Vous êtes sur la page 1sur 15

LAPORAN PRAKTIKUM ILMU MATERIAL II

TOPIK

: Resin Komposit

KELOMPOK

: A7

TANGGAL PRAKTIKUM IM

: 23 Oktober 2013

PEMBIMBING

: Dr.Intan Nirwana,drg.,M.Kes

Nama Anggota Kelompok:


1.
2.
3.
4.
5.
6.

Fara Maulida Iranti


Agustina Restu N
Dania Anngana D
Willy Wijaya
Annete Juwita Y
Ledy Ana Z

021211131037
021211131038
021211131039
021211131040
021211131041
021211131042

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI


UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2013

1.

TUJUAN
a. Mahasiswa mampu melakukan manipulasi komposit secara tepat
b. Mahasiswa mampu mengetahui perbedaan kekerasan hasil palomerasi
resin komposit berdasarkan pengamatan yang dilakukan berdasarkan
jarak dan ketebalan.

2.

ALAT DAN BAHAN


2.1. Bahan
a. Resin komposit aktivasi sinar tampak (light activated resin composite),
bentuk sediaan pasta tunggal. Pada praktikum ini bahan resin komposit
yang digunakan adalah merk Spectrum TPH 3.
b. Vaselin

Gambar 1.a) Resin Komposit b) Vaselin

2.2 Alat
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.

Cetakan Teflon ukuran diameter 4 mm, Tebal 2 mm, dan tebal 5 mm


Plat kaca
Celluloid strip
Plastic filling
Light curing unit (Halogen atau LED)
Sonde
Cure light meter

Gambar 2. a) light curing unit b) sonde, pisau model,plat kaca c) cure light meter d)
pemberat e) cetakan Teflon

3.

CARA KERJA
Untuk cetakan Teflon tinggi 2 mm, dilakukan penyinaran dengan jarak 0 mm
dan 10 mm.
Untuk cetakan Teflon tinggi 5 mm, dilakukan penyinaran dengan jarak 0 mm dan
10 mm
a. Teflon diletakkan diatas lempeng kaca yang telah dilapisi celluloid strip.
b. Bahan tumpatan resin komposit dikeluarkan dari tube, kemudian masukkan
sedikit demi sedikit ke dalam cetakan teflon tinggi 2 mm dengan plastic
filling. Cetakan harus terisi penuh dengan resin komposit tanpa ada rongga
(diusahakan setinggi cetakan teflon).

Gambar 3. Bahan tumpatan resin komposit dikeluarkan dari tube

c. Sebelum menggunakan light curing halogen, intensitas sinar di cek dahulu


dengan cure light meter (antara 400 500 nm). Bila menggunakan LED,
intensitas sinar dicek dengan menempelkan light tip pada perangkat yang
tersedia.

Gambar 4.Intensitas sinar di cek terlebih dahulu dengan cure light meter

d. Celluloid strip diletakkan di atas cetakan teflon yang telah diisi resin
komposit, kemudian diberi pemberat 1 kg selama 30 detik, ujung alat curing
(light tip) ditempelkan pada celluloid strip dan sinari selama 20 detik.
e. Hasil kekerasan permukaan yang terkena light tip alat curing langsung (0
mm) dibedakan dengan permukaan yang jauh dari light tip alat curing (10
mm) dengan cara digores dengan sonde.

f. Resin komposit yang telah berpolimerisasi / mengeras dilepas dari cetakan


teflon dengan hati-hati.
g. Tahap a f diulangi pada cetakan dengan tinggi 5 mm. Pengisian resin
komposit dilakukan percobaan 2 kali, secara bertahap (4x) dan secara
langsung terisi penuh tanpa ada rongga.
4.

HASIL PRAKTIKUM
Berikut adalah tabel hasil praktikum:

No

Tebal resin

Jarak

Intensitas

Lama

Kekerasan

komposit

Pemaparan

sinar

Penyina

permukaan
Atas
bawah

1.

2 mm

0 mm

594

ran
20 detik

Keras

Keras

2.

2 mm

10 mm

180

20 detik

Keras

Keras

3.

5 mm

0 mm

584

20 detik

Keras

Lunak

4.

5 mm

10 mm

148

20 detik

Keras

Lunak

5.

8 mm
(penuh)

0 mm

623

20 detik

Keras

Lunak

6.

8 mm
(berlapis)

0 mm

614 (lapis I)

20 detik

Keras

Keras

524 (lapis II)

20 detik

Keras

Keras

557 (lapis III)

20 detik

Keras

Keras

620 (lapis IV)

20 detik

Keras

Keras

5.

ANALISIS HASIL PRAKTIKUM


Pada percobaan resin komposit dilakukan 6 kali praktikum dengan lama

waktu penyinaran 20 detik, yaitu dengan cetakan setebal 2 mm, 5 mm, 8 mm pada
jarak penyinaran 0 mm, dengan tebal 8mm pada jarak penyinaran 0 mm diisi dan

disinar secara bertahap, dengan tebal cetakan 2 mm dan jarak penyinaran 10 mm dan
dengan tebal cetakan 5 mm dengan jarak penyinaran 10 mm.
Pada ketebalan 2 mm setelah disinari pada jarak 0 mm maupun 10 mm tidak
memberikan bekas goresan sonde baik pada bagian atas ataupun bawah. Hal ini
menandakan bahwa komposit

dengan ketebalan dan jarak penyinaran ini masih

memiliki kekerasan yang baik. Selanjutnya pada komposit dengan ketebalan 5 mm


setelah disinari dari jarak 0 mm maupun 10 mm memberikan sedikit bekas goresan
sonde pada bagian bawah cetakan (lunak) sedangkan bagian atas cetakan keras. Hal
ini menunjukkan resin komposit memiliki kekerasan yang kurang baik.
Pada ketebalan 8 mm setelah disinari pada jarak 0 mm secara langsung
didapatkan hasil pada bagian atas cetakan keras sedangkan pada bagian bawah
cetakan lunak, hal ini menunjukkan resin komposit memiliki kekerasan yang kurang
baik. Pada ketebalan 8 mm setelah disinari pada jarak 0 mm sercara bertahap (layer
per layer) didapatkan hasil pada bagian atas cetakan keras dan pada bagian bawah
cetakan keras, hal ini menunjukkan resin komposit memiliki kekerasan yang baik.
Pengaruh jarak penyinaran terhadap kekerasan dapat dilihat dari hasil
percobaan pada resin komposit dengan tebal 5 mm. Jarak penyinaran 0 mm
menghasilkan resin dengan kekerasan yang lebih baik dibandingkan penyinaran
dengan jarak 10 mm. Hal ini dikarenakan jarak antara sumber sinar dengan resin
komposit yang semakin jauh akan menyebabkan intensitas sinar menurun dan
menghambat polimerisasi sehingga kekerasan menjadi berkurang.
Sedangkan pengaruh ketebalan terhadap kekerasan juga dapat dilihat pada
hasil percobaan pada resin dengan ketebalan 5 mm dan 2 mm. Pada jarak penyinaran
yang sama yaitu 0 mm, resin dengan tebal 2 mm menghasilkan kekerasan yang lebih
baik. Hal yang sama juga terjadi saat jarak penyinaran 10 mm, komposit dengan tebal
5 mm menghasilkan kekerasan yang buruk. Hal ini terjadi karena polimerisasi resin
komposit yang terlalu tebal tidak dapat berlangsung dengan baik dan kurangnya

penyinaran sehingga yang mengeras hanya bagian permukaan saja dan menghasilkan
lapisan lunak pada bagian dasar. (Susanto 2005, hal 33)
Pada percobaan layer per layer diperoleh hasil akhir komposit, ketebalan 8
mm dengan kekerasan yang jauh lebih baik dibandingkan dengan komposit 8 mm
yang diaplikasikan dengan sekali tahapan tumpatan. Hal ini dikarenakan pada teknik
layer per layer lapisan komposit yang tidak terlalu tebal saat penyinaran sehingga
polimerisasi dapat terjadi secara sempurna dan kekerasan menjadi lebih baik. Oleh
karena itu untuk mempertahankan kekerasan agar tetap baik , teknik layer per layer
sebaiknya dilakukan apabila cavitas yang harus ditumpat memiliki kedalaman lebih
dari 2 mm.

6.

PEMBAHASAN
Kekerasan resin komposit dipengaruhi oleh kedalaman polimerisasinya (depth

of cure). Hal ini bergantung pada beberapa faktor antara lain ketebalan, tipe komposit
(warna komposit / translucence), jarak dan posisi sumber sinar terhadap resin
komposit, lama penyinaran, intensitas dan panjang gelombang sinar. Jarak antara
sumber sinar dengan resin komposit yang semakin jauh akan menyebabkan intensitas
sinar menurun dan menghambat polimerisasi sehingga kekerasan menjadi berkurang.
Kontak langsung antara ujung sumber sinar dengan permukaan resin komposit akan
meningkatkan kekerasan, tetapi jarak yang dianjurkan adalah 1 mm dan tidak lebih
dari 6 mm. (Thome, dkk, 2007)
Macam-macam komposit:
1. Light Cured Composites
Komposit jenis ini disuplai dalam berbagai bentuk seperti spills, syringes,
compules.

Syringes terbuat dari plastik opaque untuk melindungi material di

dalamnya dari paparan cahaya dan menyediakan umur penyimpanan yang adekuat.
Jika dipak dengan compules, compules diletakkan pada ujung dari syringe, dan
pasta akan diekstruksi setelah protective tip dilepaskan. Keuntungan dari compules

adalah penempatan pasta komposit yang mudah, mengurangi cross infection, dan
memproteksi pasta dari paparan cahaya
2. Self-Cured/Dual Cured Composites
Komposit jenis ini biasanya dipak dalam syringes atau tube pasta dan
katalis membutuhkan pencampuran.(Craig, page 236-237) Intensitas cahaya pada
permukaan resin merupakan faktor penting dalam kelengkapan curing pada
permukaan dan di dalam material. Ujung sumber cahaya harus diberikan dalam
jarak 1mm dari permukaan untuk mendapatkan penetrasi yang optimum. Shade
yang semakin opaque dapat mengurangi transmisi cahaya dan hanya dapat mengcuring pada kedalaman minimal, yaitu 1mm. Standart lamanya penyinaran dengan
menggunakan sinar tampak adalah 20 detik. Pada umumnya, waktu (20 detik)
tersebut cukup untuk meng-curing resin dengan light-shade untuk kedalaman 2
atau 2,5 mm. Penyinaran selama 40 detik dapat memperbaiki derajat curing pada
seluruh kedalaman, tetapi hal ini diperlukan untuk mendapatkan curing yang
cukup dengan shade yang lebih gelap. Aplikasi dari pancaran sinar pada ketebalan
1 mm atau pada struktur gigi dengan tingkat ketebalan yang sedikit lebih rendah
akan menghasilkan curing yang tepat pada kedalaman yang dangkal, dengan nilai
kekerasanyang didapat akan tidak konsisten. Light curing units dibuat dengan
ujung yang lebar. Tetapi, pancaran sinar yang didistribusikan pada permukaan
yang luas dapat menyebabkan turunnya intensitas penyinaran pada titik yang
diberi sinar. Penggunaan waktu penyinaran yang lebih lama yaitu hingga 60 detik
diperlukan ketika menggunakan ujung emitting yang lebih lebar.
Waktu penyinaran untuk polimerisasi sangat bervariasi tergantung pada jenis
light-curing unit serta jenis, kedalaman dan shade dari komposit. Waktu
penyinarannya juga bervariasi dari 20 sampai 60 detik untuk restorasi dengan
ketebalan 2 mm. Komposit microfilled membutuhkan waktu penyinaran yang lebih
lama daripada komposit microhybrid karena partikel fillernya yang kecil
menghamburkan cahaya lebih banyak. Komposit dengan shade yang lebih gelap atau

lebih opaque membutuhkan waktu penyinaran yang lebih lama yaitu lebih dari 60
detik daripada komposit dengan shade yang lebih terang atau lebih translucent.
Untuk restorasi yang cukup dalam, komposit ditambahkan dan dipolimerisasi dalam
bentuk lapis per lapis. Satu lapis terikat dengan lapis lainnya tanpa kehilangan
kekuatannya. Setting time komposit light cured dan kedalaman curing dalam massa
yang diberikan tergantung pada intensitas dan penetrasi cahaya. (Craig & Powers.
2002)
Pabrik biasanya memberikan informasi mengenai waktu pengerasan untuk
warna yang berbeda, waktu tersebut didasarkan pada ketebalan resin tertentu yang
terpolimerisasi oleh unit sinar tertentu. Waktu yang dianjurkan biasanya merupakan
batas minimal. Untuk memastikan polimerisasi maksimal dan keberhasilan klinis,
harus digunakan unit sinar dengan intensitas tinggi, dan intensitas sinar harus
dievaluasi secara periodik. Ujung sinar harus diletakkan sedekat mungkin dengan
permukaan resin. Idealnya, pengerasan harus diawali pada batas resin/gigi sehingga
resin mengkerut ke arah dinding kavitas bukan malah menjauhi dinding kavitas. Ini
dapat dicapai pada pengerasan pertama melalui struktur gigi yang berdekatan dengan
tepi proksimal. Namun, karena sinar ketika melewati jaringan gigi, tambahan
pengerasan diperlukan bila cara ini dilakukan. Waktu pemaparan harus kurang dari 40
detik, dan ketebalan resin harus tidak lebih tebal dari 2-2,5 mm. Warna yang lebih
gelap memerlukan pemaparan yang lebih lama, seperti resin yang terpolimerisasi
melalui email dan dentin. (Anusavice, 2003)
Intensitas maksimum dari radiasi cahaya yang terpapar lebih terkonsentrasi
pada bagian permukaan dari light cure composite. Cahaya yang masuk kemudian
berpenetrasi dan menyebar keseluruh bagian dari light cure composite. Sejumlah
faktor yang mempengaruhi tingkat polimerisasi pada kedalaman tertentu dari
permukaan setelah curing cahaya. Konsentrasi fotoinisiator atau penyerap cahaya
dalam komposit harus sedemikian rupa sehingga akan bereaksi pada panjang
gelombang yang tepat dan hadir dalam konsentrasi yang cukup. Filler konten dan
ukuran partikel sangat penting untuk dispersi sinar. Untuk alasan ini, microfilled

komposit yang memiliki lebih kecil dan lebih banyak partikel menghamburkan lebih
banyak cahaya daripada microhybrid komposit dengan kaca yang lebih besar dan
lebih sedikit partikel. Diperlukan waktu pemaparan lebih lama untuk memperoleh
kedalaman memadai curing microfilled dari komposit. (Craig, 2002)
Waktu paparan yang dibutuhkan untuk polimerisasi bervariasi tergantung pada
jenis light curing unit dan kedalaman komposit. Waktu yang digunakan dapat
bervariasi dari 20 sampai 60 detik untuk restorasi 2 mm tebal. Intensitas cahaya pada
permukaan resin merupakan faktor penting dalam kelengkapan curing di permukaan
dan dibagian dalam komposit. Ujung sumber cahaya harus berada pada jarak 1 mm
dari permukaan untuk mendapatkan penetrasi optimal. Waktu yang dibutuhkan untuk
paparan standar yang menggunakan sinar tampak adalah 20 detik. Secara umum, hal
ini sudah cukup untuk curing resin hingga kedalaman 2 atau 2,5 mm.
Kebanyakan reaksi polimerisasi terdiri dari dua jenis, yaitu polimerisasi adisi
dan polimerisasi kondensasi. Material yang digunakan polimerisasi adisi meliputi
poli(metil metakrilat) yang digunakan dalam konstruksi gigi palsu, dan bis-GMA
yang merupakan komponen umum dari matriksresin komposit. Sedangkan material
yang digunakan polimerisasi kondensasi meliputi karet polysulfide rubber dan
beberapa material silicone rubber impression (Obrien, 2002, p. 145).
Terdapat tiga tahap pada reaksi polimerisasi adisi radikal bebas. Tahapan
tersebut dapat dipercepat dengan panas, cahaya, atau sedikit peroksida. Tahap-tahap
tersebut adalah inisiasi, propagasi, dan terminasi(Obrien, 2002, p. 145).
1.

Inisiasi
Tahap inisiasi melibatkan produksi radikal bebas, dengan mendorong
rangkaian polimer untuk tumbuh. Molekul radikal bebas memiliki kelompok
kimia dengan elektron yang tidak terbagi. Pada resin dengan sistem pengaktifan
menggunakan cahaya, pemutusan rantai dengan camphorquinone menghasilkan
produksi dari dua molekul dengan satu elektron yang tak terbagi untuk masingmasing molekul. Radikal bebas menyerang ikatan ganda dari molekul monomer
yang tersedia, menghasilkan pergeseran elektron yang tak terbagi ke bagian akhir

monomer dan pembentukan molekul monomer teraktivasi (OBrien, 2002, p.


145).
2.

Propagasi
Propagasi ditandai dengan penambahan molekul monomer ke radikal bebas
secara pesat. Tahap propagasi berlanjut seiring dengan penambahan panjang
rangkaian (OBrien, 2002, p. 146).

3.

Terminasi
Tahap terminasi ialah pertumbuhan radikal bebas yang terjadi karena beberapa
mekanisme dan menghasilkan pembentukan cabang-cabang dan cross-links
(OBrien, 2002, p. 146).

Gambar 5. Tiga tahap polimerisasi adisi dari metil metakrilat (OBrien, 2002, p. 145)

Berdasarkan cara aktivasinya, komposit dapat digolongkan menjadi dua, yaitu


secara kimiawi (self cured) dan dengan menggunakan cahaya atau sinar (light cured).

a.

Aktivasi Secara Kimiawi (self cured)


Komposit pada awalnya diaktivasi dengan proses polimerisasi kimia. Proses

ini juga disebur cold curing atau self-curing. Polimerisasi aktivasi secara kimia
dilakukan dengan mencampurkan dua pasta sebelum penggunaan komposit. Selama
pencampuran, mustahil untuk menghindari masuknya udara ke dalam campuran yang
menyebabkan terbentuknya pori-pori yang membuat struktur lebih rapuh dan
membuat oksigen terjebak. Oksigen ini menghambat proses polimerisasi selama
proses curing. Operator juga tidak memiliki control terhadap waktu pengerjaan
setelah kedua komponen tercampur. Insersi dan pembentukan kontur harus dilakukan
segera setelah komponen resin tercampur (Anusavice, 2003, p. 410).
b.

Aktivasi menggunakan cahaya (light cured)


Untuk mengatasi masalaha ktivasi kimia, dilakukan pengembangan terhadap

resin yang tak membutuhkan proses pencampuran(mixing). Hal ini dilakukan dengan
penggunaan sistem inisiator photosensitive dan sumber cahaya untuk aktivasi
Selain menghindari porositas resin kimia,bahanlight-curing
operator untuk

menyelesaikan

inisiasi. Setiap

curing

insersi

membutuhkan

and
waktu

juga

pembentukan

memungkinkan
kontur

eksposur 40 detik

atau

sebelum
kurang,

untuk curing lapisan setebal2mm.Keuntungan lain dari light-curing adalah bahan ini
tidak sensitif terhadap inhibisi oksigen (Anusavice, 2003, p. 410).
Tujuan dari unit aktivitas cahaya adalah untuk memberikan radiasi intensitas
tinggi dari panjang gelombang yang tepat ke permukaan material untuk mengaktifkan
polimerisasi. Panjang gelombang kritis yang digunakan oleh sebagian besar unit dan
bahan adalah 470 nm yang sesuai dengan daerah biru dari spektrum yang terlihat.
Beberapa jenis dan desain light activation unit tersedia untuk mengaktifkan
polimerisasi light-activated materials. (McCabe, 2008, p. 204).
Jenis-jenis lampu yang digunakan sebagai photoiniator curing dari intensitas
terendah ke intensitas tertinggi adalah sebagai berikut:
1. Lampu LED. Menggunakan solid-state, proses elektronik, sumber-sumber
cahaya ini memancarkan radiasi hanya di bagian biru dari spektrum yang
terlihat antara 440 dan 480 nm, dan mereka tidak memerlukan filter. LED

membutuhkan watt rendah, dapat batterypowered, tidak menghasilkan panas,


dan tenang karena kipas pendingin tidak diperlukan. Meskipun mereka
menghasilkan intensitas radiasi terendah, teknologi baru dengan cepat
mengatasi keterbatasan ini(Anusavice, 2003, pp. 411-412).
Sinar LED biru memiliki kelebihan, yaitu hanya memancarkan cahaya
dengan rentang panjang gelombang yang sempit, sekitar 460 480 nm. Hal
ini membuat energi yang dikeluarkan lebih efisien dengan baterai yang dapat
diisi ulang dan dapat dibawa kemana-mana (Van Noort, 2007, p. 107)
2. Lampu QTH. Lampu QTII memiliki lampu kuarsa yang menyinarkan baik
UV maupun cahaya putih yang harus disaring untuk menghilangkan panas
dan semua panjang gelombang kecuali yang berada di kisaran ungu-biru
(~400 hingga 500 nm). Intensitas bohlam berkurang seiring dengan
penggunaan, sehingga meteran kalibrasi diperlukan untuk mengukur
intensitas output(Anusavice, 2003, pp. 411-412).
3. Lampu PAC. Lampu PAC menggunakan gas xenon yang terionisasi untuk
menghasilkan plasma. Cahaya putih dengan intensitas tinggi disaring untuk
menghilangkan panas dan memungkinkan cahaya biru (~ 400 hingga 500
nm) akan dipancarkan(Anusavice, 2003, pp. 411-412).
4. Lampu laser Argon. Lampu laser Argon memiliki intensitas tertinggi dan
memancarkan padapanjang gelombang tunggal. Lampu yang tersedia saat ini
memancarkan 490 nm(Anusavice, 2003, hal. 411-412)
Lampu laser Argon memiliki kelebihan dengan menghasilkan sinar intensitas
tinggi untuk permulaan polimerisasi, sehingga membutuhkan waktu yang
lebih singkat untuk curing daripada lampu halogen. Sayangnya waktu curing
yang cepat dapat berdampak pada keutuhan permukaan resin, karena tidak
memungkinkan untuk relaksasi stress pada waktu pengerasan. Selain itu,
laser argon ini juga mahal dibanding lampu halogen atau sinar LED biru (Van
Noort, 2007, p. 107).
Setting Reaksi

Untuk resin komposit aktivasi kimia, reaksi terjadi segera setelah


bercampurnya dua komponen (pasta dengan pasta atau pasta dengan liquid) yang satu
komponennya berisi initiator biasanya benzoyl peroxide dan komponen lain berisi
aktivator tertiary amine. Bercampurnya kedua bahan ini akan mengakibatkan
terbentuknya radikal bebas dan terjadi polimerisasi. Laju setting seragam di
sepanjang bagian terbesar material menyebabkan peningkatan viskositas secara
bertahap pada suhu ruang (Mc Cabe, 2008, p. 202).
Untuk resin komposit aktivasi cahaya, reaksi terjadi dengan di inisiasi oleh
visible blue light yang akan membentuk radikal bebas dengan tertiary amine sehingga
terjadi polimerisasi. Laju setting bervariasi tergantung dari jarak sinar dengan
permukaan komposit lama paparan sinar (Craig, 2002, p. 236).
Resin komposit merupakan salah satu restorasi plastis estetik yang paling
populer, dan sudah mulai digunakan pada gigi posterior. Namun di samping itu semua
resin komposit memiliki beberapa kekurangan, seperti tingkat keausan yang tinggi,
penyusutan polimerisasi, dan timbulnya celah mikro yang menyebabkan karies
sekunder (Hutagalung PS, 2006). Resin komposit juga tidak selalu dapat
diaplikasikan pada semua kondisi klinis kerusakan jaringan keras gigi. Beberapa
keadaan yang tidak dapat ditoleransi adhesif ini salah satunya adalah daerah operasi
yang sulit dikontrol kelembabannya, seperti kavitas dengan dinding ginggiva terletak
di bawah cemento-enamel junction (GEJ). Dalam suasana yang lembab bahan
restorasi komposit dapat menimbulkan kebocoran restorasi dan memicu terbentuknya
karies sekunder. Kebocoran juga lebih tinggi pada dinding yang hanya terdiri dari
dentin atau hanya terdapat sedikit enamel (Dharsono HD)

7.

KESIMPULAN
Kekerasan resin komposit dipengaruhi oleh ketebalan dan jarak penyinaran

(jarak komposit dari sumber sinar). Semakin jauh sumber sinar terhadap komposit,
semakin rendah kekerasan yang dihasilkan. Dan semakin tebal komposit yang disinari
akan menghasilkan kekerasan yang semakin rendah pula.

8.

DAFTAR PUSTAKA

Anusavice, Kenneth J. 2003. Phillips: Dental Material, USA: W.B. Saunders


Company. pp. 410-412.
Craig RG, Powers JM. 2002. Restorative Dental Material, 11th ed. Mosby, inc. p.
236, 245.
McCabe, JF dan Walls, Angus WG. 2008. Applied Dental Materials 9 th ed. Victoria :
Blackwell, Inc. pp.202, 204.
O'BrienWJ. 2002. Dental Materials and Their Selection. 3rd ed. Quintessence
Publishing. pp. 145-146.
Van Noort. 2007. Introduction to Dental Materials. 3rd ed. Mosby Elsevier. p. 107.
Hutagalung PS. 2006. Restorasi Rigid Resin Komposit. Fakultas Kedokteran Gigi,
Universitas Sumatra Utara.
Dharsono HD. Restorasi Resin Komposit Dengan Teknik Laminasi. Bagian
Konservasi, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran Bandung.
Thome T, Steagall WJr, Tachibana A, Braga SRM, and Turbino ML 2007, Influence
of The Distance of The Curing Light Source and Composite Shade on Hardness
of Two Composites, J Appl Oral Sci, Vol. 15, No. 6, hal 485-491
Susanto, Annete Alexandra, Pengaruh Ketebalan Bahan dan Lamanya Waktu
Penyinaran terhadap Kekerasan Permukaan Resin Komposit Sinar, Majalah
Kedokteran gigi (Dent J), 2005, Vol. 38 No.1 p.33

Vous aimerez peut-être aussi