Vous êtes sur la page 1sur 25

1

BAB I
PENDAHULUAN


Cardiopulmonary resuscitation (CPR) atau resusitasi jantung paru (RJP)
adalah serangkaian usaha penyelamatan hidup pada henti jantung. Walaupun
pendekatan yang dilakukan dapat berbeda-beda, tergantung penyelamat, korban dan
keadaan sekitar, tantangan mendasar tetap ada, yaitu bagaimana melakukan RJP yang
lebih dini, lebih cepat dan lebih efektif.
1

Henti jantung menjadi penyebab utama kematian di beberapa negara. Terjadi
baik di luar rumah sakit maupun di dalam rumah sakit. Diperkirakan sekitar 350.000
orang meninggal per tahunnya akibat henti jantung di Amerika dan Kanada. Perkiraan
ini tidak termasuk mereka yang diperkirakan meninggal akibat henti jantung dan
tidak sempat diresusitasi. Walaupun usaha untuk melakukan resusitasi tidak selalu
berhasil, lebih banyak nyawa yang hilang akibat tidak dilakukannya resusitasi.
1,2
Sebagian besar korban henti jantung adalah orang dewasa, tetapi ribuan bayi dan anak
juga mengalaminya setiap tahun. Henti jantung akan tetap menjadi penyebab utama
kematian yang prematur, dan perbaikan kecil dalam usaha penyelamatannya akan
menjadi ribuan nyawa yang dapat diselamatkan setiap tahun.
1,2

Bantuan hidup dasar dapat dilakukan oleh orang awam dan juga orang
yang terlatih dalam bidang kesehatan. Sejumlah penelitian mengatakan bahwa
bantuan hidup dasar yang dilakukan oleh orang awam dengan kompresi dada saja
dapat meningkatkan kelangsungan hidup pada subkelompok tertentu seperti
pasien - pasien henti jantung dengan penyebab masalah jantung dan orang-orang
dengan fibrilasi ventrikel.
1,2

Menurut American Heart Association, rantai kehidupan mempunyai
hubungan erat dengan tindakan resusitasi jantung paru, karena penderita yang
diberikan RJP, mempunyai kesempatan yang amat besar untuk dapat hidup
kembali.
1




1
2

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Laporan Penelitian: CPR dengan Kompresi Dada Saja atau Disertai
Bantuan Pernapasan
Henti jantung yang terjadi di luar rumah sakit terjadi pada ratusan ribu
jiwa setiap tahun di seluruh dunia. Resusitasi yang berhasil adalah hal yang dapat
dicapai namun memiliki banyak tantangan, yang sangat tergantung pada
perlengkapan tindakan pada saat terjadi henti jantung, cardiopulmonary
resuscitation (CPR) dini, defibrilasi dini, bantuan hidup lanjut yang baik dan serta
perawatan pasca resusitasi .
Inisiasi dini CPR oleh orang awam dapat meningkatkan kemungkinan
pasien untuk bertahan hidup dan perbaikan neurologis dalam jangka panjang.
CPR yang dilakukan oleh orang awam selama ini terdiri dari kompresi dada
disertai dengan bantuan pernapasan, yang diharapkan dapat memperbaiki
sirkulasi dan oksigenasi. Sekarang para ahli lebih tertarik dengan CPR yang
berfokus pada kompresi dada dan meminimalkan atau menghilangkan bantuan
pernapasan saat ini. CPR dengan kompresi dada saja mungkin lebih tepat untuk
dilakukan oleh orang awam dan memiliki keuntungan secara fisiologis dengan
memperkecil kemungkinan terputusnya usaha kompresi untuk memperbaiki
sirkulasi dibandingkan dengan CPR dengan kompresi dada disertai bantuan
pernapasan, meskipun kemungkinan akan merugikan oksigenasi.
Sebuah penelitian multisenter telah dilakukan, percobaan dilakukan secara
acak kepada penolong yang melakukan CPR sesuai instruksi tenaga medis.
Respondennya adalah pasien berusia 18 tahun ke atas yang mengalami henti
jantung di luar rumah sakit yang ditolong oleh orang awam dengan instruksi
tenaga medis. CPR dengan kompresi dada saja atau kompresi dada ditambah
bantuan pernapasan dilakukan pada pasien secara acak. Hasil utama adalah pasien
yang bertahan hidup saat mencapai rumah sakit. Hasil sekundernya termasuk
keluaran neurologis positif saat pasien keluar rumah sakit. Studi pada objek
percobaan yang melibatkan henti jantung dengan penyebab primer dari jantung
3

dan dilakukan CPR dengan kompresi dada saja menunjukkan peningkatan pada
sirkulasi dan kelangsungan hidup. Sebaliknya, hasil pada objek percobaan dengan
henti jantung akibat gangguan pernapasan menunjukkan bahwa kompresi dada
disertai bantuan pernapasan mungkin lebih menguntungkan.
10

Kondisi henti jantung pada tiap orang berbeda-beda. Meskipun jantung
menjadi penyebab paling sering terjadinya henti jantung, namun pernapasan dan
mekanisme campuran juga menjadi faktor penyebab yang penting. Patofisiologi
dari masing-masing penyebab henti jantung bersifat dinamis, dan pentingnya
oksigenasi mungkin tergantung pada waktu terjadinya henti jantung.

Dalam studi
observasional pada penolong yang melakukan inisiasi CPR, Studi pendekatan
pada kedua teknik CPR ini mengarah kepada tingkat keberhasilan bertahan hidup
yang sama, meskipun interpretasi temuan ini dipengaruhi oleh kemampuan
penolong.

Dalam percobaan yang membandingkan kedua teknik CPR yang
dilakukan oleh penolong ini, tidak ada perbedaan signifikan pada tingkat
keselamatan antara kedua kelompok, meskipun perbedaan tingkat keselamatan
yang diamati antara pasien yang mendapat kompresi dada saja dan kompresi dada
disertai bantuan pernapasan (14,6% vs 10,4%) relevan secara klinis. Percobaan ini
dilakukan dalam komunitas dengan respon yang sangat cepat dengan pelayanan
medis darurat/emergency medical services (EMS), dan analisis utama studi
tersebut dibatasi pada pasien henti jantung dengan penyebab primer dari jantung
(karakteristik yang berpotensi mendukung efek fisiologis dari kompresi dada
saja).
Untuk membantu menentukan pendekatan terbaik untuk CPR oleh
penolong, sebuah penelitian melakukan uji coba secara acak dari tenaga medis
penginstruksi CPR untuk membandingkan hasil melaksanakan instruksi
melakukan CPR dengan kompresi dada saja dan instruksi melakukan CPR
dengan kompresi dada disertai bantuan pernapasan, dengan hipotesis bahwa
instruksi yang terdiri dari kompresi dada saja akan menghasilkan tingkat
keselamatan yang lebih tinggi daripada instruksi yang terdiri dari kompresi dada
disertai bantuan pernapasan.
4

Hasil yang di dapat dari New England Journal menyatakan bahwa
instruksi CPR yang terdiri dari kompresi dada saja tidak meningkatkan
kelangsungan hidup untuk dikeluarkan dari rumah sakit secara keseluruhan,
dibandingkan dengan instruksi yang terdiri dari kompresi dada ditambah bantuan
pernapasan. Namun, hasil menunjukkan bahwa kompresi dada saja dapat
meningkatkan kelangsungan hidup pada subkelompok tertentu seperti pasien -
pasien henti jantung dengan penyebab masalah jantung dan orang-orang dengan
fibrilasi ventrikel. Dari 1.941 pasien yang memenuhi kriteria inklusi, secara acak
981 pasien menerima kompresi dada saja dan 960 menerima kompresi dada
disertai bantuan pernapasan. Proporsi pasien yang selamat ke rumah sakit (12,5%
dengan kompresi dada saja dan 11,0% dengan kompresi dada disertai bantuan
pernapasan, P = 0.31) atau dalam proporsi pasien yang selamat dengan hasil
neurologis yang positif (masing-masing 14,4% dan 11,5% ; P = 0,13). Analisis
subkelompok cenderung menunjukkan proporsi pasien yang bertahan hidup lebih
tinggi pada pasien dengan kompresi dada saja dibandingkan dengan kompresi
dada disertai bantuan pernapasan pada pasien dengan henti jantung (15,5% vs
12,3%, P = 0,09) dan pada pasien dengan gangguan irama jantung (31,9% vs
25,7%, P = 0,09).


2.2 Cardiac Arrest
Menurut American Heart Association, cardiac arrest atau henti jantung
adalah suatu keadaan dimana sirkulasi darah berhenti akibat kegagalan jantung
untuk berkontrakasi secara efektif. Secara klinis, keadaan henti jantung ditandai
dengan tidak adanya nadi dan tanda-tanda sirkulasi lainnya.

Cardiac arrest
didefiniskan sebagai hilangnya cardiac output secara total yang terjadi tiba-tiba
yang dapat menyebabkan kematian. Kematian akibat cardiac arrest cukup banyak
di negara-negara berkembang. Di Amerika Serikat, kejadian cardiac arrest
sebanyak 300.000 jiwa setiap tahunnya. Mayoritas penyebab dari cardiac arrest
adalah disebabkan oleh iskemik miokard akibat dari penyakit jantung koroner.
Cardiac arrest merupakan manifestasi awal dari iskemik miokard pada 20%
5

penderita. Berbagai penyakit atau gangguan lainnya juga dapat menyebabkan
terjadinya cardiac arrest seperti syok septik, abnormalitas elektrolit, hipotermia,
emboli pulmonal, dan trauma.
3
Tingkat keselamatan atau bertahan hidup pada penderita cardiac arrest
masih kecil, meskipun sudah diperkenalkan defibrilisasi elektrik dan
cardiopulmonary resuscitation (CPR) lebih dari 50 tahun. Pada kasus vetricular
fibrilation arrest yang sudah dilakukan defibrilisasi, pasien yang selamat sampai
ke rumah sakit mencapai 30%-40%, meskipun secara keseluruhan tingkat
keselamatan pasien cardiac arrest di luar rumah sakit masih kecil yaitu 2-26%.
Bahkan, lebih buruk terjadi di kota-kota besar di Amerika yaitu dengan tingkat
keselamatan 1,4% dan 1,8% di kota New York dan Chicago. Pada resusitasi
pasien cardiac arrest yang berhasil, kebanyakan pasien meninggal dalam 24-48
jam meskipun telah dilakukan perawatan intensif.
4

Dari data demografis berdasarkan penelitian, menunjukkan bahwa rata-
rata pasien yang mengalami cardiac arrest berusia 68-70 tahun dengan kejadian
lebih banyak pada laki-laki. Lebih dari 70% kejadian ini terjadi di rumah atau
tempat tinggal.
Cardiac arrest disebabkan oleh kndisi primer atau sekunder jantung, seperti
gagal jantung, tamponade jantung, miokarditis, kardiomiopati, dan lain-lain.
Sebagian besar cardiac arrest disebabkan oleh ventricular fibrilation dan
pulseless ventricular tachycardia (80-90%), kemudian disusul oleh ventrikel
asistol (+10%) dan terakhir oleh disosiasi elektro-mekanik (+5%). Dua jenis
cardiac arrest yang terakhir lebih sulit ditanggulangi karena diakibatkan oleh
gangguan pacemaker jantung. Ventricular fibrilation terjadi karena koordinasi
aktivitas jantung menghilang. Cardiac arrest ditandai oleh denyut nadi besar tak
teraba (karotis, femoralis, radialis) disertai sianosis, apneu atau gasping, dilatasi
pupil yang tidak bereaksi terhadap rangsang cahaya, dan pasien tidak sadar.
3,4

Pengiriman O
2
ke otak tergantung pada curah jantung, kadar hemoglobin
(Hb), saturasi Hb terhadap O
2
dan fungsi pernapasan. Iskemik melebih 3-4 menit
pada suhu normal akan menyebabkan kortek serebri rusak menetap, walaupun
setelah itu dapat membuat jantung berdenyut kembali.
6

Sebagian besar henti jantung pada dewasa terjadi secara tiba-tiba, sebagai
akibat dari kelainan jantung, sehingga sirkulasi yang dihasilkan dari kompresi
dada menjadi sangat penting. Berlawanan dengan hal itu, henti jantung pada anak-
anak seringkali karena asfiksia, dimana membutuhkan baik ventilasi maupun
kompresi dada untuk hasil yang optimal. Dengan demikian nafas buatan pada
henti jantung menjadi lebih penting untuk anak-anak daripada untuk dewasa.
4
Untuk membuat standardisasi prosedur penatalaksanaan pasien cardiac
arrest, telah dikembangkan algoritma penatalaksanaan cardiac arrest yang
berdasarkan uji coba dan fakta klinis. Langkah-langkah tersebut dirangkum dalam
panduan bantuan hidup dasar/Basic Life Support (BLS), Advanced
Cardiopulmonary Life Support (ACLS) yang dipublikasikan dan diperbaharui
secara reguler oleh The American Heart Associations Emergency Cardiac Care
Committee, sebagai organisasi resusitasi internasional (International Liaison
Committee on Resuscitation).
1




2.2 Cardiopulmonary Resuscitation (CPR)
2.2.1 Definisi
Cardiopulmonary Resuscitation (CPR) atau resusitasi jantung paru (RJP)
adalah usaha untuk mengembalikan fungsi pernafasan dan atau sirkulasi akibat
terhentinya fungsi dan atau denyut jantung. Resusitasi sendiri berarti
menghidupkan kembali, dimaksudkan sebagai usaha-usaha untuk mencegah
berlanjutnya episode henti jantung menjadi kematian biologis. Dapat diartikan
pula sebagai usaha untuk mengembalikan fungsi pernafasan dan atau sirkulasi
yang kemudian memungkinkan untuk hidup normal kembali setelah fungsi
pernafasan dan atau sirkulasi gagal. Indikasi dari CPR adalah henti napas dan
henti jantung.
5


7

2.2.2 Fase Resusitasi Jantung Paru
Resusitasi jantung paru dibagi menjadi 3 fase diantaranya:
1,2,3

1. Bantuan Hidup Dasar (Basic Life Support) yaitu prosedur pertolongan
darurat mengatasi obstruksi jalan nafas, henti nafas dan henti jantung, dan
bagaimana melakukan RJP secara benar, yaitu terdiri dari :
A (Airway) : menjaga jalan nafas tetap terbuka.
B (Breathing) : ventilasi paru dan oksigenisasi yang adekuat.
C (Circulation) : mengadakan sirkulasi buatan dengan kompresi
jantung paru.

2. Bantuan Hidup Lanjutan (Advance Life Support), yaitu tunjangan hidup
dasar ditambah dengan:
D (Drugs and fluids) : pemberian obat-obatan termasuk cairan.
E (ECG) : diagnosis elektrokardiografis secepat mungkin
untuk mengetahui apakah ada fibrilasi ventrikel,
asistole atau agonal ventricular complexes.
F (Fibrillation treatment): tindakan untuk mengatasi fibrilasi ventrikel.

3. Bantuan Hidup Perpanjangan (Prolonged Life Support).
G (Gauging) : pengukuran dan pemeriksaan untuk monitoring
penderita secara terus menerus, dinilai, dicari
penyebabnya dan kemudian mengobatinya.
H (Human Mentation) : Harus diingat bahwa korban yang ditolong adalah
manusia yang mempunyai perasaan, karena itu
semua tindakan hendaknya berdasarkan
perikemanusiaan.
I (Intensive care) : perawatan intensif di ICU, yaitu tunjangan
ventilasi, trakheostomi, pernafasan dikontrol
terus menerus, sonde lambung, pengukuran pH,
8

pCO
2
bila diperlukan, dan tunjangan sirkulasi,
mengendalikan kejang.

2.3 Basic Life Support
Pada dasarnya, resusitasi jantung paru terdiri dari dua elemen, yaitu
kompresi dada dan napas buatan dari mulut-ke-mulut. Sebelum menolong pasien,
hendaklah menilai keadaan lingkungan terlebih dahulu, meliputi pemeriksaan
kesadaran pasien dan adanya orang-orang sekitar yang dapat membantu.
5


A. Airway (Jalan Napas)
Posisikan korban dalam keadaan terlentang pada alas yang keras (ubin),
bila diatas kasur selipkan papan. Periksa jalan napas pasien sebagai berikut :
o membuka mulut pasien
o masukkan 2 jari (jaritelunjuk dan jari tengah)
o lihat apakah ada benda asing, darah, (bersihkan)
Pada pasien tidak sadar, tonus otot menghilang sehingga lidah akan
menyumbat laring. Lidah dan epiglotis penyebab utama tersumbatnya jalan napas
pada pasien tidak sadar. Lidah yang jatuh kebelakang akan menutupi jalan napas.
Beberapa cara untuk membebaskan jalan napas antara lain dengan head tilt, chin
lift, dan jaw trust.
B. Breathing (Pernapasan)
Untuk menilai pernapasan pasien dapat dilakukan 3 cara:
o Look: lihat gerakan dada apakah mengembang atau tidak.
o Listen: dengarkan suara napas korban ada atau tidak
o Feel: rasakan hembusan napas korban pada mulut/hidung ada atau
tidak.

Jika tidak ada maka dapat dilakukan napas buatan mulut ke mulut atau
mulut ke sungkup, atau mulut ke hidung atau mulut ke lubang trakheostomi
sebanyak 2 kali.

9



C. Circulation (Sirkulasi)
Algoritma Adult Basic Life Support (BLS) yang secara luas dikenal adalah
suatu konsep kerangka untuk semua tingkatan penolong pada setiap kondisi.
Aspek dasar dalam BLS meliputi pengenalan (recognition) secara cepat henti
jantung yang tiba-tiba dan aktivasi emergency response system (activation),
resusitasi jantung paru yang dini (resuscitation), dan defibrilasi yang cepat
(defibrillation) dengan Automated External Defibrillator (AED). Pengenalan dan
respon dini terhadap serangan jantung dan stroke juga termasuk bagian dari BLS.

1. Pengenalan henti jantung secara cepat dan emergency response system
Ketika menjumpai seorang penderita yang mengalami henti jantung secara
tiba-tiba, penolong yang seorang diri harus pertama kali mengenali bahwa
penderita telah mengalami henti jantung, berdasarkan pada tidak adanya atau
berkurangnya respon napas. Setelah memastikan bahwa lokasi sekitar aman,
penolong harus memeriksa respon penderita dengan cara menepuk pundak
penderita dan memanggil penderita. Setelah itu baik penolong yang terlatih
maupun yang tidak terlatih harus segera mengaktifkan emergency response system
(dengan menghubungi nomor darurat yang tersedia). Setelah mengaktifkan
emergency response system semua penolong harus segera memulai RJP.
6


2. Pemeriksaan Nadi
Penolong harus memeriksa nadi dalam waktu kurang dari 10 detik.
Dilakukan dengan menilai denyut arteri besar (arteri karotis, arteri femoralis) dan
harus segera melakukan kompresi dada jika tidak menemukannya. Bagi penolong
yang tidak terlatih, pijat jantung dimulai jika pasien tidak responsif dan napas
tidak normal, tanpa meraba adanya denyut karotis atau tidak.

3. Teknik Resusitasi Jantung Paru
a. Kompresi dada
10

Kompresi dada terdiri dari pemberian tekanan yang ritmis dan bertenaga
pada setengah bawah sternum. Kompresi ini akan menciptakan aliran darah
dengan cara meningkatkan tekanan intrathorakal dan secara langsung menekan
jantung. Hal ini menimbulkan aliran darah dan oksigen menuju miokardium dan
otak. Kompresi dada yang efektif penting untuk menyediakan aliran darah selama
RJP. Karena alasan ini semua penderita henti jantung harus mendapatkan
kompresi dada. Untuk memperoleh kompresi dada yang efektif, tekan secara kuat
dan cepat (push hard and push fast). Kecepatan kompresi harus mencapai paling
sedikit 100 x/menit dengan kedalaman kompresi paling sedikit 2 inchi (5 cm).
Penolong harus memberi kesempatan agar daya rekoil paru dapat terjadi sempurna
setiap kali sehabis kompresi, untuk memberi kesempatan jantung mengisi kembali
secara penuh sebelum kompresi berikutnya. Penolong seharusnya mencoba untuk
mengurangi frekuensi dan durasi gangguan yang terjadi selama kompresi untuk
memaksimalkan jumlah kompresi yang diberikan tiap menit.
7





11

Kompresi dada pada anak dipakai satu tangan, sedangkan untuk bayi
hanya dipakai ujung jari telunjuk dan tengah. Ventrikel bayi dan anak kecil
terletak lebih tinggi dalam rongga dada, jadi tekanan harus dilakukan di bagian
tengah tulang dada. Pada bayi kedalaman kompresi adalah 1,5 inchi.

b. Penyelamatan pernafasan
Perubahan yang terjadi pada AHA Guidelines for CPR and ECC 2010
adalah pada rekomendasi untuk memulai kompresi sebelum ventilasi. Meskipun
tidak ada pembuktian pada manusia maupun hewan bahwa memulai RJP dengan
30 kompresi daripada memulai dengan 2 ventilasi yang menunjukkan hasil yang
lebih baik, namun jelas bahwa aliran darah tergantung dari kompresi dada. Oleh
sebab itu, penundaan dan interupsi dari kompresi dada harus diminimalkan
selama seluruh proses resusitasi. Selain itu, kompresi dada dapat dimulai
sesegera mungkin, sedangkan memposisikan kepala, mengambil penutup untuk
pertolongan nafas dari mulut ke mulut, dan mengambil alat bag-mask memakan
banyak waktu. Memulai RJP dengan 30 kompresi daripada 2 ventilasi
menghasilkan penundaan yang lebih singkat.
8

Begitu kompresi dada telah dimulai, seorang penolong yang terlatih harus
memberikan nafas buatan dengan cara dari mulut ke mulut atau melalui bag-
mask untuk memberikan oksigenasi dan ventilasi, sebagai berikut:
o Memberikan setiap nafas buatan selama satu detik
12

o Berikan volume tidal yang cukup untuk menghasilkan
pengembangan dada yang terlihat (visible chest rise)
o Melakukan rasio kompresi dan ventilasi sebanyak 30:2
o Ketika jalan nafas buatan (misalnya endotracheal tube, combitu, atau
laryngeal mask airway (LMA) telah dipasang selama RJP dengan
dua orang penyelamat, berikan nafas setiap 6-8 detik tanpa
menyesuaikan nafas dengan kompresi. Kompresi dada tidak boleh
berhenti untuk memberikan ventilasi.

c. Defibrilasi dini dengan Automated External Defibrilation
Setelah mengaktifkan emergency response system, penolong yang
seorang diri harus mencari Automated External Defibrilation (AED), bila AED
dekat dan mudah didapatkan, dan kemudian kembali ke penderita untuk
memasang dan menggunakan AED. Penolong lalu memberikan CPR berkualitas
tinggi. Bila terdapat dua atau lebih penolong, seorang penolong harus segera
memberikan kompresi dada sedangkan penolong kedua mengaktifkan emergency
response system dan mengambil AED (atau defibrillator manual pada
kebanyakan rumah sakit). AED harus digunakan secepat mungkin dan kedua
penyelamat harus memberikan CPR dengan kompresi dada dan ventilasi.
Tahapan defibrilasi:
7

o Nyalakan AED
o Ikuti petunjuk
o Lanjutkan kompresi dada segera setelah syok (meminimalkan
gangguan).

2.4 Panduan Resusitasi Jantung Paru AHA 2010
1. Menekankan pada RJP yang berkualitas secara terus menerus yang
mengutamakan kebutuhan RJP yang berkualitas tinggi, hal ini mencakup:
1,2

o Kecepatan kompresi paling sedikit 100 x/menit (perubahan dari kurang
lebih 100 x/menit)
13

o Kedalaman kompresi paling sedikit 2 inchi (5 cm) pada dewasa dan
paling sedikit sepertiga dari diameter anteroposterior dada pada
penderita anak-anak dan bayi (sekitar 1,5 inchi (4cm) pada bayi dan 2
inchi (5cm) pada anak-anak)
o Batas antara 1,5 hingga 2 inchi tidak lagi digunakan pada dewasa, dan
kedalaman mutlak pada bayi dan anak-anak lebih dalam daripada versi
sebelumnya dari AHA Guidelines for CPR and ECC
o Memberi kesempatan daya rekoil dada (chest recoil) yang lengkap
setiap kali selesai kompresi
o Meminimalisasi gangguan pada kompresi dada
o Menghindari ventilasi yang berlebihan

Tidak ada perubahan dalam rekomendasi untuk rasio kompresi ventilasi
yaitu sebanyak 30:2 untuk dewasa, anak-anak, dan bayi (tidak termasuk bayi
yang baru lahir). AHA Guidelines for CPR and ECC 2010 meneruskan
rekomendasi untuk memberikan nafas buatan sekitar 1 detik. Begitu jalan nafas
telah dibebaskan, kompresi dada dapat dilakukan secara terus menerus (dengan
kecepatan paling sedikit 100 x/menit) dan tidak lagi diselingi dengan ventilasi.
Nafas buatan kemudian dapat diberikan sekitar 1 kali nafas setiap 6 sampai 8
detik (sekitar 8-10 nafas per detik). Ventilasi yang berlebihan harus dihindari.

2. Perubahan dari A-B-C menjadi C-A-B
Perubahan yang utama pada BLS, urutan dari Airway-Breathing-
Circulation berubah menjadi Compression-Airway-Breathing. Hal ini untuk
menghindari penghambatan pada pemberian kompresi dada yang cepat dan
efektif. Mengamankan jalan nafas sebagai prioritas utama merupakan sesuatu
yang memakan waktu dan mungkin tidak berhasil 100%, terutama oleh penolong
yang seorang diri. Mayoritas besar henti jantung terjadi pada dewasa dan
penyebab paling umum adalah ventricular fibrilation atau pulseless ventricular
tachycardia. Pada penderita tersebut, elemen paling penting dari Basic Life
Support adalah kompresi dada dan defibrilasi yang segera. Pada rangkaian A-B-
14

C, kompresi dada seringkali tertunda ketika penolong membuka jalan nafas
untuk memberikan nafas buatan, mencari alat pembatas (barrier devices) atau
mengumpulkan peralatan ventilasi. Setelah memulai emergency response system,
hal berikutnya yang penting yaitu untuk segera memulai kompresi dada. Hanya
RJP pada bayi yang merupakan pengecualian dari protokol ini, dimana urutan
yang lama tidak berubah. Hal ini berarti tidak ada lagi look, listen, feel, sehingga
komponen ini dihilangkan dari panduan.
Dengan mengubah urutan menjadi C-A-B kompresi dada akan dimulai
sesegera mungkin dan ventilasi hanya tertunda sebentar (yaitu hingga siklus
pertama dari 30 kompresi dada terpenuhi, atau sekitar 18 detik). Sebagian besar
penderita yang mengalami henti jantung diluar rumah sakit tidak mendapatkan
pertolongan RJP oleh orang-orang disekitarnya. Terdapat banyak alasan untuk
hal tersebut, namun salah satu hambatan yang dapat timbul yaitu urutan A-B-C,
yang dimulai dengan prosedur yang paling sulit, yaitu membuka jalan nafas dan
memberikan nafas buatan. Memulai pertolongan dengan kompresi dada dapat
mendorong lebih banyak penolong untuk memulai RJP.
1,2,3


3. Rata-rata kompresi
Sebaiknya dilakukan kira-kira minimal 100 kali/ menit. Jumlah kompresi
dada yang dilakukan per menit selama RJP sangat penting untuk menentukan
kembalinya sirkulasi spontan (return of spontaneous circulation) dan fungsi
neurologis yang baik. Jumlah yang tepat untuk memberikan kompresi dada per
menit ditetapkan oleh kecepatan kompresi dada dan jumlah serta lamanya
gangguan dalam melakukan kompresi (misalnya, untuk membuka jalan nafas,
memberikan nafas buatan, dan melakukan analisis Automated Electrical
Defibrilator (AED). Pada sebagian besar studi, kompresi yang lebih banyak
dihubungkan dengan tingginya rata-rata kelangsungan hidup, dan kompresi yang
lebih sedikit dihubungkan dengan rata-rata kelangsungan hidup yang lebih
rendah. Kesepakatan mengenai kompresi dada yang adekuat membutuhkan
penekanan tidak hanya pada kecepatan kompresi yang adekuat, tapi juga pada
meminimalkan gangguan pada komponen penting dari CPR tersebut. Kompresi
15

yang inadekuat atau gangguan yang sering (atau keduanya) akan mengurangi
jumlah total kompresi yang diberikan per menit.

4. Kedalaman kompresi
Untuk dewasa kedalaman kompresi telah diubah dari jarak 1 - 2 inch
menjadi minimal 2 inch (5 cm). Kompresi yang efektif (menekan dengan kuat
dan cepat) menghasilkan aliran darah dan oksigen dan memberikan energi pada
jantung dan otak. Kompresi menghasilkan aliran darah terutama dengan
meningkatkan tekanan intrathorakal dan secara langsung menekan jantung.
Kompresi menghasilkan aliran darah, oksigen dan energi yang penting untuk
dialirkan ke jantung dan otak.
5




5. RJP Dengan Tangan Saja (Hands Only CPR)
Secara teknis terdapat perubahan dari petunjuk RJP 2005, namun AHA
mengesahkan teknik ini pada tahun 2008. Untuk penolong yang belum terlatih
diharapkan melakukan RJP pada pasien dewasa yang pingsan didepan mereka.
Hands Only CPR (hanya dengan kompresi) lebih mudah untuk dilakukan oleh
16

penolong yang belum terlatih dan lebih mudah dituntun oleh penolong yang ahli
melalui telepon. Kompresi tanpa ventilasi (Hands Only CPR) memberikan hasil
yang sama jika dibandingkan kompresi dengan menggunakan ventilasi.
Berdasarkan jurnal Elsevier (Uninterrupted chest compression CPR is
easier to perform and remember than standard CPR), menunjukkan bahwa
kompresi dada yang berkelanjutan atau tidak terputus lebih mudah untuk
dilakukan dan diingat dibandingkan dengan RJP standar (ditambah bantuan
pernapasan).


6. Identifikasi pernafasan agonal oleh pengantar (Dispatcher Identification of
Agonal Gasps)
Penolong diajarkan untuk memulai RJP jika korban tidak bernafas atau
sulit bernafas. Pengecekan kecepatan pernafasan seharusnya dilakukan sebelum
aktivasi emergency response system.

7. Penekanan krikoid
Penekanan krikoid adalah suatu teknik dimana dilakukan pemberian
tekanan pada kartilago krikoid penderita untuk menekan trakea kearah posterior
dan menekan esofagus ke vertebra servikal. Penekanan krikoid dapat menghambat
inflasi lambung dan mengurangi resiko regurgitasi dan aspirasi selama ventilasi
dengan bag-mask namun hal ini juga dapat menghambat ventilasi. Saat ini
penggunaan rutin penekanan krikoid tidak lagi direkomendasikan. Penelitian
menunjukkan bahwa penekanan krikoid dapat menghambat kemajuan airway dan
aspirasi dapat terjadi meskipun dengan aplikasi yang tepat.

8. Aktivasi Emergency Response System
Aktivasi emergency response system seharusnya dilakukan setelah
penilaian respon penderita dan pernafasan, namun seharusnya tidak ditunda.
Menurut panduan tahun 2005, aktivasi segera dari sistem kegawatdaruratan
dilakukan setelah korban yang tidak merespon. Jika penyedia pelayanan kesehatan
17

tidak merasakan nadi selama 10 detik, RJP harus segera dimulai dan
menggunakan defibrilator elektrik jika tersedia.

18



9. Tim Resusitasi
Dibutuhkan suatu tim agar resusitasi berjalan dengan baik dan efektif.
Misalnya satu penolong mengaktifkan respon sistem kegawatdaruratan sedangkan
penolong kedua melakukan kompresi dada, penolong ketiga membantu ventilasi
atau memakaikan bag mask untuk membantu pernafasan dan penolong ke-empat
mempersiapkan dan defibrilator.
Dalam pelaksanaan cardiopulmonary resuscitation (CPR), penolong
memiliki peran yang besar dalam menentukan keberhasilan resusitasi. Penolong
dapat berupa tenaga medis yang terlatih ataupun orang awam. Pada keadaan yang
tidak terduga, keberadaan orang awam yang mengerti cardiopulmonary
resuscitation (CPR), yang meliputi kompresi dada dan bantuan pernapasan,
sangat diperlukan. Namun, sayangnya, peran bantuan pernapasan dalam
cardiopulmonary resuscitation (CPR) yang dilakukan oleh orang awam selama ini
masih meragukan. Sebuah studi dalam New England Journal menyatakan bahwa
pemberian intruksi oleh tenaga medis kepada orang awam untuk melakukan CPR
19

hanya dengan kompresi dada saja akan meningkatkan kelangsungan hidup jika
dibandingkan dengan pemberian instruksi untuk melakukan CPR kompresi dada
disertai dengan bantuan pernapasan.
9,10


2.5 Advance Life Support
Terdiri atas Bantuan hidup dasar ditambah langkah-langkah:
3,6

D (Drugs): Pemberian obat-obatan. Obat-obat tersebut dibagi menjadi 2
golongan:
1. Penting:
a. adrenalin : Mekanisme kerja merangsang reseptor alfa dan beta, dosis yang
diberikan 0,5 1 mg iv diulang setelh 5 menit sesuai kebutuhan dan yang
perlu diperhatikan dapat meningkatkan pemakaian O
2
myocard, takiaritmi,
fibrilasi ventrikel.
b. Natrium Bicarbonat: Penting untuk melawan metabolik asidosis, diberikan
iv dengan dosis awal : 1 mEq/kgBB, baik berupa bolus ataupun dalam infus
setelah selama periode 10 menit. Dapat juga diberikan intrakardial, begitu
sirkulasi spontan yang efektif tercapai, pemberian harus dihentikan karena
bisa terjadi metabolik alkalosis, takhiaritmia dan hiperosmolalitas. Bila
belum ada sirkulasi yang efektif maka ulangi lagi pemberian dengan dosis
yang sama.
c. Sulfat Atropin: Mengurangi tonus vagus memudahkan konduksi
atrioventrikuler dan mempercepat denyut jantung pada keadaan sinus
bradikardi. Paling berguna dalam mencegah arrest pada keadaan sinus
bradikardi sekunder karena infark miokard, terutama bila ada hipotensi.
Dosis yang dianjurkan mg, diberikan iv. Sebagai bolus dan diulang dalam
interval 5 menit sampai tercapai denyut nadi > 60 /menit, dosis total tidak
boleh melebihi 2 mg kecuali pada blok atrioventrikuler derajat 3 yang
membutuhkan dosis lebih besar.
d. Lidokain: Meninggikan ambang fibrilasi dan mempunyai efek antiaritmia
dengan cara meningkatkan ambang stimulasi listrik dari ventrikel selama
diastole. Pada dosis terapeutik biasa, tidak ada perubahan bermakna dari
20

kontraktilitas miokard, tekanan arteri sistemik, atau periode refrakter
absolut. Obat ini terutama efektif menekan iritabilitas sehingga mencegah
kembalinya fibrilasi ventrikel setelah defibrilasi yang berhasil, juga efektif
mengontrol denyut ventrikel prematur yang mutlti fokal dan episode
takhikardi ventrikel. Dosis 50-100 mg diberikan iv sebagai bolus, pelan-
pelan dan bisa diulang bila perlu. Dapat dilanjutkan dengan infus kontinu 1-
3 mg.menit, biasanya tidak lebih dari 4 mg.menit, berupa lidocaine 500 ml
dextrose 5 % larutan (1 mg/ml).

2. Berguna:
a. Isoproterenol: Merupakan obat pilihan untuk pengobatan segera (bradikardi
hebat karena complete heart block). Ia diberikan dalam infus dengan jumlah 2
sampai 20 mg/menit (1-10 ml larutan dari 1 mg dalam 500 ml dectrose 5 %),
dan diatur untuk meninggikan denyut jantung sampai kira-kira 60 kali/menit.
Juga berguna untuk sinus bradikardi berat yang tidak berhasil diatasi dengan
Atropine.
b. Propanolol: Suatu beta adrenergic blocker yang efek anti aritmianya terbukti
berguna untuk kasus-kasus takhikardi ventrikel yang berulang atau fibrilasi
ventrikel berulang dimana ritme jantung tidak dapat diatasi dengan Lidocaine.
Dosis umumnya adalah 1 mg iv, dapat diulang sampai total 3 mg, dengan
pengawasan yang ketat.
c. Kortikosteroid: Sekaranfg lebih disukai kortikosteroid sintetis (5 mg/kgBB
methyl prednisolon sodium succinate atau 1 mg/kgBB dexamethasone fosfat)
untuk pengobatan syok kardiogenik atau shock lung akibat henti jantung. Bila
ada kecurigaan edema otak setelah henti jantung, 60-100 mg methyl
prednisolon sodium succinate tiap 6 jam akan menguntungkan. Bila ada
komplikasi paru seperti pneumonia post aspirasi, maka digunakan
dexamethason fosfat 4-8 mg tiap 6 jam.

E (EKG): Diagnosis elektrokardigrafis untuk mengetahui adanya fibrilasi
ventrikel dan monitoring.
21


F (Fibrilation Treatment)
Gambaran EKG pada Ventrikel Fibrilasi ini menunjukan gelombang listrik
tidak teratur baik amplitudo maupun frekuensinya.

Terapi definitifnya adalah syok electric (DC-Shock) dan belum ada satu
obat pun yang dapat menghilangkan fibrilasi.
22



Tindakan defibrilasi untuk mengatasi fibrilasi ventrikel. Elektroda dipasang
sebelah kiri putting susu kiri dan di sebelah kanan sternum atas.




23

2.7 Keputusan untuk Mengakhiri Upaya Resusitasi
Dalam keadaan darurat, resusitasi dapat diakhiri bila terdapat salah satu
dari berikut ini: telah timbul kembali sirkulasi dan ventilasi spontan yang efektif;
ada orang lain yang mengambil alih tanggung jawab; penolong terlalu lelah
sehingga tidak sanggup meneruskan resusitasi; pasien dinyatakan mati; setelah
dimulai resusitasi, ternyata kemudian diketahui bahwa pasien berada dalam
stadium terminal suatu penyakit yang tidak dapat disembuhkan atau hampir
dipastikan bahwa fungsi serebral tidak akan pulih, yaitu sesudah 30 menit-1 jam
terbukti tidak ada nadi pada normotermia tanpa RJP. Pasien dinyatakan mati bila
telah terbukti terjadi kematian batang otak, fungsi spontan pernafasan dan jantung
telah berhenti secara pasti/irreversibel.
6

Petunjuk terjadinya kematian otak adalah pasien tidak sadar, tidak ada
pernafasan spontan dan reflek muntah, serta terdapat dilatasi pupil yang menetap
selama 15-30 menit atau lebih, kecuali pada pasien hipotermik, dibawah efek
barbiturat, atau dalam anestesi umum. Sedangkan mati jantung ditandai oleh tidak
adanya aktivitas listrik jantung (asistol) selama paling sedikit 30 menit walaupun
dilakukan upaya RJPO dan terapi obat yang optimal. Tanda kematian jantung
adalah titik akhir yang lebih baik untuk membuat keputusan mengakhiri upaya
resusitasi.












24

BAB III
KESIMPULAN

Cardiopulmonary Resuscitation (CPR) atau Resusitasi Jantung Paru (RJP)
adalah suatu tindakan darurat sebagai suatu usaha untuk mengembalikan keadaan
henti nafas atau henti jantung (kematian klinis) ke fungsi optimal, guna mencegah
kematian biologis
Peran RJP ini sangatlah besar, seperti pada orang-orang yang mengalami
henti jantung tiba-tiba. Henti jantung menjadi penyebab utama kematian di beberapa
negara. Terjadi baik di luar rumah sakit maupun di dalam rumah sakit. Diperkirakan
sekitar 350.000 orang meninggal per tahunnya akibat henti jantung di Amerika dan
Kanada. Perkiraan ini tidak termasuk mereka yang diperkirakan meninggal akibat
henti jantung dan tidak sempat diresusitasi. Walaupun usaha untuk melakukan
resusitasi tidak selalu berhasil, lebih banyak nyawa yang hilang akibat tidak
dilakukannya resusitasi. Bantuan hidup dasar boleh dilakukan oleh orang awam
dan juga orang yang terlatih dalam bidang kesehatan. Bantuan hidup dasar yang
dilakukan oleh orang awam dengan kompresi dada saja dapat meningkatkan
kelangsungan hidup pada subkelompok tertentu seperti pasien - pasien henti
jantung dengan penyebab masalah jantung dan orang-orang dengan fibrilasi
ventrikel.
Pedoman pelaksanaan RJP yang dipakai adalah pedoman yang dikeluarkan
oleh American Heart Assosiation. American Heart Assosiation merevisi pedoman
RJP setiap lima tahun, dengan revisi terbaru pada tahun 2010. AHA merevisi dari
A-B-C ke C-A-B, dan memberikan 2 algoritma bantuan hidup dasar yakni simple
algoritma untuk masyarakat awam dalam bentuk sederhana agar mudah dipahami
dengan mengutamakan kompresi dada dan algoritma khusus untuk petugas
kesehatan.



22
25

DAFTAR PUSTAKA

1. John M. Field, Part 1: Executive Summary: 2010 American Heart
Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency
Cardiovascular Care. Circulation 2010;122;S640-S656.
2. Sayre MR. et al. Highlights of the 2010 American Heart Association
Guidelines for CPR and ECC. 7272 Greenville Avenue. Dallas, Texas 75231-
4596.. 90-1043.
3. Robert A. Berg, et al. Part 5: Adult Basic Life Support: 2010 American Heart
Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency
Cardiovascular Care. Circulation2010;122;S685-S705.
4. Andrew H. Travers, et al. Part 4: CPR Overview: 2010 American Heart
Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency
Cardiovascular Care. Circulation 2010;122;S676-S684
5. Buku Panduan Kursus Bantuan Hidup Jantung Dasar Edisi 2011. Basic
Cardiac Life Support Indonesia. Perhimpunan Dokter Spesialis
Kardiovaskular Indonesia (PERKI), 2011.
6. Buku Panduan Kursus Bantuan Hidup Jantung Lanjut. Advanced Cardiac Life
Support Indonesia. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia
(PERKI), 2010.
7. Jesse B. Hall, Gregory A. Schmidt, Lawrence DH Wood. Principle of Critical
Care. United States: McGraw-Hill Companies, 2005
8. 2009 Yearbook of Intensive Care and Emergency Medicine. Edited by JL
Vincent. New York: Springer, 2009.
9. Critical Care Handbook of The Massachusetts General Hospital. Edited by
Luca M. Bigatello. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2006.
10. Thomas D. Rea, Carol Fahrenbruch, Linda Culley, dkk. CPR with Chest
Compression Alone or with Rescue Breathing. Engl J Med 2010;363:423-33.

Vous aimerez peut-être aussi