Vous êtes sur la page 1sur 104

PUBLIC-PRIVATE PARTNERSHIP (PPP) IN MANAGING HISTORICAL URBAN PRECINCTS Workshop, May 6-8, 2013

1







PUBLIC-PRIVATE PARTNERSHIP (PPP) IN
MANAGING HISTORICAL URBAN PRECINCTS
Jakarta, May 6-8, 2013
Workshop Report

Date August 30, 2013

PUBLIC-PRIVATE PARTNERSHIP (PPP) IN
MANAGING HISTORICAL URBAN PRECINCTS
Jakarta, May 6-8, 2013
Workshop Report

PUBLIC-PRIVATE PARTNERSHIP (PPP) IN MANAGING HISTORICAL URBAN PRECINCTS Workshop, May 6-8, 2013

2


PUBLIC-PRIVATE PARTNERSHIP (PPP) IN MANAGING HISTORICAL URBAN PRECINCTS Workshop, May 6-8, 2013

3

Colophon
Organizations Indonesian Heritage Trust (BPPI)
Directorate General of Spatial Planning,
Ministry of Public Work (PU), Indonesia
Cultural Heritage Agency (RCE),Ministry of
Education, Culture and Science, the Netherlands
Project name Workshop Public-Private Partnership (PPP)
in Managing Historical Urban Precincts
Version number 1.0
Project managers
Contact P. (Punto) Wijayanto
punto.wijayanto@gmail.com
P.J. (Peter) Timmer
p.timmer@cultureelerfgoed.nl
Appendix

Authors H. Tarekat, Indonesian Heritage Trust (BPPI)
P. Wijayanto, Indonesian Heritage Trust (BPPI)
P.J. Timmer, Cultural Heritage Agency (RCE)

Distribution list







PUBLIC-PRIVATE PARTNERSHIP (PPP) IN MANAGING HISTORICAL URBAN PRECINCTS Workshop, May 6-8, 2013

4


PUBLIC-PRIVATE PARTNERSHIP (PPP) IN MANAGING HISTORICAL URBAN PRECINCTS Workshop, May 6-8, 2013

5


Table of Contents



Colophon 3

EXECUTIVE SUMMARY / 7
RINGKASAN EKSEKUTIF

1. INTRODUCTION 13

2. OBJECTIVE 15
2.1 Context 15
2.2 Main objective 15
2.3 Organization 16

3. PROCEEDINGS 18
3.1 Preparations 18
3.2 Workshop material 19
3.3 Workshop activities 20
3.4 Related events 22

4. OUTCOMES 25
4.1 Favourable conditions 25
4.2 PPP opportunities 26
4.3 Follow up feasibility 27
4.4 Additional requests 27

5. CONCLUSIONS 29

Appendix
1. Workshop Schedule
2. Paper contributed to the workshop,
by Peter Timmer
3. Paper contributed to the workshop,
by Amiluhur Soeroso
4. Paper contributed to the workshop,
by Punto Wijayanto
5. List of participants

PUBLIC-PRIVATE PARTNERSHIP (PPP) IN MANAGING HISTORICAL URBAN PRECINCTS Workshop, May 6-8, 2013

6


PUBLIC-PRIVATE PARTNERSHIP (PPP) IN MANAGING HISTORICAL URBAN PRECINCTS Workshop, May 6-8, 2013

7

EXECUTIVE SUMMARY

Management and Conservation of
Heritage Cities Program

On October 25, 2008, the Indonesian
Heritage Cities Network or JKPI (Jaringan
Kota Pusaka Indonesia) was formed in
Surakarta by 12 mayors, initiated by Joko
Widodo, at the time Mayor of Surakarta (now
Governor of DKI Jakarta). Members of JKPI
are governments, represented by their mayor
or regent. The aims of the organization are,
among others, to develop cooperation among
cities with cultural and natural heritage and
to encourage mutual cooperation to preserve
heritage with other stakeholders.

Currently, JKPI consists of 48 member cities
and more are expected to join. This new
organization, JKPI, cooperates with the
Indonesian Heritage Trust or BPPI, a non-
profit organization who has been working
much earlier in developing strategies and
policies for urban heritage development. The
idea to develop heritage cities management
was taken up by the Directorate General of
Spatial Planning, Ministry of Public Work
(MoPW), Since 2012, MoPW and BPPI are
taking the initiative to improve the
institutional capacity to manage urban
heritage through a program, namely Program
Penataan dan Pelestarian Kota Pusaka (P3KP)
(Management and Conservation of Heritage
Cities Program).

In the early stages, there were 28 cities and
regencies that showed their interests to
participate in the program and after some
selection process 10 cities/regencies were
selected to be pilot projects, that are Banda
Aceh, Sawahlunto, Palembang, Bogor,
Semarang, Yogyakarta, Banjarmasin,
Baubau, Denpasar and Karangasem.

Workshop Public-Private
Partnership

MoPW and BPPI agreed that one of the
important issues in developing heritage cities
is to find financial resources. To address this
RINGKASAN EKSEKUTIF

Program Penataan dan
Pelestarian Kota Pusaka

Pada 25 Oktober 2008, terbentuklah Jaringan
Kota Pusaka Indonesia (JKPI) di Surakarta.
Pendiri organisasi ini adalah 12 walikota,
diprakarsai oleh Joko Widodo, Walikota
Surakarta (sekarang Gubernur DKI Jakarta).
Anggota JKPI adalah pemerintah yang
diwakili oleh walikota atau bupati. Tujuan
organisasi ini, antara lain, untuk
mengembangkan kerjasama antar kota yang
memiliki aset pusaka budaya dan alam serta
meningkatkan kerjasama para pemangku
kepentingan dalam melestarikan pusakanya.

Saat ini anggota JKPI terdiri dari 48 kota dan
lebih banyak yang diharapkan untuk
bergabung. JKPI, bekerja sama dengan BPPI,
organisasi non-profit yang telah jauh lebih
dulu bergerak dalam mengembangkan
strategi dan kebijakan pelestarian dan
pengelolaan pusaka. Gagasan
mengembangkan pengelolaan pusaka
ditindaklanjuti oleh Direktorat Jenderal
Penataan Ruang, Kementerian Pekerjaan
Umum (PU). Sejak 2012, PU dan BPPI
berinisiatif untuk meningkatkan kapasitas
kelembagaan pemerintah daerah dalam
mengelola aset pusaka melalui Program
Penataan Dan Pelestarian Pusaka Kota
(P3KP).

Ada 28 kota dan kabupaten yang
berpartisipasi dalam program ini. Pada tahap
awal, 10 kota/kabupaten menjadi proyek
percontohan, yaitu Kota Banda Aceh,
Sawahlunto, Palembang, Bogor, Semarang,
Yogyakarta, Banjarmasin, Baubau, Denpasar
dan Kabupaten Karangasem.

Workshop Public-Private
Partnership (Kemitraan Publik
dan Swasta)

PU dan BPPI sepakat bahwa salah satu isu
penting dalam pengembangan kota pusaka
adalah menemukan sumber daya
pembiayaan. Untuk mengatasi masalah ini
PUBLIC-PRIVATE PARTNERSHIP (PPP) IN MANAGING HISTORICAL URBAN PRECINCTS Workshop, May 6-8, 2013

8

issue a workshop about Public-Private
Partnership (PPP) was organized in
cooperation with the Cultural Heritage Agency
(RCE), Ministry of Education, Culture and
Science of the Netherlands. This workshop
was held in Jakarta, Indonesia, 6-8 May 2013
and attended by 9 cities/regencies as active
participants and 9 cities/regencies as
observers. The content of the workshop
focussed on experiences and lessons learned
from the Netherlands and USA and
application in the Indonesian context.

The 'stadsherstel' approach from the
Netherlands was highlighted due to its
success in safeguarding Dutch built heritage.
This approach started in the 1950s by a
number of people from the private sector
when many buildings in old cities and villages
were in a state of decay. Stadsherstel
organizations purchase, restore and lessee
heritage buildings. Later, other approaches
were also introduced such as Park Strijp
Beheer B.V. in Eindhoven and Village
Development Company in Dongeradeel.

Methods of the workshop were exchanging
experiences and knowledge in classrooms
and continued by exercises that required
every city to present a heritage city
management plan. At the end of the
workshop, the resource persons and the
participants identified challenges and needs
of every heritage city management plan that
will be followed-up together. Resource
persons were:

Donovan Rypkema, President of
Heritage Strategies International,
Washington DC, USA.
Peter Timmer from the Cultural
Heritage Agency (RCE), Ministry of
Education, Culture and Science of the
Netherlands.
Amiluhur Soeroso, economics &
heritage expert, Indonesian Heritage
Trust.
Punto Wijayanto, heritage planning
expert, Indonesian Heritage Trust.

Punto Wijayanto visited the Netherlands, 2-8

sebuah lokakarya tentang Public-Private
Partnership (PPP) diselenggarakan
bekerjasama dengan the Cultural Heritage
Agency (RCE), Kementerian Pendidikan,
Kebudayaan dan Ilmu Pengetahuan Kerajaan
Belanda. Workshop ini diselenggarakan di
Jakarta, Indonesia, pada tanggal 6-8 Mei
2013 dan dihadiri oleh 9 kota/kabupaten
sebagai peserta aktif dan 9 kota/kabupaten
sebagai pengamat.Materi workshop adalah
pengalaman dan pelajaran dari Belanda dan
Amerika Serikat dengan tetap memberi
konteks Indonesia.

Dalam workshop ini, pendekatan
'stadsherstel' dari Belanda disorot karena
keberhasilannya dalam menjaga aset Pusaka
di Belanda. Pendekatan ini dimulai pada
tahun 1950 oleh sejumlah orang dari sektor
swasta ketika banyak bangunan di kota dan
desa-desa dalam keadaan terbengkalai.
Organisasi stadsherstel membeli,
memulihkan dan menyewakan bangunan
pusaka. Pendekatan lain juga diperkenalkan
dalan workshop ini seperti Park Strijp Beheer
BV di Eindhoven dan Village Development
Company di Dongeradeel.

Metode workshop yang dipakai adalah
bertukar pengalaman dan pengetahuan di
kelas dan dilanjutkan dengan latihan. Tiap
kota diminta mempresentasikan rencana
pengelolaan kota pusaka. Pada akhir
workshop, narasumber dan peserta
mengidentifikasi tantangan dan kebutuhan
rencana pengelolaan yang disusun oleh tiap
kota yang akan ditindaklanjuti bersama-
sama. Narasumber adalah:

Donovan Rypkema, Presiden
International Heritage Strategy,
Washington DC, Amerika Serikat.
Peter Timmer, Cultural Heritage
Agency (RCE), Kementerian
Pendidikan, Kebudayaan dan Ilmu
Pengetahuan Kerajaan Belanda.
Amiluhur Soeroso, ahli ekonom dan
pusaka, Badan Pelestarian Pusaka
Indonesia.
Punto Wijayanto, ahli perencanaan
pusaka, Badan Pelestarian Pusaka
Indonesia.
PUBLIC-PRIVATE PARTNERSHIP (PPP) IN MANAGING HISTORICAL URBAN PRECINCTS Workshop, May 6-8, 2013

9

March 2013 invited by the RCE, to have an
orientation program about PPP practices in
the Netherlands and expected to disseminate
his experience with the workshop's
participants.

Workshop Result

The workshop has laid a know-how
foundation about PPP practices in other
countries as input and inspiration for heritage
cities in Indonesia. MoPW and BPPI will be
the driving forces to encourage the
participating cities to implement PPP. The
heritage city management plans that were
presented during the workshop are a start for
further elaboration.

General points of attention identified during
the discussion and evaluation regarding
feasible PPP management in Indonesia are:

Directorate General of Spatial
Planning and Urban Development is
ready to work closely with Indonesian
Heritage Trust and RCE to develop a
comprehensive long-term program.
Evaluations of policies in Indonesia
that obstruct implementation of PPP
Heritage, such as a policy that
doesn't allow a private sector to
invest in monumental buildings or a
conservation program.
Preparing strategies to implement
some if not all heritage city
management plans presented during
the workshop.
Dissemination and documentation of
PPP Heritage know-how in general, by
publishing a publication.

Furthermore specific topics per city were
identified:

1. Banda Aceh would like to develop
Gampong Pande area and needs more
knowledge and experience on how to do so.
2. Palembang & Banjarmasin would need
approaches for river- and seaside urban
development.
3. Sawahlunto aims on adaptive reuse of
industrial heritage and would need
Khususnya Punto Wijayanto mengunjungi
Belanda pada 2-8 Maret 2013 dengan
undangan the Cultural Heritage Agency (RCE)
untuk menjalani program orientasi tentang
praktek PPP di Belanda. Ia diharapkan dapat
membagi pengalaman dengan peserta
workshop lainnya.

Hasil Workshop

Lokakarya ini meletakkan dasar pengetahuan
tentang praktek PPP di negara lain sebagai
masukan dan inspirasi bagi kota-kota pusaka
Indonesia. PU dan BPPI menjadi motor yang
mendorong kota-kota tersebut untuk
melaksanakan PPP. Rencana pengelolaan
kota pusaka yang disajikan selama lokakarya
akan menjadi awal untuk dikembangkan lebih
lanjut.

Hasil diskusi dan evaluasi untuk mengkaji
kemungkinan dilaksanakannya PPP di
Indonesia yang perlu diperhatikan sebagai
berikut:

Pemetaan posisi PPP pusaka dalam
Program Penataan dan Pelestarian
Kota. Direktorat Jenderal Penataan
Ruang siap untuk bekerja sama
dengan BPPI untuk mengembangkan
program jangka panjang yang
komprehensif.
Evaluasi kebijakan di Indonesia yang
tidak mendukung pelaksanaan PPP
pusaka, seperti kebijakan yang tidak
memungkinkan sektor swasta untuk
berinvestasi dalam program
pelestarian bangunan-bangunan
monumental.
Menyiapkan strategi untuk
mengimplementasikan beberapa -jika
tidak mungkin semua- rencana
pengelolaan kota pusaka yang
didiskusikan selama workshop.
Diseminasi dan dokumentasi
pengetahuan PPP pusaka, dengan
menerbitkan publikasi.

Ada konteks tertentu untuk setiap kota yang
perlu ditangani, seperti:


PUBLIC-PRIVATE PARTNERSHIP (PPP) IN MANAGING HISTORICAL URBAN PRECINCTS Workshop, May 6-8, 2013

10

approaches to develop collaborative
programs with state-company (PT Bukit
Asam).
4. Bogor needs an approach for its informal
sector in Surya Kencana area and would like
to learn more from Quito in Ecuador where
the local government and local ventures
closely cooperate.
5. Yogyakarta aims to preserve several
heritage buildings and requested more
information about the Revolving Fund
Principle by National Restoration Fund, the
Netherlands.
6. Semarang needs an approach to
rehabilitate and develop its old city centre
especially by a PPP approach and a
supporting urban strategy.
7. Banjarmasin is also interested in more
information about WIHCC (Water in Historic
City Centre) project in Breda, the
Netherlands.
8. Baubau presented a project of Benteng
Wolio and needs to approach a private
investor and could consider a community-
based approach in heritage preservation.
9. Karangasem would like to develop its
natural heritage through the traditional water
management (irrigation) system called
'Subak' and needs more knowledge and
experience about it.

Pilot Projects

It is better to start with a small group of pilot
projects, in such a way successful projects
can be a reference for other PPP projects.
Sawahluntos proposal has much potential for
implementing PPP (stadsherstel or integrated
approach). Semarang provides opportunities
for implementing a stadsherstel model. The
city could start with a small initial PPP
project, but to succeed on an urban scale a
supporting urban strategy is evident. When it
comes to a community-based approach,
together with stadsherstel elements, Baubau
offers opportunities. Palembang and
Yogyakarta could be suitable for a
stadsherstel and integrated approach. This
should start with preparing a vision and
redevelopment plan. When these are already
available an implementation strategy should
be added.
1. Banda Aceh ingin mengembangkan
Kawasan Gampong Pande dan membutuhkan
lebih banyak pengetahuan dan pengalaman
bagaimana melakukannya.
2. Palembang dan Banjarmasin akan
membutuhkan pendekatan yang berkaitan
dengan pembangunan kawasan sekitar
sungai dan tepian laut.
3. Sawahlunto hendak mengembangkan
pusaka industri dengan cara olah desain dan
membutuhkan pendekatan untuk
mengembangkan program kolaboratif dengan
perusahaan BUMN (PT Bukit Asam).
4. Bogor membutuhkan pendekatan untuk
sektor informal di Kawasan Surya Kencana
dan ingin belajar dari Quito, Ekuador di mana
pemerintah daerah dan usaha lokal dapat
bekerjasama.
5. Yogyakarta ingin melestarikan bangunan
pusaka dan meminta informasi lebih lanjut
tentang Prinsip Dana Bergulir yang
dikembangkan National Restoration Fund,
Belanda.
6. Semarang memerlukan pendekatan untuk
merehabilitasi dan mengembangkan pusat
kota lama terutama dengan pendekatan PPP
dan strategi perkotaan pendukung.
7. Banjarmasin tertarik pada informasi
tentang proyek WIHCC (Water in Historic
Centre) di Breda, Belanda.
8. Baubau menyajikan proyek Benteng Wolio
dan perlu mendekati investor swasta dan
dapat mempertimbangkan pendekatan
berbasis masyarakat dalam pelestarian.
9. Karangasem ingin mengembangkan
pusaka alam melalui pengelolaan sistem
pengairan secara tradisional yang disebut
'Subak' dan membutuhkan lebih banyak
pengetahuan dan pengalaman.

Proyek Percontohan

Sebaiknya implementasi PPP pusaka dimulai
dengan proyek percontohan berskala kecil,
yang akan menjadi acuan untuk proyek-
proyek berikutnya. Proposal Sawahlunto
potensial untuk penerapan PPP (model
stadsherstel atau pendekatan terintegrasi).
Sementara, Semarang mempunyai potensi
untuk menerapkan model stadsherstel. Kota-
kota tersebut bisa mulai dengan proyek PPP
kecil. Untuk berhasil dalam skala perkotaan,
PUBLIC-PRIVATE PARTNERSHIP (PPP) IN MANAGING HISTORICAL URBAN PRECINCTS Workshop, May 6-8, 2013

11

Favourable Conditions

Although there is still much to do to get PPP
implemented in heritage conservation in
Indonesia, it became clear during the
workshop that favourable conditions are
present and provide unique possibilities. The
fact that Indonesian ministries work together
with 28 Indonesian municipalities and
heritage NGOs, PPP skills in Indonesian
infrastructure projects are present and the
Indonesian system of legal entities is
considerably feasible for PPP implementation
in heritage conservation, are all assets that
can contribute to its success. Undeniable it
will be a challenge to implement PPP in
heritage conservation and some exercises
could even fail. Unfavourable conditions need
to be overcome. Nevertheless, if
determination and long term focus can be
assured, Indonesia can set a striking example
in Asia and other countries in world.












perlu didukung dengan strategi perkotaan.
Untuk pendekatan berbasis masyarakat,
yang ditambahkan unsur-unsur stadsherstel,
dapat diterapkan pada Baubau. Usulan untuk
Palembang dan Yogyakarta cocok
menggunakan pendekatan stadsherstel dan
pendekatan terpadu. Tindak lanjutnya harus
dimulai dengan mempersiapkan visi dan
rencana pembangunan kembali. Saat sudah
tersedia, perlu ditambahkan strategi-strategi
implementasinya.

Kondisi yang Menguntungkan

Meskipun banyak yang harus dilakukan untuk
menerapkan PPP dalam pelestarian pusaka di
Indonesia, proses selama lokakarya
menunjukkan adanya kondisi yang
menguntungkan dan memberikan kekhasan
situasi di Indonesia. Fakta bahwa
kementerian Indonesia berinisiatif bekerja
sama dengan 28 kota Indonesia dan
organisasi pelestarian, keterampilan PPP
dalam proyek infrastruktur, dan perangkat
hukum di Indonesia yang layak untuk
pelaksanaan PPP, bisa berkontribusi untuk
keberhasilan implementasi PPP. Tak disangkal
lagi penerapaan PPP pusaka menjadi
tantangan dan selalu kemungkinan untuk
gagal. Kondisi yang kurang baik perlu diatasi.
Namun demikian, jika tekad dan fokus jangka
panjang dapat dipegang, Indonesia dapat
memberi contoh di Asia dan negara-negara
lain di dunia.

PUBLIC-PRIVATE PARTNERSHIP (PPP) IN MANAGING HISTORICAL URBAN PRECINCTS Workshop, May 6-8, 2013

12


PUBLIC-PRIVATE PARTNERSHIP (PPP) IN MANAGING HISTORICAL URBAN PRECINCTS Workshop, May 6-8, 2013

13


1. INTRODUCTION


The Indonesian Heritage Cities Network or
JKPI (Jaringan Kota Pusaka Indonesia)
consists of 48 member cities. Main objective
of the network is to develop cooperation
among Indonesian cities with cultural and
natural heritage and to encourage mutual
cooperation to conserve heritage with the
other stakeholders. In 2012, the Directorate
General of Spatial Planning of the Indonesian
Ministry of Public Work (MoPW) and the
Indonesian Heritage Trust (BPPI) started a
program to support JKPI. This program,
Management and Conservation of Heritage
Cities Program or P3KP (Program Penataan
dan Pelestarian Kota Pusaka) aims on
training of capacity building for involved local
authorities. To stimulate collaboration
between public and private stakeholders in
managing historical urban precincts, a
workshop about Public-Private Partnership
(PPP) was organized.

Public-Private Partnership (PPP) and heritage
conservation is a new challenge in Indonesia.
In 2012, Stadsherstel Amsterdam visited
Indonesia to explain more about their
concept of PPP. An Indonesian city that is
ready to implement the Stadsherstel
Amsterdam approach can follow up the plan
under guideline and supervision of
Stadsherstel Amsterdam.

The Netherlands Cultural Heritage Agency
(RCE) received an inquiry from MoPW to
cooperate in organizing the workshop of
Public-Private Partnership. The Netherlands
has a long history when it comes to PPP in
managing historical urban precincts and this
experience could be useful for possible
introduction in the Indonesian context. Based
on joined Indonesian-Dutch cooperation on
mutual heritage, the RCE accepted the
invitation by providing its experience in this
field.

The workshop was held between 6-8 May,
2013 in Jakarta. The RCE would like to
express its gratitude towards MoPW and BPPI
for the hospitality received during the
workshop and was very pleased to participate
in what turned out to a fruitful workshop and
hopefully the first steps for introducing PPP
and heritage conservation in Indonesia.

There are also some institutions in the
Netherlands that deserve gratitude for their
cooperation by sharing their valuable
knowledge and experiences with us during
the preparation phase of the workshop. They
are Stadsherstel Amsterdam, especially Paul
Morel (project manager), the Municipality of
Eindhoven and the Municipality of
Noordoostpolder (Nagele).

PUBLIC-PRIVATE PARTNERSHIP (PPP) IN MANAGING HISTORICAL URBAN PRECINCTS Workshop, May 6-8, 2013

14


PUBLIC-PRIVATE PARTNERSHIP (PPP) IN MANAGING HISTORICAL URBAN PRECINCTS Workshop, May 6-8, 2013

15

2. OBJECTIVE


2.1 Context
Indonesia consists of 399 regencies and 98
cities. All of the cities or regencies have
diverse heritage assets, both natural and
cultural heritage. On October 25, 2008, the
Indonesian Heritage Cities Network or JKPI
was formed in Surakarta by 12 mayors,
initiated by Joko Widodo, Mayor of Surakarta
(currently Governor of DKI Jakarta).
Members of JKPI are city governments,
represented by the mayor or regent. The
aims of the organization are, among others,
to develop cooperation among cities with
cultural and natural heritage and to
encourage mutual cooperation to conserve
heritage with the other stakeholders.
Currently, JKPI has 48 members and more
are expected to join. In 2012, the Directorate
General of Spatial Planning of the Indonesian
Ministry of Public Work (MoPW) and the
Indonesian Heritage Trust (BPPI) started a
program to support JKPI. This program,
Management and Conservation of Heritage
Cities or P3KP (Program Penataan dan
Pelestarian Kota Pusaka) aims on training of
capacity building for involved local
governments.

Recognizing their role in the planning,
implementation and monitoring of
management processes are some of the key
elements of the program. In the early stages,
there are 26 cities and regencies showing
their interest to participate in the program.
According to the Indonesian Monuments Law,
the local governments of these cities have a
great responsibility to conserve heritage. But,
budget is not unlimited. In this condition, the
capacities of the government to find other
sources need to be improved. Heritage
conservation on an urban scale is a relatively
new challenge in Indonesia and provides new
opportunities. When heritage preservation
can be integrated into todays society it could
generate social, urban and economic
benefits. To achieve this in practice, the
government should work together with other
stakeholders, including communities and the
private sector. One of the aspects of
capacities needed by the involved
governments is Public-Private Partnership
(PPP) models in managing urban historical
precincts.

2.2 Main objective
The goal of the Workshop was to stimulate a
wider understanding of PPP for heritage
conservation, including various PPP models
and approaches, to support participating
cities/regencies in developing a proposal for a
PPP project. These activities are part of a
framework to implement PPP in managing
urban historical precincts in several phases:

I. Preparation
Participants should be ready with a
proposal of a PPP project for heritage
conservation in their city/regency.
II. Workshop
Participants gain a wider
understanding of PPP models and
should develop their proposal to
implement a heritage project using
PPP.
III. Action plan
If participants hope to continue the
process the PPP proposal will be
elaborated into a follow up Action
Plan.
IV. Pilot projects
Participating cities present their
Action Plan to MoPW and BPPI and
pilot projects will be appointed.

During preparation period participants had to
produce an analysis of their cities and a
mapping of stakeholders that will involve in
PPP implementation. It is a sort of feasibility
overview of PPP potentials and risks in
managing urban historical precincts including
investors potential lists, social geographic
mapping, historical building survey, etc. After
the workshop, participants will make a follow-
up action plan which could be implemented in
their city/regency as an appointed pilot
project. Dissemination of the plans will be in
an exhibition, also celebrating the World
PUBLIC-PRIVATE PARTNERSHIP (PPP) IN MANAGING HISTORICAL URBAN PRECINCTS Workshop, May 6-8, 2013

16

Town Planning Day in November 2013 and
Indonesian Heritage Year 2013.

In total 10 JKPI cities/regencies participated
in the workshop: Banda Aceh, Sawahlunto,
Palembang, Bogor, Semarang, Yogyakarta,
Banjarmasin, Baubau, Denpasar and
Karangasem. According to the MoPW, it is
expected that from 10 cities/regencies there
will be 5 cities that will serve as a pilot
projects in 2014.

2.3 Organization
The Workshop was mandatory for Heritage
Cities Team from the 10 cities/regencies
participating in the workshop. Each
city/regency send representatives from the
heritage city team. In addition, the workshop
allowed some people interested in heritage
management to be selected as observers. A
public forum and relating events/meetings
with public officials and private organizations
were organized to gain general attention and
to emphasise the importance of PPP for
heritage conservation. Resource persons
during the workshop were experts that are
appointed by RCE, as well as from the BPPI
and MoPW and supported by Heritage Cities
Facilitators Team. RCE provided contribution
represented by Donovan Rypkema (President
Heritage Strategies International) and Peter
Timmer (Consultant RCE) as resource
persons and appointed Hasti Tarekat as
coordinator for this workshop. Punto
Wijayanto (BPPI) contributed as resource
person and coordinated the P3KP Facilitator
Team in Indonesia. MoPW provided venue at
the office of the ministry. All facilitators will
monitor the progress of the proposals in de
post-workshop phase.
Location of the 10 JKPI cities/regencies
participating in the workshop.
PUBLIC-PRIVATE PARTNERSHIP (PPP) IN MANAGING HISTORICAL URBAN PRECINCTS Workshop, May 6-8, 2013

17


PUBLIC-PRIVATE PARTNERSHIP (PPP) IN MANAGING HISTORICAL URBAN PRECINCTS Workshop, May 6-8, 2013

18

3. PROCEEDINGS


3.1 Preparation
Implementing PPP for heritage conservation
requires a thorough understanding of the
concept and practices. This is especially true
when implementation is intended in a
different context, which is the Indonesian
context in this matter. Therefore Punto
Wijayanto of BPPI came to the Netherlands in
early March 2013 to study PPP practices in
different places for preparation of his
contribution to the workshop. Together with
the representative of BPPI in the Netherlands,
Hasti Tarekat and accompanied by RCE, he
visited several PPP projects in Dongeradeel,
the town of Nagele (Municipality
Noordoostpolder) and the cities of Utrecht
and Eindhoven. The local authorities of
Eindhoven and Noordoostpolder very kindly
hosted their visit and provided
comprehensive information about PPP
application, respectively regarding Strijp
S/International School and Implementation
Lab Nagele. Furthermore, they visited
Stadsherstel Amsterdam, where they were
informed about the ins and outs of the
stadsherstel approach and explored
completed restoration projects in Amsterdam,
such as Pakhuis de Zwijger, a former
warehouse.

Successful PPP in managing historical urban
precincts depends on a wide range of topics
that should be taken into account. Therefore,
participating cities/regencies were given an
assignment beforehand. Main goal of the
assignment was to provide a common
starting point for the participants to advance
discussion and to explore sensing
implementation opportunities of the projects
proposals presented by the cities during the
workshop. First, the proposal had to focus on
an area or building concerned and give
insight in historical features, its economic and
urban context, spatial planning and
legislation, plans for the future and (possible)
private stakeholders involved. The
participants were asked to integrate this
assignment in their proposal for a PPP
project. The assignment was developed in
close cooperation between RCE and BPPI.


Strijp S information center
in the city of Eindhoven.
Explanation by the Municipality of Eindhoven about
the International School.
PUBLIC-PRIVATE PARTNERSHIP (PPP) IN MANAGING HISTORICAL URBAN PRECINCTS Workshop, May 6-8, 2013

19





3.2. Workshop material
The participating cities/regencies received
several documents related to the subject of
the workshop, such as:

I. Public-Private Partnerships and Heritage: A
Practitioners Guide, by Donovan
Rypkemaand Caroline Cheong (Heritage
Strategies International, 2012).
This publication focuses on the application of
public-private partnershipsf or individual
heritage buildings. It aims to highlight and
simplify the explanation of PPP arrangements
so that practitioners whose work involves
heritage resources may explore the use of
these partnerships when looking for new uses
for their historic buildings. More information
about how to obtain this publication is
available at http://www.hs-intl.com/
resources/publications.

II. Public-Private Partnership (PPP) in
Managing Historical Urban Precincts: Best
Practices and Lessons Learned in the
Netherlands, by Peter Timmer (RCE, 2013).
Paper contributed to the Workshop Public-
Private Partnership (PPP) in Managing
Historical Urban Precincts (Jakarta,
Indonesia, 6-8 May 2013). This paper gives
insight in several heritage building- and area-
based PPP projects in the Netherlands, in
particular the most common applications of
PPP: stadsherstel approach, integrated
approach and community-based approach.
This paper can be found in Appendix 2.
Assignment participants workshop PPP

I. Profile of the area concerned
I.1. General Description of the area concerned: location, size, etc.
I.2. History of the area concerned.
II. Mapping urban functions
II.1. Which urban functions (retail, dwelling, public, etc.) can be found in the area
concerned?
II.2. What cultural activity can be found in the area concerned? How is the area
concerned connected to the social and cultural life of the inhabitants?
II.3. What are the economic and future prospects of these functions in this area?
III. Mapping spatial planning
III.1. How is land use control and zone planning regulated in the area concerned?
III.2. Are there (significant) urban developments foreseen in the area?
III.3. Whats the (long term) vision of the local authority on the future for the area
concerned?
IV. Historical buildings survey
IV.1. How is cultural heritage management regulated in the area concerned?
IV.2. To what extend are financial incentives for heritage preservation present?
IV.3. Which historical buildings could be considered for safeguarding by PPP?
IV.4. Who are the owners of these historical buildings?
V. Stakeholders analysis
V.1. Which public and private stakeholders are involved in the area concerned?
V.2. Which stakeholders could have economic/cultural/social interest in participating in
PPP?
V.3. Who are key players in the private sector to engage for PPP?
Table 1. Assigment given beforehand to
the participant of the workshop.
PUBLIC-PRIVATE PARTNERSHIP (PPP) IN MANAGING HISTORICAL URBAN PRECINCTS Workshop, May 6-8, 2013

20

III. Public and Private Partnership on Cultural
Heritage Projects, by Dr. Amiluhur Soeroso
(BPPI, 2013)
The concept of PPP is already introduced by
the Indonesian government. However, it is
merely about the PPP approach to support an
infrastructure project, such as highways. This
paper focuses on the possibility to apply PPP
heritage in the Indonesian context and can
be found in Appendix 3.

IV. Financing Heritage Project: Stadsherstel
Approach in Indonesian Context, by Punto
Wijayanto (BPPI, 2013).
Paper contributed to the Workshop Public-
Private Partnership (PPP) in Managing
Historical Urban Precincts (Jakarta,
Indonesia, 6-8 May 2013) focusing on the
stadsherstel approach. Since its founding in
1956, 55 years ago, the company of
Stadsherstel Amsterdam has developed into a
restoration company for all kinds of historic
buildings and monuments in an urban or rural
environment. It not only restores, but also
preserves them in such manner, that the
character of the building is left intact and that
further development will not cause any
damage to the architecture, or change it in
any way. The context between Indonesia and
the Netherlands is of course different. The
possibility to replicate the stadsherstel
approach depends on the understanding of
both contexts. This paper can be found in
Appendix 4.

3.3 Workshop activities
A detailed schedule of the Workshop can be
found in Appendix 1. In summary, activities
and events that took place during the
workshop are as follows:

Excursion Kota Tua
Resource persons, BPPI and the Facilitators
Team visited Kota Tua, Jakarta Old City, on
Sunday May the 5th. This excursion was
organized to get acquainted and discuss the
workshop activities. The lack of economic
significance of this urban district for the city
and state of dilapidation of many heritage
buildings gave a good impression of the
challenges Indonesia face when it comes to
managing historical urban precincts. On the
other hand, visiting successful privately
initiated adaptive reuse projects, such as
Toko Murah and Caf Batavia in Jakarta,
showed private investors see economic
opportunities in heritage preservation.


Resource persons, facilitators team and some of the particpants at the
Ministry of Public Works (venue of the workshop).
PUBLIC-PRIVATE PARTNERSHIP (PPP) IN MANAGING HISTORICAL URBAN PRECINCTS Workshop, May 6-8, 2013

21

Public Forum
The Workshop started with a Public Forum,
Module 1 of the Workshop, on Monday May
the 6th. This forum was open for public on
invitation, to generate public attention for the
Workshops objective. Over 100 people from
the public and private sector attended this
forum, which was opened by Dadang
Rukmana of MoPW and proceded with official
speeches and presentation by the resource
persons. Donovan Rypkema spoke about
economic benefits of heritage preservation,
Peter Timmer about protection by
development as part of Dutch policy on
heritage conservation and Punto Wijayanto
delivered a presentation about the
stadsherstel approach. Robert Tambunan
(owner Toko Merah, a restored historical
building) and Arya Abieta (Indonesian
Architects Association/IAI) presented
Indonesian examples of successful privately
initiated heritage projects. After a discussing,
moderated by Laretna T. Adishakti (BPPI), a
press conference was held. This led to several
news articles in primarily Jakarta-based
media, such as Kompas, the largest daily
newspaper in Indonesia.




Presentation of the Proposals
After the public forum participating
cities/regencies presented their proposal for a
PPP project to the resource persons. In
general, this gave a proper insight in the
diversity and distinctiveness of the heritage
buildings or areas concerned, as well as the
adaptive reuse or urban development project
proposed. It is apparent that few participants
understood how to elaborate PPP approach to
heritage project. At the end of the day
participants were given a questionnaire
regarding points of interest to consider for
further elaboration of the proposals. These
questions were later used as review material
by the resource persons (see Table 2).


















PPP models and discussion
Module 2 of the workshop, on Tuesday May
the 7
th
, started with an extensive
presentation of the resource persons about
PPP practices, under supervision of Azwir
Malaon (Directorate General of Spatial
Planning, MoPW). Donovan Rypkema focused
on the basic principles of PPP and various
implementation models and PPP project in
the US and the rest of the world. Peter
Timmer gave more insight in PPP models and
types of organizations of Dutch practice, in
particular when it comes to the stadsherstel
approach, integrated approach and
community-based approach. Furthermore
Punto Wijayanto gave a presentation about
the stadsherstel practice and Indonesian
context of financing heritage project and
Amiluhur Soeroso focused on PPP practice in
Indonesia. There was a lot of response and
discussing during Module 2. Participants
connected the given information about PPP to
their own proposal.
Public Forum at the Ministry
of Public Works.
Article in
newspaper
Kompas.
PUBLIC-PRIVATE PARTNERSHIP (PPP) IN MANAGING HISTORICAL URBAN PRECINCTS Workshop, May 6-8, 2013

22

Sawahlunto
Who are the partners? x
What is the form of the PPP? x
What is the estimated total amount of money?
What are the primary barriers? x
What are identified funding sources? x
Is there a Pilot of the pilot? x
What are the roles of each partner? x
Who locally has PPP experience?
What are any legislative problems?
What is the direct connection between your PPP
project and heritage?
x

Elaborate Proposals Reviewed
The last day of the workshop, on Wednesday
May the 8
th
, resource person reviewed the
proposals. Before that, all participants
elaborated their proposal using the
questionnaire given on Monday. Participants
from Sawahlunto could clearly present a
proposal on adaptive reuse of a Chinese
house to become a coffee shop. They also
identified different parties which would be
involved in the process. The other
participants were discussing their projects,
which unfortunately gave less opportunities
to integrate the aspects for application of a
PPP approach.

3.4 Related events
Apresiasi Pusaka Indonesia (Appreciation of
Indonesian Heritage)
With support from Hasjim Djojohadikusumo,
BPPI organized an event Apresiasi Pusaka
Indonesia (API) - to honour Ir. Amran Nur
(Mayor of Sawahlunto) and Dwi Cahyono
(businessman and heritage enthusiast based
in Malang) for their outstanding effort for
safeguarding Indonesian heritage. Invited for
this event were, among others, the Embassy
of the Netherlands, CEO's of private
entrepreneurs, board members of BPPI and
governmental officials, including Minister of
Public Work, Joko Kirmanto. During this
event Dononvan Rypkema gave a
presentation about economic benefits of
historical preservation. PPP as a tool to
generate economic value and to achieve
heritage conservation was widely spoken.
Punto Wijayanto used this opportuny to
introduce Stadsherstel Amsterdam and its
Table 2. Questionnaire
regarding points of interest
to consider for elaboration
of the proposals, reviewed
by the resource persons.
This table is an reviewed
example of Sawahluntos
proposal.
PUBLIC-PRIVATE PARTNERSHIP (PPP) IN MANAGING HISTORICAL URBAN PRECINCTS Workshop, May 6-8, 2013

23

approach to safeguard heritage in
Amsterdam.

Meeting Governor of Jakarta
Joko Widodo or Jokowi, Governor of Jakarta,
invited BPPI to discuss about heritage
conservation in Jakarta. BPPI asked Donovan
Rypkema to join BPPI to meet the Governor,
while Peter Timmer and Punto Wijayanto
reviewed the project proposals at the end of
the workshop. The main discussion of the
meeting was to inform about the PPP
Workshop and possibilities to implement it in
Jakarta. The Governor has asked BPPI and
Donovan Rypkema about ideas, plans and
strategies to revitalize the old part of Jakarta,
Kota Tua.
PUBLIC-PRIVATE PARTNERSHIP (PPP) IN MANAGING HISTORICAL URBAN PRECINCTS Workshop, May 6-8, 2013

24


PUBLIC-PRIVATE PARTNERSHIP (PPP) IN MANAGING HISTORICAL URBAN PRECINCTS Workshop, May 6-8, 2013

25

4. OUTCOMES


4.1 Favourable conditions
During the workshop, resource persons
together with the participants managed to
identify the favourable and unfavourable
conditions for implementing PPP for heritage
conservation in Indonesia.

Existing favourable conditions for
implementing PPP for heritage conservation
in Indonesia are:
1. At least two Indonesian ministries work
together with 28 Indonesian municipalities
in a program on supporting preservation
of cultural heritage and conservation by
development of historical inner cities.
2. Emerged during the 1980s and grown ever
since, Indonesia has a well-organized
network of NGOs focusing on heritage
conservation, including a national
umbrella organization (BPPI) established
in 2003. These NGOs could play a vital
role in the implementation of PPP by
providing conservation knowledge or even
initiate and contribute to the foundation of
PPP organizations.
3. Indonesia has a history of 40 years of
working with PPP in infrastructure
projects, such as highways and public
works. This provides Indonesia
experience, skills and training in PPP
practice.


4. In the Netherlands, PPP and heritage
conservation have been implemented by
several organization models. Because the
governmental framework and system of
legal entities are quite similar in
Indonesia, adaptation to the Indonesian
context is relative easy.

Existing unfavourable conditions for
implementing PPP for heritage conservation
in Indonesia are:
1. There is no regulation yet for
implementing PPP for heritage
conservation that provides legal support
for combined public and private financing.
Excisting regulations on PPP only focus on
infrastructure projects, such as Peraturan
Presiden No. 56/2011 (Presidents Decree)
and Permen Menteri Perencanaan
Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas
No. 3/2010 (Ministry Regulation).
2. To a large extent, conservation of built
heritage by governments in Indonesia is
focussing on government-owned
properties. Most heritage assets in historic
areas however, belong to private owners,
instead of the government. To implement
PPP and heritage conservation,
municipalities should find a way to deal
with different owners and should initiate
cooperation with involved stakeholders.






Organization Dutch Indonesian
Association

Vereniging Asosiasi
Foundation

Stichting Yayasan
Private limited
liability company
Besloten
Vennootschap (BV)
Perseroan
Terbatas (PT)
Public limited
liability company
Naamloze
Vennootschap (NV)
- PT Terbuka
- PT Tertutup
Table 3. The system
of legal entities in
the Netherlands and
Indonesia is similar,
providing
opportunities to
implement PPP and
heritage
conservation in the
Indonesian context.
PUBLIC-PRIVATE PARTNERSHIP (PPP) IN MANAGING HISTORICAL URBAN PRECINCTS Workshop, May 6-8, 2013

26

4.2 PPP opportunities
A short summary of reviewed conclusions
regarding the project proposals of the
participating cities/regencies is set out below.
Mentioned PPP models are based on most
common applications of PPP in the
Netherlands: stadsherstel approach,
integrated approach and community-based
approach (Appendix 2).

City/Regency Project Description PPP Model and Reference
Sawahlunto Adaptive reuse (including
industrial heritage)
Stadsherstel Approach
Integrated Approach, Contract Model (DBFMO)
Reference: BOEI BV
Banjarmasin Upgrading riverside of
Martapura river and adding
new floating markets
Integrated Approach
Reference: City Government of Breda
WIHCC (Water in Historic City Centres)
Semarang Rehabilitation/revitalization
old city centre
Stadsherstel Approach, part of a urban strategy
for the whole area
Reference: Rehabilitation Dutch historic cities
Karangasem Reuse heritage directly related
to landscape
Community-based Approach
Landscape &Trust Approach
Reference: Gelderland Trust for Historic Houses
and Natural Landscape
Bogor Urban (re-)development and
adaptive reuse, revitalizing
public space along Surya
Kencana street
Integrated Approach, Alliance Model
Stadsherstel Approach, part of a strategy for
the whole area
Reference: Quito, Ecuador
Banda Aceh Gampong Pande burial ground
integrated in a new
recreational building complex
Integrated Approach
Integrated Approach: Contract Model

Palembang Musi riverside redevelopment,
heritage preservation, public
transport
Integrated Approach, Alliance Model
Stadsherstel Approach, part of a strategy for
the whole area
Reference: Riverside development American en
European cities
Yogyakarta Redevelopment of Malioboro
district and conservation of
several heritage buildings
Integrated Approach, Alliance Model
Stadsherstel Approach, part of a strategy for
the whole area
Reference: Revolving Fund, National
Restoration Fund (NRF)
Baubau

Conservation of Benteng
Wolio district
Community-based Approach
Stadsherstel Approach
Reference: Village Development Company,
Dongeradeel


Table 4. Summary of the projects and
input given regarding PPP opportunities.
PUBLIC-PRIVATE PARTNERSHIP (PPP) IN MANAGING HISTORICAL URBAN PRECINCTS Workshop, May 6-8, 2013

27

4.3 Follow up feasibility
The participating municipalities presented
interesting and unique project proposals.
Some of them are ready to take the next step
in preparing implementation of PPP. However,
working on 10 cities is probably too vast at
the moment. It is better to start with a small
group of pilot projects, in such a way
successful pilot projects can be a reference
for other PPP projects.

Sawahluntos proposal for adaptive reuse of a
Chinese house has much potential for
implementing PPP. Further action should be
given to this city to find a suitable model
(stadsherstel or integrated) or reference.
Semerang provides opportunities for
implementing a stadsherstel model on an
urban scale. The city could start with a small
initial PPP project, but to succeed on a urban
scale a long term strategy regarding feasible
urban functions, attracting private investors
and city branding is evident.

When it comes to a community-based
approach, together with stadsherstel
elements, Baubau offers opportunities.
Palembang and Yogyakarta could be suitable
for a stadsherstel and integrated approach.
This should start with preparing a vision and
redevelopment plan. When these are already
available an implementation strategy should
be added.

4.4 Additional requests
During the workshop:
- Dr. Dadang Rukmana, Director of Urban
Planning and Development at DG Spatial
Planning (MoPW) requested more
information about and assistance on
implementation of Protection by
Development policy.
- All municipalities also showed interest in
further information to develop their
proposals such as:
Palembang is interested in more
information about river- and seaside
urban development.
Bogor is interested in more information
on a project in Quito, Ecuador where
the local government and local
ventures closely cooperate.
Yogyakarta requested more
information about the Revolving Fund
Principle by National Restoration Fund.
Banjarmasin is interested in more
information about Water in Historical
City Centre (WIHCC) project in Breda.
PUBLIC-PRIVATE PARTNERSHIP (PPP) IN MANAGING HISTORICAL URBAN PRECINCTS Workshop, May 6-8, 2013

28


PUBLIC-PRIVATE PARTNERSHIP (PPP) IN MANAGING HISTORICAL URBAN PRECINCTS Workshop, May 6-8, 2013

29

5. CONCLUSIONS


Project proposals presented by the
participating cities/regencies showed a wide
range of plans. Some proposals are more
feasible for implementing PPP than others.
Nevertheless, they all have an important
asset in common because they aim on
utilizing heritage to develop the area or
building complex involved. In this, the cities
even inspired each other with their proposals
which directly showed the importance of the
JKPI program: namely exchange of
knowledge that contributes to managing
historical urban precincts.

The outcomes of the reviews of the projects
provide a starting point to introduce PPP.
Elaboration may require additional knowledge
about PPP models or urban strategies that
support implementation of the project. Dutch
institutions such as Stadsherstel Amsterdam
and RCE offered assistance. But first,
cooperation with the private sector in the
involved cities/regencies needs specific
attention in the following steps if PPP wants
to succeed and become an important tool to
achieve the goal of the project.

Beside specific project support, it became
clear during the workshop there also is a
need for a general support to the
cities/regencies by an overall national policy
and dissemination of knowledge. This
national policy should also provide favourable
conditions to implement PPP in managing
historical precincts and show, for example by
best practices, that heritage conservation and
economic/urban development can
complement to each other (protection by
development). In this way heritage
conservation becomes a common interest in
todays society and stimulates public and
private cooperation to safeguard heritage for
future generations in Indonesia.

During the workshop participants gained a
wider understanding of PPP models. As
mentioned above, there is still a need to
elaborate their proposals to continue the
process. Some of the proposals still have to
produce or strengthen a direct connection
between a PPP project and heritage
conservation. The best way to continue the
program is by focusing on a small group of
pilot projects.

Existing favourable conditions create unique
possibilities for implementing PPP in
managing historical urban precincts in
Indonesia. Undeniable it will be a challenge
and some pilot cases could even fail.
Nevertheless, if determination and long term
focus can be assured, Indonesia can set a
striking example in Asia and the rest of the
world.

PUBLIC-PRIVATE PARTNERSHIP (PPP) IN MANAGING HISTORICAL URBAN PRECINCTS Workshop, May 6-8, 2013

30



PUBLIC-PRIVATE PARTNERSHIP (PPP) IN MANAGING HISTORICAL URBAN PRECINCTS Workshop, May 6-8, 2013

31

Appendix 1
Workshop Schedule

PUBLIC-PRIVATE PARTNERSHIP (PPP) IN MANAGING HISTORICAL URBAN PRECINCTS Workshop, May 6-8, 2013

32



PUBLIC-PRIVATE PARTNERSHIP (PPP) IN MANAGING HISTORICAL URBAN PRECINCTS Workshop, May 6-8, 2013

33

SCHEDULE of
PUBLIC FORUM AND WORKSHOP on
PUBLIC-PRIVATE PARTNERSHIP
IN MANAGING HISTORICAL URBAN PRECINCTS






Day-1 : Monday 6May 2013
Time (WIB) Materi PiC
Opening
Venue :DG of Spatial Planning (DJPR) 8th floor
08.00-08.45
Registration
*Invitation: Open for Public
DJPR PU/BPPI
Opening by MC
08.45-09.00
Commitee Report
Dr. Dadang Rukmana
DJPR PU
09.00-09.30
Welcoming Speeches:
1. I Gede Ardika/BPPI
2. Peter Timmer MA/RCE
3. Dr. Ir. M.BasukiHadimulyono, MSc./DG of Spatial Planning
DJPR PU/BPPI
09.30-09.45 Plaque DJPR PU
Public Forum/Modul 1: Economy of Heritage Conservation
Venue : DG of Spatial Planning (DJPR) 8th floor
09.45-10.30
Economy of Heritage
Speaker: Donovan Rypkema
DJPR PU
10.30-11.15
Heritage Conservation in the Netherlands
Speaker: Peter Timmer MA
DJPR PU
11.15-11.45
Introduction of Stadsherstel
Speaker: Punto Wijayanto
DJPR PU
11.45-12.15
Heritage Conservation in Indonesia - Case of Jakarta Old Town
Speaker: Robert Tambunan (owner Toko Merah, Jakarta Old
City) & Ir. Arya Arbieta, IAI
DJPR PU
12.15-13.00
Discussion
Moderator: Dr. Laretna T. Adishakti
DJPR PU
13.00-13.15 Plaque and Joint Photos DJPR PU
Closing by MC
13.15-15.00
Lunch
Press Conference
DJPR PU
Training on PPP Project
Venue : DG of Spatial Planning (DJPR) 3th floor
15.00-15.30
1. Explanation of Process and Goals
2. Schedule Overview
DJPR PU
15.30-15.45 Coffee Break DJPR PU
15.45-18.00 Review of the RAKP
DJPR PU/All
Facilitators
18.00-19.00 Dinner DJPR PU
19.00-21.00 Review of the RAKP
DJPR PU/All
Facilitators



PUBLIC-PRIVATE PARTNERSHIP (PPP) IN MANAGING HISTORICAL URBAN PRECINCTS Workshop, May 6-8, 2013

34


Day -2: Tuesday 7 May 2013
Time (WIB) Materi PiC
Modul 2:PPP Project on Heritage Conservation
Venue : DG of Spatial Planning (DJPR) 3th floor
Sesi 1
08.00-09.30
Basic of PPP Heritage
Speaker: Donovan Rypkema
DJPR PU/BPPI
09.30-10.00 Coffee Break
Sesi 2
10.00-11.30
Preparation of PPP Project on Heritage Conservation
Speaker: Peter Timmer MA
Moderator sesi 1&2: Dadang Rukmana
DJPR PU/BPPI
11.30 12.30 Lunch and Pray
Modul3:PPP Heritagein Indonesian Context
Venue : DG of Spatial Planning (DJPR) 3th floor
Sesi 3
12.30-14.00
PPP heritage, regulation and heritage management in
Indonesia
Speaker: Dr. Amiluhur Soeroso
DJPR PU/BPPI
Sesi 4
14.00-15.30
Stadsherstel in Indonesian Heritage Cities Context
Speaker: Punto Wijayanto
Moderator sesi 3&4: Azwir Malaon
DJPR PU/BPPI
15.30-15.45 Coffee Break DJPR PU/BPPI
Exercise and Presentation
Venue : DG of Spatial Planning (DJPR) 3th floor
Sesi 5
15.45-17.00
1. Review of PPP Heritage Proposal
2. Brief of the exercise by Donovan/Peter
Moderator: Dr. Widya Wijayanti
DJPR PU/All
Facilitators
17.00-19.00 Dinner
19.00-22.00 Preparing for the Presentation/live streaming API
DJPR PU/All
Facilitators
Apresiasi Pusaka Indonesia (API)
Venue : Hotel Intercontinental (invitation only)
19.00-21.30
1. Apresiasi Pusaka Indonesia
2. Presentation by Donovan Rypkema
3. Dinner
4. Dialogue
Host: Catrini P. Kubontubuh/Kania Sutisnawinata
BPPI

Day-3: Wednesday 8 May 2013
Time (WIB) Activity PiC
Modul 3: Exercise and Presentation
Sesi 6
08.00-09.30
1. Presentation 1-5/@15
2. Comments by Donovan/Peter
Moderator: Dani B. Ishak
DJPR PU/All
Facilitators
09.30 -10.00 Coffee Break
Sesi 7
10.00-11.30
1. Presentation 6-10/@15
2. Comments by Donovan/Peter
Moderator: Hardini Sumono
DJPR PU/All
Facilitators
11.30-12.30 Lunch and Pray
Exercise and Presentation
Sesi 8
12.30-14.00
Recommendations and Follow-Up Action Plan
Subdit Pengaturan-Dit. Perkotaan/BPPI
DJPR PU/BPPI
Sesi 9
14.00-15.30
Briefing of inventory preparation
Subdit Pengaturan-Dit. Perkotaan
DJPR PU/BPPI
Closing

PUBLIC-PRIVATE PARTNERSHIP (PPP) IN MANAGING HISTORICAL URBAN PRECINCTS Workshop, May 6-8, 2013

35

Appendix 2
Paper contributed to the workshop, by Peter Timmer

PUBLIC-PRIVATE PARTNERSHIP (PPP) IN MANAGING HISTORICAL URBAN PRECINCTS Workshop, May 6-8, 2013

36



PUBLIC-PRIVATE PARTNERSHIP (PPP) IN MANAGING HISTORICAL URBAN PRECINCTS Workshop, May 6-8, 2013

37

Public-Private Partnership (PPP) in Managing Historical
Urban Precincts
1

Best Practices and Lessons Learned in the Netherlands

By: P.J. Timmer MA
Cultural Heritage Agency
Ministry of Education, Culture and Science
The Netherlands
e-mail: p.timmer@cultureelerfgoed.nl


Introduction

Public-Private Partnership (PPP) can be implemented through a wide range of applications. The
urban, social and economic context of the area concerned and ambitions of the involved
stakeholders often dictate the way a PPP project is put into practice. This also accounts for PPP in
managing historical urban precincts in the Netherlands. This paper gives insight in several PPP
projects in the Netherlands, in particular management activities undertaken to accomplish heritage
conservation and development. Which lessons can be learned?

PPP and Heritage in the Netherlands

In many cases we can confidently entrust this care to the current owners and users. () It is in their
own interest to combine present use with sustainable preservation. But leaving this care to citizens,
private managers and companies is not always possible. () Some heritage tasks lie beyond the
benefit, the interests, the support or the knowledge of owners and users. When public interests or
responsibilities come into play, the government enters the scene. The role of government
supplements the role of owners and private initiators.
2
To a great extent, the system of preserving
heritage sites in the Netherlands is based on this public-private interaction. PPPs go even beyond
mere public-private interaction. Public stakeholders dont only facilitate public-private interaction,
but also participate in it. PPP is a legal agreement between public and private parties to achieve a
common objective and when it comes to managing historical urban precincts, it is reflected in a
project that assures conservation of heritage buildings or sites. In this, the Netherlands has a long
history.


1
Paper contributed to the Workshop Public-Private Partnership (PPP) in Managing Historical Urban Precincts (Jakarta,
Indonesia, 6-8 May 2013). This workshop is executed within the joined Indonesian-Dutch cooperation on Mutual Heritage
and is organized by the Directorate General of Spatial Planning, Ministry of Public Work in Indonesia (MoPW), the
Indonesian Heritage Trust (BPPI) and the Netherlands Cultural Heritage Agency (RCE). Goal of the workshop is to prepare
PPP project plans for heritage conservation in 10 Indonesian cities, members of the Indonesian Heritage Cities Network
(JKPI).
2
Ministry of Education, Culture and Science (2011), Character in Focus, Vision for Heritage and Spatial Planning, p. 6.
PUBLIC-PRIVATE PARTNERSHIP (PPP) IN MANAGING HISTORICAL URBAN PRECINCTS Workshop, May 6-8, 2013

38

The stadsherstel approach, which mainly emerged in the 1970s, has been and is very successful in
safeguarding Dutch built heritage in historic inner cities. This is especially true in the case of stock
corporations, which own, purchase, restore and lease heritage buildings. PPP and heritage
conservation in urban redevelopment areas is more a concept of the urban planning and
development sector. It is usually accomplished by installing a redevelopment agency or private
limited liability company and adaptive re-use and preservation of built heritage is established by an
integrated approach which is called integrated conservation. Recently, due to the economic crisis
and in areas facing population decline, alternative PPP projects emerge. In those cases PPP is an
important tool to improve the living environment and manage historical precincts by a community-
based approach.

Stadsherstel Approach

Combating decay
The Dutch word stadsherstel is often used by Dutch organizations that restore and preserve
heritage buildings. The word itself can best be translated as city repair or city recovery.
Approximately 40 stadsherstel organizations exist in the Netherlands and some were even founded
by private initiative before the Second World War.
3
Visiting a Dutch historic city nowadays, one will
question oneself what is there to recover? Most historic cities are well maintained areas and
significant economic, social and cultural centers of the local community. Before the Second World
War and especially in the 1950s and 1960s however, many urban neighborhoods hardly had any
economic perspective and even suffered social degradation. Inhabitants moved away to newly built
suburbs. Due to lack of maintenance, the citys building stock deteriorated rapidly. At the same time
local governmental institutions had radical plans for city renewal and modernization of city centers.
This resulted in demolishing old and dilapidated neighborhoods to be replaced by large-scale office
and apartment buildings and infrastructure.

Public and private initiative on heritage preservation focused mainly on a few highlights of Dutch
built heritage. Halfway the 1960s the situation changed and intellectuals and inhabitants of Dutchs
cities widely opposed against the demolishment of old neighborhoods. This supported new
conservation activities and had a great impact on the national policy for city renewal and heritage
preservation in the 1970s. The Ministry of Culture and the Ministry of Spatial Planning began to
cooperate closely in a nationwide programme on rehabilitation of (to be) protected townscapes.
Planning methods were made to vitalize the historic cities and at the same time restore built
heritage. New regulation was developed to finance it. A newly found gas field in the north of the
Netherlands and its profitable exploitation in the 1970s offered financial support to the national
programme. To have access to funding, rehabilitation plans and multiannual rehabilitation
programmes were made by governmental institutions.


3
Het Behouden Huis is the umbrella federation of the stadsherstel organizations and serves as an overall consultation
body. http://www.federatiebehoudenhuis.nl/

PUBLIC-PRIVATE PARTNERSHIP (PPP) IN MANAGING HISTORICAL URBAN PRECINCTS Workshop, May 6-8, 2013

39

The emphasis was on developing a cartographic reproduction of an action plan which indicated
structures that need to be restored. This action plan was based on a synthesis of mapping historical
features, technical condition of the building stock, allocated urban functions and development risks
and opportunities. Land use control assured the presence of vital functions in the protected
townscapes. In the 1980s a national city renewal fund was installed as follow up of earlier financial
regulation. Stadsherstel organizations played a significant role in the execution of rehabilitation
programmes. One could say they made it all practicably possible and in several cities stadsherstel
organizations were even founded for that purpose. Nowadays, stadsherstel organizations still play an
important role in preserving heritage buildings in Dutch cities. This is partly because of a favourable
economic climate in the cities and supporting heritage management, including financial incentives
provided by public and private organizations and due to contributions of national funds.

Types of organizations
A stadsherstel organization is usually bound to the city where its founded. Some operate regional or
were founded to target on an entire province. A few stadsherstel organizations, or similar
organizations, function nationwide and focus on a specific theme. What the stadsherstel
organizations have in common is that they exist by the grace of private initiative and public-private
interaction. The way they are organized varies considerably and can be generally classified in four
organization models:

I. Association model:A vereniging (association) is a nonprofit body formed by a group of members,
volunteers, who agreed on accomplishing a specific purpose. The associations income relies on
member fees, legacies, donations, fund raising and sometimes long term leasing of properties.

II. Foundation model:A stichting (foundation) is a nonprofit private entity to accomplish a specific
purpose. Foundations rely on donations and fund raising. Foundations can make profit but have to
invest it into new projects or activities according to the main charity purpose.

III. Private limited liability company model: In the Netherlands these kind of companies are referred
to as Besloten Vennootschap (B.V.) and are commercial enterprises owned by shareholders. It is an
exclusive or closed partnership and its stocks are not for sale on open markets.

IV. Public limited liability company model: Referred to as Naamloze Vennootschap (N.V.): nameless
partnerships or anonymous ventures. They are also owned by shareholders, with the difference
that shares are not registered to owners and may be traded on the public stock market.

Stadsherstel in practice
In the case of a stadsherstel approach, the association model is rare. The historic houses association
Vereniging Hendrick de Keyser is the most striking example. Founded by a group of merchants from
Amsterdam in 1918, it operates nation-wide and targets on obtaining a collection of unique buildings
reflecting Dutch build history. The collection encompasses about 396 properties in more than 100
cities and villages. Its income, making costly upkeep and restoration projects possible, comes from
the long term leasing of properties, membership fees, legacies and donations, as well as public and
PUBLIC-PRIVATE PARTNERSHIP (PPP) IN MANAGING HISTORICAL URBAN PRECINCTS Workshop, May 6-8, 2013

40

private fund raising. Membership is open to all. The association now has about 4000 members for
whom activities are being organized, among which lectures, visits to properties and guided tours,
encouraging everyone to enjoy our national heritage.
4


Private limited liability companies are also rare when it comes to a stadsherstel approach. BOEi B.V.
is a successful example and focuses on preservation, development and exploitation of industrial
heritage. It functions nation-wide, owns 48 properties and is specialized in reallocating industrial
heritage. BOEis organization type makes it possible for them to work as developer, investor or
advisor. They start a project with a feasibility study for adaptive reuse, preventing decay, purchase
the property and pursue suitable economic functions that assure the preservation of heritage
features. Preservation is financed by governmental financial incentives, fund raising, low interest
loans and deposited share-capital. Among the shareholders of BOEi B.V. are some of the largest
private banks and real estate developers of the Netherlands as well as a national public fund.

Foundations and public limited liability companies are the most common organization types of
stadsherstel in the Netherlands. They contributed the most in rehabilitating dilapidated built heritage
in Dutch cities, especially since national policy stimulated it from the 1970s. A stadsherstel
foundation provides a relatively easy way to execute singular conservation projects depending on
directly available public financial incentives. They buy a property, restore it and sell it again at a
profit, to provide the source of funding for future projects. A public limited liability company
however, buys a property, restores it and gains income by leasing the property. Its organization is
also part of a long term agreement between private and public stakeholders. Financial incentives and
additional fund raising are still important, but due to its long term focus they can also rely on
deposited share-capital and therefore provide a more sustainable alternative.

Customized needs
In general a large amount of stadsherstel foundations and approximately 11 public limited liability
companies in the Netherlands aim to preserve built heritage. Depending on the local situation and
local wishes, implementation of a stadsherstel model is sometimes divided or combined. In the city
of Enkhuizen for example, stadsherstel is divided into a foundation and a public limited liability
company to avoid investment risks in case of temporary bad stock markets. In the city of Utrecht the
foundation Utrechts Monumentfonds also covers long term ownership. Foundations are sometimes
even incorporated in regular housing cooperatives. Stadsherstel Amsterdam N.V. and many others
are public limited liability companies and housing or stock corporations at the same time. They
combine all kind of activities and because of the economic and cultural benefits for the city, private
and public stakeholders constitute a partnership.

Looking back at more than 60 years of stadsherstel experience, the public limited liability company
model has proven to be the most sustainable concept of PPP in managing historical urban precincts
in the Netherlands. Public and private stakeholders truly form an alliance and both benefit when it
comes to heritage preservation. Over the years, just one company didnt succeed and faced

4
Vereniging Hendrick de Keyser: http://www.hendrickdekeyser.nl/
PUBLIC-PRIVATE PARTNERSHIP (PPP) IN MANAGING HISTORICAL URBAN PRECINCTS Workshop, May 6-8, 2013

41

bankruptcy in 2011. The small organization N.V. Stadsherstel Leeuwarden invested in restoration of
two properties but tenants or buyers couldnt be found. Unlike the economic, vital and centrally
located cities in the western parts of the Netherlands, Leeuwarden is located in the less economic
prosperous northern part of the country where rental and stock markets are affected substantially by
the recent economic crisis. Nevertheless, installation of a new stadsherstel organization is being
considered in Leeuwarden at the moment, because there is a local need to it for the sake of heritage
preservation and local private and public stakeholders believe in the concept of stadsherstel.

Integrated Approach

Guiding urban (re-)development
A distinctive feature of historic city centers is its functional diversity and large densely populated
urban context. The economic, cultural and social significance for the local community makes mutual
public and private interest self-evident. Because ownership of heritage buildings in historic cities is
extremely divers, stadsherstel adds up well as an appropriate approach. When this is part of a wider
rehabilitation programme or planning scheme, which objective is to revitalize cities, one could say
stadsherstel is an integrated approach. An integrated approach directly related to PPP however, has
a different scope and aims on urban (re-)development of unused or isolated urban areas or a
complex of buildings by private commercial initiative. When significant public interest is involved,
public and private stakeholders form an alliance and introduce PPP, for example when the urban
development or new building project has an economic or cultural value to the community. Cultural
heritage can be such an asset.

Urban development and heritage preservation are often seen as ones enemies. Development leads
to the destruction of heritage. Preservation, in turn, requires financial incentives, whereas urban
development gains economic advantage. In actual fact, both of them complement to each other.
Unused heritage buildings or sites will not be preserved when there is no economic base to assure
maintenance. Lack of maintenance leads to deterioration and in the end to destruction. Hence, the
best way to preserve is to find new functions or stimulate adaptive reuse and heritage sites will have
a sustainable future again. This can be achieved by economic development and urban planning. On
the other hand, economic and urban development can benefit from preservation of cultural heritage.
Utilizing heritage can make buildings or areas distinctive and adds attractiveness to the living
environment. This could appeal the new inhabitants, (new) property owners and even visitors and
therefore generates economic value.

Embedding heritage preservation in urban development projects is often called preservation
through development or protection by development in the Netherlands, which have evolved into a
common approach the last two decades. Internationally it could be compared with what is described
as integrated conservation. The PPP organization to achieve this objective is a concept of the urban
planning and development sector.
5
Application could generally be categorized into alliance models

5
To support PPP in the Netherlands, supporting organizations have been founded, such as PPP-Network (including a
database on internet) and PPP-Support Helpdesk.
PUBLIC-PRIVATE PARTNERSHIP (PPP) IN MANAGING HISTORICAL URBAN PRECINCTS Workshop, May 6-8, 2013

42

and contract models, in which most likely private limited liability companies are installed to execute
the project(s). An alliance model aims to realize a common vision and consists of several construction
projects. The urban redevelopment of industrial estate Strijp-S in the city of Eindhoven is an
exceptional example. A contract model is more suitable for a single project and comes in different
kind of options, such as Design & Construct (D&C) or Design, Build, Finance, Maintain & Operate
(DBFMO). The latter, realization of an international school in an old military base, once again in
Eindhoven, is an interesting example.

Park Strijp Beheer B.V., Eindhoven
Eindhoven is a city in the southern province of Brabant. Home to electronica giant Philips (founded in
1891) the city is scattered with industrial heritage, such as Strijp-S district, a place where several
electrical devices were invented and produced. When the multinational firm decided to leave Strijp-
S, the City of Eindhoven and Philips made a Masterplan in 2001. Their ambition was to redevelop the
66 acres of Strijp-S into an extension of the inner city with a mix of living, working and recreation,
adaptive re-use, preservation and renovation of (listed) historic buildings included. With creativity
and culture being made visible and tangible in all facets, Strijp-S becomes The Creative City with an
unequalled character and personality, both in the Netherlands and abroad.
6
To realize this ambition
the City of Eindhoven signed an agreement with a large private property developer. The Masterplan
was elaborated into a Urban Development Plan in 2004 that made clear which heritage buildings
would be preserved and were new functions, buildings and infrastructure would be added.

Several surveys were initiated to determine the most valuable historic features and to do research on
adaptive reuse. Because of these surveys historical assets such as pipelines and other industrial
installations in public space were integrated in the overall plan. Another interesting result was the
decision to preserve the former Scientific Laboratory, a non-listed structure that was supposed to be
replaced by apartment buildings. The fact that Albert Einstein once visited the building and it has
much historical significance for the local community, the plans were altered after a design contest
turning it into a movie theater and restaurant. An action plan for intensifying art and culture for
Strijp-S was executed in 2007. Zone planning and land use control was assured in 2008 and the
completion date of the project was set on 2018. To assure careful preservation there is a periodical
consulting meeting with heritage experts and heritage institutions to discuss the progress and
elaboration of projects.

To execute the projects in Strijp-S collaboration was arranged through a PPP construction, by
installing a private limited liability company called Park Strijp Beheer B.V. The City of Eindhoven and
the private property developer VolkerWessels are the main shareholders.Park Strijp Beheer B.V. is
responsible for organizing the realization of 75% of the plan for 1600 new apartments and 25% other
functions. Because of expected incomes from property sale, the city governments financial
contribution was set on budget neutral, although at first this seemed inconceivable. Strijp-S was a
former non-public closed area and not a place that would attract future inhabitants and
entrepreneurs easily. Therefore a marketing strategy was developed to enhance its creative

6
Park Strijp Beheer B.V., Brochure Strijp-S, p. 2.
PUBLIC-PRIVATE PARTNERSHIP (PPP) IN MANAGING HISTORICAL URBAN PRECINCTS Workshop, May 6-8, 2013

43

reputation. Cultural events made the property better known to the public and emphasized its
unique qualities and development opportunities. The result is that national and local activities take
place at Strijp-S regularly nowadays. Several newly built apartment blocks and adaptive re-use
projects have been realized and many are under preparation.

The presence of the nearby city center, a technical university and Airport Eindhoven creates
development opportunities which are generally favourable. Above all, Eindhovens ambition to be a
Brainport Region provides a perfect creative and investment climate for Strijp-S. According to the
Intelligent Community Forum (ICF) Eindhoven was the worlds smartest region in 2011, a top
technology breeding ground for innovation and home to world-class businesses, knowledge
institutes and research institutions. Together they design and manufacture the technology of the
future to ensure a safe, green and caring society and sustainable economic development of the
Netherlands.
7
Nevertheless, due to the economic crisis, which has negative effects on property sale,
the current PPP may need adjustments. Expenses exceed income and the budget neutral goal is
probably not feasible anymore.

DBFMO International School Eindhoven
The former Constant Rebecque military base is located just north of Strijp-S in Eindhoven. Designed
in 1937-1938 by architect A.G.M. Boost, its buildings are listed and the site is situated in a
recreational landscape rich in forests between the city and the countryside. The City of Eindhoven
decided to transform the old military base into an international school campus for children of
expatriates, to enhance the ambition to be Brainport Region Eindhoven. Two locally based
international schools were interested to the idea and established a separate institute called
International School Eindhoven (ISE, 2009), to support the project and will provide education for
1150 students. Besides education, the project aims to be a meeting place for expatriates and their
children by providing day care, a mediacenter, two indoor playgrounds, an auditorium and a
cafeteria. Furthermore 300 parking places and several sporting facilities are being planned, such as a
sports hall, a football field and a athletics track.

Besides conversion into an international school, the City of Eindhoven wanted to maintain the green
character and historical features of the site. All these objectives were integrated in an Ambition
Document, which served as a masterplan. To ensure heritage preservation, two surveys were
produced, one focusing on the distinctive assets of the structure itself and one focusing on the
context of the building site. The first is called a building history exploration (Bouwhistorische
Verkenning) and the second a cultural historical exploration (Cultuurhistorische Verkenning). These
explorations dont only explain the history, both also determine the most valuable features and,
important as part of a design process, give recommendations what to do with it as starting point for
the future development. This eventually had an strong influence on the Ambition Document. For
instance, to preserve the former open military exercise area as an asset to the future development,
several new functions are built underground.


7
Brainport Region Eindhoven: http://www.brainport.nl/en
PUBLIC-PRIVATE PARTNERSHIP (PPP) IN MANAGING HISTORICAL URBAN PRECINCTS Workshop, May 6-8, 2013

44

Three consortia were invited to develop a building plan based on the Ambition Document. This gave
the City of Eindhoven and ISE a change to oversee different options. The local consortium of Van
Straten en Complan was chosen as partner and it consists of 17 organizations, this number indicates
enthusiasm about the project that grew in time. The consortium installed a private limited liability
company (SPC ISE B.V.) to realize the plans. PPP between this private consortium, ISE and the City of
Eindhoven is assured by a DBFMO contract in 2011. Since then, the consortium is responsible for
Design, Build, Finance, Maintain and Operate of the entire project. Because of this construction the
school can focus on its main purpose, that is giving education. The City of Eindhoven contributes with
an annual financial contribution. The realization date of the construction works is set in 2013 and the
contract lasts for 30 years. DBFMO contracts are relatively new as PPP model in the Netherlands. In
Eindhoven it succeeded because earlier attempts by traditional public tendering failed. The chosen
PPP construction didnt only made realization possible, it also turned out be a 10% cheaper.

Community-based Approach

Anticipating on decline
Several regions in the north and south of the Netherlands, including cities such as Heerlen, Delfzijl
and Terneuzen, face population and economic decline. They are severely affected by the current
economic crisis and urban growth isnt expected in the nearby future. These areas are in particular
need of increased assistance. Unlike vital economic regions in the central parts of the country,
including cities such as Amsterdam, Utrecht and Eindhoven, financial incentives and utilizing heritage
buildings isnt self-evident. Because economic decline could lead to social and urban degeneration,
local authorities focus on urban environmental management. Public and private stakeholders started
projects improving living environment and managing historical precincts. Targets are not
commercially orientated and private stakeholders are more likely to be NGOs, local institutions,
locally based private entrepreneurs and the local community. Its their environment thats affected
by economic decline and its in their (both public and private stakeholders) interest that economic
decline doesnt lead to social degeneration.

On the other hand, the local community appreciates heritage features of their living environment
highly. Managing urban historical precinct therefore is integrated in urban environmental
management. In the municipality of Dongeradeel and the town of Nagele in the north part of the
country, such projects have been initiated recently. Technically seen these are not PPP projects,
because a legal agreement between public and private stakeholders regarding the overall vision isnt
signed. Nevertheless these projects give a good perspective in combining heritage management and
improving living conditions by public-private initiative. The role of the government is to facilitate,
initiate or even participate in projects. It therefore provides a breeding ground for possible PPP
projects to be implemented and which could contain parts of the stadsherstel and integrated
approach, customized to comply with local needs. Because the local community plays a key role in
the projects it could best be described as a community-based approach.



PUBLIC-PRIVATE PARTNERSHIP (PPP) IN MANAGING HISTORICAL URBAN PRECINCTS Workshop, May 6-8, 2013

45

Village Development Company, Dongeradeel
Dongeradeel is a municipality in the northern province of Friesland, part of the Wadden Sea Region.
Until medieval times there were no dykes and the tide brought water in and out. The inhabitants
protected themself by making dwelling mouths (the terp). Some dating back before Roman times,
they are archeological treasures and contain impressive built heritage and protected townscapes.
Regarding the latter, four are situated in Dongeradeel: Holwerd, Ee, Metslawier and Moddergat.
These villages are affected by depopulation and degeneration which results in social decline and
deteriorated heritage buildings. Most of those buildings are private properties. The project
Sustainable Protected Townscapes Dongeradeel by the local municipality of Dongeradeel
concentrates on these problems.

Depopulation cant be halted in this region and demolishing the surplus of properties could be
necessary. This doesnt mean the downward social spiral cant be halted. Therefore the main
objective of the project is to maintain the villages as attractive living environment. Heritage features
can keep the living climate of the villages attractive for existing and new inhabitants and local
ventures. This could decelerate the process of depopulation and gives opportunities for adaptive re-
use and rehabilitation due to new investment in heritage building and public space. Supported by
NGOs and the provincial and national government, local stakeholders and inhabitants of the villages
developed a vision on integrated conservation for every village. The municipality of Dongeradeel
initiated and facilitates the project.

Surveys regarding urban heritage (Cultuurhistorische Verkenning), built heritage (Bouwhistorische
Verkenning) and wishes of the community (Dorpsverkenning) played a significant role as a guidance
framework. To implement the vision, specific companies have been installed to assure community-
based urban environmental management. Every village has a Village Development Company, and in
addition an overall company was installed in 2012. These so called Village Development Companies
decide about low and non-interest loans for maintenance, purchase, preservation and demolishing of
structures, and possible investments in upgrading public space. They are led by representatives of
the local community and the local municipality and implementation is assured by public stakeholders
such as the local authority and private stakeholders such as NGOs focusing on improving living
conditions on the country side and landscape preservation.

Implementation Laboratory, Nagele
The Dutch national policy for area-based heritage management Character in Focus recognizes the
village of Nagele as an outstanding example of town planning during the reconstruction era after the
Second World War. This new town is situates in the Noordoostpolder, the land reclamation of the
Zuiderzee. Nagele was designed in the late 1940s by famous Dutch architects as a model village for
town planning and architectural ideas of the Modern Movement. Nowadays, Nagele attracts a lot of
(inter-)national attention, especially from architects and scholars, but also faces significant changes
regarding social housing and the viability of local enterprises. Unused buildings deteriorate and
without new functions and proper guidelines Nageles original features will disappear. Plans have
been made to reverse the negative trend and to give the village and its heritage future prospects. A
PUBLIC-PRIVATE PARTNERSHIP (PPP) IN MANAGING HISTORICAL URBAN PRECINCTS Workshop, May 6-8, 2013

46

Research Lab (2010) explored conservation and revitalizing opportunities and during a Design Lab
(2011) several ideas have been elaborated.

These laboratories have been executed together with the local community. Due to lack of sufficient
funding and sustainable economic activity realization of all ideas isnt practically possible. Therefore
the follow-up aims to develop new strategies by facilitating, supporting and inviting private initiative.
This is to be seen as a dynamic process to attract new possibilities, by creating a favourable climatic
for conservation and development. To accommodate this process a Implementation Lab will be
installed in 2013. Although this approach is dynamic, guidance and focus are evident to assure
projects enhance each other. Therefore, collaboration between public and private stakeholders is
based on a common vision Development Prospects Nagele- which is based on the outcomes of
previous laboratories. Collaborating parties are private entrepreneurs, the local housing corporation,
the local museum, NGOs and educational institutions. Representatives of the local community are
closely involved, consulted and inhabitants of Nagele participate in several projects.

Public stakeholders fund, facilitate, stimulate and participate if necessary in projects, which comes
together with customized PPP constructions to implement the goals. The stadsherstel approach
serves as inspiration, for example Vereniging Hendrick de Keyser is invited to purchase and restore
one of most distinctive dwelling units of Nagele. A Nagele fund is considered to be installed for (co-
)financing projects and to provide private investment low interest loans according to the revolving
fund principle of the private National Restoration Fund (NRF). NRF is owned by Rabobank, a large
Dutch multinational co-operative bank, and accommodates financial organization of funding heritage
preservation. Because lending means financial resources eventually return, funding of future projects
are made possible. After the national government agreed on financial commitment to fund the
project in Nagele in 2012, the local municipality followed quickly. The provincial government decided
to give financial contributions depending on the type of project.

Conclusion

Although its self-evident, the most important lesson to be learned from Dutch practice is that PPP is
not a goal in itself. PPP has to be seen as a tool to accomplish a broader objective. It could be social
or commercial interest of private stakeholders, but could also be part of public policy creating
favourable conditions, such as a rehabilitation programme for historic neighborhoods,
redevelopment or adaptive reuse of heritage sites or even urban environmental management in
protected townscapes. Understanding and anticipating on the urban, social and economic context is
of great importance for a successful implementation of a PPP project. Essential in the partnership is
that public and private share a common interest, respect each others role and work together in a
culture of consent. Furthermore implementing PPP requires long term preparation before signing a
PPP contract and long term commitment when it comes to execution of a PPP project.

A fixed template for implementation of PPP in managing historical urban precincts doesnt exist.
Application of PPP can be achieved by a wide range of options and requires specific (local) knowledge
as it comes to the practice of legal entities, financial expertise and project management. With the
PUBLIC-PRIVATE PARTNERSHIP (PPP) IN MANAGING HISTORICAL URBAN PRECINCTS Workshop, May 6-8, 2013

47

exception of the stadsherstel organizations, this kind of knowledge is hardly found in the cultural
sector, but arises from cooperation with experts from the urban planning sector or private
stakeholders. Application of heritage management in the preparation of PPP however, is a core task
of heritage experts and could be achieved in different ways. Determination of the most valuable
heritage features, of the structure and its surroundings or even an entire area to preserve, is evident.
A development orientated approach in managing historical urban precincts has proven to be vital, if
heritage wants to survive or revive and become an important asset for the PPP project involved.

References

Balk, J., S. Dudok van Heel, J. van der Veen and H. Zantkuyl, Mens en Monument, 25 jaar Stadsherstel
Amsterdam, Amsterdamse Maatschappij tot Stadsherstel nv, Amsterdam 1981.

CRIMSON, De Constant Rebecque Kazerne: Cultuurhistorische analyse van de kazerne als
stedenbouwkundig ensemble, 2010.

Deloitte, IBR and Stibbe, Handleiding bij toepassing van allianties door Rijksgebouwendienst, Den
Haag 2008.

Gemeente Eindhoven and ISE, Ambitiedocument - PPS Campus Internationale School Eindhoven,
Eindhoven 2010.

Gemeente Eindhoven and ISE, Brochure International School Eindhoven (English), Available from:
http://strijpr.nl/_userdata/files/Brochure%20Internationale%20SchoolEindhoven%20juli%202010%2
0English%20met%20nwe%20.pdf

Gemeente Noordoostpolder/Rijksdienst voor het Cultureel Erfgoed, Ontwikkelingsperspectief
Nagele, Emmeloord 2013.

Harkes N. and K. van de Laar, Stagnatie of succes? Quickscan van StrijpS, NEXT Vastgoed Consultancy
BV, Rotterdam 2011.

Ministry of Education, Culture and Science, Character in Focus, Vision for Heritage and Spatial
Planning, The Hague 2011. Available from:
http://www.cultureelerfgoed.nl/sites/default/files/u6/publicatie_Characterinfocus%5B1%5D.pdf

Ministerie van Volkshuisvesting en Ruimtelijke Ordening and Ministerie van Cultuur, Recreatie en
Maatschappelijk Werk, Hersteld verleden van dorpen en steden, een wegwijzer voor stads- en
dorpsherstel, Den Haag 1976.

Park Strijp Beheer B.V., Brochure Strijp-S (English), Available from: http://www.strijp-
s.nl/App/Resources/media/documenten/Strijp-S_brochure_UK.pdf

PUBLIC-PRIVATE PARTNERSHIP (PPP) IN MANAGING HISTORICAL URBAN PRECINCTS Workshop, May 6-8, 2013

48

Rijksdienst voor het Cultureel Erfgoed, Cultuurhistorische verkenning: krimp in de beschermde
dorpsgezichten van Dongeradeel, Amersfoort 2012.

Rijksdienst voor de Monumentenzorg, Historische factor verdeelsleutel stadsvernieuwingsfonds, Zeist
1984.

Rypkema, D., and C. Cheong, Public-Private Partnerships and Heritage: A Practitioners Guide,
Heritage Strategies International, Washington DC 2012.

Stadsherstel Amsterdam N.V., Brochure Stadsherstel Amsterdam (English). The company for city
restoration 2006-2011, Amsterdam 2011. Available from: http://www.stadsherstel.nl/ul/cms/fck-
uploaded/StadsherstelEngels2011.pdf

Weusthuis en Partners/Weusthuis Associatie and Platform 31, De Dorpsontwikkelingsmaatschappij
(DOM), Voorstel voor organisatie, Den Haag 2013.
PUBLIC-PRIVATE PARTNERSHIP (PPP) IN MANAGING HISTORICAL URBAN PRECINCTS Workshop, May 6-8, 2013

49

Appendix 3
Paper contributed to the workshop, by Amiluhur Soeroso

PUBLIC-PRIVATE PARTNERSHIP (PPP) IN MANAGING HISTORICAL URBAN PRECINCTS Workshop, May 6-8, 2013

50



PUBLIC-PRIVATE PARTNERSHIP (PPP) IN MANAGING HISTORICAL URBAN PRECINCTS Workshop, May 6-8, 2013

51

PUBLIC PRIVATE PARTNERSHIP FOR CULTURAL HERITAGE ASSETS
Dr. Amiluhur Soeroso

SUMMARY

Public Private Partnership (PPP) is a contractual agreement between the government,
either central or local and private partners. Through this agreement, the skills and assets
of both parties (government and private) were cooperated in providing services to the
community. Within cooperation, risks and potential benefits in providing services or
facilities were taken by both parties. Risk means the probability of occurrence of events
or outcomes that is not in line with expectations. Risks could potentially cause loss.
The implementation of the PPP consists of three important dimensions: politics (good
governance and good society), administrative (financial, human and management
source), and economic (risk reducing). According to Bult-Spiering and Dewulf (2006),
PPP was built on four pillars, namely (1) actors, (2) network, (3) project, and (4)
relationship. PPP actors or protagonists are public (government) and private sector.
Each sector has their goals, interests, and different organizational structures. One or
both may act as funds lenders. They may also involve a third party, namely banking, if
large capital is required.
The process of PPP started from the defining of a project and selection of desired
funding, followed with a feasibility study. After that, the process is continued by making
the planning and a series of asset assessment, system, licensing, political climate, vendor
research, etc. The following step is to conduct the procurement process (including
contract negotiations), implementation (construction and administration). The last step
is the project operational.
PPP model is categorized as a form of authority (control) on the property together, have
a responsibility, liability and risk of joint, joint investment and mutual benefit, so that
the parties' mutual benefit, based on the level of involvement of public and private
sector. They can be classified based on the level of public and private sector involvement
and the level of risk allocation between the two. To better understand, risk management
should also be known. It is a structured approach in managing uncertainty related to a
threat, including a series of human activities.
PPP has been successfully applied in a large number of basic infrastructure projects and
the provision of public services. This model will create cost efficiencies and improved
customer service delivery. PPP has also been applied in some cases of cultural heritage
property management. In their cases, the basic incentives to private partners is still
limited to philanthropy or aspects of "goodwill", the availability of tax concessions,
advertising opportunities or prospects of real- estate, with limited operational risk
transfer.
PUBLIC-PRIVATE PARTNERSHIP (PPP) IN MANAGING HISTORICAL URBAN PRECINCTS Workshop, May 6-8, 2013

52

For the management of cultural heritage including buildings, traditional settlements,
cultural landscapes, and /or utilization of endangered typical space, as mandated under
Article 42e of the Law No.11/2010 on Heritage Conservation, seems that the
government hasnt had figured out yet for cooperation.
In Article 1 (29) Law No.11/2010, development is a mean to improve potential value,
information, and promotion of heritage and its utilization through research,
revitalization, and sustainable adaptation and should not be against conservation. While
Article 1 (33) stated that utilization means the use of heritage for the benefit of the
people welfare while keeping its sustainability.
While the Article 85 paragraph 2 and 3 mentioned that the Government and local
government will facilitate the utilization and the promotion of heritage which is done by
each person, and facilitation as referred in paragraph (2) is in the form of providing
license to use, Preservation Expert support, financial support, and /or training.
Unfortunately, government issued several other regulations on PPP which seemed to be
lack of coherence between the support and the method of procurement through PPP,
such as:
1. Presidential Regulation No. 56/2011 concerning the Second Amendment
to Presidential Regulation No. 65/2005 on Public Private Partnership in
Infrastructure Provision;
2. Minister of National Development Planning /Head of Bappenas Regulation
No.3/2010 on General Guidelines for the Implementation of Public Private
Partnership in Infrastructure Provision.
Heritage community has a challenge to include PPP in managing heritage assets to be
considered in any regulations (presidential regulation or law) on Public Private
Partnership. It should also be understood that risk will always be inherent in PPP and is
always changing all the time. Therefore, the steps that need to be taken in decision-
making and to monitor the effectiveness and efficiency of risk management are
important.
Thus, we need to realize also that the development of comprehensive model of a private
partner-led management of the cultural heritage properties is not easy. A proposal is not
enough to simply discuss "concerns" to the desired site and commercialization by
cultural observers and citizens. It must also be able to demonstrate the trickle-down
effect on the community.
PUBLIC-PRIVATE PARTNERSHIP (PPP) IN MANAGING HISTORICAL URBAN PRECINCTS Workshop, May 6-8, 2013

53

KERJASAMA PEMERINTAH SWASTA DENGAN OBJEK PUSAKA BUDAYA
Dr. Amiluhur Soeroso

Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS) atau sering juga disebut sebagai Public Private
Partnership (PPP) merupakan suatu perjanjian kontrak antara pemerintah, baik pusat
ataupun daerah dengan mitra swasta. Melalui perjanjian ini, keahlian dan aset dari
kedua belah pihak (pemerintah dan swasta) dikerjasamakan dalam menyediakan
pelayanan kepada masyarakat. Dalam melakukan kerjasama itu, risiko dan manfaat
potensial dalam menyediakan pelayanan ataupun fasilitas ditanggung pemerintah dan
swasta.Risiko disini merupakan probabilitas terjadinya peristiwa atau hasil (out come)
yang tidak sesuai dengan harapan sehingga berpotensi menimbulkan kerugian.
Dalam pelaksanaan KPS (PPP) terkandung tiga dimensi penting yaitu politik (good
governance and good society), administratif (sumberdaya: keuangan, manusia dan
manajemen), dan ekonomi (mengurangi risiko). Menurut Bult-Spiering & Dewulf
(2006),KPS (PPP) dibangun di atas 4 (empat) pilar yaitu (1) aktor (actors); (2) jejaring
(network); (3) proyek (project); dan (4) kemitraan atau kerjasama (relationship). Aktor
atau pelaku utama KPS adalah sektor publik (pemerintah) dan sektor swasta.Para pihak
mempunyai tujuan, kepentingan, dan struktur organisasi yang berbeda. Satu atau
keduanya dapat bertindak sebagaipenyandang dana (lender), atau dapat pula
melibatkan pihak ketiga, yaitu perbankan,jika kapital yang dibutuhkan besar.
Dengan demikian untuk menciptakan keberhasilan hubungan atau kerjasama maka
sangatlah penting untuk memahami tujuan dan kepentingan dari para pelaku (Linder,
1999).
Sebagai contoh, Kota Talisay di Provinsi Negros Occidental, Filipina yang sarat
denganlingkungan budaya melakukan proyek restorasi pusaka budaya untuk
mengembalikan, mengembangkan dan mengubah 13.757 meter persegi Kompleks Kota
Talisay, yang terdiri dari Pasar Induk lama dan Balai Kota (Gambar 1), menjadi
kompleks campuran yang digunakan untuk tujuan komersial sembari juga melestarikan
dan memulihkan struktur tua kota tersebut dengan model KPS (PPP).
Lebih lanjut, proyek ini diharapkan dapat menjadi daya tarik wisata utama di Kota
Talisay. Proyek restorasi terhadap pusaka budaya negara ini baru pertama kali
dilakukan dengan model KPS (PPP).
PUBLIC-PRIVATE PARTNERSHIP (PPP) IN MANAGING HISTORICAL URBAN PRECINCTS Workshop, May 6-8, 2013

54


Gambar 1 Balai Kota Talisay dan Pasar Induk Kota Talisay

URGENSI KPS (PPP)
Hal penting dalam sistem KPS (PPP) menyangkut beberapa hal sebagai berikut.
1. Adanya kompetisi dan akses ke pasardengan tidak menciptakan pasar tertutup
atau tidak kompetitif;
2. Melindungi aset publik. Adanya sistem pengelolaan dan monitoring yang efektif.
Misalnya membentuk lembaga publik yang independen untuk mengawasi
jalannya proyek;
3. Kesesuaian antara regulasi dan kebutuhan nasional dan daerah,sesuai perjanjian
di dalam KPS;
4. Menciptakan keseimbangan antara manfaat proyek yang diterima publik, dan
pembatasan keuntungan yang berlebihan pada pihak swasta;
5. Pemilihankesesuaian jenis KPS (PPP)dengan biaya, kemampuan untuk
melaksanakan dan mengelola secara efektif;
6. Regulasi. Pengelolaan dana publik membutuhkan regulasi yang transparan yang
mengatur tata cara pemilihan mitra swasta, bagaimana pembiayaan dapat
digunakan dan manfaat apa yang akan diperoleh semua pihak yang terlibat;
7. Penjadwalan. Perlu rancangan jadwal KPS yang optimal, mulai dari awal sampai
dengan akhir kegiatan, dengan melibatkansemua pihak;
8. Persyaratan lain. Butuh reformasi regulasi untuk pelaksanaannya.

PERAN PEMERINTAH DALAM KPS (PPP)
Serangkaian peran pemerintah dalam KPS (PPP) dapat diidentifikasi sebagai berikut.
1. Menentukan kebijakan, mengidentifikasi peluang, dan menentukan tujuan;
2. Memastikan transparansi dan kejujuran dalam proses pengadaan;
3. Mengidentifikasi dan mengusulkan alokasi risiko;
PUBLIC-PRIVATE PARTNERSHIP (PPP) IN MANAGING HISTORICAL URBAN PRECINCTS Workshop, May 6-8, 2013

55

4. Mengidentifikasi kebutuhan dalam hal spesifikasi output/outcome yang
mendorong fleksibilitas dan inovasi dalam cara berkinerja;
5. Mengatur dan memastikan terpenuhinya standar kesehatan, keselamatan, dan
lingkungan;
6. Menetapkan, mengawasi dan menegakkan tingkat layanan;
7. Memastikan nilai uang tercapai;
8. Menentukan dan mengatur mekanisme imbalan dan struktur tariff;
9. Menyediakan kerangka peraturan yang jelas dan melakukan fungsi regulasi;
10. Menjaga kepentingan pelanggan dan masyarakat umum;
11. Dalam beberapa proyek PPP, pemerintah tetap akan menyediakan staf garis
depan.
Untuk memastikan keberhasilan pembentukan dan pelaksanaan program proyek KPS
(PPP), pemerintah perlu mendorong perkembangan pasar sektor swasta, dengan
memastikan aliran proyek yang memadai dan prosedur yang baik dan tertentu untuk
meminta dan menerima proposal.

PERAN SWASTA DALAM KPS (PPP)
Peran sektor swasta adalah untuk memberikan solusi yang efektif secara komersial
untuk membantu pemerintah mendapatkan hasil dengan pencapaian tingkat kinerja
yang ditetapkan dalam pemberian layanan, dan penyediaan:
1. Keahlian dan inovasi;
2. Akses, khususnya dalam hal pembiayaan;
3. Tingkat pengembalian uang (return) yang memadai kepada investor dan
pemangku kepentingan lainnya.
Sektor swasta biasanya akan membentuk konsorsium untuk menyediakan fasilitas dan
memberikan layanan. Konsorsium tersebut mungkin dapat merancang, membangun dan
mengoperasikan fasilitas dan memberikan layanan tambahan. Atau, bahkan
mengadakan kontrak dengan pihak ketiga yang tepat untuk memberikan layanan yang
relevan.

JENIS KPS (PPP)
Tiga jenis KPS (PPP) yang diketahui adalah mengalokasikan risiko proyek dengan cara
yang berbeda, yaitutransfer aset (pemerintah menjual aset atau privatisasi ke sektor
swasta), mengontrakkan pelayanan (pemerintah melakukan alih daya atau outsource
pelayanan) dan pembiayaan swasta (aset atau inisiatif yang didanai oleh sektor swasta
di bawah beberapa perubahanelemen seperti rancang, bangun, beli, sewa,
mengembangkan, mengoperasikan, memelihara, atau transfer. Pengembang
memberikan kontribusi modal dan keuntungan sehingga mereka menerima konsesi
PUBLIC-PRIVATE PARTNERSHIP (PPP) IN MANAGING HISTORICAL URBAN PRECINCTS Workshop, May 6-8, 2013

56

untuk menerima pendapatan di masa depan dalam periode waktu yang terbatas atau
bahkan selamanya, sesuai dengan kontrak yang diperjanjikan. Namun, dalam konteks
heritage di Indonesia, kontrak kerjasama ini lebih ditujukan bukan pada bentuk
privatisasi tetapi pada kerja simbiosis mutualistik (saling menguntungkan).
Secara umum bentuk kontrak KPS (PPP) terdiri dari konsesi dan joint venture. Menurut
Miller(2000), bentuk KPS yang lazim digunakan di dalam kontrak konsesi, antara lain
adalah sebagai berikut.
1. Operations and Maintenance (Operasional dan Pemeliharaan). Pemerintah
mengontrak sektor swasta untuk mengoperasikan dan memelihara fasilitas milik
publik.

Contoh: penyediaan air minum, pengolahan limbah, pengolahan sampah,
perbaikan jalan, pemeliharaan taman (landscape), perbaikan arena bermain dan
fasilitas rekreasi yang lain, fasilitas parkir, jaringan riol dan sebagainya;

2. Build (Rancang dan Bangun). Pemerintah mengontrak swasta untuk merancang
dan membangun sebuah fasilitas sesuai standar dan kinerja yang diinginkan.
Begitu fasilitas selesai dibangun, pemerintah menjadi pemilik fasilitas dan
berkewajiban mengoperasikan fasilitas tersebut.

Contoh: proyek bangunan dan infrastruktur publik, seperti jalan, jalan tol, air
bersih, pengolahan limbah, riol, arena bermain, kolam renang dan fasilitas
pemerintah yang lain;

3. Turnkey Operation (Operasional Turnkey). Pemerintah menyediakan pembiayaan
sebuah pekerjaan dengan menggandeng swasta untuk mendesain, membangun
dan mengoperasikan fasilitas selama waktu tertentu.Sektor publik mempunyai
kepentingan untuk kepemilikan fasilitas yang kuat tapi mengharapkan
keuntungan dari konstruksi dan operasi yang dilakukan oleh pihak swasta.

Contoh: fasilitas infrastruktur, jaringan air dan pengolahan limbah, bangunan
kantor pemerintahan;

4. Wrap Around Addition. Sektor swasta membiayai dan membangun fasilitas
tambahan pada fasilitas publik yang sudah ada. Kemudian swasta mengelola
fasilitas tambahan tersebut pada waktu tertentu atau sampai mencapai
pengembalian investasi dan pendapatan.

Contoh: fasilitas dan infrastruktur publik, termasuk jalan, sistem air bersih,
sistem persampahan, sistem pengolahan limbah dan fasilitas rekreasi;

5. Lease-Purchase (Sewa-Beli). Kontrak pemerintah daerah dengan swasta untuk
merancang, membiayai dan membangun sebuah fasilitas yang digunakan untuk
PUBLIC-PRIVATE PARTNERSHIP (PPP) IN MANAGING HISTORICAL URBAN PRECINCTS Workshop, May 6-8, 2013

57

pelayanan publik. Pihak swasta kemudian menyewakan fasilitas kepada
pemerintah selama waktu tertentu.Kepemilikan fasilitas menjadi milik
pemerintah. Pendekatan ini dilakukan pada saat pemerintah membutuhkan
sebuah fasilitas baru akan tetapi tidak dalam posisi untuk menyediakan biaya.

Contoh: bangunan, armada kendaraan, air dan pengolahan limbah, pengolahan
sampah dan peralatan komputer;

6. Temporary Privatization (Privatisasi Sementara). Kepemilikan sebuah fasilitas
publik diserahkan kepada swasta yang akan memperbaiki atau mengembangkan
fasilitas. Fasilitas kemudian dimiliki dan dioperasikan oleh swasta selama waktu
tertentu seperti dalam kontrak atau sampai swasta mengembalikan biaya
investasi dan mencapai keuntungan yang layak.

Contoh: jalan, sistem air bersih, sistem riol, pengolahan limbah, fasilitas parkir,
bangunan pemerintah, bandara dan fasilitas rekreasi;

7. Lease-Develop-Operate atau LDO (Sewa-Bangun-Operasi) atau Buy-Develop-
Operate atau BDO (Beli-Bangun-Operasi). Dalam skema kerjasama ini swasta
menyewa atau membeli sebuah fasilitas dari pemerintah daerah,
mengembangkannya, dan kemudian mengoperasikannya dibawah kontrak
dengan pemerintah daerah. Dalam hal ini swasta diharapkan dapat berinvestasi
dalam bentuk pengembangan atau perbaikan fasilitas dan diberikan waktu
pengelolaan tertentu untuk mengembalikan investasinya tersebut.

Contoh: jalan, sistem air bersih, sistem persampahan, instalasi pengolahan
limbah, fasilitas parkir, bangunan pemerintah, bandara, dan fasilitas rekreasi
seperti kolam renang atau arena olah raga;

8. Build-Transfer-Operate (Bangun-Transfer-Operasi). Pemerintah dapat
mengontrak swasta untuk membiayai dan membangun sebuah fasilitas. Begitu
selesai, swasta mengalihkan kepemilikan fasilitas kepada pemerintah.
Pemerintah kemudian menyewakan kembali fasilitas kepada swasta melalui
sebuah kontrak jangka panjang dimana swasta berkesempatan untuk
mengembalikan investasinya serta mendapatkan keuntungan yang layak.

Contoh: jalan, air bersih, sistem riol, pengolahan limbah, fasilitas parkir,
bangunan pemerintah, bandara dan fasilitas rekreasi.

9. Build-Own-Operate-Transfer (Bangun-Beli-Operasi-Transfer). Swasta
mendapatkan kontrak eksklusif untuk membiayai, membangun, mengoperasikan,
PUBLIC-PRIVATE PARTNERSHIP (PPP) IN MANAGING HISTORICAL URBAN PRECINCTS Workshop, May 6-8, 2013

58

memelihara, mengatur dan mengumpulkan pendapatan dari tarif selama periode
tertentu untuk melunasi, investasi. Pada akhir masa kontrak, kepemilikan
menjadi milik publik.

Contoh: jalan, air bersih, sistem riol, pengolahan limbah, fasilitas parkir,
bangunan pemerintah, bandara dan fasilitas rekreasi;

10. Build-Own-Operate (Bangun-Beli-Operasi). Pemerintah dapat sekaligus
mengalihkan kepemilikan dan tanggung jawab sebuah fasilitas kepada sektor
swasta untuk membangun, memiliki dan mengoperasikan sebuah fasilitas baru
selama-lamanya. Sektor swasta secara umum menyediakan semua kebutuhan
pendanaan.

Contoh: jalan, air bersih, pengolahan limbah, fasilitas parkir, bangunan
pemerintah, bandara dan fasilitas rekreasi.
Sementara pada KPS yang berbentuk joint venture, aktor publik (pemerintah) adalah
regulator dan pemegang saham dalam kerjasama operasional.Di sini terdapat
pembagian keuntungan operasional dan memastikan upaya perlindunganterhadap
kepentingan dan kebutuhan publik. Meskipun aktor swasta seringkali memiliki
tanggung jawab utama untuk melakukan keseharian manajemen operasional, sektor
publik (pemerintah)tetap haus berperan pada pengelolaan korporasi dan tingkat
manajemen harian (Kurniawan et al., 2009).

PROSES KPS (PPP)
Alur proses terjadinya KPS (PPP) diperlihatkan secara komprehensif melalui Gambar 1.
Dimulai dari pendifinisian proyek dan pemilihan pendanaan yang diinginkan, kemudian
dilanjutkan dengan studi kelayakan. Setelah itu dilakukan perencanaan dan serangkaian
pengujian terhadap asset, sistem, perijinan, iklim politik, penelitian vendor dsb. Langkah
berikut adalah melakukan proses pengadaan (termasuk negosiasi kontrak),
implementasi (konstruksi dan administrasi) dan terakhir adalah operasional proyek
tersebut.
PUBLIC-PRIVATE PARTNERSHIP (PPP) IN MANAGING HISTORICAL URBAN PRECINCTS Workshop, May 6-8, 2013

59


Gambar 2 Alur Program KPS (PPP)
STUDI KELAYAKAN
Salah satu proses penting dalam KPS adalah studi kelayakan. Untuk menilai kelayakan
bisnis dapat dilakukan dengan beberapa metode mulai dari yang sederhana seperti
Payback Period (PP) sampai dengan yang kompleks seperti NPV (Net Present Value) dan
IRR (Internal Rate of Return) dan lain-lain.

PP (Payback Period)
Metode periode pengembalian (Payback Period) digunakan untuk mengukur lamanya
waktupengembalian investasi. Semakin pendek (cepat) jangka waktu kembalinya
investasi maka semakin baik proyek tersebut. Kelemahan dari metode ini adalah: (1)
tidak memperhitungkan nilai waktu uang, dan (2) tidak memperhitungkan aliran kas
sesudah periode payback.
Contoh: Suatu proyek membutuhkan dana investasi Rp 60 juta dan akan menghasilkan
aliran kas yang kontinu sebesar Rp 30 juta setiap tahunnya,maka payback period-nya
adalah :
Payback Period (PP) = 60/30 x 1 tahun = 2 tahun
Contoh: Proyek senilai Rp 60 juta menghasilkan aliran kasyang fluktuatif selama 4 tahun
berturut-turut 15, 25, 30 dan 35juta rupiah.Payback period-nya dapat dihitung sebagai
berikut.
Investasi - 60
Aliran Kas Tahun 1 15
Sisa Investasi Tahun 1 - 45
Aliran Kas Tahun 2 25
Sisa Investasi Tahun 2 - 20
Aliran Kas Tahun 3 30
Terminal 10
PUBLIC-PRIVATE PARTNERSHIP (PPP) IN MANAGING HISTORICAL URBAN PRECINCTS Workshop, May 6-8, 2013

60

Keterangan: investasi diberi tanda minus, artinya pemrakarsa mengeluarkan sejumlah
rupiah dalam kas atau mengurangi jumlah kas di tangan (cash on hand) untuk biaya
investasi.
Payback Period = 2 tahun + (20/30) x1 tahun = 2,6 tahun

NPV (Net Present Value)
NPV merupakan metode yang sangat memperhatikan nilai waktu uang. Perhitungannya
adalah dengan melihat selisih antara nilai sekarang dari cash flow dan investasi yang
ditanamkan dalam usaha. NPV adalah selisih antara present value dari investasi dengan
nilai sekarang dari penerimaan-penerimaan kas bersih di masa yang akan datang. Untuk
menghitung nilai sekarang perlu ditentukan tingkat bunga yang relevan. Jika NPV0
usulan investasi proyek diterima.
Contoh: Sebuah proyek senilai Rp 600 juta selama 4 tahun diharapkan menghasilkan
aliran kas (cash flow)masing-masing Rp 150jt, Rp 200jt, Rp 250jt dan Rp 300jt. Jika
keuntungan yang diinginkan 15% maka perhitungan NPV-nya dapat dilihat pada Tabel
1.

Tabel 1 NPV Proyek dengan r=15%
Tahun Aliran Kas
(Rp. Juta)
Tingkat diskonto
1/(1+r)
n

PV dari Aliran Kas
(Rp. Juta)
(1) (2) (3) (4) = (2) * (3)
1 150 0,870 130,50
2 200 0,756 151,20
3 250 0,658 164,50
4 300 0,572 171,60
Total PV dari Aliran Kas 617,80
PV dari Investasi (minus) 600,00
NPV 17,80
Keterangan: r keuntungan yang diharapkan (15%), n tahun, PV Present Value

Dari perhitungan tersebut,hasil NPV adalah positif(Rp. 17,80 juta) atau PV cash flow
lebih besar dari (>) Investasi, maka proyek layak untuk dijalankan.

IRR (Internal Rate of Return)
Metode IRR adalah tingkat diskonto (discount rate) yang menyamakan present value
aliran kas masuk dengan present value aliran kas keluar.
PUBLIC-PRIVATE PARTNERSHIP (PPP) IN MANAGING HISTORICAL URBAN PRECINCTS Workshop, May 6-8, 2013

61



Keputusan investasi:
IRR lebih besar dari tingkat keuntungan yang disyaratkan, maka usulan investasi
diterima (dan sebaliknya)
Contoh: Sebuah proyek senilai Rp 600.000.00,- selama 4 tahun diharapkan
menghasilkan aliran kas (cash flow)masing-masing Rp 150jt, Rp 200jt, Rp 250jt dan Rp
300jt.Keuntungan yang diinginkan 15%.
Maka perhitungan NPV positifnya (Rp. 17,80 juta) dapat dilihat pada Tabel 1, sedangkan
NPV negatif dihitung dengan cara menaikkan tingkat diskonto atau discount
rate(misalkan) menjadi 20%.

Tabel 2 NPV Proyek dengan r=20%
Tahun Aliran Kas
(Rp. Juta)
Tingkat diskonto
1/(1+r)
n

PV dari Aliran Kas
(Rp. Juta)
(1) (2) (3) (4) = (2) * (3)
1 150 0,833 124,95
2 200 0,694 138,80
3 250 0,579 144,75
4 300 0,482 144,60
Total PV dari Aliran Kas 553,10
PV dari Investasi (minus) 600,00
NPV -46,90
Keterangan: r keuntungan yang diharapkan (20%), n tahun, PV Present Value

IRR = 15% + (17,80/ 553,10 + 617,80) X ( 20% - 15% ) = 15,0138%.
Oleh karena IRR (15,0138%)lebih besar dari keuntungan yang disyaratkan (15%), maka
proyek dinyatakan layak dilaksanakan.

MANAJEMEN RISIKO
Model KPS (PPP) dikategorikan sebagai bentuk otoritas (penguasaan) terhadap properti
secara bersama, memiliki tanggung jawab, kewajiban dan risiko bersama, melakukan
investasi bersama dan menerima manfaat bersama, sehingga saling menguntungkan
para pihak, berdasarkan tingkat keterlibatan sektor publik dan swasta, dan mereka
dapat klasifikasikan berdasarkan tingkat keterlibatan sektor publik dan swasta dan
tingkat alokasi risiko di antara keduanya. Untuk lebih memahaminya, perlu juga
PUBLIC-PRIVATE PARTNERSHIP (PPP) IN MANAGING HISTORICAL URBAN PRECINCTS Workshop, May 6-8, 2013

62

diketahui tentang manajemen risiko yaitusuatu pendekatan terstruktur dalam
mengelola ketidakpastian yang berkaitan dengan ancaman, termasuk rangkaian
aktivitas manusia. Di sini terkandung pula:
1. Penilaian risiko, pengembangan strategi untuk mengelolanya; dan
2. Mitigasi risiko dengan menggunakan pemberdayaan/pengelolaan sumberdaya.
Strategi yang dapat diambil antara lain adalah memindahkan risiko kepada pihak
lain, menghindari risiko, mengurangi efek negatif risiko, dan menampung
sebagian atau semua konsekuensi risiko tertentu.
Manajemen risiko tradisional terfokus pada risiko-risiko yang timbul oleh penyebab
fisik atau legal (seperti bencana alam atau kebakaran, kematian, serta tuntutan hukum.
Manajemen risiko keuangan, di sisi lain, terfokus pada risiko yang dapat dikelola dengan
menggunakan instrumen-instrumen keuangan
Besaran risiko dapat diukur terhadap (1) tingkat kerusakan properti (harta benda); (2)
berkurangnya aset yang dimiliki;(3) bertambahnya hutang. Adapun risiko keuangan
dalam usaha tergantung kepada (1) besaran investasi, (2) persaingan usaha; (3) besaran
persentase penanaman investasi dari arus kas.
Beberapa jenis risiko yang sering muncul dalam usaha adalah:
1. Risiko bisnis (business risk) adalah risiko yang timbul akibat menurunnya
keuntungan perusahaan;
2. Risiko likuiditas (liquidity risk) adalah risiko yang berkaitan dengan kemampuan
perusahaan untuk dapat segera dipindah-tangankan tanpa mengalami kerugian
yang berarti;
3. Risiko tingkat bunga (interest rate risk)adalah risiko yang timbul akibat
perubahan tingkat bunga yang berlaku di pasar.
Pembagian risiko adalah fitur yang membedakan KPS, dan kemitraan ini pada dasarnya
memungkinkan untuk alokasi atau pengalihan risiko yang lebih efisien kepada mitra
swasta. Pertama transfer risiko menyediakan insentif untuk mengelola dan mengurangi
risiko, dan kedua, bahwa mitra swasta dapat mengelola beberapa jenis risiko lebih
efisien.
Sherma (2007) menyatakan bahwa risiko melekat pada kontrol atau pengelolaan
pengambil risiko utama (primary risk taker) dapat terkait dengan kepemilikan,
operasional maupun keuangan (risiko ekonomi). Beberapa risiko proyek yangpenting
adalah sebagai berikut.
1. Residual Value Risk atau Risiko Nilai Sisa (risiko yang berkaitan dengan
ketidakpastian nilai aset fisik di akhir kontrak);
2. Reputational Risk atau Risiko Reputasi (risiko yang berkaitan dengan publisitas
negatif mengenai hubungan suatu entitas dengan proyek);
PUBLIC-PRIVATE PARTNERSHIP (PPP) IN MANAGING HISTORICAL URBAN PRECINCTS Workshop, May 6-8, 2013

63

3. Occupancy Risk atau Risiko Hunian (risiko bahwa properti akan tetap tidak laku
disewakan atau kurang dimanfaatkan dibandingkan dengan harapan awalnya);
4. Operating Risk atau Risiko Operasional (risiko akibatbervariasinya biaya operasi
sehingga menyebabkan jebolnyaanggaran dalam pemberian layanan);
5. Design and Construction Risk atau Risiko Rancangan dan Konstruksi (risiko
melonjaknya biaya, penundaan konstruksi atau kesalahan rancangan dan
konstruksi), dan
6. Regulatory and Legislative Risk atau Risiko Peraturan dan Legislatif (risiko bahwa
kelayakan suatu proyek akan terpengaruh oleh terjadinya perubahan undang-
undangatau peraturan).

PUBLIC-PRIVATE PARTNERSHIP (PPP) IN MANAGING HISTORICAL URBAN PRECINCTS Workshop, May 6-8, 2013

64

Tabel 3 Lingkup Kerja, Kontrak, Risiko, Manfaat KPS, di India
Proyek Lingkup Perjanjian
dan Periode
Kontrak
Risiko Swasta dan
Level Risiko
Imbalan Yang
Diterima Swasta
Jenis PPP
Proyek
National
Culture Fund
(NCF),
Kebanyakan di
Delhi
Pengembangan
konservasi dan
bekerja di bawah
peran kepengurusan
mitra swasta.
Pemeliharaan
biasanya menjadi
tanggung jawab
badan pemerintah
kota bermitra
perjanjian. Ada
sangat terbatas atau
tidak ada saham
manajemen dalam
pelayanan (3-5
tahun)
Terutama Risiko
Reputasi, meskipun
beberapa unsur
terkait Rancangan&
Konstruksi dan
Risiko Keuangan
juga dialihkan ke
mitra swasta. Risiko
Peraturan, Hunian
dan Operasional
tetap ada pada
badan pemerintah.
(Minimal)
"Goodwill" dan
nilai
Philanthropic
yang timbul dari
visibilitas proyek.
Pembebasan 100%
pajak.
Transparansi
pemerintah dan
kepercayaan yang
lebih besar.
Skema "Adopt-
A-Monument",
di Rajasthan.
Pola mirip Proyek
NCF, minus manfaat
pajak.
Mitra swasta
diharapkan
membiayai badan
bentukan
pemerintah, dan
memimpinnya.

Tidak ada peran
keterlibatan mitra
swasta dalam
penyediaan
layanan(meskipun
kemungkinan
sekarang ada dengan
amandemen legislatif
baru)
Hanya Risiko
Reputasi dialihkan.
Tergantung pada
cara pelaksanaan
pekerjaan, beberapa
unsur rancangan &
Konstruksi dan
Risiko Keuangan
dapat dialihkan ke
mitra swasta. Risiko
Peraturan, Hunian
dan Operasional
tetap ada di badan
pemerintah.
(Minimal)
"Goodwill" dan
nilai
Philanthropic
yang timbul dari
visibilitas proyek.
Pendekatan
inklusif dengan
beberapa bagian
dalam
pengembangan
proyek ke mitra
swasta
menciptakan
insentif swasta
untuk
berpartisipasi.
Pembangunan
dan Otoritas
Manajemen
Jaipur
Heritage
Menciptakan badan
kuasi-publik dengan
otonomi yang lebih
besar dan delegasi
wewenang dari
pemerintah,
kemudahan untuk
dalam masuk ke
dalam kemitraan
lebih lanjut dengan
badan swasta/
masyarakat untuk
pengembangan dan
pengelolaan
monumen
(3-10 tahun)
Risiko Reputasi
ditransfer ke
konsultan swasta.
Dalam hal
penyediaan swasta
terhadappanduan
atau aturankeras-
lembutnya audio
dan cahaya: Risiko
Hunian, Keuangan
dan Operasional
dialihkan ke mitra
swasta.
(Rendah/ Medium)
Aliran biaya
konsultasi
sebagai insentif
swasta. Dalam hal
penyediaan
swasta terhadap
panduan atau
aturankeras-
lembutnya audio
dan cahaya:
insentif keuangan
tergantung pada
kinerja dan
efisiensi yang
tersedia untuk
mitra swasta.
Pendekatan
gradual
(piecemeal) dalam
penyediaan
layanan, dan
memerlukan
koordinasi dari
berbagai
"penyedia
layanan".
Pemisahan
pelayanan antara
sejumlah operator
meminimalkan
risiko monopoli
operasionalisasi
PUBLIC-PRIVATE PARTNERSHIP (PPP) IN MANAGING HISTORICAL URBAN PRECINCTS Workshop, May 6-8, 2013

65

Proyek Lingkup Perjanjian
dan Periode
Kontrak
Risiko Swasta dan
Level Risiko
Imbalan Yang
Diterima Swasta
Jenis PPP
properti oleh satu
entitas.
Proyek Jal
Mahal, Jaipur
Berbagai layanan
termasuk dalam hal
lahan konservasi,
pembangunan,
pengadaan, harga
layanan pengunjung
dan fasilitas wisata
yang diberikan,
selain monumen,
akan dialihkan ke
mitra swasta.
Biaya pengunjung
pada monumen
minimal atau rendah
(kecuali
menggunakan
perahu), atau tidak
dipungut sama sekali.
(Panjang, 99 tahun)
Seluruh risiko
proyek ditransfer ke
mitra swasta,
khususnya, risiko
hunian, operasional,
keuangan, dan
desain dan
konstruksi.
Secara
teoritisbeberapa
elemen risiko
peraturan
ditransfer, tetapi
praktiknya
kebanyakan tidak
begitu.
(Tertinggi)
Kemungkinan
imbalan
keuangan tinggi
yang berasal dari
kegiatan
komersial dan
pengembangan
properti,
dialihkan ke
dalam
pertumbuhan
pendapatan dan
aliran modal yang
mantap.
Pendekatan ini
mungkin tidak
cocok untuk
pusakayang
bernilai tinggi atau
area yang kecil
karena masalah
budaya dan
hukum.
Hal ini
mengakibatkan
"komersialisasi"
atau eksploitasi
berlebihan
terhadap properti,
dan biaya tiket
yang ditetapkan
oleh mekanisme
pasar dapat
berada pada posisi
yang "lebih tinggi"
daripada biasanya.

Abhera Mahal,
Kota
Monumen sejarah
yang harus
dilestarikan dan
dikelola oleh pihak
swasta, yang
berwenang untuk
memasang fasilitas
penting sampai pada
batas tertentu dan
diperbolehkan untuk
mengoperasikan
restoran, menarik
biaya masuk.
Pemerintah
menetapkan biaya
masuk untuk
monumen, yang
dikumpulkan dan
disimpan oleh mitra
swasta. Mitra swasta
membayar biaya
lisensi tahunan
dalam pertukaran
hak-hak kepada
pemerintah.
Tidak ada modalatau
pembangunan
Risiko Hunian,
Operasional dan
Keuangan.
(Tinggi)
Pendapatan dari
tenda dan operasi
restoran, dan dari
pungutan biaya
masuk.
Mitra swasta
memiliki tanggung
jawab terhadap
konservasi dan
menjaga
monumen.
[Sewa-Operasi-
transfer]
PUBLIC-PRIVATE PARTNERSHIP (PPP) IN MANAGING HISTORICAL URBAN PRECINCTS Workshop, May 6-8, 2013

66

Proyek Lingkup Perjanjian
dan Periode
Kontrak
Risiko Swasta dan
Level Risiko
Imbalan Yang
Diterima Swasta
Jenis PPP
diijinkan, tetapi
tanggung jawab
untuk pemeliharaan
dialihkan.
(10 tahun)
Sumber: Sherma (2007)

Perhitungan Risiko Proyek
Risiko per definisi adalah besarnya penyimpangan antara tingkat pengembalian yang
diharapkan (expected return atau ER) dengan tingkat pengembalian aktual (actual
return).Jadi, risiko pada prinsipnya merupakanprospek suatu hasil yang tidak disukai
(operasionalnya dalam bentuk penyimpangan baku atau deviasi standar). Ukuran yang
digunakan dalam penilaian adalah simpangan dari hasil yang diharapkan atau
penyebaran (varians, deviasi standar).
Risiko memiliki dimensi fungsi dari waktu, sehingga distribusi probabilitas dari aliran
kas (cash flow) mungkin akan lebih menyebar sejalan dengan semakin lamanya waktu
suatu proyek dijalankan. Semakin lama usia investasi semakin besar kemungkinan
terjadi penyimpangan atas return yang diharapkan () dari return rata-rata (E), yang
disebabkan meningkatnya variabilitas. Risiko dapat muncul karena situasi ekonomi,
politik, keamanan, pasar, konsumen dan lain-lain. Risiko dapat ditulis dalam bentuk
matematis sebagai berikut.

Keterangan:
i
2
= Varians dari investasi pada proyeki
i = Deviasi standar proyek i
Pij = Probabilitas pengembalian pada kondisi j
Rij = Tingkat pengembalian dari investasi pada proyeki pada kondisi j
E(Ri) = ER (Expected Return) dari investasi proyek i

Contoh kasus yang diketahui probabilitasnya:
Probabilitas dan tingkat pengembalian dalam berbagai kondisi ekonomi atas proyek X
adalah sebagai berikut.
PUBLIC-PRIVATE PARTNERSHIP (PPP) IN MANAGING HISTORICAL URBAN PRECINCTS Workshop, May 6-8, 2013

67

Kondisi Ekonomi Probabilitas Return ER
Baik 30% 20% 6,00%
Normal 40% 18% 7,20%
Buruk 30% 15% 4,50%
Total E(Rx) 17,70%

Varians
i
2
= 30% (20% - 17,7%)
2
+ 40% (18% -17,7 %)
2
+ 30% (15% - 17,7%)
2

i
2
= 0,0001587 + 0,0000036 + 0,0002187
i
2
= 0,000381
Deviasistandar (i ) = 0,000381 = 0,019519 = 1,952 %
Jadi risiko proyek tersebut adalah sebesar 1,952 %

Bilamana probabilitas tingkat pengembalian tidak diketahui maka risiko atau
penyimpangan dihitung menggunakan kaidah matematis sebagai berikut.


Contoh kasus yang tidak diketahui probabilitasnya:
Data periode pengamatan atas Proyek X yang tidak diketahui probabilitastingkat
pengembalian

Periode (P) ER
1 16,0%
2 18,0%
3 20,0%
4 17,0%
5 21,0%
Jumlah 92,0%
E(Rx) = ER/P 18,4%

PUBLIC-PRIVATE PARTNERSHIP (PPP) IN MANAGING HISTORICAL URBAN PRECINCTS Workshop, May 6-8, 2013

68

Varians
i
2
= [ (16% - 18,4%)
2
+ (18% - 18,4%)
2
+ (20% - 18,4%)
2
+(17% - 18,4%)
2
+ (21% -
18,4%)
2
] / 5
i
2
= [ 0,000576 + 0,000016 + 0,000256 +0,000196 + 0,000676 ] / 5
i
2
= 0,00172 /5 = 0,000344

Deviasistandar (i ) = 0,000344= 0,0185 atau 1,85 %.
Jadi risiko proyek tersebut adalah sebesar 1,85 %.

Mitigasi Risiko
Penerapan program manajemen risiko, dengan tujuan untuk memitigasi risiko dapat
dibagi menjadi beberapa tahap sebagai berikut

Tahap 1 Dukungan Orang Yang Berpengalaman
Mengembangkan filosofi dan kesadaran pengorganisasian manajemen risiko dapat
difasilitasi dengan pelatihan, pendidikan, dan keterangan singkat dari pakar atau orang
yang berpengalaman. Selain itu juga perlu dukungan aktif yang berkesinambungan dari
pimpinan.

Tahap 2 Pengembangan Kebijakan
Pengembangan dan dokumentasi kebijakan serta kerangka berpikir untuk mengelola
risiko, dapat berisi informasi-informasi:
1. Obyektivitas kebijakan dan dasar berpikir untuk mengelola risiko;
2. Hubungan antara kebijakan dan strategi lembaga;
3. Batasan atau jangkauan terhadap isu-isu yang kemungkinan muncul didalam
sebuah kebijakan;
4. Pembagian tanggungjawab dalam pengelolaan risiko antara publik dan mitra
swastanya;

Tahap 3 Komunikasi
1. Meningkatkan kesadaran terhadap manajemen risiko;
2. Mengkomunikasikan manajemen risiko sampai tingkat pekerja yang terendah di
dalam organisasi;
3. Merekrut tenaga ahli atau konsultan manajemen risiko;
4. Mengembangkan keahlian mulai staf terendah sampai dengan tertinggi melalui
pendidikan dan pelatihan;
5. Menjamin terciptanya pelaksanaan sistem imbalan dan sanksi.
PUBLIC-PRIVATE PARTNERSHIP (PPP) IN MANAGING HISTORICAL URBAN PRECINCTS Workshop, May 6-8, 2013

69


Tahap 4 Manajemen Risiko Pada Tingkat Organisasi
Proses manajemen risiko akan berintegrasi dengan strategi perencanaan dan proses
manajemen secara keseluruhan. Hal ini akan melibatkan teknik pendokumentasian:
1. Organisasi dan konteks manajemen risiko.
2. Identifikasi risiko untuk organisasi;
3. Analisis dan evaluasi risiko yang ada;
4. Pengendalian risiko;
5. Mekanisme pemantauan dan telaah ulang program;
6. Strategi peningkatan kesadaran dengan metode pelatihan dan pendidikan.

Tahap 5 Pengendalian Risiko
Pengendalian risiko melalui rencana kegiatan program dan tingkatan tim. Pada tahap ini
perlu dilakukan pengembangan sebuah program untuk pengendalian risiko di masing-
masing bagian maupun area organisasi.

Tahap 6 Pemantauan dan Telaah Ulang
Pengembangan dan pelaksanaan setiap tahapan manajemen risiko perlu dipantau untuk
menjamin terciptanya optimalisasi manajemen risiko. Kegiatan ini juga bertujuan untuk
menjamin bahwa implementasi manajemen risiko tetap sejalan dengan kebijakan
lembaga.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Dalam Pasal 1 (29) UU No.11/2010 tentang Cagar Budaya dikatakan bahwa
pengembangan adalah peningkatan potensi nilai, informasi, dan promosi Cagar Budaya
serta pemanfaatannya melalui Penelitian, Revitalisasi, dan Adaptasi secara
berkelanjutan serta tidak bertentangan dengan tujuan Pelestarian. Sementara pada
Pasal 1 (33) dinyatakan bahwa pemanfaatan adalah pendayagunaan Cagar Budaya
untuk kepentingan sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat dengan tetap
mempertahankan kelestariannya.
Sementara pada Pasal 85 ayat 2 dan 3 disebutkan bahwa Pemerintah dan Pemerintah
Daerah memfasilitasi pemanfaatan dan promosi Cagar Budaya yang dilakukan oleh
setiap orang; dan fasilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa izin
Pemanfaatan, dukungan Tenaga Ahli Pelestarian, dukungan dana, dan/atau pelatihan.
Sayangnya, di dalam beberapa peraturan yang diterbitkan pemerintah dalam rangka
KPS (PPS)seperti:
PUBLIC-PRIVATE PARTNERSHIP (PPP) IN MANAGING HISTORICAL URBAN PRECINCTS Workshop, May 6-8, 2013

70

1. Peraturan Presiden No. 56/2011 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan
Presiden No. 65/2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha
Dalam Penyediaan Infrastruktur;
2. Permen Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas
No.3/2010 tentang Panduan Umum Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah dengan
Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur;
Belum tampak adanya koherensi antara dukungan dan cara pengadaan melalui KPS
(PPP). Pada kedua produk hukum tersebut kerjasama tampak difokuskan pada jenis
infrastruktur sebagai berikut.
1. Transportasi(pelayanan jasa kebandarudaraan, penyediaan dan/atau pelayanan
jasa kepelabuhan, sarana dan prasarana perkeretaapian;
2. Jalan (jalan tol, dan jembatan tol);
3. Pengairan (saluran pembawa air baku);
4. Air minum (bangunan pengambilan air baku, jaringan transmisi, jaringan
distribusi, instalasi pengolahan air minum);
5. Air limbah (jaringan pengumpul dan jaringan utama, dan sarana persampahan
yang miliupti pengangkut dan tempat pembuangan);
6. Telekomunikasi dan infromatika (jaringan telekomunikasi dan infrastruktur e-
government);
7. Ketenagalistrikan (pembangkit, termasuk pengembangan tenaga listrik yang
berasal dari panas bumi, transisi atau distribusi tenaga listrik); dan
8. Minyak dan gas bumi (transmisi dan/atau distribusi minyak dan gas bumi.
Untuk cagar budaya berupa bangunan gedung,kawasan permukiman tradisional,
lanskap budaya, dan/atau pemanfaatan ruang bersifat khas yang terancam punah atau
juga cultural landscape, seperti diamanatkan pada Pasal 42 huruf e UU No.11/2010
tentang Cagar Budaya, tampaknya belum terpikirkan oleh pemerintah untuk
dikerjasamakan.

PENUTUP
KPS atau KerjasamaPemerintah Swasta (PPP) telah berhasil diterapkan di sejumlah
besar proyek-proyek infrastruktur dasar, dan dalam penyediaan pelayanan
publik.Model ini akan menciptakan efisiensi biayadan peningkatan penyediaan layanan
pelanggan yang lebih baik.
Model KPS (PPP) juga telah diterapkan dalam beberapa kasuspengembangan properti
pusakabudaya (heritage), tetapi insentif dasar terhadap mitra swasta di sebagian besar
implementasi tersebut tetap terbatas pada filantropi atau aspek "goodwill", ketersediaan
konsesi pajak, peluang iklan atau prospek real-estate, dengan transfer risiko
operasionalyang terbatas.
Perlu juga dipahami bahwa risiko akan selalu melekat dalam KPS dan menjadi sesuatu
yang sifatnya berubah setiap waktu (dinamis tidak statis), sehingga telaah ulang
PUBLIC-PRIVATE PARTNERSHIP (PPP) IN MANAGING HISTORICAL URBAN PRECINCTS Workshop, May 6-8, 2013

71

langkah-langkah yang perlu diambil dalam pengambilan keputusan merupakan hal yang
penting. Oleh karena itu, perlu pemantauan dan telaah ulang yang akan menjamin
efektivitas dan efisiensi pelaksanaan manajemen risiko agar berjalan optimal.
Dengan demikian, perlu disadari pula bahwa pengembangkan model komprehensif
dengan manajemen mitra yang dipimpin swasta terhadap properti pusakabudaya
tidaklah mudah, karena proposal yang diajukan tidak cukup hanya sekedar membahas
keprihatinanterhadapsitus dan komersialisasi yang diinginkan oleh pemerhati budaya
dan warga Negara, tetapi juga harus dapat menunjukkantrickle-down effect terhadap
masyarakat.
Selain itu tentunya suatu tantangan masyarakatagar dapat memasukkan produk KPS
(PPP) dalam poin peraturan presiden tentang undang-undang yang mengatur tata
kerjasama pemerintah dengan badan usaha swasta atau bahkan individu, khususnya
pada Cagar Budaya.

Daftar Pustaka
Bult-Spiering, M. & and G. Dewulf (2006). Strategic Issues in Public-Private Partnerships:
An International Perspective. Oxford:Blackwell Publishing Ltd.

Kurniawan, E.S., B. Pudjianto, Y.I. Wicaksono. 2009. Analisis potensi penerapan kerjsama
pemerintah swasta (KPS) dalam pengembangan infrastruktur transportasi di perkotaan:
Studi kasus Kota Semarang. Teknik, 30 (3): 147-155.

Linder, S.H. (1999). Coming to Terms with the Public-Private Partnership. American
Behaviour Scientist, 43 (1), 35-51

Miller, J.B. (2000).Principles of Public and Private Infrastructure Delivery. Boston: Kluwer
Academic Publishers.

Peraturan Presiden RI Nomor 56 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan
Presiden No. 65/2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha Dalam
Penyediaan Infrastruktur.

Peraturan Presiden RI Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan
Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur

Permen Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas RI Nomor 3
Tahun 2010 tentang Panduan Umum Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah dengan Badan
Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur.

PUBLIC-PRIVATE PARTNERSHIP (PPP) IN MANAGING HISTORICAL URBAN PRECINCTS Workshop, May 6-8, 2013

72

Undang-undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.

Verma, S. 2007. Sharing of Risks and Rewards in Public-Private Partnerships for
Conservation and Management of Heritage Monuments in India: Exploring the Possible
Contours of a Model Concession Agreement. Paper presented at H. C. M. Rajasthan State
Institute of Public Administration Jaipur, Rajasthan, Indiaon September 31, 2007. Social
Science Research Network (SSRN).

PUBLIC-PRIVATE PARTNERSHIP (PPP) IN MANAGING HISTORICAL URBAN PRECINCTS Workshop, May 6-8, 2013

73

Appendix 4
Paper contributed to the workshop, by Punto Wijayanto

PUBLIC-PRIVATE PARTNERSHIP (PPP) IN MANAGING HISTORICAL URBAN PRECINCTS Workshop, May 6-8, 2013

74



PUBLIC-PRIVATE PARTNERSHIP (PPP) IN MANAGING HISTORICAL URBAN PRECINCTS Workshop, May 6-8, 2013

75

FINANCING HERITAGE CONSERVATION
Replicating Stadsherstel approach in Indonesian Context
Punto Wijayanto

SUMMARY

Although awareness about the importance of heritage conservation is increasing, the
important question about "who funds for heritage conservation?" still remains a big
homework for heritage movement in Indonesia.
Everyone knows that Indonesian historic cities have gone through a long period of
development. In fact the development of those cities is not accompanied with adequate
utility services that make environmental quality decline. This led efforts to revive the
city, to give vitality and beneficial uses without losing the social and cultural aspects
(Danisworo 1997: 14). Various schemes of heritage conservation were implemented not
only through physical rehabilitation, but also socio-economic improvement and
empowerment of managerial capacities (Adishakti, 2003; Martokusumo, 2010).
Formally, in the Law No. 11/2010, management is described as a comprehensive effort
to protect, develop, and utilize cultural heritage through planning, implementation, and
monitoring for people welfare. Focus of heritage conservation is no longer on the
management of cultural heritage assets, but on community welfare.
From many experiences, it can be seen that heritage management in Indonesia has
evolved along the risen awareness about the importance of heritage conservation.
Building owner is certainly the main actors in the management of heritage assets. The
owners may be government, private or individual. In this situation the key aspect of
successful conservation is when the owners can keep their asset functioning.
Role of heritage organizations is no less important. Experiences show how they can
develop their networks and create opportunities to realize their objectives, including
involving the contribution of international donors. For example, the experience of 2006
post-earthquake Kotagede showed various actors play together, including heritage
organizations, university, local organizations (OPKP) and BPPI.
Overall, experience from Kotagede gives a lesson learn that there are three strategies in
managing heritage assets:
1. Foster Parents Strategy
Individuals and institutions can provide financial assistance or donations to
rehabilitate and maintain heritage buildings.
2. Heritage Investment Strategy
Individual and institutional can be investors to develop business in heritage area.
PUBLIC-PRIVATE PARTNERSHIP (PPP) IN MANAGING HISTORICAL URBAN PRECINCTS Workshop, May 6-8, 2013

76

3. Community-Based Strategy
Community-based strategy is a manifestation of the idea that the preservation of
heritage buildings and areas as well as socio-cultural identity is placed in the
public interest as a major asset for future development.
In general, there is still an assumption that the government plays the biggest role in
heritage management. The fact that even in Western Europe cities is the government
creates partnership with private sectors or community to implement a sustainable
heritage project. In Amsterdam, there is story about a restoration company called
Stadsherstel Amsterdam , NV. Stadsherstel means "the Company for City Restoration". At
present, the company owns and manages approximately 500 homes and 30s major
monuments such as churches and industrial buildings. There is no doubt that this
company has a tremendous contribution to the rehabilitation and maintenance of the
core area of Amsterdam.
As an organization, Stadsherstel Amsterdam has born and raised the idea of heritage
conservation in Amsterdam. It was started in 1960s when the city was declining and at
the same time, the government tends to demolish the old buildings to give way for new
construction. Heritage movement led by group of Amsterdam important figures
managed to encourage the development of urban renewal policy oriented to heritage
conservation.
More or less Stadsherstel Amsterdam has similar character of Indonesian heritage
movement strategy in Indonesia.
1. Foster parents, to adopt or buy ignored buildings based on concern for heritage
conservation;
2. Heritage investment, to buy and manage historic buildings as source of income,
which later become capital to buy the next building, based on long-term
conservation;
3. Community-based, to give historic building social benefits in the context of urban
development.
It should be noted that in Amsterdam the three strategies is comprehensively used to
implement heritage management. Indonesian heritage movement requires a solid team
that is able to promote issues about heritage and also to set the stage for conservation
activities in the long term. Simultaneously, it is expected that the process can be
supported by policies in conservation activities.

PUBLIC-PRIVATE PARTNERSHIP (PPP) IN MANAGING HISTORICAL URBAN PRECINCTS Workshop, May 6-8, 2013

77

MEMBIAYAI PELESTARIAN PUSAKA
Stadsherstel dalam Konteks Indonesia
8

Punto Wijayanto

LATAR BELAKANG
Siapa yang membiayai pelestarian pusaka?
Meskipun kesadaran akan pusaka dan pentingnya pelestarian pusaka makin
meningkat, namun pertanyaan penting ini masih tetap menjadi PR besar dalam jagad
pelestarian pusaka di Indonesia. Dalam masyarakat, masih menjadi asumsi bahwa
pemerintahlah yang seharusnya memegang peranan terbesar. Apalagi, bila secara
sepintas kita melihat pada situasi di kota-kota di Eropa Barat. Tampaklah kota-kota yang
bercirikan bangunan lama dalam kondisi terawat dan mendapat apresiasi yang luar
biasa.
Pemerintahkah pelakunya?
Tidak sepenuhnya demikian. Di Amsterdam, kisah ini dimulai sebuah perusahaan
bernama Stadsherstel Amsterdam N.V. (SA)
9
. Stadsherstel berarti the Company for City
Restoration dan ada di beberapa kota di Belanda. Saat ini, perusahaan ini memiliki dan
mengelola sekitar 500-an rumah dan 30 monumen besar seperti gereja dan bangunan
industrial. Tidak disangkal bahwa perusahaan ini memiliki kontribusi luar biasa bagi
rehabilitasi dan pemeliharaan kawasan inti dari Amsterdam.

Gambar 1. Logo Stadsherstel Amsterdam N.V.
Berdiri pada tahun 1956, SA adalah organisasi yang membeli, merehabilitasi dan
mengelola bangunan pusaka, baik yang berfungsi sebagai tempat tinggal maupun
komersial. Di dalam websitenya, disebutkan tiga tujuannya yaitu:
1) Membeli dan memperbaiki rumah tinggal yang paling terancam, terutama
bangunan cagar budaya;

8
Paper untuk Workshop Public-Private Partnership (PPP) in Managing Historical Urban Precincts di
Jakarta, Indonesia, 6-8 May 2013. Tulisan ini melekat pada tulisan Stadsherstel Amsterdam N.V. yang
disajikan pada tanggal 6 Mei 2013.
9
Mengenai profil perusahaan ini dapat dilihat pada tulisan Stadsherstel Amsterdam N.V,.
PUBLIC-PRIVATE PARTNERSHIP (PPP) IN MANAGING HISTORICAL URBAN PRECINCTS Workshop, May 6-8, 2013

78

2) Membangun tempat tinggal modern di dalam bangunan tersebut untuk tujuan
sektor perumahan publik;
3) Memelihara bangunan setelah memperbaiknya.
Pengalaman perusahaan ini menunjukkan bahwa cerita pelestarian pusaka
bagaikan sebuah dongeng. Pahit di awal, namun indah pada akhirnya. Bila ditarik ke
belakang pada saat berdirinya, perusahaan ini harus berhadapan dengan kenyataan
bahwa pusaka bukanlah satu aspek penting dalam pembangunan kota. Bahkan,
pemerintah kota waktu itu cenderung membongkar bangunan tua demi memberi jalan
pada modernisasi ruang kota.
Tulisan ini hendak memberi jalan untuk memahami Stadsherstel dalam konteks
Indonesia. Dengan konteks, yang berbeda, pada bagian pertama, diberikan berbagai
tinjauan literatur yang menunjukkan makna pelestarian secara global dan konteks
pelestarian di Amsterdam menggunakan buku-buku GJ Ashworth dari Belanda seperti
Heritage Planning (1991). Pada bagian kedua, ditunjukkan strategi yang dapat ditemui
di Indonesia dan gapnya dibandingkan dengan SA.

PENDEKATAN TEORITIS
1. Konsep Pusaka
Lingkup pusaka berkembang dalam lingkup kawasan atau bangunan dalam lingkup
lingkungannya atau kawasan. Konsep kawasan ini menjadi dasar bagi terbitnya berbagai
kebijakan pelestarian saat ini. Menurut Jokilehto (1995), Piagam Venesia menyebut
konsep 'monumen bersejarah' sebagai 'tidak hanya karya arsitektur tunggal tetapi juga
setting perkotaan atau pedesaan ditemukannya bukti peradaban tertentu,
perkembangan yang signifikan atau peristiwa bersejarah'. Situs Bersejarah atau
Historic Site dipahami sebagai tempat monumen tersebut berada. Arti 'monumen' dan
'situs' terdiversifikasi dan diadopsi dalam pengelolaan pelestarian dan perencanaan
kawasan pusaka seperti disebut dalam Recommendation concerning the safeguarding
and contemporary role of historic area 1976.
Pusaka bukan lagi sekadar terasosiasi langsung pada artefak, objek bersejarah atau
simbolis atau bahkan seluruh kota. Lebih jauh, pusaka merujuk pada adanya upaya
intepretasi untuk memberi kegunaan yang berkelanjutan(Ashworth, 1992: 2). Elemen
permanen yang dihasilkan oleh sejarah kota dapat menjadi inspirasi saat suatu wilayah
mengalami perkembangan sosial, budaya maupun ekonomi (Tiesdell, 1996).
Kota bersejarah dapat menjadi bagian kota yang fungsional. Tiap bagian kota terus
berfungsi baik menurut alasan pembentukannya, maupun menurut kebutuhan fungsi
yang baru (Ashworth, 1999: 47). Fungsi yang ada ini didukung dengan adanya
kombinasi intervensi publik serta privat (Ashworth, 1999: 79). Dengan begitu, konsep
kawasan pusaka pun dapat diadopsi ke dalam lingkup perencanaan kota.

PUBLIC-PRIVATE PARTNERSHIP (PPP) IN MANAGING HISTORICAL URBAN PRECINCTS Workshop, May 6-8, 2013

79

2. Pengelolaan Kawasan Pusaka
Pelestarian perlu beradaptasi dengan perkembangan kota. Pelestarian berarti upaya
untuk mengakomodasi perubahan yang terjadi di suatu kawasan bersejarah
(Ashworth1991, 21). Dengan demikian, untuk mencapai kondisi yang ideal, pelestarian
ditempatkan dalam proses perencanaan pembangunan, termasuk saat melakukan
identifikasi serta pemahaman terhadap lingkungan fisik. Pelestarian aspek fisik kota
ditempatkan dalam konteks pembangunan kota saat ini untuk mendapatkan hasil akhir
yang lebih koheren (Cohen: 1999).
Prasyarat supaya peran pelestarian sungguh-sungguh menjadi bagian dalam
pembangunan perkotaan adalah pengakuan terhadap pentingnya komponen karakter
bersejarah yang harus dipertahankan bersamaan dengan pembentukan dan proses
transformasi pada kota. Proses transformasi ini memastikan adanya penggunaan yang
berkelanjutan. Untuk mengintegrasikan pelestarian dengan proses tersebut, pelestarian
diletakkan dalam kerangka perencanaan kota. Selain itu, diperlukan pula strategi
perencanaan untuk kota atau kawasannya. Ashworth (1991: 4) menyebutnya sebagai
heritage planning, yang berkaitan dengan pemahaman serta pengelolaan berbagai aspek
perubahan. Strategi yang dimaksud dapat terdiri dari rehabilitasi, peremajaan serta
revitalisasi.








Gambar 2.Hubungan dalam Rencana Pengelolaan Pusaka
Sumber: Ashworth (1991)

Menurut Ashworth (1999: 75), pengelolaan mestinya sensitif dan responsif.
Keseimbangan antara berbagai permintaan (demands) yang fungsional dan juga antara
bentuk dan fungsi. Tata kelola pemerintahan berpengaruh pula pada pergeseran cara
pandang atas proses pengelolaan kawasan pusaka. Kerangka pengelolaan diperluas dari
perhatian pada aset pusaka pada keharusan untuk memberi dimensi lokal atau lingkup
masyarakat setempat yang juga memiliki klaim terhadap aset tersebut. Perencanaan
pusaka memerlukan integrasi berbagai organisasi untuk merangkul dimensi
jurisdiksional spasial, fungsional serta privat-publik (Ashworth, 1999: 122).
Uses
URBAN PLANNING
URBAN FUNCTION URBAN FORM
Built
Environment
Area
Strategies
PUBLIC-PRIVATE PARTNERSHIP (PPP) IN MANAGING HISTORICAL URBAN PRECINCTS Workshop, May 6-8, 2013

80

Menurut Pendlebury (1999), konsep pelestarian dapat dibedakan menjadi tiga
kategori. Yang pertama berangkat dari pelestarian monumen yang berakar pada
gagasan John Ruskin dan William Morris. Tradisi ini menekankan pada integritas
monumen atau situs tunggal.
Dua kategori yang lain menurut Pendlebury (1999) adalah pendekatan morfologi
urban dan manajemen visual. Kedua pendekatan ini berangkat dari pusaka dalam
totalitas perkembangan kota. Karena itu, dinamika perkembangan kota merupakan
tujuan pelestarian menurut kedua pendekatan tersebut. Gerakan pelestarian kawasan
pusaka ini mengolah kajian perkotaan, seperti ide townscape yang diperkenalkan oleh
Gordon Cullen dan ide urban morphology. Keduanya telah banyak diterapkan di bidang
perancangan kota. Telah ada referensi tentang pentingnya visual perkotaan yang telah
diaplikasikan ke dalam praktek. Namun, sedikit kajian untuk mengembangkannya
sebagai sarana manajemen perkotaan (Pendlebury, 2009: 217). Intensitas sumber daya
dalam penelitian lebih lanjut menghalangi pendekatan ini menjadi alat manajemen yang
luas (Pendlebury, 2009: 218).
Kenyataan di lapangan memperlihatkan bahwa pelestarian kawasan pusaka sering
menekankan tampilan visual untuk mewakili keseimbangan antara 'karakter' bersejarah
dan fungsionalisme modern. Padahal, peran keaslian dalam perencanaan pelestarian
sebenarnya kecil (Pendlebury, 2009: 218). Di sisi lain, masyarakat memiliki potensi
yang berupa motivasi, solidaritas serta jejaring sosial yang baik untuk diperkuat sebagai
aksi. Ini lebih bermanfaat daripada prosedur birokratis yang kaku. Yang diperlukan
adalah dialog antara professional pembangunan dan masyarakat lokal aktif sebagai
mitra dalam proses bersama dan terbuka. Dialog tersebut harus terbuka dan jujur
(Bianca, 2010: 32).
Pelestarian didorong untuk berperan dalam pembangunan kota. Seperti
disebutkan di Washington Charter (1987), "konservasi kota bersejarah dan daerah
perkotaan bersejarah lainnya menjadi bagian integral dari kebijakan yang koheren
terkait dengan pembangunan ekonomi dan sosial dan perencanaan perkotaan dan
daerah di tiap tingkatan".
Ada tambahan motif ekonomi dalam pengelolaan pusaka kota. Contohnya, pada
akhir 1990-an, the World Bank mengambil sikap untuk membangun inisiatif
menyertakan pusaka sebagai salah satu prioritas aktivitasnya. Sementara, revitalisasi
ekonomi merupakan motif pelestarian berbagai pusaka (Ashworth, 1991: 100).
Meski begitu, aspek ekonomi dan sosial tidak serta merta dipahami dapat berjalan
beriringan dalam pelestarian. Menurut Ashworth (2002), kebanyakan pelestari
menaruh curiga pada ekonomi, yang dianggap sebagai justifikasi pelengkap belaka,an
unfortunate necessity if buildings and areas are not to be left vacant and if future
investment is to be made. Ada anggapan tidak patut bila nilai sejarah dan seni dipadukan
dengan upaya untuk mendagangkan atau komodifikasi budaya yang artinya mengukur
PUBLIC-PRIVATE PARTNERSHIP (PPP) IN MANAGING HISTORICAL URBAN PRECINCTS Workshop, May 6-8, 2013

81

sesuatu yang tidak ternilai dengan kriteria pasar. Di sisi yang lain, ada ahli ekonomi yang
berpendapat bahwa justru pusaka ini merupakan penghambat bagi sistem ekonomi.
Keduanya merupakan hal yang bertentangan.
Tiesdell et al, (1996: 20) berpendapat berbeda. Keduanya tidak dapat dipisahkan.
Revitalisasi kota lama
10
melibatkan dua elemen, yaitu pembaharuan elemen fisik
lingkungan dan kegiatan ekonomi yang aktif terhadap bangunan dan ruang kota. Sebagai
strategi jangka pendek, revitalisasi fisik bertujuan untuk mendorong kehadiran
revitalisasi ekonomidalam jangka panjang. Sebuah revitalisasi fisik dapat menghasilkan
lingkungan publik yang menarik dan terawat.
Dalam jangka panjang, diperlukan pula adanya revitalisasi ekonomi berupa
pemanfaatan produktif oleh dunia swasta. Revitalisasi didorong dari dalam untuk
menjadi operasional di saat kondisi lingkungan sekitarnya yang sedang berubah
(Bianca, 2010: 28). Artinya pula, ada yang membayar untuk pemeliharaan bangunan
maupun ruang publik tersebut. Tergantung pada kualitas yang melekat serta fisiklokal,
kondisi sosial ekonomi, pendekatan komprehensif yang berbeda. Dengan kata lain
strategi yang berbeda -restrukturisasi basis ekonomi, regenerasi, diversifikasi
fungsional-harus dilibatkan dalam proses revitalisasi kawasan kota lama (Doratli, 2000).
Ada tiga kriteria yang menentukan keberhasilan revitalisasi (Tiesdell et al., 1999),
yaitu aset lokasi, tidak digunakan lagi dan intensitas tekanan pembangunan.
1) Aset lokasi
Pada kawasan bersejarah ditemukan berbagai asset yang dapat menjadi referensi
untuk identitasnya melalui bangunan, jalan, ruang terbuka maupun orang-
orangnya.
2) Tidak digunakan lagi
Ketidaksesuaian antara guna lama dan baru, meliputi aspek structural, fungsional
serta lokasional.
3) Intensitas tekanan pembangunan
Ada hubungan antara tekanan pembangunan dan tidak digunakan lagi.
pembangunan memiliki skala yang berbeda-beda dan ini yang dicari jawabannya
dengan penggunaan yang berkelanjutan.

Tidak dapat dielakkan, perlunya ada pengaturan antara kebutuhan untuk
modernisasi lingkungan kota bersejarah dan pelestarian nilai yang melekat pada
lansekap kota, terutama kota yang merupakan Kota Pusaka Dunia. Menurut Oers (2010:
8), Memorandum Wina
11
merupakan prinsip serta panduan pertama yang berkaitan

10
Tiesdell, dkk menggunakan istilah historic quarter.
11
Memorandum Wina yang disusun oleh World Heritage Centre (WHC) saat the international conference on
World Heritage and Contemporary Architecture - Managing the Historic Urban Landscape di Wina, Austria
pada bulan Mei 2005 bukanlah sebuah piagam, karena itu tidak menjadi panduan. Memorandum
PUBLIC-PRIVATE PARTNERSHIP (PPP) IN MANAGING HISTORICAL URBAN PRECINCTS Workshop, May 6-8, 2013

82

dengan keterkaitan yang terintegrasi dan harmonis antara pelestarian dan
pembangunan kota. Tujuannya adalah melestarikan keterpaduan lansekap kota
bersejarah. Memorandum Wina menjadi dasar untuk penyusunan Declaration on the
Conservation of Historic Urban Landscapes. Deklarasi ini diadopsi Sidang Umum States
Parties untuk World Heritage Convention yangke-15 di UNESCO pada bulan Oktober
2005.
Oers (2010: 12) mencatat, berbagai pertemuan yang terkait pelestarian lansekap
kota bersejarah telah mengerucut pada isu penting berikut:
1) Pentingnya lansekapdengan interaksi antara lingkungan alam dan terbangun
Kalau sebelumnya yang dibicarakan adalah zoning, isu saat ini adalah
keberlanjutan keterkaitan, nilai dan manajemen. Definisi pusaka budaya yang lama
perlu dikembangkan untuk dapat mencakup karakteristik serta kualitas yang
berlapis-lapis.
2) Peran arsitektur kontemporer, atau 'kontekstualisasi bangunan baru'
Intervensi bangunan baru memberi respek terhadap lansekap kota yang ada untuk
memastikan monumen, dan lingkungan bersejarah merupakan kesatuan yang
harmoni.
3) Ekonomi dan perubahan peran kota, dengan penekanan pada proses non-lokal
dengan hadirnya aktor-aktor perubahan dari luar
Pembangunan yang dilakukan oleh pelaku lokal kemungkinan besar mengenali
signifikansi pusaka, sehingga menjamin kelestariannya. Sebaliknya, belum tentu
terjadi pada pelaku internasional. Karena itu, perlu ada kepastian kajian dampak
pembangunan terhadap lingkungan pusaka.

PELESTARIAN KAWASAN PUSAKA DI INDONESIA
1. Gagasan Pelestarian Kawasan Pusaka di Indonesia
Bentuk kota Indonesia merupakan hasil proses panjang serangkaian keputusan dalam
rentang periode waktu yang panjang. Keputusan tersebut dihasilkan oleh pemerintah
maupun kelompok masyarakat atau kekuatan norma serta nilai yang berlaku saat itu.
Namun, ada fakta bahwa perkembangan kota tidak diiringi dengan pelayanan utilitas
yang membuat kualitas lingkungan mengalami kemunduran.
Hal ini yang mendorong upaya menghidupkan kota, memberi vitalitas serta
kegunaan yang bermanfaat tanpa kehilangan aspek sosial serta budayanya (Danisworo,
1997: 14). Upaya untuk melindungi serta menyelamatkan monumen, bangunan dan
lingkungannya yang memiliki signifikansi historis atau nilai arsitektural dari
kemunduran disebut preservasi (Danisworo, 1997: 17). Sesuai kondisi kawasan,

merupakan produk konsensus yang menjadi dasar diskusi pelestarian lansekap kota bersejarah (Oers, 2010:
8).
PUBLIC-PRIVATE PARTNERSHIP (PPP) IN MANAGING HISTORICAL URBAN PRECINCTS Workshop, May 6-8, 2013

83

preservasi dapat berupa gentrifikasi, restorasi, rehabilitasi, konservasi, renovasi atau
rekonstruksi.
Danisworo (1997) berpendapat, preservasi pusaka kota seharusnya berkaitan
dengan upaya peremajaan kota atau urban rejuvenation. Kebijakan peremajaan kota
berdasarkan pada tingkatan masalah yang dihadapi, potensi serta prospek di masa
depan yang menjadi dasar merumuskan konsep proses pelestarian secara bersama,
antara pemerintah serta swasta. Preservasi merupakan proses yang inovatif, instrumen
perencanaan serta implementasinya perlu dapat memanfaatkan dengan baik berbagai
aset yang ada dan menciptakan atmosfer kawasan bersejarah yang sehat serta tertata
(Danisworo, 1997: 25). Karena itu, skema pelestarian pusaka dilaksanakan melalui
program revitalisasi yang terdiri dari rehabilitasi fisik secaramenyeluruh, perbaikan
sosial ekonomi serta rencana aksi pemberdayaan manajerial (Adishakti, 2003;
Martokusumo, 2010).
2. Formalitas Pengelolaan Kota Pusaka
Secara formal, arah pengelolaan kawasan pusaka ditunjukkan dalam UU 11/2010
tentang Kawasan Cagar Budaya, yang merupakan pembaruan UU No. 5/1992 tentang
Benda Cagar Budaya. Dalam UU 5/1992 disebutkan, pengelolaan merupakan bagian
pelestarian, yang meliputi penguasaan, pemilikan, penemuan, pencarian, perlindungan,
pemeliharaan, pengelolaan, pemanfaatan, dan pengawasan benda cagar budaya. Semua
pusaka merupakan properti pemerintah Republik Indonesia, karena itu pengelolaannya
dikendalikan oleh pemerintah. Tetapi, disebutkan pula bahwa masyarakat diijinkan pula
untuk terlibat dalam pengelolaan (Adishakti, 1998).
Namun, orientasi UU 5/1992 seperti peraturan pengelolaan pusaka yang
diterbitkan pada masa kolonial, yaitu Monumenten Ordonnantie stbl 1931. Perhatian
diberikan pada perlindungan artifak, bangunan serta tapak (Tanudirja, 2007)
12
.







Gambar 3. Struktur Pengelola Benda Cagar Budaya (UU 5/1992)

12
Dalam kasus konservasi Senisono pada tahun 1991, terlontar bahwa landasarn kebijakan di Indonesia
yang tercantum dalam MO 1931 fokus pada perlindungan, belum mengarah ke kebijakan yang
mengatur keseimbangan antara perlindungan terhadap cagar budaya dan pembangunan sebagai
tuntutan terhadap pesatnya arus modernisasi (IAI dan KP2KY, 1991).
Pemerintah
RI
BP3
Masyarakat
BCB/Situs
Menteri
PUBLIC-PRIVATE PARTNERSHIP (PPP) IN MANAGING HISTORICAL URBAN PRECINCTS Workshop, May 6-8, 2013

84

Baru pada UU 11/2010, pengelolaan dijelaskan sebagai upaya terpadu untuk
melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkan Cagar Budaya melalui kebijakan
pengaturan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan untuk sebesar-besarnya
kesejahteraan rakyat. Orientasi pengelolaan tidak lagi pada benda cagar budaya, tetapi
kesejahteraan masyarakat.
Sebagaimana penerapan otonomi dimana urusan kebudayaan sebagai salah satu
yang diserahkan kepada daerah, UU 11/2010 secara jelas menyebutkan pergeseran
peran daerah. Mengenai pengelolaan KCB, Pasal 97 mengatur sebagai berikut:
a) Pemerintah dan Pemerintah Daerah memfasilitasi pengelolaan KCB.
b) Pengelolaan kawasan dilakukan tidak bertentangan dengan kepentingan
masyarakat terhadap Cagar Budaya dan kehidupan sosial.
c) Pengelolaan KCB dilakukan oleh badan pengelola yang dibentuk oleh Pemerintah,
Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat hukum adat.
d) Badan Pengelola dapat terdiri atas unsur Pemerintah dan/atau Pemerintah
Daerah, dunia usaha, dan masyarakat.








Gambar 4. Struktur Pengelola Benda Cagar Budaya (UU 11/2010)

Terkait dengan pembiayaan, pada Pasal 85 ayat 2 dan 3 disebutkan bahwa
Pemerintah dan Pemerintah Daerah memfasilitasi pemanfaatan dan promosi Cagar
Budaya yang dilakukan oleh setiap orang; dan fasilitasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) berupa izin Pemanfaatan, dukungan Tenaga Ahli Pelestarian, dukungan dana,
dan/atau pelatihan.
Meski demikian, aturan teknis berupa Peraturan Pemerintah tentang insentif
belum dikeluarkan. Beberapa pemerintah daerah berinisiatif untuk memberikan
insentif, seperti Pemerintah Kota Yogyakarta pada tahun 2010 memberikan insentif
pajak bumi dan bangunan kepada 300 bangunan cagar budaya dan warisan budaya.

BP3
Menteri
Pemerintah
Daerah
Masyarakat
BCB/Situs
Dunia usaha
Badan
Pengelola
Register
Nasional
Pemerintah
RI
PUBLIC-PRIVATE PARTNERSHIP (PPP) IN MANAGING HISTORICAL URBAN PRECINCTS Workshop, May 6-8, 2013

85

STRATEGI PENGELOLAAN
Dari berbagai pengalaman, bisa dilihat bahwa berbagai strategi pengelolaan kawasan
pusaka di Indonesia telah muncul dan berevolusi sebagai perwujudan dari gagasan
tentang pentingnya pelestarian pusaka. sejalan pula dengan pemahaman bahwa pusaka
tidak hanya yang berupa monumen, tetapi juga pusaka rakyat dan lansekap bersejarah.
Kita sebut saja kawasan pusaka. Penanganan berarti melindungi supaya dapat berusia
lebih lama, serta berorientasi pemanfaatan dan pengembangan untuk memberi
kesejahteraan bagi masyarakat.
Para pemilik bangunan yang merupakan aset mereka sendiri yang tentunya
merupakan pelaku utama dalam pengelolaan pusaka. Para pemilik bisa saja pemerintah,
swasta maupun masyarakat. Aspek kunci biasanya bagaimana para pemilik tetap
memelihara fungsi dan membuatnya tetap berfungsi. Bangunan yang tetap berfungsi
seperti aset milik keretaapi, pos dan bank. Bagi bangunan yang sudah tidak berfungsi
seperti awalnya, kreatifitas dan inovasi merupakan syarat bagi kelestariannya. Bila
tidak, bisa dipastikan bangunan akan menjadi aset yang terbengkalai.

Gambar 5. Contoh Pemanfaatan Bangunan Pusaka


Gambar 6. Bangunan Pusaka yang Dibeli oleh Pemerintah: (1) Rumah Ir. Soekarno di Blitar; (2)
Rumah Ibnu Sadan di Banda Aceh; (3) Rumah Anno di Banjarmasin

Sebagaimana ditetapkan dalam undang-undang, pemerintah menjalankan
tugasnya dalam pelestarian pusaka. Contohnya, Restorasi Borobudur yang merupakan
model yang pertama dalam pengelolaan pusaka. Sejak ditemukan kembali oleh Raffles,
rintisan perbaikannya telah dimulai sejak Belanda. Pada tahun 1979 pemerintah
membuat proyek Taman Purbakala Nasional (Tapurnas) melalui PT Taman Wisata
PUBLIC-PRIVATE PARTNERSHIP (PPP) IN MANAGING HISTORICAL URBAN PRECINCTS Workshop, May 6-8, 2013

86

Candi Borobudur Prambanan. Dalam proses ini, masyarakat tidak dilibatkan dan
mencuatkan perdebatan yang tidak tuntas hingga saat ini (Sucoro, 2012).
Selain itu, penelitian Winarni (2006) terhadap Kawasan Borobudur menunjukkan
ketidakmampuan zonasi yang disiapkan dalam Masterplan JICA 1979 mengendalikan
terjadinya perubahan ruang. Tekanan datang terutama dari kegiatan komersial. Di sisi
lain, lahan pertanian yang awalnya menjadi gantungan penduduk setempat kian
berkurang. Meski begitu, Candi Borobudur dan lingkungannya ditetapkan sebagai
Pusaka Dunia pada tahun 1991 dengan nomer 592.
Pada tahun 1972, Pemerintah Kota Jakarta menetapkan Jakarta Kota Tua (Jakarta
Old Town) sebagai Kawasan Cagar Budaya melalui Surat Keputusan Gubernur No. DIII-
b/II/4/53/73. Di kawasan ini terdapat Taman Fatahillah, sebuah pelataran terbuka yang
dinamai menurut tokoh Muslim abad ke-16. Kawasan ini terdiri dari sekitar 23
bangunan kolonial yang dilestarikan untuk menampilkan artefak budaya Indonesia,
seperti Balai Kota yang digunakan sebagai museum peninggalan kehidupan kolonial
Belanda dengan nama Museum Fatahillah yang disandingkan dengan pameran tentang
Betawi dan Indonesia. Gudang VOC lama digunakan sebagai Museum Bahari dan gereja
sebagai Museum Wayang.
Menurut Silver (2008), program ini digunakan untuk mendorong identitas
nasional. Dengan alasan pembiayaan, program pelestarian tidak dapat dijalankan
dengan optimal. Pada tahun 1990an, kawasan ini diperkenalkan kembali sebagai
kawasan wisata, bagian dari pembangunan Rebirth of Sunda Kelapa. Belakangan,
upaya menghidupkan kawasan ini dilakukan dengan meningkatkan kualitas ruang
terbuka, terutama Taman Fatahillah.
Martokusumo (2010) menilai, meski dinyatakan sebagai kawasan pelestarian,
implementasi upaya pelestarian hanya berwujud beautifikasi fisik dari beberapa bagian
serta beberapa bangunan bersejarah di Kota Tua. Upaya ini dinilainya sebagai proses
preservasi yang berpikiran sempit atau mummification.
Sementara di Kota Semarang, studi yang dilakukan Fakultas Teknik Universitas
Diponegoro pada 1988 mengenali 101 bangunan tua yang memiliki signifikansi estetika,
sejarah, pengetahuan serta sosial. Pada tahun 1992, pemerintah kotanya memutuskan
untuk melindungi bangunan tersebut. Studi tersebut juga memberi rekomendasi
pelestarian tiga kawasan bersejarah, yaitu lingkungan Gereja Immanuel, Tugu Muda
serta Rumah Sakit Elizabeth.
Dengan hadirnya berbagai organisasi pelestarian, tampaklah aktor yang lain dalam
pelestarian pusaka. Peran organisasi ini tidak kalah penting. Berbagai pengalaman
menunjukkan kekuatannya dimungkinkan oleh kemampuannya berjejaring dan
memanfaatkan kesempatan. Kesempatan menghadirkan orang-orang baru dengan
pemikiran-pemikiran baru. Interaksi antara orang dan pemikiran dapat menghasilkan
PUBLIC-PRIVATE PARTNERSHIP (PPP) IN MANAGING HISTORICAL URBAN PRECINCTS Workshop, May 6-8, 2013

87

visi yang baru. Kesempatan ini menghadirkan pula kontribusi donor internasional.
Donor telah dimobilisasi melalui jejaring yang dimiliki yang terlibat untuk memberi
dukungan dana.
Pengalaman Kotagede, pasca-gempa 2006 menunjukkan bahwa dengan
kesempatan, pelestarian dapat dilihat kembali dan didefinisikan sebagai suatu kegiatan
yang makin utuh, dimana berbagai aktor berperan bersama-sama. Proses ini dimulai
dengan terbentuknya sebuah tim, sebut saja Tim Pengelolaan yang berperan sebagai
forum yang memberi tempat untuk membentuk kesepakatan dan pelaksanaannya. Tim
ini dapat berupa Organisasi Pelestarian atau di tingkat masyarakat, berupa Organisasi
Pengelolaan Kawasan Pusaka (OPKP). Karena itu, panggung perlu disiapkan. Pada
tahapan awal ini, tim mendalami kenyataan di lapangan dengan kegiatan dokumentasi
dan perhitungan untuk membuat gambaran kebutuhan anggaran pembangunan dan
pemeliharaan pusaka. Tim inilah menetapkan lebih dulu klaster prioritas menurut
daftar pusaka yang telah disusun.


Gambar 7. Contoh Pengukuran Detil untuk Omah UGM

Secara keseluruhan, pendekatan ini dapat dilihat sebagai terdiri dari dua tahapan,
yakni perencanaan pusaka makro/wilayah dan perencanaan bangunan. Kegiatan
pelestarian yang menyeluruh berangkat dari gagasan pelestarian kawasan hingga
pemanfaatan kembali.
PUBLIC-PRIVATE PARTNERSHIP (PPP) IN MANAGING HISTORICAL URBAN PRECINCTS Workshop, May 6-8, 2013

88


Gambar 8. Kerangka Implementasi Pelestarian

Berikut ini adalah strategi pengelolaan pusaka yang menyertakan peran swasta,
berangkat dari pengalaman di Kotagede pasca-gempa 2006 dan kasus lainnya:
1. Strategi Orang Tua Asuh
Perseorangan maupun institusi dapat memberikan bantuan keuangan untuk
merehabilitasi dan memelihara bangunan pusaka dalam bentuk donasi. Artinya, dapat
dilakukan dengan atau tanpa ikatan sesuai dengan kepentingan dan jangka waktunya.
Calon orang tua asuh tentunya memiliki kebebasan memilih pusaka yang ingin dibantu.
Karena itu, strategi ini memerlukan peran tim pengelolaan dalam memobilisasi aktor
yang memiliki beragam jejaring relasional, artinya tidak hanya terbatas pada jejaring
pelestarian pusaka. Aktor-aktor ini yang akan aktif menghubungkan kawasan pusaka
dengan donatur untuk menyelesaikan masalah pemeliharaan bangunan pusaka.
Pengelolaan pusaka kemudian tidak diserahkan kepada pihak donatur, namun
tetap menjadi hak pemilik. Begitu pula, pemilik tetap dapat memilih menggunakan
pusaka miliknya untuk bisnis atau tidak. Peran donatur adalah memberikan dana yang
digunakan untuk perbaikan.
Perencanaan
Pusaka
Makro/wilayah
Perencanaan Konservasi
Situs/Bangunan Tertentu
Operasi &
Pemeliharaan
Restorasi Rencana
Konservasi
Gagasan
Pelestarian
Kawasan Pusaka
Inventarisasi
Kolektif
Pemanfaatan
Kembali
Gagasan
Penanganan
Objek /Aset
Pusaka
Dokumentasi
Individual
Penilaian
Pusaka, Kajian
Konservasi &
Pertimbangan
Teknis
Rencana Teknik
Konservasi
Pelaksanaan
Teknik Konservasi
Kebijakan & Aturan:
Daftar pusaka
Klasifikasi
Kategori
penanganan
Olah Desain
Berkelestarian
Konstruksi pd
Bangunan Pusaka
Heritage
Assessment
(Penilaian Pusaka)
PUBLIC-PRIVATE PARTNERSHIP (PPP) IN MANAGING HISTORICAL URBAN PRECINCTS Workshop, May 6-8, 2013

89

Strategi ini bermanfaat untuk mendukung kelestarian pusaka seperti bangunan
vernakular yang merupakan milik pribadi. Bangunan ini biasanya berada di tempat yang
jauh dari perhatian. Selain itu, selalu ada kesulitan bagi orang setempat untuk
membangun panggung bagi bangunan yang mereka miliki.
Beberapa contoh, adalah:
1) Restorasi Gedung Arsip Nasional, Jakarta pada tahun 1995 dengan dukungan
berbagai perusahaan swasta Belanda;
2) Rehabilitasi Rumah Tradisional Pasca-Gempa 2006 di Kotagede dengan
dukungan berbagai perusahaan swasta dan negara sahabat;
3) Rehabilitasi Jam Gadang Pasca-Gempa 2007 di Bukittinggi dengan dukungan
Kedutaan Besar Kerajaan Belanda;
4) Rehabilitasi Kapel St Leo dan Masjid Lubuk Bareh Pasca-Gempa 2009 di
Sumatera Barat dengan dukungan Prince Claus Funds (PCF);
5) Renovasi Rumah Batak Karo pada tahun 2012 oleh dengan dukungan World
Monument Fund (WMF)
6) Pelestarian Rumah Tradisional Wae Rebo pada tahun 2012 oleh Yayasan Rumah
Asuh.


Gambar 9. Yayasan Rumah Asuh, Pimpinan Yori Antar memberi andil dalam kelestarian Rumah
Tradisional Wae Rebo
Sumber: https://plus.google.com/102281037795175501674/posts/49HAAT79V3R

Hubungan antar aktor terjadi pada saat perbaikan, dengan aktor utama adalah Tim
Pengelolaan, yang didampingi oleh Komunitas. Struktur organisasi dalam strategi ini
tidak bersifat permanen.


PUBLIC-PRIVATE PARTNERSHIP (PPP) IN MANAGING HISTORICAL URBAN PRECINCTS Workshop, May 6-8, 2013

90
















Gambar 10. Struktur Organisasi Orang Tua Asuh

2. Strategi Investasi Pusaka
Seperti orang tua asuh, strategi investasi pusaka merupakan perwujudan dari gagasan
tentang pelestarian pusaka dengan sumber pendanaan yang berasal dari luar.
Perseorangan maupun institusi dapat menjadi investor untuk mengembangkan atau
memanfaatkan kegiatan bisnis di kawasan pusaka, yang telah disepakati. Persyaratan
utama adalah merehabilitasi pusaka tersebut seperti semula dengan ada/tidak adanya
infill design.
Seperti pada strategi orang tua asuh, tim pengelola dapat menyusun daftar
bangunan pusaka yang menjadi prioritas untuk ditawarkan kepada investor. Investor
yang telah membeli bangunan otomatis menjadi pemilik. Setelah perbaikan, pengelolaan
pusaka dilakukan sepenuhnya oleh investor yang telah memiliki pusaka tersebut.
Hubungan antar aktor terjadi pada saat kegiatan perbaikan, dengan aktor utama
adalah Tim dan investor. Investor bertanggungjawab mengelola rumah tersebut. Ia
dapat memanfaatkannya sebagai tempat tinggal maupun fungsi lainnya.





Tim
Pengelolaan
Pelestarian
Komunitas
Donatur
Aktor
Utama
Peran
Tim
Pengelolaan
Membuat daftar
rumah untuk
direhabilitasi
Menyiapkan
dokumen
perancangan
Mencari donatur
Komunitas Membantu Tim
Pengelolaan dalam
menyeleksi rumah
Donatur Menyediakan dana
untuk rehabilitasi
Pemilik Mengelola rumah

Rumah
Tinggal
Rumah
Publik/Bisnis
Pemilik
Pemanfaatan
Bangunan
Pusaka
PUBLIC-PRIVATE PARTNERSHIP (PPP) IN MANAGING HISTORICAL URBAN PRECINCTS Workshop, May 6-8, 2013

91

















Gambar 11. Struktur Organisasi Heritage Investment

Strategi ini memerlukan mobilisasi aktor yang dapat membuat business plan
dan sekaligus memasarkan gagasan pemanfaatan rumah tersebut.


Gambar 12. Bangunan Pusaka yang Dibeli dan dimanfaatkan kembali: (1) Rumah Tradisional di
Kotagede; (2) bangunan di Kota Lama Semarang sebagai Galeri Seni

3. Strategi Berbasis Masyarakat
Strategi Berbasis Masyarakat merupakan perwujudan dari gagasan bahwa pemulihan
kawasan pusaka merupakan totalitas pemulihan kehidupan, meliputi permukiman
dengan prasarana dan sarananya, penyelamatan dan pelestarian kehidupan dan
identitas fisik dan sosial budaya, serta berbagai kegiatan ekonomi yang menopang
kehidupan masa kini hingga masa depan. Karena itu, pelestarian bangunan dan kawasan
pusaka serta identitas sosial budaya diletakkan pada kepentingan masyarakat sebagai
aset utama pembangunan ke masa depan. Untuk memastikan bahwa seluruh komponen
Aktor
Utama
Peran
Tim
Pengelolaan
Membuat daftar
rumah untuk
direhabilitasi
Menyiapkan
dokumen
perancangan
Mencari donatur
Donatur/
Investor/
Pemilik
Menyediakan
dana untuk
rehabilitasi
Mengelola
rumah

Tim
Pengelolaan
Pemilik
Investor
Pelestarian
Rumah
Tinggal
Rumah
Publik/Bisnis
Pemanfaatan
Bangunan
Pusaka
PUBLIC-PRIVATE PARTNERSHIP (PPP) IN MANAGING HISTORICAL URBAN PRECINCTS Workshop, May 6-8, 2013

92

dipenuhi, partisipasi masyarakat harus ada sebagai pemberi dasar yang kuat untuk
berkembang secara berkelanjutan.












Gambar 13. Struktur Organisasi Berbasis Masyarakat

Strategi ini menempatkan masyarakat untuk menetapkan prioritas dalam
penataan lingkungannya dengan kriteria yang disepakati. Dalam hal ini, organisasi
pengelola dibentuk sebagai kesepakatan para pemilik dan masyarakat untuk
memastikan pemanfaatan dan pengembangan terjadi terhadap pusaka bersama.

Gambar 14. Pemanfaatan Bangunan Pusaka untuk Fungsi Publik

GAP DAN KENDALA
Sebagai sebuah organisasi, SA lahir dan membesarkan gagasan pelestarian pusaka
di Kota Amsterdam. Terjadi sekitar tahun 1960an ketika Kota Amsterdam mengalami
masa suram dan pada saat bersamaan, pemerintah cenderung untuk menghancurkan
Aktor
Utama
Peran
Komunitas Membuat daftar
rumah untuk
direhabilitasi
Menyiapkan
dokumen
perancangan
Mencari donatur
Organisasi
Pengelola
Membantu Tim
dalam menyeleksi
rumah
Mengelola rumah
bersama pemilik
Pemilik Mengelola rumah

Komunitas
Pelestarian
DONATUR
Pemilik
Bangunan
Pusaka
Pemanfaatan
Organisasi
Pengelola
PUBLIC-PRIVATE PARTNERSHIP (PPP) IN MANAGING HISTORICAL URBAN PRECINCTS Workshop, May 6-8, 2013

93

bangunan lama untuk pembangunan baru. Gerakan pelestarian pada akhirnya, berhasil
mendorong munculnya kebijakan peremajaan kota yang lebih berorientasi pada
pelestarian pusaka kota. Kebijakan inipun diadopsi dalam perencanaan tata ruangnya.
SA hadir dengan cara berpikir yang out of the box dalam aspek-aspek berikut:
1) Visi
SA didirikan oleh kelompok orang-orang yang berpengaruh di Kota Amsterdam, yaitu
walikota, tokoh masyarakat, bankir dan pengusaha.
Saat berdirinya, ada rencana pembangunan kota dengan cara menghancurkan
bangunan-bangunan lama. Kelompok tersebut menentang rencana tersebut dan
membangun visi untuk menyelamatkan lansekap kota bersejarah, yang sekaligus
memberi solusi untuk menyediakan rumah tinggal di tengah kota. Pada tahun 1968,
Kota Amsterdam mendukung dan memiliki bagian sebesar 13%.
Meskipun keuntungan yang dibagikan kecil (deviden 5%), namun mereka yang
terlibat dalam SA memiliki alasan sosial. Porsi terbesar dari keuntungan yang didapat
digunakan untuk membeli bangunan-bangunan pusaka yang lain.
2) Strategi
SA berdiri pada tahun 1956 dengan status limited liability company (Naamloze
Vennootschap). Setahun kemudian, ia mendapat status yang resmi sebagai
perusahaan perumahan publik. Dengan begitu, SA mendapat keuntungan seperti
pengecualian pajak (tax exemption) atau hak yang dijamin undang-undang untuk
dibebaskan dari kewajiban membayar pajak sebesar 35% .
SA tidak berhenti pada gagasan awalnya saja. Pada awalnya, SA membeli rumah
di tengah kota yang direncanakan untuk dihancurkan. Pada perkembangannya, ia
juga membeli bangunan yang berperan untuk meningkatkan kualitas bagian kota
yang terbengkalai karena tidak terawat. Tidak hanya di pusat kota, tetapi juga di
pinggiran kota. Yang dilakukan SA menunjukkan bahwa perbaikan suatu bangunan
tidak sekadar menghabiskan uang, tetapi juga berkelanjutan secara ekonomi.
Inovasi terus dibiakkan dalam SA. Termasuk ketika terjadi merger dengan the
Amsterdam Monumen Fonds NV (AMF) atau organisasi yang mengelola monument di
Amsterdam termasuk bangunan ibadah. SA meneruskan gagasannya untuk
memanfaatkan bangunan pusaka dengan memberi fungsi baru terhadap monumen-
monumen tersebut.
3) Implementasi
Untuk merealisasikannya, di dalam SA terdapat sekitar 30 orang yang mengelola
kegiatan perbaikan dan pemeliharaan. Orang-orang tersebut bergabung dalam lima
divisi, berikut:
- Restorasi
PUBLIC-PRIVATE PARTNERSHIP (PPP) IN MANAGING HISTORICAL URBAN PRECINCTS Workshop, May 6-8, 2013

94

Divisi ini mencari dan mengidentifikasi bangunan di seputaran Amsterdam yang
dianggap layak untuk dibeli. Proses identifikasi ini secara otomatis melibatkan
pemikiran tentang bagaimana membiayai pemeliharaannya. Faktanya, permintaan
terhadap rumah di Amsterdam memang tinggi.
Dalam beberapa kasus tertentu, SA dapat bekerjasama dengan Pemerintah Kota
Amsterdam dalam menangani suatu bangunan atau monumen yang terbengkalai.
Dalam kapasitasnya untuk melayani publik, Pemerintah Kota mengharapkan tiap
bangunan bersejarah tetap memiliki nilai fungsional bagi kota maupun lingkungan.
Dengan pengalamannya, melalui divisi restorasi SA dapat memberi masukan
sekaligus menjadi eksekutor proyek tersebut.


- Pemeliharaan
Divisi ini membuat prosedur yang menjadi panduan dalam memelihara aset
bangunan yang dimiliki. Sebagai perpanjangan tangan divisi restorasi dan
pemeliharaan adalah arsitek dan kontraktor. Tiap proses restorasi dan pemeliharaan
akan melalui lelang untuk mendapatkan perusahaan yang memberikan jasa yang
optimal.
- Pembiayaan
Divisi ini menghitung biaya yang dihabiskan dengan membeli dan memelihara
bangunan. Biaya tersebut dibandingkan dengan pemasukan dari menyewakan selama
jangka waktu tertentu.
- Legal
Divisi ini memastikan kesepakatan dengan penyewa memiliki dasar hukum.
- Kegiatan
Gambar 15. Pakhuis de Zwyger

PUBLIC-PRIVATE PARTNERSHIP (PPP) IN MANAGING HISTORICAL URBAN PRECINCTS Workshop, May 6-8, 2013

95

Setelah merger, SA juga mengelola sendiri beberapa bangunan untuk aktivitas seni
dan budaya. tujuan membuat kegiatan tersebut adalah membangun reputasi
bangunannya. Tiap tahun, divisi ini menyiapkan agenda kegiatan sepanjang tahun
berikutnya.

Gambar 16. Agenda Kegiatan yang Dikelola SA

Gambaran tentang SA menunjukkan bahwa SA memiliki karakter strategi yang
kurang lebih sama, yaitu:
1) Orang tua asuh, mengadopsi atau membeli bangunan yang terabaikan bahkan
terancam;
2) Investasi pusaka, membeli bangunan dan dikelola sebagai sumber pendapatan,
yang menjadi modal untuk membeli bangunan berikutnya;
3) Berbasis masyarakat, memberi manfaat sosial pada bangunan dalam konteks
pembangunan Kota Amsterdam.

Yang perlu menjadi catatan, bahwa strategi tersebut secara solid digunakan
untuk dapat mengakomodasi pengelolaan pusaka. Ini terjadi, antara lain karena
kondisi awal yang terpenuhi, yaitu secara internal, adanya sebuah Tim yang mampu
mengolah isu dan menyiapkan panggung bagi kegiatan pelestarian dalam jangka waktu
yang panjang dan bersamaan pula, secara eksternal, semakin padunya kebijakan yang
mendukung kegiatan pelestarian.

PENUTUP
Declaration on the Conservation of Historic Urban Landscapes telah mengajak kita untuk
melihat pelestarian pusaka dalam konteks lansekap kota bersejarah. Dengan begitu,
pelestarian berarti keberlanjutan keterkaitan, nilai dan manajemen. Pusaka budaya
PUBLIC-PRIVATE PARTNERSHIP (PPP) IN MANAGING HISTORICAL URBAN PRECINCTS Workshop, May 6-8, 2013

96

terus dikembangkan untuk dapat mendukung karakteristik serta kualitas kota yang
berkembang.
Perusahaan restorasi bernama Stadsherstel Amsterdam perlu dipahami sebagai hasil
proses interaksi antara visi kelompok pecinta pusaka dan lingkungan eksternal, seperti
kebijakan pemerintah dan perkembangan kota. Pengelolaan pusaka tentunya tidak
semata-mata untuk tujuan nostalgia, tetapi juga memberi manfaat bagi kehidupan kota.
Di Belandapun, Stadsherstel atau perusahan restorasi dapat ditemukan di beberapa kota
dan tidak semua berhasil. Ada komponen-komponen yang penting untuk diperhatikan
untuk mencapai tujuan pengelolaan pusaka. Kuncinya adalah memperhatikan tiga
komponen berikut: visi, strategi dan implementasi.

BIBLIOGRAPHY
Adishakti, Laretna T. 1998. Living with Heritage: Managing Its Own. The Case of
Yogyakarta, Indonesia. Historic Cities on Islamic Societies Proceedings.
Ashworth, G.J. 2002. Conservation Designation and the Revaluation of Property: the Risk
of Heritage Innovation. International Journal of Heritage Studies, Vol. 8, No. 1,
2002, pp. 9-23.
Ashworth, G.J. 1991. Heritage Planning. Groningen: Geo Pers.
Jukilehto, Jukka. 1999. A History of Architectural Conservation. Butterworth-Heinemann:
Oxford.
Martokusumo, Widjaja. 2010. The Old Town Jakarta: Perspectives on Revitalization,
Conservation and Urban Development. The Architectural Design Symposium (CU:
ADS 2010) Asian Modernization.
Pendlebury, John. 2009. Conservation in the Age of Consensus. Oxon: Routledge.
Tiesdell, Steven, Taner Oc and Tim Heath. 1996. Revitalizing Historic Urban Quarters.
Oxford: Architectural Press.

PUBLIC-PRIVATE PARTNERSHIP (PPP) IN MANAGING HISTORICAL URBAN PRECINCTS Workshop, May 6-8, 2013

97

Appendix 5
List of particpants

PUBLIC-PRIVATE PARTNERSHIP (PPP) IN MANAGING HISTORICAL URBAN PRECINCTS Workshop, May 6-8, 2013

98


PUBLIC-PRIVATE PARTNERSHIP (PPP) IN MANAGING HISTORICAL URBAN PRECINCTS Workshop, May 6-8, 2013

99

WORKSHOP PPP IN MANAGING HISTORICAL URBAN PRECINCTS
JAKARTA MAY 6-8, 2013

LIST OF PARTICIPANTS


RESOURCE PERSONS:

No. NAME TITLE INSTITUTION
1. Donovan Rypkema President Heritage Strategies International
1785 Massachusetts Avenue, NW
Washington, DC 20036, USA
Email: drypkema@hs-intl.com
Website: www.HS-Intl.com
2. Peter Timmer Senior
Consultant,
Heritage and
Environment
Cultural Heritage Agency (RCE)
Ministry of Education, Culture and
Science
P.O. Box 1600, 3800 BP
Amersfoort, The Netherlands
Email: p.timmer@cultureelerfgoed.nl
Website: www.cultureelerfgoed.nl/en
3. Amiluhur Soeroso Economics &
Heritage Expert
Indonesian Heritage Trust (BPPI)
Jl. Veteran I no. 27
Jakarta 10110, Indonesia
Email: amisoeroso@gmail.com
Website: www.indonesianheritage.info
4. Punto Wijayanto Heritage
Planning Expert
Indonesia Heritage Trust (BPPI)
Jl. Veteran I no. 27
Jakarta 10110, Indonesia
Email: punto.wijayanto@gmail.com
Website: www.indonesianheritage.info


FACILITATORS TEAM:
No. NAME EMAIL CITY
1. Aristia Kusuma heritageku@ymail.com Sawahlunto, Baubau
2. Amiluhur Soeroso amisoeroso@gmail.com Denpasar, Karangasem
3. Catrini Kubontubuh balikuna@yahoo.com
4. Dani B. Ishak danibsa99@yahoo.com Bogor
5. Hardini Sumono hsumono@yahoo.com
6. Hasti Tarekat tarekathasti@yahoo.com
7. Laretna T. Adishakti sitakiadishakti@yahoo.com Yogyakarta
8. Punto Wijayanto punto.wijayanto@gmail.com Banda Aceh, Palembang
9. Suhadi Hadiwinoto diditsuhadi@yahoo.com Banjarmasin
10. Widya Wijayanti wwidya@gmail.com Semarang

WORKSHOP PARTICIPANTS JKPI:
No. CITY/REGENCY NAME
1. Banda Aceh Fahmi
PUBLIC-PRIVATE PARTNERSHIP (PPP) IN MANAGING HISTORICAL URBAN PRECINCTS Workshop, May 6-8, 2013

100

2. Banda Aceh Muhammad Ridha
3. Baubau Kudrat Priadi
4. Semarang Nik. Sutiyani
5. Banjarmasin Mujiyat, SSN, MPd
6. Banjarmasin Ir. Welly Retnawati
7. Sawahlunto Evrinaldi, S.Si.
8. Sawahlunto Kurnia Febri, ST
9. Bogor Kismiadi, ST, MT
10. Karangasem I Nyoman Siki Ngurah, ST, MT
11. Karangasem I Ketut Sedana Merta, ST, MT
12. Palembang Drs. Ahmad Zazuli, MSi
13. Palembang Ir. Aris Munandar, MPSDA
14. Yogyakarta Edy Muhammad
15. Yogyakarta Tika
16. Denpasar Made Widiyasa

WORKSHOP OBSERVERS JKPI:
No. CITY/REGENCY NAME
1. Kab. Bangka Barat Hepry
2. Kab. Bangka Barat Agh Syawari
3. Medan Fariz Hutagulung
4. Medan Willy Irawan
5. Cirebon H. Akhmad Shobirin, SKM, MKM
6. Kab. Brebes Asyari SAB
7. Kab. Brebes Eman, SH
8. Kab. Batang Sudarno, ST., MM.
9. Kab. Batang Jatmono, ST., MM
10. Kab. Cilacap Hamzah
11. Kab. Cilacap Dudi Krisna
12. Salatiga R. Sriwisnu
13. Salatiga Ririk Basido
14. Malang M. Anis J.
15. Malang Fredy
16. Kab. Boyolali Maharsi Widadgo Catur Kusumo, ST.
17. Kab. Boyolali Nugroho Jati

PARTICIPANTS FROM THE MINISTRY OF PUBLIC WORKS:
No. INSTITUTION NAME
1. MoPW Anissa RA
2. MoPW Sudarto
3. MoPW Disa Dwi Rd. Putra
4. MoPW Agus Warsono
5. MoPW Barbara Katly N.
6. MoPW Intan Putra P.
7. MoPW Hery S.
8. MoPW Lam Ida Butarbutar
9. MoPW Ramadhan Firdaus
10. MoPW Novita D.
11. MoPW Ranti M.
PUBLIC-PRIVATE PARTNERSHIP (PPP) IN MANAGING HISTORICAL URBAN PRECINCTS Workshop, May 6-8, 2013

101

12. MoPW Fisqa T.
13. MoPW Deazaskia
14. MoPW Herman Sobari
15. MoPW Andi Renald
16. MoPW Yoppi Aditya
17. MoPW Anggar Lugastama
18. MoPW Alis Listalatu
19. MoPW Agustomi RA
20. MoPW Hajar Ahmad C.
21. MoPW Nuki H.
22. MoPW Andreas Satria W.
23. MoPW Lina Marlia
24. MoPW Endang
25. MoPW Allien Dyah
26. MoPW Cut Myra
27. MoPW Firman Nh
28. MoPW Zacdy
29. MoPW Jassie
30. MoPW Firsta I
31. MoPW Eko BK
32. MoPW Nurul FB
33. MoPW Rai Pratadaja
34. MoPW Teguh UA
35. MoPW Sylva AAI
36. MoPW Niken P.
37. MoPW Widha R.
38. MoPW Khrisma PAP
39. MoPW Yohanes Fajar W.
40. MoPW B. Ismubagio
41. MoPW Eko H
42. MoPW Arum NW
43. MoPW Rizky Fitriananda
44. MoPW Garika
45. MoPW Eddi Suprabowo
46. MoPW Hetti Trianti
47. MoPW Virgeorani
48. MoPW Rocky Adam
49. MoPW Akhyar Farizal
50. MoPW Eka A
51. MoPW Dian Zchareni
52. MoPW Hari K.
53. MoPW One I
54. MoPW Supriyanto
55. MoPW Septiadi AN

PARTICIPANTS FROM OTHER INSTITUTIONS:
No. INSTITUTION NAME
1. DKI Djauhari S.
2. Kemdikbud Arif Rachman
3. ANRI Asep M.
PUBLIC-PRIVATE PARTNERSHIP (PPP) IN MANAGING HISTORICAL URBAN PRECINCTS Workshop, May 6-8, 2013

102

4. Disparbud DKI Harry Rinaldi
5. Netherlands Embassy Dorine Wytema
6. Pemprov DKI Iyan Iskandar
7. Menkokesra Hikmah Rafika
8. PT Supra Victor IG
9. BPPI Sri Hadiarti
10. BPPI Titin Fatimah
11. Kemdikbud Ni Ketut Wardani
12. Jelajah Budaya Kartum Setiawan
13. UNESCO Wieske Sapardan
14. Din Pariwisata Noer Sayidi
15. UNESCO Andrew Henderson
16. DJCK Wahyu Imam S.
17. DJCK Budi Prastowo
18. Dinas Tata Ruang Desy Meilayanti
19. Univ. Gunadharma Veronila
20. PT D&A Bayu Filladiaz W,
21. KML Kemdikbud Adi Nuryanto
22. Bappeda Anni Maryani S.
23. DMO Kota Tua Dodi Riadi
24. Lwg DMO Kota Tua Henry Rahman
25. IALI Hengki Heksanto
26. BPPI M. Bambang Susetyanto
27. Taruwilnas Harni Harumi P.
28. BPPI Amiluhur Soeroso
29. BPPI Catrini P. Kubontubuh
30. Bapedda Cirebon Yoyon Indrayana
31. Jakstra Kota Nadya Rahmarani
32. Jakstra Kota Ardhanareswari
33. Bappeda DKI Tezza Nur G.R
34. DJPR Maria Astrid K.
35. DJPR M. Refai
36. BPPI Aristia
37. DJPR M. Prawiranegara
38. PT KAI Tri Prastiyo
39. PT KAI Thanti F.
40. BPPI Hardini Sumono

PUBLIC-PRIVATE PARTNERSHIP (PPP) IN MANAGING HISTORICAL URBAN PRECINCTS Workshop, May 6-8, 2013

103


PUBLIC-PRIVATE PARTNERSHIP (PPP) IN MANAGING HISTORICAL URBAN PRECINCTS Workshop, May 6-8, 2013

104


21

Vous aimerez peut-être aussi