Nama : Ny W Usia : 50 tahun Jenis Kelamin : Perempuan Alamat : Cawang Agama : Islam Pekerjaan : Ibu rumah tangga Suku : Jawa Status Pernikahan : Menikah Pendidikan : SMA
B. Anamnesis Anamnesis dilakukan tanggal 17 Juni 2014 di lantai 6 Barat Rumah Sakit Budi Asih
I. Keluhan Utama Pasien masuk rumah sakit dengan keluhan sesak nafas 2 minggu yang lalu
II. Keluhan Tambahan Nyeri dada Demam Batuk berdahak dengan sputum berwarna putih Mual dan muntah Kurang tidur karena terbangun dari batuk dan sesak Gatal gatal di keempat ekstremitas
III. Riwayat Penyakit Sekarang Pasien datang ke IGD dengan keluhan sesak nafas sejak 2 minggu SMRS. Sesak dirasakan terutama jika terpapar udara dingin dan debu. Awalnya pasien batuk batuk kemudian bersin dan terasa nyeri dada, setelah itu pasien sesak. Sesak semakin memberat ketika beraktivitas dan berkurang ketika beristirahat. Tidur berkurang sebab pasien sering terbangun karena batuk dan sesak nafas. Pasien lebih nyaman tidur dengan dua bantal. Ketika sesak nafas, pasien lebih senang duduk. Sesak nafas dirasakan berkali-kali namun tidak setiap hari. Pasien mengeluh batuk berdahak dengan sputum berwarna putih sesekali. Pasien juga merasakan mual dan muntah berisi makanan dua kali sejak 1 minggu terakhir. BAB dan BAK pasien tidak ada kelainan. Pasien juga tidak mengeluh adanya pusing. Keempat ekstremitas pasien gatal gatal dan kemerahan, pasien tidak tahu persis kapan dan kenapa hal itu terjadi. Saat di IGD, pasien diberi terapi inhalasi, kemudian membaik. Tetapi, setelah sampai di rumah, sesak kambuh lagi. Oleh sebab itu, pasien kemudian dirawat. Pasien memiliki riwayat asma yang jarang dikontrol ke dokter. Pasien juga memiliki riwayat penyakit Chronic Kidney Dissease (CKD), Hipertensi dan Diabetes Melitus.
IV. Riwayat Penyakit Dahulu Pasien memiliki riwayat asma yang jarang dikontrol ke dokter. Pasien juga memiliki riwayat penyakit Chronic Kidney Dissease (CKD), Hipertensi dan Diabetes Melitus. V. Riwayat Penyakit Keluarga
= laki laki = wanita =hipertensi =asma Ny W
Pasien adalah anak ke 2 dari 3 bersaudara. Hanya pasien sendiri yang memiliki riwayat asma. Sedangkan ayahnya memiliki riwayat hipertensi. VI. Riwayat kebiasaan Pasien adalah ibu rumah tangga yang sehari hari membersihkan rumah dan ikut pengajian. Jika rumah pasien kotor, pasien langsung membersihkannya. Pasien tidak merokok, tidak minum kopi, tidak suka begadang.
VII. Riwayat Lingkungan Pasien tinggal di perumahan yang bersih dengan ventilasi dan sirkulasi udara yang cukup baik serta cahaya matahari masuk ke dalam rumah. Keadaan lingkungan di sekitar rumah pasien diakui kotor. Sumber air yang digunakan untuk mandi, mencuci, masak dari air minum PAM.
C. Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang, tampak lemas Kesadaran : Compos mentis BB : 53 kg TB : 155 cm BMI : 22,06 (Normal)
Tanda Vital TD : 130/80, reguler, isi dan tegangan cukup, equalitas sama Nadi : 100x/ menit Suhu : 38 0 C RR : 36x/menit, , irama teratur Status Generalis Kepala
Mata
:
:
bentuk normal, warna rambut hitam, uban (+), lurus (+), distribusi merata (+), rontok (-), alopesia (-), mudah dicabut (-). alis rata (+/+), oedem palpebra superior (-/-), hordeolum (-/-), kalazion (-/-), entropion (-/-), ektropion (-/-), ptosis (-/-), trikiasis (-/-), sclera ikterik (-/-),
Hidung
Telinga
Mulut
Leher
:
:
:
: konjungtiva pucat (+/+), hiperemis (-/-), pupil isokor (+/+), diameter pupil (2/2) mm , reflek cahaya (+/+), lensa jernih (+), gerak bola mata (N), strabismus (-), nistagmus (-). nafas cuping hidung (-), deviasi septum (-), secret (-/-), perdarahan (-/-), mukosa hidung hiperemis/pucat (-/-), sianosis (-/-). deformitas daun telinga (-/-), nyeri tekan tragus (-/-), nyeri tekan mastoid (-/-), sekret (-/-), tuli (-/-). bibir kering (-), pucat (-), sianosis (-), lidah kotor (-), tepi hiperemis(-), tremor (-), karies gigi (-), gusi berdarah (-), stomatitis (-), faring hiperemis (-), tonsil (T1/T1). JVP 5+2 cmH 2 O, deviasi trachea (-), pembesaran kelenjar tiroid (-), pembesaran kelenjar limfonodi (-) Thoraks : Inspeksi : Dinding dada kanan kiri simetris , sela iga melebar, memakai otot bantu nafas Paru : Anterior dextra sinistra Inspeksi simetris = simetris Palpasi vocal fremitus kanan (N) = vocal fremitus kiri (N) Perkusi sonor seluruh lapangan paru = sonor seluruh lapangan paru Auskultasi Suara Dasar vesikuler = vesikuler Suara tambahan ronkhi (-) ronkhi (-) Wheezing (+) = Wheezing (+)
Paru : Posterior dextra sinistra Inspeksi simetris = simetris Palpasi vocal fremitus kanan (N) = vocal fremitus kiri (N) Perkusi sonor seluruh lapangan paru = sonor seluruh lapangan paru Auskultasi Suara Dasar vesikuler = vesikuler Suara tambahan ronkhi (-) ronkhi (-) Wheezing (+) = Wheezing (+)
Gbr. Paru Bag. Depan Gbr. Paru Bag. Belakang
Cor : Inspeksi : Ictus cordis tampak di ICS V, 1 cm medial dari gariss midklavikularis kiri. Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V, 1 cm medial linea midklavikularis sinistra Perkusi : - Batas kanan : ICS III-V, linea sternalis dextra - Batas kiri : ICS V, 1 cm linea midclavicularis - Batas atas : ICS III, linea parasternalis sinistra
Auskultasi : Suara dasar : S1-S2 murni, regular, nadi 100 x/menit. Suara tambahan : murmur (-), gallop (-)
Abdomen : Inspeksi : Dinding perut datar (+), protuberant (-), jaringan parut (-), striae (-) Auskultasi : Bunyi peristaltik (+), frekuensi 3 x/menit. Palpasi : Supel (+), nyeri tekan (-) , massa (-), ballotemen ginjal (-/-), Hepar teraba (-), Lien teraba (-). Perkusi : Timpani keempat kuadran abdomen (+), nyeri ketok costovertebra (-/-), pekak alih (-) pekak sisi (+) normal. Inguinal : Tidak dilakukan pemeriksaan. Genitalia : Tidak dilakukan pemeriksaan
Satuan Hasil 18 Juni Nilai Normal pH 7.46 7.52 7.35-7.45 pCO2 25 mmHg 31 35-45 pO2 162 mmHg 90 80-100 HCO3 18 mmol/L 25 21-28 Total CO2 19 Mmol/L 26 23-27 Saturasi O2 98 % 95 95-100 BE -4.0 mEq/L 3.0 -2.5-2.5
ELEKTROLIT SERUM Jenis pemeriksaan Hasil 16 juni Satuan Nilai normal Natrium 139 mmol/L 135-155 Kalium 3.2 mmol/L 3.5-5.5 Klorida 111 mmol/L 98-109
Jenis pemeriksaan Hasil 16 Juni Satuan Hasil 18 Juni Nilai Normal Eusinofil 2090 10 3 /L 50 50-300 Ginjal Ureum 51 mg/dL 42 13-43 Kreatinin 2.04 mg/dL 1.25 <1,1 Hati SGOT 38 mU/dl - <27 SGPT 12 mU/dl - <34 Albumin 3.6 g/dL 3.6 3.5-5.2
Jenis pemeriksaan Hasil Satuan Nilai normal GDS (16 Juni) 114 mg/dL <110 GDS (17 Juni) 06.00 139 mg/dL <110 GDS (17 Juni) 12.00 335 mg/dL <110 GDS (18 Juni) 06.00 130 mg/dL <110 GDS (18 Juni) 18.00 139 mg/dL <110
II. Foto Ronsen
Deskripsi : Foto Thoraks PA CTR >50 % Kedua lapang paru terlihat lucent Corakan bronkovaskuler meningkat Pinggang jantung masih terlihat Sinus costofrenikus tajam
E. Resume Pasien perempuan berusia 56 tahun datang ke IGD dengan keluhan sesak nafas 2 jam SMRS. Di IGD pasien diberi terapi inhalasi, kemudian membaik. Ketika sampai dirumah, sesak nafas kambuh lagi sehingga di bawa ke rumah sakit dan dirawat. Sesak dirasakan jika terkena udara dingin atau debu. Sesak semakin memberat ketika beraktivitas dan membaik ketika istirahat. Sesak sering dirasakan 2 minggu terakhir ini. Awalnya pasien batuk batuk kemudian bersin, lalu sesak nafas dan terasa nyeri dada. Selain itu, pasien mengeluh mual dan muntah 2 kali dengan isi makanan seminggu terakhir. Pasien sering terbangun malam hari karena batuk dan sesaknya. Pasien juga mengeluh gatal gatal pada kedua tangan dan kakinya. Pasien tidak tahu persis kapan itu terjadi dan kenapa. Pasien tidak ada alergi makanan ataupun obat. Pasien memiliki riwayat asma yang sudah lama tidak terkontrol. Selain itu pasien juga memiliki riwayat hipertensi, riwayat Chronic Kidney Dissease (CKD) dan Diabetes Melitus tipe II. Pasien sering kontrol penyakit ginjal dan diabetes melitus, tetapi tidak kontrol penyakit asma karena jarang kambuh. Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum yang sudah membaik, dimana sebelumnya pasien merasa sesak nafas. Kesadaran compos mentis, TD = 130/80, nadi 100x/menit, suhu 36 0 C, RR = 36x/menit, pada auskultasi didapatkan wheezing. Dari pemeriksaan laboratorium, leukosit 24.300/L, eritrosit 3,6 juta, Hb = 11,7. Pada analisa gas darah, pH = 7,46, pCO2 = 25,pO2 = 162, BE = -4.0, HCO3 = 18 yang menunjukkan adanya kondisi alkalosis respiratorik. Pada pemeriksaan eusinofil didapatkan hasil 2090. Sedangkan pada pemeriksaan foto thoraks ditemukan adanya pembesaram jantung. Pada pemeriksaan ginjal ureum 37 dan kreatinin 1,15. Hasil gula darah 114. F. Daftar Masalah Berdasarkan keterangan diatas, didapatkan secara anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, maka didapatkan masalahnya adalah : Asma persisten ringan dengan Serangan Sedang Chronic Kidney Dissease (CKD) grade III Diabetes Melitus tipe II Hipertensi sistolik Anemia Dermatitis Atopi
G. Diagnosis kerja Asma persisten ringan dengan serangan sedang disertai CKD grade III, Diabetes Melitus tipe II dan dermatitis atopi H. Pemeriksaan Anjuran Spirometri Arus Puncak Ekspirasi Asthma Control Test EKG
I. Terapi Non medika mentosa : Hindari faktor pencetus Istirahat Mengikuti senam asma Kontrol asma secara teratur
Medikamentosa : Oksigen 4-6L/menit Inhalasi salbutamol IVFD Asering + lasal + etaphylin / 8 jam Inj Metilprednisolon 3 x 62,5 mg Inj Rantin 2 x 1 Inj Cefoperazone 3x1
J. Prognosis Ad vitam : Ad bonam Ad fungtionam : Dubia ad bonam Ad sanationam : Dubia ad bonam
K. Follow Up Tanggal 16 Juni 2014 Subjek Objek Analisis Perencanaan Sesak nafas pada pagi hari yang diawali dengan batuk dan bersin bersin ketika bekerja Mual dan muntah Riwayat asma, CKD, DM tipe 2 Gatal gatal dan kemerahan di kaki dan tangan CM, TSS CA +/+, SI-/- TD = 130/80 nadi= 100x/menit RR 38x/menit suhu = 38 0 C C/ S1S2 reg, m(-), g(-) P/ Sn ves, wh (+/+), rh (-/-) Abdomen = supel, heparlien TTM, NT (-), BU (+) 3 x/menit Extremitas = akral hangat, tidak ada edema, terdapat gatal kemerahan pada kedua tangan dan kaki
Lab : Leukosis 24.300 Hb 11,7 Ur = 51 Cr = 2.04 Asma dengan serangan sedang diserta CKD, DM tipe 2 dan Dermatitis Atopi Hipertensi Anemia CKD grade III DM tipe 2 Dermatitis Atopi
eGFR = 26,8 GD = 114 Eusinofil = 2090 Na = 139 (N) K = 3,2 Cl = 111
Tanggal 17 Juni Subjek Objek Analisis Perencanaan Sesak nafas berkurang Gatal-gatal berkurang Batuk berdahak bertambah CM, TSS CA +/+, SI-/- TD = 130/80 nadi= 84x/menit RR 24x/menit suhu = 36 0 C C/ S1S2 reg, m(-), g(-) P/ Sn ves, wh (+/+), rh (-/-) Abdomen = supel, heparlien TTM, NT (-), BU (+) 3 x/menit Extremitas = akral hangat, tidak ada edema, terdapat gatal kemerahan pada kedua tangan dan kaki
Lab : GD jam 08.00 139 GD jam 13.00 335 Asma dengan serangan sedang diserta CKD, DM tipe 2 dan Dermatitis Atopi Hipertensi Anemia CKD grade III DM tipe 2 Dermatitis Atopi
Tanggal 18 Juni Subjek Objek Analisis Perencanaan Sesak (-) Batuk (+) Gatal gatal berkurang CM, TSS CA +/+, SI-/- TD = 130/80 nadi= 84x/menit RR 18x/menit suhu = 36 0 C C/ S1S2 reg, m(-), g(-) P/ Sn ves, wh (+/+), rh (-/-) Abdomen = supel, heparlien TTM, NT (-), BU (+) 3 x/menit Extremitas = akral hangat, tidak ada edema, terdapat gatal kemerahan pada kedua tangan dan kaki Lab : pH 7,46 pCO2 29 pO2 149 HCO3 21 Eosinofil 50 (N) Ur 42 (N) Cr 1,25 Asma dengan serangan sedang diserta CKD, DM tipe 2 dan Dermatitis Atopi Hipertensi Anemia CKD grade III DM tipe 2 Dermatitis Atopi
Tanggal 19 Juni Subjek Objek Analisa Perencanaan Batuk berkurang Sesak (-) Gatal gatal (-) CM, TSS CA +/+, SI-/- TD = 130/80 nadi= 84x/menit RR 20x/menit suhu = 36 0 C C/ S1S2 reg, m(-), g(-) P/ Sn ves, wh (+/+), rh (-/-) Abdomen = supel, heparlien TTM, NT (-), BU (+) 3 x/menit Extremitas = akral hangat, tidak ada edema, terdapat gatal kemerahan pada kedua tangan dan kaki
Asma dengan serangan sedang diserta CKD, DM tipe 2 dan Dermatitis Atopi Hipertensi Anemia CKD grade III DM tipe 2 Dermatitis Atopi
2.1. Asma 2.1.1. Pengertian Asma Asma merupakan sebuah penyakit kronik saluran napas yang terdapat di seluruh dunia dengan kekerapan bervariasi yang berhubungan dengan dengan peningkatan kepekaan saluran napas sehingga memicu episode mengi berulang (wheezing), sesak napas (breathlessness), dada rasa tertekan (chest tightness), dispnea, dan batuk (cough) terutama pada malam atau dini hari. (PDPI, 2006; GINA, 2009). Menurut National Heart, Lung and Blood Institute (NHLBI, 2007), pada individu yang rentan, gejala asma berhubungan dengan inflamasi yang akan menyebabkan obstruksi dan hiperesponsivitas dari saluran pernapasan yang bervariasi derajatnya. 2.1.2. Epidemiologi Asma merupakan penyakit kronik yang paling umum di dunia, dimana terdapat 300 juta penduduk dunia yang menderita penyakit ini. Asma dapat terjadi pada anak-anak maupun dewasa, dengan prevalensi yang lebih besar terjadi pada anak-anak (GINA, 2003). Menurut data studi Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di berbagai propinsi di Indonesia, pada tahun 1986 asma menduduki urutan kelima dari sepuluh penyebab kesakitan (morbiditas) bersama-sama dengan bronkitis kronik dan emfisema. Pada SKRT 1992, asma, bronkitis kronik, dan emfisema sebagai penyebab kematian (mortalitas) keempat di Indonesia atau sebesar 5,6%. Lalu pada SKRT 1995, dilaporkan prevalensi asma di seluruh Indonesia sebesar 13 per 1.000 penduduk (PDPI, 2006). Dari hasil penelitian Riskesdas, prevalensi penderita asma di Indonesia adalah sekitar 4%. Menurut Sastrawan, dkk (2008), angka ini konsisten dan prevalensi asma bronkial sebesar 515%. 2.1.3. Faktor Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Asma Adapun faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian asma adalah: 1. Imunitas dasar Mekanisme imunitas terhadap kejadian inflamasi pada asma kemungkinan terjadi ekspresi sel Th2 yang berlebihan (NHLBI, 2007). Menurut Moffatt, dkk (2007), gen ORMDL3 mempunyai hubungan kuat sebagai faktor predisposisi asma. 2. Umur Insidensi tertinggi asma biasanya mengenai anak-anak (7-10%), yaitu umur 5 14 tahun. Sedangkan pada orang dewasa, angka kejadian asma lebih kecil yaitu sekitar 3-5% (Asthma and Allergy Foundation of America, 2010). Menurut studi yang dilakukan oleh Australian Institute of Health and Welfare (2007), kejadian asma pada kelompok umur 18 34 tahun adalah 14% sedangkan >65 tahun menurun menjadi 8.8%. Di Jakarta, sebuah studi pada RSUP Persahabatan menyimpulkan rerata angka kejadian asma adalah umur 46 tahun (Pratama dkk, 2009). 3. Jenis Kelamin Menurut GINA (2009) dan NHLBI (2007), jenis kelamin laki-laki merupakan sebuah faktor resiko terjadinya asma pada anak-anak. Akan tetapi, pada masa pubertas, rasio prevalensi bergeser dan menjadi lebih sering terjadi pada perempuan (NHLBI, 2007). Pada manusia dewasa tidak didapati perbedaan angka kejadian asma di antara kedua jenis kelamin (Maryono, 2009). 4. Faktor pencetus Paparan terhadap alergen merupakan faktor pencetus asma yang paling penting. Alergen allergen ini dapat berupa kutu debu, kecoak, binatang, dan polen/tepung sari. Kutu debu umumnya ditemukan pada lantai rumah, karpet dan tempat tidur yang kotor. Kecoak telah dibuktikan menyebabkan sensitisasi alergi, terutama pada rumah di perkotaan (NHLBI, 2007). Menurut Ownby dkk (2002) dalam GINA (2009), paparan terhadap binatang, khususnya bulu anjing dan kucing dapat meningkatkan sensitisasi alergi asma. Konsentrasi polen di udara bervariasi pada setiap daerah dan biasanya dibawa oleh angin dalam bentuk partikel partikel besar. Iritan iritan berupa paparan terhadap rokok dan bahan kimia juga telah dikaitkan dengan kejadian asma. Dimana rokok diasosiasikan dengan penurunan fungsi paru pada penderita asma, meningkatkan derajat keparahan asma, dan mengurangi responsivitas terhadap pengobatan asma dan pengontrolan asma. Menurut Dezateux dkk (1999), balita dari ibu yang merokok mempunyai resiko 4 kali lebih tinggi menderita kelainan seperti mengi dalam tahun pertama kehidupannya. Kegiatan fisik yang berat tanpa diselingi istirahat yang adekuat juga dapat memicu terjadinya serangan asma (Nurafiatin dkk, 2007). Riwayat penyakit infeksi saluran pernapasan juga telah dihubungkan dengan kejadian asma. Menurut sebuat studi prospektif oleh Sigurs dkk (2000), sekitar 40% anak penderita asma dengan riwayat infeksi saluran pernapasan (Respiratory syncytial virus) akan terus menderita mengi atau menderita asma dalam kehidupannya. 5. Status sosioekonomik Mielck dkk (1996) menemukan hubungan antara status sosioekonomik / pendapatan dengan prevalensi derajat asma berat. Dimana, prevalensi derajat asma berat paling banyak terjadi pada penderita dengan status sosioekonomi yang rendah, yaitu sekitar 40%.
2.1.4. Diagnosis Seperti pada penyakit lain, diagnosis penyakit asma dapat ditegakkan dengan anamnesis yang baik. Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan faal paru akan lebih meningkatkan nilai diagnostik. 2.1.4.1. Anamnesis Anamnesis yang baik meliputi riwayat tentang penyakit/gejala, yaitu: 1. Asma bersifat episodik, sering bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan 2. Asma biasanya muncul setelah adanya paparan terhadap alergen, gejala musiman, riwayat alergi/atopi, dan riwayat keluarga pengidap asma 3. Gejala asma berupa batuk, mengi, sesak napas yang episodik, rasa berat di dada dan berdahak yang berulang 4. Gejala timbul/memburuk terutama pada malam/dini hari 5. Mengi atau batuk setelah kegiatan fisik 6. Respon positif terhadap pemberian bronkodilator 2.1.4.2. Pemeriksaan Fisik Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pemeriksaan fisik dapat normal (GINA, 2009). Kelainan pemeriksaan fisik yang paling umum ditemukan pada auskultasi adalah mengi. Pada sebagian penderita, auskultasi dapat terdengar normal walaupun pada pengukuran objektif (faal paru) telah terdapat penyempitan jalan napas. Oleh karena itu, pemeriksaan fisik akan sangat membantu diagnosis jika pada saat pemeriksaan terdapat gejala-gejala obstruksi saluran pernapasan (Chung, 2002). Sewaktu mengalami serangan, jalan napas akan semakin mengecil oleh karena kontraksi otot polos saluran napas, edema dan hipersekresi mukus. Keadaan ini dapat menyumbat saluran napas; sebagai kompensasi penderita akan bernapas pada volume paru yang lebih besar untuk mengatasi jalan napas yang mengecil (hiperinflasi). Hal ini akan menyebabkan timbulnya gejala klinis berupa batuk, sesak napas, dan mengi (GINA, 2009) 2.1.4.3. Faal Paru Pengukuran faal paru sangat berguna untuk meningkatkan nilai diagnostik. Ini disebabkan karena penderita asma sering tidak mengenal gejala dan kadar keparahannya, demikian pula diagnosa oleh dokter tidak selalu akurat. Faal paru menilai derajat keparahan hambatan aliran udara, reversibilitasnya, dan membantu kita menegakkan diagnosis asma. Akan tetapi, faal paru tidak mempunyai hubungan kuat dengan gejala, hanya sebagai informasi tambahan akan kadar kontrol terhadap asma (Pellegrino dkk, 2005). Banyak metode untuk menilai faal paru, tetapi yang telah dianggap sebagai standard pemeriksaan adalah: (1) pemeriksaan spirometri dan (2) Arus Puncak Ekspirasi meter (APE). Pemeriksaan spirometri merupakan pemeriksaan hambatan jalan napas dan reversibilitas yang direkomendasi oleh GINA (2009). Pengukuran volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dan kapasiti vital paksa (KVP) dilakukan dengan manuver ekspirasi paksa melalui spirometri. Untuk mendapatkan hasil yang akurat, diambil nilai tertinggi dari 3 ekspirasi. Banyak penyakit paru-paru menyebabkan turunnya angka VEP1. Maka dari itu, obstruksi jalan napas diketahui dari nilai VEP1 prediksi (%) dan atau rasio VEP1/KVP (%). Pemeriksaan dengan APE meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan memantau variabilitas harian pagi dan sore (tidak lebih dari 20%). Untuk mendapatkan variabiliti APE yang akurat, diambil nilai terendah pada pagi hari sebelum mengkonsumsi bronkodilator selama satu minggu (Pada malam hari gunakan nilai APE tertinggi). Kemudian dicari persentase dari nilai APE terbaik (PDPI, 2006). Derajat Asma Gejala Gejala malam Faal paru I. Intermiten Bulanan APE 80 % Gejala<1x/minggu Tanpa ada gejala diluar serangan Serangan singkat <2 kali sebulan VEP1 80% nilai prediksi APE 80 % nilai terbaik Variabiliti APE <20% II. Persisten ringan Mingguan APE 80% Gejala >1x/ minggu, tetapi <1x / hari Serangan dapat mengganggu aktivitas dan tidur >2 kali sebulan VEP180% nilai prediksi APE 80% nilai terbaik Variabiliti APE 20- 30 % III. Persisten sedang Harian APE 60-80 % Gejala setiap hari Serangan mengganggu aktivitas dan tidur Membutuhkan bronkodilator setiap hari >1x / seminggu VEP1 60-80% nilai prediksi APE 60-80% nilai terbaik Variabiliti APE > 30% IV. Persisten berat Kontinyu APE 60% Gejala terus menerus Sering Kambuh Aktivitas fisik terbatas Sering VEP 60% nilai prediksi APE 60% nilai terbaik Variabilti 30%
PATOLOGI Asma ditandai 3 kelainan utama pada bronkus yaitu bronkokonstriksi otot bronkus, inflamasi mukosa dan bertambahnya sekret yang berada pada jalan nafas. Pada stadium permulaan terlihat mukosa jalan nafas pucat, terdapat edema dan sekresi lendir bertambah. Lumen bronkus dan bronkiolus menyempit akibat spasme. Terlihat kongesti pembuluh darah, infiltrasi sel eosinofil bahkan juga dalam sekret di dalam lumen saluran nafas. Bila serangan terjadi sering dan lama atau dalam stadium lanjut , akan terlihat deskuamasi epitel, penebalan membrane hialin basal, hiperplasi serat elastin, hiperplasi dan hipertrofi otot bronkus dan jumlah sel goblet bertambah. Kadang-kadang asma menahun atau asma yang berat terdapat penyubatan bronkus oleh mukus yang kental yang mengandung eosinofil. Asma melibatkan suatu hiperresponsivitas reaksi peradangan. Pada respons alergi di saluran napas, antibody IgE berikatan dengan allergen dan menyebabkan degranulasi sel mast. Akibat degranulasi tersebut, histamine dilepaskan. Histamin menyebabkan konstriksi otot polos bronkiolus. Apabila respon histaminnya berlebihan dapat timbul spasme asmatik. Karena histamine juga merangsang pembentukan mukus dan meningkatkan permeabilitas kapiler, maka juga akan terjadi kongesti dan pembengkakan ruang intertisium paru. Jadi hasil akhir dari respon hiperresponsivitas hasil akhirnya adalah bronkospasme, pemebukan mukus, edema, dan obstruksi aliran udara. Reaksi hiperresponsivitas dapat berupa infeksi virus, debu dan iritan alergi. Olahraga juga merupakan suatu iritan karena terjadi aliran udara keluar masuk paru dalam jumlah besar dan cepat, udara ini belum mendapat pelembaban (humidifikasi ) , penghangatan , atau pembersihan dari partikel debu secara adekuat sehingga dapat mencetuskan serangan asma. Rangsangan psikologis juga dapat mencetuskan suatu srangan asma. Karena rangsangan parasimpatis menyebabkan konstriksi otot polos bronkiolus., maka apapun yang meningkatkan aktivitas parasimpatis dapat mencetuskan asma. Sistem parasimpatis diaktifkan oleh emosi rasa cemas dan kadang rasa takut. Persarafan simpatis pada otot polos bronkiolus menyebabkan dilatasi bronus. Biasanya rangsangan simpatis berkaitan dengan keadaan flight or flight, saat di mana peningktatan ventilasi merupakan suatu komponoen penting untuk menyelamatkan diri. PATOGENESA Banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya asma, sehingga belum ada patogenesa yang dapat menerangkan semua penemuan dan penyelidikan asma. Salah satu yang memegang peranan penting pada patogenesis asma ialah sel mast. Sel mast dapat terangsang oleh berbagai pencetus misalnya allergen , infeksi exercise dan lain lain. Sel ini akan mengalami degranulasi dan mengeluarkan bermacam-macam mediator misalnya histamine , slow reacting substance or anaphylaxis, SRS-A yang dikenal sebagai lekotrien, eoxinophyl chemotactic of anaphylaxis (ECF-A), neutrophyl chemotactic faktor of anaphylaxis (NCF-A), patelet activating faktor (RAF), bradikinin , enzim-enzim peroksidase. Selain sel mast, sel basofil dan beberapa sel lain dapat juga mengeluarkan mediator. Bila allergen sebagai pencetus maka allergen yang masuk ke dalam tubuh merangsang sel plasma atau pembentuk antibody lainnya untuk menghasilkan sel plasma atau sel pembentuk antibody lainnya untuk menghasilkan antibody reagenik, yang disebut juga immunoglobulin E (IgE). Selanjutnya IgE akan beredar dan menempel pada reseptor yang sesuai pada dinding sel mast. Sel mast tersebut disebut sel mast yang tersensitisasi. Bila allergen yang serupa masuk ke dalam tubuh, allergen tersebut akan menempel pada sel mast yang tersentisasi dan kemudian terjadi degradasi dinding dan degranulasi sel mast. Mediator dapat bereaksi langsung dengan reseptor di mukosa bronkus sehingga menurunkan siklik AMP kemudian terjadi bronkokonstriksi. Mediator juga dapat menyebabkan bronkokonstriksi dengan mengiritasi resptor iritan. 2.1.6. Penatalaksanaan Tujuan utama dari penatalaksanaan asma adalah dapat mengontrol manifestasi klinis dari penyakit untuk waktu yang lama, meningkatkan dan mempertahankan kualitas hidup agar penderita asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari. GINA (2009) dan PDPI (2006) menganjurkan untuk melakukan penatalaksanaan berdasarakan kontrol. Untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma yang terkontrol terdapat dua faktor yang perlu dipertimbangkan, yaitu: 1. Medikasi 2. Pengobatan berdasarkan derajat 2.1.6.1. Medikasi Menurut PDPI (2006), medikasi asma dapat diberikan melalui berbagai cara seperti inhalasi, oral dan parenteral. Dewasa ini yang lazim digunakan adalah melalui inhalasi agar langsung sampai ke jalan napas dengan efek sistemik yang minimal ataupun tidak ada. Macammacam pemberian obat inhalasi dapat melalui inhalasi dosis terukur (IDT), IDT dengan alat bantu (spacer), Dry powder inhaler (DPI), breathactuated IDT, dan nebulizer. Medikasi asma terdiri atas pengontrol (controllers) dan pelega (reliever). Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang, terutama untuk asma persisten, yang digunakan setiap hari untuk menjaga agar asma tetap terkontrol (PDPI, 2006). Menurut PDPI (2006), pengontrol, yang sering disebut sebagai pencegah terdiri dari: 1. Glukokortikosteroid inhalasi dan sistemik 2. Leukotriene modifiers 3. Agonis -2 kerja lama (inhalasi dan oral) 4. Metilsantin (teofilin) 5. Kromolin (Sodium Kromoglikat dan Nedokromil Sodium) Pelega adalah medikasi yang hanya digunakan bila diperlukan untuk cepat mengatasi bronkokonstriksi dan mengurangi gejala gejala asma. Prinsip kerja obat ini adalah dengan mendilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos, memperbaiki dan atau menghambat bronkokonstriksi yang berkaitan dengan gejala akut seperti mengi, rasa berat di dada, dan batuk. Akan tetapi golongan obat ini tidak memperbaiki inflamasi jalan napas atau menurunkan hipersensitivitas jalan napas. Pelega terdiri dari: 1. Agonis -2 kerja singkat 2. Kortikosteroid sistemik 3. Antikolinergik (Ipratropium bromide) 4. Metilsantin
2.1.6.2. Pengobatan Berdasarkan Derajat Menurut GINA (2009), pengobatan berdasarkan derajat asma dibagi menjadi: 1. Asma Intermiten a. Umumnya tidak diperlukan pengontrol b. Bila diperlukan pelega, agonis -2 kerja singkat inhalasi dapat diberikan. Alternatif dengan agonis -2 kerja singkat oral, kombinasi teofilin kerja singkat dan agonis -2 kerja singkat oral atau antikolinergik inhalasi c. Bila dibutuhkan bronkodilator lebih dari sekali seminggu selama tiga bulan, maka sebaiknya penderita diperlakukan sebagai asma persisten ringan 2. Asma Persisten Ringan a. Pengontrol diberikan setiap hari agar dapat mengontrol dan mencegah progresivitas asma, dengan pilihan: Glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah (diberikan sekaligus atau terbagi dua kali sehari) dan agonis -2 kerja lama inhalasi 400 g/hari 250 g/hari Kromolin Leukotriene modifiers b. Pelega bronkodilator (Agonis -2 kerja singkat inhalasi) dapat diberikan bila perlu 3. Asma Persisten Sedang (Lihat Gambar 2.5) a. Pengontrol diberikan setiap hari agar dapat mengontrol dan mencegah progresivitas asma, dengan pilihan: Glukokortikosteroid inhalasi (terbagi dalam dua dosis) dan agonis -2 kerja lama inhalasi Budenoside: 400800 g/hari Fluticasone propionate : 250500 g/hari Glukokortikosteroid inhalasi (400800 g/hari) ditambah teofilin lepas lambat Glukokortikosteroid inhalasi (400800 g/hari) ditambah agonis -2 kerja lama oral Glukokortikosteroid inhalasi dosis tinggi (>800 g/hari) Glukokortikosteroid inhalasi (400800 g/hari) ditambah leukotriene modifiers b. Pelega bronkodilator dapat diberikan bila perlu Agonis -2 kerja singkat inhalasi: tidak lebih dari 34 kali sehari, atau Agonis -2 kerja singkat oral, atau Kombinasi teofilin oral kerja singkat dan agonis -2 kerja singkat Teofilin kerja singkat sebaiknya tidak digunakan bila penderita telah menggunakan teofilin lepas lambat sebagai pengontrol c. Bila penderita hanya mendapatkan glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah dan belum terkontrol; maka harus ditambahkan agonis -2 kerja lama inhalasi Dianjurkan menggunakan alat bantu / spacer pada inhalasi bentuk IDT atau kombinasi dalam satu kemasan agar lebih mudah 4. Asma Persisten Berat (Lihat Gambar 2.5) Tujuan terapi ini adalah untuk mencapai kondisi sebaik mungkin, gejala seringan mungkin, kebutuhan obat pelega seminimal mungkin, faal paru (APE) mencapai nilai terbaik, variabiliti APE seminimal mungkin dan efek samping obat seminimal mungkin Pengontrol kombinasi wajib diberikan setiap hari agar dapat mengontrol asma, dengan pilihan: Glukokortikosteroid inhalasi dosis tinggi (terbagi dalam dua dosis) dan agonis -2 kerja lama inhalasi Beclomethasone dipropionate: >800 g/hari Selain itu teofilin lepas lambat, agonis -2 kerja lama oral, dan leukotriene modifiers dapat digunakan sebagai alternative agonis -2 kerja lama inhalai ataupun sebagai tambahan terapi Pemberian budenoside sebaiknya menggunakan spacer, karena dapat mencegar efek samping lokal seperti kandidiasis orofaring, disfonia, dan batuk karena iritasi saluran napas atas