Tanjung Bunga pada tahun 1772. Dalam misinya menyebarkan agama Islam, beliau berbenturan dengan kepentingan kaum adat yang diwariskan oleh Datuk Ketamanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sebatang. Tuanku Imam Bonjol melihat bahwa adat kebiasaan masyarakat perlu disaring dan diuji dengan kebenaran agama. Kebiasaan seperti berjudi, menyabung ayam, dan minum minuman keras, yang dilarang oleh agama serta berakibat buruk bagi manusia, harus ditinggalkan. Oleh karena itu, para imam di bawah pimpinan Tuanku Nan Renceh mengumumkan dimulainya gerakan Padri pada tahun 1803. Gerakan itu ingin membersihkan masyarakat dari segala tindakan dan kebiasaan yang bertentangan dengan agama Islam. Para penghulu adat menuduh kaum Padri bukan hanya melakukan pembersihan agama, namun juga berusaha menguasai seluruh Minangkabau. Oleh karena terdesak, kaum pemangku adat yang mengaku wakil dari Minangkabau meminta bantuan kepada Belanda. Untuk itu, residen
Belanda di Padang yang bernama Du Puy,
menyatakan kesediaannya untuk membantu kaum adat. Kaum adat yang semula berbesar hati atas bantuan ini berubah menjadi benci kepada Belanda. Hal ini karena ternyata Belanda memiliki maksud tersembunyi, yaitu ingin menguasai seluruh Minangkabau. Kaum adat dan Kaum Padri akhirnya bersatu melawan Belanda. Di bawah pimpinan Imam Bonjol, perjuangan terus dilancarkan. Dengan semangat jihad fisabilillah, Imam Bonjol dan pasukannya berusaha melawan Belanda. Peperangan sempat berhenti setelah penandatanganan Perjanjian Masang, pada tahun 1824. Pada saat itu, Belanda sedang memusatkan perhatiannya ke Pulau Jawa karena di Pulau Jawa pecah Perang Diponegoro. Setelah Perang Diponegoro dapat dipatahkan, Belanda mengerahkan pasukannya secara besarbesaran ke seluruh Sumatra Barat. Gubernur Jenderal van den Bosch ikut turun memimpin penyerbuan, namun gagal membujuk Imam Bonjol dengan maklumat plakat panjang. Dengan alasan mengajak berunding, Belanda menjebak dan menangkap Tuanku Imam Bonjol. Selanjutnya, beliau diasingkan ke Cianjur, Jawa Barat. Oleh karena kewibawaan dan pengaruhnya, pemerintah kolonial merasa curiga sehingga memindahkan Tuanku Imam Bonjol ke Ambon dan Manado. Di tempat pengasingan terakhir itu pejuang yang gigih ini tutup usia pada tanggal 6 November 1864. Ada beragam nilai yang dapat diteladani dari perjuangan Tuanku Imam Bonjol. Seorang pemimpin dalam masyarakat akan selalu memikul tanggung jawab besar. Sebagai imam, Tuanku Imam Bonjol harus berjuang memurnikan adat istiadat masyarakat yang tidak baik. Sebagai pemimpin masyarakat, Imam Bonjol harus berhadapan dengan pemerintah kolonial. Selama hidupnya Imam Bonjol telah menjalankan kewajibannya itu dengan tekun dan setia. Segala bujuk rayu Belanda tidak menggoyahkan niatnya untuk membela sekaligus memperjuangkan halhal yang diyakininya.