Vous êtes sur la page 1sur 2

AMING MAU PULANG ENAM BULAN LAGI

Oleh: Jum’an

Kapan-kapan akan saya tanyakan kepada Aris apakah Aming sudah


pulang atau belum. Kata orang dia mau pulang enam bulan lagi. Aming
adalah pengawas bengkel mobil kepunyaan pamannya dekat
PatungTani Menteng, sedangkan Aris adalah salah seorang tukang
disitu.
Selain sebagai pelanggan tetap, hubungan saya dengan Aming
maupun Aris tidak lebih dari sekedar hubungan antar manusia, yang
asalkan tidak berselisih, sudah cukup puas. Namanya pun baru saya
ketahui minggu lalu dari Aris, sedangkan nama Aris saya ketahui dari
kebiasaannya menyebut nama sebagai pengganti aku.

Aming sakit kangker hati, ketahuan sudah stadium empat. Sudah


konsultasi dengan banyak dokter sampai ke Guangzhou tetapi
kesimpulannya sama: umurnya tinggal sekitar enam bulan lagi.
Sekarang ia tinggal dirumah saja, keputusan menyedihkan yang sudah
diambilnya dengan penuh pertimbangan.

Dapatkah anda membayangkan apa yang akan dialami Aming selama


enam bulan menjelang ajalnya? Hanya Aming yang akan tahu. Kita
sendiri kalau mendengar sisa hidup kita hanya tinggal enam bulan,
entah bagaimana rasanya dan entah apa yang akan kita lakukan
selanjutnya.

Aming adalah orang awam, seperti saya juga. Dan mati, bagi orang
awam adalah menakutkan. Bahkan membicarakannya saja dihindari
karena dianggap mengundang. Kalau kita diam-diam semoga maut
tidak menengok kearah kita. Kalau kita abaikan kematian, siapa tahau
dia akan terlambat mendatangi kita.

Kangker hati, kangker paru-paru atau kangker apa saja yang tak
terobati memang menakutkan, dokter hanya bisa mengurangi rasa
sakitnya saja.

Alice, seorang ibu penderita kanker paru-paru yang sudah mendekati


ajal, mengerang kesakitan setiap hari meskipun dokter telah mencoba
semua jenis pain-killer dosis tingg untuk meredakan rasa sakitnya.
Disaat-saat terakhir, dokternya baru mengetahui bahwa Alice merintih
berkepanjangan menjelang ajal, bukan sekedar menahan sakit diparu-
parunya. Tetapi juga pedih dihatinya, karena Ruth, anak tunggal
kesayangannya mengabaikan nasehatnya untuk jangan menikah
dengan seorang pria berandalan. ”Di saat dia mejadari kenyataan itu
nanti, saya sudah tidak ada disampingnya. Saya memilih kesakitan,
kecuali kalau Ruth mau mendengarkan nasehat saya”. Alice ingin
meninggal dengan tenang.

Demikian pula saya kira Aming. Ulu-hatinya mual dan kesakitan oleh
kangker sementara lubuk-hatinya sakit memikirkan anak isteri
sepeningalnya nanti. Apapun agamanya, saya kira Aming juga
bertanya-tanya dan mungkin risau tentang nasibnya di alam sana
nanti.

Bolehkah saya katakan bahwa menjelang ajal, banyak tantangan yang


harus dihadapi yang fisikal, psikologis dan spiritual. Pantaslah kalau
orang takut.
Tidak mengguruikah kalau saya katakan bahwa keberagamaan kita
mungkin harapan satu-satunya yang dapat membantu menghadapi
tantangan menjelang dan sesudah kematian? Wallohu a’lam. Wallohu
a’lam.

(Kisah Alice termuat dalam What Dying People Want tulisan David Kuhl
M.D.)

Vous aimerez peut-être aussi