Vous êtes sur la page 1sur 16

1.

Memahami dan Menjelaskan Globin


a. Definisi
Globin adalah suatu protein yang terdiri dari 2 pasang rantai
polipeptida. Rantai polipeptida ini terdiri dari 2 pasang rantai dengan
jumlah, jenis dan urutan asam amino tertentu. Masing-masing rantai
polipeptida mengikat 1 gugus heme. Sintesis globin terjadi di eritroblast
dini atau basofilik dan berlanjut dengan tingkat terbatas sampai di
retikulosit. Gen-gen untuk sintesis globin terletak di kromosom 11 (rantai
gamma,delta & beta) dan kromosom 16 (rantai alfa). Manusia
mempunyai 6 rantai polipeptida globin yaitu rantai dan non yang
terdiri dari , , , ,
Globin adalah suatu protein yang terdiri dari dua pasang rantai
polipeptida, yang terdiri dari 2 pasang rantai dengan jumlah, jenis dan
urutan asam amino tertentu. Masing-masing rantai polipeptida mengikat
satu gugus heme. Gen globin memiliki rantai mempunyai 141 asam
amino dan rantai mempunyai 146 asam amino.4
b. Struktur

Gambar 1.2 Struktur Gen Globin3


Hemoglobin terdiri dari 4 molekul zat besi (heme), 2 molekul rantai globin
alpha dan 2 molekul rantai globin beta. Orang dewasa normal membentuk
HB A (Adult = A1). Kadarnya mencapai kurang lebih 95% dari seluruh
hemoglobin. Sisanya terdiri dari Hb A2 yang kadarnya tidak lebih dari 2%
sedangkan HbF (Foetus) setelah lahir senantiasa kadar menurun dan pada
usia 6 bulan ke atas mencapai kadar seperti orang dewasa, yaitu tidak lebih
dari 4% pada keadaan normal.1,2
Tetramer globin Hb A1 terdiri atas rantai polipeptida: 2 rantai alfa dan 2
rantai beta (alfa-alfa/beta-beta), sedangkan polipeptida Hb A2 terdiri dari 2
rantai alfa dan 2 rantai delta (alfa-alfa/ delta-delta). Pada Hb F: tetramer ini
terdiri atas 2 rantai alfa dan 2 rantai gama (alfa-alfa/ gama-gama).1
c. Fungsi
d. Sintesis

Proses sintesis hemoglobin yang normal memerlukan cadangan zat besi


yang mencukupi dan produksi protoporphyrin dan globin yang normal.
Proses sintesis protoporphyrin dimulai di dalam mitokondria dengan
pembentukan delta aminolevulenic acid (ALA) daripada glycine dan
succinyl-CoA yang berasal dari siklus asam sitrat. Seterusnya, proses
dilanjutkan dengan pembentukan porphobilinogen, uroporphyrin dan
coproporphyrin yang terjadi di sitoplasma sel. Dua molekul ALA bergabung
membentuk porphobilinogen yang mengandung satu rantai pyrrole. Melalui
proses deaminasi, empat prophobilinogen digabungkan menjadi
hydroxymethyl bilane, yang kemudiannya dihidrolisis menjadi uroporphyrin.
Uroporphyrin kemudiannya mengalami dekarboksilasi menjadi coporphyrin.
Enzim coporphyrin oxidase mengoksidasi coporphyrin kepada
protpoporphyrinogen. Protoporphyrinogen seterusnya dioksidaksikan
membentuk protoporphyrin. Proses terakhir adalah penggabungan rantai
protoporphyrin dengan ion ferous, Fe2+ lalu membentuk molekul Heme.
Proses ini berlaku di dalam mitokondria (Hillman, Ault dan Rinder, 2005).
Rantai globin pula digabungkan oleh ribosom sitoplasmik yang dikawal
oleh dua kluster gene pada kromosom 11 dan 16. Hasil akhirnya adalah
molekul globin yang tetramer yaitu dua rantai -globin dan dua rantai non-globin. Penggabungan molekul hemoglobin ini berlaku di sitoplasma sel.
Terdapat sebilangan kecil zat besi, protoporphyrin dan rantai globin bebas
yang tersisa selepas proses sitesis hemoglobin selesai. Zat besi tersebut
disimpan sebagai ferritin dan porphyrin pula diubah kepada zinc (Hillman,
Ault dan Rinder, 2005).
e. Kelainan
2. Memahami dan Menjelaskan Thalassemia
a. Definisi
Thalassemia adalah sekelompok kelainan darah herediter yang
ditandai dengan berkurangnya atau tidak ada sama sekali sintesis rantai
globin, sehingga menyebabkan Hb berkurang dalam sel-sel darah merah,
penurunan produksi sel-sel darah merah dan anemia.
b. Etiologi dan Faktor
Etiologi
Thalasemia adalah penyakit herediter yang diturunkan orangtua kepada
anaknya. Anak yang mewarisi gen thalasemia dari salah satu orangtua

dan gen normal dari orangtua yang lain adalah seorang pembawa
(carriers). Anak yang mewarisi gen thalasemia dari kedua orangtuanya
akan menderita thalasemia sedang sampai berat (Muncie & Campbell,
2009).
Kelainan yang akan ditemukan pada penderita thalasemia adalah
gangguan sintesis jumlah hemoglobin pada rantai alpha atau rantai beta
sehingga hemoglobin yang terbentuk dalam sel darah merah mempunyai
jumlah rantai protein yang tidak sempurna (kekurangan atau tidak
mempunyai rantai protein). Dalam satu sel darah merah yang normal
mengandung 300 molekul hemoglobin yang akan mengikat oksigen.
Hemoglobin adalah protein sel darah merah (SDM) yang membawa
oksigen. Dalam satu hemoglobin mempunyai empat rantai polipeptida
(dua rantai alpha dan dua rantai beta), yang didalamnya terdapat empat
kompleks heme dengan ikatan besi (Fe), dan empat sisi pengikat oksigen.
Hasil pemeriksaan darah penderita thalasemia akan menunjukkan jumlah
hemoglobin yang kurang dan jumlah SDM yang lebih sedikit dari normal
sehingga akan terjadi suatu keadaan anemia derajat ringan sampai berat.
Keadaan anemia ini yang akan menyebabkan penderita thalasemia
membutuhkan tranfusi darah yang harus dilakukan secara rutin dan
teratur.
c. Epidemiologi
Penyakit thalassemia ini tersebar luas di daerah mediteranian seperti
Italia, Yunani Afrika bagian utara, kawasan Timur Tengah, India Selatan,
SriLangka sampai kawasan Asia Tenggara termasuk Indonesia, daerah ini
di kenal sebagai kawasan thalassemia. Frekuensi thalassemia di Asia
Tenggara adalah antara 3-9% (Tjokronegoro, 2001).
Gen untuk thalassemia- ternyata tersebar luas di dataran Cina tidak
terbatas pada propinsi Guangdong, seperti di duga semula. Seperti
halnya di Muang Thai, thalassemia Hb E tidak jarang terdapat di bagian
Selatan Cina. Frekuensi thalassemia terbesar berpusat di daerah
perbatasan Muang Thai, Laos dan Kamboja dengan frekuensi sebesar 5060% dan juga tersebar di daerah lain Asia Tenggara dengan frekuensi
yang makin berkurang di daerah yang lebih jauh (Tjokronegoro, 2001).
Thalassemia di dapat pula pada orang Negro di Amerika Serikat. Pada
daerah-daerah tertentu di Italia dan di negara-negara mediteranian
frekuensi carrier. Thalassemia beta dapat mencapai 15-20%. Di Muang
Thai 20% penduduknya mempunyai satu atau jenis lain talasemia alfa.
Frekuensi gen untuk Indonesia belum jelas. Di duga sekitar 3-5%, sama
seperti Malaysia dan Singapura. Iskandar wahidayat (1979) melaporkan
bahwa di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta di dapat kasus
baru thalassemia beta per tahun. Di Rumah Sakit Dr. Sutomo, Surabaya
lebih sering di jumpai thalassemia beta Hb E. Hb E trait di Rumah Sakit
Dr. Sutomo adalah 6,5% (frekuensi pada suku Batak, relatif rendah).

Selama 15 tahun Untario mencatat seluruhnya 134 kasus thalassemia


beta.
Untuk talasemia alfa di daerah perbatasan Muang Thai dan Laos
frekuensinya berkisar 30-40%, kemudian tersebar dalam frekuensi lebih
rendah di Asia Tenggara termasuk Indonesia (Tjokronegoro, 2001).
Talasemia Beta
Lebih 150 mutasi telah diketahui tentang Talasemia , sebagian
besar disebabkan perubahan pada satu basa, delesi atau insersi 1-2 basa pada
bagian yang sangat berpengaruh. Hal ini bisa terjadi pada intron, ekson
ataupun diluar gen pengode (Permono, & Ugrasena, 2006).
Satu substitusi disebut mutasi non sense menyebabkan perubahan satu basa
pada ekson yang mengode kodon stop pada mRNA. Hal ini menyebabkan
terminasi sintesis rantai globin menjadi lebih pendek dan tidak tahan lama.
Satu mutasi lain yang disebut frameshift menyebabkan 1-2 basa tidak dibaca
sehingga menghasilkan kodon stop baru. Mutasi pada intron, ekson atau
perbatasannya, mengganggu pelepasan ekson dari prekursor mRNA. Misalnya
satu substitusi pada GT atau AG pada intron- ekson junction mengganggu
pemisahan, beberapa mutasi pada bagian ini menyebabkan penurunan
produksi globin. Mutasi pada sekuen ekson menjadi menyerupai intron-ekson
junction mengaktivasi terjadinya pemisahan. Misalnya sekuen yang
menyerupai IVS-1 dan kodon 24-27 pada ekson 1 gen globin , mutasi pada
kodon 19 (A-G), 26 (G-A) dan 27 (G-T) menyebabkan penurunan jumlah mRNA
karena splicing abnormal dan substitusi asam amino pada mRNA normal yang
diterjemahkan menjadi protein. Hemoglobin abnormal yang dihasilkan adalah
hemoglobin Malay, E dan Knossos yang memberikan fenotip Talasemia minor
(Permono, & Ugrasena, 2006).
Substitusi satu basa juga terjadi pada bagian kosong gen globin .
Bila mengenai bagian promoter, menurunkan jumlah transkripsi gen
globin dan menyebabkan Talasemia minor. Mutasi pada bagian akhir (3)
mempengaruhi prosesing mRNA dan menyebabkan Talasemia mayor
(Permono, & Ugrasena, 2006).
Karena banyaknya mutasi pada Talesemia , pasien yang nampaknya
homozigot mungkin merupakan heterozigot dari 2 lesimolekuler yang berbeda.
Jarang sekali pasien dengan Talasemia memiliki Hb A2 normal, biasanya hal
ini terjadi pada gabungan Talasemia dan (Permono, & Ugrasena, 2006).
Talasemia dibagi menjadi ()+ dan ()o. Talasemia ()+ dihasilkan oleh
penggabungan gen dan selama miosis, menghasilkan varian fenotip
Talasemia . Pada Talasemia ()o, terjadi delesi gen dan , dengan gen
yang utuh. Delesi yang lebih panjang yang juga mengenai LCR gen globin,
menginaktifkan seluruh komplek gen dan menghasilkan Talasemia ()o
(Permono, & Ugrasena, 2006).
Talasemia Alfa
Patologi molekular dan genetik pada Talesemia lebih komplek dari Talesemia

, karena adanya 2 gen globin pada tiap pasang kromosom 16. Genotip
normal globulin digambarkan /. Talasemia o, disebabkan beberapa
delesi pada 2 gen tersebut. Homozigot dan heterozigot digambarkan -/- dan /. Jarang sekali Talasemia o disebabkan oleh delesi gen bagian yang mirip
LCR globin, 40 kb di atas kumpulan gen globin atau pemutusan lengan
pendek kromosom 16 (Permono, & Ugrasena, 2006).
Pada beberapa kasus terjadi delesi pada 1 bagian dari pasangan gen globulin,
sedangkan yang lain utuh /. Lainnya memiliki 2 gen globin tapi salah satu
mengalami mutasi sehingga menyebabkan inaktivasi sebagian atau seluruhnya
T/ (Permono, & Ugrasena, 2006).
+
Delesi pada Talasemia diklasifikasikan lebih lanjut dengan 2 varian umum
yang menyebabkan hilangnya 3,7 atau 4,2 kb dari DNA, disebut sebagai 3,7
dan 4,2. Diketahui kemudian bahwa bentuk tersebut sangat heterogen
tergantung dari kelainan genetik yang mendasari delesi. Delesi ini diduga dari
penggabungan dan crossing over pasangan gen tersebut saat meiosis.
Menghasilkan kromosom dengan satu dan kromosom lain dengan triple
(Permono, & Ugrasena, 2006).
Bentuk lain Talasemia yang disebabkan oleh mutasi, mirip Talasemia .
Beberapa disebabkan oleh mutasi pada bagian awal dan pemisahan yang
menghasilkan rantai yang sangat tak stabil dan tidak bisa membentuk
tetramer. Bentuk lain yang sering di populasi Asia Tenggara, mutasi satu basa
kodon terminasi UAA CAA. Sehingga diterjemahkan menjadi glutamin dan
mRNA akan dibaca terus sampai tercapai kodon stop lain. Sehingga dihasilkan
globin yang lebih panjang tapi dalam jumlah sedikit, disebut Hb Constant
Spring sesuai dengan nama kota di Jamaika dimana kelainan ini ditemukan
pertama kali. Jumlahnya 2- 5% dari populasi di Thailand dan negara-negara Asia
Tenggara. Mutasi kodon terminasi bisa bermacam-macam. Satu mutasi pada
sekuen 3 gen globin, yang sering ditemukan di Timur Tengah, adalah AATAA
AATAAG, bagian yang memberi signal poliadenilasi globin mRNA. Suatu proses
yang menstabilisasi mRNA saat berpindah ke sitoplasma. Mutasi ini
menghasilkan penurunan produksi rantai yang bermakna (Permono, &
Ugrasena, 2006).
Sebagai tambahan, didapatkan sindrom Talasemia dengan retardasi mental
ringan (ATR). Dengan penelitian klinis dan molekuler diketahui 2 sindrom, oleh
kromosom 16 (ATR-16) dan kromosom X (ATR-X). ATR-16 berhubungan dengan
retardasi mental ringan dan delesi bagian akhir lengan pendek kromosom 16,
berdiri sendiri atau bersamaan translokasi kromosom. ATR-X diikuti retardasi
mental berat, dan disebabkan oleh mutasi pada XH2 kromosom X. Gen yang
dihasilkan berhubungan dengan faktor transkripsi yang mengatur gen globin
dan fase awal pertumbuhan susunan saraf pusat dan traktus renalis fetus
(Permono, & Ugrasena, 2006).
d. Klasifikasi

Thalasemia diklasifikasikan berdasarkan molekuler menjadi dua yaitu


thalasemia alfa dan thalasemia beta.
1. Thalasemia Alfa
Thalasemia ini disebabkan oleh mutasi salah satu atau seluruh globin
rantai alfa yang ada. Thalasemia alfa terdiri dari :
a. Silent Carrier State
Gangguan pada 1 rantai globin alfa. Keadaan ini tidak timbul gejala
sama sekali atau sedikit kelainan berupa sel darah merah yang
tampak lebih pucat.
b. Alfa Thalasemia Trait
Gangguan pada 2 rantai globin alpha. Penderita mengalami anemia
ringan dengan sel darah merah hipokrom dan mikrositer, dapat
menjadi carrier.
Delesi single rantai alpha-globin, nilai MCV dan MCH rendah.
Penderita carrier sulit diidentifikasikan karena hemoglobin
elektroporesis dalam keadaan normal.
c. Hb H Disease
Gangguan pada 3 rantai globin alfa. Penderita dapat bervariasi mulai
tidak ada gejala sama sekali, hingga anemia yang berat yang disertai
dengan perbesaran limpa.
Terjadi delesi 3 gen dari 4 alpha-globin.
Manifestasi klinisnya berupa anemia hemolitik kronis (Hb 70-11
g/L) disertai dengan splenomegaly dan kadang-kadang
hepatomegaly. Perubahan tulang yang berat serta retardasi
pertumbuhan yang tidak biasa.
Sediaan darah tepi menunjukan sel darah merah mikrositik
hipokromatik, disertai poikilositosis, polkromasia dan sel target.
d. Alfa Thalassemia Mayor
Gangguan pada 4 rantai globin alpha. Thalasemia tipe ini merupakan
kondisi yang paling berbahaya pada thalassemia tipe alfa. Kondisi ini
tidak terdapat rantai globin yang dibentuk sehingga tidak ada HbA
atau HbF yang diproduksi. Janin yang menderita alpha thalassemia
mayor pada awal kehamilan akan mengalami anemia, membengkak
karena kelebihan cairan, perbesaran hati dan limpa. Janin ini
biasanya mengalami keguguran atau meninggal tidak lama setelah
dilahirkan.

e. Hb Barts
Terjadinya delesi 4 gen alpha-globin yang menyebabkan defisiensi
rantai alpha-globin di Hb dan diproduksinya tetramer gamma-globin
(Hb Bart)
Bersifat lethal, kematian seringkali terjadi saat masih di janin atau
tidak lama setelah lahir (hydrops fetalis), walaupun ada juga
penderita yang bisa bertahan dengan transfusi intra-uterine dan
tranfusi berulang setelah dilahirkan.

2. Thalasemia Beta
Thalasemia beta terjadi jika terdapat mutasi pada satu atau dua
rantai globin beta yang ada. Thalasemia beta terdiri dari :
a. Beta Thalasemia Trait.
Thalasemia jenis ini memiliki satu gen normal dan satu gen yang
bermutasi. Penderita mengalami anemia ringan yang ditandai dengan
sel darah merah yang mengecil (mikrositer). Bersifat asimptomatik
dengan sel darah merah hipoktom mikrositik dan kadar Hb
berkurang.
b. Thalasemia Intermedia.
Kondisi ini kedua gen mengalami mutasi tetapi masih bisa produksi
sedikit rantai beta globin. Penderita mengalami anemia yang
derajatnya tergantung dari derajat mutasi gen yang terjadi.
c. Thalasemia Mayor.
Kondisi ini kedua gen mengalami mutasi sehingga tidak dapat
memproduksi rantai beta globin. Gejala muncul pada bayi ketika
berumur 3 bulan berupa anemia yang berat. Penderita thalasemia
mayor tidak dapat membentuk hemoglobin yang cukup sehingga
hampir tidak ada oksigen yang dapat disalurkan ke seluruh tubuh,
yang lama kelamaan akan menyebabkan kekurangan O2, gagal
jantung kongestif, maupun kematian. Penderita thalasemia mayor
memerlukan transfusi darah yang rutin dan perawatan medis demi
kelangsungan hidupnya (Dewi.S 2009 dan Yuki 2008).

Menyebabkan anemia berat (Hb <70g/dl)


Dikenal dengan Cooleys anemia
Manifestasi klinis meliputi pucat, sering infeksi, kurang nafsu
makan, gagal tumbuh, jaundice (menguningnya kulit dan putih
mata), pembesaran organ.
Penderita beta-thalassemia major memerlukan transfusi darah
rutin

e. Patofisiologi dan Patogenesis


Patofisiologi
Darah manusia terdiri dari 2 komponen utama yaitu plasma darah dan
sel darah. Plasma darah sebagian besar terdiri dari air, sedangkan sel
darah terdiri dari sel darah merah (SDM), sel darah putih (leukosit) dan
trombosit (platelet). Setiap komponen darah mempunyai fungsi spesifik
dan secara bersamaan akan mendukung darah menjalankan fungsinya
dalam membawa substansi yang dibutuhkan dalam metabolisme sel di
jaringan, mengatur keseimbangan asam basa tubuh, dan melindungi
tubuh terhadap infeksi dan luka (McCance, 2002 dalam Potts &
Mandleco, 2007).
Sel darah merah (SDM) mempunyai fungsi utama untuk menyediakan
oksigen bagi jaringan tubuh dan hal ini dimungkinkan karena bentuk,
ukuran dan strukturnya. Kemampuan SDM untuk menyuplai oksigen
didukung oleh adanya hemoglobin (Hb) yang berlimpah dalam darah,
dimana dalam sebuah SDM terdapat 300 molekul hemoglobin. Dalam
satu hemoglobin mempunyai empat rantai polipeptida (dua rantai alpha
dan dua rantai beta), yang didalamnya terdapat empat kompleks heme
dengan ikatan besi (Fe), dan empat sisi pengikat oksigen (Potts &
Mandleco, 2007).
Pada thalasemia terjadi gangguan jumlah sintesis rantai hemoglobin,
yaitu pada rantai alpha atau rantai beta (berdasarkan rantai globin yang
terkena) dan mayor atau minor tergantung pada banyaknya jumlah gen
yang mengalami gangguan. Dari semua jenis thalasemia, beta thalasemia
mayor merupakan jenis yang tersering dialami oleh anak-anak (Kline,
2002).
Pada beta thalasemia mayor (sering disebut thalasemia mayor)
terdapat defisiensi parsial atau total sintesis rantai beta molekul
hemoglobin. Sebagai akibatnya terdapat kompensasi berupa
peningkatan sintesis rantai alpha, sementara produksi rantai gamma
tetap aktif sehingga akan menghasilkan pembentukan hemoglobin yang
tidak sempurna (cacat). Rantai polipeptida yang tidak seimbang ini
sangat tidak stabil dan ketika terurai akan merusak sel darah merah
(hemolisis) sehingga terjadi anemia berat. Untuk mengimbangi proses
hemolisis, sumsum tulang akan membentuk eritrosit dengan juml
Patogenesis

Talasemia merupakan sindrom kelainan yang disebabkan oleh


gangguan sintesis hemoglobin akibat mutasi di dalam atau dekat gen
globin. Pada Talasemia mutasi gen globin ini dapat menimbulkan
perubahan rantai globin dan , berupa perubahan kecepatan sintesis
(rate of synthesis) atau kemampuan produksi rantai globin tertentu,
dengan akibat menurunnya atau tidak diproduksinya rantai globin
tersebut. Perubahan ini diakibatkan oleh adanya mutasi gen globin pada
clusters gen atau berupa bentuk delesi atau non delesi. Walaupun
telah lebih dari dua ratus mutasi gen Talasemia yang telah diidentifikasi,
selalunya pada analisis DNA Talasemia dapat ditentukan jenis mutasi
gennya. Hal inilah yang merupakan kendala terapi gen pada Talasemia
(Atmakusuma, & Setyaningsih, 2009).
Cluster gen- terletak pada kromosom 16. Ia terdiri atas gen-
fungsional dan dua gen- (1 dan 2). Exon kedua gen globin- memiliki
sekuens yang identikal. Produksi mRNA 2 melebihi produksi mRNA 1,
oleh faktor 1,5 ke 3 (Atmakusuma, & Setyaningsih, 2009).
Cluster gen terletak pada kromosom 11. Ia terdiri atas satu gen
fungsional, gen G, gen A, gen dan gen . Flanking regions
mengandung conserved sequences, penting untuk ekspresi gen
(Atmakusuma, & Setyaningsih, 2009).
Cluster gen globin diatur oleh mekanisme kontrol yang kompleks.
Transkrip primer adalah prekursor mRNA yang besar, dengan kedua
sekuens intron dan exon, yang secara ekstensif diproses di dalam nukleus
untuk menghasilkan mRNA akhir (Atmakusuma, & Setyaningsih, 2009).
Globin- yang diproduksi dalam konsentrasi rendah mulai minggu
ke 8 sampai ke 10 masa fetus dan sangat meningkat pada gestasi 39
minggu. Globin- yang diproduksi dalam konsentrasi pada awalnya, mulai
menurun pada gestasi 36 minggu. Pada saat kelahiran, globin- dan
globin- diproduksi decara seimbang. Pada usia 1 tahun, produksi globin kurang dari 1 persen dari produksi globin non- total. Mekanisme
perubahan tidak jelas, mungkin melibatkan a time clock dalam sel asal
(stem cells) hemopoiesis. Sintesis hemoglobin fetal dapat direaktivasi
pada orang dewasa bila terjadi stress hemopoiesis (Atmakusuma, &
Setyaningsih, 2009).
f. Manifestasi Klinis
Pada penderita thalasemia, menurut James dan Ashwill (2007) akan
ditemukan beberapa kelainan diantaranya:
1) Anemia dengan gejala seperti pucat, demam tanpa penyebab yang
jelas, tidak nafsu makan, infeksi berulang dan pembesaran limpa/hati.
2) Anemia progresif yang ditandai dengan hipoksia kronis seperti
nyeri kepala, nyeri precordial, tulang, penurunan toleransi terhadap
latihan, lesu dan anorexia.

3) Perubahan pada tulang, tulang akan mengalami penipisan dan


kerapuhan akibat sumsum tulang yang bekerja keras untuk memenuhi
kebutuhan kekurangan hemoglobin dalam sel darah. Hal ini terjadi
pada tulang kepala, frontal, parietal, molar yang menjadi lebih
menonjol, batang hidung menjadi lebih datar atau masuk ke dalam
dengan tulang pipi yang menonjol. Keadaan ini disebut facies cooley,
yang merupakan ciri khas thalasemia mayor.
g. Faktor Resiko
h. Diagnosis dan Diagnosis Banding
Diagnosis
Penderita pertama datang dengan keluhan anemia/pucat, tidak nafsu
makan dan perut membesar. Keluhan umumnya muncul pada usia 6
bulan, kemudian dilakukan pemeriksaan fisis yang meliputi bentuk muka
mongoloid (facies Cooley), ikterus, gangguan pertumbuhan,
splenomegali dan hepatomegali.
Terdapat empat diagnosis utama jika seseorang menderita talasemia.
Pertama, terdapat gambaran sel darah merah mikrositik yang banyak
sehingga nilainya jatuh kepada diagnosis anemia. Kedua, dari anamnesa
terdapat riwayat keluarga yang menderita penyakit yang sama. Ketiga,
gambaran sel darah merah yang abnormal yakni mikrositik, acanthocytes
dan terdapat sel target. Keempat, untuk Talasemia beta, terdapat
peningkatan hemoglobin 2 atau F (Linker, 1996).

Diagnosis Banding

i.

Pemeriksaan Fisik dan Penunjang


1) Anamnesis
a. Anemia sejak masa bayi, biasanya tampak setelah umur 6 bulan.
Pertumbuhan kurang, perut buncit, aktifitas fisik kurang.
b. Dari anamaesis keluarga sering terungkap adanya anggota
keluarga dengan gambaran penyakit serupa.
2) Pemeriksaan Fisik
a. Anak tampak anemia (konjungtiva pucat), fragil dengan
ekstrimitas kecil-kecil, perut membuncit.
b. Facies mongoloid, hipertelorismus, rodent like appearance.
c. Splenomegali, mungkin juga hepatomegali.
3) Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan Laboratorium
a) Darah tepi
Hb rendah dapat mencapai 2-3 gr %
Gambaran morfologi eritrosit: mikrositik hipokromik, sel
target, anisositosis berat dengan makrovaloositosis,
mikrosferosit, polikromasi, basophilic stippling, benda
Howell-jolly, poikilositosis dan sel target. Gambaran ini
lebih kurang khas.
Normoblas di daerah tepi terutama jenis asidofil
(perhatikan normoblas adalah sel darah merah yang masih
berinti sehingga ikut terhitung pada perhitungan lukosit
dengan bilik hitung adalah AL lebih tinggi dari pada
sebenarnya).
Retikulosit meninggi
b) Susunan Tulang (tidak menentukan diagnosis)
Hiperplasi sistem eritropoesis dengan normoblas terbanyak
dari jenis asidofil.
Granula Fe (dengan pengecatan Prussian Blue) meningkat.
c) Pemeriksaan Khusus
HbF meninggi: 20-90% Hb total (alkali denaturasi).
Elektroforesis Hb untuk menunjukkan hemoglobinopati
yang lain maupun mengukur kadar HbF.
Pemeriksaan pedigree untuk memastikan diagnosis: kedua
orang tua pasien thalassemia mayor merupakan trait
(carier) dengan HbA2 meninggi (> 3,5 dari Hb total).
d) Pemeriksaan Lain
Fragilitas eritrosit terhadap larutan NaCl menurun.
b. Pemeriksaan Molekuler
Terdapat ketidakseimbangan produksi rantai polipeptida globin
(fenotif).
c. Pemeriksaan Rntgen
Foto R tulang kepala menunjukkan gambaran hair on end
kortex menipis, diploe melebar dengan traberkula tegak lurus
pada korteks.
Foto tulang pipih dan ujung tulang panjang menunjukkan
perluasan sumsum tulang trabekula tampak jelas.

Riwayat penyakit
(ras, riwayat keluarga, usia awal penyakit, pertumbuhan)

Pemeriksaan fisik
(pucat, ikterus, splenomegali, deformitas skeletal, pigmentasi
Laboratorium darah dan sediaan hapus
(hemoglobin, MCH,MCV, retikulosit, jumlah eritrosit, gambaran darah tepi/termasuk bagian inklusi dalam eritrosit darah tepi atau sumsum
tulang, dan presipitasi HbH
Elektrofosresis hemoglobin
(Adanya Hb abnormal, termasuk analisis pada pH 6-7 untuk HbH dan Hb Barts)

Penentuan HbA2 dan HbF


(untuk memastikan thalassemia beta

Distribusi HbF intraselular

j.

Sintesis rantai globin

analisis struktural Hb varian (misal : Hb ;


Lepore)

Penatalaksanaan
Pengobatan untuk menyembuhkan thalasemia belum ditemukan, namun
secara umum penatalaksaan untuk penyakit thalasemia (James &
Ashwill, 2007; Potts & Mandleco, 2007; Hockenberry & Wilson, 2009)
adalah
:
1) Transfusi darah (TD)
Transfusi darah dilakukan secara teratur dan rutin, untuk menjaga
kesehatan dan stamina penderita thalasemia, sehingga penderita
tetap bisa beraktivitas. Tranfusi akan memberikan energi baru
kepada penderita karena darah dari transfusi mempunyai kadar
hemoglobin normal yang mampu memenuhi kebutuhan tubuh
penderita. Transfusi dilakukan apabila kadar hemoglobin penderita
<7 mg/dL (Dubey, Parakh & Dublish, 2008), dan dilakukan untuk
mempertahankan kadar hemoglobin diatas 9,5 gr/dL (Hockenberry &
Wilson, 2009). Durasi waktu antar transfusi darah antara 2-4 minggu,
tergantung pada berat badan anak, usia, dan aktivitas anak.
Transfusi darah yang dibutuhkan klien thalasemia berupa PRC
(Packed Red Cell), yang diberikan secara rutin setiap kadar Hb klien
turun dibawah normal (< 10 mg/dl) sebanyak 10-20 cc/kgBB.
2) Konsumsi obat kelasi besi.
Obat kelasi besi diberikan untuk mengeluarkan zat besi dari tubuh
penderita yang terjadi akibat transfusi darah secara teratur dan rutin
dalam jangka waktu lama. Obat kelasi besi yang umum digunakan
adalah desferal (Morris, Singer & Walters, 2006 dalam Hockenberry

dan Wilson, 2009), yang diberikan secara sub kutan (dibawah kulit)
bersamaan atau setelah transfusi darah.
Dimulai jika: feritin 1000 ng/ml atau saturasi transferin 55% atau
sudah menerima 3-5 liter/10-20x transfusi PRC DFO
Dosis:
- Dewasa & anak 3 th : 30-50 mg/kgBB/hari, 5x seminggu
subkutan selama 8-12 jam syringe pump (jk syringe pump (-)
larutkan NaCl 0,9% 500 cc melalui infuse 8-12 jam)
- Anak < 3 th : 15-25 mg/kgBB/hari dgn monitoring ketat
- Ggn fungsi jantung : 60-100 mg/kgBB/hari i.v.
- Hamil : hentikan, kecuali ggn fungsi jantung berat, berikan kembali
pada trimester akhir 20-30 mg/kgBB/hari
Jika pasien tidak patuh:
- Deferiprone 75-100 mg/kgBB/hari 3 x sehari sesudah makan atau
- Deferasirox 20-30 mg/kgBB/hari 1 x sehari
Jika feritin > 3000 ng/ml yg bertahan minimal 3 bln, kardiomiopati
akibat kelebihan besi kombinasi DFO dan deferiprone
3) Cangkok sumsum tulang
Pencangkokan sumsum tulang dilakukan untuk meminimalisasi
kebutuhan seumur hidup penderita thalasemia terhadap transfusi
darah (Potts & Mandleco, 2007). Dengan melakukan pencangkokan
sumsum tulang maka jaringan sumsum tulang penderita diganti
dengan jaringan sumsum donor yang cocok, yang biasanya adalah
saudara kandung atau orangtua penderita. Pencangkokan sumsum
tulang ini sebaiknya dilakukan sedini mungkin, yaitu pada saat anak
belum mengalami kelebihan kadar zat besi akibat transfusi darah,
karena transfusi darah akan memperbesar kemungkinan untuk
terjadinya penolakan terhadap jaringan sumsum tulang donor.
4) Cangkok cord blood
Sama dengan cangkok sumsum tulang, namun stem sel yang
digunakan diambil dari plasenta atau tali pusat dari donor yang
cocok. Donor cord blood ini tidak harus mempunyai hubungan
genetik yang dekat, dan mempunyai kemungkinan yang lebih kecil
terhadap penolakan (CAF & Linker, 2001 dalam Hockenberry dan
Wilson, 2009).
k. Komplikasi
Komplikasi akibat pemberian darah transfuse secara berulang.
Transfusi darah yang dibutuhkan klien thalasemia berupa PRC (Packed
Red Cell), yang diberikan secara rutin setiap kadar Hb klien turun
dibawah normal (< 10 mg/dl) sebanyak 10-20 cc/kgBB.
Pemberian transfusi darah akan menyebabkan pemecahan Hb yang
menghasilkan Fe yang dibutuhkan untuk pembentukan eritrosit yang

baru, namun dengan pemberian transfusi darah secara rutin (berulang)


akan menimbulkan komplikasi dari pemecahan Hb yang berlebih yang
dapat menghasilkan Fe dalam jumlah yang berlebih sehingga sisa Fe ini
akan menumpuk atau tertimbun dalam tubuh manusia, diantaranya :
1) Hemosiderosis,
yaitu penumpukan Fe dalam organ baik itu dalam hepar (berakibat
hepatomegali), spleen (berakibat splenomegali), jantung, pancreas, atau
kelenjar
hypofise
(penurunan
growth
hormone).
2) Hemocromatosis,
yaitu penumpukan Fe di bawah kulit sehingga warna kulit tampak hitam
keabuan.
Penumpukan Fe tersebut dapat dikurangi atau dicegah dengan
pemberian chelating agent yaitu dengan pemasangan desferal, dimana
kelebihan Fe ini akan dapat terbuang melalui urin dan feces.

l.

Pencegahan
Tubuh Kesehatan Dunia (WHO) menyarankan dua tahap strategi
dalam pencegahan thalassemia. Tahap pertama melibatkan
pengembangan kaedah yang sesuai untuk diagnosa pranatal dan
menggunakannya untuk mengenal dengan pasti pasangan yang
mempunyai risiko tinggi misalnya mereka yang telah mempunyai anak
dengan penyakit thalassemia. Tahap kedua melibatkan penyaringan
penduduk untuk mengenal pasti pembawa dan memberi penjelasan
kepada mereka yang mempunyai resiko. Seterusnya menyediakan
diagnosis pranatal sebelum mereka mempunyai anak-anak yang
mengidap thalassemia. Hal ini bisa menurunkan jumlah bayi yang
mengidap thalassemia (Rusepno, 1985).

m. Prognosis
Talasemia beta homozigot umumnya meninggal pada usia muda dan
jarang mencapai usia dekade ke 3. Walaupun digunakan antibiotik
untuk mencegah infeksi dan pemberian Chelating agents
untuk mengurangi hemosiderosis. Apabila dikemudian hari transplantasi
sum sum tulang dapat diterapkan maka prgnosis akan baik karena
diperoleh penyembuhan.
Talasemia mayor pada umumnya prognosa jelek, biasanya orang
dengan talasemia mayor jarang mencapai umur dewasa walaupun ada
yang melaporkan bahwa dengan mempertahankan kadar Hb yang tinggi
dapat memperpanjang umur penderita sampai 20 tahun.
Sumber:
http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2010/03/pemasangan_desferal.pdf
http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20280932-T%20Ganis%20Indriati.pdf

http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/146/jtptunimus-gdl-ekowidyast-7282-3babii.pdf
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/718/1/08E00109.pdf
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/2063/1/08E00848.pdf
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31348/5/Chapter%20I.pdf
https://www.us.elsevierhealth.com/media/us/samplechapters/9780443103629/978
0443103629.pdf

Vous aimerez peut-être aussi