Vous êtes sur la page 1sur 5

Silsila Asri, No.

09/295491/psp/3836/S2HI
Critical Review Mata Kuliah Keamanan Internasion
1

Arm Race
Mengacu pada pemikiran Realis bahwa setiap negara akan selalu berupaya untuk
meningkatkan kapabilitas pertahanan dan kemanananya terutama dalam bentuk kekuatan
militer. Bergerak dari asumsi bahwa setiap negara berupaya untuk mempertahankan kemanan
nasionalnya dari aggressors yang potensial dalam lingkungan system internasional yang anarki
dan tidak terprediksikan. Tuliasan ini bertujuan untuk mengulas cara-cara yang dilakukan oleh
suatu negara dalam memperkuat kapabilas pertahanan dan kemanannya.
Beberapa cara yang umum dilakukan oleh suatu negara dalam memperkuat pertahanan
dan keamanannya:
1. Membangun kekuatan militer dengan cara membangun kemampuan persenjataan.
2. Membentuk aliansi guna menyatukan kekuatan dengan negara-negara lain.
3. Menggeser atau merubah aliansi agar balance of power tetap terjaga
4. Bernegosiasi; arms control dan disarmament guna mengurangi ancaman militer pihak
lawan.
1

Keempat upaya yang dijabarkan diatas tidak terlepas dari bentuk-bentuk strategi militer
dan biasanya para pemimpin negara-negara menerapkan kombinasi strategi-strategi tersebut.
Membangun kekuatan militer sebagai wujud dari struggle for power masing-masing negara
dilakukan untuk tujuan mempertahankan existensi negara. Tujuan pembangunan kekuatan
militer tersebut dapat diidentifikasi menjadi tiga yakni : Tujuan penangkalan (deterrence),
tujuan pertahanan (Defense),tujuan compellence (pemaksaan). Ketiga tujuan tersebut
diterjemahkan dalam bentuk yang berbeda satu sama lain yang pada akhirnya akan memicu
security dilemma dan perlombaan persenjataan (arm race).

1
Daffri Agussalim. Materi Kuliah Keamanan Internasional yang disampaikan oleh Dafri Agussalim, (Yogyakarta :
UGM, 2010)

Silsila Asri, No. 09/295491/psp/3836/S2HI
Critical Review Mata Kuliah Keamanan Internasion
2

Perbedaan ketiga bentuk dan tujuan peningkatan kapabilitas pertahanan dan keamanan
tersebut dirangkum dalam table berikut ini :

Description Deterrence Defense Compellence
Tujuan Suatu tindakan
ancaman militer
terhadap pihak lain
dengan maksud untuk
mencegah agar pihak
lain tersebut tidak
melakukan tindakan
agresif atau serangan
militer.
Usaha untuk
mengurangi
kemampuan pihak
musuh untuk
menghancurkan atau
menguasai sesuatu dari
pihak defender.
Tujuannya adalah untuk
melawan pihak
penyerang guna
meminimalkan kerugian
setelah deterrence
gagal
Tindakan penggunaan
kekuatan secara aktif
dengan maksud untuk
memaksa lawan agar
melakukan suatu (misal
mundur) atau
menghentikan suatu
tindakan yang sudah
sedang dijalankan
(misal menghentikan
perang).
Sifat/rana Psikologis Action Physical Action Physical dan
Psikologis

Deterrence pada mulanya dilakukan oleh negara untuk tujuan war prevention dengan
logika bahwa satu aktor mencegah aktor yang lain untuk melakukan suatu tindakan agresif
(penyerangan) dengan cara menimbulkan ketakutan terhadap aktor-aktor lain tersebut akan
konsekuensi (kerugian yang jauh lebih besar dari kemungkinan keuntungan yang akan mereka
terima) jika mereka melakukan penyerangan tersebut.
Kebijakan Deterrence diambil oleh suatu negara dengan perhitungan yang rasional. Ide
dari rasionalitas ini adalah perhitungan mengenai kerugian dan perolehan sebagai konsekuensi
Silsila Asri, No. 09/295491/psp/3836/S2HI
Critical Review Mata Kuliah Keamanan Internasion
3

logis dari suatu tindakan. Baik Realis maupun liberalis mengasumsikan bahwa para pembuata
kebijakan dalam suatu negara adalah aktor rasional. Akan tetapi, perwujudan masing-masing
tindakan dari kedua pandangan ini akan berbeda. Strategi militer merupakan suatu upaya untuk
memperediksikan perilaku lawan dan kemudian berdasarkan prediksi tersebut diambil tindakan
pengontrolan terhadap perilaku lawan.
2
Dengan dasar pertimbangan prediksi ini kemungkinan
tindakan deterrence yang akan diambil dikategorikan menjadi dua yakni :
1. Deterrence by denial/defence, yaitu penangkalan dengan cara mengancam bahwa
setiap serangan akan dapat digagalkan.
2. Deterrence by retaliation/punishment, yaitu penangkalan dengan cara mengancam
bahwa setiap serangan akan dibalas dengan kekuatan yang lebih besar.
3

Opsi untuk mengontrol perilaku pihak lawan melalui mekanisme deterrence ini agak
terbatas, berkaitan dengan kapabilitas negara. Gray mengemukakan bahwa Those who
wanted to think about deterrence therefore had no option but to derive theory from what he
nicely labels great chains of reasoning
4
Pengertiannya adalah bahwa pihak yang memikirkan
untuk bertindak deterrence selalu memperhatikan rantai kekuasaan yang ada, dengan
mempertimbangakan keseimbangan kekuatan yang akan terjadi serta vulnerabilitasnya.
Tindakan Deterrence pada dasarnya adalah tindakan balasan terhadap ancaman yang
dilakukan oleh pihak lain atau effek dari security dilemma. Security Dilemma dapat didefinisikan
sebagai spiral aksi dan reaksi dibidang keamanan (pembangunan persenjataan) satu negara
oleh negara lain. Security dilemma adalah sebuah kondisi dilematis yang dihadapi oleh suatu
negara ketika negara lain memperkuat kapabilitas pertahanan dan kemanannya. Dilemma
dalam mengambil tindakan yang tepat karena peningkatan kapabilitas pihak lawan merupakan
ancaman bagi keamanan nasional dan apabila dibalas dengan peningkatan kapabilitas
keamanan yang kurang lebih sama akan menimbulkan potensi ancaman lain misalnya negara

2
Debates About Deterrence dalam Daffri Agussalim, Materi Kuliah Keamanan Internasional, Program S2 Hubungan
Internasional Fisipol UGM, (Yogyakarta : UGM, 2009) hal. 206
3
Ibid.
4
Gray, ibid hal 206
Silsila Asri, No. 09/295491/psp/3836/S2HI
Critical Review Mata Kuliah Keamanan Internasion
4

lain yang merasa terancam akan terpicu untuk meningkatkan kapabilatas keamanannya. Aksi
dan reaksi ini menuntun terjadinya perlombaan persenjataan. Selanjutnya akan berakibat pada
peningkatan ketegangan dunia dan ancaman terhadap keamanan dunia dimana potensi konflik
atau perang terbuka semakin meningkat karena setiap aktor-aktor yang berpengaruh memiliki
kemampuan persenjataan yang kuat.
Apabila tindakan deterrence ini tidak berhasil dan perilaku lawan masih diterjemahkan
sebagai ancaman, maka negara memiliki opsi tindakan untuk melakukan Defense dan
Compellence. Kedua tindakan ini lebih mengarah pada tindakan fisik, yakni dengan melakukan
penyerangan. Akan tetapi biasanya sebelum tindakan defense atau compellence dilakukan,
aktor yang rasional akan kembali mempertimbangkan kerugian dan keuntungan yang diperoleh.
Dalam pertimbangan ini, seorang aktor rasional harus menyadari kapasitas dan kapabilitas
negaranya dibandingkan dengan kemampuan lawan. Dalam kondisi deterrence, pihak-pihak
yang berlawanan berada dalam keadaan prisoner dilemma. Masing-masing pihak kekrungan
informasi mengenai kemungkinan tindakan yang akan diambil oleh pihak lawan, sehingga
dalam pertimbangan yang rasional masing-masing aktor akan lebih memilih untuk tidak
defection (baik melalui tindakan defense maupun compellence). Logika yang mendasari
tindakan untuk kerjasama (tidak defection) adalah perolehan relative yang akan diperoleh.
Kondisi ini menurut kaum realis optimistic memungkin terjadinya arms control diantara pihak-
pihak yang melakukan perlombaan senjata. Berbeda halnya dengan asumsi institutionalism
liberalism yang lebih mengajukan kerjasama dengan pengaturan secara institusi. Akan tetapi
konsep kerjasama ini juga dipertanyakan dimana masing-masing negara tidak ada kekuatan
yang bisa memaksa untuk mematuhi aturan internasional mengenai pengontrolan
persenjataan.

Kesimpulan
Perlombaan persenjataan ini terjadi akibat persepsi dari negara dan pemimpinnya
mengenai kondisi politik internasional yang anarki dan konfliktual. Sebagaimana asumsi realis,
Silsila Asri, No. 09/295491/psp/3836/S2HI
Critical Review Mata Kuliah Keamanan Internasion
5

power diidentifikasi sebagai kekuatan militer. Antara negara yang satu dengan negara lain
tertanam saling ketidakpercayaan yang kuat dan penterjemahan struktur internasional yang
mengancam survival dan pencapaian kepentingan nasional. Oleh karena itu kaum liberalis
memandang dengan cara yang berbeda, diantara negara-negara perlu dibangun suatu saling
kepercayaan dalam kerjasama yang diatur dalam institusi.
Referensi :
1. Daffri Agussalim, Materi Kuliah Keamanan Internasional, Program S2 Hubungan
Internasional Fisipol UGM, (Yogyakarta : UGM, 2009)

Vous aimerez peut-être aussi