Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
dan gen normal dari orangtua yang lain adalah seorang pembawa
(carriers). Anak yang mewarisi gen thalasemia dari kedua orangtuanya
akan menderita thalasemia sedang sampai berat (Muncie & Campbell,
2009).
Kelainan yang akan ditemukan pada penderita thalasemia adalah
gangguan sintesis jumlah hemoglobin pada rantai alpha atau rantai beta
sehingga hemoglobin yang terbentuk dalam sel darah merah mempunyai
jumlah rantai protein yang tidak sempurna (kekurangan atau tidak
mempunyai rantai protein). Dalam satu sel darah merah yang normal
mengandung 300 molekul hemoglobin yang akan mengikat oksigen.
Hemoglobin adalah protein sel darah merah (SDM) yang membawa
oksigen. Dalam satu hemoglobin mempunyai empat rantai polipeptida
(dua rantai alpha dan dua rantai beta), yang didalamnya terdapat empat
kompleks heme dengan ikatan besi (Fe), dan empat sisi pengikat oksigen.
Hasil pemeriksaan darah penderita thalasemia akan menunjukkan jumlah
hemoglobin yang kurang dan jumlah SDM yang lebih sedikit dari normal
sehingga akan terjadi suatu keadaan anemia derajat ringan sampai berat.
Keadaan anemia ini yang akan menyebabkan penderita thalasemia
membutuhkan tranfusi darah yang harus dilakukan secara rutin dan
teratur.
c. Epidemiologi
Penyakit thalassemia ini tersebar luas di daerah mediteranian seperti
Italia, Yunani Afrika bagian utara, kawasan Timur Tengah, India Selatan,
SriLangka sampai kawasan Asia Tenggara termasuk Indonesia, daerah ini
di kenal sebagai kawasan thalassemia. Frekuensi thalassemia di Asia
Tenggara adalah antara 3-9% (Tjokronegoro, 2001).
Gen untuk thalassemia- ternyata tersebar luas di dataran Cina tidak
terbatas pada propinsi Guangdong, seperti di duga semula. Seperti
halnya di Muang Thai, thalassemia Hb E tidak jarang terdapat di bagian
Selatan Cina. Frekuensi thalassemia terbesar berpusat di daerah
perbatasan Muang Thai, Laos dan Kamboja dengan frekuensi sebesar 5060% dan juga tersebar di daerah lain Asia Tenggara dengan frekuensi
yang makin berkurang di daerah yang lebih jauh (Tjokronegoro, 2001).
Thalassemia di dapat pula pada orang Negro di Amerika Serikat. Pada
daerah-daerah tertentu di Italia dan di negara-negara mediteranian
frekuensi carrier. Thalassemia beta dapat mencapai 15-20%. Di Muang
Thai 20% penduduknya mempunyai satu atau jenis lain talasemia alfa.
Frekuensi gen untuk Indonesia belum jelas. Di duga sekitar 3-5%, sama
seperti Malaysia dan Singapura. Iskandar wahidayat (1979) melaporkan
bahwa di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta di dapat kasus
baru thalassemia beta per tahun. Di Rumah Sakit Dr. Sutomo, Surabaya
lebih sering di jumpai thalassemia beta Hb E. Hb E trait di Rumah Sakit
Dr. Sutomo adalah 6,5% (frekuensi pada suku Batak, relatif rendah).
, karena adanya 2 gen globin pada tiap pasang kromosom 16. Genotip
normal globulin digambarkan /. Talasemia o, disebabkan beberapa
delesi pada 2 gen tersebut. Homozigot dan heterozigot digambarkan -/- dan /. Jarang sekali Talasemia o disebabkan oleh delesi gen bagian yang mirip
LCR globin, 40 kb di atas kumpulan gen globin atau pemutusan lengan
pendek kromosom 16 (Permono, & Ugrasena, 2006).
Pada beberapa kasus terjadi delesi pada 1 bagian dari pasangan gen globulin,
sedangkan yang lain utuh /. Lainnya memiliki 2 gen globin tapi salah satu
mengalami mutasi sehingga menyebabkan inaktivasi sebagian atau seluruhnya
T/ (Permono, & Ugrasena, 2006).
+
Delesi pada Talasemia diklasifikasikan lebih lanjut dengan 2 varian umum
yang menyebabkan hilangnya 3,7 atau 4,2 kb dari DNA, disebut sebagai 3,7
dan 4,2. Diketahui kemudian bahwa bentuk tersebut sangat heterogen
tergantung dari kelainan genetik yang mendasari delesi. Delesi ini diduga dari
penggabungan dan crossing over pasangan gen tersebut saat meiosis.
Menghasilkan kromosom dengan satu dan kromosom lain dengan triple
(Permono, & Ugrasena, 2006).
Bentuk lain Talasemia yang disebabkan oleh mutasi, mirip Talasemia .
Beberapa disebabkan oleh mutasi pada bagian awal dan pemisahan yang
menghasilkan rantai yang sangat tak stabil dan tidak bisa membentuk
tetramer. Bentuk lain yang sering di populasi Asia Tenggara, mutasi satu basa
kodon terminasi UAA CAA. Sehingga diterjemahkan menjadi glutamin dan
mRNA akan dibaca terus sampai tercapai kodon stop lain. Sehingga dihasilkan
globin yang lebih panjang tapi dalam jumlah sedikit, disebut Hb Constant
Spring sesuai dengan nama kota di Jamaika dimana kelainan ini ditemukan
pertama kali. Jumlahnya 2- 5% dari populasi di Thailand dan negara-negara Asia
Tenggara. Mutasi kodon terminasi bisa bermacam-macam. Satu mutasi pada
sekuen 3 gen globin, yang sering ditemukan di Timur Tengah, adalah AATAA
AATAAG, bagian yang memberi signal poliadenilasi globin mRNA. Suatu proses
yang menstabilisasi mRNA saat berpindah ke sitoplasma. Mutasi ini
menghasilkan penurunan produksi rantai yang bermakna (Permono, &
Ugrasena, 2006).
Sebagai tambahan, didapatkan sindrom Talasemia dengan retardasi mental
ringan (ATR). Dengan penelitian klinis dan molekuler diketahui 2 sindrom, oleh
kromosom 16 (ATR-16) dan kromosom X (ATR-X). ATR-16 berhubungan dengan
retardasi mental ringan dan delesi bagian akhir lengan pendek kromosom 16,
berdiri sendiri atau bersamaan translokasi kromosom. ATR-X diikuti retardasi
mental berat, dan disebabkan oleh mutasi pada XH2 kromosom X. Gen yang
dihasilkan berhubungan dengan faktor transkripsi yang mengatur gen globin
dan fase awal pertumbuhan susunan saraf pusat dan traktus renalis fetus
(Permono, & Ugrasena, 2006).
d. Klasifikasi
e. Hb Barts
Terjadinya delesi 4 gen alpha-globin yang menyebabkan defisiensi
rantai alpha-globin di Hb dan diproduksinya tetramer gamma-globin
(Hb Bart)
Bersifat lethal, kematian seringkali terjadi saat masih di janin atau
tidak lama setelah lahir (hydrops fetalis), walaupun ada juga
penderita yang bisa bertahan dengan transfusi intra-uterine dan
tranfusi berulang setelah dilahirkan.
2. Thalasemia Beta
Thalasemia beta terjadi jika terdapat mutasi pada satu atau dua
rantai globin beta yang ada. Thalasemia beta terdiri dari :
a. Beta Thalasemia Trait.
Thalasemia jenis ini memiliki satu gen normal dan satu gen yang
bermutasi. Penderita mengalami anemia ringan yang ditandai dengan
sel darah merah yang mengecil (mikrositer). Bersifat asimptomatik
dengan sel darah merah hipoktom mikrositik dan kadar Hb
berkurang.
b. Thalasemia Intermedia.
Kondisi ini kedua gen mengalami mutasi tetapi masih bisa produksi
sedikit rantai beta globin. Penderita mengalami anemia yang
derajatnya tergantung dari derajat mutasi gen yang terjadi.
c. Thalasemia Mayor.
Kondisi ini kedua gen mengalami mutasi sehingga tidak dapat
memproduksi rantai beta globin. Gejala muncul pada bayi ketika
berumur 3 bulan berupa anemia yang berat. Penderita thalasemia
mayor tidak dapat membentuk hemoglobin yang cukup sehingga
hampir tidak ada oksigen yang dapat disalurkan ke seluruh tubuh,
yang lama kelamaan akan menyebabkan kekurangan O2, gagal
jantung kongestif, maupun kematian. Penderita thalasemia mayor
memerlukan transfusi darah yang rutin dan perawatan medis demi
kelangsungan hidupnya (Dewi.S 2009 dan Yuki 2008).
Diagnosis Banding
i.
a. Pemeriksaan Laboratorium
a) Darah tepi
Hb rendah dapat mencapai 2-3 gr %
Gambaran morfologi eritrosit: mikrositik hipokromik, sel
target, anisositosis berat dengan makrovaloositosis,
mikrosferosit, polikromasi, basophilic stippling, benda
Howell-jolly, poikilositosis dan sel target. Gambaran ini
lebih kurang khas.
Normoblas di daerah tepi terutama jenis asidofil
(perhatikan normoblas adalah sel darah merah yang masih
berinti sehingga ikut terhitung pada perhitungan lukosit
dengan bilik hitung adalah AL lebih tinggi dari pada
sebenarnya).
Retikulosit meninggi
b) Susunan Tulang (tidak menentukan diagnosis)
Hiperplasi sistem eritropoesis dengan normoblas terbanyak
dari jenis asidofil.
Granula Fe (dengan pengecatan Prussian Blue) meningkat.
c) Pemeriksaan Khusus
HbF meninggi: 20-90% Hb total (alkali denaturasi).
Elektroforesis Hb untuk menunjukkan hemoglobinopati
yang lain maupun mengukur kadar HbF.
Pemeriksaan pedigree untuk memastikan diagnosis: kedua
orang tua pasien thalassemia mayor merupakan trait
(carier) dengan HbA2 meninggi (> 3,5 dari Hb total).
d) Pemeriksaan Lain
Fragilitas eritrosit terhadap larutan NaCl menurun.
b. Pemeriksaan Molekuler
Terdapat ketidakseimbangan produksi rantai polipeptida globin
(fenotif).
c. Pemeriksaan Rntgen
Foto R tulang kepala menunjukkan gambaran hair on end
kortex menipis, diploe melebar dengan traberkula tegak lurus
pada korteks.
Foto tulang pipih dan ujung tulang panjang menunjukkan
perluasan sumsum tulang trabekula tampak jelas.
Riwayat penyakit
(ras, riwayat keluarga, usia awal penyakit, pertumbuhan)
Pemeriksaan fisik
(pucat, ikterus, splenomegali, deformitas skeletal, pigmentasi
Laboratorium darah dan sediaan hapus
(hemoglobin, MCH,MCV, retikulosit, jumlah eritrosit, gambaran darah tepi/termasuk bagian inklusi dalam eritrosit darah tepi atau sumsum
tulang, dan presipitasi HbH
Elektrofosresis hemoglobin
(Adanya Hb abnormal, termasuk analisis pada pH 6-7 untuk HbH dan Hb Barts)
j.
Penatalaksanaan
Pengobatan untuk menyembuhkan thalasemia belum ditemukan, namun
secara umum penatalaksaan untuk penyakit thalasemia (James &
Ashwill, 2007; Potts & Mandleco, 2007; Hockenberry & Wilson, 2009)
adalah
:
1) Transfusi darah (TD)
Transfusi darah dilakukan secara teratur dan rutin, untuk menjaga
kesehatan dan stamina penderita thalasemia, sehingga penderita
tetap bisa beraktivitas. Tranfusi akan memberikan energi baru
kepada penderita karena darah dari transfusi mempunyai kadar
hemoglobin normal yang mampu memenuhi kebutuhan tubuh
penderita. Transfusi dilakukan apabila kadar hemoglobin penderita
<7 mg/dL (Dubey, Parakh & Dublish, 2008), dan dilakukan untuk
mempertahankan kadar hemoglobin diatas 9,5 gr/dL (Hockenberry &
Wilson, 2009). Durasi waktu antar transfusi darah antara 2-4 minggu,
tergantung pada berat badan anak, usia, dan aktivitas anak.
Transfusi darah yang dibutuhkan klien thalasemia berupa PRC
(Packed Red Cell), yang diberikan secara rutin setiap kadar Hb klien
turun dibawah normal (< 10 mg/dl) sebanyak 10-20 cc/kgBB.
2) Konsumsi obat kelasi besi.
Obat kelasi besi diberikan untuk mengeluarkan zat besi dari tubuh
penderita yang terjadi akibat transfusi darah secara teratur dan rutin
dalam jangka waktu lama. Obat kelasi besi yang umum digunakan
adalah desferal (Morris, Singer & Walters, 2006 dalam Hockenberry
dan Wilson, 2009), yang diberikan secara sub kutan (dibawah kulit)
bersamaan atau setelah transfusi darah.
Dimulai jika: feritin 1000 ng/ml atau saturasi transferin 55% atau
sudah menerima 3-5 liter/10-20x transfusi PRC DFO
Dosis:
- Dewasa & anak 3 th : 30-50 mg/kgBB/hari, 5x seminggu
subkutan selama 8-12 jam syringe pump (jk syringe pump (-)
larutkan NaCl 0,9% 500 cc melalui infuse 8-12 jam)
- Anak < 3 th : 15-25 mg/kgBB/hari dgn monitoring ketat
- Ggn fungsi jantung : 60-100 mg/kgBB/hari i.v.
- Hamil : hentikan, kecuali ggn fungsi jantung berat, berikan kembali
pada trimester akhir 20-30 mg/kgBB/hari
Jika pasien tidak patuh:
- Deferiprone 75-100 mg/kgBB/hari 3 x sehari sesudah makan atau
- Deferasirox 20-30 mg/kgBB/hari 1 x sehari
Jika feritin > 3000 ng/ml yg bertahan minimal 3 bln, kardiomiopati
akibat kelebihan besi kombinasi DFO dan deferiprone
3) Cangkok sumsum tulang
Pencangkokan sumsum tulang dilakukan untuk meminimalisasi
kebutuhan seumur hidup penderita thalasemia terhadap transfusi
darah (Potts & Mandleco, 2007). Dengan melakukan pencangkokan
sumsum tulang maka jaringan sumsum tulang penderita diganti
dengan jaringan sumsum donor yang cocok, yang biasanya adalah
saudara kandung atau orangtua penderita. Pencangkokan sumsum
tulang ini sebaiknya dilakukan sedini mungkin, yaitu pada saat anak
belum mengalami kelebihan kadar zat besi akibat transfusi darah,
karena transfusi darah akan memperbesar kemungkinan untuk
terjadinya penolakan terhadap jaringan sumsum tulang donor.
4) Cangkok cord blood
Sama dengan cangkok sumsum tulang, namun stem sel yang
digunakan diambil dari plasenta atau tali pusat dari donor yang
cocok. Donor cord blood ini tidak harus mempunyai hubungan
genetik yang dekat, dan mempunyai kemungkinan yang lebih kecil
terhadap penolakan (CAF & Linker, 2001 dalam Hockenberry dan
Wilson, 2009).
k. Komplikasi
Komplikasi akibat pemberian darah transfuse secara berulang.
Transfusi darah yang dibutuhkan klien thalasemia berupa PRC (Packed
Red Cell), yang diberikan secara rutin setiap kadar Hb klien turun
dibawah normal (< 10 mg/dl) sebanyak 10-20 cc/kgBB.
Pemberian transfusi darah akan menyebabkan pemecahan Hb yang
menghasilkan Fe yang dibutuhkan untuk pembentukan eritrosit yang
l.
Pencegahan
Tubuh Kesehatan Dunia (WHO) menyarankan dua tahap strategi
dalam pencegahan thalassemia. Tahap pertama melibatkan
pengembangan kaedah yang sesuai untuk diagnosa pranatal dan
menggunakannya untuk mengenal dengan pasti pasangan yang
mempunyai risiko tinggi misalnya mereka yang telah mempunyai anak
dengan penyakit thalassemia. Tahap kedua melibatkan penyaringan
penduduk untuk mengenal pasti pembawa dan memberi penjelasan
kepada mereka yang mempunyai resiko. Seterusnya menyediakan
diagnosis pranatal sebelum mereka mempunyai anak-anak yang
mengidap thalassemia. Hal ini bisa menurunkan jumlah bayi yang
mengidap thalassemia (Rusepno, 1985).
m. Prognosis
Talasemia beta homozigot umumnya meninggal pada usia muda dan
jarang mencapai usia dekade ke 3. Walaupun digunakan antibiotik
untuk mencegah infeksi dan pemberian Chelating agents
untuk mengurangi hemosiderosis. Apabila dikemudian hari transplantasi
sum sum tulang dapat diterapkan maka prgnosis akan baik karena
diperoleh penyembuhan.
Talasemia mayor pada umumnya prognosa jelek, biasanya orang
dengan talasemia mayor jarang mencapai umur dewasa walaupun ada
yang melaporkan bahwa dengan mempertahankan kadar Hb yang tinggi
dapat memperpanjang umur penderita sampai 20 tahun.
Sumber:
http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2010/03/pemasangan_desferal.pdf
http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20280932-T%20Ganis%20Indriati.pdf
http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/146/jtptunimus-gdl-ekowidyast-7282-3babii.pdf
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/718/1/08E00109.pdf
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/2063/1/08E00848.pdf
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31348/5/Chapter%20I.pdf
https://www.us.elsevierhealth.com/media/us/samplechapters/9780443103629/978
0443103629.pdf