Manajemen Pemeliharaan Sapi Perah di Laboratorium Lapang Sumbersekar
Disusun oleh: Ahmad Azmi Khoirul Umam (115050100111132)
FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA 2014
BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Sapi perah merupakan golongan hewan ternak ruminansia yang dapat mendukung pemenuhan kebutuhan akan bahan pangan bergizi tinggi yaitu susu. Pemeliharaan sapi perah beberapa tahun terakhir ini menunjukkan perkembangan yang sangat pesat. Perkembangan ini senantiasa di dorong oleh pemerintah agar swasembada susu tercapai secepatnya. Dalam meningkatkan kualitas serta kuantitas produksi sapi perah, ada beberapa faktor penting yang harus di terapkan secara profesional yaitu perlunya penanganan manajemen pemeliharaan sapi perah yang baik. Karena hal tersebut mempunyai peran penting dalam peningkatan kualitas produk susu sapi perah. Salah satu aspek yang mempunyai pengaruh penting terhadap peningkatan produksi susu sapi adalah pemeliharaan atau penanganan sapi perah masa kering kandang. Pemeliharan sapi perah tidak terlepas dari perawatan dan pemeliharaannya. Sapi ternak memiliki pemeliharaan khusus yang sangat beda perawatannya dengan sapi potong.Manajemen pemeliharaan pedet, dara, sapi kering dan induk laktasi sapi perah merupakan pelaksanaan pemeliharaan ternak setiap hari yang kegiatannya meliputi pemberian pakan dan minum, sanitasi kandang, pelaksanaan perkawinan, pemerahan, pembersihan dan kesehatan sapi, dan sistem perkandangan. 1.2. Tujuan Tujuan dari praktikum ini adalah memberi pengetahuan kepada praktikan dalam melakukan manajemen peternakan sapi perah ditempat praktikum dan membandingkan dengan litelatur. 1.3.Manfaat Manfaat dari praktikum ini adalh mendapat pengetahuan dan pengalaman secara langsung selama 7 hari berkaitan manajemen produksi terna perah di laboratorium lapang sumber sekar fakultas peternakan universitas brawijaya. BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Pedet Pra Sapih 2.1.1. Pakan Pedet (susu) Berdasarkan hasil pengamatan pedet prasapih tidak dilakukan karena tidak terdapat pedet prasapih. Namun, apabila pedet lahir pekerja kandang menyusukan pedet secepat mungkin dengan mengarahkan pedet pada puting induknya supaya segera mendapatkan kolostrum, Apabila pedet lahir sehat dan kuat biasanya 30 sampai dengan 60 menit setelah lahir sudah dapat berdiri. Menurut Soetarno (2003) Pedet waktu lahir tidak memiliki kekebalan untuk melawan penyakit. Oleh karena itu 30 sampai dengan 60 menit setelah lahir pedet segera diberi minum kolustrum. Kolostrum adalah susu yang dihasilkan oleh sapi setelah melahirkan sampai sekitar 5 sampai dengan 6 hari. Kolostrum sangat penting untuk pedet setelah lahir karena kolustrum mengandung zat pelindung atau antibodi yang dapat menjaga ketahanan tubuh pedet dari penyakit berbahaya Menurut purwanto (2006) jumlah pemberian setiap ekor pedet setiap hari masing-masing sebanyak 3 liter, 4 liter dan 5 liter berturut-turut mulai umur 5- 30 hari, 31-60 hari dan 61-90 hari. Mulai umur 3 minggu pedet diajarkan makan rumput. Pemberian rumput dilakukan setiap hari dengan jumlah pemberian masing-masing0,25 kg/ekor, 0,5 kg/ekor dan 1 kg/ ekor secara berturut-turut mulai umur 21-30 hari, 31-60 hari dan 61-90 hari. Rumput yang diberikan pada pedet adalah rumput yang muda dan telah dipotong kecil-kecil. Berdasarkan hasil praktikum manajemen pemeliharaan pedet meliputi pemberian susu dari induknya dimana pedet tidak menyusu secara langsung pada induknya, tetapi diberi susu dengan menggunakan ember susu atau botol dot susu. Tetapi pada tempat praktikum tidak terdapat pedet pra sapih. Menurut Siregar (2003) Pengelolaan pedet sapi perah rakyat pada kebanyakan peternak tidak memisahkan pedet dan induknya setelah lahir. Hanya bagian kecil yang memisahkan pedet dari induknya setelah lahir. Model pemeliharaan yang kurang baik menyebabkan kematian mencapai 23-25% sampai pedet umur 4 bulan. Di Laboratorium lapang Sumbersekar, apabila pada awal menyusu pedet mengalami kesulitan maka dapat dilatih dengan menggunakan ember terbuka dan memerlukan kesabaran. Caranya mula-mula pedet dibiarkan menjilat atau mengisap jari telunjuk yang dibasahi kolostrum. Selanjutnya jari telunjuk yang dihisap-isap, perlahan-lahan dimasukkan sedikit demi sedikit kedalam ember yang berisi kolostrum dan dibiarkan beberapa menit mengisap-isap jari telunjuk dan kolostrum turut terserap sedikit-sedikit. Kemudian jari telunjuk perlahan-lahan dilepas dari pedet. Perlakuan demikian perlu diulang-ulang sehingga akhirnya pedet mau minum kolostrum dari ember tanpa bantuan lagi atau dengan menggunakan botol yang diberi selang karet lunak. Kolostrum buatan diberikan pada pedet apabila induk tidak dapat menghasilkan kolostrum. Kolostrum buatan sekali minum terdiri dari campuran liter susu murni + 1 sendok teh minyak ikan + 1 sendok teh kastroli + 1 telur yang dikocok didalam liter air hangat. Pemberian kolustrum buatan diberikan 3 kali sehari selama 3 sampai dengan 4 hari (Soetarno, 2003). 2.1.2 Bobot Badan Pedet periode prasapih memerlukan pakan cair dan kering dan sebaiknya diberikan campuran biji-bijian kering ketika berumur tiga hari. Pemberian pakan kering lebih awal sangat penting untuk menstimulasi perkembangan rumen. Target pemeliharaan pedet periode prasapih adalah mencapai bobot badan 65 kg pada saat umur 8 minggu atau umur sapih. Pedet mengkonsumsi pakan kasar minimal 1 kg/hari. Setelah disapih konsumsi konsentrat pedet sekitar 2 kg/hari. Pedet pada periode ini diusahakan mencapai pertambahan bobot badan harian 0,7 kg (Anonymous, 2006). 2.1.3 Kandang Pedet yang berusia 0 4 bulan harus dibuatkan kandang sendiri agar tidak bercampur dengan pedet atau sapi lainnya. Dapat pula dibuatkan penyekat atau penghalang antar kandang. Hal ini disebabkan pedet sangat rentan terhadap penyakit yang disebabkan oleh perubahan cuaca dan pedet memiliki naluri menyusu sehingga jika disatukan dapat saling mngisap dan menjilat. Kandang pedet lazimnya dibuat dari bahan bambu atau kayu berukuran 95 x 150 x 130 cm. 2.2 Pedet post Sapih 2.2.1 Pakan dan Minum Hari ke- 1 2 3 4 5 6 7 Pagi (kg) 28 28 28 28 28 28 28 Sore (kg) 28 28 28 28 28 28 28
Berdasarkan praktikum bahwa sistem pemberian pakan pada pedet post sapih sama dengan dengan sapi yang lain namun kapasitas yang berbeda yaitu lebih banyak konsentrat untuk tujuan masa siap dikawinkan atau bunting awal. Pemberian pakan pada pedet post sapih akan sangat mempengaruhi perkembangan pedet post sapih, baik perkembangan bagian tubuhnya maupun alat reproduksinya. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Ensminger (1992) yang menytakan bahwa pedet post sapih adalah sapi pada masa antara lepas sapih sampai laktasi pertama kali yaitu berkisar antara umur 12 minggu sampai dengan 2 tahun. Siregar (1998) menambahkan bahwa pada masa lepas sapih, berarti sapi sudah tidak mendapatkan susu lagi dari induk sehingga untuk memenuhi kebutuhannya dibutuhkan pakan yang dapat menggantikan kebutuhan akan susu tersebut. Jadi, pada perawatan pedet post sapih lebih diutamakan pada pemberian pakan yang tepat yang nantinya dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan yang optimal Pakan pedet lepas sapih (4-8 bulan) sudah dapat disediakan/diberikan pakan konsentrat dan dan hijauan/rumput. Pemberian pakan dan air kepada pedet lepas sapih sebaiknya tidak terbatas (ad libitum). Hal ini disebebakan pedet berada dalam kandang koloni,sehingga apabila daya pakannya baik akan tumbuh lebih cepat. Namun, patokan pemberian pakan kepada pedet adalah konsentrat 11,5% dan hijauan 10% dari bobot hidup. Susunan konsentrat untuk pedet lepas sapih terdiri atas 26% bungkil kelapa, 24% bungkil kedelai, 25% dedak halus dan 25% ampas tapioka. 2.2.2 Bobot Badan No Sapi 1 2 3 Lingkar Dada (cm) 138 134 126 Bobot Badan (kg) 222 206 162
Berdasarkan hasil pengamatan bobot badan pedet post sapih yang ada dilokasi peternakan mempunyai bobot badan rata-rata 200 kg dengan umur 4-5 bulan. Menurut purwanto (2006) pada sapi perah bobot sapih pedet pada umur 90 hari mencapai 60,64 kg dari rata-rata bobot lahir sebesar 26,78 kg dengan pertambahan bobot badan rata-rata sebesar 33,86 kg/ekor,90 hari atau 0,36 kg/ekor/hari sehingga dengan pemeliharaan yang baik pedet lepas sapih akan dapat mencapai bobot badan ideal rata-rata 200 kg selama 2-3 bulan. Hal ini sesuai dengan hidajanti (2000) pada pemeliharaan pedet lepas sapi dengan pemberian pakan sesuai kebutuhan dengan bobot badan awal rata-rata 72-128 kg akan menghasilkan bobot badan akhir rata-rata 200-220 kg selama pemeliharaan 3 bulan. 2.2.3 Kandang Kandang yang diperlukan untuk pedet lepas sapih yang berusia 4 8 bulan berupa kandang sistem kelompok di dalam kandang koloni. Hal ini dimaksudkan agar sapi-sapi remaja lebih bebas bergerak sehingga tulang dan badannya kuat dan tidak terjadi persaingan dalam mendapatkan pakan. Karenanya tempat pakan, tempat minum dan tempat berteduh dibuat terpisah. Pedet yang sudah besar dapat dimasukkan atau dipelihara dalam kandang kelompok yang juga dilengkapi dengan tempat pakan dan minum secara individual sehingga mereka mendapatkan pakan dan minuman secara merata dan tidak terganggu satu sama lain. Pedoman ukuran atau kapasitas kandang kelompok untuk pedet umur 4 sampai dengan 8 minggu adalah 1 m/ ekor, dan umur 8 sampai dengan 12 minggu adalah 1,5 m/ ekor. Ketinggian dinding keliling 1 meter. Setiap kelompok sebaiknya tidak melebihi 4 ekor. Karena dapat menekan penyebaran penyakit, terutama scours (Sugeng, 2003). Bahan atap kandang dapat digunakan asbes, seng, genting, daun ijuk, daun alang alang dan lain-lain. Sudut kemiringan atap untuk sapi perah 30. Bahan lantai kandang dibuat dari beton kasar dengan kemiringan 5, bahan lantai kandang berupa beton (Siregar, 2003). Menurut Girisanto (2006) bahan atap kandang yang ideal di daerah tropis adalah genting , karena genting mudah didapat, tahan lama, dan antara genting terdapat celah-celah sehingga sirkulasi udara cukup baik. Namun kelemahan dari genting adalah harganya yang cukup mahal jika dibandingkan dengan daun ijuk. 2.3. Pemeliharaan Sapi Laktasi 2.3.1 Bangsa Sapi Sapi perah adalah jenis sapi yang dapat menghasilkan air susu melebihi dari kebutuhan anaknya dan merupakan salah-satu dari ternak perah yang mampu merubah makanan menjadi air susu yang sangat bermanfaat bagi anak-anaknya maupun bagi manusia. Sapi perah yang banyak dipelihara adalah sapi jenis Fries Holland (FH), sedangkan di Indonesia lebih banyak ditemukan sapi Peranakan Friesien Holstein ( PFH ), yang merupakan hasil persilangan antara sapi Friesien Holstein ( FH ) dengan sapi lokal yang ada di Indonesia (Siregar, 1998). Berdasarkan praktikum yang kami lakukan di lab lapang, bahwa semua ternak perah yang terdapat pada laboraturium adalah jenis sapi PFH. Dijelaskan lebih lanjut bahwa sapi PFH ini mempunyai ciri-ciri fisik mirip sapi FH antara lain yaitu warna belang hitam putih, tanduk pendek yang menjurus ke depan, pada dahi terdapat warna putih yang berbentuk segitiga dan mempunyai sifat tenang dan jinak. Sapi PFH digolongkan sebagai ternak tipe dwiguna, yaitu sebagai penghasil susu sekaligus sebagai penghasil daging dengan persentase karkas dapat mencapai 59,3 %. Hal ini sesuai dengan (Blakely dan Bade, 1994) Sapi PFH sangat menonjol karena banyaknya jumlah produksi susu namun kadar lemaknya rendah, kapasitas perut besar sehingga mampu menampung pakan banyak, mempunyai kemampuan yang tinggi dalam mengubah pakan menjadi susu.
2.3.2 Tingkat Laktasi Dan Umur Sapi
No sapi 1 2 3 4 Tingkat laktasi 5 4 4 3 Umur sapi 6 4,5 4,5 3 Rataan produksi susu 11.5 8,5 6,4 7,6
Di Laboratorium Lapang Sumbersekar, terdapat 4 sapi laktasi yang memiliki tingkat laktasi dan umur sapi yang berbeda antara satu sama lain, hal ini dapt dijelaskan bahwa pada sapi 1 memasuki tingkat laktasi bulan ke-6 dengan umur sapi 4 tahun, sapi 2 memasuki tingkat laktasi bulan ke-5 dengan umur sapi 6 tahu, sapi 3 memasuki tingkat laktasi bulan ke-3 dengan umur sapi 3 tahun, sementara sapi 4 memasuki tingkat laktasi bulan ke-4 dengan umur sapi 5 tahun. Dengan tingkat laktasi dan umur sapi yang berbeda ini menunjukkan produksi susu yang berbeda antara satu sapi dengan yang lainnya. Tingkat laktasi dan umur sapi berpengaruh terhadap produksi yang di hasilkan oleh se ekor ternak sapi perah. Hal ini di karenakan perkembangan ambing pada stiap periode laktasi akan menambah jumlah produksi susu. Begitu juga dengan umur sapi. Ternak akan mencapai produksi yang optimal pada umur antara 3-6 tahun. Hal ini sesuai dengan (Anggraeni, Fitriyani, Atabany, dan Komala, 2008), Dilaporkan bahwa rata-rata produksi susu sapi FH per ekor per hari di BPPT Cikole, Lembang, Jawa Barat pada periode laktasi pertama adalah 11,9 2,7 kg, laktasi kedua adalah 15,4 3,2 kg, laktasi ketiga adalah 17,3 4,1 kg, laktasi keempat adalah 15,4 3,7 kg, dan laktasi kelima adalah 14,3 3,9 kg. Umur sapi perah saat beranak pertama atau laktasi pertama menentukan jumlah produksi susu yang dihasilkan pada periode laktasi tersebut, begitu juga jumlah produksi susu selama sapi perah tersebut hidup. Standar optimal umur bangsa sapi perah FH untuk beranak pertama adalah 27 bulan. Sapi yang beranak pada umur yang tua (3 tahun) akan menghasilkan susu yang lebih banyak dari pada sapi yang beranak umur muda (2 tahun). Produksi susu akan terus meningkat dengan bertambahnya umur sampai sapi berumur 7 atau 8 tahun, walaupun ini sangat ditentukan oleh breed ternak dan kemudian setelah umur tersebut produksi susu akan menurun sedikit demi sedikit sampai sapi berumur 11 atau 12 tahun produksi susunya akan rendah sekali. Meningkatnya produksi susu tiap laktasi dari umur 2 tahun sampai 7 tahun itu disebabkan bertambah besarnya sapi karena pertumbuhan, jumlah tenunan-tenunan dalam ambing juga bertambah.
Dari hasil praktikum di peroleh hasil produksi yang tertera pada tabel berikut: Nama sapi Sabtu (L) Minggu(L) Senin (L) Selasa (L) Rabu (L) Kamis (L) Jumat (L) pagi sore pagi sore pagi Sore pagi sore pagi sore pagi sore pagi sore Danang 4 3 5,65 3,6 2,65 5,3 4,95 2,7 5 2,5 5,1 2,65 4,5 2,3 Eggi 5,9 3,1 6 3,1 4,65 3,05 5,85 3 6 3 5,3 2,95 4,65 3,2 Sis 10 4,4 10,2 4,5 8,5 6,3 9,8 4 6.9 4,2 9 4,35 10 5,6 Suwok 6,9 4,75 7,4 4,1 8,6 3,7 7 5,5 6 4,25 6,5 5,75 6,9 4,7
2.3.3 Bulan Laktasi Dan Persistensi Masa laktasi dimulai sejak sapi itu berproduksi sampai masa kering tiba. Dengan demikian, masa laktasi berlangsung selama 10 bulan atau kurang lebih 305 hari, setelah dikurangi hari-hari untuk memproduksi colostrum. Dengan demikian semasa laktasi berlangsung 309 hari ini diawali dengan produksi colostrum 4 5 hari, sehingga produksi susu biasa berlangsung 309 hari 4 = 305 hari. Bulan laktasi merupakan berapa lama laktasi pada ternak selama satu periode laktasi. Pada awal laktasi produksi susu mengandung kolostrum, dan setiap harinya akan meningkat dan mencapai puncak pada bulan ke 3-4. Kemudian akan menurun pada bulan bulan berikutnya. Hingga akhirnya di keringkan. Persistensi susu sangat dipengaruhi oleh keseimbangan tiga hormon yaitu Prolactin, Thyroxine dan Growth Hormon. Apabila salah satu lebih, hormon yang disekresikan lebih kecil dari rata rata optimal, akan berpengaruh terhadap persistensi. Untuk meningkatkan produksi susu selaa laktasi, peternak dapat melakukan seleksi sapi mereka dengan memilih sapi sapi selain puncak produksinya tertinggi, juga dipilih persistensinya yang bagus, (Campbell, 1975).
2.3.4 Bobot Badan dan BCS Di Laboratorium Lapang Sumbersekar ini sapi laktasi memiliki bobot badan dan tingkat nilai Body Condition Score (BCS) yang bermacam-macam, hal ini dapat dilihat pada tabel dibawah ini: Nomor Sapi 1 2 3 4 Bobot Badan (kg) 491 491 543 561 BCS 2,5 3 2 2 Jika dilihat dari pendapat (Anonimus, 1995) yang menyatakan bahwa bobot sapi betina dewasa mencapai 625 kg dengan produksi susu sangat tinggi mencapai 4500-5000 liter/ ekor/ laktasi sangat berbeda dengan kondisi yang ada di Laboratorium Lapang Sumbersekar karena bobot badan paling tinggi diantara keempat sapi laktasi ini yang paling tinggi adalah bobot badan dari sapi keempat yang hanya memiliki bobot bdan sebesar 561kg, hal ini pula terbukti dengan rataan produksi susu yang dihasilkan oleh sapi-sapi perah di Laboratorium Lapang sumbersekar yang hanya 10 liter/ekor/hari dengan produksi 3000 liter/ekor/tahun. Hal inilah yang sangat menyulitkan peternakan di Indonesia untuk dapat memenuhi kebutuhan susu nasional, karena produksi susu yang masih rendah karena bobot badan sapi laktasi yang belum mencapai optimal. Metode Body Condition Score adalah suatu metode pengukuran kritis terhadap keefektifan sistem pemberian pakan pada sapi perah, bertujuan untuk mengetahui pencapaian standar kecukupan cadangan lemak tubuh yang akan mempengaruhi dalam penampilan produksi susu, efisiensi reproduksi dan herd longevity. Pelaksanaan pemeriksaan kondisi tubuh pada bibit sapi perah diperoleh melalui estimasi penilaian secara visual terhadap kuantitas jaringan lemak kulit, perhitungan nilai BCS sebesar 5 poin (1 sampai 5) dengan penambahan nilai 0,25 (Quarter point) dihitung berdasarkan kondisi subcutan lemak tubuh pada pangkal ekor dan sekitar tulang belakang, hips,ribs, pin bone. Pada sapi laktasi BCS standarnya adalah 2,75-3,75 yang harus di jaga agar ternak tidak terlalu kurus dan juga tidak terlalu gemuk. Ternak perah laktasi yang BCS nya di bawah 2,75, produksinya akan cenderung rendah. Ternak akan mengkonsentrasikan pakan yang di konsumsinya untk memulihkan kondisi tubuhnya. Begitu juga ternak yang BCSnya lebih dari 3,75 , pakan yang di konsumsinya banyak di gunakan untuk pembntukan daging daripada pembentukan susu.
2.3.5 Pakan Pada hasil praktikum yang telah dilaksanakan bahwa pemberian pakan yang di berikan pada ternak sapi perah, di jadikan satu proses pemberian. Yakni dari 4 ekor sapi laktasi, 6 ekor sapi kering dan dara bunting, dberikan pakan berupa konsentrat 20 kg, pakan tambahan ( kulit kedelai) 284 kg, dan rumput gajah 190 kg per hari. Hal ini sangat tidak sesuai dengan prosedur ataupun manajemen yang harus di lakukan pada sapi dengan periode produksi yang berbeda. Antara sapi laktasi, sapi kering, dan sapi dara bunting mempunyai kebutuhan nutrisi yang berbeda. Oleh karena itu seharusnya pemberian pakan di pisahkan sesuai periode produksi. Agar kebutuhan nutrisi ternak pada setiap periode produksi dapat terpenuhi dengan cukup dan optimal. Menurut(Soedono dan Sutardi, 2003) Sapi perah laktasi dengan produksi susu tinggi harus diberi ransum dengan jumlah banyak dan berkualitas dibandingkan dengan sapi perah yang produksi susunya rendah. Hal ini disebabkan oleh tingginya kebutuhan nutrien pada sapi perah yang produksinya tinggi. Pakan diperlukan oleh sapi laktasi untuk kebutuhan hidup pokok dan produksi susu. Pakan yang diberikan berupa hijauan dan konsentrat. Konsentrat berpengaruh terhadap kadar berat jenis susu dan produksi, sehingga semakin tinggi nilai konsentrat berat jenis susu akan tinggi, sedangkan hijauan akan berpengaruh terhadap kualitas susu yang dihasilkan terutama lemak yang dihasilkan Pakan sapi perah terdiri dari hijauan leguminosa dan rumput yang berkualitas baik serta dengan konsentrat tinggi kualitas dan palatabel (Blakely dan Bade, 1994). Pemberian pakan dimaksudkan agar sapi dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sekaligus untuk pertumbuhan dan reproduksi. Pemberian pakan hendaknya mencukupi kebutuhan dan harus efisien, sehingga tidak menimbulkan kerugian (Djarijah, 1996).
Ransum induk laktasi pada dasarnya terdiri dari hijauan (leguminosa maupun rumput-rumputan dalam keadaan segar atau kering) dan konsentrat yang tinggi kualitas dan palatabilitasnya. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam penyusunan ransum sapi adalah ransum cukup mengandung protein dan lemak, perlu di perhatikan sifat supplementary effect dari bahan pakan ternak, dan ransum tersusun dari bahan pakan yang dibutuhkan ternak (Siregar, 1998). Konsumsi pakan hijauan Pagi (kg)/ekor Sore (kg)/ekor 11 11,06 11,13 10,86 11,06 10,88 10,74 11,13 11 11,15 10,88 11,13 10,88 11,25
2.3.6 Kebuntingan Berdasarkan hasil pengamatan terdapat sapi perah dalam keadaan bunting, tingkat kebuntingan bervariasi mulai dari bulan kebuntingan ke 7 sampai ke 9. Pada praktikum , sapi yang bunting ada 2 ekor. Dengan kebuntingan kira-kira 8 bulan. Menurut Soeparno (2004) Pemeliharaan betina bunting merupakan salah satu upaya penting yang harus dilakukan dalam upaya peningkatan produktivitas ternak. Pemeliharaan ternak bunting perlu lebih diintensifkan utamanya dalam hal pemberian pakan dan perawatan (hindari dari terjatuh dan benturan atau kondisi kandang yang kurang baik). Namun pada kenyataannya pemeliharaan ternak bunting di Laboratorium Lapang Sumbersekar masih sangat kurang baik. Karena jika dilihat, sapi yang sedang bunting masih dalam satu kandang dengan sapi yang tidak bunting, begitu juga dalam hal pemberian pakan, ternak yang sedang bunting ataupun tidak tetap diberikan pakan dalam jumlah dan kualitas yang sama. Karena menurut Soeparno (2004) proses pemeliharaan kebuntingan ini sangat penting karena embrio ternak cukup labil utamanya pada umur kebuntingan muda. Hasil penelitian Ayalon (1978) dalam Hunter (1995) menunjukkan kematian embrional pada umur 35 42 hari pada domba mencapai 31%. Alasan utama perlunya pemeliharaan betina bunting yang lebih insentif karena betina bunting tersebut merupakan penentu kualitas anakan yang akan dihasilkan.Beberapa cara untuk memelihara ternak bunting adalah dengan perbaikan pakan dan pemisahan induk bunting. 2.3.7 Suhu Lingkungan Suhu lingkungan akan sangat mempengaruhi produksi susu. Hal ini di sebabkan peningkatan suhu akan dapat menurunkankan produksi susu. Ini berkaitan dengan konsumsi pakan pada suhu dingin dan suhu panas. Pada suhu dingin, konsumsi pakan cenderung meningkat, sehingga nutrisi yang masuk dalam tubuh juga akan meningkat. Sehingga produksi susu yang di hasilkan akan mengalami peningkatan juga. Sebaliknya, jika suhu lingkungan naik dan cenderung panas, ternak akan mengurangi metabolisme dalam tubuhnya dengan cara memperbanyak konsumsi air minumnya daripada konsumsi pakan. Dengan banyaknya air minum yang di konsumsi maka tingkat metabolisme pun bisa di tekan. Hal ini berpengaruh pada nutrisi yang masuk ke dalam tubuhnya. Sehingga produksi susu yang di hasilkan akan cenderung menurun. Konsumsi air minum sapi perah laktasi dipengaruhi oleh ukuran tubuh, produksi susu yang dihasilkan, kelembaban udara dan kadar air pakan. Pemberian air minum pada sapi perah dilakukan secara add libitum (Muldjana, 1985).Abidin (2002) menytakan bahwa suhu yang optimal untuk pemeliharaan sapi PFH adalah 10 27 o C.
Dan di bawah ini merupakan tabel suhu dan kelembaban yang di ukur pada pagi dan siang hari saat praktikum:
Sabtu Minggu Senin Selasa Rabu Kamis Jumat pagi sore pagi sore Pagi sore pagi sore pagi sore pagi sore pagi sore Suhu 0 21 32 20 28 22 30 22 30 22 30 23 31 21 29 Kelembaban% 91 65 83 85 91 71 91 65 92 72 91 59 91 71
Dari tabel di atas sudah sangat jelas bahwa suhu dan kelembaban sangat berpengaru pada produksi. Pada pagi hari ketika suhu dingin, maka produksi susu akan mengalami peningkatan. Begitu juga pada waktu sore hari ketika suhu udara panas, akan mengalami penurunan produksi. Ini selain juga di pengaruhi oleh interval pemerahan.
2.3.8 Frekuensi Pemerahan Pemerahan sapi diLaboratorium Lapang Sumbersekardilaksanakan dua kali sehari dengan interval pemerahan 8 jam dan 16 jam. Pemerahan dilaksanakan pada pagi hari pukul 05.30 WIB dan siang hari pukul 13.00 WIB. Sapi yang sedang berproduksi memiliki jadwal pemerahan setiap hari yang pada umumnya di lakukan 2 kali sehari (Anonimus, 1995). Jadwal pemerahan yang teratur dan seimbang akan memberikan produksi susu yang lebih baik dari pada pemerahan yang tidak teratur dan seimbang. Sebelum pemerahan dilakukan, ambing dicuci terlebih dahulu agar susu tidak terkontaminasi dengan kotoran. Kemudian peralatan yang digunakan yaitu :ember, minyak kelapa sebagai pelicin dan penyaring susu disiapkan. Menurut Siregar (1995), bahwa sebelum pemerahan, puting diolesi dengan pelicin. Frekuensi pemerahan merupakan jumlah pemerahan yang di lakukan pada setiap harinya. Biasanya frekuensi pemerahan di lakukan sebanyak 2 kali sehari. Tetapi untk sapi yang berproduksi tinggi dapat di lakukan pemerahan dengan lebih dari 2 kali sehari. Hal ini bertujuan agar produksi susu yang di hasilkandan yang di keluarkan saat proses pemerahan menjadi optimal. Pemerahan susu biasanya dilakukan 2 kali sehari yaitu pagi dan sore hari. Interval waktu yang sama antara pemerahan pagi dan sore hari akan memberikan perubahan komposisi susu yang relatif sedikit, sedangkan interval waktu pemerahan yang berbeda akan menghasilkan komposisi susu yang berbeda juga. Pemerahan dilakukan dengan menggunakan tangan dan mesin. Pemerahan dengan tangan dilakukan dengan metode strippen. Hal ini sesuai dengan pendapat Sindoredjo (1960) yang menyatakan bahwa pemerahan dengan tangan dapat dilakukan dengan 3 cara pemerahan yaitu Whole hand, Strippen dan Knivelen. Nugroho (2008) menambahkan bahwa proses pemerahan dengan mesin, menggunakan bentuk mesin yang menyerupai cakar (claw) dengan empat mangkuk puting (teatcups) berbentuk tabung yang terbuat dari besi dan karet, tabung vakum dan pulsator. Sapi biasanya diperah dua kali setiap hari. Peningkatan frekuensi pemerahan menjadi tiga kali sehari menaikkan produksi susu sebanyak 10 hingga 25 % dan pemerahan empat kali sehari menambah lagi produksi sebanyak 5 sampai 15 %. Peningkatan produksi susu ini bernilai atau tidak dihubungkan dengan penambahan biaya tenaga kerja, pakan, dan peralatan yang tergantung pada keadaan peternakan tersebut. Kerja bernilai ekonomis bila frekuensi pemerahan lebih dari dua kali sehari terhadap sapi yang diperah pada tempat dengan pelepas cangkir otomatik. Hasil susu menjadi tiga kali lebih besar dibandingkan tingkat awal laktasi. Kebutuhan pakan meningkat sesuai dengan jumlah hasil susu. Pemerahan dua kali sehari produksi susu meningkat 40 % daripada pemerahan satu kali, pemerahan tiga kali lebih tinggi 5 - 20 % daripada dua kali dan pemerahan empat kali lebih tinggi 5 - 10% daripada pemerahan tiga kali (Zee, 2009).
2.3.9 Interval Pemerahan Interval pemerahan ( jarak pemerahan ) dari pagi jam 06.00 sampai jam 15.00 interval antara pagi ke sore adalah Jumlah pemerahan setiap hari berpengaruh terhadap produksi susu. Sapi yang diperah dua kali sehari dengan selang 10 dan 14 jam menghasilkan susu kira-kira 1 %, lebih sedikit daripada rata-rata sapi yang diperah pada selang 12 dan 12 jam. Sapi penghasil tinggi dapat memperlihatkan halangan lebih besar dalam menghasilkan susu. Sapi penghasil rendah yang diperah pada selang 16 dan 8 jam menghasilkan hanya 1,3 % lebih sedikit susu daripada sapi yang sama diperah dengan selang 12 dan 12 jam. Selang 16 dan 8 jam mengurangi produksi susu sebanyak 4 sampai 7 % pada sapi penghasil tinggi dan dara. Peternak yang memerah 80 hingga 200 sapi tidak berkelompok di ruang perah mungkin memerah individu sapi dengan selang tidak sama setiap hari. Pengelompokan sapi berdasarkan hasil susu atau tingkat fisiologis menyebabkan sapi penghasil tinggi dan dara dapat diperah dengan selang 12 dan 12 jam Pemerahan yang baik dapat diatur antara 11-13 jam, 10-14 jam jika ada interval selain itu tidak dianjurkan karena perbedaan yang terlalu besar akan berpengaruh buruk terhadap produksinya. Adanya jarak pemerahan akan menyebabkan produksi susu di pagi hari lebih tinggi dibandingkan dengan produksi susu di siang hari (Syarif dan Sumoprastowo, 1985).
2.3.10 Persiapan Dan Proses Pemerahan Fase persiapan yang harus dilakukan antara lain sapi yang akan diperah harus dibersihkan dari segala macam kotoran, tempat dan peralatan harus telah disediakan dan dalam keadaan yang bersih ( Muljana ,1985). Peralatan yang harus disediakan adalah ember tempat pemerahan susu, bangku kecil untuk pemerah, tali tambang pengikat kaki sapi perah, milk can untuk penampung susu, saringan untuk menyaring susu dari kotoran dan bulu-bulu sapi. Selanjutnya menenangkan sapi, mengikat ekornya dan mencuci ambing dengan air hangat serta melakukan massage untuk merangsang keluarnya air susu. Sebelum pemerahan dimulai, pemerah harus melakukan cuci tangan dengan bersih dan mengeringkannya. (Siregar, 1998). Pemerahan yang baik dapat diatur antara 11-13 jam, 10-14 jam jika ada interval selain itu tidak dianjurkan karena perbedaan yang terlalu besar akan berpengaruh buruk terhadap produksinya. Adanya jarak pemerahan akan menyebabkan produksi susu di pagi hari lebih tinggi dibandingkan dengan produksi susu di siang hari (Syarif dan Sumoprastowo, 1985). Adnan (1984), menyatakan bahwa untuk menjaga agar kandungan bakteri dalam susu segar dapat serendah mungkin, semua peralatan yang dipakai untuk penanganan air susu segar harus diusahakan tetap bersih. (Sugeng, 1992) menambahkan bahwa langkah-langkah sebelum melakukan pemerahan yaitu: a) cuci alat-alat dengan air pada suhu 50 derajat atau lebih; b) pembersihan dikerjakan dengan deterjen alkali atau deterjen asam; c) kemudian alat-alat tersebut dicuci lagi dengan air hangat untuk menghilangkan residu yang telah dapat dilepaskan oleh deterjen Pemerahan sapi dapat dilakukan dengan menggunakan mesin pemerah atau dengan tangan. Proses pemerahan yang baik, dilakukan dalam interval yang teratur, cepat, lembut, pemerahan dilakukan sampai tuntas, dan menggunakan prosedur sanitasi, serta efisien dalam penggunaan tenaga kerja (Prihadi, 1996). Menurut Muljana (1985), pemerahan manual (dengan tangan) dilakukan dengan memegang pangkal puting susu antara ibu jari dan jari tengah, kemudian kedua jari kita tekan pelan dan menariknya ke bawah hingga air susu keluar, dan cara yang mempergunakan lima jari yaitu ibu jari diatas dan keempat jari lainnya memegang puting dan menarik-nariknya dengan pelan hingga air susu dapat keluar dengan baik. Proses pemerahan dengan mesin, menggunakan bentuk mesin yang menyerupai cakar (claw) dengan empat mangkuk puting (teatcups) berbentuk tabung yang terbuat dari besi dan karet, tabung vakum dan pulsator (Nugroho, 2008). Syarief dan Bagus (2011) menyatakan bahwa cara kerja mesin perah berbeda dengan pemerahan dengan tangan atau penyedotan oleh pedet. Pengeluaran susu melalui pengisapan oleh sistem vakum mesin, kemudian pulsator akan mengatur mekanisme vakum dan tekanan yang terputus setiap detik. Perbandingan antara waktu tabung membuka dan menutup disebut dengan rasio pulsation . Susu yang sudah keluar dari puting akan disalurkan ke tempat penampungan yang disebut tabung/ ember susu. Susu dari ember susu kemudian dipindahkan ke tangki utama melalui prinsip kerja mekanik pompa. Di dalam tangki susu kemudian didinginkan untuk menghambat pertumbuhan bakteri.
2.3.11 Penyakit Mastitis merupakan penyakit peradangan pada kelenjar susu dan dapat menyebabkan pembengkakan sehingga susu tidak dapat keluar melalui puting. Penyebab penyakit ini adalah bakteri Streptococcus cocci dan Staphylococcus cocci. Gejala spesifik penyakit ini adalah adanya peradangan pada saluran kelenjar susu dan terjadi perubahan fisik dan kimiawi dari susu (Anonimus, 2002). Dalam keadaan yang parah, mastitis dapat mematikan puting susu, sehingga tidak berfungsi lagi. Sapi perah yang terkena mastitis mula-mula ditandai dengan perubahan susu. Susu berubah menjadi encer dan pecah, bergumpal dan kadang-kadang bercampur dengan darah dan nanah (Siregar ,1995). Pengobatan yang dilakukan terhadap penyakit ini adalah dengan memberikan obat antibiotik yang merupakan campuran antara antibiotic Penzavet dengan aquades dengan perbandingan 1:10. Sapi perah yang menderita mastitis diberikan obat tersebut dengan cara di suntikkan pada puting yang menderita mastitis dengan dosis 10 cc per puting. Selain itu dilakukan pemerahan pada puting dalam keadaan bersih, dan susu yang diperah harus sampai habis dan tidak ada susu yang tersisa di dalam puting tersebut . 2. Milk Fever Milk Fever merupakan penyakit yang disebabkan gangguan metabolisme sapi betina menjelang atau pada saat melahirkan atau setelah melahirkan (72 jam setelah beranak ) yang ditandai dengan kekurangan kalsium dalam darah. Penyebabnya adalah kekurangan Ca (hipokalsemia) yang akut. Hal ini menimbulkan gangguan metabolisme mineral yakni metabolisme Ca yang bisa berakibat kepada seluruh tubuh. Penyerapan yang berlebihan terhadap ion Ca oleh kelenjar susu dan dapat juga disebabkan kelenjar paratiroid pada leher yang mengatur tinggi rendahnya kadar ion Ca dalam darah sehingga fungsinya tidak normal. Dalam keadaan normal kadar Ca dalam darah 8-12 mg per 100 ml darah, dalam keadaan hipokalsemia kadar Ca dalam darah menurun menjadi 3-7 mg per 100 ml darah (Anonimus,2002). Gejala terjadi hipokalsemia adalah penurunan suhu tubuh ,langkah yang kaku, ketidaksanggupan untuk berdiri, lipatan leher seperti huruf S,penghentian proses partus, dan kematian yang terjadi dalam waktu 6-12 jam apabila tidak diobati. 3. Brucellosis Brucellosis merupakan penyakit zoonosis yang disebabkan oleh bakteri genus Brucella. Pada sapi, penyakit ini dikenal pula sebagai penyakit keluron atau keguguran menular dan penyakit ini belum banyak dikenal di masyarakat. Di Laboratorium Lapang Sumbersekarbanyak induk sapi yang mengalami penyakit ini. Penyakit ini disebabkan karena faktor reproduksi.yang kurang diperhatikan. Reproduksi di Laboratorium Lapang Sumbersekar pada dasarnya dilakukan dengan menggunakan dua pejantan yang sering kali dipakai untuk mengawini sapi-sapi betina di peternakan ini. Oleh karena itu dengan mudah penyakit ini tersebar pada sapi-sapi induk maupun induk yang sehat sekalipun. Penularan yang utama melalui perkawinan alami serta juga dapat melalui pakan dan minum yang diberikan dan peralatan kandang yang digunakan sehari-harinya. Girisonta (1980) mengemukakan bahwa induk yang mengalami brucellosis seharusnya dipisahkan dari induk yang sehat. Kebersihan kandang, tempat pakan dan minum serta peralatan kandang perlu diperhatikan. Sapi-sapi penderita penyakit ini perlu perlakuan khusus dengan cara maelakuakan vaksinasi dengan menggunakan vaksin Strain 19 (Strain buch) serta melakukan sanitasi kandang dengan larutan formalin atau lisol dengan dicampur air secukupnya. 2.3.12 Stress Heat stress pada sapi terjadi ketika beban panas tubuh melebihi kemampuan sapi untuk mengeliminasi panas tersebut. Indikasi pertama terjadinya heat stress, meningkatnya frekuensi nafas secara signifikan melebihi 80 kali/ menit. Akibat dari heat stress adalah meningkatnya frekuensi nafas, naiknya suhu tubuh, keluar air keringat, dan nafsu untuk air minum meningkat. Heat stress menyebabkan penurunan aliran darah ke seluruh tubuh, turunnya nafsu makan ( feed intake ), produksi susu turun, aktivitas sapi berkurang, dan perfomance reproduksi menurun. Partameter yang bisa digunakan untuk melihat kejadian heat stress; frekuensi nafas melebihi 80 kali/ menit, suhu tubuh meningkat diatas 39,2 C, menurunnya produksi susu sampai dengan 10%, dan menurunya asupan bahan kering ( dry matter intake ). Heat loss merupakan mekanisme keluarnya panas dari dalam tubuh , dipengaruhi oleh suhu lingkungan dan suhu tubuh sapi yang disebabkan aktifitas semua organ dalam tubuh. Ada 3 cara pelepasan panas yaitu produksi panas karena metabolisme tubuh, keluarnya panas secara wajar ( sensible ) dan keluarnya panas secara latent. Produksi panas akan meningkat jika kapasitas prosuksi / metabolisme meningkat. Pada kondisi lingkungan panas, sapi akan mengurangi produksi panas dari metabolisme dengan pakan rendah serat. Sensible Heat loss terjadi jika panas tubuh lebih tinggi dari suhu lingkungan, panas tubuh akan keluar dengan cara radiasi, konveksi dan konduksi. Hal ini tergantung pada suhu lingkungan, luas permukaan tubuh sapi, jaringan tubuh dan resistensi terhadap udara. Latent heat loss, terjadi keluarnya keringat dari kulit atau menguapnya ( evaporasi ) panas dari hidung. Beberapa prinsip untuk mengurangi heat stress, secara genetik sapi Friesen Holstein lebih cocok di daerah dingin, dan kurang bisa optimal produksi susu di daerah panas. Ketersediaan air cukup ditempat yang sesuai, dingin dan bersih. Jarak kandang ke tempat pemerahan yang tidak terlalu jauh ( mengurangi jarak tempuh ). Memberikan atap atau naungan pada kandang atau ditengah kandang seperti ( housing area dan holding pen ). Di tempat pemerahan (Milking center ), diharapkan sapi tidak mengantri untuk diperah terlalu lama, tersedia ventilasi yang cukup, tersedia pendingin di holding pen dan pada jalan keluarnya sapi. Untuk kandang freestall harus disediakan ventilasi cukup dan pendingin. Ada beberapa metode untuk menghindari heat stress dan lingkungan kandangnya: 1. Mensiasati pakan, feed additif, dan obat Dalam kondisi suhu siang hari atau kemarau, boleh jadi pakan yang diberikan dengan takanan Metabolisme Energi yang lebih rendah. Hal ini bertujuan mengurangi panas dari proses metabolisme. Jika dalam satu populasi sapi menunjukkan ekspresi kepanasan ( contoh : panting ), maka pemberian imbuhan pakan yang dapat menurunkan panas bisa menjadi pilihan. Seperti pemakaian acetaminophen sebagai imbuhan pakan, selain untuk mensiasati heat stress juga bertujuan meningkatkan asupan bahan kering oleh usus. Namun jika hanya ada beberapa individu yang mengalami panting, pemberian penurun panas secara injeksi menjadi pilihan yang tepat. 2. Mengusahakan atap agar tetap dingin Kandang sapi perah seharusnya dipilihkan dari bahan yang dapat menyerap panas, maka dihindari atap seperti seng. Teknis lainnya dengan memberi sprinkle air ke atap, mengurangi jarak dengan sumber panas, temperatur atap dapat diturunkan menjadi 280 C dengan sprinkle air 1,5 liter per meter2 atap. 3. Pembuatan saluran ventilasi Saluran ventilasi membantu pertukaran udara dengan cepat dan kecepatan angin. Ventilasi dilengkapi dengan exhaust fan besar untuk menyedot panas, kipas akan mendorong panas keluar dan pengeluaran panas dengan cara konveksi 4. Melalui pipa bawah tanah ( under ground pipe ) Pada prinsipnya temperatur bawah tanah lebih rendah dari pada temperatur atmosfir. Udara yang dingin masuk melalui pipa tersebut dengan kedalaman 1.5 2 meter kemudian dialirkan ke kandang sapi. Teknik ini dapat menurunkan suhu 8 100 C, dan tujuan utama teknik ini untuk mengatasi perubahan suhu yang terlalu ekstrim. 5. Menyediakan kolam untuk berendam Suhu tubuh sapi yang panas akan turun dengan cara berendam atau masuk ke kolam air. Keluarnya panas terjadi secara konduksi dan evaporasi. Namun cara ini harus banyak dikaji dengan kemungkinan banyaknya penyakit yang bisa ditimbulkan seperti mastitis. 2.3.13 Kebersihan Kandang Dan Ternak Usaha pemeliharaan kesehatan dilakukan melalui kebersihan kandang, kebersihan ternak, peralatan dan petugas kandang. Gerak badan atau exercise diperlukan oleh sapi kering kandang setiap hari selama 1-2 jam di lapangan untuk mendapatkan sinar matahari. Program kesehatan dalam peternakan sapi perah harus dijalankan secara teratur, terutama di wilayah yang sering terjadi penyakit menular, seperti TBC, brucellosis, penyakit mulut dan kuku, dan radang limpa. Pemeliharaan yang tidak baik dapat menyebabkan kematian pada anak sapi, terutama yang baru berumur 2 3 minggu (Sudono dan Sutardi, 2003). Pada praktikum yang kami lakukan, Kandang setiap hari pagi dan sore harus di bersihkan. Begitu juga dengn lingkungan kandang. Dengan membersihkan kandang dan lingkungan setiap hari maka penyebaran bibt penyakit dapat di cegah. Kontaminasi bakteri juga bisa di hindarkan. Sehingga ternak dapat menjadi sehat serta kualitas susu yang di hasilkan memiliki kualitas yang baik. Selain kebersihan kandang, kebersihan ternak juaaga harus di perhatikan. Hal ini yang akan berpengaruh langsung terhadap kualitas susu yang di hasilkan. Pembersihan ternak di lakukan pada setiap pagi dan sore sebelum di lakukan pemerahan. Tetapi dalam praktikum yang kami lakukan hanya membersihkan ambing saja. Dan tidak seluruh badan. Ini tidak sesuai dengan prosedur yang harus di lakukan. Di karenakan, seharusnya seluruh badan juga harus di bersihkan. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Soedono dan Sutardi (2003) yang menyatakan bahwa beberapa hal yang perlu dilakukan untuk pencegahan penyakit antara lain karantina ternak yang sakit, vaksinasi, penjagaan kebersihan kandang dan peralatan, drainase yang lancar serta lantai yang tidak dingin dan tidak lembab.
2.3.14 Penanganan Dan Pemanfaatan Limbah Kandang yang baik harus memiliki saluran pembuangan limbah atau feses sapi. Saluran pembuangan limbah yang ideal adalah dengan lebar 30 cm, yang berfungsi yntuk mengalirkan kotoran sapi ke saluran biogas (bila di peternakan terdapat instalasi biogas) atau ke saluran penampungan kotoran untuk dijual sebagai pupuk kandang. Limbah kandang yang berupa kotoran ternak, baik padat (feses) maupun cair (air kencing, air bekas mandi sapi, air bekas mencuci kandang dan prasarana kandang) serta sisa pakan yang tercecer merupakan sumber pencemaran lingkungan paling dominan di area peternakan. Limbah kandang dalam jumlah yang besar dapat menimbulkan bau yang menyengat, sehingga perlu penanganan khusus agar tidak menimbulkan pencemaran lingkungan (Sarwono dan Arianto, 2002). Pada praktikum, pengolahan limbah yang dilakukan dengan mengolah menjadikan sebagai biogas. Kotoran di masukan dalamdigester, kemudian di proses selama 60-90 hari, hingga muncul gas. Dan gas nya di gunakan sebagai sumber energi bagi penerangan. Pengolahan kotoran sapi ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, tergantung dari bahan tambahan yang digunakan. Jika limbah sapi dijadikan komoditas sampingan, harus dipersiapkan tempat khusus pengolahan kompos yang disesuaikan dengan tata letak kandang, sehingga memudahkan penanganannya Saat ini, limbah kandang padat yang dijadikan kompos atau pupuk organik banyak diminati masyarakat. Hal ini disebabkan harga pupuk kimia relatif mahal dan merusak sifat fisik tanah. Pengolahan limbah sapi menjadi kompos jika dilakukan dengan benar akan menjadi sumber penghasilan tambahan. Pengolahan limbah sapi ini bisa dilakukan dengan berbagai cara, tergantung dari bahan tambahan yang digunakan (Sudono, 2003).
2.3.15 Kualitas Susu Di Lokasi Praktikum Sapi perah akan menghasilkan susu setiap laktasi. Setiap laktasi akan menghasilkan kualitas susu yang relatif berbeda. Kadar lemak dan bahan kering susu akan menurun berturut-turut sebesar 0,2% dan 0,4% terutama laktasi pertama sampai laktasi kelima. Penilaian kualitas susu ada dua macam yaitu secara fisik dan kimiawi. Penilaian kualitas susu secara kimiawi diantaranya dapat berdasarkan kadar lemak, bahan kering, berat jenis dan kadar protein. Kualitas susu yang tercantum dalam peraturan pemerintah (milk codex) yaitu minimal kadar lemak 2,7% , bahan kering 12,10%, berat jenis 1,028 dan protein 3,00%. Susu dengan kadar lemak yang lebih rendah dari standar yang telah ditentukan, maka susu dikatan tidak normal. (Sudono, 2003). Pada praktikum yang telah kami lakukan, setelah dilakukanpemerahan pada pagi hari kami melakukan uji kualitas susu yang berasal dari tempat praktikum.
Nama 12-5-2014 13-5-2014 14-5-2014 16-5-2014 Lemak Protein Lemak Protein Lemak Protein Lemak Protein Danang 1,00 2,76 4,8 3,6 3,7 2,55 4,5 2,35 Egi 4,02 2,72 2,9 4,2 3,5 2,72 4,2 2.25 Sis 3,84 2,56 4 3,51 4,0 2,42 4,45 2.75 Suwok 3,79 2,53 3,9 3,6 3,95 2,52 3,90 2,21
Dari data di atas menunjukan bahwa kandungan nutrisi susu yang berasal dari tempat praktikum masih dalam standar. Adanya perbedaan kualitas setiap harinya di pengaruhi oleh kondisi ternak masing masing, tingkat konsumsi ternak setiap harinya. Selain itu produktifitas juga berpengaruh terhadap kualitas, semakin tinggi produktifitas susu, biasanya kualitas susu yang di hasilkan cenderung rendah. Selain itu juga di pengaruhi oleh periode laktasi dan juga bulan laktasi. 2.4 Sapi Periode Kering Sejak awal kebuntingan, induk memerlukan perhatian penuh dari peternak. Keberhasilan pedet yang dilahirkan dan perkembangannya lebih lanjut ditentukan oleh kondisi awal yang baik seperti tubuh yang sehat dan kuat. Perhatian utama untuk induk bunting adalah menjaga kondisi tubuh tetap sehat dan kuat. Untuk itu induk bunting perlu diberi kesempatan istirahat, sehabis berproduksi diberi makanan yang cukup dan baik, kesehatan dijaga dengan baik, khususnya agar terhindar dari penyakit mastitis. Sapi laktasi yang sedang bunting sekitar 7 bulan, meskipun produksi susunya tinggi sebaiknya dikeringkan. Masa kering sangat penting bagi induk yang pernah melahirkan dan berproduksi. Pengeringan ini penting untuk mengembalikan kondisi ambing dan memberi kesempatan perggantian sel-sel epitelium yang aus selama laktasi yang sedang berjalan serta untuk mencapai kondisi tubuh yang prima keitika kelak melahirkan (Mukhtar,2006). Apabila seekor sapi perah tidak mempunyai periode masa kering diantara periode laktasi, maka prosuksi susu pada periode berikutnya akan berkurang. Pengeringan adalah menghentikan pemerahan selama 8 minggu menjelang sapi melahirkan kembali pada sapai-sapi yang mengalami periode laktasi kedua dan seterusanya. Periode yang kering, maka yang optimal bila masa istirahat dapat diberikan kepada organ yg mengeluarkan susu dan gizi dalam makanan dan pakan ternak dapat digunakan sangat dibutuhkan untuk mendapatkan bobot dari sapi dan tepat perkembangan janin bukan produksi susu. Ini adalah masa untuk membersihkan penyakit kronis, memungkinkan sapi untuk membangun sebuah cadangan tubuh daging sebelum melahirkan anak sapi dan mencukupi dalam tubuhnya yang habis dari sumber mineral (Anonim, 2009) Selama masa kering dimaksudkan untuk: 1. Agar tubuh induk dapat membentuk makanan cadangan berupa vitamin-vitamin seperti vitamin A yang dapat dimanfaatkan oleh anak yang baru lahir, lewat kolostrum bersama antibodi yang sangat penting basi kesehatan pedet. 2. Agar tubuh induk dapat mengisi kembali vitamin-vitamin, mineral, dan lain- lain untuk kebutuhan induk sendiri, sehingga kondisinya tetap sehat dan kuat walaupun mengalami masa laktasi yang berat. 3. Agar kondisi tubuh menjadi baik, sehingga akan memberikan jaminan kelangsungan produksi susu tetap baik dan bahkan dapat meningkat. 4. Agar pertumbuhan dan kesehatan anak dalam kandungan tetap terjamin. Sebab janin akan tumbuh baik apabila mendapatkan zat-zat makanan yang cukup dari induk. (AAK, 1995) Periode yang kering dapat dibagi menjadi tiga bagian : 1. Diluar periode pengeringan (pertama 4 sampai 10 hari) 2. Yang kering atau jauh pada masa (waktu 30-40 hari) 3. Transisi atau periode close-up (21 hari terakhir sebelum melahirkan anak sapi) (Gamroth, M. Dan Carroli, D. 1995) 2.4.2 Pakan Pada saat sapi perah dalam kondisi kering, kebutuhan akan konsumsi pakan penting untuk di perhatikan. Hal ini di maksudkan untuk menjaga kesehatan sapi itu sendiri serta untuk menjaga kesehatan kandungan ternak tersebut. Pada kondisi ini komposisi ransum perlu dilakukan perhitungan secara optimal guna untuk meminimalkan problem metabolik pada atau setelah beranak serta untuk meningkatkan produksi susu pada masa laktasi berikutnya. Secara umum pada konsisi kering ini, ternak diberikan sedikit hijauan dan pengurangan bahkan penghentian pemberian konsentrat pada masa awal kering, sedangkan pada akhir masa kering hijauan diberikan dalam jumlah seperti biasa dan diikuti dengan penambahan konsentrat. Ransum harus diformulasikan untuk memenuhi kebutuhannya yang spesifik: maintenance, pertumbuhan foetus, pertambahan bobot badan. Panda kondisi ini konsumsi BK ransum harian yang diberikan pada ternak tidak boleh melebihi dari 2% berat badan, konsumsi hijauan minimal 1% berat badan. Setengah dari 1% BB (konsentrat) per hari biasanya cukup untuk program pemberian pakan sapi kering. Pada masa kering, sapi perah harus di tekan jangan sampai terlalu gemuk atau BCS nya melebihi standar untuk sapi bunting (2,5 3). Hal ini dimaksudkan agar sapi tersebut tidak ada kendala dalam proses kelahiran nantinya. Komposisi hijauan kualitas rendah, seperti grass hay, baik diberikan pada kondisi ini dengan tujuan untuk membatasi konsumsi hijauan. Pada kondisi kering kebutuhan protein yang dikonsumsi sapi perah sebesar 12 % sudah cukup untuk menjaga kesehatan ternak tersebut. Kebutuhan Ca dan P sapi kering harus dipenuhi, tetapi perlu dihindari pemberian yang berlebihan; kadang-kadang ransum yang mengandung lebih dari 0,6% Ca dan 0,4% P meningkatkan kejadian milk fever. Trace mineral, termasuk Se, harus disediakan dalam ransum sapi kering. Juga, jumlah vitamin A, D. dan E yang cukup dalam ransum untuk mengurangi kejadian milk fever, mengurangi retained plasenta, dan meningkatkan daya tahan pedet. Sedikit konsentrat perlu diberikan dalam ransum sapi kering dimulai 2 minggu sebelum beranak, bertujuan Mengubah bakteri rumen dari populasi pencerna hijauan seluruhnya menjadi populasi campuran pencerna hijauan dan konsentrat dan Meminimalkan stress terhadap perubahan ransum setelah beranak.
BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan (Lokasi Praktikum) Sebaiknya dalam usaha untuk mengembangkan sebuah usaha peternakan sapi perah yang diharapkan produksi susu tinggi sebaiknya peternank atau pengelola Laboratorium Lapang Sumbersekar dapat memperhatikan semua aspek dari mulai pemeliharaan pedet hingga penanganan sapi laktasi. Hal yang terpenting adalah selalu memperhatikan Bibit, Pakan, Manajemen Pemeliharaan, sehingga diharapkan produksi susu sapi perah dapat ditingkatkan. 3.2 Kesimpulan (Kegiatan Praktikum) Dari hasil semua kegiatan praktikum yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa serangkaian praktikum Manajemen Pemeliharaan Ternak Perah cukup baik, namun harus dilakukan lebih lagi seperti halnya yang ada di PKL sehingga dapat diharapkan praktikan dapat merasakan PKL mini yang sesungguhnya.
DAFTAR PUSTAKA Akoso, B. T. 1996. Kesehatan Sapi. Kanisius. Yogyakarta. Anonimus. 1995. Petunjuk Beternak Sapi Potong dan Kerja. Kanisius. Yogyakarta. Anonimus .1996. Petunjuk Praktis Beternak Sapi Perah .Kanisius. Yogyakarta. Anonimus . 2002. Beternak Sapi Perah. Kanisius. Yogyakarta. Blakely, J dan D.H, Bade. 1994. Ilmu Peternakan. Edisi ke empat. Di terjemahkan oleh Srigandono, B. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Budiharjo dan Ernawati, 2002. Intergrasi Padi dengan Sapi Potong. Badan Penelitian dan pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jawa Tengah. Djarirah, A.S. 1996. Pengembangan Persusuan dan Dampak Bagi PengembanganOperasi dan Peternak. Penebar Swadaya. Jakarta Djojowidagdo, S. 1982. Mastitis Mikotik, Radang Kelenjar Susu oleh Cendawanpada Ternak Perah. Warta Zoa 1 : 9 12. Kanisius. YogYakarta. Girisonta. 1995. Petunjuk Praktis Beternak Sapi Perah .Kanisius. Yogyakarta. Hadiwiyoto, S. 1983. Tekhnik Uji Mutu Susu dan Hasil Olahannya. Liberty. Yogyakarta. Kusnadi, U. 1983. "Efisiensi Usaha Peternakan Sapi Perah yang Tergabung dalam Koperasi di Daerah Istimewa Yogyakarta", Proceeding Pertemuan IlmiahRuminansia Besar. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan.Bogor. Mukhtar, A. 2006. Ilmu Produksi Ternak Perah . Lembaga Pengembangan Pendidikan (LPP) dan (UNS Press). Surakarta. Muljana, B.A. 1987. Pemeliharaan dan Kegunaan Ternak Perah. CV.Aneka Ilmu. Semarang. Sarwono, B. dan H.B.Arianto. 2002. Penggemukan Sapi Potong Secara Cepat. Penebar Swadaya. Jakarta. Siregar, A.G.A. 1995. Pengaruh Cuaca dan Iklim Pada Produksi Susu. Institut Pertanian Bogor, Fakultas Kedokteran Hewan. Jakarta. Siregar D.A. 1996. Usaha Ternak Sapi. Kanisius Yogyakarta. Siregar S. B. 1993. Sapi Perah, Jenis, Tekhnik Pemeliharaan dan Analisis Usaha. Angkasa, Bandung. Siregar S. B. 1996. Konsep Peraturan Makanan Ternak tentang Standar MakananSapi Perah. Usaha Angkasa. Bandung. Sitorus, P.E. 1983. Perbandingan Produktivitas Sapi Perah Impor di Indonesia. Laporan Khusus Kegiatan Penelitian Periode Tahun 1982-1983. Balai Penelitian Ternak. Bogor Soebandryo. 2001. Pemanfaatan Limbah Ternak. Trobos, edisi 11 hlm 7. Jakarta Sudono, A. 1983. Perkembangan Ternak Ruminansia Besar Ditinjau dari IlmuPemuliaan Ternak Perah di Indonesia. Proceeding Pertemuan IlmiahRuminansia Besar. Puslitbangnak. Bogor. Sudono, A. 1999. Ilmu Produksi Ternak Sapi Perah. Cetakan ke 1. Jurusan Ilmu Sudono, A. 2003. Keuntungan Dalam Pengolahan Limbah Ternak. Trobos. Jakarta. Produksi Ternak. Fakultas Peternakan IPB . Bogor. Sudono, A., R. F. Rosdiana, dan B. S. Setiawan. 2003. Beternak Sapi PerahSecara Intensif . Agromedia Pustaka. Jakarta. Sugeng, Y.B. 2001. Laporan Feasibility Study Sapi Perah di Daerah SumateraUtara, Survey Agro Ekonomi. Penebar Swadaya. Jakarta. Sutardi, T. 1983. Pengaruh Kelamin dan Kondisi Tubuh Terhadap HubunganBobot Badan dengan Lingkat Dada pada Sapi Perah. Media Peternakan,Agromedia Pustaka. Jakarta. Sutardi, T. 1984. Konsep Pembakuan Mutu Ransum Sapi Perah. Institut Pertanian Bogor, Fakultas Peternakan. Jakarta. Syarief, M.Z. dan Sumoprastowo, C.D.A. 1985. Ternak Perah. CV.Yasaguna. Jakarta. Toelihere, M.Z. 1985. Ilmu Kebidanan pada Ternak Sapi dan Kerbau. Universitas Indonesia Press. Jakarta. Widodo. 2003. Bioteknologi Susu. Lacticia Press. Yogyakarta. Williamson, G. dan W.J.A. Payne. 1993. Pengantar Peternakan di DaerahTropis.Diterjemahkan oleh Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Zainuddin, G. 1982. Hijauan Makanan Ternak, Apa dan Bagaimana. Swadaya Warta Persusuan Indonesia. Jakarta