Vous êtes sur la page 1sur 157

MULAWACANA

'Meraih Cita-cita Kemerdekaan


Pohon kluwih alau Artocarpus altilis itu tumbuh merimbun. Bukan di sembarang kebun,
tapi di pekarangan Monumen Pancasila, di sebuah perlimaan kota kecil Ende, Flores,
Nusa Tenggara Timur (NTf).Pohon darikeluarga nangka itulah yang sebenarnya utama di
situ. Bukan bangunan monumen dengan diorama sederhana yang sekarang harus
bertarung melawan waktu.
Pada sejumlah hari, antara tahun 1934-1938, Soekarno sering ada di situ. la
diasingkan ke Flores oleh Belanda yang menjajah. Pohon kluwih yang teduh serta
semilir angin Laut Timor telah memikatnya. lni suasana yang bukan saja ideal untuk
mengusir rasa penat, melainkan juga untuk merenungkan Indonesia. Saat itu adalah saat
tepat untuk memikirkan Indonesia lebih mendalam.
Sumpah

Pemuda

1928

masih

segar

dalam

ingatan

para

aktivis pergerakan

kemerdekaan. Pada tahun 1930-an itu, mereka tahu saat merdeka sudah dekat. Dunia
telah begitu berubah. Barat bergulat dengan depresi ekonomi; Jepang sedang bangkit
setelah menaklukkan Rusia; Turki masih bereuforia dengan nasionalismenya. lndonesia
saatnya mencari peluang merdeka.
Keinginan terbebas dari penjajah telah terbangun lama. Berbagai perang besar melawan
Belanda terjadi, seperti Perang Diponegoro, Perang Paderi, dan Perang Aceh yang
masing-masing menelan korban lebih dari 10O ribu orang. Belum lagi perang-perang
dari masa sebelumnya di seluruh wilayah Nusantara, seperti di masa Sultan Agung,
Hasanuddin, Antasari, dan Surapati.
Memasuki abad ke-20, perlawanan tersebut beralih ke format baru. Yakni format politik
untuk membangun negara merdeka. Tirto Adisuryo membuat penyadaran melaluiKoran
Medan Priyayi yang dibentuknya. Samanhudi membangun Syarikat Dagang lslam (SDl)
yang bergerak dari sisi ekonomi. Tjokroaminoto, 'guru' Soekarno, memimpin Syarikat
lslam (Sl). Lalu Soetomo bersama kawan-kawannya di sekolah kedokteran STOVIA,
mendirikan Budi Utomo pada 1908.
Seluruh tokoh bangsa terus bergerak. Lewat karya-karya sastra Balai Pustaka, kesadaran
untuk berbangsa terus disebarkan. Kesadaran itu menggelinding dan membesar ibarat

bola salju. Hasilnya adalah Sumpah Pemuda yang bertekad berbangsa, berbahasa, dan
bernegara satu: Indonesia. Setelah itu, Polemik Kebudayaan dilakukan. Para sastrawan
membangun

gerakan Pujangga

Baru. Sutan Takdir

Alisjahbana

dan

kawan-kawan

mengembangkan Bahasa lndonesia.


Itulah saat yang disebut Soekarno waktu dimulainya merumuskan butir-butir dasar
negara, yang kemudian dinamainya Pancasila. Kurang dari sepuluh tahun setelah itu,
rumusannya terpakai. Jepang, penjajah baru Indonesia, kalah dalam Perang Dunia ll.
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pun dikumandangkan. Yakni, pada hari
Jumat 1 7 Agustus 1945, bertepatan dengan tanggal 21 Ramadan.
Cita-cita proklamasi kemerdekaan itu begitu jelas: "mewujudkan masyarakat merdeka,
bersatu, berdaulat, serta adil dan makmur". Cita-cita itulah yang ingin dicapai oleh
seluruh masyarakat Indonesia. Maka, bangsa ini pun membentuk Negara Kesatuan
Republik lndonesia sekarang, yang diharapkan bermartabat di hadapan negara-negara
lain di dunia.
Mewujudkan cita-cita bangsa tak semudah memproklamasikan kemerdekaan. Perjalanan
negara Indonesia pada masa awal mengalami banyak gejolak. Semua sepakat tentang
bagaimana bentuk bangunan negara ini. Namun, banyak berbeda pendapat tentang
bagaimana cara menjalankan negara. Mengintegrasikan berbagai latar belakang serta
kepentingan ke dalam 'sebuah Indonesia' sungguh merupakan tantangan. Masa 20 tahun
pertama Republik Indonesia begitu berdarah-darah.
Ketidakrelaan Belanda

atas

kemerdekaan Indonesia menjadi faktor

pertama. Agresi

Belanda yang didukung pasukan sekutu memaksa ibukota Republik Indonesia berpindahpindah. Tak terus di Jakarta, namun juga di Yogyakarta bahkan di Bukittinggi. lstilah
'Bandung lautan Api, 'Yogya Kembali, hingga sebutan 'Kota Pahlawan' Surabaya muncul
akibat agresi itu. Tragedi Pembantaian Rawagede di Karawang Jawa Barat hingga aksi
petualangan Westerling di Suiawesi telah mengorbankan puluhan ribu jiwa.
Pertikaian antar anak bangsa juga memakan begitu banyak korban. Pengaruh gerakan
komunisdunia telah melahirkan petaka di Tanah Air. Peristiwa Madiun I948 serta Tragedi
3O September 1965 membuat banyak putra terbaik bangsa terbunuh, terutama dari

kalangan pesantren dan komunis yang dalam

politik massa

memang harus

terhadapkan.Semangat revolusi yang terlalu kental membuat benturan demikian tak


terhindarkan.
Pemberontakan' menurut

pemerintahpusat

juga beberapa kaliterjadi.

Di antaranya

adalah gerakan DI-TII oleh Kartosuwirjo di Jawa Barat, Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan,
dan Daud Beureuh di Nangroe Aceh Darussalam. Begitujuga tragedi PRRI dan Permesta
di Sumatera Barat dan Sulawesi Utara. Merekatak mengaku memberontak melainkan
hendak "meluruskan" pemerintah pusat yang di anggap menyimpang.
Sementara itu separatisme juga tumbuh di berbagai daerah,seperti Republik Maluku
Selatan(RMS), Gerakan Aceh Merdeka(GAM), serta organisasi Papua Merdeka (OPM).
Politik di pemerintahan pusat bukan tak bergejolak. Pada tahun 1950-an, pemerintahan
menggunakan sistem parlementer yang dipimpin perdana mentri. Kadang belum sampai
setahun, perdanamenteri harus turun.
Persatuan benar-benar jauh dari harapan. Maka, berkernbangseloroh bahwa di Indonesia
"persatuan" telah berganti meniadi "peresatean".Praktis tak ada program negara yang
berjalan denganbaik. Cita-cita kemerdekaan untuk mewujudkan Indonesia yang adil dan
makmur jauh dari terwujud.Mungkin itu gambaran umum dari banyak bangsa yang bam
merdeka lainnya.Namun, terlalu menyakitkan bahwa itu juga terjadi di negeri Pancasila ini.

Kesempatan Pertama
Soekarno

sebagai

presiden

pertama

Republik

Indonesia

menyadari

keadaan

itu.Negaratakdapatdibiarkan dalam keadaan amburadul.Soekarno pun menggunakan


kewenangannya untuk mengambil alih kekuasaan.Kabinet dan parlemen atau menterimenteri dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dibubarkan.Untuk itu Soekarno mengeluarkan
Dekrit 5 Juli 1959 yang juga menandai era Demokrasi Terpimpin.
Inilah saat Soekarno berkuasa penuh.Sesaat situasi politik seperti dapat terkendali.Soekarno
menyerukan persatuan nasional dengan konsep Nasakom. Tiga kekuatan massa dicoba
untuk dirangkulnya. Yakni, kalangan nasionalis, agama, dan komunis. Namun, pada saat yang
sama, hubungan dengan militer merenggang. Pada separuh awal 1960-an, situasi politik

menegang sampai ke tingkat akar rumput.Puncaknya adalah terjadinya Peristiwa G-30-S/PKI


yang menewaskan sejumlah jenderal.
Tragedi nasional itu mengantarkan Soeharto ke anak tangga tertinggi kepemimpinan
nasional.Soeharto bukan saja menggantikan Soekarno, melainkan juga meluncurkan
pendekatan baru yang saat itu seperti menjanjikan.Yaitu, 'politik pembangunan' yang
diistilahkan sebagai Orde Baru.Ini istilah yang menyudutkan pemerintahan sebelumnya
sebagai Orde Lama.
Sejumlah program pembangunan yang menyentuh lapis rakyat paling bawah pun
dijalankan.Dalam bidang pertanian,Indonesia mengadopsi gerakan Revolusi Hijau untuk
membuat lompatan produksi pangan.Program Bimbingan Massal (Bimas)/lntensifikasi
Massal (Inmas) yang didukung dengan pengembangan Koperasi Unit Desa (KUD) benarbenar mengubah wajah perdesaan. Dalam bidang pendidikan ada program SD Inpres.
Pendidikan massa ditopang pula dengan pengembangan Kelompok Pendengar, Pembaca,
dan Pemirsa (Kelompencapir)
Di lingkup kesehatan dikembangkan Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) di setiap
kecamatan.Program itu didukung dengan Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) di setiap desa,
sebuah program untuk meningkatkan kualitas kesehatan ibu dan anak.Listrik masuk desa
dan pembangunan infrastruktur yang didukung dengan program 'ABRI masuk desa' makin
menguatkan pondasi pembangunan Indonesia.
Bukan semata fisik yang dibangun Soeharto.Pemimpin itu juga menata ideologi
bangsa.Pancasila yang menjadi landasan bernegara diteguhkan lagi sebagai ideologi
bangsa.Ini tentu sesuai dengan penafsiran dan orientasinya sendiri.Yakni, Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4).Sosialisasi dan indoktrinasi yang biasa
diistilahkan sebagai 'penataran' dikembangkan.Bahkan dibentuk badan khusus untuk urusan
tersebut, yakni Badan Pembina Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila (BP7).
Hasilnya, Indonesia memang tampak kukuh, apalagi didukung pertumbuhan ekonomi pesat
yang didorong oleh booming produksi minyak.Indonesia menjadi salah satu anggota
organisasi negara penghasil minyak, Organization of Petroleum Exporting Countries
(OPEC).Di antara negara-negara berkembang, Indonesia dipandang sebagai model

pembangunan yang sempurna.Hingga tahun 1980-an, Indonesia juga merupakan kekuatan


ekonomi yang sangat disegani negara-negara di AsiaTenggara, seperti Singapura, Malaysia,
dan Thailand.Maka, dunia pun mengelu-elukan Indonesia sebagai kandidat "Macan" Asia.
Indonesia diperkirakan akan segera menyusul Korea Selatan. Penilaian yang saat itu tak
diberikan kepada Cina.Pembandingan dengan Korea Selatan merupakan hal wajar.Hingga
tahun 1961, tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia dan Korea Selatan berimbang. Lalu
Indonesia menempuh jalan serupa Korea Selatan yang berhasil membangun perdesaan
lewat program Saemaul Undong-nya.

Korea Selatan sukses membuat keseimbangan desa-kota melalui pendekatan model Lewis,
yang dicetuskan oleh peraih penghargaan Nobel Sir William Arthur Lewis. Industri pertanian
menjadi kokoh. Pada saat yang sama, industri manufaktur dan industri lainnya berkembang
kuat, termasuk industri otomotif. Korea Selatan menjadi contoh nyata bagaimana sebuah
negara dapat mencapai tahap 'tinggal landas' menurut Teori Rostow.

Saat itu Indonesia berkesempatan tinggal landas.Pondasi ekonomi serta stabilitas sosial
politik sepertinya memadai untuk itu.Ternyata jalan itu tidak mewujud.Tak seperti Norwegia
yang jadi nomor satu dalam Indeks Pembangunan Manusia (IPM) karena minyak, Indonesia
gagal mencapai itu. Minyak dan barang tambang lain malah menjadi sumber korupsi.
Kemakmuran hanya dinikmati sekelompok warga.Sementara itu, demokratisasi yang
diperlukan terlambat diwujudkan.

Memburuknya keadaaan tak segera disadari para pemimpinnya.Indonesia terlena oleh


pujian dunia soal pembangunan ekonomi.Padahal, sebenarnya ekonomi negara ini
rapuh.Krisis moneter 1997 yang menerpa Asia Tenggara meruntuhkan ekonomi
Indonesia.Indonesia gagal tinggal landas. Surplus minyak pada era 1970 hingga 1980-an
gagal dimanfaatkan untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan. Rusuh massa 1998
menyadarkan semua: Indonesia harus memulai pembangunannya kembali dari bawah.

Kesempatan kedua
Reformasi 1998 dimaksudkan untuk mengoreksi kesalahan Orde Baru.Pembatasan

kebebasan dan kekuasaan yang terlalu lama dipandang bukan saja menekan hak asasi
rakyat, melainkan juga menghalangi tumbuhnya inisiatif pubiik. Ini adalah hal yang akan
menghambat upaya mewujudkan masyarakat adii makmur. Maka, presiden pun
diganti.Masa jabatannya dibatasi.Pers dan partai politik dibuat bebas.Pemilihan umum serta
pemilihan kepala negara dan daerah secara langsung digelar.

Begitu besar harapan pubiik pada Reformasi.Ini merupakan kesempatan kedua untuk
meluruskan langkah mewujudkan cita- cita kemerdekaan. Setahun pertama setelah
Reformasi seperti ada angin segar. Nilai tukar rupiah yang melemah hingga Rp 16.000 per
dolar AS berhasil ditekan ke tingkat Rp 7.000 per dolar AS.Inflasi sekitar 70 persen dijinakkan
menjadi kurang dari 10 persen.Pondasi demokrasi dibangun secara mendasar.

Tinggal beberapa langkah lagi diperlukan untuk membawa Indonesia ke jalur efektif sebagai
negara.Di antaranya adalah reformasi birokrasi, reformasi hukum dan penegakannya serta
pelaksanaan otonomi daerah secara matang dan dewasa.Bila itu terwujud, keinginan
mewujudkan kemakmuran bagi seluruh masyarakat dapat diharapkan kembali, walaupun
sumber daya tak lagi sekuat sebelumnya.
Namun, langkah itu tak segampang yang dibayangkan.Euforia kebebasan membuat langkah
bangsa menjadi tak menentu.Guyonan "sekali merdeka, merdeka sekali" mewujud secara
nyata.Praktik laissez faire dalam bernegara sempat mengemuka.Di tataran masyarakat,
konflik horizontal makin sering terjadi, bahkan sampai ke tataran yang sulit dibayangkan
dapat terjadi di Indonesia, seperti tragedi Sampit, Ambon, dan Poso.
Kasus Gayus dan Nazaruddin hanya sebagian dari praktik korupsi yang dapat terungkap.Hal
ini terjadi saat Indonesia telah memiliki Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), lembaga yang
tak mampu menjangkau seluruh praktik korupsi yang memang meluas.
Secara makro, pondasi ekonomi Indonesia tampak bagus.Pertumbuhan ekonomi dapat
bertahan mendekati 6 persen selama beberapa tahun terakhir. Cadangan devisa pada posisi
yang relatif aman. Seperti tidak ada yang mengkhawatirkan pada Indonesia.Kecuali jika
melihat cadangan energi yang makin menipis dan kesenjangan ekonomi yang makin
melebar. Sebanyak 98 persen penabung hanya memiliki 2 persen dari total nilai tabungan di

bank, sedangkan 2 persen penabung menguasai 98 persen total tabungan.


Kesenjangan itu terlihat jelas pada dunia ketenagakerjaan.Jutaan pekerja, sebagian besar
perempuan dari perdesaan, mengadu nasib ke luar negeri.Mereka hanya mampu mengisi
pasar tenaga kerja terendah, menjadi pekerja domestik dengan mempertaruhkan martabat,
bahkan juga nyawa.Sementara itu, ekspatriat makin membanjiri Indonesia.Mereka dibayar
mahal, walaupun kualitasnya sering berada di bawah kualitas para tenaga ahli dalam negeri.
Pengelolaan energi dan sumber daya alam lainnya juga masih bermasalah. Minyak, gas, dan
batu bara disedot dan dikeruk besar-besaran untuk diekspor secara murah. Dengan itulah,
negara-negara lain menggerakkan industrinya.Sementara itu Indonesia tak menikmati nilai
tambahnya, bahkan tak mampu mengembangkan industrinya secara efektif.
Ketimpangan

keadaan

tersebut

terpotret

pada

peringkat

Indeks

Pembangunan

Manusia(IPM) Dunia, sebuah ukuran kemakmuran bangsa yang dikeluarkan badan dunia
untuk pembangunan,
UNDP.Tingkat IPM Indonesia memang meningkat secara bertahap.Namun, hal itu belum
cukup mengangkat posisi bangsa secara menyeluruh. Pada 2011, Indonesia di peringkat 1
24, sedangkan Australia, Singapura, Malaysia, dan Palestina di peringkat 2, 26, 61, dan 114
dunia.
Posisi IPM itu menjadi cermin betapa masih panjang jalan menuju masyarakat adil dan
makmur.Lima tahun pasca Reformasi adalah kesempatan kedua bagi Indonesia untuk tinggal
landas.Namun kesempatan ini pun gagal dimanfaatkan bangsa ini.Alih-alih bersatu dan
serempak melangkah memajukan bangsa, para pemangku kepentingan di Indonesia malah
terjebak dalam pragmatisme.Mereka lebih mengedepankan kepentingan masing-masing
daripada kepentingan bangsa dan negara.

Potret Indonesia masih belum benar-benar segar. Di satu sisi, bangsa ini menunjukkan gerak
maju, tapi di sisi lain beban yang menggelayutinya masih begitu berat. Keadaan yang tentu
disadari oleh semua, termasuk oleh pengelola negara yang diamanati mengemudikan kapal
Indonesia.Namun, semua tahu, tak mudah mengatasinya.Persoalannya bukan semata tata
kelola pemerintah yang memang perlu ditransformasi mendasar, melainkan juga
menyangkut seluruh bangsa.
Persoalan itu tak dapat dibebankan semata kepada pemerintah.Tapi perlu juga dipecahkan

secara bersama oleh seluruh elemen bangsa.Semua pihak perlu bahu-membahu


mewujudkan cita- cita kemerdekaan, membangun masyarakat adil-makmur.Tingkat
kemakmuran Indonesia tidak layak di posisi sekarang.IPM Indonesia semestinya masuk 75
besar dunia.Bahkan 50 besar dunia.Hal yang pantas untuk negara dengan kekayaan alam
seperti Indonesia.

Kunci ke arah itu adalah karakter.Bangsa-bangsa maju adalah bangsa-bangsa yang memiliki
landasan

kebangsaan

kuat,

bangsa

yang

tak

mau

untuk

sekadar

menjadi

pragmatis.Sebaliknya justru bangsa yang membangun karakternya secara jelas.Karakter


itulah yang menuntun menjadi bangsa tangguh dalam menghadapi segala keadaan.Itu
terjadi pada bangsa- bangsa Eropa Barat dan Amerika Utara selama ini.Juga pada bangsabangsa maju Asia Timur sekarang.

Indonesia memiliki modal untuk itu.Yaitu landasan kebangsaan Pancasila.Landasan yang


setelah

Reformasi

justru

terabaikan,

tergilas

oleh

sikap

pragmatis

berbagai

pihak.Pengabaian Pancasila itu membuat Reformasi tak berjalan seperti yang diharapkan. Ini
sebuah kekeliruan yang perlu segera diperbaiki, antara lain dengan menggali kembali nilainilai Pancasila, dan mewujudkannya dalam format tepat sesuai dengan tuntutan tantangan
global.

Bangsa ini perlu memegang teguh kembali Pancasila. Pancasila yang bukan hanya berupa
pemikiran ideologis di awang- awang, melainkan yang nilainya benar-benar membumi:
Mampu menggerakkan dan menuntun setiap anak bangsa meraih sukses dan bahagia lahir
batin. Pancasila itulah yang didiskusikan panjang oleh para pemimpin bangsa di Pejambon,
Jakarta, tahun 1945.Pancasila itu pula yang diidamkan Soekarno, saat merenung di bawah
pohon kluwih dalam usapan angin Laut Timor di Ende, Flores, tahun 1935 silam.*

BAB I

Pancasila dan
Spiral Karakter

"Apa arti karakter?"Itu pertanyaan yang paling banyak terlontar dalam sebuah
lokakarya.Sebuah forum nasional untuk membahas Pendidikan Karakter.Tahun 2010
ditetapkan sebagai tahun Pendidikan Karakter.Hari Pendidikan Nasional dijadikan sebagai
tanggal peluncurannya. Tapi apa sebenarnya pengertian karakter? Seberapa pentingkah
karakter bagi bangsa secara menyeluruh?
Dalam definisi paling umum, karakter dipahami sebagai "kombinasi dari kualitas atau fitur
yang membedakan seseorang, kelompok, atau benda dari lainnya."Pada beberapa masa
sebelumnya, istilah karakter tak banyak digunakan.Orang-orang lebih mengenalnya sebagai
watak.Yakni, "sifat batin manusia yang memengaruhi segenap pikiran dan tingkah
laku."Watak juga disebut 'budi pekerti' serta 'tabiat1.
Ada pula yang memahami karakter sebagai 'sifat menetap pada diri seseorang yang
tercermin pada satunya kata, perbuatan, dan hati'.Misalnya karakter jujur.Seorang yang
berkarakter demikian tentu jujur dalam perbuatan, perkataan, bahkan hati.Sosok yang
demikian tak suka berbohong dan berkhianat, sebab keduanya memang bertolak belakang
dengan sifat jujur.Kadang ucapan berbeda dengan perbuatan. Bila demikian, apa yang
diucapkan atau dilakukan itu tak dapat disebut sebagai karakter.
Semuayangtersebut diatas adalah pemahaman tentang karakter.Dari pemahaman itu dapat
dikatakan bahwa karakter bersifat menetap pada diri seseorang, bahkan juga pada
masyarakat serta bangsa. Karakter relatif tak akan berubah-ubah. Misalnya, hari ini 'A',
besok 'B'.Yang mudah berubah adalah perilaku, bukan karakter, terutama pada orang yang
tak memiliki sejumlah karakter tertentu yang kuat.

Setiap karakter dapat menguat, dapat pula melemah. Melemahnya suatu karakter tertentu
saat karakter lain menguat akan mengubah komposisi karakter secara utuh. Orang-orang
menyebut 'karakternya berubah'.Naik-turunnya suatu karakter yang mengubah karakter
utuh seseorang terjadi dalam waktu relatif lama.Perubahan tersebut ditentukan oleh Spiral
Karakter.

Dunia pendidikan mengenal konsep Taksonomi Bloom.Konsep ini diluncurkan tahun 1956
oleh Komite Pendidikan yang diketuai Benjamin Bloom.Dalam konsep ini tujuan pendidikan
diarahkan ke dalam tiga domain atau ranah.Yaitu, kognitif, afektif, dan psikomotorik.Atau

ranah pengetahuan, sikap, serta tindakan/ keterampilan.Pendidikan diharapkan dapat


meningkatkan ketiga aspek itu sekaligus.

Taksonomi Bloom lalu menjadi acuan pendidikan modern.Rancangan pendidikan hampir


selalu berdasar pada konsep ini.Namun umumnya lebih terpaku pada aspek kognitif atau
pengetahuan.Afektif dan psikomotorik cenderung terabaikan. Pertimbangan utamanya:
"Kognitif atau pengetahuan lebih mudah diukur, sehingga dapat dievaluasi." Sedangkan
sikap dan keterampilan lebih sulit untuk dinilai.
Terpaku hanya pada ranah kognitif membuat pendidikan formal sering gagal mencapai
tujuan idealnya. Guru tak lagi menjadi pendidik, tapi sekadar pengajar. Sekolah umumnya
tak mampu membangun sikap dan kecakapan hidup para siswa.Padahal kecakapan hidup
itulah tujuan paling utama pendidikan.Sekolah, seperti yang dibayangkan Ki Hajar
Dewantara, semestinya mampu membangun watak dan budi pekerti para siswa.
Pendidikan nonformal mengadopsi pula Taksonomi Bloom dengan cara berbeda. Tak
terbebani target terukur seperti pada sekolah, pendidikan nonformal mengadopsi konsep itu
secara lebih leluasa. Tiga ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik diturunkan menjadi pilar
awareness, attitude, dan action atau kesadaran, sikap, dan tindakan. Maka, program
penyuluhan dan pemberdayaan membuat tujuan: "Membantu masyarakat untuk tahu, mau,
dan mampu mengatasi masalah serta mengembangkan potensi dirinya sendiri."
Dalam dunia penyuluhan dan pemberdayaan, tiga aspek itu menjadi tonggak atau pilar
Spiral Karakter.Ketiganya, sekali lagi, adalah awareness (kesadaran), attitude (sikap), serta
action (tindakan).Memberdayakan masyarakat berarti mengembangkan ketiga pilar itu
sekaligus, bukan semata mengembangkan aspek kognitif terendah dengan mengajarkan
pengetahuan.
Untuk menumbuhkembangkan karakter, atau membangun budi pekerti, tiga pilar itu pun
belum memadai.Masih ada dua pilar lain yang diperlukan.Yang satu merupakan akar atau
pendahulu tiga pilar yang selaras konsep Taksonomi Bloom itu.Satu lagi berupa pilar hasil
penutup tiga pilar tersebut.Lima aspek tersebut bersama-sama menjadi tonggak atau pilar
Spiral Karakter.
Kedudukan pilar pertama dapat ditelaah lewat kajian Dinamika Kelompok.Elemen paling

dasar pada Dinamika Kelompok adalah belief dan value, keyakinan dan nilai-nilai.Itulah yang
memengaruhi seluruh kehidupan manusia.Itulah 'sifat batin' dalam definisi watak, atau
'kalbu' dalam bahasa agama.Aspek spiritual atau keyakinan (belief) itulah pilar pertama
Spiral Karakter.
Sedangkan pilar penutup adalah result atau hasil. Paradigma 'Pembangunan dari Belakang',
konsep manajemen start fromend, serta ajaran agama 'akhir lebih baik dari awal',
meneguhkan pilar result atau hasil sebagai pilar kelima Spiral Karakter. Pilar ini sekaligus
menjadi batu ukur proses dalam pilar-pilar sebelumnya berjalan baik. Pilar result baik
menunjukkan bahwa pilar sebelumnya terbukti baik.
Dengan demikian, tonggak atau pilar Spiral Karakter adalah:

Belief atau keyakinan yang berarti "percaya sungguh- sungguh." Ini menjadi pilar paling

dasar. Be//'e/bukan sekadar beriman secara normatif, melainkan juga keyakinan terdalam
tentang hidup. Seorang yang yakin akan sukses umumnya memang bakal sukses. Seorang
yang tak yakin sukses umumnya memang akan gagal. Akar yakin sukses atau tidak itu adalah
tingkat spiritualitas atau tingkat keyakinan kepada Tuhan.
Berbagai model pelatihan pengembangan diri mutakhir umumnya bertumpu pada aspek
belief.Terutama pengembangan diri berbasis Neuro Sains, seperti Neuro- Linguistic
Programming

(NLP).Fasilitator biasanya

membongkar dulu

belief

lama, sebelum

menanamkan belief baru. Mereka percaya, belief adalah penentu utama carapandang dan
perilaku manusia. Kerangka unfreez-change- freez dari Kurt Levin sering dipakai untuk
menanam 'belief baru'.

Awareness atau kesadaran yang berarti "tahu dan mengerti". Dalam Taksonomi Bloom ini

masuk dalam ranah kognitif. Awareness atau kesadaran merupakan aspek kognitif yang
lebih mendalam dibanding dengan knowledge (pengetahuan) dan perception (persepsi).
Banyak faktor yang berpengaruh untuk membangun awareness. Salah satunya adalah belief
atau keyakinan yang menjadi pilar sebelumnya dari Spiral Karakter.
Attitude atau sikap yang dimaknai sebagai "pandanganhidup".Atau "perspektif seseorang
tentang hal tertentu."Ini adalah aspek afektif dalam klasifikasi Taksonomi Bloom.Pilar
karakter ini begitu dipengaruhi oleh pilar sebelumnya, yakni awareness. Seorang yang
menyadari penuh bahwa sehat itu penting akan terus mementingkan kesehatan. Hidup

sehat yang menjadi sikapnya. Sikap itu tak akan mudah goyah karena telah dilandasi
kesadaran mendalam.
* Action atau tindakan yang juga berarti "perbuatan". Konsep Taksonomi Bloom
menempatkannyadalam ranah psikomotorik.Pilar ini banyak dipengaruhi pilar sebelumnya,
yakni attitude.Seorang dengan sikap hidup berdisiplin akan berperilaku disiplin dalam setiap
perilakunya. Sehari-hari ia akan selalu tertib, mengikuti dan tidak melanggar aturan. Maka,
action pun menjadi pilar keempat dari Spiral Karakter.
Result atau hasil yang juga berarti "akibat" atau "buah dari usaha".Pilar ini terhubung
langsung dengan pilar sebelumnya, yakni pilar action atau tindakan. Bila action-nya
sempurna, hasilnya secara umum akan sempurna pula. Bila hasilnya tak sempurna,
kemungkinan besar tindakan sebelumnya memang tak sempurna.Begitu penting result atau
hasil ini sehingga menjadi pilar-kelima dari Spiral Karakter.
Kelima tonggak Spiral Karakter tersebut berhubungan secara berurutan.Keyakinan
menentukan kesadaran; kesadaran menentukan sikap; sikap menentukan tindakan; dan
tindakan menentukan hasil.Keterkaitan tak berhenti sampai di situ. Hasil juga akan
menentukan keyakinan berikutnya. Bila hasilnya sempurna, keyakinannya akan menguat.
Sebaliknya, bila hasilnya tidak baik, keyakinannya pun akan menurun.

Naik turunnya keyakinan yang dipengaruhi hasil tersebut melahirkan format spiral.
Keyakinan yang meningkat karena hasil sebelumnya baik, akan menjadi spiral positif yang
menguatkan karakter. Sebaliknya keyakinan yang berkurang akibat hasil kurang baik akan
menjadi spiral negatif yang melemahkan karakter. Spiral Karakter itulah mekanisme kunci
pembangunan karakter.

Pancasila sebagai Karakter

Pancasila selama ini dikenal sebagai ideologi bangsa, sebuah ideologi yang semua pelajar
diminta menghapalkannya sejak kecil.Maka, kelima sila itu dikenal para siswa. Kelimanya,
sebagaimana yang telah diajarkan di sekolah adalah: Ketuhanan Yang Maha Esa;
Kemanusiaan yang adil dan beradab; Persatuan Indonesia; Kerakyatan yang dipimpin oleh

hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan; serta Keadilan sosial bagi


seluruh rakyat Indonesia.

Seperti dikemukakan Soekarno tanggal 1 Juni 1945, panca berarti lima dan sila berarti asas.
Lima asas itulah yang dijadikan dasar pembentukan negara Republik Indonesia.Berbagai hal
yang mencakup tata kelola negara dan bangsa harus didasarkan pada kelima aspek tersebut.
Itu yang menjadi ciri Indonesia yang berbeda dengan bangsa dan negara lain, walaupun
tentu selalu ada kesamaannya satu sama lain.

Dalam kajian Pancasila, angka lima lalu menjadi angka penting. Sebuah angka yang dapat
saja dihubungkan dengan berbagai hal yang juga berjumlah lima. Misalnya, jumlah jari
tangan dan kaki manusia normal adalah lima. Jumlah hari dalam perhitungan kalender Jawa
juga lima. Pahing, Pon, Wage, Kliwon, dan Legi. Dalam ranah beragama, masyarakat muslim
berpegang pada lima 'rukun', yakni syahadat, salat, zakat, puasa, dan haji.

Dunia pewayangan juga mengenal lima bersaudara ksatria utama. Yaitu, Yudhistira, Bima,
Arjuna, Nakula, dan Sadewa. Lima dapat pula dikaitkan dengan konsep 4+1 pada Sifat Nabi
atau dasar Teori Kepribadian.Yakni , siddiq, fathanah, amanah, tabligh plus istiqamah pada
sifat nabi. Atau kepribadian berbasis intuitive, thinking, sensing, feeling dan insting yang
dikembangkan dari konsep Carl Jung tentang kepribadian.

Dalam keseharian yang ringan, lima juga dapat dihubungkan dengan jumlah mahkota bunga
kamboja. Dalam kajian antropologis, 'lima' dapat dirujuk sebagai nama bilangan yang
disebut berbagai suku Nusantara dengan sebutan yang relatif sama, walaupun bahasa
berbagai suku itu berbeda-beda. Istilah 'lima' sebagai bilangan bahkan dipakai etnis asli
Taiwan, masyarakat Filipina, hingga Tonga.
Menghubungkan angka lima pada Pancasila dengan berbagai lima lainnya memang
memperkaya khazanah. Namun, untuk konteks pembangunan karakter, lima sila Pancasila
lebih relevan dikaitkan dengan lima tonggak Spiral Karakter. Sila pertama dengan pilar
keyakinan (belief); sila kedua dengan pilar kesadaran (awareness); sila ketiga dengan pilar

sikap (attitude); sila keempat dengan pilar tindakan (action); dan sila kelima dengan pilar
hasil (result).
Sila pertama sebagai keyakinan (belief)
"Ketuhanan Yang Maha Esa".Tuhan menjadi pusat dan puncak keyakinan.Segala sesuatu
yang ada di alam semesta ini pada hakikatnya adalah milik Allah.Tuhanlah yang menciptakan
dan memelihara alam semesta ini, termasuk menciptakan dan menjadikan manusia sebagai
makhluk sempurna. Sempurna bukan hanya secara fisik, melainkan juga nonfisik yang
dilengkapi-Nya dengan 'akal budi'. Hal yang tak dimiliki makhluk lain.

Allah atau Tuhan Yang Maha Esa yang membimbing dan memberi petunjuk manusia bila
salah jalan atau tersesat.Allah yang mengaruniai setiap makhluk dengan berjuta
nikmat.Allah pula yang dapat memberi kebahagiaan sejati, baik di dunia maupun di akhirat
kelak.Maka Tuhan menjadi sandaran utama dalam hidup.Tuhan menjadi satu-satunya
tempat berlindung, mohon petunjuk, dan mengajukan segala pinta.

Manusia yang berkeyakinan demikian adalah manusia yang BERTAKWA. Manusia yang selalu
optimis, tidak resah, tidak khawatir, atau tidak kecewa atas apa pun. Mereka yakin ada
Tuhan yang menjadi pelindung dan pembelanya sepanjang dirinya berada di jalan yartg
benar.Manusia berkarakter Pancasila adalah manusia yang bertakwa.
Sila kedua sebagai kesadaran (awareness)

"Kemanusiaan yang adil dan beradab".Menghargai sesama umat manusia menjadi kesadara
i utama.Kesadaran seperti ini merupakan buah dari keyakinan.Yakni, keyakinan bahwa
semua manusia adalah sama-sama hamba Tuhan yang sederajat.Tak ada yang lebih mulia
dan tak ada yang lebih hina, kecuali kelak berdasar ketakwaannya di hadapan Tuhan. Setiap
manusia terlahir sama seperti kertas yang putih bersih. Sudah sepatutnya bila sesama
manusia saling menghargai.

Benar bahwa Indonesia adalah bangsa yang beragam, baik suku, agama, keyakinan, maupun
status sosialnya. Namun, perbedaan apa pun tak boleh menghalangi terjalinnya kasih sayang
antarsemua anak bangsa. Miskin-kaya, muda-tua, perempuan- laki-laki, warga biasa-tokoh

masyarakat, antarsuku dan agama, harus dapat menghargai dan menyayangi satu sama lain.
Itulah nilai kesadaran yang ditekankan oleh sila kedua.

Manusia yang berkesadaran seperti itu adalah manusia yang BERKASIH SAYANG.Manusia
yang selalu berempati kepada sesama manusia dari bangsa mana pun tanpa terhambat oleh
batas-batas negara, apalagi kepada sesama saudara sebangsa sendiri.Manusia seperti ini
juga gemar berbagi dan menjaga martabat sesama.Manusia Pancasila yang berkarakter
adalah manusia yang berkasih sayang.

Sila ketiga sebagai sikap (attitude)


"Persatuan

Indonesia."Bersatu

menjadi

sikap

terpenting

dalam

keseharian

bermasyarakat.Sikap demikian terbangun dari kesadaran mendalam bahwa bangsa ini


terbangun oleh beragam manusia dengan ciri dan latar belakang yang berbeda-beda.Semua
orang yang terikat oleh rasa kasih sayang itu telah bersatu membangun bangsa dan
negara.Semestinya wujud bersatu itu terus disiram, dipupuk, dan dipelihara hingga menjadi
sikap yang betul-betul kuat.

Berbeda dan berbhinneka memang dapat menimbulkan perselisihan. Perselisihan yang


berlarut-larut akan melahirkan perpecahan. Itu tak terjadi ketika setiap orang memiliki jiwa
dan sikap bersatu yang kuat.Manusia seperti ini tahu persis, pertikaian selalu terpicu oleh
ego.Mereka tak ingin dikalahkan dan dikendalikan oleh egonya sendiri, tapi mereka harus
mengendalikannya. Itu yang akan menjamin ketenteraman dan kebahagiaan. Bagi diri
sendiri maupun semua.

Manusia dengan sikap seperti itu adalah manusia BERSATU.Manusia yang dalam hidupnya
selalu berusaha mencari titik temu dengan sesama.Manusia yang menikmati hidup dalam
kebhinnekaan.Mereka biasanya juga berdisiplin dalam kesehariannya, dan selalu menjaga
martabat diri dengan sesamanya.Manusia yang berkarakter Pancasila adalah manusia yang
bersatu.

Sila keempat sebagai tindakan (action)


"Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan".Bergotong

royong

menjadi

tindakan

utama

dalam

bekerja

atau

beraktivitas".Aksi atau tindakan demikian didasarkan pada sikap yang kuat bahwa manusia
perlu selalu bersatu. Sedangkan manusia bersatu tak akan bekerja sendiri-sendiri. Mereka
akan bekerja sebagai sebuah tim yang solid, dengan bergotong royong secara serempak.

Bermusyawarah dan bergotong royong disebut sebagai watak khusus bangsa Indonesia.
Sejumlah bangsa lain lebih menekankan pada hak pribadi. Tanpa peduli apakah pribadipribadi itu akan berkontribusi pada masyarakat atau bangsa. Sila keempat menekankan nilai
penting untuk melangkah bersama. Optimalisasi hak pribadi perlu untuk pengembangan
setiap diri, sebab tindakan bersama akan kurang berkualitas bila setiap pribadinya tak
berkembang.

Manusia yang selalu bertindak demikian adalah manusia BERGOTONG ROYONG. Manusia
yang tak suka bekerja secara sendiri-sendiri, tapi akan berupaya untuk selalu bekerja sama.
Manusia demikian juga manusia yang bertanggung jawab, yang tak akan menghindar dari
tanggung jawab dengan dalih apa pun. Manusia yang berkarakter Pancasila adalah manusia
yang bergotong royong.

Sila kelima sebagai hasil (result)

"Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia".Pemerataan kesejahteraan merupakan hasil


utama yang diharapkan dalam kehidupan."Hasil demikian merupakan buah dari tindakan
atau kerja sebelumnya. Yakni, tindakan kerja sama yang tuntas dari semua pihak yang
terlibat tanpa kecuali. Dalam konteks berbangsa dan bernegara, keadilan sosial itu
merupakan buah atau hasil dari kerja bersama seluruh elemen bangsa.

Dalam kenyataanya, kemakmuran dan kesejahteraan memang belum dinikmati oleh seluruh

masyarakat.Sebagian kecil masyarakat hidup berkelimpahan, sementara sebagian besar


lainnya hidup berkekurangan.Bukan hasil seperti itu yang diharapkan dari kemerdekaan
Republik Indonesia.Hasil yang dituju adalah kehidupan yang sebagian besar masyarakatnya
relatif sejahtera.Sedikit saja yang miskin dan sedikit pula yang sangat kaya.Hasil seperti ini
yang perlu diharapkan oleh semua.

Manusia dengan orientasi hasil seperti itu adalah manusia BERKESEJAHTERAAN. Yaitu,
manusia yang tak ingin kaya sendiri, apalagi dengan mengorbankan orang lain. Tapi manusia
yang juga punya visi kuat mendorong diri dan semua untuk bekerja keras, serta
memeratakan kesejahteraan lewat sinergi sehingga semua berkemakmuran.Jadi, manusia
yang berkarakter Pancasila adalah manusia yang berkeadilan.

Keterhubungan Pilar Karakter


Setiap pilar Karakter Pancasila memiliki khazanah masing-masing yang khas, yang dapat
diuraikan secara mendalam.Dengan demikian, terlihat jelas kekokohan setiap pilar dalam
menopang Karakter Pancasila secara utuh.Kelima pilar itu, seperti disebut sebelumnya,
adalah bertakwa, berkasih sayang, bersatu, bergotong royong, serta berkemakmuran, yang
menjadi perwujudan sila pertama hingga kelima.

Meskipun memiliki ranah masing-masing, setiap pilar karakter sebenarnya berhubungan


satu sama lain. Pilar bertakwa berpengaruh langsung pada berkasih sayang, dan dipengaruhi
oleh pilar berkesejahteraan.Di luar itu pilar bertakwa juga saling berpengaruh dengan pilar
bersatu dan pilar bergotong royong. Seorang dengan takwa kuat akan memiliki rasa kasih
sayang, sikap bersatu, dan naluri bergotong royong yang kuat. Sebaliknya, bertakwa juga
dikuatkan oleh berkesejahteraan, bergotong royong, dan sikap bersatu.

Pilar berkasih sayang secara langsung berpengaruh pada bersatu, dan dipengaruhi oleh
bertakwa.Pilar ini juga saling menguatkan dengan pilar berkesejahteraan dan bergotong
royong. Maka, berkasih sayang yang kuat akan menguatkan pilar bersatu, bergotong royong,

sekaligus berkesejahteraan. Sebaliknya, berkasih sayang dikuatkan oleh pilar bertakwa,


berkesejahteraan, dan bergotong royong.

Pilar bersatu berpengaruh langsung pada pilar bergotong royong, dan dipengaruhi oleh pilar
berkasih sayang.Selain itu, pilar ini saling menguatkan dengan pilar berkesejahteraan dan
bertakwa. Seorang yang kuat dalam sikap bersatu akan kuat pula dalam bergotong royong,
berkesejahteraan, serta bertakwa. Di sisi lain, sikap bersatu itu dikuatkan oleh pilar berkasih
sayang, bertakwa, serta berkesejahteraan.

Pilar bergotong royong berpengaruh langsung pada berkesejahteraan, dan dipengaruhi oleh
bersatu.Pilar ini juga saling menguatkan dengan bertakwa dan berkasih sayang. Dengan
keterhubungan tersebut, seorang yang kuat dalam bergotong royong akan kuat pula dalam
berkesejahteraan, bertakwa, serta berkasih sayang. Sebaliknya, bergotong royong dikuatkan
oleh bersatu, berkasih sayang, dan bertakwa.

Pilar berkesejahteraan berpengaruh langsung pada pilar bertakwa, dan dipengaruhi oleh
pilar bergotong royong.Dengan pilar berkasih sayang dan bersatu, pilar berkesejahteraan
memiliki posisi saling menguatkan. Maka, seorang yang kuat dalam berkesejahteraann akan
kuat pula dalam bertakwa, berkasih sayang, dan jiwa bersatu. Di sisi lain, berkesejahteraan
dikuatkan oleh bergotong royong, bersatu, dan berkasih sayang.

Dalam Spiral Karakter, aspek keyakinan terhubung dengan elemen kesadaran, sikap,
tindakan, dan hasil. Aspek kesadaran terhubung dengan keempat iainnya.Begitu pula pada
aspek-aspek berikutnya. Satu sama lain tidak dapat dipisahkan begitu saja. Semua aspek
saling terhubung.Itu pula yang terjadi pada Pilar Karakter Pancasila.

Paparan di atas begitu jelas. Bertakwa menguatkan berkasih sayang; berkasih sayang
menguatkan bersatu; bersatu menguatkan bergotong royong; bergotong royong
menguatkan berkesejahteraan; berkesejahteraan akan kembali menguatkan bertakwa.
Posisi itu sama dengan keyakinan melahirkan kesadaran; kesadaran melahirkan sikap; sikap
melahirkan tindakan; tindakan melahirkan hasil; dan hasil akan menguatkan keyakinan

kembali.

Spiral itu berlaku pada Karakter Pancasila.Itu membuat Pancasila bukan sebatas menjadi
'falsafah ideologi bangsa' yang berada di awang-awang, melainkan juga membumi.Dapat
menjadi tuntunan praktis seluruh anak bangsa untuk meraih sukses dan bahagia sejati, baik
di dunia mapun di akhirat.Semua itu bermula dari BERTAKWA sebagai turunan sila pertama,
Ketuhanan Yang Maha Esa. *

Jejak Perjalanan Pancasila

Saat itu tahun 1945.Perang Dunia II masih berkecamuk.Jepang mulai terdesak oleh pasukan
Sekutu pimpinan Amerika Serikat.Mengambil hati bangsa Indonesia, Jepang menjanjikan
kemerdekaan.Lalu membentuk lembaga Dokuritsu Junbi Cosakai.Lembaga yang kemudian
bernama Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau BPU- PKI.

BPU-PKI resmi berdiri tanggal 29 April 1945.Di lembaga dengan 63 orang anggota itu
Radjiman Wedyodiningrat dipilih menjadi ketuanya. Kantornya adalah gedung Chuo Sangi In
atau kantor Volksraad, DPR zaman pemerintah penjajahan Hindia Belanda. Tempat yang
sekarang menjadi Gedung Pancasila di komplek Kementerian Luar Negeri, di Jalan Pejambon
No 6, Jakarta.
Di gedung itulah, BPU-PKI menggelar rapat pertama sebulan setelah berdiri.Agenda
utamanya adalah membahas 'dasar negara'.Dalam rapat pertama itu, tiga tokoh
mengajukan pemikiran serupa.Ketiganya adalah Muhammad Yamin, Soepomo, dan
Soekarno. Ketiganya sama-sama mengajukan lima hal yang disebut sebagai 'asas', yang
dipandang tepat untuk menjadi dasar negara.

Pada 2 9 Mei 194 5 , Muhammad Yaminmengusulkan lima asas . Kelimanya adalah peri
kebangsaan, periketuhanan, kesejahteraan rakyat, perikemanusiaan, dan perikerakyatan.
Dua hari kemudian, tanggal 31 Mei 1945, Soepomo mengemukakan lima hal yang hampir
satna. Yaitu, persatuan, mufakat dan demokrasi, keadilan sosial, kekeluargaan, serta

musyawarah.

Puncaknya adalah pada tanggal 1 Juni 1945. Melalui pidato spontan, yang seperti biasa
selalu memukau, Soekarno menyebut lima hal pula. Lima hal tersebut adalah kebangsaan
Indonesia; internasionalisme dan perikemanusiaan; mufakat atau demokrasi; kesejahteraan
sosial, dan ketuhanan Yang Maha Esa. Soekarno bahkan mengusulkan penggunaan nama
Pancasila. Itu yang menjelaskan mengapa Soekarno disebut sebagai 'Bapak Pancasila'.

Namun, hingga akhir rapat, BPU-PKI belum juga menyepakati rumusan dasar negara.Padahal
itu hal yang paling pokok untuk merdeka.Bagaimana mungkin merdeka tanpa dasar
negara?Tanpa membuang waktu, BPU-PKI membentuk 'Panitia Sembilan'.Soekarno dan
Hatta ditunjuk sebagai ketua dan wakil ketua. Achmad Soebardjo, Muhammad Yamin,
Wachid Hasyim, Abdul Kahar Muzakir, Abikoesno Tjokrosoejoso, Agus Salim, dan A.A.
Maramis sebagai anggota.

Pada 22 Juni 1945, sembilan orang itu menyepakati rumusan yang dikenal dengan sebutan
Piagam Jakarta atau Jakarta Charter. Ketuhanan yang disebut Yamin di urutan kedua, dan
oleh Soekarno di urutan lima, ditempatkan menjadi pertama. Sedangkan kesejahteraan yang
disebut ketiga oleh Yamin dan Soepomo serta keempat oleh Soekarno, diposisikan sebagai
sila kelima.

Rumusan tersebut, dengan sedikit perubahan, yang dipakai sebagai rumusan Pancasila
sekarang.Saat ditetapkan sebagai Dasar Negara pada 18 Agustus 1945, sila pertama
diubah.Kalimat 'Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemelukpemeluknya' dalam Piagam Jakarta diganti dengan 'Ketuhanan Yang Mah Esa'.Jadilah
Pancasila seperti sekarang.

Bagus dalam konsep tak otomatis membuat Pancasila mudah diimplementasikan.10 Tahun
pertama setelah merdeka, politik Indonesia riuh-rendah.Upaya mewujudkan kesejahteraan
masyarakat berjalan tidak menentu.Hal yang mendorong Soekarno mengambil langkah
radikal, meluncurkan Dekrit 5 Juli 1959.Dekrit untuk kembali ke Undang-Undang Dasar

(UUD) 1945, yang sekaligus juga mengokohkan kedudukan Pancasila.

Praktik politik yang mewujud kemudian tak menunjukkan itu.Pancasila dijalankan dalam
nuansa berbeda dari bayangan semula banyak orang. Indonesia masuk dalam sistem
'Demokrasi Terpimpin' .Puncaknya adalah tragedi penculikan dan pembunuhan para
jenderal, pada 30 Agustus 1965. Tragedi yang ditudingkan sebagai kudeta oleh Partai
Komunis Indonesia (PKI) .Kegagalan 'kudeta' itu dinyatakan sebagai 1Kesaktian Pancasila'
yang harinya diperingati setiap tanggal 1 Oktober.

Politik 'Terpimpin' dilanjutkan oleh Soeharto tahun 1966.Pancasila sempat terbiarkan


sekadar sebagai landasan formal bernegara.Juga sebagai hafalan para siswa sekolah.Belum
dikembangkan sebagai karakter bangsa secara utuh.Baru tahun 1978 Soeharto ingin
memasyarakatkan Pancasila kembali. Panduan sosialisasi disusun, dan diberi nama
'Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila' (P4) .

Sebuah badan pun dibent.uk untuk menyebarluaskan P4, dan dinamai BP7.Badan tersebut
berkantor di Gedung Pancasila juga.Tugasnya adalah menggelar program massal pendidikan
P4.Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) memberi legitimasi dengan mengeluarkan
ketetapan tentang '36 Butir-butir' yang dipandang sebagai bentuk pengamalan Pancasila.
Butir-butir turunan lima sila itu diberi judul 'Ekaprasetia Pancakarsa', dan dikukuhkan lewat
Tap II/MPR/1978.

Setelah itu, 'Penataran P4' pun diwajibkan bagi semua kalangan pendidikan, pemerintahan,
bahkan juga para pemuka Organisasi Kemasyarakatan. Lewat penataran demikian,
masyarakat diharapkan dapat menghayati dan mengamalkan 4 (empat) turunan sila
pertama, 8 (delapan) turunan sila kedua, 5 (lima) turunan sila ketiga, 8 (delapan) turunan sila
keempat, dan 12 turunan sila kelima.

Pada praktiknya, butir-butir itu lebih menjadi hafalan sesaat untuk kemudian terlupakan
kembali.Tak banyak berbekas dalam perilaku sehari-hari.Itu membuat perjalanan negara tak

seperti yang diharapkan.Penyimpangan juga tak terelakkan, meskipun pada mulanya hanya
sedikit.Tentu selanjutnya penyimpangan pun kian melebar.Hingga bangsa ini merasa perlu
mengoreksinya lewat gerakan Reformasi.

Setelah Reformasi, Pancasila tak banyak dibicarakan lagi. Dalam benak publik, Pancasila
identik dengan 'Penataran P4'.Sedangkan 'Penataran P4' dianggap sebagai indoktrinasi
politik Orde Baru.Era pemerintahan yang didesak mundur oleh gelombang Reformasi.Semua
gamang membahas Pancasila.Akibatnya, rancangan sistem bernegara pascaref ormasi tak
sungguh-sungguh dilandaskan pada Pancasila.
Pada tataran negara, Pancasila memang bukan sama sekali terlupakan. Pada tahun 2003,
MPR masih mengeluarkan Ketetapan No III/MPR/2003.Lewat keputusan itu, ketetapan
terdahulu soal 36 butir pengamalan Pancasila dicabut.Diganti dengan 45 butir-butir baru
hasil pengembangannya.Namun itu tak cukup membuat Pancasila lebih menggema.Dari hari
ke hari Pancasila makin meredup dan terabaikan.
Masyarakat tidak cukup mendapat petunjuk bagaimana mengimplementasikan Pancasila
dalam kehidupan sehari-hari.Butir-butir baru pengamalan Pancasila masih serupa dengan
sebelumnya.Lebih merupakan "harapan berperilaku" yang normatif.Gampang terlupakan
dan terabaikan, bahkan oleh para perumusnya sendiri. Secara diam-diam Pancasila
dipandang sudah kurang relevan untuk membangun bangsa dalam menyongsong era global
ke depan.

Sepuluh tahun setelah Reformasi 1998 berlalu, keinginan mengangkat Pancasila kembali
menguat.Suasana 'rindu Pancasila' mulai disuarakan. Pada saat yang sama, soal pendidikan
dan pembangunan karakter makin menjadi bahasan di berbagai forum. Ada perasaan
bersama yang mengemuka: Bagaimana cara membuat bangsa ini berkarakter kuat
sebagaimana bangsa-bangsa kuat dan maju? Bagaimana membuat Pancasila menjadi
landasan nyata karakter bangsa ini?*

BAB 2
Pilar Keyakinan:

BERTAKWA
Beriman - Bersyukur - Beratwakal

"Ketuhanan Yang Maha Esa"


-sila pertama Pancasila

Bertakwa merupakan pilar pertama dari Karakter Pancasila. Ini adalah pilar keyakinan atau
be//eAdalam mata rantai siklus karakter. Dalam pengembangan karakter diri, semua diawali
dari keyakinan atau belief.Inilah pondasi untuk menggapai sukses dan bahagia. Dalam
Karakter Pancasila, pilar belief atau keyakinan itu adalah bertakwa. Bila pilar bertakwa tegak,
mudah untuk membuat pilar lain tegak pula.Itu jaminan untuk menjadikan bangunan
karakter yang kokoh.

Secara bahasa, bertakwa didefinisikan sebagai "terpeliharanya diri untuk tetap taat
melaksanakan perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya."Atau sebagai "keinsafan
diri yang diikuti dengan kepatuhan dan ketaatan dalam melaksanakan perintah Allah dan
menjauhi segala larangan-Nya."Ada kepatuhan dan ketaatan.Itu bukan hasil dari
keterpaksaan, melainkan hasil dari kesukarelaan.Ada kesadaran diri, bahkan kerelaan
hati.Itulah bertakwa.

"Kesalehan hidup". Itu penggambaran lain dari bertakwa. Saleh berarti berbuat baik dan
benar yang mencakup seluruh aspek kehidupan.Saleh dalam hidup berarti berbuat baik dan
benar terhadap empat hal, yaitu diri sendiri, sesama manusia, lingkungan alam semesta, dan
Tuhan Yang Maha Esa.Orang yang berbuat baik dan benar kepada keempat hal itulah
manusia yang bertakwa.

Seorang yang bertakwa yakin dan sadar, Tuhanlah Sang Pencipta alam semesta ini.Tuhan
yang menciptakan gugus Bima Sakti yang entah sampai mana batasnya.Tuhan yang
menciptakan tata surya terdekat, dengan bumi menjadi planet tempat tinggal
manusia.Tuhan yang menciptakan siang dan malam, sistem keluar masuk udara untuk
bernapas, serta DNA pembawa cetak biru genetika, sehingga membuat setiap hamba-Nya
memiliki perasaan serta jiwa.

Bukan hanya Sang Pencipta, Tuhan pula Sang Penguasa alam semesta beserta seluruh isinya.

Allah yang menentukan hukum alam: membuat gravitasi yang memaksa semua yang ada di
sekitarnya jatuh ke bumi. Hingga Newton pun 'menemukan' teori karena kejatuhan apel.
Allah yang membuat aturan hukum agama untuk dipatuhi. Lalu menyediakan pahala atau
reward bagi yang patuh, dan hukuman atau punishment bagi yang ingkar. Nanti setelah
dunia ini berakhir.

Tuhan bukan semata mencipta dan berkuasa, melainkan juga satu-satunyayang agung pada
masa kapan pun.Kemahaagungan Tuhan terekam jelas dalam sejarah peradaban.Dari waktu
ke waktu, manusia senantiasa mengagungkan Sang Maha Agung.Dengan segala ketulusan
dan penuh ketakziman, manusia menyembah dan menghamba kepada Tuhan.Rida Tuhan
menjadi dambaan manusia.Itulah pengagungan kepada Tuhan oleh orang-orang yang
bertakwa.

Di hadapan Sang Maha Agung, seorang yang bertakwa akan merendahkan diri serendahrendahnya. Dalam sejarah peradaban, bermiliar-miliar manusia telah dilahirkan, dari masa
purba hingga sekarang.Di antara bermiliar manusia serta di tengah jagat raya semesta,
seorang manusia tak lebih dari debu, apalagi di hadapan Allah.Pantaskah debu merasa diri
hebat, sombong, atau arogan?Seorang yang bertakwa tak seperti itu, la akan bersujud,
patuh, dan mengharap rida-Nya.

Di hadapan alam semesta, seorang yang bertakwa tak akan berhenti mengaguminya. Alam
semesta menjadi sarana yang luar biasa untuk mengingat llahi. Ketika memandang sekeping
bagian alam semesta, yakni lingkungan sekitar, seorang yang bertakwa akan memandangnya
dengan hati. Yakni dengan melestarikan lingkungan itu, ia akan menjadikan diri sebagai
'Khalifah Tuhan' di bumi. Pribadi yang akan terns menata dan memelihara lingkungan,
sebagaimana Tuhan memperlakukan alam semesta.

Di hadapan sesama manusia, seorang yang bertakwa berdiri setara.Tak merasa lebih tinggi
dan tak pula merasa lebih rendah.la tahu bahwa semua manusia sama dilahirkan dengan
nilai sama di hadapan Allah. Kekuasaan, kekayaan, dan popularitas tak berharga apa-apa

begitu maut menjemput. Seorang yang bertakwa akan berusaha memberi manfaat bagi
orang lain, la tahu, "Sebaik-baik orang adalah yang bermanfaat bagi sesamanya." Itulah yang
akan membuat sukses.

A. BERIMAN

Beriman merupakan karakter utama pertama dari Karakter Pancasila.Ini menjadi penopang
pilar bertakwa.Istilah beriman dapat dimaknai sebagai "memilki keyakinan dan kepercayaan
kepada Tuhan Yang Maha Esa".Tak mungkin seorang yang bertakwa tidak punya keyakinan
dan kepercayaan kepada Tuhan. Tapi sebaliknya, ia berkeyakinan dan berkepercayaan kuat
kepada Tuhan.

Meyakini dan memercayai Tuhan menjadi hal paling mendasar dari beriman.Yakin bahwa
Tuhan ada; Tuhan Mahakuasa dengan menciptakan serta memelihara seluruh alam semesta
ini.Tuhan juga memberi begitu banyak kenikmatan dan kebahagiaan sejati.Sejalan dengan
itu, beriman berarti meyakini pula bahwa para malaikat yang menjalankan perintah Tuhan
dalam menata alam semesta.la juga yakin adanya setan yang terus menebar spirit buruk
bagi manusia.

Beriman juga meyakini bahwa Tuhan memberi petunjuk dan membimbing manusia agar
dapat meraih kebahagiaan sejati. Petunjuk Tuhan itu berupa kitab suci seperti Al-Qur'an
atau Injil yang diturunkan dengan cara diwahyukan kepada manusia terpilih. Yakni kepada
nabi atau rasul Tuhan.Para rasul-lah yang menyebarkan petunjuk itu, baik lewat ucapan
maupun teladannya kepada umat manusia hingga menyebar sampai sekarang.

Perjalanan hidup manusia , terkait nasib dan usahanya, juga diyakini oleh orang yang
beriman bahwa itu tak lepas dari kehendak Tuhan. Adalah Tuhan yang menentukan kapan,
di mana, dan dari siapa seorang anak manusia dilahirkan. Tuhan membekali akal dan kalbu
yang akan mengendalikan ke mana manusia melangkah. Tuhan pula yang menghamparkan
kenikmatan abadi surga bagi yang taat dan berbuat baik, serta kepedihan neraka bagi yang
ingkar dan berbuat jahat.

Keyakinan dan kepercayaan kepada Tuhan dan segala yang terkait dengan-Nya, tertanam
kokoh di lubuk hati terdalam.Tuhan memang tak terlihat dan tak terjangkau panca
indera.Namun, bagi orang yang beriman, keberadan dan kekuasaan Tuhan begitu
nyata.Keagungan dan kesempurnaan alam semesta menjadi bukti empiris tak terbantahkan
atas kemahakuasaan Tuhan. Keyakinan di hati itu tidak tergoyahkan oleh apa pun. Bahkan
oleh ancaman kematian sekalipun.

Beriman tak cukup cuma menyimpan keyakinan dan kepercayaan di dalam hati terdalam,
tetapi juga perlu menyatakannya secara terbuka.Beriman tidak sekadar menyatakan dengan
lisan, tapi juga menunjukkan lewat perbuatan.Yakni dengan beribadah, yang didefinisikan
sebagai "perbuatan untuk menyatakan bakti kepada Allah yang didasari ketaatan
mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya."

Dengan beribadah, seperti bersembahyang, baik dilakukan sendiri maupun berjamaah,


manusia menjadi taat dan bakti kepada Tuhan. Salat wajib lima kali sehari bagi muslim
adalah bentuk sembahyang. Begitu juga ke gereja setiap minggu bagi umat Nasrani, ke pura
bagi pemeluk Hindu, atau vihara bagi penganut agama Buddha. Berpuasa sebulan setiap
tahun, membayarzakat, hingga pergi naik haji bagi yang mampu juga ibadah wajib bagi
muslim. Kebaktian, meditasi, dan beberapa ritual lain juga merupakan ibadah bagi penganut
agama masing-masing.

Beribadah pada dasarnya adalah berdialog langsung dengan Tuhan.Kuncinya adalah


khusyuk, yakni mencurahkan hati langsung kepadaTuhan. Itu yang membuat beribadah akan
menyegarkan jiwa. Dengan beribadah masalah yang membebani pikiran seseorang akan
dapat dilepaskan. Setidaknya akan menjadi ringan. Setelah itu ia akan siap untuk memikul
beban lagi. Itu adalah bagian dari beriman.

Secara utuh, kedudukan beriman sebagai karakter utama dapat digambarkan sebagai
berikut:

1. Yakin
Ini merupakan karakter pertama dari Pancasila. Secara bahasa, yakin berarti "percaya
sungguh-sungguh", percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, kepada diri sendiri, dan kepada
orang lain. Dengan yakin, hidup akan terasa lebih mudah. Kesulitan akan lebih mudah dapat
diatasi. Kekhawatiran dan kecemasan akan tertaklukkan. Hasilnya, kesuksesan dan
kebahagiaan tentu lebih mungkin diraih.

Percaya kepada Allah menjadi kuncinya.Percaya bahwa Tuhan adalah satu-satunya sumber
kebahagiaan sejati.Tuhanlah yang memberi begitu banyak nikmat kepada rnanusia. Tuhan
akan terus menurunkan nikmat-Nya kepada semua orang. Tak hanya itu, Tuhan juga akan
selalu menolong hamba-Nya yang berusaha dan berdoa kepada-Nya. Orang yang beriman
meyakini hal itu.

Percaya diri juga adalah ciri seorang yang berkarakter yakin.Dengan meyakini Tuhan, tak ada
rasa khawatir atau ragu di dalam dirinya.la tak cemas dan tak khawatir terhadap apa pun.
Seorang yang yakin, percaya bahwa Tuhan akan menolong dirinya untuk dapat mengatasi
persoalan apa pun. la tak perlu bergantung pada siapa pun. Sikap dan tindakannya mantap.
Tak tergoyahkan oleh apa pun.

Seorang yang yakin, bukan sekadar percaya diri, melainkan juga percaya kepada orang lain,
la tidak curiga atau gampang berpikir negatif, walau tetap waspada. Percaya juga membuat
dapat dipercaya orang lain. Maka, saling percaya pun terbangun. Saling percaya itu akan
membuat masyarakat makmur. Maka, Francis Fukuyama menyebut percaya (trust) sebagai
modal sosial untuk maju.

Yakin juga berarti tidak ragu-ragu.Seorang yang yakin mantap langkahnya.Untuk bersikap
dan bertindak tentu banyak yang perlu dipertimbangkan. Tapi ia tak bimbang dalam
menimbang, cepat mengambil keputusan, serta teguh dengan keputusannya. Keyakinannya
terpancar jelas pada wajah, dalam ucapan, dan dalam setiap perbuatan.

2. Berani

Berani berarti "memiliki hati yang mantap dan rasa percaya diri yang besar dalam
menghadapi bahaya".Dalam pengertian yang lebih sederhana juga disebut "tidak takut".Ini
merupakan

karakter

pemberani.Kemerdekaan

kedua

dari

dibangun

beriman.Sejarah
oleh

para

dunia

dibangun

pemberani.Begitu

pula

oleh

para

peradaban

lainnya.Orang-orang yang berani telah merintis jalan membangun dunia yang lebih baik.

Tidak takut merupakan salah satu ciri pemberani.Seorang pemberani tahu persis bahwa
hidup penuh risiko.Setiap langkah memiliki risiko.Tapi itu tak menghalanginya untuk maju
melangkah.Justru di balik setiap risiko itulah ada kesempatan.Semakin besar suatu risiko,
semakin besar peluang hasilnya.Kepiting dan udang termahal didapat dari laut terganas.

Percaya diri.Ini terkait langsung dengan kesiapan menghadapi berbagai kemungkinan


risiko.Seorang pemberani percaya setiap orang dikaruniai kemampuan mengatasi persoalan
hidup masing- masing.Karunia itu berlaku pada semua orang.Maka tak ada rasa rendah
diri.Tak ada rasa inferior.Di hadapan orang yang tampak paling hebat sekalipun, yang perlu
adalah rendah hati.

Siap menghadapi tantangan juga ciri pemberani.Seorang pemberani sejati melihat persoalan
bukan sebagai hambatan.Namun sebagai tantangan.Semakin besar tantangan, semakin
berantusias untuk menaklukkannya.Menaklukkan tantangan, bukan untuk bergagahgagahan, melainkan untuk menempa diri, baik spiritual, intelektual, fisikal, maupun mental.

Pemberani sejati tidak merasa diri hebat.la menjadi pemberani karena mengejar tujuan yang
jelas. Nelayan berani mengarungi gelombang hebat karena ingin mendapatkan ikan.Lebih
dari itu, pemberani juga tahu ada Allah Sang Maha Pelindung.Para spiritualis umumnya
pemberani.Mereka menjelajah dunia menghadapi beragam risiko untuk menyampaikan
kebenaran.

3. Jujur
Jujur secara bahasa didefinisikan sebagai "lurus hati", "tidak berbohong", dan "tidak
curang".Itu modal berharga dalam mengarungi kehidupan."Yang penting jujur.Insya Allah
selamat!"Ucapan itu acap terdengar dari ibu yang melepas anaknya merantau.Jujur berarti
dapat dipercaya, tidak berdusta, dan senantiasa berperilaku benar.

Seorang yang jujur adalah seorang yang dapat dipercaya, baik ucapan maupun
tindakannya.la bersikap terbuka, apa adanya. Dia tak akan berusaha menutupi cacat atau
kekurangan dirinya, apalagi untuk memanipulasinya. la tak mau berpura-pura hebat. Tentu
dia juga tak menunjuk-nunjukkan kekurangannya.Memang dia tak perlu melakukan itu.

Terkait dengan kejujuran adalah integritas.Yakni "satunya perbuatan, ucapan, dan


pikiran."Itu pondasi utama untuk maju dan meraih sukses.Yang sering merusaknya adalah
gengsi.Itu mendorong perilaku berpura-pura, berbohong, serta korup.Padahal integritas
adalah kunci kemajuan bangsa.Integritas menentukan keberhasilan bisnis makanan,
perbankan, dan banyak lainnya.

Seorang yang jujur juga bersahaja.Yakni bersikap sederhana, tidak rumit dan tidak berbelitbelit.la mementingkan hal-hal yang inti atau esensial, bukan yang artifisial. Dalam
berpenampilan, seorang yang bersahaja memilih tampil bersih-rapi.Tidak terjajah oleh
merek, harga, atau atribut lainnya.la tahu bahwa atribut seperti itu sungguh tak penting di
hadapan Tuhan.

Seorang yang jujur umumnya juga hemat.la ririgan tangan membantu orang lain, namun tak
suka bermewah-mewahan, apalagi pamer kekayaan. Hal itu tercermin pada fasilitas yang
dikenakannya sehari-hari.Juga pada kegiatan yang dilakukannya, seperti dalam menggelar
pesta pernikahan.Sepanjang sejarah dunia, tokoh-tokoh berintegritas umumnya berkarakter
seperti itu.Yang seperti itu bukan hanya para nabi, melainkan juga para pebisnis terkaya di
dunia pada era modern ini.

B. BERSYUKUR
Bersyukur merupakan bagian dari bertakwa, pilar karakter yang menjadi turunan langsung
dari sila pertama Pancasila.Seorang yang bertakwa adalah seorang yang bersyukur.Seorang
yang yakin bahwa setiap orang telah menerima begitu banyak nikmat dari Tuhan.
Sedemikian banyak nikmat yang telah dilimpahkan Tuhan sehingga manusia tak akan
mampu menghitungnya. Karena itu, sudah sepantasnya bila manusia bersyukur atau
berterima kasih.

Secara bahasa, bersyukur memang berarti berterima kasih.Orang-orang yang beradab


adalah orang-orang yang pandai berterima kasih.Dalam perjalanan hidup, nikmat yang telah
diterima manusia begitu banyak.Dapat melihat adalah karunia.Dapat mendengar, mencium
dan merasakan juga karunia. Begitu pula bernapas, menghirup udara yang membawa
oksigen setiap saat sepanjang usia.

Banyak karunia yang tak mudah diukur.Karunia sehat, misalnya.Kadang manusia baru
menghargai sehat setelah jatuh sakit. Saat sehat , karunia itu malah sering terlupakan.
Pikiran juga merupakan karunia yang luar biasa.Dengan karunia itu manusia dapat berpikir.
Dapat berpikir berarti membuat tahu apa yang terbaik yang harus dilakukan dan yang
terburuk yang harus dihindari.

Lebih dari semua itu adalah karunia iman.Yaitu, karunia untuk memahami dan meyakini
adanya Tuhan yang memberi kebahagiaan sejati.Tuhan bukan hanya memberi pekerjaan,
rezeki, dan kehormatan, melainkan juga mengaruniai kasih sayang.Maka, manusia
mengasihi pasangan hidupnya dan menyayangi sesamanya.Orang tua juga menyayangi
anak-anaknya.

Tuhan juga mengaruniai rasa bahagia, baik di dunia ini maupun di akhirat kelak.Ringkas kata,
hidup adalah karunia.Karena itu, patut dan wajib disyukuri sebaik-baiknya.Mensyukuri
setiap karunia sungguh nikmat dan nikmat dan membahagiakan. Banyak bersyukur akan
mengundang kenikmatan dan kebahagiaan berikutnya. Itu petunjuk tuhan bagi semua
manusia yang ingin hidup bahagia.

Tuhan pun menyeru manusia agar bersyukur. Melalui firman-Nya, Allah menjanjikan: Siapa
yang bersyukur akan dikaruniai tambahan kebahagiaan melimpah. Sebaliknya, siapa yang
menolak mengakui nikmat-Nya akan menuai penderitaan. Maka, bahagia dan menderita
sepenuhnya bergantung pada diri sendiri: Mau atau tidak mensyukuri hidup? Mau atau
tidak mengakui nikmat?

Manusia yang bersyukur memang orang yang selalu mengingat nikmat. Sekecil apa pun
nikmat yang diterima tak akan diabaikan. Bagi pesyukur, nikmat adalah nikmat.Tidak ada
nikmat besar atau nikmat kecil.Semuanya sama-sama nikmat.Sama-sama patut dan harus
disyukuri.Sebagai manusia, kadang bisa saja melupakan suatu nikmat. Tetapi pesyukur akan
selalu mengingatnya kembali dan mensyukurinya.

Karenaselalu diingat-ingat, maka nikmatlah yang paling memenuhi benak pesyukur.Yang ada
dalam

ingatan

orang

yang

bersyukur

adalah

hal-hal

menyenangkan

dan

membahagiakannya, bukan hal-hal yang menyedihkan dan mengecewakan.Dalam hidup


tentu ada sedih, ada duka.Sedih dan duka hanya dirasakan sesaat.Itu hal yang manusiawi.
Tapi sama sekali tidak disimpan dalam ingatan.

Maka, orang yang bersyukur selalu dapat menikmati setiap keadaan, seburuk apa pun
keadaan itu menurut orang lain. Jika dikaruniai musibah atau kesusahan, ia percaya bahwa
Tuhan tengah menempanya agar menjadi lebih kuat dan lebih baik. Jika dikaruniai
kesenangan dan kecukupan, ia yakin bahwa Tuhan tengah mengingatkannya agar lebih
bersyukur dan lebih banyak membantu orang lain.
'
Dengan begitu, pesyukur tak gampang jengkel dan tak mudah marah. Buat apa jengkel dan
marah? Jengkel dan marah hanyaakan mengurangi kenikmatan dan kebahagiaan sendiri.
Begitu juga dendam dan iri hati kepada orang lain. Yang selalu diingatnya adalah kebaikan,
bukan keburukan orang lain, la memandang sisi baik orang.la tak gemar mengritik, malah
sebaliknya, ia suka dikritik.

Orang yang bersyukur hidup tenang dan bahagia.la siap menghadapi segala keadaan, tidak
gampang tersinggung, juga tidak mudah khawatir. Bagaimana pun keadaan hidupnya, ia

selalu bersyukur merasa cukup. la yakin bahwa Tuhan akan segera memberinya tambahan
nikmat dan kebahagiaan. Maka, ia merasa tidak perlu melakukan korupsi atau tak perlu
menyalahgunakan kekuasaan. la percaya bahwa ia bisa kaya melalui jalan yang baik.

Bersyukur merupakan langkah aktif menjemput tambahan nikmat dari Tuhan.Tak berlebihan
bila bersyukur disebut sebagai 'gerbang kesuksesan'. Bersyukur juga akan menumbuhkan
rasa kasih sayang mendalam. Selain tentu meningkatkan kapasitas bersinergi, menguatkan
etos, dan mengefektifkan kemampuan meraih hasil sempurna. Maka, mari kita bersyukur
agar kita bisa mendapatkan kebahagiaan sejati.

4. Gembira
Gembira dapat dimaknai sebagai "riang" atau "senang hati", sebuah keadaan yang
menggambarkan perasaan positif seseorang. Seorang yang bersyukur akan selalu gembira
dengan segala keadaan yang menurut orang lain dipandang pedih sekalipun. Seorang yang
bersyukur percaya, setiap keadaan tak lepas dari kehendak Tuhan. Maka, ia akan
menyambut setiap keadaan dengan gembira.

Rasa gembira itu diekspresikan dalam berbagai bentuk.Mata seorang yang gembira biasanya
berbinar.Bibirnya pun gampang tersenyum.la sesekali mungkin juga bersenandung. Atau
sedikit

menggerakkan

tangan,

kaki,

dan

badan

mengikuti

irama

musik

yang

terdengar.Senang menyapa orang serta berhumor juga ciri dari orang yang gembira.
Gembira tentu saja tidak bersedih. Seorang yang gembira tidak akan berwajah murung.
Tidak sedih bukan sekadar berpura-pura, melainkan memang sungguh datang dari hati yang
terdalam.Hidupnya seperti mewakili lirik sebuah lagu perpisahan anak- anak. "Buat apa
susah..buat apa susah. Susah itu tak ada gunanya." Sosok yang demikian tak akan
membiarkan orang lain sedih atau susah. la akan berusaha menghibur mereka yang sedih
atau susah.

Aktif juga ciri dari seorang yang gembira. Sosok yang gembira tak akan berdiam, atau bahkan
mengurung diri. la akan cenderung mencari kesibukan yang bermanfaat. Bukan hanya untuk
diri sendiri, melainkan juga untuk orang lain. Ini adalah langkah yang mendorongnya untuk

lebih bersosialisasi. Setiap kesempatan untuk berkontribusi akan dimanfaatkannya. Dengan


demikian, baginya tidak banyak waktu yang mubazir.

Seorang yang gembira juga memandang positif setiap keadaan.Setiap hal selalu ada positif
dan negatifnya.la akan lebih terfokus melihat sisi positifnya. Bila ada gelas yang setengahnya
berisi air, ia tak akan menyebut gelas itu 'setengah kosong', tapi 'setengah penuh'. la enggan
meratapi keadaan. Sebaliknya, ia malah akan selalu menyambut sekecil apa pun
kesempatan dengan penuh antusias dan optimis.

5. Sabar
Sabar berarti "tahan dalam menghadapi segala cobaan".Juga dapat diartikan sebagai "tidak
lekas marah, tidak lekas putus asa, tidak lekas patah hati".Wajah seorang penyabar tidak
tegang.la tidak meninggikan suara, tidak membentak, dan tidak tampak emosional. Dalam
keadaan apa pun, ia akan selalu tenang dan terkendali, baik ucapan maupun tindakannya.

Tidak marah menjadi ciri yang jelas seorang penyabar.la tidak akan terjebak oleh berbagai
keadaan yang membuat orang menjadi marah. Seperti lalu lintas yang macet, anak yang
terasa nakal, pasangan hidup yang bersikap tak seperti yang diharapkan, bawahan yang
salah bekerja, serta negara dan pemimpin yang kacau balau.

Karena tak marah, maka tentu ia juga tidak dendam. Marah pada masa lalu biasanya
menorehkan rasa dendam. Nah, rasa dendam ini tak akan dimiliki oleh seorang yang
berkaraker sabar karena dulu juga ia tak marah. Tak ada jengkel yang tersimpan dalam
hatinya.Tak ada pula rasa iri hati.Ada yang menyebut, dendam adalah saudara kandung iri
hati.Seorang penyabar terhindar dari hal itu.

Seorang penyabar juga pemaaf.Sabar berarti tak membiarkan diri menjadi 'korban' keadaan.
Termasuk korban salah atau keliru orang lain, la tak ingin perasaannya tertekan. Agar tak
tertekan, maka ia maafkan kesalahan orang lain. Apalagi kesalahan itu sering tak begitu
penting.Memaafkan melegakan hati sendiri. Dengan cara itu, ia mampu mengendalikan,
bukan dikendalikan oleh emosi.

Sabar dan memaafkan sering dianggap kalah. Padaha! tidak. Sabar justru menang, karena
mengendalikan keadaan.Sabar bukan nrimo.Sebaliknya, seorang penyabar adalah orang
yang tekun dan istikamah dalam berusaha.la tidak akan berhenti berusaha sebelum hasilnya
tercapai. Sabar itu menenteramkan.Bukan hanya para nabi, orang-orang sukses juga orang
yang sabar.

6. Berterima kasih

Berterima kasih secara bahasa berarti "mengucap syukur".Dapat pula dimaknai sebagai
"membalas budi setelah menerima kebaikan".Selalu ingat nikmat menjadi ciri seorang yang
berterima kasih. Tentu ia akan berusaha untuk berterima kasih kepada Sang Pemberi
Nikmat, yakni Tuhan. Selain itu, ia juga selalu ingat pemberian orang lain. Lalu, ia berusaha
untuk membalasnya.

Ingat

nikmat

Tuhan

merupakan

elemen

berterima

kasih.Nikmat

Tuhan

begitu

berlimpah.Tubuh yang terdiri dari tulang, otot, daging, kulit, dan seluruh organnya adalah
karunia Tuhan.Belum lagi jiwa, pikiran, kesehatan, dan sebagainya.Berterima kasih berarti
mengingat itu semua. Gagal atau merasa hidup susah, tak membuat lupa atas karunia Tuhan
itu.

Ingat pemberian sesama juga bagian dari berterima kasih. Tak ada manusia yang tak
menerima bantuan orang lain. Seorang bayi bergantung kepada orang tuanya.
Kebutuhannyayang paling dasar dipenuhi ibunya dengan air susu ibu (ASI), satu-satunya
makanan

sempurna

bayi.

Saat

tumbuh,

manusia

mendapat

bantuan

dari

kerabatnya.Kemudian, dari tetangga hingga teman kerjanya.

Membalas pemberian.Ini juga elemen dari berterima kasih. Sekecil apa pun pemberian akan
diingat. Lalu berupaya membalas kebaikan atau pemberian itu sebaik mungkin."Terima
kasih".Ucapan itu setidaknya yang dapat disampaikan.Juga dengan senyum dan sikaptubuh
yang ramah menghormati.Lebih dari itu adalah membalas kebaikan dengan kebaikan.

Ada yang menyebut terima kasih berasal dari kata 'terima' dan 'kasih'.Kalau sudah 'terima'
sepatutnya adalah 'kasih'.Yakni memberi.Apa pun, sesuai dengan kemampuan. Masyarakat
dengan peradaban maju adalah masyarakat yang pandai berterima kasih.Berterima kasih
bukan

sekadar

disimpan

di

dalam

hati,

namun

diekspresikan

dengan

ucapan."Alhamdulillah!" "Terima kasih!".

C. BERTAWAKAL

Bertawakal termasuk karakter utama dari bertakwa sebagai turunan sila pertama
Pancasila.Karakter ini penting dalam menghadapi kehidupan.Secara umum, hidup ini
rumit.Terlalu banyak faktor yang menentukannya. Agar tak bingung, mari kita mohon
bimbingan dari Sang Pemilik Kehidupan dengan bertawakal. Bimbingan dan petunjuk akan
datang.

Pengertian tawakal adalah pasrah, berserah diri hanya kepada Tuhan. Dasarnya adalah
keyakinan: Semua yang ada di alam semesta ini milik Allah. Manusia milik Allah. Sang Pemilik
tentu Yang Maha Tahu apa 'yang terbaik' bagi manusia. Manusia perlu menjemput 'yang
terbaik' itu langsung dari Tuhan.Bukan cuma menunggunya.Untuk itulah perlu bertawakal.
Dalam kehidupan, manusia selalu ingin ini dan itu.Manusia ingin mendapatkan yang terbaik
bagi dirinya, baik berupa materimaupun bukan.Namun, jalan seorang yang bertawakal dan
tidak, tentu berbeda. Seorang yang tak bertawakal memakai segala cara untuk mengejar
keinginannya. Sedangkan seorang yang bertawakal akan menggunakan jalan yang wajar dan
baik. Selebihnya ia berserah diri kepada Tuhan.

Dalam hidup manusia menganggap ini baik itu buruk.Lalu berusaha keras mengejar hal yang
dianggap baik dan menghindar hal yang dianggapnya buruk.Padahal, yang dianggap baik
belum tentu benar baik.Yang dianggap buruk pun belum tentu benar- benar buruk.Tuhanlah
yang paling tahu tentang hal itu.Dan Tuhan juga sudah mengingatkan itu.Maka, bertawakal
sajalah kepada Tuhan.

Pernah ikut arung jeram?Instruktur selalu memberi tahu bagaimana menyelamatkan diri bila
tercebur air."Jangan panik dan tegang.Jangan berusaha berenang menyelamatkan
diri.Lemaskan badan.Biarkan badan terbawa arus.Biarkan kepala di belakang, dan jaga
jangan sampai terbentur.Nanti akan sampai di tempat tenang."Itulah saat untuk berenang
atau ditolong.

Kehidupan juga demikian.Siapa pun bisa jatuh.Tak usah memaksa diri mencari
solusi.Cukuplah bertawakal.Serahkan keadaan pada arus semesta. Arus kehidupan semesta
itu akan membawa ke tempat tenang. Saat itulah upaya tenang dapat dilakukan.Begitu
mekanisme semesta dari Tuhan.Begitu jalan Tuhan menyelamatkan manusia yang
bertawakal.

Tawakal bukan nrimo, bukan membiarkan keadaan buruk, bukan pula membiarkan diri
ditindas orang.Tawakal adalah tindakan aktif, bukan pasif.Yakni, berbuat aktif menjemput
bimbingan ilahi. Bimbingan yang akan membantu orang yang bertawakal mampu mengatasi
segala keadaan dan mampu membebaskan diri dari penindasan.
Neuro sains menunjukkan adanya gelombang otak. Padafrekuensi 7-13 Hertz, gelombang itu
terkoneksi dengari gelombang llahiah.

Dari sanalah ilham hadir.Dari sanalah intuisi dari Tuhan terbetik.Nabi menerima
wahyu.Manusia menerima ilham atau intuisi dari Tuhan. Dengan bimbingan Tuhan itu apa
yang tak teratasi?

Jalan hidup terkadang seperti buntu.Berbagai upaya sudah dilakukan.Namun hasil tak
kunjung tiba.Bila demikian, itulah saatnya mengakses kekuatan yang lebih besar. Bahkan
satu- satunya kekuatan sejati: Tuhan. Yakni dengan merendahkan hati, menekan ego, dan
menyerahkan semua kepada Sang Mahakuasa.Itulah bertawakal, salah satu jalan awal untuk
sukses.

Bertawakal sebagai karakter utama, setidaknya ditopang oleh tiga karakter. Ketiganya adalah
ikhlas, berdoa, serta cinta alam yang dapat diuraikan sebagai berikut:

7. Ikhlas
Esensi dasar tawakal atau pasrah adalah ikhlas.Istilah yang dimaknai sebagai "bersih hati"
atau "tulus hati".Ciri ikhlas adalah siap dengan segala keadaan.Seorang yang ikhlas percaya
bahwa semua yang terjadi di dunia tak lepas dari kehendak Tuhan.Setiap keadaan selalu ada
hikmahnya.Keadaan yangsekilas tampak buruk sekalipun.Selalu ada maksud Tuhan pada
setiap kejadian.
Seorang yang ikhlas tak mengharapkan apa pun dari siapa pun kecuali dari Tuhan. Istilah
agamanya adalah 'rida Tuhan'.Dari sanalah kemudahan hidup dan kebahagiaan sejati
berasal. Bila rida Tuhan ada di tangan, apa yang dapat menghalangi untuk sukses?
Sedangkan rida Tuhan itu justru akan datang saat kita benar-benar ikhlas. Saat, kita siap
menerima segala keadaan dengan ikhlas.
Seorang yang ikhlas juga tak akan mengungkit-ungkit masa lalu. Baginya tidak ada yang
buruk di dunia ini, termasuk kesalahan sendiri pada masa lalu.Kesalahan pada masa lalu
adalah pelajaran untuk menjadi lebih baik. Kesalahan orang lain sama sekali tak diingat,
apalagi diungkit-ungkit. Bila ditanya, apa yang paling disesalinya pada masa lalu, seorang
yang ikhlas biasanya bingung menjawab. "Apa ya?"
Terkait dengan ikhlas adalah tulus yang juga berarti "bersih hati" serta "tidak pura-pura".
Dalam kehidupan sehari-hari, seorang yang tulus tidak akan berprasangka buruk kepada
orang lain. Dalam agama ada istilah 'khusnudzon'.Berprasangka baik.la percaya, pada
dasarnya manusia itu baik, walaupun ia tahu ada juga yang kemudian tidak baik.
Tidak berpamrih juga ciri lain dari ikhlas atau tulus. Setiap manusia tentu punya keinginan
dan harapan. Tapi seorang yang tulus tak akan menyimpan maksud tersembunyi mengejar
keinginan sendiri dengan merugikan orang lain. Umumnya orang yang seperti ini bersahaja.
Tak berlebihan dalam bersikap, berpakaian, bertingkah laku dan berkata-kata, walaupun ia
mungkin berkecukupan.

8. Berdoa

Doa dimaknai sebagai "permohonan kepada Tuhan". Dengan demikian, berdoa adalah

memohon kepada Tuhan.Ini merupakan salah satu karakter orang yang bertawakal.
Sosokyang bertawakal akan gemar berdoa. la percaya bahwa Tuhan adalah sumber kebaikan
dan kebahagiaan. Tuhan adalah jalan keluar dari segala persoalan.la menyerahkan seluruh
persoalannya kepada Tuhan lewat doa.

Ingat kepada Tuhan.Ini menjadi elemen pertama dari berdoa. Seorang pendoa akan sering
mengingat Tuhan. Tuhan hadir pada sebagian besar waktunya.Pada masyarakat Jawa
dikenal istilah 'Eling', posisi batin yang selalu mengingat Tuhan.Manusia Eling dipandang
sebagai manusia mulia.Memperhatikan napas sebagai penanda keberadaan jiwa dinilai
efektif untuk mengingat Tuhan.

Memuji Tuhan juga menjadi elemen dari berdoa.Tidak sekadar mengingat Tuhan, manusia
juga perlu memuji Tuhan.Agama mengajarkan berzikir, sebuah langkah aktif untuk memuji
Tuhan dengan lisan. Allah mengajarkan, siapayang berzikir kepada-Nya, hatinya akan
tenang. Tidak akan ada resah, apalagi depresi. Bagi pezikir, persoalan apa pun yang
membayanginya, tetap menjadi sesuatu yang membahagiakan.

Memohon kepada Tuhan.Ini menjadi elemen kunci dalam berdoa. Tuhan pun mengajarkan,
"Mintalah kepada-Ku, Aku akan penuhi permintaan kalian." Tentu sepanjang sungguhsungguh dalam memintanya.Manusia tak suka dimintai oleh sesama.Tapi Tuhan
sebaliknya.Tuhan menyukai manusia yang banyak memohon kepada-Nya lewat berdoa dan
berikhtiar.

Kunci berdoa adalah hati.Hati yang bersih dan jernih dapat menjadi antena yang efektif
dalam menangkap gelombang llahiah. Dengan hati seperti itu, tak akan ada penghalang bagi
setiap doa untuk sampai kepada Tuhan. Ada pula tempat danwaktu 'ijabah' untuk
berdoa.Misalnya, di tempat ibadah dan saat gelap dini hari.Meski begitu, berdoa bisa
dilakukan setiap saat.

9. Selaras Alam
Selaras alam dapat dimaknai sebagai "hidup harmonis bersama alam".Karakter ini
merupakan bagian dari bertawakal.Seorang yang bertawakal memandang Tuhan sebagai
satu-satunya tempat menyandarkan diri.Eksistensi atau keberadaan Tuhan dapat dihayati
dari alam sekitar.Maka, sudah sepantasnya bila hidup yang dijalani ini adalah hidup yang
selaras dengan alam.

Berpola hidup alami adalah ciri karakter selaras alam.Banyak makan sayur dan buah serta
minum air putih; cukup istirahat dan olahraga teratur; tidur pada awal waktu dan bangun
pada pagi buta; menjauhi zat adiktif seperti rokok dan narkotika; juga membatasi lemak,
gula, karbohidrat, obat, merupakan bagian dari keseharian orang yang berpola hidup alami.

Menata lingkungan dengan baik juga elemen dari selaras alam. Saat membangun rumah, tak
seluruh tanahnya akan ia habiskan. Selalu ada yang disisakan untuk taman walaupun
tanahnya terbatas. la memperhatikan ventilasi udara, drainase, dan pengelolaan sampah. la
juga mementingkan adanya tanaman dalam rumah serta pembuatan sumur resap.

Seorang yang berkarakter selaras alam juga suka pergi ke alam.Pribadi seperti ini menikmati
suasana gunung, pantai, hutan, dan alam perdesaan. Setidaknya ia rutin pergi ke taman kota
bahkan kebun raya. Waktunya untuk pergi ke lingkungan aiam jauh lebih banyak dibanding
ke pusat keramaian seperti pusat belanja, kafe, dan sebagainya.Pribadi selaras alam
menghindari pengeras suara dan suara nonalami lainnya di lingkungan alam.

selaras alam juga aktif melestarikan lingkungan. Itu dapat dimulai dari langkah
sederhana.Seperti mengurangi pemakaian

plastik

dan AC;

mendukung

program

penghijauan, penanaman pohon bakau, penyelamatan terumbu karang, hingga pelestarian


tumbuhan dan hewan langka.Itu semua merupakan bagian dari spiritualitas atau
ketawakalan.Hal

yang

sungguh

menyegarkan

dan

menenteramkan.

BAB 3

Pilar Kesadaran:
BERKASIH SAYANG
Beriman-Bersyukur-Bertawakal

Kemanusiaan yang adil dan beradab


-sila kedua Pancasila

Berkasih sayang merupakan pilar kedua dari Karakter Pancasila, pilar kesadaran atau pilar
awareness. Seorang yang berkasih sayang akan mengasihi, menyayangi, dan mencintai
sesamanya tak hanya didasarkan pada naluri semata. Tetapi juga bertumpu pada kesadaran.
Yakni, kesadaran bahwa semestinya semua manusia saling mengasihi dan menyayangi.
Kesadaran bahwa tak ada perbedaan apa pun yang boleh menjadi penghalang kasih sayang.
Itu yang membuat dunia damai dan tenteram.

Secara bahasa, kasih dimaknai sebagai "perasaan sayang", sedangkan sayang adalah
menyukai atau mencintai. Itu diwujudkan antarsesama manusia tanpa pembatas apa pun.
Secara lahiriah, manusia memang berbeda. Ada yang hitam, ada yang putih. Ada yang
keriting, ada yang berambut lurus. Ada yang bermata sipit, ada yang tidak. Ada yang pendek,
ada yang tinggi. Ada yang kurus, ada yang gemuk. Berkasih sayang melampaui dan
mengatasi semua perbedaan itu.

Latar keluarga pun berbeda-beda. Beberapa orang terlahir 'beruntung', seperti yang terlahir
dari keluarga kaya, berkuasa, juga beragama kuat. Sementara itu ada yang terlahir dari
keluarga miskin, susah, bahkan mungkin juga dari keluarga kriminal. Berkasih sayang tidak
membedakan mereka, sebagaimana tak membedakan suku dan agama. Semua adalah
makhluk Tuhan. Sama-sama berhak berupaya meraih hidup bermartabat dan sejahtera.

Kesadaran berkasih sayang yang kuat merupakan buah dari bertakwa, pilar Karakter
Pancasila sebelumnya. Seorang yang bertakwa meyakini, "Allah Maha Pengasih, Maha
Penyayang." Tuhan menyebarkan kasih kepada seluruh umat manusia sepanjang masa.
Tuhan mencurahkan sayang tanpa batas kepada semua hamba yang patuh, taat, dan
senantiasa mengharap rida- Nya. Tidakkah sepantasnya manusia menebarkan kasih sayang

kepada sesama melewati batas yang ada?

Seorang yang mencintai Tuhan juga akan mencintai sesamanya. Cinta sesamanya bersemi
saat mulai mencintai Tuhan. Istilah mencintai menunjukkan bahwa kesadaran kasih sayang
sudah meresap ke dalam hati. Sudah menjadi bagian dari perasaan. Tak lagi berhenti
sebatas pada pikiran. Itu yang mencegah terjadinya perselisihan, pertengkaran, konflik , dan
kekerasan. Di atas lahan cinta dan kasih sayang yang subur tak ada pohon perselisihan dan
kekerasan yang dapat tumbuh.

Cinta atau kasih sayang kepada sesama tercermin pada perilaku sehari-hari. Seorang
penyayang selalu memperlakukan diri sendiri dan orang lain secara baik. Penyayang selalu
tampil bersih dan rapi. Itu bagian dari rasa hormat terhadap diri sendiri dan orang lain.
Penyayang sejati tak akan tampil sembarangan. Bersikap semaunya sama halnya dengan tak
menghormati diri sendiri dan orang lain.

Penyayang sejati juga bersikap ramah dan santun. Senyum akan selalu gampang
mengembang di bibir. Senyum menjadi ekspresinya paling sederhana dalam menyayangi.
Marah dan menyerang orang lain juga jauh dari diri seorang penyayang, sekalipun terhadap
orang yang telah merugikan dirinya. Penyayang sejati selalu memaafkan dan tak menyimpan
dendam kepada sesama.

Seorang penyayang juga sungguh-sungguh mencintai keluarga. Mencintai bukan sekadar


mencukupi kebutuhan ekonomi, melainkan juga menjaga perbuatan diri sendiri untuk selalu
baik. Selain itu, ia berusaha pula untuk tak pernah menyakiti semua anggota keluarga, baik
kepada pasangan hidup, orang tua, anak, maupun saudara. Penyayang justru berupaya
keras membahagiakan mereka semua.

Penyayang juga bersikap baik terhadap tetangga. Sikap baik dapat dilakukan tanpa harus
mengubah karakter sendiri. Hal itu dapat dilakukan dengan bersikap wajar, apa adanya,
serta tidak berlebihan. Dalam bertetangga selalu ada potensi konflik. Penyayang akan
menghindari konflik, berdamai bila telanjur berselisih, bertenggang rasa agar tak
mengganggu, dan juga membantu sesuai dengan kemampuan.

Di lingkungan kerja, penyayang bersikap baik kepada semua. la tak akan pernah menindas
bawahan, menyikut kolega, atau menjilat atasan. la adalah seorang yang sungguh egaliter,
yang memandang orang lain sederajat, apa pun kedudukannya. Penyayang selalu
membantu bawahan, bahu-membahu dengan kolega, serta mendukung atasan.

Penyayang adalah orang-orang yang kuat. Hati dan pikirannya jernih. Juga gampang bekerja
sama dengan orang lain. Itu yang membuatnya menjadi pribadi yang kuat. Mereka sanggup
menghadapi kompetisi apa pun dengan menggunakan cara yang fair dan tidak menghalalkan
segala cara. Mereka berpeluang lebih besar untuk menang. Namun, mereka juga siap dan
senang hati menerima kekalahan. Berkasih sayang ini penting untuk diperkuat bagi bangsa
ini.

D. BERSAHABAT
Bersahabat merupakan karakter utama pertama dari Bersahabat merupakan karakter
utama pertama dari karakter berkasih sayang. Secara bahasa, bersahabat berarti
"berkawan" dan "berteman". Bersahabat dapat pula dipahami sebagai "menyenangkan
dalam pergaulan". Dengan demikian, seorang yang berkarakter utama bersahabat adalah
orang yang suka berkawan atau berteman. Dalam pergaulan sehari-hari, ia juga orang yang
menyenangkan. Artinya, ia suka menyenangkan orang lain. Maka, bersahabat pun menjadi
karakter utama pertama dari berkasih sayang.

Seorang yang bersahabat menempatkan setiap orang yang ditemuinya seperti kawan
sendiri. Ini suatu sikap yang membuat orang-orang merasa nyaman bila berhubungan
dengannya. la berkesadaran penuh bahwa setiap orang adalah hamba Tuhan. Tidak ada
yang boleh dipandang lebih tinggi atau lebih rendah satu sama lain. Sudah sepatutnya bila
sesama manusia saling menyayangi. Untuk itu, setiap orang perlu saling bersahabat.

Bersahabat berarti menghilangkan 'jarak psikologis' satu sama lain. Setiap orang memiliki
latar belakang yang berbeda. Berasal

dari keluarga yang berbeda, tumbuh dengan

lingkungan dan pengalaman yang berbeda, dan menggenggam nilai dan norma yang

berbeda pula. Kadang latar sosial ekonomi juga sangat berbeda. Berbagai perbedaan itu
menimbulkan jarak psikologis satu dengan yang lain. Jarak psikologis itu yang menyulitkan
komunikasi, dan kadang melahirkan perselisihan.

Dengan bersahabat jarak psikologis itu tak ada lagi. Setidaknya dikurangi agar tak menjadi
tembok tebal penghalang berkasih sayang. Setiap orang disambut dengan baik,
sebagaimana menyambut kawan. Orang-orang baru diterimanya seolah teman lama.
Dengan begitu, orang lain pun akan merasa nyaman terhadapnya. Lalu segera
memposisikannya sebagai sahabat pula.

Tulus merupakan ciri seorang yang kuat dalam karakter utama bersahabat. la menyambut
ramah orang lain sepenuhnya dari hati, tidak dibuat-buat atau mengada-ada. Baginya,
manusia memang semestinya begitu. Menyambut baik semua orang tanpa bermaksud apaapa, misalnya ingin dinilai sebagai orang 'baik hati' atau khawatir dianggap sebagai orang
yang ketus. Dirinya tersenyum dan ramah karena memang suka tersenyum dan bersikap
ramah.

Tanpa menyimpan curiga menjadi ciri lain seorang yang bersahabat. la tahu bahwa
berkawan atau berteman tak selalu berjalan seperti yang diharapkan. Ada saja kemungkinan
terjadi hal yang tak diinginkan, apalagi berteman dengan orang-orang yang baru dikenal.
Namun, seorang yang bersahabat menyisihkan kemungkinan demikian. la percaya, setiap
orang pada dasarnya baik. Bila diperlakukan baik, orang umumnya akan bersikap baik pula.

Bersahabat akan mencairkan ketegangan yang telah terjadj. Pengalaman lama yang kurang
baik sering membuat hubungan yang ada menjadi tegang. Bersahabat mengurai ketegangan
itu. Hubungan antarsesama akan kuat bila setidaknya berpondasikan 'nol'. Bukan
berpondasikan 'minus'. Bersahabat akan menetralkan yang 'minus' menjadi 'not', agar
kemudian menjadi positif. Bersahabat mengembalikan setiap orang pada 'fitrah'nya masingmasing.

Bersahabat juga mencegah hal negatifyang mungkinterjadi dalam hubungan sesama di


kemudian hari. Perbedaan latar belakang, pengalaman, dan pengetahuan mudah

menimbulkan salah paham, apalagi diwarnai dengan kecurigaan serta ketegangan pada
masa lalu. Hubungan yang baik pun dapat rusak oleh salah paham itu. Bersahabat akan
membantu mencegah kemungkinan seperti itu. Setidaknya untuk membuat semua pihak
dapat lebih nyaman berinteraksi satu sama lain.

10. Ramah
Ramah merupakan karakter pertama dari bersahabat. Secara bahasa ramah adalah "manis
tutur kata dan sikapnya". Dalam pengertian serupa ramah juga dimaknai sebagai "baik hati
dan menarik budi bahasanya". Atau "suka bergaul dan menyenangkan dalam pergaulan".
Siapa pun akan menilai orang yang ramah menyenangkan, baik ucapannya maupun
perilakunya di hadapan orang lain.

Seorang ramah ditandai dengan bibirnya yang mudah tersenyum. Tersenyum dilakukannya
saat berpapasan dengan orang lain, apalagi jika hendak berbicara. Dalam hidup
bermasyarakat, senyum memiliki kekuatan dahsyat. Seorang yang mudah tersenyum adalah
seorang yang bahagia. Dengan senyum mereka menebar kebahagiaan pada orang lain.
Orang-orang hebat umumnya orang yang suka menebar senyum.

Banyak manfaat yang diperoleh dengan tersenyum. Di antaranya adalah mencairkan


suasana yang kaku dan tegang; menepis prasangka yang mungkin berkembang; serta
membangkitkan rasa percaya diri orang lain. Terutama pada orang-orang bawah yang
tertekan. Dengan tersenyum, komunikasi akan menjadi lancar. Berbagai urusan menjadi
gampang diselesaikan. Maka Nabi pun menyebut "senyum adalah sedekah".

Ramah tidak hanya tersenyum, namun juga gemar menyapa. Walaupun pada orang yang tak
dikenalnya. Seperti saat berpapasan di jalan, bertemu di lift, dan sebagainya. Agama
mengajarkan keutamaan menyapa dengan bersalam. Membuka percakapan, bertanya soal
sepele, atau sekadar menawarkan permen juga merupakan bentuk menyapa. Seorang
ramah akan selalu rajin menyapa dalam suasana apa pun.

Santun juga ciri seorang yang ramah. Seorang yang santun senantiasa cermat memilih kata

untuk berbicara. Pilihan kata dan kalimatnya halus. Menyenangkan bagi yang
mendengarnya. Seorang yang santun menghindari katimat yang mengundang kontroversi. la
juga tak akan mengeluarkan kata-kata yang menyakitkan. Sikap santun bersama kebiasaan
tersenyum dan mudah menyapa merupakan elemen ramah yang menjadi ciri bangsa-bangsa
maju.

11. Rukun
Rukun sebagai karakter adalah kesadaran, sikap, serta perilaku untuk hidup damai dengan
semua orang. Secara bahasa, rukun berarti "baik dan damai". Juga diartikan sebagai "tidak
bertengkar" atau "bersatu hati". Ini merupakan salah satu elemen kunci dari bersahabat,
selain senyum dan ramah. Seorang yang bersahabat akan selalu rukun dengan sesama, baik
dengan kerabat dekat, kawan lama, maupun dengan orang-orang yang baru dikenalnya.
Bahkan dengan orang yang berbeda suku dan keyakinan.

Tidak bertengkar merupakan ciri seorang yang berkarakter rukun. Masyarakat terbangun
atas perbedaan. Dalam kehidupan sehari- hari, salah paham selalu terjadi. Masyarakat tanpa
karakter rukun akan menyikapi salah paham dengm bertengkar. Dengan cara itu mereka
ingin memenangkan pendapatnya atas yang lain. Pribadi yang berkarakter rukun tak
melakukan hal demikian. Mereka menghindari keributan dan mencari cara penyelesaian
yang lebih baik.

Tidak menyerang orang lain juga ciri dari seorang yang berkarakter rukun. Ada naluri primitif
manusia untuk mengalahkan orang lain. Maka ada praktik bullying, baik di sekolah maupun
di lingkungan sosial. Ini kadang cenderung terbawa sampai dewasa dan bahkan tua.
Menghina, mengejek, merendahkan, bahkan memukul dan menggunakan kekerasan fisik
banyak terjadi. Seorang yang berkarakter rukun menghindari hal itu.

Seorang yang berkarakter rukun memahami bahwa manusia adalah makhluk mulia. Maka, ia
akan menghindari naluri primitif seperti tersebut di atas. Jika telanjur terjadi konflik, ia akan
berupaya untuk secepatnya berdamai. Berdamai itulah rukun. Untuk itu, ia juga gampang
memaafkan. Memelihara perselisihan, permusuhan, konflik, apa pun alasannya, bertolak

belakang dengan karakter rukun dan jiwa berkasih sayang.

Mencari titik temu juga selalu dilakukan pribadi yang berkarakter rukun. Rukun bukan
sekadar mengatasi perselisihan, melainkan juga mencegahnya. Untuk itu kerukunan harus
terus dijaga dan dibangun. Silaturahmi dan interaksi sosial merupakan sarana yang baik
untuk membangun kerukunan. Di lingkungan tetangga, sekolah, dan tempat kerja,
silaturahmi dan interaksi itu dibangun lewat pembuatan acara bersama, termasuk rekreasi
bersama.

12. Peduli
Peduli dapat dimaknai sebagai "memperhatikan" atau "menghiraukan". Fokus seorang yang
peduli adalah orang lain, bukan diri sendiri. Fokusnya ada di luar, bukan di dalam. Sungguhsungguh bertanya untuk tahu keadaan sahabatnya adalah salah satu wujud kepedulian.
Selain bertanya, memperhatikan dan mendengarkan juga merupakan elemen seorang yang
peduli.

Memperhatikan adalah elemen pertama dari peduli. Seorang yang peduli adalah pemerhati,
seorang yang memperhatikan orang lain. Mulai dari urusan kecil hingga urusan besar. Mulai
dari soal fisik sampai perasaan. Seorang teman yang baik akan tahu banyak hal tentang
temannya. Bahkan sampai urusan sederhana, yang mungkin tak terlihat oleh diri teman
sendiri.

Bertanya merupakan bentuk lain dari peduli. Untuk itu, diperlukan kemampuan bertanya
menyangkut urusan, waktu, serta cara yang tepat. Dengan bertanya, seorang akan lebih tahu
keadaan orang lain. Itu memudahkannya membantu orang lain itu pada saat diperlukan.
Bertanya penting untuk memimpin. Teknik 'Leading by question' menjadi cara untuk
mengarahkan tim.

E. BERBAGI

Berbagi adalah karakter utama keempat dari Karakter Pancasila. Posisinya berada setelah
bersahabat yang sama-sama menjadi penopang pilar berkasih sayang. Pengertian berbagi
adalah membagi sesuatu bersama. Ada diri sendiri di satu pihak, dan orang lain di pihak lain.
Sesuatu yang jadi milik sendiri kemudian dibagi ke pihak lain. Sesuatu itu dapat berupa
materi atau nonmateri.

Seorang yang memiliki pilar berkasih sayang yang kuat tak hanya bersahabat. Tapi ia kuat
juga dalam berbagi. Hal tersebut dilakukannya dengan memberi sebagian yang dimilikinya
kepada orang lain. Semua orang pernah memberi. Sebagaimana semua orang pernah diberi.
Tantangannya adalah bagaimana memiliki sifat pemberi. Orang besar adalah manusia
pemberi. Masyarakat dan bangsa besar adalah masyarakat dan bangsa pemberi.

Ada anggapan yang berkembang, orang yang bisa memberi seolah-olah adalah yang banyak
memiliki. Logika itu sekilas benar. Sebab, banyak memiliki tentu lebih berkesempatan
memberi. Tapi kenyataannya tak selalu begitu. Sifat 'pemberi' tak terkait dengan banyak
atau sedikitnya kekayaan. Banyak di antara 'pemberi' justru mereka adalah orang-orang
yang kurang mampu.

Seorang mudah memberi karena merasa cukup. Mungkin hartanya sedikit, bahkan
keuangannya sering sulit. Tapi ia tak merasa susah dalam hidup. Dengan segala
kekurangannya, ia dapat mengatur hidup dengan baik. Yang dipikirkannya bukan hanya diri
sendiri, melainkan juga orang lain, la berpikir, bagaimana sebanyak mungkin ikut membantu
orang lain.

Sebuah kajian telah dilakukan. Mana bangsa yang warganya 'suka memberi'. Indonesia,
Malaysia, Taiwan, atau Hongkong.? Ternyata Indonesia tersedikit dalam hal 'suka memberi'.
Hongkong memiliki warga 'suka memberi' terbanyak. Orang Indonesia umumnya lebih 'suka
menerima'. Itu kajian pada akhir 1990-an. Pada waktu-waktu mendatang, Indonesia
semestinya tak seperti itu lagi .
Selama ini 'suka menerima' atau menjadi taker dianggap biasa. Meminta-minta dianggap
wajar. Sebagian memang karena terpaksa. Tapi sebagian besar karena bermental 'suka

menerima'. Mental taker bukan hanya dimiliki oleh warga miskin, melainkan juga oleh
kalangan elite, kalangan yang terus berupaya 'menerima' uang negara melalui berbagai
cara.
Budaya memberi atau g/Verharus ditumbuhkan. Nabi Muhammad mengajarkan, "tangan di
atas lebih mulia dibanding dengan tangan di bawah". Seorang pemuda miskin datang minta
bantuan kepada Nabi. Nabi membantunya tidak dengan memberikan uang. Dengan
tangannya sendiri Nabi memperbaiki kapak pemuda itu agar pemuda itu bisa bekerja. Itu
cara Nabi berbagi.

Tuhan bahkan menawarkan imbalan nyata bagi pemberi. Allah mengumpamakan orang
yang memberi bagai menanam sebutir gandum atau sebutir padi. Dari setiap benih itu akan
tumbuh tujuh tangkai. Setiap tangkai akan berbuahkan 100 butir. Dengan begitu, setiap
pemberian akan dilipatgandakan 700 kali. Itu akan dituai tidak hanya di akhirat, tapi juga di
dunia ini.

Janji Tuhan itu semestinya menjadi pegangan. Mari kita menjadi giver. Mari kita berbagi
dengan orang lain, baik saat merasa sempit ekonomi maupun saat lapang. Sisihkan harta
dan tenaga untuk membantu orang lain. Itu tak pernah merugikan. Justru akan
melapangkan ekonomi sendiri. Saatnya kita berhenti jadi peminta atau taker. Saatnya kita
menjadi giver.

13. Memberi
Memberi adalah "menyerahkan sesuatu". Ini merupakan karakter yang terkait erat dengan
mencintai dan menolong. Yang diserahkan dapat berupa fisik seperti materi, dapat pula
nonfisik seperti pemikiran dan tenaga. Memberi merupakan wujud nyata dalam berbagi,
menguatkan kedua pihak, dan sekaligus memperteguh hubungan keduanya.

Memberi pemikiran atau masukan adalah salah satunya. Secara materi, pemberian ini sulit
diukur nilainya. Namun sering lebih diperlukan dibanding dengan materi. Setiap orang
punya masalah yang perlu dipecahkan. Ini tentu perlu pendapat orang lain. Atau perlu sudut

pandang dari 'luar kotak'. Maka, memberi masukan itu sungguh begitu berharga.

Memberi bantuan berupa tenaga merupakan bentuk lain dari karakter memberi. Berbagai
kerja sosial mulai dari pengelolaan rumah yatim hingga penanganan korban bencana
memerlukan bantuan tenaga. Maka tak mengherankan jika para relawan selalu muncul
dalam setiap bencana. Sejumlah profesional juga biasa jadi relawan kerja sosial.

Memberi materi atau uang lebih adalah memberi yang lebih nyata. Agama mengajarkan
agar manusia bersedekah, baik pada saat lapang atau berkecukupan maupun pada saat
sempit atau susah. Tradisi memberi berupa hadiah juga hidup dalam keseharian masyarakat.
Anak yang dikhitan biasanya dihibur dengan hadiah. Pada tradisi Kristiani ada figur Santa
Klaus pembawa hadiah saat Natal.

Memberi jelas merupakan kebaikan. Kebaikan ini tidak hanya dirasakan orang lain, tapi juga
oleh si pemberi. Dengan memberi, seseorang akan menjadi pribadi yang lebih ikhlas, lapang
hati, peduli sesama, memiliki rasa cinta kasih yang kuat, dan dekat dengan rida dan rahmat
Tuhan. Maka, pemberi sejati (giver) umumnya jadi orang yang sukses dan bahagia.

14. Menolong
Menolong merupakan salah satu karakter berbagi yang berdiri di atas pilar kasih sayang.
Istilah ini dapat dimaknai sebagai "memberi bantuan agar mampu". Baik untuk meringankan
beban yang harus dipikul, untuk memecahkan persoalan, maupun untuk dapat meraih
tujuan. Dalam menolong, berbagi yang dilakukan bukan hanya dengan hati, melainkan juga
melalui sikap dan tindakan.

Meringankan beban merupakan salah satu bentuk menolong. Menolong secara fisik adalah
membantu orang mengangkat beban berat. Masyarakat biasa menolong yang lain dengan
bergotong royong. Membantu membersihkan rumah juga bagian dari menolong. Begitu pula
mengajar mengaji, membaca, menunjukkan arah jalan, atau hal yang lain.

Menguraikan kesulitan orang atau mencarikan solusi juga bentuk menolong. Mencarikan

pengobatan bagi yang sakit, mengusahakan pekerjaan yang membutuhkan, memikirkan cara
sekolah anak-anak keluarga tak mampu juga bagian dari mencari solusi. Masyarakat yang
dililit persoalan sangat banyak. Membantu mereka keluar dari masalah adalah menolong.

Bentuk lain menolong adalah memudahkan urusan orang. Seorang yang berjiwa penolong
akan berusaha memudahkan urusan orang lain, misalnya dalam mengurus surat-surat atau
lainnya. Dirinya tahu, betapa akan senangnya orang kalau urusannya dipermudah. Dia juga
sungguh akan senang bila dapat mempermudah orang lain. Kalau dapat dipermudah,
mengapa dipersulit?

Budaya tolong-menolong merupakan tradisi yang mengakar kuat pada masyarakat. Semua
suku memiliki bentuk tolong-menolong masing-masing. Masyarakat berperadaban maju
umumnya juga ringan tangan untuk menolong. Mereka paham, manusia tak dapat hidup
sendirian. Mereka perlu saling menolong untuk dapat mengatasi persoalan dan untuk dapat
hidup lebih baik.

15. Mencintai
Mencintai dapat didefinisikan sebagai "suka sekali" atau "sayang benar". Ini merupakan
karakter puncak dari berbagi. Dengan mencintai, seseorang berbagi hati atau perasaan
dengan orang lain. Ketulusan hati menjadi modal utama untuk mencintai. Mencintai tak
sebatas antara kekasih atau pasangan hidup, tetapi juga bersifat universal pada sesama
manusia.

Menautkan hati merupakan landasan mencintai. Dasar hubungan mencintai bukan hasil
hitung-hitungan untung rugi, bukan pula kalkulasi kepentingan. Mencintai adalah hubungan
yang jernih dan murni antarhati. Hubungan yang akan terus bersemi dan merekah bila
disiram dan dipupuk dengan baik. Sikap lembut dan kata-kata santun adalah pupuk dan air
yang menyegarkan pertautan hati itu.

Selalu peduli juga ciri mencintai. Seorang mencintai akan selalu ingin tahu keadaan orang
yang dicintainya. la ikut merasa sedih saat yang dicintainya sedih atau dalam keadaan

kurang baik. Secara spontan ia akan berusaha ikut mencarikan jalan keluarnya. Sebaliknya,
dirinya akan ikut gembira dan bahagia saat yang dicintai bahagia.

Memberi yang terbaik juga ciri mencintai. Seorang yang mencintai akan memberi yang
terbaik bagi yang dicintainya. Itu dalam semua hal yang mampu dilakukannya. Saat yang
dicintainya

jatuh,

dirinya

akan

berusaha

membantu

sekuat

tenaga

untuk

membangkitkannya. Saat yang dicintainya lemah, dirinya akan mencoba menguatkannya. la


akan berikan yang terbaik yang dimilikinya untuk mendukung dan membantu yang
dicintainya.

Berkomitmen adalah ciri lain dari mencintai. Seorang yang mencintai akan berkomitmen
menjaga dan mewujudkan cintanya sampai kapan pun. Cinta sejati bersifat lestari dan
terbawa hingga akhir hayat. Pemimpin yang mencintai rakyat akan berbuat sepenuh hati
kepada warganya. la tahu, cinta bukanlah sebatas kata-kata, melainkan perasaan dan
perbuatan yang terjaga sepanjang usia.

F. BERDAYA
Berdaya merupakan karakter utama keenam dari Karakter Pancasila. Ini merupakan aspek
ketiga pada pilar berkasih sayang. Istilah berdaya dapat dimaknai sebagai "berkekuatan"
atau "berkernampuan". Berkasih sayang tak hanya mencakup bersahabat dan berbagi.
Berkasih sayang juga memiliki elemen berdaya. Dengan elemen berdaya ketulusan berkasih
sayang akan lebih terjaga karena terhindar dari kemungkinan bergantung akibat kelemahan
diri.

Berkasih sayang pada hakikatnya memang serupa dengan memberi. Yakni memberikan hati
dan pikirannya pada sesama. Untuk dapat memberikan hati dan pikiran secara optimal pada
keluarga, lingkungan sekitar, hingga pada bangsa perlu berdaya. Semakin berdaya seseorang
secara kemanusiaan, semakin kuat rasa kasih sayangnya pada sesama. Sebaliknya seorang
yang lemah dalam kemanusiaan akan lemah pula rasa kasih sayangnya pada semua.

Kuatnya kemanusiaan bersumber pada lubuk hati terdalam. Namun kemanusiaan bukan

semata urusan perasaan. Kemanusiaan juga urusan kesadaran. Justru aspek kesadaranlah
yang dapat menjaga agar kemanusiaan berujung pada terbentuknya tatanan kehidupan
yang adil dan beradab. Tanpa ditopang dengan kesadaran, berkasih sayang dapat
melahirkan kemanusiaan yang bias pada pihak-pihak yang terdekat dan paling diinginkan.

Bung Karno dan para pengusung nilai-nilai Pancasila meyakini bahwa kemanusiaan bersifat
universal. Lintas batas primordial, lintas batas suku dan daerah, lintas batas budaya, lintas
batas agama, juga lintas negara dan bangsa. Bukan kemanusiaan yang chauvinistis. Hanya
pribadi-pribadi yang berdaya yang dapat mengusung kemanusiaan universal seperti yang
disebutkan. Maka menjadi penting bagi setiap orang untuk meningkatkan keberdayaan diri
sebagai wujud kasih sayangnya pada sesama.

Meningkatkan keberdayaan diri berarti meningkatkan kekuatan atau kemampuan dasar


sebagai manusia. Hal tersebut mencakup aspek yang paling abstrak seperti jiwa hingga
aspek yang nampak seperti ketrampilan. Penguatan tersebut akan berkorelasi langsung
dengan kasih sayang. Pribadi dengan karakter paling utuh jiwa raga seperti Nabi adalah
pribadi dengan kasih sayang yang paling kuat pula. Sosok seperti itulah pribadi yang paling
berdaya.

Untuk memberdayakan diri yang pertama perlu dilakukan adalah menyangkut jiwa. Untuk
membuat berdaya pada ranah ini perlu merujuk kembali pada pilar pertama Karakter
Pancasila, yakni bertakwa. Aspek ilahiah merupakan sandaran langsung yang diperlukan.
Karakter utama seperti beriman, bersukur, dan bertawakal menjadi kunci untuk membuat
diri berdaya secara jiwa. Ini merupakan pondasi kuat untuk membuat berdaya pada aspekaspek lainnya.
Berdaya tentu tak cukup hanya secara jiwa atau dalam aspek hati saja. Berdaya juga
diperlukan dalam hal pikiran. Dunia pendidikan mengenal konsep Taksonomi Bloom. Dalam
konsep ini, aspek kognitif atau pengetahuan menjadi ranah pertama yang perlu dibangun.
Peningkatan wawasan menjadi keharusan bagi setiap diri untuk dapat lebih berdaya.
Peneguhan visi juga menjadi bagian dari upaya memberdayakan diri di ramah pikiran
melalui penajaman wawasan pada aspek tertentu yang dikehendaki.

Berdaya juga berarti berkemampuan melakukan sesuatu. Memiliki dan meningkatkan


keterampilan tertentu menjadi hal penting untuk membuat diri berdaya. Mengembangkan
kompetensi sungguh diperlukan dalam membuat diri lebih berdaya. Begitu pula
kemampuan meningkatkan kecakapan hidup (life skills). Dunia pendidikan di Indonesia
secara umum masih belum mampu membuat masyarakat lebih berdaya melalui
peningkatan kecakapan hidup.

16. Berwawasan
Pengertian berwawasan adalah "memiliki konsepsi atau cara pandang." Hal ini bersangkut
paut dengan pemikiran. Seorang berwawasan adalah seorang yang memiliki pemikiran
sendiri tentang berbagai hal. Mungkin saja pemikirannya serupa dengan pemikiran orang
lain. Namun pemikiran tersebut dibangunnya sendiri, dan bukan mentah-mentah
mengambil begitu saja dari pemikiran orang lain.

Seorang berwawasan tentu seorang yang logis dan berakal sehat. Pikirannya masuk akal dan
dibenarkan oleh orang-orang berakal sehat lainnya. Logikanya jelas, dapat dirunut secara
terang, serta dapat dipertanggungjawabkan menurut kaidah ilmuah. Pemikirannya jauh dari
aspek takhayul, mistis, dan tidak masuk akal. Saat mendalami spiritualitas sekalipun,
spiritualistasnya tetap dapat dipahami secara rasional.

17. Bervisi
Bervisi merupakan karakter pendukung berdaya. Untuk berdaya tak cukup hanya dengan
berwawasan. Tapi perlu juga visi yang menunjukkan ke mana hidup itu hendak diarahkan.
Hal tersebut sesuai dengan pengeratian visi sebagai pandangan atau wawasan ke depan.
Suatu visi perlu dirumuskan cukup tinggi agar daoat memaksa diri berupaya ekstra untuk
dapat menjangkaunya. Visi tinggi akan menghasilkan hasil yang tinggi, walaupun tak
sepenuhnya teraih. Sebaliknya, visi rendah bukan saja kurang menantang, melainkan juga
akan memberi hasil rendah.

18. Kompeten
Kompeten dapat dipahami sebagai cakap serta berwewenang. Kecakapan dan
kewenangannya diakui orang lain, terutama oleh para ahli dalam bidangnya. Seorang yang
kompeten berarti cakap atau ahli dalam suatu bidang tertentu, seperti bidang pertanian,
pertukangan, komputer, sastra, kesenian dan olahraga.

Menguasai ilmu merupakan elemn kompeten. Seseorang yang kompeten tentu menguasai
ilmu tertentu. Ilmu itu menuntunnya menguasai bidang yang digeluti. Ia mungkin mendapat
ilmu dari pendidikan formal, sekolah atau universitas. Tapi tak sedikit yang mendapat ilmu
dari pengalaman dan hasil belajar sendiri atau autodidak.

Terampil adalah elemen berikutnya dari kompeten. Seseorang pengukir di Jepara, penari
topeng di Cirebon, pelukis tato di Dayak, pembuat perahu Pinisi di Bulu Kumba, dan banyak
lainnya, memiliki keterampilan yang luar biasa. Mereka adalah para ahli yang langka di dunia
dan sangat kompeten, walaupun sebagian dari mereka berpendidikan rendah.

Spesifik. Ini juga elemen kompeten. Kespesifikan atau kekhususan keahlian mulai dari sains
sampai ke aspek terapan. Mulai dari ahli nano teknologi sampai pembuat nasi tiwul yang
harum. Seseorang yang kompeten tak memiliki banyak keahllian sekaligus atau generalis.
Biasanya ia memiliki kemampuan khusus yang mendalam, yang sedikit dikuasai orang.

Setiap orang pada dasarnya memiliki kompetensi atau keahlian dalam suatu bidang
tertentu.

Tinggal mereka terus mengasahnya hingga benar-benar jago dalam bidang

masing-masing. Keahlian atau kompetensi itu yang akan mengantarkan mereka maju.
Bangsa yang maju selalu menghargai tinggi kompetensi warganya.
.

BAB 4
Pilar Sikap:

BERSATU

Berbhineka Berdisiplin Bertanggung Jawab


Persatuan Indonesia
-sila ketiga Pancasila

Bersatu merupakan pilar ketiga dari Karakter Pancasila. Istilah ini dapat dipahami sebagai
"berkumpul atau bergabung menjadi satu." Kekokohan pilar ini dipengaruhi oleh pilar
sebelumnya, yakni pilar berkasih sayang. Bila jalinan kasih sayang dan gelombang hati
antarseluruh elemen bangsa bertaut erat, bangsa ini akan kokoh bersatu. Bila semua
berempati, berbagi, dan bermartabat, seluruh anak bangsa ini akan memiliki karakter
bersatu yang kuat.

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kata bersatu atau persatuan banyak
ditekankan. Perjalanan sejarah Indonesia mencatat Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928,
sebuah momen yang menegaskan keinginan bersatu menjadi satu bangsa. Dari peristiwa itu
lahir semboyan 'satu nusa, satu bangsa, satu bahasa'. Di situlah kehendak mendirikan
Indonesia ditancapkan.

Bersatu dapat dimaknai sebagai mempertemukan kesamaan. Bangsa Indonesia adalah


bangsa yang beragam, mungkin yang paling beragam di dunia. Dengan keragamannya itu
Indonesia menjadi begitu berwarna. Perbedaan satu sama lain tak terhindarkan. Tapi, pada
saat yang sama, titik temu atau kesamaannya juga banyak. Termasuk kesamaan untuk
memiliki identitas atau 'rumah' bersama di kawasan kepulauan di barat Pasifik ini.

Selain mempertemukan kesamaan, menyingkirkan ego juga merupakan landasan penting


untuk bersatu. Sering ada yang menganggap, perbedaan akan membuat sulit bersatu.
Anggapan yang tak sepenuhnya keliru. Sebenarnya, bukan perbedaan yang menjadi
penghambat utama bersatu, melainkan ego. Yakni, kemauan untuk lebih mementingkan diri
sendiri serta nafsu merendahkan yang lain. Itu yang perlu disingkirkan.

Bila ego dapat dikendalikan, kesamaan satu sama lain mudah untuk dicari. Kesamaan itu
dalam kehidupan sehari-hari dapat dirunut pada hobi, profesi, kepentingan bisnis, gagasan,

dan sebagainya. Kesenangan pada sepakbola, misalnya, telah mempertemukan manusia dari
berbagai latar belakang yang berbeda, bahkan yang sangat berbeda sekalipun. Saat
kesamaan ditemukan, gampang untuk dipersatukan.
Kesamaan-kesamaan kecil dapat diikat untuk menjadi bersatu. Dalam keluarga, misalnya,
kegemaran wisata bersama akan memperkuat ikatan keluarga. Kesamaan lingkungan
tempat tinggal pun melahirkan banyak bentuk ikatan untuk bersatu. Ada kelompok arisan,
pengajian, senam pagi, bersepeda, badminton, futsal, dan Iain-Iain. Kelompok Program
Kesejahteraan Keluarga (PKK) yang didorong pemerintah sejak beberapa puluh tahun lalu
juga membuat bersatu.

Semangat untuk bersatu itu diwujudkan dalam ikatan nyata, bukan hanya di lingkungan
komunitas, melainkan juga dalam berbagai aktivitas yang lebih luas. Bahkan yang lebih
formal. Maka, tidak sedikit organisasi yang menggunakan nama 'persatuan'. Ada 'Persatuan
Guru', 'Persatuan Insinyur', 'Persatuan Sepak bola'. Dalam politik dipakai pula slogan
'Bersatu Kita Bisa". Semua itu didasarkan pada keyakinan bahwa bersatu akan lebih baik.

Di kalangan agama, semangat untuk bersatu diwujudkan dalam jamaah. Berjamaah


dipandang akan selalu lebih baik daripada sendiri-sendiri. Hal yang telah teruji oleh waktu
adalah pada jamaah atau kelompok persatuan orang-orang aktif dan berinisiatif. Bukan
persatuan para penurut dan tak mau berinisiatif. Bersatu tak menghilangkan perbedaan,
namun malah menghargainya. Adanya perbedaan justru membuat persatuan akan benarbenar kuat.
Semangat berdamai merupakan salah satu ciri dari karazter bersatu. Seorang dengan
karakter bersatu yang kuat akan selalu menyukai damai. Itu sejalan dengan fitrah manusia
yang menjunjung tinggi perdamaian. Konflik dan pertikaian yang berkepanjangan adalah
merusak fitrah kemanusiaan. Itu perlu didamaikan. Maka, lembaga perdamaian dihargai.
Penghargaan tertinggi pada Hadiah Nobel adalah Nobel Perdamaian.

Semangat untuk berdamai perlu terus diperkuat. Itu dapat diawali dengan menumbuhkan
kesadaran bahwa konflik itu merugikan semua pihak, baik yang menang maupun yang
kalah. Kesadaran demikianlah yang memungkinkan konflik di Ambon dan Poso pada awal

2000-an serta di Aceh dapat mereda. Dengan kesadaran itu, juga dengan prinsip 'menangmenang' (win-win solution), bersatu mudah diwujudkan.

G. BERBHINNEKA
Berbhinneka merupakan karakter utama ketujuh dari Karakter Pancasila. Berbhinneka
berarti "beragam." Sebuah karakter penting untukmembangun bangsa. Karakter ini ada
secara nyata dalam kehidupan masyarakat Indonesia dari masa ke masa. Dalam sejarah
kebangsaan, karakter utama ini diteguhkan melalui semboyan 'Bhinneka Tunggal Ika'.
Berbeda namun tetap satu. Semboyan ini dituliskan pada lambang negara Republik
Indonesia: Garuda Pancasila.

Berkeragaman atau berbhinneka berarti tidak tunggal, tidak monoton, tidak seragam. Dalam
kehidupan bermasyarakat, itu berarti ada banyak etnis, suku, atau ras yang membangun
masyarakat tersebut. Selain itu, juga ada banyak agama dan keyakinan. Semua hidup
berdampingan, berinteraksi satu sama lain sehingga terbentuk tatanan khas masyarakat
setempat.

Berbhinneka merupakan karakter alami masyarakat Nusantara. Masyarakat kepulauan


memang masyarakat yang terbuka terhadap pendatang. Peradaban demi peradaban mudah
masuk. Seluruh peradaban itu berinteraksi, generasi demi generasi. Itu yang menumbuhkan
peradaban Nusantara. Peradaban yang terus berkembang dari waktu ke waktu di kawasan
kepulauan atau archipelago terluas di dunia ini.

Pada abad-abad awal Masehi, bahkan sebelumnya, orang-orang dari daratan Cina Selatan
sudah berdatangan di kawasan ini. Mereka kemudian menjadi suku-suku 'proto-Melayu'
seperti Batak. Juga suku-suku Melayu yang tersebar di seluruh wilayah, termasuk Jawa,
Sunda, dan sebagainya. Berbagai warisan budaya dan peninggalan lama menunjukkan
betapa kuatnya pengaruh 'asing' itu.
Bahasa Australonesia dari Taiwan lama telah menjadi bagian dari bahasa hampir seluruh
suku Nusantara. Sebarannya sampai ke Papua, bahkan ke kawasan kepulauan Pasifik Barat.
Hampir semua suku menggunakan istilah 'lima' atau 'limo' untuk menyebut bilangan setelah

empat. Itu terjadi sebelum terbangun bahasa Indonesia seperti sekarang.

Pada abad keempat, para pemuka dari India berdatangan pula ke wilayah ini. Kerajaankerajaan lama Nusantara mulai mengadopsi budaya Hindu-Buddha, mulai dari era
Mulawarman di Kalimantan Timur dan Purnawarman di Jawa Barat, hingga Sriwijaya di
Sumatera dan Majapahit di Jawa Timur. Pada abad ke-14, para pedagang Cina, Arab, dan
Persia pun berdatangan. Kemudian berdatangan pula para pedagang dari Portugis dan
Yahudi Belanda.

Para pendatang itu berbaur dan berkeluarga dengan orang-orang yang sudah lebih lama
menetap. Itu yang membuat masyarakat makin beragam. Maka, lahirlah sebuah masyarakat
yang benar-benar berbhinneka. Beberapa suku dari wilayah yang terisolasi memang masih
relatif homogen. Namun, dengan wilayah yang makin terbuka, masyarakat setempat juga
akan makin berbhinneka.

Bangsa-bangsa besar dan makmur adalah bangsa berbhinneka. Itu terbukti di Turki pada
abad pertengahan, Amerika Serikat dan Australia sekarang. Indonesia memiliki modal
kebhinnekaan alamiah. Modal itu perlu dipupuk agar berbuah manfaat besar bagi semua.
Ketika semua yakin dan menjunjung tinggi kebhinnekaan bangsa, saat itulah seluruh warga
akan makmur sejahtera.

19. Berbaur

Berbaur dapat dimaknai sebagai "bercampur" atau "bergaul". Ini menunjukkan adanya
interaksi masyarakat dari berbagai latar belakang sekaligus. Pada tahun 1960-an dikenal
istilah 'pembaurari', seruan pemerintah agar semua kelompok etnis membaur. Istilah itu
sudah memudar. Tapi, pada bangsa yang sedemikian berbhinneka, berbaur adalah karakter
yang sungguh relevan.

Antar ras. Itu salah satu pembauran yang perlu terus diperkuat. Bangsa ini terdiri atas
ratusan suku. Jawa, Sunda, Madura, Tapanuli, Minang, Aceh, Riau, Palembang, Lampung,

Bengkulu, Banjar, Dayak, Bugis, Makassar, Minahasa, Bali, Maluku, Asmad, Dani, dan
ratusan suku lain dari Papua hingga Aceh. Ini semua telah membentuk mozaik Indonesia.
Mozaik yang indah karena menyatu.

Antar agama. Beragam keyakinan punterjalin untukmerajut Indonesia, yang terdiri dari
puluhan atau ratusan kelompok dari kalangan Islam, Kristiani, Hindu, Buddha, hingga
Konghucu. Interaksi antarumat bukan hanya mencegah konflik, melainkan juga membangun
solidaritas lintas agama yang kuat sesuai dengan prinsip masing- masing. "Keindonesiaan'
mewarnai kehidupan semua agama di Indonesia.

Antar golongan. Budaya seperti feodal masih menorehkan bekas kuat dalam mentalitas
bangsa. Perbedaan kelas sosial masih sering bertembok tebal, seperti antara 'wong cilik' dan
'petinggi'; antara 'kawulo' dan 'priayi'; serta antara 'klien' dan patron'nya. Bayang- bayang
kasta masih terasa. Sekat-sekat tersebut perlu dicairkan. Perbedaan perlu dipertemukan
dalam perbedaannya.

Interaksi satu sama lain sangat diperlukan. Keperluan itu bukan sekadar untuk berlapang
hati menerima perbedaan, melainkan juga untuk bersemangat menggali kebijaksanaan
(wisdom) dari masing-masing golongan. Dari nilai dan budaya antar golongan menjadi
sebuah keragaman yang utuh, yang tak melemahkan, tapi menguatkan.

20. Bertenggang rasa


Bertenggang rasa adalah "dapat menghargai perasaan orang lain". Ini karakter bagian dari
pilar berbhinneka setelah karakter berbaur. Banyak pandangan menyebut, tenggang rasa
spesifik dengan budaya Indonesia. Bertenggang rasa tak sekadar toleran seperti yang
dikenal dunia, tapi juga adalah langkah aktif untuk tidak menyinggung dan menyakiti hati
orang.

Toleransi tentu merupakan salah satu ciri bertenggang rasa. Toleransi berarti menghargai
sikap atau pendapat yang berbeda dengan diri sendiri. Kunci dasarnya adalah menghargai
hak. Setiap orang punya hak untuk berekspresi dan berpendapat. Hak itu harus dihargai dan

dijunjung tinggi. Menghargai hak orang menjadi ciri peradaban modern.

Peka atau sensitif terhadap perasaan orang juga merupakan elemen dari bertenggang rasa.
Seorang yang bertenggang rasa tahu tentang hal yang mungkin membuat saudara atau
kawannya terganggu, tetangganya tersinggung, atau rekan kerjanya merasa kurang nyaman.
Bertenggang rasa berarti peka terhadap berbagai kemungkinan itu.

Menahan diri juga menjadi elemen dari bertenggang rasa. Setiap orang dituntut mampu
membatasi diri untuk tidak menyinggung atau mengganggu orang lain. Seorang yang
bertenggang rasa tidak asal menggunakan haknya, lalu menuntut orang lain menghargai hak
itu. Tapi sebaliknya, langkahnya malah terfokus untuk tidak mengusik perasaan orang lain.
Untuk itu, ia perlu membatasi diri.

Bertenggang rasa berarti mengatur ucapan dan perbuatan sendiri. Tujuannya agar orang
lain tidak terganggu. Yang dipakai tolok ukur bukan ada atau tidak adanya keluhan orang
lain, melainkan nuraninya sendiri. Dengan bertenggang rasa, kemungklinan konflik akan
dapat dikurangi. Atau bahkan dicegah sama sekali. Dengan demikian, suasana harmonis dan
damai akan mudah terwujud.

21. Cinta budaya


Cinta budaya merupakan karakter ketiga dari berbhinneka. Budaya dimaknai sebagai "aka!
budi, atau "sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan". Dengan demikian, cinta budaya adalah
cinta pada akal budi bangsa, termasuk di dalamnya adat istiadat baik yang sudah menjadi
tradisi. Dengan kebhinnekaannya, Indonesia adalah bangsa dengan budaya yang sangat
kaya.

Mengenal ragam budaya merupakan elemen dari cinta budaya. Keragaman itu mencakup
tradisi, seni, adat istiadat, perilaku, nilai dan norma, hingga sejarah serta situs warisan
budaya atau heritage bangsa. Batik, angklung, keris, reog, wayang dan banyak lain
merupakan warisan budaya bangsa. Keragamannya dari wilayah ke wilayah luar biasa. Itu
semua perlu dikenali.

Mengadopsi budaya bangsa merupakan elemen berikutnya setelah elemen mengenal.


Bangsa lain berusaha mengadopsi budaya Nusantara. Saatnya anak bangsa mengadopsi
budaya sendiri. Yakni dengan mengapresiasi, mengonsumsi, serta memakai budaya negeri.
Adopsi budaya itu perlu didukung dengan memakai produk dalam negeri di tengah
gencarnya serbuan produk asing.

Mempromosikan budaya juga bagian dari karakter cinta budaya. Ini tentu sesuai dengan
kapasitas masing-masing. Contohnya, menyebarkan spa berbasis rempah agar mendunia,
mementaskan angklung ke berbagai negara, dan mengenalkan pariwisata bernuansakan
budaya khas Indonesia.

Cinta budaya menjadi kunci kekuatan dan ketahanan bangsa, apalagi pada era global yang
menawarkan beragam budaya yang memikat dari bangsa-bangsa maju. Menggali nilai
budaya sendiri dan mengemasnya dalam format yang relevan dengan kemajuan zaman
sangat diperlukan. Kemajuan teknologi informasi bermanfaat untuk menggumpalkan cinta
budaya itu.*

Akar bersatu adalah BERBHlNNEKA. Yakni,kemauan untuk berbaur,


bertenggang rasa, dan cinta budaya bangsa.

H. BERDISIPLIN
Berdisiplin merupakan karakter utama kedelapan dari Karakter Pancasila. Secara bahasa
berdisiplin berarti "menaati tata tertib." Seorang yang berdisiplin memiliki ketaatan pada
suatu norma atau aturan yang berlaku. Ada suatu nilai tertentu yang dianggap baik yang
dirujuk. Itu menjadi standar acuan. Keteraturan untuk mengikuti standar itulah disiplin.
Makin taat suatu masyarakat terhadap normanya, makin disiplin masyarakat itu.

Kemajuan suatu bangsa diukur dari tingkat kedisiplinannya. Masyarakat terbelakang


umumnya memiliki tingkat disiplin yang rendah. Sebaliknya masyarakat maju memiliki
disiplin yang tinggi. Tinggi rendahnya kemajuan masyarakat diukur dari pencapaian tingkat

budaya, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Sedangkan budaya, ilmu pengetahuan, dan
teknologi tak akan mencapai tingkat tinggi tanpa disiplin kuat.

Disiplin, dalam perspektif lama, banyak dikaitkan dengan dunia pendidikan dan militer. Akar
katanya pun berkembang dari dunia pendidikan: disciple berarti cabang atau aliran ilmu
pengetahuan. Pendisiplinan merupakan upaya menjadikan orang untuk memahami dan
mengadopsi ilmu pengetahuan itu ke dalam dirinya. Sekolah dipakai untuk keperluan
tersebut.

Dalam militer, disiplin adalah ketaatan terhadap seluruh aturan yang ditetapkan, termasuk
ketaatan kepada komandan. Ketaatan itulah yang terpenting. Prajurit atau pasukan dituntut
untuk taat, bukan untuk berinisiatif atau berkreasi. Berbagai cara digunakan untuk
menegakkan disiplin militer, termasuk berbagai bentuk hukuman yang menurut ukuran
umum mungkin tak manusiawi.

Disiplin banyak berdimensi waktu. Tepat waktu datang di sekolah, memulai kerja, atau
melaksanakan rapat merupakan wujud disiplin. Ketika waktu-waktu untuk melakukan
sesuatu telah ditetapkan, tak boleh orang melanggarnya. Pelanggaran terhadap ketetapan
itu adalah ketidakdisiplinan. Bila ketidakdisiplinan meningkat, aturan dan ketetapan itu tak
lagi bermakna.

Dalam pengamalan agama, aspek disiplin begitu ditekankan. Misalnya melalui kewajiban
beribadah lima kali dalam sehari, dengan waktu yang telah ditetapkan pula. Yang paling
mendasar dalam beragama adalah mengingat Tuhan. Secara teoretis, mengingat Tuhan bisa
kapan pun. Tapi agama mengatur dengan tegas soal itu. Agama membiasakan manusia
untuk sadar waktu dan menghargainya.

Pembiasaan berdisiplin perlu diajarkan sejak dini. Banyak hal yang dapat dipakai untuk
membiasakan disiplin. Di antaranya adalah mengajari anak untuk selalu menyikat gigi
sebelum tidur, berdoa sebelum makan, menyiapkan buku sekolah sendiri, menata tempat
tidur setiap pagi, dan berolahraga pada waktu-waktu tertentu. Itu akan membuat disiplin
bukan menjadi beban, melainkan menjadi rutinitas yang membahagiakan.

Disiplin belum tegak bila dilakukan karena takut terkena sanksi bila melanggar. Disiplin
didasarkan pada kesadaran bahwa kepatuhan pada ketetapan memang penting. Tak disiplin
berarti membiarkan pelanggaran. Itu sama halnya dengan membolehkan orang berbuat
semaunya. Bila itu terjadi, bukan saja tak ada keteraturan di masyarakat, melainkan juga tak
akan ada kesejahteraan bersama.

22. Rajin - Tertib


Rajin dapat dimaknai sebagai "tekun", atau selalu mengerjakan segala hal secara teratur dan
bersungguh-sungguh. Ini merupakan karakter seorang yang berdisiplin. Bangsa-bangsa
maju, umumnya adalah bangsa-bangsa yang tekun, seperti Jepang, Korea, dan Cina di
kawasan Asia Timur. Dibanding dengan banyak bangsa lain di dunia, mereka memang
dikenal sangat tekun. Hasilnya, Asia Timur tumbuh menjadi kawasan maju di dunia.

Mengawali dari hal-hal kecil merupakan elemen dari karakter rajin. Seorang yang rajin
sanggup memulai pekerjaan dari yang sangat sederhana. Lewat ketekunan, hal kecil dan
sederhana dapat dikembangkan menjadi lebih besar dan lebih baik. Para wiraswastawan
umumnya memiliki karakter itu. Seorang yang rajin dan tekun juga sanggup memikul beban
yang rutin dan berat, seperti petani dan penjaga mercusuar.

Kontinu atau berkelanjutan juga menjadi elemen dari karakter rajin. Dalam menangani
pekerjaan, seorang yang rajin tidak akan berhenti. Rajin umumnya berhadapan dengan hal
yang terus- menerus. Keadaan yang hanya dapat dihadapi bila memang rajin. Dalam agama
dikenal istilah 'istikamah'. Artinya, suatu keajegan untuk menjalani hal yang bersifat terusmenerus.
Erat kaitannya dengan rajin adalah tertib. Secara bahasa tertib berarti "rapi", "teratur", atau
"menurut aturan". Tertib yang berarti rapi tercermin langsung baik pada sikap tubuh
maupun pada penampilan. Wajah bersih, rumput di halaman terpotong rata, dan kulit
tampak terawat adalah ciri-ciri seorang yang rapi. Ciri- ciri lain, kamar mandinya selalu
bersih, kamar tidurnya tertata, meja kerjanya tidak berantakan. Itu semua tak terkait
dengan tingkat ekonomi seseorang.

Teratur juga menjadi elemen dari karakter tertib. Seorang yang teratur adalah seorang yang
mengikuti kaidah umum, tak sembarangan. la juga memperhatikan dan menata keadaan
agar baik. la juga menjalani hidup secara berpola, baik dalam makan, beristirahat, bekerja,
berekreasi, maupun beribadah. Selain itu, tertib juga berarti bertahap. Seorang yang tertib
tak menyukai jalan pintas atau instan untuk mencapai tujuan. Sukses lewat jalan instan tak
akan membahagiakan dirinya

23. Taat Hukum


Taat hukum dapat dipahami sebagai "senantiasa tunduk" atau "patuh" terhadap peraturan
atau hukum. Sikap tunduk atau patuh itu ada bukan karena takut terkena sanksi bila
melanggar, tapi atas dasar kesadaran. Masyarakat akan baik bila semua taat hukum.
Sebaliknya, ketidaktaatan hukum akan melahirkan kekacauan sosial.

Tahu aturan merupakan elemen pertama dari taat hukum. Aturan itu tak harus berupa
undang-undang atau ketentuan formal, tapi bisajuga yang bersifat norma dasar. Misalnya,
larangan berbagai hal, seperti membuang sampah sembarangan, buang air kecil di tempat
umum, dan menginjak rumput di lapangan. Seorang yang taat hukum akan taat terhadap
aturan yang nonformal itu. Apalagi kepada ketentuan dan aturan formal.

Menjalankan aturan. Ini konsekuensi lanjut dari tahu atau paham aturan. Dalam ketentuan
umum yang lebih normatif, misalnya aturan untuk antre. Semua orang perlu berdisiplin
untuk itu. Begitu juga aturan untuk tidak merokok di tempat publik, baik di angkutan umum,
di mal, restoran, maupun di kantor-kantor publik. Seorang yang taat hukum akan mematuhi
aturan demikian.

Siap menerima sanksi bila melanggar menjadi elemen berikutnya dari taat hukum. Seorang
yang taat hukum akan siap menerima hukuman semestinya dari pelanggarannya. la tahu
bahwa hukum harus ditegakkan, walaupun yang menjadi sasaran adalah dirinya sendiri. la
tak akan berkilah atau mengelak dari tanggung jawab. la dengan jantan akan menghadapi
sanksi hukum.

Lebih dari itu, seorang yang taat hukum juga akan menjunjung tinggi etika. Etika adalah
nilai-nilai yang mengatur mana yang baik dan mana yang tidak baik. Hukum dibangun untuk
meneguhkan etika tersebut. Maka, seorang yang taat hukum tak akan melanggar etika.
Apalagi menyiasati hukum seperti biasa dilakukan dalam praktik 'politik lama'.

24. Berencana
Berencana disebut sebagai "membuat rancangan" atau "membuat konsep'. Ini merupakan
karakter berikutnya dari bervisi. Adalah bukan sebuah visi yang baik, jika visi itu tak ditopang
dengan rencana yang jelas. Ada ungkapan yang menunjukkan arti pentingnya rencana.
Yaitu, "Gagal berencana berarti merencanakan gagal." Masyarakat tradisional umumnya
kurang berencana. Itu yang menghambat untuk maju.

Bertujuan. Ini elemen paling dasar dari berencana. Seorang yang berencana akan
merumuskan tujuan dengan jelas. Ada ukuran pasti untuk menentukan berhasil tidaknya
tujuan. Tujuan menjadi acuan dalam menyusun rencana. Tujuan perlu ditetapkan tinggi
sehingga cukup menantang untuk mengerahkan segala daya. Namun juga harus realistis
untuk dicapai.

Elemen berikutnya dari berencana adalah menyusun tahapan kerja. Sebuah tujuan akan
dapat dicapai dengan baik bila dicapai tahap demi tahap. Untuk itu, perlu rumusan tahapan
kerja. Berbagai hal dituliskan dalam tahapan kerja, mulai dari uraian kerja, target hasil,
hingga waktu pencapaian setiap tahapan kerja. Rumusan tahapan kerja ini perlu detail atau
terinci, dan memperhitungkan sumber daya pendukungnya.

Sistem pengawasan dan evaluasi juga merupakan elemen berencana. Itu berarti juga
disiapkan sistem pengawasan dan evaluasi. Pengawasan akan membantu memastikan setiap
tahapan kerja memang berjalan dengan baik. Sedangkan evaluasi membuat seluruh rencana
dapat dikaji lagi untuk menyusun rencana baru yang lebih baik pada masa depan.

Secara umum berencana belum menjadi bagian dari sebagian besar masyarakat Nusantara.

Alam yang subur dan iklim tropis yang nyaman tak mendorong untuk berencana. Itu
berbeda dengan masyarakat dari daerah dingin dengan tanah yang tidak subur. Tanpa
berencana mereka tak dapat bertahan. Tanpa berencana masyarakat Nusantara juga tidak
bisa berkembang.

Tak ada bangsa maju tanpa BERDISIPLIN


Yakni, rajin-tertib, taat hokum, dan berencana

I.

BERTANGGUNG JAWAB

Bertanggung jawab merupakan karakter utama kesembilan dari Karakter Pancasila. Karakter
ini juga menjadi penopang pilar karakter bersatu. Seperti telah disebutkan di atas, bersatu
bukan sekadar berbhinneka dan dan berdisiplin, melainkan perlu juga ditopang dengan
sikap yang bertanggung jawab.

Pengertian bertanggung jawab adalah "keadaan wajib menanggung segala sesuatunya".


Seorang yang bertanggung jawab siap memikul setiap beban yang dipandang sebagai
kewajibannya. la tak akan menghindar dari beban begitu. Setiap ada kewajiban yang harus
ditanggung, ia akan menanggungnya, diminta atau tidak diminta oleh orang lain.

Berani berinisiatif menjadi salah satu ciri seorang yang bertanggung jawab. Bila diperlukan
adanya pemimpin, ia akan tampil untuk memimpin. Dalam menghadapi masalah bersama,
seorang yang bertanggung jawab akan berupaya mencarikan solusi. Bila dalam sebuah
musyawarah atau kerja sama tak ada yang kunjung memulai, ia akan memulai. Perhatiannya
terfokus pada penjagaan tanggung jawab.

Sosok yang bertanggung jawab umumnya juga berani mengambil risiko. Apa pun risiko
untuk memikul tanggung jawab akan dihadapinya. Setiap tanggung jawab selalu punya
konsekuensi. Konsekuensi tersebut mungkin ringan, mungkin pula sangat berat. Namun,
bagi seorang yang bertanggung jawab, semua itu bukan masalah. Setiap risiko dan
konsekuensi akan dia hadapi untuk mewujudkan tanggung jawabnya.

Dihujat, dicaci, dituding, dianggap bodoh, dan sebagainya adalah risiko dari bertanggung
jawab. Seorang yang bertanggung jawab tak akan meninggalkan tanggung jawabnya karena
hal-hal seperti itu. Diperkarakan, ditahan, bahkan dibunuh juga risiko dari bertanggung
jawab. Banyak orang-orang besar yang ditahan. Para nabi besar juga hendak dibunuh,
meskipun kemudian rencana pembunuhan itu gagal.

Dengan sikap seperti itu, seorang yang bertanggung jawab siap berkorban. Fokus utamanya
adalah menjaga tanggung jawab. Hal itu dilakukan bukan untuk kepentingarinya sendiri,
baik materi maupun nonmateri, melainkan untuk kepentingan orang lain. Ini dibuktikan
dengan kerelaan mengorbankan diri. Seorang pengawal rela tertembak demi melindungi
yang dikawalnya. Begitu perumpamaan karakter yang bertanggung jawab.

Orang-orang yang seperti itu tak akan menyalahkan orang lain, walaupun mungkin orang
lain itu punya kontribusi atas tak terpenuhinya suatu tanggung jawab. Tapi mereka akan
lebih melihat kepada diri sendiri. Mereka akan terus melakukan evaluasi berbagai hal,
antara lain tentang hal-hal yang telah dilakukannya untuk bertanggung jawab dan hal-hal
yang membuat orang lain merusak tanggung jawabnya.

Ketika suatu tanggung jawab gagal diwujudkan, seorang yang bertanggung jawab juga tak
sibuk berdalih. Baginya sangat jelas: Bertanggung jawab diukur dari result atau hasil, bukan
dari reason atau dalih. Seorang yang banyak berdalih atau beralasan, umumnya bukan sosok
yang bertanggung jawab. Energinya lebih banyak diarahkan untuk menyusun alasan
kegagalan, bukan sungguh-sungguh untuk mencegah kegagalan.

Untuk mendapatkan hasil yang baik, seorang yang bertanggung jawab mencermati betul
proses. Tahap demi tahap proses akan diperhatikan untuk memastikan semua berjalan
secara benar. Bila semua berjalan dengan benar, umumnya akan berhasil baik. Namun tetap
saja ada kemungkinan gagal. Tidak apa-apa kalau itu yang memang terjadi . Proses demi
proses akan terus dicermati. Itu bagian dari langkah seorang yang bertanggung jawab.

"Saya bertanggung jawab." Ungkapan sederhana namun gagah itu memang kian jarang

terdengar. Setidaknya begitulah sikap bertanggung jawab yang penting dimiliki. Yakni,
bertanggung jawab yang bukan sekadar dalam kata-kata, melainkan juga dalam bersikap
nyata, sehingga terjaga.

25. Gigih Kerja Keras


Bangkit juga merupakan elemen dari gigih. Seorang yang gigih pun tak selalu berhasil dalam
berusaha. Sesekali ia juga gagal dan jatuh. Tapi ia tak akan membiarkan diri terbaring
seterusnya setelah jatuh. la akan bangkit, berdiri, dan melangkah lagi. Terbanting tak akan
membuat dirinya pecah. Sebaliknya malah mendorongnya belajar untuk berusaha menjadi
lebih baik. la selalu memetik pelajaran dari setiap kesalahan.

Seorang yang gigih juga selalu bekerja keras. Yakni berbuat sesuatu dengan sungguhsungguh atau dengan usaha yang optimal. Ada hal nyata yang dilakukan. Ada rangkaian
proses, ada pula hasil dari perbuatan itu. la mencurahkan waktunya lebih banyak dibanding
dengan orang lain dalam mengerjakan tugas yang sama. Para nelayan di lautan, para petani
di sawah, para buruh di pabrik, dan para pembantu di rumah-rumah adalah potret nyata
orang-orang yang bekerja keras.

Cekatan juga merupakan elemen dari bekerja keras. Dalam menangani setiap pekerjaan,
seorang pekerja keras umumnya melakukannya dengan cepat. la cepat dalam membaca
masalah, cepat mengambil keputusan dengan tetap cermat, sigap dalam merespons setiap
keadaan, juga dalam mengambil tindakan. Sosok yang berkarakter demikian, umumnya
pejalan kaki yang cepat, efisien dalam rapat, serta menjauhi segala hal yang bersifat berteletele.

26. Amanah
Amanah berarti "dapat dipercaya" atau "setia". Ini merupakan karakter puncak dari
bertanggung jawab. Seorang yang mendapat amanah akan memegang teguh beban yang
diberikan kepadanya. la akan menjaga baik amanah itu dan tak akan mengkhianatinya.

Karakter amanah ini penting untuk membangun masyarakat yang bertanggung jawab.
Teguh merupakan elemen pertama dari karakter amanah. Seorang yang teguh akan
memegang prinsip secara kuat. Prinsip dan keyakinannya tak mudah berubah. Apa pun
situasi yang menghadapinya. Boleh jadi sosok demikian pandai dan menyenangkan dalam
bergaul, juga fleksibel dalam bertindak, namun bila menyangkut hal yang prinsip, ia tidak
akan berkompromi.
Setia juga merupakan bagian dari karakter amanah. Seorang yang amanah tidak akan
berkhianat. Kesetiaannya tak akan dapat dibeli dengan apa pun. Orang yang setia memiliki
integritas tinggi. Jujur serta berperilaku sesuai dengan yang semestinya. Jika memilih
pegawai, pilihlah yang setia. Begitu kaidah yang biasa dipakai dalam manajemen lama.
Kaidah itu tetap relevan.
Amanah juga berorientasi tujuan. Misalnya, seseorang diberi amanah untuk menyelesaikan
suatu tugas. Seorang yang amanah akan berusaha dengan cara terbaik dan terefisien untuk
menjalankan amanah itu. Apa pun hambatannya, iaakan berusaha mencari jalan keluarnya.
Amanah bersifat aktif, bukan pasif. Dalam anekdot lama diceritakan, ada seseorang yang
diberi amanah untuk menjaga pintu. Maka ia pun menjaga pintu dan membiarkan orang lain
bebas memasukinya. Nah, seorang yang amanah tidak akan melakukan hal yang demikian.
Sebab, memegang amanah itu berarti memastikan bahwa tak ada orang yang berwenang
yang dapat masuk pintu itu tanpa izin. Amanah seperti itu yang harus dipegang teguh oleh
orang tua atas anak-anaknya. Juga oleh pejabat publik atas jabatannya.

27. Tuntas
Tuntas merupakan karakter bagian dari bertanggung jawab. Tuntas berarti "selesai secara
menyeluruh". Dalam pengertian lain malah dimaknai sebagai "sempurna". Seorang yang
bertanggung jawab akan menyelesaikan pekerjaannya hingga benar-benar tuntas. Bukan
berhenti di tengah jalan sebelum pekerjaan selesai. Apa pun alasannya.

Tidak setengah-setengah merupakan ciri dari karakter tuntas. Sejak awal, tugas yang
menjadi tanggung jawabnya dikerjakan sudah sepenuh hati, bukan setengah hati. Semangat
itu dijaga secara utuh. Dengan demikian, upayanya selalu optimal pada setiap tahap
pekerjaan. Sejak masa persiapan sebelum kerja pun sudah sungguh-sungguh. Ibarat akan

pergi jauh, persiapan bekalnya benar-benar lengkap, baik lahir maupun batin.

Menyeluruh adalah elemen lain dari tuntas. Seorang yang berkarakter tuntas akan
menangani pekerjaan secara utuh. Mungkin saja pekerjaan itu telah dibagi dengan yang
lain. Tanggung jawabnya hanya sebagian. la tak hanya mengerjakan tugasnya sendiri. Tapi
juga membantu menyelesaikan pekerjaan yang terkait lainnya bila memang pekerjaan itu
perlu dibantu. la memandang tugas secara menyeluruh, bukan bagian demi bagian.

Seorang yang berkarakter tuntas juga mengerjakan tugas sampai akhir, walaupun mungkin
sudah tak ada lagi yang membantunya saat itu. Seperti orang yang naik gunung, ia sadar
bahwa langkahnya harus sampai ke puncak. Boleh jadi kakinya sudah begitu penat, tapi ia
tak akan berhenti melangkah, walaupun dengan sangat perlahan. Kalaupun terpaksa harus
beristirahat, ia akan segera bangkit lagi. Lalu melangkah hingga ke puncak gunung, atau
sampai akhir tugas.

Tak sekadar melangkah sampai akhir, seorang yang berkarakter tuntas juga peduli pada
kesempurnaan. Semua tugas diupayakan selesai secara sempurna. la akan mencermati
bagian demi bagian agar diketahui bagian yang perlu direvisi atau diperbaiki dan cara
membuat setiap bagian menjadi sesempurna mungkin. la rela mencurahkan tenaga dan
pikiran tambahannya guna mendapatkan hasil yang lebih baik.

Manusia dewasa adalah manusia yang BERTANGGUNG JAWAB, orang yang selalu
berusaha berbuat gigih bekerja keras, amanah dan tuntas.

BAB 5
Pilar Tindakan :

BERGOTONG ROYONG
Bermusyawarah Berdemokrasi Bersinergi

Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan


perwakilan
-sila keempat Pancasila

Bergotong royong merupakan pilar keempat dari Karakter Pancasila. Dalam siklus karakter,
ini merupakan pilar tindakan atau action. Begitu penting tindakan dalam kehidupan manusia
sehingga seseorang dapat memetik hasil atau tidak bergantung padatindakannya. Dalam
beragama, seseorang mendapat pahala atau dosa juga ditentukan oleh perbuatan atau
tindakannya.

Pilar ini tak lepas dari pilar-pilar sebelumnya. Bila seseorang kuat dalam pilar bertakwa, ia
akan kuat dalam pilar berkasih sayang. Selanjutnya, ia akan kuat pula dalam pilar bersatu.
Bila jiwa bersatu telah mengakar kuat, pilar bergotong royong pun akan kuat. Pilar inilah
yang akan melahirkan hasil atau buah nyata dalam hidup, baik berupa materi maupun
bukan.

Begitu penting pilar ini sehingga Presiden Soekarno sempat menyebutnya sebagai 'inti'
Pancasila. Kalau Pancasila harus diperas, menurut dia, gotong royonglah silanya. Tentu saja
memeras lima menjadi satu sila tak dilakukan. Pancasila tetap merupakan lima sila yang
terkait satu sama lain, termasuk sila keempat yang bila diturunkan ke dalam pilar karakter
menjadi gotong royong.

Secara bahasa bergotong royong berarti "bersama-sama mengerjakan atau membuat


sesuatu Pilar karakter ini ada dalam kehidupan hampir seluruh masyarakat Nusantara. Pada
masa lampau, masyarakat membangun rumah bergotong royong, memanen sawah
bergotong royong, membangun jalan dan jembatan bergotong royong. Berbagai bentuk
gotong royong benar-benar hidup dalam keseharian masyarakat. Hampir pada semua suku
di Indonesia.

Dengan karakternya, bergotong royong dapat dimaknai sebagai bekerja sama atau memikul
beban bersama. Itu akan meringankan beban semua. Masalah pun akan lebih mudah
terpecahkan dengan bergotong royong. Masyarakat mengenal dan memandang baik

bergotong royong. Maka, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun membuat slogan
berintikan gotong royong: 'Bersama Kita Bisa!'

Keserempakan menjadi ciri bergotong royong. Masyarakat yang kuat dalam bergotong
royong adalah masyarakat yang serempak, bukan yang seragam. Serempak adalah
kemampuan untuk bergerak bersama menuju tujuan bersama, pada suatu kelompok atau
komunitas yang beragam dan berbeda. Bangsa- bangsa maju umumnya bangsa yang
serempak. Energi bangsa dapat dipakai secara efektif untuk bersama melangkah ke depan.

Untuk dapat serempak, tentu perlu sehati lebih dulu. Perasaan sehati akan dapat mengatasi
perbedaan yang ada. Setiap orang tidak akan mempersoalkan perbedaan masing-masing.
Sebaliknya malah akan menghargainya. Itu merupakan produk kebhinnekaan yang justu
menjadi kekayaan. Dengan sehati, keragaman yang ada justru dipersatukan menjadi
kekuatan. Kekuatan dari bersatunya masyarakat yang beragam itulah yang menjadi landasan
bergotong royong.

Bergotong royong akan efektif saat memiliki tujuan jelas. Makin jelas tujuan, makin mudah
bergotong royong diwujudkan. Dengan tujuan yang jelas, semua pihak segera berbuat
mengarah ke tujuan itu. Salah dalam memahami tujuan bergotong royong menjadi makin
berkurang. Kemungkinan salah pengertian satu sama lain juga dapat ditekan. Dengan
begitu, bergotong royong bakal menyenangkan semua.

Karya-karya besar Nusantara merupakan produk bergotong royong. Sawah berteras di


lanskap Bali adalah produk bergotong royong. Begitu pula berbagai saluran air yang
melingkar dan kadang harus menerobos bukit-bukit batu. Bergotong royong juga telah
melahirkan Borobudur yang luar biasa. Pada masa itu mereka bergotong royong mulai dari
membelah batu, memotong, mengangkut, menatah, dan mengukir hingga membangunnya.

Bergotong royong bukan hanya untuk membangun hal yang bersifat fisik, meiainkan juga
untuk membuat kehidupan sosial yang lebih baik. Berdemokrasi pada dasarnya adalah
bergotong royong. Seluruh masyarakat terlibat untuk memilih siapa yang akan mewakili
mengelola negara, termasuk untuk merumuskan undang-undang dan berbagai ketentuan.

Istilah "dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat" mencerminkan jiwa dan prinsip bergotong
royong.

Pilar bergotong royong dalam Karakter Pancasila setidaknya mencakup tiga karakter utama.

J. BERMUSYAWARAH
Bermusyawah merupakan karakter utama kesepuluh dari Karakter Pancasila. Istilah ini
dapat dimaknai sebagai kegiatan bersama banyak orang untuk "berunding" atau
"berembuk". Tujuannya adalah mencapai keputusan untuk memecahkan suatu masalah.
Tentu masalah tersebut adalah masalah bersama, walaupun mungkin cuma terkait langsung
dengan satu atau dua orang.

"Banyak kepala lebih baik dari satu kepala", Ungkapan yang lazim terdengar itu
menegaskan, karakter bermusyawarah itu begitu penting untuk bermasyarakat. Bergotong
royong akan diawali dengan bermusyawarah dulu dalam menetapkan tujuan, memilih cara
mencapai tujuan, membagi pekerjaan, menentukan waktu, dan mengerahan sumber daya
yang perlu.

Duduk bersama menjadi hal pertamadalam bermusyawarah. Semua pemangku kepentingan


(stake holders) dan pemangku kepedulian (care holders) perlu duduk bersama, baik untuk
memecahkan masalah maupun untuk menentukan rancangan bersama ke depan. Apa pun
latar belakang dan status sosial orang-orang itu, rasa kesetaraan menjadi landasan dalam
bermusyawarah.

Dalam bermusyawarah tentu tak cukup hanya dengan duduk bersama, tapi semua yang
terlibat, baik yang hadir maupun yang tidak, perlu saling berkontribusi pandangan.
Kemajuan sarana telekomunikasi membantu untuk itu. Kontribusi dilakukan dengan
menyampaikan sudut pandangnya sendiri, menanggapi pandangan orang lain, dan
mensintesakan kesimpulan.

Menekan ego dan kepentingan sendiri perlu diperhatikan. Pandangan dan kepentingan

sendiri jelas perlu disampaikan. Itu akan membantu orang lain memahami 'posisi kita', bila
memang menginginkan dukungan. Namun, menyampaikan pandangan dan kepentingan
sendiri tetap perlu dilakukan dengan santun. Bukan dengan memaksakan pendapat. Apalagi
dengan merendahkan pihak lain.
Kemampuan mendengarkan orang lain juga hal penting dalam bermusyawarah. Seorang
pendengaryang baikakan memperoleh masukan lebih banyak dibanding dengan orang lain.
Tak semua pandangan orang lain bermutu. Banyak pandangan yang tak berkualitas dan tak
relevan. Tapi selalu ada hal baik atau 'berlian' di balik setiap pendapat. Karena itu, 'berlian'
itu perlu digali dengan mendengarkan. Kemampuan mendengarkan seperti ini sungguh
berharga.

Setelah mendengarkan, yang diperlukan dalam bermusyawarah adalah mengapresiasi.


Setiap orang selalu senang diapresiasi dan dihargai, termasuk diri kita sendiri. Maka,
sewajarnya bila kita juga mengapresiasi yang lain. Bila semua yang terlibat saling
mengapresiasi, hambatan yang tak perlu akan tersingkirkan. Perselisihan yang mungkin
terjadi akan tercegah. Bermusyawarah menjadi lebih lancar.

Kemampuan menganalisis dan menyintesis juga menjadi faktor penentu kualitas


bermusyawarah. Menganalisis berarti mengurai masalah menjadi akar, pokok, dahan, dan
ranting masalah. Itu memudahkan untuk mencari pemecahan masalah. Menyintesis adalah
mencari pertautan berbagai pandangan yang tampak berbeda sehingga jelas 'benang
merah' atau 'titik temu'nya.

Sedemikian penting bermusyawarah dalam bermasyarakat dan berbangsa sehingga posisi


tertinggi berbagai lembaga dan negara adalah badan musyawarah. Ada Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) untuk negara Republik Indonesia. Maka, karakter utama ini
perlu dimiliki oleh seluruh warga bangsa ini. Bagi pemegang karakter ini, bermusyawarah
akan didahulukan daripada mengambil keputusan sendiri.

28. Bersilaturahmi
Silaturahmi berarti "hubungan persaudaraan". Dengan demikian bersilaturahmi berarti

mengikat hubungan tersebut. Ini merupakan karakter pertama yang akan memuluskan
bermusyawarah. Dengan bersilaturahmi, hubungan antarpihak akan menguat. Boleh jadi
semua pihak sudah saling mengenal. Silaturahmi bukan hanya membuat makin kenal,
melainkan juga akan mencairkan kekakuan dan hambatan kerja sama lainnya.

Bersilaturahmi pertama-tama adalah berkoneksi atau berhubungan. Hubungan batin


antarpihak tentu sangat penting. Namun, berkoneksi tak cukup hanya dengan hubungan
batin, tapi perlu juga diverbalkan. Pada era modern, hal tersebut makin mudah diwujudkan.
Di antaranya dengan telekomunikasi, bahkan dengan sarana media sosial berbasis internet.

Lebih dari sekadar berkomunikasi, bersilaturahmi juga perlu komunikasi langsung. Maka,
tatap

muka

diperlukan

dalam

bersilaturahmi.

Saling

mengunjungi

merupakan

carabersilaturahmi paling lama dalam interaksi sosial. Pada era sekarang, saat teknologi
komunikasi telah sedemikian berkembang, tradisisaling berkunjung dan bertatap muka itu
perlu dipertahankan, bahkan ditingkatkan. Sebab, tebih bermakna dibanding dengan
komunikasi tak langsung.

Berbincang tentu bagian dari silaturahmi. Perbincangan itu tak harus menyangkut soal
berat. Kadang bahasan terlalu serius malah perlu dihindari. Percakapan kecil urusan seharihari sering lebih efektif untuk mengikat silaturahmi. Hubungan satu sama lain akan menjadi
lebih akrab dan hangat.
Begitu penting silaturahmi ini sehingga agama menggarisbawahinya. Nabi menyebut:
"Bersilaturahmi memperpanjang umur dan menambah rezeki." Siapa yang tak
menginginkan itu, jika kita tahu bahwa pertambahan umur dan rezeki karena silaturahmi
akan membawa banyak berkah. Maka, mari kita teguhkan silaturahmi sebelum melangkah
ke tahap selanjutnya dari bekerja sama.

29. Komunikatif

Komunikatif dapat dipahami sebagai "mudah dipahami". Ini merupakan karakter penting lain
dari bermusyawarah. Seorang yang komunikatif dapat menyampaikan gagasan, pikiran, dan

pandangannya secara jelas, baik dalam ucapan, dalam pilihan kata maupun dalam
penyusunan kalimat. Tanpa sibuk berteori, ucapannya sederhana sehingga mudah
dimengerti oleh masyarakat umum sekalipun.

Berdaya tarik juga menjadi elemen komunikatif. Seorang yang komunikatif pandai
membawa audiens untuk mengikuti penyampaian gagasannya dari awal hingga akhir. Pilihan
ilustrasinya relevan dan menggugah. Spirit pendengar akan terus dijaga. Pendengar tidak
akan dibiarkan bosan. Sebab, ada humor kecil yang disampaikan pada saat tepat. Namun,
fokus dan alur bicaranya tetap terjaga.

Salah satu masalah dalam bermusyawarah adalah salah paham. Beragam latar belakang dan
pengalaman membuat salah paham gampang terjadi. Karakter komunikatif diperlukan
urituk menjembataninya. Komunikatif akan membuat prasangka menipis dan perbedaan
juga semakin mendekat. Dengan itulah musyawarah dan demokrasi dapat berjalan baik.

Seorang yang komunikatif juga biasa berdialog, atau "bersoal jawab secara langsung". Daiam
dialog, ucapan tidak berjalan satu arah. Namun paling sedikit dua arah. Seluruh
pembicaraan juga berkait satu sama lain. Integrasi dari seluruh pembicaraan itulah yang
membangun musyawarah. Berdialog juga tak akan sibuk dengan dirinya sendiri, namun juga
akan mendengarkan pandangan pihak lain. Ada timbal balik pandangan.

Kemampuan menyimpulkan juga ciri seorang yang komunikatif. Dialog yang dibangun perlu
disintesiskan agar dapat ditarik kesimpulannya. Hal-hal yang bertentangan atau antagonis
perlu dicari titik temunya. Setidaknya untuk dicarikan jalan keluar yang dapat diterima
semua pihak, walaupun mungkin belum sepenuhnya disetujui. Dengan itu, komunikasi akan
berbuah nyata untuk kepentingan bersama.

30. Asertif
Asertif dapat dimaknai sebagai sikap aktif dalam berkomunikasi tanpa agresif. Dalam
berkomunikasi, terkadang orang bertindak pasif. Mengalah membiarkan orang lain menekan
dirinya. Sebaliknya, ada yang cenderung agresif dengan menekan orang lain. Asertif adalah

komunikasi yang tidak menekan dan tak membiarkan ditekan pihak lain.

Lugas merupakan elemen asertif. Seorang yang asertif tak berputar-putar dalam
menyampaikan pandangan. Kalimatnya lugas, jelas, dan langsung, termasuk dalam
menyampaikan. atau memperjuangkan kepentingan pribadi. Bahasa kiasan, perumpamaan,
dan analogi hanya dipakai bila benar-benar perlu. Maka, kehendak seorang asertif jelas
untuk dipahami.

Halus santun. Ini juga elemen asertif. Seorang yang asertif adalah pribadi yang halus dan
santun dalam bicara. Sikap lugasnya disampaikan dengan halus santun, jauh dari sikap kasar.
la cermat memperhatikan perasaan orang. itu yang membuat penolakan terhadapnya kecil,
komunikasinya efektif dan pikirannya menjadi gampang diterima.

Terus terang merupakan elemen lain dari asertif. Seorang yang asertif akan berterus terang
memperjuangkan kepentingannya sendiri. Tak ada sungkan. Tak ada ewuh-pakewuh. Dalam
bersepakat, ia mendasarkan akal sehat, bukan perasaan. Jika ia mengatakan 'tidak', ya
memang tidak. Bila ia mengatakan 'ya', tentu juga memang ya.

Asertif sungguh membantu mewujudkan musyawarah yang efektif, yang tak perlu
berpanjang-panjang, namun tepat sasaran. Dengan asertif, tak ada yang memendam
perasaan. Semua akan bicara terus terang dengan kesantunan terjaga. Lugas-lembut serta
terus terang-santun menjadi penandanya. Masyarakat maju adalah masyarakat

Salah satu karakter utama yang membedakan bangsa Indonesia dengan banyak bangsa
lain adalah BERMUSYAWARAH dengan tiga elemen pokok, yaitu bersilaturrahmi,
komunikatif, dan asertif.

K. BERDEMOKRASI
Berdemokrasi merupakan karakter utama kesebelas dari Karakter Pancasila. Istilah
demokrasi diambil dari khazanah Barat yang berarti "kekuasaan di tangan rakyat". Rakyatlah

yang menjadi penentu utama bagaimana menjalankan negara. Pemimpin harus tunduk dan
melayani rakyat, bukan sebaliknya, seperti pada masa-masa lampau. Hal tersebut diperkuat
dengan semboyan vox populi vox dei. "Suara rakyat adalah suara Tuhan."

Walaupun istilahnya dari Barat, khazanah demokrasi berakar di seluruh penjuru dunia,
termasuk di Nusantara. Dalam kehidupan keluarga sehari-hari, untuk mengambil keputusan,
secara umum kepala keluarga akan melibatkan semua anggota keluarga. Masing-masing
akan diminta memberikan pandangan sebelum keluarga sampai pada keputusan. Baik
keputusan itu merupakan musyawarah bulat maupun melalui 'pemungutan suara'yang tidak
terang-terangan.

Begitu pula dalam banyak kasus pemilihan di masyarakat. Pemilihan pengurus tempat
ibadah pun menggunakan pendekatan demokrasi. Begitu pula pemilihan Ketua Rukun
Tetangga (RT), Ketua Rukun Warga (RW), dan Kepala Desa. Sebelum istilah demokrasi
dikenal luas di Indonesia, masyarakat telah terbiasa memilih Lurah dengan pemungutan
suara. Penghitungan suara itu pada masa lalu menggunakan potongan lidi.

Dengan demokrasi, kekuasaan tak terpusat di tangan satu orang. Tapi jadi milik semua.
Pemimpin hanya mendapat mandat untuk memimpin dari warga. Dengan begitu tak akan
ada pemimpin otoriter atau diktator. Seberkuasa apa pun sang pemimpin akan tetap harus
minta persetujuan warga dalam mengambil keputusan. Apalagi menyangkut hal penting.
Hal itu akan mencegah pemimpin menyalahgunakan kekuasaan secara berlebihan.

Demokrasi bukan hanya mencegah pemimpin menyalahgunakan wewenang, melainkan juga


menghargai semua orang tanpa terkecuali. Semua orang punya hak suara yang sama, baik
tokoh maupun masyarakat biasa. Demokrasi menguatkan budaya egaliter, yang
menempatkan semua manusia secara setara. Hal yang sedemikian ditekankan oleh agama:
Manusia adalah sama di hadapan Tuhan. Pembedanya hanya takwa dan amal perbuatannya.

Demokrasi juga melahirkan sistem check and balance, mekanisme untuk meiakukan
pengecekan atau pengawasan terhadap berbagai kenyataan sosial. Pengecekan dan
pengawasan sungguh penting. Sebab, penyimpangan dan penyelewengan selalu mungkin

terjadi. Pengecekan akan mencegah penyimpangan tersebut. Buahnya adalah terjadinya


keseimbangan antar berbagai elemen masyarakat. Hal ini akan melahirkan masyarakat yang
kuat.

Berdemokrasi berarti menjalankan berbagai prosedur dalam bermasyarakat, seperti


prosedur memilih wakil-wakil rakyat. Merekalah yang akan mewakili masyarakat
merumuskan aturan- aturan untuk mengelola kepentingan bersama. Begitu pula prosedur
untuk memilih pemimpin, baik pemimpin daerah maupun nasional. Para pemimpin itulah
yang harus diamanahi tugas menjalankan aturan yang telah ditetapkan para wakil rakyat.

Ada istilah 'demokrasi prosedural'. Yakni, demokrasi yang telah memenuhi berbagai
prosedur yang ditetapkan. Demokrasi prosedural merupakan sebuah tahap awal untuk
mencapai demokrasi secara penuh. Namun tahap itu belum mencukupi. Setelah demokrasi
prosedural, perlu demokrasi substansial. Yakni, berdemokrasi yang tak sekadar formalitas,
namun juga memang menjadi jiwa sepenuhnya. Berdemokrasi secara subtansial inilah
karakter berdemokrasi pada Karakter Pancasila.

Seorang dengan karakter berdemokrasi adalah orang yang demokratis. la adalah seorang
yang berjiwa merdeka dan menghargai kemerdekaan. la juga seorang yang menampung dan
menghargai orang lain, yang tak pernah memaksakan kehendak; selalu aktif berpartisipasi
dalam kegiatan bersama masyarakat; juga memiliki karakter moderat atau tidak ekstrem
dalam berbagai aspek.

31. Merdeka
Merdeka dapat dimaknai sebagai "bebas". Dalam definisi lain merdeka juga disebut "berdiri
sendiri, tidak terikat, tidak tergantung". Dengan demikian, seorang yang merdeka dapat
dipahami sebagai orang yang bebas, yang tidak terikat dan tidak tergantung pada apa pun
dan siapa pun, kecuali tentu pada Tuhan Yang Maha Esa. Inilah karakter pertama dari
berdemokrasi.

Untuk dapat berdemokrasi dengan baik, manusia perlu merdeka. Yakni, tidak terjajah, baik

secara fisik maupun jiwa. Tidak terjajah fisik berarti bebas pergi kemana pun yang
diinginkannya. Tidak ada yang mengekang atau mengancam secara fisik. Tidak dalam posisi
diperbudak oleh orang lain. Hal yang sekarang secara umum tak ada lagi, walaupun
kenyataannya masih ada pembantu, anak jalanan, bahkan istri yang terjajah secara fisik.
Seorang yang merdeka juga punya jiwa bebas. Tidak ada beban apalagi rasa khawatir dalam
berpendapat dan bersikap, termasuk dalam menentukan pilihan yang dipandangnya terbaik
bagi dirinya dalam berbagai hal. Dengan jiwa yang bebas, dia memegang kendali dan
berkuasa atas dirinya sendiri. Dalam bersikap, ia tidak berada di bawah bayang-bayang
orang lain. Dan sama sekali dia tidak terpengaruh oleh pandangan orang lain.
Merdeka berarti tidak menempatkan diri sebagai 'kawulo' atau 'pengikut' orang lain. Bisa
saja mereka bergabung dalam perkumpulan atau organisasi. Ikatannya dalam berorganisasi
adalah ikatan rasional, bukan karena kagum pada pemimpin tertentu. Mereka tak pernah
membiarkan diri di bawah pengaruh pemimpin. Sebab, mereka sadar bahwa dirinya dan
pemimpin adalah sama di hadapan Tuhan. Cuma perannya yang berbeda.
Bangsa ini perlu lebih mengembangkan jiwa merdeka. Masyarakat lebih terbiasa mengikuti
'petunjuk' pemimpin. Orang-orang terbiasa menjadi 'klien' bagi 'patronnya' masing-masing.
Belum terbiasa menentukan sikap sendiri. Padahal agama mengajarkan agar setiap orang
menjadi manusia merdeka, melalui konsep huriyah tammah dan prinsip tauhid. Tanpa
berjiwa merdeka, berdemokrasi tidak akan tegak.

32. Berpartisipasi

Elemen lain dari berdemokrasi adalah berpartisipasi. Secara bahasa, berpartisipasi dapat
disebut sebagai "turut serta" atau "berperan serta". Dengan demikian, berdemokrasi tidak
cukup hanya dengan berjiwa merdeka. Tapi juga perlu sikap yang aktif, baik dalam
mengemukakan pendapat maupun dalam berbagai kegiatan untuk kepentingan bersama
yang akan menguntungkan semua pihak.

Karakter berpartisipasi perlu ditumbuhkan dari keluarga. Dalam berbagai kegiatan keluarga,
seluruh anggota sedapat mungkin berpartisipasi. Hal tersebut dapat dimulai dari pekerjaan
sederhana, seperti membersihkan rumah, menyiapkan makanan, dan menata taman.

Mungkin saja pekerjaan tersebut sudah ada yang menangani. Namun setiap orang
semestinya tetap menyempatkan diri berpartisipasi, walaupun hanya sesekali.

Sekolah juga tempat yang baik untuk membiasakan anak-anak berpartisipasi. Bukan hanya
pada kegiatan ekstra kurikuler, melainkan juga dalam pembelajaran di kelas. Meminta anakanak melakukan presentasi, mendorong aktif berdiskusi, akan membuat mereka nyaman
untuk bertanya atau bahkan menyatakan tak setuju pada pandangan guru. Ini adalah
sebagian cara mendorong anak agar berpartisipasi.

Lingkungan sekitar juga merupakan arena untuk berpartisipasi. Kegiatan bersama seperti
perayaan 17 Agustus, acara halalbihalal, dan berbagai kegiatan serupa memerlukan
partisipasi warga. Begitu pula kegiatan tolong menolong antartetangga dan kerabat, seperti
saat ada yang terkena musibah sakit atau kematian. Berpartisipasi tak hanya meringankan
beban orang lain. Tapi juga meringankan beban diri sendiri.

Seorang dengan karakter berpartisipasi selalu aktif ikut serta dalam kegiatan yang ada di
sekitarnya. Berpartisipasi berarti berperan dalam mewarnai dan mengarahkan kegiatankegiatan sekitar. Arah dan hasil kegiatan akan lebih sesuai dengan yang diharapkan. Makin
banyak orang berpartisipasi juga membuka peluang untuk mendapat hasil lebih baik bagi
semua.

33. Moderat
Moderat diartikan sebagai "selalu menghindarkan perilaku atau pengungkapan yang
ekstrem." Dalam istilah lain juga digambarkan sebagai "berkecenderungan ke jalan tengah."
Karakter ini merupakan elemen dari berdemokrasi, setelah merdeka dan berpartisipasi.
Dengan karakter moderat, tujuan baik berdemokrasi akan terjaga. Hasil demokrasi akan
benar- benar merupakan hasil yang paling diinginkan masyarakat secara umum.

Moderat berarti tidak ekstrem ke satu arah. Ini sebuah karakter yang tidak memenangkan
satu pihak dengan mengalahkan pihak lain. Posisi itu ibarat wasit dalam sebuah
pertandingan sepakbola. Wasit dapat melihat persoalan dari semua pihak. Membenarkan

yang memang benar, dan menyatakan salah kepada yang memang salah. Tanpa peduli siapa
yang salah maupun yang benar.

Moderat adalah tidak memaksakan pandangan yang dianggapnya paling benar terhadap
orang lain. Seorang yang moderat sangat yakin pandangannya seratus persen benar.
Namun, pada saat yang sama, iajuga mengakui kemungkinan pandangan yang lain benar.
Sikap dan pandangan pribadinya teguh. Namun tidak digunakannya untuk menekan pihak
lain. Sebaliknya, ia malah memberi ruang pada pandangan lain bahwa mungkin saja benar.

Dengan karakter demikian, seorang yang moderat berbesar hati menerima segala
kenyataan. Dalam pemilihan umum, misalnya, seorang moderat selalu berlapang dada
menerima hasilnya, walaupun hasil itu berbeda dengan yang ia kehendaki. la tak akan
menggunakan cara yang tak etis untuk mengubah hasil itu, apalagi sampai berbuat anarkis.

Karakter moderat diajarkan agama. Nabi yang memegang teguh keyakinan pun tak pernah
bertindak ekstrem. Langkah-langkahnya dapat dipahami semua pihak yang berakal sehat.
Maka, umat beragama diseru untuk menjadi 'ummatan wasathan', umat moderat, umat di
jalan tengah dan tidak ekstrem. Hanya dengan karakter moderat, keadilan serta harkat
martabat umat manusia dapat dijaga untuk tetap tegak.

Elemen utama bergotongroyong adalah BERDEMOKRASI. Yakni dengan menjadi pribadi


merdeka, berpartisipasi, serta moderat

L. BERSINERGI
Bersinergi secara bahasa dipahami sebagai "melakukan kegiatan atau operasi gabungan".
Kegiatan atau operasi bersama akan memberi hasil lebih besar. Itu terjadi bila semua pihak
saling memahami dan saling mendukung satu sama lain. Penggambaran paling jelas tentang
bersinergi ada dalam olahraga. Dalam olahraga permainan seperti bulu tangkis ganda atau
bola voli, sinergi sungguh terlihat jelas. Apalagi pada sepakbola yang memerlukan 11
pemain.

Saling menguatkan merupakan elemen dari bersinergi. Setiap orang memiliki kelemahan
selain kekuatan. Bersinergi adalah menggunakan kekuatan orang lain untuk menutupi
kelemahan sendiri. Juga menggunakan kekuatan sendiri untuk menutupi kelemahan orang
lain. Ada proses give-take, memberi-menerima dalam bersinergi. Itu membuat mereka
saling menguatkan.

Saling menguntungkan juga merupakan elemen pokok dari bersinergi. Prinsip ini menjadi
pegangan awal dalam memulai bersinergi. Win-win solution. Prinsip menang-menang. Ini
Istilah yang banyak mengemuka tentang prinsip bersinergi. Semua pihak harus untung.
Tidak boleh satu pihak untung, tapi pihak lain tidak, apalagi rugi.

Bersinergi juga berarti bernilai tambah. Belum dipandang sebagai bersinergi yang baik kalau
tak ada nilai tambahnya. Dalam perhitungan konvensional dapat disebut bahwa 1+1=2.
Hasil perhitungan seperti itu belum merupakan hasil sinergi. Tapi baru sebatas hasil
penjumlahan bersama. Baru dikatakan bersinergi bila perhitungannya menjadi 1+1 >3. Ada
nilai tambah minimal '1' dari hasil penjumlahan '2'.

Jiwa bersinergi perlu ditumbuhkan ke seluruh kalangan. Belum seluruh pihak menganggap
penting bersinergi. Di beberapa kalangan ada budaya negatif 'mental kepiting'. Yakni,
mental untuk saling bergelayut atau menarik ke bawah sehingga gagal untuk naik. Bukan
saling topang dan kemudian saling tarik untuk naik. Padahal saling topang inilah yang perlu
ditumbuhkan dalam bersinergi.

Bersistem juga menguatkan bersinergi. Istilah bersistem dapat dimaknai sebagai "kumpulan
metode atau prosedur yang ditetapkan untuk mencapai suatu tujuan tertentu". Dengan
metode atau prosedur yang baik, sinergi akan dapat berjalan lebih efektif. Untuk itu, perlu
kesepakatan bersama, metode atau prosedur mana yang dianggap terbaik oleh semua. Itu
yang akan menguatkan upaya bersinergi.

Terstruktur dan terorganisasi juga merupakan aspek dari bersinergi. Keadaan terstruktur
perlu mencakup semua aspek pekerjaan bersama secara menyeluruh, bukan hanya pada
sebagian dari lingkup kerja sama. Belum menjadi sistem bila belum menyeluruh. Dengan

demikian, satu aspek harus terkait dengan aspek lainnya secara teratur. Ilmiah dan
berteknologi secara umum juga menjadi aspek penting dalam bersinergi. Semua itu
merupakan elemen yang menguatkan bergotong royong sebagai pilar tindakan dari Karakter
Pancasila.

34. Bekerja sama


Bekerja sama merupakan karakter pertama dari bersinergi. Secara bahasa, bekerja sama
mengandung pengertian sebagai "melakukan kegiatan yang ditangani oleh dua orang atau
lebih". Terdapat dua hal dalam pengertian tersebut. Pertama, ada kegiatan atau tindakan
nyata, bukan semata gagasan atau pemikiran. Kedua, pelaku kegiatan tersebut sedikitnya
dua orang. Atau banyak tangan yang terlibat untuk menangani kegiatan tersebut.

Untuk dapat bekerja sama secara baik, tujuan sekali lagi harus jelas. Tujuan perlu diturunkan
ke jenjang tahapan. Selanjutnya tahap demi tahap diuraikan dalam bidang kerja, lengkap
dengan uraian kerja secara terinci untuk setiap bidang. Penetapan target serta indikator
pencapaian untuk setiap tahap akan membantu kelancaran bekerja sama. Dalam berbagai
hai, acuan adalah penting, termasuk dalam bekerja sama.

Berbagi peran juga menjadi pokok pelaksanan bekerja sama. Semua yang berkepentingan
perlu terlibat dalam kegiatan. Keterlibatannya sesuai dengan kapasitas dan kompetensi
masing-masing. Setiap orang perlu mengisi suatu bidang yang paling relevan dengan dirinya
sendiri sehingga seluruh bidang kerja, dalam bekerja sama tersebut, terpenuhi. Begituiah
kontribusi setiap orang dalam bekerja sama diwujudkan.

Saling bertanggung jawab dan saling menolong diperlukan dalam bekerja sama. Setiap orang
memiliki kekuatan dan kelemahan masing-masing. Untuk itu, perlu saling menutupi
kelemahan dan menguatkan kekuatan yang lain. Yang rendah menggali akar, yang tinggi
menggapai pucuk. Dengan begitu semua pekerjaan tertangani. Bekerja sama menjadi lebih
utuh, tak ada sisi lemah yang tak tertutupi.

Bekerja sama akan makin sempurna bila semua mengerahkan daya secara optimal. Setiap

orang memiliki potensi, termasuk potensi unik dan menjadi kekuatan diri masing-masing.
Semua itu perlu dioptimalkan. Bila semua bekerja secara optimal, dan tidak menoleransi
bekerja setengah-setengah, hasilnya akan luar biasa. Itu terjadi bila semua memiliki karakter
utama dalam bekerja sama.

35. Menghargai
Secara bahasa pengertian menghargai sangat jelas. Yakni "menghormati", sebuah karakter
yang menghormati semua orang tanpa kecuali. Apa pun latar belakang orang itu, baik suku,
agama, maupun status sosialnya. Setiap orang pada dasarnya ingin dan layak dihargai.
Sebab, masing-masing punya kelebihan. Bila ingin dihargai, semestinya seseorang
menghargai lebih dulu orang lain.
Memandang setara merupakan salah satu cara menghargai orang lain. Semua orang
dilahirkan secara sama. Semua bayi terlahir seperti kertas putih, apa pun warna kulitnya dan
siapa pun orang tuanya. Setelah tumbuh mereka punya hak sama. Tak peduli priayi atau
'wong cilik', penguasa atau rakyat biasa. Di mata Tuhan semua sama. Semestinya di mata
semua manusia juga sama
Mengapresiasi merupakan ciri lain dari karakter menghargai. Setiap orang punya peran di
lingkungan masing-masing. Di keluarga, di masyarakat, dan di tempat kerja, setiap orang
punya kontribusi. Apa pun posisi dan kedudukannya. Memberi pujian pada kontribusi setiap
orang merupakan wujud kasih sayang yang tulus. Itu akan membangkitkan spirit orang. Dan
kitalah yang membangkitkannya.
Memanusiakan 'orang bawah' juga bagian dari menghargai. Sopir, pembantu, satpam,
tukang kebun, office boy, kurir, tukang bangunan, serta bawahan lain telah memberi
kontribusi banyak dalam kesuksesan setiap orang. Mereka layak dihargai dan layak
mendapat kata-kata santun. Selain tentu imbalan yang memadai, kesempatan istirahat dan
rekreasi yang manusiawi.
Menghargai orang lain sama halnya dengan menghargai diri sendiri. Sebab, sekali lagi,
manusia di mata Tuhan sama. Hanya amal dan ibadah yang membedakannya. Tak
menghargai orang lain sama halnya tak menghargai diri sendiri. Sikap menghargai orang lain
itu tercermin sehari-hari di dalam keluarga. Apakah semua anggota keluarga sudah saling
menghargai? Atau lebih banyak menuntut?

Bervisi merupakan karakter pendukung bersinergi. Untuk bersinergi tak cukup hanya dengan
bekerja sama. Tapi perlu juga visi yang menunjukkan ke mana kerja sama itu hendak
diarahkan sehingga melahirkan sinergi yang kuat. Hal tersebut sesuai dengan pengertian visi
sebagai "pandangan atau wawasan ke depan." Atau, menurut definisi lain, sebagai
"kemampuan untuk melihat pada inti persoalan".

36. Menang-menang
Ini merupakan elemen mendasar dari bersiriergi. Bersinergi tidak boleh membuat salah satu
pihak menang atau untung dan pihak lain kalah atau merugi. Bersinergi sedapat mungkin
membuat semua pihak diuntungkan. Hal yang terlihat tidak mudah, namun terbukti dapat
berjalan secara baik dalam kehidupan nyata. Itu merupakan prinsip bersinergi sebagai
karakter utama bergotong royong.

Mengidentifikasi kepentingan sendiri merupakan hal pertama yang dilakukan seorang


berkarakter menang-menang. Kepentingan sendiri tak semestinya dikorbankan. Sebaliknya
kepentingan sendiri perlu dinyatakan secara jelas agar pihak lain menghargainya secara
baik. Dengan jelas teridentifikasi, kepentingan sendiri akan lebih mudah diperjuangkan
secara baik dan benar, sesuai kaidah agama, norma, serta hukum yang ada.

Mengidentifikasi kepentingan pihak lain menjadi aspek lain dari karakter ini. Seorang
berkarakter menang-menang selalu memperhatikan kepentingan pihak lain, la ingin
kepentingannya sendiri dihargai orang lain. Maka ia pun akan menghargai kepentingan
orang lain. Dalam membuat rumusan, ia akan memastikan bahwa kepentingan orang lain
tidak dilanggarnya. Sebaliknya malah ia usahakan untuk membantu memenuhinya.

Mengatasi kelemahan orang dengan kelebihan yang dimilikinya sendiri juga bagian dari
karakter menang-menang. Seorang berkarakter demikian jeli melihat kelemahan orang lain.
Bukan untuk dieksploitasi bagi kepentingannya sendiri. Sebaliknya justru untuk dibantunya
mengatasi atau menutupi dengan kelebihan yang dimiliknya sendiri. Dengan demikian
mitranya bersinergi akan menjadi lebih kuat.

Menerima dan menyambut baik bantuan orang lain untuk mengatasi kelemahan diri
merupakan aspek berikut dari karakter menang-menang. Dirinya tak merasa gengsi atau
bahkan arogan. Sebaliknya malah berterima kasih atas dukungan yang lain. Mereka tahu
bahwa bersinergi memang harus saling bantu, saling menutupi kelemahan diri, hingga
semua yang terlibat akan tumbuh bersama dan mendapat manfaat dari sinergi tersebut.

BERSINERGI ibarat sapu yang setiap lidinya terikat mejadi satu sehingga dapat saling
menguatkan melalui elemen bekerja sama, menghargai,serta menang-menang.

BAB 6
Pilar Hasil:

BERKESEJAHTERAAN
Berkeadilan Berkemakmuran - Bermartabat

Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia


-sila kelima Pancasila

Pilar kelima dari Karakter Pancasila adalah berkesejahteraan. Keadilan sosial berarti seluruh
rakyat hidup sejahtera. Maka, pilar ini merupakan pilar hasil atau pilar result, yang menjadi
turunan langsung dari sila kelima. Keyakinan yang kuat melahirkan kesadaran yang penuh.
Kesadaran yang penuh mendorong sikap yang teguh. Sikap yang teguh melahirkan tindakan
yang nyata. Sedangkan tindakan yang nyata akan berbuah baik. Buah itu adalah
kesejahteraan bagi seluruh masyarakat.

Dalam berpancasila, kesejahteraan atau kemakmuran tak boleh dinikmati hanya oleh sedikit
orang, tapi harus dinikmati oleh seluruh masyarakat tanpa kecuali. Ini tentu sesuai dengan
tingkat masing-masing. Ada batas terendah kesejahteraan yang mau tidak mau harus
terpenuhi bagi semua orang. Itulah yang menjadi tujuan kemerdekaan.

Kunci kesejahteraan adalah diri sendiri. Yakni keyakinannya sendiri. Banyak orang yang tidak
sejahtera karena tidak yakin dirinya dapat sejahtera. Ketidakyakinan seperti itu dimiliki
banyak orang. "Saya kan orang kecil." "Biarlah saya begini. Memang sudah nasib saya."
"Bagaimana bisa sukses, saya tak punya modal." "Dia bisa begitu karena banyak koneksi,
saya kan tidak seperti dia." Mereka tidak yakin dapat sejahtera. Berbagai alasan dipakai
untuk menutupi ketidakyakinannya.

Tentu orang-orang yang seperti itu tidak sejahtera. Mereka menjadi bagian dari warga
miskin, yang tidak hanya miskin secara ekonomi saja, tapi juga miskin secara mental. Miskin
mental lebih berbahaya dibanding dengan miskin ekonomi. Sebab, seorang yang bermental
miskin akan menyalahkan hal-hal di luar dirinya, dan enggan mengevaluasi diri. Cepat atau
lambat dia akan menjadi miskin secara ekonomi. Sebaliknya, seorang yang bermental
sejahtera, cepat atau lambat akan sejahtera pula, walaupun mungkin ia masih miskin
ekonomi.

M. BERKEADILAN

Berkeadilan merupakan karakter utama ke-13 dari Karakter Pancasila. Akar istilah
berkeadilan adalah adil yang dapat dipahami sebagai "sama berat"atau "tidak berat
sebelah". Dalam konteks keadilan sosial atau kemakmuran dapat dimaknai sebagai adanya
pemerataan. Perbedaan sosial selalu ada. Perbedaan kesejahteraan selalu terjadi. Itu
menjadi bagian dari realitas dunia sepanjang peradaban manusia. Namun, kesenjangan tak
boleh dibiarkan sedemikian melebar.

Sikap berkeadilan diawali dengan tidak membeda-bedakan satu dengan yang lain. Orang tua
tidak membeda-bedakan satu anak dengan anak lainnya. Atasan tak membeda-bedakan
bawahannya. Anak-anak perlu pula diajari untuktak membeda-bedakan teman- temannya.
Termasuk untuk tak canggung bermain dengan teman dari semua kalangan.

Membagi sesuai dengan kontribusi juga merupakan prinsip berkeadilan. Adil tidak selalu
berarti membagi secara merata. Bila kontribusi dari semua pihak yang bersinergi tak sama
besar, pembagian hasilnya juga harus berbeda. Namun, perbedaan tersebut tetap harus
sesuai dengan kontribusi masing-masing.

Seorang yang berkeadilan tak akan merugikan orang lain untuk menguntungkan diri,
keluarga, atau kelompoknya. Diri sendiri juga harus menerima sesuai dengan kontribusinya.
Tak boleh melebihi dari jatah semestinya, sehingga orang lain tidak berkurang
pembagiannya. Berkeadilan juga berarti 'menghukum' atau 'menghargai' secara
proporsional, tanpa berlebihan.

Masyarakat dan bangsa yang berkeadilan adalah masyarakat dan bangsa yang sejahtera.
Sedikit orang miskinnya, sedikit pula orang kayanya. Sebagian besar warganya adalah
masyarakat 'kelas menengah'. Bangsa semacam ini biasa disebut sebagai bangsa berstruktur
'belah ketupat'. Ini sebuah struktur bangsa yang sehat karena seluruh warganya relatif
punya cukup daya untuk mengembangkan diri. Itu merupakan buah dari berkeadilan.

37. Benar
Benar merupakan karakter pertama dari berkeadilan. Secara bahasa istilah benar dapat
diartikan sebagai "sesuai sebagaimana adanya", "tidak salah", juga "tidak berat sebelah".
Seorang berkarakter benar adalah orang memandang persoalan sebagaimana adanya,
bersikap dan r, lengambil keputusan secara adil tanpa berat sebelah, serta selalu berusaha
untuk tidak salah dalam berbuat apa pun.

Seorang benar akan mengabarkan keadaan sebagaimana adanya. Posisi itu seperti
ditunjukkan jurnalis yang baik, yang mewartakan keadaan apa adanya. Kisah yang
disampaikannya memang seperti yang terjadi. Tidak mengarang-ngarang atau mengubah
dari keadaan yang semestinya. Tidak pula menambah atau mengurangi cerita. Semua
disampaikan secara benar, walaupun dapat merugikan kepentingan sendiri.

Dalam menangani setiap pekerjaan, seorang berkarakter benar berusaha untuk tidak
membuat kesalahan. Dirinya akan mempelajari seksama setiap tugas yang akan
dikerjakannya. Dipastikannya untuk memahami setiap detail pekerjaan. Termasuk
mempelajari aspek kritis yang mungkin menjadi penghambat penyelesaian tugas secara
baik. Pada akhirnya mereka juga akan mengevaluasi begitu tugas selesai dilaksanakan.

Berbagai hal tersebut di atas dilakukan agar pekerjaan berjalan baik dan benar. Itu
membuat berkarakter benar, sebagaimana seorang berkarakter tuntas, selalu mengerjaklan
tugas sesempurna mungkin. Mereka tidak menoleransi ketidakbenaran atau kesalahan.
Mereka akan berusaha menjaga semuanya berjalan benar. Dengan demikian tidak ada satu
pihak pun yang terugikan oleh ketidakbenaran itu.

Mengambil keputusan secara adil dan tidak memihak siapa pun juga ciri pribadi berkarakter
benar. Ibarat wasit sepakbola, bola yang telah melewati garis gawang akan tetap dinyatakan
gol. Walaupun gawang itu dari kesebelasan yang memiliki hubungan emosional dengannya.
Orang tua berkarakter benar akan tetap menghukum anak kesayangannya jika memang
salah. Untuk dapat adil memang harus berpikir, bersikap, dan berbuat benar.

38. Menjunjung Hak

Seorang yang berkeadilan adalah orang yang selalu menjunjung tinggi hak. Istilah hak dapat
diartikan sebagai "milik". Dengan demikian, menjunjung hak berarti memenuhi kebenaran
milik setiap orang. Tak ada keadilan tanpa pemenuhan hak. Pemenuhan hak itu bukan
sekadar secara legal formal, melainkan juga memang memenuhi rasa keadiian bagi semua
pihak. Khususnya, bagi yang memiliki hak yang orang lain perlu menunaikannya.

Dalam kehidupan sehari-hari, orang yang memiliki hak disebut 'berhak'. Seringkali yang
berhak justru berada pada posisi yang lebih lemah dibanding dengan yang harus memenuhi
hak itu. Anak-anak, misalnya, berhak mendapat kasih sayang serta pendidikan sebaikbaiknya dari orang tuanya. Para siswa di sekolah berhak memperoleh keteladanan dan
bimbingan dari gurunya. Pasien berhak atas penjelasan dokternya. Masyarakat berhak
dilayani pemimpinnya.

Seorang berkeadilan menjunjung tinggi hak orang-orang di sekitarnya. Keiuarga yang baik
tidak hanya membayar baik dan tepat waktu kepada pembantunya. Tapi juga akan selalu
bersikap baik kepada pembantunya itu. Mereka mengakui, pembantu itu punya hak untuk
mendapatkan hiburan, bahkan untuk berlibur seminggu sekali, Maka, hak-hak itu akan
mereka penuhi dengan sebaik-baiknya. "Bayarlah upah sebelum keringat kering" merupakan
petunjuk Nabi agar menjunjung tinggi hak.

Hal yang serupa juga bisa dilakukan oleh atasan di kantor. Memenuhi Perjanjian Kerja
Bersama (PKB) dengan karyawan adalah bentuk nyata menjunjung hak. Hal yang sama dapat
juga dilakukan di rumah, misalnya, suami menghargai istri yang menjadi ibu rumah tangga,
orang tua sungguh-sungguh mendengarkan pendapat dan pandangan anak-anaknya.
Kesungguhan orang dalam menjunjung hak tercermin pada praktik nyata sehari-hari itu.

Menjunjung hak memang diawali dengan dipenuhinya hak orang- orang di sekitarnya. Baru
setelah itu, diperjuangkanlah hak sendiri. Seorang yang menjunjung hak tak akan ielah
mengusahakan haknya sendiri. la akan memperjuangkannya dengan cara yang baik. Itu

bukan semata untuk kepentingan sendiri, melainkan juga untuk membantu orang lain agar
tidak melanggar hak siapa pun. Sebab, melanggar hak sungguh keliru.

39. Seimbang

Seimbang merupakan karakter dari berkeadilan pula. Pribadi yang berkarakter seimbang
secara umum adalah pribadi yang menjalankan berbagai aspek kehidupannya secara
merata. Seperti orientasi mereka pada aspek lahir dan batin yang setara. Begitu pula dalam
menjaga kecenderungannya antara menekankan pada tugas dibanding pada aspek sosial.
Istilah seimbang dapat pula dimaknai sebagai "setimpal" atau "sebanding".

Berkeadilan tentu perlu diawali dari diri sendiri. Seperti tersebut di atas, pribadi berkarakter
demikian akan mengelola hidupnya sendiri secara seimbang. Tidak ada aspek yang
dilebihkan secara khusus, tidak pula ada yang direndahkannya. Semua aspek dicoba untuk
dikembangkan hingga optimal, setahap demi setahap. Berbagai aspek diupayakan untuk
dapat sebanding.

Seorang berkarakter seimbang akan memberikan penghargaan pada orang lain secara
sepadan. Mereka yang berkontribusi banyak akan diberi penghargaan banyak. Sebaliknya
yang sedikit berkontribusi juga akan mendapat penghargaan sedikit. Dalam pendekatan
yang lebih tegas dijelaskan oleh agama. Orang yang baik akan dihadiahi surga. Sedangkan
yang jahat mendapatkan neraka. Kedua imbalan tersebut adalah setimpal dengan amal
perbuatan saat di dunia.

Dalam pendekatan serupa terdapat pula istilah proporsional. Segala sesuatu ditempatkan
sesuai proporsi masing-masing. Yang semestinya mendapat lebih banyak memang akan
mendapatkan lebih banyak. Yang seharusnya lebih sedikit juga mendapat bagian sesuai
jatahnya. Tidak ada yang mendapat bagian berbeda dari jatah semestinya.

Puncak dari karakter seimbang adalah harmonis. Yakni ketika diri ini mampu menempatkan
berbagai hal berbeda secara benar-benar selaras. Dalam kehidupan manusia antara lain

menyeimbangkan hubungan dengan Tuhan, hubungan sesama manusia, juga hubungan


dengan alam. Masyarakat Hindu Bali mengenal konsep Tri Hita Karana. Konsep serupa
dengan "hablum minnallah, hablum minannas, dan hablum minal alam" pada Islam. Semua
itu adalah wujud karakter seimbang pada berkeadilan.

BERKEADILAN merupakan gerbang kesejahteraan. Berlaku benar, menjunjung hak, serta


seimbang merupakan elemennya.

N. BERKEMAKMURAN
Dalam mengatasi kemiskinan, mental yang perlu ditumbuhkan adalah mental makmur. Bisa
jadi secara ekonomi masih sulit. Seseorang mungkin masih terlilit masalah keuangan. Tapi
bila ia memiliki mental makmur, dia akan dapat segera bangkit dari kesulitan ekonominya.
Dia tak akan larut oleh kesulitannya. Baginya, miskin materi tak akan menjadi kendala.
Perhatiannya terfokus ke depan. Yakni ke berbagai hal yang akan membuatnya makmur.

Masalah demikian menjadi perhatian agama. Ajaran Islam, misalnya, menganggap sangat
mulia orang miskin yang tak menunjukkan kemiskinannya. Walaupun miskin, ia cenderung
tak mau dibantu. Maka, orang seperti ini perlu dibantu. Membantu dia merupakan
perbuatan utama. Sebab, dia memiliki jiwa makmur. Dengan sedikit dibantu, dia akan
mampu memakmurkan sendiri.

Makmur adalah mulia. Itu bukan ungkapan semata, melainkan ajaran agama. Disebutkan,
'begitu dekat kefakiran dengan kekafiran.' Orang-orang yang fakir, yang miskin baik
ekonomi maupun mental, gampang menjadi kafir. Maka, semua orang didorong untuk
bekerja. Bukan sekadar bekerja, tapi bekerja keras. Itu yang akan membuat mereka makmur
sehingga mereka tak bergantung pada siapa pun.

Maka, berusaha menjadikan diri makmur adalah wajib. Sebaliknya, membiarkan diri tak

makmur tentu haram. Sebab, hal itu berarti, orang itu tak bertanggung jawab terhadap diri
sendiri. Juga ia tak mensyukuri nikmat Tuhan yang begitu berlimpah. Orang yang makmur
berarti orang yang tak merepotkan siapa pun dan mudah membantu sesama. Jadi, sekali
lagi, yang tak merepotkan orang lain dan ringan membantu sesama itulah orang yang
makmur.

Orang tua perlu menyiapkan anak-anaknya agar hidup sejahtera. Hal itu tidak dengan
memanjakan dan tidak pula dengan memberi fasilitas atau materi berlimpah, Tapi dengan
membangun mental makmur anak. Caranya, antara lain, dengan memberi teladan serta
menumbuhkan keyakinan, keberanian, dan antusiasme belajar. Dengan cara itu, mereka
akan tumbuh menjadi generasi makmur.

Begitu penting menjadi makmur. Sebab, makmur akan menumbuhkan rasa percaya diri.
Dengan begitu, seluruh hambatan diri akan teratasi dan seluruh potensi diri akan dapat
diaktualisasikan. Itu akan menambah kemakmuran diri. Hal yang pada akhirnya juga akan
memakmurkan keluarga, masyarakat sekitar, bahkan bangsa. Dengan pemahaman spiral
karakter, seseorang relatif mudah untuk menjadi makmur

Semua orang pada dasarnya mampu meraih makmur, sesulit apa pun keadaannya. Tahap
demi tahap spiral karakter sudah jelas. Bila seluruh tahap dijalani secara wajar, hasilnya
akan jelas: Mereka menjadi benar-benar makmur dan sejahtera lahir dan batin, jiwa dan
raga. Jika demikian, apa yang dapat merighalangi untuk bahagia dunia dan akhirat?

Seorang yang bertambah makmur akan makin yakin kepada diri sendiri bahwa Tuhan begitu
penyayang. la juga yakin bahwa jalan kemakmuran atau sukses begitu lebar terbentang.

40. Berwirausaha
Berwirausaha merupakan karakter pertama dari berkemakmuran. Istilah ini didefinisikan
sebagai "berkekuatan-berkemampuari". Berwirausaha memiliki hubungan langsung dengan
berkemakmuran. Maka, berwirausaha menjadi eiemen penting dari berkemakmuran selain
kreatif - inovatif dan berhijrah - mendunia.

Banyak anggapan bahwa berwirausaha berarti membuka usaha atau bisnis sendiri.
Berwirausaha berarti menjadi pengusaha atau entrepreneur. Yaitu, seorang yang memulai
usahanya sendiri dari kecil, dan menangani seluruh aspeknya sekaligus, mulai dari
menyiapkan produk, memasarkan, hingga membuat pembukuan sendiri. Dengan cara itu
dirinya akan menguasai semua aspek bisnisnya secara menyeluruh.

Dari sudut pandang itu berwirausahajuga berarti mengembangkan ekonomi. Seorang


berwirausaha akan mengoptimalkan kesempatan, waktu, pengetahuan, dan berbagai
sumber daya lain yang ada untuk dapat menghasilkan nilai tambah ekonomi. Wujudnya
dapat berupa usaha produksi, usaha dagang seperti membuka toko, atau mengembangkan
layanan jasa. Itu semua akan meningkatkan kesejahteraan diri dan lingkungannya.

Berwirausaha tak selalu berarti membuka usaha sendiri. Tapi bisa juga merintis sesuatu di
lingkungan kerja masing-masing dengan memanfaatkan sumber daya yang ada. Kemampuan
memberdayakan diri sendiri, menjadikan segala sesuatu efektif dan efisien, mengoptimalkan
setiap sumber daya yang ada juga berwira usaha. Maka, ada istilah intrapreneurship untuk
menggambarkan jiwa wirausahadalam perusahaan atau lembaga.

Seorang yang berwirausaha tak bergantung pada apa pun. Ketiadaan modal dan sumber
daya pendukung lain tak menghalangi untuk melangkah. Justru melecutnya menjadi lebih
maju. Maka, agama menekankan bahwa wirausahawan sebagai profesi mulia. Nabi
Muhammad pun seorang wirausahawan yang sukses. Bangsa-bangsa maju adalah
bangsayang masyarakatnya banyak yang berwirausaha.

41. Kreatif-lnovatif
Kreatif dapat didefinisikan sebagai "memiliki daya cipta". Juga dapat disebut "memiliki
kemampuan menciptakan". Adapun inovatif dimaknai sebagai "bersifat pembaruan".
Keduanya merupakan karakteryang saling bertaut, serta menjadi penunjang karakter utama
bekerja keras. Dengan kreatif- inovatif, hasil kerja keras menjadi lebih bermakna.

Banyak akal merupakan elemen dasar dari kreatif- inovatif. Seorang yang kreatif-inovatif
tidak berpikir linear atau berjurus lurus. Bila perlu ia siap berpikir melingkar. la tidak terpaku
pada cara pemecahan tertentu, apalagi cara pemecahan yang biasa dipakai orang. Tapi ia
akan mencari cara lain, la yakin, selalu ada hal lain lebih baik yang tak terpikirkan
sebelumnya.

Baru. Ini juga elemen dari kreatif-inovatif. Kehidupan manusia akan berkembang bila ada hal
yang baru. Ada teknologi baru yang membuat hidup lebih baik. Awalnya mesin uap, lalu
listrik, telepon, telepon genggam. Dan sekarang, internet dan media sosial. Ada puta karyakarya seni dan budaya yang baru. Betapa muram dunia bila tak ada yang baru.

Memberi solusi juga merupakan elemen kreatif-inovatif. Setiap orang selalu punya masalah.
Begitu juga masyarakat dan bangsa. Tak ada hidup tanpa masalah. Semua itu memerlukan
pemecahan atau solusi. Seorang yang kreatif-inovatif mampu memberi solusi, baik atas
masalahnya sendiri, masalah masyarakat maupun masalah bangsa.

Sosok yang kreatif-inovatif tak akan puas berdiam diri. la tidak nyaman menjadi orang
mapan. Setiap kesempatan akan dimanfaatkannya untuk mencari gagasan, membuat alat
atau metode baru yang lebih baik. la mencari ide dari karya kreatif- inovatif sebelumnya,
atau lewat forum sesamanya. Masyarakat berutang kepada orang yang kreatif-inovatif.

42. Berhijrah - Mendunia


Elemen dari berkemakmuran adalah berhijrah. Secara bahasa berhijrah berarti "berpindah".
Selain itu, berhijrah dapat pula didefinisikan sebagai "menyingkir untuk sementara waktu
dari suatu tempat ke tempat lain yang lebih baik". Orang-orang yang sukses umumnya
adalah orang-orang yang telah berhijrah, baik secara fisik maupun non- fisik, seperti
pemikiran dan sikap.

Hijrah seseorang dapat diawali dengan mengeksplorasi hal- hal kecil dan sederhana. Seperti
mencoba makanan baru, alat baru, teknologi baru, kebiasaan baru, bahkan mengadopsi cara

pandang baru. Itu merupakan tahap awal dari menjelajah yang berarti "bepergian kemanamana untuk menyelidiki" atau "menelusuri". Menjelajah akan membuka wawasan dan
memperbanyak pilihan baru.
Kemauan dan keberanian mengeksplorasi berbagai hal di sekitar diri juga menjadi ciri
karakter berhijrah. Mengatur ulang tata ruang rumah, mengkaji sistem di tempat kerja,
membangun pola baru komunikasi keluarga adalah contoh berhijrah. Puncaknya adalah
menjelajah atau malah pindah ke tempat baru seperti yang dicontohkan Nabi. Berhijrah
hampir selalu mengantarkan pada kesempatan baru yang lebih baik.

Sejalan dengan berhijrah adalah mendunia yang secara bahasa berarti "meluas ke seluruh
dunia". Bila yang mendunia adalah produk, produk itu akan dikenal atau tersebar ke seluruh
dunia. Begitu pula bila yang mendunia adalah pemikiran. Sedangkan bila yang mendunia itu
karakter, orang yang berkarakter mendunia akan memiliki wawasan global. Sosokyang
demikian akan paham tentang masalah dunia dan suka menjelajah ke mancanegara.

Para backpacker membuktikan bisa berkeliling dunia secara murah. Mereka umumnya juga
mengapresiasi budaya global dengan cara, antara lain, mencoba makanan, mengunjungi
museum, taman-taman-taman umum, bahkan pasar tradisional di berbagai negara. Mereka
tidak silau, apalagi ikut-ikutan budaya asing. Sebaliknya, mereka justru lebih jeli dalam
melihat khazanah kearifan lokal. Kekuatan Cina dan India adalah mereka mampu menjadi
global berbasis pada budaya lokal yang kuat.

Manusia yang BERKEMAKMURAN adalah manusia yang kuat. Mereke berwirausaha,


kreatif-inovatif, serta berhijrah mendunia hingga menjadi kuat.

O. BERMARTABAT
Bermartabat merupakan karakter utama terakhir dari Karakter Pancasila. Posisinya juga
sebagai penopang pilar berkasih sayang. Istilah bermartabat dapat dimakriai sebagai
"tingkat harkat kemanusiaan" atau "harga diri". Seorang yang bermartabat adalah seorang
yang berharga diri. Yakni, saat harkat kemanusiaannya berada pada tingkat optimal untuk

ukuran masing-masing, baik secara raga maupun jiwa.

Banyak yang menyangka bermartabat terkait dengan status seseorang. Anggapan itu
mengemuka karena harga diri sering dihubungkan dengan materi atau atribut lain. Padahal,
seperti disebutkan di atas, harga diri itu menyangkut status raga dan jiwa. Bila status
tersebut dalam keadaan baik, orang yang memilikinya akan berharga diri atau bermartabat.
Sebaliknya, bila status raga dan jiwanya tidak baik, orang itu akan kurang bermartabat.

Perilaku menjadi cermin dari bermartabat. Seorang yang bermartabat berjalan tegak dan
melangkah tegas. Kata-kata atau ucapannya jelas dan tak berbelit-belit. Roman mukanya
jernih dengan tatapan mata bersahabat. la juga mudah tersenyum. Dalam berhadapan
dengan siapa pun, ia tidak pernah merendahkan. Namun, ia juga tak rendah diri.

Seorang yang bermartabat juga ditandai dengan sikapnya yang tak gampang meminta. Ini
suatu kebiasaan yang tanpa disadari dianggap wajar, baik oleh orang-orang tak mampu
maupun oleh orang-orang yang sangat mampu. Meminta pekerjaan, meminta komisi dana
proyek, meminta uang sogokan, meminta sumbangan, meminta dikasihani, dan banyak
meminta lain menjadi praktik lazim. Padahal itu semua justru pertanda orang yang kurang
bermartabat.

Begitu kuat anggapan keliru yang mengaitkan martabat dengan tingkat ekonomi. Dengan
cara pandang itu, seorang yang kurang mampu dianggap wajar bila gampang meminta atau
mohon dikasihani. Seolah wajar bila ia merendahkan diri. Lalu ada yang memanfaatkan
keadaannya untuk meminta pertolongan. la menempatkan diri sebagai seorang yang layak
dikasihani. Lalu ia meminta dan bahkan menuntut orang mengasihaninya.

Semestinya tidak begitu. Pada masa lampau, warga yang kekurangan banyak yang mampu
menahan diri untuk meminta- minta. Dengan segala keterbatasannya, mereka terus
berjuang mengatasi masalah sendiri. Sebagian berhasil, sebagian lagi tidak mampu keluar
dari kemiskinannya. Tapi mereka tetap memegang kuat martabatnya. Orang-orang yang
membutuhkan, namun tetap menjaga tegak martabatnya, adalah orang-orang yang sungguh
mulia.

Boleh jadi secara ekonomi seseorang sangat miskin. Tapi dia tidak mau meminta-minta.
Artinya, jiwanya tidak miskin. Orang miskin seperti ini adalah orang yang bermartabat. Dia
layak dibantu, walaupun ia akan berusaha keras untuk menolak bantuan. Tak sedikit pula
orang yang bermental miskin, baik yang secara ekonomi kurang mampu maupun yang
sangat mampu. Orang miskin seperti ini terus menengadahkan tangan meminta- minta
bantuan, termasuk lewat proposal.

Seorang yang bermartabat selalu bermental mampu. la menghindari mengeluh. la juga


berusaha keras untuk menutupi kesusahannya sendiri. la percaya, berkeluh kesah hanya
akan melemahkan diri sendiri, tak membuat mental jadi kuat untuk menyambut tantangan.
Membuka susah malah memperlemah mental. Sedangkan mengatasi susah perlu mental
yang tangguh.

Bisa saja seorang yang bermartabat akhirnya menerima bantuan. Namun ia akan berupaya
untuk balik memberi kontribusi yang setimpal. la berupaya membangun hubungan setara,
bukan hubungan atas bawah. ia akan berusaha keras untuk tidak berutang budi. la juga tak
membiarkan orang lain berutang budi kepada dirinya.

Berituk merendahkan martabat diri lainnya adalah pamer jabatan dan kekayaan.
Disangkanya jabatan dan kekayaan itulah harga diri seorang manusia. Padahal sama sekali
bukan. Jabatan dan kekayaan hanya sarana. Bila dimanfaatkan secara benar, keduanya akan
meningkatkan nilai diri seseorang. Sebaliknya, bila digunakan untuk pamer, keduanya justru
akan merendahkan harga diri sejati seseorang.

Martabat seseorang akan bertambah dengan memartabatkan orang lain. Membela orangorang lemah, mengangkat orang-orang yang di bawah, serta membebaskan orang-orang
yang tertindas adalah bentuk memartabatkan orang. Misi suci para nabi adalah seperti itu.
Begitu pula yang dilakukan tokoh-tokoh besar dunia. Orang-orang yang bermartabat
mengikuti jejak mereka.

43. Sehat
Sehat merupakan salah satu karakter bermartabat. Secara bahasa sehat didefinisikan
sebagai "baik seluruh badan dan bagian-bagiannya." Secara lebih luas, sehat bukan semata
urusan raga, melainkan juga urusan jiwa. Keduanya merupakan kesatuan. Tak dapat
dipisahkari satu sama lain. Keduanya juga saling melengkapi dan saling memperkuat.

Bersih menjadi elemen awal dari karakter sehat. Bersih badan, bersih lingkungan, bahkan
bersih hati dan pikiran. Bersih menjauhkan diri dari kuman dan penyakit. Dalam agama,
bersuci atau membersihkan diri secara fisik begitu ditekankan. Itu harus dilakukan sebelum
beribadah. Mencuci tangan, menyikat gigi, menjaga sanitasi lingkungan adalah upaya
membuat bersih.

Berolahraga jelas membuat sehat. Maka, berolahraga secara teratur itu perlu. Pengertian
berolahraga adalah bergerak yang membuat jantung berdenyut sekitar 110 detak per menit
secara kontinu, setidaknya selama 15 menit. Senam setiap pagi, berenang, dan berjalan kaki
45 menit lima kali seminggu adalah memadai. Itu membuat sehat, bukan saja lahir namun
juga batin.

Makanan bergizi menjadi penunjang sehat pula. Itu diawali dengan pemberian hanya air
susu ibu (ASI) pada usia enam bulan pertama bayi, dan dilanjutkan hingga dua tahun.
Memperbanyak makan sayur dan buah; minum air putih; mengurangi lemak, karbohidrat,
dan garam; menjauhi rokok, alkohol dan narkoba; serta mengurangi dan membatasi obat
akan membuat sehat.

Masyarakat yang kuat adalah masyarakat yang sehat. Bangsa yang kuat juga bangsa yang
bersih sehat. Maka, mendorong untuk sehat menjadi hal penting. Kesadaran untuk bersih
sehat perlu terus dipromosikan, baik bagi diri sendiri, keluarga maupun masyarakat. Itu yang
akan membuat masyarakat dan bangsa bermartabat. Hanya bangsa bermartabat yang dapat
maju pesat. Dan itu diawali dengan sehat.

44. Cerdas
Cerdas dapat dimaknai sebagai "sempurna akal budi". Seorang yang bermartabat bukan
hanya sehat, melainkan juga cerdas sesuai dengan kapasitas masing-masing. Banyak konsep
tentang cerdas. Di antaranya, empat kecerdasan, yakni kecerdasan spiritual, kecerdasan
intelektual, kecerdasan mental, dan kecerdasan emosi. Dalam konsep berbeda, ada
kecerdasan spasial, sosial, dan Iain-Iain.

Rasional adalah dasar dari cerdas. Kadang rasional disebut pula sebagai "logis" atau "berakal
sehat". Rasional berarti berpandangan masuk akal, jauh dari mistis, tak terpengaruh
takhayul, bahkan tak gampang percaya isu. Dalam beragama dikenal istilah 'sunnatullah'
atau hukum universal yang bersifat pasti dan logis, berlaku bagi siapa pun tanpa terkecuali.

Banyak membaca menjadi penopang karakter cerdas. Untuk itu, setiap orang perlu
meningkatkan daya bacanya. Paling mendasar tentu adalah diatasinya masalah tuna aksara
masyarakat. Selanjutnya, budaya gemar membaca perlu ditingkatkan. Membaca koran,
buku cerita, buku pengetahuan, buku pengembangan diri, hingga buku kebangsaan dan
budaya, sungguh berharga.

Terus belajar juga akan meningkatkan kecerdasan. Inilah yang langsung disebut sebagai
pembelajar. Pembelajar berarti berusaha sekolah setinggi-tingginya sesuai dengan bidang
masing-masing yang relevan. Sekolah sampai ke perguruan tinggi secara tepat merupakan
investasi paling berharga pada setiap orang. Selebihnya adalah dia harus membuka diri
untuk mau belajar dari setiap orang, belajar dari alam dan pengalaman, bahkan mengikuti
kursus dan seminar.

Kecerdasan manusia berbeda. Setiap orang punya kecerdasan masing-masing. Tapi semua
perlu mengasah kecerdasannya sendiri. Setiap orang perlu mengikis sisa kebodohan yang
ada dalam dirinya. Dengan itulah manusia membangun peradaban. Dengan itu pula
manusia akan tumbuh menjadi pribadi yang semakin cerdas. Itu akan membuat diri,
masyarakat, dan bangsa menjadi bermartabat.

45. Mandiri
Pengertian mandiri adalah "keadaari dapat berdiri sendiri", atau "tidak bergantung pada
orang lain". Ini merupakan aspek pemuncak dari karakter bermartabat. Selain sehat dan
cerdas, orang juga perlu mandiri. Dengan itulah harga diri akan tegak, baik di hadapan orang
lain maupun di hadapan bangsa-bangsa lain. Prinsip tersebut berlaku secara universal bagi
seluruh umat manusia.

Tak bergantung pada orang lain menjadi ciri utama mandiri. Dalam kehidupan
bermasyarakat, setiap orang memang perlu bantuan orang lain. Tak ada manusia yang tak
perlu bantuan orang lain. Namun, bantuan tak boleh membuat bergantung. Bantuan tak
boleh mengikat diri. Saat suatu bantuan mengikat, saat itu diri menjadi bergantung, dia
tidak lagi mandiri.

Merdeka merupakan elemen dari mandiri. Merdeka berarti memiliki perasaan bebas. Tidak
tergantung, tidak terjajah, dan tidak di bawah pengaruh orang lain. Merdeka adalah elemen
penting dalam kemanusiaan. Agama pada dasarnya adalah untuk membuat manusia
merdeka, atau tidak bergantung pada makhluk apa pun. Untuk itu, manusia perlu
bergantung hanya kepada Tuhan.

Bertanggung jawab atas nasib sendiri. Ini elemen yang terhubung dengan merdeka tersebut.
Setiap orang pada dasarnya harus bertanggung jawab atas nasib diri masing-masing. Tidak
mengeluh atas keadaan kurang baik. Tak menyalahkan keadaan kepada pihak lain. Selalu
siap mengatasi masalahnya sendiri. Orang-orang yang seperti ini yang akan maju dan
bahagia.

Karakter mandiri tersebut perlu ditumbuhkan. Peradaban lama terlalu menekankan pada
budaya guyub. Terlalu untuk segala hal selalu tidak baik, termasuk terlalu guyub. Peradaban
lama juga cenderung melestarikan tradisi feodal. Tradisiyang menempatkan masyarakat
senang menjadi kawulo dan bergantung pada arahan pemimpin. Mandiri adalah kita mampu

mengarahkan hidup sendiri, dengan tetap mendengar masukan dari pihak lain.*

Harga diri seseorang dinilai dari martabatnya. Sedangkan BERMARTABAT berarti sehat,
cerdas, dan mandiri.

BAB 7

KARAKTER PANCASILA
KARAKTER SUKSES

Gantungkan cita-citamu setingga bintang!


-Ungkapan lama

"Bagaimana cara menjadi orang sukses dan bahagia?" Itu pertanyaan setiap anak manusia.
Diucapkan atau tidak. Sebuah pertanyaan yang kadang tak mendapat jawaban. Umumnya
keluarga tak mengajari anaknya bagaimana cara meraih sukses dan bahagia. Begitu pula
sekolah dan lingkungan. Maka, tak sedikit yang gagal meraihnya. Walaupun sudah berusaha
sampai akhir hayat.

Kegagalan seperti itu semestinya tak terjadi. Semua orang berhak untuk sukses dan bahagia
serta mendapatkan panduan menuju ke sana, bahkan sejak sangat dini. Panduan itu
sebenarnya ada di sekitar kita, pada berbagai kearifan lokal yang ada di masyarakat, pada
nilai-nilai yang dijalankan generasi demi generasi, dan pada kesepakatan bersama bangsa
berupa Pancasila.

Selama ini Pancasila memang belum dipandang sebagai petunjuk sukses dan bahagia.
Pancasila lebih ditempatkan sebagai landasan bernegara, bukan landasan setiap diri untuk
maju dan breprestasi. Padahal sebenarnya, Pancasila juga petunjuk bagi setiap pribadi.
Yakni, saat Pancasila juga ditempatkan sebagai landasan karakter, seperti Karakter Pancasila
yang telah diuraikan sebelumnya.

Banyak rumus untuk seseorang meraih sukses sejati. Sukses yang membahagiakan, bukan
sukses semu. Dalam sukses sejati, ada lima aspek yang perlu bersatu secara utuh.
Kelimanya, sekali lagi, adalah keyakinan (belief), kesadaran (awareness),sikap (attitude),
tindakan (action), dan hasil (result). Itulah spiral karakter. Itulah Karakter Pancasila yang juga
karakter sukses.
Setiap anak bangsa perlu memiliki bekal tersebut. Bekal yang akan membuatnya kuat, apa
pun latar belakangnya. Dengan bekal itu, mereka akan siap mengarungi samudra kehidupan.
Seberapa pun besargelombang yang akan menghadangnya. Dengan bekal itu anak-anak dari

keluarga miskin akan mampu memotong jerat kemiskinannya, yang duafa akan terbebas
dari keduafaannya dan anak-anak bangsa dapat berprestasi di kancah global.

Menyemai Karakter Pancasila


Menyemai karakter dimulai dengan menanamkan pemahaman. Yakni membuat diri sendiri
dan orang-orang sekitar memahami konsep utuh Karakter Pancasila. Lima pilar karakter, 15
karakter utama, dan 45 karakter bukan semata deretan istilah untuk dihafal. Semua butir itu
adalah petunjuk. Satu sama lain kait- mengait menjadi petunjuk yang padu.
Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa lima pilar karakter adalah karakter dari lima sila.
Pilar itulah batang utama Karakter Pancasila. Masing-masing batang bercabang tiga, hingga
menjadi 15 cabang. Itulah karakter utama. Dari masing-masing karakter utama atau cabang
tersebut terdapat tiga ranting. Dengan demikian, jumlah ranting tersebut 45.
Tidak mudah tentu mendalami 45 karakter sekaligus. Apalagi menjadikannya sebagai
karakter diri, walaupun semestinya itu dilakukan. Maka, perlu caratermudah menyiasatinya.
Di antaranya adalah memilih salah satu karakter. Itulah yang akan dijadikan karakter
pembuka, sebelum mendalami karakter-karakter lainnya.
Setiap karakter dapat dipilih menjadi karakter pembuka. Pilihan itu tentu perlu disesuaikan
dengan kecenderungan masing- masing. Misalnya, memilih 'BERVISI' sebagai karakter
pembuka. Karakter ke-1 7 dari Karakter Pancasila itu benar-benar dijadikan fokus. Segala
sesuatu terkait bervisi atau bercita-cita didalami benar. Lalu dinternalisasikan sehingga
menjadi karakter diri. Hal ini akan terpancar dari 'satunya' hati, kata, dan perbuatan.
Dengan begitu, dalam kasus ini, bercita-cita menjadi karakter fokus. Segala hal yang terkait
dengan karakter bercita-cita digali kembali. Apa arti bercita-cita? Mengapa bercita-cita
penting bagi setiap orang? Hal-hal yang nyata di masyarakat menyangkut soal bercita-cita
digambarkan secara jelas.
Banyak orang yang susah mendapatkan pekerjaan yang baik. Atau malah mereka tidak
kunjung mendapatkan pekerjaan. Itu terjadi karena mereka tak memiliki cita-cita jelas.
Sebaliknya, seorang yang memiliki cita-cita jelas hampir selalu mudah membuat atau
mendapat kan pekerjaan. Maka, seseorang perlu untuk bercita-cita setinggi bintang,
walaupun sekilas mungkin cita-cita itu tampak kurang realistis. Tidak apa-apa dia membuat

cita-cita yang tinggi karena bercita-cita itu gratis.

Dengan membuatnya sebagai fokus, diri sendiri akan berani bercita-cita. Bahkan menulis
atau menggambar cita-citanya secara jelas. Termasuk menyebutkan tahap dan tahun
pencapaiannya. Itu yang akan menuntun dia ke Karakter Pancasila secara menyeluruh.
Karakter penuntun tersebut tak harus bercita-cita. Bisa saja karakter lain yang memang lebih
relevan dengan kecenderungan diri.

Menanam Karakter
Karakter, termasuk Karakter Pancasila, tak cukup hanya disemai, tapi perlu ditanamkan pada
diri setiap orang. Dengan demikian, karakter itu akan menjadi karakter setiap anak bangsa.
Penanaman karakter itu dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan sebagai berikut:
1. Keteladanan (Role modeling)
Keteladanan merupakan cara yang paling efektif untuk menanamkan karakter. Ucapan
yang baik memang gampang dikutip dan diingat. Namun, perbuatanlah yang akan ditiru.
Mengajak orang lain agar jujur tak perlu dengan kata-kata, tapi dengan konsisten
berperilaku jujur. Mendorong yang lain untuk optimis hanya dapat dilakukan dengan
menjadikan diri sendiri optimis.
Keteladanan ditunjukkan dengan "satunya kata dengan perbuatan". Yang dikatakan harus
sesuai dengan yang dikerjakan. Begitu pula sebaliknya. Hal tersebut juga tak dapat
dilakukan sesaat, tapi perlu konsisten dari waktu ke waktu. Tidak dibenarkan bila pada
suatu hari yang diucapkan dan yang dilakukan A, lalu pada lain hari yang diucapkan dan
dilakukan B. Padahal situasi yang melatarinya hampir sama. Jadi, tanpa konsistensi tak
akan ada keteladanan.
Keteladanan merupakan cara yang paling utama untuk menanamkan karakter. Itu yang
perlu ditunjukkan orang tua kepada anak-anaknya, guru kepada siswanya, pemimpin
perusahaan kepada karyawannya, pemimpin agama kepada jamaahnya, artis kepada
penggemarnya, dan pemimpin bangsa kepada masyarakatnya. Dalam kehidupan
berbangsa Indonesia, keteladanan secara umum lemah. Maka, banyak persoalan yang tak
terselesaikan secara efektif.

2. Pembiasaan (Conditioning)
Setelah keteladanan, pembiasaan diperlukan untuk menanam karakter. Pembiasaan
dilakukan baik melalui pendekatan fisik maupun nonfisik. Pembuatan jalur antre akan
membiasakan orang untuk antre. Rekreasi keluarga ke alam akan membiasakan anakanak mencintai alam. Penyediaan sarana membuang sampah secara tepat akan
membiasakan orang membuang sampah pada tempatnya.
Pembangunan rumah yang sehat, taman-taman kota yang menyenangkan, kompleks
hunian yang tertata, serta tata ruang yang baik merupakan bentuk pembiasaan penting
untuk membangun karakter. Begitu juga tradisi dialog dalam keluarga, kebiasaan untuk
berjamaah di masjid atau tempat ibadah lain, hingga tradisi mengapresiasi kesenian
bermutu, baik kesenian lokal maupun global. Pembiasaan baik akan melahirkan orang
baik. Pembiasaan buruk akan melahirkan orang buruk.
3. Pengajaran (Teaching)
Pengajaran merupakan cara penanaman karakter yang paling banyak dikenal. Begitu
dikenal sehingga penanaman karakter banyak bertumpu pada pengajaran. Orang tua
menasihati anaknya, guru menerangkan pelajaran sepanjang jam pelajaran, pemuka
agama berceramah selama satu jam atau lebih. Semua itu berpangkal pada anggapan
bahwa pengajaran adalah cara utama membangun karakter.
Cara demikian tidak efektif. Yang benar, orang tua perlu sangat sedikit menasihati, guru
lebih baik menjadi fasilitator dan motivator bagi siswa, tokoh agama cukup berbicara 510 menit seperti dicontohkan Nabi. Itu akan membuat pengajaran jadi efektif. Pengajaran
dapat dilakukan setelah keteladanan dan pembiasaan dijalankan dengan baik. Pidato tak
banyak berpengaruh tanpa didukung dengan contoh atau teladan lebih dahulu.
Pengajaran juga tak cukup hanya secara verbal atau lisan saja, tapi perlu didukung sarana
visual, sarana peraga, praktik dan permainan peran sehingga pengajaran jadi efektif.
Setiap orang punya kecenderungan masing-masing. Ada yang lebih efektif dengan model
kuliah, ada yang lebih senang dengan pengajaran visual, dan ada pula yang efektif dengan
praktik. Mengombinasikan beberapa model pengajaran sekaligus sungguh diperlukan.
Penanaman karakter perlu dilakukan melalui tiga pendekatan itu sekaligus. Yaitu,
keteladanan, pembiasaan, dan pengajaran. Itu akan membuat penanaman karakter menjadi

efektif, termasuk penanaman Karakter Pancasila.

Area Penanaman Karakter


Karakter, termasuk Karakter Pancasila, tak cukup hanya ditanamkan dalam satu area
kehidupan. Misalnya, keluarga saja, atau sekolah saja, atau lingkungan saja. Tapi perlu juga
ditanamkan di semua area sekaligus secara konsisten. Itu akan membuat karakter dapat
melekat secara kuat, baik pada diri pribadi, masyarakat, maupun bangsa, sehingga mereka
bisa meraih sukses sejati.

1. Keluarga
Ini area pertama penanaman karakter. Orang tua yang berkarakter kuat akan melahirkan
anak-anak yang berkarakter kuat. Anggota keluarga seperti ini akan saling mengokohkan
sesamanya, bukan saling melemahkan. Itu membantu setiap anggota keluarga lebih
mudah untuk meraih sukses. Hal ini sulit dicapai oleh keluarga berkarakter lemah yang
setiap anggotanya juga saling melemahkan.
Teladan orang tua menjadi yang utama dalam penanaman karakter melalui keluarga.
Sikap dan perilaku orang tua akan dicontoh anak-anaknya. Pepatah lama menyebut "air
cucuran atap jatuhnya ke pelimbahan jua". Itu yang membuat karakter orang tua seperti
terwariskan kepada anak-anaknya. Maka penting bagi orang tua untuk lebih berhati-hati
dalam bersikap dan berperilaku. Setelah itu, orang tua juga perlu untuk menjaga sikap
baiknya secara konsisten.
Pembiasaan untuk melakukan berbagai kegiatan positif dalam keluarga juga penting.
Misalnya, merapikan sendiri tempat tidur sendiri setiap pagi dan membaca, baik koran,
majalah, buku maupun bahan-bahan dari internet. Setelah itu, pembiasaan ini diperkuat
dengan pengajaran sederhana namun mendasar. Seperti, pengajaran nilai-nilai hidup
berupa Karakter Pancasila. Karakter yang dibangun pada keluarga akan menjadi dasar
terbangunnya manusia-manusia utuh.

2. Sekolah
Sekolah, sebagai lembaga publik untuk mendidik, merupakan area kedua penanaman
karakter anak. Program pendidikan dirancang untuk menanamkam berbagai disiplin ilmu
sebagai bekal bagi setiap anak menghadapi kehidupan mendatang. Guru dan manajemen
sekolah mendapat tugas khusus untuk keperluan tersebut.
Keteladanan guru dan tenaga pendidik lain merupakan kunci penanaman karakter
melalui sekolah. Pendidik yang benar- benar mencintai pendidikan, serta melaksanakan
tugasnya dengan hati adalah para pembangun karakter yang efektif bagi siswanya.
Kegemaran membaca serta kedisiplinan berolahraga dan beribadah para guru akan
tertular kepada anak-anak didiknya.

Lingkungan sekolah yang rapi, tertib, dan teratur penting untuk membangun karakter
melalui model pembiasaan. Begitu juga ketersediaan taman atau ruang hijau yang tertata
di sekolah. Untuk membangun karakter melalui pengajaran diperlukan dukungan sarana
pendidikan yang memadai. Selain itu, diperlukan juga dukungan kemampuan guru
mengajar secara menyenangkan dan mudah dipahami siswa.

3. Masyarakat/Lingkungan
Lingkungan umum merupakan area penanaman karakter yang juga perlu diperhatikan.
Nilai-nilai yang berkembang di masyarakat semestinya serupa dengan yang ditumbuhkan
di keluarga dan sekolah, baik di lingkungan kecil masyarakat maupun di lingkungan yang
lebih luas. Lingkungan kecil adalah lingkungan bertetangga. Sedangkan lingkungan besar
adalah negara.
Para pemimpin, tokoh masyarakat, dan kalangan elite lain seperti artis berperan penting
dalam membangun karakter bangsa. Keteladanan mereka sungguh diperlukan. Pemimpin
yang memiliki integritas, visi, kompetensi, determinasi, dan kemampuan mengayomi,
bukan hanya efektif memajukan masyarakatnya, melainkan juga akan menjadi rujukan
anak- anak bangsa dalam membangun karakter diri masing-masing.
Tata ruang yang baik menjadi penentu dalam pembangunan karakter masyarakat melalui
pembiasaan. Hampir dalam seluruh pembangunan wilayah, aspektata ruang itu

diabaikan. Maka, dapat dipahami bila kemudian lahir masyarakat yang tak berdisiplin dan
tak bertanggung jawab. Sedangkan membangun karakter melalui pengajaran dapat
dilakukan lewat berbagai moda komunikasi publik, seperti televisi, radio, surat kabar,
internet, dan media komunikasi ruang luar.

Membangun karakter melalui tiga area tersebut perlu dilakukan secara terpadu agar
benturan nilai di keluarga, sekolah, dan lingkungan umum dapat dihindarkan. Media
massa, terutama media audio visual, memiliki peran strategis untuk menyinkronkan
pembangunan karakter tersebut. Hal itu terwujud saat media menjadikan pembangunan
karakter sebagai jiwa dari seluruh programnya, termasuk program hiburannya.*

POTRET KARAKTER SUKSES


"Sungguh akan sukseslah orang-orang yang beriman!" Firman Allah (QS 23:1)

Pangkal sukses adalah xman. Yakni, keyakinan mendalam bahwa diri sendiri akan sukses
sebab ada Tuhan yang selalu membimbing dan memberi petunjuk. Bimbingan dan petunjuk
Tuhan tersebut mudah dipahami bila kita mengenal secara baik karakter sukses, mulai dari
kriteria sukses, perangkat sukses, hingga waktu sukses.

Apa sebenarnya kriteria sukses itu? Apakah sukses itu berarti populer, kaya, dan berkuasa
atau yang lainnya? Apakah sehat, berilmu, dan beriman juga dapat disebut sebagai ukuran
sukses seseorang atau tidak? Semua itu adalah sebaqian dari ukuran sukses. Kelompok
pertama merupakan bagian dari ukuran sukses yang bersifat lahiriah, yang gampang dilihat
orang lain. Sedangkan kelompok kedua lebih terkait dengan jiwa. Biasanya diri sendiri lebih
tahu tentang ini.

Setidaknya ada lima ciri sukses yang penting diperhatikan. Ketiganya adalah bertambah,
berimbang, berkah, bahagia, dan berkelanjutan yang mudah ditandai sebagai 5B. Masingmasing ciri itu dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Bertambah
Sukses adalah 'bertambah', bukan berkurang. Seorang yang disebut sukses adalah orang
yang terus bertambah. Yang bertambah itu mungkin hartanya, ilmunya atau mungkin pula
kesehatannya. Yang pasti tidak ada yang menurun di dalam dirinya. Hal tersebut ditegaskan
pula dalam agama. "Hari ini harus lebih baik dari kemarin. Bila hari ini sama dengan kemarin
berarti merugi. Sedangkan bila hari ini lebih buruk dari kemarin berarti celaka."
Dalam istilah lain, dapat disebut bahwa sukses berarti "memiliki delta positif" dalam hidup.
Di dalam berbagai aspek tak boleh ada 'delta negatif'. Delta negatif berarti berkurang atau
menurun. Seberapa pun tingginya posisi seseorang, bila deltanya negatif, ia dapat disebut
sebagai orang yang tidak sukses atau gagal. Maka, menjadi penting untuk menjaga diri agar

tidak menurun dalam berbagai aspek.


Dengan pengertian itu dapat dikatakan bahwa seorang yang kekayaannya biasa saja, bisa
jadi lebih sukses dibanding dengan yang kaya raya. Itu terjadi saat orang yang biasa saja itu
bertambah hartanya, walaupun tak terlalu banyak. Sedangkan yang kaya raya berkurang
hartanya. Jadi, yang biasa saja bertambah, sedangkan yang kaya berkurang. Yang pertama
berbahagia karena bertambah, yang kedua bersedih karena berkurang. Yang pertama
sukses, yang kedua gagal.

2 . Berimbang
Setelah 'bertambah', ciri sukses berikutnya adalah 'berimbang' . Artinya, pertambahan atau
delta positif pada diri seseorang perlu mencakup berbagai aspek sekaligus, bukan hanya
dalam bidang tertentu. Jadi, dikatakan tidak berimbang, bila dalam satu bidang bertambah,
tapi dalam bidang lain berkurang. Atau, dalam satu bidang bertambah sedikit, tapi dalam
bidang lain bertambah banyak. Sedapat mungKin pertambahan itu merata.
Dengan demikian, belum dapat disebut. sukses seorang yang makin kaya dan naik jabatan,
namum ilmu dan keimanannya tak bertambah. Bukan sukses pula seorang yang
spiritualitasnya meningkat, namun ekonominya tetap berat. Yang naik atau yang meningkat
itu harus semua aspek, bukan hanya aspek lahir saja, dan bukan pula aspek batin saja. Itulah
berimbang, dan itulah sukses.

3. Berkah
Berkah juga menjadi ciri sukses. Dapat disebut berkah bila meningkatnya ilmu, kesehatan,
jabatan atau kekayaan kita membawa dampak positif bagi orang lain. Tak sedikit apa yang
dianggap sebagai 'sukses' malah membuat susah crang lain. Itu tidak berkah dan itu bukan
sukses. Ketika orang lain senang dengan kesuksesan kita, itulah berkah.
Seseorang mungkin naik jabatan. Kekuasaan baru itu ternyata tak dimanfaatkannya untuk
mempercepat dan memperlancar tugas publik yang harus dijalankannya. Jabatannya itu
justru dipakai untuk menghambat orang lain agar dirinya dapat meraih keuntungan pribadi.
Kenaikan jabatannya itu sungguh tidak berkah. Dan itu bukanlah sukses sejati.

4. Bahagia
Ciri lain sukses adalah bahagia. Pencapaian diri yang meningkat tak selalu membuat
seseorang bahagia. Sesaat setelah naik jabatan, lulus kuliah, atau naik penghasilan, tentu ia
senang. Namun, beberapa waktu kemudian, rasa senang itu dapat menghilang karena ia
keliru dalam menyikapinya. Misalnya, ia tidak mensyukuri nikmat. Kekayaan tambahan atau
jabatan baru lalu menjadi beban. Itu membuat ia tak bahagia.
Pencapaian seperti itu bukan sukses. Seorang yang sukses adalah orang yang berbahagia.
Setiap tambahan atau delta positif membawa makna baru baginya. Setiap peningkatan tak
membuat lupa diri, namun menambah rasa syukurnya. Itu yang membuatnya bahagia.
Dengan demikian, suksesnya bukan hanya membawa berkah bagi orang lain, melainkan juga
membahagiakan dirinya sendiri.

5. Berkelanjutan
Bertambah, berimbang, berkah, dan bahagia itu semestinya tak cuma terjadi sesaat. Tapi
semestinya terus terjaga dari waktu ke waktu. Belum dapat disebut sukses, bila pada suatu
waktu terdapat delta positif sangat besar, namun pada saat lain tidak ada delta positif atau
malah berkurang. Sukses adalah stabil. Itulah berkelanjutan yang menjadi ciri dari "B" kelima
kriteria sukses.

Dalam realitas kehidupan memang tak ada hal yang benar-benar stabil. Segala hal ada naikturun, ada pasang-surut. Itu yang membuat kehidupan menjadi indah dan menantang. Yang
perlu diupayakan adalah agar rentang naik dan turun itu tak terlalu lebar serta sedapat
mungkin tetap naik, walau hidup ini terus diwarnai naik-turun. Itulah berkelanjutan.

Dengan bertambah, berimbang, berkah, dan bahagia secara berkelanjutan, maka hidup kita
akan serapurna.

Perangkat Sukses

Meraih sukses berbasis Karakter Pancasila berarti kita meneguhkan lima pilar sekaligus.
Yakni, pilar keyakinan, kesadaran, sikap, tindakan, dan hasil. Dengan kata lain, kita
meneguhkan pilar karakter bertakwa, berkasih sayang, bersatu, bergotong royong, dan
berkeadilan. Untuk meneguhkan itu, terdapat beberapa perangkat yang dapat membantu,
di antaranya adalah:

1. 'Mind-set' Positif

Dalam spiral karakter, titik awal adalah keyakinan. Artinya, keyakinan menjadi pangkal dari
cara memandang hidup, sikap, hingga seluruh perilaku. Seorang yang yakin akan sukses
umumnya memang akan sukses. Sebaliknya, seorang yang tak percaya akan sukses
umumnya memang akan gagal. Jadi, sukses atau tidak bukan bergantung pada nasib, bukan
pula bergantung pada faktor di luar diri, melainkan bergantung pada 'mind-set' sendiri.
Apa yang bepengaruh pada kerangka pikir atau 'mindset'? Pengalaman masa lalu disebut
sebagai hal yang paling menentukan dalam pembentukan 'mindset' setiap orang, terutama
pengalaman pada masa kecil, yakni masa usia di bawah lima tahun (balita). Seorang yang
sejak kecil punya pengalaman baik tentang olahraga akan terus suka olahraga. Seorang anak
yang diajari jijik pada cacing akan cenderung punya perasaan demikian hingga besar.

'Mind-set' itu menjadi pangkal sukses atau tidaknya seseorang. Tak sedikit orang yang
mengaku ingin berwiraswasta namun enggan memulai karena "tak punya modal" dan "takut
gagal". Sampai kapan pun ia tak akan menjadi pengusaha sukses. Padahal kunci utama yang
diperlukan adalah kemauan. Bila kemauan kuat, modal akan 'datang sendiri'. Sedangkan
kegagalan justru merupakan pupuk yang mempersubur lahan untuk sukses.

Orang -orang melakukan korupsi juga karena 'mindset'. Mereka beranggapan bahwa hidup
kaya raya akan membuat bahagia. Padahal, hanya kekayaan yang didapat dengan cara yang

baik dan benar saja yang akan membuat bahagia. Bukan kekayaan dari jalan yang
meragukan apalagi haram. Kekayaan hasil dari melakukan korupsi atau maling tidak akan
berkah, tapi akan memperkering jiwa dan juga menimbulkan petaka. Bila tidak di hari tua,
petaka pasti datang di alam kubur dan di akhirat kelak, saat keadilan tak lagi dapat dibeli.

Maka, 'mind-set' yang baik dan positif merupakan perangkat penting untuk sukses.
Memilikinya sungguh penting. Peneguhan 45 karakter, 15 karakter utama, dan lima pilar
Karakter Pancasila adalah untuk membangun 'mind-set' yang baik dan positif tersebut.
Pendalaman agama secara benar dengan bertahap sejak kecil sungguh membantu.

Terkadang 'mind-set' negatif telah sedemikian terpatri di dalam diri . Untuk itu diperlukan
penataan ulang. Para praktisi Neuro Linguistic Programming (NLP) mengenal berbagai teknik
untuk menata ulang 'mind-set' . Di antaranya adalah 'pembingkaian ulang' (reframing) atau
'penghapusan' (deleting), sebelum peneguhan 'jangkar'(anchoring positif).

2. Otak kanan-otak kiri

Sejak era 1990-an kajian tentang fungsi otak meningkat pesat. Yang paling mengemuka dan
dikenal masyarakat luas adalah diferensiasi fungsi otak kanan dan otak kiri. Otak kanan
dipercaya berfungsi untuk mengolah rasa, kreativitas, dan keyakinan. Sedangkan otak kiri
terkait dengan rasionalitas, sistematika, dan kalkulasi.

Selama berabad-abad rasionalitas lebih diagungkan dunia. Setidaknya setelah era Renaisans
pada abad ke-15 yang menjadi pondasi kemajuan Barat sekarang. Seolah rasionalitaslah
yang paling penting di dunia. Ilmu-ilmu sosial pun dirasionalkan. Begitu pula kajian agama.
Pengagungan pada kecerdasan intelektual (IQ) merupakan turunan langsung dari
pengagungan rasionalitas. Itu ternyata hanya fungsi dari separuh belahan otak: Otak kiri.

Setelah muncul kajian Daniel Goleman tentang kecerdasan emosi (EQ), pandangan banyak

orang berbalik. Kecerdasan ini dinilai lebih menentukan sukses seseorang dibanding dengan
kecerdasan intelektual. Rasa, kreativitas, dan kecanggihan berelasi lalu dipromosikan secara
luar biasa. Itu disebut sebagai hasil kerja otak kanan. Padahal, otak kanan juga hanya
merupakan separuh dari belahan otak.

Prinsip berimbang pada ukuran sukses mengajarkan bahwa kedua belahan otak tersebut
perlu dikembangkan secara optimal. Otak kanan tak lebih hebat dari otak kiri. Otak kiri tak
lebih hebat dari otak kanan. Keduanya perlu didayagunakan sehingga melahirkan kinerja
utuh.

3. Empat Kecerdasan

Perangkat ini merupakan turunan dari konsep fungsi belahan otak kanan dan otak kiri.
Empat kecerdasan yang dimaksud adalah kecerdasan spiritual, kecerdasan intelektual,
kecerdasan mental, dan kecerdasan emosi. Dunia ilmiah populer lebih mengenalnya
sebagai spiritual intelligent (SQ), intellectual intelligent (IQ), adversity intelligent (AQ), dan
emotional intelligent (EQ).

Penggunaan 'Q' atau quotient untuk semua kecerdasan itu umumnya ditolak oleh para
pakar psikologi. Istilah quotient berarti harus selalu dapat diukur. Padahal kecerdasan tak
selalu terukur. Namun, istilah tersebut telanjur populer di publik. Kecerdasan spiritual
(SQ) dan emosi (EQ) biasa dikaitkan dengan otak kanan. Sedangkan kecerdasan
intelektual (IQ) dan kecerdasan mental (AQ) dikaitkan dengan otak kiri.

Secara konseptual, empat kecerdasan ini merujuk pada empat model kepribadian yang
dikemukakan Hippokratus sekitar tahun 400 SM. Yaitu, Phlegmatic, Melancholic, Choleric,
dan Sanguinis. Dalam manajemen sumber daya manusia, konsep ini dikembangkan
menjadi konsep DISC (Dominance, Influence, Steadiness, dan Conscientiousness).

Dalam kajian psikologi, setiap orang punya kecenderungan masing-masing dari keempat
tipe' kepribadian tersebut. Maka, dalam pendekatan ini, perlu dipahami dulu tipe
kepribadian atau kecerdasan utama diri sendiri. Lalu, kekuatan dan kelemahannya
dikenali secara baik untuk meraih sukses. Ini merupakan pendekatan linear yang bias
'otak kiri' dunia ilmiah Barat.

Pendekatan holistic pada empat kecerdasan atau tipe kepribadian tidak demikian. Benar
bahwa setiap orang memiliki kecerdasan atau tipe kepribadian utama. Namun juga tetap
memiliki empat kecerdasan lainnya. Keempat kecerdasan atau model kepribadian itu perlu
dikembangkan seoptimal mungkin.

Itu yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad dengan empat sifatnya sekaligus. Yaitu,
siddiq,

fathanah,

amanah, dan tabligh. Itu yang dirumuskan Kementerian

Pendidikan Nasional Republik Indonesia sebagai olah hati, olah pikir, olahraga, serta olah
rasa dan karsa. Dengan mengoptimalkan keempat kecerdasan itu sekaligus, maka sukses
akan mudah diraih.

4. Gelombang Ilahiah
Dalam Quran, Allah SWT mengumpamakan diri seperti 'cahaya langit dan bumi', seperti
gelombang yang memancar tanpa henti ke seluruh penjuru jagat raya. Itulah gelombang
Ilahiah. Bersama pancaran gelombang itulah nikmat Tuhan terus diturunkan kepada setiap
makhluk, termasuk umat manusia yang tak lelah memburu sukses.

Gelombang ilahiah itu serupa dengan 'Gelombang Alfa' pada teori Gelombang Otak yang
berkembang pada peralihan milenium ini. Selama manusia hidup, otak akan selalu
memancarkan gelombang. Para pakar mengelompokkannya ke dalam empat macam
gelombang berdasarkan frekuensinya. Delta (1-4 Herzt), Teta (4-7 Herzt), Alfa (7-13 Herzt),
dan Beta (1326 Herzt) . Sebagai abjad, urutan Alfa dan Beta itu sebenarnya terbalik. Namun

dunia telanjur menyepakati urutan terbalik itu untuk menggambarkan gelombang otak.
Komunikasi verbal atau lisan adalah komunikasi dengan 'gelombang Beta'. Sebaliknya
komunikasi hati atau batin merupakan gelombang alfa. Melalui gelombang Alfa cinta serta
keimanan bertaut. Dengan gelombang Alfa inilah manusia dapat terhubung dengan
gelombang Ilahiah penebar segala nikmat tanpa henti.

Dalam hidup, manusia terbiasa dengan segala hal yang lebih berkait dengan gelombang
Beta. Aspek Beta lebih mudah dinilai dan diukur. Namun kecenderungan pada Beta ini perlu
diimbangi dengan orientasi pada Alfa. Lewat Alfa-lah, sekali lagi, manusia dapat terhubung
dengan Gelombang Ilahiah. Hasilnya, manusia akan mendapat ilham yang jelas bagaimana
"gambaran sukses di masa depan."

Khazanah lama beragama mengenal ajaran zikir yang dapat mengantarkan pada gambaran
jelas sukses masa depan. Zikir yang sungguh-sungguh akan dapat menyingkirkan hijab atau
pembatas dunia nyata sekarang dengan masa depan yang masih tampak gaib. Ini sama
sekali bukan mistis. Dunia para psikologi mengenalnya sebagai extrasencory perception atau
kemampuan menangkap kenyataan di luar jangkauan pancaindera.
Gelombang ilahiah dan gelombang Alfa ada di luar jangkauan pancaindera. Itu hal nyata
yang penting untuk menuntun perjalanan hidup dan membuat masa depan tampak terang
benderang. Jika hidup terus terhubung dengan gelombang Ilahiah, apa yang dapat
menghalangi untuk meraih sukses dan bahagia sejati?

Kapan sukses?

Pertanyaan itu banyak dikemukakan, terutama oleh yang hidupnya serba di persimpangan
dan merasa belum berada di jalur benar menuju sukses. "Kapan saya sukses? Mengapa
hidup saya masih begini? Padahal saya

(bla-bla-bla-bla)".

Pertanyaan

itu

mudah

dijawab dengan mencermati empat aspek yang terkait dengan waktu sukses berikut ini:

1. Saat sukses
Sukses itu bersifat spesifik. Artinya, setiap orang memiliki jalur sukses masing-masing. Maka,
sungguh tak relevan membandingkan keberhasilan diri dengan sukses orang lain. Yang lebih
tepat adalah membandingkannya dengan diri sendiri pada masa sebelumnya. Apakah saat
sekarang pencapaian diri lebih baik dari masa sebelumnya atau tidak. Jika keadaan dia
sekarang lebih baik daripada sebelumnya, berarti dia itu sukses. Bila tak lebih baik, berarti
dia gagal.

Karena sukses berarti lebih baik dibanding dengan sebelumnya, maka sukses dapat
berlangsung setiap saat. Tak ada waktu dan usia khusus untuk sukses. Sukses, sekali lagi,
dapat berlangsung setiap saat setiap hari. Sepanjang memang memenuhi kriteria ' 5B" tersebut
yakni bertambah, berimbang, berk.ah,. bahagia, dan berkelanjutan. Maka, lebih penting kita
mengupayakan agar hari ini lebih baik dari kemarin daripada menanyakan kapan saat sukses
saya?

2. Puncak sukses
Puncak sukses setiap orang berbeda-beda. Ada yang dianggap sukses pada usia 3 0 tahun, 4
0 tahun, atau 50 tahun. Anggapan itu umumnya menyangkut sukses lahiriah, seperti
menyangkut karier, kekayaan, hingga popularitas. Itu hanya sebagian dari sukses, belum
sukses yang utuh. Namun, sebagian sukses pun sudah merupakan modal berharga. Tinggal
menggenapinya menjadi sukses utuh.

Anggapan umum menyebut, orang sudah harus memasuki puncak sukses pada umur 40
tahun. Jika tak mencapai itu, dipandang sulit untuk dapat benar-benar sukses. Berdasaran
cara pandang itu, orang berlomba untuk dapat sukses secepat mungkin. Banyak yang
menggunakan cara benar, entah berhasil entah tidak. Tapi tak sedikit pula yang
menghalalkan berbagai cara agar dianggap sukses.

Teladan Nabi berbeda dengan anggapan umum tersebut. Nabi Muhammad mencapai

puncak sukses pada usia 53 tahun-63 tahun. Atau selama 10 tahun. Itu terjadi saat di
Madinah (622-632 Masehi) dengan menjadi pemimpin penuh seluruh masyarakat. Usia 40
tahun baru menjadi titik awal untuk menapaki sukses. Usia 25 tahun-40 tahun merupakan
masa pembelajaran sebagai manusia dewasa yang utuh.

Bila mengikuti jejak Nabi, terburu-buru mengejar sukses semuda mungkin adalah tidak
perlu. Sukses dalam usia muda justru perlu lebih berhati-hati. Sebab, bisa jadi ketika itu
pondasi suksesnya tidak sungguh sungguh kuat. Ia dapat ambruk saat berada di puncak
sukses yang semestinya pada usia 53 tahun-6 3 tahun. Itu model puncak sukses Nabi,
walaupun mungkin orang lebih suka pada anggapan umum bahwa puncak sukses sudah
harus tercapai sebelum usia 4 0 tahun.

3. Akhir yang baik


Sukses sejati ditandai dengan akhir yang baik. Idealnya, dari awal hingga akhir berjalan
sempurna. Namun dalam hidup tak ada yang benar-benar sempurna. Ada saat-saat harus
limbung. Ada saat-saat harus tertatih-tatih pula. Pada bagian waktu yang lain tentu
diharapkan berjalan menyenangkan. Maka, kalau kita harus memilih, sedapat mungkin
bagian yang menyenangkan itu ada pada akhir, bukan pada awal.

Seorang mungkin tampak sukses dibanding dengan orang lain, walaupun membandingkan
sukses seseorang dengan orang lain semestinya dihindari. Masalahnya, apakah 1 sukses' nya
berujung ke hari tua yang bahagia atau tidak. Tak sedikit orang yang pada hari tuanya tak
bahagia. Secara ekonomi bisa jadi ia masih berkecukupan. Namun, fisiknya sakit-sakitan atau
keluarganya berantakan.

Kehidupan seperti itu tak berakhir baik. Sama halnya dengan tidak sukses. Berapa pun
banyak kekayaannya. Betapa pun tinggi jabatan yang pernah dimilikinya. Seorang sukses
sejati akan menjalani hari tua dengan penuh damai dan bahagia. Lebih dari itu, ia akan
mendapatkan kehidupan akhirat yang membahagiakan, walaupun kehidupan di dunianya
mungkin tampak biasa saja.

4. Usia emas

Sukses sejati memang ditandai dengan bahagia pada usia lanjut. Juga bahagia di akhirat
kelak. Namun manusia tak dapat berdiam diri menunggu hari bahagia itu tiba dengan
sendirinya. Sukses atau bahagia itu perlu dijemput sejak dini. Yaitu, sejak setiap orang
berusia 0 tahun-6 tahun, usia yang disebut-sebut sebagai usia emas dalam membangun
kepribadian. Pada masa inilah pondasi sukses dibangun.

Menanamkan Karakter Pancasila sejak usia tersebut adalah membuat pondasi kokoh untuk
sukses . Menanamkan karakter pada usia itu ibarat *mengukir batu'. Tidak mudah dan perlu
hati-hati bila tak ingin rusak sama sekali. Namun sekali terukir, karakter itu akan terus ada di
sana hingga akhir usia. Itu yang akan membuat bahagia saat dewasa. Juga membuat karakter
bangsa menjadi kokoh. Semua itu berawal dari penanaman karakter pada usia emas.*

PURNAWACANA

TRANSFORMASI BUDAYA,
TRANSFORMASI BANGSA

"Siapa sesungguhnya orang Indonesia?" Sejak masa purba jejak peradaban telah terekam di
wilayah Nusantara ini. Bukan Pithecantropus erectus yang tengkoraknya ditemukan Du Bois
di Trinil-Ngawi pada 1891. Namun peradaban yang setidaknya terlukis pada berbagai guagua purba. Seperti, Leang-leang di Sulawesi Selatan, gua purba di Pulau Misool, hingga gua
purba di Merauke Papua.

Jejak peradaban itu tak hanya berupa telapak tangan dan gambar binatang yang tercap di
dinding batu gua. Tapi juga ada pada peradaban batu, seperti yang terhubung dari Pagar
Alam Sumatera hingga kepulauan di tengah Pasifik. Kemudian, juga ada pertautan kosa kata
satu sama lain. Bukan hanya di kawasan Nusantara, melainkan juga di Taiwan, Filipina,
bahkan sampai Tonga. Banyak suku berbeda menyebut kata 'lima' untuk bilangan setelah
empat.

Wajar bila Nusantara ini dikaitkan dengan 'Atlantis,' pusat peradaban dunia yang dikisahkan
tenggelam saat es mencair. Maka muncul anggapan bahwa mungkin Indonesia sekarang
inilah benua Atlantis yang dulu hilang. Ini spekulasi yang antara lain disebut Stephen
Oppenheimer dan Arysia Santos. Daratan Nusantara ini memang tenggelam padazaman es.
Sisanya menjadi pulau-pulau sekarang. Mereka yang selamat diduga menyebar ke berbagai
kawasan, termasuk ke daratan Tiongkok.

Beberapa ribu tahun setelah zaman es, pendatang dari Tiongkok Selatan ganti datang.
Gelombang pertamanya dikenal sebagai 'Proto Melayu'. Orang-orang yang lugas dan
tangguh seperti Batak dan banyak suku pedalaman lainnya menjadi bagian dari kelompok
ini. Selanjutnya adalah 'Neo Melayu' yang lebih berkesenian. Mereka berbaur dengan warga
sebelumnya yang sudah menghuni kawasan ini.

Dengan perahu bercadik, mereka berkelana ke berbagai wilayah, bahkan ke Madagaskar di


timur Afrika. Sebaliknya, pendatang Hindu dari India datang ke tanah Nusantara ini
beberapa abad kemudian. Tarumanegara, Kutai, dan kemudian Kalingga menandai awal
pengaruh mereka. Pendatang Buddha lalu membangun Sriwijaya, yang menjadi pusat
perdagangan laut di kawasan Asia Tenggara dan Timur. Mereka juga membangun
Borobudur sebagai candi Buddha terbesar di dunia.
Memasuki milenium kedua para pendatang Nusantara makin beragam. Bukan saja penganut
Hindu-Buddha dari India, melainkan juga para saudagar dan pelaut Muslim, baik dari Arab,
India maupun Cina. Armada Cheng-Ho tujuh kali melakukan ekspedisi ke Nusantara ikut
menyebarkan peradaban Islam. Setelah itu, para pendatang Eropa, terutama dari Portugis
dan Belanda yang menjajah kawasan ini.
Pada awal abad ke-20, orang-orang berdatangan lagi dari Tiongkok. Juga sebagian dari India
dan Yaman. Mereka membaur dengan warga yang telah ratusan, bahkan ribuan tahun
bermukim di sini. Perbauran yang terbangun atas ratusan suku bangsa menjadi orang
Indonesia sekarang. Orang-orang yang kini dituntut siap menghadapi tantangan baru: Era
global.

Jalan Peradaban
Masyarakat maju adalah masyarakat patembayan. Atau masyarakat gesselschaft dalam
istilah sosiolog Ferdinand Tonnies pada awal abad ke-20. Masyarakat ini hubungan satu
sama lainnya tidak semata berdasarkan hubungan rasa atau emosi. Tapi juga hubungan
berbagi peran. Mereka memandang kehidupan jauh ke depan, bukan ke belakang.
Masyarakat seperti itulah yang siap menyambut era global.
Tak ada masyarakat yang serta merta menjadi patembayan. Semua masyarakat tumbuh dari
paguyuban atau gemmeinschaft. Sebuah ciri dari masyarakat tradisional. Masyarakat ini
umumnya subsisten; sangat terikat oleh lingkungan alam; juga oleh nilai-nilai sosial
kekerabatan atau kesukuan. Ini sebuah tahap perkembangan masyarakat setelah
melampaui fase primitif.

Masyarakat bangsa-bangsa maju adalah masyarakat patembayan, seperti masyarakat Eropa

Barat. Hingga sekitar abad ke-15 mereka masih tertinggal dalam peradaban dunia. Baru
seabad berikutnya mereka mulai bangkit. Masa ini dikenal sebagai Renaisans, sebuah
gerakan kebangkitan yang dijadikan Barat untuk membangun peradaban baru dengan cara
mengadopsi peradaban Andalusia.

Dengan Renaisans secara bertahap Barat maju dan menguasai dunia. Kemajuan ini dibangun
dengan ilmu pengetahuan yang, sayangnya, pada sisi lain dipakai untuk menjajah bangsabangsa lain. Namun secara perlahan mereka mengoreksi diri melalui gerakan etik. Mereka
mampu menjadikan diri sebagai masyarakat industri, masyarakat yang sejahtera dan siap
menghadapi era global seperti Jerman.

Dari Eropa, peradaban maju Eropa Barat mengimbas ke Amerika Utara. Para imigran dari
berbagai bangsa Eropa lalu membangun peradaban baru Amerika. Mereka melakukan
'transformasi budaya' membangun bangsa multietnis yang kuat. Ini serupa dengan Turki
pada masa kejayaannya. Plus teknologi modern, masyarakat Amerika Serikat membangun
negarayang memimpin dunia mulai awal abad ke-20.

Kemajuan Amerika Serikat pula yang membangunkan Jepang. Selama berabad-abad mereka
percaya pada kekuatan budaya lamanya sendiri. Jepang mengisolasi diri dari Barat. Sampai
kemudian Jepang terhenyak dengan kehadiran 'kapal besi' Amerika di lepas pantai Jepang
pada pertengahan abad ke-19. Kapal yang mengarahkan moncong-moncong meriamnya ke
daratan Tokyo.

Keadaan itu memaksa Jepang berubah. Bangsa itu lalu bergulat menata budayanya sendiri
melalui Restorasi Meiji tahun 1868. Haruskah Jepang lebih kukuh dengan budaya aslinya
sendiri. Atau justru banting haluan mengadopsi habis-habisan budaya barat? Hasilnya bukan
keduanya. 'Transformasi Budaya' Jepang melahirkan 'budaya baru' hasil interaksi TimurBarat sekarang.

Dengan budaya baru, Jepang melesat maju dalam peradaban dunia. Lesatan yang dalam
waktu pendek juga membuatnya jumawa, sehingga memicu Perang Dunia II. Lalu remuk

karenanya. Namun masyarakatnya telah bertransformasi menjadi masyarakat patembayan


tanpa harus menyisihkan karakter paguyubannya. Itu yang membuat Jepang kokoh menjadi
bangsa sejahtera, walaupun terus bertubi-tubi dihajar oleh bencana alam.

Tiongkok tak ingin tertinggal dalam perlombaan peradaban. Dengan satu miliar penduduk
dan tercengkeram kultur feodal Asia, sepertinya tak ada harapan bagi bangsa ini. Maka, para
pemimpin Tiongkok seperti Mao Zedong dan Sun Yatsen pun membongkar tatanan sosial
lama masyarakatnya pada awal abad ke-20. Kemudian mereka berselisih paham. Dan Mao
yang menang. Ini lalu dikoreksi oleh penerusnya, Deng Xiaoping hingga menjadi Tiongkok
sekarang.

Sekarang masyarakat Tiongkok berbeda dengan seabad silam. Masyarakat itu telah
menjalani 'transformasi budaya' secara mendasar. Mereka telah nyaris sepenuhnya menjadi
masyarakat industri. Produknya membanjiri pasar dunia. Merek-merek terkenal Barat juga
bergantung pada pabrikan Tiongkok. Secara politis, bangsa itu mulai menggeser pengaruh
Barat di Afrika, sebagaimana akan menjadi kekuatan ekonomi nomor satu dunia menggeser
Amerika Serikat.

Korea Selatan bahkan melangkah lebih cepat. Hingga awal 1960- an, masyarakat Korea
Selatan tak beda dengan saudaranya Korea Utara. Namun Korea Selatan lalu
mentransformasi diri, dengan menjadikan Jepang sebagai 'musuh' yang harus dikejarnya.

Mereka menerapkan prinsip yang dalam Islam diistilahkan sebagai 'fastabikul khairat',
berlomba dalam kebaikan.Secara perlahan dan pasti produk peradaban Korea Selatan kini
bersaing dengan Jepang. Dalam beberapa hal bahkan mereka lebih terdepan, seperti pada
industri perkapalan dan telepon genggam. Bangsa ini telah menjadi bangsa maju. Industri
budayanya pun telah sedemikian berpengaruh di dunia, termasuk di Indonesia. Hal yang
sama sekali tak terbayangkan pada 1960- an, bahkan 1970-an.

Masyarakat AsiaTenggara pun diam-diam meggeliat. Masyarakat Thailand, misalnya, yang

makin mengglobal. Pada tahun 1901, Raja Thailand berkunjung ke Nusantara, bukan
sekadar menemui para raja di sini, melainkan juga belajar membangun agroindustri
agarsemaju Hindia Belanda. Berbagai perkebunan dikunjunginya, dari sekitar Solo-Semarang
hingga Bandung.

Sepulang ke Bangkok, dibawanya pula banyak petani ahli dari negeri ini. Cerita-cerita 'Panji'
diadaptasinya menjadi cerita rakyat wajib bagi siswa Thailand. Mengindustrinya dunia juga
dimanfaatkan betul oleh Thailand. Sekarang bangsa itu begitu maju dalam agroindustri,
industri pariwisata, bahkan otomotif. Restoran Thailand dikenal dan ada di semua kota
penting di seluruh dunia.

Polemik Kebudayaan
Dibanding dengan bangsa-bangsa tersebut, harus diakui bahwa Indonesia sekarang
tertinggal. Bahkan tertinggal oleh saudara serumpun sendiri, Malaysia. Padahal, hingga
tahun 1980-an silam Malaysia masih banyak belajar dari Indonesia. Ini sebuah keadaan yang
tentu tak layak dibiarkan. Apalagi sejarah menunjukkan bahwa bangsa ini punya gen
kejayaan. Kejayaan itu yang perlu dibangkitkan kembali.

Sriwijaya banyak disebut sebagai masa jaya Nusantara. Saat Airlangga berkuasa (1019-1049)
di Jawa Timur juga menjadi masa emas dalam lintasan peradaban. Tatanan pemerintahan
dan sosial, sastra budaya, hingga kesejahteraan rnasyarakat pada masa itu berkembang
pesat. Begitu pula masa Majapahit yang pengaruhnya sampai ke wilayah Kamboja dan
Vietnam.

Pada masa kesultanan Islam, rnasyarakat makin sejahtera. Samudra Pasai di Aceh
menorehkan nama Iskandar Muda untuk masa keemasannya. Kesultanan Makassar bukan
hanya melahirkan nama Sultan Hasanuddin dan Syekh Yusuf yang pemberani, melainkan
juga Karaeng Patingaloang. Kesultanan ini adalah pemilik perpustakaan terlengkap di Asia
Tenggara dan termasuk salah satu globe terbesar di dunia saat itu. Di Timur, Maluku dan

Papua sejahtera dalam lingkup Kesultanan Ternate.

Begitu pula peradaban pada masa Demak. WS Rendra sering menekankan secara khusus
masa yang disebutnya sebagai 'Renaisans Nusantara'. Pada masa inilah banyak terobosan
peradaban terjadi. Hal itu terlihat dari perkembangan kesenian, pakaian, makanan, hingga
arsitektur rumah rnasyarakat. Berbagai tembang yang ada, pertunjukan wayang dalam
bentuknya yang sekarang, baju berlengan serta teknik batik, hingga rumah 'limasan' dan
joglo adalah warisan dari zaman Demak.

Ekonomi rnasyarakat pada saat itu maju pesat. Perniagaan antarpulau berkembang subur.
Kapal-kapal dagang berlalu lalang di perairan Nusantara. "Ukuran kapalnya tiga kali lebih
besar dari Pinisi yang sekarang dikenal," kata Rendra. Kapal-kapal itu milik para saudagar
dari berbagai suku di Nusantara. Juga milik para pendatang yang kemudian bermukim di
sini, seperti Tiongkok, India, Parsi, serta Yaman. Ini masa sebelum datangnya penjajah
Eropa.

Dengan sejarah kejayaan itu, Indonesia semestinya berjaya di kancah peradaban global.
Indonesia layak menjadi kelompok terdepan dalam kompetisi antarbangsa. Mereka lebih
suka cara instan gaya Revolusi Komunis Rusia yang kemudian justru memorakporandakan
Indonesia.

Dengan pendekatan berbeda, Sutan Takdir Alisyahbana berupaya membuat penyadaran


serupa. Dalam pandangannya, Indonesia harus bisa seperti Jepang. Negeri Sakura itu maju
karena mengadopsi budaya Barat pada masa Restorasi Meiji. Mistis dan takhayul harus
disingkirkan. Keinginan memperjuangkan kepentingan pribadi secara baik harus didorong.
Ilmu pengetahuan harus dimajukan semaju-majunya.

Banyak orang sepakat dengan tujuan itu. Namun mereka menolak cara yang diusulkan
Takdir agar mengadopsi budaya Barat sepenuhnya. Muncullah polemik panjang di surat
kabar tahun 1935-1936. Banyak tokoh kebangsaan lain yang juga terlibat, seperti Ki Hadjar

Dewantoro, Sanusi Pane, dan lainnya. Intinya, bangsa ini harus mentransformasi budaya
secara mendasar, apakah dengan mengadopsi Budaya Barat atau justru menggali dari
kearifan budayanya sendiri yang telah terkubur.

Polemik Kebudayaan itu penting untuk membangun pondasi budaya bangsa yang kokoh.
Perlu beberapa tahun lagi polemik berlangsung agar melahirkan sintesis. Namun, waktu
belum berpihak pada pembangunan pondasi budaya itu. Sintesis budaya belum terbangun,
Perang Dunia II telanjur pecah. Selanjutnya perhatian bangsa tertuju pada kepentingan yang
lebih mendesak, yakni memproklamasikan Kemerdekaan Indonesia.

Setelah itu, yang muncul tentu euforia merdeka. Anak bangsa pun terjebak dalam hiruk
pikuk mengelola pemerintahan dan negara. Dalam riuh rendah itu Mohammad Hatta
berupaya membangun pondasi budaya yang kuat. Yakni lewat pondasi budaya ekonomi dan
politik bangsa. la mengenalkan esensi demokrasi yang sesungguhnya. Namun, upaya Hatta
pun tenggelam oleh riuh rendahnya semangat revolusioner anak bangsa ini.

Dengan kegagalan itu potret anak bangsa belum jauh berbeda dengan masa sebeiumnya.
Posisi sebagai 'kawulo' atau 'klien' bagi 'patron' masing-masing tetap membayangi sebagian
besar warga. Ini adalah situasi yang lebih berbahaya dibanding dengan sebeiumnya. Sebab,
tak seperti pada masa penjajahan, 'ketertindasan' itu tak disadari masyarakat.
'Ketertindasan' itu tersubordinasi dengan sempurna oleh sistem politik Orde Baru. Itu yang
ingin diatasi oleh gerakan Reformasi.

Pada tahun 1998, Orde Baru ditumbangkan. Sistem politik yang mendominasi kehidupan
masyarakat diganti dengan demokrasi, sebuah sistem politik yang secara teoretis berpusat
pada rakyat. Lebih sepuluh tahun berjalan, ternyata pencapaian bangsa belum seperti yang
diharapkan. Kemiskinan dan moralitas bangsa tetap jadi persoalan mendasar. Bangsa ini
belum juga cukup kencang untuk melaju dalam kompetisi di sirkuit peradaban dunia.
Pilihan pada demokrasi tidak keliru. Namun, untuk dapat berjalan secara baik, demokrasi
memerlukan persyaratan. Yakni, perlu masyarakat yang benar-benar merdeka, masyarakat

yang tahu, mau, dan mampu memperjuangkan kepentingannya sendiri. Keadaan masyarakat
macam itu belum cukup terbangun di Indonesia. Itu yang menjadikan demokrasi sekarang
banyak melahirkan praktik 'politik uang', sebuah praktik yang menjadi pangkal merebaknya
korupsi.

Reformasi bukan gagal, melainkan belum membuahkan hasil ideal yang diharapkan.
Kesenjangan sosial makin meningkat. Pagar pembatas antara yang sangat berkecukupan
dengan yang duafa pun menebal, baik berupa pagar sosial maupun pagar fisik pemisah
kawasan mewah dengan lingkungan sekitarnya. Reformasi belum mampu membebaskan
banyak warga dari posisi sebagai 'kawulo' atau 'klien' dari 'patron' masing-masing. Padahal
itulah esensi merdeka.

Fenomena Gunung Es
Dalam kajian masalah kemiskirian dikenal istilah fenomena 'Gunung Es'. Kemiskinan yang
tampak di permukaan sebenarnya tak lebih dari akibat banyakriya persoalan mendasar yang
ada 'di bawah air'. Maka, bukan kemiskinan itu yang perlu dipecahkan, melainkan
sebaliknya, persoalan mendasar yang melatarinya yang harus diseiesaikan lebih dulu.

Dalam fenomena gunung es kemiskinan terdapat tiga lapis masalah yang berhubungan.
Lapis teratas atau puncak 'gunung es' adalah fenomena kemiskinan itu. Fenomena itu
terlihat jelas pada kekotoran, kekumuhan, hingga ketidakberaturan. Ini merupakan keadaan
sehari-hari banyak warga miskin. Fenomena begitu bukan hanya ada di pelosok atau tempat
terpencil lain, melainkan juga ada di tengah kota, di pusaran kawasan yang tak jauh dari
Istana Negara sekalipun.

Yang ada di lapis tengah 'gunung es' adalah penyebab langsung kemiskinan. Di lapis ini ada
aspek sosial, ekonomi, politik, hukum, teknologi, pemerintahan dan Iain-Iain. Bila lapis ini
baik, masyarakat akan sejahtera. Kemiskinan akan mudah teratasi. Sebaliknya, bila lapisan
ini tidak baik, kemiskinan akan tetap ada, mungkin malah berkembang. Banyak upaya untuk
memperbaiki lapis tengah 'gunung es' ini. Misalnya, pemerintah melakukan reformasi

birokrasi dan penegakan hukum.

Lapis tengah 'gunung es' terkait erat dengan lapis bawahnya. Lapis dasar itulah yang
menentukan kualitas sosial, ekonomi, politik, dan sebagainya. Yang berada di lapis dasar
adalah sistem keyakinan (belief system) dan budaya. Budaya dapat menentukan bagaimana
seseorang berpikir, bersikap, berperilaku, dan keyakinan. Hal tersebut tak cuma berlaku
pada perorangan tapi juga pada masyarakat.
Membantu kaum miskin sungguh penting. Masyarakat harus saling menolong. Agama juga
mengajarkan hal itu. Tak sedikit warga yang memerlukan bantuan cepat. Maka, banyak
program pemerintah diarahkan ke sana, seperti program 'Bantuan Langsung Tunai'(BLT) dan
berbagai bentuk jaminan sosial. Program-program demikian tentu akan meringankan beban
berat banyak warga tak mampu. Namun upaya seperti itu tak cukup untuk mengatasi
kemiskinan.

Karena itu, diperlukan langkah lebih mendasar untuk mengatasi kemiskinan. Di antaranya
melalui program pengembangan ekonomi dan penataan politik. Strategi pembangunan
ekonomi era Orde Baru diarahkan ke sana. Infrastruktur ekonomi pada akar rumput
dibangun kuat, antara lain melalui program Bimas Pertanian dan Koperasi Unit Desa (KUD).
Hal itu ditopang pula dengan berbagai skema pembiayaan mikro, seperti Kredit Usaha Tani
(KUT) dan Kredit Usaha Kecil (KUK).

Upaya yang ditempuh tak hanya pada tingkat mikro tapi juga pada tingkat makro. Ini terlihat
pada adanya pembangunan ekonomi makro yang berjalan baik. Ekonomi nasional stabil,
inflasi dapat ditekan, cadangan devisa berada pada posisi aman. Saat itu ekonomi mampu
tumbuh pada kisaran 10 persen per tahun. Ini kondisi ekonomi yang membuat Indonesia
dipuji dunia, bukan hanya pada era 1980-an melainkan juga pada separuh periode 1990-an.

Pembangunan ekonomi seperti itu wajib ditempuh oleh setiap bangsa. Dalam keadaan apa
pun. Apalagi sumber daya alam seperti minyak makin menipis seperti sekarang. Tapi sejarah
juga mengajarkan, semata pembangunan ekonomi tak memadai. Terbukti, Indonesia

ambruk diterpa gelombang krisis moneter. Banyak warga jatuh miskin, bukan karena dirinya
sendiri, melainkan karena faktor-faktor lain yang diperlukan untuk membangun
kesejahteraan masyarakat, seperti aspek politik.

Itu yang dikoreksi oleh gerakan Reformasi tahun 1998. Ketika itu, sistem politik terpusat
pada genggaman satu orang. Masyarakat jadi tidak merdeka. Kebebasannya terbatasi. Hal
ini dipandang menghambat tumbuhnya inisiatif serta kreativitas publik. Maka, gerakan
Reformasi merombak secara mendasar sistem politik yang ada. Kebebasan masyarakat
diwujudkan. Reformasi politik itu dilakukan untuk memenuhi hak asasi manusia. Juga
diharapkan dapat lebih menyejahterakan masyarakat luas.

Seperti 'pembangunan ekonomi' terdahulu, 'reformasi politik' juga belum mampu


membawa bangsa terbang tinggi. Reformasi politik bahkan melahirkan hal-hal yang tak
diharapkan, seperti adanya praktik 'politik uang' yang menyuburkan korupsi. Para tokoh
gerakan reformasi tak memperhitungkan aspek itu. Padahal, dengan struktur sosial yang ada
sekarang, ekses itu pasti suiit dihindari.

Demokrasi dalam bentuknya sekarang lahir dari peradaban Barat, peradaban masyarakat
yang egaliter dan berjiwa merdeka. Bukan masyarakat yang secara kultural telah
terstrukturkan selama berabad-abad, baik oleh sistem kasta warisan India, semu atau nyata,
maupun oleh beragam aspek budaya lain. Bentuk demokrasi itu tiba-tiba diterapkan
Iangsung di sini. Praktis tanpa pengondisian apa pun. Itu yang melahirkan ekses seperti
'politik uang'.

Persoalannya bukan terletak pada demokrasi, melainkan pada realitas masyarakat tempat
demokrasi itu hendak dijalankan. Realitas sosial yang ada belum sehat. Sisa-sisa budaya
lama masih kental. Banyak orang masih suka nrimo menjadi 'wong cilik'. Mereka menerima
saja apa pun yang diputuskan patronnya. Di sisi lain adayang 'gegar kebebasan'. Lalu
menginginkan semua menjadi bebas sebebas-bebasnya, bila perlu dengan menyingkirkan
norma dan etika. Maka, terjadilah hal yang diistilahkan sebagai "reformasi yang

kebablasan."

Keadaan demikian sebenarnya dapat dihindari bila pembangunan bangsa ini mengacu
kepada kaidah 'gunung es'. Menurut kaidah 'gunung es', persoalan utama suatu bangsa
bukan ekonomi, bukan pula politik atau hukum, melainkan budaya. Maka, yang paling
diperlukan bukan 'pembangunan ekonomi', bukan pula 'reformasi politik', melainkan
'transformasi budaya'.

Pembangunan ekonomi tentu penting dan harus dilanjutkan. Reformasi politik juga
diperlukan dan harus tetap dijaga arahnya. Namun, perhatian utama bangsa haruslah
mengarah pada transformasi budaya. Bangsa-bangsa maju adaiah bangsa- bangsa yang
telah melakukan transformasi budaya. Indonesia belum melakukan transformasi budaya. Itu
menjelaskan mengapa kemajuan Indonesia masih tanggung (Mediocre), belum mampu
melejit menjadi bangsa yang sejahtera.

Pencapaian yang tanggung itu terjadi karena Indonesia mengabaikan kaidah 'gunung es'.
Padahal, kaidah itu memberi petunjuk sangat jelas bahwa akar dari persoalan itu selalu
budaya. Kualitas ekonomi, politik, hukum, dan Iain-Iain ditentukan oleh aspek budaya yang
mendasarinya. Sedangkan budaya berkait erat dengan sistem keyakinan. Jadi, transformasi
budaya berarti mengubah format budaya dan berkeyakinan sesuai dengan tuntutan
peradaban. Tentu hal ini dilakukan dengan memegang teguh nilai-nilai dasarnya.

Menuju Transformasi Budaya


Sudah saatnya orang Indonesia makmur. Sudah saatnya warga yang paling tertinggal pun
bermartabat. Ini sebuah keadaan yang dicita-citakan oleh seluruh rakyat saat Indonesia
merdeka. Bagi banyak orang, harapan tersebut masih jauh dari tercapai. Bahkan setelah dua
pertiga abad Indonesia merdeka sekalipun. Ini benar- benar sebuah keadaan yang, sekali
lagi, tidak pantas terjadi pada bangsa ini.

Sejarah mengajarkan, kunci kemajuan suatu bangsa adalah kualitas sumber daya manusia.
Makin berkualitas sumber daya manusia suatu bangsa, maka semakin majulah bangsa
tersebut, walaupun bangsa itu memiliki banyak sumber daya lainnya. Sedangkan kualitas
sumber daya manusia sangat berkait dengan budaya. Budayalah yang menentukan
seseorang, masyarakat, atau bangsa menjadi seseorang, masyarakat, atau bangsa yang
mudah menyerah atau gigih.

Karena itu, Transformasi Budaya sangat diperlukan. Transformasi Budaya sudah dilakukan
Jepang, Korea Selatan, juga Tiongkok. Semestinya Transformasi Budaya menjadi prioritas
Indonesia. Itu yang dapat mengantarkan Indonesia kembali menjadi motor Asia Tenggara.
Posisi yang akan membawa kawasan ini menjadi 'kawasan maju'. Sebagaimana kawasan
Asia Timur yang sekarang telah maju.

Indonesia perlu kembali menjadi motor Asia Tenggara. Indonesia selayaknya memimpin
kawasan ini bergabung dengan kemajuan Asia Timur. Bangsa ini harus bergerak menjadi
bangsa mengindustri, bangsa patembayan atau gesselschaft yang tetap menjaga nilai-nilai
positif paguyuban. Untuk itu, Indonesia perlu melakukan Transformasi Budaya. Karakter
Pancasila menjadi modal berharga untuk menggerakkan transformasi tersebut.
Sejumlah langkah diperlukan untuk kepentingan itu. Di antaranya dengan menyingkirkan
praktik budaya yang menghambat bangsa ini maju, seperti praktik budaya feodal lokal dan
kecenderungan mistis. Dua kecenderungan ini hidup subur di masyarakat. Bukan hanya di
kalangan bawah, melainkan juga di lingkungan elitenya. Sebaliknya, budaya yang membuat
maju bangsa, seperti budaya bangsa berbasis Karakter Pancasila, perlu dipupuk dan disiram.
Budaya feodal lokal tertanam kuat di kalangan birokrasi. Menjadi pejabat publik sering
dipandang sebagai posisi 'terhormat' dan 'istimewa'. Maka tak mengherankan, bila banyak
pejabat yang merasa berhak menuntut dihormati dan diistimewakan oleh stafnya, bukan
hanya untuk dirinya, melainkan juga untuk keluarganya. Ini adalah keinginan yang
bersambut dengan kegemaran banyak orang. Akhirnya, tak sedikit orang yang gemar
mengabdi dan menjilat pejabat. Hal ini mencederai esensi jabatan sebagai amanah.
Seharusnya, makin tinggi jabatan, makin baik pelayanannya.
Lingkungan keagamaan juga acap mengokohkan budaya feodal. Tugas pemimpin
keagamaan adalah mendidik dan membimbing. Tapi tak sedikit yang kemudian melangkah
menjadi 'atasan' bagi yang dibimbingnya. Agama dipakai sebagai legitimasi untuk
mengendalikan umat demi kepentingan pribadi. Padahal agama mengajarkan, semua
manusia sama di hadapan Allah. Pembedanya hanya amal perbuatan masing-masing. Hanya
Tuhan yang tahu soal itu.

Erat hubungannya dengan budaya adalah sistem keyakinan (belief system), baik keyakinan
kepada Tuhan maupun kepada berbagai hal lain dalam kehidupan. Keyakinan ini
merupakan penentu seseorang menjadi pribadi dinamis, atau justru fatalis. Keyakinan
orang per orang akan menjadi keyakinan kolektif, baik pada masyarakat maupun bangsa.
Itu yang akan menentukan bangsa, menjadi fatalis atau dinamis.

Keyakinan yang benar akan melahirkan pribadi antusias. Yakni, pribadi yang selalu mencari
cara untuk menata diri, keluarga, serta lingkungannya menjadi lebih baik. Keyakinan begitu
yang diajarkan agama. Dengan demikian, beragama akan membuat pribadi, keluarga,
masyarakat, dan bangsa pandai mengelola kehidupannya. Beragama, sekali lagi, akan
membuat "hari ini harus lebih baik dari kemarin". Itu akan melahirkan peradaban yang
lebih maju.

Nabi membawa agama sebagai jalan peradaban. Jalan yang diteladankan Nabi itu
semestinya ditiru para penerusnya. Namun, agama malah sering dipakai alasan tak
melangkah maju. Agama banyak dipakai untuk menjauhi peradaban, seperti menolak akal
sehat dan tak mendukung pengembangan teknologi yang bermaslahat bagi umat. Agama
seolah hanya soal ritual ibadah dan urusan normatif 'halal-haram'. Belum menjadi tuntunan
sukses dan bahagia utuh sebagaimana semestinya.

Fenomena di atas hanya merupakan sebagian kecil yang menjadi penghambat kemajuan
bangsa dan pengganjal masyarakat untuk sejahtera. Semua itu terkait erat dengan budaya
bangsa, aspek yang paling mendasar dalam fenomena 'gunung es' kehidupan. Maka,
Transformasi Budaya sungguh diperlukan Indonesia untuk memajukan bangsa ini, terutama
setelah 'pembangunan ekonomi' Orde Baru dan 'reformasi poilitik' terbukti belum efektif.

Ada tiga bidang transformasi yang penting diperhatikan dalam Transformasi Budaya.
Ketiganya adalah transformasi pendidikan; transformasi kependudukan & lingkungan
hidup; serta transformasi keagamaan. Huburigan ketiganya dengan Transformasi Budaya
dapat digambarkan sebagai berikut:

Transformasi Pendidikan
Mendidik berarti menumbuhkembangkan setiap anak manusia sesuai dengan potensinya
masing-masing. Itu sejalan dengan istilah education yang berasal dari e dan ducare. ''
berarti mengeluarkan, 'ducare' adalah potensi. Pada praktiknya, pendidikan sekarang
terjebak

menjadi

sekadar

kegiatan

formal

menyampaikan

pelajaran.

Esensi

'menumbuhkembangkan' atau 'mengeluarkan potensi' setiap anak praktis tak berjalan.

Transformasi pendidikan adalah pembebasan pendidikan dari jebakan tersebut. Yakni,


membebaskan dari pendekatan normatif- mekanistis praktik pendidikan sekarang. Untuk
itu, diperlukan kesungguhan untuk mengkaji ulang filosofi landasan pendidikan. Landasan
itu menentukan bagaimana wujud pendidikan dijalankan. Bila landasan itu baik, jalan
pendidikan tentu baik pula.
Korea Selatan dan Cina punya pemikiran soal serupa. Mereka percaya, hidup ini keras.
Hanya yang kuat yang dapat memenangkan kompetisi kehidupan. Maka, sekolah pun
menempa muridnya dengan sangat keras. Jepang mengajari anak bangsanya menjadi
pribadi ulet. Pelajaran yang diajarkannya sederhana, namun cara pengajarannya luar biasa,
yaitu mampu membangun etos anak didiknya.
Dibandingkan dengan bangsa-bangsa itu, arah pendidikan Indonesia masih normatif. Hal ini
kurang mampu membuat potensi setiap anak bangsa berkembang dan kurang mampu pula
membuat anak bangsa pandai mengelola hidup secara baik. Bangsa ini harus menjadi
bangsa yang mandiri dan bermartabat. Maka, pendidikan harus mampu membuat setiap
anak 'terampil mengelola diri jiwa raga serta lingkungannya sendiri'. Dengan begitu, setiap
orang akan efektif meraih sukses masing-masing.
Untuk itu, materi pelajaran perlu disederhanakan, sesuai dengan fase tumbuh kembang
anak, bukan sesuai dengan kehendak pakar ilmu yang diajarkan. Materi pelajaran Sejarah
harus

mendorong

anak

mencintai bangsanya.

Bahasa

harus

membuat

pandai

berkomunikasi, baik secara lisan maupun tulisan. Biologi harus menjadikan setiap orang
bagus dalam mengelola kesehatan diri. Agama harus dapat menumbuhkan spiritualitas
setiap orang. Materi pelajaran sekarang belum mengarah ke situ. Baru sebatas menjadi
hafalan yang terlupakan tak lama setelah lulus sekolah.

Sistem pengajaran pun perlu ditransformasi. Praktik guru mengajar sudah saatnya
dihentikan. Guru harus menjadi 'coach' seperti para pelatih olahraga. Siswalah yang
menjadi pusat pembelajaran. Model PAIKEM (Pembelajaran aktif, interaktif, kreatif, efektif,
dan menyenangkan) dapat menjadi salah satu model transformasi pengajaran. Namun,
model ini tak berjalan dengan baik karena, lagi-lagi, pendekatan sistem pengajaran yang
digunakan adalah normatif linear.

Manajemen pendidikan secara nasional juga perlu ditransformasi. Sudah saatnya


kementerian berani berhenti membuat program di pusat. Sebagai gantinya, seluruh energi
pusat dapat dialihkan untuk memberdayakan daerah. Desentralisasi pendidikan akan
berjalan dengan terarah, sehingga setiap daerah benar-benar mampu mengelola
pendidikan secara baik. Di Jakarta saja baru sekitar 30 persen pendidikan yang tergarap
kualitasnya. Ini keadaan yang sama sekali tak memadai untuk mengantarkan bangsa
Indonesia ke peradaban maju.
Untuk Transformasi Budaya, transformasi pendidikan sungguh diperlukan. Seluruh insan
pendidikan perlu kembali menjadi 'pendidik' atau 'guru'. Tentu dengan jiwa, sikap, dan
perilaku pendidik pula, bukan jiwa, sikap, dan perilaku 'pejabat', 'birokrat', 'staf pengajar',
'pegawai negeri', maupun lainnya. Semangat transformasi itu perlu disemaikan lebih dulu di
lingkungan 'Universitas-universitas Negeri', dulu Institut Keguruan dan Ilmu Penddikan
(IKIP), di seluruh Indonesia. Baru kemudian disebar ke birokrasi.

Transformasi Budaya Daerah

Budaya bangsa tak lepas dari budaya-budaya daerah di seluruh wilayah Nusantara. Budaya
daerah paling berpengaruh pada sikap dan perilaku masyarakat. Banyak konflik masyarakat
terjadi karena aspek budaya daerah, termasuk sejumlah konflik besar bernuansa
keagamaan, yang sering bukan murni konflik keyakinan. Maka, transformasi budaya daerah
sungguh diperlukan dalam Transformasi Budaya bangsa.

Salah satu aspek budaya daerah adalah kesenian daerah. Transformasi budaya daerah
dapat diawali dengan menginventarisasi kesenian daerah. Banyak kesenian daerah yang
surut peminatnya. Bila dibiarkan, kesenian itu akan punah. Lalu terlupakan oleh publik.
Inventarisasi membantu mencegah kepunahan itu. Apalagi bila didukung dengan
pendokumentasian yang baik. Selanjutnya yang perlu adalah pelestariannya.

Pelestarian bukan semata berbentuk pendokumentasian, melainkan juga sosialisasi dan

penanaman kesenian, khususnya pada anak-anak. Pengembangan sanggar-sanggar


kesenian berbasis komunitas, semestinya masuk prioritas pembangunan daerah. Anak-anak
tak perlu les khusus untuk berkesenian. Mereka dapat belajar dari lingkungan masingmasing. Hal itu akan menumbuhkan rasa cinta bangsa sejak dini.

Muhammad Nuh, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, mengingatkan: "Budaya bukan


hanya bersifat tontonan, melainkan juga tuntunan." Dengan begitu, transformasi budaya
daerah bukan semata pelestarian kesenian, melainkan juga pengembangan aspek budaya
yang menjadi pondasi karakter masyarakat, atau aspek 'tuntunan'-nya. Caranya, antara lain,
dapat diawali dengan menggali kembali kejeniusan dan kearifan lokal (local genius & local
wisdom) dari setiap daerah.

Pengembangan pusat-pusat budaya di daerah dapat membantu transformasi ini. Pusatpusat budaya itu perlu menjadi pusat dokumentasi budaya masing-masing daerah. Di situ,
kejeniusan dan kearifan lokal dikaji kembali. Yang penting, untuk menjadi dasar karakter
harus dikembangkan lebih lanjut. Bila perlu malah 'diadu' dengan budaya global yang
menyerbu masuk. Interaksi dengan budaya global, justru akan menguatkan budaya daerah
secara tepat.

Di sisi lain, budaya daerah yang tak lagi memadai juga harus dikoreksi. Budaya adalah
produk keadaan dan zamannya masing-masing. Tak semuanya tetap relevan dengan
kebutuhan bangsa sekarang. Terutama untuk menyiapkan anak-anak bangsa menyongsong
era global. Budaya yang kurang relevan itu selayaknya disimpan sebagai bahan
pembelajaran. Atau ditransformasi menjadi 'budaya baru' yang diperlukan anak bangsa.

Beberapa ritual dan upacara adat layak dikaji kembali. Yang bersifat sakral dan bukan untuk
publik dapat dikembangkan secara khusus, hanya untuk kalangan terbatas. Sedangkan yang
untuk kepentingan publik sepatutnya dikemas ulang. Ini setidaknya agar dapat memenuhi
kaidah festival modern bagi umum. Praktik mistis terkait upacara demikian selayaknya

disingkirkan. Sedangkan sisi spiritualitasnya justru diperkuat.

Praktik mistis itulah penghalang utama bangsa untuk maju. Ini biasanya terkait dengan
upacara adat yang terpolitisasi untuk kepentingan tertentu. Hasilnya, banyak upacara lalu
menjadi terasa diada-adakan. Jauh dari wujud rasa syukur yang semestinya. Transformasi
budaya daerah perlu membersihkan budaya yang tak sehat itu. Dan fokus membangun
budaya yang dapat melahirkan generasi baru bangsa yang lebih baik.

Transformasi Kependudukan & Lingkungan

'Ledakan penduduk' menjadi persoalan besar Indonesia. Dalam waktu % abad jumlah
penduduk meningkat lima kali lipat. Pertambahan jumlahnya jauh melampaui ribuan tahun
sebelumnya. Ini sebuah keadaan yang bisa menguntungkan biia berwujud surplus tenaga
kerja yang berkualitas tinggi. Dengan kualitas sedang, apalagi kurang, ledakan penduduk itu
melahirkan masalah besar. Itulah yang terjadi di Indonesia.

Kemiskinan yang tak kunjung teratasi; konflik antarwarga yang terus meledak; perebutan
lahan yang kian meningkat; terorisme yang makin intens; serta berbagai masalah sosial
lainnya, erat terkait dengan masalah kependudukan. Negara-negara Asia Selatan dan Mesir
merosot karena gagal dalam manajemen kependudukan. Begitu pula Filipina, negara yang
pernah menjadi nomor dua termaju di Asia setelah Jepang.

Pada awal Orde Baru ada kesadaran kuat dalam pengelolaan kependudukan. Setiap
keluargadidorong mampu mengelola hidup secara baik. Sejumlah program dijalankan untuk
kepentingan itu, termasuk penerangan publik yang dapat dipahami masyarakat dengan
mudah. Era Reformasi yang mengagungkan politik menenggelamkan kembali kesadaran
kependudukan. Maka, ledakan penduduk sulit dihindarkan.

Transformasi budaya memerlukan transformasi kependudukan. Itu perlu dilakukan dengan


penyadaran kepada publik tentang betapa seriusnya masalah kependudukan. Sebab,
masalah inilah yang melahirkan kemiskinan. Sedangkan kemiskinan cenderung melahirkan
kemiskinan lagi, apalagi dengan laju sangat cepat. Hal tersebut perlu diatasi. Setiap keluarga
dan setiap orang perlu diajak untuk tahu, mau, dan mampu mengelola hidup sendiri secara
baik. Televisi dan media rnassa lainnya, bernilai strategis untuk melangkah ke sana.
Yang terkait dengan kependudukan adalah lingkungan hidup. Kualitas kependudukan yang
baik akan melahirkan lingkungan yang baik. Sebaliknya, lingkungan yang baik juga dapat
menumbuhkan kependudukan yang baik. Maka, penataan lingkungan menjadi keperluan
yang tak dapat ditawar-tawar lagi. Penataan lingkungan menjadi strategi pembangunan
Singapura, yakni dengan membangun kompleks perumahan rakyat modern tahun 1964.
Hasilnya, lingkungan Singapura sangat tertata. Pendapatan per kapitanya sekitar 15 kali
pendapatan per kapita orang Indonesia.

Keberhasilan Singapura itu ditiru Tiongkok. Ini terjadi setelah Deng Xiaoping bertemu
dengan Lee Kuan Yew. Terkisahkan, usai pertemuan itu Deng berkata: "Sekarang saya tahu
bagaimana membangun Tiongkok. Yaitu dengan membangun '12 Singapura' di Tiongkok."
Hasilnya, kini Tiongkok melesat menuju kekuatan ekonomi nomor satu dunia. Karena itu,
penting diperhatikan seruan sahabat Nabi: "Tuntutlah ilmu hingga Negeri China."

Tata ruang menjadi hal kunci dalam pembangunan lingkungan. Perumahan, perkantoran,
area komersial, kawasan industri, hingga areal pertambangan tak dapat dibiarkan tumbuh
masing- masing. Tapi perlu diatur dan ditata secara harmonis dengan taman dan ruang
publik, lahan pertanian, hutan serta area konservasi lain. Bukan bertumpang tindih seperti
yang sekarang ada. Tata ruang tak boleh digantikan dengan 'tata uang'.

Kawasan urban sungguh penting ditata ulang secara mendasar. Pembangunan perumahan
rakyat di pinggiran saatnya dihentikan. Perumahan rakyat justru harus di dalam kota dalam
wujud perumahan modern yang terjangkau. Lengkap dengan fasilitas di sekitarnya, seperti

fasilitas pendidikan, kesehatan, ibadah, pasar, olahraga, hingga area bermain dan taman
publik. Itu adalah lingkungan sejahtera walaupun mungkin sederhana. Dengan lingkungan
begitu, kemiskinan akan mudah diatasi dan tak akan terwariskan.
Sudah saatnya seluruh kota di Indonesia ditransformasi menjadi kawasan urban
sebenarnya, baik kota-kota besar maupun kota- kota kecil. Perluasan kota berupa
pelebaran kampung sudah tidak pada tempatnya. Kawasan-kawasan kumuh sudah perlu
ditransformasi menjadi lingkungan yang menyenangkan. Taman dan hutan kota sudah
harus ada di setiap kota. Selain untuk menjadi paru-paru kota, juga membuat kawasan akan
lebih manusiawi.

Itu sebagian langkah yang diperlukan untuk mentransformasi lingkungan. Yakni, langkah
untuk membuat 'seluruh tempat di negeri ini menjadi tempat yang menarik bagi semua
orang'. Dengan transformasi lingkungan serta transformasi kependudukan, Transformasi
Budaya dapat berjalan efektif sehingga masyarakat dan bangsa lebih sejahtera, sesuai
dengan cita-cita kemerdekaan Negara tahun 1945.

Transformasi Keagamaan

Agama hadir untuk membimbing umat manusia agar sukses dan bahagia. Bukan hanya di
akhirat kelak, melainkan juga di dunia sekarang. Namun dalam kenyataannya, agama tak
selalu efektif melakukan peran tersebut. Hal itu disebabkan oleh pemahaman keagamaan
yang kurang pas. Atau malah keliru. Tentu itu hasil pengajaran keliru pula soal agama.

Orang-orang yang sukses umumnya punya landasan spiritual kokoh. Yang seperti ini, bukan
hanya para Nabi atau pemimpin agama, melainkan juga para pebisnis kelas dunia pada
masa kapan pun. Ini landasan yang diperoleh dari pendidikan agama. Mereka bekerja bukan
untuk uang atau kekuasaan, melainkan untuk kemaslahatan bagi umat manusia. Biasanya,
justru karena itu mereka sukses, termasuk punya uang dan kekuasaan lebih dari
kebanyakan lainnya.

Praktik keagamaan di Indonesia belum sampai ke level itu. Agama umumnya belum mampu
mengangkat pemeluknya sukses. Masih banyak orang yang hidup sulit. Hal yang sebenarnya
biasa dalam pandangan agama. Setiap orang sangat mungkin mendapat cobaan miskin.
Namun Tuhan Maha Adil. Tuhan juga memberi petunjuk bagaimana membebaskan diri dari
kemiskinan, bahkan untuk meraih sukses masing-masing.
Dalam ajaran Islam, sukses ditunjukkan melalui istilah al- falah. Istilah itu biasanya
diterjemahkan sebagai 'menang' atau 'beruntung'. Padahal, pengertian yang lebih pas
adalah 'sukses'. Istilah itu ada dalam azan: Hayya 'alal fa/ah! "Raihlah sukses! Raihlah
sukses!". Ini serupa dengan pelatihan motivasi yang menyeru, "Kamu bisa!" atau 'Luar
biasa". Azan bahkan dikumandangkan sehari lima kali. Berbagai agama lain tentu punya
petunjuk sukses sendiri.
Walau begitu banyak orang beragama yang belum sukses. Padahal beragama semestinya
memudahkan orang untuk sukses, untuk membuat orang berani bercita-cita dan antusias
mengejarnya; menjauhkan dari korupsi; juga menghargai sesama. Sikap ini berpangkal pada
keyakinan bahwa Allah-lah sumber sukses dan bahagia sejati. Allah-lah yang Maha Pengasih
dan Maha Penyayang. Juga yang menjadi penolong dari setiap kesulitan. Seorang dengan
keyakinan begitu akan selalu gembira dan antusias menyongsong masa depan.
Itulah arah transformasi keagamaan yang diperlukan. Untuk menuju ke sana, pendidikan
akhlak perlu dikedepankan lagi. Nabi menyebut tugas utamanya sebagai "menyempurnakan
akhlak". Tugas mulia itu semestinya diprioritaskan kembali melalui keteladanan dan
pengajaran ayat kauniyah sebagai 'sunnatullah'. Yakni hukum Allah yang berwujud realitas
alam serta realitas sosial yang terbentang sepanjang sejarah kehidupan. Keduanya,
sebagaimana Kitab Suci, juga merupakan ayat Allah tentang 'mana benar, mana salah'.

Ayat-ayat tersebut sering tak dipandang sebagai bagian dari agama. Agama seolah hanya
terkait dengan Kitab Suci dan hal tertulis lain. Bukan dengan realitas alam dan sosial. Cara
pandang itu merupakan buah dari pola pikir 'linear sekuler'. Pola pikir yang menguasai
dunia seteiah dipromosikan Rene Descartes dan adanya temuan Teori Newton pada abad
ke-17. Dengan pola pikir 'linear sekuler', agama lebih diarahkan pada yang bersifat 'teks'
(qauliyah). Dipisahkan dari 'konteks' (kauniyah).

Beragama seperti ini jelas tak cukup membuat manusia sukses dan bahagia. Tapi hanya
memberi pengetahuan (kognitif) soal hukum agama, soal yang boleh dan yang tidak boleh
dilakukan. Padahal hidup tak cukup dengan aspek kognitif atau pengetahuan saja, tapi perlu
juga aspek afektif dan psikomotorik, rasa, dan karsa. Itu menjelaskan, mengapa banyak
orang yang beragama frustrasi menghadapi kehidupan nyata. Hal yang tak terjadi bila
berpola pikir 'holistik ilahiah'.

Para pemimpin agama dulu menerapkan pola pikir 'holistik ilahiah'. Walisongo misalnya,
yang mengenalkan konsep Tombo Ati. Dalam beragama sehari-hari dikatakan bahwa kita
perlu melakukan lima hal. Yakni, membaca Al-Qur'an setiap hari dan mengingat maknanya;
melakukan 'salat malam' saban dinihari; agar senantiasa berkumpul dengan 'orang-orang
saleh'; membiasakan diri untuk rutin berpuasa; juga meluangkan waktu berzikir mengingat
Tuhan setiap malam. Siapa mampu melakukan itu disebut akan mendapat kemuliaan hidup
dari Tuhan.

Pola pikir 'holistik ilahiah' mengaitkan agama dengan etos dan perilaku. Itulah esensi
transformasi keagamaan yang telah mengukir peradaban dunia menjadi lebih baik. Esensi
itu yang dijalankan dalam transformasi Nasrani oleh kaum Protestan yang memajukan
Eropa. Juga dalam transformasi Katolik pada masa sesudahnya yang digerakkan Ignasius
Loyola dan lainnya. Kemajuan masyarakat Bali pun tak lepas dari transformasi keagamaan
yang dipromotori Dang Hyang Nirartha pada abad ke-16.

Transformasi keagamaan merupakan trarisformasi yang paling mendasar bagi Indonesia.


Transformasi ini menata ulang sistem keyakinan terdalam untuk mengantarkan manusia
Indonesia menjadi manusia sukses. Manusia yang berakal sehat, egaliter, berbudaya, dan
bermartabat. Manusia yang tahu dan mampu meraih sukses dan bahagia masing-masing
atas petunjuk dan bimbingan Tuhan.

Keempat transformasi itulah pilar Transformasi Budaya yang diperlukan Indonesia. Ini tak
sulit untuk dilakukan. Tidak pula mahal biayanya. Yang diperlukan hanyalah ketulusan,
kesungguhan, serta ketekunan untuk mengawalnya hingga tuntas. Transformasi Budaya
inilah yang dapat melahirkan generasi baru Indonesia. Generasi yang makmur dan gilang
gemilang pada percaturan global. KARAKTER PANCASILA merupakan panduan sederhana
untuk melakukan Transformasi Budaya guna membangun generasi 'Orang Indonesia
sebenarnya' itu.*

Kepustakaan yang Selaras


Agustian, Ary Ginandjar. 2008. ESQ. Emotional Spiritual Quotient. Jakarta: Arga Publishing
Andreas, Steve and Charles Faulkner (Editor). 1996. NLP. The New Technology of
Achievement. New York: Quill William Morrow
Asian, Reza. 2006. No God But God. London: Arrow Books
Bagir, Haidar. 2008. Buat Apa Shalat?. Jakarta: Mizan
Byrne, Rhonda. 2011. The Secret. Rahasia. Jakarta: Gramedia
Ciputra. 2008. Quantum Leap. Jakarta: Elexmedia
Freire, Paulo. 2000. Pedagogy of The Opressed. New York. Continuum
Ghazali, Imam. 2008. Ihya Ulumuddin. Ringkasan. Jakarta: Sahara
Gladwell, Malcolm. 2009. Outliers. Rahasia di Batik Sukses. Jakarta: Gramedia
Gonick, Larry. 2006. Kartun Riwayat Peradaban. Seri 1-3. Jakarta: KPG
Gymnastiar, Abdullah. 2004. Jagalah Hati. Bandung: MQ Publishing
Hananto, Lugwina. 2010. Untuk Indonesia yang Kuat. 100 Langkah untuk Tidak Miskin.
Jakarta: Literrati
Hatta, Muhammad. 2004. Demokrasi Kita. Idealisme & Realitas serta Unsur yang
Memperkuatnya. Jakarta: Balai Pustaka
Hidayat, Komaruddin dan Putut Widjanarko (editor). 2008. Reinventing Indonesia. Bandung:
Mizan
Ibrahim, Marwah Daud. 2005. Mengelola Hidup dan Merencanakan Masa Depan. Jakarta:
Pustaka MHMMD
Johnson, Paul. 2010. Jesus. A Biography from A Believer. New York: Viking Penguin
Kaelan. 2004. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma
Kasali, Rhenald. 2005. Change. Jakarta: Gramedia
Kolumnis dan Wartawan-Kompas. 2010. Rindu Pancasila. Jakarta: Penerbit Buku Kompas
Nasikun. 1998. Pancasila dalam Perspektif Reformasi. Yogyakarta: Pusat Studi Pancasila

UGM
Kartamihardja, Ahdiat (editor). 2007. Polemik Kebudayaan. Jakarta: Balai Pustaka
Littaeur, Florence. 1996. Personality Plus. Jakarta: Binarupa Aksara
Lombard, Denys. 1996. Nusa Jawa. Silang Budaya. Jakarta: Gramedia
Parsons, Talcott. 1954. Essays in Sociological Theory. New York: The Free Press
Pasiak, Taufiq. 2002. Revolusi IQ/EQ/SQ. Antara Neurosains dan Al-Qur'an. Bandung: Mizan
Peale, Norman Vincent. 2004. Enthusiasm Makes the Difference. New York: Fireside
Poespowardoyo, Soeryanto. 1989. Filsafat Pancasila. Jakarta: Gramedia
Poniman, Farid; Indrawan Nugroho, dan Jamil Azzaini. 2006. Kubik Leadership. Solusi
Esensial Meraih Sukses dan Kemuliaan Hidup. Bandung: Hikmah
Pradiansyah, Arvan. 2009. The 7 Laws of Happiness. Tujuh Rahasia Hidup yang Bahagia.
Bandung: Kaifa
Robertson, Fleur (Editor). 1998. Chronicle of World History. Cultural, Religious & Political
Development From Prehistory to The Present. Surrey: Quadrillion Publishing
Rendra, WS. 2011. Membangun Peradaban. Seri Kuliah Kebudayaan. Jakarta: Soetrisno
Bachir Foundation
Rumi, Jalal al Din. 1995. The Essential Rumi. New York: Harper
Samani, Muchlas dan Hariyanto. 2011. Konsep dan Model Pendidikan Karakter. Bandung:
Rosda
Sentanu, Erbe. 2007. Quantum Ikhlas. Teknologi Aktivasi Kekuatan Hati. Jakarta: Elexmedia
Soekarno. 1964. Dibawah Bendera Revolusi. Jakarta: Panitya Penerbit Dibawah Bendera
Revolusi
Sudewo, Erie. 2011. Best Practice Character Building. Menuju Indonesia Lebih Baik. Jakarta:
Republika Penerbit
Tezuka, Ozamu. 2007. Buddha. Seri 1-8. Jakarta: KPG
Tim Nasional Penulisari Sejarah Indonesia. 2009. Sejarah Nasional Indonesia. Edisi
Pemutakhiran. Jakarta: Balai Pustaka

Tim Pusat Bahasa. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Uchrowi, Zaim. 2007. Muhammad Sang Teladan. Jakarta: Balai Pustaka

Vous aimerez peut-être aussi