Isu dan kebijakan terkait Pembangunan Pedesaan dan Pertanian
Disusun Oleh : Junaidi,S.Pd : 130820201001
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU EKONOMI JURUSAN ILMU EKONOMI UNIVERSITAS JEMBER 2014 BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Kajian tentang pembangunan pedesaan tidak terlepas dengan sector pertanian disuatu daerah. Keduanya saling terintegrasi dan saling memengaruhi. Seiring dengan waktu muncullah isu-isu yang terkait dengan alih fungsi lahan sehingga secara langsung menjalar terhadap isu ketahanan pangan yang terjadi dibeberapa wilayah khususnya didaerah perdesaan. Desa merupakan wilayah yang berbeda dengan Kota. Desa dengan luas pertaniannya merupakan jantung pertahanan bagi ketahanan pangan saat ini. Selain itu juga, pertanian adalah sektor utama penyedia bahan pangan. Seperti kita ketahui bersama Indonesia merupakan salah satu Negara agraris sehingga tidak heran kalau mata pencaharian sebagian besar masyarakatnya sebagai petani. Masalah pertanian adalah masalah mendasar di Indonesia. Padahal pertanian menjadi tumpuan pembangunan bangsa karena paling banyak tenaga kerja dan kelompok miskinnya. Menurut Gunnar Myrdal dalam sektor pertanianlah ditentukan berhasil atau tidaknya upaya-upaya pembangunan ekonomi jangka panjang. Menurut francis Blancard beban utama pembangunan dan penciptaan lapangan pekerjaan pada akhirnya akan dianggung oleh sektor perekonomian yang bertumpu pada kegiatan-kegiatan pertanian, yakni sektor pedesaan. Dan dalam penelitian menyebutkan bahwa lebih dari dua pertiga penduduk termiskin di dunia menetap di wilayah pedesaan yang penghidupan bersumber dari pola pertanian subsisten. Dapat disimpulkan bahwa faktor pertanian merupakan salah satu pendukung majunya suatu perekonomian bangsa maupun daerah, di mana pertanian tersebut terletak dalam wilayah pedesaan. Peran pertanian dinilai strategis sebagai penggerak ekonomi pedesaan, sehingga kinerjanya perlu terus ditingkatkan.
BAB II PEMBAHASAN
Di era modernisasi ini isu-isu terkait dengan pembangunan mulai terasa komplit, mulai dari isu-isu sosio-ekonomi, politik, hubungan domistik, dan lain sebagainya. Isu-isu yang tak kalah gencar-gencarnya dan sudah tidak asing lagi dimata publik yaitu terkait dengan pembangunan pedesaan dan pertanian. Desa merupakan tempat yang paling banyak digunakan untuk lahan pertanian dan ternak oleh para petani, sehingga outputnya bisa dimanfaatkan untuk pemenuhan bahan pakan (konsumsi) maupun input dari sector industry. Pembangunan di desa-desa yang telah berlangsung selama ini merupakan sebagaian dari tuntutan dari perubahan zaman modernisasi, pembangunan mulai yang tampak oleh kasat mata yaitu dari pembangunan perumahan maupun infrastruktur jalan dan bangunan industry, telah membuat suasana pembangunan di desa-desa berubah derastis jika dibandingkan pada sebelum dan sesudah masa orde lama dan orde baru. Begitupun juga dengan jumlah masyarakat yang semakin lama akan semakin bertambah. Menurut BPS jumlah penduduk pada tahun sekarang sudah mencapai lebih dari 230 juta jiwa, 82 persen tenaga kerja berada di pertanian, 62 persen kemiskinan yang ada terkait pertanian, 42 persen total pengangguran terbuka ada di pertanian. Padahal, pertanian itu menyangkut hidup dan mati manusia,". Sehingga jumlah untuk memenuhi kebutuhan panganpun menjadi semakin meningkat. sementara permasalahannya adalah dominannya laju pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat daripada laju output pertanian. sihingga pada beberapa dasawarsa yang lalu muncul isu tentang revitalisasi pertanian dan pembangunan pertanian guna mewujudkan ketahanan pangan dan pengentasan kemiskinan. Badan Pusat Statistik (BPS) telah melansir data pertumbuhan ekonomi tahun lalu. Kendati belum bisa menyebutkan kaitan satu persen pertumbuhan dengan pembukaan lapangan kerja, dari data teranyar itu justru bisa dipetakan tingkat pengangguran banyak dari sektor pertanian. Deputi Bidang Neraca dan Analisis Statistik BPS Suhariyanto menyatakan, pemetaan per sektor menunjukkan bahwa pertanian cuma tumbuh 3,54 persen. Di bawah Produk Domestik Bruto (PDB) nasional yang mencapai 5,78 persen. Sedangkan jika ditelusuri penduduk miskin kemungkinan di pertanian. Sektor pertanian menyerap 38 juta pekerja, tapi pertumbuhannya tahun lalu relatif di bawah ekonomi nasional. 2.1 Pembangunan Pedesaan dan Pertanian 2.1.1. Isu Pembangunan Pedesaan Berbicara tentang pembangunan desa, selama ini sebagian diantara kita terlalu terpaku pada pembangunan berskala besar (atau proyek pembangunan) di wilayah pedesaan. Padahal pembangunan desa yang sesungguhnya tidaklah terbatas pada pembangunan berskala proyek saja, akan tetapi pembangunan dalam lingkup atau cakupan yang lebih luas. Walaupun upaya pembangunan perdesaan telah dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat melalui berbagai kebijakan dan program-program yang telah ditetapkan. Upaya- upaya itu telah menghasilkan berbagai kemajuan yang dirasakan oleh sebagian masyarakat perdesaan. Namun, masih banyak wilayah perdesaan yang belum berkembang secepat wilayah lainnya. Pembangunan perdesaan merupakan bagian yang penting dari pembangunan nasional, mengingat kawasan perdesaan yang masih dominan (82% wilayah Indonesia adalah perdesaan) dan sekitar 50% penduduk Indonesia masih tinggal di kawasan perdesaan. Pembangunan perdesaan bersifat multi dimensional dan multisektor. Oleh karena itu, diperlukan keterpaduan dan keterkaitan dalam pelaksanaannya. Dalam rangka melakukan percepatan pembangunan perdesaan, telah dan akan terus dilakukan berbagai program dan kegiatan yang terkait dengan 1). Peningkatan kesejahteraan, 2).Pengurangan kemiskinan, 3).Peningkatan kualitas sumber daya manusia dan 4).Pelibatan masyarakat dalam proses pengelolaan pembangunan perdesaan. Perlu disadari bahwa hakikat pembangunan daerah yang komprehensif adalah meletakkan fondasi atau penopang yang kokoh pada pembangunan di wilayah perdesaan. Ketersediaan dan akses pemanfaatan terhadap sarana prasarana perdesaan yang masih terbatas dan ditambah dengan masih rendahnya kualitas tingkat pelayanan yang dapat dinikmati seperti jalan, irigasi, listrik, air minum, telematika, fasilitas pendidikan, kesehatan, serta pasar merupakan kendala bagi percepatan pembangunan perdesaan terutama untuk pengembangan ekonomi masyarakat perdesaan, pengembangan sarana prasarana produksi hasil-hasil perdesaan serta peningkatan kualitas sumber daya manusia perdesaan. Terkait dengan pembangunan desa (rural development), secara tradisional Mosher (1969:91) menyebutkan bahwa pembangunan desa mempunyai tujuan untuk pertumbuhan sektor pertanian, dan integrasi Nasional, yaitu membawa seluruh penduduk suatu negara ke dalam pola utama kehidupan yang sesuai, serta menciptakan keadilan ekonomi berupa bagaimana pendapatan itu didistribusikan kepada seluruh penduduk, Dengan demikian, pembangunan desa diarahkan untuk menghilangkan atau mengurangi berbagai hambatan dalam kehidupan sosial ekonomi, seperti kurang pengetahuan dan keterampilan, kurang kesempatan kerja, dan sebagainya. Akibat berbagai hambatan tersebut, penduduk wilayah pedesaan umumnya miskin (Jayadinata & Pramandika, 2006: 1), Sasaran dari program pembangunan pedesaan adalah meningkatkan kehidupan sosial dan kehidupan ekonomi masyarakat desa, sehingga mereka memperoleh tingkat kepuasan dalam pemenuhan kebutuhan material dan spiritual. Sesungguhnya, ada atau tidak ada bantuan pemerintah terhadap desa, denyut nadi kehidupan dan proses pembangunan di desa tetap berjalan. Masyarakat desa memiliki kemandirian yang cukup tinggi dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, mengembangkan potensi diri dan keluarganya, serta membangun sarana dan prasarana di desa. Namun demikian, tanpa perhatian dan bantuan serta stimulan dari pihak-pihak luar desa dan pemerintah proses pembangunan di desa berjalan dalam kecepatan yang relatif rendah. Kondisi ini yang menyebabkan pembangunan di desa terkesan lamban dan cenderung terbelakang. Jika melihat fenomena pembangunan masyarakat desa pada masa lalu, terutama di era orde baru, pembangunan desa merupakan cara dan pendekatan pembangunan yang diprogramkan negara secara sentralistik. Dimana pembangunan desa dilakukan oleh pemerintah baik dengan kemampuan sendiri (dalam negeri) maupun dengan dukungan negara-negara maju dan organisasi- organisasi internasional. Pembangunan desa pada era orde baru dikenal dengan sebutan Pembangunan Masyarakat Desa (PMD), dan Pembangunan Desa (Bangdes). Kemudian di era reformasi peristilahan terkait pembangunan desa lebih menonjol Pemberdayaan Masyarakat Desa (PMD). Dibalik semua itu, persoalan peristilahan tidaklah penting, yang terpenting adalah substansinya terkait pembangunan desa. Pada masa orde baru secara substansial pembangunan desa cenderung dilakukan secara seragam (penyeragaman) oleh pemerintah pusat. Program pembangunan desa lebih bersifat top-down. Pada era reformasi secara substansial pembangunan desa lebih cenderung diserahkan kepada desa itu sendiri. Sedangkan pemerintah dan pemerintah daerah cenderung mengambil posisi dan peran sebagai fasilitator, memberi bantuan dana, pembinaan dan pengawasan. Program pembangunan desa lebih bersifat bottom-up atau kombinasi buttom-up dan top-down. Top-down Planning. Perencanaan pembangunan yang lebih merupakan inisiatif pemerintah (pusat atau daerah). Pelaksanaannya dapat dilakukan oleh pemerintah atau dapat melibatkan masyarakat desa di dalamnya. Namun demikian, orientasi pembangunan tersebut tetap untuk masyarakat desa. Bottom-up Planning. Perencanaan pembangunan dengan menggali potensi riil keinginan atau kebutuhan masyarakat desa. Dimana masyarakat desa diberi kesempatan dan keleluasan untuk membuat perencanaan pembangunan atau merencanakan sendiri apa yang mereka butuhkan. Masyarakat desa dianggap lebih tahu apa yang mereka butuhkan. Pemerintah memfasilitasi dan mendorong agar masyarakat desa dapat memberikan partisipasi aktifnya dalam pembangunan desa. Kombinasi Bottom-up dan Top-dowm Planning. Pemerintah (pusat atau daerah) bersama-sama dengan masyarakat desa membuat perencanaan pembangunan desa. Ini dilakukan karena masyarakat masih memiliki berbagai keterbatasan dalam menyusun suatu perencanaan dan melaksanakan pembangunan yang baik dan komprehensif. Pelaksanaan pembangunan dengan melibatkan dan menuntut peran serta aktif masyarakat desa dan pemerintah. Dalam menyusun perencanaan pembangunan desa yang harus diperhatikan adalah harus bertolak dari kondisi existing desa tersebut. Esensi dari pembangunan desa adalah bagaimana desa dapat membangun/memanfaatkan/ mengeksploitasi dengan tepat (optimal, efektif dan efisien) segala potensi dan sumber daya yang dimiliki desa untuk memberikan rasa aman, nyaman, tertib serta dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa. Terkait dengan perencanaan pembangunan, setidaknya terdapat beberapa isu yang menjadi target pembangunan seperti : 1. Keterbelakangan perekonomian di pedesaan Jika di daerah perkotaan geliat perekonomian begitu fenomenal dan pantastis. Sebaliknya, hal yang berbeda terjadi di daerah pedesaan, dimana geliat perekonomian berjalan lamban dan hampir tidak menggairahkan. Roda perekonomian di daerah pedesaan didominasi oleh aktivitas produksi. Aktivitas produksi yang relatif kurang beragam dan cenderung monoton pada sektor pertanian (dalam arti luas : perkebunan, perikanan, petanian tanaman pangan dan hortikultura, peternakan, kehutanan, dan produk turunannya). Kalaupun ada aktivitas di luar sektor pertanian jumlah dan ragamnya masih relatif sangat terbatas. Meskipun penduduk di daerah pedesaan mayoritas bermatapencaharian sebagai petani, namun tidak semua petani di daerah pedesaan memiliki lahan pertanian yang memadai. Banyak diantara mereka memiliki lahan pertanian kurang dari 0,5 hektar, yang disebut dengan istilah petani gurem. Lebih ironis lagi, sebagian dari penduduk di daerah pedesaan yang malah tidak memiliki lahan pertanian garapan sendiri. Mereka berstatus sebagai petani penyewa, penggarap atau sebagai buruh tani. Kondisi tersebut berpengaruh terhadap hidup dan penghidupan keluarga petani di daerah pedesaan. Perekonomian masyarakat di daerah pedesaan yang kurang menguntungkan ini mendorong penduduk daerah pedesaan untuk pindah dari daerah pedesaan ke daerah perkotaan. Keluarga petani terdorong untuk mencari sumber penghidupan yang lain di luar desanya. Daerah yang banyak menjadi tujuan mereka adalah daerah perkotaan. Mereka nekad keluar dari desanya untuk mencari pekerjaan dan mengadu nasib di daerah perkotaan. Meskipun di daerah perkotaan mereka belum tentu memperoleh pekerjaan yang lebih baik. 2. Minimnya sarana dan prasarana di pedesaan Salah satu keterbelakangan yang dialami daerah pedesaan di Indonesia dapat dilihat dari aspek pembangunan sarana dan prasarana. Beberapa sarana dan prasarana pokok dan penting di daerah pedesaan, antara lain : 1).Prasarana dan sarana transportasi. 2). Prasarana dan sarana pendidikan yang kurang memadai. 3. Terbatasnya lapangan pekerjaan di pedesaan 2.1.2. Isu Pembangunan Pertanian Sebutan negara swasembada pangan dulu sempat disematkan pada Indonesia. Julukan ini semakin memudar seiring menurunnya produksi pertanian karena rendahnya minat masyarakat pada sektor ini. Rendahnya produksi sektor pertanian membuat Indonesia mulai rajin melakukan impor komoditi pangan. Impor pangan Indonesia juga tidak bisa terbilang kecil di tengah kebutuhan penduduk yang besar. Pada 2011 saja, total beras impor yang masuk ke Indonesia mencapai 2,5 juta ton dengan nilai USD 1,3 miliar atau setara Rp 11,7 triliun. Beras-beras impor itu berasal dari Vietnam, Thailand bahkan dari China. Dilihat dari luas wilayahnya, Indonesia tentu tidak bisa dibandingkan dengan Vietnam atau Thailand. Namun, dua negara tersebut mampu memaksimalkan luas wilayahnya untuk memproduksi pertanian khususnya beras dan mendatangkan keuntungan dari kinerja ekspornya. Komitmen mengupayakan bahan pangan dari produksi dalam negeri atau swasembada pangan diakui bukan persoalan mudah. Meskipun kita ketahui bersama bahwa peran penting sektor pertanian diantaranya: 1).Sebagai penyerap tenaga kerja, 2).Penyumbang Produk Domestik Regional Bruto, 3).Sumber devisa, 4).Bahan baku industri, 5).Sumber bahan pangan dan gizi, serta 6).Pendorong bergeraknya sektor-sektor ekonomi lainya. Susilo Bambang Yudhoyono selaku (Presiden RI) mengakui, masalah kebijakan pangan nasional tidak pernah tuntas dilakukan. Kondisi ini diperparah dengan adanya fluktuasi harga dan kenaikan yang tidak wajar di pasar domestik maupun internasional. Sedangkan dalam Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 2002 konsep ketahanan pangan didefinisikan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah ataupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Namun Pada kenyataannya, upaya untuk meningkatkan kesejahteraan petani belum secara maksimal terwujud sampai saat ini sektor pertanian masih menghadapi banyak permasalahan. Kebijakan pemerintah daerah yang kurang berpihak pada sektor pertanian menjadi kendala dalam perkembangan sektor pertanian. Pemerintah daerah lebih memperhatikan sektor industri karena sektor industri selama ini diklaim memberikan pendapatan yang tinggi kepada daerah. Investor juga lebih tertarik menanamkan modalnya pada sektor industri dibanding sektor pertanian. Ini semakin menambah deretan permasalahan pembangunan sektor pertanian Permasalahan-Permasalahan Dalam Pembangunan Pertanian Sebagai komponen dalam pembangunan dan penopang seluruh kehidupan masyarakat, sektor pertanian sering dihadapkan pada berbagai permasalahan untuk berswasembada diantaranya yaitu : 1. Penurunan kualitas dan kuantitas sumber daya lahan pertanian. Dari segi kualitas, faktanya lahan dan pertanian kita sudah mengalami degradasi yang luar biasa, dari sisi kesuburannya akibat dari pemakaian pupuk an- organik. Berdasarkan Data Katalog BPS, Juli 2012, Angka Tetap (ATAP) tahun 2011, untuk produksi komoditi padi mengalami penurunan produksi Gabah Kering Giling (GKG) hanya mencapai 65,76 juta ton dan lebih rendah 1,07 persen dibandingkan tahun 2010. Jagung sekitar 17,64 juta ton pipilan kering atau 5,99 persen lebih rendah tahun 2010, dan kedelai sebesar 851,29 ribu ton biji kering atau 4,08 persen lebih rendah dibandingkan 2010, sedangkan kebutuhan pangan selalu meningkat seiring pertambahan jumlah penduduk Indonesia. 2. Penguasaan dan akses teknologi pertanian lemah. Tingkat pendidikan petani yang sebagian besar masih rendah menyebabkan sistem alih teknologi lemah dan penerapan teknologi kurang tepat sasaran. Akses informasi teknologi yang mendukung pembangunan pertanian diperdesaan cenderung lebih sulit didapatkan, sehingga menyebabkan pembangunan pertanian menjadi terhambat. Dalam hal ini peran kelembagaan sangatlah penting, baik dalam inovasi alat dan mesin pertanian yang memenuhi kebutuhan petani maupun dalam pemberdayaan masyarakat. Lembaga-lembaga ini juga dibutuhkan untuk menilai respon sosial, ekonomi masyarakat terhadap inovasi teknologi, dan melakukan penyesuaian dalam pengambilan kebijakan mekanisasi pertanian 3. Infrastruktur pertanian terbatas dan terabaikan. Masalah yang paling krusial dan sampai saat ini belum teratasi dengan bijaksana yaitu pengembangan infrastruktur pertanian seperti balai karantina, laboratorium uji mutu, transportasi, unit pengolahan dan pemasaran masih terbatas akibatnya usaha pertanian kurang berkembang. infrastruktur penunjang pertanian yang juga penting namun minim ialah pembangunan dan pengembangan waduk. Pasalnya, dari total areal sawah di Indonesia sebesar 7.230.183 ha, sumber airnya 11 persen (797.971 ha) berasal dari waduk, sementara 89 persen (6.432.212 ha) berasal dari non-waduk. Karena itu, revitalisasi waduk sesungguhnya harus menjadi prioritas karena tidak hanya untuk mengatasi kekeringan, tetapi juga untuk menambah layanan irigasi. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan, 42 waduk saat ini dalam kondisi waspada akibat berkurangnya pasokan air selama kemarau. Sepuluh waduk telah kering, sementara 19 waduk masih berstatus normal. Selain itu masih rendahnya kesadaran dari para pemangku kepentingan di daerah-daerah untuk mempertahankan lahan pertanian produksi, menjadi salah satu penyebab infrastruktur pertanian menjadi buruk. 4. Kelembagaan pertanian belum berfungsi secara maksimal. Kelembagaan petani di tingkat desa sebagian besar merupakan kelembagaan informal dimana sistem organisasi, manajemen, maupun administrasi kelembagaannya belum dapat berfungsi secara maksimal. Lembaga petani yang dapat menjadi alat untuk meningkatkan skala usaha untuk memperkuat posisi tawar petani sudah banyak yang tidak berfungsi. 5. Munculnya fenomena aging farmer, Tenaga kerja pertanian didominasi oleh tenaga kerja tua sedangkan tenaga kerja muda dan berpendidikan semakin enggan bekerja di sektor pertanian. Generasi muda yang diharapkan sebagai penerus, lebih tertarik dibidang selain pertanian sehingga menjadi kendala dalam perkembangan sektor pertanian. 6. Lemahnya akses permodalan. Kemampuan petani untuk membiayai usaha taninya sangat terbatas sehingga produktivitas yang dicapai masih di bawah produktivitas potensial. Mengingat keterbatasan petani dalam permodalan tersebut dan rendahnya aksesibilitas terhadap sumber permodalan formal, maka Akibatnya sebagian besar petani lebih akrab dengan sumber-sumber pembiayaan informal (pedagang input/output, tengkulak, dan kelompok) karena sumber-sumber ini sangat mengerti kondisi dan kebutuhan petani. Sebenarnya, pemerintah telah menyediakan anggaran sampai 20 Triliun untuk bisa diserap melalui tim Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan Bank BRI khusus Kredit Bidang Pangan dan Energi. 7. Ketersediaan dan pemanfaatan lahan pertanian belum optimal. Tingginya alih fungsi atau konversi lahan pertanian ke non pertanian akibat kebijakan sekarang sedang menjadi fenomena yang terjadi di hampir seluruh wilayah. Berkurangnya luasan lahan yang digunakan untuk kegiatan pertanian secara signifikan dapat mengganggu stabilitas kemandirian, ketahanan dan kedaulatan pangan baik lokal maupun nasional. Disamping itu, produktivitas lahan menurun akibat intensifikasi berlebihan dan penggunaan pupuk kimia secara terus menerus serta masih banyak lahan tidur yang belum dimanfaatkan. 8. Masih panjangnya mata rantai tata niaga pertanian, Sehingga menyebabkan petani tidak dapat menikmati harga yang lebih baik, karena pedagang telah mengambil untung terlalu besar dari hasil penjualan. 9. Kenaikan harga BBM Sektor pertanian akan turut terkena dampak kenaikan harga BBM, khususnya solar yang banyak digunakan untuk mesin giling, traktor, dan truk untuk distribusi hasil panen. Terlepas dari masalah-masalah tersebut, tentu saja sektor pertanian masih saja menjadi tumpuan harapan, tidak hanya dalam upaya menjaga ketahanan pangan nasional tetapi juga dalam penyediaan lapangan kerja, sumber pendapatan masyarakat dan penyumbang devisa bagi negara. Untuk masa mendatang, ketahanan pangan merupakan salah satu pilar dan tujuan utama Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK), khususnya dalam revitalisasi pertanian, menghadapi empat ancaman utama, yaitu : 1) stagnasi dan pelandaian produktivitas akibat kendala teknologi dan input produksi, 2) instabilitas produksi akibat serangan hama-penyakit dan cekaman iklim, 3) penurunan produktivitas akibat degradasi sumber daya lahan dan air serta penurunan kualitas lingkungan, dan 4) penciutan lahan, khususnya lahan sawah beririgasi akibat dikonversi menjadi lahan nonpertanian.
2.2. Analisis SWOT Analisis SWOT adalah sebuah metode prosedur analisis kondisi yang mengklarifikasi kondisi objek dalam empat kategori. Strength (Kekuatan), Weakness (Kelemahan) adalah factor Internal. sedangkan Opportunity (Faktor Pendukung) and Threat (Faktor Penghambat/Ancaman) adalah factor Eksternal.
FAKTOR-FAKTOR STRATEGI INTERNAL Kekuatan/Strength Kelemahan/Weakness 1. Keanekaragaman Hayati dan Agroekosistem 2. Teknologi pertanian sudah banyak dikembangkan oleh peneliti di Indonesia 3. Lokasi geografis yang strategis. 4. Sektor pertanian menyumbang kontribusi yang besar dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia 1. Ketersediaan infrastruktur, sarana prasarana, lahan, dan air masih kurang 2. Status dan luas kepemilikan lahan (9,55 juta Kepala Keluarga yang memiliki lahan < 0.5Ha) 3. Keterbatasan akses petani terhadap permodalan dan masih tingginya suku bunga usaha tani 4. Lemahnya kapasitas dan kelembagaan petani dan penyuluh 5. Masih rawannya ketahanan pangan dan ketahanan energy 6. Rendahnya nilai tukar petani (NTP) 7. Kurang optimalnya kinerja dan pelayanan birokrasi pertanian. 8. Masih panjangnya mata rantai tata niaga pertanian. FAKTOR-FAKTOR STRATEGI EKSTERNAL Peluang/Opportunities Ancaman/Threats 1. Lahan pertanian Indonesia memiliki potensi ketersediaan lahan yang cukup besar dan belum dimanfaatkan secara optimal. 2. Potensi kuantitas Tenaga Kerja Pertanian dan etos kerja keras 3. Pertumbuhan Jumlah dan Daya Beli Penduduk serta Pasar 4. Banyaknya sarjana-sarjana di bidang pertanian dan agrobisnis 1. Meningkatnya Kerusakan Lingkungan dan Perubahan Iklim Global 2. Membanjirnya produk-produk pertanian impor ke pasar Indonesia dengan harga lebih murah dan kualitas yang bersaing 3. Kurangnya benih dan bibit dengan kualitas yang bagus 4. Belum berjalannya diversifikasi pangan dengan baik 5. Belum padunya antar sektor dalam menunjang pembangunan pertanian
Berikut adalah program dan kebijakan langsung dari Kementerian Pertanian yang dikelompokkan kedalam rumusan alternatif Strategi SO, WO, ST, dan WT yang hasil analisisnya dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
INTERNAL
EKSTERNAL STRENGTH (S) 1. Keanekaragaman Hayati dan Agroekosistem 2. Teknologi pertanian sudah banyak dikembangkan oleh peneliti di Indonesia 3. Lokasi geografis yang strategis untuk pengembangan pertanian. 4. Sektor pertanian menyumbang kontribusi yang besar dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia WEAKNESS (W) 1. Ketersediaan infrastruktur, sarana prasarana, lahan, dan air masih kurang 2. Status dan luas kepemilikan lahan (9,55 juta Kepala Keluarga yang memiliki lahan < 0.5 Ha) 3. Keterbatasan akses petani terhadap permodalan dan masih tingginya suku bunga usaha tani 4. Lemahnya kapasitas dan kelembagaan petani dan penyuluh 5. Masih rawannya ketahanan pangan dan ketahanan energy 6. Rendahnya nilai tukar petani 7. Kurang optimalnya kinerja dan pelayanan birokrasi pertanian. 8. Masih panjangnya mata rantai tata niaga pertanian OPPORTUNITY (O) 1. Lahan pertanian Indonesia memiliki potensi ketersediaan lahan yang cukup besar dan belum dimanfaatkan secara optimal. 2. Tenaga Kerja Pertanian Tingginya jumlah penduduk yang sebagian besar berada di pedesaan dan memiliki kultur budaya kerja keras merupakan potensi tenaga kerja pertanian. 3. Pertumbuhan Jumlah dan Daya Beli Penduduk serta Pasar Jumlah penduduk Indonesia yang sangat besar merupakan pasar dalam negeri yang potensial bagi produk- produk pertanian yang dihasilkan petani. Strategi SO 1. Revitalisasi Teknologi dan Industri Hilir (S2, O3) 2. Mencanangkan pertanian sebagai pioritas nasional (S4, O1,O3) 3. Revitalisasi Lahan (S3,O1) Strategi WO 1. Revitalisasi Lahan (W2 W1, O1) 2. Revitalisasi Teknologi dan Industri Hilir (W8, O3) 3. Perbaikan Citra Petani dan Pertanian agar Kembali Diminati Generasi Penerus (W6, O2) 4. Sistem Penyuluhan Pertanian yang Efektif (W4, O4) 5. Revitalisasi Pembiayaan Petani (W3, O2) 6. Revitalisasi Kelembagaan Petani (W4, O2) 7. Revitalisasi Sumberdaya Manusia (W7, O4) 8. Revitalisasi Infrastruktur dan Sarana (W1, O3) 4. Banyaknya sarjana- sarjana di bidang pertanian dan agrobisnis THREAD (T) 1. Meningkatnya Kerusakan Lingkungan dan Perubahan Iklim Global 2. Membanjirnya produk- produk pertanian impor ke pasar Indonesia dengan harga lebih murah dan kualitas yang bersaing 3. Kurangnya benih dan bibit dengan kualitas yang bagus 4. Belum berjalannya diversifikasi pangan dengan baik
Strategi ST 1. Revitalisasi Perbenihan dan Perbibitan (S1, T3) 2. Kebijakan impor sebagai upaya pelindung pertanian dalam negeri (S4, T2) 3. Program diversifikasi pangan yang berkesinambungan (S1, T4) Strategi WT 1. Swasembada yang berkesinambungan (W5, T2) 2. Peningkatan Produktivitas, Mutu dan Nilai Tambah Produk Pertanian di Beberapa Sentra Produksi (W5, T2) 3. Menciptakan Sistem Pertanian yang Ramah Lingkungan (W5,T1)
3.1.Kesimpulan Mewujudkan ketahanan pangan bagi negara berkembang seperti Indonesia bukanlah hal yang sederhana. Pada satu sisi, kebutuhan pangan daerah terus meningkat sejalan dengan pertumbuhan penduduk. Sementara di sisi lain, laju pertumbuhan produksi pangan relatif lebih lambat dari pertumbuhan permintaannya. Keberhasilan pencapaian ketahanan pangan dan kedaulatan pangan memerlukan komitmen semua stakeholders. Pemerintah daerah dan masyarakat menjadi unsur utama strategi peningkatan dan pemantapan ketahanan pangan rumah tangga dan wilayah. Sementara itu pemerintah (pusat dan daerah) lebih berperan sebagai fasilitator dan menciptakan kondisi yang kondusif bagi masyarakat dan swasta untuk berpartisipasi dalam pembangunan ketahanan pangan. Salah satu bentuk partisipasi masyarakat dalam pembangunan ketahanan pangan tersebut adalah melalui pemberdayaan kelembagaan lokal seperti lumbung desa dan peningkatan peran masyarakat dalam penyediaan pangan. Dari kesemuanya itu, revitalisasi pertanian berkelanjutan adalah faktor kunci yang perlu diberikan perhatian dan menjadi komitmen kita melaksanakannya dengan penuh tanggungjawab. 3.2.Saran a. Pelibatan petani dalam penentuan kebijakan pertanian b. Koordniasi dengan lembaga pemberi kredit dalam hal program pembiayaan c. Membentuk kerjasama yang menarik dengan universitas dan lembaga pendidikan untuk memenuhi sumber daya penunjang petanian terutama penyuluh dan peneliti d. Penyediaan lahan pengganti akibat alih fungsi lahan untuk menjaga ketahan pangan.
DAFTAR PUSTAKA
Arsyad, L.1999. Ekonomi Pembangunan. Yogyakarta : STIE YKPN Jim Ife dalam Zubaedi. 2007. Wacana Pembangunan Alternatif, Ragam Perspektif Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat, Yogyakarta : Ar-Ruzz Media