Vous êtes sur la page 1sur 59

MANAJEMEN KASUS PENYAKIT

RHEUMATOID ARTHRITIS DI PUSKESMAS


CIPAYUNG








Oleh :
Jemima Sartika Sainlia
0961050053


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
PERIODE 21 JULI 2014 04 OKTOBER 2014


BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Kata Manajemen berasal dari bahasa Prancis kuno yaitu mnagement, yang
memiliki arti seni melaksanakan dan mengatur. Manajemen belum memiliki definisi yang
mapan dan diterima secara universal. Kata manajemen mungkin berasal dari bahasa Italia
(1561) yaitu maneggiare yang berarti mengendalikan, terutamanya mengendalikan kuda
yang berasal dari bahasa latin manus yang berati tangan. Kata ini mendapat pengaruh dari
bahasa Perancis mange yang berarti kepemilikan kuda (yang berasal dari Bahasa Inggris
yang berarti seni mengendalikan kuda), dimana istilah Inggris ini juga berasal dari bahasa
Italia. Manajemen adalah suatu proses atau kerangka kerja, yang melibatkan bimbingan atau
pengarahan suatu kelompok orang-orang kearah tujuan-tujuan organisasional atau maksud-
maksud yang nyata (Robbins dan Coulter ,2002). Manajemen adalah Suatu keadaan terdiri
dari proses yang ditunjukkan oleh garis (line) mengarah kepada proses perencanaan,
pengorganisasian, kepemimpinan, dan pengendalian, yang mana keempat proses tersebut
saling mempunyai fungsi masing-masing untuk mencapai suatu tujuan organisasi.

Fungsi manajemen adalah elemen-elemen dasar yang akan selalu ada dan melekat di
dalam proses manajemen yang akan dijadikan acuan oleh manajer dalam melaksanakan
kegiatan untuk mencapai tujuan. Fungsi manajemen pertama kali diperkenalkan oleh seorang
industrialis Perancis bernama Henry Fayol pada awal abad ke-20. Ketika itu, ia menyebutkan
lima fungsi manajemen, yaitu merancang,mengorganisir, memerintah, mengordinasi, dan
mengendalikan. Namun saat ini, kelima fungsi tersebut telah diringkas menjadi empat, yaitu:

a. Perencanaan (planning)
Yaitu memikirkan apa yang akan dikerjakan dengan sumber yang dimiliki.
Perencanaan dilakukan untuk menentukan tujuan perusahaan secara keseluruhan dan cara
terbaik untuk memenuhi tujuan itu. Manajer mengevaluasi berbagai rencana alternatif
sebelum mengambil tindakan dan kemudian melihat apakah rencana yang dipilih cocok dan
dapat digunakan untuk memenuhi tujuan perusahaan. Perencanaan merupakan proses
terpenting dari semua fungsi manajemen karena tanpa perencanaan, fungsi-fungsi lainnya tak
dapat berjalan.

b. Pengorganisasian (organizing)
Dilakukan dengan tujuan membagi suatu kegiatan besar menjadi kegiatan-kegiatan
yang lebih kecil. Pengorganisasian mempermudah manajer dalam melakukan pengawasan
dan menentukan orang yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas-tugas yang telah dibagi-
bagi tersebut. Pengorganisasian dapat dilakukan dengan cara menentukan tugas

c. Pelaksanaan atau penerapan (actuating)
Merupakan implementasi dari perencanaan dan pengorganisasian, dimana seluruh
komponen yang berada dalam satu sistem dan satu organisasi tersebut bekerja secara
bersama-sama sesuai dengan bidang masing-masing untuk dapat mewujudkan tujuan.

4) Pengawasan (controlling)
Merupakan pengendalian semua kegiatan dari proses perencanaan, pengorganisasian
dan pelaksanaan, apakah semua kegiatan tersebut memberikan hasil yang efektif dan efisien
serta bernilai guna dan berhasil guna.

Puskesmas adalah unit pelaksana teknik dinas kesehatan kabupaten / kota yang
bertanggung jawab terhadap pembangunan kesehatan diwilayah kerja terhadap
pembangunan kesehatan di wilayah kerjanya. Puskesmas berperan menyelenggarakan upaya
kesehatan untuk meningkatkan kesadaran,kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap
penduduk agar memperoleh derajat kesehatan yang optimal. Dengan demikian pembangunan
berwawasan kesehatan,pusat pemberdayaan kesehatan strata pertama.
Upaya kesehatan yang diselenggarakan di Puskesmas terdiri dari upaya kesehatan
wajib dan upaya kesehatan pembangunan. Upaya kesehatan wajib merupakan upaya
kesehatan yang dilaksanakan oleh seluruh puskesmas di indonesai. Upaya ini memberikan
daya ungkit paling besar terhadap keberhasilan pembangunan kesehatan melalui peningkatan
indexs pembangunan manusia (IPM), serta merupakan kesepakantan global maupun nasional.
Dalam menyelenggarakan upaya kesehatan wajib dan upaya keseahtan pengembangan harus
menerapkan azas penyelenggaraan pusksemas secara terpadu yaitu azas pertanggungjawaban
wilayah pemberdayaan masyarakat keterpaduab dan rujukan.
Agar upaya kesehatan terselenggara secara optimal, maka Puskesmas harus
melaksanakan manajemen dengan baik. Manajemen Puskesmas adalah rangkaian kegiatan
yang dilaksanakan secara sistematik untuk menghasilkan iuran Puskesmas secara efektip dan
efesien. Manajemen Puskesmas tersebut terdiri dari perencanaan,pelaksanaan dan
pengendalian serta pengawasan dan pertanggung jawaban. Seluruh kegiatan diatas
merupakan satu keseatuan yang paling terkait dan berkesinambungan.
Prevalensi penyakit muskuloskeletal pada lansia dengan rheumatoid arthritis
mengalami peningkatan mencapai 335 juta jiwa di dunia. Rheumatoid arthritis telah
berkembang dan menyerang 2,5 juta warga eropa, sekitar 75 % diantaranya adalah wanita
dan kemungkinan dapat mengurangi harapan hidup mereka hampir 10 tahun. Di amerika
serikat, penyakit ini menempati urutan pertama, dimana penduduk AS dengan Rheumatoid
arthritis 12,1 % yang berusia 27-75 tahun memiliki kecacatan pada lutut, panggul dan tangan,
sedangkan di inggris sekitar 25 % populasi yang berusia 55 tahun keatas menderita
Rheumatoid arthritis pada lutut.
Di indonesia, data epidemiologi tentang penyakit RA masih sangat terbatas. Menurut
survei kesehatan rumah tangga (SKRT) tahun 2004, penduduk dengan keluhan sendi
sebanyak 2%. Hasil penelitian yang dilakukan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), badan Penelitian dan Pengembangan kesehatan
(Balitbangkes) Depkes dan Dinas Kesehatan DKI Jakarta selama 2006 menunjukan angka
kejadian gangguan nyeri muskuloskeletal yang mengganggu aktifitas, merupakan gangguan
yang sering dialami dalam kehidupan sehari-hari sebagian besar responden. Perjalanan RA
bervariasi, tergantung dari kepatuhan penderita berobat dalam jangka waktu yang lama.
Dengan bertambahnya umur, penyakit ini meningkat baik wanita maupun laki-laki.
Puncak kejadian umur 24-45 tahun dan penyakit Rheumatoid arthritis ini sering di jumpai
pada usia diatas 60 tahun dan jarang di jumpai pada usia dibawah 40 tahun. Prevalensi lebih
tinggi pada wanita dibandingkan laki-laki, lebih dari 75 % penderita RA adalah wanita.
Rheumatoid Arhtritis terungkap sebagai keluhan atau tanda dengan keluhan utama sistem
muskuloskeletal yaitu nyeri, kekakuan, dan spasme otot serta adanya tanda utama yaitu
pembengkakan sendi, kelemahan otot, dan gangguan gerak. Jika tidak segera ditangani
Rheumatoid Arhtritis bisa membuat anggota tubuh berfungsi tidak normal, sendi akan
menjadi kaku, sulit berjalan, bahkan akan menimbulkan kecacatan seumur hidup, sehingga
aktivitas sehari-hari lansia menjadi terbatas. Selain menurunkan kualitas hidup, Rheumatoid
Arhtritis juga meningkatkan beban sosial ekonomi bagi para penderita dan tentunya akan
menimbulkan masalah untuk keluarga.

2. Tujuan

2.1 Umum
Meningkatkan manajemen kasus artritis reumatoid di Puskesmas

2.2 Khusus
- Diketahuinya perencanaan manajemen kasus artritis reumatoid di Puskesmas.
- Diketahuinya pelaksanaan manajemen kasus artritis reumatoid di Puskesmas.
- Diketahuinya monitoring dan evaluasi manajemen kasus artritis reumatoid di
Puskesmas.

3. Manfaat
Bagi Instansi Kesehatan
- Sebagai referensi untuk meningkatkan upaya kesehatan baik dari segi
promotif,preventif,kuratif dan rehabilitatif.
- Meningkatkan kualitas pelayanan melalui manajemen kasus yang terintegrasi.
Bagi pribadi
Dengan tulisan ini diharapkan dapat menambah pengetahuan penulis tentang
manajemen kasus artritis reumatoid








BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Puskesmas

1. Definisi
Menurut KEPMENKES No. 128/Menkes/SK/II/2004, Puskesmas adalah unit
pelaksana teknis dinas kesehatan kabupaten atau kota yang bertanggungjawab
menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu wilayah kerja. Sebagai unit
pelaksana teknis Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota (UPTD), puskesmas berperan
menyelenggarakan sebagian dari tugas teknis operasional Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota dan merupakan unit pelaksana tingkat pertama serta ujung tombak
pembangunan kesehatan di Indonesia. Pembangunan kesehatan adalah penyelenggaraan
upaya kesehatan oleh bangsa Indonesia untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan
kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat
yang optimal. Penanggungjawab utama penyelenggaraan seluruh upaya pembangunan
kesehatan di wilayah kabupaten/kota adalah Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota,
sedangkan puskesmas bertanggungjawab hanya sebagian upaya pembangunan kesehatan
yang dibebankan oleh dinas kesehatan kabupaten/kota sesuai dengan kemampuannya.
Secara nasional, standar wilayah kerja puskesmas adalah satu kecamatan, tetapi apabila di
satu kecamatan terdapat lebih dari dari satu puskesmas, maka tanggungjawab wilayah
kerja dibagi antar puskesmas, dengan memperhatikan keutuhan konsep wilayah
(desa/kelurahan atau RW). Masing-masing puskesmas tersebut secara operasional
bertanggungjawab langsung kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
2. Visi
Visi pembangunan kesehatan yang diselenggarakan oleh puskesmas adalah
tercapainya Kecamatan Sehat menuju terwujudnya Indonesia Sehat. Kecamatan Sehat
adalah gambaran masayarakat kecamatan masa depan yang ingin dicapai melalui
pembangunan kesehatan, yakni masyarakat yang hidup dalam lingkungan dan berperilaku
sehat, memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara
adil dan merata serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya
Indikator Kecamatan Sehat yang ingin dicapai mencakup 4 indikator utama
yakni:
- Lingkungan sehat
- Perilaku sehat
- Cakupan pelayanan kesehatan yang bermutu
- Derajat kesehatan penduduk kecamatan
3. Misi
Misi pembangunan kesehatan yang diselenggarakan oleh puskesmas adalah
mendukung tercapainya misi pembangunan kesehatan nasional. Misi tersebut adalah:
- Menggerakkan pembangunan berwawasan kesehatan di wilayah kerjanya.
- Puskesmas akan selalu menggerakkan pembangunan sektor lain yang diselenggarakan
di wilayah kerjanya, agar memperhatikan aspek kesehatan, yakni pembangunan yang
tidak menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan, setidak-tidaknya terhadap
lingkungan dan perilaku masyarakat.
- Mendorong kemandirian hidup sehat bagi keluarga dan masyarakat di wilayah
kerjanya. Puskesmas akan selalu berupaya agar setiap keluarga dan masyarakat yang
bertempat tinggal di wilayah kerjanya makin berdaya di bidang kesehatan, melalui
peningkatan pengetahuan dan kemampuan menuju kemandirian untuk hidup sehat.
- Memelihara dan meningkatkan mutu, pemerataan dan keterjangkauan pelayanan
kesehatan yang diselenggarakan. Puskesmas akan selalu berupaya menyelenggarakan
pelayanan kesehatan yang sesuai dengan standar dan memuaskan masyarakat,
mengupayakan pemerataan pelayanan kesehatan serta meningkatkan efisiensi
pengelolaan dana sehingga dapat dijangkau oleh seluruh anggota masyarakat.
- Memelihara dan meningkatkan kesehatan perorangan, keluarga dan masyarakat
berserta lingkungannya. Puskesmas akan selalu berupaya memelihara dan
meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit, serta memulihkan
kesehatan perorangan, keluarga dan masyarakat yang berkunjung dan yang bertempat
tinggal di wilayah kerjanya, tanpa diskriminasi dan dengan menerapkan kemajuan
ilmu dan teknologi kesehatan yang sesuai. Upaya pemeliharaan dan peningkatan
kesehatan yang dilakukan puskesmas mencakup pula aspek lingkungan dari yang
bersangkutan.

4. Tujuan
Tujuan pembangunan kesehatan yang diselenggarkan oleh puskesmas adalah
mendukung tercapainya tujuan pembangunan kesehatan nasional yakni meningkatkan
kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang yang bertempat
tinggal di wilayah kerja puskesmas agar terwujud derajat kesehatan yang setinggi-
tingginya dalam rangka mewujudkan Indonesia Sehat 2010.
5. Fungsi

a. Pusat penggerak pembangunan berwawasan kesehatan.
Puskesmas selalu berupaya menggerakkan dan memantau penyelenggaraan
pembangunan lintas sektor termasuk oleh masyarakat dan dunia usaha di wilayah kerjanya,
sehingga berwawasan serta mendukung pembangunan kesehatan. Di samping itu puskesmas
aktif memantau dan melaporkan dampak kesehatan dari penyelenggaraan setiap program
pembangunan di wilayah kerjanya. Khusus untuk pembangunan kesehatan, upaya yang
dilakukan puskesmas adalah mengutamakan pemeliharaan kesehatan dan pencegahan
penyakit tanpa mengabaikan penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan.
b. Pusat pemberdayaan keluarga dan masyarakat.
Puskesmas selalu berupaya agar perorangan terutama pemuka masyarakat, keluarga
dan masyarakat termasuk dunia usaha memiliki kesadaran, kemauan, dan kemampuan
melayani diri sendiri dan masyarakat untuk hidup sehat, berperan aktif dalam
memperjuangkan kepentingan kesehatan termasuk pembiayaannya, serta ikut menetapkan,
menyelenggarakan dan memantau pelaksanaan program kesehatan. Pemberdayaan
perorangan, keluarga dan masyarakat ini diselenggarakan dengan memperhatikan kondisi dan
situasi, khususnya sosial budaya masyarakat setempat.
c. Pusat pelayanan kesehatan strata pertama.
Puskesmas bertanggungjawab menyelenggarakan pelayanan kesehatan tingkat
pertama secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan. Pelayanan kesehatan tingkat
pertama yang menjadi tanggungjawab puskesmas meliputi:
- Pelayanan kesehatan perorangan
Pelayanan kesehatan perorangan adalah pelayanan yang bersifat pribadi (private
goods) dengan tujuan utama menyembuhkan penyakit dan pemulihan kesehatan perorangan,
tanpa mengabaikan pemeliharaan kesehatan dan pencegahan penyakit.
Pelayanan perorangan tersebut adalah rawat jalan dan untuk puskesmas tertentu
ditambah dengan rawat inap.
- Pelayanan kesehatan masyarakat
Pelayanan kesehatan masyarakat adalah pelayanan yang bersifat publik (public
goods) dengan tujuan utama memelihara dan meningkatkan kesehatan serta mencegah
penyakit tanpa mengabaikan penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan.Pelayanan
kesehatan masyarakat tersebut antara lain promosi kesehatan, pemberantasan penyakit,
penyehatan lingkungan, perbaikan gizi, peningkatan kesehatan keluarga, keluarga berencana,
kesehatan jiwa serta berbagai program kesehatan masyarakat lainnya.
6. Program Puskesmas

- Kia
- Kb
- Usaha Kesehatan Gizi
- Kesehatan Lingkungan
- Pemberantasan Dan Pencegahan Penyakit Menular
- Pengobatan Termasuk Penaganan Darurat Karena Kecelakaan
- Penyuluhan Kesehatan Masyarakat
- Kesehatan Sekolah
- Kesehatan Olah Raga
- Perawatan Kesehatan
- Masyarakat
- Kesehatan Kerja
- Kesehatan Gigi Dan Mulut
- Kesehatan Jiwa
- Kesehatan Mata
- Laboratorium Sederhana
- Pencatatan Dan Pelaporan
- Pembinaan Pemgobatan Tradisional
- Kesehatan Remaja
- Dana Sehat

a. Program Pokok Puskesmas
Program pokok Puskesmas merupakan program pelayanan kesehatan yang wajib di
laksanakan karena mempunyai daya ungkit yang besar terhadap peningkatan derajat
kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Ada 6 Program Pokok pelayanan kesehatan
di Puskesmas yaitu :
1. Program pengobatan (kuratif dan rehabilitatif) yaitu bentuk pelayanan kesehatan
untuk mendiagnosa, melakukan tindakan pengobatan pada seseorang pasien dilakukan
oleh seorang dokter secara ilmiah berdasarkan temuan-temuan yang
diperoleh selama anamnesis dan pemeriksaan.
2. Promosi Kesehatan yaitu program pelayanan kesehatan puskesmas yang diarahkan
untuk membantu masyarakat agar hidup sehat secara optimal melalui kegiatan
penyuluhan (individu, kelompok maupun masyarakat).
3. Pelayanan KIA dan KB yaitu program pelayanan kesehatan KIA dan KB
di Puskesmas yang ditujuhkan untuk memberikan pelayanan kepada PUS (Pasangan
Usia Subur) untuk ber KB, pelayanan ibu hamil, bersalin dan nifas serta pelayanan
bayi dan balita.
4. Pencegahan dan Pengendalian Penyakit menular dan tidak menular yaitu program
pelayanan kesehatan Puskesmas untuk mencegah dan mengendalikan penular
penyakit menular/infeksi (misalnya TB, DBD, Kusta dll).
5. Kesehatan Lingkungan yaitu program pelayanan kesehatan lingkungan di puskesmas
untuk meningkatkan kesehatan lingkungan pemukiman melalui upaya sanitasi dasar,
pengawasan mutu lingkungan dan tempat umum termasuk pengendalian pencemaran
lingkungan dengan peningkatan peran serta masyarakat
6. Perbaikan Gizi Masyarakat yaitu program kegiatan pelayanan kesehatan, perbaikan
gizi masyarakat di Puskesmas yang meliputi peningkatan pendidikan gizi,
penanggulangan Kurang Energi Protein, Anemia Gizi Besi, Gangguan Akibat
Kekurangan Yaodium (GAKY), Kurang Vitamin A, Keadaan zat gizi lebih,
Peningkatan Survailans Gizi, dan Perberdayaan Usaha Perbaikan Gizi
Keluarga/Masyarakat.
b. Program pengembangan pelayanan kesehatan Puskesmas tersebut adalah:
1. Usaha Kesehatan Sekolah, adalah pembinaan kesehatan masyarakat yang dilakukan
petugas Puskesmas di sekolah-sekolah (SD,SMP dan SMP) diwilayah kerja
Puskesmas.
2. Kesehatan Olahraga adalah semua bentuk kegiatan yang menerapkan ilmu
pengetahuan fisik untuk meningkatkan kesegaran jasmani masyarakat, baik atlet
maupun masyarakat umum. Misalnya pembinaan dan pemeriksaan kesegaran jasmani
anak sekolah dan kelompok masyarakat yang dilakukan puskesmas di luar gedung.
3. Perawatan Kesehatan Masyarakat, adalah program pelayanan penanganan kasus
tertentu dari kunjungan puskesmas akan ditindak lanjuti atau dikunjungi ketempat
tinggalnya untuk dilakukan asuhan keperawatan induvidu dan asuhan keperawatan
keluarganya. Misalnya kasus gizi kurang penderita ISPA/Pneumonia.
4. Kesehatan Kerja adalah program pelayanan kesehatan kerja puskesmas yang
ditujukan untuk masyarakat pekerja informal maupun formal diwilayah kerja
puskesmas dalam rangka pencegahan dan pemberantasan penyakit serta kecelakaan
yang berkaitan dengan pekerjaan dan lingkungan kerja. Misalnya pemeriksaan secara
berkala di tempat kerja oleh petugas puskesmas.
5. Kesehatan Gigi dan Mulut, adalah program pelayanan kesehatan gizi dan mulut yang
dilakukan Puskesmas kepada masyarakat baik didalam maupun diluar gedung
(mengatasi kelainan atau penyakit ronggo mulut dan gizi yang merupakan salah satu
penyakit yang terbanyak di jumpai di Puskesmas.
6. Kesehatan Jiwa adalah program pelayanan kesehatan jiwa yang dilaksanakan oleh
tenaga Puskesmas dengan didukung oleh peran serta masyarakat, dalam rangka
mencapai derajat kesehatan jiwa masyarakat yang optimal melalui kegiatan
pengenalan/deteksi dini gangguan jiwa, pertolongan pertama gangguan jiwa dan
konseling jiwa. Sehat jiwa adalah perasaan sehat dan bahagia serta mampu
menghadapi tantangan hidup, dapat menerima orang lain sebagaimana adanya dan
mempunyai sikap positif terhadap diri sendiri dan orang lain. Misalnya ada konseling
jiwa di Puskesmas.
7. Kesehatan Mata adalah program pelayanan kesehatan mata terutama pemeliharaan
kesehatan (promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif) dibidang mata dan
pencegahan kebutaan oleh tenaga kesehatan Puskesmas dan didukung oleh peran
serta aktif masyarakat, misalnya upaya penanggulangan gangguan refraksi pada anak
sekolah.
8. Kesehatan Usia Lanjut adalah program pelayanan kesehatan usia lanjut atau upaya
kesehatan khusus yang dilaksanakan oleh tenaga Puskesmas dengan dukungan peran
serta aktif masyarakat dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat usia
lanjut, misalnya pemeriksaan kesehatan untuk mendeteksi dini penyakit degeneratif,
kardiovaskuler seperti : diabetes Melitus, Hipertensi dan Osteoporosis pada kelompok
masyarakat usia lanjut.
9. Pembinaan Pengobatan Tradisional adalah program pembinaan terhadap pelayanan
pengobatan tradisional, pengobat tradisional dan cara pengobatan tradisional. Yang
dimaksud pengobatan tradisional adalah pengobatan yang dilakukan secara turun
temurun, baik yang menggunakan herbal (jamu), alat (tusuk jarum, juru sunat)
maupun keterampilan (pijat, patah tulang).
10. Kesehatan haji adalah program pelayanan kesehatan untuk calon dan jemaah haji
yang meliputi pemeriksaan kesehatan, pembinaan kebugaran dan pemantauan
kesehatan jemaah yang kembali (pulang) dari menaikan ibadah haji.
11. Dan beberapa upaya kesehatan pengembangan lainnya yang spesifik lokal yang
dikembangkan di Puskesmas dan Dinas Kesehatan kabupaten/kota.
7. Organisasi
Struktur organisasi puskesmas tergantung dari kegiatan dan beban tugas masing-
masing puskesmas. Penyusunan struktur organisasi puskesmas di satu kabupaten/kota
dilakukan oleh dinas kesehatan kabupaten/kota, sedangkan penetapannya dilakukan dengan
Peraturan Daerah.
Sebagai acuan dapat dipergunakan pola struktur organisasi puskesmas sebagai
berikut:
1. Kepala puskesmas
2. Wakil Kepala (disesuaikan beban kerja dan kebutuhan puskesmas dan
yang menetapkan ada atau tidak adalah Dinas Kesehatan Kabupaten
dan Kota)
3. Unit tata usaha
Unit tata usaha yang bertanggung jawab membantu kepala puskesmas dalam
pengelolaan :
1. Data dan informasi
2. Perencanaan dan penilaian
3. Keuangan
4. Umum dan kepegawaian

Unit pelaksana teknis fungsional puskesmas:
1. Upaya kesehatan masyarakat termasuk pembinaan terhadap UKBM
2. Upaya kesehatan perorangan

Jaringan pelayanan puskesmas :
1. Unit puskesmas pembantu
2. Unit puskesmas keliling
3. Unit bidan di Desa/Komunitas

Tugas Struktur Organisasi Puskesmas
1. Kepala Puskesmas
Bertugas memimpin, mengawasi dan mengkoordinasikan kegiatan puskesmas yang
dapat dilakukan dalam jabatan structural, dan jabatan fungsional.
2. Kepala urusan tata usaha
Bertugas dibidang kepegawaian, keuangan perlengkapan dan surat menyurat serta
pencatatan dan pelaporan.
3. Unit I
Bertugas melaksanakan kegiatan kesejahteraan ibu dan anak, keluarga berencana dan
perbaikan gizi.
4. Unit II
Melaksanakan kegiatan pencegahan dan pemberantasan penyakit menular khususnya
imunisasi, kesehatan lingkungan dan laboratorium sederhana.
5. Unit III
Melaksanakan kegiatan kesehatan gigi dan mulut, kesehatan tenaga kerja dan manula.
6. Unit IV
Melaksanakan kegiatan perawatan kesehatan masyarakat, kesehatan sekolah dan
olahraga, kesehatan jiwa, kesehatan mata dan kesehatan khusus lainnya.
7. Unit V
Melaksanakan kegiatan pembinaan dan pengembangan upaya masyarakat dan
penyuluhan kesehatan masyarakat, kesehatan remaja dan dana sehat.
8. Unit VI
Melaksanakan kegiatan pengobatan rawat jalan dan rawat inap
9. Unit VII
Melaksanakan kegiatan kefarmasian.

Tata Kerja Puskesmas
Tata kerja koordinasi fungsional, adalah sebagai berikut:
a. Antara Puskesmas dengan RSU dalam bidang pelayanan medic
b. Antara Puskesmas dengan Camat dan Badan Penyantun Puskesmas dalam bidang
pembangunan kesehatan di wilayah Kecamatan.



7. Sistem Rujukan
Seperti yang telah dirumuskan dalam SK Menteri Kesehatan Nomor 23 Tahun 1972
tentang Sistem Rujukan adalah suatu system penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang
melaksanakan pelimpahan tanggungjawab timbal balik terhadap suatu kasus penyakit atau
masalah kesehatan secara vertikal dalam arti dari unit yang berkemampuan kurang kepada
unit yang lebih mampu atau secara horizontal dalam arti antar unit-unit yang setingkat
kemampuannya.
Rujukan Pelayanan Medis :
1. Antara masyarakat dengan puskesmas
2. Antara Puskesmas Pembantu/Bidan di Desa dengan Puskesmas
3. Intern antara petugas Puskesmas/Puskesmas Rawat Inap
4. Antara Puskesmas dengan Rumah Sakit, Laboratorium atau fasilitas pelayanan
lainnya.

Rujukan Pelayanan Kesehatan :
1. Dari Puskesmas ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
2. Dari Puskesmas ke instansi lain yang lebih kompeten baik intrasektoral maupun
lintas sektoral.
3. Jika rujukan di Kabupaten/Kota masih belum mampu menanggulangi, dapat
diteruskan ke Provinsi/Pusat.

Upaya Kesehatan
Dalam garis besar usaha kesehatan, dapat dibagi dalam 3 golongan, yaitu :
1. Promotif
Promosi kesehatan berasal dari kata dalam bahasa inggris yaitu health promotion.
Penerjemahan kata health promotion atau tepatnya promotion of health kedalam bahasa
Indonesia pertama kali dilakukan ketika para ahli kesehatan masyarakat di Indonesia
menerjemahkan lima tingkatan pencegahan (five levels of prepention) dari H.R.Leavell dan E.
G. Clark Usaha pencegahan (usaha preventif).


1. Preventif
Upaya preventif adalah sebuah usaha yang dilakukan individu dalam mencegah terjadinya
sesuatu yang tidak diinginkan. Prevensi secara etimologi berasal dari bahasa latin, pravenire
yang artinya datang sebelum atau antisipasi atau mencegah untuk tidak terjadi sesuatu. Dalam
pengertian yang sangat luas, prevensi diartikan sebagai upaya secara sengaja dilakukan untuk
mencegah terjadinya gangguan, kerusakan, atau kerugian bagi seseorang atau masyarakat.
Upaya preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya penyakit dan gangguan kesehatan
individu, keluarga, kelompok dan masyarakat. Usaha-usaha yang dilakukan, yaitu :
a. Pemeriksaan kesehatan secara berkala (balita, bumil, remaja, usila,dll) melalui posyandu,
puskesmas, maupun kunjungan rumah
b. Pemberian Vitamin A, Yodium melalui posyandu, puskesmas, maupun dirumah
c. Pemeriksaan dan pemeliharaan kehamilan, nifas dan menyusui
d. Deteksi dini kasus dan factor resiko (maternal, balita, penyakit).
e. Imunisasi terhadap bayi dan anak balita serta ibu hamil
2. Kuratif
Upaya kuratif bertujuan untuk merawat dan mengobati anggota keluarga, kelompok yang
menderita penyakit atau masalah kesehatan. Usaha-usaha yang dilakukan, yaitu :
a. Dukungan penyembuhan, perawatan, contohnya : dukungan psikis penderita TB
b. Perawatan orang sakit sebagai tindak lanjut perawatan dari puskesmas dan rumah sakit
c. Perawatan ibu hamil dengan kondisi patologis dirumah, ibu bersalin dan nifas
d. Pemberian obat : Fe, Vitamin A, oralit.
3. Rehabilitatif
Merupakan upaya pemulihan kesehatan bagi penderita-penderita yang dirawat dirumah,
maupun terhadap kelompok-kelompok tertentu yang menderita penyakit yang sama. Usaha
yang dilakukan, yaitu:
a. Latihan fisik bagi yang mengalami gangguan fisik seperti, patah tulang, kelainan bawaan
b. Latihan fisik tertentu bagi penderita penyakit tertentu misalnya, TBC (latihan nafas dan
batuk), Stroke (fisioterapi).
Dari ketiga jenis usaha ini, usaha pencegahan penyakit mendapat tempat yang utama,
karena dengan usaha pencegahan akan diperoleh hasil yang lebih baik, serta memerlukan
biaya yang lebih murah dibandingkan dengan usaha pengobatan maupun rehabilitasi.
B. Rheumatoid arthritis

a. Definisi
Rheumatoid arthritis (RA) atau artritis reumatoid adalah penyakit autoimun dengan
inflamasi kronik, yang di tandai dengan pembengkakan, nyeri sendi serta destruksi jaringan
sinovial yang disertai gangguan pergerakan diikuti dengan kematian prematur. Artritis
reumatoid kerap dikaitkan dengan kelainan hipersensitivitas tipe III. Hal ini dikarenakan
dalam pemeriksaanya kerap ditemukan adanya kompleks imunoglobulin G yang berada pada
cairan sendi yang menyebabkan terjadinya inflamasi. Pasien mengalami nyeri kronis serta
peningkatan disabilitas, yang bila tidak diobati, dapat menurunkan angka harapan hidup.
b. Prevalensi
Prevalensi penyakit muskuloskeletal pada lansia dengan artritis reumatoid
mengalami peningkatan mencapai 335 juta jiwa di dunia. Artritis reumatoid telah
berkembang dan menyerang 2,5 juta warga eropa, sekitar 75 % diantaranya adalah wanita
dan kemungkinan dapat mengurangi harapan hidup mereka hampir 10 tahun. Di amerika
serikat, penyakit ini menempati urutan pertama, dimana penduduk AS dengan artritis
reumatoid 12,1 % yang berusia 27-75 tahun memiliki kecacatan pada lutut, panggul dan
tangan, sedangkan di inggris sekitar 25 % populasi yang berusia 55 tahun keatas menderita
artritis reumatoid pada lutut.
Di indonesia, data epidemiologi tentang penyakit RA masih sangat terbatas. Menurut
survei kesehatan rumah tangga (SKRT) tahun 2004, penduduk dengan keluhan sendi
sebanyak 2%. Hasil penelitian yang dilakukan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), badan Penelitian dan Pengembangan kesehatan
(Balitbangkes) Depkes dan Dinas Kesehatan DKI Jakarta selama 2006 menunjukan angka
kejadian gangguan nyeri muskuloskeletal yang mengganggu aktifitas, merupakan gangguan
yang sering dialami dalam kehidupan sehari-hari sebagian besar responden. Perjalanan RA
bervariasi, tergantung dari kepatuhan penderita berobat dalam jangka waktu yang lama.
Sekitar 50-70 % penderita dengan RA akan mengalami remisi dalam 3 sampai 5
tahun dan selebihnya akan mengalami prognosis yang lebih buruk dan umumnya akan
mengalami kematian lebih cepat 10 15 tahun daripada penderita tanpa RA. Keadaan
penderita akan lebih buruk apabila lebih dari 30 buah sendi mengalami perandangan dan
sebagian besar penderita akan mengalami RA sepanjang hidupnya. Sekitar 80-85% penderita
RA mempunyai autoantibodi yang dikenal dengan nama Rheumatoid faktor dalam serumnya
dan menunjukkan RF positif. Faktor ini merupakan suatu faktor anti-gammaglobulin. Kadar
RF yang sangat tinggi menandakan prognosis buruk dengan kelainan sendi yang berat.
Dengan bertambahnya umur, penyakit ini meningkat baik wanita maupun laki-laki.
Puncak kejadian umur 24-45 tahun dan penyakit Rheumatoid arthritis ini sering di jumpai
pada usia diatas 60 tahun dan jarang di jumpai pada usia dibawah 40 tahun. Prevalensi lebih
tinggi pada wanita dibandingkan laki-laki, lebih dari 75 % penderita RA adalah wanita.
Artritis reumatoid terungkap sebagai keluhan atau tanda dengan keluhan utama sistem
muskuloskeletal yaitu nyeri, kekakuan, dan spasme otot serta adanya tanda utama yaitu
pembengkakan sendi, kelemahan otot, dan gangguan gerak. Jika tidak segera ditangani artritis
reumatoid bisa membuat anggota tubuh berfungsi tidak normal, sendi akan menjadi kaku,
sulit berjalan, bahkan akan menimbulkan kecacatan seumur hidup, sehingga aktivitas sehari-
hari lansia menjadi terbatas. Selain menurunkan kualitas hidup, artritis reumatoid juga
meningkatkan beban sosial ekonomi bagi para penderita dan tentunya akan menimbulkan
masalah untuk keluarga.
Tidak dapat dipungkiri bahwa aktivitas masyarakat indonesia yang kian padat dapat
menimbulkan berbagai ketidakmampuan yang diakibatkan oleh bermacam gangguan
khusunya pada penderita artritis reumatoid. Tetapi seiring dengan bertambahnya jumlah
penderita artritis reumatoid di indonesia, justru kesadaran dan salah pengertian tentang
penyakit ini masih tinggi. Banyaknya pandangan masyarakat Indonesia yang menganggap
sederhana penyakit ini karena sifatnya yang dianggap tidak menimbulkan ancaman jiwa,
padahal gejala yang ditimbulkan akibat penyakit ini justru menjadi penghambat yang
mengganggu bagi masyarakat untuk melakukan aktivitas mereka sehari-hari.
c. Patofisiologi
Rheumatoid arthritis (RA) merupakan perubahan konformasi pada sendi akibat
adanya inflamasi kronis pada persendian tersebut. Inflamasi ini disebabkan karena adanya
kelainan pada sistem imun. RA kerap dihubungkan dengan adanya hipersensitivitas tipe III
dan adanya kelainan autoimun yang memicu teraktivasinya sistem imun secara berlebihan.

1. Patofisiologi Hipersensitivitas tipe III
Secara umum, hipersensitivitas tipe III adalah kelainan sistem imun yang disebabkan
adanya kompleks antibodi (imunoglobulin) yang kemudian menjadi suatu antigen yang
mengaktivasi jalur komplemen. Karena kompleks antibodi ini mengaktivasi jalur komplemen
klasik, maka akan terjadi sekresi protein-protein imun dan sel-sel imun yang kemudian dapat
memicu reaksi inflamasi sehingga dapat melukai sel ataupun bagian dimana kompleks imun
tersebut terbentuk seperti persendian dan glomerulus nefron.
Berbeda dengan hipersensitivitas tipe II, kompleks imun yang terbentuk disebabkan
oleh antigen yang terlarut dalam cairan (plasma, sinovial, dan cairan tubuh lain) sehingga
tidak terjadi kompleks dengan sel tubuh. Hipersensitivitas tipe III ini dipicu oleh berbagai
sebab seperti kelainan autoimun, toxin bakteri, maupun antigen yang terpapar dari luar seperti
spora jamur (Marc, 2009).
Proses yang terjadi adalah sebagai berikut :

Gambar 1. Pembentukan kompleks imun (Immunopaedia.org, 2010)
Hipersensitivitas tipe III ini diawali dengan adanya antigen yang khusus yang dapat
memicu pembentukan kompleks dari imunoglobulin tertentu. Beberapa antigen yang dapat
memicu kompleks antibodi adalah antigen dari dalam diri (autoimun) seperti vimetin, fibrin,
dll, kemudian dikatakan adanya infeksi dari bakteri dan virus, serta adanya alergen seperti
spora dari aspergilus yang menyebabkan terjadinya kompleks antibodi pada paru-paru.
Kompleks antibodi kemudian akan terdeposit pada jaringan terdekat (Marc, 2009).

Gambar 2. Aktivasi jalur komplemen klasik (Immunopaedia.org, 2010)
Adanya timbunan kompleks imun pada jaringan ini menyebabkan teraktivasinya
protein komplemen tipe 1 (C1) yang kemudian memicu teraktivasinya komplemen jalur
klasik. Protein C1 akan menempel pada Fc di kompleks imun tersebut. Protein C1 (terdiri
dari C1 q,r,s) akan membelah protein C4 menjadi C4a dan C4b dimana C4b akan menempel
pada kompleks imun sebagai anafilotoksin yang memacu inflamasi. Selain itu, protein C1
akan membelah protein C2 menjadi protein C2a dan C2b dimana protein C2b akan menempel
pada C4b membentuk C3 konvertase yang mengubah C3 menjadi C3a dan C3b. C3b
memiliki 2 peran yang pertama bergabung dengan C3 konvertase membentuk C5 konvertase
dan yang kedua menempel pada permukaan kompleks imun dan berperan sebagai opsonin
bagi fagosit. C5 konvertase akan membelah C5 menjadi C5a sebagai opsonin dan C5b
sebagai MAC (membrane attack complex) bersama dengan protein komplemen lain (C7, C8,
dan C9).

Gambar 3.Inflamasi pada sel target (Immunopaedia.org, 2010)
Pada akhirnya, akan terjadi migrasi sel-sel imun seperti netrofil, basofil, dan
eosinofil yang juga melepaskan mediator-mediator inflamasi dan menyebabkan
peradangan sendi.

2. Patofisiologi Rheumatoid Arthritis Terkait Hipersensitivitas Tipe III
Rheumatoid Arthritis merupakan penyakit yang dapat terjadi karena penyebab
internal berupa genetik maupun eksternal berupa antigen-antigen khusus (toksin bakteri
dan rokok). Dari segi genetik, seseorang akan mengalami peningkatan prosentase
menderita RA apabila pada DNA nya terdapat gen HLA-DRB1 yang diekspresikan.
Pengekspresian gen ini akan menyebabkan perubahan epitope pada sel limfosti yang
nantinya akan berikatan dengan MHC dan menghasilkan antibodi IgG yang berbeda pada
orang normal. Antibodi ini disebut dengan ACPA (Anti Citrunillated Protein Antigen).
ACPA akan berikatan dengan protein-protein tersitrunilasi dan menyebabkan
pembentukan kompleks imun pada sendi yang disebut Rheumatoid Factor (RF) (Mclnnes,
2011).
Selain adanya gen HLA-DRB1 yang diekspresikan, beberapa faktor eksternal
juga mempengaruhi terjadinya RA. Salah satu agen yang paling banyak menyebabkan RA
adalah rokok. Rokok dapat memicu terjadinya sitrunilasi pada protein-protein yang berada
dalam jaringan ikat seperti vimetin. Vimetin merupakan protein yang terdapat banyak
pada sel-sel jaringan ikat terutama persendian. Pada penderita RA, vimetin tersitrunilasi
merupakan antigen utama pemicu kelainan ini. Selain itu, beberapa sekret bakteri dapat
menyebabkan terjadinya sitrunilasi tersebut (Klareskog, 2006). Apabila terdapat sitrunilasi
protein maka akan terbentuk antigen tersitrunilasi dan ACPA akan berikatan dengan
antigen tersebut sehingga terjadilah kompleks imun (RF). Dalam diagnosisnya, ACPA
positif belum tentu menunjukkan adanya RF. Hal ini dikarenakan walaupun terdapat
ACPA, namun belum tentu seorang penderita terpapar dengan antigen tersitrunilasi
sehingga belum tentu terbentuk kompleks imun (Scott, 2010). Selain itu, walaupun tidak
diekspresikanya gen HLA-DRB1, dengan adanya antigen RA (protein tersitrunilasi),
aktivasi sel-sel imun pada cairan sinovial akan terjadi sehingga menyebabkan
terbentuknya IgG yang berlebihan dan membentuk kompleks (Ursum, 2009).

3. Peradangan Sendi Akibat Reaksi Imun pada Rheumatoid Arthritis
Pada penderita RA, dalam cairan sinovialnya terdapat banyak sel myeloid dan sel
dendrit yang melimpah. Sel-sel ini akan terkatifasi dengan adanya antigen berupa protein
tersitrunilasi. Sel T helper terutama Th 1 dan Th17 yang teraktivasi akan menghasilkan
berbagai mediator-mediator inflamasi seperti IL-17, IL-17F, IL-22, dan TNF alfa
sedangkan sel dendrit dan myeloid akan menghasilkan IL-1beta, IL-6, IL-21, dan, TGF-
beta. Protein-protein inflamasi ini akan menyebabkan deferensiasi IL-17 meningkat dan
menurunkan deferensiasi sel T regulatory (sel T yang dapat menekan sistem imun). Pada
penderita RA, ditemukan dalam cairan sinovialnya sel T regulatory yang memiliki
penurunan fungsi, sehingga tidak ada proses supresi dari mediator-mediator inflamasi. Hal
ini mengakibatkan adanya inflamasi pada daerah persendian. Sel B (CD20) yang
membantu Sel T pada membran sinovial juga akan membentuk sel B plasma yang akan
mensekresikan IgG. Pada orang dengan alele HSL-DRB1, IgG yang dihasilkan merupakan
IgG dengan FC anti protein tersitrunilasi (ACPA) sehingga akan membentuk kompleks
imun dengan protein tersitrunilasi. Akibatnya, protein komplemen akan teraktivasi
menggunakan jalur klasik sehingga terjadi kerusakan pada persendian (Mclnnes, 2011).

Gambar 4. Regulasi sel-sel imun pada proses inflamasi sendi

Selain itu, sel-sel imun yang lain juga berperan dalam proses inflamasi seperti
netrofil, makrofag, sel mast, dan NK-cells. Makrofag akan mensekresikan mediator-
mediator inflamasi seperti IL-6, IL-1, (juga 12, 15, 18, dan 23) dan TNF alfa. Selain itu,
makrofag akan memfagositosis sel-sel tulang pada persendian sehingga menyebabkan
kerusakan sendi. Selain makrofag, netrofil juga berperan dalam patogenesis RA, sebagai
pensintesis sitokin dan senyawa oksigen reaktif. Sel Mast juga berperan dalam mensintesis
beberapa kemokin dan amina vasoaktif penyebab inflamasi pada sendi (Scott, 2010).
Beberapa sitokin yang berperan penting dalam patogenesis RA adalah IL-1, IL-6, dan
TNF alfa. Ketiga sitokin ini akan menyebabkan osteoklas sehingga menyebabkan
deformasi sendi. Keseluruhan sitokin yang diseksresikan oleh sel-sel imun melalui protein
reseptor tirosin kinase dengan jalur JAK (Mclnnes, 2011).

d. Manifestasi Rheumatoid Arthritis
Inflamasi kronis yang terjadi akibat RA ini akan menyebabkan berbagai macam
manifestasi. Dua macam manifestasi yang paling banyak terjadi adalah kerusakan tulang
rawan dan erosi tulang.
a. Kerusakan Tulang Rawan
Pada penderita RA, terjadi kehilangan efek protektif dari sinovium (cairan sendi)
seperti menurunya ekspresi dari lubricin, mengubah karakter dari permukaan protein
binding pada kartilago, meningkatkan adhesi dan invasi FLS (Fibroblast-Like
Sinoviocyte). FLS akan mensintesis MMP (Matrix Metaloproteinase) sehingga
meningkatkan perombakan dari kolagen. Selain itu, enzim matriks lain seperti
ADAMTS akan mengurangi integritas dari kartilago. Berbagai macam sitokin pada
cairan sendi juga akan meningkatkan perombakan tulang rawan pada persendian. Hal
ini menyebabkan radiografi pada penderita RA menunjukan adanya penyempitan jarak
antar persendian (Mclnnes, 2011).
b. Erosi Tulang
Erosi pada tulang terjadi pada 80% penderita setelah 1 tahun terdiagnosa RA dan
berhubungan dengan inflamasi yang berkepanjangan dan progresif. Berbagai macam
sel imun seperti makrofag akan menyebabkan perubahan osteoklas dan invasi pada
permukaan periosteal. TNF alfa dan IL-6, IL-17, dan IL-1 akan meningkatkan
deferensiasi dari osteoclast dan aktivasinya. Osteoclast akan menyebabkan reaksi
enzimatik asam yang akn menghancurkan jaringan bermineral termasuk tulang rawan
dan tulang (Mclnnes, 2011).

Gejala dan tanda rheumatoid arthritis
Gejala umum rheumatoid arthritis datang dan pergi, tergantung pada tingkat
peradangan jaringan. Ketika jaringan tubuh meradang, penyakit ini aktif. Ketika jaringan
berhenti meradang, penyakit ini tidak aktif. Remisi dapat terjadi secara spontan atau dengan
pengobatan dan pada minggu-minggu terakhir bisa bulan atau tahun. Selama remisi, gejala
penyakit hilang dan orang-orang pada umumnya merasa sehat ketika penyakit ini aktif lagi
(kambuh) ataupun gejala kembali (AHRQ, 2008).
Ketika penyakit ini aktif gejala dapat termasuk kelelahan, kehilangan energi,
kurangnya nafsu makan, demam kelas rendah, nyeri otot dan sendi dan kekakuan. Otot dan
kekauan sendi biasanya paling sering di pagi hari. Disamping itu juga manifestasi klinis
rheumatoid arthritis sangat bervariasi dan biasanya mencerminkan stadium serta beratnya
penyakit. Rasa nyeri, pembengkakan, panas, eritema dan gangguan fungsi merupakan
gambaran klinis yang klasik untuk rheumatoid arthritis (AHRQ, 2008).
Gejala sistemik dari rheumatoid arthritis adalah mudah capek, lemah, lesu,
takikardi, berat badan menurun, anemia. Pola karakteristik dari persendian yang terkena
adalah : mulai pada persendian kecil di tangan, pergelangan, dan kaki. Secara progresif
mengenai persendian, lutut, bahu, pinggul, siku, pergelangan kaki, tulang belakang serviks,
dan temporomandibular. Awitan biasanya akut, bilateral dan simetris. Persendian dapat
teraba hangat, bengkak, kaku pada pagi hari berlangsung selama lebih dari 30 menit.
Deformitas tangan dan kaki adalah hal yang umum (AHRQ, 2008).
Jika ditinjau dari stadium penyakit, terdapat tiga stadium yaitu :
1. Stadium sinovitis
Pada stadium ini terjadi perubahan dini pada jaringan sinovial yang ditandai hiperemi,
edema karena kongesti, nyeri pada saat bergerak maupun istirahat, bengkak dan kekakuan.
2. Stadium destruksi
Pada stadium ini selain terjadi kerusakan pada jaringan sinovial terjadi juga pada jaringan
sekitarnya yang ditandai adanya kontraksi tendon.
3. Stadium deformitas
Pada stadium ini terjadi perubahan secara progresif dan berulang kali, deformitas dan
gangguan fungsi secara menetap (AHRQ, 2008).
Keterbatasan fungsi sendi dapat terjadi sekalipun stadium pada penyakit yang dini
sebelum terjadi perubahan tulang dan ketika terdapat reaksi inflamasi yang akut pada sendi-
sendi tersebut. Persendian yang teraba panas, membengkak, tidak mudah digerakkan dan
pasien cendrung menjaga atau melinddungi sendi tersebut dengan imobilisasi. Imobilisasi
dalam waktu yang lama dapat menimbulkan kontraktur sehingga terjadi deformitas jaringan
lunak. Deformitas dapat disebabkan oleh ketidaksejajajran sendi yang terjadi ketika sebuah
tulang tergeser terhadap lainnya dan menghilangkan rongga sendi (AHRQ,2008).
Adapun tanda dan gejala yang umum ditemukan atau sangat serius terjadi pada
lanjut usia menurut Buffer (2010), yaitu: sendi terasa kaku pada pagi hari, bermula sakit dan
kekakuan pada daerah lutut, bahu, siku, pergelangan tangan dan kaki, juga pada jari-jari,
mulai terlihat bengkak setelah beberapa bulan, bila diraba akan terasa hangat, terjadi
kemerahan dan terasa sakit/nyeri, bila sudah tidak tertahan dapat menyebabkan demam, dapat
terjadi berulang.
Kerusakan sendi berlangsung dengan rasa sakit. Gejala khas pada arthritis adalah
nyeri sendi. Nyeri hebat di pagi hari setelah istirahat malam. Nyeri juga hebat ketika
beristirahat daripada ketika bekerja. Kekakuan sendi adalah gejala lain. Kekakuan otot-otot
selama pagi setelah bangun terlihat pada pasien rheumatoid arthritis serta osteoarthritis.
Namun, di antara pasien dengan osteoarthritis kekakuan pergi setelah sekitar setengah jam
aktivitas. Untuk pasien rheumatoid arthritis kekakuan dapat bertahan lebih lama. Sendi bisa
menjadi meradang. Hal ini ditandai dengan kehangatan dan kemerahan dari sendi. Ada
pembengkakan di atas sendi bersama dengan kemerahan. Sendi terasa panas dan menyakitkan
untuk disentuh. Seiring waktu sendi kecil dapat rusak dan menyebabkan cacat permanen.
Cacat yang disebabkan karena erosi tulang yang berakhir pada sendi, erosi kartilago dan
pecahnya tendon di sekitar sendi. Kelainan ini bersifat terlihat di tangan dan sendi jari.
Misalnya, ibu jari yang cacat dan ini kita disebut deformitas Boutonniere jempol. Ujung jari
melengkung atau disebut cacat leher angsa dll (NHS, 2012).
Pada pasien rheumatoid arthritis mungkin terjadi radang di sekitar sendi. Ini muncul
sebagai lesi bengkak disebut nodul rematik. Ini biasanya tidak nyeri, keras, oval atau bulat
massa yang umum selama titik-titik tekanan seperti pergelangan tangan, siku, pergelangan
kaki dll. Nodul rheumatoid dapat juga terjadi pada mata atau organ lain seperti paru-paru.
Dalam paru-paru mereka dapat menyebabkan komplikasi seperti akumulasi cairan di dalam
dan sekitar paru-paru. Gejala lain dari rheumatoid arthritis adalah anemia atau rendahnya
jumlah sel darah merah. Hal ini karena mungkin ada kekurangan produksi sel darah merah
baru untuk menebus yang hilang. Jumlah trombosit juga dapat diubah (NHS, 2012).
Beberapa pasien mungkin menderita radang pembuluh darah atau vaskulitis arthritis.
Komplikasi ini mungkin mengancam nyawa. Hal ini dapat menyebabkan ulserasi kulit yang
dapat terinfeksi, ulkus lambung dan kerusakan saraf. Ulkus lambung dapat menyebabkan
komplikasi seperti perdarahan atau perforasi dan patologi saraf dapat menyebabkan nyeri,
mati rasa atau kesemutan sensasi. Pembuluh darah dari otak dan jantung juga mungkin
terlibat menyebabkan serangan jantung atau stroke. Dalam hati mungkin ada akumulasi
cairan yang disebut pericarditis. Otot-otot jantung bisa meradang menyebabkan miokarditis.
Kondisi ini dapat menyebabkan gagal jantung. Beberapa orang mungkin mengalami
peningkatan mendadak dalam gejala dan ini disebut flare-up. Flare up biasanya sulit untuk
memprediksi dan dapat terjadi lebih sering pada pagi hari setelah bangun tidur (NHS, 2012).
Rheumatoid arthritis secara keseluruhan memiliki dampak yang parah pada kualitas hidup.
Ada dampak yang parah pada fungsi fisik, sosial dan kesejahteraan emosional serta kesehatan
mental. Kondisi terkait lainnya dengan kondisi ini termasuk depresi dan kecemasan (NHS,
2012).

E. Segitiga Epidemiologi
Menurut dasar epidemiologi (Triangle Epidemiologi) apabila ada perubahan dari salah
satu faktor, maka akan terjadi perubahan keseimbangan diantara mereka, yang berakibat
akan bertambah atau berkurangnya penyakit yang bersangkutan.

Konsep segitiga epidemiologi digunakan untuk menganalisis terjadinya suatu penyakit.
Dalam konsep ini faktor-faktor yang menentukan terjadinya penyakit diklasifikasikan
sebagai berikut:
1. Agen penyakit (faktor etiologi):
a. Zat nutrisi
b. Agen kimiawi
c. Agen fisik
d. Agen infeksius

2. Faktor pejamu (mempengaruhi pajanan, kerentanan, respons terhadap agen):
a. Genetik
b. Usia
c. Jenis kelamin
d. Ras
e. Status imunulogis
f. Perilaku manusia
g. Penyakit lain yang sudah pernah ada

3. Faktor lingkungan (mempengaruhi keberadaan agen, pajanan atau kerentanan
terhadap agen):
a. Lingkungan fisik (iklim)
b. Lingkungan biologis (populasi manusia, flora, fauna)
c. Lingkungan sosial ekonomi (pekerjaan, bencana alam)

Analisa penyakit rheumatoid arthritis menggunakan segitiga epidemiologi, sebagai berikut:
1. Host (Pejamu)
Faktor-faktor yang dapat menimbulkan penyakit rheumatoid arthritis pada pejamu yaitu :
a. Usia
Rheumatoid arthritis juga dipicu oleh faktor pertambahan usia. Setiap persendian
tulang memiliki lapisan pelindung sendi yang menghalangi terjadinya gesekan antara
tulang. Dan didalam sendi terdapat cairan yang berfungsi sebagai pelumas sehingga
tulang dapat digerakkan dengan leluasa. Pada mereka yang sudah berusia lanjut,
lapisan pelindung persendian mulai menipis dan cairan tulang mulai mengental,
menyebabkan tubuh menjadi kaku dan sakit saat digerakkan. Dengan bertambahnya
umur, penyakit ini meningkat baik wanita maupun laki-laki. Puncak kejadian umur
24-45 tahun dan penyakit Rheumatoid arthritis ini sering di jumpai pada usia diatas 60
tahun dan jarang di jumpai pada usia dibawah 40 tahun. Namun tidak semua penderita
rheumatoid arthritis dipengaruhi oleh proses penuaan (proses degenerative). Ada juga
rheumatoid arthritis yang menyerang anak-anak dan usia muda seperti juvenile
rheumatoid arthritis yang menyerang anak usia 4-15 tahun.
b. Jenis kelamin
Prevalensi lebih tinggi pada wanita dibandingkan laki-laki, lebih dari 75 % penderita
RA adalah wanita.
c. Genetik
Secara genetis, RA dipengaruhi oleh ekspresi dari gen HLA yang merupakan gen
pembentuk MHC. Penelitian mengungkapkan, 70% individu dengan gen HLA
terekspersi mengalami RA. Hal in juga berlaku bagi kembar monozigot yang
memiliki gen tersebut.
d. Kebiasaan
Kebiasaan-kebiasaan buruk seseorang merupakan ancaman kesehatan bagi orang
tersebut seperti :
Pola makan yang salah, terutama bagi Kaum lansia sangat beresiko, sehingga harus
menjaga berat badan agar tidak kegemukan atau kelebihan gizi, dan terhindar dari
penyakit, obesitas dan sulit bergerak. Adapun bahan makanan yang bisa menimbulkan
penyakit rheumatoid arthritis, contohnya jeroan (usus, babat, hati, ginjal, paru, otak),
seafood (udang, cumi, kerang, dll), makanan yang sudah dikalengkan, daging
kambing, sapi, bebek, kacang-kacangan, sayuran (bayam, kangkung, buncis, kembang
kol, daun singkong, dll), keju, telor, buah-buahan (durian, nanas, air kelapa), makanan
di goreng atau bersantan atau di masak dengan menggunakan margarin/mentega,
minuman beralkohol dan masih ada makanan lain. Berat badan berlebih atau Obesitas
beresiko tinggi terserang rheumatoid arthritis, terutama mereka yang gemuk setelah
berusia 50 tahun dan waktu muda berbadan kurus.
Gaya hidup di zaman yang modern ini menuntut setiap orang untuk bekerja keras,
hidup penuh tuntutan dan tekanan sehingga menjaadi stress, kurang berolahraga, dan
berusaha untuk mengatasi stress tersebut dengan minuman alkohol, merokok, yang
merupakan salah satu faktor resiko penyakit rheumatoid arthritis.
Ras atau suku
Data di Amerika Serikat juga menunjukkan bahwa prevalensi tertinggi dari
rheumatoid arthritis adalah pada suku Amerika Indian dibanding dengan yang Non
Indian. Walaupun demikian penyakit ini dapat dijumpai di setiap negara di dunia. Di
Indonesia terdapat suku tertentu yang mempunyai kecenderungan terserang penyakit
ini antara lain suku Minahasa dan Tapanuli.
Pekerjaan
Sikap badan yang salah dalam melakukan pekerjaan sehari-hari memudahkan
timbulnya reumatik nonartikular. Mengangkat beban berat dari lantai dengan badan
membungkuk dapat mengakibatkan sakit pinggang.
2. Agent (Penyebab Penyakit)
Agent adalah suatu substansi tertentu yang keberadaannya atau ketidakberadaannya dapat
menimbulkan penyakit atau mempengaruhi perjalanan penyakit. Untuk penyakit
rheumatoid arthritis yang menjadi agen adalah :
Bakteri dan virus
Meskipun penyebab pasti rheumatoid arthritis belum diketahui jelas, namun faktor
pencetus dari lingkungan seperti bakteri dan virus ada hubungannya dengan
penyakit RA. Hubungan antara virus seperti virus hepatitis B, virus Epstein Barr
dapat menyebabkan kerusakan mikrovaskuler serta proliferasi sinovia sehingga sel
radang yang muncul pada tahap awal adalah neutrofil, setelah itu limfosit,
makrofag dan sel plasma. Sel plasma memproduksi IgG dan IgM yang merupakan
faktor rheumatoid. Reaksi antigen dan antibodi ini menimbulkan kompleks imun
yang mengaktifkan sistem komplemen sehingga terjadi reaksi inflamasi.
3. Environment (Lingkungan)
Lingkungan adalah segala sesuatu yang berada di sekitar manusia serta pengaruh-
pengaruh luar yang mempengaruhi kehidupan dan perkembangan manusia.
Lingkungan ini termasuk perilaku atau pola gaya hidup misalnya gaya hidup yang
kurang baik seperti gaya hidupnya penuh dengan tekanan (stress). faktor stress juga
berhubungan dengan kasus RA, seperti tiba-tiba kehilangan istri/suami, kehilangan
seluruh harta benda dalam suatu musibah, kehilangan satu-satunya anak yang di
sayangi, dan sebagainya, meskipun semuanya belum terbukti. Gaya hidup yang tidak
aktif berolahraga, merokok, alkohol, makanan yang mengandung purin, dapat memicu
terjadinya penyakit rheumatoid arthritis.

F. Faktor faktor yang mempengaruhi status kesehatan masyarakat menurut HENDRIK L
BLUM
Menurut Hendrik L Blum, sehat itu dipengaruhi beberapa faktor yaitu :

Ke empat faktor tersebut diatas saling berpengaruh positif satu dengan yang lain dan
tentu saja sangat berpengaruh terhadap status kesehatan seseorang. Status kesehatan akan
tercapai optimal apabila ke empat faktor tersebut positif mempengaruhi secara optimal pula.
Apabila salah satu faktor tidak optimal maka status kesehatan akan bergeser kearah dibawah
optimal. Berikut ini akan dijelaskan satu per satu ke empat faktor tersebut sebagai berikut :
6


1. Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan sangat besar pengaruhnya terhadap status kesehatan, terlihat dari
diagram di atas dengan panah yang lebih besar dibanding faktor lainnya. Faktor Lingkungan
terdiri dari 3 bagian besar :
a. Lingkungan Fisik
Terdiri dari benda mati yang dapat dilihat, diraba, dirasakan antara lain : bangunan,
jalan, jembatan, kendaraan, gunung, air, tanah. Benda mati yang dapat dilihat dan dirasakan
tapi tidak dapat diraba : api, asap, kabut dll.. Benda mati yang tidak dapat diraba, tidak dapat
dilihat namun dapat dirasakan : udara, angin, gas, bau-bauan, bunyi-bunyian / suara dll.


b. Lingkungan Biologis
Terdiri dari makhluk hidup yang bergerak, baik yang dapat dilihat maupun tidak :
manusia, hewan, kehidupan akuatik, amoeba, virus, plankton. Makhluk hidup tidak bergerak :
tumbuhan, karang laut, bakteri dll.
c. Lingkungan Sosial
Lingkungan sosial adalah bentuk lain selain fisik dan biologis di atas. Lingkungan
sosial tidak berbentuk secara nyata namun ada dalam kehidupan di bumi ini.
Lingkungan sosial terdiri dari sosio-ekonomi, sosio-budaya, adat istiadat,
agama/kepercayaan, organisasi kemasyarakatan dll. Melalui lingkungan sosial manusia
melakukan interaksi dalam bentuk pengelolaan hubungan dengan alam dan buatannya
melalui pengembangan perangkat nilai, ideologi, sosial dan budaya sehingga dapat
menentukan arah pembangunan lingkungan yang selaras dan sesuai dengan daya dukung
lingkungan yang mana hal ini sering disebut dengan etika lingkungan (Adnan Harahap
et-al)
2. Faktor Perilaku
Faktor perilaku berhubungan dengan perilaku individu atau masyarakat, perilaku
petugas kesehatan dan perilaku para pejabat pengelola negeri ini (Pusat dan Daerah) serta
perilaku pelaksana bisnis.
Perilaku individu atau masyarakat yang positif pada kehidupan sehari-hari misalnya :
membuang sampah / kotoran secara baik, minum air masak, saluran limbah terpelihara,
mandi setiap hari secara higienis dll.
Perilaku petugas kesehatan dalam memberikan pelayanan yang baik antara lain : ramah,
cepat tanggap, disiplin tinggi, terapi yang tepat sesuai diagnosa, tidak malpraktek pemberian
obat yang rasional, dan bekerja dengan penuh pengabdian.
Perilaku pemerintah Pusat dan Daerah dalam menyikapi suatu permasalahan kesehatan
masyarakat secara tanggap dan penuh kearifan misalnya : cepat tanggap terhadap adanya
penduduk yang gizinya buruk, adanya wabah penyakit, serta menyediakan sarana dan
prasarana kesehatan dan fasilitas umum ( jalan, parit, TPA, penyediaan air bersih, jalur hijau,
pemukiman sehat) yang didukung dengan peraturan perundang-undangan yang berhubungan
dengan kesehatan dan lingkungan hidup dan menerapkan sanksi hukum yang tegas bagi
pelanggarnya.

3. Faktor Pelayanan Kesehatan
Faktor ini dipengaruhi oleh seberapa jauh pelayanan kesehatan yang diberikan. Hal ini
berhubungan dengan tersedianya sarana dan prasarana institusi kesehatan antara lain : Rumah
Sakit, Puskesmas, Labkes, Balai Pengobatan, serta tersedianya fasilitas pada institusi tersebut
: tenaga kesehatan, obat-obatan, alat-alat kesehatan yang kesemuanya tersedia dalam kondisi
baik dan cukup dan siap pakai.

4. Faktor Keturunan
Faktor ini lebih mengarah kepada kondisi individu yang berkaitan dengan asal usul
keluarga, ras dan jenis golongan darah. Beberapa penyakit tertentu disebabkan oleh faktor
keturunan antara lain : hemophilia, hypertensi, kelainan bawaan, albino dll.







Penerapan teori HENDRIK L BLUM pada penyakit artritis reumatoid :





















Menurut Teori Hendrik L Blum bahwa derajat kesehatan dipengaruhi oleh beberapa
faktor, diantaranya adalah faktor lingkungan, perilaku, pelayanan kesehatan dan keturunan.
Lingkungan terdiri dari lingkungan fisik dan non fisik. Lingkungan fisik terdiri dari keadaan
geografis (dataran tinggi atau rendah), kelembaban udara, temperatur atau suhu dan
lingkungan tempat tinggal (rumah dan sekitarnya). Lingkungan non fisik yaitu lingkungan
sosial (pendidikan, pekerjaan) dan ekonomi. Berikut ini pemaparan teori Hendrik L Blum
pada penyakit rheumatoid arthritis:
Lingkungan :
Psikis :
stress
Biologis :
Bakteri,virus,
jamur,daya
tahan tubuh
manusia

Genetika
Pelayanan
kesehatan :
Preventif:
peninjauan
lapangan
Promotif:
penyuluhan
tentang
rheumatoid
arthritis
Kuratif:
pengobatan pada
penderita
rheumatoid
arthritis
Rehabilitatif:
kepatuhan
mengikuti anjuran
dokter dengan
istirahat di rumah

Perilaku :
Sikap badan, makan
makanan yang
tinggi lemak dan
tinggi protein,
mengkonsumsi
alkohol, kurang
berolahraga,
merokok, obesitas,
mengalami trauma
berat
Rheumatoid
Arthritis

1. Lingkungan
Faktor lingkungan ini juga berpengaruh terhadap timbulnya rheumatoid arthritis. Meskipun
penyebab pasti rheumatoid arthritis belum diketahui jelas, namun faktor pencetus dari
lingkungan seperti bakteri dan virus ada hubungannya dengan penyakit RA. Hubungan antara
virus seperti virus hepatitis B, virus Epstein Barr dapat menyebabkan kerusakan
mikrovaskuler serta proliferasi sinovia sehingga sel radang yang muncul pada tahap awal
adalah neutrofil, setelah itu limfosit, makrofag dan sel plasma. Sel plasma memproduksi IgG
dan IgM yang merupakan faktor rheumatoid. Reaksi antigen dan antibodi ini menimbulkan
kompleks imun yang mengaktifkan sistem komplemen sehingga terjadi reaksi inflamasi.
Proses inflamasi inilah yang menyebabkan terjadinya proliferasi dan kerusakan sinovia.
Terjadilah edematosa, hiperemis, nyeri. Selain itu, faktor stress juga berhubungan dengan
kasus RA, seperti tiba-tiba kehilangan istri/suami, kehilangan seluruh harta benda dalam
suatu musibah, kehilangan satu-satunya anak yang di sayangi, dan sebagainya, meskipun
semuanya belum terbukti.
2. Perilaku
Perilaku hidup yang tidak sehat juga merupakan faktor resiko timbulnya penyakit rheumatoid
arthritis, meskipun belum pasti, seperti sering makan makanan yang tinggi lemak dan tinggi
protein, mengkonsumsi alkohol, kurang berolahraga, merokok, dan kurang istirahat.
Bahan makanan yang dapat menimbulkan rheumatoid arthritis contohnya jeroan
(usus, babat, hati, ginjal, paru, otak), seafood (udang, cumi, kerang, dll), makanan
yang sudah dikalengkan, daging kambing, sapi, bebek, kacang-kacangan, sayuran
(bayam, kangkung, buncis, kembang kol, daun singkong, dll), keju, telor, buah-
buahan (durian, nanas, air kelapa), makanan di goreng atau bersantan atau di masak
dengan menggunakan margarin/mentega, minuman beralkohol dan masih ada
makanan lain.
Obesitas beresiko tinggi terserang rheumatoid arthritis, terutama mereka yang gemuk
setelah berusia 50 tahun dan waktu muda berbadan kurus
Menurut The U.S. Centers for Disease Control and Prevention, aktivitas yang dapat
mencegah terjadinya rematik adalah dengan berolahraga, minimal 30 menit dengan
rutininas 3-5 kali per minggu, menurunkan berat badan, jika mengalami berat badan
berlebih. Aktivitas yang dapat dilakukan seperti pekerjaan rumah dan berkebun,
berjalan-jalan, jalan cepat, renang, bersepeda, dan senam. Kurangnya aktivitas juga
mempengaruhi terjadinya RA.
Para ilmuwan telah melaporkan bahwa perokok meningkatkan resiko
mengembangankan penyakit rheumatoid arthritis.
Pernah mengalami trauma berat pada lutut sampai terjadi pembengkakan atau
berdarah, seperti pada olahragawan.
Sikap badan yang salah dalam melakukan pekerjaan sehari-hari memudahkan
timbulnya reumatik nonartikular. Mengangkat beban berat dari lantai dengan badan
membungkuk dapat mengakibatkan sakit pinggang.

3. Pelanyanan kesehatan
Dari hasil survey awal yang dilakukan oleh peneliti dari data rekam medik, pada tahun 2009
jumlah pasien yang menderita rheumatoid arthritis yang berobat, ke Poliklinik Penyakit
Dalam Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan adalah 24 orang. Hasil
wawancara yang dilakukan peneliti dari 3 orang pasien mengatakan bahwa mereka merasa
terganggu aktivitasnya apabila nyeri rheumatoid arthritis kambuh. Sehingga pelayan
kesehatan ini sangat bermanfaat, bukan hanya mengobati tetapi mulai dari pencegahan.
Tujuan Utama dari pelayanan kesehatan adalah:
a. Preventif
Tindakan preventif dapat dilakukan dengan cara aktifnya para petugas
puskesmas dengan mengujungi rumah para warga dan mengingatkan tentang
pola hidup sehat.
b. Promotif
Tindakan promotif yang bisa dilakukan dalam hal mencegah rheumatoid
arthritis adalah dengan memberikan pengetahuan tentang rheumatoid arthritis.
Pemberian pengetahuan ini antara lain dapat dilakukan dengan cara pemberian
penyuluhan kepada masyarakat.

c. Kuratif
Bagi masyarakat yang sudah terkena penyakit rheumatoid arthritis, di sarankan
untuk teratur berobat ke dokter untuk mencegah agar tidak terjadi komplikasi
dari penyakit rheumatoid arthritis.

d. Rehabilitatif
Rehabilitatif dapat dilakukan dengan cara melakukan semua anjuran dokter
dan meminum obat yang sudah diberikan agar dapat cepat sembuh dari
penyakit ini.

4. Herediter
Sekitar 50 % dari risiko terjadinya rheumatoid arthritis disebabkan faktor-faktor genetik.
Secara genetis, RA dipengaruhi oleh ekspresi dari gen HLA yang merupakan gen pembentuk
MHC. Penelitian mengungkapkan, 70% individu dengan gen HLA terekspersi mengalami
RA. Hal in juga berlaku bagi kembar monozigot yang memiliki gen tersebut. Tidak semua ras
di bumi akan mengekspresikan gen dari HLA (epitope) tertentu yang berinteraksi dengan
MHC membentuk respon yang spesifik bagi RA, oleh karena itu, penyebaran penyakit RA
antar daerah berbeda-beda tergantung dominasi dari ras yang mendiami daerah tersebut.
Seseorang akan mengalami peningkatan presentase menderita RA apabila pada DNA nya
terdapat gen HLA-DRB1 yang diekspresikan. Pengekspresian gen ini akan menyebabkan
perubahan epitope pada sel limfosit yang nantinya akan berikatan dengan MHC dan
menghasilkan antibodi IgG yang berbeda pada orang normal. Antibodi ini disebut dengan
ACPA (Anti Citrunillated Protein Antigen). ACPA akan berikatan dengan protein-protein
tersitrunilasi dan menyebabkan pembentukan kompleks imun pada sendi yang disebut
Rheumatoid Factor (RF) (Mclnnes, 2011).
Definisi Operasional

1 Puskesmas Unit pelaksana teknis Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yang
bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan
kesehatan di suatu wilayah kerja.

2 Promotif Suatu kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan pelayanan
kesehatan yang lebih mengutamakan kegiatan yang bersifat
promosi kesehatan.

3 Preventif Suatu kegiatan pencegahan terhadap suatu masalah
kesehatan/penyakit.

4 Kuratif Kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan untuk
mengembalikan bekas penderita ke dalam masyarakat
sehingga dapat berfungsi lagi sebagai anggota masyarakat
yang berguna untuk dirinya dan masyarakat semaksimal
mungkin sesuai dengan kemampuannya.

5 Rehabilitatif Merupakan upaya pemulihan kesehatan bagi penderita-
penderita yang dirawat dirumah, maupun terhadap kelompok-
kelompok tertentu yang menderita penyakit yang sama.
















BAB III
PENATALAKSANAAN KASUS RHEUMATOID ARTHRITIS
3.1 Program
1. Promotif : Penyuluhan (Komunikasi, Informasi, Edukasi)
2. Preventif : Meningkatkan pola hidup sehat masyarakat
3. Kuratif : Deteksi dini (penemuan kasus) dan penatalaksanaan di puskesmas
4. Rehabilitatif : Program rehabilitasi rheumatoid arthritis (Sosialisasi dan edukasi)
3.2 Sasaran
1. Masyarakat umum (keluarga dan kelompok yang berpengaruh dan berperan di
masyarakat dan kader).
2. Masyarakat khusus (kelompok masyarakat yang berisiko artritis reumatoid)
3.3 SDM
1. Petugas puskesmas (dokter, perawat, bidan, kesmas )
2. kader kesehatan

3.4 Kegiatan
A. Promotif

1.Penyuluhan (KIE)

1) Menyusun materi penyuluhan dan mengadakan pelatihan KIE tentang artritis
reumatoid secara menyeluruh antara lain tentang pengertian, penyebab, gejala dan
tanda, faktor resiko serta pencegahan dan penanggulangan konjungtivitis bagi petugas
kesehatan (medis dan para medis), kader kesehatan maupun tokoh masyarakat.
2) Meningkatkan pengetahuan pencegahan pada petugas kesehatan (medis dan para
medis), pasien artritis reumatoid dan keluarganya.
3) Melaksanakan penyuluhan atau KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) tentang
artritis reumatoid dan faktor risikonya melalui berbagai media penyuluhan, seperti:
a) Penyuluhan tatap muka.
b) Poster, leaflet, pamflet, surat kabar dan media cetak lain yang dianggap efektif
untuk mencapai kelompok sasaran.
4) Penyuluhan perorangan atau penyuluhan kelompok yang dilaksanakan oleh petugas
puskesmas, kader kesehatan dan lain-lain seperti klinik konseling.
5) Penyuluhan bagi pasien dan keluarga tentang pencegahan dan penanggulangan artritis
reumatoid.
Adapun jenis kegiatan penyuluhan artritis reumatoid bagi pasien dan keluarga pasien
antara lain:
a. Pengertian artritis reumatoid
b. Penyebab artritis reumatoid
c. Gejala artritis reumatoid
d. Kelompok rentan artritis reumatoid
e. Cara pengobatan artritis reumatoid
f. Cara pencegahan artritis reumatoid
B. Preventif
Hal-hal yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya Artritis rheumatoid yaitu
Meningkatkan pengetahuan tentang arthritis rheumatoid dan tindakan yang dapat dilakukan
adalah dengan menjalankan pola hidup yang sehat, menjaga berat badan agar tetap ideal, dan
aktif berolahraga misalnya dengan jalan kaki karena dapat membakar kalori,memperkuat
otot, dan membangun tulang yang kuat tanpa mengganggu persendian yang sakit
C. Kuratif
Anamnesis merupakan wawancara medis yang merupakan tahap awal dari rangkaian
pemeriksaan pasien, baik secara langsung pada pasien atau secara tidak langsung. Tujuan dari
anamnesis adalah mendapatkan informasi menyeluruh dari pasien yang bersangkutan.
Informasi yang dimaksud adalah data medis organobiologis, psikososial, dan lingkungan
pasien, selain itu tujuan yang tidak kalah penting adalah membina hubungan dokter pasien
yuang profesional dan optimal.

Data anamnesis terdiri atas beberapa kelompok data penting:


1. Identitas pasien
2. Riwayat penyakit sekarang
3. Riwayat penyakit dahulu
4. Riwayat kesehatan keluarga
5. Riwayat pribadi, sosial-ekonomi-budaya
Identitas pasien meliputi nama, umur, jenis kelamin, suku, agma, status perkawinan,
pekerjaan, dan alamat rumah. Data ini sangat penting karena data tersebut sering berkaitan
dengan masalah klinik maupun gangguang sistem organ tertentu.


Keluhan utama adalah keluhan terpenting yang membawa pasien minta pertolongan
dokter atau petugas kesehatan lainnya. Keluhan utama biasanya diteluskan secara singkat
berserta lamanya, seperti menuliskan judul berita utama surat kabar.


Riwayat penyakit
Riwayat penyakit sangat penting dalam langkah awal diagnoosis semua penyakit,
Sebagaimana biasanya diperlukan riwayat penyakit yang deskriptif dan kronologis;
ditanyakan pula faktor yang memperberat penyakit dan hasil pengobatan untuk mengurangi
keluhan pasien
.

Umur
Penyakit reumatoid dapat menyerang semua umur, tetapi frekuensi setiap penyakit
terdapat pada kelompok umur tertentu. Misalnya artritis reumatoid lebih sering ditemukan
pada pasien usia lanjut dibandingkan dengan usia muda.
Jenis Kelamin
Pada penyakit reumatik perbandingan jenis kelamin berbeda pada beberapa
kelompok penyakit. Artritis reumatoid sering terjadi pada wanita dibanding laki-laki.
Pemeriksaan
1. Fisik
Pemeriksaan jasmani khusus pada sistem muskuloskeletal meliputi :


a. Inspeksi pada saat diam / istirahat
b. Inspeksi pada saat gerak
c. Palpasi

Deformitas
Walaupun deformitas sudah tampak jelas pada keadaan diam, tetapi akan lebih nyata
pada keadaan gerak. Perlu dibedakan apakan deformitas tersebut dapat dikoreksi (misal
disebabkan gangguan jaringan lunak) atau tidak lain apat dikoreksi (misalnya restriksi kapsul
sendi atau kerusakan sendi). Berbagai deformitas di lutut dapat terjadi antara genu varus,
genu valgus, genu rekurvatum, subluksasi tibia posterior dan deformitas fleksi. Demikian
pula deformitas fleksi di siku. Pada jaringan tangan antara lain boutonniere finger, swan neck
finger, ulnar deviation, subluksasi sendi metakarpal dan pergelangan tangan. Pada ibu jari
tangan ditemukan unstable-Z-shaped thumbs. Pada kaki ditemukan telapak kaki bagian depan
melebar dan miring ke samping disertai subluksasi ibu jari kaki ke atas. Pada pergelangan
kaki terjadi valgue ankle.


Perubahan Kulit
Kelainan kulit sering menyertai penyakit reumatik atau penyakit kulit sering pula
disertai penyakit reumatik. Kelainan kulit yang sering ditemukan antara lain psoriasis dan
eritema nodosum. Kemerahan disertai deskuamasi pada kulit di sekitar sendi menunjukkan
adanya inflamasi periartikular, yang sering pula merupakan tanda artritis septik atau artritis
kristal.


Kenaikan Suhu Sekitar Sendi
Pada perubahan dengan menggunakan punggung tangan akan dirasakan adanya
kenaikan suhu disekitar sendi yang mengalami inflamasi.


Bengkak Sendi
Bengkak sendi dapat disebabkan oleh cairan, jaringan lunak atau tulang. Cairan sendi
yang terbentuk biasanya akan menumpuk di sekitar daerah kapsul sendi yang resistensinya
paling lemah dan mengakibatkan bentuk yang khas pada tempat tersebut, misalnya :


o Pada sendi interfalang pembengkakan terjadi pada sisi posterolateral di antara tendon
ekstensor dan ligamen kolateral bagian lateral.
o Efusi sendi glenohumeral akan mengisi cekungan segitiga di antara klavikula dan otot
deltoid di atas otot pektoralis.
Bulge sign ditemukan pada keadaan efusi sendi dengan jumlah cairan yang sedikit
dalam rongga yang terbatas. Misalnya pada efusi sendi lutut bila dilakukan pijatan pada
cekungan medial maka cairan akan berpindah sendiri ke sisi medial. Baloon sign ditemukan
pada keadaan efusi dengan jumlah cairan yang banyak. Bila dilakukan tekanan pada satu titik
akan menyebabkan penggelembungan di tenpat lain. Keadaan ini sangat spesifik pada efusi
sendi. Pembengkakan kapsul sendi merupakan tanda spesifik sinovitis. Pada pembengkakan
tergambar batas kapsul sendi, yang makin nyata pada pergerakan dan teraba pada pergerakan
pasif.


Nyeri Raba
Menentukan lokasi nyeri raba yang tepat merupakan hal yang penting untuk
menentukan penyebab keluhan pasien. Nyeri raba kapsular / artikular terbatas pada daerah
sendi merupakan tanda artropati atau penyakit kapsular. Nyeri raba periartikular agak jauh
dari batas daerah sendi merupakan tanda bursitis atau entesopati.


Pergerakan
Pada pemeriksaan perlu dinilai luas gerak sendi pada keadaan pasif dan aktif dan
dibandingkan kiri dan kanan.
Kriteria Amrerican Rheumatism Association untuk Artritis Reumatoid Revisi tahun 1978 :
1. Kaku pada pagi hari
Kekakuan pada pagi hari pada persendian dan sekitarnya, sekurangnya selama satu
jam sebelum perbaikan maksimal.
2. Artritis pada 3 daerah persendian atau lebih
Pembengkakan jaringan lunak atau persendian atau lebih efusi (bukan pertumbuhan
tulang) pada sekurang-kurangnya 3 sendi secara bersamaan yang dionservasi oleh
seorang dokter.
3. Artritis pada persendian tangan
Sekurang-kurangnya terjadi pembengkakan satu persendian tangan.
4. Artritis simetris
Keterlibatan sendi yang sama (seoerti yang tertera pada kriteria 2 pada kedua belah
sisi (keterlibatan PIP, MCP, atau MTP bilateral dapat diterima walaupun tidak mutlak
bersifat simetris).
5. Nodul reumatoid
Nodul subkutan pada penonjolan tulang atau permukaan ekstensor atau daerah juksta
artikuler yang diobservasi oleh seorang dokter.
6. Faktor reumatoid serum positif
Terdapat titer abnormal faktor reumatoid serum yang diperiksa dengan cara yang
memberikan hasil kurang dari 5 % kelompok kontrol yang diperiksa.
7. Perubahan gambaran radiologis
Perubahan gambaran radiologis yang radiologis khas bagi artritis reumatoid pada
pemeriksaan sinar-x tangan posterior atau pergelangan tangan yang harus
menunjukkan adanya erosi atau dekalsifikasi tulang yang berlokasi pada sendi atau
daerah yang berdekatan dengan sendi (perubahan akibat osteoartritis saja tidak
memenuhi persyaratan).
Pasien dikatakan menderita AR jika memenuhi sekurang-kurangnya kriteria 1 sampai 4 yang
diderita sekurang-kurangnya 6 minggu.


2. Penunjang

RADIOLOGI
Teknik pencitraan dapat mampu penegakkan diagnosis, memungkinkan penilaian
aktifitas/beratnya penyakit, distribusi penyakit, respons terhadap pengobatan secara objektif,
menilai komplikasi dan kelainan ekstra-artikuler serta meningkatkan pemahaman baru
tentang proses penyakit


o Foto Polos
Biaya murah dan resolusi spatial tinggi, sehingga detil trabekula dan erosi kecil tulang
dapat dilihat dengan baik. Jika diperlukan, resolusi dapat ditingkatkan dengan teknik
pembesaran. Resolusi kontrasnya memang tidak sebaik CT-scan atau MRI. Keterbatasan ini
terutama dirasakan jika kita ingin mengevaluasii jaringan lunak.


Dosis radiasi yang dihasilkan pada pemeriksaan struktur perifer seperti tangan dan
kaki relative rendah. Dilain pihak, pemeriksaan terhadap struktur sentral seperti vertebra
lumbal dan bagian lain tubuh mengakibatkan radiasi dosis tinggi terhadap pasien. Kedekatan
dengan kelenjar kelamin dan susm sum tulang meningkatkan potensi timbulnya efek yang
merugikan terhadap pasien. Sedapat mungkin daerah pinggul perempuan hamil atau yang
masih dapat hamil tidak terkena radiasi. Demikian juga radiasi terhadap anak anak
hendaklah diusahakan seminimal mungkin. Jika pada pasien ini memang diperlukan
pemeriksaan radiologic, ahli fisika radiasi dapat menghitung dosis radiasi minimum yang
diperlukan untuk pemeriksaan pencitraan. Prinsip dasar ini berlaku untuk semua jenis
pemeriksaan pencitraan.


o TOMOGRAFI
Teknik ini sangat berguna untuk pemeriksan daerah dengan anatomi yang kompleks,
dimana struktur yang berhimpitan akan mengaburkan gambaran anatomi. Biayanya hampir
sama dengan CT-scan. Resolusi struktur tulang sedikit lebih baik, sedangkan visualisasi
jaringan lunak jauh lebuh buruk. Dosis radiasi lebih tinggi daripada CT-scan. Dalam
praktek,teknik ini telah digantikan oleh CT-scan.

o COMPUTED TOMOGRAPHY
Meskipun relative mahal, CT-scan lebih murah daripada MRI. Resolusi spatial lebih
baik daripada MRI, tetapi lebih buruk daripada foto konvensional.CT-scan dapat
memperlihatkan kelainan jaringan lunak lebih baik daripada foto konvensional, walaupun
tidak sebaik MRI.
Dosis radiasi CT scan relatif lebih tinggi dibandingkan dengan satu foto konvensional
pada daerah yang sama. Tetapi dosis radiasi ini sebanding jika diperlukan beberapa foto
konvensional pada satu daerah. Akibatnya, dosis radiasi lebih rendah daripada tomografi
konvensional pada banyak keadaan.

o MAGNETIC RESONANCE IMAGING (MRI)
MRI membawa keuntungan besar bagi pencitraan muskuloskeletal karena
kesanggupannya memperlihatkan struktur jaringan lunak yang tidak dapat diperlihatkan oleh
pemeriksaan radiologi konvensional. Teknik ini memperoleh informasi struktur berdasarkan
densitas proton dalam jaringan dan hubugan proton ini dengan lingkungan terdekatnya. MRI
dapat memberikan penekanan pada jaringan atau status metabolic yang berbeda-beda.
Dengan kata lain, pencitraan yang berbeda dapat diperoleh dari tempat anatomi yang sama
dengan mengubah parameter tertentu.


MRI relatif lebih mahal daripada pemeriksaan pencitraan lain, terutama karena harga
peralatan dan waktu yang diperlukan untuk melakukan pemeriksaan. MRI bebas dari bahaya
ionisasi akibat radiasi, suatu keuntungan dalam memeriksa bagian sentral tubuh dimana
pemeriksaan radiologi menimbulkan dosis radiasi yang tinggi. Meskipun demikian, ada juga
beberapa bahayanya. Medan magnet yang kuat dapat menggerakan objek metal seperti logam
asing dalam mata menyebabkan gangguan alat pacu jantung, memanaskan bahan logam
sehingga menimbulkan luka bakar dan menarik bahan logam kedalam magnet. Bahan logan
yang berdekatan dengan medan magnet juga dapat mempengaruhi kualitas pencitraan MRI.
Karena itu, operator MRI harus menyaring pasien dan pengunjung lain dengan teliti. Pasien
yang kurang cocok dengan gadolinium, suatu bahan kontras yang digunakan pada
pemeriksaan MRI, perlu dilengkapi dengan proteksi telinga karena pengaktifan medan
magnet menimbulkan bising.


Struktur lunak jaringan sendi dapat diperlihatkan dengan jelas. Jaringan sinovium
juga dapat dapat dilihat, terutama dengan menggunakan bahan kontras paramagnetik
intravena seperti gadolinium. Demikian juga kelainan lain seperti efusi sendi, kista poplitea,
ganglioma, kista meniskus dan bursitis dapat dilihat dengan jelas dan integritas tendo dapat
dinilai. MRI makin populer untuk mengevaluasi ligament antara tulang-tulang karpan dan
fibrokartilagotrianguler.


Kalsifikasi jaringan ikat terlihat tidak sebaik foto biasa karena pancaran sinyal yang
rendah. Mula-mula diduga bahwa tulang yang juga mempunyai pancaran sinyal yang rendah
akan menimbulkan problem. Tetapi karena sumsum tulang yang mempunyai sinyal tinggi,
MRI menjadi sangat sensitif untuk mendeteksi kelainan tulang. Dalam praktek, mikrofraktur
akibat trauma atau stres sering disebut bone bruises tidak dikenal sebelum MRI.
o SYNTIGRAFI
Teknik ini merupakan cara yang mudah untuk melihat pola keterlibatan sendi dan
keadaan aktifitas penyakit. Syntigrafi setelah pemberian intravena beberapa bahan seperti
99m teknisium metilen difosfat (99mTc MDP) untuk scan tulang, 99mTc sulfur koloid untuk
scan sumsum tulang, gallium sitrat (67Ga sitrat) dan leukosit yang diberi label dengan indium
(111In-labeled WBCs) berguna untuk mengevaluasi berbagai macam kelaianan
musculoskeletal. Biaya pemeriksaannya hampis sama dengan CT scan dan dosis radiasinya
sebanding dengan pemeriksaan CT scan abdomen.


o ULTRASONOGRAFI
USG relatif murah, mudah didapat dan bebas dari bahaya radiasi. Resolusi spatial
sama dengan CT scan dan MRI, bergantung kepada tranducer. Tetapi resolusi dibatasi oleh
dalamnya jaringan yang diperiksa. Kekurangan USG ialah ketergantungannya kepada
operator. Seorang peneliti tidak selalu dpaat mengulang hasil pemeriksaan peneliti lain.
Karena USG tidak memiliki gambaran potongan lintang yang lengkap untuk menentukan
orientasi, sulit bagi orang yang tidak hadir pada waktu pemeriksaan dilakukan
menginterpretasikan hasil pemeriksaan orang lain.



o ARTROGRAFI
Pada artrografi diperlukan suntikan bahan kontras dalam sendi, diikuti oleh
pemeriksaan radiologi. Pada artrografi konvensional, ruang sendi diisi dengan bahan kontras
yang mengandung yodium dan kadang-kadang udara. Biaya pemeriksaan lebih mudah
daripada CT scan atau MRI dan dapat dilakukan jika tersedia flouroskopi.
o ANGIOGRAFI
Angiografi berguna dalam mendiagnosis penyakit reumatik dimana terdapat
komponen vaskular. Biaya angiografi lebih tinggi daripada MRI dan merupakan prosedur
invasif. Sebaiknya hanya dilakukan pada situasi tertentu dimana cara lain tidak dapat
memberikan data diagnotik yang diperlukan.


o Pemilihan Pemeriksaan Pencitraan
Hampir semua pemeriksaan pencitraan sebaiknya dimulai dengan foto polos. Jika
diperlukan informasi diagnostik lain yang mungkin akan mengubah tindakan klinis, MRI
sering merupakan pilihan kedua. Dalam banyak kasus, hasil pemeriksaan MRI harus
dikorelasikan dengan foto polos karena MRI tidak memperlihatkan kalsifikasi atau erosi
ringan pada korteks.


Laboratorium
o Pemeriksaan darah tepi
Laju Endap Darah
Nilai Rujukan
Dewasa: Metode Westergen: Pria: <50 tahun: 0-15 mm/jam. Wanita: <50 tahun: 0-20
mm/jam. Pria: >50 tahun: 0-20 mm/jam. Wanita: >50: 0-30 mm/jam. Metode Wintrobe: Pria:
0-9 mm/jam. Wanita: 0-15 mm/jam. Anak: bayi baru lahir: 0-2 mm/jam; 4-14 tahun: 0-10
mm/jam.
Deskripsi
Laju endap darah adalah laju sel darah merah menetap dalam darah yang belum
membeku, dengan satuan milimeter per jam (mm/jam). LED merupakan uji yang tidak
spesifik. Laju dapat meningkat selama proses inflamasi akut, infeksi akut dan kronis,
kerusakan jaringan (nekrosis), reumatoid, penyakit kolagen, malignansi dan kondisi stres
fisiologis (mis., kehamilan). Bagi sebagian ahli hematologi, nilai LED tidak andalkarena ini
bukanlah uji spesifik, dan dipengaruhi oleh faktor fisiologis yang dapat menyebabkan temuan
tidak akurat.


Uji protein C-reaktif (CRP) dipertimbangkan lebih berguna daripada LED karena
kenaikan kadar LED karena kenaikan kadar CRP terjadi lebih cepat selama proses inflamasi
akut, dan lebih cepat juga kembali ke kadar normal daripada LED. Namun, beberapa dokter
masih mengharuskan uji LED bila ingin membuat perhitungan kasar mengenai proses
penyakit, dan bermanfaat untuk mengikuti perjalanan penyakit. Jika kadar LED meningkat,
uji laboratorium lain harus dilakukan untuk mengidentifikasi dengan tepat masalah klinis
yang muncul.


Tujuannya adalah untuk membandingkan temuan uji laboratorium yang lain guna
mendiagnosis kondisi inflamasi.
Penatalaksanaan
Konsep Pengobatan AR
Walaupun hingga kini belum berhasil didapatkan suatu cara pencegahan dan
pengobatan AR yang sempurna, saat ini pengobatan pada penderita AR ditujukan untuk:


1. Menghilangkan gejala inflamasi aktif baik lokal maupun sistemik
2. Mencegah terjadinya destruksi jaringan
3. Mencegah terjadinya deformitas dan memelihara fungsi persendian agar tetap dalam
keadaan baik.
4. Mengembalikan kelainan fungsi organ dan persen dian yang terlibat agar sedapat
mungkin menjadi normal kembali.
Dalam pengobatan AR umumnya selalu dibutuh kan pendekatan multidisipliner.
Suatu team yang idealnya terdiri dari dokter, perawat, ahli fisioterapi, ahli terapi okupasional,
pekerja sosial, ahli farmasi, ahli gizi dan ahli psikologi, semuanya memiliki peranan masing
masing dalam pengelolaan penderita AR baik dalam bidang edukasi maupun penatalaksanaan
pengobatan penyakit ini. Pertemuan berkala yang teratur antara penderita dan keluarganya
dengan team pengobatan ini umumnya akan memungkinkan penatalaksanaan penderita
menjadi lebih baik dan juga akan meningkatkan kepatuhan penderita untuk berobat.
Setelah diagnosis AR dapat ditegakkan, pendekatan pertama yang harus dilakukan
adalah segera berusaha untuk membina hubungan yang baik antara penderita dan keluarganya
dengan dokter atau team pengobatan yang merawatnya. Tanpa hubungan yang baik ini
agaknya akan sukar untuk dapat memelihara ketaatan penderita untuk tetap berobat dalam
suatu jangka waktu yang cukup lama.
Peranan Pendidikan dalam Pengobatan AR
Penerangan tentang kemungkinan faktor etiologi, patogenesis, riwayat alamiah
penyakit dan penatalaksanaan AR kepada penderita merupakan hal yang amat penting untuk
dilakukan. Dengan penerangan yang baik mengenai penyakitnya, penderita AR diharapkan
dapat melakukan kontrol atas perubahan emosional, motivasi dan kognitif yang terganggu
akibat penyakit ini.
Saat ini terdapat telah banyak publikasi tentang manfaat pendidikan dini pada
penderita AR. Salah satu yang banyak dilaksanakan di Amerika Serikat dan Kanada adalah
adalah The Arthritis Self Management Program, yang diperkenalkan oleh Lorig dkk. dari
Stanford University. Peningkatan pengetahuan penderita tentang penyakitnya telah terbukti
akan meningkatkan motivasinya untuk melakukan latihan yang dianjurkan, sehingga dapat
mengurangi rasa nyeri yang dialaminya.
Trend Pengobatan AR Saat Ini
Berbeda dengan trend pada dekade yang lalu, saat ini banyak di antara para ahli
penyakit reumatik yang telah meninggalkan cara pengobatan tradisional yang menggunakan
'piramida terapeutik. Beberapa ahli bahkan menganjurkan untuk menggunakan pendekatan
step down bridge dengan menggunakan kombinasi beberapa jenis DMARD yang dimulai
pada saat yang dini untuk kemudian dihentikan secara bertahap pada saat aktivitas AR telah
dapat terkontrol. Hal ini didasarkan pada pendapat bahwa penatalaksanaan yang efektif hanya
dapat dicapai bila pengobatan dapat diberikan pada masa dini penyakit.
Penggunaan OAINS dalam Pengobatan AR
Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS) umum nya diberikan pada penderita AR
sejak masa dini penyakit yang dimaksudkan untuk mengatasi nyeri sendi akibat inflamasi
yang seringkali dijumpai walaupun belum terjadi proliferasi sinovial yang bermakna. Selain
dapat mengatasi inflamasi, OAINS juga memberikan efek analgesik yang sangat baik.
OAINS terutama bekerja dengan menghambat enzim siklooxygenase sehingga
menekan sintesis prostaglandin. Masih belum jelas apakah hambatan enzim lipooxygenase
juga berperanan dalam hal ini, akan tetapi jelas bahwa OAINS berkerja dengan cara:
- Memungkinkan stabilisasi membran lisosomal
- Menghambat pembebasan dan aktivitas mediator inflamasi (histamin, serotonin,
enzim lisosomal dan enzim lainnya).
- Menghambat migrasi sel ke tempat peradangan
- Menghambat proliferasi seluler
- Menetralisasi radikal oksigen
- Menekan rasa nyeri
Efek Samping OAINS pada Pengobatan Penderita AR
Semua OAINS secara potensial umumnya ber-sifat toksik. Toksisitas OAINS yang
umum dijumpai adalah efek sampingnya pada traktus gastrointestinalis terutama jika OAINS
digunakan bersama obat obatan lain, alkohol, kebiasaan merokok atau dalam keadaan stress.
Usia juga merupakan suatu faktor risiko untuk mendapatkan efek samping gastrointestinal
akibat OAINS. Pada penderita yang sensitif dapat digunakan preparat OAINS yang berupa
suppositoria, pro drugs, enteric coated, slow release atau non-acidic. Akhir akhir ini juga
sedang dikembangkan OAINS yang bersifat selektif terhadap jalur COX-2 metabolisme asam
arakidonat. OAINS yang selektif terhadap jalur COX-2 umumnya kurang berpengaruh buruk
pada mukosa lambung dibandingkan dengan preparat OAINS biasa.
Efek samping lain yang mungkin dijumpai pada pengobatan OAINS antara lain
adalah reaksi hiper-sensitivitas, gangguan fungsi hati dan ginjal serta pe-nekanan sistem
hematopoetik.
Penggunaan DMARD pada Penderita AR
Pada dasarnya saat ini terdapat terdapat dua cara pendekatan pemberian DMARD
pada pengobatan penderita AR. Cara pertama adalah pemberian DMARD tunggal yang
dimulai dari saat yang sangat dini. Pendekatan ini didasarkan pada pemikiran bahwa
destruksi sendi pada AR terjadi pada masa dini penyakit. Brook and Corbett, pada
penelitiannya menemukan bahwa 90% penderita AR telah menunjukkan gambaran erosi
secara radiologis pada dua tahun pertama setelah menderita penyakit. Hasil pengobatan
jangka panjang yang buruk pada sebagian besar penelitian sangat mungkin disebabkan karena
pengobatan baru dimulai setelah masa kritis ini dilampaui.
1

Cara pendekatan lain adalah dengan menggunakan dua atau lebih DMARD secara
simultan atau secara siklik seperti penggunaan obat obatan imunosupresif pada pengobatan
penyakit keganasan. Kecenderungan untuk menggunakan kombinasi DMARD dalam
pengobatan AR ini timbul sejak dekade yang silam karena banyak diantara para ahli
reumatologi beranggapan bahwa terapi DMARD secara sekwensial, pada jangka panjang
tidak berhasil mencegah terjadinya kerusakan sendi yang progresif.
Sebenarnya tidak terdapat suatu batasan yang tegas mengenai kapan kita harus mulai
menggunakan DMARD. Hal ini disebabkan karena hingga kini belum terdapat suatu cara
yang tepat untuk dapat mengukur beratnya sinovitis atau destruksi tulang rawan pada
penderita AR. Dengan demikian, keputusan untuk menggunakan DMARD pada seorang
penderita AR akan sepenuhnya bergantung pada pertimbangan dokter yang mengobatinya.
Umumnya pada penderita yang diagnosisnya telah dapat ditegakkan dengan pasti, OAINS
harus diberikan dengan segera. Pada penderita yang tersangka menderita AR yang tidak
menunjukkan respons terhadap OAINS yang cukup baik dalam beberapa minggu, DMARD
dapat dimulai diberikan untuk dapat mengontrol progresivitas penyakitnya.
Beberapa jenis DMARD yang lazim digunakan untuk pengobatan AR adalah:
Klorokuin
Klorokuin merupakan DMARD yang paling banyak digunakan di Indonesia. Hal ini
disebabkan karena klorokuin sangat mudah didapat dengan biaya yang amat terjangkau
sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah Indonesia dalam hal eradikasi penyakit malaria.
Sebagai DMARD, klorokuin memiliki beberapa keterbatasan. Banyak diantara para
ahli yang ber-pendapat bahwa khasiat dan efektivitas klorokuin agaknya lebih rendah
dibandingkan dengan DMARD lainnya, walaupun toksisitasnya juga lebih rendah
dibandingkan dari DMARD lainnya. Dari pengalaman penggunaan klorokuin di Indonesia
diketahui bahwa sebagian penderita akan menghentikan penggunaan klorokuin pada suatu
saat karena merasa bahwa obat ini kurang bermanfaat bagi penyakitnya.
Toksisitas klorokuin sebenarnya tidak perlu terlalu dikhawatirkan. Klorokuin dapat
digunakan dengan aman jika dilakukan pemantauan yang baik selama penggunaannya dalam
jangka waktu yang panjang. Efek samping pada mata, sebenarnya hanya terjadi pada
sebagian kecil penderita saja. Mackenzie and Scherbel, pada penelitiannya telah dapat
menunjukkan bahwa toksisitas klorokuin pada retina hanya bergantung pada dosis harian saja
dan bukan dosis kumulatifnya. Dosis antimalaria yang dianjurkan untuk pengobatan AR
adalah klorokuin fosfat 250 mg/hari atau hidroksiklorokuin 400 mg/hari. Pada dosis ini
jarang sekali terjadi komplikasi penurunan ketajaman penglihatan. Efek samping lain yang
mungkin dijumpai pada penggunaan antimalaria adalah dermatitis makulopapular, nausea,
diare dan anemia hemolitik. Walaupun sangat jarang dapat pula terjadi diskrasia darah atau
neuromiopati pada beberapa penderita.
Sulfazalazine
Sulfasalazine (SASP,salicyl-azo-sulfapyridine) diperkenalkan untuk pertama kalinya
oleh Nana Svartz di Swedia pada sekitar tahun 1930. Pada mulanya obat ini digunakan untuk
mengobati artritis inflamatif yang diduga disebabkan karena infeksi, akan tetapi setelah
digunakan beberapa waktu, perhatian terhadap obat ini menurun akibat dipublikasikannya
laporan Sinclair dan Duthie mengenai pengaruh yang kurang baik pada penggunaan obat ini
di Inggris. Obat ini kemudian kembali menjadi populer setelah di publikasikannya laporan
McConkey, Bird dan kawan kawan yang meneliti kembali khasiat SASP pada penderita AR
dengan metodologi penelitian yang lebih baik.
Untuk pengobatan AR sulfasalazine dalam bentuk enteric coated tablet digunakan
mulai dari dosis 1 x 500 mg / hari, untuk kemudian ditingkatkan 500 mg setiap minggu
sampai mencapai dosis 4 x 500 mg. Setelah remisi tercapai dengan dosis 2 g / hari, dosis
diturunkan kembali sehingga mencapai 1 g /hari untuk digunakan dalam jangka panjang
sampai remisi sempurna terjadi. Jika sulfasalazine tidak menunjukkan khasiat yang di
kehendaki dalam 3 bulan, obat ini dapat dihentikan dan digantikan dengan DMARD lain atau
tetap digunakan dalam bentuk kombinasi dengan DMARD lainnya.
Kurang lebih 20% penderita AR menghentikan pengobatan SASP karena mengalami
nausea, mun-tah atau dispepsia. Gangguan susunan syaraf pusat seperti pusing atau
iritabilitas dapat pula dijumpai. Neutropenia, agranulositosis dan pansitopenia yang reversibel
telah pernah dilaporkan terjadi pada penderita yang mendapatkan SASP. Ruam kulit terjadi
kurang lebih pada 1% sampai 5% dari penderita yang menggunakan SASP. Penurunan
jumlah sel spermatozoa yang reversibel juga pernah dilaporkan walaupun belum pernah
dilaporkan adanya pening-katan abnormalitas foetus.
D-penicillamine
D-penicillamine (DP) mulai meluas penggunaannya sejak tahun tujuhpuluhan.
Walaupun demikian, karena obat ini bekerja sangat lambat, saat ini DP kurang disukai lagi
untuk digunakan dalam pengobatan AR. Umumnya diperlukan waktu pengobatan kurang
lebih satu tahun untuk dapat mencapai keadaan remisi yang adekwat, dan rentang waktu ini
dianggap terlalu lama bagi sebagian besar penderita AR.


Dalam pengobatan AR, DP (Cuprimin 250 mg atau Trolovol 300 mg) digunakan
dalam dosis 1 x 250 sampai 300 mg/hari kemudian dosis ditingkatkan setiap dua sampai 4
minggu sebesar 250 sampai 300 mg/hari untuk mencapai dosis total 4 x 250 sampai 300
mg/hari.
Efek samping DP antara lain adalah ruam kulit urtikarial atau morbilformis akibat
reaksi alergi, stomatitis dan pemfigus. DP juga dapat menyebabkan trombositopenia,
lekopenia dan agranulositosis. Pada ginjal DP dapat menyebabkan timbulnya proteinuria
ringan yang reversible sampai pada suatu sindroma nefrotik. Efek samping lain yang juga
dapat timbul adalah lupus like syndrome, polimiositis, neuritis, miastenia gravis, gangguan
mengecap, nausea, muntah, kolestasis intrahepatik dan alopesia.
Garam emas
Auro Sodium Thiomalate (AST) intramuskular telah dianggap sebagai suatu gold
standard bagi DMARD sejak 20 tahun terakhir ini. Khasiat obat ini tidak diragukan lagi,
walaupun penggunaan obat ini seringkali menyertakan efek samping dari yang ringan sampai
yang cukup berat.
AST (Tauredon ampul 10, 20 dan 50 mg) diberikan secara intramuskular yang
dimulai dengan dosis percobaan pertama sebesar 10 mg, disusul dengan dosis percobaan
kedua sebesar 20 mg setelah 1 minggu kemudian. Setelah 1 minggu, dosis penuh diberikan
sebesar 50 mg / minggu selama 20 minggu. Jika respons penderita belum memuaskan setelah
20 minggu, pengobatan dapat dilanjutkan dengan pemberian dosis tambahan sebesar 50 mg
setiap 2 minggu sampai 3 bulan. Kalau masih diperlukan AST kemudian dapat diberikan
dalam dosis sebesar 50 mg setiap 3 minggu sampai keadaan remisi yang memuaskan dapat
tercapai.
Efek samping AST antara lain adalah pruritus, stomatitis, proteinuria, trombositopenia
dan aplasia sumsum tulang. Efek samping AST agaknya terjadi lebih sering pada pengemban
HLA- DR3A. Jika timbul efek samping yang ringan, dosis AST dapat dikurangi atau
dihentikan untuk sementara. Jika gejala efek samping tersebut menghilang, AST kemudian
dapat diberikan lagi dalam dosis yang lebih rendah.
Ridaura (auranofin tablet 3 mg) adalah preparat garam emas oral telah dikenal sejak
awal dekade yang lalu dan dianggap sebagai DMARD yang berlainan sifatnya dari AST.
Walaupun obat ini terbukti berkhasiat dalam pengobatan AR, lebih mudah digunakan serta
tidak memerlukan pemantauan yang ketat seperti AST, banyak para ahli yang berpendapat
bahwa khasiat auranofin tidaklah lebih baik dibandingkan dengan AST.
1

Auranofin sangat berguna bagi penderita AR yang menunjukkan efek samping
terhadap AST. Auranofin diberikan dalam dosis 2 x 3 mg sehari. Efek samping proteinuria
dan trombositopenia lebih jarang dijumpai dibandingkan dari penggunaan AST. Pada awal
penggunaan auranofin, banyak penderita yang mengalami diare, yang dapat diatasi dengan
menurun- kan dosis pemeliharaan yang digunakan.
Methotrexate
Methotrexate (MTX) adalah suatu sitostatika golongan antagonis asam folat yang
banyak digunakan sejak 15 tahun yang lalu. Obat ini sangat mudah digunakan dan rentang
waktu yang dibutuhkan untuk dapat mulai bekerja relatif lebih pendek (3 - 4 bulan) jika
dibandingkan dengan DMARD yang lain. Dalam pengobatan penyakit keganasan, MTX
bekerja dengan menghambat sintesis thymidine sehingga menyebab-kan hambatan pada
sintesis DNA dan proliferasi selular. Apakah mekanisme ini juga bekerja dalam
penggunaannya sebagai DMARD belum diketahui dengan pasti.
Pemberian MTX umumnya dimulai dalam dosis 7.5 mg (5 mg untuk orang tua) setiap
minggu. Walaupun dosis efektif MTX sangat bervariasi, sebagian besar penderita sudah akan
merasakan manfaatnya dalam 2 sampai 4 bulan setelah pengobatan. Jika tidak terjadi
kemajuan dalam 3 sampai 4 bulan maka dosis MTX harus segera ditingkatkan.
Efek samping MTX dalam dosis rendah seperti yang digunakan dalam pengobatan
AR umumnya jarang dijumpai akan tetapi juga dapat timbul berupa kerentanan terhadap
infeksi, nausea, vomitus, diare, stomatitis, intoleransi gastrointestinal, gangguan fungsi hati,
alopesia, aspermia atau leukopenia. Efek samping ini biasanya dapat diatasi dengan
mengurangi dosis atau menghentikan pemberian MTX. Kelainan hati dapat dicegah dengan
tidak menggunakan MTX pada penderita AR yang obese, diabetik, peminum alkohol atau
penderita yang sebelumnya telah memiliki kelainan hati.
Pada penderita AR yang menunjukkan respons yang baik terhadap MTX, pemberian
asam folinat (Leucovorin) dapat mengurangi beratnya efek samping yang terjadi. Leucovorin
diberikan dalam dosis 6 sampai 15 mg/m
2
luas permukaan badan setiap 6 jam selama 72 jam
jika terdapat efek samping MTX yang dapat membahayakan penderita.

Walaupun
penggunaan MTX memberikan harapan yang baik dalam pengobatan AR, akan tetapi seperti
halnya penggunaan sitostatika lain, MTX sebaiknya hanya diberikan kepada penderita AR
yang progresif dan gagal di kontrol dengan DMARD standard lainnya.
Cyclosporin - A
Cyclosporin - A (CS-A), adalah suatu undeca-peptida siklik yang di isolasi dari jamur
Tolypocladium inflatum Gams pada tahun 1972. Dalam dosis rendah, CS-A telah terbukti
khasiatnya sebagai DMARD dalam mengobati penderita AR. Pengobatan dengan CS-A
terbukti dapat menghambat progresivitas erosi dan kerusakan sendi. Kendala utama
penggunaan obat ini adalah sifat nefrotoksik yang sangat bergantung pada dosis yang
digunakan. Gangguan fungsi ginjal ini dapat menyebabkan terjadinya peningkatan kadar
kreatinin serum atau hipertensi. Efek samping lain CS-A adalah gangguan fungsi hati,
hipertrofi gingiva, hipertrikosis, rasa terbakar pada ekstremitas dan perasaan lelah.
Dosis awal CS-A yang lazim digunakan untuk pengobatan AR adalah 2,5
mg/KgBB/hari yang diberikan terbagi dalam 2 dosis setiap 12 jam. Dosis dapat ditingkatkan
sebesar 25% dosis awal setelah 6 minggu hingga mencapai 4 mg/KgBB/hari sehingga
sehingga tercapai kadar CS-A serum sebesar 74 - 150 ng/ml atau jika kadar kreatinin serum
meningkat mencapai lebih dari 50% nilai basal. Dosis peme-liharaan rata rata berkisar antara
4 mg/KgBB/hari. Dalam dosis tersebut ternyata terjadi perbaikan yang bermakna dalam
beberapa outcome yang diukur.
Bridging Therapy dalam Pengobatan AR
Bridging therapy adalah pemberian glukokortikoid dalam dosis rendah (setara dengan
prednison 5 sampai 7,5 mg/hari) sebagai dosis tunggal pada pagi hari. Walaupun pemberian
glukokortikoid dosis rendah tidak menimbulkan perubahan yang bermakna kadar dan irama
kortisol plasma atau growth hormone, pemberian glukokortikoid dosis rendah ini akan sangat
berguna untuk mengurangi keluhan penderita sebelum DMARD yang diberikan dapat
bekerja.
Pengobatan AR Eksperimental
Selain dari cara pengobatan di atas, terdapat pula beberapa cara lain yang dapat
dipakai untuk mengobati penderita AR, akan tetapi karena belum dilakukan uji klinik
mengenai khasiat dan efektivitas dari modalitas tersebut, cara pengobatan tersebut masih
bersifat eksperimental dan belum digunakan secara luas dalam pengobatan AR. Pengobatan
eksperimental AR ini antara lain meliputi penggunaan plasmaferesis, thalidomide, J-
interferon, inhibitor IL-1 dan antibodi monoclonal.

Peranan Dietetik dalam Pengobatan AR
AR adalah suatu penyakit inflamasi sistemik kronik dan bukan suatu penyakit metabolik.
Walaupun beberapa jenis modifikasi dietetik, antara lain yang terakhir berupa suplementasi
asam lemak omega 3 seperti asam eikosapentanoat pernah dicoba dalam beberapa penelitian,
ternyata hasilnya tidak begitu meyakinkan. Dengan demikian hingga saat ini sebagian besar
para ahli berpendapat bahwa selain untuk mencapai berat badan ideal, agaknya modifikasi
dietetik saat ini belum jelas kegunaannya dalam merubah riwayat alamiah penyakit ini

BAB IV
MONITORING DAN EVALUASI

3.1 Monitoring
Pemantauan dimaksudkan untuk mensinkronkan kembali keseluruhan proses
kegiatan agar sesuai dengan rencana yang ditetapkan dengan perbaikan segera agar dapat
dicegah kemungkinan adanya penyimpangan ataupun ketidaksesuaian yang berpotensi
mengurangi bahkan menimbulkan kegagalan pencapaian tujuan dan sasaran. Untuk itu,
pemantauan diarahkan guna mengidentifikasi kualitas kegiatan, permasalahan yang terjadi
serta dampak yang ditimbulkannya.
Pemantauan keberhasilan setiap kegiatan program manajemen kasus reumatoid
ertritis di puskesmas dilakukan dengan teknik monitoring bulanan. Monitoring bulanan ini
dilakukan untuk mengetahui apakah kegiatan program promotif, preventif, kuratif dan
rehabilitatif yang dilaksanakan pada bulan tertentu di puskesmas telah sesuai dengan yang
diharapkan atau belum. Bila hasilnya belum sesuai dengan harapan, maka akan dicari
penyebabnya untuk kemudian dilakukan intervensi.
Beberapa contoh program monitoring sebagai berikut:
1. Program monitoring promotif dan preventif:
Adanya perwakilan dari puskesmas (supervisi) yang memantau kegiatan
penyuluhan dilapangan
Dibentuknya suatu kelompok kerja yang fokus kepada program promotif,
yang bekerja melihat kebutuhan pengetahuan yang harus ditingkatkan
ditiap wilayah, menyusun jadwal penyuluhan rutin dan yang memfokuskan
pada media promosi kesehatan dengan media cetak.

2. Program monitoring kuratif:
Pembentukan tim supervisi yang memantau program kuratif kasus
reumatoid artritis, evaluasi SDM dan memberikan diklat sebagai
penyegaran pengetahuan dan ketrampilan, melakukan pencatatan laporan
untuk melihat jumlah pasien reumatoid artritis apakah mengalami
peningkatan atau penurunan sebagai indikator keberhasilan program.

3. Program monitoring rehabilitatif:
Monitoring apakah petugas kesehatan memberi edukasi setelah pengobatan
dan kunjungan ke rumah pasien untuk memantau apakah pasien mengikuti
anjuran dokter.

3.2 Evaluasi
Penilaian ini bertujuan untuk menilai keberhasilan penyelenggaraan program
kegiatan manajemen kasus reumatoid artritis di puskesmas. Penilaian dimaksudkan untuk
memberikan bobot atau nilai terhadap hasil yang dicapai dalam seluruh tahap kegiatan, untuk
proses pengambilan keputusan apakah suatu program atau kegiatan diteruskan, dikurangi,
dikembangkan atau diperkuat. Untuk itu penilaian diarahkan guna mengkaji efektifiktas dan
efisensi pengelolaan program. Penilaian kinerja program manajemen kasus reumatoid artritis
dilaksanakan berdasarkan indikator kinerja yang telah ditetapkan dalam pencapaian sasaran.
Indikator yang di nilai adalah sebagai berikut:
1. Tingkat pengetahuan , perilaku dan sikap masyarakat terhadap penyakit reumatoid
artritis
2. Faktor penyebab reumatoid artritis di lingkungan
3. Jumlah SDM petugas kesehatan (dokter,bidan,perawat, kesmas) dan kader kesehatan
yang terampil dalam hal promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif di bidang
kesehatan khususnya penyakit reumatoid artritis
4. Kualitas hidup penderita reumatoid artritis
Beberapa contoh program monitoring sebagai berikut:
1. Promotif dan preventif:
Dengan melakukan pre test dan post test saat penyuluhan untuk menilai
apakah terjadi peningkatan pengetahuan pada masyarakat. Indikator
keberhasilan program adalah didapatkan peningkatan pengetahuan > 50 %.
Dengan melakukan peninjauan langsung ke rumah warga untuk menilai
keadaan lingkungan masyarakat. Hal ini dilakukan untuk menilai apakah
masyarakat melakukan anjuran-anjuran yang diberikan pada saat
penyuluhan. Indikatornya adalah kondisi lingkungan yang semakin bersih
dan hiegine perorangan yang semakin lebih baik.

2. Kuratif dan rehabilitatif
Indikator yang digunakan adalah data kasus reumatoid artritis apakah
mengalami peningkatan atau penurunan dilihat dari angka kesakitan, kasus baru dan
kasus lama (apakah pasien yang sebelumnya datang ke puskesmas dengan
konjungtivitis, datang lagi atau tidak denganpenyakit yang sama). Hal ini sebagai
indikator keberhasilan program.
















BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Kasus artritis reumatoid sering terjadi dikalangan masyarakat. Penatalaksanaan kasus
artritis reumatoid tidak lah sulit namun perlu manajemen yang baik untuk mengatasinya, jika
tidak angka kesakitan artritis reumatoid akan tetap tinggi. Program kegiatan manajemen
kasus artritis reumatoid berupa promosi kesehatan dengan penyuluhan, preventif dengan
kesehatan lingkungan, kuratif dengan penemuan kasus dan penatalaksanaan, rehabilitatif
dengan sosialisasi dan edukasi. Diharapkan melalui program-program ini dan dengan
manajemen kasus yang baikdapat menurunkan angka kesakitan karena artritis reumatoid.

5.2 Saran
1. Untuk Penulis Selanjutnya
Untuk penulis selanjutnya diharapkan dapat melanjutkan kegiatan program
manajemen kasus artritis reumatoid dengan lebih baik lagi dan juga diharapkan membuat
lebih banyak lagi program kegiatan yang inovatif guna perbaikan status kesehatan
masyarakat dan supaya dapat memberikan kontribusi yang baik bagi pembangunan kesehatan
khususnya untuk menurunkan angka kesakitan karena artritis reumatoid.
2. Kepada Petugas Kesehatan :
a. Melakukan penyuluhan dan sosialisasi kepada masyarakat yang pengetahuannya
masih kurang tentang artritis reumatoid.
b. Meninjau secara langsung keadaan masyarakat sekitar tentang pola hidup sehat
sehingga dapat terhindar dari penyakit artritis reumatoid.
c. Menguasai materi tentang artritis reumatoid agar bisa membagikan pengetahuan itu
kepada masyarakat luas .


Daftar Pustaka

1. Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 5. Jilid III.
Jakarta : EGC, 2007. Hal 2495-2502
2. Rheumatoid Arthritis Medicines: A Guide for Adults, Available at :
http://www.effectivehealthcare.ahrq.gov/repfiles/rheumarthritisconsumerguide_Single
page.pdf
3. Rheumatoid artrhitis. 2009 Available at : http://www.nice.org.uk/guidance/cg79
4. Tingkat Pengetahuan Lansia Tentang Penyakit Reumatoid Artritis. 2009. Diunduh
dari : http://perpus.fkik.uinjkt.ac.id/file_digital/SKRIPSI.pdf.
5. Media Informasi Peresepan Rasional Bagi Tenaga Kesehatan Indonesia. Volume 9,
2011. Di unduh dari : piolk.ubaya.ac.id/img/layanan/24_20110728104725.pdf
6. Budiman, Suyono. Kesehatan Lingkungan. 2012. Diunduh dari : http://e-
journal.kopertis4.or.id/file.php?file=karyailmiah&id=742.
7. Konsep terkait menua. Diunduh dari :
www.library.upnvj.ac.id/pdf/2s1keperawatan/205312026/bab2.pdf
8. Hartati A.S. pemeriksaan rheumatoid faktor pada penderita tersangka rheumatoid
arthritis. Di unduh dari :
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=119655&val=5479

Vous aimerez peut-être aussi