Vous êtes sur la page 1sur 31

LAPORAN PRAKTIKUM

MANAJEMEN TERNAK PERAH


Manajemen Pemeliharaan Sapi Perah di Laboratorium Lapang
Sumbersekar













Disusun oleh:
Ahmad Azmi Khoirul Umam (115050100111132)



FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2014

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Sapi perah merupakan golongan hewan ternak ruminansia yang dapat
mendukung pemenuhan kebutuhan akan bahan pangan bergizi tinggi yaitu susu.
Pemeliharaan sapi perah beberapa tahun terakhir ini menunjukkan perkembangan
yang sangat pesat. Perkembangan ini senantiasa di dorong oleh pemerintah agar
swasembada susu tercapai secepatnya.
Dalam meningkatkan kualitas serta kuantitas produksi sapi perah, ada
beberapa faktor penting yang harus di terapkan secara profesional yaitu perlunya
penanganan manajemen pemeliharaan sapi perah yang baik. Karena hal tersebut
mempunyai peran penting dalam peningkatan kualitas produk susu sapi perah.
Salah satu aspek yang mempunyai pengaruh penting terhadap peningkatan
produksi susu sapi adalah pemeliharaan atau penanganan sapi perah masa kering
kandang.
Pemeliharan sapi perah tidak terlepas dari perawatan dan
pemeliharaannya. Sapi ternak memiliki pemeliharaan khusus yang sangat beda
perawatannya dengan sapi potong.Manajemen pemeliharaan pedet, dara, sapi
kering dan induk laktasi sapi perah merupakan pelaksanaan pemeliharaan ternak
setiap hari yang kegiatannya meliputi pemberian pakan dan minum, sanitasi
kandang, pelaksanaan perkawinan, pemerahan, pembersihan dan kesehatan sapi,
dan sistem perkandangan.
1.2. Tujuan
Tujuan dari praktikum ini adalah memberi pengetahuan kepada praktikan
dalam melakukan manajemen peternakan sapi perah ditempat praktikum dan
membandingkan dengan litelatur.
1.3.Manfaat
Manfaat dari praktikum ini adalh mendapat pengetahuan dan pengalaman
secara langsung selama 7 hari berkaitan manajemen produksi terna perah di
laboratorium lapang sumber sekar fakultas peternakan universitas brawijaya.
BAB II
HASIL DAN PEMBAHASAN
2.1. Pedet Pra Sapih
2.1.1. Pakan Pedet (susu)
Berdasarkan hasil pengamatan pedet prasapih tidak dilakukan karena tidak
terdapat pedet prasapih. Namun, apabila pedet lahir pekerja kandang menyusukan
pedet secepat mungkin dengan mengarahkan pedet pada puting induknya supaya
segera mendapatkan kolostrum, Apabila pedet lahir sehat dan kuat biasanya 30
sampai dengan 60 menit setelah lahir sudah dapat berdiri. Menurut Soetarno
(2003) Pedet waktu lahir tidak memiliki kekebalan untuk melawan penyakit. Oleh
karena itu 30 sampai dengan 60 menit setelah lahir pedet segera diberi minum
kolustrum. Kolostrum adalah susu yang dihasilkan oleh sapi setelah melahirkan
sampai sekitar 5 sampai dengan 6 hari. Kolostrum sangat penting untuk pedet
setelah lahir karena kolustrum mengandung zat pelindung atau antibodi yang
dapat menjaga ketahanan tubuh pedet dari penyakit berbahaya
Menurut purwanto (2006) jumlah pemberian setiap ekor pedet setiap hari
masing-masing sebanyak 3 liter, 4 liter dan 5 liter berturut-turut mulai umur 5- 30
hari, 31-60 hari dan 61-90 hari. Mulai umur 3 minggu pedet diajarkan makan
rumput. Pemberian rumput dilakukan setiap hari dengan jumlah pemberian
masing-masing0,25 kg/ekor, 0,5 kg/ekor dan 1 kg/ ekor secara berturut-turut
mulai umur 21-30 hari, 31-60 hari dan 61-90 hari. Rumput yang diberikan pada
pedet adalah rumput yang muda dan telah dipotong kecil-kecil.
Berdasarkan hasil praktikum manajemen pemeliharaan pedet meliputi
pemberian susu dari induknya dimana pedet tidak menyusu secara langsung pada
induknya, tetapi diberi susu dengan menggunakan ember susu atau botol dot susu.
Tetapi pada tempat praktikum tidak terdapat pedet pra sapih. Menurut Siregar
(2003) Pengelolaan pedet sapi perah rakyat pada kebanyakan peternak tidak
memisahkan pedet dan induknya setelah lahir. Hanya bagian kecil yang
memisahkan pedet dari induknya setelah lahir. Model pemeliharaan yang kurang
baik menyebabkan kematian mencapai 23-25% sampai pedet umur 4 bulan.
Di Laboratorium lapang Sumbersekar, apabila pada awal menyusu pedet
mengalami kesulitan maka dapat dilatih dengan menggunakan ember terbuka dan
memerlukan kesabaran. Caranya mula-mula pedet dibiarkan menjilat atau
mengisap jari telunjuk yang dibasahi kolostrum. Selanjutnya jari telunjuk yang
dihisap-isap, perlahan-lahan dimasukkan sedikit demi sedikit kedalam ember yang
berisi kolostrum dan dibiarkan beberapa menit mengisap-isap jari telunjuk dan
kolostrum turut terserap sedikit-sedikit. Kemudian jari telunjuk perlahan-lahan
dilepas dari pedet. Perlakuan demikian perlu diulang-ulang sehingga akhirnya
pedet mau minum kolostrum dari ember tanpa bantuan lagi atau dengan
menggunakan botol yang diberi selang karet lunak.
Kolostrum buatan diberikan pada pedet apabila induk tidak dapat
menghasilkan kolostrum. Kolostrum buatan sekali minum terdiri dari campuran
liter susu murni + 1 sendok teh minyak ikan + 1 sendok teh kastroli + 1 telur yang
dikocok didalam liter air hangat. Pemberian kolustrum buatan diberikan 3 kali
sehari selama 3 sampai dengan 4 hari (Soetarno, 2003).
2.1.2 Bobot Badan
Pedet periode prasapih memerlukan pakan cair dan kering dan sebaiknya
diberikan campuran biji-bijian kering ketika berumur tiga hari. Pemberian pakan
kering lebih awal sangat penting untuk menstimulasi perkembangan rumen.
Target pemeliharaan pedet periode prasapih adalah mencapai bobot badan 65 kg
pada saat umur 8 minggu atau umur sapih. Pedet mengkonsumsi pakan kasar
minimal 1 kg/hari. Setelah disapih konsumsi konsentrat pedet sekitar 2 kg/hari.
Pedet pada periode ini diusahakan mencapai pertambahan bobot badan harian 0,7
kg (Anonymous, 2006).
2.1.3 Kandang
Pedet yang berusia 0 4 bulan harus dibuatkan kandang sendiri agar tidak
bercampur dengan pedet atau sapi lainnya. Dapat pula dibuatkan penyekat atau
penghalang antar kandang. Hal ini disebabkan pedet sangat rentan terhadap
penyakit yang disebabkan oleh perubahan cuaca dan pedet memiliki naluri
menyusu sehingga jika disatukan dapat saling mngisap dan menjilat. Kandang
pedet lazimnya dibuat dari bahan bambu atau kayu berukuran 95 x 150 x 130 cm.
2.2 Pedet post Sapih
2.2.1 Pakan dan Minum
Hari ke- 1 2 3 4 5 6 7
Pagi (kg) 28 28 28 28 28 28 28
Sore (kg) 28 28 28 28 28 28 28

Berdasarkan praktikum bahwa sistem pemberian pakan pada pedet post
sapih sama dengan dengan sapi yang lain namun kapasitas yang berbeda yaitu
lebih banyak konsentrat untuk tujuan masa siap dikawinkan atau bunting awal.
Pemberian pakan pada pedet post sapih akan sangat mempengaruhi
perkembangan pedet post sapih, baik perkembangan bagian tubuhnya maupun alat
reproduksinya.
Hal tersebut sesuai dengan pendapat Ensminger (1992) yang menytakan
bahwa pedet post sapih adalah sapi pada masa antara lepas sapih sampai laktasi
pertama kali yaitu berkisar antara umur 12 minggu sampai dengan 2 tahun.
Siregar (1998) menambahkan bahwa pada masa lepas sapih, berarti sapi sudah
tidak mendapatkan susu lagi dari induk sehingga untuk memenuhi kebutuhannya
dibutuhkan pakan yang dapat menggantikan kebutuhan akan susu tersebut. Jadi,
pada perawatan pedet post sapih lebih diutamakan pada pemberian pakan yang
tepat yang nantinya dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan yang
optimal
Pakan pedet lepas sapih (4-8 bulan) sudah dapat disediakan/diberikan
pakan konsentrat dan dan hijauan/rumput. Pemberian pakan dan air kepada pedet
lepas sapih sebaiknya tidak terbatas (ad libitum). Hal ini disebebakan pedet berada
dalam kandang koloni,sehingga apabila daya pakannya baik akan tumbuh lebih
cepat. Namun, patokan pemberian pakan kepada pedet adalah konsentrat 11,5%
dan hijauan 10% dari bobot hidup. Susunan konsentrat untuk pedet lepas sapih
terdiri atas 26% bungkil kelapa, 24% bungkil kedelai, 25% dedak halus dan 25%
ampas tapioka.
2.2.2 Bobot Badan
No Sapi 1 2 3
Lingkar Dada (cm) 138 134 126
Bobot Badan (kg) 222 206 162

Berdasarkan hasil pengamatan bobot badan pedet post sapih yang ada dilokasi
peternakan mempunyai bobot badan rata-rata 200 kg dengan umur 4-5 bulan.
Menurut purwanto (2006) pada sapi perah bobot sapih pedet pada umur 90 hari
mencapai 60,64 kg dari rata-rata bobot lahir sebesar 26,78 kg dengan pertambahan
bobot badan rata-rata sebesar 33,86 kg/ekor,90 hari atau 0,36 kg/ekor/hari
sehingga dengan pemeliharaan yang baik pedet lepas sapih akan dapat mencapai
bobot badan ideal rata-rata 200 kg selama 2-3 bulan. Hal ini sesuai dengan
hidajanti (2000) pada pemeliharaan pedet lepas sapi dengan pemberian pakan
sesuai kebutuhan dengan bobot badan awal rata-rata 72-128 kg akan
menghasilkan bobot badan akhir rata-rata 200-220 kg selama pemeliharaan 3
bulan.
2.2.3 Kandang
Kandang yang diperlukan untuk pedet lepas sapih yang berusia 4 8 bulan
berupa kandang sistem kelompok di dalam kandang koloni. Hal ini dimaksudkan
agar sapi-sapi remaja lebih bebas bergerak sehingga tulang dan badannya kuat dan
tidak terjadi persaingan dalam mendapatkan pakan. Karenanya tempat pakan,
tempat minum dan tempat berteduh dibuat terpisah.
Pedet yang sudah besar dapat dimasukkan atau dipelihara dalam kandang
kelompok yang juga dilengkapi dengan tempat pakan dan minum secara
individual sehingga mereka mendapatkan pakan dan minuman secara merata dan
tidak terganggu satu sama lain. Pedoman ukuran atau kapasitas kandang
kelompok untuk pedet umur 4 sampai dengan 8 minggu adalah 1 m/ ekor, dan
umur 8 sampai dengan 12 minggu adalah 1,5 m/ ekor. Ketinggian dinding keliling
1 meter. Setiap kelompok sebaiknya tidak melebihi 4 ekor. Karena dapat menekan
penyebaran penyakit, terutama scours (Sugeng, 2003).
Bahan atap kandang dapat digunakan asbes, seng, genting, daun ijuk, daun
alang alang dan lain-lain. Sudut kemiringan atap untuk sapi perah 30. Bahan
lantai kandang dibuat dari beton kasar dengan kemiringan 5, bahan lantai
kandang berupa beton (Siregar, 2003). Menurut Girisanto (2006) bahan atap
kandang yang ideal di daerah tropis adalah genting , karena genting mudah
didapat, tahan lama, dan antara genting terdapat celah-celah sehingga sirkulasi
udara cukup baik. Namun kelemahan dari genting adalah harganya yang cukup
mahal jika dibandingkan dengan daun ijuk.
2.3. Pemeliharaan Sapi Laktasi
2.3.1 Bangsa Sapi
Sapi perah adalah jenis sapi yang dapat menghasilkan air susu melebihi
dari kebutuhan anaknya dan merupakan salah-satu dari ternak perah yang mampu
merubah makanan menjadi air susu yang sangat bermanfaat bagi anak-anaknya
maupun bagi manusia. Sapi perah yang banyak dipelihara adalah sapi jenis Fries
Holland (FH), sedangkan di Indonesia lebih banyak ditemukan sapi Peranakan
Friesien Holstein ( PFH ), yang merupakan hasil persilangan antara sapi Friesien
Holstein ( FH ) dengan sapi lokal yang ada di Indonesia (Siregar, 1998).
Berdasarkan praktikum yang kami lakukan di lab lapang, bahwa semua
ternak perah yang terdapat pada laboraturium adalah jenis sapi PFH. Dijelaskan
lebih lanjut bahwa sapi PFH ini mempunyai ciri-ciri fisik mirip sapi FH antara
lain yaitu warna belang hitam putih, tanduk pendek yang menjurus ke depan, pada
dahi terdapat warna putih yang berbentuk segitiga dan mempunyai sifat tenang
dan jinak. Sapi PFH digolongkan sebagai ternak tipe dwiguna, yaitu sebagai
penghasil susu sekaligus sebagai penghasil daging dengan persentase karkas dapat
mencapai 59,3 %.
Hal ini sesuai dengan (Blakely dan Bade, 1994) Sapi PFH sangat menonjol
karena banyaknya jumlah produksi susu namun kadar lemaknya rendah, kapasitas
perut besar sehingga mampu menampung pakan banyak, mempunyai kemampuan
yang tinggi dalam mengubah pakan menjadi susu.



2.3.2 Tingkat Laktasi Dan Umur Sapi

No sapi 1 2 3 4
Tingkat laktasi 5 4 4 3
Umur sapi 6 4,5 4,5 3
Rataan produksi susu 11.5 8,5 6,4 7,6

Di Laboratorium Lapang Sumbersekar, terdapat 4 sapi laktasi yang
memiliki tingkat laktasi dan umur sapi yang berbeda antara satu sama lain, hal ini
dapt dijelaskan bahwa pada sapi 1 memasuki tingkat laktasi bulan ke-6 dengan
umur sapi 4 tahun, sapi 2 memasuki tingkat laktasi bulan ke-5 dengan umur sapi 6
tahu, sapi 3 memasuki tingkat laktasi bulan ke-3 dengan umur sapi 3 tahun,
sementara sapi 4 memasuki tingkat laktasi bulan ke-4 dengan umur sapi 5 tahun.
Dengan tingkat laktasi dan umur sapi yang berbeda ini menunjukkan produksi
susu yang berbeda antara satu sapi dengan yang lainnya.
Tingkat laktasi dan umur sapi berpengaruh terhadap produksi yang di
hasilkan oleh se ekor ternak sapi perah. Hal ini di karenakan perkembangan
ambing pada stiap periode laktasi akan menambah jumlah produksi susu. Begitu
juga dengan umur sapi. Ternak akan mencapai produksi yang optimal pada umur
antara 3-6 tahun.
Hal ini sesuai dengan (Anggraeni, Fitriyani, Atabany, dan Komala, 2008),
Dilaporkan bahwa rata-rata produksi susu sapi FH per ekor per hari di BPPT
Cikole, Lembang, Jawa Barat pada periode laktasi pertama adalah 11,9 2,7 kg,
laktasi kedua adalah 15,4 3,2 kg, laktasi ketiga adalah 17,3 4,1 kg, laktasi
keempat adalah 15,4 3,7 kg, dan laktasi kelima adalah 14,3 3,9 kg.
Umur sapi perah saat beranak pertama atau laktasi pertama menentukan
jumlah produksi susu yang dihasilkan pada periode laktasi tersebut, begitu juga
jumlah produksi susu selama sapi perah tersebut hidup. Standar optimal umur
bangsa sapi perah FH untuk beranak pertama adalah 27 bulan. Sapi yang beranak
pada umur yang tua (3 tahun) akan menghasilkan susu yang lebih banyak dari
pada sapi yang beranak umur muda (2 tahun). Produksi susu akan terus meningkat
dengan bertambahnya umur sampai sapi berumur 7 atau 8 tahun, walaupun ini
sangat ditentukan oleh breed ternak dan kemudian setelah umur tersebut produksi
susu akan menurun sedikit demi sedikit sampai sapi berumur 11 atau 12 tahun
produksi susunya akan rendah sekali. Meningkatnya produksi susu tiap laktasi
dari umur 2 tahun sampai 7 tahun itu disebabkan bertambah besarnya sapi karena
pertumbuhan, jumlah tenunan-tenunan dalam ambing juga bertambah.

Dari hasil praktikum di peroleh hasil produksi yang tertera pada tabel
berikut:
Nama
sapi
Sabtu (L) Minggu(L) Senin (L) Selasa (L) Rabu (L) Kamis (L) Jumat (L)
pagi sore pagi sore pagi Sore pagi sore pagi sore pagi sore pagi sore
Danang 4 3 5,65 3,6 2,65 5,3 4,95 2,7 5 2,5 5,1 2,65 4,5 2,3
Eggi 5,9 3,1 6 3,1 4,65 3,05 5,85 3 6 3 5,3 2,95 4,65 3,2
Sis 10 4,4 10,2 4,5 8,5 6,3 9,8 4 6.9 4,2 9 4,35 10 5,6
Suwok 6,9 4,75 7,4 4,1 8,6 3,7 7 5,5 6 4,25 6,5 5,75 6,9 4,7


2.3.3 Bulan Laktasi Dan Persistensi
Masa laktasi dimulai sejak sapi itu berproduksi sampai masa kering tiba.
Dengan demikian, masa laktasi berlangsung selama 10 bulan atau kurang lebih
305 hari, setelah dikurangi hari-hari untuk memproduksi colostrum. Dengan
demikian semasa laktasi berlangsung 309 hari ini diawali dengan produksi
colostrum 4 5 hari, sehingga produksi susu biasa berlangsung 309 hari 4 = 305
hari.
Bulan laktasi merupakan berapa lama laktasi pada ternak selama satu
periode laktasi. Pada awal laktasi produksi susu mengandung kolostrum, dan
setiap harinya akan meningkat dan mencapai puncak pada bulan ke 3-4.
Kemudian akan menurun pada bulan bulan berikutnya. Hingga akhirnya di
keringkan.
Persistensi susu sangat dipengaruhi oleh keseimbangan tiga hormon yaitu
Prolactin, Thyroxine dan Growth Hormon. Apabila salah satu lebih, hormon yang
disekresikan lebih kecil dari rata rata optimal, akan berpengaruh terhadap
persistensi. Untuk meningkatkan produksi susu selaa laktasi, peternak dapat
melakukan seleksi sapi mereka dengan memilih sapi sapi selain puncak
produksinya tertinggi, juga dipilih persistensinya yang bagus, (Campbell, 1975).

2.3.4 Bobot Badan dan BCS
Di Laboratorium Lapang Sumbersekar ini sapi laktasi memiliki bobot
badan dan tingkat nilai Body Condition Score (BCS) yang bermacam-macam, hal
ini dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Nomor Sapi 1 2 3 4
Bobot Badan
(kg)
491 491 543 561
BCS 2,5 3 2 2
Jika dilihat dari pendapat (Anonimus, 1995) yang menyatakan bahwa bobot sapi
betina dewasa mencapai 625 kg dengan produksi susu sangat tinggi mencapai
4500-5000 liter/ ekor/ laktasi sangat berbeda dengan kondisi yang ada di
Laboratorium Lapang Sumbersekar karena bobot badan paling tinggi diantara
keempat sapi laktasi ini yang paling tinggi adalah bobot badan dari sapi keempat
yang hanya memiliki bobot bdan sebesar 561kg, hal ini pula terbukti dengan
rataan produksi susu yang dihasilkan oleh sapi-sapi perah di Laboratorium Lapang
sumbersekar yang hanya 10 liter/ekor/hari dengan produksi 3000 liter/ekor/tahun.
Hal inilah yang sangat menyulitkan peternakan di Indonesia untuk dapat
memenuhi kebutuhan susu nasional, karena produksi susu yang masih rendah
karena bobot badan sapi laktasi yang belum mencapai optimal.
Metode Body Condition Score adalah suatu metode pengukuran kritis
terhadap keefektifan sistem pemberian pakan pada sapi perah, bertujuan untuk
mengetahui pencapaian standar kecukupan cadangan lemak tubuh yang akan
mempengaruhi dalam penampilan produksi susu, efisiensi reproduksi dan herd
longevity. Pelaksanaan pemeriksaan kondisi tubuh pada bibit sapi perah diperoleh
melalui estimasi penilaian secara visual terhadap kuantitas jaringan lemak kulit,
perhitungan nilai BCS sebesar 5 poin (1 sampai 5) dengan penambahan nilai 0,25
(Quarter point) dihitung berdasarkan kondisi subcutan lemak tubuh pada pangkal
ekor dan sekitar tulang belakang, hips,ribs, pin bone.
Pada sapi laktasi BCS standarnya adalah 2,75-3,75 yang harus di
jaga agar ternak tidak terlalu kurus dan juga tidak terlalu gemuk. Ternak perah
laktasi yang BCS nya di bawah 2,75, produksinya akan cenderung rendah. Ternak
akan mengkonsentrasikan pakan yang di konsumsinya untk memulihkan kondisi
tubuhnya. Begitu juga ternak yang BCSnya lebih dari 3,75 , pakan yang di
konsumsinya banyak di gunakan untuk pembntukan daging daripada
pembentukan susu.

2.3.5 Pakan
Pada hasil praktikum yang telah dilaksanakan bahwa pemberian pakan
yang di berikan pada ternak sapi perah, di jadikan satu proses pemberian. Yakni
dari 4 ekor sapi laktasi, 6 ekor sapi kering dan dara bunting, dberikan pakan
berupa konsentrat 20 kg, pakan tambahan ( kulit kedelai) 284 kg, dan rumput
gajah 190 kg per hari. Hal ini sangat tidak sesuai dengan prosedur ataupun
manajemen yang harus di lakukan pada sapi dengan periode produksi yang
berbeda. Antara sapi laktasi, sapi kering, dan sapi dara bunting mempunyai
kebutuhan nutrisi yang berbeda. Oleh karena itu seharusnya pemberian pakan di
pisahkan sesuai periode produksi. Agar kebutuhan nutrisi ternak pada setiap
periode produksi dapat terpenuhi dengan cukup dan optimal.
Menurut(Soedono dan Sutardi, 2003) Sapi perah laktasi dengan produksi
susu tinggi harus diberi ransum dengan jumlah banyak dan berkualitas
dibandingkan dengan sapi perah yang produksi susunya rendah. Hal ini
disebabkan oleh tingginya kebutuhan nutrien pada sapi perah yang produksinya
tinggi.
Pakan diperlukan oleh sapi laktasi untuk kebutuhan hidup pokok dan
produksi susu. Pakan yang diberikan berupa hijauan dan konsentrat. Konsentrat
berpengaruh terhadap kadar berat jenis susu dan produksi, sehingga semakin
tinggi nilai konsentrat berat jenis susu akan tinggi, sedangkan hijauan akan
berpengaruh terhadap kualitas susu yang dihasilkan terutama lemak yang
dihasilkan
Pakan sapi perah terdiri dari hijauan leguminosa dan rumput yang
berkualitas baik serta dengan konsentrat tinggi kualitas dan palatabel (Blakely dan
Bade, 1994). Pemberian pakan dimaksudkan agar sapi dapat memenuhi kebutuhan
hidupnya sekaligus untuk pertumbuhan dan reproduksi. Pemberian pakan
hendaknya mencukupi kebutuhan dan harus efisien, sehingga tidak menimbulkan
kerugian (Djarijah, 1996).

Ransum induk laktasi pada dasarnya terdiri dari hijauan (leguminosa
maupun rumput-rumputan dalam keadaan segar atau kering) dan konsentrat yang
tinggi kualitas dan palatabilitasnya. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam
penyusunan ransum sapi adalah ransum cukup mengandung protein dan lemak,
perlu di perhatikan sifat supplementary effect dari bahan pakan ternak, dan ransum
tersusun dari bahan pakan yang dibutuhkan ternak (Siregar, 1998).
Konsumsi pakan hijauan
Pagi (kg)/ekor Sore (kg)/ekor
11 11,06
11,13 10,86
11,06 10,88
10,74 11,13
11 11,15
10,88 11,13
10,88 11,25

2.3.6 Kebuntingan
Berdasarkan hasil pengamatan terdapat sapi perah dalam keadaan bunting,
tingkat kebuntingan bervariasi mulai dari bulan kebuntingan ke 7 sampai ke 9.
Pada praktikum , sapi yang bunting ada 2 ekor. Dengan kebuntingan kira-kira 8
bulan. Menurut Soeparno (2004) Pemeliharaan betina bunting merupakan salah
satu upaya penting yang harus dilakukan dalam upaya peningkatan produktivitas
ternak. Pemeliharaan ternak bunting perlu lebih diintensifkan utamanya dalam hal
pemberian pakan dan perawatan (hindari dari terjatuh dan benturan atau kondisi
kandang yang kurang baik). Namun pada kenyataannya pemeliharaan ternak
bunting di Laboratorium Lapang Sumbersekar masih sangat kurang baik. Karena
jika dilihat, sapi yang sedang bunting masih dalam satu kandang dengan sapi yang
tidak bunting, begitu juga dalam hal pemberian pakan, ternak yang sedang
bunting ataupun tidak tetap diberikan pakan dalam jumlah dan kualitas yang
sama. Karena menurut Soeparno (2004) proses pemeliharaan kebuntingan ini
sangat penting karena embrio ternak cukup labil utamanya pada umur
kebuntingan muda. Hasil penelitian Ayalon (1978) dalam Hunter (1995)
menunjukkan kematian embrional pada umur 35 42 hari pada domba mencapai
31%. Alasan utama perlunya pemeliharaan betina bunting yang lebih insentif
karena betina bunting tersebut merupakan penentu kualitas anakan yang akan
dihasilkan.Beberapa cara untuk memelihara ternak bunting adalah dengan
perbaikan pakan dan pemisahan induk bunting.
2.3.7 Suhu Lingkungan
Suhu lingkungan akan sangat mempengaruhi produksi susu. Hal ini di
sebabkan peningkatan suhu akan dapat menurunkankan produksi susu. Ini
berkaitan dengan konsumsi pakan pada suhu dingin dan suhu panas. Pada suhu
dingin, konsumsi pakan cenderung meningkat, sehingga nutrisi yang masuk dalam
tubuh juga akan meningkat. Sehingga produksi susu yang di hasilkan akan
mengalami peningkatan juga. Sebaliknya, jika suhu lingkungan naik dan
cenderung panas, ternak akan mengurangi metabolisme dalam tubuhnya dengan
cara memperbanyak konsumsi air minumnya daripada konsumsi pakan. Dengan
banyaknya air minum yang di konsumsi maka tingkat metabolisme pun bisa di
tekan. Hal ini berpengaruh pada nutrisi yang masuk ke dalam tubuhnya. Sehingga
produksi susu yang di hasilkan akan cenderung menurun.
Konsumsi air minum sapi perah laktasi dipengaruhi oleh ukuran tubuh,
produksi susu yang dihasilkan, kelembaban udara dan kadar air pakan. Pemberian
air minum pada sapi perah dilakukan secara add libitum (Muldjana, 1985).Abidin
(2002) menytakan bahwa suhu yang optimal untuk pemeliharaan sapi PFH adalah
10 27
o
C.




Dan di bawah ini merupakan tabel suhu dan kelembaban yang di ukur
pada pagi dan siang hari saat praktikum:

Sabtu Minggu Senin Selasa Rabu Kamis Jumat
pagi sore pagi sore Pagi sore pagi sore pagi sore pagi sore pagi sore
Suhu
0
21 32 20 28 22 30 22 30 22 30 23 31 21 29
Kelembaban% 91 65 83 85 91 71 91 65 92 72 91 59 91 71

Dari tabel di atas sudah sangat jelas bahwa suhu dan kelembaban sangat
berpengaru pada produksi. Pada pagi hari ketika suhu dingin, maka produksi susu
akan mengalami peningkatan. Begitu juga pada waktu sore hari ketika suhu udara
panas, akan mengalami penurunan produksi. Ini selain juga di pengaruhi oleh
interval pemerahan.

2.3.8 Frekuensi Pemerahan
Pemerahan sapi diLaboratorium Lapang Sumbersekardilaksanakan dua
kali sehari dengan interval pemerahan 8 jam dan 16 jam. Pemerahan dilaksanakan
pada pagi hari pukul 05.30 WIB dan siang hari pukul 13.00 WIB. Sapi yang
sedang berproduksi memiliki jadwal pemerahan setiap hari yang pada umumnya
di lakukan 2 kali sehari (Anonimus, 1995). Jadwal pemerahan yang teratur dan
seimbang akan memberikan produksi susu yang lebih baik dari pada pemerahan
yang tidak teratur dan seimbang.
Sebelum pemerahan dilakukan, ambing dicuci terlebih dahulu agar susu
tidak terkontaminasi dengan kotoran. Kemudian peralatan yang digunakan yaitu
:ember, minyak kelapa sebagai pelicin dan penyaring susu disiapkan. Menurut
Siregar (1995), bahwa sebelum pemerahan, puting diolesi dengan pelicin.
Frekuensi pemerahan merupakan jumlah pemerahan yang di lakukan pada
setiap harinya. Biasanya frekuensi pemerahan di lakukan sebanyak 2 kali sehari.
Tetapi untk sapi yang berproduksi tinggi dapat di lakukan pemerahan dengan
lebih dari 2 kali sehari. Hal ini bertujuan agar produksi susu yang di hasilkandan
yang di keluarkan saat proses pemerahan menjadi optimal.
Pemerahan susu biasanya dilakukan 2 kali sehari yaitu pagi dan sore hari.
Interval waktu yang sama antara pemerahan pagi dan sore hari akan memberikan
perubahan komposisi susu yang relatif sedikit, sedangkan interval waktu
pemerahan yang berbeda akan menghasilkan komposisi susu yang berbeda juga.
Pemerahan dilakukan dengan menggunakan tangan dan mesin. Pemerahan
dengan tangan dilakukan dengan metode strippen. Hal ini sesuai dengan pendapat
Sindoredjo (1960) yang menyatakan bahwa pemerahan dengan tangan dapat
dilakukan dengan 3 cara pemerahan yaitu Whole hand, Strippen dan Knivelen.
Nugroho (2008) menambahkan bahwa proses pemerahan dengan mesin,
menggunakan bentuk mesin yang menyerupai cakar (claw) dengan empat
mangkuk puting (teatcups) berbentuk tabung yang terbuat dari besi dan karet,
tabung vakum dan pulsator.
Sapi biasanya diperah dua kali setiap hari. Peningkatan frekuensi
pemerahan menjadi tiga kali sehari menaikkan produksi susu sebanyak 10 hingga
25 % dan pemerahan empat kali sehari menambah lagi produksi sebanyak 5
sampai 15 %. Peningkatan produksi susu ini bernilai atau tidak dihubungkan
dengan penambahan biaya tenaga kerja, pakan, dan peralatan yang tergantung
pada keadaan peternakan tersebut. Kerja bernilai ekonomis bila frekuensi
pemerahan lebih dari dua kali sehari terhadap sapi yang diperah pada tempat
dengan pelepas cangkir otomatik. Hasil susu menjadi tiga kali lebih besar
dibandingkan tingkat awal laktasi. Kebutuhan pakan meningkat sesuai dengan
jumlah hasil susu.
Pemerahan dua kali sehari produksi susu meningkat 40 % daripada
pemerahan satu kali, pemerahan tiga kali lebih tinggi 5 - 20 % daripada dua kali
dan pemerahan empat kali lebih tinggi 5 - 10% daripada pemerahan tiga kali (Zee,
2009).

2.3.9 Interval Pemerahan
Interval pemerahan ( jarak pemerahan ) dari pagi jam 06.00 sampai jam
15.00 interval antara pagi ke sore adalah Jumlah pemerahan setiap hari
berpengaruh terhadap produksi susu.
Sapi yang diperah dua kali sehari dengan selang 10 dan 14 jam
menghasilkan susu kira-kira 1 %, lebih sedikit daripada rata-rata sapi yang
diperah pada selang 12 dan 12 jam. Sapi penghasil tinggi dapat memperlihatkan
halangan lebih besar dalam menghasilkan susu. Sapi penghasil rendah yang
diperah pada selang 16 dan 8 jam menghasilkan hanya 1,3 % lebih sedikit susu
daripada sapi yang sama diperah dengan selang 12 dan 12 jam. Selang 16 dan 8
jam mengurangi produksi susu sebanyak 4 sampai 7 % pada sapi penghasil tinggi
dan dara. Peternak yang memerah 80 hingga 200 sapi tidak berkelompok di ruang
perah mungkin memerah individu sapi dengan selang tidak sama setiap hari.
Pengelompokan sapi berdasarkan hasil susu atau tingkat fisiologis menyebabkan
sapi penghasil tinggi dan dara dapat diperah dengan selang 12 dan 12 jam
Pemerahan yang baik dapat diatur antara 11-13 jam, 10-14 jam jika ada
interval selain itu tidak dianjurkan karena perbedaan yang terlalu besar akan
berpengaruh buruk terhadap produksinya. Adanya jarak pemerahan akan
menyebabkan produksi susu di pagi hari lebih tinggi dibandingkan dengan
produksi susu di siang hari (Syarif dan Sumoprastowo, 1985).

2.3.10 Persiapan Dan Proses Pemerahan
Fase persiapan yang harus dilakukan antara lain sapi yang akan diperah
harus dibersihkan dari segala macam kotoran, tempat dan peralatan harus telah
disediakan dan dalam keadaan yang bersih ( Muljana ,1985). Peralatan yang harus
disediakan adalah ember tempat pemerahan susu, bangku kecil untuk pemerah,
tali tambang pengikat kaki sapi perah, milk can untuk penampung susu, saringan
untuk menyaring susu dari kotoran dan bulu-bulu sapi. Selanjutnya menenangkan
sapi, mengikat ekornya dan mencuci ambing dengan air hangat serta melakukan
massage untuk merangsang keluarnya air susu. Sebelum pemerahan dimulai,
pemerah harus melakukan cuci tangan dengan bersih dan mengeringkannya.
(Siregar, 1998). Pemerahan yang baik dapat diatur antara 11-13 jam, 10-14 jam
jika ada interval selain itu tidak dianjurkan karena perbedaan yang terlalu besar
akan berpengaruh buruk terhadap produksinya. Adanya jarak pemerahan akan
menyebabkan produksi susu di pagi hari lebih tinggi dibandingkan dengan
produksi susu di siang hari (Syarif dan Sumoprastowo, 1985).
Adnan (1984), menyatakan bahwa untuk menjaga agar kandungan bakteri
dalam susu segar dapat serendah mungkin, semua peralatan yang dipakai untuk
penanganan air susu segar harus diusahakan tetap bersih. (Sugeng, 1992)
menambahkan bahwa langkah-langkah sebelum melakukan pemerahan yaitu: a)
cuci alat-alat dengan air pada suhu 50 derajat atau lebih; b) pembersihan
dikerjakan dengan deterjen alkali atau deterjen asam; c) kemudian alat-alat
tersebut dicuci lagi dengan air hangat untuk menghilangkan residu yang telah
dapat dilepaskan oleh deterjen
Pemerahan sapi dapat dilakukan dengan menggunakan mesin pemerah
atau dengan tangan. Proses pemerahan yang baik, dilakukan dalam interval yang
teratur, cepat, lembut, pemerahan dilakukan sampai tuntas, dan menggunakan
prosedur sanitasi, serta efisien dalam penggunaan tenaga kerja (Prihadi, 1996).
Menurut Muljana (1985), pemerahan manual (dengan tangan) dilakukan dengan
memegang pangkal puting susu antara ibu jari dan jari tengah, kemudian kedua
jari kita tekan pelan dan menariknya ke bawah hingga air susu keluar, dan cara
yang mempergunakan lima jari yaitu ibu jari diatas dan keempat jari lainnya
memegang puting dan menarik-nariknya dengan pelan hingga air susu dapat
keluar dengan baik. Proses pemerahan dengan mesin, menggunakan bentuk mesin
yang menyerupai cakar (claw) dengan empat mangkuk puting (teatcups)
berbentuk tabung yang terbuat dari besi dan karet, tabung vakum dan pulsator
(Nugroho, 2008). Syarief dan Bagus (2011) menyatakan bahwa cara kerja mesin
perah berbeda dengan pemerahan dengan tangan atau penyedotan oleh pedet.
Pengeluaran susu melalui pengisapan oleh sistem vakum mesin, kemudian
pulsator akan mengatur mekanisme vakum dan tekanan yang terputus setiap detik.
Perbandingan antara waktu tabung membuka dan menutup disebut dengan rasio
pulsation . Susu yang sudah keluar dari puting akan disalurkan ke tempat
penampungan yang disebut tabung/ ember susu. Susu dari ember susu kemudian
dipindahkan ke tangki utama melalui prinsip kerja mekanik pompa. Di dalam
tangki susu kemudian didinginkan untuk menghambat pertumbuhan bakteri.



2.3.11 Penyakit
Mastitis merupakan penyakit peradangan pada kelenjar susu dan dapat
menyebabkan pembengkakan sehingga susu tidak dapat keluar melalui puting.
Penyebab penyakit ini adalah bakteri Streptococcus cocci dan Staphylococcus
cocci. Gejala spesifik penyakit ini adalah adanya peradangan pada saluran
kelenjar susu dan terjadi perubahan fisik dan kimiawi dari susu (Anonimus,
2002). Dalam keadaan yang parah, mastitis dapat mematikan puting susu,
sehingga tidak berfungsi lagi. Sapi perah yang terkena mastitis mula-mula
ditandai dengan perubahan susu. Susu berubah menjadi encer dan pecah,
bergumpal dan kadang-kadang bercampur dengan darah dan nanah (Siregar
,1995). Pengobatan yang dilakukan terhadap penyakit ini adalah dengan
memberikan obat antibiotik yang merupakan campuran antara antibiotic
Penzavet dengan aquades dengan perbandingan 1:10. Sapi perah yang
menderita mastitis diberikan obat tersebut dengan cara di suntikkan pada puting
yang menderita mastitis dengan dosis 10 cc per puting. Selain itu dilakukan
pemerahan pada puting dalam keadaan bersih, dan susu yang diperah harus
sampai habis dan tidak ada susu yang tersisa di dalam puting tersebut .
2. Milk Fever
Milk Fever merupakan penyakit yang disebabkan gangguan metabolisme
sapi betina menjelang atau pada saat melahirkan atau setelah melahirkan (72 jam
setelah beranak ) yang ditandai dengan kekurangan kalsium dalam darah.
Penyebabnya adalah kekurangan Ca (hipokalsemia) yang akut. Hal ini
menimbulkan gangguan metabolisme mineral yakni metabolisme Ca yang bisa
berakibat kepada seluruh tubuh. Penyerapan yang berlebihan terhadap ion Ca oleh
kelenjar susu dan dapat juga disebabkan kelenjar paratiroid pada leher yang
mengatur tinggi rendahnya kadar ion Ca dalam darah sehingga fungsinya tidak
normal. Dalam keadaan normal kadar Ca dalam darah 8-12 mg per 100 ml darah,
dalam keadaan hipokalsemia kadar Ca dalam darah menurun menjadi 3-7 mg per
100 ml darah (Anonimus,2002). Gejala terjadi hipokalsemia adalah penurunan
suhu tubuh ,langkah yang kaku, ketidaksanggupan untuk berdiri, lipatan leher
seperti huruf S,penghentian proses partus, dan kematian yang terjadi dalam waktu
6-12 jam apabila tidak diobati.
3. Brucellosis
Brucellosis merupakan penyakit zoonosis yang disebabkan oleh bakteri
genus Brucella. Pada sapi, penyakit ini dikenal pula sebagai penyakit keluron atau
keguguran menular dan penyakit ini belum banyak dikenal di masyarakat. Di
Laboratorium Lapang Sumbersekarbanyak induk sapi yang mengalami penyakit
ini. Penyakit ini disebabkan karena faktor reproduksi.yang kurang diperhatikan.
Reproduksi di Laboratorium Lapang Sumbersekar pada dasarnya dilakukan
dengan menggunakan dua pejantan yang sering kali dipakai untuk mengawini
sapi-sapi betina di peternakan ini. Oleh karena itu dengan mudah penyakit ini
tersebar pada sapi-sapi induk maupun induk yang sehat sekalipun. Penularan yang
utama melalui perkawinan alami serta juga dapat melalui pakan dan minum yang
diberikan dan peralatan kandang yang digunakan sehari-harinya.
Girisonta (1980) mengemukakan bahwa induk yang mengalami
brucellosis seharusnya dipisahkan dari induk yang sehat. Kebersihan kandang,
tempat pakan dan minum serta peralatan kandang perlu diperhatikan. Sapi-sapi
penderita penyakit ini perlu perlakuan khusus dengan cara maelakuakan vaksinasi
dengan menggunakan vaksin Strain 19 (Strain buch) serta melakukan sanitasi
kandang dengan larutan formalin atau lisol dengan dicampur air secukupnya.
2.3.12 Stress
Heat stress pada sapi terjadi ketika beban panas tubuh melebihi
kemampuan sapi untuk mengeliminasi panas tersebut. Indikasi pertama terjadinya
heat stress, meningkatnya frekuensi nafas secara signifikan melebihi 80 kali/
menit. Akibat dari heat stress adalah meningkatnya frekuensi nafas, naiknya suhu
tubuh, keluar air keringat, dan nafsu untuk air minum meningkat. Heat stress
menyebabkan penurunan aliran darah ke seluruh tubuh, turunnya nafsu makan (
feed intake ), produksi susu turun, aktivitas sapi berkurang, dan perfomance
reproduksi menurun. Partameter yang bisa digunakan untuk melihat kejadian heat
stress; frekuensi nafas melebihi 80 kali/ menit, suhu tubuh meningkat diatas 39,2
C, menurunnya produksi susu sampai dengan 10%, dan menurunya asupan bahan
kering ( dry matter intake ).
Heat loss merupakan mekanisme keluarnya panas dari dalam tubuh ,
dipengaruhi oleh suhu lingkungan dan suhu tubuh sapi yang disebabkan aktifitas
semua organ dalam tubuh. Ada 3 cara pelepasan panas yaitu produksi panas
karena metabolisme tubuh, keluarnya panas secara wajar ( sensible ) dan
keluarnya panas secara latent. Produksi panas akan meningkat jika kapasitas
prosuksi / metabolisme meningkat. Pada kondisi lingkungan panas, sapi akan
mengurangi produksi panas dari metabolisme dengan pakan rendah serat.
Sensible Heat loss terjadi jika panas tubuh lebih tinggi dari suhu lingkungan,
panas tubuh akan keluar dengan cara radiasi, konveksi dan konduksi. Hal ini
tergantung pada suhu lingkungan, luas permukaan tubuh sapi, jaringan tubuh dan
resistensi terhadap udara. Latent heat loss, terjadi keluarnya keringat dari kulit
atau menguapnya ( evaporasi ) panas dari hidung.
Beberapa prinsip untuk mengurangi heat stress, secara genetik sapi
Friesen Holstein lebih cocok di daerah dingin, dan kurang bisa optimal produksi
susu di daerah panas. Ketersediaan air cukup ditempat yang sesuai, dingin dan
bersih. Jarak kandang ke tempat pemerahan yang tidak terlalu jauh ( mengurangi
jarak tempuh ). Memberikan atap atau naungan pada kandang atau ditengah
kandang seperti ( housing area dan holding pen ). Di tempat pemerahan (Milking
center ), diharapkan sapi tidak mengantri untuk diperah terlalu lama, tersedia
ventilasi yang cukup, tersedia pendingin di holding pen dan pada jalan keluarnya
sapi. Untuk kandang freestall harus disediakan ventilasi cukup dan pendingin.
Ada beberapa metode untuk menghindari heat stress dan lingkungan kandangnya:
1. Mensiasati pakan, feed additif, dan obat
Dalam kondisi suhu siang hari atau kemarau, boleh jadi pakan yang diberikan
dengan takanan Metabolisme Energi yang lebih rendah. Hal ini bertujuan
mengurangi panas dari proses metabolisme. Jika dalam satu populasi sapi
menunjukkan ekspresi kepanasan ( contoh : panting ), maka pemberian imbuhan
pakan yang dapat menurunkan panas bisa menjadi pilihan. Seperti pemakaian
acetaminophen sebagai imbuhan pakan, selain untuk mensiasati heat stress juga
bertujuan meningkatkan asupan bahan kering oleh usus. Namun jika hanya ada
beberapa individu yang mengalami panting, pemberian penurun panas secara
injeksi menjadi pilihan yang tepat.
2. Mengusahakan atap agar tetap dingin
Kandang sapi perah seharusnya dipilihkan dari bahan yang dapat menyerap panas,
maka dihindari atap seperti seng. Teknis lainnya dengan memberi sprinkle air ke
atap, mengurangi jarak dengan sumber panas, temperatur atap dapat diturunkan
menjadi 280 C dengan sprinkle air 1,5 liter per meter2 atap.
3. Pembuatan saluran ventilasi
Saluran ventilasi membantu pertukaran udara dengan cepat dan kecepatan angin.
Ventilasi dilengkapi dengan exhaust fan besar untuk menyedot panas, kipas akan
mendorong panas keluar dan pengeluaran panas dengan cara konveksi
4. Melalui pipa bawah tanah ( under ground pipe )
Pada prinsipnya temperatur bawah tanah lebih rendah dari pada temperatur
atmosfir. Udara yang dingin masuk melalui pipa tersebut dengan kedalaman 1.5
2 meter kemudian dialirkan ke kandang sapi. Teknik ini dapat menurunkan suhu 8
100 C, dan tujuan utama teknik ini untuk mengatasi perubahan suhu yang terlalu
ekstrim.
5. Menyediakan kolam untuk berendam
Suhu tubuh sapi yang panas akan turun dengan cara berendam atau masuk ke
kolam air. Keluarnya panas terjadi secara konduksi dan evaporasi. Namun cara ini
harus banyak dikaji dengan kemungkinan banyaknya penyakit yang bisa
ditimbulkan seperti mastitis.
2.3.13 Kebersihan Kandang Dan Ternak
Usaha pemeliharaan kesehatan dilakukan melalui kebersihan kandang,
kebersihan ternak, peralatan dan petugas kandang. Gerak badan atau exercise
diperlukan oleh sapi kering kandang setiap hari selama 1-2 jam di lapangan untuk
mendapatkan sinar matahari. Program kesehatan dalam peternakan sapi perah
harus dijalankan secara teratur, terutama di wilayah yang sering terjadi penyakit
menular, seperti TBC, brucellosis, penyakit mulut dan kuku, dan radang limpa.
Pemeliharaan yang tidak baik dapat menyebabkan kematian pada anak sapi,
terutama yang baru berumur 2 3 minggu (Sudono dan Sutardi, 2003).
Pada praktikum yang kami lakukan, Kandang setiap hari pagi dan sore
harus di bersihkan. Begitu juga dengn lingkungan kandang. Dengan
membersihkan kandang dan lingkungan setiap hari maka penyebaran bibt
penyakit dapat di cegah. Kontaminasi bakteri juga bisa di hindarkan. Sehingga
ternak dapat menjadi sehat serta kualitas susu yang di hasilkan memiliki kualitas
yang baik.
Selain kebersihan kandang, kebersihan ternak juaaga harus di perhatikan.
Hal ini yang akan berpengaruh langsung terhadap kualitas susu yang di hasilkan.
Pembersihan ternak di lakukan pada setiap pagi dan sore sebelum di lakukan
pemerahan. Tetapi dalam praktikum yang kami lakukan hanya membersihkan
ambing saja. Dan tidak seluruh badan. Ini tidak sesuai dengan prosedur yang
harus di lakukan. Di karenakan, seharusnya seluruh badan juga harus di bersihkan.
Hal tersebut sesuai dengan pendapat Soedono dan Sutardi (2003) yang
menyatakan bahwa beberapa hal yang perlu dilakukan untuk pencegahan penyakit
antara lain karantina ternak yang sakit, vaksinasi, penjagaan kebersihan kandang
dan peralatan, drainase yang lancar serta lantai yang tidak dingin dan tidak
lembab.

2.3.14 Penanganan Dan Pemanfaatan Limbah
Kandang yang baik harus memiliki saluran pembuangan limbah atau feses
sapi. Saluran pembuangan limbah yang ideal adalah dengan lebar 30 cm, yang
berfungsi yntuk mengalirkan kotoran sapi ke saluran biogas (bila di peternakan
terdapat instalasi biogas) atau ke saluran penampungan kotoran untuk dijual
sebagai pupuk kandang.
Limbah kandang yang berupa kotoran ternak, baik padat (feses) maupun
cair (air kencing, air bekas mandi sapi, air bekas mencuci kandang dan prasarana
kandang) serta sisa pakan yang tercecer merupakan sumber pencemaran
lingkungan paling dominan di area peternakan. Limbah kandang dalam jumlah
yang besar dapat menimbulkan bau yang menyengat, sehingga perlu penanganan
khusus agar tidak menimbulkan pencemaran lingkungan (Sarwono dan Arianto,
2002).
Pada praktikum, pengolahan limbah yang dilakukan dengan mengolah
menjadikan sebagai biogas. Kotoran di masukan dalamdigester, kemudian di
proses selama 60-90 hari, hingga muncul gas. Dan gas nya di gunakan sebagai
sumber energi bagi penerangan.
Pengolahan kotoran sapi ini dapat dilakukan dengan berbagai cara,
tergantung dari bahan tambahan yang digunakan. Jika limbah sapi dijadikan
komoditas sampingan, harus dipersiapkan tempat khusus pengolahan kompos
yang disesuaikan dengan tata letak kandang, sehingga memudahkan
penanganannya
Saat ini, limbah kandang padat yang dijadikan kompos atau pupuk organik
banyak diminati masyarakat. Hal ini disebabkan harga pupuk kimia relatif mahal
dan merusak sifat fisik tanah. Pengolahan limbah sapi menjadi kompos jika
dilakukan dengan benar akan menjadi sumber penghasilan tambahan. Pengolahan
limbah sapi ini bisa dilakukan dengan berbagai cara, tergantung dari bahan
tambahan yang digunakan (Sudono, 2003).

2.3.15 Kualitas Susu Di Lokasi Praktikum
Sapi perah akan menghasilkan susu setiap laktasi. Setiap laktasi akan
menghasilkan kualitas susu yang relatif berbeda. Kadar lemak dan bahan kering
susu akan menurun berturut-turut sebesar 0,2% dan 0,4% terutama laktasi pertama
sampai laktasi kelima.
Penilaian kualitas susu ada dua macam yaitu secara fisik dan kimiawi.
Penilaian kualitas susu secara kimiawi diantaranya dapat berdasarkan kadar
lemak, bahan kering, berat jenis dan kadar protein. Kualitas susu yang tercantum
dalam peraturan pemerintah (milk codex) yaitu minimal kadar lemak 2,7% ,
bahan kering 12,10%, berat jenis 1,028 dan protein 3,00%. Susu dengan kadar
lemak yang lebih rendah dari standar yang telah ditentukan, maka susu dikatan
tidak normal. (Sudono, 2003).
Pada praktikum yang telah kami lakukan, setelah dilakukanpemerahan
pada pagi hari kami melakukan uji kualitas susu yang berasal dari tempat
praktikum.

Nama 12-5-2014 13-5-2014 14-5-2014 16-5-2014
Lemak Protein Lemak Protein Lemak Protein Lemak Protein
Danang 1,00 2,76 4,8 3,6 3,7 2,55 4,5 2,35
Egi 4,02 2,72 2,9 4,2 3,5 2,72 4,2 2.25
Sis 3,84 2,56 4 3,51 4,0 2,42 4,45 2.75
Suwok 3,79 2,53 3,9 3,6 3,95 2,52 3,90 2,21

Dari data di atas menunjukan bahwa kandungan nutrisi susu yang berasal
dari tempat praktikum masih dalam standar. Adanya perbedaan kualitas setiap
harinya di pengaruhi oleh kondisi ternak masing masing, tingkat konsumsi ternak
setiap harinya. Selain itu produktifitas juga berpengaruh terhadap kualitas,
semakin tinggi produktifitas susu, biasanya kualitas susu yang di hasilkan
cenderung rendah. Selain itu juga di pengaruhi oleh periode laktasi dan juga bulan
laktasi.
2.4 Sapi Periode Kering
Sejak awal kebuntingan, induk memerlukan perhatian penuh dari peternak.
Keberhasilan pedet yang dilahirkan dan perkembangannya lebih lanjut ditentukan
oleh kondisi awal yang baik seperti tubuh yang sehat dan kuat. Perhatian utama
untuk induk bunting adalah menjaga kondisi tubuh tetap sehat dan kuat. Untuk itu
induk bunting perlu diberi kesempatan istirahat, sehabis berproduksi diberi
makanan yang cukup dan baik, kesehatan dijaga dengan baik, khususnya agar
terhindar dari penyakit mastitis.
Sapi laktasi yang sedang bunting sekitar 7 bulan, meskipun produksi
susunya tinggi sebaiknya dikeringkan. Masa kering sangat penting bagi induk
yang pernah melahirkan dan berproduksi. Pengeringan ini penting untuk
mengembalikan kondisi ambing dan memberi kesempatan perggantian sel-sel
epitelium yang aus selama laktasi yang sedang berjalan serta untuk mencapai
kondisi tubuh yang prima keitika kelak melahirkan (Mukhtar,2006). Apabila
seekor sapi perah tidak mempunyai periode masa kering diantara periode laktasi,
maka prosuksi susu pada periode berikutnya akan berkurang.
Pengeringan adalah menghentikan pemerahan selama 8 minggu
menjelang sapi melahirkan kembali pada sapai-sapi yang mengalami periode
laktasi kedua dan seterusanya. Periode yang kering, maka yang optimal bila masa
istirahat dapat diberikan kepada organ yg mengeluarkan susu dan gizi dalam
makanan dan pakan ternak dapat digunakan sangat dibutuhkan untuk
mendapatkan bobot dari sapi dan tepat perkembangan janin bukan produksi susu.
Ini adalah masa untuk membersihkan penyakit kronis, memungkinkan sapi untuk
membangun sebuah cadangan tubuh daging sebelum melahirkan anak sapi dan
mencukupi dalam tubuhnya yang habis dari sumber mineral (Anonim, 2009)
Selama masa kering dimaksudkan untuk:
1. Agar tubuh induk dapat membentuk makanan cadangan berupa vitamin-vitamin
seperti vitamin A yang dapat dimanfaatkan oleh anak yang baru lahir, lewat
kolostrum bersama antibodi yang sangat penting basi kesehatan pedet.
2. Agar tubuh induk dapat mengisi kembali vitamin-vitamin, mineral, dan lain-
lain untuk kebutuhan induk sendiri, sehingga kondisinya tetap sehat dan kuat
walaupun mengalami masa laktasi yang berat.
3. Agar kondisi tubuh menjadi baik, sehingga akan memberikan jaminan
kelangsungan produksi susu tetap baik dan bahkan dapat meningkat.
4. Agar pertumbuhan dan kesehatan anak dalam kandungan tetap terjamin. Sebab
janin akan tumbuh baik apabila mendapatkan zat-zat makanan yang cukup dari
induk.
(AAK, 1995)
Periode yang kering dapat dibagi menjadi tiga bagian :
1. Diluar periode pengeringan (pertama 4 sampai 10 hari)
2. Yang kering atau jauh pada masa (waktu 30-40 hari)
3. Transisi atau periode close-up (21 hari terakhir sebelum melahirkan anak
sapi)
(Gamroth, M. Dan Carroli, D. 1995)
2.4.2 Pakan
Pada saat sapi perah dalam kondisi kering, kebutuhan akan konsumsi
pakan penting untuk di perhatikan. Hal ini di maksudkan untuk menjaga
kesehatan sapi itu sendiri serta untuk menjaga kesehatan kandungan ternak
tersebut. Pada kondisi ini komposisi ransum perlu dilakukan perhitungan secara
optimal guna untuk meminimalkan problem metabolik pada atau setelah beranak
serta untuk meningkatkan produksi susu pada masa laktasi berikutnya.
Secara umum pada konsisi kering ini, ternak diberikan sedikit hijauan dan
pengurangan bahkan penghentian pemberian konsentrat pada masa awal kering,
sedangkan pada akhir masa kering hijauan diberikan dalam jumlah seperti biasa
dan diikuti dengan penambahan konsentrat. Ransum harus diformulasikan untuk
memenuhi kebutuhannya yang spesifik: maintenance, pertumbuhan foetus,
pertambahan bobot badan. Panda kondisi ini konsumsi BK ransum harian yang
diberikan pada ternak tidak boleh melebihi dari 2% berat badan, konsumsi hijauan
minimal 1% berat badan. Setengah dari 1% BB (konsentrat) per hari biasanya
cukup untuk program pemberian pakan sapi kering. Pada masa kering, sapi perah
harus di tekan jangan sampai terlalu gemuk atau BCS nya melebihi standar untuk
sapi bunting (2,5 3). Hal ini dimaksudkan agar sapi tersebut tidak ada kendala
dalam proses kelahiran nantinya. Komposisi hijauan kualitas rendah, seperti grass
hay, baik diberikan pada kondisi ini dengan tujuan untuk membatasi konsumsi
hijauan. Pada kondisi kering kebutuhan protein yang dikonsumsi sapi perah
sebesar 12 % sudah cukup untuk menjaga kesehatan ternak tersebut. Kebutuhan
Ca dan P sapi kering harus dipenuhi, tetapi perlu dihindari pemberian yang
berlebihan; kadang-kadang ransum yang mengandung lebih dari 0,6% Ca dan
0,4% P meningkatkan kejadian milk fever. Trace mineral, termasuk Se, harus
disediakan dalam ransum sapi kering. Juga, jumlah vitamin A, D. dan E yang
cukup dalam ransum untuk mengurangi kejadian milk fever, mengurangi retained
plasenta, dan meningkatkan daya tahan pedet. Sedikit konsentrat perlu diberikan
dalam ransum sapi kering dimulai 2 minggu sebelum beranak, bertujuan
Mengubah bakteri rumen dari populasi pencerna hijauan seluruhnya menjadi
populasi campuran pencerna hijauan dan konsentrat dan Meminimalkan stress
terhadap perubahan ransum setelah beranak.


















BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan (Lokasi Praktikum)
Sebaiknya dalam usaha untuk mengembangkan sebuah usaha peternakan
sapi perah yang diharapkan produksi susu tinggi sebaiknya peternank atau
pengelola Laboratorium Lapang Sumbersekar dapat memperhatikan semua aspek
dari mulai pemeliharaan pedet hingga penanganan sapi laktasi. Hal yang
terpenting adalah selalu memperhatikan Bibit, Pakan, Manajemen Pemeliharaan,
sehingga diharapkan produksi susu sapi perah dapat ditingkatkan.
3.2 Kesimpulan (Kegiatan Praktikum)
Dari hasil semua kegiatan praktikum yang telah dilakukan dapat
disimpulkan bahwa serangkaian praktikum Manajemen Pemeliharaan Ternak
Perah cukup baik, namun harus dilakukan lebih lagi seperti halnya yang ada di
PKL sehingga dapat diharapkan praktikan dapat merasakan PKL mini yang
sesungguhnya.







DAFTAR PUSTAKA
Akoso, B. T. 1996. Kesehatan Sapi. Kanisius. Yogyakarta.
Anonimus. 1995. Petunjuk Beternak Sapi Potong dan Kerja. Kanisius.
Yogyakarta.
Anonimus .1996. Petunjuk Praktis Beternak Sapi Perah .Kanisius. Yogyakarta.
Anonimus . 2002. Beternak Sapi Perah. Kanisius. Yogyakarta.
Blakely, J dan D.H, Bade. 1994. Ilmu Peternakan. Edisi ke empat. Di terjemahkan
oleh Srigandono, B. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Budiharjo dan Ernawati, 2002. Intergrasi Padi dengan Sapi Potong. Badan
Penelitian dan pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jawa
Tengah.
Djarirah, A.S. 1996. Pengembangan Persusuan dan Dampak Bagi
PengembanganOperasi dan Peternak. Penebar Swadaya. Jakarta
Djojowidagdo, S. 1982. Mastitis Mikotik, Radang Kelenjar Susu oleh
Cendawanpada Ternak Perah. Warta Zoa 1 : 9 12. Kanisius.
YogYakarta.
Girisonta. 1995. Petunjuk Praktis Beternak Sapi Perah .Kanisius. Yogyakarta.
Hadiwiyoto, S. 1983. Tekhnik Uji Mutu Susu dan Hasil Olahannya. Liberty.
Yogyakarta.
Kusnadi, U. 1983. "Efisiensi Usaha Peternakan Sapi Perah yang Tergabung dalam
Koperasi di Daerah Istimewa Yogyakarta", Proceeding Pertemuan
IlmiahRuminansia Besar. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Peternakan.Bogor.
Mukhtar, A. 2006. Ilmu Produksi Ternak Perah . Lembaga Pengembangan
Pendidikan (LPP) dan (UNS Press). Surakarta.
Muljana, B.A. 1987. Pemeliharaan dan Kegunaan Ternak Perah. CV.Aneka
Ilmu. Semarang.
Sarwono, B. dan H.B.Arianto. 2002. Penggemukan Sapi Potong Secara Cepat.
Penebar Swadaya. Jakarta.
Siregar, A.G.A. 1995. Pengaruh Cuaca dan Iklim Pada Produksi Susu. Institut
Pertanian Bogor, Fakultas Kedokteran Hewan. Jakarta.
Siregar D.A. 1996. Usaha Ternak Sapi. Kanisius Yogyakarta.
Siregar S. B. 1993. Sapi Perah, Jenis, Tekhnik Pemeliharaan dan Analisis Usaha.
Angkasa, Bandung.
Siregar S. B. 1996. Konsep Peraturan Makanan Ternak tentang Standar
MakananSapi Perah. Usaha Angkasa. Bandung.
Sitorus, P.E. 1983. Perbandingan Produktivitas Sapi Perah Impor di Indonesia.
Laporan Khusus Kegiatan Penelitian Periode Tahun 1982-1983. Balai
Penelitian Ternak. Bogor
Soebandryo. 2001. Pemanfaatan Limbah Ternak. Trobos, edisi 11 hlm 7. Jakarta
Sudono, A. 1983. Perkembangan Ternak Ruminansia Besar Ditinjau dari
IlmuPemuliaan Ternak Perah di Indonesia. Proceeding Pertemuan
IlmiahRuminansia Besar. Puslitbangnak. Bogor.
Sudono, A. 1999. Ilmu Produksi Ternak Sapi Perah. Cetakan ke 1. Jurusan Ilmu
Sudono, A. 2003. Keuntungan Dalam Pengolahan Limbah Ternak. Trobos.
Jakarta.
Produksi Ternak. Fakultas Peternakan IPB . Bogor.
Sudono, A., R. F. Rosdiana, dan B. S. Setiawan. 2003. Beternak Sapi
PerahSecara Intensif . Agromedia Pustaka. Jakarta.
Sugeng, Y.B. 2001. Laporan Feasibility Study Sapi Perah di Daerah
SumateraUtara, Survey Agro Ekonomi. Penebar Swadaya. Jakarta.
Sutardi, T. 1983. Pengaruh Kelamin dan Kondisi Tubuh Terhadap
HubunganBobot Badan dengan Lingkat Dada pada Sapi Perah. Media
Peternakan,Agromedia Pustaka. Jakarta.
Sutardi, T. 1984. Konsep Pembakuan Mutu Ransum Sapi Perah. Institut Pertanian
Bogor, Fakultas Peternakan. Jakarta.
Syarief, M.Z. dan Sumoprastowo, C.D.A. 1985. Ternak Perah. CV.Yasaguna.
Jakarta.
Toelihere, M.Z. 1985. Ilmu Kebidanan pada Ternak Sapi dan Kerbau. Universitas
Indonesia Press. Jakarta.
Widodo. 2003. Bioteknologi Susu. Lacticia Press. Yogyakarta.
Williamson, G. dan W.J.A. Payne. 1993. Pengantar Peternakan di
DaerahTropis.Diterjemahkan oleh Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.
Zainuddin, G. 1982. Hijauan Makanan Ternak, Apa dan Bagaimana. Swadaya
Warta Persusuan Indonesia. Jakarta

Vous aimerez peut-être aussi