BAGIAN ILMU FARMASI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2014
I. PENDAHULUAN Pemakaian obat pada kehamilan merupakan salah satu masalah pengobatan yang penting untuk diketahui dan dibahas. Hal ini mengingat bahwa dalam pemakaian obat selama kehamilan, tidak saja dihadapi berbagai kemungkinan yang dapat terjadi pada ibu, tetapi juga pada janin. Hampir sebagian besar obat dapat melintasi sawar darah/plasenta, beberapa diantaranya mampu memberikan pengaruh buruk, tetapi ada juga yang tidak memberi pengaruh apapun. Beberapa jenis obat dapat menembus plasenta dan mempengaruhi janin dalam uterus, baik melalui efek farmakologik maupun efek teratogeniknya. Secara umum faktor-faktor yang dapat mempengaruhi masuknya obat ke dalam plasenta dan memberikan efek pada janin adalah: (1) sifat fisikokimiawi dari obat (2) kecepatan obat untuk melintasi plasenta dan mencapai sirkulasi janin (3) lamanya pemaparan terhadap obat (4) bagaimana obat didistribusikan ke jaringan-jaringan yang berbeda pada janin (5) periode perkembangan janin saat obat diberikan dan (6) efek obat jika diberikan dalam bentuk kombinasi. Kemampuan obat untuk melintasi plasenta tergantung pada sifat lipolik dan ionisasi obat. Obat yang mempunyai lipofilik tinggi cenderung untuk segera terdifusi ke dalam serkulasi janin. Contoh, tiopental yang sering digunakan pada seksio sesarea, dapat menembus plasenta segera setelah pemberian, dan dapat mengakibatkan terjadinya apnea pada bayi yang dilahirkan. Obat yang sangat terionisasi seperti misalnya suksinilkholin dan d-tubokurarin, akan melintasi plasenta secara lambat dan terdapat dalam kadar yang sangat rendah pada janin. Kecepatan dan jumlah obat yang dapat melintasi plasenta juga ditentukan oleh berat molekul. Obat-obat dengan berat molekul 250-500 dapat secara mudah melintasi plasenta, tergantung pada sifat lipofiliknya, sedangkan obat dengan berat molekul > 1000 sangat sulit menembus plasenta. Kehamilan merupakan masa rentan terhadap efek samping obat, khususnya bagi janin. Salah satu contoh yang dapat memberikan pengaruh sangat buruk terhadap janin jika diberikan pada periode kehamilan adalah talidomid, yang memberi efek kelainan kongenital berupa fokomelia atau tidak tumbuhnya anggota gerak. Untuk itu, pemberian obat pada masa kehamilan memerlukan pertimbangan yang benar-benar matang. II. FARMAKOKINETIK DAN FARMAKODINAMIK Pada masa kehamilan, perubahan fisiologis akan terjadi secara dinamis, hal ini dikarenakan terbentuknya unit fetal-plasental-maternal. Karena perubahan fisiologis inilah maka farmakokinetika obat baik absorpsi, distribusi, metabolisme maupun ekskresi pun ikut berubah. Respon ibu dan janin terhadap obat selama kehamilan dipengaruhi oleh dua faktor utama: 1. Perubahan Farmakokinetika Obat Akibat Perubahan Maternal a. Absorbsi saluran cerna Pada wanita hamil terjadi penurunan sekresi asam lambung (40% dibandingkan wanita tidak hamil), disertai peningkatan sekresi mukus, kombinasi kedua hal tersebut akan menyebabkan peningkatan pH lambung dan kapasitas buffer. Secara klinik hal ini akan mempengaruhi ionisasi asam-basa yang berakibat pada absorbsinya b. Absorbsi paru Pada kehamilan terjadi peningkatan curah jantung, tidal volume, ventilasi, dan aliran darah paru. Perubahan-perubahan ini mengakibatkan peningkatan absorbsi alveolar, sehingga perlu dipertimbangkan dalam pemberian obat inhalan. c. Distribusi Volume distribusi obat akan mengalami perubahan selama kehamilan akibat peningkatan jumlah volume plasma hingga 50%. Peningkatan curah jantung akan berakibat peningkatan aliran darah ginjal sampai 50% pada akhir trimester I, dan peningkatan aliran darah uterus yang mencapai puncaknya pada aterm (36-42 L/jam); 80% akan menuju ke plasenta dan 20% akan mendarahi myometrium. Akibat peningkatan jumlah volume ini, terjadi penurunan kadar puncak obat (Cmax) dalam serum. d. Pengikatan protein Sesuai dengan perjalanan kehamilan, volume plasma akan bertambah, tetapi tidak diikuti dengan peningkatan produksi albumin, sehingga menimbulkan hipoalbuminemia fisiologis yang mengakibatkan kadar obat bebas akan meningkat. Obat-obat yang tidak terikat pada protein pengikat secara farmakologis adalah obat yang aktif, maka pada wanita hamil diperkirakan akan terjadi peningkatan efek obat. e. Eliminasi oleh hati Fungsi hati dalam kehamilan banyak dipengaruhi oleh kadar estrogen dan progesteron yang tinggi. Pada beberapa obat tertentu seperti phenytoin, metabolisme hati meningkat mungkin akibat rangsangan pada aktivitas enzim mikrosom hati yang disebabkan oleh hormon progesteron; sedangkan pada obat-obatan seperti teofilin dan kafein, eliminasi hati berkurang sebagai akibat sekunder inhibisi komfetitif dari enzim oksidase mikrosom oleh estrogen dan progesterone. f. Eliminasi ginjal Pada kehamilan terjadi peningkatan aliran plasma renal 25-50%. Obat-obat yang dikeluarkan dalam bentuk utuh dalam urin seperti penisilin, digoksin, dan lithium menunjukkan peningkatan eliminasi dan konsentrasi serum steady state yang lebih rendah. 2. Efek kompartemen fetal-plasental Jika pemberian obat menghasilkan satu kesatuan dosis maupun perbandingan antara kadar obat janin: ibu maka dipakai model kompartemen tunggal. Tetapi jika obat lebih sukar mencapai janin maka dipakai model dua kompartemen di mana rasio konsentrasi janin: ibu akan menjadi lebih rendah pada waktu pemberian obat dibandingkan setelah terjadi distribusi. a. Efek protein pengikat Protein plasma janin mempunyai afinitas yang lebih rendah dibandingkan protein plasma ibu terhadap obat-obatan. Tetapi ada pula obat-obatan yang lebih banyak terikat pada protein pengikat janin seperti salisilat. Obat-obat yang tidak terikat (bebas) adalah yang mampu melewati sawar plasenta. b. Keseimbangan asam-basa Molekul yang larut dalam lemak dan tidak terionisasi menembus membran biologis lebih cepat dibandingkan molekul yang kurang larut dalam lemak dan terionisasi selain itu PH plasma janin sedikit lebih asam dibandingkan ibu. Dengan demikian basa lemah akan lebih mudah melewati sawar plasenta. Tetapi setelah melewati plasenta dan mengadakan kontak dengan darah janin yang relatif lebih asam, molekul-molekul akan lebih terionisasi. Hal ini akan berakibat penurunan konsentrasi obat pada janin dan menghasilkan gradien konsentrasi. Fenomena ini dikenal sebagai ion trapping. c. Eliminasi obat secara feto-placental drug eliminaton Terdapat bukti-bukti bahwa plasenta manusia dan fetus mampu memetabolisme obat. Semua proses enzimatik, termasuk fase I dan fase II telah ditemukan pada hati bayi sejak 7 sampai 8 minggu pasca pembuahan tetapi proses tersebut belum matang, dan aktivitasnya sangat rendah. Kemampuan eliminasi yang berkurang dapat menimbulkan efek obat yang lebih panjang dan lebih menyolok pada janin. Sebagian besar eliminasi obat pada janin dengan cara difusi obat kembali ke kompartemen ibu. Tetapi kebanyakan metabolit lebih polar dibandingkan dengan asal-usulnya sehingga kecil kemungkinan mereka akan melewati sawar plasenta, dan berakibat penimbunan metabolit pada jaringan janin. Dengan pertambahan usia kehamilan, makin banyak obat yang diekskresikan ke dalam cairan amnion, hal ini menunjukkan maturasi ginjal janin. d. Keseimbangan Obat Maternal-fetal Jalur utama transfer obat melalui plasenta adalah dengan difusi sederhana. Obat yang bersifat lipofilik dan tidak terionisasi pada pH fisiologis akan lebih mudah berdifusi melalui plasenta. Kecepatan tercapainya keseimbangan obat antara ibu dan janin mempunyai arti yang penting pada keadaan konsentrasi obat pada janin harus dicapai secepat mungkin, seperti pada kasus-kasus aritmia atau infeksi janin intrauterin, karena obat diberikan melalui ibunya III. PENGARUH OBAT TERHADAP JANIN Pengaruh buruk obat terhadap janin dapat bersifat toksik, teratogenik maupun letal, tergantung pada sifat obat dan umur kehamilan paga saat minum obat. Pengaruh toksik adalah jika obat yang diminum selama masa kehamilan menyebabkan terjadinya gangguan fisiologik atau bio-kimiawi dari janin yang dikandung, dan biasanya gejalanya baru muncul beberapa saat setelah kelahiran. Pengaruh obat bersifat teratogenik jika menyebabkan terjadinya malformasi anatomik pada petumbuhan organ janin. Pengaruh teratogenik ini biasanya terjadi pada dosis subletal. Sedangkan pengaruh obat yang bersifa letal, adalah yang mengakibatkan kematian janin dalam kandungan. Secara umum pengaruh buruk obat pada janin dapat beragam, sesuai dengan fase- fase berikut, 1. Fase implantasi, yaitu pada umur kehamilan kurang dari 3 minggu. Pada fase ini obat dapat memberi pengaruh buruk atau mungkin tidak sama sekali. Jika terjadi pengaruh buruk biasanya menyebabkan kematian embrio atau berakhirnya kehamilan (abortus). 2. Fase embional atau organogenesis, yaitu pada umur kehamilan antara 4-8 minggu. Pada fase ini terjadi diferensiasi pertumbuhan untuk terjadinya malformasi anatomik (pengaruh teratogenik). Berbagai pengaruh buruk yang mungkin terjadi pada fase ini antara lain, - Gangguan fungsional atau metabolik yang permanen yang biasanya baru muncul kemudian, jadi tidak timbul secara langsung pada saat kehamilan. Misalnya pemakaian hormone dietilstilbestrol pada trimester pertama kehamilan terbukti berkaitan dengan terjadinya adenokarsinoma vagina pada anak perempuan di kemudian hari (pada saat mereka sudah dewasa). - pengaruh letal, berupa kematian janin atau terjadinya abortus. - pengaruh sub-letal, yang biasanya dalam bentuk malformasi anatomis pertumbuhan organ, seperti misalnya fokolemia karena talidomid. 3. Fase fetal, yaitu pada trimester kedua dan ketiga kehamilan. Dalam fase ini terjadi maturasi dan pertumbuhan lebih lanjut dari janin. Pengaruh buruk senyawa asing terhadap janin pada fase ini tidak berupa malformasi anatomik lagi. tetapi mungkin dapat berupa gangguan pertumbuhan, baik terhadap fungsi-fungsi fisiologik atau biokimiawi organ-organ. Demikian pula pengaruh obat yang dialami ibu dapat pula dialami janin, meskipun mungkin dalam derajat yang berbeda. Sebagai contoh adalah terjadinya depresi pernafasan neonatus karena selama masa akhir kehamilan, ibu mengkonsumsi obat-obat seperti analgetika- narkotik; atau terjadinya efek samping pada sistem ekstrapiramidal setelah pemakaian fenotiazin.
IV. KLASIFIKASI OBAT DALAM KEHAMILAN Dalam upaya mencegah terjadinya yang tidak diharapkan dari obat-obat yang diberikan selama kehamilan, maka oleh U.S. Food and Drug Administration (FDA-USA) maupun Australia Drug Evaluation Commitee, obat-obat dikategorikan sebagai berikut (Australian Drug Evaluation Commitee). - Kategori A: Yang termasuk dalam kategori ini adalah obat-obat yang telah banyak digunakan oleh wanita hamil tanpa disertai kenaikan frekuensi malformasi janin atau pengaruh buruk lainnya. Obat-obat yang termasuk dalam kategori A antara lain adalah parasetamol, penisilin, eritromisin, glikosida jantung, isoniazid serta bahan-bahan hemopoetik seperti besi dan asam folat. - Kategori B: Obat kategori B meliputi obat-obat yang pengalaman pemakainya pada wanita hamil masih terbatas, tetapi tidak terbukti meningkatkan frekuensi malformasi atau pengaruh buruk lainnya pada janin. Mengingat terbatasnya pengalaman pemakaian pada wanita hamil, maka obat-obat kategori B dibagi lagi berdasarkan temuan-temuan pada studi toksikologi pada hewan, yaitu: B1: Dari penelitian pada hewan tidak terbukti meningkatnya kejadian kerusakan janin (fetal damage). Contoh obat-obat yang termasuk pada kelompok ini misalnya simetidin, dipiridamol, dan spektinomisin. B2: Data dari penilitian pada hewan belum memadai, tetapi ada petunjuk tidak meningkatnya kejadian kerusakan janin, tikarsilin, amfoterisin, dopamin, asetilkistein, dan alkaloid belladona adalah obat-obat yang masuk dalam kategori ini. B3: Penelitian pada hewan menunjukkan peningkatan kejadian kerusakan janin, tetapi belum tentu bermakna pada manusia. Sebagai contoh adalah karbamazepin, pirimetamin, griseofulvin, trimetoprim, dan mebendazol. - Kategori C : Merupakan obat-obat yang dapat memberi pengaruh buruk pada janin tanpa disertai malformasi anatomic semata-mata karena efek farmakologiknya. Umumnya bersifat reversibel (membaik kembali). Sebagai contoh adalah analgetika-narkotik, fenotiazin, rifampisin, aspirin, antiinflamasi non-steroid dan diuretika.
- Kategori D Obat-obat yang terbukti menyebabkan meningkatnya kejadian malformasi janin pada manusia atau menyebabkan kerusakan janin yang bersifat ireversibel (tidak dapat membaik kembali). Obat-obat dalam kategori ini juga mempunyai efek farmakologik yang merugikan terhadap janin. Misalnya: androgen, fenitoin, pirimidon, fenobarbiton, kinin, klonazepam, valproat, steroid anabolik, dan antikoagulansia. - Kategori X Obat-obat yang masuk dalam kategori ini adalah yang telah terbukti mempunyai risiko tinggi terjadinya pengaruh buruk yang menetap (irreversibel) pada janin jika diminum pada masa kehamilan. Obat dalam kategori ini merupakan kontraindikasi mutlak selama kehamilan. Sebagai contoh adalah isotretionin dan dietilstilbestrol.
V. OBAT-OBAT DENGAN EFEK YANG BERLAWANAN PADA FETUS Obat Trimester Efek ACE Inhibitor 1,2,3 Kerusakan ginjal Amonopterin 1 Anomaly multiple Aminoglikosid 1,2,3 Toksik terhadap N.8 Amfetamin 1,2,3 Lesi kistik kortex serebral, pola perkembangan abnormal, kemunduran saat sekolah Androgen 2,3 Maskulinisasi janin perempuan Antidepresan trisiklik 1 Anomaly Kongenital Barbiturat 1,2,3 Penggunaan lama menyebabkan ketergantungan neonatus Chloramphenikol 3 Meningkatkan resiko grey baby syndrome, kemungkinan supresi sumsum tulang belakang Chlorpropamid 1,2,3 Prolonged hipoglikemi neonatus Clomipramid 3 Latargi neonatus, hipotoni, sianosis hipotermi Cocaine 1,2,3 Peningkatan resiko abortus spontan, abruption plasenta dan kelahiran premature, infark serebral neonatus, lesi kistik kortikal, perkembangan abnormal dan kemumduran saat sekolah Cortison 1 Peningkatan resiko sumbing / celah pada langit- langit Cyclophospamid 1 Beragam malformasi kongenital Diazepam 1,2,3 Penggunaan yang lama menyebabkan Ketergantungan pada neonatus Ethanol 1,2,3 Resiko tinggi sindrom alkali janin Metronidazole 1 Mutagenik atau teratogenik (pada hewan percobaan) Progestins 1,2,3 Ambigous genitalia, defek kardiovaskular Propiltiourasil 1,2,3 Goiter kongenital Tetrasiklin 1,2,3 Discoloration/defek pada gigi dan perubahan pertumbuhan tulang
VI. Prinsip Penggunaan Obat pada Kehamilan - Bila mungkin, penanganan tanpa obat harus dicoba dahulu, Penggunaan obat yang tidak diperlukan harus dihindari, Jika harus menggunakan obat, pertimbangkan manfaat/risiko pada ibu dan bayi - Umumnya obat-obat lama yang sudah terbukti keamanannya lebih disukai daripada obat-obat yang baru dipasarkan - Preparat kombinasi sedapat mungkin harus dihindari dan sebaiknya dipilih preparat yang mengandung sebuah unsur obat saja - Hindari penggunaan obat bebas pada trimester pertama kecuali alasan yang mendesak - Agar ibu hamil tidak terlalu bergantung pada obat ketika mengalami keluhan dan lebih baik mengkonsumsi yang alami. - Gunakan obat dengan takaran yang paling rendah untuk janhka waktu yang sesingkat mungkin, dan hindari polifarmasi - Gunakan obat yang aman untuk ibu hamil dengan berkategori A, B dan C serta obat yang tidak baik dikonsumsi untuk ibu hamil dengan kategori D dan X.
DAFTAR PUSTAKA
1. FK UI. 2009. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. 2. Jordan, Sue. 2004. Farmakologi Kebidanan. Jakarta: EGC. 3. Katzung BG (1987) Basic and Clinical Pharmacology,3rd edition. Lange Medical Book, California. 4. Speight TM (1987) Averys Drug Treatment: Principles and Practice of Clinical Pharmacology and Therapeutics, 3 rd edition.ADIS press,Auckland. 5. Suryawati S et al (1990), Pemakaian Obat pada Kehamilan.Laboratorium Farmakologi Klinik FK-UGM, Yogyakarta