Vous êtes sur la page 1sur 11

STUDI ASSEMENT PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERAIRAN

PULAU-PULAU KECIL DI SULAWESI SELATAN


(Studi Kasus Pulau-Pulau Kecil di Kabupaten Sinjai)

ASSEMENT STUDY BIOAQUATIC RESOURCES EXPLOITATION AT SMALL


ISLAND OF SOUTH SULAWESI
(Case Study at Small Island in Sinjai District)

Andi Adri Arief1

Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Unhas, Makassar

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengukur efektivitas pengelolaan sumberdaya pulau-
pulau kecil di kawasan Pulau-pulau Sembilan Kabupaaten Sinjai Provinsi Sulawesi Selatan serta
merancang strategi pengelolaan yang tepat. Untuk dapat mengatasi berbagai permasalahan yang
berkaitan dengan pemanfaatan sumberdaya pulau-pulau kecil. Untuk itu diperlukan suatu
kebijakan yang berpihak pada semua sektor serta lapisan masyakat pesisir dapat memperoleh
manfaat yang lebih luas. Target khusus yang ingin dicapai adalah : a) Mengidentifikasi
perubahan tataguna lahan, biofisik perairan, kondisi sosial ekonomi dan demografis akibat
pengelolaan sumberdaya pulau-pulau kecil yang telah dilakukan selama ini sudah sesuai, b)
Mengetahui perubahan kondisi biofisik perairan akibat aktivitas pemanfaatan sumberdaya pulau-
pulau kecil di kawasan Pulau-pulau Sembilan c) Menganalisis dampak kebijakan perikanan
terhadap kesejahteraan dan kelestarian sumberdaya perikanan tangkap di kawasan pulau-pulau
sembilan
Hasil yang ditemukan bahwa ada ketidakselarasan antara rekomdasi konsep zonasi yang
dipetakan dengan aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat, sehingga dalam pemanfaatan
sumberdaya perairan telah terjadi potensi konflik secara horizontal. Kerusakan ekosistem dalam
pemanfaatan sumberdaya perairan disebabkan oleh maraknya kegiatan pemboman dan
pembiusan ikan-ikan karang.Implikasi kebijakan pembangunan perikanan belum sepenuhnya
signifikan akan kesejahteraan masyarakat di wilayah pulau-pulau kecil akibat aksisibilitas dalam
segala bidang masing menjadi factor determinan. Dalam hal kelestarian lingkungan, kerusakan
ekosistem dalam perkembangannya semakin memprihatikan akibat lemahnya sosialisasi konsep
zonasi dan kurangnya pengawasan dari isntitusi terkait.

Kata kunci : Pulau-pulau Kecil, Pemanfaatan, Sumberdaya Perairan.

1)
: Dr. Andi Adri Arief, S.Pi, M.Si.
Program Studi Sosial Ekonomi, Jurusan Perikanan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin. Jl.
Perintis Kemerdekaan Km 10 Tamalanrea, Makassar 90245. E-mail : adri_arief@yahoo.com.

1
ABSTRACT

This study aims to measure the effectiveness of resource management, small islands in the area of
Nine islands Sinjai Kabupaaten South Sulawesi Province and designing appropriate management
strategies. In order to overcome the various problems associated with resource use small islands. It
required a policy in favor of all sectors and layers of coastal communities to benefit from a wider.
Specific targets to be achieved are: a) Identify land use changes, water biophysical, socio-economic
conditions and demographic resources management due to the small island that has been done so far is
appropriate, b) Knowing the biophysical changes in the condition of water resources utilization of the
activity of the island - small islands in the area of Nine islands c) Analyzing the impact of fisheries
policies on the welfare and sustainability of capture fisheries resources in the region of nine islands
The method used to achieve the goals of these research activities are: the first year of research activities
using biophysical analysis of waters, the analysis of social, economic and cultural penulusuran through
secondary data, depth interviews, Focus group discussions and direct obeservasi (visual data).
The results found that there were inconsistencies between zoning rekomdasi mapped concepts
with activities undertaken by the community, so that in the utilization of aquatic resources has occurred
horizontally potential conflicts. Damage to ecosystems in the utilization of aquatic resources caused by
widespread bombing activities and anesthesia karang.Implikasi fish fisheries development policy would
not fully significant public welfare in the region of small islands in all aksisibilitas from their field to be
the determinant factor. In this environment, damage the ecosystem in its development because of the lack
of socialization memprihatikan concept of zoning and the lack of supervision of related isntitusi.

Key words : small island, eksploitation, Bioaquatic Resources

PENDAHULUAN

Kawasan pulau-pulau kecil memiliki potensi sumberdaya alam dan jasa lingkungan yang
tinggi dan dapat dijadikan sebagai modal dasar pelaksanaan pembangunan Indonesia di masa
yang akan datang. Kawasan ini menyediakan sumberdaya alam yang produktif seperti terumbu
karang, padang lamun (seagrass), hutan mangrove, perikanan dan kawasan konservasi.  Pulau-
pulau kecil juga memberikan jasa lingkungan yang besar karena keindahan alam yang
dimilikinya yang dapat menggerakkan industri pariwisata bahari. Dilain pihak, pemanfaatan
potensi pulau-pulau kecil masih belum optimal akibat perhatian dan kebijakan Pemerintah
selama ini yang lebih berorientasi ke darat disamping perilaku masyarakat yang mulai cenderung
melakukan kegiatan yang sifatnya destructive dalam pemanfaataan sumberdaya perairan yang
dimaksud. Gambaran kemiskinan, ketergantungan dan keterpinggiran menjadi pemandangan
umum bagi masyarakat pulau-pulau kecil ditengah degradasi ekosistem dan sumberdaya
perikanannya.
Pertanyaan yang mendasar secara kontekstual adalah, apakah dapat dilakukan konsep
pengeleloaan dan tujuan pemanfaatan yang terpadu dan berkelanjutan untuk mengatasi
permasalahan yang berlangsung saat ini dan masa mendatang, juga untuk memberdayakan
masyarakat pulau-pulau kecil (para pengguna atau stakeholders) agar menikmati keuntungan
yang diperoleh secara berkesinambungan berdasarkan potensi yang dimilikinya.
Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana bentuk pemanfaatan
sumberdaya perairan pulau-pulau kecil sebagai langkah awal sebelum menentukan atau
menciptakan strategi pengelolaan secara terpadu dan berkelanjutan.

2
METODE PENELITIAN
Metode penelitian menggunakan analisis biofisik perairan, analisis social, ekonomi dan
budaya melalui penulusuran data sekunder, indepth interview, Focus group discussion serta
obeservasi langsung (data visual).
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Kawasan Pulau-Pulau Sembilan
Secara administratif kecamatan Pulau-pulau Sembilan meliputi 4 desa, yaitu: Desa
Pulau Harapan, meliputi Pulau Kambuno dan Pulau Liangliang, Desa Bungungpitue dengan
wilayah Pulau Burungloe, Desa Padaelo dengan wilayah Pulau Kodingare dan Pulau
Batanglampe, Desa Persatuan yang meliputi Pulau Kanalo I, Pulau Kanalo II, Pulau Katindoang
dan Pulau Larearea.

B. Kesesuaian Konsep Zonasi Dengan Pemanfaatan Sumberdaya Alam di Kawasan


Pulau-Pulau Sembilan.

Arahan zona-zona yang termuat dalan zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
kabupaten sinjai tahun 2004, meliputi: (a) Zona wisata bawah laut; (b) Zona pemulihan; (c) Zona
budidaya; (d) Zona penagkapan tradisional; (e) Zona pendukung umum, dan: (f) Zona
pemukiman. Gambaran rekemondasi Zonasi tersajikan pada gambar berikut.

3
Konsep zonasi di kawasan Pulau-pulau Sembilan, sebagai kawasan yang terpetakan
dalam pengelolaan sumberdaya alam perairan dan kelautan, adalah sebagai berikut :
1) Penetapan zona wisata berada pada empat kawasan yaitu : Gusung Taccara, Takka
Mallabae, Takka Helopute dan Gusung Bungin Tellue
2) Penetapan zona pemulihan berada pada kawasan : Gusung Pasiloang, Takka Karang-
Karang, Gusung Leko Pasiloang sebelah Burung Loe, Pulau Kodingareng, sebelah utara
Pulau Kanalo II dan Pulau Batang Lampe
3) Penetapan zona budidaya berada pada kawasan : Gusung Malambere, Gusung Bunging
Tellue, Gusung Passeloang, Gusung Leko Passeloang dan Pulau Burung uloe.
4) Penetapan zona tangkap tradisional berada pada kawasan : Gusung Malambere, Bunging
Tellue, Gusung Leko Paseloang, Pulau Kodingareng, Taka Katuaka Kecil, Taka
Mallambae, Taka Katuaka, sebelah utara dan timur Pulau Kambuno, sebelah timur Pulau
Leang-leang.
5) Penetapan zona pendukung umum berada pada Pulau Burungloe.
Temuan dilapang memperlihatkan adanya ketidak-terpaduan pemanfaatan ruang di
kawasan Pulau-pulau Sembilan yang telah menimbulkan konflik pemanfaatan ruang oleh
masyarakat.

Ruang Pemanfaatan Sumberdaya Peraian di Kawasan Pulau-Pulau


Sembilan oleh Masyarakat

Temuan dilapangan, telah teridentifikasi mengenai pengelolaan sumberdaya alam


perairan dan kelautan oleh masyarakat secara faktual sebagai berikut :
1) Zona panangkapan berada pada kawasan : Gusung Pasiloang, Gusung Leko Pasiloang,
Pulau Kambuno, Liang-liang , Batang Lampe, Kodingareng, sebelah timur Taka Helopute
2) Zona wisata berada pada kawasan : Pulau Larea-rea, Gusung Topama, Gusung
Anataminting,
3) Zona budidaya laut (keramba jaring apung dan rumput laut) berada pada kawasan : Pulau

4
Kanalo II, Kakatua Kecil, Kambuno, Leang-leang, Kodingareng, Batang Lampe, Gusung
Leko Pasiloang, Gusung Paseloang dan Gusung Bungintellue.
Ketidak-sesuaian dari arahan zonasi yang terjadi dikelompokkan dalam empat

Ketidaksesuaian antara arahan zonasi dan fakta yang terjadi. Berimplikasi sebagai
berikut :
a) Kontradiktif antara arahan zona pemulihan dengan pemanfaatan kegiatan budidaya laut
dan penangkapan. Kondisi ini terjadi pada wilayah Gusung Pa’siloang sebelah selatan,
Gusung Teko Pa’siloang sebelah utara Pulau Kodingareng dan Pulau Batang Lampe
serta Pulau Burung Loe sebelah utara. Pemanfaatan budidaya laut yang di maksudkan
budidaya rumput laut sementara untuk kegiatan penangkapan, hal yang jadi menarik
sebagai temuan di lapangan bahwa di pulau kodingareng dan Pulau Batang Lampe
justru marak dengan kegiatan penangkapan yang sifatnya Destruktive (pembom ikan)
b) Kontradiktif antara zona budidaya laut dan penangkapan. Pada arahan dokumen zonasi
telah di peta-kan bahwa Gusung Pa’siloang dan Gusung Leko Pa’siloang di tetapkan
sebagai kawasan budidaya rumput laut tetapi fakta di lapangan di temukan bahwa di
kawasan ini juga di manfaatkan oleh masyarakat sebagai kawasan penangkapan.
Kondisi ini tentunya sebagai potensi konflik nantinya ketika kedua aktifitas yang
dimaksud saling berbenturan dalam memanfaatkan sumberdaya yang ada.
c) Pendangkalan yang telah terjadi antara pulau Batang Lampe dan Kodingareng yang
masih tetap di manfaatkan sebagai kawasan budidaya rumput laut, meskipun tidak ada
dalam arahan zonasi sebagai zona budidaya laut.
d) Di sekitar kawasan pulau Kambuno tidak terdapat arahan untuk zona untuk konsevasi,
sementara dari berbagai hasil penelitian yang di lakukan oleh para ahli telah
menunjukan bahwa di kawasan yang di maksud telah terjadi kerusakan terumbu karang
sekitar 70% (fajar online, 2005) akibat maraknya kegiatan pembiusan ikan-ikan karang
dan menjadikan keramba jaring apung sebagai media panampungan.

C. Kerusakan Komponen Biofisik Perairan Akibat Aktivitas Pemanfaatan Sumberdaya


Pulau-Pulau Kecil Di Kawasan Pulau-Pulau Sembilan.

Pemanfaatan sumberdaya wilayah pesisir di kepulauan Sembilan membawa perubahan yang cukup
signifikan terhadap kondisi biofisik perairan. Hal ini terlihat dari ditemukannya beberapa penurunan
kualitas dari ekosistem utama sebagai pendukung wilayah peraiaran. Hal tersebut secara rinci akan
dijelaskan pada bagian berikut ini.

1. Desa Persatuan
a. Pulau Kanalo II
Persentase penutupan karang masih meliputi beberapa kategori seperti hard coral, dead coral
alga, sand, rubble dan alga. Untuk soft coral jumlah persentase tutupan yang diperoleh sangat sedikit
yaitu berkisar 3%. Salah satu penyebab hilangnya soft coral dan sand karena sering terjadinya pembiusan
dan pemboman karang yang dilakukan oleh manusia. Hard coral sendiri pada stasiun ini persentase
tutupannya juga sangat sedikit. Persentase tutupannya hanya diperoleh 7%. Kerusakan karang yang
terjadi pada stasiun ini lebih dominan disebabkan karena pemboman. Pemboman pada stasiun ini
diperkirakan sudah dilakukan beberapa tahun yang lalu. Karang yang telah mengalami kerusakan pada
stasiun ini banyak ditumbuhi oleh alga dimana diperoleh persentase tutupannya untuk dead coral alga 7
% dan untuk alga sendiri berkisar 1 %. Sedangkan untuk karang yang patah atau pecah ( rubble) akibat

5
pemboman ini yang belum ditumbuhi oleh alga diperoleh persentase tutupan 17 %. Persentase tutupan
dasar perairan pulau Kanalo II dapat dilihat pada berikut berikut.

Persentase tutupan dasar perairan pulau Kanalo II.

b. Pulau Kanalo I
Penutupan dasar perairan pulau ini didominasi oleh pasir (sand/silt) dengan persentase tutupan
mencapai 48%, kemudian pecahan karang (rubble) dengan persentase tutupan 26%, karang mati (death
coral) 12%, karang keras (hard coral) 8%, karang lunak, alga, padang lamun dan karang memutih
masing-masing 1% serta organisme dasar sebesar 2%. Persentase tutupan dasar perairan pulau Kanalo I
dapat dilihat pada gambar berikut.

Persentase tutupan dasar perairan pulau Kanalo I.

c. Pulau Katindoang
. Dasar perairan di pulau Katindoang, didominasi oleh Pasir (sand/silt) sebesar 43%, Karang mati
(death coral) 20%, Karang keras (hard coral) 12%, Pecahan karang (rubble) 10%, Seagrass, Algae, Karang
lunak (soft coral), Karang memutih (bleached), serta Organisme invertebrate masing-masing 6%, 5%, 2%,
dan 1%. Grafik persentase tutupan dasar perairan pulau Katindoang dapa dilihat pada gambar berikut.

6
d. Pulau Larearea

dasar parairan pulau Larearea didominasi oleh Karang mati (death coral) sebesar 26%, Pecahan karang
(rubble) sebesar 21%, Karang keras (hard coral) sebesar 20%, Pasir (sand) sebesar 17%, Organisme
invertebrate (others) dan Karang memutih (bleached) masing-masing 4%, Tumbuhan air (segrass) dan
Algae masing-masing 3% dan Karang lunak (soft coral) sebesar 2%. Grafik persentase tutupan dasar
perairan pulau Larearea dapat dilhat pada berikut.

Persentase tutupan dasar perairan pulau Larearea.

2. Desa Padaelo
a. Pulau Kodingare
Secara keseluruhan komposisi biotik penyusun dasar perairan masing-masing karang keras 26%,
karang lunak 3%, Alga 1,7%, seagrass 3% dan biota lainnya 4%, sedangkan komponen abiotik terdiri dari
pasir/lumpur 34%, bleached coral 8,3%, dan karang mati yang ditumbuhi alga 9%.

Persentase tutupan dasar perairan pulau Kodingare.

b. Pulau Batanglampe
Jika dilihat dari tipe pertumbuhan maka penutupan dasar perairan pulau ini didominasi oleh komponen
Abiotik yang terdiri dari pasir (sand/silt) dengan persentase tutupan mencapai 24%, kemudian pecahan
karang (rubble) dengan persentase tutupan 18%, karang mati (death coral) 15%, karang keras (hard coral)
4%, karang lunak 3%, alga 1%, karang memutih 15%, serta organisme dasar sebesar 6%. Persentase tutupan
dasar perairan pulau Batanglampe dapat dilihat pada Gambar berikut.

7
3. Desa Buhungpitue
 Pulau Burungloe
Komposisi penyusun biotik dasar perairan masing-masing karang keras 14%, karang lunak 3%, alga
4%, dan seagrass 1%Komponen abitiok terdiri dari pasir/lumpur 23%, pecahan karang 6% dan karang mati
15%.

Persentase tutupan dasar perairan pulau Burungloe.

4. Desa Pulau Harapan


a. Pulau Kambuno
. Puncak terumbu pada kondisi surut hanya sekitar 1-2 m. Rataan terumbu tidak terlalu lebar sekitar
200 m dari puncak terumbu hingga batas terumbu. Pada puncak terumbu ditumbuhi lamun. Lereng terumbu
tidak cukup sangat landai sehingga sangat sulit dibedakan batas tubir dengan lereng terumbu. Batas
kedalaman terumbu karang sekitar lokasi ini hanya pada kedalaman ± 15 m. Gafik persentase tutupan dasar
perairan pulau Kabuno dapat dilihat pada berikut.

Persentase tutupan dasar perairan pulau Kambuno.

b. Pulau Liang-liang
Presentase penutupan karang Pulau Liang-liang terbagi dalam beberapa bagian termasuk hard coral
(karang keras), soft coral, dead coral alga, sand, rubble dan alga. Untuk karang keras (hard coral) sendiri
persentase penutupan karangnya sekitar 24 %. Dimana di dalamnya terdapat berbagai macam karang keras
termasuk karang dengan bentuk pertumbuhan massive dan branching. Soft coral sendiri yang terdapat pada
stasiun ini hanya berkisar 13 %. Kurang hard coral dan soft coral pada stasiun ini selain karena pemboman,
pembiusan juga karena pemasangan bubu’ secara tidak teratur oleh masyarakat. Untuk kategori dead coral
alga sendiri diperoleh persentase tutupannya yakni sekitar 20 %. Banyaknya karang yang telah mati baik
akibat dari manusia sendiri maupun alam menyebabkan alga tumbuh pada daerah sekitar karang. Sand dan
rubble sendiri juga mendominasi stasiun ini. Gafik persentase tutupan dasar perairan pulau Liang-li ang
dapat dilihat pada berikut.

8
Persentase tutupan dasar perairan pulau Liang-liang.

D. Dampak Kebijakan Pembangunan Perikanan Terhadap Kesejahteraan Masyarakat


dan Kelestarian Sumberdaya Perikanan Tangkap di Kawasan Pulau-Pulau Sembilan
1. Dampak Kebijakan Pembangunan Perikanan terhadap Kesejahteraan Masyarakat

Berdasarkan hasil penelitian, maka secara umum dapat dipaparkan arah gerak pembangunan
perikanan di kawasan Pulau-pulau Sembilan :
1) Sumberdaya alam, sumberdaya buatan, jasa lingkungan cukup potensial dan
mempunyai prospek pengembangan yang baik. Untuk saat ini kontribusi yang
optimal bagi peningkatan ketahanan ekonomi di kawasan Pulau-pulau Sembilan
melalui pembangunan pengembangan sumberdaya alam, sumberdaya buatan dan jasa
lingkungan belum dalam kondisi yang terarahkan untuk menggali potensi yang ada.
Fakta dilapangan menunjukkan, bahwa hanya aktivitas budidaya rumput laut dan
keramba jaring apung saja yang dapat dikatakan sebagai aktivitas baru yang tidak
berdasarkan pada tradisi masa lalu. Artinya, program pembangunan perikanan
dengan inovasi-inovasi baru dalam memanfaatkan sumberdaya alam hanya
terkontekskan kepada motorisasi perikanan tangkap.
2) Ketidak-beradaan kelembagaan formal yang dapat menjembatani kegiatan produksi
masyarakat menyebabkan kondisi sosial ekonomi masyarakat di kawasan Pulau-pulau
Sembilan belum sepenuhnya dapat menunjang upaya peningkatan ketahanan ekonomi
rumah tangga. Segala bentuk kegiatan produksi masih mengandalkan lembaga-
lembaga ekonomi non formal yang justru telah menciptakan dimensi ketergantungan
dan eksploitasi bagi masyrakat yang marginal;
3) Infrastruktur wilayah yang ada masih terbatas, sehingga belum dapat memberikan
dukungan penuh bagi upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dari delapan
pulau yang ada di kawasan ini, persoalan infrastruktur social dan ekonomi menjadi
permasalahan yang sama dalam menjalani aktivitas hidup keseharian masyarakat di
Pulau-pulau Sembilan. Pembangunan infrastruktur yang ada selama ini masih
bersifat sangat mikro dan terarahkan hanya pada infrastruktur social yang sangat
sederhana seperti pembuatan jalan setapak, drainase dan wc umum. Infrastruktur
ekonomi yang skala makro seperti pabrik es, industry pengolahan menjadi orientasi
dari pemerintah dan pihak swasta.
4) Kebijakan menyangkut kelembagaan tingkat kabupaten masih jauh dari cukup
sehingga belum ada instrumen pengelolaan yang memadai dan dapat bermanfaat bagi

9
aktivitas produksi masyarakat di kawasan Pulau-pulau Sembilan seperti membuka
cabang lembaga perbankan di pulau-pulau kecil.
5) Skala usaha dan produk usaha masih sangat kecil dan berskala lokalitas, sehingga
belum dapat memberi kontribusi yang basar bagi aktivitas produksi masyarakat di
kawasan Pulau-pulau Sembilan. Gambaran ini tertampilkan dari hasil-hasil produk
yang diperdagangkan ke luar pulau. Produk-produk perikanan yang diperjual-belikan
hanya sebatas pasar kecamatan dan kabupaten.
2. Dampak Kebijakan Pembangunan Perikanan terhadap Kelestarian Perikanan Tangkap

Dalam konteks pembangunan perikanan yang mendukung pelestarian perikanan tangkap hanya di
tenggarai oleh muncul dan berkembangnya aktifitas budidaya rumput laut sebagai salah satu mata
pencaharian masyarakar di pulau-pulau Sembilan.menurut informan semenjak berkembangnya bududaya
rumput laut sedikit banyaknya telah merubah prilaku sebahagian masyarakat untuk tidak melakukan
kegiatan-kegiatan penangkapan yang sifatnya merusak (destruktif).namun demikian,upaya pencegahan
atau antisipasi sebagai kebijakan pemerintah (Dinas Kelautan dan Perikanan) kabupaten Sinjai terhadap
kegiatan-kegitan penagkapan yang merusak khususnya pembiusan ikan-ikan karang tidak sama sekali
tertampilkan baik yang bersifat aturan atau regulasi maupun kegiatan-kegiatan yang sifatnya penyadaran
sosial berupa penyuluhan-penyuluhan yang di lakukan. Fakta infirik dilapangan menjadi penjelas akan hal
ini, perkembangan keramba jaring apung sebagai media penampungan bagi pembius ikan-ikan karang
semakin marak hingga saat ini di kawasan pulau kambuno bahkan sampai pulau liang-liang. Menurut
informan salah satu upayah untuk mencegah semakin berkembangnya pembiusan di kawasan pulau-pulau
Sembilan adalah melalui pemberian izin yang ketat oleh dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sinjai
kepada masyarakat yang igin mendirikan keramba jaring apung.
Gambaran di atas memperlihatkan bahwa orientasi pembangunan perikanan pada pulau-pulau
kecil belum manjadi hal yang prioritas atau utama asumsi ini lahir sampai saat ini belum ada kebijakan
yang sifatnya strategis dalam upaya mengoftimalkan dan merlestarikan potensi sumberdaya perairan
secara terpadu dan berkelanjutan.

KESIMPULAN

Adapun kesimpulan dari hasil penelitian adalah sebagai berikut :

1. Terdapat ketidak sesuaian antara konsep zonasi dari pemerintah dengan pemamfatan yang dilakukan
oleh masyarakat,dimana zona pemulihan (rehabilitasi) sebagai rekomendasi zonasi yang dimanfaatkan
masyarakat dalam aktifitas budidaya dan penangkapan

2. Adanya aktifitas pengelolaan yang tidak bertanggung jawab (destruktif) berimplikasi terhadap
terjadinya degradasi ekositem dikawasan pulau-pulau Sembilan

3. Implementasi kebijakan pembagunan perikanan belum sepenuhnya berorientasi terhadap kesejahteraan


masyarakat dan kelestarian sumberdaya perairan di kawasan pulau-pulau sembilan

10
DAFTAR PUSTAKA

Andrianto, L., 2006. Paradigma Social-Ecological System Dalam Pemulihan Mata Pencaharian
Masyarakat Pesisir Pasca Tsunami : Studi Kasus Wilayah Pesisir Krueng Raya,
Kabupaten Aceh barat, Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Seminar 10 tahun PKSPL.
Bogor 15 Agustus 2006

Aronoff, S. 1989. Geographic Information System : A Management Prespective. WDL Publication,


Ottawa, Canada.

Bengen, DG., 2004. Ragam Pemikiran. Menuju Pembangunan Pesisir dan laut Berkelanjutan Berbasis
Eko-sosiosistem. Pusat Pembelajaran dan Pengembangan Pesisir dan Laut (P4L). Bogor

Bock, J.G. 2001. Towards participatory communal appraisal. Community Development 36(2):146-153.
Campbell, J.B. 1987. Introductiom to Remote Sensing. Guilford Press, New York.
Carver, S. Heywood, I., Cornelius, S., and Sear, D. 1996. Evaluation Field Based GIS For
Environmental Characterization, Modeling and Decision Support in GIS and
Environmental Modelling. Progress and Research Issues. GIS World Book. USA

Cesar, H., 1996. Economic Analysis of Indonesian Coral Reefs. The World Bank
Charter, J. 2001. Understansing the municipal finance bill. Hologram Newsletter 6.
http://www.hologram.org.
Chrisman, N. 1997. Exploring Geographic Information System. John Wiley & Sons Inc. USA
Cicin-Sain, B. and Knecht, R.W., 1998. Integrated coastal and ocean management: concepts and
practices. Island Press, Washington, DC. Covelo, California

Dahuri, R., Jacub Rais; Sapta Putra Ginting, M.J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumberdava Wilayah Pesisir
dan Laut Secara Terpadu. Penerbit Pradnya Paramita. Jakarta. 298 hal

Dahuri, R. 2000. Pendayagunaan sumberdaya kelautan untuk kesejahteraan Rakyat (Kumpulan


Pemikiran Rokhmin Dahuri). Kerjasama Lembaga Informasi dan Studi Pembangunan
Indonesia dan Direktorat Jendela Pesisir, Pantai, dan Pulau-pulau Kecil DKP. Jakarta

NRTEE. 1998. Sustainable Strategies for Oceans: a Co-management Guide. National Round Table on
the Environment and the Economy. Ontario

Pascoe, S. and S. Mardle. 2001. Optimal Fleet Size in the English Chanel : A Multi Objective
Programming Approach. European Review of Agricultural Economics, 28 (2) : 161-185

Rais, J, dkk. 2004. Menata Ruang Laut terpadu. Pradnya Paramita, Jakarta
Soetrisno, L. 1995. Menuju Masyarakat Partisipatif. Kanisius. Yogyakarta.
Storey, D. 1999. Issues of integration, partcipation and empowerment in rural development: the case of
LEADER in the Republic of Ireland. Journal of Rural Studies 15(3):307-315.

11

Vous aimerez peut-être aussi