(Sumber : Analisis Data Sekunder 2011)
Perhitungan hasil tangkapan maksimum lestari (MSY) dengan model produksi surplus
Schaefer diperoleh sebesar 34.373,33 kg atau sebesar 34,37 ton pada tingkat upaya (effort)
sebesar 23.475,54 trip (Tabel 1). Hasil tangkapan udang lobster pada tahun 2000 yaitu 37.500
0
5000
10000
15000
20000
25000
30000
35000
40000
0 10000 20000 30000 40000 50000
P
r
o
d
u
k
s
i
(
k
g
)
Upaya (trip)
MSY
Aktual
TAC
8 - Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-04)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
kg, tahun 2003 yaitu 42.200 kg, dan tahun 2007 yaitu 50.700 kg menunjukkan bahwa pada tahun
tahun tersebut telah melewati batas hasil tangkapan maksimum lestari (> MSY). Hasil
tangkapan rata-rata per tahun sebesar 23.140 kg per tahun atau sekitar 67,3% dari tangkapan
maksimum lestari (MSY) yaitu sebesar 34.373,33 kg/tahun. Menurut Widodo et al. (2001),
potensi udang lobster yang diperbolehkan untuk ditangkap (TAC) sebesar 80 % dari potensi
lestarinya (MSY). Hasil tersebut tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian di Kabupaten
Kebumen yang tingkat pemanfaatan lobster sudah mendekati kapasitas maksimum yang boleh
ditangkap (TAC) yaitu mencapai 10.363 kg per tahun atau 76% dengan MSY udang lobster
diperoleh sebesar 13.600 kg per tahun (Dradjat, 2004). Penambahan jumlah upaya yang tidak
dikendalikan akan dapat berakibat buruk terhadap kelestarian udang lobster di Gunung Kidul.
Hasil tangkapan udang lobster yang berfluktuasi di Kabupaten Gunung Kidul dalam kurun waktu
10 tahun (2000 2009) menunjukkan kondisi perikanan yang sudah overfishing dan diperlukan
upaya kehati hatian untuk menjaga kestabilan hasil tangkapan (Suseno, 2007).
Nilai hasil tangkapan maksimum lestari (MSY) yang diperoleh dapat dibandingkan
dengan hasil tangkapan udang lobster per tahun. Hal tersebut dilakukan agar dapat melihat
apakah hasil tangkapan telah melebihi TAC atau tidak. Jumlah tangkapan total yang
diperbolehkan (TAC) menurut CCRF adalah 80% dari besarnya estimasi MSY. Perbandingan
hasil tangkapan udang lobster per tahun terhadap MSY tersaji pada Tabel 2.
Tabel 2. Perbandingan hasil tangkapan per tahun terhadap MSY
Tahun Produksi (kg) Persentase catch
terhadap MSY
Tingkat Pemanfaatan (%)
2000 37500 109.10 136.37
2001 24900 72.44 90.55
2002 2300 6.69 8.36
2003 42200 122.77 153.46
2004 20700 60.22 75.28
2005 7900 22.98 28.73
2006 6000 17.46 21.82
2007 50700 147.50 184.37
2008 17500 50.91 63.64
2009 21700 63.13 78.91
Rerata 23140 67.32 84.15
Sumber : Analisis Data Sekunder (2011)
Tingkat pemanfaatan udang lobster pada tahun 2009 = (21.700 / 27.498,67) x 100% = 78,91%.
Berdasarkan Tabel 2, tingkat pemanfaatan udang lobster mengalami fluktuasi dengan
tingkat pemanfaatan paling tinggi tahun 2007 yaitu 184,37% dan paling rendah pada tahun 2002
yaitu 8,36%. Hasil perhitungan tingkat pemanfaatan udang lobster menunjukkan kecenderungan
(trend) yang menurun meskipun dalam 2 tahun terakhir (2008 2009) mengalami peningkatan
tingkat pemanfaatan udang lobster di Kabupaten Gunung Kidul. Hal tersebut mengindikasikan
bahwa sumberdaya udang lobster sudah mulai berkurang dan diduga sudah terjadi overfishing.
Menurut Suseno (2007), Salah satu ciri overfishing adalah grafik penangkapan dalam satuan
waktu berfluktuasi atau tidak menentu dan penurunan produksi secara nyata.
Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-04) - 9
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan 16 Juli 2011
Analisis Maximum Economic Yield (MEY) dan Effort Maximum Economic Yield (FMEY)
Analisis hasil ekonomi maksimum (MEY) udang lobster dilakukan untuk mengukur
tingkat keuntungan yang diperoleh pada saat produksi maksimum. Penangkapan sumberdaya
udang lobster yang melebihi tingkat MEY dapat dipastikan keuntungan yang diperoleh akan
berkurang. Dengan demikian, pemanfaatan sumberdaya udang lobster secara berlebihan akan
mengakibatkan tidak hanya terancamnya kelestarian spesies udang lobster namun juga
hilangnya manfaat secara ekonomi. Hasil produksi dan upaya alat tangkap udang lobster tersaji
pada Tabel 3.
Tabel 3. Hasil tangkapan udang lobster di Kabupaten Gunung Kidul Tahun 2000-2009
Tahun
Krendet Jaring Insang dasar
Catch (kg) Effort (trip)
CPUE
(kg/trip) Catch (kg) Effort (trip)
CPUE
(kg/trip)
2000 37.500 6.345 5,91 37.500 17.450 2,15
2001 24.900 5.323 4,68 24.900 16.801 1,48
2002 2.300 800 2,88 2.300 26.182 0,09
2003 42.200 10.388 4,06 42.200 3.544 11,91
2004 20.700 3.130 6,61 20.700 1.056 19,60
2005 7.900 11.875 0,67 7.900 21.840 0,36
2006 6.000 866 6,93 6.000 23.046 0,26
2007 50.700 9.256 5,48 50.700 9.750 5,20
2008 17.500 6.256 2,80 17.500 2.750 6,36
2009 21.700 6.256 3,47 21.700 2.750 7,89
Sumber : Analisis Data Sekunder (2011)
Terdapat dua macam alat tangkap yang digunakan oleh nelayan Gunung Kidul untuk
menangkap udang lobster yaitu krendet dan jaring insang dasar. Kedua alat tangkap tersebut
masing masing memiliki jumlah trip yang berbeda setiap tahunnya sehingga nilai CPUE-nya
pun berbeda. Oleh karena itu, perlu ditentukan alat tangkap standar dari kedua alat tangkap
tersebut sehingga upaya yang digunakan dapat dikonversikan ke dalam dua alat tangkap
tersebut. Alat tangkap yang standar adalah alat tangkap yang mempunyai nilai FPI (Fish Power
Index) lebih besar atau sama dengan satu (Gulland, 1983). Berdasarkan hasil perhitungan
dengan mengacu pada FPI (Fish Power Index), sebagai alat tangkap standar yang digunakan
untuk menangkap udang lobster adalah krendet.
10 - Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-04)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Tabel 4. Hasil standarisasi produksi dan upaya udang lobster di Kabupaten Gunung Kidul tahun
2000-2009
Tahun
FPI
Produksi total
(kg)
Standarisasi
Krendet Jaring Insang Effort (trip) CPUE (kg/trip)
2000 1,00 0,36 37.500 12.690 2,96
2001 1,00 0,32 24.900 10.646 2,34
2002 1,00 0,03 2.300 1.600 1,44
2003 1,00 2,93 42.200 20.776 2,03
2004 1,00 2,96 20.700 6.260 3,31
2005 1,00 0,54 7.900 23.750 0,33
2006 1,00 0,04 6.000 1.732 3,46
2007 1,00 0,95 50.700 18.512 2,74
2008 1,00 2,27 17.500 12.512 1,40
2009 1,00 2,27 21.700 12.512 1,73
Sumber : Analisis Data Sekunder (2011)
Tabel produksi dan upaya yang telah distandarkan di atas (Tabel 4) menunjukkan stok
udang lobster secara umum mengalami penurunan apabila dilihat dari hasil tangkapannya yaitu
melihat perbandingan tangkapan dengan upaya dari tahun ke tahun. Perhitungan hasil ekonomi
maksimum (MEY) didasarkan pada kegiatan penangkapan udang lobster dengan menggunakan
alat tangkap standar krendet. Data upaya (trip) yang telah distandarisasi digunakan untuk
menghitung CPUE. Biaya total yang dikeluarkan per trip digunakan dalam analisis bio-ekonomi
model statik yang menggunakan model Gordon-Schaefer. Model tersebut menggunakan asumsi
bahwa harga maupun biaya yang digunakan adalahh konstan (Hannesson, 1993). Perhitungan
total biaya operasional penangkapan udang lobster terdiri dari biaya tetap dan biaya variabel.
Hasil survei terhadap biaya tetap yang dikeluarkan terdiri dari perahu, mesin, dan alat
tangkap berupa krendet. Perhitungan penyusutan dilakukan dengan metode garis lurus.
Sementara untuk alat tangkap krendet dalam satu tahun akan habis pakai karena alat tangkap
memiliki umur teknis yang pendek akibat faktor usia maupun alam. Biaya tetap total untuk
operasional penangkapan udang lobster dalam satu tahun terhitung sebesar Rp. 3.439.183,00
dan biaya tetap dalam satu kali trip sebesar Rp. 26.054,00.
Hasil survei terhadap biaya tidak tetap (variabel) yang dikeluarkan untuk operasional
penangkapan udang lobster terdiri dari bekal /rokok, bahan bakar mesin, oli, dan kuli angkut.
Biaya bekal yang dikeluarkan oleh rata rata nelayan Gunung Kidul adalah Rp. 25.000,00 per
nelayan (termasuk rokok). Bahan bakar yang perlukan sebanyak 12,5 liter dalam satu kali trip
paling jauh sehingga total dalam satu tahun sebesar Rp. 9.900.000,00. Nelayan Gunung Kidul
biasa rutin mengganti oli setiap sebulan sekali sehingga dalam satu tahun biaya pembelian oli
tercatat sebesar Rp.360.000,00. Biaya lainnya berupa kuli angkut kapal diestimasi sebesar Rp.
660.000,00 dalam satu tahun. Total biaya tidak tetap yang dikeluarkan untuk penangkapan
lobster dalam satu tahun adalah Rp. 14.220.000,00.
Hasil tangkapan rata-rata dapat dibandingkan dengan nilai hasil tangkapan maksimum
lestari (MSY) maupun hasil ekonomi maksimum (MEY) sehingga akan terlihat bahwa hasil
tangkapan (produksi) udang lobster di Kabupaten Gunung Kidul masih di bawah nilai MSY,
maupun MEY. Secara lengkap perbandingan hasil rata rata tangkapan dengan MSY dan MEY
dapat dilihat pada Tabel 5.
Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-04) - 11
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan 16 Juli 2011
Tabel 5. Perbandingan hasil rata-rata dengan MSY dan MEY
Rincian Rata-rata MSY MEY
Produksi (Kg) 23.140 34.373,33 33.350,5
Trip 12.099 23.475,54 19.365
Penerimaan (Rp) 8.946.886.000 8.671.130.000
Biaya (Rp) 3.140.599.341 2.590.688.430
Keuntungan (Rp) 5.806.286.659 6.080.441.570
Sumber : Analisis Data Primer (2011)
Berdasarkan Tabel 5. menunjukkan bahwa rata rata hasil tangkapan udang lobster di
Kabupaten Gunung Kidul masih berada di bawah nilai MSY maupun MEY. Hasil perhitungan
menunjukkan keuntungan yang akan diperoleh nelayan pada tingkat hasil tangkapan mencapai
maksimum adalah sebesar Rp. 5.806.286.659,00 dengan upaya sebesar 23.475,54 trip
sedangkan keuntungan pada tingkat ekonomi maksimum (MEY) akan diperoleh sebesar Rp.
6.080.441.570,00 dengan upaya sebesar 19.365 trip (lebih rendah dari upaya MSY). Hal
tersebut menunjukkan tangkapan yang maksimum bukan satu satunya cara untuk memperoleh
keuntungan yang maksimum.
Gambar 6. Hubungan antara TR, TC, dan Profit udang lobster
(Sumber : Analisis data sekunder 2011)
Berdasarkan Gambar 6. menunjukan bahwa pendapatan (TR) yang diperoleh lebih besar
dibandingkan biaya penangkapan (TC) sehingga nelayan akan memperoleh keuntungan yang
besar sampai pada titik EMEY. Apabila usaha penangkapan masih tetap dilanjutkan sampai EMSY
maka secara fisik akan diperoleh produksi yang lebih besar tetapi secara ekonomis keuntungan
semakin berkurang. Usaha penangkapan apabila dilanjutkan akan mencapai pada titik Effort Open
Acces. Effort Open Acces atau Break Even Point untuk penangkapan udang lobster di Kabupaten
Gunung Kidul sebesar 39.000 trip dengan produksi 19.341,1 kg. Hasil tersebut menunjukan bahwa
effort yang semakin besar ternyata memberikan hasil yang sedikit jika dibandingkan pada saat
MEY. Saat Open Acces terdapat kebebasan bagi nelayan untuk menangkap ikan sehingga
sumberdaya udang lobster dieksploitasi sampai pada titik yang terendah. Hal tersebut
menyebabkan usaha tidak didasarkan pada efisiensi ekonomi (economic overfishing). Menurut
Clark (1985), jumlah upaya yang diperbesar dan tidak terkontrol akan menimbulkan pengurasan
-6000000
-4000000
-2000000
0
2000000
4000000
6000000
8000000
10000000
0 10000 20000 30000 40000 50000
T
R
,
T
C
,
P
r
o
f
i
t
(
R
p
.
0
0
0
)
Effort (Trip)
TR TC Profit
MEY
EOA
MSY
OA
EMSY EMEY
12 - Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-04)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
terhadap sumberdaya dimana hasil tangkapan dibandingkan dengan upaya tidak mampu
menghasilkan suatu kehidupan yang layak bagi nelayan.
Perhitungan dengan metode produksi surplus model Schaefer menghasilkan nilai MSY
sebesar 34.373,33 kg pada tingkat upaya (fmsy) sebanyak 23.475,54 trip. Jika dilihat hasil
tangkapan rata-rata per tahun 23.140 kg sekitar 67 % dari tangkapan maksimum lestari (MSY),
sehingga hasil tangkapan cukup jauh dari nilai maksimum jumlah yang boleh ditangkap (TAC)
yaitu sebesar 80 % MSY. Rendahnya rata rata hasil tangkapan maupun tangkapan aktual
disebabkan karena telah terjadinya overfishing pada tahun 2007 dengan tingkat pemanfaatan
sebesar 147,50% dari MSY. Overfishing yang terjadi di tahun 2007 berakibat pada menurunnya
hasil tangkapan tahun 2008 dan tahun 2009. Dengan demikian, penambahan jumlah upaya
diperkirakan akan dapat berakibat buruk terhadap kelestarian udang lobster di Kabupaten
Gunung Kidul apabila tidak dilakukan dengan prinsip kehati hatian. Peningkatan upaya
pemanfaatan sumberdaya udang lobster yang diikuti oleh kecenderungan penurunan hasil
tangkapan perlu mendapat perhatian secara terus menerus menerus oleh seluruh stakeholder
perikanan.
Komponen biaya per trip yang paling besar dalam operasional penangkapan adalah
operasional penangkapan yang menggunakan jaring insang dasar. Menurut nelayan, hal
tersebut disebabkan seringnya jaring tersangkut pada karang karang, robek maupun putus
ketika ditarik sehingga umur teknis jaring insang dasar rata-rata hanya satu tahun. Putusnya
jaring insang dasar yang tersangkut pada bebatuan karang di dasar laut dapat menimbulkan
permasalahan. Bahan yang digunakan untuk webbing jaring insang dasar adalah dari bahan
plastik PA yang memiliki tingkat kestabilan yang tinggi (Sarjono & B. Setyono, 1996). Bahan
tersebut sukar terdegradasi di dasar laut. Terdapatnya jaring bekas yang terhampas di dasar laut
dapat menjerat udang lobster maupun biota dasar laut yang lain. Untuk menghindari resiko
tersebut dan menurunkan biaya operasionalnya, dapat diusulkan alternatif dengan
menggunakan alat tangkap lain, seperti perangkap lain yang terbuat dari bahan dasar ramah
lingkungan seperti kayu atau bambu.
Upaya untuk mengatasi terjadinya kondisi overfihsing terhadap sumberdaya udang lobster
telah banyak dilakukan namun tidak memberikan hasil yang diharapkan. Upaya tersebut meliputi
larangan menangkap udang lobster pada ukuran kurang dari 2 ons dan bagi lobster yang sedang
bertelur. Aturan dan sosialisasi yang telah dikeluarkan oleh Pemda Kabupaten Gunung Kidul tidak
mendapatkan respon yang positif dari nelayan. Banyak hal yang menjadi penyebabnya antara lain
adalah rendahnya kualitas sumberdaya manusia, baik secara ekonomi, pendidikan, maupun
keterampilan. Nelayan secara tidak sadar telah melakukan penangkapan tanpa memperhatikan
ketentuan ukuran tangkapan yang berlaku.
Kurangnya pendidikan merupakan salah satu faktor yang menyebabkan turunnya tingkat
keterlibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan yang menyangkut ruang lingkup sekitar
mereka sendiri. Menurut Nitimulya et al. (1996), akibat rendahnya pengetahuan masyarakat
terutama nelayan dan pedagang mengakibatkan tindakan ekploitasi udang lobster dilakukan hanya
mengejar target dan sangat jauh dari pengelolaan yang rasional. Hal tersebut dipicu oleh tingginya
harga udang lobster dan semua ukuran udang lobster cenderung laku terjual.
Dalam melakukan pengelolaan sumberdaya udang lobster di perairan Kabupaten
Gunung Kidul, perlu adanya lokasi perairan yang dikhususkan untuk konservasi udang lobster
sehingga kelesatarian udang lobster dapat terjaga. Selain itu, sosialisasi kebijakan yang
dilakukan Pemda maupun Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Gunung Kidul mengenai
pengembalian udang lobster yang berukuran di bawah 2 ons dan udang lobster yang sedang
bertelur hendaknya diimbangi dengan pengawasan secara terus menerus dan dengan
ketegasan hukum jika diperlukan. Menurut Soeparno et al. (2003), upaya pengendalian
pemanfaatan sumberdaya ikan dapat dilakukan melalui beberapa bentuk kebijakan diantaranya
pengaturan perijinan, pengaturan ukuran mata jaring, pengaturan ukuran yang boleh ditangkap,
pelarangan penggunaan bahan beracun dan merusak habitat, penutupan area penangkapan
yang ditunjang dengan lokasi dan masa pemijahan sumberdaya ikan teridentifikasi dengan baik,
pengaturan kuota jumlah tangkapan, maupun penggunaan teknologi baru.
Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-04) - 13
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan 16 Juli 2011
Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan
1. Pemanfaatan udang lobster di Kabupaten Gunung Kidul masih didominasi oleh usaha
penangkapan ikan skala kecil dan daerah penangkapannya masih sangat terbatas pada
wilayah pantai atau daerah bebatuan karang.
2. Persamaan linier regresi pemanfaatan udang lobster adalah C/f = 2,928 0,00006237f
dengan nilai r = 0,227. Tangkapan maksimum lestari (MSY) diperoleh sebesar 34.373,33 kg
pada tingkat upaya sebesar 23.475,54 trip. Tingkat keuntungan ekonomi maksimum (MEY)
diperoleh sebesar 33.350,5 kg pada tingkat upaya sebesar 19.365 trip setara alat tangkap
krendet. Tingkat ekploitasi mencapai 67% atau belum melewati tangkapan yang
diperbolehkan (TAC) yaitu sebesar 80% dari MSY.
3. Aktivitas pemanfaatan sumberdaya udang lobster mengalami permasalahan yang cukup
serius yaitu penurunan hasil tangkapan pada dua tahun terakhir yang diamati (2009) karena
diduga telah terjadi overfishing pada tahun 2007 dengan tingkat pemanfaatan melebihi TAC
yaitu sebesar 147,50% dari MSY.
Saran
1. Peningkatan jumlah upaya usaha penangkapan udang lobster dapat berakibat buruk
terhadap kelestarian udang lobster karena fluktuasinya hasil tangkapan setiap tahunnya
meskipun rerata hasil tangkapan berada di bawah MSY, sehingga perlu mendapat perhatian
secara terus menerus melalui pengamatan CPUE maupun aspek udang lobster lainnya oleh
para stakeholder perikanan.
2. Perlu adanya upaya perluasan daerah penangkapan udang lobster lebih ke arah laut lepas
yang ditunjang dengan penelitian mengenai aspek biologi udang lobster sehingga
penangkapan lobster tidak terpusat hanya pada perairan pantai.
3. Pengelolaan sumberdaya udang lobster di Kabupaten Gunung Kidul perlu mendapat
perhatian khusus oleh para pembuat kebijakan karena sumberdaya udang lobster di
Kabupaten Gunung Kidul adalah komoditas penting bernilai ekonomi tinggi yang suatu saat
akan habis jika terus menerus dieksploitasi. Beberapa pengelolaan yang diusulkan
diantaranya ketegasan pengawasan dan hukum (jika perlu) terhadap penangkapan udang
lobster yang bertelur dan udang lobster dengan ukuran dibawah 1 ons. Selain itu, penetapan
daerah konservasi khusus untuk udang lobster sangat diperlukan untuk menjaga kelestarian
sumberdaya tersebut.
Daftar Pustaka
Anonim. 1995. Laporan Statistik Perikanan Tahun 1995. Dinas Perikanan Daerah Istimewa
Yogyakarta. Yogyakarta.
Anonim. 1999. Laporan Tahunan Dinas Perikanan Daerah Istimewa Yogyakarta. Dinas Perikanan
Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta.
Anonim. 2000. Laporan Tahunan Dinas Perikanan Daerah Istimewa Yogyakarta. Dinas Perikanan
Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta.
Anonim. 2008. Laporan Statistik Perikanan Tahun 2008. Dinas Perikanan Daerah Istimewa
Yogyakarta. Yogyakarta.
Anonim. 2009. Statistik Perikanan Tangkap 2008 Daerah Istimewa Yogyakarta. Dinas Perikanan
dan Kelautan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta.
Anonim. 2010. Gunung Kidul Dalam Angka 2010. Badan Pusat Statistik Kabupaten Gunung Kidul.
Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktik (Edisi Revisi VI). Rineka Cipta.
Jakarta.
14 - Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-04)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Clark, C.W. 1985. Bioeconomic Modelling and Fisheries Management. John Wiley and Sons. Inc.
Ney York.
Djumanto, Susilo, B. P., Sukardi dan Soeparno. 2007. Rencana Pengelolaan Perikanan (RPP)
Udang Barong di Wilayah Laut Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Dinas
Perikanan dan Kelautan Provinsi DIY. Yogyakarta.
Djumanto, Supardjo S. D. dan Sukardi. 2009. Pranoto Mongso dalam Penangkapan Ikan di
Samudera Hindia Selatan Daerah Istimewa Yogyakarta. Dinas Perikanan dan
Kelautan Provinsi DIY. Yogyakarta.
Dradjat, F.M. 2004. Bioekonomi Udang Karang (Panulirus spp.) Pada Usaha Perikanan Tangkap
Skala Kecil di Kabupaten Kebumen Dan Sekitarnya. Tesis. Universitas
Diponegoro. Semarang.
Effendie, M.I. 1997. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama. Yogyakarta.
Gulland, J.A. 1983. Fish Stock Assessment : A Manual of Basic Methods. J. Wiley & Sons, New
York.
Hannesson, R. 1993. Bioeconomic Analysis of Fisheries. Fishing News Books A Division of
Blackwell Science Ltd, Berlin.
Nitimulya, K.H., I.Y.B. Lelana, S.S. Djasmani, Sukardi, H. Saksono, dan Soeparno. 1996.
Rancang Bangun Pengembangan Sentra Agribisnis Komoditas Lobster di
Kabupaten Gunung Kidul DIY. Laporan Penelitian. Fakultas Pertanian
Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Phillips, B.F., J.S. Cobb dan R.W. George. 1980. General Biology. In: J.S. Cobb dan Bruce F.P.
(eds.) The Biology and Management of Lobsters I. Academic Press, New York.
Sarjono dan B. Setyono. 1996. Lobster (Panulirus spp.). Kerjasama Departemen Pertanian,
Balitbang Pertanian, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Ungaran, lnstalasi
Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta dan Bagian Proyek
Pengkajian teknologi Pertanian Yogyakarta.
Soeparno, Sukardi dan Suadi. 2003. Rencana Pengelolaan Perikanan (RPP) Untuk Perikanan
Tangkap Skala Kecil di Wilayah Laut Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi DIY. Yogyakarta.
Supardjo, S.D., Djumanto dan Sukardi. 2010. Pemanfaatan dan Laju Tangkap Lobster di Pantai
Selatan Daerah Istimewa Yogyakarta. Hibah Penelitian Fakultas Pertanian UGM.
Yogyakarta.
Suseno, 2007. Kebijakan Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan. Departemen Kelautan
dan Perikanan, Direktur Jendral Perikanan Tangkap, Direktur Sumberdaya ikan,
Jakarta.
Widodo, J. 2001. Model Surplus Produksi Untuk Pengkajian Sumberdaya Ikan. Pengkajian
Sumberdaya Perikanan Laut (Fisheries Stock Assessment). Pusat Riset
Perikanan Tangkap BRKP-DKP dan Pusat Penelitian Oseanografi LIPI. Jakarta.
Tanya Jawab
Pertanyaan : Bagaimana bisa curahan hujan yang tinggi mempengaruhi pertumbuhan
lobster?
Jawaban : Berdasarkan tinpus, curah hujan mempengaruhi produktivitas lobster karena
lobster terdorong untuk melakukan pemijahan karena suhu air yang rendah.
Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-04) - 15
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan 16 Juli 2011
Sonny Koeshendrajana
Saran : Model yang digunakan hanya mewakili d20% dari kondisi yang ada.
Jawaban : Model yang say gunakan memang banyak kekurangan. Terima kasih atas
sarannya.
Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-05) - 1
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan 16 Juli 2011
KAJIAN GAMBARAN PERBANDINGAN KESEJAHTERAAN
MASYARAKAT PERAIRAN RAWA DAN DANAU
Kasus Di Desa Berkat, Bangkau Dan Bambaler
Sastrawidjaja, Zahri Nasution
Abstrak
Masyarakat Desa Berkat, Bangkau dan Bambaler tempat tinggalnya di perairan rawa. Rawa
adalah perairan daratan luas yang dipengaruhi oleh gerakan pasang laut dan curahan air hujan
dengan siklus beraturan sepanjang tahunnya. Keteraturan musim menciptakan tempat ikan
berkembang biak dan daratannya yang kering dapat sebagai tempat pertanian. Tujuan kajian
mendapatkan gambaran ketahanan kesejahteraan masyarakat terhadap alam lingkungan perairan
Rawa dan Danau. Lokasi kajian di; Desa Berkat, Desa Bangkau, Dusun Bambaler, Metode kajian
menggunakan studi kasus yang dianalisis secara deskriptif dan kuantitatif, dan pelaksanaan pada
tahun 2010. Hasil kajian memberikan informasi; Dapat di temukan saling hubungan antara
teknologi penangkapan Ikan dengan lingkungan perairan dan telah sesuai menurut jenis teknologi
serta pengaturannya. Pengaturan penangkapan berkaitan dengan alat tangkap, musim, ukuran
Ikan, ukuran jaring, dan pengaruhnya terhadap aturan kehidupan. Dari analisis indek
kesejahteraan; Untuk kesejateraan subjektiv di Desa Berkat (51,33), desa Bangkau (57,52) dan
Dusun Bambaler (47,77), dimana Desa Bangkau lebih baik. Untuk kesejahteraan Inti di Desa
Berkat (50,66), Desa Bangkau (55,55) dan Dusun Bambaler (36,48), adalah menunjukkan Desa
Bangkau lebih baik. Dan untuk kesejahteraan pendukung di Desa Bangkau (65,66) adalah lebih
baik di bandingkan dengan Desa Berkat (56,49) dan lebih baik lagi dari Dusun Bambaler (56,28).
Pengantar
Kawasan rawa dikenal sebagai daerah yang tergenang oleh air tawar, dan daerah tersebut
terdapat juga di sekitar Desa Berkat Kabupaten Ogan Komering Ilir Sumatera Selatan, Desa
Bangkau Kabupaten Hulu Sungai Selatan Kalimantan Selatan dan Dusun Bambaler Kabupaten
Barito Selatan Kalimantan Tengah.
Ketiga daerah tersebut mempunyai kesamaan typologi lingkungan alamnya yang
mempunyai daratan terbatas dan denangan air tawar. Sifat lingkungan alam yang dimiliki ke tiga
daerah adalah mempunyai kawasan berair daratan basah, artinya disekitar desa digenangi atau
terdapat air yang menggenang karena pengaruh musim hujan. Air hujan terkumpul bersamaan
dengan pasang laut naik menyebabkan sebagian permukaan tanah yang sama atau lebih rendah
dari permukaan air laut di genangi air, pola genangan terjadi sesuai musim. Pola penggenangan
air yang terjadi setiap tahunnya yang hampir sama telah memberi kesempatan kepada berbagai
jenis ikan serta biota air lainnya ikut berkembang biak, termasuk di Danau Bangkau. Dan bagi
masyarakat yang berdiam di lokasi tersebut berkesempatan memanfaatkan pola air yang terjadi
untuk menyambung kehidupan mereka dengan memanfaatkan sumber daya ikan yang tersedia.
Pemanfatan lahan basah yang berair oleh masyarakat dibagi dua cara, pertama, di saat hujan
mereka mencari ikan dengan peralatan alat tangkap ikan yang sesuai dengan lahan berair, kedua,
di saat air surut, sebagian tanah basah yang kering dibuat tegalan dan tanah sawah.
Pola kehidupan masyarakat di Berkat, Bangkau dan Bambaler telah menyatu dengan alam
sekitarnya, sehingga mereka memiliki pola kehidupan tersendiri. Pola kehidupan yang terbentuk
dapat dikenali melalui teknologi peralatan kehidupannya yang dibuat sangat sesuai dengan
lingkungan alam yang mereka diami (Sherraden, M. 2006). Peralatan kehidupan yang tercipta
selanjutnya telah juga membentuk pola tatanan; sosial kemasyarakatan, ketenagakerjaan, aturan
adat atau moral, ekonomi kemasyarakatan, kepemimpinan kemasyarakatan, teknologi
kemasyarakatan dan aturan pengelolaan serta pemanfaatan lebak lebung.
Untuk mengenali tingkatan kesejahteraan masyarakat dapat dilihat dari lingkungan
kesejahteraan subjektif, kesejahteraan inti dan lingkungan pendukungnya (Cahyat, A et all. 2007).
SE-05
2 - Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-05)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan 16 Juli 2011
Adapun keberadaan lingkungan subjective dapat diketahui dari Indikator perasaan sejahtera,
perasaan miskin dan perasaan bahagia. Sedangkan untuk lingkungan inti dilihat dari kebutuhan
dasar yang bersifat material maupun bukan material, yaitu mencakup aspek gizi dan kesehatan,
pengetahuan dan kekayaan materi. Dan lingkungan pendukung dapat dilihat dari penggolongan
lingkungan sektoral (alam, ekonomi, politik, dan social) dan lingkungan lintas sektoral (infrastruktur
dan pelayanan), yang ikut mempengaruhi kesejahteraan subjektif dan kesejahteraan inti.
Kajian perbandingan kesejahteraan masyarakat di Desa Berkat yang berawa, Desa
Bangkau di Danau Bangkau dan Dusun Bambaler perairan sungai dan rawa bertujuan untuk
mendapatkan gambaran tentang ketahanan yang dimiliki masyarakat terhadap alam lingkungan
sekitarnya.
Batasan operasional
Batasan operasional meliputi informasi kualitatif tentang teknologi penangkapan Ikan
dengan lingkungannya serta jenis teknologi dan pengaturannya. Pengaturan penangkapan ikan di
hubungkan dengan alat tangkap, musim, ukuran Ikan, mesh size, serta pengaruhnya terhadap
aturan kehidupan. Pengaturan lingkungan perairan Rawa dan Danau dihubungkan dengan norma,
penegakan hukum oleh adat istiadat, serta proses dan mekanisme penegakan hukum formal
terhadap pelanggaran pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya ikan di Rawa dan Danau.
Bahan dan Metode
Kerangka Pemikiran
Tingkat kesejahteraan dapat juga dilihat dari penggambaran ketidak sejahteraan yang
didefinisikan sebagai keadaan yang tidak mampu memenuhi standar hidup minimal (Bank Dunia.
2000). Apabila pengertian tidak sejahtera dari pandangan miskin, maka suatu keadaan tidak
beruntung sama dengan keadaan minus (deprivation); dan di dalam keadaan tertentu sama juga
dengan minimnya pendapatan dan harta, kelemahan fisik, isolasi, kerapuhan dan ketidak
berdayaan (Chambers, R. 1995). Dari pandangan tersebut maka kemiskinan lebih dilhat sebagai
orang yang hidup tidak sejahtera, karena pendapatan atau aksesnya terhadap barang atau jasa di
dalam perekonomian relatif rendah dibandingkan dengan rata-rata orang lain. Dan upaya
mengurangi kemiskinan tersebut (Bappenas. 2005) melalui programnya telah membuat strategi
nasional penanggulangan kemiskinan tersebut.
Kesejahteraan mempunyai implikasi luas pada fungsi matra sosio-kultural, ekonomi,
psikologi atau politik terhadap eksistensi kehidupan. Akan tetapi implikasi kesejahteraan menurut
(Setiawan, 2010 dan Menko Kesra. 2005) berlawanan dengan kemiskinan yang artinya sebagai
suatu kondisi ketiadaan pada pilihan-pilihan dan hak-hak yang seharusnya melekat di bidang
social, politik, ekonomi, kebudayaan dan lingkungan hidup mereka. Oleh karena itu di dalam
masyarakat masalah kemiskinan dan mata pencaharian sangat memegang peranan penting pada
mata rantai pengurangan kemiskinan di Indonesia (Mukherjee, L., et all,. 2002). Dan kesejahteraan
dapat dipakai sebagai penunjuk tentang kemampuan individu/keluarga atau rumah tangga di
dalam memenuhi kebutuhan dasar dan juga keterkaitannya dengan pencitraan kesejahteraan.
Metode Kajian
Kajian menggunakan metoda studi kasus di lapangan (Mikkelsen, B. 2001) serta desk
study. Waktu pelaksanaan kajian pada tahun 2010. Data yang di peroleh dianalisis secara
deskriptif dengan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Data yang digunakan dalam kajian dari data
primer yang diperoleh melalui wawancara dengan para responden rumah tangga perikanan di
daerah sampel. Data sekunder berasal dari dokumen dan tulisan.
Kajian berlokasi di; 1. Desa Berkat, Kecamatan Sira Pulau Padang, Kabupaten Ogan
Komering Ilir, Propinsi Sumatera Selatan. 2. Desa Bangkau, Kecamatan Kandangan, Kabupaten
Hulu Sungai Selatan, Provinsi Kalimantan Selatan. 3. Dusun Bambaler, Desa Baru, Kecamatan
Dusun Selatan, Kabupaten Barito Selatan, Propinsi Kalimantan Tengah. Kajian terbatas pada ingin
mendapatkan gambaran tentang ketahanan kesejahteraan yang dimiliki masyarakat rawa terhadap
alam lingkungan.
Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-05) - 3
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan 16 Juli 2011
Wawancara dilakukan oleh tim kajian terhadap responden yang dipilih secara purposive
dengan bantuan daftar pertanyaan di dalam lembar pertanyaan. Wawancara responden di Berkat
30, di Bangkau 35 dan Bambaler 30 rumah tangga dengan angka skoring (1-3). Data hasil
wawancara di tabulasi, dan dijadikan dasar analisis. Untuk data primer yang bersifat kualitatif di
uraikan penjelasannya sesuai dengan topik permasalahan dan data kuantitatif di hitung rata-rata
skalanya, nilai indeks dan nilai indeks total. Rata-rata nilai angka scoring sama dengan jumlah
nominal angka scoring dibagi jumlah responden setiap lokasi. Indek kesejahteraan dihitung dengan
formula; (Jumlah scoring yang diperoleh Jumlah scoring minimum)/(Jumlah scoring maksimum
jumlah scoring minimum) X 100. Rata-Rata Indek kesejahteraan; misalnya indek kesejahteraan Inti
sama dengan (indek kesejahteraan materi + Indek kesejahteraan pengetahuan + indek
kesejahteraan kesehatan dan gizi) dibagi 3. Rata-rata total indek kesejahteraan sama dengan
(rata-rata indek kesejahteraan subjektiv + rata-rata indek kesejahteraan inti + rara-rata
kesejahteraan pendukung) dibagi 3.
Untuk mengetahui daya tahan keberadaan masyarakat maka dibuat indek skala dari angka
(0,00 33,33) artinya tidak sejahtera yaitu sama dengan eksistensi masyarakat mengalami
hambatan besar, angka indek (33,33 66,66) yaitu sejahtera sama dengan kemampuan
masyarakat dapat bertahan walau ada hambatan, dan angka (66,66 -99,99) sangat sejahtera sama
dengan eksistensi masyarakat tidak mengalami hambatan.
Hasil dan Pembahasan
Bahasan hasil kajian meliputi aspek-aspek teknologi penangkapan Ikan dan lingkungan
yaitu jenis teknologi dan pengaturan penangkapan. Pengaturan penangkapan dikaitkan dengan
pengaturan alat tangkap, musim penangkapan, ukuran Ikan, mesh size alat tangkap, pengaruh
aturan terhadap kehidupan. Kemudian untuk pengaturan lingkungan dihubungkan dengan
pengaturan dan nilai pengaturan. Adapun norma, penegakan hukum dan aturan pembahasannya
berkenaan dengan adat istiadat masyarakat, proses dan mekanisme penegakan hukum,
pelanggaran pemanfaatan dan pengelolaan, serta bahasan kuantitatif kesejahteraan masyarakat.
Gambaran Umum
Gambaran umum lokasi kajian bedasarkan lingkungan alam, teknologi penangkapan,
pengaturan penangkapan, pengaturan lingkungan dan pemanfaatan serta pengelolaan dapat
dilihat dalam Tabel. 1.
Tabel. 1. Gambaran Umum Desa Berkat, Desa Bangkau dan Dusun Bambaler. 2010
No. Keterangan Desa Berkat Desa Bangkau Dusun Bambaler
1 Alam Berawa, Sungai,
Lebak lebung
Berawa, Danau Berawa Sungai
dan Danau
2 Teknologi
Penangkapan Ikan
dengan Lingkungan
Jenis teknologi,
Pengaturan
Jenis teknologi,
Pengaturan
Jenis teknologi,
Pengaturan
3 Pengaturan
Penangkapan
Alat Tangkap,
Musim, Ukuran
Ikan, Mesh size,
Aturan
Kehidupan
Alat Tangkap,
Musim, Ukuran
Ikan, Mesh size,
Aturan
Kehidupan
Alat Tangkap,
Musim, Ukuran
Ikan, Mesh size,
Aturan
Kehidupan
4 Pengaturan
Lingkungan
Norma,
Penegakan
Hukum, Adat
Istiadat
Masyarakat,
Norma,
Penegakan
Hukum, Adat
Istiadat
Masyarakat,
Norma,
Penegakan
Hukum, Adat
Istiadat
Masyarakat,
5 Pelanggaran Proses, dan Proses, dan Proses, dan
4 - Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-05)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan 16 Juli 2011
Pemanfaatan dan
Pengelolaan Sumber
Daya
Mekanisme
Penegakan
Hukum
Mekanisme
Penegakan
Hukum
Mekanisme
Penegakan
Hukum
6 Etnik Pemanfaat Komering Banjar Dayak Bakumpai
7 Usia 15 50 15 - 50 15 50
Daerah tempat tinggal dari ketiga Desa tersebut sifat lingkungannya hampir sama yaitu berair dan
tanah basah.
Teknologi Penangkapan Ikan dan Lingkungan
Jenis Teknologi
Jenis teknologi penangkapan ikan di tiga wilayah tersebut fungsinya sama, tetapi penamaannya
berbeda dan setiap desa memiliki sekitar 9 (sembilan) jenis alat tangkap (Tabel. 2).
Tabel. 2. Jenis Teknologi Penangkapan Ikan di Rawa dan Danau
N0 Nama Alat Berkat Bangkau Bambaler
1 Jaring Nylon Jaring Nylon
2 Pancing Pancing Pancing Pancing
3 Roket Roket Langit Langit
4 Bubu Bubu Lukah Lukah
5 Anco Anco
6 Jala Jala Jala Jala
7 Perahu Perahu Perahu Perahu
8 Hampang Bidai Hampang Selambau
9 Tampirai Tampirai Tampirai
10 Pengilar Pengilar Pengilar
Pengalaman penangkapan ikan mereka peroleh dari turun temurun sejak nenek moyang
atau belajar dengan orang yang biasa menggunakan alat yang sesuai dengan perairan rawa dan
danau. Pemakaian alat tangkap untuk setiap daerah hampir sama, yang berbeda peristilahan dari
alat tangkap tersebut, tetapi fungsinya tetap sama. Alat tangkap selain jala dan anco, yaitu di tebar
di lokasi penangkapan dengan cara meletakkannya di bawah dedaunan atau di sela-sela
rerumputan/bakumpai atau di tempat yang terbuka. Pemakaian alat tangkap tersebut dapat di
lakukan pada malam hari atau pada siang hari, dan cara mengerjakannya bisa oleh satu orang
atau lebih dengan bantuan perahu kecil dan perahu di gerakkan oleh satang atau sebatang pohon
panjang.
Pengaturan Penangkapan
Pengaturan pemakaian alat penangkapan ikan dari musim penangkapan, ukuran mata
jaring, panjang pancing, besar kecil bubu, ancho, pengilar, hampang, langit, tampirai, selambau
ternyata cara pemakaiannya mempunyai perbedaan. Pengaturan alat tangkap yang cenderung
menguras ikan atau membunuh ikan secara masal lebih ketat, terutama di desa Bangkau dan
dusun Bambaler, sedangkan di desa Berkat lebih longgar. Berkenaan dengan pengaturan ini, di
desa Bangkau dan dusun Bambaler peranan adapt sangat besar, tetapi di desa Berkat sangat
longgar.
Pengaturan Alat Tangkap
Daerah perairan rawa umumnya berair dangkal dan mempunyai banyak rumput
(bakumpai) dan pepohonan kecil, sehingga alat tangkap yang besar dan panjang sulit di dipakai di
Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-05) - 5
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan 16 Juli 2011
lokasi tersebut karena hamparan yang tidak mempunyai rumput sempit. Alat tangkap besar hanya
dapat digunakan pada hamparan rawa yang luas tanpa rumput dan pohon.
Alat tangkap di perairan rawa dan Danau yang mampu menangkap ikan secara besar-
besaran hanya bidai panjang/hampang/selambau, caranya menghadang aliran sungai kecil di
waktu terjadi pasang surut atau air mulai mengering, atau juga di waktu ikan terjebak di dalam
cekungan air rawa karena surut. Karena sifat air rawa ekologinya agak tertutup, maka alat tangkap
ikan tidak diatur di ketiga tempat tersebut, terkecuali yang bersifat memusnahkan ikan yang di
larang seperti racun, potas, dan kontak listrik.
Musim Penangkapan
Musim penangkapan ikan maksudnya ikan sedang banyak dan mudah ditangkap karena
air sedang surut. Musim ikan yang terjadi setiap tahun secara teratur telah menciptakan lebung-
lebung yang menjadi tempat berkumpulnya ikan. Lokasi tempat ikan berkumpul terjadi secara
alam, atau di buat manusia, sehingga pengaturan pemanfaatannya sesuai kesepakatan bersama
agar terhindar dari ketidak adilan. Dan pengaruh musim panas dan musim hujan yang terjadi
beraturan sepanjang tahunnya, yang telah ikut mempengaruhi gerakan air di lebak lebung dapat
menjadi ciri pengaturan musim penangkapan.
Masyarakat perairan rawa (Berkat dan Bambaler) dan Danau (Bangkau) mempunyai
pandangan bahwa semua jenis dan ukuran ikan dapat di tangkap, karena ikan-ikan tersebut tidak
dipelihara dan datang sendiri. Dengan adanya air besar dan banjir yang terjadi setiap tahun telah
menyebabkan ikan datang dan berkumpul di perairan Rawa, badan Sungai atau Danau. Kejadian
air besar dan banjir telah berlangsung sejak dulu kala sampai sekarang, sehingga ada yang
berpendapat bahwa tidak perlu ada larangan penangkapan ukuran dan jenis ikan.
Mesh Size Alat Tangkap
Alat tangkap yang mempunyai mesh size umumnya jaring gantung, jala, bubu,
bidai/hampang/selambau dan tangkul/pengilar/tampirai. Pengoperasian alat tangkap tersebut
kebanyakan bersifat pasif terkecuali jala. Khusus jala, lokasinya di tempat yang bersih dan tidak
mempunyai rerumputan (gulma air/bakumpai) dan pepohonan kecil. Karena ikan-ikan di perairan
Rawa dan Danau banyak berlindung di bawah semak dan pepohohan yang tersembunyi dan
sempit, maka alat tangkapnya berukuran kecil dan sedang. Oleh karena itu, tidak perlu aturan
mesh size alat tangkap.
Pengaruh Aturan Terhadap Kehidupan
Masyarakat memperhatikan di perairan Rawa dan Danau selalu terjadi pasang air besar
dan air surut atau terjadi kekeringan dan banjir yang bergantian sepanjang tahun dan sepanjang
hidup mereka, tetapi ikan selalu ada. Dari pengalaman hidup tersebut, ikan yang tersedia di
perairan Rawa dan Danau merupakan anugerah kehidupan. Sebagai manusia yang hidupnya
tergantung dari sumber daya yang tersedia, maka usaha penangkapan dan pemanfaatannya perlu
diatur agar seimbang dengan dukungan alamnya. Oleh karenanya pengaturan dapat dipahami
oleh masyarakat, karena bermanfaat menjaga lingkungan perairan Rawa dan Danau tempat
tinggal mereka, dan dalam jangka panjang dapat menjamin sumber penghasilan dari ikan karena
tidak cepat punah dan hilang.
Pengaturan Lingkungan
Lingkungan alam di sekitar Rawa di Desa Berkat dan Desa Bangkau di Danau Bangkau
tumbuh pohon dan berbagai jenis tanaman air, tetapi bagian daratan yang kering atau setengah
kering yang terjadi sepanjang tahun, masyarakat mengaturnya menurut hukum adat dan hukum
kepemilikan jual beli atau sewa menyewa. Tanah kering di Berkat dan Bangkau ditanami pohon
duku, durian, kelapa, pisang, tebu, umbi-umbian dan padi darat, sedangkan tanah setengah kering,
bagian yang kurang dalam dibuat sawah Rawa dan dibagi menurut kesepakatan adapt. Khusus di
dusun Bambaler masyarakatnya tidak memanfaatkan tanah kering, mereka sepenuhnya
memanfaatkan air dan ikan yang ada di perairan sungai dan Danau sekitarnya yang diatur
pemanfaatannya menurut adat Dayak Bakumpai.
Norma, Penegakan Hukum dan Aturan
Adat Istiadat Masyarakat
6 - Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-05)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan 16 Juli 2011
Adat istiadat yang berlaku di desa Bangkau dan dusun Bambaler masih sangat kuat,
sedangkan di desa Berkat agak longgar. Adat merupakan aturan hukum yang mempunyai
kekuatan hukum kemasyarakatan yang mengikat, karena norma-norma yang terkandung di dalam
kaedah adat istiadat mempunyai kekuatan moral yang tinggi. Kekuatan moral yang terbentuk dari
norma adat istiadat di turunkan secara langsung, sebagai pewarisan bersama yang harus terjaga
untuk menata masyarakatnya secara harmonis, damai, aman, sosial, ekonomi dan sejahtera.
Pelanggaran oleh seseorang atau kelompok orang terhadap aspek-aspek tersebut di lihat sebagai
menantang hukum adat, karena itu harus di berikan sanksi yang tegas. Pemangku adat diberi
kewenangan oleh kaumnya untuk melaksanakan keuputusan adat setelah bermusyawarah
bersama dengan pelaksana adat lainnya untuk mengambil keputusan bersama. Sanksi yang di
berikan berupa denda, pengucilan bahkan pengusiran keluar kampung halamannya.
Proses dan Mekanisme Penegakan Hukum
Masyarakat perairan Rawa di Desa Bangkau dan dusun Bambaler mempunyai hukum adat
yang kuat, dan melakukan penegakan hukum dengan cara menyerahkan pelaksanaan hukum
kepada pemerintahan pemangku adat. Untuk desa Bangkau mereka menggabungkan hukum adat
dengan aturan pemerintah, sehingga mekanisme pengenaan sanksi melalui pendekatan adat dan
aturan pemerintah. Di desa Bambaler sepenuhnya memakai hukum adat, dan di desa Berkat
hanya sebatas himbauan moral sosial bahwa untuk kepentingan bersama supaya tidak melakukan
pelanggaran hukum yang mengakibatkan masyarakat menjadi resah, sebab keamanan mencari
ikan terganggu dan membahayakan keselematan bersama.
Kesejahteraan Masyarakat
Orang yang hidupnya tergantung dari sumber daya perairan Rawa dan Danau berhimpun
di dalam satu kesatuan masyarakat perairan yang lokasinya di Desa Berkat Sumatera Selatan,
Desa Bangkau Kalimantan Seltan dan Dusun Bambaler Kalimantan Tengah. Kehidupan meeka
tergantung dari hasil perairan, yaitu ikan dan hasil perairan lainnya. Pertanyaan yang diajukan,
apakah mereka hidup sejahtera, dan untuk mengetahuinya maka kesejahteraan tersebut diukur
secara kuantitatif dengan pendekatan skala terhadap dimensi kesejahteraan subjectif, dimensi
kesejahteraan Ini dan dimensi kesejahteraan pendukung. Dan hasil analisis skala yang dihitung
berdasarkan rata-rata dan indek tergambarkan pada Tabel-Tabel berikut.
Kesejahteraan Subjective.
Gambaran hasil analisis berdasarkan rata-rata skala dan indek terhadap kesejahteraan
subjective di Desa Berkat, Desa Bangkau dan Dusun Bambaler sebagai berikut; Gerafik 1. dan
Gerafik 2.
Grafik 1. Perasaan Sejahtera Grafik 2. Indek Kesejahteraan Subjektiv
Dari rata-rata skala perasaan sejahtera dari tiga lokasi terlihat tidak sama besar, itu
menunjukkan setiap daerah memaknahi kesejahteraan subjektive cara menilainya tidak sama.
Perbedaan pemaknahan terjadi karena setiap daerah mempunyai lingkungan alam yang berbeda,
maka perlakuan masyarakat terhadap alamnya juga mempunyai perbedaan. Angka skala rata-rata
perasaan sejahtera di Desa Berkat (2,026), di Desa Bangkau (2,150) dan Dusun Bambaler (1,955)
1,9
2
2,1
2,2
2,3
2,4
2,5
Perasaan Sejahtera
Berkat
Bangkau
Bambaler
0
10
20
30
40
50
60
70
Indeks Kesejahteraan Subjektiv
Berkat
Bangkau
Bambaler
Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-05) - 7
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan 16 Juli 2011
memberikan indikasi perasaan sejahtera lebih tinggi di Desa Bangkau dibanding Desa lainnya.
Desa Bangkau memang relatif lebih maju dan terbuka, sedangkan Dusun Bambaler lebih terisolasi,
maka perasaan sejahtera lebih dibentuk oleh keeratan kekeluargaannya.
Perasaan sejahtera dilihat dari indek kesejahteraannya untuk Desa Berkat (51,33), desa
Bangkau (57,52) dan Dusun Bambaler (47,77) adalah sejalan dengan angka rata-ratanya, yang
menginformasikan Desa Bangkau perasaan sejahteranya masih lebih tingi dibandingkan dengan
desa lainnya.
Kesejahteraan Inti
Kesejahteraan inti yang terdiri dari kesehatan dan gizi, kekayaan materi dan ilmu
pengetahuan untuk ketiga lokasi kajian menghasilkan informasi bahwa tingkatan kesejahteraan
masing-masing desa tidak sama, terlihat di dalam Grafik 3. dan Grafik 4. Dari skala angka rata-
rata untuk kesejahteraan kesehatan dan gizi di Desa Berkat lebih baik dari Desa lainnya,
kemudian kesejahteraan kekayaan materi di Desa Bangkau lebih baik dari yang lain, dan
kesejahteraan pengetahuan di Desa Bangkau juga lebih baik dari Desa lainnya. Dari ketiga Desa
tersebut, maka Desa Bangkau lebih berkembang karena masyarakatnya ingin lebih maju dan
didukung oleh keberadaannya lebih dekat dengan Ibu Kota pemerintahan.
Grafik 3. Rata-Rata Kesejahteraan Inti Grafik 4. Indek Kesejahteraan Inti
Dari nilai angka indek untuk kesejahteraan kesehatan dan gizi di Desa Berkat lebih baik
(49,33), dibanding dengan desa lainnya. Indek kesejahteraan kekayaan materi di Desa Bangkau
lebih baik (72,04) dibanding desa lainnya, dan indek pengetahuan desa Bangkau juga lebih baik
(52,68). Maka secara umum kesejahteraan materi Desa Bangkau lebih maju dibandingkan dengan
desa-desa lainnya, baik dilihat dari angka rata-rata kesejahteraan maupun dari nilai indek
kesejahteraan, seperti terlihat dari indek rata-rata kesejahteraan Inti di Desa Berkat (50,66), Desa
Bangkau (55,55) dan Dusun Bambaler (36,48).
Kesejahteraan Pendukung
Kesejahteraan pendukung terdiri dari kesejahteraan alam, kesejahteraan ekonomi,
kesejahteraan sosial, kesejahteraan politik dan kesejahteraan infrastruktur dan pelayanan yang
ternyata di setiap Desa mempunyai tingkatan kesejahteraan berbeda-beda seperti dapat dilihat
pada Grafik 5., dan Grafik 6. Berdasarkan angka rata-rata kesejateraan Alam di dusun Bambaler
lebih baik dibandingkan Desa lainnya, karena kerusakan dan pengambilan sumber daya alamnya
masih lebih rendah Desa Berkat dan Desa Bangkau. Kemudian dari rata-rata kesejahteraan
ekonomi, Desa Bangkau lebih baik dibanding Dusun Bambaler dan Desa Berkat. Kesejahteraan
tersebut terjadi karena adanya stabilitas penghasilan dari sumber daya alam yang tersedia. Dan
dari rata-rata kesejahteraan sosial di Desa Bangkau lebih baik dari yang lainnya, karena tolong
menolong di Desa tersebut lebih besar, begitu juga di Dusun Bambaler dan kemudian di Desa
Berkat.
0
10
20
30
40
50
60
70
80
Indeks
Kesejahteraan
Kesehatan Gizi
Indeks
Kesejahteraan
Kekayaan Materi
Indeks
Kesejahteraan
Pengetahuan
Berkat
Bangkau
Bambaler
0
0,5
1
1,5
2
2,5
3
Rata-Rata
Kesejahteraan
Kesehatan Gizi
Rata-Rata
Kesejateraan
Kekayaan Materi
Rata-Rata Skala
Kesejahteraan
Pengetahuan
Berkat
Bangkau
Bambaler
8 - Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-05)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan 16 Juli 2011
Grafik 5. Kesejahteraan Pendukung Grafik 6. Indek Kesejahteraan Pendukung
Untuk politik angka rara-rata kesejahteraannya lebih baik di Desa Bangkau karena
masyarakat ikut di dalam pengambilan keputusan Desanya, keadaan yang hampir serupa juga di
Bambaler, sedangkan di Desa Berkat akses pemanfaatan sumber daya alamnya yang lebih besar.
Dan kemudian dari rata-rata kesejahteraan infrastruktur dan pelayanan, di desa Bangkau lebih baik,
karena hampir semua sarana infrastruktur sudah tersedia lebih baik dibandingkan dengan Desa
Berkat dan Bambaler.
Dari angka indeks kesejahteraan pendukung dapat diketahui penggambaran perbandingan
antar kesejahteraan dari alam, ekonomi, sosial, politik dan infrastruktur. Penggambaran indek
kesejahteraan alam di Desa Berkat (60,40), di Desa Bangkau (61,93) dan Dusun Bambaler (58,00)
menginformasikan bahwa tingkat pemanfaatan dan pengelolaan alam di ketiga Desa tersebut
berbeda. Di Desa Berkat pemanfaatan lebih tinggi dan pengelolaannya kurang baik dibandingkan
dengan Desa Bangkau dan Dusun Bambaler.
Kemudian dari indek kesejahteraan ekonomi di Desa Berkat (54,00), Desa Bangkau
(64,91) dan Dusun Bambaler (60,00) menunjukkan kemampuan masyarakat di dalam memenuhi
dan mempertahankan kehidupan berbeda antar Desa. Desa Bangkau lebih baik ekonominya
karena adanya kesetabilan pendapatan, begitu juga di Dusun Bambaler, sedangkan di Desa
Berkat agak lemah, karena sumber penghasilan mulai terbatas.
Dari indek kesejahteraan sosial untuk Desa Baerkat (60,66), Desa Bangkau (80,10) dan
Dusun Bambaler (66,11) yang menunjukkan telah terjadi kehidupan masyarakat yang harmonis di
ketiga Desa tersebut. Keharmonisan terbentuk karena sifat gotong royong masyarakat masih besar,
selain saling percaya diantara merek terjalin kuat.
Sesuai dengan indek kesejahteraan politik yang dimiliki Desa Berkat (58,00), Desa
Bangkau (69,89) dan Dusun Bambaler (61,11) memberikan informasi ada peran aktif masyarakat
bersama aparat dusunnya di dalam menjalin kerja sama pembangunan dan menjaga dusunnya.
Kemudian indek kesejahteraan infrastruktur dan pelayanan di Desa Berkat (49,40), di
Desa Bangkau (51,45) dan Dusun Bambaler (36,16) menunjukkan ada kesenjangan kesejahteraan
pendukung di antara ke tiga Desa tersebut. infrastruktur dan pelayanan agak baik di Desa
Bangkau, dan agak kurang di Desa Berkat, serta lebih terbatas lagi di Dusun Bambaler.
Keterbatasan yang umumnya terjadi di Dusun Bambaler meliputi fasilitas pendidikan, pelayanan
kesehatan, pendampingan usaha, pasar, rumah tidak layak huni dan fasilitas transfortasi darat.
Dan berdasarkan indek rata-rata kesejahteraan pendukung, maka secara keseluruhan Desa
Bangkau (65,66) adalah lebih baik dibanding dengan Desa Berkat (56,49) dan lebih baik lagi dari
Dusun Bambaler (56,28).
Dengan kesejahteraan pendukung yang tingkat ketersediaannya dengan jelas dapat
diketahui, akan sangat membantu di dalam membuat perencanan penanggulangan masyarakat
miskin melalui program pembngunan yang memang dibutuhkan oleh masyarakat. (Kusuma, S.H.
2002).
0,00
0,50
1,00
1,50
2,00
2,50
3,00
R
a
t
a
-
R
a
t
a
K
e
s
e
j
a
h
t
e
r
a
a
n
A
l
a
m
R
a
t
a
-
R
a
t
a
K
e
s
e
j
a
h
t
e
r
a
a
n
S
o
s
i
a
l
R
a
t
a
-
R
a
t
a
K
e
s
e
j
a
t
e
r
a
a
n
I
n
f
r
a
s
t
r
u
k
t
u
r
d
a
n
P
e
l
a
y
a
n
a
n
Berkat
Bangkau
Bambaler
0,00
10,00
20,00
30,00
40,00
50,00
60,00
70,00
80,00
90,00
I
n
d
e
k
s
K
e
s
e
j
a
h
t
e
r
a
a
n
A
l
a
m
I
n
d
e
k
K
e
s
e
j
a
h
t
e
r
a
a
n
S
o
s
i
a
l
I
n
d
e
k
K
e
e
j
a
h
t
e
r
a
a
n
I
n
f
r
a
s
t
r
u
k
t
u
r
d
a
n
P
e
l
a
y
a
n
a
n
Berkat
Bangkau
Bambaler
Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-05) - 9
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan 16 Juli 2011
Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan
Masyarakat perairan Rawa dan Danau di Desa Berkat, Desa Bangkau dan Dusun
Bambaler kehidupannya sangat tergantung dengan hasil dari sumber daya perairan, mereka masih
menggunakan teknologi penangkapan Ikan sederhana dalam ukuran kecil dan teknologi
penangkapan tersebut tidak merusak lingkungan walaupun banyak jenis alat tangkap yang
digunakan.
Pengaturan penangkapan ikan melalui hukum adat dan aturan pemerintah dengan
penerapan yang belum ketat terhadap alat tangkap, musim penangkapan, ukuran Ikan, dan mesh
size alat tangkap. Penerapan aturan terhadap teknologi penangkapan bagi kehidupan masyarakat
tradisional yang hidup sesuai dengan norma adat istiadat tidak berdampak negative terhadap
lingkungan perairan Rawa dan Danau. Khusus penangkapan ikan dengan potas, racun dan kontak
listrik masyarakat menolaknya.
Dari tinjauan kuantitatif tentang kesejahteraan masyarakat di Desa Berkat, Desa Bangkau
dan Dusun Bambaler berdasar angka rata-rata kesejahteraan; kesejahteraan subjektive umumnya
mereka merasa sejahtera, kesejahteraan inti menunjukkan mereka dapat bertahan hidup layak dan
kesejahteraan pendukung umumnya sarana yang di dapatkan masih terbatas.
Perasaan sejahtera dilihat dari indek kesejahteraan untuk Desa Berkat (51,33), desa
Bangkau (57,52) dan Dusun Bambaler (47,77) adalah sejalan dengan angka rata-ratanya, bahwa
di Desa Bangkau perasaan sejahteranya masih lebih baik dibandingkan dengan desa lainnya.
Berdasarkan nilai indek kesejahteraan, secara umum kesejahteraan materi Desa Bangkau
lebih maju dibandingkan dengan desa-desa lainnya, baik dilihat dari angka rata-rata kesejahteraan
maupun dari nilai indek kesejahteraan, seperti terlihat dari indek rata-rata kesejahteraan Inti di
Desa Berkat (50,66), Desa Bangkau (55,55) dan Dusun Bambaler (36,48).
Dan berdasarkan indek rata-rata kesejahteraan pendukung, maka secara keseluruhan
Desa Bangkau (65,66) adalah lebih baik dibanding dengan Desa Berkat (56,49) dan lebih baik lagi
dari Dusun Bambaler (56,28).
Saran
Masyarakat yang hidup di perairan Rawa dari etnik Komering, Dayak Bakumpai dan Banjar
memiliki kearifan local yang kuat secara tradisi, sangat layak dilindungi dan diberi fasilitas
pembangunan yang sesuai dengan tradisi kearifan yang telah mereka miliki secara turun temurun.
Dukungan pembangunan ke masyarakat etnik tersebut disesuaikan dengan kebutuhannya
(kesejahteraan subjektiv, kesejahteraan inti dan kesejahteraan pendukung) yang spesifik dari
masyarakat mereka, dan pemerintah akan mempunyai peluang besar ikut serta tetap aktif di dalam
menjaga lingkungan alam di sekitar penghidupan mereka secara lestari.
Daftar Pustaka
Bank Dunia. 2000. Attacking Poverty: World Development Report 2002-2001.
Bappenas. 2005. Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan. Secretariat Kelompok Kerka
Perencanaan Makro Penanggulangan Kemiskinan Bappenas-Komite Penanggulangan
Kemiskinan.
10 - Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-05)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan 16 Juli 2011
Cahyat, A., Gonner, C. And Haug, M. 2007 Mengkaji Kemiskinan dan Kesejateraan Rumah
Tangga: Sebuah Panduan dengan Contoh dari Kutai Barat, Indonesia. CIFOR, Bogor,
Indonesia. 121p.
Chambers, R. 1995. Poverty and Livelihoods: Whose Reality Counts? Dalam Kartasasmita, G.,
1996. Pembangunan Untuk Rakyat: Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan. Cides.
Jakarta.
Menko Kesra. 2005. Strategi Penanggulangan Kemiskinan Nasional. Tim Koordinasi Penyiapan
Penyusunan Perumusan Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan. Bidang Koordinasi
Penanggulangan Kemiskinan.
Mikkelsen, B. 2001. Metode Penelitian Partisipatoris dan Upaya-Upaya Pemberdayaan: Sebuah
Buku Pegangan Bagi Para Praktisi lapangan. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Mukherjee, L., Hardjono, J., Carriere, E. 2002. Masyarakat, Kemiskinan dan Mata Pencaharian:
Mata Rantai Pengurangan Kemiskinan di Indonesia. The World Bank dan Departement for
International Development ( DFID). Jakarta. Indonesia.
Setiawan, B. 2010. Konsep dan Analisis Isue Kemiskinan dan Ketahanan pangan Masyarakat
Pesisir. Makalah dalam Pelatihan metodologi Riset. Balai Besar Riset Sosial Ekonomi
Kelautan dan Perikanan, Jakarta, tanggal 5-8 Juli.
Sherraden, M. 2006. Aset Untuk Orang Miskin. Perspektif Baru Usaha Pengentasan Kemiskinan.
PT RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Kusuma, S.H. 2002. Membangun Institusi Warga Untuk Menanggulangi Kemiskinan Masyarakat
dan Kelembagaan Lokal. Pengalaman Kasus Proyek Penanggulangan Kemiskinan
Perkotaan. Jurnal Analisis Sosial Vol. 7 No. 2 Juni 2002. Akatiga Bandung.
LAMPIRAN
Tabel. 1. Indeks dan Rata-Rata Kesejahteraan Subjective , 2010
Perasaan/Rata-Rata dan Indeks Berkat Bangkau Bambaler
Perasaan Sejahtera 2,200 2,452 2,133
Perasaan Miskin 1,840 1,290 1,733
Perasaan Bahagia 2,040 2,710 2,000
Rata-Rata Atribut Subjective 2,026 2,150 1,955
Indeks Kesejahteraan Subjektiv 51,333 57,527 47,778
Tabel. 2. Rata-Rata dan Indek Kesejahteraan Inti , 2010
Unsur dan Indeks Berkat Bangkau Bambaler
Kekurangan Makanan 1,920 1,613 2,067
Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-05) - 11
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan 16 Juli 2011
Akses Kepada Air Minum 2,280 2,419 2,233
Akses Kepada Pelayanan Kesehatan 1,760 1,677 1,367
Indeks Kesejahteraan Kesehatan Gizi 49,333 41,935 44,444
Kondisi Rumah 2,480 2,323 1,667
Memiliki Mesin Ces/Spid 2,080 2,613 1,933
Memiliki Antena Parabola 2,440 2,387 2,000
Indeks Kesejahteraan Kekayaan Materi 66,667 72,043 43,333
Tingkat Pendidikan Formal Dewasa 1,640 1,774 1,300
Jumlah Anak Bersekolah/Putus Sekolah 1,760 2,355 1,533
Pengetahuan Formal 1,760 2,032 1,467
Indeks Kesejahteraan Pengetahuan Formal 36,000 52,688 21,667
Tabel. 3. Rata-Rata dan Indeks Kesejahteraan Pendukung , 2010
Unsur dan Indeks Berkat Bangkau Bambaler
Kunjungan ke Hutan, Sungai, Danau 2,800 2,935 2,933
Tingkat Kerusakan Lingkungan Alam 1,440 1,161 1,100
Keberadaan Burung atau Bangau 2,640 2,774 2,767
Pengambilan SDA Secara Berlebihan 1,640 1,645 1,200
Mutu Air 2,520 2,677 2,800
Alam 60,400 61,935 58,000
Sumber Penghasilan 2,280 2,323 2,267
Stabilitas Penghasilan 2,400 2,742 2,667
Persediaan dan Kemampuan Memelihara Ikan 2,440 2,742 2,700
Akses Pada Kredit 1,200 1,387 1,167
Ekonomi 54,000 64,919 60,000
Tingkat Tolong Menolong 2,520 2,871 2,900
Tingkat Saling Percaya 2,160 2,806 2,800
Konflik 1,960 1,226 1,267
Sosial 60,667 80,108 66,111
Akses Kepada Sumber Daya Alam 2,760 2,645 2,633
Akses Kepada Informasi 1,640 2,161 1,667
Ikut Serta Mengambil Keputusan di Dusun 2,080 2,387 2,367
Politik 58,000 69,892 61,111
Fasilitas Pendidikan Dasar 2,320 1,903 1,800
Kualitas Pendidikan di Sekolah 2,040 2,097 1,233
Fasilitas Pelayanan Kesehatan 2,120 1,677 1,167
Pelatihan dan Pendampingan Usaha 1,280 1,935 1,267
Kondisi Aliran Sungai 2,680 2,774 2,700
12 - Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-05)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan 16 Juli 2011
Fasilitas Pasar 1,360 1,613 1,167
Bantuan Rumah Tidak Layak Huni 1,520 1,419 1,367
Persepsi Terhadap Program Pemerintah 2,000 2,161 2,167
Fasilitas Komunikasi 2,160 2,000 1,667
Pelayanan Rohani 2,400 2,710 2,700
Infrastruktur dan Pelayanan 49,400 51,452 36,167
Tanya Jawab
Pertanyaan : Apakah perbeddaan Danau dan Rawa?
Jawaban : Danau cenderung melekat pada daratan sehingga infrastruktur lebih maju. Rawa
cenderung bergabung dengan perairan sehingga infrasturktur atau
pemanfaatannya lebih rendah.
Pertanyaan : Adakah keinginan masyarakat untuk melestarikan lingkungan ?
Jawaban : Adanya keseimbangan antara unsur kepentingan (kebutuhan makan) dan unsur
rasa (perasaan untuk melestarikan) sehingga kelestarian menjadi pokok dan
masyarakat sangat peduli dengan hal tersebut. Akan tetapi ada permainan
politik yang terkadang membuat mereka merasa terpinggirkan.
Pertanyaan : Apakah hasil penelitian anda dapat dikomposisikan dengan indeks lain, seperti
indeks happiness?
Jawaban : Pendekatan indeks Happiness dapat dilakukan dengan menganalisis kondisi
(unsur rasa) masyarakat.
Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-06) - 1
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan 16 Juli 2011
KAJIAN NILAI TUKAR PELAKU USAHA SEKTOR KELAUTAN DAN PERIKANAN
Sonny Koeshendrajana dan Subhechanis Saptanto
Peneliti Sosial Ekonomi Perikanan pad a Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan
Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan
Email: sonny_koes@yahoo.com
Abstrak
Nilai Tukar Nelayan (NTN) dan Nilai Tukar Pembudidaya Ikan (NTPi) sejak tahun 2011 telah
ditetapkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan sebagai indikator penduga (proxy indicator)
dalam mengukur tingkat kesejahteraan masyarakat nelayan/pembudidaya ikan secara relatif dan
merupakan ukuran kemampuan rumah tangga nelayan/pembudidaya ikan untuk memenuhi
kebutuhan subsistennya. Sedangkan nilai tukar (terms of trade) penerimaan pelaku usaha sektor
kelautan dan perikanan dapat digunakan sebagai indikator tingkat profitabilitas suatu usaha sektor
kelautan dan perikanan yang dioperasikan. Kajian ini didasarkan atas hasil penelitian Panel
Kelautan dan Perikanan Nasional (PANELKANAS) yang telah dilakukan oleh Balai Besar Riset
Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan (BBRSE-KP) pada tahun 2010. Metoda survai monitoring
digunakan dalam penelitian ini. Analisis nilai tukar pelaku usaha sektor kelautan dan perikanan
digunakan dalam penelitian ini. Hasil penelitian menyajikan nilai tukar penerimaan pelaku usaha
menurut tipologi sumberdaya kelautan dan perikanan yang di amati serta faktor-faktor yang
berpengaruh dalam pembentukan nilai tukar tersebut. Berdasarkan hasil-hasil tersebut, implikasi
kebijakan upaya peningkatan kesejahteraan nelayan dan pembudidaya ikan dirumuskan.
Kata Kunci: PANELKANAS, indikator kinerja, nilai tukar nelayan, nilai tukar pembudidaya ikan,
kesejahteraan
Pengantar
Sektor kelautan dan perikanan adalah sektor yang dianggap sebagai sleeping giant dan
merupakan salah satu sektor penggerak perekonomian Indonesia. Pembangunan sektor kelautan
dan perikanan pada dasarnya bertujuan untuk mensejahterakan masyarakat kelautan dan
perikanan baik nelayan pesisir, laut dan perairan lainnya, pembudidaya, pelaku pengolahan serta
stakeholders lainnya. Pembangunan sektor kelautan dan perikanan pada keempat tipologi tersebut
turut memberikan sumbangan pada produk domestik bruto (PDB), peningkatan pendapatan,
penyerapan tenaga kerja, dan perolehan devisa melalui ekspor perikanan.
Data dan informasi mengenai kondisi sosial ekonomi pedesaan sektor kelautan dan
perikanan yang bersifat mikro dibutuhkan bagi pengambil kebijakan sebagai dasar perencanaan
pembangunan pedesaan khususnya termasuk pedesaan kelautan dan perikanan yang terkait
dengan dinamika yang terjadi di pedesaan dalam penyempurnaan program terkait. Menurut data
yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik, kontribusi sektor perikanan dalam PDB nasional dari
2004 2009 rata-rata sekitar 2,2% sedangkan kontribusi perikanan terhadap PDB nasional tanpa
migas rata-rata 2,4%. Pada tahun 2004, PDB sektor perikanan dengan harga konstan (2000 =100)
sebesar 36.596,3 milyar rupiah dan pada tahun 2009 meningkat menjadi 48.253,2 milyar rupiah
(BPS, 2011). Peningkatan secara makro tersebut dilatarbelakangi berbagai program pembangunan
dalam rangka mewujudkan visi dan misi pemerintah. Visi pemerintah adalah Indonesia penghasil
produk kelautan dan perikanan terbesar 2015 dan Misi yang hendak dicapai oleh pemerintah
dalam sektor kelautan dan perikanan adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat kelautan
dan perikanan. Misi tersebut berusaha dicapai melalui berbagai program yang ada di Kementerian
Kelautan dan Perikanan berupa kebijakan yang disusun oleh direktorat jenderal terkait.
Menurut Zulham et al. (2011), secara nasional indeks nilai tukar nelayan sejak Januari
2008 sampai Juni 2010 lebih tinggi dari indeks nilai tukar gabungan dan indeks pembudidaya ikan.
Hal tersebut dapat dilihat pada Gambar 1 sebagai berikut.
SE-06
2 - Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-06)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Gambar 1. Indeks Nilai Tukar Perikanan Januari 2008 sampai Juni 2010
(diadopsi dari Zulham et al., 2011)
Panel Kelautan dan Perikanan Nasional (PANELKANAS) merupakan kegiatan penelitian
yang mampu menyajikan data dasar di tingkat rumah tangga secara periodik. Melalui kegiatan
PANELKANAS dapat diungkapkan aspek-aspek penting seperti data dan informasi terkait dengan
perkembangan usaha, pendapatan dan konsumsi rumah tangga dan kelembagaan usaha sektor
kelautan dan perikanan. Hasil lainnya adalah sebagai salah satu indikator yang dapat digunakan
untuk menilai dampak dari kebijakan pemerintah dalam bentuk pengukuran daya beli (purchasing
power) dari rumah tangga kelautan dan perikanan. Daya beli tersebut dapat diukur melalui indeks
nilai tukar rumah tangga perikanan yang selanjutnya disebut sebagai Nilai Tukar Perikanan (NTP).
NTP merupakan salah satu indikator penting yang digunakan untuk mengetahui dinamika
tingkat kesejahteraan masyarakat kelautan dan perikanan. Secara sederhana NTP diukur sebagai
rasio indeks harga yang diterima dan indeks harga yang dibayar oleh rumah tangga perikanan.
NTP sangat erat kaitannya dengan kemampuan dan daya beli nelayan/pembudidaya ikan dalam
mencukupi kebutuhan hidup rumah tangganya.
Dengan diketahuinya NTP maka dapat disusun suatu rumusan kebijakan untuk
mewujudkan visi dan misi pemerintah. Menurut Soeharjo et al. (1980) dalam Ustriyana (2008) nilai
tukar memiliki dua kegunaan yaitu : 1). Sebagai alat deskripsi dimana dapat menjelaskan secara
statistik atau indeks mengenai kecenderungan jangka pendek dan jangka panjang tentang prilaku
harga barang-barang. 2). Sebagai alat untuk keperluan perumusan kebijakan (tool for policy).
Sehingga tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis nilai tukar penerimaan pelaku usaha
menurut tipologi sumberdaya kelautan dan perikanan dan menganalisis faktor-faktor yang
berpengaruh dalam pembentukan nilai tukar tersebut.
Metodologi
Kerangka Teoritis
Kerangka teoritis penghitungan nilai tukar komoditas perikanan yang dilakukan adalah
mengikuti diagram alir seperti diilustrasikan pada Gambar 2.
Berdasarkan kerangka teoritis tersebut pada Gambar 2, sangat erat kaitannya dengan
pendapatan dan konsumsi pangan dan gizi rumah tangga, dengan kata lain NTP dapat digunakan
sebagai proksi tingkat kesejahteraan rumah tangga. Hal ini juga memberikan informasi bahwa nilai
tukar dapat merepresentasikan gambaran kemiskinan.
NTP berasal dari dua faktor yaitu faktor pendapatan dan pengeluaran rumah tangga.
Pendapatan berasal dari sektor perikanan dan non perikanan. Sedangkan pengeluaran ditujukan
untuk usaha, konsumsi pangan dan non pangan. Dengan adanya NTP dapat diketahui sampai
sejauh mana tingkat kemiskinan rumah tangga. Jika kemiskinan meningkat maka perlu dilakukan
perbaikan teknologi (adopsi) dan kelembagaan usaha sebagai bahan masukan untuk rumusan
kebijakan di direktorat terkait.
90
100
110
J
a
n
-
0
8
M
a
r
-
0
8
M
a
y
-
0
8
J
u
l
-
0
8
S
e
p
-
0
8
N
o
v
-
0
8
J
a
n
-
0
9
M
a
r
-
0
9
M
a
y
-
0
9
J
u
l
-
0
9
S
e
p
-
0
9
N
o
v
-
0
9
J
a
n
-
1
0
M
a
r
-
1
0
M
a
y
-
1
0
I
n
d
e
k
s
/
I
n
d
e
x
Bulan/Month
NTP Gabungan/Combined Index of the Fisheries Term of Trade
NTP Nelayan/Term of Trade Index of Fishermen
NTP Pembudidaya/Term of Trade Index of Fish Farmer
Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-06) - 3
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan 16 Juli 2011
Gambar 2. Bagan Alir Keterkaitan Aspek Usaha, Pendapatan dan Konsumsi Rumah Tangga dan
Kelembagaan Usaha Kelautan dan Perikanan (Diadopsi dari Koeshendrajana, 2011)
Jenis dan Sumber Data
Jenis data dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data primer diperoleh
dari survey lapang dengan menggunakan alat bantu kuesioner terstruktur meliputi usaha,
pendapatan dan konsumsi rumah tangga pelaku kegiatan usaha kelautan dan perikanan. Data
sekunder berasal dari data-data yang diperoleh dari Dinas Kelautan dan Perikanan setempat dan
sumber lain yang terkait dengan topik studi.
Lokasi dan Waktu Penelitian
Waktu penelitian dilakukan dari bulan Januari 2010 - Desember 2010. Lokasi yang dipilih
merupakan lokasi yang menjadi lokasi penelitian Panel Perikanan Nasional (PANELKANAS).
Lokasi itu dibagi menurut empat tipologi yaitu : perikanan tangkap di laut (PTL), perikanan tangkap
di perairan umum daratan (PTPUD), perikanan budidaya (PB) dan produk kelautan (PK). Lokasi
tipologi perikanan tangkap di laut terpilih adalah kabupaten-kabupaten:: Sibolga (pelagis kecil),
Bitung (pelagis besar), Sampang (pelagis kecil), Sambas (demersal) dan Cirebon (udang penaid).
Lokasi perikanan tangkap di perairan umum daratan terpilih adalah kabupaten-kabupaten: Ogan
Komering Ilir (rawa banjiran) dan Purwakarta (waduk). Lokasi dengan tipologi perikanan budidaya
terpilih adalah kabupaten-kabupaten: Cianjur (KJA), Gresik dan Pangkep (tambak udang dan
bandeng), Klungkung (rumput laut) dan Subang (kolam air tawar). Untuk tipologi produk kelautan
yang menjadi lokasi terpilih adalah kabupaten Jeneponto dan kabupaten Sumenep, dimana kedua
lokasi tersebut merepresentasikan produk kelautan garam.
Metode Pengumpulan Data
Data sekunder yang dikumpulkan digunakan sebagai data pendukung dalam penentuan
lokasi kegiatan. Pada mulanya data primer diperoleh melalui metode mail survey dan expert
judgement. Mail survey dilakukan dengan cara mengirimkan kuesioner-kuesioner ke kantor-kantor
dinas kelautan dan perikanan untuk melihat gambaran tipologi dari lokasi. Metode expert
judgement dilakukan dengan cara diskusi dengan para pakar setelah melihat data-data sekunder
yang telah didapat. Diskusi pakar dilakukan dalam rangka verifikasi data-data sekunder dengan
kondisi dilapangan, untuk menentukan lokasi desa contoh pada masing-masing kabupaten.
4 - Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-06)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Workshop atau semiloka dilakukan untuk koordinasi dan mendapatkan masukan dari berbagai
lembaga-lembaga terkait dan tokoh-tokoh masyarakat setempat.
Panel data mikro adalah data berkala yang dikumpulkan dari responden (baik individu
maupun keluarga) yang sama. Panel data mikro dikumpulkan melalui survei penampang lintang
terhadap sejumlah responden yang sama yang dilakukan secara berkala. Desa contoh di setiap
propinsi dipilih secara sengaja (sesuai dengan tujuan) dengan mempergunakan beberapa
pertimbangan keberadaan sistem usaha perikanan (perikanan tangkap dan perikanan budidaya)
serta jenis perairan (perairan laut, pantai dan air tawar). Pengumpulan data primer dilakukan
melalui mekanisme survai monitoring pada masing-masing lokasi terpilih sesuai dengan aspek
atau tema yang ditentukan. Pengambilan data primer tersebut dilakukan dengan bantuan
instrumen (kuesioner) terstruktur terhadap 40 responden rumah tangga mewakili tipologi yang
telah ditentukan terdahulu.
Metode Analisis Data
Terdapat beberapa pendekatan yang dapat digunakan untuk menghitung nilai tukar
diantaranya adalah konsep barter/pertukaran, konsep faktorial, konsep pendapatan dan konsep
subsisten (Supriyati, 2005). Metode analisis data yang digunakan untuk menghitung Nilai Tukar
Perikanan dalam makalah ini mengikuti metode yang digunakan oleh Elizabeth dan Darwis (2000);
Indraningsih et al. (2003); dan Supriyati (2005). Pendekatan yang digunakan adalah dengan
menggunakan pendekatan Konsep Pendapatan. Konsep ini dapat melihat tingkat profitabilitas dari
suatu usaha tertentu tetapi nilai tukarnya hanya menggambarkan nilai tukar dari suatu komoditas
tertentu dimana komponen pendapatan dan pengeluarannya belum tergambar secara keseluruhan
(Elizabeth dan Darwis, 2000). Secara matematis dirumuskan sebagai :
NTP =
dimana,
NTP : Nilai Tukar Penerimaan/Pendapatan yang menggambarkan tingkat profitabilitas dari
usaha kelautan/perikanan produk tertentu dan belum mencakup keseluruhan komponen
pendapatan dan pengeluaran pelaku usaha kelautan dan perikanan.
Px : Harga faktor produksi x
Py : Harga produk y
Qx : Jumlah kuantitas faktor produksi x
Qy : Jumlah kuantitak produk y
Hasil Dan Pembahasan
Perikanan Tangkap Di Laut
Lokasi PANELKANAS untuk Perikanan Tangkap di Laut berjumlah sebanyak 5 lokasi.
Masing-masing lokasi mewakili masing-masing tipologi. Tipologi pelagis kecil diwakili oleh lokasi
Sibolga dan Sampang, tipologi pelagis besar diwakili oleh Bitung, tipologi demersal diwakili oleh
Sambas dan tipologi udang penaid diwakili oleh Cirebon.
Analisis Usaha Perikanan Tangkap di Laut
Unit yang digunakan pada analisis usaha perikanan tangkap ikan di laut adalah usaha
yang dilakukan dalam kurun waktu satu tahun. Untuk pelagis kecil, biaya operasional yang
dikeluarkan per tahun sebesar Rp 97.419.760,- dan biaya yang paling besar dikeluarkan adalah
untuk bahan bakar (65% dari total biaya operasional). Biaya usaha yang dikeluarkan berjumlah Rp
145.891.394,- per tahun dan penerimaannya sebesar Rp 687.761.394,-. Analisis usaha perikanan
pelagis menunjukkan bahwa usaha pelagis kecil masih menguntungkan disebabkan nilai R/C lebih
dari satu. Untuk pelagis besar biaya yang dikeluarkan untuk bahan bakar sebesar Rp 65.229.461,-
(81% dari total biaya operasional). Dalam satu tahun diperlukan biaya sebesar Rp 82.856.525,-
untuk melakukan usaha penangkapan ikan pelagis besar. Usaha penangkapan ikan pelagis besar
dikatakan masih layak karena nilai RC rationya sebesar 7,77. Untuk penangkapan ikan demersal
dan udang penaid memerlukan biaya usaha setahunnya masing-masing sebesar Rp 109.139.241,-
dan Rp 153.967.637,-. Penerimaan yang didapat masing-masing sebesar Rp 372.890.056,- dan
Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-06) - 5
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan 16 Juli 2011
Rp 270.529.796,-. Baik usaha perikanan demersal maupun udang masih layak dilakukan karena
nilai Rc Rationya yang lebih dari satu.
Nilai Tukar Penerimaan Usaha Perikanan Tangkap di Laut
Untuk pelagis kecil dan pelagis besar, nilai tukar penerimaan terhadap saprodi lebih kecil
bila dibandingkan terhadap ransum dan pengeluaran lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa nelayan
pelagis kecil dan pelagis besar lebih banyak mengeluarkan biaya untuk faktor produksinya.
Hasil analisis nilai tukar penerimaan PTL dapat dilihat pada Tabel 1 sebagai berikut.
Tabel 1. Nilai Tukar Penerimaan Usaha Perikanan Tangkap di Laut, 2010.
Unit : 1 tahun
URAIAN
Tipologi Perikanan Tangkap
Pelagis Kecil Demersal Udang Pelagis Besar
I Biaya Usaha : 145.891.394 109.139.241 153.967.637 82.856.525
1. Biaya Operasional 97.419.760 29.729.700 18.898.578 65.299.461
1.1 Bahan Bakar 62.933.503 29.729.700 18.898.578 52.916.014
1.2 Garam 1.880.379
1.3 Es Balok 12.184.576 8.704.400
1.4 Umpan 20.421.302 3.679.047
2. Ransum 38.289.741 9.151.362 10.717.661 15.962.064
3. Lain-lain 10.181.893 70.258.179 124.351.398 1.595.000
II Penerimaan
687.761.394
372.890.056 270.529.796 643.419.852
R/C
4,71 3,42 1,76 7,77
III Nilai Tukar Penerimaan
1. Terhadap Biaya Operasional 7,06 12,54 19,73 5,71
a. Bahan Bakar 10,93 12,54 19,73 7,05
b. Garam 365,76
c. Es Balok 56,45 42,84
d. Umpan 33,68 101,36
2. Ransum 17,96 40,75 34,79 23,36
3. Lain-lain 67,55 5,31 3,00 233,79
Sumber : BBRSEKP, 2010 (diolah)
Untuk dekomposisi faktor produksi pada pelagis kecil, nilai tukar penerimaan terhadap
minyak campur (BBM) lebih kecil nilainya bila dibandingkan dengan faktor produksi lainnya. Hal ini
menunjukkan minyak campur merupakan bahan bakar yang banyak digunakan oleh nelayan
pelagis kecil dalam melakukan usaha penangkapan. Sedangkan untuk pelagis besar, nelayan
banyak mengeluarkan biaya untuk bahan bakar solar karena armada pada umumnya
menggunakan solar sebagai bahan bakar utamanya.
Perikanan Tangkap di Perairan Umum Daratan
Lokasi penelitian perikanan tangkap di perairan umum daratan ada di OKI dan Purwakarta.
Untuk Ogan Komering Ilir/OKI mewakili tipologi sungai dan rawa banjiran sedangkan Purwakarta
merepresentasikan tipologi waduk.
Analisis Usaha Perikanan Tangkap di Perairan Umum Daratan
Pada tipologi sungai/rawa banjiran dikenal musim puncak dan biasa. Biaya usaha banyak
dikeluarkan untuk membeli umpan. Dalam setahun dibutuhkan biaya umpan rata-rata sebesar Rp
3.606.300,- (78% dari biaya operasional/faktor produksi). Penerimaan rata-rata sebesar Rp
15.337.204,-,. Usaha perikanan tangkap di sungai.rawa banjiran ini dapat dikatakan masih cukup
6 - Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-06)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
layak disebabkan nilai RC ratio nya rata-rata sebesar 2,55 (lebih dari satu). Dalam tipologi waduk
dikenal penangkapan dengan menggunakan perahu motor dan tanpa motor. Pada umumnya
pengeluaran usaha lebih banyak dikeluarkan oleh penangkapan dengan perahu motor karena ada
tambahan pembelian bahan bakar sedangkan untuk tanpa motor biaya lebih banyak dikeluarkan
untuk membeli es balok. Biaya usaha perahu motor dan tanpa motor dalam setahun masing-
masing sebesar Rp 12.055.000,- dan Rp 6.081.818,- dengan penerimaan masing-masing sebesar
Rp 24.700.000,- dan Rp 12.825.000,-. Baik penangkapan usaha dengan perahu motor maupun
tanpa motor dikatakan masih cukup layak dilakukan disebabkan nilai dari RC Rationya lebih dari
satu.
Nilai Tukar Penerimaan Usaha Perikanan Tangkap di Perairan Umum Daratan
Pada saat musim puncak, sungai dan rawa banjiran memiliki nilai tukar penerimaan yang
lebih baik bila dibandingkan dengan musim biasa. Untuk tipologi waduk, perahu motor memiliki
nilai tukar penerimaan yang lebih baik bila dibandingkan dengan perahu tanpa motor. Nilai tukar
penerimaan terhadap umpan adalah yang paling kecil untuk sungai dan rawa banjiran. Hal ini
menunjukkan bahwa biaya yang dikeluarkan nelayan untuk membeli umpan lebih besar bila
dibandingkan dengan faktor produksi lainnya. Untuk waduk, perahu motor memiliki nilai tukar
penerimaan terhadap ransum yang lebih kecil daripada saprodi (minyak tanah). Hal ini
menunjukkan bahwa biaya yang dikeluarkan oleh nelayan untuk ransum lebih besar daripada
biaya untuk minyak tanah. Namun untuk perahu tanpa motor nilai tukar penerimaan terhadap
saprodi (es balok) lebih kecil daripada ransum. Hal ini mengindikasikan bahwa biaya yang
dikeluarkan oleh nelayan untuk es balok lebih besar daripada biaya untuk ransum.
Hasil analisis nilai tukar penerimaan usaha PTPUD dapat dilihat pada Tabel 2 sebagai berikut.
Tabel 2. Nilai Tukar Penerimaan Usaha Perikanan Tangkap di Perairan Umum Daratan, 2010.
Unit : 1 tahun
Uraian
Sungai dan Rawa Banjiran Waduk
Musim Puncak Musim Biasa
Perahu
Motor
Perahu Tanpa
Motor
I.
Biaya Usaha (Rp/thn) 6.351.720
5.443.107 12.055.000 6.081.818
1. Faktor Produksi : 5.049.614
4.216.275 3.100.000 3.600.000
1.1 BBM 607.500
607.500 3.100.000
1.2 Garam 81.000
81.000
1.3 Es Balok 343.514
332.775 3.600.000
1.4 Umpan 4.017.600
3.195.000
2. Ransum 1.302.106
1.226.832 8.955.000 2.481.818
II.
Penerimaan Usaha (Rp/thn) 20.030.240
10.644.167 24.700.000 12.825.000
R/C 3,15
1,96 2,05 2,11
III.
Nilai Tukar Penerimaan
3.1 Terhadap Faktor Produksi 3,97
2,52 7,97 3,56
3.2 Terhadap BBM 32,97
17,52 7,97
3.3 Terhadap Garam 247,29
131,41
3.4 Terhadap Es Balok 58,31
31,99 3,56
3.5 Terhadap Umpan 4,99
3,33
3.6 Terhadap Ransum 15,38
8,68 2,76 5,17
Sumber : BBRSEKP, 2010 (diolah)
Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-06) - 7
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan 16 Juli 2011
Perikanan Budidaya
Penelitian PANELKANAS untuk perikanan budidaya dilakukan di lima lokasi. Tambak
udang dan bandeng ada di Gresik dan Pangkep, budidaya laut dengan komoditas rumput laut
terdapat di Klungkung, Bali, budidaya KJA di Cianjur dan budidaya kolam di Subang.
Analisis Usaha Perikanan Budidaya
Untuk usaha budidaya tambak udang dan bandeng dalam satu tahunnya dikeluarkan biaya
usaha sebesar Rp 48.555.211,- dengan penerimaan sebesar Rp 107.742.688,-. Biaya produksi
yang paling banyak dikeluarkan adalah untuk pembelian benih yang mencapai 84% dari total biaya
produksi. Usaha perikanan tambak udang dan bandeng berdasarkan analisis usaha dikatakan
cukup layak dilakukan karena nilai R/C rationya masih lebih besar dari satu. Berdasarkan hasil
analisis diperoleh informasi bahwa usaha dari keempat jenis budidaya masih dikatakan
menguntungkan bila dilihat dari nilai R/C ratio yang lebih dari satu. Untuk budidaya laut biaya
usaha yang dikeluarkan dalam setahun hanya sekitar Rp 2.806.133,- dengan penerimaan sebesar
Rp 30.296.656,-. Dengan melihat perbedaan tersebut dapat dikatakan bahwa usaha budidaya
rumput laut sangat menguntungkan karena nilai R/C ratio yang dihasilkan dapat mencapai sebesar
10,8. Pada budidaya dengan menggunakan KJA membutuhkan biaya usaha yang sangat besar
yakni mencapai Rp 237.117.057,- dalam setahun. Dengan penerimaan sebesar Rp 332.245.807,-.
Nilai R/C ratio yang dihasilkan sebesar 1,4 sehingga menjadikan usaha budidaya dengan
menggunakan KJA cukup layak untuk dilakukan karena nilainya lebih dari satu. Untuk perikanan
budidaya di kolam, biaya usaha yang dikeluarkan dalam setahun sebesar Rp 47.871.609,- dengan
penerimaan yang diperoleh adalah sebesar Rp 114.234.909,-. Berdasarkan hasil analisis usaha
yang dilakukan diperoleh nilai R/C ratio sebesar 2,39. Ini mengindikasikan bahwa usaha budidaya
di kolam masih layak untuk dilakukan karena nilai R/C rationya lebih dari satu.
Nilai Tukar Penerimaan Usaha Perikanan Budidaya
Faktor produksi budidaya umumnya terdiri dari induk/benih/bibit, pupuk, obat-obatan,
pakan, tenaga kerja dan lain-lainya. Untuk budidaya tambak, nilai tukar penerimaan terhadap
saprodi lebih kecil bila dibandingkan dengan tenaga kerja. Hal ini menunjukkan biaya lebih besar
dikeluarkan untuk membeli faktor produksi. Sementara itu dari dekomposisi nilai tukar penerimaan
terhadap biaya saprodi menunjukkan bahwa nilai tukar penerimaan terhadap induk dan benih/bibit
paling kecil. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat peningkatan harga benih untuk budidaya tambak.
Peningkatan harga saprodi untuk bibit terjadi juga pada budidaya laut. Untuk budidaya KJA di
waduk, nilai tukar penerimaan terhadap saprodi lebih kecil bila dibandingkan dengan tenaga kerja
ataupun biaya lainnya dengan kata lain biaya yang dikeluarkan oleh pembudidaya untuk saprodi
lebih besar bila dibandingkan dengan lainnya. Untuk dekomposisi saprodi, nilai tukar penerimaan
terhadap pakan lebih kecil bila dibandingkan terhadap benih dan pupuk. Hal ini menunjukkan
bahwa pembudidaya lebih banyak mengeluarkan biaya untuk pakan dalam menjalankan
usahanya. Budidaya kolam memiliki karakteristik yang sama dengan budidaya KJA dimana nilai
tukar penerimaan saprodi lebih kecil bila dibandingkan dengan tenaga kerja dan lainnya. Selain itu
dari sisi dekomposisi saprodi, pakan juga memegang peranan penting dikarenakan pembudidaya
kolam banyak mengeluarkan biaya untuk pembelian pakan. Hasil analisis dapat dilihat pada Tabel
3 sebagai berikut ini.
Tabel 3. Nilai Tukar Penerimaan Usaha Perikanan Budidaya, 2010.
Unit : 1 tahun
Uraian Tambak
Budidaya
Laut
KJA Kolam
I. Biaya Usaha (Rp/Thn) : 48.555.211 2.806.133 237.117.057 47.871.609
1. Faktor Produksi : 39.199.711 1.935.596 223.442.057 37.612.442
1.1 Induk dan Benih/Bibit 33.039.034 1.935.596 39.998.657 12.167.212
2.1 Pupuk 4.879.861 25.800.000 1.264.376
3.1 Obat-obatan 1.280.816 858.383
4. 1 Pakan 157.643.400 23.322.471
2. Tenaga Kerja 9.355.500 624.657 12.300.000 9.155.834
3. Lain-lain 0 245.880 1.375.000 1.103.333
8 - Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-06)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
II. Penerimaan (Rp/Thn) : 107.742.688 30.296.656 332.245.807 114.234.909
R/C 2,22 10,80 1,40 2,39
III. Nilai Tukar Penerimaan
3.1 Terhadap Faktor Produksi 2,75 15,65 1,49 3,04
3.2 Terhadap Induk dan Benih/Bibit 3,26 15,65 8,31 9,39
3.3 Terhadap Pupuk 22,08 12,88 90,35
3.4 Terhadap Obat-obatan 84,12 133,08
3.5 Terhadap Pakan 2,11 4,90
3.6 Terhadap Tenaga Kerja 11,52 48,50 27,01 12,48
3.7 Terhadap Lain-lain 123,22 241,63 103,54
Sumber : BBRSEKP, 2010 (diolah)
Produk Kelautan-Garam
Untuk tipologi produk kelautan dengan komoditas garam diwakili oleh wilayah Jeneponto
dan Sumenep karena kedua wilayah tersebut banyak menghasilkan garam. Penggabungan kedua
wilayah tersebut mencirikan nilai tukar penerimaan produk kelautan komoditas garam.
Analisis Usaha Produk Kelautan
Hasil analisis menunjukkan usaha garam masih sangat layak untuk dilaksanakan. Hal ini
ditunjukkan dengan nilai R/C yang nilainya lebih dari satu. Biaya usaha garam banyak dikeluarkan
untuk membayar tenaga kerja (persiapan lahan, pemanenan dan pengarungan). Dalam satu
tahunnya biaya yang harus dikeluarkan untuk usaha adalah sebesar Rp 33.742.676,- dengan
penerimaan sebesar Rp 121.576.269,-. Usaha tambak garam tetap dapat dilaksanakan karena
nilai RC rationya sebesar 3,60.
Nilai Tukar Penerimaan Usaha Produk Kelautan
Biaya usaha yang dikeluarkan oleh petambak garam pada umumnya terdiri dari karung
dan tenaga kerja (persiapan lahan, pemanenan dan pengarungan). Nilai tukar penerimaan
terhadap tenaga kerja pemanenan dan pengarungan lebih kecil bila dibandingkan terhadap
lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa petambak garam lebih banyak mengeluarkan biaya dalam
usaha produksi untuk tenaga kerja khususnya untuk tenaga kerja panen dan pengarungan. Tabel 4
menunjukkan hasil analisis nilai tukar penerimaan garam dari tipologi produk kelautan.
Tabel 4. Nilai Tukar Penerimaan Usaha Produk Kelautan, 2010.
Unit : 1 tahun
Uraian Jumlah
I. Biaya produksi (Rp/thn): 33.742.676
1. Karung 8.034.420
2. Tenaga Kerja Persiapan Lahan 4.714.768
3. Tenaga Kerja Permanenan 10.621.604
4. Tenaga Kerja Pengarungan 10.371.884
II. Penerimaan (Rp/thn) : 121.576.269
R/C 3,60
III. Nilai Tukar Penerimaan
1. Biaya Karung 15,13
Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-06) - 9
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan 16 Juli 2011
2. Terhadap Tenaga Kerja Persiapan Lahan 25,79
3. Terhadap Tenaga Kerja Permanenan 11,45
4. Terhadap Tenaga Kerja Pengarungan 11,72
Sumber : BRSEKP, 2010 (diolah)
Kesimpulan Dan Saran
Nilai tukar perikanan merupakan salah satu indikator untuk mengukur kesejahteraan
masyarakat perikanan; dalam kajian ini, nilai tukar yang dimaksudkan hanya terbatas pada nilai
tukar penerimaan atau pendapatan pelaku usaha kelautan dan perikanan.. Usaha elautan dan
perikanan yang dikaji meliputi perikanan tangkap laut, perikanan tangkap perairan umum daratan,
perikanan budidaya, dan produk kelautan. Faktor produksi bahan bakar masih memegang peranan
yang sangat penting dalam upaya meningkatkan usaha penangkapan di bidang perikanan tangkap
laut. Pada bidang tangkap perairan umum daratan, khususnya untuk sungai dan rawa banjiran nilai
tukar penerimaan untuk umpan lebih kecil bila dibandingkan dengan lainnya. Dengan kata lain
umpan merupakan salah satu faktor produksi yang sangat penting pada sungai dan rawa banjiran.
Untuk di waduk, terdapat perbedaan antara nelayan yang menggunakan perahun motor dan tanpa
motor dimana untuk perahu motor nelayan lebih banyak mengeluarkan biaya untuk ransum
sedangkan untuk tanpa motor biaya lebih banyak dikeluarkan untuk pembelian es balok. Tipologi
budidaya memiliki kelompok karakteristik yang sama. Persamaan itu terdapat pada budidaya KJA
dan kolam dimana pakan memegang peranan penting dalam kelangsungan usaha. Persamaan
lainnya terdapat pada budidaya tambak dan budidaya laut, dimana untuk budidaya tambak biaya
lebih banyak dikeluarkan untuk benih dan untuk budidaya laut untuk komoditas rumput laut, biaya
lebih banyak dikeluarkan untuk bibit.
Daftar Pustaka
BBRSEKP. 2010. Data dan Informasi Panel Kelautan dan Perikanan Nasional T.A-Tipologi
Perikanan Tangkap Laut. 2010. Jakarta. 29 Hal.
BPS. 2011. Pendapatan Domestik Bruto Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Lapangan
Usaha (Miliar Rupiah), 2004 - 2009.
http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&daftar=1&id_subyek=11&notab=3.
Diakses tanggal 25 April 2011.
Elizabeth, R dan V. Darwis. 2000. Peran Nilai Tukar Petani dan Nilai Tukar Komoditas Dalam
Upaya Peningkatan Kesejahteraan Petani Kedelai (Studi Kasus : Propinsi Jawa Timur).
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor. 12 Hal.
Indraningsih, K.S, Supriyati, dan M. Rachmat. 2003. Analisis Nilai Tukar Petani dan Nilai Tukar
Komoditas Bawang Merah (Kasus di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah). Soca : jurnal
sosial-ekonomi pertanian dan agribisnis 3 (2) : 188-198. Denpasar.
Koeshendrajana, S. 2011. Rencana Operasional Penelitian Panel Kelautan dan Perikanan
Nasional (PANELKANAS) dan Dinamika Nilai Tukar. Balai Besar Riset Sosial Ekonomi
Kelautan dan Perikanan. Kementerian Kelautan dan Perikanan. Jakarta
Supriyati. 2005. Analisis Nilai Tukar Pendapatan Rumah Tangga Petani (Kasus di Jawa Tengah,
Jawa Timur dan Sulwesi Selatan). ICASEPS Working Paper No. 71. Pusat Analisis Sosial
Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Departemen Pertanian. Bogor. 17 Hal.
Ustriyana, I.N.G. 2008. Model dan Pengukuran Nilai Tukar Nelayan (Kasus Kabupaten
Karangasem). Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas
Udayana. http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/(8)%20soca-ustriyana-
nilai%20tukar%20nelayan(1).pdf. Diakses tanggal 3 April 2008.
10 - Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-06)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Zulham, A, S. Saptanto, M. Yulisti, dan Lindawati. 2011. Dinamika Nilai Tukar : Intervensi
Kebijakan Dalam Rangka Peningkatan Kesejahteraan Nelayan Dan Pembudidaya Ikan.
Manuscript. Jakarta. 23 Hal.
Tanya Jawab
Pertanyaan : Apakah nilai tukar dipengaruhi oleh lokasi dan ketersediaan sumbedaya?
Jawaban : Ada keterkaitan antara indeks nilai tukar dengan ketesediaan sumberdaya.
Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-07) - 1
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan 16 Juli 2011
ANALISIS EFISIENSI EKONOMI DENGAN METODE DATA ENVELOPMENT
ANALYSIS PADA PENDEDERAN GURAMI
DI KEC. SINGAPARNA, TASIKMALAYA
Ine Maulina
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas padjadjaran
Jatinangor, Bandung 40600
e-mail: inemaulina@yahoo.com
Abstrak
Penelitian dilaksanakan di Singaparna, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Tujuan penelitian
adalah untuk menganalisis efisiensi ekonomi pada pendederan ikan gurami berdasarkan faktor-
faktor produksi yang digunakan serta menganalisis setiap Decission Making Unit (DMU atau
responden) dan membandingkannya dengan DMU terbaik yang diperoleh. Data hasil penelitian
dianalisis dengan metode Data Envelopment Analisis (DEA) menggunakan Frontier Analyst versi
3. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 50,5 % DMU sudah efisien dan dari empat variabel input
yang digunakan memberikan kontribusi terbesar untuk tidak efisiennya usaha pendederan ikan
gurami di Singaparna adalah tenaga kerja. Selanjutnya diikuti oleh lahan,pakan dan benih. Total
potensial improvement menunjukkan pengurangan pada tenaga kerja sebesar 60,93 %, lahan
sebesar 24,46 %, pakan sebesar 9,67 % dan benih sebesar 4,94 %.
Kata kunci: ikan gurami, pendederan ikan, data envelopment analisis (DEA), faktor produksi
Pengantar
Potensi pengembangan wilayah yang dijadikan sentra pengembangan perikanan dan
kelautan di Kabupaten Tasikmalaya terbagi atas beberapa wilayah pengembangan komoditas
unggulan yang dikembangkan antara lain: wilayah pengembangan komoditas ikan gurami terdiri
dari kecamatan Sukaratu, Sariwangi, Singaparna, Leuwisari, Cisayong dan Manonjaya dengan
luas seluruhnya sekitar 262 Ha (Pembenihan dan pembesaran). Kecamatan Singaparna
merupakan salah satu pusat pengembangan budidaya ikan gurami di Kabupaten Tasikmalaya
yang memiliki Balai Pengembangan Benih Ikan (BPBI) khusus ikan gurami dan Unit Pembenihan
Rakyat (UPR). Ikan gurami merupakan ikan ekonomis tinggi yang banyak disukai oleh masyarakat
karena memiliki rasa yang lezat.
Budidaya pembenihan dan pendederan ikan gurami di Tasikmalaya lebih berkembang
dibandingkan dengan pembesaran, karena kegiatan pembesaran memerlukan modal yang lebih
banyak. Hal ini pula yang menyebabkan lebih banyak petani ikan di kecamatan Singaparna
memilih segmen budidaya pembenihan dan pendederan.
Kajian ekonomi dari sebuah usaha sangat berperan sekali terutama bagi upaya
peningkatan kesejahteraan masyarakat yang terkait didalamnya. Dalam analisis ekonomi, efisiensi
bertindak sebagai alat pengukur untuk menilai pemilihan-pemilihan (Schell, 2003). Efisiensi pada
umumnya menunjukkan perbandingan antara nilai-nilai output terhadap nilai-nilai input. Jadi dapat
dikatakan efisiensi adalah suatu ukuran jumlah relatif dari beberapa input yang digunakan untuk
menghasilkan input tertentu.
Pengukuran efisiensi dengan menggunakan Data Envelopment Analysis (DEA) terkait
dengan aspek produksi dari aktivitas ekonomi yang diamati. Fungsi produksi berkaitan erat
dengan return to scale , yang menghubungkan bagaimana output bereaksi terhadap perubahan
dari input. DEA bersifat linear dan sangat mudah diformulasikan serta dikerjakan dengan
pemograman linier. DEA berfungsi untuk mengetahui efisiensi relatif yang optimum pada satuan
unit. Tidak seperti pada regresi optimal, pada DEA efisiensi yang dihasilkan diaplikasikan pada
setiap unit pengambil keputusan (DMU).
Tidak efisiennya suatu usaha lebih disebabkan oleh penggunaan faktor-faktor produksi
yang tidak saling mendukung. Agar produksi meningkat maka diperlukan peningkatan pada input,
namun tidak semua pembudidaya dapat meningkatkan input karena tingginya harga dan
terbatasnya pendapatan yang diperoleh. Damanhuri (1985) menyatakan bahwa sempitnya lahan
usaha tani akan menyebabkan rendahnya efisiensi yang kemudian akan berlanjut dengan kurang
SE-07
2 - Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-07)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
tanggapnya petani terhadap usaha-usaha inovatif. Hal tersebut dalam jangka panjang akan dapat
mengakibatkan tidak berubahnya kondisi ekonomi petani. Lain halnya dengan para petani yang
mempunyai lahan yang luas, akan memperoleh tingkat efisiensi yang tinggi, hingga kondisi
ekonominya secara otomatis akan terus meningkat. Namun hal ini lebih merupakan generalisasi
dan perlu pembuktian melalui pengujian empiris untuk kasus perikanan, hingga diperlukan untuk
mengetahui efisiensi relatif suatu usaha berdasarkan pada skala usaha yang berbeda.
Efisiensi ekonomi mengandung dua unsur efisiensi, yaitu efisiensi teknis dan efisiensi
harga. Efisiensi teknis menyatakan produk rata-rata maksimum yang diperoleh dengan
penggunaan kombinasi masukan tertentu. Sedangkan efisiensi harga menghasilkan nilai produk
marginal sama dengan biaya oportunitas dari masukan.
Peningkatan efisiensi dan atau pemaksimuman keuntungan (profit) suatu usaha dapat
dicapai dengan dua cara. Pertama, pengusaha berusaha memaksimumkan hasil produksi (output)
dengan biaya (cost) tertentu (given) atau diistilahkan Constrained Output Maximization . Kedua,
pengusaha berupaya meminimumkan biaya produksi dengan tingkat output tertentu atau
diistilahkan Constrained Cost Minimization (Henderson & Quandt dalam Damanhuri 1985). Jadi
peningkatan efisiensi ini berkaitan erat dengan kemampuan pengusaha dalam meminimisasikan
biaya input dan memaksimisasikan tingkat output.
Salah satu cara untuk menduga efisiensi adalah dengan menggunakan pemograman
linear. Bentuk pemograman linear dapat dijumpai dalam metode Data Envelopment Analysis
(DEA). Inti dari analisis ini adalah menemukan DMU tak nyata terbaik dari setiap DMU nyata. Bila
virtual DMU lebih baik dari original DMU, baik dengan cara menaikkan output dan input tetap
ataupun dengan menurunkan input dan output tetap, maka original DMU tidak efisien. Beberapa
seluk beluk DEA dijelaskan dengan beragam cara bahwa DMU A dan B dapat dinaikkan,
diturunkan atau dikombinasikan. Dalam model DEA efisiensi diukur dengan asumsi bahwa fungsi
produksi bersifat constant return to scale (CRS) artinya jika input dinaikkan dua kali lipat, maka
output juga meningkat secara proporsional (Anderson, 1996).
Dari uraian di atas maka perumusan masalah dari penelitian ini adalah bagaimana tingkat
efisiensi dari berbagai skala usaha yang berbeda dengan menggunakan metode Data
Envelopment Analysis pada usaha pendederan ikan gurami diantara pembudidaya (DMU) di
Kecamatan Singaparna , Tasikmalaya.
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. menganalisis efisiensi ekonomi dari usaha pendederan ikan gurami berdasarkan luas
lahan dan penggunaan benihnya dengan memanfaatkan metode Data Envelopment
Analysis.
2. Mengetahui DMU terbaik atau paling efisien dan kemungkinan perbaikan (improvement)
input pada setiap DMU agar dapat lebih efisien.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai skala ekonomi dan
efisiensi ekonomi dari usaha pendederan ikan gurami di Singaparna Kabupaten Tasikmalaya.
Metodologi
Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Singaparna, Kabupaten Tasikmalaya. Sesuai
dengan potensi yang dimiliki oleh daerah ini, budidaya pendederan gurami yang dilakukan
masyarakat yaitu pada tahap pendederan II dengan penggunaan ukuran benih serta luas lahan
yang berbeda.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei. Data yang diperoleh
dari penelitian ini dianalisis secara deskriptif kuantitatif dengan penggunaan metode Data
Envelopment Analysis (DEA) dan Banxia
(R)
Software. . Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini
adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan cara wawancara dengan
pembudidaya meliputi jenis input yang digunakan dan biaya produksi yang digunakan, jumlah dan
harga-harga input tetap, hasil produksi yang dicapai dan harga produk serta struktur rinci
pembiayaan pendederan gurami. Pengumpulan data dilakukan melalui teknik personal interview
dengan sebelumnya menggunakan recruitment sheet agar responden sesuai dengan kriteria
sampel (Fauzi, 2001). Responden diambil dengan menggunakan metode stratified random
sampling berdasarkan luas lahan usaha dan ukuran benih yang digunakan.
Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-07) - 3
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan 16 Juli 2011
Hasil dan Pembahasan
Analisis Faktor Produksi
Faktor produksi sangat menentukan besar kecilnya produksi yang diperoleh (Soekartawi
2003). Faktor produksi yang diamati dalam penelitian ini adalah luas lahan, jumlah benih, pakan
dan tenaga kerja.
Lahan
Lahan budidaya akan mempengaruhi skala usaha yang pada akhirnya akan
memepengaruhi efisien atau tidaknya suatu usaha budidaya. Pada usaha perikanan semakin luas
lahan yang dipakai sebagai usaha budidaya akan tidak efisien lahan tersebut. Sebaliknya pada
luasan yang sempit, maka upaya pengawasan terhadap penggunaan faktor produksi semakin
baik,penggunaan tenaga kerja akan tercukupi dan penggunaan modal pun tidak terlalu besar
(Soekartawi 2003). Luas lahan yang dipakai pender ikan gurami bervariasi sesuai dengan
kemampuan masing-masing petani, tetapi rata-rata mereka memiliki luas lahan yang sangat
sempit, yaitu kurang dari 0,1 Ha.
Rata-rata luas kolam sebesar 0,8 Ha, luas garapan tertinggi yaitu 0,17 dan terendah
adalah 0,02 Ha. Produktivitas pendeder ikan adalah 6.750 ekor/ unit usaha. Produktivitas yang
dimiliki pendeder ikan gurami ini rendah bila dibandingkan dengan produktivitas yang disarankan
BPBI Singaparna yaitu 200.000 ekor/Ha. Kecilnya produktivitas yang dimiliki pendeder bukan
disebabkan oleh rendahnya tingkat kelangsungan hidup tapi disebabkan oleh rendahnya padat
penebaran benih.
Benih
Pembudidaya menggunakan benih per unit usaha bervariasi, rata-rata 16.000 ekor per unit
usaha. Peningkatan padat penebaran dapat dilakukan sampai batas atau tingkat tertentu. Padat
tebar yang rendah akan menyia-nyiakan ruang gerak dan pakan sedangkan padat tebar yang
tinggi akan menimbulkan kompetisi terhadap pakan, ruang gerak juga mempengaruhi terhadap
tingkat kelangsungan hidup dan pertumbuhan (Shang 1981).
Pakan
Penerapan pengelolaan pakan yang baik dapat menekan biaya produksi 10-20 % karena
pemberian pakan yang tidak baik menyebabkan sekitar 5-10 % dari pakan yang diberikan
terbuang. Pemberian pakan ditentukan oleh umur ikan, suhu air, padat tebar, jumlah pakan alami
yang tersedia, kondisi cuaca dan harga pakan itu sendiri. Pada umumnya, pemberian pakan
diberikan pada waktu tertentu sehingga ikan dapat tumbuh maksimal dari pemberian pakan
tersebut, pada akhirnya produksi yang diperoleh akan lebih tinggi.
Pakan yang diberikan bervariasi diantara pendeder baik dalam hal kualitas maupun
kuantitas. Ada petani yang menggunakan pakan buatan saja, kombinasi pakan buatan dengan
alami atau hanya menggunakan pakan alami saja. Pakan alami yang digunakan adalah cacing
sutra.
Tenaga Kerja
Tenaga kerja merupakan faktor produksi yang penting dan perlu diperhitungkan dalam
proses produksi dalam jumlah yang cukup bukan saja dilihat dari tersedianya tenaga kerja tetapi
juga kualitas dan macam tenaga kerja perlu juga diperhitungkan. Setiap usaha perikanan yang
akan dilaksanakan pasti memerlukan tenaga kerja. Kebutuhan tenaga kerja dalam usaha
budidaya hampir dalam seluruh proses produksi yaitu, dalam proses persiapan kolam, penebaran
benih, pemberian pakan,penjagaan dan pemanenan.
Analisis Data Envelopment
Dari hasil analisis data (Lampiran 2) menunjukkan bahwa 50,5 persen responden (6 dmu)
memiliki skore efisiensi 100 persen dan DMU 9 pada urutan efisiensi skore yang pertama. Urutan
DMU pertama merupakan responden terbaik yang memiliki tingkat efisiensi ekonomi tertinggi. Lima
responden lainnya memiliki tingkat efisiensi berkisar 94,22 97,49 persen (Tabel 1).
4 - Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-07)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Tabel 1. Skor Efisiensi pada Decission Maker Unit (DMU)
No. Nama Unit (responden) Skore Efisiensi persen
1. DMU 9 100
2. DMU 10 100
3. DMU 8 100
4. DMU 1 100
5. DMU 7 100
6. DMU 2 100
7. DMU 4 97,49
8. DMU 6 96,43
9. DMU 11 95,48
10. DMU 3 95,48
11. DMU 5 94,22
Beberapa pembudidaya secara aktual telah sesuai dengan apa yang diharapkan (target) sehingga
menghasilkan tingkat efisiensi 100 persen. Namun demikian perlu beberapa pengurangan faktor
produksi pada tiap-tap DMU sesuai dengan penyebab ketdak efisienan masing-masing
penggunaan faktor produksi (Tabel 2).
Tabel 2. Perubahan (pengurangan) Faktor Produksi pada DMU (persen)
No.
Nama Unit
(responden)
Lahan Benih Pakan Tenaga Kerja
1. DMU 9 0,0 0,0 0,0 0,0
2. DMU 10 0,0 0,0 0,0 0,0
3. DMU 8 0,0 0,0 0,0 0,0
4. DMU 1 0,0 0,0 0,0 0,0
5. DMU 7 0,0 0,0 0,0 0,0
6. DMU 2 0,0 -20,0 -16,7 0,0
7. DMU 4 -39,1 -2,5 -2,5 -48,0
8. DMU 6 -30,0 -3,6 -3,6 -69,1
9. DMU 11 -4,5 -4,5 -4,5 -15,1
10. DMU 3 -4,5 -4,5 -4,5 -49,1
11. DMU 5 -24,6 -5,8 -5,8 -59,8
Secara keseluruhan dari tiap DMU menunjukkan total potensial improvements pada tiap-
tiap faktor produksi seperti terlihat pada gambar 1. Artinya secara keseluruhan Hasil penelitian
menunjukkan bahwa dari empat variable input yang digunakan, yang memberikan kontribusi
terbesar untuk tidak efisiennya usaha pendederan ikan gurami di Singaparna adalah tenaga kerja.
Selanjutnya diikuti oleh lahan,pakan dan benih. Total potensial improvement menunjukkan
pengurangan pada tenaga kerja sebesar 60,93 %, lahan sebesar 24,46 %, pakan sebesar 9,67 %
dan benih sebesar 4,94 %.
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian
Gambar 1. Total Potensial Improvements
Aspek pemasaran
Terdapat berbagai pihak yang terlibat dalam pemasaran ikan gurami mulai dari
pembudidaya gurami (baik pembenih maupun pembesar), pengepul, bandar, pedagang besar,
pengecer dan konsumen. Pengepul adalah pedagang yang mengumpulkan atau membeli ikan
gurami dari petani sedang bandar adalah pedagang pengumpul dengan modal dan skala usaha
lebih besar dari pada pengepul. Selain dapat membeli gurami langsung dari petani, bandar juga
dapat mengumpulkan gurami dari pengepul. Pedagang besar juga merupakan pedagang
pengumpul, namun bergerak di sektor bisnis yang lebih luas, berbadan hukum dan telah
terorganisir seperti pasar swalayan, supermarket dan supermarket grosir. Pengecer adalah
pedagang lapak, pemilik kios, tukang sayur, hotel, restoran, katering, supermarket da
supermarket grosir.
Pemasaran benih ikan gurami dapat dilakukan secara langsung atau tidak langsung. Pada
jalur pemasaran benih, pemasaran secara langsung dilakukan oleh petani pembenih kepada
petani pembesar ikan. Pemasaran tidak langsung dilakukan mel
bandar, pedagang besar dan pengecer). Pola distribusi secara tidak langsung bervariasi dapat
menggunakan satu sampai empat lembaga perantara. Sehingga pada setiap cabang pemasaran
pelaku mengambil keuntungan, maka dengan s
mengakibatkan harga ikan gurami yang diterima konsumen akhir menjadi semakin tinggi.
Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan
1. Variabel input yang memberikan kontribusi terbesar untuk tidak efisiennya usaha pendederan
ikan gurami di Singaparna adalah tenaga kerja. Selanjutnya diikuti oleh lahan,pakan dan
benih.
2. Total potensial improvement menunjukkan pengurangan pada tenaga kerja sebesar 60,93 %,
lahan sebesar 24,46 %, pakan sebesar 9,67 % dan benih sebesar 4,94 %.
Saran
Pendederan ikan gurami yang selama ini menggunakan faktor
berlebihan terutama penggunaan tenaga kerja dapat dikurangi sesuai dengan skala produksi
pembudidaya
Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan
Gambar 1. Total Potensial Improvements
Terdapat berbagai pihak yang terlibat dalam pemasaran ikan gurami mulai dari
pembudidaya gurami (baik pembenih maupun pembesar), pengepul, bandar, pedagang besar,
pengecer dan konsumen. Pengepul adalah pedagang yang mengumpulkan atau membeli ikan
ri petani sedang bandar adalah pedagang pengumpul dengan modal dan skala usaha
lebih besar dari pada pengepul. Selain dapat membeli gurami langsung dari petani, bandar juga
dapat mengumpulkan gurami dari pengepul. Pedagang besar juga merupakan pedagang
gumpul, namun bergerak di sektor bisnis yang lebih luas, berbadan hukum dan telah
terorganisir seperti pasar swalayan, supermarket dan supermarket grosir. Pengecer adalah
pedagang lapak, pemilik kios, tukang sayur, hotel, restoran, katering, supermarket da
Pemasaran benih ikan gurami dapat dilakukan secara langsung atau tidak langsung. Pada
, pemasaran secara langsung dilakukan oleh petani pembenih kepada
petani pembesar ikan. Pemasaran tidak langsung dilakukan melalui lembaga perantara (pengepul,
bandar, pedagang besar dan pengecer). Pola distribusi secara tidak langsung bervariasi dapat
menggunakan satu sampai empat lembaga perantara. Sehingga pada setiap cabang pemasaran
pelaku mengambil keuntungan, maka dengan semakin panjangnya jalur distribusi pemasaran
mengakibatkan harga ikan gurami yang diterima konsumen akhir menjadi semakin tinggi.
Variabel input yang memberikan kontribusi terbesar untuk tidak efisiennya usaha pendederan
ikan gurami di Singaparna adalah tenaga kerja. Selanjutnya diikuti oleh lahan,pakan dan
Total potensial improvement menunjukkan pengurangan pada tenaga kerja sebesar 60,93 %,
lahan sebesar 24,46 %, pakan sebesar 9,67 % dan benih sebesar 4,94 %.
Pendederan ikan gurami yang selama ini menggunakan faktor-faktor produksi yang
berlebihan terutama penggunaan tenaga kerja dapat dikurangi sesuai dengan skala produksi
Sosial Ekonomi (SE-07) - 5
Perikanan dan Kelautan 16 Juli 2011
Terdapat berbagai pihak yang terlibat dalam pemasaran ikan gurami mulai dari
pembudidaya gurami (baik pembenih maupun pembesar), pengepul, bandar, pedagang besar,
pengecer dan konsumen. Pengepul adalah pedagang yang mengumpulkan atau membeli ikan
ri petani sedang bandar adalah pedagang pengumpul dengan modal dan skala usaha
lebih besar dari pada pengepul. Selain dapat membeli gurami langsung dari petani, bandar juga
dapat mengumpulkan gurami dari pengepul. Pedagang besar juga merupakan pedagang
gumpul, namun bergerak di sektor bisnis yang lebih luas, berbadan hukum dan telah
terorganisir seperti pasar swalayan, supermarket dan supermarket grosir. Pengecer adalah
pedagang lapak, pemilik kios, tukang sayur, hotel, restoran, katering, supermarket dan
Pemasaran benih ikan gurami dapat dilakukan secara langsung atau tidak langsung. Pada
, pemasaran secara langsung dilakukan oleh petani pembenih kepada
alui lembaga perantara (pengepul,
bandar, pedagang besar dan pengecer). Pola distribusi secara tidak langsung bervariasi dapat
menggunakan satu sampai empat lembaga perantara. Sehingga pada setiap cabang pemasaran
emakin panjangnya jalur distribusi pemasaran
mengakibatkan harga ikan gurami yang diterima konsumen akhir menjadi semakin tinggi.
Variabel input yang memberikan kontribusi terbesar untuk tidak efisiennya usaha pendederan
ikan gurami di Singaparna adalah tenaga kerja. Selanjutnya diikuti oleh lahan,pakan dan
Total potensial improvement menunjukkan pengurangan pada tenaga kerja sebesar 60,93 %,
lahan sebesar 24,46 %, pakan sebesar 9,67 % dan benih sebesar 4,94 %.
faktor produksi yang
berlebihan terutama penggunaan tenaga kerja dapat dikurangi sesuai dengan skala produksi
6 - Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-07)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Daftar Pustaka
Anderson, T. 1996. A Data Envelopment Analysis (DEA) Home Page. CV47AL Enginering
Management Program. Portland State University. Portland. http://www.emp.pdx.edu.
Diakses tanggal 8 Januari 2005
Banxia
(R)
Software. 2004. Frontier Analyst- How Data Envelopment Analysis Works. Banxia
Software Ltd. United Kingdom. http://www.banxia.com
Damanhuri. D.S. 1985. Luas Usaha, Efisiensi Ekonomi Relatif Dan Distribusi Pendapatan
Usahatani Tambak. Tesis. Fakultas Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. 84
halaman.
Dinas Perikanan Tasikmalaya. 2006. Data Potensi Perikanan dan Kelautan Kabupaten
Tasikmalaya. Tasikmalaya.
Fauzi, A. 2001. Prinsip-prinsip Penelitian Sosial Ekonomi. Jurusan Sosial Ekonomi Perikanan
dan Kelautan IPB. Bogor.
Maulina, I. 2007. Optimalisasi Input Budidaya Pembesaran Ikan bandeng (Chanos chanos forskal)
Di kecamatan Indramayu, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Laporan Penelitian. Fakutas
Perikanan dan Ilmu Kelautan Unpad. Bandung.
Scheel, H. 2003. EMS : Efficiency Measurement System Users Manual. Dortmund University.
WISO. http://www.wiso. uni-dortmund.de. Diakses tanggal 15 Oktober 2004
Shang, Yung. 1981. Aquaculture Economic: Basic Concept and Methods of Analysis. Westview
Press, Boulder, Colorado. 151 p.
Soekartawi. 1994. Teori Ekonomi Produksi dengan Pokok Bahasan Analisa Fungsi Cobb-
Douglass. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Tanya Jawab
Sastrawidjaja
Pertanyaan : Bagaimana mengalokasikan tenaga kerja dalam usaha budidaya?
Jawaban : Efisiensi tenaga kerja hanya 40% dari nilai yang diharapkan untuk
mengalokasikannya harus dihitung berapa intensitas/presentasi efektivitas
tenaga kerja tersebut.
Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-08) - 1
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan 16 Juli 2011
PARTISIPASI MASYARAKAT DI DALAM KEBERHASILAN REHABILITASI
MANGROVE DI DESA KALIWLINGI, BREBES, JAWA TENGAH
Aini Chairunnisa Amalia*, Muhammad Zainuri** dan Rudhi Pribadi**
*Mahasiswa Pascasarjana MSDP - Universitas Diponegoro
** J urusan Ilmu Kelautan - Universitas Diponegoro
Abstrak
Hutan mangrove memiliki banyak fungsi, baik fungsi dalam siklus biologi, fungsi ekologis, fungsi
fisik, maupun fungsi sosial kemasyarakatan. Namun seiiring dengan jumlah penduduk yang
meningkat berdampak terhadap dengan meningkatnya aktivitas pembangunan dewasa ini, dan
telah menempatkan kawasan hutan mangrove dieksploitasi menjadi sasaran yang potensial. Luas
areal hutan mangrove yang hadir di sepanjang kawasan pesisir pantai Kabupaten Brebes pada
tahun 2010 sebesar 882 ha. Sementara itu areal hutan mangrove di Desa Kaliwlingi, Kecamatan
Brebes seluas 33 ha berada dalam kondisi baik, 15 ha dalam kondisi rusak ringan sementara
kondisi rusak berat seluas 20 ha, dengan penyebab kerusakan terutama konversi lahan tambak
dan penebangan liar. Upaya untuk merehabilitasi hutan akhirnya dilakukan warga setempat
dengan cara menanami tanaman mangrove sebanyak 150 ribu batang pada November 2008.
Kegiatan penanaman mangrove ini sekaligus dalam rangka ikut menyukseskan kampanye
Gerakan Indonesia Menanam 2008. Penanaman mangrove melibatkan masyarakat setempat
dengan bimbingan tim teknis dari Ikatan Petani Pengendalian Hama Terpadu Indonesia (IPPHTI).
Upaya rehabilitasi juga pernah dilakukan oleh Dinas Kehutanan Prov. Jawa Tengah melalui
program GERHAN di Desa Kaliwlingi pada tahun 2004-2007 dengan total luasan + 200 ha dengan
bibit Rhizophora sp. Tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji partisipasi masyarakat didalam
keberhasilan program rehabilitasi mangrove di Desa Kaliwlingi, Brebes. Metode yang digunakan
dalam penelitian ini adalah metode deskriptif eksploratif. Data-data yang diperoleh pada saat
penelitian selanjutnya dianalisa secara deskripsi dan analisis persentase. Dari hasil yang diperoleh
diketahui bahwa partisipasi masyarakat didalam keberhasilan program rehabilitasi mangrove di
Desa Kaliwlingi di pengaruhi oleh dua faktor, yaitu ; (1) Internal, yang terdiri dari persepsi,
motivasi, dan kegiatan/aktivitas rutin, (2) Eksternal, yang terdiri dari insentif dan pemerintah,
sedangkan bentuk partisipasi yang dilakukan oleh masyarakat adalah co-operation, collaboration,
dan collective action.
Kata kunci : partisipasi masyarakat, keberhasilan, rehabilitasi mangrove
Pengantar
Hutan mangrove memiliki banyak fungsi, baik fungsi dalam siklus biologi, fungsi ekologis,
fungsi fisik, maupun fungsi sosial kemasyarakatan. Namun seiiring dengan jumlah penduduk yang
meningkat berdampak terhadap dengan meningkatnya aktivitas pembangunan dewasa ini, dan
telah menempatkan kawasan hutan mangrove dieksploitasi menjadi sasaran yang potensial.
Penurunan luasan mangrove sudah selayaknya dilakukan dengan upaya perbaikan
kondisi maupun pemeliharaan ekosistem mangrove. Salah satu upaya perbaikan adalah dengan
merehabilitasi ekosistem mangrove. Rehabilitasi terdiri dari berbagai macam kegiatan, termasuk
didalamnya restorasi dan penciptaan kembali habitat baru dari sistem yang telah menurun
fungsinya menjadi stabil kembali (Stevenson et al., 1999). Program rehabilitasi telah banyak
dilakukan baik oleh dinas terkait maupun lembaga sosial masyarakat yang didukung oleh
masyarakat sekitar. Namun sayangnya rehabilitasi mangrove seringkali hanya dengan kegiatan
penanaman kembali bibit mangrove tanpa monitoring ataupun evaluasi dari keberhasilan
penanaman pada level ekosistem (Field, 1996).
Berdasarkan data dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Brebes luas areal hutan
mangrove yang hadir disepanjang kawasan pesisir pantai Kabupaten Brebes pada tahun 2010
sebesar 882 ha. Sementara itu areal hutan mangrove di Desa Kaliwlingi, Kecamatan Brebes
seluas 33 ha berada dalam kondisi baik, 15 ha dalam kondisi rusak ringan sementara kondisi
rusak berat seluas 20 ha, dengan penyebab kerusakan terutama konversi lahan tambak dan
penebangan liar. Upaya untuk merehabilitasi hutan mangrove akhirnya dilakukan warga setempat
SE-08
2 - Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan
dengan cara menanami mangrove sebanyak 150 ribu batang pada November 2008. Kegiatan
penanaman mangrove ini sekaligus dalam rangka
Indonesia Menanam 2008. Penanaman mangrove melibatkan masyarakat setempat dengan
bimbingan tim teknis dari Ikatan Petani Pengendalian Hama Terpadu Indonesia (IPPHTI). Upaya
rehabilitasi juga pernah dilakukan oleh Dinas K
di Desa Kaliwlingi pada tahun 2004
sp.
Tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji partisipasi masyarakat didalam keberhasilan
program rehabilitasi mangrove di Desa Kaliwlingi, Brebes.
penelitian ini adalah metode deskriptif eksploratif.
selanjutnya dianalisa secara deskripsi dan analisis persentase.
Bahan dan Metode
Penelitian dilakukan pada Bulan Maret
Desa Bedono, Demak, Jawa Tengah.
Gambar 1. Peta Lokasi Daerah Penelitian di Desa Kaliwlingi, Brebes, Jawa Tengah
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif eksploratif, dengan
cara mengumpulkan data dari hasil interview, catatan lapangan, foto, dokumen pribadi, dokumen
resmi, ataupun data-data yang dapat dijadikan petunjuk lainnya untuk digun
data dengan interpretasi yang tepat.
kuisioner atau angket kepada responden untuk mengetahui partisipasi masyarakat terhadap
program rehabilitasi hutan mangrove. Penyebaran kuisione
kepada masyarakat dengan menentukan secara langsung responden yang akan diteliti. Selain itu
dilakukan wawancara mendalam (
langsung dengan pemerintah daerah setempat
Hasil dari kuisioner akan dilakukan pembobotan berdasarkan Skala Likert (Hasan, 2002).
Tiap pertanyaan disediakan lima alternatif jawaban dengan membuat simbol angka pada pilihan
jawaban responden bersifat positif memiliki
cukup, d = baik dan e =sangat baik.
dianalisa secara deskripsi dan analisis persentase. Analisis persentase dilakukan untuk melihat
persentase didalam persepsi, partisipasi serta aspirasi masyarakat. Hal ini dapat dilihat pada Tabel
1 berikut :
Sosial Ekonomi (SE-08)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16
dengan cara menanami mangrove sebanyak 150 ribu batang pada November 2008. Kegiatan
penanaman mangrove ini sekaligus dalam rangka ikut menyukseskan kampanye Gerakan
Indonesia Menanam 2008. Penanaman mangrove melibatkan masyarakat setempat dengan
bimbingan tim teknis dari Ikatan Petani Pengendalian Hama Terpadu Indonesia (IPPHTI). Upaya
rehabilitasi juga pernah dilakukan oleh Dinas Kehutanan Prov. Jateng melalui program GERHAN
di Desa Kaliwlingi pada tahun 2004-2007 dengan total luasan + 200 ha dengan bibit
Tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji partisipasi masyarakat didalam keberhasilan
ve di Desa Kaliwlingi, Brebes. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode deskriptif eksploratif. Data-data yang diperoleh pada saat penelitian
selanjutnya dianalisa secara deskripsi dan analisis persentase.
Penelitian dilakukan pada Bulan Maret - April Tahun 2011 di Desa Kaliwlingi, Brebes, dan
Desa Bedono, Demak, Jawa Tengah.
Gambar 1. Peta Lokasi Daerah Penelitian di Desa Kaliwlingi, Brebes, Jawa Tengah
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif eksploratif, dengan
cara mengumpulkan data dari hasil interview, catatan lapangan, foto, dokumen pribadi, dokumen
data yang dapat dijadikan petunjuk lainnya untuk digunakan dalam mencari
data dengan interpretasi yang tepat. Untuk memudahkan perolehan data, selanjutnya disebarkan
kuisioner atau angket kepada responden untuk mengetahui partisipasi masyarakat terhadap
program rehabilitasi hutan mangrove. Penyebaran kuisioner akan dilakukan secara langsung
kepada masyarakat dengan menentukan secara langsung responden yang akan diteliti. Selain itu
dilakukan wawancara mendalam (depth interview) yang dilakukan dengan cara bertatap muka
langsung dengan pemerintah daerah setempat serta lembaga pendonor lainnya.
Hasil dari kuisioner akan dilakukan pembobotan berdasarkan Skala Likert (Hasan, 2002).
Tiap pertanyaan disediakan lima alternatif jawaban dengan membuat simbol angka pada pilihan
jawaban responden bersifat positif memiliki urutan skor a = sangat tidak baik, b = tidak baik, c =
cukup, d = baik dan e =sangat baik. Data-data yang diperoleh pada saat penelitian selanjutnya
dianalisa secara deskripsi dan analisis persentase. Analisis persentase dilakukan untuk melihat
didalam persepsi, partisipasi serta aspirasi masyarakat. Hal ini dapat dilihat pada Tabel
16 Juli 2011
dengan cara menanami mangrove sebanyak 150 ribu batang pada November 2008. Kegiatan
ikut menyukseskan kampanye Gerakan
Indonesia Menanam 2008. Penanaman mangrove melibatkan masyarakat setempat dengan
bimbingan tim teknis dari Ikatan Petani Pengendalian Hama Terpadu Indonesia (IPPHTI). Upaya
ehutanan Prov. Jateng melalui program GERHAN
200 ha dengan bibit Rhizophora
Tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji partisipasi masyarakat didalam keberhasilan
Metode yang digunakan dalam
data yang diperoleh pada saat penelitian
April Tahun 2011 di Desa Kaliwlingi, Brebes, dan
Gambar 1. Peta Lokasi Daerah Penelitian di Desa Kaliwlingi, Brebes, Jawa Tengah
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif eksploratif, dengan
cara mengumpulkan data dari hasil interview, catatan lapangan, foto, dokumen pribadi, dokumen
akan dalam mencari
Untuk memudahkan perolehan data, selanjutnya disebarkan
kuisioner atau angket kepada responden untuk mengetahui partisipasi masyarakat terhadap
r akan dilakukan secara langsung
kepada masyarakat dengan menentukan secara langsung responden yang akan diteliti. Selain itu
) yang dilakukan dengan cara bertatap muka
Hasil dari kuisioner akan dilakukan pembobotan berdasarkan Skala Likert (Hasan, 2002).
Tiap pertanyaan disediakan lima alternatif jawaban dengan membuat simbol angka pada pilihan
urutan skor a = sangat tidak baik, b = tidak baik, c =
data yang diperoleh pada saat penelitian selanjutnya
dianalisa secara deskripsi dan analisis persentase. Analisis persentase dilakukan untuk melihat
didalam persepsi, partisipasi serta aspirasi masyarakat. Hal ini dapat dilihat pada Tabel
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan
Tabel 1. Batasan Skor Muatan untuk Analisis Persentase
Skor Muatan
< 20 %
21% - 40%
41% - 60%
61% - 80%
81% - 100%
hasil dan pembahasan
Kondisi Hutan Mangrove Desa Kaliwlingi, Brebes
Hutan mangrove di daerah Brebes telah mengalami puncak alih fungsi menjadi tambak
sejak merebaknya bisnis udang di Indonesia pada Tahun 1980
menyebabkan lanskap kawasan pesisir di wilayah tersebut menjadi rentan terhadap bencana dan
hal ini diperlihatkan dengan banyak tanggul/pematang tambak rusak/hancur. Kerusakan yang
terjadi di hutan mangrove tidak hanya berkaitan den
mangrove saja, melainkan hancurnya habitat hutan mangrove itu sendiri. Hilangnya tegakan
mangrove secara otomatis berarti hilangnya pohon induk penghasil benih. Sementara hancurnya
sebahagian besar habitat mangrove ber
mangrove kembali.
Luasan mangrove Desa Kaliwlingi berdasarkan hasil intrepetasi citra satelit terjadi trend
penurunan dari tahun 1991 (88,32 Ha) hingga tahun 2008 (66,07 Ha) yang kemudian mengalami
kenaikan kembali pada tahun 2010 menjadi 70,59 Ha.
Gambar 2.
Pada tahun 2008 masyarakat beserta Pemda Brebes serta pendonor swasta memulai
program rehabilitasi kawasan mangrove di Desa Kaliwlingi. Rehabilit
menghijaukan kembali kawasan mangrove yang telah rusak dan memperkecil intrusi air laut
kedaratan serta memperkecil terjadinya abrasi pantai. Hingga pada tahun 2010 total tanaman
mangrove yang berhasil ditanam adalah sebanyak 1.000.
Kenaikan luasan mangrove di Desa Kaliwlingi dapat mengindikasikan bahwa program rehabilitasi
yang dilakukan oleh masyarakat dibantu dengan Pemda setempat beserta lembaga pendonor
swasta lainnya telah berhasil dilakukan. Lemba
adalah Kehati, Lintasartha, Hotel Bidakara, SMU Cita Buana, GEF, dan PT. Djarum. Lokasi
penanaman lahan mangrove dilakukan pada kawasan sempadan pantai dan pematang
tambak. Jenis tanaman mangrove yang ditan
marina.
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
L
u
a
s
a
n
(
H
a
)
Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan
Tabel 1. Batasan Skor Muatan untuk Analisis Persentase
Validitas Konstruk
Sangat tidak baik
Tidak baik
Cukup
Baik
Sangat baik
Kondisi Hutan Mangrove Desa Kaliwlingi, Brebes
Hutan mangrove di daerah Brebes telah mengalami puncak alih fungsi menjadi tambak
sejak merebaknya bisnis udang di Indonesia pada Tahun 1980-an. Kondisi demikian telah
menyebabkan lanskap kawasan pesisir di wilayah tersebut menjadi rentan terhadap bencana dan
hal ini diperlihatkan dengan banyak tanggul/pematang tambak rusak/hancur. Kerusakan yang
terjadi di hutan mangrove tidak hanya berkaitan dengan hilangnya beberapa jenis tumbuhan
mangrove saja, melainkan hancurnya habitat hutan mangrove itu sendiri. Hilangnya tegakan
mangrove secara otomatis berarti hilangnya pohon induk penghasil benih. Sementara hancurnya
sebahagian besar habitat mangrove berarti menurunnya luasan areal yang sesuai untuk ditanami
Luasan mangrove Desa Kaliwlingi berdasarkan hasil intrepetasi citra satelit terjadi trend
penurunan dari tahun 1991 (88,32 Ha) hingga tahun 2008 (66,07 Ha) yang kemudian mengalami
naikan kembali pada tahun 2010 menjadi 70,59 Ha.
Gambar 2. Grafik Luasan Mangrove Desa Kaliwlingi, Brebes
Pada tahun 2008 masyarakat beserta Pemda Brebes serta pendonor swasta memulai
program rehabilitasi kawasan mangrove di Desa Kaliwlingi. Rehabilitasi ini dilakukan untuk
menghijaukan kembali kawasan mangrove yang telah rusak dan memperkecil intrusi air laut
kedaratan serta memperkecil terjadinya abrasi pantai. Hingga pada tahun 2010 total tanaman
mangrove yang berhasil ditanam adalah sebanyak 1.000.000 pohon dengan luasan 5 Ha.
Kenaikan luasan mangrove di Desa Kaliwlingi dapat mengindikasikan bahwa program rehabilitasi
yang dilakukan oleh masyarakat dibantu dengan Pemda setempat beserta lembaga pendonor
swasta lainnya telah berhasil dilakukan. Lembaga pendonor swasta yang masuk didalamnya
adalah Kehati, Lintasartha, Hotel Bidakara, SMU Cita Buana, GEF, dan PT. Djarum. Lokasi
penanaman lahan mangrove dilakukan pada kawasan sempadan pantai dan pematang
tambak. Jenis tanaman mangrove yang ditanam adalah Rhizophora mucronata
88.32
77.56
66.07
70.59
1991 1997 2008 2010
Tahun
Luasan Mangrove Desa Kaliwlingi, Brebes
Sosial Ekonomi (SE-08) - 3
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan 16 Juli 2011
Validitas Konstruk
Sangat tidak baik
Hutan mangrove di daerah Brebes telah mengalami puncak alih fungsi menjadi tambak
Kondisi demikian telah
menyebabkan lanskap kawasan pesisir di wilayah tersebut menjadi rentan terhadap bencana dan
hal ini diperlihatkan dengan banyak tanggul/pematang tambak rusak/hancur. Kerusakan yang
gan hilangnya beberapa jenis tumbuhan
mangrove saja, melainkan hancurnya habitat hutan mangrove itu sendiri. Hilangnya tegakan
mangrove secara otomatis berarti hilangnya pohon induk penghasil benih. Sementara hancurnya
arti menurunnya luasan areal yang sesuai untuk ditanami
Luasan mangrove Desa Kaliwlingi berdasarkan hasil intrepetasi citra satelit terjadi trend
penurunan dari tahun 1991 (88,32 Ha) hingga tahun 2008 (66,07 Ha) yang kemudian mengalami
Grafik Luasan Mangrove Desa Kaliwlingi, Brebes
Pada tahun 2008 masyarakat beserta Pemda Brebes serta pendonor swasta memulai
asi ini dilakukan untuk
menghijaukan kembali kawasan mangrove yang telah rusak dan memperkecil intrusi air laut
kedaratan serta memperkecil terjadinya abrasi pantai. Hingga pada tahun 2010 total tanaman
000 pohon dengan luasan 5 Ha.
Kenaikan luasan mangrove di Desa Kaliwlingi dapat mengindikasikan bahwa program rehabilitasi
yang dilakukan oleh masyarakat dibantu dengan Pemda setempat beserta lembaga pendonor
ga pendonor swasta yang masuk didalamnya
adalah Kehati, Lintasartha, Hotel Bidakara, SMU Cita Buana, GEF, dan PT. Djarum. Lokasi
penanaman lahan mangrove dilakukan pada kawasan sempadan pantai dan pematang-pematang
Rhizophora mucronata dan Avicennia
70.59
2010
Luasan Mangrove Desa Kaliwlingi, Brebes
4 - Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan
Demografi Desa Kaliwlingi, Brebes
Jumlah penduduk Desa Kaliwlingi adalah 6.322 jiwa dengan 3.196 jiwa berjenis kelamin
laki-laki dan 3.126 jiwa berjenis kelamin perempuan. Tingkat pendidikan penduduk D
dapat digolongkan umumya masih rendah, karena persentase penduduk dengan tingkat
pendidikan yang mempunya latar belakang sekolah tamatan SMA dan Diploma/ Universitas masih
sangat rendah yaitu hanya 425 jiwa (9,49 %) dan 86 jiwa (1,92 %). Jum
tingkat pendidikannya tersaji pada Tabel 3.
Sementara itu mata pencaharian sebagian besar penduduk Desa Kaliwlingi adalah
nelayan (61%) dan petani/peternak (25%). Jumlah penduduk menurut mata pencahariannya tersaji
pada Gambar 3.
Tabel 2. Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan Tahun 2009
Tingkat pendidikan
Tidak Tamat SD
Tamat SD
Tamat SMP
Tamat SMA
Tamat Diploma/ Universitas
Sumber : BPS, Kecamatan Brebes
Gambar 2. Grafik Persentase Jumlah Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian di Desa
Kaliwlingi, Brebes (2009).
Partisipasi Masyarakat Desa Kaliwlingi terhadap Kegiatan Rehabilitasi
Pengetahuan masyarakat terhadap fungsi dan manfaat hutan mangrove merupakan salah
satu kunci didalam keberhasilan upaya rehabilitasi hutan mangrove. Berdasarkan distribusi
responden menurut pengetahuan fungsi dan manfaat hutan mangrove dari
didapatkan bahwa 65,71% masyarakat mengetahui fungsi hutan mangrove serta 62,86%
menyatakan hutan mangrove sangat bermanfaat bagi kehidupan mereka. Persepsi masyarakat
terhadap penyebab kerusakan hutan mangrove di Desa Kaliwlingi adalah abras
(62,86%); pengalihan fungsi hutan mangrove keberbagai kegiatan eksploitasi (22,86%);
pengambilan kayu (11,43%) dan pembukaan pertambakan (2,86%). Oleh karena itu masyarakat
menyatakan sangat dibutuhkannya kegiatan rehabilitasi hutan mang
Buruh Bangunan
2%
Supir/ Kernet
Persentase Jumlah Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian
Sosial Ekonomi (SE-08)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16
Demografi Desa Kaliwlingi, Brebes
Jumlah penduduk Desa Kaliwlingi adalah 6.322 jiwa dengan 3.196 jiwa berjenis kelamin
laki dan 3.126 jiwa berjenis kelamin perempuan. Tingkat pendidikan penduduk D
dapat digolongkan umumya masih rendah, karena persentase penduduk dengan tingkat
pendidikan yang mempunya latar belakang sekolah tamatan SMA dan Diploma/ Universitas masih
sangat rendah yaitu hanya 425 jiwa (9,49 %) dan 86 jiwa (1,92 %). Jumlah penduduk menurut
tingkat pendidikannya tersaji pada Tabel 3.
Sementara itu mata pencaharian sebagian besar penduduk Desa Kaliwlingi adalah
nelayan (61%) dan petani/peternak (25%). Jumlah penduduk menurut mata pencahariannya tersaji
Tabel 2. Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan Tahun 2009
Jumlah (jiwa)
666
2.350
950
425
86
Sumber : BPS, Kecamatan Brebes dalam Angka, 2009
Grafik Persentase Jumlah Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian di Desa
Kaliwlingi, Brebes (2009). Sumber : BPS, Kecamatan Brebes dalam Angka, 2009
Partisipasi Masyarakat Desa Kaliwlingi terhadap Kegiatan Rehabilitasi Hutan Mangrove
Pengetahuan masyarakat terhadap fungsi dan manfaat hutan mangrove merupakan salah
satu kunci didalam keberhasilan upaya rehabilitasi hutan mangrove. Berdasarkan distribusi
responden menurut pengetahuan fungsi dan manfaat hutan mangrove dari
didapatkan bahwa 65,71% masyarakat mengetahui fungsi hutan mangrove serta 62,86%
menyatakan hutan mangrove sangat bermanfaat bagi kehidupan mereka. Persepsi masyarakat
terhadap penyebab kerusakan hutan mangrove di Desa Kaliwlingi adalah abras
(62,86%); pengalihan fungsi hutan mangrove keberbagai kegiatan eksploitasi (22,86%);
pengambilan kayu (11,43%) dan pembukaan pertambakan (2,86%). Oleh karena itu masyarakat
menyatakan sangat dibutuhkannya kegiatan rehabilitasi hutan mangrove di Desa Kaliwlingi.
Petani/ Peternak
25%
Buruh Tani
4%
Nelayan
61%
Buruh Bangunan
2%
Pedagang
2%
Supir/ Kernet
Angkutan
0%
PNS/ TNI/ Polisi
1%
Lain-lain
5%
Persentase Jumlah Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian
Desa Kaliwlingi (2009)
16 Juli 2011
Jumlah penduduk Desa Kaliwlingi adalah 6.322 jiwa dengan 3.196 jiwa berjenis kelamin
laki dan 3.126 jiwa berjenis kelamin perempuan. Tingkat pendidikan penduduk Desa Kaliwlingi
dapat digolongkan umumya masih rendah, karena persentase penduduk dengan tingkat
pendidikan yang mempunya latar belakang sekolah tamatan SMA dan Diploma/ Universitas masih
lah penduduk menurut
Sementara itu mata pencaharian sebagian besar penduduk Desa Kaliwlingi adalah
nelayan (61%) dan petani/peternak (25%). Jumlah penduduk menurut mata pencahariannya tersaji
%
14,88
52,49
21,22
9,49
1,92
Grafik Persentase Jumlah Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian di Desa
Sumber : BPS, Kecamatan Brebes dalam Angka, 2009
Hutan Mangrove
Pengetahuan masyarakat terhadap fungsi dan manfaat hutan mangrove merupakan salah
satu kunci didalam keberhasilan upaya rehabilitasi hutan mangrove. Berdasarkan distribusi
responden menurut pengetahuan fungsi dan manfaat hutan mangrove dari 35 responden
didapatkan bahwa 65,71% masyarakat mengetahui fungsi hutan mangrove serta 62,86%
menyatakan hutan mangrove sangat bermanfaat bagi kehidupan mereka. Persepsi masyarakat
terhadap penyebab kerusakan hutan mangrove di Desa Kaliwlingi adalah abrasi dan erosi pantai
(62,86%); pengalihan fungsi hutan mangrove keberbagai kegiatan eksploitasi (22,86%);
pengambilan kayu (11,43%) dan pembukaan pertambakan (2,86%). Oleh karena itu masyarakat
rove di Desa Kaliwlingi.
Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-08) - 5
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan 16 Juli 2011
Persepsi ini diperoleh masyarakat melalui pembelajaran dimana rusaknya ekosistem hutan
mangrove di Desa Kaliwlingi menyebabkan kurangnya penghalang gelombang yang masuk
kedaratan dan menghancurkan segala fasilitas yang ada di daratan termasuk tambak-tambak
masyarakat dan berbagai perangkat aktivitas manusia. Pemahaman ini juga didukung dengan
adanya penyuluhan ataupun penyampaian informasi dan pembelajaran dari pemerintah/ lembaga
donor. Seiring dengan pendapat Saenger (1983) yang menyatakan fungsi fisik hutan mangrove
menjaga garis pantai agar tetap stabil, melindungi pantai dari erosi laut dan intrusi air laut ke
daratan.
Bentuk-bentuk pastisipasi masyarakat terhadap kegiatan rehabilitasi hutan mangrove
adalah melakukan penanaman kembali pada kawasan yang rusak/ reboisasi (45,71%);
membentuk kelompok kecil peduli hutan mangrove (40%); dan melakukan penyuluhan tentang
manfaat dan fungsi hutan mangrove (14,29%). 94,29 % masyarakat Desa Kaliwlingi juga
melakukan penanaman mangrove atas swadaya sendiri.
Masyarakat di Desa Kaliwlingi tidak hanya berperan dalam kegiatan rehabilitasi namun
juga dalam penyusunan rancangan kegiatan rehabilitasi, penyusunan rancangan anggaran biaya
kegiatan, penentuan lokasi kegiatan rehabilitasi serta pengawasan dalam pelaksanaan kegiatan
rehabilitasi hutan mangrove. Artinya bahwa adanya bantuan dari pemerintah maupun lembaga
donor lainnya didalam pelaksanaan kegiatan rehabilitasi hutan mangrove di Desa Kaliwlingi
diketahui langsung oleh masyarakat dan dilakukan dengan sistem terbuka kepada masyarakat.
Partisipasi masyarakat didalam pengawasan pemeliharaan hutan mangrove juga ditegaskan
didalam peraturan desa dan pembentukan JAGA SEGARA yang berpatroli setiap bulannya.
Tingkat partisipasi masyarakat Desa Kaliwlingi secara umum baik terlihat pada Tabel 3, ini
mengartikan bahwa masyarakat Desa kaliwlingi secara sadar pentingnya peranan hutan mangrove
dan partisipasi masyarakat yang kuat dan kompak adalah kunci sukses keberhasilan rehabilitasi
kondisi hutan mangrove.
Tabel 3. Tingkat Partisipasi Masyarakat
Pilihan Responden Keterangan
Jumlah Rata-
rata
Persentase Rata-rata
A Sangat tidak baik 1.6 4.57
B Tidak baik 1.2 3.43
C Cukup 4.1 11.71
D Baik 6.6 18.86
E Sangat baik 21.5 61.43
TOTAL 35 100.00
Bentuk partisipasi yang dilakukan oleh masyarakat dalam usaha rehabilitasi kawasan
hutan mangrove Desa Kaliwlingi, Brebes berdasarkan Biggs (1989) adalah sebagai berikut :
(1).Cooperation, terdapatnya pemberian insentif kepada masyarakat, namun gagasan/ide, desain
dan pelaksanaan pemulihan kawasan hutan mangrove telah ditentukan oleh pihak luar.
Masyarakat berperan sebagain employees atau subordinat. Berdasarkan penelitian ini bentuk
partisipasinya yaitu berupa ikut sertanya masyarakat dalam program penanaman seribu bibit
pohon bakau, dimana program tersebut dirancang dan ditentukan oleh pihak luar (pemerintah)
dan masyarakat diberikan (insentif) fasilitas kaos (baju), dan makanan.
(2).Collaboration, adanya kerjasama antara masyarakat dengan pihak lain untuk menentukan
prioritas dan pihak luar bertanggung jawab secara langsung terhadap proses. Masyarakat
berperan sebagai kolaborator. Berdasarkan penelitian ini bentuk partisipasinya yaitu dengan
adanya kerjsama antara masyarakat dengan lembaga donor swasta. dimana dengan
dilakukannya kegiatan penanaman bibit bakau di kawasan hutan mangrove Desa Kaliwlingi,
dimana pada kegiatan ini masyarakat tidak adanya pemberian insentif oleh pihak luar.
Masyarakat secara sukarela dan bergotong royong melakukan usaha pemulihan kawasan hutan
mangrove.
(3).Collective action, masyarakat menyusun dan melaksanakan agenda kegiatannya sendiri tanpa
adanya campur tangan dari pihak luar. Masyarakat berperan sebagai directors. Berdasarkan
penelitian ini bentuk partisipasinya yaitu dengan penanaman pohon mangrove di Desa
Kaliwlingi secara swadaya sendiri, kegiatan ini di wadahi oleh Paguyuban Mekar Sari yang
6 - Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-08)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
merupakan salah satu lembaga yang ada di Desa Kaliwlingi dimana anggotanya adalah
masyarakat lokal.
Harapan masyarakat erat kaitannya dengan kondisi yang sedang dialami dalam kehidupan
sehari-hari dan mendukung bentuk partisipasi yang dilakukan untuk mewujudkan harapan. Kondisi
lingkungan dan sumberdaya alam yang tidak baik menghadirkan harapan yang sangat besar untuk
mengubahnya menjadi baik. Demikian pula yang dapat dilihat pada Desa kaliwlingi, kondisi alam
yang memburuk menghadirkan 97,14 % harapan untuk membangun kondisi tersebut lebih
membaik. Hal ini seperti yang diungkapkan Mashadi :
Pengelolaan hutan mangrove yang telah didukung oleh LSM dan pemerintah
memberikan harapan yang sangat besar kepada kami untuk menjadikan hutan
mangrove kembali serta agar daerah kami terlindung dari abrasi dan bisa dijadikan
daerah wisata yang nantinya secara tidak langsung akan memajukan perekonomian
masyarakat Desa Kaliwlingi (Wawancara 25 April 2011)
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Masyarakat Terhadap Rehabilitasi Hutan Mangrove
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat didalam rehabilitasi
hutan mangrove, dimana terdiri dari faktor internal maupun eksternal. Berdasarkan Firdaus (2008)
faktor-faktor tersebut antara lain :
Faktor Internal
(1). Persepsi dan motivasi.
Persepsi adalah proses pemahaman ataupun pemberian makna atas suatu informasi
terhadap stimulus, masyarakat berpersepsi akibat adanya kerusakan hutan mangrove maka
hasil tangkapan mereka menurun dan terjadinya banjir akibat pasang air laut yang merendam
tambak serta perumahan warga, sehingga dengan persepsi masyarakat tersebut mereka
memotivasi sendiri bahwa kawasan hutan mangrove merupakan kawasan yang penting bagi
kehidupan sehari-hari dan perlu dijaga dan dilestarikan. Dimana salah satu fungsi ekologis
hutan mangrove adalah sebagai tempat pemijahan dan tempat asuhan bagi berbagai macam
biota, penahan abrasi, penyerap limbah, pencegah intrusi air laut, dan lain sebagainya.
(2). Kegiatan/ aktivitas rutinitas.
Masyarakat yang mempunyai jadwal kegiatan atau rutinitas yang padat maka semakin
rendah partisipasinya terhadap pemulihan kawasan mangrove. Pada umumnya masyarakat
Desa Kaliwlingi mempunyai pekerjaan petani tambak (40%), petani (37,14%), nelayan
tangkap (11,43%), pegawai negri/swasta (5,71%) dan lain-lain (5,71%). Mayoritas pekerjaan
yang sangat bergantung dengan keberadaan hutan mangrove membuat masyarakat
menyadari dan merasakan dampak langsung dari kerusakan hutan mangrove, sehingga
partisipasi yang tinggi sangat diperlukan untuk keberlangsungan kehidupan mereka.
Faktor Eksternal
(1). Insentif.
Insentif yang dimaksudkan adalah perangsang pemberian baik berupa uang maupun
fasilitas yang diberikan oleh pihak lain kepada masyarakat agar mau ikut serta atau
berpartisipasi dalam pemulihan kawasan hutan mangrove. Insentif yang pernah ada antara lain
yaitu berupa dana yang diperuntukkan untuk pembelian bibit bakau untuk di tanam pada
kawasan hutan mangrove dan juga dana buat pihak yang merawat atau memelihara bakau
tersebut.
(2). Pemerintah,
Sebagai pembuat kebijakan dimana diantaranya adalah dengan adanya Undang-
undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam hayati dan Ekosistemnya,
serta peraturan Desa Kaliwlingi dimana masyarakat dituntut untuk menjaga dan memelihara
kawasan hutan mangrove dan jika adanya pelanggaran maka akan mendapat sanksi hukum.
Kesimpulan dan Saran
Dari hasil yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa partisipasi masyarakat didalam
keberhasilan program rehabilitasi mangrove di Desa Kaliwlingi adalah baik (61,43%) serta bentuk
partisipasi yang dilakukan oleh masyarakat adalah co-operation, collaboration, dan collective
action. Faktor yang mempengaruhi rehabilitasi hutan mangrove yaitu ; (1) Internal, yang terdiri dari
Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-08) - 7
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan 16 Juli 2011
persepsi, motivasi, dan kegiatan/aktivitas rutin, (2) Eksternal, yang terdiri dari insentif dan
pemerintah.
Penetapan peraturan desa menjadi peraturan daerah sangatlah perlu dilakukan agar di
dalam upaya rehabilitasi hutan mangrove tidak hanya dilakukan oleh satu desa saja namun dapat
dilaksanakan pada satu kawasan hutan mangrove daerah.
Ucapan Terima Kasih
Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada seluruh masyarakat Desa Kaliwlingi,
Brebes, serta Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Brebes, Dinas Kehutanan Kab. Brebes, Dinas
Pariwisata Kab. Brebes, serta Kantor Lingkungan Hidup Kab. Brebes.
Daftar Pustaka
Biggs, S (1989). Resource-poor Farmers Participation in Research: A Synthesis of Experiences
from Nine National Agricultural Research Systems. Norwich, International Service for
National Agricultural Research.
http://www.cropscience.org.au/icsc2004/poster/4/1/1/1219_jakkues.htm. Diunduh tanggal 11
April 2011.
DKP Kab. Brebes, 2010. Kegiatan Rehabilitasi Kawasan Daerah Perlindungan Mangrove Dalam
Rangka Pemulihan Lingkungan Wilayah Pesisir Secara Terpadu Di Kabupaten Brebes. Dinas
Kelautan dan Perikanan Kab. Brebes. Brebes.
Field, C. D. 1996 Restoration of Mangrove Ecosystems. International Society for Mangrove
Ecosystems, Okinawa, Japan, 250 hlm.
Firdaus, M. 2008. Partisipasi Masyarakat dalam Pemulihan Kawasan Hutan Mangrove di Teluk
Jakarta (Studi Kasus Pada Kelurahan Kamal Muara, Jakarta Utara). www.scribd.com
Research Science. Diunduh 11 April 2011
Hasan, M. I. 2002. Pokok- Pokok Materi Metodologi Penelitian & Aplikasinya. Ghalia Indonesia.
Jakarta.
Saenger. 1983. Global Status ol Mangrove. Ecosystem, IUCN Commossion on Eccology Papers.
No. 3. 1983.
Stevenson, N. J., Lewis, R. R. & Burbridge, P. R. 1999 Disused Shrimp Ponds and Mangrove
Rehabilitation. In An International Perspective on Wetland Rehabilitation (Streever, W., ed.).
Kluwer Academic Publishers. Hlm: 277297.
Tanya Jawab
Pertanyaan : Apa maksud kerjasama dalam usaha konservasi mangrove?
Jawaban : Kerjasama disini dilibatkan antara pemerintah yang memiliki program dan
masyarakat sebagai pelaku utama. Sedangkan collective action disini berupa
suatu kegiatan penanaman tanaman mangrove secara bersama-sama.
Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-09) - 1
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan 16 Juli 2011
KAJIAN POTENSI HABITAT PENELURAN PENYU PANTAI SAMAS,
BANTUL YOGYAKARTA UNTUK PENGEMBANGAN
EKOWISATA BERBASIS PENYU
Intan Rahmawati, Agus Hartoko dan Baskoro Rochadi
Magister Manajemen Sumberdaya Pantai
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro Semarang
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi fisik habitat peneluran penyu di Pantai Samas,
untuk dijadikan kawasan ekowisata dan mengkaji faktor pendukung dan penghambat
pengembangan ekowisata penyu di Pantai Samas, Kabupaten Bantul. Penyu merupakan satwa
langka yang perlu dilindungi dan dapat dikembangkan sebagai potensi ekowisata bahari.
Hamparan pasir Pantai Samas sering digunakan sebagai lokasi bertelur sejumlah penyu langka
seperti Penyu Hijau, Penyu Sisik, Penyu Blimbing, dan Penyu Lekang. Hal ini tentu saja
menjadikan potensi tersendiri dari Pantai Samas untuk dikembangkan menjadi kawasan ekowisata
penyu. Penelitian dilakukan dengan cara studi karakteristik habitat peneluran penyu di Pantai
Samas serta identifikasi faktor-faktor pendukung dan penghambat yang dimiliki Pantai Samas
untuk dikembangkan menjadi kawasan ekowisata penyu. identifikasi dilakukan dengan metode
survai dan wawancara terhadap stakeholder terkait. Analisis data dilakukan dengan metode
SWOT. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Karakteristik Pantai Samas memiliki kesesuaian
sebagai habitat peneluran penyu dan berpotensi untuk dikembangkan kegiatan ekowisata penyu.
Hasil analisa SWOT diperoleh strategi yang hendaknya dikembangkan secara umum sebagai
berikut, yaitu dengan meningkatkan pemahaman masyarakat akan manfaat konservasi penyu dan
pengembangan ekowisata, pengembangan sistem pengelolaan sumberdaya alam berbasis
masyarakat secara mudah dan sederhana, Pengembangan potensi wisata dengan memanfaatkan
kegiatan konservasi penyu, potensi perikanan setempat dan ritual kebudayaan setempat.
Kata kunci : Potensi, pengembangan, ekowisata, penyu, Pantai Samas, Kabupaten Bantul
Pengantar
Pantai Samas termasuk wilayah Desa Srigading, Kecamatan Sanden, Kabupaten Bantul
dengan jarak sekitar 10 km dari kota Bantul. Pantai Samas berbatasan dengan muara Kali
Winongo atau biasa juga disebut Kali Bedog di sebelah barat dan Pantai Patihan di sebelah timur.
Posisi secara geografis Desa Srigading adalah 075925,13 - 080034,05 LS dan 1101530 -
1101629,18 BT.
Pantai yang memiliki panjang sejauh 2.275 km telah dikembangkan menjadi salah satu
objek wisata alam di Kabupaten Bantul. Pantai Samas terkenal dengan ombak yang besar dan
terdapat delta-delta sungai dan danau air tawar yang membentuk telaga-telaga yang digunakan
untuk pengembangan /perkembangbiakan ikan dari Sub Dinas Perikanan DIY dan udang galah
serta lokasi pemancingan.
Hamparan pantai Samas sering digunakan sebagai lokasi bertelur sejumlah penyu
langka yang dilindungi pemerintah saat ini. Jenis yang banyak ditemukan mendarat dan bertelur
adalah Penyu Lekang/ Sisik Semu (Lepidochelys olivaceae) dan Penyu Hijau/Kembang (Chelonia
mydas). Selain itu dapat diketemukan pula jenis Penyu Sisik (Eretmochelys imbricata) dan yang
pernah diketemukan tapi jarang sekali adalah Penyu Belimbing (Dermochelys coriaceae). Di Pantai
Samas, penyu-penyu ini banyak diketemukan mendarat dan bertelur pada bulan-bulan Juni s/d
September (http://bksdadiy.dephut.go.id). Rata-rata setiap tahunnya ditemukan 5 sarang penyu
yang bertelur di Pantai ini.
Berburu telur-telur penyu di sepanjang hamparan pantai tersebut sering dilakukan oleh
nelayan setempat untuk berbagai keperluan. Namun, atas prakarsa dan kesadaran sejumlah
nelayan Pantai Samas bersama Balai Konservasi Sumber Daya Alam Yogyakarta serta sejumlah
lembaga swadaya lingkungan maka dibentuk Forum Konservasi Penyu Bantul (FKPB) dengan
anggota para nelayan yang dulunya berburu telur penyu. Forum ini menerapkan penetasan secara
semi alami untuk telur-telur penyu yang ditemukan di sepanjang Pantai Samas dan sekitarnya dan
SE-09
2 - Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan
juga penangkaran bagi penyu-penyu yang ditemukan mendarat dalam keadaan
penyu yang telah menetas kemudian di pindah ke kolam penengkaran sampai berusia 3 bulan,
setelah itu dilepaskan kembali ke alam. Moment pelepasan tukik ini telah dijadikan atraksi wisata
tersendiri di Pantai Samas.
Dalam Rencana Tata Ruang
Pantai Samas ditetapkan sebagai salah satu kawasan wisata alam dan kawasan konservasi yang
ada di Kabupaten Bantul. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1994 tentang
Pengusahaan Pariwisata Alam dan Z
Taman Wisata Alam diuraikan bahwa salah satu upaya konservasi sumber daya alam hayati
beserta ekosistemnya adalah melalui penetapan sebagai kawasan hutan dan/atau kawasan
perairan menjadi taman nasional
kawasan konservasi selain sebagai kawasan perlindungan dan pengawetan adalah sebagai
wahana pendidikan, penelitian, dan pengembangan ilmu pengetahuan. Selain itu, kawasan
konservasi yang memiliki gejala keunikan alam serta keindahan alam ini sangat potensial untuk
dikembangkan sebagai objek dan daya tarik wisata alam.
Keunikan atraksi wisata penyu yang ada di Pantai Samas memiliki potensi
pengembangan kegiatan ekowisata penyu, oleh karena itu diperlu
mengungkap apakah potensi sumberdaya alam (biofisik) dan budaya masyarakatnya cocok untuk
dijadikan obayek wisata baru. Berdasarkan hal tersebut maka diperlukan suatu analisa
pengembangan ekowisata penyu di Pantai Samas, Kabupate
Bahan dan Metode
Penelitian ini dilaksanakan di Kawasan Pantai Samas, Kabupaten Bantul Propinsi
Yogyakarta (Gambar 1). Pengukuran parameter
dilaksanakan di sepanjang Pantai
Gambar 1 : Peta Lokasi Penelitian
Bahan dan alat penelitian
Bahan dan alat penelitian yang digunakan yaitu; peta lokasi penelitian, GPS untuk
mendapatkan posisi geografis, thermometer untuk
mengukur kadar air substrat, roll meter untuk mengukur lebar pantai, tongkat berskala untuk
mengukur kemiringan pantai, oven
Sosial Ekonomi (SE-09)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16
penyu yang ditemukan mendarat dalam keadaan
penyu yang telah menetas kemudian di pindah ke kolam penengkaran sampai berusia 3 bulan,
setelah itu dilepaskan kembali ke alam. Moment pelepasan tukik ini telah dijadikan atraksi wisata
Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bantul tahun 2000
Pantai Samas ditetapkan sebagai salah satu kawasan wisata alam dan kawasan konservasi yang
ada di Kabupaten Bantul. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1994 tentang
Pengusahaan Pariwisata Alam dan Zona pemanfaatan Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan
Taman Wisata Alam diuraikan bahwa salah satu upaya konservasi sumber daya alam hayati
beserta ekosistemnya adalah melalui penetapan sebagai kawasan hutan dan/atau kawasan
perairan menjadi taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam. Fungsi utama
kawasan konservasi selain sebagai kawasan perlindungan dan pengawetan adalah sebagai
wahana pendidikan, penelitian, dan pengembangan ilmu pengetahuan. Selain itu, kawasan
la keunikan alam serta keindahan alam ini sangat potensial untuk
dikembangkan sebagai objek dan daya tarik wisata alam.
Keunikan atraksi wisata penyu yang ada di Pantai Samas memiliki potensi
pengembangan kegiatan ekowisata penyu, oleh karena itu diperlukan suatu penelitian untuk
mengungkap apakah potensi sumberdaya alam (biofisik) dan budaya masyarakatnya cocok untuk
dijadikan obayek wisata baru. Berdasarkan hal tersebut maka diperlukan suatu analisa
pengembangan ekowisata penyu di Pantai Samas, Kabupaten Bantul Provinsi D.I. Yogyakarta.
Penelitian ini dilaksanakan di Kawasan Pantai Samas, Kabupaten Bantul Propinsi
Yogyakarta (Gambar 1). Pengukuran parameter-parameter fisik habitat peneluran penyu
dilaksanakan di sepanjang Pantai Samas yang merupakan habitat peneluran penyu.
Gambar 1 : Peta Lokasi Penelitian
Bahan dan alat penelitian yang digunakan yaitu; peta lokasi penelitian, GPS untuk
mendapatkan posisi geografis, thermometer untuk mengukur suhu substrat , humiditymeter untuk
mengukur kadar air substrat, roll meter untuk mengukur lebar pantai, tongkat berskala untuk
ven, timbangan analitik, mangkuk cawan, kuas, s
16 Juli 2011
penyu yang ditemukan mendarat dalam keadaan terluka. Telur
penyu yang telah menetas kemudian di pindah ke kolam penengkaran sampai berusia 3 bulan,
setelah itu dilepaskan kembali ke alam. Moment pelepasan tukik ini telah dijadikan atraksi wisata
Wilayah (RTRW) Kabupaten Bantul tahun 2000-2020
Pantai Samas ditetapkan sebagai salah satu kawasan wisata alam dan kawasan konservasi yang
ada di Kabupaten Bantul. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1994 tentang
ona pemanfaatan Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan
Taman Wisata Alam diuraikan bahwa salah satu upaya konservasi sumber daya alam hayati
beserta ekosistemnya adalah melalui penetapan sebagai kawasan hutan dan/atau kawasan
, taman hutan raya, dan taman wisata alam. Fungsi utama
kawasan konservasi selain sebagai kawasan perlindungan dan pengawetan adalah sebagai
wahana pendidikan, penelitian, dan pengembangan ilmu pengetahuan. Selain itu, kawasan
la keunikan alam serta keindahan alam ini sangat potensial untuk
Keunikan atraksi wisata penyu yang ada di Pantai Samas memiliki potensi
kan suatu penelitian untuk
mengungkap apakah potensi sumberdaya alam (biofisik) dan budaya masyarakatnya cocok untuk
dijadikan obayek wisata baru. Berdasarkan hal tersebut maka diperlukan suatu analisa
n Bantul Provinsi D.I. Yogyakarta.
Penelitian ini dilaksanakan di Kawasan Pantai Samas, Kabupaten Bantul Propinsi
parameter fisik habitat peneluran penyu
Samas yang merupakan habitat peneluran penyu.
Bahan dan alat penelitian yang digunakan yaitu; peta lokasi penelitian, GPS untuk
mengukur suhu substrat , humiditymeter untuk
mengukur kadar air substrat, roll meter untuk mengukur lebar pantai, tongkat berskala untuk
sieve shaker untuk
Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-09) - 3
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan 16 Juli 2011
menganalisa ukuran butir substrat, kamera digital untuk pemotretan kondisi eksisting di lapangan,
kuisionair sebagai alat bantu wawancara dan alat tulis.
Pengumpulan data
Data yang digunakan meliputi data sekunder dan data primer. Data primer diperoleh
dengan cara melakukan survey dan observasi langsung di lapangan (Tabel 1). Data sekunder
diperoleh dari Bappeda Kab. Bantul, Dinas Pariwisata Kab. Bantul, BPS Kab. Bantul dan FKPBL
(Tabel 2). Dari data sekunder banyak diperoleh gambaran kondisi biologi, fisik dan oseanografi
yang terdapat di Pantai Samas, Kabupaten Bantul.
Tabel 1. Pengumpulan data primer
No.
Jenis Data Teknik Pengumpulan
Alat yang
digunakan
Lokasi
1
Data lebar dan kemiringan
pantai
Pengukuran
lapangan
Roll meter dan
tongkat berskala
Pantai Samas
(Gambar 1.)
2
Data suhu dan kadar air substrat Pengukuran
lapangan
Thermometer
dan
humiditymeter
Pantai Samas
(Gambar 1.)
3
Data Ukuran butir Analisa
Laboratorium
oven, timbangan
analitik, mangkuk
cawan, kuas,
sieve shaker
Lab.
Sedimentologi
FPIK UNDIP
4
Data persepsi dan potensi
kawasan
Pengamatan
lapangan dan
wawancara
mendalam
Kamera digital
dan kuisionaire
Pantai Samas
(Gambar 1.)
Tabel 2. Pengumpulan data sekunder
No. Judul Pustaka/Instansi
1. Bantul Dalam Angka Tahun 2009 BPS Kabupaten Bantul (2010)
2. Statistik Kepariwisataan Kabupaten Bantul
2009
Dinas Pariwisata Kabupaten Bantul (2010)
3. RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah)
Kabupaten Bantul Tahun 2000- 2020
BAPPEDA Kabupaten Bantul
4. Data peneluran penyu Forum Konservasi Penyu Bantul
5 Data pasang surut Pantai Selatan Cilacap
Th. 2010
DISHIDROS TNI AL
Metode pengambilan sampel untuk analisa pengembangan ekowisata penyu
menggunakan metode purposive sampling, dimana penentuan lokasi penelitian dengan beberapa
pertimbangan tertentu oleh peneliti (Sudjana, 1992), yaitu sebanyak 8 titik di sepanjang pantai
yang sering dijadikan tempat peneluran penyu. Sedangkan pengukuran dan pengambilan sampel
substrat dilakukan berdasarkan random sampling methods atau pengambilan sampel secara acak
yaitu dititik-titik pantai yang sering dijadikan pendaratan dan peneluran penyu. Pengambilan
sampel responden untuk stake holder dilakukan di Dusun Ngepet, Desa Srigading, Kecamatan
Sanden, Kabupaten Bantul Propinsi D.I. Yogyakarta, sedangkan untuk sampel responden
pengunjung dilakukan di sepanjang tepi Pantai Samas mengingat banyak wisatawan yang
berekreasi menikmati pemandangan pantai dan di tepi laguna, dimana masyarakat sering
memanfaatkan untuk olahraga memancing.
4 - Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-09)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Analisa data
Analisis data dilakukan dalam dua tahap yaitu:
Analisa daya dukung kawasan untuk kegiatan ekowisata penyu
Evaluasi kelayakan lahan untuk kegiatan ekowisata penyu dapat dilakukan dengan
metode PATTERN (Planing Assistance through Technical Evaluation of Relevant Number)
(Saefudin et al., 1996 dalam Radiarta et al, 2004). Metode ini digunakan untuk memecahkan
masalah melalui pengambilan skor pada setiap parameter fisik habitat peneluran penyu menurut
pedoman teknis pengelolaan konservasi penyu.
Penyusunan matriks kesesuaian dilakukan dengan memodifikasi matriks yang telah
yang telah ada dan dibuat pada penelitian serupa. dalam penelitian ini, modifikasi yang dilakukan
terdiri dari 3 hal yaitu:
1) Modifikasi yang pertama mengenai jenis variabel yang digunakan dalam analisis kesesuaian,
yaitu dengan memadukan variabel yang dipakai sebelumnya, sehingga diperoleh matriks
dengan variabel yang lebih lengkap.
2) Modifikasi yang kedua adalah dengan menyesuaikan kisaran nilai tiap variabel dalam
parameter fisik habitat penelura penyu sesuai dengan kelas yang telah ditentukan dalam
penelitian ini, yaitu 3 kelas (S1; baik, S2; sedang, N; rusak). Penyesuaian nilai kedalam kelas
kesesuaian dilakukan tergantung pada pola variabel.
3) Modifikasi yang ketiga adalah pada penentuan nilai bobot tiap variabel. Pemberian bobot
setiap variabel dalam parameter fisik habitat peneluran penyu disesuaikan dengan tingkat
kepentingan variabel tersebut bagi kesesuaian kawasan ekowisata berbasis penyu. Dalam
penelitian ini parameter yang diamati untuk kelayakan lahan untuk kawasan ekowisata penyu
meliputi: tipe/karakteristik pantai, panjang dan lebar pantai, kemiringan pantai, predator,
oseanografi (pasang surut air laut, ukuran butir substrat, dan suhu substrat) dan penutupan
lahan pantai. parameter tersebut kemudian diurutkan mulai dari yang paling berpengaruh
terhadap suatu peruntukan. Parameter yang dapat memberikan pengaruh lebih kuat diberi
bobot lebih tinggi. Bobot terbesar ditentukan 20 dan terkecil 5 sehingga total bobot berjumlah
100. Untuk setiap faktor pembatas dalam kolom matriks kesesuaian lahan dibuat skala
penilaian (rating) dengan angka 1 (kurang sesuai), 2 (sesuai bersyarat) dan 3 (sesuai). Untuk
menentukan nilai akhir (skor) dari faktor-faktor tersebut, dilakukan perkalian bobot dengan
skala penilaian (rating) (Tiskiantoro, 2006).
Menurut Radiarta et al. (2004) analisis secara kuantitatif untuk menentukan kelas
kesesuaian zonasi kawasan ekowisata penyu menggunakan metode scoring dengan pendekatan
sebagai berikut:
dimana :
Y = nilai akhir;
ai = faktor pembobot;
Xn = nilai tingkat kesesusaian lahan.
Kriteria yang digunakan dalam penyusunan matrik daya dukung dan pembobotan untuk
penentuan kelayakan lahan untuk kawasan ekowisata penyu seperti tertera pada Tabel 3.
Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-09) - 5
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan 16 Juli 2011
Tabel 3. Matriks daya dukung kawasan ekowisata penyu berdasarkan parameter fisik habitat
peneluran penyu.
Parameter
lingkungan
Kisaran
Angka
penilaian
(Xn)
Bobot
(%)
(ai)
Skor
(Xn x ai)
Sumber
Tipe/ karakteristik
Pantai
Pantai Berpasir
Pantai Berbatu,
Berkarang
Pantai Berlumpur,
Bertebing /terjal
3
2
1
20 60
40
20
Yulianda F, 2007
dan PPSPAL
UMRAH 2009
Ukuran Butir
(mm)
0.25-0.5
0.0625-0.125
0.0156-0.031
3
2
1
15 45
30
15
Uden Wentworth,
1922
Suhu substrat
(
o
C)
24 34
< 24, > 34
3
1
15 45
15
YAL,2000
Pasang Surut < 40
40 - 100
> 100
3
2
1
15 45
30
15
DISHIDROS TNI AL,
2010
Kemiringan
Pantai
( %)
< 25
25 45
> 45
3
2
1
15 45
30
15
Yulianda F, 2007
dan PPSPAL
UMRAH
Lebar Pantai
(m)
>10
3 10
< 3
3
2
1
5 30
20
10
Yulianda F, 2007
dan Bakosurtanal
1996.
Stabilitas pantai Tak ada abrasi
Pantai berubah-
ubah denagn Pola
tetap setaip tahun
Abrasi tinggi
3
2
1
5 15
10
5
PPSAL UMRAH,
2009
Predator alami di
pantai
Tidak ada
Ada 1 jenis
predator darat
Ada >1 jenis
predator darat
3
2
1
5 15
10
5
Yulianda F, 2007
dan PPSAL
UMRAH, 2009
Keterlindungan Terlindung penuh
Musiman
Terbuka penuh
3
2
1
5 15
10
5
PPSAL
UMRAH,2009
Total Score 100
Radiarta et al. (2004) membagi kisaran persentase setiap kategori sebagai berikut :
Kategori sangat layak (S1) : Y 85 %, Kategori layak (S2) : Y = 51% - 84% dan Kategori tidak
layak (N) : Y 50 %. Berdasarkan pembagian tersebut diperoleh kisaran skoring setiap kategori
seperti tertera pada tabel 10.
6 - Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-09)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Tabel 4. Skoring kesesuaian kawasan ekowisata penyu berdasarkan parameter fisik habitat
peneluran penyu.
Total Skor Tingkat Kesesuaian Keterangan
255 - 300 Sesuai (S1) Daerah ini potensial untuk dikembangkan
kawasan ekowisata penyu karena dapat
memenuhi persyaratan minimal untuk
kelulushidupan tukik.
151 - 254 Sesuai bersyarat (S2) Daerah ini cukup bermanfaat untuk
dikembangkan kawasan ekowisata penyu. Akan
tetapi daerah ini memiliki faktor pembatas yang
memerlukan perlakuan khusus untuk
meningkatkan kemampuannya.
150 Tidak sesuai Daerah yang termasuk dalam kategori ini tidak
dapat diusahakan untuk kawasan ekowisata
penyu.
Sumber : Radiarta et al. (2004)
Analisa SWOT
Analisa SWOT digunakan untuk merumuskan strategi alternatif yang dihasilkan dari
identifikasi ancaman,kelemahan,kekuatan dan peluang yang dimiliki oleh Pantai Samas untuk
dikembangkan menjadi kawasan ekowisata berbasis penyu.
Analisis SWOT merupakan suatu analisa yang bertujuan untuk mengidentifikasi
berbagai faktor secara sistematis dalam merumuskan suatu strategi, yang didasarkan pada logika
dengan cara memaksimalkan kekuatan dan peluang yang ada dan secara bersamaan
meminimalkan kelemahan dan ancaman. Analisa SWOT digunakan untuk menentukan strategi
pengembangan ekowisata dengan mengetahui faktor internal maupun eksternal. Analisia ini
didasarkan pada logika dengan memaksimalkan kekuatan (strength), peluang (oppurtunities)
namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weaknesses) dan ancaman (threats)
(Rangkuti, 2005).
Tabel 5. Matrik SWOT
IFAS
EFAS
Strenght (S) Weakness (W)
Opportunity (O) Strategy S - O Strategy W - O
Threat (T) Strategy S - T Strategy W - T
Keterangan : IFAS : Internal Strategic Factor Analysis Summary
EFAS : External Strategic Factor Analysis Summary
Hasil dan Pembahasan
Kesesuaian kawasan yang dihasilkan dalam penelitian ini merupakan kesesuaian aktual
(current suitability), yang tingkat kesesuaiannya hanya didasarkan pada data yang tersedia dan
belum mempertimbangkan asumsi atau usaha perbaikan serta tingkat pengelolaan yang dapat
dilakukan untuk mengatasi berbagai kendala fisik atau faktor-faktor penghambat yang ada.
Analisis Kesesuaian Daya Dukung Kawasan Ekowisata Penyu Berdasarkan Parameter Fisik
Habitat Peneluran Penyu.
Berdasarkan hasil scoring analisa kesesuaian daya dukung kawasan eksowisata penyu
berdasarkan parameter fisik habitat peneluran penyu diperoleh bahwa kawasan untuk
pengembangan kegiatan ekowisata berbasis penyu di Pantai Samas termasuk kategori S1
(sesuai). dengan total skor sejumlah 280 atau 93.33% seperti ditunjukkan pada tabel 5. Suatu
kawasan dengan kriteria sesuai (S1), didefinisikan sebagai lahan yang dicirikan dengan tidak
adanya faktor pembatas yang berarti, yaitu sebagian besar parameter biologi, fisik dan oseanografi
Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-09) - 7
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan 16 Juli 2011
yang dikaji pada kawasan tersebut sesuai untuk pengembangan kegiatan ekowisata berbasis
penyu.
Tabel 6. Hasil scoring daya dukung kawasan untuk pengembangan kegiatan ekowisata berbasis
penyu berdasarkan parameter fisik habitat peneluran penyu.
Parameter
Angka
penilain
Bobot Skor
Tipe/ karakteristik pantai 3 20 60
Ukuran Butir (mm) 3 15 45
Suhu substrat (
o
C) 3 15 45
Pasang Surut 3 15 45
Lebar pantai (m) 3 5 15
Kemiringan Pantai ( %) 3 5 15
Stabilitas pantai 2 5 10
Predator alami di pantai 1 5 5
Keterlindungan 2 5 10
Total 280
Pantai Samas-Bantul yang merupakan pantai berpasir dengan lebar pantai rata-rata 39.24
m dan panjang garis pantai 2.4 km. Pantai berpasir merupakan karakteristik pantai yang sesuai
untuk kegiatan wisata pantai (Yulius,2007). Secara umum hasil pengukuran lebar pantai Samas
dilapangan menunjukan bahwa pantai Samas memiliki lebar pantai yang cukup panjang, sehingga
lebar dan panjang pantai Samas dapat dikatakan mendukung sebagai habitat peneluran penyu.
Semakin lebar pantai, jarak sarang penyu akan semakin jauh dengan jangkauan gelombang
pasang. Jarak sarang yang tidak dekat dengan air laut akan menghindarkan sarang penyu dari
rendaman air (I Nyoman,1992). Berdasarkan hasil pengukuran kemiringan diketahui bahwa nilai
kemiringan Pantai Samas antara 3.92 %-19.4% dengan rata-rata 13.09% dimana tergolong miring.
Menurut I Nyoman (1992) kondisi pantai yang landai dan miring sesuai bagi habitat peneluran
penyu karena kondisi landai tersebut dapat memudahkan penyu untuk mencapai tempat
peneluran. Vegetasi yang terdapat pada pantai Samas antara lain katangan (Cyperus rotondus),
suket gulung (Ipomea pes-caprae), dan widuri (Spinifex littoreus). Vegetasi tersebut merupakan
vegetasi yang biasa tumbuh pada gumuk pasir dan memiliki akar kuat agar tidak mudah terlepas
dari substrat yang berupa pasir lepas. Bustard (1972) dalam Nuitja (1992) yang menjelaskan
bahwa penyu cenderung memilih pantai berpasir tebal dengan latar belakang vegetasi sebagai
tempat bertelurnya karena akan memberikan ketenangan dan rasa aman bagi telur/calon induk
penyu mendatang.
Gambar 2. Grafik lebar dan kemiringan Pantai Samas
Suhu subtrat pasir di Pantai Samas mengalami kestabilan antara 29.5
o
C- 33
o
C.
Menurut Yayasan Alam Lestari (2000), Suhu pasir merupakan faktor yang sangat berpengaruh
dalam pemilihan habitat peneluran, suhu yang diperlukan agar pertumbuhan embrio dapat berjalan
8 - Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-09)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
dengan baik adalah antara 24-33 C, apabila suhu di dalam sarang diluar batas suhu tersebut,
maka embrio tidak dapat tumbuh dan mati. Kecepatan pertumbuhan embrio dipengaruhi oleh suhu
pasir dimana telur tersebut tertanam.
Ukuran butir pasir merupakan salah satu faktor pendukung penyu betina untuk bertelur
dan tingkat perkembangan telur serta kelulushidupan tukik. Ukuran butir pasir pada masing-masing
stasiun pengamatan di Pantai Samas didominasi oleh butir pasir halus hingga sedang dengan
ukuran 0.30-0.50 mm. Besar ukuran butiran pasir antara 0.10-0.30 mm memungkinkan aliran air di
antara butir-butirnya sampai lapisan jauh di bawah permukaan (Romimohtarto dan Juwana, 2007).
Ukuran butir pasir sedang akan mempermudah penyu lekang untuk menggali sarang sebagai
tempat bertelur. Ukuran butir pasir sangat berpengaruh terhadap sifat pasir sebagai penyangga
yang baik bagi perubahan suhu dalam sarang (Nybakken, 1992). Umumnya pasir yang sedang
sampai halus mampu menjadi penyangga suhu yang baik dalam sarang (Dunn, dkk., 1992).
Dari hasil observasi dilapangan, jenis predator yang dijumpai pada pantai peneluran
penyu di Samas antara lain anjing liar (C. lupus), biawak (V. salvator), semut merah (O.
smaragdina) dan yang paling sering dijumpai jenis jenis kepiting pantai (Ocypoda sp). Apabila
predator ini jumlahnya melimpah, maka penyu betina akan mencari lokasi lain untuk bertelur lebih
jauh lagi. Hal ini dapat mengancam keberadaan populasi penyu di Indonesia. Menurut Nontji
(2005), fase tukik adalah masa yang paling kritis dalam hidupnya karena pada saat itulah predator
paling mudah untuk memangsanya, baik ketika sedang merangkak di pasir maupun segera setelah
mencapai laut.
Gambar 3. Predator alami penyu di Pantai Samas
Analisa SWOT
Analisis SWOT dimaksudkan untuk memperjelas semua kekuatan dan kelemahan yang
dapat diidentifikasi guna memberikan suatu rekomendasi pengembangan berdasarkan potensi-
potensi yang tersedia.
Analisis faktor internal
Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-09) - 9
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan 16 Juli 2011
Tabel 7. Faktor-Faktor Strategis Internal
Faktor-faktor Strategi Internal Bobot Rating Skor
Kekuatan
a. Kegiatan konservasi penyu 0.159 3 0.477
b. Potensi wisata yang unik dengan pengembangan
ekowisata penyu.
0.053 2 0.106
c. Sarana dan prasarana penunjang 0.237 3 0.711
d. Adanya unsur kebudayaan yang khas dan unik,
(Labuhan Jala Nidhi dan Mahesa Suro).
0.053 1 0.053
Kelemahan
d. Kualitas Sumber Daya Manusia 0.106 2 0.212
e. Kondisi perekonomian masyarakat desa yang relatif
rendah
0.053 2 0.106
f. Belum tersedianya fasilitas yang memadai pada obyek
daya tarik wisata yang ada.
0.079 3 0.237
g. Penilaian yang buruk terhadap lingkungan Pantai
Samas (merupakan daerah lokalisasi)
0.079 3 0.237
g. Degradasi lingkungan 0.185 2 0.370
Total 1.00 2.509
Analisis strategis faktor-faktor internal meliputi faktor-faktor yang mendukung kekuatan
dan kelemahan. Total skor faktor untuk analisis ini adalah 2.509. Skor terbesar untuk faktor
kekuatan berasal dari faktor adanya sarana dan prasarana penunjang seperti ketersidiaan akses
tranportasi dan pusat informasi tentang konservasi penyu di Pantai Samas yakni 0.711 diikuti
Kegiatan konservasi penyu yang telah berlangsung di Pantai Samas yang bernilai 0.477 yang
merupakan salah satu faktor yang ditawarkan sebagai daya tarik bagi wisatawan. Faktor
kelemahan yang harus diperhatikan ancaman degradasi lingkungan dengan nilai 0.370 diikuti
adanya penilaian buruk tentang Pantai Samas (daerah lokalisasi) dengan nilai sebesar 0.237 dan
belum tersedianya fasilitas yang memadai di Pantai Samas (0.237).
Analisis faktor eksternal
Tabel 8. faktor-faktor strategis eksternal
Faktor-faktor Strategi Eksternal Bobot Rating Skor
Peluang
a. Potensi sumberdaya perikanan di daerah setempat 0.067 2 0.134
c. Daya dukung daerah sekitar 0.135 2 0.270
d. Dukungan Pemkab terhadap pengembangan ekowisata 0.134 3 0.402
e. Perkembangan teknologi dan informasi didalam kegiatan
konservasi penyu dan ekowisata
0.067 2 0.134
Ancaman
f. Perencanaan dan pengembangan pariwisata yang belum
optimal dan terarah.
0.067 2 0.134
g. Partisipasi Stakeholder 0.268 3 0.804
i. Kelembagaan 0.201 3 0.603
j. Belum ada anggaran secara khusus untuk pengembangan
wisata Pantai Samas pada RAPBD
0.067 2 0.134
Total 1.00 2.633
Analisis strategis faktor-faktor eksternal meliputi faktor-faktor yang mendukung peluang
dan ancaman. Total skor faktor untuk analisis ini adalah 2.633. Skor terbesar untuk faktor peluang
berasal dari faktor dukungan dari Pemerintah Kabupaten Bantul yang memiliki skor 0.402,
diharapkan dengan dukungan dari Pemkab Bantul dapat membangkitkan kembali aktivitas
pariwisata di Pantai Samas khususnya kegiatan ekowisata berbasis penyu. Faktor ancaman yang
10 - Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-09)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
harus diperhatikan adalah partisipiasi stakeholder (skor 0.804). Kurangnya pasrtisipasi stakeholder
dalam pengembangan Pantai Samas,akan mempengaruhi usaha pengembangan ekowisata di
Pantai Samas.
Analisis dengan Menggunakan Matrik SWOT
Tabel 9. Matriks SWOT
Kekuatan (S)
1. Pantai samas telah
berkembang kegiatan
konservasi penyu
2. Potensi wisata yang unik
dengan pengembangan
ekowisata penyu.
3. Sarana dan prasarana
penunjang
4. Adanya unsur kebudayaan
yang khas dan unik, (Labuhan
Jala Nidhi dan Mahesa Suro)
Kelemahan (W)
1. Kualitas Sumber Daya
Manusia
2. Kondisi perekonomian
masyarakat desa yang
relatif rendah
3. Belum tersedianya
fasilitas yang memadai
pada obyek daya tarik
wisata yang ada.
4. Penilaian yang buruk
terhadap lingkungan
Pantai Samas
(merupakan daerah
lokalisasi)
5. Degradasi lingkungan
Peluang (O)
1. Potensi sumberdaya
perikanan di daerah
setempat
2. Daya dukung daerah
sekitar
3. Dukungan terhadap
pengembangan ekowisata
4. Perkembangan teknologi
dan informasi didalam
kegiatan konservasi
penyu dan ekowisata
Strategi SO
Pengembangan potensi wisata
dengan memanfaatkan kegiatan
konservasi penyu , potensi
perikanan setempat dan ritual
kebudayaan setempat
(S1,S2,S4,O1)
Pengadaan dan pengembangan
ekowisata berbasis penyu
dengan memanfaatkan sistem
informasi pariwisata (S2,O3,O4)
Pengenalan ekowisata penyu
kepada wisatawan yang
berkunjung di daerah sekitar
(S2,O2,O4)
Pemanfaatan dan pengaktifan
sarana dan prasarana
penunjang yang ada untuk
pengembangan wisata (S3,O4)
Strategi WO
pembinaan SDM untuk
mengoptimalkan potensi
perikanan dan pelaku
wisata (W2,O1,O3)
Pengadaan prasara dan
sarana pendukung
kegiatan ekowisata
penyu (W3,O3,O4)
pemulihan citra buruk
Pantai Samas dengan
pembinaan
SDM,dukungan
masyarakat sekitar dan
pemerintah (W4,O3)
pemanfaatan
sumberdaya alam yang
ada untuk mendukung
pengambangan kegiatan
ekowisata penyu
(W5,O1,O3)
pengembangan sistem
pengelolaan
sumberdaya alam
berbasis masyarakat
secara mudah dan
sederhana (W1,W5,O3)
Ancaman (T)
1. Perencanaan dan
pengembangan
pariwisata yang belum
optimal dan terarah.
2. Kurangnya Partisipasi
Stakeholder
Strategi ST
Pengembangan kegiatan
ekowisata penyu dengan
melibatkan antar sektor
kelembagaan pemerintah dan
masyarakat (S2,T2,T3)
Strategi WT
meningkatkan
pemahaman masyarakat
akan manfaat
konservasi penyu dan
pengembangan
ekowisata (W1,W4,T2)
INTERNAL
EKSTERNAL
Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-09) - 11
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan 16 Juli 2011
3. Kelembagaan yang
kurang koordinativ
4. Belum ada anggaran
secara khusus untuk
pengembangan wisata
Pantai Samas pada
RAPB
Analisis yang terakhir adalah penyusunan matrix SWOT guna menentukan alternatif
strategi. Matrix ini disusun oleh faktor-faktor kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman yang
merupakan penyusun faktor-faktor strategis analisis internal dan eksternal. Hasil urutan prioritas
utama strategi pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya yang didapat dari analisa SWOT untuk
pengembangan Pantai Samas sebagai kawasan ekowisata berbasis penyu adalah meningkatkan
pemahaman masyarakat akan manfaat konservasi penyu dan pengembangan ekowisata,
lemahnya tingkat sumberdaya manusia di sekitar kawasan Pantai Samas tentang konservasi
penyu akan mengancam jumlah penyu yang mendarat untuk bertelur. Hal ini dikarenakan masih
adanya praktek penjualan telur penyu ke luar daerah. Namun pada umumnya pelaku pencurian
merupakan warga yang justru berasal dari luar daerah Pantai Samas. Kurangnya kesadaran
masyarakat tentang makna konservasi penyu dan lemahnya penegakkan hukum serta kurangnya
pengawasan dari pihak pengelola kawasan konservasi menjadi faktor utama.
Strategi prioritas kedua adalah pengembangan sistem pengelolaan sumberdaya alam
berbasis masyarakat secara mudah dan sederhana. Pengelolaan Berbasis Masyarakat dapat
diartikan sebagai sustu system pengelolaan sumberdaya alam di suatu tempat dimana masyarakat
lokal di tempat tersebut terlibat secara aktif dalam proses pengelolaan sumberdaya alam yang
terkandung di dalamnya. dalam kegiatan ekowisata keikutsertaan masyarakat sebagai pengelola
menjadi point penting dalam keberhasilan pengembangan kegiatan tersebut. Horwich et al. (1993)
dalam Linberg (1998), menyatakan bahwa ekowisata yang benar harus didasarkan atas system
pandangan yang didalamnya mencakup prinsip kesinambungan dan pengikutsertaan partisipasi
masyarakat setempat dan didalam areal-areal potensial untuk pengembangan ekowisata. Menurut
Mac Kinon (1996), adanya kawasan yang dilindungi secara langsung atau tidak langsung dapat
meningkatkan kesempatan kerja di wilayah itu. Sejumlah penduduk setempat atau jasa-jasa
lainnya begi pengunjung, dapat dipekerjakan langsung oleh otorita pengelolaatau dalam jasa boga.
Dalam beberapa kasus dapat merangsang perekonomian local secara keseluruhan. Sejumlah
ancaman dan penyalahgunaan terhadap objek wisata semata-mata disebabkan tidak adanya
pilihan mata pencaharian lain.
Strategi prioritas terakhir adalah Pengembangan potensi wisata dengan memanfaatkan
kegiatan konservasi penyu, potensi perikanan setempat dan ritual kebudayaan setempat. Pantai
Samas, Kabupaten Bantul. Hamparan pasir Pantai Samas sering digunakan sebagai lokasi
bertelur sejumlah penyu langka seperti Penyu Hijau, Penyu Sisik, Penyu Blimbing, dan Penyu
Lekang. Melihat potensi unik yang dimiliki oleh Pantai Samas ini, sangat layak dikembangkan
menjadi obyek ekowisata dengan minat khusus, mengingat di pesisir Kabupaten Bantul baru di
Pantai Samas inilah dikembangkan konservasi penyu meskipun hanya sederhana sehingga bisa
memiliki karakteristik wisata yang berbeda dengan wilayah lainnya yang ada di Kabupaten Bantul.
Selain memiliki tempat konservasi penyu, Pantai Samas juga terkenal dengan ombaknya yang
besar, delta-delta sungai dan danau air tawar yang membentuk telaga. Oleh Sub Dinas Perikanan
Propinsi DIY, telaga-telaga tersebut digunakan untuk pengembangan perikanan, penyu dan udang
galah serta untuk lokasi pemancingan. Di pantai ini, sering diadakan ritual keagamaan oleh
masyarakat Yogyakarta seperti Upacara Kirab Tumuruning Maheso Suro dan Labuhan Sedekah
Laut.
Potensi yang dimiliki dengan penataan lingkungan yang serasi dan pengelolaan yang
terpadu dapat menciptakan obyek dan daya tarik wisata yang lebih memikat, sehingga benar-
benar layak untuk dijual kepada wisatawan domestik maupun mancanegara. Fandeli (2000)
mengatakan bahwa perencanaan kepariwisataan alam mempunyai aspek yang cukup kompleks,
pemanfaatan yang konservasi pada kekayaan dan keragaman hayati secara ekosistemnya dapat
dilaksanakan dengan pengembangan obyek dan daya tarik wisata. Pengembangan tidak hanya
pada obyek wisata tetapi juga pada pasar wisata.
Kesimpulan dan Saran
12 - Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-09)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Dari hasil penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa Pantai Samas berpotensi untuk
dikembangkan kegiatan ekowisata berbasis penyu. Strategi yang hendaknya dikembangkan
secara umum sebagai berikut, yaitu dengan meningkatkan pemahaman masyarakat akan manfaat
konservasi penyu dan pengembangan ekowisata, pengembangan sistem pengelolaan sumberdaya
alam berbasis masyarakat secara mudah dan sederhana, Pengembangan potensi wisata dengan
memanfaatkan kegiatan konservasi penyu, potensi perikanan setempat dan ritual kebudayaan
setempat. Selain itu diperlukan koordinasi antar sector supaya tidak terjadi tumpang tindih
kepentingan dalam pnegmbangan ekowisata berbasis penyu di Pantai Samas.
Ucapan Terimakasih
Ucapan terimakasih kami berikan kepada Biro Perencanaan dan Kerjasama Luar Negeri
(BPKLN) Departemen Pendidikan Nasional selaku penyelenggaraan program beasiswa unggulan
untuk peneliti, pencipta, penulis, seniman, wartawan, olahragawan, tokoh (P3SWOT) atas bantuan
dana penelitian dan juga Rekan-rekan mahasiswa Prodi Magister Menejemen Sumberdaya Pantai
angkatan 2009 Universitas Diponegoro atas bantuan.
Daftar Pustaka
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. 1999. Peninjauan Kembali Rencana Tata Ruang
Wilayah Kabupaten Bantul 1999 - 2000. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
Pemerintah Kabupaten Bantul.
BKSDA DIY, 2009, Pelepasan Dua Ekor Penyu di Pantai Samas dipublish pada hari Jum'at, 23
Oktober 2009 dalam http://bksdadiy.dephut.go.id.
Dunn, I.S., Anderson, L.R., Kiefer, F.W, 1992, Dasar-Dasar Analisa Geoteknik. IKIP Semarang
Press, Semarang. (diterjemahkan oleh Drs. Achmad Toekiman, M.Ed). 426 pp.
Fandeli. C., 2000, Perencanaan Nasional Pengembangan Ekowisata Dalam Fandeli.C dan
Mukhklison (Ed),Pengusaha Ekowisata, Fakultas Kehutanan UGM, Yogyakarta. 3-12 hlm.
I Nyoman S Nuitja. 1992. Biologi dan Ekologi Pelestarian Penyu Laut. IPB Press, Bogor. 127 hlm.
Linberg, K and D.E. Hawkin, 1998, Ecotourism: Guide For Planner and Manager Vol. I, The
Ecoturism Society North Bennington Vermont, Jerman. p 12-14.
MacKinnon, J. K., G. Child. dan J. Thorsel. 1986. Managing Protected Areas in Tropics.
International Union for Conservation of Natural Resources/ United Nations Environmental
Programme. Canada.
Nontji, A., 2005. laut Nusantara. Penerbit Djambatan. Jakarta. 622 hlm
Nybakken, J.W., 1992, Biologi Laut, Suatu Pendekatan Ekologis, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta. Hal 108-112.
PPSPL UMRAH, 2009, Riset Agenda COREMAP LIPI : Kajian Perlindungan Penyu di Kabupaten
Bintan Tahun 2009, Pusat Penelitian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Universitas Maritim
Raja Ali Haji, Tanjungpinang, 63 hlm.
Radiarta, N., A. Saputro dan B. Priono. 2004. Pemetaan Kelayakan Lahan Untuk Pengembangan
Usaha Budidaya Laut di Teluk Saleh, Nusa Tenggara Barat. Jurnal Penelitian Perikanan
Indonesia .9:1 p. 19-30.
Rangkuti, F. 2005. Analisa SWOT : Teknik Membedah Kasus Bisnis. PT Gramedia Pustaka Utama
Jakarta. 283 hlm.
Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-09) - 13
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan 16 Juli 2011
Romimohtarto, K dan S. Juwana. 2007. Biologi Laut, Ilmu Pengetahuan Tentang Biologi Laut.
Djambatan. Jakarta. Hal 271-285.
Sudjana. 1992. Metode Statistik ed. 6. Tarsito. Bandung.
Tiskiantoro, F., 2006. Analisis Kesesuaian Lokasi Budidaya Karamba Jaring Apung dengan
Aplikasi Sistem Informasi Geografis di Pulau Karimunjawa dan Pulau Kemujan. Magister
Manajemen Sumberdaya Pantai UNDIP, Semarang. 79 hlm. (Tesis).
YAL (Yayasan Alam Lestari). 2000. Mengenal Penyu. Yayasan Alam Lestari dan Keidanren Nature
Conservation Fund (KNCF) Jepang. 81 hlm.
Yulianda, F. 2007. Ekowisata Bahari Sebagai Alternatif Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir Berbasis
Konservasi. Makalah, Disampaikan pada Seminar Sains Departemen Manajemen
Sumberdaya Perairan, FPIK-IPB, Tanggal 21 Februari 2007, Bogor 11p.
Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-10) - 1
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan 16 Juli 2011
ANALISIS NILAI EKONOMI EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN
SEGARA ANAKAN KABUPATEN CILACAP JAWA TENGAH
Rheza Mahardhika
1
, Johannes Hutabarat
2
, Jusup Suprijanto
3
1
Mahasiswa Program Magister Manajemen Sumberdaya Pantai UNDIP
2
Pembimbing Utama
3
Pembimbing Anggota
Abstrak
Tujuan penelitian ini yaitu (1) Menganalisis perubahan nilai ekonomi sumber daya mangrove di
kawasan Segara Anakan. (2) Merumuskan strategi pengelolaan ekosistem mangrove di Kawasan
Segara Anakan. Metode Penelitian yang digunakan adalah metode studi kasus (case study). Data
diperoleh dengan observasi, pengukuran, wawancara dan penyebaran kuesioner. Metode
pengambilan sampel yang digunakan adalah stratified random sampling dengan berdasarkan
stratifikasi jenis kegiatan pemanfaatan sumberdaya ekosistem mangrove. Jumlah responden
adalah sebanyak 207 orang dari rumah tangga perikanan (RTP) dan non RTP dari Desa Ujung
Alang Motean, Desa Ujung Gagak dan Desa Panikel. Data dianalisis dengan menggunakan,
metode valuasi ekonomi TEV (Total Economic Value) dan Cost-Benefit Analysis (CBA) Hasil
identifikasi nilai ekonomi menunjukkan bahwa manfaat ekosistem hutan mangrove di Kawasan
Segara Anakan meliputi: (1) manfaat langsung yang terdiri atas potensi kayu, pemanfaatan kayu
bakar, udang, kepiting, ikan, kera, kroto, biawak, burung, tambak, dan rekreasi; (2) manfaat tidak
langsung terdiri atas penahan abrasi, penyedia nutrien; (3) manfaat pilihan berupa keanekaragman
hayati (biodiversity); dan (4) manfaat eksistensi (keberadaan) yaitu nilai yang diberikan masyarakat
sekitar kawasan hutan mangrove Segara Anakan. Nilai manfaat tertinggi adalah manfaat
keberadaan senilai Rp 35.343.574.879,- /tahun (71,6%). Selanjutnya manfaat langsung senilai Rp
11.604.025.062,-/tahun (23,6%). Manfaat pilihan keanekaragaman hayati senilai Rp
1.244.820.300,-/tahun (2,5%), sedangkan 2,1 % lainnya merupakan manfaat tidak langsung senilai
Rp 1.071.577.575,-/tahun. Nilai manfaat ekonomi total (NET) ekosistem mangrove Segara Anakan
pada saat ini adalah sebesar Rp 42.902.830.430,- per tahun atau Rp 4.606.104,- per Ha per tahun.
Pada kajian sejenis tahun 1999, nilai ekonomi total dari ekosistem mangrove di Segara Anakan
senilai Rp 179.902.436.200,- dengan jumlah luasan mangrove pada saat itu 12.089,99 ha,
sehingga diketahui nilai lahan per ha mangrove pada tahun 1999 Rp 14.881.438,-. Dari
perbandingan diatas, dalam kurun waktu 12 tahun terakhir telah terjadi perubahan nilai ekonomi
yang cukup signifikan yaitu sebesar Rp 136.725.000.000,- atau rata-rata kehilangan nilai ekonomi
(economic loss) per tahunnya mencapai Rp 11.393.734.105,-. Berdasarkan hasil analisis biaya-
manfaat terhadap 5 alternatif alokasi pemanfaatan ekosistem hutan mangrove Segara Anakan,
ternyata alternatif skenario Pemanfaatan 0 memberikan nilai NPV paling tinggi, yaitu Rp
487.148.327.656,-. dengan BCR 32,37. Dengan nilai NPV dan BCR paling tinggi diantara pilihan
lainnya, maka skenario ini merupakan skenario alternatif pengelolaan paling ideal.
Kata Kunci: Ekosistem mangrove, perubahan luas lahan, nilai ekonomi total, perubahan nilai
ekonomi, alternatif pemanfaatan
Pengantar
Segara Anakan terletak di Kabupaten Cilacap merupakan laguna yang unik di pantai
selatan Jawa dengan ekosistem rawa bakau (mangrove) yang memiliki komposisi dan struktur
hutan terlengkap di Pulau Jawa. Berbagai komponen sumberdaya hayati berupa flora, fauna,
bentang alam daratan dan bentang alam perairan yang berinteraksi satu dengan yang lainnya
membentuk satu kesatuan ekosistem estuarin alami (Soemodiharjo, 1988).
Peranan ekosistem di Segara Anakan mendukung kestabilan ekologis di wilayah pesisir,
khususnya daerah pantai selatan. Kawasan ini menyimpan beragam fungsi ekologis diantaranya
spawning ground, nursery ground, dan feeding ground. Fungsi ini sering diterjemahkan sebagai
konversi dan penyuplai nutrien, menyerap dan mereduksi gelombang, serta habitat tempat mencari
makanan bagi beberapa spesies organisme pesisir. Laguna Segara Anakan juga terbukti
memerankan peranan yang sangat penting dalam menopang kehidupan masyarakat setempat
melalui hasil perikanan payau dan produksi hutan mangrove (BPKSA, 2006).
SE-10
2 - Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-10)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Ekosistem mangrove memiliki manfaat ekonomis yang nyata (berupa kayu bahan
bangunan, kayu bakar & arang, ikan, udang, kepiting, dan Iain-lain), selain itu juga sumber daya
mangrove juga memiliki manfaat ekologis dan perlindungan. Kusmana (1997) dan Sudarisman
(1997) menyatakan bahwa fungsi ekologis dan perlindungan tersebut yaitu sebagai (a) pembangun
lahan dan pengendapan lumpur, (b) pelindung pantai dari abrasi akibat gempuran ombak, arus,
banjir akibat laut pasang, dan terpaan angin, (c) pencegah interusi air laut ke daratan, (d) pengolah
limbah organik dan "polutant-trap" dalam fitomassa, (e) pelindung terhadap budidaya perikanan, (f)
pelindung bagi flora dan fauna bernilai ekonomis tinggi (ikan, udang, kepiting & kerang), (g)
perlindungan terhadap keanekaragaman hayati, dan (h) penyerap karbon dan penghasil oksigen
yang sangat berguna bagi peningkatan kualitas lingkungan hidup.
Dibandingkan dengan manfaat ekonomisnya, sekilas nilai manfaat ekologis dan
perlindungan dianggap kurang begitu penting karena disamping tidak terukur, manfaat tersebut
juga tidak dapat dirasakan secara langsung. Bahkan naik-turunnya manfaat ekologis dan jasa
perlindungan dari hutan mangrove juga tidak dapat dirasakan dengan cepat. Padahal, justru
manfaat ekologis dan perlindungan inilah yang mambuat nilai mangrove menjadi sangat penting.
Karena manfaat ekonomis misalnya ikan, udang, dan kerang akan maningkat nilainya (karena
jumlahnya banyak) jika habitatnya baik. Habitat baik ini dapat tercapai jika kualitas ekosistem
mangrovenya baik, sehingga fungsi ekologis dan perlindungan cocok bagi kehidupan dan
perkembangan biota perairan tersebut (Sudarisman, 1997).
Berkaitan dengan manfaat ganda dari ekosistem hutan mangrove (yaitu manfaat ekologis
dan ekonomis) tersebut, maka perubahan ekosistem hutan mangrove menjadi lahan tambak akan
berpengaruh terhadap keseimbangan ekosistem. Artinya, pengambilan manfaat ekonomi berupa
pembuatan tambak, dapat menyebabkan hilangnya sebagian komponen ekosistem mangrove,
sehingga fungsi ekonomis dan fungsi ekologisnya terganggu. Sebaliknya, jika ekosistem mangrove
dibiarkan sehingga fungsi ekologis & perlindungan meningkat, maka pada saat itu sebagian
masyarakat menjadi kehilangan kesempatan untuk mendapatkan manfaat ekonomi (misalnya
kayu-kayuan, atau hasil tambak). Disini jelas bahwa ternyata terdapat perbedaan cara pandang
dan kepentingan dalam upaya pemanfaatan ekologis dan ekonomis hutan mangrove.
Sebagai kawasan pesisir, Kawasan Segara Anakan merupakan kawasan yang dinamis dan rentan
terhadap ancaman degradasi lingkungan. Tingginya laju penurunan luasan hutan mangrove,
pengkonversian ekosistem mangrove menjadi lahan pertambakan, serta masalah sedimentasi
menjadi faktor utama berubahnya fungsi ekologis dan ekonomis dari ekosistem mangrove di
Segara Anakan.
Dalam pelaksanaan penilaian ekonomi suatu ekosistem pesisir dan laut untuk tiap habitat
laut dan pesisir pada dasaniya terdiri dari 3 (tiga) langkah utama, yaitu : (1) idcntifikasi terhadap
fungsi-fungsi dan manfaat dari keragaman hayati, (2) menilai fungsi-fungsi dan manfaat tersebut
dalam bentuk uang (secara moneter), dan (3) menilai total keuntungan bersih (total net benefits)
dari seluruh fungsi dan manfaat ekosistem (Dahuri. et. al.. 1995). Dalam kaitannya dengan hal ini,
Menurut Munasinghe (1993) dan Barton (1994) teknik penilaian ekonomi (economic valuation)
sumberdaya untuk mencari nilai ekonomi hutan mangrove dapat dihitung berdasarkan pendekatan
Nilai Ekonomi Total (Total Economic Value atau TEV). Sejalan dengan Cserge (1994) dalam
Sanim (1997) perhitungan nilai ekonomi total yaitu menggunakan pendekatan produksi dan nilai
pasar (productivity andmarket values), pasar pengganti, pendekatan biaya pengganti (replacement
cost), dan productivity approachdengan menggunakan memanfaatkan data hipotetik mengenai
kesediaan membayar dan menerima (willingness to pay/WTP and willingness to accept/WTA).
Secara teknis, nilai Ekonomi Total (Total Economic Value atau TEV) adalah hasil penjumlahan dari
nilai pemanfaatan (use value = UV) dan nilai non-pemanfaatan (non-use value = NUV). Sementara
itu nilai pemanfaatan adalah hasil penjumlahan dari pemanfaatan langsung {direct use value =
DUV), nilai pemanfaatan tidak langsung (indirect use value =IUV), dan nilai pilihan {option value =
OV). Sedangkan nilai non pemanfaatan adalah jumlah dari nilai eksistensi (existence value =EV)
dan nilai waris (bequest value = BV).
Tujuan
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Menganalisis perubahan nilai ekonomi sumber daya mangrove di kawasan Segara
Anakan.
2. Merumuskan strategi pengelolaan ekosistem mangrove di Kawasan Segara Anakan
Cilacap yang efisien dan berkelanjutan secara ekonomis dan ekologis.
Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-10) - 3
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan 16 Juli 2011
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat, antara lain:
1. Manfaat teoritis/akademis, memperkaya konsep atau teori yang menyokong
perkembangan ilmu pengetahuan manajemen sumber daya pantai khususnya yang terkait
dengan valuasi ekonomi akibat degradasi lingkungan di kawasan pesisir
2. Manfaat praktik/fragmatis, bagi Pemerintah Kabupaten Cilacap dan instansi terkait sebagai
referensi serta pijakan rekomendasi dalam mengembangkan pengelolaan Ekosistem
Segara Anakan serta kawasan pesisir Cilacap.
Metodologi
Metode Penelitian
Penelitian ini memfokuskan pada analisis valuasi ekonomi sumber daya mangrove di
Kawasan Segara Anakan. Metode penelitian yang digunakan adalah metode Studi Kasus
dengan obyek penelitian kawasan mangrove Segara Anakan, Kabupaten Cilacap, Jawa
Tengah. Obyek penelitian dipilih secara sengaja (purposive), dengan pertimbangan bahwa
kawasan ini merupakan ekosistem yang unik, hutan mangrovenya terluas di Pulau Jawa, dan
dalam dasawarsa tahun terakhir, luasan tutupan lahan mangrove di kawasan tersebut
mengalami dinamika yang cukup signifikan.
Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian dilakukan di kawasan Segara Anakan, terletak di Kabupaten Cilacap,
Propinsi Jawa Tengah. Secara geografis terletak pada koordinat 7 30' 7 35' LS dan 108 53'
- 109 3' BT. Wilayah studi meliputi 3 desa di Kampung Laut yaitu Desa Ujung Gagak, Desa
Ujung Alang, dan Desa Panikel di Kecamatan Kawunganten, Kabupaten Cilacap. Penelitian
dilakukan pada bulan Februari hingga Mei 2011.
Jenis dan Sumber Data
Untuk kategori valuasi ekonomi sumber daya mangrove Segara Anakan Cilacap, data
yang digunakan untuk dianalisa adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh
melalui observasi, survey dan wawancara terhadap responden yang menjadi sampel dibantu
dengan kuesioner (Duval, 2005). Wawancara dilakukan secara langsung kepada para stakeholder
yang memanfaatkan sumber daya setempat. Data primer yang dikumpulkan, berupa :
1. Kondisi umum Kawasan Segara Anakan Cilacap yang berupa letak geografis dan
administratif, karakteristik fisik Segara Anakan, karakteristik sosial ekonomi Segara Anakan,
profil sedimentasi, tanah, iklim serta tata guna lahan.
2. Data valuasi ekonomi sumber daya mangrove yang diperoleh dari kegiatan wawancara kepada
responden rumahtangga, meliputi:
1. Kayu Bakar
a. Jumlah kayu bakar yang diambil tiap tahun
b. Biaya untuk peralatan
c. Waktu yang diperlukan untuk memperoleh kayu bakar
2. Perburuan dan Pemancingan
a. Berapa kali dalam satu tahun melakukan aktivitas perburuan atau pemancingan
b. Biaya untuk pengadaan peralatan
c. Waktu yang diperlukan dalam kegiatan pemancingan atau perburuan
d. Pendapatan yang diperoleh
e. Penerimaan yang diperoleh
3. Penangkapan udang / sumber daya ikan
a. Jumlah udang yang ditangkap
b. Harga udang
c. Berapa hari tiap tahun melakukan penangkapan
d. Biaya yang dikeluarkan
e. Karakteristik rumahtangga
f. Pendapatan total rumahtangga
g. Jumlah anggota rumahtangga
h. Mata pencaharian kepala rumahtangga dan anggota
i. Pendidikan kepala rumahtangga
4 - Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-10)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Teknik Penentuan Responden
Dengan memperhatikan karakteristik populasi, penetapan responden dilakukan dengan
teknik pengambilan contoh acak bertingkat (stratified random sampling) berdasarkan stratifikasi
jenis kegiatan pemanfaatan sumberdaya ekosistem hutan mangrove Jumlah responden yang
mewakili masing-masing strata ditetapkan berdasarkan alokasi non-proporsional.
Penetapan jumlah contoh (responden) disamping mengikuti kaidah-kaidah yang sudah
umum, antara lain juga mengikuti anjuran Gay (1976) dan Pagoso, et al, (1978) dalam Sevilla et al,
(1993), yaitu bahwa untuk populasi sebesar 1.500 - 2.500 diperlukan contoh sebanyak 96
responden; dan untuk populasi sebesar 7.000 - 10.000 diperlukan contoh sebanyak 99 responden.
Jumlah responden dalam penelitian ini akan dibagi menurut sub populasi dari masing-masing
kegiatan pemanfaatan ekosistem mangrove, seperti yang ditunjukkan pada tabel 3 berikut ini.
Tabel 3. Karakteristik responden
Sub Populasi dan Jenis
Kegiatan Pemanfaatan
Jumlah Contoh
(orang)
Pengambil Hasil Hutan
a). Kayu bakar 15
b). Pembuatan Arang 10
c). Daun Nipah 12
Pengambil Hasil Perikanan
a). Kepiting 10
b). Udang 11
c). Ikan 13
d). Kerang (Thothok) 15
Pengambil Satwa
-Burung 10
-Biawak 10
-Kera 12
-Kroto 11
Petani Tambak
- Sederhana 16
- Semi Intensif 6
- Intensif 3
Masyarakat Umum 54
Jumlah 207
Sumber : Data primer yang diolah (2011)
Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-10) - 5
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan 16 Juli 2011
Teknik Analisis Data
Penentuan Nilai Ekonomi
Penilaian ekonomi yang akan diukur pada penelitian ini meliputi valuasi ekonomi terhadap
hutan mangrove terdampak, Produktivitas perikanan tangkap terdampak dan nilai ekonomi lahan
pesisir terdampak variabilitas iklim.
Variabel dan Cara Pengukurannya
Penelitian ini dilaksanakan melalui tiga tahap, yaitu (a) Identifikasi manfaat dan fungsi
ekosistem hutan mangrove, (b) Kuantifikasi seluruh manfaat & fungsi ke dalam nilai uang (rupiah),
dan (c) Penilaian alternatif alokasi pemanfaatan ekosistem hutan mangrove. Dalam
pelaksanaannya, masing-masing tahap tersebut dapat dirinci sebagai berikut.
Identifikasi Manfaat dan Fungsi Ekosistem Hutan Mangrove.
Tahap ini bertujuan untuk memperoleh data tentang berbagai macam manfaat & fungsi
ekosisten hutan mangrove, yaitu terdiri dari:
(1) Manfaat Langsung (ML)
Manfaat Langsung atau Direct Use Value (DVV) yaitu manfaat yang dapat diperoleh
secara langsung dari ekosistem hutan mangrove, misalnya kayu bakau, sumberdaya perikanan
(Barton, 1994); bahan makanan, wisata, dan kesehatan /obat-obatan (Munasinghe, 1993).
ML = +MLHi + MLPi + MLSi + MLTi +MLWi+ . (1)
Dimana :
ML = manfaat langsung
MLHi = manfaat langsung hasil hutan (i = 1, 2, 3, 4; dimana 1 = potensi kayu bangunan, 2 =
ranting/kayu bakar, 3 = arang, 4 = daun nipah, dan 5 = bibit mangrove), sehingga :
MLPi = manfaat langsung hasil perikanan (i = 1, 2, 3, 4; dimana 1 = kepiting, 2 = udang
meliputi hasil udang dari laguna Segara Anakan dan udang tangkapan dari pantai di
sekitar Cilacap, 3 = ikan, 4 - kerang), sehingga .
MLSi = manfaat langsung hasil satwa (i = 1, 2, 3, 4; dimana 1 = burung, 2 = biawak, 3 = kera,
4 = kroto), sehingga :
MLTi = manfaat langsung tambak (i = 1, 2, 3; dimana 1 = tambak sederhana, 2 - tambak semi
intensif, 3 = tambak intensif), sehingga :
MLWi = manfaat langsung sebagai habitat flora & fauna yang menarik untuk wisata, diestimasi
setara dengan nilai rupiah yang dikeluarkan oleh wisatawan ke tempat tersebut.
(diasumsikan penyebaran manfaat merata pada seluruh luasan hutan mangrove).
(2) Manfaat Tidak Langsung (MTL)
Manfaat Tidak Langsung atau Indirect Use Value (IUV) yaitu manfaat yang diperoleh dan
suatu ekosistem secara tidak langsung, misalnya hutan bakau sebagai pencegah interusi air laut,
daerah pemijahan, asuhan dan mencari makan (spawning ground nursery ground dan feeding
ground) (Barton, 1994), sebagai pencegah banjir, penahan angin, dan beberapa fungsi ekologis
lain (Munasinghe, 1993).
MTL =MTLe +MTLb .. (2).
Dimana :
MTLe = Manfaat Tak Langsung dari ekologis ekosistem mangrove yang diestimasi
berdasarkan biaya pengganti (replacement cost) dari nilai bangunan pemecah
gelombang (brick water). Menurut Aprillia (2001) biaya pembangunan pemecah
gelombang 1 x 11 x 2,5 m untuk investasi selama 5 tahun adalah Rp 2.076.944,-.
Dengan menyesuaikan perhitungan panjang dan lebar mangrove kawasan Segara
Anakan maka akan didapatkan nilai rupiah dari manfaat tidak langsung secara
ekologis ini.
MTLb = Manfaat Tak Langsung dari biologis (sebagai tempat penyediaan bahan pakan
organik bagi biota perairan seperti kepiting, udang, ikan dan kerang), didekati dengan
nilai unsur hara dari serasah hutan mangrove hasil penelitian Sukardjo (1995) di hutan
mangrove Muaia Angke-Kapuk, Jakarta.
6 - Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-10)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
(3) Manfaat Pilihan (MP)
Manfaat Pilihan atau Option Value (OV) yaitu nilai yang menunjukkan kesediaan seseorang
individu untuk membayar demi kelestarian sumberdaya bagi pemanfaatan di masa depan
(Fahruddin, 1996). Nilai manfaat pilihan ini didekati dengan mengacu pada nilai keanekaragaman
hayati (biodiversity) hutan mengrove yaitu sebesar US$ 1500 per km
2
atau US$ 15 per ha per
tahun. Nilai ini merupakan nilai biodiversity(keanekaragaman hayati) di Teluk Bintuni, Irian Jaya
dan digunakan oleh para ahli untuk menaksir nilai keanekaragaman hayati hutan mangrove di
Insonesia, bila keadaan secara ekologis penting dan tetap dipelihara relatif alami
(Ruitenbeek,1991). Manfaat pilihan tersebut dirumuskan sebagai berikut
MP = MPBi / (US$15 x Luasan Mangrove dalam ha).. (3)
Dimana :
MPBi = Manfaat Pilihan Biodiversity,
(4) Manfaat Keberadaan (MK)
Manfaat Eksistensi atau Existence Value (EV) yaitu manfaat yang dirasakan oleh
masyarakat dari keberadaan hutan mangrove setelah manfaat lainnya dikeluarkan dari analisis.
Secara umum teknik pendekatan ini dilakukan dengan interview terhadap rumah tangga, dengan
menanyakan keinginan untuk membayar (willingness to pay) dalam mempertahankan aset
lingkungan (Maryadi, 1998).Manfaat ini merupakan nilai ekonomis keberadaan (fisik) dari
ekosistem hutan mangrove, dan diformulasikan sebagai berikut:

n
i
n MEi ME ) / (
MEi = Manfaat eksistensi dari responden ke-i.
n = Jumlah contoh atau responden.
a. Kuantifikasi Seluruh Manfaat & Fungsi ke dalam Nilai Uang (Rupiah)
Tahap ini dilakukan setelah seluruh manfaat dan fungsi ekosistem hutan mangrove
berhasil diidentifikasi Teknik kuantifikasi yang digunakan adalah :
(1) Nilai Pasar : yaitu digunakan untuk merupiahkan komoditas-komoditas yang langsung dapat
dipasarkan. Pendekatan ini terutama untuk menilai manfaat langsung ekosistem hutan
mangrove, yaitu hasil hutan, hasil perikanan, hasil satwa, dan tambak.
(2) Harga Tidak Langsung : pendekatan ini digunakan bila mekanisme pasar gagal memberikan
nilai pada komponen sumberdaya yang diteliti, misalnya karena komponen tersebut belum
memiliki pasar. Cara ini digunakan untuk merupiahkan nilai manfaat tidak langsung (MTL)
ekosistem hutan mangrove.
(3) Contingent Valuation Method : digunakan untuk mengkuantifikasi manfaat keberadaan dari
ekosistem yang diteliti. Untuk itu dalam survei digunakan tiga model pertanyaan yang saling
melengkapi, yaitu pertanyaan terbuka, pertanyaan pilihan, dan pertanyaan setuju atau tidak
setuju (binom choice).
Analisis selanjutnya dilakukan dengan menggunakan dua cara, yaitu (a) analisis finansial,
dimana proyek dilihat dari sudut badan-badan atau orang-orang yang menanam modal dalam
proyek atau yang berkepentingan langsung dalam proyek, dan (b) analisis ekonomi, dimana
proyek dilihat dari sudut perekonomian secara keseluruhan baik dari sisi pemerintah atau
masyarakat sebagai pihak yang berkepentingan dalam proyek (Kadariah et al., 1978).
Analisis Nilai Ekonomi Total Ekosistem Mangrove dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Nilai Ekonomi Total (NET)/Total Economic Value (TEV) diformulasikan sebagai:
NET =NML + NMTL+ NMP + NME, . (9)
Dimana :
NML = nilai manfaat langsung
NMTL = nilai manfaat tidak langsung
Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-10) - 7
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan 16 Juli 2011
NMP = nilai manfaat pilihan
NME = nilai manfaat eksistensi (keberadaan)
Penilaian Alokasi Pemanfaatan Ekosistem Mangrove
Berdasarkan nilai manfaat ekonomi ekosistem hutan mangrove tersebut, dilakukan analisis
terhadap beberapa alternatif pemanfaatan ekosistem hutan mangrove.Evaluasi pemanfaatan
ekosistem hutan mangrove dilakukan dengan menggunakan analisis biaya-manfaat (benefit cost
analysis). Kriteria evaluasi kebijakan yang dipergunakan adalah Net Present Value (NPV) atau nilai
manfaat bersih sekarang, dengan rumus sebagai berikut:
NPV = (B
t
C
t
)/(1 r)
t
n
t 1
(10)
BCR = (B
t
C
t
)/(1 r)
t
n
t 1
/ C
t
/(1 r)
t
n
t 1
(11)
dimana :
Bt = manfaat yang diperoleh dari penggunaan lahan mangrove Segara Anakan termasuk
manfaat eksternalitas (Rp).
Q = biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh manfaat dari penggunaan lahan
mangrove Segara Anakan termasuk biaya eksternalitas (Rp).
t = kurun waktu penilaian (tahun)
r = faktor diskonto (discount rate)
NPV = Net Present Value (Nilai manfaat bersih sekarang).
BCR = Benefit Cost Ratio (Rasio manfaat-biaya).
Kriteria penilaian alokasi pemanfaatan sumberdaya layak dikembangkan jikaNPV > 0 atau
bila BCR > 1. Dengan asumsi bahwa investasi dana terbatas, makaNPV yang layak harus
diranking sebagai dasar dalam rangka pengambilan keputusan.
3.5.3.1 Multi Criteria Analysis (MCA)
Berdasarkan hasil Cost Benefits Analysis maka untuk tujuan pengambilan keputusan
secara keseluruhan dilakukan penilaian terhadap kriteria lain yang dipertimbangkan dalam
perencanaan dan pengelolaan ekosistem mangrove. Kriteria penilaian yang dianalisis yaitu
efisisensi, equity dan ekologi (sustainable). Uraian dan penetapan indikator dari masing-masing
kriteria tersebut yaitu:
1. Kriteria Efisiensi, yang dapat dinilai dari keuntungan usaha berdasarkan kelayakan usaha
(CBA)
2. Kriteria Equity (Keadilan), yang dapat dinilai dari pemerataan pendapatan yang ditunjukkan
dengan rata-rata keuntungan dari masing-masing jenis pemanfaatan ekosistem mangrove.
3. Kriteria Ekologi (sustainable), yang dinilai dari perubahan luas lahan ekosistem mangrove
dari masing-masing alternatif
Hasil Dan Pembahasan
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Secara geografis, kawasan Segara Anakan terletak antara 735' sampai dengan 750'
Lintang Selatan dan 10845' sampai dengan 1093' Bujur Timur. Secara administratif, kawasan ini
berada di Kabupaten Dati II Cilacap tepatnya di Wilayah Kecamatan Kawunganten dan terletak di
bagian ujung Barat Daya, serta berbatasan dengan wilayah Kabupaten Ciamis Propinsi Jawa
Barat. Kawasan Segara Anakan meliputi 3 (tiga) desa, yaitu Desa Ujung Gagak terletak di sebelah
barat, Desa Ujung Alang terletak di sebelah tenggara, dan Desa Panikel terletak di sebelah utara.
Hal ini ditegaskan oleh Peraturan Daerah Kabupaten Cilacap Nomor 23 Tahun 2000 yang telah
menetapkan secara pasti batas kawasan Segara Anakan.
Berdasarkan Perda tersebut, ditetapkan bahwa Kawasan Segara Anakan (KSA) terletak
antara 07:34:29:42 LS 07:47:32:39 LS dan 108:46:30. 12 BT 109:03:21.02 BT dan mencakup
wilayah seluas lebih kurang34.018,62 ha yang terdiri kurang lebih 26.780,65 ha daratan dan
7.237,97 ha perairan dengan batas-batas luar wilayah meliputi:
8 - Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-10)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
A. Sebelah utara
1. Dimulai dari pertigaan Sungai Cibeureum dengan Sungai Gintungreja;
2. Menyusuri Sungai Cibeureum ke arah utara sampai dengan patok batas perhutani;
3. Belok ke arah timur menyusuri patok batas perhutani.
B. Sebelah Timur
1. Dimulai dari patok batas perhutani ke arah timur menyusuri batas patok sampai dengan
Sungai Kali Donan;
2. Menyusuri Kali Donan ke arah selatan sampai dengan Pelabuhan Sentolo Kawat;
3. Dari Pelabuhan Sentolo Kawat ke arah timur dengan jarak 4 mil dari Pulau Nusa
Kambangan ke arah Samudra Hindia.
C. Sebelah Selatan
1. Menyusuri Pantai Nusa Kambangan bagian Selatan sampai jarak 4 mil ke arah Samudra
Hindia.
D. Sebelah Barat
1. Dimulai dari pantai Nusa Kambangan bagian selatan sejauh 4 mil ke arah Samudra
Hindia sampai dengan garis tengah Pantai di Nusa Were;
2. Menyusuri garis batas Sungai Cintanduy, Pantai Segara Anakan di Daerah Pamotan;
3. Dari pantai di Pamotan menyusuri Sungai Cibeureum kearah utara sampai dengan
Pertigaan Sungai Cibeureum dengan Sungai Gintungreja.
Secara administratif kawasan ini berada di Kecamatan Kawunganten Kabupaten Cilacap
yang berbatasan dengan Kabupaten Ciamis Jawa Barat.Kawasan Segara Anakan (KSA) meliputi 3
(tiga) Desa yaitu Desa Ujung Alang, Ujung Gagak dan Penikel. Selanjutnya Desa Klaces sebagai
bagian dari Desa Ujung Alang dan juga khusus Kawasan ini sedang disiapkan Kecamatan
Pembantu Segara Anakan yang nantinya akan lepas dari Kecamatan Kawunganten.
Analisis Ekonomi Pemanfaatan Sumberdaya Mangrove
Nilai Ekonomi Total (NET) ekosistem hutan mangrove di Segara Anakan meliputi 4 (empat)
kategori, yaitu (1) nilai manfaat langsung atau direct use value (DUV), (2) nilai manfaat tidak langsung
atau indirect use value (IUV), (3) nilai manfaat pilihan atau option value (OV), dan (4) nilai manfaat
keberadaan atau existance value (EV).
Berdasarkan hasil identifikasi di lapangan diperoleh data dan informasi tentang manfaat ekosistem
hutan mangrove di kawasan Segara Anakan sebagai berikut:
A. Manfaat Langsung (ML)
Tabel 14. Rekapitulasi Manfaat Langsung
No. Manfaat Langsung Total Manfaat (Rp/tahun)
1 Manfaat Hutan 4.112.223.500
2 Manfaat Perikanan 1.358.750.000
3 Manfaat Tambak 77.719.500
4 Manfaat Satwa 859.695.000
Jumlah 6.408.388.000
Sumber: Data diolah, 2011
Berdasarkan tabel 12 di atas hasil analisis nilai ekonomi terhadap manfaat dan fungsi ekosistem
hutan mangrove di kawasan Segara Anakan, saat ini mayoritas jenis pemanfaatan hasil hutan menempati
ranking tertinggi yaitu sebesar Rp 4.112.223.500,- urutan kedua yaitu hasil perikanan sebesar Rp.
1.358.750.000, urutan ketiga yaitu manfaat tambak sebesar Rp. 77.719.500 yaitu pemanfaatan hasil satwa
sebesar Rp. 859.695.000,-
Hasil tersebut diatas dapat diinterprestasikan sebagai berikut:
Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-10) - 9
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan 16 Juli 2011
1. Pemanfaatan Hasil Hutan
Pemanfaatan hasil hutan terdiri dari (1) Potensi kayu sebagai bahan bangunan, (2) Ranting kayu
sebagai kayu bakar, (3) Arang, (4) Daun nipah sebagai bahan untuk pembuatan atap, dan (5)
Peluang bisnis pembibitan mangrove.
Pemanfaatan hasil hutan dapat ditunjukkanseperti tabel berikut:
Tabel 15. Analisis Ekonomi Pemanfaatan Hasil Hutan
No. Manfaat
Total Manfaat
(Rp/tahun) Biaya (Rp/tahun)
Manfaat Bersih
(Rp/tahun)
1 Potensi Kayu 1.116.286.716 - 1.116.286.716
2 Kayu Bakar 1.345.122.419 138.150.000 1.206.972.419
3 Arang 896.997.712 140.950.000 756.047.712
4 Daun Nipah 236.980.308 105.440.000 131.540.308
5 Bibit Mangrove 814.000.000 407.000.000 407.000.000
Total 4.112.223.500 494.051.846 3.618.171.654
2. Pemanfaatan Hasil Perikanan
Dalam garis besarnya meliputi manfaat dari (1) kepiting, (2) udang, (3) ikan, dan (4) kerang
(thothok) yang berhasil ditangkap oleh neiayan di sekitar hutan mangrove kawasan Segara Anakan.
Khususnya untuk udang, nilai manfaatnya termasuk udang hasil tangkapan nelayan di perairan pantai
sekitar Cilacap. Penelusuran nilai manfaat ini dimulai dari jenis alat tangkap yang dipergunakan oleh
nelayan, misalnya wadong untuk menangkap kepiting, jaring apong untuk udang, dan Iain-lain.
Pengoperasian alat penangkapan di perairan Segara Anakan sebagian besar hanya dilakukan 1
hari/trip.
Pemanfaatan hasil Perikanan dapat ditunjukkan seperti tabel berikut:
Tabel 16. Analisis Ekonomi Pemanfaatan Hasil Perikanan
No.
Manfaat
Total Manfaat
(Rp/tahun)
Biaya
(Rp/tahun)
Manfaat Bersih
(Rp/tahun)
1 Kepiting 131.672.000 135.421.300 (3.749.300)
2 Udang 168.750.000 152.500.000 16.250.000
3 Ikan 408.828.000 128.320.000 280.508.000
4 Kerang 649.500.000 135.208.338 514.291.662
Total 1.358.750.000 551.449.638 807.300.362
Sumber: Data diolah, 2011
Pemanfaatan Tambak
Dalam garis besarnya meliputi manfaat dari (1) semi intensif, (2) intensif, di sekitar hutan mangrove
kawasan Segara Anakan.
Pemanfaatan hasil tambak dapat ditunjukkan seperti tabel berikut:
10 - Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-10)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Tabel 17. Analisis Ekonomi Pemanfaatan Hasil Tambak
No. Manfaat
Total Manfaat
(Rp/tahun)
Biaya
(Rp/tahun)
Manfaat Bersih
(Rp/tahun)
1 Semi Intensisf 49.719.500 2.134.562
47.584.938
2 Intensif 28.000.000 3.108.660
24.891.340
Total 77.719.500 5.243.222 72.476.278
Sumber: Data diolah, 2011
Pemanfaatan Satwa
Meskipun dalam jumlah kecil di hutan mangrove Segara Anakan juga masih terdapat perburuan
satwa sebagai salah satu alternatif mata pencaharian penduduk. Kegiatan ini antara lain meliputi (1)
penangkapan burung, dilakukan oleh 10 orang, (2) penangkapan biawak, dilakukan oleh 10 orang, (3)
penangkapan kera, dilakukan oleh 12 orang, dan (4) pengumpulan kroto untuk pakan burung yang
dilakukan oleh 11 orang. Pemanfaatan hasil satwa dapat ditunjukkanseperti tabel berikut:
Tabel 18. Analisis Ekonomi Pemanfaatan Hasil Satwa
Sumber: Data diolah, 2011
Rekapitulasi manfaat dan biaya per hektar bagi masing-masing produk manfaat langsung hutan
mangrovedi kawasanSegara Anakandengan analisis finansial sebagai berikut:
Tabel 19. Rekapitulasi Nilai Manfaat Langsung EkosistemMangrove Segara Anakan
No.
Jenis Manfaat Manfaat
(Rp/tahun)
Biaya
(Rp/tahun)
Laba Bersih
(Rp/tahun)
1
Hasil Hutan 4.112.223.500 494.051.846
3.618.171.654
2
Hasil Perikanan 1.358.750.000 551.449.638
807.300.362
3
Hasil Tambak 77.719.500 5.243.222
72.476.278
4
Hasil Satwa 859.695.000 74.802.618
744.882.382
Jumlah 6.408.388.000 1.125.547.324
5.242.830.676
Sumber : Pengolahan Data Primer (2011)
Manfaat Tidak Langsung (MTL)
Manfaat tidak langsung adalah nilai yang secara tidak langsung dirasakan manfaatnya, dapat
berupa hal yang mendukung nilai guna langsung. Dahuri et al (1996), menyatakan bahwa secara garis
besar ekosistem hutan mangrove mempunyai 2 fungsi utama yaitu fungsi ekologis dan fungsi sosial
ekonomi. Ekosistem hutan mangrove di kawasan Segara Anakan memiliki 2 jenis manfaat tidak
langsung, yaitu (1) manfaat ekologis berupa perlindungan sebagai penahan abrasi interupsi air laut, dan (2)
manfaat tak langsung biologis sebagai nursery ground, spawning ground dan feeding ground. Metode
perhitungan yang digunakan adalah dengan pendekatan tidak langsung, yaitu metode penggantian
(replacement cost) dan melalui pendekatan produktivitas (productivity approach)
Tabel 20. Rekapitulasi Manfaat Tidak Langsung
No. Manfaat Tidak Langsung Nilai Rp/tahun
1 Ekologis Rp 370.692.965
2 Biologis Rp 700.884.610
Total Rp 1.071.577.575
Sumber: Data diolah, 2011
No. Manfaat
Total Manfaat
(Rp/tahun)
Biaya
(Rp/tahun)
Manfaat Bersih
(Rp/tahun)
1 Burung 20.937.500 21.875.000
(937.500)
2 Biawak 368.800.000 20.107.618
348.692.382
3 Kera 399.755.500 16.000.000
383.755.500
4 Kroto 70.202.000 16.820.000
53.382.000
Total 859.695.000 74.802.618 784.892.382
Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-10) - 11
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan 16 Juli 2011
Berdasarkan tabel 17 di atas, dapat diketahui bahwa:
1) Nilai Manfaat tak langsung ekologis
Manfaat ekologis dari ekosistem mangrove Segara Anakan dapat dilihat dari manfaat fisik
sebagai penahan abrasi interusi air laut.Ekosistem mangrove dikenal sebagai ekosistem yang
mampu melindungi garis pantai dari ancaman abrasi maupun erosi.Hal ini dicapai dengan
adanya fungsi stabilisasi tanah melalui penguatan akar-akar dari pohon mangrove. Selain itu,
akar-akar dan tegakan kayu hutan mangrove mampu menjadi trapper (penjebak) sedimen,
sehingga mampu mengurangi amcaman terhadap erosi pantai. Pendekatan dalam menilai
manfaat ekologis ini diestimasi melalui replacement cost dengan pembuatan beton pantai untuk
pemecah gelombang (break water). Hasil yang diperoleh berdasarkan biaya pengganti dari nilai
pemecah gelombang mengacu pada metode yang dilakukan Apriliawati (2001), yaitu bahwa
biaya pembangunan fasilitas pemecah gelombang ukuran 1 m x 11 m x 2,5 m dengan daya
tahan 5 tahun adalah Rp 2.076.944,-. Panjang pantai hutan mangrove di Kawasan Segara
Anakan adalah 4.462 m, maka biaya pembuatan pemecah gelombang dengan daya tahab 5
tahun seluruhnya adalah Rp 1.853.464.826,-. Sedangkan per tahunnya sebesar Rp
370.692.965,-
2) Nilai Manfaat tak langsung Biologis
Penaksiran nilai manfaat tak langsung sebagai penjaga kestabilan siklus makanan di
ekosistem hutan mangrove didekati dengan nilai unsur hara dari serasah hutan mangrove
hasil penelitian Sukardjo (1995) di hutan mangrove Muara Angke-Kapuk, Jakarta.
Menurutnya, setiap hektar hutan mangrove menghasilkan gugur serasah sebanyak 13,08
ton/tahun, atau sekitar 4,85 ton berat kering. Hasil analisis menunjukkan bahwa serasah
tersebut mengandung unsur hara Nitrogen (N) 10,5 kg/ha ( 23,33 kg pupuk Urea), dan
Posfor (P) 4,72 kg/ha ( 13,11 kg pupuk SP-36). Jika harga pupuk Urea di Segara Anakan
Rp 1 .800,-/kg dan SP-36 Rp 2.500, -/kg, maka manfaat tak langsung ekosistem hutan
mangrove sebagai penyedia unsur hara atau pakan adalah Rp 74.769,-/ha/tahun.
Sehingga pada saat ini untuk hutan mangrove seluas 9.374 ha memberikan manfaat
biologis sebesar Rp 700.884.610,-/tahun.
Jika dibandingkan dengantotal nilai manfaat langsung yang besarnya mencapai Rp. 5.242.830.676,-
(lihat tabel 19), nilai manfaat tidak langsung sebesar Rp 1.071.577.575,- ini relatif tidak sebanding. Namunjika
dibandingkan dengan nilai berbagai manfaat langsung hasil hutan, hasil ikan, dan hasil satwa, maka besarnya
nilai manfaat tidak langsung ini tentu sangat berarti. Hal ini mengingatkan kepada semua pihak betapa
pentingnya fungsi ekosistem hutan mangrove bagi masyarakat luas. Peran tersebut terutama sebagai
stabilisator produktivitas dan kualitas padi sawah dari gangguan interusi air laut, dan sebagai penjamin
siklus makanan bagi biota perairan.
C. Manfaat Pilihan (MP)
Manfaat pilihan adalah nilai potensial yang dapat dimanfaatkan untuk masa yang akan datang,
memperhitungkan manfaat keanekaragaman hayati (biodiversity) dari ekosistem mangrove dengan
menggunakan metode benefit transfer. Menurut Krupnick (1993) diacu dalam Fauzi (2004) bahwa benefit
transfer bisa dilakukan jika sumberdaya alam tersebut memiliki ekosistem yang sama, baik dari segi tempat
maupun karakteristik pasar (market characteristic). Mengacu pada nilai keanekaragaman hayati hutan
mangrove di Teluk Bintuni Irian Jaya adalah sebesar USD 15 per tahun oleh Ruitbeek (1991) diacu dalam
Budiyana (2005). Nilai manfaat diasumsikansamadengan nilai biodiversity di Teluk Bintuni IrianJaya.
Nilai manfaat pilihan didapatkan dengan nilai kurs rupiah terhadap dollar pada saat penelitian yaitu Rp
8.853,- (harga beli Rp 8.795 dan harga jual Rp 8.905,-). Berdasarkan perhitungan, maka diperoleh hasil bahwa
nilai manfaat pilihan hutan mangrove di Kawasan Segara Anakan sebesar Rp 132.795 per ha per tahun.
Dengan luas lahan mangrove di Segara Anakan sebesar 9.374 ha. Maka nilai manfaat (option value) secara
keseluruhan adalah Rp 1.244.820.300,-. Nilai manfaat pilihan dapat juga dikatakan sebagai nilai barang publik
sebagai manfaat potensial yangdapat diambil (Yakin, 1997).
D. Manfaat Keberadaan (MK)
Nilai manfaat keberadaan (existence value) ekosistem hutan mangrove di Segara Anakan
dihitung dengan menggunakan Contingent Valuation Method (CVM).Metode ini diterapkan kepada responden
yang dipilih secara purposive. Pemilihan responden dilakukan berdasarkan tingkat pendidikan, jenis mata
pencaharian, dan tempat tinggal.
12 - Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-10)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Pada penelitian ini diambil 207 responden, terdiri dari 155 orang berpendidikan rendah (SD), 32
orang berpendidikan sedang (SLTP), dan 20 orang berpendidikan tinggi (SLTA). Responden tersebut
berasai dart Desa Ujung Gagak 59 orang, Ujung Alang 122 orang dan Panikel 24 orang. Pekerjaan
responden sangat bervariasi, yaitu mewakili berbagai jenis pekerjaan warga desa, yaitu terdiri dari petani,
nelayan, buruh tani, pedagang, perangkat desa, pegawai negeri sipil, juru mudi/nakhoda, tukang batu, tukang
kayu, wiraswasta, dan bakul ikan. Pada kelompok berpendidikan tinggi nilai yang diberikan berkisar antara Rp
5.000,000- s/d. Rp 60.000.000,- yaitu sebesar Rp 685.000.000,-. Nilai yang diberikan oleh kelompok
berpendidikan sedang berkisar Rp 1.500.000,- s/d. Rp 10.000.000,- yaitu sebesar 120.000.000,-.
Sedangkan kisaran nilai dari kelompok berpendidikan rendah adalah Rp 200.000,- s/d. Rp 25.000.000,-
dengan nilai sebesar Rp 210.000.000,-. Dari Nilai kumulatif tersebut (lihat tabel 21), maka didapatkan rata-
rata responden memberikan nilai Rp 4.903.381,-/tahun. Jika dijumlahkan dengan populasi penduduk di
ketiga desa daerah penelitian yaitu 7.208 orang (lihat tabel 12), maka manfaat nilai keberadaan ekosistem
mangrove Segara Anakan adalah sebesar Rp 35.343.574.879,-.
Nilai Ekonomi Total EkosistemHutan Mangrove
Berdasarkan hasil identifikasi seluruh manfaat yang dapat diperoleh dari ekosistem hutan
mangrove di kawasan Segara Anakan, kemudian dilakukan perhitungan terhadap seluruh manfaat
tersebut. Berdasarkan hasil analisis ekonomi diperoleh Nilai Ekonomi Total sebagai berikut:
NET = NML + NMTL+ NMP + NME
NET = 5.242.830.676 + 1.071.577.575+ 1.244.820.300 + 35.343.574.879
NET = Rp 42.902.830.430,-
Tabel 22. Kuantifikasi Seluruh Nilai Manfaat EkosistemHutan Mangrove di kawasan Segara Anakan
No.
Jenis Manfaat Nilai/ ha (Rp/tahun) Nilai (Rp/tahun)
1
ManfaatLangsung 559.294 5.242.830.676
2
Manfaat TidakLangsung 114.313 1.071.577.575
3
Manfaat Pilihan 132.795 1.244.820.300
4
Manfaat Keberadaan 3.759.259 35.343.574.879
Total Manfaat 4.486.034 42.902.830.430
Sumbcr : Pengolahan DataPrimer danSekunder (2011).
Strategi Skenario Alternatif Pemanfaatan EkosistemMangrove
Berdasarkan hasil analisis ekonomi, nilai NPV dan BCR dari manfaat langsung merupakan
indikator untuk mengukur tingkat efisisensi pemanfaatan sumberdaya alam. Penentuan prioritas
skenario alternatif yang bersifat strategis dan berkelanjutan, perlu mempertimbangkan kriteria
efisisensi, sosial dan ekologi. Berikut ini adalah hasil rekapitulasi indeks NPV dan BCR dari
skenario alternatif pemanfaatan sumberdaya mangrove d Kawasan Segara Anakan.
Tabel 29. Rekapitulasi indeks NPV dan BCR Skenario Alternatif Pengelolaan Ekosistem Mangrove
Segara Anakan
No Jenis Skenario Alternatif
Pemanfaatan Mangrove Segara
Anakan
Indeks
NPV
B/C ratio
1 Skenario 0
(Kondisi Alami 100% mangrove, 0%
tambak)
Rp 487.148.327.656,- 32,37
2 Skenario Alternatif A
(Kondisi 75% mangrove existing,
25% konversi menjadi tambak)
Rp 289.956.461.035,- 23,72
3 Skenario Alternatif B
(Kondisi 50% mangrove existing,
50% konversi tambak)
Rp 197.080.824.921,- 16,98
4 Skenario Alternatif C
(Kondisi 25% mangrove existing,
75% konversi tambak)
Rp 104.205.188.807,- 9,75
5 Skenario Alternatif D
(Kondisi 0% mangrove existing,
100% konversi tambak)
Rp 11.329.552.693,- 1,99
Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-10) - 13
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan 16 Juli 2011
Hasil perhitungan NPV dan BC ratio menunjukkan bahwa pada skenario 0 diketahui bahwa
nilai NPV adalah sebesar Rp. 487.148.327.656,- dengan B/C sebesar 32,37 karena memiliki B/C >
1 persen dan nilai NPV nya > 0 berarti kondisi ini sangat hemat biaya, namun memperoleh manfaat
bersih cukup besar.
Pada skenario A diketahui bahwa nilai NPV adalah sebesar Rp. 289.956.461.035,- dengan
B/C sebesar 23,72 karena memiliki B/C > 1 persen dan nilai NPV nya > 0 berarti kondisi ini sangat
hemat biaya dan memperoleh manfaat bersih cukup besar. Apabila dibandingkan dengan alternatif
0, ternyata alternatif 0 lebih tinggi baik NPV maupun B/C.
Pada skenario B diketahui bahwa nilai NPV adalah sebesar Rp. 197.080.824.921,- dengan
B/C sebesar 16,98 karena memiliki B/C > 1 persen dan nilai NPV nya > 0 sama hal nya dengan
skenario alternatif sebelumnya. Hal ini menandakan kondisi ini sangat hemat biaya, namun
memperoleh manfaat bersih cukup besar. Namun apabila dibandingkan dengan alternatif 0 dan A,
ternyata nilai NPV alternatif B lebih tinggi daripada alternatif A, walaupun nilai B/C mengalami
penurunan.
Pada skenario C diketahui bahwa nilai NPV adalah sebesar Rp. 104.205.188.807,- dengan
B/C sebesar 9,75 karena memiliki B/C > 1 persen dan nilai NPV nya > 0. Hal ini menandakan kondisi
yang sangat hemat biaya, namun memperoleh manfaat bersih cukup besar. Namun jika
dibandingkan dengan alternatif 0, A, B, ternyata nilai NPV dan B/C. lebih rendah daripada skenario
B.
Pada skenario D diketahui bahwa nilai NPV adalah sebesar Rp 11.329.552.693,- dengan
B/C sebesar 1,99 karena memiliki B/C > 1 % dan nilai NPV nya > 0. Hal ini menandakan kondisi
yang cukup rasional untuk diterapkan, dengan keuntungan dalam lima tahun kedepan yang cukup
besar. Namun jika dibandingkan dengan alternatif 0, A, B dan C ternyata nilai NPV dan B/C. lebih
rendah. Hal ini berarti skenario lainnya, terutama skenario 0 masih lebih menguntungkan jika
dibandingkan dengan pilihan skenario alternatif ini.
Dari hasil rekapitulasi perhitungan indeks NPV dan B/C ratio diatas menunjukkan bahwa
skenario alternatif 0 (kondisi lestari 100% mangrove tanpa konversi menjadi tambak) mempunyai
nilai ekonomis tinggi dalam lima tahun kedepan, jika dibandingkan dengan nilai ekonomi hutan
mangrove yang dikonversikan menjadi lahan pertambakan. Skenario alternatif ini menjadi prioritas
utama dalam pengambilan keputusan pengelolaan yang strategis, tetapi kenyataan di lokasi
penelitian sangatlah sulit menjadikan kondisi ekosistem mangrove seperti alternatif tersebut. Selain
karena sekarang ini masyarakat yang berdomisili disekitar ekosistem cukup padat, juga karena
ekosistem telah menjadi lahan untuk mencari nafkah, sehingga kondisi kesejahteraan masyarakat
yang ada disekitar ekosistem hutan mangrove masih rendah.
Skenario alternatif A menjadi prioritas berikutnya, dengan pertimbangan kepentingan
kesejahteraan masyarakat dan lingkungan. Selain itu, harus ada sebagian kawasan hutan pantai
yang dijadikan sebagai kawasan penyangga atau kawasan konservasi sehingga kondisi
lingkungan akan tetap terjaga, untuk dapat dirasakan dan dimanfaatkan dengan baik nilai fisik,
biologi dan ekonominya oleh generasi yang akan datang.
Kesimpulan
Dari penelitian ini dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1. Berdasarkan perhitungan Nilai Ekonomi Total Ekosistem (NET) Segara Anakan diketahui
sebesar Rp 42.902.830.430,-/tahun. Dengan jumlah luasan mangrove pada saat penelitian
seluas 9.374 ha. Dari nilai tersebut diketahui nilai lahan per ha pada saat ini sebesar Rp
4.606.104,-/tahun. Nilai manfaat tertinggi adalah manfaat keberadaan senilai Rp
35.343.574.879,-/tahun (71,6%).Selanjutnya manfaat langsung senilai Rp
11.604.025.062,-/tahun (23,6%). Manfaat pilihan keanekaragaman hayati senilai Rp
1.244.820.300,-/tahun (2,5%), sedangkan 2,1% lainnya merupakan manfaat tidak
langsung senilai Rp 1.071.577.575,-/tahun. Pada penelitian sejenis oleh Paryono tahun
1999, nilai ekonomi total dari ekosistem mangrove di Segara Anakan senilai Rp
179.902.436.200,- dengan jumlah luasan mangrove pada saat itu 12.089,99 ha. Dari kajian
tersebut dapat diketahui nilai lahan per ha mangrove pada tahun 1999 Rp 14.881.438,-.
Dari perbandingan diatas, dalam kurun waktu 12 tahun terakhir telah terjadi perubahan
nilai ekonomi dari kawasan mangrove Segara Anakan senilai Rp 136.725.000.000,- atau
14 - Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-10)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
rata-rata kehilangan nilai ekonomi (economic loss) per tahunnya mencapai Rp
11.393.734.105,-
2. Penggunaan indeks NPV dan BCR sebagai indikator kriteria dalam menentukan
menghasilkan bahwa prioritas utama dalam skenario alternatif pengelolaan sumberdaya
mangrove Segara Anakan yang strategis adalah skenario 0. Indeks NPV yang didapat
pada skenario alternatif ini adalah Rp 487.148.327.656,- dengan BCR 32,37. Dengan nilai
NPV dan BCR paling tinggi diantara pilihan lainnya, maka skenario ini merupakan skenario
alternatif pengelolaan paling ideal. Pada skenario ini diasumsikan lahan mangrove tetap
dibiarkan utuh tanpa konversi menjadi tambak maupun lahan lainnya.
Daftar Pustaka
Barton, D.N. 1994. Economic Factors and Valuation of Tropical Coastal Resources. SMR-Report
14/94. Center for Studies of Enviroment and Resources, University of Bergen. Norway.
Dahuri, R., V.P.H. Nikijuluw, Manadyanto, L. Adrianto dan Sukardi. 1995. Studi Pengembangan
Kebijaksanaan Ekonomi Lingkungan. Pusat Penelitian Lingkungan Hidup IPB dan Kantor
Menteri Negara Lingkungan Hidup
Fahruddin, A. 1996. Analisis Ekonomi Pengelolaan Lahan Pesisir Kabupaten Subang Jawa Barat
[Tesis]. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.
Kadariah, L. Karlina, dan C. Gray. 1978. Pengantar Evaluasi Proyek. Program Perencanaan
Nasional, Lembaga Penyelidikan Ekonomi & Masyarakat FEU.I. Lembaga Penerbit Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta
Maryadi, 1998. Analisis Ekonomi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove untuk Berbagai
Macam Kegiatan Pertanian di Pesisir Pantai Timur Kecamatan Tulung Selapan Propinsi
Sumatera Selatan [Jurnal]. Bogor. Institut Pertanian Bogor
Munasinghe, M. 1993. Environmental Economics and Sustainable Development World Bank
Environment Paper Number 3. The World Bank. Wahington DC.
Ruitenbeek, H. J., 1991. Mangrove Management : An Economics Analysis of Management Options
with a Focus on Bintuni Bay, Irian Jaya. Environmental Management Deveopment in
Indonesia Project (EMDI). EMDI Environmental Reports No.8 Jakarta.
Sukardjo, Sukristijono. 1995. Gugur Serasah dan Unsur Hara di Hutan Mangrove. Muara Angke-
Kapuk, Jakarta. Proc. Seminar V Ekosistem Mangrove di\ Jember, 3-4 Agustus 1994.
Redaksi :Subagjo Soemodihardjo, Piran Wiroatmodjo, SukoBandijono, M. Sudomo,
Suhardjono. Panitia Proram MAB Indonesia-LIPI.
Sevilia, C. G., J. A. Ochave, T. G. Punsalan, B. P. Regala, dan G. G. Uriate. 1993. Pengantar
Metode Penelitian (Terjemahan Alimuddin Tuwu, Alam Syah). Penerbit Universitas
Indonesia. Jakarta.
Sudarisman, H. 1997. Kebijaksanaan Nasional Pengelolaan Ekosistem Hutan Mangrove. Makalah
pada Pelatihan pengelolaan hutan mangrove lestari, 18 Agustus - 18 Oktober 1997. PKSPL-
IPB. Bogor.
Soemodihardjo, S., Suroyo, Suyarso. 1988. The mangroves of Segara Anakan: An assessment of
their condition and prospects. ASEAN/US Technical Workshop on Integrated Tropical
Coastal Zone Management, Singapore, 28-31 October 1988
Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-11) - 1
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan 16 Juli 2011
FAKTOR DETERMINAN YANG BERPENGARUH TERHADAP MEKANISME
DISEMINASI KINERJA IPTEKMAS PENGOLAHAN PRODUK PERIKANAN
DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
Mei Dwi Erlina dan Nensyana Shafitri
Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan Dan Perikanan
mei_dwi_erlina@yahoo.com
Abstrak
Penelitian ini dilaksanakan di Daerah Istimewa Yogyakarta (Kabupaten Sleman dan Kabupaten
Gunung Kidul, Kabupaten Bantul dan Kabupaten Kulon Progo), pada bulan September- Oktober
tahun 2010. Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran umum kinerja Iptekmas,
mengidentifikasi faktor-faktor determinan yang berpengaruh terhadap mekanisme diseminasi
teknologi pengolahan produk perikanan,dan merumuskan alternatif kebijakan diseminasi teknologi
pengolahan produk perikanan melalui introduksi kinerja Iptekmas. Penelitian ini menggunakan
metode survey yang bersifat deskriptif kualitatif. Faktor-faktor determinan yang berpengaruh
terhadap mekanisme diseminasi (kegiatan Iptekmas BBRP2B) adalah karakteristik pengolah,terdiri
dari umur, pendidikan pengolah,pengalaman berusaha,alasan berusaha, jenis usaha pengolahan
,pendapatan pengolah aspek pelatihan, tingkat kekosmopolitan pengolah hasil perikanan di
Daerah Istimewa Yogyakarta adalah tinggi, sedangkan tingkat motivasi pengolah hasil perikanan
adalah sesuai dengan keinginan pengolah untuk mendapatkan teknologi baru. Selanjutnya
persepsi pengolah terhadap teknologi pengolahan yang diintroduksikan melalui kegiatan Iptekmas
adalah positif.. Upaya strategis yang perlu dilakukan agar supaya mekanisme diseminasi teknologi
perikanan melalui kegiatan Iptekmas, kinerja dari BBRP2B dapat berjalan secara optimal adalah a)
pelaksanaan kegiatan diseminasi harus punya dasar hukum yang jelas (Peraturan Menteri, Perda,
Peraturan Bupati ), b) alur mekanisme diseminasi harus jelas dari sumber informasi kepada
pengguna teknologi melalui medium (metoda dan media) dan menanggapi umpan balik/feed back
dari pengguna untuk mengetahui respon pengguna, c) perencanaan kegiatan diseminasi teknologi,
perlu dasar perencanaan secara detail didasarkan pada identifikasi kebutuhan pengguna teknologi,
perlu adanya koordinasi, sinergitas dan keterpaduan antar instansi terkait dengan kegiatan
diseminasi (BRKP,Ditjen /UPT Ditjen, Dinas Propinsi, Dinas Kabupaten/Kota, Pusbangluh, BP4K,
Bapeluh) , perlu keterlibatan pengguna (pengolah dan pembudidaya) dalam menyusun
perencanaan kegiatan diseminasi. d) perlu dibentuk komisi rekomendasi teknologi di lingkup
kabupaten/kota untuk teknologi yang siap diintroduksikan. Koordinasi antar lembaga masih perlu
dibenahi, baik antar lembaga pemerintah maupun lembagapenelitian. Perlu adanya kesepahaman
peran kelembagaan pusat, propinsi dan kabupaten/kota dalam kegiatan yang terkait dengan
diseminasi
Kata kunci : Faktor determinan, Mekanisme diseminasi, Iptekmas, Pengolahan produk perikanan
Pengantar
Diseminasi merupakan formulasi komunikasi yang sederhana dimana di dalamnya
mencakup unsur-unsur komunikasi.Komunikasi merupakan proses penyampaian pesan dari
sumber kepada penerima dengan menggunakan media tertentu yang menimbulkan efek (Onong,
1989). Penyebaran atau diseminasi suatu teknologi ke dalam suatu sistem sosial memerlukan
sinergi yaitu perencanaan menyeluruh tentang teknologi yang akan disampaikan. Pentingnya
strategi ini antara lain karena diseminasi mengandung unsur kesengajaan berupa kesengajaan
mengintroduksikan suatu teknologi kedalam sistem sosial untuk mencapai tujuan tertentu. Selain
itu dalam diseminasi terdapat target waktu, yaitu perubahan yang diharapkan terjadi dalam waktu
yang tidak terlalu lama (Lionberger dan Gwin 1982). Faktor-faktor yang mempengaruhi diseminasi
yaitu : hubungan, struktur, keterbukaan, kapasitas, penghargaan, proksimitas, sinergi (Harvlock
,1971).
Pengguna teknologi di setiap daerah memiliki karakteristik tersendiri yang dapat berperan
menentukan jenis teknologi yang dibutuhkan oleh pengguna di wilayah tertentu. Manusia sebagai
pelaku komunikasi mempunyai beberapa variabel yang sangat berpengaruh terhadap pencapaian
tujuan komunikasi. Variabel-variabel tersebut antara lain : kompetensi dan penghargaan,
SE-11
2 - Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-11)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
kepribadian, nilai-nilai kebutuhan, pengalaman masa lalu, ancaman dan pengaruh, pemenuhan
harapan, distorsi informasi baru, proses perubahan sikap, pola perilaku perolehan informasi dan
efek informasi.
Menurut Maslow (1943) di dalam Havelock (1971), kebutuhan manusia digolongkan
menjadi lima ketegori yaitu kebutuhan fisiologis, keamanan, sosial, penghargaan dan aktualisasi
diri. Dengan semakin tingginya tingkat kebutuhan seseorang maka akan semakin besar
pengaruhnya terhadap proses pengambilan keputusan dalam proses adopsi inovasi. Pengalaman
seseorang bisa bertambah melalui rangkaian peristiwa yang pernah dihadapinya, hal ini bisa
diperoleh tanpa melewati proses belajar formal. Pengalaman juga mempengaruhi kecermatan
persepsi seseorang.
Pengalaman masa lalu seseorang dapat mempengaruhi sikap dan tindakan seseorang
dalam menerima suatu informasi dan mengambil keputusan dalam proses adopsi inovasi. Nilai,
latar belakang dan pengalaman seseorang akan mempengaruhi pilihan gaya pengambilan
keputusannya.
Menurut Soekarwati (1988), pada proses pengambilan keputusan, seseorang menolak
suatu inovasi adalah banyak tergantung pada sikap mental dan perbuatan yang dilandasi oleh
situasi intern orang tersebut (misalnya pendidikan, umur, dan sebagainya) serta situasi ekstern
atau situasi lingkungannya, misalnya frekuensi kontak dengan sumber informasi, kesukaan
mendengarkan radio atau menonton televisi dsb). Hal senada juga diungkapkan oleh Slamet
(1978), beberapa karakteristik individu yang turut mempengaruhi cepat lambatnya proses adopsi
meliputi : umur, pendidikan, status sosial, pola hubungan (lokalit vs kosmopolitan), keberanian
mengambil resiko dan sikap terhadap perubahan.
Peran peneliti utuk menghasilkan teknologi yang sesuai dengan tuntunan dan kebutuhan
akan menjadi strategis ditentukan oleh peran komunikasi penelitian. Analisis diseminasi terdapat
formulasi informasi yang tergabung dalam sistem makro informasi yang merupakan suatu
gambaran tentang mengalirnya informasi yang dapat dipertanggungjawabkan. Diseminasi
merupakan hasil dari formula komunikasi menuntut perlu adanya ketepatan berkomunikasi (tidelity
of commuication)
Introduksi teknologi antara lain bertujuan untuk meningkatkan produksi sekaligus
pendapatan petani/nelayan. Dari pengalaman agar teknologi sesuai dengan yang diperlukan oleh
pengguna, maka teknologi hendaknya memiliki ciri-ciri: dapat meningkatkan produktivitas secara
nyata, bukan merupakan komponen-komponen teknologi tetapi merupakan kesatuan utuh, sesuai
dengan biofisik,sosial ekonomi dan budaya; disesuaikan dengan kemampuan pengguna; adanya
kelembagaan penunjang yang bertanggung jawab dalam pengadaan input, pemasaran,
permodalan, serta kebijakan pemerintah yang mendukung.
Dalam rangka meningkatkan efektifitas misi penyebarluasan hasil riset, Badan Riset
Kelautan dan Perikanan melaksanakan program IPTEKMAS, yaitu sebuah bentuk upaya
pemacuan adopsi dan penyebarluasan hasil riset karya para peneliti BRKP kepada masyarakat,
program tersebut didalamnya mencakup kegiatan-kegiatan inventarisasi paket-paket teknologi
BRKP yang perlu diadopsi diberbagai kasus/lokasi, penerapan, pengkajian dan pengumpulan
umpan balik untuk menyempurnakan paket teknologi, serta upaya-upaya peningkatan ekonomi
masyarakat kelautan dan perikanan dengan menggunakan teknologi yang tersedia, dilakukan
secara partisip;atif oleh masyarakat dan peneliti BRKP. Melalui program IPTEKMAS, diharapkan
bahwa teknologi hasil riset BRKP menjadi tepat guna, sehingga dampaknya terhadap peningkatan
pendapatan pelaku utama (pembudidaya, nelayan tangkap dan pengolah) dapat dimaksimalkan.
Program IPTEKMAS dilaksanakan sejak tahun 2007 hingga sekarang (Anonim,2008). Mengingat
keterpaduan program dan pelaksanaannya melibatkan berbagai pihak terkait yang bersifat lintas
institusi dan lembaga, maka perlu adanya kesamaan visi, misi dan semangat kebersamaan dalam
mengembangkan sektor kelautan dan perikanan.
Permasalahan dan percepatan diseminasi teknologi perikanan adalah merupakan hal
penting yang perlu dicermati, apabila telah diketahui permasalahan dan faktor-faktor determinan
yang berpengaruh terhadap mekanisme diseminasi teknologi perikanan, diharapkan dapat
menghasilkan rumusan kebijakan diseminasi teknologi perikanan melalui kinerja Iptekmas.
Permasalahan penyebarluasan teknologi (diseminasi), pada program IPTEKMAS Balai
Besar Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan, yang telah dijabarkan pada
pernyataan sebelumnya, diharapkan dapat terjawab dengan mengidentifikasi dan mengevaluasi
permasalahan yang dominan terkait dengan mekanisme diseminasi teknologi perikanan melalui
kinerja IPTEKMAS BBRPPB, dan mengidentifikasi faktor-faktor determinan yang berpengaruh
terhadap mekanisme diseminasi kineja Iptekmas Pengolahan Produk Perikanan dari BBRPPB.
Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-11) - 3
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan 16 Juli 2011
Metodologi
Pelaksanaan riset ini dilakukan mulai bulan September sampai dengan Oktober 2010.
Penelitian ini dilaksanakan di Daerah Istimewa Yogyakarta (Kabupaten Gunung Kidul, Kabupaten
Sleman, Kabupaten Bantul dan Kabupaten Kulon Progo) sesuai dengan hal-hal yang menjadi
pertimbangan penting dalam kaitannya dengan aktivitas kegiatan Iptekmas dari Balai Besar
Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan.
Penelitian ini dilaksanakan dengan metode survey ,sedangkan responden ditentukan secara
purposive dan data yang didapatkan dianalisis secara dikriptif kualitatif. Jenis data yang
dikumpulkan dalam kegiatan penelitian ini terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer
yang dikumpulkan berupa data yang terkait dengan karakteristik pengguna, dikumpulkan melalui
wawancara dengan menggunakan kuesioner terstruktur yang dipersiapkan sebelumnya, yaitu
pengumpulan data yang terkait dengan data primer pengolah produk perikanan yang diikut
sertakan dalam kegiatan Iptekmas, baik karakteristik pengolah produk perikanan maupun faktor
yang mempengaruhinya. Diskusi kelompok juga digunakan dalam rangka mendapatkan informasi
yang terkait terutama dengan pengolah produk perikanan.Observasi juga dilakukan guna
mengetahui kondisi umum kehidupan pengolah produk perikanan. Sementara, penelusuran
dokumen dilakukan terhadap hal-hal yang terkait dengan laporan kegiatan yang terkait dengan
kegiatan diseminasi teknologi di sektor kelautan dan perikanan.
Data yang telah dikumpulkan, ditabulasi dan kemudian dianalisis menurut kebutuhan dalam
kaitannya dengan topik bahasan yang ada dalam kegiatan penelitian ini.
Hasil dan Pembahasan
Gambaran Kinerja IPTEKMAS BBRPPB
Kegiatan IPTEKMAS yang dilaksanakan oleh Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan
Bioteknolgi Kelautan dan Perikanan (BBRP2BKP) tahun 2009 merupakan kegiatan diseminasi
teknologi hasil-hasil penelitian yang dihasilkan oleh lembaga BBRP2BKP. Berdasarkan hasil
wawancara diperoleh informasi bahwa IPTEKMAS BBRP2KP bertujuan untuk meningkatkan dan
menyebarkan hasil riset melalui pengenalan (introduksi) paket ilmu pengetahuan dan teknologi
produk perikanan Kelautan dan Perikanan kepada masyarakat; meningkatkan nilai tambah produk
perikanan; meningkatkan lapangan kerja dan aktivitas perekonomian melalui diversifikasi produk
pengolahan perikanan.
Ruang lingkup dari Iptekmas meliputi koordinasi penentuan daerah dan pengolah sasaran;
identifikasi teknologi pengolahan yang disesuaikan dengan spesifikasi lokasi; diskusi Kelompok
Terfokus (FGD) sebagai penentuan jenis ilmu pengetahuan dan teknologi yang akan diintroduksi;
pendampingan.
Pelaksanaan IPTEKMAS mengambil lokasi Kabupaten Sleman, Kabupaten Kulon Progo,
Kabupaten Bantul, Kabupaten Sleman dan Kabupaten Gunung Kidul. Jenis olahan yang
diintroduksikan adalah pindang ikan tongkol/layang/bandeng, pengasapan lele, abon ikan, kerupuk
ikan dan keripik ikan. Terdapat permasalahan dilapangan mengenai kondisi pengolahan yang ada
misalnya sanitasi yang kurang baik, tempat pembuangan limbah, alat yang tidak efisien, ruangan
mengolah yang kurang memadai sehingga penuh asap dan pengemasan yang kurang menarik.
Hasil koordinasi dan konsultasi dengan Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan
Bioteknologi, Pusat Riset Perikanan Budidaya, Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi/Kabupaten
adalah sebagai berikut : bahwa kegiatan ini dilakukan pada bulan Agustus 2010. Hasil koordinasi
dan konsultasi dengan Balai Besar Pengolahan Produk dan Bioteknologi terkait dengan program
Iptekmas adalah berupa data dan informasi sebagai berikut : Menurut informasi dari Tim Iptekmas
BBRP2B menyatakan bahwa, atas dasar potensi industri pengolahan hasil perikanan yang ada
pada tahun 2009, sasaran penyelenggaraan Iptekmas adalah unit pengolahan hasil perikanan
(UPI) di Daerah Istimewa Yogyakarta yang meliputi 4 kabupaten (Bantul, Sleman, Kulon Progo dan
Gunung Kidul). Secara umum , tahapan pelaksanaan kegiatan Iptekmas adalah : (a) koordinasi
penentuan daerah/lokasi dan unit pengolahan ikan sasaran, (b) identifikasi potensi sumberdaya
lokal/unit pengolah ikan (UPI), (c) penentuan jenis iptek yang akan diintroduksikan melalui FGD
(Focus Group Discussion), (d) perakitan dan pengujian paket iptek terpilih, (e) penyerahan paket
terpilih, (f) diseminasi dan pelatihan, dan monitoring dan evaluasi.
4 - Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-11)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Pemilihan lokasi Iptekmas telah ditentukan berdasarkan hasil identifikasi/survey bersama
antara tim Iptekmas BBRPPB dengan berkoordinasi dengan Dinas kelautan dan Perikanan Daerah
Istimewa Yogyakarta serta Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten setempat. Identifikasi
dilakukan berdasarkan data primer maupun sekunder. Selanjutnya ditentukan teknologi yang akan
diintroduksikan berdasarkan kebutuhan pengguna, yaitu dengan cara melihat langsung praktik
pengolahan pada unit-unit pengolah ikan (UPI), wawancara dengan pengolah dan diskusi dengan
insansi terkait. Hasil identifikasi kebutuhan teknologi dituangkan dalam bentuk disain teknologi
pengolahan/sarana pengolahan maupun perbaikan kondisi sanitasi dan higiene fasilitas
pengolahan. Selanjutnya disain teknologi disampaikan dalam FGD untuk mendapatkan masukan
tentang teknologi yang diusulkan.
Jenis olahan yang ada di lokasi (kabupaten Sleman, Bantul Kulon Progo dan Gunung
Kidul) program Iptekmas adalah pengolahan pindang bandeng/duri lunak, pengolahan abon ikan,
diversifikasi olahan krupuk patilo yang difortifikasi dengan ikan, pengolahan agar-agar, transportasi
ikan segar , pengolahan kripik belut dan pengolahan kripik wader. Peralatan yang digunakan
dalam memproduksiproduk-produk tersebut sangat sederhana, beberapa ditemukan tidak higienis
dengan ruangan pengolahan yang tidak tertata dengan baik serta kurang memperhatikan
kebersihan, selain itu yang perlu diperbaiki adalah disain tungku yang tidak hemat bahan bakar.
Dari hasil koordinasi dengan BBRP2B juga diperoleh data dan informasi bahwa, supaya
pemberian paket Iptekmas berdaya guna dengan baik telah dilakukan identifikasi secara intensif
terhadap calon penerima paket bantuan Iptekmas yang meliputi lamanya usaha yang sudah
dijalani, jangkauan pemasaran, penyerapan tenaga kerja, kapasitas produksi, daya listrik
terpasang, kemudahan mendapatkan bahan baku dan bahan bantu pengolahan lainnya.
Berdasarkan kriteria di atas maka calon penerima paket bantuan Iptekmas yang terpilih berjumlah
11 unit pengolahan/penanganan ikan (UPI) yang tersebar di 4 kabupaten (Kulon Progo, Sleman,
Bantul dan Gunung Kidul). Jenis paket teknologi yang diberikan meliputi perbaikan sanitasi dan
penataan lay out ruang pengolahan sebanyak 3 orang (2 orang pengolah pindang bandeng dan
bandeng duri lunak/presto serta 1 orang diversifikasi pengolahan lele/keripik patilo). Adapun
pemberian bantuan paket peralatan pengolahan terdiri dari peralatan pengolahan abon, keripik
patilo, pengolahan agar-agar kertas, pengolahan kripik belut, pengolahan baby fish/wader,
peralatan pengolahan pindang bandeng dan bandeng duri lunak, serta peti berinsulasi untuk
penyimpanan dan transportasi ikan segar.
Menurut informasi dari tim Iptekmas BBRP2B, disamping pemberian peralatan tersebut
juga telah dilakukan diseminasi peningkatan nilai tambah produk perikanan dan rumput laut.
Kegiatan diseminasi difokuskan pada dua tempat yakni di Kabupaten Gunung Kidul dan
Kabupaten Bantul (untuk peserta dari dua tempat yakni Kabupaten Gunung Kidul dan Kabupaten
Bantul (untuk peserta dari Kabupaten Sleman, Bantul, Kulon Progo dan Kota Yogyakarta) dengan
jumlah peserta diseminasi sebanyak 60 orang (masing-masing 30 peserta). Peserta diseminasi
meliputi staf dinas kelautan dan perikanan, calon penerima paket bantuan Iptekmas, kelompok
pengolah dan pengusaha makanan dan minuman lainnya.
Gambaran Mekanisme Diseminasi Kinerja IPTEKMAS BBRPPBKP
Mekanisme diseminasi program Iptekmas dari BBRP2B ke propinsi , kabupaten dan
pengolah telah dikaji pada penelitian ini, secara rinci dapat dijelaskan sebagai berikut :
Perencanaan
Dasar perencanaan program Iptekmas BBRP2B dalam menentukan prioritas calon
penerima paket bantuan Iptekmas sudah didasarkan pada kebutuhan pengguna dilapangan dan
hasil rekomendasi dari Dinas Perikanan Propinsi dan Kabupaten. Dalam proses penelitian atau
pengujian, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten dilibatkan. Hal ini menyebabkan program
Iptekmas dari BBRP2B yang tersedia sesuai dengan kebutuhan pengolah setempat.
Koordinasi dalam perencanaan antara tingkat propinsi DIY, kabupaten Gunung Kidul serta
Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul dan pengolah sudah berjalan sinergis dan terpadu. Masing-
masing instansi berjalan sinergis dan terpadu dan sesuai dengan perencanaan yang dibuat oleh
masing-masing instansi (Diskan Propinsi/Kabupaten).
Identifikasi ketersediaan teknologi.
Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-11) - 5
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan 16 Juli 2011
Ketersediaan teknologi pengolahan perikanan di Daerah Istimewa Yogyakarta khususnya
di Kabupaten Gunung Kidul dan Kabupaten Sleman yang kami kaji adalah sebagai berikut :
Teknologi pengolahan yang sudah ada di Kabupaten Gunung Kidul cukup beragam terdiri dari:
teknologi pengolahan agar-agar kertas, teknologi pengolahan abon tuna dengan minyak, teknologi
pengolahan krupuk patilo lele dan teknologi pengolahan pindang bandeng. Adapun pengolahan
baby tuna sudah mulai berkembang dan sebagian telah diolah menjadi abon ikan. Produksi
pengolahan berbasis ikan lele juga sudah cukup berkembang dalam bentuk kerupuk patilo yakni
kombinasi singkong fermentasi dengan daging lumat ikan lele, selain itu juga memproduksi lanting
lele. Namun permasalan serius yang dihadapi pengolah adalah minimnya peralatan pengolahan
dan proses pengolahan kurang higienes. Sedangkan teknologi pengolahan perikanan yang cukup
berkembang di Kabupaten Sleman adalah teknologi pengolahan abon lele dan tuna, teknologi
pengolahan keripik belut yang bahan bakunya berasal dari Jawa Timur. Adapun permasalahan
yang dihadapi dalam pengolahan kripik belut terletak pada teknik sortasi dan teknik pembuangan
isi perut serta pengemasan produk.
Identifikasi kebutuhan
a. Tingkat lembaga.
Dinas Kelautan dan Perikanan Daerah Istimewa Yogyakarta , maupun Dinas Kelautan dan
Perikanan Kabupaten Gunung Kidul dan Kabupaten Sleman sangat membutuhkan peran optimal
kelembagaan penyuluhan, SDM penyuluh, selama ini penyuluhan di tangani oleh Badan
Ketahanan Pangan Kabupaten, SDM penyuluh sangat minim hanya ada satu orang penyuluh ahli
di tempatkan di BKPK Kabupaten Gunung Kidul, penyuluhan bersifat polivalen. Selama ini
kegiatan penyuluhan perikanan dilakukan oleh petugas teknis dinas sesuai dengan bidang masing-
masing dan melekat di masing-masing Subdin, sehingga koordinasi program dan tugas kepada
penyuluh lebih efektif dan efisien. Petugas tenaga pedamping teknologi (TPT) di rekrut oleh
BPSDMKP, juga sudah ada di Kabupaten Gunung Kidul, keadaan seperti ini juga dialami oleh
Kabupaten Sleman.
Selain itu penguatan kelembagaan kelompok pengolah perlu di realisasikan di Kabupaten
Gunung Kidul maupun di Kabupaten Sleman, penguatan kelembagaan perlu dilakukan guna
memberikan peningkatan pengetahuan pengolah dalam hal pengelolaan suatu usaha pengolahan
(penataan administrasi usaha, akses terhadap informasi, perbaikan teknologi, penghitungan
keuntungan, pemecahan/solusi permasalahan) memperluas jaringan komunikasi inter dan antar
kelompok pengolah.
b. Tingkat Pengguna.
Teknologi yang dibutuhkan oleh pengguna adalah teknologi yang mempunyai sifat
menguntungkan dan memberikan kesejahteraan kepada penggunanya, mudah dicoba, cepat
dilihat hasilnya, tidak rumit/sederhana, sesuai dengan kondisi sosial ekonomi serta lingkunga
setempat, dan tersedia sarana dan prasarana yang memadai.
Teknologi yang dibutuhkan pengolah adalah perbaikan teknologi yang sudah berkembang
dan teknologi yang dapat menghasilkan peningkatan nilai tambah, hal ini dibutuhkan oleh
Kabupaten Gunung Kidul dan Kabupaten Sleman sebagai penerima bantuan program Iptekmas
BBRP2B.
Hasil wawancara dengan pengolah, bahwa teknologi pengolahan berupa pengolahan
agar-agar kertas, bandeng duri lunak dan abon tuna sudah bekembang di Kabupaten Gunung
Kidul, akan tetapi masih perlu pembinaan teknologi pengolahan, sistim pemasaran, akses
permodalan, sanitasi dan higiene, kesesuaian peralatan dengan jenis pengolahan, peralatan
pengolahan yang tepat guna, lay out ruangan pengolahan.
Menurut informasi dari pengolah yang berada di Kabupaten Gunung Kidul dan Kabupaten
Sleman bahwa, salah satu faktor penentu keberhasilan usaha pengolahan produk perikanan
adalah jenis pengolahan yang sesuai dengan potensi ketersediaan sumberdaya, kontinyuitas
ketersediaan bahan baku, akses pasar, sanitasi dan higiene serta pengemasan produk olahan .
Proses Alih Teknologi.
Surakanvit (1984) dan Khalil (2000) menyatakan ada 3 konsep alih teknologi yang relevan
dengan negara berkembang. Konsep pertama adalah alih teknologi pada tenaga lokal . Adapun
konsep kedua adalah penyebaran dan difusi teknologi, sedangkan konsep ketiga adalah adaptasi
dan pengembangan teknologi. Ketiga konsep alih teknologi ini hendaknya dilakukan secara
menyeluruh sehingga proses alih teknologi dapat berjalan dengan mulus dan berhasil.
6 - Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-11)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Alih teknologi adalah metode akusisi teknologi yang umum dilakukan oleh suatu negara
termasuk negara Indonesia. Supaya alih teknologi berhasil dengan efektif, maka proses alih
teknologi harus direncanakan dengan baik.Berdasarkan hasil informasi dari Dinas Perikanan Dan
Kelautan Daerah Istimewa Yogyakarta, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sleman dan
Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sleman, beberapa hal yang perlu dipersiapkan dengan
baik dalam melakukan proses alih teknologi adalah : 1) kebutuhan teknologi, 2) penyerapan
kemampuan teknologi, 3)ketersediaan sumber daya untuk melakukan teknologi, 4) kelayakan
ekonomi, sosial, dan lingkungan terhadap teknologi dan 5) faktor kelayakan harga agar
penggunaan teknologi dapat efektif.
Alih Teknologi adalah perpindahan teknologi dari sumber teknologi (BRKP, ,BBRP2B,
Dinas Perikanan Propinsi dan Kabupaten ke pengguna teknologi (stakeholder) dalam hal ini adalah
pengolah produk perikanan. Alih teknologi diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan,
meningkatkan produktivitas sumberdaya yang tersedia, serta dapat memanfaatkan faktor produksi
yang ada (sumber daya manusia, modal, sumberdaya alam, akibatnya alih teknologi akan
mendorong peningkatan pendapatan pengguna teknologi (stakeholder).
Teknologi dihasilkan oleh BRKP berupa program Iptekmas untuk selanjutnya disebarkan
dan diintroduksikan ke Daerah Istimewa Yogyakarta dan Kabupaten (Gunung Kidul, Sleman, Kulon
Progo dan Bantul) yang merupakan wilayah potensial untuk mengembangkan pengolahan produk
perikanan,melalui Dinas Perikanan Propinsi, selanjutnya dari Dinas Perikanan Provinsi ke Dinas
Perikanan Kabupaten. Proses alih teknologi dari Dinas Perikanan Kabupaten kepada pengolah
produk perikanan/stakeholder melalui temu koordinasi dan juga melalui kelembagaan penyuluhan
oleh penyuluh, TPT, maupun tenaga teknis dari Dinas Kabupaten.
Teknologi pengolahan perikanan telah dihasilkan oleh BRKP dalam hal ini adalah BBRP2B
melalui program Iptekmas, proses alih teknologi telah dilakukan secara vertikal, terjadi mulai dari
aktivitas teknologi tersebut dihasilkan dari hasil penelitian (BRKP/Balai Besar Riset Pengolahan
Produk) sampai dengan tahap implementasi dan eksploitasi teknologi, yang dilakukan oleh Dinas
Perikanan Propinsi DIY) dan Kabupaten Gunung Kidul dan Sleman, maupun sampai kepada
pengolah produk perikanan. Dalam alih teknologi secara vertikal terdapat aliran ilmu pengetahuan
dari sumber teknologi (lembaga riset) kepada pengolah produk perikanan. Proses alih teknologi
tidak hanya terjadi secara vertikal seperti yang telah dijabarkan, tetapi juga terjadi secara
horizontal dari pengolah ke pengolah lain dalam satu kelompok pada satu desa/kecamatan,
maupun alih teknologi antar kelompok dalam satu lokasi, maupun alih teknologi dari kelompok
pengolah dari satu lokasi ke lokasi lain dalam satu Kabupaten, baik melalui suatu pelatihan formal
dan non formal.Proses alih teknologi secara vertikal dan horizontal dapat terjadi bersamaan.
Hasil pelaksanaan alih teknologi baik di Kabupaten Gunung Kidul maupun di Kabupaten
Sleman semua peserta sangat berminat sekali, karena selama ini belum banyak mendapatkan
inovasi pengolahan. Bahkan untuk tahun 2010 Diskan propinsi DIY telah merencanakan untuk
mengadakan pelatihan serupa di setiap kabupaten dengan melibatkan PEMDA. Hal yang paling
menarik bagi peserta adalah pemanfaatan ikan lele secara maksimal.
Metode Alih Teknologi (Metode dan Media).
Metode alih teknologi yang dilakukan oleh sumber informasi/sumber teknologi
(BRKP/BBRP2B) kepada pengolah abon tuna, pindang bandeng presto, kerupuk patilo di
Kabupaten Gunung Kidul dan pengolah abon lele dan tuna, pengolah kripik belut di Kabupaten
Sleman terhimpun dalam kelompok pengolah adalah dengan cara formal maupun informal.
Secara informal proses alih teknologi dilakukan melalui membaca (buku, jurnal, ,leaflet,
poster), browsing internet, kontak personal secara informal, partisipasi dalam pertemuan (temu
aplikasi, temu bisnis, temu usaha), pelatihan yang diadakan oleh BBRP2B dan Dinas Kelautan dan
Perikanan Propinsi, sosialisasi anjangsana/studi banding.Cara informal dapat juga disebut cara
non komersial, karena pengolah dalam kelompok maupun perorangan menerima informasi berupa
teknologi pengolahan produk, perakitan teknologi dan teknologi peningkatan nilai tambah produk
olahan dengan cara mengikuti metode alih teknologi informal tidak mengeluarkan biaya, tetapi
biaya disediakan dari sumber teknologi (BRKP, BBRP2B, Dinas Perikanan Provinsi DIY/Kabupaten
Gunung Kidul dan Kabupaten Sleman).Selain itu metode informal tersebut juga termasuk
penggunaan tenaga teknis dari dinas perikanan maupun dari tenaga pembina , penyuluh dan TPT.
Mengingat jarak antara kabupaten yang terlalu jauh maka sosialisasi pemakaian peralatan
paket bantuan Iptekmas telah dibagi 2 kelompok yakni (1) Sosialisasi peralatan dilaksanakan di
Kabupaten Gunung Kidul, (2) sosialisasi peralatan di Kabupaten Sleman yang merupakan
gabungan antara Kabupaten Sleman, Bantul, Kulon Progo dan Kota Yogyakarta. Jumlah peserta
Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-11) - 7
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan 16 Juli 2011
untuk tiap kelompok adalah 30 orang yang meliputi calon penerima paket Iptekmas, staf dinas
perikanan dan kelautan, kelompok pengolah, dan pengusaha makanan dan minuman yang
bergerak di bidang produk perikanan. Di Kabupaten Gunung Kidul topik sosialisasi adalah
Peningkatan nilai tambah produk perikanan dan rumput laut dengan jenis latihan antara lain
pengolahan dendeng (tuna dan lumat), amplang tuna, baso lele, krupuk kulit lele, crispy (tulang,
daging, kulit lele), camilan mie ikan, corn flake ikan, ekado dan rolade ikan.
Feed Back (Umpan Balik)
Proses feed back/umpan balik dari pengolah produk perikanan yang mendapatkan paket
bantuan program Iptekmas disampaikan secara informal dan formal, proses umpan balik dari
pengolah penerima paket bantuan Iptekmas secara formal telah dilaksanakan melalui Focus Group
Discussion (FGD) dan pada saat kegiatan monitoring dan evaluasi pelaksanaan program Iptekmas
di dua Kabupaten (Gunung Kidul dan Sleman).Adapun mekanisme feedback/umpan balik yang
terjadi telah berjalan dengan baik dengan cara pengolah menyampaikan umpan balik tersebut
melalui forum formal maupun informal.
Secara informal proses feed back/umpan balik juga kerap dilakukan, dimana pengolah
menyampaikan langsung ke petugas/penyuluh dan peneliti ketika mereka sedang berada di
lapangan. Forum ini sangat efektif karena penyuluh secara langsung mengetahui persoalan yang
terjadi.
Namun demikian, terkadang tindak lanjut atau tanggapan dari sumber informasi (BBRP2B)
kurang cepat ditanggapi sesuai dengan kebutuhan pengolah penerima paket bantuan Iptekmas.
Hal ini disebabkan belum adanya kerjasama yang baik antara peneliti dan penyuluh. Dinas
Propinsi ataupun Kabupaten sangat terbuka untuk menindaklanjuti hasil feed back yang
disampaikan oleh pengolah sejauh mereka mampu menyelesaikan sesuai dengan tugas pokok
dan fungsi dinas kelautan dan perikanan Propinsi DIY dan Kabupaten Gunung Kidul serta
Kabupaten Sleman.
Dukungan Pemerintah Daerah (Bappeda & Kabupaten serta Badan Penyuluhan)
Program Iptekmas tidak akan berjalan dengan baik jika dukungan dari pemerintah daerah
setempat tidak optimal. Dukungan pemda terlihat adanya kebijakan program terhadap
pengembangan sektor kelautan dan perikanan secara umum, tetapi khususnya untuk
pengembangan teknologi pengolahan produk perikanan sangat minim dan anggaran yang setiap
tahun disediakan oleh pemda masih terbatas. Hal ini menunjukkan komitmen untuk
pengembangan sektor kelautan dan perikanan terutama untuk pengembangan teknologi
pengolahan produk perikanan sangat kurang.
FAKTOR DETEMINAN YANG BERPENGARUH TERHADAP KINERJA KEGIATAN IPTEKMAS
BBRPPB
Karakteristik responden berupa umur, pendidikan, pengalaman berusaha, , alasan
berusaha, jenis olahan produk perikanan, rataan pendapatan, pelatihan yang pernah diikuti 5 tahun
terakhir di Daerah Istimewa Yogyakarta dapat dilihat pada Tabel 1
Sebaran Karakteristik Responden
8 - Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-11)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Tabel 1. Sebaran Karakteristik Pengolah Penerima Bantuan Kegiatan Iptekmas BBRP2B di
Daerah Istimewa Yogyakarta.
No. Uraian Jumlah
(orang)
Persentase
(%)
1. Umur (tahun)
a. 34 40
b. 41 47
c. 48 54
d. 55 - 60
2
6
4
0
16,66
50,00
33,33
0
2. Pendidikan
a. SD
b. SLTP
c. SLTA
d. Perguruan Tinggi
0
4
7
1
0
33,33
58,33
8,33
3. Pengalaman Berusaha
(tahun)
a. Kurang dari 5 tahun
b. 5 - 10 tahun
c. 10 15 tahun
d. Lebih dari 15 tahun
4
6
2
0
33,33
50,00
16,66
0,00
4. Alasan Berusaha
a. Turun temurun
b. Diajak teman
c. Dianjurkan petugas
d. Tuntutan kebutuhan
e. Sesuai dengan
keahlian/ketrampilan
3
2
5
2
0
25,00
16,66
41,66
16,66
0,00
5. Jenis Olahan dan pengumpul
ikan segar
a. Abon Tuna/lele
b. Kripik Belut
c. Agar kertas
d. Krupuk Patilo Lele
e. Bandeng Pindang
f. Pengumpul/penanganan
ikan segar
3
2
1
2
2
1
1
25,00
16,66
8,33
16,66
16,66
8,33
8,33
Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-11) - 9
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan 16 Juli 2011
Sumber : Analisa data primer, 2010
Dari Tabel 1 terlihat bahwa sebaran umur responden paling banyak berada pada kisaran
umur 41 47 tahun sebanyak 6 orang (50%), diikuti 48-54 tahun sebanyak 4 orang (33,33%), 34-
40 tahun sebanyak 2 orang (%)dan tidak ada pengolah yang berumur antara 55-58 tahun. Menurut
Kamaludin (1994) bahwa umur digolongkan dalam 3 kategori golongan 1, usia tidak produktif (<25
dan > 65 tahun); 2. usia produktif (> 45 sampai 55 tahun); dan 3 usia sangat produktif (25 sampai
45 tahun).Tinggi rendahnya umur seseorang dapat mempengaruhi suatu keberhasilan usaha dan
mempunyai peranan penting dalam karakteristik individu, disamping itu umur sangat berpengaruh
terhadap kemampuan seseorang dalam mempelajari, memahami, menerima dan mengadopsi
inovasi baru, biasanya usia yang relatif muda akan lebih cepat dalam mengambilan keputusan
teknologi yang akan diadopsi.
Dari aspek pendidikan responden terlihat bahwa tidak ada responden lulusan SD, lulusan
SLTA 7 orang (58,33 %), lulusan SLTP ada 4 orang (33,33%) dan Perguruan Tinggi satu orang
(8,33 %). Dari aspek pengalaman kerja, paling banyak berada pada kisaran 5-10 tahun sebanyak
6 orang (50%), diikuti kurang dari 5 tahun sebanyak 4 orang (33,33%) dan 10-15 tahun sebanyak 2
orang (16,66%) serta tidak ada responden yang mempunyai pengalaman berusaha lebih dari 15
tahun. Tingkat pendidikan seseorang mempunyai peranan penting dalam mengelola usaha, baik
secara formal maupun tidak formal disamping umur. Pendidikan merupakan salah satu indikator
karakteristik individu yang terkait dengan tingkat pengetahuan, produktivitas dan ketrampilan
usaha budidaya perikanan akhirnya akan berpengaruh kepada pengambilan keputusan. Tingkat
pendidikan pengolah produk perikanan di Daerah Istimewa Yogyakarta cukup bervariasi.
Responden yang mempunyai pendidikan yang lebih tinggi cenderung lebih dapat menerima
dengan baik inovasi yang yang dianjurkan. Sedangkan responden yang berpendidikan lebih
rendah keputusan inovasinya juga masih setengah-setengah. Seseorang yang memiliki
pengetahuan dan kesadaran yang tinggi cenderung semakin tinggi juga keputusan inovasinya.
Sehingga tinggi rendahnya pendidikan dapat menentukan tinggi rendahnya tingkat pengambilan
keputusan dalam pengadopsian paket teknologi.
Dari aspek alasan berusaha respoden sebagai pengolah ada 5 orang (41,66%) beralasan
dianjurkan oleh petugas, 3 orang (25%) beralasan bahwa usaha pengolahannya dilakukan karena
turun temurun dari keluarganya, 2 orang (13,33%) beralasan diajak teman, dan 2 orang (13,33%)
beralasan sesuai dengan tuntutan kebutuhan dan tidak ada responden yang melakukan usaha
pengolahan karena alasan sesuai dengan keahlian/ketrampilan.
Dari aspek jenis olahan dan system transportasi ikan segar, responden yang melakukan
usaha pengolahan abon ada 3 orang (25%), sedangkan responden yang melakukan usaha
pengolahan kripik belut, kripik patilo lele dan pindang bandeng masing-masing sebanyak 2 orang
(16,66%). Responden yang melakukan pengolahan agar-agar kertas adalah 1 orang (8,33%),
g. Pindang duri lunak
6. Rataan Pendapatan/bulan (Rp.)
a. < 2.500.000
b. 2.500.000 5.000.000
c. 5.000.000 7.500.000
d. > 7.500.000
1
8
2
1
8,33
66,66
16,66
8,33
7. Latihan yang pernah diikuti
(dalam 5 tahun terakhir)
a. Tidak pernah
b. 1 2 kali
c. 3 4 kali
d. 5 kali
0
3
7
2
0,00
25,00
58,33
16,66
10 - Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-11)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
bandeng duri lunak sebanyak 1 orang (8,33%) dan usaha pengumpul ikan segar sebanyak 1 orang
(8,33%)
Dari aspek rataan pendapatan pengolah per bulan dalam juta kurang dari 2,5 juta rupiah 1
orang (8,33%) ,antara 2,5 s/d 5 juta adalah 8 orang (66,66%) , pendapatan antara 5 s/d 7,5 juta
adalah 2 orang (16,66%) dan diatas 7,5 juta sebanyak 1 orang (8,33%).
Dari aspek pelatihan yang pernah diikuti dalam lima tahun terakhir terkait dengan teknologi
pengolahan yang diintroduksikan melalui kegiatan Iptekmas adalah 3 orang (25%) menyatakan 1-3
kali selama 5 tahun terakhir, 7 orang (58,33%) mengikuti pelatihan 3-4 kali, 2 orang (16,66%)
mengikuti pelatihan lebih dari 5 kali, dan tidak ada respoden yang tidak pernah mengikuti pelatihan
dalam 5 tahun terakhir.
Tingkat Kekosmopolitan
Tingkat kekosmopolitas responden penerima program Iptekmas BBRPPB terhadap
teknologi pengolahan produk perikanan di Daerah Istimewa Yogyakarta secara rinci dapat dilihat
pada tabel 2 dibawah ini.
Tabel 2. Tingkat kekosmopolitan pengolah terhadap teknologi pengolahan yang diintroduksikan
oleh kegiatan Iptekmas di DI Yogyakarta.
Tingkat
Kekosmopolitan
Jumlah
(orang)
Persentase
(%)
Tinggi 7 58,33
Sedang 5 41,66
Rendah 0 0,00
Sangat Rendah 0 0,00
Jumlah 12 100
Sumber : Analisa data primer, 2010
Dari Tabel 2 terlihat bahwa sebaran tingkat kekosmopolitan respoden terhadap teknologi
pengolahan yang diintroduksikan melalui kegiatan Iptekmas adalah tinggi sebanyak 7 orang
(58,33%), diikuti sedang 5 orang (41,66%),dan tidak ada responden yang tingkat
kekosmopolitannya rendah dan sangat rendah. Tingginya tingkat kekosmopolitan respoden
terhadap teknologi pengolahan ini antara lain disebabkan oleh: seringnya interaksi dan frekuensi
responden dengan sumber-sumber Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) seperti Dinas
Kelautan dan Perikanan, Kios IPTEK, Lembaga Penelitian dan Perguruan Tinggi; rendahnya
pemanfaatan media masa seperti akses informasi melalui internet, menonton tv, membaca surat
kabar dan mendengarkan radio terkait dengan teknologi pengolahan prikanan yang diintroduksikan
melalui kegiatan Iptekmas dari BBRP2B.
Menurut Kusai (1996), semakin kosmopolit seseorang nelayan semakin sering dia keluar
desa mencari informasi usaha taninya, akan semakin tinggi tingkat keterdedahannya dengan
berbagai media massa. Media massa itu sendiri merupakan saluran komunikasi yang memegang
peranan penting dalam proses penyebaran inovasi ke dalam suatu sistem sosial. Dan Ganzali
dalam Jahi (1988), mengemukakan ada tiga efek dari komunikasi massa, yaitu: 1) efek kognitif,
meliputi peningkatan kesadaran, belajar dan pengetahuan, 2) Efek efektif, berhubungan dengan
emosi, perasaan dan sikap dan 3) Efek konatif, berhubungan dengan perilaku dan niat melakukan
sesuatu menurut cara tertentu.
Tingkat Motivasi Responden
Keragaan tingkat motivasi responden terhadap teknologi pengolahan produk perikanan
dan peralatan yang diintroduksikan oleh kegiatan Iptekmas BBRPPB di DI Yogyakarta
diperlihatkan pada tabel 3.
Tabel 3. Tingkat motivasi responden terhadap teknologi pengolahan produk perikanan dan
peralatan yang diintroduksikan oleh kegiatan Iptekmas BBRPPB di DI Yogyakarta.
Tingkat
Motivasi
Jumlah
(orang)
Persentase
(%)
Sangat Sesuai 1 8,33
Sesuai 8 66,66
Kurang Sesuai 3 25,00
Tidak Sesuai 0 0
Jumlah 12 100
Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-11) - 11
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan 16 Juli 2011
Sumber : Analisa data primer, 2010
Mitchell (1982) mengartikan motivasi mewakili proses psikologikal, diarahkannya, dan
terjadinya persistensi kegiatan yang diarahkan ke arah tujuan tertentu. Sementara itu, Owens
(1991) menyatakan bahwa motivasi adalah dorongan baik yang datang dari dalam diri seseorang
maupun yang datang dari luar, sehingga membuat seseorang melakukan sesuatu
(http://www.infoskripsi.com/Newsflash1/Motivasi-Belajar.html)
Dari Tabel 3 terlihat bahwa sebaran tingkat motivasi responden terhadap usaha
pengolahan ikan adalah sangat sesuai 1 orang (8,33%), diikuti sesuai 8 orang (66,66%), kurang
sesuai 3 orang (25%). Sesuainya motivasi responden terhadap usaha pengolahan produk
perikanan disebabkan antara lain oleh; tingginya keinginan responden untuk mendapatkan
teknologi baru terkait dengan pengolahan produk perikanan, teknologi baru terkait dengan
pengolahan merupakan kebutuhan untuk meningkatkan pendapatan, suasana kerja di lingkungan
masyarakat pengolah yang cukup menyenangkan dan Pemda setempat cukup memperhatikan
terhadap pengembangan pengolah terkait dengan teknologi pengolahan produk perikanan.
Persepsi Responden
Persepsi tidak selalu identik dengan pengambilan keputusan, dalam hal ini adalah
keputusan berusahatani organik atau an-organik.(http://tesis-skripsi.blogspot.com/2008/01/analisa-
pendapatan-usahatani-dan.html)
Sebaran persepsi responden terhadap teknologi pengolahan produk perikanan adalah
positif 8 orang (66,66%), diikuti cukup positif 4 orang (33,33%),tidak ada responden yang
persepsinya negative dan sangat negative terhadap teknologi pengolahan yang diintroduksikan
melalui kegiatan Iptekmas dari BBRP2B. positifnya persepsi responden terhadap teknologi
pengolahan produk perikanan ini disebabkan antara lain teknologi pengolahan produk perikanan
yang didesiminasikan melalui kegiatan Iptekmas; sesuai dengan kebutuhan setempat, sesuai
dengan waktu yang dibutuhkan, mudah untuk diterapkan,tersedia dan mudah untuk didapatkan
serta cepat dilihat hasilnya. Keragaan persepsi responden di lokasi penelitian dapat dilihat pada
tabel 4.
Tabel 4. Persepsi responden terhadap teknologi pengolahan yang diintroduksikan melalui kegiatan
Iptekmas di DI Yogyakarta.
Persepsi Jumlah
(orang)
Persentase
(%)
Positif 8 66,66
Cukup Positif 4 33,33
Negatif 0 0,00
Sangat Negatif 0 0,00
Jumlah 12 100
Sumber : Analisa data primer, 2010
Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan
Kesimpulan
Kegiatan IPTEKMAS yang dilaksanakan oleh Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan
Bioteknolgi Kelautan tahun 2009 merupakan kegiatan diseminasi teknologi hasil-hasil penelitian
yang dihasilkan oleh lembaga BBRP2BKP. Berdasarkan hasil wawancara diperoleh informasi
bahwa IPTEKMAS BBRP2KP bertujuan : 1) Meningkatkan dan menyebarkan hasil riset melalui
pengenalan(introduksi)paket ilmu pengetahuan dan teknologi produk perikanan Kelautan dan
Perikanan kepada masyarakat. 2) Meningkatkan nilai tambah produk perikanan. 3) Meningkatkan
lapangan kerja dan aktivitas perekonomian melalui diversifikasi produk pengolahan perikanan.
Ruang lingkup dari Iptekmas meliputi ; 1) Koordinasi penentuan daerah dan pengolah sasaran.
2) Identifikasi teknologi pengolahan yang disesuaikan dengan spesifikasi lokasi. 3) Diskusi
Kelompok Terfokus (FGD) sebagai penentuan jenis ilmu pengetahuan dan teknologi yang akan
diintroduksi. 4) Pendampingan
12 - Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-11)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Pelaksanaan IPTEKMAS mengambil lokasi Daerah Istimewa Yogyakarta ( Kabupaten Sleman,
Kabupaten Kulon Progo, Kabupaten Bantul, Kabupaten Sleman dan Kabupaten Gunung Kidul).
Jenis olahan yang diintroduksikan adalah pindang ikan tongkol/layang/bandeng, pengasapan lele,
abon ikan, kerupuk ikan dan keripik ikan. Terdapat permasalahan dilapangan mengenai kondisi
pengolahan yang ada misalnya sanitasi yang kurang baik, tempat pembuangan limbah, alat yang
tidak efisien, ruangan mengolah yang kurang memadai sehingga penuh asap dan pengemasan
yang kurang menarik.
Atas dasar potensi industri pengolahan hasil perikanan yang ada pada tahun 2009,
sasaran penyelenggaraan Iptekmas adalah unit pengolahan hasil perikanan (UPI) di Daerah
Istimewa Yogyakarta yang meliputi 4 kabupaten (Bantul, Sleman, Kulon Progo dan Gunung Kidul).
Secara umum , tahapan pelaksanaan kegiatan Iptekmas adalah : (a) koordinasi penentuan
daerah/lokasi dan unit pengolahan ikan sasaran, (b) identifikasi potensi sumberdaya lokal/unit
pengolah ikan (UPI), (c) penentuan jenis iptek yang akan diintroduksikan melalui FGD (Focus
Group Discussion), (d) perakitan dan pengujian paket iptek terpilih, (e) penyerahan paket terpilih,
(f) diseminasi dan pelatihan, dan monitoring dan evaluasi.
Kegiatan IPTEKMAS pada dasarnya merupakan kegiatan diseminasi hasil riset dan
inovasi di sektor kelautan dan perikanan yang dihasilkan oleh Unit Pelaksana Teknis (UPT) dalam
lingkungan Badan Penelitian Dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan (Badan Litbang
Kelautan dan Perikanan).
Faktor-faktor determinan yang berpengaruh terhadap mekanisme diseminasi (kegiatan
Iptekmas BBRP2B) adalah karakteristik pengolah sebagian besar berumur 41-47 (50%)
pendidikan SLTA(58,33%), dengan pengalaman berusaha sebagian besar 5-10 tahun, alasan
berusaha sebagian besar adalah karena dianjurkan oleh petugas (41,66%), kegiatan jenis usaha
pengolahan yang bervariasi mecakup abon ikan, keripik belut, kerupuk patillo lele, agar-agar
kertas ,bandeng duri lunak dan pindang bandeng. Dari segi pendapatan pengolah sebagian besar
adalah yang berpendapatan antara 2,5 juta rupiah sampai dengan 5 juta rupiah sebanyak 66,66%,
dari aspek pelatihan sebagian besar pengolah mengikuti 1-2 kali selama 5 tahun terakhir sebesar
58,33%. Tingkat kekosmopolitan pengolah hasil perikanan di Daerah Istimewa Yogyakarta adalah
tinggi, sedangkan tingkat motivasi pengolah hasil perikanan adalah sesuai dengan keinginan
pengolah untuk mendapatkan teknologi baru. Selanjutnya persepsi pengolah terhadap teknologi
pengolahan yang diintroduksikan melalui kegiatan Iptekmas adalah positif.
Implikasi Kebijakan
Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan yang dikemukakan, maka beberapa saran
dan implikasi kebijakan yang dapat dikemukakan adalah sebagai berikut :
Upaya strategis yang perlu dilakukan agar supaya mekanisme diseminasi teknologi
pengolahan produk perikanan melalui kegiatan Iptekmas, dari BBRP2B dapat berjalan secara
optimal adalah a) pelaksanaan kegiatan diseminasi harus punya dasar hukum yang jelas
(Peraturan Menteri, Perda, Peraturan Bupati ), b) alur mekanisme diseminasi harus jelas dari
sumber informasi kepada pengguna teknologi melalui medium (metoda dan media) dan
menanggapi umpan balik/feed back dari pengguna untuk mengetahui respon pengguna, c)
perencanaan kegiatan diseminasi teknologi, perlu dasar perencanaan secara detail didasarkan
pada identifikasi kebutuhan pengguna teknologi, perlu adanya koordinasi, sinergitas dan
keterpaduan antar instansi terkait dengan kegiatan diseminasi (BRKP,Ditjen /UPT Ditjen, Dinas
Propinsi, Dinas Kabupaten/Kota, Pusbangluh, BP4K, Bapeluh) , perlu keterlibatan pengguna
(pengolah dan pembudidaya) dalam menyusun perencanaan kegiatan diseminasi. d) perlu
dibentuk komisi rekomendasi teknologi di lingkup kabupaten/kota untuk teknologi yang siap
diintroduksikan.
Daftar Pustaka
Anonim. 2010. Profil Perikanan Sleman Tahun 2009. Bidang Perikanan,Dinas Pertanian,
Perikanan dan Kehutanan Kabupaten Sleman.
Anonimous, 2009. laporan Akhir IPTEKMAS, Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan
Bioteknologi Kelautan dan Perikanan, BRKP.
Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-11) - 13
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan 16 Juli 2011
Berlo. 1960. Planning for in inovation Through Disemination an Utilitizen of Knowledge. The
University of Michigan, un arbur Michigan.
Dinas Peternakan dan Perikanan, 2008. data Base Peternakan dan Perikanan, Kabupaten
Banyumas 2008
http://tesis-skripsi.blogspot.com/2008/01/analisa-pendapatan-usahatani-dan.html
http://www.bahankuliah.com/skripsi/skripsi-stress-motivasi-dan-kinerja.html
http://www.infoskripsi.com/Newsflash1/Motivasi-Belajar.html
Indrayanti, Y. 2003. Strategi Ketahanan Pangan Pada Komunitas Petani. Tesis Program Pasca
sarjana IPB.
Kusai, 1996. Tingkat Adopsi Petani Ikan Terhadap Teknologi Budidaya Ikan Dalam Karamba
Terapung. Studi Kasus di Kecamatan Bangkinang Barat, Kabupaten Kempar, Propinsi
Riau. Tesis. Institut Pertanian Bogor.
Lionberger dan Gwin (1982). Communication Stategies, a Guide for Agricultural Change Agent.
Denvile The Intersate Printers & Publication,Inc.
Onong, L.E, 1977. Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek. PT Remaja Rosdakarya, Bandung
Soekarwati, 1988. Prinsip Dasar Komunikasi Pertanian. Universitas Indonesia, Jakarta
Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-12) - 1
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan 16 Juli 2011
PERUBAHAN SOSIAL PETAMBAK DI KELURAHAN KARANGANYAR
KECAMATAN TUGU KOTA SEMARANG
Tika Wulandari, Hery Saksono, Suadi
Jurusan Perikanan, Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada
Abstrak
Penelitian bertujuan untuk mengetahui perubahan sosial petambak dalam rentang waktu 25 tahun
(1986 2011) dan faktor-faktor penyebab perubahan tersebut. Pengumpulan data menggunakan
metode sensus. Responden terdiri atas 31 orang petambak yang masih aktif (8 orang pemilik, 1
orang pemilik-penggarap, 13 orang penggarap, dan 9 orang buruh tambak) dan 12 orang mantan
petambak, yang diwawancarai dengan panduan kuesioner. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
telah terjadi perubahan struktur sosial, organisasi, dan kegiatan ekonomi petambak dalam kurun
waktu di atas. Lapisan kaya sekarang ini (2011) adalah pemilik yang lahan tambaknya sudah dijual
ke pabrik, tetapi masih dapat digarap sendiri dan pemilik yang lahan tambaknya belum dijual ke
pabrik, tetapi masih ada orang yang menyewa. Lapisan menengah yaitu penggarap yang memiliki
luas garapan besar ( > 2 ha). Lapisan miskin terdiri atas buruh tambak, pemilik tambak yang lahan
tambaknya belum dijual ke pabrik tetapi tidak ada orang yang menyewa, dan penggarap yang
memiliki luas garapan kecil (< 2 ha). Organisasi yang terbentuk adalah dua kelompok petambak.
Golongan pemilik dan penggarap sebagian besar menjadi wirausahawan, sedangkan golongan
buruh menjadi buruh pabrik. Perubahan tata guna lahan dari kawasan tambak menjadi kawasan
industri, penurunan produktivitas tambak, serta abrasi pantai yang sangat tinggi menjadi faktor
penting perubahan sosial tersebut. Sejarah tambak di Karanganyar mungkin akan selesai dalam
waktu dekat. Strategi adaptasi yang didukung oleh rekayasa sosial (social engineering) diperlukan
untuk menanggapi berbagai perubahan tersebut.
Kata kunci : perubahan sosial, petambak, Karanganyar, Semarang
Pengantar
Perubahan yang terjadi dalam masyarakat tidak akan terlepas dari pengaruh-pengaruh
yang berasal dari luar maupun dari dalam masyarakat. Industri yang masuk ke suatu daerah pasti
membawa pengaruh yang besar pada masyarakat di sekitarnya dan menyebabkan terjadinya
suatu perubahan. Pertumbuhan industri yang terjadi di Kelurahan Karanganyar, Kecamatan Tugu,
Kota Semarang mungkin memberikan harapan-harapan pada masyarakat lokal untuk dapat
memanfaatkan keberadaan industri tersebut, antara lain dengan bekerja di pabrik atau
memanfaatkan peluang ekonomi lain dari adanya industri. Apabila lahan yang selama ini menjadi
sumber ekonomi masyarakat menjadi hilang karena digunakan untuk pabrik, maka harapan yang
ada hanya tertuju pada pabrik yang didirikan.
Hannig (1986) dalam penelitiannya di Kelurahan Karanganyar, Kecamatan Tugu, Kota
Semarang menemukan fenomena sosial yang menarik dalam beberapa aspek : struktur sosial,
organisasi, dan kegiatan ekonomi petambak. Struktur sosial petambak, yang didasarkan pada
penguasaan lahan, bersifat hirarkhis atau berstrata. Berbagai macam sumber pendapatan yang
diperoleh juga bersambung erat dengan penguasaan lahan, sehingga ikut serta menentukan
lapisan-lapisan dalam masyarakatnya.
Strata sosial di Kelurahan Karanganyar terdiri atas tiga lapisan, yaitu lapisan kaya,
menengah, dan miskin. Lapisan kaya terdiri atas petambak yang menguasai tambak atau
menguasai tambak dan sawah. Lapisan ini merupakan kelompok masyarakat yang memiliki lahan
paling luas di Karanganyar dan termasuk ke dalam kelompok keluarga tradisional atau penduduk
asli desa tersebut. Lapisan menengah adalah petambak yang hanya menguasai sawah. Lapisan
miskin adalah petambak yang hanya menguasai lahan kering atau tegalan. Lapisan ini miskin
dikarenakan lahannya yang tidak subur, sehingga harus mencari pendapatan tambahan sebagai
buruh pengangkut hasil bumi (jika ada kesempatan) dari mengumpulkan kayu bakar, daun, rumput
dan sejenisnya untuk dapat bertahan hidup.
SE-12
2 - Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-12)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Fenomena sosial lain yang menarik adalah organisasi petambak. Hannig dalam
penelitiannya memang tidak menjelaskan tentang organisasi petambak yang ada pada masa itu.
Belum terbentuknya kelompok-kelompok petambak pada masa itu mungkin dapat disebabkan
karena interaksi antar petambak yang terjalin juga kurang. Terbentuknya kelompok-kelompok
petambak merupakan salah satu bentuk interaksi antar petambak. Interaksi antar petambak yang
terjadi dapat mempermudah kerjasama dalam memajukan usaha tambak, sehingga dapat
membantu meningkatkan pendapatan keluarga. Selain itu, adanya kelompok-kelompok petambak
juga dapat membantu dalam menyelesaikan permasalahan atau memberikan pemecahan masalah
yang terbaik pada setiap kendala yang dihadapi oleh masing-masing petambak. Oleh karena itu,
keorganisasian petambak di Kelurahan Karanganyar juga menjadi salah satu hal yang menarik
untuk diteliti saat ini.
Fenomena sosial lainnya yang ditemukan oleh Hannig adalah pada kegiatan ekonomi
petambak. Hannig dalam penelitiannya menjelaskan bahwa petambak yang termasuk dalam
lapisan kaya sampai dengan menengah bertahan hidup dengan cara menjadi spekulan tanah.
Spekulasi yang dilakukan adalah dengan membeli tanah dari pemilik tanah lokal lainnya untuk
kemudian dijual kepada investor. Pertumbuhan dan perkembangan industri yang masuk ke
Kelurahan Karanganyar menyebabkan kebutuhan lahan untuk keperluan industri menjadi
meningkat, sebagai akibatnya harga jual dari tanah juga cenderung mahal. Petambak yang
termasuk dalam lapisan miskin, bertahan hidup dengan cara mencari pendapatan tambahan
sebagai buruh pengangkut hasil bumi (jika ada kesempatan) dari mengumpulkan kayu bakar,
daun, rumput dan sejenisnya untuk dijual. Hal tersebut dilakukan untuk membantu meningkatkan
pendapatan ekonomi keluarga.
Seiring dengan berjalannya waktu selama 25 tahun serta adanya proses pertumbuhan dan
perkembangan industri yang masuk pada daerah tersebut, perubahan sosial seperti apa yang
terjadi? Serta apa sajakah yang menjadi faktor penyebab berubahnya fenomena sosial tersebut?
Metodologi
Pengumpulan data dilakukan dengan beberapa metode, yaitu observasi, sensus
petambak, dan wawancara. Pengumpulan data diawali dengan mencari data lengkap tentang
penduduk Kelurahan Karanganyar yang sejak penelitian Hannig (1986) sampai dengan sekarang
(2011) masih bertambak dan mantan petambak. Pengumpulan dilakukan melalui wawancara
dengan sesepuh desa yang sejak dahulu sampai dengan sekarang masih bekerja sebagai
petambak. Metode tersebut dilakukan karena tidak ada data resmi dan tertulis yang menyebutkan
jumlah petambak terdahulu (1986) dan saat ini (2011), sehingga peneliti melakukan sensus untuk
dapat mengetahui jumlah petambak yang ada. Data yang telah didapatkan dihitung jumlahnya,
kemudian dilakukan pendataan ulang untuk mengetahui jumlah petambak yang masih aktif pada
saat ini. Data jumlah petambak yang masih aktif dan mantan petambak tersebut selanjutnya
digunakan untuk menentukan sampel yang diambil, sehingga unit sampel adalah petambak yang
masih aktif dan mantan petambak yang ada di Kelurahan Karanganyar.
Luas Kelurahan Karanganyar tahun 2011 berbeda dengan saat Hannig melakukan
penelitian, karena adanya pemekaran kelurahan. Kelurahan Karanganyar yang dahulu sangat luas
dipecah menjadi tiga bagian, yaitu Kelurahan Wonosari, Kelurahan Randu Garut, dan Kelurahan
Tambak Aji. Pemekaran wilayah Karanganyar tersebut didasarkan pada Peraturan Pemerintah
Kota Semarang Nomor 50 tahun 1993. Akibatnya, jumlah petambak di kelurahan tersebut menjadi
semakin sedikit. Di samping itu, banyak petambak yang telah meninggal dunia. Pertumbuhan dan
perkembangan indusri yang masuk ke Kelurahan Karanganyar juga membuat luasan tambak yang
ada di kelurahan tersebut menjadi semakin berkurang. Hal tersebut dikarenakan banyak lahan
tambak yang sudah diurug untuk menjadi pabrik.
Jumlah petambak yang masih aktif di Karanganyar berdasarkan sensus berjumlah 31
orang, terdiri atas 8 orang pemilik, 1 orang pemilik-penggarap, 13 orang penggarap, dan sisanya 9
orang sebagai buruh tambak. Jumlah mantan petambak yang dapat memberikan informasi untuk
tema penelitian sebanyak 12 orang. Responden penelitian dengan demikian adalah seluruh
petambak yang masih aktif dan mantan petambak di Kelurahan Karanganyar, yaitu 43 orang.
Wawancara yang dilakukan adalah dengan wawancara berencana dan wawancara bebas.
Wawancara berencana merupakan wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara atau
dapat dikatakan dengan wawancara berstruktur, sedangkan wawancara bebas merupakan
wawancara tidak terstruktur namun masih terpusat ke dalam pokok permasalahan
Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-12) - 3
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan 16 Juli 2011
(Koentjaraningrat, 1973). Data yang dikumpulkan melalui wawancara meliputi identitas petambak,
penguasaan lahan tambak dan bukan tambak, penghasilan rata-rata tiap bulan dari bertambak,
pekerjaan dan sumber pendapatan lain yang diperoleh petambak, cara bertahan hidup dari
masing-masing petambak, faktor-faktor yang menyebabkan petambak mencari pendapatan lain di
luar sektor perikanan, organisasi petambak, perubahan kondisi sosial ekonomi petambak, dan
dampak yang dirasakan oleh petambak akibat perubahan tersebut.
Data yang telah diperoleh melalui observasi, sensus petambak, dan wawancara kemudian
dianalisis dengan tabel frekuensi dan tabulasi silang. Penyajian data dalam bentuk tabel tersebut
selanjutnya ditulis secara deskripsi. Tabulasi silang digunakan untuk memudahkan pembacaan
dan analisis data. Metode tabulasi silang cukup sederhana, tetapi mempunyai kemampuan untuk
mengungkapkan hubungan variabel yang diteliti. Analisis ini dilakukan dengan membagi variabel-
variabel penelitian ke dalam kategori-kategori yang ditentukan atas dasar tabel frekuensi
(Singarimbun dan Effendie, 2006).
Hasil dan Pembahasan
Identitas Petambak
Petambak yang termasuk dalam kategori usia produktif (15-64 tahun) sebanyak 37 orang
(86,1%) dan yang termasuk dalam kategori usia tidak produktif (> 65 tahun) sebanyak 6 orang
(13,9%). Petambak sebagian besar merupakan tamatan Sekolah Menengah Atas (SMA) berjumlah
14 orang (32,6%) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) sebanyak 9 orang (20,9%). Petambak
tamatan SD sebanyak 7 orang (16,3%) dan tidak tamat SD sebanyak 8 orang (18,6%). Selain itu,
ditemukan juga petambak lulusan diploma sebanyak 2 orang (4,6%) dan lulusan sarjana sebanyak
3 orang (7%). Petambak sebagian besar juga telah menikah (39 orang atau 90,7%).
Sebagian besar petambak mempunyai anak 3-4 orang, yaitu sebanyak 18 orang (41,9%).
Petambak yang tidak mempunyai anak sebanyak 4 orang (9,3%), mempunyai 1-2 orang anak
sebanyak 15 orang (34,9%), dan mempunyai lebih dari 4 orang anak sebanyak 6 orang (13,9%).
Petambak pada umumnya memiliki pekerjaan lebih dari satu. Ragam pekerjaan tersebut
diharapkan dapat menambah pendapatan dalam mencukupi kebutuhan keluarga.
Peruntukan Lahan Tambak
Lahan tambak saat ini secara umum sudah tidak lagi menjadi milik petambak, namun
sudah beralih menjadi tanah milik pabrik atau tanah milik kawasan industri. Hadirnya kawasan
industri ke daerah Karanganyar menyebabkan kebutuhan lahan untuk keperluan industri tersebut
menjadi meningkat. Akibatnya, harga jual dari lahan juga cenderung mahal. Hal tersebut kemudian
mendorong banyak pemilik tambak menjual lahan tambaknya untuk memperoleh keuntungan yang
besar.
Alasan lain pemilik tambak menjual lahan tambak adalah karena seringnya terjadi abrasi
dan air pasang tinggi yang merusak tambak. Abrasi dan air pasang yang tinggi telah menyebabkan
tanggul tambak hancur, yang pada akhirnya dapat menyebabkan kerugian secara ekonomi. Selain
itu, produktivitas tambak yang mulai menurun juga menjadi salah satu pertimbangan pemilik
tambak menjual lahan tambak miliknya. Dengan demikian, pendapatan dari tambak juga sudah
tidak dapat diharapkan lagi.
Dalam hal jual beli lahan tambak, terdapat suatu perjanjian yang tidak tertulis antara
pemilik tambak dan kawasan industri, yaitu petambak masih diperbolehkan untuk menggarap
lahan tambak miliknya selama lahan tambak tersebut belum diurug menjadi pabrik. Hal tersebut
bagi para petambak dikenal dengan istilah hak garap. Namun demikian, dalam penelitian juga
ditemukan petambak yang mempunyai hak garap yang tidak menggarap lahan tambak miliknya,
melainkan menjualnya atau menyewakannya kepada orang lain.
Penggarap tambak di Kelurahan Karanganyar ada yang menggarap lahan tambak miliknya
sendiri, ada yang menyewa ke orang lain, dan ada pula yang menuasi hak garap milik orang lain.
Istilah sewa digunakan jika pembayaran yang dilakukan per tahun dalam jangka waktu tertentu.
Istilah tuasan digunakan jika pembayaran dilakukan sekali di awal dan uang tersebut berlaku untuk
selamanya sampai dengan tambak yang digarap tersebut diurug menjadi pabrik. Istilah tersebut
muncul setelah banyak lahan tambak yang dijual ke pabrik.
Letak lahan tambak yang masih dapat digarap adalah yang berada di tengah-tengah dan
dekat dengan pemukiman warga. Tambak-tambak tersebut letaknya jauh dari laut, sehingga
kerusakan tambak akibat abrasi tidak terlalu parah. Tambak-tambak yang letaknya dekat dengan
pemukiman warga hanya sebagian kecil diurug menjadi pabrik, khususnya tambak-tambak yang
4 - Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-12)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
dekat dengan jalan raya. Luas garapan dari petambak di Kelurahan Karanganyar dapat dilihat
pada tabel berikut.
Tabel 1. Luas garapan petambak Kelurahan Karanganyar tahun 2011
Golongan
Luas garapan tambak (ha)
Jumlah
(orang)
%
< 2
(orang)
%
2 5
(orang)
%
> 5
(orang)
%
Petambak :
Pemilik-Penggarap
Penggarap
Buruh
1
2
3
100
15,4
33,3
10
6
76,9
66,7
1 7,7
1
13
9
4,3
56,5
39,2
Jumlah 6 26,1 16 69,6 1 4,3 23 100
Sumber : Data primer 2011
Golongan penggarap tambak yang luas garapan tambaknya > 5 ha, memiliki enam orang
buruh tambak. Dua orang buruh tambak berasal dari Kelurahan Karanganyar dan empat orang
lainnya berasal dari luar kelurahan. Buruh tambak tersebut dibayar dengan upah harian, yang
berkisar antara Rp 35.000,00 40.000,00.
Struktur Sosial Petambak
Kondisi saat ini (2011), petambak yang masih memiliki lahan adalah petambak yang
memperoleh lahannya dari pewarisan. Pengalihan hak milik atas lahan melalui pewarisan tersebut
akan menimbulkan fragmentasi pemilikan lahan, karena dibagikan kepada ahli waris yang
mencakup anak laki-laki dan perempuan. Pemilik tambak yang lahannya disewa atau digarap
orang lain hanya menguasai separuh dari luas lahan tersebut. Pemilik tambak yang lahannya
dituaskan ke orang lain tidak lagi menguasai dari luas lahan tersebut, karena pembayaran sudah
dilakukan sekali di awal dan uang tersebut berlaku untuk selamanya sampai dengan tambak yang
digarap orang lain tersebut diurug menjadi pabrik. Jadi, pemilik tambak memperoleh penghasilan
dari modal lahan dan penggarap tambak yang menggarap tambak tersebut memperoleh
penghasilan dari tambak yang digarapnya.
Pemilik tambak di Kelurahan Karanganyar mempunyai pengertian yaitu orang yang masih
memiliki lahan tambak dan mempunyai surat-surat kepemilikan yang sah atas tambak yang
dimilikinya tersebut. Penggarap tambak adalah orang yang bekerja menggarap tambak, baik itu
lahan tambak miliknya sendiri atau lahan tambak yang disewakan atau dituaskan oleh orang lain
untuk digarap. Buruh tambak adalah orang yang dipekerjakan untuk mengelola tambak dan
dibayar dengan upah harian. Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut, dapat juga dilihat
perbedaan tinggi rendahnya kedudukan sosial seorang pemilik, penggarap, dan buruh tambak
dalam pelapisan sosial masyarakat petambak.
Istilah pemilikan dan penguasaan berbeda. Menurut Wiradi (1984), pemilikan adalah
penguasaan formal atas lahan ditandai dengan pemilikan sertifikat. Penguasaan adalah
penguasaan efektif atas lahan, meliputi pemilikan formal dan lahan yang disewa atau disakap.
Dengan demikian, seorang penggarap tambak sekalipun luas lahan yang disewanya lebih luas
daripada yang dimiliki oleh seorang pemilik tambak, namun status sosialnya masih lebih rendah
dibanding pemilik tambak tersebut.
Pendapatan petambak dari usaha tambak juga dapat ikut serta menentukan lapisan-
lapisan dalam masyarakatnya. Hal tersebut disebabkan karena, terdapat beberapa petambak yang
tidak memperoleh penghasilan sama sekali dari usaha tambaknya. Produktivitas tambak saat ini
yang mengalami penurunan juga menyebabkan pendapatan dari usaha tambak menjadi tidak
menentu. Hal tersebut yang kemudian juga menyebabkan pendapatan dari masing-masing
petambak berbeda-beda. Petambak yang masih memperoleh pendapatan dari usaha tambaknya
dapat digolongkan ke dalam lapisan kaya, sedangkan petambak yang tidak memperoleh
pendapatan sama sekali dari usaha tambaknya dapat digolongkan ke dalam lapisan miskin.
Berdasarkan kriteria-kriteria tersebut, petambak Kelurahan Karanganyar dapat terbagi
menjadi tiga lapisan, yaitu lapisan kaya, menengah, dan miskin.
1. Lapisan kaya, yaitu :
Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-12) - 5
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan 16 Juli 2011
a. Pemilik tambak yang lahan tambaknya sudah dijual ke pabrik, namun belum diurug
menjadi pabrik, tidak terkena abrasi, dan masih dapat digarap sendiri. Pemilik tambak
yang termasuk dalam kategori ini hanya 1 orang (3,2 %).
b. Pemilik tambak yang lahan tambaknya belum dijual ke pabrik, karena letak tambaknya
yang jauh dari jalan raya dan sering terkena abrasi, namun masih terdapat orang yang
mau menyewa untuk digunakan usaha waring, sehingga juga masih memiliki surat-
surat kepemilikan tambak yang sah dalam bentuk letter D. Pemilik tambak yang
termasuk dalam kategori ini sebanyak 5 orang (16,1 %).
2. Lapisan menengah, yaitu Penggarap, karena :
a. Dahulu orang tersebut mempunyai tambak, tetapi sekarang hanya mempunyai hak
garap saja, dikarenakan tambak tersebut belum diurug menjadi pabrik dan tidak
terkena abrasi, sehingga masih dapat digarap.
b. Orang tersebut mempunyai cukup modal untuk membayar biaya sewa atau tuasan
lahan tambak milik orang lain yang tidak digarap dan belum diurug menjadi pabrik
serta tidak terkena abrasi.
Dalam lapisan ini, penggarap dapat dikatakan masuk ke dalam lapisan menengah jika luas
tambak yang digarapnya besar (>2 ha). Hal tersebut disebabkan karena antara penggarap
satu dengan yang lain luas tambak yang digarapnya juga berbeda-beda. Hal ini tentu saja
menyebabkan penghasilan yang diperoleh dari tambak untuk masing-masing penggarap juga
berbeda-beda. Jadi, penggarap yang memiliki luas garapan besar adalah yang termasuk
dalam lapisan menengah ini. Penggarap yang termasuk dalam kategori ini sebanyak 11 orang
(35,5 %).
3. Lapisan miskin, yaitu :
a. Buruh tambak, karena dari dahulu tidak memiliki tambak dan tidak mempunyai modal
untuk menyewa atau menuasi lahan tambak milik orang lain, sehingga hanya dapat
menjual tenaganya untuk menjadi buruh tambak. Buruh tambak yang termasuk dalam
kategori ini sebanyak 9 orang (29 %).
b. Pemilik tambak yang lahan tambaknya belum dijual ke pabrik, karena letak tambaknya
yang jauh dari jalan raya dan sering terkena abrasi, namun tidak ada orang yang mau
menyewa, sehingga juga masih memiliki surat-surat kepemilikan tambak yang sah
dalam bentuk letter D. Pemilik tambak yang termasuk dalam kategori ini sebanyak 3
orang (9,7 %).
c. Penggarap yang memiliki luas garapan kecil (< 2 ha), yaitu sebanyak 2 orang (6,5 %).
Berdasarkan pengamatan penulis, pada kondisi saat ini terjadi mobilitas sosial vertikal.
Mobilitas sosial vertikal tersebut terjadi pada golongan pemilik dan penggarap tambak. Dahulu,
golongan pemilik dan penggarap tambak tersebut termasuk dalam lapisan kaya dan menengah,
namun kini dapat termasuk dalam lapisan miskin. Hal tersebut disebabkan karena penghasilan dari
tambak yang tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Selain itu, kondisi tambak yang
kini sudah mengalami penurunan produktivitas, bahkan tak jarang tambak-tambak tersebut tidak
dapat dimanfaatkan kembali. Hal tersebut kemudian menyebabkan penghasilan yang berasal dari
tambak juga bernilai sedikit hingga tidak ada (nol). Rendahnya penghasilan yang diperoleh dari
tambak juga dapat menurunkan status sosial petambak. Menurut Soekanto (1990), mobilitas sosial
vertikal yang terjadi tersebut adalah dengan arah turun, atau dapat disebut dengan social-sinking.
Organisasi Petambak
Kondisi saat ini (2011) menunjukkan bahwa petambak sudah tergabung ke dalam dua
kelompok. Kelompok petambak tersebut bernama Rejo Makmur dan Abadi Makmur. Terbentuknya
kelompok petambak tersebut dilatar belakangi oleh adanya program bantuan dari pemerintah, yaitu
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Kelautan dan Perikanan (PNPM M-KP).
Alokasi bantuan dana program tersebut hanya diberikan pada kelompok. Oleh karena itu,
petambak Kelurahan Karanganyar berlomba-lomba untuk membentuk kelompok, dengan alasan
agar mendapatkan dana dari program pemerintah tersebut.
Pembentukan kelompok petambak menimbulkan pro dan kontra di kalangan petambak.
Hal tersebut dikarenakan keanggotaan kelompok petambak yang melibatkan orang yang tidak
bekerja sebagai petambak dan atau tidak memiliki pengalaman sama sekali dalam bertambak.
Semestinya dalam suatu kelompok petambak, anggota dari kelompok adalah petambak atau orang
yang mempunyai pengalaman dalam bertambak. Menurut informasi dari beberapa responden, juga
6 - Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-12)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
disebutkan bahwa anggota dalam kelompok petambak yang ada di Kelurahan Karanganyar dipilih
dan ditentukan sendiri oleh para pengurus kelompok petambak. Hal tersebut akhirnya menjadikan
keanggotaan dari kelompok petambak memiliki hubungan kekerabatan antara anggota yang satu
dengan yang lainnya. Keanggotaan dalam kelompok petambak diatur dengan persyaratan tertentu
yang tercantum dalam Angggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) kelompok
petambak Kelurahan Karanganyar. Namun, dalam praktiknya persyaratan tersebut cenderung
tidak diindahkan atau hanya dianggap sebagai formalitas semata.
Petambak yang setuju dengan pembentukan kelompok memiliki beberapa alasan,
diantaranya : menjalin interaksi antar petambak, mendapatkan solusi penyelesaian masalah dalam
pengusahaan tambak, mendapatkan berbagai kemudahan dalam usaha tambak (seperti modal
dan informasi), dan sebagai wadah atau sarana bertukar pikiran antar petambak. Sikap tidak setuju
dari para petambak dikarenakan ketidakadilan dalam penentuan keanggotaan dalam kelompok.
Ketidakadilan yang dirasakan adalah karena keanggotaan dari kelompok petambak tersebut ada
yang berasal dari petambak murni dan bukan. Alasan lain dari petambak yang tidak setuju dengan
terbentuknya kelompok karena aturan-aturan kelompok dalam pelaksanaannya tidak dijalankan
dengan benar, sehingga visi dan misi kelompok juga tidak dapat tercapai dengan baik. Selain itu,
bantuan dana yang diberikan oleh pemerintah penggunaannya tidak tepat sasaran dan tidak
terdapat pertanggung jawaban yang jelas dari kelompok. Hal tersebut juga dikarenakan tidak
adanya pemantauan dan pemeriksaan yang teliti dari dinas terkait untuk memantau kinerja dari
kelompok petambak dan penggunaan dana bantuan yang diberikan.
Kegiatan Ekonomi Petambak
Kondisi saat ini (2011), menunjukkan bahwa lahan tambak di Kelurahan Karanganyar
semakin berkurang akibat hadirnya kawasan industri. Di samping itu, terjadinya abrasi dan air
pasang tinggi juga telah membuat lahan tambak menjadi berkurang. Produktivitas tambak saat ini
juga sudah mulai menurun. Anomali musim yang saat ini terjadi meningkatkan ketidakpastian
dalam berusaha, sehingga membuat pendapatan usaha tidak dapat diharapkan. Hal-hal tersebut
yang kemudian menyebabkan petambak mencari pekerjaan tambahan untuk dapat memenuhi
kebutuhan hidupnya, selain dari kegiatan bertambak.
Respon petambak terhadap keberadaan kawasan industri cukup beragam. Petambak yang
berpendapat bahwa adanya kawasan industri bersifat menguntungkan karena telah membuka
lapangan pekerjaan dan peluang usaha baru bagi mereka. Lapangan pekerjaan baru tersebut
adalah buruh pabrik, tukang ojek, dan kuli bongkar muat. Sedangkan peluang usaha baru yang
terbuka adalah usaha toko dan tempat kost (penyewaan kamar). Namun, tidak semua petambak
juga dapat melakukan usaha tersebut. Hal tersebut dikarenakan kemampuan ekonomi dari
masing-masing petambak yang juga berbeda-beda. Selain itu, dalam usaha kost-kostan juga
membutuhkan tempat dan hanya petambak yang memiliki tempat untuk dapat disewakan saja,
yang dapat membuka usaha kost-kostan.
Petambak yang berpendapat bahwa adanya industri bersifat tidak menguntungkan adalah
karena kepemilikan lahan tambak saat ini hanya untuk tambak-tambak yang letaknya dekat
dengan laut atau jauh dari jalan raya dan pemukiman warga. Hal tersebut disebabkan karena
lahan tambak yang letaknya tidak dekat dengan laut sudah berstatus tanah milik pabrik atau tanah
milik kawasan industri. Selain itu, hadirnya kawasan industri justru menyebabkan pabrik
menghasilkan limbah. Adanya limbah tersebut dapat menyebabkan kematian ikan dan udang. Hal
inilah yang kemudian menyebabkan pendapatan ekonomi dari petambak juga menurun.
Untuk meningkatkan taraf ekonomi keluarga, petambak melakukan diversifikasi pekerjaan.
Diversifikasi pekerjaan tersebut tidak hanya dilakukan oleh golongan buruh tambak, tetapi juga
oleh golongan pemilik dan penggarap tambak. Namun, diversifikasi pekerjaan yang dilakukan oleh
setiap golongan petambak tersebut berbeda-beda. Golongan pemilik dan penggarap tambak
sebagian besar mencari pekerjaan lain dengan menjadi wirausahawan, sedangkan golongan buruh
tambak menjadi buruh pabrik.
Penelitian menunjukkan masing-masing golongan petambak memiliki perbedaan dalam
pendapatan usahanya. Hal tersebut disebabkan karena pendapatan total yang diterima oleh
petambak per bulannya juga berbeda-beda. Pendapatan total yang diterima oleh petambak
tersebut ada yang berasal dari tambak dan luar tambak. Namun demikian, ada pula petambak
yang hanya memperoleh pendapatan dari tambak saja dan ada pula petambak yang tidak
memperoleh pendapatan sama sekali dari tambaknya.
Rerata pendapatan total pemilik tambak adalah Rp 4.557.000,00 per bulan. Pemilik
tambak yang berpendapatan total di atas rata-rata tersebut sebanyak 3 orang (37,5%) dan yang
Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-12) - 7
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan 16 Juli 2011
berpendapatan total di bawah rata-rata sebanyak 4 orang (50%). Pemilik tambak ada pula yang
tidak memiliki pendapatan total sama sekali per bulannya, baik itu dari usaha tambak maupun dari
luar usaha tambak, yaitu sebanyak 1 orang (12,5%). Hal tersebut disebabkan karena tambak yang
dimilikinya letaknya dekat sekali dengan laut, sehingga sering terkena abrasi dan tidak ada orang
yang mau menyewanya. Hal ini kemudian menyebabkan tambak tidak dapat digarap dan
pendapatan dari usaha tambak juga tidak ada (nol). Selain itu, melihat faktor usia dari pemilik
tambak tersebut yang sudah sangat tua dan tergolong tidak produktif lagi, menyebabkan pemilik
tambak tersebut juga tidak dapat mencari pekerjaan tambahan lainnya. Hal ini yang kemudian juga
menyebabkan pendapatan di luar usaha tambak juga tidak ada (nol). Untuk lebih jelasnya, berikut
ini adalah tabel yang menunjukkan pendapatan total dari pemilik tambak di Kelurahan
Karanganyar.
Tabel 2. Pendapatan total pemilik tambak Kelurahan Karanganyar tahun 2011
Responden
Pendapatan per bulan (Rp)
Pendapatan Total
(Rp)
Tambak Luar tambak
1 210.000 5.000.000 5.210.000
2 21.000 9.320.000 9.341.000
3 0 2.300.000 2.300.000
4 35.000 3.800.000 3.835.000
5 0 0 0
6 0 2.400.000 2.400.000
7 385.000 3.500.000 3.885.000
8 84.000 9.400.000 9.484.000
Rerata Pendapatan 4.557.000
Sumber : Data primer 2011
Rerata pendapatan total dari penggarap tambak adalah Rp 3.445.000,00 per bulan.
Penggarap tambak yang berpendapatan total di atas rata-rata tersebut sebanyak 5 orang (38,5%)
dan yang berpendapatan total di bawah rata-rata sebanyak 8 orang (61,5%). Pendapatan para
penggarap dari usaha tambak berasal dari pemeliharaan ikan bandeng. Hal tersebut disebabkan
karena ikan bandeng mampu bertahan hidup pada kondisi perairan tambak saat ini. Selain itu, ikan
bandeng juga dapat bertahan hidup meski pemeliharaannya dilakukan secara alami dan dapat
dipanen dalam jangka waktu tiga bulan. Penggarap tambak tidak seluruhnya juga memiliki
pekerjaan lain di luar usaha tambak. Hal tersebut terlihat dari adanya beberapa penggarap tambak
yang sumber pendapatannya hanya bergantung dari usaha tambak saja. Hal tersebut juga
disebabkan karena pilihan para penggarap tambak yang tidak berminat untuk mencari tambahan
pendapatan lainnya. Untuk lebih jelasnya, berikut ini adalah tabel yang menunjukkan pendapatan
total dari penggarap tambak di Kelurahan Karanganyar.
Tabel 3. Pendapatan total penggarap tambak Kelurahan Karanganyar tahun 2011
Responden
Pendapatan per bulan (Rp)
Pendapatan Total
(Rp)
Tambak Luar tambak
1 1.700.000 0 1.700.000
2 1.600.000 1.000.000 2.600.000
3 3.000.000 2.500.000 5.500.000
4 1.300.000 0 1.300.000
5 435.000 3.000.000 3.435.000
6 3.000.000 2.710.000 5.710.000
7 1.837.500 4.870.000 6.707.500
8 1.375.000 2.200.000 3.575.000
9 2.400.000 0 2.400.000
10 400.000 0 400.000
11 1.500.000 1.575.000 3.075.000
12 1.200.000 4.300.000 5.500.000
13 1.470.000 1.400.000 2.870.000
Rerata Pendapatan 3.445.000
8 - Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-12)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Sumber : Data primer 2011
Penelitian ini menemukan golongan pemilik sekaligus penggarap hanya satu orang.
Pendapatan total dari pemilik dan penggarap tersebut per bulannya adalah sebesar Rp
2.650.000,00. Berdasarkan rerata dari golongan pemilik dan penggarap tambak, pendapatan total
tersebut termasuk di bawah rata-rata. Hal tersebut disebabkan karena pemilik sekaligus penggarap
tambak tersebut tidak memiliki pekerjaan lain yang dapat menambah pendapatan.
Rerata pendapatan total dari buruh tambak adalah Rp 1.382.000,00 per bulan. Buruh
tambak yang berpendapatan total di atas rata-rata tersebut sebanyak 3 orang (33,3%) dan yang
berpendapatan total di bawah rata-rata sebanyak 6 orang (66,7%). Pendapatan para buruh dari
usaha tambak berasal dari upah harian kerja mereka. Buruh tambak di Kelurahan Karanganyar
ada yang hanya bekerja pada satu tambak saja dan ada pula yang bekerja untuk beberapa
tambak. Buruh tambak juga tidak seluruhnya memiliki pekerjaan lain di luar usaha tambak. Hal
tersebut terlihat dari adanya beberapa buruh tambak yang sumber pendapatannya hanya
bergantung dari usaha tambak saja. Hal tersebut juga disebabkan karena faktor pendidikan
mereka yang tergolong rendah, sehingga mereka juga tidak memiliki keahlian khusus untuk
mencari pekerjaan lain. Untuk lebih jelasnya, berikut ini adalah tabel yang menunjukkan
pendapatan total dari buruh tambak di Kelurahan Karanganyar.
Tabel 4. Pendapatan total buruh tambak Kelurahan Karanganyar tahun 2011
Responden
Pendapatan per bulan (Rp)
Pendapatan Total
(Rp)
Tambak Luar tambak
1 280.000 1.800.000 2.080.000
2 240.000 840.000 1.080.000
3 280.000 1.485.000 1.765.000
4 960.000 1.046.000 2.006.000
5 840.000 0 840.000
6 840.000 0 840.000
7 320.000 1.000.000 1.320.000
8 250.000 1.000.000 1.250.000
9 350.000 900.000 1.250.000
Rerata Pendapatan 1.382.000
Sumber : Data primer 2011
Petambak di Kelurahan Karanganyar dahulu berjumlah sangat banyak. Namun, karena
adanya pemekaran kelurahan dan pertumbuhan industri yang masuk ke daerah Karanganyar
menyebabkan jumlah petambak menjadi semakin sedikit. Di samping itu, produktivitas tambak
mulai menurun. Hal inilah yang kemudian menyebabkan petambak lebih memilih untuk bekerja di
bidang yang lain, atau sudah tidak bekerja lagi di tambak.
Mantan petambak didefinisikan sebagai orang yang sudah tidak bekerja lagi di tambak
atau sudah lepas dari kegiatan di tambak dan dulunya pernah bekerja sebagai petambak.
Pekerjaan mantan petambak sebagian besar adalah menjadi wirausaha. Jenis usaha yang
dilakukan, antara lain : usaha mobil angkutan kota, usaha toko, usaha kost-kostan, menyewakan
tambak yang berada di luar Kelurahan Karanganyar, dan usaha mebel. Pekerjaan lainnya yang
juga dilakukan oleh mantan petambak adalah satpam, petani ikan, tukang ojek, kuli bongkar muat,
dan guru. Mantan petambak yang tidak memiliki pekerjaan lain lagi hanya satu orang, dikarenakan
faktor usia yang tergolong tidak produktif lagi. Dengan demikian, untuk keperluan hidup sehari-hari
ditanggung oleh anak-anaknya.
Secara ringkas, gambaran mengenai ketiga aspek perubahan sosial tersebut dapat dilihat
dalam tabel perbandingan pada halaman berikutnya.
Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-12) - 9
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan 16 Juli 2011
Tabel 5. Ringkasan Perubahan Sosial Petambak di Kelurahan Karanganyar, Kecamatan Tugu,
Kota Semarang
Aspek Hannig (1986) Penulis (2011)
1
.
S
t
r
u
k
t
u
r
S
o
s
i
a
l
Terdiri atas 3 lapisan, yaitu :
a. Lapisan kaya : petambak yang
menguasai tambak atau menguasai
tambak dan sawah.
b. Lapisan menengah : petambak
yang hanya menguasai sawah.
c. Lapisan miskin : petambak yang
hanya menguasai lahan kering atau
tegalan.
Terdiri atas 3 lapisan, yaitu :
a. Lapisan kaya :
Pemilik tambak yang lahan tambaknya
sudah dijual ke pabrik, tetapi belum
diurug menjadi pabrik, tidak terkena
abrasi, dan masih dapat digarap sendiri
3,2 %
Pemilik tambak yang lahan tambaknya
belum dijual ke pabrik, karena letak
tambaknya yang jauh dari jalan raya,
sering terkena abrasi, dan masih terdapat
penyewa 16,1 %
b. Lapisan menengah : Penggarap yang
memiliki luas garapan besar ( > 2 ha)
35,5 %
c. Lapisan miskin :
Buruh tambak 29 %
Pemilik tambak yang lahan tambaknya
belum dijual ke pabrik, karena letak
tambaknya yang jauh dari jalan raya,
sering terkena abrasi, dan tidak terdapat
penyewa 9,7%
Penggarap yang memiliki luas garapan
kecil (< 2 ha) 6,5 %
2
.
O
r
g
a
n
i
s
a
s
i
P
e
t
a
m
b
a
k
Petambak yang ada tidak tergabung
dalam kelompok, atau belum muncul
kelompok-kelompok petambak.
Munculnya kelompok-kelompok petambak yang
dilatar belakangi Program Nasional
Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Kelautan
dan Perikanan (PNPM M-KP).
3
.
K
e
g
i
a
t
a
n
E
k
o
n
o
m
i
Petambak lapisan kaya-
menengah : menjadi spekulan tanah
(adanya kebutuhan lahan untuk
keperluan industri).
Petambak lapisan miskin :
mencari pendapatan tambahan
dengan mengumpulkan kayu bakar,
daun dan rumput untuk dijual.
Petambak lapisan kaya, menengah, dan miskin
melakukan diversifikasi pekerjaan, baik sektor
formal maupun informal.
Kesimpulan
1. Struktur sosial petambak Kelurahan Karanganyar terbagi menjadi tiga lapisan, yaitu
lapisan kaya (19,3 %), menengah (35,5 %), dan miskin (45,2 %).
2. Terdapat dua kelompok petambak di Kelurahan Karanganyar, yaitu Rejo Makmur dan
Abadi Makmur.
3. Diversifikasi pekerjaan yang dilakukan oleh golongan pemilik dan penggarap tambak
adalah menjadi wirausahawan, sedangkan golongan buruh tambak menjadi buruh pabrik.
10 - Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-12)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
4. Faktor-faktor penyebab terjadinya perubahan sosial petambak di Kelurahan Karanganyar,
yaitu pertumbuhan dan perkembangan industri, abrasi dan air pasang tinggi, produktivitas dari
tambak yang menurun dan faktor ketidakpastian musim, kebutuhan ekonomi petambak yang
meningkat, timbulnya harapan-harapan baru dari hadirnya industri, serta pemasukan dan
pengeluaran dari bekerja di tambak yang tidak sebanding.
Implikasi Kebijakan
1. Perlu adanya pembinaan dari pemerintah untuk kelompok-kelompok petambak, agar dapat
berkembang dan berjalan sebagaimana mestinya.
2. Perlu adanya revitalisasi tambak Kelurahan Karanganyar, agar dapat melestarikan salah
satu mata pencaharian turun temurun penduduk.
3. Tata ruang yang lebih baik sangat diperlukan, agar sektor tambak tidak mati.
Daftar Pustaka
Hannig, W. 1986. Towards a Blue Revolution : A Study on Socio-Economic Aspects of
Brackishwater Pond Cultivation in Java. University of Bielefeld, Germany.
Koentjaraningrat. 1973. Metodologi Penelitian Masyarakat. LIPI, Jakarta.
Singarimbun, M. dan S. Effendie. 2006. Metode Penelitian Survai. LP3ES, Jakarta.
Soekanto, S. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Rajawali Press, Jakarta.
Wiradi, G. 1984. Pola Penguasaan Tanah. Dalam Tjondronegoro, S.M.P dan G. Wiradi (Peny.)
Dua Abad Penguasaan Tanah : Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke
Masa. PT Gramedia, Jakarta.
Tanya Jawab
Suradi
Pertanyaan : 1. Tanggapan untuk penelitian Tika, tambak tidak lagi digunakan karena sudah
tercemar industry
2. Apa keterkaitan daerah muara yang memiliki diversitas yang tinggi?
Jawaban : 1. Kelompok petambak hanya dibentuk sebagai formalitas agar masyarakat
mendapat bantuan atau suntikan dana.
3. Pencemaran pada muara sungai telah terjadi karena keberadaan industry.
Eko S.
Pertanyaan : Apa peran pendamping dakam kelompok usaha tambak?
Jawaban : Mendampingi pengusaha.
Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-13) - 1
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan 16 Juli 2011
PARTISIPASI PEREMPUAN DALAM KONSERVASI MANGROVE
DI DESA PASAR BANGGI KABUPATEN REMBANG
Cahyani Pratisti, Hery Saksono, Suadi
Jurusan Perikanan, Fakultas Pertanian, Unoversitas Gadjah Mada
Abstrak
Penelitian tentang perempuan dalam konservasi mangrove masih terbatas. Penelitian yang
dilakukan di Desa Pasar Banggi, Kabupaten Rembang bertujuan untuk mengetahui bentuk, tingkat,
dan faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi perempuan dalam konservasi mangrove.
Responden berjumlah 95 orang, terdiri dari 50 orang perempuan, 14 orang laki-laki, 10 orang anak,
dan 25 orang lembaga terkait diwawancarai dengan kuesioner semi terbuka. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa terdapat sembilan bentuk partisipasi, yaitu mencari informasi, menanam biji,
mengisi polibag, perencanaan pembibitan, pengambilan keputusan dalam pelaksanaan
pembibitan, memelihara bibit mangrove, memelihara tanaman mangrove, alih pengetahuan ke
anak, dan mengingatkan jika ada yang menebang. Tingkat partisipasi perempuan mulai dari terapi
hingga kemitraan. Faktor yang mempengaruhi perempuan dalam konservasi antara lain persepsi
perempuan terhadap dirinya sendiri, status sosial, dan persepsi masyarakat terhadap partisipasi
perempuan. Perempuan berperan penting dalam siklus konservasi mangrove terutama pada tahap
pembibitan. Namun begitu, perempuan belum dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan dan
menikmati hasil penjualan bibit mangrove. Penguatan posisi tawar (bargaining position)
perempuan dan pelibatan perempuan dalam kepengurusan kelompok mutlak diperlukan agar
terjadi kesetaraan akses dan kontrol antara laki-laki dan perempuan dalam siklus konservasi
mangrove.
Kata kunci : partisipasi perempuan, konservasi mangrove, Pasar Banggi, Rembang
Pengantar
Salah satu prinsip dalam dalam pengelolaan sumberdaya alam adalah kesetaraan. Kesetaraan
tersebut bukan saja dalam bentuk kesetaraan antar kepentingan yang berbeda tetapi juga
kesetaraan gender. Hal tersebut sesuai dengan perspektif gender bahwa perempuan juga memiliki
hak dan kewajiban yang sama seperti laki-laki dalam memanfaatkan sumberdaya alam (Rahayu,
2005).
Banyak kasus, terutama di pedesaan, menunjukkan bahwa perempuan berpartisipasi aktif
dalam pengelolaan sumberdaya alam. Namun begitu, partisipasi perempuan kurang mendapat
perhatian dan penjelasan yang memadai. Hal tersebut tak jarang mengakibatkan bias gender yang
berujung pada ketimpangan, dalam hal ini perempuan menjadi pihak yang dirugikan. Namun
demikian, meskipun dalam keterbatasan, perempuan ternyata tetap memberikan peranan penting
dalam pengelolaan sumberdaya alam. Melihat potensi tersebut, muncul sebuah pemikiran bahwa
perempuan, apabila diberi kesempatan, akan memberikan sumbangan yang lebih positif dalam
berbagai program pembangunan, terutama konservasi mangrove.
Berdasarkan fenomena diatas, muncul beberapa pertanyaan : Apa saja peran perempuan
dalam konservasi mangrove ? Apakah perempuan yang memiliki status sosial ekonomi yang
berbeda memiliki peran yang berbeda ? Jika ya, faktor apa yang paling mempengaruhi perbedaan
tersebut ? Sejauh mana partisipasi perempuan dalam kegiatan konservasi mangrove ? Apakah
partisipasi perempuan tersebut sudah cukup efektif ? Jika belum, strategi apa yang dijalankan
untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam konservasi mangrove ? Penelitian ini
dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Metodologi penelitian
Jenis penelitian adalah studi kasus, dilakukan pada bulan januari Februari 2011 selama
kurang lebih satu bulan. Penelitian dilakukan di Desa Pasar Banggi, Kabupaten Rembang. Lokasi
ini dipilih karena : kondisi mangrovenya paling baik di Jawa Tengah, terdapat kelompok konservasi
SE-13
2 - Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-13)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
mangrove yang menjadi percontohan di tingkat lokal dan nasional, serta stakeholder yang terlibat
banyak dan beragam. Lokasi konservasi mangrove terdapat di Dusun Kaliuntu yang terdiri dari 3
RT, akan tetapi penanganan teknis hanya dilakukan di RT 1 dan RT 2. Hal tersebut yang melatar
belakangi pengambilan responden hanya dilakukan di wilayah 2 RT tersebut.
Unit analisis adalah keluarga petambak-nelayan. Unit analisis tersebut dipilih karena tanggung
jawab pengelolaan kegiatan rehabilitasi mangrove di Desa Pasar Banggi diserahkan kepada
kelompok petambak dan nelayan.
Metode sensus digunakan untuk menentukan responden perempuan yang merupakan istri
petambak- nelayan. Metode survei dilakukan untuk mengetahui persepsi masyarakat mengenai
partisipasi perempuan. Dalam konteks ini, yang dimaksud masyarakat adalah laki-laki, anak,
lembaga terkait, serta lembaga adat yang ada di Desa Pasar Banggi. Responden dipilih dengan
metode purposive sampling, yaitu pemilihan sampel berdasarkan kriteria tertentu. Wawacara
mendalam dilakukan kepada responden tertentu dan informan kunci untuk mendapatkan informasi
penting mengenai subjek yang dikaji (Salim, 2006).
Total responden dalam penelitian ini berjumlah 95 orang, terdiri dari 50 orang perempuan, 14
orang laki-laki, 10 orang anak, 5 orang pamong desa, 4 orang pengurus kelompok, 4 orang
pengurus PKK, 1 orang Dinas Lingkungan Hidup dan Pertambangan, 1 orang Dinas Perikanan dan
Kelautan, 1 orang Dinas Kehutanan dan Pertanian, 1 orang Badan Pemberdayaan Keluarga
Berencana, 2 orang Lembaga Swadaya Masyarakat, 1 orang Lembaga penelitian, dan 1 orang
Perusahaan penyalur bibit.
Data yang diambil berupa data primer dan sekunder. Data primer meliputi profil responden,
bentuk partisipasinya dalam konservasi mangrove, serta persepsinya terhadap partisipasi
perempuan dalam konservasi mangrove. Data sekunder meliputi monografi dan daftar potensi
desa, kebijakan lembaga mengenai konservasi mangrove, serta daftar dan dokumentasi kegiatan
mengenai konservasi mangrove yang diperoleh dari lembaga dan instansi terkait.
Bentuk partisipasi perempuan yang dikaji dalam penelitian ini mengacu pada Silaban (2005),
yaitu : berperan serta dalam menikmati hasil, berperan serta dalam melaksanakan program,
berperan serta dalam memelihara hasil, serta berperan serta dalam menilai program.
Tingkat partisipasi digolongkan berdasarkan delapan tangga partisipasi (Arnstein, 1969).
Tabel 1. Delapan tangga partisipasi masyarakat
Tingkatan
partisipasi
Hakikat kesertaan Indikator Tingkat
kekuasaa
n
Manipulasi Masyarakat
mendengarkan program,
tanpa mengerti isu
Masyarakat mendengar, tujuan
program adalah penyadaran
N
o
n
p
a
r
t
i
s
i
p
a
s
i
Terapi Masyarakat menjalankan
program, tetapi tidak
memahami isu
Masyarakat menjalankan program,
tujuan adalah penyiapan
Pemberitahuan Sekedar pemberitahuan
searah/sosialisasi
Masyarakat hadir, melihat,
memperhatikan gagasan & secara
sukarela melaksanakan program, misal
: menghadiri seminar
T
o
k
e
i
s
m
e
,
s
e
k
e
d
a
r
j
u
s
t
i
f
i
k
a
s
i
a
g
a
r
m
a
s
y
a
r
a
k
a
t
m
e
n
g
i
y
a
k
a
n
Konsultasi Masyarakat didengarkan
dan memberi feedback,
tetapi sarannya tidak
selalu dipakai
Masyarakat hadir, memberikan buah
fikiran, dan dibutuhkan
kemampuannya untuk mengambil
keputusan, misal : desain tahapan
proyek sudah dibentuk, masyarakat
secara tidak sadar mengikuti alur
tahapan proyek
Penentraman Saran dari masyarakat
diterima, tetapi tidak
mendapatkan jaminan
bahwa sarannya akan
dilaksanakan
Hampir semua fikiran dan saran dari
masyarakat yang tidak sesuai dengan
desain yang sudah dibuat diabaikan
Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-13) - 3
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan 16 Juli 2011
Kemitraan Timbal-balik
dinegosiasikan
Masyarakat diajak bekerjasama dan
melibatkan kekuatan tradisional
(hukum adat) dalam mendesain dan
melaksanakan program
Pendelegasian
kekuasaan
Masyarakat diberi
kekuasaan (sebagian
atau seluruh program)
Masyarakat sebagai agen of change,
memiliki kekuatan yang setara dengan
pemerintah/pemberi program, laki-laki
dan perempuan sudah terlibat dalam
kelompok-kelompok sosial dan sudah
bisa melakukan analisis permasalahan
sendiri
T
i
n
g
k
a
t
k
e
k
u
a
s
a
a
n
a
d
a
d
i
m
a
s
y
a
r
a
k
a
t
Kontrol
masyarakat
Sepenuhnya dikuasai
oleh masyarakat
Masyarakat sudah bisa mengelola
organisasi sosial dan melakukan
kontrol sosial, bisa membangun
program secara swadaya, mampu
menyelesaikan masalah, mampu
memimpin proyek, serta dapat
meminimalisir penghambat distribusi
keuntungan
Sumber : Arnstein (1969).
Persepsi masyarakat mengenai partisipasi perempuan dalam konservasi mangrove diperoleh
dengan cara menanyakan persepsi responden terhadap masing-masing bentuk partisipasi.
Persepsi tersebut di hitung menggunakan skoring, yaitu 1 (sangat tidak setuju) hingga 6 (sangat
setuju sekali). Persepsi masyarakat selanjutnya dijumlahkan menurut kelompok responden, yaitu
perempuan, laki-laki, anak, dan lembaga terkait untuk diambil reratanya.
Data yang telah ditabulasi selanjutnya disusun ke dalam bentuk tabel frekuensi dan tabulasi
silang untuk dianalisis sesuai dengan kebutuhan. Penjabaran secara deskriptif dimaksudkan untuk
memberikan keterangan yang lebih utuh mengenai fenomena yang terjadi.
Hasil dan pembahasan
Keadaan lokasi penelitian
Desa Pasar Banggi merupakan desa pantai yang terletak di bagian timur Kecamatan
Rembang. Luas desa 413 ha dengan panjang pantai 5 km. Penggunaan lahan terbesar digunakan
untuk sawah dengan sistem tadah hujan dan tambak yang dikelola secara tradisional. Tanah di
Desa Pasar Banggi berjenis gromosol berpasir yang cukup baik untuk lahan pertanian. Tanaman
yang dibudidayakan adalah padi, jagung, kedelai, timun, kacang panjang, tomat, dan cabe.
Komoditas yang dibudidayakan di tambak adalah udang vannamei (Litopenaeus vannamei) dan
bandeng.
Desa Pasar Banggi terdiri dari dua dusun, yaitu Dusun Pasar Banggi dan Dusun Kaliuntu.
Kawasan konservasi mangrove ada di Dusun Kaliuntu dengan luas 72 ha. Upaya konservasi dan
rehabilitasi mangrove sudah dimulai sejak tahun 1964 hingga sekarang. Penanaman mangrove
awalnya dilakukan secara individu hingga terbentuk kelompok tani-tambak Sidodadi Maju pada
tahun 1972. Penanaman mangrove dilakukan secara swadaya oleh masyarakat dan baru
mendapat bantuan dari pemerintah pada tahun 1991. Kelompok tani-tambak Sidodadi Maju sudah
memiliki sertifikat Bibit Mangrove Bermutu Unggul dari Departemen Kehutanan Direktorat Jendral
Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (tahun 2005). Kelompok tani-tambak tersebut juga
sudah beberapa kali memenangkan berbagai perlombaan mengenai lingkungan hidup dan
memiliki jaringan kerja yang cukup luas.
Sebagian besar responden berpendidikan SD (laki-laki 50%, perempuan 52%) dan termasuk
dalam kelompok usia produktif. Rumah tangga responden berjumlah 67 KK. Rerata responden
memiliki tanggungan yang berjumlah 1-2 orang dengan jumlah anak 1-4 orang. Pekerjaan utama
suami mayoritas adalah sebagai petani, petambak, dan nelayan. Sebagian besar perempuan
memiliki kerja diluar sektor domestik untuk membantu perekonomian rumah tangga (76%). Rumah
4 - Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-13)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
tangga yang suaminya bekerja sebagai buruh (57,1%), pendapatan keluarganya dibantu oleh istri
(50%). Kerja produktif terbanyak yang dilakukan oleh perempuan adalah berdagang (21%).
Responden Laki-laki yang memiliki kerja berhubungan dengan mangrove sebanyak 68%,
diantaranya sebagai petambak (baik pemilik, penggarap, dan buruh), serta pencari dan pengupas
rajungan/kepiting. Hanya 28% perempuan yang memiliki kerja produktif yang berhubungan dengan
mangrove. Pekerjaan produktif perempuan yang berhubungan dengan mangrove adalah mencari
tiram dan mengupas rajungan.
Laki-laki dan perempuan Dusun Kaliuntu yang tidak memiliki tambak hanya mengisi polibag dan
menanam bibit mangrove untuk mengisi waktu luang dan apabila ada pesanan bibit. Responden
lebih memilih menjadi buruh di sawah daripada buruh tambak.
Siklus konservasi mangrove
Konservasi mangrove di Desa Pasar Banggi dilakukan melalui dua kegiatan, yaitu pembibitan
dan pemeliharaan. Kegiatan pembibitan memiliki dua produk, yaitu bibit mangrove yang dijual
dalam polibag dan bibit mangrove yang akan ditanam di hamparan untuk menggantikan tanaman
mangrove yang mati ataupun untuk memperluas wilayah konservasi. Kegiatan pemeliharaan
dilakukan pada saat pembibitan, penanaman, hingga berbentuk mangrove dewasa. Berikut bagan
alir siklus konservasi mangrove yang dilakukan di Desa Pasar Banggi :
Gambar 1. Siklus konservasi mangrove dan Partisipasi Berdasarkan Gender di Desa Pasar
Banggi
Sumber : Analisis data primer (2011).
Bagan tersebut menjelaskan bahwa kontrol perempuan dalam siklus konservasi mangrove
sangat rendah. Hal tersebut terlihat dari rendahnya partisipasi perempuan hampir di semua
tahapan. Perempuan hanya mempunyai persentase yang lebih tinggi daripada laki-laki pada tahap
pembibitan (56%). Perempuan juga cukup terlibat dalam pemeliharaan bibit serta mangrove
dewasa. Namun demikian, perempuan yang menikmati hasil penjualan bibit mangrove sangat
sedikit (6%) dibandingkan dengan laki-laki (64,3%). Rendahnya kontrol perempuan tersebut
didukung oleh kebijakan satu pintu, yaitu penjualan bibit mangrove melalui rapat kelompok yang
dihadiri oleh laki-laki.
Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-13) - 5
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan 16 Juli 2011
Pembagian peran berdasarkan gender
Peran adalah perangkat tingkah yang diharapkan dimiliki oleh seseorang dalam
lingkungan masyarakatnya (KBBI Online). Menurut Mosse (1996), peran gender adalah perangkat
khusus yang mencakup penampilan, pakaian, sikap, kepribadian, seksulitas, dan tanggung jawab
kerja. Peran tersebut bersifat sangat relatif. Setiap orang memiliki tanggung jawab kerja yang
berbeda-beda. Perbedaan tersebut terjadi di setiap tempat dan di setiap waktu. Hal ini dipengaruhi
oleh status sosial dan konteks sosial budaya dimana orang tersebut berada. Berikut pembagian
tanggung jawab kerja berdasarkan gender dalam konservasi mangrove yang berlaku.
Tabel 2. Pembagian peran berdasarkan gender dalam konservasi mangrove
Peran Laki-laki Perempuan
Mencari informasi **** ****
Mengikuti penyuluhan ** -
Mengikuti pertemuan **** )*
Mengikuti kerjabakti ****** )*
Merencanakan kegiatan pembibitan *** *
Mencari biji **** -
Mengisi polibag ** ****
Menanam bibit mangrove **** ****
Menjaga bibit mangrove dari hama **** -
Memelihara bibit mangrove *** **
Memelihara tanaman mangrove *** ***
Menjual biji/ bibit mangrove *** *
Membayar iuran kelompok **** -
Pengambilan keputusan dalam pelaksanaan
kegiatan penanaman & pembibitan
*** *
Alih pengetahuan ke anak mengenai konservasi
mangrove
- ***
Mengingatkan jika ada yang menebang **** ****
Memperluas jaringan ** -
Keterangan:
)* : perempuan hanya bersifat mewakili bila suami berhalangan hadir
* : jumlah bintang menunjukkan tingkat keaktifan dalam melakukan peran
Sumber : Analisis data primer (2011).
Tabel diatas menunjukkan bahwa peran perempuan dalam konservasi mangrove masih
dibatasi pada kerja teknis, yaitu sebagai tenaga pembibitan dan pemelihara tanaman mangrove.
Perempuan belum dilibatkan dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan. Akses
perempuan dalam mendapatkan informasi mengenai mangrove juga masih terbatas dibandingkan
dengan laki-laki. Hal tersebut disebabkan karena informasi dan penyuluhan mengenai konservasi
mangrove seringkali melewati kelompok, dalam hal ini laki-laki memiliki kesempatan yang lebih
besar untuk mengikuti penyuluhan. Rendahnya akses perempuan untuk memperoleh informasi
tersebut masih dibebani oleh peran perempuan untuk melakukan alih pengetahuan mengenai
konservasi mangrove ke anak. hal tersebut tidak lepas dari anggapan masyarakat bahwa urusan
rumah, termasuk mendidik anak, termasuk tanggung jawab perempuan.
Bentuk Partisipasi Perempuan
Bentuk partisipasi perempuan dalam konservasi mangrove diperoleh dari observasi terlibat
yang dilakukan oleh peneliti. Bentuk partisipasi secara sederhana dapat digolongkan menjadi lima,
yaitu proses perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan, pemeliharaan, hingga evaluasi. Berikut
penjabaran secara lebih rinci mengenai bentuk-bentuk partisipasi perempuan dalam konservasi
mangrove.
6 - Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-13)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Gambar 2. Diagram perbandingan bentuk partisipasi perempuan dalam konservasi mangrove di
Desa Pasar Banggi
Sumber : Analisis data primer (2011).
Diagram diatas menunjukkan bahwa perempuan tidak berpartisipasi dalam kegiatan kelompok
seperti pertemuan dan penyuluhan. Hanya 2% perempuan yang mengikuti kegiatan koperasi dan
membayar iuran kelompok. Hal tersebut disebabkan responden merupakan kepala keluarga.
Namun demikian, walaupun responden perempuan tersebut memiliki akses yang samma dengan
laki-laki, responden perempuan tersebut memilih tidak hadir dalam pertemuan dan tidak
berpartisipasi dalam pengambilan keputusan mengenai kegiatan pembibitan. Hal tersebut
disebabkan karena responden merasa malu dan tidak mengerti mengenai konservasi mangrove.
Tingkat Partisipasi Perempuan
Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan 52 orang responden perempuan, yang terdiri
dari 41 orang istri petambak-nelayan yang bergabung dalam kelompok, 5 orang istri petambak-
nelayan yang tidak bergabung dalam kelompok, 2 orang pengurus PKK, 2 orang istri pamong
desa, serta 2 orang istri ketua RT. Tingkat partisipasi responden perempuan berbeda-beda, yaitu
terapi (34%), pemberitahuan (42%), konsultasi (12%), dan kemitraan (2%), sedangkan 10%
lainnya tidak berpartisipasi.
Data diatas menyimpulkan bahwa 44% responden perempuan pada hakikatnya belum
berpartisipasi, sedangkan 56% sisanya berada pada tingkat tokeisme. Hal tersebut menunjukkan
bahwa tingkat partisipasi perempuan dalam konservasi mangrove di Dusun Kaliuntu sangat
rendah. Berikut ringkasan tingkat partisipasi responden dalam kegiatan konservasi mangrove di
Desa Pasar Banggi (Gambar 3).
0 20 40 60 80 100
Mencari informasi
Merencanakan kegiatan pembibitan
Mencari biji
Menanam biji
Mengisi polibag
Pengambilan keputusan dalam
Memelihara bibit mangrove
Mengikuti penyuluhan
Mengikuti pertemuan
Mengikuti koperasi
Membayar iuran
Menjual bibit mangrove
Memelihara tanaman mangrove
Alih pengetahuan ke anak mengenai
Mengingatkan jika ada yang menebang
Memperluas jaringan
Tidak berpartisipasi
Anak
Laki-laki
Perempuan
Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-13) - 7
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan 16 Juli 2011
Gambar 3. Tingkat partisipasi responden dalam konservasi mangrove di Desa Pasar Banggi
Sumber: Analisis data primer (2011).
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Perempuan
Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat partisipasi perempuan dalam konservasi mangrove di
Dusun Kaliuntu dapat dibagi menjadi faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi :
persepsi perempuan terhadap dirinya sendiri, pengetahuan perempuan mengenai mangrove,
tingkat pemanfaatan mangrove, dan status sosial keluarga. Faktor eksternal meliputi lama suami
bergabung dalam kelompok, dan persepsi masyarakat mengenai partisipasi perempuan dalam
konservasi mangrove. Berikut penjabaran faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat partisipasi
perempuan dalam konservasi mangrove
Persepsi perempuan terhadap konservasi mangrove
Persepsi diartikan sebagai pandangan atau pengertian seseorang mengenai sesuatu dimana
setiap orang melihat segala sesuatu secara berbeda satu sama lain. Persepsi terbentuk melalui
proses dan dipengaruhi oleh banyak hal. Persepsi seseorang mendasari perilakunya, sehingga
untuk mengubah perilaku seseorang ke arah suatu tujuan, dapat dipermudah dengan cara
memahami persepsi individu saat ini terhadap sesuatu (Leavitt, 1978).
Berdasarkan hasil skoring dari kisaran 1-6, diketahui bahwa sebagian besar perempuan setuju
apabila perempuan ikut serta dalam mencari informasi mengenai konservasi mangrove (skor 24),
sangat setuju dalam pelaksanaan pembibitan (skor 29,7), setuju dalam menikmati hasil penjualan
bibit mangrove (skor 28), setuju dalam memelihara tanaman mangrove (skor 18,5), setuju terlibat
dalam proses alih pengetahuan mengenai konservasi mangrove ke anak (skor 18), serta sangat
setuju apabila perempuan terlibat dalam pengawasan terhadap tanaman mangrove (skor 24).
Mayoritas responden perempuan menyatakan tidak setuju apabila perempuan dilibatkan dalam
perencanaan dan pengambilan keputusan, serta ikut dalam kegiatan kelompok.
Hal tersebut menunjukkan bahwa, secara pribadi, perempuan cenderung tidak setuju
berpartisipasi dalam kegiatan kelompok serta proses perencanaan dan pengambilan keputusan
mengenai pembibitan mangrove. Ketidak setujuan perempuan tersebut disebabkan oleh
rendahnya pengetahuan perempuan mengenai konservasi mangrove yang didukung oleh budaya
patriarkhi yang sangat kuat berlaku di Dusun Kaliuntu. Budaya tersebut membentuk persepsi
perempuan bahwa mangrove merupakan urusan laki-laki. Persepsi tersebut selanjutnya
8 - Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-13)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
diperkuat oleh sistem kepengurusan kelompok petani-tambak Sidodadi Maju yang tidak melibatkan
perempuan dalam kepengurusan.
Pengetahuan Perempuan Mengenai Manfaat Mangrove
Pemanfaatan mangrove dapat dibagi menjadi dua, yaitu pemanfaatan secara langsung
(tangible) dan tidak langsung (intangible). Pemanfaatan secara langsung yaitu sebagai daerah
tangkapan ikan, kepiting, rajungan, dan tiram serta daun dan kayu mangrove yang digunakan
sebagai pakan ternak dan kayu bakar, sedangkan manfaat secara tidak langsung yaitu sebagai
pencegah abrasi dan memperkokoh tanggul tambak, sebagai tanaman perindang, keindahan alam,
serta kawasan konservasi. Sebagian besar responden perempuan mengungkapkan manfaat
mangrove sebagai pencegah abrasi (52%), memperkokoh tanggul tambak (42%), dan sebagai
habitat rajungan dan tiram (36%). Ketiga manfaat mangrove tersebut juga banyak diungkap oleh
responden laki-laki dan anak. Hal tersebut menunjukkan bahwa pengetahuan mengenai manfaat
mangrove bagi responden cukup seragam. Berikut diagram mengenai manfaat mangrove bagi
responden.
Pengetahuan responden mengenai manfaat mangrove
Keterangan :nilai persentase dihitung berdasarkan masing-masing kelompok responden
(perempuan sebanyak 50 orang, laki-laki sebanyak 14 orang, dan anak sebanyak
10 orang)
Sumber : Data primer (2011).
Ekspresi tentang manfaat keindahan (estetika) juga ditunjukkan oleh kelompok responden
perempuan, seperti sebagai tanaman perindang (28%), wahana pembelajaran (14%), serta tempat
bermain (4%). Hal tersebut menunjukkan bahwa perempuan tidak hanya mengeksploitasi hasil
hutan, tetapi memandang pentingnya fungsi mangrove sebagai komoditas estetika. Sudut pandang
yang berbeda tersebut tentu mempengaruhi cara pemanfaatan mangrove yang dilakukan.
Cara pemanfaatan yang berbeda tersebut nampak ketika banyak responden laki-laki yang
menggembalakan hewan peliharaannya ke areal mangrove agar tidak usah member pakan,
sedangkan responden perempuan lebih memilih mencari semak belukar untuk pakan ternaknya
dengan alasan supaya hewan ternaknya tidak memakan biji dan daun mangrove yang masih
muda. Cara pemanfaatan yang berbeda tersebut juga Nampak ketika perempuan hanya
mengambil ranting yang sudah kering untuk kayu bakar, sedangkan laki-laki biasanya menebang
mangrove yang sudah tua untuk dijadikan patok maupun sebagai kayu bakar.
Penelitian juga menemukan bahwa perempuan yang mencari tiram ternyata memiliki kearifan
tertentu untuk menjaga kelestarian hutan mangrove. Kearifan tersebut didapat secara turun
temurun dari orang tuanya. Hal tersebut sesuai dengan hasil analisis yang penulis lakukan bahwa
cara responden perempuan melakukan konservasi mangrove sesuai dengan yang orang tua
mereka ajarkan (28%).
0 20 40 60 80 100
Habitat ikan/udang
Habitat kepiting
Habitat burung
Habitat rajungan
Habitat tiram
Pakan ternak
Kayu bakar
Mencegah abrasi
Memperkokoh tanggul tambak
Tanaman peridang
Wahana pembelajaran
Wahana bersosialisasi
Tempat bermain
Kawasan konservasi
Anak
Laki-laki
Perempuan
Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-13) - 9
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan 16 Juli 2011
Tingkat Kedekatan dengan Mangrove
Tingkat kedekatan responden dengan mangrove dapat diukur dengan frekuensi responden
pergi ke hutan mangrove. Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang sering pergi ke
hutan mangrove adalah laki-laki (64,3%), sedangkan perempuan hanya 12%. Mayoritas responden
perempuan menjawab hanya kadang-kadang pergi ke hutan mangrove (36%). Perempuan yang
sering pergi ke hutan mangrove merupakan perempuan yang memiliki kerja produktif berhubungan
dengan mangrove. Perempuan yang tidak memiliki kerja produktif yang berhubungan dengan
mangrove hanya pergi ke hutan mangrove ketika ada pesanan bibit. Berikut informasi mengenai
frekuensi responden berhubungan dengan hutan mangrove.
Frekuensi responden berhubungan dengan hutan mangrove
Keterangan : nilai persentase dihitung berdasarkan masing-masing kelompok responden
(perempuan sebanyak 50 orang, laki-laki sebanyak 14 orang, dan anak sebanyak
10 orang)
Sumber : Data primer (2011).
Status Sosial Keluarga
Kesenjangan status sosial juga mempengaruhi partisipasi perempuan dalam konservasi
mangrove. Perempuan yang berpartisipasi dalam konservasi mangrove adalah responden
perempuan yang penghasilannya suaminya di bawah nilai Upah Minimum Kabupaten (UMK).
Berdasarkan hasil wawancara, dari 37 orang perempuan yang memiliki penghasilan diatas nilai
UMK (74%), perempuan yang memilih terlibat dalam kegiatan pembibitan hanya 15 orang (30%),
sedangkan 44% lainnya memilih tidak terlibat dalam kegiatan pembibitan. Hal tersebut berbeda
dengan responden perempuan yang memiliki penghasilan keluarga dibawah nilai UMK (26%),
mereka tidak mempunyai pilihan untuk tidak mengikuti kegiatan pembibitan.
Perempuan Dusun Kaliuntu yang memiliki tambak dapat digolongkan kaya. Status sosial yang
lebih tinggi (kaya) membuat perempuan memiliki pilihan untuk berpartisipasi dalam kegiatan
konservasi mangrove atau tidak. Responden perempuan yang suaminya memiliki tambak, dalam
tataran keluarga cenderung memiliki pilihan untuk ikut berperan dalam perencanaan dan
pengambilan keputusan mengenai penanaman mangrove di depan hamparan tambaknya.
Berdasarkan hasil wawancara dengan 14 orang responden perempuan yang suaminya memiliki
tambak (28%), hanya 5 orang responden (10%) perempuan yang memilih terlibat dalam kegiatan
konservasi mangrove, sedangkan 18% lainnya memilih tidak terlibat dalam kegitan konservasi
mangrove. Hal tersebut menunjukkan bahwa tingkat partisipasi perempuan dalam pengambilan
keputusan mengenai penanaman mangrove di hamparan tambaknya rendah.
Responden perempuan pemilik tambak yang memiliki kesadaran konservasi, memilih
mempekerjakan orang lain untuk menanam mangrove di hamparan tambaknya (4%). Alasan
responden mempekerjakan orang lain adalah adanya anggapan bahwa bekerja di mangrove
merupakan pekerjaan yang kotor dan tidak adanya waktu untuk menanam mangrove.
0 20 40 60 80 100
Selalu
Sering
Kadang-kadang
Jarang
Tidak pernah
Anak
Laki-laki
Perempuan
10 - Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-13)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Lama Suami Bergabung dalam Kelompok
Berdasarkan lama suami bergabung dalam kelompok, mayoritas responden (32%) menyatakan
baru bergabung dalam kelompok (< 10 tahun). Informasi mengenai lama suami tergabung dalam
kelompok disajikan pada tabel dibawah ini.
Tabel 3. Lama suami bergabung dalam kelompok
Waktu Jumlah
(org)
Persentase (%)
< 10 th 16 32
11-20 th 10 20
21-30 th 9 18
31-40 th 7 14
> 41 th 5 10
Tidak ikut kelompok 3 6
Jumlah 50 100
Sumber : Data primer (2011).
Tabel diatas menunjukkan bahwa anggota kelompok kini didominasi oleh KK muda (usia 30
tahun). Usia yang relatif muda tersebut membuat anggota baru tersebut kurang dianggap dalam
pelaksanaan kegiatan dan penentuan kebijakan kelompok. Anggota yang berusia muda tersebut
juga lebih jarang dilibatkan dalam pelatihan maupun penyuluhan yang diadakan oleh lembaga
terkait. Hal tersebut tentu berpengaruh pada rendahnya alih informasi kepada istrinya. Hal tersebut
berbeda dengan responden perempuan yang suaminya sudah tergabung lama dengan kelompok
(> 30 tahun). Informasi mengenai frekuensi responden laki-laki mengikuti penyuluhan dijelaskan
pada tabel berikut.
Tabel 4. Frekuensi responden laki-laki mengikuti pelatihan/ penyuluhan mengenai konservasi
mangrove
Responden Usia Frekuensi mengikuti penyuluhan/pelatihan
1 52 Jarang
2 40 Belum pernah
3 54 Kadang-kadang
4 53 Sering
5 67 Selalu
6 37 Belum pernah
7 58 Sering
8 30 Sering
9 65 Jarang
10 38 Belum pernah
11 41 Belum pernah
12 60 Jarang
13 48 Kadang-kadang
14 49 Kadang-kadang
Sumber : Analisis data primer (2011).
Persepsi Masyarakat Mengenai Partisipasi Perempuan dalam Konservasi Mangrove
Mayoritas laki-laki tidak setuju apabila perempuan berpartisipasi dalam perencanaan dan
pengambilan keputusan dalam kegiatan pembibitan (skor 11), menikmati hasil penjualan bibit
mangrove (skor 11), memelihara tanaman mangrove (skor 10,5), serta alih pengetahuan ke anak
mengenai kegiatan konservasi mangrove (skor 9). Hal tersebut menunjukkan bahwa menurut
pandangan laki-laki, kegiatan konservasi mangrove merupakan kegiatan laki-laki, sedangkan tugas
utama seorang istri/perempuan adalah mengurus rumah tangga. Anggapan laki-laki tersebut juga
didukung oleh persepsi tokoh perempuan bahwa kerja seorang perempuan/istri berhubungan
dengan dapur, kasur, dan sumur.
Sebagian besar anak setuju mengenai partisipasi perempuan dalam mencari informasi tentang
konservasi mangrove (skor 6), melaksanakan kegiatan pembibitan (skor 4,7), sangat setuju apabila
perempuan mengikuti kegiatan kelompok (skor 5,5) dan melakukan pengawasan terhadap
Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-13) - 11
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan 16 Juli 2011
tanaman mangrove (skor 10). Namun demikian, sebagian besar anak tidak setuju apabila
perempuan terlibat dalam merencanakan dan pengambilan keputusan dalam kegiatan pembibitan,
menikmati hasil penjualan bibit mangrove, memelihara tanaman mangrove dan alih pengetahuan
ke anak mengenai konservasi mangrove. Hal tersebut menunjukkan bahwa keterlibatan
perempuan dalam kegiatan kelompok, didukung oleh anak (skor 5). Namun begitu, anak tidak
setuju apabila perempuan ikut berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dalam pembibitan
(skor 3,3). Anak yang tidak setuju perempuan memelihara tanaman mangrove karena anak
menganggap bekerja di mangrove merupakan pekerjaan yang berat, sehingga pekerjaan tersebut
hanya pantas dikerjakan oleh laki-laki atau annak yang sudah dewasa.
Berbeda dengan persepsi masyarakat pada umumnya, lembaga terkait cenderung sangat
setuju apabila perempuan dilibatkan dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan
dalam pembibitan (skor 4), pelaksanaan pembibitan (skor 5), serta alih pengetahuan ke anak
mengenai konservasi mangrove (skor 5).
Faktor-faktor diatas menunjukkan bahwa perempuan yang melakukan konservasi mangrove
merupakan perempuan yang memiliki kerja produktif dengan mangrove. Perempuan melakukan
konservasi mangrove karena jika tidak melakukan konservasi, mereka akan kehilangan pekerjaan
yang selama ini diharapkan dapat membantu perekonomian rumah tangga. Perempuan kaya yang
memiliki kesadaran akan konservasi mangrove memilih mempekerjakan orang lain untuk
menanam mangrove (4 %) karena anggapan bahwa bekerja di mangrove merupakan pekerjaan
yang kotor. Fenomena tersebut menunjukkan bahwa ketidaksetaraan gender dalam konservasi
mangrove di Desa Pasar Banggi terjadi antar jenis kelamin dan antar perempuan dengan status
ekonomi yang berbeda.
Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan
1. Terdapat sembilan bentuk partisipasi perempuan yaitu mencari informasi, menanam biji,
mengisi polibag, perencanaan pembibitan, pengambilan keputusan dalam pelaksanaan
pembibitan, memelihara tanaman mangrove, memelihara bibit mangrove, alih pengetahuan
ke anak mengenai konservasi mangrove, dan mengingatkan jika ada yang menebang.
2. Tingkat partisipasi perempuan yaitu terapi (34%), pemberitahuan (42%), konsultasi (12%),
kemitraan (2%), dan tidak berpartisipasi (10%).
3. Faktor yang mempengaruhi partisipasi perempuan dibagi menjadi faktor internal yaitu
persepsi perempuan mengenai partisipasinya dalam konservasi mangrove, pengetahuan
mengenai manfaat mangrove, tingkat pemanfaatan mangrove, dan status sosial, sedangkan
faktor eksternal meliputi lama suami tergabung dalam kelompok dan persepsi masyarakat
terhadap partisipasi perempuan dalam konservasi mangrove.
4. Laki-laki, perempuan, dan anak tidak setuju perempuan berpartisipasi dalam pengambilan
keputusan, sedangkan lembaga terkait setuju. Anak setuju perempuan berpartisipasi dalam
kegiatan kelompok, namun tidak setuju perempuan melakukan alih pengetahuan ke anak
mengenai konservasi mangrove.
Saran
Melihat potensi perempuan Dusun Kaliuntu dan masih terbatasnya peran perempuan dalam
siklus konservasi mangrove, perlu dilakukan beberapa kebijakan untuk meningkatkan partisipasi
perempuan dalam konservasi mangrove dengan cara :
1. Pelibatan perempuan dalam kepengurusan dan proses pengambilan keputusan kelompok
tani-tambak Sidodadi Maju (jangka pendek).
2. Penyuluhan kepada perempuan mengenai pentingnya konservasi mangrove terhadap
kelestarian lingkungan (jangka pendek).
3. Pemberdayaan kelompok perempuan yang sudah ada seperti : PKK, Fatayat, Muslimat,
kelompok wanita nelayan, dan perkumpulan pengupas rajungan, dengan cara pelatihan,
pendampingan, penyuluhan mengenai kelembagaan, serta penguatan modal (jangka
menengah).
12 - Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-13)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
4. Peningkatan kesadaran kepada anak-anak mengenai kesetaraan gender agar laki-laki dan
perempuan memiliki akses dan kontrol yang setara dalam memanfaatkan sumberdaya alam
(jangka panjang).
Daftar pustaka
Arnstein, S. 1969. The Ladder of Participation. http://lithgow-schmidt.dk/sherry-arnstein/ladder-of-
citizen-participation.html. Diakses tanggal 19 Desember 2010.
Kerstan, B. 1995. Gender-Sensitive Participatory Approaches. Deutsche Gesellscharf Fr
Technische Zusammenarbeit, Eschborn.
Leavitt. 1978. Managerial Psychology (Psikologi Manajemen, alih Bahasa : Muslichah, Z).
Erlangga, Jakarta.
Mosse, J.C. 1996. Half The World, Half A Change (Gender dan Pembangunan, alih bahasa:
Silawati, H.). Cetakan kelima. Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Rahayu, L. 2005. Gender dalam Pembangunan Kehutanan. Petani, Ekonomi, dan Konservasi.
Debut Press, Yogyakarta.
Salim, A. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial. Edisi kedua. Tiara wacana, Yogyakarta.
Silaban, R.M. 2005. Partisipasi. http://silaban.net/2005/10/16/partisipasi/. Diakses tanggal 23
September 2010.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 2008. Kamus Besar Bahasa
Indonesia Online. http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php. Diakses tanggal 3 Januari
2011.
Tanya Jawab
Judul : Partisipasi Perempuan dalam Konservasi Mangrove di Desa Pasar Banggi
Kabupaten Rembang.
Pertanyaan : Apakah peran perempuan dipengaruhi oleh budaya?
Jawaban : Ada faktor budaya dalam peran ini, akan tetapi yang lebih memotivasi adalah
alasan untuk meningkatkan ekonomi keluarga.
Pertanyaan : Apa pendekatan yang anda lakukan dalam penentuan partisipasi perempuan?
Jawaban : Pendekatan yang dilakukan (Silaban) dari awal pendahuluan sampai evaluasi
tetapi ada pengembangan dari saya pribadi.
Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-14) - 1
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan 16 Juli 2011
PERANAN KELEMBAGAAN NELAYAN DALAM MELESTARIKAN
SUMBERDAYA IKAN DI TELUK JAKARTA
Hendra Saepulloh
1
, Amula Nurfiarini
1
dan Adriani Sri Nastiti
1
Peneliti pada Balai Riset Pemulihan Sumberdaya Ikan, Jatiluhur
(Studi Kasus di Kelurahan Muara Kamal, Jakarta Utara)
Abstrak
Kelembagaan nelayan dan keterkaitannya dengan pola pelestarian sumberdaya perikanan
merupakan elemen kunci dalam upaya memberdayakan masyarakat untuk mengelola sumberdaya
perikanan secara bertanggung jawab. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi dan
mengetahui peranan kelembagaan nelayan dalam melestarikan sumberdaya ikan di Teluk Jakarta.
Penelitian ini dilaksanakan pada tahun 2009 di Kelurahan Muara Kamal dengan pertimbangan
adanya konsentrasi nelayan, sifat kelembagaan nelayan yang sudah ada dan aksesbilitas lokasi.
Metodologi yang digunakan adalah metode kualitatif yang bersifat deskriptif dengan menggunakan
teknik studi kasus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok nelayan yang berhasil
diidentifikasi di Kelurahan Muara Kamal ada 11 kelompok nelayan yang didasarkan atas alat
tangkap yang digunakan nelayan, POKWASMAS, pengolahan, budidaya dan koperasi. Kelompok
tersebut berperan sesuai dengan tujuan didirikannya kelompok tersebut, seperti Kelompok Tani
Nelayan Andalan (KTNA) berperan mengawasi penggunaan bahan pengawet dalam industri
pengolahan ikan, POKWASMAS berperan menjaga lingkungan perairan dari kegiatan
penangkapan yang tidak ramah lingkungan dan Komunitas Ujung Pesisir (KUSIR) membantu
masyarakat dalam berbagai hal, seperti pendidikan, linkungan dan sosial ekonomi.
Kata kunci: Peranan, kelembagaan nelayan, kelestarian sumberdaya ikan, Teluk Jakarta
Pengantar
Kegiatan perikanan laut, dimanapun dilaksanakan, sangat tergantung pada sumberdaya
yang terdapat di suatu kawasan pesisir. Kegiatan perikanan tangkap yang dilakukan di wilayah laut
dangkal (laut teritorial), sangat dipengaruhi kegiatan pengelolaan sumberdaya di daratan dan di
kawasan pesisir. Salah satu sumberdaya yang cukup penting di kawasan pesisir adalah
kelembagaan nelayan. Hal tersebut disebabkan kelembagaan nelayan dan keterkaitannya dengan
pola pelestarian sumberdaya perikanan merupakan elemen kunci dalam upaya memberdayakan
masyarakat untuk mengelola sumberdaya perikanan secara bertanggung jawab. Fungsi dari
kelembagaan social adalah menjaga keutuhan masyarakat dan memberikan pegangan kepada
masyarakat untuk mengadakan sistem pengendalian social (social control system). Konflik terjadi
seiring munculnya perbedaan kepentingan atau kebutuhan di dalam suatu masyarakat.
Berfungsinya peranan masing-masing lembaga akan dapat mengikat tujuan pembentukan
kelembagaan sesuai dengan fungsinya (Syahyuti, 2003).
Secara umum, sumberdaya alam di Kamal Muara mengalami tekanan begitu beratnya,
terutama dari limbah yang diantarkan sungai-sungai yang bermuara di pesisir Sungai dan laut
begitu tercemar sehingga warna biru tidak dapat lagi diidentikan dengan sungai dan laut di sana.
Sungai yang ada membelah perkampungan dan difungsikan sebagai tempat berlabuh kapal-kapal
kecil milik nelayan. Kerusakan lingkungan pesisir, khususnya ekosistem perairan pantai adalah
salah satu isu pokok yang sekarang sedang berkembang di kawasan Kamal Muara. Kerusakan
ekosistem perairan ditunjukkan dengan rendahnya nilai kualitas air di pesisir utara Jakarta. Dari
penampakan warna air, sampai jarak sekitar 500 m dari garis pantai warna air sudah hitam dengan
bau khas senyawa sulfida. Tingkat polusi air juga sudah tinggi yang telah menyebabkanterjadinya
beberapa kali kasus matinya ribuan ekor ikan, dan tingginya kandungan logam berat pada benthos
dan kerang hijau (Perna viridis L.). Kejadian bulan Mei 2004 dimana ribuan ekor ikan mati di
perairan pesisir Jakarta sudah menunjukkan bagaimana buruknya kondisi kualitas airnya
(Suwandi, 2007).
Kelembagaan yang ada di Kelurahan Kamal Muara sudah seharusnya berperan aktif dan
ikut berpartisipasi dalam pemulihan kawasan pesisir, terutama menyangkut kelestarian
sumberdaya perikanannya sehingga dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran
SE-14
2 - Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-14)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
masing-masing lembaga yang ada dalam upaya melestarikan dan menjaga kelestarian
sumberdaya perikanan yang ada di Teluk Jakarta.
Bahan dan Metode
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif
yang bersifat deskriptif dengan menggunakan teknik studi kasus (Moleong, 2005). Penelitian ini
mencoba memberikan gambaran atau uraian atas suatu keadaan sejelas mungkin tanpa ada
perlakuan terhadap obyek yang diteliti.
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Kelurahan Kamal Muara, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara pada
bulan Juni 2009.
Metode Pengumpulan Data
Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder
Pengumpulan data primer diperoleh langsung di lokasi penelitian dengan cara wawancara
menggunakan kuisioner dan observasi (pengamatan), dimana responden dipilih secara purposive
sampling, yaitu responden yang mewakili masing-masing lembaga yang ada di Kelurahan Kamal
Muara jumlahnya ada 10 responden. Data sekunder berupa data jumlah penduduk, keadaaan
geografi lokasi penelitian yang diperoleh dari instansi yang terkait.
Hasil dan Pembahasan
Keadaan Umum
Kelurahan Kamal Muara adalah merupakan salah satu Kelurahan dari lima Kelurahan di
Wilayah Kecamatan Penjaringan Jakarta Utara, dengan luas wilayah 1.053 Ha. Secara geografis,
Kelurahan Kamal Muara berbatasan dengan:
1. Sebelah utara berbatasan dengan Teluk Jakarta;
2. Sebelah timur berbatasan dengan Kelurahan Kapuk Muara;
3. Sebelah selatan berbatasan dengan jalan Kapuk Kamal yang mengarah ke timur berbatasan
dengan Kelurahan Kamal, Tegal Alur, Cengkareng Timur dan Kelurahan Kapuk Kota Jakarta
Barat;
4. Sebelah barat berbatasan dengan Desa Dadap, Kecamatan Kosambi, Kabupaten
Tangerang.
Wilayah Kelurahan Kamal Muara dihuni oleh berbagai macam suku yaitu suku Betawi,
Bugis, Jawa, Sunda dan Cina dengan jumlah penduduk sekitar 6.865 jiwa dengan jumlah keluarga
sebanyak 1.913 KK (Tabel 1).
Tabel 1. Jumlah penduduk Kelurahan Kamal Muara
RW
KK WNI WNA
Total %
L P Jml L P Jml L P Jml
1 749 169 918 1736 1532 3268 0 0 0 3268 48
2 213 23 236 593 567 1160 0 0 0 1160 17
3 211 20 231 497 444 941 1 1 2 943 14
4 480 42 522 770 724 1494 0 0 0 1494 22
Jumlah 1659 256 1913 3596 3267 6863 1 1 2 6865 100
Sumber: Profil Kelurahan Kamal Muara, 2008
Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui bahwa jumlah penduduk terbanyak di Kelurahan
Kamal Muara terdapat di RW 1 sebanyak 3.268 jiwa (48%) dari total jumlah penduduk. Dari empat
RW yang ada di Kamal Muara, masyarakat pesisir terkonsentrasi di RW 1 dan 4 karena memang
lokasi kedua RW tersebut yang berbatasan dengan pantai. Sebagian besar masyarakat pesisir
Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-14) - 3
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan 16 Juli 2011
bekerja sebagai nelayan dengan sebagian kecil yang lain berprofesi sebagai pedagang ikan dan
pembudidaya.
Tabel 2. Karakteristi Penduduk di Kelurahan Kamal Muara berdasarkan Pendidikan
Pendidikan
Jenis
Kelamin
Jumlah % L P
Tidak Sekolah 840 372 1212 19,01
Tidak Tamat SD 785 830 1615 25,33
Tamat SD 790 162 952 14,93
Tamat SLTP 569 606 1175 18,43
Tamat SLTA 528 581 1109 17,40
Tamat Akademi/PT 140 172 312 4,89
Jumlah total 3652 2723 6375 100
Sumber: Profil Kelurahan Kamal Muara, 2008
Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui bahwa dari segi pendidikan, jumlah penduduk di
Kelurahan Kamal Muara yang tidak tamat SD cukup dominan yaitu 1615 jiwa atau 25,3 % dari
jumlah total penduduk. Hal ini menyebabkan di wilayah ini masih dijumpai warga yang buta huruf
sehingga cukup sulit untuk menerima perubahan dari luar. Namun sebagian nelayan menganggap
persoalan buta huruf ini bukanlah suatu hambatan untuk bisa melaut dan menangkap ikan.
Tabel 3. Karakteristi Penduduk di Kelurahan Kamal Muara berdasarkan Pekerjaan
Pekerjaan
L P
Jumlah %
Tani 109 96 205 2,94
Karyawan Swasta/Pemerintah/TNI 724 919 1643 23,55
Pedagang 349 540 889 12,74
Nelayan 643 0 643 9,22
Buruh Tani 575 407 982 14,07
Pensiunan 49 33 82 1,18
Pertukangan 55 0 55 0,79
Pengangguran 127 262 389 5,58
Fakir Miskin 370 434 804 11,52
Lain-lain 653 632 1285 18,42
Jumlah total 3654 3323 6977 100
Sumber: Profil Kelurahan Kamal Muara, 2008
Berdasarkan Tabel 3 dapat diketahui bahwa pekerjaan swasta/pemerintah/TNI lebih
banyak jumlahnya dibanding sector pekerjaan lainnya, yaitu 1643 jiwa atau 23,6 % dari jumlah total
penduduk. Hal ini disebabkan tumbuhnya pabrik-pabrik di wilayah ini sehingga banyak warga yang
memilih bekerja di pabrik dibanding sektor lainnya.
Peranan Kelembagaan Nelayan di Kelurahan Kamal Muara
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa di Kelurahan Kamal Muara terdapat 11
kelompok nelayan yang didasarkan atas alat tangkap yang digunakan nelayan, POKWASMAS,
pengolahan, budidaya dan koperasI, namun yang paling cukup berperan adalah KTNA, KUSIR,
POKWASMAS.
Kelompok Tani Nelayan Andalan (KTNA) bergerak pada usaha pemberdayaan masyarakat
nelayan dengan cara melibatkan para nelayan pada kegiatan-kegiatan pemasaran hasil tangkapan
nelayan, baik ikan segar maupun olahan. Jaringan kelompok ini sudah bersifat nasional dan sudah
4 - Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-14)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
diakui oleh pemerintah sehingga kelompok ini merupakan mitra bagi pemerintah. Beberapa peran
yang telah dilakukan oleh lembaga ini adalah:
1. Menyuarakan kepentingan nelayan kepada pemerintah, seperti pada saat kenaikan BBM,
begitu banyak para pemilik kapal yang kena dampaknya sehingga banyak kapal dan
nelayan yang tidak pergi melaut untuk menangkap ikan. Kemudian keluhan para nelayan ini
disalurkan kepada pemerintah oleh KTNA dan mendapat respon dari pemerintah dengan
adanya subsisdi BBM untuk setiap kapal yaitu:
a. Untuk kapal dengan mesin 20 GT mendapat subsisdi 15 juta
b. Untuk kapal dengan mesin kurang dari 15 GT mendapat subsidi 6 juta
c. Untuk kapal dengan mesin 5 10 GT mendapat subsisdi 5 juta
d. Untuk kapal dengan mesin kurang dari 5 GT mendapat subsidi 2 juta
Namun kapal-kapal yang disubsidi tersebut harus memiliki surat-surat yang diperlukan
yaitu:
1. Surat Penangkapan Ikan (SPI), Tanda Daftar Usaha Perikanan (TDUP) dan Penetapan
Surat Laut (PAS) kapal.
2. Mengadakan pameran hasil perikanan, baik segar maupun olahan yang rutin diadakan
setiap 6 bulan sekali
3. Melakukan pengawasan terhadap penggunaan alat tangkap dan bahan-bahan pengawet
yang digunakan oleh nelayan
Dalam menjalankan tugasnya, KTNA telah mendapat dukukan dari pemerintah kota
Jakarta Utara telah mengeluarkan suatu Peraturan Daerah (Perda), yaitu PERDA Nomor 13 Tahun
1997 yang berbunyi :
1. Setiap usaha penangkapan ikan dan pembudidayaan ikan di wilayah DKI Jakarta wajib
memiliki Ijin Usaha Perikanan (IUP) Pasal 6 ayat 1
2. Setiap kapal perikanan yang digunakan untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan
sekaligus pengangkutan ikan, harus dilengkapi dengan Surat Penangkapan Ikan (SPI)
Pasal 10 ayat 2
3. Setiap orang atau badan yang melakukan kegiatan usaha penanganan dan pengolahan
ikan di wilayah DKI Jakarta wajib memiliki Tanda Daftar Usaha Perikanan (TDUP) Pasal 15
ayat 1
4. Setiap pelanggaran diancam kurungan atau denda sesuai dengan peraturan dan
perundangan yang berlaku (Nastiti. dkk, 2009).
Di wilayah ini pula sudah terbentuk Kelompok Pengawasan Masyarakat (POKWASMAS)
yang anggotanya terdiri dari apara pemerintah dan kepolisian, tokoh masyarakat, tokoh nelayan
dan nelayan. Fungsi POKWASMAS adalah :
1. Mendengar; segala hal yang berkaitan dengan upaya merusak lingkungan perairan teluk
Jakarta, seperti adanya pengeboman ikan oleh oknum nelayan di sekitar Pulau Damar
dengan bahan peledak 13 kg
2. Melihat; Membuktikan dengan mata kepala sendiri atas laporan yang didengar dari pelapor
kepada POKWASMAS
3. Melapor; melaporkan semua kejadian yang berkaitan dengan kegiatan yang merusak
lingkungan perairan Teluk Jakarta kepada yang berwajib
Kendala yang dihadapi oleh POKWASMAS adalah sulitnya para anggota POKWASMAS
melakukan pencegahan secara cepat, karena mereka bekerja secara sukarela dan tidak mendapat
bantuan secara rutin dari pemerintah sehingga untuk biaya operasional mereka mengandalkan
biaya sendiri dan hasil jerih payah keringatnya. Padahal kasus yang masuk ke sekretariat
POKWASMAS beraneka ragam, seperti : Pembiusan ikan hias, pencurian terumbu karang dan
pengeboman.
Dalam melakukan tugasnya, POKWASMAS didukung oleh adanya peraturan yang
melarang para nelayan untuk tidak menggunakan bahan-bahan kimia dan biologi yang berbahaya
Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-14) - 5
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan 16 Juli 2011
serta alat tangkap yang merusak lingkungan yang tertera dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 31 tahun 2004 tentang perikanan yang berbunyi :
1. Setiap orang dilarang melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan bahan kimia,
bahan biologis dan bahan peledak yang dapat merusak kelestarian sumber daya perikanan.
(Pasal 8, ayat 1) (Sanksi pidana penjara paling lama 6 tahun dan denda paling banyak Rp.
1.200.000.000,-)
2. Setiap orang dilarang memiliki, menguasai, membawa atau menggunakan alat tangkap atau
alat bantu penangkapan ikan yang dapat merusak kelestarian sumber daya perikanan.
(Pasal 9) (Sanksi pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp.
2.000.000.000,-)
Beberapa kelompok masyarakat di Kelurahan Kamal Muara juga membentuk suatu wadah
berusaha memecahkan permasalah yang ada di wilayah ini, seperti rusaknya lingkungan pesisir,
ketidakpastian lahan pemukiman dan keterbelakangan ekonomi dan pendidikan yang bernama
Komunitas Ujung Pesisir (KUSIR). KUSIR didefinisikan sebagai organisasi independen masyarakat
pesisir Kamal Muara yang melakukan perbaikan wilayah di segala bidang untuk mencapai Kamal
Muara yang lebih baik lagi. Sedangkan salah satu keunikan KUSIR adalah menjadi satu-satunya
organisasi di Kamal Muara yang mengkhususkan diri pada pembangunan masyarakat dan wilayah
pesisir.
Analisa Peran Kelembagaan
Berdasarkan hasil wawancara dengan ketua kelompok yang cukup berpengaruh di
Kelurahan Kamal Muara menunjukkan bahwa peran lembaganya dalam pengelolaan terhadap
kelestarian sumberdaya ikan di Teluk Jakarta tidak didukung dengan adanya penegakan aturan
(law enforcement) yang tegas oleh aparat dan dinas terkait. Kampanye peduli lingkungan dan
penyadaran terhadap pentingnya menjaga lingkungan pesisir sudah sering dilakukan, baik dalam
pertemuan formal maupun informal namun dampaknya hanya sementara. Hal ini disebabkan
belum adanya inisiatif masyarakat untuk peduli lingkungan sehingga masyarakat sangat sulit untuk
bergerak secara mandiri. Seperti yang dikemukakan Taylor dan Mckenzie (1992), ada tujuh alasan
kenapa inisiatif lokal diperlukan. Dari sisi pemerintah, inisiatif lokal dibutuhkan karena pemerintah
belum mampu memberikan pelayanan yang memadai, sementara kemampuan perencanaan pusat
juga dalam kondisi lemah. Dari sisi masyarakat lokal, di antaranya adalah karena masih banyaknya
sumberdaya yang belum termanfaatkan, yang dipandang akan lebih efektif apabila menggunakan
strategi lokal.
Menurut salah satu ketua kelompok, energinya habis untuk melakukan penyadaran dan
pengawasan agar nelayan tidak menggunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, tidak
menggunakan bahan beracun dan tidak melakukan pengeboman ikan namun masih ada saja
nelayan yang melanggarnya. Beliau berpenadapat lagi kondisi ini diperparah dengan tidak adanya
dukungan dari kelompok nelayan lain sehingga usaha yang dilakukannya terkesan sia-sia.
Menurut Syahyuti (2003), peran kelembagaan yang ada di masyarakat dapat dianalisa dari
segi:
1. Level superstruktur, yaitu mempelajari berbagai aturan dan kebijakan yang diciptakan
pemerintah serta kondisi sosial, ekonomi, politik dan lingkungan alam yang memiliki
pengaruh kepada bagaimana berjalannya sebuah kelembagaan/organisasi. Peraturan
tentang pengelolaan kelestarian sumberdaya ikan di Teluk Jakarta sudah ada namun
pengawasan dan penegakan aturannya (law enforcement) yang masih lemah.
2. Level desa, yaitu mempelajari karakteristik sosial ekonomi masyarakat dimana
kelembagaan tersebut hidup. Sebagian besar penduduk di Kelurahan Kamal Muara adalah
para pekerja, baik swasta maupun pemerintahan sehingga kepedulian terhadap
lingkungan pesisirnya dirasa kurang.
3. Level internal kelembagaan, yaitu mempelajari secara mendalam kondisi dan keberadaan
kelembagaan yang ada di desa satu per satu. Ikatan anggota kelompok di wilayah ini
kurang begitu kuat sehingga yang cenderung menonjol adalah figur ketuanya. Apabila
ketua kelompoknya tidak bergerak maka para anggotanya pun tidak ada yang bergerak.
6 - Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-14)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Seperti yang dikemukanan oleh Horton dan Hunt (1984) institution do not have
members, they have followers.
Kesimpulan dan Saran
Beberapa kesimpulan yang dapat dijelaskan adalah:
1. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa di Kelurahan Kamal Muara terdapat 11
kelompok nelayan yang didasarkan atas alat tangkap yang digunakan nelayan dan
budidaya serta koperasi
2. Kelompok nelayan yang cukup berperan di Kelurahan Kamal Muara adalah KTNA, KUSIR
dan POKWASMAS.
3. Pengelolaan kelestarian sumberdaya ikan di Teluk Jakarta tidak didukung dengan adanya
penegakan aturan (law enforcement) yang tegas.
Beberapa saran yang dapat disampaikan adalah:
1. Pemerintah perlu melakukan pendampingan, pembinaan terhadap kelompok nelayan yang
ada
2. Adanya keseriusan dan aksi nyata pemerintah dalam menjaga dan mengelola kelestarian
sumberdaya perikanan di Teluk Jakarta
Daftar Pustaka
______________, 2008. Profil Kelurahan Kamal Muara. Kelurahan Kamal Muara,
Penjaringan, Jakarta Utara.
____________, 2004. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004 Tentang
Perikanan. Diunduh dari infohukum.kkp.go.id/files_uu/UU-2004-31.pdf pada
tanggal 17 Mei 2011 pukul 13.40 WIB.
Horton, Paul B. dan Chester L. Hunt. 1984. Sociology. Sixth Edition. McGraww-Hill Book
Company; Sidney, Tokyo, dan lain-lain. Hal. 211.
Moleong, Lexy. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif. Remaja Rosdakarya. Bandung. Hal
4.
Nastiti, A., Hartati, S.T., Badrudin, Sumiono, B., Nurfiarini, A., Suryandari, A., Fitriyanto,A.,
Saepulloh, H., Purnawati, B.I., Nurwiyanto, Sukamto, 2009. Kesesuaian Perairan
untuk Upaya Konservasi Sumber Daya Ikan di Teluk Jakarta, Laporan Tahunan.
Loka Riset Pemacuan Stok Ikan. Pusat Riset Perikanan Tangkap. BRKP-DKP.
Suwandi, R. 2007. Analisa Pengembangan Kawasan Pelabuhan Perikanan Kamal Muara
dan Dadap dalam Konteks Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu. Disertasi (tidak
dipublikasikan). Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan,
Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Syahyuti, 2003. Petunjuk Teknis Aspek Kelembagaan
http://Kelembagaandas.Wordpress.Com/Analisis-Kelembagaan/Syahyuti/2003.
Diakses tanggal 3 Mei 2011 pukul 10.45 WIB.
Taylor, D.R.F. dan McKenzie. 1992. Development From Withins. London Routledge.
Chapter 1 and 10.
Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-15) - 1
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan 16 Juli 2011
STRATEGI AKSELERASI DISEMINASI TEKNOLOGI PENGOLAHAN
PRODUK PERIKANAN MELALUI KINERJA IPTEKMAS
DI DIY YOGYAKARTA
Mei Dwi Erlina dan Manadiyanto
Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan Dan Perikanan
E-mail: mei_dwi_erlina@yahoo.com
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengidentifikasi dan mengevaluasi permasalahan yang dominan
terkait dengan mekanisme diseminasi teknologi pengolahan hasil perikanan, (2) melakukan
identifikasi kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman terkait dengan diseminasi teknologi
pengolahan hasil perikanan, (3) merumuskan strategi akselerasi diseminasi teknologi pengolahan
hasil perikanan melalui introduksi program Iptekmas. Penelitian ini menggunakan metode survey
yang bersifat deskriptif kualitatif, analisa data menggunakan analisis SWOT.Hasil analisis SWOT
kinerja mekanisme diseminasi melalui penerapan kegiatan Iptekmas dari BBRP2B adalah sebagai
berikut: faktor strengths/kekuatan adalah 1) Telah dikuasainya teknologi pengolahan oleh
pengolah, 2)Respon pengolah untuk mengadopsi teknologi cukup tinggi, 3) Teknologi yang
diintroduksikan sudah sesuai dengan kebutuhan pengolah. Faktor weakness/kelemahan adalah 1)
Teknologi belum didukung sanitasi dan higiene, 2) Kurangnya tindak lanjut terhadap umpan balik
terkait dengan permasalahan pengolah, 3) Kurangnya dukungan kelembagaan dan SDM
penyuluhan. Faktor opportunities/peluang adalah 1) Adanya unit-unit pengolah ikan (UPI), 2)
Adanya diseminasi peningkatan nilai tambah produk perikanan, 3) Adanya kesempatan mengikuti
pelatihan dari instansi terkait. Selanjutnya faktor threats/ancaman adalah 1) Kurangnya dukungan
Pemda terkait dengan alokasi dana pendampingan Iptekmas, 2) Belum adanya institusi/lembaga
yang menentukan stabilitas harga bahan baku pengolahan, 3) Kurangnya pembinaan pengolah
secara berkesinambungan. Strategi akselerasi mekanisme diseminasi penerapan Iptekmas dari
BBRP2B adalah meningkatkan penguasaan teknologi pengolahan produk perikanan melalui
ketersediaan unit pengolah ikan (UPI). Koordinasi antar lembaga masih perlu dibenahi, baik antar
lembaga pemerintah maupun lembaga penelitian. Perlu adanya kesepahaman peran kelembagaan
pusat, propinsi dan kabupaten/kota dalam kegiatan yang terkait dengan diseminasi.
Kata kunci : Strategi, akselerasi diseminasi, teknologi pengolahan hasil perikanan,
Pengantar
Analisis diseminasi adalah formulasi informasi yang tergabung dalam sistem makro
informasi yang merupakan suatu gambaran tentang mengalirnya informasi yang dapat
dipertanggungjawabkan. Diseminasi merupakan hasil dari formula komunikasi menuntut perlu
adanya ketepatan berkomunikasi (tidelity of commuication) dalam istilah Berlo (1960).
Diseminasi merupakan formulasi komunikasi yang sederhana dimana di dalamnya
mencakup unsur-unsur komunikasi. Komunikasi merupakan proses penyampaian pesan dari
sumber kepada penerima dengan menggunakan media tertentu yang menimbulkan efek (Onong,
1989). Laswell dalam Onong (1977) mengatakan bahwa proses komunikasi terjangkau dalam
pertanyaan: who says what in which chanel to whom with what effect yang terangkum pada lima
unsur komunikasi sehingga jawaban dari pertanyaan yang diajukan yaitu 1) komunikator (source),
2) komunikan (receiver), 3) pesan (message), 4) media (chanel) dan 5) efek (effect). Unsur-unsur
diatas merupakan proses komunikasi yang bertujuan untuk mencapai hasil (efek). Berlo (1960)
menjelaskan tahapan-tahapan ketepatan (fideliti) dalam berkomunikasi, Harvlock (1971)
khususnya dalam diseminasi berusaha untuk menilai fenomena-fenomena yang terkait dalam
diseminasi. Faktor-faktor yang mempengaruhi diseminasi yaitu : hubungan, struktur, keterbukaan,
kapasitas, penghargaan, proksimitas, sinergi.
Penyebaran atau diseminasi suatu teknologi ke dalam suatu sistem sosial memerlukan
sinergi yaitu perencanaan menyeluruh tentang teknologi yang akan disampaikan. Pentingnya
strategi ini antara lain karena diseminasi mengandung unsur kesengajaan berupa kesengajaan
mengintroduksikan suatu teknologi kedalam sistem sosial untuk mencapai tujuan tertentu. Selain
SE-15
2 - Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-15)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
itu dalam diseminasi terdapat target waktu, yaitu perubahan yang diharapkan terjadi dalam waktu
yang tidak terlalu lama (Lionberger & Gwin 1982).
Introduksi teknologi antara lain bertujuan untuk meningkatkan produksi sekaligus
pendapatan petani/nelayan. Dari pengalaman agar teknologi sesuai dengan yang diperlukan oleh
pengguna, maka teknologi hendaknya memiliki ciri-ciri: dapat meningkatkan produktivitas secara
nyata, bukan merupakan komponen-komponen teknologi tetapi merupakan kesatuan utuh, sesuai
dengan biofisik,sosial ekonomi dan budaya; disesuaikan dengan kemampuan pengguna; adanya
kelembagaan penunjang yang bertanggung jawab dalam pengadaan input, pemasaran,
permodalan, serta kebijakan pemerintah yang mendukung.
Dalam rangka meningkatkan efektifitas misi penyebarluasan hasil penelitian(diseminasi),
Badan Riset Kelautan dan Perikanan melaksanakan program IPTEKMAS, yaitu sebuah bentuk
upaya pemacuan adopsi dan penyebarluasan hasil riset karya para peneliti BRKP kepada
masyarakat, program tersebut didalamnya mencakup kegiatan-kegiatan inventarisasi paket-paket
teknologi BRKP yang perlu diadopsi diberbagai kasus/lokasi, penerapan, pengkajian dan
pengumpulan umpan balik untuk menyempurnakan paket teknologi, serta upaya-upaya
peningkatan ekonomi masyarakat kelautan dan perikanan dengan menggunakan teknologi yang
tersedia, dilakukan secara partisip;atif oleh masyarakat dan peneliti BRKP. Melalui program
IPTEKMAS, diharapkan bahwa teknologi hasil riset BRKP menjadi tepat guna, sehingga
dampaknya terhadap peningkatan pendapatan pelaku utama (pembudidaya, nelayan tangkap dan
pengolah) dapat dimaksimalkan. Program IPTEKMAS dilaksanakan sejak tahun 2007 hingga
sekarang (Anonim, 2008). Mengingat keterpaduan program dan pelaksanaannya melibatkan
berbagai pihak terkait yang bersifat lintas institusi dan lembaga, maka perlu adanya kesamaan visi,
misi dan semangat kebersamaan dalam mengembangkan sektor kelautan dan perikanan.
Percepatan (akselerasi) diseminasi juga dilakukan oleh Pusat Pengembangan
Penyuluhan, Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia, Departemen Kelautan dan Perikanan
melalui Prasasti Mina. Prasasti Mina merupakan singkatan dari Program Rintisan Akselerasi dan
Sosialisasi Teknologi Inovasi Kelautan dan Perikanan,adalah suatu model atau konsep diseminasi
teknologi yang dipandang dapat mempercepat penyampaian informasi dan bahan dasar inovasi
baru yang dihasilkan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP). Prasasti Mina merupakan
suatu rangkaian atau proses kegiatan percepatan diseminasi teknologi (biofisik, sosial ekonomi
dan kelembagaan) kepada para pelaku utama dan pelaku usaha di bidang kelautan dan perikanan.
Prasasti mina pada dasarnya adalah satu metode penyuluhan partisipatif yang memadukan sistem
rantai pasok teknologi dengan sistem bisnis perikanan. Proses alih teknologi pada Prasasti Mina
dilakukan berdasarkan kebutuhan para pelaku utama dan pelaku usaha. Pemecahan masalah
yang dihadapi mengacu kepada peningkatan kapasitas kemampuan berusaha yang beorientasi
kepada bisnis perikanan,kesesuaian dengan potensi wilayah serta penyediaan sarana dan fasilitas
yang mendukung diterapkannya teknologi secara berkelanjutan.Prasasti Mina dilaksanakan sejak
tahun 2007 sampai dengan 2012 diberbagai lokasi.
Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan telah melakukan riset
diseminasi dan dissonansi inovasi dari tahun 2006-2008. Berdasarkan hasil riset (Erlina dkk,2008),
bahwa mekanisme diseminasi teknologi perikanan tangkap di lokasi riset dari sumber informasi
kepada pengguna teknologi, secara umum mengikuti alur yang sama. Mekanisme diseminasi
teknologi perikanan tangkap berawal dari sumber informasi dalam hal ini adalah Direktorat Jendral
Perikanan Tangkap (DKP), BRKP (Pusat Riset Perikanan Tangkap), universitas, melalui suatu
medium (UPT Ditjen/BBPPI/Direktorat Sumberdaya Ikan, Kelembagaan penyuluhan : Pusbangluh,
BP4K, Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi serta Dinas Kelautan dan Perikanan
Kabupaten/Kota, menggunakan metoda diseminasi formal maupun non formal, yang lebih efektif
dilakukan dengan metoda pertemuan langsung secara non formal kepada pengguna teknologi.
Umpan balik (feed back) sangat diperlukan untuk melihat respon pengguna terhadap teknologi
yang diintroduksikan. Umpan balik/feed back dari pengguna disampaikan melalaui pertemuan atau
diinformasikan langsung kepada petugas dinas kabupaten, propinsi, penyuluh. Belum terdapat
kesamaan persepsi antara peneliti dan penyuluh terkait dengan mekanisme proses umpan balik.
Dukungan pemda dalam kegiatan diseminasi berupa pengalokasian dana, koordinasi dan
pembentukan kelembagaan (BP4K), akan tetapi dana yang dialokasikan untuk kelautan dan
perikanan masih belum menjadi prioritas. Pelaksanaan diseminasi teknologi perikanan tangkap di
lokasi riset sudah mempunyai dasar hukum berupa Peraturan Bupati, dituangkan dalam tupoksi
satuan kerja/satker (Kabupaten Sukabumi, Cilacap dan Sanggau), Peraturan Daerah (Kabupaten
Sanggau) dan Peraturan dari Direktorat Jendral Perikanan Tangkap (Kota Jambi dan Pontianak)
terbatas pada pengawasan perikanan tangkap di perairan laut. Belum terlihat adanya
Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-15) - 3
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan 16 Juli 2011
kesepahaman peran kelembagaan pusat, propinsi dan kabupaten/kota dalam kegiatan yang terkait
dengan diseminasi teknologi perikanan tangkap.Mekanisme diseminasi teknologi perikanan
tangkap hingga ke pengguna teknologi belum dilakukan secara terpadu. Media komunikasi
(cetak,elektronik/ audiovisual) sebagai sarana kegiatan diseminasi teknologi perikanan tangkap
masih terbatas, sarana perpustakaan belum tersedia di semua lokasi riset. Kios Iptek sudah
tersedia di Kabupaten Sukabumi (Pelabuhan Ratu) dan Kabupaten Cilacap, akan tetapi
keberadaannya belum berfungsi optimal. Faktor-faktor determinan yang berpengaruh terhadap
mekanisme diseminasi teknologi perikanan tangkap adalah kekosmopolitan, motivasi dan persepsi.
Permasalahan penyebarluasan teknologi (diseminasi), baik pada program IPTEKMAS,
Prasasti Mina maupun dari hasil riset diseminasi BBRSEKP yang telah dijabarkan pada pernyataan
sebelumnya, diharapkan dapat terjawab dengan (1) mengidentifikasi dan mengevaluasi
permasalahan yang dominan terkait dengan mekanisme diseminasi teknologi pengolahan hasil
perikanan, (2) melakukan identifikasi kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman terkait dengan
diseminasi teknologi pengolahan hasil perikanan, (3) merumuskan strategi akselerasi diseminasi
teknologi pengolahan hasil perikanan melalui introduksi program Iptekmas.
Bahan dan Metode
Pelaksanaan penelitian ini dilakukan mulai bulan September sampai dengan Oktober 2010.
Penelitian ini dilaksanakan di Daerah Istimewa Yogyakarta (Kabupaten Gunung Kidul, Kabupaten
Sleman, Kabupaten Bantul dan Kabupaten Kulon Progo) sesuai dengan hal-hal yang menjadi
pertimbangan penting dalam kaitannya dengan aktivitas kegiatan Iptekmas dari Balai Besar
Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan.
Penelitian ini dilaksanakan dengan metode survey ,sedangkan responden ditentukan secara
purposive dan data yang didapatkan dianalisis secara dikriptif kualitatif. Jenis data yang
dikumpulkan dalam kegiatan penelitian ini terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer
yang dikumpulkan berupa data yang terkait dengan karakteristik pengguna, dikumpulkan melalui
wawancara dengan menggunakan kuesioner terstruktur yang dipersiapkan sebelumnya, yaitu
pengumpulan data yang terkait dengan data primer pengolah produk perikanan yang diikut
sertakan dalam kegiatan Iptekmas, baik karakteristik pengolah produk perikanan maupun faktor
yang mempengaruhinya. Diskusi kelompok juga digunakan dalam rangka mendapatkan informasi
yang terkait terutama dengan pengolah produk perikanan.Observasi juga dilakukan guna
mengetahui kondisi umum kehidupan pengolah produk perikanan. Sementara, penelusuran
dokumen dilakukan terhadap hal-hal yang terkait dengan laporan kegiatan yang terkait dengan
kegiatan diseminasi teknologi di sektor kelautan dan perikanan.
Data yang telah dikumpulkan, ditabulasi dan kemudian dianalisis menurut kebutuhan
dalam kaitannya dengan topik bahasan yang ada dalam kegiatan penelitian ini. Tabulasi dilakukan
sesuai dengan kebutuhan matrik analisis SWOT yaitu pengelompokan data berdasarkan kategori
faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal terdiri atas data dan informasi yang terkait dengan
peluang (O) dan ancaman (T), sementara faktor internal terdiri atas informasi yang terkait dengan
kekuatan (S) dan kelemahan (W) (Rangkuti, 1999).
Peluang (O) dan ancaman (T) dalam penelitian ini berupa kondisi eksternal yang
mendukung atau tidak mendukung untuk berkembangnya budidaya ikan di wilayah penelitian.
Sebagai contoh adalah banyaknya curah hujan (bulan dalam setahun), kondisi porositas tanah,
kebijakan pembangunan daerah, pasar dll. Di lain pihak, kekuatan (S) dan kelemahan (W) dalam
penelitian ini adalah kondisi teknologi dan mekanisme diseminasi yang diterapkan dalam kegiatan
IPTEKMAS baik budidaya maupun pengolahan.
Untuk mengembangkan strategi maka digunakan matrik SWOT yaitu menganalisa
kekuatan atau strengths (S), kelemahan atau weaknesses (W), peluang atau opportunities (O) dan
ancaman atau threats (T) (Sianipar dan Entang, 2001). Kemudian, untuk mendapatkan kunci
keberhasilan dalam mencapai tujuan, maka perlu dilakukan identifikasi faktor-faktor internal dan
eksternal yang mempengaruhi keberhasilan diseminasi teknologi melalui program IPTEKMAS
terkait dengan ketahanan pangan ikani masyarakat dilokasi penelitian.
4 - Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-15)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Hasil dan pembahasan
Analisis Lingkungan Strategis Penerapan Kegiatan Iptekmas
Hasil penjabaran diatas terkait dengan mekanisme diseminasi berupa penerapan kegiatan
Iptekmas, menyatakan bahwa kinerja diseminasi teknologi hasil Badan Litbang Kelautan dan
Perikanan masih belum maksimal. Berdasarkan riset yang pernah dilakukan pada tahun 2007
2008 tentang diseminasi dan dissonansi teknologi perikanan terdapat beberapa permasalahan
yang perlu ditindak lanjuti. Pada dasarnya mekanisme diseminasi teknologi diberbagai lokasi riset
belum berjalan optimal karena pelaksanaan kegiatannya tidak mempunyai dasar hukum, alur
mekanisme diseminasi dari sumber informasi ke pengguna belum mengikuti konsep komunikasi,
dan perencanaan yang tidak melibatkan pengguna teknologi selain itu belum optimalnya
koordinasi, sinergitas dan keterpaduan. Belum adanya kesepahaman peran kelembagaan pusat,
propinsi dan kabupaten/kota dalam kegiatan yang terkait dengan diseminasi.
Masih adanya ketidak sepahaman khusunya dalam peran kelembagaan antara pusat, daerah
dan pengguna. Berkaitan dengan Dukungan Pemerindah Daerah, perlu memprioritaskan dana
terkait dengan kegiatan diseminasi teknologi. termasuk pembentukan kelembagaan yang terkait
dengan diseminasi (BP4K, Bakorluh)
Selain permasalahan diatas, terdapat kendala lain dalam diseminasi seperti masih minimnya
sarana dan prasarana terkait dengan kegiatan diseminasi khususnya perpustakaan, kios iptek,
media informasi (cetak, elektronik, audio visual). Lebih lanjut rendahnya kompetensi, kapasitas dan
kuantitas sumber daya manusia khususnya SDM penyuluh kelautan dan perikanan dan petugas
teknis di dinas kelautan dan perikanan masih menjadi permasalahan.
Berbagai masalah telah berhasil diidentifikasi dan perlu mendapat perhatian serius. Beberapa
diantaranya ditetapkan sebagai masalah (isu) utama yang perlu segera mendapat penanganan
serius. Namun demikian, penanganan terhadap semua isu utama sekaligus tidak memungkinkan.
Penentuan skala prioritas telah dilakukan dengan menggunakan teknik analisis USG dengan
menggunakan kuantifikasi skala 1-5. Dari analisis prioritas tersebut telah diperoleh hasil bahwa
belum optimalnya penerapan kegiatan Iptekmas dari BBRP2BKP merupakan isu aktual yang
mendapat prioritas untuk segera dikaji kinerjanya.
Keberhasilan dalam menangani isu aktual tersebut akan ditentukan oleh strategi yang
digunakan.Strategi yang sesuai dengan masalah yang dihadapi perlu dilakukan analisis yang
dapat memberikan bahan atau data yang dapat digunakan untuk mengambil keputusan. Teknik
analisis tersebut dikenal dengan istilah Teknik Analisis Manajemen (Sianipiar dan Entang, 2001).
Analisis manajemen adalah suatu proses yang merinci dan menilai keadaan lingkungan
guna memperoleh informasi kemampuan dan sumberdaya yang berpengaruh kuat terhadap
keberhasilan mekanisme diseminasi melalui kegiatan Iptekmas dan dijadikan dasar untuk
menentukan tujuan, sasaran yang rasional dan logis untuk dicapai. Teknik analisis ini dapat
melakukan (a) identifikasi faktor-faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi keberhasilan,
(b) mengolah dan menilai faktor-faktor keberhasilan, (c) menentukan faktor kunci keberhasilan dan
peta kekuatan, (d) merumusakan dan menentukan tujuan, sasaran, kinerja, dan (e) menyusun
strategi, program, dan kegiatan.Teknik analisis manajemen harus diterapkan agar supaya ketidak
pastian dan resiko kegagalan mencapai tujuan dapat dihindari.
Identifikasi Faktor Internal Dan Eksternal (Kekuatan, Kelemahan, Peluang Dan Ancaman)
Analisis manajemen dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain dengan teknik
analisis, yaitu suatu teknik analisis dengan menganalisis kekuatan atau strengths (S), kelemahan
atau weaknesses (W), peluang atau opportunities (O) dan ancaman atau threats (T). Teknik ini
dikenal dengan teknik SWOT (Sianipar dan Entang,2001). Perlu dilakukan identifikasi faktor-faktor
internal dan eksternal yang mempengaruhi keberhasilan, hal ini untuk mendapatkan kunci
keberhasilan dalam mencapai tujuan,
Identifikasi faktor internal dan eksernal didasarkan atas hasil pengamatan di lapangan/lokasi
riset terkait dengan pelaksanaan kegiatan Iptekmas utamanya adalah mekanisme diseminasi
teknologi. Jika pelaksanaan kegiatan Iptekmas sesuai dengan konsep komunikasi khususnya
mekanisme diseminasi dan sesuai dengan kewenangan serta tanggung jawab pelaku diseminasi di
lokasipenelitian ,maka disebut faktor internal, sementara yang tidak sesuai dengan konsep
komunikasi dan dengan kewenangan dan tanggung jawab pelaku diseminasi teknologi (Iptekmas)
di lokasi penelitian menjadi faktor eksternal.
Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-15) - 5
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan 16 Juli 2011
Identifikasi telah dilakukan melalui pendekatan brainstorming yang melibatkan semua tim
peneliti, tim Iptekmas, Dinas terkait, pengolah dan telaahan ketersediaan data dan informasi yang
faktual. Setelah dilakukan brainstorming dan diidentifikasi dengan seksama, maka dapat
diidentifikasi faktor-faktor internal dan eksternal yang berpengaruh terhadap keberhasilan kinerja,
hal ini disajikan di dalam tabel 1 dibawah ini.
Tabel 1. Identifikasi Faktor-Faktor Internal dan Eksternal
No. FAKTOR INTERNAL
Strength Weakness
S1 Telah dikuasainya teknologi pengolahan
oleh pengolah
W1 Teknologi belum didukung sanitasi dan
higiene
S2 Respon pengolah untuk mengadopsi
teknologi cukup tinggi
W2 Kurangnya tindak lanjut terhadap umpan
balik terkait dengan permasalahan
pengolah
S3 Teknologi yang diintroduksikan Iptekmas
sesuai kebutuhan pengolah
W3 Kurangnya dukungan kelembagaan dan
SDM penyuluhan
No. FAKTOR EKSTERNAL
Opportunities Threats
O1 Adanya unit-unit pengolah ikan (UPI) T1 Kurangnya dukungan Pemda terkait
dengan alokasi dana pendampingan
Iptekmas
O2 Adanya diseminasi peningkatan nilai
tambah produk perikanan
T2 Belum adanya institusi/ lembaga yang
menentukan stabilitas harga bahan baku
pengolahan
O3 Adanya kesempatan mengikuti pelatihan
dari instansi terkait
T3 Kurangnya pembinaan pengolah secara
berkesinambungan
Faktor Internal dan Eksternal tersebut diatas dapat dijelaskan sebagai berikut :
Strengths (Kekuatan)
1. Telah dikuasainya teknologi pengolahan oleh pengolah.
Teknologi pengolahan perikanan khususnya teknologi pengolahan abon ikan, kripik belut,
bandeng presto, kerupuk patilo sudah berkembang di Daerah Istimewa Yogyakarta (Kabupaten
Gunung Kidul, Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul dan Kabupaten Kulon Progo. Sebagian
besar pengolah di lokasi tersebut sudah menguasai teknologi pengolahan tersebut. Perbaikan dan
penyempurnaan teknologi pengolahan perlu diintroduksikan guna mengefisiensikan proses
pengolahan serta menghasilkan produk olahan perikanan yang berkualitas.
2. Respon pengolah untuk mengadopsi teknologi cukup tinggi.
Adopsi merupakan hasil dari kegiatan penyampaian penyuluhan yang berupa inovasi,
sehingga proses adopsi dapat digambarkan sebagai suatu proses komunikasi yang diawali dengan
penyampaian inovasi sampai terjadinya perilaku. Menurut Soekartawi (1988) ada tiga hal yang
diperlukan calon adopter berkaitan dengan adopsi inovasi, yaitu 1) adanya pihak lain yang telah
melaksanakan adopsi inovasi dan berhasil dengan sukses, 2) adanya proses adopsi yang berjalan
secara sistematis, 3) adanya hasil inovasi yang sukses dalam artian telah memberikan
keuntungan, sehingga informasi tersebut akan memberikan dorongan kepada calon adopter untuk
melaksanakan adopsi inovasi.
Banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan adopsi teknologi perikanan baik dalam
penerapan paket teknologinya maupun jangka waktu yang dibutuhkan untuk mengadopsi teknologi
tersebut, tidak hanya tergantung dari bentuk teknologi yang dianjurkan tetapi sangat ditentukan
oleh kesediaan pelaku utama dalam mengadopsi teknologi yang dianjurkan. Pelaku utama
(adopter teknologi) terdiri dari beberapa kategori (inovator, pengadopsi awal, mayoritas awal,
mayoritas lambat dan kelompok lamban), masing-masing kategori adopter mempunyai
kemampuan yang berbeda dalam mengadopsi teknologi.
Secara umum, dalam suatu sistem sosial, seseorang tidak akan mengadopsi suatu inovasi
dalam jangka waktu yang bersamaan, melainkan dalam kurun waktu yang berbeda (Kusai, 1996).
Hal ini dikarenakan, kurun waktu merupakan faktor yang penting dalam proses adopsi berkaitan
6 - Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-15)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
dengan (1) Proses pengambilan keputusan untuk mengadopsi suatu inovasi yang terdapat dalam
benak seseorang yang akan menerima atau menolak inovasi tersebut, (2) Keinovatifan seseorang,
yaitu berupa derajat relative dari cepat atau lambatnya seseorang mengadopsi inovasi apabila
dibandingkan dengan orang lain yang berasal dari suatu sistem sosial yang sama, (3) Laju adopsi
inovasi dalam suatu system sosial tersebut, biasanya diukur sebagai jumlah anggota system sosial
tersebut yang mengadopsi inovasi dalam jangka waktu tertentu (Jahi, 1989).
Faktor karakteristik internal dan eksternal pelaku utama yang berpengaruh dalam kegiatan
adopsi adalah umur, tingkat pendidikan formal, tingkat pendidikan non formal, pendapatan, jumlah
tanggungan keluarga, jumlah tenaga kerja dalam keluarga, alasan bertani ikan, kekosmopolitan,
keanggotaan dalam kelompok tani ikan, frekuensi interaksi lembaga terkait, ketersediaan sarana
dan prasarana, jenis pengambil keputusan, asal modal usaha, pengaruh tokoh masyarakat, nilai
tata adat dan pemasaran hasil. Disamping itu, juga dipengaruhi oleh sifat-sifat inovasi itu sendiri
relative advantage, compatibility, complexcity, triability dan ketersediaan input complementer.
Pengolah di DI Yogyakarta termasuk dalam kategori inovator dan pengadopsi awal, pada
kategori tersebut pengolah di DI Yogyakarta sangat respon sekali terhadap teknologi baru (inovasi)
maupun terhadap perbaikan teknologi pengolahan yang selama ini sudah berkembang di
masyarakat. Selain itu factor karakteristik internal dan eksternal pengolah di DI Yogyakarta
mencakup umur, tingkat pendidikan non formal, pendapatan, alas an melakukan usaha
pengolahan, kekosmopolitan, keanggotaan dalam kelompok pengolah, frekuensi interaksi lembaga
terkait, ketersediaan sarana dan prasarana, jenis pengambil keputusan, asal modal usaha,
pengaruh tokoh masyarakat,dan pemasaran hasil berpengaruh terhadap respon pengolah dalam
memutuskan untuk mengadopsi teknologi pengolahan.
3. Teknologi yang diintroduksikan sudah sesuai dengan kebutuhan pengolah.
Pemilihan lokasi Iptekmas telah ditentukan berdasarkan hasil identifikasi/survey bersama
antara tim Iptekmas BBRPPB dengan berkoordinasi dengan Dinas kelautan dan Perikanan Daerah
Istimewa Yogyakarta serta Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten setempat. Identifikasi
dilakukan berdasarkan data primer maupun sekunder. Selanjutnya ditentukan teknologi yang akan
diintroduksikan berdasarkan kebutuhan pengguna, yaitu dengan cara melihat langsung praktik
pengolahan pada unit-unit pengolah ikan (UPI), wawancara dengan pengolah dan diskusi dengan
insansi terkait. Hasil identifikasi kebutuhan teknologi dituangkan dalam bentuk disain teknologi
pengolahan/sarana pengolahan maupun perbaikan kondisi sanitasi dan higiene fasilitas
pengolahan. Selanjutnya disain teknologi disampaikan dalam FGD untuk mendapatkan masukan
tentang teknologi yang diusulkan.
Atas dasar potensi industri pengolahan hasil perikanan yang ada pada tahun 2009,
sasaran penyelenggaraan Iptekmas adalah unit pengolahan hasil perikanan (UPI) di Daerah
Istimewa Yogyakarta yang meliputi 4 kabupaten (Bantul, Sleman, Kulon Progo dan Gunung Kidul).
Secara umum , tahapan pelaksanaan kegiatan Iptekmas adalah : (a) koordinasi penentuan
daerah/lokasi dan unit pengolahan ikan sasaran, (b) identifikasi potensi sumberdaya lokal/unit
pengolah ikan (UPI), (c) penentuan jenis iptek yang akan diintroduksikan melalui FGD (Focus
Group Discussion), (d) perakitan dan pengujian paket iptek terpilih, (e) penyerahan paket terpilih,
(f) diseminasi dan pelatihan, dan monitoring dan evaluasi.
Agar supaya pemberian paket Iptekmas berdaya guna dengan baik, maka telah dilakukan
identifikasi secara intensif terhadap calon penerima paket bantuan Iptekmas yang meliputi lamanya
usaha yang sudah dijalani, jangkauan pemasaran, penyerapan tenaga kerja, kapasitas produksi,
daya listrik terpasang, kemudahan mendapatkan bahan baku dan bahan bantu pengolahan
lainnya. Berdasarkan kriteria di atas maka calon penerima paket bantuan Iptekmas yang terpilih
berjumlah 11 unit pengolahan/penanganan ikan (UPI) yang tersebar di 4 kabupaten (Kulon Progo,
Sleman, Bantul dan Gunung Kidul). Jenis paket teknologi yang diberikan meliputi perbaikan
sanitasi dan penataan lay out ruang pengolahan sebanyak 3 orang (2 orang pengolah pindang
bandeng dan bandeng duri lunak/presto serta 1 orang diversifikasi pengolahan lele/keripik patilo).
Adapun pemberian bantuan paket peralatan pengolahan terdiri dari peralatan pengolahan abon,
keripik patilo, pengolahan agar-agar kertas, pengolahan kripik belut, pengolahan baby fish/wader,
peralatan pengolahan pindang bandeng dan bandeng duri lunak, serta peti berinsulasi untuk
penyimpanan dan transportasi ikan segar.
Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-15) - 7
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan 16 Juli 2011
Weakness (Kelemahan)
1. Teknologi belum didukung sanitasi dan higiene
Pelaksanaan IPTEKMAS mengambil lokasi Kabupaten Sleman, Kabupaten Kulon Progo,
Kabupaten Bantul, Kabupaten Sleman dan Kabupaten Gunung Kidul. Jenis olahan yang
diintroduksikan adalah pindang ikan tongkol/layang/bandeng, pengasapan lele, abon ikan, kerupuk
ikan dan keripik ikan. Terdapat permasalahan dilapangan mengenai kondisi pengolahan yang ada
misalnya sanitasi dan higiene yang kurang baik, tempat pembuangan limbah, alat yang tidak
efisien, ruangan mengolah yang kurang memadai sehingga penuh asap dan pengemasan yang
kurang menarik.
Sanitasi dan higiene dalam proses pengolahan produk perikanan (tongkol/layang/bandeng,
pengasapan lele, abon ikan, kerupuk ikan dan keripik ikan) sangat berpengaruh terhadap kualitas
produk olahan terutama dari sisi keawetan produk olahan serta penampilan produk olahan.
2. Kurangnya tindak lanjut terhadap umpan balik terkait dengan permasalahan pengolah
Umpan balik (feed back) sangat diperlukan untuk melihat respon pengguna terhadap teknologi
yang diintroduksikan. Umpan balik/feed back dari pengguna disampaikan melalui pertemuan atau
diinformasikan langsung kepada petugas dinas kabupaten, propinsi, penyuluh.
Proses feed back/umpan balik dari pengolah produk perikanan yang mendapatkan paket
bantuan program Iptekmas disampaikan secara informal dan formal, proses umpan balik dari
pengolah penerima paket bantuan Iptekmas secara formal telah dilaksanakan melalui Focus Group
Discussion (FGD) dan pada saat kegiatan monitoring dan evaluasi pelaksanaan program Iptekmas
di dua Kabupaten (Gunung Kidul dan Sleman). Adapun mekanisme feedback/umpan balik yang
terjadi telah berjalan dengan baik dengan cara pengolah menyampaikan umpan balik tersebut
melalui forum formal maupun informal.
Secara informal proses feed back/umpan balik juga kerap dilakukan, dimana pengolah
menyampaikan langsung ke petugas/penyuluh dan peneliti ketika mereka sedang berada di
lapangan. Forum ini sangat efektif karena penyuluh secara langsung mengetahui persoalan yang
terjadi.
Namun demikian, terkadang tindak lanjut atau tanggapan dari sumber informasi (BBRP2B)
kurang cepat ditanggapi sesuai dengan kebutuhan pengolah penerima paket bantuan Iptekmas.
Hal ini disebabkan belum adanya kerjasama yang baik antara peneliti dan penyuluh. Dinas
Propinsi ataupun Kabupaten sangat terbuka untuk menindaklanjuti hasil feed back yang
disampaikan oleh pengolah sejauh mereka mampu menyelesaikan sesuai dengan tugas pokok
dan fungsi dinas kelautan dan perikanan Propinsi DIY dan Kabupaten Gunung Kidul serta
Kabupaten Sleman dan Kabupaten Kulon Progo.
3. Kurangnya dukungan kelembagaan dan SDM penyuluhan
Dinas Kelautan dan Perikanan Daerah Istimewa Yogyakarta , maupun Dinas Kelautan dan
Perikanan Kabupaten Gunung Kidul dan Kabupaten Sleman sangat membutuhkan peran optimal
kelembagaan penyuluhan, SDM penyuluh, selama ini penyuluhan di tangani oleh Badan
Ketahanan Pangan Kabupaten, SDM penyuluh sangat minim hanya ada satu orang penyuluh ahli
di tempatkan di BKPK Kabupaten Gunung Kidul, penyuluhan bersifat polivalen. Selama ini
kegiatan penyuluhan perikanan dilakukan oleh petugas teknis dinas sesuai dengan bidang masing-
masing dan melekat di masing-masing Subdin, sehingga koordinasi program dan tugas kepada
penyuluh lebih efektif dan efisien. Petugas tenaga pedamping teknologi (TPT) di rekrut oleh
BPSDMKP, juga sudah ada di Kabupaten Gunung Kidul, keadaan seperti ini juga dialami oleh
Kabupaten Sleman.
Opportunities (Peluang)
1. Adanya unit-unit pengolah ikan (UPI)
Adanya unit pengolah ikan (UPI) membantu pelaksanaan kegiatan Iptekmas dalam hal melihat
gambaran pengolahan produk perikanan yang ada di Kabupaten di lingkup DI Yogyakarta. Melalui
UPI dapat dihimpun data-data yang langsung dari para pengolah. Adapun data yang dihimpun
secara rinci terdiri dari : jenis diversifikasi yang telah dilakukan, kapasitas produksi yang sudah
berjalan, sistem pemasaran, permodalan, jumlah enaga kerja yang terlibat, jenis peralatan yang
digunakan untuk diversifikasi produk perikanan, lokasi produksi, tingkat sanitasi, dan motivasi
calon penerima bantuan alat.
8 - Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-15)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
2. Adanya diseminasi peningkatan nilai tambah produk perikanan
Diseminasi peningkatan nilai tambah produk perikanan dan rumput laut telah dilakukan di
Kabupaten Gunung Kidul melalui sosialisasi dan pelatihan pengolahan dendeng (tuna dan lumat),
amplang tuna, bakso lele, kerupuk kulit lele, crispy (tulang, daging, kulit lele), camilan mie ikan,
corn flake tuna , dodol rumput laut, permen jelly, jelly drink dan ikan asap. Sedangkan diseminasi
peningkatan nilai tambah produk perikanan di kabupaten Sleman berupa sosialisasi pemakaian
peralatan paket bantuan Iptekmas, kegiatan sosialisasi di Kabupaten Sleman merupakan
gabungan antar Kabuaten Sleman, Kabupaten Bantul dan Kabupaten Kulon Progo. Diseminasi
peningkatan nilai tambah yang dilakukan di Kabupaten Sleman berupa pengolahan camilan mie
ikan, dendeng belut, kerupuk ikan, crispy ikan teri, crispy ikan lele, bakso ikan lele, corn flake ikan,
ekado dan rolade ikan.
3. Adanya kesempatan mengikuti pelatihan dari instansi terkait.
Pelatihan pengolahan produk perikanan merupakan sarana proses alih teknologi dari sumber
informasi/teknologi kepada pengguna ( pengolah, staf teknis dinas terkait dan penyuluh ,tenaga
pendamping teknologi). Kegiatan Iptekmas telah memfasilasi pelatihan pengolahan produk
perikanan, selain dari BBRP2B, pelatihan produk perikanan juga diselenggarakan oleh Dinas
Kelautan Daerah Istimewa Yogyakarta dan Dinas Kabupaten. Oleh karena itu, kesempatan untuk
mengikuti pelatihan produk perikanan sangat terbuka luas. Melalui kegiatan pelatihan, selain
mendapatkan pencerahan terkait dengan peningkatan pengetahuan pengolahan produk perikanan,
juga dapat meningkatkan motivasi untuk mengadopsi teknologi pengolahan perikanan yang
diberikan pada kegiatan pelatihan tersebut.
Threats (Tantangan)
1. Kurangnya dukungan Pemda terkait dengan alokasi dana pendampingan Iptekmas.
Alokasi dana Pemda DI Yogyakarta maupun Pemda kabupaten (Kabupaten Sleman,
Kabupaten Gunung Kidul, Kabupaten Bantul dan Kabupaten Kulon Progo), khususnya untuk
pengembangan teknologi pengolahan produk perikanan terkait dengan pendampingan kegiatan
Iptekmas sangat minim dan anggaran yang setiap tahun disediakan oleh pemda juga masih
terbatas. Hal ini menunjukkan komitmen untuk pengembangan sektor kelautan dan perikanan
terutama untuk pengembangan teknologi pengolahan produk perikanan sangat kurang. Apabila
keadaan seperti ini terus berlanjut, maka dikhawatirkan kegiatan Iptekmas dari BBRP2B tidak
berkesinambungan, hanya berjalan sesaat pada saat kegiatan Iptekmas diintroduksikan saja.
2. Belum adanya institusi/lembaga yang menentukan stabilitas harga bahan baku pengolahan.
Stabilitas harga bahan baku pengolahan produk perikanan diperlukan oleh pelaku usaha
pengolahan produk perikanan, utamanya oleh pengolah produk perikanan, jaminan stabilitas harga
dapat memprediksi jumlah keuntungan yang akan diterima oleh pengolah. Apabila harga bahan
baku pengolahan tidak stabil maka akan berakibat tidak stabilnya pendapatan pengolah produk
perikanan bahkan dapat menyebabkan kerugian bagi pengolah produk perikanan. Oleh karena itu
perlu dibentuk institusi/lembaga yang menentukan stabilitas harga bahan baku pengolahan,
sehingga harga bahan baku pengolahan mempunyai posisi tawar yang tinggi serta dapat
meningkatkan kesejahteraan pengolah.
3. Kurangnya pembinaan pengolah secara berkesinambungan
Terbatasnya SDM penyuluh dan penyuluhan yang bersifat polivalen di lokasi riset, maka
berakibat terhadap sistem pembinaan pengolah produk perikanan. Penyuluhan yang bersifat
polivalen akan berdampak terhadap tidak fokusnya materi penyuluhan yang disampaikan kepada
pengolah, selanjutnya terbatasnya SDM penyuluh akan mengurangi frekuensi interaksi antara
penyuluh dengan pengolah, padahal pengolah perlu melakukan interaksi dengan penyuluh secara
intensif terutama apabila pengolah menghadapi permasalahan dalam usaha pengolahan. Keadaan
inilah yang menyebabkan pembinaan pengolah terkait dengan pelaksanaan Iptekmas berjalan
kurang berkesinambungan.
Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-15) - 9
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan 16 Juli 2011
Evaluasi Faktor Internal dan Eksternal
Penentukan faktor internal dan eksternal merupakan kunci keberhasilan,untuk itu perlu
dilakukan penilaian atau evaluasi terhadap setiap faktor yang teridentifikasi. Suatu faktor disebut
strategis jika memiliki nilai lebih dari faktor yang lain. Faktor yang memberikan nilai kontribusi tinggi
dan keterkaitan tinggi terhadap berbagai keberhasilan maka faktor tersebut selanjutnya menjadi
kunci keberhasilan. Aspek yang dinilai dari setiap faktor adalah sebagai berikut :
1) Urgensi faktor terhadap misi, yaitu mempunyai nilai urgensi (NU) dan bobot faktor (BF)
2) Dukungan faktor yang dievaluasi terhadap misi, yaitu meliputi nilai dukungan (ND) dan nilai
bobot dukungan (NBD)
3) Keterkaitan antar faktor terhadap misi, meliputi nilai keterkaitan (NK), nilai rata-rata keterkaitan
(NRK) dan nilai bobot keterkaitan (NBK)
Setiap faktor berpotensi memiliki urgensi/dukungan/keterkaitan sebagai unggulan untuk
meraih keberhasilan. Tinggi rendahnya dukungan tersebut digambarkan dengan nilai yang
diberikan (skala 1-5). Kriteria penilaian tersebut adalah dari keterkaitan sangat kurang baik (1)
sampai dengan keterkaitan sangat baik (5).
Apabila memberikan nilai urgensi/dukungan/keterkaitan terhadap faktor yang dievaluasi
maka akan diperoleh nilai NU, ND dan NK. Nilai BF, NBD, NRK, NBK dan TNB (total nilai bobot)
dihitung berdasarkan formula berikut ini dan hasilnya disajikan di dalam tabel 2
% 100
) (
x
NU
NU
BF

BF x ND NBD

1 N
TNK
NRK BF X NRK NBK
sedangkan ................. NBK NBD TNB
Tabel 2. Evaluasi Faktor Internal dan Eksternal
No Faktor yang dievaluasi NU BF(%) ND NBD NRK NBK TNB
A
Faktor Internal
Kekuatan(Strength/S)
1 S1 3 20 4 0,80 2,64 0,53 1,33
2 S2 3 20 4 0,80 2,82 0,56 1,36
3 S3 2 13,3 3 0,40 3,09 0,41 0,81
3,50
B Kelemahan(Weakness/W)
1 W1 3 20 3 0,60 2,36 0,47 1,07
2 W2 2 13,3 2 0,27 2,73 0,36 0,63
3 W3 2 13,3 2 0,27 2,36 0,32 0,58
2,28
Jumlah 15 100 3,13 1,22
Faktor Eksternal
C Peluang(Opportunity/O)
1 O1 3 20 4 0,8 2,36 0,47 1,27
2 O2 4 26,67 3 0,8 2,09 0,56 1,36
3 O3 3 20 3 0,6 2,45 0,49 1,09
3,72
D Ancaman(Treat/T)
1 T1 2 13,3 2 0,27 2,18 0,29 0,56
2 T2 2 13,3 1 0,13 1,82 0,24 0,38
3 T3 1 6,67 2 0,13 1,45 0,10 0,23
1,16
Jumlah 15 100 2,73 2,56
Keterangan : Nilai urgensi (NU) ,bobot faktor (BF), nilai dukungan (ND), nilai bobot dukungan
(NBD), nilai keterkaitan (NK), nilai rata-rata keterkaitan (NRK), nilai bobot keterkaitan (NBK) dan
10 - Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-15)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
TNB (total nilai bobot). S1 : Telah dikuasainya teknologi pengolahan oleh pengolah, S2 : Respon
pengolah untuk mengadopsi teknologi cukup tinggi, S3 Teknologi yang diintroduksikan sudah
sesuai dengan kebutuhan pengolah, W1 : Teknologi belum didukung sanitasi dan higiene , W2:
Kurangnya tindak lanjut terhadap umpan balik terkait dengan permasalahan pengolah, W3 :
Kurangnya dukungan kelembagaan dan SDM penyuluhan , O1: Adanya unit-unit pengolah ikan
(UPI), O2 : Adanya diseminasi peningkatan nilai tambah produk perikanan, O3 : Adanya
kesempatan mengikuti pelatihan dari instansi terkait. T1 : Kurangnya dukungan Pemda terkait
dengan alokasi dana pendampingan Iptekmas , T 2 : Belum adanya institusi/lembaga yang
menentukan stabilitas harga bahan baku pengolahan.T3 : Kurangnya pembinaan pengolah secara
berkesinambungan,
Tabel 2 menjabarkan hasil evaluasi terhadap faktor internal dan eksternal, bahwa
kekuatan (strengths), kelemahan (weaknesses), peluang (opportunities) dan ancaman (threats)
yang terjadi adalah sebagai berikut :
Kekuatan (strengths) : 1) Respon pengolah untuk mengadopsi teknologi cukup tinggi, 2) Telah
dikuasainya teknologi pengolahan oleh pengolah
Kelemahan (weakness): 1) Teknologi belum didukung sanitasi dan higiene, 2) Kurangnya tindak
lanjut terhadap umpan balik terkait dengan permasalahan pengolah
Peluang (opportunities): 1) Adanya diseminasi peningkatan nilai tambah produk perikanan, 2)
Adanya unit-unit pengolah ikan (UPI)
Ancaman (threats): 1) Kurangnya dukungan Pemda terkait dengan alokasi dana pendampingan
Iptekmas, 2) Belum adanya institusi/lembaga yang menentukan stabilitas harga bahan baku
pengolahan.
Faktor Kunci Keberhasilan Dan Peta Kekuatan Mekanisme Diseminasi Kinerja Iptekmas BBRPPB
Seperti telah dibahas di bab sebelumnya, bahwa suatu faktor disebut strategis atau
menjadi kunci keberhasilan apabila memiliki nilai lebih tinggi dari faktor yang lain. Kunci
keberhasilan tersebut dapat berupa strengths, weaknesses, opportunities, dan threats. Tabel 3
menyajikan faktor kunci keberhasilan dari hasil evaluasi terhadap faktor internal dan eksternal.
Tabel.3.Faktor-faktor Kunci Keberhasilan
No. FAKTOR INTERNAL
Strength (3.5) Weakness (2.28)
1. Respon pengolah untuk mengadopsi
teknologi cukup tinggi
1. Teknologi belum didukung sanitasi dan
higiene
2 Telah dikuasainya teknologi pengolahan
oleh pengolah
2. Kurangnya tindak lanjut terhadap umpan
balik terkait dengan permasalahan
pengolah
No. FAKTOR EKSTERNAL
Opportunities (3.72) Threats (1,16)
1. Adanya diseminasi peningkatan nilai
tambah produk perikanan
1. Kurangnya dukungan Pemda terkait
dengan alokasi dana pendampingan
Iptekmas
2. Adanya unit-unit pengolah ikan (UPI) 2. Belum adanya institusi/ lembaga yang
menentukan stabilitas harga bahan baku
pengolahan
Berdasarkan tabel 3 maka dapat diketahui peta posisi kekuatan mekanisme diseminasi
melalui kegiatan Iptekmas dari BBRP2B dengan memetakannya pada sebuah kurva kwadran
dapat dilihat pada gambar 1. Kurva tersebut dibuat dengan menempatkan strengths dan
weaknesses pada satu garis vertikal, sedangkan opportunities dan threats diletakkan pada satu
garis horisontal.
Kurva yang dihasilkan tersebut dibagi menjadi 4 kwadran. Kwadran I merupakan bidang
yang dibentuk antara strengths dan opportunities, kwadran II antara strengths dan threats,
kwadran III antara threats dan weaknesses, dan kwadran IV antara opportunities dan weaknesses.
Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-15) - 11
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan 16 Juli 2011
Gambar 1. Peta Posisi Kekuatan Mekanisme Diseminasi Melalui Kinerja
Iptekmas dari BBRP2B
Posisi kekuatan kekuatan mekanisme diseminasi terletak pada kwadran I (dapat dilihat
pada Gambar 1). Apabila posisi kekuatan ada di kwadran I, maka mempunyai kharakteristik
strategi ekspansi atau pengembangan. Perpaduan antara kekuatan dan kesempatan merupakan
kunci suatu strategi SO ke arah ekspansi atau pengembangan, pertumbuhan, perluasan dalam
bidang tertentu dalam mencapai tujuan atau peluang yang menjanjikan.
Posisi ini menunjukkan bahwa mekanisme diseminasi memiliki kekuatan cukup besar
(1,22) untuk memanfaatkan peluang yang ada (2,56). Melihat realitas yang ada,dapat dikatakan
bahwa mekanisme diseminasi kegiatan Iptekmas dari BBRP2B memiliki keunggulan kompetitif
untuk meningkatkan kinerja diseminasi teknologi pengolahan produk perikanan melalui kegiatan
Iptekmas dengan memanfaatkan peluang yang ada.
Formulasi Dan Penetapan Strategi
Teknik penyusunan strategi yang digunakan adalah strategi pola interaksi. Artinya
kekuatan kunci yang dipilih diinteraksikan ke arah faktor 1 dan 1; 2 dan 2, kekuatan kunci 1
dipadukan dengan peluang kunci 1 kearah sasaran kinerja yang akan dicapai sebagai salah satu
alternatif strategi, sehingga setiap satu indikator akan dicapai dengan 2 (dua) alternatif strategi.
Demikian juga kunci penghambat difokuskan ke arah indikator. Dengan cara demikian akan terjadi
antara 2 kekuatan pendorong dan dua kekuatan penghambat dalam mencapai indikator kinerja.
Berdasarkan teknik tersebut diformulasikan strategi seperti pada tabel 4. berikut ini :
S = 3,5
(+)
W = 2,28
(-)
T = 1,16
(-)
O = 3,72
(+)
1,22
2,56
12 - Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-15)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Tabel 4. Formulasi Strategi SWOT
Strengths (Kekuatan) Weaknesses (Kelemahan)
Respon pengolah untuk
mengadopsi teknologi cukup tinggi
Teknologi belum didukung sanitasi
dan higiene
Telah dikuasainya teknologi
pengolahan oleh pengolah
Kurangnya tindak lanjut terhadap
umpan balik terkait dengan
permasalahan pengolah
Opportunities (Peluang)
Adanya diseminasi peningkatan
nilai tambah produk perikanan
Optimalkan diseminasi peningkatan
nilai tambah produk perikanan
melalui tingginya respon pengolah
untuk mengadopsi teknologi
pengolahan perikanan
Adanya unit-unit pengolah ikan
(UPI)
Tingkatkan penguasaan teknologi
pengolahan produk perikanan
melalui ketersediaan UPI
Threats (Ancaman)
Kurangnya dukungan Pemda
terkait dengan alokasi dana
pendampingan Iptekmas
Belum adanya institusi/lembaga
yang menentukan stabilitas harga
bahan baku
Faktor Internal
Faktor Eksternal
Perlu adanya komitmen instansi terkait dengan mekanisme diseminasi teknologi
pengolahan produk perikanan untuk mendukung proses alih teknologi melalui kegiatan Iptekmas
dari BBRP2B, terkait dengan pencapaian sasaran strategi sebagaimana yang telah ditetapkan.
Terkait dengan sasaran yang ingin dicapai diharapkan pelaku diseminasi mempunyai kontribusi
yang besar untuk suksesnya proses alih teknologi. Namun harus lebih difokuskan kepada kinerja
mekanisme diseminasi sesuai konsep komunikasi. Pemilihan strategi tersebut dapat menggunakan
Teori Tapisan yang diharapkan pada pelaksanaannya paling efektif. Pencapaian sasaran kinerja
mekanisme diseminasi melalui program Iptekmas dari BBRP2B yang telah ditetapkan dengan
prinsip :paling murah biayanya serta paling praktis pelaksanaannya didasarkan atas 3 (tiga) kriteria
sebagai berikut : (1) Efektivitas dalam pencapaian sasaran (efektivitas), (2) Praktis akan
pelaksanaannya (kemudahan), (3) Sumber daya yang paling efisien (biaya)
Sedangkan teknik penilaiannya menggunakan skala 1 sampai 5, dengan sistem sebagai
berikut : mulai dari nilai 1 (sangat sulit dicapai) sampai dengan nilai 5 (sangat mudah dicapai).
Hasil penilaian dan penentuan strategi dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-15) - 13
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan 16 Juli 2011
Tabel 5. Penentuan Strategi menurut Teori Tapisan
No. Alternatif strategi Efektifitas Kemudahan Biaya Total
Ket
.
1. Optimalkan diseminasi peningkatan
nilai tambah produk perikanan
melalui tingginya respon pengolah
untuk mengadopsi teknologi
pengolahan perikanan
3 3 2 8 II
2. Tingkatkan penguasaan teknologi
pengolahan pengolahan produk
perikanan melalui ketersediaan UPI
4 4 3 11 I
Berdasarkan nilai dari penentuan strategi menurut teori tapisan pada tabel 5. diatas, maka
strategi yang harus diambil sebagai strategi prioritas adalah Tingkatkan Penguasaan Teknologi
Pengolahan Produk Perikanan Melalui Ketersediaan Unit Pengolah Ikan (UPI)
Agar strategi terlaksana dengan baik dalam mencapai sasaran, maka perlu disusun
kebijakan operasional sebagai pedoman dalam menjabarkan strategi ke dalam program dan
kegiatan. Kebijakan operasional merupakan acuan, pedoman yang memberikan arah program,
kegiatan yang akan dilakukan, dan sumberdaya yang akan diberdayakan dalam mencapai sasaran
kinerja yang telah ditetapkan. Kebijakan operasional perlu ditetapkan dan diarahkan untuk
memperbaiki kelemahan yang ada.
Kesimpulan
Hasil analisis SWOT kinerja mekanisme diseminasi melalui penerapan kegiatan Iptekmas
dari BBRP2B adalah sebagai berikut : faktor strengths/kekuatan adalah 1) Telah dikuasainya
teknologi pengolahan oleh pengolah, 2)Respon pengolah untuk mengadopsi teknologi cukup
tinggi, 3) Teknologi yang diintroduksikan sudah sesuai dengan kebutuhan pengolah. Faktor
weakness/kelemahan adalah 1) Teknologi belum didukung sanitasi dan higiene, 2) Kurangnya
tindak lanjut terhadap umpan balik terkait dengan permasalahan pengolah, 3) Kurangnya
dukungan kelembagaan dan SDM penyuluhan. Faktor opportunities/peluang adalah 1) Adanya
unit-unit pengolah ikan (UPI), 2) Adanya diseminasi peningkatan nilai tambah produk perikanan, 3)
Adanya kesempatan mengikuti pelatihan dari instansi terkait. Selanjutnya faktor threats/ancaman
adalah 1) Kurangnya dukungan Pemda terkait dengan alokasi dana pendampingan Iptekmas, 2)
Belum adanya institusi/lembaga yang menentukan stabilitas harga bahan baku pengolahan, 3)
Kurangnya pembinaan pengolah secara berkesinambungan. Strategi akselerasi mekanisme
diseminasi penerapan Iptekmas dari BBRP2B adalah meningkatkan penguasaan teknologi
pengolahan produk perikanan melalui ketersediaan unit pengolah ikan (UPI).
Daftar Pustaka
Anonim. 2002. PP No 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan. Jakarta
Anonim. 2008. Kebijakan Umum Katahanan Pangan 2006 2009 Dewan Ketahanan Pangan,
Jakarta, 2008.
Anonimous, 2009. laporan Akhir IPTEKMAS, Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan
Bioteknologi Kelautan dan Perikanan, BRKP.
Anonimous, 2009. Model penerapan IPTEKMAS Dalam Pengembagan kawasan budidaya Ikan
Nilem, Laporan Kegiatan, Pusat Riset Perikanan Budidaya
Berlo. 1960. Planning for in inovation Through Disemination an Utilitizen of Knowlage
14 - Semnaskan _UGM / Sosial Ekonomi (SE-15)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
The University of Macigan, un arbur Micigan.
Dinas Peternakan dan Perikanan, 2008. data Base Peternakan dan Perikanan,
Kabupaten Banyumas
Erlina, M.D; Zahri N, Manadiyanto; Nendah K; Rizky M; Nensyana S; Bambang G.N
dan A. Azizi, 2008. Diseminasi dan Dissonansi Inovasi Teknologi Perikanan
Tangkap ( Laporan teknis). Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan Perikanan.
BRKP. DKP. Jakarta.
Lionberger dan Gwin (1982). Communication Stategies, a Guide for Agricultural
Change Agent. Denvile The Intersate Printers & Publication,Inc.
Onong, L.E, 1977. Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek. PT Remaja Rosdakarya,Bandung
Indrayanti, Y. 2003. Strategi Ketahanan Pangan Pada Komunitas Petani.
Tesis Program Pasca sarjana IPB.
Sianipar, J.P.G dan Entang, H.M. 2008. Teknik-Teknik Analisis Manajemen. Modul Pendidikan dan
Pelatihan Kepemimpinan Tingkat III. Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia.
Jakarta. 2008.
Semnaskan _UGM / Kelautan (KL-09) - 1
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Studi Pendahuluan Tentang Kelimpahan Ikan Hias Injel Napoleon
Pomacanthus xanthometapon Di Perairan Kabupaten Pangkep,
Sulawesi Selatan
Mauli Kasmi
1,2)
, M. Natsir Nessa
3)
, Jamaluddin Jompa
3)
, dan Budimawan
3)
1)
Jurusan Agribisnis Perikanan, Politeknik Pertanian Negeri Pangkep
2)
Mahasiswa Program S3 Pascasarjana Universitas Hasanuddin
3) Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan-Unhas, Makassar
Email : maulyk@yahoo.co.id
Abstrak
Tujuan penelitian ini adalah mengestimasi dan menganalisis kelimpahan ikan hias Injel Napoleon
(Pomacanthus xanthometapon) berdasarkan kondisi tutupan karang hidup di perairan Kabupaten
Pangkep, Sulawesi Selatan. Ikan hias Injel Napoleon ini merupakan ikan hias laut termahal. Ikan
ini hidup dan berkembang biak di habitat terumbu karang. Keberadaan dan kemunculannya pada
habitat terumbu karang ini masih belum diketahui secara jelas. Kerusakan terumbu karang yang
terjadi selama ini diperkirakan turut mengancam ketersedian ikan hias ini. Oleh karena itu,
informasi kelimpahan kaitannya dengan kondisi terumbu karang (prosentase dan jenis tutupan
karang hidup) menjadi sangat penting. Metode penelitian didasarkan pada sampling paralel antara
kelimpahan (visual sensus) dan prosentase tutupan karang hidup (Point Intercept Transect) di
lokasi penelitian. Lokasi penelitian di Perairan Kepulauan Liukang Tumpabbiring dan Kepulauan
Liukang Tangaya. Analisis keterkaitan kelimpahan dan tutupan karang hidup dilakukan dengan
regresi linier.. Hasil kajian menunjukkan bahwa Status tutupan karang di perairan Kepulauan
Tuppabiring bentuk reef flat berada pada kondisi baik (53,50 %), reef cress sedang (47,28%), dan
reef slope baik (52,78%), sedangkan di perairan Kepulauan Liukang Tangaya yang ditemukan
pada bentuk reef flat berada pada kondisi baik (54,17 %), reef cress baik (58,11%), dan reef
slope baik ( 60,28%).
Kelimpahan ikan Injel Napoleon sebesar 0,0004 ekor/m
2
dan standing stock 12.411.333 ekor pada
perairan Kepulauan Liukang Tupabbiring sedangkan pada Kepulauan Liukang Tangaya sebesar
0,016 ekor/m
2
dan standing stock 727.718.000.
Kata kunci : Kelimpahan, Ikan Hias Injel Napoleon, Tutupan Karang Hidup
Pengantar
Ikan hias Injel Napoleon ini termasuk dalam famili Pomanchantidae dan termasuk ikan
yang cantik, badannya bulat, panjang, dan pipih. Sisik berukuran kecil, keras, stenoid dengan
striae longitudinal dan berkerut-kerut. Pada kepala, sisik berukuran lebih kecil diserati gurat sisi
melengkung sampai dasar ekor. Ikan hias Injel Napoleon ini merupakan ikan hias laut yang
mempunyai nilai ekonomi paling mahal di kelas ikan injel dengan harga 40$ sampai 60$. Ikan ini
hidup dan berkembang biak di habitat terumbu karang terutama yang ditumbuhi alga sebagai
makanannya. Keberadaan dan kemunculannya pada habitat terumbu karang ini masih belum
diketahui secara jelas. Kerusakan terumbu karang yang terjadi selama ini diperkirakan turut
mengancam ketersedian ikan hias ini. Oleh karena itu, informasi kelimpahan kaitannya dengan
kondisi terumbu karang (prosentase dan jenis tutupan karang hidup) menjadi sangat penting.
Terumbu karang dikenal sebagai ekosistem yang sangat kompleks dan produktif dengan
keanekaragaman biota tinggi seperti moluska, crustacea dan ikan karang. Biota yang hidup di
terumbu karang merupakan suatu komunitas yang meliputi kumpulan kelompok biota dari berbagai
tingkat tropik, dimana masing-masing komponen dalam komunitas ini mempunyai ketergantungan
yang erat satu sama lain.
Russel et al. (1978) menyatakan bahwa distribusi ruang (spatial distribution) berbagai jenis
ikan karang bervariasi menurut kondisi dasar perairan, perbedaan habitat terumbu karang
menyebabkan pula adanya perbedaan kumpulan ikan-ikan. Dengan kata lain interaksi intra- dan
inter-jenis berperan penting dalam penentuan pewilayahan (spacing). Tiap kumpulan ikan masing-
masing mempunyai kesukaan (preferensi) terhadap habitat tertentu, sehingga masing-masing
kumpulan ikan menghuni wilayah yang berbeda.
KL-09
2 - Semnaskan _UGM / Kelautan (KL-09)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Tujuan penelitian ini adalah mengestimasi dan menganalisis kelimpahan ikan hias Injel
Napoleon Pomacanthus xanthometapon dan berdasarkan kondisi tutupan karang hidup di perairan
Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan.
Bahan dan Metode
Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilakukan di Kepulauan Liukantangaya meliputi Pulau Sapuka Kecil, Karang
Koko, dan Tinggalungan yang dilaksanakan selama 21 hari dari tanggal 24 juli sampai 10 Agustus
2010. Sedangkan Kepulauan Tuppabiring meliputi Pulau Gondongbali, Pamanggangan, dan
Sarappo Keke yang dilaksanakan selama 14 hari dari tanggal 25 oktober sampai 7 November
2010.
Prosedur Penelitian
Stasiun sampling pada masing-masing sub stasiun akan ditentukan berdasarkan kriteria
penutupan karang hidup dan bentuk pertumbuhan karang atau topografi perairan (reef edge, reef
cress, slope). Beberapa metode survey terumbu karang seperti (Point Intercept Transect) menurut
petunjuk (English et al,1997), akan digunakan untuk mendapatkan gambaran mengenai kondisi
substrat dan bentuk pertumbuhan karang dengan panjang transek 100 m untuk setiap zona (reef
edge, reef cress, slope).
Sedangkan untuk menduga kelimpahan ikan injel napoleon akan digunakan metode visual
sensus seiring dengan garis transek pengamatan bentuk tutupan karang pada masing-masing
zona . Pengamatan dilakukan sepanjang 100 m garis transek dengan jarak pandang sejauh 2,5 m
ke sebelah kiri dan 2,5 m ke sebelah kanan garis transek (pengamatan berada di tengah),
selanjutnya jenis ikan injel napoleon dicatat jumlah kehadirannya.
Hasil dan Pembahasan
Kondisi Habitat Ikan Injel Napoleon Pomacanthus xanthometapon di Kepulauan Kec. Liukang
Tuppabiring dan Liukang Tangaya
Berdasarkan kondisi habitat di kepulauan Kec. Liukang Tuppabiring dan Kec. Liukang
Tuppabiring disajikan pada gambar 1. Kondisi bentuk tutupan karakteristik habitat di dua
kepulauan periaran Kabupaten Pangkep menunjukkan bahwa prosentase tutupan karang rata-rata
baik yaitu zona reef flat, reef cress, dan reef slope bahwa tutupan karang perairan kepulauan Kec.
Liukang Tangaya rata-rata di atas kepulauan Kec. Liukang Tuppabiring.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa status tutupan karang di perairan Kepulauan
Kec. Tuppabiring khususnya pada zona reef flat berada pada kondisi baik (53,50 %), status
tutupan karang pada zona reef cress berada pada kondisi sedang (47,28%), dan zona reef slope
berada pada kondisi baik ( 52,78%). Adapun kondisi status tutupan karang di perairan Kepulauan
Kec. Liukang Tangaya yang ditemukan pada zona reef flat berada pada kondisi baik (54,17 %),
status tutupan karang pada zona reef cress berada pada kondisi baik (58,11%), dan zona reef
slope berada pada kondisi baik ( 60,28%) (gambar 1).
Semnaskan _UGM / Kelautan (KL-09) - 3
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Gambar 1. Bentuk Tutupan Karakteristik Habitat Presentase
Hubungan antara Kondisi Habitat dan Kelimpahan Ikan Injel Napoleon Pomacanthus
xanthometapon di Kepulauan Kec. Tuppabiring dan Liukang Tangaya
Ikan Injel Napoleon yang ditemukan di wilayah perairan kepulauan Kec. Liukang
Tuppabiring pada daerah reef cress dan reef slope masing-masing 1 ekor. Sementara itu pada reef
flat tidak ditemukan ikan Injel Napoleon. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kelimpahan ikan
sebesar 0,0004 ekor/m
2
dan standing stock 12.411.333 ekor pada wilayah perairan Kec.
Kepulauan Liukang Tupabbiring dengan tutupan karang hidup sebesar pada bentuk reef flat
berada pada kondisi baik (53,50 %). Status tutupan karang pada reef cress berada pada kondisi
sedang (47,28%), dan reef slope berada pada kondisi baik ( 52,78%). Pada wilayah perairan
Kepulauan Kec. Liukang Tangaya Ikan Injel Napoleon yang ditemukan pada daerah reef cress
sebanyak 39 ekor dan reef slope sebanyak 24 ekor serta reef flat sebanyak 9 ekor. Sehingga
didapat kelimpahan ikan sebesar 0,016 ekor/m
2
dan ketrsediaan ikan Injel Napoleon atau standing
stock 727.718.000 dengan dengan tutupan karang hidup sebesar pada bentuk reef flat berada
pada kondisi baik (54,17 %). Status tutupan karang pada reef cress berada pada kondisi sedang
(58,11%), dan reef slope berada pada kondisi baik (60,28%).
Densitas , standing stock ikan injel napoleon dan tutupan karang pada wilayah perairan
Kepulauan Kec. Liukang Tuppabiring dan Liukang Tangaya disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Densitas, standing stock ikan Injel napoleon dan tutupan karang di wilayah perairan
Kepulauan Kec. LiukangTupabiring dan Liukang Tangaya
Wilayah Densitas
Standing
Stock Tututupan Karang
Jumlah
Ikan
(M
2)
(ekor) Bentuk Persentase (ekor)
Liukang
Tuppabiring 0,0004 12.411.333 Flat 53,50 8,72 0
Cress 47,28 7,89 1
Slope 52,78 17,04 1
Liukang
Tangaya 0,016 727.718.000 Flat 54,17 9,16 39
Cress 58,11 11,60 24
Slope 60,28 8,40 9
4 - Semnaskan _UGM / Kelautan (KL-09)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Secara umum densitas dan standing stock ikan Injel Napoleon lebih tinggi pada wilayah
perairan Kec.Liukang Tupabiring disbanding wilayah perairan Kec. Liukang Tangaya meskipun
luas tutupan karang hamper sama. Hal ini diduga disebabkan tingkat ekploitasi ikan Injel Napoleon
di Liukang Tupabiring sudah mengalami over exploitasi. Fenomena ini terlihat dari hasil transek
yang jumlahnya berkiisar 0 - 1 ekor. Selain itu, wilayah perairan Kec. Kepulauan Liukang
Tuppabiring cukup dekat dari wilayah pesisir Sulawesi Selatan sehingga memudahkan bagi
armada penangkapan untuk melakukan penangkapan ikan Injel Napoleon di wilayah tersebut.
Sementara itu, wilayah Kepulauan Liukang Tangaya cukup jauh sehingga membutuhkan waktu
tempuh yang cukup lama ( 24 jam) menuju ke wilayah tersebut. Dengan demikian banyak
penangkap ikan yang memiliki pertimbangan untuk melakukan penangkapan di wilayah tersebut.
Jumlah ikan di wilayah perairan Kepulauan Kec. Liukang Tangaya lebih banyak ditemukan
pada daerah flat dibandingkan slope dan cress. Hal ini diduga daearh flat merupakan daerah
asuhan, hal ini sesuai dengan kenyataan di lapangan dimana banyak ditemukan juvenile ikan Injel
Napoleon. Sementara itu, daerah slope jumlah ikan yang ditemukan paling sedikit. Kemungkinan
ikan-ikan ukuran tertentu (kecil) memiliki keterbatasan atau kemampuan berenang ke perairan
yang lebih dalam sehingga keberadaannya di perairan agak dangkal (flat dan cress). Hal ini sesuai
dengan kenyataan di lapangan dimana ikan-ikan Injel Napoleon yang ditemukan di daerah slope
berukuran lebih besar (dewasa).
Hubungan antara luasan tutupan karang dan jumlah ikan berpola linier dengan persamaan
regresi: Y = -0,346 + 0,008 x (R
2
= 0,181) untuk wilayah perairan kepulauan Kec. Liukang
Tuppabiring dan dan Y = 3,189 - 0,009 x (R
2
= 0,003) untuk Liukang Tangaya. Nilai koefisien
korelasi dari kedua wilayah periaran tersebut sangat lemah yakni hanya 0,181 dan 0,003 yang
menunjukkan bahwa pengaruh luas tutupan karang hanya berkisar 18,1 dan 3% terhadap
keberadaan ikan Injel Napoleon. Dengan demikian, diduga terdapat faktor-faktor lain yang
mempengaruhi keberadaan ikan tersebut.
Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan
Berdasarkan penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Status tutupan karang di perairan Kepulauan Tuppabiring bentuk reef flat berada pada
kondisi baik (53,50 %), reef cress sedang (47,28%), dan reef slope baik (52,78%),
sedangkan di perairan Kepulauan Liukang Tangaya yang ditemukan pada bentuk reef flat
berada pada kondisi baik (54,17 %), reef cress baik (58,11%), dan reef slope baik (
60,28%).
2. Kelimpahan ikan Injel Napoleon sebesar 0,0004 ekor/m
2
dan standing stock 12.411.333
ekor pada perairan Kepulauan Liukang Tupabbiring sedangkan pada Kepulauan Liukang
Tangaya sebesar 0,016 ekor/m
2
dan standing stock 727.718.000.
Saran
Dari hasil penelitian ini disarankan untuk dilakukan penelitian lanjutan pada lokasi yang lain
dengan waktu yang lebih lama.
Ucapan Terima Kasih
Penulis mengucapkan terima kasi kepada Bpk. Prof. Dr. Ir. M. Natsir Nessa, MS , Prof. Dr.
Ir. Jamaluddin Jompa, M.Sc , dan Prof. Dr. Ir. Budimawan, DEA yang telah banyak membimbing
dan memberikan masukan serta kepada semua pihak yang telah membantu, sehingga penelitian
ini dapat selesai dengan baik.
Daftar Pustaka
English, S. C, Wilkinson and V. Baker, 1997. Survey manual for tropical marine resources 2
nd
ed.
Australia Institute of Marine Science, Townville. 390 p.
Semnaskan _UGM / Kelautan (KL-09) - 5
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Gomez, E.D, and H. T. Yap, 1988. Monitoring reef condition In : R.A. Kenchington and B. E.T.
Hudson (eds). Coral reef management handbook, UNESCO Jakarta : 187-195.
Hill, J. and C. Wilkinson, 2004. Methods for ecological monitoring of coral reefs. A resources for
managers. Australian Institute of Marine Science, Townville. 117. P.
Manuputty, A.E.W., Giyanto, Winardi, S.R. Suharti dan Djuwariah, 2006. Manual monitoring
kesehatan karang (Reef health monitoring) CRITIC COREMAP Indonesia, Jakarta. 109 p.
Poernomo, A., Mardlijah, S., Linting,L, M,. Amin, M,E, dan Widjopriono. 2006. Ikan hias laut
indonesia, Balai Riset Perikanan Laut. Penebar Swadaya. Jakarta. 182 p.
Russell, B. C., F.H. Talbot, G.R.V. Anderson & B. Goldman. 1978. Collection and sampling of reef
fishes. In: D. R. Stoddart and R. E. Johannes (eds.), Coral Reefs: Research Methods.
UNESCO, Paris. Pp: 329-345.
Semnaskan _UGM / Kelautan (KL-01) - 1
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
SEBARAN DAN KERAGAMAN IKAN KARANG DI PULAU
BARRANGLOMPO : KAITANNYA DENGAN
KONDISI DAN KOMPLEKSITAS HABITAT
Chair Rani
1)
, A. Iqbal Burhanuddin
2)
dan Andi Arham Atjo
3)
1,2)
Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Unhas Makassar
Jl. Perintis Kemerdekaan Km 10, Tamalanrea-90245; Telp/Fax:0411-587000
Email: erickch_rani@yahoo.com
Abstrak
Ikan karang merupakan salah satu komunitas pada ekosistem terumbu karang yang berperan
penting dalam aliran energi dan menjaga kestabilan ekosistem. Sebaran ikan karang sangat
ditentukan oleh kondisi dan variasi habitat terumbu karang. Penurunan kondisi terumbu karang
baik oleh faktor alam maupun antropogenik juga dengan sendirinya akan memengaruhi distribusi
dan sebaran ikan karang dalam suatu area terumbu. Penelitian bertujuan untuk mengetahui
distribusi dan sebaran jenis ikan karang, kondisi dan kompleksitas habitat terumbu karang, dan
menganalisis keterkaitan antara kekayaan dan kelimpahan ikan karang dengan kondisi dan
kompleksitas habitat terumbu karang Pulau Barranglompo. Penelitian dilaksanakan pada bulan
Maret-Juli 2010. Pengamatan dilakukan pada 4 stasiun pada setiap sisi pulau. Penghitungan
kelimpahan ikan dilakukan melalui teknik visual sensus dengan metode transek line sepanjang 50
meter. Transek dibagi menjadi 4 bagian dengan luas area pemantauan 10 x 5 meter (50 m
2
)
sebagai ulangan. Penempatan transek di daerah reef slope (kedalaman 3-5 m) dengan arah
sejajar garis pantai. Penilaian kondisi terumbu karang dilakukan dengan metode Lifeform Intercept
Transect dengan menghitung panjang penutupan dari setiap bentuk pertumbuhan karang yang
dilewati transek. Kompleksitas habitat (rugositas) dilakukan dengan teknik Chain Intercept
Transect dan variasi habitat dilakukan dengan mencatat jumlah mikrohabitat di sepanjang transek.
Hasil penelitian ditemukan 52 jenis ikan karang yang berasal dari 15 famili. Kelimpahan ikan yang
tinggi ditemukan di Stasiun Utara, Barat dan Tenggara Pulau dengan kisaran 81-173 ekor/50 m
2
.
Adapun keragaman jenis ikan karang sangat terkait dengan keragaman habitat, sedangkan
kelimpahan ikan sangat ditentukan oleh kondisi dan rugositas terumbu karang.
Kata kunci: Ikan karang, kondisi terumbu karang, variasi habitat, Pulau Barranglompo.
Pengantar
Terumbu karang (coral reef) merupakan salah satu ekosistem khas di daerah tropik
dengan ciri produktivitas organik dan biodiversitasnya yang tinggi. Komponen biota terpenting di
terumbu karang yaitu karang batu (Scleractinia) yang kerangkanya terbuat dari bahan kapur.
Ikan karang merupakan salah satu kelompok hewan yang berasosiasi dengan terumbu
karang, keberadaannya menyolok dan ditemukan pada berbagai mikro-habitat di terumbu karang.
Ikan karang, hidup menetap serta mencari makan di areal terumbu karang (sedentary), sehingga
apabila terumbu karang rusak atau hancur maka ikan karang juga akan kehilangan habitatnya.
Sebagai ikan yang hidupnya terkait dengan terumbu karang maka kerusakan terumbu karang
dengan sendirinya berpengaruh terhadap keragaman dan kelimpahan ikan karang.
Variasi habitat terumbu karang, dalam hal ini variasi mikro-habitat tidak hanya terdiri dari
habitat karang saja, tetapi juga daerah berpasir, berbagai teluk dan celah, daerah algae dan
sponge serta masih banyak lagi. Keberagaman habitat tersebut merupakan salah satu faktor kunci
tingginya keragaman spesies ikan di terumbu karang sehingga habitat yang beranekaragam ini
dapat menerangkan jumlah ikan-ikan karang pada ekosistem tersebut (Luckhurst & Luckhurst,
1978; Robert & Ormond, 1987; Sale, 1991)
Keragaman ikan karang juga berhubungan erat dengan kondisi dan kompleksitas
permukaan (rugositas) terumbu karang. Terdapat hubungan yang erat antara rugositas dengan
kelimpahan ikan karang. Selain itu ikan-ikan karang memiliki relung (niche) ekologi yang sempit
sehingga lebih banyak spesies yang dapat menghuni (terakomodasi) terumbu karang. Akibatnya
jenis ikan karang tertentu terbatas dan terlokalisasi hanya di area tertentu pada terumbu karang
(Ilham, 2007).
KL-01
2 - Semnaskan _UGM / Kelautan (KL-01)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Pulau Barranglompo merupakan salah satu gugusan pulau-pulau yang berada di Kota
Makassar. Tipe terumbu karangnya merupakan tipe karang tepi (fringing reef). Berdasarkan hasil
penelitian Asma (2004), keanekaragaman dan kesreragaman ikan karang tergolong stabil. Namun
pada penelitian tersebut tidak menganilisis kondisi terumbu karang. Selain kondisi terumbu karang,
keragaman ikan karang juga ditentukan oleh kompleksitas habitat dalam suatu area. Oleh karena
itu dilakukan penelitian mengenai sebaran dan keragaman ikan karang pada kondisi dan variasi
habitat terumbu karang di Pulau Barranglompo.
Penelitian ini bertujuan: (1) mengetahui komposisi jenis dan kelimpahan ikan karang di
terumbu karang Pulau Barranglompo, (2) menganalisis kondisi kompleksitas dan variasi habitat di
ekosistem terumbu karang Pulau Barranglompo, dan (3) menganalisis keterkaitan kekayaan dan
kelimpahan ikan karang dengan kondisi variasi ekologi atau variabel lingkungan.
Bahan dan Metode
Waktu Dan Tempat
Penelitian ini berlangsung selama 4 (empat) bulan mulai dari bulan Maret - Mei 2010 di
terumbu karang Pulau Barranglompo, Makassar (Gambar 1).
Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian
Prosedur Penelitian
Penentuan Stasiun Penelitian
Lokasi penelitian ditentukan dengan melakukan snorkling terlebih dahulu untuk
mengetahui kondisi secara umum yang kemudian dilanjutkan dengan penetapan posisi stasiun
pengamatan dengan menggunakan GPS.
Titik lokasi penelitian terdiri atas 4 stasiun yaitu sebelah tenggara pulau sebagai Stasiun I,
sebelah utara pulau sebagai Stasiun II, sebelah barat pulau sebagai Stasiun III, dan di bagian
barat daya pulau sebagai Stasiun IV. Setiap stasiun dilakukan pengulangan 4 kali (transek) pada
daerah reef slope.
Semnaskan _UGM / Kelautan (KL-01) - 3
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Pemasangan Transek Garis
Pada masing-masing stasion pengamatan ditarik transek garis (roll meter) mengikuti
kontur kedalaman sepanjang 50 meter di atas terumbu karang sejajar dengan garis pantai (English
et al.,1997). Sebagai ulangan, transek tersebut dibagi menjadi empat bagian, masing-masing
sepanjang 10 meter dengan jarak antarulangan 3 meter.
Pengambilan Data Lapangan
a. Keragaman dan Kelimpahan Jenis Ikan Karang
Untuk data kelimpahan ikan karang menggunakan metode sensus visual (Visual Census
Method) (English et al.,1997) yang secara teknis dilakukan dengan metode transek sabuk (Belt
Transect).
Pengambilan data ikan dan karang dilakukan secara berurutan. Setelah pendataan ikan
selesai, selang beberapa menit diikuti pendataan karang (Manuputty, 2006). Dengan pertimbangan
waktu dan persediaan oksigen yang terbatas, kegiatan pendataan ikan karang dimulai beberapa
menit setelah pemasangan transek. Kelimpahan ikan tiap jenis mulai dihitung dengan batasan
jarak pantau 2,5 meter pada sisi kiri dan kanan transek (English et al., 1997). Identifikasi jenis ikan
karang dilakukan secara langsung di lapangan (untuk jenis ikan yang dikenali pada saat
pengamatan) dengan merujuk pada Allen (2000) dan Kuiter & Tonozuka (2001).
b. Kondisi, Rugositas dan Variasi Mikrohabitat Terumbu Karang
Untuk mengetahui kondisi dan variasai habitat secara umum terumbu karang di Pulau
Barranglompo, digunakan metode Transek garis atau Line Intersept Transect (LIT). Dengan
metode ini, di setiap titik pengamatan yang telah ditentukan ditentukan sebelumnya, dilakukan
penyelaman sepanjang transek 50 meter dan mencatat panjang setiap kategori substrat ataupun
bentos yang berada tepat di bawah transek garis. Adapun kategori yang amati yaitu Hard Coral
(HC), Soft Coral (SC), Algae (A), Sponge (SP), Rubble (R), Dead Coral (DC), Dead Coral Algae
(DCA), dan Sand (S) (English et al, 1997).
Tingkat rugositas terumbu karang ditentukan dengan menggunakan metode transek rantai
atau chain intercept transect (CIT). Transek rantai sepanjang 2 meter diletakkan berulang-ulang
mengikuti kontur terumbu karang sepanjang 50 meter transek garis yang telah diletakkan
sebelumnya (Hill & Wilkinson, 2004). Adapun variasi habitat ditentukan berdasarkan lifeform
substrat atau bentos yang berasosiasi dengan terumbu karang yaitu dengan menghitung jumlah
mikrohabitat yang berada pada setiap transek.
Analisis Data
Komposisi Jenis dan Kelimpahan Ikan Karang
Komposisi jenis ikan karang dihitung menurut formula Greenberg et al (1989): KJ: ni/N x
100; dengan KJ = komposisi jenis (%);ni = jumlah individu setiap jenis ikan; dan N = jumlah
individu dari seluruh jenis ikan. Komposisi jenis ikan karang dikelompokkan menurut
penggolongan ikan karang (mayor, indikator, dan target) dan dianalisis secara deskriptif dengan
bantuan diagram lingkar. Demikian pula jumlah jenis, dikelompokkan menurut penggolongan ikan
karang dan dibandingkan antarstasiun secara deskriptif dengan bantuan grafik histogram menurut
famili ikan karang.
Kelimpahan total ikan karang dinyatakan dalam satuan jumlah ekor per luasan transek (50
m
2
) yang dikelompokkan menurut stasiun dan nilainya ditransformasi dalam bentuk log untuk
dianalisis dengan analisis ragam (one way anova). Hasil analisis disajikan dalam bentuk grafik.
Proses pengolahan datanya dilakukan dengan bantuan perangkat lunak SPSS 11.0.
Kondisi, Rugositas dan Keragaman Mikrohabitat Terumbu Karang
Persentase tutupan setiap kategori lifeform terumbu karang dihitung dengan menggunakan
formula menurut English et al (1997) sebagai berikut:
Kondisi atau tingkat kerusakan terumbu karang dinilai berdasarkan total penutupan
kategori karang hidup berdasarkan kategori/kriteria menurut Brown (1996) seperti disajikan pada
Tabel 1.
% 100
) 1000 ( _ _
_ _ _ _
(%) _ _ x
cm Transek Panjang Total
lifeform kategori setiap tutupan panjang
lifeform Setiap Tutupan
4 - Semnaskan _UGM / Kelautan (KL
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan
Tabel 1. Kriteria penentuan kondisi terumbu karang berdasarkan penutupan karang hidupnya
(Brown, 1996).
Persentase Penutupan (%)
0,0 24,9
25,0
50,0
75,0 100,0
Tingkat rugositas dihitung berdasarkan formula (Wikipedia, 2011)
tingkat rugositas terumbu karang;
dan Ag = luas permukaan geometris (panjang transek garis).
Variasi habitat ditentukan dengan menghitung jumlah/ragam mikrohabitat yang ditemukan
pada setiap transek. Mikrohabitat yang dimaksud meliputi : Karang hidup (HCL), Karang mati (DC),
Karang lunak (SC), Rubble (R), Karang mati yang ditumbuhi alga (DCA), Mak
(S), Anemon.
Nilai tutupan karang hidup, rugositas, dan variasi habitat dikelompokkan menurut stasiun
dan masing-masing dianalisis tingkat perbedaannya dengan analisis ragam (
kemudian masing-masing disajikan dalam bentu
Keterkaitan Kondisi Terumbu Karang dan Variasi Habitat dengan
Keterkaitan antara keragaman dan kelimpahan ikan karang dengan kondisi habitat yaitu
rugositas, variasi habitat dan tutupan dasar terumbu karang dianalisis dengan analisis multivariat
dengan teknik Principal Component Analysis
kondisi habitat dan keragaman serta kelimpahan ikan karang, sedangkan stasiun dan ulangan
sebagai individu statistik (baris). Adapun proses pengolahan datanya dilakukan dengan bantuan
perangkat lunak Biplot.
Hasil dan Pembahasan
Komposisi Jenis Ikan Karang
Selama penelitian dilakukan di Pulau Barranglompo, ditemukan 52 jenis ikan karang yang
berasal dari 15 famili. Berdasarkan penggolongan ikan karang, golongan ikan mayor mendominasi
dalam hal komposisi baik dalam jumlah jenis mau
Manuputty & Winardi (2007), bahwa jumlah individu ikan mayor merupakan kelompok ikan karang
yang memiliki kelimpahan yang tertinggi. Selanjutnya dikatakan, tingginya kelimpahan ikan mayor
tersebut merupakan sesuatu yang umum karena pada daerah terumbu karang kelompok ini
memang sangat dominan dijumpai baik dalam hal jumlah jenis maupun kelimpahannya.
Gambar 1. Komposisi ikan karang berdasarkan jumlah jenis (a) dan kelimpahan
Jumlah jenis ikan mayor yang tinggi ditemukan pada Stasiun II,III, dan IV. Sedangkan
pada Stasiun I memiliki jumlah jenis ikan mayor paling sedikit. Untuk ikan target, Stasiun I
mempunyai jumlah jenis yang tertinggi. Jenis ikan target yang b
Kelautan (KL-01)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16
Tabel 1. Kriteria penentuan kondisi terumbu karang berdasarkan penutupan karang hidupnya
Persentase Penutupan (%) Kategori Kondisi Terumbu Karang
24,9 Buruk
49,9 Sedang
74,9 Baik
100,0 Sangat Baik
dihitung berdasarkan formula (Wikipedia, 2011): R: Ar/Ag; dengan
tingkat rugositas terumbu karang;
Ar
= luas permukaan yang sebenarnya (panjang transek rantai);
= luas permukaan geometris (panjang transek garis).
Variasi habitat ditentukan dengan menghitung jumlah/ragam mikrohabitat yang ditemukan
pada setiap transek. Mikrohabitat yang dimaksud meliputi : Karang hidup (HCL), Karang mati (DC),
(R), Karang mati yang ditumbuhi alga (DCA), Makro alga (MA), Pasir
Nilai tutupan karang hidup, rugositas, dan variasi habitat dikelompokkan menurut stasiun
masing dianalisis tingkat perbedaannya dengan analisis ragam (
masing disajikan dalam bentuk grafik histogram.
Keterkaitan Kondisi Terumbu Karang dan Variasi Habitat dengan Komunitas Ikan Karang
Keterkaitan antara keragaman dan kelimpahan ikan karang dengan kondisi habitat yaitu
rugositas, variasi habitat dan tutupan dasar terumbu karang dianalisis dengan analisis multivariat
Component Analysis (PCA). Adapun sebagai kolom v
kondisi habitat dan keragaman serta kelimpahan ikan karang, sedangkan stasiun dan ulangan
sebagai individu statistik (baris). Adapun proses pengolahan datanya dilakukan dengan bantuan
Selama penelitian dilakukan di Pulau Barranglompo, ditemukan 52 jenis ikan karang yang
berasal dari 15 famili. Berdasarkan penggolongan ikan karang, golongan ikan mayor mendominasi
dalam hal komposisi baik dalam jumlah jenis maupun kelimpahan individunya (Gambar 1). Menurut
Manuputty & Winardi (2007), bahwa jumlah individu ikan mayor merupakan kelompok ikan karang
yang memiliki kelimpahan yang tertinggi. Selanjutnya dikatakan, tingginya kelimpahan ikan mayor
suatu yang umum karena pada daerah terumbu karang kelompok ini
memang sangat dominan dijumpai baik dalam hal jumlah jenis maupun kelimpahannya.
Gambar 1. Komposisi ikan karang berdasarkan jumlah jenis (a) dan kelimpahan
individu (b).
Jumlah jenis ikan mayor yang tinggi ditemukan pada Stasiun II,III, dan IV. Sedangkan
pada Stasiun I memiliki jumlah jenis ikan mayor paling sedikit. Untuk ikan target, Stasiun I
mempunyai jumlah jenis yang tertinggi. Jenis ikan target yang banyak ditemukan pada stasiun ini
16 Juli 2011
Tabel 1. Kriteria penentuan kondisi terumbu karang berdasarkan penutupan karang hidupnya
Kategori Kondisi Terumbu Karang
: R: Ar/Ag; dengan
R
=
= luas permukaan yang sebenarnya (panjang transek rantai);
Variasi habitat ditentukan dengan menghitung jumlah/ragam mikrohabitat yang ditemukan
pada setiap transek. Mikrohabitat yang dimaksud meliputi : Karang hidup (HCL), Karang mati (DC),
ro alga (MA), Pasir
Nilai tutupan karang hidup, rugositas, dan variasi habitat dikelompokkan menurut stasiun
masing dianalisis tingkat perbedaannya dengan analisis ragam (one way anova),
Komunitas Ikan Karang
Keterkaitan antara keragaman dan kelimpahan ikan karang dengan kondisi habitat yaitu
rugositas, variasi habitat dan tutupan dasar terumbu karang dianalisis dengan analisis multivariat
(PCA). Adapun sebagai kolom variabel yaitu data
kondisi habitat dan keragaman serta kelimpahan ikan karang, sedangkan stasiun dan ulangan
sebagai individu statistik (baris). Adapun proses pengolahan datanya dilakukan dengan bantuan
Selama penelitian dilakukan di Pulau Barranglompo, ditemukan 52 jenis ikan karang yang
berasal dari 15 famili. Berdasarkan penggolongan ikan karang, golongan ikan mayor mendominasi
pun kelimpahan individunya (Gambar 1). Menurut
Manuputty & Winardi (2007), bahwa jumlah individu ikan mayor merupakan kelompok ikan karang
yang memiliki kelimpahan yang tertinggi. Selanjutnya dikatakan, tingginya kelimpahan ikan mayor
suatu yang umum karena pada daerah terumbu karang kelompok ini
memang sangat dominan dijumpai baik dalam hal jumlah jenis maupun kelimpahannya.
Gambar 1. Komposisi ikan karang berdasarkan jumlah jenis (a) dan kelimpahan
Jumlah jenis ikan mayor yang tinggi ditemukan pada Stasiun II,III, dan IV. Sedangkan
pada Stasiun I memiliki jumlah jenis ikan mayor paling sedikit. Untuk ikan target, Stasiun I
anyak ditemukan pada stasiun ini
Semnaskan _UGM / Kelautan (KL-01) - 5
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
3
9
1 1 1
3
6
1 1 1
4
9
1
2 2 2 2
5
10
1 1 1
2
1
3
8
1 1 1 1 1 1 1
0
2
4
6
8
10
12
L
a
b
r
i
d
a
e
P
o
m
a
c
e
n
t
r
i
d
a
e
C
e
n
t
r
i
c
i
d
a
e
Z
a
n
c
l
i
d
a
e
S
c
a
r
i
d
a
e
F
i
s
t
u
l
a
r
i
d
a
e
S
y
n
o
d
o
n
t
i
d
a
e
C
a
e
s
i
o
n
i
d
a
e
C
h
a
e
t
o
d
o
n
t
i
d
a
e
S
e
r
r
a
n
i
d
a
e
S
i
g
a
n
i
d
a
e
L
u
t
j
a
n
i
d
a
e
H
a
e
m
u
l
i
d
a
e
N
e
m
i
p
t
e
r
i
d
a
e
A
c
a
n
t
h
u
r
i
d
a
e
Mayor Indikator Target
J
u
m
l
a
h
j
e
n
i
s
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4
15
9
3
19
4
2
20
1
2
18
3
1
0
5
10
15
20
25
Mayor Target Indikator
J
u
m
l
a
h
j
e
n
i
s
Stasiun I Stasiun II Stasiun III Stasiun IV
yaitu dari famili Serranidae. Hal tersebut sesuai dengan kondisi terumbu karang dan variasi habitat
yang cukup baik di stasiun tersebut (Gambar 2).
Jumlah jenis ikan indikator banyak ditemukan pada Stasiun I dengan kondisi terumbu
karangnya yang tergolong baik. Sedangkan jumlah jenis terendah didapatkan pada Stasiun IV
dengan kondisi terumbu karangnya tergolong lebih rendah dibandingkan dengan stasiun lainnya.
Enomena ini mengindikasikan bahwa semakin baik kondisi terumbu karang maka jumlah jenis dari
ikan indikator juga akan semakin besar. Beberapa studi menunjukkan bahwa penutupan karang
hidup memiliki pengaruh yang positif terhadap kekayaan jenis ikan karang (Carpenter et al, 1981;
Sano et al, 1987).
Gambar 2. Jumlah jenis ikan mayor, indikator dan target masing-masing stasiun.
Berdasarkan famili, ikan karang dari Pomacentridae merupakan kelompok yang paling
mendominasi di setiap stasiun, kemudian disusul kelompok Labridae. Komposisi dari kedua famili
ikan tersebut merupakan komposisi jenis yang selalu ditemukan paling banyak pada ekosistem di
terumbu karang (Sale, 1991). Sementara jumlah jenis ikan target dari famili Serranidae
mendominasi di Stasiun I (Gambar 3).
Jumlah jenis dari famili Chaetodontidae tertinggi pada Stasion I. Jumlah jenis yang
terendah dari famili ini terdapat pada Stasiun IV (Gambar 3). Tinggi dan rendahnya komposisi dari
ikan ini sangat tergantung pada kondisi terumbu karang sebagai habitatnya. Olehnya itu,
keragaman dan kemelimpahan ikan dari famili ini biasa dijadikan sebagai ikan indikator untuk
menilai kesehatan terumbu karang.
Gambar 3. Komposisi famili ikan karang setiap stasiun yang ditemukan selama penelitian
6 - Semnaskan _UGM / Kelautan (KL
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan
21
173
41
634
34
10
0
100
200
300
400
500
600
700
L
a
b
r
i
d
a
e
P
o
m
a
c
e
n
t
r
i
d
a
e
K
e
l
i
m
p
a
h
a
n
i
k
a
n
(
e
k
o
r
/
5
0
m
2
)
Kelimpahan Ikan Karang
Kelimpahan ikan karang yang tertinggi di stasiun Stasiun II (340 ekor/50m
nyata dengan Stasiun IV (27 ekor/50m
memiliki perbedaan yang nyata (p>0,05). Total kelimpahan individu yang terpantau selama
penelitian sebanyak 1468 ekor.
Kelimpahan ikan yang tertinggi pada Stasiun II, berhubungan dengan kondisi terumbu
karangnya yang tegolong sangat baik dibandingkan stasiun lainnya. Sebalikny
kelimpahan ikan yang rendah di Stasiun IV juga memiliki kondisi terumbu karang yang renadah.
Menurut Bell & Galzin (1984), faktor
dan kelimpahan ikan) di suatu komunitas terumbu k
tutupan karang hidup dan perbedaan zona habitat (
sand flat).
Gambar 4. Rata-rata kelimpahan (ekor/50 m
Barranglompo. Huruf yang berbeda di atas grafik menunjukkan
Berdasarkan peranannya, Ikan karang di dalam ekosistem terumbu karang dibagi menjadi
tiga bagian yaitu kelompok ikan mayor, kelompok ikan target, dan kelompok ikan indikator.
Gambar 5. Kelimpahan ikan karang per stasiun berdasarkan kategori ikan mayor.
Dari Gambar 5 terlihat bahwa famili ikan karang dari kategori mayor yang mendominasi
yaitu dari famili Pomacentridae dengan jumlah total kelimpahan dari seluruh stasiun sebesar 1056
ekor. Kelimpahan tersebut tidak jauh berbeda jika dibandingkan dengan penelitian tahun 2004
yang mendapatkan kelimpahan dari famili ini sebesar 1070 ekor (Asma, 2004). Menur
Kelautan (KL-01)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16
173
7
25
634
2 5
180
1 1
50
3 1
P
o
m
a
c
e
n
t
r
i
d
a
e
C
e
n
t
r
ic
id
a
e
Z
a
n
c
lid
a
e
S
c
a
r
id
a
e
F
is
t
u
la
r
i
d
a
e
S
y
n
o
d
o
n
t
id
a
e
C
a
e
s
io
n
i
d
a
e
Ikan Mayor
Stasiun I Stasiun II Stasiun III Stasiun IV
Kelimpahan ikan karang yang tertinggi di stasiun Stasiun II (340 ekor/50m
nyata dengan Stasiun IV (27 ekor/50m
2
) (Gambar 4). Sedangkan dengan Stasiun I dan III tidak
nyata (p>0,05). Total kelimpahan individu yang terpantau selama
Kelimpahan ikan yang tertinggi pada Stasiun II, berhubungan dengan kondisi terumbu
karangnya yang tegolong sangat baik dibandingkan stasiun lainnya. Sebalikny
kelimpahan ikan yang rendah di Stasiun IV juga memiliki kondisi terumbu karang yang renadah.
Menurut Bell & Galzin (1984), faktor-faktor yang mempengaruhi kehadiran ikan (struktur komunitas
dan kelimpahan ikan) di suatu komunitas terumbu karang, antara lain tinggi rendahnya persentase
tutupan karang hidup dan perbedaan zona habitat (inner reef flat, outer reef flat, crest, reef base,
rata kelimpahan (ekor/50 m
2
) ikan karang dan tutupan karang
Barranglompo. Huruf yang berbeda di atas grafik menunjukkan perbedaan yang nyata pada 5%
berdasarkan analisis ragam.
Berdasarkan peranannya, Ikan karang di dalam ekosistem terumbu karang dibagi menjadi
mayor, kelompok ikan target, dan kelompok ikan indikator.
Gambar 5. Kelimpahan ikan karang per stasiun berdasarkan kategori ikan mayor.
Dari Gambar 5 terlihat bahwa famili ikan karang dari kategori mayor yang mendominasi
ili Pomacentridae dengan jumlah total kelimpahan dari seluruh stasiun sebesar 1056
ekor. Kelimpahan tersebut tidak jauh berbeda jika dibandingkan dengan penelitian tahun 2004
yang mendapatkan kelimpahan dari famili ini sebesar 1070 ekor (Asma, 2004). Menur
16 Juli 2011
65
100
30
C
a
e
s
io
n
i
d
a
e
Kelimpahan ikan karang yang tertinggi di stasiun Stasiun II (340 ekor/50m
2
) dan berbeda
Sedangkan dengan Stasiun I dan III tidak
nyata (p>0,05). Total kelimpahan individu yang terpantau selama
Kelimpahan ikan yang tertinggi pada Stasiun II, berhubungan dengan kondisi terumbu
karangnya yang tegolong sangat baik dibandingkan stasiun lainnya. Sebaliknya juga demikian,
kelimpahan ikan yang rendah di Stasiun IV juga memiliki kondisi terumbu karang yang renadah.
faktor yang mempengaruhi kehadiran ikan (struktur komunitas
arang, antara lain tinggi rendahnya persentase
inner reef flat, outer reef flat, crest, reef base,
) ikan karang dan tutupan karang hidup di Pulau
perbedaan yang nyata pada 5%
Berdasarkan peranannya, Ikan karang di dalam ekosistem terumbu karang dibagi menjadi
mayor, kelompok ikan target, dan kelompok ikan indikator.
Gambar 5. Kelimpahan ikan karang per stasiun berdasarkan kategori ikan mayor.
Dari Gambar 5 terlihat bahwa famili ikan karang dari kategori mayor yang mendominasi
ili Pomacentridae dengan jumlah total kelimpahan dari seluruh stasiun sebesar 1056
ekor. Kelimpahan tersebut tidak jauh berbeda jika dibandingkan dengan penelitian tahun 2004
yang mendapatkan kelimpahan dari famili ini sebesar 1070 ekor (Asma, 2004). Menurut Sale
Semnaskan _UGM / Kelautan (KL-01) - 7
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
26
34
7
2
0
10
20
30
40
Chaetodontidae
Ikan Indikator
K
e
l
i
m
p
a
h
a
n
i
k
a
n
(
e
k
o
r
/
5
0
m
2
)
Stasiun I Stasiun II Stasiun III Stasiun IV
11
6
3 3
2
6
2
5
4
0
5
10
15
Serranidae Siganidae Lutjanidae Haemulidae Nemipteridae Acanthuridae
Ikan Target
K
e
l
i
m
p
a
h
a
n
i
k
a
n
(
e
k
o
r
/
5
0
m
2
)
Stasiun I Stasiun II Stasiun III Stasiun IV
(1991), famili Pomacentridae dan Labridae merupakan ikan yang paling dominan pada ekosistem
terumbu karang khususnya di daerah tropik. Kelimpahan tertinggi dari famili Pomacentridae
tersebut terdapat pada Stasiun II. Penyebab tingginya kelimpahan ikan dari famili Pomacentridae
khususnya dari spesies Pomacentrus smithi dan Chromis ternatensis yaitu kondisi terumbu
karangnya yang masih tergolong tergolong sangat baik (Tabel 2) sebagai habitatnya dan
banyaknya mikro-habitat alga serta makro alga sebagai makanannya. Menurut Allen, (2000),
Pomacentrus smithi sering terlihat bergerombol di atas karang hidup dan memakan alga dan
fitoplankton. Dalam ekosistem terumbu karang, trofik level dari famili ikan ini, khususnya spesies
pemakan tumbuhan (herbivora) termasuk spesies Pomacentrus smithi menempati tingkat pertama
dalam piramida makanan di ekosistem terumbu karang. Pomacentridae mempunyai jumlah
individu yang lebih melimpah dibandingkan trofik level yang di atasnya seperti ikan famili
serranidae (karnivora).
Gambar 6. Kelimpahan ikan karang perstasion berdasarkan kategori ikan indikator.
Kelimpahan ikan karang kategori indikator didapatkan hanya dari famili Chaetodontidae
(Gambar 6). Kelimpahan tertinggi didapatkan pada Stasiun II (34 ekor/50m
2
) dan terendah pada
Stasiun II (2 ekor/50m
2
). Tinggi rendahnya kelimpahan dari famili Chaetodontidae sangat terkait
dengan kondisi terumbu karangnya atau penutupan karang hidupnya (Tabel 2). Ikan dari famili
Chaetodontidae merupakan jenis ikan karang yang khas mendiami daerah terumbu karang dan
menjadi indikator kesuburan ekosistem daerah tersebut (Manuputy & Winardi, 2007). Selanjutnya
Allen (2000), menyatakan bahwa banyak ikan karang dari famili Chaetodontidae memakan polip
karang sehingga apabila terumbu karang di suatu daerah sehat, maka akan mengundang ikan-ikan
ini mendiami daerah tersebut karena ketersediaan makanannya yang cukup.
Gambar 7. Kelimpahan ikan karang perstasion berdasarkan kategori ikan target.
Gambar 7, menunjukkan bahwa ikan dari famili Serranidae memiliki kelimpahan tertinggi di
Stasiun I (11 ekor/50m
2
), kemudian disusul oleh famili Siganidae dengan kelimpahan 6 ekor/50m
2
.
Kelimpahan terendah dari ikan target ini yaitu dari famili Haemulidae dengan nilai sebesar 2
8 - Semnaskan _UGM / Kelautan (KL-01)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
ekor/50m
2
yang berada di Stasiun III. Kemelimpahan dari famili ikan tersebut juga berkaitan
dengan kondisi terumbu karangnya yang masih bagus. Berbeda halnya dengan Stasiun IV yang
didominasi dari famili Nemipteridae, khususnya dari spesies Pentapodus trivittatus. Dominannya
jenis tersebut diduga sangat terkait dengan kondisi habitatnya. Stasiun IV habitat dasarnya
didominasi oleh pasir dan rubble yang merupakan habitat dari jenis Pentapodus trivittatus.
Pernyataan tersebut sesuai dengan Allen (2000), bahwa genus Pentapodus sering terlihat
berlimpah pada habitat pasir di antara terumbu karang.
Kondisi, Variasi Habitat dan Rugositas Terumbu Karang
Terumbu karang di Pulau Barranglompo bertipe karang tepi (fringing reef) yang
sebarannya mengikuti garis pantai. Pertumbuhan karang dimulai pada kedalaman 4 meter yang
didominasi oleh karang masif dan karang-karang bercabang (branching). Mendekati slope,
pertumbuhan karang semakin banyak dan beragam, banyak ditemukan jenis-jenis karang
bercabang (branching), karang meja (tabulate), masif dan karang jamur (mushroom).
Kisaran tutupan karang hidup 17,2% sampai 85,1%. Jika dibandingkan antarstasiun,
tutupan karang hidup yang tinggi dijumpai di Stasiun I, II, dan III dengan kisaran 50,7% sampai
85,1%. Sedangkan tutupan karang terendah ditemukan pada Stasiun IV dengan kisaran 17,2%
sampai 44% (Tabel 2). Berdasarkan analisis ragam terhadap rata-rata tutupan karang hidup
menunjukkan adanya perbedaan yang nyata antarstasiun. Rata-rata penutupan karang hidup
antara Stasiun I, II, dan III, tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Namun stasiun-stasiun
tersebut menunjukkan perbedaan yang nyata dengan Stasiun IV (p<0,05).
Kondisi terumbu karang di daerah reef slope Pulau Barranglompo, berdasarkan nilai
tutupan karang hidupnya, berada dalam kategori sedang sampai baik. Kondisi yang sangat baik
ditemukan di Stasiun II dengan rata-rata tutupan karang hidupnya 79,45%. Sedangkan pada
Stasiun I dan III penutupan karangnya dalam kondisi baik, dengan penutupan rata-rata masing-
masing 63,1% dan 75,4%. Adapun untuk Stasiun IV, kondisi terumbu karangnya berada dalam
kondisi sedang (kritis) dengan nilai tutupan karang hidupnya rata-rata 36%.
Tabel 2. Persentase tutupan karang hidup Pulau Barranglompo. Huruf yang berbeda
menyatakan perbedaan yang nyata pada 5% berdasarkan analisis ragam.
Stasiun
Titik koordinat
Tutupan Karang hidup %
Kondisi
T. Karang
Kisaran % Rata-rata + S.E
I
S = 05 05' 442",
E = 119 33' 060"
50.7-78.1 63.1
a
+ 6 Baik
II
S = 05 05' 168",
E = 119 33' 150"
77.7-83.9 79.45
a
+ 1.45 Sangat baik
III
S = 05 04' 191",
E = 119 32' 497"
65.7-85.1 75.4
a
+ 4.06 Baik
IV
S = 05 05' 507",
E = 119 32' 148"
17.2-44 36
b
+ 6.38 Sedang
Rugositas merupakan parameter ekologis yang sangat penting untuk menentukan
kompleksitas substrat pada area terumbu karang. Tingkat rugositas yang tinggi berarti
menyediakan lebih banyak tempat persembunyian bagi ikan karang dan menyediakan banyak
tempat untuk melekatnya alga, koral, dan berbagai hewan invertebrata. Tingkat rugositas terumbu
karang di Pulau Barranglompo disajikan pada Gambar 8.
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan
Gambar 8. Nilai rugositas terumbu karang Pulau Barranglompo.
menyatakan bahwa tidak ada
Rugositas terumbu karang berkisar antara 1,51
permukaan karang dilalui oleh meteran. Hasil uji statistik rugositas karang pada setiap stasiun
menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (p>0,05). Nilai rugositas tertinggi berada pada
Stasiun II yaitu dengan nilai 2,09. Berdasarkan pengamatan di
di Stasiun II disebabkan karena kompleksitas morfologi permukaan terumbu dalam hal ini
banyaknya celah dan kontour yang tidak rata. Faktor lainnya dikarenakan banyaknya koloni
tutupan karang hidup yang membentuk topogr
sangat baik (Tabel 2). Sedangkan nilai rugositas yang rendah pada Stasiun IV terkait dengan
penutupan karangnya yang tergolong kurang baik (kritis). Menurut Rooney (2008)
(2007) bahwa tingkat rugositas terumbu karang berkaitan erat dengan persentase penutupan
terumbu karang dan keanekaragaman karang. Semakin tinggi persentase penutupan dan
keanekaragaman karang maka akan semakin menambah kompleksitas/kerutan substrat terumbu
karang.
Sama halnya dengan rugositas, variasi habitat di terumbu karang juga merupakan rumah
bagi ikan-ikan karang. Menurut Nybakken (1988), bahwa salah satu penyebab tingginya
keragaman spesies di terumbu karang adalah karena variasi habitat yang terdapat di terumbu
karang. Jumlah mikrohabitat habitat terumbu karang Pulau Barranglompo dapat dilihat pada
Gambar 9.
Gambar 9. Rata-rata jumlah mikrohabitat di terumbu karang pulau Barranglompo. Huruf yang
berbeda di atas grafik menunjukkan
Jumlah mikro-habitat di terumbu karang Pulau Barranglompo rata
Hasil uji statistik variasi habitat karang pada setiap stasiun didapatkan kondisi yang berbeda nyata
(p<0,05). Stasiun I merupakan area
mikrohabitat. Variasi habitat yang terdapat pada Stasiun I di dominasi oleh ACB (
Branching), CE (Coral Encrusting
Semnaskan _UGM /
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan
Gambar 8. Nilai rugositas terumbu karang Pulau Barranglompo. Huruf yang
menyatakan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata pada 5% berdasarkan analisis ragam.
Rugositas terumbu karang berkisar antara 1,51 2,09 kali lebih panjang dari
permukaan karang dilalui oleh meteran. Hasil uji statistik rugositas karang pada setiap stasiun
menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (p>0,05). Nilai rugositas tertinggi berada pada
Stasiun II yaitu dengan nilai 2,09. Berdasarkan pengamatan di lapangan tingginya tingkat rugositas
di Stasiun II disebabkan karena kompleksitas morfologi permukaan terumbu dalam hal ini
banyaknya celah dan kontour yang tidak rata. Faktor lainnya dikarenakan banyaknya koloni
tutupan karang hidup yang membentuk topografi yang kompleks di stasiun ini yang tergolong
sangat baik (Tabel 2). Sedangkan nilai rugositas yang rendah pada Stasiun IV terkait dengan
penutupan karangnya yang tergolong kurang baik (kritis). Menurut Rooney (2008)
sitas terumbu karang berkaitan erat dengan persentase penutupan
terumbu karang dan keanekaragaman karang. Semakin tinggi persentase penutupan dan
keanekaragaman karang maka akan semakin menambah kompleksitas/kerutan substrat terumbu
ngan rugositas, variasi habitat di terumbu karang juga merupakan rumah
ikan karang. Menurut Nybakken (1988), bahwa salah satu penyebab tingginya
keragaman spesies di terumbu karang adalah karena variasi habitat yang terdapat di terumbu
mlah mikrohabitat habitat terumbu karang Pulau Barranglompo dapat dilihat pada
rata jumlah mikrohabitat di terumbu karang pulau Barranglompo. Huruf yang
berbeda di atas grafik menunjukkan perbedaan yang nyata pada 5% berdasarkan analisis
ragam.
habitat di terumbu karang Pulau Barranglompo rata-rata berkisar 11,5
Hasil uji statistik variasi habitat karang pada setiap stasiun didapatkan kondisi yang berbeda nyata
(p<0,05). Stasiun I merupakan area dengan jumlah variasi habitat yang tertinggi yaitu sebanyak 17
Variasi habitat yang terdapat pada Stasiun I di dominasi oleh ACB (
Coral Encrusting) CMR (Coral Mushroom). Sedangkan variasi habitat yang
/ Kelautan (KL-01) - 9
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
sama di atas grafik
perbedaan yang nyata pada 5% berdasarkan analisis ragam.
2,09 kali lebih panjang dari panjang
permukaan karang dilalui oleh meteran. Hasil uji statistik rugositas karang pada setiap stasiun
menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (p>0,05). Nilai rugositas tertinggi berada pada
lapangan tingginya tingkat rugositas
di Stasiun II disebabkan karena kompleksitas morfologi permukaan terumbu dalam hal ini
banyaknya celah dan kontour yang tidak rata. Faktor lainnya dikarenakan banyaknya koloni
afi yang kompleks di stasiun ini yang tergolong
sangat baik (Tabel 2). Sedangkan nilai rugositas yang rendah pada Stasiun IV terkait dengan
penutupan karangnya yang tergolong kurang baik (kritis). Menurut Rooney (2008) dalam Ilham
sitas terumbu karang berkaitan erat dengan persentase penutupan
terumbu karang dan keanekaragaman karang. Semakin tinggi persentase penutupan dan
keanekaragaman karang maka akan semakin menambah kompleksitas/kerutan substrat terumbu
ngan rugositas, variasi habitat di terumbu karang juga merupakan rumah
ikan karang. Menurut Nybakken (1988), bahwa salah satu penyebab tingginya
keragaman spesies di terumbu karang adalah karena variasi habitat yang terdapat di terumbu
mlah mikrohabitat habitat terumbu karang Pulau Barranglompo dapat dilihat pada
rata jumlah mikrohabitat di terumbu karang pulau Barranglompo. Huruf yang
5% berdasarkan analisis
rata berkisar 11,5 17.
Hasil uji statistik variasi habitat karang pada setiap stasiun didapatkan kondisi yang berbeda nyata
dengan jumlah variasi habitat yang tertinggi yaitu sebanyak 17
Variasi habitat yang terdapat pada Stasiun I di dominasi oleh ACB (Acropora
Sedangkan variasi habitat yang
10 - Semnaskan _UGM / Kelautan (KL-01)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
terendah terdapat pada Stasiun IV yaitu sebanyak 11,5 dengan mikrohabitat yang didominasi
adalah pasir (Sand), Mushroom, dan pecahan karang (rubble). Jadi dapat dinyatakan bahwa
semakin baik kondisi terumbu karang selalu diikuti oleh keberagaman variasi mikro-habitatnya.
Keterkaiatan Struktur Komunitas Ikan Karang Dengan Kondisi Habitat Terumbu Karang
Hasil analisis PCA, terlihat bahwa persentase tutupan karang hidup dan rugositas
terumbu karang di Pulau Barranglompo mempunyai kaitan erat dengan kelimpahan ikan karang.
Keterkaitan tersebut terlihat sangat kuat pada Stasiun II ulangan 2, 3 dan 4 serta pada Stasiun III
ulangan 1 (Gambar 10). Hasil ini sesuai dengan penelitian Ilham (2007) yang juga mendapatkan
nilai kelimpahan ikan yang tinggi seiring dengan peningkatan nilai rugositas, dan sebaliknya nilai
kelimpahan ikan yang rendah ditemukan pada daerah dengan nilai rugositas yang lebih rendah.
Menurut Luckhurst & Luckhurst (1978) dan Mc Manus et al. (1981), perbedaan keragaman ikan
karang berkaitan erat dengan kerumitan substrat, dan kemelimpahan ikan berhubungan dengan
kerumitan topografi terumbu karang.
Hasil PCA juga dapat dilihat bahwa jumlah mikro-habitat di terumbu karang berkaitan
dengan jumlah jenis ikan karang. Keterkaitan tersebut terlihat pada Stasiun I ulangan 1,3, dan 4
serta pada Stasiun III ulangan 1. Fenomena ini, sesuai dengan dengan pernyataan Sale (1991),
bahwa salah satu penyebab tingginya keragaman spesies di terumbu karang adalah karena variasi
habitat yang tinggi di terumbu karang.
Gambar 10. Hubungan kondisi dan rugositas terumbu karang dengan kekayaan dan kelimpahan
ikan karang di Pulau Barranglompo; a: sumbu 1 dan 2; b: sumbu 1 dan3.
Kesimpulan
Di daerah reef slope terumbu karang Pulau Barranglompo ditemukan 52 jenis ikan karang
yang berasal dari 15 famili. Komposisi jenis ikan didominasi oleh ikan mayor baik dalam hal jenis
maupun kelimpahan individunya. Jumlah jenis ikan mayor yang paling banyak ditemukan di lokasi
utara, barat dan barat daya pulau. Sedangkan untuk ikan target dan indikator jumlah jenis tertinggi
a
b
Semnaskan _UGM / Kelautan (KL-01) - 11
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
tertinggi ditemukan di sebelah tenggara pulau. Adapun kelimpahan ikan tertinggi ditemukan di
sebelah utara pulau (173,75 ekor/50m
2
) dan terendah di sebelah barat daya pulau (27 ekor/50m
2
).
Kondisi terumbu karang Pulau Barrang Lompo berada pada kondisi sedang sampai
dengan sangat baik. Kondisi yang sangat baik ditemukan di tenggara sedangkan kondisi terumbu
karang yang sedang ditemukan di barat daya pulau. Adapun nilai rugositas tidak memiliki
perbedaan yang nyata antara lokasi namun memperlihatkan perbedaan yang nyata dalam hal
variasi mikro-habitat.
Kekayaan jenis ikan karang sangat terkait dengan keragaman variasi habitat seperti yang
ditemukan di lokasi bagian tenggara pulau. Sedangkan kelimpahan ikan karang sangat ditentukan
oleh kondisi dan rugositas terumbu karang seperti yang ditemukan di Utara dan Barat Pulau.
Daftar Pustaka
Allen, G.R. 2000. Marine fishes of South East Asia. Kaleidoscope Pront and Prepress Periplus
Edition, Perth, Western Australia.
Asma, W.O. 2004. Studi kelimpahan dan keanekaragaman Ikan Karang Famili Pomacentridae
dan Labridae pada daerah rataan terumbu (Reef Flat) di Perairan Pulau Barranglompo.
Skripsi. Jurusan Ilmu Kelautan, Fak. Ilmu Kelautan dan Perikanan, Makassar.
Bell, J.D. and R. Galzin. 1984. Influences of live coral cover on a coral reef fish communities. Mar
Ecol Prog Ser 15: 265-274.
Brown, BE. 1986. Human induced damage to coral reefs. Result of a Regional Unesco (Coman)
Workshop with Advanced Training ed. Dipenogoro University, Jepara and National
Institute of Oceanology. Jakarta.
English, S., C. Wilkinson, and U. Baker (eds). 1997. Survey manuals for tropical marine
resources. Australia Institute of Marine Science Townsville. Australian.
Hill, J. and C. Wilkinson. 2004. Methods for ecological monitorng of coral reefs. Australian Institute
of Marine Science. Townsville.
Ilham. 2007. Keterkaitan kondisi dan rugositas terumbu karang dengan kelimpahan dan
keragaman Ikan Karang di Pulau Badi Kabupaten Pangkep. Skripsi. Jurusan Ilmu
Kelautan, Fak. Ilmu Kelautan dan Perikanan, Makassar.
Kuiter, R.H. and T. Tonozuka. 2001. Pictorial Guide to: Indonesian reef fishes. Part 1, 2 and 3.
Zoo Netics, Seaford Victoria, Australia.
Luckhurst, B. and K. Luckhurst. 1978. Analysis of the influence of substrate variable on coral reef
communities. Mar Biol 49:469-478.
Manuputty, A.E.W. 2006. Manual monitoring kesehatan karang (Reef Health Monitoring). Critic,
Coremap II, Jakarta.
Manuputty, A.EW. dan Winardi. 2007. Monitoring ekologi biak. Coremap II-LIPI, Jakarta.
Mc Manus, J., R. Miclat and V. Palaganas. 1981. Coral and fish community structure of Sombrero
Island at Batangas, Philippines. Proc 4
th
Int Coral Reef Symp 2: 271-280.
Nybakken, J.W. 1988. Biologi laut : suatu pendekatan ekologi. PT. Gramedia, Jakarta.
Roberts, C.M. and R.F.Ormond. 1987. Habitat complexity and coral reef diversity and abundance
on Red Sea fringing reefs. Mar Ecol Prog Ser 41:1-8.
Sale, P.F. 1991. The Ecology of fishes on coral reef. Academic Press, California, USA.
12 - Semnaskan _UGM / Kelautan (KL-01)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Sorokin, Y.I. 1995. Coral reef ecology. (Ecological Studies Vol. 102). Springer-Verlag Berlin
Heidelberg.
Wikpedia. 2011. Rogosity. http://eu.wikipedia.org/wiki/Rugosity. [Diakses: 14 Juni 2011).
Semnaskan _UGM / Kelautan (KL-) - 1
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Semnaskan _UGM / Kelautan (KL-) - 1
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Lampiran 4. Data kelimpahan ikan di setiap stasion penelitian di Pulau Barrang Lompo
N
o
Famili Spesies
Stasion I Stasion II Stasion III Stasion IV
Katego
ri
Ul.
1
Ul.
2
Ul.
3
Ul.
4
Ul.
1
Ul.
2
Ul.
3
Ul.
4
Ul.
1
Ul.
2
Ul.
3
Ul.
4
Ul.
1
Ul.
2
Ul.
3
Ul.
4
1
1. Labridae
Halichoeres biocellatus 3 2 2 2 7 5
Mayor
2 Labriodes dimidiatus 7 2 2 2
3 Chelinus fasciatus 4 1 1 1 1
4 Talassoma lunare 1 3 2
5 Halichoeres melanurus 6 12 6 2 2
6 Bodianus sp 2 1
7 Halichoeres sp 2
8 Gomposus varius 3
9 Chelinus unifasciatus 6 1
10
2.
Pomacentridae
Pomacentrus smithi
20
0 50
10
0
10
0 50
11
Dischistodus
prosopotaenia 5 3 10
12 Discystodus sp 3 1
13 Chromis analis 4 2 4
14
Diproctacanthus
xanturus 7 2 2 2
15 Chaerodon anchorago 2
16
Pomacentrus
muloccensis 16 14 5 2
17 Abudeduf vagiensis 12
18
Amblyglyphidodon
curacao 12 3 1 3 5
19
Pomacentrus
alexanderae 6
20 Pomacentrus brachialis 7 12 8 3
21 Dischistodus melanotus 2
2 - Semnaskan _UGM / Kelautan (KL-)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
22 Premnas biaculeatus 3 2
23 Amphiprion clarkii 5 4 4
24
Amphiprion
sandaracinos 3 4
Lampiran 4. Lanjutan.
N
o
Famili Spesies
Stasion I Stasion II Stasion III Stasion IV
Katego
ri
Ul.
1
Ul.
2
Ul.
3
Ul.
4
Ul.
1
Ul.
2
Ul.
3
Ul.
4
Ul.
1
Ul.
2
Ul.
3
Ul.
4
Ul.
1
Ul.
2
Ul.
3
Ul.
4
25 Amphiprion perideraion 8 3
Mayor
26 Chromis analis 3 4
27 Chromis ternatensis
10
0
15
0 50 20
28 Chromis sp 1 3
29 Chrysiptera parasema 27
30
3. Synodontidae
Synodus sp 3 1
31 Synodus variegatus 1
32 4. Centricidae Aeoliscus strigatus 5 2 2 3
33 5. Aulostomidae Aulostomus chinensis 1
34
6. Scaridae
Scarus rivulatus 18 7
35 Scarus sp 1
36 7. Zanclidae Zanclus cornutus 1
37
8. Caesionidae
Caesio terres 50 15
10
0 20 10
38
9.
Chaetodontidae
Chaetodon klenii 5 4 6 2 1 2
Indikat
or 39
Chaetodon
octofasciatus 4 1 1 2
40 Chelmon rostratus 1 6 5
41
10. Serranidae
Plectropomuos
oligicanthus 1
Target
42 Gracilla albomarginata 3
43 Aethalopoerca rogaa 1
44 Epinephelus areolatus 1
45 Labracinus 1 1 1
Semnaskan _UGM / Kelautan (KL-) - 3
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
cyclophthalmus
46
Chepalopholis
cyanostigma 2 1 1 1 2
47
11. Siganidae
Siganus doliatus 4 2 2 1
48 Siganus Fulvifalamma 3
49
12. Lutjanidae
Lutjanus
quenquelineatus 3
50
13. Haemulidae
Plectrorhincus
chaetodonoides 2 1 2
51
14.
Acanthuridea Ctenochaetus striatus 4
52
15.
Nemipteridae Pentapodus trivittatus 5
4 - Semnaskan _UGM / Kelautan (KL-)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Semnaskan _UGM / Kelautan (KL-) - 5
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Semnaskan _UGM /Kelautan (KL-02) - 1
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
KEANEKARAGAMAN JENIS-JENIS BIOTA PENEMPEL DI LOKASI
TERUMBU BUATAN DI TELUK SALEH, NUSA TENGGGARA BARAT
Mujiyanto dan Hendra Satria
Balai Riset Pemulihan Sumberdaya Ikan
Jl. Cilalawi No. 1 Jatiluhur Purwakarta Jawa Barat. Email : mj_anto@yahoo.com . HP. : 0813 1630 3052
Abstrak
Terumbu karang merupakan suatu ekosistem yang sangat kompleks dengan keanekaragaman
hayati yang tinggi dan memiliki banyak fungsi ekologis maupun ekonomis. Dibalik kompleksitas
dan keanekaragaman hayati yang dimiliki, terumbu karang terdapat ekosistem yang rentan
terhadap gangguan dan ancaman dan kerentanan terumbu karang semakin meningkat seiring
dengan penambahan jumlah penduduk dan aktivitas di wilayah pesisir. Keberadaan terumbu
buatan sebagai substrat yang stabil menjadi daya tarik bagi berbagai jenis biota. Pemasangan
terumbu karang buatan di lakukan di perairan Pulau Rakit dan Pulau Ganteng di perairan Teluk
Saleh, Nusa Tenggara Barat pada bulan Mei tahun 2005. Dari bahan beton berbentuk kubus
berongga 0.6 x 0.6 x 0.6 meter, disusun dalam formasi piramida. Tujuan penelitian ini adalah
inventarisasi jenis biota penempel pada modul terumbu karang buatan setelah 5 tahun pasca
penematan di Pulau Rakit dan Pulau Genteng Perairan Teluk Saleh, Nusa Tenggara Barat.
Kegiatan penelitian dilakukan pada bulan Mei, Juli dan Oktober tahun 2010 dengan lokasi di
perairan Pulau Rakit dan Pulau Genteng Teluk Saleh, Nusa Tenggara Barat. Pengamatan
karang/biota penempel dilakukan dengan mengamati organisme yang menempel pada seluruh
permukaan setiap unit terumbu buatan menggunakan teknik penyelaman, biota yang menempel
diidentifikasi pada tingkat genus dan dicatat pada kertas kedap air (data sheet). Perkembangan
biota penempel yang cukup signifikan yaitu dari jenis Acropora sp. Jenis yang sudah membentuk
koloni dari kelompok hard coral yaitu: Acropora humilis, Acroppora palifera, Acropora caroliniana,
Turbinaria frondens, Montipora foliosa dan Podabacia crustacea. Sedangkan soft coral yang
dijumpai yaitu Ascidian sp. Enteromhorpa sp. Diadema savignyi dan Polycarpa sp. Teramati
selama penelitian ditemukan terjadinya pemutihan karang (bleaching) pada biota penempel di
terumbu buatan. Diduga pada bulan akhir tahun 2009 dan awal tahun 2010 terjadi perubahan
kualitas lingkungan perairan yang ekstrim.
Kata kunci: Keanekaragaman, biota penempel, terumbu buatan, Telik Saleh, Nusa Tenggara Barat
Pengantar
Secara konvensional terumbu karang buatan berfungsi sebagai habitat baru tempat ikan
mencari makan (feeding ground), tempat memijah, tempat berkembang biak (spawning ground)
dan pembesaran (nursery ground) berbagai biota, tetapi terumbu karang buatan dapat juga
digunakan sebagai peredam energi gelombang atau dikenal dengan istilah artificial reef
breakwater, sehingga dapat melindungi daerah dibelakangnya tanpa mengurangi estetika pantai
semula. Ikawati dan Parlan (2009) juga berpendapat bahwa bahwa terumbu karang merupakan
suatu ekosistem yang sangat kompleks dengan keanekaragaman hayati yang tinggi dan memiliki
banyak fungsi ekologis maupun ekonomis. Dibalik kompleksitas dan keanekaragaman hayati yang
dimiliki, terumbu karang terdapat ekosistem yang rentan terhadap gangguan dan ancaman
(Medrizam et al., 2004 dalam Muzaki, 2007) dan kerentanan terumbu karang semakin meningkat
seiring dengan penambahan jumlah penduduk dan aktivitas di wilayah pesisir (Ilyas, 2008). Luasan
terumbu karang Indonesia mencapai 51% dari luasan di Asia Tenggara, namun persentasenya
mengalami penurunan dari tahun ke tahun, dimana 30,96% yang masih dalam keadaan baik,
sedangkan 69,04% dalam kondisi buruk (Coremap, 2008 dalam Saptarini, et al., 2010).
Kerusakan terumbu karang dapat disebabkan oleh berbagai faktor fisika, kimia dan
biologis, tetapi secara umum dibedakan menjadi kerusakan karena kejadian alam dan kerusakan
karena aktifitas manusia atau antropogenik. Aktifitas manusia yang merupakan ancaman utama
terhadap kerusakan terumbu karang adalah penangkapan ikan menggunakan racun sianida dan
bahan peledak, penambangan karang, sedimentasi dan polusi, serta ekspIoitasi berlebihan. Dalam
rangka perbaikan ekosistem terumbu karang di pulau-pulau kecil tersebut maka Direktorat
Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Departemen Perikanan dan Kelautan RI pada tahun 2001
KL-02
2 - Semnaskan _UGM / Kelautan (KL
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan
dan 2004 telah melakukan penanaman terumbu buatan di beberapa lokasi di perairan Indonesia,
yaitu Sabang (Nanggroe Aceh Darussalam), Pulau Pramuka Kepulauan Seribu (DKI Jakarta),
Pulau Menjangan Besar Kepulauan Karimunjawa (Jawa Tengah), Kabupaten Buleleng, Bali Utara
dan Kepulauan Nusa Penida (Bali) serta Pulau Sembilan (Sinjai, Sulawesi Selatan) (M
2008). Ada berbagai teknik yang dapat digunakan untuk merehabilitasi terumbu alami, salah satu
teknik yang banyak dikembangkan untuk merehabilitasi terumbu alami adalah teknik terumbu
buatan (artificial reef) (Ilyas, 2008). Terumbu buatan (
yang sengaja diletakkan di dasar suatu perairan yang fungsinya diharapkan sama seperti terumbu
karang alami, yang mana salah satu fungsinya sebagai penyedia habitat bagi biota laut (Shudur,
2005).
Pemasangan terumbu
Ganteng di perairan Teluk Saleh, Nusa Tenggara Barat pada
karang buatan terbuat dari bahan beton berbentuk kubus berongga 0.6 x 0.6 x 0.6 meter, disusun
dalam formasi piramida. Dengan satu unit piramida tersusun dari 80 kubus beton, dimana setiap
lokasi terdiri dari 2 piramida. Kegiatan pengamatan komunitas biota penempel dilkuakan pada
bulan April dan November 2006 dengan data pembanding hasil pengamatan pada bulan Okto
dan Desember tahun 2005.
Definisi biota penempel yang dimaksud adalah berbagai jenis biota baik hewan maupun
tumbuhan serta bakteri yang melekat pada suatu substrat keras.
dalam air laut umumnya bisa ditempeli oleh biota
terumbu buatan sebagai substrat yang stabil menjadi daya tarik bagi
Penempelan berbagai jenis biota
penenggelaman secara pasif (passiv
ini adalah inventarisasi jenis biota penempel pada modul terumbu karang buatan setelah 5 tahun
pasca penematan di Pulau Rakit dan Pulau Genteng Perairan Teluk Saleh, Nusa Tenggara Barat
sebagai bahan database untuk pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan.
Bahan dan Metode
Waktu dan lokasi penelitian
Kegiatan penelitian dilakukan pada bulan
di perairan Pulau Rakit dan Pulau Genteng Teluk Saleh, Nusa Tenggara Barat (Gambar 1).
Gambar 1. Letak posisi modul terumbu buatan di perairan Pulau Genteng dan Pulau Rakit, Te
Saleh, Nusa Tenggara Barat (Sumber : Laporan
Kelautan (KL-02)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16
dan 2004 telah melakukan penanaman terumbu buatan di beberapa lokasi di perairan Indonesia,
u Sabang (Nanggroe Aceh Darussalam), Pulau Pramuka Kepulauan Seribu (DKI Jakarta),
Pulau Menjangan Besar Kepulauan Karimunjawa (Jawa Tengah), Kabupaten Buleleng, Bali Utara
dan Kepulauan Nusa Penida (Bali) serta Pulau Sembilan (Sinjai, Sulawesi Selatan) (M
2008). Ada berbagai teknik yang dapat digunakan untuk merehabilitasi terumbu alami, salah satu
teknik yang banyak dikembangkan untuk merehabilitasi terumbu alami adalah teknik terumbu
) (Ilyas, 2008). Terumbu buatan (artificial reef) adalah struktur atau kerangka
yang sengaja diletakkan di dasar suatu perairan yang fungsinya diharapkan sama seperti terumbu
karang alami, yang mana salah satu fungsinya sebagai penyedia habitat bagi biota laut (Shudur,
Pemasangan terumbu karang buatan dilakukan di perairan Pulau Rakit dan Pulau
Ganteng di perairan Teluk Saleh, Nusa Tenggara Barat pada bulan Mei tahun 2005.
karang buatan terbuat dari bahan beton berbentuk kubus berongga 0.6 x 0.6 x 0.6 meter, disusun
iramida. Dengan satu unit piramida tersusun dari 80 kubus beton, dimana setiap
lokasi terdiri dari 2 piramida. Kegiatan pengamatan komunitas biota penempel dilkuakan pada
bulan April dan November 2006 dengan data pembanding hasil pengamatan pada bulan Okto
Definisi biota penempel yang dimaksud adalah berbagai jenis biota baik hewan maupun
tumbuhan serta bakteri yang melekat pada suatu substrat keras. Setiap benda yang terendam
dalam air laut umumnya bisa ditempeli oleh biota penempel (bioufalling communities
terumbu buatan sebagai substrat yang stabil menjadi daya tarik bagi berbagai jenis biota
berbagai jenis biota pada substrat dapat terjadi melalui kombinasi antara
passive sinking), arus turbulen dan berenang aktif. Tujuan penelitian
ini adalah inventarisasi jenis biota penempel pada modul terumbu karang buatan setelah 5 tahun
pasca penematan di Pulau Rakit dan Pulau Genteng Perairan Teluk Saleh, Nusa Tenggara Barat
untuk pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan.
ian dilakukan pada bulan Mei, Juli dan Oktober tahun 2010 dengan lokasi
di perairan Pulau Rakit dan Pulau Genteng Teluk Saleh, Nusa Tenggara Barat (Gambar 1).
Gambar 1. Letak posisi modul terumbu buatan di perairan Pulau Genteng dan Pulau Rakit, Te
Saleh, Nusa Tenggara Barat (Sumber : Laporan Tahunan Penelitian LRPSI, 2006)
16 Juli 2011
dan 2004 telah melakukan penanaman terumbu buatan di beberapa lokasi di perairan Indonesia,
u Sabang (Nanggroe Aceh Darussalam), Pulau Pramuka Kepulauan Seribu (DKI Jakarta),
Pulau Menjangan Besar Kepulauan Karimunjawa (Jawa Tengah), Kabupaten Buleleng, Bali Utara
dan Kepulauan Nusa Penida (Bali) serta Pulau Sembilan (Sinjai, Sulawesi Selatan) (Munasik,
2008). Ada berbagai teknik yang dapat digunakan untuk merehabilitasi terumbu alami, salah satu
teknik yang banyak dikembangkan untuk merehabilitasi terumbu alami adalah teknik terumbu
) adalah struktur atau kerangka
yang sengaja diletakkan di dasar suatu perairan yang fungsinya diharapkan sama seperti terumbu
karang alami, yang mana salah satu fungsinya sebagai penyedia habitat bagi biota laut (Shudur,
karang buatan dilakukan di perairan Pulau Rakit dan Pulau
tahun 2005. Terumbu
karang buatan terbuat dari bahan beton berbentuk kubus berongga 0.6 x 0.6 x 0.6 meter, disusun
iramida. Dengan satu unit piramida tersusun dari 80 kubus beton, dimana setiap
lokasi terdiri dari 2 piramida. Kegiatan pengamatan komunitas biota penempel dilkuakan pada
bulan April dan November 2006 dengan data pembanding hasil pengamatan pada bulan Oktober
Definisi biota penempel yang dimaksud adalah berbagai jenis biota baik hewan maupun
Setiap benda yang terendam
bioufalling communities). Keberadaan
berbagai jenis biota.
pada substrat dapat terjadi melalui kombinasi antara
), arus turbulen dan berenang aktif. Tujuan penelitian
ini adalah inventarisasi jenis biota penempel pada modul terumbu karang buatan setelah 5 tahun
pasca penematan di Pulau Rakit dan Pulau Genteng Perairan Teluk Saleh, Nusa Tenggara Barat
untuk pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan.
tahun 2010 dengan lokasi
di perairan Pulau Rakit dan Pulau Genteng Teluk Saleh, Nusa Tenggara Barat (Gambar 1).
Gambar 1. Letak posisi modul terumbu buatan di perairan Pulau Genteng dan Pulau Rakit, Teluk
Tahunan Penelitian LRPSI, 2006)
Semnaskan _UGM /Kelautan (KL-02) - 3
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Pengumpulan data
Pengamatan karang/biota penempel dilakukan dengan mengamati organisme yang
menempel pada seluruh permukaan setiap unit terumbu buatan menggunakan teknik penyelaman
SCUBA (Self Contained Underwater Breathing Apparatus). Biota yang menempel tersebut
kemudian diidentifikasi pada tingkat genus dan jika memungkinkan sama pada tingkat spesies.
Bentuk pertumbuhan dan jenis/genera yang terdapat pada unit terumbu buatan dicatat pada kertas
kedap air (data sheet).
Identifikasi masing-masing jenis merujuk pada Program Digital C-Nav Coral Navigator
yang diproduksi oleh Australian Institut Of Marine Science tahun 2000 ; dan Veron (2000). Analisa
persen tutupan benthic lifeform tersebut menggunakan Lifeform Software Program berdasarkan
standar UNEP yang berlaku untuk ASEAN-Australia English, et al., (1994).
Hasil dan Pembahasan
Definisi biota penempel yang dimaksud adalah berbagai jenis biota baik hewan maupun
tumbuhan serta bakteri yang melekat pada suatu substrat keras. Setiap benda yang terendam
dalam air laut umumnya bisa ditempeli oleh biota penempel (bioufalling communities). Biota
penempel tersebut sebagian besar tergolong dalam avertebrata dan biota lain yang biasa terlihat
pada terumbu buatan seperti kelompok bentos (biota yang menetap di dasar), kelompok merayap,
sebagian kelompok biota yang bersifat komensalisme, simbiose dan parasit atau predator
(Sukarno, 1981). Indikator utama untuk mengetahui perubahan-perubahan fungsi terumbu buatan
maka pengamatan komunitas biota penempel merupakan salah satu bagian dari proses
pembentukan terumbu karang.
Membandingkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada tahun kegiatan 2005, yaitu
pada bulan Oktober dan Desember 2005, menunjukkan adanya peningkatan jumlah jenis biota
penempel. Hasil pengamatan pada bulan Oktober 2005 menunjukkan bahwa biota penempel pada
terumbu buatan didominasi oleh algae dan teritip. Lebih dari sepertiga bagian kubus terumbu
buatan tertutup oleh kelompok algae (Enteromorpha sp.) dan teritip (Saccostrea cucculata),
terutama pada modul yang diletakan di Pulau Rakit. Periode bulan Desember 2005 kelompok
algae masih mendominasi permukaan terumbu buatan terutama jenis Enteromorpha sp. Terjadi
penambahan jumlah jenis biota penempel antara bulan Oktober dan Desember 2005, yaitu dari 16
jenis menjadi 22 jenis. Beberapa jenis mengalami penurunan, beberapa lainnya bertambah, tidak
hadir dan pendatang baru (Hartati et al., 2005).
Kehadiran biota penempel di Teluk Saleh pada hari ke 120 tampak 16 jenis, meningkat
menjadi 22 jenis pada hari ke 180, kemudian 28 jenis pada hari ke 300, dan terakhir pengamatan
pada hari ke 510 terumbu buatan tertutup oleh 28 jenis biota penempel. Perkembangan biota
penempel dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2006 disajikan pada Gambar 2. Hal ini diduga
bahwa terjadinya perbedaan perkembangan dari waktu-kewaktu karena faktor lingkungan perairan
yang mengalami perubahan. Kawahara et al., (1979) dalam Darsono & Hutomo (1983)
menyatakan bahwa kondisi lingkungan perairan setempat menentukan karakteristik komunitas
biota penempel pada perairan tersebut.
4 - Semnaskan _UGM / Kelautan (KL
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan
Gambar 2. Jumlah jenis biota penempel pada terumbu buatan di Pulau Rakit dan Pulau Genteng,
Teluk Saleh NTB, pe
2006 (Sumber : Hartati,
Kehadiran biota penempel di Teluk Saleh selama pengamatan pada 3 kali ulangan (Mei,
Juli dan Oktober tahun 2010) terumbu buatan tertut
Perkembangan jumlah spesies biota penempel selama Sedangkan persentase kehadiran dari
masing-masing biota penempel yang menutupi seluruh permukaan beton pada msing
TKB, disajikan pada lampiran 1. Menurut Moorf (
Hutomo (1983) bahwa keberhasilan penempelan larva teritip pada suatu substrat masih
dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti gelombang, arus, banyaknya larva dan sifat
lingkungan lain. Lembaga Oseanologi N
melaporkan bahwa konsentrasi larva teritip diperairan Suralaya terdapat terdapat relatif jauh dari
pantai, hal ini berbeda dengan keadaan di Perairan Muara Karang (Soegiharto et al, 1976)
Darsono & Hutomo (1983), konsentrasi larva teritip banyak tedapat di dekat pantai.
Gambar 3. Jumlah jenis biota penempel pada terumbu buatan di P. Rakit dan P. Genteng, Teluk
Saleh NTB periode tahun 2005 ; 2006 dan 2010.
0
5
10
15
20
25
30
Stn 1 Stn 2
Oktober 2005
J
u
m
l
a
h
j
e
n
i
s
0
5
10
15
20
25
30
35
Tahun 2005
J
u
m
l
a
h
J
e
n
i
s
(
i
n
d
i
v
i
d
u
)
Kelautan (KL-02)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16
Gambar 2. Jumlah jenis biota penempel pada terumbu buatan di Pulau Rakit dan Pulau Genteng,
NTB, periode Oktober2005, Desember 2005, April 2006 dan Nopember
2006 (Sumber : Hartati, et al., 2005 ; Hartati, et al., 2006).
Kehadiran biota penempel di Teluk Saleh selama pengamatan pada 3 kali ulangan (Mei,
Juli dan Oktober tahun 2010) terumbu buatan tertutup oleh 33 jenis biota penempel.
Perkembangan jumlah spesies biota penempel selama Sedangkan persentase kehadiran dari
masing biota penempel yang menutupi seluruh permukaan beton pada msing
TKB, disajikan pada lampiran 1. Menurut Moorf (1934); Romimohtarto (1977) dalam
Hutomo (1983) bahwa keberhasilan penempelan larva teritip pada suatu substrat masih
dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti gelombang, arus, banyaknya larva dan sifat
lingkungan lain. Lembaga Oseanologi Nasional (1979) dalam Darsono & Hutomo (1983)
melaporkan bahwa konsentrasi larva teritip diperairan Suralaya terdapat terdapat relatif jauh dari
pantai, hal ini berbeda dengan keadaan di Perairan Muara Karang (Soegiharto et al, 1976)
(1983), konsentrasi larva teritip banyak tedapat di dekat pantai.
Gambar 3. Jumlah jenis biota penempel pada terumbu buatan di P. Rakit dan P. Genteng, Teluk
NTB periode tahun 2005 ; 2006 dan 2010.
Stn 1 Stn 2 Stn 1 Stn 2 Stn 1
Desember 2005 April 2006 Nopember 2006
P. Rakit P. Ganteng
Tahun 2005 Tahun 2006 Tahun 2010
Waktu Pengamatan
Pulau Rakit Pulau Genteng
16 Juli 2011
Gambar 2. Jumlah jenis biota penempel pada terumbu buatan di Pulau Rakit dan Pulau Genteng,
riode Oktober2005, Desember 2005, April 2006 dan Nopember
Kehadiran biota penempel di Teluk Saleh selama pengamatan pada 3 kali ulangan (Mei,
up oleh 33 jenis biota penempel.
Perkembangan jumlah spesies biota penempel selama Sedangkan persentase kehadiran dari
masing biota penempel yang menutupi seluruh permukaan beton pada msing-masing unit
dalam Darsono dan
Hutomo (1983) bahwa keberhasilan penempelan larva teritip pada suatu substrat masih
dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti gelombang, arus, banyaknya larva dan sifat-sifat
Darsono & Hutomo (1983)
melaporkan bahwa konsentrasi larva teritip diperairan Suralaya terdapat terdapat relatif jauh dari
pantai, hal ini berbeda dengan keadaan di Perairan Muara Karang (Soegiharto et al, 1976) dalam
(1983), konsentrasi larva teritip banyak tedapat di dekat pantai.
Gambar 3. Jumlah jenis biota penempel pada terumbu buatan di P. Rakit dan P. Genteng, Teluk
Stn 2
Nopember 2006
Tahun 2010
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan
Gambar 4. Persentase perkembangan
tahun 2005 ; 2006 dan 2010.
Hasil pengamatan dari tahun 2005, 2006 dan 2010 disajikan dalam bentuk rata
Gambar 3. Pada tahun 2005 hanya mencapai 35 % dari seluruh permukaan beton pada unit TKB,
tahun 2006 yaitu 86 % dan tahun 2010 seluruh permukaan beton 100% tertutupi oleh biota
penempel baik dari komunitas algae, sof coral, hard coral maupun sedimentasi yang terbawa oleh
arus perairan (Gambar 4). Perkembangan komunitas tersebut memberi kesan a
pada unit TKB. Scheer (1934)
perkembangan komunitas pada suatu lingkungan yang terbatas, sulit untuk dibedakan antara
perubahan musiman (seasonal pregression
Perubahan musiman terjadi karena perbedaan musim pemijahan beberapa jenis organism.
Ditambahkan juga oleh Darsono & Hutomo (1983) bahwa suksesi adalah hubungan antara
organisme yang memenuhi kriteria sebagi berikut : (a). bentuk
digantikan oleh bentuk-bentuk yang baru dan (b). beberapa bentuk terdahulu penting untuk
perkembangan bentuk-bentuk yang baru.
Kesimpulan
Perkembangan biota penempel yang cukup signifikan yaitu dari jenis
yang sudah membentuk koloni dari kelompok
palifera, Acropora caroliniana, Turbinaria frondens, Montipora foliosa
Sedangkan soft coral yang dijumpai yaitu
Polycarpa sp. Perkembangan biota penempel pada terumbu buatan dari 2006 hingga 2010 dilihat
dari kehadiran jenis tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan, tetapi terlihat perubahan
bentuk. Teramati terjadi pemutihan karang
sekitar terumbu buatan. Diduga pada bulan akhir tahun 2009 dan awal tahun 2010 terjadi
perubahan kualitas lingkungan perairan yang ekstrim.
Ucapan Terima Kasih
Ucapan terima kasih saya sampaikan
Saleh, Nusa Tenggara Barat Ir. Hendra Satria dan pengarah kegiatan Kepala Balai Riset
Pemulihan Sumberdaya Ikan (Dr. Didik Wahju Hendro Tjahdjo) yang telah memberikan
kepercayaan keikutsertaan saya dalam pene
Riset Pemulihan Sumberdaya Ikan atas bantuannya di lapangan maupun di laboratorium sehingga
selesainya tulisan ini dan semoga bermanfaat.
0%
20%
40%
60%
80%
100%
120%
K
e
h
a
d
i
r
a
n
B
i
o
t
a
P
e
n
e
m
p
e
l
(
P
e
r
s
e
n
)
Semnaskan _UGM /
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan
Gambar 4. Persentase perkembangan permukaan TKB tertutupi oleh biota penempel periode
tahun 2005 ; 2006 dan 2010.
Hasil pengamatan dari tahun 2005, 2006 dan 2010 disajikan dalam bentuk rata
Gambar 3. Pada tahun 2005 hanya mencapai 35 % dari seluruh permukaan beton pada unit TKB,
tahun 2006 yaitu 86 % dan tahun 2010 seluruh permukaan beton 100% tertutupi oleh biota
penempel baik dari komunitas algae, sof coral, hard coral maupun sedimentasi yang terbawa oleh
arus perairan (Gambar 4). Perkembangan komunitas tersebut memberi kesan a
pada unit TKB. Scheer (1934) dalam Darsono & Hutomo (1983) mengemukakan bahwa
perkembangan komunitas pada suatu lingkungan yang terbatas, sulit untuk dibedakan antara
seasonal pregression) dan suksesi yang sebenarnya (
Perubahan musiman terjadi karena perbedaan musim pemijahan beberapa jenis organism.
Ditambahkan juga oleh Darsono & Hutomo (1983) bahwa suksesi adalah hubungan antara
organisme yang memenuhi kriteria sebagi berikut : (a). bentuk-bentuk awal
bentuk yang baru dan (b). beberapa bentuk terdahulu penting untuk
bentuk yang baru.
Perkembangan biota penempel yang cukup signifikan yaitu dari jenis
yang sudah membentuk koloni dari kelompok hard coral yaitu: Acropora humilis
palifera, Acropora caroliniana, Turbinaria frondens, Montipora foliosa dan Podabacia crustacea
yang dijumpai yaitu Ascidian sp. Enteromhorpa sp. Diadema savignyi
sp. Perkembangan biota penempel pada terumbu buatan dari 2006 hingga 2010 dilihat
dari kehadiran jenis tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan, tetapi terlihat perubahan
bentuk. Teramati terjadi pemutihan karang (bleaching) pada biota penempel dan terumbu karang di
sekitar terumbu buatan. Diduga pada bulan akhir tahun 2009 dan awal tahun 2010 terjadi
perubahan kualitas lingkungan perairan yang ekstrim.
Ucapan terima kasih saya sampaikan kepada koordinator penelitian di Perairan Teluk
Saleh, Nusa Tenggara Barat Ir. Hendra Satria dan pengarah kegiatan Kepala Balai Riset
Pemulihan Sumberdaya Ikan (Dr. Didik Wahju Hendro Tjahdjo) yang telah memberikan
kepercayaan keikutsertaan saya dalam penelitian ini juga semua rekan peneliti dan teknisi di Balai
Riset Pemulihan Sumberdaya Ikan atas bantuannya di lapangan maupun di laboratorium sehingga
selesainya tulisan ini dan semoga bermanfaat.
Tahun 2005 Tahun 2006 Tahun 2010
Waktu Penelitian
/Kelautan (KL-02) - 5
dan Kelautan, 16 Juli 2011
permukaan TKB tertutupi oleh biota penempel periode
Hasil pengamatan dari tahun 2005, 2006 dan 2010 disajikan dalam bentuk rata-rata pada
Gambar 3. Pada tahun 2005 hanya mencapai 35 % dari seluruh permukaan beton pada unit TKB,
tahun 2006 yaitu 86 % dan tahun 2010 seluruh permukaan beton 100% tertutupi oleh biota
penempel baik dari komunitas algae, sof coral, hard coral maupun sedimentasi yang terbawa oleh
arus perairan (Gambar 4). Perkembangan komunitas tersebut memberi kesan adanya suksesi
Darsono & Hutomo (1983) mengemukakan bahwa
perkembangan komunitas pada suatu lingkungan yang terbatas, sulit untuk dibedakan antara
) dan suksesi yang sebenarnya (true succession).
Perubahan musiman terjadi karena perbedaan musim pemijahan beberapa jenis organism.
Ditambahkan juga oleh Darsono & Hutomo (1983) bahwa suksesi adalah hubungan antara
bentuk awal yang hilang dan
bentuk yang baru dan (b). beberapa bentuk terdahulu penting untuk
Perkembangan biota penempel yang cukup signifikan yaitu dari jenis Acropora sp. Jenis
Acropora humilis, Acroppora
Podabacia crustacea.
Diadema savignyi dan
sp. Perkembangan biota penempel pada terumbu buatan dari 2006 hingga 2010 dilihat
dari kehadiran jenis tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan, tetapi terlihat perubahan
) pada biota penempel dan terumbu karang di
sekitar terumbu buatan. Diduga pada bulan akhir tahun 2009 dan awal tahun 2010 terjadi
kepada koordinator penelitian di Perairan Teluk
Saleh, Nusa Tenggara Barat Ir. Hendra Satria dan pengarah kegiatan Kepala Balai Riset
Pemulihan Sumberdaya Ikan (Dr. Didik Wahju Hendro Tjahdjo) yang telah memberikan
litian ini juga semua rekan peneliti dan teknisi di Balai
Riset Pemulihan Sumberdaya Ikan atas bantuannya di lapangan maupun di laboratorium sehingga
Tahun 2010
6 - Semnaskan _UGM / Kelautan (KL-02)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Daftar Pustaka
Darsono, P dan Malikusworo Hutono, 1983. Komunitas biota penempel di perairan selat sunda.
Makalah oseanologi di Indonesia. Pusat Bilogi, Lembaga Oseanologi Nasional-LIPI: 29-41
English S., C. Wilkinson, dan V. Baker, 1994. Survey manual for tropical marine resource (2
nd
Edition). Australian Institute of Marine Science. Australia. X = 390 p.
Ikawati, Y. dan H. Parlan. 2009. Coral reef in Indonesia. COREMAP II DKP. Jakarta
Ilyas, Muhammad., 2008. Studi awal penerapan teknologi terumbu karang buatan di sekitar pulau
kelapa kepulauan Seribu. Universitas Indonesia. Jakarta.
Munasik, 2008. Kondisi terumbu buatan berbahan beton pada beberapa perairan di Indonesia.
Prosiding Simposium Terumbu Karang II. COREMAP II. KKP: 150-157.
Muzaki, F.K., 2007. Kecepatan pertumbuhan fragmen karang Acropora formosa dan Acropora
nobilis dengan jumlah percabangan berbeda. [Tugas Akhir]. Surabaya; Jurusan Biologi
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Teknologi Sepuluh Nopember.
Saptarini, D, Aunurohm dan Nur Ika Fahlusi, 2010. Komposisi dan kelimpahan larva invertebrata
planktonik pada tiga desain terumbu buatan di Pantai Pasir Putih, Bungatan, Situbondo,
Jawa Timur. ITS. Surabaya. http: //digilib.its.ac.id/public/ITS - Undergraduate. 9 p.
Shudur, Achmad. 2005. Terumbu buatan bentuk kubus berongga sebagai pelindung pantai ramah
lingkungan. Universitas Indonesia. Jakarta.
Sukarno. 1981. Terumbu karang di Indonesia: Sumber daya, permasalahan, dan pengelolaan.
LON LIPI. Jakarta.
Veron, J. E. N., 2000. Coral of Australia and Indo-Pasific. Angus & Robertson Publisers. Australia.
Semnaskan _UGM /Kelautan (KL-02) - 7
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Lampiran 1. Data hasil pengamatan biota penempel pada modul TKB di Perairan Teluk Saleh pada
tahun 2010.
Klass Jenis Biota Penempel Nilai Persentase Tutupan ( % )
P. Rakit P. Genteng
TKB 1 TKB 2 TKB 1 TKB 2
Hard corals
(Acropora)
1 Juvenil corals 10.00 7.52 6.09 7.65
2 Acropora sp 1.25 4.51 1.74 2.94
Hard corals
(Non-Acropora)
3 Pocillopora sp 1.25 3.76 3.48 1.76
4 Favia sp 2.26 2.61 21.18
5 Montipora sp 5.00 2.26 2.94
6 Porites sp 3.75 1.74
7 Fungia sp 2.50 4.51 2.61 4.12
8 Pectinia sp 0.00 2.26 1.18
Soft Coral 9 Dendronephyta sp 7.50 0.87
10 Ascidian sp 2.50 3.76
11 Eusynstyela sp 6.25 3.01 5.22 2.35
12 Polycarpa sp 2.50 3.76 8.70 4.52
13 Didemnum molle 2.50 3.76 2.61 4.12
14 Rhopalacea sp 4.51
15 Callyspongia sp 1.50 4.35 1.18
16 Clathria sp
17 Palythoa sp 2.26 1.76
Other Fauna :
a. Antipatharia 18 Cirrhipathes 6.25 13.28 10.39 3.32
19 Palythoa tuberculosa 10.00 1.50 3.48 6.47
b. Hydroida 20 Aglaophenia cupressina 2.50 1.74 1.45
c. Echinoidea 21 Diadema savignyi 0.00 1.76
d. Polychaeta 22 Sabellidae 6.25 3.76 5.22 4.71
23 Sabellastarte sp 0.00 1.50 2.94
e. Actinaria 24 Actinodendron plumosum 3.75 1.74
f. Holudrida 25 Synapta maculata 1.74
g. Gastropode 26 Chicoreus forrefactur 7.50 5.34 7.57 7.06
27 Pinctada margaritifera 6.25 7.02 7.83 2.45
28 Pteria pinguin 2.50 2.26 6.65 1.44
29 Conus sp 2.35
30 Trochus sp 2.35
Algae 31 Enteromorpha sp 2.50 4.35
32 Padina sp 2.25 2.26 3.18
33 Hellimeda sp. 5.25 13.46 9.31 4.82
Jumlah total persentase 100 100 100 100
Jumlah jenis 25 22 21 24
8 - Semnaskan _UGM / Kelautan (KL-02)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Semnaskan _UGM / Kelautan (KL-03) - 1
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
DISTRIBUSI LARVA IKAN SECARA SPASIAL DI PANTAI MAYANGAN
Arip Rahman, Amran Ronny Syam
Balai Riset Pemulihan Sumberdaya Ikan
Abstrak
Penelitian mengenai distribusi larva ikan secara spasial telah dilaksanakan di sekitar pantai
Mayangan pada bulan Agustus dan Oktober 2009. Pengambilan sampel dilakukan secara acak
dan ditentukan titik koordinatnya disekitar pantai Mayangan dengan tujuan untuk mengetahui
distribusi larva disekitarnya. Lokasi pengambilan sampel terjauh sekitar 2 km (stasiun L3 dan L4)
dari garis pantai dan lokasi terdekat sekitar 0,4 km (stasiun L1, L6, dan L7) dari garis pantai.
Pengambilan sampel menggunakan bongo net dengan mesh size 500 m yang ditarik dengan
kecepatan kapal 1,5-2 knot selama 10 menit. Pengambilan sampel air untuk analisis kualitas air
dilakukan bersamaan dengan pengambilan sampel larva. Selama penelitian kelimpahan larva ikan
tertinggi pada bulan Oktober di stasiun L3 (47100 ind/m
3
), sedangkan kelimpahan terendah juga
terjadi pada bulan Oktober di stasiun L2 (647 ind/m
3
). Pada bulan Agustus telur, larva udang dan
larva kepiting terlihat melimpah di setiap stasiun pengamatan berkisar antara (30245-38468
ind/m
3
) sedangkan pada bulan Oktober kita dapat melihat bahwa larva udang mendominasi di
setiap stasiun (63242 ind/m
3
). Hasil analisis korelasi antara kelimpahan larva dan beberapa
parameter kualitas air yang diukur, memperlihatkan bahwa hanya beberapa parameter kualitas air
yang mempengaruhi kelimpahan larva ikan. Pada bulan Agustus hanya kedalaman saja yang
mempengaruhi kelimpahan larva (r=0,558), dimana semakin dalam kedalaman kelimpahan larva
semakin besar. Sedangkan pada bulan Oktober parameter kualitas air yang berpengaruh terhadap
kelimpahan larva ikan adalah pH (r = -0,763) dan salinitas (r=0,521).
Kata kunci: Pantai Mayangan, distribusi spasial, larva ikan, parameter kualitas air.
Pengantar
Berbagai penelitian menunjukan bahwa daerah estuaria merupakan perairan yang subur
dan berfungsi sebagai daerah asuhan dari berbagai jenis larva ikan, baik jenis ikan yang bersifat
sedentary maupun migratory (Kohno, H dan Sulistiono, 1994). Keberhasilan hidup larva hasil
reproduksi tergantung pada kondisi perairan (Kinne, 1964; Smith, 1971). Subang merupakan salah
satu kabupaten di Propinsi Jawa Barat yang berada di wilayah pantai utara pulau Jawa (pantura).
Ekosistem pesisir pantai utara mewarnai kehidupan masyarakat desa-desa yang berada di
sepanjang pantai wilayah kabupaten ini yang sebagian penduduknya bermatapencaharian sebagai
nelayan. Morfologi dan topografi pantai Subang dicirikan oleh bentuk pantai yang menjorok ke arah
daratan berbentuk teluk, seperti di wilayah pantai Blanakan, serta yang menjorok ke arah laut
berbentuk tanjung, seperti di wilayah pantai Legonkulon. Hutan yang tumbuh di muara sungai,
daerah pasang surut atau tepi laut disebut hutan mangrove.
Kesinambungan berbagai komoditas perikanan pada suatu perairan bergantung pada
keberadaan fase larva di perairan tersebut. Munculnya larva ikan di perairan berhubungan erat
dengan terjadinya proses reproduksi. Masing-masing biota laut mempunyai kebiasaan waktu
berbeda-beda dalam melakukan proses reproduksi. Sebagaimana kita ketahui pada tahap awal
daur hidup ikan mempunyai mortalitas yang tinggi karena kepekaan terhadap predator,
ketersediaan makanan, dan perubahan lingkungan yang terjadi di alam. Apabila pada tahap ini
terjadi gangguan, akan mengakibatkan dampak negatif pada populasi ikan. Ada tiga alasan ikan
dalam memilih tempat hidupnya (Nikolsky, 1963):
1) Sesuai dengan kondisi tubuhnya
2) Keberadaan sumber makanan
3) Cocok untuk perkembangbiakan dan pemijahan.
Larva ikan dikenal dengan sebutan ichtyoplankton yang artinya ikan yang berada pada
stadia planktonis. Stadia ini meliputi telur, larva dan juvenil ikan. Secara biologi fase larva akan
banyak ditemui di daerah pesisir, selain karena adanya naluri dari induk ketika memijah, juga
dipengaruhi oleh ketersediaan makanan dan ruang. Kedua faktor tersebut tidak berdiri sendiri,
tetapi dipengaruhi oleh kondisi fisika kimia perairan seperti arus, suhu, pasang surut, salinitas, dan
KL-03
2 - Semnaskan _UGM / Kelautan (KL-03)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
yang lainnya. Sehingga dengan demikian antara faktor fisika, kimia dan biologi larva akan terjadi
interaksi yang saling terkait menjadi komponen ekologi di perairan pantai.
Distribusi dan kelimpahan ikan di estuaria ini ditentukan oleh berbagai faktor yaitu fisika,
kimia dan biologi (Moyle, B. P and Joseph J. Cech, JR., 1988). Faktor biologi yang mempengaruhi
pola distribusi larva tersebut diantaranya lokasi, waktu dan model pemijahan dari induk, lamanya
umur larva, kebiasaan larva, rata-rata predasi, pola makan, dan pertumbuhan (Leis, 1989).
Sementara faktor fisik yang mempengaruhi distribusi larva secara spasial antara lain keadaan
hidrografi seperti arus, angin, pusaran arus, upwelling, dan stratifikasi kolom perairan (Haury et al,
1978).
Adapun penelitan yang kami lakukan adalah sebagai dasar untuk mengetahui distribusi
larva ikan secara spasial di sekitar pantai Mayangan. Hal ini diharapkan dapat berguna
kedepannya untuk mengetahui pola rekrutment ikan di sekitar pantai mayangan.
Bahan dan Metode
Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara acak di sekitar pantai Mayangan. Hal
tersebut dilakukan untuk mengetahui distribusi larva secara spasial disekitar pantai Mayangan.
Lokasi pengambilan sampel terjauh dari garis pantai sekitar 2 km dan lokasi terdekat dengan
pantai sekitar 0,4 km.
Pengambilan sampel larva menggunakan bonggo net dengan diameter 80 cm dan mesh
size 500 m. Kecepatan penarikan bonggo net 1,5-2 knot. Sampel yang diperoleh kemudaian
diberi pengawet 10% formalin/airlaut dan setelah dua minggu, sampel dipindahkan ke dalam
alkohol 70%. Selanjutnya larva ikan diamati dan di identifikasi di laboratorium dengan
menggunakan stereo zoom.
Kelimpahan larva ikan yang didefinisikan sebagai banyaknya larva ikan persatuan luas
daerah pengambilan contoh dihitung dengan menggunakan rumus:
=
Dimana:
N = Kelimpahan larva ikan (ind/m
3
)
n = Jumlah larva ikan yang tercacah (ind)
Vtsr = Volume air tersaring (Vtsr = l x t x v)
l : luas bukaan mulut saringan
t : lama waktu penarikan saringan (menit)
v : kecepatan tarikan (m/menit)
Parameter kualitas air diambil bersamaan pada saat pengambilan sampel larva. Adapun
parameter kualitas air yang diukur dan metode yang digunakan adalah:
Tabel 1. Parameter kualitas air dan metode analisis yang digunakan
No Parameter Satuan Alat/bahan dan metode yang digunakan
1. Kedalaman air M Depth metre, in situ
3. Suhu air
o
C Revershing Termometer l, in situ
4. pH Unit Titrasi dengan indikator universal pH 4-7/ in situ
5. Salinitas
0
/
00
Refraktometer, insitu
Sebagai bahan referensi tambahan untuk mengetahui distribusi larva, digunakan peta arus
di sekitar pantai utara dari Wirtky (1961). Analisis hubungan antara kelimpahan larva ikan dan
parameter kualitas air, diukur dengan analisis korelasi multivariate (MS.Excel 2003). Data
kelimpahan larva digambarkan dengan grafik buble yang kemudian di-overlay dengan peta yang
diambil dari google earth.
Semnaskan _UGM / Kelautan (KL-03) - 3
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Hasil dan Pembahasan
Setelah dilakukan penentuan titik pengambilan sampel secara acak, maka diperoleh 8 titik
stasiun pengamatan (Gbr. 1), dan titik koordinatnya pada tabel 2.
Gambar 1. Peta Pantai Mayangan dan lokasi pengamatannya.
Tabel 2. Titik koordinat stasiun pengamatan
Stasiun
Pengamatan
Titik Koordinat
Latitude Longitude
L1 6
0
12.060'S 107
0
46.740'E
L2 6
0
11.760'S 107
0
46.560'E
L3 6
0
11.460'S 107
0
46.260'E
L4 6
0
11.700'S 107
0
45.600'E
L5 6
0
12.060'S 107
0
45.840'E
L6 6
0
12.360'S 107
0
46.140'E
L7 6
0
12.660'S 107
0
45.476'E
L8 6
0
12.360'S 107
0
45.240'E
Kelimpahan larva selama penelitian bulan Agustus dan Oktober 2009 digambarkan pada
grafik (gbr. 1). Kelimpahan tertinggi terjadi pada bulan Oktober di stasiun L3 (47100 ind/m
3
) dan
kelimpahan terrendah juga terjadi pada bulan Oktober di stasiun L2 (647 ind/m
3
). Sedangkan untuk
komposisi larva ikan yang diperoleh selama penelitian digambarkan dalam grafik (gbr 2).
0
10000
20000
30000
40000
50000
L1 L2 L3 L4 L5 L6 L7 L8
K
e
l
i
m
p
a
h
a
n
(
i
n
d
/
m
3
)
Stasiun
Kelimpahan Larva
Agustus
Oktober
4 - Semnaskan _UGM / Kelautan (KL-03)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Gambar 1. Kelimpahan larva bulan Agustus dan Oktober 2009
Gambar 2. Komposisi larva bulan Agustus 2009
Gambar 3. Komposisi larva bulan Oktober 2009
Dari kedua grafik diatas kita dapat melihat komposisi larva ikan di bulan Agustus dan
Oktober ada perbedaan komposis larva ikan di setiap stasiun pengambilan sampel. Pada bulan
Agustus telur, larva udang dan larva kepiting terlihat melimpah di setiap stasiun pengamatan,
sedangkan pada bulan Oktober kita dapat melihat bahwa larva udang mendominasi di setiap
stasiun. Hal ini di duga bahwa pada bulan Agustus yang merupakan musim peralihan dari musim
kemarau dan musim hujan, merupakan saat ikan memijah, sehingga larva ikan di temukan
melimpah di setiap stasiun. Sedangkan pada bulan Oktober di duga larva ikan sudah terdistribusi
secara spasial ke beberapa daerah.
Hasil pengamatan kualitas air di tiap-tiap stasiun pada bulan Agustus dan Oktober 2009
perubahannya tidak begitu mencolok, hal ini kemungkinan disebabkan waktu pengambilan
sampelnya yang terlalu dekat dan fluktuasi perubahan parameter kualitas airnya kecil.
0
1000
2000
3000
4000
5000
6000
7000
8000
L1 L2 L3 L4 L5 L6 L7 L8
K
e
l
i
m
p
a
h
a
n
(
i
n
d
/
m
3
)
Stasiun
Bulan Agustus
Ikan
Telur
Udang
Kepiting
Kopepoda
Ubur-Ubur
Sagita
0
5000
10000
15000
20000
25000
30000
L1 L2 L3 L4 L5 L6 L7 L8
K
e
l
i
m
p
a
h
a
n
(
i
n
d
/
m
3
)
Stasiun
Bulan Oktober
Ikan
Telur
Udang
Kepiting
Kopepoda
Ubur-Ubur
Sagita
Semnaskan _UGM / Kelautan (KL-03) - 5
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Gambar 3. Parameter kualitas air bulan Agustus dan Oktober 2009
Hasil analisis korelasi antara kelimpahan larva dan beberapa parameter kualitas air yang
diukur, memperlihatkan bahwa hanya beberapa parameter kualitas air yang mempengaruhi
kelimpahan larva ikan. Pada bulan Agustus hanya kedalaman saja yang mempengaruhi
kelimpahan larva (r=0,558), dimana semakin dalam kedalaman kelimpahan larva semakin besar.
Sedangkan pada bulan Oktober parameter kualitas air yang berpengaruh terhadap kelimpahan
larva ikan adalah pH (r = -0,763) dan salinitas (r=0,521).
Sebaran kelimpahan larva ikan di pantai mayangan digambarkan dengan grafik buble yang
di overlay-kan dengan peta pantai mayangan yang di ambil dari google earth sebagai berikut:
Agustus Oktober
0
1
2
3
K
e
d
a
l
a
m
a
n
(
m
)
29
30
31
32
L1 L2 L3 L4 L5 L6 L7 L8
S
u
h
u
(
o
C
)
6.8
7
7.2
7.4
7.6
p
H
(
u
n
i
t
)
26
28
30
S
a
l
i
n
i
t
a
s
(
u
n
i
t
)
28
30
32
34
L1 L2 L3 L4 L5 L6 L7 L8
S
u
h
u
(
0
C
)
0
5
10
K
e
d
a
l
a
m
a
n
(
m
)
6.5
7
7.5
8
8.5
p
H
(
u
n
i
t
)
0
20
40
S
a
l
i
n
i
t
a
s
(
u
n
i
t
)
L1
L2
L3
L4
L5
L6
L7
L8
L4
L1
L2
L6
L7
L8
L5
L3
6 - Semnaskan _UGM / Kelautan (KL-03)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Gambar 4. Peta sebaran larva ikan Agustus dan Oktober 2009 di perairan Mayangan.
Dari grafik diatas kita dapat melihat bahwa penyebaran larva ikan di sekitar pantai
Mayangan pada bulan Agustus cenderung merata di setiap stasiun. Hal tersebut diduga sekitar
bulan Agustus merupakan musim pemijahan ikan sehingga larva dan telur banyak tertangkap pada
saat pengambilan sampel larva ikan. Sedangkan pada bulan Oktober kelimpahan larva di setiap
stasiun mulai berkurang dan kelimpahan terbesar berada di stasiun L3 di sebelah timur. Hal ini
diduga ada pergerakan arus ke sebelah timur, dan arus merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi distribusi larva ikan (Haury et al, 1978). Sementara pola arus perairan pantai
Subang (Wirtky, 1961) secara umum mengikuti pola arus Laut Jawa (Gbr. 5), arus musiman
sangat dominan di wilayah perairan ini. Antara bulan Mei dan September yang merupakan periode
musim Timur, arus musim bergerak kearah Barat dengan kecepatan maksimum sekitar 25 cm/det.
Dari bulan Oktober sampai Maret, arus musim mengalir kearah Timur dengan kecepatan
maksimum sekitar 30 cm/det.
Gambar 5. Peta arus di sekitar pantai utara jawa pada bulan Agustus dan Oktober (Wirtky, 1961)
Kesimpulan dan Saran
Berdasarkan hasil kajian diatas dapat ditarik beberapa kesimpulan:
1. Kelimpahan larva tertinggi terjadi pada bulan Oktober di stasiun L3 47100 ind/m
3
) dan
kelimpahan terrendah terjadi pada bulan Oktober di stasiun L2 (647 ind/m
3
).
2. Komposisi larva ikan bulan Agustus terlihat merata di setiap stasiun pengamatan, sedangkan
pada bulan Oktober kita dapat melihat bahwa larva udang mendominasi di setiap stasiun.
3. Dari beberapa kualitas air yang diamati, kedalaman, pH, dan salinitas yang mempangaruhi
kelimpahan larva.
Untuk mengetahui distribusi larva sampai terjadi rekruitment di perairan sekitar mayangan,
diperlukan penelitian lebih lanjut dan lebih banyak parameter yang dianalisis.
Daftar Pustaka
Haury, I. R.,McGowan, J. A. Weibe, P. H. (1978). Patterns and processes in the time space scales
of plankton distribution. In: Steele, J. (ed.) Spatial pattern in plankton communities, Plenum
Press, New York, p. 227-337.
Kinne, O. 1964. The effect of temperature and salinity on marine and brackish water animal In:
Oceanography and Marine Biology, H. Barnes (ed). Goerge Allen & Unwin Ltd., London.
Ann. Rev., 2: 281-339.
Kohno, H and Sulistiono, 1994. Ichthyofauna in Segara Anakan Lagoon: in Takashima, F and
Soewardi, K. (Eds.). Ecological Assesment for Management Planing of Segara Anakan
Lagoon, Cilacap, Central Java. 1994. p: 77-82.
Semnaskan _UGM / Kelautan (KL-03) - 7
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Leis, J. M., Trnski, T (1989). The Larvae of Indo-Pacific Shorefishes. New South Wales University
Press, Sydney.
Moyle, B. P and Joseph J. Cech, JR. 1988. Fishes an Introduction to Ichthyology Prentice Hall.
New Jersey.
Nikolsky, G,V. 1963. The Ecology of Fishes. London: Academic Press.
Smith, D. L., 1971. A Guide to Marine Coastal Plankton and Marine Invertebrate Larvae.
Kendal/Hunt Publ. Company. 153 p.
Wrytki, K. 1961. Physical Oceanography of Southest Asian Waters. Naga Report, Vol 2. La Jolla:
The University Of California.
Semnaskan _UGM / Kelautan (KL-04) - 1
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
STRUKTUR KOMUNITAS ALGA PERIPHYTON PADA DAUN LAMUN
(Cymodocea rotundata dan Thalassia hemprichii) DI PESISIR KECAMATAN
BRONDONG KABUPATEN LAMONGAN JAWA TIMUR
Endang Yuli H
*
*Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya Malang
*Dipresentasikan pada Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan Yogyakarta,
16 Juli 2011.
Abstrak
Alga periphyton dapat dijadikan bioindikator pada suatu perairan karena alga periphyton termasuk
dalam mikroalga seperti halnya phytoplankton. Menurut James (1979), bahwa tanaman yang
berfotosintesis termasuk mikroalga dapat dijadikan indikator kualitas dari suatu perairan karena
daya tahannya terhadap kualitas perairan. Struktur komposisi dan kepadatan alga periphyton pada
daun lamun dapat menandai cerminan terhadap aktivitas manusia yang berlangsung di wilayah
pesisir Kecamatan Brondong Kabupaten Lamongan. Perubahan komposisi dan kepadatan alga
periphyton pada daun lamun dapat menjadi acuan untuk mengelola aktivitas manusia yang ada di
wilayah pesisir. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui jenis-jenis, komposisi dan kepadatan
alga periphyton pada daun lamun Cymodocea rotundata dan Thalassia hemprichii serta untuk
mengetahui kondisi perairan pesisir Kecamatan Brondong. Kabupaten Lamongan Jawa Timur.
Waktu pelaksanaan bulan Agustus 2007. Metode yang digunakan deskriptif, data yang diambil
suhu, salinitas, kekeruhan, pH, karbondioksida, nitrat nitrogen, ortofosfat serta komunitas alga
perifiton. Komposisi alga periphyton yang ditemukan di pesisir Kecamatan Brondong terdiri dari 32
genus, pada 3 phylum yaitu phylum Chrysophyta 25 genus, phylum Cyanophyta 3 genus, dan
phylum Chlorophyta 4 genus. Kepadatan total alga perifiton pada daun lamun Cymodocea
rotundata berkisar antara 101457 103541 ind/mm
2
. Dan kepadatan total alga perifiton pada daun
lamun Thalassia hemprichii berkisar antara 100826 104309 ind/mm
2
. Kepadatan Relatif alga
perifiton tertinggi 91 % phylum Chrysophyta dan terendah 2 % phylum Chlorophyta. Kualitas air
berkisar : suhu : 27 29 C; salinitas : 31 33 ppt, kekeruhan : 1 13 NTU, pH : 8, kadar
karbondioksida : 17 59 mg/l, ortofosfat : 1,1 1,7 mg/l, nitrat nitrogen : 0,1 0,2 mg/l dan TOM
: 6,32 41,71 mg/l. Kisaran parameter tersebut dapat mendukung kehidupan alga periphyton pada
daun lamun Cymodocea rotundata dan Thalassia hemprichii. Namun berdasarkan jenis yang
paling banyak ditemukan dari phylum Chrysophyta Nitzia sp. dan Cocconeis sp. menunjukkan
kondisi perairan pesisir Kecamatan Brondong Kabupaten Lamongan menunjukkan sudah
terkontaminasi bahan organik. Disarankan perlu dilakukan pelestarian ekosistem lamun yang
bermanfaat sebagai substrat alga perifiton untuk stabilitas lingkungan.
Kata kunci : alga periphyton, lamun
Pendahuluan
Daerah pesisir merupakan bagian yang penting dari perairan laut, karena dapat
mempengaruhi keberlangsungan sumberdaya hayati laut itu sendiri. Pada pesisir Kecamatan
Brondong Kabupaten Lamongan Jawa Timur ditemukan 2 jenis lamun, yaitu Cymodecia rotundata
, dan Thallasia hemprichii. Jenis lamun tersebut mempunyai morfologi yang sama namun tekstur
daun yang berbeda yang digunakan oleh alga periphyton sebagai habitat menempelnya. Tekstur
daun lamun memiliki peranan penting dalam mempengaruhi kepadatan dan komposisi alga
periphyton. Jenis daun lamun yang digunakan untuk menempel alga periphyton sangat
mempengaruhi kesuksesan alga periphyton untuk menempel pada substratnya. Lamun dan alga
periphyton merupakan komunitas penting sebagai produsen primer pada ekosisitem pesisir dan
pertumbuhan alga periphyton dipengaruhi oleh substrat menempelnya. Lamun sebagai substrat
menempel alga periphyton mempunyai batasan toleransi terhadap faktor fisika dan kimia habitat
hidupnya yang selanjutnya faktor kimia dan fisika tersebut akan mempengaruhi alga periphyton.
Kurangnya data komunitas alga periphyton khususnya pada daun lamun menyebabkan
usaha dalam menjaga kelestarian sumberdaya hayati pesisir dan perikanan kurang optimal.
Karena itu diperlukan pengamatan mengenai komunitas alga periphyton. Di daerah pesisir
Kecamatan Brondong terdapat pelabuhan, buangan oli dan bahan bakar kapal sehingga
KL-04
2 - Semnaskan _UGM / Kelautan (KL-04)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
kekeruhan air menjadi tinggi. Selain itu juga terdapat pemukiman yang menyebabkan terjadi
pemasukan bahan organik dari limbah rumah tangga yang masuk ke perairan. Selanjutnya bahan
organik tersebut setelah terdekomposisi akan menyebabkan tingginya kadar nitrat dalam perairan.
Aktivitas yang lain adalah docking kapal dan transportasi untuk pelayaran kapal nelayan
yang dapat merusak substrat lamun akibat adanya rel untuk docking kapal serta lalu lalang kapal.
Hal-hal tersebut menyebabkan perubahan ekosistem pada perairan dan perubahan yang terjadi
pada ekosistem tersebut juga akan menyebabkan perubahan komposisi dan kelimpahan lamun
dan alga periphyton. Plankton merupakan dasar dari suatu rantai makanan dalam suatu ekosistem
perairan sebagai produsen primer maka keberadaannya sangat penting dalam suatu perairan,
karena itu diperlukan pengamatan mengenai komunitas alga periphyton.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi komposisi dan kepadatan alga periphyton
pada daun lamun Cymodocea rotundata dan Thallasia hemprichii di pesisir Desa Sedayu Lawas
Kecamatan Brondong Kabupaten Lamongan Jawa Timur, pada bulan Agustus 2006.
Bahan dan Metode
Materi yang dianalisa adalah air laut berupa parameter fisika dan kimia perairan dan alga
periphyton pada daun lamun Cymodocea rotundata dan Thallasia hemprichii. Metode yang
digunakan deskriptif pada 3 stasiun, data yang diperoleh : pH, suhu, salinitas, pasang surut, nitrat,
ortofosfat serta komunitas alga perifiton.
Teknik Penentuan Stasiun
Penetapan stasiun pengamatan lokasi alga periphyton pada daun lamun berdasarkan
perbedaan tata guna lahan disekitar pesisir Desa Sedayu Lawas Kecamatan Brondong Kabupaten
Lamongan Stasiun pengamatan ditetapkan menjadi 3 stasiun yaitu :
1. Stasiun 1 : Daerah sandaran kapal
2. Stasiun 2 : Daerah pemukiman dan MCK
3. Stasiun 3 : Daerah pemukiman, pengolahan ikan dan muara sungai.
Penentuan Titik Pengambilan Sampel Alga Periphyton pada Tiap Stasiun
Penentuan stasiun titik sample berdasarkan garis vertikal tegak lurus pantai dari pasang
tertinggi sampai surut terendah, kemudian ditentukan 3 titik sampling yaitu titik 1 pertama kali
ditemukan lamun (26 50 m), titik 2 (tengah) 72 107 m dari titik 1 dan titik 3 sampai tubir (tidak
ditemukan lamun) sepanjang 80 101 m dari titik 2. Transek line ditempatkan pada setiap titik
sampling sebanyak 4 frame yang berukuran 50 x 50 cm.
Teknik Pengambilan Sampel Periphyton
Memotong satu helai daun lamun ukuran 2 x 1,5 cm yang ditemukan pada frame.
Mengikis permukaan daun dengan sikat.
Mencuci hasil kikisan dengan aquadest dan menampung dalam botol film.
Menambahkan larutan lugol dengan perbandingan 1 volume larutan berbanding 100 volume
sampel air.
Mengidentifikasi sampel alga periphyton di laboratorium dengan menggunakan mikroskop
dan buku Prescott (1970), Barus (2002), John (2000) dan Davis (1955) untuk dianalisa
secara kualitatif.
Analisis Data
Prosedur perhitungan kepadatan alga periphyton (epiphytic) dilakukan dengan prosedur
menurut APHA (1985), dengan rumus :
n x A
t
x V
t
N =
A
c
x V
s
x A
s
Dimana, N : Kepadatan alga periphyton (organisme / mm
2
)
n : Jumlah organisme yang ditemukan
A
t
: Luas cover glass (mm
2
)
V
t
: Volume sampel yang ditampung dalam botol sampel (ml)
A
c
: Luas lapang pandang x jumlah lapang pandang yang diamati (mm
2
)
V
s
: Volume tetes air yang digunakan dalam pengamatan (ml)
A
s
: Luas daerah yang diambil sampelnya (mm
2
)
Semnaskan _UGM / Kelautan (KL-04) - 3
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Analisis Kepadatan Relatif
Kelimpahan relatif ini merupakan kelimpahan relatif untuk masing-masing stasiun yang
menunjukkan banyaknya organisme di 3 stasiun pengamatan pada tempat tersebut, bukan
merupakan keanekaragaman jenis di salah satu stasiun tersebut.
Rumus : KR = % 100 x
N
ni
Dimana, KR : Kelimpahan relatif
ni : Jumlah individu pada genus tersebut
N : Jumlah total individu
Nilai kelimpahan relatif antara 1% sampai 100%. Kelimpahan yang rendah menunjukkan
hanya sedikit jumlah organisme yang hidup tersebut di perairan (Arfianti, 1991).
Hasil dan Pembahasan
Deskripsi Stasiun Pengamatan
Gambaran kondisi dan situasi stasiun pengamatan di pesisir Desa Sedayu Lawas
Kecamatan Brondong Kabupaten Lamongan Jawa Timur mulai dari stasiun 1 sampai stasiun 3
dapat diuraikan sebagai berikut :
a. Stasiun 1
Stasiun 1 daerah sandaran kapal kapal nelayan, pemukiman penduduk, dan Mandi Cuci
Kakus (MCK). Panjang komunitas lamun di stasiun ini sekitar 217 m dimulai dari garis pantai
(pasang tertinggi) sampai tidak diketemukan komunitas lamun lagi (tubir)
b. Stasiun 2
Stasiun 2 terletak di daerah pemukiman penduduk dan Mandi Cuci Kakus (MCK), tepatnya
disebelah barat dari stasiun 1. Panjang komunitas lamun di stasiun ini sekitar 257 m dimulai dari
garis pantai (pasang tertinggi) sampai tubir .
c. Stasiun 3
Stasiun 3 daerah pemukiman, pengolahan dan muara sungai, disebelah barat stasiun 2.
Panjang komunitas lamun di stasiun ini sekitar 196 m dimulai dari garis pantai (pasang tertinggi)
sampai tubir .
Struktur Komunitas
Komposisi dan kepadatan jenis alga periphyton pada daun lamun Cymodocea rotundata dan
Thallasia hemprichii.
Komposisi alga perifiton yang ditemukan pada ketiga stasiun pada daun lamun
Cymodocea rotundata dan Thallasia hemprichii.terdiri dari 36 genus yaitu dari phylum Chrysophyta
sebanyak 28 genus. Genus genus yang termasuk phylum Chrysophyta ini adalah Achnanthes,
Achnanthidium, Amphora, Anomoeneis, Brachysira, Cocconeis, Cyclotella, Cymatopleura,
Cymbella, Diatoma, Diatomella, Encyonema, Ephitemia, Eunotia, Fragillaria, Frustulia,
Gomphonema, Gyrosigma, Meridion, Melosira, Navicula, Neidium, Nitzchia, Pinnularia,
Rhopalodia, Stenopterobia, Surirella, dan Tabellaria. Untuk phylum Cyanophyta ditemukan
sebanyak 3 genus yaitu Lyngbya, Merismopedia, dan Synechoccus. Sedangkan dari phylum
Chlorophyta ditemukan sebanyak 5 genus yaitu Carteria, Closterium, Cosmarium, Pediastrum, dan
Schroideria.
Komposisi alga perifiton yang ditemukan selama penelitian diketiga stasiun didominasi dari
phylum Chrysophyta terutama dari sub phylum Bacillariophyceae. Hal ini dikarenakan kelompok
Bacillariophyceae mempunyai kemampuan untuk beradaptasi dengan lingkungannya, serta
mampu berkembangbiak dengan cepat. Salah satu adaptasi terhadap lingkungannya adalah
dengan adaptasi morfologinya. Menurut Rutner dalam Yulianti (2006), kelas Bacillariophyceae
dapat menempel pada substrat dengan menggunakan 3 cara penempelan yaitu dengan tabung
mucus/lendir (pada kebanyakan genus), mucus yang menyerupai tangkai panjang, mucus yang
mengelilingi dinding sel. Untuk perkembangbiakannya yang cepat hal ini telah diungkapkan oleh
Spencer in Raymont (1963) dalam Setiyorini (2002), menyatakan bahwa dalam kondisi optimal
Bacillariophyceae dapat berkembang dengan cepat, dengan laju penggandaan maksimal kurang
dari 10 jam.
4 - Semnaskan _UGM / Kelautan (KL-04)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Berdasarkan hasil pengamatan komposisi dari alga perifiton pada daun lamun Cymodocea
rotundata dan Thalssia hemprichii perstasiun pengamatan di perairan Desa Sedayu Lawas dapat
diuraikan sebagai berikut :
Alga perifiton yang ditemukan pada daun lamun Cymodocea rotundata sebanyak 36 genus
yang terbagi dalam 3 phylum diantaranya yaitu 28 genus dari phylum Chrysophyta dengan
frekuensi kehadiran alga perifiton terbanyak adalah genus Cocconeis ditemukan pada 17 titik
sepanjang adanya lamun. Menurut Anonymous (2007), menyatakan bahwa Cocconeis merupakan
organisme yang sering ditemukan pada perairan dengan kondisi tercemar ringan sampai sangat
tercemar. Hal ini didukung dengan nilai fosfat yang cukup tinggi sebesar 1,9 mg/l.
Alga perifiton yang ditemukan pada daun lamun Thalassia hemprichii sebanyak 36 genus
yang terbagi dalam 3 phylum diantaranya yaitu 28 genus dari phylum Chrysophyta dengan
frekuensi kehadiran alga perifiton terbanyak adalah genus Navicula yang ditemukan pada 11 titik
sepanjang adanya lamun. Menurut Mulyanto (1992) Navicula dan Surirella bersama sama
dengan Nitzshcia sangat tahan terhadap pencemaran bahan organik dan terdapat dalam jumlah
yang banyak.
Persentase kepadatan relatif Chrysophyta pada daun lamun Cymodocea rotundata
sebesar 79 %, Cyanophyta sebesar 10 %, dan Chlorophyta sebesar 11 %. Sedangkan pada daun
lamun Thalassia hemprichii persentase Chrysophyta sebesar 83 %, Cyanophyta sebesar 5 %, dan
Chlorophyta sebesar 12 %. Berdasarkan uraian diatas terlihat bahwa persentase phylum
Chrysophyta jauh lebih besar daripada phylum lainnya.
Serta diketahui bahwa sel Chrysophyta ditutupi oleh dinding sel yang terdiri dari dua
bagian valve yaitu epitheca dan hypotheca. Valve ini banyak mengandung silikat (Herawati, 1989).
Dinding sel ini sangat keras dan tidak dapat membusuk atau larut dalam air. Karena terdiri dari
tutup dan wadah yang mudah membuka, maka enzym enzym dapat melarutkan isi isi selnya.
Sel yang dikeluarkan sebagai feses bentuknya masih utuh dan rapih, hanya bagian dalamnya
sudah kosong. Sel tersebut selanjutnya diduga dapat memanfaatkan silikat yang ada di perairan,
sehingga kepadatan relatif dari Chrysophyta lebih tinggi dibandingkan dengan phylum yang lain.
Dengan dinding yang poreus dan tidak diliputi oleh lendir yang tebal maka phylum Chrysophyta
banyak disukai oleh ikan ikan yang baru menetas, atau oleh species species ikan yang kecil,
dan terutama dimakan oleh zooplankton (Sachlan, 1973).
Berikut dapat dilihat dibawah ini gambar kepadatan relatif alga perifiton pada masing
masing jenis daun lamun :
Gambar 1. Kepadatan Relatif Alga Perifiton Pada daun lamun Cymodocea rotundata
Gambar 2. Kepadatan Relatif Alga Perifiton Pada daun lamun Thalassia hemprichii
Semnaskan _UGM / Kelautan (KL-04) - 5
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Kepadatan total alga perifiton yang tertinggi adalah pada daun l Thalassia hemprichii amun
sebesar 105113 ind/mm
2
dan yang terendah pada daun lamun Cymodocea rotundata sebesar
81502 ind/mm
2
. Perifiton adalah sekumpulan jasad renik yang hidup menempel atau tergantung
dari suatu substrat berupa batang atau daun vegetasi akuatik atau dipermukaan benda benda
yang terletak di atas dan yang muncul dari permukaan dasar perairan (Afrianto et al., 1996).
Termasuk didalamnya kelompok organisme (hewan atau nabati) yang bergerak lambat (meratap
atau merangkak) pada substrat tersebut serta keberadaan perifiton sangat dipengaruhi oleh Tipe
substrat dan Iklim, arus air, kekeruhan, suhu air, dan adanya bahan pencemar di perairan (Musa,
2006).
Sifat atau mutu perairan dapat diketahui melalui pendugaan terhadap hasil pengukuran
atau pengamatan parameter fisika, kimia, dan biologi. Menurut Barus (2002), indikator biologi
dapat memantau secara kontinu, karena komunitas biota air menghabiskan seluruh hidupnya di
lingkungan tersebut, sehingga bila terjadi pencemaran dalam periode waktu yang lama akan
bersifat akumulatif yang akan mempengaruhi keanekaragaman spesies dari organisma air.
Indikator fisika-kimia dapat secara akurat memantau kualitas suatu perairan, meskipun juga
mempunyai kendala, terutama dalam periode pengambilan sampel air. Karena waktu pengambilan
sampel akan sangat mempengaruhi hasil analisis dari parameter kimia yang diukur. Dengan kata
lain dapat disimpulkan bahwa indikator biologi akan bersifat kualitatif, sementara indikator fisika-
kimia akan bersifat kuantitatif.
Perifiton merupakan alga yang menempel yang melapisi batuan dan pada batang kayu
tanaman dibawah permukaan air dan merupakan produser primer. Perifiton dapat dijadikan
indikator biologi karena hidupnya relatif menetap. Menurut Sudaryanti (1997), penggunaan metode
biologis dengan menggunakan komunitas bentik dapat dianggap sebagai kegiatan pemantauan
yang berlangsung secara terus-menerus di perairan yang mengalir, mempunyai toleransi yang
lebar terhadap kualitas air yang berbeda, dan berguna untuk pemantauan kualitas air, juga
memberikan informasi langsung terhadap perubahan populasi dan distribusi organisme, dan ini
berkaitan dengan pengelolaan sungai dan perikanan.
Rosenberg dan Resh (1993), menyatakan bahwa karakteristik ideal dari jenis organisme
indikator adalah: a). mudah diidentifikasi, b). tersebar secara kosmopolit, c). kelimpahan dapat
dihitung, d). Variabilitas ekologi dan genetik rendah, e). ukuran tubuh relatif besar, f). mobilitas
terbatas dan masa hidup relatif lama, g). karakteristik ekologi diketahui dengan baik, dan h).
terintegrasi dengan kondisi lingkungan serta i). cocok untuk digunakan pada studi laboratorium.
Faktor Yang Mempengaruhi Perifiton (Epilithic)
Perubahan suhu berpengaruh terhadap proses fisika, kimia, dan biologi badan air. Suhu
juga sangat berperan dalam mengendalikan kondisi ekosistem perairan. Organisme akuatik
memiliki kisaran suhu tertentu yang baik bagi pertumbuhannya. Alga dari filum Chloropyta dan
diatom akan tumbuh baik pada kisaran suhu berturut-turut 30C-35C dan 20C-30C, dan filum
Cyanophyta dapat bertoleransi terhadap kisaran suhu yang lebih tinggi (diatas 30C) dibandingkan
kisaran suhu pada filum Chloropyta dan diatom (Welch, 1980; Halsem 1995 dalam Effendi, 2003).
Suhu rata rata perairan berkisar 27 29 C.
Kisaran salinitas berkisar 31 33 ppm. Menurut Zieman (1975) dalam Supriyanti (2001)
Alga laut hidup pada salinitas 33 40 ppm, alga perifiton dari phylum Cyanophyta dapat mentolerir
kisaran salinitas yang tinggi dibandingkan phylum phylum lain. Lebih lanjut dijelaskan oleh Castro
(2003), bahwa Cyanophyta dapat mentolerir salinitas lebih dari 45 ppm. Jadi dapat disimpulkan
bahwa salinitas pada perairan Desa Sedayu Lawas mendukung kehidupan dari perifiton.
Kekeruhan perairan pesisir Sedayu Lawas adalah berkisar antara 1 13 NTU
(Nephelometric Turbidity Unit). Kekeruhan menjadi faktor penting bagi alga perifiton karena dapat
menghambat penetrasi cahaya ke dalam air yang digunakan dalam proses fotosintesis. Kekeruhan
air dapat menghalangi masuknya cahaya matahari kedalam perairan. Cahaya matahari masih
dapat masuk kedalam perairan walaupun perairan dalam keadaan pasang, karena menurut Effendi
(2003) bahwa perairan dapat terganggu aktifitas fotosintesisnya jika nilai kekeruhan mencapai nilai
25 NTU atau lebih.
pH adalah suatu ukuran dari konsentrasi ion hidrogen dan menunjukan suasana air
tersebut apakah bereaksi asam atau basa. Skala pH mempunyai deret 0-14 dan pH 7 adalah netral
berarti air tidak bersifat basa ataupun asam. Bila nilai pH dibawah 7 berarti air tersebut asam dan
bila diatas 7 berarti basa (Cholik et al., 1986).
Organisme akuatik dapat hidup pada suatu perairan yang mempunyai nilai pH netral
dengan kisaran toleransi antara asam lemah sampai basa lemah. Kondisi perairan yang bersifat
6 - Semnaskan _UGM / Kelautan (KL-04)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
sangat asam maupun sangat basa akan menyebabkan kelangsungan hidup organisme terganggu.
pH yang sangat rendah dapat menyebabkan mobilitas berbagai senyawa logam berat terutama ion
alumunium yang bersifat toksik (Barus, 2002). Hasil pengukuran pH sebesar 8.
Karbondioksida (CO
2
) merupakan gas yang sangat diperlukan bagi alga bentik dalam
proses fotosintesis. CO
2
yang terdapat di perairan berasal dari difusi dari udara, air hujan, air
bawah tanah, proses dekomposisi bahan organik dan respirasi (Arfiati, 2001).
Menurut Effendi (2003), karbondioksida yang terlarut di dalam perairan membentuk
karbondioksida bebas (CO
2
), ion bikarbonat (HCO
3
-
), ion karbonat (CO
3
2-
) dan asam karbonat
(H
2
CO
3
). Ketika karbondioksida masuk dalam air akan bereaksi membentuk ion bikarbonat,
kemudian ion bikarbonat mengalami dissoisasi menjadi ion karbonat, selanjutnya ion karbonat di
dissosiasi menjadi asam karbonat (Boyd, 1979).
Tumbuhan akuatik, misalnya alga lebih menyukai karbondioksida sebagai sumber karbon
dibandingkan dengan bikarbonat dan karbonat. Bikarbonat sebenarnya dapat berperan sebagai
sumber karbon, namun di dalam kloroplas harus dikonversikan terlebih dahulu dengan bantuan
enzim karbonik anhidrase (Effendi, 2003). Hasil pengukuran karbondioksida : 17 59 mg/l.
Nitrogen merupakan salah satu unsur penting bagi pertumbuhan organisme dan
merupakan salah satu unsur utama pembentuk protein. Nitrogen di air dalam bentuk gas N
2
, nitrit
(NO
2
), nitrat (NO
3
), ammonium (NH
4
), dan ammonia (NH
3
). Oksidasi amonia menjadi nitrit
dilakukan oleh bakteri Nitrosomonas sedangkan oksidasi nitrit menjadi nitrat dilakukan oleh
Nitrobacter (Effendi, 2003).
Senyawa nitrogen yang dapat dimanfaatkan oleh alga dan fitoplankton hanyalah senyawa
garam-garam amonium dan nitrat. Kadarnya didalam perairan maksimal 11,4 ppm dan umumnya
lebih kecil dari 5 ppm. Batas minimum untuk pertumbuhan fitoplankton atau alga adalah 0.35 ppm
(Suryanto, 2006). Hasil pengukuran nitrat nitrogen : 0,1 0,2 mg/l.
Kadar nitrat di sungai berkisar antara 0,003-7 mg/l, dan pada stream berkisar antara
0,003-5 mg/l. Tetapi pada umumnya kadar nitrat di sungai adalah 0,1 mg/l sedangkan kadar nitrat
di stream adalah 0,5 mg/l. Kadar nitrat yang paling tinggi ditemukan pada sungai yang tercemar
oleh limbah pertanian (Horne dan Goldman, 1994).
Dalam ekosistem air fosfor terdapat dalam tiga bentuk yaitu senyawa fosfor anorganik
seperti ortofosfat, senyawa organik dalam protoplasma, dan senyawa organik terlarut yang
terbentuk dari proses penguraian tubuh organisme (Barus, 2002). Orthophospat terlarut
merupakan bentuk sederhana pospor di dalam air dan orthophospat yang terlarut ini bisa
digunakan langsung oleh tanaman (Arfiati, 2001).
Ortofosfat dihasilkan oleh proses pemecahan fosfat organik oleh bakteri dari jaringan yang
sedang membusuk. Ini merupakan proses yang relatif sederhana dan mudah sehingga
menyediakan fosfor untuk diserap oleh tumbuh-tumbuhan. Jadi meskipun fosfor kadarnya jauh
dibawah nitrogen tetapi unsur ini dalam keadaan mudah diperoleh dari mintakat tembus cahaya
matahari (Romimohtarto dan Juwana, 2001).
Jenis jenis diatom akan mendominasi perairan yang berkadar fosfat rendah (0,00 0,02
mg/lt). pada kadar 0,02 0,05 mg/lt banyak tumbuh Chlorophyceae dan pada kadar 0,1 mg/lt
banyak tumbuh Cyanophyceae (Wetzel, 1983). Hasil pengukuran ortofosfat : 1,1 1,7 mg/l.
Komunitas perifiton merupakan variabel penting dalam ekosistem mengalir (Weitzel, 1979
dalam Wijaya, 2009). Masih menurut Wijaya (2009), Organisme tersebut berperan sebagai
organisme ototrof yang mampu berfotosintesis dengan memanfaatkan senyawa anorganik menjadi
bahan organik serta sebagi penghasil oksigen. Selain itu perifiton merupakan makanan bagi ikan
herbivor dan dan bentos sehingga ketersediaannya berpengaruh bagi komunitas pada tingkat trofik
diatasnya. Pada perairan sungai yang memiliki dukungan nutrien silika yang cukup memadai,
keberadaan kelompok Bacillariophyceae sering mendominasi dengan kelimpahan sangat besar,
kecuali pada sungai berlumpur. Nutrien silika merupakan salah satu unsur yang dibutuhkan oleh
diatom (Bacillariophyceae). Bagi diatom, silika merupakan pembentuk dinding sel dan dapat
mencapai setengah dari berat kering alga tersebut. Keberadaan silika di sungai dapat berasal dari
hancuran bantuan, aliran sungai, dan sedimen (Horne dan Golman 1994).
Adanya spesies Surirella sp. dengan kepadatan tinggi, Gomphonema sp., Amphora sp.,
Microcystis sp., Nitzschia sp. menandakan terpolusi bahan organik (Anonymous, 2011).
Menurut Round (1962), Surirella ditemukan pada perairan yang asam. Navicula memiliki
raphe yang dapat mensekresi mukus yang berfungsi sebagai alat untuk menempel pada substrat
(Graham dan Wilcox, 2000), sehingga Navicula dapat bertahan terhadap arus sungai yang cepat.
Menurut Arfiati (1989) dalam Subarja (2007), Navicula ditemukan dalam kisaran nitrat yang luas
dari 0,0 - 38,5 mg/lt.
Semnaskan _UGM / Kelautan (KL-04) - 7
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Ditemukannya spesies Cocconeis sp. kepadatan tinggi Navicula sp., Neidium sp.,
menandakan bersih atau sehat (Anonymous, 2011). Cocconeis terdapat pada stream yang
miskin akan unsur hara atau memiliki vegetasi naungan dalam jumlah besar (Welch 1992 dalam
Subarja 2007). Navicula memiliki raphe yang dapat mensekresi mukus yang berfungsi sebagai alat
untuk menempel pada substrat (Graham dan Wilcox, 2000) sehingga Navicula dapat bertahan
terhadap arus sungai yang termasuk arus cepat yaitu 68 cm/dt.
Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan
1. Komposisi Alga perifiton yang ditemukan pada daun lamun Cymodocea rotundata dan
lamun Thalassia hemprichii di pesisir Desa Sedayu Lawas terdiri dari 3 phylum, yaitu :
Chrysophyta, sebanyak 28 genus ; Cyanophyta 3 genus dan Chlorophyta, sebanyak 5
genus .
2. Kepadatan total alga perifiton pada daun lamun Thalassia hemprichii berkisar antara
100,574 107,451 ind/mm
2
. Dan kepadatan total alga perifiton pada daun lamun
Cymodocea rotundata berkisar antara 80926 82309 ind/mm
2
.
3. Kepadatan Relatif alga perifiton tertinggi sebesar 86 % dari phylum Chrysophyta dan
kepadatan relatif terendah sebesar 3 % dari phylum Chlorophyta.
4. Hasil pengukuran faktor ekologis menunjukkan bahwa perairan tersebut sesuai untuk
kehidupan alga perifiton suhu 27 29 C; salinitas : 31 34 ppt, kekeruhan : 1 13 NTU,
pH : 8, kadar karbondioksida :15 60 mg/l, ortofosfat berkisar antara 1,4 1,9 mg/l, nitrat
nitrogen berkisar antara 0,1 0,2 mg/l .
Saran
Perlu dilakukan pelestarian ekosistem lamun karena sebagai substrat menempelnya alga
periphyton yang bermanfaat untuk stabilitas lingkungan. Salah satu contohnya adalah
dengan memberikan sosialisasi tentang pembuangan sampah domestik serta aktifitas
navigasi yang semakin lama dapat menyebabkan berkurangnya ekosistem lamun yang
mana dapat mengurangi fungsi dari ekosistem lamun itu sendiri serta berkurangnya
substrat melekatnya alga perifiton yang bermanfaat sebagai pakan biota laut.
Daftar Pustaka
Afrianto. E, Syamsudin. A. R, Evi. L, Herman. H. 1996. Kamus Istilah Perikanan. Kanisius.
Yogyakarta.
Anonymous. 2011. Identification Guide to Common Periphyton in New Zealand Streams and
Rivers.
Ansori, A. K. 2008. Penentuan Kekeruhan Pada Air Reservoir di PDAM Tirtanadi Instalasi
Pengolahan Air Sunggal Medan Metode Turbidimetri. Fakultas MIPA. Universitas
Sumatera Utara. Medan.
APHA. 1985. Standart Methods for the Examination of Water and Wastewater. 16
th.
Edition.
American Public Health Association. Washington.
Arfiati, D. 1992. Survei Pendugaan Kepadatan Fitoplankton Sebagai Produktivitas Primer di Rawa
Bureng, Desa Sukosari Kecamatan Gondanglegi, Kabupaten Malang. Fakultas
Perikanan. Universitas Brawijaya. Malang.
________. 2001. Limnologi Kimia Air. Universitas Brawijaya. Fakultas Perikanan. Malang.
Aunorohim, Saptarini. D, Yanthi. D. 2011. Fitoplankton Penyebab Harmful Algae Blooms (HABs) di
Perairan Sidoarjo. Biologi FMIPA. ITS. Surabaya.
8 - Semnaskan _UGM / Kelautan (KL-04)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Barus, T. A. 2002. Pengantar Limnologi. Jurusan Biologi. Fakultas MIPA. Universitas Sumatera
Utara. Medan.
Biggs, B. J. F. 2000. New Zealand Periphyton Giudeline : Detecting, Monitoring, And Managing
Enrichment of Streams. http://www.mfe.govt.nz/publications/water/nz-periphyton-guide-
jun00.pdf.
Boyd, C. E. 1979. Water Quality In Warm Water Fish Ponds. Agricultural Experiment Station,
Auburn University Auburn, Alabama, USA.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air. Kanisius. Yogyakarta .
Graham, L. H dan L. W. Wilcox. 2000. Algae. Prentice Hall. Upper Saddle River. New York.
Hariyadi. S, Suryadiputra, Widigdo. B. 1992. Limnologi Penuntun Praktikum dan Analisa Kualitas
Air. Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Herawati, E. Y dan Kusriani. 2005. Planktonologi. Fakultas Perikanan. Universitas Brawijaya.
Malang.
Hill, M dan Smilauer, P. 2005. TWINSPAN For Windows Version 2.3. Centre for Ecology and
Hydrology dan University of South Bohemia, Huntingdon dan Ceske Budejovice.
Horne, A. J dan C. R. Goldman. 1994. Limnology Second Edition. McGraw-Hill, Inc. Singapore.
Mulyanto, 1995. Makrobentos Sebagai Indikator Biologi Perubahan Kualitas Air di Sungai
Amprong, Malang. Universitas Brawijaya. Fakultas Perikanan. Malang.
Musa, M. 2006. Diktat Kuliah Limnologi. Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas
Perikanan. Universitas Brawijaya. Malang.
Prescott, G. W. 1970. The Freshwater. Algae. WM. C. Brown Company Publishers. Dubuque.
Iowa.
Romimohtarto, K. dan Juwana, S., 2001. Biologi Laut: Ilmu Pengetahuan Tentang Biologi Laut.
Penerbit Djambatan. Jakarta.
Rosenberg, D. M dan Resh, V. H. 1993. Freshwater Biomonitoring and Benthic
Macroinvertebrates. Chapman and Hall. University of California.
Round, F. E. 1962. Algae And Man. Based on Lectures Presented At The NATO Advance Study
Institute Juli 22 August 11, 1962. Plenum Press. New York.
Sachlan, M. 1982. Planktonologi. Fakultas Peternakan dan Perikanan. Universitas Diponegoro.
Semarang.
Sudaryanti, S. 1997. Strategi Pemantauan Kualitas Air Sungai Secara Biologis. Program Studi
Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan. Universitas Brawijaya. Malang.
Sudaryanti, S dan Wijarni. 2006. Biomonitoring. Fakultas Perikanan. Universitas Brawijaya.
Malang.
Sulistyowati, E dan Sudaryanti, S. 2005. Komunitas Fitoplankton Di Instalasi Pengolahan Air
Limbah PT. Sier (PERSERO) Pasuruan. Jurnal Penelitian Perikanan. Vol 8, Nomor 2,
Desember 2005 : 144-151.
Suryanto, A. M. 2006. Planktonologi (Peranan Unsur Hara Bagi Fitoplankton). Fakultas Perikanan.
Universitas Brawijaya. Malang.
Semnaskan _UGM / Kelautan (KL-04) - 9
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Welch, E. B. 1980. Ecological Effect Of Waste Water. Cambridge Press. Cambridge.
Semnaskan _UGM / Kelautan (KL-05) - 1
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Studi Kondisi Terumbu Karang Kawasan Pulau-pulau Sembilan
Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan
Lodewyk S. Tandipayuk
Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan UNHAS
Jl. Perintis Kemerdekaan Km.10, Telp.0411-586025/Fax.586025
E mail : lodewyk_fikpunhas@yahoo.com
Abstrak
Penelitian dilakukan untuk menganalisis kondisi terumbu karang pada setiap pulau dan
gusung/taka dalam kawasan Pulau-pulau Sembilan, Kabupaten Sinjai. Pengamatan dilakukan
pada 45 spot menggunakan metode Rapid Reef Assesment (RRA), mulai tanggal 25 Nopember
sampai 15 Desember 2009. Spot pengamatan ditetapkan berdasarkan hasil pengamatan manta
tow. Pencatatan spot pengamatan menggunakan Global Positioning System (GPS). Kondisi
terumbu karang pada masing-masing pulau/gusung ditentukan berdasarkan kriteria yang
dibakukan oleh Faculty of Marine Science University of the Philippines. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa secara umum kondisi terumbu karang dalam kawasan Pulau-pulau Sembilan
termasuk kategori buruk hingga sedang, tutupan karang keras rata-rata 12,08% dengan
kisaran 2,00 32,50%. Kondisi terumbu karang terbaik ditemukan di Gusung Pasiloang dengan
kategori sedang, dengan tutupan karang keras 32,50% . Tutupan dasar perairan didominasi
oleh pasir (29,30%), pecahan karang (23,01%) dan karang mati ditumbuhi alga (19,19%). Suksesi
karang di seluruh kawasan tergolong baik, nampak dari tutupan dasar karang lunak rata-rata
sebesar 5,60%.
Kata-kata kunci: kondisi terumbu karang , Pulau-pulau Sembilan
Pengantar
Kawasan Pulau-pulau Sembilan Kabupaten Sinjai Sulawesi Selatan memiliki sumberdaya
perikanan terumbu karang yang cukup besar. Dalam kawasan terdapat 4196,08 ha terumbu
karang dengan berbagai jenis ikan ekonomis penting, seperti ikan kerapu, lencam, kakap, ekor
kuning, lobster , teripang, ikan pari dan ikan napoleon (Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten
Sinjai, 2008). Luasan tersebut meliputi terumbu karang pada 9 pulau dan 14 gusung yang
tersebar dalam kawasan. Peningkatan pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan serta
pemanfaatan yang tidak ramah lingkungan diduga telah menyebabkan degradasi potensi
sumberdaya perikanan terumbu karang dalam kawasan tersebut. Penggunaan bom dan bius
(zodium dan potassium sianida) dalam penangkapan ikan bukan rahasia lagi bagi masyarakat
Pulau-pulau Sembilan . Berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh PSTK UNHAS pada
tahun 2000 terhadap terumbu karang menunjukkan bahwa praktek penggunaan bom dan racun
sianida telah berlangsung lama dalam kawasan Pulau-pulau Sembilan, sedangkan Malik (2005)
mencatat nelayan pengguna potassium sianida sebesar 2,94%.
Untuk merumuskan suatu model pengelolaan yang tepat terhadap perikanan terumbu
karang dalam kawasan ini, dibutuhkan suatu kajian tentang kondisi terumbu karang sebagai
habitat ikan-ikan karang dan biota yang berasosiasi dengan terumbu karang.
Bahan dan Metode
Tempat dan waktu
Penelitian dilakukan dalam kawasan terumbu karang Pulau-pulau Sembilan, Kabupaten
Sinjai, meliputi terumbu karang pada 9 pulau, 7 gusung dan 1 taka, yaitu Pulau Burungloe,
Liangliang, Kambuno, Kodingare, Batanglampe, Katindoang, Kanalo I, Kanalo II dan Pulau
Larearea, Gusung Pasiloang, Lekopasiloang, Bungintelue, Tacera, Katuaka, Topama dan
Gusung Anantaminting serta Taka Karang-karang
Pengamatan dilakukan pada 45 spot pengamatan ( Gambar 1 dan Tabel 1) . Penelitian
dilakukan sejak 25 Nopember sampai 15 Desember 2009)
KL-05
2 - Semnaskan _UGM / Kelautan (KL-05)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Gambar 1. Peta spot pengamatan terumbu karang dalam kawasan terumbu karang
Pulau-pulau Sembilan, Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan
Tabel 1. Posisi spot pengamatan terumbu karang pada masing-masing Pulau, Gusung dan Taka
dalam kawasan Pulau-pulau Sembilan Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan
Spot Posisi XX YY Pulau/Gusung
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
S5 08.906 E12027.024
S5 09.618 E120 26.753
S5 10.761 E120 26.420
S5 11.056 E120 26.735
S5 11.292 E120 27.216
S5 08.719 E120 25.119
S5 08.544 E120 25.144
S5 07.722 E120 23.760
S5 07.142 E120 23.794
S5 06.484 E120 23.384
S5 05.925 E12023.089
S5 06.898 E12023.291
S5 05.497 E12022.267
S5 05.557 E12022.454
S5 05.630 E12024.403
S5 05.693 E12024.443
S5 00.202 E12024.297
S5 00.314 E12024.451
S5 00.306 E12024.708
S5 02.528 E12023.320
S5 02.525 E12023.266
120.450404
120.445888
120.440336
120.445580
120.453595
120.418647
120.419067
120.395998
120.396571
120.389732
120.384816
120.388187
120.371121
120.374408
120.406721
120.407379
120.404958
120.407514
120.411807
120.388662
120.387768
-5.148435
-5.160298
-5.179344
-5.184259
-5.188195
-5.145320
-5.142401
-5.128705
-5.119025
-5.108065
-5.098753
-5.114969
-5.091616
-5.092610
-5.093830
-5.094879
-5.003365
-5.005230
-5.005108
5.042132
-5.042084
Gs. Pasiloang
Gs. Pasiloang
Gs.Bungintellue
Gs. Bungintellue
Gs. Bungintellue
Tk. Karang-karang
Tk. Karang-karang
P. Burungloe
P. Burungloe
P. Burungloe
P. Burungloe
Gs. Katuaka
Gs. Katuaka
Gs. Tacera
Gs. Tacera
Gs. Anantaminting
Gs. Anantaminting
Gs. Anantaminting
P. Kanalo II
P. Kanalo II
P. Kanalo II
Semnaskan _UGM / Kelautan (KL-05) - 3
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
S502.178 E12023.542
S5 02.445 E12023.941
S5 02.842 E12023.779
S5 02.807 E12023.675
S5 02.847 E12023.217
S5 03.983 E12023.456
S5 04.483 E12023.604
S5 04.238 E12023.900
S5 03.981 E12024.025
S5 03.188 E12024.760
S5 03.387 E12025.097
S5 03.532 E12025.661
120.392359
120.399015
120.396322
120.394590
120.386956
120.390931
120.393404
120.398339
120.400418
120.412663
120.418283
120.427678
-5.036299
-5.040747
-5.047360
-5.046776
-5.047453
-5.066376
-5.074720
-5.070632
-5.066357
-5.053134
-5.056444
-5.058862
P. Kanalo I
P. Kanalo I
P. Kanalo I
Gs. Topama
P. Larearea
P. Larearea
P. Katindoang
P. Katindoang
P. Batanglampe
P. Batanglampe
P. Batanglampe
P. Batanglampe
Tabel 1. Lanjutan
Spot Posisi XX YY Pulau/Gusung
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
S5 03.198 E12025.749
S5 03.952 E12025.774
S5 04.444 E12025.680
S5 04.256 E12025.360
S5 06.901 E12027.332
S5 07.159 E12027.757
S5 06.827 E12024.437
S5 06.587 E12024.705
S5 06.599 E12024.900
S5 05.766 E12025.325
S5 05.470 e12025.318
S5 05.760 E12024.984
120.429152
120.429570
120.428002
120.422674
120.455540
120.462611
120.407289
120.411747
120.414999
120.422085
120.421967
120.416403
-5.053294
-5.065871
-5.074975
-5.070930
-5.115015
-5.119309
-5.11379
-5.109786
-5.109983
-5.096099
-5.091165
-5.096008
P. Kodingare
P. Kodingare
P. Kodingare
Gs. Lekopasiloang
Gs. Lekopasiloang
P. Burungloe
P. Liang-liang
P. Liang-liang
P. Liang-liang
P. Kambuno
P. Kambuno
P. Kambuno
Alat dan Bahan
Alat utama yang digunakan dalam penelitian meliputi :(1) Motor boat untuk transportasi
laut, (2) Kamera bawah air merk Sony 4,0 mega pixel untuk mengambil foto karang, (3) Global
Positioning System merk Garmin type 76 untuk menentukan koordinat spot pengamatan, (4)
Lembaran data sheet A4 under water paper dan sabak untuk mencatat data karang serta (5) Unit
scuba dive untuk menyelam.
Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data kondisi terumbu karang menggunakan metode Rapid reef Assesment
(RRA) yang didahului oleh pengamatan towing untuk menentukan spot pemantauan yang mewakili
suatu luasan terumbu karang, seperti direkomendasikan UNEP/AIMS (1983).
Pengelompokan kategori bentuk didasarkan pada cara yang dikemukakan oleh de Ventier
et al (1985) dengan beberapa modifikasi, yaitu: (1) komponen karang batu (hard corals, HC),
meliputi Acropora dan non Acropora, (2) karang mati yang ditumbuhi alga(dead corasl with algae,
DCA), (3) karang memutih (bleached corals, BC), (4) karang lunak (soft corals, SC), (5)
pasir/lumpur (sand/silt,S), (6) pecahan karang (Rubble, R), (7) alga makro, (8) rumput laut dan
(9) lainnya.(Others, OT).
Analisis Data
Penentuan kondisi terumbu karang pada masing-masing pulau, gusung dan taka mengacu
pada kriteria yang dibakukan oleh Faculty of Marine Science, University of the Philippines dalam
Brown (1986) seperti tampak pada Tabel 2.
Tabel 2. Kriteria penentuan kondisi karang berdasarkan penutupan karang batu
Persentase penutupan Kategori
4 - Semnaskan _UGM / Kelautan (KL-05)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
0,0 24,9
25,0 49,9
50,0 74,9
75,0 100,0
Buruk
Sedang
Bagus
Sangat bagus
Hasil dan Pembahasan
Hasil pengamatan tutupan dasar kawasan terumbu karang Pulau-pulau Sembilan disajikan
pada Gambar 2, sedangkan tutupan dasar pada masing-masing pulau, gusung dan taka disajikan
secara rinci pada Tabel 3.
Gambar 2. Persentase penutupan dasar kawasan terumbu karang Pulau-pulau
Sembilan
Tabel 3. Komposisi penutupan dasar terumbu karang pada tiap-tiap pulau, gusung dan taka dalam
kawasan Pulau-pulau Sembilan
Pulau/gusung Penutupan dasar (%)
Sand/
silt
Rubble Dead
coral
with
algae
Bleach
ed
corals
Hard
coral
Soft
coral
Algae
macr
o
Seagr
ass
Others
P.Burungloe
P.Liangliang
P.Kambuno
P.Kodingare
P.Batanglampe
P. Katindoang
P. Kanalo I
P. Kanalo II
P.Larearea
Gs. Pasiloang
Gs. Lekopasiloang
Gs. Bungintellue
Tk. Karangkarang
Gs. Tacera
Gs. Katuaka
26,00
18,33
15,00
40,00
18,75
52,50
58,33
38,33
27,50
5,00
7,50
23,33
20,00
35,00
22,50
27,00
31,67
38,33
13,33
17,50
10,00
23,33
28,33
25,00
17,50
12,50
20,00
25,00
30,00
20,00
17,00
18,33
26,67
13,33
15,00
20,00
10,00
16,67
35,00
25,00
25,00
20,00
15,00
22,50
25,00
4,00
3,33
5,00
8,33
15,00
1,50
1,00
1,67
2,50
5,00
11,50
6,67
7,50
0,00
0,00
16,00
13,33
7,00
23,33
3,75
10,00
6,67
3,33
6,00
32,50
15,00
13,33
17,50
7,50
12,50
4,00
6,67
2,33
0,67
0,00
0,00
0,67
8,33
1,00
7,50
25,00
10,00
7,50
0,00
10,00
2,00
2,67
1,33
0,00
0,50
1,00
0,00
0,00
0,00
3,50
1,50
0,00
2,50
2,50
5,00
0,00
0,00
0,00
0,00
23,75
0,00
0,00
1,67
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
4,00
5,67
4,33
1,00
5,75
5,00
1,00
1,67
3,00
4,00
2,00
6,67
5,00
2,50
5,00
Kondisi Terumbu Karang Pulau Sembilan
30%
23%
19%
4%
12%
6%
1%
4%
1%
Sand/Silt
Rubble
Dead Coral Algae
Bleached Corals
Hard Coral
Soft Coral
Algae
Seagrass
Others
A
B C
D
E
F
G
A
B
C
D
E
F
G
H
H
I
I
Semnaskan _UGM / Kelautan (KL-05) - 5
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Gs. Topama
Gs. Anantaminting
Rataan
75,00
15,00
29,30
20,00
31,67
23,01
0,00
21,67
19,19
0,00
1,67
4,39
2,00
16,67
12,08
2,00
8,33
5,63
0,00
2,00
1,44
0,00
0,00
1,50
1,00
3,00
3,56
Secara umum , kondisi terumbu karang kawasan Pulau-pulau Sembilan tergolong kategori
buruk. Rata-rata tutupan karang batu hanya 12,08% dengan kisaran 2,00 32,50%. Terumbu
karang pada semua pulau, gusung dan taka tergolong kategori buruk kecuali terumbu karang
gusung Pasiloang yang berada pada kategori sedang dengan tutupan dasar karang batu 32,5%.
Kondisi terumbu karang dengan persentase tutupan dasar karang batu (hard corals) di
bawah rata-rata kawasan ditemukan pada 6 pulau dan 2 gusung, yaitu berturut-turut Gusung
Topama (2,00%), Pulau Kanalo II (3,33%), Pulau Batanglampe (3,75%), Pulau Larearea (6,00%),
Pulau Kanalo I (6,70%), Pulau Kambuno (7,00%), Gusung Tacera (7,50%) dan Pulau Katindoang
(10,00%)
Kondisi terumbu karang dengan persentase tutupan dasar karang batu di atas rata-rata
kawasan ditemukan pada 3 pulau, 5 gusung dan 1 taka, yaitu berturut-turut: Gusung Katuaka
(12,50%), Pulau Liangliang (13,33%), Gusung Bungintellue (13,33%), Gusung Lekopasiloang
(15,00%), Pulau Burungloe (16,00%), Gusung Anantaminting (16,67%), Taka Karangkarang
(17,50%), Pulau Kodingare (23,33%) dan Gusung Pasiloang (32,50%). Kondisi terumbu karang
pada saat penelitian ini dilakukan ternyata menunjukkan penurunan jika dibandingkan dengan
kondisi pada tahun 2000 (PSTK UNHAS, 2000). Hasil survey yang dilakukan oleh PSTK UNHAS
(2000) menunjukkan bahwa secara umum kondisi terumbu karang Pulau-pulau Sembilan tergolong
sedang, rata-rata tutupan karang batu 37,5% dengan kisaran antara 13 61,5%. Secara parsial
dua gusung berada pada kondisi bagus, yaitu Gusung Pasiloang (61,5%) dan Gusung Helopute
(56,5%). Terdapat 6 lokasi yang berada pada kondisi sedang, yaitu berturut-turut Gusung Katuaka
(47%), Gusung Bungintellue (45%), Gusung Topama (43,5%), Gusung Malambiri (38%), Gusung
Lekopasiloang (37%) dan gusung Tacera (35,5%). Lokasi yang tergolong berada pada kondisi
buruk hanya tiga lokasi yaitu Pulau Batanglampe (18,7%), Pulau Kambuno (18,7%) dan Gusung
Anantaminting (21%).
Gambar 2 dan Tabel 3 menunjukkan bahwa tutupan dasar tertinggi dalam kawasan adalah
komponen tutupan pasir (sand/silt), yaitu 29,30% dengan kisaran cukup luas yaitu 5,00 75%.
Komponen tutupan pasir terkecil ditemukan di Gusung Pasiloang (5%) dan terbesar di Gusung
Topama (75%). Komponen tutupan dasar kawasan terbesar kedua adalah pecahan karang
(rubbles), yaitu rata-rata 23,01% dengan kisaran 10,00 38,33%. Tutupan dasar pecahan karang
terendah ditemukan di Pulau Katindoang(10,00%) dan tertinggi (38,33%) ditemukan di Pulau
Kambuno. Tingginya komponen tutupan dasar pecahan karang memberi petunjuk bahwa dalam
kawasan telah berlangsung penangkapan ikan tidak ramah lingkungan, seperti penggunaan bom,
pengumpulan kekerangan dan abalon dengan cara mencungkil dan membalikkan karang.
Penyebab lain adalah pergesekan lunas perahu dan terinjak oleh nelayan, terutama pada
kedalaman rendah saat surut dan oleh jangkar perahu.
Komponen karang mati yang telah ditumbuhi alga (dead coral with algae) merupakan
komponen tutupan dasar tertinggi setelah komponen pecahan karang (rata-rata 19,29% dengan
kisaran 0,00 35,00%). Komponen ini tidak ditemukan di Gusung Topama. Hal ini diduga
disebabkan oleh kecepatan arus yang cukup tinggi di gusung tersebut..LOFI UNHAS (2003)
mencatat kecepatan arusdi lokasi ini 0,417 m/detik, tertinggi dalam kawasan Pulau-pulau
Sembilan. Komponen tutupan karang mati yang relatif jauh lebih tinggi dari rata-rata kawasan
ditemukan di Pulau Larearea (35,00%), Pulau Kambuno (26,67%), Gusung Pasiloang,
Lekopasiloang dan Gusung Katuaka, masing-masing 25%. Tingginya persentase tutupan dasar
oleh komponen karang mati yang ditumbuhi alga mengindikasikan bahwa proses kerusakan
karang telah berlangsung lama dalam kawasan.
Tutupan dasar oleh karang memutih (bleached corals) ditemukan di seluruh lokasi, kecuali
Gusung Tacera, Katuaka dan Gusung Topama. Tutupan dasar komponen karang memutih rata-
rata kawasan sebesar 4,39% dengan kisaran antara 0,00 15,00%. Persentase tutupan
yang relatif tinggi ditemukan di Pulau Batanglampe (15,00%), Gusung Lekopasiloang (11,50%),
Pulau Kodingare (8,33%) dan Taka Karang-karang (7,50%). Penyumbang utama komponen ini
adalah penggunaan potassium sianida dalam penangkapan ikan karang, pemangsaan oleh
Acanthaster planchii dan peningkatan suhu perairan. Karang memutih yang disebabkan oleh
penggunaan sianida ditemukan pada kedalaman relatif tinggi, yaitu di sekitar daerah tubir dan
lokasi yang relatif jauh dari pemukiman penduduk. Kerusakan terumbu karang karena penggunaan
kalium sianida dalam penangkapan ikan karang telah dilaporkan oleh White (1986) di kawasan
6 - Semnaskan _UGM / Kelautan (KL-05)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
terumbu karang Taka Bonerate Sulawesi Selatan dan PSTK UNHAS (2000) di kawasan terumbu
karang Pulau-pulau Sembilan, Kbupaten Sinjai Sulawesi Selatan. Pemangsaan oleh Acanthaster
planchii ditemukan di sebagian besar spot penyelaman, sedangkan pemutihan karang karena
peningkatan suhu ditemukan di perairan dangkal. Karang memutih karena pemangsaan A. planchii
juga telah dilaporkan oleh PSTK UNHAS (2000), bintang berduri tersebut umumnya ditemukan
memangsa Acropora spp. Sebaliknya pada penelitian ini sebagian ditemukan memangsa karang
massif.
Tutupan dasar oleh karang lunak (soft corals) tergolong tinggi dalam kawasan, yaitu rata-
rata 5,62% dengan kisaran antara 0,00 25%. Kondisi ini mengindikasikan bahwa proses
regenerasi karang tergolong baik dalam kawasan. Komponen karang lunak tidak ditemukan di
Pulau Batanglampe, Katindoang dan Gusung Tacera. Ketidak hadiran karang lunak di lokasi-
lokasi tersebut disebabkan oleh kondisi lingkungan yang kurang mendukung, terutama kecepatan
arus dan kekeruhan air. Menurut LOFI UNHAS (2003) kecepatan arus dan kekeruhan air di
Pulau Batanglampe, Pulau Katindoang dan Gusung Tacera tergolong kurang mendukung
kehidupan karang. Kecepatan arus pada ketiga pulau tersebut berturut-turut 0,05 m/det, 0,07
m/det dan 0,08 m/det, serta kecerahan berturut-turut 258 cm, 247 cm dan 242 cm. Karang lunak
yang ditemukan didominasi oleh jenis-jenis Sinularia sp, Sarcophyta sp, dan Xenia sp.
Tutupan dasar oleh alga makro tergolong rendah, yaitu rata-rata 1,44% dengan kisaran
0,00 5,00%. Lokasi yang memiliki tutupan alga makro yang relatif
lebih tinggi dari rata-rata kawasan meliputi Gusung Katuaka (5,00%), Gusung Pasiloang (3,50%),
Pulau Liang-liang (2,67%) serta Taka Karangkarang dan Gusung Tacera masing-masing 2,50%.
Jenis alga hijau yang dominan ditemukan adalah Avrainvillea erecta, Halimeda macroloba dan
Ulva reticulata, sedangkan alga coklat meliputi jenis-jenis Dyctiota bartayressi, Padina Australia
dan Turbinaria conoides.
Tutupan dasar oleh lamun (seagrass) tergolong rendah (rata-rata 1,50%). Komponen ini
sangat dominan di Pulau Batanglampe (23,75%) dan Pulau Kanalo I (1,67%). Jenis lamun yang
dominan ditemukan adalah Halodule uninervis, Cymodacea serrulata dan Syringodium isoetifolium.
Tutupan dasar oleh kelompok avertebrata yang dikelompokkan dalam komponen lain-lain
masih ditemukan di seluruh lokasi (rata-rata 3,56% dengan kisaran 1,00 6,67%). Persentase
yang relatif tinggi ditemukan di Gusung Bungintellue (6,67%), Pulau Batanglampe (5,75%), Pulau
Liangliang (5,67%) serta Pulau Katindoang, Taka Karangkarang dan Gusung Katuaka, masing
masing 5%. Jenis-jenis yang dominan meliputi sponge (Haloclina sp dan Callysporigia sp.)
Polycarpa sp. dan Didennum sp.yang melekat pada karang mati, Linkia laeveigata yang
ditemukan pada substrat pasir, Achantaster planchii, , kima, lola dan teripang
Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum kondisi terumbu karang kawasan
Pulau-pulau Sembilan tergolong buruk, namun secara parsial masih terdapat satu gusung yang
berada pada kondisi sedang yaitu Gusung Pasiloang. Kerusakan terumbu karang lebih
disebabkan oleh aktivitas penangkapan illegal dan tidak ramah lingkungan. kenaikan suhu global
dan pemangsaan oleh Achantaster planchii. Proses kerusakan karang telah berlangsung lama
dan terdapat indikasi proses regenerasi karang di seluruh lokasi berlangsung baik yang dicirikan
oleh tingginya persentase tutupan karang lunak
Saran
Untuk memulihkan kondisi terumbu karang dalam kawasan Pulau-pulau Sembilan perlu
dilakukan pengelolaan sumberdaya perikanan terumbu karang secara terpadu dan untuk lokasi-
lokasi yang mengalami kerusakan sangat parah dilakukan usaha-usaha konservasi khusus untuk
mempercepat proses pemulihan kondisi terumbu karang.
Semnaskan _UGM / Kelautan (KL-05) - 7
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Daftar Pustaka
Brown, B.E. 1986. Human induced damage to coral reef. Result of a
Regional UNESCO (Coman) Workshop with Advanced Training . Diponegoro University
and National Institute of Oceanology, Jakarta: 1 14.
De Ventier, L.M., G.r. Barnes, P.A. Damiel and D.P. Johnson. 1985. Studies in the
assessment of coral ecosystem. Assesment Protocol. I.M.S. Townsville.
Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sinjai. 2008. Laporan tahunan 2007
.
LOFI FIKP UNHAS. 2003. Studi sedimentasi pantai muara sungai Mangotong
hingga muara sungai Tangka Kabupaten Sinjai. Kerjasama antara kantor Pengendalian
Dampak Lingkungan dan Pertambangan Sinjai dengan FIKP UNHAS
Malik. 2005. Strategi pengembangan wisata bahari kawasan Kepulauan
Sembilan. Tesis Program Pascasarjana UNHAS
Pusat Studi Terumbu karang (PSTK) UNHAS. 2000. Penataan lingkungan
kawasan bahari terpadu di Pulau Sembilan Sulawesi Selatan. Kerjasama Antara Direktorat
Jenderal Urusan Pesisir Pantai dan Pulau-pulau Kecil, Departemen Kelautan dan
Perikanan dengan Universitas Hasanuddin.
UNEP/AIMS. 1983. Monitoring coral reefs for global change. Reference
Methods for Marine Pollution Studies No. 61
White, A.T. 1986. Marine reserves: how effective as management strategies for
Phillipine , Indonesian and Malaysian coral reef environment?. Ocean Manage., 10:137
159.
8 - Semnaskan _UGM / Kelautan (KL-05)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Semnaskan _UGM / Kelautan (KL-06) - 1
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
SEBARAN KELIMPAHAN PLANKTON DI LOKASI TERUMBU BUATAN
DI PULAU RAKIT DAN PULAU GANTENG, NTB
Mujiyanto dan Hendra Satria
Balai Riset Pemulihan Sumberdaya Ikan
Jl. Cilalawi No. 1 Jatiluhur Purwakarta Jawa Barat. Email : mj_anto@yahoo.com : HP : 0813 1630 3052
Abstrak
Pengetahuan tentang sebaran atau distribusi dari plankton pada dasarnya diperlukan untuk
pemahaman terhadap pola sebaran kelimpahan maksimal dari komunitas plankton. Mengingat
hewan makanannya tergantung pada tumbuhan, maka gerombolan zooplankton akan berada tidak
jauh dari komunitas fitoplankton. Informasi tentang asosiai biota perairan pada ekosistem terumbu
karang di kawasan Teluk Saleh selama ini masih sangat kurang. Tujuan dari penelitan ini untuk
mengetahui distribusi dan sebaran plankton di Pulau Rakit dan Pulau Genteng yang merupakan
media penempatan Terumbu Karang Buatan. Kegiatan penelitian dilakukan pada bulan Mei, Juli
dan Oktober tahun 2010 dengan lokasi di perairan Pulau Rakit dan Pulau Genteng Teluk Saleh,
Nusa Tenggara Barat. Sampling dilakukan secara stratified method sampling pada permukaan,
tengah dan dasar perairan. Identifikasi sampel di laboratorium menggunakan mikroskop binokuler
ada perbesaran 40 x10. Pencacahan fitoplankton dilakukan dengan menggunakan Sedgwik-
Rafter Counting Celliter yang dinyatakan dalam sel/liter. sedangkan sampel zooplankton
pencacahan hasilnya dinyatakan dalam individu/liter. Selama penelitian Ditemukan kelas
Bacillariophyceae, Cyanophyceae, Dinophyceae, Crustaceae, Cilliata, Holothurdeae, Polychaeta,
Sagittoideae, Sarcodina dan Urochordata. Persentase yang berbeda-beda dari 10 kelas yang
ditemukan, dengan nilai persentase kelas Bacillariophyceae (95,38 %) sedangkan kelas
Holothurdeae dan Polychaeta (0,0001 %). Hasil pengamatan pada 2 stasiun (Pulau Rakit dan
Genteng) ditemukan jumlah genera tertinggi yaitu pada stasiun Pulau Genteng yang memiliki
jumlah genera fitoplankton lebih banyak dibandingkan Pulau Rakit, diduga bahwa kondisi perairan
secara umum di Pulau Genteng dikarenakan memiliki tingat kecerahan lebih tinggi daripada di
Pulau Rakit.
Kata kunci: Distribusi plankton, pulau rakit, genteng, Teluk Saleh, Nusa Tenggara Barat
Pengantar
Rusaknya terumbu karang tersebut akan berpengaruh terhadap kelangsungan hidup ikan
dan beragam biota laut lainnya. Untuk itu diperlukan suatu upaya pelestarian agar kerusakan
terumbu karang dapat dicegah. Salah satu upaya yang dilakukan untuk mengatasi masalah
kerusakan terumbu karang tersebut diantaranya dengan transplantasi karang dan teknologi
terumbu karang buatan (artificial reef). Penggunaan terumbu buatan (artificial reef) merupakan
salah satu struktur pelindung terhadap garis pantai dan sekaligus dapat merehabilitasi ekologis
perairan. Perairan Indonesia mempunyai potensi yang sangat besar untuk pengembangan
kegiatan perikanan. Salah satu kawasan yang memilki potensu sumberdaya ikan yang produktif
yaitu Nusa Tenggara Barat, perairan Teluk Saleh terletak di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat yang
meilki potensi sumberdaya laut yang masih lestari dan dan belum banyak dimanfaatkan secara
optimal.
Plankton merupakan salah satu sumber pakan alami bagi hewan-hewan laut. Kesuburan
suatu perairan dapat ditentukan oleh komposisi jenis dan kelimpahan plankton, Menurut Barnes &
Mann (1991) plankton merupakan pakan alami terpenting di ekosistem perairan, dimana tingkat
produksi plankton dapat digunakan untuk menduga potensi roduksi ikan yang mampu di hasilkan di
suatu perairan. Lebih lanjut (Odum,1988) dalam Anshorullah et al., (2008) meyatakan bahwa
distribusi plankton juga merupakan suatu kemerataan penyebaran komposisi individu plankton
dalam suatu komunitas diperairan. Fitoplankton berada di lapisan atas yang kaya dengan sinar
matahari. Wiadnyana et. al (2004) menambahkan bahwa pengetahuan tentang sebaran atau
distribusi vertikal dari plankton pada dasarnya diperlukan untuk pemahaman terhadap pola
sebaran kelimpahan maksimal dari komunitas plankton. Pemahaman terhadap pola sebaran dapat
mengungkapkan secara ekologis (tempat dimana biasanya plankton hidup) dalam suatu kolom air.
KL-06
2 - Semnaskan _UGM / Kelautan (KL
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan
Fitoplankton cenderung berada pada kedalaman tertentu karena faktor cahaya dan penyesuaian
berat jenis sel dengan berat jenis air.
Distribusi yang luas dari kebanyakan spesies
yang sering ditemukan dalam studi plankt
luas tersebut dikenal sebagai kosmopolitanisme, yang dimiliki banyak spesies dari algae biru
(Cyanophyta), algae hijau (Chlorophyta), mastigofora, rotifera, cladocera, dan sedikit dari
copepoda. Mengingat hewan makanannya tergantung pada tumbuhan, maka gerombolan
zooplankton akan berada tidak jauh dari komunitas fitoplankton
danau dalam (deep lakes) sekalipun, populasi hewan dan zooplankton yang makanannya
tergantung pada sisa bahan organik yang jatuh dari zona trofogenik (zona tempat kehidupan
tumbuhan dan fitoplankton), mereka hidup tersebar di zona tersebut.
Terkait dengan hal tersebut di atas, masyarakat setempat memanfaatkan sumberdaya laut
di perairan Teluk Saleh, tetapi hanya digunakan untuk konsumsi lokal. Namun demikian,
pemanfaatan dan pengambilan biota di daerah tersebut dari tahun ke tahun pasti akan meningkat.
Di sisi lain, informasi tentang ekosistem terumbu karang serta fauna yang berasosiasi dalam
ekosistem tersebut di kawasan Teluk Saleh masih sangat kurang. Dalam upaya untuk
mengantisipasi dan mengatasi terjadinya over
maka perlu dilakukan penelitian yang dapat digunakan sebagai dasar untuk membuat konsep
pengelolaan sumberdaya laut di kawasan tersebut. Adapun tujuan dari penelitan ini untuk
mengetahui distribusi dan sebaran plankton di Pulau Rakit dan Pulau Genteng yang merupakan
media penempatan Terumbu Karang Buatan.
Bahan dan Metode
Waktu dan Lokasi Penelitian
Kegiatan penelitian dilakukan pada bulan
di perairan Pulau Rakit dan Pulau Genteng Teluk Saleh, Nusa Tenggara Barat (Gambar 1).
Gambar 1. Peta lokasi stasiun pengamatan plankton di Perairan Teluk
Kelautan (KL-06)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16
lankton cenderung berada pada kedalaman tertentu karena faktor cahaya dan penyesuaian
berat jenis sel dengan berat jenis air.
Distribusi yang luas dari kebanyakan spesies-spesies plankton adalah satu dari ciri
yang sering ditemukan dalam studi planktonologi. Kondisi plankton yang mempunyai sifat distribusi
luas tersebut dikenal sebagai kosmopolitanisme, yang dimiliki banyak spesies dari algae biru
(Cyanophyta), algae hijau (Chlorophyta), mastigofora, rotifera, cladocera, dan sedikit dari
gingat hewan makanannya tergantung pada tumbuhan, maka gerombolan
zooplankton akan berada tidak jauh dari komunitas fitoplankton (Thoha, 2007)
) sekalipun, populasi hewan dan zooplankton yang makanannya
isa bahan organik yang jatuh dari zona trofogenik (zona tempat kehidupan
tumbuhan dan fitoplankton), mereka hidup tersebar di zona tersebut.
Terkait dengan hal tersebut di atas, masyarakat setempat memanfaatkan sumberdaya laut
pi hanya digunakan untuk konsumsi lokal. Namun demikian,
pemanfaatan dan pengambilan biota di daerah tersebut dari tahun ke tahun pasti akan meningkat.
Di sisi lain, informasi tentang ekosistem terumbu karang serta fauna yang berasosiasi dalam
rsebut di kawasan Teluk Saleh masih sangat kurang. Dalam upaya untuk
mengantisipasi dan mengatasi terjadinya over-eksploitasi dan pengelolaan yang kurang tepat,
maka perlu dilakukan penelitian yang dapat digunakan sebagai dasar untuk membuat konsep
olaan sumberdaya laut di kawasan tersebut. Adapun tujuan dari penelitan ini untuk
mengetahui distribusi dan sebaran plankton di Pulau Rakit dan Pulau Genteng yang merupakan
media penempatan Terumbu Karang Buatan.
ian dilakukan pada bulan Mei, Juli dan Oktober tahun 2010 dengan lokasi
di perairan Pulau Rakit dan Pulau Genteng Teluk Saleh, Nusa Tenggara Barat (Gambar 1).
Gambar 1. Peta lokasi stasiun pengamatan plankton di Perairan Teluk
16 Juli 2011
lankton cenderung berada pada kedalaman tertentu karena faktor cahaya dan penyesuaian
spesies plankton adalah satu dari ciri-ciri
onologi. Kondisi plankton yang mempunyai sifat distribusi
luas tersebut dikenal sebagai kosmopolitanisme, yang dimiliki banyak spesies dari algae biru
(Cyanophyta), algae hijau (Chlorophyta), mastigofora, rotifera, cladocera, dan sedikit dari
gingat hewan makanannya tergantung pada tumbuhan, maka gerombolan
(Thoha, 2007). Bahkan pada
) sekalipun, populasi hewan dan zooplankton yang makanannya
isa bahan organik yang jatuh dari zona trofogenik (zona tempat kehidupan
Terkait dengan hal tersebut di atas, masyarakat setempat memanfaatkan sumberdaya laut
pi hanya digunakan untuk konsumsi lokal. Namun demikian,
pemanfaatan dan pengambilan biota di daerah tersebut dari tahun ke tahun pasti akan meningkat.
Di sisi lain, informasi tentang ekosistem terumbu karang serta fauna yang berasosiasi dalam
rsebut di kawasan Teluk Saleh masih sangat kurang. Dalam upaya untuk
eksploitasi dan pengelolaan yang kurang tepat,
maka perlu dilakukan penelitian yang dapat digunakan sebagai dasar untuk membuat konsep
olaan sumberdaya laut di kawasan tersebut. Adapun tujuan dari penelitan ini untuk
mengetahui distribusi dan sebaran plankton di Pulau Rakit dan Pulau Genteng yang merupakan
tahun 2010 dengan lokasi
di perairan Pulau Rakit dan Pulau Genteng Teluk Saleh, Nusa Tenggara Barat (Gambar 1).
Gambar 1. Peta lokasi stasiun pengamatan plankton di Perairan Teluk Saleh
Semnaskan _UGM / Kelautan (KL-06) - 3
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Pengumpulan data
Sampling dilakukan secara stratified method sampling pada permukaan, tengah dan dasar
perairan. Sampel dikoleksi dalam botol sampel yang diberi formalin dengan konsentrasi 4 % dan
kemudian dicacah dan diidentifikasi di laboratorium dengan menggunakan mikroskop binokuler
ada perbesaran 40 x10.
Pencacahan fitoplankton dilakukan dengan menggunakan Sedgwik-Rafter Counting
Celliter atas fraksi sampel dan hasilnya dinyatakan dalam sel/liter. sedangkan untuk sampel
zooplankton pencacahan dan identifikasi dilakukan dengan menggunakan Sedgwik-Rafter
Counting dan hasilnya dinyatakan dalam individu/liter. Selanjutnya plankton diidentifikasi sampai
pada tingkat genus berdasarkan petunjuk Yamaji (1976) ; Newell dan Newell (1977).
Analisis Data
Kelimpahan fitoplankton (APHA, 1989) :
Keterangan :
N =
Kelimpahan fitoplankton (sel/liter)
1000 = Jumlah kotakan pada SRC
100 =
Jumlah kotakan yang kita amati
50 =
Volume air yang tersaring
1 =
Satu tetes pada SRC 1 ml
1 =
Bilangan konstan
0.7065 = Volume air yang disaring
Kelimpahan zooplankton (APHA, 1989) :
Keterangan :
N =
Kelimpahan fitoplankton (individu/liter)
1000 = Jumlah kotakan pada SRC
100 =
Jumlah kotakan yang kita amati
50 =
Volume air yang tersaring
1 =
Satu tetes pada SRC 1 ml
1 =
Bilangan konstan
57.2267 =
Volume air yang disaring
Hasil dan Pembahasan
Kelas yang ditemukan selama penelitian adalah kelas Bacillariophyceae, Cyanophyceae,
Dinophyceae, Crustaceae, Cilliata, Holothurdeae, Polychaeta, Sagittoideae, Sarcodina dan
Urochordata. Nilai persentase masing plankton kelas yang ditemukan selama penelitian
mempunyai pernsentase yang berbeda-beda dari 10 kelas yang ditemukan, dengan nilai
persentase tertinggi dari kelas Bacillariophyceae (95,38 %) sedangkan presentase terendah dari
kelas Holothurdeae dan Polychaeta (0,0001 %). Kelas Bacillariophyceae merupakan salah satu
kelas fitoplakton yang sering ditemukan pada perairan meski kelimpahan dan penyebarannya tidak
selalu sama selain Chlorophyceae dan Cyanophyceae.
N = jumlah individu * (1000/100) * (100/1) * (1/57.2267)
N = Jumlah sel * (1000/100) * (50/1) * (1/0.7065)
4 - Semnaskan _UGM / Kelautan (KL-06)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Tabel 1. Komposisi jenis fitoplankton yang ditemukan selama penelitian di perairan Teluk Saleh
tahun 2010.
Kelas Genus Kelas Genus
I. FITOPLANKTON
A. Bacillariophyceae 1. Amphorella sp. B. Cyanophycea
e
26. Trichodesmium
sp.
2. Amphipora sp.
3. Asterolamphra
sp.
C. Dinophyceae 27. Ceratium sp.
4. Aulacodicus sp. 28. Dictyocha sp.
5. Bacteriastrum sp. 29. Dinophysis sp.
6. Biddulphia sp. 30. Noctiluca sp.
7. Cerataulina sp. 31. Ornitocercus sp.
8. Chaetoceros sp. 32. Protoperidinium
sp.
9. Coscinodiscus
sp.
10. Diploneis sp.
11. Dycthilum sp.
12. Eucampia sp.
13. Flagillaria sp.
14. Guinardia sp.
15. Hemiaulus sp.
16. Lauderia sp.
17. Leptocylindrus
sp.
18. Melosira sp.
19. Navicula sp.
20. Nitzchia sp.
21. Pleurosigma sp.
22. Rhizosolenia sp.
23. Stephanopyxis
sp.
24. Thalassionema
sp.
25. Thalassiothrix sp.
Tabel 2. Komposisi jenis zooplankton yang ditemukan selama penelitian di perairan Teluk Saleh
tahun 2010.
Kelas Genus Kelas Genus
II ZOOPLANKTON
A. Crustaceae 1. Acartia sp. B. Ciliata 13. Acantrometron sp.
2. Aulacantha sp. 14. Acathostomella
sp.
3. Calanus sp. 15. Eutintineus sp.
4. Candacia sp. 16. Favella sp.
5. Centropages sp.
6. Corycaeus sp. C. Holothurdeae 17. Balanus sp.
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan
7.
8.
9.
10.
11.
12.
Komposisi kelas fitoplankton di temukan dari masing
Bacillariophyceae (sebanyak 25 genus), Cyanophyceae (sebanyak 1 genus), dan Dinophyceae
(sebanyak 6 genus). Masing
Sedangkan selama penelitian zooplankton ditemukan pada masing
Crustaceae sebanyak 12 genus, Cilliata sebanyak 4 genus, Holothurdeae sebanyak 1 genus,
Polychaeta sebanyak 1 genus, Sarcodina sebanyak 3 genus Sagittoideae sebanyak 1 genus, dan
Urochordata sebanyak 1 genus, dari masing
pada tabel 2. Perbedaan jenis yang ditemukan selama penelitian diduga karena perbedaan faktor
lingkungan antara lokasi pengemabilan sampel. Sebagai diketahui bahwa distribusi plankton dari
waktu ke waktu lebih banyak ditentukan ol
Gambar 2. Nilai persentase kelas yang ditemukan selama penelitian
Odum (1971) menjelaskan bahwa
ekosistem perairan dan perikanan, karena merupakan mata rantai makanan
menunjang kehidupan biota di dalam perairan. Pada sistem rantai makanan terhadap biota lain di
perairan plankton merupakan makanan pertama bagi biota perairan dimana plankton berperan
dalam mata rantai bagi kehidupan biota air yang lebih ting
Fitoplankton sebagai produsen primer, kelangsungan hidup biota perairan secara langsung sangat
tergantung pada keberadaan zooplankton.
genera kelas Bacillariophyceae yang ser
Chaetoceros sp. dan Rhizosolenia
yang mendominasi perairan Teluk Saleh pada lokasi sekitar unit TKB (Gambar 10). Mikroalga ini
mendominasi komunitas fitoplankton di lintang tinggi di daerar Artik dan Antartika, pada zona
neritik daerah tropis dan perairan lintang sedang (temperate), dan pada daerah
Beberapa ahli menganggap bahwa Bacillariophyceae merupakan kelompok fitoplankton paling
Bacillariophyceae
(95.3835 %)
Cyanophyceae
(2.7017 %)
Dinophyceae
(1.8709 %)
Crustaceae
(0.0394 %)
Semnaskan _UGM /
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan
7. Eurytemora sp.
8. Limacina sp. D. Polychaeta 18.
9. Nauplius sp
10. Oithona sp. E. Sarcodina 19.
11. Pintada sp. 20.
12. Rhabdonella sp. 21.
F. Sagittoidea 22.
G. Urochordata 23.
Komposisi kelas fitoplankton di temukan dari masing-masing kelas yaitu kelas
Bacillariophyceae (sebanyak 25 genus), Cyanophyceae (sebanyak 1 genus), dan Dinophyceae
(sebanyak 6 genus). Masing-masing dan genus fitoplankton tersebut disajikan pada tabel 1.
Sedangkan selama penelitian zooplankton ditemukan pada masing-masing kelas yai
Crustaceae sebanyak 12 genus, Cilliata sebanyak 4 genus, Holothurdeae sebanyak 1 genus,
Polychaeta sebanyak 1 genus, Sarcodina sebanyak 3 genus Sagittoideae sebanyak 1 genus, dan
Urochordata sebanyak 1 genus, dari masing-masing kelasifikasi zooplankton tersebur disajikan
pada tabel 2. Perbedaan jenis yang ditemukan selama penelitian diduga karena perbedaan faktor
lingkungan antara lokasi pengemabilan sampel. Sebagai diketahui bahwa distribusi plankton dari
waktu ke waktu lebih banyak ditentukan oleh pengaruh lingkungan (Gross, 1990).
Gambar 2. Nilai persentase kelas yang ditemukan selama penelitian
Odum (1971) menjelaskan bahwa plankton memiliki peranan penting dalam suatu
ekosistem perairan dan perikanan, karena merupakan mata rantai makanan
menunjang kehidupan biota di dalam perairan. Pada sistem rantai makanan terhadap biota lain di
perairan plankton merupakan makanan pertama bagi biota perairan dimana plankton berperan
dalam mata rantai bagi kehidupan biota air yang lebih tinggi tingkatannya (Sachlan, 1982).
Fitoplankton sebagai produsen primer, kelangsungan hidup biota perairan secara langsung sangat
tergantung pada keberadaan zooplankton. Persentase masing-masing kelas yang diemukan dan
genera kelas Bacillariophyceae yang sering ditemukan disajikan pada Gambar 2.
Rhizosolenia sp. dari kelas Bacillariophyceae merupakan genus plankton
yang mendominasi perairan Teluk Saleh pada lokasi sekitar unit TKB (Gambar 10). Mikroalga ini
plankton di lintang tinggi di daerar Artik dan Antartika, pada zona
neritik daerah tropis dan perairan lintang sedang (temperate), dan pada daerah
Beberapa ahli menganggap bahwa Bacillariophyceae merupakan kelompok fitoplankton paling
Crustaceae
(0.0394 %)
Ciliata
(0.0022 %)
Holothurdeae
(0.0001 %)
Polychaeta
(0.0001 %)
Sarcodina
(0.0008 %)
Sagittoidea
(0.0008 %)
Urochordata
(0.0003 %)
/ Kelautan (KL-06) - 5
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
18. Sagitella sp.
19. Aulacantha sp.
20. Globigerina sp.
21. Sticholonche sp.
22. Sagita sp.
23. Halocynthia sp.
masing kelas yaitu kelas
Bacillariophyceae (sebanyak 25 genus), Cyanophyceae (sebanyak 1 genus), dan Dinophyceae
masing dan genus fitoplankton tersebut disajikan pada tabel 1.
masing kelas yaitu kelas
Crustaceae sebanyak 12 genus, Cilliata sebanyak 4 genus, Holothurdeae sebanyak 1 genus,
Polychaeta sebanyak 1 genus, Sarcodina sebanyak 3 genus Sagittoideae sebanyak 1 genus, dan
ankton tersebur disajikan
pada tabel 2. Perbedaan jenis yang ditemukan selama penelitian diduga karena perbedaan faktor
lingkungan antara lokasi pengemabilan sampel. Sebagai diketahui bahwa distribusi plankton dari
eh pengaruh lingkungan (Gross, 1990).
Gambar 2. Nilai persentase kelas yang ditemukan selama penelitian
plankton memiliki peranan penting dalam suatu
ekosistem perairan dan perikanan, karena merupakan mata rantai makanan pertama untuk
menunjang kehidupan biota di dalam perairan. Pada sistem rantai makanan terhadap biota lain di
perairan plankton merupakan makanan pertama bagi biota perairan dimana plankton berperan
gi tingkatannya (Sachlan, 1982).
Fitoplankton sebagai produsen primer, kelangsungan hidup biota perairan secara langsung sangat
masing kelas yang diemukan dan
ing ditemukan disajikan pada Gambar 2. Genus
sp. dari kelas Bacillariophyceae merupakan genus plankton
yang mendominasi perairan Teluk Saleh pada lokasi sekitar unit TKB (Gambar 10). Mikroalga ini
plankton di lintang tinggi di daerar Artik dan Antartika, pada zona
neritik daerah tropis dan perairan lintang sedang (temperate), dan pada daerah upwelling.
Beberapa ahli menganggap bahwa Bacillariophyceae merupakan kelompok fitoplankton paling
Polychaeta
(0.0001 %)
Sagittoidea
(0.0008 %)
Urochordata
(0.0003 %)
6 - Semnaskan _UGM / Kelautan (KL
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan
penting yang member kontribusi secara mendasar bagi produktivitas laut, khususnya di wilayah
perairan pantai (Odum, 1998).
Chaetoceros sp.
Gambar 3. Genera dari kelas Bacillariophyceae yang sering ditemukan selama pengamatan di
Perairan Teluk Saleh pada tahun 2010
Hasil pengamatan pada 2 stasiun pengamatan yang merupakan lokasi penempatan
Terumbu Karang Buatan (TKB) ditemukan jumlah genera tertinggi yaitu pada stasiun Pulau
Genteng yang memiliki jumlah genera lebih banyak dibandingkan P
jumlah genera yang ditemukan disajikan pada Gambar 4. Hal ini diduga bahwa kondisi perairan
secara umum di Pulau Genteng merupakan daerah yang memiliki kecerahan lebih tinggi daripada
di Pulau Rakit. Sifat fitoplankton mempunyai s
matahari (Sachlan, 1982). Plankton mempunyai variasi yang besar dalam distribusi vertikal di
kolom perairan. Kondisi kualitas air di permukaan sampai dasar yang bervariasi berpengaruh
terhadap kelimpahan plankton di perairan.
Gambar 4. Jumlah genera yang ditemukan selama penelitian
Berdasarkan hasil pengamatan selama bulan April, Juni dan Oktober yang dianggab
memawikli musim barat dan timur diperoleh hasil rata
tersaji pada Gambar 4. Fitoplankton disebut juga plankton nabati, adalah tumbu
melayang, ukurannya sangat kecil, tak dapat dilihat dengan mata telanjang (Nontji, 2006).
Meskipun ukuran fitoplankton sangat halus namun bila mereka tumbuh sangat lebat dan padat
bisa menyebabkan perubahan pada warna air.
pengamatan untuk semua stasiun berkisar antara 355.062
Kelimpahan fitoplankton tertinggi di Pulau Rakit pada bulan juni 2010. Hal ini diduga karena
tingginya cahaya matahari yang masuk pada kedalaman
21
0
5
10
15
20
25
30
35
40
P. Rakit
J
u
m
l
a
h
G
e
n
e
r
a
Kelautan (KL-06)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16
ng member kontribusi secara mendasar bagi produktivitas laut, khususnya di wilayah
Rhizosolenia sp.
Gambar 3. Genera dari kelas Bacillariophyceae yang sering ditemukan selama pengamatan di
Teluk Saleh pada tahun 2010
Hasil pengamatan pada 2 stasiun pengamatan yang merupakan lokasi penempatan
Terumbu Karang Buatan (TKB) ditemukan jumlah genera tertinggi yaitu pada stasiun Pulau
Genteng yang memiliki jumlah genera lebih banyak dibandingkan Pulau Rakit, masing
jumlah genera yang ditemukan disajikan pada Gambar 4. Hal ini diduga bahwa kondisi perairan
secara umum di Pulau Genteng merupakan daerah yang memiliki kecerahan lebih tinggi daripada
fitoplankton mempunyai sifat fototaksis positif, yaitu tertarik dengan sinar
Plankton mempunyai variasi yang besar dalam distribusi vertikal di
kolom perairan. Kondisi kualitas air di permukaan sampai dasar yang bervariasi berpengaruh
n plankton di perairan.
Gambar 4. Jumlah genera yang ditemukan selama penelitian
Berdasarkan hasil pengamatan selama bulan April, Juni dan Oktober yang dianggab
memawikli musim barat dan timur diperoleh hasil rata-rata nilai kelimpahan plankton seperti yang
Fitoplankton disebut juga plankton nabati, adalah tumbu
melayang, ukurannya sangat kecil, tak dapat dilihat dengan mata telanjang (Nontji, 2006).
Meskipun ukuran fitoplankton sangat halus namun bila mereka tumbuh sangat lebat dan padat
bisa menyebabkan perubahan pada warna air. Hasil analisis kelimpahan fitoplankton selama
pengamatan untuk semua stasiun berkisar antara 355.062 2.145.789 sel/l (Gambar 5).
Kelimpahan fitoplankton tertinggi di Pulau Rakit pada bulan juni 2010. Hal ini diduga karena
tingginya cahaya matahari yang masuk pada kedalaman tersebut, yang digunakan untuk proses
27
31
25
26
36
P. Rakit P.
Genteng
P. Rakit P.
Genteng
P. Rakit P.
Genteng
Mei Juli Oktober
Waktu Penelitian
16 Juli 2011
ng member kontribusi secara mendasar bagi produktivitas laut, khususnya di wilayah
Gambar 3. Genera dari kelas Bacillariophyceae yang sering ditemukan selama pengamatan di
Hasil pengamatan pada 2 stasiun pengamatan yang merupakan lokasi penempatan
Terumbu Karang Buatan (TKB) ditemukan jumlah genera tertinggi yaitu pada stasiun Pulau
ulau Rakit, masing-masing
jumlah genera yang ditemukan disajikan pada Gambar 4. Hal ini diduga bahwa kondisi perairan
secara umum di Pulau Genteng merupakan daerah yang memiliki kecerahan lebih tinggi daripada
ifat fototaksis positif, yaitu tertarik dengan sinar
Plankton mempunyai variasi yang besar dalam distribusi vertikal di
kolom perairan. Kondisi kualitas air di permukaan sampai dasar yang bervariasi berpengaruh
Berdasarkan hasil pengamatan selama bulan April, Juni dan Oktober yang dianggab
rata nilai kelimpahan plankton seperti yang
Fitoplankton disebut juga plankton nabati, adalah tumbuhan yang
melayang, ukurannya sangat kecil, tak dapat dilihat dengan mata telanjang (Nontji, 2006).
Meskipun ukuran fitoplankton sangat halus namun bila mereka tumbuh sangat lebat dan padat
an fitoplankton selama
2.145.789 sel/l (Gambar 5).
Kelimpahan fitoplankton tertinggi di Pulau Rakit pada bulan juni 2010. Hal ini diduga karena
tersebut, yang digunakan untuk proses
Genteng
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan
fotosintesis. Genera fitoplankton
dan mampu mengatur daya apungnya sehingga mampu pindah kearah kolom atas perairan atau
ke kolom bawah perairan.
Gambar 5. Nilai kelimpahan fitoplankton (sel/liter) selama penelitian
Zooplankton adalah plankton hewani yang hidupnya mengapung, mengambang atau
melayang di perairan. Kemampuan renangnya sangat terbatas hingga keberadaannya sangat
ditentukan oleh arus yang memb
karena zooplankton tidak memiliki kemampuan untuk melakukan proses fotosintesis seperti yang
dilakukan oleh fitoplankton (Nontji, 2006). Dalam rantai makanan perairan, zooplankton memiliki
peran sebagai konsumen pertama yang memakan fitoplankton yang berperan sebagai produsen
primer. Hasil analisis kelimpahan zooplankton selama pengamatan untuk semua stasiun berkisar
antara 192 663 ind/l (Gambar 6).
Gambar 6. Nilai kelimpahan zooplankton (
Kelimpahan zooplankton di perairan laut sangat dipengaruhi oleh adanya
fitoplankton, fitoplankton biasanya berkumpul di zona eufotik yaitu zona dengan intensitas cahaya
P. Rakit
P. Genteng
P. Rakit
P. Genteng
P. Rakit
P. Genteng
M
e
i
J
u
l
i
O
k
t
o
b
e
r
W
a
k
t
u
P
e
n
e
l
i
t
i
a
n
P. Rakit
P. Genteng
P. Rakit
P. Genteng
P. Rakit
P. Genteng
M
e
i
J
u
l
i
O
k
t
o
b
e
r
W
a
k
t
u
P
e
n
e
l
i
t
i
a
n
Semnaskan _UGM /
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan
Genera fitoplankton umumnya menempati kolom perairan yang sifatnya sementara,
dan mampu mengatur daya apungnya sehingga mampu pindah kearah kolom atas perairan atau
. Nilai kelimpahan fitoplankton (sel/liter) selama penelitian
Zooplankton adalah plankton hewani yang hidupnya mengapung, mengambang atau
melayang di perairan. Kemampuan renangnya sangat terbatas hingga keberadaannya sangat
ditentukan oleh arus yang membawanya. Zooplankton tidak dapat memproduksi makanan sendiri,
karena zooplankton tidak memiliki kemampuan untuk melakukan proses fotosintesis seperti yang
dilakukan oleh fitoplankton (Nontji, 2006). Dalam rantai makanan perairan, zooplankton memiliki
sebagai konsumen pertama yang memakan fitoplankton yang berperan sebagai produsen
elimpahan zooplankton selama pengamatan untuk semua stasiun berkisar
663 ind/l (Gambar 6).
Gambar 6. Nilai kelimpahan zooplankton (individu/liter) selama penelitian
Kelimpahan zooplankton di perairan laut sangat dipengaruhi oleh adanya
fitoplankton, fitoplankton biasanya berkumpul di zona eufotik yaitu zona dengan intensitas cahaya
503,892
463,907
1,531,493
355,062
1,258,116
0 500,000 1,000,000 1,500,000 2,000,000
P. Rakit
P. Genteng
P. Rakit
P. Genteng
P. Rakit
P. Genteng
Nilai Kelimpahan (sel/liter)
192
481
437
524
493
0 100 200 300 400 500 600
P. Rakit
P. Genteng
P. Rakit
P. Genteng
P. Rakit
P. Genteng
Nilai Kelimpahan (individu/liter)
/ Kelautan (KL-06) - 7
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
umumnya menempati kolom perairan yang sifatnya sementara,
dan mampu mengatur daya apungnya sehingga mampu pindah kearah kolom atas perairan atau
. Nilai kelimpahan fitoplankton (sel/liter) selama penelitian
Zooplankton adalah plankton hewani yang hidupnya mengapung, mengambang atau
melayang di perairan. Kemampuan renangnya sangat terbatas hingga keberadaannya sangat
awanya. Zooplankton tidak dapat memproduksi makanan sendiri,
karena zooplankton tidak memiliki kemampuan untuk melakukan proses fotosintesis seperti yang
dilakukan oleh fitoplankton (Nontji, 2006). Dalam rantai makanan perairan, zooplankton memiliki
sebagai konsumen pertama yang memakan fitoplankton yang berperan sebagai produsen
elimpahan zooplankton selama pengamatan untuk semua stasiun berkisar
individu/liter) selama penelitian
Kelimpahan zooplankton di perairan laut sangat dipengaruhi oleh adanya sebaran vertikal
fitoplankton, fitoplankton biasanya berkumpul di zona eufotik yaitu zona dengan intensitas cahaya
2,145,789
2,000,000 2,500,000
524
663
600 700
Nilai Kelimpahan (individu/liter)
8 - Semnaskan _UGM / Kelautan (KL-06)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
yang masih memungkinkan terjadinya fotosintesis. Berkelompoknya fitoplankton beberapa meter di
bawah permukaan air, diduga untuk menghindar pengaruh merusak dari kelebihan cahaya
matahari. Stasiun di Pulau Genteng merupakan daerah yang memilliki pola arus yang cukup tinggi
hal ini diduga, bahwa tingginya arus yang terjadi pada bulan Oktober 2010 yang menyebabkan
kelimpahan zooplankton cukup tinggi.
Perbedaan nilai kelimpahan fitoplankton serta zooplankton antar stasiun diduga bahwa
faktor lingkungan baik fisika maupun kimia perairan sangat berpengaruh terhadap sebaran
plankton di perairan. Gross (1990) menjelaskan bahwa distribusi temporal banyak dipengaruhi oleh
pergerakan matahari atau dengan kata lain cahaya sangat mendominasi pola distribusinya.
Distribusi harian plankton, terutama pada daerah tropis, mengikuti perubahan intensitas cahaya
sebagai akibat pergerakan semu matahari. Pada pagi hari dimana intensitas cahaya masih rendah
dan suhu permukaan air masih relative dingin plankton berada tidak jauh dengan permukan. Pada
siang hari plankton berada cukup jauh dari pemukaan karena menghindari cahaya yang telalu
kuat. Pada sore hingga malam hari plankton begerak mendekati bahkan berada pada daerah
permukaan.
Kesimpulan
Kelas yang ditemukan selama penelitian adalah kelas Bacillariophyceae, Cyanophyceae,
Dinophyceae, Crustaceae, Cilliata, Holothurdeae, Polychaeta, Sagittoideae, Sarcodina dan
Urochordata. Nilai persentase masing plankton kelas yang ditemukan selama penelitian
mempunyai pernsentase yang berbeda-beda dari 10 kelas yang ditemukan, dengan nilai
persentase tertinggi dari kelas Bacillariophyceae (95,38 %) sedangkan presentase terendah dari
kelas Holothurdeae dan Polychaeta (0,0001 %). Kelas Bacillariophyceae merupakan salah satu
kelas fitoplakton yang sering ditemukan pada perairan meski kelimpahan dan penyebarannya tidak
selalu sama selain Chlorophyceae dan Cyanophyceae.
Komposisi kelas fitoplankton di temukan dari masing-masing kelas yaitu kelas
Bacillariophyceae (25 genus), Cyanophyceae (1 genus), dan Dinophyceae (6 genus). Sedangkan
selama penelitian zooplankton yaitu kelas Crustaceae sebanyak 12 genus, Cilliata (4 genus),
Holothurdeae (1 genus), Polychaeta (1 genus), Sarcodina (3 genus) Sagittoideae (1 genus).
Analisis kelimpahan fitoplankton selama pengamatan untuk semua stasiun berkisar antara 355.062
2.145.789 sel/l. Kelimpahan fitoplankton tertinggi di Pulau Rakit pada bulan juni 2010.
Hasil pengamatan pada 2 stasiun (Pulau Rakit dan Genteng) ditemukan jumlah genera
tertinggi yaitu pada stasiun Pulau Genteng yang memiliki jumlah genus fitoplankton lebih banyak
dibandingkan Pulau Rakit, diduga bahwa kondisi perairan secara umum di Pulau Genteng
dikarenakan memiliki tingat kecerahan lebih tinggi daripada di Pulau Rakit.
Ucapan Terima Kasih
Ucapan terima kasih saya sampaikan kepada Koordinator penelitian di Perairan Teluk
Saleh, Nusa Tenggara Barat Ir. Hendra Satria dan pengarah kegiatan Kepala Balai Riset
Pemulihan Sumberdaya Ikan (Dr. Didik Wahju Hendro Tjahdjo) yang telah memberikan
kepercayaan keikutsertaan saya dalam penelitian ini juga semua rekan peneliti dan teknisi di Balai
Riset Pemulihan Sumberdaya Ikan atas bantuannya di lapangan maupun di laboratorium sehingga
selesainya tulisan ini dan semoga bermanfaat.
Daftar Pustaka
American Public Health Association. 1989. Standard methods for the examination of water and
waste water. 17
th
edition American Public Health Association. Washington. DC. 1193 p.
Anshorullah, A, E. Widyastuti, dan A.S. Siregar. 2008. Distribusi diatomae planktonik pada musim
yang berbeda di perairan Waduk Wadaslintang Wonosobo. Prosiding Seminar Nasional
limnologi: 1-13.
Semnaskan _UGM / Kelautan (KL-06) - 9
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Barnes, R.S.K., and K. Mann, 1991. Fundamental of aquatic (Prologue). Blackwell Sci. Publisher
Oxford, 226 p.
Gross, G. 1990. Oceanography : A view of the Earth. 5th edition.
Nontji, A. 2006. Tiada kehidupan di bumi tanpa keberadaan plankton. Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia. Jakarta. 5 p.
Newell, G. E. and R.C. Newell, 1977. Marine palnkton a ractical Guide 5
th
. Edition. Hutchnson of
London. 244 p.
Odum, E. P. 1971. Fundamentall of ecology. W. B. Saunders Company. Philadelphia-London
Toronto. 574 p.
Odum, E. P. 1998. Dasar dasar ekologi edisi ketiga. Penerjemah Tjahjo Samingan. Universitas
Gajah Mada. Yogyakarta. 374 p.
Sachlan, M. 1982. Planktonologi. Semarang: Fakultas Peternakan dan Perikanan, Universitas
Diponegoro. 156 p.
Thoha, H. 2007. Kelimpahan plankton di ekosistem perairan Teluk Gilimanuk, Taman Nasional,
Bali Barat. PUSLIT Oseanologi. Makalah Sains. Vol 11. No. 1. April 2007. Jakarta: 44-48.
Wiadnyana, N.N.T. 2004. Plankton, Produktivitas dan Ekosistem Perairan. Pusat Penelitian
Oseanografi-puslit Limnologi-LIPI. Jakarta. 117 p.
Yamaji, I. 1996. Illustration of marine plankton of Japan. Hoikusha Publishing Co. Ltd. Osaka
Japan.
10 - Semnaskan _UGM / Kelautan (KL-06)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Semnaskan _UGM / Kelautan (KL-07) - 1
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
SEBARAN DAN POTENSI JENIS RUMPUT LAUT
DI PERAIRAN PULAU NUSALAUTMALUKU TENGAH
Saleh Papalia)
UPT Balai Konservasi Biota Laut Ambon,
Puslit Oseanografi L I P I
Abstrak
Penelitian produksi biomasa dan keragaman jenis rumput laut telah dilaksanakan di Perairan
Pulau Nusalaut, Maluku Tengah pada pereiode bulan April-Mei dan September-Oktober 2009.
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui produksi biomasa, keragaman jenis, komposisi jenis,
frekuensi kehadiran dan dominasi rumput laut pada setiap lokasi (stasion penelitian).
Pengumpulan data dengan metode transek kuadrat (standing crop) dan koleksi. Hasil penelitian
pada masing-masing lokasi penelitian terlihat bahwa stasion 5 (pantai Ameth) memiliki keragaman
jenis, komposisi dan proporsi jenis rumput laut yang lebih tinggi dari lokasi penelitian lainnya yakni
45 jenis dari 33 marga yang terdiri dari 22 jenis rumput laut merah, 13 jenis rumput laut coklat dan
12 jenis rumput laut hijau. Kelompok rumput laut merah didominasi oleh jenis Gracilaria spp,
Laurencia papilosa, dan kelompok rumput laut coklat oleh Padina spp. Sedangkan kelompok
rumput laut hijau oleh Halimeda spp.
Keyword : Biomass productivity, biodivercity, seaweed, Nusalaut Island, Central Mollucas
Pengantar
Perairan Nusalaut terletak pasa posisi 122 25', 132" yang merupakan suatu perairan yang
berada di wilayah Kepulauan Maluku Tengah. Selain itu di wilayah perairan ini juga memiliki
sejumlah perairan laut yang sempit yang disebut sebagai selat yang memisahkan antara satu
pulau dengan pulau yang lainnya.
Di Perairan ini telah ditemukan berbagai jenis biota laut satu diantaranya adalah rumput
laut. Rumput laut atau ganggang adalah salah satu tumbuhan laut yang hidup di Perairan pantai
yang dangkal dengan subtract dasar berupa pasir, pasir bercampur Lumpur, karang mati maupun
pecahan karang mati.
Umumnya jenis-jenis rumput laut yang dijumpai terdiri dari kelompok rumput laut merah
(Rhodophyta), hijau (Chlorophyta) dan cokelat (Phaeophyta). Kehadiaran jenisnya banyak dijumpai
pada paparan terumbuh karang dengan kedalaman perairannya berkisar anatar 1 5 meter.
Pemanfaatan rumput laut dewasa ini telah dikembangkan secara luas dalam berbagai
bidang industri sebagai bahan baku makanan, minuman, obat-obatan, farmasi, kosmetik dan
sebagai bahan tambahan (additive) pada proses industri plastic, baja, film, tekstil serta kertas
(Chapman, 1949; Okzaki, 1971). Selain itu, juga dapat dimanfaatkan secara luas dalam bidang
bioteknologi maupun mikrobiologi (Atmadja et al, 1990).
Kehadiran komunitas rumput laut disuatu Perairan memiliki peran yang cukup besar
terhadap kehidupan biota laut sebagai tempat berlindung dan sebagai tempat mencari makan
(Hutomo, 1977; Randal, 1961; John and Pople, 1973). Dikatakan pula oleh Hutomo (1977) bahwa
komunitas rumput laut juga dapat berperan sebagai habitat bagi organisme laut lainnya, baik yang
berukuran besar maupun kecil seperti Ampiphoda, kepiting dan biota laut lainnya. Namun dalam
perkembangan pembagunan yang digalakkan oleh Pemerintah Daerah, maka perairan ini
mengalami perubahan yang cukup besar. Hal ini tidak terlepas dari pengaruh factor lingkungan
yang menjadi penunjang maupun mempengaruhi kehidupan berbagai jenis biota laut, baik secara
langsung maupun tidak langsung. Untuk itu diperlukan suatu kajian yang teliti pada berbagai aspek
yang dapat mempengaruhi daya dukung lingkungan perairan ini.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui produksi biomasa dan keragaman jenis,
komposisi dan propoesi jenis rumput laut pada berbagai musin di perairan Nusalaut, Maluku
Tengah. Disamping itu untuk mengetahui sebaran jenis, Frekuensi kehadiran, dan dominasinya di
berbagai perairan pantai. Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan informasi kepada
pemerintah daerah dalam pengelolaan perairan pesisir Pulau Nusalat dimasa mendatang.
KL-07
2 - Semnaskan _UGM / Kelautan (KL-07)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Bahan dan Metode
Lokasi Penelitian
Penelitian telah dilakukan pada periode bulan April-Mei dan September-Oktober 2009 di
perairan pantai desa Leinitu (St.1), Sila (St.2), Nalahia (St.3), Ameth (St.4) dan Akoon (St.5), Pulau
Nusalaut,Maluku Tengah (Gambar 1) dengan menggunakan sarana angkutan umum.
Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian
Metode Penelitian
Pengumpulan data dengan metode koleksi dan transek kuadrat yang dibuat tegak lurus
garis pantai ke arah tubir (slope) dengan selang 100 meter. Pada setiap interval 10 meter dari garis
pantai dilakukan sampling biomassa rumput laut pada bingkai besi berukuran 50 x 50 cm,
kemudian hasilnya ditampung dalam kantung plastic, diseleksi dan dipisahkan menurut jensi dan
marga serta ditimbang berat basahnya. Semua sample hasil transek diawetkan dengan larutan
formalin 10% dan analisis selanjutnya dilakukan di Laboratorium Biologi UPT Balai Konservasi
Biota Laut Ambon. Identifikasi dilakukan menurut petunjuk Tylor (1960), Magruder (1979), Cordero
(1980) dan Dawson (1966).
Untuk mengetahui sebaran rumput laut pada setiap lokasi penelitian (stasion) dilakukan
analisa data dengan mengikuti petunjuk Indeks Morisita (Elliot, 1977) dan menggunakan beberapa
formula untuk mengetahui komposisi jenis, dominasi, produksi biomassa dan frekuensi kehadiran
jenis dengan mengikuti petunjuk Saito, et al, (1976), yang antara lain sebagai berikut :
Saito et al, (1976), : d = c x f ;
Dimana : d = nilai dominasi setiap jenis rumput laut,
c = nilai total produksi biomasa (gr/m
2
): adalah berat basah setiap jenis rumput laut
dibagi dengan berat seluruh jenis rumput laut
Semnaskan _UGM / Kelautan (KL-07) - 3
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
f = nilai kepadatan relative atau frekwensi kehadiran setiap jenis rumput laut
adalah: Jumlah setiap jenis rumput laut dibagi dengan jumlah seluruh jenis
rumput laut dikali dengan 100 %.
Proporsi jenis atau berat adalah persentase dari jumlah jenis atau berat tiap filum dibagi
dengan jumlah jenis atau berat seluruhnya.
Hasil dan Pembahasan
Sebaran dan Keragaman Jenis
Penelitian yang dilakukan di beberapa perairan pantai Pulau Nusalaut, Maluku Tengah
terkumpul sebanyak 45 jenis rumput laut yang termasuk dalam 33 marga. Rumput laut merah
(Rhodophyceae) memiliki jumlah tertinggi (22 jenis), di ikuti oleh rumput laut coklat
(Phaeophyceae) sebanyak 13 jenis dan rumput laut hijau (Chlorophyceae) sebanyak 12 jenis
(Lampiran 1).
Keragaman jenis rumput laut yang diperoleh diperairan ini lebih kecil bila dibandingkan
dengan hasil penelitian di perairan Maluku Tenggara (Hatta et al, 1991; Papalia dan Pramudji,
1998), tetapi lebih besar dari perairan Kalimantan Timur (Kadi 2002). Hasil penelitian di Perairan
Pulau Nusalaut perbandingan antara Phaeophyceae : Chlorophyceae : Rhodophyceae adalah 22 :
13 : 12, sedangkan di perairan Kalimantan Timur adalah 10 : 11 : 13. Dari hasil penelitiana terlihat
bahwa keragaman jenis rumput laut merah lebih besar dari rumput laut coklat dan hijau.
Komposisi rumput laut pada masing-masing lokasi penelitian terlihat bahwa stasion IV
memiliki komposisi jenis yang lebih besar dari lokasi lainnya yakni 45 jenis dari 33 marga yang
terdiri dari 22 jenis rumput laut merah, 13 jenis rumput laut coklat, dan hijau 12 jenis rumput laut
hijau (Gambar 2).
Perbedaan ini karena perbedaan habitat dan kerusakan lingkungan oleh aktivitas manusia.
Pengambilan batu karang untuk kebuthan bangunan oleh masyarakat dapat merusak habitat
pertumbuhan rumput laut laut maupun biota laut lainnya seperti rumput lamun (seagrass), ikan dan
lain-lain. Hal ini lebih banyak terjadi di stasion III. Umumnya rumput laut yang didapatkan tumbuh
pada habitat berupa karang mati, pecahan karang mati, pasir dan lumpur.
Frekwensi Kehadiran
Kehadiran dan pertumbuhan rumput laut disuatu tempat bervariasi dan sangat tergantung
dari habitat, musim dan kondisi perairan yang memadai. Menurut frekwensi kehadiran rumput laut
pada setiap lokasi penelitian terlihat bahwa stasion IV dan I menempati nilai tertinggi. Kelompok
rumput laut merah (Rhodophyceae) menempati nilai tertinggi yakni dari marga Gracilaria (58.46%)
Laurencia (33.52%) dan Hypnea, kemudian diikuti oleh rumput laut coklat (Phaeophyceae) yakni
4 - Semnaskan _UGM / Kelautan (KL-07)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
dari jenis Padina (26.23 %), dan disusul oleh rumput laut hijau (Chlorophyceae) yakni dari marga
Caulerpa (37.45%) dan Halimeda (28.27%), disajikan pada table 1. Perbedaan frekwensi
kehadiran disebabkan oleh perbedaan kondisi habitat, kepadatan dan nilai dominasi rumput laut
disetiap lokasi penelitian.
Produksi Biomasa dan Nilai Dominasi
Hasil analisis memperlihatkan bahwa nilai kepadatan dan dominasi rumput laut tertinggi
terdapat di Stasion IV (pantai Ameth) dan I (pantai Leinitu) Pulau Nusalaut. Marga rumput laut
yang dominant adalah Gracilaria spp, Laurencia papilosa, Hypnea spp, Acanthophora spp,
Sargassum spp, Turbinari spp, Caulerpa spp, Halimeda spp dan Acanthophora spp, dengan nilai
kepadatan masing-masing adalah 696.73 gram/m
2
(Gracilaria), 356.68 gram/m
2
(Laurencia),
248.76 gram/m
2
(Turbinaria), 184.36 gram/m
2
(Sargassum), 158,76 gram/m
2
(Caulerpa), 132.70
gram/m
2
(Halimeda). Sedangkan nilai kepadatan di stasion I adalah 325.67 Gram/m
2
; 288.72
gram/m
2
dan 187.95 gram/m
2
, 127. 48 gram/m
2
dan 116.32 gram/m
2
(Gambar 3).
Nilai dominasi tertinggi diduduki oleh kelompok rumput laut merah (Rhodophyceae) dari
marga Gracilaria (58.85%). Turbinaria (43.37%), diikuti oleh kelompok rumput laut hijau
(Chlorophyceae) yakni dari marga Caulerpa (32.65%), Halimeda (29.56%) dan kelompok rumput
laut coklat (Phaeophyceae) diduduki oleh marga Sargassum (24.56%) dan Padina (22,67 %).
Sedangkan nilai dominasi tertinggi di stasion 1 masing-masing adalah : 49.34 % gram/m
2
(Gracilaria), 32,46 % (Sargassum), 28.86 % (Turbinaria), 24.83 % (Caulerpa), 27.34 % (Halimeda)
dan 17.92 % (Acanthophora), disajikan pada gambar 4.
Semnaskan _UGM / Kelautan (KL-07) - 5
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Gambar 3. Produksi Biomasa dan Nilai Dominasi
6 - Semnaskan _UGM / Kelautan (KL-07)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Perbedaaan kepadatan dan nilai dominasi rumput laut, karena ada perbedaan habitat dan
faktor musim. Disamping itu karena pengrusakan ekosistem perairan oleh nelayan menyebabkan
rendahnya kepadatan dan nilai dominasi rumput laut. Perairan pantai Ameth (stasion IV) dan
Leinitu (stasion I) memiliki struktur substrat dasar yang bervariasi yakni berupa karang mati,
pecahan karang mati, karang hidup, pasir dan lumpur dengan vegetasi berupa tumbuhan lamun
(seagrass). Sedangkan struktur substrat dasar di ketiga lokasi lain umumnya berupa karang mati,
pecahan karang mati, pasir bercampur lumpur dan tidak terdapat tumbuhan lamun. Tekanan untuk
pengrusakan ekosistem yang berlebihan dari masyarakat, menyebabkan rendahnya keragaman
jenis kepadatan dan dominsai rumput laut.
Kesimpulan
Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan diatas, dapat ditarik kesimpulan antara lain sebagai
berikut :
1. Perairan pantai Ameth (stasion 4) dan Leinitu (stasion 1) memiliki kergaman jenis rumput laut
tinggi dari stasion penelitian lainnya, terutama pada periode Musim Timur.
2. Komposisi jenis rumput laut tertinggi terdapat pada periode Musim Timur (April Mei) di
perairan pantai Ameth (stasion 4) dan Leinitu (stasion 1) yang didominasi oleh kelompok rumput
laut merah dari marga Gracilaria, Laurencia, Acanthophora dan Hypnea
3.Perbedaan keragaman jenis, frekuensi kehadiran, kepadatan dan nilai dominasi rumput laut
disebabkan oleh perbedaan habitat dan musim.
Saran
Berdasarkan hasil dan pembahasan diatas, dapat diberikan saran yang antara lain sebagai
berikut :
1.Diperlukan kajian lebih lanjut tentang produksi biomasa rumput laut pada berbagai musim kondisi
habitat
2.Kajian tentang persentase dan struktus dasar sedimen yang terkait dengan musim dan produksi
biomasa di setiap stasion penelitian
Daftar Pustaka
Atmadja, W.S. Sulistijo dan H. Mubarak, 1990. Potensi Pemanfaatan dan Prospek Pengembangan
Budidaya Rumput Laut di Indonesia. Badan Pengembangan Ekspor Nasional. Dep.
Perdagangan dan Koperasi, Jakarta 13 hal.
Chapman, V.J. and D.J Chapman, 1980. Seaweeds and Their Uses. Third Edition, New York.
London.
Codero, P.A.J, 1980. Taxonomy and distribution of Philiphine useful seaweed. National Research
Council of the Philipines. Bictun, Tagig, Metro Manila Philipines :73 pp.
Dawson, E.Y, 1966. Marine Botany. Holt Rinehart and Wiston, Inc New York/Chicago/ San
Fransisco/Toronto/London : 529 pp.
Elliot, J.M., 1977. Some method for the statistical analysis of samples of benthic Invertebrates.
Second edition. Freshwater Biological Association Scientific Publication, No.25: pp. 76
77.
Semnaskan _UGM / Kelautan (KL-07) - 7
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Soegiarto, S, Sulistijo dan W.S. Atmadja, 1977. Perutumbuhan Algae laut Eucheuma spinosum
pada berbagai kedalaman Oceanologi di Indonesia. Puslitbang Oseanologi LIPI
Jakarta.
Lampiran 1. Kelompok jenis rumput laut merah (Rhodophyceae) yang tercatat selama
dua periode penelitian (musim Timu dan musim Barat) pada lima stasion
penelitian di Perairan Pulau Nusalaut, Maluku Tengah.
1.Rhodophyceae
8 - Semnaskan _UGM / Kelautan (KL-07)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Nama Gambar:
Lokasi :
Gracilaria lichenoides
Desa Leinitu, Desa Sila, Desa Ameth dan Desa
Akoon, Pulau Nusa Laut
Nama Gambar:
Lokasi :
Gracilaria crassa
Desa Leinitu, Desa Sila, Desa Nalahia, Desa
Ameth dan Desa Akoon, Pulau Nusa Laut
Nama Gambar:
Lokasi :
Gracilaria blodgetii
Desa Leinitu, Desa Sila, Desa Ameth dan Desa
Akoon, Pulau Nusa Laut
Nama Gambar:
Lokasi :
Gracilaria salicornia
Desa Leinitu, Desa Sila, Desa Ameth dan Desa
Akoon, Pulau Nusa Laut
Nama Gambar:
Lokasi :
Acanthophora specivera
Desa Leinitu, Desa Sila, Desa Ameth dan Desa
Akoon, Pulau Nusa Laut
Nama Gambar:
Lokasi :
Hypnea sedana
Desa Leinitu, Desa Sila, Desa Ameth dan Desa
Akoon, Pulau Nusa Laut
Nama Gambar:
Lokasi :
Laurencia papilosa
Desa Leinitu, Desa Sila, Desa Ameth dan Desa
Akoon, Pulau Nusa Laut
Nama Gambar:
Lokasi :
Acanthophora dendroides
Desa Leinitu, Desa Sila, Desa Ameth dan Desa
Akoon, Pulau Nusa Laut
Semnaskan _UGM / Kelautan (KL-07) - 9
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Nama Gambar:
Lokasi :
Amphiroa fragilisima
Desa Leinitu, Desa Sila, Desa Ameth dan Desa
Akoon, Pulau Nusa Laut
Nama Gambar:
Lokasi :
Hypnea servicornis
Desa Leinitu, Desa Sila, Desa Ameth dan Desa
Akoon, Pulau Nusa Laut
Nama Gambar:
Lokasi :
Spongiosumsp
Desa Leinitu, Desa Sila, Desa Ameth dan Desa
Akoon, Pulau Nusa Laut
2.Phaeophyceae
Nama Gambar:
Lokasi :
Sargassum cracifolium
Desa Leinitu, Desa Sila, Desa Ameth dan Desa
Akoon, Pulau Nusa Laut
Nama Gambar:
Lokasi :
Hydroclatratus clatratus
Desa Leinitu, Desa Sila, Desa Ameth dan Desa
Akoon, Pulau Nusa Laut
Nama Gambar:
Lokasi :
Sargassumcrispifolium
Desa Leinitu, Desa Sila, Desa Ameth dan Desa
Akoon, Pulau Nusa Laut
Nama Gambar:
Lokasi :
Sargassumduplicatum
Desa Leinitu, Desa Sila, Desa Ameth dan
Desa Akoon, Pulau Nusa Laut
10 - Semnaskan _UGM / Kelautan (KL-07)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Nama Gambar:
Lokasi :
Turbinaria ornata
Desa Leinitu, Desa Sila, Desa Ameth dan
Desa Akoon, Pulau Nusa Laut
Nama Gambar:
Lokasi :
Turbinaria conoides
Desa Leinitu, Desa Sila, Desa Ameth dan
Desa Akoon, Pulau Nusa Laut
Nama Gambar:
Lokasi :
Padina crassa
Desa Leinitu, Desa Sila, Desa Ameth dan
Desa Akoon, Pulau Nusa Laut
Nama Gambar:
Lokasi :
Padina minor
Desa Leinitu, Desa Sila, Desa Ameth dan
Desa Akoon, Pulau Nusa Laut
Nama Gambar:
Lokasi :
Padina australis
Desa Leinitu, Desa Sila, Desa Ameth dan
Desa Akoon, Pulau Nusa Laut
Semnaskan _UGM / Kelautan (KL-07) - 11
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
3.Chlorophyceae (Alae hijau
Nama Gambar:
Lokasi :
Caulerpaserrulatta
Desa Leinitu, Desa Sila, Desa Ameth dan
Desa Akoon, Pulau Nusa Laut
Nama Gambar:
Lokasi :
Caulerpasertulariodes
Desa Leinitu, Desa Sila, Desa Ameth dan
Desa Akoon, Pulau Nusa Laut
Nama Gambar:
Lokasi :
Halimeda macroloba
Desa Leinitu, Desa Sila, Desa Ameth dan
Desa Akoon, Pulau Nusa Laut
Nama Gambar:
Lokasi :
Valonia aegagroipila
Desa Leinitu, Desa Sila, Desa Ameth dan
Desa Akoon, Pulau Nusa Laut
Nama Gambar:
Lokasi :
Halimeda sp
Desa Leinitu, Desa Sila, Desa Ameth dan
Desa Akoon, Pulau Nusa Laut
Nama Gambar:
Lokasi :
Valonia ventricosa
Desa Leinitu, Desa Sila, Desa Ameth dan
Desa Akoon, Pulau Nusa Laut
Nama Gambar:
Lokasi :
Bornetela nitida
Desa Leinitu, Desa Sila, Desa Ameth dan
Desa Akoon, Pulau Nusa Laut
Nama Gambar:
Lokasi :
Neumeris annulata
Desa Leinitu, Desa Sila, Desa Ameth dan
Desa Akoon, Pulau Nusa Laut
Nama Gambar:
Lokasi :
Halimeda cylindraceae
Desa Leinitu, Desa Sila, Desa Ameth dan
Desa Akoon, Pulau Nusa Laut
12 - Semnaskan _UGM / Kelautan (KL-07)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Nama Gambar:
Lokasi :
Caulerparacemosa
Desa Leinitu, Desa Sila, Desa Ameth dan
Desa Akoon, Pulau Nusa Laut
Nama Gambar:
Lokasi :
Halimedaopuntia
Desa Leinitu, Desa Sila, Desa Ameth dan
Desa Akoon, Pulau Nusa Laut
Nama Gambar:
Lokasi :
Desa Leinitu, Desa Sila, Desa Ameth dan
Desa Akoon, Pulau Nusa Laut
Nama Gambar:
Lokasi :
Bodlea sp
Desa Leinitu, Desa Sila, Desa Ameth dan
Desa Akoon, Pulau Nusa Laut
Semnaskan _UGM / Kelautan (KL-07) - 13
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Semnaskan _UGM / Kelautan (KL-08) - 1
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
VARIASI SEBARAN KUALITAS AIR DI PERAIRAN SEGARA ANAKAN,
KABUPATEN CILACAP
Riswanto dan Didik Wahju Hendro Tjahjo
Balai Riset Pemulihan Sumber Daya Ikan Jatiluhur
Jln. Cilalawi No. 1 Jatiluhur Purwakarta, Email: riswanto_lrpsi@yahoo.co.id
Abstrak
Perairan estuari memiliki sifat karakteristik perairan yang spesifik dan labil, dimana perubahan
variasi sifat fisika, kimia dan biologi perairan sangat dipengaruhi oleh aliran air laut dan air tawar
yang masuk ke perairan. Pergantian air laguna Segara Anakan di muara sebelah barat melewati
Sungai Citanduy, Cikonde dan Sungai Cibeureum, di sebelah timur melewati bagian timur yang
bersatu dengan Sungai Sapuregel dan Sungai Donan, serta beberapa anak sungai mengalir dari
rawa mangrove. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui variasi dan distribusi beberapa
parameter kualitas air di perairan Segara Anakan. Pengumpulan data penelitian dilaksanakan
dengan menggunakan metode survei (stratified sampling method) yang dilaksanakan pada bulan
Juni, Agustus dan Oktober 2010 di 9 stasiun pengamatan. Data fisika dan kimia perairan yang
diperoleh dianalisa secara deskriptif berdasarkan waktu dan daerah pengamatan. Hasil penelitian
menunjukkan pengaruh faktor-faktor lingkungan yang hampir sama menyebabkan variasi beberapa
parameter terukur di masing-masing stasiun pengamatan relatif kecil. Variasi cukup besar yaitu
pada kecerahan, salinitas, kandungan alkalinitas, nitrat (NO
3
), amonium (NH
4
) dan bahan organik
total BOT.
Kata kunci: variasi, sebaran, kualitas air, Segara Anakan
Pengantar
Karakteristik perairan tersebut menghasilkan suatu komunitas yang khas yaitu keragaman
organisme yang lebih sedikit tetapi dengan populasi yang tinggi dan menjadi habitat yang penting
bagi sejumlah besar ikan dan udang dalam menghabiskan seluruh atau sebagian siklus hidupnya
(Supriharyono, 2000). Dijelaskan lebih lanjut bahwa kondisi fisik dan kimia yang paling
mempengaruhi organisme yang hidup di ekosistem estuaria adalah dinamika salinitas, suhu dan
sedimen. Sifat perairan estuaria yang khas pada perairan Segara Anakan ditunjukkan oleh adanya
pergantian air oleh pengaruh aliran sungai dan dinamika pasang surut. Pola pasang surut yang
terjadi di laguna merupakan tipe diurnal pasang surut, yaitu terjadi satu kali pasang dan satu kali
surut dalam waktu satu hari. Penggantian air laguna di sebelah barat melewati Sungai Citanduy
dan Sungai Cibereum serta masukan air laut dari kanal barat Plawangan. Sedangkan di sebelah
timur melewati kanal timur Teluk Penyu yang bersatu dengan Sungai Donan dan Sungai
Sapuregel, serta beberapa anak sungai yang mengalir dari rawa mangrove diantara daratan timbul
di Segara Anakan.
Pasang surut dan masukan air tawar dari aliran sungai yang bermuara di Segara Anakan
akan berpengaruh terhadap variasi dan sebaran faktor fisika maupun kimia perairan. Perubahan
atau gangguan terhadap salah satu faktor ekosistem perairan akan berpengaruh juga terhadap
faktor ekosistem lainnya baik secara langsung maupun tidak langsung. Tujuan penelitian ini adalah
mengetahui variasi dan sebaran beberapa parameter lingkungan baik fisika maupun kimia
sehingga dapat memeberikan informasi kondisi perairan Segara Anakan pada saat penelitian
dilakukan.
Bahan dan Metode
Penelitian dilaksanakan di perairan Segara Anakan, Kabupaten Cilacap. Pengumpulan
data dilakukan dengan menggunakan metode survey, pada bulan Juni, Agustus dan Oktober 2010
KL-08
2 - Semnaskan _UGM / Kelautan (KL-08)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
di 9 (sembilan) stasiun pengamatan yaitu stasiun 1 (Tritih), 2 (Donan), 3 (Kebon baru), 4
(Sapuregel) dibagian timur, stasiun 5 (Motean), 6 (Muara dua) di bagian tengah, dan stasiun 7
(Klaces), 8 (Majingklak) serta stasiun 9 (Plawangan barat) di bagian barat perairan Segara Anakan
(Gambar 1). Sampel air diambil menggunakan Nansen bottle sampler pada permukaan air,
kemudian dimasukan kedalam botol sampel dan disimpan di dalam cool box untuk selanjutnya
disaring dengan kertas saring 0,45 mikron dan dilakukan analisa laboratorium.
Gambar 1. Lokasi Penelitian dan stasiun pengambilan contoh di perairan Segara Anakan
Parameter kualitas perairan yang diamati meliputi parameter fisik air yaitu kecerahan, ,
suhu, salinitas, sedangkan parameter kimia meliputi derajat keasaman (pH) oksigen terlarut (DO),
Alkalinitas, nitrit (NO
2
), nitrat (NO
3
), amonium (NH
4
), fosfat (PO
4
), dan bahan organik total (BOT).
Data hasil pengukuran dan analisa laboratorium parameter fisika dan kimia air yang diperoleh
kemudian dianalisis secara deskriptif variasi dan sebaran kualitas air pada masing masing daerah
pengamatan. Pengukuran terhdap kecerahan, suhu, salinitas dan oksigen terlarut dilakukan
secara insitu, sedangkan bahan organik dan alkalinitas di lakukan di laboratorium. Kandungan
NO
2
, NO
3
, NH
4
, PO
4
dan BOT dilakukan dengan metode spektrofotometer (Haryadi et al., 1992),
sedangkan alkalinitas dan oksigen terlarut menggunkan metode titrasi.
Hasil dan Pembahasan
Kecerahan perairan selama pengamatan menunjukkan di bagian barat Segara anakan
berkisar antara 25 140 cm dengan rerata 77 cm, di daerah tengah berkisar antara 44 110 cm
rerata 64,7 cm dan di daerah timur berkisar antara 30 90 cm dengan rerata 59 cm. Berdasarkan
stasiun pengamatan, kisaran di daerah barat lebih besar dibanding daerah lainnya. Hal ini diduga
disebabkan pengaruh pasang surut yang terjadi rendah akbiat masukan antara air laut dan air
tawar dari sungai Citanduy dan Cibereum berimbang sehingga pengaruh faktor pasang surut
terhadap proses pengadukan dasar perairan di daerah ini juga rendah.
Pengukuran terhadap suhu perairan antar daerah menunjukkan di bagian barat berkisar
antara 27,3 29,0 C dengan rerata 28,0 C, di daerah tengan berkisar antara 28,9 30 C retata
29,3 C dan daerah timur berkisar antara 28,4 32,5 C dengan rerata 29,7 C. Berdasarkan hasil
yang diperoleh terlihat bahwa nilai kisaran dan rata-rata suhu air relatif sama Hal ini disebabkan
karena daerah pengamatan mempunyai kondisi lingkungan, pola pasang surut dan kondisi cuaca
pada saat pengamatan yang relatif sama. Hasil pengamatan tersebut masih dalam kisaran sama
dengan hasil pengamatan oleh Siregar et al., (2006) dimana suhu air rata-rata di Plawangan barat
29,5
o
C, Plawangan Tengah (29,7
o
C) dan di Plawangan Timur dengan rerata 29,8
o
C. Tetapi lebih
tinggi dibandingkan hasil pengamatan Sumarsini (1985) yang berkisar antara 19 23
o
C.
6
7 8
9
5
4
3
2
1
Semnaskan _UGM / Kelautan (KL-08) - 3
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Hasil pengukuran salinitas antar daerah menunjukkan di bangian barat berkisar antara 3
27 ppt dengan rerata 12,6 ppt, di daerah tengah berkisar antara 2 12 ppt rerata 5,4 ppt dan di
bagian timur berkisar antara 11 34 ppt dengan rerata 21, 8 ppt. Berdasarkan hasil yang diperoleh
nilai rerata salinitas di daerah timur lebih tinggi dibandingkan daerah lainnya. Hal ini disebabkan
masukan air laut yang melewati kanal timur lebih besar berpengaruh terhadap perubahan salinitas
didaerah ini jika dibandingkan masukan air tawar yang masuk melalui Sungai Donan dan sungai
diantara hutan mangrove. Rendahnya rerata salinitas di daerah tengah disebabkan pengaruh
masukan air laut dari kanal timur dan barat serta masukan air tawar dari sungai-sungai kecil relatif
lebih stabil.
Tabel 1. Parameter kimia kualitas perairan pada tiap stasiun pengamatan di Segara
Anakan pada saat penelitian
NO STASIUN pH
DO
(mg/l)
Alkalinita
s (mg/l)
NO
2
(mg/l)
NO
3
(mg/l)
NH
4
(mg/l)
PO
4
(mg/l)
BOT
(mg/l)
1 Tritih 7,28 2,11 58,9 0,03 0,60 1,56 0,04 6,58
2 Donan 7,70 2,06 52,3 0,02 0,86 0,74 0,04 6,47
3 Kebon sayur 7,92 2,27 60,6 0,02 0,83 0,60 0,05 3,83
4 Sapuregel 7,39 2,02 56,9 0,02 0,81 0,94 0,03 5,67
Rerata 7,57 2,12 57,27 0,02 0,78 0,96 0,04 5,64
(SD) (0,29)
(0,11
) (3,60)
(0,00
)
(0,12
) (0,42)
(0,01
)
(1,27
)
5 Montean 7,42 3,12 47,7 0,03 1,48 0,90 0,05 3,48
6 Muara dua 7,51 2,68 45,9 0,02 1,51 1,55 0,07 5,93
Rerata 7,47 2,90 46,82 0,03 1,49 1,23 0,06 4,70
(SD) (0,07)
(0,31
) (1,25)
(0,01
)
(0,02
) (0,46)
(0,01
)
(1,74
)
7 Kleces 7,56 3,43 46,9 0,04 1,24 1,22 0,06 4,77
8 Manjingklak 7,34 2,79 48,7 0,04 1,44 1,85 0,05 3,39
9
Palawangan
barat 7,64 2,72 55,7 0,02 0,75 0,48 0,08 4,92
Rerata 7,51 2,98 50,45 0,04 1,14 1,18 0,06 4,36
(SD) (0,16)
(0,39
) (4,67)
(0,01
)
(0,36
) (0,69)
(0,01
) (084)
Nilai derajat keasaman (pH) di bagian barat Segara Anakan berkisar antara 7,0 8,0
dengan rerata 7,51, di daerah tengah berkisar antara 7,5 7,6 rerata 7,47 dan di daerah timur
berkisar antara 7,0 8,0 dengan rerata 7,57 (Tabel 1). Nilai kisaran dan rerata pH di perairan
Segara Anakan secara umum relatif sama, hal ini disebabkan karena pola pasang surut yang
terjadi dan sifat air payau yang memiliki daya penyangga yang kuat sehingga CO
2
yang dihasilkan
segera diubah menjadi karbonat dan bikarbonat (Wardhana, 1995). Lebih lanjut dijelaskan bahwa
nilai derajat keasaman merupakan faktor penting yang mempengaruhi penyebaran organisme
perairan. Hasil pengamatan tersebut relatif lebih rendah dibandingkan kualitas perairan Segara
Anakan pada tahun 1983 yang berkisar antara 7,2 8,4 (Sumarsini, 1985), tahun 1998-1999
berkisar antara 6,45 - 7,64 (Taurusman, 1999), dan pada tahun 2003 yang berkisar antara 6,28
6,8 (Pulungsari, 2004).
Nilai Oksigen terlarut (DO) di bagian barat Segara Anakan berkisar antara 1,00- 4,87 mg/l
dengan rerata 2,98 mg/l, di daerah tengah berkisar antara 2,00 3,76 mg/l rerata 2,90 mg/l dan di
daerah timur berkisar antara 1,30 3,40 mg/l dengan rerata 2,12 mg/l (Tabel 1). Rendahnya
konsentrasi oksigen terlarut tersebut disebabkan penguraian bahan organik yang berasal dari
4 - Semnaskan _UGM / Kelautan (KL-08)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
limbah bahan organik yang sangat tinggi, dimana laju produksi oksigen oleh fitoplankton lebih
rendah daripada laju pemanfaatan oksigen oleh bakteri, zooplankton dan ikan. Kondisi tersebut
relatif lebih rendah dibandingkan pengamatan tahun 1983 yaitu berkisar 4,61 7,98 mg/l
(Sumarsini, 1985) dan tahun 2003 berkisar antara 4,2 6,6 mg/l (Pulungsari, 2004), serta relatif
sama dengan pengamatan tahun 2004-2006 yang berkisar antara 3 4 mg/l (Jennerjahn et al.,
2007).
Kandungan Alkalinitas di daerah barat Segara Anakan berkisar antara 30,9 66,9 mg/l
dengan rerata 50,4 mg/l , di daerah tengah berkisar antara 33,9 52,8 mg/l rerata 46,8 mg/l dan di
daerah timur berkisar antara 37,0 72,1 mg/l dengan rerata 57,2 mg/l (Tabel 1). Variasi alkalinitas
perairan secara merata di pada semua daerah di Segara Anakan. Nilai alkalinitas yang baik
berkisar antara 30 500 mg/l Ca CO
3
, dimana nilai alkalinitas pada perairan alami adalah 40 mg/l
(Boyd, 1990). Effendi (2003) menjelaskan perairan dengan nilai alkalinitas tinggi lebih produktif
daripada dengan nilai alkalinitas rendah dimana tingkat produktifitas perairan tidak berkaitan
langsung dengan nilai alkalinitas, tetapi berkaitan dengan keberadaan fosfor dan elemen esensial
lain yang kadarnya meningkat dengan meningkatnya nilai alkalintas.
Kandungan Nitrit (NO
2
) di daerah barat Segara Anakan berkisar antara 0,01 0,09 mg/l
dengan rerata 0,04 mg/l , di daerah tengah berkisar antara 0,01 0,06 mg/l rerata 0,03 mg/l dan di
daerah timur berkisar antara 0,02 0,03 mg/l dengan rerata 0,02 mg/l (Tabel 1). Kandungan
tersebut lebih tinggi dibanding dengan baku mutu air laut untuk biota laut, yaitu 0,06 mg/l (MENLH,
2004). Variasi kandungan nitrat di perairan segara anakan merata dengan konsentrasi yang relatif
kecil. Secara umum berdasarkan konsentrasi nitritnya, perairan Segara Anakan masih layak untuk
kehidupan dan perkembangan ikan.
Kandungan Nitrat (NO
3
) di daerah barat Segara Anakan berkisar antara 0,42 1,91 mg/l
dengan rerata 1,14 mg/l , di daerah tengah berkisar antara 0,60 2,87 mg/l rerata 1,49 mg/l dan di
daerah timur berkisar antara 0,29 1,79 mg/l dengan rerata 0,78 mg/l (Tabel 1). Kandungan
tersebut lebih tinggi dibanding dengan baku mutu air laut untuk biota laut, yaitu 0,008 mg/l
(MENLH, 2004). Nilai kandungan nitrat yang diperoleh lebih rendah bila dibandingkan hasil
pengamatan tahun 2005 yaitu rerata 3,90 di daerah barat, 2,30 mg/l di daerah tengah dan sebesar
1,18 mg/l di daerah timur (Siregar et al., 2006).
Di perairan alami, pada suhu dan tekanan normal amonia berada dalam bentuk gas dan
membentuk kesetimbangan dengan gas amonium (Effendi, 2003). Lebih lanjut dijelaskan sumber
nitrogen yang dapat dimanfaatkan secara langsung oleh tumbuhan akuatik adalah nitrat, amonium
dan gas nitrogen (N
2
). Kandungan amonium (NH
4
) di daerah barat Segara Anakan berkisar antara
0,19 2,93 mg/l dengan rerata 1,18 mg/l , di daerah tengah berkisar antara 0,35 2,72 mg/l rerata
1,23 mg/l dan di daerah timur berkisar antara 0,21 1,96 mg/l dengan rerata 0,96 mg/l (Tabel 1).
Kandungan tersebut lebih tinggi dibanding dengan baku mutu air laut untuk biota laut, yaitu 0,3
mg/l (MENLH, 2004)
Kandungan fosfat (PO
4
) di daerah barat Segara Anakan berkisar antara 0,02 0,19 mg/l
dengan rerata 0,06 mg/l , di daerah tengah berkisar antara 0,04 0,11 mg/l rerata 0,06 mg/l dan di
daerah timur berkisar antara 0,02 0,07 mg/l dengan rerata 0,04 mg/l (Tabel 1). Kandungan
tersebut lebih tinggi dibanding dengan baku mutu air laut untuk biota laut, yaitu 0,015 mg/l
(MENLH, 2004). Hal ini dapat menyebabkan terjadinya ledakan populasi fitoplankton sehinga
terjadi dominasi spesies tertentu. Secara umum kisaran dan rerata kandungan fosfat di perairan
Segara Anakan hampir merata di semua daerah baik barat, tengan maupun daerah timur. Nilai
kandungan fosfat yang diperoleh relative sama bila dibandingkan hasil pengamatan tahun 2005
yaitu rerata 0,066 mg/l di daerah barat, sebesar 0,046 mg/l di daerah tengah dan sebesar 0,166
mg/l di daerah timur (Siregar et al., 2006).
Rasio perbandingan kandungan nitrat dan fosfat terlarut selama pengamatan adalah 19 : 1
di daerah barat, 26 : 1 di daerah tengah dan 18 : 1 di daerah timur. Redfield (1934) dalam
Meadows & Cambell (1993), rasio perbandingan konsentrasi nitrat dan fosfat (N : P) dalam
perairan adalah 15 : 1, dari rasio perbandingan tersebut dapat diketahui bahwa konsentrasi rata-
rata nitrat perairan berada pada tingkat berlebih. Hal ini diduga pasokan air yang berasal dari hulu
melalui Sungai Citanduy dan Cibereum serta sungai lain yan bermuara di perairan Segara Anakan
banyak mengandung unsur hara dalam bentuk nitrat.
Kandungan Bahan organik total (BOT) di daerah barat Segara Anakan berkisar antara
2,11 6,93 mg/l dengan rerata 4,36 mg/l , di daerah tengah berkisar antara 2,21 8,44 mg/l rerata
Semnaskan _UGM / Kelautan (KL-08) - 5
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
4,70 mg/l dan di daerah timur berkisar antara 2,21 9,05 mg/l dengan rerata 5,64 mg/l (Tabel 1).
Kandungan BOT di daerah timur lebih tinggi dibandingkan daerah lainnya. Hal ini diduga
disebabkan daerah timur Segara Anakan selain pengaruh pasang surut yang terjadi, daerah ini
berada dekat dengan kawasan industri dan pemukiman penduduk yang menghasilkan buangan
limbah baik dalam bentuk organik maupun anorganik. Pada perairan alami, nlai BOT biasanya
berkisar antara 1 30 mg/l dan pada perairan yang telah menerima limbah, baik domestik maupun
industri atau perian pada daerah berawa (swamp) dapat lebih dari 10 100 mg/ l (McNelly et. Al.,
1979 dalam Effendy, 2003). Menurut Reid 1961) peraian dengan kandungan BOT di atas 26 mg/l
termasuk kategori subur.
Kesimpulan dan Saran
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa variasi sebaran parameter suhu,
derajat keasaman, oksigen terlarut, nitrit serta fosfat perairan merata antar daerah, sedangkan
parameter kecerahan, salinitas, alkalinitas, nitrat, amonium dan bahan organik total mempunyai
variasi yang cukup besar. Secara umum kondisi kualitas perairan di daerah tengah lebih stabil
untuk kehidupan organisme estuari.
Ucapan Terima Kasih
Data yang digunakan dalam penulisan ini adalah bagian dari data kegiatan penelitian
Kajian Resiko Perubahan Lingkungan terhadap Sumberdaya Udang di Segara Anakan Kabupaten
Cilacap BRPSI Jatiluhur. Terima kasih penulis sampaikan kepada tim survei dan teknisi yang telah
membantu dalam pengumpulan dan analisis sampel.
Daftar Pustaka
Boyd, E.C., 1990. Water Quality in Ponds for Aquaculture. Birmingham Publishing Co, Birmingham.
482 p.
Effendi, H., 2003. Telaah Kualitas Air: Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan.
Kanisius. Yogyakarta.
Haryadi S., I.N.N. Suryodiputro, dan B. Widigdo. 1992. Limnologi: Penuntun Praktikum dan Metode
Analisa Air. Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Jennerjahn, T., P. Holtermann, I. Pohlenga dan B. Nasir, 2007. Enveromental Conditions in The
Segara Anakan Lagoon, Java, Indonesia. Research Institute Jenderal Soedirman Univ.,
Purwokerto. 28 38.
Meadows, P. S and J. L. Chambell. 1993. An Introduction to Marine Science. Second edition.
Blackie Academic and Professional. London.
MENLH (Menteri Negara Lingkungan Hidup). 2004. Surat Keputusan Menteri Negara Lingkungan
Hidup No.KEP-51/MENLH/2004 tentang Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut. Jakarta.
Lampiran II.
Pulungsari, A.E., 2004. Komposisi Spesies Gastropoda di Perairan Hutan Bakau Segara Anakan
Cilacap. Tesis. Sekolah Pascasarjana, IPB Bogor. 70 p.
Reid, G.K., 1961. Ecology inland Water Estuaria. Reinhold Publish Co. New York.
6 - Semnaskan _UGM / Kelautan (KL-08)
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Siregar, A.S.,E. Hilmi, dan P. Sukardi, 2006. Pola Sebaran Kualitas Air di Laguna Segara Anakan
Kabupaten Cilacap. Sains Akuatik 10 (2): 127-133.
Sumarsini, W. 1985. Hubungan Fisika dan Kimia Air dengan Produktivitas Biota Planktonik di
Perairan Segara Anakan. Tesis Institut Pertanian Bogor.
Supriharyono. 2000. Konservasi Sumberdaya Ekosistem Wilayah Pesisir dan Lautan di Daerah
Tropis. PT Gramedia Pustaka. Utama, Jakarta.
Taurusman, A.A., 1999. Model Sedimentasi dan Daya Dukung Lingkungan Segara Anakan untuk
Kegiatan Budidaya Udang. Tesis. Program Pascasarjana, IPB Bogor. 199 p.
Wardhana, W.A. 1995. Dampak Pencemaran Lingkungan. Andi Offset. Yogyakarta.
Wardoyo, S.T.H., et al. 1984. Ecological Aspects Segara Anakan: In Relation to Its Future
Management. Ecology Team Faculty of Fisheries Bogor Agricultural University. Bogor.
Semnaskan _UGM /Indeks Penulis - 1
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
INDEKS PENULIS
Penulis KODE HAL
Abdul Razak BP 13
Agus Arifin Sentosa dan Amran Ronny Syam BP 03
Ahmad Nasirudin, Achmad Zubaydi, Murdijanto, Muhammad Nurul Misbah,
Setijoprajudo
PK 10
Aini ChairunnisaAmalia, Muhammad Zainuri dan Rudhi Pribadi SE 08
Anargha Setiadi dan Mulyani MS 08
Andri Warsa MS 03
Andri Warsa PK 02
Arip Rahman dan Amran Ronny Syam KL 03
Aristi Dian Purnama Fitri dan Asriyanto PK 03
Astri Suryandari dan Krismono BP 10
Bejo Slamet MS 01
Bonifacius Arbanto, Ita Widowati BP 01
Bonifacius Arbanto, Jusup Suprijanto, dan Sutrisno Anggoro MS 14
Cahyani Pratisti, Hery Saksono, Suadi SE 13
Chair Rani, A. Iqbal Burhanuddin dan Andi Arham Atjo KL 01
Chairulwan Umar dan Zulkarnaen Fahmi MS 16
Danu Wijaya dan Agus Djoko Utomo MS 17
Deliana R. Pridaningsih, AzisNurBambang, Asriyanto SE 02
Eko Sugiharto SE 03
Emmy Dharyati dan Niam Muflikhah PK 08
Endang Yuli H. KL 04
Endi Setiadi Kartamihardja, Kunto Purnomo dan Zulkarnaen Fahmi BP 05
Erny Poedjirahajoe MS 02
Erny Poedjirahajoe MS 10
Fonny J.L Risamasu PK 07
Freddy Supriyadi, Zulkaranaen Fahmi, Wijopriono dan Taufiq Hidayah BP 15
Gatut Bintoro, Fedi Sondita, Daniel Monintja, John Haluan, dan Ari Purbayanto BP 09
Hendra Saepulloh, Amula Nurfiarini, dan Adriani Sri Nastiti SE 14
Herlan dan Aroef Hukmanan Rais BP 08
Ine Maulina SE 07
Intan Rahmawati, Agus Hartoko dan Baskoro Rochadi SE 09
Karsono Wagiyo BP 11
Kunto Purnomo BP 02
Ledhyane Ika Harlyan PK 09
Lodewyk S. Tandipayuk KL 05
M. Ahsin Rifai BP 06
Makri BP 07
Makri dan Siswanta Kaban BP 14
Marlina Ummas Genisa, Trijoko, Niken Satuti Nur Handayani BP 16
Masayu Rahmia Anwar Putri dan Didik Wahju Hendro Tjahjo BP 04
2 - Semnaskan _UGM / Indeks Penulis
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
Masayu Rahmia Anwar Putri dan Sri Endah Purnamaningtyas PK 04
Mauli Kasmi, M. Natsir Nessa, Jamaluddin Jompa, dan Budimawan KL 09
Mei Dwi Erlina dan Manadiyanto SE 15
Mei Dwi Erlinadan Nensyana Shafitri SE 11
Mujiyanto dan Hendra Satria KL 02
Mujiyanto dan Hendra Satria KL 06
Nanda Diniarti, Dewi Nuraeni Setyowati dan Alis Mukhlis MS 13
Nurhani Widiastuti MS 09
Pelita Octorina, Niken T.M.Pratiwi , dan Enan M. Adiwilaga MS 11
Petrus R. Pong-Masak, A. Indra Jaya Asaad, Ahmad Mustafa, dan Rachman Syah MS 07
Rendy Herdian, Supardjo S.D. danDjumanto SE 04
Rheza Mahardika, Johannes Hutabarat, Jusup Suprijanto SE 10
Riswanto dan Didik Wahju Hendro Tjahjo KL 08
Rupawan PK 05
Rupawan PK 06
Saleh Papalia KL 07
Samuel PK 01
Sastrawidjaja, ZahriNasution SE 05
Sharifuddin Bin Andy Omar, Raodah Salam, dan Syarifuddin Kune MS 12
Siswanta Kaban MS 15
Siswanta Kaban dan Makri MS 06
Siti Nurul Aida BP 12
Sonny Koeshendrajanadan SubechanisSaptanto SE 06
Suradi WijayaSaputra SE 01
Suryanti dan Ruswahyuni MS 05
Syarifuddin Kune, Sharifuddin Bin Andy Omar, dan Yenda Hirasti Yusuf MS 04
Tika Wulandari SE 12
Semnaskan _UGM /Daftar Peserta - 1
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
DAFTAR PESERTA
SEMINAR NASIONAL TAHUNAN VIII
HASIL PENELITIAN PERIKANAN DAN KELAUTAN UGM TAHUN 2011
Yogyakarta, 16 Juli 2011
No Nama Partisipasi
1 A. Marsambuana Pirzan pemakalah umum + oral
2 A. Niartiningsih pemakalah umum + oral
3 Abdul Mansyur pemakalah umum + oral
4 Abdul Wahab Radjab pemakalah umum + poster
5 Ade Dwi Sasanti pemakalah umum
6 Adi nugroho pemakalah umum
7 Adriani Sri Nastiti pemakalah umum
8 Afifah pemakalah umum
9 Agnette Tjendanawangi pemakalah umum
10 Agus Arifin Sentosa pemakalah umum
11 Agus Kurnia pemakalah umum
12 Ahmad faizal pemakalah s2/s3
13 Ahmad nasirudin pemakalah umum
14 Ahmad Nawawi pemakalah umum
15 Ahmad Zahid pemakalah s2/s3
16 Aini Chairunnisa pemakalah S2/S3
17 Alfa nelwan pemakalah umum
18 Alianto pemakalah umum
19 Amir Hamzah Muhiddin pemakalah umum
20 Amula Nurfiarini pemakalah umum + oral 2
21 Anak agung alit pemakalah umum
22 Anang Hari Kristanto pemakalah umum
23 Anargha Setiadi pemakalah umum
24 Andar haryono pemakalah dalam
25 Andi Agussalim pemakalah s2/s3
26 Andri warsa pemakalah umum + oral
27 Angela mariana Lusiastuti pemakalah umum + oral
28 Anies Chamidah pemakalah s2/s3
29 Apri I Supi'i pemakalah umum
30 Arifah kusmarwati pemakalah
31 Arifuddin tompo pemakalah umum + poster
32 Arip Rahman pemakalah umum + oral
33 aristi dian purnama fitri pemakalah umum
34 Asep Permana pemakalah umum
35 Aspari rachman pemakalah umum
36 Asriyana pemakalah s2/s3
37 Astri Suryandari pemakalah umum
38 Aulidya Nurul H. peserta S2/S3
39 Bakti Berliyanto Sedayu pemakalah
40 Bejo Slamet pemakalah umum
41 Bonifacius Arbanto pemakalah s2/s3 + poster
42 Budi Riyanto Wahidi pemakalah umum
43 Bunga R. Tampangallo pemakalah umum
44 Burhanuddin pemakalah umum + poster
45 Cahyani pratisti pemakalah dalam
46 Chair Rani pemakalah umum
47 Chairulwan Umar pemakalah umum
48 Charles PH simanjuntak pemakalah umum
2 - Semnaskan _UGM / Daftar Peserta
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
49 Deliana Ratna Pridaningsih pemakalah s2/s3
50 Denny Khairudi pemakalah umum
51 Desy Sugiani pemakalah s2/s3
52 Diah Ika Sari pemakalah
53 Diah Lestari Ayudiarti pemakalah
54 Dian Puspitasari mahasiswa s2/s3
55 Diana Arfiati pemakalah umum
56 Diana Rachmawati pemakalah umum + poster
57 Didik Wahyu Hendro Tjahjo pemakalah umum
58 Diini Fithriani pemakalah
59 Dina Fransiska pemakalah
60 Djumanto pemakalah dalam
61 Dudung daenuri pemakalah umum
62 Dwi Lantiani peserta umum
63 Dyah Setyawati pemakalah umum
64 Eko sugiharto pemakalah umum
65 Eko susanto pemakalah umum
66 Ellana sanoeesi pemakalah umum
67 Emmy Dharyati pemakalah umum + oral
68 Endang Ariyani Setyowati pemakalah umum
69 Endang Yuli H pemakalah umum
70 Endi Setiadi Kartamihardja pemakalah umum + oral
71 Erlania pemakalah umum + poster
72 Erny Poedjirahajoe pemakalah umum + poster
73 Ety Sulistiyowati pemakalah umum
74 Fajar Basuki pemakalah umum
75 Farida Ariyani pemakalah BRKP
76 Fonny J.L. Risamasu pemakalah umum
77 Freddy supriyadi pemakalah umum
78 Gandhi Eko Julianto pemakalah dalam
79 Gatut Bintoro pemakalah umum
80 Gratiana E. Wijayati pemakalah umum
81 Gunarto pemakalah umum
82 Hadiratul Kudsiah pemakalah umum
83 Hagi Yulia S. peserta umum
84 Hamsah pemakalah umum
85 Hani Taenia pemakalah S2/S3
86 Happy Nursyam pemakalah umum
87 Hardoko pemakalah umum
88 Haryati pemakalah umum
89 Hendra Saepulloh pemakalah umum
90 Hendra Satria pemakalah umum
91 Herlan pemakalah umum + oral
92 Herlinah pemakalah umum+ poster
93 Hilal Ansyari pemakalah umum
94 Hilmi Arija Fachriyan pemakalah umum
95 I Nyoman Radiarta pemakalah umum
96 Ikhsan Khasani pemakalah umum
97 Ine Maulina pemakalah umum
98 Intan Rahmawati pemakalah S2/S3
99 Irma Melati pemakalah umum
100 Isdy sulistyo pemakalah umum
101 Istiyanto Samidjan pemakalah umum + oral
102 Jamal Basmal pemakalah BRKP
103 Jane Sarah Giat Peserta S1
Semnaskan _UGM /Daftar Peserta - 3
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
104 Jovita Tri Murtini pemakalah BRKP
105 Junianto pemakalah umum
106 Karsono Wagiyo pemakalah umum + oral
107 Kartini Zailanie pemakalah S2/S3
108 Ketut Maha Setiawati pemakalah umum + oral
109 Krismono mahasiswa s2/s3
110 Kunto Purnomo pemakalah umum
111 Latif Sahubawa pemakalah dalam
112 Ledhyane Eka Harlyan pemakalah umum
113 Lila Gardenia pemakalah umu + poster
114 Lisa Fajar Indriana mahasiswa s2/s3
115 Lodewyk S. Tandipayuk pemakalah umum
116 Luky Adrianto pemakalah umum
117 Luqman R. peserta umum
118 Luthfii Assadad pemakalah BRKP
119 M. Ahsin Rifa'i pemakalah umum
120 M. Farid R. peserta S2/S3
121 M. Janib Achmad peserta S2/S3
122 Machluddin Amin pemakalah umum
123 Mahbub Labiq Furada pemakalah umum
124 Makri pemakalah umum + poster
125 Markus Mangampa pemakalah umum
126 marlina Ummas Genisa pemakalah umum
127 Masayu Rahmia Anwar Putri pemakalah umum + oral
128 Masru'ah pemakalah dalam
129 Mauli Kasmi pemakalah umum
130 Maya Puspita pemakalah s2/s3
131 Mei Dwi Erlina pemakalah umum + poster
132 Meillisa Carlen Mainassy pemakalah s2/s3
133 Mudian Paena pemakalah umum
134 Muhammad Firdaus pemakalah umum
135 Muhammad Irfan peserta S2/S3
136 Muhammad Nursid pemakalah BRKP
137 Mujiyanto pemakalah umu + oral
138 Mukhlis Kamal pemakalah umum
139 Mulyasari pemakalah umum + poster
140 Murdinah pemakalah BRKP
141 Murniyati pemakalah BRKP
142 Murwantoko pemakalah dalam
143 Muslimin pemakalah umum
144 Nanda Diniarti pemakalah umum
145 Ngesti Yuhana mahasiswa s2/s3
146 Ninoek Indriarti pemakalah BRKP
147 Novalia Rachmawati pemakalah BRKP
148 Nurfitri Ekantari pemakalah dalam
149 Nurhani Widiastuti pemakalah S2/S3
150 Nurhayati pemakalah BRKP
151 Nurhidayah pemakalah umum
152 Nursinah Amir pemakalah umum poster
153 Nurul Hak pemakalah BRKP
154 Nurul R peserta umum
155 Olga peserta umum
156 Panggih Priaganda mahasiswa s2/s3
157 Pelita Octarina pemakalah umum
158 Prawira Atmaja R. P. Tampubolon mahasiswa s2/s3
4 - Semnaskan _UGM / Daftar Peserta
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
159 Priyo Susatyo pemakalah umum
160 Purnama Sukardi pemakalah umum
161 Putri Wullandari pemakalah BRKP
162 Putut Har Riyadi pemakalah umum
163 Rahmi Nurdiani pemakalah umum
164 Rasidi pemakalah umum
165 Rendy Herdian pemakalah dalam
166 Rheza Mahardika pemakalah s2/s3 + oral
167 Rika Prihati Cahyaning Pratiwi mahasiswa s2/s3
168 Rio Aditya Kurniawan pemakalah umum
169 Riswanto pemakalah umum
170 Rodiah Nurbaya Sari pemakalah BRKP
171 Rohama Daud pemakalah umum + poster
172 Rohani Ambo Rappe pemakalah umum
173 Ruby Vidia Kusumah pemakalah umum + poster
174 Rupawan pemakalah umum + oral2
175 Saleh Papalia pemakalah umum + oral
176 Samuel pemakalah umum + oral
177 Sari Budi Moria pemakalah umum
178 Sarjito pemaklah umum
179 Sastrawidjaja pemakalah umum
180 Sharifuddin Bin Andy Omar pemakalah umum + poster
181 Singgih Wibowo pemakalah BRKP
182 Siswanta Kaban pemakalah umum + poster
183 Siti Ari Budhiyanti pemakalah dalam
184 Siti Narwiyani peserta S2/S3
185 Siti Nurul Aida pemakalah umum + oral
186 Siti Subandiyah pemakalah umum + poster
187 Slamet Budi peserta umum
188 Sonny Koeshendrajana pemakalah umum + oral
189 Sri Amini pemakalah BRKP
190 Sri Dayuti pemakalah umum
191 Sri Endah Purnamaningtyas pemakalah umum
192 Sri Karyaningsih pemakalah umum
193 Sri Rahayu Setyaningsih pemakalah umum
194 Sri Retnoningsih Pemakalah umum
195 Sriwulan Pemakalah S2/S3
196 Subaryono pemakalah BRKP
197 Sugiharto Pemakalah umum
198 Suko Ismi Pemakalah umum
199 Sukoso Pemakalah umum
200 Suradi Wijaya Saputra Pemakalah umum
201 Susana Endah Ratnawati mahasiswa s2/s3
202 Sutia Budi Pemakalah umum
203 Syafiuddin pemakalah umum
204 Syarifuddin Kune pemakalah umum
205 Tajerin pemakalah S2/S3
206 Tazwir pemakalah BRKP
207 Th. Dwi Suryaningrum pemakalah BRKP
208 Thamrin Wikanta pemakalah BRKP
209 Tika Wulandari pemakalah dalam
210 Tri Djoko Lelono mahasiswa s2/s3
211 Tri Nugroho Widianto pemakalah BRKP
212 Tri Setyaningsih Pemakalah umum
213 Tri Winarni Agustini Pemakalah umum
Semnaskan _UGM /Daftar Peserta - 5
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011
214 Tridjoko Pemakalah umum
215 Tutik Kadarini pemakalah umum
216 Uun Yanuhar Pemakalah umum
217 Wahyu Pamungkas Soengkawati pemakalah umum
218 Wahyulia Cahyanti pemakalah umum
219 Wartono Hadie pemakalah umum
220 Widodo Farid Ma'ruf pemakalah umum
221 Wiwin Kusuma Atmaja Putra pemakalah umum
222 Yani Aryati pemakalah umum
223 Yasmina Nirmala Asih pemakalah umum
224 Yayah Mardiati pemakalah umum
225 Yayuk Sugianti pemakalah umum + poster
226 Yogi Rianto pemakalah umum
227 Yuliana pemakalah umum
228 Yuliana Salosso pemakalah umum
229 Yuniar Mulyani pemakalah umum
230 Yunizar Ernawati Pemakalah umum
231 Yusli Wardiatno pemakalah umum
232 Yusro Nur Fawzya pemakalah BRKP
233 Zafran pemakalah umum
234 Zafril Imran Azwar pemakalah umum
235 Zahrotul Fauziyah pemakalah dalam
236 Abd Hafidz Olii peserta umum
237 Adrias Mashuri peserta umum
238 Anwar peserta umum
239 asri Silvana Natu peserta umum
240 Despa Surianis Peserta S2/S3
241 Djoko Tribawono peserta umum
242 Dwi Apriliani Peserta S2/S3
243 Enung Nurdianti Peserta S1
244 G.T. Chairuddin peserta umum
245 Ikha Safitri Peserta S1
246 Inda Wahyuni peserta umum
247 Jacob L. A. Uktolseja peserta umum
248 Lestiono peserta umum
249 Lina Nasi Peserta S2/S3
250 Lukman Mile peserta umum
251 M. F. Rahardjo peserta umum
252 Nugroho Widhi Sedjati Peserta S2/S3
253 Nur Afiani Ratna Peserta S2/S3
254 Prasetyo peserta umum
255 Ratih Ismayasari peserta umum
256 Sitti Nursinah peserta umum
257 Sri Atmodjo Sarono peserta umum
258 Sri Rahmaningsih peserta umum
259 Syamsuddin peserta umum
260 Tjahjo Winanto peserta umum
261 Yuanita Ardyanti peserta umum
262 Yuliyanto peserta umum
263 Yuniarti koniyo peserta umum
264 Gunawan pemakalah BRKP
265 Gunawan pemakalah umum
266 Suryanti Pemakalah BRKP
267 Suryanti Pemakalah umum

Vous aimerez peut-être aussi