Vous êtes sur la page 1sur 12

ANTIBODI IBU PADA ANTIGEN MAKANAN DAN RESIKO TERHADAP

PSIKOSIS NONAFEKTIF PADA KETURUNAN

Tujuan: penulis menganalisa sampel darah kering yang didapat dari bayi yang baru lahir
untuk menilai apakah level imunogoblin G (IgG) yang diambil dari antigen makanan yang
dikaitkan dengan diagnosa kelainan psikosis nonafektif.
Metode: Populasi dari penelitian ini terdiri dari individu-individu yang lahir di swedia antara
tahun 1975 dan 1985 dengan diagnosa psikosis nonafektif yang telah tercatat antara tahun
1987 dan 2003 dengan perbandingan jenis kelamin, hari lahir, rumah sakit tempat dilahirkan,
dan kota. Sebanyak 211 subjek kasus dan 553 subjek kontrol setuju untuk berpartisipasi
dalam penelitian ini. Data yang terkait dengan status ibu, kehamilan, dan persalinan diambil
dari Catatan Kelahiran rekam Medis Swedia. Tingkat IgG yang tertuju pada gliadin
(komponen gluten) dan kasein (protein susu) dianalisis pada senyawa dari sampel darah
kering dengan enzim ELISA (Enzyme-linked immunosorbent assay). Odds rasio dihitung
untuk menentukan tingkat IgG yang diarahkan pada gliadin atau kasein pada psikosis
nonafektif.
Hasil: Tingkat anti-gliadin IgG (bukan anti kasein IgG) di atas tingkat persentil ke-90 yang
diamati antara subjek kontrol dihubungkan dengan psikosis nonafektif. Hubungan ini tdak
dipengaruhi oleh perbedaan usia, ststus kependudukan, atau metode persalinan. Demikian
juga usia kehamilan saat lahir, indeks ponderal, dan berat bayi tidak terkait dengan tingkat
anti gliadin IgG ibu.
Kesimpulan: Tingginya kadar anti-gliadin IgG pada siklus ibu hamil berhubungan erat
dengan peningkatan resiko psikosis nonafektif pada keturunannya. Penelitian lebih lanjut
dibutuhkan untuk mengidentifikasi mekanisme yang mendasari hubungan ini untuk
mengembangkan strategi pencegahan.
Sejumlah resiko merugikan dalam rahim pada periode neonatal telah dikaitkan dengan
pekembangan lanjutan dari skizofrenia dan psikosis nonafektif lainnya. Hal ini termasuk
resiko kekurangan gizi atau infeksi dan komplikasi kehamilan dan kelahiran (1). Mekanisme
yang mendasari komplikasi ini tidak diketahui, dan berbagai hipotesis telah diuji di
laboratorium. Misalnya, penelitian pada hewan menunjukkan bahwa aktivasi daya tahan ibu
selama perkembangan janin dapat menyebabkan kurangnya aktivitas kedua domain kognitif
1

dan emosional pada keturunan dewasa (2). Laporan peningkatan resiko skizofrenia di antara
keturunan dengan tingkat darah tinggi interleukin-8 (3) atau tumor nekrosis faktor- (4)
selama kehamilan memang mendukung gagasan ini. Sebuah penelitian berbasis register oleh
Eaton et al. (5) menunjukkan bahwa kondisi inflamasi atau autoimun kronis seperti penyakit
celiac, lebih sering terjadi pada orang tua yang menderita skizofrenia dibandingkan dengan
yang lain.
Sejumlah penelitian juga menunjukkan adanya kekebalan atau disregulasi pada pasien pada
saat timbulnya gejala awal skizofrenia dan psikosis nonafektif lainnya. Penelitian tersebut
mencakup laporan tingkat kemokin dan sitokin (6, 7) dan antibody pada kekebalan yang
berasal dari infeksi (8, 9), diet protein (10, 11), dan antigen tubuh (12).

Metode
Populasi dari penelitian ini terdiri dari orang-orang yang lahir di Swedia antara tahun 1975
dan 1985. Subjek-subjek penelitian ini didiagnosa menderita psikosis nonafektif (lihat
diagosa di bawah) yang menjalani rawat inap antara tahun 1987 dan 2003 atau menjalani
rawat jalan antara tahun 1997dan 2003, di Stockhold County Council. Data rawat inap
diambil dari catatan pasien nasional, dan data rawat inap diambil dari catatan psikiater lokal
(Sistem Pelayanan Psikiater) yang digunakan di Stockholm County Council. Untuk
dimasukkan ke dalam penelitian ini, subjek harus masih hidup (20 orang sudah meninggal),
menjadi warga Negara swedia (dua orang sudah emigrasi), dan memiliki alamat resmi (24
tidak memilikinya). Dengan kriteria ini, 739 subjek yang memenuhi syarat diidentifikasi
setelah terverifikasi dengan diagnosis dalam catatan medis pada dua klinik psikiatri dengan
perawat psikiatri terlatih, dan semua dihubungi. Dari jumlah tersebut, 337 (45,6%) tidak
merespon panggilan dan 139 (18,8%) menolak untuk berpartisipasi. Dengan ini, sampel akhir
berjumlah 263 subjek kasus (tingkat partisipasi 35,6%).
Subjek pembanding diambil dari daftar hunian berbasis populasi yang tercatat di Dewan
Kesehatan dan Kesejahteraan Nasional dan cocok dengan jenis kelamin, tanggal lahir, rumah
sakit kelahiran, dan kota. Surat-surat dikirim kepada partisipan yang potensial betujuan untuk
merekrut empat subjek perbandingan yang cocok untuk setiap subjek kasus. Untuk masuk
dalam penelitian, subjek pembanding tidak boleh memiliki sejarah diterima sebagai rawat
inap di psikiatri (berdasarkan catatnan pasien nasional), harus masih hidup (dua dari yang
telah dipilih sudah meninggal), harus merupakan warga Swedia (16 orang dari yang dipilih
2

telah emigrasi), dan harus memiliki alamat resmi (38 orang dari yang dipilih tidak
memilikinya). Sejumlah 1553 subjek memenuhi syarat. Dari jumlah ini, 660 (42,5%) tidak
merespon panggilan dan 244 (15,7%) menolak untuk berpartisipasi, dengan ini hanya 649
subjek pembanding (angka partisipasi 41,8%). Sehingga, perbedaan subjek pembanding
dengan subjek kasus sangat signifikan (2=8.0, df=1, p=0.005). Mengingat jumlah subjek
pembanding yang berpotensi yang menolak untuk berpartisipasi, sebagian besar subjek kasus
(79,2%) lebih sedikit daripada empat subjek pembanding yang cocok.

Diagnosa
Psikosis nonafektif didefinisikan menurut kode DSM-IV, ICD-9, atau ICD-10. Untuk
skizofrenia, kami menggunakan kode DSM-IV 295.x, tidak termasuk 295.7; ICD-9 kode
295.x, tidak termasuh F dan H; dan ICD-10 kode F20. Untuk psikosis nonafektif lainnya,
kami menggunakan kode DSM-IV untuk gangguan skizoafektif 295.7. 297.1 kode untuk
gangguang delusional persisten, kode 297.3 untuk gangguan diinduksi delusional, kode 298.8
untuk gangguan psikotik akut dan sementara, kode 298.9 untuk psikosis nonorganic, dank
ode 301.22 untuk gangguan schizotypal; kami menggunakan kode 295F untuk gangguan
schizotypal, kode 295H untuk gangguan skizoafektif, kode 297 untuk gangguan delusi, dan
kode 298 tidak termasuk A dan B untuk psikosis reaktif (termasuk depresi dan psikosis
manik); kami menggunakan ICD-10 kode F21 untuk gangguan schizotypal, kode F22 untuk
gangguan delusional persisten, kode F23 untuk gangguan psikotik akut dan sementara, kode
F24 untuk gangguan delusional diinduksi, kode F25 untuk gangguan skizoafektif, kode F28
untuk gangguan psikotik nonorganik lainnya, dan kode F29 untuk psikosis nonorganic
sementara.

Data dari Catatan Kelahiran Medis Swedia


Catatan Kelahiran Medis Swedia, yang dimulai pada tahun 1973, mencakup informasi
mengenai semua kelahiran di swedia termasuk data dari periode prenatal dan neonatal. Dari
catatan ini, kami mengumpulkan informasi tentang usia kehamilan, berat badan, dan panjang
saat lahir bayi, serta data imigrasi ibu dan usia ibu saat melahirkan.

Sampel Darah
Di Swedia, darah dikumpulkan dari semua bayi yang baru lahir dalam program skrining
untuk deteksi dini penyakit metabolik (misalnya, fenilketonuria). Sejak tahun 1975, filter
darah kering ini telah disimpan di Rumah Sakit universitas Karolinska di Huddinge. Dalam
penelitian ini, satu tempat darah dari setiap peserta dikeluarkan dari filter dan dipindahkan ke
sebuah kantung plastik individu. Filter yang diambil untuk 874 (252 subyek kasus dan 622
sebagai kontrol) dari 912 (95,8%) orang yang setuju untuk diteliti, tanpa perbedaan yang
signifikan antara kedua kelompok. Dari jumlah tersebut, 211 subyek kasus dan 553 sebagai
kontrol cocok.

Proses dan Analisis


Sebuah disk berukuran 3,2 mm diameter dilubangi dari setiap tempat darah dan dimasukkan
ke dalam piring 96 disegel dengan AxyMats (Axygen, Union City, California). Protein
dielusi dari kertas saring dengan inkubasi 100 uL dengan penyangga phosphate saline selama
1 jam pada suhu 37 C. Tingkat antibodi IgG diarahkan pada seluruh kasein atau gliadin
dalam eluat diukur dengan fase padat enzyme-linked immunosorbent assay, seperti yang
dijelaskan sebelumnya (10, 16). Tingkat antibodi dianalisis sebagai reaktifitas persentil ke-75,
ke-90, dan ke-95 seperti yang dijelaskan sebelumnya (10); titik temu didasarkan pada
distribusi antara subyek pembanding. Selama pengolahan data, semua personil tidak
memandang status kasus-kontrol dari filter.

Analisis
Regresi logistik bersyarat untuk data yang cocok digunakan dalam studi kasus-kontrol.
Potensi pembauran karena usia ibu, status imigrasi, atau faktor lain yang berhubungan dengan
kehamilan atau kelahiran, dianggap tidak reliabel dalam analisis ini. Regresi logistik
digunakan untuk menganalisis hubungan potensial antara pembaur dan tingkat gliadin dan
kasein. SAS, versi 9.1 (SAS Institute, Cary, NC), digunakan dalam semua analisis statistik.

Persetujuan

Penelitian ini disetujui oleh komite etik penelitian regional di Institut Karolinska, Stockholm.
Setelah menerima deskripsi lengkap tentang penelitian ini, peserta diberikan form persetujuan
tertulis.

Hasil
Karakteristik sampel disajikan pada Tabel 1. Data ini meliputi proporsi pasien dalam
kelompok diagnostik yang berbeda serta tahun kelahiran dan distribusi seks (kriteria yang
cocok). Tabel tersebut juga mencakup data tentang kovariat yang menarik: imigrasi ibu, usia
ibu, persalinan dengan operasi caesar, paritas, dan faktor-faktor sosial dan kehamilan (yang
tidak reliabel).

Tingkat IgG dan Nonafektif Psikosis


Sebuah peningkatan risiko untuk psikosis nonaffective dikaitkan dengan tingginya tingkat
(persentil ke-90) antibodi anti-gliadin IgG (odds ratio = 1,7, 95% interval keyakinan [CI] =
1,1-2,8) tetapi bukan antibodi anti-kasein (odds ratio = 0,8, 95% CI = 0,4-1,5) (Tabel 2,
Gambar 1). Risiko untuk psikosis nonaffective selanjutnya meningkat pada tingkat antigliadin antibodi pada persentil ke-95 (rasio odds = 2,5, 95% CI = 1,4-4,5).
Tabel 1. Karakteristik subjek dengan psikosis nonafektif dan subjek pembanding pada
penelitian pada resiko yang berhubungan dengan antibody maternal pada antigen makanan.

hilangnya data dari sembilan subjek kasus dan 35 subjek pembanding terlahir antara 1975-1981
hilangnya data dari 16 subjek kasus dan 39 subjek pembanding terlahir antara 1982-1983
c
hilangnya data dari satu subjek kasus dan dua subjek pembanding
d
hilangnya data dari satu subjek kasus dan 10 subjek pembanding
e
hilangnya data dari satu subjek kasus dan tiga subjek pembanding
b

Potensi Gangguan akibat Usia Ibu, Imigrasi, atau Metode Persalinan


Di antara individu-individu yang masuk dalam studi ini, para ibu dari subyek kasus rata-rata
sedikit lebih tua pada saat melahirkan dibandingkan ibu dari subjek perbandingan. Oleh
karena itu, usia ibu 35 tahun dikaitkan dengan risiko lebih tinggi terkena psikosis
nonaffective (rasio odds = 1,8, 95% CI = 1,1-3,2). Imigrasi Ibu ke Swedia juga dikaitkan
dengan peningkatan risiko untuk psikosis nonaffective pada keturunannya (rasio odds = 2,0,
95% CI = 1,3-3,1) (Tabel 3). Di samping usia, kebiasaan diet, dan cara persalinan yang
berpotensi dapat mempengaruhi kadar IgG pada antigen makanan tidak ada hubungan
signifikan antara usia ibu, status imigran, atau sesar dan tingkat IgG pada gliadin atau kasein
yang ditemukan dalam sampel ini (lihat tabel 3). Ketiga variabel tersebut tetap dimasukkan
dalam model (lihat model 2-4) tetapi tidak mempengaruhi perkiraan risiko untuk psikosis
nonaffective terkait dengan tingkat IgG terhadap antigen makanan (lihat Tabel 2). Oleh
karena itu, risiko yang terkait dengan tingkat tinggi IgG antibodi anti-gliadin terlihat bebas
dari factor usia ibu, imigrasi, dan proses persalinan.

Antibodi Gliadin dan Komplikasi selama Masa Kehamilan dan Persalinan


Tingginya kadar antibodi anti-gliadin IgG sering ditemukan pada pasien dengan penyakit
celiac yang tidak diobati (17), dan telah dilaporkan bahwa penyakit celiac yang tidak diobati
pada ibu hamil merupakan faktor untuk risiko kehamilan yang merugikan, seperti berat lahir
bayi rendah dan bayi yang kecil untuk usia kehamilan (18-20). Selain itu, sebagian besar
janin IgG dari ibu selama 4 minggu terakhir masa kehamilan (15). Oleh karena itu kami
menggunakan data dari Catatan Kelahiran Medis Swedia untuk menguji apakah berat lahir,
panjang, dan usia kehamilan saat lahir terkait dengan tingkat antibodi anti-gliadin IgG.
Berarti berat badan lahir, indeks Ponderal (berat / panjang [3]), dan usia kehamilan (antibodi
di atas dan di bawah persentil ke-90 pada kasein atau gliadin) dan hasil (subjek kasus dan
pembanding) disajikan pada Tabel 4. Tak satu pun dari langkah-langkah ini berbeda secara
signifikan di seluruh hasil. Dengan demikian, pertumbuhan janin atau usia kehamilan saat
6

lahir tampaknya tidak mengubah hubungan antara kadar IgG tinggi dan psikosis nonaffectif
yang diamati pada sampel ini.

Tidak Berpartisipasi dan hilang saat di-Follow-up


Seperti yang diceritakan sebelumnya, subjek kasus (64%) yang secara signifikan melebihi
subjek pembanding (58%). Yang telah dihubungi tidak berniat untuk berpartisipasi. Subjek
kasus yang tidak memberikan persetujuan tidak berbeda dengan signifikan pada distribusi
tahun kelahiran, jenis kelamin, dan diagnosa dengan mereka yang memberi persetujuan.
Figur 1. Level IgG pada gliadin dan kasein dan kejanggalan pada perkembangan psikosis
nonafektif.

Tabel 2. Tingkat anti-gliadin IgG dan antibodi anti kasein pada sampel darah kering dari
subjek kasus dan subjek pembanding dan resiko berkembangnya psikosis nonafektif.

Persentase berdasarkan pada tingkat yang diteliti dari subjek pembanding


Cocok dengan jenis kelamin, tanggal lahir, rumah sakit kelahiran, dan kota
c
Model 1 dengan tambahan umur ibu
d
Model 1 dengan tambahan umur dan imigrasi ibu
e
Model 1 dengan tambahan umur, imigrasi, dan caesar ibu.
b

Pembahasan
Kami mendapati adanya peningkatan resiko meningkatnya resiko psikosis nonafektif terkait
tingginya tingkat antibody pada gliadin, komponen gandum, dalam darah kering yang
diperoleh pada masa neonatal. Tidak ada resiko yang dikaitkan dengan tingginya tingkat
antibody pada kasein, tingginya antigen makanan dalam susu sapi. Hubungan antara antibodi
ini dalam sampel darah prenatal dan perkembangnnya selanjutnya dari psikosis belum pernah
diteliti sebelumnya.
Antibodi IgG yang terdeteksi dalam sampel darah neonatal sebagian besar berasal dari
sirkulasi maternal dan ditransfer melalui plasenta selama kehamilan (15). Antibodi ini yang
biasanya mewakili reaktivitas ibu terhadap gliadin menunjukkan bahwa ibu yang
menghasilkan tingkat antibodi yang tinggi selama kehamilan melahirkan anak-anak yang
memiliki peningkatan risiko psikosis nonaffectif di kemudian hari. Kami tidak menemukan
hubungan antara antibodi terhadap kasein. Ini menunjukkan bahwa risiko ini tidak terkait
dengan peningkatan antibodi secara keseluruhan terhadap antigen makanan. Sementara usia
ibu dan imigrasi yang dikaitkan dengan peningkatan risiko psikosis nonaffective pada
keturunannya, baik faktor atau metode persalinan berpengaruh terhadap hubungan antara
tingkat IgG yang tinggi dan risiko psikosis pada keturunannya.
Antibodi IgG anti-gliadin (lihat di bawah), sering ditemui pada orang dengan penyakit celiac.
Penyakit Celiac adalah kondisi langka yang mempengaruhi sekitar 1% dari populasi. Hal ini
ditandai dengan enteropati autoimun yang dipicu oleh konsumsi gluten (21). Beberapa
penelitian telah melaporkan bahwa penyakit celiac ibu yang tidak terobati (tapi tidak diobati)
meningkatkan risiko untuk hasil kehamilan yang merugikan, seperti berat badan lahir rendah,
terbatasnya pertumbuhan intrauterin, dan prematur (18-20). Mekanisme yang mendasari
hubungan ini tidak diketahui dengan pasti namun diyakini melibatkan kedua autoantibodi
yang mempengaruhi fungsi plasenta (22, 23) dan kekurangan gizi ibu karena malabsorpsi
usus (19). Sementara hasil kelahiran buruk yang terkait dengan penyakit celiac yang tidak
diobati juga faktor yang beresiko untuk psikosis (24, 25), kami tidak menemukan bukti
gangguan pertumbuhan janin (diukur dengan berat lahir dan indeks Ponderal) yang terkait
dengan tingginya tingkat antibodi IgG dan risiko anti-gliadin untuk psikosis nonaffektif pada
keturunannya.
Karena sebagian besar IgG muncul pada neonatus saat lahir ditransfer melalui plasenta
selama bulan terakhir kehamilan, perbedaan periode kehamilan adalah faktor lain yang dapat
8

menyebabkan perbedaan dalam tingkat maternal IgG yang terdeteksi dalam sirkulasi
neonatal. Usia kehamilan tidak mempengaruhi. Bagaimanapun, perbedaan signifikan pada
tingkat antibodi gliadin antara subjek kasus dan subjek pembanding dalam sampel kami.
Secara besamaan, pengamatan ini menunjukkan bahwa kekurangan gizi janin akibat penyakit
celiac subklinis atau penyebab lainnya tidak mungkin dapat menjelaskan hubungan antara
tingkat anti-gliadin IgG ibu dan perkembangan psikosis pada keturunannya.
Mekanisme lain yang menjelaskan hubungan antara antibodi ibu terhadap gliadin dan
perkembangan lanjutan dari gangguan kejiwaan pada keturunan perlu dipertimbangkan.
Untuk sementara, temuan kami dapat mewakili faktor genetik umum untuk meningkatkan
sensitivitas gluten, penyakit celiac dan gangguan psikotik. Sejalan dengan hal ini, Eaton et al.
(5), menggunakan catatan penduduk Denmark, melaporkan penyakit celiac yang berlebih
pada pasien dengan skizofrenia maupun di antara orang tua mereka. Peningkatan kadar
pemicu penyakit celiac juga telah diamati pada pasien dengan gangguan kejiwaan (26-29).
Perlu dicatat bahwa meskipun sementara tingkat IgG gliadin pada pasien ini lebih tinggi
dibandingkan subjek pembanding, respon kekebalan tubuh mereka terhadap gliadin sering
berbeda dari yang diamati pada pasien dengan penyakit celiac, dan tampak tidak
menghasilkan antibodi terhadap autoantigens umum yang diamati pada pasien dengan
penyakit celiac (10, 29, 30). Selain itu, penelitian oleh asosiasi genome skizofrenia
menunjukkan bahwa HLA-DQA * 0501 dan DQB * 0201 alel, ada di hampir 90% dari pasien
dengan penyakit celiac (31), tidak muncul secara berlebihan pada pasien skizofrenia (10) dan
bahkan terlihat berhubungan dengan rendahnya risiko skizofrenia (32). Studi gen non-HLA
sejauh ini gagal untuk mengidentifikasi faktor risiko genetik umum penyakit celiac dan
skizofrenia (33). Adanya faktor genetik umum untuk peningkatan kadar antibodi anti-gliadin
IgG dan psikosis nonaffectif selain skizofrenia masih harus ditentukan.

Peningkatan kadar antibodi anti-gliadin IgG juga diamati pada orang yang tidak memenuhi
kriteria penyakit celiac. Sensitivitas gluten sebagai entitas klinis digunakan untuk
menggambarkan orang yang tidak menunjukkan komponen autoimun penyakit celiac, tetapi
orang yang mengalami kesulitan mengikuti konsumsi gluten dan orang yang telah
meningkatkan kadar (dan IgA) anti-gliadin antibodi IgG (34). Selain itu, penelitian di Inggris
(35) dan Swedia (36) melaporkan bahwa 10% -20% dari populasi pada umumnya memiliki
antibodi IgG terhadap gliadin tanpa penanda lain dari penyakit celiac tepat dengan temuan
kami dari risiko desil tertinggi. Oleh karena itu, untuk menyatakan atau menyingkirkan
9

penyakit celiac pada ibu dengan efektif, tes serologi yang lebih spesifik untuk penyakit
celiac, seperti pengukuran antibodi gliadin IgA ibu pada transglutaminase jaringan harus
dilakukan dalam studi selanjutnya ketika plasma ibu tersedia (17). Material yang kurang baik
dan fakta bahwa antibodi IgA ibu (pengukuran yang dibutuhkan untuk penilaian penuh
penyakit celiac) yang tidak mudah melewati plasenta menghalangi kami untuk mempelajari
lebih dalam tentang respon gliadin ibu dalam penelitian ini.
Mekanisme lain yang berpotensi menghubungkan reaktivitas anti-gliadin ibu dengan
perkembangan selanjutnya dari psikosis pada keturunannya melibatkan peradangan maternal.
Penyakit Celiac dikaitkan dengan peradangan kronis dari usus kecil (37). Kepekaan terhadap
gluten juga dapat diamati pada pasien dengan gangguan pencernaan fungsional yang
disebabkan oleh infeksi atau penyebab lainnya (38). Selain itu, munculnya pasien dengan
sensitivitas gluten menunjukkan aktivasi yang kuat dari respon imun bawaan (34). Oleh
karena itu, sangatlah mungkin ibu dengan tingkat antibodi anti-gliadin menderita beberapa
peradangan (39), yang dapat mempengaruhi perkembangan janin. Seperti disebutkan
sebelumnya, beberapa laporan eksperimen mendukung gagasan ini (2). Bukti langsung
mnengenai hubungan antara meningkatnya level mediator inflamasi maternal dan
perkembangan psikosis pada keturunan juga telah dilaporkan (3, 4).
Pada akhirnya, hubungan antara antibodi gliadin ibu dan perkembangan psikosis pada
keturunannya berpotensi untuk dapat dilihat dari diet sang ibu. Memang, mengkonsumsi
gluten memiliki efek langsung pada fungsi saraf, penelitian didukung secara klinis (40, 41)
dan studi eksperimental (42). Namun, efek potensial dari diet gluten sejak dini belum
diselidiki.
Tabel 3. Umur, status imigrasi, dan sesi Caesar ibu dan kejanggalan pada tingkat antibodi anti
gliadin IgG dan Anti Kasein terhadap perkembangan psikosis nonafektif

tingginya tingkat antibodi didefinisikan dalam persentil ke-90 dari tingkat pengamatan
subjek pembanding.
b
Jumlah kasus dan subjek pembanding
10

Tabel 4. Berat lahir, indeks Ponderal, dan umur kelahiran, berdasarkan tingkat Antibodi AntiGliadin IgG pada subjek dengan psikosis nonafektif dan subjek pembanding

Persentil dari tingkat antibodi berdasarkan tingkatan pengamatan pada subjek pembanding

Tabel 5. Tahun kelahiran, jenis kelamin, dan diagnosa terhadap individu dengan psikosis
nonafektif yang setujuu dan tidak setuju terhadap penelitian

tidak ada perbedaan yang signifikan di antara group di atas.

Keunggulan dan Batasan Penelitian


Penelitian ini didasarkan pada sampel arsip dari periode neonatal. Sampel ini menyediakan
sumber informasi yang sangat berharga tentang eksposur dini yang berhubungan dengan
penyakit di kemudian hari. Bagaimanapun juga, penbelitian ini memiliki beberapa
keterbatasan. Jumlah kasus dan subjek perbandingan terbatas karena lumayan banyaknya
kehilangan tindak lanjut, dengan jumlah yang agak lebih banyak pada subjek kasus daripada
subjek kontrol. Hal ini tidak terduga mengingat subyek kasus menderita kondisi kejiwaan
11

yang serius. Akibatnya, mungkin ada bias seleksi dalam penelitian ini, yang harus diingat
ketika men-generalisasi hasil. Sejauh kita dapat menilai bias ini, perlu dicatat bahwa subyek
kasus yang menyetujui studi ini tidak berbeda secara signifikan dalam usia, jenis kelamin,
atau diagnosis dari mereka yang tidak.
Keterbatasan lain adalah diagnosa dalam penelitian ini berbasis register. Diagnosa dari
Daftar Pasien Nasional (43, 44) serta Sistem Perawatan Psikiatri (43, 44) telah divalidasi dan
telah terbukti berkualitas sangat baik. Selain itu, dalam prosedur persetujuan kami, verifikasi
diagnosa yang terdaftar diperlukan sebelum kontak dengan subjek kasus, memungkinkan kita
untuk mengesampingkan individu dengan diagnosa yang salah. Sementara kasus dan subjek
pembanding dengan cocok pada sejumlah parameter demografi, faktor ibu yang tidak tersedia
dalam penelitian ini (misalnya, diagnosa medis dan kebiasaan diet) berpotensi mengubah atau
mengacaukan hubungan yang diteliti.
Kesimpulan
Untuk pengetahuan kita, ini merupakan penelitian pertama yang menunjukkan adanya
hubungan antara tingginya tingkat antibodi gliadin maternal dan perkembangan lanjutan dari
psikosis nonafektif pada ketrurunan. Penelitian selanjutnya diharapkan fokus pada
pengidentifikasian mekanisme huhbungan dengan tujuan untuk mengembangkan strategi
pencegahan. Sangatlah penting diingat bahwa antibodi terhadap gliadin dapat diturunkan
dengan aman pada wanita hamil dengan membatasi konsumsi makanan yang mengandung
gluten, serta tambahan terapi yang sedang dikembangkan. Hal ini menjanjikan bahwa resiko
kerugian pada saat persalinan akibat penyakit celiac yang tidak belum diketahui kurang lebih
dapat menghilang setelah diagnose dan perawatan. Penggambaran lain dari mekanisme
hubungan sensitivitas gluten terhadap resiko kelainan jiwa dapat mengarah pada metode baru
untuk pencegahan dan perawatan pada terhadap kelainan-kelainan ini.

12

Vous aimerez peut-être aussi