Vous êtes sur la page 1sur 25

LAPORAN KASUS

ILMU PENYAKIT DALAM


RUMAH SAKIT BUDI ASIH

Pembimbing : dr Sukaenah, Sp. P







FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TRISAKTI


RIANA RAHMADHANY
03010235





STATUS PASIEN

A. Identitas

Nama : Ny W
Usia : 50 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Cawang
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Suku : Jawa
Status Pernikahan : Menikah
Pendidikan : SMA

B. Anamnesis
Anamnesis dilakukan tanggal 17 Juni 2014 di lantai 6 Barat Rumah Sakit Budi
Asih

I. Keluhan Utama
Pasien masuk rumah sakit dengan keluhan sesak nafas 2 minggu yang lalu

II. Keluhan Tambahan
Nyeri dada
Demam
Batuk berdahak dengan sputum berwarna putih
Mual dan muntah
Kurang tidur karena terbangun dari batuk dan sesak
Gatal gatal di keempat ekstremitas

III. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD dengan keluhan sesak nafas sejak 2 minggu SMRS. Sesak
dirasakan terutama jika terpapar udara dingin dan debu. Awalnya pasien batuk batuk
kemudian bersin dan terasa nyeri dada, setelah itu pasien sesak. Sesak semakin memberat
ketika beraktivitas dan berkurang ketika beristirahat. Tidur berkurang sebab pasien sering
terbangun karena batuk dan sesak nafas. Pasien lebih nyaman tidur dengan dua bantal.
Ketika sesak nafas, pasien lebih senang duduk. Sesak nafas dirasakan berkali-kali namun
tidak setiap hari.
Pasien mengeluh batuk berdahak dengan sputum berwarna putih sesekali. Pasien
juga merasakan mual dan muntah berisi makanan dua kali sejak 1 minggu terakhir. BAB
dan BAK pasien tidak ada kelainan. Pasien juga tidak mengeluh adanya pusing. Keempat
ekstremitas pasien gatal gatal dan kemerahan, pasien tidak tahu persis kapan dan
kenapa hal itu terjadi.
Saat di IGD, pasien diberi terapi inhalasi, kemudian membaik. Tetapi, setelah sampai
di rumah, sesak kambuh lagi. Oleh sebab itu, pasien kemudian dirawat.
Pasien memiliki riwayat asma yang jarang dikontrol ke dokter. Pasien juga memiliki
riwayat penyakit Chronic Kidney Dissease (CKD), Hipertensi dan Diabetes Melitus.

IV. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien memiliki riwayat asma yang jarang dikontrol ke dokter. Pasien juga memiliki
riwayat penyakit Chronic Kidney Dissease (CKD), Hipertensi dan Diabetes Melitus.
V. Riwayat Penyakit Keluarga






= laki laki
= wanita
=hipertensi
=asma
Ny W


Pasien adalah anak ke 2 dari 3 bersaudara. Hanya pasien sendiri yang memiliki riwayat
asma. Sedangkan ayahnya memiliki riwayat hipertensi.
VI. Riwayat kebiasaan
Pasien adalah ibu rumah tangga yang sehari hari membersihkan rumah dan ikut
pengajian. Jika rumah pasien kotor, pasien langsung membersihkannya. Pasien tidak
merokok, tidak minum kopi, tidak suka begadang.

VII. Riwayat Lingkungan
Pasien tinggal di perumahan yang bersih dengan ventilasi dan sirkulasi udara yang
cukup baik serta cahaya matahari masuk ke dalam rumah. Keadaan lingkungan di
sekitar rumah pasien diakui kotor. Sumber air yang digunakan untuk mandi, mencuci,
masak dari air minum PAM.

C. Pemeriksaan Fisik

Keadaan Umum : Tampak sakit sedang, tampak lemas
Kesadaran : Compos mentis
BB : 53 kg
TB : 155 cm
BMI : 22,06 (Normal)

Tanda Vital
TD : 130/80, reguler, isi dan tegangan cukup, equalitas sama
Nadi : 100x/ menit
Suhu : 38
0
C
RR : 36x/menit, , irama teratur
Status Generalis
Kepala

Mata

:

:

bentuk normal, warna rambut hitam, uban (+), lurus (+), distribusi merata (+),
rontok (-), alopesia (-), mudah dicabut (-).
alis rata (+/+), oedem palpebra superior (-/-), hordeolum (-/-), kalazion (-/-),
entropion (-/-), ektropion (-/-), ptosis (-/-), trikiasis (-/-), sclera ikterik (-/-),



Hidung

Telinga

Mulut

Leher



:

:

:

:
konjungtiva pucat (+/+), hiperemis (-/-), pupil isokor (+/+), diameter pupil
(2/2) mm , reflek cahaya (+/+), lensa jernih (+), gerak bola mata (N),
strabismus (-), nistagmus (-).
nafas cuping hidung (-), deviasi septum (-), secret (-/-), perdarahan (-/-),
mukosa hidung hiperemis/pucat (-/-), sianosis (-/-).
deformitas daun telinga (-/-), nyeri tekan tragus (-/-), nyeri tekan mastoid (-/-),
sekret (-/-), tuli (-/-).
bibir kering (-), pucat (-), sianosis (-), lidah kotor (-), tepi hiperemis(-), tremor
(-), karies gigi (-), gusi berdarah (-), stomatitis (-), faring hiperemis (-), tonsil
(T1/T1).
JVP 5+2 cmH
2
O, deviasi trachea (-), pembesaran kelenjar tiroid (-),
pembesaran kelenjar limfonodi (-)
Thoraks : Inspeksi : Dinding dada kanan kiri simetris , sela iga melebar, memakai otot
bantu nafas
Paru : Anterior
dextra sinistra
Inspeksi simetris = simetris
Palpasi vocal fremitus kanan (N) = vocal fremitus kiri (N)
Perkusi sonor seluruh lapangan paru = sonor seluruh lapangan paru
Auskultasi
Suara Dasar vesikuler = vesikuler
Suara tambahan ronkhi (-) ronkhi (-)
Wheezing (+) = Wheezing (+)

Paru : Posterior
dextra sinistra
Inspeksi simetris = simetris
Palpasi vocal fremitus kanan (N) = vocal fremitus kiri (N)
Perkusi sonor seluruh lapangan paru = sonor seluruh lapangan paru
Auskultasi
Suara Dasar vesikuler = vesikuler
Suara tambahan ronkhi (-) ronkhi (-)
Wheezing (+) = Wheezing (+)


Gbr. Paru Bag. Depan Gbr. Paru Bag. Belakang

Cor :
Inspeksi : Ictus cordis tampak di ICS V, 1 cm medial dari gariss midklavikularis kiri.
Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V, 1 cm medial linea midklavikularis sinistra
Perkusi :
- Batas kanan : ICS III-V, linea sternalis dextra
- Batas kiri : ICS V, 1 cm linea midclavicularis
- Batas atas : ICS III, linea parasternalis sinistra

Auskultasi : Suara dasar : S1-S2 murni, regular, nadi 100 x/menit.
Suara tambahan : murmur (-), gallop (-)

Abdomen : Inspeksi : Dinding perut datar (+), protuberant (-), jaringan parut (-),
striae (-)
Auskultasi : Bunyi peristaltik (+), frekuensi 3 x/menit.
Palpasi : Supel (+), nyeri tekan (-) , massa (-), ballotemen ginjal (-/-),
Hepar teraba (-), Lien teraba (-).
Perkusi : Timpani keempat kuadran abdomen (+), nyeri ketok
costovertebra (-/-), pekak alih (-) pekak sisi (+) normal.
Inguinal : Tidak dilakukan pemeriksaan.
Genitalia : Tidak dilakukan pemeriksaan


Ekstrimitas
Superior Inferior
Dekstra/sinistra Dekstra/sinistra
Pitting oedema (-/ -) (-/ -)
Sianosis (-/ -) (-/ -)
Ikterik (-/ -) (-/ -)
Kekuatan otot (5/ 5) (5/ 5)
Klonus (-/ -) (-/ -)
Capillary refill < 2 detik / < 2 detik < 2 detik / < 2 detik
Petekie (-/ -) (-/ -)
Refleks fisiologis +N/+N +N/+N
Reflek Patologis (-/ -) (-/ -)
Kekuatan otot (5/ 5) (5/ 5)

D. Pemeriksaan Penunjang

I. Pemeriksaan Laboratorium
Hematologi Rutin

Jenis
Pemeriksaan
Hasil
15 Juni

Satuan
Hasil
16 Juni
Nilai
Normal
Leukosit 12.0 Ribu/L 24.3 3.6-11
Eritrosit 2.6 Juta/L 3.6 3.8-5.2
Hemoglobin 9.0 g/dL 11.7 11.7-15.5
Hematokrit 25 % 32 35-47
Trombosit 206 Ribu/L 163 150-400
MCV 98.0 fL 64.9 80-100
MCH 34.8 Pg 30.9 26-34
MCHC 35.4 g/dL 36.4 32-36
RDW 14.2 % 14.6 <14

ANALISA GAS DARAH
Jenis
pemeriksaan
Hasil
16 Juni

Satuan
Hasil
18 Juni
Nilai
Normal
pH 7.46 7.52 7.35-7.45
pCO2 25 mmHg 31 35-45
pO2 162 mmHg 90 80-100
HCO3 18 mmol/L 25 21-28
Total CO2 19 Mmol/L 26 23-27
Saturasi O2 98 % 95 95-100
BE -4.0 mEq/L 3.0 -2.5-2.5

ELEKTROLIT SERUM
Jenis pemeriksaan Hasil 16 juni Satuan Nilai normal
Natrium 139 mmol/L 135-155
Kalium 3.2 mmol/L 3.5-5.5
Klorida 111 mmol/L 98-109

Jenis
pemeriksaan
Hasil
16 Juni
Satuan Hasil
18 Juni
Nilai Normal
Eusinofil 2090 10
3
/L 50 50-300
Ginjal
Ureum 51 mg/dL 42 13-43
Kreatinin 2.04 mg/dL 1.25 <1,1
Hati
SGOT 38 mU/dl - <27
SGPT 12 mU/dl - <34
Albumin 3.6 g/dL 3.6 3.5-5.2

Jenis pemeriksaan Hasil Satuan Nilai normal
GDS (16 Juni) 114 mg/dL <110
GDS (17 Juni) 06.00 139 mg/dL <110
GDS (17 Juni) 12.00 335 mg/dL <110
GDS (18 Juni) 06.00 130 mg/dL <110
GDS (18 Juni) 18.00 139 mg/dL <110

II. Foto Ronsen

Deskripsi :
Foto Thoraks PA
CTR >50 %
Kedua lapang paru terlihat lucent
Corakan bronkovaskuler meningkat
Pinggang jantung masih terlihat
Sinus costofrenikus tajam

E. Resume
Pasien perempuan berusia 56 tahun datang ke IGD dengan
keluhan sesak nafas 2 jam SMRS. Di IGD pasien diberi terapi inhalasi,
kemudian membaik. Ketika sampai dirumah, sesak nafas kambuh lagi
sehingga di bawa ke rumah sakit dan dirawat. Sesak dirasakan jika terkena
udara dingin atau debu. Sesak semakin memberat ketika beraktivitas dan
membaik ketika istirahat. Sesak sering dirasakan 2 minggu terakhir ini.
Awalnya pasien batuk batuk kemudian bersin, lalu sesak nafas
dan terasa nyeri dada. Selain itu, pasien mengeluh mual dan muntah 2 kali
dengan isi makanan seminggu terakhir. Pasien sering terbangun malam hari
karena batuk dan sesaknya. Pasien juga mengeluh gatal gatal pada kedua
tangan dan kakinya. Pasien tidak tahu persis kapan itu terjadi dan kenapa.
Pasien tidak ada alergi makanan ataupun obat.
Pasien memiliki riwayat asma yang sudah lama tidak terkontrol.
Selain itu pasien juga memiliki riwayat hipertensi, riwayat Chronic Kidney
Dissease (CKD) dan Diabetes Melitus tipe II. Pasien sering kontrol penyakit
ginjal dan diabetes melitus, tetapi tidak kontrol penyakit asma karena jarang
kambuh.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum yang sudah
membaik, dimana sebelumnya pasien merasa sesak nafas. Kesadaran compos
mentis, TD = 130/80, nadi 100x/menit, suhu 36
0
C, RR = 36x/menit, pada
auskultasi didapatkan wheezing.
Dari pemeriksaan laboratorium, leukosit 24.300/L, eritrosit 3,6
juta, Hb = 11,7. Pada analisa gas darah, pH = 7,46, pCO2 = 25,pO2 = 162, BE
= -4.0, HCO3 = 18 yang menunjukkan adanya kondisi alkalosis respiratorik.
Pada pemeriksaan eusinofil didapatkan hasil 2090. Sedangkan pada
pemeriksaan foto thoraks ditemukan adanya pembesaram jantung. Pada
pemeriksaan ginjal ureum 37 dan kreatinin 1,15. Hasil gula darah 114.
F. Daftar Masalah
Berdasarkan keterangan diatas, didapatkan secara anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang, maka didapatkan masalahnya adalah :
Asma persisten ringan dengan Serangan Sedang
Chronic Kidney Dissease (CKD) grade III
Diabetes Melitus tipe II
Hipertensi sistolik
Anemia
Dermatitis Atopi


G. Diagnosis kerja
Asma persisten ringan dengan serangan sedang disertai CKD grade III,
Diabetes Melitus tipe II dan dermatitis atopi
H. Pemeriksaan Anjuran
Spirometri
Arus Puncak Ekspirasi
Asthma Control Test
EKG

I. Terapi
Non medika mentosa :
Hindari faktor pencetus
Istirahat
Mengikuti senam asma
Kontrol asma secara teratur

Medikamentosa :
Oksigen 4-6L/menit
Inhalasi salbutamol
IVFD Asering + lasal + etaphylin / 8 jam
Inj Metilprednisolon 3 x 62,5 mg
Inj Rantin 2 x 1
Inj Cefoperazone 3x1

J. Prognosis
Ad vitam : Ad bonam
Ad fungtionam : Dubia ad bonam
Ad sanationam : Dubia ad bonam

K. Follow Up
Tanggal 16 Juni 2014
Subjek Objek Analisis Perencanaan
Sesak nafas pada
pagi hari yang
diawali dengan
batuk dan bersin
bersin ketika bekerja
Mual dan muntah
Riwayat asma,
CKD, DM tipe 2
Gatal gatal dan
kemerahan di kaki
dan tangan
CM, TSS
CA +/+, SI-/-
TD = 130/80 nadi=
100x/menit RR
38x/menit suhu =
38
0
C
C/ S1S2 reg, m(-),
g(-)
P/ Sn ves, wh (+/+),
rh (-/-)
Abdomen = supel,
heparlien TTM, NT
(-), BU (+) 3 x/menit
Extremitas = akral
hangat, tidak ada
edema, terdapat
gatal kemerahan
pada kedua tangan
dan kaki

Lab :
Leukosis 24.300
Hb 11,7
Ur = 51
Cr = 2.04
Asma dengan
serangan
sedang diserta
CKD, DM tipe
2 dan
Dermatitis
Atopi
Hipertensi
Anemia
CKD grade III
DM tipe 2
Dermatitis
Atopi

Oksigen 4-6L/menit
IVFD Asering + lasal
+ etaphylin / 8 jam
Inj Rantin 2x1
Inj Cefobactam 3x1
PCT 3x1
Metilprednisolon 3x2
tab
Aminoral 3x1 tab
BK III 3x1
Gliquidon 2x1
Mukotein 3x1 tab




eGFR = 26,8
GD = 114
Eusinofil = 2090
Na = 139 (N)
K = 3,2
Cl = 111

Tanggal 17 Juni
Subjek Objek Analisis Perencanaan
Sesak nafas
berkurang
Gatal-gatal
berkurang
Batuk berdahak
bertambah
CM, TSS
CA +/+, SI-/-
TD = 130/80 nadi=
84x/menit RR
24x/menit suhu =
36
0
C
C/ S1S2 reg, m(-),
g(-)
P/ Sn ves, wh (+/+),
rh (-/-)
Abdomen = supel,
heparlien TTM, NT
(-), BU (+) 3 x/menit
Extremitas = akral
hangat, tidak ada
edema, terdapat gatal
kemerahan pada
kedua tangan dan
kaki

Lab :
GD jam 08.00 139
GD jam 13.00 335
Asma dengan
serangan
sedang diserta
CKD, DM
tipe 2 dan
Dermatitis
Atopi
Hipertensi
Anemia
CKD grade
III
DM tipe 2
Dermatitis
Atopi

Oksigen 4-6L/menit
RD + lasal +
etaphylin / 8 jam
Inj Rantin 2x1
Inj Cefobactam 3x1
Metilprednisolon 3x2
tab
Aminoral 3x1 tab
BK III 3x1
Gliquidon 2x1
Mukotein 3x1 tab
Loratadin 1x1
Cream gentamisin 10
mg 3x1
Dermasolon cream
10 mg 3x1


Tanggal 18 Juni
Subjek Objek Analisis Perencanaan
Sesak (-)
Batuk (+)
Gatal gatal
berkurang
CM, TSS
CA +/+, SI-/-
TD = 130/80 nadi=
84x/menit RR
18x/menit suhu =
36
0
C
C/ S1S2 reg, m(-),
g(-)
P/ Sn ves, wh (+/+),
rh (-/-)
Abdomen = supel,
heparlien TTM, NT
(-), BU (+) 3 x/menit
Extremitas = akral
hangat, tidak ada
edema, terdapat gatal
kemerahan pada
kedua tangan dan
kaki
Lab :
pH 7,46
pCO2 29
pO2 149
HCO3 21
Eosinofil 50 (N)
Ur 42 (N)
Cr 1,25
Asma dengan
serangan
sedang diserta
CKD, DM
tipe 2 dan
Dermatitis
Atopi
Hipertensi
Anemia
CKD grade
III
DM tipe 2
Dermatitis
Atopi

RD + lasal +
etaphylin / 8 jam
Inj Rantin 2x1
Inj Cefobactam 3x1
Metilprednisolon 3x2
tab
Aminoral 3x1 tab
BK III 3x1
Gliquidon 2x1
Mukotein 3x1 tab
Loratadin 1x1
Cream gentammisin
10 mg 3x1
Dermasolon cream
10 mg 3x1


Tanggal 19 Juni
Subjek Objek Analisa Perencanaan
Batuk berkurang
Sesak (-)
Gatal gatal (-)
CM, TSS
CA +/+, SI-/-
TD = 130/80 nadi=
84x/menit RR
20x/menit suhu =
36
0
C
C/ S1S2 reg, m(-),
g(-)
P/ Sn ves, wh (+/+),
rh (-/-)
Abdomen = supel,
heparlien TTM, NT
(-), BU (+) 3 x/menit
Extremitas = akral
hangat, tidak ada
edema, terdapat gatal
kemerahan pada
kedua tangan dan
kaki

Asma dengan
serangan
sedang diserta
CKD, DM
tipe 2 dan
Dermatitis
Atopi
Hipertensi
Anemia
CKD grade
III
DM tipe 2
Dermatitis
Atopi

Gliquidon 1x1
Aminoral 1x1
Seretide 2x1
Ventolin inhaler
Meiact 3x1










BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Asma
2.1.1. Pengertian Asma
Asma merupakan sebuah penyakit kronik saluran napas yang terdapat di seluruh dunia
dengan kekerapan bervariasi yang berhubungan dengan dengan peningkatan kepekaan
saluran napas sehingga memicu episode mengi berulang (wheezing), sesak napas
(breathlessness), dada rasa tertekan (chest tightness), dispnea, dan batuk (cough) terutama
pada malam atau dini hari. (PDPI, 2006; GINA, 2009).
Menurut National Heart, Lung and Blood Institute (NHLBI, 2007), pada individu yang
rentan, gejala asma berhubungan dengan inflamasi yang akan menyebabkan obstruksi dan
hiperesponsivitas dari saluran pernapasan yang bervariasi derajatnya.
2.1.2. Epidemiologi
Asma merupakan penyakit kronik yang paling umum di dunia, dimana terdapat 300 juta
penduduk dunia yang menderita penyakit ini. Asma dapat terjadi pada anak-anak maupun
dewasa, dengan prevalensi yang lebih besar terjadi pada anak-anak (GINA, 2003). Menurut
data studi Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di berbagai propinsi di Indonesia, pada
tahun 1986 asma menduduki urutan kelima dari sepuluh penyebab kesakitan (morbiditas)
bersama-sama dengan bronkitis kronik dan emfisema. Pada SKRT 1992, asma, bronkitis
kronik, dan emfisema sebagai penyebab kematian (mortalitas) keempat di Indonesia atau
sebesar 5,6%. Lalu pada SKRT 1995, dilaporkan prevalensi asma di seluruh Indonesia
sebesar 13 per 1.000 penduduk (PDPI, 2006). Dari hasil penelitian Riskesdas, prevalensi
penderita asma di Indonesia adalah sekitar 4%. Menurut Sastrawan, dkk (2008), angka ini
konsisten dan prevalensi asma bronkial sebesar 515%.
2.1.3. Faktor Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Asma
Adapun faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian asma adalah:
1. Imunitas dasar
Mekanisme imunitas terhadap kejadian inflamasi pada asma kemungkinan terjadi ekspresi sel
Th2 yang berlebihan (NHLBI, 2007). Menurut Moffatt, dkk (2007), gen ORMDL3
mempunyai hubungan kuat sebagai faktor predisposisi asma.
2. Umur
Insidensi tertinggi asma biasanya mengenai anak-anak (7-10%), yaitu umur 5 14 tahun.
Sedangkan pada orang dewasa, angka kejadian asma lebih kecil yaitu sekitar 3-5% (Asthma
and Allergy Foundation of America, 2010). Menurut studi yang dilakukan oleh Australian
Institute of Health and Welfare (2007), kejadian asma pada kelompok umur 18 34 tahun
adalah 14% sedangkan >65 tahun menurun menjadi 8.8%. Di Jakarta, sebuah studi pada
RSUP Persahabatan menyimpulkan rerata angka kejadian asma adalah umur 46 tahun
(Pratama dkk, 2009).
3. Jenis Kelamin
Menurut GINA (2009) dan NHLBI (2007), jenis kelamin laki-laki merupakan sebuah faktor
resiko terjadinya asma pada anak-anak. Akan tetapi, pada masa pubertas, rasio prevalensi
bergeser dan menjadi lebih sering terjadi pada perempuan (NHLBI, 2007). Pada manusia
dewasa tidak didapati perbedaan angka kejadian asma di antara kedua jenis kelamin
(Maryono, 2009).
4. Faktor pencetus
Paparan terhadap alergen merupakan faktor pencetus asma yang paling penting. Alergen
allergen ini dapat berupa kutu debu, kecoak, binatang, dan polen/tepung sari. Kutu debu
umumnya ditemukan pada lantai rumah, karpet dan tempat tidur yang kotor. Kecoak telah
dibuktikan menyebabkan sensitisasi alergi, terutama pada rumah di perkotaan (NHLBI,
2007). Menurut Ownby dkk (2002) dalam GINA (2009), paparan terhadap binatang,
khususnya bulu anjing dan kucing dapat meningkatkan sensitisasi alergi asma. Konsentrasi
polen di udara bervariasi pada setiap daerah dan biasanya dibawa oleh angin dalam bentuk
partikel partikel besar.
Iritan iritan berupa paparan terhadap rokok dan bahan kimia juga telah dikaitkan dengan
kejadian asma. Dimana rokok diasosiasikan dengan penurunan fungsi paru pada penderita
asma, meningkatkan derajat keparahan asma, dan mengurangi responsivitas terhadap
pengobatan asma dan pengontrolan asma. Menurut Dezateux dkk (1999), balita dari ibu yang
merokok mempunyai resiko 4 kali lebih tinggi menderita kelainan seperti mengi dalam tahun
pertama kehidupannya. Kegiatan fisik yang berat tanpa diselingi istirahat yang adekuat juga
dapat memicu terjadinya serangan asma (Nurafiatin dkk, 2007). Riwayat penyakit infeksi
saluran pernapasan juga telah dihubungkan dengan kejadian asma.
Menurut sebuat studi prospektif oleh Sigurs dkk (2000), sekitar 40% anak penderita asma
dengan riwayat infeksi saluran pernapasan (Respiratory syncytial virus) akan terus menderita
mengi atau menderita asma dalam kehidupannya.
5. Status sosioekonomik
Mielck dkk (1996) menemukan hubungan antara status sosioekonomik / pendapatan dengan
prevalensi derajat asma berat. Dimana, prevalensi derajat asma berat paling banyak terjadi
pada penderita dengan status sosioekonomi yang rendah, yaitu sekitar 40%.

2.1.4. Diagnosis
Seperti pada penyakit lain, diagnosis penyakit asma dapat ditegakkan dengan anamnesis yang
baik. Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan faal paru akan lebih meningkatkan nilai diagnostik.
2.1.4.1. Anamnesis
Anamnesis yang baik meliputi riwayat tentang penyakit/gejala, yaitu:
1. Asma bersifat episodik, sering bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan
2. Asma biasanya muncul setelah adanya paparan terhadap alergen, gejala musiman, riwayat
alergi/atopi, dan riwayat keluarga pengidap asma
3. Gejala asma berupa batuk, mengi, sesak napas yang episodik, rasa berat di dada dan
berdahak yang berulang
4. Gejala timbul/memburuk terutama pada malam/dini hari
5. Mengi atau batuk setelah kegiatan fisik
6. Respon positif terhadap pemberian bronkodilator
2.1.4.2. Pemeriksaan Fisik
Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pemeriksaan fisik dapat normal (GINA,
2009). Kelainan pemeriksaan fisik yang paling umum ditemukan pada auskultasi adalah
mengi. Pada sebagian penderita, auskultasi dapat terdengar normal walaupun pada
pengukuran objektif (faal paru) telah terdapat penyempitan jalan napas. Oleh karena itu,
pemeriksaan fisik akan sangat membantu diagnosis jika pada saat pemeriksaan terdapat
gejala-gejala obstruksi saluran pernapasan (Chung, 2002).
Sewaktu mengalami serangan, jalan napas akan semakin mengecil oleh karena kontraksi otot
polos saluran napas, edema dan hipersekresi mukus. Keadaan ini dapat menyumbat saluran
napas; sebagai kompensasi penderita akan bernapas pada volume paru yang lebih besar untuk
mengatasi jalan napas yang mengecil (hiperinflasi). Hal ini akan menyebabkan timbulnya
gejala klinis berupa batuk, sesak napas, dan mengi (GINA, 2009)
2.1.4.3. Faal Paru
Pengukuran faal paru sangat berguna untuk meningkatkan nilai diagnostik. Ini disebabkan
karena penderita asma sering tidak mengenal gejala dan kadar keparahannya, demikian pula
diagnosa oleh dokter tidak selalu akurat. Faal paru menilai derajat keparahan hambatan aliran
udara, reversibilitasnya, dan membantu kita menegakkan diagnosis asma. Akan tetapi, faal
paru tidak mempunyai hubungan kuat dengan gejala, hanya sebagai informasi tambahan akan
kadar kontrol terhadap asma (Pellegrino dkk, 2005). Banyak metode untuk menilai faal paru,
tetapi yang telah dianggap sebagai standard pemeriksaan adalah: (1) pemeriksaan spirometri
dan (2) Arus Puncak Ekspirasi meter (APE). Pemeriksaan spirometri merupakan pemeriksaan
hambatan jalan napas dan reversibilitas yang direkomendasi oleh GINA (2009). Pengukuran
volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dan kapasiti vital paksa (KVP) dilakukan
dengan manuver ekspirasi paksa melalui spirometri. Untuk mendapatkan hasil yang akurat,
diambil nilai tertinggi dari 3 ekspirasi. Banyak penyakit paru-paru menyebabkan turunnya
angka VEP1. Maka dari itu, obstruksi jalan napas diketahui dari nilai VEP1 prediksi (%) dan
atau rasio VEP1/KVP (%).
Pemeriksaan dengan APE meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif
dengan memantau variabilitas harian pagi dan sore (tidak lebih dari 20%). Untuk
mendapatkan variabiliti APE yang akurat, diambil nilai terendah pada pagi hari sebelum
mengkonsumsi bronkodilator selama satu minggu (Pada malam hari gunakan nilai APE
tertinggi). Kemudian dicari persentase dari nilai APE terbaik (PDPI, 2006).
Derajat Asma Gejala Gejala malam Faal paru
I. Intermiten Bulanan APE 80 %
Gejala<1x/minggu
Tanpa ada gejala
diluar serangan
Serangan singkat
<2 kali sebulan VEP1 80% nilai
prediksi
APE 80 % nilai
terbaik
Variabiliti APE
<20%
II. Persisten
ringan
Mingguan APE 80%
Gejala >1x/ minggu,
tetapi <1x / hari
Serangan dapat
mengganggu
aktivitas dan tidur
>2 kali sebulan VEP180% nilai
prediksi
APE 80% nilai
terbaik
Variabiliti APE 20-
30 %
III. Persisten
sedang
Harian APE 60-80 %
Gejala setiap hari
Serangan
mengganggu
aktivitas dan tidur
Membutuhkan
bronkodilator setiap
hari
>1x / seminggu VEP1 60-80% nilai
prediksi
APE 60-80% nilai
terbaik
Variabiliti APE >
30%
IV. Persisten
berat
Kontinyu APE 60%
Gejala terus menerus
Sering Kambuh
Aktivitas fisik
terbatas
Sering VEP 60% nilai
prediksi
APE 60% nilai
terbaik
Variabilti 30%

PATOLOGI
Asma ditandai 3 kelainan utama pada bronkus yaitu bronkokonstriksi otot bronkus,
inflamasi mukosa dan bertambahnya sekret yang berada pada jalan nafas. Pada stadium
permulaan terlihat mukosa jalan nafas pucat, terdapat edema dan sekresi lendir bertambah.
Lumen bronkus dan bronkiolus menyempit akibat spasme. Terlihat kongesti pembuluh darah,
infiltrasi sel eosinofil bahkan juga dalam sekret di dalam lumen saluran nafas. Bila serangan
terjadi sering dan lama atau dalam stadium lanjut , akan terlihat deskuamasi epitel, penebalan
membrane hialin basal, hiperplasi serat elastin, hiperplasi dan hipertrofi otot bronkus dan
jumlah sel goblet bertambah. Kadang-kadang asma menahun atau asma yang berat terdapat
penyubatan bronkus oleh mukus yang kental yang mengandung eosinofil.
Asma melibatkan suatu hiperresponsivitas reaksi peradangan. Pada respons alergi di
saluran napas, antibody IgE berikatan dengan allergen dan menyebabkan degranulasi sel
mast. Akibat degranulasi tersebut, histamine dilepaskan. Histamin menyebabkan konstriksi
otot polos bronkiolus. Apabila respon histaminnya berlebihan dapat timbul spasme asmatik.
Karena histamine juga merangsang pembentukan mukus dan meningkatkan permeabilitas
kapiler, maka juga akan terjadi kongesti dan pembengkakan ruang intertisium paru. Jadi hasil
akhir dari respon hiperresponsivitas hasil akhirnya adalah bronkospasme, pemebukan mukus,
edema, dan obstruksi aliran udara. Reaksi hiperresponsivitas dapat berupa infeksi virus, debu
dan iritan alergi. Olahraga juga merupakan suatu iritan karena terjadi aliran udara keluar
masuk paru dalam jumlah besar dan cepat, udara ini belum mendapat pelembaban
(humidifikasi ) , penghangatan , atau pembersihan dari partikel debu secara adekuat sehingga
dapat mencetuskan serangan asma.
Rangsangan psikologis juga dapat mencetuskan suatu srangan asma. Karena
rangsangan parasimpatis menyebabkan konstriksi otot polos bronkiolus., maka apapun yang
meningkatkan aktivitas parasimpatis dapat mencetuskan asma. Sistem parasimpatis
diaktifkan oleh emosi rasa cemas dan kadang rasa takut. Persarafan simpatis pada otot polos
bronkiolus menyebabkan dilatasi bronus. Biasanya rangsangan simpatis berkaitan dengan
keadaan flight or flight, saat di mana peningktatan ventilasi merupakan suatu komponoen
penting untuk menyelamatkan diri.
PATOGENESA
Banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya asma, sehingga belum ada patogenesa
yang dapat menerangkan semua penemuan dan penyelidikan asma.
Salah satu yang memegang peranan penting pada patogenesis asma ialah sel
mast. Sel mast dapat terangsang oleh berbagai pencetus misalnya allergen , infeksi exercise
dan lain lain. Sel ini akan mengalami degranulasi dan mengeluarkan bermacam-macam
mediator misalnya histamine , slow reacting substance or anaphylaxis, SRS-A yang dikenal
sebagai lekotrien, eoxinophyl chemotactic of anaphylaxis (ECF-A), neutrophyl chemotactic
faktor of anaphylaxis (NCF-A), patelet activating faktor (RAF), bradikinin , enzim-enzim
peroksidase. Selain sel mast, sel basofil dan beberapa sel lain dapat juga mengeluarkan
mediator.
Bila allergen sebagai pencetus maka allergen yang masuk ke dalam tubuh merangsang sel
plasma atau pembentuk antibody lainnya untuk menghasilkan sel plasma atau sel pembentuk
antibody lainnya untuk menghasilkan antibody reagenik, yang disebut juga immunoglobulin
E (IgE). Selanjutnya IgE akan beredar dan menempel pada reseptor yang sesuai pada dinding
sel mast. Sel mast tersebut disebut sel mast yang tersensitisasi. Bila allergen yang serupa
masuk ke dalam tubuh, allergen tersebut akan menempel pada sel mast yang tersentisasi dan
kemudian terjadi degradasi dinding dan degranulasi sel mast. Mediator dapat bereaksi
langsung dengan reseptor di mukosa bronkus sehingga menurunkan siklik AMP kemudian
terjadi bronkokonstriksi. Mediator juga dapat menyebabkan bronkokonstriksi dengan
mengiritasi resptor iritan.
2.1.6. Penatalaksanaan
Tujuan utama dari penatalaksanaan asma adalah dapat mengontrol manifestasi klinis dari
penyakit untuk waktu yang lama, meningkatkan dan mempertahankan kualitas hidup agar
penderita asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari.
GINA (2009) dan PDPI (2006) menganjurkan untuk melakukan penatalaksanaan
berdasarakan kontrol. Untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma yang terkontrol
terdapat dua faktor yang perlu dipertimbangkan, yaitu:
1. Medikasi
2. Pengobatan berdasarkan derajat
2.1.6.1. Medikasi
Menurut PDPI (2006), medikasi asma dapat diberikan melalui berbagai cara seperti inhalasi,
oral dan parenteral. Dewasa ini yang lazim digunakan adalah melalui inhalasi agar langsung
sampai ke jalan napas dengan efek sistemik yang minimal ataupun tidak ada. Macammacam
pemberian obat inhalasi dapat melalui inhalasi dosis terukur (IDT), IDT dengan alat bantu
(spacer), Dry powder inhaler (DPI), breathactuated IDT, dan nebulizer. Medikasi asma
terdiri atas pengontrol (controllers) dan pelega (reliever). Pengontrol adalah medikasi asma
jangka panjang, terutama untuk asma persisten, yang digunakan setiap hari untuk menjaga
agar asma tetap terkontrol (PDPI, 2006).
Menurut PDPI (2006), pengontrol, yang sering disebut sebagai pencegah terdiri dari:
1. Glukokortikosteroid inhalasi dan sistemik
2. Leukotriene modifiers
3. Agonis -2 kerja lama (inhalasi dan oral)
4. Metilsantin (teofilin)
5. Kromolin (Sodium Kromoglikat dan Nedokromil Sodium)
Pelega adalah medikasi yang hanya digunakan bila diperlukan untuk cepat mengatasi
bronkokonstriksi dan mengurangi gejala gejala asma. Prinsip kerja obat ini adalah dengan
mendilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos, memperbaiki dan atau menghambat
bronkokonstriksi yang berkaitan dengan gejala akut seperti mengi, rasa berat di dada, dan
batuk. Akan tetapi golongan obat ini tidak memperbaiki inflamasi jalan napas atau
menurunkan hipersensitivitas jalan napas.
Pelega terdiri dari:
1. Agonis -2 kerja singkat
2. Kortikosteroid sistemik
3. Antikolinergik (Ipratropium bromide)
4. Metilsantin

2.1.6.2. Pengobatan Berdasarkan Derajat
Menurut GINA (2009), pengobatan berdasarkan derajat asma dibagi menjadi:
1. Asma Intermiten
a. Umumnya tidak diperlukan pengontrol
b. Bila diperlukan pelega, agonis -2 kerja singkat inhalasi dapat diberikan. Alternatif dengan
agonis -2 kerja singkat oral, kombinasi teofilin kerja singkat dan agonis -2 kerja singkat
oral atau antikolinergik inhalasi
c. Bila dibutuhkan bronkodilator lebih dari sekali seminggu selama tiga bulan, maka
sebaiknya penderita diperlakukan sebagai asma persisten ringan
2. Asma Persisten Ringan
a. Pengontrol diberikan setiap hari agar dapat mengontrol dan mencegah progresivitas asma,
dengan pilihan:
Glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah (diberikan sekaligus atau terbagi dua kali sehari)
dan agonis -2 kerja lama inhalasi
400 g/hari
250 g/hari
Kromolin
Leukotriene modifiers
b. Pelega bronkodilator (Agonis -2 kerja singkat inhalasi) dapat diberikan bila perlu
3. Asma Persisten Sedang (Lihat Gambar 2.5)
a. Pengontrol diberikan setiap hari agar dapat mengontrol dan mencegah progresivitas asma,
dengan pilihan:
Glukokortikosteroid inhalasi (terbagi dalam dua dosis) dan agonis -2 kerja lama inhalasi
Budenoside: 400800 g/hari
Fluticasone propionate : 250500 g/hari
Glukokortikosteroid inhalasi (400800 g/hari) ditambah teofilin lepas lambat
Glukokortikosteroid inhalasi (400800 g/hari) ditambah agonis -2 kerja lama oral
Glukokortikosteroid inhalasi dosis tinggi (>800 g/hari)
Glukokortikosteroid inhalasi (400800 g/hari) ditambah leukotriene modifiers
b. Pelega bronkodilator dapat diberikan bila perlu
Agonis -2 kerja singkat inhalasi: tidak lebih dari 34 kali sehari, atau
Agonis -2 kerja singkat oral, atau
Kombinasi teofilin oral kerja singkat dan agonis -2 kerja singkat
Teofilin kerja singkat sebaiknya tidak digunakan bila penderita telah menggunakan teofilin
lepas lambat sebagai pengontrol
c. Bila penderita hanya mendapatkan glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah dan belum
terkontrol; maka harus ditambahkan agonis -2 kerja lama inhalasi
Dianjurkan menggunakan alat bantu / spacer pada inhalasi bentuk IDT atau kombinasi dalam
satu kemasan agar lebih mudah
4. Asma Persisten Berat (Lihat Gambar 2.5)
Tujuan terapi ini adalah untuk mencapai kondisi sebaik mungkin, gejala seringan mungkin,
kebutuhan obat pelega seminimal mungkin, faal paru (APE) mencapai nilai terbaik, variabiliti
APE seminimal mungkin dan efek samping obat seminimal mungkin
Pengontrol kombinasi wajib diberikan setiap hari agar dapat mengontrol asma, dengan
pilihan:
Glukokortikosteroid inhalasi dosis tinggi (terbagi dalam dua dosis) dan agonis -2 kerja
lama inhalasi
Beclomethasone dipropionate: >800 g/hari
Selain itu teofilin lepas lambat, agonis -2 kerja lama oral, dan leukotriene modifiers dapat
digunakan sebagai alternative agonis -2 kerja lama inhalai ataupun sebagai tambahan terapi
Pemberian budenoside sebaiknya menggunakan spacer, karena dapat mencegar efek
samping lokal seperti kandidiasis orofaring, disfonia, dan batuk karena iritasi saluran napas
atas

Vous aimerez peut-être aussi