disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah praktek farmakologi khemoterapi
Oleh : kelompok 5 dan kelompok 6
Hilman T Lilis Neneng Mustikasari Reny Rini Aisyah Fitri M.J Sandi Yani suryani Yandi
PROGRAM STUDI FARMASI SEKOLAH TINGGI KESEHATAN (STIKes) BAKTI TUNAS HUSADA TASIKMALAYA 2013 I. TUJUAN Mahasiswa dapat mempelajari dan mengetahui pengaruh pemberian dan efektivitas bahan alam (rimpang bengle) dan obat pembanding (asetaminofen) terhadap aktivitas antipiretik pada hewan uji. II. Dasar Teori Suhu tubuh normal manusia terdapat sekitar 37 0 C, meskipun berbagai faktor dalam keadaan sehat seperti kerja otot, variasi diural dapat mengakibatkan variasi dalam suhu tubuh. Pada keadaan panas dan demam, mekanisme sentral di hipotalamus untuk mengatur suhu tubuh, yang sering diumpamakan seperti suatu thermostat, seolah-olah distel pada suhu yang lebih tinggi. Keseimbangan antara produksi panas dan pengeluaran panas tetap terpelihara, hanya kini untuk menjaga suhu tubuh tetap ada pada yang lebih tinggi, atau mungkin juga produksi panas meningkat tanpa ada peningkatkan dalam pengeluaran panas. (Guyton, A.C., dan Hall, J.T.,1996). Sewaktu pusat temperatur hipotalamus mendeteksi bahwa temperatur tubuh terlalu panas, pusat akan memberikan prosedur penurunan atau peningkatan temperatur yang sesuai. Sistem pengatur temperatur menggunakan tiga mekanisme penting untuk menurunkan panas tubuh ketika temperatur menjadi sangat tinggi : 1. Vasodilatasi Pada hampir semua area tubuh, pembuluh darah kulit berdilatasi dengan kuat. Hal ini disebabkan oleh hambatan dari pusat simpatis pada hipotalamus posterior yang menyebabkan vasokontriksi. Vasodilatasi penuhakan meningkatkan kecepatan pemindahan panas kekulit sebanyak delapan kali lipat. 2. Berkeringat 3. Penurunan pembentukan panas Mekanisme yang menyebabkan pembentukan panas berlebihan, seperti menggigil dan termogenesis kimia dihambat dengan kuat.
Antipiretik adalah golongan obat yang dipergunakan untuk menurunkan suhu tubuh bila demam. Cara kerja antipiretik antara lain dengan melebarkan pembuluh darah dikulit, sehingga terjadi pendinginan darah oleh udara luar. Sebagian obat antipiretik juga merangsang berkeringat. Obat-obat yang tergolong antipiretik primer tidak menghilangkan stimulus yang merugikan ini, tetapi bekerja sentral pada hipotalamus untuk menstel thermostat tubuh pada suhu yang lebih rendah melalui peningkatan pengeluaran panas karena vasodilatasi pembuluh primer, meskipun dalam keadaan suhu normal, obat-obat ini dapat menurunkan suhu tubuh. Prinsip pengujian efek antipiretik obat ini adalah dengan mengukur kemampuannya untuk menurunkan panas yang diciptakan secara eksperimental pada hewan percobaan. Pada umumnya demam adalah juga suatu gejala dan bukan merupakan penyakit tersendiri. Kini para ahli berpendapat bahwa demam adalah suatu reaksi tangkis yang berguna dari tubuh terhadap infeksi. Pada suhu diatas 37 0 C limfosit dan makrofag menjadi lebih aktif. Bila suhu melampaui 40-41 0 C, barulah terjadi situasi kritis yang bisa menjadi fatal, karena tidak terkendalikan lagi oleh tubuh. (Tjay, T.H., dan Kirana Rahardja, 2002). Asetaminofen atau parasetamol adalah analgesik dan antipiretik yang popular dalam mengurangkan sakit kepala, dan demam. Parasetamol digunakan dalam mengurangkan simptom selesma dan flu, dan merupakan ramuan utama dalam kebanyakan analgesik berpreskripsi. Parasetamol atau N-asetil-p-aminofenol merupakan derivat para- amino fenol yang berkhasiat sebagai analgesik-antipiretik. Didalam hati, sebagian besar parasetamol (80%) terkonjugasi dengan asam glukuronat dan sulfat dan sebagian kecil dioksidasi oleh sistem sitokrom P-450 MFO hati menjadi metabolit rektif N-asetil-p- benzokuinonimina (NAPBKI).(Gibson dan skett,1991,dollery,1991). III. Alat dan Bahan a. Alat 1. Alat suntik 2 ml 2. Timbangan tikus 3. Toples tikus 4. Termometer rectal 5. Sonde oral b. Bahan 1. Suspensi asetaminofen 10% 300mg/kg bb 2. PGA 10% 3. Larutan pepton 5% dosis 0,5/200 g bb tikus 4. Rimpang bengle IV. Perhitungan Dosis a. Suspensi asetaminofen 10% 300 mg/kg bb 10 g/ 100 ml = 10.000 mg/100 ml 300 mg/1 kg = 300 mg/ 1000 g
60 mg / 200 g bb tikus Mencari volume yang diberikan
0,6 ml / 200 g bb tikus Pembuatan larutan asetaminofen ( dosis asetaminofen 500 mg dan bobot rata-rata 600 mg ).
12.000 mg = 12.000/ 600 = 20 tab /100 ml PGA
b. Pepton 5% 5 g/ 100 ml PGA c. PGA 10% 10 g/100 ml air hangat d. Pembuatan infusa (Rimpang bengle dosis empiris 15 g) Dosis I = x 0,27 = 0,135 / 200 g bb tikus Dosis II = 15 x 0,018 = 0,27 / 200 g bb tikus Dosis III = 2 x 0,27 = 0,54 /200 g bb tikus 0,54/ 1 ml = 54 g/ 100 ml = 27 g / 50 ml aquadest V. Prosedur kerja a. Pembuatan PGA 1% 1. Timbang PGA serbuk 1 gram 2. Larutkan dalam beaker glass dengan sedikit aquadest hangat sampai larut 3. Masukan ke dalam labu ukur 100 ml tambahkan aquadest sampai 100 ml. b. Pembuatan larutan asetaminofen 1. Gerus 20 tablet asetaminofen dalam mortir 2. Timbang 12.000 mg asetaminofen 3. Larutkan dalam beakerglas dengan PGA sampai larut 4. Masukan kedalam labu ukur 100 ml 5. Tambahkan PGA sampai 100 ml c. Pembuatan larutan pepton 5% 1. Timbang pepton 5000 mg 2. Larutkan dalam beakerglasss dengan PGA sampai larut 3. Masukan kedalam labu ukur 100 ml tambahkan PGA sampai 100 ml. d. Pembuatan infusa 1. Timbang 27 gram rimpang bengle yang sudah dihaluskan 2. Masukan ke dalam beaker glass tambah akuadest kurang lebih 50 ml sampai terendam 3. Panaskan diatas penangas air dalam suhu 90 0 C selama 15 menit 4. Saring ke dalam labu ukur 5. Tambahkan akuadest sampai 100 ml 6. Lakukan pengenceran yang diambil dari dosis 3 7. Pipet 25 ml dari dosis 3 tambahkan akuadest sampai 50 ml ( itu sebagai dosis 2) 8. Pipet 25 ml dari dosis 2 tambahkan akuadest sampai 50 ml ( itu sebagai dosis 1).
e. Prosedur perlakuan 1. Suhu rectal normal dari masing-masing tikus dicatat sebelum pemberian obat. 2. Empat dari lima tikus disuntik dengan larutan pepton, tikus kelima berfungsi sepenuhnya sebagai blanko, tidak diberi apa- apa. 3. Suhu rectal tiap tikus dicatat tiap selang setengah jam. 4. Pada saat tercapai puncak demam oleh pepton lazimnya empat jam setelah pemberiannya, kepada empat tikus diberikan masing-masing sediaan uji. 5. Suhu tubuh kelima tikus dicatat selang 20, 40, 60, dan 90 menit. 6. Tabelkan hasil pengamatan yang diperoleh, suhu tubuh sebelum dan sesudah pemberian antipiretik dikaitkan dengan waktu setelah pemberian obat. 7. Buatkan kurva suhu tubuh tikus dari hasil pengamatan dan data diperoleh secara statistik.
VI. Pembahasan Pada praktikum kali ini yaitu pengujian efek antipiretik dari rimpang bengle terhadap tikus putih. Pertama-tama tikus ditimbang agar bobot badannya diketahui kemudian masing-masing tikus tersebut ditandai/ diberi nomor. Ukur suhu badan tikus dengan mengukur suhu rectal tikus. Hal ini untuk mengetahui suhu awal badan tikus. Thermometer rectal yang digunakan tidak boleh berbeda, harus sama dari awal pengukuran sampai akhir pengukuran supaya kondisi thermometer yang digunakan sama. Setelah itu setiap tikus diberikan pepton dan ada salah satu tikus yang tidak diberikan pepton yang digunakan sebagai blanko. Setiap tikus diberikan pepton 0,5 mL/20 g bobot mencit. Setelah 30 menit suhu rectal tikus diukur untuk mengetahui kenaikan suhu badan tikus. Pepton berfungsi sebagai penginduksi panas, sehingga setelah diberi pepton suhu badan tikus bertambah tinggi. Hingga dihitung setelah 60 menit, dan 90 menit. Dari hasil data pengamatan menit ke 90 rata-rata suhu badan tikus naik dan yang paling tingga daripada suhu-suhu sebelumnya. Maka setelah itu tikus diberikan sediaan. Untuk memberikan sediaan ini dibuat lima kelompok untuk kelompok negative dimana tikus hanya diberikan sediaan PGA 10% kemudian kelompok control positif diberikan sediaan obat asetaminofen, dan kelomok dosis uji satu, dua, dan tiga diberikan dosis uji dengan tiga variasi dosis yang berbeda. Bahan alam yang digunakan yaitu rimpang bengle. Rimpang bengle mempunyai efek farmakologis untuk demam, sakit kepala, batuk berdahak, perut nyeri, masuk angin, sembelit, sakit kuning, cacingan, rematik, ramuan jamu ada wanita setelah melahirkan, mengecilkan erut setelah melahirkan, dan kegemukan. Bahan kimia yang terkandung dalam rimang bangle diantaranya damar, pati, tannin, dan minyak atsiri seperti sineol serta pinen. Kemudian setiap tikus untuk kontrol positif diberi sediaan asetaminofen sebanyak 1 mL per 20 g bobot tikus dan untuk infusa rimpang bengle 0,6 mL/ 20 gram bobot tikus. Setelah diberikan pemerian kemudian setiap tikus di ukur suhu rektalnya setiap 20, 40, 60, dan 90 menit. Setelah diamati dari hasil pengamatan semakin lama suhu badan tikus panasnya semakin turun artinya bahwa rimpang bengle memiliki efek farmakologis sebagai antipiretik. Dari hasil uji anova memperlihatkan bahwa tidak ada perbedaan yang signnifikan dari keseluruhan data. Nilai signifikan < artinya Ho diterima dan H1 ditolak. VII. Kesimpulan VIII. Daftar Pustaka