Vous êtes sur la page 1sur 66

Laporan Kasus

PREEKLAMPSIA BERAT + GAGAL VAKUM + SECTIO CECARIA + RUPTUR BULI


+ SEPSIS + KEMATIAN IBU

Oleh :
Desiana Syafeti
Murzam Nurfajri
Martholiza
Nadia Annisa
Neni Ristiani
Nori Purnama
Rindi Rosalina Fadly

Pembimbing:
dr. Fr. Hamido Hutauruk, SpOG

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR
BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU
RSUD ARIFIN ACHMAD PROVINSI RIAU
PEKANBARU
2014
1

BAB I
PENDAHULUAN

Preeklampsia adalah hipertensi dalam kehamilan yang timbul setelah 20 minggu
kehamilan disertai proteinuria.
1
Preeklampsia merupakan gangguan dalam kehamilan dengan
insidensi 2%-8% diantara kehamilan dan lebih dari 50.000 kematian ibu hamil di seluruh dunia
yang diakibatkan oleh komplikasinya.
2
Preeklampsia dibagi menjadi ringan dan berat.
Preeklampsia berat (PEB) jika didapatkan satu atau lebih gejala dari tekanan darah 160/110
mmHg, proteinuria 5g/24 jam atau +4 dalam pemeriksaan kualitatif, oliguria, kenaikan kadar
protein plasma, gangguan visus dan serebral, nyeri epigastrium, edema paru, trombositopenia
berat dan gangguan fungsi hepar.
1,2

Komplikasi PEB terhadap ibu dapat berupa komplikasi akut dan komplikasi jangka
panjang. Komplikasi akut berupa eclampsia, stroke, disseminated intravascular coagulation
(DIC), abruptio plasenta, HELLP syndrome, edema paru,adult respiratory distress syndrome,
Gagal ginjal akut dan kematian. Sedangkan komplikasi jangka panjang berupa hipertensi kronis,
diabetes mellitus, gagal ginjal kronik, defisit neurologi dan kematian. Angka kematian masing-
masing komplikasi PEB yaitu, eclampsia sebesar 50,8%, HELLP syndrome sebesar 4,8%,
gangguan serebrovaskular sebesar 17% dan gangguan ginjal sebesar 7,2%, Dalam penelitian lain
dilaporkan 95 dari 1.461.270 kehamilan mengalami kematian akibat komplikasi PEB.
3

Penatalaksanaan PEB terhadap kehamilannya dibagi menjadi aktif (kehamilan segera
diakhiri/terminasi bersamaan dengan pemberian pengobatan medikamentosa) dan konservatif
(kehamilan tetap dipertahan bersamaan dengan pemberian pengobatan medikamentosa) dengan
indikasi yang dilihat dari umur kehamilan, tanda-tanda impending eclampsia dan keadaan
janin.Terminasi kehamilan dapat dilakukan secara pervaginam atau perabdominal.
1
Indikasi
dilakukannya terminasi perabdominal jika didapatkan adanya keadaan klinis ibu dan bayi yang
buruk, belum inpartu dan hipertensi yang tidak berespon terhadap pengobatan medikamentosa
terhadap penyakitnya.
1



2

BAB II
ILUSTRASI KASUS

IDENTITAS PENDERITA
Nama : Ny. J
Usia : 40 tahun
Pendidikan : SD
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Agama : Islam
Alamat : Minas
No. MR : 85 62 87

ANAMNESIS
Pasien masuk RSUD Arifin Achmad via IGD kebidanan rujukan dari Puskesmas Minas pada
tanggal 14 Juni 2014jam23.00 WIB dengan diagnosis G2P1A0H1 gravid 38-39 minggu + PEB.
Keluhan Utama: nyeri pinggang menjalar ke ari-ari
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang dengan keluhan nyeri pinggang menjalar ke ari-ari sejak 1 hari sebelum
masuk rumah sakit. Nyeri dirasakan semakin kuat dan sering sejak 4 jam sebelum masuk rumah
sakit. Nyeri disertai keluar lendir bercampur darah sejak 1 jam sebelum masuk rumah sakit,
keluar air-air yang banyak dari kemaluan disangkal. Pandangan kabur, nyeri kepala bagian
depan, dan nyeri ulu hati disangkal. Dari puskesmas Minas sudah diberikan MgSO
4
dan obat
untuk tekanan darah tinggi. HPHT 16 September 2013, TP 23 Juni 2014 (usia kehamilan 38-39
minggu). Gerakan janin dirasakan aktif sejak usia hamil 4 bulan hingga sekarang.
Riwayat Hamil Muda
Mual (-), muntah (-), perdarahan (-)
Riwayat Hamil Tua
Mual (-), muntah (-), perdarahan (-)
Riwayat ANC
Rutin kontrol ke bidan 1 kali setiap bulan.
Di dokter 1 kali, USG dikatakan baik, perkembangan sesuai.
3

Riwayat Makan Obat
Vitamin dan obat penambah darah
Riwayat Penyakit Dahulu
Hipertensi (-), Diabetes Melitus (-), asma (-)
Riwayat Penyakit Keluarga
Hipertensi (-), Diabetes Melitus (-), asma (-)
Riwayat Perkawinan
1 kali, usia menikah 27 tahun
Riwayat Menstruasi
Menarche usia 15 tahun, menstruasi teratur siklus 28 hari, lama 5-7 hari, GP 2 x/ hari, nyeri haid
(-)
Riwayat Hamil/Persalinan/Keguguran /Hidup: 2/1/0/1
Anak I : tahun 2007, laki-laki, BBL 2500 g, vakum atas indikasi kala 2 memanjang di RSUD
Arifin Achmad, anak sehat.
Riwayat Kontrasepsi : Suntik pertiga bulan. Terakhir penggunaan awal tahun 2013.

PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : baik
Kesadaran : komposmentis
Vital Sign
Tekanan darah : 210/120 mmHg
Nadi : 92x/menit
Frekuensi napas : 20x/menit
Suhu : 36,7
0
C
Berat badan : 67 Kg
Tinggi badan : 158 cm
IMT : 26,84(Obese derajat I)
Kepala : konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-
Leher : tidak teraba pembesaran KGB, JVP 5 + 2 mmHg
Jantung : S1 dan S2 dalam batas normal. Murmur (-) gallop (-)
Paru : vesikuler (+/+), ronki (-/-) wheezing (-/-)
4

Abdomen : Status obstetrikus
Genitalia : Status obstetrikus
Ekstremitas : edema tungkai (-/-), kelemahan anggota gerak atas dan bawah (-/-), akral
hangat (+/+), CRT < 2
Status Obstetri
Muka : kloasma gravidarum (-)
Mamae :hiperpigmentasi areola dan papilla mammae (+/+) mammae membesar
dan menegang (+)
Abdomen :
Inspeksi : Perut tampak membuncit sesuai usia kehamilan, linea nigra (+), striae
gravidarum (+)
Palpasi :
L1 : TFU 2 jari dibawah px, teraba massa bulat, lunak, tidak melenting
L2 : teraba tahanan terbesar sebelah kanan
L3 : teraba massa bulat, keras, melenting
L4 :kepala sudah masuk PAP 3/5 bagian
His : 3 kali dalam 10 menit selama 40 detik
TFU: 31 cm TBJ: 3.100 gram
DJJ 142x/menit
Genitalia eksterna
Inspeksi / palpasi : V/U tenang
Genitalia interna
Inspekulo : tidak dilakukan
VT / bimanual palpasi :
- Panggul dalam
Promontorium : tidak teraba
Linea innominata : teraba 1/3 anterior dekstra dan sinistra
Sakrum : melengkung
Spina ischiadica : tajam


5

Arkus pubis : > 90
0

Os koksigis : mobile
Kesan : panggul adekuat
- Janin
Presentasi : kepala
Situs : memanjang
Penurunan : Hodge II
Ketuban : (+)
- Porsio
Konsistensi : lunak
Arah sumbu : anterior
Pembukaan : 7 cm
Penipisan : 75%

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium (2/06/2013):
Darah rutin:
Hb : 11,4 g/dl Ht : 34,8 %
Leukosit: 11. 100 /ul Trombosit : 184.000 /ul
Urin : protein urin laboratorium (+) 2
protein urin bakar (+) 3
Kimia darah :
- Glu : 73 mg/dl Ure : 19,2 mg/dl
- Cre : 1.02 mg/dl AST : 19,2 U/L
- ALT : 13 U/L ALB : 3,2 mg/dl
Faal hemostatik FIB4 : 4869 g/L

DIAGNOSIS KERJA
G2P1A0H1 gravid 38-39 minggu inpartu kala 1 fase aktif, PEB, krisis hipertensi, janin hidup
tunggal intra uterin letak memanjang presentasi kepala.
6

Rencana :
- Hemodinamik ibu dan janin stabil observasi KU,TTV, His, DJJ/jam, balance cairan/4 jam
- Observasi tanda bahaya : impending eklampsia, eklampsia, intoksikasi MgSO4, inersia,
solutio plasenta
- Cegah kejang MgSO
4
loading dose, lanjutkan maintenance dose
- Kontrol tekanan darah : nifedipin 3 x 10 mg
- Terminasi kehamilan : bantu kala dua dengan ekstraksi vakum / forceps, nilai ulang 3 jam
(jam 02.00 WIB)
- Cegah kerusakan endotel lanjut (N-acetyl-systeine 3 x 600 mg, vitamin C 2 x 400 mg).
- Cek DPL
Follow Up
15 Juni 2014 jam 00.00 wib (VK IGD)
S : mules (+),keluar air-air dari kemaluan (+).
O : KU : tampak sakit sedang Kesadaran : compos mentis
TD = 180/100 mmHg, Nadi = 85x/i, Nafas =20x/i, Suhu = 36,5
0
C
Status generalis dalam batas normal.
Status obstetric : I : v/u tampak bloody show
VT :porsio lunak, anterior, 8 cm, kepala H-2, ketuban (-), sisa
jernih, UUK melintang
DJJ : 144 dpm His : 4x1040
A : G2P1A0H1 gravid 38-39 minggu inpartu kala 1 fase aktif + PEB + janin hidup tunggal
intra uterin letak memanjang presentasi kepala.
P :
- Hemodinamik ibu dan janin stabil, observasi KU, TTV, DJJ dan His
- Observasi tanda fetal distress
- Cegah kejang : regimen MgSO
4
maintenance 2 gr / jam
- Tekanan darah terkontrol (Nifedipine 3 x 10 mg, metildopa 3x500 mg bila
tekanan darah 160/100 mmHg)
- Rencana percepat kala dua dengan VCE bila syarat terpenuhi. Nilai ulang
kemajuan persalinan 2 jam.

7

15 Juni 2014 jam 01:45 wib
S : ibu ingin mengedan
O :
KU : tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
TD = 160/100 mmHg, Nadi = 90x/i, Nafas =20x/i, Suhu = 36,5
0
C
Status generalis dalam batas normal.
Status obstetric : I : v/u sulit dinilai.
VT :porsio sulit dinilai, pembukaan lengkap (10 cm), kepala H-3,
ketuban (-), sisa jernih
DJJ : 140 dpm His : 4x1045
A : G2P1A0H1 gravid 38-39 minggukala II + PEB + janin hidup tunggal intra uterin letak
memanjang presentasi kepala.
P :
- Hemodinamik ibu dan janin stabil, observasi KU, TTV, DJJ dan His
- Observasi tanda fetal distress
- Cegah kejang : regimen MgSO
4
maintenance 2 gr / jam
- Tekanan darah terkontrol (Nifedipine 3 x 10 mg, metildopa 3x500 mg)
- Rencana fraksi percobaan (kepala Hodge 3), bila kepala tidak turun, lakukan SC
cyto.
Dilakukan ekstraksi vakum 2 kali, sesudah 30 menit dilakukan vakum tidak ada penambahan
penurunan kepala, pertimbangan dilakukan SC cito.

15 Juni 2014 jam 02.15 wib
S : bayi tidak lahir setelah 30 menit percobaan vakum
O :
KU : tampak kelelahan
Kesadaran : compos mentis
TD = 180/100 mmHg, Nadi = 92x/i, Nafas =24x/i, Suhu = 36,7
0
C
Status generalis : edema ekstremitas atas +/+, ekstremitas bawah +/+
Status obstetric : I : vulva membuka, perineum menonjol
8

VT :pembukaan lengkap (10 cm), kepala H-3, caput di Hodge III
(+), moulase (-), UUK kiri depan, ketuban (-), sisa jernih
DJJ : 139 dpm His : 4x1030
A : G2P1A0H1 gravid 38-39 minggukala II + PEB tekanan darah terkontrol, riwayat
hipertensi krisis + janin hidup tunggal intra uterin letak memanjang presentasi kepala.
P :
- Hemodinamik ibu dan janin stabil, observasi KU, TTV, His dan DJJ pengawasan
ketat (tiap 5 menit)
- Terminasi kehamilan rencana SC cito
- Regimen MgSO
4
maintenance dihentikan sementara (persiapan SC)
- Surat izin operasi dengan informed consent dan persetujuan keluarga, konsul
anestesi dan perinatologi.

Laporan operasi tgl 15-6-2014, pukul 03.15 04.15 wib
Diagnosis preoperatife : G2P1A0H1 gravid 39-40 minggu + PEB + gagal vacum Janin hidup
tunggal intra uterin letak memanjang presentasi kepala
Diagnosis post operatif : P2A0H2post SCTPPatas indikasi gagal vacum + PEB post tubektomi
Pomeroy bilateral
Pasien dalam anestesi umum. Dilakukan insisi pfanenstiel, dilakukan insisi segmen bawah rahim.
Bayi lahir dengan meluksir kepala. Lahir bayi laki-laki, BBL 3040 gram, panjang badan 48 cm.
Apgar score 4/6, air ketuban (+) hijau encer jumlah sedikit, tali pusat segar. Plasenta lahir
lengkap. Dilakukan tubektomi Pomeroy bilateral. Luka operasi ditutup, jahit lapis demi lapis.
Perdarahan durante operasi 400 cc dengan produksi urin 100 cc kemerahan.
Pemantauan 2 jam post operasi di dapatkan tekanan darah 109/80 mmHg, nadi 68 kali/menit,
kontraksi baik, perdarahan 5 cc, TFU 2 jari di bawah pusat.Jumlah urin 50 cc.
Advice
- Hemodinamik ibu stabil. Observasi KU, TTV, kontraksi dan perdarahan setiap 15 menit
untuk 1 jam pertama dan setiap 30 menit untuk 1 jam berikutnya.
- Cegah kejang : regimen MgSO
4
maintenance 2 g/jam 24 jam post op
- Kontrol tekanan darah (Nifedipine 3 x 10 mg, metildopa 3x500 mg bila tekanan darah
160/100 mmHg)
9

- Cegah infeksi : injeksi ceftriakson 1 g/12 jam.
- Atasi nyeri : drip tramadol 1 amp / 8 jam.
- Kontraksi baik IVFD RL 500 cc + 20 IU oksitosin/ 8 jam 3 fls berturut-turut
- Mobilisasi bertahap ( 6 jam miring kiri-kanan, 24 jam duduk).
- Diet TKTP bertahap MC, ML, MB bila pasien sadar penuh dan bising usus (+)

15 Juni 2014 jam 07.00 WIB (Camar II/Nifas)
S : nyeri luka operasi
O : KU : tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
TD = 120/90 mmHg, Nadi = 80x/i, Nafas =20x/i, Suhu = 36,7
0
C
Status generalis :
- Mata : konjungtiva tidak anemis
- Thoraks : paru dan jantung dalam batas normal
- Abdomen: Inspeksi : buncit
Auskultasi : BU (+) melemah
Perkusi : hipertimpani
Palpasi : nyeri tekan pada daerah bekas luka operasi
- Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2, edema (-/-)
Produksi urin : 50 cc
Status obstetric : Inspeksi :v/u tampak tenang.
TFU 2 jari di atas pusat, kontraksi baik.
Dilakukan eksplorasi tidak ditemukan stoolsel.
A : P2A0H2post SCTPP ai gagal vacum post tubektomi bilateral nifas 3 jam.
P :
- Hemodinamik ibu stabil, observasi KU, TTV, kontraksi, perdarahan dan tanda
akut abdomen.
- Cegah kejang regimen MgSO
4
maintenance 2 g/jam 24 jam post op
- Kontrol tekanan darah (Nifedipine 3 x 10 mg, metildopa 3x500 mg)
- Atasi nyeri : drip tramadol 1 amp / 8 jam.
- Kontraksi baik IVFD RL 500 cc + 10 IU oksitosin/ 8 jam
10

- Mobilisasi bertahap (6 jam miring kiri-kanan,24 jam duduk), diet TKTP bertahap
- Tambah Alinamin F 3 x 1 amp (IV)
- Furosemid 3 x 1 amp
15 Juni 2014 jam 14.30 WIB (Camar II/Nifas)
S : kembung (+), nyeriperut (+) pada sekitar luka operasi
O : KU : tampak sakit sedang Kesadaran : compos mentis
TD = 110/80 mmHg, Nadi = 80x/i, Nafas =20x/i, Suhu = afebris
Status generalis :
- Mata : konjungtiva tidak anemis
- Thoraks : paru dan jantung dalam batas normal
- Abdomen: Inspeksi : buncit
Auskultasi : BU (-)
Perkusi : hipertimpani
Palpasi : nyeri tekan pada seluruh lapangan perut (+)
- Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2, edema (-/-)
Pemeriksaan darah rutin
- Hb : 6,4 g/dl HT : 20,3%
- WBC : 23.000/ul PLT : 208.00/ul
Pemeriksaan kimia darah
- AST : 16,8 U/L ALT : 12 U/L
- ALB : 1,6 mg/dl BILT : 0,24 mg/dl
- BILD : 0.06 mg/dl
A : P2A0H2post SCTPP ai gagal vacum + PEB + post tubektomi Pomeroy bilateral nifas
10 jam.
P :
- Hemodinamik ibu stabil, observasi KU, TTV, kontraksi, perdarahan.
- Cegah kejang regimen MgSO
4
maintenance 2 g/jam
- Cegah infeksi inj ceftriakson 2 x 1 gr
- Atasi nyeri : drip tramadol 1 amp / 8 jam.
- Relaparatomi atas indikasi nyeri akut abdomen
- Persiapan transfusi darah 2 whole blood, 2 PRC
11

15 Juni 2014 jam 15.00 WIB (Camar II/Nifas)
S : kembung (+), nyeri perut (+) pada sekitar luka operasi
O : Meteorismus (+). Bising usus (+) meningkat. Hb : 6,4 g/dL
A : P2A0H2 post SCTPP ai gagal EV nifas 11 jam+ meteorismus dan anemia HPP ec
perdarahan aktif
P : Laparatomi cyto
NGT
Persiapan transfusi darah 1000 cc (WBC)

Laporan operasi tgl 15-6-2014, pukul 15.15 18.15 wib
Diagnosis preoperatife : P2A0H2 post SCTPP ai gagal EV + tubektomi pomeroy bilateral+
meteorismus dan anemia HPP ec.
Diagnosis post operatif : P2A0H2post repair vesica urinaria + + repair SBR + post tubektomi
bilateral.
Pasien dalam keadaan anestesi umum Setelah abdomen dibuka tampak perdarahan 100 cc,
tanpak plica vesiko uterina oedema dan hematoma (+) dengan ukuran 5 cm x 5 cm x 5 cm. Buka
pada SBR keluar bekuan darah 350 cc. eksplorasi lebih lanjut : blast robek dengan ukuran 3 cm
x 5 cm x 2 cm. Pasien di konsul intra operatif ke urologi.
Konsul urologi : ditemukan laserasi buli 3 cm. Dilakukan repair buli. Ganti kateter 24 Fr
pertahankan 14 hari. Memasang drain retro dengan NGT 18Fr.
Dilakukan repair SBR.
Advice
- IVFD D5 : RL 2:1
- Ceftriakson 2 x 1 gr
- Tramadol 3 x 1 amp
- Transfuse darah 1000 cc : WBC
- Pertahankan kateter selama 14 hari
- Monitor tampilan urin dan produksi drain



12

16 Juni 2014 jam 07.00 WIB
S : demam, kembung (+), nyeri perut (+) sekitar luka operasi, BAB (-) ASI belum keluar
O :
KU : tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
TD = 100/80 mmHg, Nadi = 100x/i, Nafas =26x/i, Suhu = 38,5
0
C
Urine 400 cc kemerahan Drain 50 cc (merah) NGT : 30 cc (hijau)
Status generalis :
Konjungtiva anemis (+/+), sclera tidak ikterik. NGT terpasang.
Status obstetric :
Kontraksi baik.TFU 1 jari di bawah pusat.
Rembesan pada luka operasi (-), darah pada selang (+), kantong tidak berisi darah.
Perdarahan aktif pervaginam (-)
A : P2A0H2post repair buli 12 jampada SCTPP ai gagal vacum + post tubektomi bilateral
nifas hari 1+ anemia
P :
- Hemodinamik ibu stabil, observasi KU, TTV, produksi drain, NGT, produksi
urin, O2 4 L/menit nasal kanul.
- Atasi nyeri : pronalges supp 3 x 1
- Cegah infeksi inj ceftriakson 2 x 1 gr
- Atasi demam : paracetamol drip 3 x500 mg.
- Cegah kembung ranitidine 2 x 1 amp, alinamin 3 x 1 amp (IV)
- Kontrol tekanan darah, target penurunan MAP < 20% nifedipine 4 x 10 mg.

16 Juni 2014 jam 13.15 WIB
S : demam, kembung (+), nyeri perut (+) pada sekitar luka operasi, perdarahan aktif (-)
O : KU : tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
TD = 120/80 mmHg, Nadi = 100x/i, Nafas =26x/i, Suhu = 38
0
C
Status generalis :
- Mata : konjungtiva tidak anemis, sclera tidak ikterik
13

- Thoraks : paru dan jantung dalam batas normal
- Abdomen: Inspeksi : datar
Auskultasi : BU (+) lemah
Perkusi : timpani
Palpasi : nyeri tekan (-)
- Ekstremitas : akral hangat, edema (-/-), CRT < 2
Produksi NGT : 50 cc hijau pekat
Drain : 100 cc merah
Urin : 150 cc / 4 jam
Status obstetric : TFU 3 jari di bawah pusat
Kontraksi uterus baik
Bekas luka operasi baik, rembesan (-)
Pemeriksaan darah rutin
- Hb : 6,38 g/dl HT : 18.8%
- WBC : 33.700/ul PLT : 140.800/ul
- MCV : 87,28 fl MCH : 29,46 pg
- MCHC : 33,75 g/dl
A : P2A0H2 post repair buli 18 jampada SCTPP ai gagal vacum + post tubektomi bilateral
nifas hari 1,5. Anemia normositik normokrom
P :
- Hemodinamik ibu stabil, observasi KU, TTV, produksi drain, NGT, produksi
urin, O2 4 L/menit nasal kanul.
- Dekompresi : pasien puasa, NGT ganti baru.
- Atasi demam : paracetamol drip 3 x500 mg.
- Cegah kembung ranitidine 2 x 1 amp, alinamin 3 x 1 amp (IV)
- Cegah infeksi inj ceftriakson 2 x 1 gr, metronidazole 3 x 500 mg (IV),
meropenem 2 x 1 gr.
- Atasi nyeri : pronalges supp 3 x 1
- Atasi anemia : transfusi PRC 2 labu
- Cegah perdarahan : asam traneksamat 3 x 500 mg IV
- Balance cairan seimbang.
14

17 Juni 2014 jam 07.00 WIB
S : kembung berkurang, kentut (+), BAB (-) ASI (-)
O : KU : tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
TD = 150/80 mmHg, Nadi = 90x/i, Nafas =22x/i, Suhu = 37
0
C
Urine 700 cc/12 jam selang NGT (-) Drain : selang berisi darah (+), kantong (-)
Status obstetric
- TFU 2 jari di bawah pusat, kontraksi baik, perdarahan aktif pervaginam (-)
- I : v/u tenang
Luka operasi kering. Rembesan (-)
Pemeriksaan darah rutin
- Hb : 6,6 g/dl HT : 19,8%
- WBC : 27.900/ul PLT : 140.000/ul
- MCV : 85,4 fl MCH : 28,6 pg
- MCHC : 33,5 g/dl
A : P2A0H2post SCTPP ai gagal vacum PEB + post tubektomi Pomeroy bilateral.Nifas
hari ke-2.Post repair buli ai rupture buli 1,5 hari.
P :
- Hemodinamik ibu stabil, observasi KU, TTV, produksi drain, NGT, urin.
- Cegah kembung ranitidine 2 x 1 amp, alinamin 3 x 1 amp (IV), aminofusin
- Cegah infeksi inj ceftriakson 2 x 1 gr, metronidazole 3 x 500 mg (IV),
meropenem 2 x 1 gr.
- Atasi nyeri : pronalges supp 3 x 1
- Kontrol tekanan darah, target penurunan MAP < 20% nifedipine 4 x 10 mg.
- Transfuse PRC 3
- Aff NGT.
- Kultur darah




15

17 Juni 2014 jam 18.00 WIB
S : ibu mengamuk, bicara ngawur (penurunan kesadaran)
O :
Kesadaran : delirium GCS : E4M5V4
TD = 220/120 mmHg, Nadi = 120x/i, Nafas =24x/i, Suhu = 38
0
C
Urine 550 cc/6 jam
Pemeriksaan darah rutin
- Hb : 7,1 g/dl HT : 22%
- WBC : 23.800/ul PLT : 153.00/ul
- MCV : 86 fl MCH : 27,9 pg
- MCHC : 32,8 g/dl
Analisa gas darah :
- pH : 7.43 pCO
2
: 31
- pO
2
: 76 BE : -3.7
- SO
2
: 95% HCO
3
: 20,6
Kimia Darah :
- Glu : 157 mg/dl URE : 138,3 mg/dl
- CRE : 1,99 mg/dl AST : 37,6 U/L
- ALT : 24 U/L ALB : 2,6 mg/dl
- BILT : 0,55 mg/dl BILD : 0.11 mg/dl
A : P2A0H2post SCTPP ai gagal vacum PEB +repair buli ai rupture bulihari ke-2, post
tubektomi bilateralnifas hari ke 2,5+ anemia. Observasi penurunan kesadaran + krisis
hipertensi.
P :
- Hemodinamik ibu stabil, observasi KU, TTV, kesadaran / jam
- Cegah kembung ranitidine 2 x 1 amp, alinamin 3 x 1 amp (IV), aminofusin
- Cegah infeksi inj ceftriakson 2 x 1 gr, metronidazole 3 x 500 mg (IV),
meropenem 2 x 1 gr.
- Kontrol tekanan darah, nifedipine titrasi /20 sehingga tercapai penurunan MAP
<20%. Dilanjutkan metildopa 3 x 500 mg
- Rawat ICU
16

17 Juni 2014 jam 20.00 WIB (ICU)
S : -
O : Airway : clear
Breathing : RR 24 x / menit SO
2
: 100% nafas : vesikuler +/+
Circulation : TD : 123/ 85 mmHg nadi : 108 dpm regular isian cukup
Kesadaran : koma
A : sepsis post relaparatomy + repair buli
P : O
2
NRM 8 Head up 30
0
Fentanyl NaCl 0,9% , RL, terapi lain lanjut
.
18 Juni 2014 jam 07.00 WIB (ICU)
S : -
O : Airway : clear
Breathing : RR 19 x / menit
Circulation : TD : 159/ 89 mmHg Nadi : 93 dpm regular isian cukup
Kesadaran : apatis GCS : E4M5V3 Pupil isokor (2mm,2mm) refleks +/+
T : 39
0
C
Analisa gas darah dan elektrolit :
- pH : 7.43 pCO
2
: 31
- pO
2
: 76 BE : -3.7
- SO
2
: 95% HCO
3
: 20,6
- Na : 144 K+ : 4,4
- Ca
2+
: 0,34
A : sepsis post SCTPP nifas hari ke-3+ repair buli hari ke 2,5
P : O
2
NRM 10 L NaCl 0,9% ,
RL-MgSO
4
Paracetamol 3 x 1 gr (IV)
Metronidazole 3 x 500 mg (IV) Nifedipine 1 x 10 mg
Mucogard 3 x 10 cc Diet makanan cair 4 x 100 cc
Meropenem 2 x 1 gr Furosemid 3 x 1
Omeprazol 2 x 40 mg Vit C 2 x 200 mg
Transfuse PRC 2 labu
17

18 Juni 2014 jam 14.15 WIB (ICU)
S : gelisah
O :
Kesadaran : apatis GCS : E4M6V4
TD = 155/83 mmHg, Nadi = 87x/i, Suhu = 39,8
0
C
Terpasang nasal kanul, Nafas =22x/i,
Kateter:urin bercampur darah 100 cc/ 2 jam
Status generalis :
Kepala : konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-
Jantung : S1 dan S2 dalam batas normal. Murmur (-) gallop (-)
Paru : vesikuler (+/+), ronki (-/-) wheezing (-/-)
Abdomen: supel, nyeri tekan lapangan abdomen (+), bising usus (+)
Ekstremitas: edema tungkai (-/-),akral hangat (+/+), CRT < 2
Status lokalis : luka operasi tertutup verban, rembesan darah dan nanah (-)
Analisa gas darah :
- pH : 7.43 pCO
2
: 31
- pO
2
: 76 BE : -3.7
- SO
2
: 95% HCO
3
: 20,6
HbSAg kualitatif : nonreaktif.

A : Sepsis pada P2A0H2post SCTPP ai gagal vacum + PEB (tekanan darah terkontrol) +
post tubektomi Pomeroy bilateral nifas hari 3+ post relaparatomy repair buli iatrogenic
ai rupture buli hari ke-2,5.
P :
- Tatalaksanasepsis : hemodinamik ibu stabil, observasi KU, TTV, kesadaran /
jam. Rehidrasi RL 500 cc dalam 15-20 menit, lanjut maintenance 500 cc / 8 jam.
- O2 NRM 10 L / menit
- Kultur + resistensi
- Target MAP > 65 % diuresis : 0,5-1 cc / jam
- Meropenem 3 x 1 gr.
- Paracetamol 500 mg / 8 jam (IV)
18

- Fentanyl 2 amp dalam N glyserin.
- Kontrol tekanan darah, nifedipine titrasi /20 sehingga tercapai penurunan MAP
<20%. Dilanjutkan metildopa 3 x 500
19 Juni 2014 jam 14.05 WIB (ICU)
Kesadaran : koma GCS : E1M1V1
Dilakukan pemasangan intubasi dengan ETT no 7.0.batas bibir 21 cm.
Ventilator VC, Fi O
2
50% PEEP : 5 RR : 12
Post intubasi TD 74/35 mmHg HR : 136 x / menit saturasi : 100%
Loading NaCL 0,9 % 200 cc.

19 Juni 2014 jam 14.30 WIB (ICU)
S : kontak tidak adekuat
O :
KU : tampak sakit berat Kesadaran : koma
GCS : E1M1V(ETT)
TD = 115/60 mmHg, Nadi = 90x/i, Nafas =24x/i, Suhu = 39,5
0
C
Terpasang ventilator : volume controlled Pi O2 50% PEEP 5
Kateter : urin bercampur darah 1000 cc / 8 jam
Status generalis :
Kepala : konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/- terpasang intubasi ETT
Jantung : S1 dan S2 dalam batas normal. Murmur (-) gallop (-)
Paru : vesikuler (+/+), ronki (-/-) wheezing (-/-)
Ekstremitas: edema tungkai (-/-),akral hangat (+/+), CRT < 2
Status lokalis : luka operasi tertutup verban, rembesan darah dan nanah (-)
Status obstetric : TFU 3 jari bawah pusat, kontraksi baik, perdarahan aktif pervaginam (-)
Inspeksi v/u tenang.
Pemeriksaan darah rutin
- Hb : 9,0 g/dl HT : 27,2%
- WBC : 18.100/ul PLT : 129.00/ul
- MCV : 84,2 fl MCH : 27,9 pg
- MCHC : 33,1 g/dl
19

Analisa gas darah dan elektrolit
- pH : 7.3 pCO
2
: 37
- pO
2
: 105 BE : -2,9
- SO
2
: 95% HCO
3
: 21,9
- Na + : 153 K+ : 3,6
- Ca2
+
: 0,21
A : Sepsis pada P2A0H2post SCTPP ai gagal vacum + PEB (tekanan darah terkontrol) +
post tubektomi Pomeroy bilateral nifas hari ke-4+ post relaparatomy repair buli ai
rupture buli hari ke-3,5
P :
- Tatalaksanasepsis : hemodinamik ibu stabil, observasi KU, TTV, kesadaran /
jam. Rehidrasi RL 500 cc dalam 15-20 menit, lanjut maintenance 500 cc / 8 jam.
- Oksigenasi adekuat. Terpasang ETT dengan ventilator volume controlled Fi O
2

50%. TV :450 ml. PEEP 5.
- Cegah infeksi metronidazole 3 x 500 mg (IV), meropenem 2 x 1 gr.

19 Juni 2014 jam 16.00 WIB (ICU)
Dilakukan pemasangan CVP subklavia dekstra dengan anestesi local (lidokain).
Insersi chateter no 7.0 Fr.
Aliran balik lancar (+).

19 Juni 2014 jam 19.35 WIB (ICU)
S : kontak tidak adekuat, pasien tidak sadar
O :
KU : tampak sakit berat Kesadaran : koma GCS : E1M1V(ETT)
TD = 73/33 mmHg, Nadi = 97x/i, Nafas =ventilator, Suhu = 39,5
0
C
Terpasang ventilator : volume controlled Fi O2 50% PEEP 5
Kateter : urin bercampur darah 1000 cc / 8 jam
Status generalis :
Kepala : pupil isokor, refleks +/+
Leher : CVP 15 mmHg
20

Terpasang NGT produksi 30 cc berwarna kemerahan
Jantung : S1 dan S2 dalam batas normal. Murmur (-) gallop (-)
Paru : vesikuler (+/+), ronki (-/-) wheezing (-/-)
Abdomen: supel, nyeri tekan (+), bising usus (+)
Ekstremitas: edema tungkai (-/-),akral hangat (+/+), CRT < 2
Status obstetri: TFU 3 jari di bawah pusat, kontraksi baik, perdarahan (+)
Inspeksi : V/U tenang, perdarahan merembes (+)
Pemeriksaan darah rutin
- Hb : 9,0 g/dl HT : 27,2%
- WBC : 18.100/ul PLT : 129.00/ul
- MCV : 84,2 fl MCH : 27,9 pg
- MCHC : 33,1 g/dl
Analisa gas darah dan elektrolit
- pH : 7.38 pCO
2
: 37
- pO
2
: 105 BE : -2,9
- SO
2
: 95% HCO
3
: 21,9
- Na + : 153 K+ : 3,6
- Ca2
+
: 0,21
A : Sepsis berat pada P2A0H2post SCTPP ai gagal vakum hari ke-4,5,PEB, post repair
buli hari ke-4, tekanan darah terkontrol, DIC.
P :
- Breaking bad news keluarga sudah dilakukan, pasien didampingi keluarga.
- Resusitasi terpasang monitor
Airway clear
Breathing dalam ventilator 450l, volume controlled SiO2 50% PEEP 5.
Circulation rehidrasi adekuat, intake 1700 kal/hari.
IVFD : NaCl, Widahes, Fentanyl, vasokonstriktor a 3 mg




21

- Dilakukan RJP 5 siklus masing-masing selama 2 menit
Siklus 1 : 2 menit
Epinephrin 2 amp
Siklus 2 : 2 menit
Sulfas athropin 2 amp
Siklus 3 : 2 menit
Epinephrin 2 amp
Siklus 4 : 2 menit
Sulfas athropin 2 amp
Siklus 5 : 2 menit

- Jam 20.04 WIB
Evaluasi akhir : mata : pupil midriasis maksimal
Dalam pengaruh obat pulse (+) flat











22

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Preeklampsia
3.1.1. Definisi
Pre-eklampsia ialah penyakit dengan tanda-tanda khas tekanan darah tinggi (hipertensi),
pembengkakan jaringan (edema), dan ditemukannya protein dalam urin (proteinuria) yang timbul
karena kehamilan.Penyakit ini umumnya terjadi dalam triwulan ke-3 kehamilan, tetapi dapat
juga terjadi pada trimester kedua kehamilan.Penyakit ini sering tidak diketahui atau diperhatikan
oleh wanita hamil yang bersangkutan, sehingga tanpa disadari dalam waktu singkat pre-
eklampsia berat bahkan dapat menjadi eklampsia yaitu dengan tambahan gejala kejang-kejang
dan atau koma.
Kata eklampsia berasal dari bahasa Yunani yang berarti halilintar, karena gejala
eklampsia datang dengan mendadak dan menyebabkan suasana gawat dalam kebidanan.
Kejadian eklampsia di negara berkembang berkisar antara 0,3% sampai 0,7%. Kedatangan
penderita sebagian besar dalam keadaan preeklampsia berat dan eklampsia.

3.1.2. Klasifikasi
Dari berbagai gejala, preeklampsia dibagi menjadi preeklampsia ringan dan preeklampsia
berat.Preeklampsia berat dibagi menjadi preeklampsia berat tanpa impending eclampsia dan
preeklampsia berat dengan impending eclampsia. Kriteria pengklasifikasian akan diuraikan lebih
lanjut di bagian diagnosis.

3.1.3. Etiologi dan patogenesis
Etiologi preeklampsia sampai sekarang belum diketahui. Telah banyak teori yang mencoba
menerangkan sebab penyakit tersebut, akan tetapi tidak ada yang memberikan jawaban yang
memuaskan. Teori yang diterima harus dapat menerangkan hal-hal berikut: (1) sebab
bertambahnya frekuensi pada primigrafiditas, kehamilan ganda, hidramnion dan mola hidatidosa;
(2) sebab bertambahnya frekuensi dengan makin tuanya kehamilan; (3) sebab terjadinya
perbaikan keadaan penderita dengan kematian janin dalam uterus; (4) sebab jarangnya terjadi
23

eklampsia pada kehamilan-kehamilan berikutnya; dan (5) sebab timbulnya hipertensi, edema,
proteinuria, kejang dan koma.
Salah satu teori yang dikemukakan ialah bahwa eklampsia disebabkan iskemia
uteroplasenta.Selama kehamilan uterus memerlukan darah lebih banyak. Pada molahidatidosa,
hydramnion, kehamilan ganda, multipara, pada akhir kehamilan, pada persalinan, juga pada
penyakit pembuluh darah ibu, diabetes, peredaran darah dalam dinding rahim kurang, maka
keluarlah zat-zat dari plasenta atau decidua yang menyebabkan vasospasmus dan hipertensi.
Tetapi dengan teori ini tidak dapat diterangakan semua hal yang berkaitan dengan penyakit
tersebut.Rupanya tidak hanya satu faktor yang menyebabkan pre-eklampsia dan eklampsia.
Pada pemeriksaan darah kehamilan normal terdapat peningkatan angiotensin, renin, dan
aldosteron, sebagai kompensasi sehingga peredaran darah dan metabolisme dapat
berlangsung.Pada preeklampsia dan eklampsia, terjadi penurunan angiotensin, renin, dan
aldosteron, tetapi dijumpai edema, hipertensi, dan proteinuria. Berdasarkan teori iskemia
implantasi plasenta, bahan trofoblas akan diserap ke dalam sirkulasi, yang dapat meningkatkan
sensitivitas terhadap angiotensin II, renin, dan aldosteron, spasme pembuluh darah arteriol dan
tertahannya garam dan air.
Teori iskemia daerah implantasi plasenta, didukung kenyataan sebagai berikut:
1. Preeklampsia dan eklampsia lebih banyak terjadi pada primigravida, hamil ganda, dan
mola hidatidosa.
2. Kejadiannya makin meningkat dengan makin tuanya umur kehamilan
3. Gejala penyakitnya berkurang bila terjadi kamatian janin.

Dampak terhadap janin, pada preeklampsia/eklampsia terjadi vasospasmus yang menyeluruh
termasuk spasmus dari arteriol spiralis deciduae dengan akibat menurunya aliran darah ke
plasenta.Dengan demikian terjadi gangguan sirkulasi fetoplacenter yang berfungsi baik sebagai
nutrisi maupun oksigenasi. Pada gangguan yang kronis akan menyebabakan gangguan
pertumbuhan janin didalam kandungan disebabkan oleh mengurangnya pemberian karbohidrat,
protein, dan faktor-faktor pertumbuhan lainnya yang seharusnya diterima oleh janin.
5
Beberapa faktor yang berperan dalam preeklampsia antara lain:
1. Peran prostasiklin dan tromboksan
Pada preeklampsia dijumpai kerusakan pada endotel vaskuler, sehingga sekresi
vasodilatator prostasiklin oleh sel-sel endotelial plasenta berkurang, sedangkan pada
24

kehamilan normal, prostasiklin meningkat.Sekresi tromboksan oleh trombosit bertambah
sehingga timbul vasokonstriksi generalisata dan sekresi aldosteron menurun.Perubahan
aktivitas tromboksan memegang peranan sentral terhadap ketidakseimbangan prostasiklin
dan tromboksan.Hal ini mengakibatkan pengurangan perfusi plasenta sebanyak 50%,
hipertensi, dan penurunan volume plasma.
2. Peran faktor imunologis
Preeklampsia sering terjadi pada kehamilan pertama karena pada kehamilan pertama
terjadi pembentukan blocking antibodies terhadap antigen plasenta tidak sempurna.Pada
preeklampsia terjadi kompleks imun humoral dan aktivasi komplemen.Hal ini dapat
diikuti dengan terjadinya pembentukan proteinuria.
3. Peran faktor genetik
Bukti yang mendukung berperannya faktor genetik pada penderita preeklampsia adalah
peningkatan Human leukocyte antigen (HLA). Menurut beberapa peneliti,wanita hamil
yang mempunyai HLA dengan haplotipe A 23/29, B 44 dan DR 7 memiliki resiko lebih
tinggi menderita preeklampsia dan pertumbuhan janin terhambat.
4. Disfungsi endotel
Kerusakan sel endotel vaskuler maternal memiliki peranan pada terjadinya
preeklampsia.Kerusakan endotel vaskular pada preeklampsia dapat menyebabkan
penurunan produksi prostasiklin, peningkatan aktivitas agregasi trombosit dan
fibrinolisis, kemudian diganti oleh trombin dan plasmin. Trombin akan mengkonsumsi
antitrombin III sehingga terjadi deposit fibrin. Aktivitas trombosit menyebabkan
pelepasan tromboksan A2 dan serotonin sehingga terjadi vasospasme dan kerusakan
endotel.
1,2,3

3.1.4. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan kriteria-kriteria di bawah ini:
1. Preeklampsia ringan
Hipertensi dengan sistolik/diastolik > 140/90 mmHg, sedikitnya enam jam pada
dua kali pemeriksaan tanpa kerusakan organ.
Proteinuria > 300 mg/24 jam atau > 1 + dipstik.
Edema generalisata yaitu pada lengan, muka, dan perut.
25


2. Preeklampsia berat
Tekanan darah sistolik/diastolik > 160/110 mmHg sedikitnya enam jam pada dua
kali pemeriksaan. Tekanan darah ini tidak menurun meskipun ibu hamil sudah
dirawat di rumah sakit dan telah menjalani tirah baring.
Proteinuria > 5 gram/24 jam atau > 3 + dipstik pada sampel urin sewaktu yang
dikumpulkan paling sedikit empat jam sekali.
Oliguria < 400 ml / 24 jam.
Kenaikan kadar kreatinin plasma > 1,2 mg/dl.
Gangguan visus dan serebral : penurunan kesadaran, nyeri kepala persisten,
skotoma, dan pandangan kabur.
Nyeri epigastrium pada kuadran kanan atas abdomen akibat teregangnya kapsula
glisson.
Edema paru dan sianosis.
Hemolisis mikroangipatik karena meningkatnya enzim laktat dehidrogenase.
Trombositopenia ( trombosit< 100.000 mm3).
Oligohidroamnion, pertumbuhan janin terhambat, dan abrupsio plasenta.
Gangguan fungsi hepar karena peningkatan kadar enzim ALT dan AST.
Preeklampsia berat dibagi menjadi preeklampsia berat tanpa impending eclampsia dan
preeklampsia berat dengan impending eclampsia. Disebut impending eclampsia bila
preeklampsia berat disertai gejala-gejala subjektif berupa nyeri kepala hebat, gangguan visus,
muntah-muntah, nyeri epigastrium, dan kenaikan progresif tekanan darah.
4,5,6,7

3.1.5. Penatalaksanaan
Tujuan utama penanganan preeklampsia adalah mencegah terjadinya eklampsia,
melahirkan bayi tanpa asfiksia dengan skor APGAR baik, dan mencegah mortalitas maternal dan
perinatal.
- Preeklampsia ringan
Istirahat di tempat tidur merupakan terapi utama dalam penanganan preeklampsia
ringan.Istirahat dengan berbaring pada sisi tubuh menyebabkan aliran darah ke plasenta dan
aliran darah ke ginjal meningkat, tekanan vena pada ekstremitas bawah menurun dan reabsorpsi
26

cairan bertambah.Selain itu dengan istirahat di tempat tidur mengurangi kebutuhan volume darah
yang beredar dan juga dapat menurunkan tekanan darah.Apabila preeklampsia tersebut tidak
membaik dengan penanganan konservatif, dalam hal ini kehamilan harus diterminasi jika
mengancam nyawa maternal (Wiknjosastro, 2006).
- Preeklampsia berat
Pada pasien preeklampsia berat segera harus diberi obat sedatif kuat untuk mencegah
timbulnya kejang. Apabila sesudah 12 24 jam bahaya akut sudah diatasi, tindakan terbaik
adalah menghentikan kehamilan.
Sebagai pengobatan mencegah timbulnya kejang, dapat diberikan larutan magnesium sulfat
(MgSO4) 40% 25 cc (10 gram) dimasukkankedalam Ringer laktat 500 cc kemudian diloading
dose 200 cc (4 gram) maintanance 300 cc ( 6 gram ) selama 3 jam. Selain magnesium sulfat,
pasien dengan preeklampsia dapat juga diberikan klorpromazin dengan dosis 50 mg secara
intramuskular ataupun diazepam 20 mg secara intramuskular.
Penggunaan obat hipotensif pada preklampsia berat diperlukan karena dengan menurunkan
tekanan darah kemungkinan kejang dan apopleksia serebri menjadi lebih kecil. Apabila terdapat
oliguria, sebaiknya penderita diberi glukosa 20% secara intravena. Obat diuretika tidak diberikan
secara rutin.
Kadang-kadang keadaan penderita dengan pengobatan tersebut di atas menjadi lebih baik.
Akan tetapi, umumnya pada pre-eklmsia berat sesudah bahaya akut berakhir dipertimbangkan
untuk menghentikan kehamilan oleh karena dalam keadaan demikian harapan bahwa janin hidup
terus tidak besar, dan adanya janin dalam keadaan demikian harapan janin hidup terus tidak
besar, dan adanya janin dalam uterus menghambat sembuhnya penderita dari penyakitnya.
Pengkahiran kehamilan dapat dilakukan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang disebut dalam
bab eklampsia..
3.1.6. Akibat preeklampsia
3.1.6.1. Pada ibu
Akibat gejala preeklampsia, proses kehamilan maternal terganggu karena terjadi perubahan
patologis pada sistem organ, yaitu :
- Jantung
27

Perubahan pada jantung disebabkan oleh peningkatan cardiac afterload akibat hipertensi dan
aktivasi endotel sehingga terjadi ekstravasasi cairan intravaskular ke ekstraselular terutama
paru.Terjadi penurunan cardiac preload akibat hipovolemia.
- Otak
Tekanan darah yang tinggi dapat menyebabkan autoregulasi tidak berfungsi. Jika
autoregulasi tidak berfungsi, penghubung penguat endotel akan terbuka menyebabkan plasma
dan sel-sel darah merah keluar ke ruang ekstravaskular.
- Mata
Pada preeklampsia tampak edema retina, spasmus menyeluruh pada satu atau beberapa arteri,
jarang terjadi perdarahan atau eksudat.Spasmus arteri retina yang nyata dapat menunjukkan
adanya preeklampsia yang berat, tetapi bukan berarti spasmus yang ringan adalah preeklampsia
yang ringan.
Skotoma, diplopia dan ambliopia pada penderita preeklampsia merupakan gejala yang
menunjukan akan terjadinya eklampsia. Keadaan ini disebabkan oleh perubahan aliran darah
pada pusat penglihatan di korteks serebri maupun didalam retina (Wiknjosastro, 2006).
- Paru
Edema paru biasanya terjadi pada pasien preeklampsia berat yang mengalami kelainan
pulmonal maupun non-pulmonal setelah proses persalinan. Hal ini terjadi karena peningkatan
cairan yang sangat banyak, penurunan tekanan onkotik koloid plasma akibat proteinuria,
penggunaan kristaloid sebagai pengganti darah yang hilang, dan penurunan albumin yang
diproduksi oleh hati.
- Hati
Pada preeklampsia berat terdapat perubahan fungsi dan integritas hepar, perlambatan
ekskresi bromosulfoftalein, dan peningkatan kadaraspartat aminotransferase serum. Sebagian
besar peningkatan fosfatase alkali serum disebabkan oleh fosfatase alkali tahan panas yang
berasal dari plasenta.Pada penelitian yang dilakukan Oosterhof dkk, dengan menggunakan
sonografi Doppler pada 37 wanita preeklampsia, terdapat resistensi arteri hepatika.
Nekrosis hemoragik periporta di bagian perifer lobulus hepar menyebabkan terjadinya
peningkatan enzim hati didalam serum.Perdarahan pada lesi ini dapat mengakibatkan ruptur
28

hepatika, menyebar di bawah kapsul hepar dan membentuk hematom subkapsular (Cunningham,
2005).
- Ginjal
Lesi khas pada ginjal pasien preeklampsia terutama glomeruloendoteliosis, yaitu
pembengkakan dari kapiler endotel glomerular yang menyebabkan penurunan perfusi dan laju
filtrasi ginjal.Konsentrasi asam urat plasma biasanya meningkat terutama pada preeklampsia
berat. Pada sebagian besar wanita hamil dengan preeklampsia, penurunan ringan sampai sedang
laju filtrasi glomerulus tampaknya terjadi akibat berkurangnya volume plasma sehingga kadar
kreatinin plasma hampir dua kali lipat dibandingkan dengan kadar normal selama hamil (sekitar
0,5 ml/dl). Namun pada beberapa kasus preeklampsia berat, kreatinin plasma meningkat
beberapa kali lipat dari nilai normal ibu tidak hamil atau berkisar hingga 2-3 mg/dl.Hal ini
disebabkan perubahan intrinsik ginjal akibat vasospasme yang hebat (Cunningham, 2005).
Kelainan pada ginjal biasanya dijumpai proteinuria akibat retensi garam dan air.Retensi
garam dan air terjadi karena penurunan laju filtrasi natrium di glomerulus akibat spasme arteriol
ginjal. Pada pasien preeklampsia terjadi penurunan ekskresi kalsium melalui urin karena
meningkatnya reabsorpsi di tubulus (Cunningham,2005).
Kelainan ginjal yang dapat dijumpai berupa glomerulopati, terjadi karena peningkatan
permeabilitas terhadap sebagian besar protein dengan berat molekul tinggi, misalnya:
hemoglobin, globulin, dan transferin. Protein protein molekul ini tidak dapat difiltrasi oleh
glomerulus.
- Darah
Kebanyakan pasien preeklampsia mengalami koagulasi intravaskular (DIC) dan destruksi
pada eritrosit (Cunningham, 2005).Trombositopenia merupakan kelainan yang sangat sering,
biasanya jumlahnya kurang dari 150.000/l ditemukan pada 15 20 % pasien.Level fibrinogen
meningkat pada pasien preeklampsia dibandingkan dengan ibu hamil dengan tekanan darah
normal. Jika ditemukan level fibrinogen yang rendah pada pasien preeklampsia, biasanya
berhubungan dengan terlepasnya plasenta sebelum waktunya (placental abruption).
Pada 10 % pasien dengan preeklampsia berat dapat terjadi HELLP syndrome yang ditandai
dengan adanya anemia hemolitik, peningkatan enzim hati dan jumlah platelet rendah.
- Sistem Endokrin dan Metabolisme Air dan Elektrolit
29

Pada preeklampsia, sekresi renin oleh aparatus jukstaglomerulus berkurang, proses sekresi
aldosteron pun terhambat sehingga menurunkan kadar aldosteron didalam darah.
Pada ibu hamil dengan preeklampsia kadar peptida natriuretik atrium juga meningkat. Hal ini
terjadi akibat ekspansi volume yang menyebabkan peningkatan curah jantung dan penurunan
resistensi vaskular perifer.
Pada pasien preeklampsia terjadi pergeseran cairan dari intravaskuler ke interstisial yang
disertai peningkatan hematokrit, protein serum, viskositas darah dan penurunan volume
plasma.Hal ini mengakibatkan aliran darah ke jaringan berkurang dan terjadi hipoksia.

3.1.6.2. Pada janin
Penurunan aliran darah ke plasenta mengakibatkan gangguan fungsi plasenta.Hal ini
mengakibatkan hipovolemia, vasospasme, penurunan perfusi uteroplasenta dan kerusakan sel
endotel pembuluh darah plasenta sehingga mortalitas janin meningkat (Sarwono prawirohardjo,
2009). Dampak preeklampsia pada janin, antara lain: Intrauterine growth restriction (IUGR)
atau pertumbuhan janin terhambat, oligohidramnion, prematur, bayi lahir rendah, dan solusio
plasenta.
8,9,10
Berdasarkan sikap terhadap kehamilan, perawatan pada pasien PEB dibedakan menjadi
perawatan konservatif dan perawatan aktif.

a. Perawatan konservatif
1. Tujuan :
Mempertahankan kehamilan hingga tercapai usia kehamilan yang memnuhi
syarat janin dapat hidup di luar rahim
Meningkatkan kesejahteraan bayi baru lahir tanpa mempengaruhi
keselamatan ibu
2. Indikasi :
Kehamilan < 37 minggu tanpa disertai tanda dan gejala impending eklampsia
3. Pemberian anti kejang :
Seperti Tabel 1 di atas, tapi hanya diberikan maintainance dose ( loading dose
tidak diberikan )
4. Antihipertensi
Diberikan sesuai protokol untuk PER.
30

5. Induksi Maturasi Paru
Diberikan injeksi glukokortikoid, dapat diberikan preparat deksametason 2 x 16
mg iv/24 jam selama 48 jam atau betametason 24 mg im/24 jam sekali pemberian.
6. Cara perawatan :
Pengawasan tiap hari terhadap gejala impending eklampsia
Menimbang berat badan tiap hari
Mengukur protein urin pada saat MRS dan tiap 2 hari sesudahnya
Mengukur tekanan darah tiap 4 jam kecuali waktu tidur
Pemeriksaan Lab : DL, LFT, RFT, lactic acid dehydrogenase, Albumin serum
dan faktor koagulasi
Bila pasien telah terbebas dari kriteria PEB dan telah masuk kriteria PER,
pasien tetap dirawat selama 2 3 hari baru diperbolehkan rawat jalan.
Kunjungan rawat jalan dilakukan 1 minggu sekali setelah KRS.
7. Terminasi kehamilan
Bila pasien tidak inpartu, kehamilan dipertahankan sampai aterm
Bila penderita inpartu, persalinan dilakukan sesuai dengan indikasi obstetrik
b. Perawatan aktif
1. Tujuan : Terminasi kehamilan
2. Indikasi :
(i). Indikasi Ibu :
Kegagalan terapi medikamentosa :
- Setelah 6 jam dimulainya terapi medikamaentosa terjadi kenaikan
tekanan darah persisten
- Setelah 34 jam dimulainya terapi medikamentosa terjadi kenaikan
tekanan darah yang progresif
Didapatkan tanda dan gejala impending preeclampsia
Didapatkan gangguan fungsi hepar
Didapatkan gangguan fungsi ginjal
Terjadi solusio plasenta
Timbul onset persalinan atau ketuban pecah
(ii). Indikasi Janin
31

Usia kehamilan 37 minggu
PJT berdasarkan pemeriksaan USG serial
NST patologis dan Skor Biofisikal Profil < 8
Terjadi oligohidramnion
(iii). Indikasi Laboratorium
Timbulnya HELLP syndrome
3. Pemberian antikejang : Seperti protokol yang tercantum pada tabel 1.
4. Terminasi kehamilan :
Bila tidak ada indikasi obstetrik untuk persalinan perabdominam, mode of
delivery pilihan adalah pervaginam dengan ketentuan sebagai berikut :
(i) Pasien belum inpartu
Dilakukan induksi persalinan bila skor pelvik 8. Bila skor pelvik < 8
bisa dilakukan ripening dengan menggunakan misoprostol 25 g
intravaginal tiap 6 jam. Induksi persalinan harus sudah mencapai kala II
sejak dimulainya induksi, bila tidak maka dianggap induksi persalinan
gagal dan terminasi kehamilan dilakukan dengan operasi sesar.
Indikasi operasi sesar :
- Indikasi obstetrik untuk operasi sesar
- Induksi persalinan gagal
- Terjadi maternal distress
- Terjadi fetal compromised
- Usia kehamilan < 33 minggu
(ii) Pasien sudah inpartu
Perjalanan persalinan dilakukan dengan mengikuti partograf
Kala II diperingan
Bila terjadi maternal distress maupun fetal compromised, persalinan
dilakukan dengan operasi sesar
Pada primigravida direkomendasikan terminasi dengan operasi
sesar
11,12,13,14

3.2. Ekstraksi vakum
3.2.1. Definisi dan syarat ekstraksi vakum
32

Ekstraksi vakum adalah suatu tindakan bantuan persalinan di mana janin dilahirkan dengan
ekstraksi menggunakan tekanan negatif (daya hampa udara) dengan alat vakum (negative-
preasure vacuum extractor) yang dipasang dikepalanya.Hanya sebagai alat ekstraksi tidak baik
sebagai alat rotasi.Pada ekstraksi vakum, keadaan fisiologis yang diharapkan adalah
terbentuknya kaput suksadeneum pada kepala janin sebagai kompensasi akibat
penghisapan/tekanan negatif. Kemudian setelah kepala menempel pada mangkuk vakum, tarikan
dilakukan dengan bantuan tenaga dari ibu (bersamaan dengan saat his/gerakan mengejan)
mengandalkan penempelan kaput tersebut pada mangkuk vakum.Vakum memberi tenaga
tambahan untuk mengeluarkan bayi, dan biasanya digunakan saat persalinan sudah berlangsung
terlalu lama dan ibu sudah terlalu capek serta tidak kuat meneran lagi.
15,16
Ekstraksi vakum dapat dilakukan dengan syarat sebagai berikut:
1. Janin aterm, letak kepala, atau bokong
2. Janin harus dapat lahir pervaginam (tidak ada disproporsi sefalopelvik)
3. Pembukaan serviks lengkap (pada multigravida, dapat pada pembukaan minimal 5-7)
4. Kepala janin sudah engaged
5. Selaput ketuban sudah pecah, atau jika belum harus dipecahkan
6. Harus ada kontraksi uterus (his) dan tenaga mengejan ibu (reflex mengejan baik).
7. Tidak boleh ada mukosa vagina atau jaringan servix yang terjepit antara ekstraktor vakum
dengan kepala janin
8. Penurunan kepala janin minimal Hodge II
9. Tekanan vakum sampai mencapai 50 mmHg

33


Gambar 3.1 Engagement
3.2.2. Alat ekstraktor vakum
Alat ekstraktor vakum terdiri atas:
1. Cup sejenis mangkuk dari logam yang agak mendatar dengan berbagai ukuran biasanya 3, 5,
dan 7 cm (diameter 30 samapi dengan 60 mm) dengan lubang di tengah-tengahnya.
Ekstraktor utama yang ada terdiri dari mangkuk yang terbuat dari karet yang lembut atau
plastik dan bukan dari logam. Dua macam ekstraktor vakum yang sering digunakan adalah
mangkuk polimer silikon dan mangkuk plastik sekali pakai yang lebih kecil.
2. Pipa/selang karet yang pada ujung yang satu dihubungkan dengan mangkuk dan pada ujung
yang lain dihubungkan dengan suatu alat penarik dari logam.
3. Rantai dari logam yang berhubungan dengan alat bundar dan datar; alat tersebut dimasukan
ke dalam rongga mangkuk sehingga dapat menutup lubangnya; selanjutnya rantai dimasukan
ke dalam pipa karet dan setelah ditarik kuat, dikaitkan kepada alat penarik.
4. Pipa karet yang pada ujung yang satu dihubungkan dengan alat penarik dan dengan ujung
yang lain dengan botol penampung cairan yang terisap(lendir, darah, air ketuban, dan
sebagainya)
34

5. Manometer untuk membuat dan mengatur tekanan negatif dan pompa tangan atau elektrik
untuk mengisap udara, yang berhubungan dengan botol penampung dan menyelenggarakan
vakum antara mangkuk dan kepala janin.

Gambar 3.2. Alat ekstraksi vakum
Dalam pemakaian ekstraktor vakum, mangkok yang dipilih harus sesuai dengan besarnya
pembukaan, keadaan vagina, turunnya kepala janin dan tenaga untuk tarikan yang dipelukan.
Umumnya yang dipakai ialah mangkok dengan diameter 50 mm. Macam-macam mangkok:
1.Mangkok logam : - malmstorm cup- anterior cup- posterior cup
2.Mangkok plastik : - plastik keras- plastik lunak yang berasal dari bahan silikon

35


Gambar 3.3. Jenis- jenis mangkok dari bahan plastik dan logam
3.2.3. Keuntungan dan kerugian vakum ekstraksi
Keuntungan vakum ekstraksi sebagai berikut :
1. Cup dapat dipasang waktu kepala masih agak tinggi, Hodge III atau kurang dengan
demikian mengurangi frekuensi SC
2. Tidak perlu diketahui posisi kepala dengan tepat, Cup dapat dipasang pada belakang kepala,
samping kepala ataupun dahi.
3. Tarikan tidak dapat terlalu berat. Dengan demikian kepala tidak dapat dipaksakan melalui
jalan lahir. Apabila tarikan terlampau berat cup akan lepas dengan sendirinya.
4. Cup dapat dipasang meskipun pembukaan belum lengkap, misalnya pada pembukaan 8-9
cm, untuk mempercepat pembukaan. Untuk ini dilakukan tarikan ringan yang kontinu
sehingga kepala menekan pada servik. Di samping itu cup tidak boleh terpasang lebih dari
jam untuk menghindari kemungkinan timbulnya perdarahan pada otak.
5. Vakum ekstraktor dapat juga dipergunakan untuk memutar kepala dan mengadakan fleksi
kepala (misalnya pada letak dahi).
36

6. Tenaga mengenai puncak kepala tidak terlalu kuat, kebutuhan anestesia berkurang, mudah
pemakaiannya, trauma perineum sedikit, dan memberi kemampuan bagi kepala untuk
menentukan jalan keluar dari panggul ibu.
7. Dapat digunakan untuk membuktikan adanya disproporsi sefalopelvik
8. Kini telah dikembangkan vakum dari karet yang kurang traumatik dan lebih mudah
penggunaannya.

Kerugian ekstraksivakum
1. Traksi hanya dapat dilakukan ketika ada kontraksi rahim.
2. pemakaian terbatas pada janin yang aterm.
3. persalinan lebih lama dibandingkan ekstraksi cunam. Karena waktu yang diperlukan untuk
pemasangan cup sampai dapat ditarik relatif lebih lama dibandingkan forceps ( 10 menit ).
Cara ini tidak dapat dipakai apabila ada indikasi untuk melahirkan anak dengan cepat
misalnya pada fetal distress
4. membutuhkan perhatian untuk memelihara kevakuman.
5. alatnya relative mahal dibandingkan forceps biasa.
6. Morbiditas dan mortalitas rendah, tetapi sering terjadi pembentukan kaput yang bertahan
beberapa jam.
37


Gambar 3.4. Caput succedanaeum
3.2.4. Indikasi ekstraksi vakum
Pada ibu
1. Untuk memperpendek kala II, misalnya:
a. Penyakit jantung kompensata
b. Penyakit paru-paru fibrotik
c. Kala II memanjang
2.
3.2.5. Kontraindikasi ekstraksi vakum
Pemakaian ekstraksi vakum mempunyai kontraindikasi sebagai berikut:
1. Prematuritas karena kepala terlampau lembut dan mudah terjadi kerusakan intrakranial.
2. Kelainan letak kepala janin:
38

a. Letak muka karena bola mata dapat keluar dari orbita dan mengisi mangkok.
b. Letak dahi.
c. Kelainan putar paksi.
3. Disproporsi sefalopelvik.
4. Ruptura uteri membakat (imminens).
5. Keadaan ibu dimana ibu tidak boleh mengejan, misalnya pada penyakit jantung berat,
preeklampsia berat, asma berat, dan sebagainya.
6. Fetal distres.
Ekstraksi vakum pada letak bokong dapat dilakukan apabila telah diyakini benar bahwa
tidak ada disproporsi sefalopelvik, pembukaan sudah lengkap, dan ada indikasi untuk mengakhiri
persalinan, misalnya keadaan gawat janin.
17,18

3.2.6. Komplikasi ekstraksi vakum
Dengan dipenuhinya sayarat-syarat: pembukaan sudah lengkap atau hampir lengkap,
kepala janin sudah sampai Hodge III dengan tidak adanya disproporsi sefalopelvik, janin dengan
persentasi belakang kepala dan kepala janin tidak lembek seperti pada maserasi atau
prematuritas, bahaya atau timbulnya komplikasi tidak benar. Yang mungkin terjadi ialah:
Pada ibu :
1. Perdarahan
2. Trauma jalan lahi
3. Infeksi
Pada anak :
1. Cepalohematoma memerlukan pemantauan dan biasanya menghilang dalam 3-4
minggu. Dapat terjadi juga subgaleal hematoma, Perdarahan subaponeurotik.
2. Fetal distress.
3. Trauma janin.
4. Infeksi.
5. Ekskoriasi kulit kepala.
6. Asfiksi / anoksi.
7. Paresis / paralisis.
8. Fraktura tulang tengkorak.
39

9. Perdarahan intrakranial sangat jarang terjadi dan memerlukan perawatan neonatus segera.
Perdarahan intrakranial pada neonatus merupakan salah satu komplikasi serius yang saat
ini telah banyak dilaporkan. Perdarahan intrakranial adalah yang mengambil tempat pada
rongga potensial di dalam rongga tulang kepala. Jenis perdarahan intrakranial pada
neonatus yang lahir dengan ekstraksi vakum yang pernah dilaporkan meliputi: perdarahan
epidural (ekstradural), subdural, dan perdarahan subarakhnoid. Perdarahan intrakranial
pada neonatus mempunyai arti yang penting karena salah satu faktor penyebab kematian
perinatal, atau cacat fisik dan retardasi mental. Tingginya angka kejadian perdarahan
intrakranial dan gangguan fungsi otak mengurangi kepopuleran ekstraksi vakum
(ventouse) sebagai alat bantu persalinan di negara-negara seperti: Amerika serikat,
Inngeris, Kanada, Australia, dan beberapa negara asia seperti: India, Malaysia, Singapura,
danFilipina.
10. Abrasi kulit kepala (biasa dan tidak berbahaya) dan laserasi dapat terjadi. Bersihkan dan
periksa laserasi untuk menentukan apakah diperlukan jahitan. Nekrosis sangat jarang
terjadi.
11. Caput succedaneum artificialis akan hilang dalam beberapa hari.Vakum ekstraktor dapat
juga dipergunakan untuk melahirkan kepala waktu SC. Untuk ini harus ada pompa listrik
sehingga penurunan tekanan berangsur-angsur dengan teratur. Dengan pompa listrik
tekanan dapatditurunkan sampai -0,75 atm. Dalam waktu 60 detik.

3.2.7. Kegagalan ekstraksi vakum
Ekstraksi vakum gagal jika:
1. Waktu dilakukan traksi, mangkuk terlepas sebanyak 3 kali. Mangkuk lepas pada
waktu traksi, kemungkinan disebabkan :
a. Tenaga vakum terlalu rendah
b. Tekanan negatif dibuat terlalu cepat, sehingga tidak terbentuk kaput suksedaneum
yang sempurna yang mengisi seluruh mangkuk
c. Selaput ketuban melekat antara kulit kepala dan mangkuk sehingga mangkuk tidak
mencengkam dengan baik
d. Bgian-bagian jalan lahir (vagina dan serviks) ada yang terjepit ke dalam mangkuk
e. Kedua tangan kiri dan tangan kanan penolong tidak berkerja sama dengan baik
40

f. Traksi terlalu kuat
g. Cacat pada alat, misalnya kebocoran pada karet saluran penghubung
h. Adanya disporposi sefalo-pelvik. Setiap mangkuk lepas pada waktu traksi, harus
diteliti satu persatu kemungkinan-kemungkinan diatas dan diusahakan melakukan
koreksi.
2. Dalam waktu 30 menit dilakukan traksi, janin tidak lahir.

3.2.8. Cara Ekstraksi Vakum
Persiapan sebelum tindakan dilakukan persetujuan medik
Pasien
- Cairan dan selang infus sudah terpasang, perut bawah dan lipat paha sudah dibersihkan
dengan air sabun,
- Uji fungsi dan perlengkapan peralatan ekstraksi vakum
- Siapkan alas bokong, dan penutup perut
Medikamentosa :
Oksigen, ergometrin, prokain 1%, larutan antiseptik (povidon iodin 10%)
Intrumenn : set partus 1 set, vakum ekstraktor : 1 set, klem ovum 2, cunam tampon 1,
Penolong ( operator dan asisten)
- Baju kamar tindakan, masker, kacamata pelindung,
- Sarung tangan DTT/steril, lampu sorot
Bayi
- penghisap lendir, resusitasi bayi, kain penyeka muka dan badan
- inkubator
- perlengkapan baju bayi
Pencegahan infeksi sebelum tindakan
- Masukkan tangan ke dalam wadah yang mengandung larutan klorin 0,5%, bersihkan
darah dan cairan tubuh yang melekat pada sarung tangan, lepaskan secara terbalik dan
rendam dalam larutan tersebut.
- Pakai sarung tangan DTT/Steril yang baru.


41

Pemasangan mangkok vakum
- Masukkan mangkok vakum melalui introitus,secara miring, pasangkan pada kepala bayi
(perhatikan agar tepi mangkok tidak terpasang pada bagian yang tidak rata/moulage di
daerah ubun-ubun kecil).
- Dengan jari tengah dan telunjuk, tahan mangkok pada posisisnya dan dengan jari tengah
dan telunjuk tangan lain, lakukan pemeriksaan di sekeliling tepi mangkok untuk
memastikan tidak ada bagian vagina atau porsio yang terjepit di antara mangkok dan
kepala.
- Setelah hasil pemeriksaan ternyata baik, keluarkan jari tanan pemeriksaan dan tangan
penahan mangkok tetap pada posisinya.
- Instruksikan asisten untuk menurunkan tekanan (membuat vakum dalam mangkok) secra
bertahap.
- Pompa hingga tekanan 100 mmHG ( skala 10 atau 0,2 kg/sm 2 pada jenis
malmstroomklasik) setelah 2 menit, naikan hingga 400 mmHG (skala 40 atau 0,4 kg/sm
malmstroom klasik). Tekanan maksimal adalah 600 mmHG (skala 60 atau-0,6 kg/sm 2
malstroom),hanya dipakai bila his kurang kuat/memerlukan tarikan kuat (ingat:
janganmenggunakan tekanan maksimal pada kepala bayi, lebih dari 8 menit
Penarikan
- Pada fase acme (puncak) dari his, minta pasien untuk mengedan, secara simultan lakukan
penarikan dengan perineum yang baku) dilakukan pada saat kepala mendorng perineum
dan tidak masuk kembali.
- Bila belum berhasil pada tarikan pertama, ulangi lagi pada tarikan kedua. Episiotomi
pada pasien dengan perineum yang kaku) dilakukan pada saat kepala mendorong
perineum dan tidak masuk kembali.
Melahirkan bayi
- Kepala bayi dipegang biparietal, gerakkan ke bawah untuk melahirkan bahu depan,
kemudian gerakkan ke atas untuk melahirkan bahu belakang, kenudian lahirkan seluruh
tubuh bayi.
- Bersihkan muka (hidung dan mulut) bayi dengan kain bersih, potong tali pusat dan
serahkan bayi pada petugas bagian anak.

42

Lahirkan plasenta
- Suntikkan oksitosin, lakukan traksi terkendali, lahirkan plasenta dengan menarik tali
pusat dan mendorong uterus ke arah dorsokranial.
- Periksa kelengkapan plasenta (perhatikan bila terapat bagian-bagian yang lepas atau tidak
lengkap).
- Masukkan plasenta ke dalam tempatnya (hindari percikan darah).
Eksplorasi jalan lahir
- Masukkan spekulum Sims/L atas dan bawah pada vagina.
- Perhatikan apakah terdapat robekan perpanjangan luka episiotomi atau robekan pada
dinding vagina di tempat lain.
- Ambil klem ovum sebanyak 12 buah, lakukan penjepitan secara bergantian ke arah
samping, searah jarum jam, perhatikan ada tidaknya robekan porsio.
- Bila terjadi robekan di luar luka episiotomi, lakukan penjahitan
Penjahitan episiotomi
- Pasang penopang bokong (beri alas kain). Suntikan prokain 1% (yang telah disiapkan
dalam tabung suntik) pada sisi dalam luka episiotomi (otot, jaringan, submukosa dan
subkutis) bagian atas dan bawah.
- Uji hasil infiltrasi dengan menjepit kulit perineum yang dianestasi dengan pinset bergigi.
- Masukkan tampon vagina kemudian jepit tali pengikat tampon dan kain penutup perut
bawah dengan kocher.
- Dimulai dari ujung luka episiotomi bagian dalam jahit otot dan mukosa secara jelujur
bersimpul ke arah luar kemudian tautkan kembali kulit secara subkutikuler atau jelujur
matras.
- Tarik tali pengikat tampon vagina secara perlahan-lahan hingga tampon dapat
dikeluarkan, kemudian kosongkan kandung kemih.
- Bersihkan noda darah, cairan tubuh dan air ketuban dengan kapas yang telah diberi
larutan antiseptik.
- Pasang kasa yang dibasahi dengan Povidon lodin pada tempat jahitan episiotomy



43

3.3. Ruptur buli
Pada waktu lahir hingga usia anak, buli-buli terletak di rongga abdomen. Namun semakin
bertambah usia, tempat turun dan terlindung di dalam kavum pelvis, sehingga kemungkinan
mendapatkan trauma dari luar jarang terjadi. Kurang lebih 90% trauma tumpul buli-buli adalah
akibat fraktur pelvis. Fiksasi buli-buli pada tulang pelvis oleh fasia endopelvik dan diafragma
pelvis sangat kuat sehingga cedera deselarasi terutama jika titik fiksasi fasia bergerak pada
daerah berlawanan ( seperti padaa fraktur pelvis), dapat merobek buli-buli. Robeknya buli-buli
karena fraktur pelvis bisa pula terjadi akibat fragmen tulang pelvis merobek dindingnya.Dalam
keaadan penuh terisi urin, buli-buli mudah sekali robek jika mendapatkan tekanan dari luar
berupa benturan pada perut sebelah bawah. Buli- buli akan robek pada daerah fundus dan
menyebabkan ekstravasasi uri kerongga intraperitoneum. Tindakan endourologi dapat
menyebakan trauma buli-buli iatrogenik antara lain pada reseksi buli-buli transurethral (TUR
buli-buli) atau pada litotripsi. Demikian pula partus kasep atau tindakan operasi di daerah pelvis
dapat menyebabkan trauma iatrogenik pada buli-buli.
Klasifikasi
Secara klinis cedera buli-buli dibedakan menjadi:
kontusio buli-buli
cedera buli-buli ekstraperitoneal 45-60%
cedera intraperitoneal 25-45%
2-12% cederanya cedera buli-buli ekstraperitoneal+cedera intraperitoneal. Jika
tidak mendapatkan perawatan dengan segera 10-20% cedera buli-buli akan berakibat kematian
karena peritonitis atau sepsis.
Diagnosis
Setelah mengalami cedera pada abdomen sebelah bawah, pasien mengeluhksn nyeri
didaerah suprasimfisis, miksi bercampur darah atau pasien tidak dapat miksi. Gambaran klinis
yang lain tergantung etiologi trauma, bagian buli-buli yang mengalami cedera yaitu
intra/ekstraperitoneal, adanya organ lain yang mengalami cedera, serta penyulit yang terjadi
akibat trauma. Dalam hal ini mungkin didapatkan tanda fraktur pelvis, syok, hematoma
perivesika, atau tanpa tanda sepsis dari suatu peritonitis atau abses perivesika. Pemeriksaan
pencitraan berupa sistografi yaitu dengan memasukkan kontras kedalam buli-buli sebanyak 300-
400 ml secara gravitasi (tanpa tekanan) melalui kateter per-uretram.
1,2
44

Terapi
Trauma vesika urinaria merupakan keadaan darurat bedah yang memerlukan
penatalaksanaan segera, bila tidak ditanggulangi dengan segera dapat menimbulkan komplikasi
seperti perdarahan hebat, peritonitis dan sepsis.Pada kontusio buli-buli, cukup dilakukan
pemasangan kateter dengan tujuan untuk memberikan istirahat pada buli-buli. Dengan cara ini
diharapkan buli-buli sembuh setelah 7-10 hari. Pada cedera intraperitoneal harus dilakukan
eksplorasi laparatomi untuk mencari robekan pada buli-buli serta kemungkinan cedera pada
organ lain. Jika tidak dioperasi ekstravasasi urin ke rongga intraperitoneum dapat menyebabkan
peritonitis.Rongga intraperitoneum dicuci, robekan pada buli-buli dijahit 2 lapis, kemudian
dipasang kateter sistostomi yang dilewatkan di luar sayatan laparatomi.
Pada cedera ekstraperitoneal, robekan yang sederhana (ekstravasasi minimal) dianjurkan
untuk memasang kateter selama 7-10 hari, tetapi sebagian ahli lain menganjurkan untuk
melakukan penjahitan buli-buli dengan pemasangan kateter sistostomi. Namun tanpa tindakan
pembedahan kejadian kegagalan penyembuhan luka 15%, dan kemungkinan untuk terjadinya
infeksi pada rongga perivesika sebesar 12%. Oleh karena itu jika bersamaan dengan rupture buli-
buli terdapat cedera organ lain yang membutuhkan operasi, sebaiknya dilakukan penjahitan buli-
buli dan pemasangan kateter sistostomi. Untuk memastikan bahwa buli-buli telah sembuh,
sebelum melepas kateter uretra atau kateter sistostomi, terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan
sistografi guna melihat kemungkinan masih adanya ekstravasasi urin.Jika masih ada ekstravasasi
kateter sistostomi dipertahankan sampai 3 minggu.
Penyulit
Pada cedera buli-buli ekstraperitoneal, ekstravasasi urin ke rongga pelvis yangdibiarkan
dalam waktu lama dapat menyebabkan infeksi dan abses pelvis.Yang lebih berat lagi adalah robekan buli-
buli intraperitoneal, jika tidak segera dilakukan operasi, dapat menimbulkan peritonitis akibat
dari ekstravasasi urin pada rongga intraperitoneum. Kedua keadaan itu dapat menyebabkan sepsis yang
dapat mengancam jiwa.
22,23





45

3.4. Sepsis
Sepsis merupakan penyebab tersering kesakitan dan kematian akibat infeksi diseluruh
dunia. Di Amerika Serikat, sepsis penyebab kematian utama di ruang perawatan intensif. Hingga
saat ini lebih dari 750.000 kasus sepsis telah diidentifikasi dan diperkirakan pada tahun 2010
terdapat 934.000 kasus ditemukan. Di Inggris sepsis yang memerlukan perawatan intensif
sebanyak 27,7%, dari 23.211 kasus setiap tahun.
Menurut data WHO kejadian sepsis bervariasi dari 0,9 s/d 7,04 per 1000 wanita dengan
usia 15-49 tahun. Kejadian sepsis pada wanita hamil dihubungkan dengan komplikasi infeksi
seperti infeksi saluran kemih, korioamnionitis, endometritis, luka infeksi dan abortus
septik.Penyebab sepsis non obstetrik pada wanita hamil diantaranya malaria, HIV dan
pneumonia.Infeksi saluran kemih sering dikaitkan sebagai penyebab infeksi tersering pada
kehamilan.Hal ini dikarenakan terjadinya perubahan secara anatomi dan fisiologis sehingga
memudahkan ascending infection.Perubahan kimiawi urine juga memudahkan pertumbuhan
kuman patogen sebagai penyebab infeksi.Korioamnionitis sering dihubungkan dengan kejadian
ketuban pecah dini. Lamanya waktu ketuban pecah dengan proses persalinan sangat
mempengaruhi kejadian ini. Endometritis dan luka infeksi merupakan komplikasi yang sering
terjadi pada operasi seksio sesaria. Bertambahnya jumlah tindakan seksio sesaria tanpa didasari
standar operasional prosedur memadai akan meningkatkan kejadian infeksi dan sepsis.
Preeklampsia dan trauma berat merupakan faktor risiko non infeksi kejadian sepsis berat dan
syok sepsis.
Preeklampsia merupakan gambaran ekstrim respon inflamasi sistemik pada trimester
ketiga kehamilan.Konsentrasi sitokin pro inflamasi (IL-6) dan tumor necrosing factor a (TNF-a)
meningkat pada keadaan preeklampsia dan SIRS (Systemic Inflammatory Response
Syndrome).Respon imunologi pada trauma berat dimulai saat awal kejadian dengan dimulai
aktifitas monosit.Aktifitas ini menyebabkan peningkatan sintesa dan pelepasan mediator-
mediator inflamasi baik itu yang bersifat proinflamasi maupun anti inflamasi.Kelebihan respon
pada trauma menginduksi SIRS dan MOF yang terjadi 30% pada semua trauma berat.Pada
penderita syok sepsis 40-60% terdapat bakteremia. Hubungan antara bakteremia dan sepsis
dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain imunitas dan kondisi penyakit. Secara umum bakteri
aerobik gram negatif sering dihubungkan dengan keadaan sepsis.Akhir-akhir ini bakteri gram
positif juga banyak ditemukan sebagai pemicu sepsis. Ledger dkk melaporkan mikroorganisme
46

yang sering ditemukan antara lain Eschericia coli,Enterococci,dan betahemolytic streptococci.
Penegakan diagnosis sepsis memerlukan 3 kriteria yaitu : SIRS, sumber infeksi dan kultur yang
menunjukkan pertumbuhan bakteri. Kultur negatif belum tentu menyingkirkan diagnosis sepsis
karena dari semua penderita sepsis hanya 20-40% yang menunjukkan hasil kultur positif.
Penegakan pasien dengan SIRS dapat ditandai oleh adanya 2 kriteria atau lebih berupa :
- Suhu > 38
0
C atau <36
0
C
- Denyut jantung > 90 kali permenit
- Laju respirasi > 20 kali permenit atau PaCO
2
< 32 mmHg
- Hitung leukosit > 12.000 / ul
Hal inilah yang menyulitkan penegakan diagnosis sepsis itu sendiri Perjalanan sepsis
akibat bakteri diawali oleh proses infeksi yang ditandai dengan bakteremia selanjutnya
berkembang menjadi SIRS (Systemic Inflamatory Respon Syndrome) dilanjutkan sepsis, sepsis
berat, syok sepsis dan berakhir MODS. Syok terjadi pada 40% pasien sepsis. Kematian penderita
dengan sepsis sekitar 20%, mendekati 40% bila ada disfungsi organ (sepsis berat).Secara umum
patofisiologi sepsis komplek dan tidak semuanya dimengerti. Berat ringannya kondisi sepsis
dipengaruhi oleh kondisi penderita misal umur, faktor genetik,lokasi infeksi dan sejumlah
kondisi medis.
24,25,26,

Kriteria Sepsis
Variabel umum
1. Demam >38,3C
2. Hipotermia <36C
3. Nadi >90 kali per menit
4. Takipneu
5. Perubahan status mental
6. Edema dan jumlah cairan >20 ml/Kg dalam 24 jam
7. Hiperglikemia >140 mg/dl tanpa adanya riwayat diabetes
Variabel inflamasi
1. Leukositosis (>12.000 L)
47

2. Leucopenia (<4000 L)
3. Protein plasma lebih tinggi dua kali dari nilai normal
4. Plasma procalcitonin tinggi dua kali dari nilai normal
Variabel hemodinamik
1. Hipotensi arteri (MAP <70 mmHg)
Variabel disfungsi organ
1. Hipoksemia arteri (PaO
2
/FiO
2
<300)
2. Oliguria akut (urin <0,5Ml/Kg/jam minimal 2 jam setelah rehidrasi)
3. Peningkatan kreatinin (>0,5mg/dl)
4. Abnormalitas koagulasi (Aptt>60 detik)
5. Ileus
6. Tromboitopenia (<100.000 L)
7. Hiperbilirubinemia (Bilirubin total >4 mg/dl)
Variabel perfusi jaringan
1. Hiperlaktatemia (>1 mmol/L)
2. Penurunan pengisian kapiler (CRT<2 detik)
Penatalaksaan sepsis
A. Inisial resusitasi
1. Tujuan utama dari resusitasi 6 jam awal pertama
a. Tekanan vena sentral 8-12 mmHg
b. MAP 65 mmhg
c. Jumlah urin 0,5 ml/kgbb/jam
d. Tekanan vena sentral atau saturasi oksigen 75% atau 65 %
2. Pasien dengan peningkatanm jumlah asam laktat di targetkan untuk menormal kan asam
laktat

48


B. skrinning untuk sepsis dan memperbaiki keadaan umum
C. Diagnosis
Kultur harus segera dilakukan sebelum pemberian anti mikroba
D. Terapi anti mikroba
1. Anti mikroba intravena efektif diberikan dalam 1 jam pertama setelah septik syok
2. Regimen antimikroba harus dipantau setiap harinya agar tercipta dosis potensial
24

3.5Sectio caesarea(SC)
3.5.1. Definisi
Istilah bedah caesar (sectio caesarea) berasal dari bahasa Latin caedere yang artinya
memotong. Pengertian ini awalnya dijumpai dalam Roman Law (Lex Regia) dan Emperor's Law
(Lex Caesarea) yaitu undang-undang yang menghendaki supaya janin dalam kandungan ibu-ibu
yang meninggal harus dikeluarkan dari dalam rahim. Sectio caesareamerupakan adalah suatu
persalinan buatan dimana janin dilahirkan melalui suatu insisi pada dinding perut dan dinding
rahim dengan syarat dinding dalam keadaan utuh serta berat janin di atas 500 gram.
3.5.2. Jenis-jenis sectio caesarea
Adapun jenis-jenis SC antara lain:
a. Sectio caesarea abdominalis
1) Sectio caesarea transperitonealis
a) Sectio caesarea klasik atau kopral dengan insisi memanjang pada korpus uteri
b) Sectio caesarea ismika atau profunda dengan insisi pada segmen bawah rahim
2) Sectio caesareaEkstraperitonealis, yaitu tanpa membuka peritoneum parietalis, dengan
demikian tidak membuka kavum abdominal.
b. Sectio caesarea klasik (korporal)
Dilakukan dengan membuat sayatan memanjang pada korpus uteri kira-kira sepanjang 10 cm.
Kelebihan :
1) Mengeluarkan janin lebih cepat
49

2) Tidak mengakibatkan komplikasi kandung kemih tertarik
3) Sayatan bias diperpanjang proksimal atau distal
Kekurangan :
1) Infeksi mudah menyebar secara intra abdominal karena tidak ada reperinonealisasi yang
baik
2) Untuk persalinan berikutnya lebih sering terjadi rupture uteri spontan
c. Sectio caesareaIsmika (profunda)
Dilakukan dengan membuat sayatan melintang pada segmen bawah rahim (low cervical
transversal) kira-kira 10 cm
Kelebihan :
1) Penjahitan luka lebih mudah
2) Penutupan luka dengan reperitonealisasi
3) Tumpang tindih dari peritoneal baik sekali untuk menahan penyebaran isi uterus ke
rongga peritoneum
4) Perdarahan kurang
Dibandingkan dengan cara klasik kemungkinan ruptura uteri spontan kurang/lebih kecil
Kekurangan :
Keluhan pada kandung kemih postoperative tinggi.Sementara menurut Kasdu (2003),
membedakan jenis operasi Caesar menjadi 2 yaitu sayatan melintang dan vertikal. Adapun jenis
sayatannya, operasi berlangsung sekitar 45-60 menit, tetapi proses melahirkan bayi sendiri hanya
berlangsung 5-10 menit Pemilihan jenis sayatan ini tergantung pada perut pada operasi Caesarea
sebelumnya, kembar siam, tumor (mioma uteri) di segmen bawah uterus, hipervaskularisasi
(pembuluh darah meningkat) disegmen bawah uterus pada plasenta previa, kanker serviks, risiko
bahaya perdarahan apabila di lakukan tindakan sayatan melintang berhubung letak plasenta,
misalnya pada plasenta previa, janin letak lintang, atau kembar dengan letak abnormal dan
apabila akan melakukan histerektomi setelah janin di lahirkan.
Terdapat kerugian dari operasi Caesarea dengan jenis sayatan melintang, antara lain:
lebih berisiko terkena peritonitis (radang selaput perut), memiliki resiko empat kali lebih besar
terkena rupture uteri pada kehamilan selanjutnya, otot-otot rahimnya lebih tebal dan lebih
banyak pembuluh darahnya sehingga sayatan ini lebih banyak mengeluarkan darah. Akibatnya,
50

lebih banyak parut di daerah dinding atas rahim. Oleh karena itu, pasien tidak dianjurkan hamil
lagi, jika menggunakan anestesi lokal, sayatan ini akan memerlukan waktu dan obat lebih
banyak.

3.5.3. Indikasi
Indikasi dilakukannya SC antara lain:
a. Faktor janin
1) Bayi terlalu besar
Berat bayi lahir sekitar 4.000 gram atau lebih (giant baby), menyebabkan bayi sulit keluar
dari jalan lahir, umumnya pertumbuhan janin yang berlebihan (macrosomia) karena ibu
menderita kencing manis (diabetes mellitus). Apabila dibiarkan terlalu lama di jalan lahir dapat
membahayakan keselamatan janinnya.
2) Kelainan letak janin
Ada 2 kelainan letak janin dalam rahim, yaitu letak sungsang dan letak lintang.Letak
sungsang yaitu letak memanjang dengan kelainan dalam polaritas.Panggul janin merupakan
kutub bawah.Sedangkan letak lintang terjadi bila sumbu memanjang ibu membentuk sudut tegak
lurus dengan sumbu memanjang janin.Oleh karena seringkali bahu terletak diatas PAP (Pintu
Atas Panggul), malposisi ini disebut juga prensentasi bahu.
3) Ancaman gawat janin (fetal disstres)
Keadaan janin yang gawat pada tahap persalinan, memungkinkan untuk segera dilakukannya
operasi.Apabila ditambah dengan kondisi ibu yang kurang menguntungkan.Janin pada saat
belum lahir mendapat oksigen (O2) dari ibunya melalui ari-ari dan tali pusat. Apabila terjadi
gangguan pada ari-ari (akibat ibu menderita tekanan darah tinggi atau kejang rahim), serta pada
tali pusat (akibat tali pusat terjepit antara tubuh bayi), maka suplai oksigen (O2) yang disalurkan
ke bayi akan berkurang pula. Akibatnya janin akan tercekik karena kehabisan nafas. Kondisi ini
dapat menyebabkan janin mengalami kerusakan otak, bahkan tidak jarang meninggal dalam
rahim. Apabila proses persalinan sulit dilakukan melalui vagina maka bedah casarea merupakan
jalan keluar satu-satunya.

51


4) Janin abnormal
Janin sakit atau abnormal, kerusakan genetik, dan hidrosepalus (kepala besar karena otak berisi
cairan), dapat menyababkan memutuskan dilakukan tindakan operasi.
5) Faktor plasenta
Ada beberapa kelainan plasenta yang dapat menyebabkan keadaan gawat darurat pada ibu
atau janin sehingga harus dilakukan persalinan dengan operasi yaitu plasenta previa (plasenta
menutupi jalan lahir), solutio plasenta (plasenta lepas), plasenta accrete (plasenta menempel
kuat pada dinding uterus), vasa previa (kelainan perkembangan plasenta).
6) Kelainan tali pusat
Berikut ini ada dua kelainan tali pusat yang biasa terjadi yaitu prolapsus tali pusat (tali pusat
menumbung), dan terlilit tali pusat.Prolapsus tali pusat (tali pusat menumbung) adalah keadaan
sebagian atau seluruh tali pusat berada di depan atau di samping bagian terbawah janin atau tali
pusat sudah berada di jalan lahir sebelum bayi. Dalam hal ini, persalinan harus segera dilakukan
sebelum terjadi sesuatu yang tidak diinginkan pada bayi, misalnya sesak nafaskarena kekurangan
oksigen (O2).Terlilit tali pusat atau terpelintir menyebabkan aliran oksigen dan nutrisi ke janin
tidak lancar. Jadi, posisi janin tidak dapat masuk ke jalan lahir, sehingga mengganggu persalinan
maka kemungkinan dokter akan mengambil keputusan untuk melahirkan bayi melalui tindakan
Sectio Caesaerea.
7) Bayi kembar (multiple pregnancy)
Tidak selamanya bayi kembar dilakukan secara Caesarea.Kelahiran kembar memiliki resiko
terjadi komplikasi yang lebih tinggi daripada kelahiran satu bayi.Bayi kembar dapat mengalami
sungsang atau salah letak lintang sehingga sulit untuk dilahirkan melalui persalinan alami.Hal ini
diakibatkan, janin kembar dan cairan ketuban yang berlebihan membuat janin mengalami
kelainan letak.Oleh karena itu, pada kelahiran kembar dianjurkan dilahirkan di rumah sakit
karena kemungkinan sewaktu-waktu dapat dilakukan tindakan operasi tanpa
direncanakan.Meskipun dalam keadaan tertentu, bisa saja bayi kembar lahir secara alami.
8) Persalinan lambat atau kegagalan proses persalinan (distosia), kegagalan persalinan dengan
induksi atau kegagalan persalinan dengan alat
b. Faktor ibu
Berikut ini, faktor ibu yang menyebabkan janin harus dilahirkan dengan operasi.
52



1) Usia
Ibu yang melahirkan untuk pertama kalinya pada usia sekitar 35 tahun memiliki resiko
melahirkan dengan operasi. Apalagi perempuan dengan usia 40 tahun ke atas. Pada usia ini,
biasanya seseorang memiliki penyakit yang beresiko, misalnya tekanan darah tinggi, penyakit
jantung, kencing manis (diabetes melitus) dan pre- eklamsia (kejang). Eklamsia (keracunan
kehamilan) dapat menyebabkan ibu kejang sehingga seringkali menyebabkan dokter
memutuskan persalinan dengan operasi caesarea.
2) Tulang panggul
Cephalopelvic disproportion (CPD) adalah ukuran lingkar panggul ibu tidak sesuai dengan
ukuran lingkar kepala janin dan dapat menyebabkan ibu tidak dapat melahirkan secara alami.
Kondisi tersebut membuat bayi susah keluar melalui jalan lahir.
3) Persalinan sebelumnya Caesar
Persalinan melalui bedah Caesarea tidak mempengaruhi persalinan selanjutnya harus
berlangsung secara operasi atau tidak.
4) Faktor hambatan panggul
Adanya gangguan pada jalan lahir, misalnya adanya tumor dan kelainan bawaan pada jalan
lahir, tali pusat pendek dan ibu sulit bernafas.Gangguan jalan lahir ini bisa terjadi karena adanya
mioma atau tumor.Keadan ini menyebabkan persalinan terhambat atau macet, yang biasa disebut
distosia.
5) Kelainan kontraksi rahim
Jika kontraksi lahir lemah dan tidak terkoordinasi (inkordinate uterine action) atau tidak
elastisnya leher rahim sehingga tidak dapat melebar pada proses persalinan, menyebabkan kepala
bayi tidak terdorong atau tidak dapat melewati jalan lahir dengan lancar. Apabila keadaan tidak
memungkinkan, maka dokter biasanya akan melakukan operasi Caesarea.


53


6) Ketuban pecah dini
Robeknya kantung ketuban sebelum waktunya dapat menyebabkan bayi harus segera
dilahirkan. Kondisi ini akan membuat air ketuban merembes keluar sehingga tinggal sedikit atau
habis.
7) Rasa takut kehilangan
Pada umumnya, seorang wanita yang melahirkan secara alami akan mengalami rasa sakit,
yaitu berupa rasa mulas disertai rasa sakit di pinggang dan pangkal paha yang semakin kuat.
Kondisi tersebut sering menyebabkan seorang perempuan yang akan melahirkan merasa
ketakutan, khawatir, dan cemas menjalaninya. Sehingga untuk menghilangkan perasaan tersebut
seorang perempuan akan berfikir melahirkan melalui Caesarea.
3.5.4. Kontraindikasi
Pada umumnya Sectio caesareatidak dilakukan pada janin mati, dan syok atau anemi
berat sebelum diatasi.
3.5.5. Komplikasi
1. Sakit Di Tulang Belakang
Banyak ibu setelah sesar mengeluh sakit di bagian tulang belakang (tempat dilakukan suntik
anastesi sebelum operasi).Keluhan ini umumnya terasa saat membungkukkan badan, mengambil
sesuatu di lantai, atau mengangkat beban yang lumayan berat.Sumber rasa nyeri berada tepat
pada bekas tusukan jarum suntik saat dilakukan bius lokal.
Akibatnya, sehabis melahirkan sesar, ibu tidak disarankan melakukan gerakan yang terlalu
mendadak dan drastis serta harus menghindari mengangkat beban berat.Umumnya jika keluhan
ini berlarut-larut atau intensitas sakitnya meningkat, ibu disarankan untuk berkonsultasi pada
dokter. Kalau perlu, akan dilakukan pemeriksaan penunjang, misalnya rontgen tulang belakang.
Pada ibu yang melahirkan normal, kondisi ini tidak terjadi. Empat puluh hari bahkan enam jam
setelah bersalin, ibu bisa langsung beraktivitas normal.
2. Nyeri Di Bekas Sayatan
Pascaoperasi, saat efek anestesi hilang, nyeri di bekas sayatan bedah akan terasa.
3. Rasa Kebal Di Bekas Sayatan
54

Keluhan lain sehabis operasi sesar adalah rasa kebal di bagian atas bekas sayatan operasi. Ini
wajar karena saraf di daerah tersebut boleh jadi ada yang terputus akibat sayatan saat
operasi.Butuh kira-kira 6-12 bulan, sampai serabut saraf tersebut menyambung kembali.Pada
persalinan normal, putus saraf di perut dipastikan tidak ada.
4. Nyeri Di Bekas Jahitan
Keluhan ini sebetulnya wajar karena tubuh tengah mengalami luka, dan penyembuhannya
tidak bisa sempurna 100%.Apalagi jika luka tersebut tergolong panjang dan dalam.Dalam
operasi sesar ada 7 lapisan perut yang harus disayat. Sementara saat proses penutupan luka, 7
lapisan tersebut dijahit satu demi satu menggunakan beberapa macam benang jahit. Dalam
proses penyembuhan tak bisa dihindari terjadinya pembentukan jaringan parut. Jaringan parut
inilah yang dapat menyebabkan nyeri saat melakukan aktivitas tertentu, terlebih aktivitas yang
berlebihan atau aktivitas yang memberi penekanan di bagian tersebut.Pada persalinan normal,
walau ada jahitan pada vagina (ini juga tidak pada semua ibu), tapi efeknya tidak akan seperti
kondisi ibu disesar. Ibu yang bersalin normal biasanya tidak akan mengeluhkan apa-apa pada
jahitan tersebut.
5. Mual Muntah
Rasa mual-muntah yang umumnya timbul akibat sisa-sisa anestesi pada diri ibu.Efek seperti
ini, tidak ditemukan pada ibu bersalin normal.Yang ibu rasakan hanyalah perasaan letih, lapar,
dan haus.
6. Muncul Keloid Di Bekas Jahitan
Selama masa penyembuhan luka operasi, banyak ibu yang gundah karena perutnya tak lagi
mulus.Apalagi jika di bekas jahitan muncul benjolan memanjang yang disebut keloid.Munculnya
keloid pada bekas sayatan operasi sesar biasanya disebabkan oleh paparan cairan ketuban yang
mengandung faktor pertumbuhan sel, jenis benang jahit yang dipakai, teknik menjahit, serta
bakat seseorang dalam reaksi jaringan.Pada ibu yang bersalin normal, mendambakan perut yang
tetap mulus seperti saat gadis bukanlah masalah berarti.
7. Gatal Di Bekas Jahitan
Rasa gatal di bekas jahitan sangat mengganggu dan mendorong ibu untuk menggaruknya.
Sedihnya, tidak disarankan bagi ibu untuk menggaruk karena dikhawatirkan jahitan akan terbuka
dan menimbulkan dampak lebih parah. Rasa gatal bisa timbul akibat adanya infeksi pada daerah
luka operasi seperti infeksi jamur atau karena reaksi penyembuhan luka yang berlebihan.
55

Bila penyebabnya infeksi biasanya akan tampak tanda radang di daerah jahitan (ditandai
dengan kulit yang berwarna kemerahan, ada luka, ada cairan yang keluar, terasa panas, dan
terasa nyeri bila ditekan). Berbeda bila disebabkan reaksi kulit yang berlebihan; kulit di daerah
jahitan menebal dan mengeras serta menonjol dibanding permukaan kulit lainnya.Inilah yang
disebut keloid.Ibu bersalin normal tidak merasakan hal ini karena tidak ada luka sayatan di
daerah perut.
8. Infeksi
Ibu yang melahirkan secara sesar harus menjaga luka di perutnya agar jangan sampai
terkena air dan terinfeksi. Proses penyembuhan luka bekas sesar biasanya berlangsung 10 hari.
Bagi ibu yang bersalin normal, perawatan luka kemungkinan dilakukan di bibir vagina yang
diepisiotomi (digunting sedikit).

3.5.6. Prosedur tindakan SC
a. Izin Keluarga
Pihak rumah sakit memberikan surat yang harus ditanda tangani oleh keluarga, yang isinya
izin pelaksanaan operasi.
b. Pembiusan
Pembiusan dilkakukan dengan bius epidural atau spinal. Dengan cara ini ibu akan tetap
sadar tetapi ibu tidak dapat melihat proses operasi karena terhalang tirai.
c. Disterilkan
Bagian perut yang akan dibedah, disterilkan sehingga diharapkan tidak ada bakteri yang
masuk selama operasi.
d. Pemasangan Alat
Alat-alat pendukung seperti infus dan kateter dipasangkan. macam peralatan yang dipasang
disesuaikan dengan kondisi ibu.
e. Pembedahan
Setelah semua siap, dokter akan melakukan sayatan demi sayatan sampai mencapai rahim
dan kemudian selaput ketuban dipecahkan. Selanjutnya dokter akan mengangkat bayi
berdasarkan letaknya.
f. Mengambil Plasenta
Setelah bayi lahir, selanjutnya dokter akan mengambil plasenta.
56

g. Menjahit
Langkah terakhir adalah menjahit sayatan selapis demi selapis sehingga tetutup semua.
BAB IV
PEMBAHASAN
1. Sistem rujukan
Ny. J usia 40 tahun merupakan rujukan dari puskesmas Minas, pasien dirujuk
denganPEB. Rujukan ini termasuk dalam rujukan tepat waktu.Untuk ibu dengan adanya gawat
darurat obstetri pada kelompok FR III AGDO berupa PEB.Rujukan tepat waktu ini
dibutuhkan dalam penyelamatan ibu dan janin yang bersifat antisimpatif dan proaktif.Pada
pasien ini rujukan tersebut sudah tepat, karena pasien dirujuk tepat waktu.

2. Diagnosis
Pada pasien ini dari anamnesis didapatkan adanya keluhan nyeri pinggang menjalar ke
ari-ari sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Dan didapatkan HPHT pasien pada tanggal
HPHT 16 September 2013 dengan siklus haid yang teratur.Pada pasien tidak didapatkan
adanya riwayat hipertensi sebelum hamil.Pada pasien didapatkan riwayat obstetri kehamilan 2
kali, melahirkan 1 kali dengan anak pertama hidup, tanpa ada keguguran.Pada pemeriksaan
fisik pada pasien ini dilakukan pemeriksaan fisik umum, pemeriksaan abdomen dan
genitalia.Pada pemeriksaan fisik umum didapatkan status generalis dan tanda vital dalam
batas normal, pada pemeriksaan abdomen didapatkan satu janin dengan letak memanjang
presentasi kepala. Pada pemeriksaan genitalia eksterna didapatkan vulva dan uretra tenang,
lendir dan darah (-), cairan ketuban (-), edema (-), flour (-).
Di IGD pasien didiagnosis G2P1A0H1 gravid 38-39 minggu inpartu kala 1 fase aktif,
PEB, krisis hipertensi, janin hidup tunggal intra uterin letak memanjang presentasi
kepala.Penulisan status paritas yaitu G3P2A0H2 sudah tepat karena telah sesuai dengan
kaidah penulisan status obstetri.
Pada pasien didapatkan haid terakhir pada HPHT 16 September 2013, TP 23 Juni 2014,
maka diperkirakan usia kehamilan pasien saat datang ke VK IGD RSUD AA pada tanggal 14
Juni 2014 adalah 38-39 minggu. Pemeriksaan lain yang dapat menentukan usia gestasi pada
pasien yaitu pemeriksaan USG, pada pasien ini pemeriksaan USG tidak dilakukan di RSUD
Arifin Ahmad.
57

Pasien didiagnosis preeklamsi berat karena dari anamnesis didapatkan adanya riwayat
tekanan darah yang tinggi dan proteinuria positif dari puskesmas yang merujuk.Dari
pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah yaitu 220/110.Dari pemeriksaan penunjang
laboratorium didapatkan adanya proteinuria +2. Dari pemeriksan penunjang urin bakar
didapatkan proteinuria +3.
Penulisan krisis hipertensi belum tepat karena krisis hipertensi ditandai dengan adanya
peningkatan tekanan darah yang sangat tinggi (>180/110 mmHg) dengan kemungkinan akan
timbulnya atau telah terjadi kelainan organ target. Pada pasien didapatkan tekanan darah
210/110 mmHg, tetapi dari anamnesis belum menunjukkan gejala organ target yang terganggu
seperti sesak nafas, pandangan kabur, serta nyeri kepala hebat.

3. Penatalaksanaan medikamentosa
Secara umum penanganan pasien preeklamsia berat yaitu dengan pemberian regimen
MgSO4 yaitu dengan cara 15 menit pertama diberikan loading dose sebanyak 4 gram MgSO4
yang dilarutkan dalam larutan RL. Kemudian dilanjutkan dengan pemberian cairan
maintenence sebanyak 1 gram MgSO4 dalam larutan RL selama 1 jam.
Pada pasien juga diberikan nifedipin 3x10 mg. Hal ini bertujuan untuk mengontrol
tekanan darah pada pasien.Pemberian nifedipin untuk menangani hipertensi berupa pemberian
nifedipin 10 mg dengan 3 kali pemberian sehari.Sesuai dengan prinsip menangani hipertensi
pada preeklamsia berat yaitu diberikan nifedipin 10 20 mg peroral, diulang setelah 30 menit,
maksimum 120 mg dalam 24 jam. Penurunan tekanan darah dilakukan secara bertahap, yaitu
penurunan awal 25 % dari tekanan sistolik dan target selanjutnya adalah menurunkan tekanan
darah < 160/105 mmHg atau MAP < 125.
Pada tanggal 15 Juni 2014 jam 07.00 post SC pasien diberikan furosemid 3x1 ampul.
Produksi urin pada pasien 50 cc/3 jam.Produksi urin normal yaitu 0,5-1 cc/kgBB/jam. Pada
pasien didapatkan produksi urin yang tidak normal, karena seharusnya dalam 3 jam produksi
urin normal sebesar 200 cc dengan berat badan pasien 67 kg.Pada pasien PEB terjadi
penurunan volume plasma antara 30-40% dibanding hamil normal.Sehingga aliran darah ke
ginjal menurun yang mengakibatkan produksi urin menurun (oligouria), bahkan dapat terjadi
anuria.Maka produksi urin yang berkurang pada pasien ini merupakan suatu kondisi yang
terjadi karena PEB yang dideritanya.
58

Indikasi furosemid bertujuan untuk mobilisasi cairan edema, gagal ginjal akut dan gagal
jantung dengan cara meningkatkan aliran darah ke ginjal yang meningkatkan laju aliran urin,
selain itu pemberian furosemid juga meningkatkan ekskresi K
+
, Ca
2+
, Mg
2+
. Pada pemeriksaan
fisik tidak ditemukan edema ekstremitas dan edema paru, sehingga pemberian furosemid
dalam kasus ini tidak sesuai dengan indikasi. Pemberian yang tidak sesuai indikasi dapat
menyebabkan gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit sampai menyebabkan terjadinya
alkalosis metabolik dan hipomagnesium, pada pasien dengan PEB, pemberian MgSO4
bertujuan untuk mencegah kejang dengan cara menggantikan ion Ca
2+
dengan Mg
2+
, hal ini
akan terhambat jika terjadi keadaan hipomagnesium. Sehingga regimen MgSO4 yang
diberikan pada kasus ini kurang bermanfaat akibat peningkatan pengeluaran Mg
2+
oleh
pemberian furosemid.

4. Tindakan ekstraksi vakum
Pada pasien dilakukan tindakan ekstraksi vakum, hal ini sudah tepat karena pada pasien
dengan preeklamsi, maka harus segera dilakukan percepatan kala dua dengan tindakan,
Ekstraksi vakum adalah suatu tindakan bantuan persalinan di mana janin dilahirkan dengan
ekstraksi menggunakan tekanan negatif (daya hampa udara) dengan alat vakum (negative-
presure vacum extractor) yang dipasang dikepalanya.
Pada pasien tindakan vakum yang telah dilakukan sudah memenuhi syarat untuk vakum
dimana janin aterm, presentasi kepala, pembukaan serviks sudah lengkap, kepala janin sudah
engaged, selaput ketuban sudah pecah.
Pada pasien terjadi kegagalan vakum dimana janin tidak lahir setelah 30 menit dilakukan
traksi.Tidak berhasilnya tindakan vakum pada pasien ini dapat disebabkan karena tenaga
vakum terlalu rendah, tekanan negatif dibuat terlalu cepat, sehingga tidak terbentuk kaput
suksedaneum yang sempurna yang mengisi seluruh mangkuk, selaput ketuban melekat antara
kulit kepala dan mangkuk sehingga mangkuk tidak mencengkam dengan baik, bagian-bagian
jalan lahir (vagina dan serviks) ada yang terjepit ke dalam mangkuk, kedua tangan kiri dan
tangan kanan penolong tidak berkerja sama dengan baik, traksi terlalu kuat, cacat pada alat,
misalnya kebocoran pada karet saluran penghubung, adanya disporposi sefalo-pelvik. Setiap
mangkuk lepas pada waktu traksi, harus diteliti satu persatu kemungkinan-kemungkinan
diatas dan diusahakan melakukan koreksi.
59



5. Sectio Caessaria
Tindakan sectio caessaria(SC)pada pasien ini sudah benar karena jika terjadi kegagalan
ekstraksi vakum, maka harus segera dilakukan tindakan untuk mempercepat kala II, dalam hal
ini dengan tindakan SC cito.Pada pasien ini didiagnosis gagal vakum karena telah dilakukan
ekstraksi vakum selama 30 menit danjanin tidak lahir.
Pada pasien persiapan operasi berlangsung selama 1 jam. Hal ini dikarenakan persiapan
pre-operasi yang meliputi persiapan surat izin operasi, persetujuan keluarga, konsul anestesi,
dan bagian perinatologi. Persiapan dalam waktu satu jam seharusnya dapat lebih dipersingkat
untuk menjaga kondisi ibu dan janin.

6. KB : Tubektomi
Pada pasien dilakukan tubektomi pomeroy bilateral. Indikasi dilakukannya tubektomi
pada pasien ini adalah keadaan dengan risiko kehamilan yang meningkat dengan usia>35
tahun. Pada kasus ini pasien berusia 40 tahun dengan jumlah anak hidup 2 dan dengan riwayat
persalinan anak pertama berupa kala II memanjang, anak kedua kehamilan dengan PEB,
dikhawatirkan kehamilan berikutnya akan menimbulkan risiko kesehatan yang lebih serius.
Sehingga dampak fisik dan psikis kehamilan dapat lebih berat pada kehamilan selanjutnya.

7. Ruptur vesika urinaria
Pada pasien ini terjadi ruptur vesika urinaria yang dapat disebabkan oleh kompliksasi dari
terminasi kehamilan pada pasien. Menurut literatur dikatakan bahwa SC dapat menyebabkan
terlukanya organ lain seperti rektum, kandung kemih, infeksi pada organ rahim atau kandung
kencing. Komplikasi terjadinya ruptur vesika urinaria meningkat pada pasien ini karena
adanya faktor risiko berupa tindakan SC cito, dan SC yang dilakukan pada kala II. Adanya
ruptur vesica urinaria pada pasien ini didukung oleh gejala-gejala yang dialami oleh pasien
yaitu berupa hematuria, oliguria, acute abdomen, dan dari hasil laporan operasi relaparatomi
pada tanggal 15 Juni 2014 jam 15.15-18.15 didapatkan plika vesiko-uterina edema dan
hematom dengan ukuran 5x5x5 cm
3
dan laserasi buli dengan ukuran 3 cm.

60



8. Indikasi pemasangan NGT
Pemasangan NGT bertujuan untuk dekompresi lambung yang berfungsi untuk
mengeluarkan sekresi saluran cerna dan udara yang tertelan pada pasien-pasien dengan
obstruksi usus halus.Pada pasien ini sudah sesuai dengan indikasi pemasangan NGT.Hasil
cairan yang keluar dari selang NGT berupa cairan kental berwarna kehijauan. Hal ini
merupakan akibat adanya obstruksi saluran cerna yang menyebabkan tertahannya produk
pencernaan yang bercampur dengan asam lambung, sehingga akan membentuk cairan yang
berwarna kehijauan.

9. Hb Post operasi
Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan Hb pre operasi 11,4 g/dl. Setelah
tindakan operasi SC dan tubektomi dilakukan, didapatkan hasil Hb 6,4 g/dl. Penurunan Hb ini
dikarenakan terjadinya perdarahan yang berasal dari perdarahan durante operasi 400 cc dan
perdarahan yang diketahui setelah dilakukannya relaparatomi yang berasal dari laserasi buli,
dari laporan operasi relaparatomi didapatkan perdarahan 100 cc setelah peritoneum dibuka
dan bekuan darah yang keluar setelah segmen bawah rahim dibuka.
Produksi urin post operasi 100 cc berwarna kemerahan. Penyebab kemerahan pada urin
bisa disebabkan oleh darah dalam urin dan bisa disebabkan oleh obat-obatan. Darah di dalam
urin dapat disebabkan oleh banyak hal antara lain, infeksi kandung kemih, infeksi ginjal, batu
ginjal, batu saluran ginjal, batu kandung kemih, kanker pada ginjal dan kandung kemih.
Sedangkan obat-obatan yang dapat menyebabkan kemerahan pada urin adalah obat pencahar,
fenolftalein, rifampisin thorazine dan vitamin B. Pada pasien ini tidak ada riwayat pemakaian
obat-obatan seperti diatas dan dari pemeriksaan fisik tidak ada tanda-tanda gangguan ginjal,
namun dari hasil laporan operasi relaparatomi didapatkan adanya laserasi buli sehingga
kemerahan pada urin pasien ini disebabkan karena adanya darah di dalam urin atau hematuria.

10. Sepsis
Penegakan diagnosis sepsis pada pasien ini didasarkan temuan klinis dan laboratorium
pada pasien berupa kesadaran delirium dengan GCS E4M5V4, nadi = 120x/i, nafas =24x/i,
61

WBC 23.800/ul, glukosa 157 mg/dl, kreatinin 1,99 mg/dl. Hal ini telah memenuhi penegakan
diagnosis berdasarkan kriteria sepsis berupa nadi >90 kali per menit, takipneu, terjadinya
perubahan status mental, hiperglikemia >140 mg/dl tanpa adanya riwayat diabetes,
leukositosis (>12.000 L) dan peningkatan kreatinin (>0,5mg/dl).
Sepsis yang terjadi pada pasien ini dikarenakan kontaminasi urin pada rongga peritoneal
yang dikarenakan adanya laserasi buli.Kontaminasi urin pada rongga peritoneal tidak
diketahui dengan segera, hal ini membuat peningkatan risiko terbentuknya fokal infeksi pada
rongga peritoneal.
Pemberian antiobiotik 3 regimen pada pasien dilakukan untuk mengatasi adanya infeksi
yang dialami pasien.Dimana berdasarkan hasil pemeriksaan fisik dan penunjang yang
dilakukan pada pasien didapatkan adanya kriteria yang menunjukkan terjadinya infeksi.
Pemberian 3 regimen pada pasien dilakukan karena belum adanya hasil pemeriksaan kultur
dan resistensi. Sebelum hasil kultur dan resistensi keluar, pasien diberikan terapi empirik yang
efektif untuk melawan gram positif dan negatif berupa antibiotik spektrum luas yang
disesuaikan dengan patogen yang biasanya terdapat di tempat pasien di rawat. Hal ini sesuai
dengan penatalaksanaan umum pada pasien sepsis tanpa didukung adanya hasil kultur dan
resistensi. Namun setelah hasil kultur dan resistensi keluar, penatalaksanaan pada pasien harus
disesuaikan dengan hasil tersebut.Pada pasien dengan sepsis memerlukan terapi regimen yang
agresif yaitu gabungan antibiotik dengan vasopressor untuk mempertahankan volume plasma
yang adekuat.

11. Penyebab kematian
Kematian pada pasien dapat dipikirkan akibat adanya perburukan kondisi pasien yang
mengalami syok septik yang dapat berakibat buruk pada organ vital.Tanda syok septik pada
pasien didapatkan berupa penurunan tekanan darah 73/33 mmHg, peningkatan suhu tubuh
39,5
0
C, peningkatan kadar leukosit 18.100/ul. Pada jantung dapat mengakibatkan kegagalan
jantung dalam memompa darah sehingga organ-organ tubuh terutama organ vital dapat
kekurangan oksigen yang menyebabkan kematian sel. Sedangkan pada paru dapat terjadi
kegagalan dalam merespon kekurangan oksigen yang mengakibatkan berkurangnya oksigen
dalam tubuh.Kekurangan nutrisi pada otak dapat mengakibatkan kematian sel-sel otak yang
62

dapat menyebabkan perubahan status mental sampai kematian.Angka kematian syok septik
adalah 72% dan 50% diantaranya meninggal bila syok terjadi dalam waktu lebih dari 72 jam.

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1. Sistem rujukan sudah tepat, ibu dirujuk tepat waktu
2. Diagnosa dengan krisis hipertensi belum tepat karena krisis hipertensi ditandai dengan
adanya peningkatan tekanan darah yang sangat tinggi (>180/110 mmHg) dengan
kemungkinan akan timbulnya atau telah terjadi kelainan organ target.
3. Pemberian regimen MgSO4 sudah tepat, namun indikasi pemberian furosemid kurang tepat
4. Tindakan ekstraksi vakum sudah tepat sesuai dengan indikasi dan syarat vakum
5. Indikasi tindakan sectio caessaria sudah tepat
6. Tindakan tubektomi pada pasien sudah tepat
7. Ruptur vesika urinaria merupakan komplikasi dari tindakan sectio caessaria
8. Indikasi pemasangan NGT sudah tepat
9. Penurunan Hb post operasi terjadinya karena adanya perdarahan post SC dan perdarahan
karena ruptur vesika urinaria
10. Sepsis yang terjadinya merupakan komplikasi dari ruptur vesika urinaria
11. Penyebab kematian adanya perburukan kondisi pasien yang mengalami syok septik dan
multiple organ failure.

5.2 Saran
1. Pada pihak pelayanan kesehatan primer harus memahami system rujukan pelayanan
kesehatan ibu hamil dan mampu mendeteksi faktor-faktor risiko potensi keadaan gawat
darurat obstetri.
2. Tenaga medis harus lebih memahami cara menegakkan diagnosis pada pasien yang
didapatkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik.
3. Penatalaksanaan medikamentosa harus berdasarkan indikasi yang tepat agar efek samping
dan komplikasi yang mungkin ditimbulkan dapat dihindari.
63

4. Mengetahui indikasi, syarat, kontraindikasi dan komplikasi dari setiap tindakan (ekstraksi
vakum, sectiocaesarea, tubektomi dan pemasangan NGT)serta menyampaikan dengan
jelas ke pasien atau keluarganya harus dipenuhi oleh setiap tenaga medis.
5. Untuk
6. Persiapan tindakan terminasi kehamilan dapat lebih dipersingkat untuk menjaga kondisi
ibu dan janin.
7. Pada pasien penegakkan diagnosis sepsis seharusnya berdasarkan kriteria SIRS, sumber
infeksi dan kultur.
8. Kejadian infeksi post partum dapat dihindari dengan tindakan aseptic dan antisepsis yang
benar, memikirkan kemungkinan adanya komplikasi tindakan dan menjaga kesterilan alat-
alat yang digunakan. Baik pada percobaan partus pervaginam maupun pasien dengan
terminasi kehamilan perabdominal. Pada pasien yang memiliki resiko terjadinya infeksi
dapat diberikan antibiotik profilaksis

DAFTAR PUSTAKA
1. Wang Y, Alexander JS. Placental Pathophysiology in Preclampsia. Pathophysiology
2000; 6: 261-270.
2. Wibowo B., Rachimhadi T., 2006. Preeklampsia dan Eklampsia, dalam : Ilmu
Kebidanan. Edisi III. Jakarta. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, pp. 281-99
3. Andrea P, Mackay, Cynthia J, Hani K. Pregnancy-Related Mortality From
Preeclampsiaand Eclampsia. American college obstetry and gynecology. 2011
4. Cunningham F. G., 2005. Chapter 34. Hypertensive Disorders In Pregnancy. In Williams
Obstetri. 22nd Ed. New York :Medical Publishing Division, pp. 762-74
5. Cunningham F.G., 1995. Hipertensi dalam Kehamilan. Dalam Obstetri Williams. Edisi
18. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC, pp. 773-819
6. Surjadi, M.L. dkk, 1999, Perbandingan Rasio Ekskresi Kalsium/Kreatinin Dalam Urin
Antara Penderita Preeklamsia Dan Kehamilan Normal, Majalah Obstetri Dan
Ginekologi Indonesia, 23, 23-26.
7. Suyono, Y.J., 2002, Dasar-Dasar Obstetri & Ginekologi, edisi 6, Hipokrates, Jakarta
Tomasulo, P.J. & Lubetkin, D., (2006, March 15 Review date),
Preeclamsia, Available from:
http://www.obgyn.health.ivillage.com/pregnancybacics/preeclamsia.cmf
8. Wibowo B., Rachimhadi T., 2006. Preeklampsia dan Eklampsia, dalam : Ilmu
Kebidanan. Edisi III. Jakarta. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, pp. 281-99
9. Sudhaberata K., 2001. Profil Penderita Preeklampsia-Eklampsia di RSU Tarakan Kaltim.
64

10. Sunaryo R., 2008. Diagnosis dan Penatalaksanaan Preeklampsia-Eklampsia, in : Holistic
and Comprehensive Management Eclampsia. Surakarta : FK UNS, pp 14
11. Wibowo B., Rachimhadi T., 2006. Preeklampsia dan Eklampsia, dalam : Ilmu
Kebidanan. Edisi III. Jakarta. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, pp. 281-99
12. Rachma N., 2008. Eklampsia : Preventif dan Rehabilitasi Medik Pre dan post Partum, in
Holistic and Comprehensive Management Eclampsia. Surakarta : FK UNS, pp. 9
13. Prasetyorini, N, 2009. Penanganan Preeklampsia dan Eklampsia. Seminar POGI Cabang
Malang. Divisi Kedokteran Feto Maternal - FKUB/RSSA Malang
14. Saifudin AB, Rachimhadhi T, Wiknjosastro GH. 2010. Ilmu Kebidanan Sarwono
Prawirohardjo. Jakarta: PT.Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo
15. Muchtar R. 2011. Sinopsis Obstetri: Obstetri Fisiologi, Obstetri Patologi. Jakarta: EGC.
16. Pacarda M, Zeqiri F, Hoxha S, Dervishi Z, Kongjeli N, Qavdarbasha H, et al. Impact of
parity and intrauterine fetal condition during vacuum extraction. Med arh [Internet] 2010
[cited 2010 Oct 5]; 64(3):175 .Available from : Scopemed.
17. Cunningham G.F., Gant F.N., Levono J.K., Gilstrap III, C. Larry, Hayth C.J.,Wesnstrom
D.K. 2006. Obstetri Williams. Vol.1 Edisi 21. Jakarta: EGC.
18. Rusydi S.D. Tindakan Ekstraksi Vakum dan Forsep di Departemen Obstetri dan
Ginekologi di RS Dr. Mohammad Hoesin Palembang selama 5 tahun (periode Agustus
1999Juli 2004). Jurnal Kedokteran dan Kesehatan [Internet]. 2005 [cited 2011 Oct 5].
Available from: Jurnal Kedokteran dan Kesehatan.
19. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Jaminan persalinan upaya terobosan
kementerian kesehatan dalam percepatan pencapaian target MDGs[Internet]. 2011 [cited
2011 Oct 5]. Available from :http://www.kesehatanibu.depkes.go.id/archives/99.
20. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.Pertolongan persalinan oleh tenaga
kesehatan efektif turunkan angka kematian ibu di Indonesia[ Internet ]. 2010 [cited 2011
Oct 5]. Available from: http://www.depkes.go.id/index.php/berita/pres-
release/1076_pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan efektif turunkan aki
diindonesia.html.
21. American Family Physican. Assisted vaginal delivery using the vacuum extractor
[Internet]. 2000 [cited 2011 Oct 30]. Available from:
http://www.aafp.org/afp/2000/0915/p1316.html.
22. Angsar D.M. 2010. Ilmu Bedah Kebidanan: Ekstraksi Vakum dan Forsep. Jakarta: PT
Bina Pustaka.
23. Purnomo, BP. Dasar-dasar Urologi: Trauma Urogenitalia. Edisi Kedua. Jakarta.
CVSagung Seto. Hal 93-104.
24. Philip D, Mitchell M, Surviving sepsis campaign: International guidelines for
management of severe sepsis and septic shock. Cooper University Hospital. New Jersey.
2012
25. Sjamsuhidajat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi ke dua. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
65

26. Prayogo Budy Wirantono, Prasetyo Budi. Hubungan antara Faktor Resiko Sepsis Obstetri
dengan Kejadian Sepsis Berat dan Syok. Artikel Obstetri dan Ginekologi.
27. Departemen Obstetri dan ginekologi dan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Universitas
Airlangga. Surabaya. 2011.
28. Angus Derek C, Van der poll Tom. Severe Sepsis and Septic Shock. Critical care
Medicine. Article. 2013.

Vous aimerez peut-être aussi