PREEKLAMPSIA BERAT + GAGAL VAKUM + SECTIO CECARIA + RUPTUR BULI
+ SEPSIS + KEMATIAN IBU
Oleh : Desiana Syafeti Murzam Nurfajri Martholiza Nadia Annisa Neni Ristiani Nori Purnama Rindi Rosalina Fadly
Pembimbing: dr. Fr. Hamido Hutauruk, SpOG
KEPANITERAAN KLINIK SENIOR BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU RSUD ARIFIN ACHMAD PROVINSI RIAU PEKANBARU 2014 1
BAB I PENDAHULUAN
Preeklampsia adalah hipertensi dalam kehamilan yang timbul setelah 20 minggu kehamilan disertai proteinuria. 1 Preeklampsia merupakan gangguan dalam kehamilan dengan insidensi 2%-8% diantara kehamilan dan lebih dari 50.000 kematian ibu hamil di seluruh dunia yang diakibatkan oleh komplikasinya. 2 Preeklampsia dibagi menjadi ringan dan berat. Preeklampsia berat (PEB) jika didapatkan satu atau lebih gejala dari tekanan darah 160/110 mmHg, proteinuria 5g/24 jam atau +4 dalam pemeriksaan kualitatif, oliguria, kenaikan kadar protein plasma, gangguan visus dan serebral, nyeri epigastrium, edema paru, trombositopenia berat dan gangguan fungsi hepar. 1,2
Komplikasi PEB terhadap ibu dapat berupa komplikasi akut dan komplikasi jangka panjang. Komplikasi akut berupa eclampsia, stroke, disseminated intravascular coagulation (DIC), abruptio plasenta, HELLP syndrome, edema paru,adult respiratory distress syndrome, Gagal ginjal akut dan kematian. Sedangkan komplikasi jangka panjang berupa hipertensi kronis, diabetes mellitus, gagal ginjal kronik, defisit neurologi dan kematian. Angka kematian masing- masing komplikasi PEB yaitu, eclampsia sebesar 50,8%, HELLP syndrome sebesar 4,8%, gangguan serebrovaskular sebesar 17% dan gangguan ginjal sebesar 7,2%, Dalam penelitian lain dilaporkan 95 dari 1.461.270 kehamilan mengalami kematian akibat komplikasi PEB. 3
Penatalaksanaan PEB terhadap kehamilannya dibagi menjadi aktif (kehamilan segera diakhiri/terminasi bersamaan dengan pemberian pengobatan medikamentosa) dan konservatif (kehamilan tetap dipertahan bersamaan dengan pemberian pengobatan medikamentosa) dengan indikasi yang dilihat dari umur kehamilan, tanda-tanda impending eclampsia dan keadaan janin.Terminasi kehamilan dapat dilakukan secara pervaginam atau perabdominal. 1 Indikasi dilakukannya terminasi perabdominal jika didapatkan adanya keadaan klinis ibu dan bayi yang buruk, belum inpartu dan hipertensi yang tidak berespon terhadap pengobatan medikamentosa terhadap penyakitnya. 1
2
BAB II ILUSTRASI KASUS
IDENTITAS PENDERITA Nama : Ny. J Usia : 40 tahun Pendidikan : SD Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga Agama : Islam Alamat : Minas No. MR : 85 62 87
ANAMNESIS Pasien masuk RSUD Arifin Achmad via IGD kebidanan rujukan dari Puskesmas Minas pada tanggal 14 Juni 2014jam23.00 WIB dengan diagnosis G2P1A0H1 gravid 38-39 minggu + PEB. Keluhan Utama: nyeri pinggang menjalar ke ari-ari Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien datang dengan keluhan nyeri pinggang menjalar ke ari-ari sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Nyeri dirasakan semakin kuat dan sering sejak 4 jam sebelum masuk rumah sakit. Nyeri disertai keluar lendir bercampur darah sejak 1 jam sebelum masuk rumah sakit, keluar air-air yang banyak dari kemaluan disangkal. Pandangan kabur, nyeri kepala bagian depan, dan nyeri ulu hati disangkal. Dari puskesmas Minas sudah diberikan MgSO 4 dan obat untuk tekanan darah tinggi. HPHT 16 September 2013, TP 23 Juni 2014 (usia kehamilan 38-39 minggu). Gerakan janin dirasakan aktif sejak usia hamil 4 bulan hingga sekarang. Riwayat Hamil Muda Mual (-), muntah (-), perdarahan (-) Riwayat Hamil Tua Mual (-), muntah (-), perdarahan (-) Riwayat ANC Rutin kontrol ke bidan 1 kali setiap bulan. Di dokter 1 kali, USG dikatakan baik, perkembangan sesuai. 3
Riwayat Makan Obat Vitamin dan obat penambah darah Riwayat Penyakit Dahulu Hipertensi (-), Diabetes Melitus (-), asma (-) Riwayat Penyakit Keluarga Hipertensi (-), Diabetes Melitus (-), asma (-) Riwayat Perkawinan 1 kali, usia menikah 27 tahun Riwayat Menstruasi Menarche usia 15 tahun, menstruasi teratur siklus 28 hari, lama 5-7 hari, GP 2 x/ hari, nyeri haid (-) Riwayat Hamil/Persalinan/Keguguran /Hidup: 2/1/0/1 Anak I : tahun 2007, laki-laki, BBL 2500 g, vakum atas indikasi kala 2 memanjang di RSUD Arifin Achmad, anak sehat. Riwayat Kontrasepsi : Suntik pertiga bulan. Terakhir penggunaan awal tahun 2013.
PEMERIKSAAN FISIK Keadaan umum : baik Kesadaran : komposmentis Vital Sign Tekanan darah : 210/120 mmHg Nadi : 92x/menit Frekuensi napas : 20x/menit Suhu : 36,7 0 C Berat badan : 67 Kg Tinggi badan : 158 cm IMT : 26,84(Obese derajat I) Kepala : konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/- Leher : tidak teraba pembesaran KGB, JVP 5 + 2 mmHg Jantung : S1 dan S2 dalam batas normal. Murmur (-) gallop (-) Paru : vesikuler (+/+), ronki (-/-) wheezing (-/-) 4
Abdomen : Status obstetrikus Genitalia : Status obstetrikus Ekstremitas : edema tungkai (-/-), kelemahan anggota gerak atas dan bawah (-/-), akral hangat (+/+), CRT < 2 Status Obstetri Muka : kloasma gravidarum (-) Mamae :hiperpigmentasi areola dan papilla mammae (+/+) mammae membesar dan menegang (+) Abdomen : Inspeksi : Perut tampak membuncit sesuai usia kehamilan, linea nigra (+), striae gravidarum (+) Palpasi : L1 : TFU 2 jari dibawah px, teraba massa bulat, lunak, tidak melenting L2 : teraba tahanan terbesar sebelah kanan L3 : teraba massa bulat, keras, melenting L4 :kepala sudah masuk PAP 3/5 bagian His : 3 kali dalam 10 menit selama 40 detik TFU: 31 cm TBJ: 3.100 gram DJJ 142x/menit Genitalia eksterna Inspeksi / palpasi : V/U tenang Genitalia interna Inspekulo : tidak dilakukan VT / bimanual palpasi : - Panggul dalam Promontorium : tidak teraba Linea innominata : teraba 1/3 anterior dekstra dan sinistra Sakrum : melengkung Spina ischiadica : tajam
5
Arkus pubis : > 90 0
Os koksigis : mobile Kesan : panggul adekuat - Janin Presentasi : kepala Situs : memanjang Penurunan : Hodge II Ketuban : (+) - Porsio Konsistensi : lunak Arah sumbu : anterior Pembukaan : 7 cm Penipisan : 75%
PEMERIKSAAN PENUNJANG Laboratorium (2/06/2013): Darah rutin: Hb : 11,4 g/dl Ht : 34,8 % Leukosit: 11. 100 /ul Trombosit : 184.000 /ul Urin : protein urin laboratorium (+) 2 protein urin bakar (+) 3 Kimia darah : - Glu : 73 mg/dl Ure : 19,2 mg/dl - Cre : 1.02 mg/dl AST : 19,2 U/L - ALT : 13 U/L ALB : 3,2 mg/dl Faal hemostatik FIB4 : 4869 g/L
DIAGNOSIS KERJA G2P1A0H1 gravid 38-39 minggu inpartu kala 1 fase aktif, PEB, krisis hipertensi, janin hidup tunggal intra uterin letak memanjang presentasi kepala. 6
Rencana : - Hemodinamik ibu dan janin stabil observasi KU,TTV, His, DJJ/jam, balance cairan/4 jam - Observasi tanda bahaya : impending eklampsia, eklampsia, intoksikasi MgSO4, inersia, solutio plasenta - Cegah kejang MgSO 4 loading dose, lanjutkan maintenance dose - Kontrol tekanan darah : nifedipin 3 x 10 mg - Terminasi kehamilan : bantu kala dua dengan ekstraksi vakum / forceps, nilai ulang 3 jam (jam 02.00 WIB) - Cegah kerusakan endotel lanjut (N-acetyl-systeine 3 x 600 mg, vitamin C 2 x 400 mg). - Cek DPL Follow Up 15 Juni 2014 jam 00.00 wib (VK IGD) S : mules (+),keluar air-air dari kemaluan (+). O : KU : tampak sakit sedang Kesadaran : compos mentis TD = 180/100 mmHg, Nadi = 85x/i, Nafas =20x/i, Suhu = 36,5 0 C Status generalis dalam batas normal. Status obstetric : I : v/u tampak bloody show VT :porsio lunak, anterior, 8 cm, kepala H-2, ketuban (-), sisa jernih, UUK melintang DJJ : 144 dpm His : 4x1040 A : G2P1A0H1 gravid 38-39 minggu inpartu kala 1 fase aktif + PEB + janin hidup tunggal intra uterin letak memanjang presentasi kepala. P : - Hemodinamik ibu dan janin stabil, observasi KU, TTV, DJJ dan His - Observasi tanda fetal distress - Cegah kejang : regimen MgSO 4 maintenance 2 gr / jam - Tekanan darah terkontrol (Nifedipine 3 x 10 mg, metildopa 3x500 mg bila tekanan darah 160/100 mmHg) - Rencana percepat kala dua dengan VCE bila syarat terpenuhi. Nilai ulang kemajuan persalinan 2 jam.
7
15 Juni 2014 jam 01:45 wib S : ibu ingin mengedan O : KU : tampak sakit sedang Kesadaran : compos mentis TD = 160/100 mmHg, Nadi = 90x/i, Nafas =20x/i, Suhu = 36,5 0 C Status generalis dalam batas normal. Status obstetric : I : v/u sulit dinilai. VT :porsio sulit dinilai, pembukaan lengkap (10 cm), kepala H-3, ketuban (-), sisa jernih DJJ : 140 dpm His : 4x1045 A : G2P1A0H1 gravid 38-39 minggukala II + PEB + janin hidup tunggal intra uterin letak memanjang presentasi kepala. P : - Hemodinamik ibu dan janin stabil, observasi KU, TTV, DJJ dan His - Observasi tanda fetal distress - Cegah kejang : regimen MgSO 4 maintenance 2 gr / jam - Tekanan darah terkontrol (Nifedipine 3 x 10 mg, metildopa 3x500 mg) - Rencana fraksi percobaan (kepala Hodge 3), bila kepala tidak turun, lakukan SC cyto. Dilakukan ekstraksi vakum 2 kali, sesudah 30 menit dilakukan vakum tidak ada penambahan penurunan kepala, pertimbangan dilakukan SC cito.
15 Juni 2014 jam 02.15 wib S : bayi tidak lahir setelah 30 menit percobaan vakum O : KU : tampak kelelahan Kesadaran : compos mentis TD = 180/100 mmHg, Nadi = 92x/i, Nafas =24x/i, Suhu = 36,7 0 C Status generalis : edema ekstremitas atas +/+, ekstremitas bawah +/+ Status obstetric : I : vulva membuka, perineum menonjol 8
VT :pembukaan lengkap (10 cm), kepala H-3, caput di Hodge III (+), moulase (-), UUK kiri depan, ketuban (-), sisa jernih DJJ : 139 dpm His : 4x1030 A : G2P1A0H1 gravid 38-39 minggukala II + PEB tekanan darah terkontrol, riwayat hipertensi krisis + janin hidup tunggal intra uterin letak memanjang presentasi kepala. P : - Hemodinamik ibu dan janin stabil, observasi KU, TTV, His dan DJJ pengawasan ketat (tiap 5 menit) - Terminasi kehamilan rencana SC cito - Regimen MgSO 4 maintenance dihentikan sementara (persiapan SC) - Surat izin operasi dengan informed consent dan persetujuan keluarga, konsul anestesi dan perinatologi.
Laporan operasi tgl 15-6-2014, pukul 03.15 04.15 wib Diagnosis preoperatife : G2P1A0H1 gravid 39-40 minggu + PEB + gagal vacum Janin hidup tunggal intra uterin letak memanjang presentasi kepala Diagnosis post operatif : P2A0H2post SCTPPatas indikasi gagal vacum + PEB post tubektomi Pomeroy bilateral Pasien dalam anestesi umum. Dilakukan insisi pfanenstiel, dilakukan insisi segmen bawah rahim. Bayi lahir dengan meluksir kepala. Lahir bayi laki-laki, BBL 3040 gram, panjang badan 48 cm. Apgar score 4/6, air ketuban (+) hijau encer jumlah sedikit, tali pusat segar. Plasenta lahir lengkap. Dilakukan tubektomi Pomeroy bilateral. Luka operasi ditutup, jahit lapis demi lapis. Perdarahan durante operasi 400 cc dengan produksi urin 100 cc kemerahan. Pemantauan 2 jam post operasi di dapatkan tekanan darah 109/80 mmHg, nadi 68 kali/menit, kontraksi baik, perdarahan 5 cc, TFU 2 jari di bawah pusat.Jumlah urin 50 cc. Advice - Hemodinamik ibu stabil. Observasi KU, TTV, kontraksi dan perdarahan setiap 15 menit untuk 1 jam pertama dan setiap 30 menit untuk 1 jam berikutnya. - Cegah kejang : regimen MgSO 4 maintenance 2 g/jam 24 jam post op - Kontrol tekanan darah (Nifedipine 3 x 10 mg, metildopa 3x500 mg bila tekanan darah 160/100 mmHg) 9
- Cegah infeksi : injeksi ceftriakson 1 g/12 jam. - Atasi nyeri : drip tramadol 1 amp / 8 jam. - Kontraksi baik IVFD RL 500 cc + 20 IU oksitosin/ 8 jam 3 fls berturut-turut - Mobilisasi bertahap ( 6 jam miring kiri-kanan, 24 jam duduk). - Diet TKTP bertahap MC, ML, MB bila pasien sadar penuh dan bising usus (+)
15 Juni 2014 jam 07.00 WIB (Camar II/Nifas) S : nyeri luka operasi O : KU : tampak sakit sedang Kesadaran : compos mentis TD = 120/90 mmHg, Nadi = 80x/i, Nafas =20x/i, Suhu = 36,7 0 C Status generalis : - Mata : konjungtiva tidak anemis - Thoraks : paru dan jantung dalam batas normal - Abdomen: Inspeksi : buncit Auskultasi : BU (+) melemah Perkusi : hipertimpani Palpasi : nyeri tekan pada daerah bekas luka operasi - Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2, edema (-/-) Produksi urin : 50 cc Status obstetric : Inspeksi :v/u tampak tenang. TFU 2 jari di atas pusat, kontraksi baik. Dilakukan eksplorasi tidak ditemukan stoolsel. A : P2A0H2post SCTPP ai gagal vacum post tubektomi bilateral nifas 3 jam. P : - Hemodinamik ibu stabil, observasi KU, TTV, kontraksi, perdarahan dan tanda akut abdomen. - Cegah kejang regimen MgSO 4 maintenance 2 g/jam 24 jam post op - Kontrol tekanan darah (Nifedipine 3 x 10 mg, metildopa 3x500 mg) - Atasi nyeri : drip tramadol 1 amp / 8 jam. - Kontraksi baik IVFD RL 500 cc + 10 IU oksitosin/ 8 jam 10
- Mobilisasi bertahap (6 jam miring kiri-kanan,24 jam duduk), diet TKTP bertahap - Tambah Alinamin F 3 x 1 amp (IV) - Furosemid 3 x 1 amp 15 Juni 2014 jam 14.30 WIB (Camar II/Nifas) S : kembung (+), nyeriperut (+) pada sekitar luka operasi O : KU : tampak sakit sedang Kesadaran : compos mentis TD = 110/80 mmHg, Nadi = 80x/i, Nafas =20x/i, Suhu = afebris Status generalis : - Mata : konjungtiva tidak anemis - Thoraks : paru dan jantung dalam batas normal - Abdomen: Inspeksi : buncit Auskultasi : BU (-) Perkusi : hipertimpani Palpasi : nyeri tekan pada seluruh lapangan perut (+) - Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2, edema (-/-) Pemeriksaan darah rutin - Hb : 6,4 g/dl HT : 20,3% - WBC : 23.000/ul PLT : 208.00/ul Pemeriksaan kimia darah - AST : 16,8 U/L ALT : 12 U/L - ALB : 1,6 mg/dl BILT : 0,24 mg/dl - BILD : 0.06 mg/dl A : P2A0H2post SCTPP ai gagal vacum + PEB + post tubektomi Pomeroy bilateral nifas 10 jam. P : - Hemodinamik ibu stabil, observasi KU, TTV, kontraksi, perdarahan. - Cegah kejang regimen MgSO 4 maintenance 2 g/jam - Cegah infeksi inj ceftriakson 2 x 1 gr - Atasi nyeri : drip tramadol 1 amp / 8 jam. - Relaparatomi atas indikasi nyeri akut abdomen - Persiapan transfusi darah 2 whole blood, 2 PRC 11
15 Juni 2014 jam 15.00 WIB (Camar II/Nifas) S : kembung (+), nyeri perut (+) pada sekitar luka operasi O : Meteorismus (+). Bising usus (+) meningkat. Hb : 6,4 g/dL A : P2A0H2 post SCTPP ai gagal EV nifas 11 jam+ meteorismus dan anemia HPP ec perdarahan aktif P : Laparatomi cyto NGT Persiapan transfusi darah 1000 cc (WBC)
Laporan operasi tgl 15-6-2014, pukul 15.15 18.15 wib Diagnosis preoperatife : P2A0H2 post SCTPP ai gagal EV + tubektomi pomeroy bilateral+ meteorismus dan anemia HPP ec. Diagnosis post operatif : P2A0H2post repair vesica urinaria + + repair SBR + post tubektomi bilateral. Pasien dalam keadaan anestesi umum Setelah abdomen dibuka tampak perdarahan 100 cc, tanpak plica vesiko uterina oedema dan hematoma (+) dengan ukuran 5 cm x 5 cm x 5 cm. Buka pada SBR keluar bekuan darah 350 cc. eksplorasi lebih lanjut : blast robek dengan ukuran 3 cm x 5 cm x 2 cm. Pasien di konsul intra operatif ke urologi. Konsul urologi : ditemukan laserasi buli 3 cm. Dilakukan repair buli. Ganti kateter 24 Fr pertahankan 14 hari. Memasang drain retro dengan NGT 18Fr. Dilakukan repair SBR. Advice - IVFD D5 : RL 2:1 - Ceftriakson 2 x 1 gr - Tramadol 3 x 1 amp - Transfuse darah 1000 cc : WBC - Pertahankan kateter selama 14 hari - Monitor tampilan urin dan produksi drain
12
16 Juni 2014 jam 07.00 WIB S : demam, kembung (+), nyeri perut (+) sekitar luka operasi, BAB (-) ASI belum keluar O : KU : tampak sakit sedang Kesadaran : compos mentis TD = 100/80 mmHg, Nadi = 100x/i, Nafas =26x/i, Suhu = 38,5 0 C Urine 400 cc kemerahan Drain 50 cc (merah) NGT : 30 cc (hijau) Status generalis : Konjungtiva anemis (+/+), sclera tidak ikterik. NGT terpasang. Status obstetric : Kontraksi baik.TFU 1 jari di bawah pusat. Rembesan pada luka operasi (-), darah pada selang (+), kantong tidak berisi darah. Perdarahan aktif pervaginam (-) A : P2A0H2post repair buli 12 jampada SCTPP ai gagal vacum + post tubektomi bilateral nifas hari 1+ anemia P : - Hemodinamik ibu stabil, observasi KU, TTV, produksi drain, NGT, produksi urin, O2 4 L/menit nasal kanul. - Atasi nyeri : pronalges supp 3 x 1 - Cegah infeksi inj ceftriakson 2 x 1 gr - Atasi demam : paracetamol drip 3 x500 mg. - Cegah kembung ranitidine 2 x 1 amp, alinamin 3 x 1 amp (IV) - Kontrol tekanan darah, target penurunan MAP < 20% nifedipine 4 x 10 mg.
16 Juni 2014 jam 13.15 WIB S : demam, kembung (+), nyeri perut (+) pada sekitar luka operasi, perdarahan aktif (-) O : KU : tampak sakit sedang Kesadaran : compos mentis TD = 120/80 mmHg, Nadi = 100x/i, Nafas =26x/i, Suhu = 38 0 C Status generalis : - Mata : konjungtiva tidak anemis, sclera tidak ikterik 13
- Thoraks : paru dan jantung dalam batas normal - Abdomen: Inspeksi : datar Auskultasi : BU (+) lemah Perkusi : timpani Palpasi : nyeri tekan (-) - Ekstremitas : akral hangat, edema (-/-), CRT < 2 Produksi NGT : 50 cc hijau pekat Drain : 100 cc merah Urin : 150 cc / 4 jam Status obstetric : TFU 3 jari di bawah pusat Kontraksi uterus baik Bekas luka operasi baik, rembesan (-) Pemeriksaan darah rutin - Hb : 6,38 g/dl HT : 18.8% - WBC : 33.700/ul PLT : 140.800/ul - MCV : 87,28 fl MCH : 29,46 pg - MCHC : 33,75 g/dl A : P2A0H2 post repair buli 18 jampada SCTPP ai gagal vacum + post tubektomi bilateral nifas hari 1,5. Anemia normositik normokrom P : - Hemodinamik ibu stabil, observasi KU, TTV, produksi drain, NGT, produksi urin, O2 4 L/menit nasal kanul. - Dekompresi : pasien puasa, NGT ganti baru. - Atasi demam : paracetamol drip 3 x500 mg. - Cegah kembung ranitidine 2 x 1 amp, alinamin 3 x 1 amp (IV) - Cegah infeksi inj ceftriakson 2 x 1 gr, metronidazole 3 x 500 mg (IV), meropenem 2 x 1 gr. - Atasi nyeri : pronalges supp 3 x 1 - Atasi anemia : transfusi PRC 2 labu - Cegah perdarahan : asam traneksamat 3 x 500 mg IV - Balance cairan seimbang. 14
17 Juni 2014 jam 07.00 WIB S : kembung berkurang, kentut (+), BAB (-) ASI (-) O : KU : tampak sakit sedang Kesadaran : compos mentis TD = 150/80 mmHg, Nadi = 90x/i, Nafas =22x/i, Suhu = 37 0 C Urine 700 cc/12 jam selang NGT (-) Drain : selang berisi darah (+), kantong (-) Status obstetric - TFU 2 jari di bawah pusat, kontraksi baik, perdarahan aktif pervaginam (-) - I : v/u tenang Luka operasi kering. Rembesan (-) Pemeriksaan darah rutin - Hb : 6,6 g/dl HT : 19,8% - WBC : 27.900/ul PLT : 140.000/ul - MCV : 85,4 fl MCH : 28,6 pg - MCHC : 33,5 g/dl A : P2A0H2post SCTPP ai gagal vacum PEB + post tubektomi Pomeroy bilateral.Nifas hari ke-2.Post repair buli ai rupture buli 1,5 hari. P : - Hemodinamik ibu stabil, observasi KU, TTV, produksi drain, NGT, urin. - Cegah kembung ranitidine 2 x 1 amp, alinamin 3 x 1 amp (IV), aminofusin - Cegah infeksi inj ceftriakson 2 x 1 gr, metronidazole 3 x 500 mg (IV), meropenem 2 x 1 gr. - Atasi nyeri : pronalges supp 3 x 1 - Kontrol tekanan darah, target penurunan MAP < 20% nifedipine 4 x 10 mg. - Transfuse PRC 3 - Aff NGT. - Kultur darah
15
17 Juni 2014 jam 18.00 WIB S : ibu mengamuk, bicara ngawur (penurunan kesadaran) O : Kesadaran : delirium GCS : E4M5V4 TD = 220/120 mmHg, Nadi = 120x/i, Nafas =24x/i, Suhu = 38 0 C Urine 550 cc/6 jam Pemeriksaan darah rutin - Hb : 7,1 g/dl HT : 22% - WBC : 23.800/ul PLT : 153.00/ul - MCV : 86 fl MCH : 27,9 pg - MCHC : 32,8 g/dl Analisa gas darah : - pH : 7.43 pCO 2 : 31 - pO 2 : 76 BE : -3.7 - SO 2 : 95% HCO 3 : 20,6 Kimia Darah : - Glu : 157 mg/dl URE : 138,3 mg/dl - CRE : 1,99 mg/dl AST : 37,6 U/L - ALT : 24 U/L ALB : 2,6 mg/dl - BILT : 0,55 mg/dl BILD : 0.11 mg/dl A : P2A0H2post SCTPP ai gagal vacum PEB +repair buli ai rupture bulihari ke-2, post tubektomi bilateralnifas hari ke 2,5+ anemia. Observasi penurunan kesadaran + krisis hipertensi. P : - Hemodinamik ibu stabil, observasi KU, TTV, kesadaran / jam - Cegah kembung ranitidine 2 x 1 amp, alinamin 3 x 1 amp (IV), aminofusin - Cegah infeksi inj ceftriakson 2 x 1 gr, metronidazole 3 x 500 mg (IV), meropenem 2 x 1 gr. - Kontrol tekanan darah, nifedipine titrasi /20 sehingga tercapai penurunan MAP <20%. Dilanjutkan metildopa 3 x 500 mg - Rawat ICU 16
17 Juni 2014 jam 20.00 WIB (ICU) S : - O : Airway : clear Breathing : RR 24 x / menit SO 2 : 100% nafas : vesikuler +/+ Circulation : TD : 123/ 85 mmHg nadi : 108 dpm regular isian cukup Kesadaran : koma A : sepsis post relaparatomy + repair buli P : O 2 NRM 8 Head up 30 0 Fentanyl NaCl 0,9% , RL, terapi lain lanjut . 18 Juni 2014 jam 07.00 WIB (ICU) S : - O : Airway : clear Breathing : RR 19 x / menit Circulation : TD : 159/ 89 mmHg Nadi : 93 dpm regular isian cukup Kesadaran : apatis GCS : E4M5V3 Pupil isokor (2mm,2mm) refleks +/+ T : 39 0 C Analisa gas darah dan elektrolit : - pH : 7.43 pCO 2 : 31 - pO 2 : 76 BE : -3.7 - SO 2 : 95% HCO 3 : 20,6 - Na : 144 K+ : 4,4 - Ca 2+ : 0,34 A : sepsis post SCTPP nifas hari ke-3+ repair buli hari ke 2,5 P : O 2 NRM 10 L NaCl 0,9% , RL-MgSO 4 Paracetamol 3 x 1 gr (IV) Metronidazole 3 x 500 mg (IV) Nifedipine 1 x 10 mg Mucogard 3 x 10 cc Diet makanan cair 4 x 100 cc Meropenem 2 x 1 gr Furosemid 3 x 1 Omeprazol 2 x 40 mg Vit C 2 x 200 mg Transfuse PRC 2 labu 17
18 Juni 2014 jam 14.15 WIB (ICU) S : gelisah O : Kesadaran : apatis GCS : E4M6V4 TD = 155/83 mmHg, Nadi = 87x/i, Suhu = 39,8 0 C Terpasang nasal kanul, Nafas =22x/i, Kateter:urin bercampur darah 100 cc/ 2 jam Status generalis : Kepala : konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/- Jantung : S1 dan S2 dalam batas normal. Murmur (-) gallop (-) Paru : vesikuler (+/+), ronki (-/-) wheezing (-/-) Abdomen: supel, nyeri tekan lapangan abdomen (+), bising usus (+) Ekstremitas: edema tungkai (-/-),akral hangat (+/+), CRT < 2 Status lokalis : luka operasi tertutup verban, rembesan darah dan nanah (-) Analisa gas darah : - pH : 7.43 pCO 2 : 31 - pO 2 : 76 BE : -3.7 - SO 2 : 95% HCO 3 : 20,6 HbSAg kualitatif : nonreaktif.
A : Sepsis pada P2A0H2post SCTPP ai gagal vacum + PEB (tekanan darah terkontrol) + post tubektomi Pomeroy bilateral nifas hari 3+ post relaparatomy repair buli iatrogenic ai rupture buli hari ke-2,5. P : - Tatalaksanasepsis : hemodinamik ibu stabil, observasi KU, TTV, kesadaran / jam. Rehidrasi RL 500 cc dalam 15-20 menit, lanjut maintenance 500 cc / 8 jam. - O2 NRM 10 L / menit - Kultur + resistensi - Target MAP > 65 % diuresis : 0,5-1 cc / jam - Meropenem 3 x 1 gr. - Paracetamol 500 mg / 8 jam (IV) 18
- Fentanyl 2 amp dalam N glyserin. - Kontrol tekanan darah, nifedipine titrasi /20 sehingga tercapai penurunan MAP <20%. Dilanjutkan metildopa 3 x 500 19 Juni 2014 jam 14.05 WIB (ICU) Kesadaran : koma GCS : E1M1V1 Dilakukan pemasangan intubasi dengan ETT no 7.0.batas bibir 21 cm. Ventilator VC, Fi O 2 50% PEEP : 5 RR : 12 Post intubasi TD 74/35 mmHg HR : 136 x / menit saturasi : 100% Loading NaCL 0,9 % 200 cc.
19 Juni 2014 jam 14.30 WIB (ICU) S : kontak tidak adekuat O : KU : tampak sakit berat Kesadaran : koma GCS : E1M1V(ETT) TD = 115/60 mmHg, Nadi = 90x/i, Nafas =24x/i, Suhu = 39,5 0 C Terpasang ventilator : volume controlled Pi O2 50% PEEP 5 Kateter : urin bercampur darah 1000 cc / 8 jam Status generalis : Kepala : konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/- terpasang intubasi ETT Jantung : S1 dan S2 dalam batas normal. Murmur (-) gallop (-) Paru : vesikuler (+/+), ronki (-/-) wheezing (-/-) Ekstremitas: edema tungkai (-/-),akral hangat (+/+), CRT < 2 Status lokalis : luka operasi tertutup verban, rembesan darah dan nanah (-) Status obstetric : TFU 3 jari bawah pusat, kontraksi baik, perdarahan aktif pervaginam (-) Inspeksi v/u tenang. Pemeriksaan darah rutin - Hb : 9,0 g/dl HT : 27,2% - WBC : 18.100/ul PLT : 129.00/ul - MCV : 84,2 fl MCH : 27,9 pg - MCHC : 33,1 g/dl 19
Analisa gas darah dan elektrolit - pH : 7.3 pCO 2 : 37 - pO 2 : 105 BE : -2,9 - SO 2 : 95% HCO 3 : 21,9 - Na + : 153 K+ : 3,6 - Ca2 + : 0,21 A : Sepsis pada P2A0H2post SCTPP ai gagal vacum + PEB (tekanan darah terkontrol) + post tubektomi Pomeroy bilateral nifas hari ke-4+ post relaparatomy repair buli ai rupture buli hari ke-3,5 P : - Tatalaksanasepsis : hemodinamik ibu stabil, observasi KU, TTV, kesadaran / jam. Rehidrasi RL 500 cc dalam 15-20 menit, lanjut maintenance 500 cc / 8 jam. - Oksigenasi adekuat. Terpasang ETT dengan ventilator volume controlled Fi O 2
50%. TV :450 ml. PEEP 5. - Cegah infeksi metronidazole 3 x 500 mg (IV), meropenem 2 x 1 gr.
19 Juni 2014 jam 16.00 WIB (ICU) Dilakukan pemasangan CVP subklavia dekstra dengan anestesi local (lidokain). Insersi chateter no 7.0 Fr. Aliran balik lancar (+).
19 Juni 2014 jam 19.35 WIB (ICU) S : kontak tidak adekuat, pasien tidak sadar O : KU : tampak sakit berat Kesadaran : koma GCS : E1M1V(ETT) TD = 73/33 mmHg, Nadi = 97x/i, Nafas =ventilator, Suhu = 39,5 0 C Terpasang ventilator : volume controlled Fi O2 50% PEEP 5 Kateter : urin bercampur darah 1000 cc / 8 jam Status generalis : Kepala : pupil isokor, refleks +/+ Leher : CVP 15 mmHg 20
Terpasang NGT produksi 30 cc berwarna kemerahan Jantung : S1 dan S2 dalam batas normal. Murmur (-) gallop (-) Paru : vesikuler (+/+), ronki (-/-) wheezing (-/-) Abdomen: supel, nyeri tekan (+), bising usus (+) Ekstremitas: edema tungkai (-/-),akral hangat (+/+), CRT < 2 Status obstetri: TFU 3 jari di bawah pusat, kontraksi baik, perdarahan (+) Inspeksi : V/U tenang, perdarahan merembes (+) Pemeriksaan darah rutin - Hb : 9,0 g/dl HT : 27,2% - WBC : 18.100/ul PLT : 129.00/ul - MCV : 84,2 fl MCH : 27,9 pg - MCHC : 33,1 g/dl Analisa gas darah dan elektrolit - pH : 7.38 pCO 2 : 37 - pO 2 : 105 BE : -2,9 - SO 2 : 95% HCO 3 : 21,9 - Na + : 153 K+ : 3,6 - Ca2 + : 0,21 A : Sepsis berat pada P2A0H2post SCTPP ai gagal vakum hari ke-4,5,PEB, post repair buli hari ke-4, tekanan darah terkontrol, DIC. P : - Breaking bad news keluarga sudah dilakukan, pasien didampingi keluarga. - Resusitasi terpasang monitor Airway clear Breathing dalam ventilator 450l, volume controlled SiO2 50% PEEP 5. Circulation rehidrasi adekuat, intake 1700 kal/hari. IVFD : NaCl, Widahes, Fentanyl, vasokonstriktor a 3 mg
- Jam 20.04 WIB Evaluasi akhir : mata : pupil midriasis maksimal Dalam pengaruh obat pulse (+) flat
22
BAB III TINJAUAN PUSTAKA
3.1. Preeklampsia 3.1.1. Definisi Pre-eklampsia ialah penyakit dengan tanda-tanda khas tekanan darah tinggi (hipertensi), pembengkakan jaringan (edema), dan ditemukannya protein dalam urin (proteinuria) yang timbul karena kehamilan.Penyakit ini umumnya terjadi dalam triwulan ke-3 kehamilan, tetapi dapat juga terjadi pada trimester kedua kehamilan.Penyakit ini sering tidak diketahui atau diperhatikan oleh wanita hamil yang bersangkutan, sehingga tanpa disadari dalam waktu singkat pre- eklampsia berat bahkan dapat menjadi eklampsia yaitu dengan tambahan gejala kejang-kejang dan atau koma. Kata eklampsia berasal dari bahasa Yunani yang berarti halilintar, karena gejala eklampsia datang dengan mendadak dan menyebabkan suasana gawat dalam kebidanan. Kejadian eklampsia di negara berkembang berkisar antara 0,3% sampai 0,7%. Kedatangan penderita sebagian besar dalam keadaan preeklampsia berat dan eklampsia.
3.1.2. Klasifikasi Dari berbagai gejala, preeklampsia dibagi menjadi preeklampsia ringan dan preeklampsia berat.Preeklampsia berat dibagi menjadi preeklampsia berat tanpa impending eclampsia dan preeklampsia berat dengan impending eclampsia. Kriteria pengklasifikasian akan diuraikan lebih lanjut di bagian diagnosis.
3.1.3. Etiologi dan patogenesis Etiologi preeklampsia sampai sekarang belum diketahui. Telah banyak teori yang mencoba menerangkan sebab penyakit tersebut, akan tetapi tidak ada yang memberikan jawaban yang memuaskan. Teori yang diterima harus dapat menerangkan hal-hal berikut: (1) sebab bertambahnya frekuensi pada primigrafiditas, kehamilan ganda, hidramnion dan mola hidatidosa; (2) sebab bertambahnya frekuensi dengan makin tuanya kehamilan; (3) sebab terjadinya perbaikan keadaan penderita dengan kematian janin dalam uterus; (4) sebab jarangnya terjadi 23
eklampsia pada kehamilan-kehamilan berikutnya; dan (5) sebab timbulnya hipertensi, edema, proteinuria, kejang dan koma. Salah satu teori yang dikemukakan ialah bahwa eklampsia disebabkan iskemia uteroplasenta.Selama kehamilan uterus memerlukan darah lebih banyak. Pada molahidatidosa, hydramnion, kehamilan ganda, multipara, pada akhir kehamilan, pada persalinan, juga pada penyakit pembuluh darah ibu, diabetes, peredaran darah dalam dinding rahim kurang, maka keluarlah zat-zat dari plasenta atau decidua yang menyebabkan vasospasmus dan hipertensi. Tetapi dengan teori ini tidak dapat diterangakan semua hal yang berkaitan dengan penyakit tersebut.Rupanya tidak hanya satu faktor yang menyebabkan pre-eklampsia dan eklampsia. Pada pemeriksaan darah kehamilan normal terdapat peningkatan angiotensin, renin, dan aldosteron, sebagai kompensasi sehingga peredaran darah dan metabolisme dapat berlangsung.Pada preeklampsia dan eklampsia, terjadi penurunan angiotensin, renin, dan aldosteron, tetapi dijumpai edema, hipertensi, dan proteinuria. Berdasarkan teori iskemia implantasi plasenta, bahan trofoblas akan diserap ke dalam sirkulasi, yang dapat meningkatkan sensitivitas terhadap angiotensin II, renin, dan aldosteron, spasme pembuluh darah arteriol dan tertahannya garam dan air. Teori iskemia daerah implantasi plasenta, didukung kenyataan sebagai berikut: 1. Preeklampsia dan eklampsia lebih banyak terjadi pada primigravida, hamil ganda, dan mola hidatidosa. 2. Kejadiannya makin meningkat dengan makin tuanya umur kehamilan 3. Gejala penyakitnya berkurang bila terjadi kamatian janin.
Dampak terhadap janin, pada preeklampsia/eklampsia terjadi vasospasmus yang menyeluruh termasuk spasmus dari arteriol spiralis deciduae dengan akibat menurunya aliran darah ke plasenta.Dengan demikian terjadi gangguan sirkulasi fetoplacenter yang berfungsi baik sebagai nutrisi maupun oksigenasi. Pada gangguan yang kronis akan menyebabakan gangguan pertumbuhan janin didalam kandungan disebabkan oleh mengurangnya pemberian karbohidrat, protein, dan faktor-faktor pertumbuhan lainnya yang seharusnya diterima oleh janin. 5 Beberapa faktor yang berperan dalam preeklampsia antara lain: 1. Peran prostasiklin dan tromboksan Pada preeklampsia dijumpai kerusakan pada endotel vaskuler, sehingga sekresi vasodilatator prostasiklin oleh sel-sel endotelial plasenta berkurang, sedangkan pada 24
kehamilan normal, prostasiklin meningkat.Sekresi tromboksan oleh trombosit bertambah sehingga timbul vasokonstriksi generalisata dan sekresi aldosteron menurun.Perubahan aktivitas tromboksan memegang peranan sentral terhadap ketidakseimbangan prostasiklin dan tromboksan.Hal ini mengakibatkan pengurangan perfusi plasenta sebanyak 50%, hipertensi, dan penurunan volume plasma. 2. Peran faktor imunologis Preeklampsia sering terjadi pada kehamilan pertama karena pada kehamilan pertama terjadi pembentukan blocking antibodies terhadap antigen plasenta tidak sempurna.Pada preeklampsia terjadi kompleks imun humoral dan aktivasi komplemen.Hal ini dapat diikuti dengan terjadinya pembentukan proteinuria. 3. Peran faktor genetik Bukti yang mendukung berperannya faktor genetik pada penderita preeklampsia adalah peningkatan Human leukocyte antigen (HLA). Menurut beberapa peneliti,wanita hamil yang mempunyai HLA dengan haplotipe A 23/29, B 44 dan DR 7 memiliki resiko lebih tinggi menderita preeklampsia dan pertumbuhan janin terhambat. 4. Disfungsi endotel Kerusakan sel endotel vaskuler maternal memiliki peranan pada terjadinya preeklampsia.Kerusakan endotel vaskular pada preeklampsia dapat menyebabkan penurunan produksi prostasiklin, peningkatan aktivitas agregasi trombosit dan fibrinolisis, kemudian diganti oleh trombin dan plasmin. Trombin akan mengkonsumsi antitrombin III sehingga terjadi deposit fibrin. Aktivitas trombosit menyebabkan pelepasan tromboksan A2 dan serotonin sehingga terjadi vasospasme dan kerusakan endotel. 1,2,3
3.1.4. Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan kriteria-kriteria di bawah ini: 1. Preeklampsia ringan Hipertensi dengan sistolik/diastolik > 140/90 mmHg, sedikitnya enam jam pada dua kali pemeriksaan tanpa kerusakan organ. Proteinuria > 300 mg/24 jam atau > 1 + dipstik. Edema generalisata yaitu pada lengan, muka, dan perut. 25
2. Preeklampsia berat Tekanan darah sistolik/diastolik > 160/110 mmHg sedikitnya enam jam pada dua kali pemeriksaan. Tekanan darah ini tidak menurun meskipun ibu hamil sudah dirawat di rumah sakit dan telah menjalani tirah baring. Proteinuria > 5 gram/24 jam atau > 3 + dipstik pada sampel urin sewaktu yang dikumpulkan paling sedikit empat jam sekali. Oliguria < 400 ml / 24 jam. Kenaikan kadar kreatinin plasma > 1,2 mg/dl. Gangguan visus dan serebral : penurunan kesadaran, nyeri kepala persisten, skotoma, dan pandangan kabur. Nyeri epigastrium pada kuadran kanan atas abdomen akibat teregangnya kapsula glisson. Edema paru dan sianosis. Hemolisis mikroangipatik karena meningkatnya enzim laktat dehidrogenase. Trombositopenia ( trombosit< 100.000 mm3). Oligohidroamnion, pertumbuhan janin terhambat, dan abrupsio plasenta. Gangguan fungsi hepar karena peningkatan kadar enzim ALT dan AST. Preeklampsia berat dibagi menjadi preeklampsia berat tanpa impending eclampsia dan preeklampsia berat dengan impending eclampsia. Disebut impending eclampsia bila preeklampsia berat disertai gejala-gejala subjektif berupa nyeri kepala hebat, gangguan visus, muntah-muntah, nyeri epigastrium, dan kenaikan progresif tekanan darah. 4,5,6,7
3.1.5. Penatalaksanaan Tujuan utama penanganan preeklampsia adalah mencegah terjadinya eklampsia, melahirkan bayi tanpa asfiksia dengan skor APGAR baik, dan mencegah mortalitas maternal dan perinatal. - Preeklampsia ringan Istirahat di tempat tidur merupakan terapi utama dalam penanganan preeklampsia ringan.Istirahat dengan berbaring pada sisi tubuh menyebabkan aliran darah ke plasenta dan aliran darah ke ginjal meningkat, tekanan vena pada ekstremitas bawah menurun dan reabsorpsi 26
cairan bertambah.Selain itu dengan istirahat di tempat tidur mengurangi kebutuhan volume darah yang beredar dan juga dapat menurunkan tekanan darah.Apabila preeklampsia tersebut tidak membaik dengan penanganan konservatif, dalam hal ini kehamilan harus diterminasi jika mengancam nyawa maternal (Wiknjosastro, 2006). - Preeklampsia berat Pada pasien preeklampsia berat segera harus diberi obat sedatif kuat untuk mencegah timbulnya kejang. Apabila sesudah 12 24 jam bahaya akut sudah diatasi, tindakan terbaik adalah menghentikan kehamilan. Sebagai pengobatan mencegah timbulnya kejang, dapat diberikan larutan magnesium sulfat (MgSO4) 40% 25 cc (10 gram) dimasukkankedalam Ringer laktat 500 cc kemudian diloading dose 200 cc (4 gram) maintanance 300 cc ( 6 gram ) selama 3 jam. Selain magnesium sulfat, pasien dengan preeklampsia dapat juga diberikan klorpromazin dengan dosis 50 mg secara intramuskular ataupun diazepam 20 mg secara intramuskular. Penggunaan obat hipotensif pada preklampsia berat diperlukan karena dengan menurunkan tekanan darah kemungkinan kejang dan apopleksia serebri menjadi lebih kecil. Apabila terdapat oliguria, sebaiknya penderita diberi glukosa 20% secara intravena. Obat diuretika tidak diberikan secara rutin. Kadang-kadang keadaan penderita dengan pengobatan tersebut di atas menjadi lebih baik. Akan tetapi, umumnya pada pre-eklmsia berat sesudah bahaya akut berakhir dipertimbangkan untuk menghentikan kehamilan oleh karena dalam keadaan demikian harapan bahwa janin hidup terus tidak besar, dan adanya janin dalam keadaan demikian harapan janin hidup terus tidak besar, dan adanya janin dalam uterus menghambat sembuhnya penderita dari penyakitnya. Pengkahiran kehamilan dapat dilakukan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang disebut dalam bab eklampsia.. 3.1.6. Akibat preeklampsia 3.1.6.1. Pada ibu Akibat gejala preeklampsia, proses kehamilan maternal terganggu karena terjadi perubahan patologis pada sistem organ, yaitu : - Jantung 27
Perubahan pada jantung disebabkan oleh peningkatan cardiac afterload akibat hipertensi dan aktivasi endotel sehingga terjadi ekstravasasi cairan intravaskular ke ekstraselular terutama paru.Terjadi penurunan cardiac preload akibat hipovolemia. - Otak Tekanan darah yang tinggi dapat menyebabkan autoregulasi tidak berfungsi. Jika autoregulasi tidak berfungsi, penghubung penguat endotel akan terbuka menyebabkan plasma dan sel-sel darah merah keluar ke ruang ekstravaskular. - Mata Pada preeklampsia tampak edema retina, spasmus menyeluruh pada satu atau beberapa arteri, jarang terjadi perdarahan atau eksudat.Spasmus arteri retina yang nyata dapat menunjukkan adanya preeklampsia yang berat, tetapi bukan berarti spasmus yang ringan adalah preeklampsia yang ringan. Skotoma, diplopia dan ambliopia pada penderita preeklampsia merupakan gejala yang menunjukan akan terjadinya eklampsia. Keadaan ini disebabkan oleh perubahan aliran darah pada pusat penglihatan di korteks serebri maupun didalam retina (Wiknjosastro, 2006). - Paru Edema paru biasanya terjadi pada pasien preeklampsia berat yang mengalami kelainan pulmonal maupun non-pulmonal setelah proses persalinan. Hal ini terjadi karena peningkatan cairan yang sangat banyak, penurunan tekanan onkotik koloid plasma akibat proteinuria, penggunaan kristaloid sebagai pengganti darah yang hilang, dan penurunan albumin yang diproduksi oleh hati. - Hati Pada preeklampsia berat terdapat perubahan fungsi dan integritas hepar, perlambatan ekskresi bromosulfoftalein, dan peningkatan kadaraspartat aminotransferase serum. Sebagian besar peningkatan fosfatase alkali serum disebabkan oleh fosfatase alkali tahan panas yang berasal dari plasenta.Pada penelitian yang dilakukan Oosterhof dkk, dengan menggunakan sonografi Doppler pada 37 wanita preeklampsia, terdapat resistensi arteri hepatika. Nekrosis hemoragik periporta di bagian perifer lobulus hepar menyebabkan terjadinya peningkatan enzim hati didalam serum.Perdarahan pada lesi ini dapat mengakibatkan ruptur 28
hepatika, menyebar di bawah kapsul hepar dan membentuk hematom subkapsular (Cunningham, 2005). - Ginjal Lesi khas pada ginjal pasien preeklampsia terutama glomeruloendoteliosis, yaitu pembengkakan dari kapiler endotel glomerular yang menyebabkan penurunan perfusi dan laju filtrasi ginjal.Konsentrasi asam urat plasma biasanya meningkat terutama pada preeklampsia berat. Pada sebagian besar wanita hamil dengan preeklampsia, penurunan ringan sampai sedang laju filtrasi glomerulus tampaknya terjadi akibat berkurangnya volume plasma sehingga kadar kreatinin plasma hampir dua kali lipat dibandingkan dengan kadar normal selama hamil (sekitar 0,5 ml/dl). Namun pada beberapa kasus preeklampsia berat, kreatinin plasma meningkat beberapa kali lipat dari nilai normal ibu tidak hamil atau berkisar hingga 2-3 mg/dl.Hal ini disebabkan perubahan intrinsik ginjal akibat vasospasme yang hebat (Cunningham, 2005). Kelainan pada ginjal biasanya dijumpai proteinuria akibat retensi garam dan air.Retensi garam dan air terjadi karena penurunan laju filtrasi natrium di glomerulus akibat spasme arteriol ginjal. Pada pasien preeklampsia terjadi penurunan ekskresi kalsium melalui urin karena meningkatnya reabsorpsi di tubulus (Cunningham,2005). Kelainan ginjal yang dapat dijumpai berupa glomerulopati, terjadi karena peningkatan permeabilitas terhadap sebagian besar protein dengan berat molekul tinggi, misalnya: hemoglobin, globulin, dan transferin. Protein protein molekul ini tidak dapat difiltrasi oleh glomerulus. - Darah Kebanyakan pasien preeklampsia mengalami koagulasi intravaskular (DIC) dan destruksi pada eritrosit (Cunningham, 2005).Trombositopenia merupakan kelainan yang sangat sering, biasanya jumlahnya kurang dari 150.000/l ditemukan pada 15 20 % pasien.Level fibrinogen meningkat pada pasien preeklampsia dibandingkan dengan ibu hamil dengan tekanan darah normal. Jika ditemukan level fibrinogen yang rendah pada pasien preeklampsia, biasanya berhubungan dengan terlepasnya plasenta sebelum waktunya (placental abruption). Pada 10 % pasien dengan preeklampsia berat dapat terjadi HELLP syndrome yang ditandai dengan adanya anemia hemolitik, peningkatan enzim hati dan jumlah platelet rendah. - Sistem Endokrin dan Metabolisme Air dan Elektrolit 29
Pada preeklampsia, sekresi renin oleh aparatus jukstaglomerulus berkurang, proses sekresi aldosteron pun terhambat sehingga menurunkan kadar aldosteron didalam darah. Pada ibu hamil dengan preeklampsia kadar peptida natriuretik atrium juga meningkat. Hal ini terjadi akibat ekspansi volume yang menyebabkan peningkatan curah jantung dan penurunan resistensi vaskular perifer. Pada pasien preeklampsia terjadi pergeseran cairan dari intravaskuler ke interstisial yang disertai peningkatan hematokrit, protein serum, viskositas darah dan penurunan volume plasma.Hal ini mengakibatkan aliran darah ke jaringan berkurang dan terjadi hipoksia.
3.1.6.2. Pada janin Penurunan aliran darah ke plasenta mengakibatkan gangguan fungsi plasenta.Hal ini mengakibatkan hipovolemia, vasospasme, penurunan perfusi uteroplasenta dan kerusakan sel endotel pembuluh darah plasenta sehingga mortalitas janin meningkat (Sarwono prawirohardjo, 2009). Dampak preeklampsia pada janin, antara lain: Intrauterine growth restriction (IUGR) atau pertumbuhan janin terhambat, oligohidramnion, prematur, bayi lahir rendah, dan solusio plasenta. 8,9,10 Berdasarkan sikap terhadap kehamilan, perawatan pada pasien PEB dibedakan menjadi perawatan konservatif dan perawatan aktif.
a. Perawatan konservatif 1. Tujuan : Mempertahankan kehamilan hingga tercapai usia kehamilan yang memnuhi syarat janin dapat hidup di luar rahim Meningkatkan kesejahteraan bayi baru lahir tanpa mempengaruhi keselamatan ibu 2. Indikasi : Kehamilan < 37 minggu tanpa disertai tanda dan gejala impending eklampsia 3. Pemberian anti kejang : Seperti Tabel 1 di atas, tapi hanya diberikan maintainance dose ( loading dose tidak diberikan ) 4. Antihipertensi Diberikan sesuai protokol untuk PER. 30
5. Induksi Maturasi Paru Diberikan injeksi glukokortikoid, dapat diberikan preparat deksametason 2 x 16 mg iv/24 jam selama 48 jam atau betametason 24 mg im/24 jam sekali pemberian. 6. Cara perawatan : Pengawasan tiap hari terhadap gejala impending eklampsia Menimbang berat badan tiap hari Mengukur protein urin pada saat MRS dan tiap 2 hari sesudahnya Mengukur tekanan darah tiap 4 jam kecuali waktu tidur Pemeriksaan Lab : DL, LFT, RFT, lactic acid dehydrogenase, Albumin serum dan faktor koagulasi Bila pasien telah terbebas dari kriteria PEB dan telah masuk kriteria PER, pasien tetap dirawat selama 2 3 hari baru diperbolehkan rawat jalan. Kunjungan rawat jalan dilakukan 1 minggu sekali setelah KRS. 7. Terminasi kehamilan Bila pasien tidak inpartu, kehamilan dipertahankan sampai aterm Bila penderita inpartu, persalinan dilakukan sesuai dengan indikasi obstetrik b. Perawatan aktif 1. Tujuan : Terminasi kehamilan 2. Indikasi : (i). Indikasi Ibu : Kegagalan terapi medikamentosa : - Setelah 6 jam dimulainya terapi medikamaentosa terjadi kenaikan tekanan darah persisten - Setelah 34 jam dimulainya terapi medikamentosa terjadi kenaikan tekanan darah yang progresif Didapatkan tanda dan gejala impending preeclampsia Didapatkan gangguan fungsi hepar Didapatkan gangguan fungsi ginjal Terjadi solusio plasenta Timbul onset persalinan atau ketuban pecah (ii). Indikasi Janin 31
Usia kehamilan 37 minggu PJT berdasarkan pemeriksaan USG serial NST patologis dan Skor Biofisikal Profil < 8 Terjadi oligohidramnion (iii). Indikasi Laboratorium Timbulnya HELLP syndrome 3. Pemberian antikejang : Seperti protokol yang tercantum pada tabel 1. 4. Terminasi kehamilan : Bila tidak ada indikasi obstetrik untuk persalinan perabdominam, mode of delivery pilihan adalah pervaginam dengan ketentuan sebagai berikut : (i) Pasien belum inpartu Dilakukan induksi persalinan bila skor pelvik 8. Bila skor pelvik < 8 bisa dilakukan ripening dengan menggunakan misoprostol 25 g intravaginal tiap 6 jam. Induksi persalinan harus sudah mencapai kala II sejak dimulainya induksi, bila tidak maka dianggap induksi persalinan gagal dan terminasi kehamilan dilakukan dengan operasi sesar. Indikasi operasi sesar : - Indikasi obstetrik untuk operasi sesar - Induksi persalinan gagal - Terjadi maternal distress - Terjadi fetal compromised - Usia kehamilan < 33 minggu (ii) Pasien sudah inpartu Perjalanan persalinan dilakukan dengan mengikuti partograf Kala II diperingan Bila terjadi maternal distress maupun fetal compromised, persalinan dilakukan dengan operasi sesar Pada primigravida direkomendasikan terminasi dengan operasi sesar 11,12,13,14
3.2. Ekstraksi vakum 3.2.1. Definisi dan syarat ekstraksi vakum 32
Ekstraksi vakum adalah suatu tindakan bantuan persalinan di mana janin dilahirkan dengan ekstraksi menggunakan tekanan negatif (daya hampa udara) dengan alat vakum (negative- preasure vacuum extractor) yang dipasang dikepalanya.Hanya sebagai alat ekstraksi tidak baik sebagai alat rotasi.Pada ekstraksi vakum, keadaan fisiologis yang diharapkan adalah terbentuknya kaput suksadeneum pada kepala janin sebagai kompensasi akibat penghisapan/tekanan negatif. Kemudian setelah kepala menempel pada mangkuk vakum, tarikan dilakukan dengan bantuan tenaga dari ibu (bersamaan dengan saat his/gerakan mengejan) mengandalkan penempelan kaput tersebut pada mangkuk vakum.Vakum memberi tenaga tambahan untuk mengeluarkan bayi, dan biasanya digunakan saat persalinan sudah berlangsung terlalu lama dan ibu sudah terlalu capek serta tidak kuat meneran lagi. 15,16 Ekstraksi vakum dapat dilakukan dengan syarat sebagai berikut: 1. Janin aterm, letak kepala, atau bokong 2. Janin harus dapat lahir pervaginam (tidak ada disproporsi sefalopelvik) 3. Pembukaan serviks lengkap (pada multigravida, dapat pada pembukaan minimal 5-7) 4. Kepala janin sudah engaged 5. Selaput ketuban sudah pecah, atau jika belum harus dipecahkan 6. Harus ada kontraksi uterus (his) dan tenaga mengejan ibu (reflex mengejan baik). 7. Tidak boleh ada mukosa vagina atau jaringan servix yang terjepit antara ekstraktor vakum dengan kepala janin 8. Penurunan kepala janin minimal Hodge II 9. Tekanan vakum sampai mencapai 50 mmHg
33
Gambar 3.1 Engagement 3.2.2. Alat ekstraktor vakum Alat ekstraktor vakum terdiri atas: 1. Cup sejenis mangkuk dari logam yang agak mendatar dengan berbagai ukuran biasanya 3, 5, dan 7 cm (diameter 30 samapi dengan 60 mm) dengan lubang di tengah-tengahnya. Ekstraktor utama yang ada terdiri dari mangkuk yang terbuat dari karet yang lembut atau plastik dan bukan dari logam. Dua macam ekstraktor vakum yang sering digunakan adalah mangkuk polimer silikon dan mangkuk plastik sekali pakai yang lebih kecil. 2. Pipa/selang karet yang pada ujung yang satu dihubungkan dengan mangkuk dan pada ujung yang lain dihubungkan dengan suatu alat penarik dari logam. 3. Rantai dari logam yang berhubungan dengan alat bundar dan datar; alat tersebut dimasukan ke dalam rongga mangkuk sehingga dapat menutup lubangnya; selanjutnya rantai dimasukan ke dalam pipa karet dan setelah ditarik kuat, dikaitkan kepada alat penarik. 4. Pipa karet yang pada ujung yang satu dihubungkan dengan alat penarik dan dengan ujung yang lain dengan botol penampung cairan yang terisap(lendir, darah, air ketuban, dan sebagainya) 34
5. Manometer untuk membuat dan mengatur tekanan negatif dan pompa tangan atau elektrik untuk mengisap udara, yang berhubungan dengan botol penampung dan menyelenggarakan vakum antara mangkuk dan kepala janin.
Gambar 3.2. Alat ekstraksi vakum Dalam pemakaian ekstraktor vakum, mangkok yang dipilih harus sesuai dengan besarnya pembukaan, keadaan vagina, turunnya kepala janin dan tenaga untuk tarikan yang dipelukan. Umumnya yang dipakai ialah mangkok dengan diameter 50 mm. Macam-macam mangkok: 1.Mangkok logam : - malmstorm cup- anterior cup- posterior cup 2.Mangkok plastik : - plastik keras- plastik lunak yang berasal dari bahan silikon
35
Gambar 3.3. Jenis- jenis mangkok dari bahan plastik dan logam 3.2.3. Keuntungan dan kerugian vakum ekstraksi Keuntungan vakum ekstraksi sebagai berikut : 1. Cup dapat dipasang waktu kepala masih agak tinggi, Hodge III atau kurang dengan demikian mengurangi frekuensi SC 2. Tidak perlu diketahui posisi kepala dengan tepat, Cup dapat dipasang pada belakang kepala, samping kepala ataupun dahi. 3. Tarikan tidak dapat terlalu berat. Dengan demikian kepala tidak dapat dipaksakan melalui jalan lahir. Apabila tarikan terlampau berat cup akan lepas dengan sendirinya. 4. Cup dapat dipasang meskipun pembukaan belum lengkap, misalnya pada pembukaan 8-9 cm, untuk mempercepat pembukaan. Untuk ini dilakukan tarikan ringan yang kontinu sehingga kepala menekan pada servik. Di samping itu cup tidak boleh terpasang lebih dari jam untuk menghindari kemungkinan timbulnya perdarahan pada otak. 5. Vakum ekstraktor dapat juga dipergunakan untuk memutar kepala dan mengadakan fleksi kepala (misalnya pada letak dahi). 36
6. Tenaga mengenai puncak kepala tidak terlalu kuat, kebutuhan anestesia berkurang, mudah pemakaiannya, trauma perineum sedikit, dan memberi kemampuan bagi kepala untuk menentukan jalan keluar dari panggul ibu. 7. Dapat digunakan untuk membuktikan adanya disproporsi sefalopelvik 8. Kini telah dikembangkan vakum dari karet yang kurang traumatik dan lebih mudah penggunaannya.
Kerugian ekstraksivakum 1. Traksi hanya dapat dilakukan ketika ada kontraksi rahim. 2. pemakaian terbatas pada janin yang aterm. 3. persalinan lebih lama dibandingkan ekstraksi cunam. Karena waktu yang diperlukan untuk pemasangan cup sampai dapat ditarik relatif lebih lama dibandingkan forceps ( 10 menit ). Cara ini tidak dapat dipakai apabila ada indikasi untuk melahirkan anak dengan cepat misalnya pada fetal distress 4. membutuhkan perhatian untuk memelihara kevakuman. 5. alatnya relative mahal dibandingkan forceps biasa. 6. Morbiditas dan mortalitas rendah, tetapi sering terjadi pembentukan kaput yang bertahan beberapa jam. 37
Gambar 3.4. Caput succedanaeum 3.2.4. Indikasi ekstraksi vakum Pada ibu 1. Untuk memperpendek kala II, misalnya: a. Penyakit jantung kompensata b. Penyakit paru-paru fibrotik c. Kala II memanjang 2. 3.2.5. Kontraindikasi ekstraksi vakum Pemakaian ekstraksi vakum mempunyai kontraindikasi sebagai berikut: 1. Prematuritas karena kepala terlampau lembut dan mudah terjadi kerusakan intrakranial. 2. Kelainan letak kepala janin: 38
a. Letak muka karena bola mata dapat keluar dari orbita dan mengisi mangkok. b. Letak dahi. c. Kelainan putar paksi. 3. Disproporsi sefalopelvik. 4. Ruptura uteri membakat (imminens). 5. Keadaan ibu dimana ibu tidak boleh mengejan, misalnya pada penyakit jantung berat, preeklampsia berat, asma berat, dan sebagainya. 6. Fetal distres. Ekstraksi vakum pada letak bokong dapat dilakukan apabila telah diyakini benar bahwa tidak ada disproporsi sefalopelvik, pembukaan sudah lengkap, dan ada indikasi untuk mengakhiri persalinan, misalnya keadaan gawat janin. 17,18
3.2.6. Komplikasi ekstraksi vakum Dengan dipenuhinya sayarat-syarat: pembukaan sudah lengkap atau hampir lengkap, kepala janin sudah sampai Hodge III dengan tidak adanya disproporsi sefalopelvik, janin dengan persentasi belakang kepala dan kepala janin tidak lembek seperti pada maserasi atau prematuritas, bahaya atau timbulnya komplikasi tidak benar. Yang mungkin terjadi ialah: Pada ibu : 1. Perdarahan 2. Trauma jalan lahi 3. Infeksi Pada anak : 1. Cepalohematoma memerlukan pemantauan dan biasanya menghilang dalam 3-4 minggu. Dapat terjadi juga subgaleal hematoma, Perdarahan subaponeurotik. 2. Fetal distress. 3. Trauma janin. 4. Infeksi. 5. Ekskoriasi kulit kepala. 6. Asfiksi / anoksi. 7. Paresis / paralisis. 8. Fraktura tulang tengkorak. 39
9. Perdarahan intrakranial sangat jarang terjadi dan memerlukan perawatan neonatus segera. Perdarahan intrakranial pada neonatus merupakan salah satu komplikasi serius yang saat ini telah banyak dilaporkan. Perdarahan intrakranial adalah yang mengambil tempat pada rongga potensial di dalam rongga tulang kepala. Jenis perdarahan intrakranial pada neonatus yang lahir dengan ekstraksi vakum yang pernah dilaporkan meliputi: perdarahan epidural (ekstradural), subdural, dan perdarahan subarakhnoid. Perdarahan intrakranial pada neonatus mempunyai arti yang penting karena salah satu faktor penyebab kematian perinatal, atau cacat fisik dan retardasi mental. Tingginya angka kejadian perdarahan intrakranial dan gangguan fungsi otak mengurangi kepopuleran ekstraksi vakum (ventouse) sebagai alat bantu persalinan di negara-negara seperti: Amerika serikat, Inngeris, Kanada, Australia, dan beberapa negara asia seperti: India, Malaysia, Singapura, danFilipina. 10. Abrasi kulit kepala (biasa dan tidak berbahaya) dan laserasi dapat terjadi. Bersihkan dan periksa laserasi untuk menentukan apakah diperlukan jahitan. Nekrosis sangat jarang terjadi. 11. Caput succedaneum artificialis akan hilang dalam beberapa hari.Vakum ekstraktor dapat juga dipergunakan untuk melahirkan kepala waktu SC. Untuk ini harus ada pompa listrik sehingga penurunan tekanan berangsur-angsur dengan teratur. Dengan pompa listrik tekanan dapatditurunkan sampai -0,75 atm. Dalam waktu 60 detik.
3.2.7. Kegagalan ekstraksi vakum Ekstraksi vakum gagal jika: 1. Waktu dilakukan traksi, mangkuk terlepas sebanyak 3 kali. Mangkuk lepas pada waktu traksi, kemungkinan disebabkan : a. Tenaga vakum terlalu rendah b. Tekanan negatif dibuat terlalu cepat, sehingga tidak terbentuk kaput suksedaneum yang sempurna yang mengisi seluruh mangkuk c. Selaput ketuban melekat antara kulit kepala dan mangkuk sehingga mangkuk tidak mencengkam dengan baik d. Bgian-bagian jalan lahir (vagina dan serviks) ada yang terjepit ke dalam mangkuk e. Kedua tangan kiri dan tangan kanan penolong tidak berkerja sama dengan baik 40
f. Traksi terlalu kuat g. Cacat pada alat, misalnya kebocoran pada karet saluran penghubung h. Adanya disporposi sefalo-pelvik. Setiap mangkuk lepas pada waktu traksi, harus diteliti satu persatu kemungkinan-kemungkinan diatas dan diusahakan melakukan koreksi. 2. Dalam waktu 30 menit dilakukan traksi, janin tidak lahir.
3.2.8. Cara Ekstraksi Vakum Persiapan sebelum tindakan dilakukan persetujuan medik Pasien - Cairan dan selang infus sudah terpasang, perut bawah dan lipat paha sudah dibersihkan dengan air sabun, - Uji fungsi dan perlengkapan peralatan ekstraksi vakum - Siapkan alas bokong, dan penutup perut Medikamentosa : Oksigen, ergometrin, prokain 1%, larutan antiseptik (povidon iodin 10%) Intrumenn : set partus 1 set, vakum ekstraktor : 1 set, klem ovum 2, cunam tampon 1, Penolong ( operator dan asisten) - Baju kamar tindakan, masker, kacamata pelindung, - Sarung tangan DTT/steril, lampu sorot Bayi - penghisap lendir, resusitasi bayi, kain penyeka muka dan badan - inkubator - perlengkapan baju bayi Pencegahan infeksi sebelum tindakan - Masukkan tangan ke dalam wadah yang mengandung larutan klorin 0,5%, bersihkan darah dan cairan tubuh yang melekat pada sarung tangan, lepaskan secara terbalik dan rendam dalam larutan tersebut. - Pakai sarung tangan DTT/Steril yang baru.
41
Pemasangan mangkok vakum - Masukkan mangkok vakum melalui introitus,secara miring, pasangkan pada kepala bayi (perhatikan agar tepi mangkok tidak terpasang pada bagian yang tidak rata/moulage di daerah ubun-ubun kecil). - Dengan jari tengah dan telunjuk, tahan mangkok pada posisisnya dan dengan jari tengah dan telunjuk tangan lain, lakukan pemeriksaan di sekeliling tepi mangkok untuk memastikan tidak ada bagian vagina atau porsio yang terjepit di antara mangkok dan kepala. - Setelah hasil pemeriksaan ternyata baik, keluarkan jari tanan pemeriksaan dan tangan penahan mangkok tetap pada posisinya. - Instruksikan asisten untuk menurunkan tekanan (membuat vakum dalam mangkok) secra bertahap. - Pompa hingga tekanan 100 mmHG ( skala 10 atau 0,2 kg/sm 2 pada jenis malmstroomklasik) setelah 2 menit, naikan hingga 400 mmHG (skala 40 atau 0,4 kg/sm malmstroom klasik). Tekanan maksimal adalah 600 mmHG (skala 60 atau-0,6 kg/sm 2 malstroom),hanya dipakai bila his kurang kuat/memerlukan tarikan kuat (ingat: janganmenggunakan tekanan maksimal pada kepala bayi, lebih dari 8 menit Penarikan - Pada fase acme (puncak) dari his, minta pasien untuk mengedan, secara simultan lakukan penarikan dengan perineum yang baku) dilakukan pada saat kepala mendorng perineum dan tidak masuk kembali. - Bila belum berhasil pada tarikan pertama, ulangi lagi pada tarikan kedua. Episiotomi pada pasien dengan perineum yang kaku) dilakukan pada saat kepala mendorong perineum dan tidak masuk kembali. Melahirkan bayi - Kepala bayi dipegang biparietal, gerakkan ke bawah untuk melahirkan bahu depan, kemudian gerakkan ke atas untuk melahirkan bahu belakang, kenudian lahirkan seluruh tubuh bayi. - Bersihkan muka (hidung dan mulut) bayi dengan kain bersih, potong tali pusat dan serahkan bayi pada petugas bagian anak.
42
Lahirkan plasenta - Suntikkan oksitosin, lakukan traksi terkendali, lahirkan plasenta dengan menarik tali pusat dan mendorong uterus ke arah dorsokranial. - Periksa kelengkapan plasenta (perhatikan bila terapat bagian-bagian yang lepas atau tidak lengkap). - Masukkan plasenta ke dalam tempatnya (hindari percikan darah). Eksplorasi jalan lahir - Masukkan spekulum Sims/L atas dan bawah pada vagina. - Perhatikan apakah terdapat robekan perpanjangan luka episiotomi atau robekan pada dinding vagina di tempat lain. - Ambil klem ovum sebanyak 12 buah, lakukan penjepitan secara bergantian ke arah samping, searah jarum jam, perhatikan ada tidaknya robekan porsio. - Bila terjadi robekan di luar luka episiotomi, lakukan penjahitan Penjahitan episiotomi - Pasang penopang bokong (beri alas kain). Suntikan prokain 1% (yang telah disiapkan dalam tabung suntik) pada sisi dalam luka episiotomi (otot, jaringan, submukosa dan subkutis) bagian atas dan bawah. - Uji hasil infiltrasi dengan menjepit kulit perineum yang dianestasi dengan pinset bergigi. - Masukkan tampon vagina kemudian jepit tali pengikat tampon dan kain penutup perut bawah dengan kocher. - Dimulai dari ujung luka episiotomi bagian dalam jahit otot dan mukosa secara jelujur bersimpul ke arah luar kemudian tautkan kembali kulit secara subkutikuler atau jelujur matras. - Tarik tali pengikat tampon vagina secara perlahan-lahan hingga tampon dapat dikeluarkan, kemudian kosongkan kandung kemih. - Bersihkan noda darah, cairan tubuh dan air ketuban dengan kapas yang telah diberi larutan antiseptik. - Pasang kasa yang dibasahi dengan Povidon lodin pada tempat jahitan episiotomy
43
3.3. Ruptur buli Pada waktu lahir hingga usia anak, buli-buli terletak di rongga abdomen. Namun semakin bertambah usia, tempat turun dan terlindung di dalam kavum pelvis, sehingga kemungkinan mendapatkan trauma dari luar jarang terjadi. Kurang lebih 90% trauma tumpul buli-buli adalah akibat fraktur pelvis. Fiksasi buli-buli pada tulang pelvis oleh fasia endopelvik dan diafragma pelvis sangat kuat sehingga cedera deselarasi terutama jika titik fiksasi fasia bergerak pada daerah berlawanan ( seperti padaa fraktur pelvis), dapat merobek buli-buli. Robeknya buli-buli karena fraktur pelvis bisa pula terjadi akibat fragmen tulang pelvis merobek dindingnya.Dalam keaadan penuh terisi urin, buli-buli mudah sekali robek jika mendapatkan tekanan dari luar berupa benturan pada perut sebelah bawah. Buli- buli akan robek pada daerah fundus dan menyebabkan ekstravasasi uri kerongga intraperitoneum. Tindakan endourologi dapat menyebakan trauma buli-buli iatrogenik antara lain pada reseksi buli-buli transurethral (TUR buli-buli) atau pada litotripsi. Demikian pula partus kasep atau tindakan operasi di daerah pelvis dapat menyebabkan trauma iatrogenik pada buli-buli. Klasifikasi Secara klinis cedera buli-buli dibedakan menjadi: kontusio buli-buli cedera buli-buli ekstraperitoneal 45-60% cedera intraperitoneal 25-45% 2-12% cederanya cedera buli-buli ekstraperitoneal+cedera intraperitoneal. Jika tidak mendapatkan perawatan dengan segera 10-20% cedera buli-buli akan berakibat kematian karena peritonitis atau sepsis. Diagnosis Setelah mengalami cedera pada abdomen sebelah bawah, pasien mengeluhksn nyeri didaerah suprasimfisis, miksi bercampur darah atau pasien tidak dapat miksi. Gambaran klinis yang lain tergantung etiologi trauma, bagian buli-buli yang mengalami cedera yaitu intra/ekstraperitoneal, adanya organ lain yang mengalami cedera, serta penyulit yang terjadi akibat trauma. Dalam hal ini mungkin didapatkan tanda fraktur pelvis, syok, hematoma perivesika, atau tanpa tanda sepsis dari suatu peritonitis atau abses perivesika. Pemeriksaan pencitraan berupa sistografi yaitu dengan memasukkan kontras kedalam buli-buli sebanyak 300- 400 ml secara gravitasi (tanpa tekanan) melalui kateter per-uretram. 1,2 44
Terapi Trauma vesika urinaria merupakan keadaan darurat bedah yang memerlukan penatalaksanaan segera, bila tidak ditanggulangi dengan segera dapat menimbulkan komplikasi seperti perdarahan hebat, peritonitis dan sepsis.Pada kontusio buli-buli, cukup dilakukan pemasangan kateter dengan tujuan untuk memberikan istirahat pada buli-buli. Dengan cara ini diharapkan buli-buli sembuh setelah 7-10 hari. Pada cedera intraperitoneal harus dilakukan eksplorasi laparatomi untuk mencari robekan pada buli-buli serta kemungkinan cedera pada organ lain. Jika tidak dioperasi ekstravasasi urin ke rongga intraperitoneum dapat menyebabkan peritonitis.Rongga intraperitoneum dicuci, robekan pada buli-buli dijahit 2 lapis, kemudian dipasang kateter sistostomi yang dilewatkan di luar sayatan laparatomi. Pada cedera ekstraperitoneal, robekan yang sederhana (ekstravasasi minimal) dianjurkan untuk memasang kateter selama 7-10 hari, tetapi sebagian ahli lain menganjurkan untuk melakukan penjahitan buli-buli dengan pemasangan kateter sistostomi. Namun tanpa tindakan pembedahan kejadian kegagalan penyembuhan luka 15%, dan kemungkinan untuk terjadinya infeksi pada rongga perivesika sebesar 12%. Oleh karena itu jika bersamaan dengan rupture buli- buli terdapat cedera organ lain yang membutuhkan operasi, sebaiknya dilakukan penjahitan buli- buli dan pemasangan kateter sistostomi. Untuk memastikan bahwa buli-buli telah sembuh, sebelum melepas kateter uretra atau kateter sistostomi, terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan sistografi guna melihat kemungkinan masih adanya ekstravasasi urin.Jika masih ada ekstravasasi kateter sistostomi dipertahankan sampai 3 minggu. Penyulit Pada cedera buli-buli ekstraperitoneal, ekstravasasi urin ke rongga pelvis yangdibiarkan dalam waktu lama dapat menyebabkan infeksi dan abses pelvis.Yang lebih berat lagi adalah robekan buli- buli intraperitoneal, jika tidak segera dilakukan operasi, dapat menimbulkan peritonitis akibat dari ekstravasasi urin pada rongga intraperitoneum. Kedua keadaan itu dapat menyebabkan sepsis yang dapat mengancam jiwa. 22,23
45
3.4. Sepsis Sepsis merupakan penyebab tersering kesakitan dan kematian akibat infeksi diseluruh dunia. Di Amerika Serikat, sepsis penyebab kematian utama di ruang perawatan intensif. Hingga saat ini lebih dari 750.000 kasus sepsis telah diidentifikasi dan diperkirakan pada tahun 2010 terdapat 934.000 kasus ditemukan. Di Inggris sepsis yang memerlukan perawatan intensif sebanyak 27,7%, dari 23.211 kasus setiap tahun. Menurut data WHO kejadian sepsis bervariasi dari 0,9 s/d 7,04 per 1000 wanita dengan usia 15-49 tahun. Kejadian sepsis pada wanita hamil dihubungkan dengan komplikasi infeksi seperti infeksi saluran kemih, korioamnionitis, endometritis, luka infeksi dan abortus septik.Penyebab sepsis non obstetrik pada wanita hamil diantaranya malaria, HIV dan pneumonia.Infeksi saluran kemih sering dikaitkan sebagai penyebab infeksi tersering pada kehamilan.Hal ini dikarenakan terjadinya perubahan secara anatomi dan fisiologis sehingga memudahkan ascending infection.Perubahan kimiawi urine juga memudahkan pertumbuhan kuman patogen sebagai penyebab infeksi.Korioamnionitis sering dihubungkan dengan kejadian ketuban pecah dini. Lamanya waktu ketuban pecah dengan proses persalinan sangat mempengaruhi kejadian ini. Endometritis dan luka infeksi merupakan komplikasi yang sering terjadi pada operasi seksio sesaria. Bertambahnya jumlah tindakan seksio sesaria tanpa didasari standar operasional prosedur memadai akan meningkatkan kejadian infeksi dan sepsis. Preeklampsia dan trauma berat merupakan faktor risiko non infeksi kejadian sepsis berat dan syok sepsis. Preeklampsia merupakan gambaran ekstrim respon inflamasi sistemik pada trimester ketiga kehamilan.Konsentrasi sitokin pro inflamasi (IL-6) dan tumor necrosing factor a (TNF-a) meningkat pada keadaan preeklampsia dan SIRS (Systemic Inflammatory Response Syndrome).Respon imunologi pada trauma berat dimulai saat awal kejadian dengan dimulai aktifitas monosit.Aktifitas ini menyebabkan peningkatan sintesa dan pelepasan mediator- mediator inflamasi baik itu yang bersifat proinflamasi maupun anti inflamasi.Kelebihan respon pada trauma menginduksi SIRS dan MOF yang terjadi 30% pada semua trauma berat.Pada penderita syok sepsis 40-60% terdapat bakteremia. Hubungan antara bakteremia dan sepsis dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain imunitas dan kondisi penyakit. Secara umum bakteri aerobik gram negatif sering dihubungkan dengan keadaan sepsis.Akhir-akhir ini bakteri gram positif juga banyak ditemukan sebagai pemicu sepsis. Ledger dkk melaporkan mikroorganisme 46
yang sering ditemukan antara lain Eschericia coli,Enterococci,dan betahemolytic streptococci. Penegakan diagnosis sepsis memerlukan 3 kriteria yaitu : SIRS, sumber infeksi dan kultur yang menunjukkan pertumbuhan bakteri. Kultur negatif belum tentu menyingkirkan diagnosis sepsis karena dari semua penderita sepsis hanya 20-40% yang menunjukkan hasil kultur positif. Penegakan pasien dengan SIRS dapat ditandai oleh adanya 2 kriteria atau lebih berupa : - Suhu > 38 0 C atau <36 0 C - Denyut jantung > 90 kali permenit - Laju respirasi > 20 kali permenit atau PaCO 2 < 32 mmHg - Hitung leukosit > 12.000 / ul Hal inilah yang menyulitkan penegakan diagnosis sepsis itu sendiri Perjalanan sepsis akibat bakteri diawali oleh proses infeksi yang ditandai dengan bakteremia selanjutnya berkembang menjadi SIRS (Systemic Inflamatory Respon Syndrome) dilanjutkan sepsis, sepsis berat, syok sepsis dan berakhir MODS. Syok terjadi pada 40% pasien sepsis. Kematian penderita dengan sepsis sekitar 20%, mendekati 40% bila ada disfungsi organ (sepsis berat).Secara umum patofisiologi sepsis komplek dan tidak semuanya dimengerti. Berat ringannya kondisi sepsis dipengaruhi oleh kondisi penderita misal umur, faktor genetik,lokasi infeksi dan sejumlah kondisi medis. 24,25,26,
Kriteria Sepsis Variabel umum 1. Demam >38,3C 2. Hipotermia <36C 3. Nadi >90 kali per menit 4. Takipneu 5. Perubahan status mental 6. Edema dan jumlah cairan >20 ml/Kg dalam 24 jam 7. Hiperglikemia >140 mg/dl tanpa adanya riwayat diabetes Variabel inflamasi 1. Leukositosis (>12.000 L) 47
2. Leucopenia (<4000 L) 3. Protein plasma lebih tinggi dua kali dari nilai normal 4. Plasma procalcitonin tinggi dua kali dari nilai normal Variabel hemodinamik 1. Hipotensi arteri (MAP <70 mmHg) Variabel disfungsi organ 1. Hipoksemia arteri (PaO 2 /FiO 2 <300) 2. Oliguria akut (urin <0,5Ml/Kg/jam minimal 2 jam setelah rehidrasi) 3. Peningkatan kreatinin (>0,5mg/dl) 4. Abnormalitas koagulasi (Aptt>60 detik) 5. Ileus 6. Tromboitopenia (<100.000 L) 7. Hiperbilirubinemia (Bilirubin total >4 mg/dl) Variabel perfusi jaringan 1. Hiperlaktatemia (>1 mmol/L) 2. Penurunan pengisian kapiler (CRT<2 detik) Penatalaksaan sepsis A. Inisial resusitasi 1. Tujuan utama dari resusitasi 6 jam awal pertama a. Tekanan vena sentral 8-12 mmHg b. MAP 65 mmhg c. Jumlah urin 0,5 ml/kgbb/jam d. Tekanan vena sentral atau saturasi oksigen 75% atau 65 % 2. Pasien dengan peningkatanm jumlah asam laktat di targetkan untuk menormal kan asam laktat
48
B. skrinning untuk sepsis dan memperbaiki keadaan umum C. Diagnosis Kultur harus segera dilakukan sebelum pemberian anti mikroba D. Terapi anti mikroba 1. Anti mikroba intravena efektif diberikan dalam 1 jam pertama setelah septik syok 2. Regimen antimikroba harus dipantau setiap harinya agar tercipta dosis potensial 24
3.5Sectio caesarea(SC) 3.5.1. Definisi Istilah bedah caesar (sectio caesarea) berasal dari bahasa Latin caedere yang artinya memotong. Pengertian ini awalnya dijumpai dalam Roman Law (Lex Regia) dan Emperor's Law (Lex Caesarea) yaitu undang-undang yang menghendaki supaya janin dalam kandungan ibu-ibu yang meninggal harus dikeluarkan dari dalam rahim. Sectio caesareamerupakan adalah suatu persalinan buatan dimana janin dilahirkan melalui suatu insisi pada dinding perut dan dinding rahim dengan syarat dinding dalam keadaan utuh serta berat janin di atas 500 gram. 3.5.2. Jenis-jenis sectio caesarea Adapun jenis-jenis SC antara lain: a. Sectio caesarea abdominalis 1) Sectio caesarea transperitonealis a) Sectio caesarea klasik atau kopral dengan insisi memanjang pada korpus uteri b) Sectio caesarea ismika atau profunda dengan insisi pada segmen bawah rahim 2) Sectio caesareaEkstraperitonealis, yaitu tanpa membuka peritoneum parietalis, dengan demikian tidak membuka kavum abdominal. b. Sectio caesarea klasik (korporal) Dilakukan dengan membuat sayatan memanjang pada korpus uteri kira-kira sepanjang 10 cm. Kelebihan : 1) Mengeluarkan janin lebih cepat 49
2) Tidak mengakibatkan komplikasi kandung kemih tertarik 3) Sayatan bias diperpanjang proksimal atau distal Kekurangan : 1) Infeksi mudah menyebar secara intra abdominal karena tidak ada reperinonealisasi yang baik 2) Untuk persalinan berikutnya lebih sering terjadi rupture uteri spontan c. Sectio caesareaIsmika (profunda) Dilakukan dengan membuat sayatan melintang pada segmen bawah rahim (low cervical transversal) kira-kira 10 cm Kelebihan : 1) Penjahitan luka lebih mudah 2) Penutupan luka dengan reperitonealisasi 3) Tumpang tindih dari peritoneal baik sekali untuk menahan penyebaran isi uterus ke rongga peritoneum 4) Perdarahan kurang Dibandingkan dengan cara klasik kemungkinan ruptura uteri spontan kurang/lebih kecil Kekurangan : Keluhan pada kandung kemih postoperative tinggi.Sementara menurut Kasdu (2003), membedakan jenis operasi Caesar menjadi 2 yaitu sayatan melintang dan vertikal. Adapun jenis sayatannya, operasi berlangsung sekitar 45-60 menit, tetapi proses melahirkan bayi sendiri hanya berlangsung 5-10 menit Pemilihan jenis sayatan ini tergantung pada perut pada operasi Caesarea sebelumnya, kembar siam, tumor (mioma uteri) di segmen bawah uterus, hipervaskularisasi (pembuluh darah meningkat) disegmen bawah uterus pada plasenta previa, kanker serviks, risiko bahaya perdarahan apabila di lakukan tindakan sayatan melintang berhubung letak plasenta, misalnya pada plasenta previa, janin letak lintang, atau kembar dengan letak abnormal dan apabila akan melakukan histerektomi setelah janin di lahirkan. Terdapat kerugian dari operasi Caesarea dengan jenis sayatan melintang, antara lain: lebih berisiko terkena peritonitis (radang selaput perut), memiliki resiko empat kali lebih besar terkena rupture uteri pada kehamilan selanjutnya, otot-otot rahimnya lebih tebal dan lebih banyak pembuluh darahnya sehingga sayatan ini lebih banyak mengeluarkan darah. Akibatnya, 50
lebih banyak parut di daerah dinding atas rahim. Oleh karena itu, pasien tidak dianjurkan hamil lagi, jika menggunakan anestesi lokal, sayatan ini akan memerlukan waktu dan obat lebih banyak.
3.5.3. Indikasi Indikasi dilakukannya SC antara lain: a. Faktor janin 1) Bayi terlalu besar Berat bayi lahir sekitar 4.000 gram atau lebih (giant baby), menyebabkan bayi sulit keluar dari jalan lahir, umumnya pertumbuhan janin yang berlebihan (macrosomia) karena ibu menderita kencing manis (diabetes mellitus). Apabila dibiarkan terlalu lama di jalan lahir dapat membahayakan keselamatan janinnya. 2) Kelainan letak janin Ada 2 kelainan letak janin dalam rahim, yaitu letak sungsang dan letak lintang.Letak sungsang yaitu letak memanjang dengan kelainan dalam polaritas.Panggul janin merupakan kutub bawah.Sedangkan letak lintang terjadi bila sumbu memanjang ibu membentuk sudut tegak lurus dengan sumbu memanjang janin.Oleh karena seringkali bahu terletak diatas PAP (Pintu Atas Panggul), malposisi ini disebut juga prensentasi bahu. 3) Ancaman gawat janin (fetal disstres) Keadaan janin yang gawat pada tahap persalinan, memungkinkan untuk segera dilakukannya operasi.Apabila ditambah dengan kondisi ibu yang kurang menguntungkan.Janin pada saat belum lahir mendapat oksigen (O2) dari ibunya melalui ari-ari dan tali pusat. Apabila terjadi gangguan pada ari-ari (akibat ibu menderita tekanan darah tinggi atau kejang rahim), serta pada tali pusat (akibat tali pusat terjepit antara tubuh bayi), maka suplai oksigen (O2) yang disalurkan ke bayi akan berkurang pula. Akibatnya janin akan tercekik karena kehabisan nafas. Kondisi ini dapat menyebabkan janin mengalami kerusakan otak, bahkan tidak jarang meninggal dalam rahim. Apabila proses persalinan sulit dilakukan melalui vagina maka bedah casarea merupakan jalan keluar satu-satunya.
51
4) Janin abnormal Janin sakit atau abnormal, kerusakan genetik, dan hidrosepalus (kepala besar karena otak berisi cairan), dapat menyababkan memutuskan dilakukan tindakan operasi. 5) Faktor plasenta Ada beberapa kelainan plasenta yang dapat menyebabkan keadaan gawat darurat pada ibu atau janin sehingga harus dilakukan persalinan dengan operasi yaitu plasenta previa (plasenta menutupi jalan lahir), solutio plasenta (plasenta lepas), plasenta accrete (plasenta menempel kuat pada dinding uterus), vasa previa (kelainan perkembangan plasenta). 6) Kelainan tali pusat Berikut ini ada dua kelainan tali pusat yang biasa terjadi yaitu prolapsus tali pusat (tali pusat menumbung), dan terlilit tali pusat.Prolapsus tali pusat (tali pusat menumbung) adalah keadaan sebagian atau seluruh tali pusat berada di depan atau di samping bagian terbawah janin atau tali pusat sudah berada di jalan lahir sebelum bayi. Dalam hal ini, persalinan harus segera dilakukan sebelum terjadi sesuatu yang tidak diinginkan pada bayi, misalnya sesak nafaskarena kekurangan oksigen (O2).Terlilit tali pusat atau terpelintir menyebabkan aliran oksigen dan nutrisi ke janin tidak lancar. Jadi, posisi janin tidak dapat masuk ke jalan lahir, sehingga mengganggu persalinan maka kemungkinan dokter akan mengambil keputusan untuk melahirkan bayi melalui tindakan Sectio Caesaerea. 7) Bayi kembar (multiple pregnancy) Tidak selamanya bayi kembar dilakukan secara Caesarea.Kelahiran kembar memiliki resiko terjadi komplikasi yang lebih tinggi daripada kelahiran satu bayi.Bayi kembar dapat mengalami sungsang atau salah letak lintang sehingga sulit untuk dilahirkan melalui persalinan alami.Hal ini diakibatkan, janin kembar dan cairan ketuban yang berlebihan membuat janin mengalami kelainan letak.Oleh karena itu, pada kelahiran kembar dianjurkan dilahirkan di rumah sakit karena kemungkinan sewaktu-waktu dapat dilakukan tindakan operasi tanpa direncanakan.Meskipun dalam keadaan tertentu, bisa saja bayi kembar lahir secara alami. 8) Persalinan lambat atau kegagalan proses persalinan (distosia), kegagalan persalinan dengan induksi atau kegagalan persalinan dengan alat b. Faktor ibu Berikut ini, faktor ibu yang menyebabkan janin harus dilahirkan dengan operasi. 52
1) Usia Ibu yang melahirkan untuk pertama kalinya pada usia sekitar 35 tahun memiliki resiko melahirkan dengan operasi. Apalagi perempuan dengan usia 40 tahun ke atas. Pada usia ini, biasanya seseorang memiliki penyakit yang beresiko, misalnya tekanan darah tinggi, penyakit jantung, kencing manis (diabetes melitus) dan pre- eklamsia (kejang). Eklamsia (keracunan kehamilan) dapat menyebabkan ibu kejang sehingga seringkali menyebabkan dokter memutuskan persalinan dengan operasi caesarea. 2) Tulang panggul Cephalopelvic disproportion (CPD) adalah ukuran lingkar panggul ibu tidak sesuai dengan ukuran lingkar kepala janin dan dapat menyebabkan ibu tidak dapat melahirkan secara alami. Kondisi tersebut membuat bayi susah keluar melalui jalan lahir. 3) Persalinan sebelumnya Caesar Persalinan melalui bedah Caesarea tidak mempengaruhi persalinan selanjutnya harus berlangsung secara operasi atau tidak. 4) Faktor hambatan panggul Adanya gangguan pada jalan lahir, misalnya adanya tumor dan kelainan bawaan pada jalan lahir, tali pusat pendek dan ibu sulit bernafas.Gangguan jalan lahir ini bisa terjadi karena adanya mioma atau tumor.Keadan ini menyebabkan persalinan terhambat atau macet, yang biasa disebut distosia. 5) Kelainan kontraksi rahim Jika kontraksi lahir lemah dan tidak terkoordinasi (inkordinate uterine action) atau tidak elastisnya leher rahim sehingga tidak dapat melebar pada proses persalinan, menyebabkan kepala bayi tidak terdorong atau tidak dapat melewati jalan lahir dengan lancar. Apabila keadaan tidak memungkinkan, maka dokter biasanya akan melakukan operasi Caesarea.
53
6) Ketuban pecah dini Robeknya kantung ketuban sebelum waktunya dapat menyebabkan bayi harus segera dilahirkan. Kondisi ini akan membuat air ketuban merembes keluar sehingga tinggal sedikit atau habis. 7) Rasa takut kehilangan Pada umumnya, seorang wanita yang melahirkan secara alami akan mengalami rasa sakit, yaitu berupa rasa mulas disertai rasa sakit di pinggang dan pangkal paha yang semakin kuat. Kondisi tersebut sering menyebabkan seorang perempuan yang akan melahirkan merasa ketakutan, khawatir, dan cemas menjalaninya. Sehingga untuk menghilangkan perasaan tersebut seorang perempuan akan berfikir melahirkan melalui Caesarea. 3.5.4. Kontraindikasi Pada umumnya Sectio caesareatidak dilakukan pada janin mati, dan syok atau anemi berat sebelum diatasi. 3.5.5. Komplikasi 1. Sakit Di Tulang Belakang Banyak ibu setelah sesar mengeluh sakit di bagian tulang belakang (tempat dilakukan suntik anastesi sebelum operasi).Keluhan ini umumnya terasa saat membungkukkan badan, mengambil sesuatu di lantai, atau mengangkat beban yang lumayan berat.Sumber rasa nyeri berada tepat pada bekas tusukan jarum suntik saat dilakukan bius lokal. Akibatnya, sehabis melahirkan sesar, ibu tidak disarankan melakukan gerakan yang terlalu mendadak dan drastis serta harus menghindari mengangkat beban berat.Umumnya jika keluhan ini berlarut-larut atau intensitas sakitnya meningkat, ibu disarankan untuk berkonsultasi pada dokter. Kalau perlu, akan dilakukan pemeriksaan penunjang, misalnya rontgen tulang belakang. Pada ibu yang melahirkan normal, kondisi ini tidak terjadi. Empat puluh hari bahkan enam jam setelah bersalin, ibu bisa langsung beraktivitas normal. 2. Nyeri Di Bekas Sayatan Pascaoperasi, saat efek anestesi hilang, nyeri di bekas sayatan bedah akan terasa. 3. Rasa Kebal Di Bekas Sayatan 54
Keluhan lain sehabis operasi sesar adalah rasa kebal di bagian atas bekas sayatan operasi. Ini wajar karena saraf di daerah tersebut boleh jadi ada yang terputus akibat sayatan saat operasi.Butuh kira-kira 6-12 bulan, sampai serabut saraf tersebut menyambung kembali.Pada persalinan normal, putus saraf di perut dipastikan tidak ada. 4. Nyeri Di Bekas Jahitan Keluhan ini sebetulnya wajar karena tubuh tengah mengalami luka, dan penyembuhannya tidak bisa sempurna 100%.Apalagi jika luka tersebut tergolong panjang dan dalam.Dalam operasi sesar ada 7 lapisan perut yang harus disayat. Sementara saat proses penutupan luka, 7 lapisan tersebut dijahit satu demi satu menggunakan beberapa macam benang jahit. Dalam proses penyembuhan tak bisa dihindari terjadinya pembentukan jaringan parut. Jaringan parut inilah yang dapat menyebabkan nyeri saat melakukan aktivitas tertentu, terlebih aktivitas yang berlebihan atau aktivitas yang memberi penekanan di bagian tersebut.Pada persalinan normal, walau ada jahitan pada vagina (ini juga tidak pada semua ibu), tapi efeknya tidak akan seperti kondisi ibu disesar. Ibu yang bersalin normal biasanya tidak akan mengeluhkan apa-apa pada jahitan tersebut. 5. Mual Muntah Rasa mual-muntah yang umumnya timbul akibat sisa-sisa anestesi pada diri ibu.Efek seperti ini, tidak ditemukan pada ibu bersalin normal.Yang ibu rasakan hanyalah perasaan letih, lapar, dan haus. 6. Muncul Keloid Di Bekas Jahitan Selama masa penyembuhan luka operasi, banyak ibu yang gundah karena perutnya tak lagi mulus.Apalagi jika di bekas jahitan muncul benjolan memanjang yang disebut keloid.Munculnya keloid pada bekas sayatan operasi sesar biasanya disebabkan oleh paparan cairan ketuban yang mengandung faktor pertumbuhan sel, jenis benang jahit yang dipakai, teknik menjahit, serta bakat seseorang dalam reaksi jaringan.Pada ibu yang bersalin normal, mendambakan perut yang tetap mulus seperti saat gadis bukanlah masalah berarti. 7. Gatal Di Bekas Jahitan Rasa gatal di bekas jahitan sangat mengganggu dan mendorong ibu untuk menggaruknya. Sedihnya, tidak disarankan bagi ibu untuk menggaruk karena dikhawatirkan jahitan akan terbuka dan menimbulkan dampak lebih parah. Rasa gatal bisa timbul akibat adanya infeksi pada daerah luka operasi seperti infeksi jamur atau karena reaksi penyembuhan luka yang berlebihan. 55
Bila penyebabnya infeksi biasanya akan tampak tanda radang di daerah jahitan (ditandai dengan kulit yang berwarna kemerahan, ada luka, ada cairan yang keluar, terasa panas, dan terasa nyeri bila ditekan). Berbeda bila disebabkan reaksi kulit yang berlebihan; kulit di daerah jahitan menebal dan mengeras serta menonjol dibanding permukaan kulit lainnya.Inilah yang disebut keloid.Ibu bersalin normal tidak merasakan hal ini karena tidak ada luka sayatan di daerah perut. 8. Infeksi Ibu yang melahirkan secara sesar harus menjaga luka di perutnya agar jangan sampai terkena air dan terinfeksi. Proses penyembuhan luka bekas sesar biasanya berlangsung 10 hari. Bagi ibu yang bersalin normal, perawatan luka kemungkinan dilakukan di bibir vagina yang diepisiotomi (digunting sedikit).
3.5.6. Prosedur tindakan SC a. Izin Keluarga Pihak rumah sakit memberikan surat yang harus ditanda tangani oleh keluarga, yang isinya izin pelaksanaan operasi. b. Pembiusan Pembiusan dilkakukan dengan bius epidural atau spinal. Dengan cara ini ibu akan tetap sadar tetapi ibu tidak dapat melihat proses operasi karena terhalang tirai. c. Disterilkan Bagian perut yang akan dibedah, disterilkan sehingga diharapkan tidak ada bakteri yang masuk selama operasi. d. Pemasangan Alat Alat-alat pendukung seperti infus dan kateter dipasangkan. macam peralatan yang dipasang disesuaikan dengan kondisi ibu. e. Pembedahan Setelah semua siap, dokter akan melakukan sayatan demi sayatan sampai mencapai rahim dan kemudian selaput ketuban dipecahkan. Selanjutnya dokter akan mengangkat bayi berdasarkan letaknya. f. Mengambil Plasenta Setelah bayi lahir, selanjutnya dokter akan mengambil plasenta. 56
g. Menjahit Langkah terakhir adalah menjahit sayatan selapis demi selapis sehingga tetutup semua. BAB IV PEMBAHASAN 1. Sistem rujukan Ny. J usia 40 tahun merupakan rujukan dari puskesmas Minas, pasien dirujuk denganPEB. Rujukan ini termasuk dalam rujukan tepat waktu.Untuk ibu dengan adanya gawat darurat obstetri pada kelompok FR III AGDO berupa PEB.Rujukan tepat waktu ini dibutuhkan dalam penyelamatan ibu dan janin yang bersifat antisimpatif dan proaktif.Pada pasien ini rujukan tersebut sudah tepat, karena pasien dirujuk tepat waktu.
2. Diagnosis Pada pasien ini dari anamnesis didapatkan adanya keluhan nyeri pinggang menjalar ke ari-ari sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Dan didapatkan HPHT pasien pada tanggal HPHT 16 September 2013 dengan siklus haid yang teratur.Pada pasien tidak didapatkan adanya riwayat hipertensi sebelum hamil.Pada pasien didapatkan riwayat obstetri kehamilan 2 kali, melahirkan 1 kali dengan anak pertama hidup, tanpa ada keguguran.Pada pemeriksaan fisik pada pasien ini dilakukan pemeriksaan fisik umum, pemeriksaan abdomen dan genitalia.Pada pemeriksaan fisik umum didapatkan status generalis dan tanda vital dalam batas normal, pada pemeriksaan abdomen didapatkan satu janin dengan letak memanjang presentasi kepala. Pada pemeriksaan genitalia eksterna didapatkan vulva dan uretra tenang, lendir dan darah (-), cairan ketuban (-), edema (-), flour (-). Di IGD pasien didiagnosis G2P1A0H1 gravid 38-39 minggu inpartu kala 1 fase aktif, PEB, krisis hipertensi, janin hidup tunggal intra uterin letak memanjang presentasi kepala.Penulisan status paritas yaitu G3P2A0H2 sudah tepat karena telah sesuai dengan kaidah penulisan status obstetri. Pada pasien didapatkan haid terakhir pada HPHT 16 September 2013, TP 23 Juni 2014, maka diperkirakan usia kehamilan pasien saat datang ke VK IGD RSUD AA pada tanggal 14 Juni 2014 adalah 38-39 minggu. Pemeriksaan lain yang dapat menentukan usia gestasi pada pasien yaitu pemeriksaan USG, pada pasien ini pemeriksaan USG tidak dilakukan di RSUD Arifin Ahmad. 57
Pasien didiagnosis preeklamsi berat karena dari anamnesis didapatkan adanya riwayat tekanan darah yang tinggi dan proteinuria positif dari puskesmas yang merujuk.Dari pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah yaitu 220/110.Dari pemeriksaan penunjang laboratorium didapatkan adanya proteinuria +2. Dari pemeriksan penunjang urin bakar didapatkan proteinuria +3. Penulisan krisis hipertensi belum tepat karena krisis hipertensi ditandai dengan adanya peningkatan tekanan darah yang sangat tinggi (>180/110 mmHg) dengan kemungkinan akan timbulnya atau telah terjadi kelainan organ target. Pada pasien didapatkan tekanan darah 210/110 mmHg, tetapi dari anamnesis belum menunjukkan gejala organ target yang terganggu seperti sesak nafas, pandangan kabur, serta nyeri kepala hebat.
3. Penatalaksanaan medikamentosa Secara umum penanganan pasien preeklamsia berat yaitu dengan pemberian regimen MgSO4 yaitu dengan cara 15 menit pertama diberikan loading dose sebanyak 4 gram MgSO4 yang dilarutkan dalam larutan RL. Kemudian dilanjutkan dengan pemberian cairan maintenence sebanyak 1 gram MgSO4 dalam larutan RL selama 1 jam. Pada pasien juga diberikan nifedipin 3x10 mg. Hal ini bertujuan untuk mengontrol tekanan darah pada pasien.Pemberian nifedipin untuk menangani hipertensi berupa pemberian nifedipin 10 mg dengan 3 kali pemberian sehari.Sesuai dengan prinsip menangani hipertensi pada preeklamsia berat yaitu diberikan nifedipin 10 20 mg peroral, diulang setelah 30 menit, maksimum 120 mg dalam 24 jam. Penurunan tekanan darah dilakukan secara bertahap, yaitu penurunan awal 25 % dari tekanan sistolik dan target selanjutnya adalah menurunkan tekanan darah < 160/105 mmHg atau MAP < 125. Pada tanggal 15 Juni 2014 jam 07.00 post SC pasien diberikan furosemid 3x1 ampul. Produksi urin pada pasien 50 cc/3 jam.Produksi urin normal yaitu 0,5-1 cc/kgBB/jam. Pada pasien didapatkan produksi urin yang tidak normal, karena seharusnya dalam 3 jam produksi urin normal sebesar 200 cc dengan berat badan pasien 67 kg.Pada pasien PEB terjadi penurunan volume plasma antara 30-40% dibanding hamil normal.Sehingga aliran darah ke ginjal menurun yang mengakibatkan produksi urin menurun (oligouria), bahkan dapat terjadi anuria.Maka produksi urin yang berkurang pada pasien ini merupakan suatu kondisi yang terjadi karena PEB yang dideritanya. 58
Indikasi furosemid bertujuan untuk mobilisasi cairan edema, gagal ginjal akut dan gagal jantung dengan cara meningkatkan aliran darah ke ginjal yang meningkatkan laju aliran urin, selain itu pemberian furosemid juga meningkatkan ekskresi K + , Ca 2+ , Mg 2+ . Pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan edema ekstremitas dan edema paru, sehingga pemberian furosemid dalam kasus ini tidak sesuai dengan indikasi. Pemberian yang tidak sesuai indikasi dapat menyebabkan gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit sampai menyebabkan terjadinya alkalosis metabolik dan hipomagnesium, pada pasien dengan PEB, pemberian MgSO4 bertujuan untuk mencegah kejang dengan cara menggantikan ion Ca 2+ dengan Mg 2+ , hal ini akan terhambat jika terjadi keadaan hipomagnesium. Sehingga regimen MgSO4 yang diberikan pada kasus ini kurang bermanfaat akibat peningkatan pengeluaran Mg 2+ oleh pemberian furosemid.
4. Tindakan ekstraksi vakum Pada pasien dilakukan tindakan ekstraksi vakum, hal ini sudah tepat karena pada pasien dengan preeklamsi, maka harus segera dilakukan percepatan kala dua dengan tindakan, Ekstraksi vakum adalah suatu tindakan bantuan persalinan di mana janin dilahirkan dengan ekstraksi menggunakan tekanan negatif (daya hampa udara) dengan alat vakum (negative- presure vacum extractor) yang dipasang dikepalanya. Pada pasien tindakan vakum yang telah dilakukan sudah memenuhi syarat untuk vakum dimana janin aterm, presentasi kepala, pembukaan serviks sudah lengkap, kepala janin sudah engaged, selaput ketuban sudah pecah. Pada pasien terjadi kegagalan vakum dimana janin tidak lahir setelah 30 menit dilakukan traksi.Tidak berhasilnya tindakan vakum pada pasien ini dapat disebabkan karena tenaga vakum terlalu rendah, tekanan negatif dibuat terlalu cepat, sehingga tidak terbentuk kaput suksedaneum yang sempurna yang mengisi seluruh mangkuk, selaput ketuban melekat antara kulit kepala dan mangkuk sehingga mangkuk tidak mencengkam dengan baik, bagian-bagian jalan lahir (vagina dan serviks) ada yang terjepit ke dalam mangkuk, kedua tangan kiri dan tangan kanan penolong tidak berkerja sama dengan baik, traksi terlalu kuat, cacat pada alat, misalnya kebocoran pada karet saluran penghubung, adanya disporposi sefalo-pelvik. Setiap mangkuk lepas pada waktu traksi, harus diteliti satu persatu kemungkinan-kemungkinan diatas dan diusahakan melakukan koreksi. 59
5. Sectio Caessaria Tindakan sectio caessaria(SC)pada pasien ini sudah benar karena jika terjadi kegagalan ekstraksi vakum, maka harus segera dilakukan tindakan untuk mempercepat kala II, dalam hal ini dengan tindakan SC cito.Pada pasien ini didiagnosis gagal vakum karena telah dilakukan ekstraksi vakum selama 30 menit danjanin tidak lahir. Pada pasien persiapan operasi berlangsung selama 1 jam. Hal ini dikarenakan persiapan pre-operasi yang meliputi persiapan surat izin operasi, persetujuan keluarga, konsul anestesi, dan bagian perinatologi. Persiapan dalam waktu satu jam seharusnya dapat lebih dipersingkat untuk menjaga kondisi ibu dan janin.
6. KB : Tubektomi Pada pasien dilakukan tubektomi pomeroy bilateral. Indikasi dilakukannya tubektomi pada pasien ini adalah keadaan dengan risiko kehamilan yang meningkat dengan usia>35 tahun. Pada kasus ini pasien berusia 40 tahun dengan jumlah anak hidup 2 dan dengan riwayat persalinan anak pertama berupa kala II memanjang, anak kedua kehamilan dengan PEB, dikhawatirkan kehamilan berikutnya akan menimbulkan risiko kesehatan yang lebih serius. Sehingga dampak fisik dan psikis kehamilan dapat lebih berat pada kehamilan selanjutnya.
7. Ruptur vesika urinaria Pada pasien ini terjadi ruptur vesika urinaria yang dapat disebabkan oleh kompliksasi dari terminasi kehamilan pada pasien. Menurut literatur dikatakan bahwa SC dapat menyebabkan terlukanya organ lain seperti rektum, kandung kemih, infeksi pada organ rahim atau kandung kencing. Komplikasi terjadinya ruptur vesika urinaria meningkat pada pasien ini karena adanya faktor risiko berupa tindakan SC cito, dan SC yang dilakukan pada kala II. Adanya ruptur vesica urinaria pada pasien ini didukung oleh gejala-gejala yang dialami oleh pasien yaitu berupa hematuria, oliguria, acute abdomen, dan dari hasil laporan operasi relaparatomi pada tanggal 15 Juni 2014 jam 15.15-18.15 didapatkan plika vesiko-uterina edema dan hematom dengan ukuran 5x5x5 cm 3 dan laserasi buli dengan ukuran 3 cm.
60
8. Indikasi pemasangan NGT Pemasangan NGT bertujuan untuk dekompresi lambung yang berfungsi untuk mengeluarkan sekresi saluran cerna dan udara yang tertelan pada pasien-pasien dengan obstruksi usus halus.Pada pasien ini sudah sesuai dengan indikasi pemasangan NGT.Hasil cairan yang keluar dari selang NGT berupa cairan kental berwarna kehijauan. Hal ini merupakan akibat adanya obstruksi saluran cerna yang menyebabkan tertahannya produk pencernaan yang bercampur dengan asam lambung, sehingga akan membentuk cairan yang berwarna kehijauan.
9. Hb Post operasi Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan Hb pre operasi 11,4 g/dl. Setelah tindakan operasi SC dan tubektomi dilakukan, didapatkan hasil Hb 6,4 g/dl. Penurunan Hb ini dikarenakan terjadinya perdarahan yang berasal dari perdarahan durante operasi 400 cc dan perdarahan yang diketahui setelah dilakukannya relaparatomi yang berasal dari laserasi buli, dari laporan operasi relaparatomi didapatkan perdarahan 100 cc setelah peritoneum dibuka dan bekuan darah yang keluar setelah segmen bawah rahim dibuka. Produksi urin post operasi 100 cc berwarna kemerahan. Penyebab kemerahan pada urin bisa disebabkan oleh darah dalam urin dan bisa disebabkan oleh obat-obatan. Darah di dalam urin dapat disebabkan oleh banyak hal antara lain, infeksi kandung kemih, infeksi ginjal, batu ginjal, batu saluran ginjal, batu kandung kemih, kanker pada ginjal dan kandung kemih. Sedangkan obat-obatan yang dapat menyebabkan kemerahan pada urin adalah obat pencahar, fenolftalein, rifampisin thorazine dan vitamin B. Pada pasien ini tidak ada riwayat pemakaian obat-obatan seperti diatas dan dari pemeriksaan fisik tidak ada tanda-tanda gangguan ginjal, namun dari hasil laporan operasi relaparatomi didapatkan adanya laserasi buli sehingga kemerahan pada urin pasien ini disebabkan karena adanya darah di dalam urin atau hematuria.
10. Sepsis Penegakan diagnosis sepsis pada pasien ini didasarkan temuan klinis dan laboratorium pada pasien berupa kesadaran delirium dengan GCS E4M5V4, nadi = 120x/i, nafas =24x/i, 61
WBC 23.800/ul, glukosa 157 mg/dl, kreatinin 1,99 mg/dl. Hal ini telah memenuhi penegakan diagnosis berdasarkan kriteria sepsis berupa nadi >90 kali per menit, takipneu, terjadinya perubahan status mental, hiperglikemia >140 mg/dl tanpa adanya riwayat diabetes, leukositosis (>12.000 L) dan peningkatan kreatinin (>0,5mg/dl). Sepsis yang terjadi pada pasien ini dikarenakan kontaminasi urin pada rongga peritoneal yang dikarenakan adanya laserasi buli.Kontaminasi urin pada rongga peritoneal tidak diketahui dengan segera, hal ini membuat peningkatan risiko terbentuknya fokal infeksi pada rongga peritoneal. Pemberian antiobiotik 3 regimen pada pasien dilakukan untuk mengatasi adanya infeksi yang dialami pasien.Dimana berdasarkan hasil pemeriksaan fisik dan penunjang yang dilakukan pada pasien didapatkan adanya kriteria yang menunjukkan terjadinya infeksi. Pemberian 3 regimen pada pasien dilakukan karena belum adanya hasil pemeriksaan kultur dan resistensi. Sebelum hasil kultur dan resistensi keluar, pasien diberikan terapi empirik yang efektif untuk melawan gram positif dan negatif berupa antibiotik spektrum luas yang disesuaikan dengan patogen yang biasanya terdapat di tempat pasien di rawat. Hal ini sesuai dengan penatalaksanaan umum pada pasien sepsis tanpa didukung adanya hasil kultur dan resistensi. Namun setelah hasil kultur dan resistensi keluar, penatalaksanaan pada pasien harus disesuaikan dengan hasil tersebut.Pada pasien dengan sepsis memerlukan terapi regimen yang agresif yaitu gabungan antibiotik dengan vasopressor untuk mempertahankan volume plasma yang adekuat.
11. Penyebab kematian Kematian pada pasien dapat dipikirkan akibat adanya perburukan kondisi pasien yang mengalami syok septik yang dapat berakibat buruk pada organ vital.Tanda syok septik pada pasien didapatkan berupa penurunan tekanan darah 73/33 mmHg, peningkatan suhu tubuh 39,5 0 C, peningkatan kadar leukosit 18.100/ul. Pada jantung dapat mengakibatkan kegagalan jantung dalam memompa darah sehingga organ-organ tubuh terutama organ vital dapat kekurangan oksigen yang menyebabkan kematian sel. Sedangkan pada paru dapat terjadi kegagalan dalam merespon kekurangan oksigen yang mengakibatkan berkurangnya oksigen dalam tubuh.Kekurangan nutrisi pada otak dapat mengakibatkan kematian sel-sel otak yang 62
dapat menyebabkan perubahan status mental sampai kematian.Angka kematian syok septik adalah 72% dan 50% diantaranya meninggal bila syok terjadi dalam waktu lebih dari 72 jam.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan 1. Sistem rujukan sudah tepat, ibu dirujuk tepat waktu 2. Diagnosa dengan krisis hipertensi belum tepat karena krisis hipertensi ditandai dengan adanya peningkatan tekanan darah yang sangat tinggi (>180/110 mmHg) dengan kemungkinan akan timbulnya atau telah terjadi kelainan organ target. 3. Pemberian regimen MgSO4 sudah tepat, namun indikasi pemberian furosemid kurang tepat 4. Tindakan ekstraksi vakum sudah tepat sesuai dengan indikasi dan syarat vakum 5. Indikasi tindakan sectio caessaria sudah tepat 6. Tindakan tubektomi pada pasien sudah tepat 7. Ruptur vesika urinaria merupakan komplikasi dari tindakan sectio caessaria 8. Indikasi pemasangan NGT sudah tepat 9. Penurunan Hb post operasi terjadinya karena adanya perdarahan post SC dan perdarahan karena ruptur vesika urinaria 10. Sepsis yang terjadinya merupakan komplikasi dari ruptur vesika urinaria 11. Penyebab kematian adanya perburukan kondisi pasien yang mengalami syok septik dan multiple organ failure.
5.2 Saran 1. Pada pihak pelayanan kesehatan primer harus memahami system rujukan pelayanan kesehatan ibu hamil dan mampu mendeteksi faktor-faktor risiko potensi keadaan gawat darurat obstetri. 2. Tenaga medis harus lebih memahami cara menegakkan diagnosis pada pasien yang didapatkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik. 3. Penatalaksanaan medikamentosa harus berdasarkan indikasi yang tepat agar efek samping dan komplikasi yang mungkin ditimbulkan dapat dihindari. 63
4. Mengetahui indikasi, syarat, kontraindikasi dan komplikasi dari setiap tindakan (ekstraksi vakum, sectiocaesarea, tubektomi dan pemasangan NGT)serta menyampaikan dengan jelas ke pasien atau keluarganya harus dipenuhi oleh setiap tenaga medis. 5. Untuk 6. Persiapan tindakan terminasi kehamilan dapat lebih dipersingkat untuk menjaga kondisi ibu dan janin. 7. Pada pasien penegakkan diagnosis sepsis seharusnya berdasarkan kriteria SIRS, sumber infeksi dan kultur. 8. Kejadian infeksi post partum dapat dihindari dengan tindakan aseptic dan antisepsis yang benar, memikirkan kemungkinan adanya komplikasi tindakan dan menjaga kesterilan alat- alat yang digunakan. Baik pada percobaan partus pervaginam maupun pasien dengan terminasi kehamilan perabdominal. Pada pasien yang memiliki resiko terjadinya infeksi dapat diberikan antibiotik profilaksis
DAFTAR PUSTAKA 1. Wang Y, Alexander JS. Placental Pathophysiology in Preclampsia. Pathophysiology 2000; 6: 261-270. 2. Wibowo B., Rachimhadi T., 2006. Preeklampsia dan Eklampsia, dalam : Ilmu Kebidanan. Edisi III. Jakarta. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, pp. 281-99 3. Andrea P, Mackay, Cynthia J, Hani K. Pregnancy-Related Mortality From Preeclampsiaand Eclampsia. American college obstetry and gynecology. 2011 4. Cunningham F. G., 2005. Chapter 34. Hypertensive Disorders In Pregnancy. In Williams Obstetri. 22nd Ed. New York :Medical Publishing Division, pp. 762-74 5. Cunningham F.G., 1995. Hipertensi dalam Kehamilan. Dalam Obstetri Williams. Edisi 18. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC, pp. 773-819 6. Surjadi, M.L. dkk, 1999, Perbandingan Rasio Ekskresi Kalsium/Kreatinin Dalam Urin Antara Penderita Preeklamsia Dan Kehamilan Normal, Majalah Obstetri Dan Ginekologi Indonesia, 23, 23-26. 7. Suyono, Y.J., 2002, Dasar-Dasar Obstetri & Ginekologi, edisi 6, Hipokrates, Jakarta Tomasulo, P.J. & Lubetkin, D., (2006, March 15 Review date), Preeclamsia, Available from: http://www.obgyn.health.ivillage.com/pregnancybacics/preeclamsia.cmf 8. Wibowo B., Rachimhadi T., 2006. Preeklampsia dan Eklampsia, dalam : Ilmu Kebidanan. Edisi III. Jakarta. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, pp. 281-99 9. Sudhaberata K., 2001. Profil Penderita Preeklampsia-Eklampsia di RSU Tarakan Kaltim. 64
10. Sunaryo R., 2008. Diagnosis dan Penatalaksanaan Preeklampsia-Eklampsia, in : Holistic and Comprehensive Management Eclampsia. Surakarta : FK UNS, pp 14 11. Wibowo B., Rachimhadi T., 2006. Preeklampsia dan Eklampsia, dalam : Ilmu Kebidanan. Edisi III. Jakarta. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, pp. 281-99 12. Rachma N., 2008. Eklampsia : Preventif dan Rehabilitasi Medik Pre dan post Partum, in Holistic and Comprehensive Management Eclampsia. Surakarta : FK UNS, pp. 9 13. Prasetyorini, N, 2009. Penanganan Preeklampsia dan Eklampsia. Seminar POGI Cabang Malang. Divisi Kedokteran Feto Maternal - FKUB/RSSA Malang 14. Saifudin AB, Rachimhadhi T, Wiknjosastro GH. 2010. Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo. Jakarta: PT.Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo 15. Muchtar R. 2011. Sinopsis Obstetri: Obstetri Fisiologi, Obstetri Patologi. Jakarta: EGC. 16. Pacarda M, Zeqiri F, Hoxha S, Dervishi Z, Kongjeli N, Qavdarbasha H, et al. Impact of parity and intrauterine fetal condition during vacuum extraction. Med arh [Internet] 2010 [cited 2010 Oct 5]; 64(3):175 .Available from : Scopemed. 17. Cunningham G.F., Gant F.N., Levono J.K., Gilstrap III, C. Larry, Hayth C.J.,Wesnstrom D.K. 2006. Obstetri Williams. Vol.1 Edisi 21. Jakarta: EGC. 18. Rusydi S.D. Tindakan Ekstraksi Vakum dan Forsep di Departemen Obstetri dan Ginekologi di RS Dr. Mohammad Hoesin Palembang selama 5 tahun (periode Agustus 1999Juli 2004). Jurnal Kedokteran dan Kesehatan [Internet]. 2005 [cited 2011 Oct 5]. Available from: Jurnal Kedokteran dan Kesehatan. 19. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Jaminan persalinan upaya terobosan kementerian kesehatan dalam percepatan pencapaian target MDGs[Internet]. 2011 [cited 2011 Oct 5]. Available from :http://www.kesehatanibu.depkes.go.id/archives/99. 20. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.Pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan efektif turunkan angka kematian ibu di Indonesia[ Internet ]. 2010 [cited 2011 Oct 5]. Available from: http://www.depkes.go.id/index.php/berita/pres- release/1076_pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan efektif turunkan aki diindonesia.html. 21. American Family Physican. Assisted vaginal delivery using the vacuum extractor [Internet]. 2000 [cited 2011 Oct 30]. Available from: http://www.aafp.org/afp/2000/0915/p1316.html. 22. Angsar D.M. 2010. Ilmu Bedah Kebidanan: Ekstraksi Vakum dan Forsep. Jakarta: PT Bina Pustaka. 23. Purnomo, BP. Dasar-dasar Urologi: Trauma Urogenitalia. Edisi Kedua. Jakarta. CVSagung Seto. Hal 93-104. 24. Philip D, Mitchell M, Surviving sepsis campaign: International guidelines for management of severe sepsis and septic shock. Cooper University Hospital. New Jersey. 2012 25. Sjamsuhidajat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi ke dua. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 65
26. Prayogo Budy Wirantono, Prasetyo Budi. Hubungan antara Faktor Resiko Sepsis Obstetri dengan Kejadian Sepsis Berat dan Syok. Artikel Obstetri dan Ginekologi. 27. Departemen Obstetri dan ginekologi dan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Universitas Airlangga. Surabaya. 2011. 28. Angus Derek C, Van der poll Tom. Severe Sepsis and Septic Shock. Critical care Medicine. Article. 2013.