Vous êtes sur la page 1sur 51

1

PENDAHULUAN

Diabetes Melitus merupakan masalah kesehatan utama di masyarakat
pada abad ke-21 ini. Prevalensi dari diabetes tipe 1 meningkat perlahan
sementara diabetes tipe 2 meningkat secara besar-besaran. Berubahnya pola
hidup, masa harapan hidup yang lebih lama, dan bertambahnya pertumbuhan
etnis dan populasi ras yang memiliki tingkat prevalensi diabetes tipe 2,
sepertinya akan melipat-gandakan prevalensi dari diabetes tipe 2 di dunia
sampai tahun 2020.
Berdasarkan dari penyebabnya, beberapa faktor yang menyebabkan
keadaan hiperglikemia adalah berkurangnya sekresi insulin, menurunnya
penggunaan dari glukosa, dan meningkatnya produksi dari glukosa. Di
Amerika Serikat, DM merupakan penyebab dari penyakit ginjal terminal,
amputasi non-traumatik dari ekstremitas bawah,dan kebutaan pada orang
dewasa.Dengan meningkatnya angka kejadian dari DM maka, DM dapat
menjadi penyebab utama mobiditas dan mortalitas di masa yang akan datang.
Meningkatnya prevalensi diabetes melitus di beberapa negara
berkembang, akibat peningkatan kemakmuran di negara bersangkutan, akhir-
akhir ini banyak disoroti. Peningkatan pendapat per kapita dan perubahan
gaya hidup terutama di kota-kota besar, menyebabkan peningkatan
prevalensi penyakit generatif, seperti penyakit jantung koroner (PJK),
hipertensi, hiperlipidemia, diabetes dan lain-lain. Tetapi data epidemiologi di
negara berkembang memang masih belum banyak. Hal ini disebabkan
penelitian epidemiologik yang sangat mahal biayanya. Oleh karena itu, angka
prevalensi yang dapat ditelusuri terutama berasal dari negara maju.
Dibetes melitus adalah penyakit menahun yang akan diderita seumur
hidup, sehingga yang berperan dalam pengelolaanya tidak hanya dokter,
perawat dan ahli gizi, tetapi lebih penting lagi keikut-sertaan pasien sendiri
dan keluarganya. Edukasi kepada pasien dan keluarganya akan sengat
membantu meningkatkan keikut-sertaan mereka dalam usaha memperbaiki
hasil pengelolaan DM.
2
KLASIFIKASI

DM diklasifikasikan berdasarkan dari patogenesis dasar yang menyebabkan
keadaan hiperglikemia (gambar 1). DM secara umum dibagi menjadi 2
kategori yaitu DM tipe 1 dan tipe 2 (tabel 1). Pada DM tipe 1A terjadi destruksi
dari sel beta secara autoimun, yang menyebabkan defisiensi insulin. DM tipe
1B juga terkarakteristik oleh defisiensi insulin dan bertendensi menimbulkan
ketosis. Bagaimana pun juga pada penderita DM tipe 1B tidak ditemukan
marker imunologis sebagai tanda terjadinya destruksi dari sel beta.
Mekanisme terjadinya destruksi dari sel beta pada penderita- penderita
tersebut belum diketahui. Secara relatif penderita DM tipe 1 tergolong dalam
tipe 1B, yaitu kategori yang idiopatik; kebanyakan dri penderita ini berasal dari
Amerika-Afrika atau keturunan Asia.



Gambar 1. Spektrum dari hemostasis glukosa dan diabetes. Spektrum dari
toleransi glukosa yang normal menjadi diabetes type 1, diabetes tipe 2,
diabetes tipe lain, dan diabetes gestasional terlihat dari kiri ke kanan.
Kebanyakan tipe dari diabetes, penderita mengalami perubahan dari toleransi
glukosa yang normal menjadi toleransi glukosa terganggu menjadi diabetes
yang sebenarnya. Anak panah menunjukan secara arah bolak-balik
perubahan toleransi glukosa pada beberapa tipe dari diabetes. Contohnya,
penderita DM tipe 2 dapat kembali berubah dari tipe 2 menjadi toleransi
3
glukosa terganggu dengan berkurangnya berat badan, pada diabetes
gestasional, diabetes juga dapat berubah menjadi toleransi glukosa
terganggu atau bahkan toleransi glukosa normal setelah persalinan. Glukosa
darah puasa (GDP) dan glukosa darah 2 jam post prondial, setelah
pemberian glukosa pada setiap kategori tolerasi glukosa, terlihat pada bagian
bawah gambar. Nilai-nilai tersebut tidak digunakkan untuk mendiagnosa
diabetes gestasional.beberapa tipe dari diabetes dapat perlu atau tidak perlu
insulin. (diambil dari American Diabetes Association, 2004)

Pada DM tipe 2 yang terjadi adalah adanya resistensi insulin,
gangguan sekresi dari insulin, dan peningkatan produksi dari insulin. DM tipe
2 didahului oleh suatu gangguan homeostasis glukosa sebelumnya yaitu
terdiri dari yang dikenal dengan Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT/
Impaired Fasting Glucose/ IFT) dan Toleransi Glukosa Terganggu (TGT/
Impaired Glucose Tolerance/ IGT).2
Berdasarakan patofisiologi dan etiologinya maka DM diklasifikasikan
berdasarkan tabel 1. Walaupun semua bentuk dari DM menunjukan keadaan
hiperglikemia, namun mekanisme patologis terjadinya hiperglikemia berbeda-
beda. Beberapa bentuk dari DM terkarakteristik oleh defisiensi insulin yang
absolut, atau defek genetik yang menyebabkan sekresi insulin yang defektif,
dan beberapa bentuk lain dari DM yang terjadi adalah resisitensi dari insulin.
Klasifikasi dari DM saat ini berbeda dengan klasifikasi sebelumnya.
Klasifikasi yang terdahulu dibagi menjadi dua bentuk yaitu insulin-dependent
diabetes mellitus (IDDM) dan noninsulin-dependent diabetes mellitus
(NIDDM). Maka sebenarnya terdapat perbedaan anatara klasifikasi yang
sekarang dan dulu. Perbedaan yang pertama yaitu, pada DM tipe 1 (dahulu
IDDM) mutlak membutuhkan insulin dalam pengobatannya, sdangkan pada
DM tipe 2 (dahulu NIDDM) tidak membutuhkan insulin scara mutlak untuk
mencegah terjadinya ketoasidosis. Namun karena penderita DM tipe 2
sebenarnya juga membutuhkan insulin untuk mengontrol kadar gula galam
darahnya maka pernyataan diatas sepantasnya mengundang suatu
kebingungan. Perbedaan yang kedua yaitu, usia tidak lagi menjadi patokan
atau dasar pengelompokan/ klasifikasi saat ini. Walaupun DM tipe 1 sering
terjadi pada usia kurang dari 30 tahun, namun proses dari destrukksi dari sel
4
beta dapat terjadi kapan saja pada setiap umur. Malahan diperkirakan bahwa
5 dan 10% penderita yang mendapatkan DM setelah usia 30 tahun
merupakan DM tipe 1A. Sebaliknya, walaupun DM tipe 2 secara tipikal terjadi
seiring dengan bertambahnya usia, namun tipe ini juga terjadi pada anak-
anak, khususnya pada remaja dengan obesitas.
.
Tipe lain dari DM
Beberapa etiologi dari DM yaitu termasuk defek genetik yang spesifik
dalam sekresi tau kerja dari insulin, gangguan metabolik yang menyebabkan
gangguan dari sekresi insulin, abnoramlitas dari mitokondria dan kondisi-
kondisi yang menyebabkan gangguan dari toleransi glukosa. Maturity onset
diabetes of the young (MODY) adalah subtipe dari DM yang terkarakteristik
oleh kelainan bawaan secara autosomal dominan, early onset hyperglicemia ,
dan gangguan dari sekresi insulin. Mutasi dari reseptor insulin mengakibatkan
beberapa gangguan yang terkarakteristik dalam resistensi insulin berat. DM
dapat muncul sebagai akibat dari gangguan eksokrin dari pankreas yaitu bila
sel-sel islets pankreas (>80%) rusak. Hormon yang bekerja sebagai antagonis
dari insulin dapat meyebabkan DM. DM sering secara klinis menunjukan
adanya endokrinopati, seperti akromegali, Cushings disease. Infeksi viral
dihubungkan dengan kerusakan sel islet di pankreas, namun merupakan
penyebab DM yang jarang. Rubela kongenital yang sangat besar
mengakibatkan peningkatan resiko dari DM, namun kebanyakan dari
penderita ini juga memiliki marker imunologik yang menandai adanya
destruksi dari sel beta secara otoimun.

Diabetes melitus gestasional
Intoleransi glukosa dapat terjadi selama kehamilan. Resistensi insulin
yang dihubungkan dengan perubahan metabolik pada kehamilan tua,
meningkatkan kebutuhan insulin dan dapat menyebabkan toleransi glukosa
terganggu (TGT). DMG muncul pada hampir 4% kehamilan di Amerika
Serikat, kebanyakan wanita menunjukkan toleransi glukosa yang normal
paost partum namun memiliki resiko yang cukup tinggi (30 sampai 60%) untuk
mengalami DM dikemudian hari kehidupannya.
5
Diabetes melitus gestasional adalah diabetes yang timbul selama
kehamilan. Ini meliputi 2-5% daripada seluruh diabetes. Jenis ini sangat
penting diketahui karena dampaknya pada janin kurang baik bila tidak
ditangani dengan benar.

EPIDEMIOLOGI

Prevalensi DM di dunia telah meningkat secara dramatis dalam dua dekade
terakhir ini. Begitu pula terjadi peningkatan dari GDPT. Walaupun prevalensi
dari kedua tipe DM, tipe 1 dan 2, sama-sama meningkat namun tampaknya
DM tipe 2 akan lebih lagi meningakat pada masa yang akan datang
bersamaan dengan bertambahnya kasus obesitas dan berkurangnya tingkat
aktivitas. Prevalensi antara wanita dan laki-laki sama namun pada usia > 60
tahun, laki laki prevalensinya lebih besar.

DIAGNOSIS

Cara utama mencegah terjadinya komplikasi dari diabetes adalah
diagnosis awal (early diagnosis). Hal ini penting diketahui untuk DM tipe 2
atau DM tipe 1 late-onset autoimmun, karena gangguan-gangguan ini muncul
dalam keadaan tanpa gejala (asimptomatik) yang berlangsung selama 5-10
tahun. Diabetes melitus adalah gangguan metabolik yang terkarakteristik
dalam keadaan hiperglikemia yang dapat menyebabkan terjadinya gangguan
mikrovaskular yang kronik, neuropathy, dan atau gangguan makrovaskular.
Retinopati dianggap sebagai komplikasi primer karena sangat berhubungan
dengan diabetes, mudah untuk dihitung, dan merupakan komplikasi kronik
yang paling sering muncul. Beberapa studi telah menunjukan bahwa kadar
glukosa darah 200mg/dl setelah 2 jam pemberian glukosa dalam 5-10 tahun
akan menderita retinopati diabetes. Pada tatuh 1997, nilai ini berkaitan
dengan kadar GDPT 140 mg/dl. Namun nilai tersebut saat ini terbukti salah.
Studi terbaru menunjukan GDPT antara 120 dan 130 mg/dl dan dihubungkan
dengan terjadinya retinopati diabetik. Data-data tersebut diatas telah
membawa kepada suatu kriteria diagnostik diabetes yang terbaru (tabel 2).
6
The National Diabetes Data Group and World Health Organization
telah menetapkan kriteria diagnostik untuk DM (tabel 2) yaitu berdasarkan:
(1) Spektrum dari GDP dan respon terhadap glukosa oral bervariasi pada
individu yang normal
(2) DM ditentukan berdasarkan kadar glukosa dalam darah dimana komplikasi
spesifik diabetes muncul dibanding dengan berdasarkan deviasi rata-rata
populasi. Contohnya; prevalensi dari retinopati pada Native America (populasi
Pima India) yang mulai meningkat pada saat GDP >116 mg/dl.
Toleransi glukosa diklasifikasikan menjadi tiga kategori berdasarkan
kadar gula darah puasa (GDP); (1). GDP < 100 mg/dl adalah normal (2). GDP
100 mg/dl namun < 126 mg/dl adalah GDPT dan (3). GDP 126 mg/dl
adalah diabetes melitus. GDPT dibandingkan dengan TGT dimana kadar
glukosa darah antara 140-200 mg/dl 2 jam setelah pemberian glukosa oral 75
mg. Individu dengan GDPT dan TGT memiliki resiko tinggi untuk mengalami
DM tipe 2 (40% muncul setelah 5 tahun) dan penyakit kardiovaskular. Kriteria
diagnostik DM yang telah diperbaharui menyatakan bahwa GDP merupakan
tes yang cocok digunakan untuk mendiagnosis penderita DM yang tidak
bergejala. Kadar glukosa darah 200 mg/dl ditambah dengan adanya gejala
klasik dari DM (poliuri, polidipsi, penurunan berat badan) mampu atau cukup
dapat mendiagnosis DM (tabel 2). Tes toleransi glukosa oral, walaupun masih
merupakan cara yang valid untuk mendiagnosis DM, namun tidak dianjurkan
menjadi bagian dari pemeriksaan rutin. Beberapa penemu menyatakan
bahwa haemoglobin A1c dapat digunakan untuk mendiagnosis DM.
Walaupun terdapat korelasi yang kuat anatar peningkatan kadar glukosa
darah dengan HbA1c, hubungan antara GDP dan A1c pada individu dengan
toleransi glukosa yang normal atau toleransi glukosa yang sedang masih
kurang jelas, karena itu A1c sampai sekarang belum dipakai untuk
mendiagnosa DM.
Kriteria diagnosis DM yang terbaru tidak membuat atau memunculkan
penderita DM yang baru namun membuat diagnosa DM lebih mudah
dilakukan pada penderita yang belum terdiagnosa melalui kadar GDP
daripada tes glukosa oral. Contonya; prevalensi total DM di Amerika serikat
(dewasa) pada usia 40-47 tahun adalah 14,26%. Penderita DM yang belum
terdiagnosa dapat terdeteksi dari gula darah 2 jam setelah pemberian (GD 2
7
jam Post Prondial), glukosa darah 200 mg/dl, adalah sebesar 6,34%. Dan
hampir dua per tiga dari mereka (4,35%) terdeteksi melalui kadar GDP 126
mg/dl. Hanya 1/3 dari mereka (2,35%) terdeteksi melalui kadar GDP 140
mg/dl.

Tabel 2

Tabel Klasifikasi Etiologis Diabetes Melitus

I. Diabetes Melitus Tipe 1
Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut
a. Melalui proses imunologik
b. Idiopatik

II. Diabetes Melitus Tipe 2
Bervariasi mulai yang predominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin
relatif sampai yang predominan gangguan sekresi insulin bersama resistensi
insulin

III. Diabetes Melitus Tipe Lain
a. Defek genetik fungsi sel beta : kromosom 12, HNF-1alfa (dahulu
MODY 3)
kromosom 7, glukokinase (dahulu MODY
2)
kromosom 20, HNF-4alfa (dahulu MODY
1)
DNA Mitochondria
b. Defek genetik kerja insulin
c. Penyakit Eksokrin Pankreas : Pankreatitis
Trauma / pankreatektomi
Neoplasma
Cystic fibrosis
Hemochromatosis
8
Pankreatopati fibro kalkulus
d. Endokrinopati : Akromegali
Sindroma cushing
Feokromositoma
Hipertiroidisme
e. Karena Obat / Zat Kimia : Vacor, pentamidin, asam nikotinat,
glukokortikoid, hormon tiroid, tiazid,
dilantin, interferon alfa
f. Infeksi : rubella kongetinal dan CMV
g. Imunologi (jarang) : antibodi anti reseptor insulin
h. Sindroma genetik lain : Sindrom Down, Klinefelter, Turner,
Huntington Chorea, Sindrom Prader Willi

IV. Diabetes Melitus Gestasional (Kehamilan)

(ADA 2004)


Diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah dan
tidak dapat ditegakkan hanya atas dasar adanya glukosuria saja. Dalam
menentukan diagnosis DM harus diperhatikan asal bahan darah yang diambil
dan cara pemeriksaan yang dipakai. Untuk diagnosis DM, pemeriksaan yang
dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik dengan
bahan darah plasma vena. Untuk memastikan diagnosis DM, pemeriksaan
glukosa darah seyogyanya dilakukan di laboratorium klinik yang terpercaya
(yang melakukan program pemantauan kendali mutu secara teratur).
Walaupun demikian sesuai dengan kondisi setempat dapat juga dipakai
bahan darah utuh (whole blood), vena ataupun kapiler dengan
memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai
pembakuan oleh WHO. Untuk pemantauan hasil pengobatan dapat diperiksa
glukosa darah kapiler.

9
Pemeriksaan penyaring
Ada perbedaan antara uji diagnostik DM dan pemeriksaan penyaring. Uji
diagnostik dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala/tanda DM,
sedangkan pemeriksaan penyaring bertujuan untuk mengidentifikasi mereka
yang tidak bergejala, yang mempunyai resiko DM. Serangkain uji diagnostik
akan dilakukan kemudian pada mereka yang hasil pemeriksaan penyaringnya
positif, untuk memastikan diagnostik definitif.

Pemeriksaan penyaring dikerjakan pada kelompok dengan salah satu resiko
DM sbb:
1. Usia > 45 tahun
2. Berat badan lebih: BBR > 110% BB idaman atau IMT > 23 kg/m
2

3. Hipertensi ( 140/90 mmHg)
4. Riwayat DM dalam garis keturunan
5. Riwayat abortus berulang, melahirkan bayi cacat atau BB lahir bayi >
4000 gram
6. Kolesterol HDL 35 mg/dl dan atau trigliserida 250 mg/dl

Untuk kelompok resiko tinggi yang hasil pemeriksaan penyaringnya negatif,
pemeriksaan penyaring ulangan dilakukan tiap tahun; sedangkan bagi
mereka yang berusia > 45 tahun tanpa faktor resiko, pemeriksaan penyaring
dapat dilakukan setiap 3 tahun.
Pemeriksaan penyaring yang khusus ditujukan untuk DM pada penduduk
umumnya (mass screening) tidak dianjurkan karena disamping biayanya
mahal, rencana tindak lanjut bagi mereka yang positif belum ada. Bagi
mereka yang mendapat kesempatan untuk pemeriksaan penyaring bersama
penyakit lain (general check-up) adanya pemeriksaan penyaring untuk DM
dalam rangkaian pemeriksaan tersebut sangat dianjurkan.

Pemeriksaan penyaring berguna untuk menjaring pasien DM, TGT dan
GDPT, sehingga dapat ditentukan langkah yang tepat untuk mereka. Pasien
dengan TGT dan GDPT merupakan tahapan sementara menuju DM.
Sweetelah 5-10 tahun kemudian 1/3 kelompok TGT akan berkembang
10
menjadi DM, 1/3 tetap TGT dan 1/3 lainnya kembali normal. Adanya TGT
sering berkaitan dengan resistensi insulin. Pada kelompok TGT ini resiko
terjadinya aterosklerosis lebih tinggi dibandingkan kelompok normal. TGT
sering berkaitan dengan penyakit kardiovaskular, hipertensi dan dislipidemia.
Peran aktif para pengelola kesehatan sangat diperlukan agar deteksi DM
dapat ditegakkan sedini mungkin dan pencegahan primer dan sekunder dapat
segera diterapkan.
Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa
darah sewaktu atau kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti
dengan tes toleransi glukosa oral (TTGO) standar.

Tabel Kadar glukosa darah sewaktu & puasa sebagai patokan penyaring dan
diagnosis DM (mg/dl)

Bukan
Dm
Belum pasti
DM
DM
Kadar glukosa darah
sewaktu (mg/dl)
Plasma
Vena
< 110 110 199 200
Darah
Kapiler
< 90 90 199 200
Kadar glukosa darah puasa
(mg/dl)
Plasma
Vena
< 110 110 125 126
Darah
Kapiler
< 90 90 109 110

Langkah-langkah untuk menegakkan diagnosis DM dan gangguan
toleransi glukosa
Diagnosis klinis DM umumnya akan dipikirkan bila ada keluhan khas DM
berupa poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan yang tidak
dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain yang mungkin dikemukakan pasien
adalah lemah, kesemutan, gatal, mata kabur dan disfungsi ereksi pada pria,
serta pruritus vulvae pada wanita. Jika keluhan khas, pemeriksaan glukosa
darah sewaktu 200 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM.
11
Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah puasa 126 mg/dl juga digunakan
untuk patokan diagnosis DM.
Untuk kelompok tanpa keluhan khas DM, hasil pemeriksaan glukosa darah
yang baru satu kali saja abnormal, belum cukup kuat untuk menegakkan
diagnosis DM. Diperlukan pemastian lebih lanjut dengan mendapat sekali lagi
angka abnormal, baik kadar glukosa darah puasa 126 mg/dl, kadar glukosa
darah sewaktu 200 mg/dl pada hari yang lain, atau dari hasil tes toleransi
glukosa oral (TTGO) didapatkan kadar glukosa darah pasca pembebanan
200 mg/dl.

Cara pelaksanaan TTGO (WHO, 1994)
o 3 (tiga ) hari sebelum pemeriksaan makan seperti biasa (karbohidrat
cukup)
o Kegiatan jasmani seperti yang biasa dilakukan
o Puasa paling sedikit 8 jam mulai malam hari sebelum pemeriksaan
minum, minum air putih diperbolehkan.
o Diperiksa kadar glukosa darah puasa
o Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa), atau 1,75 gram/kg BB
(anak-anak), dilarutkan dalam air 250 ml dan diminum dalam waktu 5
menit.
o Diperiksa kadar glukosa darah 2 (dua) jam sesudah beban glukosa.
o Selama proses pemeriksaan subyek yang diperiksa tetap istirahat dan
tidak merokok

Kriteria diagnostik DM* dan gangguan toleransi glukosa
1. Kadar glukosa darah sewaktu (plasma vena) sewaktu 200 mg/dl
atau
2. Kadar glukosa darah sewaktu (plasma vena) sewaktu 126 mg/dl
atau
3. Kadar glukosa plasma 200 mg/dl pada 2 jam sesudah beban glukosa
75 gram pada TTGO

12
* Kriteria diagnostik tersebut harus dikonfirmasi ulang pada hari yang lain,
kecuali untuk keadaan khas hiperglikemia dengan dekompensasi metabolik
berat, seperti ketoasidosis, gejala klasik: poliuri, polidipsi, polifagi dan berat
badan menurun cepat.
*** Cara diagnosis dengan kriteria ini tidak dipakai rutin di klinik. Untuk
penelitian epidemiologis pada penduduk dianjurkan memakai kriteria
diagnostik kadar glukosa darah puasa dan 2 jam pasce pembebanan. Untuk
DM gestasional juga dianjurkan kriteria diagnostik yang sama.


PATOGENESIS

DM tipe 1
Muncul sebagai hasil dari kerja yang sinergis dari faktor genetic, lingkungan
dan faktor imunologis yang akhirnya akan merusak sel beta pankreas. Individu
yang secara genetik memiliki sel beta yang normal pada saat lahir, namun
akan kehilangan sel-sel beta sekunder karena destruksi secara autoimun yang
dapat muncul setelah beberapa bulan sampai tahun. Proses autoimun ini
dianggap dicetuskan oleh stimulus yang infeksius/lingkungan dan memiliki
molekul spesifik.
Pada sebagian besar individu, marker imunologis muncul setelah dipicu oleh
suatu kondisi namun sebelum DM secara klinis telah muncul sel-sel beta
kemudian mulai dan sekresi insulin secara progresif mulai rusak, walaupun
toleransi glukosa ditangani tingkat penurunan dari sel beta bervariasi pada
setiap individu. Sebagian ada yang secara cepat menjadi penderita DM
namun sebagian ada pula yang berjalan lebih lambat.
Secara klinis DM tidak terlihat bila sel-sel beta telah rusak sebagian besar
(80%). Ini berarti bahwa fungsi dari sel-sel beta yang sisa masih ada, namun
tidak mampu mengontrol toleransi glukosa. Peristiwa yang memicu terjadinya
diabetes sering diasosiasikan dengan kebutuhan insulin yang meningkat,
yang muncul pada saat infeksi atau pubertas. Setelah gejala awal dari DM
tipe, fase Honeymoon dapat muncul selama kadar gula dalam darah
terkontrol dan dalam dosis insulin yang rendah atau jarang sekali saat insulin
negatif dibutuhkan.
13
Namun fase dimana insulin endogen ini masih diproduksi oleh sel-sel beta
yang tersisa akan menghilang seiring proses kerusakan dari sel-sel beta
tersebut dan individu ini akan benar-benar mengalami defisiensi insulin.



14


DM tipe 2
Keadaan resistensi insulin dan sekresi insulin yang abnormal merupakan
penyebab utama dari DM tipe 2. Walaupun masih kontroversional keadaan
mana yang lebih awal muncul namun resistensi insulin akan menyebabkan
defeksekresi dari insulin yang kemudian diabetes akan timbul apabila sekresi
insulin tidak adekuat.
DM tipe 2 terkarakteristik oleh 3 patofisiologi; Sekresi insulin yang abnormal,
resistensi insulin perifer dan produksi glukosa oleh hepar yang berlebihan.
Obesitas, baik viseral atau sentral (berdasarkan rasio hip-waist) sangat
umum pada DM tipe 2. Sel adiposa mensekresi sejumlah produk (leptin, TNF-
, Free fatty acids, resilin dan adinopecilin) yang memodulasi sekresi insulin,
kerja dari insulin dan berat badan dan berkontribusi terjadinya resistensi
insulin. Pada stadium awal dari gangguan ini, toleransi glukosa masih tetap
normal, resistensi insulin karena pada saat ini sel beta berkompensasi
dengan menambah pengeluaran insulin.
15
Saat resistensi insulin dan hiperinsulinemia kompensasi terjadi sel-sel
tangerhans (islet) pada beberapa individu tidak dapat menghadapi keadaan
hiperinsulinemia tersebut. Toleransi glukosa terganggu yang terkarakteristik
oleh elevasi, setelah pemberian glukosa (fost prondial) kemudian muncul.
Penurunan yang lebih jauh dari sekresi insulin dan penambahan dari produksi
insulin oleh hepar dapat menyebabkan diabetes dengan hiperglikemi pada
saat puasa. Dan pada akhirnya, kegagalan dari sel sel beta muncul marker
dari inflamasi sperti IL-6 dan protein (reactive sering meningkat pada DM tipe
2).

Insulin Resisten
Penurunan kemampuan dari insulin untuk bekerja secara efektif di target
organ perifer (khususnya otot dan hati) adalah kondisi yang utama pada DM
tipe 2 dan muncul dari kombinasi F genetic dan obesitas. Resistensi insulin
adalah relatif, karena kadar supernormal dari insulin dalam darah akan
menormalkan glukosa darah.
Resistensi insulin merusak penggunaan dari glukosa oleh jaringan yang
sensitif terhadap insulin dan meningkatkan output dari glukosa oleh hepar,
kedua efek tersebut disebut Hiperglikemia. Peningkatan dari produksi glukosa
oleh hepar menyebabkan penempatan dari kadar glukosa dara puasa, yang
menyebabkan penurunan penggunaan glukosa di perifer dan menyebabkan
Hiperglikemia postprandial.

Sekresi insulin yang abnormal
Sekresi dan sensitivitas insulin saling berhubungan.
Pada DM tipe 2 sekresi insulin meningkat, pada respon terhadap resistensi
insulin untuk mengatur toleransi glukosa yang normal.
Insulin yang abnormal awalnya ringan dan secara selektif mengikutsertakan
glucose-stimulated insulin secretion. Akhirnya, sekresi insulin yang abnormal
secara progresif menjadi sekresi insulin yang inadekuat yang berat

Peningkatan produksi insulin oleh hepar
Pada DM tipe 2, resistensi insulin pada hepar menyebabkan hiperidsulinemia
dan dapat mensupresi proses glukoneosensus yang akhirnya menyebabakan
16
hiperglitenk pada saat puasa dan menurun penyimpanan glikogen oleh hepar
pada saat postprondial. Produksi glukosa oleh hepar yang meningkat, timbul
secara awal pada DM, walaupun biasanya muncul set terjadi sekresi insulin
yang abnormal dan resistensi insulin di otot skelet.


PENGELOLAAN

A. Tujuan Pengelolaan
Tujuan pengelolaan secara umum adalah meningkatnya kualitas hidup pasien
diabetes
Tujuan jangka pendek: hilangnya keluhan & tanda DM & mempertahankan
rasa nyaman & sehat
Tujuan jangka panjang: tercegah dan terhambatnya progresivitas penyulit
mikroangiopati, makroangiopati dan neuropati dengan tujuan akhir turunnya
morbiditas dan mortalitas dini DM. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu
dilakukan pengendalian hiperglikemia, tekanan darah, berat badan dan lipid,
melalui pengelolaan pasien secara holistik dengan mengajarkan perawatan
mandiri dan perubahan perilaku.

B. Langkah-langkah yang perlu dilakukan pada pengelolaan pasien DM
1. Dilakukan anamnesis dan pemeriksaan jasmani lengkap
2. Evaluasi medis khusus diabetes pada pertemuan awal:
o Anamnesis keluhan hiperglikemia dan komplikasi
o Pemeriksaan jasmani pada setiap kali pertemuan:
TB,BB,TD (diperiksa pada 2 posisi, berbaring & duduk atau
berdiri), lingkar pinggang
Tanda neuropati
Mata (ketajaman penglihatan/visus, katarak)
Gigi mulut
Keadaan kaki (termasuk rabaan nadi kaki), kulit dan kuku
o Pemeriksaan laboratorium yang harus dilakukan:
Hb, leukosit, hitung jenis leukosit, LED
Glukosa darah puasa dan 2 jam sesudah makan
17
Urinalisis rutin
o Pemeriksaan laboratorium tambahan yang disarankan, tergantung
fasilitas yang tersedia:
A1C
Albuminuri mikro
Kreatinin
Albumin/Globulin dan SGPT
Kolesterol total, kolesterol LDL, kolesterol HDL dan trigliserida
EKG
Fibrinogen
Foto sinar-X dada
Funduskopi
o Edukasi singkat mengenai:
Apakah penyakit DM itu
Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM
Hipoglikemia
Masalah khusus yang dihadapi

3. Evaluasi medis secara berkala:
o Menurut kebutuhan: pemeriksaan kadar glukosa darah puasa dan 2
jam sesudah makan. Tiap 3 (tiga) bulan: A1C
o Tiap tahun:
Pemeriksaan jasmani lengkap
Albuminuri mikro
Kreatinin
Albumin/globulin dan SGPT
Kolesterol total, kolesterol LDL, kolesterol HDL dan trigliserida
EKG
Fibrinogen
Foto sinar-X dada
Funduskopi


18
C. Pilar pengelolaan DM

PILAR PENATALAKSANAAN DIABETES

PERENCANAAN MAKAN





LATIHAN Edukasi INTERVENSI
JASMANI
FARMAKOLOGIS

Dari berbagai penelitian yang ada dapat disimpulkan bahwa latihan jasmani
yang teratur bersama dengan perencanaan makanan yang tepat dan
penurunan BB merupakan penatalaksanaan diabetes yang dianjurkan
terutama bagi penyandang DM tipe 2.
Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makanan dan latihan jasmani
selama beberapa waktu (2-4 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum
mencapai sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan obat
hipoglikemik oral (OHO) atau suntikan insulin.


o Edukasi

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa kepatuhan pada pengobatan
penyakit yang bersifat kronik, pada umumnya rendah. Penelitian terhadap
penyandang diabetes, mendapatkan 80% diantaranya menyuntik insulin
dengan cara yang tidak tepat, 58% memakai dosis yang salah dan 75% tidak
mengikuti diet yang dianjurkan. Ketidakpatuhan ini selain merupakan salah
satu hambatan untuk tercapainya tujuan pengobatan, juga mengakibatkan
pasien mendapatkan pemeriksaan atau pengobatan yang sebenarnya tidak
diperlukan. Untuk mengatasi ketidakpatuhan tersebut, penyuluhan atau
19
edukasi bagi penyandang diabetes berserta keluarganya diperlukan.
Penyuluhan diperlukan karena penyakit diabetes adalah penyakit yang
berhubungan dengan gaya hidup. Pengobatan dengan obata-obatan penting,
tetapi tidaklah cukup. Penyandang DM yang mempunyai pengetahuan yang
cukup tentang diabetes, kemudian selanjutnya mengubah perilakunya, akan
dapat mengendalikan kondisi penyakitnya sehingga ia dapat hidup lebih lama.
Walaupun kepatuhan pasien terhadap prinsip gizi dan perencanaan makan
merupakan salah satu kendala pada pelayanan diabetes, terapi gizi
merupakan komponen utama keberhasilan penatalaksanaan diabetes. Kunci
keberhasilan terapi gizi medis adalah keterlibatan tim dalam 4 hal yaitu
assessment atau pengkajian parameter metabolik individu dan gaya hidup,
mendorong pasien berpartisipasi pada penentuan tujuan yang akan dicapai,
memilih intervensi gizi yang memadai dan mengevaluasi efektifnya
perencanaan pelayanan gizi.

Edukasi tersebut meliputi pemahaman tentang:
Penyakit DM
Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM
Penyulit DM
Intervensi farmakologis dan non-farmakologis
Hipoglikemia
Masalah khusus yang dihadapi
Cara mengembangkan sistem pendukung dan mengajarkan
ketrampilan
Cara mempergunakan fasilitas perawatan kesehatan


o Perencanaan Makan

Perencanaan makan merupakan salah satu pilar pengelolaan diabetes, meski
sampai saat ini tidak ada satupun perencanaan makan yang sesuai untuk
semua pasien. Perencanaan makan harus disesuaikan menurut kebiasaan
masing-masing individu. Yang dimaksud dengan karbohidrat yaitu gula,
tepung dan serat. Faktor yang berpengaruh pada respon glikemik makanan
20
adalah cara memasak, proses penyiapan makanan dan bentuk makanan serta
komposisi makanan (karbohidrat, lemak dan protein). Jumlah masukan kalori
makanan yang berasal dari karbohidrat lebih penting daripada sumber atau
macam karbohidratnya. Gula pasir sebagai bumbu masakan tetap diijinkan.
Pada keadaan glukosa darah terkendali, masih diperbolehkan untuk
mengkonsumsi sukrosa (gula pasir) sampai dengan 5 % kebutuhan kalori.
Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi:
Karbohidrat 60 70 %
Protein 10 15 %
Lemak 20 25 %
Makanan dengan komposisi karbohidrat sampai 70-75% masih memberikan
hasil yang baik. Jumlah kandungan kolesterol disarankan < 300 mg/hari.
Diusahakan lemak berasal dari sumber asam lemak tidak jenuh (MUFA, Mono
Unsaturated Fatty Acid), dan membatasi PUFA (Poly Unsaturated Fatty Acid)
dan asam lemak jenuh. Jumlah kandungan serat 25 g/hari, diutamakan serat
larut. Pasien diabetes dengan hipertensi perlu mengurangi konsumsi garam.
Pemanis buatan dapat dipakai secukupnya. Pemanis buatan yang tak bergizi
yang aman dan dapat diterima untuk digunakan pasien diabetes termasuk
yang sedang hamil adalah: sakarin, aspartam, acesulfame potassium dan
sucralose. Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur,
ada tidaknya stres akut dan kegiatan jasmani.
Untuk penentuan status gizi, dapat dipakai Indeks Massa Tubuh (IMT) dan
rumus Broca.
Indeks massa tubuh dapat dihitung dengasn rumus IMT = BB(kg) / TB (m
2
)
Klasifikasi IMT*
BB Kurang < 18.5
BB Normal 18.5 22.9
BB Lebih 23.0
Dengan resiko 23.0 24.9
Obes I 25.0 29.9
Obes II 30
*Klasifikasi Asia Pasifik
Untuk menghitung kebutuhan kalori, dapat dipakai rumus Broca, yaitu:
21
Berat Badan Idaman (BBI) = (TB 100) 10%
Status gizi: BB aktual x 100 %/TB(cm) 100
BB Kurang bila BB < 90 % BBI
BB Normal bila BB 90 110 % BBI
BB Lebih bila BB 110 120 % BBI
Gemuk bila BB > 120 %
Untuk menghitung kebutuhan kalori dapat juga digunakan cara-cara
penghitungan lainnya.

o Latihan J asmani

Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani teratur (3-4 kali/minggu
selama 30 menit) merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan diabetes
tipe 2. Latihan jasmani dapat menurunkan berat abdan dan memperbaiki
sensitifitas terhadap insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa
darah. Latihan jasmani yang dimaksud adalah jalan, bersepeda santai,
jogging, berenang. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan
status kesegaran jasmani. Kegiatan sehari-hari seperti berjalan kaki ke pasa,
menggunakan tangga, berkebun tetap dilakukan. Batasi atau jangan terlalu
lama kegiatan yang kurang gerak seperti menonton televisi.

o Intervensi Farmakologis
Intervensi farmakologis ditambahkan jika sasaran glukosa darah belum
tercapai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani.
Obat Hipoglikemik Oral (OHO)
Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 3 golongan:
o Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): sulfonilurea dan glinid
o Penambah sensitivitas terhadap insulin: metformin, tiazolidindion
o Penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidase alfa
Pemicu sekresi insulin
1. Sulfonilurea
Obat ini mempuyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel
beta pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan
berat badan normal dan kurang, namun masih boleh diberikan kepada
22
pasien dengan berat badan lebih. Untuk menghindari hipoglikemia
berkepanjangan pada berbagai keadaan seperti orang tua, gangguan
faal ginjal dan hati kurang nutrisi serta penyakit kardiovaskular tidak
dianjurkan penggunaan sulfonilurea kerja panjang seperti klorpropamid
2. Glinid
Merupakan obat generasi baru yang cara kerjanya sama dengan
sulfonilurea, dengan meningkatkan sekresi insulin fase pertama.
Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu: Repaglinid (derivat asam
benzoat) dan Nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini diabsorbsi dengan
cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat
melalui hati.

o Penambah Sensitivitas Terhadap Insulin
1. Metformin
Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati,
disamping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer, dan terutama
dipakai pada pasien DM gemuk. Metformin dikontraindikasikan pada
pasien dengan gangguan fungsi ginjal dan hati, serta pasien-pasien
dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit
serebrovaskular, syok, gagal jantung). Metformin dapat memberikan
efek samping mual. Untuk mengurangi keluhan tersebut dapat diberikan
pada saat atau sesudah makan.

2. Tiazolidindion
Tiazolidindion (contoh; rosiglitazon dan pioglitazon) berikatan pada
peroxisome proliferator activated receptor gamma (PPAR ), suatu
reseptor inti di sel otot dan sel lemak. Golongan ini mempunyai efek
menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah
pentranspor glukosa, sehingga meningkatkan ambilan glukosa di
perifer. Tiazolidindion dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal
jantung klas I-IV karena dapat memperberat edema /retensi cairan dan
juga pada gangguan faal hati. Pada pasien yang menggunakan
tiazolidindion perlu dilakukan pemantauan faal hati secara berkala. Saat
ini tiazolidindion tidak digunakan sebagai obat tunggal.
23

o Penghambat Glukosidase
Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus,
sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah
makan. Acarbose tidak mengakibatkan efek samping hipoglikemia. Efek
samping yang paling sering ditemukan ialah kembung dan flatulen.

Tabel Mekanisme kerja, efek samping utama dan pengaruh terhadap
penurunan A1C
Cara kerja utama Efek samping utama Penurunan A1C
Sulfonilurea Meningkatkan sekresi insulin BB naik, hipoglikemia 1.5 2.5 %
Glinid Meningkatkan sekresi insulin 1.5 2.5 %
Metformin Menekan produksi glukosa
Diare, dispepsia,
asisdosis laktat
1.5 2.5 %
Penghambat
glukosidase alfa
Menghambat absorpsi glukosa
Flatulens,
tinja lembek
0.5 1.0 %
Tiazolidindion
Menambah sensitivitas terhadap
insulin
Edema 1.3 %
Insulin
Menekan produksi glukosa hati,
stimulasi pemanfaatan glukosa
Hipoglikemia,
BB naik
Potensi normal

Tabel Obat Hipoglikemik Oral
Generik
Produk
orisinal
Mg / tab
Dosis
harian
Lama
kerja
Frek /
hari
Pemberian
Sulfonilurea Klorpropamid Diabenese 100 250 100 - 500 24 -36 1
Sebelum
makan
Glibenklamid
Daonil
Euglucon
2.5 5 2,5 - 15 12 - 24 1 - 2
Glipizid
Minidiab
5 10 5 - 20 10 - 16
1 - 2
Glucontrol-XL** 1
Gliklazid
Diamicron
80 80 - 240 10 - 20 1 - 2
Diamicron-MR**
Glikuidon Glurenorm 30 30 -120 - -
Glimepirid Amaryl 1, 0.5 - 6 24 1
24
2,
3,
4
Glinid Repaglinid NovoNorm 0.5, 1.5 - 6 - 3
1,
2
Nateglinid Starlix 120 360 - 3
Tidak
bergantung
jadwal makan
Tiazolidindion Rosiglitazon*
Actos
4 4 - 8 24 1
Pioglitazon 15.30 15 - 30 24 1
Penghambat

Acarbose Glucobay 50 100 100 -300 3
Bersama
suapan
pertama
Biguanid Metformin Glucophage 500 850 250 - 3000 6 - 8 1 - 3
Bersama /
sesudah
makan
Kombinasi
Gluconvance*

Metformin +
Glibenklamid

* Belum beredar di Indonesia
** Kadar dalam darah konstan setelah beberapa hari


Cara Pemberian OHO
Sulfonilurea generasi I & II: 15 30 menit sebelum makan
Glimepiride: sebelum / sesaat sebelum makan
Repaglinid, Nateglinid: sesaat / sebelum makan
Metformin: sebelum / pada saat / sesudah makan karbohidrat
(sesuai toleransi)
Penghambat glukosidase (Acarbose): bersama suapan pertama
Tiazolidindion: tiada bergantung pada jadwal makan
OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap
sesuai respons kadar glukosa darah, bisa sampai dosis hampir
maksimal

25
INSULIN
Insulin diperlukan pada keadaan:
Penurunan berat badan yang cepat
Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
Ketoasidosis diabetik
Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik
Hiperglikemia dengan asisdosis laktat
Gagal dengan kombinasi OHO dosis hampir maksimal
Stres berat (infeksi sistematik, operasi besar, IMA, stroke)
Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasional yang tidak
terkendali dengan pencernaan makanan
Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO

Cara penyuntikan Insulin
Insulin umumnya diberikan dengan suntikan di bawah kulit (subkutan). Pada
keadaan khusus diberikan intramuskular atau intravena secara bolus atau drip.
Insulin dapat diberikan tunggal (satu macam insulin kerja cepat, kerja
menengah, kerrja panjang), tetapi dapat juga diberikan kombinasi insulin kerja
cepat dan kerja menengah, sesuai dengan respons individu terhadap insulin,
yang dinilai dari hasil permeriksaan kadar glukosa darah harian.
Harus diperhatikan kesesuaian konsentrasi insulin (U4O, U100) dengan
semprit yang dipakai. Dianjurkan dipakai konsentrasi yang tetap. Saat ini juga
tersedia insulin campuran (premixed) kerja cepat dan kerja menengah.

TERAPI KOMBINASI

Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk
kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respons kadar glukosa
darah. Kalau dengan OHO tunggal sasaran kadar glukosa darah belum
tercapai, perlu kombinasi dua kelompok obat hipoglikemik oral yang berbeda
mekanisme kerjanya. Untuk memulai terapi kombinasi tidak perlu menunggu
sampai dosis maksimal. Dapat pula diberikan kombinasi ketiga kelompok OHO
26
bila belum juga tercapai sasaran yang diinginkan, atau ada alasan klinis insulin
tidak memungkinkan untuk diberikan.
Kalau dengan OHO dosis hampir maksimal, baik sendiri-sendiri ataupun
secara kombinasi, sasaran glukosa darah belum tercapai, dipikirkan adanya
kegagalan pemakaian OHO. Pada keadaan demikian dapat dipakai kombinasi
OHO dan insulin.
Untuk kombinasi OHO dan insulin, insulin kerja sedang dapat diberikan pada
pagi hari atau malam hari. Yang banyak digunakan adalah kombinasi OHO
dan insulin malam hari, mengingat walaupun dapat diperoleh keadaan kendali
glukosa darah yang sama, tetapi jumlah insulin yang diperlukan paling sedikit
pada kombinasi OHO dan insulin kerja sedang malam hari. Dosis awal insulin
kerja menengah adalah 5 unit yang diberikan antara jam 22.00 24.00,
kemudian dilakukan evaluasi dosis tersebut dengan menilai kadar glukosa
darah puasa keesokan harinya. Peningkatan dosis 2 - 4 unit dilakukan tiap 3 -
4 hari. Bila dengan cara tersebut kadar glukosa darah sepanjang hari masih
tidak terkendali, maka obat hipoglikemik oral dihentikan dan diberikan insulin
saja.
Tabel Jenis dan lama kerja insulin
Manusia
Insulin Awitan* Efek Puncak* Durasi Efektif* Durasi Maksimum*
Regular 0.5 - 1.0 2 3 3 - 6 4 6
NPH 2 - 4 4 10 10 - 16 14 18
Lente 3 - 4 4 12 12 - 18 16 20

Analog
Insulin Awitan* Efek Puncak* Durasi Efektif* Durasi Maksimum*
Lispro** 0.25 1 2 3 - 4
Aspart** 0.25 1 2 3 - 4
Glargine** 4 - 5 tanpa puncak 24 24
* Dalam jam ** Belum beredar di Indonesia




27
Insulin yang beredar di Indonesia
Macam Insulin Buatan
Efek Puncak
(jam)
Lama Kerja (jam)
Cepat 2 - 4 6 8
Novo-Rapid* Novo (U-40 dan U-100)
Humalog Eli Lilly (U-100)
Pendek
Actrapid Novo (U-40 dan U-100)
Humulin-R Eli Lilly (U-100)
Menengah 4 - 12 18 24
Insulatard Human Novo (U-40 dan U-100)
Monotard Human Novo (U-40 dan U-100)
Humulin-N Eli Lilly (U-100)
Campuran 1 - 8 14 15
Mixtard 30/70 Novo (U-40 dan U-100)
Humulin 30/70 Eli Lilly (U-100)
Panjang Tanpa puncak 24
Lantus* Aventis
* Belum beredar di Indonesia

D. Penilaian hasil terapi
Dalam praktek klinik sehari-hari, hasil pengobatan diabetes tipe 2 harus
dipantau dengan terencana dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan
jasmani dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan yang dapat dilakukan
adalah:
1. Pemeriksaan Glukosa Darah
Untuk melakukan penyesuaian dosis obat perlu dilakukan pemeriksaan
glukosa darah puasa dan atau glukosa 2 jam postprandial
2. Pemeriksaan A1C
Tes Hemoglobin Glikasi (GHb), disebut juga glycohemoglobin,
hemoglobin glikosilasi atau A1C, merupakan cara yang digunakan
untuk menilai efek perubahan terapi 8 12 minggu sebelumnya,
sehingga tidak dapat digunakan untuk menilai hasil pengobatan jangka
pendek


28
3. Pemantauan Glukosa Darah Mandiri
Untuk memantau kadar glukosa darah dapat dipakai darah kapiler.
Saat ini banyak dipasarkan alat pengukur kadar glukosa darah cara
reagen kering yang umumnya sederhana dan mudah dipakai.
Pemantauan Glukosa Darah Mandiri (PGDM) dianjurkan bagi pasien
dengan pengobatan insulin atau pemicu sekresi insulin. Waktu
pemeriksaan PGDM bervariasi, tergantung pada terapi. Waktu yang
bermanfaat untuk pemantauan adalah pada saat sebelum makan dan
waktu tidur (untuk menilai resiko hipoglikemia), 2 jam setelah makan
(menilai ekskursi maksimal glukosa selama sehari), diantara siklus
tidur (untuk menilai adanya hipoglikemia nokturnal yang kadang tanpa
gejala), dan ketika mengalami gejala seperti hypoglicemic spells atau
penyakit lain.
4. Pemeriksaan Glukosa Urin
Pengukuran glukosa urin memberikan penilaian yang tidak langsung
dan kurang akurat , dan hanya digunakan pada pasien yang tidak
dapat atau tidak mau memeriksa kadar glukosa darah. Ekskresi
glukosa renal rata-rata -/+ 180 mg/dl, namun dapat bervariasi pada
beberapa pasien dan bahkan pada pasien yang sama dalam jangka
waktu lama. Glukosa urin normal tidak dapat membedakan
hipoglikemia, euglikemia, atau hiperglikemia sedang.
5. Penentuan Benda Keton
Pemantauan benda keton baik dalam darah maupun dalam urin cukup
penting terutama pada pasien diabetes tipe 2 terkendali buruk (kadar
glukosa darah > 300 mg/dl) dan dengan penyulit akut serta bila ada
gejala-gejala KAD (keto asidosis diabetik) seperti mual, muntah atau
nyeri abdominal. Pemeriksaan benda keton juga diperlukan pada
pasien diabetes tipe 2 yang sedang hamil. Tes benda keton urin
mengukur kadar asetoasetat, sementara benda keton yang penting
adalah asam beta hidroksibutirat. Saat ini telah dimungkinkan
pemeriksaan kadar asam beta hidroksibutirat dalam darah secara
langsung dengan alat pengukur glukosa darah dengan menggunakan
strip kusus. Kadar benda keton darah < 0.6 mmol/L dianggap normal,
29
diatas 1 mmol/L disebut ketosis dan melebihi 3 mmol/L indikasi adanya
KAD.
6. Kriteria Pengendalian DM
Untuk dapat mencegah terjadinya komplikasi kronik, diperlukan
pengendalian DM yang baik. Diabetes terkendali baik tidak berarti
hanya kadar glukosa darahnya saja yang baik, tetapi harus secara
menyeluruh kadar glukosa darah, status gizi, tekanan darah, kadar lipid
dan A1C seperti pada tabel di bawah ini.

Tabel Kriteria Pengendalian DM
Baik Sedang Buruk
Glukosa darah puasa
(mg/dl)
80 - 109 110 - 125 126
Glukosa darah 2 jam
(mg/dl)
80 - 144 145 179 180
A1C (%) < 6.5 6.5 - 8 > 8
Kolesterol Total (mg/dl) < 200 200 239 240
Kolesterol LDL (mg/dl) < 100 100 129 130
Kolesterol HDL (mg/dl) > 45
Trigeliserida < 150 150 199 200
IMT (kg/m2) 18.5 - 22.9 23 25 > 25
Tekanan Darah < 130/80 130-140 / 80-90 > 140/90

Keterangan:
Angka diatas adalah hasil pemeriksaan plasma vena
Perlu konversi nilai kadar glukosa darah dari darah kapiler darah utuh ke
plasma vena
Untuk pasien berumur lebih dari 60 tahun, sasaran kadar glukosa darah lebih
tinggi dari biasa (puasa < 150 mg/dl, dan sesudah makan < 200 mg/dl).
Demikian pula kadar lipid, tekanan darah, dan lain-lain, mengacu pada
batasan kriteria pengendalian sedang. Hal ini dilakukan mengingat sifat-sifat
khusus pada pasien usia lanjut dan juga untuk mencegah kemungkinan
30
timbulnya efek samping dan interaksi obat. ADA menganjurkan pemeriksaan
kadar glukosa darah malam hari (bed time) jam 22.00.

PENYULIT

Penyulit akut :
1. ketoasidosis diabetik
2. hiperosmolar non ketotik
3. hipoglikemia

Penyulit kronik :
1. makroangiopati :
- pembuluh darah jantung
- pembuluh darah tepi
- pembuluh darah otaks
2. mikoroangiopati :
- pembuluh darah kapiler retina mata
- pembuluh darah kapiler ginjal
3. neuropati




31



PENCEGAHAN

Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada orang-orang yang
termasuk kelompok resiko tinggi, yakni mereka yang belum terkena tetapi
berpotensi untuk mendapat DM. Edukasi sangat penting dalam upaya
pencegahan primer.Pemerintah melalui semua jajaran terkait seperti
Departemen Kesehatan dan Departemen Pendidikan perlu memasukkan
upaya pencegahan primer DM dalam programpenyuluhan dan pendidikan
kesehatan. Sejak masa prasekolah, hendaknya telah ditanamkan pengertian
mengenai pentingnya kegiatan jasmani teratur, pola dan jenis makanan yang
sehat, menjaga badan agar tidak terlalu gemuk dan resiko merokok bagi
kesehatan.
Pencegahan Sekunder
Maksud pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau menghambat
timbulnya penyulit dengan tindakan deteksi dini dan memberikan pengobatan
sejak awal penyakit. Deteksi dini dilakukan dengan pemeriksaan penyaring,
namun kegiatan tersebut memerlukan biaya yang besar. Memberikan
pengobatan sejak awal sudah harus diwaspadai dan sedapat mungkin
dicegah kemungkinan terjadinya penyulit menahun. Sistem rujukan yang baik
akan sangat mendukung pelayanan kesehatan primer yang merupakan ujung
tombak pengelolaan DM. Melalui langkah-langkah tersebut, diharapkan dapat
diperoleh hasil yang optimal.
32
Pencegahan Tersier
Kalau kemudian penyulit menahun DM ternyata terjadi juga, maka pengelola
harus berusaha mencegah terjadinya kecacatan lebih lanjut dan
merehabilitasi pasien sedini mungkin, sebelum kecacatan tersebut menetap.
Pelayanan kesehatan yang holistik dan terintegrasi antar disiplin terkait
sangat diperlukan, terutama di rumah sakit rujukan, baik dengan para ahli
sesama disiplin ilmu seperrti konsultan penyakit jantung dan ginjal, maupun
para ahli dari disiplin lain seperti pada bagian mata, bedah ortopedi, bedah
vaskular, radiologi, rehabilitasi medis, gizi, podiatri dan lain sebagainya.
























33
Anatomi dan Fisiologi Kelenjar Adrenal

Korteks adrenal terdiri dari daerah yang secara anatomi dapat dibedakan :
1. Lapisan luar zona glomerulosa, merupakan tempat dihasilkannya
mineralokorticoid (aldosterone), ysng terutama diatur oleh
angiotensin II, kalium, dan ACTH. Juga dipengaruhi oleh dopamine,
atrial natriuretic peptide (ANP) dan neuropeptides.
2. Zona fasciculate pada lapisan tengah, dengan tugas utama sintesis
glukokortikoid, terutama diatur oleh ACTH. Juga dipengaruhi oleh
beberapa sitokin (IL-1, IL-6, TNF) dan neuropeptida.
3. Lapisan terdalam zona reticularis, tempat sekresi androgen adrenal
(terutama dehydroepiandrostenedion [DHEA], DHEA sulfat dan
androstenedion) juga glukokortikoid (kortisol and corticosteron).
Tidak terdapat perbedaan yang jelas secara anatomi antara korteks dan
medula yang menghasilkan katekholamin oleh sel chromafin. Bukti terakhir
hal ini memungkinkan adanya interaksi parakrin diantara keduanya.

Sel-sel Immun
Makrofag tersebar pada korteks adrenal. Sebagai tamba han pada
-1, IL-6) dan
peptida (VIP), yang berinteraksi dengan sel adrenokortikal dan berpengaruh
pada fungsinya. Limfosit juga tersebar pada korteks adrenal, dan diketahui
menghasilkan substansi mirip ACTH . Juga telah terbuk ti bahwa interaksi
immuno -endokrin antara limfosit dan sel zona retikula ris dapat menstimulasi
dihasilkannya dehidroepiandrosteron. Jadi, kontak yang erat antara sel
chromafin, pembuluh darah dan sel-sel immunitas secara bersama-sama
mengatasi adanya respon stres. Dalam melakukan eksplorasi pengaruh
sitokin pada hypothalamus-hypofise, pada penelitian invitro diperlihatk an
bahwa IL dan TNF- akan menghambat pelepasan TSH dari hypofise
melalui stimulasi terhadap pelepasan somatostatin dari hypothalamus. IL-6
sendiri berperan melalui po ros hypothalamus-hypofise-adrenal, tidak melalui
tiroid.

34
Efek Biologik Glukokortikoid
Walaupun mula -mula nama glukokortikoid di hubungkan dengan
pengaruhnya terhadap metabolisme glukosa sekarang ini didefinisikan
sebagai steroid yang bekerja dengan pengikatan pada reseptor sitosolik yang
spesifik yang merupakan perantara dari kerja hormon-hormon ini. Reseptor
glukokortikoid ini dijumpai pada hampir semua jaringan, dan interaksi dari
reseptor glukokortikoid ini yang bertanggung jawab terhadap mekanisme kerja
sebagian besar steroid-steroid tersebut.

Mekanisme Molekuler
A. Reseptor Glukokortikoid
Cara kerja glukokortikoid diawali dengan masuknya steroid ini ke dalam
sel dan berikatan dengan protein reseptor glukokortikoid sitosilik. Setelah
terjadi pengikatan, kompleks hormon reseptor yang aktif masuk dalam inti
dan bereaksi dengan sisi reseptor kromatin inti. Kompleks reseptor-
glukokortikoid terikat pada tempat spesifik pada nukleus DNA, elemen
pengaturan glukokortikoid. Protein yang terjadi mempengaruhi respons
glukokortikoid, yang dapat bersifat inhibitor atau stimulator tergantung dari
jaringan spesifik yang dipengaruhi. Walaupun reseptor glukokortikoid
adalah sama pada kebanyakan jaringan, protein yang disintesis berbeda
jauh dan merupakan hasil ekskresi gen yang spesifik pada tipe sel-sel
yang berbeda. Walaupun domain pengikat steroid dari reseptor
glukokortikoid memberikan spesifitas untuk pengikatan glukokortikoid,
glukokortikoid seperti kortisol dan kortikosteron terikat pada reseptor
mineralokortikoid dengan afinitas sama seperti dengan aldosteron.
B. Mekanisme yang Lain
Walaupun interaksi dari glukokortikoid dengan reseptor sitosolik dan
rangsangan selanjutnya dari ekskresi gen adalah hasil kerja utama
glukokortikoid, pengaruh lain dapat terjadi melalui mekanisme berbeda.
Contoh yang penting adalah pengaruh inhibisi balik dari glukokortikoid
terhadap sekresi ACTH . Pengaruh ini terjadi dalam beberapa menit
setelah pemberian glukokortikoid dan reaksi yang cepat ini mungkin sekali
bukan disebabkan oleh sintesis RNA dan protein tetapi terutama dis
35
ebabkan oleh perubahan fungsi sekresi atau membran sel yang diinduksi
glukokortikoid.

Glukokortikoid Agonis dan Antagonis
Pengertian mengenai reseptor glukokortikoid memberikan petunjuk
tentang definisi glukokortikoid agonis dan antagonis. Pengertian ini juga
membuktikan sejumlah steroid dengan efek campuran yang disebut sebagai
agonis parsial, antagonis parsial atau agonis parsial-antagonis parsial.
A. Agonis
Pada manusia, kortisol, glukokortikoid sintetik (misal, prednisolon,
deksametason), kortikosteron, dan aldosteron adalah agonis gluko-
kortikoid. Glukokortikoid sintetik mempunyai afinitas yang kuat terhadap
reseptor glukokortikoid, dan juga mempunyai afinitas glukokortikoid yang
lebih besar dari pada kortisol bila terdapat pada konsentrasi ekuimolar.
Kortikosteron dan aldosteron mempunyai afinitas yang kuat terhadap
reseptor glukokortikoid, tetapi, konsentrasi di dalam plasma biasanya
lebih rendah dari pada kortisol, jadi steroid ini tidak menunjukkan efek
fisiologis glukokortikoid yang berarti.
B. Antagonis
Antagonis glukokortikoid mengikat reseptor glukokortikoid tetapi tidak
mengakibatkan peristiwa yang terjadi dalam nukleus yang dibutuhkan
untuk menyebabkan respons glukokortikoid. Steroid ini bersaing dengan
reseptor steroid agonis seperti kortisol sehingga menghalangi respons
agonis. Steroid-steroid lain mempunyai aktivitas agonis parsial bila
didapat tersendiri; misalnya menyebabkan respons glukokortikoid parsial.
Tetapi di dalam konsentrasi yang cukup terjadi kompetisi dengan steroid
agonis untuk reseptor, hingga terjadi kompetisi menghalangi respons
agonis; misalnya agonis parsial dapat berfungsi sebagai antagonis parsial
dengan adanya glukokortikoid yang aktif. Jenis steroid seperti
progesterone, 11deoksikortikoid, DOC, testosteron, dan 17 -estradiol
mempunyai efek antagonis atau agonis parsial-antagonis parsial; tetapi,
peranannya secara fisiologi mungkin tidak berarti, karena konsentrasi di
dalam sirkulasi sangat sedikit. Agen antiproge steron RU 486
(mifepristone) mempunyai sifat antagonis glukokortikoid kuat dan
36
digunakan untuk memblok kerja glukokortikoid pada pasien dengan
sindroma Cushing.

Metabolisme Intermedier
Glukokortikoid pada umumnya menghambat sintesis DNA. Pada sebagian
besar jaringan meng hambat sintesis RNA dan protein dan mempercepat
katabolisme protein.
A. Metabolisme Glukosa Hepatik
Glukokortikoid meningkatkan glukoneogenesis hepatik dengan
merangsang enzim glukoneogenik yaitu fosfoenolpiruvat karboksikinase
dan glukosa-6-fosfatase. Glukokortikoid juga mempunyai pengaruh
meningkatkan respons hepar terhadap hormon glukoneogenik (glukagon,
katek olamin) dan juga mempengaruhi peningkatan pembesaran substrat
dari jarin gan perifer terutama otot. Pengaruh akhir ini ditingkatkan oleh
glukokortikoid yang menyebabkan pengurangan ambilan asam amino di
perifer dan sintesis protein. Glukokortikoid juga meningkatkan pelepasan
gliserol dan asam lemak bebas dengan lipolisis dan meningkatkan
pembebasan asam laktat dari otot. Steroid ini juga meningkatkan sintesis
glikogen hepatik dan penyimpanan dengan stimulasi aktivitas glikogen
sintetase dan dengan sedikit mengurangi pemecahan glikogen. Efek ini
tergantung pada insulin.
B. Metabolisme Glukosa di Perifer
Glukokortikoid juga mempengaruhi metabolisme karbohidrat dengan jalan
menghalangi ambilan glukosa di perifer dalam otot dan jaringan adiposa.
C. Pengaruh Terhadap Jaringan Adipose
Dalam jaringan adiposa pengaruh utama adalah peningkatan lipolisis
dengan pembebasan gliserol dan asam lemak bebas. Sebagian
disebabkan oleh stimulasi langsung lipolisis oleh 7 glikokortikoid, tetapi
juga atas pengaruh penyerapan glukosa yang berkurang dan peningkatan
oleh glukokortikoid terhadap pengaruh hormon lipolitik. Walaupun
glukokortikoid bersifat lipolitik, terjadi peningkatan penimbunan lemak
yang merupakan manifestasi klasik dari kelebihan glukokortikoid.
Keadaan yang paradoksal ini dapat diterangkan dengan meningkatnya
selera makan yang disebabkan oleh karena kadar steroid yang tinggi, dan
37
karena pengaruh lipogenik dari keadaan hiperinsulinemia yang terjadi
pada keadaan ini. Pengaruh glukokortikoid terhadap metabolisme
intermedier dapat dirangkum sebagai berikut:
(1). Dalam keadaan kenyang pengaruhnya sangat minim. Tetapi pada
keadaan puasa, glukokortikoid ikut mengatur kadar glukosa dalam
plasma dengan cara meningkatkan glukoneo-genesis, deposisi
glikogen, dan pembebasan substrat di perifer.
(2). Peningkatan produksi glukosa hepatik sebagaimana juga sintesis
hepatik RNA dan protein.
(3). Pengaruhnya terhadap otot bersifat katabolik; misalnya mengurangi
penyerapan dan metabolisme glukosa, mengurangi sintesis protein,
dan meningkatkan pembebasan asam amino.
(4). Pada jaringan adiposa merangsang lipolisis.
(5). Pada defisiensi glukokortikoid, dapat terjadi hipoglikemia,
sedangkan pada glukokortikoid berlebihan dapat terjadi
hiperglikemia, hiperinsulinemia, pengecilan otot, dan peningkatan
berat badan dengan distribusi lemak yang abnormal.


Efek pada Fungsi dan Jaringan-Jaringan Lain
A. Jaringan Ikat
Glukokortikoid dalam jumlah yang berlebihan menghambat fungsi fibroblas,
yang akan menyebabkan kehilangan jaringan kolagen dan jaringan ikat,
sehingga mengakibatkan penipisan kulit, mudah mengelupas,
pembentukan striae dan kesulitan penyembuhan luka.
B. Tulang
Glukokortikoid secara langsung menghambat pembentukan tulang dengan
menurunkan proliferasi sel dan sintesis RNA, protein, kolagen dan
hialuronat. Glukokortikoid secara langsung juga menstimulasi sel -sel yang
meresorbsi di tulang, menyebabkan osteolisis dan meningkatkan ekskresi
hidroksiprolin di urin. Sebagai tambahan, juga memperkuat efek PTH pada
tulang, dan hal tersebut akan berpengaruh lebih lanjut pada resorpsi akhir
pada tulang.
C. Metabolisme Kalsium
38
Glukokortikoid juga mempunyai efek utama pada homeostasis mineral.
Glukokortikoid jelas akan mengurangi absorpsi kalsium dari usus, yang
menyebabkan penurunan kadar kalsium serum. Hal ini menyebabkan
peningkatan sekunder sekresi PTH, yang akan mempertahankan kadar
kalsium serum dalam batas-batas normal dengan menstimulasi resorpsi
dari tulang. Glukokortikoid juga meningkatkan ekskresi kalsium di urin.
Juga mengurangi reabsorpsi fosfor di tubulus, yang menyebabkan
fosfaturia dan penurunan kadar fosfor dalam serum. Jadi, glukokortikoid
berlebihan menyebabkan keseimbangan kalsium yang negatif, dengan
penurunan absorpsi dan peningkatan ekskresi di urin. Kadar kalsium
dalam serum tetap bertahan normal, tetapi ini akan merugikan karena
terjadi resorpsi dari tulang. Penurunan pembentukan tulang dan
peningkatan resorpsi akhirnya akan menyebabkan osteopenia yang
mungkin menjadi komplikasi utama dari glukokortikoid berlebihan spontan
ataupun iatrogenic.
D. Pertumbuhan dan Perkembangan
Glukokortikoid mempercepat perkembangan sejumlah sistem dan organ-
organ pada fetus dan jaringan-jaringan yang berdiferensiasi. Contoh dari
efek-efek yang mempercepat pertumbuhan ini adalah peningkatan
produksi surfaktan di paru-paru pada fetus dan peningkatan perkembangan
sistem-sistem enzim pada hepar dan gastrointestinal. Glukokortikoid dalam
jumlah yang berlebihan akan menghambat pertumbuhan pada anak-anak,
dan efek yang merugikan ini merupakan komplikasi utama terapi dengan
obat tersebut. Hal ini mungkin terjadi sebagai akibat adanya efek langsung
pada sel-sel tulang, walaupun disini juga dipengaruhi oleh penurunan
sekresi hormon pertumbuhan (GH) dan pembentukan somatomedin.
E. Sel-sel Darah dan Fungsi Imunologis
1. Eritrosit
Glukokortikoid hanya sedikit berpengaruh pada eritropoiesis dan
konsentrasi hemoglobin. Walaupun mungkin terdapat polisitemia dan
anemia yang ringan berturut -turut pada sindroma Cushing dan
penyakit Addison, perubahan perubahan ini lebih mungkin terjadi
sekunder akibat perubahan pada metabolisme androgen.
2. Leukosit
39
Glukokortikoid mempengaruhi pergerakan dan fungsi leukosit,
meningkatkan leukosit polimorfonuklear intravaskular dengan
meningkatkan pelepasan sel-sel tersebut dari sumsum tulang, dengan
meningkatkan waktu-paruh sel-sel PMN dalam sirkulasi, dan dengan
menurunkan pergerakan kompartemen vaskular ke luar. Pemberian
glukokortikoid menurunkan jumlah limfosit-limfosit, monosit-monosit
dan eosinofil -eosinofil dalam sirkulasi berk urang, terutama akibat
peningkatan pergerakannya ke luar dari sirkulasi. Keadaan sebaliknya
ini yaitu terjadinya netropenia, limfositosis, monositosis dan eosinofilia-
ditemukan pada insufisiensi adrenal. Glukokortikoid juga menurunkan
migrasi sel -sel inflamasi (sel -sel PMN, monosit -monosit dan limfosit -
limfosit) ke lokasi terjadinya perlukaan, hal ini mungkin merupakan
mekanisme utama dari kerja anti-inflamasi dan meningkatkan
kerentanan terhadap infeksi yang terjadi akibat pemberian yang
bersifat kronis . Glukokortikoid juga menurunk an produksi limfosit dan
mediator serta fungsi-fungsi efektor sel-sel tersebut.
3. Efek imunologis
Glukokortikoid mempengaruhi berbagai aspek respons imunologis dan
inflamasi, termasuk mobilisasi dan fungsi leukosit. Mereka
menghambat fosfolipase A2, suatu enzim kunci dalam sintesis
prostaglandin. Mereka juga mengganggu pelepasan substansi efektor
seperti limfokin interleukin-1, produksi dan bersihan antibodi, serta
derifat spesifik sumsum tulang lainnya dan fungsi limfosit yang berasal
dari timus. Kemudian, sistem imun mempengaruhi aksis hipotalamus -
hipofisis-adrenal; interleukin-I merangsang sekresi CRH dan ACTH.
F. Fungsi Kardiovaskular
Glukokortikoid mungkin dapat meningkatkan curah jantung, dan juga
meningkatkan tonus vaskular di perifer, mungkin dengan meningkatkan
efek vasokonstriktor-vasokonstriktor lain misalnya: katekolamin.
Glukokortikoid juga mengatur ekspresi reseptor adrenergik. Jadi, dapat
terjadi syok refraktori bila individu yang mengalami defisiensi glukokortikoid
terkena stres. Glukokortikoid yang berlebihan sendiri dapat menyebab kan
hipertensi yang berasal dari efek mineralokortikoidnya. Walaupun insidens
dan penyebab yang pasti problem ini masih belum jelas, tampaknya
40
mekanisme yang terlibat dalam sistem rennin-angiotensin; glukokortikoid
me ngatur subtrat renin, prekursor angiotensin I.
G. Fungsi Ginjal
Steroid-steroid akan mempengaruhi keseimbangan cairan dan elektrolit
dengan bekerja melalui reseptor-reseptor mineralokortikoid (retensi natrium
dan air, hipokalemia, dan hipertensi) atau melalui reseptor glukokortikoid
(meningkatkan kecepatan filtrasi glomerulus dengan meningkatkan curah
jantung atau dengan efek langsung pada ginjal). Kortikosteroid seperti
betamet ason atau deksametason mempunyai aktivitas mineralokortikoid
ringan, meningkatkan ekskresi natrium dan air. Penderita penderita
defisiensi glukokortikoid mengalami penurunan kecepatan filtrasi
glomerulus dan tidak mampu mengekskresi beban cairan yang berlebihan.
Hal ini dapat dipengaruhi dari aki bat peningkatan sekresi ADH, yang dapat
terjadi pada defisiensi glukokortikoid.
H. Fungsi Susunan Saraf Pusat
Glukokortikoid dapat masuk ke dalam otak, dan walaupun peranan
fisiologis pada pada susunan saraf pusat belum diketahui, kelebihan dan
defisiensinya jelas dapat mempengaruhi fungsi kognitif dan tingkah laku.
1. Glukokortikoid yang berlebihan-- Pada keadaan berlebihan, mula-mula
glukokortikoid akan menyebabkan euforia; namun selanjutnya bila
pajanan berlangsung lama, terjadilah sejumlah kelainan psikologis
mencakup iritabilitas, labilitas emosi, dan depresi. Banyak pasien yang
mengalami kegagalan fungsi kognitif, sebagian besar mengenai ingatan
dan konsentrasi. Efek-efek sentral lainnya adalah peningkatan nafsu
makan, penurunan libido, dan insomnia.
2. Penurunan glukokortikoid -- Pasien-pasien dengan penyakit Addison
bersifat apatis dan depresi, cenderung mudah terangsang, negativistik.
Mereka juga mengalami penurunan selera makan.
I. Efek terhadap Hormon-Hormon lainnya

1. Fungsi tiroid -- Glukokortikoid dalam jumlah berlebihan akan
mempengaruhi fungsi tiroid. Walaupun kadar TSH basal biasanya tetap
normal, respons TSH terhadap thyrotropin-releasing hormone (TRH)
sering subnormal. Kadar tiroksin (T4) total dalam serum biasanya k
41
urang dari normal, thyroxin 11 binding globulin menurun, dan kadar T4
bebas normal. Kadar T3 (triiodotironin) total dan bebas mungkin rendah,
karena glukokortikoid yang berlebihan menurunkan konversi T4 menjadi
T3 dan meningkatkan konversi menjadi T3 reverse. Walaupun terjadi
perubahan-perubahan tersebut, manifestasi hipotiroidisme tidak jelas
terlihat.
2. Fungsi gonad-- Glukokortikoid juga mempengaruhi fungsi gonad dan
fungsi gonadotropin. Pada pria, glukokortikoid menghambat sekresi
gonadotropin terbukti dengan menurunnya respons terhadap pemberian
gonadotropin releasing hormone (GnRH) dan kadar testosteron plasma
yang subnormal. Pada wanita, glukokortikoid juga akan menekan
respons LH terhadap GnRH, yang menyebabkan terjadinya supresi
estrogen dan progestin berakibat inhibisi ovulasi dan terjadinya
amenorea.
J. Efek-efek Lainnya

1. Ulkus peptikum-- Peranan steroid yang berlebihan pada terjadinya
atau reaktivasi ulkus peptikum masih kontroversial. Ulkus -ulkus pada
sindroma Cushing spontan dan pada kontak dengan terapi
glukokortikoid dosis sedang tidak sering terjadi, walau data-data terakhir
menimbulkan dugaan bahwa pasien-pasien yang telah mempunyai ulkus
dan diterapi dengan steroid dan yang mendapat terapi steroid dosis
tinggi mungkin akan meningkatkan risiko.
2. Efek-efek oftalmologis- Tekanan intraokuler bervariasi sesuai dengan
kadar glukokortikoid yang beredar dan paralel dengan variasi sirkadian
kadar kortisol plasma. Sebagai tambahan, glukokortikoid yang
berlebihan akan meningkatkan tekanan intraokuler pada pasien-pasien
glaukoma sudut terbuka. Terapi glukokortikoid dapat pula menyebabkan
terbentuknya katarak.

Fungsi Klinis dan Laboratoris Androgen Adrenal

Aktivitas biologis langsung dari androgen -androgen adrenal
(androstenedion, DHEA dan DHEA sulfat) adalah minimal dan berfungsi
42
terutama sebagai prekursor-prekursor untuk konversi di perifer menjadi
hormon-hormon androgenik aktif, testosteron dan dihidrotestosteron. Jadi,
DHEA sulfat disekresikan oleh adrenal mengalami konversi menjadi DHEA
dalam jumlah 12 terbatas; DHEA yang dikonversi di perifer ini dan yang
disekresi oleh korteks adrenal dapat dikonversi lebih lanjut di jaringan perifer
menjadi androstenedion yang merupakan prekursor siap pakai menjadi
androgen androgen aktif.

Efek pada Pria
Pada pria dengan fungsi gonad normal, konversi androstenedion adrenal
menjadi testosteron hanya berjumlah kurang dari 5% kecepatan produksi
hormone ini, dan jadi efek fisiologis yang ditimbulkan dapat diabaikan. Pada
pria dewasa, sekresi androgen adrenal yang berlebihan tidak menimbulkan
pengaruh klinis: namun, pada anak pria, akan me nyebabkan pembesaran
penis prematur dan perkembangan dini ciri-ciri seks sekunder.

Efek pada Wanita
Pada wanita, fungsi adrenal abnormal seperti yang terjadi pada sindroma
Cushing, karsinoma adrenal dan hiperplasia kongenital menyebabkan sekresi
androgen-androgen dalam jumlah berlebihan, dan konversi perifernya
menyebabkan terbentuknya androgen berlebihan, yang bermanifestasi
sebagai akne, hirsutisme, dan virilisasi.

Regulasi Sekresi Kelenjar Adrenal
A. Sekresi CRF dan ACTH
ACTH adalah hormon tropik dari zona fasikulata dan retikularis dan
merupakan pengatur utama dari produksi kortisol serta androgen di korteks
adrenal. Sebaliknya ACTH diatur oleh hipotalamus dan susunan saraf
pusat melalui neurotransmiter dari corticotropin releasing factor (CRF).
B. Pengaruh ACTH pada Korteks Adrenal
Adanya aliran ACTH ke korteks adrenal menyebabkan sintesis dan sekresi
steroid dengan cepat ; kadar hormon ini dalam plasma meningkat dalam
beberapa menit setelah pemberian ACTH. ACTH meningkatkan RNA,
DNA, dan sintesis protein. Stimulasi kronis menyebabkan hiperplasia dan
43
hipertrofi korteks adrenal; sebaliknya kekurangan ACTH menyebabkan
berkurangnya steroidogenesis disertai dengan atrofi korteks adrenal,
berkurangnya berat kelenjar dan berkurangnya kadar protein serta asam
nukleat.
C. ACTH dan Steroidogenesis
ACTH berikatan dengan afinitas yang kuat pada reseptor plasma
membran sel korteks adrenal, dari ini akan mengaktifkan adenilat siklase,
meningkatkan cAMP, yang seterusnya mengaktifkan fosfoprotein kinase
intraselular. Proses ini merangsang langkah dasar dari perubahan
kolesterol menjadi 5-pregnenolon dan mengawali steroidogenesis.
Mekanisme pasti perangsangan ACTH dari enzim pemecahan rantai
samping (P450scc) belum diketahui, sebagaimana juga kepentingannya
secara relatif; namum, ACTH mempunyai sejumlah efek termasuk
meningkatkan pembentukan kolesterol bebas sebagai akibat dari
meningkatnya aktivitas kolesterol esterase dan menurunnya kolesteril
estersintetase; meningkatnya ambilan lipoprotein oleh korteks adrenal;
meningkatnya kadar dari fosfolipid tertentu, yang akan meningkatkan
terurainya rantai samping dari kolesterol; dan meningkatkan pengikatan
dari kolesterol pada sitokrom P-450scc, enzim dalam mitokondria.

D. Kontrol Neuroendokrin
Sekresi kortisol sangat erat hubungannya dengan pengaturan ACTH, dan
kadar plasma kortisol paralel dengan kadar ACTH . Didapat 3 mekanisme
kontrol neuroendokrin.
(1). Episode fungsi dan irama sirkadian dari ACTH.
(2). Respons aksis hipotalamus hipofisis terhadap stress.
(3). Umpan balik yang menghambat dari kortisol terhadap sekresi ACTH.
1. Irama Sirkadian- Irama sirkadian yang didahului oleh sekresi
episode ini adalah hasil kerja susunan saraf pusat yang mengatur
jumlah dan banyaknya sekresi episodik dari CRF dan ACTH.
Sekresi kortisol pada petang hari rendah dan terus menurun
selama beberapa jam pertama/waktu tidur, di mana pada waktu itu
kadar kortisol plasma dapat tidak terdeteksi. Selama jam ketiga
dan kelima waktu tidur, terjadi peningkatan sekresi kortisol; tetapi
44
waktu sekresi maksimal dimulai pada ma sa tidur jam keenam
sampai jam kedelapan dan kemudian mulai menurun setelah
bangun tidur. Sekitar setengah dari keluaran kortisol harian
disekresikan pada saat ini. Sekresi kemudian menurun selama
siang hari, dengan episode sekretori lebih jarang dan jumlahnya
berkurang, namun ada peningkatan sekresi kortisol seb agai
respons terhadap makanan dan latihan.
Walau ini adalah pola umum terus-menerus, namun ada variabilitas
intraindivudu dan interindividu, dan irama sirkadian dapat berubah
oleh perubahan pola tidur; cahaya agak gelap, dan waktu
pemberian makan. Irama ini juga diubah oleh:
(1). Stres fisik seperti 25 penyakit berat, pembedahan, trauma, atau
kelaparan.
(2). Stres psikologis, termasuk anxietas berat, depresi endogen,
dan fase manik pada psikosamanik-depresif
(3). Kelainan susunan saraf pusat dan hipofisis
(4). Sindroma Cushing
(5). Penyakit hati dan kondisi lain yang mempengaruhi
metabolisme kortisol
(6). Gagal ginjal kronis
(7). Alkoholisme.

2. Respons terhadap stres - Sekresi ACTH dan kortisol plasma juga
secara karakteristik mempunyai respons terhadap stres fisik. Jadi
sekresi ACTH dan kortisol plasma dimulai dalam beberapa menit
setelah terjadi stres seperti pada pembedahan dan hipoglikemia,
dan respons ini menghilangkan periodisitas sirkadian jika stres ini
berlangsung terus. Respons terhadap stres yang berasal dari
susunan saraf pusat menunjukkan sekresi CRH dan juga sekresi
ACTH hipofisis. Respons stres terhadap ACTH dan kortisol
dihilangkan dengan pemberian glukokortikoid dosis tinggi
sebelumnya dan juga pada sindroma Cushing yang spontan;
sebaliknya respons sekresi ACTH meningkat bila dilakukan
45
adrenalektomi. Pengaturan aksis hipot alamus-hipofisis-adrenal
terikat kepada sistem imun.

3. Inhibisi umpan-balik- Regulasi utama yang ketiga dari sekresi
ACTH dan kortisol adalah pengaruh inhibisi umpan-balik dari
sekresi glukokortikoid oleh CRF, ACTH dan kortisol. Pengaruh
inhibisi umpan balik dari glukokortikoid terjadi pada tingkat
hipofisis dan hipotalamus dan mempengaruhi dua mekanisme
yang berbeda pengaruh inhibisi umpan-balik yang cepat dan
lambat. Inhibisi umpan balik cepat dari sekresi ACTH sebanding
dengan kecepatan meningkatnya glukokortikoid dan bukan oleh
dosis yang diberikan. Fase ini cepat, sekresi basal dan stimu lasi
sekresi ACTH mengurang dalam waktu beberapa menit setelah
kadar glukokortikoid dalam plasma meningkat. Pengaruh efek
inhibisi umpan balik ini hanya sementara dan berlangsung kurang
dari 10 menit, sangat mungkin efek ini tidak melewati reseptor
sitosol glukokortikoid, tetapi lebih dapat diterima bekerja melalui
membran sel. Inhibisi umpan balik lambat setelah pengaruh awal
cepat dari efek glukokortikoid selanjutnya terjadi penekanan
sekresi CRH dan ACTH dengan mekanisme yang tergantung pada
waktu dan dosis. Jadi, dengan pemberian glukokortikoid terus
menerus kadar ACTH terus menurun dan tidak memberikan
respons terhadap stimulasi. Efek terakhir dari pemberian
glukokortikoid jangka panjang adalah supresi pelepasan CRH dan
ACTH dan atrofi dari zona fasikulata serta retikularis sebagai akibat
kekurangan ACTH. Aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal yang
inhibisi umpan ba lik yang lambat ternyata bekerja melalui reseptor
klasik glukokortikoid , jadi mempengaruhi sintesis messenger RNA
untuk pro-opiomelanokortin sebagai prekursor pembentukan
ACTH.

E. Regulasi produksi androgen
Produksi androgen pada orang dewasa juga diatur oleh ACTH; DHEA
dan androstenedion menunjukkan adanya periodik sirkadian bersama
46
semua dengan ACTH dan kortisol. Sebagai tambahan, konsentrasi
DHEA dan androstenedion dalam plasma meningkat dengan cepat pada
pemberian AC TH dan tertekan pada pemberian glukokortikoid, yang
memastikan pengaruh sekresi ACTH endogen. DHEA sulfat, karena
mempunyai bersihan metabolik yang lama, tidak menunjukkan irama
diurnal. Jadi, sekresi androgen adrenal diatur oleh ACTH dan pada
umumnya sekresi hormon ini terjadi bersamaan de ngan kortisol.
Eksistensi pemisahan hormon hipofisis anterior yang mengatur sekresi
telah diketahui tapi belum pernah dibuktikan. Beber pa faktor ini telah
diidentif ikasi pada ekstrak hipofisis.

47
CUSHING SYNDROME

DEFINISI
Sindrom cushing adalah suatu keadaan yang diakibatkan oleh efek metabolik
gabungan dari peninggian kadar glukokortikoid dalam darah yang menetap.
Kadar yang tinggi ini dapat terjadi secara spontan atau karena pemeberian
dosis farmakologik senyawa-senyawa glukokortikoid. (Sylvia A. Price;
Patofisiolgi, Hal. 1088)

ETIOLOGI
Sindrom cushing disebabkan oleh sekresi kortisol atau kortikosteron yang
berlebihan, kelebihan stimulasi ACTH mengakibatkan hiperplasia korteks anal
ginjal berupa adenoma maupun carsinoma yang tidak tergantung ACTH juga
mengakibatkan sindrom cushing. Demikian juga hiperaktivitas hipofisis, atau
tumor lain yang mengeluarkan ACTH. Syindrom cuhsing yang disebabkan
tumor hipofisis disebut penyakit cusing. (buku ajar ilmu bedah, R.
Syamsuhidayat, hal 945)

Sindrom cusing dapat diakibatkan oleh pemberian glukortikoid jangka panjang
dalam dosis farmakologik (latrogen) atau oleh sekresi kortisol yang berlebihan
pada gangguan aksis hipotalamus-hipofise-adrenal (spontan) pada sindrom
cusing spontan, hiperfungsi korteks adrenal terjadi akibat ransangan
belebihan oleh ACTH atau sebab patologi adrenal yang mengakibatkan
produksi kortisol abnormal. (Sylvia A. Price; Patofisiologi, hal 1091)

MANIFESTASI KLINIS
Dapat digolongkan menurut faal hormon korteks adrenal yaitu : cortisol, 17
ketosteroid, aldosteron dan estrogen.
1. Gejala hipersekresi kortisol (hiperkortisisme) yaitu :
a. Obesitas yang sentrifetal dan moon face.
b. Kulit tipis sehingga muka tampak merah, timbul strie dan ekimosis.
c. Otot-otot mengecil karena efek katabolisme protein.
d. Osteoporosis yang dapat menimbulkan fraktur kompresi dan kifosis.
48
e. Aterosklerosis yang menimbulkan hipertensi.
f. Diabetes melitus.
g. Alkalosis, hipokalemia dan hipokloremia.
2. Gejala hipersekresi 17 ketosteroid :
a. Hirsutisme ( wanita menyerupai laki-laki ).
b. Suara dalam.
c. Timbul akne.
d. Amenore atau impotensi.
e. Pembesaran klitoris.
f. Otot-otot bertambah (maskulinisasi)
3. Gejala hipersekresi aldosteron.
a. Hipertensi.
b. Hipokalemia.
c. Hipernatremia.
d. Diabetes insipidus nefrogenik.
e. Edema (jarang)
f. Volume plasma bertambah
Bila gejala ini yang menyolok, terutama 2 gejala pertama, disebut penyakit
Conn atau hiperaldosteronisme primer.
4. Gejala hipersekresi estrogen (jarang)
Pada sindrom cushing yang paling karakteristik adalah gejala hipersekresi
kortisol, kadang-kadang bercampur gejala-gejala lain. Umumnya mulainya
penyakit ini tidak jelas diketahui, gejala pertama ialah penambahan berat
badan. Sering disertai gejala psikis sampai psikosis. Penyakit ini hilang timbul,
kemudian terjadi kelemahan, mudah infeksi, timbul ulkus peptikum dan
mungkin fraktur vertebra. Periode menstruasi pada wanita yang tidak teratur.
Kematian disebabkan oleh kelemahan umum, penyakit serebrovaskuler
(CVD) dan jarang-jarang oleh koma diabetikum.

KLASIFIKASI
Sindrom cushing dapat dibagi dalam 2 jenis:
1. Tergantung ACTH
Hiperfungsi korteks adrenal mungkin dapat disebabkan oleh sekresi ACTH
kelenjar hipofise yang abnormal berlebihan. Tipe ini mula-mula dijelaskan
49
oleh oleh Hervey Cushing pada tahun 1932, maka keadaan ini disebut juga
sebagai penyakit cushing.
2. Tak tergantung ACTH
Adanya adenoma hipofisis yang mensekresi ACTH, selain itu terdapat bukti-
bukti histologi hiperplasia hipofisis kortikotrop, masih tidak jelas apakah
kikroadenoma maupum hiperplasia timbal balik akibat gangguan pelepasan.


PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Adanya sindrom cushing dapat ditentukan berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan jasmani yang telah dijelaskan. Diagnosis umunya ditegakkan
berdasarkan kadar kortisol yang tinggi dalam plasma dan kemih. Ada juga
tes-tes spesifik yang dipakai untuk menentukan adanya tidaknya irama
sirkandian normal pelepasan kortisol dan mekanisme pengaturan umpan balik
yang sensitif. Tidak adanya irama sirkandian dan berkurangnya atau
berkurangnya kepekaan sistim pengaturan umpan balik merupakan ciri
sindrom cushing.

Pemeriksaan fisiologi dapat membantu membedakan chusing hipofisis dari
cusing ektopik atau cushing kortek sdrenal primer. Pada sindrom cushing
ektipik dan korteks adrenal, sekresi abnormal ACTH atau kortisol biasanya
tidak berubah pada peransangan ataupun penekanan untuk menguji
mekanisme kontrol umpan balik negatif yang normal.

CT scan resolusi tinggi pada kelenjar hipofisis dapat menunjukkan daerah-
daerah penurunan atau penigkatan densitas yang kosisten dengan
mikrodema pada sekitar 30% dari penderita-penderita ini. MRI dengan
koontras memberikan temuan positif pada ma yoritas penderita. CT scan
kelenjar adrenal biasanya menujukkan pembesaran adrenal pada kasus
sindrom cushing tergantung ACTH dan massa adrenal pada pasien dengan
adenoma atai karsinoma adrenal. (Sylvia, A. Price; Patofisiologi; Hal 1092-
1093)


50

PENATALAKSANAAN
Karena lebih banyak sindrom cushing yang disebabkan oleh tumor
hipofisis dibanding tumor korteks adrenal, maka penanganannya sering
ditujukan kepada kelenjar hipofisis. Operasi pengangkatan tumor melalui
hipofisektomi transfenoidalis merupakan terapi pilihan yang utama dan angka
keberhasilannya sangat tinggi (90%) jika operasi ini dilakukan oleh tim bedah
yang ahli. Radiasi kelenjar hipofisis juga memberikan hasil yang memuaskan
meskipun diperlukan waktu beberapa bulan untuk mengendalikan gejala.
Adrenalektomi merupakan terapi pilihan bagi pasien dengan hipertropi
adrenal primer.
Setelah pembedahan, gejala insufisiensi adrenal dapat mulai terjadi 12
hingga 48 jam kemudian sebagai akibat dari penurunan kadar adrenal dalam
darah yang sebelumnya tinggi. Terapi penggantian temporer dengan
hidrokortison mungkin diperlukan selama beberapa bulan sampai kelenjar
adrenal mulai memperlihatkan respons yang normal terhadap kebutuhan
tubuh. Jika kedua kelenjar adrenal diangkat (Adrenalektomi bilateral), terapi
penggantian hormon-hormon korteks adrenal harus dilakukan seumur hidup.
Preparat penyekat enzim adrenal (yaitu metyrapon, aminoglutethimide,
mitotane, ketokonazol) dapat digunakan untuk mengurangi hiperadrenalisme
jika sindrom tersebut disebabkan oleh sekresi ektopik ACTH oleh tumor yang
tidak dapat dihilangkan secara tuntas. Pemantauan yang ketat diperlukan
karena dapat terjadi gejala insufisiensi adrenal dan efek samping akibat obat-
obatan tersebut.
Jika sindrom cushing akibat pembesaran kortikosteroid ekstrnal
(eksogen) pemberian obat tersebut harus diupayakan untuk dikurangi atau
dihentikan secara bertahap hingga tercapai dosis minimal yang adekuat untuk
menghadapi proses penyakit yang ada dibaliknya (misalnya, penyakit
autoimun serta alergi dan penolakan terhadap organ yang
ditransplantasikan). Biasanya terapi yang dilakukan setiap dua hari sekali
akan menurunkan gejala sindrom Cushing dan memungkinkan pemulihan
daya responsifkelenjar adrenal terhadap ACTH.

NUTRISI BAGI PASIEN
51
Pasien Cushing Syndrome dianjurkan untuk mengkonsumsi makanan
yang cukup kalori, protein, mineral , kalsium, dan vitamin serta diet rendah
garam. Selain itu, menghindari makanan berlemak dan olahan karena akan
meningkatkan gejala-gejala yang timbul seperti jerawat dan berat badan.


PROGNOSIS
Sindrom cushing yang tidak diobati akan fatal dalam beberapa tahun
oleh karena gangguan vaskuler dan sepsis. Setelah pengobatan radikal, klien
kelihatan membaik tergantung pada ada tidaknya gangguan kerusakan
kardiovaskuler irreversiblel. Pengobatan substitusi permanen memberikan
resiko pada waktu pasien mengalami stress dan diperlukan perawatan
khusus. Karsinoma adrenal atau yang lainnya cepat menjadi fatal oleh karena
kaheksia dan metastasis.

Vous aimerez peut-être aussi