Vous êtes sur la page 1sur 8

1

Kepulauan Tukang Besi



Kabuapten Wakatobi atau biasa
dikenal dengan Kepulauan tuakng besi
merupakan Gugusan Kepulauan yang
membentang di bagian timur Pulau
Buton itu, pada masa Kesultanan Buton
dinamakan Liwuto Pataanguna, artinya
Pulau Empat, kemudian dipopulerkan
dengan istilah Liwuto Pasi, artinya
Pulau Karang. Sejak Belanda berkuasa
di Buton, gugusan kepulauan ini disebut dengan istilah Toekang Besi Eilanden artinya
Kepulauan Tukang Besi. Tradisi lisan menuturkan bahwa istilah itu mula-mula
dilontarkan oleh seorang Belanda bernama Hoger. Dalam salah satu pelayaran melewati
kepulauan itu, ia singgah di Pulau Binongko. Ia melihat penduduknya membuat
berbagai peralatan hidup yang terbuat dari besi sehingga ia menamakan gugusan
kepulauan itu dengan istilah Toekang Besi Eilanden. Versi lain menyebutkan bahwa
istilah Tukang Besi berasal dari nama Tulukabessi, Raja Hitu, yang para pengikutnya
diasingkan ke Batavia tetapi berhasil memberontak dan membunuh para serdadu
Belanda di Pulau Wangi-Wangi.
Para pengikut Raja Tulukabessi yang berjumlah sekitar 360 orang itu akhirnya
menetap disana dan menjadi salah satu cikal bakal penduduk Kepulauan Tukang Besi.
Pada tahun 1959 muncul gagasan untuk mengubah nama Kepulauan Tukang Besi
menjadi Kepulauan Wakatobi atau Kepulauan Bitokawa. Istilah ini muncul dari kaum
intelektualnya bersamaan dengan ide perjuangan membentuk satu kabupaten yang
terlepas dari Kabupaten Buton. Mereka beranggapan bahwa istilah tukang besi kurang
bagus didengar dan terkesan Belanda sentris. Akhirnya disepakati bahwa nama
Kepulauan Tukang Besi ke depan harus diganti dengan istilah Kepulauan Wakatobi.
Istilah Wakatobi adalah akronim dari nama-nama pulau besar di kepulauan itu, yakni
Pulau Wangi-Wangi, Pulau Kaledupa, Pulau Tomia, dan Pulau Binongko. Akhirnya
pada tahun 2003 gugusan kepulauan ini menjadi satu kabupaten pemekaran dari
Kabupaten Buton dengan nama Kabupaten Wakatobi.
2

A. Asal-Usul Manusia Pertama
Tentang asal-usul manusia pertama Kabupaten Wakatobi terdapat berbagai
macam pandangan maupun sumber. Di daerah Wakatobi misalnya Kaledupa dikenal
cerita rakyat yang mengatakan bahwa mereka berasal dari keturunan dua keluarga yaitu:
1. Sangia yiperopa serta isterinya Watoburia
2. Sangia yigola serta isterinya Wahanambaria.
Di daerah Tomia tersebar cerita rakyat yang mengatakan bahwa penduduknya
berasal dari beberapa suku antara lain :
1. Suku Ternate
2. Suku Butuni
3. Suku Bajo
4. Suku Mantigola
5. Suku Katabato (Mindanao Selatan)
Di daerah Wangi-Wangi tersebar cerita rakyat bahwa penduduknya berasal dari
beberapa suku antara lain :
1. Suku Melayu (semenanjung Johor)
2. Suku Butuni
3. Suku Bajo
4. Maluku
Sedangkan asal-usul penduduk pertama di daerah Binongko menurut cerita dari
orang tua berasal dari Kerajaan Buton, Kerajaan Sulu Philipina kemudian mereka
menyebar ke daerah-daerah sekitarnya, mereka tinggal pertama kali di daerah Kaluku
(Binongko).
Menurut silsilah yang ada, di daerah Kaledupa terdapat pemerintahan raja-raja
dan juga terdapat cerita dari orang-orang tua/pemuka masyarakat yang mengatakan
bahwa manusia pertama yang mendiami daerah Wakatobi adalah seorang laki-laki yang
bernama La Tingku.
Di daerah Wakatobi terdapat bermacam silsilah yang oleh peneliti
menyimpulkan menjadi dua silsilah tertua yaitu :
1. Silsilah yang berasal dari sumber Kaledupa menuturkan tiga puluh lima lapis
keturunan dimana terdapat nama-nama yang mirip dengan Tionghoa seperti Ndio
(Nio) yang merupakan penghormatan kepada wanita.
3

2. Silsilah yang berasal dari sumber Binongko yang dimulai dengan La Barangka
dengan isterinya Bintang Wambenu menuturkan rangkaian keturunan sebanyak
kurang lebih dua puluh lima lapis.
Berdasarkan silsilah itu maka peneliti (penulis) menyimpulkan bahwa dua
gelombang bangsa-bangsa yang datang di Wakatobi :
1. Gelombang dari Indochina ke pulau-pulau Filipina, Wakatobi, Butuni langsung ke
Sulawesi Tenggara.
2. Gelombang bangsa Melayu dari Malaka Sumatera Jawa Sunda Kecil Maluku
.
B. Asal-Usul Penamaan Daerah-Daerah di Wakatobi
1. Wangi-Wangi
Sumber luar negeri : istilah Wangi-Wangi diambil dari perilaku manusia
pertama yang menghuni negeri ini dengan jiwa suka memberi pertolongan yang sangat
membutuhkan perlindungan, dalam bahasa Mindanao Sulu yaitu bahasa yakan
disebut Wangi-Wangi.
Dalam tradisi lisan, masyarakat Wangi-Wangi berasal dari sebuah benda dan
bila itu dipakai dalam upacara keagamaan dengan cara dibakar, maka bau atau
wanginya akan menyebar ke segala penjuru dunia. Dengan tradisi lisan seperti inilah
orang Wangi-Wangi gemar merantau ke seluruh penjuru dunia.
2. Kaledupa
Dalam tradisi lisan, masyarakat Kaledupa ada beberapa pandangan atau versi
yaitu :
Kaledupa berasal dari kata Kaedupa sebagian masyarakat menyebut
kayudupa. Dalam tradisi lisan dikisahkan bahwa suatu ketika ada sekelompok
masyarakat menebas hutan untuk membuka lahan perkampungan. Di antara
pepohonan yang ditebang itu ada satu pohon yang unik dan mempunyai bau
harum, karena keunikannya kayu dijadikan bahan pengharum dan sering dipakai
dalam upacara keagamaan sehingga diabadikan menjadi sebuah nama pulau
yaitu Kaledupa.
Kaledupa berasal dari pulau karang yang ditumbuhi oleh pohon. Pohon itu
berkembangbiak di atas pulau karang dan sangat istimewa yang mempunyai bau
4

harum, sehingga pulau karang ditumbuhi pohon itu diabadikan menjadi nama
pulau yaitu Kaledupa.
3. Tomia
Dalam masyarakat Tomia yang mengetahui tradisi lisan mengemukakan bahwa
Tomia berasal dari dua kata yaitu : To artinya Tua (bahasa Bagobo) yaitu bahasa-bahasa
yang ada di Mindanao-Sulu dan Mia artinya manusia. Jadi, Tomia diambil dari manusia
tertua.
4. Binongko
Berdasarkan tradisi lisan yang berkembang dalam masyarakat Binongko
mengemukakan bahwa Binongko berasal dari kata binong artinya bercerai, tidak teratur
(bahasa Cebu) di Philipina dan ko artinya satu (bahasa Cebu). Jadi, Binongko berarti
penyatuan yang telah lama hilang. Mateo Bartoli menyebut penyusunan kembali yang
tidak teratur (1948 : 36) dengan menyebutnya Binongko.

C. Penyelenggaraan Hidup
1. Pemenuhan Kebutuhan Hidup
Tentang cara hidup manusia pertama, belum banyak diketahui, selain mereka
masih sederhana dengan makanan buah-buahan, umbi-umbian yang tumbuh dalam
hutan serta binatang hasil buruan mereka. Di daerah ini, pemenuhan kebutuhan hidup
primer tidak lain dari pada berburu, menangkap ikan dan meramu.
Di daerah ini pula hidup berkelompok berdasarkan mata pencaharian yaitu :
Kelompok manusia yang kebiasaan hidupnya bercocok tanam di sebut Hekoranga.
Alat yang dipakai dan dibuat dari batu seperti kapak untuk menebang pohon kayu,
alat untuk menanam jagung dan umbi-umbian terbuat dari kayu yang disebut tutua
dan yao.
Kelompok manusia yang kebiasaan hidupnya menangkap ikan disebut parabala.
Waktu itu sistem menangkap ikan masih dengan cara noloo yaitu menyelam
dalam air kemudian berusaha menangkap ikan dengan tangan, selain itu mereka
menggunakan tombak yang disebut hepana.
Untuk keperluan rumah tangga, seperti perkakas tempat makan masih terbuat dari
kayu, tempat minum dari bambu yang dipotong-potong, dan tempat memasak yaitu
periuk belanga terbuat dari tanah liat.
5

2. Perlindungan Terhadap Alam
Untuk melindungi diri mereka terhadap bahaya alam yang sewaktu-waktu dapat
menyerang, biasanya mereka membuat rumah yang bertiang tinggi, bahkan ada ide yang
masih hidup di atas pohon yang besar dan tinggi. Berlainan dengan di daerah Binongko
hidupnya masih berpencar-pencar, maka di daerah Tomia, Kaledupa dan Wangi-Wangi
penduduknya sudah hidup secara berkelompok dan tiap kelompok hidup dalam sebuah
rumah besar yang disebut sapo tooge untuk menjaga keamanan bila datang gangguan
atau serangan musuh agar dapat dihadapi bersama. Alat bangunan rumah terbuat dari
kayu dan bambu, sedangkan atapnya terbuat dari daun enau, daun rumbia, daun woka
dan daun alang-alang. Alat perkakas masih sangat sederhana, karena hanya terbuat
dari batu dan kayu.
3. Perpindahan
Pada umumnya kehidupan mereka berpindah secara bergelombang baik besar-
besaran maupun kecil-kecilan. Perpindahan itu terjadi kira-kira tahun 1500 500 SM
dengan mempergunakan alat yang masih sederhana seperti perahu yang disebut koli-
koli
10
. Tentang alasan mereka pindah, terdapat bermacam-macam sebab seperti
kebengisan dan penindasan dari pihak yang berkuasa, peperangan atau gangguan
keamanan lainnya, wabah penyakit ataupun karena tempat tinggalnya sudah tidak subur
lagi, sehingga terpaksa mencari tempat tinggal yang baru memungkinkan kehidupan
lebih baik. Disamping itu di daerah Kaledupa, Tomia dan Wangi-Wangi terdapat juga
perpindahan penduduk secara berjalan kaki.

D. Organisasi Masyarakat
Dahulu, masyarakat wakatobi seperti daerah Tomia, Kaledupa dan Wangi-
Wangi tiap-tiap kelompok dipimpin oleh seorang ketua yang disebut Laioro dan
dibantu oleh seorang pembantu yang disebut Kanine. Ketua kelompok dipilih dan
diangkat oleh anggota masyarakat dan syarat ia seorang berwibawa dan mempunyai
kekuatan sakti.
Sedangkan Di daerah Binongko pemimpin suatu kelompok biasanya diambil
dari orang-orang yang gagah berani, cekatan, ahli berkelahi dan ahli perang yang
disebut mosega.

6

E. Pendidikan
Pendidikan pada zaman prasejarah pada umumnya di daerah Wakatobi belum
ada selain pendidikan didalam keluarga dalam arti bahwa seseorang mengetahui sesuatu
melalui ibu, bapak ataupun kakak di dalam keluarga. Pendidikan diluar keluarga
hanyalah didapat melalui pengalaman dengan jalan melihat ataupun mengalami sendiri
sehingga dapat menjadi mahir dalam sesuatu pekerjaan ataupun keterampilan tertentu
misalnya berburu, menangkap ikan, bertukang dan lain sebagainya. Untuk jenis
pekerjaan semacam ini sudah barang tentu diperlukan suatu keterampilan tertentu oleh
seseorang yang hanya didapatnya melalui keluarga maupun orang lain di luar keluarga
dan dengan sendirinya makin lama makin dapat ditingkatkan sesuai dengan
pengalamannya dan bakat serta daya kreasinya masing-masing.

F. Alam Pikiran Dan Kepercayaan
1. Sistem Kepercayaan
Animisme dan dinamisme merupakan sistem kepercayaan yang dianut oleh
penduduk pada masa itu, seperti kepercayaan terhadap laut, gunung, tanjung, kolam,
pohon dan tempat-tempat yang mengherankan atau mendahsyatkan, mempunyai
penghuni yang mereka sebut sangia. Sangia-sangia ini ada yang baik dan ada pula yang
jahat. Selain daripada itu penghormatan kepada roh nenek moyang memegang peranan
penting pula. Roh nenek moyang ini pun ada yang baik dan ada pula yang jahat menurut
tabiatnya semasa hidupnya. Selanjutnya baik sangia-sangia maupun arwah-arwah itu
berpengaruh kepada orang yang masih hidup, sehingga sangat ditakuti, maka kewajiban
dari ompu-ompu untuk menjinakkan dan melunakkan pengaruhnya (La Ode Abu Bakar,
1999 : 1, Wawancara 3 Maret 2005).
Oleh karena itu sangia-sangia itu menguasai daerah-daerah seperti laut, gunung,
tanjung dan sebagainya maka kekuatan alam pun dapat dijinakkan. Demikian pula atas
gelombang, angin, topan dapat dijinakkan dengan perantaraan sangia-sangia. Penganut
animisme dan dinamisme ini disebut pahekombia
Di daerah Tomia dan Wangi-Wangi, animisme dan dinamisme masih
merupakan sebagian kecil penduduk pada masa ini. Mereka menganggap bahwa
mendapat kekuatan dan berkat dari roh yang mendiami gunung atau tempat-tempat
7

tertentu yang dianggap keramat, dan untuk itu mereka biasa mengadakan upacara
seperti :
1. Belai upacara pembukaan hutan dimana pakilola seorang yang pandai
melihat bintang, pada waktu musim tanam sebagai pemimpin untuk membuka
hutan, mengadakan persiapan beberapa hari lebih dahulu untuk mencari ilham
pada waktu tidur dengan menyajikan sirih pinang, kapur, tembakau kepada roh
yang dianggap memberi berkat pada mereka. Sesudah upacara ini dijalankan,
barulah penebangan kayu yang pertama dikerjakan oleh pakilola lebih dahulu.
2. Pabisa pada waktu pabisa mengadakan penebangan pertama, maka pabisa
harus mengikuti syarat-syarat tertentu yaitu pergi menebang diam-diam sesuai
dengan ilham yang diperolehnya pada waktu pergi menebang sebatang kayu
sebagai penebang pendahuluan kapak harus digantungkan selama satu hari dua
puluh empat jam lebih dahulu. Bila ternyata kapak jatuh, hutan tidak boleh
dibuka, tapi bila kapak tetap tergantung terus, maka hutan segera dibuka oleh
masyarakat bersama-sama (La Ode Ali, Wawancara 15 April 2005).
2. Pandangan Tentang Kosmos
Dari uraian tentang sistem kepercayaan jelas dapat dilihat suatu pandangan
tentang kosmos meskipun belum tersusun secara terperinci, apalagi secara sistematis.
Mereka sudah percaya adanya sesuatu kekuatan diri sendiri (kekuatan gaib/sakti) dan
sering mempengaruhi kehidupan mereka sendiri.
Di daerah Binongko misalnya sudah ada kepercayaan akan suatu kekuasaan
yang tertinggi, sehingga timbullah kata-kata tende difafonulangi yang berarti Dia
yang di atas langit, mempunyai kekuasaan kepada alam semesta. Akan tetapi kebaktian
atau upacara mereka beranggapan bahwa tempat bersemayamnya adalah di pohon-
pohon besar, batu-batu besar, tanjung, kuburan dan lain-lain, oleh karena itu maka
disitulah mereka mengadakan upacara besar-besaran diiringi dengan keramaian seperti
nyanyian berisi pujian kepada tende difafonulangi agar dapat memberikan berkat dan
rahmat atas penyembahan dan pengobatan yang mereka lakukan, menari diiringi dengan
gonggong (La Ode Ahmadi, Wawancara 7 Agustus 2005).
Sesudah upacara, mereka sangat takut kepada pantangan yang diajukan oleh
petuah adat seperti menebang kayu untuk ramuan rumah. Pangkalnya harus diberikan
sebagai pertanda supaya bila ditanam jangan sampai di tanah di atas, sebab dapat
8

menimbulkan bermacam-macam akibat pada penghuninya. Saudara laki-laki tidak boleh
menyentuh baju saudara perempuan dan sebaliknya ataupun lewat dari bawah
gantungan pakaian, lebih-lebih masuk kamar tidur, karena dianggap suatu dosa. Kaum
wanita tidak boleh mengangkat bajunya sampai ke atas lutut meskipun melewati air,
karena harus mempertahankan kehormatannya. Dilarang mencuci belanga (periuk) yang
banyak arangnya dimuka pantai (air asin) karena dianggap dapat mengakibatkan
datangnya angin barat. Demikian juga memandikan kucing yang berwarna putih
maupun hitam pekat (beka mepa), makan sambil berjalan dilarang karena dapat
menimbulkan kerusakan pada tanaman seperti habis dimakan tikus ataupun binatang
hutan lainnya.
Apabila mereka diserang penyakit maka obatnya ada bermacam-macam tumbuh-
tumbuhan baik akarnya maupun kulitnya. Disamping itu diucapkan mantra-mantra atau
semburan-semburan yang kata-katanya mohon pertolongan kepada Yang Maha Kuasa
agar penyakit itu sembuh. Sampai saat ini pengobatan dan adat kebiasaan para orang tua
ini masih ada yang memakainya meskipun sebagian sudah tidak mempercayainya lagi
karena pengaruh agama yang datang kemudian.

Vous aimerez peut-être aussi